PENYIMPULAN IDE HUKUM ISLAM TENTANG RUKYAT HILAL Oleh : Drs.H.Anshoruddin,.SH.MA,. ( Hakim Tinggi PTA Semarang ) I. PENDAHULUAN Apabila kita selalu mengadakan diskusi untuk membahas Bimbingan Agama tentang Hisab dan Rukyah, bukan berarti ketentuan hukumnya belum terumuskan dalam Al-Qur’an, Al Hadits dan dalam hasil ijtihad dari berbagai imam Madzhab dalam kitab-kitab fiqh, baik dalam kitab-kitab fiqh konvensional maupun kitab fiqh modern. Bila kita selalu mengadakan pertemuan dalam bentuk tukar-menukar hasil kajian, tujuannya ialah untuk mencari pemahaman yang paling berimbang dengan perkembangan pemikiran dalam masyarakat Islam masa kini. Refleksi itu kita temukan dalam kaidah fiqhiyah yang dicetuskan oleh para fuqaha’ yang mengandung pengertian, bahwa tidak dapat diingkari terjadinya perubahan hukum karena terjadinya perubahan zaman. Penyebabnya tidak lain bahwa teks-teks keagamaan sudah berakhir, sedang fenomena kemasyarakatan berkembang terus, tidak pernah mengalami masa akhir. Menghadapi kenyataan tersebut tentunya kita memahami, bahwa keikutsertaan pemikiran manusia dalam pemahaman teks-teks keagamaan ialah teks-teks yang ada sangkutpautnya dengan bidang kosmologis dan antropologis, bukan bidang theologies dan eskatologis. Hisab dan Rukyah, sebagai alat yang diperlukan bagi setiap muslim untuk menimbulkan keyakinan masuknya awal bulan Qamariyah dan bagi para penguasa dalam menetapkan awal bulan Qamariyah mengenai kekuatan hukumnya, telah diatur baik dalam Al-Qur’an ataupun Al Hadits. Akan tetapi dalam menginterpretasikan teks-teks dalam AlQur’an dan Al-Hadits itu, terdapat aneka ragam pola, sehingga menyebabkan perbedaan faham. Maka keikutsertaan perkembangan pikiran sangat diperlukan, justru dalam mencari interpretasi yang paling berimbang dengan perkembangan zaman, terutama di saat-saat memberi keputasan tentang masuknya awal bulan Qamariah.
II. PENELUSURAN AYAT DAN PENELUSURAN HADITS Di dalam Al-Quran terdapat beberapa bimbingan yang dijadikan sumber hukum bagi penentuan awal bulan Qamariyah. 1) Bimbingan yang pertama mengatakan bahwa hilal sebagai penentu waktu dan saat pelaksanaan ibadah Haji. Surat Al Baqarah (2) ayat 189
..............يغُهٕ َك عٍ ا أل ْهح قم ْٗ يٕ ا قيد نهُا ط ٔا نحح.
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) Haji. (Depag RI, 1971, 46) Dari firman ini dapat diketahui bahwa hilal sebagai tanda waktu bagi pelaksanaan ibadah, seperti penentuan awal Ramadlan, Idul Fitri, Idul Adha dan hari-hari yang ada sangkut pautnya dengan sejarah Islam. 2) Bimbingan yang kedua mengatakan bahwa : Siapa yang menyaksikan masuknya bulan Ramadlan wajib berpuasa. Surat Al Baqarah (2) Ayat 185
................ًّفًٍ شٓذ يُكى انشٓش فهيص Artinya : karena itu, barang siapa diantara kamu menyaksikan (masuknya) bulan Ramadlan maka hendaklah ia berpuasa.(Depag RI, 1997, 45) 3) Bimbingan yang ketiga mengatakan bahwa Allah telah menetapkan manzilah bagi peredaran bulan, dengan tujuan agar kaum muslimin dapat mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktunya. Surat Yunus (10) ayat 5
ٍْٕ ا نزٖ خعم انشًظ ضياء ٔانقًش َٕسا ٔقذ سِ يُا صل نرعهًٕا عذ د انغُي ..................ٔانحغاب Artinya : Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya. Dan Allah telah menetapkan manzilah-manzilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Dan firman Allah dalam Surat Ar Rahman (55) ayat 5
.ٌ انشًظ ٔانقًش تحغثا Artinya: Matahari dan bulan ( beredar ) menurut perhitungan. (Depag RI, 1997, 306 dan 885 ) Sebagai penjelas dari ketentuan yang global yang terkandung dalam Al- Qur’an, Rasulullahpun telah memberikan bagaimana seharusnya bimbingan Al- Qur’an itu dilaksanakan. Penjelasan-penjelasan Nabi Muhammad SAW tersebut termuat dalam berbagai hadits antara lain :
ذشاءٖ انُاط انٓال ل فأ خثشخ انُثٗ صهٗ هللا عهيّ ٔعهى أَٗ سأيرّ فصاو.1 ّٔأيش انُا ط تصياي Artinya : manusia bersama-sama merukyah hilal. Kemudian saya memberitahukan kepada Nabi bahwa saya melihatnya. Lalu Nabi siap berpuasa dan menyuruh orang-orang berpuasa.(H.R. Abu Dawud dari Ibnu Umar dan Dinyatakan shahih oleh Al Hakim dan Ibnu Hibban).
.2حذثُا يحيٗ تٍ يحيٗ أخثشَا ئتشاْيى تٍ ععذعٍ اتٍ شٓاب عٍ ععيذ تٍ انًغية عٍ أتٗ ْشيشج سضٗ هللا عُّ قال قال سعٕل هللا صهىاهلل عهيّ ٔعهى إذارأيتى انهال ل فصى يىا وإذا رأيتًىه فأفطر وا فإٌ غى عهيكى فصىيىا ثال ثيٍ يىيا (صحيح يغهى) حذثُا عثذ انشحًٍ تٍ عال و اندًحٗ حذثُا انشتيع يعُٗ اتٍ يغهى عٍ يحًذ ْٕٔ اتٍ صيادعٍ أتٗ ْشيشج سضٗ هللا عُّ أٌ انُثٗ صهٗ هللا عهيّ ٔعهى قال صىيىانرؤيته وأفطروا نرؤيته فإٌ غ ًّى عهيكى فأكًهىا انعدد (صحيح يغهى) حذثُا عثيذهللا تٍ يعار حذثُا أتٗ حذثُا شعثح عٍ يحًذ تٍ صياد قال عًعد أتاْشيشج سضٗ هللا عُّ يقٕل ٔ قال سعٕل هللا صهٗ هللا عهيّ ٔعهى صىيىانرؤيته وأفطروانرؤيته فإٌ غ ًّى عهيكى انشهر فعدواثالثيٍ (صحيح يغهى) حذثُا أتٕتكشتٍ أتٗ شيثح حذثُا يحًذ تٍ تششانعثذٖ حذثُا عثيذهللا تٍ عًشعٍ أتٗ انضَاد عٍ األعشج عٍ أتٗ ْش يشج سضٗ هللا عُّ قال ركشسعٕل هللا صهٗ هللا عهيّ ٔعهى انٓال ل فقا ل إذا رأيتًىه فصىيىا و إذا رأيتًىه فأفطروافإٌ أغًى عهيكى فعدّواثالثيٍ (صحيح يغهى) أخثشَا يإيم تٍ ْشاو عٍ ئعًعيم عٍ شعثح عٍ يحًذ تٍ صياد عٍ أتٗ ْشيشج قال قال سعٕل هللا صهٗ هللا عهيّ ٔعهى صىيىا نرؤيته وأفطروا نرؤيته فإغ ّى عهيكى انشهر فعد وا ثالثيٍ(عٍُ انُغائي) أخثشَا يحًذ تٍ عثذهللا تٍ يضيذقال حذثُا أتٗ قال حذثُا ٔسقاء عٍ شعثح عٍ يحًذتٍ صيادعٍ أتٗ ْشيشج قال قال سعٕل هللا صهٗ هللا عهيّ ٔعهى صىيىانرؤيته وأفطروا نرؤيته فإٌ غ ّى عهيكى فاقدروا ثال ثيٍ (عٍُ انُغاَي) أخثشَايحًذتٍ يحيٗ تٍ عثذهللا انُيغاتٕسٖ قال حذثُاعهيًاٌ تٍ دأدقال حذثُائتشاْيى عٍ يحًذتٍ يغهى عٍ ععيذاتٍ انًغية عٍ أتٗ ْشيشجأٌ سعٕل هللا صهىاهلل عهي ٔعهى قال إذارأيتى انهال ل فصىيىاوإذارأيتًىه فأفطروافإٌ غ ّى عهيكى فصىيىاثال ثيٍ يىيا (عٍُ انُغاَي) أخثشَايحًذتٍ حاذى قال حذثُاحثاٌ قال حذثُاعثذهللا عٍ انحداج تٍ أسطاج عٍ يُصٕسعٍ ستعئ قال قال سعٕل هللا صهٗ هللا عهيّ ٔعهى
إذارأيتى انهال ل
فصىيىإذارأيتًىه فأفطروا فإٌ غ ّى عهيكى فأتًىاشعباٌ ثالث يٍ إال أٌ ترواانهال ل قبم ذنك ث ّى صىيىاريضاٌ ثال ثيٍ إال أٌ ترواانهال ل قبم ذنك (عٍُ انُغا َي)
.3أخثشَاانشتيع تٍ عهيًاٌ قال حذثُااتٍ ْٔة قال أخثشَٗ يَٕظ عٍ اتٍ شٓاب قال حذثُٗ عانى تٍ عثذهللا أٌ عثذهللا تٍ عًشقال عًعد سعٕل هللا صهىاهلل عهيّ ٔعهى يقٕل إذارأيتى انهال ل فصىيىا وإذارأيتًىه فأفطروافإٌ غ ّى عهيكى فاقدروانه (عٍُ انُغاَي) أخثشَايحًذتٍ عهًح ٔانحاسز تٍ يغكيٍ قشاءج عهيّ ٔأَا أعًع ٔانهفع نّ عٍ اتٍ انقاعى عٍ يانك عٍ َافع عٍ اتٍ عًشأٌ سعٕل هللا صهىاهلل عهيّ ٔعهى ركشسيضاٌ فقال ال تصىيىاحتى تروا انهال ل وال تفطرواحتى تروه فإٌ غ ّى عهيكى فاقدروانه (عٍُ انُغاَي) أخثشَاعًشٔتٍ عهٗ قال حذثُايحيٗ قال حذثُاعثيذهللا قال حذثُٗ َافع عٍ اتٍ عًشعٍ انُثٗ صهىاهلل عهيّ ٔعهى قال ال تصىيىاحتى تروه وال تفطرواحتى تروه فإٌ غ ّى عهيكى فاقدروانه (عٍُ انُغاَي) حذثُائعًاعيم أخثشَاأيٕب عٍ َافع عٍ اتٍ عًشقال قال سعٕل هللا صهىاهلل عهيّ ٔعهى إًَا انشهر تسع وعشروٌ فال تصىيىاحتى تروه وال تفطرواحتى تروه فإٌ غ ّى عهيكى فاقدروانه (يغُذأحًذ) حذثُاعثذانشحًٍ حذثُايانك عٍ َافع عٍ اتٍ عًشعٍ انُثٗ صهىاهلل عهيّ ٔعهى قال ال تصىيىاحتى تروا انهال ل والتفطروا حتى تروه فإٌ غ ّى عهيكى فاقدروانه (يغُذأحًذ) حذثُا أتٕكايم حذثُا ئتش اْيى حذثُا اتٍ شٓاب عٍ عانى عٍ عثذ هللا تٍ عًشقال قال سعٕل هللا صهىاهلل عهيّ ٔعهى إذارأيتى انهال ل فصىيىا وإذارأيتًىه فأفطروافإٌ غ ّى عهيكى فاقدروانه (يغُذأحًذ) حذثُا أتٕيشٔاٌ يحًذتٍ عثًاٌ انعثًاَٗ حذثُائتشاْيى تٍ ععذعٍ انضْشٖ عٍ عانى تٍ عثذهللا عٍ اتٍ عًشقال قال سعٕل هللا صهىاهلل عهيّ ٔعهى إذارأيتى انهال ل فصىيىاوإذارأيتًىه فأفطروا فإٌ غ ّى عهيكى فاقدروانه قال وكاٌ ابٍ عًريصىو قبم انهال ل بيىو (عٍُ اتٍ ياخّ)
III. PENGAMALAN PUASA DENGAN RUKYAH DAN HISAB
1. Dengan Pemberitaan Rukyah Karena tidak semua orang mempunyai ketajaman indera untuk merukyah hilal, maka kebanyakan diantara mereka memulai puasa atau berhari raya dengan pemberitaan rukyah. Cara ini sesuai dengan maksud yang terkandung dalam hadits kesatu tersebut diatas .-
2. Denagan Menyempurnakan Bilangan Bulan yang Sedang Berjalan Apabila pada akhir bulan menjelang bulan Ramadlan hilal tidak berhasil dirukyah, maka ada kalanya ditempuh jalan menyempurnkan bilangan bulan Sya’ban 30 hari. Cara ini sesuai dengan maksud yang terkandung dalam hadits kedua diatas .-
3. Dengan Menggunakan Hasil Hisab Kalau pada akhir bulan menjelang bulan Ramadlan, menurut perhitungan, hilal sudah dimungkinkan wujud, maka senja itu dan keesokan harinya sudah diyakini sebagai bulan baru, maka mereka sudah memulai puasa. Cara ini sesuai dengan maksud yang terkandung dalam hadits ketiga :
ّفاٌ غ ّى عهيكى فا قذ سٔان Artinya : apabila hilal terhalang oleh mendung, perkirakanlah. Kata
ّفا قذ سٔا ن
pengertiannya ditarik pada ketentuan yang terkandung
dalam firman Allah Surat Yunus (10) ayat 5 yang menyatakan bahwa bulan itu telah ditetapkan peredarannya dengan manzilah-manzilah yang telah ditentukan pula, maka posisi hilal dapat ditentukan pula menurut perhitungan. Faham serupa ini tidak dapat diterima oleh mereka yang berpegang pada rukyah, karena menurut mereka, hadits yang memerintahkan agar diperkirakan, adalah mujmal, sementara hadits yang memerintahkan agar menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban itu mufashshal (terperinci). Maka sesuai dengan kaidah : yang mujmal
pengertiannya harus dibawa pada yang mufashshal. Apalagi
hadits yang memerintahkan agar diperkirakan itu bersifat mutlak, sedang pada hadits yang lain terdapat perintah agar diperkirakan 30 hari secara muqayyad, maka yang mutlak harus dibawa pengertiannya pada yang muqayyad. Dan sisi yang lain pendukung rukyah menyatakan bahwa Surat Yunus ayat 5 itu bukan ayat hukum, tetapi ayat kauniah, dalam rangka menampakkan kekuasaan Allah yang terdapat di langit, di bumi dan diantara keduanya, maka tidak dapat dijadikan untuk menetapkan hukum.
IV. HISAB DAN RUKYAH DALAM PEMAHAMAN MUJTAHIDIN Para ulama telah sepakat, bilangan bulan Arab adakalanya 29 hari dan adakalanya 30 hari. Mereka itu berselisih pendapat apabila hilal tertutup awan, jumhur berpendapat bahwa apabila hilal tertutup awan sehingga tidak mungkin dirukyah, maka yang ditempuh ialah menyempurnakan bilangan bulan yang sedang berjalan. Diriwayatkan dari sebagian ulama salaf bahwa apabila hilal terhalang oleh awan, yang ditempuh ialah kembali pada perhitungan hisab. Dikatakan bahwa pendapat ini adalah madzhabnya Muthraf bin Syuhair. Beliau ini termasuk tabiin besar. Diriwayatkan dari Syuraih dari Asy Syafi’iy bahwa ia pernah berkata: barang siapa yang alirannya berpegangan pada Astronomi dan manzilah bulan, kemudian dari segi pengetahuannya itu tampak, bahwa hilal itu tertutup awan, maka ia berhak untuk meyakini kewajiban berpuasa dan ia akan menerima pahala.(Ibnu Rusyd , bidayatul mujtahid juz I, 196) Penyebab utama para fuqaha memegangi Rukyah Bashariyah sebagai dasar untuk menentukan masuknya awal bulan Qamariyah, ialah karena mereka berpegang pada hadits:
اراسأيرى انٓال ل فصٕ يٕا Artinya: Bila kamu melihat hilal, berpuasalah. Hal itu disebabkan karena pada masa itu ilmu Falak belum berkembang dan belum ada yang menggunakannya untuk penetapan awal bulan. Ketidak siapan ilmu falak untuk keperluan itu tampak dari sabda Nabi :
ئَا أيح أييح ال َكرة ٔال َحغة Artinya : Sebenarnya kami ummat yang tidak (berilmu) menulis dan menghitung.(HR. Bukhari) Menurut penjelasan Muhammad Thayyar Alaththy Kulaj, ketua Urusan Agama Turki, bahwa mereka memilih rukyah hilal untuk menentukan awal bulan Qamariyah karena mereka belum bisa menetapkan awal bulan dengan hisab. ( Muhammad Thayyar, 26) Imam As Subky, ialah seorang ulama Salafiyah, yang hidup pada abad ke-8 Hijriyah, terhitung di antara ulama yang mengatakan boleh menetapkan awal bulan Qamariyah dengan Hisab dan termasuk yang paling gigih mempertahankan pendapatnya, meskipun banyak kritik dilontarkan kepadanya.(Ibnu Al Abidin, 251252) pendapat beliau sebagai berikut :
ٔيعشف, اٌ دل انحغا ب عهٗ عذو ئيكا ٌ سؤيح: ٔقذ قال اإل يا و ذقي انذ يٍ انغثكي ِ ففي ْز, ٔيكٌٕ انقًش في ْزِ انحا نح قشيثا خذا يٍ انشًظ.رنك تًقذ يا خ قطعيح ْٔزا خثش يحرًم, فهٕ أخثشتّ شخص أٔأكثش: انحا نح ال ذًكٍ سؤيرّ أل َٓا يغرحيهح ألٌ انخثش, فال يدٕص قثٕ نّ أٔذقذ يًّ عهٗ انحغاب انقطعي,انصذق ٔانكزب ٔانغهظ . ّ ٔانظُي ال يدٕصذقذ يًّ عهٗ انقطعي أٔ يعا س ضرّ ت,ظُي ) 375. ص3 ج: ( انشرواَى Artinya : Imam Taqiyuddin As Subky. Menyatakan: Bahwa jika menurut hisab Haqiqi Tahqiqi, hilal tidak mungkin dirukyah, sedangkan keadaan bulan (hilal) posisinya sangat dekat sekali dengan matahari, dalam keadan seperti ini mustahil hilal dapat di rukyah , jika ada seorang atau beberapa orang menyampaikan khabar bahwa ia telah melihat bulan pada situasi seperti tersebut diatas, maka kesaksian tersebut harus ditolak sebab khabar itu sifatnya Dzonny sedangkan Hisab Haqiqi Tahqiqi itu sifatnya Qoth’iy yang Dzonny tidak boleh bertentangan dengan yang Qoth’iy. Dari berbagai pendapat dapatlah diambil kesimpulan bahwa baik rukyah ataupun hisab, kedu-duanya sebagai alat untuk menentukan masuknya awal bulan Qamariyah. Rukyah dapat dipandang sebagai Syahadah, sebagai alat bukti dalam memutuskan perkara. Begitu pula hisab sebagai pendapat ahli yang sama nilainya dengan visum et repertum kedu-duanya sangat penting artinya dalam memberikan keyakinan pada hakim, dalam membuat keputusan. Kalau kita teliti dalam memahami pengertian yang dimuat dalam hadits yang keempat tentulah kita akan mengetahui bahwa sahabat yang berhasil merukyah hilal, melapor dulu pada Nabi, baru Nabi memberitahu keputusan masuknya awal bulan. Jadi ketentuan masuknya awal bulan atas dasar itsbatnya Nabi, bukan semata-mata karena adanya laporan rukyah. Memang kita akui bahwa disamping Nabi menerima laporan rukyah, tidak dikesampingkan adanya kontrol dari langit artinya apabila laporan rukyah itu tidak benar, maka tentulah jibril akan turun dari langit untuk memberi bimbingan seperti terjadi dalam beberapa kesempatan, apabila Nabi keliru dalam berijtihad. Tetapi sekarang jibril sudah tidak datang lagi, karena bimbingan yang disampaikan pada Rasul sudah dianggap sempurna. Maka hisablah yang diharapkan sebagai kontrol, artinya apabila ada laporan rukyah yang dipandang mustahil oleh hisab, maka hasil rukyah seperti itu harus diperiksa dengan seksama karena hasil rukyah seperti itu kemungkinan besar adalah sebagai hasil ilusi atau halusinasi.
Hisabpun tidak lepas dari kontrol rukyah atau observasi, karena para ulama hisab sebelum penetapan rumusan kaidah-kaidahnya, rumusan-rumusannya mereka uji terlebih dahulu secara teliti dan berkesinambungan. Dari penelitian itulah disusun kaidah-kaidah itu dan rumusan-rumusan itu, sehingga tersusun secara sistematis dan relevan, serta menghasilkan perhitungan yang teliti, yang memiliki akurasi yang tinggi dan diuji kebenarannya setiap saat. Karena itulah maka rukyah muktabarah dan hisab yang hakiki, tentunya akan bertemu dalam satu titik, karena rukyah sebagai pengamalan dari wahyu sedang hisab yang hakiki disamping sebagai bimbingan wahyu juga sebagai kreasi dari pikiran. Baik wahyu atau pikiran keduanya adalah ciptaan Allah yang harus dijunjung tinggi dan dihargai. Dengan demikinan wahyu dan pengerahan pikiran itulah, manusia akan mampu mengangkat derajat manusia ke tingkat kehidupan yang lebih tinggi. Itulah sebabnya maka dalam Badan Hisab dan Rukyah Departemen Agama, keduanya dikembagkan agar rukyah yang dilakukan benar-benar rukyah yang terencana dan terkendali sehingga hisab yang dilakukan betul-betul hisab yang didasarkan pada kaidah-kaidah dan rumusan-rumusan yang teruji kebenarannya. Kita meyakini bahwa baik hasil rukyah ataupun hasil-hasil hisab sangat berguna bagi itsbatu awailli asysyuhur al qamariyah. Maka hasil rukyah dan hasil hisab itu harus disampaikan pada decision maker yaitu pada pembuat keputusan pada malam sidang itsbat, sehingga terbentuklah keyakinan yang sebenar-benarnya (material truth) dalam membuat itsbat. Demikianlah gambaran yang dapat dipahami dari bimbingan Syari’at Islam, bila kita dalami berbagai aspek atau secara multi dimensional, yang mana gambaran pemahamannya itu, benar-benar akan membentuk keselarasan dan keseimbangan dalam membina hidup bermasyarakat dan kerukunan hidup beragama.
V. KESIMPULAN / PENUTUP Demikian Penyimpulan ide Hukum Islam tentang Rukyat Hilal, seperti termuat dalam bimbingan Allah, yang termuat dalam wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya baik yang tidak langsung yaitu Al Qur’an maupun yang langsung yaitu Al Hadits, serta bagaimana menurut pengamalan beliau serta para sahabatnya dan bagaimana pengembangannya oleh para pengikutnya, sehingga terwujud dalam bentuk ilmu pengetahuan yang berkembang bersama dengan ilmu pengetahuan yang lainnya, serta mendorong dalam kegiatan-kegiatan penelitihan dalam observatorium-observatorium yang menggerakkan kegiatan-kegiatan penelitihan untuk menemukan kebenaran antara yang dirumuskan dalam pemikiran dan pembuktian dalam dunia realitas.
Suatu kegiatan yang terpuji ialah bagaimana kita memadukan hisab dan rukyah itu sebagai dua kegiatan yang saling membantu, saling mengontrol, menuju pada kegunaannya yang dapat memberikan manfaat. Dengan memadukan kegiatan itu, maka kita akan lebih memahami arti hidup ini dan memberikan makna yang berarti bagi pembinaan kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Awal dan Akhir Ramadhan, PT Pustaka Rizki Putra, 2001, Semarang. Ahmad Muhammad syakir,Awaa ili Asysyuhur Al Arabiyah, Pustaka Progressif, 1993, Surabaya. Muhammad Hasyim Manan, Dkk, Menuju Kesatuan Hari Raya, PT Bina Ilmu, 1995, Surabaya. A. Katsir, Matahari dan Bulan Dengan Hisab, PT Bina Ilmu, 1979, Surabaya. BJ Habibi, Prof. DR. Ing., Dkk, Rukyah dengan Teknologi, Gema Insani Press, 1994, Jakarta. Abd. Rochim, Drs., Ilmu Falak I dan II, Fak Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1970, Jogjakarta. Depag RI, Al Quran Dan Terjemahan, 1971, Jakarta. Hadits Abu Dawud, Bukhari dan Muslim Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid