TINJAUAN PUSTAKA Habitat Habitat adalah suatu kawasan yang dapat memenuhi semua kebutuhan dasar populasi, yakni kebutuhan
terhadap sumber pakan, air dan tempat
berlindung (Alikodra 2002). Owa jawa merupakan satwa endemik Pulau Jawa yang keberadaannya saat ini terbatas pada kawasan taman nasional dan hutan lindung di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Penyebarannya terutama di Taman Nasional Gunung Halimun, Gunung Gede, TN. Ujung Kulon, Gunung Simpang, Leuweung Sancang, dan Gunung Tilu (Kappeler 1984; Nijman dan Van Ballen 1998). Secara spesifik, habitat owa jawa adalah hutan tropika, mulai dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian 0-1.600 m di atas permukaan laut (Massicot 2001; CII 2000; Rinaldi 1999), sedangkan Rowe (1996) menyatakan bahwa habitat owa jawa adalah hutan primer dan sekunder serta hutan hujan tropika dari ketinggian setara permukaan laut sampai 1.500 m dpl. Hutan hujan tropika di bawah ketinggian 1.500 m dpl. merupakan habitat eksklusif bagi owa jawa (CII 2000; Kappeler 1981) karena beberapa sebab, yaitu 1) spesies tumbuhan hutan di atas ketinggian 1.500 m dpl bukan merupakan sumber pakan, dan 2) banyaknya lumut yang menutupi pepohonan menyulitkan owa jawa melakukan pergerakan atau perpindahan. Rowe (1996) menyatakan bahwa pada wilayah di atas ketinggian 1.500 m dpl, hanya terdapat sedikit spesies tumbuhan, dan jenis tumbuhan tersebut tidak sesuai untuk dimanfaatkan dalam melakukan pergerakan dari satu pohon ke pohon lain. Selain itu, suhu di atas 1.500 m dpl. lebih rendah dibandingkan suhu di bawah ketinggian tersebut. Owa jawa adalah satwa yang benar-benar hidup arboreal sehingga membutuhkan hutan dengan kanopi antar pohon yang berdekatan. Habitat yang sesuai bagi owa jawa adalah 1) hutan dengan tajuk yang relatif tertutup, 2) tajuk pohon tersebut memiliki cabang horizontal, dan 3) habitat yang memiliki sumber pakan yang tersedia sepanjang tahun (Kappeler 1984). Owa jawa sangat jarang turun ke permukaan tanah, dan menggunakan sebagian besar waktunya di tajuk pohon bagian atas, sehingga kelangsungan hidupnya tergantung pada pohon sebagai pelindung dan sumber pakan (Kuester 2000). Faktor utama yang membatasi
penyebaran
owa
jawa
adalah
struktur
ketinggian
pohon
7 untuk melakukan aktivitas bergelayutan (branchiation), serta keragaman floristik yang berkaitan dengan variasi persediaan pakan spesies tersebut (Kappeler 1984a). Persentase hilangnya hutan antara tahun 1980 dan 1995 di beberapa negara di dunia antara lain: Afrika 10,5%; Amerika Latin dan Karibia 9,7%; Asia dan Oceania 6,4%, sedangkan rerata hilangnya luas hutan pada negara-negara yang memiliki primata adalah 125.140 km2 (Chapman dan Peres 2001). Di Indonesia, luas habitat owa jawa menyusut sekitar 96% dari semula memiliki habitat seluas 43.274 km2 menjadi sekitar 1.608 km2 akibat pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa yang sangat pesat (CII 2000). Prediksi hilangnya habitat di beberapa kawasan yang dihuni owa jawa menunjukkan persentase yang bervariasi: Cagar Alam Gunung Simpang, hampir kehilangan 15% (dari 15.000 ha); TN. Ujung Kulon kehilangan 4% dari 76.100 ha; dan TN. Gunung Halimun kehilangan 2,5% dari 42.000 ha luas kawasannya (Supriatna 2006). Kerusakan habitat yang disebabkan oleh kegiatan penebangan selain menyebabkan populasi owa jawa menurun, juga menyebabkan perubahan tingkah laku pada beberapa spesies, diantaranya: 1) Lar gibbon (Hylobates lar) menunjukkan kecenderungan peningkatan tingkah laku berdiam diri dan menghindar, sedangkan tingkah laku bersuara menurun; 2) pola aktivitas pada H. Lar dan Presbytis melalophos menunjukkan peningkatan waktu istirahat dan penurunan pada aktivitas makan dan bergerak; 3) pada kedua spesies tersebut terjadi perpindahan dari kanopi atas ke bagian tengah; 4) pada saat terjadi gangguan yang sangat tinggi, aktivitas saling bersuara gibbon sering terhenti, dan tingkat bersuara tersebut akan tetap mengalami tekanan sampai beberapa tahun setelah aktivitas penebangan berhenti (Johns 1986). Akibat dari kerusakan hutan yang terjadi, maka habitat yang dapat dihuni owa jawa semakin sempit dan hanya tersisa terutama di Pulau Jawa bagian barat dan sebagian Jawa Tengah, seperti disajikan pada Gambar 2 (Nijman 2001).
8
Gambar 2. Habitat Owa Jawa (Nijman 2001) Gibbon lebih menyukai pohon tinggi untuk melakukan aktivitasnya. Pada kondisi hutan yang terganggu, aktivitas gibbon berubah dari kanopi bagian atas ke bagian tengah seperti ditunjukkan H. Lar dan H. Moloch pada Gambar 3.
Gambar 3. Persentase Penggunaan Kanopi oleh Dua Spesies Hylobates pada Hutan Terganggu dan Tidak Terganggu (Nijman 2006) Owa jawa diketahui hanya dapat diidentifikasi pada ketinggian tertentu. Pasang (1989) mengidentifikasi kelompok owa jawa di TN. Gunung Halimun pada ketinggian 1.250 m dpl. Walaupun sebagian peneliti menyatakan bahwa ketinggian 1.600 m dpl. merupakan posisi tertinggi sebaran owa jawa, terdapat laporan yang menyatakan bahwa spesies tersebut diidentifikasi pula pada ketinggian 2.400 m dpl. (Kool 1992; Nijman dan Van Balen 1998). Faktor-faktor
9 yang membatasi penyebaran owa jawa berdasarkan ketinggian tempat (Balai Taman Nasional Gunung Halimun 1997): 1) struktur dan kerapatan pohon membatasi perilaku pergerakan dari satu tajuk ke tajuk lain, 2) keragaman komposisi floristik yang relatif rendah menyebabkan kurangnya potensi dan keragaman pakan, dan 3) rendahnya temperatur pada malam hari. Pohon Pakan Pada dasarnya, sumber pakan satwa primata dibedakan ke dalam tiga kategori (Fleagle 1988): 1. struktural, yaitu bagian tumbuhan yang meliputi daun, batang, cabang, dan materi tumbuhan lainnya yang mengandung struktur karbohidrat (selulosa); 2. bagian reproduktif, yaitu organ tumbuhan seperti tunas bunga, bunga dan buah (matang atau mentah); 3. materi dari hewan, yaitu makanan yang berasal dari hewan baik vertebrata maupun invertebrata. Pohon pakan adalah jenis pohon yang dimanfaatkan owa jawa sebagai sumber pakan. Bagian pohon yang biasanya dimanfaatkan adalah buah, daun, dan bunga. Kelompok gibbon pada umumnya mengkonsumsi buah matang dalam proporsi yang tinggi (Geissmann 2004). Persentase jenis pakan tertinggi adalah buah-buahan matang (61%), daun-daunan (38%) dan bunga (1%) (Kappeler 1984; Rowe 1996; Kuester 1999). Terdapat 125 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan gibbon sebagai sumber pakan, terdiri dari 108 jenis pohon, 14 jenis tumbuhan liana, dua jenis tumbuhan palma dan satu jenis epifit. Jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan adalah Dillenia excelsa (Jack) Gilg, Dracontomelon mangiferum Blume, Garcinia dioica Blume, Ficus callosa Willd., Saccopetalum horsfieldii (Benn.) Baillon ex. Pierre, Ficus variegata Blume, Eugenia polyanta Wright, Flacourtia rukam Zoll. & Moritzi, Bridelia minutiflora Hook.f. dan Antidesma bunius Sprengel (Kappeler 1984). Berdasarkan hasil penelitiannya, Rinaldi (1999) menyatakan terdapat 27 jenis tumbuhan yang merupakan sumber pakan owa jawa di TN. Ujung Kulon, diantaranya adalah purut (Parartocarpus veneroso), kiara koang (Schefflera macrostachya Jacq), kiara beunyeur (Ficus callopylla Blume), dahu
10 (Dracontomelon puberulum Miq) dan kicalung (Diospyros hermaphroditica Bakh.). Pohon pakan dan pohon tidur merupakan bagian habitat yang memiliki peranan sangat penting bagi kehidupan gibbon. Buah-buahan merupakan sumber pakan utama gibbon dibandingkan bagian lain pada pohon pakan tersebut
(Whiten
1982).
Walaupun
demikian,
gibbon
diidentifikasi
pula
mengkonsumsi pucuk daun, tangkai muda, bunga dan beberapa hewan invertebrata (Gittins 1982). Jenis pohon dari famili Moraceae dan Euphorbiaceae merupakan pohon yang paling umum digunakan sebagai sumber pakan bagi gibbon. Jenis pohon lain yang sering digunakan sebagai sumber pakan berasal dari famili Leguminosae,
Myrtaceae,
Annonacea,
Rubiaceae,
Guttiferaceae
dan
Anacardiaceae (Chivers 2000). Spesies yang memiliki sumber pakan sama dengan owa jawa adalah dua spesies lutung (Presbytis aygula, P. cristatus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), bajing (Ratufa bicolor), kelelawar (Pteropus vampyrus) dan tiga spesies rangkong (Anthracoceros convexus, Buceros rhinoceros, Rhyticerus undulates) (Kappeler 1981). Berdasarkan kesamaan sumber pakan tersebut, di TN. Ujung Kulon, owa jawa bersaing dalam menggunakan sumber pakan dengan spesies satwa primata lain, yaitu surili (P. comata), lutung (Trachipithecus auratus), dan monyet ekor panjang (M. fascicularis) (Iskandar 2001). Pohon Tidur Pohon tidur adalah jenis pohon yang digunakan owa jawa sebagai tempat tidur dan tempat berlindung dari predator. Pohon tidur pada sebagian satwa primata merupakan salah satu tempat yang dipertahankan dari gangguan kelompok lain dan merupakan core area dari spesies tersebut. Core area adalah lokasi tertentu di dalam daerah jelajah yang dipertahankan secara intensif terhadap gangguan kelompok lain. Pemilihan tempat untuk istirahat dan tidur dilakukan secara hati-hati sehingga diperoleh lokasi yang benar-benar cocok (Fruth dan McGrew 1998). Pada umumnya, pohon yang dipilih sebagai pohon tidur adalah pohon yang cukup tinggi, rindang dan rimbun sehingga selain bisa terhindar dari predator, dapat pula digunakan untuk berlindung dari perubahan cuaca (Reichard 1998).
11 Gibbon akan melakukan perpindahan pohon tidur secara berkala. Jantan dan betina tidur pada pohon yang berbeda. Pada saat berada di pohon tidur, gibbon tidak akan bersuara untuk menghindari bahaya (Islam dan Feeroz 1992). Setelah melakukan jelajah harian, owa jawa akan kembali ke pohon tidur beberapa jam sebelum matahari terbenam, dan tinggal di pohon tersebut sampai kira-kira 14-17 jam. Biasanya betina dewasa dan bayi menuju pohon tidur terlebih dahulu, diikuti juvenil atau anak yang beranjak dewasa, dan terakhir jantan dewasa (Reichard 1998). Rerata waktu yang digunakan Hylobates moloch di pohon tidur di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang adalah 13,05 jam (Malone et al. 2006). Pohon tidur dan pohon yang digunakan pada saat bersuara merupakan tempat penting di dalam teritori gibbon. Terdapat banyak pohon tidur yang digunakan gibbon pada satu lokasi. Banyaknya jumlah pohon tidur tersebut berperan penting dalam mempertahankan kehangatan (Gittins 1982). Owa Jawa (Hylobates moloch) Klasifikasi dan Taksonomi Genus Hylobates dikelompokkan ke dalam empat subgenus, yaitu Bunopithecus, Hylobates, Nomascus dan Sympalangus seperti disajikan pada Tabel 1 (Geissmann 1995). Tabel 1. Klasifikasi dan Distribusi Genus Hylobates Genus Hylobates
Subgenus Bunopithecus
Spesies Hoolock
Subspesies Hoolock
Hylobates
Agilis
Leuconedys agilis albibarbis
Lar
?unko Carpenteri Entelloides Lar Vestitus ?yunnanensis
Moloch Muelleri
Nomascus
Pileatus Klosii Concolor
Abboti Funerius Mueleri Concolor ?jingdongensis
Penyebaran Assam, Bangladesh, Burma Burma, Yunnan Sumatra Barat, Kalimantan Malaysia, Sumatra Thailand Thailand, Burma Semenanjung Malaysia Sumatra Utara Yunnan Jawa Barat Kalimantan Kalimantan Kalimantan Thailand, Kamboja Pulau Mentawai Vietnam, Yunann Yunnan
12 Hainanus ssp.nov. cf.nasutus ?lu
Pulau Hainan Vietnam Vietnam Laos
13 Tabel 1. (Lanjutan) Genus
Subgenus
Spesies leucogenys
Subspesies Leucogenys Siki
Gabriellae Symphalangus
syndactylus
?continentis Syndactylus
Penyebaran Laos, Vietnam, Yunnan Laos, Vietnam Laos, Vietnam, Kamboja Semenanjung Malaysia Sumatra
Owa jawa (Hylobates moloch) dikenal pula dengan nama Javan gibbon atau Silvery gibbon, memiliki susunan taksonomi sebagai berikut (The IUCN Red List of Threatened Species 2003): ordo: Primata; famili: Hylobatidae; genus: Hylobates; spesies: Hylobates moloch (Audebert 1797), dan nama lokal: owa, wau-wau kelabu. Arti kata Hylobates menurut Nowak (1999) adalah penghuni pohon, oleh karena itu ketangkasan genus ini dikenal melebihi satwa lain pada saat bergerak dari satu pohon ke pohon lainnya. Morfologi Genus Hylobates tidak memiliki ekor, kepala berukuran kecil dan bulat, hidung tidak menonjol, rahang kecil dan pendek, dada lebar dengan rambut yang tebal dan halus (Grzimek 1972). Salah satu ciri mencolok dari Genus Hylobates adalah adanya pembengkakan pada alat kelamin betina, terutama pada Hylobates moloch, H. muelleri, H. agilis, H. Albibarbis dan H. lar. Pembengkakan pada alat kelamin betina ini tidak begitu nyata pada H. pileatus (Mootnick 2006). Owa jawa merupakan salah satu spesies dalam Genus Hylobates yang memiliki bantalan duduk (ischial callosities). Bantalan duduk tersebut tidak terdapat pada semua jenis satwa primata (Fleagle 1988). Salah satu cara untuk membedakan populasi gibbon adalah melalui perbedaan rambut. Berdasarkan perbedaan warna rambut tersebut, dapat pula digunakan untuk membedakan jenis kelamin pada spesies tertentu (Chivers 1984). Owa jawa memiliki rambut tebal berwarna abu-abu keperakaan. Rambut di atas kepala dan muka berwarna hitam, sedangkan alis berwarna putih (Massicot 2006). Jantan dan betina owa jawa memiliki rambut tebal dan berwarna abu-abu keperakan menutupi hampir seluruh tubuh. Rambut di atas kepala berwarna gelap, beberapa diantaranya memiliki warna rambut lebih gelap
14 pada bagian dada. Warna rambut pada bayi berwarna lebih terang dibandingkan owa jawa dewasa (Rowe 1996). CII (2000) menyatakan bahwa rambut pada bagian kepala owa jawa berwarna abu-abu kehitaman, muka berwarna hitam dengan alis berwarna abu-abu terang atau cenderung putih. Supriatna dan Wahyono (2000) menambahkan, dagu pada beberapa individu owa jawa berwarna gelap dan terdapat sedikit perbedaan warna rambut antara jantan dan betina, terutama dalam tingkatan umur. Bobot tubuh owa jawa sekitar 6 kg (Massicot 2001). Antara jantan dan betina tidak terdapat perbedaan menyolok baik dari bobot badan maupun warna rambut (Kuester 1999). Panjang tubuh jantan dan betina dewasa berkisar antara 75-80 cm, memiliki lengan yang panjang dan tubuh ramping. Bentuk tubuh seperti ini sangat ideal untuk melakukan pergerakan diantara tajuk pohon di dalam hutan (Kuester 2000). Owa jawa memiliki gigi seri kecil dan sedikit ke depan, sehingga memudahkan untuk menggigit dan memotong makanan. Gigi taring panjang dan berbentuk seperti pedang yang berfungsi untuk menggigit dan mengupas makanan. Gigi geraham atas dan bawah untuk mengunyah makanan (Napier & Napier 1967). Status Konservasi Sebagai upaya melindungi owa jawa dari kepunahan, spesies ini telah dilindungi sejak jaman penjajahan Belanda oleh Undang-undang berdasarkan ordonansi perlindungan binatang-binatang liar 1931 nomor 266 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda (Dit. PPA 1978). Perlindungan terhadap spesies endemik ini diganti oleh Undang-Undang No. 5/1990; Keputusan Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-II/1991 dan No. 882/Kpts-II/1992 (http://www.tropenbos. nl/2006). Pada tahun 1986, owa jawa telah dimasukkan ke dalam kategori endangered species dalam daftar IUCN. Status tersebut berubah pada tahun 1996, menjadi critically endangered species (CI 2000) setelah PHVA workshop (Supritna et al. 1994). Mulai tahun 2000-2004, owa jawa termasuk ke dalam salah satu dari 25 spesies primata yang paling terancam punah di dunia (IUCN/CI 2000). Kategori Owa jawa dalam daftar CITES termasuk ke dalam Appendix I (Kuester 1999).
15 Status owa jawa saat ini dikategorikan sangat kritis (genting) berdasarkan pertimbangan: 1) pengurangan setidaknya 80% habitat layak huni atau berkurangnya kualitas habitat selama tiga generasi terakhir (45 tahun) (Supriatna et al. 1994); 2) estimasi populasi kurang dari 250 individu dewasa dan terjadi penurunan secara terus menerus (http://www.tropenbos.nl/2006). Penyebab sangat kritisnya populasi owa jawa dan satwa lain adalah akibat aktivitas manusia yang tidak mempertimbangkan aspek kelestarian habitat dan satwa yang hidup di dalamnya. Pada umumnya, hampir semua habitat spesies penting di dareah penyebaran owa jawa telah musnah. Lebih dari 95% habitat owa jawa dan lutung telah rusak, dan hanya 2% daerah penyebaran alaminya yang dilindungi (Primack et al. 1998). Gambar 4 menyajikan berbagai ancaman terhadap populasi primata dan langkah-langkah yang diperlukan dalam melindungi populasi primata tersebut.
Gambar 4. Ancaman Utama Terhadap Populasi Primata dan Pendekatan dalam Melindungi Ordo tersebut (Chapman dan Peres 2001). Penelitian yang telah dilakukan terhadap populasi owa jawa di beberapa kawasan di Jawa Barat dan Jawa Tengah pada beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa populasi spesies tersebut masih lebih dari 4.000 individu. Berdasarkan hasil penelitiannya, Nijman (2004) menyarankan peninjauan kembali atas status owa jawa dari status saat ini critically endangered species
16 menjadi endangered species karena pertimbangan masih cukup banyaknya populasi owa jawa di alam. Penyebaran Gibbon
lebih
menyukai
hutan
dataran
rendah
karena
memiliki
keanekaragaman dan kepadatan pohon-pohon berbuah sangat tinggi (Chivers 2000). Penyebaran owa jawa hanya terdapat di separuh P. Jawa ke arah barat. Daerah sebaran di Jawa Barat meliputi TN. Gunung Gede Pangrango, TN. Gunung Halimun, TN Ujung Kulon, Cagar Alam (CA) Gunung Simpang, CA Leuweung Sancang, Hutan Lindung (HL) Gunung Salak, HL Gunung Ciremai, Gunung Papandayan, Gunung Wayang, Gunung Jayanti dan Gunung Porang. Di Jawa Tengah, owa jawa dapat ditemukan di HL Gunung Slamet, Gunung Prahu, dan Pegunungan Dieng (CII 2000; Nijmann dan Sozer 1995). Spesies gibbon tersebar menurut geografis. Sebaran ini dapat digunakan sebagai indikasi keragaman spesies tersebut selain perbedaan warna rambut. Penyebaran gibbon berdasarkan letak geografis disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Penyebaran Gibbon Berdasarkan Letak Geografis (Chivers 1984)
17
Owa jawa telah diidentifikasi keberadaannya pada 20 areal yang masih berhutan, terutama di Jawa Barat. Pada beberapa areal dengan populasi owa jawa sedikit, diperkirakan populasi tersebut tidak akan bertahan dalam kurun waktu lama (Massicot 2006). Supriatna dan Wahyono (2000) membedakan owa jawa menjadi dua subspesies, yaitu H. moloch moloch yang memiliki warna rambut lebih gelap, dan H. moloch pangoalsoni dengan rambut berwarna lebih terang. Menurut Geissmann (2004), owa jawa yang sebarannya di Jawa Barat adalah H. moloch moloch, sedangkan di Jawa Tengah adalah H. moloch pangoalsoni.
Aktivitas Harian dan Pola Interaksi Pada saat melakukan aktivitas harian, owa jawa lebih bersifat arboreal dan jarang turun ke tanah. Pergerakan dari pohon ke pohon dilakukan dengan cara bergelayutan atau brankiasi (Kuester 1999; Supriatna dan Wahyono 2000). Pohon yang tinggi dapat digunakan untuk bergelayutan, berpindah tempat, tidur, menelisik (grooming) antara jantan dan betina atau antara induk betina dan anaknya serta mencari makan (CII 2000). Aktivitas tersebut ada di dalam daerah jelajahnya. Pola aktivitas harian diawali dengan mengeluarkan suara disertai pergerakan akrobatik sebelum mencari makan (Rinaldi 2003), siang hari digunakan untuk beristirahat dengan saling menelisik antara jantan dan betina pasangannya, atau antara induk dan anaknya, sedangkan pada malam hari, tidur pada percabangan pohon (Cowlishaw 1996). Pergerakan dari satu cabang ke cabang lain atau dari pohon ke pohon lain dibagi ke dalam dua kecepatan, yaitu lokomosi cepat terjadi ketika menghindari predator, terdengar suara peringatan dari betina dan ketika terjadi perebutan teritori. Lokomosi lambat dilakukan pada saat menempuh jarak pendek (50-100m) dan terdiri atas bergelayutan tanpa fase melayang, berjalan dengan dua kaki (bipedal), berjalan dengan empat kaki (quadrupedal), fase melayang untuk menjangkau cabang atau pucuk pohon (Kappeler 1981). Cara bergerak owa jawa dibedakan ke dalam empat jenis, yaitu: 1) brankiasi; 2) berjalan dengan dua kaki (bipedal); 3) memanjat; dan 4) melompat (leaping). Aktivitas owa jawa di TN. Ujung Kulon dimulai antara jam 06.00 dan 7.15 pagi tergantung kepada kondisi cuaca. Pada saat musim kemarau, aktivitas harian owa jawa dimulai pada pukul 06:00 pagi, sedangkan pada musim hujan, aktivitas
18 dimulai pada pukul 07:15 pagi dan beristirahat pada siang hari. Aktivitas diawali dengan bersuara disertai pergerakan akrobatik sebelum mencari pakan. Aktivitas makan dimulai setelah matahari terbit dan aktivitas bersuara (Rinaldi 1999, 2003). Respon gibbon pada saat ada manusia yang mendekat adalah segera menghindar, respon seperti ini bisa disertai oleh menggoyangkan cabang pohon dan bersuara. Respon lain yang mungkin muncul adalah berdiam diri dan bersembunyi. Respon bersuara biasanya terjadi apabila satwa mendeteksi kehadiran manusia pada jarak yang sangat dekat (Nijman 2006). Salah satu pola interaksi yang dilakukan owa jawa adalah bersuara (Dallman & Geismann 2001). Terdapat dua jenis suara pada owa jawa, yaitu usual dan unusual call. Usual call biasanya dikeluarkan oleh betina dewasa baik secara solo maupun duet dengan jantan dewasa atau remaja. Aktivitas ini dilakukan sebelum mengeksplorasi daerah jelajah dan teritori. Unusual call dilakukan oleh betina dewasa, jantan dan anggota kelompok ketika bertemu dengan kelompok lainnya di perbatasan teritori dan merespon adanya gangguan (Rinaldi 1999). Pada pagi hari, owa akan bersuara berupa lengkingan nyaring yang disebut morning call dengan durasi antara 10-30 menit. Owa jawa dan siamang kerdil (H. klosii) tidak bersuara secara duet, melainkan suara solo (Geismann dan Nijman 1999). Pada saat bersuara ini, betina owa jawa akan lebih mendominasi (Dallmann and Geismann 2001). Suara owa jawa dapat diidentifikasi hingga jarak 500-1.500 m (Kappeler 1981). Suara yang dapat diidentifikasi menurut CII (2000): 1) suara betina untuk menandakan teritorinya; 2) suara jantan ketika bertemu kelompok lainnya; 3) suara antar individu ketika terjadi konflik; dan 4) suara anggota keluarga ketika melihat bahaya (alarm call, harassing call).
Populasi Populasi adalah kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya (Alikodra 2002). Kappeler (1981) memperkirakan populasi owa jawa antara 2.400 dan 7.900 individu. Empat belas tahun kemudian, populasi owa jawa dinyatakan menurun cukup tajam menjadi 2.700 individu (Asquith et al. 1995). Penurunan populasi yang cukup tajam ini disebabkan oleh rusak atau hilangnya habitat akibat meningkatnya populasi manusia yang disertai meningkatnya kebutuhan
19 manusia akan lahan untuk pengembangan sektor pertanian lainnya. Pada tahun 2000, Supriatna dan Wahyono menyatakan estimasi populasi owa jawa pada kisaran 2.000 dan 4.000 individu, bahkan diperkirakan jumlah sebenarnya bisa melebihi populasi tersebut. Peningkatan estimasi populasi tersebut dipertegas dengan hasil penelitian Nijman (2004) yang melaporkan hasil survei yang dilakukannya di Pulau Jawa dengan memprediksi populasi owa jawa berada pada kisaran 4.000-4.500 individu. Tabel 2 menyajikan populasi owa jawa di beberapa lokasi di P. Jawa. Tabel 2. Populasi Owa Jawa pada beberapa lokasi di Pulau Jawa No.
Lokasi
Estimasi Populasi (individu)
Sumber
447
1
456-1.149
2
1.
TN. Gunung Gede Pangrango
2.
TN. Gunung Halimun
3.
Cagar Alam Gunung Salak
271
1
4.
Cagar ALam Gunung Simpang
476
1
5.
TN Ujung Kulon
560
3
6.
Gunung Papandayan
527
1
7.
Gunung Slamet
96
1
Keterangan: 1 = Djanubudiman et al. (2005); 2 = Rinaldi (2003); 3 = Asquith et al. (1995)
Aktivitas yang berakibat secara langsung terhadap menurunnya populasi owa jawa antara lain: 1) hilangnya habitat; 2) perburuan dan penangkapan untuk keperluan hewan peliharaan; dan 3) hilangnya koridor sebagai dampak dari hilangnya habitat. Selain itu, faktor yang turut berperan semakin menurunnya populasi owa jawa adalah tingkat reproduksinya yang relatif rendah (Geissmann 1991). Kepadatan kelompok dan populasi owa jawa pada berbagai tipe habitat dan ketinggian tempat menunjukkan jumlah kelompok dan populasi berbeda. Tabel 3 menyajikan kepadatan kelompok dan kepadatan populasi owa jawa berdasarkan ketinggian dari atas permukaan laut.
20 Tabel 3. Kepadatan Kelompok dan Populasi Owa Jawa Berdasarkan Ketinggian di Atas Permukaan Laut (dpl.) Lokasi
Ketinggian (m dpl)
Kepadatan
Sumber
Kelompok (kelompok/km2)
Populasi (individu/km2)
0-100
2,9
8,3
1
600-1200
5,6
9,9
2
Telaga Warna
1.300-1.400
1,1-2,1
3,3-6,3
3
Gunung Dieng
300-1.300
0,9-1,1
3,0-3,6
4
Ujung Kulon Gunung Halimun
Keterangan: 1. Gurmaya et al. 1995; 2. Sugarjito et al. 1997; 3. Nijman 2004; 4. Nijman dan Van Balen 1998 Kepadatan populasi owa jawa di hutan hujan dataran rendah adalah 2 individu/km2 dan di hutan hujan dataran tinggi 7 individu/km2. Perbedaan kepadatan ini disebabkan habitat owa jawa lebih banyak tersebar di dataran tinggi sampai pada ketinggian 1.600 m dpl (Massicot 2001). Kepadatan populasi owa jawa yang diidentifikasi di daerah Cibiuk dan Reuma Jengkol yang merupakan bagian dari kawasan TN Ujung Kulon, yaitu 9,2 individu/km2. Rerata kepadatan kelompok pada kedua daerah di TN Ujung Kulon tersebut adalah 2,8 kelompok/km2, dengan besar ukuran kelompok 3,3 individu. Kisaran jumlah individu yang ditemukan pada setiap identifikasi adalah 1-5 individu (Iskandar 2001), sedangkan pada tahun 1984, Kappeler melaporkan hasil penelitiannya yang memperkirakan kepadatan kelompok owa jawa di TN. Ujung Kulon sekitar 2,7 kelompok/km2. Komposisi Kelompok Owa jawa hidup berpasangan dalam sistem keluarga monogami. Selain kedua induk, terdapat 1-2 individu anak yang belum mandiri (Supriatna dan Wahyono 2000), sehingga rerata setiap kelompok berjumlah 4 individu (Kuester 1999). Pada kelompok tertentu hanya terdiri dari pasangan induk jantan dan betina (Nijman 2004). Kematangan seksual owa jawa baru dicapai pada umur 4-5 tahun, sedangkan periode kebuntingan berkisar antara 190-214 hari dengan interval kelahiran 3-4 tahun (Geismann 1991). Dalam sistem monogami, keberhasilan jantan dalam bereproduksi cenderung menurun, hal ini diperkirakan karena ketersediaan niche dan penyebaran sumber pakan. Selain itu, energi
21 yang
diperoleh
dari
sumber
pakan
digunakan
untuk
berpatroli
dan
mempertahankan teritori (Chivers 2000). MacKinnon dan MacKinnon (1984) menyatakan bahwa keuntungan kelompok dengan sistem hidup monogami dan mempertahankan teritori adalah 1) mengurangi aktivitas reproduksi yang tidak diperlukan dan meningkatkan perlindungan bagi anak-anaknya yang masih kecil; 2) mengurangi gangguan dan kompetisi dengan kelompok lain; 3) meningkatkan efisiensi dalam menemukan sumber pakan; dan 4) mengurangi kompetisi dalam perkawinan. Kekurangan kelompok populasi dengan sistem hidup monogami adalah 1) tidak fleksibel dalam penggunaan ruang; 2) perbandingan jenis kelamin tidak beragam sehingga menyebabkan berkurangnya keberhasilan reproduksi; 3) kecilnya ukuran kelompok mengurangi kemampuan berkompetisi dengan spesies lain; 4) peningkatan spesiasi merupakan bagian dari evolusi. Owa jawa yang kehilangan pasangannya, tidak akan mencari pengganti pasangan sampai akhir hayatnya. Kondisi demikian, dapat mempercepat penurunan populasi (Sudarmadji 2002). Gibbon dengan sistem hidup monogami lebih memfokuskan sumber pakannya pada pohon berbuah dengan diameter besar dan tinggi untuk menghindari persaingan dengan kelompok yang terdiri dari banyak jantan dan banyak betina (multi-male multi-female) seperti macaques dan orangutan. Lebih dari 60% waktu makannya digunakan untuk mengkonsumsi buah-buahan (Chivers 2000). Umur betina siap kawin berkisar antara 6-7 tahun (CII 2000). Pasangan owa jawa akan menghasilkan 5-6 anak selama masa reproduksinya yaitu antara 10-20 tahun. Anak yang dihasilkan setiap kelahiran berjumlah satu individu, dengan lama menyusui sekitar tujuh bulan. Jarak antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya adalah 40 bulan (Kuester 2000). Jantan dan betina muda menjelang dewasa atau mencapai dewasa kelamin akan meninggalkan kelompoknya dan hidup mandiri dengan pasangannya sebagai kelompok keluarga yang baru (Kirkwood & Stathatos 1992). Di alam, satwa yang termasuk famili Hylobatidae dapat bertahan hidup sampai usia 30-35 tahun (Mommens 1998; Arazpa 2004), sedangkan di penangkaran, umumnya dapat hidup sampai umur 44 tahun. Hylobates moloch diduga dapat mencapai kisaran umur yang sama (Kuester 2000).
22 Daerah Jelajah Daerah jelajah (home range) adalah luas areal yang digunakan suatu kelompok satwa dari suatu spesies dalam melakukan aktivitasnya pada kurun waktu tertentu. Rowe (1996) mendefinisikan daerah jelajah sebagai estimasi penggunaan lahan oleh suatu kelompok pada kurun waktu tertentu. Daerah jelajah bisa sangat berbeda dari tahun ke tahun tergantung perubahan cuaca, ketersediaan sumber pakan, persaingan dengan kelompok lain dalam satu spesies yang sama, dan gangguan yang ditimbulkan oleh manusia, seperti perburuan, penebangan pohon dan meluasnya kegiatan pertanian. Pernyataan Rowe tentang perubahan luas daerah jelajah, sama dengan yang dikemukakan Collinge (1993), bahwa luas daerah jelajah bisa berubah tergantung dari ketersediaan sumber pakan, air dan tempat berlindung. Daerah jelajah terbentuk berdasarkan jelajah harian suatu kelompok yang merupakan rata-rata jarak tempuh suatu kelompok dalam melakukan aktivitas hariannya. Ditambahkan pula, daerah jelajah harian bisa berubah setiap harinya tergantung pergerakan kelompok dalam melakukan aktivitasnya. Jelajah harian (day range) adalah jarak tempuh rata-rata suatu kelompok dalam satu hari, sedangkan core area adalah areal di dalam daerah jelajah yang paling sering digunakan oleh satu kelompok (Rowe 1996). Owa
jawa
sangat
tergantung
kepada
daerah
jelajah
yang
telah
dikuasainya. Walaupun banyak mengalami gangguan, owa jawa akan tetap bertahan pada wilayah yang telah dikuasai tersebut, sehingga perilaku ini menyebabkan kelangsungan hidup spesies tersebut mudah terancam jika hutan mengalami kerusakan (Geissmann 2002). Daerah jelajah gibbon bervariasi satu sama lain, H. lar di Thailand, 16 ha, H. moloch di Jawa, 17 ha, hoolock di Bangladesh, 45 ha, H. lar di Malaysia, 56 ha, sedangkan luas daerah jelajah siamang berkisar antara 30-40 ha. (Chivers 2000). Luas daerah jelajah owa jawa sekitar 17 ha, luasan ini lebih sempit dari rata-rata luas daerah jelajah Genus Hylobates yaitu 34,2 ha (Nowak 1999). Genus Hylobates adalah satwa primata yang sangat mempertahankan teritori. Sekitar 75% spesies dalam genus ini mempertahankan teritori kelompoknya dari kelompok lain (Nowak 1997). Cara untuk menandai teritori pada kelompok ini adalah dengan mengeluarkan suara nyaring pada pagi hari (Leighton 1987) dalam kisaran waktu antara 10-20 menit (Geissmann 2000).
23 Penangkaran Penangkaran merupakan suatu upaya mengembangbiakkan satwa liar yang dilakukan secara intensif di dalam kandang. Pengembangbiakkan satwa primata
di
dalam
penangkaran
mempunyai
dua
tujuan
utama,
yaitu
menghasilkan satwa untuk kepentingan penelitian biomedis, serta melindungi spesies satwa yang terancam punah (De Mello 1991). Pada dasarnya, sisitem perkandangan dibagi menjadi dua bagian, yaitu sistem perkandangan tertutup (indoor enclosures) dan sistem perkandangan terbuka (outdoor enclosures). Pada sistem perkandangan tertutup, satwa ditempatkan di dalam suatu bangunan sehingga satwa tidak terganggu oleh cuaca maupun lingkungan luar, sedangkan pada sistem perkandangan terbuka, satwa ditempatkan pada kandang terbuka yang memungkinkan adanya pengaruh dari perubahan cuaca di luar (Bismark 1984). Berdasarkan tipenya, kandang dibagi menjadi tiga bagian (Bennet 1995), yaitu: 1) kandang individual (jantan/betina) dan sering disebut kandang individual atau berpasangan; 2) individual jantan/banyak betina, biasa disebut kandang harem; 3) banyak jantan dan banyak betina, disebut juga kandang kelompok (troop). Berdasarkan lokasinya, kandang dibagi ke dalam tiga lokasi: 1) dalam ruangan, biasanya diperuntukkan bagi kandang individual atau berpasangan; 2) kandang di luar ruangan, biasanya disebut kandnag koral atau kandang lapang; 3) kandang dalam/luar, disebut runs, biasanya merupakan gabungan konsep kedua jenis kandang tersebut. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan pada saat mendisain suatu kandang antara lain adalah: 1) memberikan kenyamanan fisik pada satwa yang sedang dikandangkan; 2) sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan normal satwa; 3) pemeliharaan yang sesuai dan mampu menjaga kesehatan satwa; 4) kandang harus memenuhi syarat penelitian dan perawatan satwa (Bennet et al 1995). Pertimbangan tersebut salah satunya bertujuan mengurangi tingkat stres yang biasa terjadi pada satwa di dalam penangkaran. Ukuran kandang satwa primata berdasarkan bobot badan disajikan pada Tabel 4.
24 Tabel 4. Rekomendasi Ukurang Kandang Satwa Primata Berdasarkan Berat Badan Satwa Primata
Berat (kg)
Luas/individu
Tinggi
ft2
m2
in
cm
Monyet Kelompok 1
≤1
1.6
0.14
20
50.80
Kelompok 2
≤3
3.0
0.27
30
76.20
Kelompok 3
≤10
4.3
0.39
30
76.20
Kelompok 4
≤15
6.0
0.54
32
81.28
Kelompok 5
≤25
8.0
0.72
36
91.44
Kelompok 6
≤30
10.0
0.90
46
116.84
Kelompok 7
>30
15.0
1.35
46
116.84
Kera Kelompok 1
≤20
10.0
0.90
55
139.70
Kelompok 2
≤35
15.0
1.35
60
152.40
Kelompok 3
>35
25.0
2.25
84
213.36
Sumber: Institute of Laboratory Animal Resources, Commission on Life Sciences, National Research Council (1996)
Model Estimasi Populasi Model adalah suatu contoh, acuan atau pola (Badudu dan Zain 1996), Dalam studi ekologi, model merupakan formulasi yang memberikan gambaran tentang keadaan sebenarnya (real world situation). Populasi berubah-ubah sepanjang waktu, maka dengan adanya model dimungkinkan untuk mengadakan ramalan-ramalan mengenai keadaan populasi yang bersangkutan untuk waktuwaktu tertentu. Suatu model dapat diaplikasikan pada sesuatu yang bersifat sederajat atau bisa pula digunakan pada sesuatu yang bersifat beda dengan kemungkinan
dilakukannya
koreksi
terhadap
model
yang
sudah
ada
(Tarumingkeng 1994). Dalam menentukan suatu model populasi dapat dilakukan pendekatan satu atau lebih parameter yang berpengaruh terhadap keadaan suatu populasi pada habitat tertentu. Dengan model, penjelasan mengenai sistem serta hubungan-hubungannya dapat diberikan secara kualitatif maupun kuantitatif (Tarumingkeng 1994). Estimasi
populasi
adalah
suatu
upaya
dalam
menjelaskan
dan
meramalkan perkembangan suatu populasi. Dalam menentukan estimasi populasi, dipengaruhi oleh faktor-faktor pendukung yang berpengaruh terhadap keadaan suatu populasi. Hasil yang diperoleh dari estimasi populasi merupakan
25 gambaran tentang keadaan suatu populasi pada waktu dan tempat tertentu berdasarkan faktor yang mempengaruhinya (Tarumingkeng 1994).
Simulasi Populasi Simulasi adalah pekerjaan tiruan atau meniru (Echols dan Shadily 1976). Simulasi populasi adalah suatu upaya untuk mengetahui status suatu populasi pada masa yang akan datang berdasarkan pendekatan keadaan populasi saat ini, data biologi, potensi ancaman terhadap populasi tersebut dan berbagai aspek yang mempengaruhi suatu populasi. Simulasi populasi owa jawa bertujuan untuk mengetahui prediksi populasi spesies tersebut pada kurun waktu tertentu dengan mempertimbangkan faktorfaktor ancaman terhapat populasi owa jawa pada saat itu.
Sosial Ekonomi Masyarakat Kondisi sosial adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan masyarakat (Badudu dan Zain 1996). Kondisi sosial ekonomi bisa diartikan sebagai keadaan ekonomi suatu masyarakat yang berhubungan sangat erat dengan mata pencaharian masyarakat tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Jenis mata pencaharian dan kemampuan setiap individu dalam menjalani mata pencaharian tersebut sangat berpengaruh dalam menentukan keadaan sosial ekonomi lingkungannya. Sosial ekonomi masyarakat hutan yang berada di lingkungan hutan, memanfaatkan hutan untuk kebutuhan hidup secara langsung atu melalui pemanfaatan lahan hutan sebagai kawasan agroforestry. Pemanfaatan hutan yang tidak terkendali dapat mempengaruhi populasi satwa terutama melalui perburuan.