KARA AKTERIS STIK HAB BITAT BURUNG B CIKUKU UA TIMO OR (Philemon n inornattus) DI LA ANSKAP CAMPLONG KA ABUPATE EN KUPA ANG, NU USA TENG GGARA TIMUR
B BLASIUS PAGA
SEKOLA AH PASC CASARJA ANA IN NSTITUT T PERTA ANIAN BO OGOR BOGO OR 20122
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: Karakteristik Habitat Burung Cikukua timor (Philemon inornatus) di Lanskap Camplong Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan di dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka tesis ini.
Bogor, Februari 2012
Blasius Paga NRP E351090031
ABSTRACT
BLASIUS PAGA. Habitat Characteristics of Timor Friarbird Philemon inornatus in Camplong Landscape Kupang District, East Nusa Tenggara Under supervision of YENI ARYATI MULYANI and LILIK BUDI PRASETYO Abstract Timor Friarbird (Philemon inornatus, G. R. Gray, 1846) is one of the six endemic birds of Timor and is a protected species. The population of bird is suspected to have been decreasing over the past six years along with the decreasing of the quantity and quality of physical and biotic factors of its habitat. Knowledge on landscape spatial pattern could be used to evaluate the quantity and quality of habitat. This research aimed at identifying spatial habitat characteristics of Timor Friarbird based on dominant factors of physical and biotic habitat components. Principle Component Analysis (PCA) on the physical habitat factors showed that variables that have strong correlation with the presence of the bird were Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), slope, distance from secondary forest, distance from bush, distance from cashew plantation, distance from crop plantation, and distance from roads. The biotic factors that have strong correlation with the presence of Timor Friarbird were the total number of plant species, number of plants used for food and cover, and mean height of trees. Height of poles was the only variable that has no correlation with the presence of Timor Friarbird. The most dominant physical and biotic factors that influent the presence of Timor Friarbird at a site are the density of foraging trees, slope, distance from the river, the distance from secondary forest, the density of cover pole and the distance from road. The estimation population of Timor Friarbird in Camplong region is low; this might be caused by low feeding tree density, high rates of poaching, the uneven distribution of feed vegetation and the flowering season, habitat degradation due to illegal logging, grazing cattle in the wild, and invasion of siam weed or chromolaena (Chromolaena odorata). The results of land cover classification at Camplong region based on Landsat_5 Thematic Mapper (TM) image with ArcGIS 9.3 and Erdas 9.1 obtained 11 land cover classes, with shrub as the dominant class. Keyword: Philemon inornatus, Habitat Spatial Characteristics, PCA, Population, Land Cover
RINGKASAN
BLASIUS PAGA, Karakteristik Habitat Burung Cikukua timor (Philemon inornatus) di Lanskap Camplong Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh YENI ARYATI MULYANI dan LILIK BUDI PRASETYO Cikukua timor (Philemon inornatus, G. R. Gray, 1846) merupakan salah satu jenis burung endemik Pulau Timor dengan status dilindungi menurut Peraturan Pemerintah RI No 7 Tahun 1999. Populasi Cikukua timor di lanskap Camplong diduga dalam enam tahun terakhir (2006-2011) terus menunjukkan penurunan jumlah populasi. Faktor penyebab penurunan jumlah populasi Cikukua timor di lanskap ini diduga akibat illegal hunting dan berbagai tekanan habitat seperti; illegal loging, kebakaran hutan, penggembalaan ternak secara liar, pembukaan dan pelebaran jalan dalam kawasan TWA Camplong, praktek pembukaan lahan budidaya pertanian dengan pembakaran dan invasi spesies Chromolaena odorata. Informasi mengenai habitat Cikukua timor pada saat ini masih terbatas pada sebaran berdasarkan altitude dan tipe hutan. Oleh karena itu dibutuhkan informasi spasial Cikukua timor berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Aplikasi SIG dilakukan dengan mengumpulkan data penggunaan ruang, kemudian mencari hubungan data posisional untuk kondisi umum lingkungan dan memanfaatkan hasil model statistik untuk memprediksi penggunaan wilayah geografis lainnya. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik habitat Cikukua timor berdasarkan faktor-faktor (peubah) dominan komponen habitat (fisik/abiotik dan biotik) yang berpengaruh terhadap keberadaannya dan menduga kepadatan populasi Cikukua timor di lanskap Camplong. Penelitian ini dilaksanakan di lanskap Camplong, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (10001’19,7”-10003’21,5” LS, 123055’01,3”123056’23,8” BT). Penelitian berlangsung selama lima bulan, mulai Juli-Agustus 2010 dan Mei-Juli 2011. Kegiatan penelitian diawali dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kehadiran Cikukua timor yang berasal dari komponen habitat fisik dan biotik dengan membuat desain garis transek dan grid menggunakan program Hawth’s Analysis Tools_3 for ArcGis, kemudian ditumpangtindihkan (overlay) ke dalam peta lokasi penelitian Camplong. Transek pengamatan populasi berjumlah 11 transek dan total grid pengamatan spasial sebanyak 176 grid, masing-masing berukuran 500 x 250 m2. Hasil desain grid tersebut ditransfer ke dalam GPS (Global Position System), kemudian titik ini akan menjadi titik-titik koordinat yang dapat membantu pengamat dalam menandai dan mengidentifikasi tipe-tipe habitat. Desain garis transek digunakan sebagai pedoman dalam pengamatan data populasi Cikukua timor dengan metode distance sampling. Data titik koordinat perjumpaan Cikukua timor dan titik koordinat lapangan lainnya digunakan dalam pengolahan data spasial keberadaan Cikukua timor terhadap semua peubah fisik yang dianalisis menggunakan software ArcGis 9.3 dan ERDAS 9.1. Hasil analisis dengan kedua software ini diperoleh nilai peubah-peubah bebas (X) yang berpengaruh terhadap peubah tak bebas (Y) yaitu jumlah kehadiran individu Cikukua timor di tiap titik perjumpaan.
Peubah bebas komponen habitat fisik meliputi; Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), slope, elevasi, jarak dari hutan primer, hutan sekunder, belukar, kebun jambu mete, kebun palawija, pemukiman, sungai dan jalan, sedangkan peubah dari komponen habitat biotik meliputi; jumlah total spesies vegetasi, tinggi dan kerapatan dari setiap tingkat pertumbuhan vegetasi (pohon, tiang dan pancang), jumlah spesies pakan dan cover, dan jumlah tumbuhan pakan dan cover. Hubungan diantara variabel dari masing-masing komponen habitat fisik dan biotik dianalisis menggunakan Principal Component Analysis (PCA) dengan biplot. Hasil PCA menunjukkan ada korelasi yang kuat diantara variabel komponen 1 dan 2, selanjutnya semua variabel komponen habitat fisik dan biotik dilakukan analisis regresi linear berganda dengan prosedur stepwise untuk mendapatkan peubah yang paling dominan berpengaruh terhadap kehadiran Cikukua timor. Cikukua timor ditemukan di 6 dari 11 tipe habitat di lanskap Camplong. Jumlah titik perjumpaan pada tiap tipe habitat bervariasi yaitu; hutan primer 11 titik, hutan sekunder 5 titik, belukar 8 titik, kebun jambu mete 6 titik, kebun palawija 7 titik, dan permukiman 3 titik. Tipe-tipe habitat yang tidak ditemukan Cikukua timor dalam studi ini yaitu; savana, hutan tanaman, mamar (hutan adat) semak dan lahan kosong. Hasil PCA dengan biplot diperoleh total nilai keragaman yang mampu dijelaskan oleh komponen 1 dan 2 yaitu 54,40%. Ada delapan faktor yang memiliki korelasi positif terhadap kehadiran Cikukua timor meliputi; NDVI, slope, jarak dari hutan sekunder, jarak dari belukar, jarak dari kebun jambu mete, jarak dari kebun palawija, dan jarak dari jalan. Nilai vektor ciri, komponen 1 dapat menjelaskan varian terbesar pada faktor jarak dari jalan (0,825), jarak dari kebun palawija (0,770), slope (0,723), jarak dari kebun jambu mete (0.647), dan NDVI (0.350). Komponen 1 memiliki nilai eigenvalue (akar ciri) lebih besar (31,51%) dari pada komponen 2 (22,90%), sehingga dapat dinyatakan bahwa komponen 1 berpengaruh lebih besar terhadap kehadiran Cikukua timor. Hasil PCA faktor dominan dari komponen habitat biotik Cikukua timor, diperoleh 11 faktor yang berada pada komponen 1 dan 2 yang menunjukkan korelasi positif terhadap kehadiran burung ini. Faktor-faktor tersebut meliputi; jumlah spesies pakan dan cover, jumlah individu pakan dan cover, jumlah total spesies tumbuhan pada tiap titik perjumpaan, tinggi rata-rata vegetasi tingkat pohon. Total nilai keragaman yang mampu dijelaskan oleh komponen 1 dan 2 yaitu 48,29%. Beberapa faktor dari komponen habitat biotik yang memiliki korelasi yang kuat terhadap kehadiran Cikukua timor yaitu; jumlah spesies pakan dengan jumlah individu pakan, jumlah spesies cover dengan jumlah individu cover, dan kerapatan pakan tingkat pohon dengan kerapatan cover. Hasil regresi linear berganda dengan prosedur stepwise terhadap faktorfaktor pembentuk model karakteristik habitat Cikukua timor menghasilkan model sebagai berikut: Ln Y = 0,867 + 0,531 Ln X20 (Kerapatan Pohon Pakan) + (– 0,160) Ln X24 (Kerapatan Tiang Cover) + 0,158 Ln X10 (Jarak dari Sungai) + (– 0,188) Ln X11 (Jarak dari Jalan) + 0,269 Ln X2 (Slope) + (– 0,0740) Ln X5 (Jarak dari Hutan Sekunder) Faktor-faktor pembentuk model tersebut merupakan faktor-faktor dominan yang menentukan kehadiran Cikukua timor pada suatu tempat. Faktor yang paling
menentukan kehadiran Cikukua timor di suatu lokasi adalah kerapatan pohon pakan pada R-Sq (adj) = 68,2% dengan nilai P = 0,001. Analisis dugaan populasi di lanskap Camplong seluas 2470,11 ha memperoleh kepadatan 0,5755 ekor/ha. Nilai kepadatan populasi Cikukua timor pada masing-masing tipe habitat sebagai berikut; 0,0592 individu/ha berada pada tipe habitat belukar atau 10,29%, 0,0164 individu/ha di permukiman atau 2,85%, 0,1892 individu/ha di kebun palawija atau 18,92% dan 0,3107 di kebun jambu mete atau 54%. Hasil analisis tutupan lahan di lanskap Camplong menunjukkan habitat belukar merupakan tipe tutupan lahan paling mendominasi di lanskap Camplong sebesar 16,5% (406,53 ha) dari total luas 2470,11 ha. Dominasi tutupan lahan belukar menggambarkan terjadi perubahan pola penggunaan lahan dari yang sebelumnya lahan berhutan dengan vegetasi berkayu rapat menjadi lahan terbuka dengan sedikit pepohonan, dan atau areal bekas budidaya pertanian berpindah (shifting agriculture). Praktek shifting agriculture merupakan salah satu ciri khas pengolahan lahan budidaya pertanian oleh masyarakat tradisional di Pulau Timor dan masih terus berlanjut hingga saat penelitian ini dilakukan. Kata Kunci: Karakteristik habitat, Philemon inornatus, PCA, Populasi, Tutupan lahan.
@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atas seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK HABITAT BURUNG CIKUKUA TIMOR (Philemon inornatus) DI LANSKAP CAMPLONG KABUPATEN KUPANG, NUSA TENGGARA TIMUR
BLASIUS PAGA
Tesis sebagaisalahsatusyaratuntukmemperolehgelar Magister Sainspada Program StudiKonservasiBiodiversitasTropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, M.S
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar magister sains pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor. Topik yang dipilih dalam penelitian ini adalah ekologi kuantitatif dengan judul Karakteristik Habitat Burung Cikukua Timor (Philemon inornatus) di Lanskap Camplong Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam upaya konservasi dan sebagai acuan pengelolaan habitat burung Cikukua timor di Pulau Timor.
Bogor,
Februari 2012
Blasius Paga
RIWAYAT HIDUP
Blasius Paga dilahirkan pada Tanggal 29 April 1973 di Bela, Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nage Keo, Provinsi Nusa Tenggara Timur, sebagai anak ke-tujuh dari delapan bersaudara pasangan Bapak Ignasius Goa (Alm.) dan Ibu Margaretha Dee. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD Katolik Lere, Nage Keo) Tahun 1987, Sekolah Menengah Pertama (SMPK St. Petrus Kolilewa, Nage Keo) Tahun 1991, dan Sekolah Menengah Teknologi Pertanian (SMTP) Negeri So’e Tahun 1994, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Penulis diterima sebagai mahasiswa jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan (KSDH), Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Malang (IPM) pada Tahun 1995, dan menyelesaikan studi pada Tahun 1999. Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar tetap di Politeknik Pertanian (Politani) Negeri Kupang sejak tahun 2003, dan pada tahun 2009 mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister pada Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT) di Sekolah Pascasarjana IPB. Selama mengikuti pendidikan Magister, penulis mengikuti berbagai kegiatan seminar nasional dan internasional pada bidang keanekaragaman hayati (KEHATI) terutama untuk konservasi satwa (burung dan primata), tumbuhan dan ekosistem hutan. Penulis berkesempatan mengikuti kegiatan Training of Trainers (TOT) Indonesian Bird Banders di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (14-21 Mei 2011), yang diadakan atas kerjasama Pemerintah Indonesia dan Australia dibawah pelaksanaan Indonesian Bird Banding Scheme (IBBS) - Research Center for Biology LIPI and Australian Bird & Bat Banding Scheme (ABBBS) – DSECPaC Australia. Penulis aktif mengikuti kegiatan bird banding di lingkungan kampus IPB bersama Bird Banding Club IPB. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Sains pada bidang Konservasi Biodiversitas Tropika, penulis melakukan penelitian, “Karakteristik Habitat Burung Cikukua Timor (Philemon inornatus) di Lanskap Camplong Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur” dibawah bimbingan Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M. Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M. Sc sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Fokus kajian penelitian adalah pada bidang ekologi burung dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis ucapkan terima kasih sebesar-besaarnya kepada yang terhormat Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M. Sc, dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc sebagai komisi pembimbing atas pemikiran, waktu, kesabaran dalam memberikan arahan dan bimbingan selama proses penulisan tesis ini. Penulis ucapkan pula terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, M. S. yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pembimbing pada saat ujian tesis. 2. Dr. Richard A. Noske yang telah memberikan banyak saran dan informasi baik secara lisan maupun tulisan terkait dengan penelitian burung-burung di Timor. 3. Bapak Alan J. Leishman yang telah memberikan banyak saran dan informasi tulisan berupa referensi yang terkait dengan penelitian ini. 4. Dr. Colin Richard Trainor B. Appl. Sci (Hons.), M. Sc. yang telah banyak memberikan saran, referensi dan hasil karya disertasinya untuk membantu penelitian ini. 5. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang telah mendanai pendidikan S2 melalui beasiswa BPPS. 6. Prof. Dr. Ir. Ervizal A. M, Zuhud, M. S sebagai Ketua Program Studi dan sekaligus menjadi penguji luar dari program studi pada saat ujian tesis. Dr. Ir. Achmad Machmud Thohari, D.E.A (Mantan Ketua Program Studi KVT) dan seluruh dosen pengajar dan staf Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (Pak Mohamad Sofwan Hidayat, Umi, dan Bunga). 7. Keluarga tercinta isteriku Ika Kristinawanti,S. Hut (Kandidat Master), anakanakku Maria Dominique Graceila Dee Goa Paga (Grace) dan Dominico Graceino Wani Dee Goa Paga (Cein), Bonafentura Ue (Fenti) atas doa dan motivasinya bagi penulis. Khusus Bapak Ignasius Goa (Alm.) dan Mama Margaretha Dee, Bapak MA. Suparman dan Ibunda Sri Subandiyatmi saya sampaikan terima kasih tak terhingga atas berkat curahan kasih sayang telah mengantarkan penulis dapat menuntut ilmu di perguruan tinggi. Seluruh saudara-saudaraku yang selalu mendoakan perjuangan studiku; Aplonia Wea dan Martinus Pale sekeluarga, Flavianus Gati dan BernadetaTolo sekeluarga, Saverinus Mbeu, Raimunda Ngguwa dan Remigius Ndiwa sekeluarga, Emilianus Meo dan Meri sekeluarga, Pasifikus Pawe dan Heni sekeluarga di Kalimantan, Adik Oswaldus Ema dan Iren, Oyot dan Diah sekeluarga, Eron dan Nova. Terima kasih atas dukungan doa dan motivasi dari Kakak David Jemu dan Florida Budhe sekeluarga, Kae Rance dan Deli sekeluarga, Ambros Raga dan Medy sekeluarga, Mikael Unu sekeluarga, Om Wenselaus Tue dan Tanta Ansela Lengga sekeluarga, Om Tobias Siga dan Tanta Ima sekeluarga, Keluarga Besar Lere dan Lamina di Kupang, Keluarga Besar Bogor terutama Mersi Poi dan Beni sekeluarga dan Kae Mikael Bela. Suster Imeldine, KFS (Kae Doro) dan Sr. Wilfrid, KFS (Ivona Leka) di Kalimantan, Pater Kris
Sambu SVD, Pater Dominikus Kaju Deo, SVD dan Keluarga Besar Decolores Kupang. 8. Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam NTT yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian tesis ini di kawasan TWA Camplong. Terima kasih untuk Bapak Dadang Suryana dan staf BKSDA Kupang yang telah membantu penulis selama pelaksanaan penelitian di lapangan. 9. Bapak Ora Yohanes beserta staf Bidang KSDA I NTT di Soe (Bp. Yulius Nai, Bp Noh Liu Kae, Bp Apolos Manu, Argen) yang telah membantu memfasilitasi sarana dan prasarana penelitian di lapangan. 10. Bapak Ande Nakmofa dan Mama Mina sekeluarga, Adik Marten Bani dan Yetri Nabut yang setia telah menyumbangkan tenaga dan waktu untuk membantu pengumpulan data penelitian di lapangan. 11. Khusus untuk Mas Arif Budi Prasetyo, Farikhin, Beby dan Pak Chandra Jawer, dan Irham Fauzi, saya sampaikan terima kasih atas bantuannya dalam pengolahan data spasial. 12. Seluruh rekan-rekan seperjuangan KVT 2009: Edwin Wira Pradana, S.Si dan Maharani Anischan, S.Si (Kandidat Master), Andi Muhammad Khadifi S.Hut, M.Si, Astri Yuliawati S.Si, M.Si, Ir. Syamsul Hidayat M.Si, Agung Nugroho, S. Si, rekan-rekan KVT S3 2008 (Kandidat Doktor; Ir. Ivan Yusvinur, M.Si, Ir Mufti Sudibyo, M.Si, Ir U. Mamat Rahmat, M.Si, Pak Muin), dan KVT S2 2010 (PakWenda Yandra Komara, Deden, Dewi, Ozi, Yayuk, Elia), Dede Aulia Rahman, S.Hut, M.S, terima kasih untuk kebersamaan dan motivasi yang telah membantu penulis selama pendidikan ini. 13. Saudara seperantauan: Fabianus Ranta, S.Hut, M. Si sekeluarga, Dedi Hutapea SP, M.Si, Mochamad Idham Shilman, S.Pi, M.Si, dan Al Azhar S.Pi, M.Si. Penulis menyadari bahwa tak ada gading yang tak retak, demikian pula dalam penyusunan tesis ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan yang disebabkan oleh keterbatasan wawasan dan pengetahuan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun, demi penyempurnaan penulisan di masa yang akan datang sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih Bogor,
Februari 2012
Blasius Paga
DAFTAR ISI
Halaman i DAFTAR ISI ……………………………………………………………..... DAFTAR TABEL ……………………….…………………………………. v DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………. vi DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….. xi 1.
PENDAHULUAN …………..……………………………………….....
1.1 Latar Belakang …………...…….………….……………………... 1.2 Perumusan Masalah ...………….………………………………... 1.3 Tujuan Penelitian ……..……….………………………….…….... 1.4 Manfaat Penelitian …………….…………….………….……....... 1.5 Kerangka Pemikiran ..…….………….…………………………… II. TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………….. 2.1
Bio-ekologi Cikukua Timor……………………………………...... 2.1.1. Jenis-Jenis Burung Cikukua dan Gambaran Ringkas Morfologinya ……………………………………………. 2.1.2. Klasifikasi Cikukua Timor ………………………………. 2.1.3. Daerah Penyebaran Cikukua Timor ...……………………. 2.2 Karakteristik Burung Pemakan Nektar …………………………… 2.3 Teritori Famili Meliphagidae …………………………………… 2.4 Perilaku …………………………………………………………… 2.5 Habitat ……………………………………………………………. 2.6 Preferensi Habitat ………………………………………………… 2.7 Kesesuaian Habitat ……………………………………………….. 2.8 Seleksi Habitat ……………………………………………………. 2.9 Struktur dan Komposisi Vegetasi ………………………………… 2.10 Kerapatan …………………………………………………………. 2.11 Principal Component Analysis (PCA)/Analisis Komponen Utama. 2.12 Populasi …………………………………………………………... 2.13 Lanskap……………………………………………………………. 2.14 Sistem Informasi Geografis (SIG) ………………………………... 2.15 Citra Landsat-5 Thematic Mapper (TM) …………………………. 2.16 Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) ……………….. 2.17 Representasi Data Spasial ………………………………………… 2.18 Pemanfaatan SIG untuk Konservasi ……………………………… III. KONDISI UMUM LOKASI …………………………............................ 3.1 3.2
Letak…..……….…………….…………………………………….. Kondisi Fisik.........……………….…………………....................... 3.2.1 Luas dan Status Kawasan…………………………………... 3.2.2 Topografi …………………………………………………… 3.2.3 Hidrologi ……………………………………………………. 3.2.4 Geologi dan Tanah …………………………………………..
i
1 1 3 4 4 4 7 7 8 8 9 10 11 12 13 15 15 17 19 19 20 22 22 23 24 25 26 26 29 29 29 29 30 30 31
3.2.5 Iklim ………………………………………………………… 3.2.6 Aksesibilitas ………………………………………………… 3.3 Biologi .......………………….………………................................. 3.3.1 Flora ………………………………………………………… 3.3.2 Fauna ……………………………………………………….. 3.4 Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya ……………………………. IV. METODOLOGI PENELITIAN……………………………….............
31 32 32 32 33 34 37
4.1 Lokasi dan Waktu ………….……………………………………... 4.2 Alat dan Bahan. ………………………..…………………….……. 4.3 Metode Pengumpulan Data ……………………………………….. 4.3.1 Studi Literatur ………………………………………………. 4.3.2 Orientasi Lapangan ……………………... …………………. 4.3.3 Persiapan Desain Peta Kerja Penelitian …………………….. 4.3.4 Observasi Lapangan ….……………………………………. 4.3.4.1 Pengumpulan Data Spasial ………………………… 4.3.4.2 Pengumpulan Data Populasi ……………………….. 4.3.4.3Pengumpulan Data Karakteristik Habitat Cikukua Timor ……………………………………. 4.3.5 Wawancara ………………………………………………….. 4.3.6 Interpretasi Peta …………………………………………….. 4.3.7 Pembuatan Peta Dasar Digital ……………………………… 4.3.8 Pengambilan Data Luas Penutupan Lahan …………………. 4.4 Metode Analisis Data …………………………………………….. 4.4.1 Analisis Faktor-Faktor Dominan Komponen Habitat Cikukua Timor …………………………………………….. 4.4.1.1 Analisis Kerapatan Vegetasi ………………………… 4.4.1.2 Principal Component Analysis (PCA) Analisis Komponen Utama……………………………...... 4.4.1.3 Analisis Penentuan Peubah Paling Dominan ……….. 4.4.2 Analisis Kepadatan Populasi ……………………………….. 4.4.3 Analisis Penutupan Lahan ………………………………… 4.4.4 Analisis Keterkaitan Jarak (distance) ………………………. V. HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………........
37 37 38 38 38 39 41 41 42
5.1
Hasil……………………………………………………………….. 5.1.1. Titik Perjumpaan…………………………………………. 5.1.2. Identifikasi Komponen Habitat Fisik (Analisis Spasial) …. 5.1.2.1 Nilai Normalized Different Vegetation Index (NDVI) ………………………………………….. 5.1.2.2 Kemiringan Lereng (Slope) .................................... 5.1.2.3 Ketinggian Tempat (Elevation) ………………….. 5.1.2.4 Jarak dari Beberapa Faktor Spasial ..……………... 5.1.3. Identifikasi Komponen Habitat Biotik ……....................... 5.1.3.1 Tumbuhan Sumber Pakan dan Cover ……………. 5.1.3.2 Sebaran Vertikal …………………………………. 5.1.3.3 Kerapatan Vegetasi …………………................... 5.1.4. Analisis PrincipalComponent Analysis (PCA) …………… 5.1.4.1 Komponen Habitat Fisik …………………………..
ii
45 46 47 47 47 48 48 51 51 53 54 55 55 57 57 57 59 59 59 60 61 65 65 69 73 76 76
5.1.4.2 Komponen Habitat Biotik ………………………... 5.1.5. Peubah Determinan Kehadiran Cikukua Timor ………….. 5.1.6. Dugaan Populasi …………………………………………. 5.1.7. Analisis Penutupan Lahan………………………………… 5.1.8. Interpretasi Peta …………………………………………... 5.2 Pembahasan ………………………………………………………. 5.2.1 Karakteristik Habitat Fisik dan Biotik ……………………. 5.2.2 Peubah Determinan Dominan Habitat Cikukua Timor … 5.2.3 Populasi Cikukua Timor …………………………………… 5.2.4 Penutupan Lahan Lanskap Camplong …………………….. 5.2.5 Gangguan Habitat Cikukua Timor ………………………... 5.2.6 Implikasi Bagi Konservasi ………………………………... 5.2.6.1 Habitat Cikukua Timor ..………………………… 5.2.6.2. Populasi Cikukua Timor .………………………... VI. SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………
78 81 84 84 85 91 91 98 113 118 121 122 122 124 129
6.1 Simpulan…………………………………………………………….. 6.2 Saran……………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… LAMPIRAN ……………………………………………………………….....
127 127 129 143
iii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1 Aplikasi prinsip dan saluran spektral Thematic Mapper ………………...
24
2 Penelitian tentang habitat burung menggunakan SIG …………………… 27 3 Pembagian kelas kemiringan lereng berdasarkan peta topografi berskala 1:50.000 dan interval kontur 25 meter berdasarkan P.32MENHUT-II/2009 ............................................................................. 60 4 Jenis-jenis sumber tumbuhan pakan dan cover cikukua timor pada MeiJuli …………………………………………………………..................... 66 5 Keragaman total yang dijelaskan oleh setiap komponen abiotik/fisik…… 77 6 Vektor ciri dari PCA …………………………………………………….
78
7 Keragaman total yang dijelaskan oleh setiap komponen biotik ………….. 80 8 Vektor ciri dari PCA ……………………………………………………..
80
9 Luas masing-masing tipe habitat di lanskap Camplong ………………...
85
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Nomor
1 Kerangka pemikiran penelitian ………………………………………….. 2 Perbedaan Cikukua timor dengan Cikukua tanduk ……………………... 3 Peta Pulau Timor, wilayah garis perbatasan dan penyebaran burung di Timor Leste dan Timor Barat, Indonesia………………………………… 4 5 6 7 8
Peta Kawasan TWA Camplong dan sekitarnya …………………………. Lokasi Penelitian Burung Cikukua Timor di lanskap Camplong............... Desain penempatan garis transek dan grid di lanskap Camplong……….. Bentuk pengambilan sampel jarak menggunakan transek …………….....
Diagram alur metode penelitian………………………………….....
6 8 9 30 37 40 44 56
9 Diagram distribusi perjumpaan aktivitas Cikukua timor di tiap tipe habitat……………………………………………………………………
57
10 Diagram distribusi jumlah titik kehadiran Cikukua timor di tiap tipe habitat………………………………………………………………….....
58
11 Diagram sebaran jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada berbagai rentang nilai NDVI ……………………………………………………...
59
12 Diagram sebaran jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada berbagai rentang nilai kemiringan lereng ………………………………………...
60
13 Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada berbagai rentang nilai elevasi ………………………................................
61
14 Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada berbagai rentang jarak (a) hutan primer dan (b) hutan sekunder ………..
61
15 Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan cikukua timor pada berbagai rentang jarak dari belukar ……………………………………...
62
16 Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada berbagai rentang jarak dari (a) kebun jambu mete, (b) kebun palawija…………………………………………………………………..
63
17 Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada berbagai rentang jarak dari permukiman ………………………………
63
18 Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua Timor pada berbagai rentang jarak dari sungai……………........................................
64
19 Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada berbagai rentang jarak dari jalan ………………......................................
65
v
20 Diagram sebaran dan persentase pakan; (a) sebaran titik perjumpaan jenis tumbuhan sumber pakan di tiap tipe habitat (Mei-Juli), (b) persentase sumber jenis pakan ….………………………………………
67
21 Diagram sebaran jumlah titik perjumpaan jenis tumbuhan cover pada tiap tipe habitat (Mei-Juli)........................................................................
68
22 Diagram sebaran vertikal vegetasi pada; (a) tingkat pohon, (b) tingkat tiang dan (c) tingkat pancang pada setiap titik perjumpaan Cikukua timor……………………………………………………………………... 23 Diagram distribusi jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada berbagai klasifikasi tinggi keberadaannya saat beraktivitas…………….. 24 Diagram distribusi jumlah perjumpaan Cikukua timor di berbagai klasifikasi tinggi total vegetasi………………………………………….. 25 Diagram distribusi jumlah perjumpaan Cikukua timor pada berbagai klasifikasi tinggi bebas cabang vegetasi………………………………… 26 Diagram kerapatan vegetasi titik perjumpaan pada tiap tingkatan pertumbuhan di tiap tipe habitat………………………………………… 27 Kerapatan tumbuhan pakan tiap tingkat pertumbuhan vegetasi (a) tingkat pohon, (b) tingkat tiang, dan (c) tingkat pancang ……………… 28 Kerapatan tumbuhan cover tiap tingkat pertumbuhan vegetasi; (a) tingkat pohon, (b) tingkat tiang, dan (c) tingkat pancang……………….. 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Posisi berbagai faktor dominan komponen habitat fisik Cikukua timor.. Posisi berbagai faktor dominan komponen habitat biotik Cikukua timor. Diagram persentase estimasi kepadatan populasi burung Cikukua timor. Peta penutupan lahan di lanskap Camplong …………………………… Peta NDVI ……………………………………………………………… Peta ketinggian tempat …………………………………………………. Peta kemiringan lahan ………………………………………………….. Peta jarak dari sungai ………………………………………………...... Peta Jarak dari hutan primer …………………………………………. Peta jarak dari hutan sekunder …………………………………………. Peta jarak dari belukar …………………………………………………. Peta jarak dari pemukiman …………………………………………….. Peta jarak dari jalan ……………………………………………………. Peta jarak dari kebun jambu mete ……………………………………… 43 Peta jarak dari kebun palawija ……………………………………….. .. 44 Peta jarak dari sungai …………………………………………………... 45 Burung P.inornatus sedang mengambil serangga (insekta) pada lubang batang kapuk hutan hutan G. malabarica……………………………….
vi
70 71 71 72 73
75 76 77 79 84 85 86 86 87 87 88 88 89 89 90 90 91 91 103
46 Perilaku menelisik Cikukua Timor di bawah lapisan tajuk S. oleosa di daerah edge tipe habitat hutan primer TWA Camplong…………….…. 111 47 Tunggak penebangan liar vegetasi sumber pakan nektar Cassia sp di kawasan TWA Camplong………………………………….………… 116 48 Kegiatan perburuan illegal dengan alat berburu modern (senapan angin) dan perburuan tradisional (ketapel) ………………………….. 117
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Nomor
1. Jenis-jenis vegetasi yang teramati pada 40 titik presence Cikukua timor (Observasi Mei-Juli 2011)………………………………………. 2. Jenis-jenis vegetasi yang dijumpai dimanfaatkan oleh cikukua timor..... 3. Rekapitulasi analisis vegetasi tingkat pohon menggunakan plot lingkaran dengan luas 1000 m2 (jari-jari 17,8 m) pada titik perjumpaan burung Cikukua Timor di setiap garis transek dan grid pengamatan…………………………………………………………… 4. Rekapitulasi analisis vegetasi tingkat tiang menggunakan plot lingkaran dengan luas 100 m2 (jari-jari 5,64 m) pada titik perjumpaan burung cikukua timor di setiap garis transek dan grid pengamatan……………… 5. Rekapitulasi analisis vegetasi tingkat pancang menggunakan plot lingkaran dengan luas 25 m2 (jari-jari 1,13 m) pada titik perjumpaan Cikukua timor atan ………………………….………………………. 6. Rekapitulasi estimasi kepadatan populasi Cikuku timor menggunakan distance sampling berdasarkan data garis transek …… 7. Analisis estimasi kepadatan populasi Cikukua timor menggunakan distance sampling dengan data garis transek …………………………. 8. Nilai hasil interpretasi peta tematik faktor fisik pada 40 titik perjumpaan burung Cikukua timor di lanskap Camplong…………….. 9. Nilai pada berbagai veriabel faktor biotik pada seluruh titik perjumpaan Cikukua timor di lanskap Camplong…..……………… 10 Hasil analisi regresi linear berganda dengan prosedur stepwise terhadap peubah determinan kehadiran Cikukua timor di lanskap Camplong………………………………………………………………. 11 Hasil PCA faktor fisik habitat Cikukua timor.........................................
143 145
147 149
151 152 153 154 157 159 162
12
Hasil PCA terhadap faktor biotik Cikukua timor.................................... 164
13
Hasil klasifikasi tutupan lahan lanskap Camplong……………………. 167
viii
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau Lombok, Sumbawa, Flores, dan Sumba). Pulau Timor memiliki 28 spesies burung endemik Nusa Tenggara dan dari jumlah tersebut terdapat tujuh jenis burung endemik Pulau Timor (Noske & Saleh 1997). Menurut Sujatnika et al. (1995), Trainor (2002), dan Alves (2007) di Pulau Timor terdapat enam jenis burung endemik dan salah satu jenis burung endemik tersebut adalah burung Cikukua timor (Philemon inornatus, G.R.Gray. 1846) yang merupakan anggota suku Meliphagidae. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, semua jenis dari famili Meliphagidae tergolong dalam status dilindungi. Cikukua timor juga dikategorikan sebagai burung sebaran terbatas (Restricted Range/RR), artinya burung yang memiliki distribusi secara global di alam kurang dari 50.000 km2. Populasi Cikukua timor di lanskap Camplong diduga terus menunjukkan penurunan populasi dalam enam tahun terakhir (2006-2011). Indikasi ini dapat diketahui dari semakin berkurangnya tingkat perjumpaan Cikukua timor di alam, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan Taman Wisata Alam (TWA) Camplong. Sebelum tahun 1990-an burung ini merupakan burung yang umum ditemukan. Menurut Henriques dan Narciso (2010) Cikukua timor di Timor Leste merupakan salah satu dari beberapa spesies yang terancam punah (endangered). Menurut Sujatnika et al. (1995) hutan gugur-daun di TWA Camplong telah mengalami proses kerusakan dan gangguan, sedangkan Noske dan Saleh (1996) mengatakan bahwa faktor keterancaman utama burung-burung hutan di Timor berasal dari kerusakan habitat, tekanan perburuan, dan mungkin dari tekanan penggembalaan. Beberapa faktor penyebab kerusakan habitat yaitu; praktek illegal loging, kebakaran hutan, penggembalaan ternak secara liar, pembukaan dan pelebaran jalan dalam kawasan TWA Camplong, praktek pembukaan lahan budidaya pertanian dengan pembakaran. Berbagai aktivitas tersebut telah
2
mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk lanskap kawasan sehingga kualitas maupun kuantitas habitat Cikukua timor di lanskap Camplong semakin berkurang. Kumara (2006), menjelaskan bahwa perubahan suatu lanskap kawasan dapat diketahui dengan kuantifikasi pola spasial lanskap yang merupakan hal penting dalam pengelolaan kawasan. Pada bentuk lanskap yang berubah, setiap spesies termasuk Cikukua timor akan mencari patch-patch habitat yang memiliki karakteristik habitat tertentu untuk mendapatkan kebutuhan hidup agar tetap bertahan hidup (survive) dan bereproduksi. Oja et al. (2005) dan Nursal (2007) menyatakan bahwa habitat yang sesuai bagi suatu spesies dicirikan oleh kehadiran spesies tersebut serta tersedianya kebutuhan untuk mampu bertahan hidup dan berhasil bereproduksi dalam jangka waktu yang cukup lama. Menurut Sujatnika et al. (1995), kegiatan survei dan inventariasi tentang status habitat dan spesies satwaliar di Timor dan Wetar belum banyak diketahui. Hingga tahun 1995 tidak ada studi ekologi yang telah dilakukan untuk mendata burung-burung hutan di Timor (Noske & Saleh 1996). Khusus informasi mengenai habitat Cikukua timor hingga tahun 2011 masih terbatas pada sebaran berdasarkan altitude dan tipe hutan (Trainor 2002; 2008). Menurut Aarts (2008), pengelolaan dan konservasi populasi satwa membutuhkan informasi tentang dimana dan mengapa satwa tersebut ada, serta dimana lagi mereka mampu hidup. Informasi ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan data penggunaan ruang, hubungan data posisional untuk kondisi umum lingkungan dan memanfaatkan hasil model statistik untuk memprediksi penggunaan wilayah geografis lainnya. Pencapaian tujuan tersebut dapat ditempuh melalui kajian spasial berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Kajian spasial merupakan salah satu kegiatan penting untuk memahami karakteristik faktor-faktor habitat baik fisik (abiotik) maupun biotik yang dibutuhkan oleh Cikukua timor. Indrawan et al. (2007) menyatakan bahwa pendekatan SIG dapat mengungkapkan berbagai hubungan antara faktor biotik dan abiotik dari suatu bentang alam serta membantu proses perancangan kawasan agar mewakili komunitas hayati yang ada, bahkan menampilkan kawasankawasan yang berpotensi untuk mencari spesies langka maupun dilindungi.
3 Aplikasi SIG akan mampu memberikan informasi ilmiah tentang tipe habitat dan karakteristik atribut-atribut habitat yang dibutuhkan bagi kelangsungan hidup dan keberhasilan reproduksi Cikukua timor. Data dan informasi ini diharapkan dapat membantu pengelola merancang strategi pengelolaan untuk menjamin suksesnya konservasi in-situ Cikukua timor pada masa mendatang di lanskap Camplong. 1.2. Perumusan Masalah Lanskap Camplong merupakan salah satu habitat penting Cikukua timor di Pulau Timor. Wilayah tutupan hutan alam yang cukup luas hanya dijumpai di dalam kawasan TWA Camplong. Taman Wisata Alam Camplong ditetapkan sebagai hutan wisata Tanggal 12 Desember 1983 oleh Menteri Pertanian melalui Keputusan Nomor: 89/Kpts/UMK/83 berdasarkan hasil Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan luas 696,60 ha. Aktivitas masyarakat di dalam (enclave) maupun di luar kawasan TWA Camplong diduga memberikan tekanan terhadap keutuhan kawasan dan berpotensi mengubah bentuk lanskap yang ada di ekosistem hutan. Habitat berpotensi secara kualitas dan kuantitas untuk burungburung endemik termasuk Cikukua timor akan berkurang. Akibatnya beberapa komponen habitat fisik dan biotik tidak mampu menyediakan kebutuhan hidup yang optimal untuk survive dan bereproduksi dalam jangka waktu yang lama. Kondisi ini dapat pula berdampak pada penurunan populasi Cikukua timor di lanskap Camplong. Satwa yang hidup pada habitat yang terbatas akan memilih karakteristik habitat tertentu yang sesuai bagi kelangsungan hidupnya. Moris (1987) menyatakan pemilihan habitat merupakan suatu hal penting bagi satwa liar, karena mereka dapat bergerak secara mudah dari suatu habitat ke habitat lainnya untuk mendapatkan makanan, air, reproduksi dan menempati tempat baru yang menguntungkan. Berdasarkan permasalahan di atas, beberapa rumusan pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan upaya pelestarian Cikukua timor di lanskap Camplong dapat dirangkai sebagai berikut ; 1.
Apa faktor-faktor dominan komponen habitat (fisik/abiotik dan biotik) yang berpengaruh terhadap karakteristik habitat Cikukua timor?
2.
Berapa dugaan kepadatan populasi Cikukua timor pada saat dilakukan penelitian ini?
4
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan data dan informasi tentang: 1. Karakteristik habitat Cikukua timor berdasarkan faktor-faktor (peubah) dominan komponen habitat fisik dan biotik yang berpengaruh terhadap keberadaan Cikukua timor. 2. Menduga kepadatan populasi Cikukua timor di lanskap Camplong pada saat dilakukan penelitian ini. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa ketersediaan data dan informasi karakteristik habitat dan dugaan populasi Cikukua timor sehingga dapat membantu pengelola dalam merancang strategi konservasi in-situ di lanskap Camplong. 1.5. Kerangka Pemikiran Cikukua timor merupakan salah satu dari enam jenis burung endemik Timor yang dapat dijumpai di kawasan TWA Camplong dan sekitarnya yang tergabung dalam lanskap Camplong. Diduga populasi dan sebaran Cikukua timor di lanskap Camplong hingga tahun 2011 terus mengalami penurunan akibat berbagai tekanan perubahan lanskap dan habitat serta aktivitas perburuan illegal. Lanskap Camplong memiliki berbagai tipe ekosistem penting bagi kehidupan Cikukua timor. Berbagai tipe ekosistem tersebut sebagian besar berada di dalam kawasan TWA Camplong. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Kawasan TWA Camplong hanya memiliki luas 696,6 ha, namun di dalamnya terdapat tipe-tipe ekosistem penting. Beberapa tipe ekosistem tersebut yaitu; hutan selalu hijau, hutan gugur daun (deciduous forest), savana yang didominasi tegakan kayu putih (Eucalyptus alba), hutan tanaman jati Tectona grandis, flamboyan Delonix regia, johar Cassia siamea, plot percontohan jambu mete, dan mamar (hutan adat). Secara umum lanskap Camplong terbagi dalam tiga tipe ekosistem hutan yaitu ekosistem hutan musim
5 yang dicirikan oleh pepohonan yang tidak tinggi (15-20 m) dan memiliki banyak percabangan, ekosistem hutan savana dan ekosistem hutan tanaman. Karakteristik tipe habitat yang demikian dapat merepresentasikan karakteristik habitat yang dibutuhkan Cikukua timor untuk tetap survive dan bereproduksi ke generasi selanjutnya di Pulau Timor. Kekhasan ekosistem seperti ini berperan penting untuk mendukung keberadaan satwa seperti Cikukua timor dan berbagai jenis burung lainnya. Wilayah berhutan yang berpotensi sebagai habitat Cikukua timor sangat terbatas di lanskap Camplong. Beberapa tahun terakhir hingga 2011, beberapa tipe habitat yang berpotensi bagi Cikukua timor di lanskap Camplong telah mengalami perubahan tipe tutupan lahan. Diduga beberapa tutupan lahan berhutan dan savana telah berubah menjadi tutupan lahan semak dan belukar yang didominasi oleh vegetasi invasi yaitu Chromolaena odorata. Perubahan tutupan lahan yang potensial bagi satwa berdampak mengurangi ketersediaan tipe habitat sebagai tempat mencari makan (foraging site) dan cover. Perubahan tutupan lahan dapat mendorong satwa seperti Cikukua timor untuk berada pada titik-titik konsentrasi tertentu, sehingga memudahkan pemburu dalam melakukan aktivitas berburu secara liar (illegal hunting) di dalam dan di luar kawasan hutan. Kondisi demikian berkontribusi terhadap trend penurunan pertumbuhan dan perkembangan populasi Cikukua timor di lanskap Camplong. Keberadaan ekosistem hutan di lanskap Camplong sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim (terutama angin dan curah hujan), geologi dan tanah. Vegetasi umumnya tumbuh di atas tanah yang bersolum dangkal dan di celah-celah batu yang didominasi bebatuan karang. Iklim sangat kering, angin bertiup kencang, topografi berbukit-bukit curam, dan sumber air tanah terbatas. Faktor-faktor tersebut merupakan unsur pendorong praktek pertanian tebas bakar oleh masyarakat setempat dan masyarakat Timor pada umumnya. Kondisi ini mempengaruhi kestabilan ekosistem hutan, savana, semak, belukar dan lahan budidaya setempat sebagai habitat Cikukua timor. Alikodra (2002) menjelaskan bahwa pada dasarnya pengelolaan habitat merupakan inti dari pelestarian satwaliar. Di alam, satwaliar akan melakukan tindakan untuk memilih karakteristik habitat yang sesuai untuk memperoleh serangkaian kondisi yang menguntungkan
6
bagi keberhasilan reproduksi dan kelangsungan hidupnya. Karakteristik habitat yang dibutuhkan dapat dihasilkan melalui kajian spasial dengan memanfaatkan perangkat SIG. Sinclair et al.(2006) menjelaskan bahwa SIG memungkinkan pengguna untuk mengidentifikasi dan mengukur hubungan timbal balik spasial antara variabel yang sangat sulit untuk tampil di lapangan. Kombinasi kompleks variabel kategori dan kontinu dapat segera diakomodasi menggunakan metode ini. SIG dapat digunakan untuk mencari, memanipulasi, dan menganalisis data habitat yang disukai. SIG merupakan terobosan teknologi dalam analisis kebutuhan habitat satwaliar yang mengubah cara kita berpikir tentang konservasi dan isu-isu manajemen. Hal ini menjadi dasar pelaksanaan penelitian karakteristik habitat Cikukua timor di lanskap Camplong. Gambar kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1. Cikukua timor Populasi dan sebaran menurun Perubahan lanskap dan habitat
Identifikasi Presence Cikukua timor Identifikasi komponen habitat (makro) dan komponen habitat (mikro)
Biotik
Abiotik
Air
Vegetasi
Topografi
Manusia
Jarak dari beberapa tipe ekosistem
Spesies Lain
Analisis SIG Karakteristik habitat Cikukua timor
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bio-ekologi Cikukua timor 2.1.1. Jenis-jenis Cikukua dan gambaran ringkas morfologinya Terdapat enam jenis burung Cikukua yang tergolong dalam genus Philemon di daerah Walacea (Coates et al. 2000), yaitu: (1) Cikukua kecil (P. citreogularis), yang merupakan burung penetap (ada sepanjang tahun dan berbiak) di Nusa Tenggara (Kisar-Moa). Burung ini memiliki ukuran tubuh 25 cm, dan bagian pipi yang gundul berwarna abu-abu kebiruan. Burung-burung remaja memiliki tenggorokan bernuansa kuning; (2) Cikukua timor, yang merupakan burung endemik kawasan Wallacea dan memiliki sebaran di Timor (Nusa Tenggara Timur). Burung ini memiliki ukuran tubuh 24 cm, memiliki mata polos, kulit di sekeliling mata agak gundul, dan sekilas nampak hampir mirip dengan Cikukua tanduk (P. buceroides); (3) P. buceroides, merupakan penetap di Nusa Tenggara. Hal yang dapat membedakan dengan P. inornatus adalah ukuran tubuh yang lebih besar (29-33 cm), berwarna kecoklatan kusam, bagian bawah lebih pucat, muka dan sisi kepala gelap dan gundul, paruh hitam besar dengan kenop pada paruh khas, pada Cikukua tanduk remaja memiliki punggung bersisik putih, tenggorokan dan dada agak kuning, kenop pada paruh samar-samar dan P.b. buceroides terdapat di NTT; (4) Cikukua hitam (P. fuscicapillus) terdapat di Maluku bagian Utara, memiliki ciri berukuran tubuh 30 cm, bercak-mata gundul merah-jambu, paruhnya kokoh, kenop pada paruh tidak jelas, sekilas nampak mirip dengan kepudang halmahera (Oriolus phaeochromus), (5) Cikukua seram (P. subcorniculatus) di Maluku sebarannya terbatas sampai di Seram, memiliki ukuran tubuh 35 cm, berwarna coklat zaitun, bagian bawah lebih pucat, muka gundul gelap bercak-mata bervariasi coklat kekuningan hingga kemerahan, leher belakang abu-abu, dada kekuningan, kenop pada paruh tidak jelas, sekilas nampak seperti kepudang seram (Oriolus bouroensis); (6) Cikukua maluku (P. moluccensis) di Nusa Tenggara (Tanimbar) dan Maluku (Buru dan Kei) memiliki ciri ukuran tubuh 31-37 cm, berwarna coklat, bagian bawah dan leher belakang lebih pucat, bercak-muka gundul kehitaman, burung remaja memiliki ciri sisi
8
tenggorokan bagian bawah agak kuning, P. m. moluccensis (Buru), tidak ada kenop pada paruh, tenggorokan
keputih-putihan, alis pucat, sekilas nampak
seperti kepudang muka hitam (Oriolus bouroensis).
a. Cikukua timor
b. Cikukua tanduk
Gambar 2 Perbedaan Cikukua timor dengan Cikukua tanduk. 2.1.2. Klasifikasi Cikukua timor Sistematika Cikukua timor sebagai berikut; Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Sub Filum
: Vertebrata
Kelas
: Aves
Ordo
: Passeriformes
Famili
: Meliphagidae
Genus
: Philemon
Spesies
: Philemon inornatus (G.R Gray, 1846)
Nama Daerah
: Cikukua timor (Indonesia); koakiko (Kupang-Timor), Lorikeet (Timor Leste).
Nama Inggris
: Timor Friarbird/Plain friarbird (Sukmantoro et al. 2007)
2.1.3. Daerah penyebaran Cikukua timor Burung ini merupakan jenis endemik Timor. Burung Cikukua timor hidup pada ketinggian 0-2400 dari permukaan laut (Coates et al. 2000). Status Cikukua timor
dalam kategori Endemic Bird Areas (EBAs) adalah RR
(Restricted-range) ditemukan di tipe hutan tropis kering (tropical dry forest)
9 (Trainor 2002). International Union for the Conservation of Nature and Nature Resources (IUCN) memasukkan status keterancaman spesies Cikukua timor yang terkategori Least Concern (LC) Ver 3.1. (BirdLife International, 2009). Status LC menunjukkan bahwa keberadaan populasi burung Cikukua timor di alam masih umum ditemukan dan tidak terancam kepunahan maupun kategori mendekati kepunahan atau Near Treatened (NT). Laporan IUCN ini berdasarkan data Coates dan Bishop (1997), bahwa ukuran populasi secara global tidak dihitung, tapi keberadaan spesies ini tersebar luas dan umum ditemukan di Timur Leste (http: //www. iucnredlist. org/apps/redlist/details, 2011 [19 Februari 2011]). Habitat Cikukua timor dan Cikukua tanduk sama-sama di hutan tropis (Tropical Forest), daerah berhutan (Woodland), dan perkebunan (Plantation), dan dikategorikan sebagai common resident (cr) (Trainor et al. 2008). Trainor (2002) juga menyatakan Cikukua timor hidup di habitat hutan muson (monsoon forest). Cikukua tanduk atau Helmeted Friarbird P. buceroides merupakan burung yang umum di savana dataran rendah, memiliki distribusi di bagian Barat atau Utara Wallacea (yang terhubung dengan pulau dan yang bertautan dengan benua Asia Selatan-Timur (Trainor et al. 2008).
Gambar 3 Peta Pulau Timor, wilayah garis perbatasan dan penyebaran burung di Timor Leste dan Timor Barat, Indonesia (Sumber: Trainor et al. 2008). 2.2. Karakterisitik Burung Pemakan Nektar Suku Meliphagidae (isap madu) termasuk ke dalam burung AustraloPapua yang besar. Terwakili dengan baik di Indonesia bagian Timur, tetapi jarang mencapai kawasan Sunda. Suku burung ini beragam, mulai dari jenis berukuran
10
besar seperti burung Cikukua yang mengisi relung rangkong sampai berukuran kecil mengisi relung yang sama dengan Pijantung dan Burung madu (MacKinnon et al. 2010) Penampakan umumnya tidak mencolok. Paruhnya ramping, tajam dan melengkung ke bawah. Memakan nektar, buah-buahan dan serangga. Sarangnya dibuat berbentuk mangkuk. Satu-satunya wakil dari suku ini adalah isap-madu Indonesia (Lichmera limbata), khas untuk anggota yang berukuran kecil dalam suku ini (MacKinnon et al. 2010). Komunitas burung merupakan salah satu komponen biotik ekosistem yang berperan dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam.Peran tersebut tercermin dari posisi tropik yang ditempatinya. Sebagai contoh, burung pemakan nektar dan buah berperan dalam proses penyerbukan buah dan penyebaran biji (Partasasmita 2009). Deliso (2008) menjelaskan bahwa perubahan iklim telah mempengaruhi populasi burung kolibri (hummingbird) di Monteverde, Pegunungan Tilaran, Costa Rica. Perubahan iklim telah mempengaruhi tanaman penghasil nektar. Kolibri telah mengalami efek kompleks pada komunitas tumbuhan melalui penyerbukan. Selanjutnya, nektar dan produksi bunga mempengaruhi perilaku, ukuran populasi, dan siklus kehidupan burung. Variabel iklim yang mencakup curah hujan, temperatur dan penutupan awan mempengaruhi produksi nektar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa curah hujan yang menurun, terjadinya peningkatan suhu dan penutupan awan telah berdampak langsung kepada populasi kolibri dan tanaman yang mendukung kehidupannya. Famili kolibri lebih memilih jenis tumbuhan yang menghasilkan bunga dengan tempat daun bunga (petal) dan bukaan diameter korola yang lebih besar. Kolibri mengunjungi bunga di hari pertama bunga tersebut mekar dengan jumlah kunjungan sebanyak tiga kali secara bertahap. Selain itu, tanaman yang berukuran besar dengan bunga lebih banyak, dan jumlah nektar lebih besar, menerima kunjungan lebih banyak per tanaman dan per bunga dibandingkan tanaman kecil dengan beberapa bunga saja. Honeyeaters dapat memakan serangga kecil atau serbuk sari ketika mereka mengunjungi bunga yang berukuran kecil. Honeyeaters cenderung makan di daerah hutan yang memilliki ciri-ciri tersendiri (discrete) karena mereka memiliki kepentingan makanan yang sama (Castro & Robertson 1997). Honeyeaters
11 ataupun hummingbirds (Fam.Trochilidae) mendapatkan lebih banyak airnya dari nektar yang mereka konsumsi dan kadang-kadang asupan air yang berlebihan diperoleh melalui nektar (Nicolson 2006). Rata-rata, bunga untuk burung pemakan nektar mengandung 75-80% air (Nicolson 2006). Tumbuhan yang terbanyak menyediakan sumber nektar untuk honeyeaters di Australia berasal dari famili Myrtaceae (10 genus; pohon dan semak belukar), Proteaceae (7 genus: pohon dan semak), Loranthaceae (6 genus: hemisparasites); Rutaceae (6 genus; pohon dan semak), Epacridaceae (5 genus; semak), dan famili penting lainnya yaitu Myoporacea, Haemodoracea, dan Fabacea di Australia Selatan-Timur (Ford et al. 1979). 2.3. Teritori Famili Meliphagidae Maher dan Lott (1995) menyatakan bahwa definisi teritori secara konseptual kebanyakan berbeda antara satu dengan yang lainnya dari tiga tipe yaitu; (1) daerah pertahanan, (2) daerah eksklusif, (3) dominan lokasi spesifik. Teritori pada burung paling umum didefinisikan secara konseptual sebagai areal pertahanan. Penelitian burung kebanyakan terkait dengan penandaan teritori dengan nyanyian. Nyanyian merupakan cara relatif lebih mudah untuk mengukur dan mengidentifikasi teritori; pada habitat yang visibilitas yang rendah, mengukur jumlah nyanyian lebih mudah daripada menghitung jumlah pergerakan penyusupan melalui vegetasi. Graf (2008) menyatakan bahwa teritori berkaitan erat dengan seleksi habitat, karena burung teritorial harus mencari patch yang belum digunakan oleh pesaing sejenis atau lain atau harus merebut suatu wilayah yang sudah digunakan oleh individu atau pasangan lainnya. Teritorialitas biasanya ditunjukkan dengan respon agresifitas terhadap individu lain yang melibatkan penggusuran (displacing), berburu (chasing) atau membentur (striking) dan beberapa respon yang lebih lemah seperti nyanyian dan atraksi lainnya. Menetapkan dan mempertahankan
wilayah
merupakan
pendekatan
untuk
mengamankan
ketersediaan sumberdaya yang terbatas seperti makanan, lokasi bersarang dan kawin.
12
2.4. Perilaku Penelitian di wilayah Armidale, New South Wales (NSW), selama lebih dari 8 tahun dengan melakukan pencincinan burung (banded birds) oleh Ford tahun 1999 diketahui bahwa aktivitas organisasi sosial burung P. corniculatus, seringkali kelihatan dilakukan oleh seekor, berpasangan atau bersama-sama (flocks)
(Clements
2000).
Menurut
Sukarsono
(2009),
perilaku
sosial
menyediakan banyak manfaat. Banyak binatang lebih sukses dalam menemukan makanan jika mereka mencarinya secara berkelompok, terutama jika sumbersumber daya makanan hanya terdapat di tempat tertentu. Jika lebih banyak individu bekerja sama, maka akan ada satu atau lebih kesempatan mereka menemukan makanan. Tracey et al. (2007) Noisy friarbirs dapat bermigrasi dan kebanyakan populasi Noisy friarbirs terlihat bergerak mengembara (nomadic) mengikuti kualitas nektar terbaik dari pohon dan belukar yang sedang berbunga. Noysi friarbird tercatat melakukan berpindah terjauh 510 km dari selatan Mudgee ke Mita-Mita di timur laut Victoria. Noisy friarbirs makan bersama kelompok lorikeets, red wattlebirds (Anthochaeracarunculata)
dan
honeyeaters
(Melipagidae)
lain
sampai
berkompetisi secara intensif pada saat kekurangan pakan. Secara umum friarbird makan dalam kelompok kecil yang ribut, tidak lebih dari 20 induvidu, tapi berkelompok lebih besar dapat terjadi sekitar sumber pakan (Tracey et al. 2007) Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan pakan, pelindung, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya (Alikodra 2002). Bailey (1984) menyatakan bahwa satwaliar yang hidup secara berkelompok dapat meningkatkan kesempatan untuk menemukan sumberdaya habitat, pendeteksian adanya bahaya, dan untuk menghindarkan atau mempertahankan diri dari predator. Kehidupan secara sosial ini timbul karena adanya proses pembelajaran tentang kemampuan adaptif seperti mencari sumber pakan, wilayah jelajah dan rute-rute migrasi. Banyak hewan tinggal dalam kelompok sosial yang dilakukan juga untuk perlindungan. Beberapa binatang membentuk kelompok sosial untuk membuat
13 perjalanan mereka lebih mudah, seperti Angga kenada dan spesies burung lain secara tipikal terbang dengan formasi V (Sukarsono 2009). Populasi satwaliar mempertahankan nilai-nilai adaptif baik perilaku kompetitif dan kooperatif melalui sistem evolusi sosial, yakni sistem hirarki dan teritorial. Sistem hirarki dan teritorialisme ini selanjutnya mengendalikan perilaku agresivitas intraspesifik secara terbatas yang memungkinkan terbentuknya dan berfungsinya kelompok sosial (Bailey 1984). 2.5. Habitat Morrison (2005) menyatakan bahwa istilah habitat terkait pada konfigurasi spesifik dari komponen lingkungan (misalnya, vegetasi, permukaan batuan, air) yang digunakan satwa pada setiap titik waktu.
Habitat merupakan konsep
spesifik suatu spesies, dimana setiap spesies hewan menggunakan suatu kombinasi dari komponen lingkungan yang berbeda. Oleh karena itu, tidak ada daerah spesifik habitat yang baik atau buruk, kecuali jika dinilai dalam hubungannya dengan spesies tertentu. Jadi apa yang “baik” untuk satu spesies mungkin “ tidak baik” bagi spesies lain. Kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwaliar disebut habitat (Alikodra 2002). Menurut Krebs (1978); Leksono (2007), habitat merupakan lingkungan dimana spesies berada atau habitat adalah bagian biosfer dimana organisme dapat hidup, baik secara permanen maupun temporer. Menurut Bailey (1984), habitat suatu organisme pada umumnya mengandung faktor ekologi yang sesuai dengan persyaratan hidup organisme yang menghuninya. Kebutuhan habitat dari suatu spesies satwaliar adalah faktor yang menentukan kesejahteraan bagi suatu jenis satwa. Tersedianya kebutuhan habitat suatu jenis satwa selanjutnya akan mempengaruhi tingkat produktivitas dan kesehatan dari satwa. Persyaratan hidup setiap organisme merupakan kisaran faktor-faktor ekologi yang ada dalam habitat dan diperlukan oleh setiap organisme untuk mempertahankan hidupnya. Persyaratan habitat terdiri dari pakan, penutupan tajuk dan faktor lain yang dibutuhkan oleh satwaliar untuk bertahan
14
hidup serta untuk keberhasilan proses reproduksi. Habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung (Alikodra 2002). Berdasarkan segi komponennya, habitat terdiri dari komponen fisik dan komponen biotik. Komponen fisik dan biotik ini membentuk sistem yang dapat mengendalikan kehidupan satwaliar. Faktor-faktor dari komponen fisik yang berperan dalam pertumbuhan populasi satwaliar antara lain; (a) air dimana ketersediaan air pada suatu habitat secara langsung dipengaruhi oleh iklim lokal, dan iklim tidak hanya menentukan kuantitas total air yang tersedia per tahun, tetapi juga keadaan hujan yang merata sepanjang tahun atau hanya beberapa bulan saja, (b) radiasi surya diubah dengan cara kimia setelah sampai di permukaan bumi untuk dipergunakan oleh berbagai organisme, (c) temperatur dimana berpengaruh terhadap reproduksi, pertumbuhan dan kematian suatu organisme, dan secara umum temperatur berpengaruh terhadap perilaku satwaliar, ukuran tubuh ataupun bagian-bagiannya, (d) panjang hari dimana aktivitas satwaliar banyak tergantung pada panjang hari, terutama jenis satwa yang aktif pada siang hari (diurnal) dan berlindung pada malam hari, jenis satwaliar yang aktif pada malam hari (nocturnal), dan beberapa jenis aktif pada waktu senja ataupun fajar (crepuscular), (e) aliran dan tekanan udara berperan sangat penting bagi beberapa jenis satwaliar seperti jenis elang, mempengaruhi tingkat kandungan air dan kelembaban relatif tanah, mempunyai kekuatan sebagai perusak, perbedaan tekanan udara berdasarkan perbedaan ketinggian dapat menyebabkan perbedaan bentuk kehidupan, dimana semakin tinggi suatu tempat akan semakin rendah tekanan udaranya, sehingga mempersulit proses respirasi satwaliar, (f) tanah yang terbentuk sebagai hasil interaksi proses geologis, iklim, dan biologis, secara umum tipe tanah berpengaruh terhadap tipe vegetasi, sehingga dapat menentukan struktur kehidupan satwaliar yang menempatinya (Alikodra 2002). Faktor-faktor dari komponen biotik terdiri dari kuantitas dan kualitas makanan, pemangsaan (predasi) dan penyakit (Bailey 1984). Satwaliar memerlukan kuantitas dan kualitas makanan yang berbeda menurut jenis, perbedaan jenis kelamin, kelas umur, fungsi fisiologis, musim, cuaca dan kondisi geografis. Alikodra (2002) menyatakan bahwa adanya asosiasi antara mangsa
15 (prey) dan pemangsa (predator) menunjukkan bahwa populasi mangsa akan ditentukan oleh ukuran populasi predator, dan populasi predator akan ditentukan oleh ketersediaan mangsa. 2.6. Preferensi Habitat Habitat preferensi mencerminkan integrasi beberapa faktor lingkungan pada beberapa skala spasial, dan individu mungkin memiliki lebih dari satu pilihan untuk mengoptimalkan fitness melalui strategi seleksi habitat. Penilaian kualitas habitat untuk strategi manajemen idealnya harus mencakup analisis beragam konsekwensi fitness pada berbagai tingkatan spasial ekologi yang relevan (Chalfoun & Martin 2007). Preferensi habitat didorong oleh interaksi yang kompleks antara pola-pola perilaku, persyaratan biologis dan kondisi lingkungan (Ersts & Rosenbaum 2003). Menurut Celuch dan Zahn (2008) secara umum, tujuan untuk menentukan preferensi habitat suatu spesies adalah untuk mengevaluasi kualitas habitat yang memiliki kontribusi terhadap kelangsungan hidup dari populasi tersebut. Penggunaan habitat menjadi selektif jika satwa membuat pilihan dibandingkan mengembara dengan sembarangan di luar lingkungannya. Penilaian kualitas suatu habitat berdasarkan pada pemahaman bahwa preferensi dan seleksi adalah terkait dengan fitness dan karena itu preferensi dapat diduga dari pola pemanfaatan yang diamati. Mengidentifikasi atribut-atribut habitat yang mempengaruhi pemilihan habitat dan meningkatkan fitness adalah hal penting untuk pengelolaan yang efektif (Chalfoun & Martin 2007). Leksono (2007) menjelaskan fitness adalah ukuran atau kemampuan kontribusi genetis individu untuk generasi berikutnya. Individu memiliki fitness yang tinggi jika mereka meningggalkan banyak keturunan. Individu dapat lebih sesuai dengan lingkungan jika; (a) memiliki laju reproduksi yang tinggi, (b) memiliki kesintesaan (lama hidup) yang lama, (c) memiliki keduanya. 2.7. Kesesuaian Habitat Habitat yang sesuai adalah tempat yang mampu menyediakan kondisi yang dibutuhkan oleh satwa untuk dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam
16
jangka waktu yang cukup lama (Nursal, 2007). Menurut Odum (1993), proses identifikasi kesesuaian habitat satwaliar dilakukan berdasarkan kajian dan penilaian atas kebutuhan hidup satwaliar tersebut. Hal ini tidak dapat lepas dari hukum minimum Leibig dan hukum toleransi Shelford. Hukum minimum Leibig menyatakan bahwa untuk dapat bertahan dan hidup di dalam keadaan tertentu, suatu organisme harus memiliki bahan-bahan penting yang diperlukan untuk pertumbuhan dan berkembangbiak. Keperluan-keperluan dasar ini bervariasi antara jenis dan keadaan. Di bawah keadaan-keadaan mantap, bahan penting yang tersedia dalam jumlah paling mendekati jumlah minimum genting yang diperlukan akan cenderung merupakan pembatas. Hukum toleransi Shelford menyatakan bahwa kehadiran dan keberhasilan suatu organisme atau golongan organisme bergantung pada lengkapnya kompleks keadaan. Ketiadaan atau kegagalan suatu organisme dapat dikendalikan oleh kekurangan atau kelebihan secara kualitatif atau kuantitatif dari salah satu beberapa faktor yang mungkin mendekati batas-batas toleransi organisme tersebut. Keadaan manapun yang mendekati atau melampaui batas-batas toleransi dinamakan sebagai yang membatasi atau faktor pembatas. Kebutuhan hidup minimal bagi setiap spesies satwaliar berbeda-beda satu sama lain (Odum 1993), atau dapat dikatakan bahwa setiap organisme mempunyai habitat yang sesuai dengan kebutuhannya (Indriyanto 2006). Perbedaan tersebut mengakibatkan tidak seluruh wilayah kawasan hutan secara potensial sesuai bagi setiap spesies satwaliar. Oleh karena itu masing-masing spesies memperlihatkan perbedaan dalam lokasi keberadaannya, sehingga masing-masing spesies memiliki relung atau ruangan habitat yang berbeda (Odum 1993). Selanjutnya Indriyanto (2006) menjelaskan jika terjadi gangguan pada habitat, maka akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada komponen habitat, sehingga ada kemungkinan habitat menjadi tidak cocok bagi organisme yang menghuninya. Apabila kondisi habitat berubah hingga di luar kisaran faktor-faktor ekologi yang diperlukan oleh setiap organisme di dalamnya, maka organisme itu dapat mati atau migrasi ke tempat lain.
17 2.8. Seleksi Habitat Johnson (1980) mendefinisikan seleksi sebagai proses dimana satwa secara nyata memilih suatu sumberdaya atau habitat; dan menurut Bailey (1984), seleksi habitat merupakan spesialisasi. Bagi suatu spesies, memilih habitat tertentu berarti membatasi diri pada habitat tersebut dan akan mencapai adaptasi terutama kesesuaian dalam penggunaan sumberdaya yang tersedia. McComb (2007) menyatakan bahwa seleksi habitat adalah sekumpulan perilaku kompleks tentang suatu spesies yang dibangun diantara individu-individu di dalam populasi untuk kelangsungan fitnes. Moris (1987) menyatakan bahwa pemilihan habitat merupakan suatu hal penting bagi satwaliar karena mereka dapat bergerak secara mudah dari satu habitat ke habitat lainnya untuk mendapatkan makanan, air, reproduksi atau menempati tempat baru yang menguntungkan. Menurut Morris (1987), faktor yang mendorong terjadinya pemilihan habitat berhubungan dengan laju predasi, toleransi fisiologis dan interaksi sosial. Adapun kondisi mikro habitat tidak menentukan terjadinya pemilihan habitat. Satwaliar tidak menggunakan seluruh kawasan hutan yang ada sebagai habitatnya tetapi hanya menempati beberapa bagian secara selektif. Beberapa organisme tidak dapat menempati range pontensialnya, meskipun secara fisik mereka dapat mencapai daerah tersebut. Dengan demikian, individu-individu tersebut tidak hidup di habitat tertentu dan distribusi dari spesies mungkin dibatasi oleh faktor perilaku pemilihan habitat (Leksono 2007). Menurut Johnson (1980), hadirnya populasi atau individu tergantung pada kriteria biologi dan fisik serta kriteria ini untuk membangun habitat. Penggunaan habitat atau “Habitat use”merupakan penggunaan dari salah satu komponen-komponen ini, sedangkan seleksi habitat (“Habitat selection”) merupakan proses dimana satwa memilih komponen apa yang digunakan. Pemilihan komponen diatur dalam urutan hirarkis dengan urutan pertama adalah jangkauan geografis, kedua adalah home range (daerah jelajah) individu dalam jarak geografis, ketiga adalah penggunaan komponen dalam home range dan keempat adalah representasi dari bagian komponen home range yang secara aktual digunakan oleh individu seperti
18
jika urutan ke-tiga merupakan suatu tempat mencari makan, urutan ke-empat adalah makanan yang dikonsumsi. Moris (1987) menyatakan bahwa beberapa spesies satwaliar menggunakan habitat secara selektif dalam rangka meminimumkan interaksi negatif (seperti predasi dan kompetisi) dan memaksimumkan
interaksi positif (seperti
ketersediaan mangsa). Pemilihan habitat oleh satwaliar dapat disebabkan oleh tiga hal, yakni;(1) ketersediaan mangsa (pakan), (2) menghindari pesaing, dan (3) menghindari predator (Moris 1987; Leksono (2007). Graf (2008) menjelaskan bahwa pemilihan habitat adalah keputusan berbagai aspek yang harus dilakukan oleh burung. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi
pemilihan tempat untuk berkembangbiak, kawin dan mencari
makan. Beberapa faktor dari bagian habitat burung adalah struktur atribut lanskap seperti air, jurang, hutan primer, atau semak atau padang rumput, kepadatan dan semak-semak yang tidak tinggi, dekat dengan lokasi mencari makan dan peluang bersarang, ketersediaan pakan, keberadaan predator (pemangsa), mudah melakukan pertahanan (keamanan), kemungkinan survive bagi keturunannya, perubahan iklim mikro, dan jarak ke pemukiman. Bermacam-macam faktor ini menunjukkan bahwa hal tersebut sangat mahal bagi burung untuk menjelajahi seluruh wilayah untuk mengecek semua faktor ini atau setidaknya ada faktor penting untuk burung. Leksono (2007) menjelaskan dua pendekatan untuk mempelajari seleksi habitat; pertama pendekatan proksimal yakni melihat pemilihan habitat sebagai mekanisme perilaku dan mempertanyakan dalam rangka fisiologi bagaimana hewan memilih habitatnya, kedua pendekatan ultimate atau pendekatan evolusi yakni melihat alasan adaptif untuk pemilihan habitat dan signifikansi evolusioner dari perilaku yang terlibat. McComb (2007) menjelaskan bahwa perilaku seleksi habitat juga telah memungkinkan setiap spesies memilih habitat dengan cara yang memungkinkan untuk mengurangi kompetisi memperoleh sumber daya dengan spesies lain. Jadi, tekanan seleksi evolusioner pada setiap spesies, baik abiotik dan biotik, telah menyebabkan spesies tersebut mengembangkan strategi yang berbeda untuk kelangsungan hidup yang berkaitan dengan seleksi habitat dan dinamika populasi.
19 Beberapa spesies yang memiliki habitat generalis, dapat menggunakan sumber daya makanan dan cover yang luas. Spesies generalis cenderung mudah beradaptasi
dan
terdapat
dalam
berbagai
macam
kondisi
lingkungan.
Spesies-spesies yang lain memiliki habitat spesialis. Spesies spesialis beradaptasi bertahan hidup di hutan dengan memanfaatkan penggunaan sekumpulan sumber daya yang sempit, sumber daya bagi mereka beradaptasi lebih baik untuk digunakannya daripada kebanyakan spesies yang lain. 2.9. Struktur dan Komposisi Vegetasi Struktur fisik hutan terbentuk oleh adanya perbedaan tinggi pohon menurut jenis, umur dan sifat tumbuhnya. Kondisi ini membentuk stratifikasi menjadi relung ekologi tertentu bagi suatu jenis satwa (Duma 2007). Analisis struktur fisik vegetasi hutan, Soerianegara dan Indrawan (1998) membedakan stadium tumbuh vegetasi sebagai berikut; (a) semai (seedling) mulai dari kecambah sampai tinggi 1,5 m, (b) pancang (sapling) tumbuhan berkayu yang tingginya lebih dari 1,5 m dan diameter kurang dari 10 cm, (c) tiang (pole) tumbuhan berkayu dengan diameter 10 - < 20 cm, dan (d) pohon dewasa yang berdiameter yang berdiameter ≥ 20 cm. 2.10. Kerapatan Kerapatan atau densitas adalah jumlah individu per unit luas atau per unit volume atau merupakan jumlah individu organisme per satuan ruang (Indriyanto 2006). Salah satu unsur habitat yang paling umum diukur adalah kerapatan yang meliputi; pohon, tiang, pancang, semak atau semai dan tanaman lain (McComb 2007). Menurut Arrijani et al. (2006), nilai kerapatan suatu spesies menunjukkan jumlah individu spesies yang bersangkutan pada satuan luas tertentu. Oleh karena itu nilai kerapatan merupakan gambaran mengenai jumlah spesies tersebut pada suatu lokasi penelitian. Nilai kerapatan belum dapat memberikan gambaran tentang bagaimana distribusi dan pola penyebarannya. Gambaran mengenai distribusi individu pada suatu jenis tertentu dapat dilihat dari nilai frekuensinya, sedangkan pola sebaran dapat ditentukan dengan membandingkan nilai tengah spesies tertentu dengan varians populasi secara keseluruhan. Perbedaan nilai
20
kerapatan masing-masing jenis disebabkan oleh reproduksi, penyebaran dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Indriyanto (2006), menyatakan densitas pada umumnya berhubungan dengan kelimpahan berdasarkan penaksiran kualitatif seperti sangat jarang, jarang, banyak, dan sangat banyak.Kelimpahan adalah parameter kualitatif yang mencerminkan distribusi relatif spesies organisme dalam komunitas. Menurut Bibby et al. (2000), menghubungkan distribusi burung secara langsung dengan pohon dan jenis tumbuhan yang ada di suatu tempat memang sangat ideal. Kelimpahan pohon yang sedang berbuah mungkin dapat dihubungkan dengan kelimpahan jenis burung pemakan buah-buahan. 2.11. Principal Component Analysis (PCA) Secara teknis, Principal Component Analysis (PCA) atau Analisis Kompunen Utama (AKU) merupakan suatu teknik mereduksi data multivariate (banyak data) yang mencari untuk mengubah (mentransformasi) suatu matrik data awal/asli menjadi suatu set kombinasi linear yang lebih sedikit akan tetapi menyerap sebagian besar jumlah varian dari data awal. Banyaknya faktor (komponen) yang dapat diekstrak dari data awal/asli ialah sebanyak variabel yang ada. Kita harus mereduksi data asli dengan sedikit mungkin komponen/faktor akan tetapi masih memuat sebagian besar variasi dari data asli/awal katakan lebih dari 80% (Supranto 2004). Di dalam aplikasi data penginderaan jauh (inderaja), PCA merupakan salah satu metode statistika yang digunakan untuk menggali informasi dari data citra inderaja, terutama dalam hubungannya dengan multidimensi peubah (Adiningsih et al.2004). Principal Component Analysis digunakan untuk menguji hubungan antara beberapa variabel kuantitatif. Teknik ini sangat baik dalam mendeteksi hubungan linear antara plot-plot pada berbagai komposisi jenis, kepadatan dan cover. Principal Component Analysis telah digunakan sebagai cara terbaik melakukan analisis awal dari skema klasifikasi vegetasi dalam mempersiapkan
membangun
peta
vegetasi.
Komponen
utama
dihitung
berdasarkan kombinasi linear dari variabel-variabel yang digunakan dalam analisis, dengan koefisien yang sama untuk eigenvector dari korelasi atau matriks kovarian. Komponen utama diurutkan berdasarkan urutan eigenvalue, dimana
21 sama dengan komponen varian. Bila diterapkan dengan benar, PCA sangat kuat untuk analisis awal dataset vegetasi, terutama untuk analisis komunitas tumbuhan. Hal ini merupakan langkah awal yang efektif sebagai cara untuk mengklaster plotplot survei yang memiliki komposisi, kepadatan atau cover yang serupa (Department of The Army USA 1999). Syartinilia
(2008)
menjelaskan
bahwa
korelasi
berbasis
PCA
menggunakan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) dilakukan pada variabel lingkungan dalam rangka untuk mengukur pola lanskap yang independent satu sama lainnya. Secara matematis, PCA, melibatkan eigen analisis dari persamaan matriks simetris atau koefisien korelasi antara variabel-variabel geografis untuk menghasilkan serangkaian eigenvalues dan eigenvector yang saling berhubungan. Komponen utama diakhiri dengan dirotasi menggunakan metode varimax untuk membantu interpretasi cara penyelesaian faktor. Kemudian komponen-komponen diinterpretasikan dengan menggunakan komponen yang dimasukkan (korelasi antara komponen utama dan setiap variabel asli). Khera et al. (2009) menggunakan PCA dengan program XLSTAT (Versi 2007.6) untuk menganalisis distribusi burung pada 19 ruang hijau dan menentukan ukuran ruang hijau dan spesies tumbuhan berkayu yang mempengaruhi kelimpahan spesies burung di Delhi, India. Data matrik PCA terdiri dari 19 lokasi x 56 jenis burung. Nilai rata-rata sejumlah individu dicatat dari tiap spesies yang digunakan dalam matriks. Dua sumbu utama dihubungkan dengan variabel-variabel habitat seperti ukuran ruang hijau, keanekaragaman dan kepadatan spesies tumbuhan menggunakan korelasi Pearson. Korelasi Pearson digunakan untuk menentukan bagaimana ukuran komunitas burung secara keseluruhan dipengaruhi oleh ukuran ruang hijau, keragaman dan kepadatan vegetasi berkayu, jumlah spesies burung dan keragamannya berkurang dengan ukuran ruang hijau. Hasil analisis dengan PCA menunjukkan bahwa spesies burung cenderung lebih memilih hutan dengan semakin bertambahnya ukuran ruang hijau, keragaman dan kepadatan semak belukar.
22
2.12. Populasi Populasi didefinisi sebagai kelompok organisme yang terdiri dari individuindividu satu spesies yang saling berinteraksi dan melakukan perkembangbiakan pada suatu tempat dan waktu tertentu (Anderson, 2002). Dalam pengelolaan satwaliar, Alikodra (2002) memberikan batasan populasi menjadi “kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya”. Dalam ilmu dinamika populasi, Tarumingkeng (1994) mendefinisikan populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu. Suatu populasi memiliki sifat-sifat khas yaitu; kepadatan (denstitas), laju kelahiran (natalitas) laju kematian (mortalitas), sebaran (distribusi), pemencaran (disperse), struktur umur, potensi biotik, sifat genetik, nisbah kelamin dan perilaku (Tarumingkeng 1994; Alikodra 2002). Kepadatan populasi itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa parameter demografi antara lain; natalitas, mortalitas, struktur populasi, nisbah kelamin, dan migrasi (Alikodra 2002). Survei memberikan informasi dasar tentang distribusi spesies dan jumlah populasi. Survei mengkaji situasi pada suatu saat tertentu, sedangkan program pemantauan umumnya mendeteksi perkembangan menuju situasi yang telah ditetapkan. Survei berperan penting pada saat merancang jaringan kawasan lindung, menentukan perbatasan kawasan suaka atau batas-batas koridor yang menghubungkan populasi yang terisolasi, dan saat memutuskan di lokasi mana akan dilakukan investasi waktu dan upaya untuk kegiatan perlindungan atau penelitian (Khul et al. 2011). 2.13. Lanskap Lanskap merupakan suatu konsep ruang yang holistis dan umum, jauh lebih luas daripada komponen-komponen penyusunnya; dataran, tanah, penutup dan penggunaan lahan (Sheil et al. 2004). Lanskap dapat diartikan sebagai tata ruang atau bentang alam yang didalamnya terdiri dari berbagai kegiatan baik yang
23 berjalan secara alami maupun bentuk kegiatan yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Oleh karena itu proses kegiatan di dalam lanskap akan selalu berhubungan dengan proses sosial ekonomi dan ekologi atau yang dikenal dengan ekologi lanskap (Farina 1998). Perubahan lanskap dapat dibedakan ke dalam lima tipe (Forman dan Gordon 1986), yaitu; (1) lanskap alamiah (perkembangan/perubahan terjadi karena alam bukan manusia, (2) lanskap pengelolaan (perkembangan/perubahan terjadi karena miss-managamant) misalnya buruknya sistem pengelolaan hutan produksi, (3) lanskap budidaya (perkembangan/perubahan terjadi karena budidaya usahatani yang terkait erat dengan pengembangan wilayah dan transportasi; proses perubahan lanskap budidaya terjadi melalui tiga tahap yaitu usaha tani tradisional, kombinasi tradisional dan moderen, dan moderen yang pada perkembangannya menghasilkan bentuk-bentuk permukiman terpencar, kemudian berkelompok dan akhirnya menyatu menjadi pedesaan dan perkotaan, (4) lanskap pedesaan (perkembangan/perubahan terjadi karena adanya kegiatan manusia, antara lain, kebun dan pekarangan, (5) lanskap perkotaan terbentuk karena adanya perubahan struktur lanskap alamiah yang terdegradasi menjadi bentuk alam perkotaan akibat akivitas manusia. 2.14. Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data geografis dan sumber daya manusia (brainware) yang mampu merekam, menyimpan, memperbaharui, menampilkan dan menganalisis, memanipulasi dan menampilkan informasi yang bereferensi geografis (Jaya 2002; Prahasta 2009). Menurut Ekadinata et al. (2008) sistem SIG adalah sebuah sistem atau teknologi berbasis komputer yang dibangun dengan tujuan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengolah dan menganalisa, serta menyajikan data dan informasi dari suatu obyek atau fenomena yang berkaitan dengan letak atau keberadannya di permukaan bumi. Data geografis pada dasarnya tersusun oleh dua komponen penting yaitu data spasial dan data atribut. Data spasial merepresentasikan posisi atau lokasi
24
geografis dari suatu obyek di permukaan bumi, sedangkan data atribut memberikan deskripsi atau penjelasan dari suatu obyek. Data atribut dapat berupa informasi numerik foto, narasi, dan lain sebagainya yang diperoleh dari data statistik, pengukuran lapangan dan sensus, serta lain-lainnya. Sumber data spasial antara lain mencakup; data grafis peta analog foto udara, citra satelit, survei lapangan, pengukuran theodolit, pengukuran dengan menggunakan Global Positioning System (GPS), dan lain-lain (Ekadinata et al. 2008). Menurut Barnes dan Malik (1997), aplikasi SIG telah diadoposi dalam pemodelan ekologi sebagai alat untuk menghasilkan data yang diperlukan pada pemodelan skala ruang dan waktu yang berbeda, dan juga sebagai alat untuk ekstrapolasi hasil dari basis titik menjadi basis spasial (Osborne at al. (2001). 2.15. Citra Landsat-5 Thematic Mapper (TM) Lo (1995), menjelaskan sensor pada satelit landsat berfungsi sebagai sistem pencitraan, diantaranya adalah kamera Return Beam Vidicon (RBV), Multispectral Scanner (MSS) dan Thematic Mapper (TM). Landsat 2 dan 3 adalah RBV dan MSS, sedangkan pada Landsat 4 ditambahkan sistem pencitraan TM yang bertujuan untuk perbaikan resolusi spasial, pemisahan spektral, kecermatan dan radiometrik, serta ketelitian geometrik. Thematic Mapper merupakan suatu sensor optik penyinaran yang beroperasi pada saluran tampak, inframerah. Secara rinci dapat terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Aplikasi prinsip dan saluran spektral Thematic Mapper Saluran (Band) 1
Panjang Gelombang (µm) 0,45-0,52
2
0,52 – 0,69
3 4
0,63- 0,69 0,76 – 0,90
5
1,55 – 1,75
6
10,40– 12.50
7
2,08 – 2,35
Sumber: Lo (1995).
Potensi Pemanfaatan Dirancang untuk penetrasi badan air, sehingga bermanfaat untuk pemetaan perairan pantai, membedakan antara tanah dengan vegetasi, tumbuhan berdaun lebar dan korniver Dirancang untuk mengukur puncak pantulan hijau saluran tampak bagi vegetasi guna penilaian ketahanan Saluran absorsi klorofil yang penting untuk diskriminasi Bermanfaat untuk menentukan kandungan biomassa dan delineasi badan air Menunjukkan kandungan kelembaban vegetasi dan kelembaban tana, dan juga bermanfaat untuk membedakan salju dan awan Saluran inframerah termal penggunaanya untuk analisis pemetaan vegetasi, diskriminasi kelebaban tanah dan pemetaan termal Saluran yang diseleksi karena potensinya untuk membedakan tipe batuan dan pemetaan hidrotermal
25 Landsat 5, diluncurkan pada bulan Maret 1984, dengan sensor citra-bumi TM. Satelit dan sensor kontinu beroperasi harian, setelah melayani lebih dari 23 tahun. Thematic Mapper memiliki 7 band; 30 m 6 band reflektif dan 120 m satu band thermal. Band-band TM memiliki pusat panjang gelobang kira-kira 0,49, 0,56, 0,66, 083, 1,67, 11,5 dan 2,24 µm (Chander et al. 2007). 2.16. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Selama bertahun-tahun, berbagai indek vegetasi telah dikembangkan dalam penilaian kuantitatif dan kualitatif dari parameter bio-fisik vegetasi. Sensor dengan band spektral pada Red (RED) dan near-infrared (NIR) digunakan untuk memonitoring vegetasi karena band-band tersebut merupakan indikator kuat dari jumlah biomasa hijau aktif photosintesis (Tucker 1979 diacu dalam Chander & Groeneveld, 2009). Hasilnya telah digunakan secara luas ketika membuat NDVI, yang didefinisikan sebagai (NIR-RED)/(NIR + RED). Teillet et al (1997) meringkas efek dari spektral, karakteristik spasial dan radiometrik pada NDVI dari daerah berhutan. Vegetasi merupakan suatu yang penting dan elemen dinamis dalam siklus hidrologi. Penggunaan citra satelit pada areal yang bervegetasi umumnya menunjukkan nilai yang tinggi disebabkan oleh reflektansinya yang tinggi pada inframerah dekat dan reflektansi yang rendah pada sinar tampak. Hal sebaliknya terjadi dimana air, awan dan salju mempunyai nilai reflektansi yang tinggi terhadap sinar tampak (merah) dari pada reflektansi inframerah dekat, sehingga menunjukkan nilai indeks vegetasi yang negatif. Pada batuan dan lahan atau tanah kosong menghasilkan indeks vegetasi mendekati nol, karena pada kedua band (kanal) reflektansi yang terjadi hampir sama (Yin & Williams 1997). Budi (2000) menjelaskan bahwa semakin tinggi nilai NDVI maka biomassa akan meningkat secara logistik. Sesuai dengan
penyataan Barret dan Curtis
(1992) diacu dalam Budi (2000), bahwa hubungan NDVI dengan biomassa tidak berbentuk linear (tidak konsisten). NDVI telah menjadi indeks popular untuk estimasi LAI (Leaf Area Index) di seluruh ekosistem yang beragam. Namun, sebagian besar studi tersebut untuk memperkirakan LAI menggunakan NDVI yang terkait dengan sistem vegetasi semi-arid dan pertanian dimana penutupan
26
kanopi kurang dari 100%. Studi terbaru menunjukkan bahwa NDVI banyak tidak sensitif terhadap nilai-nilai LAI khususnya pada ekosistem hutan yang memiliki kanopi yang rapat dimana nilai LAI relatif tinggi (Chen & Cihlar 1996; Turner et al. 1999). Menurut Prahasta (2009) vegetasi memiliki spektral signature yang unik dan memungkinkan bagi dipakainya untuk membedakan tipe-tipe landcover pada image near-infrared. Pantulannya akan bernilai rendah pada domain spektrum biru dan merah, karena penyerapan klorofil untuk fotosintesa. Vegetasi memiliki pantulan puncak pada spektrum hijau dan meningkatkan warna hijau pada unsur yang bersangkutan.Bentuk spektrum pantulan juga dapat dipakai untuk mengidentifikasi tipe atau kelas vegetasi. 2.17. Representasi Data Spasial Data spasial perlu dikonversi ke dalam format dijital untuk dapat dipergunakan dalam data SIG. Dalam format digital, terdapat dua model representasi data (struktur data grafis) yaitu model vektor dan raster. Kedua model mampu menyimpan detil informasi tentang lokasi serta atributnya. Pada model vektor, posisi suatu obyek didefinisikan oleh rangkaian koordinat X dan Y. Dalam menggunakan model vektor, obyek-obyek dan informasi di permukaan bumi dilambangkan sebagai titik, garis, atau polygon (Ekadinata et al. 2008) Pada model raster, data spasial diorganisasikan dalam sel (grid cells) atau pixel.Piksel adalah unit dasar yang digunakan untuk menyimpan informasi secara eksplisit. Masing-masing pixel mewakili luasan tertentu di permukiman bumi. Pada dasarnya dalam pemodelan raster, permukaan bumi yang dimodelkan menjadi matriks dua dimensi yang terdiri dari sel-sel yang sama besar (Ekadinata et al. 2008). 2.18. Pemanfaatan SIG untuk Konservasi Indrawan et al. (2007) menyatakan bahwa SIG yang terdiri atas berbagai tahapan, termasuk menyimpan, menampilkan dan menganalisa bermacam jenis data yang tersimpan dalam peta, termasuk
peta jenis vegetasi, iklim, tanah,
topografi, geologi, hidrologi, sebaran spesies, kawasan yang dilindungi, permukiman manusia dan pola ekstrasi sumber daya alam. Kumara (2006) menjelaskan keunggulan-keunggulan SIG sebagai sebuah perangkat sistem yang
27 sudah dioperasikan dengan kemampuan untuk mengumpulkan, menyimpan, memunculkan kembali, mentransformasi dan menampilkan data spasial dari dunia nyata untuk sebuah maksud atau tujuan tertentu, telah membuat SIG sebagai perangkat yang sangat berguna dalam analisa spasial dan telah diaplikasikan dalam berbagai kegiatan, tidak hanya sekedar pemetaan, namun juga pemanfaatannya dibidang pengelolaan sumber daya alam maupun konservasi. Menurut
Sinclair
et
al.
(2006)
SIG
merupakan
sarana
yang
menghubungkan informasi geografis yang kompleks dari struktur fisik, relief topografi, fitur biologis, dan elemen lanskap buatan manusia ke dalam data base komputerisasi. Hal ini memungkinkan pengguna dengan cepat menyaring informasi spasial yang kompleks dalam konteks visual. Osborne et al. (2001) menggunakan SIG dan penginderaan jauh untuk membuat pemodelan penggunaan habitat pada skala lanskap. Beberapa penelitian habitat menggunakan SIG dengan metode dan perangkat lunak yang bervariasi Tabel 2. Tabel 2 Penelitian tentang habitat burung menggunakan SIG Lokasi Habitat Propinsi Toledo, Spanyol
Castello, Iberian Paninsula
Software SIG Arc-View Sofware
Analisis spasial dengan ESRI, Inc© Arview GIS 3.2.Logistic Regression
Osca, Hungaria
GPS pathfinder office 2.90 dan ArcView 3.2
TN.Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara
ARgis 9.3, Erdas Imagine 9.1, Regresi Logistic
Hasil Penelitian Model preferensi habitat untuk sarang elang (Owls Bubo Bubo): topografi yang bersifat irregular, dekat sungai dapat diartikan baik untuk dipilih sebagai kawasan lindung bagi lokasi sarang atau kawasan dengan ketersedian mangsa yang tinggi. Pemodelan preferensi habitat breeding Bonelli’s eagle (Hieraaetus fasciatus) dalam hubungan dengan topografi, gangguan, iklim, penggunaan lahan pada skala spasial berbeda: spesies ini nampak suka menyebar di hutan, lahan bersemak belukar, dan areal pertanian. Preferensi habitat Sylviidae warblers di lahan basah terfragmentasi; pola distribusi dan ukuran home range tampak berbeda diantara kelompok studi, pemilihan habitat ternyata menjadi skala keputusan yang sangat kecil Analisis kesesuian habitat burung maleo (Macrocephalon maleo): model kesesuaian burung maleo di TNBNW adalah model dengan veriabel bebas ketinggian tempat, jarak dari sungai, NDVI layak diterapkan.
Sumber Ortego dan Diaz (2004)
Lopez et al. (2006)
Preiszner dan Csorgi (2008)
Ambagau (2011)
III. KONDISI UMUM LOKASI
3.1. Letak Lanskap Camplong terletak 45 km sebelah Timur Laut Kota Kupang. Secara administratif pemerintahan, lanskap Camplong termasuk dalam Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Lanskap Camplong memiliki kawasan TWA Camplong yang di kelilingi oleh beberapa desa yaitu; Desa Camplong I, Camplong II, Naunu, Silu dan Oebola Dalam yang merupakan desa enclave seluas 51,5 ha. Berdasarkan administrasi kehutanan, kawasan TWA Camplong ini terletak di wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah II Camplong, Bidang Konservasi Sumberdaya Alam (KSDA) I Soe, Balai Besar KSDA NTT. Berdasarkan 0
letak
geografis,
0
0
lanskap
Camplong
terletak
pada
0
10 01’19,7”–10 03’21,5’’ LS dan 123 55’01,3”–123 56’23,8’’ BT, sedangkan kawasan TWA Camplong ini berada antara 1230 39’–1240 23’ Bujur Timur dan 90 57’–100 30’ Lintang Selatan. 3.2. Kondisi Fisik 3.2.1. Luas dan status kawasan Luas lanskap Camplong dalam penelitian ini yaitu 2470,11 ha yang terbagi ke dalam dua bentuk kawasan yaitu kawasan hutan TWA Camplong (696,60 ha) dan bukan kawasan hutan (1773,51ha). Kawasan TWA Camplong ditetapkan sebagai taman wisata dimulai 11 Mei 1929 oleh Keresidenan Timor melalui keputusan Nomor: 180 sebagai hutan tutupan yang terpelihara seluas kurang lebih 475 ha. Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 183/Kpts/UM/3/1980, Tanggal 17 Maret 1980 menetapkan kawasan hutan Camplong tergabung dalam kelompok hutan Sisimeni Sanam. Pada tanggal 30 Maret 1982, Gubernur NTT menunjuk kawasan hutan ini sebagai Taman Wisata melalui Keputusan Nomor: 46/BKLH/1982 seluas ± 2000 ha, tetapi hasil pengukuran defenitif oleh Balai Planologi Kehutanan IV, Tanggal 8 Juni 1982, disahkan oleh Menteri Pertanian RI Tanggal 25 Desember 1982 seluas 696,60 ha. (BKSDA VII Kupang 1996).
30
Beerdasarkan T Tata Guna Hutan H Kesepakatan (TG GHK) tangg gal 12 Deseember 1983, Mennteri Pertannian melalui Keputusann Nomor: 89 9/KPTS/UM M/83 menetaapkan kawasan ini sebagai hutan wisatta. Berdasarrkan Keputuusan Guberrnur NTT No. N 64 Tahun 1996 tentang Penetapan Hasil Paduuserasi Ren ncana Tata Ruang Wiilayah Provinsi (RTWP) ( daan Tata Guuna Hutan Kesepakataan (TGHK)) Provinsi NTT, N Tanggal 23 2 Juli 19966 menetapk kan luas kaw wasan TWA A Camplonng adalah 6996,60 ha. Peta kaawasan TW WA Camplonng tersaji paada Gambarr 4.
G Gambar 4 Peeta Kawasann Taman Wisata W Alam Camplong dan sekitarrnya. 3.2.2. Top pografi Haasil klasifikaasi peta pen nutupan lahaan lanskap Camplong dalam peneelitian ini dipero oleh data leetak lanskaap Camplonng pada keetinggian 92 - 465 m dpl, bertopograafi datar saampai sangaat curam deengan kemiiringan lereeng antara 0 – > 45%. 3.2.3. Hid drologi Laanskap Cam mplong mem miliki beberrapa jaringaan sungai dan d sumber mata air yang dijadikan d sebagai sum mber air miinum mauppun untuk kebutuhan k h hidup
31 lainnya oleh penduduk sekitar Camplong sampai dengan Naibonat (ibukota baru Kabupaten Kupang). Beberapa sungai (kali) yang berada di lanskap Camplong yaitu; kali Naunu, Kiuana, Tuana, Nefolina, Oetune, Oebola, Puamnasi, Oelpuah, Fatumetan, Oetobe, Oelhaubaat. Khusus di dalam kawasan TWA Camplong, pada tahun 1955 muncul mata air sebanyak sembilan lokasi, padahal sebelumnya hanya terdapat satu sumber mata air. Beberapa sumber mata air dapat mengalir sepanjang tahun (tidak pernah kering) yaitu mata air Oenaek (sumber mata air terbesar yang digunakan untuk kolam renang dan air minum), Oetakmanu dan Oehaubaat. Beberapa sumber mata air keluar dari celah-celah batu-batuan dan akar-akar pohon seperti sumber mata air Oenaek, Oebola, Oepua, Oetakmanu dan Oenaunu. 3.2.4. Geologi dan Tanah Berdasarkan Peta Geologi Indonesia Skala 1:2.000.000 (Direktorat Geologi Bandung 1965), secara umum kawasan TWA Camplong dan sekitarnya mempunyai formasi geologi dari jenis batuan; deret sonebait dan ofu, neogen, alluvial undah dan terumbu koral dan paleogen (BKSDA VII Kupang 1996). Berdasarkan peta tanah Indonesia skala 1: 1.250.000 (Lembaga Penelitian Tanah Bogor, 1968 diacu dalam BKSDA VII Kupang 1996), jenis tanah yang terdapat di lanskap Camplong adalah jenis aluvial dengan bentuk dataran mediteran dan tanah-tanah komplek dengan bentuk pegunungan komplek. Tanah Timor termasuk ke dalam “margalitis soil” yang dicirikan dengan kelabilan, mudah tererosi, kelabilan mudah tererosi, drainase kurang baik serta mudah merekah pada musim panas (BKSDA VII Kupang 1996). 3.2.5. Iklim Berdasarkan peta tipe iklim skala 1: 2.000.000 verhadelingen No. 42. Jawatan Meteorologi dan Geofisika tahun 1952, wilayah Timor pada umumnya termasuk lanskap Camplong, berdasarkan klasifikasi tipe iklim Schmidt dan Ferguson, tergolong dalam tipe iklim D dan E. Berdasarkan data dari Stasiun Mateorologi dan Geofisika Lasiana menunjukkan bahwa jumlah curah hujan sekitar 1330 mm/tahun (rata-rata 110,8 mm) dengan jumlah hari hujan kurang lebih 101 hari (rata-rata 8,33 hari). Distribusi bulan basah antara November
32
sampai April dan bulan kering terjadi pada Mei–Oktober. Suhu udara berkisar antara 20o-32o C (BKSDA VII Kupang 1996). 3.2.6.Aksesibilitas Aksesibilitas ke lanskap Camplong seperti jaringan jalan negara, dan sarana transportasi tersedia cukup memadai sehingga dapat ditempuh selama satu jam perjalanan dengan kendaraan roda empat dan roda dua melewati ruas jalan Kupang – Soe – Atambua – Dili. Taman Wisata Alam Camplong memiliki beberapa obyek wisata alam yang telah dikembangkan diantaranya adalah; kolam sumber mata air dan gua alam. Beberapa potensi obyek wisata belum dikelola dengan baik seperti tipe-tipe ekosistem hutan (hutan alam, hutan gugur daun, savana dan hutan tanaman), obyek wisata kera ekor panjang, bird watching terutama burung-burung endemik Timor dan Nusa Tenggara. Fasilitas pendukung kegiatan wisata yang terdapat di dalam kawasan TWA Camplong meliputi; (a) kolam renang, (b) jalur penjelajahan hutan/lintas alam, dan fasilitas ini sudah umum dilakukan oleh pengunjung untuk kegiatan pendidikan dan penelitian, lintas alam (kalangan peneliti, mahasiswa, pramuka, pencinta alam, TNI, wisatawan domestik dan mancanegara), (c) bumi perkemahan dilengkapi dengan fasilitas berupa papan intepretasi wisata, pondok berkemah, dan toilet, (d) koleksi satwa yang menampung beberapa satwa di antaranya buaya air tawar dan ular phiton. Masyarakat yang bermukim di enclave adalah kelompok masyarakat asli Timor yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani.
Penduduk yang
bermukim di sekitar kawasan TWA Camplong merupakan gabungan kelompok masyarakat asli Timor dan pendatang dari berbagai daerah di NTT, Jawa, dan Bugis. 3.3. Biologi 3.3.1. Flora Flora yang tumbuh di lanskap Camplong sangat dipengaruhi oleh ekosistem lingkungan tempat tumbuhnya. Secara garis besar, ekosistem lanskap Camplong hanya meliputi ekosistem daratan. Namun secara fisiografis, ekosistem
33 daratan tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe ekosistem sebagai berikut; (1) Tipe ekosistem hutan musim Vegetasi hutan musim dicirikan oleh pohon-pohon yang tidak tinggi (berkisar 15-20 m), banyak percabangannya dan pada musim kering menggugurkan daunnya. (2) Ekosistem hutan savana Savana terdapat di sekitar Oelkuku yang didominasi oleh lontar (Borasus sp), dan gewang (Corypha gebanga), serta kayu putih (Eucalyptus alba), asam jawa (Tamarindus indica), akasia (Cassia fistula), dan kesambi (Schleichera oleosa), kabesak putih/pilang (Acasia leucocephala) mendominasi sekitar Desa Silu. (3) Ekosistem hutan tanaman Jenis-jenis vegetasi yang tumbuh pada tipe ekosistem ini meliputi jati (Tectona grandis), johar (Cassia siamea), dan flamboyan (Delonix regia) (BKSDA VII Kupang 1996). Paga et al. (2007)
menyatakan bahwa di kawasan TWA Camplong
terdapat keanekaragaman tumbuhan obat yang tinggi. Di kawasan ini ditemukan 85 jenis tumbuhan berkhasiat obat yang terdiri dari tingkat vegetasi semai, pancang, tiang dan pohon. Tumbuhan obat tingkat pohon ditemukan 37 jenis dengan spesies dominan yaitu taduk (Alstonia scholaris), kenanga (Cananga odorata), dan kesambi (Schleichera oleosa). Tumbuhan obat tingkat tiang sebanyak 32 jenis yang didominasi oleh spesies jambu biji/oben (Psidium guajava), kenanga (Cananga odorota), dan kanunak (Cordia subcrodata). Tumbuhan obat tingkat pancang sebanyak 38 jenis yang didominasi oleh spesies bambu (Bambusa multipleks), bijaema (Elaeocarpus petiolatus), dan kanunak. Tumbuhan obat tingkat semai sebanyak 27 jenis yang didominasi oleh spesies kirinyu/sufmuti (Chromolaena odorata), bijaema (Elaeocarpus petiolatus), dan tisel/johar hutan (Cassia sp). 3.3.2. Fauna Timor merupakan pulau terbesar di Nusa Tenggara dengan luas 28.759 2
km . Pulau Timor memiliki kekayaan spesies burung endemik dan sebaran
34
terbatas yang tinggi. Sujatnika et al. (1995) menyatakan bahwa Pulau Timor memiliki 32 spesies burung; Trainor (2002) menyatakan ada 31 jenis burung yang terdapat di pulau ini dan enam diantaranya endemik Pulau Timor, Rombang et al. (2000) mencatat 30 jenis burung sebaran terbatas yang terdapat di kawasan TWA Camplong, diantaranya; walik ratu, (Ptilinopus regina), tekukur (Streptopelia chinensis), ayam hutan (Gallus gallus), anis timor (Zoothera peronii), merpati hitam Timor (Turacoena modesta), srigunting wallacea (Dicrurus densus). Paga et al. (2006) melaporkan terdapat enam jenis burung endemik Pulau Timor di kawasan TWA Camplong yaitu; Sikatan timor/Black-banded Flycatcher (Ficedula timorensis), Opior Timor/Spotbreasted White-eye (Heleia muelleri), Mizomela timor/Red-rumped Myzomela (Myzomela vulnerata), Celucuk timor/Buffbanded Bushbird (Buettikoferella bivtitata), Cikukua timor, dan Isap madu timor/Yelloweared Honeyeater (Lichmera flavicans). Jenis satwa lainnya yang terdapat pada lanskap Camplong yaitu; mamalia terdiri dari Kera ekor panjang (Macaca fascilularis), Musang (Paradoxurus hermaphrodites), Kucing hutan (Prionailurus planices), Babi hutan (Sus scrofa), (b) reptilia terdiri dari Biawak timor (Varanus timorensis), Tokek (Gecko-gecko), dan ular Sanca timor atau ular Phiton timor (Python timorensis). 3.4. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya Lanskap Camplong termasuk dalam wilayah administrasi pemerintahan Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang. Luas wilayah Kecamatan Fatuleu adalah 400,29 km2 dengan jumlah penduduk pada akhir tahun 2010 sekitar 23022 jiwa yang tersebar di 10 desa. Rata-rata kepadatan penduduk 58 jiwa/ km2 (BPS Kecamatan Fatuleu 2010). Sebagian besar wilayah desa di lanskap Camplong berbatasan langsung dengan kawasan TWA Camplong. Desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TWA Camplong adalah; Camplong I memiliki luas 20 km2 dengan jumlah penduduk 4615 jiwa, Camplong II (48,63 km2) dengan jumlah penduduk 2823 jiwa, Naunu (11,23 km2) dengan jumlah penduduk 2009 jiwa, Silu (130,07 km2) dengan jumlah penduduk 4055 jiwa, Oebola (40,85 km2) dengan jumlah penduduk 1764 jiwa, Oebola Dalam (19 km2) dengan jumlah penduduk 1000 jiwa, dan Desa Kaumasi (8,60 km2) (BPS Kecamatan Fatuleu 2010).
35 Penduduk di lanskap Camplong sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani (ladang/kebun) dan peternak. Lahan pertanian sawah dan kebun dilakukan dengan pengelolaan secara tradisional, demikian pula pada usaha peternakan seperti sapi, babi dan kambing masih dilakukan dengan sistem penggembalaan secara liar baik di dalam maupun di luar kawasan hutan TWA Camplong. Fasilitas peribadatan berupa gereja dan mesjid dapat dijumpai pada beberapa desa-desa yang berbatasan dengan kawasan hutan TWA Camplong. Penganut agama Kristen Protestan lebih dominan dari pada Katolik dan Islam. Bahasa yang digunakan di daerah ini adalah bahasa Timor sebagai bahasa pengantar sehari-hari dalam lingkungan budaya mereka, tapi bila berkomunikasi dengan pihak luar, maka masyarakat lokal menggunakan bahasa Indonesia. Adat istiadat yang berlaku di daerah ini adalah adat Timor yang dapat ditemukan dalam upacara perkawinan, upacara keagamaan dan lain-lainnya. Pengaruh bekas keturunan bangsawan/raja-raja atau kevektoran masih terasa di masyarakat, sehingga masyarakat tetap menghargai mereka sebagai pemimpin adat dalam menggerakkan pembangunan di desa. Kebiasaan makan sirih pinang sebagai tanda persaudaraan dan penghormatan kepada tamu yang datang sangat bermakna (BKSDA VII Kupang 1996).
IV V. METO ODOLOG GI PENEL LITIAN
4.1. Lokaasi dan Waaktu Pennelitian diilaksanakan n di lanskkap Campllong, Kabu upaten Kuupang, Provinsi Nusa N Tenggara Timur (10 ( 001’19,77”–100 03’21,5’’LS dan n 123055’011,3” – 123056’233,8’’BT). Waktu W penellitian berlanngsung selaama lima bulan b mulaii dari Juli-Agusttus 2010 (oobservasi pra-penelitia p an) dan Meei-Juli 2011 (pengumppulan data spasial, populasii dan karaktteristik habitat burung Cikukua timor). Gambbaran 5 umum lokkasi kegiatann penelitiann tersaji pada Gambar 5.
Gaambar 5 Lookasi peneliitian Cikukuua timor di lanskap Caamplong. 4.2. Alat dan d Bahan n Alaat yang diggunakan daalam penelitian antaraa lain; teroopong binokkuler, GPS Garm min 76 CSxx, kamera Nikon N SLR D3100 Kitt with AF-S S DX VR 118-55 mm dengaan Tamron for f Nikon Lenses L AF 70-300 mm m F/4-5.6 Di D LD Macrro 1:2 Telephoto o Zoom, pitaa ukur (1,5 cm, c 10 m, 50 5 m), clino ometer, dan kalkulator Casio C fx-3650P Super-FX. Perangkaat lunak kkomputer yang y digunnakan melliputi; 3 ERDASS Image verrsi 9.1, ArcGis versi 9.3, Global Mapper Veersion Arcview 3.2, 12, peranngkat lunaak pengolahan data untuk analisis a koomponen utama u
38 (Pastprogram, Minitab 14 dan SSPS statistik 16), Hawth’s Analysis Tools_3 for ArcGis untuk mendesain penempatan titik-titik pada kombinasi garis transek dan grid (kotak) yang memuat informasi titik koordinat lapangan. Bahan yang digunakan meliputi perlengkapan analisis vegetasi, buku identifikasi flora, tally sheet, dan alat tulis. Jenis data untuk mendukung analisis karakteristik spasial habitat meliputi; peta kawasan TWA Camplong, peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/peta kontur, citra Landsat _5 L5111067_0672010719 (Path 111 dan Row 067), citra digital Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) ASTER DEM (Digital Elevation Map) S07 E105 resolusi spasial 30 meter, ASTER GDEM (Global Digital Elevation Map) Versi_1, peta digital kawasan TWA Camplong (skala 1:20.000, Dephut), data koordinat sampel titik observasi lapangan dalam GPS. 4.3. Metode Pengumpulan Data 4.3.1. Studi literatur Studi literatur bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang kondisi umum habitat Cikukua timor, bio-ekologi, penyebaran dan kondisi populasi Cikukua timor berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu di Pulau Timor (Timor Leste dan Indonesia). Selain itu juga untuk mendapatkan peta-peta yang diperlukan dalam pengolahan data, meliputi citra Landsat_5 TM, peta RBI Camplong-Naikliu
(meliputi
jalan,
sungai/hidrologi,
batas
administrasi
Camplong-Naikliu), dan peta kontur (format SRTM). 4.3.2. Orientasi lapangan Kegiatan orientasi lapangan merupakan kegiatan pra-penelitian (survei pendahuluan) untuk mendapatkan gambaran awal kondisi umum lokasi penelitian dan keadaan populasi Cikukua timor di lanskap Camplong. Tahapan kegiatan : 1. Melakukan tracking areal dengan GPS untuk mengetahui titik pal-batas kawasan dan luas total lokasi penelitian. 2. Mengidentifikasi tipe-tipe ekosistem yang ada dalam lanskap Camplong. 3. Wawancara dengan masyarakat dan petugas setempat untuk menggali informasi lokasi konsentrasi keberadaan Cikukua timor dan jenis-jenis sumber pakan.
39 4. Mencatat titik koordinat perjumpaan langsung dengan Cikukua timor ke dalam GPS. 5. Mengumpulkan peta kawasan TWA Camplong (peta digital), peta kawasan (hard copy), pustaka yang terkait dengan penelitian jenis cikukua lainnya. 4.3.3. Persiapan desain peta kerja penelitian Berpedoman pada peta TWA Camplong yang telah dilakukan registrasi image dan digitasi, selanjutnya melakukan desain peta kerja penelitian sebagai berikut; 1. Desain peta kerja Membuat desain kombinasi garis transek dan grid dalam lokasi penelitian
seluas
2470,11
ha
untuk
membantu
pengamat
dalam
mengidentifikasi lokasi titik kehadiran burung. Garis transek adalah metode tanpa plot, pengamat berjalan sepanjang garis lurus dengan panjang diketahui, baik yang ditempatkan secara acak maupun sistematis di kawasan survei (Khul et al. 2011), sedangkan grid merupakan plot yang berbentuk kotak yang berfungsi sebagai unit areal pengamatan terkecil dari suatu obyek. Penempatan kombinasi garis transek dan grid dilakukan secara sistematis dengan jarak antar garis transek 500 m. Pengumpulan data populasi dilakukan dengan metode distance sampling menggunakan garis transek. Desain penempatan garis transek dilakukan dengan menempatkan titik awal garis transek pengamatan secara acak sesuai dengan informasi distribusi burung yang telah diperoleh pada tahap pra-penelitian, sehingga akan menghasilkan perkiraan kepadatan yang tidak bias. Menurut Khul et al. (2011) salah satu asumsi penting yang mendasari teori pengambilan contoh distance sampling adalah garis transek terletak secara acak sehubungan dengan distribusi satwa atau obyek terkait. Letak garis transek terdistribusi pada seluruh tipe habitat di lanskap penelitian Camplong (hutan alam, hutan sekunder, savana, hutan tanaman, hutan adat/mamar, semak, belukar, kawasan pertanian, areal permukiman enclave). Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan tingkat kepadatan burung pada masing-masing tipe habitatnya. Desain penempatan garis transek di lapangan seperti ditunjukkan pada Gambar 6.
40
Gambar 6 Desainn penempataan garis trannsek dan griid di lanskapp Camplongg. Desain koombinasi gaaris transekk dan grid dilakukan dengan proogram Hawthh’s Analyssis Tools__3 for ArccGis, kem mudian dituumpangtindihkan (overllay) dalam peta kawasan Camplonng. Program m Hawth’s Analysis A Toools-3 for ArrcGis dapatt membantu u menentukan titik-titik k koordinat yang diletaakkan secaraa sistematiss pada gariss transek. Hasil H desainn program ini diperoleeh 11 transeek dan 176 grid penggamatan beerukuran 5000 x 250 m2. Hasil desain d komb binasi garis transek dan n grid ditraanfer ke dallam GPS. Pertemuan titiktitik pada p tiap grrid akan menjadi m titikk-titik koord dinat yang dapat d membbantu pengaamat dalam m menandai dan menggidentifikasii tipe-tipe habitat. Pannjang kawassan penelitian (East - West) W 5100 m (5,1 km) sedangkan n lebarnya (N North – Sou uth) yaitu 41100 m (4,1 km). k 2. Pada tiap ujung garis transsek terluar diambil jaarak 50 meeter sebagaii titik terluaar wilayah pengamataan. Hal inii mengingaat apabila ditemukan titik perjum mpaan buruung pada seppanjang garris transek terluar t makaa akan dilakkukan pengaamatan veggetasi dengaan ukuran jari-jari j 177,8 m (ukurran represeentatif tingkaat pohon 20 2 m x 50 m). Pada garis transek terdapatt titik-titik yang berjarrak 250 m (diletakan secara sisstematis) yaang dijadikkan sebagaii titik koord dinat. Titikk koordinaat ini berrfungsi untuk membbantu penggamat menenntukan araah tegak luurus garis transek, teerutama paada pengam matan
41 populasi berdasarkan distance sampling, menandai dan mengindentifikasi tipe-tipe habitat di lapangan. Letak grid membantu pengamat dalam menentukan letak titik koordinat perjumpaan burung dengan suatu garis transek terdekat. 4.3.4. Observasi lapangan Observasi lapangan dimaksudkan untuk mengumpulkan data dan informasi secara langsung tentang karakteristik spasial habitat Cikukua timor. Kegiatan observasi lapangan dilakukan dalam tiga tahap yaitu; (1) pengumpulan data spasial titik presence Cikukua timor, (2) pengumpulan data populasi Cikukua timor, dan (3) pengumpulan dan pengukuran data karakteristik habitat biotik Cikukua timor. 4.3.4.1. Pengumpulan data spasial Data spasial yang dikumpulkan berupa titik perjumpaan langsung (lokasi data presence) di wilayah studi. Waktu pengamatan dilakukan dari pukul 5.30 – 18.00 WITA. Data titik presence ditentukan berdasarkan pola-pola aktivitas perilaku sebagai berikut; 1.
Perilaku makan dan minum (ingestive), yaitu cakupan aktivitas mencari makanan dan minum, mengambil dan memasukan ke dalam mulut dan mengolahnya.
2.
Perilaku kawin, yaitu aktivitas untuk menemukan pasangan agar mampu bereproduksi (Sukarsono 2009).
3.
Bersarang, yaitu suatu kegiatan dalam proses reproduksi, sebagai jaminan akan berhasilnya proses pengeraman dan pemeliharaan anak. Sarang berfungsi sebagai tempat menampung telur untuk mempertahankan panas telur dan anak setelah menetas, menyembunyikan isi sarang dari serangan atau gangguan predator, perlindungan terhadap hujan atau terik matahari.
4.
Perilaku beristirahat/tidur, yaitu mencakup aktivitas mencari tempat berlindung termasuk mencari perlindungan dari (tubuh) individu lain.
5.
Perilaku sosial, yaitu interaksi diantara individu, secara normal di dalam spesies yang sama dan saling mempengaruhi satu sama lain. Perilaku sosial
42 berkembang diantaranya karena adanya kebutuhan untuk reproduksi dan bertahan dari predator (Sukarsono 2009). Penentuan lokasi presence dilakukan melalui pengamatan langsung di sepanjang garis transek dan di dalam grid . Tahapan kegiatan yang dilakukan meliputi; 1. Pengamat menjelajahi seluruh areal tipe ekosistem secara acak untuk mendapatkan titik presence yang sesuai dengan pola perilaku yang telah ditetapkan dalam penelitian ini. Informasi titik keberadaan burung dari hasil wawancara dengan petugas dan masyarakat lokal agar memudahkan memperoleh titik perjumpaan Cikukua timor pada lokasi-lokasi konsentrasi aktivitas burung. 2. Mengambil data spasial baik pada saat pengambilan data populasi (garis transek) maupun pada waktu penjelajahan di setiap habitat (grid) 3. Mencatat setiap titik presence ke dalam GPS dan mengisi semua informasi spasial ke dalam tally sheet. 4. Mencatat kondisi umum lokasi penelitian seperti potensi gangguan (perambahan kawasan, pembalakan liar, perburuan, kebakaran, dan keberadaan predator alami serta kondisi sarang Cikukua timor). 4.3.4.2. Pengumpulan data populasi Pengumpulan data populasi Cikukua timor dengan metode pengambilan sampel jarak jauh (distance sampling) menggunakan garis transek. Pengamat yang menerapkan teknik sampling jarak jauh mengikuti serangkaian garis transek (Bibby et al. 2000; Khul et al. 2011). Garis transek lebih baik digunakan jika sasaran yang diteliti merupakan jenis yang relatif mudah diidentifikasi tetapi mungkin lebih banyak bergerak di habitat-habitat yang hampir sama dan kepadatannya rendah (Bibby el al. 2000). Cikukua timor tergolong jenis burung yang banyak bergerak ketika mencari makan dan mempunyai suara yang menyolok serta ukuran tubuh yang cukup besar (24 cm). Berpedoman pada desain awal penempatan garis transek, selanjutnya dilakukan tahapan pengumpulan data populasi menggunakan distance sampling di sepanjang garis transek tersebut sebagai berikut: 1. Melakukan pengamatan dan pengumpulan data populasi
43 Pengamatan dan pungumpukan data populasi dilakukan dengan berjalan pada kecepatan konstan di sepanjang garis transek. Panjang transek pengamatan disesuaikan dengan ukuran panjang masing-masing tipe habitat di lanskap Camplong yaitu 0,5–4 km. Bibby et al. (2000) menyatakan jika memerlukan perkiraan yang presisinya (kedekatan perkiraan dalam suatu sampel satu dengan pengulangan sampel lainnya) yang tinggi di daerah atau habitat yang diketahui dengan baik, mungkin akan lebih baik jika transeknya banyak tetapi pendek, disarankan kira-kira 4 km. Pada setiap transek dibagi menjadi sejumlah interval jarak (250 m) di sepanjang transek tersebut, agar dapat membantu pengamat untuk mengikuti jalur yang benar dan memberikan kesempatan untuk mengumpulkan informasi mengenai habitat pada bagianbagian transek yang diamati. Garis transek pengamatan populasi yang terletak tepat di batas wilayah (edge) antara dua tipe habitat diupayakan digeser sejauh 50 m dari edge. Jarak ini mempertimbangkan ukuran jarak pandang terjauh untuk melihat burung dengan jelas antara pengamat dengan keberadaan burung. Hal ini untuk menghindari tumpang tindih pengumpulan data populasi antara tipe-tipe habitat yang berbeda. Melakukan wawancara dengan petugas dan masyarakat lokal untuk mengetahui titik keberadaan sarang, pakan, aktivitas sosial dan beristirahat Cikukua timor. Pengamat mengambil data populasi di sepanjang wilayah garis transek dengan jarak pandang 50 m di kedua sisi (kiri-kanan transek), memeriksa ke setiap sisi garis transek yang dijalani dan membuat perkiraan jarak tegak lurus dari garis transek ke titik perjumpaan dimana setiap kontak dengan burung terjadi di sepanjang transek. Menurut Khul et al. (2011) asumsi penting dalam pengambilan distance sampling adalah; (1) semua satwa atau obyek yang berada langsung di atas atau pada garis transek atau tidak harus dideteksi, (2) jarak ke satwa terdeteksi dicatat di lokasi awal mereka, sebelum mereka bergerak menuju atau menjauh dari pengamat, (3) penampakan adalah peristiwa independen atau bukan karena campur tangan pengamat misalnya dengan menggiring satwa ke suatu daerah tertentu, (4) jarak dan/atau sudut diukur secara akurat dan tepat. Ada dua cara memperkirakan jarak; (1) membuat perkiraan jarak langsung antara burung dan garis, atau (2) dapat
44 memperkirakan jarak antara pengamat dan burung, dan sudut pengamat tertentu dari garis transek (Gambar 7). 50 m
S Z P
L
d θ
50 m 4,1 km Gambar 7 Bentuk pengambilan sampel jarak menggunakan transek. Keterangan: L = panjang transek (arah transek) Z= jarak pengamat pertama kali mendeteksi/melihat ke satwa (burung) P = posisi pengamat S= posisi obyek (Cikukua timor yang terlihat dengan perilaku tertentu) θ = sudut antara arah satwa dengan arah jalur transek d = perkiraan jarak (Prependicular distance) dari transek dihitung dengan cara; d = Z Sin θ
2. Mencatat waktu setiap kontak (mulai-akhir), kemudian menghitung jumlah populasi burung yang dijumpai di sepanjang garis transek. Burung yang dihitung adalah burung yang sedang melakukan perilaku tertentu yang telah ditetapkan dalam penelitian ini. Menurut Bibby et al. (2000), jika burung terlihat di udara, maka burung ini perlu dimasukkan dalam perhitungan dan perkiraan jaraknya dibuat dari titik mulai terbang tegak lurus ke garis transek. Mencatat waktu dalam suatu hari untuk setiap kontak. 3. Memperkirakan jarak yang tepat ke titik kontak individu burung yang tegak lurus ke garis transek. Menurut Bibby et al. (2000), tehnik ini secara statistik merupakan pendekatan yang kuat untuk sampel jarak sepanjang transek. 4. Mencatat informasi penunjang seperti bentuk kontak (suara, kontak fisik langsung) ketinggian kontak (tinggi total pohon, tinggi bebas cabang, tinggi keberadaan dari permukaan tanah, letak keberadaan pada posisi lapisan tajuk dan ukuran kelompok). 5. Semua data dicatat ke dalam tally sheet pengumpulan data metode garis transek dengan variabel jarak (Variabel Distance Line Transect/VDLT). 6. Menghitung panjang transek tiap tipe habitat menggunakan program ArcGis 9.3 dan ERDAS 9.1 melalui tahapan supervised classification, masing-masing
45 tipe habitat dipisahkan atau diklasifikasikan berdasarkan peta citra Landsat TM-5. 4.3.4.3. Pengumpulan data karakteristik habitat 1. Identifikasi komponen habitat fisik Komponen habitat fisik yang diamati dalam penelitian ini merupakan variabel-variabel (covariate) antara lain; tutupan vegetasi atau NDVI, ketinggian tempat (elevasi), kemiringan lereng (slope), jarak ke hutan primer, sekunder, belukar, kebun jambu mete, kebun palawija, permukiman, jalan, dan sungai (sumber air). Data mengenai kemiringan dan ketinggian diperoleh dari peta Aster DEM dan GPS. Normalized Difference Vegetation Index merupakan sebuah indeks yang menyediakan metode standar dalam membandingkan tingkat kehijauan vegetasi antara gambar satelit yang dapat digunakan sebagai sebuah indikator biomassa relatif dan derajat kehijauan (Lillesand & Kiefer 1990). Rumus untuk menghitung NDVI pada peta adalah sebagai berikut :
NDVI=
NIR Band - Red Band NIR Band + Red Band
atau
Band 4 - Band 3 Band 4 + Band 3
Peta jaringan jalan dan sungai/hidrologi (sumber air) diperoleh dari peta RBI, peta lokasi penelitian diperoleh dari hasil pengukuran langsung di lapangan. Jarak ke hutan primer, hutan sekunder, belukar, kebun jambu mete, kebun palawija, permukiman, jalan, dan sungai (mata air/kali), diperoleh dari euclidean distance. Caranya adalah merubah data raster menjadi data vektor (polygon) tiap peta tipe tutupan lahan kemudian dilanjutkan dengan proses spatial analysis tools, distance, dan euclidean distance (ArcGis 9.3). 2. Identifikasi komponen habitat biotik Komponen habitat biotik Cikukua timor yang diamati meliputi struktur dan komposisi vegetasi sebagai pakan dan cover (tempat istirahat/tidur, dan beraktivitas sosial). Struktur dan komposisi vegetasi yang diamati hanya terbatas pada tingkat pertumbuhan vegetasi yang digunakan Cikukua timor yaitu; tingkat pohon, tiang dan pancang. komponen habitat biotik meliputi;
Tahapan kegiatan identifikasi
46 1) Mengamati, mengukur struktur dan komposisi vegetasi menggunakan petak tunggal berbentuk lingkaran di setiap titik presence. Luas areal pengamatan untuk tingkat pohon adalah jari-jari 17,8 m (1000 m2), tiang berjari-jari 5,64 m (100 m2) dan pancang berjari-jari 2,8m (25 m2). Data karakterstik habitat biotik berfungsi iuntuk mengetahui hubungan yang lebih rinci antara habitat dan Cikukua timor. 2) Mengukur peubah biotik meliputi; a) Jumlah jenis dan jumlah individu tumbuhan pakan dan cover. Menginventarisasi jumlah total spesies tumbuhan, jumlah jenis dan jumlah individu tumbuhan pakan dan cover (pohon, tiang, dan pancang). Sebaran vertikal meliputi tinggi rata-rata vegetasi tingkat pohon, tiang, pancang, aspek-aspek tinggi vegetasi yang dimanfaatkan oleh Cikukua timor untuk beraktivitas (tinggi total, tinggi bebas cabang, dan tinggi keberadaan burung saat terlihat pertama kali beraktivitas (makan, beristirahat dan sosial). Pengukuran tinggi menggunakan sunto clinometer. b) Kerapatan tumbuhan pakan dan cover dilakukan dengan mendata jumlah jenis dan jumlah individu tiap jenis dalam tiap petak dari tingkat pohon, tiang dan pancang. 4.3.5. Wawancara Wawancara dengan masyarakat lokal dan pengelola TWA Camplong untuk mengetahui tingkat gangguan manusia terhadap keberadaan burung Cikukua timor di lanskap Camplong. Teknik wawancara mennggunakan metode wawancara langsung tidak terstruktur (tidak menggunakan quesioner). Informasi yang dikumpulkan meliputi kegiatan manusia yang berdampak langsung pada kerusakan habitat dan penurunan populasi Cikukua timor yaitu; (1) lokasi dan waktu kejadian peristiwa kebakaran, penebangan liar, pengembalaan liar, (2) jumlah pemburu yang ditemukan selama berlangsungnya penelitian ini, (3) faktor spesies lain meliputi data jenis-jenis predator, dan kompetitor dalam pemanfaatan pakan (nektarivora).
47 4.3.6. Interpretasi peta Sebelum interpretasi peta, terlebih dahulu dilakukan koreksi geometrik, baik terhadap peta rupa bumi maupun citra Landsat TM-5. Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine 9.1. Data masing-masing variabel diperoleh dengan cara menumpangtindihkan (overlay) titik presence dengan peta tematik masing-masing variabel. Interpretasi peta bermanfaat untuk mendapatkan data setiap variabel menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine 9.1 dengan metode zonal attributes. Data hasil interpretasi seluruh variabel merupakan data kontinu atau data yang diperoleh dari hasil pengukuran. 4.3.7. Pembuatan peta dasar digital Pembuatan peta digital, peta dasar (jaringan sungai/sumber air dan kolam, sistem lahan, tanah dan topografi) dilakukan dengan menggunakan Program ArcGis 9.3 dengan urutan proses sebagai berikut; digitasi peta, editing peta kemudian pemberian attribute atau label pada peta dan terakhir adalah transformasi dengan memasukkan referensi geografis bumi menjadi koordinat Universal Transverse Mercator (UTM) atau Latitude-Longitude (Lat-lon). 4.3.8. Pengambilan data luas penutupan lahan Pengumpulan data penutupan lahan di lapangan dilakukan dengan mengambil titik-titik koordinat sebanyak mungkin pada setiap tipe-tipe ekosistem yang ada di lanskap Camplong. Lokasi penelitian ini merupakan salah satu kawasan dengan tipe ekosistem yang lengkap sehingga dianggap dapat merepresentasikan habitat Cikukua timor di Pulau Timor pada umumnya dan Timor Barat pada khususnya. Aspek ini dapat mendukung kesimpulan akhir karakteristik habitat yang dibutuhkan Cikukua timor untuk kelangsungan hidupnya secara lestari. Selanjutnya data titik perjumpaan digabungkan dengan titik-titik koordinat lapangan lainnya untuk dilakukan analisis penutupan lahan. Tipe penutupan lahan yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah11 kelas sebagai berikut;
48 1. Hutan primer, yaitu penutupan lahan berupa vegetasi pohon dengan diameter lebih dari 20 cm dan belum pernah atau sedikit mengalami kegiatan penebangan. Biasanya merupakan wilayah adat atau hutan adat yang penebangan pohonnya digunakan hanya untuk keperluan kampung dan desa. 2. Hutan sekunder/bekas tebangan, yaitu penutupan lahan berupa vegetasi dengan diameter di atas 20 cm dan pernah mengalami penebangan secara intensif dan sedang mengalami regenerasi. 3. Savana, yaitu penutupan lahan berupa padang rumput yang didominasi pohon kayu putih (Eucalyptus alba). 4. Hutan tanaman, yaitu penutupan lahan berupa vegetasi tanaman dari hasil kegiatan reboisasi. 5. Hutan adat (mamar), yaitu penutupan lahan yang berupa hutan tanaman yang ditanam di sekitar sumber mata air yang berada dekat permukiman penduduk. 6. Belukar, yaitu penutupan lahan berupa vegetasi strata pohon setinggi lebih dari 3 m dan atau diameter pohon di bawah 20 cm serta biasanya merupakan bekas areal pertanian yang ditinggalkan masyarakat. 7. Semak, yaitu penutupan lahan berupa vegetasi dari tingkat tumbuhan bawah dan semai dengan ketinggian di bawah 1,5 m. 8. Kawasan pertanian, yaitu penutupan lahan berupa ladang/kebun atau lahan budidaya pertanian masyarakat. 9. Kawasan terbangun, yaitu kawasan penutupan lahan berupa jalan atau bangunan. 10. Kawasan perairan, yaitu kawasan penutupan lahan berupa kolam atau sungai. 11. Lahan kosong, yaitu kawasan penutupan lahan tanpa atau sedikit vegetasi. 4.4. Metode Analisis Data 4.4.1. Analisis faktor-faktor dominan komponen habitat Dalam penelitian ini, faktor-faktor dominan komponen habitat Cikukua timor hanya dibatasi pada beberapa peubah yang diduga berperan signifikan dalam menyusun karakteristik habitat yang dibutuhkan Cikukua timor. Semua peubah dari komponen habitat fisik dan biotik dianalisis menggunakan PCA. Beberapa peubah yang diduga memiliki peran yang berpengaruh terhadap karakteristik habitat Cikukua timor yaitu:
49 1. Komponen habitat fisik meliputi peubah-peubah: a. NDVI (X1); NDVI merupakan indeks yang membandingkan tingkat kehijauan
vegetasi
sebagai
indikator
biomassa
relatif
dan
merepresentasikan penutupan tajuk yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang untuk mencari makan, berlindung, dan bersarang. NDVI berasal dari peta indeks vegetasi. b. Kemiringan lereng atau slope (X2) dan ketinggian tempat atau elevasi (X3); kedua faktor ini merupakan representasi dari komponen fisik yang mendukung relung habitat Cikukua timor secara fungsional dalam penyediaan pakan dan cover. Kelerengan dalam satuan persen (%) berasal dari peta slope dengan teknik ekstraksi data dari analisis topografi kemiringan lereng, sedangkan ketinggian tempat dalam satuan meter bersumber dari koordinat titik lapangan yang diambil menggunakan GPS. c. Jarak dari hutan primer (X4), hutan sekunder (X5), dan belukar (X6); hutan primer, hutan sekunder, belukar merepresentasikan lokasi untuk mencari makan, sosial dan beristirahat. Data ini dalam satuan meter, berasal dari peta tutupan lahan hutan primer, hutan sekunder, dan belukar dengan teknik ekstraksi data (analisis spasial dengan sistem Euclidean Distance) d. Jarak dari perkebunan jambu mete (X7) dan kebun palawija (X8) merepresentasikan lahan budidaya sebagai lokasi untuk mendapatkan sumber pakan, aktivitas sosial dan beristirahat. Data ini dalam satuan meter, berasal dari peta tutupan lahan perkebunan jambu mete dan kebun palawija dengan teknik ekstraksi data (analisis spasial dengan sistem Euclidean Distance). e. Jarak dari permukiman (X9), jarak dari permukiman merepresentasikan faktor gangguan dari aktivitas manusia, sumber pakan, aktivitas sosial dan beristirahat. Data ini dalam satuan meter, berasal dari peta tutupan lahan permukiman dengan teknik ekstraksi data (analisis spasial dengan sistem Euclidean Distance) f. Jarak dari sungai atau sumber air (X10); faktor jarak dari sumber air merepresentasikan kebutuhan Cikukua timor untuk berlindung (istirahat dan berinteraksi sosial) mengingat vegetasi di sekitar sumber mata air
50 tumbuh lebih rapat, struktur tajuk tinggi, dan tingkat kelembaban tinggi. Jarak dari sumber air dalam satuan meter, berasal dari peta sungai (RBI hidrologi Naikliu-Camplong) dengan teknik ekstraksi data (analisis spasial dengan sistem Euclidean Distance) g. Jarak dari jalan (X11), jarak dari jalan merepresentasikan tingkat gangguan terhadap aktivitas makan, bersarang dan beristirahat. Jarak dari jalan dalam satuan meter, berasal dari peta jalan (RBI jalan Naikliu-Camplong) dengan teknik ekstraksi data (analisis spasial dengan sistem Euclidean Distance). 2. Komponen habitat biotik meliputi peubah-peubah: a. Jumlah total spesies tumbuhan pada tiap titik presence (X12) Variabel ini merepresentasikan keanekaragaman jenis tumbuhan pada masing-masing titik presence yang didiuga berpengaruh terhadap tingkat kehadiran Cikukua timor pada suatu tempat. Jumlah total individu dalam setiap titik presence sebagai representasi kerapatan vegetasi pada lokasi tersebut, diperoleh dari perhitungan penutupan tajuk melalui peta NDVI. b. Tinggi vegetasi tiap titik presence Tinggi
vegetasi
merepresentasikan
kebutuhan
pemanfaatan
ruang
(struktur) untuk mencari makan dan cover. Data yang diamati adalah tinggi rata-rata vegetasi tingkat pohon (X13), tiang (X14) dan pancang (X15), tinggi saat dijumpai pertama kali terlihat melakukan perilaku tertentu (terlihat beraktivitas) yang telah ditentukan dalam penelitian ini, tinggi total vegetasi, dan tinggi pangkal tajuk atau bebas cabang, (satuannya adalah meter). c. Jumlah jenis (X16) dan individu (X17) tiap tumbuhan pakan Jumlah jenis merepresentasikan keanekaragaman jenis dari komposisi vegetasi pakan. Jumlah individu mewakili tingkat kelimpahan masingmasing jenis tumbuhan pakan pada tiap titik presence. Data yang diamati adalah jumlah jenis dan jumlah individu tiap jenis pakan. d. Jumlah jenis (X18) dan individu (X19) tiap tumbuhan cover Jumlah jenis merepresentasikan keanekaragaman jenis dari komposisi vegetasi cover, sedangkan jumlah individu mewakili tingkat kelimpahan
51 masing-masing jenis tumbuhan cover pada tiap titik presence. Data yang diamati adalah jumlah jenis dan jumlah individu tiap jenis cover. e. Kerapatan vegetasi pakan per satuan ruang (ha) dari tingkat pohon (X20, tiang (X21), dan pancang (X22). Kerapatan cover meliputi; tingkat pohon (X23), tiang (X24), dan pancang (X25). 4.4.1.1. Analisis kerapatan vegetasi Nilai-nilai kerapatan ini dapat dinyatakan dalam nilai mutlak maupun nilai relatif, yang dirumuskan oleh Soerinegara dan Indrawan (1998) sebagai berikut; Kerapatan = Kerapatan Relatif (KR)=
Jumlah individu suatu jenis total luas petak contoh(ha) Kerapatan individu suatu jenis x 100% Kerapatan seluruh spesies
Hasil pengamatan faktor fisik dan biotik dibuat dalam distribusi frekwensi yang dilakukan dengan formula Sturges; K = 1 + 3,3 log n, dimana n = jumlah data, menghitung panjang kelas interval (P) = Rentangan (R)/Jumlah kelas (Usman dan Akbar 2006; Ridwan, 2009). 4.4.1.2. Principal Component Analysis Principal Component Analysis adalah metode analisis multi peubah yang bertujuan memperkecil dimensi peubah asal sehingga diperoleh peubah baru (komponen utama) yang tidak saling berkorelasi tetapi menyimpan sebagian besar informasi yang terkandung dalam peubah asal (Morrison 2005). Tujuan utama PCA adalah untuk menjelaskan sebanyak mungkin jumlah varian data asli dengan sedikit mungkin komponen utama yang disebut faktor (Supranto, 2004). Bibby et al. (2000) menjelaskan bahwa pengukuran beberapa variabel habitat yang dihasilkan berkorelasi antara satu habitat dengan habitat yang lain merupakan hal umum yang terjadi. Cara untuk mengatasinya adalah dengan mengurangi dimensi varibel-variabel habitat. Principal Component Analysis merupakan pendekatan yang umum dipakai. Keluarannya adalah suatu kumpulan variabel yang diberi bobot berdasarkan penjumlah-penjumlah variabel aslinya, menerangkan tingginya variasi pada variabel aslinya yang satu sama lainnya independent.
52 Hasil
PCA
diperoleh
melalui
perangkat
software
Minitab
14,
Pastprogram, dan SPSS 16, serta Microsoft Excel_2010 dan tahapannya sebagai berikut; 1. Menentukan nilai masing-masing variabel fisik yang di peroleh dari hasil analisis data spasial menggunakan ArcGis 9.3 dan ERDAS 9.1, selanjutnya dimasukkan dalam perangkat lunak Microsoft excel-2010. 2. Menentukan nilai masing-masing variabel biotik yang diperoleh dari hasil perhitungan jumlah total spesies vegetasi, jumlah spesies dan individu vegetasi pakan dan cover, tinggi rata-rata dan kerapatan vegetasi. 3. Mentransformasi setiap nilai variable Y dan X dari komponen habitat fisik maupun biotik dengan Logaritma Normal (Ln). Data variabel asli yang menunjukkan tidak semetris akan memperlihatkan perbedaan nilai antara variabel yang terlalu jauh, sehingga perlu ditransformasi agar menghasilkan jarak rentang nilai antar variabel tidak jauh berbeda atau menjadi simetris. Ainnudin (1989), menyatakan data asli seringkali tidak menunjukkan pola simetris, dan jarak antara nilai yang kecil dan nilai yang besar agak melebar dari semestinya. Bentuk transformasi dapat memperbaiki kesimetrisan data, transformasi akar-dua masih memperlihatkan adanya pengaruh terbesar, sedangkan
dengan
transformasi
logaritma pengaruh
tersebut hilang.
Transformasi logaritma lebih kuat akibatnya daripada transformasi akar. Priyatno (2011) menyatakan bahwa analisis regresi linear berbentuk Logaritma Natural (Ln) bertujuan untuk meniadakan atau meminimalkan adanya pelanggaran asumsi normalitas dan linearitas pada model regresi. Langkahnya adalah dengan mentransformasi atau mengubah tiap data variabel ke bentuk logaritma natural, hal ini agar data menjadi normal atau mendekati normal. 4. Menentukan nilai eigenvalue dan persentase keragaman (variance) pada tiap komponen dengan menggunakan matrix correlation, Jolliffe cut-off 0,7, kemudian membuat biplot untuk mengetahui letak masing-masing variabel pada komponen 1 dan 2, sehingga dapat diketahui korelasi di antara variabel tersebut. Pengolahan PCA menggunakan software Pastprogram dan/atau Minitab 14.
53 5. Mereduksi variabel asli dari komponen habitat fisik maupun biotik menjadi beberapa komponen baru dalam bentuk component matrix. Tiap komponen baru tersebut mengandung informasi letak distribusi variabel asli dengan nilai variannya. Jumlah komponen utama yang digunakan sudah memadai jika total keragaman minimal 70% (Jolliffe 2002), sehingga dapat dinyatakan telah representative untuk melihat hubungan yang kuat antara variabel terhadap kehadiran Cikukua timor. Semua komponen ini dihasilkan dari hasil PCA menggunakan SPSS 16. 4.4.1.3. Analisis penentuan peubah paling dominan Hasil PCA mampu menunjukkan adanya korelasi diantara variabel baik pada komponen habitat fisik maupun biotik. Korelasi diantara peubah dalam hasil PCA belum dapat menentukan faktor-faktor dominan dari komponen habitat fisik dan biotik yang memiliki pengaruh paling signifikan terhadap kehadiran Cikukua timor. Ada banyak variabel yang memiliki korelasi yang kuat di antara mereka, sehingga terjadi multikolinearitas. Oleh karena itu perlu dilanjutkan dengan analisis regresi linear berganda yang diawali dengan prosedur stepwise. Menurut Irawan dan Astuti (2006), analisis ini cocok terhadap variabel yang multikolinearitas (varibel bebasnya saling berkorelasi). Oleh karena terdapat variabel bebas yang saling berkorelasi, maka tidak semua variabel bebas hasil analisis regresi stepwise masuk dalam model. Hal ini disebabkan, variabel bebas lain yang memiliki korelasi lebih besar dengan variabel tidak bebas sudah diwakilinya. Semua peubah fisik dan biotik dari komponen 1, 2, 3 dan 4, hasil PCA dimasukkan dalam analisis regresi linear berganda dengan prosedur stepwise. Hal yang mendasarinya adalah semua komponen baru tersebut sudah memadai karena total keragaman yang diperoleh telah mencapai minimal 70% (Jolliffe 2002). Analisis regresi linear berganda dengan prosedur stepwise dapat menjadi alat statistik yang mampu menentukan peubah-peubah yang paling dominan mempengaruhi kehadiran Cikukua timor pada suatu tempat. Menurut Supranto (2004), pemilihan prosedur stepwise ini dimaksudkan untuk menghasilkan model regresi berganda terbaik. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut;
54 Y = b0 +b1X1+b2X2+…+b25X25+ εi dimana; Y bo b1
εi
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18 X19 X20 X21 X22 X23 X24 X25
H0 H1
= Jumlah individu Cikukua timor yang pada suatu titik kehadiran burung = Nilai intersep = Nilai koefisien regresi ke-i = Peubah acak ke-i = NDVI = Slope = Elevasi = Jarak dari Hutan Primer (JHP) = Jarak dari Hutan Sekunder (JHS) = Jarak dari Belukar (JBlkr) = Jarak dari Kebun Jambu Mete (JKbJM) = Jark dari Kebun Palawija (JKbPj) = Jarak dari Permukiman (JPmk) = Jarak dari Sungai (JS) = Jarak dari Jalan (JJ) = Jumlah total Spesies tumbuhan (Jml Sp) = Tinggi rata-rata Pohon (T. Phn) = Tinggi rata-rata Tiang (T. Tng) = Tinggi rata-rata Pancang (T. Pcg) = Jumlah spesies Pakan (Jml Sp Pkn) = Jumlah Individu Pakan (Jml Ind Pkn) = Jumlah Spesies Cover (Jml Sp Cvr) = Jumlah individu Cover (Jml ind Cvr) = Kerapatan Pohon Pakan (D.Phn Pkn) = Kerapatan Tiang Pakan (D.Tng Pkn) = Kerapan Pancang Pakan (D.Pcg Pkn) = Kerapatan Pohon Cover (D.Phn Cvr) = Kerapatan Tiang Cover (D.Tng Cvr) = Kerapatan Pancang Cover (D.Pcg Cvr)
= tidak ada faktor-faktor dominan dari komponen habitat (fisik dan biotik) yang mempengaruhi kehadiran burung pada suatu tempat = ada faktor-faktor dominan dari komponen habitat (fisik dan biotik) yang mempengaruhi kehadiran burung pada suatu tempat
Keputusan yang diambil adalah jika nilai P ≤ 0.05, maka tolak H0 (terima H1), begitupun sebaliknya, jika nilai P > 0,05 maka terima H0 (tolak H1). 4.4.2. Analisis kepadatan populasi Data dugaan kepadatan populasi yang diambil dengan metode distance sampling menggunakan garis transek dianalisis menurut formula Greenwood dan Robinson (Sutherland 2006) sebagai berikut; D=
2n/π
(X ) /(2L)
Keterangan: D = Dugaan kepadatan burung pada seluruh transek pada tiap tipe habitat n = Jumlah total pendeteksian burung
55 Xi d Z L
= = = =
Perkiraan jarak pendeteksian burung pada garis transek, dimana Xi = d Perkiraan jarak (distance) dari transek yang dihitung berdasarkand = Z Sin θ Jarak pengamat pertama kali mendeteksi/melihat ke satwa (burung) Panjang transek
4.4.3. Analisis penutupan lahan Analisis penutupan lahan ini dilakukan untuk mengoreksi dan mengetahui kondisi penutupan lahan yang sebenarnya setelah pengamatan dan pengambilan titik lokasi serta data lapangan lainnya. Analisis dilakukan melalui interpretasi terkontrol melalui penetapan training area hasil pengamatan lapangan terhadap citra Landsat-5 TM. Selanjutnya dilakukan tahapan pengolah citra melalui langkah-langka sebagai berikut; (1) melakukan konversi atau impor individual band, (2) melakukan penggabungan antar band (layer stacking), (3) geokoreksi peta citra Landsat-5 TM dengan referensi peta jaringan sungai atau jalan melalui proses pengumpulan Ground Control Points (GCPs), transformasi dan resampling, (4) interpretasi peta citra Landsat-5 TM ke dalam 11 kelas penutupan lahan (isodata). 4.4.4. Analisis keterkaitan jarak (distance) Analisis keterkaitan jarak lokasi keberadaan Cikukua timor terhadap jarak dari permukiman, jalan, hutan alam, hutan sekunder, sekunder, perkebunan jambu mete dan kebun palawija (lahan budidaya), dan sumber air dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGis 9.3 melalui proses Spatial Analyst Tools, distance dan Euclidean distance. Analisis keterkaitan jarak ini, dilakukan untuk mengetahui jarak keberadaan Cikukua timor terhadap pusat atau aktivitas manusia yang dapat berpengaruh kehidupan satwa ini di alam. Secara keseluruhan alur metode penelitian tersaji pada Gambar 8.
56 Peta Dasar
Digitalisasi
Sistem lahan,tanah dan topografi
Jaringan sungai (Sumber air)
Geokoreksi Citra
Wilayah pengamatan
Superfvised Classification
Reklasifikasi
Tidak
Analisis Tumpang Susun
Data sekunder
Citra Satelit
Cek Lapangan
Akurasi
Titik Pengamatan Burung
Penutupan Lahan
Euclidean distance Peta Penutupan Lahan Analisis Keterkaitan Jarak Principal Component Analysis
Karakteristik Habitat Cikukua timor
Gambar 8 Diagram alur metode penelitian.
V HASIL V. L DAN PE EMBAHA ASAN
5.1. Hasil Hasiil penelitiann terbagi dalam d tujuh bagian utaama yaitu hasil h identifikasi komponen n habitat fiisik (analissis spasial),, hasil idenntifikasi koomponen habitat biotik, haasil PCA, hasil h analisiis peubah determinan d kehadiran Cikukua timor, t hasil anaalisis dan dugaan poopulasi beerdasarkan jarak sam mpling (disstance sampling), hasil analiisis penutuppan lahan daan interpretaasi peta lansskap Campllong. Frek kuensi perjuumpaan Cikkukua timorr diklasifikaasikan dalam m enam keteegori, dengan vaariasi rentanng nilai sessuai dengann nilai maksimum dann minimum yang didapatkan n dari hasill pengukuraan lapangann. Rekapituulasi data pada p tiap peeubah disajikan dalam d bentuuk tabel jum mlah jenis vegetasi v paakan dan cover dan diaagram batang, meliputi; m jum mlah perjuumpaan padda tiap tipee habitat, bentuk b aktiivitas, sebaran veertikal terdiiri dari tingg gi rata-rata vegetasi poohon, tiang,, pancang, tinggi t bebas cabaang, tinggi rata-rata r daan kerapatann vegetasi po ohon, tiang, dan pancaang. 5.1.1. Titiik Perjump paan Juumlah titikk perjumpaaan (presennce points)) yang diddapatkan dalam d observasi Cikukua tim mor adalah 40 titik. Keeseluruhan jumlah j dataa perjumpaaan ini digunakann dalam meenganalisis karakteristtik komponnen habitat fisik dan biotik b Cikukua
timor.
D Determinan
titik-titik
perjumpaaan
(preseence)
dipeeroleh
berdasarkaan pola-polla perilaku yang teram mati dalam penelitian p in ni yaitu; makan, m beristirahaat/tidur, daan sosial, sedangkan s perilaku kawin k dan bersarang tidak ditemukan n dalam pennelitian ini (Gambar ( 9).. 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
Aktivitas Cikuk kua timor
Sosial Istirahaat & Tidur makan
T Habitat Tipe
Gambar 9 Diagram distribusi perjumpaan p n aktivitas Cikukua tim mor di tiapp tipe habitat.
58 Gambar G 9m menunjukkaan ada 11 tiipe habitat dalam wilaayah studi, tetapi t hanya dijjumpai enaam tipe habitat h yanng digunak kan Cikuku ua timor untuk u melakukan n aktivitas makan, sossial dan beeristirahat/tidur. Tipe-tiipe habitat yang tidak dimaanfaatkan Cikukua C tim mor adalah; savana, s hutaan tanaman n, mamar, seemak, dan lahan n kosong. Tipe T habitaat dengan tingkat t perjjumpaan akktivitas terttinggi adalah beelukar. Padaa habitat in ni Cikukuaa timor dap pat mempeeroleh tumbbuhan sumber paakan, sosial,, dan istirahhat/tidur. Menurut Trainor (2008), habitat Cikkukua timor dan n cikukua taanduk samaa-sama di hutan h tropiss (Tropical Forest), daerah d berhutan (Woodland) ( ), dan perkeebunan (Planntation). Cikukua C tim mor teramati melakukann aktivitas makan m di seemua tipe habitat yang dijuumpai dalam m observaasi ini yaittu; hutan primer, p sekkunder, bellukar, perkebunaan jambu mete, m kebu un palawijaa, dan perm mukiman. Aktivitas sosial s Cikukua tiimor hanyaa dijumpai pada p tiga tippe habitat meliputi m belu ukar, perkebbunan jambu mete dan kebuun palawija.. Aktivitas istirahat/tidu i ur hanya dijjumpai pada tipe habitat huttan primer dan d belukarr. Pada P Gambaar 10 di baw wah ini, menunjukkan bahwa Ciku ukua timor lebih banyak dijjumpai padda hutan priimer (11 tittik) dan kurrang (3 titik k) dijumpai pada kawasan permukima p an. Secara umum nam mpak variassi jumlah titik t perjum mpaan tidak jauh berbeda di antara tipe habitat, teruutama tipe habitat h yang g letaknya saling s berdekatan n seperti belukar deng gan kebun palawija, kebun k jamb bu mete deengan kebun palaawija, belukkar dengan kebun jambbu mete. mor Jumlah Tittik Perjumpaaan Cikukua tim 11 8 6
5
7 3
Hu utan Priimer
H Hutan Sek kunder
Beelukar
K Kebun Jam mbu Mete
K Kebun Paalawija
Pem mukiman
Gambar 10 Diagram distribusi juumlah titik perjumpaan n Cikukua timor t di tiapp tipe habitat.
59 5.1.2.
Id dentifikasi komponen n habitat fissik
5.1.2.1. Nilai N Normaalized Diffeerence Vegeetation Indeex (NDVI) N Nilai NDVI di lanskap Camplong berada padda rentang nilai n -0,32 hingga 0,73 (Lam mpiran 7). Nilai N NDVII berkisar antara a -1 sam mpai 1. Nilai N indeks yang tinggi um mumnya merupakan tuutupan vegeetasi yang memiliki m tiingkat keseehatan yang tingggi atau vegeetasi dengann kanopi yanng baik. Nillai indeks yang y mendekkati 0 umumnyaa berhubunggan dengan n tutupan aw wan, sedanngkan nilai indeks yanng <0 umumnyaa merupakann badan air atau wilayaah tanpa veg getasi (Jaya,, 2010; Justtice et al. 1985 diacu d dalam m Roger et al. 20077). Jaya (22010) menjjelaskan tuttupan vegetasi yang y lebat cenderung mempunyai m nilai NDVII mendekatii satu, sedanngkan tutupan badan b air umumnya u bernilai b -1. Nilai lahaan kosong (tanah kosong) umumnyaa mempunyaai nilai nol.. Besarnya nilai NDVII dari suatu u kondisi tuttupan vegetasi sangat s berggantung paada tutupann vegetasi itu sendirri serta koondisi permukaann tanah yanng ada di baw wah vegetaasi yang direekam. T Titik-titik peerjumpaan Cikukua C tim mor di lanskkap Camploong terletakk pada rentang niilai NDVII 0,16–0,30 sebanyak 4 titik hinggga rentang g nilai 0,61-0,73 sebanyak 1 titik. Titiik kehadirann burung teertinggi terleetak pada nilai n NDVI 0,460,60 seban nyak 21 titikk (52%), paada rentang nilai NDVII yang semaakin tinggi (0,61( 0,73) nam mpak tingkatt perjumpaaan menurunn drastis yaaitu satu titiik saja (Gaambar 11). Jumlah Tittik Perjumpaaan Cikukua tim mor 2 21 14 0 -0,32 - 0
0 0,1 - 0,15
4
1
0,,16 - 0,30 0,31 1 - 0,45 0,46 - 0,60 0,61 - 0,,73
Nilai NDV VI
Gambar 11 1 Diagram m sebaran jumlah tittik perjumppaan Cikukkua timor pada berbagaai rentang niilai NDVI. 5.1.2.2. Kemiringan K n lereng Wilayah W stuudi Cikukuua timor di lanskap Camplong C memiliki m tinngkat kemiringaan lereng daari 0-3% hin ngga > 40% %. Pembagiian kelas keemiringan lereng berdasarkaan Peraturran Menterri Kehutannan Nomoor: P.32/MENHUT-II//2009
60 tentang Tata T Cara Penyusunan P Rencana Teknik T Reh habilitasi Hutan H dan Lahan L Daerah Aliran A Sunggai (RTkRH HL-DAS). Pembagian P kelas keleerangan terrsebut tersaji pad da Tabel 3. Tabel 3 P Pembagian kelas k kemirringan lerenng berdasarkkan peta toopografi berrskala 1::50.000 dann interval kontur 25 meter berrdasarkan P.32 P MENH HUTIII/2009 Kelas Lerengg 1 II III IV V VI
Kemirinngan lereng (% %) 0-3 3-8 8-15 15-25 25-40 >40
Deskripssi) Datar Datar Landaii Bergelombbang Curam m Sangat Cuuram
Gambar G 12 di bawah ini, i menunjukkan bahw wa pola disstribusi frekkuensi perjumpaaan Cikukuaa timor sanngat bervariiasi mulai dari datar (0-8%) saampai sangat cu uram (>40% %). Titik kehadiran k C Cikukua tim mor dapat ditemukan pada berbagai sebaran s kem miringan lereeng tersebuut. Pada kem miringan lereeng 3-8% (ddatar) dan 8-15% % (landai) titik t perjum mpaan Cikukkua timor leebih banyakk (22 atau 555%), sedangkan n pada kem miringan lerreng 0-3%, 15-25% (bbergelombaang) dan > 40% (curam) tin ngkat kehaddiran burun ng ini rendahh antara 7,5 5% -15% (3 3-6 titik ). Jumlah Titiik Perjumpaan n Cikukua tim mor 12 3 0-3
10 3
3-8
6
8-15 15--25 25-40 miringan Lereeng (%) Kem
6
>40
Gambar 12 1 Diagram m sebaran jumlah tittik perjumppaan Cikukkua timor pada berbaggai rentang kemiringan k lereng. K tempat 5.1.2.3. Ketinggian Lanskap Camplong terletak pada p sebaraan elevasi 92-465 m dari permukaaan laut (ddpl), dan tittik perjumppaan Cikuk kua timor dapat d ditem mui di semua tingkat ketinnggian temp pat dalam wilayah w stuudi. Pada keetinggian 922-217 j kehhadiran Cik kukua timoor rendah (2,5-7,5% atau 1-3 titik), m dpl jumlah sedangk kan di ketinnggian 218-465 m dppl jumlah kehadiran k b burung cedeerung semakin n meningkatt (15-30 % atau a 6-12 tittik) (Gambaar 13).
61 Ju umlah Titik Peerjumpaan Cik kukua timor 12
9 3
9
6
1
922-154
155-217
218-280
281-343
3 344-406
4077-469
Distribusi Ellevasi (m dpl)
Gambar 13 Diagram m sebaran data d jumlah titik perjum mpaan Cikuukua timor pada berbagaii rentang nilai elevasi. J dari beberapa faktor f spassial 5.1.2.4. Jarak 1. Jarak dari hutan primer dan sekunder Hasil kllasifikasi peta p penuttupan lahaan di lansskap Campplong didappatkan luas hutan primer 285,3 haa dan hutan sekunder seluas s 135,118 ha. Kehadiran Cikukkua timor di d hutan primer beradaa pada rentaang jarak 0--2192 m dann jarak darii hutan seku under antarra 0-1087 m. m Pada jaraak yang sem makin dekatt (0-365 m) dengan huttan primer jumlah j titikk perjumpaaan Cikukua timor cendeerung lebih banyak (155 titik), dann semakin jauh j dari huutan primerr titik perjum mpaan buruung semakinn berkurangg (2 titik) (G Gambar 14a)). Distribusi kehadiran n Cikukua timor paada hutan sekunder lebih fluktuuatif antara rentang jaraak 0-181 m sampai 3644-545 m dijjumpai 6-122 titik (15-30%), sedanngkan pada jarak 546–1087 m hanya h dijum mpai 2-5 titiik (512%)) (Gambar 14b). 1 Ju umlah Titik Peerjumpaan Cik kukua timor 15
Jumlah Titik T Perjumpaaan Cikukua tiimor 12
11 4
4
4
Jarak dari Hutan H Primer (m) (a)
12 6
2
2
3
5
Jarak dari d Hutan Sek kunder (m) (b)
Gambar 14 1 Diagram m sebaran daata jumlah titik perjum mpaan Cikuukua timor pada berbagaai rentang jaarak (a) hutaan primer daan (b) hutann sekunder. 2. Jarak dari belukaar
62 Hasil klassifikasi petta penutupaan lahan laanskap Cam mplong, sebbaran Cikuk kua timor berdasarkan b n jarak dari belukar daapat dijumppai pada renntang jarak dari 0-532 m. Pada jarrak yang semakin dekaat (0-88 m) dengan kaw wasan belukkar jumlah titik t perjum mpaan Cikukkua timor cenderung leebih tinggi (47% atau 19 1 titik). Keehadiran burrung semakkin menurun n (27,5%) pada jarak 899-177 m dan n semakin jauh dari areal a belukaar kehadirann Cikukua timor t cendeerung berfluuktuatif mennurun antara 2,5-10% (1-4 ( titik) (G Gambar 15)) umpaan Cikuk kua timor Jumllah Titik Perju 1 19 11 1 0-8 88
4
1
4
89-177 178-266 26 67-354 355-4 443 444-532 Jarak dari Bellukar (m)
Gambbar 15 Diagram sebarran data jum mlah titik perjumpaan p n Cikukua timor padda berbagai rentang jaraak dari beluukar. 3. Jarak dari d perkebuunan (kebunn jambu meete) dan palaawija Berdasarkaan hasil klasifikasi peta penutupan n lahan lannskap Campplong, diperooleh kehadirran Cikukuaa timor di kebun jambu u mete beraada pada jarrak 02940 m, m dan jarakk dari kebuun palawija adalah 0-608 m. Padaa kawasan kebun k Cikukua tiimor palingg banyak ((70%) jambuu mete, jum mlah titik perjumpaan p ditemuukan pada jarak 0-490 m, dan padda jarak yanng semakinn jauh dari kebun k jambuu mete jumlah perjumppaan Cikukuua timor semakin mennurun (7,5-115 %) (Gambbar 16a). Kehadiran K Cikukua C tim mor di kawaasan kebun n palawija paling p banyakk (45%) beerada pada jarak 0-101 m, sedan ngkan pada jarak > 1002 m, jumlahh titik perjuumpaan berffluktuatif anntara 2 hing gga 8 titik (55-20%) (Gaambar 16b).
63 Jumlah Titiik Perjumpaaan Cikukua tim mor 18
Jumlah Titik Perju umpaan Cikuk kua timor 28
8 6
3
0
7 3
3
0
2
2
Jarrak dari Kebu un Palawija (m m) (b b)
Jaraak dari Kebun n Jambu Mete (m) (aa)
Gambar 16 1 Diagram m sebaran data d jumlahh titik perjjumpaan Cikukua tim mor di berbagaii rentang jaarak dari; (a) ( kebun jambu j metee dan (b) kebun k palawijaa. Kawasan perkebunaan jambu mete mem miliki kano opi yang rapat sehingga mampuu menyediaakan fungsii shelter daan aktivitass sosial Cikkukua timorr. Kerapatann kanopi berrkaitan erat dengan nilaai NDVI. 4. Jarak dari d permukkiman Hasil klasifikasi peta penutupan lahan terhaadap jarak dari d permukkiman diperooleh rentangg jarak antaara 0-576,288 m. Sebaran jumlah titik t perjum mpaan Cikukuua timor teertinggi (32 2,5%) terlettak pada jaarak 0-97 m. m Pada renntang jarak > 98-582 m dari perm mukiman, jumlah j titikk kehadiran n Cikukua timor menun njukkan keecenderung menurun. Tingkat perjumpaann p nya berflukktuasi antara 1-8 titik (2,5-20%) (G Gambar 17). paan Cikukuaa timor Jumlah Titik Perjump 13 8
8
8
2
0-97
98-194
1 195-291
2292-388
38 89-485
486-582
man (m) Jarak dari Pemukim
umpaan Cikkukua timorr pada Gambaar 17 Diagrram sebarann data jumlaah titik perju berbaagai rentang g jarak dari permukima p an.
64 5. Jarak dari sungaii Keberadaann Cikukua timor t terhaddap jarak daari sungai berdasarkan b n hasil p l lahan lanskkap Camplong ditemukkan pada renntang klasiffikasi peta penutupan jarak 3-1563,6 m. m Sebaran jumlah titik kehadiran Cikukua tim mor paling tinggi t % atau 14 titiik) ditemukkan pada jarrak 3-264 m. m Pada renttang jarak > 265(35% 1574 m titik kehadiranny k ya nampakk menurun dengan tiitik perjum mpaan j 789-1080 m (Gaambar 18). terenddah (2,5%) terdapat paada rentang jarak Jumlah Titik k Perjumpaan C Cikukua timor 14 10 7
5 1
3 3-264
265-526
527-7 788
789-10550
3
1051-1312 2 1313-1574
Jarak darri Sungai (m)
Gambar 18 1 Diagram m sebaran daata jumlah titik perjum mpaan Cikuukua timor pada berbagaai rentang jaarak dari sunngai. Daerah riiparian mem miliki vegetasi yang seelalu hijau, sedikit veggetasi pohon n dengan tiinggi < 20 m, dan coover yang tidak t terlaluu rapat. Wiilayah sepertti ini hanyaa dalam jarak yang tiddak terlalu jauh j (3- 26 64 m) dari badan b sungaai. 6. Jarak dari jalan Berdasarkaan hasil klasifikasi peta penutupan n lahan lannskap Campplong, keberradaan Cikuukua timor terhadap jaarak dari jallan ditemukkan pada renntang jarak 3-212 m. Sebaran jumlah titikk perjumpaaan Cikukuaa timor terttinggi (57,5% % atau 23 titik) ditem mukan pada jarak 3-37 m. Pada reentang jarakk 38107 m tingkat kehadiranny ya cenderuung menuru un (12,5-222,5%), dan pada rentanng jarak > 108-212 m jumlah tiitik perjump paan Cikukkua timor sangat s rendaah (2,5-5%) (Gambar 19).
65 Jumlaah Titik Perju umpaan Cikuk kua timor 23
5 3-37
38-72
9 1 73-107
0
2
108-142 143 3-177 178-212
Jarak dari JJalan (m)
Gambar 19 1 Diagram m sebaran daata jumlah titik perjum mpaan Cikuukua timor pada berbagaai rentang jaarak dari jalaan. 5.1.3. Identifikasi komponen k h habitat biootik Komponen K h habitat biotiik yang diam mati mencaakup struktu ur dan kompposisi vegetasi yang y didugaa merupakaan peubah determinann kehadiran Cikukua timor. t Diduga determinan struktur daan komposiisi vegetasii pada tiapp titik kehaadiran burung meliputi m peuubah; (1) jumlah spessies tumbu uhan pakan dan coverr, (2) jumlah inddividu tiap spesies pakkan dan covver, (3) tingggi vegetasi meliputi tinggi t rata-rata tiap t tingkattan vegetassi, tinggi tootal, tinggii bebas cab bang dan ttinggi keberadaaan burung saaat terlihat pertama p kalli melakukaan aktivitas perilaku terrtentu di tiap tiitik perjum mpaan, dan (4) kerappatan vegettasi tiap titik perjum mpaan, kerapatan vegetasi pakan p dan cover. Varriabel-variaabel determ minan kompponen C tim mor di biotik dipeeroleh dari observasi laangsung pada tiap titikk presence Cikukua setiap tipee habitat yanng dijumpaii. 5.1.3.1. Tumbuhan T sumber paakan dan coover Juumlah spessies dan inddividu tumbbuhan pakaan, cover bervariasi b di tiap titik kehadiran Cikukkua timor. Jumlah sppesies tumb buhan yang teramati dalam d 8 spesies (L Lampiran 1)), terdapat 12 1 spesies dari d 8 penelitian ini (Mei-Juuli) yaitu 58 s pakaan Cikukuaa timor, dann 12 spesies dari famili yanng berfungssi sebagai sumber 7 famili sebagai s covver. Spesies tumbuhan sumber paakan yang memiliki m juumlah titik perju umpaan terbbanyak adaalah Gmelinna arborea (Famili Verbenaceae)) dan Eucalyptu us alba (Fam mili Myrtaceeae), sedanggkan jenis tumbuhan t coover yang ppaling banyak diigunakan unntuk aktivittas sosial yaitu y Anacardium occidentale (F Famili Anacardiaaceae) (Tabeel 4).
66
Tabel 4 Jenis-jenis sumber tumbuhan pakan dan cover Cikukua timor pada MeiJuli Nama Lokal Tisel/ johar hutan
Nama Ilmiah Cassia sp
Famili Fabaceae
Ʃ titik Presence Pk Cv 1
-
Pemananfaatan Pakan
Jml Presence
Habitat
Cv
Nektar
23
Pmk
Turi /gala-gala
Sesbania grandiflora L
Fabaceae
2
-
Nektar
8
Faloak
Sterculia comosa Wallich
Sterculiaceae
3
-
Nektar
15
Gmelilna
Gmelina arborea Roxb
Verbenaceae
4
-
Nektar
23
Kayu Putih
Myrtaceae
4
2
5
1
31*
HP, B
Moraceae
1
-
Nektar Sosial Nektar, Istirahat insekta Buah
21*
Bombacaceae
Beringin
Eucalyptus alba Gossampinus malabarica Merr Ficus benjamina L.
KPw & Pmk HP, B, KbPj KbPj, KbJm, HS
12
HP
Nisum
Myristica sp
Annonaceae
2
1
Buah
3*
HP, Pmk
Gamal
Gliricidia sepium
Fabaceae
2
Lamtoro
Leucaena glauca Benth
Fabaceae
1
2
Insekta
Kleop/Kulah Bafikanu/ Fianaok Beringin/ Nekun Kesambi
Vitex pubescens Vahl.
Verbenaceae
1
-
Insekta
1
HP
Insekta
1
B
Istirahat
4
HP, B
Kabesak hitam Kedondong pagar Ara/bubuk
Kapok hutan
Istirahat
Insekta Sosial
55
HS, B
17*
KbPj
Macaranga tanaria L.
Euphorbiaceae
1
-
Fecus religosa L.
Moraceaea
-
2
Schleichera oleosa Merr
Sapindaceae
-
1
Istirahat
40
HP
Acasia catechu Willd
Fabaceae
-
1
7
B
Spondias sp
Anacardiaceae
-
2
6
B
Ficus glomerata Robox
Moraceae
-
1
2
B
Jambu Mete
Anacardium occidentale
Anacardiaceae
-
3
3
KbJm
Johar
Cassia siamea Lamk.
Fabaceae
-
1
Istirahat Istiraha, Sosial Sosial Istirahat, Sosial Sosial
8
KbPj
Nikis/bunik
Cassia fistula Linn.
Caesalpinoideae
-
1
Sosial
3
KbPj
Jumlah 27 18 283 Keterangan: *) tumbuhan yang digunakan sebagai sumber pakan dan cover; Pk = Pakan; Cv = Cover; Pmk = Permukiman (Kawasan Terbangun); KbPj = Kebun Palawija; KbJm= Kebun Jambu mete; HP = Hutan Primer; HS = Hutan Sekunder; B = Belukar
1. Jenis tumbuhan sumber pakan Jumlah jenis tumbuhan sumber pakan yang dijumpai di lokasi studi sebanyak 12 jenis (Tabel 4). Sebaran jenis tumbuhan sumber pakan Cikukua timor dijumpai di enam tipe habitat dengan jumlah perjumpaan sebanyak 20 titik. Persentase perjumpaan tumbuhan sumber pakan pada masing-masing tipe habitat yaitu; 30% berada di hutan primer, 25% berada di kebun palawija, 20% ditemukan di hutan sekunder, 5% masing-masing di areal belukar dan kebun jambu mete, 15% di kawasan terbangun, dan 3,70% di kebun jambu mete. Perjumpaan Cikukua timor tertinggi berada pada hutan primer dan terendah di kawasan permukiman (Gambar 20a).
67 Ju umlah Titik Perjumpaan P Ciikukua timor 5 4 4 2 0
1
0
1
2 0
0
1
Perrsentase Pakan n Cikukua tim mor
25,,93 %
11,11 % 62,96%
Nektarr Buah
N Nektar
Insekta
Buah h
H Tipe Habitat
Gambar 20 2 Diagram sebaran daan persentasse pakan; (aa) sebaran titik t perjum mpaan t habitatt (Mei-Juli)), (b) jenis tuumbuhan suumber pakaan di tiap tipe persentaase sumber jenis j pakann. Pada Gam mbar 20a, menunjukka m an bahwa ju umlah total titik perjum mpaan tumbuuhan sumbeer pakan paada hutan prrimer cendeerung lebihh banyak (6 titik) dibandingkan deengan tipe habitat lainnya. Tumbuuhan sumb ber pakan nektar n p dapat ditemukann di semua tipe habitatt, sedangkaan tumbuhaan sumber pakan buah ditemukan hanya di dua d tipe haabitat yaitu hutan prim mer dan kaw wasan kua timor cenderung c permuukiman. Paada Gambaar 20b, terllihat Cikuk lebih banyaak memakaan nektar 62,96%, 6 sedangkan makan m insekkta 25,93% % dan makann buah 11,111%. Variasi sebaran tum mbuhan sum mber pakan nektar berddasarkan juumlah titik perjumpaann p nya (n=17) seperti terssaji pada Gaambar 20a, terlihat di kebun k palaw wija cenderuung lebih banyak dijum mpai (n=5 atau 29,41% %) daripadaa tipe habitaat lainnya. Pada P tipe haabitat kebunn palawija, jenis j G. arbborea meruppakan jenis tumbuhan sumber s pakkan nektar yang y lebih dominan diijumpai (3 titik). Di hu utan sekundder jenis E. alba meruppakan jenis yang mem miliki perjum mpaan terbannyak (4 titik), sedangk kan di hutaan primer jeenis G. mallabarica (F Famili Fabacceae) meruppakan tumbbuhan pakann nekar yanng paling dominan d (3 titik) dijum mpai. Cikukua timor dapaat juga memakan inseekta berupaa ulat-ulat kecil, serangga, atau larva (tak teeridentifikasi spesifikaasi jenis) yaang berada pada d lapuk seperti s G. malabaricaa, lubang-luubang dahann yang telaah kering dan pelep pah buah Deelonix regia a (Fabaceae)) yang telahh kering dann di pucuk-ppucuk
68 tumbuuhan sepertti Gliricidiaa sepium (Faabaceae), Leeucaena glaauca (Fabacceae), Vitex
pubesceens
(Verrbenaceae/L Lamiaceae),
Macaraanga
tannarius
(Euphhorbiaceae). 2. Jenis tumbuhan cover Jumlah jeenis tumbuh han cover yaang ditemukkan di lokassi studi sebaanyak 12 jennis (Tabel 4). 4 Jenis tum mbuhan coveer Cikukua timor berhaasil diidentifikasi pada 18 titik darri total 40 tiitik perjumppaan, terdisttribusi padaa lima dari enam tipe habitat h (Gam mbar 21). Di D kawasan permukimaan tidak diteemukan Cikkukua timor melakukann aktivitas soosial dan isttirahat/tidurr. Jumlah Titik T Perjump paan Cikukua timor 4
4
2 0 Hutan Primer
Istiraahat
3
3 2
0 Hutan Sekunder
Sosiaal 0
Belukar
Kebun Jambu Mete
0 K Kebun Paalawija
0 0 Pemuukiman
Tipe Habittat
Gambar 21 jenis tumbuuhan cover pada 2 Diagram sebaran jum mlah titik perjumpaan p tiap tipee habitat (M Mei-Juli). Persentase perjumpaaan jenis tum mbuhan covver pada maasing-masingg tipe habitaat kecuali permukima p an yaitu; beelukar 33,3 33%, kebunn palawija 22%, kebun n jambu meete dan hutaan primer m masing-masiing 16,67%, hutan sekuunder 11,11%. Variasi sebaran tumbuhan t cover berrdasarkan frekuensi titik perjum mpaannya (Gambar ( 21), terlihat bahwa tipee habitat belukar dan kebun k palaw wija merupaakan tipe habitat h yanng paling umum u ditemukan akttivitas istirah hat dan sossial. Pada tipe t habitatt lainnya jaarang ditem mukan tumbbuhan coverr Cikukua tiimor. Tipe habitat h denggan ketersediaan tumbuhan cover yang lengkkap, baik unntuk aktivittas sosial maupun m beristirahat haanya dijumppai di kawasan belukaar, sedangkkan pada tiipe habitat lainnya hanya ditem mukan aktiviitas sosial saja. s Di kaw wasan belukkar, jenis Sppondias sp cenderung lebih umum m ditemukann jika dibanndingkan deengan jenis E. alba, F. religosa (F Famili
69 Moraceae), Acasia catechu (Famili Mimosoideae), F. glomerata. Jenis tumbuhan cover yang cenderung paling umum ditemukan di kebun palawija adalah L. glauca, sedangkan jenis lainnya seperti Cassia siamea (Fabaceae) dan C. fistula jarang ditemukan (Tabel 4). 3. Jumlah individu spesies tumbuhan sumber pakan Jumlah tumbuhan sumber pakan yang dijumpai dalam wilayah studi yaitu 210 individu yang berasal dari 12 spesies tumbuhan (Tabel 4). Tumbuhan sumber pakan dengan persentase jumlah individu tertinggi adalah G. sepium (26,19%) dan G. malabarica (14,38%), sedangkan terendah adalah jenis V. pubescens dan M. tanaria (0,48%). 4. Jumlah individu tiap spesies tumbuhan cover Jumlah tumbuhan cover yang dijumpai dalam wilayah studi adalah 145 individu berasal dari 12 spesies tumbuhan (Tabel 4). Tumbuhan cover dengan persentase jumlah individu tertinggi yaitu Schleichera oleosa (Famili Sapindaceae) (27,59%) dan G. malabarica (21,38%), sedangkan terendah adalah F. glomerata (1,38%). 5.1.3.2. Sebaran Vertikal 1.
Tinggi rata-rata vegetasi Berdasarkan sebaran vertikal (tinggi rata-rata vegetasi), Cikukua timor dapat dijumpai pada tiga strata pertumbuhan vegetasi yaitu pohon, tiang dan pancang. Tidak semua plot (N= 40 plot) ditemukan strata pertumbuhan vegetasi yang lengkap. Vegetasi tingkat pohon dijumpai di 34 plot (titik perjumpaan), tingkat tiang dijumpai di 37 plot dan vegetasi tingkat pancang ditemukan pada 30 plot. Ada enam plot tidak memiliki vegetasi tingkat pohon (rentang tinggi 0-6 m), tiga plot tidak ditemukan vegetasi tingkat tiang (rentang tinggi 0-2 m), dan 10 plot tidak dijumpai vegetasi tingkat pancang (rentang 0-1 m). Sebaran vertikal vegetasi pada tiap tingkat pertumbuhan di tiap titik perjumpaan Cikukua timor tersaji pada Gambar 22.
70 h Titik Perjum mpaan Cikukuaa timor Jumlah 12
19
13 7
6
0 0-6
k Perjumpaan Cikukua timo or Jumlah Titik
1
5 1
0-2
7-13 14-20 0 21-27 28-34 35-41
6
6
3
3--5
6-8
9-11 12-14 15--17
Tinggi Vegetasi V (m) (b) Tin ngkat Tiang
Tinggi Veegetasi (m) a. Tingk kat Pohon
paan Cikukuaa timor Jumlah Titik Perjump 10
8
7 5
0 0-1
6
4
1,01-2 2,01-3 3,01-4 4,01-5 5,01-6 Tinggi T Vegetaasi (m) (c) Tingkat Paancang
Gambar 22 Diagram m sebaran vertikal veegetasi padda; (a) tinggkat pohon,, (b) tingkatt tiang dan (c) tingkat pancang paada setiap tiitik perjumppaan Cikukuua timor. Sebaran tingggi rata-rataa vegetasi dari d berbagaai strata peertumbuhan pada tiap tittik perjumppaan Cikuku ua timor beervariasi. Kaarakteristik sebaran veertikal untuk vegetasi v tinngkat pohonn 7-37 m, tinngkat tiang 4-15 m dann tingkat panncang 1,5-6,00 m. Jenis-jjenis vegetaasi tingkat ppohon, tianng dan panccang tersaji pada Lampiiran 3,4 dann 5. 2. Tinggii vegetasi teempat berakktivitas a.
Tiinggi keberaadaan Cikuk kua timor beraktivitas b Tinggi keeberadaan Cikukua C tim mor saat pertama kali terrlihat melakkukan
aktiviitas makann, sosial maupun m b beristirahat cenderungg lebih baanyak ditem mukan pada rentang tinnggi vegetassi 5,76 hinggga 10,01 m dengan juumlah 14 perrjumpaan (G Gambar 23)).
71 Jumlah Titik T Perjumpaaan Cikukua tiimor 14 10 7
7 2
0 1,5 - 5,75
5,76 - 10,01 10,0 02 - 14,27 14,28 8 - 18,53 18,54 - 22,79 22,79 - 27 7,04
T Tinggi Vegetaasi (m)
Gambaar 23 Diagrram distribusi jumlah titik perjum mpaan Ciku ukua timor pada berbbagai klasifikkasi tinggi kkeberadaan nnya saat berraktivitas. Tinggi keeberadaan Cikukua C tim mor saat berraktivitas paada rentangg nilai yang semakin reendah (1,5--5,75 m daan 5,76-10,001 m), tinggkat perjum mpaan burun ng cenderunng lebih bannyak (10-144 titik). Pad da rentang nilai n 10,02-227,04 m, tinngkat perjum mpaan relaatif stabil yaaitu 7 perjuumpaan. Paada rentang nilai yang semakin tinggi yaittu 18,54-227,04 m, nampak n tin ngkat frekkuensi perjum mpaan sem makin rendaah (2 perjum mpaan sajaa) (Gambar 23). Jenis-jenis vegetaasi yang dimanfaatkan d n oleh Cikkukua timorr untuk beraktivitas tersaji t pada Lampiran L 2 2. b. Tin nggi total vegetasi saatt beraktivitaas ng tinggi vegetasi v 5--4 m. Cikukuaa timor beeraktivitas ppada rentan Freku uensi perjum mpaan tertinnggi (27,5% %) berada pada p selangg tinggi veggetasi 10-144 m. Pada selang s tingg gi vegetasi tertinggi (330-34 m), terlihat t distrribusi jumlaah perjumpaaan cenderuung menurunn (5%) (Gam mbar 24). Jumlah h titik perjump paan Cikukuaa timor
9
11 8 4
5-9
10-14
15-19
6 2
20 0-24
25-2 29
30-34
kukua timor (m m) Sellang tinggi tottal vegetasi peerjumpaan Cik
Gambar 24 2 Diagram m distribusi jumlah peerjumpaan Cikukua C tim mor di berrbagai klasifikaasi tinggi tootal vegetasii.
72 Jenis-jennis vegetasii yang beradda pada renntang tinggi antara 10--14 m melipputi; S. com mosa, E. albba, G. malaabarica, Seesbania graandiflora (F Famili Fabacceae), C. siamea, s G.. sepium, G. arboreea, F. benjjamina, daan V. pubesscens, sedanngkan jenis vegetasi unntuk rentangg kelas lainnnya tersaji dalam d Lamp piran 2. c. Tin nggi bebas cabang v um mum disebuut sebagai tinggi t Ketingggian cabangg pertama vegetasi bebass cabang. Perjumpaan P Cikukua tiimor pada tinggi bebaas cabang 0,8 0 m hingg ga 4,3 m ceenderung lebbih tinggi ditemukan d ( titik perjumpaan). Pada (27 kelas tinggi bebaas cabang laainnya mulaai rentang 4,4-7,9 4 m hiingga 18,8 - 22,3 m, tin ngkat perjum mpaannya cenderung c leebih rendahh yaitu 2-4 perjumpaann saja (Gam mbar 25). Jum mlah titik perju umpaan Cikuk kua timor 27
4
0,8 - 4,3
4,4 - 7,9
3
2
2
2
8,0 - 11,5 11,6 1 - 15,1 15 5,2 - 18,1 18,8 - 22,3
Selang tiinggi bebas caabang vegetasi (m)
Gambbar 25 Diaagram distrribusi jumllah perjum mpaan Cikukkua timor pada berrbagai klasiifikasi tingggi bebas cabbang vegetasi. Jenis-jeniis vegetasi yang beraada pada rentang r kellas tinggi bebas b caban ng antara 0,88-4,3 m dig gunakan Cikkukua timorr sebagai tem mpat berakttivitas untukk mendapatkkan sumber pakan dan cover. Jeniss vegetasi teersebut melliputi; A. occcdentale, C Cassia sp, Sterculia S com mosa (Stercculiaceae), F. racemossa, G. arborrea , L. glauuca, C. siam mea, E. albaa, G. sepium m, F. benjamina, A. caatticu, Spond dias sp, M. tanarius, C. C fistula, V. pubescens. Jenis vegettasi pada renntang tinggii bebas caabang antarra 4,4-7,9 m hingga 18,8-22,3 m tersaji pada Lamp piran 2
73 5.1.3.3. Kerapatan K v vegetasi Kerap patan vegetaasi tiap tipe habiat Kerapattan vegetasi untuk peertumbuhan tingkat po ohon, tiangg dan pancaang di berbagai tipe haabitat perjuumpaan Cikkukua timorr nampak sangat s bervaariasi. Semuua titik prresence Cikkukua timoor pada en nam tipe habitat memiiliki tingkatt pertumbuh han vegetasi yang lenngkap, mulaai tingkat semai s sampaai pohon (G Gambar 26). Pohon Kerapatan (batang/ha)
1.
3 380
400 4
Tiiang
Pancan ng
90 39
360
300 3 200 2 100 1 0
855
77.5
21
7.75
Hutann Primeer
Hutan Sekundeer
100 0 65
85 5.75
1
Belukar
Kebun Jambu Metee
40 60 8.25
40 30 5.5
Kebun Palawija
Pemukiman
Tippe habitat
Gamb bar 26 Diaggram kerapaatan vegetassi titik perjuumpaan padda tiap tinggkatan perttumbuhan di d tiap tipe habitat. h Tingkat kerapatan vegetasi unntuk tiap tin ngkat pertum mbuhan veggetasi sebag gai berikut; kerapatan pohon p 49,255 batang/haa (≈50 batanng/ha), keraapatan tiang 392,5 battang/ha (≈393 batangg/ha), dan kerapatan pancang 1320 batangg/ha (Lamppiran 5). Gambarr 26, men nunjukkan tipe habitaat hutan primer p mem miliki kerapatan pohonn lebih tingg gi (21 batanng/ha atau 42,5%) 4 darip pada tipe habitat lainnyya. Lima jennis vegetasii tingkat poohon yang memiliki m keerapatan terttinggi adalah h; G. malaabarica 6,5 batang/ha, S. oleosa 5,8 batangg/ha, E. alba 5,3 batangg/ha, G. arrborea 3,3 batang/ha, b d F. benjjamina 3 baatang/ha. Semua dan jenis ini teridenntifikasi sebbagai tumbbuhan sumb ber pakan, beristirahatt dan sosiall (Tabel 4), sedangkann kerapatann vegetasi terendah tiingkat pohoon (1 batangg/ha) beradda pada tipee habitat perrkebunan jaambu mete. Ada 28 sppesies yang memiliki tingkat kerrapatan pohon terenddah adalah 0,25 batanng/ha
74 diantarannya; A. leucophloea, Corypha utan, D. regia, F. ampelas, (Lampiran 3). Kerapatan vegetasi tingkat tiang tertinggi (85 batang/ha) berada di tipe habitat hutan primer dan belukar (Gambar 28). Lima jenis vegetasi tingkat tiang dengan kerapatan tertinggi meliputi; S. oleosa 42,5 batang/ha, A. catechu dan G. sepium masing-masing 40 batang/ha, G. arborea dan A. occidentale masing-masing 32,5 batang/ha. Tingkat kerapatan tiang terendah (40 batang/ha) berada di kawasan permukiman dan kebun palawija. Ada 6 jenis vegetasi tingkat tiang yang memiliki kerapatan terendah (2,5 batang/ha) yaitu; Bauhinia aculeate (Famili Leguminosae), C. fistula, C. javanica, Ziziphus mauritiana (Famili Rhamnaceae), F. religosa, dan M. tanarius (Lampiran 4). Kerapatan pancang tertinggi (390 batang/ha) berada di tipe habitat belukar (Gambar 26). Jenis-jenis vegetasi pancang yang memiliki kerapatan tertinggi meliputi; G. sepium 470 batang/ha, Cassia sp 170 batang/ha, 70 batang/ha C. wightii dan L. glauca
dan 60 batang/ha untuk jenis A.
accidentale, Z. timorensis dan C. subcordata. Tingkat kerapatan pancang terendah (30 batang/ha) berada di kawasan permukiman. Jenis-jenis vegetasi dengan tingkat kerapatan terendah meliputi; Plectronia sp, Sekit, Kotkotos, Citrus hystrix (Famili Rutaceae), Cananga odorata (Famili Annonaceae) (Lampiran 5). 2.
Kerapatan vegetasi pakan Kerapatan vegetasi merupakan perbandingan jumlah individu suatu jenis terhadap luas areal yang ditempatinya. Jumlah jenis vegetasi pakan tingkat pohon dan tiang masing-masing ada delapan spesies, sedangkan tingkat pancang sebanyak tujuh spesies. Jenis vegetasi pakan yang memiliki kerapatan tertinggi tingkat pohon adalah G. malabarica (6,5/ha), sedangkan G. sepium memiliki kerapatan 40 batang/ha untuk tiang dan pancang 450 batang/ha. Jenis vegetasi pakan yang memiliki kerapatan terendah pada tingkat pohon adalah Myristica sp (0,75 batang/ha), tingkat tiang adalah M. tanaria (2,5 batang/ha), dan tingkat pancang adalah S. comosa, G. arborea dan G. malabarica masing-masing 20 batang/ha (Gambar 27).
75 Kerapatan K Poh hon Pakan (baatang/ha) 6,5 5,25 3,25 2,5
20 12,57,,5
0
10
17,5 0 0
0 2,5
Cassia sp Sesbania grandiflora Sterculia comosa Gmelina arborea Eucalyptus alba G.malabarica Ficus benjamina j Myristica sp Gliricidia sepium Leucaena glauca Vitex pubescens Macaranga tanaria
Macaranga tanaria
Vitex pubescens
0,25 0
L Leucaena glauca l
0
Gliricidia sepium
Ficus benjamina
G malabarica G.malabarica
Eucalyptus alba
Gmelina arborea
Sterculia comosa
Cassia sp
Myristica sp
0,75
1
40
32,5
3
0 0 SSesbania ggrandiflora f
Kerapatan Paakan (batang /ha) /
V Tiang g (b) Jenis Vegetasi
v Poho on (a) Jenis vegetasi Keerapatan Pakaan (batang/ha)) 450
Macaranga tanaria
0 0 Vitex pubescens
Gliricidia sepium
Myristica sp
G.malabarica
Ficus benjamina
Eucalyptus alba
Gmelina arborea
Sterculia comosa
Leucaena glauca
0 60
30 20 20 0 20 0 0
Sesbania grandiflora
Cassia sp
150
( Jenis Vegeetasi Pancang (c)
Gambar 27 2 Kerapataan tumbuhaan pakan tiiap tingkat pertumbuhhan vegetassi; (a) tingkat poohon, (b) tinngkat tiang, dan (c) tinggkat pancan ng. 3.
Kerap patan vegetaasi cover Jumlah jeenis vegetassi cover straata pohon yaitu y 11 jennis, strata tiaang 9 jenis, dan strata pancang 5 jenis (Gam mbar 28). Jenis vegeetasi cover yang memiiliki tingkat kerapatan tertinggi t unntuk strata pohon p adalaah G. malabbarica (6,5 batang/ha), b strata tiang g S. oleosa (42,5 ( batan ng/ha) dan strata s pancaang L. glauca (70 batanng/ha), sed dangkan kerrapatan veggetasi coverr terendah untuk u strata pohon adallah F. glom merata (0,5 batang/ha), b strata tiang g F. religosaa dan C. fisstula masingg-masing 2,5 2 batang/hha, dan straata pancangg G. malabbarica dan C. C siamea masing-mas m sing 20 bataang/ha. Jennis lain yang memiliki nilai kerapatan nol merupakan m jenis vegeetasi yang tidak dijum mpai. Keraapatan tumbuuhan cover tiap tingkaat pertumbuhan vegetassi pada massing-masingg titik perjum mpaan Cikuukua timor ditunjukkan d n pada Gambbar 28.
76 Kerapatan Co over (batang/h ha)
1,5
0,5 0
1,250,7751,25
10
2,5 0
5
0
0
25
17,5 2,5
Ficus religosa Myristica sp Schleichera oleosa Acasia catechu Gossampinus malabarica Spondias sp Eucalyptus alba Ficus glomerata Anacardium occidentale Cassia siamea Cassia fistula L Leucaena glauca l
1,75
32,5
5,225
Ficus religosa Myristica sp Schleichera oleosa Acasia catechu Gossampinus malabarica Spondias sp Eucalyptus alba Ficus glomerata Anacardium occidentale Cassia siamea Cassia fistula Leucaena glauca
0,750,75
42,55 40
6,5
5,,7
Kerapatan K Coveer (batang/ha))
(a) Jeenis Vegetasi Pohon (batan ng/ha)
(b) Jen nis Vegetasi Tiang T (batang //ha)
Kerapatan Co over (batang/h ha) 70 50
4 40
20
Cassia fistula
Cassia siamea
Ficus glomerata
Leucaena glauca
0
0
Anacardium occidentale
0
Spondias sp
Schleichera oleosa
0
Eucalyptus alba
Myristica sp
Gossampinus malabarica
0
A i catechu Acasia t h
0
Ficus religosa
20 0
(c) Jenis J Vegetasii Pancang
Gambaar 28 Keraapatan tum mbuhan covver pada tiiap tingkatt pertumbuuhan vegetaasi; (a) tinggkat pohon, (b) tingk kat tiang, dan d (c) tinggkat pancanng. mponent An nalysis 5.1.4. Prrincipal Com 5.1.4.1. Komponen K h habitat fisik Haasil PCA dengan d bipplot diperolleh faktor-ffaktor dom minan kompponen habitat fissik yang beerpengaruh terhadap kehadiran Cikukua tim mor yaitu; N NDVI, slope, elev vasi, distannce dari hutan primer, sekunder, belukar, b keb bun jambu mete, kebun pallawija, perm mukiman, sungai s dan jalan. Hassil PCA meenunjukkan total nilai kerag gaman yangg mampu dijelaskan d o oleh kompo onen 1 dan 2 yaitu 54,,40%, dan dari hasil h tersebuut diperoleh delapan fakktor yang memiliki m korrelasi positiff, dan 3 faktor yang y berkorrelasi negaatif terhadapp kehadirann Cikukua timor. Deelapan
77 faktor yang berkorelasi positif meliputi; NDVI, slope, jarak dari hutan sekunder, jarak dari belukar, jarak dari kebun jambu mete, palawija, dan jarak dari jalan, sedangkan tiga faktor yang berkorelasi negatif meliputi; jarak dari hutan primer, jarak dari sungai, dan elevasi (Gambar 29). 1618 17 Elevasi JS
15 14
32 1.2
10
JBlkr
24 KbPj JJ
35 0.6
12
29
Komponen 2 (22,90%)
13 8 11 -4
-3.2
3 1 2
40 38 39 37 36
30
JPmk
-2.4
20 19
-1.6
-0.8
0.8
34
NDVI 27
-0.6 9
JHP
-1.2
Slope 1.6 KbJm
2.4 31
26 JHS 28
7 -1.8 6 4 5
-2.4
25
33 23
-3 21 -3.6
22
Komponen 1 (31,51%)
Gambar 29 Posisi berbagai faktor dominan komponen habitat fisik Cikukua timor Keterangan: = titik perjumpaan Cikukua timor; JHP = Jarak dari Hutan Primer, Jarak dari Hutan Sekunder, JS =Jarak dari Sungai, KbJm = Kebun Jambu Mete, KbPk, Kebun Palawija, JPmk= Jarak dari Permukiman, JBklr = Jarak dari Belukar, JJ = Jarak dari Jalan.
Berdasarkan hasil analisis faktor dari prosedur PCA diperoleh nilai total varian yang dapat dijelaskan sebesar 77,83% dengan jumlah matriks komponen (vektor ciri) sebanyak empat komponen (Tabel5). Tabel 5 Keragaman total yang dijelaskan oleh setiap komponen fisik Komponen Utama 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Total 3.466 2.518 1.392 1.185 0.951 0.517 0.342 0.300 0.181 0.102 0.046
Akar Ciri % Keragaman 31.507 22.895 12.651 10.775 8.647 4.699 3.109 2.728 1.641 0.928 0.419
% Kumulatif 31.507 54.402 67.053 77.828 86.475 91.175 94.283 97.012 98.653 99.581 100.000
78
Tabel 6 Vektor ciri dari PCA Komponen Utama 1 2 3 NDVI -0.178 -0.021 0.350 Slope -0.034 0.474 0.723* Elevasi -0.530 0.032 0.744 Jarak dari Hutan Primer -0.741 -0.389 -.336 Jarak dari Hutan Sekunder 0.240 -0.455 0.722* Jarak dari Belukar 0.139 0.418 0.740 Jarak dari Kebun Jambu Mete -0.111 -0.346 0.647 Jarak dari Kebun Palawija 0.346 -0.380 0.770 Jarak dari Permukiman 0.123 -0.109 0.568 Jarak dari Sungai -0.457 0.152 0.691* Jarak dari Jalan 0.304 -0.241 0.825* Keterangan: *) Faktor determinan kehadiran Cikukua timor di suatu tempat.
Variabel
4 -0.764 0.168 -0.025 0.179 0.307 -0.358 -0.189 0.199 0.465 -0.055 0.155
Tabel 6 menunjukkan bahwa komponen 1 dapat menjelaskan varian terbesar jarak dari jalan (0,825), jarak dari kebun palawija (0,770), slope (0,723), jarak dari kebun jambu mete (0.647) NDVI (0.350). Komponen 2 menjelaskan varian terbesar pada faktor elevasi (0.744), jarak dari belukar (0,740), jarak dari sungai (0,691) dan permukiman (0.568). Komponen 1 memiliki nilai eigen value (akar ciri) lebih besar (31,51%) dari pada komponen 2 (22,90%), sehingga dapat dinyatakan bahwa komponen 1 berpengaruh lebih besar terhadap kehadiran Cikukua timor. Variabel komponen habitat fisik yang berkorelasi positif dengan nilai vektor ciri terbesar pada komponen 1, 2, dan 4 akan digunakan dalam menentukan faktor yang berpengaruh paling dominan terhadap kehadiran Cikukua timor di suatu lokasi. 5.1.4.2. Komponen habitat biotik Hasil PCA dengan biplot diperoleh beberapa faktor dominan komponen habitat biotik yang diduga berpengaruh terhadap kehadiran Cikukua timor yaitu; jumlah spesies pakan cover, jumlah individu pakan dan cover, jumlah total spesies tumbuhan pada tiap titik perjumpaan, tinggi rata-rata vegetasi tingkat pohon, tiang dan pancang pada setiap titik kehadiran Cikukua timor. Hasil PCA menunjukkan bahwa total nilai keragaman yang mampu dijelaskan oleh komponen 1 dan 2 yaitu 48,29%. Hampir semua faktor dari komponen habitat biotik dalam penelitian ini
79 memiliki korelasi di antara variabel kecuali faktor tinggi rata-rata vegetasi tingkat tiang dan pancang yang memiliki korelasi negatif (Gambar 30). 40 35 29
30
3
Komponen 2 (20,10%)
37
12
22 -5
-4
-3
2
-2
Jml Ind Cvr Jml Sp Cvr
36 1.6
1
38
2.4
28
0.8 23 39
D.Ph Cvr
D.Pcg 20 Cvr
33 Jml Tot Sp
25 T.Pcg 7
10 -1 13 626
T.Ph 31 2
1 11 -0.8
9
4
T.Tg D.Tg Cvr
-1.6
3 14
16 D.Pcg Pkn D.Ph Pkn 24 D. Tg Pkn 19 Jml Sp Pkn Jml Ind Pkn
18 17
21 -2.4 15
8
27 5
-3.2 3234
-4
Komponen 1 (28,38%)
Gambar 30 Posisi berbagai faktor dominan komponen habitat biotik Cikukua timor. Keterangan:
= titik perjumpaan Cikukua timor, Jml Sp = Jumlah Total Spesies,Jml ind Cvr= Jumlah Individu Cover, Jml Sp Cvr = Jumlah SpesiesCover, Jml Sp Pkn = Jumlah Spesies Pakan, Jml Ind Pkn = Jumlah Individu Pakan, DPh Pkn = Density (kerapatan) Pohon Pakan, DTg Pkn = Density Tiang Pakan, DPcg Pkn = Density Pancang Pakan, DPh Cvr = Density Pohon Cover; DTg Cvr = Density Tiang Cover, DPcg Cvr = Density Pancang Cover, TPh = Tinggi Rata-Rata Pohon, TTg = Tinggi Rata-Rata Tiang, TPcg = Tinggi Rata-Rata Pancang, Sp = Spesies.
Korelasi negatif yang terjadi masih mengindikasikan ada pengaruh dari faktor tersebut terhadap kehadiran burung, tapi interpretasi ini dapat dijelaskan setelah memperoleh besaran nilai pengaruh dominannya dalam analisis regresi linear berganda. Supranto (2004) menjelaskan bahwa regresi linear berganda bertujuan untuk memperkirakan nilai variabel dependen (Y), kalau nilai variabel independen (bebas) X sudah diketahui nilainya. Ada beberapa faktor yang memiliki korelasi yang kuat yaitu; jumlah spesies pakan dengan jumlah individu pakan, jumlah spesies cover dengan jumlah individu cover, dan kerapatan pakan tingkat pohon dengan kerapatan cover tingkat pohon.
80 Berdasarkan hasil analisis faktor dari prosedur PCA diperoleh nilai total varian yang dapat dijelaskan sebesar 71,13% dengan jumlah matriks komponen (vektor ciri) sebanyak empat komponen (Tabel 7). Tabel 7 Keragaman total yang dijelaskan oleh setiap komponen biotik Komponen Utama 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Total 3.920 2.841 2.121 1.077 0.875 0.795 0.634 0.523 0.395 0.316 0.252 0.208 0.027 0.016
Akar Ciri % Keragaman 28.001 20.291 15.149 7.690 6.252 5.681 4.527 3.736 2.822 2.258 1.802 1.486 0.191 0.113
% Kumulatif 28.001 48.292 63.441 71.131 77.383 83.064 87.591 91.327 94.149 96.407 98.210 99.696 99.887 100.000
Tabel 8 Vektor ciri dari PCA Komponen Utama 1 2 3 Jumlah toal spesies 0.136 -0.312 0.784 Tinggi rata-rata pohon -0.024 -0.489 0.622 Tinggi rata-rata tiang -0.053 0.299 0.573 Tinggi rata-rata pancang -0.017 -0.226 -0.255 Jumlah spesies pakan -0.411 0.158 0.834 Jumlah individu pakan -0.465 0.269 0.806 Jumlah spesies cover 0.520 -0.038 0.767 Jumlah spesies cover 0.526 0.090 0.811 Kerapatanpohon pakan -0.314 -0.218 0.568* Kerapatan pohon cover 0.394 -0.343 0.650 Kerapatantiang pakan 0.496 -0.214 0.562 Kerapatan tiang cover 0.393 -0.491 0.546* Kerapatanpancang pakan 0.021 0.415 0.521 Kerapatan pancang cover 0.057 0.352 0.568 Keterangan: *) Faktor determinan kehadiran Cikukua timor di suatu tempat
4 -0.138 0.141 -0.167 0.842 -0.025 -0.021 0.043 0.082 0.195 0.006 -0.099 -0.162 0.387 0.260
Tabel 8, menunjukkan bahwa komponen 1 dapat menjelaskan varian terbesar jumlah spesies pakan (0,834), jumlah individu pakan (0,806), jumlah total spesies tumbuhan (0,784), tinggi rata-rata pohon, kerapatan pohon pakan, dan kerapatan pohon cover. Komponen 2 menjelaskan varian terbesar jumlah individu cover, jumlah spesies cover, tinggi rata-rata tiang, dan kerapatan tiang cover. Komponen 1
81 memiliki nilai eigenvalue (akar ciri) lebih besar (28%) dari pada komponen 2 (20,29%), sehingga dapat dinyatakan komponen 1 berpengaruh lebih besar terhadap kehadiran Cikukua timor pada suatu lokasi. 5.1.5. Peubah determinan kehadiran Cikukua timor Peubah determinan yang paling berpengaruh terhadap kehadiran Cikukua timor pada suatu tempat tertentu dilakukan dengan analisis regresi linear berganda dengan prosedur stepwise. Hasil regresi terbaik diperoleh pada nilai R-square (75,0%) dan R-square Adj. (68,2%). Nilai tersebut didapatkan setelah dilakukan beberapa percobaan terhadap variabel Y dan variabel bebas X sebanyak 25 peubah dan jumlah data pengamatan dari 40 menjadi 34 titik presence Cikukua timor. Tujuan percobaan untuk mendapatkan model terbaik yang ditunjukkan oleh sebaran titik-titik presence Cikukua timor yang tepat dan tidak jauh dari garis regresi sehingga menghasilkan sebaran data yang normal. Titik-titik yang tersebar jauh dari garis regresi menunjukkan adanya distribusi data yang tidak normal atau ada data pencilan. Santoso (2010) menyatakan bahwa sebuah data yang berdistribusi normal akan membentuk distribusi data yang berbentuk lonceng (bell shaped), tidak menceng ke kiri atau ke kanan. Salah satu cara untuk mengatasi data yang tidak normal adalah dengan menghilangkan data yang dianggap penyebab tidak normalnya data. Dalam penelitian ini ditemukan data yang tidak normal yaitu data titik presence Cikukua timor yang berada pada titik perjumpaan 5, 10, 14, 19, 26 dan 33. Diduga disebabkan karena letak keberadaan titik yang berdekatan antara satu dengan yang lainnya, sehingga menghasilkan informasi data yang hampir sama. Berdasarkan hasil analisis regresi linear berganda dengan prosedur stepwise, dari 25 peubah fisik dan biotik, ada 18 peubah tereleminasi dari model regresi dikarenakan adanya multikolinearitas. Model merupakan simplifikasi atau penyederhanaan dari proses yang terjadi di alam. Analisis regresi linear berganda dengan prosedur stepwise menghasilkan model regresi dengan tujuh variabel yang tidak terjadi multikolinearitas (Lampiran 10). Dari ke-tujuh variabel pembentuk model tersebut, variabel jarak dari belukar tidak merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kehadiaran Cikukua timor pada suatu tempat, karena memililki nilai P (0,096) > 0,05. Ada enam faktor dari hasil analisis regresi linear berganda
82 yang menunjukkan pengaruh paling dominan terhadap kehadiran Cikukua timor yaitu; kerapatan pohon pakan dan tiang cover, slope, jarak dari jalan, sungai, dan hutan sekunder. Model regresi berganda yang berpengaruh terhadap kehadiaran Cikukua timor sebagai berikut: Ln Y = 0,867 + 0,531 Ln X20 (Kerapatan Pohon Pakan) + (– 0,160) Ln X24 (KerapatanTiang Cover) + 0,158 Ln X10 (Jarak dari Sungai) + (– 0,188) Ln X11 (Jarak dari Jalan) + 0,269 Ln X2 (Slope) + (– 0,0740) Ln X5 (Jarak dari Hutan Sekunder) R-Sq = 75,0%
R-Sq(adj) = 68,2%
Model regresi menunjukkan bahwa; a. Konstanta sebesar 0,867 artinya jika kerapatan pohon pakan, kerapatan tiang cover, jarak dari sungai, jarak dari jalan, slope, dan jarak dari hutan sekunder, nilainya 0, maka jumlah individu kehadiran Cikukua timor nilainya sebesar 0,867 (dalam satuan logaritma natural). b. Koefisien regresi peubah density (kerapatan) pohon pakan sebesar 0,531 berarti jika kerapatan pohon pakan mengalami kenaikan satu satuan, maka jumlah individu pada tiap titik kehadiran Cikukua timor akan mengalami peningkatan sebesar 0,531 satuan dengan asumsi variabel independen lainnya bernilai tetap. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat kerapatan pohon pakan (jumlah pohon pakan semakin banyak per satuan luas), tingkat kehadiran Cikukua timor pun semakin tinggi. c. Koefisien regresi peubah kerapatan tiang cover sebesar -0,160 berarti jika kerapatan tiang cover mengalami kenaikan satu satuan, maka jumlah individu pada tiap titik kehadiran Cikukua timor akan mengalami penurunan sebesar 0,160 satuan dengan asumsi variabel independen lainnya bernilai tetap. Hal ini menjelaskan bahwa kerapatan tiang cover semakin rendah (jumlah tiang cover semakin sedikit per satuan luas), tingkat kehadiran Cikukua timor pun semakin tinggi. d. Koefisien regresi peubah jarak dari sungai sebesar 0,158 berarti jika jarak dari sungai mengalami kenaikan satu satuan, maka jumlah individu pada tiap titik kehadiran Cikukua timor akan mengalami peningkatan sebesar 0,158 satuan dengan asumsi variabel independen lainnya bernilai tetap. Hasil regresi dapat
83 diinterpretasikan bahwa semakin jauh jarak dari sungai, tingkat kehadiran Cikukua timor semakin tinggi. e. Koefisien regresi peubah jarak dari jalan sebesar -0,188 berarti jika jarak dari jalan mengalami kenaikan satu satuan, maka jumlah individu pada tiap titik kehadiran Cikukua timor akan mengalami penurunan sebesar 0,188 satuan dengan asumsi variabel independen lainnya bernilai tetap. Hasil regresi menunjukkan bahwa semakin dekat jarak dari jalan, tingkat kehadiran Cikukua timor semakin tinggi. f. Koefisien regresi peubah slope sebesar 0,269 berarti jika slope mengalami kenaikan satu satuan, maka jumlah individu pada tiap titik kehadiran Cikukua timor akan mengalami peningkatan sebesar 0,269 satuan dengan asumsi variabel independen lainnya bernilai tetap. Nilai regresi ini menjelaskan bahwa semakin besar persentase tingkat kemiringan lereng, tingkat kehadiran Cikukua timor semakin tinggi. g. Koefisien regresi peubah jarak dari hutan sekunder sebesar -0,0740 berarti jika jarak dari hutan sekunder mengalami kenaikan satu satuan, maka jumlah individu pada tiap titik kehadiran Cikukua timor akan mengalami penurunan sebesar 0,0740 satuan dengan asumsi variabel independen lainnya bernilai tetap. Hasil regresi menunjukkan bahwa jarak semakin dekat ke hutan sekunder, tingkat kehadiran Cikukua timor semakin tinggi. Menurut Santoso (2001), untuk regresi dengan lebih dari dua variabel bebas digunakan Adjusted R2 sebagai koefisien determinasi, dan Adjusted R Square adalah nilai R Square yang telah disesuaikan. Berdasarkan output RSquare diperoleh angka Adjusted R Square sebesar 68,2%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa persentase sumbangan variabel independen yaitu jarak dari hutan sekunder, jarak dari sungai, tinggi rata-rata pancang dan kerapatan pohon pakan berpengaruh terhadap jumlah kehadiran Cikukua timor pada suatu titik sebesar 68,2%, atau variabel bebas yang digunakan dalam model mampu menjelaskan 68,2 %, variasi dependen (Y); sedangkan sisanya 31,8% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukan dalam model penelitian ini. Faktor lain tersebut meliputi gangguan dari manusia, invasi spesies C. odorata, predator dan kompetisi mendapatkan sumberdaya pakan dan cover. Gangguan dari manusia
84 yang berpotensi meniimbulkan teekanan terhaadap habitaat adalah pembakaran hutan, h gging untukk kayu ban ngunan dan kayu bakaar, pemangkkasan tumbbuhan illegal log pakan ternnak, pengggembalaan ternak secaara liar dan perluasan n jaringan jalan dalam kaw wasan, illegaal hunting. 5.1.6. Du ugaan popu ulasi Daata populasii Cikukua tiimor di jum mpai pada 8 dari 11 trannsek pengam matan yang terseebar pada empat e tipe habitat h yaittu; belukar, kebun jam mbu mete, kebun k palawija dan d permukiiman (Gamb bar 31). Persentase Estimasi Kepaadatan Populasii (%) 544,00% 32,87 10,29% %
Belukar
2,85% Kebun Jaambu Metee
Kebunn Palawija
Pemukiman
Gambar 31 3 Diagram m persentasee estimasi kepadatan populasi Cikukua C tim mor di lanskap Camplong.. Jum mlah individu tiap keloompok perjumpaan an ntara 1-4 eko or. Jumlahh total populasi Cikukua C tim mor yang teramati dallam penelittian ini berj rjumlah 71 ekor, dengan ratta-rata tiap perjumpaann 1,775 indiividu atau antara a satu sampai s dua ekor. Estimasi kepadatan k populasi dii wilayah studi s seluass 2470,11 ha yaitu 0,5755 ekor/ha Gaambar 31 menunjukkan m n bahwa disstribusi dugaan populassi Cikukua timor pada maasing-masinng tipe hab bitat yang dijumpai diperoleh nilai kepaadatan populasi sebagai beerikut; 0,05592 individuu/ha terdappat di tipe habitat bellukar, 0,0164 inndividu/ha di permukiiman, 0,18992 individu u/ha di kebu un palawijaa dan 0,3107 dii kebun jam mbu mete. 5.1.7. An nalisis penu utupan lahaan Haasil analisis klasifikasi penutupan lahan di laanskap Cam mplong dipeeroleh 14 kelas penutupan p l lahan. Kelaas penutupaan lahan terlluas (16,5% %) adalah beelukar dan semaak (14,3% %), sedangkan kelas peenutupan laahan yang memiliki luuasan paling keecil adalah aawan (0,1 haa) dan badaan air (0,6 ha) h (Tabel 9). 9
85 Tabel 9 Luas L masingg-masing tippe habitat di d lanskap Camplong C No T Tipe Hab Tipe bitat Luass (Ha) Persentase (%) 1 Hutan Primeer 2885,3 11,6* 2 Hutan Sekunnder 1355,18 5,5* 3 16,5** Belukar 4066,53 4 7,5** 1844,23 Kawasan Perrtanian Palawiija 5 3,8** Kawasan Perrtanian Mete 944,32 6 6,4** Permukimann 1588,94 7 7,2 Savana 1766,94 8 14,3 Hutan Tanam man 3522,08 9 7,7 Mamar 1900,35 10 13,2 3255,89 Semak 11 2,1 Lahan Kosonng dan lain-laain 522,2 12 0,6 Badan Air 144,22 13 0,1 Awan 2,,61 14 2,3 Jalan (desa dan d negara) 577,06 15 1,1 Lain-Lain (U Unclassified) 622,64 Total 24770,11 100 Keterangan:: *) = tipe haabitat perjumppaan titik sebaaran spasial Cikukua C timor; **)= tipe habitat h perjumppaan titik sebaaran spasial daan data perjum mpaan populassi Cikukua tim mor
Gambarr 32 Peta peenutupan lahhan di lanskkap Camplong. 5.1.8.
In nterpretasii peta Peta P tematikk masing-maasing variabbel yang diiinterpretasi merupakann peta
resolusi 30 (Gambaar 33-44).Niilai hasil intterpretasi peeta tematik seluruh varriabel fisik disaajikan pada Lampiran 8. 8
86
Gaambar 33 Peeta NDVI.
Gambar 34 Peta kettinggian tem mpat.
87
Gambarr 35 Peta kem miringan laahan.
Gambarr 36 Peta jarrak dari sunngai.
88
Gambar 377 Peta jarak dari hutan primer. p
G Gambar 38 Peta P jarak dari d hutan seekunder.
89
Gambar 39 Peta jarrak dari belu ukar.
Gambar400 Peta jarak dari permuk kiman.
90
Gambaar 41 Peta jaarak dari jallan.
Gaambar 42 Peeta jarak darri kebun jam mbu mete.
91
G Gambar 43 Peta P jarak dari d kebun palawija. p
Gambarr 44 Peta jarrak dari sunngai. 5.2. Pem mbahasan 5.2.1. Karrakteristik habitat fissik dan biotik Di lanskap Camplong, ditemukan d eenam tipe habitat h perjuumpaan akttivitas Cikukua timor t berdaasarkan periilaku makaan, istriahat//tidur, dan sosial. Ke-enam
92 tipe habitat tersebut yaitu; hutan primer, hutan sekunder, belukar, kebun jambu mete, kebun palawija, dan permukiman. Menurut Coates et al. (2000), Cikukua timor menghuni hutan primer dan hutan monsoon sekunder, hutan terbuka, semak terbuka, kadang lahan budidaya yang pohonnya sedikit; Trainor (2002), di Timor Leste, Cikukua timor ditemukan hidup di daerah berhutan, perkebunan di tipe hutan tropis kering (tropical dry forest). Beberapa jenis cikukua memiliki kesamaan/perbedaan habitat yang ditempatinya.
Jenis Helmeted Friarbird P.
buceroides lebih banyak menempati hutan dekat pantai, wilayah berhutan dan mangrov di zona tropika, tapi kadang-kadang dijumpai di daerah yang berbatasan dengan bukit di kaki gunung (foothills), berjarak 600 m dari permukaan laut (Woinarski et al. 1988; Woinarski 1993; McLean 1995). Perbedaan habitat bukan merupakan faktor penting bagi burung-burung di Timor (Noske dan Saleh 2000). Cikukua timor mampu hidup pada berbagai tipe habitat dengan karakteristik tertentu sesuai yang dibutuhkannya. Habitat yang dibutuhkan Cikukua timor adalah tipe habitat yang memiliki berbagai jenis tumbuhan sumber pakan nektar tingkat pohon, buah dan insekta, tipe habitat yang memiliki beberapa jenis tumbuhan cover tingkat tiang yang memiliki kanopi yang rapat dengan satu strata saja, dan tipe habitat yang lebih terbuka dengan sedikit pepohonan. Kemampuan hidup yang tinggi pada berbagai tipe habitat dengan karaktersitik tersebut dapat dinyatakan Cikukua timor tidak memiliki tipe habitat spesifik atau dapat pula disebut spesies generalis. Sekalipun habitat Cikukua timor bersifat generalis, namun untuk dapat tetap survive dan terjaminnya fitness, keberadaan hutan tetap menjadi habitat penting untuk mendapatkan kebutuhan pakan terutama pohon-pohon penghasil nektar dan tiang cover. Hasil observasi membuktikan bahwa kehadiran Cikukua timor pada suatu titik berkorelasi dengan ketersediaan faktor dominan komponen habitat fisik dan biotik (Gambar 29 dan 30). Cikukua timor lebih banyak mencari makan di kawasan hutan primer (30%) kebun palawija (25%) dan hutan sekunder (20%) (Gambar 20). Henriques dan Narciso (2010) menyatakan bahwa di Timor-Leste tumbuhan hutan merupakan sumber penting bagi satwa mancari makan. Ada 5 tipe habitat di kawasan ini yang tidak dijumpai kehadiran Cikukua timor, diduga disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya;
93 1. Vegetasi sumber pakan yang berada pada lokasi ini tidak sedang dalam periode berbunga seperti tegakan flamboyan D. regia, nderas Erythrina variegate (Fabaceae). Semua tumbuhaan ini tumbuh menyebar di seluruh lanskap Camplong baik dalam kawasan hutan TWA Camplong maupun daerah permukiman dan mamar. 2. Tipe habitat semak dan lahan kosong pada umumnya kurang atau bahkan tidak terdapat vegetasi tingkat pohon baik sebagai sumber pakan maupun cover. 3. Sebagian besar areal savana di lanskap Camplong telah diinvasi tumbuhan C. odorata. Spesies ini tumbuh sangat rapat sehingga menyebabkan vegetasi lain tumbuh tertekan dan bahkan mati. Pada areal seperti ini akan terbentuk tipe habitat semak C. odorata yang hampir tidak memiliki tumbuhan sumber pakan dan cover. Hasil PCA terhadap faktor-faktor dari komponen habitat fisik menunjukkan komponen 1 memiliki nilai varian yang lebih tinggi (31,51%) sehingga berpengaruh lebih besar terhadap kehadiran Cikukua timor jika dibandingan dengan komponen 2 (20,29%). Ada empat faktor dari komponen 1 yang diduga memiliki pengaruh lebih besar dengan menunjukkan besarnya nilai varian yaitu; jarak dari jalan (0,825), jarak dari kebun palawija (0,770), slope (0,723), jarak dari kebun jambu mete (0.647), dan NDVI (0.350). Ke-empat faktor ini memiliki korelasi kuat terhadap kehadiran Cikukua timor.
Pada
umumnya jalan dibangun pada tempat-tempat yang memiliki kemiringan lereng datar hingga landai, dan memudahkan aksesibilitas masyarakat ke areal budidaya pertanian baik palawija maupun kebun jambu mete. Vegetasi sekitar jalan dan kebun palawija cenderung lebih terbuka karena hanya memiliki sedikit pepohonan. Coates et al. (2000) menyatakan bahwa Cikukua timor kadang menghuni lahan budidaya yang memiliki sedikit pepohonan. Cikukua timor di Timor Leste merupakan salah satu dari beberapa spesies yang mendiami ekosistem alami dan semi alami yang berisi beberapa spesies dari pohon palem, delapan spesies bambu dan empat spesies rotan (Henriques & Narciso 2010). Salah satu jenis Philemon di Australia yaitu P. citreogularis memiliki penyebaran di Australia dan New Guinea, banyak hidup di zona tropis pada
94 hutan eukaliptus terbuka dan daerah berhutan, tapi juga umum di daerah semiarid, kurang sering terdapat di sub-tropis dan daerah sub-humid (Clements 2000). Hasil analisis spasial dengan citra Landsat_5 TM terhadap NDVI menunjukkan bahwa titik kehadiran Cikukua timor tertinggi (52%) ditemukan pada nilai NDVI 0,46-0,60. Faktor NDVI dalam hasil PCA menunjukkan korelasi positif terhadap kehadiran Cikukua timor. Ini mengindikasikan bahwa tingkat ketergantungan Cikukua timor cukup nyata terhadap vegetasi dengan kanopi yang cukup baik. Ketergantungan ini diduga berkaitan erat dengan kebutuhan pakan dan cover bagi Cikukua timor. Normalized Difference Vegetation Index adalah gambaran tingkat kehijauan dan kandungan biomassa relatif suatu vegetasi, sehingga hasil NDVI yang didapat menunjukkan hubungan positif terhadap kepadatan dan kekayaan vegetasi, dan secara statistik NDVI berkorelasi signifikan dengan kepadatan dan kekayaan spesies burung (McFarland et al. 2011). Budi (2000) menjelaskan bahwa nilai indeks vegetasi dapat digunakan untuk menggambarkan keadaan vegetasi lebih baik. Selama ini penggunaan nilai NDVI dianggap mampu menjelaskan dengan baik karakteristik vegetasi yang diamati seperti kerapatan, biomassa dan LAI (Leaf Area Index). Variasi nilai NDVI merepresentasikan tingkat variasi karakteristik tutupan vegetasi pada ekosistem setempat. Lanskap Camplong memiliki variasi tipe tutupan vegetasi yang tergambar dari lima tipe ekosistem yaitu; (1) tipe ekosistem hutan musim yang ditandai oleh pohon-pohon yang tidak tinggi (15-30 m), memiliki banyak percabangan dan pada musim kering menggugurkan daunnya, (2) ekosistem hutan savana yang berada di sekitar Oelkuku yang di dominasi lontar Borasus sp, gewang Corypha gebanga, serta E. alba, dan diantara tumbuhan ini terdapat juga Tamarindus indica, C. fistula, S. oleosa, dan A. leucocephala yang mendominasi di sekitar desa Silu; (3) ekosistem hutan tanaman berupa tegakan Tectona grandis (Verbenaceae), C. siamea dan D. regia, (4) ekosistem hutan tanaman campuran (mamar) yang ditanam sekitar sumber mata air dengan jenis vegetasi utama adalah kelapa Cocos nucifer, pinang Areca catechu, enau Arenga pinnata¸ pisang Musa spp, (5) tanaman perkebunan (jambu mete) dan palawija.
95 Di hutan sekunder Cikukua timor dapat ditemukan pada jarak 0-1087 m dan tingkat kehadirannya tertinggi pada jarak 0-545 m. Hutan sekunder umumnya terdiri dari beberapa pohon berukuran diameter > 20 cm seperti E. alba dan C. siamea, beberapa vegetasi tingkat tiang seperti Cassia sp dan G. sepium. Jarak semakin dekat dengan belukar, kecenderungan titik kehadiran Cikukua timor semakin tinggi (47,5% atau 19 titik), sedangkan semakin jauh dari areal belukar titik kehadiran cenderung berfluktuatif menurun antara 2,5-10% (14 titik). Hubungan kehadiran Cikukua timor terhadap faktor jarak dari elevasi nampak berkorelasi negatif. Burung Cikukua timor dapat ditemui pada semua rentang ketinggian tempat dari 92- 465 m dpl. Trainor (2008) menyatakan bahwa di Timor Leste, Cikukua timor ditemukan pada elevasi 0 - 2.200 m dpl. Ini mengindikasikan bahwa Cikukua timor mempunyai wilayah home range yang luas. Kehadiran Cikukua timor pada berbagai variasi ketinggian sangat berkaitan erat dengan kondisi vegetasi pakan dan cover yang ada di lanskap ini. Waterhause et al. (2002), menyatakan bahwa kepadatan dari atribut struktur tegakan hutan seperti diameter setinggi dada (Diameter at Breast Height atau DBH, volume dan tinggi kanopi) berkorelasi dengan elevasi, menandakan variasi struktur tegakan di sepanjang tinggi (gradient) elevasi. Struktur dan komposisi vegetasi di lanskap Camplong kurang menampakkan perbedaan yang besar pada setiap gradient elevasi. Lanskap Camplong terletak pada gradient elevasi < 1000 m dpl sehingga tergolong dalam kelas sebaran vegetasi dataran rendah. Dalam kategori klasifikasi ekosistem hutan berdasarkan ketinggian tempat dari permukan laut untuk wilayah ekosistem hutan musim (monsoon) lanskap Camplong tergolong dalam zona 1. Zona 1 dapat disebut juga dengan hutan musim bawah karena terletak pada ketinggian 0 – 1000 m dpl. Spesies vegetasi pada zona hutan musim bawah diantaranya adalah T. grandis, A. leucophloea, Actinophora fragran, D. regia, Azardoiraetha indicus, dan Caesalpinia digyna. Di Nusa Tenggara dijumpai E. alba, cendana Santalum album sebagai spesies yang menjadi ciri khas hutan musim (Indriyanto 2006). Berdasarkan jarak dari sungai, nampak faktor ini berkorelasi negatif terhadap kehadiran Cikukua timor, tetapi bukan berarti tidak berpengaruh
96 terhadap kehadiran Cikukua timor.
Hubungan yang dapat dijelaskan bahwa
wilayah yang terletak pada jarak yang semakin jauh dari sungai, tingkat kehadiran Cikukua timor akan semakin berkurang. Sungai-sungai di lanskap Camplong umumnya terdiri dari sungai-sungai kecil yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama “kali”, dan tidak selalu ada air sepanjang tahun, menjelang
musim
panas
(April/Mei)
sampai
akhir
musim
kemarau
(November/Desember) badan sungai/kali menjadi kering. Hasil PCA memperlihatkan hubungan kehadiran Cikukua timor ditinjau dari jarak ke hutan primer memberikan korelasi yang negatif, padahal hasil observasi menunjukkan bahwa pada jarak yang semakin dekat (0-731 m) dengan hutan primer tingkat kehadiran burung semakin tinggi (27,5-35%), dan semakin jauh dari hutan primer tingkat kehadiran Cikukua timor secara nyata berkurang (Gambar 14a). Hutan primer memiliki karakteristik struktur tajuk yang rapat dan berlapis-lapis, yang terbentuk oleh berbagai strata pertumbuhan vegetasi dari tingkat pancang, tiang hingga pohon. Stratifikasi pertumbuhan vegetasi demikian akan membentuk strata lapisan tajuk bertingkat dan rapat. Diduga Cikukua timor kurang bahkan tidak membutuhkan kondisi stratifikasi tajuk rapat dan berlapislapis sehingga menghambat pergerakan Cikukua timor yang memiliki ukuran tubuh cukup besar (24 cm). Aktivitas makan Cikukua timor di hutan primer hanya ditemukan pada pohon pakan yang memiliki tinggi 7-27 m (Gambar 24a). Cikukua timor dapat ditemukan di daerah permukiman penduduk. Hasil analisis spasial dengan euclidean distance diketahui perjumpaan Cikukua timor tertinggi (32,5%) terletak pada jarak 0 - 97 m dari permukiman. Hasil PCA menunjukkan bahwa jarak dari permukiman berkorelasi positif terhadap kehadiran Cikukua timor. Informasi yang dapat diambil dari keberadaan Cikukua timor dekat dengan permukiman yaitu; (1) diduga Cikukua timor tidak terganggu dengan keberadaan manusia selama tidak ada aktivitas manusia yang mengganggu kehadirannya di daerah permukiman seperti kegiatan perburuan liar dan merusak tempat pakan dan cover, (2) keberadaan pohon sumber pakan yang ditanam oleh masyarakat seperti S. Grandiflora dan G. sepium, dan vegetasi yang tumbuh alami seperti Cassia sp, S. comasa, dan G. malabarica. Dalam observasi ini, titik perjumpaan Cikukua timor di kawasan permukiman cenderung lebih
97 banyak berada dekat dengan pohon pakan dan sumber air (sungai di Naunu dan sumur di Haulasi). Vegetasi sumber pakan Cikukua timor di daerah permukiman pada umumnya di tanam sebagai tanaman pakan ternak dan juga bermanfaat sebagai tanaman obat dan sayuran seperti bunga S. grandiflora. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel jarak dari belukar bukan merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kehadiran Cikukua timor pada suatu titik. Sekalipun bukan merupakan faktor penentu kehadirannya namun keberadaan beberapa pohon pakan dan cover di tipe habitat ini diduga menjadi second habitat yang dapat mendukung keberadaan Cikukua timor di lanskap Camplong. Tipe habitat belukar memiliki tutupan lahan terluas (406,53 ha atau 16,5%) dari total luas lanskap Camplong (2470,11 ha).
Scott et al. (2003)
menjelaskan bahwa kepadatan burung di kanopi dan tinggi belukar (tall shrub) menunjukkan peningkatan secara signifikan dengan peningkatan cover belukar. Pada umumnya wilayah belukar bersifat lebih terbuka, sedikit vegetasi strata pohon dan tiang dengan tinggi >1,5 m, yang terbentuk dari areal bekas pertanian berpindah. Kerapatan vegetasi pohon dan tiang umumnya rendah pada areal belukar, sehingga terbentuk ruang kosong yang luas diantara pepohonan dan tiang. Kondisi ini memungkinkan pergerakan Cikukua timor lebih leluasa untuk melakukan aktivias mencari makan nektar, insekta, dan buah, beraktivitas sosial setelah aktivitas makan pagi (antara pukul 09.00 atau > 10.30 WIB) dan sebelum makan pada sore (pukul 15.00 - 16.00 WIB), dan menghindari diri dari predator. Ketersediaan ruang terbuka yang luas pada areal belukar memudahkan Cikukua timor untuk menangkap insekta yang sedang terbang, dan aktivitas ini dapat dilakukan secara single (tunggal) atau berkelompok. Menurut Clements (2000) P. buceroides melakukan aktivitas mencari makan secara berkelompok dapat lebih dari 20 ekor pada sumber daya yang kaya makanan. Organisasi sosial, secara normal ditemukan berpasangan (dua ekor secara bersama-sama), tapi sering mencari makan sendiri untuk periode yang panjang. Hasil PCA terhadap komponen habitat biotik, diketahui total nilai keragaman yang mampu dijelaskan oleh komponen 1 dan 2 yaitu 48,29%. Ada 11 dari 14 faktor yang memberikan korelasi positif dan tiga faktor berkorelasi negatif terhadap kehadiran Cikukua timor (Gambar 30). Komponen 1 memiliki
98 eigen value lebih tinggi (28,00%) dari pada komponen 2 (20,29), sehingga dapat dinyatakan bahwa kehadiran Cikukua timor pada suatu tempat lebih ditentukan oleh komponen 1. Nilai terbesar akar ciri (vektor ciri) menunjukkan besarnya pengaruh faktor tersebut terhadap kehadiran Cikukua timor. Ada empat faktor komponen 1 yang memiliki pengaruh lebih besar berdasarkan nilai terbesar akar ciri (vektor ciri) yaitu; jumlah spesies pakan (0,834), jumlah individu pakan (0,806), jumlah spesies tumbuhan (0,784), dan tinggi rata-rata pohon (0,622). Korelasi yang semakin kuat diantara faktor baik fisik maupun biotik terhadap kehadiran Cikukua timor mengindikasikan bahwa untuk meningkatkan kehadirannya di lanskap Camplong semua faktor ini harus tersedia dalam kualitas dan kuantitas habitat yang sesuai dengan titik-titik sebaran Cikukua timor di kuadran 1 dan 2. Khera et al. (2009) menyatakan kepadatan burung yang ditemui mempunyai korelasi positif signifikan dengan kerapatan pohon berukuran medium. Kemungkinan yang dapat dijelaskan bahwa pohon berukuran medium memberikan tempat perlindungan (shelter) dan keperluan mencari makan (foraging) terbaik dari burung jika dibandingkan dengan pohon besar dan kecil. 5.2.2. Peubah determinan dominan habitat Cikukua timor Berdasarkan hasil PCA terhadap komponen habitat fisik, ada delapan faktor yang berkorelasi positif dan tiga faktor berkorelasi negatif (Gambar 29), sedangkan pada komponen habitat biotik hampir semua faktor berkorelasi positif kecuali tinggi rata-rata pancang dan tinggi rata-rata tiang. Dalam analisis regresi linear berganda dengan prosedur stepwise terhadap semua variabel komponen habitat fisik, ditemukan semua variabel pada komponen 4 dan beberapa faktor pada komponen 1, 2, dan 3 dari analisis faktor pada vektor ciri PCA (Lampiran 11), tidak ada yang memberikan pengaruh signifikan terhadap kehadiran Cikukua timor. Ada empat faktor dari komponen habitat fisik yang menjadi determinan dominan kehadiran Cikukua timor adalah slope dan jarak dari jalan (komponen 1), jarak dari sungai (komponen 2), dan jarak dari hutan sekunder (komponen 3). Pada komponen habitat biotik, diketahui semua variabel yang berada pada komponen 2, 3 dan 4 tidak ada satu pun yang memberikan pengaruh dominan terhadap kehadiran burung, sedangkan pada komponen 1 hanya ada dua variabel
99 yaitu kerapatan pohon pakan dan tiang cover yang memberikan pengaruh signifikan terhadap kehadiran Cikukua timor. Ada beberapa variabel komponen habitat fisik dan biotik yang tidak menunjukkan pengaruh dominan terhadap kehadiran burung disebabkan karena terjadi multikolinearitas diantara variabel-variabel tersebut, sehingga dalam prosedur stepwise faktor-faktor yang saling berkorelasi akan tereduksi dan menghasilkan faktor yang tidak saling berkorelasi. Menurut Supranto (2004), variabel baru yang disebut faktor dalam
analisis faktor dengan Principal
component dapat dipergunakan untuk melakukan analisis regresi linear berganda, sebagai variabel bebas yang tidak lagi mengalami multicollinearty yang merupakan salah satu syarat dalam analisis regresi linear berganda. Dalam analisis regresi linear berganda menghasilkan enam faktor determinan dominan yang paling berpengaruh terhadap kehadiran Cikukua timor pada suatu lokasi, yaitu; kerapatan pohon pakan (0,531), slope (0,269), jarak dari sungai (0,158), jarak dari hutan sekunder (-0,0740), kerapatan tiang cover (-0,160), dan jarak dari jalan (-0,188). Seperti telah disebutkan di atas, diketahui faktor pada komponen habitat fisik memberikan kontribusi lebih banyak (4 faktor) terhadap kehadiran Cikukua timor, sedangkan komponen habitat biotik hanya ada dua faktor yang berpengaruh dominan terhadap kehadiran Cikukua timor. Namun demikian, faktor kerapatan pohon pakan merupakan faktor yang paling menentukan kehadiran Cikukua timor. Hal ini karena memberikan kontribusi koefisien regresi terbesar (0,5313) pada R2 Adjusted = 68,2%, sehingga memiliki pengaruh paling dominan terhadap kehadiran Cikukua timor dibandingkan dengan faktor lain pembentuk model. 1. Kerapatan pohon pakan Komponen habitat fisik dan biotik yang paling dominan berpengaruh signifikan terhadap kehadiran Cikukua timor di suatu tempat adalah kerapatan pohon pakan (0,5313) dengan nilai P = 0,001. Jenis G. malabarica merupakan jenis pohon pakan yang memiliki tingkat kerapatan tertinggi (6,5 batang/ha). Cikukua timor merupakan jenis nektarivora yang memiliki perilaku foraging di enam tipe habitat (observasi Mei-Juli). Burung ini lebih banyak makan nektar (62,96%), insekta di dedaunan dan lubang-lubang kayu serta pelepah buah
100 (25,93%) dan buah (11,11%). Higgins et al. (2000) menyatakan P. corniculatus mencari tempat makan di pohon, terutama pada bunga dan daun, dari 123 observasi kegiatan; 53,3% terdapat pada bunga, 22,6% di antara dedaunan, 4,9% di cabang, 0,8% pada batang-batang pohon, 0,8% pada bagian bawah batang (ground), dan 6,6% di udara. Tracey et al. (2007) menyatakan P. corniculatus sebagian besar makan nektar, tapi juga makan buah, bunga, tepung sari (pollen), biji, insekta, lerps, manna, honeydew, dan kadang-kadang telur burung dan sarang (nestlings). Pohon dan belukar yang memiliki banyak nektar dicari dan dipertahankan secara agresif. Kemungkinan yang dapat dijelaskan dari pengaruh kerapatan pohon pakan terhadap kehadiran Cikukua Timor adalah jenis burung ini merupakan jenis nektarivora (jenis burung dengan makanan utamanya berupa nektar/madu), sehingga keberadaan pohon penghasil nektar dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi sangat menentukan kehadirannya.Walaupun Cikukua timor tidak memiliki habitat yang spesifik dan termasuk dalam spesies generalis, namun kerapatan pohon pakan sangat menentukan dalam habitat yang ditempatinya. Kerapatan pohon pakan nektar berperan penting pada daerah kering seperti di kawasan ini, karena mampu menyuplai kebutuhan air bagi burung melalui nektar yang dikonsumsinya, disamping untuk mendapatkan karbohidrat dan protein. Indriyanto (2006) menyatakan bahwa pada musim kemarau, terutama akhir musim kemarau, banyak pohon yang mulai berbunga. Transpirasi melalui bunga sangat kecil, sehingga tidak mengganggu keseimbangan air dalam tumbuh tumbuhan. Kerapatan pohon pakan erat kaitannya dengan tinggi dan diameter pohon pakan. Observasi lapangan menunjukkan bahwa tingkat kerapatan pohon pakan di kawasan ini tergolong rendah. Namun demikian dapat dijumpai banyak pohon pakan berdiameter besar antara 0,278-2,120 m dan tinggi pohon 15-32 m (Lampiran 1 dan 2). Sebaran pohon pakan Cikukua timor dapat tergambar dari kerapatan pohon yang lebih banyak (42%) ditemukan pada tipe habitat hutan primer (Gambar 28). Pohon pakan yang berdiameter besar dan tinggi >15 m seperti G. malabarica, G. arborea, E. alba dan Ficus sp dapat dijumpai beraktivitas makan berkelompok di pagi (06.45 -10.10.45 WITA). Tinggi rata-
101 rata vegetasi tingkat pohon di lanskap Camplong antara 14 - 20 m (32,5%), tingkat tiang antara 6 - 11 m (47,5%), dan pancang 0 - 1 m (75%). Tinggi keberadaan Cikukua timor saat dijumpai pada berbagai variasi tinggi vegetasi lebih banyak (35%) dijumpai pada ketinggian 5,76 - 10,01 m, sedangkan pada ketinggian 18,54 – 27,04 m frekuensi perjumpaannya sangat kurang (2,5%) (Gambar 24). Diduga bahwa Cikukua timor umum beraktivitas pada ketinggian 1,5 hingga 18 m, dan ketinggian ideal bagi mereka beraktivitas adalah 5 - 10 m. Cikukua timor cenderung menghindari beraktivitas harian pada ketinggian lebih dari 27 m. Philemon corniculatus di Australia, memiliki distribusi tempat mencari makan pada tinggi 0-1 m sebesar 0,8%; 1-2 m sebesar 5,0%; 3 - 5 m sebesar 14,2 %, 6-9 m sebesar 27,5%; 10-14 m sebesar 36,7%, dan > 15 m sebesar 15% (Clements 2000). Hasil PCA menunjukkan bahwa tinggi pohon berkorelasi positif terhadap kehadiran Cikukua timor. Graf (2008), menyatakan burung famili Meliphagidae seperti jenis bellbirds (Anthornis melanura) di New Zealand, pada habitat primer yang berukuran paling kurang 10 ha dengan pohon-pohon tinggi (lebih dari 8 m) dapat memenuhi semua kebutuhan untuk mencari makan (sedikitnya lima jenis makanan yang disukai), bersarang dan kebutuhan sosial dan lain-lainnya. Habitat sekunder berukuran lebih kecil dengan ukuran patch antara 1 - 10 ha, namun memenuhi kriteria yang sama sebagai habitat primer dan memenuhi persyaratan mencari makan, bersarang untuk beberapa pasangan breeding. Jarak maksimum dari habitat sekunder ke satu patch primer yaitu 500 m. Menurut Clements (2000) jenis Philemon melakukan aktivitas foraging arboreal, kebanyakan mencari makan di kanopi, tapi kadang-kadang di sub kanopi atau belukar (shrub), banyak mencari makan di berbagai bunga dari bermacam-macam jenis pohon, juga makan pada daun di bagian dalam dan luar daun, dan kadang-kadang menyambar insekta yang sedang terbang. Ford (1985) mencatat bahwa beberapa spesies burung menemukan makanan utamanya di hutan eukaliptus dan areal berhutan di layer semak dan belukar.
Spesies-spesies tersebut seperti honeyeaters melakukan eksploitasi
sumber daya nektar ketika tersedia di stratum semak dan belukar. Wykes (1985), honeyeaters mungkin lebih bergantung pada sumberdaya nektar selama musim
102 dingin. Beberapa spesies lebih menyukai untuk mengeksplotasi nektar dari jenisjenis bunga semak termasuk Eastern Spunebill, Red Wattlebird, Yellow-faced Hoeyeater, Yellow-tufted Honeyeater, Lewin’s Honeyeater, New Holland Honeyeater dan Crescent Honeyeater. Penampakan paruhnya yang panjang, ramping tajam dan melengkung ke bawah dapat mempermudahnya untuk mengambil nektar yang letaknya agak dalam pada bunga yang memiliki ukuran petal (daun bunga) dan korola yang besar. Selain memakan nektar dan buah, Cikukua timor juga dapat memakan insekta yang terdapat pada pucuk-pucuk tumbuhan seperti gamal G. sepium dan dedaunan seperti jati T. grandis, lubang-lubang batang kayu yang telah kering seperti kepok hutan G. malabarica. Cikukua timor dapat mengambil insekta yang berada pada lubang kayu dan pelepah buah yang telah kering. Kemampuan mematuk lubang-lubang kayu yang telah kering seperti pada bagian batang utama pohon, cabang/dahan dan tangkai buah (pelapah) seperti pada pelepah buah D. regia menunjukkan bahwa paruh Cikukua timor cukup kokoh dan kuat. Touke dan Ford (2007) menyatakan bahwa friarbirds mampu membawa mangsa berukuran besar untuk anaknya, termasuk insekta yang berukuran jauh lebih besar seperti kumbang (Christmas beetles), sejenis jangkrit (cicadas), dan capung (dragon flies). Hinggins et al. (2001) diacu dalam Tokue dan Ford (2007), menjelaskan bahwa panjang paruh (bill length) Noisy Friarbird P. corniculatus (New South Wales,Australia) yaitu kurang lebih 33 mm, Tracey et al. (2007) menyatakan P. corniculatus berukuran besar (30-35 cm dari kepala sampai ekor). Menurut Noske dan Saleh (2000), relung yang tidak terisi oleh burung hutan timor (dan mungkin juga Wallacea) adalah pencari makan pada batang/kulit kayu. Timor praktis tidak memiliki burung pelatuk yang merupakan burung khas Sunda (kecuali Picoides moluccensis (Picidae) yang distribusinya sampai ke Alor) dan mungkuk Australo-Papua. Tidak adanya burung spesialis batang ini setara dengan miskinnya keterwakilan jenis-jenis ini di hutan basah Irian yang kaya akan burung. Di Irian relung ini diisi oleh burung cendrewasih dan jenis lainnya (Beehler 1982 diacu dalam
Monk et al. 1997; 2000). Dalam observasi ini
ditemukan, relung ini dimanfaatkan oleh Cikukua timor (Gambar 45).
103
Gambar 45 4 Cikukuaa timor seddang mengaambil seranngga (insek kta) pada luubang batang kapuk k hutan n G. malabaarica . Adda dua jeniss dari Timoor yang menncari seranggga sebagaii makanannnya di cabang-caabang pohoon adalah jenis marrgalis. Keddua jenis tersebut adalah a Phylloscoppus presbyttes yang merupakan m b burung endeemik Nusa Tenggara (NT), ( dan yang lebih spesiaalis adalah Heleia H mueelleri yang merupakan m burung enddemik H muellleri sering g mencari ulat dan laba-laba l y yang meruppakan Timor. Heleia makanannnya pada tim mbunan dauun-daun yaang telah guugur sepertii juga dilakkukan oleh Collu uricincla megarhycha (Pachycephhalidae) yan ng hidup dii Australia tropis t dan Irian (Beehler, ( 19982; Cromee, 1978 diaccu dalam Monk M et al, 1997; 1 2000)). Cikukua C tim mor lebih cennderung meengunjungi tumbuhan berbunga b deengan warna yanng mencolook seperti buunga S. graandiflora yaang berwarnna merah, bunga b Cassia spp yang berw warna kuniing, G. arbborea denggan bunga dominan warna w kuning daan merah, bunga b G. malabarica m yang berwaarna merahh. Ketika tibba G. malabaricca berbungaa, jenis Cikukua timoor dan Cikkukua tanduuk lebih baanyak mengunjuungi tumbuuhan ini diibandingkann dengan jenis tumbbuhan berbbunga lainnya. Hal H ini karenna G. malab barica mem miliki bungaa dengan tem mpat daun bunga b (petal) dann bukaan diameter d koorola yang lebih besarr dibanding gkan jenis bunga b lainnya. Deliso D (20088) menjelaskan Famili Kolibri (huummingbird d) seperti buurung kolibri (h hummingbirdd) di Monnteverde, Peegunungan Tilaran, Costa C Rica lebih memilih jenis tumbuuhan yang menghasilk m kan bunga dengan d tem mpat daun bunga b (petal) dan n bukaan diameter d koorola yang lebih l besar. Tanaman yang berukkuran besar denngan bungaa lebih bannyak, dan jumlah j nek ktar lebih besar, b meneerima kunjungan n lebih banyyak per tanaman dan per p bunga dibandingka d an tanaman kecil
104 dengan beberapa bunga saja. Bunga yang dihasilkan pada hutan musim, sering berukuran lebih besar dan memiliki warna yang terang, dan berbeda jika dibandingkan dengan bunga yang dihasilkan oleh pepohonan di hutan hujan tropis (pohon yang selalu hijau atau evergreen) (Indriyanto, 2006) Aktivitas mencari makan Cikukua timor pada umumnya dilakukan secara berkelompok. Induk Cikukua timor selalu secara bersama anaknya mencari makan. Pada saat penelitian ini dilaksanakan ditemukan dua pasang induk sedang membawa anaknya mencari makan. Hal ini dipertegas oleh pendapat Tokur dan Ford (2007) bahwa induk friarbirds secara bersama-sama mencari makan untuk anaknya dan mungkin melokalisir wilayah mencari prey/mangsa, dan kemudian kembali merawat anaknya di sarang secara bersama-sama. Friarbirds memberi makanan anaknya yang masih muda di pagi hari dan dilanjutkan pada sore hari. Aktivitas makan Cikukua timor di lokasi studi cenderung lebih banyak dilakukan pada pagi dan sore hari. Pagi hari Cikukua timor lebih banyak melakukan aktivitas makan yang bersumber dari nektar dibandingkan dengan memangsa serangga dan mengkonsumsi buah. Castro dan Robertson (1997) menyatakan bahwa burung dapat mencari makanan yang pontensial ketika bunga memiliki sejumlah besar nektar misalnya di pagi hari atau dapat secara selektif mencari makan pada bunga yang lebih kaya nektarnya. Pada sore hari, Cikukua timor cenderung memilih pakan serangga kecil yang masih tumbuh pada fase ulat. Hasil analisis vegetasi pada lokasi perjumpaan dengan Cikukua timor menunjukkan bahwa spesies dengan kerapatan tertinggi untuk vegetasi tingkat pohon adalah G. malabarica, G. arborea, dan F. benjamina, tingkat tiang meliputi S. oleosa, A. catechu, G. sepium, G. arborea, dan A. occidentale, tingkat pancang meliputi G. sepium, Cassia sp, C. wightii, L. glauca, A. accidentale, Z. timorensis, dan C. subcordata (Gambar 28). Pola struktur vegetasi sering digunakan sebagai dasar untuk mengklasifikasi habitat dan struktur komunitas burung (Holmes and Robinson, 1981; Rice et al. 1984 diacu dalam Neave 1996). Struktur fisik (phisiognomi) vegetasi dipandang sebagai komponen habitat penting untuk burung pada dua aspek yaitu langsung dengan penyediaan pakan, shelter dan sumberdaya bersarang, dan secara tidak langsung, menyediakan tanda-tanda
105 pontensial tentang permulaan dari kondisi yang sesuai untuk kesuksesan breeding (Nix, 1976; Wiens dan Rotenberry, 1981 diacu dalam Neave 1996). 2. Slope Variabel kemiringan lereng merupakan faktor penentu kedua yang mempengaruhi kehadiran Cikukua timor di suatu tempat dengan nilai koefisien regresi = 0,269 dan nilai P = 0,000. Hasil regresi menunjukkan bahwa semakin tinggi slope (kemiringan lereng), semakin tinggi pula tingkat kehadiran Cikukua timor. Hasil observasi memperlihatkan bahwa pada kemiringan lereng < 3% kehadirannya rendah (7,5%), sedangkan kehadiran Cikukua timor tertinggi (25 30%) dijumpai pada kemiringan lereng 3 - 15% (datar sampai landai), dan kemiringan lereng 15 - > 40% (bergelombang sampai sangat curam) kehadiran Cikukua timor cenderung fluktuatif antara 3 - 15% (Gambar 12). Fisher (2012), menyatakan bahwa daerah Kecamatan Fatuleu Barat didominasi oleh dataran rendah, namun memiliki beberapa bukit curam. Kecamatan Fatuleu Barat merupakan wilayah pemekaran dari Kecamatan Fatuleu yang berpusat di Camplong. Wilayah Fatuleu Barat dan Camplong memiliki kemiringan lereng yang hampir sama karena berada dalam suatu lanskap yang berdekatan dan menyatu dalam satu lanskap Fatuleu. Kehadiran Cikukua timor pada berbagai tingkat kemiringan lereng berkaitan erat dengan distribusi vegetasi pakan yang berada pada tempat tersebut. Vegetasi pakan Cikukua timor tersebar luas di seluruh variasi kemiringan lereng di lanskap ini, dan faktor kemiringan lereng bukan menjadi faktor pembatas penyebaran tumbuhan pakan dan cover karena wilayah studi berada dalam elevasi yang sama. Pada umumnya slope bukan menjadi faktor pembatas distribusi jenis vegetasi, dan faktor pembatas kehadiran suatu spesies tumbuhan umumnya adalah elevasi. Hanski dan Tiainen (1989) menyatakan bahwa variabel slope tidak berpengaruh terhadap ketersediaan pakan burung, dan kepadatan rata-rata burung nampak meningkat pada kemiringan lereng. Di duga kehadiran Cikukua timor pada kemiringan lereng yang bergelombang sampai sangat curam disebabkan karena ketersediaan pakan yang rendah di daerah datar dan landai, dan rendahnya kompetisi memperoleh sumberdaya pakan pada kemiringan lereng tersebut. Di lanskap Camplong, jarak yang berdekatan (kurang dari 1 km) antara tempat datar
106 dan sangat curam bukan menjadi faktor pembatas untuk mendapatkan sumberdaya pakan dan cover. Perbedaan jarak yang tidak berjauhan antara datar dan sangat curam berkaitan dengan luas home range Cikukua timor untuk mencari makan. Hasil penelitian Southerton et al. (2004) Noisy Friarbird P. corniculatus di Australia, ketika mencari makan di musim berbiak, Friarbird dapat menjelajahi areal sejauh lebih dari 1 km, dan sinyal radio transmiter terdeteksi sampai 3 km, sedangkan pada jarak 9 km dari sarang sudah ada individu lain yang mencari makan. Dikatakan teritori honeyeater bisa hanya satu pohon saja, tetapi untuk mencari makan bisa beberapa kilometer. Boulton et al. (2003) menjelaskan bahwa batas teritori sepasang breeding honeyeaters (berukuran 0,07 - 0,40 ha). Perilaku teritori dan ukuran teritori bellbirds tergantung pada banyak faktor seperti ketersediaan pakan, tahapan siklus reproduksi, ketersediaan tempat sarang dan fitness individu. 3. Jarak dari sungai Letak keberadaan sungai memberikan pengaruh signifikan nyata terhadap kehadiran Cikukua timor sebesar 0,158 dengan nilai P sebesar 0,118.
Hasil
regresi menunjukkan bahwa semakin jauh dari sungai, tingkat kehadiran Cikukua timor akan semkin tinggi. Sekalipun semakin jauh jarak dari sungai kehadiran Cikukua timor semakin tinggi, namun hanya pada jarak 3 - 778 m (jarak optimal) dapat ditemukan tingkat kehadiran Cikukua timor yang tinggi. Apabila jarak dari sungai > 778 m, maka tingkat kehadiran Cikukua timor semakin berkurang (Gambar 18). Kemungkinan yang dapat dijelaskan pada hubungan antara jarak dari sungai dengan titik kehadiran Cikukua timor adalah kondisi vegetasi di daerah riparian pada umumnya lebih hijau sepanjang tahun, pertumbuhan vegetasi yang lebih rapat dari pada daerah yang jauh dari riparian. Sungai-sungai di lanskap Camplong sebagaimana daerah lain di Pulau Timor pada umumnya, dimusim kemarau panjang (7 - 8 bulan) kebanyakan sungai tampak kering. Pada musim kemarau daerah sekitar sungai-sungai musiman ini (badan sungai memiliki air hanya pada musim penghujan saja) nampak selalu hijau dan memiliki kanopi cukup rapat. Fenomena seperti ini mungkin terjadi karena daerah riparian pada umumnya memiliki persediaan air tanah yang masih mencukupi untuk pertumbuhannya di musim kemarau.
107 Jenis Noisy friarbird P. corniculatus di Australia dan New Guinea dapat ditemukan pada daerah semi arid, temperate, sub-tropikal, sub-lembab (subhumid) dan zona tropikal, meluas sampai zona arid sepanjang sungai-sungai besar (White 1946; Lamm & Wilson 1966; Schmidt 1987; McFarland 1984, 1988; Leishman 1994; McLean 1995 diacu dalam Clements 2000). Menurut Hinggins et al. (2001) diacu dalam Tokue dan Ford (2007), P. corniculatus mendiami wilayah berhutan meliputi wilayah hutan yang didominasi oleh sungai Red Gum, terkadang dengan jenis eukaliptus lainnya seperti Black Box atau Coolibah, dan tumbuhan bawah pada umumnya dari jenis akasia, sering dekat dengan lahan basah (wetlands). P. citreogularis di Australia memiliki penyebaran luas sampai zona arid dan sepanjang zona anak sungai (watercourse) (Clements 2000). Hasil PCA menunjukkan jarak dari sungai kurang berkorelasi terhadap kehadirannya, tetapi hasil analisis regresi menunjukkan faktor ini turut berpengaruh terhadap kehadiran burung. Informasi PCA dapat dijelaskan oleh hasil analisis regresi linear berganda bahwa semakin jauh jarak dari sungai, maka kehadiran Cikukua timor semakin tinggi. Titik-titik kehadiran Cikukua timor masih dijumpai di sepanjang daerah riparian yaitu pada jarak 3 - 1574 m dari sungai. Sepanjang daerah riparian terdapat areal berhutan dengan sedikit vegetasi pohon dan tiang yang memiliki cover cukup rapat. Pada kondisi seperti ini Cikukua timor masih dapat dijumpai jika ketersediaan faktor dominan dari komponen habitat biotik dalam kualitas dan kuantitas habitat yang optimal dan tak terganggu. Scott et al. (2003) menjelaskan bahwa kepadatan burung di kanopi menunjukkan peningkatan secara signifikan dengan peningkatan cover pohon. Menurut Graf (2008) kanopi yang tinggi berpontensi lebih disukai oleh burung bellbirds. Vegetasi riparian yang selalu hijau dengan kanopi yang cukup rapat diduga berperan penting untuk Cikukua timor sebagai tempat beristirahat dan beraktivitas sosial, dan juga mungkin aktivitas makan jika tersedia pohon pakan. Pada umumnya daerah sekitar riparian dengan kondisi vegetasi yang demikian akan membentuk iklim mikro yang lebih sejuk dengan temperatur udara stabil. Data Stasiun Klimatologi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Naibonat-NTT,
108 Pulau Timor pada umumnya dan khususnya lanskap Camplong tergolong dalam tipe iklim E (Schmidt dan Ferguson) dengan curah hujan rata-rata tahunan < 2000 mm per tahun. Bulan basah hanya berlangsung 3 - 4 bulan (Desember/Januari sampai Maret/April) dan bulan kering berlangsug selama 8-9 bulan (April/Mei hingga November/Desember). Suhu pada bulan Mei-Juli, daerah Naibonat dan sekitarnya termasuk lanskap Camplong (berjarak ± 5 km dari Naibonat) memiliki suhu rata-rata bulanan 270 - 280C. Daerah sekitar riparian memiliki suhu lebih stabil karena kelembaban yang tinggi akibat penutupan kanopi tajuk yang cukup rapat dengan satu strata saja.
Hasil observasi lapangan ditemukan beberapa
kelompok Cikukua timor melakukan aktivitas sosial di sekitar sungai Nefolina dan sungai Laukfui, Oelbani di wilayah desa Naunu, kali kering dan sekitar sumur di Tuanamolo, sungai Tobe. Di sekitar (57 m) dari sungai Laukfui ditemukan tempat beristirahat (tidur) di pohon G. malabarica. Di sekitar kali kering dan sumur di Tuanamolo ditemukan sekelompok Cikukua timor (lima ekor dewasa dan satu ekor anak yang baru berlatih terbang) sedang melakukan aktivitas makan nektar di pohon S. comosa. Daerah dengan tipe iklim E seperti di lanskap Camplong, wilayah riparian memiliki peran sangat signifikan terhadap ketersediaan pohon sumber pakan dan cover. Menurut Nicolson (2006) dalam musim kemarau yang panas honeyeaters membutuhkan asupan air tambahan untuk menjaga keseimbangan air yang cukup. Teritori yang dekat dengan anak sungai atau penyediaan air lainnya, lebih cocok dibandingkan dengan daerah kering. Umumnya vegetasi daerah riparian di lanskap Camplong tidak tinggi dan kondisinya sedikit terbuka dengan satu strata kanopi. Struktur floristik vegetasi yang demikian diduga menjadi habitat yang preferred oleh Cikukua timor dari pada kawasan hutan primer yang memiliki tingkat kanopi yang rapat dengan lebih dari satu strata kanopi. Vickery (1984) diacu dalam Indriyanto (1996) menyatakan bahwa ekosistem hutan musim didominasi oleh spesies pohon yang menggugurkan daun di musim kemarau yang disebut hutan gugur daun (deciduous forest), umumnya hanya memiliki satu lapisan tajuk atau satu stratum dengan tajuk-tajuk pohon yang tidak saling tumpang tindih, sehingga sinar matahari dapat masuk sampai ke lantai hutan, apalagi saat sedang gugur daun. Hal itu memungkinkan tumbuh dan
109 berkembangnya berbagai spesies semak dan herba yang menutupi lantai hutan secara rapat. 4. Jarak dari hutan sekunder Hasil regresi linear berganda menunjukkan jarak dari hutan sekunder diperoleh nilai koefisien regresi -,0740 dengan nilai P = 0,028. Model regresi berganda dengan prosedur stepwise menunjukkan variabel ini merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kehadiran Cikukua timor pada suatu tempat. Nilai koefisien regresi jarak dari hutan sekunder menjelaskan bahwa semakin dekat dengan hutan sekunder tingkat kehadiran Cikukua timor semakin banyak. Hasil analisis spasial (euclidean distance) memperlihatkan Cikukua timor lebih banyak dijumpai pada jarak 0-545 m (Gambar 14b). Pada umumnya hutan sekunder di lanskap Camplong merupakan areal yang sedang mengalami proses regenerasi vegetasi dari areal bekas penebangan dan kebakaran. Luas hutan sekunder di kawasan ini yaitu 135,18 ha (5,5%) (Tabel 9 dan Gambar 31). Vegetasi yang dominan di areal hutan sekunder adalah E. alba, C. siamea, Cassia sp (tisel/johar hutan) dan G. sepium, dan semak C. odorata. Kemungkinan yang dapat dijelaskan bahwa Cikukua timor diduga prefer terhadap areal yang bersifat lebih terbuka dengan beberapa vegetasi pohon seperti E. alba, beberapa vegetasi tingkat tiang dan pancang seperti C. siamea dan G. sepium. Salah satu jenis burung isap madu di Australia Barat Daya merupakan burung khas Eucalyptus dan kayu putih Melaleuca (Myrt.), namun mereka terkadang mengunjungi hutan monsoon (Noske dan Saleh (2000). Coates et al. (2000), Trainor (2008) menjelaskan bahwa Cikukua timor dapat menghuni hutan monsoon sekunder, hutan terbuka, semak terbuka. Di Australia dan New Guinea, jenis Noisy friarbird P. corniculatus kebanyakan mendiami hutan sclerophyll kering dan hutan eukaliptus, tapi kadangkadang di semak belukar daerah pesisir pantai, heathlands, paperbarks dekat lahan basah (wetlands) dan hutan sclerophyll basah, jarang tercatat di tipe lain dari daerah berhutan dan hutan hujan(Clements 2000). 5. Kerapatan strata tiang cover Hasil analisis regresi berganda dengan prosedur stepwise menunjukkan bahwa kerapatan tiang cover berpengaruh nyata terhadap kehadarian P. inonatus.
110 Kerapatan tiang cover berkontribusi terhadap kehadiran Cikukua timor dengan nilai koefisien regresi -0,169 dengan nilai P = 0,003. Nilai regresi menjelaskan bahwa semakin rendah kerapatan vegetasi tingkat tiang, maka tingkat kehadiran Cikukua timor pada suatu titik akan semakin tinggi. Jumlah total kerapatan vegetasi strata tiang di lanskap Camplong adalah 392,5 batang/ha. Kerapatan total strata tiang cover adalah 177,5 batang/ha, jenis cover pada strata tiang yang memiliki kerapatan tertinggi (42,5 batang/ha) adalah S. oleosa (Gambar 23). Kerapatan vegetasi berkaitan erat dengan ketersediaan cover bagi satwa di wilayah yang ditempatinya. Pada tipe habitat yang memiliki kerapatan vegetasi yang tinggi akan berkorelasi linear dengan ketersediaan cover yang tinggi pula pada habitat tersebut. Namun bagi Cikukua timor, kehadirannya semakin tinggi pada tempat yang memiliki kerapatan strata tiang cover yang semakin rendah, misalnya pada tipe habitat belukar, kebun jambu mete, dan kebun palawija. Cikukua timor cenderung lebih banyak melakukan aktivitas sosial dan beristirahat pada tipe habitat yang memiliki tingkat kerapatan cover strata tiang yang lebih terbuka (kurang rapat). Hasil observasi menunjukkan bahwa pada cover yang kurang rapat seperti di tegakan S. oleosa, sinar matahari dapat menembus lapisan tajuknya yang tipis (satu strata) saja. Sinar matahari yang masuk melalui celah-celah lapisan tajuk yang tipis mampu membantu Cikukua timor untuk melakukan aktivitas mencari makan insekta di antara dedaunan, menelisik dan berjemur, serta beraktivitas sosial seperti bernyanyi bersahutan, memantau dan menghindari diri dari predator. Menurut Sukarsono (2009), perilaku sosial berkembang diantaranya karena adanya kebutuhan untuk reproduksi dan bertahan dari predator. Aktivitas menelisik dan berjemur merupakan bentuk perilaku memelihara diri yang dilakukan pada saat beristirahat, dan aktivitas ini bertujuan untuk membersihkan diri dari kotoran yang berada pada bulu sayap, kepala, dada, dan ekor setelah melakukan makan insekta diantara dedauan. Aktivitas menelisik Cikukua timor menggunakan paruh dan menggosokkan bagian kepalanya pada dahan/batang kayu yang ditempatinya. Aktivitas menelisik berlangsung antara 515 menit. Dalam observasi ini, teramati aktivitas menelisik Cikukua timor di
111 daerah edg dge hutan prrimer yang berbatasann dengan huutan tanamaan jati dan jalan negara tran ns Pulau Tiimor di TW WA Camplonng (Gambar 47).
Gambar 46 Perilaku menelisik Cikukua C tim mor di bawaah lapisan taajuk S. oleoosa di e tipe haabitat hutann primer TW WA Camplong. daerah edge Kerapatan K coover berkiaatan erat deengan tingg gi vegetasi.. Cikukua timor lebih banyyak (47%) berada di strata s tiang pada tingg gi rata-rata 6-8 m (Gaambar 23b). Pada ketinggiaan tiang terssebut, Cikuukua timor melakukan m aktivitas makan m dan berakktivitas sosiial. Sebaran n tumbuhann tingkat tiaang umumnnya berada pada daerah den ngan kanoppi lebih terbu uka dekat teepi (edge) hutan h primeer, belukar, hutan h sekunder, hutan tanaaman jati, kebun k jambbu mete, kebun k palaw wija, dan seekitar riparian. Di D daerah dengan d kondisi seperti ini memun ngkinkan buurung melakkukan aktivitas harian h yang lebih leluaasa untuk beergerak menncari makann dari satu lokasi l ke lokasi lain yang berdekatan n, beraktivittas sosial, dan memanntau keberaadaan y menjaadi ancamann baginya. Cikukua tiimor dalam m aktivtas hharian predator yang bersifat keelompok, seehingga mem mbutuhkan ruang terbu uka yang cuukup luas seebagai tempat berraktivitas soosial. Isacch et al. a (2005) menyatakan m b bahwa strukktur vegetassi dan kompposisi fisik spesies tuumbuhan memperlihat m tkan karakkteristik konfigurasi lingkungan l terestrialnnya, dimanaa telah terbuukti pentingg di dalam menentukann kepadatann dan distribusi burung. Strruktur vegeetasi dan koomposisi flo oristik diasu umsikan meenjadi faktor prroximate uttama yangg menentukkan dimanaa dan baggaimana buurung memperguunakan sum mberdaya daan mempenggaruhi sumb ber daya. Faktor F proximate
112 tidak secara langsung berhubungan dengan kelangsungan hidup individu tetapi diandalkan sebagai penduga adanya faktor ultimate, misalnya struktur vegetasi tertentu yang menunjukkan kemungkinan besar ditemukan makanan atau pelindung. Faktor ultimate adalah faktor yang berhubungan langsung dengan kelangsungan hidup individu (makanan, air dan pelindung) (Basuni 1988). Tingkat pertumbuhan tiang lebih umum berada pada tipe-tipe habitat yang sedang mengalami suksesi vegetasi pada areal bekas lahan budidaya, penebangan liar, dan kebarakan hutan. Kondisi lahan yang demikian tersebar dalam bentuk fragmen-fragmen habitat. Perjumpaan aktivitas Cikukua timor (makan, istirahat dan tidur) umumnya berada pada areal yang berbentuk fragmen-fragmen habitat. Keberadaan pohon dan tiang dengan tinggi antara 7-32 m dan diameter >20 cm di tiap tipe habitat yang dijumpai, diduga berfungsi sebagai koridor antara tipe habitat tersebut sehingga terbangun konektivitas antara satu sama lainnya. Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa 80% aktivitas Cikukua timor (makan, sosial dan beristirahat) berada pada vegetasi pohon. Philemon corniculatus di Australia umumnya hidup di hutan eukaliptus, terutama eukaliptus dengan tumbuhan bawah berupa rumput dan semak-semak yang menyebar. Umumnya berdiam di wilayah berhutan yang sehat hampir tak dipengaruhi oleh kerusakan, tapi juga biasa di patch-patch kecil dan wilayah hutan yang terfragmentasi (Higgins et al. 2001). Martensen et al. (2008) menyatakan bahwa ukuran fragmen yang besar dan tingkat konektivitas yang tinggi merupakan komponen kunci untuk mempertahankan spesies dalam fragmen.
Konektivitas merupakan hal
terpenting dari wilayah fragmen. Lanskap dengan konektivitas yang tinggi, dimana fragmen yang dekat satu sama lain dan atau terhubung oleh koridorkoridor, memberikan kemungkinan bagi burung untuk menggunakan lebih dari satu fragmen untuk mendapatkan sumberdaya yang diperlukan untuk bertahan hidup (Lees dan Peres 2008). 6. Jarak dari jalan Kehadiran Cikukua timor pada suatu suatu lokasi turut ditentukan oleh faktor jarak dari jalan. Hasil analisis regresi menunjukkan koefisien regresi sebesar -0,188 dengan nilai P = 0,001 (Lampiran 10). Interpretasi hasil regresi dapat diuraikan bahwa semakin dekat dengan jalan, tingkat kehadiran Cikukua
113 timor akan semakin tinggi. Hasil studi menunjukkan jarak kehadiran Cikukua timor dari jalan yaitu 3- 142 m, dan tingkat kehadiran Cikukua timor tertinggi (57,5%) berada rentang jarak 3-37 m dari jalan. Pada jarak > 142 m dari jalan tidak ditemukan kehadiran Cikukua timor (Gambar 19). Kehadiran Cikukua timor dekat dengan jalan diduga karena: 1. Cikukua timor merupakan spesies generalis, pada umumnya spesies generalis memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap tekanan lingkungan fisik dan biotik yang tinggi seperti yang terjadi di lanskap ini. Menurut Valido et al. (2004) spesies generalis memiliki sebaran yang luas dan spesies yang sangat umum dengan interaksi penyerbukan yang tinggi serta dapat bertindak sebagai sebagai spesies kunci (keystone species). 2. Cikukua timor merupakan spesies yang dekat dengan manusia, sehingga kehadiran manusia selama tidak melakukan aktivitas menggangu atau mengacam kehadirannya tidak menjadi faktor pembatas kehadirannya. 3. Distribusi pohon pakan dan tiang cover banyak tersedia di sekitar jalan baik di dalam maupun luar kawasan hutan, lahan budidaya masyarakat dan permukiman. Pada umumnya jalan dibangun dekat dengan tempat aktivitas manusia seperti dekat areal budidaya dan permukiman. Umumnya di areal budidaya dan permukiman banyak di tanam tanaman sumber pakan ternak yang berpotensi sebagai sumber pakan Cikukua timor seperti E. variegate, S. glandiflora, dan L. glauca. Lokasi sekitar jalan di kawasan hutan TWA Camplong banyak tanaman sumber pakan dan cover Cikukua timor seperti S. oleosa, G. malabarica, dan E. alba. 4. Jalan pada umumnya dibangun di daerah yang datar dan landai, dan Cikukua timor nampak lebih menyukai (prefered) daerah kemiringan datar dan landai yang memiliki banyak ketersediaan kebutuhan sumber pakan dan cover. 5.2.3. Populasi Cikukua timor Dugaan populasi Cikukua timor di wilayah studi menggunakan metode distance sampling (pengambilan contoh jarak jauh). Menurut Khul et al. (2011), metode ini paling banyak digunakan saat ini, dan telah dijelaskan secara menyeluruh oleh Buckland et al. 1993, 2001, 2004). Pengambilan sampel jarak jauh dapat didasarkan baik pada deteksi satwa sendiri atau pada tanda-tanda
114 keberadaan satwa (juga disebut isyarat) seperti sarang dan kotoran pada transek yang telah ditetapkan (Khul et al. 2011). Pendeteksian satwa dalam penelitian ini berdasarkan penemuan langsung baik dengan kontak fisik maupun suara burung Cikukua timor. Tanda lain selain kedua bentuk kontak tersebut, seperti sarang dan kotoran (feces) tidak lakukan dalam pengamatan ini karena tidak dapat didentifikasi secara jelas di lapangan. Saat penelitan ini berlangsung (Mei-Juli) tidak ditemukan sarang, karena waktu berbiak diperkirakan telah berlangsung antara dua atau tiga bulan sebelumnya (Februari-April). Seperti telah dijelaskan pada bagian terdahulu (identifikasi komponen habitat biotik), ditemukan dua pasang induk dengan jumlah anak masing-masingnya satu ekor. Pasangan induk Cikukua timor pertama ditemukan pada tipe habitat permukiman di Oel’haulasi, dalam lingkungan pekarangan (luas ± 3000 m2), koordinat “S” 1001’ 26,4” dan “E” 123055’35,7”, elevasi 264 m dpl. Pasangan induk Cikukua timor kedua ditemukan pada tipe habitat belukar di Tuanamolo, koordinat “S” 1001’ 22,8” dan “E” 123055’57,5”. Data pengamatan populasi Cikukua timor pada satu tipe habitat perjumpaan dikelompokkan secara terpisah dengan tipe habitat lainnya. Menurut Sutherland (2006), asumsi distance sampling bahwa kepadatan satwa adalah konstan dalam sekitar areal garis transek atau titik dan ini memberikan suatu estimasi kepadatan tersebut. Variasi kecil pada kepadatan sekitar garis transek tunggal tidak menyebabkan banyak bias dalam menduga kepadatan rata-rata, tetapi jika habitat yang secara jelas heterogen, dengan bagian-bagian habitat bervariasi dapat diamati secara terpisah. Hal ini sangat penting dalam metode distance karena seperti halnya kepadatan satwa berbeda dalam habitat yang berbeda, kemampuan pendeteksiannya mungkin akan berbeda. Berdasarkan hasil analisis kepadatan populasi menggunakan distance sampling dapat dinyatakan bahwa tingkat kepadatan populasi di lokasi penelitian terkategori rendah dengan nilai total kepadatan pada berbagai tipe habitat tersebut yaitu 0,5755/ha. Kepadatan populasi terendah (0,0164 atau 2,85%) terdapat di wilayah permukiman dan tertinggi (0,3107 atau 54,28%) di kawasan perkebunan jambu mete. Menurut Coates et al. (2000) burung ini merupakan burung endemik yang tersebar luas di Pulau Timor mulai dari wilayah Timor Barat, Indonesia
115 sampai Timor Leste sampai kawasan Wallacea. Cikukua timor di Timor Leste mempunyai kelimpahan terkategori common redisent (cr) (Trainor et al. 2008). Tingkat populasi Cikukua timor yang rendah di kawasan ini dapat diduga disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut; 1. Kerapatan pohon pakan rendah Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa kerapatan pohon pakan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kehadiran Cikukua timor. Kerapatan pohon pakan di lanskap Camplong (Mei-Juli) tergolong rendah (6,5 batang/ha), sehingga diduga sebagian populasi Cikukua timor menyebar untuk mencari sumber daya pakan dan cover di tempat lain. Fenomena ini bertujuan untuk menghindari kompetisi dalam memperoleh sumber pakan. Jumlah jenis vegetasi pakan yang sedang berbunga tersedia dalam jumlah yang sedikit, yaitu; 8 jenis pakan tingkat pohon, 8 jenis pakan tingkat tiang dan 7 jenis pakan tingkat pancang (Gambar 21). Semua jenis vegetasi pakan ini mulai berbunga pada awal sampai pertengahan musim panas (April-Juli). Pada bulan Juli ditemukan tumbuhan G. malabarica mulai berbunga dan mungkin akan berakhir sampai bulan September. Menurut Wiens (1989), lingkungan fisik menentukan batas distribusi pada banyak biota. Woinarski et al. (1988)diacu dalam Neave (1996), menjelaskan bahwa perubahan musiman pada vegetasi, secara phenologi saat berbunga dan berbuah, dapat meningkatkan distribusi kepadatan burung, khususnya spesies nekatrivora yang memiliki mobilitas tinggi. 2. Distribusi dan musim berbunga vegetasi sumber pakan Sebaran dan kerapatan vegetasi pakan Cikukua timor hanya terdistribusi pada tempat-tempat tertentu saja atau tidak merata di seluruh tipe habitat di lanskap Camplong. Setiap jenis tumbuhan memiliki periodisasi masa berbunga yang tidak sama, sehingga hanya ada sebagian saja tumbuhan yang memiliki masa berbunga pada bulan Mei sampai Juli (Gambar 21). Neave et al. (1996), menyatakan struktur, komposisi floristik dan berbunga dari vegetasi dapat mempengaruhi distribusi burung menurut ruang dan waktu. Variabel yang terkait dengan kebutuhan habitat yang lebih spesifik dari burung adalah floristik vegetasi dan posisi topografi. Variabel-variabel
116 tersebuut mungkinn menggam mbarkan keleembaban taanah dan kaandungan nutrisi n substraat pada habiitat yang disukai. 3. Kerusaakan habitat Banyak vegetasi v sum mber pakann ditemukan n ditebang terutama Cassia C sp un ntuk dijadikkan sumberr kayu bakkar. Fenom mena peneb bangan veggetasi sumbeer pakan inii lebih banyyak dijumpai di dalam m kawasan TWA T Campplong (Gambbar 47).
Gambaar 47 Tungggak penebaangan liar veegetasi sum mber pakan nektar n Casssia sp di tipe habitat huutan primer TWA Cam mplong. Pada saaat penelitiann ini ditem mukan sebaanyak 20 titik t perjum mpaan penebaangan vegettasi sumberr pakan. Seetiap titik terrsebut dapaat dijumpai lebih dari 10 1 pohon yang ditebbang dengaan berbagai modus seperti s langgsung ditebanng atau diawali peng gulitan pohhon, jika teelah kering akan ditebang. Disam mping itu, praktek p penggembalaaan ternak sapi secaraa liar di dalam d kawasan telah terrjadi bertahuun-tahun daan diduga berkontribus b si besar terhhadap hnya regeneerasi tumbuuhan sumbeer pakan, kaarena diinjaak dan dim makan. rendah Penggembalan terrnak dalam m kelompok yang besarr (> 20 ekoor per kelom mpok) dapat mengakibattkan terjadii pemadatann tanah sehhingga pertu umbuhan tinngkat semai menjadi teertekan bahk kan tak dappat tumbuh dengan baik. Peninggkatan tekanaan penggem mbalaan di dalam d kawassan hutan mengarah m keepada penurrunan kepadaatan dan kerragaman tum mbuhan di kawasan k ini. Invasi sppesies C. odorata pada areal terbuka beekas kebakkaran, penebaangan liar, dan pengggembalaan liar telah menyebabk m an pertumbbuhan tingkaat semak dann pancang tumbuhan t l lain menjad di tertekan dan d bahkan mati.
117 Kondisi ini menyyebabkan proses p sukseesi pada areeal-areal teersebut tak dapat berlanngsung samppai tingkat klimaks. k 4. Perburruan liar (illlegal huntinng) Tingkat perburuan illegal sanngat marak terjadi di dalam dann luar kawasan TWA Camplong. C Perburuann illegal diiduga menjjadi faktor yang paling besar berppengaruh terrhadap penuurunan poppulasi burunng ini di lannskap Campllong. Hasill wawancarra dengan masyawaka m at lokal dan n petugas TWA T Campllong menyaatakan tingkkat perburuaan illegal di d kawasan ini i sangat m marak terjadii setelah berrgulirnya erra reformasii pada tahun n 1998 samppai saat ini. Hasil obsservasi selama kegiatann penelitian n berlangsunng menunjuukkan bahwaa dalam sem minggu dap pat diketem mukan 3-4 pemburu p illlegal bersennapan angin dan ketapeel (alat berbburu tradisional) sedanng melakukkan perburuuan di dalam dan luar kaawasan hutaan(Gambar 48). 4
a. Kotaa peluru sen njata angin
b. Pemburu bersenjata anginn
kettapel
c. Pemburuu tradisionall menggunaakan ketapell d alat berburu modern (senaapan Gambar 48 Kegiataan perburuaan illegal dengan angin) dan perburu uan tradisioonal (ketapel). Motivasi M perrburuan liarr didorong oleh o penyaluran hobi berburu b dann hasil buruan diikonsumsi untuk pem menuhan keebutuhan protein p hew wani. Umum mnya pemburu berasal b darii usia remaaja sampai dewasa d prooduktif yangg tidak mem miliki pekerjaan tetap dan sebagiannyaa berprofesi sebagai pennggembala ternak sapi yang menggembbalakan ternnaknya secaara liar di daalam kawassan hutan TW WA Campllong.
118 Frekuensi survei populasi Cikukua timor dalam lanskap Camplong sampai dengan saat ini belum diatur secara regular. Padahal survei secara regular akan memberikan informasi penting tentang situasi populasi dan intensitas ancaman. Kegiatan survei sebaiknya dilakukan secara konsisten dan kontinu yang diatur dalan rentang waktu yang lebih singkat. Menurut Kuhl et al. (2011), bahwa jarak waktu yang lebih singkat antar waktu survai yang diulangi lebih baik, karena ini akan memberikan informasi untuk analisa berdasarkan waktu seri, tetapi hal ini akan terhalang oleh biaya dan kekurangan tenaga kerja. Varian sekitar estimasi dalam setiap survei harus kecil agar trend signifikan dari waktu ke waktu dapat terdekteksi. 5.2.4. Penutupan lahan lanskap Camplong Lanskap Camplong merupakan pusat dari wilayah Fatuleu. Pada saat ini wilayah Fatuleu terbagi dalam beberapa daerah pemekaran diantaranya adalah wilayah Kecamatan Fatuleu Barat. Menurut Fisher (2012), areal berhutan di Kecamatan Fatuleu Barat merupakan campuran hutan savana pantai (coastal savanna), savana palem-paleman (palm savanna), dan hutan eukaliptus (eucalyptus woodland) dengan hanya 10% tutupan hutan. Penelitian tentang perubahan tutupan lahan hutan telah menunjukkan sebagai daya pengerak (driving force) dan keterkaitan proximate (lokal) yang kompleks dan multivariate (Geist dan Lambin 2002). Data yang diperoleh satelit dari tutupan lahan hutan dan penggunaan lahan telah menjadi dasar sumber informasi yang diterima untuk menilai kondisi hutan tropis (Fuller dan Chowdhury 2006). Tipe penutupan lahan lanskap Camplong berdasarkan hasil analisis ArcGis 9.3 dan ERDAS 9.1 melalui klasifikasi supervised diperoleh nilai akurasi klasifikasi 83,94% dan Kappa (K^) Statistik = 0,8210 (Lampiran 13). Hasil klasifikasi tutupan lahan menunjukkan habitat belukar merupakan tipe tutupan lahan paling mendominasi di wilayah ini sebesar 16,5% (406,53 ha) dari total luas 2470,11 ha. Dominasi tutupan lahan belukar menggambarkan tingkat intensitas terjadi perubahan pola penggunaan lahan dari lahan berhutan dengan vegetasi berkayu rapat menjadi lahan terbuka dengan sedikit pepohonan. Belukar merupakan penutupan lahan berupa vegetasi pohon setinggi 1,5 m dan atau
119 diameter < 20 cm, serta biasanya merupakan bekas areal pertanian yang ditinggalkan masyarakat. Praktek pertanian pada lanskap Camplong pada umumnya berupa pertanian berpindah, dan bentuk pertanian berpindah masih merupakan salah satu ciri khas pengolahan lahan budidaya pertanian oleh masyarakat tradisional di Pulau Timor. Pola pertanian berpindah masih terus berlanjut hingga tahun 2011. Fisher (2012) menyatakan matapencaharian masyarakat di wilayah Fatuleu Barat, Amarasi, Amfoang Barat Daya dan Bipolo kebanyakan subsisten, berdasarkan sistem pertanian berpindah (shifting agriculture). Tutupan lahan belukar merupakan tipe tutupan lahan yang mendominasi di lanskap Camplong, namun bila dibandingkan dengan keseluruhan total penutupan lahan berhutannya, maka areal berhutan masih mendominasi sebesar 31,4% yang terdiri dari hutan tanaman 14,3%, hutan primer 11,6%, dan hutan sekunder 5,5%. Jenis vegetasi dominan pada tutupan lahan hutan tanaman adalah T. grandis, D. regia, dan C. siamea. Areal tutupan lahan berhutan sebagian besar berada dalam kawasan hutan TWA Camplong. Fisher (2012) menyatakan bahwa kurang dari 4% lahan berhutan masih eksis di dalam taman nasional (national parks) dan cagar alam (nature reservers), dibandingkan dengan rata-rata nasional 18%. Persentase penutup lahan berhutan yang cukup besar menunjukkan bahwa secara umum lanskap Camplong masih memiliki tutupan hutan yang baik. Tingkat deforestasi di wilayah ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Fisher (2012) di daerah sekitar Camplong seperti Bipolo, Amarasi, Amfoang Barat, dan Fatuleu Barat yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Kupang. Hasil penelitian Fisher (2012), tingkat deforestasi di Timor Barat relatif kecil bila dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Luas hutan yang hilang di wilayah Fatuleu Barat relatif kecil, hanya 680 ha, namun laju kehilangan terus meningkat, tetapi beberapa wilayah seperti Bipolo, Amarasi, dan Amfoang Barat Daya, telah terjadi laju deforestasi yang tinggi. Luas daratan Kabupaten Kupang 854 km2 atau 17% terkategori hutan. Di Kecamatan Amfoang Barat Daya, terjadi laju penebangan (clearing) yang cepat, 15% (1825 ha) hutan telah di tebang, kebanyakan terjadi (10%) selama periode studi (2000-2006). Wilayah Bipolo memiliki sedikit wilayah berhutan, tetapi selama 25 tahun terakhir terjadi
120 penurunan luas tutupan hutan yang besar dibandingkan dengan Amfoang Barat Daya, Fatuleu Barat, dan Amarasi. Hampir 20% dari wilayah studi Bipolo 4900 ha telah kehilangan areal berhutan. Tingkat deforestasi di wilayah Bipolo terjadi 13% selama dua belas tahun periode 1994 - 2006. Wilayah Fatuleu memiliki kepadatan populasi manusia rendah (90 orang 2
/km ). Program translokasi dinyatakan sebagai kekuatan utama penggerak pembangunan yang mempengaruhi tutupan lahan di wilayah Fatuleu Barat. Wilayah ini dekat dengan Kota Kupang, bagian paling padat penduduk di Timor Barat
dengan
tekanan
populasi
manusia
berpotensi
meningkat
karena
pengembangan ibukota baru Kabupaten Kupang yang berada di wilayah Naibonat. Wilayah Amarasi masih memiliki sisa hutan 33% (Fisher 2012). Kondisi lanskap Camplong pada waktu penelitian ini dilakukan (MeiJuli), sedang berada pada peralihan akhir musim hujan ke puncak musim kering (Agustus-September). Menurut Saripin (2003), jenis vegetasi merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam mengidentifikasi penutupan lahan. Selama periode ini, kondisi vegetasi masih tampak hijau, namun pada daerah tipe penutupan lahan berupa padang rumput/savana, belukar dan semak, beberapa jenis vegetasi sudah mulai tampak kering terutama daun C. odorata. Jenis tanaman ini paling
mendominasi
pada
ketiga
tipe
tutupan
lahan
tersebut.
Dalam
mengidentifikasi penggunaan lahan dengan citra landsat, selain beberapa unsur seperti keadaan genangan air dan tanah terbuka, perlu diperhatikan jenis vegetasi (Saripin 2003). Kondisi awan di lokasi penelitian pada saat musim kering nampak cerah, sehingga kemampuan untuk mengidentifikasi suatu objek tidak sulit. Kendala dalam analisis penutupan lahan menggunakan citra landsat antara lain adalah apabila daerah berawan maka objek sulit diidentifikasi/diinterpretasi. Demikian pula bila peliputan landsat pada musim kering dan semua sawah yang ada di daerah tersebut ditanami palawija, maka perbedaan lahan sawah dengan lahan kering sulit dilakukan. Untuk menanggulangi hal tersebut, dilakukan pengambilan titik-titik koordinat lapangan pada setiap tipe habitat dan batas antar setiap tipe habitat. Pengambilan titik-titik koordinat tersebut bertujuan untuk memudahkan dalam proses identifikasi klasifikasi penutupan lahan di lokasi studi. Titik-titik
121 koordinat diambil sebanyak mungkin (representatif) di tiap tipe habitatat. Menurut Saripin (2003), untuk mengatasi masalah kesulitan mengidentifikasi suatu obyek diperlukan peta pendukung misalnya peta tata guna tanah. Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat Thematic Mapper dan pengecekan di lapangan serta ditunjang peta tata guna tanah, maka tipe penggunaan lahan di daerah penelitian dapat di klasifikasikan dengan baik. 5.2.5. Gangguan habitat Cikukua timor Gangguan habitat Cikukua timor bersumber dari beberapa faktor diantaranya adalah; illegal logging, penggembalaan ternak secara liar, jaringan jalan, pertanian berpindah dengan sistem tebas bakar, penyerobatan kawasan hutan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu secara illegal seperti kayu bakar, pemangkasan tumbuhan pakan ternak.
Gangguan yang diduga paling serius
terhadap habitat Cikukua timor yaitu; 1. Penebangan liar Penebangan liar (illegal logging) marak terjadi di dalam kawasan hutan TWA Camplong.
Ditemukan 27 titik penebangan liar di dalam kawasan
hutan. Jenis tumbuhan yang dijarah antara lain; tanaman jati, beberapa jenis vegetasi sebagai sumber kayu bakar dan sumber pakan ternak. Fisher (2012) menyatakan bahwa beberapa penebangan skala kecil dan pengembangan perkebunan sebagai kekuatan sekunder yang mempengaruhi tutupan lahan di wilayah Fatuleu Barat. 2. Penggembalaan ternak secara liar Penggembalaan ternak sapi secara liar banyak dilakukan oleh masyarakat di dalam kawasan TWA Camplong. Ada kurang lebih enam sampai tujuh kadang sapi berada di dalam kawasan TWA Camplong, tersebar di Pal E-29, kali Oetobe (tegakan jati dan johar), Pal B-67,68 dan 69. Dampak penggembalaan ternak sapi secara liar di dalam kawasan dapat menyebabkan tanah menjadi padat, mematikan pertumbuhan tingkat semai dengan cara diinjak, memakan vegetasi tingkat semai dan pancang.
Hampir ada lima
kelompok ternak sapi dengan jumlah tiap kelompok berkisar antara 10-50 ekor sapi. Kelompok ternak sapi mewakili kepemilikan masing-masing orang atau keluarga.
122 3. Jaringan jalan Aksesibilitas seperti jaringan jalan kendaraan (lebar badan jalan ± 5 m) yang menghubungkan antar desa dan kampung di sekitar kawasan banyak di bangun melintasi kawasan TWA Camplong, seperti jalur enclave Oebola Dalam dengan Kampung Oelsabloit, enclave Oebola Dalam dengan Kota Kecamatan Camplong (2 jalur), Tanah Merah dengan Kampung Oesabloit. Jaringan jalan negara trans-Pulau Timor tepat berada dalam kawasan TWA Camplong dengan lebar badan jalan ± 6 m. Ada pula banyak jaringan jalan setapak yang mengubungkan antar kampung di sekitar kawasan TWA Camplong. 5.2.6. Implikasi bagi konservasi 5.2.6.1. Habitat Cikukua timor Hasil observasi aktivitas Cikukua timor yang diamati dalam penelitian ini menunjukkkan bahwa burung ini hanya terdistribusi di enam tipe habitat (Gambar 9), dan dari ke-enam tipe tersebut hanya empat tipe habitat ditemukan sebagai lokasi pengamatan data populasi yaitu; belukar, kebun jambu mete, kebun palawija dan permukiman. Pada tipe-tipe habitat yang tidak ditemukan Cikukua timor diduga tidak tersedia tumbuhan sumber pakan dan cover yang mampu memenuhi kebutuhannya. Hasil penelitian menunjukkan kerapatan pohon pakan di lanskap Camplong terkategori rendah. Perbedaan periodisasi musim berbunga dari beberapa tumbuhan sumber pakan mendorong Cikukua timor untuk mencari lokasi sumber pakan di tempat lain. Ketersedian sumber pakan dan cover berkaitan erat dengan luas habitat yang mampu menyediakan sumber daya yang sesuai dengan yang dibutuhkan Cikukua timor. Luas lanskap Camplong adalah 2470, 11 ha, terbagi dalam dua bentuk kawasan yaitu kawasan hutan TWA Camplong seluas 696,6 ha dan bukan kawasan hutan seluas 1773,51 ha. Tumbuhan sumber pakan Cikukua timor lebih banyak (30%) ditemukan di areal hutan primer seluas 285,3 ha dan 20% ditemukan di hutan sekunder seluas 135 ha, sedangkan di luar kawasan hutansebaran tumbuhan pakan relatif lebih sedikit padahal areal bukan kawasan hutan merupakan wilayah terluas di lanskap Camplong.
123 Upaya yang perlu dilakukan dalam perbaikan habitat sumber pakan dan cover adalah; 1. Reboisasi dengan penanaman vegetasi pakan di dalam kawasan hutan TWA Camplong dengan prioritas tumbuhan sumber pakan lokal/asli. Tumbuhan lokal umumnya telah teradaptasi dengan lingkungan setempat seperti G. malabarica, S. comosa, E. alba, Cassia sp, Myristica sp dan F. benjamina. 2. Penghijauan dengan penanaman vegetasi pakan dan cover di luar kawasan hutan dengan prioritas tanaman sumber pakan lokal/asli seperti G. arborea. 3. Habitat Cikukua timor banyak ditemukan pada areal edge hutan dan lahan terbuka seperti kebun masyarakat dan permukiman penduduk. Oleh karena itu perlu perhatian khusus terhadap bagian-bagian tersebut untuk menjaga kelestarian Cikukua timor. 4. Habitat Cikukua timor lebih banyak berada di luar kawasan hutan, sehingga perlu perhatian khusus dari semua pihak (tokoh adat/masyarakat lokal, tokoh agama, pendidik tingkat SD, SMP dan SMA setempat, pemerintah, dan pengelola TWA Camplong). Diperlukan kolaborasi dari semua pihak tersebut untuk mensosialisasikan dampak kerusakan habitat terhadap pertumbuhan dan perkembangan Cikukua timor di lanskap Camplong. 5. Cikukua timor merupakan jenis pemakan nektar yang dapat berfungsi sebagai agen penyerbuk tanaman budidaya masyarakat seperti pinang, kelapa, jambu mete, dan tumbuhan hutan lain. Oleh karena itu semua pihak terkait perlu melakukan sosialisasi dan penyuluhan terprogram kepada seluruh elemen masyarakat lokaldan pengujung (wisatawan) TWA Camplong tentang peran penting Cikukua timor dalam sistem bio-ekologi setempat. Penanaman tanaman sumber pakan di prioritaskan pada areal terbuka seperti areal lahan kosong bekas kebakaran, semak dan belukar yang telah diivasi tumbuhan C. odorata. Jenis tumbuhan sumber pakan yang ditanam harus memperhatikan siklus pembungaan yang berkelanjutan setiap bulan dalam satu tahun kelender pembungaan. Tumbuhan sumber pakan Cikukua timor yang berpotensi obat seperti G. malabarica dan S. comosa harus lebih banyak dikembangkan oleh masyarakat setempat di sekitar areal tempat tinggalnya agar praktek pengambilan dari kawasan hutan dapat di kurangi. Pada umumnya bagian
124 kulit dari kedua jenis tumbuhan obat tersebut diambil dengan cara pengulitan kulit batang yang berpotensi mematikan tanaman atau tumbuhan itu sendiri. 5.2.6.2. Populasi Cikukua timor Hasil analisis dugaan kepadatan populasi Cikukua timor di lanskap Camplong tergolong rendah (0.5755 ha) yang hanya terdata pada 4 dari 11 tipe habitat yaitu; areal belukar, kebun jambu mete, kebun palawija, dan permukiman. Cikukua timor dan Cikukua tanduk merupakan burung yang hidup dekat dengan manusia. Masyarakat pedesaan umumnya mengandalkan kicauannya di waktu pagi untuk memberikan tanda menjelang pagi hari (antara pukul 04.3005.30) dan petang atau sore hari (pukul 17.30-18.30) untuk memberikan tanda menjelang malam. Durasi kicauan kurang lebih 15-20 menit. Tanda kicauan tersebut dapat berfungsi sebagai “alarm device” (alat alaram) atau “time alarm” alamiah bagi masyarakat pedesaan. Penanda waktu dari alam ini sangat membantu masyarakat dalam beraktivitas ketika teknologi penanda waktu moderen berupa jam tangan, jam dinding, handphone dan sejenisnya belum dikenal dan dimiliki oleh masyarakat pada saat ini. Peningkatan populasi Cikukua timor dapat memberikan peran biologis sebagai agen penyerbuk tanaman baik tanaman budidaya maupun tumbuhan hutan. Kegagalan panen pada beberapa tanaman budidaya perkebunan seperti jambu mete, kelapa, pinang, dan lain-lainnya dapat diduga mengindikasikan bahwa peran satwa sebagai agen penyerbuk di kawasan ini tidak berada dalam kondisi optimal akibat tidak terjadinya pertumbuhan populasi dari satwa agen penyerbuk dalam kondisi yang optimum. Hasil penelitian memberikan gambaran tentang beberapa upaya penting terkait konservasi Cikukua timor di lanskap Camplong yaitu; 1. Keberadaan Cikukua timor lebih banyak (60%) ditemukan di luar kawasan hutan daripada dalam kawasan TWA Camplong.
Oleh karena itu perlu
dilakukan kegiatan penyuluhan tentang peran penting burung pemakan nektar dalam sistem bio-ekologi setempat. 2. Penyebab utama penurunan populasi Cikukua timor di lanskap Camplong diduga karena kegiatan perburuan liar dengan menggunakan senapan angin dan ketapel (alat berburu tradisional). Pemburu liar umumnya berasal dari
125 kelompok remaja usia produktif yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Upaya penanggulangan aktivitas perburuan liar dapat dilakukan dengan pembentukan kelompok kader-kader konservasi yang direkrut dari pemuda yang tidak memiliki pekerjaan tetap untuk membantu pengelola TWA Camplong dalam kegiatan konservasi satwa dan tumbuhan di lanskap Camplong. Pencegahan perilaku penggembala ternak sapi bersenapan angin di dalam dan luar kawasan hutan. 3. Cikukua timor banyak ditemukan di daerah edge hutan dengan kebun masyarakat, areal terbuka di dalam dan luar kawasan hutan sehingga mudah untuk diburu dengan senjata angin. Oleh karena itu, perlu adanya langkah tegas dan komprehensif dari petugas keamanan BKSDA dan kepolisian setempat atas kepemilikan senjata angin dan sejenisnya oleh masyarakat setempat terutama yang sering melakukan perburuan liar. 4. Penegakan hukum bagi pelaku praktek illegal loging, illegal hunting, dan penggembalaan ternak secara liar di dalam kawasan.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan Simpulan dari penelitian ini sebagai berikut; 1. Karakteristik habitat Cikukua timor berdasarkan peubah komponen habitat fisik diperoleh empat variabel yang berpengaruh dominan terhadap kehadiran Cikukua timor yaitu; slope, jarak dari hutan sekunder, sungai, dan jalan. Cikukua timor lebih dominan dijumpai pada kemiringan lereng 3 - 15% (datar-landai), jarak 0 - 365 m dari hutan sekunder, jarak 3 - 364 m dari sungai, jarak 3 - 37 m jarak dari jalan. Karakteristik habitat Cikukua timor berdasarkan peubah komponen habitat biotik diperoleh dua faktor yang memiliki pengaruh dominan terhadap kehadiran Cikukua timor
yaitu;
kepadatan pohon pakan dan tiang sebagai cover. Jenis vegetasi pohon pakan yang memiliki tingkat kerapatan tertinggi (6,5 batang/ha) adalah G. malabarica, sedangkan jenis vegetasi tiang sebagai cover yang memiliki kerapatan tertinggi (42,5 batang/ha) adalah S. oleosa. Peubah komponen habitat fisik dan biotik yang paling determinan kehadiran Cikukua timor adalah kerapatan pohon pakan dengan nilai koefisien regresi tertinggi (0,531) pada nilai R2 (adj) = 68,2% dengan nilai P = 0,001. 2. Estimasi kepadatan populasi Cikukua timor di lanskap Camplong seluas 2479,11 ha adalah terkategori rendah (0,575 ekor/ha), terdistribusi di habitat belukar 0,0592 ekor/ha, areal permukiman 0,0164 ekor/ha, kebun palawija 0,1892 ekor/ha, dan kebun jambu mete 0,3107 ekor/ha. 6.2. Saran Saran dari penelitian ini sebagai berikut; 1. Perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut terhadap karakteristik habitat dan populasi burung Cikukua timor khususnya di luar periode waktu penelitian ini, karena keberadaan Cikukua timor sebagai spesies nektarivora pada suatu tempat tertentu dipengaruhi oleh saat berbunga dari jenis tumbuhan yang ada di kawasan Camplong. Data dan informasi karakteristik habitat yang
128
komprehensif dalam periode waktu satu tahun akan membantu rencana konservasi Cikukua timor di kawasan Camplong. 2. Perlu dibuat kelender pembungaan dari tanaman penghasil nektar selama satu tahun agar dapat dirancang upaya konservasi tumbuhan sumber pakan berdasarkan distribusi ketersediaan tumbuhan sumber pakan nektar dalam periode satu tahun. 3. Pencegahan dan penindakan hukum bagi pelaku illegal hunting, illegal loging dan penggembalaan ternak secara liar. 4. Perlu dilakukan studi lanjut yang lebih komprehensif tentang penyebab penurunan populasi Cikukua timor di lanskap Camplong dan bagian Timor Barat (Indonesia) pada umumnya agar diperoleh data dan informasi yang lengkap untuk merancang aksi konservasi Cikukua timor pada masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Aarts G, MacKenzie M, McConnell B, Fedak M, Matthiopoulos J. 2008. Estimating space-use and habitat preference from wildlife telematery data. Ecography 31: 140-160. Adiningsih ES, Mahmud, Effendi I. 2004. Aplikasi analisis komponen utama dalam pemodelan lengas tanah dengan data satelit multispectral. Jurnal Matematika dan Sain 9 (1):215-222. Alves G. 2007. Thematic assessment report The United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD)- National Capacity Self Assessment (NCSA) Project Timor Leste. Dili: National Consultant Thematic Work Group (TWG) Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Ambagau Y. 2011. Analisa kesesuaian habitat burung maleo (Macrocephala maleo) di Taman Nasional Bogani Nano Wartabone. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor Anderson SH. 2002. Managing Our Wildlife Resources.Fourth Edition. New Jersey: Upper Saddle River. Anderson DR, Burnham KP, Laake JL, Borchers DL, Thomas L, Buckland ST. 1993. Distance Sampling, Oxford University Press, Oxford. Arrijani, Setiadi D, Guharja E, Qayim I. 2006. Analisis vegetasi hulu DAS Cianjur Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Biodiversitas 7(2):147153. Aunuddin 1989. Bahan Pengajaran Analisis Data. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Bailey JA. 1984. Principles of Wildlife Management. New York: John Wiley & Sons. Barnes DM, Malik AU. 1997. Habitat factors influenceing Beaver DAM establishment in a Northern Ontorio Watershed. J. Wildl. Managed. 61(4):1371-1377 Basuni S. 1988. Studi relung ekologi tiga jenis burung srangenge (family Nectariniidae di Hutan Gunung Walet, Sukabumi. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascas Sarjana, Institut Pertanian Bogor
130 Beehler BM. 1982 Ecological structuring of forest bird communities. Di dalam: Monk KA. Fretes YD, Reksodihardjo-Lilley G. 2000. Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Seri Ekologi Indonesia, Buku V, Penerjemah; Kartikasari SN. Editor. Kartikasari SN. Terjemahan dari: The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Bibby C, Jones M, dan Marsden S. 2000. Teknik-Teknik Ekspedisi Lapangan Survei Burung. BirdLife International-Indonesia Programme. Bogor, Indonesia. BirdLife International. 2009. Philemon inornatus. In IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Spesies Version 2010.4. http://www.iucnredlist.org/apps.[28 Januari 2010] BKSDA [Balai Konservasi Sumber Daya Alam VII] Kupang. 1996. Rencana Pengelolaan Taman Wisata Alam Camplong. Peroiode 1 April 1996 s/d 31 Maret 2021. Kabupaten Kupang. Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang: Departemen Kehutanan Kantor Wilayah Propinsi NTT. Boulton RL, Cassey P, Schipper C, Clarke MF. 2003. Nest site selection by yellow-faced honeyeaters Lichenostomus chrysops. Journal of Avian Biology 34:267-274. BPS [Badan Pusat Statistik] Kecamatan Fatuleu. 2010. Data Penduduk dan Luas Wilayah Kecamatan Fatuleu Keadaan Sampai Akhir Desember 2010. Camplong: Kecamatan Fatuleu. Buckland ST, Anderson DR. Burnham KP. Laake JL. Borchers DL. Thomas L. 2004. Advanced Distance Sampling: estimation abundance of biological population. New York: Oxford University Press. Budi C. 2000. Model Pendugaan biomassa dan indeks luas daun menggunakan Landsat Thematic Mapper (TM) dan Spot Multispektral (XS) di hutan mangrove: studi kasus Segara,Cilacap [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor Castro I, Robertson AW. 1997. Honeyeaters and the New Zeland ForestFlora: the utilization and profitability of small flowers. New Zeland Journals of Ecology. 221(2):169-178. Celuch M, Zahn A. 2008. Foraging habitats preferences of bats: new question in interpretation of bat detector data. Vespertilio 12:3-9. Chalfoun AD, Martin TE. 2007. Assessments of habitat preferences and quality depend on spatial scale and matrics o fitness. Journal of Applied Ecology. 44:983-992.
131 Chander G, Markham BL, Barsi JA. 2007. Revised Landsat-5 Thematic Mapper radiometric calibartion. IEEE Geoscience and Remote Sensing Letters. 4 (3):490-493. Chander G. Groeneveld DP. 2009. Inter-annual NDVI validation of the Landsat-5 TM radiometric calibration. International Journal of remote Sensing. 30(6):1621-1628. Chen JM, Cihlar J. 1996. Retrieving Leaf Area Index of boreal cornifer forests using Landsat TM Images. Remote Sens. Environ. 55:153-162. Clements JF. 2000. Bird of the World: A Checklist. Company,Vista: 573-574. Australia.
Ibis Publishing
Coates BJ, Bishop KD, Gardner D. 2000. Panduan burung-burung di kawasan Wallacea (Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara). Bogor: BirdLife International-Indonesia Proggramme. Coates BJ. 1990. The Birds of Papua New Guinea. 2. Dove Publs, Alderley. Qld. Di dalam: Clements JF. 2000. Bird of the World: A Checklist. Ibis Publishing Company,Vista: 573-574. Australia Cody ML. 1964. An Introduction to Habitat Selection in Birds. Academic Press Inc. Orlando. Crome FHJ. 1978. Foraging ecology of an assemblage of birds in lowland rainforest I northern Queensland. Australian Journal of Ecology 3: 195-212. Di dalam: Monk KA. Fretes YD, Reksodihardjo-Lilley G. 2000. Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Seri Ekologi Indonesia, Buku V, Penerjemah; Kartikasari SN. Editor. Kartikasari SN. Terjemahan dari: The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Darsihardjo. 2004. Model pemanfaatan lahan berkelanjutan di daerah hulu sungai. studi kasus daerah hulu sungai cikapundung, bandung utara [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor Deignan HG. 1964. Rec. Am.-Aust. Scient. Exped. Arnhem Land 4: 345-426. Di dalam: Clements JF. 2000. Bird of the World: A Checklist. Ibis Publishing Company,Vista: 573-574. Australia. Deliso E. 2008. Climate Change and The Hummingbirds of The Monterverde Cloud Forest, Costa Rica. San Jose, CR. Ed. Ke-1. Centro Centifico Tropical. Costa Rica [Department of The Army USA]. 1999. Lan Condition Trend Analysis II: technical reference manual. Chapter 11 Data Analysis and Interpretation. Ecological Monitoring on Army Lands: 556-681.
132 Duma Y. 2007. Kajian habitat, tingkah laku, dan populasi Kalawet (Hylobates agilis albibasbis) di Taman Nasionam Sebangau Kalimantan Tengah. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ekadinata A, Dewi S, Hadi DP, Hugroho DK, Johana F. 2008. Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Bentang Lahan Berbasis Sumberdaya Alam. Buku 1: Sistem Informasi Geografis dan Pengindaraan Jauh Menggunakan ILWIS Open Source. Bogor, Indonesia: World Agroforesty Centre (ICRAF). Ersts PJ, Rosenbaum HC. 2003. Habitat preference reflects social organization of humpback whales (Megaptera nocaeangliae) on a wintering ground. J. Zool.Lond 260:337-345) Farina A. 1998. Principle and Methods in Landscape Ecology. London SEI 8HN, UK: Chapman and Hall, an imprint of Thomson Science, 2-6 Boundary Row. Fisher R. 2012. Tropical forest monitoring, combining satellite and social data, to inform management and livelihood implication: case studies from Indonesian West Timor. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation. 16: 77-84. Ford HA. 1985. A synthesis of the foraging ecology and behavior of birds in eucalypt forests and woodlands. Neave HM. Cunningham RB. Norton TW. Nox HA. 1996. Bilogical inventory for conservation evolution III. Relationship between birds, vegetation and environmental attributes in southern Australia. Forest Ecology and Managements 85:197-218. Ford HA. 1981. Territorial behavior in an Australian nectar-feeding bird. Australian Journal of Ecology. 6 (2):131-134. Ford HA, Paton DC, Forde N, 1979. Birds as pollinators of Australian plants. New Zealand Journal of Botany 17: 309–319 Forman RTT, Gordon M. 1986. Landscape Ecology. Canada: John Wiley & Sons, Inc. Fuller DO, Chowdhury RR. 2006. Monitoring and modelling tropical deforestation: introduction to the special issue. Singapore journal of Tropical Geography. 27:1-3. Geist HJ, Lambin EF. 2002. Proximate causes and underlying driving forces of tropical deforestation. BioScience 52 (2):143-150. Graf A. 2008. Influencing habitat selection and use through conspecific attration and supplementary feeding [Thesis]. Linccoln Unuversity.
133 Hanski I. Tiainen J. 1989. Bibrd ecology and Taylor’s variance-mean regression. Ann. Zool. Fennici 26:213-217. Hasibuan KM. 1988. Pemodelan Matematika di dalam Biologi Populasi Dinamika Populasi. Bogor: Pusat Antar Universitas IPB & Lembaga Sumber Daya Informasi IPB. Henriques PDS, Narciso V. 2010. There role traditional land use syste in the well-being of rural Timor-Leste. 4th Asian Rural Sociology Association (ARSA) International Conference. Legaspi City, Philippines. Higgins, PJ, Peter, JM dan Steel WK. 2001. Handbook of Autralian, New Zealand and Antarctic Bird. Vol.5. Tyrant-flycatchers to Chats. Oxford University Press: Melbourne. Di dalam: Tokue K. dan Ford HA. 2007. The influence of patterns of food abundance on the breeding seasons and clutch-sizes of Red Wattlebirds an Noisy Friarbirds. Emu. 107:151-155 Higgins PJ, Peter JM, Steele WK. [Eds]. 2000. Handbook of Australian, New Zealand and Antarctic Birds. Vol 5. Tyrant Flycatchers to Chats. Oxford University Press, Melbourne. [Pages 529-573] Holmes RT, Robinson SK. 1981. Tree species preferences of foraging insectirivorous birds in a sorthern hardwoods forest. Oecologia: 48:31-45. Di dalam: Neave HM. Cunningham RB. Norton TW. Nox HA. 1996. Bilogical inventory for conservation evolution III. Relationship between birds, vegetation and environmental attributes in southern Australia. Forest Ecology and Managements 85:197-218. Hosmer DW, Hosmer T, Cessie S L, Lemeshow S. 1997. A comparison of goodness-of fit tests for the logistic regression model. Statistics in Medicine. 16:965-980. Indrawan M, Supriatna J, Primack RB, 2007. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara. IUCN [International Union for the Conservation of Nature and Nature Resources]. 2011. Red List: Philemon inornatus. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details. [19 Perbruari 2011] Irawan N, Astuti SP. 2006. Mengelola Data Statistik dengan Menggunakan Minitab 14. Yogyakarta: C.V. Andi Offset. Isaach JP, Costa CSB, Gallego LR, Conde D, Escapa M, Gagliardini DA, Iribarne OO. 2006. Distribution of saltmarsh plantcommunities associated with environmental factors along a latitudinal gradient on the south-west Atlantic coast. Journal of Biogeography. 33:888-900.
134 Jaya INS. 2010. Analisis Citra Digital: Perspektif pengindraan jauh untuk pengelolaan sumberdaya alam, teori dan praktik menggunakan ERDAS Imagine. Bogor: Fakultas Kehutanan Insititut Pertanian Bogor. Jaya INS. 2002. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Kehutanan:penuntun praktis menggunakan Arc/Info dan ArcView. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Johnstone RE. 1983. Wildl. Res. Bull.West.Aust. 11:54-69. Di dalam: Clements JF. 2000. Bird of the World: A Checklist. Ibis Publishing Company, Australia.Vista: 573-574. Johnstone RE et al. 1977. Wildl.Res. Bull.West.Aust. 6:87-96. Di dalam: Clements JF. 2000. Bird of the World: A Checklist. Ibis Publishing Company,Vista: 573-574. Australia. Johnson DH. 1980. The Comparison of usage and avaibility measurements for evaluating resources preference. Ecology. 6:65-71. Jollife IT. 2002. Principal Component Analysis. Second Edition. New York: Spring-Verlag. Jorgensen SE. 1988. Fundamentals of Ecological Modelling. Langkaer VaengeCopenhagen Denmark and Elselvier Science Publishers B.V. Amsterdam Netherlands. Justice CO, Townshend RG, Holben BN, Tucker CJ. 1985. Analysis of phenology of global vegetation using meteorological satellite data. International Journal of remote Sensing. 6:1271-1318. Khera N, Metha V, Sabata BC. 2009. Interrelationship of birds and habitat features in urban greenspace in Delhi, India. Urban Forestry & Urban Greening 8:187-196. Koutsias N. 2003. An autologistic regression model for increasing the accuracy of burned surface mapping using Landsat Thematic Mapper data. Int. J. Remote Sensing. 24. (10) :2199 – 2204 Krebs CJ. 1978. Ecological Methodology. University of British Comlumbia. New York: Harper. Krebs CJ. 1978. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper & Row Publisher. New York. Hogerstow. San Fransisco. London. Kuhl H, Maisela H, Ancrenaz M, Williamson EA. 2011. Panduan Survei dan Pemantauan Populasi Kera Besar. Gland, Switzerland: IUCN.ii+32pp
135 Kumara I. 2006. Karakteristik spasial habitat beberapa jenis burung rangkong di Taman Nasional Danau Sentarum. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Lamm DW, Wilson SJ, 1966. Emu. 65:183-205. Di dalam: Clements JF. 2000. Bird of the World: A Checklist. Ibis Publishing Company,Vista: 573-574. Australia Leksono AS. 2007. Ekologi: pendekatan deskripsi dan kuantitatif. Malang: Bayu Media. Leishman AJ. 1994. Aust. Birds 28: 14-26. Di dalam:Clements, JF. 2000. Bird of the World: A Checklist. Ibis Publishing Company,Vista: 573-574. Australia. Lestari RAE, Jaya INS. 2005. Penggunaan pengindraan jauh satelit dan SIG untuk menentukan luas hutan kota: studi kasus di Kota Bogor Jawa Barat. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 9 (2):55-69. Lillesand TM, Kiefer RW. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.Dulbahri,Suharsono P, Hartono, Suharyadi, penerjemah; Sutanto, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Remote Sensing and ImageInterpretation Lo CP. 1995. Pengindraan Jauh Terapan. Penerjemah; Purbowaseso B. UI-Press. Jakarta. Terjemahan dari: Applied Remote Sensing. Lopes PL, Ripolles CG, Aguilar JM, Lopez FG, Verdejo J. 2006. Modelling breeding habitat preferences on Boneli’s eagle (Hieraaetus fasciatus) in relation to topography, disturbance, climate and land use at different spatial scales. J. Ornithol. 147:97-106. Ludwig JA, Raynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A primer on methods and computing. Canada: Wiley MacKinnon J. Philllips K, van Balen B. 2010. Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (Termasuk Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam). Bogor: Burung Indonesia. MacArthur RH. 1984. Geographical Ecology: Patterns in the distribution of species. Harper & Row. Publishers.Inc. Magurran A. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Croom Helm Limited. London. United State of Amerika. Maher CR, Lott DF. 1995. Definitio of territory used in the study of variation in vertebrate spacing systems. Anim Behav. 49:1581-1597.
136 Martensen AC, Pimentel RG, Metzger JP. 2008. Relative effects of fragment size and connectivity on bird community in the Atlantic Rain Forest: implication for conservation. Biological Conservation.141:2184-2192. Martin TE. 1998. Habitat preferences of coexisting species under selection and adaptive. Ecology.79 (2): 656-670. McComb BC. 2007. Wildlife Habitat Management: concepts and applications in forestry. Unversity of Massachuestts. CRC Press:Taylor & Francis Group. New York. McFarland DC. 1984. Aust. Bird Watcher 10:255-63. Di dalam: Clements, JF. 2000. Bird of the World: A Checklist. Ibis Publishing Company,Vista: 573574. Australia McFarland DC. 1988. Emu:249-57. Di dalam: Clements JF. 2000. Bird of the World: A Checklist. Ibis Publishing Company,Vista: 573-574. Australia MCFarland TM, IIl CvR, Johnson GE. 2011. Evaluation of NDVI to asses avian abundance and richnes along upper San Pedro River. Journal of Arid Environments 30: 1-9. McLean JA. 1995. Sunbird 25:63-70. Di dalam: Clements JF. 2000. Bird of the World: A Checklist. Ibis Publishing Company,Vista: 573-574. Australia Miller RS. 1939. Emu 36. 21-30. Di dalam: Clements, JF. 2000. Bird of the World: A Checklist. Ibis Publishing Company,Vista: 573-574. Australia. Monk KA, Fretes YD, Reksodihardjo-Lilley G. 1997. The ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Periplus Edition (HK) Ltd. Monk KA, Fretes YD, Reksodihardjo-Lilley G. 2000. Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Seri Ekologi Indonesia, Buku V, Penerjemah; Kartikasari SN. Editor. Kartikasari SN. Terjemahan dari: The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Morris DW. 1987. Test of density-dependent habitat selection in a patchy environment. Ecological Monographs. 57(4):269–281. Morrison ML. 2005. Bird movements and behaviours in the Gulf Coast Region: Relation to potential wind energy developments. National Renewable Energy Laboratory. Colorado. Neave HM, Cunningham RB, Norton TW, Nox HA. 1996. Bilogical inventory for conservation evolution III. Relationship between birds, vegetation and environmental attributes in southern Australia. Forest Ecology and Managements 85:197-218.
137 Nicolson SW. 2006. Water management in nectar-feeding birds. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 291:R828-R829. Nix. HA. 1976. Environmental control of breeding, post-breeding dispersal and migration of birds in the Australian region. Proceedings of the 16th International Ornithological Congress, 1974. Australian Academy of Science, Canberra, pp. 272-305. Di dalam: Neave HM. Cunningham RB. Norton TW. Nox HA. 1996. Bilogical inventory for conservation evolution III. Relationship between birds, vegetation and environmental attributes in southern Australia. Forest Ecology and Managements 85:197-218. Noske RA, Saleh N. 1996. The conservation status of forest birds in West Timor. Di dalam: Kitchener DJ dan Suyanto A (eds). Proceedings of the first international conference on eastern Indonesia-Australian vertebrate fauna; Manado, November 22-26. 1994. Indonesia. Pp 65-74. Noske RA, Saleh N. 2000. Ekologi Burung di Timor. Di Dalam: Monk KA, Fretes YD, Reksodihardjo-Lilley G. Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Seri Ekologi Indonesia, Buku V, Penerjemah; Kartikasari SN. Editor. Kartikasari SN. Terjemahan dari: The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Nursal WI. 2007. Stand-alone GIS application for wildlife distribution and habitat suitability: Case study javan gibbon, Gunung Salak, West Java. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Odum Ep. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Oja T, Alamets K, Parnamets H. 2005. Modelling bird habitat suitability based landscape parameters at different scales. Ecological Indicators 5: 314-321. Ortego J, Diaz M. 2004. Habitat preference models for nesting Eagle Owls Bubo Bubo: How much can be Inferred from Change With Spatial Scale. Ardeola. 51 (2): 385-394. Osborne PE, Alonso JC, Bryant RG. 2001. Modelling landscape-scale habitat use using GIS and Remote Sensing: A Case study with great bustards. Journal of Applied Ecology 38:458-471. Paga B, Dako FX, Ora YANR. 2006. Kajian keanekaragaman jenis burung endemik dan sebaran terbatas di TWA Camplong. Laporan Penelitian Dosen Muda. Politeknik Pertanian Negeri Kupang [Tidak dipublikasikan]. Paga B, Ranta F, Kristinawanti I, Ora YANR. 2007. Keanekaragaman jenis tumbuhan obat di Taman Wisata Alam Camplong. Laporan Penelitian. Politeknik Pertanian Negeri Kupang [Tidak dipublikasikan].
138 Partasasmita R. 2009. Komunitas burung pemakan buah di Oanaruban, Subang: ekologi makan dan penyebaran biji tumbuhan semak. [disertasi]. Bogor: Program Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [PP] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Jakarta: Lembaran Negara Poole RW. 1974. An Introduction to Quantitative Ecology. International Student Edition. McGraw-Hill Kogakusha Ltd. Prahasta E. 2009. Tutorial ArcView. Bandung: Penerbit Informatika. Prahasta E. 2009. Sistem Informasi Geografis: konsep-konsep dasar, perspektif geodesi dan geomatika. Bandung: Penerbit Informatika. Preiszner B, Csorgo T. 2008. Habitat preference of sylviidae warblers in fragmented wetland. Acta Biologica Academiae Scientiarum Hungaricae 54 (Supl.1):111-122. Priyatno D. 2011. Yogyakarta.
Buku Saku Analysis Statistik Data SPSS. MediaKom.
Rich PM, Wood J, Vieglais DA, Burek K, Webb N. 1998. Hemiview User Manual. Cambrigde UK: Delta-T Devices Ltd. Richards JA. 1993. Remote Sensing Digital Image Analysis: an introduction. Springer-Verlag.New York. Di dalam: Segah H. 1999. Kajian akurasi citra Landsat-TM yang didukung citra NOAA-AVHRR dalam mendeteksi perubahan penutupan lahan areal Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar di Propinsi Kalimantan Tengah [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ridwan. 2009. Dasar-Dasar Statistika. Bandung: Alfabeta Bandung. Robertson MP, Peter CI, Villet MH, Ripley BS. 2003. Compearing models for predicting species’ potential distribution: a case study using coorelative and mechanistic predictive modeling techniques. Ecological Modelling 164:153167. Roger E, Laffan SW, Ramp D. 2007. Habitat selection by the commom wombat (Vombatus ursinus) in disturbed environments : Implications for the conservation of a ’commom’ species. Biol Conser 137:437 – 449 Rombang WM, Trainor CR, Lesmana D. 2000. Daerah Penting Bagi Burung: Nusa Tenggara. Bogor: PHKA/BirdLife Indonesia. Santoso S.2010. Statistik Multivariat: konsep dan aplikasi dengan SPSS. PT. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Kompas Gramedia
139 Santoso S. 2001. SPSS: Mengolah Data Statistik secara Profesional. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Kompas Gramedia. Saripin I. 2003. Identifikasi penggunaan lahan dengan menggunakan citra landsat thematic mapper. Buletin Teknik Pertanian. 8(2):49-54. Schmidt BL. 1978. Aust. Birds 12:61-86. Di dalam: Clements, JF. 2000. Bird of the World: A Checklist. Ibis Publishing Company,Vista: 573-574. Australia Scott ML, Skagen SK, Merigliano MF. 2003. Relation geomorphic change and grazing to avian communities in riparian forest. Conservation Biology. 17(1):284-296. Shannon NH, RJ Hudson, VC Brink, WD Kitts. 1975. Determinants of spatial distribution of Rocky Mountain bighorn sheep. J. Wild. Manage. 39(2):387– 401. Sheil D, Puri RK, Basuki I,van Heist M, Wan M, Liswanti N, Rukmiyati, Sarjono MA, Samsoedin I, Sidiyasa K, Chrisandini, Permana E, Angi EM. Gatzweiler F, Johnson B, Wijaya. 2004. Mengeksplorasi Keanekaragaman Hayati, Lingkungan dan Pandangan Masyarakat Lokal Mengenai Berbagai Lanskap Hutan: metode-metode penilaian lanskap secara multidisipliner. Bogor: Center for International Forestry Research. Sinclair REA, Fryxell JM, Caughley G. 2006. Wildlife Ecology, Conservation, and Management. Second Edition. Victoria. Australia: Blackwell Publishing Ltd. Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Southerton SG, Birt P, Porter J, Ford HA. 2004. Review of gene movement by bats and birds and its significance for eucalypt plantation forest. Australia Forestry. 67:44-53 Sujatnika Jepson P, Soehartono TR, Crosby MJ, Mardiastuti A. 1995. Melestarikan Keanekaragaman Hayati Indonesia: pendekatan Daerah Burung Endemik. Bogor: PHPA/Birdlife International-Indonesia Programme. Sukarsono. 2009. Ekologi Hewan: konsep, perilaku, psikologi dan komunikasi. Malang: UPT. Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang. Sukamtoro W, Irham W, Novarino W, Hasudungan F, Kemp N, Muchtar M. 2007. Daftar Burung Indonesia No 2. Bogor: Indonesian Ornithologists’ Union.
140 Supranto J. 2004. Analisis Multivariat: Arti dan interpretasi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Sutherland EJ. [editor]. 2006. Ecology Census Techniques. Seconde Edition; A Handbook. New York; Cambridge University Press. Syartinilia, Tsuyuli S. 2008. GIS-models modeling of Javan Haw-Eagle distribution using logistic and aoutologistic regression models. Biological Conservation 141:756-769. Syartinilia. 2008. GIS-based modeling of Javan-Hawk-Eagle (Spizaetus bartelsi) habitat distribution using multi-scale approach in Javan Island, Indonesia.[disertation]. Graduate School of Agricultural and Life Sciences. The University of Tokyo. Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi, Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Teillet P, Staenz K, Williams D. 1997. Effects of spectral, spatial, and radiometric characteristics on remote sensing vegetation indices of forested regions. Remote Sensing of Environment 61:139-149. Tokue K, Ford HA. 2007. The influence of patters of food abundance on the breeding seasons and clutch-size of Red Wattlebirds and Noisy Friarbirds. Emu 107: 151-155. Tracey J, Bomford M, Hart Q, Saunders G, Sinclair R. 2007. Managing Bird Damage to Fruit and Other Horticultural Crops. Bureau of Rural Sciences, Canberra: Goanna Print. Trainor CR. 2010. Timor’s fauna: the influence of scale, history and land-use on faunal pattering. [dissertation]. Darwin: Faculty of Education Health and Science. Charles Darwin University. Trainor CR, Santana F, Pinto P, Xavier AF, Safford R, Grimmett R. 2008. Birds, birding and conservation in Timor-Leste. BirdingAsia 9: 16-45 Trainor CR. 2002. A preliminary list of important bird areas in East Timor. Bogor:Birdlife International Asia Division dan Vogelbescherming Nederland (BirdLife Netherlands). Tucker CJ. 1979. Red and photographic infrared linear combinations for monitoring vegetation. Remote Sensing of Environment. 8:127-150. Turner DP, Cohen WB, Kennedy RE, Fassnacht KS, Briggs JM. 1999. Relationship between Laef Area Index and Landsat TM spectral vegetation indeces across three temperate zones. Remote Sens. Environ.70:52-68.
141 Usman H, Akbar PS. 2006. Pengantar Statistika. Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksara. Valido A, Dupont YL, Olesen JM. 2004. Bird-flower interceptions in the Macaronesian Islands. Journal of Biogeography (J. Biogeogr.) 31: 19451953. Vickery ML. 1984. Ecology of Tropical Plants. John Wiley and Sons. New York. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Waterhouse FL, Mather MH, Seip D. 2002. Distribution and abundance of birds relative to elevation and biogeoclimatic zones in coastel old-growth forests in southern British Columbia. B.C. Journal of Ecosystem and Management. 2 (2): 1-13. White SR. 1946. Emu 46:81-122. Di dalam: Clements, JF. 2000. Bird of the World: A Checklist. Ibis Publishing Company,Vista: 573-574. Australia White SR, Bruve MD. 1986. BOU Checklist 7. Di dalam: Clements, JF. 2000. Bird of the World: A Checklist. Ibis Publishing Company,Vista: 573-574. Australia Wiens. 1989. The Ecology of bird Communities. Volume 2. Processes and Variation. United States of America of Cambridge University Press, New York. Woinarski JCZ, Tidemann SC, Kerin S. 1988. Birds in a tropical mosaic: the distribution of bird species in relation to vegetation patterns. Aust. Wildl. Res., 15: 171- 196. Wykes BJ. 1985. The Helmeted honeyeater and related and honeyeaters of Victorian woodlands. Di dalam: Neave HM. Cunningham RB. Norton TW. Nox HA. 1996. Bilogical inventory for conservation evolution III. Relationship between birds, vegetation and environmental attributes in southern Australia. Forest Ecology and Managements 85:197-218. Yin, Z. Williams TH. 1997. Obtaining Spatial and Temporal Vegetation Data from Landsat MSS and AVHRR/NOAA Satellite Images for a Hydrology Model. Photogrammetric Enggineering & Remote Sensing. 63 (1): 66-77.
LAMPIRAN
144 Lampiran 1 Jenis-jenis vegetasi yang teramati pada 40 titik presecnce Cikukua timor (observasi Mei-Juli 2011) No
Spesies Nama Lokal
Famili Nama Ilmiah
1
Kedondong pagar
Spondias sp
Anacardiaceae
2
Kapok hutan
Gossampinus malabarica, Merr
Kabesak hitam
Acacia catechu,Willd
4 5 6 7
Kabesak putih Kom Jati Gewang
Acacia leucophloea (Roxb.) Willd Ziziphus mauritiana,, Lamk Tectona grandis, L.f. Corypha utan, Lamk
Bombacaceae) Fabaceae Subfam Leguminosae (Mimosoideae) Fabaceae Rhamnaceae Verbenaceae Palmae (Aracaceae)
8 9 10 11
Kapok randu Asam Lamktoro Faloak
Ceiba petandra, L (Gaertn) Tamarindus indica, L. Leucaena glauca, Benth Sterculia comosa, Wallich
Malvaceae (Bombacaceae) Fabaceae Fabaceae Sterculiaceae
12 13 14 15 16
Ara/bubuk Gmelilna Johar FLamkboyan Nikis /Bunik
Ficus glomerata, Robox Gmelina arborea, Roxb Cassia siamea, Lamk Delonix regia Cassia fistula, Linn
Moraceae Verbenaceae Fabaceae Fabaceae Caesalpinoideae
17 18 19 20 21
Kayu putih Kesambi Haupena Dupe/tapak kuda/masi Kayu merah
22 23 24 25 26
Taduk Pnafo/Bifoluke Kanunak Bonak Babunik/buni
Eucalyptus alba, Reinw. Schleichera oleosa, Merr Ficus ampelas Bauhinia aculeata Pterocarpus indicus, Willd. Alstonia scholaris (L. ) R.Br Mallotus sp Cordia subcrodata Lamk Tetrameles nudiflora, R. Cassia javanica, L
Myrtaceae Sapindaceae Moraceae Leguminosae Fabaceae Apocynaceae Euphorbiaceae Boraginaceae Tetramelaceae Fabaceae
27 28 29 30 31
Marungga Hutan/takah Beringin Feu/Beuk Nekun/Beringin Dilak hutan
Millingtonia hortensis L.f. Ficus benjamina, L Garuga floribunda, Decne Ficus religosa, L. Xylosma amara
Bignoniaceae Moraceae Burseraceae Moraceae Flacourtiaceae
32 33 34 35
Litsusu Niko Nisum Kunfatu
Wrightia calycina, A.DC. Grewia sp Myristica sp Celtis wightii ,Planch
Apocynaceae Tiliaceae Annonaceae Ulmaceae
36 37
Pole Haukase
Alstonia spectabilis, R.Br.
Apocynaceae
3
143 Lanjutan Lampiran 1 38
Kleop/Kulah
Vitex pubescen, Vahl
Verbenaceae/Lamkiaceae
39
Jambu mete
Anacardium occidentale
Anacardiaceae
40
Tisel(bunga)/johar hutan
Cassia sp
Fabaceae
41
Turi/gala-gala
Sesbania grandiflora, L.
Fabaceae
42
Pnafo/Bifuluke
Palaquium obovatum, Griff
Sapotaceae
43
Johar
Cassia siamea, Lamk
Fabaceae
44
Nikis
Cassia fistula, L
Fabaceae
45
Gamal
Gliricidia sepium
Fabaceae /Papilionoideae
46
Hausunaf/Loisisir
Ziziphus timorensis
Rhamnaceae
47
Babunik/buni
Cassia javanica, L
Fabaceae
48
Dilak
Xylosma amara
Flacourtiaceae
49
Kopi hutan
Plectronia sp
Rubiaceae
50
Kati’i
51
Kayu Ular
Litsea tomentosa Blume
Lauraceae
52
Bafikanu/Fianaok
Macaranga tanarius, (L.) M.A)
Euphorbiaceae
53
Hausbot/tembakau hutan
54
Anunak
Anona squamosal, Linn.
Annonaceae
55
Kenanga
Cananga odorata, Lamk.
Annonaceae
56
Jeruk purut
Citrus hystrix
Rutaceae
57
Sekit
58
Kotkotos
145 Lampiran 2 Jenis-jenis vegetasi yang dijumpai dimanfaatkan oleh Cikukua timor No Titik Presence
Nama Lokal
Spesies Nama Ilmiah
Famili
Tinggi Vegetasi Total BBC SPJAB
Bentuk Perilaku
Tipe Habitat
1
Jambu Mete
Anacardium occdentale, L
Anacardiaceae
5
1.1
3
Sosial
Perkebunan Jambu Mete
2
Jambu Mete
Anacardium occdentale, L
Anacardiaceae
8
2.5
6
Sosial
Perkebunan Jambu Mete
3
Jambu Mete
Anacardium occdentale, L
Anacardiaceae
5.3
0.8
1.5
Sosial
Perkebunan Jambu Mete
4
Tisel
Cassia sp
Fabaceae
8
2.1
4
Makan Nektar
Permukiman
5
Turi/gala-gala
Sesbania grandiflora, L.-
Fabaceae
12
7
7
Makan Nektar
Permukiman
6
Faloak
Sterculia comosa, Wallich
Sterculiaceae
12
2.3
5
Makan Nektar
Belukar
7
Ara
Ficus racemosa, Linn
Moraceae
17
2.5
8
Sosial buah
Belukar
8
Gmelilna
Gmelina arborea, Roxb
Verbenaceae
25
3
15
Makan Nektar
Perkebunan Jambu Mete
9
Lamktoro
Leucaena glauca, Benth
Fabaceae
16
2,6
11
Sosial (serangga)
Kebun Palawija
10
Gmelilna
Gmelina arborea, Roxb
Verbenaceae
15
4
11
Makan Nektar
Kebun Palawija
11
Turi/gala-gala
Sesbania grandiflora, L.
Fabaceae
13
8
11
Makan Nektar
Kebun Palawija
12
Johar
Cassia siamea, Lamk.
Fabaceae
12
2,3
9
Sosial
Perkebunan Jambu Mete
13
Gmelilna
Gmelina arborea, Roxb
Verbenaceae
15
2.5
8
Makan Nektar
Perkebunan Jambu Mete
Kayu Putih
Eucalyptus alba
Myrtaceae
24
2.7
12
Gamal
Gliricidia sepium
Fabaceae
11
3
8
Kayu Putih
Eucalyptus alba
Myrtaceae
24
5.5
17
14 15 16
Makan (serangga) Makan (serangga) Makan (serangga)
Hutan Sekunder Hutan Sekunder) Hutan Sekunder
146 Lanjutan Lampiran 2 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Kayu Putih Kayu Putih Faloak Kapok hutan Kapok hutan Gmelilna Lamktoro Beringin Nisum Kabesak hitam Faloak Kedondong hutan Beringin (Nekun) Kapok hutan Nisum Gmelilna Bafikanu/Fianaok Beringin Nikis /Bunik Kapok hutan
Eucalyptus alba Eucalyptus alba Sterculia comosa, Wallich Gossampinus malabarica, Merr Gossampinus malabarica, Merr Gmelina arborea, Roxb Leucaena glauca, Benth Ficus benjamina, L Myristica sp Acasia catticu, Willd. Sterculia comosa, Wallich Spondias sp Ficus sp Gossampinus malabarica, Merr Myristica sp Gmelina arborea, Roxb Macaranga tanarius, (L.) M.A Ficus benjamina Cassia fistula, Linn Gossampinus malabarica, Merr
Myrtaceae 26 Myrtaceae 21 Sterculiaceae 22 Bombacaceae 32 Bombacaceae 13 Verbenaceae 8 Fabaceae 10 Moraceae 23 Annonaceae 28 Fabaceae 8 Sterculiaceae 9 Anacardiaceae 13 Moraceae 29 Bombacaceae 24 Annonaceae 32 Verbenaceae 11 Euphorbiaceae 7 Moraceae 12 Caesalpinoideae 7 Bombacaceae 27 Verbenaceae / Kleop/Kulah Vitex pubescens, Vahl 12 Lamkiaceae) 38 Kapok hutan Gossampinus malabarica, Merr Bombacaceae 21 39 Kesambi Schleichera oleosa, Merr. Sapindaceae 20 40 Kapok hutan Gossampinus malabarica, Merr Bombacaceae 25 Keterangan: BBC = Batang Bebas Cabang; SPJAB = Saat Pertama Jumpa Aktivias Burung
2.8 2.4 9 21 4 1.2 2.8 2 5 1,5 1,7 3,3 8 19 13 4,2 2,2 3 1,3 13
9 12 15 27 5 2.5 5 13 15 5 9 10 14 17 25 7 2,7 6 4 15
1,7
9
18 5 17
15 12 11
Makan dan sosial Makan dan sosial Makan Nektar Makan Nektar Tidur Makan Serangga Makan serangga dan sosial Makan Nektar Makan buah Istirahat (Tengger) Makan Nektar Istitahat Istirahat (Tengger) Makan Nektar Makan buah Sosial Makan (serangga) Istirahat (Tengger) Sosial Makan Nektar Makan serangga di dedaunan. Makan serangga Istirahat Makan serangga & bunga.
Hutan Sekunder Hutan Sekunder Hutan Primer Hutan Primer Belukar Belukar Kebun Palawija Hutan Primer Permukiman Belukar Kebun Palawija Belukar Hutan Primer Hutan Primer Hutan Primer Kebun Palawija Belukar Belukar Kebun Jambu Mete Hutan Primer Hutan Primer Hutan Primer Hutan Primer Hutan Primer
147 Lampiran 3 Rekapitulasi analisis vegetasi tingkat pohon menggunakan plot lingkaran dengan luas 1000 m2 (jari-jari 17,8 m) pada titik perjumpaan burung Cikukua timor No Nama Lokal
Nama Ilmiah
Famili
D (m)
DR (%)
1
Kedondong pagar
Spondias sp
Anacardiaceae
0,114
0,979
2
Kapok hutan
Gossampinus malabarica, Merr
Bombacaceae
2,120
18,240
3
Acacia catechu, Willd Acacia leucophloea, (Roxb,) Willd
Fabaceae
0,126
1,080
4
Kabesak hitam Kabesak putih
Fabaceae
0,015
5
Kom
Ziziphus mauritiana, Lamk
Rhamnaceae
6
Jati
Tectona grandis, L,f,
7
Gewang
8
Kapok randu
9
K
KR (%)
F
FR (%)
INP
1,500
3,046
0,05
1,961
5,985
6,500
13,198
0,4
15,686
47,124
1,750
3,553
0,1
3,922
8,555
0,127
0,250
0,508
0,025
0,980
1,615
0,048
0,414
0,500
1,015
0,05
1,961
3,390
Verbenaceae
0,118
1,014
1,750
3,553
0,15
5,882
10,450
Corypha utan, Lamk,
Palmae (Aracaceae)
0,173
1,490
0,250
0,508
0,025
0,980
2,978
Ceiba petandra, (L,) Gaertn
Malvaceae (Bombacaceae)
0,044
0,378
0,500
1,015
0,05
1,961
3,354
Asam
Tamarindus indica, L,
Fabaceae
0,299
2,573
1,750
3,553
0,1
3,922
10,048
10 Lamktoro
Leucaena glauca, Benth
Fabaceae
0,040
0,344
1,250
2,538
0,075
2,941
5,823
11 Faloak
Sterculia comosa, Wallich
Sterculiaceae
0,329
2,834
2,500
5,076
0,075
2,941
10,851
12 Ara/bubuk
Ficus glomerata ,Robox,
Moraceae
0,042
0,360
0,500
1,015
0,025
0,980
2,356
13 Gmelilna
Gmelina arborea, Roxb
Verbenaceae
0,278
2,393
3,250
6,599
0,1
3,922
12,914
14 Johar
Cassia siamea, Lamk,
Fabaceae
0,134
1,157
1,250
2,538
0,075
2,941
6,636
15 FLamkboyan
Delonix regia
Fabaceae
0,018
0,158
0,250
0,508
0,025
0,980
1,646
16 Nikis /Bunik
Cassia fistula, Linn
Caesalpinoideae
0,049
0,425
0,750
1,523
0,075
2,941
4,889
17 Kayu putih
Eucalyptus alba ,Reinw
Myrtaceae
0,826
7,110
5,250
10,660
0,1
3,922
21,691
18 Kesambi
Schleichera oleosa, Merr
Sapindaceae
0,951
8,185
5,750
11,675
0,25
9,804
29,664
19 Haupena Dupe/tapak 20 kuda/masi
Ficus ampelas
Moraceae
0,013
0,110
0,250
0,508
0,025
0,980
1,598
Bauhinia aculeata
Leguminosae
0,070
0,606
0,500
1,015
0,05
1,961
3,582
148 Lanjutan Lampiran 3 21 Kayu merah
Pterocarpus indicus ,Willd
Fabaceae
0,468
4,029
1,000
2,030
0,05
1,961
8,020
22 Taduk
Alstonia scholaris, (L. ) R,Br
Apocynaceae
0,243
2,093
1,750
3,553
0,1
3,922
9,568
23 Pnafo/Bifoluke
Mallotus sp
Euphorbiaceae
0,050
0,427
0,750
1,523
0,05
1,961
3,911
24 Kanunak
Cordia subcrodata, Lamk
Boraginaceae
0,074
0,633
0,750
1,523
0,05
1,961
4,117
25 Bonak
Tetrameles nudiflora, R
Tetramelaceae
0,151
1,295
0,250
0,508
0,025
0,980
2,783
26 Babunik/buni Marungga 27 Hutan/takah
Cassia javanica, L
Fabaceae
0,015
0,130
0,250
0,508
0,025
0,980
1,618
Millingtonia hortensis, L.f.
Bignoniaceae
0,044
0,378
0,500
1,015
0,025
0,980
2,374
28 Beringin
Ficus benjamina, L.
Moraceae
1.253
10.784
3.000
6.091
0.05
1.961
18.836
29 Feu/Beuk
Garuga floribunda. Decne
Burseraceae
0.418
3.593
0.750
1.523
0.05
1.961
7.077
30 Nekun/Beringin
Ficus religosa, L.
Moraceae
0.214
1.843
0.750
1.523
0.025
0.980
4.346
31 Dilak hutan
Xylosma amara
Flacourtiaceae
0.052
0.449
0.500
1.015
0.05
1.961
3.425
32 Litsusu
Wrightia calycina, A.DC.
Apocynaceae
0.020
0.168
0.250
0.508
0.025
0.980
1.656
33 Niko
Grewia sp
Tiliaceae
0.027
0.234
0.250
0.508
0.025
0.980
1.722
34 Nisum
Myristica sp
Annonaceae
2.141
18.423
0.750
1.523
0.05
1.961
21.907
35 Kunfatu
Celtis wightii ,Planch.
Ulmaceae
0.056
0.485
0.500
1.015
0.025
0.980
2.481
36 Pole
Alstonia spectabili,s R.Br.
Apocynaceae
0.048
0.414
0.500
1.015
0.05
1.961
3.390
0,472
4,062
0,250
0,508
0,025
0,980
5,550
0,025
0,219
0,250
0,508
0,025
0,980
1,707
Total 11,581 99,637 49,250 100,000 2,550 100,000 Keterangan: D = Dominansi; DR= Dominansi Relatif; K = Kerapatan; KR Kerapatan Relatif; F = Frekwensi; FR = Frekwensi Relatif; INP= Indeks Nilai Penting,
299,637
37 Haukase 38 Kleop/Kulah
Vitex pubescens Vahl
Verbenaceae/Lamkiaceae
149 Lampiran 4 Rekapitulasi analisis vegetasi tingkat tiang menggunakan plot lingkaran dengan luas 100 m2 (jari-jari 5,64 m) pada titik perjumpaan Cikukua timor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Spesies pohon Jambu mete Tisel(bunga)/johar hutan Lamktoro Jati Dupe/tapak kuda/masi Turi/gala-gala Pnafo/Bifuluke Gmelilna Johar Kapok hutan Kanunak Nikis Gamal Hausunaf/Loisisir Babunik/buni Dilak Kopi hutan Kabesak hitam Kom Kedondong pagar Litsusu Kati’i Kayu Ular
Nama ilmiah Anacardium occidentale Cassia sp Leucaena glauca Benth Tectona grandis L.f. Bauhinia aculeata Sesbania grandiflora L. Palaquium obovatum Griff Gmelina arborea Roxb Cassia siamea Lamk. Gossampinus malabarica Merr Cordia subcrodata Lamk. Cassia fistula L. Gliricidia sepium Ziziphus timorensis Cassia javanica L. Xylosma amara Plectronia sp Acacia catechu Willd Ziziphus mauritiana Lamk. Spondias sp Wrightia calycina A.DC.
Famili Anacardiaceae Fabaceae Fabaceae Verbenaceae Leguminosae Fabaceae Sapotaceae Verbenaceae Fabaceae Bombacaceae Boraginaceae Fabaceae Fabaceae /Papilionoideae Rhamnaceae Fabaceae Flacourtiaceae Rubiaceae Fabaceae Rhamnaceae Anacardiaceae Apocynaceae
Litsea tomentosa Blume
Lauraceae
D (m) DR (%) K 0,769 5,720 0,428 3,182 0,365 2,716 0.360 2.675 0.056 0.416 0.264 1.961 0.111 0.822 0.785 5.839 0,536 3,984 0,260 1,931 0,373 2,771 0,058 0,432 0,851 6,327 0,392 2,918 0,065 0,481 0,125 0,928 0,263 1,957 0,848 6,309 0,072 0,533 0,123 0,912 0,132 0,979 0,108 0,800 4,864 36,168
32,5 20 17,5 15 2.5 12.5 5 32.5 25 10 17,5 2,5 40 17,5 2,5 5 12,5 40 2,5 5 5 5 10
KR (%) F FR (%) 8,280 0,15 8,219 5,096 0,075 4,110 4,459 0,075 4,110 3.822 0.1 5.479 0.637 0.025 1.370 3.185 0.05 2.740 1.274 0.05 2.740 8.280 0.1 5.479 6,369 0,05 2,740 2,548 0,1 5,479 4,459 0,1 5,479 0,637 0,025 1,370 10,191 0,15 8,219 4,459 0,125 6,849 0,637 0,025 1,370 1,274 0,05 2,740 3,185 0,075 4,110 10,191 0,075 4,110 0,637 0,025 1,370 1,274 0,05 2,740 1,274 0,05 2,740 1,274 0,025 1,370 2,548 0,05 2,740
INP 22,219 12,387 11,284 11.976 2.423 7.885 4.835 19.599 13,093 9,959 12,709 2,438 24,737 14,226 2,488 4,942 9,251 20,609 2,540 4,925 4,992 3,444 41,455
150 Lanjutan Lampiran 4 24 25 26 27
Faloak Sterculia comosa Wallich Sterculiaceae 0,160 1,188 7,5 1,911 0,025 Nekun/Beringin Ficus religosa L. Moraceae 0,056 0,416 2,5 0,637 0,025 Kesambi Schleichera oleosa Merr. Sapindaceae 0,981 7,295 42,5 10,828 0,15 Fianaok Macaranga tanarius (L.) M.A Euphorbiaceae 0,046 0,341 2,5 0,637 0,025 Total 13,449 99,998 392,5 100 1,825 Keterangan: D = Dominansi; DR= Dominansi Relatif; K = Kerapatan; KR Kerapatan Relatif; F = Frekwensi; FR = Frekwensi Relatif; INP= Indeks Nilai Penting.
1,370 4,469 1,370 2,423 8,219 26,342 1,370 2,348 100 299,9983
151 Lampiran 5. Rekapitulasi analisis vegetasi tingkat pancang menggunakan plot lingkaran dengan luas 25 m2 (jari-jari 1,13 m) pada titik perjumpaan Cikukua timor No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Famili
D
DR (%)
K
KR (%)
F
FR (%)
INP
1 Gamal
Gliricidia sepium
Fabaceae/Papilionoideae
0.000950
28.7884
460
37.3984
0.175
13.462
79.6483
2 Jambu mete
Anacardium accidentale
Anacardiaceae
0.000294
8.9208
50
4.0650
0.1
7.692
20.6782
3 Turi/gala-gala
Sesbania grandiflora L
Fabaceae
0.000022
0.6635
30
2.4390
0.025
1.923
5.0256
4 Kanunak
Cordia subcordata Lamk
Boraginaceae
0.000102
3.0761
60
4.8780
0.075
5.769
13.7234
0.000107
3.2511
30
2.4390
0.025
1.923
7.6132
5 Hausbot 6 Kunfatu
Celtis wightii
Ulmaceae
0.000126
3.8301
70
5.6911
0.075
5.769
15.2904
7 Tisel
Cassia sp
Fabaceae
0.000301
9.1138
150
12.1951
0.15
11.538
32.8474
8 Anunak
Anona squamosa Linn
Annonaceae
0.000108
3.2873
30
2.4390
0.175
13.462
19.1878
9 Lamktoro
Leucaena glauca Benth
Fabaceae
0.000230
6.9847
70
5.6911
0.075
5.769
18.4449
10 Johar
Cassia siamea Lamk.
Fabaceae
0.000016
0.4825
20
1.6260
0.025
1.923
4.0316
11 Kapok hutan
Gossampinus malabarica Merr
Bombacaceae
0.000023
0.7057
20
1.6260
0.05
3.846
6.1779
12 Gmelilna
Gmelina arborea Roxb
Verbenaceae
0.000029
0.8746
20
1.6260
0.025
1.923
4.4237
13 Kabesak hitam
Acasia catechu Willd.
Fabaceae
0.000351
10.6398
40
3.2520
0.025
1.923
15.8149
14 Kenanga
Cananga odorat a Lamk.
Annonaceae
0.000039
1.1822
10
0.8130
0.025
1.923
3.9183
15 Jeruk purut
Citrus hystrix
Rutaceae
0.000024
0.7298
10
0.8130
0.025
1.923
3.4659 22.2331
16 Hausunaf/Loisisir
Ziziphus timorensis
Rhamnacea
0.000319
9.6627
60
4.8780
0.1
7.692
17 Faloak
Sterculia comosa Wallich
Sterculiaceae
0.000098
2.9736
20
1.6260
0.025
1.923
6.5227
18 Jati
Tectona grandis L.f.
Verbenaceae
0.000069
2.0870
20
1.6260
0.025
1.923
5.6360
19 Kayu Ular
Litsea tomentosa Blume
Lauraceae
0.000030
0.8987
30
2.4390
0.025
1.923
5.2608
20 Kopi hutan
Plectronia sp
Rubiaceae
0.000016
0.4886
10
0.8130
0.025
1.923
3.2246
21 Sekit
0.000007
0.2171
10
0.8130
0.025
1.923
2.9532
22 Kotkotos
0.000005
0.1508
10
0.8130
0.025
1.923
2.8869
0.0033
99.0089
1230
100.0000
1.3000
100.0000
299.0089
Total
152
Lampiran 6 Rekapitulasi estimasi kepadatan populasi Cikuku timor menggunakan distance sampling berdasarkan data garis transek Tipe Habitat Belukar Belukar di Tuanmolo Permukiman Kebun palawija Kebun palawija Kebun palawija Kebun palawija Kebun Jambu mete Kebun Jambu mete Kebun Jambu mete Kebun Jambu mete
n 2 1 4
4 11
Jarak dr pengamat/ Z (m) 28 15 47 27 38 27 50 30 43 21 28
Sudut (θ)
sin θ
240=60 30 65 120 340 180 240=60 360 227 158 60
0.8660254 0.5 0.9063078 0.8660254 0.3420201 0 0.8660254 0 0.7313537 0.3746066 0.8660254
Perkiraan jarak terdekteksinya burung dari garis transek (d=xi)
24.24871128 7.5 42.59646599 23.38268588 12.99676543 27 43.30127015 30 31.44820914 7.866738453 24.24871128
Xi^2
588 56.25 1814.459 546.75 168.9159 729 1875 900 988.9899 61.88557 588
Ʃ(xi^2)
644.25
Panjang Transek L (m)
Luas habitat (Ha)
7511.0739
406,5
1814.459
5717.5485
158,9
3319.666
3314.7127
184,2
2538.875
2538.0110
94,32
19081.3461
843,92
153 Lampiran 7. Analisis estimasi kepadatan populasi Cikukua timor menggunakan distance sampling dengan data garis transek Tipe Habitat Belukar
n
2n
π
Ʃ(xi^2)
π*Ʃ(xi^2)
L
2L
[2n/πƩ(Xi^2)]
2
4
3.14
644.25
2022.945
7511.0739
15022.15
0.001977
0.04446
0.00000296
D= n√[2n/πƩ(Xi^2)]/(2L) 0.00000592
1
2
3.14
1814.46
5697.401
5717.5485
11435.1
0.000351
0.01873
0.00000164
0.00000164
3314.7127
6629.425
0.000767
0.03135
0.00000473
0.00001892
2538.0110
5076.022
0.001004
0.03943
0.00000777
Permukiman Kebun Palawija Kebun Mete
4
8
3.14
3319.67
10423.751
4
8
3.14
2538.88
7972.068
Total
11
√[ 2n/π Ʃ (xi^2)] √[ 2n/π Ʃ (xi^2)]/(2L))
19081.3461
Perkiraan populasi Philemon inornatus per luasan Tipe Habitat Belukar Permukiman Kebun Palawija Kebun Jambu Mete Total
0.00003107 0.000057550
Luas (Ha)
Persentasi Kepadatan per tipe habitat (%)
0.0592 0.0164 0.1892 0.3107 0.5755
10.29 2.85 32.88 54 100
154 Lampiran 8 Nilai hasil interpretasi peta tematik faktor fisik pada 40 titik perjumpaan burung Cikukua timor di lanskap Camplong Koordinat
No. Titik
Tipe Habitat
Y
X
∑ ind. Burung Y
1
Kawasan pertanian (Jambu Mete)
123.9533
-10.0241
2
2
Kawasan pertanian (Jambu Mete)
123.9533
-10.0243
2
3
Kawasan pertanian (Jambu Mete)
123.9539
-10.0243
2
4
Kawasan terbangun (kintal rumah 123.9266 dan kebun)
-10.0242
3
5
Kawasan terbangun (Permukiman) 123.9266
-10.0240
3
6
Belukar
123.9326
-10.0230
5
7
Belukar
123.9333
-10.0226
5
8
Kawasan Pertanian (kebun palawija)
123.9583
-10.0264
4
9
Kawasan Pertanian (Kebun palawija )
123.9581
-10.0532
2
10
Kaw. Pertanian Kebun Palawija dan Mete Bp Frans Faot
123.9602
-10.0327
2
11
Kaw. Pertanian Kebun Palawija di 123.9626 Silu
-10.0198
1
12
Kawasan Pertanian (Kebun J.Mete) 123.9576
-10.0313
2
13
Kawasan Pertanian (Kebun mete)
123.9627
-10.0234
2
14
Hutan Sekunder (Tegakan kayu Putih ALamk) ex Savanna
123.9595
-10.0367
11
15
Hutan Sekunder (Tegakan kayu Putih ALamk) ex Savanna
123.9596
-10.0368
2
16
Hutan Sekunder (Tegakan kayu Putih ALamk) ex Savanna
123.9596
-10.0373
6
NDVI 0.5294 0.5294 0.4805 0.5758 0.5054 0.3226 0.2982 0.3636 0.5000 0.2530 0.4167 0.3333 0.3333 0.3947 0.4000 0.5211
Slope
Elevasi (M)
Jarak (Euclaidan Distance) HP
HS
Blkr
KbJm
KbPj
Pmk
Sungai
Jalan
10.7546
399
1183.1800
1076.3000
80.4984
0.0000
0.0000
404.5550 579.9400
3.0000
8.4006
396
1169.7600
1059.0000
71.1196
0.0000
0.0000
417.1730 563.1700
6.0000
4.6022
401
1236.1300
1087.6800
51.3517
0.0000
0.0000
370.2170 586.7280
6.0000
3.5572
267
588.2600
322.6920
45.0000
374.4240
0.0000
0.0000
316.4250
6.0000
3.5572
264
594.9160
321.2240
24.0000
386.4300
0.0000
0.0000
306.0000
8.4853
25.1885
316
249.6500
174.4130
0.0000
387.7550
0.0000
18.9737
163.6860
8.4853
19.8225
324
302.8810
244.8260
0.0000
309.9450
15.0000
96.7471
239.7190
8.4853
8.6139
432
1316.3500
897.0450
48.3735
396.0000
15.0000
481.7690 752.0670
9.4868
0.0000
343
1588.2600
46.5725
6.0000
88.2836
21.2132
446.7890 86.5332
12.0000
9.6502
443
931.4940
284.7630
142.2710
57.0000
27.0000
451.2480 972.9810
13.4164
9.5146
465
2192.8100
134.1640
63.2851
777.1390
34.2053
8.4853
17.4929
6.6743
426
830.0950
368.4260
65.8635
0.0000
42.0000
387.2320 655.9030
18.0000
3.6501
440
1858.9300
524.7860
64.7611
403.5860
54.0833
42.9535
1338.3900
20.1246
0.2109
451
675.9660
12.3693
149.0370
244.2380
73.7902
406.0210 1164.6100
21.0000
0.2109
449
679.1010
12.3693
154.8420
244.9000
84.0000
395.0560 1177.3500
24.0000
3.7370
458
669.0810
0.0000
151.3440
278.5480
84.0536
338.9070 1218.5300
24.1868
1563.6000
155 Lanjutan Lampiran 8 17
Hutan Sekunder (Tegakan kayu Putih ALamk) ex Savanna
18
Hutan Sekunder (Tegakan kayu Putih ALamk) ex Savanna
19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Hutan Primer(Hutan ALamkOebola) Hutan Primer(Hutan ALamkOebola) Belukar-di Lauk'fui-Naunu Belukar (kabesak hitam) Kawasan Pertanian (kebun palawija satu musim di Oel’bani) Hutan Primer (hutan aLamk)
123.9597 123.9594 123.9383 123.9383 123.9186 123.9184 123.9168 123.9344
Kawasan Terbangun (Permukiman 123.9221 Haumeni) Belukar Kawasan Pertanian-Kebun (Haulasi-Nekefua) Belukar Hutan Primer (Hutan aLamk) Hutan Primer (hutan aLamk) Hutan Primer (Hutan aLamk)
123.9258 123.9275 123.9303 123.9406 123.9451 123.937
Kawaasan pertanian (Kebun jambu 123.9602 mete) Belukar
123.9299
-10.0376 -10.0384 4 -10.0450 2 -10.0454 5 -10.0553 1 -10.0564 1 -10.0531 2 -10.0368 6 -10.0281 2 -10.0249 3 -10.0231 1 -10.0253 2 -10.0406 3 -10.0412 2 -10.0494 3 -10.0380 4 -10.0232 1
4
0.4865 0.4603 0.6000 0.5254 0.4651 0.4545 0.5135 0.5942 0.5949 0.4324 0.4884 0.6000 0.6364 0.5949 0.5890 0.5135 0.5897
7.9544
453
673.9320
0.0000
134.1640
299.4750
86.5852
302.6880 1253.4200
24.7386
6.9868
452
642.2520
0.0000
133.1540
386.9880
99.7246
208.2790 1302.9900
25.4558
35.1329
289
0.0000
511.2780
519.0090
972.3150
112.0090
90.7965
249.5600
25.4558
28.0556
287
0.0000
506.5740
477.0660
940.7280
118.9830
48.3735
299.5500
25.6320
25.9564
125
1574.4900
885.1830
0.0000
2899.1400
123.1100
82.7587
72.1249
25.6320
9.3456
92
1620.1500
1006.8800
0.0000
2940.9900
127.5620
195.9210 44.2945
33.5410
44.9375
116
1748.3900
760.4270
27.0000
2939.3700
159.1130
141.2870 54.0833
33.5410
15.3095
266
0.0000
302.6880
519.8400
1271.5800
163.2180
392.1860 510.2210
48.3735
15.7575
210
967.1220
937.8110
16.1555
126.5700
163.2730
0.0000
253.3000
54.0000
15.4760
270
651.6700
421.5610
0.0000
259.0620
190.7070
75.0000
432.1770
59.1693
8.3642
276
547.3910
239.5500
51.0000
527.0870
218.4030
76.8375
175.5700
59.3970
7.8364
282
167.9200
53.6656
0.0000
672.1070
226.7730
89.4986
140.0710
70.6116
26.2210
258
0.0000
499.3810
529.1320
832.0610
280.1430
205.2320 202.4060
72.9931
7.1971
383
0.0000
38.4187
117.3460
407.4040
314.9860
576.2810 349.8190
75.0000
27.7071
292
0.0000
747.4760
130.6980
874.8740
364.3730
159.9310 28.4605
77.8845
8.7696
451
732.0550
26.8328
61.7738
299.2940
460.8000
284.4780 1324.8500
81.8841
10.0406
242
320.3830
78.0000
0.0000
440.3060
492.6030
222.0000 3.0000
81.8841
156 Lanjutan Lampiran 8 34
Belukar di Taunamolo
123.9354
-10.0224 2
35
Kawasan Pertanian (Kebun J.Mete) 123.9495 di Muiksusu
-10.0269 2
36
Hutan Primer (hutan aLamk Kesambi)
123.9325
-10.0318 2
37
Hutan Primer (hutan aLamk Kesambi)
123.9325
-10.0315 1
38
Hutan Primer (hutan aLamk Kesambi)
123.9325
-10.0313 1
39
Hutan Primer (hutan aLamk Kesambi)
123.9325
-10.0313 1
40
Hutan Primer (hutan aLamk Kesambi)
123.9326
-10.0312 1
Jumlah
0.3514 0.4286 0.5405 0.4029 0.3939 0.3939 0.3939
5.0972
347
445.4970
436.8580
0.0000
90.6973
536.1530
268.3280 361.0240
85.2760
10.0406
399
697.4980
591.6770
190.7070
0.0000
555.4540
221.2890 246.0180
86.5852
52.8052
319
0.0000
390.0000
314.5850
1117.6000
557.1450
407.0390 547.6130
87.3613
50.9649
316
0.0000
411.9190
330.7760
1092.9400
564.8370
398.8980 520.6970
97.9490
50.9649
323
0.0000
429.3670
344.3080
1073.8400
570.6710
393.7320 499.7680
118.3390
49.2737
312
0.0000
435.3410
348.1290
1066.9400
583.6520
388.9020 491.0660
186.0240
49.2737
318
0.0000
448.4870
363.2480
1055.2000
608.0530
402.4920 483.9310
211.0260
110
Keterangan: HP = Hutan Primer, HS = Hutan Sekunder, Blkr = Belukar, KbJm = Kebun Jambu Mete, KbPj = Kebun Pawija, Pmk = Permukiman
157 Lampiran 9 Nilai pada berbagai veriabel faktor biotik pada seluruh titik perjumpaan Cikukua timor di lanskap Camplong No. Tipe Habitat Titik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 25
Kawasan pertanian (Jambu Mete) Kawasan pertanian (Jambu Mete) Kawasan pertanian (Jambu Mete) Kawasan terbangun (rumah dan kebun) Kawasan terbangun (Permukiman) Belukar Belukar Kawasan Pertanian (kebun palawija) Kawasan Pertanian (Kebun palawija ) Kaw. Pertanian Kebun Palawija dan Mete Bp Frans Faot Kaw. Pertanian Kebun Palawija di Silu Kawasan Pertanian (Kebun J.Mete) Kawasan Pertanian (Kebun mete) Hutan Sekunder (Kayu Putih) Hutan Sekunder (Kayu Putih) Hutan Sekunder (Kayu Putih) Hutan Sekunder (Kayu Putih) Hutan Sekunder (Kayu Putih) Hutan Primer(Hutan Alamk-Oebola) Hutan Primer(Hutan Alamk-Oebola) Belukar-di Lauk'fui-Naunu Belukar (kabesak hitam) Kawasan Pertanian ( Kawasan Terbangun (Permukiman Haumeni)
Koordinat
∑ ind. Burung Y X1 2 1 2 1 2 1 3 11 3 4 5 5 5 6 4 3 2 4
Variaber Biotik
Y
X
123.9533 123.9533 123.9539 123.9266 123.9266 123.9326 123.9333 123.9583 123.9581
-10.0241 -10.0243 -10.0243 -10.0242 -10.0240 -10.0230 -10.0226 -10.0264 -10.0532
123.9602
-10.0327
2
2
15
11
4
123.9626 123.9576 123.9627 123.9595 123.9596 123.9596 123.9597 123.9594 123.9383 123.9383 123.9186 123.9184 123.9168
-10.0198 -10.0313 -10.0234 -10.0367 -10.0368 -10.0373 -10.0376 -10.0384 -10.0450 -10.0454 -10.0553 -10.0564 -10.0531
1 2 2 11 2 6 4 4 2 5 1 1 2
3 2 3 8 2 5 9 8 11 7 5 4 6
13 12 15 24 11 24 26 21 22 32 13 8 10
11 9 8 12 8 17 9 12 15 27 5 2.5 5
123.9221
-10.0281
2
7
28
15
X2 5 8 5.3 8 12 12 17 25 16
X3 X4 X5 3 1.1 6 2.5 1 1.5 0.8 0 4 2.1 3 7 7 2 5 2.3 1 8 2.5 2 15 3 1 11 2.6 1
X6
X7 X8 X9
X10 X11 X12 X13
0 0 0 0 0 60 0 5 0 0.25 12.5 0 1 10 30 0.25 0 0 0.25 0 10 0.5 2.5 0 0.75 0 0
X14
0 1 0 4 3 1 2 2 1
1 1 1 3 1 1 2 0 1
1 1 2 5 1 1 2 0 1
1
1
1
1
8 2.3 2.5 2.7 3 5.5 2.8 2.4 9 21 4 1.2 2.8
2 0 2 4 1 2 5 4 3 1 3 1 1
3 0 2 4 2 3 5 4 3 1 5 1 1
1 1 2 3 0 2 2 3 1 2 1 1 2
2 0 5 25 0 2.5 20 1 0 0 0 0 0.25 0 2 0 12.5 0 0 0 7.5 3 0.75 20 40 0 0.75 2.5 0 0 17.5 20 0 0 0 2 2.25 2.5 60 0 2.75 0 3 1.5 7.5 60 1.5 0 20 3 1.25 2.5 40 1.5 0 0 1 1 0 0 0.75 0 0 2 0.5 0 10 0.75 0 0 1 0 7.5 100 0 2.5 0 1 0 0 50 0 0 40 2 0 2.5 5 0.5 2.5 0
5
2
2
2
2
2
0.5
0
0
0
0
0 0 0 1 1 0.25 0.75 0 0.75
10 10 2.5 7.5 0 0 0 0 0
0 0 10 0 0 0 0 0 0
0
0
10
0.5
0
0
158
Lanjutan Lampiran 9 26 Belukar Kawasan Pertanian-Kebun (Haulasi27 Nekefua) 28 Belukar 29 Hutan Primer (Hutan alamk) 30 Hutan Primer (hutan alamk) 31 Hutan Primer (Hutan alLamk) Kawaasan pertanian (Kebun jambu 32 mete) 33 Belukar 34 Belukar di Taunamolo Kawasan Pertanian (Kebun J.Mete) di 35 Muiksusu 36 Hutan Primer (hutan aLamk Kesambi) 37 Hutan Primer (hutan aLamk Kesambi) 38 Hutan Primer (hutan aLamk Kesambi) 39 Hutan Primer (hutan aLamk Kesambi) 40 Hutan Primer (hutan aLamk Kesambi) Keterangan: X1 = Jumlah total spesies tumbuhan X2 = Tinggi rata-rata vegetasi tingkat pohon X3 = Tinggi rata-rata vegetasi tingkat tiang X4 = Tinggi rata-rata vegetasi tingkat pancang X5 = Jumlah spesies tumbuhan pakan
123.9258
-10.0249
3
2
8
5
1.5
1
1
1
1
0
10
0.75
0
0
123.9275
-10.0231
1
3
9
9
1.7
3
5
1
1 2.25 10
20
0
2.5
0
123.9303 123.9406 123.9451 123.937
-10.0253 -10.0406 -10.0412 -10.0494
2 3 2 3
8 11 7 7
13 29 24 32
10 14 17 25
3.3 8 19 13
1 0 1 3
2 0 1 3
3 2 3 2
4 2 3 2
0 0 0.5 1.5
7.5 0 0 0
60 0 0 0
1.5 5 1 0 0.5 10 1.25 0
0 0 0 0
123.9602
-10.0380
4
3
11
7
4.2
2
3
0
0
0.5
10
0
123.9299 123.9354
-10.0232 -10.0224
1 2
5 4
7 12
2.7 6
2.2 3
3 2
4 2
2 0
3 0.25 10 0 0.25 0
40 10
0.25 7.5 0 0
40 0
123.9495
-10.0269
2
3
7
4
1.3
0
0
2
3
0
0
0
0.25 0.25
10
123.9325 123.9325 123.9325 123.9325 123.9326
-10.0318 -10.0315 -10.0313 -10.0313 -10.0312
2 1 1 1 1
3 3 6 2 4
27 12 21 20 25
15 9 15 12 11
13 1.7 18 5 17
1 1 1 1 1
1 1 1 1 2
2 2 2 1 3
3 2 3 2 4
0.25 0.25 0.25 0 0.25
0 0 0 0 0
0 1.5 5 0 1 0 0 0.75 12.5 100 0.75 5 10 1 10
0 0 0 0 10
X6 = Jumlah individu tumbuhan pakan X7 = Jumlah spesies tumbuhan cover X8 = Jumlah individi tumbuhan cover X9 = Kerapatan pakan tingkat pohon X10 = Kerapatan pakan tingkat tiang
0
0
0
X11 = Kerapatan pakan tingkat pacang X12 = Kerapatan cover tingkat pohohn X13 = Kerapatan cover tingkat tiang X14 = Kerapatan cover tingkat pacang
0
159 Lampiran 10 Hasil analisi regresi linear berganda dengan prosedur stepwise terhadap peubah determinan kehadiran Cikukua timor di lanskap Camplong ———— 1/27/2012 8:24:20 PM —————————————————— —— Welcome to Minitab, press F1 for help. Stepwise Regression: Jml Ind Burung versus NDVI, Slope, ... Alpha-to-Enter: 0,15 Alpha-to-Remove: 0,15 Response is Jml Ind Burung on 25 predictors, with N = 34 Step Constant D Ph Pkn T-Value P-Value
1 1,0766 0,59 3,56 0,001
D Tg Cvr T-Value P-Value
2 1,2093 0,55 3,50 0,001
3 0,4443 0,53 3,56 0,001
4 0,8580 0,56 3,90 0,001
5 0,4740 0,62 4,84 0,000
6 1,2522 0,45 3,46 0,002
7 0,8669 0,53 3,96 0,001
-0,142 -2,14 0,041
-0,154 -2,46 0,020
-0,145 -2,40 0,023
-0,185 -3,41 0,002
-0,174 -3,51 0,002
-0,160 -3,31 0,003
0,133 2,30 0,028
0,121 2,15 0,040
0,156 3,09 0,005
0,098 1,93 0,064
0,158 2,63 0,014
-0,102 -1,79 0,083
-0,186 -3,29 0,003
-0,214 -4,10 0,000
-0,188 -3,57 0,001
0,192 3,15 0,004
0,255 4,24 0,000
0,269 4,59 0,000
-0,086 -2,67 0,013
-0,074 -2,33 0,028
JS T-Value P-Value JJ T-Value P-Value Slope T-Value P-Value JHS T-Value P-Value JBlkr T-Value P-Value
-0,050 -1,73 0,096
S R-Sq R-Sq(adj)
0,385 28,37 26,13
0,365 37,56 33,53
0,342 46,93 41,63
0,330 52,23 45,64
Mallows C-p PRESS
22,2 5,3964 3 18,45
17,5 4 ,97277 24,86
12,7
10,8
4,42480 33,14
4,23984 35,93
R-Sq(pred)
0,289 64,71 58,41 3,7 3,40777 48,50
0,262 72,08 65,88 0,4 2,95445 55,36
0,252 74,96 68,22 0,3 2,72481 58,83
160 Lanjutan Lampiran 10 Regression Analysis: Jml Ind Burung versus D Ph Pkn, D Tg Cvr, ... The regression equation is Jml Ind Burung
= 0,867 + 0,531 D Ph Pkn - 0,160 D Tg Cvr + 0,158 JS - 0,188 JJ + 0,269 Slope 0,0740 JHS - 0,0503 JBlkr
Predictor Constant D Ph Pkn D Tg Cvr JS JJ Slope JHS JBlkr
Coef 0,8669 0,5313 -0,16018 0,15757 -0,18815 0,26859 -0,07402 -0,05035
SE Coef 0,4862 0,134 0,04842 0,05992 0,05271 0,05853 0,03181 0,02914
S = 0,252462 PRESS = 2,72481
R-Sq = 75,0% R-Sq(pred) = 58,83%
R-Sq(adj) = 68,2%
T 1,78 3,96 -3,31 2,63 -3,57 4,59 -2,33 -1,73
P 0,086 0,001 0,003 0,014 0,001 0,000 0,028 0,096
MS 0,70864 0,06374
F 11,12
P 0,000
Fit
SE Fit
Residual
St Resid
1,4971
0,1072
0,5029
2,20R
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 7 26 33
SS 4,96048 1,65717 6,61765
Source D Ph Pkn D Tg Cvr JS JJ Slope JHS JBlkr
DF 1 1 1 1 1 1 1
Seq SS 1,87762 0,60792 0,62044 0,35045 0,82573 0,48805 0,19027
Unusual Observations Obs 16
D Ph Pkn 0,41
Jm Ind Burung 2,0000
R denotes an observation with a large standardized residual.
Keterangan: D Ph Pkn = Density (kerapatan) Pohon Pakan, D Tg Cvr = Kerapatan Tiang Cover, JS = Jarak dari Sungai, JJ = Jarak dari Jalan, JHS = Jarak dari Hutan Sekunder, JBlkr = Jarak dari Belukar
161 Lanjutan Lampiran 10 Residual Plots for Jml Ind Burung
Residual Plots for Jml Ind Burung Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99
0.50 Residual
Percent
90 50 10 1
-0.50
-0.25
0.00 Residual
0.25
0.00 -0.25 -0.50
0.50
Histogram of the Residuals
0.50
6
0.25
4
1.2
1.6 Fitted Value
2.0
2.4
0.00 -0.25
2 0
0.8
Residuals Versus the Order of the Data
8
Residual
Frequency
0.25
-0.4
-0.2
0.0 0.2 Residual
0.4
-0.50
1
5
10 15 20 25 Observation Order
30
162 Lampiran 11. Hasil PCA terdahap faktor fisik Cikukua timor FACTOR /VARIABLES NDVI Slope Elevasi JHP JHS JBlkr JKbJm JKbPJ JPmk JS JJ /MISSING LISTWISE /ANALYSIS NDVI Slope Elevasi JHP JHS JBlkr JKbJm JKbPJ JPmk JS JJ /PRINT INITIAL EXTRACTION /CRITERIA MINEIGEN(1) ITERATE(25) /EXTRACTION PC /ROTATION NOROTATE /METHOD=CORRELATION.
Factor Analysis Notes Output Created
08-Jan-2012 09:31:25
Comments Input
Missing Value Handling
Active Dataset
DataSet0
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data File
40
Definition of Missing
MISSING=EXCLUDE: User-defined missing values are treated as missing.
Cases Used
LISTWISE: Statistics are based on cases with no missing values for any variable used.
Syntax
Resources
FACTOR /VARIABLES NDVI Slope Elevasi JHP JHS JBlkr JKbJm JKbPJ JPmk JS JJ /MISSING LISTWISE /ANALYSIS NDVI Slope Elevasi JHP JHS JBlkr JKbJm JKbPJ JPmk JS JJ /PRINT INITIAL EXTRACTION /CRITERIA MINEIGEN(1) ITERATE(25) /EXTRACTION PC /ROTATION NOROTATE /METHOD=CORRELATION. Processor Time
00:00:00.078
Elapsed Time Maximum Memory Required
00:00:00.076 16004 (15.629K) bytes
[DataSet0] Communalities Initial NDVI 1,000 Slope 1,000 Elevasi 1,000 JHP 1,000 JHS 1,000 JBlkr 1,000 JKbJm 1,000 JKbPJ 1,000 JPmk 1,000 JS 1,000 JJ 1,000 Extraction Method: Principal Component Analysis,
Extraction 0,737 0,777 0,836 0,845 0,880 0,871 0,586 0,897 0,566 0,713 0,854
163 Lanjutan Lampiran 11 Total Variance Explained Initial Eigenvalues Cumulative Component Total % of Variance (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
3,466 2,518 1,392 1,185 0,951 0,517 0,342 0.300 0.181 0.102 0.046
31,507 22,895 12,651 10,775 8,647 4,699 3,109 2.728 1.641 0.928 0.419
31,507 54,402 67,053 77,828 86,475 91,175 94,283 97.012 98.653 99.581 100.000
Extraction Sums of Squared Loadings Cumulative Total % of Variance (%) 3,466 2,518 1,392 1,185
31,507 22,895 12,651 10,775
31,507 54,402 67,053 77,828
Extraction Method: Principal Component Analysis. Component Matrixa Component 1
2
3
4
NDVI
0,350
-0,178
-0,021
-0,764
Slope
0,723*
-0,034
0,474
0,168
Elevasi
-0,530
0,744
0,032
-0,025
JHP
-0,741
-0,389
-0,336
0,179
JHS
0,240
-0,455
0,722*
0,307
JBlkr
0,139
0,740*
0,418
-0,358
JKbJm
0,647
-0,111
-0,346
-0,189
JKbPJ
0,770
0,346
-0,380
0,199
JPmk
0,123
0,568
-0,109
0,465
JS
-0,457
0,691*
0,152
-0,055
JJ
0,825*
0,304
-0,241
0,155
Extraction Method: Principal Component Analysis. a., 4 components extracted,
Keterangan: *) Fakor fisik yang paling berpengaruh dominan terhadap kehadiran P,inornatus JHP = Jarak dari Hutan Primer, JHS = Jarak dari Hutan Sekunder, JBlkr = Jarak dari Belukar, JKbJM = Jarak dari Kebun Jambu Mete, JKbPj = Jarak dari Kebun Palawija, JPmk = Jarak dari Permukiman, JS = Jarak dari Sungai, JJ = Jarak dari Jalan
164 Lampiran 12 Hasil PCA terhadap faktor biotik Cikukua timor. FACTOR /VARIABLES Jml_Spesies T_Pohon T_Tiang T_Pancang Jml_Sp_Pakan Jml_Ind_Pakan Jml_S p_Cover Jml_Ind_Cover D_Phn_Pakan D_Tg_Pakan D_Pc g_Pakan D_Phn_Cover D_Tg_Cover D_Pcg_Cover /MISSING LISTWISE /ANALYSIS Jml_Spesies T_Pohon T_Tiang T_Pancang Jml_Sp_Pakan Jml_Ind_Pakan Jml_Sp _Cover Jml_Ind_Cover D_Phn_Pakan D_Tg_Pakan D_Pcg _Pakan D_Phn_Cover D_Tg_Cover D_Pcg_Cover /PRINT INITIAL EXTRACTION /CRITERIA MINEIGEN(1) ITERATE(25) /EXTRACTION PC /ROTATION NOROTATE /METHOD=CORRELATION. Factor Analysis Notes Output Created 27-Jan-2012 11:53:35 Comments Input Active DataSet0 Dataset Filter <none> Weight <none> Split File <none> N of Rows in Working 40 Data File Missing Definition MISSING=EXCLUDE: User-defined missing values are treated as Value of Missing missing. Handling Cases LISTWISE: Statistics are based on cases with no missing values for Used any variable used. Syntax FACTOR /VARIABLES Jml_Spesies T_Pohon T_Tiang T_Pancang Jml_Sp_Pakan Jml_Ind_Pakan Jml_Sp_Cover Jml_Ind_Cover D_Phn_Pakan D_Tg_Pakan D_Pcg_Pakan D_Phn_Cover D_Tg_Cover D_Pcg_Cover /MISSING LISTWISE /ANALYSIS Jml_Spesies T_Pohon T_Tiang T_Pancang Jml_Sp_Pakan Jml_Ind_Pakan Jml_Sp_Cover Jml_Ind_Cover D_Phn_Pakan D_Tg_Pakan D_Pcg_Pakan D_Phn_Cover D_Tg_Cover D_Pcg_Cover /PRINT INITIAL EXTRACTION /CRITERIA MINEIGEN(1) ITERATE(25) /EXTRACTION PC /ROTATION NOROTATE /METHOD=CORRELATION. Resources Processor 00:00:00.093 Time Elapsed 00:00:00.073 Time Maximum Memory 24872 (24.289K) bytes Required
165 Lanjutan Lampiran 12 [DataSet0] Communalities Initial Jml_Spesies T_Pohon T_Tiang T_Pancang Jml_Sp_Pakan Jml_Ind_Pakan Jml_Sp_Cover Jml_Ind_Cover D_Phn_Pakan D_Tg_Pakan D_Pcg_Pakan D_Phn_Cover D_Tg_Cover D_Pcg_Cover Extraction Method: Principal Component Analysis.
Extraction 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000
0,738 0,690 0,430 0,874 0,895 0,940 0,878 0,951 0,459 0,796 0,695 0,712 0,512 0,498
Total Variance Explained Initial Eigenvalues Component 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Total
% of Variance
3,973 2,814 2,093 1,186 0,858 0,809 0,691 0,472 0,350 0,296 0,232 0,181 0,027 0,016
28,381 20,103 14,948 8,474 6,131 5,778 4,937 3,373 2,503 2,116 1,657 1,290 0,192 0,116
Cumulative (%) 28,381 48,484 63,432 71,907 78,037 83,815 88,753 92,126 94,629 96,745 98,402 99,692 99,884 100,000
Extraction Method: Principal Component Analysis.
Extraction Sums of Squared Loadings Total 3,973 2,814 2,093 1,186
% of Variance Cumulat ive (%) 28,381 20,103 14,948 8,474
28,381 48,484 63,432 71,907
166 Lanjutan Lampiran 12 Component Matrixa Component Variabel
1
2
3
4
Jml_total Spesies
0,785
0,134
-0,322
-0,028
T_Pohon
0,628
-0,002
-0,473
0,269
T_Tiang
-0,049
0,551
0,299
-0,186
T_Pancang
0,267
0,094
0,130
0,882
Jml_Sp_Pakan
0,824
-0,431
0,127
-0,118
Jml_Ind_Pakan
0,797
-0,489
0,236
-0,100
Jml_Sp_Cover
0,524
0,761
-0,016
-0,154
Jml_Ind_Cover
0,533
0,800
0,115
-0,115
D_Phn_Pakan
0,559*
-0,308
-0,225
-0,026
D_Tg_Pakan
0,378
-0,378
0,619
-0,357
D_Pcg_Pakan
0,513
-0,241
0,552
0,261
D_Phn_Cover
0,539*
0,394
-0,500
-0,127
D_Tg_Cover
0,036
0,521
0,465
0,152
D_Pcg_Cover
0,075
0,344
0,607
0,074
Extraction Method: Principal Component Analysis. 4 components extracted. Keterangang:*) Faktor yang paling berpengaruh dominan terhadap kehadiran Cikukua timor T = tinggi rata-rata vegetasi; D = Density (kerapatan), Phn = Pohon, Tg = Tiang, Pcg = Pancang
167 Lampiran 13 Hasil akurasi klasifikasi tutupan lahan di landskap Camplong. CLASSIFICATION ACCURACY ASSESSMENT REPORT ----------------------------------------Image File : e:/research_thesis/map_spasial analisis/prsoes data/raster proses/klasifikasi tipe habitat/l511067_06720100719_ubah_supervised_focal_geo2.img User Name : Blasius Paga Date : Wed Nov 09 14:17:30 2011 ERROR MATRIX ------------Reference Data -------------Classified Data --------------Awan Badan Air Kebun Mete Kebun Palawija Hutan Primer Jalan Negara Semak Belukar Savana Sawah Pemukiman Hutan Tanaman Hutan Sekunder Badan Air Sunga Lahan Kosong Mamar
Unclassified ---------0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Awan ---------0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Badan Air ---------0 0 6 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
Column Total
0
0
7
Hutan Primer ---------0 0 0 0 0 12 0 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 15
Jalan Negara ---------0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3
Reference Data -------------Classified Data --------------Awan Badan Air Kebun Mete Kebun Palawija Hutan Primer Jalan Negara Semak Belukar Savana Sawah Pemukiman Hutan Tanaman Hutan Sekunder Badan Air Sunga Lahan Kosong Mamar Column Total
Kebun Palawija ---------0 0 0 1 9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10
Kebun Mete ---------0 0 0 8 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10
Semak ---------0 0 0 0 0 0 0 9 1 0 0 0 2 0 0 0 1 13
168 Lanjutan Lampiran 13 Reference Data -------------Classified Data --------------Awan Badan Air Kebun Mete Kebun Palawija Hutan Primer Jalan Negara Semak Belukar Savana Sawah Pemukiman Hutan Tanaman Hutan Sekunder Badan Air Sunga Lahan Kosong Mamar
Belukar ---------0 0 0 0 0 0 0 1 17 0 0 0 0 0 0 0 1
Savana ---------0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
Sawah ---------0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
Pemukiman ---------0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 19 3 0 0 0 0
Column Total
19
1
2
22
Reference Data -------------Classified Data --------------Awan Badan Air Kebun Mete Kebun Palawija Hutan Primer Jalan Negara Semak Belukar Savana Sawah Pemukiman Hutan Tanaman Hutan Sekunder Badan Air Sunga Lahan Kosong Mamar
Hutan Tanaman Hutan Seku ------------------0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 17 0 2 4 0 0 0 0 0 0
Badan Air Sungai Lahan Kosong ------------------0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0
Column Total
19
3
5
0
169 Lanjutan Lampiran 13 Reference Data -------------Classified Data --------------Awan Badan Air ebun Mete Kebun Palawija Hutan Primer Jalan Negara Semak Belukar Savana Sawah Pemukiman Hutan Tanaman Hutan Sekunder Badan Air Sunga Lahan Kosong Mamar
Mamar ---------0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 6
Column Total
7
Row Total ---------0 0 6 10 11 12 4 10 20 1 1 19 23 7 3 1 8 136
----- End of Error Matrix ----ACCURACY TOTALS ---------------Class Name
Reference Totals
Accuracy ---------0 Awan 0 Badan Air 7 Kebun Mete 0 Kebun Palawija 10 Hutan Primer 15 Jalan Negara 3 Semak 13 Belukar 19 Savana 1 Sawah 2 Pemukiman 22 Hutan Tanaman 19 Hutan Sekunder 5 Badan Air Sunga 3 Lahan Kosong 0 Mamar 7 ----------
Totals
136
Classified Totals
Number Correct
---------0 0 6 10 11 12 4 10 20 1 1 20 23 7 3 1 8
------0 0 6 8 9 12 3 9 17 1 1 19 17 4 3 0 6
137
Overall Classification Accuracy = 83.94% ----- End of Accuracy Totals -----
115
Producers Accuracy ------------85.71 80.00% 90.00% 80.00% 100.00% 69.23% 89.47% 100.00% 50.00% 86.36% 89.47% 80.00% 100.00% --85.71%
Users --------100.00% 80.00% 81.82% 100.00% 75.00% 90.00% 85.00% 100.00% 100.00% 95.00% 73.91% 57.14% 100.00% --75.00%
170 Lanjutan Lampiran 13 KAPPA (K^) STATISTICS --------------------Overall Kappa Statistics = 0.8210 Conditional Kappa for each Category. -----------------------------------Class Name ---------Awan Badan Air Kebun Mete Kebun Palawija Hutan Primer Jalan Negara Semak Belukar Savana Sawah Pemukiman Hutan Tanaman Hutan Sekunder Badan Air Sungai Lahan Kosong Mamar
Kappa ----0.0000 0.0000 1.0000 0.7843 0.8039 1.0000 0.7444 0.8895 0.8258 1.0000 1.0000 0.9404 0.6971 0.5552 1.0000 0.0000 0.7365
----- End of Kappa Statistics -----