II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Flu Burung dan Virus H5N1 Dalam beberapa tahun terakhir ini perhatian dunia kesehatan terpusat kepada semakin merebaknya penularan avian influenza A (H5N1), karena dengan meningkatnya kasus infeksi H5N1 yang menyebabkan kematian pada manusia sangat dikhawatirkan dapat berkembang menjadi wabah pandemi yang berbahaya bagi umat manusia di muka bumi ini. Sejak lebih dari satu abad yang lalu, beberapa subtipe dari virus influenza A telah menjadi wabah penyakit pada manusia. Berbagai variasi mutasi subtipe virus influenza A yang menyerang manusia dan telah menyebabkan pandemi, sehingga tidak mengherankan jika kewaspadaan global terhadap wabah pandemi flu burung mendapatkan perhatian yang serius. Virus
influenza
merupakan
virus
RNA
termasuk
dalam
famili
Orthomyxoviridae. Asam nukleat virus ini beruntai tunggal, terdiri dari 8 segmen gen yang mengkode sekitar 11 jenis protein. Virus influenza mempunyai selubung atau simpai yang terdiri atas kompleks protein dan karbohidrat. Virus ini mempunyai tonjolan (spikes) yang digunakan untuk melekat pada reseptor yang spesifik pada sel-sel hospesnya pada saat menginfeksi sel. Terdapat 2 jenis spikes, yaitu yang mengandung hemaglutinin (HA) dan yang mengandung neuraminidase (NA), yang terletak dibagian terluar dari virion (Horimoto & Kawaoka 2001). Menurut Maksum (2006), virus influenza mempunyai 4 jenis antigen yang terdiri atas protein nukleokapsid (NP), Hemaglutinin (HA), Neuraminidase (NA), dan protein matriks (MP). Berdasarkan jenis antigen NP dan MP, virus influenza digolongkan dalam virus influenza A, B, dan C. Virus influenza A sangat penting dalam bidang kesehatan karena sangat patogen baik bagi manusia, maupun binatang yang menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi di seluruh dunia. Virus Influenza A ini dapat menyebabkan pandemi karena mudahnya mereka bermutasi, baik berupa antigen drift ataupun antigenic shift sehingga membentuk varian baru yang lebih patogen. Infeksi virus H5N1 dimulai ketika virus memasuki sel hospes setelah terjadi perlekatan spikes virion dengan reseptor spesifik yang ada di permukaan
sel
hospesnya.
Virion
akan
menyusup
ke
sitoplasma
sel
dan
akan
mengintegrasikan materi genetiknya di dalam inti sel hospesnya, dan dengan menggunakan mesin genetik dari sel hospesnya, virus dapat bereplikasi membentuk virion-virion baru, dan virion-virion ini dapat menginfeksi kembali sel-sel disekitarnya. Dari beberapa hasil pemeriksaan terhadap spesimen klinik yang diambil dari penderita ternyata avian influenza H5N1 dapat bereplikasi di dalam sel nasofaring, dan di dalam sel gastrointestinal (Maksum 2006). Masa inkubasi virus avian influenza A (H5N1) sekitar 2- 4 hari setelah terinfeksi (Yue et al. 1998), namun berdasarkan hasil laporan terbaru masa inkubasinya bisa mencapai antara 4-8 hari (Chotpitayasunondh et al. 2005). Sebagian besar pasien memperlihatkan gejala awal berupa demam tinggi (biasanya lebih dari 38o C) dan gejala flu serta kelainan pada saluran pernafasan.. Gejala lain yang dapat timbul adalah diare, muntah, sakit perut, sakit pada dada, hipotensi, dan juga dapat terjadi perdarahan dari hidung dan gusi. Gejala sesak nafas mulai terjadi setelah 1 minggu berikutnya. Dewasa ini terdapat 4 jenis obat antiviral untuk pengobatan ataupun pencegahan terhadap influenza, yaitu amantadine, rimantadine, zanamivir, dan oseltamivir (tamiflu). Mekanisme kerja amantadine dan rimantadine adalah menghambat replikasi virus. Namun demikian kedua obat ini sudah tidak mampu untuk membunuh virus H5N1 yang saat ini beredar luas (Beigel et al.2005). 2. Sirih Merah Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai jenis tumbuhan. Tumbuhan tersebut dapat memberikan manfaat pada berbagai bidang antara lain bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, bahan dasar obat-obatan dan sebagainya. Tumbuhan yang digunakan sebagai obat dikenal dengan nama obat tradisional. Sampai saat ini obat tradisional dan tumbuhan masih banyak digunakan oleh masyarakat. Oleh karenanya hal itu perlu dilestarikan, karena obat tradisional harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan obat sintesis, serta bahan-bahannya pun mudah didapat (Wijayakusuma 2000). Salah satu tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat sebagai obat tradisional adalah sirih merah (Piper betle L.var Rubrum). Tanaman sirih merah
berasal dari Amerika Tengah, tetapi saat ini dianggap sebagai tanaman asli, karena multikhasiat mengatasi beragam penyakit (Duryatmo 2006). Tanaman sirih merah (Piper crocatum) termasuk dalam famili Piperaceae, tumbuh merambat dengan bentuk daun menyerupai hati dan bertangkai, yang tumbuh berselang-seling dari batangnya, serta penampakan daun yang berwarna merah
keperakan
dan
mengkilap.
Secara
empiris
sirih
merah
dapat
menyembuhkan berbagai jenis penyakit seperti diabetes militus, hepatitis, batu ginjal, menurunkan kadar kolesterol, mencegah stroke, asam urat, hipertensi, radang prostat, radang mata, keputihan, maag, kelelahan, nyeri sendi dan untuk memperhalus kulit. Potensi sirih merah sebagai tanaman obat multi fungsi sangat besar sehingga perlu ditingkatkan dalam penggunaannya sebagai bahan obat moderen. Adapun kedudukan tanaman sirih merah menurut Dasuki (1994) dalam sistematik (taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut :
Gambar.1 Sirih Merah (Piper crocatum) (Sumber: Manoi 2007).
Divisi
: Magnoliphyta
Kelas
: Liliopsida
Anak kelas
: Aracidae
Bangsa
: Arecales
Suku
: Arecaeceae / palmae
Marga
: Piper
Jenis
: Piper betle L.Var Rubrum
Tanaman ini memproduksi berbagai macam senyawa kimia untuk tujuan tertentu, yang disebut dengan metabolit sekunder. Metabolit sekunder tanaman tersebut merupakan bahan yang tidak esensial untuk kepentingan hidup tanaman tersebut, tetapi mempunyai fungsi untuk berkompetisi dengan makhluk hidup lainnya. Metabolit sekunder yang diproduksi tanaman bermacam-macam seperti alkaloid,
terpenoid,
isoprenoid,
flavonoid,
cyanogenik,
glukosida,
glukosinolat ,dan protein non asam amino. Menurut Sholikhah (2006), senyawa fitokimia yang terkandung dalam daun sirih merah yakni alkoloid, saponin, tannin dan flavonoid, sedangkan menurut Sudewo (2005), dari hasil kromotografi dapat dilihat bahwa daun sirih merah mengandung flavonoid, polifenolad, tannin dan minyak atsiri. Alkaloid adalah kelompok besar senyawa organik alami dalam hampir semua jenis organisme, berbagai efek farmakologi yang ditimbulkan seperti antikanker, antiinflamasi dan antimikroba. Alkaloid bersifat basa, di alam berada sebagai garam dengan asam-asam organik. Adanya sifat basa ini mempermudah memisahkan ekstrak total alkaloid dari komponen lainnya (Herborne 1987). Selanjutnya, zat kimia yang terkandung yakni saponin. Saponin merupakan glikosida yang membentuk basa dalam air. Apabila dihidrolisis dengan asam akan menghasilkan gula dan spogenin yang sesuai, saponin merupakan senyawa kimia aktif permukaan yang dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah (Harborne 1987). Berdasarkan Sholikhah (2006), saponin dapat dipakai sebagai antimikroba (bakteri / virus). Zat lainnya yang terkandung pada tanaman sirih merah yakni tannin. Tannin adalah senyawa fenol yang terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Menurut batasannya, tannin dapat bereaksi dengan protein membentuk kapolismer kuat yang tidak larut dalam air. Kemudian zat kimia lainnya yakni flavonoid. Flavonoid adalah kelompok senyawa fenol yang terbesar ditemukan di alam. Senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru dan sebagian kuning yang ditemukan dalam tumbuhan (Harbrone 1987). Flavonoid dapat dikasifikasikan menjadi 3 yaitu flavoniod,
isoflavonoid, dan neoflavonoid. Flavonoid merupakan senyawa fenol yang memiliki gugus –OH. Senyawa polifenol ini adalah antioksidan yang kekuatannya 100 kali lebih efektif dibandingkan vitamin C dan 25 kali lebih efektif dibandingkan vitamin E. Zat terakhir yang terkandung di dalam tanaman sirih merah adalah minyak atsiri. Minyak atsiri pada sirih merah ini berfungsi sebagai antiradang dan antiseptik. Menurut Achmad dan Fitriani (1999), sejak dahulu orang mengetahui bahwa bunga, daun dan akar dari berbagai tumbuhan mengandung bahan yang mudah menguap dan berbau wangi yang disebut minyak atsiri. 3. Hati 3.1 Anatomi dan Histologi Hati Hati adalah organ tubuh terbesar dan merupakan kelenjar terbesar. Hati terletak di bagian kanan atas dari rongga abdominal tepat di bawah difragma dan terbagi dalam empat lobus, dikelilingi oleh suatu kapsul jaringan penyambung yang mengandung sejumlah serat elastis. Ayam memiliki hati yang terletak diantara saluran pencernaan dan organ jantung. Ginjal mempunyai lembaran permukaan dari jaringan penyambung (kapsul Glisson), tertutup oleh suatu tunika serosa yang tidak lengkap, yang berasal dari peritoneum. Pada tempat dimana pembuluh-pembuluh utama aferens dan eferens dan saluran empedu eferens memasuki dan meninggalkan hati (porta hepatis), kapsulnya mengelilingi pembuluh-pembuluhnya dan mengikuti mereka sampai ke dalam organnya, untuk membentuk suatu kerangka jaringan penyambung yang membagi kumpulan hepatosit ke dalam bentuk lobulus (Junqueira et al. 1998) Hati berkembang sebagai pertumbuhan dari dinding usus yang terletak dalam jalan vitellina dan vena umbelikula. Ruang antara pembuluh-pembuluh darahnya terbongkar menjadi sejumlah besar sinusoida-sinusoida kecil yang mempunyai dinding yang sangat permeabel. Suplai darah sangat kompeks, dan pemahaman susunan dan distribusinya adalah penting untuk dapat menilai secara tepat bagaimana hati berfungsi. Terdapat dua sel yang berkaitan dengan fungsi dari hati, yakni sel parenkim (hepatosit) yang membentuk plat-plat tipis atau lembaran-lembaran
yang
terpisah
oleh
sinuisoida-sinuisoida,
dan
sel
retikuloendotel yang fagositis, yang membentuk selaput-selaput sinuisoida
tersebut. Sedangkan menurut Darmawan (1979), dalam hati terdapat tiga jenis jaringan yang penting yaitu sel parenkim hati, susunan pembuluh darah dan susunan saluran empedu. Hepatosit merupakan sel yang terlibat dalam berbagai fungsi, diantaranya dalam sintesa berbagai komponen sekresi empedu, penyerapan dan penimbunan zat-zat makanan, pembuangan obat-obatan, zat-zat racun, serta senyawa-senyawa yang terbentuk secara alami seperti hormon, dan dalam sintesa serta pelepasan beberapa protein darah seperti albumin, pengangkutan globulin, dan proteinprotein yang membekukan darah. Sedangkan sel-sel fagosit terlibat dalam penyaringan darah sewaktu melaui sinusoida. Sel- sel ini mempunyai peranan penting dalam memelihara respons pertahanan tubuh yang normal terhadap infeksi. Meskipun peranan hati dalam menjebak bakteri yang lolos ke dalam aliran darah dari saluran usus, tetap merupakan perselisihan pendapat, namun penurunan kapasitas fagositis karena penyakit hati, dapat mengakibatkan pengurangan dayatahan tubuh terhadap infeksi. Dengan demikian hati merupakan organ yang kompleks, baik struktural maupun fungsional (Hartono 1992). Peredaran darah pada hati berasal dari dua sumber yaitu 75% berasal dari vena portal, dan 25% berasal dari arteri-arteri hati. Vena portal membawa darah dari usus dan limpa bersama dengan cabang-cabang arteri hapatikus, masuk ke dalam hati pada porta hepatis ( Gerrit et al.1988).
Gambar 2 Struktur histologi hati normal
Sumber: www.octc.kctcs.edu/gcaplan/anat2/notes/35 Ductus empedu merupakan saluran keluar untuk sekresi empedu, suatu cairan yang mengandung garam empedu (mempunyai kepentingan dalam membuat lemak menjadi emulsi dan mempermudah penyerapan lemak dari usus), serta sejumlah senyawa yang merupakan bentuk eksresi dari produk akhir metabolisme hemoglobin (bilirubin) dan inaktivasi obat-obatan dan hormonhormon (berbagai glukuronida dan sulfat). Semua hepatosit senantiasa membentuk sejumlah kecil empedu, yang dieksresikan ke dalam kanalikuli empedu yang terletak antara hepatosit-hepatosit dalam lobulus hati ( Gerrit et al.1988).
3.2 Fisiologi Hati Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh. Menurut Junquiera et al. (1998), hati adalah organ tempat nutrien diserap dari saluran cerna, diolah dan disimpan untuk dipakai oleh bagian tubuh yang lain, oleh karena itu hati menjadi perantara antara sistem pencernaan dan darah. Hati memiliki berbagai fungsi dibandingkan organ lain dalam tubuh. Fungsi utama hati yaitu metabolisme karbohidrat, metabolisme lipid, metabolisme protein, penyimpanan glikogen, vitamin A, D dan B12, zat besi dan darah, peyaringan darah, detosifikasi dan sekresi empedu. Fungsi metabolisme karbohidrat dilakukan dengan mengubah glukosa darah menjadi glikogen dan lemak, produksi glukosa dari glikogen hati dan molekul lain (asam amino, asam laktat) melalui proses glukoneogenesis, juga mnesekresikan glikosa ke dalam darah. Metabolisme lipid pada hati terjadi melalui sintesis trigliserida dan kolesterol, eksresi kolesterol ke dalam empedu serta produksi badan keton dari asam lemak yang akan dieksresikan ke dalam darah dalam jumlah besar selama kelaparan atau dalam keadaan puasa. Menurut Guyton dan Hall (1997), fungsi hati yang paling penting dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dalam cairan tubuh, pembentukan protein plasma, dan interkonversi diantara asam amino yang berbeda, demikian juga dengan ikatan penting lainnya untuk proses metabolisme tubuh. Albumin plasma dan globulin plasma dihasilkan oleh hati. Albumin menyusun sekitarn70 % total protein plasma.
Globulin memiliki berbagai fungsi, termasuk diantaranya adalah transport koleterol dan trigliserida, transport hormon steroid dan tiroid, inhibisi aktivitas tripsin dan pembekuan darah. Hati juga memproduksi faktor pembekuan darah yaitu faktor I (fibrinogen), II (protombin), III, V, VII, IX dan XI, serta dikenal dengan angiotensinogen. Daya regenerasi hati besar sekali. Pada hati normal diketahui bahwa lobektomi sebanyak 70 % pada hati mengakibatkan proliferasi sel-sel hati yang sangat giat, sehingga dalam waktu 2-3 minggu bagian hati yang hilang dapat diganti kembali. Pengaturan regenerasi hati yang cepat ini masih belum diketahui secara jelas, namun faktor pertumbuhan hepatosit (hepatocyte growt factor, HGF) sepertinya merupakan faktor yang paling penting untuk menyebabkan pembelahan dan pertumbuhan sel hati (Guyton dan Hall 2006).
3.3 Intosikasi Hati Hati merupakan organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan. Jenis zat yang belakangan ini biasanya dapat mengalami detosifikasi, tetapi banyak toksikan dapat dibioaktifkan dan menjadi lebih toksik. Toksikan dapat menyebabkan berbagai jenis efek toksik pada berbagai organel dalam sel hati, mengakibatkan berbagai kerusakan hati (Lu 1995). Sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal, dan setelah diserap, toksikan dibawa oleh vena porta ke hati (Lu 1995). Beberapa kerusakan hati diantaranya adalah : a) Degenerasi Degenerasi adalah perubahan-perubahan morfologik akibat jejas-jejas yang non fatal dan perubahan-perubahan tersebut masih dapat pulih (reversible), tetapi apabila berjalan lama dan derajatnya berlebih, akhirnya mengakibatkan kematian sel (nekrosis). Degenerasi terjadi akibat jejas sel, setelah itu timbul perubahan metabolisme. Pada pemeriksaan, luas degenerasi lebih penting dari jenis degenerasi. Macam atau jenis degenerasi antara lain degenerasi lemak, degenerasi hidrofilik, degenerasi “feathery”, degenerasi hialin dan penimbunan glikogen.
b) Nekrosis Nekrosis adalah kematian sel. Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral, petengahan, perifer) atau masif. Biasanya nekrosis bersifat akut (Lu 1995). Ciri nekrosis ialah tampaknya fragmen atau sel hati nekrotik tanpa pulasan inti atau tidak tampaknya sel disertai reaksi radang. Kerusakan pembuluh darah gingga menimbulkan pembendungan eritrosit pada hati merupakan kelainan tingkat lanjut dari degenerasi dan sifatnya tidak reversibel sebab nekrosis hati merupakan kerusakan susunan enzim dari sel. Tampak atau tidaknya sisa sel hati tergantung pada lama dan jenis nekrosis (Hodgson and Levi 2002). 4. Ginjal 4.1 Anatomi dan Histologi Ginjal Ginjal adalah organ yang menyaring plasma dan unsur-unsur plasma dari darah, dan kemudian secara selektif menyerap kembali air dan unsur-unsur berguna dari filtrat, yang akhirnya mengeluarkan kelebihan dan produk buangan plasma. Secara anatomi, posisi ginjal terletak pada bagian dorsal dari rongga abdominal pada tiap sisi dari aorta dan vena kava, tepat pada posisi ventral terhadap
beberapa
vertebrae
lumbal
yang
pertama.
Ginjal
dikatakan
retroperitoneal, artinya terletak di luar rongga peritoneal. Ginjal kanan biasanya terletak lebih kranial daripada yang kiri. Organ ginjal pada ayam memiliki bentuk yang sedikit lebih memanjang Secara makroskopis, sebuah ginjal dengan potongan memanjang memberi dua gambaran dan dua daerah yang cukup jelas. Daerah perifer yang beraspek gelap disebut korteks, dan selebihnya yang agak cerah disebut medula,yang berbentuk piramida terbalik. Secara makroskopis, korteks yang gelap tampak diselang dengan interval tertentu oleh jaringan medula yang berwarna agak cerah, disebut garis medula (medullary rays). Subtansi korteks di sekitar garis medula disebut labirin korteks. Medula tampak lebih cerah dan tampak adanya jalur-jalur yang disebabkan oleh buluh-buluh kemih yang lurus dan pembuluh darahnya (Hartono 1992). Menurut Nabib (1987), secara histologi ginjal terdiri atas tiga unsur utama yaitu (1) Glomerulus, yakni suatu gelung pembuluh darah kapiler yang masuk melalui arteri aferen, (2) Tubuli sebagai parenkim yang bersama
glomerulus membentuk nefron, suatu untit fungsional terkecil ginjal, dan (3) Interstisium berikut pembuluh-pembuluh darah, limfe dan syaraf. Darah yang mengalir ke kedua ginjal normalnya sekitar 22% dari curah jantung. Arteri renalis memasuki ginjal melalui hilum, kemudian bercabangcabang secara progresif membentuk arteri interlobaris, artei arkuata, arteri interlobularis (juga disebut arteri radialis) dan arteri eferen, yang menuju ke kapiler glomerulus. Ujung distal kapiler pada setiap glomerulus bergabung untuk kapiler glomerulus. Ujung distal kapiler pada setiap glomerulus bergabung untuk membentuk arteriol eferen, yang menuju jaringan kapiler kedua, yaitu kapiler peritubular yang mengelilingi tubulus ginjal (Guyton dan Hall 2006).
Gambar.3 Struktur histologi ginjal normal Sumber : www.octc.kctcs.edu/gcaplan/anat2/notes/35 4.2 Fisiologi Ginjal Fungsi utama dari ginjal adalah menjernihkan atau membersihkan plasma darah dari produk akhir metabolisme ketika zat-zat ini berjalan melalui alas kapiler ginjal. Ginjal juga membuat seimbang komposisi cairan-cairan tubuh dengan mempertahankan secara selektif atau mengeksresikan banyak zat penyusun plasma. Sementara itu, menurut Price dan Lorraine (2006), fungsi utama ginjal dapat dibagi menjadi dua, yaitu fungsi eksresi dan non eskresi. Fungsi ekresi ginjal adalah (1) mempertahankan osmolalitas plasma, (2) mempertahankan volume cairan ektraseluler dan tekanan darah, (3) mempertahankan pH plasma, (4) mempertahankan konsentrasi plasma masing- masing elektrolit individu dalam
rentang normal, (5) mengekresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (terutama urea, asam urat dan kreatinin), dan (6) bekerja sebagai jalur eskretori untuk sebagian obat. Sedangkan fungsi noneskresi ginjal yaitu mensintesis dan mengaktifkan hormon, yaitu renin, eritropoetin, 1,25dihidroksivitamin D3, protaglandin, insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan, hormon anti diuretik (ADH), hormon gastrointestinal, serta degradasi hormon polipeptida. Kapiler di bagian glomerulus ginjal menyaring antara 10% sampai 30% plasma, ketika darah mengalir melalui alas kapiler ginjal yang sangat kompleks (glomeruli) dan ultrafiltrat ini (plasma yang telah dibersihkan dari protein-protein besar dan zat-zat partkel) masuk ke dalam tubula dari nefron sebagai satuan fungsional ginjal. Ketika cairan saringan itu mengalir melalui tubula, maka hasil ikutan metabolisme yang tidak dikehendaki seperti urea, kreatinin, tetap tertahan dalam tubula, sedangkan zat-zat yang masih diperlukan seperti air, elektrolit, glukosa, dan asam amino secara selektif dikembalikan pada darah (proses reabsorpsi). Ketika urine terbentuk, dinding tubula juga mensekresi beberapa zat ke dalam lumen. Urine yang lengkap terbentuk oleh proses filtrasi dan sekresi, dan peyesuaian-penyesuaian dilakukan dalam komposisi urine sepanjang jalan tubula oleh proses resorpsi. Pada ginjal terdapat alat-alat penginderaan (juxtaglomerular aparatus) untuk membandingkan susunan elektrolit cairan tubuh dengan kandungan urine, dan penyesuaian terakhir dapat dilakukan untuk memungkinkan penahanan atau ekskresi elektrolit- elektrolit, seperti natrium, kalium dan ion-ion klorida atau hidrogen. Oleh karena itu, secara fisiologis ginjal merupakan suatu organ penting dalam pengaturan asam basa dan keseimbangan cairan (Guyton dan Hall 2006). Ginjal melakukan fungsinya yang paling penting dengan menyaring plasma dan memindahkan zat dari filtrat dengan kecepatan yang bervariasi tergantung pada kebutuhan tubuh. Akhirnya ginjal “membuang” zat yang tidak diinginkan dari filtrat dengan mengeksresikan melalui urin, sementara zat yang dibutuhkan dikembalikan ke dalam darah. Proses pembentukan urin dimulai dengan filtrasi sejumlah cairan yang hampir bebas rotein dari kapiler glomerulus ke kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, difiltrasi
secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula Bowman hampir sama dengan plasma. Ketika cairan yang telah difiltrasi ini meninggalkan kapsula Bowman dan mengalir melewati tubulus, cairan ini mengalami perubahan akibat adanya resorpsi air dan zat terlarut spesifik kembali ke dalam darah atau sekresi zat-zat lain dari kapiler peritubulus ke dalam tubulus (Guyton dan Hall 2006). 4.3 Intoksikasi Ginjal Urine merupakan jalur utama eskresi sebagian besar toksikan yang ada di dalam tubuh. Menurut Lu (1995), akibatnya ginjal mempunyai volume aliran darah yang tinggi, mengkonsentrasikan toksikan pada filtrat, membawa toksikan melalui tubulus dan mengaktifkan toksikan tertentu. Karenanya, ginjal merupakan organ sasaran utama dari efek toksik. Nefrotoksikan dapat menyebabkan efek buruk pada berbagai bagian ginjal, yang mengakibatkan berbagai perubahan fungsi. Kerusakan pada ginjal dapat mengenai glomerulus diantaranya adalah glomerulonefritis, glomerular lipidosis serta amiloidosis (Jubb et al.1993).