BAB II HIBAH 'UMRA MENURUT IMAM MALIK
A. Biografi Imam Malik Imam Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Amir bin al-Harits, demikian nama lengkap Imam Malik. Beliau adalah seorang faqih, perintis dan pemuka madzhab Maliki dan seorang Imam Dar al-Hijrah. Silsilah beliau berakhir sampai pada Ya’qub dan al-Qathan al-Ashbahy, nenek moyangnya Abu Amir adalah seorang sahabat yang selalu mengikuti seluruh peperangan yang terjadi pada zaman Nabi s.a.w. kecuali perang badar. Sedangkan kakeknya Malik adalah seorang tabi’in besar (kabîr al-tabi’in) dan fuqoha kenamaan, juga termasuk salah seorang dari empat tabi’in yang jenazahnya diusung sendiri oleh khalifah Utsman bin Affan ke tempat pemakamannya. Beliau dilahirkan pada tahun 93 Hijriyah di kota madinah setelah berada di dalam rahim ibunya selama tiga tahun, dengan riwayat ini teranglah bahwa beliau adalah seorang keturunan dari bangsa Arab dari dusun Dza Ashbah sebuah dusun di kota Himyar dari jajahan negeri Yaman. Dulu diketahui bahwa ayah Imam Malik bukanlah Anas bin Malik yang pernah menjadi sahabat dan khadam Rasulullah s.a.w. yang terkenal itu, karena Anas bin Malik itu adalah Anas bin Malik bin Nadhar bin Dhamdham bin Zaid al-Anshary al-Khajrazy (al-Shalih, 1988 : 387). Adapun nama Ibu Imam Malik ialah Siti Aliyah binti Syuraik bin Abdurrahman bin Syuraik al-Azadiyah, pada masa Malik dilahirkan pemerintah Islam
٢٧
berada di tangan kekuasaan kepala negara Sulaiman bin Abdul Malik (dari Banu Umayyah yang ke III). Malik setelah berputera beberapa orang putera yang diantaranya ada yang dinamakan Abdullah maka beliau terkenal dengan gelar Abu Abdullah. Kemudian pada masa sesudah beliau menjadi alim besar yang terkenal di mana-mana dengan berbagai hasil ijtihadnya dan penyelidikan-penyelidikannya tentang hukum keagamaan diakui dan diikuti oleh sebagian kaum muslimin, maka buah ijtihad beliau dikenal orang banyak dengan sebutan “Madzhab Maliki”. Malik bin Anas terdidik di kota Madinah dalam suasana yang meliputi diantaranya para sahabat, para tabi’in, para anshar, para cerdik nan pandai dan para ahli hukum agama. Beliau terdidik di tengah mereka sebagai seorang anak yang cerdas dalam berfikir, cepat menerima pelajaran, kuat dalam berfikir dan menerima pengajaran, loyal dan teliti. Imam Malik bukanlah dari keturunan terpandang menurut ukuran materi melainkan beliau seorang fakir bahkan beliau tidak pernah mempunyai uang karena memang beliau bukan keturunan orang kaya. Dalam keadaan demikian tidaklah beliau menjadi pesimis dalam menempuh karir dan ketekunannya dalam bidang ilmu agama, beliau juga sangat zuhud dan antusias dalam menimba berbagai macam disiplin ilmu. Imam Malik menuntut ilmu kepada ulama Madinah. Guru pertama yang pernah
menempa
Malik
dan
sangat
berpengaruh
terhadap
perkembangan
pemikirannya adalah Rabi’ah Ibnu al-By Abdurrahman yang dikenal dengan julukan
٢٨
“rabi’ah al-ra’yu” (Rabi’ah sang pemikir ulung), ia seorang pemikir ahli fiqih yang memakai ra’yu yang merupakan paduan antara nash dengan maslahat. Pandangan Rabi’ah yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran Malik berupa masalah “Amal Ahli Madinah”, bagi Rabi’ah amal ahli Madinah yang tidak diperselisihkan lebih kuat jika dibandingkan dengan hadits ahad. Guru Malik yang mendapat kedudukan khusus ialah Nafi yang bergelar ahli Madinah. Di kalangan ilmu hadits riwayat Malik dari Nafi dari Ibnu Umar merupakan riwayat mata rantai emas (silsilah al-dzahab). Orang yang paling lama menempa pemikiran Malik adalah Ibnu Hurmuz, ia menempa selama tiga belas tahun. Pengaruh Ibnu Hurmuz yang sangat terkesan dalam diri Malik adalah sikap rendah hati. Guru Imam Malik yang lain adalah Ibnu Syihab az-Zuhri ia salah seorang ulama besar di Madinah dan terhitung orang yang pertama membuka hadits atas perintah Umar Ibnu Abi Aziz. Sedangkan guru yang lainnya adalah Abu al-Zihad ia adalah orang yang mempunyai kedudukan yang tinggi di bidang keagamaan. Lima guru tersebut di atas, semuanya mewarisi ilmu pengetahuan dari “al-fuqoha alsab’ah” (tujuh serangkai ulama Madinah yang terkemuka di bidang ilmu fiqih) (Rachmat Syafe’i, 1990 : 28). Para pendukung Madzhab Maliki banyak tersebar di berbagai kota Islam, diantaranya: 1. Abd al-Rahman Ibnu al-Qasim (Periwayat al-Mudawwanah ) 2. Abu Muhammad Abdullah Ibnu Wahab Ibnu Muslim 3. Asad bin al-Furat (penyusun al-Mudawwanah )
٢٩
4. Sahnun Abd Salam al-Tanukhi (penulis al-Mudawwanah ) (Ibid, : 37) Pada mulanya madzhab Maliki itu timbul dan berkembang di kota Madinah, tempat kediaman beliau yang kemudian tersiar di sekitar negeri Hijaz. Orang yang mula-mula mengembangkan fiqih Maliki ke negeri Mesir yaitu Utsman bin al-Ahkam al-Judzami, ia seorang dari sahabat Malik dari bangsa Mesir. Kemudian yang rajin mensyi’arkan madzhab Maliki ialah Abdurrahman bin al-Qasim Asyhab bin Abdul Aziz, Harits bin Miskin dan orang-orang yang semasa dengan mereka. Dengan demikian berkembang pesatlah madzhab Maliki di Mesir hingga datangnya madzhab Syafi'i. Adapun yang mengembangkan madzhab Maliki di Afrika sepanjang riwayat ialah Syahun bin sa’ad at-Tanukhu yang mengganti kedudukan qadhi Asad bin alFarat, begitu juga di wilayah Afrika Utara madzhab ini dikembangkan oleh Muiz bin Badis (seorang penguasa Afrika Utara) (Moenawar Chalil, 1992 : 145). Hingga sekarang madzhab ini masih tetap menjadi madzhab yang umum bagi penduduk Maghribi, Al-Jazair, Tunisia, dan Tarablis Barat. Demikian juga di dataran tinggi di Mesir, Sudan, Bahrain dan Quwait, selain di negeri-negeri tersebut masih banyak juga pengikut-pengikutnya di negeri Islam lainnya (Sobhi Mahmasani, 1976 : 65). Imam Malik memiliki perhatian yang sangat besar terhadap hadits sehingga beliau dijuluki sebagai seorang Muhadits
yang handal, selalu menghormati dan
menjunjung tinggi hadits Rasulullah s.a.w. dengan menampakkan sikap konsisten terhadap hadits. Beliau bila hendak memberikan hadits terlebih dahulu berwudhu
٣٠
kemudian duduk di atas alas shalat dengan tenang dan tawadhu, beliau sangat benci memberikan hadits sambil berdiri atau berjalan. Demikianlah ulama besar dengan karakternya yang sangat menjunjung tinggi kode etik dalam menyampaikan hadits Rasulullah s.a.w. (Moenawar Chalil, 1992 : 105). Dengan kehebatan dan keahliannya dalam bidang keilmuan Imam Malik mendapat pujian dan acungan jempol para ulama misalnya dalam bidang ilmu fiqih, seluruh ulama telah mengakuinya sebagai muhadits yang tangguh. Seluruh warga Hijaz memberikan gelar kehormatan baginya yaitu Sayid Fuqoha al-Hijaz. Imam Syafi'i memujinya “apabila berbicara tentang hadits, maka Imam Maliklah bintangnya yang tidak ada seorang yang terpercaya dalam ilmu Allah dari pada Imam Malik” (Ibid, : 100). Sebagai seorang Muhadits yang konsekwen dengan ilmu yang dimilikinya beliau tidak pernah melalaikan berjamaah, selalu aktif menjenguk kawan-kawannya yang sedang sakit dan selalu menjalankan kewajiban lainnya. Beliau terkenal sebagai ulama yang keras dalam mempertahankan pendapatnya bila dianggap benar, sifat keberanian beliau dalam mempertahankan atau membela kebenaran juga keberanian beliau dalam menegakkan pendirian yang telah diyakininya. Al-Muwaththa' merupakan karya tulis yang mengupas fikih dan hadits. Ia ditulis, atas permintaan Abu Ja’far al-manshur sebagai penguasa pada saat itu sekitar tahun 148 H/765 M. Kitab ini diharapkan dapat dijadikan sebagai kitab undangundang di peradilan ketika itu, sesuai dengan motif penulisannya. Dalam sistematikanya Imam Malik tidak hanya menghimpun hadits-hadits shahih saja
٣١
sebagaimana penulis kitab-kitab hadits yang ditulis oleh ulama lain di masa berikutnya melainkan ia hanya menghimpun fiqh Madani yang berdasarkan hadits, atsar, dan fikih. Oleh ebab itu, pada al-Muwaththa' akan dijumpai hadits-haditsnya yang diletakkan pada pembahasan fiqh ijtihâdi, bukan fikih sunnah atau fikih atsar. (Rachmat Syafe’i, 2006 : 10) Dalam masalah ini Moenawar Chalil (1995 : 144-145) mengemukakan sebagai berikut: Dari antara para ulama yang men-syarah kitab al-Muwaththa' ialah: Imam Abu Marwan bin Abdul Malik bin Habib al-Maliky, wafat pada tahun 239 Hijriyah. Imam Amir Yusuf bin Abdul Barri an-Namamy, wafat pada tahun 436 Hijriyah, kitabnya dinamakan “At-Taqasha” dan bagi beliau juga kitabnya dinamakan “At-Tahmid”. Imam Abdul Walid Sulaiman bin Khalaf al-Bajy, wafat pada tahun 494 Hijriyah, kitabnya dinamakan “Al-Isthifa”. Imam Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad an-Nahwy, wafat pada tahun 549 Hijriyah, kitabnya dinamakan “Al-Muqtabas”. Imam Abdurrahman bin Abu Bakar as-Sayuthi, wafat pada tahun 911 Hijriyah, kitabnya dinamakan “Kasyful Mughtha”. Imam Muhammad bin Abdul Baqy azZarqany, wafat pada tahun 1014 Hijriyah dan beliau ini mensyarah dengan cara yang sederhana menjadi tiga jilid dan ada pula seorang alim besar yang menyarah dengan cara dua bahasa yaitu Syekh Quthbuddin Ahmad bin Abdurrahim, yang wafat pada tahun 1176 Hijriyah, kitabnya yang bahasa Persia dinamakan “Al-Mushaffa”. Adapun dari para ulama yang mengikhtisarkan kitab al-Muwaththa' ialah Imam Ahmad bin Muhammad al-Basty, wafat pada tahun 228 Hijriyah dan Imam Abdurrahman bin Abi Bakar as-Sayuthi, wafat pada tahun 911 Hijriyah kitabnya dinamakan “Tanwirul Hawalik”.
Imam Syafi'i mengatakan bahwa tidak ada kitab yang paling shahih di atas permukaan bumi ini setelah kitab Allah selain dari kitab Muwaththa Malik. Bahkan menurut suatu pendapat kitab ini mempunyai riwayat yang banyak sekali, tetapi yang sampai kepada kita hanya dua riwayat saja, pertama riwayat Imam Muhammad bin
٣٢
al-Hasan sahabat Imam Abu Haifah, yang dicetak di India dan yang kedua ialah riwayat Yahya al-Laitsi (234 H.) yang dicetak di Mesir kemudian diberi syarah oleh az-Zarqani As-Suyuti (Sobhi Mahmassani, 1976 : 63). Kitab al-Muwaththa' Malik memiliki keutamaan yang luar biasa pada masa itu, yang didalamnya berisi hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang dihimpun dan disusun menurut golongan ahli fiqih bahwa kitab fiqih al-Muwaththa' Malik di pandang sebagai kitab fiqih. Adapun kitab-kitab yang langsung dinisbathkan kepada Imam Malik, diungkapkan oleh Djazuli (1991 : 113) sbb: Kitab yang langsung dinisbathkan kepada Imam Malik adalah alMuwaththa' yang merupakan kitab hadits dan juga sekaligus kitab fiqih. Disamping itu juga fatwa-fatwa Imam Malik yang dikumpulkan oleh muridmuridnya seperti Ibnu Qasim dan Syahnun yang telah menyusun menjadi sebuah kitab al-Mudawanah al-Kubra yang merupakan kitab standar dalam madzhab Maliki”.
Ibnu al-Araby dan Malikiyah berpendapat bahwa kitab Muwaththa Malik lebih utama dari pada shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim), pendapat ini didasarkan atas pendapat bahwa Malik terkenal ketelitian dan ketetapannya, dan bagi Malikiyah kedudukan Imam Malik sebagai panutannya. Di antara ulama ada yang mensejajarkan al-Muwaththa' dengan shahihain seperti pendapat al-Dahlawi. Ada pula yang menilainya tidak sederajat dengan kitab Shahih Bukhari dan Muslim, pendapat ini didukung oleh muhaditsin. Dasar penilaian ini sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar bahwa kitab al-Muwaththa' Malik bagi Imam Malik itu sendiri merupakan kitab shahih demikian pula bagi mereka yang nengikutinya,
٣٣
mereka menganggap berhujjah dengan hadits mursal dan munqathi boleh dan sah. Tetapi mereka berpendapat bahwa berhujjah dengan hadits tersebut termasuk kategori dhaif maka tidak mengherankan jika kitab al-Muwaththa' dipandang tidak sederajat dengan shahihain. Pendapat yang mengatakan bahwa al-Muwaththa' lebih shahih dari shahihain beralasan bahwa hadits-hadits mursal dan munqathi yang terdapat dalam alMuwaththa' itu sanadnya bersambung dari jalan lain sehingga tidak diragukan lagi keshahihannya hadits tersebut. Jelaslah kiranya bagi kita bahwa Imam Malik adalah seorang alim hadits dan kitabnya al-Muwaththa' termasuk suatu kitab yang bermutu tinggi bagi dunia Islam. Imam Malik wafat pada hari ahad tanggal 14 Rabiul Awwal 169 Hijriyah (menurut sebagian pendapat 179 Hijriyah) di Madinah. Dalam ijtihadnya Imam Malik memulai langkah pertama dengan mencari keterangan-keterangan dari al-Qur’an, dengan mendahulukan zhahir al-Qur’an daripada hadits ahad. Al-Qur’an dan sunnah merupakan dasar hukum dalam ijtihad Madzhab Maliki. Metode istinbâth Imam Malik yang kedua berbeda dengan yang lainnya. Ia menolak hadits yang berbeda dan bertentangan dengan zhahir nash al-Qur’an, kecuali hadits tersebut mutawatir atau ahad yang didukung oleh amal ahli Madinah atau adanya dalil-dalil lain yang kembali kepada prinsip umum yang qath’i yang dalam hal ini hadits tersebut merupakan bayan tafsil terhadap al-Qur’an. Tegasnya Imam Malik berprinsip bahwa ”al-Qur’an menghukumi sunnah”, semua hadits yang sesuai dengan
٣٤
al-Qur’an diterimanya sedangkan apabila tidak sesuai maka hadits itu ditolaknya, dilemahkan atau dita’wilkannya. Sedangkan kedudukan sunnah terhadap al-Qur’an menurut Imam Malik, sebagaimana halnya yang telah dikutip oleh Hasby ash shiddieqy sebagai berikut: 1. Mentaqrirkan hukum atau mengokohkan hukum-hukum al-Qur’an, seperti perintah puasa. 2. Menerapkan apa yang dikehendaki al-Qur’an, mentaqyidkan mutlaqnya dan mentafsilkan mujmalnya seperti hadits-hadits yang menerangkan kaifiyat shalat serta syarat-syaratnya. 3. Mendatangkan hukum yang baru yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an, seperti memutuskan perkara dengan saksi dan sumpah serta tahrim rada’ah (Hasby ash shiddieqy, 1973 : 874). Dasar ketiga yang digunakan Imam Malik dalam ijtihadnya ialah Ijma. Malik adalah salah seorang Imam yang paling menyandarkan pendapatnya melalui ijma, diantaranya imam-imam yang sependapat sehingga kalau kita membaca alMuwaththa' sering menemukan kata
ا ا Imam Ghazali (1322 : 187) lebih memperjelas lagi tentang ijma yang digunakan oleh Imam Malik, ia menyebutkan:
ا ﺝ!ع اه ا ی# $ا
٣٥
“Bahwa ijma yang dijadikan hujjah adalah ijma penduduk Madinah saja” (AlGhazali dan al-Mustasyfa, Juz I, 1322 : 187). Dengan penjelasan tersebut maka dapat dipahami bahwa ijma yang ada dalam pandangan Maliki adalah ijma yang terdiri dari para ulama Madinah saja, tidak termasuk didalamnya seorangpun di luar penduduk Madinah. Keempat yang menjadi pegangan Imam Malik sebagai sumber ijtihadnya ialah amal ahli Madinah, Maliki menggunakan amal ulama Madinah sebagai hujjah dan jika ia mengatakan “ini adalah urusan yang ijma’i” maksudnya adalah ijma ulama Madinah, kalau ijma demikian yang dimaksudnya dalam kitab al-Muwaththa' adalah ijma ulama Madinah (Hasby ash shiddieqy, 1973 : 210). Pendapat Imam Malik yang menjadi amalan ulama Madinah sebagai hujjah memang memiliki cukup alasan yang kuat karena Madinah adalah tempat kediaman Rasul dan sahabat-sahabatnya, selama tiga belas tahun lebih Nabi s.a.w. membina masyarakat Madinah yang langsung beliau pimpin sendiri. Ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan serta taqrir beliau telah diketahui oleh masyarakat Madinah dan sedikit banyak telah menjadi amalannya maka dengan demikian wajarlah bila Imam Malik menempatkan amalan ulama Madinah dijadikan sebagai dasar hukum. Dasar kelima yang digunakan Imam Malik dalam melakukan ijtihadnya adalah qiyas. Imam Malik apabila tidak mendapatkan ijma ulam ahli Madinah di dalam menetapkan hukum barulah ia mengambil dan memutuskan dengan jalan qiyas, memperbandingkan dari ayat al-Qur’an atau sunnah Rasulullah s.a.w. (Moenawar Chalil, 1992 : 124).
٣٦
Dasar keenam yang digunakan Imam Malik dalam ijtihadnya adalah qaul shahabi, yang dimaksud dengan sahabat di sini adalah orang yang bertemu dengan Nabi, beriman kepadanya serta hidup bergaul dengan Nabi s.a.w. dalam waktu yang lama sehingga menurut adat layak disebut sahabat seperti khalifah yang empat (Rachmat Syafe’i, 1990 : 65). Kalau melihat pada kitab al-Muwaththa' dan al-Mudawanah yang keduanya sebagai karya Imam Malik yang utama, maka banyak sekali pendapatnya itu berdasarkan pada fatwa sahabat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Imam Malik memandang qaul sahabat sebagai hujjah syara bahkan lebih dari itu ia memandang fatwa sahabat bahagian dari sunnah atau mulhak sunnah. Dasar ketujuh yang menjadi pegangan Imam Malik di dalam berijtihad adalah maslahah al-mursalah atau istislah. Imam Malik apabila tidak menemukan hukum yang dicarinya dengan jalan qiyas maka beliau baru memutuskan dengan jalan mashalihul mursalah yakni memelihara tujuan agama dengan jalan menolak kebinasaan atau menuntut kebaikan. Adapun hukum yang beliau ambil dengan dasar qiyas dan istislah itu ialah segala perkara yang bersangkutan dengan urusan muamalah dan bukan yang bertalian dengan urusan “’ubūdiyah” (peribadatan). Demikianlah dasar hukum yang digunakan oleh Imam Malik, akan tetapi walaupun demikian tidak menutup kemungkinan ada metode lain yang pernah beliau jadikan dasar dalam beristinbath hukum seperti halnya istihsan, urf dan lain-lain. Dalam metode dan dasar istinbath Malik ini tidak
٣٧
ada jalan lain terkecuali penulis teliti mengikuti pendapat beliau yang diungkapkan dan dituangkan oleh murid-muridnya.
B. Pengertian Hibah 'Umra menurut Imam Malik Al-'Aini berkata bahwa dalam 'umra terdapat rincian huruf dengan syakalnya, yaitu: dengan dhammah pada huruf 'ain yang bersambung dan sukun pada huruf mim yang pendek/ringkas. Dan ada juga yang memberikan rincian dengan huruf 'ain berharkat dhammah dan huruf mim yang bersambung dengan huruf 'ain yang berharkat fathah dan huruf mim yang berharkat sukun, Ibnu Saydah berkata: bahwa al-'umra adalah mashdar seperti al-ruj'a, yang asalnya diambil dari kata al-'umri (azZarqany, t.t. :276). Dalam kitab Nailul Authar (t.t. : 1989) Syarih berkata: Perkataan “Umra” diambil dari kata “al-‘Umru”, yang artinya: hidup. Dinamakan begitu karena pada masa Jahiliyah, apabila ada seseorang memberi kepada orang lain, ia berkata, “A’martuka iyyaha”, yaitu: Aku perkenankan rumah itu untukmu selama umurmu dan hidupmu. Dengan begitu maka disebut “Umra”. Ibnu Rusydi
(1997 : 711) juga menukilkan hibah yang didalamnya
dipersyaratkan bahwa selama orang yang menerima hibahnya masih hidup, maka hibah tersebut disebut hibah al-‘umriy (kehidupan), asal kata 'umra. Imam Malik bin Anas r.a. berkata:
٣٨
: ه: - .!ه! و0 ا1 اذا أ،50 أﺕ دارأوأرض أوا:)ا)ى( ی!ل .#ا
-) رﺝ- !ذا.ركs; أو، < ى
"('Umra) berkata: Aku 'Umrakan Rumah atau tanah atau unta, dimana pada saat memberikan itu ia berkata: "Dia bagimu seumur hidup", maka setelah ia (penerima) meninggal barang itu kembali kepadaku".(Malik, t.t :756) Menurut al-Bazy:
أو ة. بBهB ا، < ! اC ه:ﺡ! )ا)ى( ه51@وا .C وE "Secara istilah kata 'umra adalah hibah kepemilikan manfaat, berupa benda 'umra atau menyebutkan masa 'umra dan keturunannya" (al-Bazy, t.t : ) Sementara itu penjelasan pandangan Imam Malik mengenai hibah 'umra yang terdapat di dalam kitab al-Mudawwanah al-Kubra (t.t., IV : 335) runtutan kalimatnya bisa dilihat berikut ini :
EHF أوهFC)ا اHF!ل هF.< أوFار ﺡ !ﺕF اEHF< هF أﺕF. !لF. ان-( أرأی- .) #F! أواFى أهHF ا#F اFﺕB F)0 F< وﺕﺝF! IJ!ا ﺝH!ل(ه.) 0اا .Kور “Apabila berpandangan dengan mengatakan ku-’umra-kan rumah ini selama hidupmu atau berkata ‘abid atau binatang ini. Maka ini boleh dalam pandanagn Imam
٣٩
Malik dan harta kembali kepada si pemberi atau ahli warisnya setelah si penerima meninggal.” Dalam bukunya Fiqh sunnah, Sayyid Sabiq
(1987: 199) menukilkan
perkataan Malik bahwa: "'Umra ialah pemilikan manfaat dan bukan penguasaan. Apabila 'umra diberikan kepada seseorang, maka 'umra itu baginya selama dia hidup, dan bia tidak diwariskan. Bila 'umra diberikan kepadanya dan kepada anak-anaknya sepeninggal dia, maka 'umra itu menjadi harta warisan bagi keluarganya". Hal senada juga dikemukakan T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Hukum-Hukum Fiqh Islam (1997: 443) bahwa Malik berkata: "Setelah yang menerima Hibah itu meninggal, rumah kembali kepada pemiliknya, karena yang dihibahkan itu hanya manfaatnya". Malik beserta para pengikutnya beranggapan bahwa orang yang menempati rumah tidak berhak atas rumah itu, kecuali hanya mempergunakannya. Apabila dia meninggal dunia, barang riqbah kembali kepada pemberi harta atau kepada pewarisnya. Apabila disebutkan keturunan (orang yang menempati rumah itu), maka apabila keturunan orang tersebut sudah terputus, barang riqbah itu pun kembali kepada pemberi harta 'umri atau pewarisnya (Ibnu Rusydi,1997: 711).
C. Dasar Hukum Imam Malik tentang Hibah 'Umra Sebagaimana telah di jelaskan terdahulu bahwa dasar hukum yang diambil dari al-Qur’an, semua ulama madzhab sepakat kesunnahan hibah. Masalah hibah
٤٠
‘umra tidak ditemukan secara eksplisit di dalam al-Qur’an, sehingga tidak terjadi ikhtilaf (perbedaan) dalam memahami teks al-Qur’an. Namun, di dalam hadits masalah ‘umra cukup banyak. Maka disinilah terjadi perdebatan tentang kedudukan hibah ‘umra. Imam Malik berkesimpulan pada hadits yang terdapat adanya kekhususan mengenai hibah 'umra. Berikut permulaan haditsnya (al-Muwaththa' hal 756):
O ِ ْ0ِ 0ِ !Fﺝ َ ْOF َ O ِ ْ َﺡT ِاFْC َ O ِ Fْ0 َ َ َFS َ ْ:F0ِ ْ َأOF َ ب ٍ !Rَ FQ ِ O ِ Fْ0 اO ِ F َ < ٍ Fِ!َ #ِKَ َ Fﺡ َ ُ Fَ َىFْ ُ َ Fِْ ُأ ٍ Fُ! َرﺝFَیX َأ:ل َ !Fَ. ;َ ّFَS ِ َوFْ َ َ U ُ ا# T@ َ U ِ لا َ BS ُ ن َر T َأU ِ ْ ِاC َ ! ًءFَ1 َ #Fَ1ْ ُ َأFT\ﻥ َ ًا0َ ! َه! َأ1 َ ْىْ َأHِ T ا# َ ﺝ ُ ِا ِ ْ َﺕ َ !! َه1 َ ْ)ىْ ُیHِ Tِ !Rَ ﻥT Yَِ ِ Cِ ْ)َ َِو (; _ )ا`ﺝ ا.^ ُ ْا ِریBَ َ ْ ِ ْ ِ اِ )َ .َ َو "Dikabarkan kepadaku oleh Malik dari Ibnu Syihab, dari Abi Salmah bin Abdurrahman, dari Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barang siapa memberikan sesuatu untuk selama hidupnya dan bagi yang sesudahnya, maka pemberian itu bagi orang yang diberikannya. Tidak kembali lagi kepada orang yang memberikan. Karena ia telah memberikan, sebagai pemberian, yang terjadi padanya hak pusaka""
Selanjutnya secara spesifik (khusus), masih dalam kitab al-Muwaththa' (t.t. : 756) hadits nomor 44 menjelaskan:
َ ِ FَS ُ FT َأﻥ: ;ِ FِS!َ ْ اO ِ ْ0 O ِ ْﺡT َْ ِاC َ ْO َ ، ٍ ْ )ِ S َ O ِ ْ0 ا# َ ْ$ْ َیO َ ٌ<ِ!َ #ِ Kَ َ ﺡ َ َو !؟Rَ ْ ِ س ُ !T ل ا ُ Bُ َو َ! َی، اْ ُ)ْ َىO ِ َ ٍ T $ َ ُ O َ ْ0 ;َ S ِ !َ ْن ا ُ Yَْ_ َی# T ِ ْcَ T ا ً ْB$ ُ ْbَ .ْ;Rِ ِاBَ Fْ َأ#Fِ ْ;Rِ g ِ ْ ُوFُQ # َ َ ْ; َو ُه T س ِا َ !T ا-ْ َ!َأدْ َرآ: ٍ T $ َ ُ O ُ ْ0 ;ُ S ِ !َ ل ا َ !َ َ .ْاB1 ُ َْو ِ ْ َ! ُأ ُ ﺝ ِ ْن ا ُ)ْ َى َﺕ T َأ.!ْ َ َﻥ ِ ُ ْ\ َ َا، < َ ِ َذ# َ َ ل َو ُ ْBُ ! َیbً ِ!َ ُ ْ)ِ S َ : # َ ْ$ل َی َ !.َ .< َ Cِ ِ )َ ِ< َو َ َ # َ ِه: ُْ ِا َذا َ;ْ َی.!ىْ َأْ َ َ َهHِ T ا#َ ِا
٤١
"Dikabarkan kepada saya oleh Yahya bin Sa'id dari Abdurrahman bin al-Qasim, bahwa ia mendengar Makhul ad-Damasyqi bertanya kepada alQasim bin Muhammad, tentang pemberian untuk seumur hidup dan apa kata manusia tentang itu, maka berkata al-Qasim kepadanya: "saya tidak mendapati manusia, selain mereka di atas persyaratannya, mengenai harta mereka dan pada yang mereka berikan". Yahya berkata: telah mendengar Malik berbicara tentang hal itu, yang padanya suatu perintah; "Sesungguhnya 'Umra kembali kepada si pemberi harta, jika tidak ada perkataan : "Ia bagimu dan bagi keturunanmu"".
Sementara itu dalam kitab Bidayah al-Mujtahid wa al-Nihayah al-Muqtashid (1997, II : 712), Ibnu Rusydi menukilkan dengan menerangkan hadits Abu Zubair dari Jabir bahwa rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
ُ ﺡ َ ! َﺕ َ Yًْ Q َ َ َ ْْ َأOَ َ ! ُﺕ)ْ ِ ُوْ َه َ ;ْ َوbُ َاBَ ْ;ْ َأbُ ْ َ َ ْاBbُ _ ِ ْ! ِرَأh َ ْ\ﻥ َ َ اc َ ْ)َ !َی .ُ ﺡ َ ! َﺕ ُ َو َ َ! َﺕ َ ُ َ Bَ Rُ َ "Wahai
segenap kaum Anshar, tahanlah harta-hartamu untuk dirimu,
janganlah menjadikannya sebagai harta 'umri. Akan tetapi, barang siapa menjadikan harta itu sebagai harta 'umri selama hidupnya, maka harta itu masih menjadi miliknya selama hidupnya ataupun sesudah matinya." Selanjutnya Hadits nomor 959 pada kitab Bulughul Marâm (t.t. : 193):
:;َ TS َ َ ْ ِ َو َ U ُ ا# T@ َ U ِ ل ا ُ ْBS ُ ل َر َ !.َ : ل َ !.َ ُ ْ َ U ُ ا# َi ِ ٍ َر0ِ !ﺝ َ ْO َ َو . ٌkl . ُ َ j َ ْ َو َهOَ ِ اْ ُ)ْ َى # َ Rِ َ ْ َى ُ َ َ ْْ َأOَ ُ ﻥT mَِ ،!_ ُوْ َه ِ ْl ُﺕ َ ;ْ َوbُ َاBَ ْ;ْ َأbُ ْ َ َ ْاBbُ _ ِ ْ َأ: ;ٍ ِْ_ُ َِو .ِ Cِ ِ )َ ِ ! َو َ ْ ً! َوn ﺡ َ !ى ُأْ ِ َ َهHِ Tِ
٤٢
ْBُ ّ ; َأنْ َیS وU! @ّ ىU ِ لا ُ BS ُ ﺝ! َز َه! َر َ َأ#ِ Tﻥ َ! اْ ُ)ْ َى اT ِإ: o ٍ ْlَ #ِ َو !@ َ #َﺝ ُ ِإ ِ ْ! َﺕRَ ﻥT mَِ َ ْc ِ !َ < َ َ # َ ِه:ل َ !.َ ! ِإ َذاT Yََ ،< َ Cِ ِ )َ ِ < َو َ َ # َ ِه: ل َ .!Rَ Cِ ﺡ ِ َ ِ ْ َأوْ ُأYًْ Q َ ْاBCُ .ِ ْْ ُأرOَ َ . ُﺕ)ْ ُوْا َ َو، ْاBCُ .ِ ْ ُﺕ َ : #Jِ !_ َ T َدا ُو َد َوا#0ِ \ َ َِو .ِ ِ Kَ َرBَ ِ Bَ Rُ َ Yًْ Q َ Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: "'Umra itu menjadi milik bagi orang yang diberi". Muttafaq alaih. Menurut riwayat Muslim: "Jagalah hartamu dan jangan menghamburkannya, karena barang siapa ber-'Umra maka ia menjadi milik orang yang diberi 'Umra selama ia hidup dan mati, dan menjadi milik keturunannya". 'Umra yang dibolehkan oleh Rasulullah s.a.w. ialah bila ia berkata: Ia milikmu dan keturunanmu. Jika ia berkata: Ia milikmu selama engkau hidup, maka pemberian itu akan kembali kepada pemiliknya. Menurut riwayat Abu Dawud dan Nasai: "Jangan memberi ruqba dan 'Umra karena barang siapa menerima ruqba dan 'Umra maka ia menjadi milik ahli warisnya". Dalam kitab Nailul Authar hadits nomor 3234 berbunyi:
U! @ّ ىU ِ لا ُ BS ُ ﺝ! َز َه! َر َ َأ#ِ Tﻥ َ! اْ ُ)ْ َى اT ِإ،0! ﺝO ، o ٍ ْlَ #ِ َو !Rَ ﻥT mَِ َ ْc ِ !َ < َ َ # َ ِه:ل َ !.َ ! ِإ َذاT Yََ ،< َ Cِ ِ )َ ِ < َو َ َ # َ ِه: ل َ ْBُ ّ ; َأنْ َیSو (داودB0 أﺡ و_ ; وأE )روا.!R َ Cِ ﺡ ِ !@ َ #َﺝ ُ ِإ ِ َْﺕ "Dan dalam satu lafal dari jabir : Sesungguhnya 'Umra yang diperkenankan oleh Rasulullah s.a.w. hanya (kalau) ia berkata: Dia milikmu dan milik anak-anakmu. Adapun jika ia berkata: Dia milikmu selama hidupmu, maka sesungguhnya 'Umra itu bisa kembali kepada pemiliknya (semula)" (HR Ahmad, Muslim dan Abu Daud).
٤٣
D. Metode Istinbath al-Ahkam Imam Malik tentang Hibah 'Umra Merujuk pada penjelasan Rachmat Syafe'i dalam bukunya yang berjudul Ijtihad Imam Malik (2006: 15), beliau menyebutkan tentang alasan memilih judul bukunya ini, salah satu alasan diantaranya bahwa: "Sumber hukum dan sistematika penggaliannya menurut Imam Malik ternyata tidak jelas dan simpang siur karena Imam Malik sendiri tidak menegaskan hal tersebut secara khusus dan sistematis, sehingga hal ini menimbulkan berbagai pandapat. Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian yang mendalam tentang sumber hukum dan sistematika penggaliannya melalui karya-karya Imam Malik yang autentik, yaitu alMuwaththa' dan al-Mudawwanah ." Dalam metode istinbâth al-ahkâm Imam Malik tentang hibah ‘umra, bisa terlihat dari beberapa pendapat berikut:
-0!K) ا#1) أن < ا0اB ! اﺡO_ أﺡOوC اC O0!ل إ. . ث ا)ى$ أن یC. ﺝ!عm0 “Ibnu abd al-Birr berkata: “Dan barang siapa yang berbuat kebaikan dengan bermaksud memberikan harta miliknya secara ‘umra itu ditetapkan dengan ijma sebelum hadits tentang ‘umra”” (al-Zarqany, t.t : 48). Juga al-Kandahlawy (t.t. : 280) mengemukakan:
t اk$0 jاﺝB! ol ا اHR0 ! C. رO b لI ; ی: ;Rs)0 !ل.و . ا ﺝ!عB وهO 0 اb ولIأن ی
٤٤
“Dan sebagian berkata: Tidak menghilangkan kepemilikan tempat tinggal dengan lafazh ini, maka wajib melihat secara benar atas apa yang tidak menghilangkan kepemilikannya itu dengan keyakinan ijma. Sebagaimana telah diketahui bahwa dasar hukum yang diambil oleh Imam Malik adalah hadits, disamping hadits-hadits penunjang lainnya:
َ ِ FَS ُ FT َأﻥ: ;ِ FِS!َ ْ اO ِ ْ0 O ِ ْﺡT َْ ِاC َ ْO َ ، ٍ ْ )ِ S َ O ِ ْ0 ا# َ ْ$ْ َیO َ ٌ<ِ!َ #ِ Kَ َ ﺡ َ َو !؟Rَ ْ ِ س ُ !T ل ا ُ Bُ َو َ! َی، اْ ُ)ْ َىO ِ َ ٍ T $ َ ُ O َ ْ0 ;َ S ِ !َ ْن ا ُ Yَْ_ َی# T ِ ْcَ T ا ً ْB$ ُ ْbَ .ْ;Rِ ِاBَ Fْ َأ#Fِ ْ;Rِ g ِ ْ ُوFُQ # َ َ ْ; َو ُه T س ِا َ !T ا-ْ َ!َأدْ َرآ: ٍ T $ َ ُ O ُ ْ0 ;ُ S ِ !َ ل ا َ !َ َ .ْاB1 ُ َْو ِ ْ َ! ُأ ُ ﺝ ِ ْن ا ُ)ْ َى َﺕ T َأ.!ْ َ َﻥ ِ ُ ْ\ َ َا، < َ ِ َذ# َ َ ل َو ُ ْBُ ! َیbً ِ!َ ُ ْ)ِ S َ : # َ ْ$ل َی َ !.َ .< َ Cِ ِ )َ ِ< َو َ َ # َ ِه: ُْ ِا َذا َ;ْ َی.!ىْ َأْ َ َ َهHِ T ا#َ ِا "Dikabarkan kepada saya oleh Yahya bin Sa'id dari Abdurrahman bin al-Qasim, bahwa ia mendengar Makhul ad-Damasyqi bertanya kepada alQasim bin Muhammad, tentang pemberian untuk seumur hidup dan apa kata manusia tentang itu, maka berkata al-Qasim kepadanya: "saya tidak mendapati manusia, selain mereka di atas persyaratannya, mengenai harta mereka dan pada yang mereka berikan". Yahya berkata: telah mendengar Malik berbicara tentang hal itu, yang padanya suatu perintah; "Sesungguhnya 'Umra kembali kepada si pemberi harta, jika tidak ada perkataan : "Ia bagimu dan bagi keturunanmu"".
U! @ّ ىU ِ لا ُ BS ُ ﺝ! َز َه! َر َ َأ#ِ Tﻥ َ! اْ ُ)ْ َى اT ِإ،0! ﺝO ، o ٍ ْlَ #ِ َو !Rَ ﻥT mَِ َ ْc ِ !َ < َ َ # َ ِه:ل َ !.َ ! ِإ َذاT Yََ ،< َ Cِ ِ )َ ِ < َو َ َ # َ ِه: ل َ ْBُ ّ ; َأنْ َیSو (داودB0 أﺡ و_ ; وأE )روا.!R َ Cِ ﺡ ِ !@ َ #َﺝ ُ ِإ ِ َْﺕ "Dan dalam satu lafal dari jabir : Sesungguhnya 'Umra yang diperkenankan oleh Rasulullah s.a.w. hanya (kalau) ia berkata: Dia milikmu dan milik anak-anakmu. Adapun jika ia berkata: Dia milikmu selama hidupmu, maka sesungguhnya 'Umra itu bisa kembali kepada pemiliknya (semula)" (HR Ahmad, Muslim dan Abu Daud).
٤٥
Pada metode istinbâth al-ahkâm dalam hibah 'umra jelas sekali yaitu hadits yang ditunjang oleh ijma (amal ahli Madinah), dalam pengambilan hadits ini Imam Malik lebih pada persyaratan yaitu dengan adanya kalimat "Sesungguhnya 'umra kembali kepada si pemberi harta, jika tidak ada perkataan : "Ia bagimu dan bagi keturunanmu"". Demikian juga pada hadits penunjang lainnya tertera ungkapan persyaratan serupa. Imam malik membolehkan mentakhshish al-Qur’an dengan hadits Mutawatir, hadits ahad yang didukung oleh amal ahli Madinah. Maka tidak heran jika jumlah perawi hadits Malik hanya berjumlah 95 orang. Semuanya dari kalangan Madinah sendiri; hanya enam orang bukan berasal dari Madinah. Dari enam orang itu, dua orang dari Basrah dan seorang dari Makkah, Khurasan, Jazari, dan Siria. (Rachmat Syafe’i, 2006 : 66) Pola Ijtihad tersebut dikemukakan oleh perkataan Asaf A.A.Fyzee yang ditukil oleh Abdullah Siddik dalam bukunya Asas-Asas Hukum Islam (1982 : 246 ) bahwa: 'The Medina school of Malik did not place much reliance on qiyas and represents more the ijma' and practice of Medina than any system worked out by Imam Malik alone". "Madzhab Malik tidak banyak meletakkan kepercayaan pada qiyas dan lebih mementingkan Ijma' dan praktek Medinah dari sistem apa pun yang disusun oleh Imam Malik sendiri". Ijma ahli Madinah ada yang bersifat riwayat, yakni tradisi Rasul atau amal Rasul yang sampai kepada kita melalui riwayat, dan ada yang bersifat istinbâth atau ijtihâdi, yakni tradisi atau amal ahli Madinah yang berasal dari hasil ijtihad sahabat
٤٦
dan tabi'in yang terus menerus berlaku dan mentradisi sehingga menjadi budaya lokal yang sangat kuat dan berakar di masyarakat Madinah. Ijma ahli Madinah yang bersifat riwayat disepakati ulama sebagai hujjah. Pada hakekatnya ijma' seperti ini merupakan sunnah Rasulullah yang shahih, sedangkan ijma' ahli Madinah yang bersifat istinbath diperselisihkan. Di kalangan ulama Malikiyah, terdapat tiga pendapat tentang kehujjahan ijma' yang disebut terakhir itu: 1. Ijma ahli Madinah istinbâth tidak dapat dijadikan hujjah (dasar hukum) sama sekali. Pendapat ini dipegang oleh al-Abhari. Ia menentang keras pendapat yang menyatakan bahwa madzhab Maliki menerima ijma' ahli Madinah istinbath sebagai hujjah; 2. Ijma ahli Madinah istinbâth tidak dapat dijadikan hujjah (dalil syara'), tetapi boleh diunggulkan jika dibandingkan dengan hasil ijtihad yang lain. Ijma' ini apabila bertentangan dengan hasil ijtihad yang lain, maka ia harus didahulukan. Pendapat ini dipegang oleh sebagian ulama malikiyah dan sebagian ulama Syafi'iyyah; 3. Ijma ahli Madinah istinbâth dapat dijadikan hujjah. Pendapat ini dipegang segolongan ulama Malikiyyah. Mereka mengatakan "Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Malik, seperti yang ditegaskan dalam risalahnya kepada lais" (Rachmat Syafe'i, 2006 : 82). Kalau dilihat dan teliti perkataan Malik dalam al-Muwaththa' dan alMudawwanah , dalam kitab itu tidak ditemukan suatu kata yang menunjukkan secara
٤٧
tegas bahwa ijma' ahli Madinah istinbath dapat dijadikan hujjah yang pasti (qath'i) bagi seluruh ummat Muslimin. Untuk ijma' macam ini, Malik hanya mengungkapkan "al-Sahlu al-Mujtama'", 'alaihi 'indana" (pada prinsipnya yang disepakati ulama kami). Selain itu, kadang-kadang Malik menggunakan kata-kata "al-Sunnat al-latî lâ ikhtilafi fîha" (sunnah yang tidak diperselisihkan lagi dikalangan kami) dan lain-lain (Ibid, :83). Amal ahli Madinah adalah hujjah (acuan argumen) bagi Malik dan didahulukan terhadap qiyas dan khabar ahad. Menurutnya Amal ahli Madinah ini lebih kuat dari keduanya karena perbuatan mereka itu berkedudukan sebagai riwayat mereka dari Nabi s.a.w. dan riwayat jamaah dari jamaah lebih utama dan harus didahulukan terhadap riwayat individu dari individu. Hal ini berbeda dengan fuqaha Amshar, mereka tidak melihat Amal tersebut sebagai hujjah karena mereka (penduduk Madinah) tidak terpelihara dari kesalahan. Tentang hal itu, Laits bin Sa'ad menulis surat panjang kepadanya dan Syafi'i mendiskusikan masalah ini dalam bukunya al-Umm begitu pula Abu yusuf (as-Sayis, 1996 : 150).