5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik
maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa liar (Alikodra 1990). Menurut Odum (1993) habitat terdiri atas komponen abiotik dan biotik yang bersama-sama menyusun kumpulan sumberdaya yang secara langsung maupun secara tidak langsung mendukung kehidupan organisme untuk hidup di tempat tersebut. Tumbuhan merupakan bagian habitat yang berfungsi sebagai penyedia berbagai macam makanan, tempat sarang serta tempat berlindung bagi satwa liar. Tumbuhan yang terdapat di habitat tersebut merupakan faktor penting dalam kehidupan burung karena beberapa bagian dari tumbuhan yaitu bagian generatif dan bagian vegetatif menjadi sumber makanan (Fleming 1992). Komposisi komunitas burung dapat dipengaruhi oleh perubahan komposisi jenis tumbuhan dalam suatu habitat.
Perubahan suatu habitat mengakibatkan
beberapa jenis burung mengubah perilaku makannya dan memperluas daerah jelajahnya (Lambert 1992).
Penggunaaan habitat oleh burung berubah-ubah
tergantung ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan dan adanya seleksi terhadap beberapa bagian dari habitat sesuai dengan kebutuhannya (Wiens 1992). Selain itu, kehadiran jenis burung pada suatu komunitas dipengaruhi oleh fragmentasi habitat dan ketersediaan sumberdaya di habitat seperti makanan (Hobson & Bayne 2000; Haslem & Bennett 2008; Fleming 1992). 2.2
Komunitas Burung Menurut Wiens (1992) komunitas burung merupakan kumpulan populasi
dari jenis-jenis burung yang hidup pada suatu habitat yang saling berinteraksi membentuk sistem komposisi, struktur dan peranannya sendiri. Morin (1999) menyatakan bahwa parameter penting dalam mempelajari suatu komunitas adalah taxocene dan guild. Taxocene adalah pengelompokan secara ekologi berdasarkan kelompok taksa tertentu.
Taxocene merupakan unit dasar dalam penelitian
makroekologi dan mempunyai parameter seperti kelimpahan dan keanekaragaman (Kaspari 2001).
Guild adalah sekelompok jenis burung yang menggunakan
6 sumberdaya yang sama baik jenis pakan, habitat mencari pakan ataupun strata tempat mencari pakan untuk kelangsungan hidupnya (Connel et al. 2000). Pengelompokan burung dalam kategori guild dilakukan berdasarkan pola mencari pakan, kebiasaan makan, tempat mencari pakan atau pemilihan tempat mencari pakan pada tingkatan vegetasi (Rakotomanana 1998; Aleixo 1999). Menurut Karr (1971) komposisi jenis dalam komunitas dapat dilihat dari komposisi atau kategori pakan dan cara makan dari jenis-jenis burung yang ada. Pada suatu habitat yang kaya dengan serangga akan memiliki jumlah burung insektivora yang melimpah atau jika suatu habitat cukup beragam sumber pakannya tetapi produktivitas masing-masing sumberdaya tidak melimpah, maka sebagian besar jenis pembentuk komunitas adalah jenis burung-burung omnivora. Demikian pula apabila produksi biji dan buah melimpah, maka pembentuk komunitasnya adalah jenis burung frugivora dan jenis burung graminivora. 2.3
Keanekaragaman Jenis Burung Keanekaragaman jenis adalah suatu karakteristik tingkatan komunitas
berdasarkan organisasi biologisnya dan dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas.
Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman
jenis tinggi jika komunitas tersebut disusun oleh banyak jenis dengan kelimpahan jenis yang sama atau hampir sama.
Sebaliknya jika komunitas disusun oleh
sangat sedikit dan hanya sedikit dari jenis itu yang dominan, maka keanekaragaman jenisnya rendah.
Keanekaragaman jenis
yang tinggi
menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi, karena dalam komunitas itu terjadi interaksi yang tinggi pula (Soegianto 1994; Krebs 1989; Wiens 1992). Menurut Helvoort (1981) keanekaragaman merupakan sifat yang khas dari komunitas yang berhubungan dengan banyaknya jenis atau kekayaan jenis dan kelimpahan jenis sebagai penyusun komunitas.
Kekayaan merupakan jumlah
jenis yang ada sedangkan kelimpahan jenis menunjukkan kelimpahan relatif dari masing-masing jenis. Suatu komunitas yang stabil dan baik akan mempunyai keanekaragaman jenis burung yang tinggi. Variasi yang besar pada vegetasi akan memberikan kekayaan dan keanekaragaman burung yang tinggi.
7 Keanekaragaman jenis burung berbeda antara habitat yang satu dengan habitat lainnya, hal ini tergantung pada kondisi lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya (Alikodra 1990).
Keanekaragaman jenis di suatu habitat
ditentukan oleh faktor seperti struktur vegetasi, komposisi jenis tumbuhan, sejarah habitat, tingkat gangguan dari predator dan manusia (Welty & Baptista 1988), serta ukuran luas habitat (Wiens 1992). Oleh karena itu, kondisi suksesi vegetasi berkaitan erat dengan perubahan komposisi jenis yang menempatinya (Alikodra 1990).
Keanekaragaman jenis cenderung lebih rendah di ekosistem yang
homogen dan lebih tinggi di ekosistem yang alami dan kompleks. Peningkatan jumlah jenis burung juga berkaitan dengan pertambahan luas habitat (Wiens 1992). 2.4 Bio-ekologi Gagak Banggai 2.4.1 Klasifikasi dan Morfologi Secara umum gagak banggai diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia, phylum Chordata, class Aves, ordo Passeriformes, familia Corvidae, genus Corvus dan jenis Corvus unicolor (Gambar 2). Menurut Mallo dan Putra (2007), individu jantan gagak banggai mempunyai panjang tubuh 334,6 mm, paruh 46,7 mm, tarsus 52,9 mm, ekor 110,8 mm dan sayap berukuran 210,1 mm. Warna tubuhnya seluruhnya hitam kusam, jari dan tarsus hitam, paruh hitam, iris berwarna putih kotor. Ukuran tubuh individu betina lebih pendek dari individu jantan yaitu 310 mm, paruh 44,8 mm, tarsus 47,4 mm, ekor 110,7 mm dan sayap 207,7 mm. Warna keseluruhan tubuhnya berwarna hitam kusam, jari dan tarsus hitam, paruh hitam dan iris putih kotor.
8
Gambar 2 Individu gagak banggai di Pulau Peleng a) dan d) tampak depan, b) tampak samping, c) tampak belakang. 2.5.2 Perkembangbiakan Gagak banggai diperkirakan bertelur, mengeram hingga membesarkan anaknya dalam sarang pada bulan Juni hingga awal September, masa bercumbu dan membuat sarang diperkirakan sebelum bulan Juni hingga akhir bulan Juni. Masa anak meninggalkan sarang diperkirakan pada awal bulan September sampai Oktober. Pada masa berkembangbiak gagak banggai membuat sarang yang berukuran 40 cm, berbentuk terbuka yang kurang rapi dari ranting-ranting kayu yang kuat, bahan sarang yang ditemukan ukurannya bervariasi, dari sebesar lidi aren (Arenga pinnata) hingga sebesar jari kelingking orang dewasa. Sarang diletakkan pada pohon toan (Pometia sp.), pada dahan tertinggi, dekat puncak kanopi yang tingginya 19 m dari permukaan tanah (Mallo & Putra 2007).
2.5.3 Makanan Gagak banggai selain mengkonsumsi serangga, ulat, reptilia kecil (tokek dan cicak), gagak banggai juga diketahui mengkonsumsi buah beringin (Mallo & Putra 2007).
9 2.5.4 Habitat Menurut Mallo dan Putra (2007), gagak banggai sering dijumpai di tepi hutan yang masih banyak terdapat pohon yang berukuran besar dan tinggi yang berbatasan dengan ladang. Gagak banggai juga sering terlihat bertengger pada pohon monas dan malisa atau marisa (Podocarpus sp.) dan pohon uling (Koordersiodendron pinnatum) dengan ketinggian tenggeran sekitar 20- 40 m dari permukaan tanah. 2.5.5 Perilaku Gagak banggai sering berkelahi dengan gagak hutan (Corvus enca) dan dalam perkelahian tersebut gagak hutan selalu kalah dan menghindari gagak banggai. Gagak banggai selalu menghindari kontak dengan manusia dan selalu menghindari daerah terbuka yang sering dikunjungi manusia atau daerah terdapat aktivitas manusia (Mallo & Putra 2007). 2.5.6 Penyebaran dan Populasi Penyebaran secara global burung gagak banggai terbatas (endemik) pada Kepulauan Banggai subkawasan Sulawesi. Secara lokal gagak banggai hanya dijumpai di Pulau Peleng. Gagak banggai dapat dijumpai pada beberapa tempat di ketinggian antara 700 sampai 800 mdpl. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Mallo dan Putra (2008a), penyebaran gagak banggai hanya dijumpai pada bagian Barat dan Tengah Pulau Peleng dan gagak banggai tidak ditemukan pada bagian Timur Pulau Peleng dan pulau Banggai. Gagak banggai menyebar bukan berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan laut, karena gagak banggai juga dijumpai pada ketinggian 200 mdpl. Jumlah populasi gagak banggai di Pulau Peleng diperkirakan sekitar 150 sampai 200 ekor. 2.6
Pola Sebaran Spasial Menurut Ludwig dan Reynolds (1988), secara umum individu populasi
menyebar dalam tiga pola spasial yaitu pola sebaran acak (random), pola sebaran mengelompok (clumped) dan pola sebaran merata (uniform).
Selanjutnya
disebutkan juga bahwa pola sebaran acak dari individu-individu populasi suatu jenis menunjukkan adanya keragaman (homogenity) dalam lingkungan hidup jenis itu dan adanya perilaku non selektif dari jenis yang bersangkutan dalam
10 lingkungan hidupnya. Pola sebaran merata terjadi karena adanya pengaruh negatif dari persaingan makanan diantara individu sebagaimana dapat diamati pada hewan yang merumput; sedangkan pola sebaran mengelompok dapat disebabkan oleh sifat jenis
yang bergerombol (gregorius) atau adanya keragaman
(heterogenity) habitat sehingga terjadi pengelompokan di tempat terdapat makanan dan lainnya. Menurut Ludwig dan Reynolds, (1988) faktor yang menyebabkan adanya perbedaan pola sebaran spasial diantaranya adalah: 1.
Faktor vektorial yang timbul dari adanya gaya-gaya eksternal seperti arah angin, arah aliran air dan intensitas cahaya;
2.
Faktor reproduksi yaitu yang berkaitan dengan cara berkembang biak;
3.
Faktor sosial sebagai akibat sifat yang dimiliki tertentu misalnya perilaku teriotorial;
4.
Faktor yang timbul sebagai akibat adanya persaingan intraspesifik. Menurut Tarumingkeng (1994), pola sebaran spasial suatu komunitas
ekologi dapat ditentukan dengan berbagai indeks penyebaran (dispersion index), yaitu indeks disperse (ID), indeks agregatif/ index of clumping (IC) dan indeks Green (IG). Pola sebaran satwa dapat berbentuk merata, kelompok dan acak. Pola penyebaran ini merupakan strategi individu maupun kelompok organisme untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kondisi habitat yang meliputi kualitas dan kuantitas sangat menentukan penyebaran populasi satwaliar. Satwa menggunakan habitatnya untuk melakukan beberapa aktivitas. Penggunaannya dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal.