STRATEGI RESTORASI HABITAT BEKANTAN DI SUAKA MARGASATWA KUALA LUPAK BERDASARKAN KARAKTERISTIK HABITAT REFERENSI
MILA RABIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Saya dengan ini menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Restorasi Habitat Bekantan di Suaka Margasatwa Kuala Lupak berdasarkan Karakteristik Habitat Referensi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Saya dengan ini melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2016 Mila Rabiati NIM E351130061
RINGKASAN MILA RABIATI. Strategi Restorasi Habitat Bekantan di Suaka Margasatwa Kuala Lupak berdasarkan Karakteristik Habitat Referensi. Dibimbing oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan BURHANUDDIN MASY’UD. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi restorasi habitat bekantan di Suaka Margasatwa Kuala Lupak (SMKL) berdasarkan hasil identifikasi kondisi habitat dan populasi bekantan di habitat referensi serta persepsi masyarakat aktor konversi lahan terhadap pelestarian bekantan. Penelitian dilaksanakan di SMKL, Kalimantan Selatan pada Februari-April 2015. Areal penelitian adalah habitat bekantan pada formasi Sonneratia-Avicennia di hutan mangrove Blok Hutan Tanjung Pedada Tua seluas ±195 ha. Pengumpulan data dilaksanakan di tiga lokasi, yakni: 1) areal bervegetasi baik dan disukai bekantan seluas ±72.77 ha sebagai tapak referensi, 2) areal bervegetasi dan kurang disukai bekantan seluas ±33.96 ha sebagai areal model 1, dan 3) areal bervegetasi terganggu yang terletak dekat dengan pemukiman seluas ±19.71 ha sebagai areal model 2. Peubah komponen fisik habitat yang diamati meliputi kondisi iklim mikro, tanah serta perairan sungai. Data komponen biotik habitat bekantan meliputi komposisi dan struktur vegetasi, pohon tidur dan jenis satwa kompetitor. Pengumpulan data vegetasi dilakukan dengan menerapkan metode jalur berpetak. Pengamatan dan penghitungan jumlah populasi dilakukan dengan metode terkonsentrasi dengan kriteria kelas umur bekantan mengikuti kriteria dari Yeager (1990), Murai (2004), Murai (2006) dan Stark et al. (2012). Data persepsi masyarakat diperoleh dengan mewawancarai 33 responden yang merupakan pelaku konversi lahan. Persepsi masyarakat yang digali meliputi: 1) Pengetahuan, terdiri atas: (a) pengetahuan tentang keberadaan bekantan termasuk jenis tumbuhan yang menjadi pakan bekantan, pohon yang dipilih sebagai pohon tidur serta anggapan terhadap bekantan sebagai sumber gangguan, (b) pengetahuan tentang status perlindungan bekantan, dan (c) pengetahuan tentang status kawasan SMKL, serta pengetahuan responden tentang konsekuensi hukum bagi aktivitas menggarap lahan di SMKL; 2) Sikap, meliputi: (a) sikap penerimaan terhadap kegiatan rehabilitasi yang sudah dilaksanakan sebelumnya dan (b) sikap dukungan atau kesediaan untuk terlibat dalam program/kegiatan restorasi yang akan dilaksanakan selanjutnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bekantan di SMKL menempati hutan mangrove formasi Sonneratia-Avicennia yang didominasi oleh Sonneratia caseolaris (INP=273.98%) dan Avicennia alba (INP=189.01%). Jumlah jenis vegetasi yang ditemukan sebanyak 17 jenis terdiri atas 7 jenis habitus pohon dan 10 jenis habitus tumbuhan bawah. Indeks keanekaragaman jenis vegetasi di areal bervegetasi baik dan disukai oleh bekantan adalah H’=0.58, areal bervegetasi kurang disukai sebesar H’=0.79, dan areal bervegetasi terganggu sebesar H’=0.38. Jenis S. caseolaris merupakan vegetasi sumber pakan utama dan digunakan sebagai pohon tidur oleh bekantan. Jenis ini mengalami hambatan regenerasi alami akibat dominansi tumbuhan bawah Derris trifoliata yang menghalangi pertumbuhan anakan S. caseolaris. Dominansi D. trifoliata
merupakan indikator ekosistem mangrove yang mengalami kerusakan. Dugaan populasi bekantan di SMKL adalah 139±43 individu dengan kepadatan 81 individu/km2 dan nisbah kelamin dewasa 1:3.09. Struktur populasi bekantan menunjukkan jumlah populasi yang terkonsentrasi pada kelompok usia menengah-dewasa. Pengetahuan masyarakat tentang keberadaan bekantan dan status perlindungannya cukup tinggi (>50%), tetapi sikap penerimaan dan dukungan terhadap kegiatan restorasi masih rendah (<50%). Perbedaan persepsi masyarakat ditunjukkan oleh faktor domisili responden dan status kepemilikan lahan. Strategi restorasi habitat bekantan yang direkomendasikan meliputi: (a) penanaman jenis S. caseolaris dan jenis tumbuhan pakan lainnya (b) pengendalian tumbuhan bawah D. trifoliata, (c) penyuluhan, penyadartahuan masyarakat dan sosialiasi serta (d). Program penanaman untuk restorasi SMKL dalam jangka menengah diarahkan untuk membangun koridor bagi bekantan. Selain itu peningkatan manajemen pengelolaan dan penyelesaian konflik lahan terus diupayakan dengan tujuan mendapatkan dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya restorasi ekosistem mangrove di SM Kuala Lupak. Kata kunci: habitat referensi, hambatan regenerasi alami, populasi bekantan, persepsi masyarakat, strategi restorasi
SUMMARY
MILA RABIATI. Proboscis Monkey’s Habitat Restoration Strategy at Kuala Lupak Wildlife Sanctuary based Reference Habitat Characteristics. Supervised by AGUS PRIYONO KARTONO and BURHANUDDIN MASY’UD. This study has main objective to formulate the habitat restoration strategy of proboscis monkey at Kuala Lupak Wildlife Sanctuary (KLWS). It based on the identification of the reference habitat condition and it characteristic, proboscis monkey population and community perception about proboscis monkey conservation. This study was conducted at KLWS, South Borneo from February to April 2015 at proboscis monkey habitat on formation of Sonneratia-Avicennia at Tanjung Pedada Tua mangrove forest as wide as ± 195 ha. Data collection carried out in three areas: 1) good vegetation and preferably proboscis monkeys area as wide as ± 72.77 ha as reference site, 2) vegetated but less favored proboscis area as wide as ± 33.96 ha as model 1 site, and 3) disturbed vegetation area, where near from settlement as wide as ±19.71 ha as model 2 site. Abiotic component of habitat were obtained by measured micro-climate, soil and the river. Biotic component habitat including the composition and structure vegetation, sleeping trees and competitor. Observation of vegetation applied strip transect sampling method and proboscis population by concentration count method. The classification by Yeager (1990), Murai (2004), Murai (2006) and Stark et al. (2012) was used to identified the proboscis age classification Community perception data were collected by interviewed 33 respondents who were actors of land conversion. The community perception that observed: 1) Knowledge, (a) the knowledge of the existence of proboscis, food, sleeping tree, and whether proboscis monkey is considered as disturbance or not, (b) proboscis conservation status and (c) Kuala Lupak’s status, and also whether the respondent understanding the legal consequences of land conversion 2) Attitude: (a) the acceptance attitude towards the rehabilitation activities that have done before and (b) the willingness to support the restoration programme in the future. This study showed that proboscis monkey inhabited mangrove forest Sonneratia-Avicennia formation which was dominated by Sonneratia caseolaris (IVI=273.98%) and Avicennia alba (IVI=189.01%). There are seven tree species and ten ground dwelling herb species. Indeks of diversity of vegetation in the good vegetation and preferably proboscis monkeys area is H’=0.58, in vegetated less favored proboscis monkeys area is H’= 0.79, and in disturbed vegetation area H’=0.38. S. caseolaris, which is the fundamental vegetation for this proboscis, have no ability to naturally regenerating. Derris trifoliata domination on forest floor that over S. caseolaris seedlings indicated that the mangrove ecosystem had been disturbed. Population estimate of proboscis are 139 ± 43 with the density of 81 individual/km2. The sex ratio of adult proboscis are 1:3.09. The population structure of proboscis based on age compotition, showed that highest population is concentrated on the middle-adult age.
The community’s knowledge of the existence of proboscis monkey and its conservation status are quite high (>50%), but the acceptance attitude and the willingness to support the restoration program are low (<50%). The habitat restoration strategy that must do comprise: (a) the cultivation of Sonneratia caseolaris and other vegetation food, (b) controlling Derris trifoliata, (c) education, awareness and socialization programme, (d) in medium period, restoration proggrame at KLWS must be directed to build up corridor of proboscis monkey. In addition, the improvement the habitat management and land conflict resolution must be pursued in order to get the support and participation from the community to restorate the mangrove ecosystem in Kuala Lupak Wildlife Sanctuary. Keyword: reference habitat, regenerative natural barrier, proboscis monkeys population, community perception, restoration strategy
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI RESTORASI HABITAT BEKANTAN DI SUAKA MARGASATWA KUALA LUPAK BERDASARKAN KARAKTERISTIK HABITAT REFERENSI
MILA RABIATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Nyoto Santoso, MS
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai dengan April 2015 ini ialah penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove di Suaka Margasatwa Kuala Lupak yang merupakan habitat bekantan, dengan judul Strategi Restorasi Habitat Bekantan di Suaka Margasatwa Kuala Lupak berdasarkan Karakteristik Habitat Referensi Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi dan Bapak Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS selaku pembimbing, atas arahan dan bimbingan selama proses penyelesaian karya ilmiah ini, serta Bapak Dr Ir Nyoto Santoso, MS selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran terutama pada aspek strategi. Penghargaan penulis sampaikan juga kepada Bapak Ir. Ridwan (Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Balai KSDA Kalimantan Selatan), Bapak Suriadi beserta staf Resort KSDA Kuala Lupak, Sdr. Usman, S.Hut dan Bapak Indra Kusuma Wijaya yang telah memfasilitasi dan membantu selama pengumpulan data, Bapak Sofwan Hidayat yang membantu selama masa perkuliahan di program studi Konservasi Biodiversitas Tropika. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya, serta teman-teman KVT 2013 atas dukungan semangat dan kerjasama. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2016 Mila Rabiati E351130061
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 3 5 5 5
2 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Peralatan dan Bahan Jenis Data Prosedur Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data
7 7 7 8 9 13
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteritik Habitat Bekantan Struktur dan Komposisi Vegetasi Populasi Bekantan Persepsi Masyarakat terhadap Konservasi Bekantan di SMKL Strategi Restorasi Habitat Bekantan
16 16 20 24 29 40
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
48 48 48
DAFTAR PUSTAKA
49
LAMPIRAN
55
RIWAYAT HIDUP
66
DAFTAR TABEL 1 Jenis data yang dikumpulkan 2 Penentuan rentang kelas umur bekantan 3 Perbandingan komponen fisik habitat pada tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model 2 4 Komposisi jenis dan suku pada setiap tingkatan vegetasi di habitat bekantan SM Kuala Lupak 5 Jenis vegetasi sumber pakan bekantan di Tanjung Pedada Tua 6 Kerapatan dan Indeks Nilai Penting empat jenis mangrove tertinggi pada habitat bekantan di tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model 2 7 Status regenerasi jenis mangrove di Tanjung Pedada Tua berdasarkan kriteria Shankar (2001) 8 Kerapatan dan Indeks Nilai Penting tumbuhan bawah pada habitat bekantan di tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model 2 9 Rekapitulasi struktur dan ukuran kelompok bekantan 10 Jumlah populasi beantan menurut kelas umur 11 Karakteristik responden 12 Persepsi masyarakat tentang konservasi bekantan dan SM Kuala Lupak
8 15 16 17 18
21 22 23 26 28 30 32
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Bagan kerangka pikir Peta lokasi penelitian di Blok Hutan Tanjung Pedada Tua SMKL Bentuk dan ukuran jalur pengamatan vegetasi Salah satu kelompok bekantan jantan (AMG) di SMKL Salah satu kelompok bekantan OMG di SMKL Struktur populasi bekantan menurut kelas umur Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPPFBT) Distribusi responden berdasarkan pengetahuan masyarakat tentang keberadaan bekantan Distribusi responden berdasarkan pengetahuan masyarakat tentang status perlindungan bekantan Distribusi responden berdasarkan pengetahuan masyarakat tentang status kawasan SMKL sebagai kawasan konservasi Distribusi responden berdasarkan sikap penerimaan masyarakat terhadap program restorasi Distribusi responden berdasarkan kesediaan masyarakat dalam mendukung program restorasi Silvofishery model empang parit (Bengen 2000) Silvofishery model empang parit yang disempurnakan (Bengen 2000) Silvofishery model komplangan (Bengen 2000)
6 7 11 27 29 31 33 34 36 37 38 43 44 44
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Data hasil pengukuran komponen fisik habitat Daftar pemilik tambak di SMKL Hasil identifikasi kondisi eksisting dan saran strategi aspek habitat Hasil identifikasi kondisi eksisting dan saran strategi aspek populasi bekantan 5 Hasil identifikasi kondisi eksisting dan saran strategi aspek sosial 6 Peta strategi aspek ruang restorasi habitat SMKL
56 57 62 63 64 65
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb, 1781) merupakan jenis satwa primata endemik Borneo, yang sebarannya meliputi tiga negara yakni: Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Jenis ini telah dinyatakan sebagai salah satu jenis dilindungi oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa; termasuk kategori endangered species menurut Red List IUCN 2008, dan tercantum dalam CITES Appendix I. Selain itu, sejak tahun 1990 bekantan ditetapkan sebagai fauna maskot Provinsi Kalimantan Selatan (Saidah et al. 2002). Bekantan dapat hidup di berbagai tipe habitat seperti hutan mangrove, hutan rawa gambut, hutan tepi sungai (Salter et al. 1985, Matsuda et al. 2010), hutan Dipterocarpaceae, hutan kerangas (Salter et al. 1985), hutan rawa gelam, hutan karet dan hutan bukit kapur/karst (Soendjoto et al. 2006a, Soendjoto 2006b). Luas habitat bekantan terus mengalami penurunan dari waktu ke waktu, yakni dari 29,500 km2 telah berkurang sebanyak 40% menjadi sekitar 17,700 km2 (McNelly et al. 1990). Habitat bekantan yang berada di kawasan konservasi hanya sekitar 4.1%. Tahun 1995 terjadi penurunan luas habitat berkisar antara 20-88% di enam tipe ekosistem (Meijaard & Nijman 2000). Laju penurunan luas habitat bekantan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan adalah 2% per tahun (Manansang et al. 2005). Tahun 2000, laju deforestasi habitat bekantan bahkan meningkat menjadi 3.49% per tahun (Bismark 2009). Selain kerusakan dan/atau perubahan kondisi habitat, populasi bekantan juga diketahui terus mengalami penurunan secara drastis dan terancam punah akibat menurunnya kualitas dan kuantitas habitatnya. MacKinnon (1987) menduga populasi bekantan di Indonesia pada tahun 1987 berjumlah 260,950 individu dengan kepadatan 25 individu/km2 dan selama kurun waktu 10 tahun menurun menjadi 114,000 individu (Bismark & Iskandar 2002). Di antara jumlah populasi tersebut diduga sebanyak 25,625 individu berada di dalam kawasan konservasi (BEBCI 2007 dalam Kartono et al. 2008) namun berdasarkan simposium Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) bekantan tahun 2004, populasi bekantan ditaksir tinggal 25,000 individu dan sekitar 5,000 individu hidup di dalam kawasan konservasi (Ditjen PHKA 2012). Stark et al. (2012) bahkan memperkirakan populasi bekantan di Kalimantan akan terus mengalami penurunan sampai lebih dari setengah populasi yang ada saat ini, dan menuju kepunahan dalam kurun waktu kurang dari 30 tahun jika tidak ada upaya peningkatan pengelolaan habitat. Suaka Margasatwa Kuala Lupak (SMKL) adalah salah satu habitat bekantan di Kalimantan Selatan. Degradasi habitat akibat konversi mangrove menjadi areal budidaya di SMKL saat ini merupakan faktor utama yang mengancam kelestarian populasi bekantan di SMKL. Konversi hutan mangrove dalam satu dekade terakhir hanya menyisakan ±726.30 ha atau sekitar 22% areal yang masih berhutan dari total luas kawasan ±3,307.96 ha dan mengakibatkan gangguan terhadap habitat bekantan. Akibatnya bekantan banyak meninggalkan habitat
2 alaminya dan sisanya menempati areal habitat yang sempit di blok Hutan Tanjung Pedada Tua, SM Kuala Lupak. Keberadaan bekantan di SMKL merupakan salah satu indikator kondisi ekosistem mangrove di wilayah ini. Hal ini karena bekantan Kerusakan dan hilangnya habitat mangrove yang berganti menjadi areal tambak dan persawahan masyarakat telah mengubah struktur, fungsi, keanekaragaman serta dinamika ekosistem mangrove. Selain mempengaruhi kehidupan bekantan, fungsi kawasan mangrove sebagai tempat mencari ikan, udang dan kepiting bagi masyarakat desa sekitar SMKL juga berkurang. Air sungai yang mengandung sedimen lumpur tinggi dan juga sampah rumah tangga telah menyebabkan gangguan fisik seperti pendangkalan pantai dan pencemaran. Gangguan lingkungan fisik hutan mangrove akan berpengaruh terhadap produktivitas, sebaran, kerapatan dan biodiversitas tumbuhan (Bismark 2009). Kondisi ini menurut Bismark (2009) akan menentukan kuantitas dan kualitas nutrisi sumber pakan bekantan. Berdasarkan kondisi tersebut maka diperlukan suatu upaya pembinaan habitat melalui kegiatan restorasi ekosistem untuk mengembalikan fungsi SMKL sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan dan habitat bagi hidupan liar di dalamnya termasuk biota perairan. Restorasi ekosistem atau pemulihan ekologi (ecological restoration) adalah proses untuk membantu pemulihan suatu ekosistem yang telah terdegradasi, rusak atau hancur dengan tujuannya untuk mengembalikan struktur, fungsi, keanekaragaman serta dinamika dari ekosistem tersebut (SER Internasional 2004). Beberapa praktek restorasi ekosistem didasarkan pada pendekatan kesesuaian habitat spesies kunci, yakni kegiatan penanaman jenis-jenis pohon asli yang ditujukan untuk mencukupi kebutuhan pakan, cover dan ruang pergerakan satwa di habitat aslinya. Contoh keberhasilan restorasi dengan pendekatan kesesuaian habitat spesies kunci telah dilakukan pada habitat gajah di Kinabatangan River, Sabah Malaysia, yaitu restorasi habitat yang menghubungkan area terpilih dengan habitat populasi gajah (Keenelyside et al. 2012). Restorasi ekosistem mangrove di SMKL memerlukan lokasi acuan (reference site) yang dapat memberikan gambaran kondisi ekosistem yang belum terdegradasi. Habitat referensi bekantan dipilih sebagai lokasi acuan atau referensi bagi restorasi SMKL karena bekantan merupakan spesies kunci yang harus dipertahankan keberadaannya di wilayah ini. Habitat referensi dipilih berdasarkan observasi awal, terdapat tiga karakteristik tipe tapak habitat bekantan yang ada di SMKL. Pertama, habitat bervegetasi baik banyak dijumpai bekantan, kedua habitat bervegetasi yang kurang disukai bekantan dan ketiga habitat bervegetasi dekat dengan gangguan (permukiman dan areal budidaya). Upaya restorasi SMKL akan lebih optimal jika berdasarkan kajian karakteristik habitat bekantan sebagai spesies kunci. Keberadaan populasi bekantan sangat tergantung pada kondisi habitatnya, karena komponen sumberdaya dan kondisi spesifik habitat akan menentukan daya survival dan reproduksi. Sejauh ini gambaran terkini dari kondisi habitat dan populasi bekantan di SMKL belum diketahui secara lengkap, padahal informasi ini penting sebagai acuan dalam menentukan langkah-langkah pengelolaan secara akurat, termasuk upaya pembinaan habitat melalui restorasi. Oleh karena itu pengetahuan mengenai faktor-faktor ekologis atas habitat yang dapat dijadikan sebagai dasar pendekatan restorasi penting diketahui. Selain itu informasi kondisi sosial dan persepsi
3 masyarakat aktor konversi lahan kawasan yang menjadi faktor ancaman terhadap kelestarian bekantan dibutuhkan untuk menjaring data pendukung dalam merumuskan strategi pemulihan ekosistem SMKL.
Perumusan Masalah Habitat adalah sejumlah sumber daya dan kondisi spesifik yang dibutuhkan oleh suatu spesies untuk hidup, serta dapat memberikan tempat hidup termasuk survival dan reproduksi. Oleh karena itu habitat merupakan kombinasi komunitas biotik dan lingkungan abiotik yang mencakup serangkaian kondisi yang menentukan suatu spesies dapat hidup dan bereproduksi (Sinclair et al. 2006). Pemilihan habitat oleh bekantan dipengaruhi oleh distribusi, ukuran dan ketersediaan sumber pakan (Boonratana 1999), sedangkan distribusi dan reproduksi suatu spesies dipengaruhi kondisi lingkungan abiotik seperti suhu dan curah hujan (Sinclair et al. 2006). Akibatnya kondisi populasi yang menempati suatu habitat bergantung pada kondisi habitat. Ketersediaan pakan, cover, air dan komponen habitat dibutuhkan untuk memelihara fungsi fisiologi dasar satwa untuk bertahan hidup dan bereproduksi sampai menghasilkan keturunan yang menjadi anggota populasi (Patton 2011). Kerusakan dan hilangnya habitat saat ini merupakan faktor utama yang mengancam kelestarian bekantan di SMKL. Saat ini, kawasan yang masih berhutan di SMKL hanya tersisa ±726.30 ha atau sekitar 22% dari total luas kawasan (BKSDA Kalsel 2014a). Luas wilayah yang telah berubah peruntukan menjadi tambak adalah seluas ± 1,550.64 ha dan persawahan seluas ±443.10 ha (BKSDA Kalsel 2012). Deforestasi mangrove ini telah menyebabkan degradasi habitat dan terganggunya fungsi ekologis ekosistem mangrove SMKL. Salah satu dampak yang terlihat adalah terhadap keberadaan populasi bekantan. Bekantan hidup terpencar dalam kelompok kecil (2 sampai 15 ekor) di dalam kawasan SMKL, sedangkan selebihnya memilih mendiami habitat yang masih tersisa yang di luar kawasan. Jarak terdekat konsentrasi populasi yang terdapat di dalam kawasan dengan yang ada di luar SMKL adalah ±12 km, dipisahkan oleh areal tambak. Restorasi habitat diperlukan untuk mengembalikan kondisi SMKL. Sesuai dengan fungsinya, restorasi SMKL ditujukan untuk memulihkan fungsi ekosistem dan mengembalikan struktur vegetasi. Pemulihan fungsi ekosistem dimaksud adalah sebagai habitat satwa liar yang ada di dalamnya, termasuk bekantan yang merupakan satwa kunci. Pengembalian struktur vegetasi harus mengacu pada komposisi vegetasi asli sebelum mengalami degradasi. Oleh karena pada bagian kawasan yang telah terdegradasi sudah sulit untuk melihat rona asli ekosistem asli, maka diperlukan untuk melihat habitat alami yang masih tersisa, yang masih digunakan sebagai habitat bekantan sebagai lokasi acuan (reference site). Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mempelajari lokasi acuan adalah melalui observasi awal yang meliputi survei hutan alam yang masih ada, survei tinggi permukaan tanah, pengukuran salinitas, pemeriksaan tanah dan vegetasi lain, dan sebagainya (Basyuni 2002). Menurut Lewis (2005), faktor yang paling penting dalam merancang suatu proyek restorasi mangrove yang akan berhasil baik adalah
4 pengenalan hidrologi (frekuensi dan durasi pasang-surut air laut) komunitas mangrove yang berdekatan dengan kawasan yang akan direstorasi. Habitat referensi yang tersedia di SMKL adalah di blok Hutan Tanjung Pedada Tua seluas ±195 ha. Blok hutan Tanjung Pedada Tua adalah bagian dari SMKL yang masih bervegetasi relatif baik dan satu-satunya tapak terdapat kelompok bekantan dalam jumlah yang besar antara 50-100 individu (perkiraan kasar, pengamatan langsung tahun 2013). Habitat bekantan di Tanjung Pedada Tua saat ini diduga masih memenuhi syarat sebagai habitat referensi bekantan di SMKL. Hal ini didasarkan pada dugaan bahwa : (1) wilayah ini masih bervegetasi alami dan mampu menyediakan sumber pakan bekantan; (2) di wilayah ini terdapat populasi bekantan yang sedang mengalami perkembangan dan (3) tingkat gangguan relatif rendah. Oleh karena itu areal ini dapat dijadikan sebagai lokasi acuan yang dapat memberikan informasi ekologis untuk dapat merekonstruksi habitat bekantan di SMKL. Terdapat tiga karakteristik pada habitat bekantan yang tersisa, yakni (1) areal bervegetasi baik, disukai dan banyak terdapat bekantan, (2) areal bervegetasi baik, kurang disukai, bekantan yang dijumpai sedikit, dan (3) areal bervegetasi terganggu, dekat dengan areal budidaya dan pondok masyarakat. Berdasarkan karakteristik areal tersebut pengambilan contoh dilakukan dilakukan di ketiga areal tersebut yang selanjutnya dinamakan tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model 2. Selain aspek habitat, kondisi populasi bekantan terkini diperlukan sebagai dasar bagi kegiatan restorasi habitat di SMKL. Populasi merupakan penciri utama preferensi habitat dan juga menjadi indikator kesehatan habitat. Populasi akan dapat dijumpai pada wilayah yang dapat memenuhi segala kebutuhan dasar yang meliputi makanan dan air, tempat untuk berlindung, serta pergerakan. Populasi satwa liar berfluktuasi dari waktu ke waktu mengikuti keadaan fluktuasi lingkungannya (Alikodra 1990). Jumlah individu kelompok bekantan dipengaruhi oleh kualitas dan tipe habitat (Bismark 2009). Selain jumlah individu, komposisi dan struktur populasi menjadi faktor penentu apakah suatu populasi masih bisa berkembang atau tidak. Selain itu kecenderungan populasi di suatu wilayah dapat digunakan untuk menganalisis daya dukung habitat dan kelestariannya. Data mengenai populasi bekantan di SMKL masih minim, dari data yang tersedia masih belum bisa memberikan informasi bagaimana gambaran populasi bekantan pada habitat yang mengalami gangguan. Oleh karena itu pengumpulan data populasi bekantan diperlukan untuk memperoleh gambaran sejauh mana gangguan habitat di SMKL mempengaruhi kondisi populasi bekantan yang ada. Penyebab utama degradasi habitat bekantan di SMKL adalah faktor antropogenik, yakni aktivitas masyarakat yang mengkonversi hutan mangrove menjadi tambak, sawah dan permukiman. Oleh karena itu upaya restorasi habitat bekantan harus mempertimbangkan faktor sosial masyarakat. Program restorasi akan lebih besar peluang keberhasilannya jika mendapatkan dukungan dari masyarakat, termasuk masyarakat lokal yang menjadi aktor atau pelaku konversi lahan itu sendiri. Contoh keberhasilan praktek restorasi ekosistem mangrove dengan dukungan komunitas lokal telah dilakukan di Diawling National Park, Mauritania (Keenelyside et al. 2012). Kegiatan restorasi tersebut telah berhasil mengembalikan fungsi kawasan mangrove sebagai pengendali banjir. Upaya restorasi atau rehabilitasi yang dilakukan memerlukan partisipasi aktif dari masyarakat. Partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh persepsi atau pandangan,
5 penilaian interpretasi terhadap obyek (Haritanto 2001). Tingkat partisipasi masyarakat dalam suatu kegiatan akan dipengaruhi oleh tingkat persepsinya. Tingkat persepsi yang tinggi merupakan dasar dukungan dan motivasi positif untuk berperan serta, demikian pula sebaliknya tingkat persepsi yang rendah dapat menghambat peran serta seseorang dalam kegiatan. Oleh karena itu data sosial masyarakat diperlukan sebagai pendukung untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap kegiatan restorasi sekaligus sebagai dasar untuk melakukan pemetaan sosial terhadap pelaku konversi lahan di SMKL. Berdasarkan pendekatan habitat dan populasi bekantan serta aspek sosial masyarakat yang menggarap lahan di SMKL maka penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana keadaan bio-fisik habitat bekantan. Komponen biotik habitat meliputi pohon pakan, pohon tidur, dan predator, sedangkan komponen fisik meliputi kelembaban, suhu, dan kondisi sungai 2. Bagaimana komposisi dan struktur vegetasi penyusun habitat bekantan, termasuk vegetasi yang menjadi sumber pakan dan pohon tidurnya 3. Bagaimana keadaan populasi bekantan termasuk komposisi jenis dan struktur umur 4. Bagaimana persepsi masyarakat (aktor yang mengolah lahan di SMKL terhadap konservasi bekantan, kawasan, serta kegiatan restorasi di SMKL. Tujuan Penelitian 1. 2. 3. 4. 5.
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut: Mengidentifikasi komponen habitat bekantan di SMKL. Mengukur keanekaragaman vegetasi di habitat bekantan di SMKL. Menghitung populasi bekantan di SMKL. Mengidentifikasi persepsi masyarakat terhadap konservasi bekantan di SMKL. Merumuskan strategi restorasi habitat bekantan di SM Kuala Lupak. Manfaat Penelitian
1. 2.
3.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : Memberikan kontribusi keilmuan terhadap konservasi habitat bekantan di SMKL. Sebagai bahan pertimbangan bagi kegiatan restorasi dan pembinaan habitat bekantan di SMKL berdasarkan hasil kajian karakteristik habitat referensi bekantan. Sebagai bahan acuan untuk meningkatkan partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan restorasi habitat bekantan. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mencoba merumuskan strategi restorasi habitat bekantan di SMKL berdasarkan karakteristik habitat referensi di Tanjung Pedada Tua. Perumusan strategi didasarkan pada kerangka pikir bahwa pemulihan ekosistem
6 SMKL harus ditujukan untuk mengembalikan kondisi ekosistem kepada kondisi sebelum mengalami kerusakan akibat konversi menjadi areal pertambakan dan persawahan. Tujuan akhir pemulihan ekosistem SMKL adalah mengembalikan struktur dan fungsi ekosistem mangrove sebagai habitat bekantan. Strategi yang dirumuskan dibatasi pada kajian aspek ekologi habitat referensi dan aspek sosial masyarakat yang beraktivitas di dalam kawasan SMKL. Perumusan strategi didasarkan pada hasil identifikasi permasalahan pada kondisi eksisting saat ini dan kondisi yang berpotensi menjadi peluang dalam upaya restorasi SM Kuala Lupak.
Suaka Margasatwa Kuala Lupak
Kondisi eksisting : - Konversi hutan mangrove menjadi tambak dan persawahan - Populasi bekantan keluar kawasan - Rehabilitasi lahan belum berdasarkan kajian ekologis
Fungsi dan Manfaat : - Fungsi hutan mangrove (biologis/ekologis, fisik, sosial ekonomi) - Habitat bekantan
Pemulihan Ekosistem : mengembalikan struktur dan fungsi SMKL
Pendekatan karakteristik habitat bekantan
Persepsi masyarakat
Karakteristik Habitat Referensi
Komponen fisik
Pengukuran & Observasi
Kondisi iklim mikro, suhu & pH tanah, pH dan salinitas perairan sungai
Komponen Biotik
Observasi
Jenis vegetasi pakan & pohon tidur, struktur & komposisi vegetasi, keanekaragaman jenis
Jenis kompetitor dan atau predator
Populasi bekantan
Observasi
Kepadatan, struktur dan komposisi
populasi
STRATEGI RESTORASI
Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran
Wawancara
Pengetahuan masyarakat mengenai keberadaan & konservasi bekantan serta sikap masyarakat dan stakeholder tentang restorasi habitat bekantan
7
2 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kawasan Suaka Margasatwa Kuala Lupak (SMKL), Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, kawasan SMKL termasuk dalam 2 desa yaitu Desa Kuala Lupak dan Desa Sungai Telan Besar Kecamatan Tabunganen Kabupaten Barito Kuala. Tanjung Pedada Tua termasuk dalam wilayah Desa Sungai Telan Besar. SM Kuala Lupak dapat dicapai dalam waktu 25 - 40 menit dengan memakai speed boat 85 PK atau ± 2 jam dengan menggunakan kelotok dari pusat Kota Banjarmasin. Alternatif lain adalah naik kelotok dari Kecamatan Aluh-aluh dengan waktu tempuh 30-40 menit. Dari pusat Kota Banjarmasin menuju Kecamatan Aluh-aluh ditempuh dengan jalur darat lebih kurang 1.5-2 jam. Pengumpulan data dilakukan selama tiga bulan dari bulan Februari sampai April 2015. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2.
Tanjung Pedada Tua
Gambar 2 Lokasi penelitian di Blok Hutan Tanjung Pedada Tua SMKL Peralatan dan Bahan Peralatan yang digunakan adalah peta kawasan SM Kuala Lupak, GPS receiver, dan meteran gulung/tali plastik (50 meter) untuk membuat plot. Pengukuran data iklim mikro menggunakan thermohygrometer digital (HTC-1) untuk mengukur suhu dan kelembaban udara, serta soil tester digital (4 in 1 soil
8 survey instrument) untuk mengukur intensitas cahaya matahari yang diterima tanah. Kondisi tanah yang meliputi suhu, kelembaban dan pH tanah diukur menggunakan soil tester digital. Kondisi keasaman/kebasaan air sungai perairan sungai diukur dengan menggunakan pH meter (ATC), sedangkan salinitas diukur dengan menggunakan salt meter (CT-3086). Pengamatan bekantan menggunakan binokuler dan hand counter untuk menghitung jumlah individu bekantan. Pita ukur (1.5 meter) digunakan untuk mengukur diameter pohon. Peralatan lainnya yang digunakan meliputi kamera digital, buku pengenalan jenis dan tally sheet. Obyek penelitian adalah bekantan (Nasalis larvatus) dan habitat di Tanjung Pedada Tua, SM Kuala Lupak, serta masyarakat pelaku konversi lahan di dalam kawasan.
Jenis Data Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik habitat, populasi bekantan dan data sosial masyarakat. Jenis data yang dikumpulkan sajikan pada Tabel 1.
Tujuan 1. Mengidentifikasi komponen habitat bekantan
Tabel 1. Jenis data yang dikumpulkan Jenis Data Parameter diukur 1. Komponen fisik habitat a. Kondisi udara b. Kondisi tanah
c. Kondisi perairan sungai
Pengukuran dgn alat Data BMKG Suhu udara Kelembaban udara Suhu, kelembaban, pH, intensitas cahaya matahari yang diterima tanah Jenis tanah pH air sungai, Salinitas
Kondisi pasang surut 2. Komponen Biotik habitat a. vegetasi pakan b. Pohon tidur
c. Komposisi dan struktur vegetasi d. Satwa lain (kompetitor, predator) 2. Mengukur keragaman vegetasi habitat bekantan
Jenis vegetasi
Teknik Pengumpulan Data
Jenis, bagian yang dimakan Jenis, diameter, tinggi, jarak dari sungai, jarak dengan pohon terdekat Jenis, diameter , jumlah Jenis satwa
Jenis, indeks keanekaragaman
Pengukuran dengan thermohygrometer Pengukuran dengan Soil tester 4 in 1 Penentuan kualitatif di lapangan Pengukuran dgn pH meter, Pengukuran dengan saltmeter Pengamatan langsung
Pengamatan langsung Pengamatan langsung dan pengukuran Pengamatan langsung dan pengukuran Pengamatan langsung
Pengamatan langsung,
9 Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan (lanjutan) Tujuan 3. Menghitung Populasi bekantan 4. Mengidentifikasi persepsi masyarakat
5. Merumuskan strategi restorasi
Jenis Data
Parameter diukur
Teknik Pengumpulan Data
Kepadatan, komposisi dan struktur populasi a.Persepsi masyarakat lokal (aktor konversi) b. Persepsi stakeholder
Jumlah individu berdasarkan jenis kelamin dan struktur umur Karakteristik responden, status lahan, persepsi
Metode Concentration count Wawancara dengan kuisioner
Persepsi tentang pengetahuan, pandangan, saran
Wawancara
Hasil penelitian tujuan 1 s.d 4
Hasil penelitian tujuan 1 s.d 4
Analisis data dan sintesis
Prosedur Pengumpulan Data Penentuan Contoh Pengumpulan data vegetasi dan populasi bekantan dilaksanakan di tiga lokasi tapak berbeda. Penentuan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan adanya preferensi habitat bekantan yang dipengaruhi oleh kondisi habitat. Wilayah bervegetasi di SMKL tidak merupakan satu hamparan yang utuh, tetapi dipisahkan oleh sungai-sungai, baik alami maupun buatan (sodetan). Bekantan tidak memilih semua wilayah bervegetasi sebagai habitatnya, tetapi ada preferensi tertentu. Pemilihan lokasi untuk menempatkan plot sampling adalah lokasi yang menjadi konsentrasi bekantan berdasarkan hasil observasi awal. Analisis vegetasi dan pengumpulan data populasi bekantan akan dilakukan di 3 lokasi (tapak) yang berbeda, dengan kriteria sebagai berikut : Tapak referensi : lokasi bervegetasi baik dan disukai bekantan Tapak model 1 : lokasi bervegetasi baik kurang disukai bekantan Tapak model 2 : lokasi bervegetasi rusak (terganggu) Intensitas sampling (IS) yang digunakan dalam pengambilan contoh sebesar 2% (Kustanti 2011) karena pertimbangan bahwa vegetasi mangrove di Tanjung Pedada Tua relatif homogen. Plot contoh berukuran 0.25 ha mengikuti pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) berbentuk jalur berpetak dengan ukuran 10 m x 250 m, dengan masing-masing pengambilan sampling sebagai berikut : Tapak referensi (luas ± 72.77 ha) : 1.50 ha (6 jalur, 150 petak ukur) Tapak model 1 (luas ± 33.96 ha) : 1.00 ha (4 jalur, 100 petak ukur) Tapak model 2 (luas ± 19.71 ha) : 0.75 ha (3 jalur, 75 petak ukur) Plot contoh berbentuk jalur dibuat tegak lurus memotong arah laut, dengan jarak antar jalur 500 m (Kustanti 2011). Penempatan plot contoh ditentukan secara stratifikasi. Lokasi pohon pakan atau pohon tidur menjadi titik awal pembuatan plot, selanjutnya dilakukan secara sistematik.
10 Pengumpulan Data Komponen Habitat Komponen Fisik Habitat Pengukuran komponen fisik habitat dilakukan pengulangan masing-masing 3 kali dengan pemilihan titik pengukuran di tepi, tengah dan belakang dari arah laut menuju ke darat pada masing-masing tapak. Pengumpulan data komponen fisik habitat dilakukan dengan pengukuran dan atau pengamatan (observasi). Kondisi iklim mikro Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan dengan thermohigrometer digital (HTC-1) yang dapat langsung membaca hasil pengukuran. Pengukuran dilakukan dengan meletakkan thermohigrometer di tempat yang datar dan bebas penghalang. Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada pagi hari (07:30), siang hari (12:30) dan sore hari (17:30). Data yang dicatat adalah data rerata yang merupakan hasil pejumlahan suhu maksimum dan minimum pada hari pengukuran, selanjutnya dibagi 2 (Kartasapoetra 2004). Selanjutnya untuk mendapatkan suhu dan/atau kelembaban rata-rata harian dihitung dengan rumus (2 pagi + 1 siang + 1 sore)/4. Pengukuran intensitas ntensitas cahaya matahari yang diterima oleh tanah diukur dengan alat soil tester digital (4 in 1 soil survey instrument), dengan prosedur pengukuran yang sama. Kondisi tanah 1. Suhu, kelembaban, dan pH tanah diukur dengan alat soil tester digital (4 in 1 soil survey instrument) yang dapat langsung membaca hasil pengukuran. Alat ukur ditancapkan di tanah pada kedalaman 20 cm, kemudian dicatat pembacaan hasil pengukuran pada layar display. Pengukuran suhu maupun kelembaban udara dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada pagi hari (07:30), siang hari (12:30) dan sore hari (17:30). Hasil pengukuran kelembaban dan intensitas cahaya matahari yang diterima oleh tanah tersaji secara kualitatif sesuai dengan spesifikasi alat yang digunakan. 2. Tekstur tanah/substrat yang menjadi media tumbuh jenis mangrove dominan, ditentukan secara kualitatif di lapangan dengan cara menggambil komposit tanah pada kedalaman 20 cm. Sampel tanah kemudian kemudian dipirit di antara ibu jari dan telunjuk sehingga membentuk pita lembab dan diamati dan ditentukan apakah berpasir atau berlumpur. Kondisi perairan Derajat keasaman (pH) perairan. Derajat keasaman (pH) perairan diukur dengan menggunakan pH meter (ATC). Pengukuran dilakukan dengan cara mencelupkan bagian elektroda (electrode part) ke dalam air selama 2-3 menit, sampai angka digital yang terbaca secara otomatis pada display alat menunjukkan angka stabil. Salinitas. Salinitas diukur dengan menggunakan alat salt meter (CT-3086). Pengukuran dengan cara mencelupkan elektroda (electrode part) ke dalam air. Hasil pengukuran akan otomatis terbaca pada display alat.
11 Kondisi pasang surut. Kondisi yang diamati adalah kapan waktu pasang, kapan waktu surut, serta berapa lama waktu pasang berlangsung, dan apakah pada saat pasang terjadi penggenangan di habitat bekantan. Hasil pengamatan dicatat
Komponen Biotik Struktur dan komposisi vegetasi Pengumpulan data vegetasi dilakukan dengan metode jalur berpetak yang dibuat tegak lurus dengan sungai. Jumlah jalur pengamatan seluruhnya 13 jalur yakni masing-masing 6 jalur untuk tapak referensi, 3 jalur untuk tapak model 1 dan 4 jalur untuk tapak model 2. Untuk memudahkan perisalahan tegakan dalam plot berbentuk jalur 10 m x 250 m dibuat petak-petak ukur kontinyu berukuran 10 m x 10 m (Soerianegara & Indrawan 1998). Setiap jalur terdiri dari 25 petak ukur. Selanjutnya dalam petak ukur 10 m x 10 m dibuat sub-sub petak berukuran 5 m x 5 m dan 2 m x 2 m (Gambar 3).
Gambar 3 Bentuk dan ukuran jalur pengamatan vegetasi A Sub petak 2m x 2m untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah. B Sub petak 5m x 5m untuk tingkat pancang C Sub petak 10m x10m untuk tingkat pohon Kriteria untuk analisis vegetasi yang digunakan adalah sebagai berikut : a. Semai : permudaan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi 1.5 m b. Pancang : permudaan dengan tinggi >1.5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm c. Pohon : pohon berdiameter 10 cm atau lebih d. Tumbuhan bawah : tumbuhan selain permudaan pohon (rumput, herba, semak belukar) Data yang dikumpulkan untuk tingkat pertumbuhan pohon dan pancang adalah jenis pohon dan diameter. Untuk tingkat pertumbuhan pancang dan semai data yang diambil meliputi jenis dan jumlah individu setiap jenis. Pengukuran diameter dilakukan pada tinggi 1.3 m dari atas permukaan tanah dan atau 30 cm di
12 atas banir (untuk pohon dari marga Bruguiera) dan akar tunjang (untuk pohon dari marga Rhizophora). Data jenis vegetasi pakan bekantan diperoleh dari pengamatan dan pencatatan jenis vegetasi yang bagiannya (daun, buah, bunga) dimanfaatkan oleh bekantan sebagai sumber pakan. Untuk pohon tidur, data yang diambil meliputi jenis pohon, tinggi, jarak dari tepi sungai dan jarak dengan pohon tidur terdekat (Bernard et al. 2011). Satwa kompetitor dan predator Pengumpulan data jenis-jenis satwa yang merupakan kompetitor dan predator dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data vegetasi. Satwa kompetitor dan atau predator yang dijumpai di areal pengamatan dicatat jenis dan jumlahnya.
Pengumpulan Data Populasi Bekantan Penghitungan populasi bekantan dilakukan dengan menggunakan metode terkonsentrasi (Alikodra 1990), dengan asumsi bahwa bekantan adalah jenis satwa yang memiliki perilaku berkumpul di lokasi tidurnya di tepi sungai pada sore hari sampai dengan pagi hari keesokan harinya. Pengamatan dilakukan pada pagi hari antara jam 06:00 - 09:00 dan sore hari antara jam 16:00 - 18:30. Pengamatan dan penghitungan populasi dilakukan oleh tiga orang pengamat selama 3 hari pengamatan, dengan total ulangan sebanyak 6 kali di dua titik konsentrasi yakni di tapak referensi dan tapak model 1, sedangkan di tapak model 2 selama periode penelitian tidak terdapat konsentrasi bekantan. Jenis data yang dicatat meliputi jumlah individu, komposisi umur dan jenis kelamin untuk bekantan dewasa. Kriteria kelas umur yang digunakan mengacu pada pembagian berdasarkan ciri-ciri menurut Yeager (1990) sebagai berikut : 1. Jantan dewasa: hidung besar (telah berkembang sempurna), alat kelamin luar tampak jelas, bobot badan besar sekitar 20-22 kg, terdapat warna putih berbentuk segitiga pada bagian pinggul, lapisan lemak terlihat jelas di bagian punggung, dan berkembang otot paha yang kuat. 2. Jantan setengah dewasa: ukuran tubuhnya sama atau lebih besar daripada betina dewasa, alat kelamin luar tampak jelas, otot bagian paha lebih berkembang dibandingkan dengan betina dewasa, hidung mulai membesar, tidak ada lapisan lemak di bagian punggungnya. 3. Betina dewasa: bobot badan relatif lebih kecil dibandingkan bobot badan jantan dewasa (10-12 kg), puting susu tampak jelas, hidung lebih kecil dan runcing. 4. Betina setengah dewasa: ukuran tubuh lebih dari ¾ dewasa, hampir sama dengan betina dewasa. 5. Remaja: ukuran tubuh setengah atau dua per tiga dari ukuran tubuh betina dewasa. Sudah dapat berdiri (berjalan) sendiri, tetapi masih tidur dengan induknya. 6. Anak/bayi: berumur ≤ 1.5 tahun. Bayi yang baru lahir memiliki warna yang lebih gelap dan muka berwarna gelap tetapi terus memudar. Selalu dekat dan bergantung atau digendong oleh induknya.
13 Pengumpulan Data Persepsi Masyarakat Masyarakat responden adalah masyarakat lokal yang terlibat kegiatan konversi lahan di SMKL, baik pemilik tambak atau lahan maupun pekerja tambak. Jumlah responden sebanyak 33 orang. Pengumpulan data persepsi masyarakat dilakukan dengan metode wawancara dengan kuisioner. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik responden dan persepsi. Karakteristik responden untuk masyarakat lokal meliputi: jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, status lahan, jumlah anggota keluarga, dan suku/etnis serta lamanya mereka menggarap lahan di SMKL. Data persepsi masyarakat yang digali meliputi : 1. Pengetahuan, yang terdiri dari atas (a) pengetahuan terhadap keberadaan bekantan termasuk jenis tumbuhan yang menjadi pakan bekantan, pohon yang dipilih sebagai pohon tidur serta anggapan tentang bekantan sebagai gangguan atau tidak, (b) pengetahuan tentang status perlindungan bekantan, dan (c) pengetahuan tentang status kawasan SM Kuala Lupak, serta apakah responden mengetahui konsekuensi hukum menggarap lahan di SMKL. 2. Sikap, yang meliputi (a) sikap penerimaan terhadap kegiatan rehabilitasi yang sudah dilaksanakan sebelumnya dan (b) sikap dukungan atau kesediaan untuk terlibat dalam program/kegiatan restorasi yang akan dilaksanakan selanjutnya. 3. Sebagai bahan pendukung dilakukan wawancara dengan responden yang berasal dari stakeholder terkait. Pengujian dilakukan untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat, dengan hipotesis awal (H0): bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat persepsi berdasarkan faktor yang diuji. Persepsi stakeholder dikembangkan dalam diskusi/wawancara yakni pengetahuan tentang keberadaan/ status bekantan dan SM Kuala Lupak, pandangan terhadap kondisi eksisting serta saran (alternatif solution) terhadap upaya restorasi SM Kuala Luak. Responden stakeholder terkait dipilih berdasarkan data dari BKSDA Kalsel, instansi/lembaga mana saja yang selama ini dilibatkan dalam upaya penanganan perambahan dan rehabilitasi hutan di SMKL, antara lain BPDAS Barito, Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, Bappeda Kabupaten Barito Kuala, Dinas Kehutanan Kabupaten Barito Kuala, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Barito Kuala, Dinas Pertanian, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kabupaten Barito Kuala dan Camat Tabunganen dan Kepala Desa Sungai Telan. Pengolahan dan Analisis Data Komponen Habitat Komponen fisik habitat di ketiga tapak pengamatan dan diperbandingkan dan disajikan berdasarkan hasil analisi statistik deskriptif untuk melihat kesamaan atau perbedaan kondisi, dengan tapak referensi sebagai pembanding atas kedua tapak model 1 dan tapak model 2. Indeks kesamaan komunitas digunakan untuk menganalisis kesamaan vegetasi penyusun habitat bekantan di 3 (tiga) lokasi terpilih yang dilakukan sampling. Persamaan yang digunakan adalah indeks kesamaan Bray-Curtis (Ludwig & Reynolds 1988) sebagai berikut:
14 BC=1
min
(
,
)
(
)
Keterangan: Xij = jumlah individu ke-i, pada tipe habitat ke-j, dan Xik = jumlah individu ke-i, pada tipe habitat ke-k. Struktur dan komposisi vegetasi Indeks Nilai Penting. Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi vegetasi yang menyusun komunitas habitat bekantan. Komposisi vegetasi didapatkan dengan menghitung Indeks Nilai Penting (INP) dari masing-masing jenis pada setiap tingkatan vegetasi dengan persamaan sebagai berikut (Soerianegara & Indrawan 1998): Kerapatan suatu jenis (K)
=
Jumlah individu suatu jenis = Luas petak contoh
Kerapatan relatif suatu jenis (KR) =
Kerapatan suatu jenis X 100% = Kerapatan seluruh jenis
Frekuensi suatu jenis (F)
Jumlah sub-petak ditemukan suatu jenis = Total seluruh sub-petak contoh
=
Frekuensi relatif suatu jenis (FR) =
Frekuensi suatu jenis x 100% = Total frekuensi seluruh jenis
Dominansi suatu jenis (D)
Luas bidang dasar suatu jenis = Luas petak contoh
=
Dominansi relatif suatu jenis (DR) =
Dominansi suatu jenis X 100% = Dominansi seluruh jenis
Luas bidang dasar (lbds) suatu jenis merupakan total luas bidang dasar setiap individu jenis tertentu yang dihitung dengan menggunakan persamaan: Lbds =
K2 1 .D2 atau Ldbs = 4 4
Indeks nilai penting (INP) dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: INP untuk tingkat pohon = KR + FR + DR INP untuk tingkat semai dan pancang = KR + FR Kerapatan individu per ha digunakan untuk menganalisis status regenerasi mangrove berdasarkan kriteria Shankar (2001). Indeks Keanekaragaman Jenis. Indeks keanekaragaman jenis dihitung berdasarkan rumus Shanon-Wiener (Ludwig & Reynolds 1988): ∑ Keterangan: H’= indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, Pi= proporsi spesies ke-i (= ni/N), ni = jumlah individu spesies ke-i, dan N= jumlah individu seluruh spesies.
15 Populasi Bekantan Penghitungan populasi menggunakan metode penghitungan terkonsentrasi (Concentration Count) (Alikodra 1990) dengan persamaan penduga ukuran populasi yang digunakan adalah sebagai berikut: ∑ ∑∑ Keterangan: Xij = ukuran populasi pada lokasi konsentrasi ke-i dan pengamatan ke-j, Pij = rerata jumlah individu yang dijumpai pada konsentrasi ke-i dan pengamatan ke-j, n = jumlah ulangan pengamatan dan P= total populasi pada seluruh areal penelitian. . Analisis struktur populasi bekantan didasarkan pada penentuan rentang kelas umur bekantan menggunakan pendekatan ciri biologis, morfologi dan perilaku yang diacu dari kriteria Yeager (1990), Murai (2004), Murai (2006) dan Stark et al. (2012) seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Penentuan rentang kelas umur bekantan Kelas umur Anak
Selang kelas umur ≤ X ≤ 2 tahun
Remaja
2 < X ≤ 5 tahun
Dewasa
5 < X ≤ 20 tahun
Keterangan Mulai umur 0 hingga 1.5 tahun (masa laktasi) + jeda dengan kelahiran berikutnya Bekantan remaja mulai lepas dari induknya, hingga memasuki usia dewasa Betina mencapai kematangan seksual rata-rata umur 5 tahun dan jantan 7 tahun
Acuan (Afrillia 2011), (Yeager 1990), (Stark et al. 2012)
(Murai 2004, 2006)
Persepsi Masyarakat Analisis data persepsi masyarakat dilakukan melalui analisis deskriptif dengan menyajikan frekuensi dan persentase. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat dengan uji Chi-Square pada taraf nyata α = .05. ∑
∑
Keterangan = X2 = nilai Chi-Kuadrat, oij = frekuensi harapan, eij = frekuensi yang diobservasi Perumusan Strategi Restorasi Strategi restorasi SMKL ditetapkan berdasarkan aspek ekologis, teknis dan sosial berdasarkan hasil kajian bio-ekologis dan persepsi masyarakat. Pendekatan yang digunakan adalah dengan merumuskan alternatif-alternatif kegiatan berdasarkan hasil identifikasi permasalahan pada kondisi eksisting, dan kondisi yang berpotensi menjadi peluang dalam upaya restorasi. Peluang adalah kondisi atau situasi menguntungkan bagi pelaksanaan restorasi atau pengelolaan SMKL.
16 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Habitat Bekantan Komponen Fisik Habitat bekantan di SMKL dibentuk oleh formasi hutan mangrove riparian yang didominasi oleh jenis Avicennia alba dan Sonneratia caseolaris. Habitat bekantan di SMKL tidak berupa satu hamparan utuh, tetapi berupa tapak-tapak yang dipisahkan oleh sungai dengan lebar antara 28-30 m. Adanya pemisahan oleh sungai ini mempengaruhi pemilihan tapak (preferensi) oleh kawanan bekantan. Namun demikian, jarak antar tapak yang relatif dekat (<100 m) tidak berpengaruh terhadap perbedaan keadaan komponen fisik habitat. Kondisi suhu (baik udara, tanah dan perairan) dan kelembaban relatif udara tidak berbeda. Suhu harian berkisar antara 28-29°C dan kelembaban udara relatif 76.75% (Tabel 3). Tabel 3 Perbandingan komponen fisik habitat pada tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model 2 Parameter 1. Udara - Suhu udara - Kelembaban udara 2. Tanah - Suhu tanah - pH tanah - Kelembaban tanah - Intensitas cahaya - Substrat 3. Perairan (sungai) - Suhu perairan - pH - Salinitas
Tapak Model 2
Tapak Referensi
Tapak Model 1
28.7°C 76.75 %
28.75°C 76.75 %
29.45°C 76.25 %
29.20°C 5 WET LOW berlumpur
29.27°C 5 WET LOW berlumpur, lumpur berpasir di bagian pantai
29.37°C 5 WET LOW berlumpur, lumpur berpasir di bagian pantai
29.60°C 5.52 0
29.50°C 5.45 0
29.57°C 5.48 0
Jenis tanah di SMKL merupakan tanah berlumpur hingga lumpur berpasir di bagian tepi pantai dengan kondisi tanah dalam yang selalu basah. Hamparan tanah yang tertutup oleh tumbuhan merambat jenis Derris trifoliata menyebabkan intensitas cahaya rendah sepanjang waktu dengan kisaran pH antara 4.5-6.0. Perairan di SMKL mengalami kondisi pasang surut secara periodik setiap hari. Kondisi pasang terjadi mulai pukul 11:00 yang berlangsung hingga sore hari dan mulai surut pada pukul 16:00. Hari berikutnya kondisi pasang berlangsung sampai pagi menjelang siang, kemudian mulai surut pada pukul 11:00 hingga sore hari dan akan mulai pasang kembali sekitar pukul 16:00. Meski dipengaruhi oleh pasang surut air laut, perairan di habitat referensi bekantan adalah perairan tawar (salinitas 0%) dengan pH berkisar antara 5.0-6.5 dan cenderung lebih asam di pagi hari pada kondisi air surut. Perubahan salinitas pada areal mangrove dipengaruhi oleh durasi pasang surut air laut. Selama periode pengamatan antara FebruariMaret 2015, yang termasuk periode musim hujan, tidak terjadi penggenangan pada saat kondisi pasang tertinggi. Pasang surut air laut mempengaruhi formasi komunitas flora mangrove. Lamanya penggenangan berpengaruh terhadap tingkat
17 salinitas. Selain mempengaruhi komposisi mangrove, salinitas berpengaruh meningkatkan kadar tanin (El-Lamey 2012). S. caseolaris memiliki adaptasi yang tinggi terhadap tingkat salinitas yang rendah (Zan et al. 2003, Aziz et al. 2012), sedangkan A. alba dapat beradaptasi pada tingkat salinitas yang lebih tinggi. S. caseolaris dapat tumbuh pada tanah yang memiliki salinitas mendekati air tawar yakni <0.1% salinitas air laut (0.1% salinitas air laut ekivalen dengan 0.00034% kandungan garam atau 0.34 gram/liter) (Giesen et al. 2006). Tegakan S. caseolaris pada habitat bekantan di SMKL diduga memiliki kadar tanin yang rendah karena pengaruh tingkat salinitas yang rendah. Oleh karena itu bekantan di SMKL memilih S. caseolaris sebagai sumber pakan utama dan bertahan di habitat referensi yang didominasi oleh S. caseolaris dan A. alba. Komponen Biotik Komposisi Vegetasi. Hutan mangrove habitat bekantan di SMKL termasuk miskin jenis tumbuhan. Di lokasi ini ditemukan tujuh jenis tumbuhan habitus pohon yakni: A. alba , Excoecaria agallocha, Hibiscus tiliaceus dan S. caseolaris, Nypa fruticans dan Cerbera manghas dan Thespesia populnea (L). Jenis nipah (N. fruticans) dijumpai dalam jumlah terbatas, C. manghas dan T. populnea bahkan hanya dijumpai satu individu di tapak model 1. Kehadiran C. manghas dan T. Populnea pada ±200 m dari pantai, diduga berasal dari lokasi lain akibat pemencaran oleh arus laut. Tingkat pertumbuhan pancang hanya diisi oleh A. alba E. agallocha, sedangkan jenis. Lantai hutan ditumbuhi oleh jenis-jenis mangrove ikutan seperti D. trifoliata, Acanthus ilicifolius, dan Acrostichum speciosum. Total jenis tumbuhan yang ditemukan adalah 17 jenis dari 16 marga dan 15 suku (Tabel 4). Tabel 4
Komposisi jenis dan suku pada setiap habitus vegetasi di habitat bekantan Suaka Margasatwa Kuala Lupak
Habitus dan Nama lokal Pohon: Api-api Buta-buta Rambai, pidada Waru laut Waru pantai* Bintaro* Nipah Tumbuhan bawah: Karepotan / tuba laut Jeruju Piai Lambai-lambai Dadap laut* Keladi payau Bakung ? Serunai laut Beluntas* Teratai kecil
Genus/spesies
Suku (Famili)
Avicennia alba Bl. Excoecaria agallocha L. Sonneratia caseolaris (L) Engl. Hibiscus tiliaceus L. Thespesia populnea (L) Cerbera manghas L. Nypa fruticans Wurmb.
Avicenniaeae Euphorbiceae Sonneratiaceae Malvaceae Malvaceae Apocynaceae Arecaceae
Derris trifoliata Lour. Acanthus ilicifolius L Acrostichum aureum Lin. Cayratia trifolia (L.) Domin Clerodendrum inerme Gaertn. Cryptocoryne ciliata (Roxb.) Schott Crinum asiaticum L. Cyperus stoloniferus Retz. Widelia biflora Pluchea indica (L.) Less Nymphaea sp
Leguminosae Acanthaceae Pteridaceae Vitaceae Verbenaceae Araceae Amaryllidaceae Cyperaceae Asteraceae Asteraceae Nymphaeaceae
Keterangan: * di luar petak pengamatan
18 Habitat bekantan di SMKL dibandingkan dengan hasil penelitian di lokasi lainnya di Kalimantan, keanekaragaman vegetasinya tergolong paling rendah. Sebagai pembanding, habitat bekantan di Delta Mahakam Kalimantan Timur tersusun oleh 46 jenis tumbuhan dari 44 marga dan 31 Suku (Atmoko & Sidiyasa 2008), dan di Kuala Samboja meliputi 79 jenis tumbuhan dari 71 marga dan 45 suku (Atmoko et al. 2014). Komunitas tumbuhan di suatu habitat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti kondisi tanah, cahaya matahari, air dan curah hujan. Selain itu, di mangrove jenis-jenis penyusun komunitas juga dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hal ini karena tidak semua jenis tumbuhan mampu beradaptasi dengan tingkat salinitas. Gangguan dari luar seperti kegiatan budidaya ikan tambak juga dapat mempengaruhi komunitas mangrove. Vegetasi Sumber Pakan. Jenis vegetasi sumber pakan bekantan yang ditemukan di SMKL sebanyak tujuh jenis (Tabel 5). Jumlah jenis sumber pakan tersebut tergolong rendah jika dibandingkan dengan di Delta Mahakam Kalimantan Timur yang ditemukan sebanyak 10 jenis (Atmoko & Sidiyasa 2008), di Nipah Panjang Kalimantan Barat sebanyak 15 jenis (Kartono et al. 2008), dan di Menanggul River Sabah Malaysia sebanyak 188 jenis (Matsuda et al. 2009). Tabel 5
Jenis vegetasi sumber pakan bekantan di Suaka Margasatwa Kuala Lupak
Nama lokal Rambai, pedada Api-api Waru laut Buta-buta Nipah Karepotan Piai
Genus/Spesies Sonneratia caseolaris Avicennia alba Hibiscus tiliaceus Excoecaria agallocha Nypa fruticans Derris trifoliata Acrostichum aureum
Family Sonneratiaceae Avicinneaceae Malvaceae Euphorbiceae Arecaceae Leguminosae Pteridaceae
Bagian dimakan Daun, buah, kelopak buah Daun muda Daun,terutama yang muda Daun Umbut, daun muda Daun Daun
Bekantan cenderung lebih memilih jenis S. caseolaris sebagai sumber pakan utama, sedangkan sebagai sumber pakan tambahan adalah jenis-jenis A. alba, H. tiliaceus dan D. trifoliata. Bagian tumbuhan S. caseolaris yang dikonsumsi bekantan terutama daun muda, serta buah dan kelopak buah. Pemilihan S. caseolaris sebagai sumber pakan utama juga ditemukan di Delta Mahakam (Alikodra & Mustari 1994, Atmoko et al. 2007), Sungai Sepaku dan Sungai Semoi Kalimantan Timur (Atmoko et al. 2012). Jenis liana D. trifoliata yang melimpah keberadaannya di habitat bekantan SMKL juga dimanfaatkan oleh bekantan sebagai sumber pakan. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Atmoko (2012) bahwa bekantan di Kuala Samboja memanfaatkan D. trifoliata, A. ilicifolius, Rhaphidophora sp., Flagellaria sp., dan Oxyceros longiflora sebagai sumber pakan. Pemilihan jenis tumbuhan D. trifoliata oleh bekantan sebagai sumber pakan diduga berkaitan dengan hal-hal berikut: (a) keterbatasan jenis sumber pakan yang ada mendorong bekantan beradaptasi untuk mengoptimalkan sumber daya pakan yang tersedia, yakni dengan memakan jenis D. trifoliata yang tersedia secara melimpah. Adaptasi ini merupakan salah satu strategi yang digunakan oleh bekantan untuk bertahan hidup di habitat yang terisolasi dan terfragmentasi (Suwarto 2015); (b) jenis D. trifoliata termasuk Leguminosae yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi
19 bekantan. Menurut Gupta & Chivers (2004) yang diacu oleh Atmoko (2012), beberapa jenis tumbuhan dari suku Leguminosae sering dipilih primata karena banyak mengandung N, P dan abu, sejauh tidak menghambat pencernaan. Pemilihan jenis-jenis Leguminosae sebagai sumber pakan oleh subfamili Colobine telah dilaporkan oleh Maisels et al. (1994) dan Chapman et al. (2002). Daun D. trifoliata memiliki kandungan tanin sebesar 9.5% (Orwa et al. 2009). Kandungan tersebut cukup tinggi jika dibandingkan dengan kandungan tanin dari 12 jenis tumbuhan di hutan mangrove yang dilaporkan oleh Bismark (2009), yakni berkisar antara 1.52-4.09%. Kedua belas tumbuhan tersebut adalah Aglaia cuculata, Allapphyllus cobbe, Ardisia humilis, Avicennia officinalis, Bruguiera gymnorrhiza, B. sexangula, B. parviflora, Ceriops tagal, Ficus sp., F. binnendykii, Lumnitzera littorea, Rhizophora apiculata, dan Sonneratia apiculata. Soendjoto et al. (2006) menyatakan bahwa tumbuhan pakan bekantan di habitat hutan karet berupa daun tiwadak banyu (Artocarpus teysmanii), karet (Hevea brassiliensis) dan kujamas (Syzygium stapfiana) mempunyai kadar tanin yang rendah 0.0004-0.0122%. Menurut Alikodra (1997), bekantan tidak menyukai jenis pakan yang mempunyai kadar tanin tinggi. Kadar tanin yang tinggi dapat bersifat toksik, pada tahapan lanjut pada hewan dapat menghalangi kerja enzim, mengurangi kemampuan mencerna dan mengakibatkan hilangnya nafsu makan (El-Lamey 2012). Primata dari sub famili Colobine menetralisir kandungan toksik tanin dengan bantuan bakteri dalam sistem pencernaanya, atau dengan memakan tanah. Kandungan protein, serat dan tanin berhubungan erat dengan seleksi pakan oleh primata termasuk bekantan (Bismark 2009). Variasi jenis pakan pada satwa ruminansia menurut Boonratana (2000) selain untuk memenuhi kebutuhan mineral, merupakan strategi untuk menghindari keracunan yang dapat ditimbulkan oleh senyawa sekunder dalam tumbuhan tersebut. Bekantan pada periode tertentu mengkonsumsi buah yang masih mentah dan biji karena buah yang mentah mengandung lebih sedikit toksin dibanding daun muda (Matsuda 2009). Jenis Pohon Tempat Tidur. Selain sebagai sumber pakan utama, S. caseolaris juga dipilih sebagai pohon tidur utama oleh bekantan. Tidak hanya pohon yang masih hidup, tapi beberapa diantaranya adalah pohon yang sudah mati (dicirikan oleh daun yang meranggas). Satu pohon tidur dapat ditempati oleh 4-17 ekor bekantan. Pemilihan S. caseolaris sebagai pohon tidur diduga karena beberapa alasan, antara lain: jenis ini memiliki diameter lebih besar (≥34 cm), lebih tinggi dan percabangan yang lebih banyak dibanding jenis A. alba, E. agallocha, dan H. tiliaceus. Pohon yang dipilih sebagai pohon tidur bekantan memiliki kisaran tinggi 15-25 m. Profil S. caseolaris sebagai pohon tidur ini sesuai dengan Bernard et al. (2011) yang menyatakan bahwa struktur fisik dari pohon merupakan faktor penting dalam pemilihan pohon tidur oleh bekantan yang menyukai pohon tidur yang tinggi, serta dahan dan percabangan yang besar. Pohon yang besar memungkinkan semua anggota kelompok untuk tidur di satu pohon yang sama, memudahkan komunikasi dan interaksi sosial anggota kelompok (Anderson 1998, Di Bitetti et al. 2000). Keberadaan jenis S. caseolaris pada kisaran jarak 0-250 m dari tepi sungai juga menjadi faktor dipilihnya jenis ini sebagai pohon tidur. Bekantan menempati pohon tidur pada kisaran jarak 10-150 m dari tepi sungai. Di Sabah Malaysia, bekantan menempati pohon tidur dalam kisaran 0–≤46 m dari tepi sungai
20 (paling banyak 5-35 m) yang merupakan jarak terdekat dengan sungai sebagai salah satu strategi anti predator (Bernard et al. 2011). Berbeda dengan hasil penelitian Bernard et al. (2011), di SMKL pohon-pohon yang berada di tepi sungai (0–1 m) justru tidak dipilih sebagai pohon tidur. Hal ini diduga karena bekantan sensitif dengan kehadiran manusia sehingga merasa terganggu dengan frekuensi lalu lintas kelotok yang melewati sungai pada saat kondisi air pasang. Lalu lintas manusia ini akan semakin meningkat, terutama pada musim tanam maupun musim panen sawah masyarakat. Keberadaan jenis pohon besar di tepi sungai dimanfaatkan oleh bekantan untuk menyeberang sungai, terutama sebagai pohon tumpuan untuk melompat. Pemanfaatan jenis S. caseolaris sebagai sumber pakan dan pohon tidur utama memberikan kemudahan bagi bekantan mengakses pakan, baik di saat pagi hari ataupun sebelum beristirahat pada sore harinya. Pemilihan S. caseolaris sebagai sumber pakan, pohon tidur dan tempat beraktivitas oleh bekantan di Kuala Samboja telah dilaporkan oleh Alikodra (1997), akan tetapi hasil penelitian Saidah et al. (2002) di kawasan mangrove Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan menunjukkan hal berbeda, yakni S. caseolaris tidak dimanfaatkan oleh bekantan sebagai sumber pakan dan tempat beraktivitas. Kedekatan dengan sumber pakan menjadi faktor penting dalam pemilihan pohon tidur (Matsuda et al. 2010). Bekantan cenderung tetap mencari makan di habitat tepi sungai (dekat pohon tidur) sepanjang pakan tersedia. Hal ini berkaitan dengan strategi untuk menghemat energi (cost of travelling) jika harus menjelajah untuk mencari makan di tempat lain, serta untuk menghindari predator (Matsuda et al. 2011). Satwa Kompetitor dan Predator. Bekantan berbagi sumber daya dengan hirangan atau lutung (Trachypithecus cristatus Raffles, 1821) yang juga termasuk primata dari sub famili Colobine. Populasi hirangan diperkirakan sebanyak setengah dari populasi bekantan, di tapak habitat yang sama Hirangan juga menggunakan S. caseolaris sebagai pohon tidur. Kedua jenis tersebut bersimpatrik dan memanfaatkan ruang yang sama dengan wilayah jelajah yang tumpang tindih. Kedua jenis diduga memanfaatkan vegetasi pakan yang sama karena terbatasnya jenis vegetasi di SMKL. Satwa pemangsa bekantan seperti buaya muara (Crocodylus porosus Schneider, 1801) tidak ditemukan di habitat bekantan di SMKL, tetapi jenis biawak (Varanus salvator Laurenti, 1768) dijumpai di areal dekat tambak. Selama penelitian tidak dijumpai terjadinya peristiwa pemangsaan (predation) bekantan. Struktur dan Komposisi Vegetasi Dominansi dan Indeks Keanekaragaman. Hasil analisis vegetasi (Tabel 6) menunjukkan bahwa di areal bervegetasi dan disukai bekantan (tapak referensi), A. alba mendominasi pada tingkat pertumbuhan pohon (INP=189.01%), tingkat pancang (INP=179.92%) dan anakan (INP=2.08%), dengan kerapatan masing-masing tingkat pertumbuhan pohon sebanyak 55.33 individu/ha, tingkat pancang sebanyak 18.67 individu/ha dan tingkat anakan sebanyak 83.33 individu/ha. S. caseolaris menempati urutan kedua dengan INP sebesar 96.09% dan kerapatan 16 pohon/ha, namun tidak dijumpai pada tingkatan pancang dan anakan.
21 Tabel 6
Kerapatan dan Indeks Nilai Penting empat jenis mangrove tertinggi pada habitat bekantan di Tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model 2
Jenis Pohon A. alba E. agallocha H. tiliaceus S. caseolaris Jumlah Pancang A. alba E. agallocha H. tiliaceus S. caseolaris Jumlah Semai A. alba E. agallocha H. tiliaceus S. caseolaris Jumlah
Tapak Referensi K INP H’ (ind/ha) (%)
Tapak Model 1 K INP H’ (ind/ha) (%)
Tapak Model 2 K INP H’ (ind/ha) (%)
55.33 0 0.67 16.00 72.00
189.01 0 14.89 96.09
0.20 0 0.04 0.33 0.57
50.62 2.47 0 49.38 102.47
107.28 4.86 0 187.86
0.35 0.09 0 0.35 0.79
4.00 0 0 28.00 32.00
26.02 0 0 273.98
189.00 0 0 0.12 0.38
18.67 13.33 5.33 0 37.33
179.92 87.67 32.41 0
0.35 0.37 0.28 0 1.00
23.53 155.29 0 0 178.82
67.11 232.89 0 0
0.27 0.12 0 0 0.39
5.33 0 0 5.33 10.66
198.92 0 0 101.08
0.35 0 0 0.35 0.70
83.33 116.67 133.33 0 333.33
2.08 1.84 2.94 0
0.03 0.04 0.05 0 0.12
216.05 0 61.73 216.05 493.83
4.18 0 2.18 2.46
0.09 0 0.07 0.04 0.20
0 0 0 66.67 66.67
0 0 0 1.78
0 0 0 0.03 0.03
Areal bervegetasi baik yang kurang disukai bekantan (tapak model 1) pada tingkat pohon didominasi oleh S. caseolaris (INP=187.86%) dan A. Alba (INP=107.28%), namun dilihat dari kerapatannya jumlah individu pohon jenis A. alba (50.62 individu/ha) lebih tinggi dibanding dengan S. caseolaris (49.38 individu/ha). Excoecaria agallocha (INP=232.89%) mendominasi tingkat pancang dengan kerapatan 63.64 individu/ha, disusul oleh A. alba (INP= 67.11%) dengan kerapatan 23.53 individu/ha. S. caseolaris juga tidak dijumpai pada tingkat pancang di tapak model 1 ini. A. alba dan S. caseolaris memiliki kerapatan yang sama di tingkat anakan, yakni sebesar 216.05 individu/ha dengan INP masing-masing 4.18% dan 2.46%. Areal terganggu dekat permukiman (tapak model 2) didominasi oleh S. caseolaris di tingkat pertumbuhan pohon dengan kerapatan 28 individu/ha dan INP 273.98%. A. alba mendominasi pada tingkat pancang dengan kerapatan 5.33 individu/ha dan INP 198.92%. Indeks Nilai Penting (INP) suatu jenis menggambarkan tingkat dominansinya terhadap jenis-jenis lainnya dalam suatu komunitas. Jenis dengan INP tinggi memiliki peluang lebih besar untuk dapat mempertahankan pertumbuhan dan kelestarian jenisnya. Dominansi suatu jenis mengindikasikan bahwa jenis tersebut memanfaatkan lingkungan secara efisien dibanding jenis lain dalam tempat yang sama sehingga keberadaan jenis tersebut lebih stabil dari sisi ketahanan jenis dan pertumbuhannya (Mawazin & Subiakto 2013). Kerapatan jenis pada masing-masing tingkat pertumbuhan dapat digunakan untuk menentukan status regenerasi suatu jenis (Shankar 2001). Berdasarkan klasifikasi Shankar (2001), maka status regenerasi keempat jenis mangrove tertinggi tersaji pada Tabel 7. S. caseolaris mengalami hambatan regenerasi alami, yakni tidak terdapat permudaan semai dan pancang di tapak referensi dan di tapak
22 model 1, namun menunjukkan regenerasi yang cukup di tapak model 2, yakni terdapat permudaan tingkat pancang (5.33 individu/ha) dan tingkat semai (66.67 individu/ha). Fenomena ini diduga karena tapak model 2 jarang dikunjungi kawanan bekantan, sehingga anakan S. caseolaris memiliki kesempatan untuk tumbuh, dan resiko mati terinjak ataupun dimakan oleh kawanan bekantan lebih kecil. Jenis S. caseolaris yang mengalami hambatan sistem permudaan alami juga terjadi di habitat bekantan di Kuala Samboja, Kalimantan Timur (Atmoko et al. 2014), yakni kerapatan tingkat semai (1,500 individu/ha) lebih rendah dari tingkat pancang (3,520 individu/ha). Rendahnya kerapatan tingkat semai tersebut menurut Atmoko et al. (2014) diduga disebabkan oleh rapatnya tumbuhan bawah Acrostichum aureum yang menyebabkan semai tertekan dan banyak mati. Tabel 7 Status regenerasi empat jenis mangrove tertinggi di SMKL berdasarkan kriteria Shankar (2001) Jenis S. caseolaris
Kriteria dan Status Regenerasi Jenis Tapak referensi Tapak Model 1 Tapak Model 2 Po>Pc = S=0 Po>Pc=S=0 S>Po>Pc Tidak ada regenerasi Tidak ada regenerasi Regenerasi Cukup
A. alba
S>Po>Pc Regenerasi Cukup
S>Po>Pc Regenerasi Cukup
E. agallocha
S>Pc>Po=0 Baru beregenerasi
Pc>Po>A=0 Regenerasi Rendah
H. tiliaceus
S>Pc>Po Regenerasi baik
S>Pc>Po=0 Baru beregenerasi
Pc>Po> S=0 Regenerasi Rendah ---
Keterangan : S= semai, Pc = pancang, Po= pohon
A. alba memiliki regenerasi yang cukup di tapak referensi dan tapak model 1 (jumlah semai>pohon), namun mengalami gangguan regenerasi (regenerasi rendah) pada tingkat pancang (jumlah pancang<pohon) di tapak model 2. E. agallocha menunjukkan status baru beregenerasi karena jumlah semai> pancang, namun tidak dijumpai tingkat pertumbuhan pohon di tapak referensi, dan regenerasi yang cukup di tapak model 2 (jumlah pancang>pohon, tidak terdapat semai). Struktur vegetasi normal hanya ditunjukkan oleh H. tiliaceus di tapak referensi (jumlah semai>pancang>pohon). Struktur tegakan normal akan menyerupai bentuk huruf “j terbalik” yakni jumlah individu semai> pancang> pohon. Struktur tegakan berbentuk “j terbalik” akan terbentuk apabila regenerasi alami berjalan baik (Whitmore 1990), sehingga kelestarian populasi suatu jenis akan tercapai (Indriyanto 2006). Tingkat kerapatan pohon berpengaruh pada perilaku satwa arboreal seperti bekantan. Bekantan melompat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lainnya untuk menghindarkan diri dari gangguan satwa predator atau manusia. Bekantan juga melompat untuk mendapatkan pakan (pucuk daun atau bunga) yang diinginkannya pada waktu mencari makan dalam kondisi normal. Ketika kawanan bekantan menuju ke pohon tidur di sore hari, mereka bergerak dari cabang ke cabang pohon sambil memtik dan memakan pucuk-pucuk daun. Kerapatan vegetasi di habitat sangat menentukan keberhasilan melompat. Jarak antar kanopi pohon yang melebihi lima meter, seringkali menyebabkan kegagalan dalam
23 melompat, bekantan tidak sampai mencapai pohon tujuan dan terjatuh ke lantai hutan (Alikodra & Srimulyaningsih (2015). Derris trifoliata mendominansi tumbuhan bawah di semua tapak dengan kerapatan masing-masing pada tapak referensi sebanyak 10,733 individu/ha, tapak model 1 sebanyak 10,277 individu/ha dan tapak model 2 sebanyak 3,233 individu/ha (Tabel 8). D. trifoliata merupakan jenis tumbuhan liana yang membelit, dengan panjang antara 2–15 meter dan tumbuh dengan ketinggian mencapai paha sampai pinggang orang dewasa. Akibatnya regenerasi dari jenisjenis mangrove A. alba, S. caseolaris dan E. agallocha menjadi terhambat, karena anakannya kalah bersaing memperebutkan ruang dan cahaya dengan D. trifoliata. Rendahnya tingkat keanekaragaman jenis vegetasi habitat bekantan di SMKL ditunjukkan oleh nilai indeks keanekaragaman H’<1 baik untuk tingkat pohon, pancang maupun tingkat semai (Tabel 6) dan tumbuhan bawah (Tabel 8). Indeks keanekaragaman menunjukkan tingkat kestabilan komunitas. Semakin tinggi nilai H’, maka komunitas vegetasi hutan tersebut semakin tinggi tingkat kestabilan keanekaragaman jenisnya (Mawazin & Subiakto 2013). Keragaman jenis tumbuhan pada habitat satwa menentukan potensi jenis pakan serta perilaku makan yang akhirnya menentukan populasi satwa tersebut di alam (Bismark et al. 2003). Tabel 8 Kerapatan dan Indeks Nilai Penting tumbuhan bawah pada bekantan di tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model 2 Jenis A. ilicifolius A. aureum C. trifolia C. ciliata C. asiaticum C. stoloniferus D. trifoliata Nymphaea sp. W. biflora Jumlah
habitat
Tapak Referensi K INP H’ (ind/ha) (%) 1,450.00 27.81 0.24 183.33 6.24 0.06 33.33 0.73 0.01 33.33 0.73 0.01 0 0 0 0 0 0
Tapak Model 1 K INP (ind/ha) (%) 1,728.39 31.75 92.59 3.27 0 0 432.09 0.09 61.73 0.07 216.05 0.07
0.32 0.09 0 0.09 0.07 0.07
Tapak Model 2 K INP H’ (ind/ha) (%) 0 0 0 200.00 6.65 0.06 266.67 4.53 0.08 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10,733.33
149.75
0.18
10,277.78
0.28
0.28
13,233.33
187.03
0.04
250.00 483.33
2.34 5.53
0.07 0.12
0 216.05
0 0.07
0 0.07
0 0
0 0
0 0
0.69
130,24.68
0.99
13,700.00
131,66.65
H’
0.18
Kesamaan komunitas antar tapak. Nilai indeks kesamaan komunitas memberikan gambaran tingkat kesamaan struktur dan komposisi jenis dari komunitas yang dibandingkan. Antara kisaran 0-100%, semakin tinggi nilai indeks kesamaan jenis menunjukkan tingkat kemiripan jenis yang semakin tinggi diantara dua komunitas (Odum 1996). Tapak referensi dan tapak model 1 memiliki kesamaan komunitas yang paling dekat. Kesamaan komunitas tingkat pohon sebesar 77.01%, tingkat pancang sebesar 29.62% dan tingkat tumbuhan bawah sebesar 90.42%. Tapak referensi dan tapak model 2 memiliki kesamaan komunitas yang lebih rendah dengan nilai indeks kesamaan tingkat pohon sebesar 38.46%, tingkat pancang sebesar 21.28%, dan tumbuhan bawah sebesar 77.29%. Tapak model 1 dan tapak model 2 memiliki tingkat kesamaan komunitas tingkat pohon sebesar 47.76%, tingkat pancang sebesar 5.29% dan tumbuhan bawah sebesar 78.06%. Tapak
24 referensi dan tapak model 1 memiliki keempat jenis vegetasi utama yakni S. caseolaris, A. alba, E. agallocha dan H. tiliaceus, sedangkan di tapak model 2 hanya terdapat S. caseolaris dan A. alba . Jenis tumbuhan bawah yang terdapat di tapak referensi dan tapak model 1 adalah Acanthus ilicifolius L, Acrostichum aureum, Cryptocoryne ciliata, D. trifoliata dan Widelia biflora, sedangkan jenis yang sama yang terdapat di tapak model 2 hanya tiga jenis yakni A. Aureum, A. Ilicifolius dan D. trifoliata. Berdasarkan faktor komponen fisik habitat yang diukur tidak terdapat perbedaan antara ketiga tapak, yang membedakan adalah bahwa tapak model 2 lebih dekat dengan gangguan (permukiman) dibandingkan dengan tapak referensi dan tapak model 1. Faktor kesamaan komunitas yang lebih dekat antara tapak referensi dan tapak model 1 ini diduga merupakan penyebab populasi bekantan di SMKL lebih banyak terkonsentrasi di tapak tapak model 1 dan sebagian di tapak referensi. Hasil observasi awal (Juli 2013 dan Agustus 2014, bekantan terkonsentrasi di tapak referensi. Akan tetapi saat penelitian berlangsung kawanan bekantan yang semula berada di tapak referensi sebagian besar berpindah ke lokasi tapak model 1 yang sebelumnya diduga kurang disukai oleh bekantan. Adanya gangguan pembukaan areal untuk sawah baru oleh masyarakat di dekat lokasi tidur bekantan di tapak referensi diduga menjadi penyebab perpindahan sebagian kelompok bekantan tersebut. Selain tapak model 1 memiliki kesamaan komunitas yang lebih dekat dengan tapak referensi, jarak yang lebih dekat (menyeberangi sungai ±30m) diduga menjadi pertimbangan bekantan. Bekantan harus menyeberang sungai sebanyak 2 kali, dengan jarak sungai yang lebih lebar (40-50m) untuk mencapai lokasi tapak model 2. Walaupun ada laporan bahwa bekantan pernah terlihat di tapak model 2, selama periode penelitian berlangsung tidak ditemukan keberadaan bekantan di lokasi ini. Populasi Bekantan Kepadatan Populasi dan Seks Rasio Populasi bekantan yang teramati secara langsung selama 6 kali pengamatan dari dua titik konsentrasi berkisar antara 77 – 158 ekor dengan ratarata 104 ekor. Dugaan populasi adalah sebesar 139±43 ekor. Kepadatan populasi 0.81 ekor/ha atau 81 ekor/km2, pada habitat yang mengalami hambatan regenerasi. Hasil penelitian Yeager & Blondal (1992) bahwa kepadatan populasi bekantan pada habitat yang paling rusak berat 9 ekor/km2, habitat rusak berat 25 ekor/km2, habitat rusak sedang 33 ekor/km2, habitat rusak ringan 62 ekor/km2. Berdasarkan perbandingan ini populasi bekantan di SMKL dapat dikatakan termasuk over populasi. Kondisi ini mirip dengan populasi bekantan di Pulau Kaget pada akhir 1990an yang habitatnya terdegradasi karena meranggasnya S. caseolaris. Populasi bekantan di P.Kaget saat itu 288 ekor pada habitat seluas 267 ha (kepadatan 107.86 ekor/km2) dengan kerapatan S. caseolaris 150 tegakan/ha (Bismark 1997, 2009). Hasil analisis vegetasi di SMKL kerapatan S. caseolaris di tapak referensi, tapak model 1 dan tapak model 2 masing-masing hanya 16 tegakan/ha, 49 tegakan/ha dan 28 tegakan/ha. Bekantan yang ada di SMKL terdiri dari sedikitnya 2 kelompok populasi. Satu kelompok di tapak referensi dan 1 kelompok di tapak model 1. Dugaan
25 populasi anggota kelompok bekantan di tapak referensi sebanyak 53±19 individu dan di tapak model 1 sebanyak 86±13 individu, sedangkan di tapak model 2 tidak dijumpai populasi bekantan. Kelompok populasi di tapak referensi dan di tapak model 1 diduga merupakan satu kelompok populasi besar. Dugaan ini berdasarkan pengamatan pada saat observasi tahun 2014 (dan perjumpaan tahun 2013), bahwa populasi bekantan semuanya terkonsentrasi di tapak referensi. Kelompok populasi bekantan di tapak model 1 berasal dari populasi bekantan di tapak referensi yang berpindah ke Tapak model 1. Saat pengamatan berlangsung, teramati 1 kelompok bekantan sedang menyeberang dengan cara berenang dari tapak referensi ke tapak model 1. Kelompok tersebut merupakan kelompok jantan (all male group) yang terdiri dari 26 individu dengan rincian 6 jantan dewasa, 16 jantan setengah dewasa dan 4 remaja. Pemisahan dan penggabungan (fission-fusion) kelompok/sub-kelompok dalam kelompok populasi bekantan lazim terjadi. Menurut Bismark (2009) bahwa pada tahun 1985 kelompok bekantan di Sungai Sangkimah, Taman Nasional Kutai bergabung dalam jumlah lebih dari 80 individu dan 117 individu dalam waktu 3-7 hari. Penggabungan kelompok satu dengan kelompok yang lain berhubungan dengan perilaku anti predator (Yeager 1992), sedangkan pemisahan terkait dengan efisiensi waktu dan pergerakan kelompok dalam memanfaatkan sumber pakan yang ada di ruang pengembaraan (Salter et al. 1985). Nisbah kelamin (sex ratio) bekantan dewasa pada penelitian ini adalah 1:3.09. Nisbah kelamin bekantan di beberapa lokasi menunjukkan variasi diantaranya 1:3.9 di Kuala Samboja Kalimantan Timur (Atmoko et al. 2013), 1:2.83 di Kabupaten Tabalong (Soendjoto 2005), 1:8.4 di Kinabatangan (Boonratana 2000) dan 1:5 di Labuk Bay Sanctuari, Sabah (Agoramoorthy & Hsu 2005). Perbandingan jenis kelamin (sex ratio) merupakan salah satu faktor yang menentukan ukuran populasi efektif (Ne atau EPS/Effective Population Size) (Indrawan et al. 2007). Istilah EFS pertama kali diperkenalkan oleh Sewall Wright pada tahun 1931 dan 1938 sebagai jumlah individu yang berkembang biak dalam suatu populasi ideal yang akan menunjukkan jumlah sebaran frekuensi alel yang sama di bawah tekanan hanyutan genetik (genetic drift) acak. Ukuran populasi efektif didefinisikan sebagai bagian dari populasi yang berhasil berkembang biak (Indrawan et al. 2007). Sex ratio bekantan dewasa pada penelitian ini belum bisa digunakan untuk menentukan EPS-nya, karena hanya didasarkan pada jumlah individu jantan dan betina dewasa secara umum saja. Penentuan EPS harus berdasarkan seks rasio optimal, yakni perbandingan jenis kelamin jantan produktif terhadap semua betina produktif yang berhasil dikawini (menghasilkan keturunan). Meskipun jumlah jantan reproduktif dapat diduga dari jumlah jantan residen (alpha male) pada harem (one male group), namun jumlah betina reproduktif di lapangan tidak bisa diketahui kecuali melalui pengamatan intensif dalam periode waktu yang lama. Berbeda dengan jantan yang akan meninggalkan kelompoknya saat sudah tidak reproduktif dan digantikan oleh jantan residen yang baru, pada betina belum ada indikator yang dapat dijadikan acuan.
26 Struktur Kelompok Kelompok bekantan yang teridentifikasi di SMKL terdiri dari sub kelompok All Males Group (AMG), sub kelompok One Male Group (OMG), dan sub kelompok campuran (Multi Male), serta adanya kemungkinan sistem berpindah antar anggota kelompok (fission-fusion) (Tabel 9). Kriteria penentuan kelompok AMG dan OMG mengacu pada penelitian Yeager (1990). Menurut Bismark (2009), sistem sosial bekantan di hutan mangrove cenderung mengarah kepada sistem multi-male. Tabel 9 Rekapitulasi struktur kelompok dan ukuran kelompok bekantan
Tapak referensi (bervegetasi disukai bekantan)
1 AMG 2 OMG 1 Campuran/ multi-male
Kisaran Ukuran kelompok (Individu) 26 25 – 26 28
Tapak model 1 (bevegetasi tidak disukai bekantan)
1/2 AMG 5/6 OMG 7 Campuran/ multi-male
5-6 7 - 35 9 - 59
Tapak model 2 (bervegetasi, dekat gangguan)
Tidak dijumpai populasi bekantan
Lokasi
Jumlah dan tipe kelompok
Dugaan Populasi (individu) 53 ±19
86 ±13
Gambar 4 Salah satu kelompok jantan (AMG) di SMKL
Sedikitnya terdapat dua sub kelompok AMG, yang pertama terdiri dari 26 ekor (6 jantan dewasa, 16 jantan setengah dewasa dan 4 remaja) yang teramati saat sedang menyeberang (melompat dan berenang dari tapak referensi ke tapak model 1). Kelompok yang lain terdiri dari 6 ekor jantan dewasa, dan pada ulangan yang lain teramati kelompok AMG yang anggotanya 2 individu jantan dewasa dan 3 individu setengah dewasa. Kelompok ini diduga merupakan sub kelompok yang sama dengan sub kelompok yang teramati berjumlah 6 ekor. Kelompok AMG dibentuk oleh jantan yang belum kawin. Bekantan jantan remaja yang lebih tua
27 akan meninggalkan kelompok natalnya (berdispersal) dan bergabung dengan kelompok jantan untuk menghindari inbreeding dan kompetisi intrasexual (Boonratana 1999). Bennet & Sebastian (1988) menyatakan bahwa komposisi AMG selalu berubah dan tidak stabil, karena mereka hanya beragregasi apabila terdapat kelompok non harem di sekitar mereka. Sub kelompok OMG atau harem adalah kelompok yang terdiri dari seekor jantan dewasa, beberapa betina dewasa, betina setengah dewasa, remaja dan anak/bayi. Hasil pengamatan terdapat 7 sampai 8 kelompok OMG, yakni dengan jumlah anggota kelompok bervariasi mulai dari 7 sampai 35 individu dalam satu kelompok. Anggota kelompok OMG biasanya tidur di pohon yang sama, atau menggunakan lebih dari 1 pohon tidur yang jarak antar pohon tidak lebih dari 15 meter. Yeager (1990) menyimpulkan bahwa bekantan cenderung hidup dalam kelompok OMG yang stabil. Namun perpindahan individu antar kelompok biasa terjadi pada kelompok bekantan (Bennet & Sebastian 1988, Murai 2004, Murai et al. 2007). Betina yang menginjak dewasa dilaporkan sering bergabung dengan kelompok AMG selama beberapa waktu untuk kawin dengan jantan pada kelompok tersebut tanpa menimbulkan konflik di antara jantan yang ada (Murai 2004). Perpindahan betina remaja atau betina dewasa yang membawa serta anaknya antar kelompok one male juga biasa terjadi walaupun kadang gagal karena dihalangi oleh jantan dewasa dari kelompok asalnya (Murai et al. 2007). Murai (2004) menemukan fenomena lain yakni betina dewasa yang berpindah kelompok meninggalkan anaknya yang jantan pada kelompok AMG. Alasan perpindahan betina terutama untuk menghindari inbreeding karena betina mengalami kematangan seksual sekitar 5 tahun, sedangkan posisi jantan pada kelompok OMG lebih lama yakni sekitar 8 tahun (Murai 2004). Alasan lainnya adalah untuk menghindari infanticide dan meningkatkan status dominansi hirarki dalam kelompok (Boonratana 1999).
Gambar 5 Salah satu kelompok OMG di SMKL. O= jantan alpha male
28 Sub kelompok multi male adalah sub kelompok campuran, terdapat lebih dari satu jantan dewasa dalam kelompok. Menurut Yeager (1990), struktur kelompok multi-male bekantan telah dilaporkan sebelumnya oleh Kawabe & Mano (1972), Kern (1964), Macdonald (1982), Salter (1985). Jumlah jantan dewasa dalam sub kelompok multi-male bervariasi antara 2 sampai 5 individu, dengan jumlah betina dewasa antara 4 sampai 19 individu. Jumlah anggota sub kelompok campuran ini mulai dari 9 individu hingga 59 individu. Besarnya jumlah anggota kelompok yang dapat mencapai 45 dan 59 individu, dimungkinkan akibat terjadinya penggabungan antara 2 atau lebih sub kelompok. Proses fision-fusion lumrah terjadi karena bekantan bukanlah jenis satwa yang memiliki teritorial (Boonratana 2000, Matsuda et al. 2008) yang harus dipertahankan. Tumpang tindih wilayah jelajah antar kelompok mencapai 95.9% (Yeager 1989). Bekantan bahkan sering berbagi pohon tidur (Boonratana 2000, Matsuda et al. 2010), di Tanjung Pedada tumpang tindih wilayah jelajah bukan hanya antar sesama kelompok bekantan tetapi juga antara kelompok bekantan dengan kelompok hirangan (Trachypithecus cristatus). Struktur Populasi Jumlah individu bekantan menurut kelas umur disajikan pada Tabel 10. Angka jumlah individu masing-masing kelas umur didapat dari hasil pembagian jumlah seluruh individu pada kelas umur masing-masing dibagi dengan selang kelas umurnya, sehingga didapatkan angka perbandingan untuk struktur populasi yakni jantan dewasa: betina dewasa: remaja: anak = 1: 4: 6: 4. Penentuan umur sebenarnya dan rentang dari tiap kelas umur bekantan sulit dilakukan di lapangan, oleh karena itu penentuan kelas umur dan selang kelas umur dalam penelitian ini menggunakan pendekatan hasil-hasil penelitian terdahulu. Tabel 10 Jumlah populasi bekantan menurut kelas umur Kelas Umur Anakan Remaja Dewasa
Selang Kelas Umur (tahun) 0 -≤ 2 - 5 5 - 20
Jumlah individu menurut kelas umur Jantan Betina 4 (jantan+betina) 6 (jantan+betina) 1 4
Total 4 6 5
Struktur populasi menunjukkan bahwa jumlah populasi yang tinggi terkonsentrasi pada kelompok usia remaja-dewasa (Gambar 6). Rendahnya jumlah populasi kelas umur anak belum bisa diduga sebagai indikasi adanya penurunan pada natalitas, karena ada banyak faktor yang mempengaruhi reproduksi bekantan. Sumberdaya yang tersedia merupakan faktor yang menentukan reproduksi betina pada spesies yang menganut sistem polygyni (Sinclair et al. 2006), seperti bekantan. Menurut Alcock (1989), keberhasilan reproduksi betina dipengaruhi oleh kandungan nutrisi yang tersedia. Kandungan nutrisi yang terdapat dalam sumber pakan menjadi pembatas utama reproduksi betina. Habitat yang kondusif untuk memenuhi kebutuhan pakan akan menjadi “natal area” yang kondusif pula, sebaliknya habitat yang terganggu akan menyebabkan regenerasi bekantan juga terganggu. Oleh karena itu diperlukan pemantauan berkala yang menunjukkan data series apakah jumlah kelahiran terus menurun dari waktu ke waktu, atau
29 apakah ada fenomena lainnya, mengingat kondisi habitat bekantan di SMKL saat ini mengalami gangguan regenerasi alami dan semakin dekat dengan gangguan manusia. Struktur umur bekantan tersebut belum menggambarkan dinamika populasi yang sebenarnya, karena tidak dapat menampilkan kelas umur tua. Kriteria Yeager (1990) yang digunakan sebagai acuan pada saat survey hanya dapat mengidentifikasi/ mengklasifikasi individu bekantan apakah termasuk ke dalam kelas umur bayi/anak, remaja, setengah dewasa, dan dewasa. Penaksiran umur bekantan di lapangan sangat sulit, kecuali dilakukan di lingkungan terkontrol seperti penangkaran yang ada di lembaga konservasi. Kriteria kelas umur yang diacu menurut Bennet & Sebastian (1988) dan Yeager (1990) lebih didasarkan pada ciri morfologi dan perilaku. Sampai saat ini belum ada acuan praktis yang dapat digunakan untuk menaksir atau mengidentifikasi mana bekantan yang masih produktif dan yang sudah tidak produktif (kelas umur tua) di alam. Selang umur sebenarnya dari masing-masing kelas umur tidak diketahui secara pasti. Struktur populasi ini belum menggambarkan perbandingan jantan dan betina pada kelas umur remaja dan anak, karena di lapangan sulit menentukan jenis kelamin bekantan remaja dan anak karena organ yang mencirikan sex dimorphisme belum tumbuh sempurna. 7
6
Jumlah undividu
6 5 4
4 (betina)
4
3 2 1
1 (Jantan)
0 Anak
Remaja
Dewasa
Kelas umur
Gambar 6 Struktur populasi bekantan menurut kelas umur
Persepsi masyarakat terhadap Konservasi Bekantan di SM Kuala Lupak Karakteristik masyarakat aktor konversi lahan Masyarakat responden dalam penelitian adalah masyarakat yang terlibat langsung dalam aktivitas konversi lahan di SM Kuala Lupak. Karakteristik masyarakat meliputi asal penduduk, status kepemilikan lahan, tingkat pendidikan, umur, lamanya menggarap lahan di SMKL, dan domisili (di dalam atau di luar kawasan). Responden yang diwawancarai sebanyak 33 orang, yang terdiri dari 31 orang (94%) laki-laki dan 2 orang (6%) perempuan. Sebanyak 78.7 % atau 26 orang merupakan warga pendatang dari Sulawesi (suku Bugis), 15.15% (5 orang) adalah penduduk asli (suku Banjar) dan sisanya sebanyak 6.06% (2 orang) berasal dari Lombok dan warga keturunan perkawinan suku Banjar dan Bugis.
30 Lebih dari 80% masyarakat petambak di SMKL adalah golongan usia produktif yang berusia antara 20 sampai 50 tahun, yakni 36.36% berumur antara 20-30 tahun, 39.39% berusia antara 31-40 tahun, serta 9.09% berusia antara 41-50 tahun, hanya sekitar 15.15% yang berusia di atas 50 tahun. Sebagian dari mereka memiliki latar belakang pendidikan yang rendah yakni 57.58% tamatan SD, 21.21% tamatan SMP serta 15.15% diantaranya bahkan tidak menamatkan sekolah dasar. Para petambak di SMKL lebih dari 54% sudah menggarap tambak >10 tahun. Mereka ini termasuk dalam 2 kelompok pembuka lahan yang pertama di dalam kawasan SMKL. Sisanya, sekitar 21.21% menggarap tambak antara 2 - 5 tahun, sebagiannya adalah mereka yang membuka lahan dengan jalan membeli dari oknum atau mereka yang membeli lahan dari pemilik terdahulu. Para petambak sebagian (57.58%) menetap di luar kawasan, di Desa Aluh-aluh dan Desa Tabunganen, sedangkan sebagian lagi (42.42%) menetap di pondok yang dibangun di areal tambak (Tabel 11). Tabel 11 Karakteristik responden Kriteria pengelompokan berdasarkan karakteristik Jenis garapan sawah tambak sawah + tambak Jumlah Status kepemilikan lahan milik sendiri milik orang lain (penggarap) milik bersama (milik keluarga) Jumlah Umur 20 - 30 tahun 31- 40 tahun 41 - 50 tahun > 50 tahun Jumlah Tingkat pendidikan tidak tamat SD tamat SD/sederajat tamat SMP/sederajat tamat SMA/sederajat Jumlah Lamanya menggarap lahan di SMKL ≤ tahun 2 < x ≤ 5 tahun 5 < x ≤ 1 tahun >10 tahun Jumlah Domisili Di dalam kawasan Di luar kawasan Jumlah
Jumlah
Persentase (%)
2 29 2 33
6.06 87.88 6.06 100.00
18 14 1 33
54.55 42.42 3.03 100.00
12 13 3 5 33
36.36 39.39 9.09 15.15 100.00
5 19 7 2 33
15.15 57.58 21.21 6.06 100.00
7 7 1 18 33
21.21 21.21 3.03 54.55 100.00
14 19 33
42.42 57.58 100.00
31 Proses Pemilikan Tambak Kedatangan masyarakat dari Sulawesi di kawasan SMKL dimulai sejak tahun 1999 dan masih berlangsung hingga sekarang, meski tidak lagi dalam jumlah yang besar. Awal tahun 2000, para pendatang membuka hutan dan membangun tambak atas ijin kepala padang. Keberhasilan usaha tambak pada periode awal menarik minat pendatang baru dan penduduk asli untuk berusaha di bidang pertambakan. Seiring waktu, kepemilikan lahan sebagiannya berpindah tangan karena diperjualbelikan dari pemilik yang lama kepada pendatang baru ataupun penduduk lokal. Proses pengurusan ijin dan pembukaan hutan mangrove dilakukan secara berkelompok. Pembukaan lahan untuk tambak ada yang dikerjakan secara manual dan ada yang dengan mekanis dengan menggunakan alat berat. Upaya pemilik tambak untuk melegalformalkan status lahan ditempuh dengan cara mengurus Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SP2FBT) yang diterbitkan oleh kepala desa (Gambar 7). Saat ini sebanyak 54.55% petambak menggarap lahan milik sendiri baik hasil membuka hutan atau membeli dari pemilik terdahulu, dan sebanyak 42.42% merupakan petambak yang bekerja menggarap lahan milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang diterapkan adalah pemilik lahan (bos) memberikan modal berupa bibit dan biaya operasional, dan petambak penggarap bekerja di tambak dan menjaga tambak. Prosentase bagi hasil keuntungan adalah 2:1, yaitu 2 bagian untuk pemilik lahan dan 1 bagian untuk penggarap. Komoditi utama yang diusahakan adalah ikan bandeng, dengan hasil ikutan udang alam. Selain itu sebagian masyarakat petambak juga membudidayakan nila. .
Gambar 7 Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPPFBT)
32 Persepsi Masyarakat Hasil identifikasi terhadap persepsi masyarakat yang meliputi tingkat pengetahuan mengenai bekantan dan status hukum perlindungannya, status kawasan SMKL, serta sikap penerimaan dan dukungan terhadap kegiatan restorasi di SMKL disajikan pada Tabel 12. Tingkat persepsi pengetahuan masyarakat yang meliputi pengetahuan tentang keberadaan dan status perlindungan bekantan cukup baik yakni di atas 50%, demikian juga dengan pengetahuan tentang status kawasan SMKL. Namun demikian sikap penerimaan dan dukungan masyarakat terhadap program restorasi masih rendah (<50%). Persepsi positif selanjutnya diuji statistik untuk melihat faktor-faktor mana yang memberikan perbedaan tingkat persepsi, baik pengetahuan maupun sikap. Tabel 12 Persepsi masyarakat tentang konservasi bekantan dan SM Kuala Lupak Aspek Persepsi Pengetahuan masyarakat : Pengetahuan tentang keberadaan bekantan
Tingkat Persepsi
Total
Tahu 28 (84.85%)
Ragu-ragu 0
Tidak tahu 5 (15.15%)
33 (100%)
Pengetahuan tentang status perlindungan bekantan
19 (57.58%)
0
14 (42.42%)
33 (100%)
Pengetahuan tentang status kawasan SMKL
20 (60.61)
4 (12.12)
9 (27.27)
33 (100%)
Setuju 13 (39.39%)
Ragu-ragu 12 (36.36%)
Tidak setuju 8 (24.24%)
33 (100%)
Mendukung
Ragu-ragu
15 (45.45%)
13 (39.39%)
Tidak mendukung 5 (15.15%)
33 (100%)
Sikap penerimaan : Penerimaan terhadap kegiatan rehabilitasi SMKL Sikap dukungan : Kesediaan mendukung/ dilibatkan dalam program restorasi
Pengetahuan masyarakat tentang keberadaan bekantan. Sebanyak 28 dari 33 atau 84.85% masyarakat yang beraktivitas di dalam kawasan SMKL mengetahui keberadaan bekantan. Pengetahuan tersebut umumnya diikuti dengan pengetahuan tentang jenis tumbuhan yang dimakan dan jenis pohon yang digunakan sebagai pohon tidur. Responden yang menyatakan tidak mengetahui tentang bekantan adalah mereka yang merupakan pendatang baru, yang keberadaannya di kawasan kurang dari 1 tahun. Mereka ini adalah pendatang dari Sulawesi yang bekerja sebagai petambak penggarap. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat pengetahuan responden terhadap bekantan berdasarkan status kepemilikan lahan (X2 hit =12.72 > X2tabel (0.05) = 9.488, tingkat umur (X2 hit =12.69 > X2tabel(0.05) = 12.59 dan domisili di dalam atau di luar kawasan (X2 hit =7.95 > X2 tabel(0.05) = 5.991). Faktor tingkat pendidikan, asal responden dan lamanya menggarap lahan tidak menunjukkan adanya perbedaan tingkat pengetahuan tentang bekantan. Berdasarkan status kepemilikan lahan, tingkat umur dan domisili responden (di dalam/di luar kawasan) terdapat perbedaan pengetahuan responden. Hal ini karena sebagian penggarap (bukan pemilik tambak) adalah para pendatang baru yang belum lama menetap di SMKL, berusia antara 20-30 tahun, dan tinggal di
33 pondok mengurus dan menjaga tambak. Mereka ini belum punya kesempatan banyak mengenali wilayah sekitarnya. Proporsi masyarakat responden yang mengetahui tentang keberadaan bekantan berdasarkan karakteristik responden tersaji pada Gambar 8. Milik bersama 0%
Milik orang lain 27%
Milik sendiri 73%
Tamat SMP 27%
Banjar 13%
> 10 tahun 67%
Bugis 80%
41-50 tahun 13%
31-40 tahun 34%
Gambar 8
≤ 2 tahun 13% antara 2 - 5 th 20% antara 5 - 10 th 0%
lamanya menggarap lahan
asal penduduk > 50 tahun 13%
Tamat SD 46%
tingkat pendidikan
kepemilikan lahan Lainnya 7%
Tidak tamat SD 20%
Tamat SMA 7%
di dalam kawasan 27%
20-30 tahun 40%
umur
di luar kawasan 73%
domisili
Distribusi responden berdasarkan pengetahuan masyarakat tentang keberadaan bekantan
Pengetahuan masyarakat tentang status perlindungan bekantan. Masyarakat responden yang mengetahui bahwa bekantan termasuk satwa dilindungi sebanyak 57.58% (19 dari 33), sisanya 42.42% belum mengetahui status perlindungan bekantan (Gambar 9). Perbedaan tingkat pengetahuan masyarakat tentang status perlindungan bekantan dipengaruhi oleh status kepemilikan lahan (X2 hit=16.46 > X2tabel (0.05)= 9.488) dan lamanya menggarap lahan (X2 hit= 13.08 > X2tabel(0.05) = 12.592). Perbedaan pengetahuan ini karena
34 masyarakat yang statusnya pemilik lahan sebagian besar telah menggarap lahan lebih dari 5 tahun. Mereka ini umumnya sudah pernah mendapatkan informasi tentang status perlindungan bekantan baik secara langsung melalui petugas atau kegiatan sosialisasi yang diselenggarakan oleh BKSDA Kalimantan Selatan, maupun secara tidak langsung dari teman yang pernah mengikuti sosialisasi. Selain itu para pemilik tambak ini kebanyakan berdomisili di desa di luar kawasan SMKL sehingga lebih banyak mndapatkan informasi dari luar. Tamat SMA 11%
Milik bersama 0%
milik orang lain 11%
Milik sendiri 89%
Tamat SMP 32%
Tamat SMP 32%
≤2 tahun 16%
tidak tamat SD 10%
> 10 tahun 74%
tamat SD 47%
tingkat pendidikan > 50 tahun 21%
20-30 tahun 32%
umur
antara 2-5 tahun 5%
antara 5 -10 tahun 5%
lamanya menggarap lahan
41-50 tahun 5%
Gambar 9
Tamat SD 47%
tingkat pendidikan
kepemilikan lahan Tamat SMA 11%
Tidak tamat SD 10%
31-40 tahun 42%
di dalam kawasan 26% di luar kawasan 74%
domisili
Distribusi responden berdasarkan pengetahuan tentang status perlindungan bekantan
masyarakat
35 Pengetahuan tentang status kawasan SM Kuala Lupak Pengetahuan terhadap status kawasan SM Kuala Lupak meliputi (1) apakah responden mengetahui status kawasan SMKL sebagai kawasan konservasi dan (2) apakah responden mengetahui tentang ketentuan hukum tentang aktivitas menggarap lahan di kawasan konservasi SMKL. Sebanyak 60.61% responden menyatakan tahu, 12.12% responden menyatakan ragu-ragu dan 27.27% menyatakan tidak tahu tentang status kawasan SMKL sebagai kawasan konservasi. Responden yang menyatakan tahu, mengaku pada awalnya saat membuka lahan ataupun membeli lahan dari pemilik terdahulu mereka tidak mengetahui mengenai status kawasan. Mereka mengetahui setelah ada sosialisasi kegiatan penanaman di kawasan ini. Responden yang mengaku tidak tahu kebanyakan adalah pekerja tambak yang masih terbilang pendatang baru. Responden yang menjawab ragu-ragu beralasan bahwa mereka ragu bahwa lahan tambak mereka masuk dalam kawasan karena tidak ada penanda batas (pal batas) yang jelas di lapangan. Selain itu nomenklatur Kuala Lupak menurut mereka adalah wilayah Sungai Kuala Lupak yang terletak di Desa Kuala Lupak (terletak di sebelah barat kawasan), sedangkan posisi tambak mereka tidak berada di Sungai Kuala Lupak. Sebagaimana diuraikan pada gambaran umum kawasan bahwa ada 9 sembilan sungai yang mengaliri kawasan SMKL. Ketidaktahuan dan keraguan masyarakat mengenai status kawasan SMKL sebagai kawasan konservasi dimulai sejak proses pemilikan lahan garapan. Menurut pemilik tambak, mereka mendapatkan hak untuk memiliki dan menggarap lahan atas persetujuan oknum pembakal (kepala desa). Pengurusan ijin ke kepala desa dilakukan secara kolektif oleh ketua kelompok. Setelah mengantongi ijin berupa surat keterangan dari kepala desa dengan membayar sejumlah uang tertentu, mereka boleh membuka hutan dan menggarap lahan untuk tambak. Selanjutnya atas dasar surat keterangan tersebut dan modal yang sudah dikeluarkan untuk menggarap tambak/sawah masyarakat merasa berhak untuk mempertahankan haknya. Kepemilikan lahan tambak berpindah tangan dari pemilik lama ke pemilik baru dengan cara jual beli. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat pengetahuan responden mengenai status SMKL sebagai kawasan konservasi berdasarkan status kepemilikan lahan (X2 hit= 19.70 > X2tabel(0.05)= 9.488), asal responden (X2 hit= 16.10 > X2tabel(0.05)= 9.488, lamanya menggarap lahan (X2 hit = 23.39 > X2tabel (0.05) = 12.592) dan domisili responden (X2 hit = 12.64 > X2tabel (0.05)= 5.991). Faktor tingkat umur dan tingkat pendidikan tidak menunjukkan perbedaan tingkat pengetahuan. Tingkat pengetahuan mengenai status SMKL ini terkait dengan informasi yang didapatkan oleh masyarakat. Para pemilik tambak sebagian besar (80%) merupakan pendatang generasi awal yang menggarap lahan lebih dari 10 tahun (65%) dan saat ini sebagiannya (70%) berdomisili di luar kawasan. Para pemilik tambak ini sudah hidup membaur dan bersosialisasi dengan penduduk setempat sehingga mengetahui informasi yang beredar di masyarakat. Selain itu sebagian di antaranya ada yang sudah pernah mendapatkan sosialisasi dari petugas BKSDA Kalimantan Selatan. Distribusi responden berdasarkan pengetahuan masyarakat responden tentang status kawasan SM Kuala Lupak sebagai kawasan konservasi disajikan pada Gambar 10.
36
Milik orang lain 20%
Milik bersama 0%
Tamat SMP 20%
Tamat SMA 5%
Tidak tamat SD 15%
Milik sendiri 80%
tamat SD 60%
tingkat pendidikan
kepemilikan lahan
≤2 tahun 20%
Banjar 10%
Lainnya 10%
> 10 tahun 65%
Bugis 80%
asal penduduk > 50 tahun 25%
antara 2 - 5 th 10%
antara 5 - 10 th 5%
lamanya menggarap lahan
di dalam kawasan 30%
20-30 tahun 30%
41-50 tahun 10%
31-40 tahun 35%
umur
di luar kawasan 70%
domisili
Gambar 10 Distribusi responden berdasarkan pengetahuan masyarakat tentang status kawasan SMKL sebagai kawasan konservasi Sikap penerimaan masyarakat terhadap program restorasi Sikap responden terhadap program restorasi yang dimaksud adalah kegiatan penanaman mangrove di SMKL melalui kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang telah dilaksanakan oleh Balai KSDA Kalsel pada tahun 2012 dan 2013. Penanaman mangrove tersebut sebagian dilaksanakan di lokasi tambak
37 yang ada di dalam kawasan. Distribusi sikap penerimaan masyarakat tersaji pada Gambar 11.
Milik bersama 0%
Milik orang lain 23%
Tamat SMA 8%
Tidak tamat SD 23%
Tamat SMP 23%
Milik sendiri 77%
tingkat pendidikan
kepemilikan lahan
Lainnya 8%
≤ 2 tahun 16%
Banjar 8%
antara 2 - 5 th 15% > 10 tahun 69%
Bugis 84%
> 50 tahun 15%
antara 5 - 10 th 0%
lamanya menggarap lahan
asal penduduk
20-30 tahun 39%
41-50 tahun 15%
31-40 tahun 31%
Tamat SD 46%
di dalam kawasan 31% di luar kawasan 69%
umur
domisili
Gambar 11 Distribusi responden berdasarkan sikap penerimaan masyarakat terhadap program restorasi Berdasarkan hasil uji statistik, faktor yang memberikan pengaruh terhadap perbedaan sikap responden terhadap program restorasi adalah faktor domisili atau keberadaan responden yang menetap di dalam kawasan atau di luar kawasan
38 (X2 hit= 9.22 > X2tabel (0.05)= 5.991). Status kepemilikan lahan justru tidak menunjukkan perbedaan sikap. Hal ini diduga karena responden yang diwawancara sebagian (42.42%) adalah para pekerja tambak (penggarap) sehingga tidak mewakili pendapat sebagian pemilik tambak itu sendiri. Kesediaan mendukung/ terlibat dalam program restorasi Responden yang menyatakan kesediaannya mendukung program restorasi SM Kuala Lupak adalah 45.45% dari total responden (Gambar 12). Masyarakat bersedia mendukung program penanaman dengan catatan asalkan mereka tetap diijinkan menggarap tambak dan tidak diusir dari lahannya. Milik orang lain 27%
Milik bersama 0%
Tidak tamat SD 20%
Tamat SMA 7% Tamat SMP 27% Milik sendiri 73%
Tamat SD 46%
kepemilikan lahan
tingkat pendidikan
Banjar 13%
Lainnya 7%
≤ 2 tahun 13% > 10 tahun 67%
antara 2 - 5 th 20%
Bugis 80%
antara 5 - 10 th 0%
lamanya menggarap lahan
asal penduduk > 50 tahun 13% 41-50 tahun 13%
31-40 tahun 34%
di dalam kawasan 27%
20-30 tahun 40%
di luar kawasan 73%
umur
Gambar 12 Distribusi responden berdasarkan mendukung program restorasi
domisili kesediaan masyarakat
39 Sebanyak 39.40% menyatakan masih ragu-ragu. Kelompok yang menyatakan ragu-ragu sebagian besar adalah mereka yang menggarap lahan milik orang lain, karena keputusan yang sebenarnya ada ditangan pemilik tambak. Sebagian responden menyatakan akan mengikuti keputusan kelompoknya. Kelompok responden menyatakan tidak bersedia memberikan dukungan sebanyak 15.15%. Alasannya karena sebelumnya saat membuka lahan/ membeli lahan tidak tahu mengenai status kawasan. Bertambak adalah mata pencaharian utama dan mereka sudah mengeluarkan modal yang besar untuk membuka tambak di Kuala Lupak. Sikap kesediaan mendukung program restorasi ini ternyata tidak dipengaruhi oleh faktor status kepemilikan lahan, tingkat umur, pendidikan, asal responden maupun lamanya mereka menggarap lahan. Faktor yang mempengaruhi perbedaan sikap adalah domisili responden (X2 hit= 12.04 > X2tabel (0.05)= 5.991). Hal ini diduga bahwa interaksi yang lebih intensif dengan masyarakat diluar kawasan memberikan pengaruh terhadap sikap melalui penerimaan informasi yang mereka terima. Dugaan lainnya adalah karena mereka menyadari bahwa mereka tidak memiliki kekuatan legalitas kepemilikan lahan. Berdasarkan wawancara lebih dalam, para petambak bersedia mendukung penanaman mangrove di tepi pantai. Untuk penanaman di lahan tambak, mereka akan mendukung dengan syarat : mereka boleh tetap diperbolehkan menggarap tambaknya dan jika tanaman mangrove nantinya sudah besar agar diperbolehkan untuk dilakukan penjarangan. Selain itu mereka minta agar dilibatkan dalam penanaman, terutama penanaman yang dialokasikan di lahan mereka. Para petambak juga bersedia dilibatkan dalam pembentukkan kelompok kelembagaan yang mendukung program pelestarian mangrove jika ada peluang untuk meningkatkan pendapatan. Persepsi Stakeholder dalam Restorasi Habitat Bekantan di SM Kuala Lupak Kegiatan restorasi habitat bekantan merupakan bagian dari upaya menyelesaikan permasalahan degradasi kawasan hutan SMKL yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Balai KSDA Kalimantan Selatan sebagai pemangku kawasan tidak mampu menyelesaikan sendiri masalah fragmentasi dan degradasi ekosistem SMKL karena: (1) penyebab utamanya adalah konversi hutan untuk aktivitas budidaya masyarakat, (2) menyangkut persoalan hajat hidup masyarakat, (3) memerlukan penyelesaian lintas sektor untuk menyelesaikan permasalahan “masyarakat”. Oleh karena itu BKSDA Kalsel membutuhkan mitra untuk menjalankan strategi penyelesaian masalah. Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi dengan perwakilan instansi/lembaga yang dianggap memiliki kewenangan untuk menjalankan kebijakan dan tupoksi yang dengan terkait dan permasalahan SM Kuala Lupak dan keberadaan masyarakat pelaku konversi lahan di SMKL, dapat ditarik kesimpulan pendapat para pemangku kepentingan sebagai berikut: 1) Koordinasi penanganan perambahan SM Kuala Lupak yang bersinergi melibatkan lintas stakeholder terkait masih berada di tingkat “forum” seperti rapat koordinasi penanganan perambahan SMKL, belum pada tingkat pelaksanaan aksi di lapangan 2) Program pelestarian bekantan belum menjadi “prioritas” dan belum disinergikan dengan program instansi di tingkat Kabupaten Barito Kuala
40 (Bappeda, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertanian, Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan. 3) Komunikasi dan kerjasama yang dilakukan oleh BKSDA dengan instansi kabupaten terkait penanganan perambahan SMKL masih minim. Selain koordinasi dan kerjasama dengan pihak TNI (Kodim-Korem) terkait pelaksanaan kegiatan RHL di Kuala Lupak, dengan instansi lain belum ada. Misalnya terkait keberadaan aktivitas pertanian masyarakat dan pertambakan masyarakat di dalam kawasan belum pernah dikomunikasikan antara BKSDA dengan Dinas Pertanian dan Dinas Kelautan dan Perikanan.
Strategi Restorasi Habitat Bekantan Sasaran strategi restorasi habitat bekantan di SMKL meliputi areal habitat referensi dan di habitat terdegradasi di luar habitat referensi. Alternatif-alternatif kegiatan yang dirumuskan sebagai strategi restorasi disusun berdasarkan hasil identifikasi kondisi eksisting yang meliputi permasalahan dan peluang yang bisa mendukung keberhasilan restorasi berdasarkan aspek habitat dan ruang, populasi bekantan dan sosial. Aspek Habitat Habitat bekantan di SMKL terdiri atas: 1) habitat referensi, yang saat ini masih digunakan oleh bekantan seluas ±195 ha, 2) habitat terdegradasi berupa areal tambak (±1,550.64 ha) serta areal persawahan masyarakat (±443.10 ha) dan areal bervegetasi (±726.30 ha) yang tidak tidak digunakan bekantan ataupun lutung karena terhalang oleh tambak. Berdasarkan aspek habitat strategi restorasi di bedakan menjadi strategi di habitat referensi dan strategi di habitat terdegradasi. Strategi Restorasi di Habitat Referensi Pengendalian tumbuhan bawah Derris trifoliata. Tumbuhan bawah D. trifoliata mendominasi dan bersifat invasif di habitat referensi bekantan di Tanjung Pedada Tua. Kerapatan D. trifoliata mencapai lebih dari 10,000 individu/ha dan tinggi hampir sepinggang orang dewasa, menghalangi biji jenisjenis bakau untuk mencapai permukaan tanah sehingga mati sebelum sempat tumbuh. Biji yang tumbuh menjadi semai kemudian anakan, terganggu pertumbuhannya karena kekurangan cahaya, posisi tumbuh yang kurang baik, dan harus bersaing mendapatkan hara. Akibatnya regenerasi alami S. caseolaris, E. agallocha dan yang lainnya menjadi terhambat. Secara ekologi mangrove, dominasi mangrove ikutan seperti D. trifoliata merupakan indikator kerusakan mangrove (Ardli 2010). Oleh karena itu perlu langkah-langkah nyata untuk mengendalikan D. trifoliata dalam rangka pembinaan habitat bekantan. Pengendalian D. trifoliata harus didahului dengan kajian ekologi jenis ini seperti bagaimana perkembangbiakannya serta faktor-faktor apa saja yang dapat menunjang dan menghambat perkembangbiakannya. Kegiatan pengendalian dapat dilakukan dengan mengetahui faktor penghambat pertumbuhan. Salah satu strategi pengendalian D. trifoliata adalah dengan pemanenan dan pemanfaatan jenis ini. Oleh karena itu pengelola perlu mencari peluang pemanfaatan jenis ini.
41 D. trifoliata adalah sejenis tanaman yang berkhasiat tuba (racun) alami. Jenis ini dimanfaatkan sebagai racun ikan di beberapa tempat diantaranya di Papua Nugini. Di India, jenis ini digunakan sebagai obat lokal untuk stimulan, mengatasi iritasi dan rematik. D. trifoliata dan kerabatnya D. elliptica sudah jamak digunakan untuk memproduksi rotenone dalam jumlah komersial sebagai insektisida di Cina. Studi yang mengeksplorasi kandungan ekstrak bagian dari D. trifoliata untuk bidang farmakologi sudah banyak dilakukan di luar negeri antara lain sebagai anti mikroba, anti bakteri (Khan et al. 2006, Uyub et al. 2010), pencegah perkembangan larva nyamuk Aedes aegypti (Yenesew et al. 2009), sebagai antioksidan dan analgesik (Sarkar et al. 2012), anti kanker (Ito et al. 2004). Hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam pengendalian D. trifoliata perlu agar jangan sampai mengganggu kenyamanan populasi bekantan. Oleh karenanya pengendalian dilakukan bertahap lebih dahulu di tapak referensi yang jarang didatangi oleh bekantan. Penanaman Sonneratia caseolaris dan jenis mangrove lainnya. Keberhasilan pengendalian D. trifoliata diharapkan dapat memberi kesempatan bagi permudaan S. caseolaris untuk tumbuh dan berkembang. Selanjutnya jika regenerasi alami S. caseolaris tetap tidak bisa berjalan maka dilakukan dengan intervensi penanaman. Permudaan alam adalah proses peremajaan alami yang berperan besar pada pembentukan struktur tegakan hutan (Alrasyid 2006). Indikasi terjadinya regenerasi atau permudaan alami pada suatu komunitas tumbuhan dapat dilihat dari kehadiran jenis-jenis tersebut pada semua tingkat pertumbuhan, dan tingkat kerapatan yang menggambarkan jumlah individu per hektar. Terhambatnya permudaan alam di habitat referensi dapat dilihat pada jenis S. caseolaris, yang tidak memiliki permudaan tingkat semai dan pancang. Permudaan S. caseolaris (semai dan pancang) tidak dijumpai di tapak referensi dan tapak model 1, selain itu kerapatan individu tingkat pohon dan pancang juga rendah masing-masing 16 pohon/ha dan 49 pohon/ha. Sebagian pohon S. caseolaris bahkan meranggas, hal tersebut disebabkan oleh tingginya frekuensi kunjungan dan penggunaan S. caseolaris oleh kelompok bekantan (dan hirangan) menyebabkan produktivitas daun muda menjadi tidak sebanding dengan kebutuhan. Kondisi sedikit lebih baik di areal tapak model 2, kerapatan pohon sebesar 28 pohon/ha dan semai 66.67 anakan/ha, tetapi kerapatan tingkat pancang lebih kecil hanya 5.33 pohon/ha. Kondisi ini menurut Shankar (2001) digambarkan sebagai status regenerasi cukup yakni jumlah semai> pohon >pancang. Kerapatan tegakan di habitat bekantan sangat rendah, masing-masing; tapak referensi sebanyak 72 tegakan/ha, tapak model 1 sebanyak 102 tegakan/ha dan tapak model 2 sebanyak 32 tegakan/ha. Jika dijumlahkan kerapatan suatu jenis di ketiga tapak sekaligus masih kurang dari 200 tegakan/ha. Total kerapatan S. caseolaris hanya 93.38 pohon/ha, A. alba 109.95 pohon/ha, E. agallocha, 2.47 pohon/ha dan H. tiliaceus hanya 0.67 pohon/ha, oleh karena itu maka harus ada upaya intervensi dari pengelola untuk melaksanakan penanaman (reenrichment planting) terhadap keempat 4 jenis ini dengan prioritas utama untuk jenis yang menjadi sumber pakan utama dan tempat beraktivitas bekantan. Penanaman dapat dimulai pada tapak model 2, karena tapak ini jarang didatangi oleh bekantan sehingga dapat memberikan kesempatan kepada tanaman untuk tumbuh dan
42 berkembang. Peluang keberhasilan tumbuh tanaman dapat ditingkatkan sebagai berikut: 1. Menggunakan bibit yang berasal dari indukan lokal yang tersedia di SMKL. Bibit dapat diperoleh dengan mengumpulkan propagul dan menanamnya pada persemaian yang dibuat di lokasi. Jenis-jenis mangrove yang mempunyai propagul pendek atau berupa biji seperti Avicennia dan Sonneratia lebih baik jika ditumbuhkan di persemaian (Kustanti 2011). Jenis Avicennia sp. dan Sonneratia sp. yang baik sebagai sumber bibit berasal dari tegakan yang berumur 5 tahun lebih (Khazali 1999). Ciri-ciri buah A. alba yang tua berwarna coklat kekuningan dan S. caseolaris berwarna kekuningan. 2. Menanam anakan yang berukuran lebih besar. Penanaman dengan anakan yang dibesarkan di persemaian merupakan suatu cara yang efektif dalam mengatasi pemangsaan oleh kepiting, kera, maupun gangguan tumbuhan yang bersifat sebagai gulma seperti pakis Acrostichum. Bibit anakan yang berukuran lebih besar (tinggi > 1 meter) memiliki tingkat keberhasilan lebih tinggi yakni sekitar 85% (Khazali 1999). Bibit api-api (Avicennia sp.) atau pedada (Sonneratia sp.) siap ditanam setelah sekitar 5-6 bulan (Khazali 1999). 3. Pemagaran anakan yang ditanam Bekantan cenderung memakan pucuk anakan yang ditanam sehingga berpeluang untuk kegagalan proses restorasi habitat, karena tanaman tidak punya kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu berdasarkan pengalaman penanaman jenis rambai di Pulau Kaget tahun 2000, teknis penanaman dapat dilakukan dengan pemagaran anakan. Jenis pemagaran yang digunakan adalah pagar kurung vertikal dan horisontal (Akbar et al. 2002). Cara lainnya adalah dengan menanam jenis yang kurang disukai bekantan terlebih dahulu sebagai barier. Strategi Restorasi di Habitat Terdegradasi Mempertahankan tegakan yang ada. Areal bervegetasi di SMKL yang masih tersisa saat ini seluas ± 726.3 ha atau sekitar 22% dari total luas kawasan (BKSDA Kalsel 2014a). Areal bervegetasi tersebut sebagian besar merupakan zona Sonneratia di dekat pantai. Strategi mempertahankan tegakan yang masih ada merupakan strategi terbaik dan lebih ekonomis dibandingkan jika harus melakukan penanaman. Tegakan alami yang tersisa dapat menjadi sumber benih untuk kegiatan pembuatan bibit dalam kegiatan restorasi. Selain itu, tegakan alami yang ada merupakan patch habitat yang nantinya dapat dihubungkan dengan pembangunan koridor dengan patch habitat lainnya. Penanaman/pengayaan di sepanjang tepi sungai. S. caseolaris banyak dijumpai tumbuh di sepanjang tepi sungai-sungai yang terdapat di SMKL. S. caseolaris yang tumbuh di sepanjang tepi sungai di SMKL tumbuh baik dan mampu beregenerasi di beberapa lokasi. Hal ini menunjukkan bahwa S. caseolaris termasuk jenis intoleran karena sepanjang tepi sungai merupakan lokasi terbuka. Penanaman/pengayaan di sepanjang tepi sungai dilakukan pada radius 50-100 meter mulai tepi sungai ke arah daratan. Penanaman di areal tambak dengan sistem wanamina (silvofishery). Sasaran restorasi habitat di SMKL adalah areal tambak dan areal budidaya lainnya yang terdapat di dalam kawasan. Penanaman dengan pola silvofishery disarankan
43 sebagai alternatif yang bersifat “win-win solution” antara kepentingan ekologi dan kepentinga ekonomil masyarakat. Sistem wanamina adalah memadukan antara tanaman mangrove (hutan) dengan budidaya perikanan (ikan, udang atau kepiting). Ada tiga desain konstruksi sistem wanamina yaitu pola empang parit tradisional, pola empang parit yang disempurnakan dan pola komplangan (Bengen 2000). Tiga sistem tersebut dapat dipilih salah satu dan diimplementasikan berdasarkan kesepakatan antara pihak BKSDA dan masyarakat yang lahan tambaknya akan ditanami. Pola empang parit Model empang parit, lahan untuk hutan mangrove dan tambak/empang masih menjadi satu hamparan yang diatur oleh satu pintu air. Kelemahan pola ini menurut Sambu et al. (2013) dapat dikatakan tidak ramah lingkungan, disebabkan: (1) masih menyatunya lahan mangrove sebagai area konservasi dan lahan tambak sebagai area budidaya, sehingga hasil dekomposisi serasah mangrove dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas tanah dan kualitas air pada area tambak dan (2) menyatunya lahan mangrove sebagai area konservasi dan tambak sebagai area budidaya, menyebabkan organisme organisme yang bersifat hama yang terdapat pada area mangrove dapat mengganggu komoditas yang dibudidayakan diantaranya dapat menyebabkan usaha budidaya udang windu dan ikan bandeng sebagai komoditas utama serta organisme air lainnya akan mengalami kegagalan panen.
Gambar 13 Silvofishery model empang parit (Bengen 2000) Pola empang parit yang disempurnakan Model empang parit yang disempurnakan, lahan untuk hutan mangrove dan tambak/empang diatur oleh saluran air yang terpisah. Menurut Sambu et al. (2013) berpisahnya lahan mangrove sebagai area konservasi dan lahan tambak sebagai area budidaya menguntungkan karena (1) proses dekomposisi serasah mangrove tidak lagi berpotensi mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas tanah dan kualitas air pada area tambak, dan (2) organisme organisme yang bersifat hama yang terdapat pada area mangrove dapat dilokalisir sehingga tidak lagi mengganggu organisme yang dibudidayakan.
44
Gambar 14 Silvofishery model empang parit yang disempurnakan (Bengen 2000). a1, a2, a3: pintu masuk air ke caren (parit budidaya kepiting/ikan); b: pintu keluar masuk air ke hutan mangrove; c: caren (parit pemeliharaan ikan/kepiting); d: pelataran hutan mangrove; e: tanggul
Pola komplangan Model komplangan merupakan penyempurnaan empang parit dan empang parit disempurnakan. Secara teknis konstruksi model komplangan lebih rumit, akan tetapi lebih ramah lingkungan karena lahan mangrove sebagai area konservasi terpisah dari lahan tambak sebagai area budidaya yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu terpisah. Selain ramah lingkungan dan membatasi ruang gerak hama yang berhabitat pada area mangrove, pola komplangan memiliki sistem sirkulasi air yang dapat diatur berdasarkan kebutuhan.
Gambar 15 Silvofishery model komplangan (Bengen 2000). a1,a2: pintu masuk air ke tambak/empang; b: tanggul; c: pelataran hutan mangrove; d: tambak/empang tempat pemeliharaan kepiting/ikan
45 Hasil penelitian Sambu et al. (2013) menunjukkan bahwa: 1) ratio optimal area mangrove dan tambak pada pola tambak silvofishery adalah 60% tambak dan 40% mangrove; 2) modifikasi komplangan merupakan pola silvofishery yang layak secara ekologi dan ekonomi; dan 3) polikultur merupakan sistem budidaya yang layak untuk tambak silvofishery. Triyanto et al. (2012) menyatakan bahwa untuk budidaya kepiting ramah lingkungan adalah budidaya silvofishery kepiting bakau dengan karamba tancap di dalam mangrove. Cara terbaik sebelum memutuskan untuk memilih sistem silvikultur yang paling sesuai untuk diterapkan di SMKL adalah dengan cara ujicoba terlebih dahulu melalui demplot-demplot percontohan. Pembuatan demplot percontohan sebaiknya melibatkan instansi teknis terkait (Dinas Kelautan dan Perikanan), praktisi dan akademisi yang mempunyai kompetensi dan pengalaman di bidangnya.
Aspek Ruang Membangun koridor bekantan Restorasi SM Kuala Lupak jangka menengah diarahkan untuk membangun koridor yang menghubungkan patch-patch habitat bekantan yang terputus di dalam kawasan dengan habitat referensi di Tanjung Pedada Tua. Tujuan akhirnya adalah untuk menghubungkan populasi bekantan di luar kawasan yang terpisah ±12 km dengan populasi bekantan yang bertahan di habitat referensi. Menurut Meret (2007) yang diacu oleh Gunawan & Prasetyo (2013) koridor memberikan manfaat potensial yakni: (1) meningkatkan laju imigrasi antara populasi sehingga dapat memelihara keragaman, meningkatkan ukuran populasi, menurunkan kemungkinan kepunahan dan menghindarkan inbreeding; (2) meningkatkan areal untuk mencari makan bagi spesies dengan wilayah jelajah yang lebih luas; (3) memberikan tempat melarikan diri dan bersembunyi dari predator, kebakaran dan gangguan lainnya. Pembangunan koridor dipersiapkan dengan mempertimbangkan semua aspek ekologis, sosial dan ekonomi dan teknis. Pembangunan koridor bekantan memerlukan pemetaan lahan, termasuk pemetaan kepemilikan lahan. Pemilihan lokasi untuk pembangunan koridor bekantan mengikuti kondisi ruang di lapangan. Lokasi yang dijadikan sebagai koridor bekantan antara lain adalah sepanjang tepi sungai. Tepi sungai menghubungkan bagian hulu dan hilir dari suatu kawasan. Pemeliharaan pohon dan atau penanaman untuk koridor di tepi sungai dilakukan minimal dengan jarak 50 meter untuk sungai kecil (lebar ≤ 3 m), dan 100 meter untuk sungai besar (lebar >30m) ke arah daratan. Lokasi lainnya adalah bagianbagian yang terdegradasi atau areal yang kondisi vegetasinya terganggu di antara areal yang masih bervegetasi baik.
Aspek Populasi Bekantan Stuktur populasi bekantan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya menunjukkan bahwa populasi kelas umur anakan kurang dari populasi kelas umur remaja dan dewasa. Meskipun kondisi ini belum bisa disimpulkan sebagai adanya
46 penurunan tingkat kelahiran (natalitas), kondisi ini diduga karena semakin dekatnya gangguan (manusia) terhadap habitat bekantan dan kondisi habitat yang tidak ideal dalam menyediakan sumber daya yang dibutuhkan oleh bekantan. Jika kondisi ini dibiarkan maka akan mengancam kelestarian populasi bekantan di wilayah ini, mengingat habitat ini telah terisolasi dengan perubahan fungsi hutan menjadi areal budidaya.Oleh karena itu prioritas kegiatan yang dibutuhkan adalah: 1. mengimplementasikan zona “no acces” terhadap habitat referensi bekantan dari aktivitas manusia dengan membuat buffer atau membatasi lalu lintas dan aktivitas manusia di dalam areal Tanjung Pedada Tua. 2. menghitung daya dukung habitat untuk mengetahui seberapa lama habitat referensi dapat menyokong kehidupan bekantan, termasuk hirangan (T. cristatus) yang berbagi sumber daya yang sama dengan bekantan. Kajian daya dukung yang akan dilakukan termasuk sensus populasi hirangan yang merupakan kompetitor bekantan. Penghitungan daya dukung habitat referensi mendesak dilakukan mengingat adanya indikasi adanya over populasi. 3. melengkapi kajian data demografi bekantan (dan atau hirangan) agar dapat menentukan populasi minimum agar jenis dapat lestari (Minimum Viable Population). Hasil kajian ini sebagai dasar pagi pengelola untuk mempertahankan populasi bekantan. Pemberlakuan zona “no acces” perlu dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan dengan masyarakat. Pembatasan akses masyarakat terhadap kawasan konservasi dapat menyebabkan perilaku negatif masyarakat lokal dan bisa memicu meningkatnya aktivitas illegal (Muhumuza 2014).
Aspek Sosial Hasil kajian persepsi masyarakat yang telah diuraikan sebelumnya mengindikasikan bahwa meskipun pengetahuan penerimaan masyarakat terhadap program restorasi masih rendah masyarakat tetapi pengetahuan masyarakat mengenai status perlindungan bekantan cukup baik dan bekantan tidak dianggap musuh (hama) oleh masyarakat. Rendahnya sikap penerimaan tersebut karena penanaman mangrove dianggap mengancam mata pencaharian utama mereka. Hal tersebut juga karena masyarakat ini belum teredukasi dengan baik mengenai fungsi ekosistem hutan mangrove secara menyeluruh. Kegiatan edukasi yang dilakukan meliputi penyuluhan, penyadartahuan, sosialisasi, pendampingan dan fasilitasi masyarakat. Fakta bahwa tidak ada konflik antara manusia dan satwa (bekantan) di SMKL memberikan peluang untuk menghubungkan koridor bekantan yang terputus oleh aktivitas budidaya. Sebelum pekerjaan membangun koridor dan pekerjaan restorasi SMKL dilaksanakan, kegiatan pra kondisi yang harus dilakukan lebih dulu adalah : 1. Mengedukasi masyarakat untuk memahami fungsi ekosistem mangrove secara menyeluruh melalui kegiatan penyuluhan dan fasilitasi. 2. Membangun dukungan masyarakat melalui pembentukan kelembagaan berupa kelompok-kelompok pelestari ekosistem mangrove Kuala Lupak.
47 3. Membangun kesepahaman mengenai pentingnya membangun koridor bekantan, untuk menghindari konflik lahan dengan masyarakat. Kegiatan 1-3 dilakukan dengan dukungan dan kerjasama seluruh stakeholder terkait, memerlukan waktu dan bukan proses instan yang berorientasi keproyekan. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam membangun kesadaran masyarakat antara lain: diskusi bersama masyarakat untuk memahami kondisi ekosistem SMKL saat ini dan dulu, mengidentifikasi dan menyadari bersama dampak dan hilang/rusaknya mangrove, menentukan dan menyepakati bersama solusi mengatasi masalah akibat hilang/rusaknya mangrove, studi banding untuk meyakini dan memperluas wawasan tentang manfaat mangrove, perencanaan dan pelaksanaan bersama penanaman mangrove, dan pembentukan kelompok masyarakat pengelola dan pelestari mangrove (Khazali 1999).
48
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Komponen habitat bekantan di SMKL terdiri dari komponen fisik dan biotik. Komponen fisik yang meliputi: suhu harian rata-rata 28-29°C, dengan kelembaban udara relatif 76.75%. Kondisi tanah berlumpur hingga lumpur berpasir, dengan permukaan yang tertutup oleh tumbuhan merambat D. trifoliata yang menyebabkan intensitas cahaya rendah dengan kisaran pH antara 4.5-6.0. Kondisi perairan mengalami kondisi pasang surut secara periodik, dengan kondisi tawar dan pH antara 5.0-6.5. Jenis Sonneratia caseolaris merupakan jenis pohon yang digunakan sebagai sumber pakan utama dan pohon tidur oleh bekantan dan kompetitornya, hirangan (Trachypithecus cristatus). S. caseolaris mengalami hambatan regenerasi alami akibat dominansi tumbuhan D. trifoliata dan tingginya frekuensi penggunaan jenis ini oleh bekantan dan hirangan. 2. Keanekaragaman jenis vegetasi rendah (7 jenis habitus pohon, 10 jenis tumbuhan bawah) yang ditunjukkan oleh indeks keanekaragaman masingmasing tapak: tapak referensi (H’= .58), tapak model 1 (H’= .79) dan tapak model (H’= .38). Jenis yang mendominasi adalah S. caseolaris (INP=273.98%) dan Avicennia alba (INP=189.01%), serta jenis tumbuhan bawah D. trifoliata yang memiliki kerapatan lebih dari 10,000 individu/ha. 3. Dugaan populasi bekantan di SMKL adalah 139±43 individu, dengan kepadatan 81 ind/km2 dan nisbah kelamin dewasa 1:3.09, menunjukkan masih terjadi perkembangbiakan populasi secara alami. Akan tetapi struktur populasi menunjukkan konsentrasi populasi terbesar pada kelompok usia menengahdewasa. 4. Persepsi masyarakat mengenai pengetahuan tentang keberadaan bekantan dan status perlindungannya cukup tinggi (>50%), akan tetapi persepsi mengenai sikap penerimaan terhadap kegiatan restorasi yang telah dilaksanakan dan kesediaan mendukung program restorasi di waktu mendatang masih rendah (<50%). Faktor domisili responden (di dalam/luar kawasan SMKL) paling banyak mempengaruhi perbedaan persepsi masyarakat, diikuti oleh faktor status kepemilikan lahan. Petambak pemilik lahan lebih banyak berdomisili di luar kawasan, sehingga lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat lainnya dan lebih besar kesempatannya untuk mengakses infomasi. 5. Strategi restorasi habitat bekantan yang direkomedasikan meliputi: pengendalian tumbuhan bawah D. trifoliata, pengayaan dan penanaman S. caseolaris dan jenis mangrove lainnya yang terdapat di SMKL, pembangunan koridor bagi bekantan serta peningkatan penyuluhan, penyadartahuan dan sosialisasi kepada masyarakat khususnya masyarakat pelaku konversi lahan di SMKL. Saran Strategi restorasi habitat bekantan yang direkomendasikan dalam hasil penelitian ini perlu didukung dan diperkuat dengan kajian-kajian lanjutan untuk memperkuat strategi, antara lain; dari aspek teknis, untuk meningkatkan
49 keberhasilan penanaman perlu dilakukan uji coba pada demplot contoh. Kajian untuk membuktikan indikasi over populasi bekantan dan atau hirangan di SM Kuala Lupak juga perlu dilakukan sebagai dasar ilmiah untuk merumuskan strategi pembinaan populasi. Analisis benefit yang bisa mendukung argumentasi bahwa kegiatan tambak konvensional masyarakat secara finansial tidak menguntungkan dan tidak berkelanjutan dibanding tambak “ramah lingkungan” dapat dilakukan, dalam menggiring persepsi (penerimaan) masyarakat terhadap sistem wanamina yang ditawarkan.
DAFTAR PUSTAKA Afrillia GN. 2001. Studi reproduksi bekantan (Nasalis larvatus) di habitat ek-situ [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Agoramoorthy G, Hsu MJ. 2005. Occurrence of infanticide among wild proboscis monkeys (Nasalis larvatus) in Sabah, Northern Borneo. Folia Primatol 76: 177-179. Doi: 10.1159/000084380. Alcock J. 1989. Animal Behavior: An Evolutionary Approach. Fourth Edition. Sunderland, Massachusetts (US): Sinauer Associates, Inc. Akbar A, Priyanto E, Basiang HA, Manaon AMS, Rizani F. 2002. Pengaruh pemagaran terhadap pertumbuhan awal permudaan rambai (Sonneratia caseolaris (L) Engl. di Cagar Alam Pulau Kaget. Buletin Teknologi Reboisasi 9: 42-53. Alikodra HS, Mustari AH. 1994. Study on ecology and conservation of proboscis monkey (Nasalis larvatus Wurmb.) at Mahakam River Delta, East Kalimantan: behaviour and habitat function. Annual Report of Pusat Studi Reboisasi dan Rehabilitasi Hutan Tropis Volume 5. Alikodra HS. 1997. Populasi dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus) di Samboja Koala, Kalimantan Timur. Media Konservasi 5(2): 67-72. Alikodra HS, Srimulyaningsih R. 2015. Perilaku bekantan di rawa gelam. Di dalam : Alikodra HS, Efransjah, Bismark M (editor). Bekantan, Perjuangan Melawan Kepunahan. Bogor (ID): IPB Press. Alrasyid H. 2006. Potensi permudaan alam di areal tegakan tinggal hutan ala ramin campuran (studi kasus di kelompok hutan Sungai Arut dan Lamandau, Kalimantan Tengah). Prosiding Workshop Nasional “Policy Option on The Conservation and Utilization of Ramin. 2006 Peb 3; Bogor. Anderson JR. 1998. Sleep, sleeping sites, and sleep-related activities: Awakening to their significance. American Journal of Primatology 46: 63-75. Ardli ER. 2010. Distribusi spasial Derris trifoliata Lour di Segara Anakan Cilacap sebagai agen biomonitoring kerusakan mangrove. Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas dan Bioteknologi Sumberdaya Akuatik. Atmoko T, Ma’ruf A, Syahbani I, Rengku MT. 2007. Kondisi habitat dan penyebaran bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Pemanfaatan HHBK dan Konservasi Biodiversitas menuju Hutan Lestari. Atmoko T, Sidiyasa K. 2008. Karakteristik vegetasi habitat bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 5 (4): 307-316.
50 Atmoko T. 2012. Bekantan Kuala Samboja. Bertahan dalam Keterbatasan. Melestarikan bekantan di habitat terisolasi dan tidak dilindungi. Bismark M, Sumedi N, Sidiyasa K, Falah F (editor). Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Atmoko T, Ma’ruf A, Rinaldi SE, Sitepu BS. 1 . Penyebaran bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Di dalam: Sumedi N, Sidiyasa K, Turjaman M, Tata HL, Komar TE, Wardani M, Gunawan H, Dharmawan WS, Kuntadi (editor). Hasil-Hasil Riset untuk Mendukung Konservasi yang Bermanfaat dan Pemanfaatan yang Konservatif; 2011 Nov 3;. Balikpapan (ID): Balai Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. 71-83. Atmoko T, Mardiastuti A, Iskandar E. 2013. Struktur kelompok dan penyebaran bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Kuala Samboja, Kalimantan Timur. Di dalam: Oka NP, Achmad A, Maulany RI, Asrianny (editor). Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Ekologi dan Konservasi; 2013 Nov 20-21; Makassar. Makassar (ID): Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Balai Taman Nasional Bantimurung, Masagena Press. Atmoko T, Mardiastuti A, Iskandar E. 2014. Komunitas habitat bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Kuala Samboja, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 11 (2):127-141. Aziz HK, Hamdan, Azahari FM, Shah IA, Nasir HM, Annuar NS. 2012. Mapping the distribution of display tress for conservation of firefly habitat - a case study of the mangrove tree Sonneratia caseolaris in Selangor Malaysia. Lampyrid Journal. Basyuni. 2002. Panduan Restorasi Mangrove yang Rusak. Fakultas Pertanian Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Bennet EL, Sebastian AC. 1988. Social organization and ecology of proboscis moneys (Nasalis larvatus) in mixed coastal forest in Sarawak. International Journal of Primatology 9 (3) : 233-255. Bengen DG. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Bogor (ID): Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Bernard H, Matsuda I, Hanya G, Ahmad AH. 2011. Characteristics of night sleeping trees of proboscis monkeys (Nasalis larvatus) in Sabah, Malaysia. International Journal of Primatology. 32:259-267. Doi:10.1007/s10764010-9465-8. Bismark M.1997. Pengelolaan habitat dan populasi bekantan (Nasalis larvatus) di Cagar Alam Pulau Kaget, Kalimantan Selatan. Prosiding Diskusi Hasilhasil Penelitian Penerapan Hasil Litbang Konservasi Sumberdaya Alam untuk Mendukung Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Bogor. Bismark M. 2009. Biologi Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus). Siran SA, Mukhtar AS, Setyawati T (editor). Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bismark M, Garsetiasih R, Iskandar S, Subiandono, E, Sawitry R, Heriyanto NM. 2003. Daya dukung habitat sebagai parameter dominan dalam pengelolaan satwa liar di alam. Di dalam : Sumarna K (editor). Paket Teknologi. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bismark M, Iskandar S. 2002. Kajian total populasi dan struktur sosial bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Bulletin Penelitian Hutan. 631:17-29.
51 [BKSDA Kalsel] Balai Konsevasi Sumber Daya Alam Kalimantan Selatan. 2012. Laporan Hasil Kegiatan Inventarisasi Lahan Kritis di Suaka Margasatwa Kuala Lupak Tahun 2012. [BKSDA Kalsel] Balai Konsevasi Sumber Daya Alam Kalimantan Selatan. 2014a. Laporan Hasil Kegiatan Pemeliharaan Tanaman Tahun Pertama (P1) Rehabilitasi Hutan Kawasan Konservasi 300 Ha Suaka Margasatwa Kuala Lupak Tahun 2013. [BKSDA Kalsel] Balai Konsevasi Sumber Daya Alam Kalimantan Selatan. 2014b. Laporan Hasil Kegiatan Rehabilitasi Hutan Kawasan Konservasi 500 Ha Suaka Margasatwa Kuala Lupak Tahun 2013. Boonratana R. 1999. Dispersal in proboscis monkeys (Nasalis larvatus) in The Lower Kinabatangan, Northern Borneo. Tropical Biodiversity 6 (3): 179-187. Boonratana R. 2000. Ranging behaviour of proboscis monkeys (Nasalis larvatus) in th Lower Kinabatangan, Northern Borneo. International Journal of Primatology 21 : 497-518. Boonratana R. 2011. Observation on the sexual behaviour and birth seasonality of proboscis monkey (Nasalis larvatus) along The Lower Kinabatangan River, Northern Borneo. Asian Primates Journal 2 (1): 2-7. Chapman CA, Chapman LJ, Bjorndal KA, Onderdonk DA. 2002. Application of protein to fiber ratios to predict Colobine abundance on different spatial scales. International Journal of Primatology 23 (2): 283-310 Di Bitetti MS, Vidal EML, Baldovino MC, Benesovsky V. 2000. Sleeping site preferences in tufted capuchin monkeys (Cebus apella nigritus). American Journal of Primatology 50: 257-274. [Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konsevasi Alam. 2012. Peta Jalan Peningkatan Populasi 14 Spesies Prioritas Utama Terancam Punah. Direktorat Jenderal PHKA, Kementerian Kehutanan dan UNDP. El-Lamey TM. 2012. Effect of salinity on tannins conten of Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit. and Prosophis chilensis (Molina) Stuntz and techniques for their reduction. Egyptian Journal of Botany 2012 : 51-63. Giesen W, Wulffraat S, Zieren M, Scholten L. 2006. Mangrove Guidebook for Southeast Asia. FAO and Wetlands International. Gunawan H, Prasetyo LB. 2013. Fragmentasi Hutan: Teori yang Mendasari Penataan Ruang Hutan Menuju Pembangunan Berkelanjutan. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Hamka M, Basyuni M, Agustina L. 2012. Karakterisasi senyawa isoprenoid dan pertumbuhan semai mangrove Avicennia alba BI (Characterization of isoprenoid compounds and seedling growth mangrove Avicennia alba BI.). Peronema Forestry Science 1 (1). Harihanto. 2001. Persepsi, sikap dan perilaku masyarakat terhadap air sungai [Disertasi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Edisi Revisi. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. 357-369. Indriyanto. 2008. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): PT. Bumi Aksara. Ito C, Itoigawa M, Kojima N, Tan HTW, Takayasu J, Tokuda H, Nishino H. 2004. Cancer chemopreventive activity of rotenoids from Derris trifoliata. Planta Medica. 70 (6) : 585-588.
52 Kartono AP, Ginting A, Santoso N. 2008. Karakteristik habitat dan wilayah jelajah bekantan di hutan mangrove Desa Nipah Panjang, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. Media Konservasi 13 (3): 1-6. Kartasapoetra AG. 2004. Klimatologi. Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan Tanaman. Edisi Revisi. Jakarta (ID): Penerbit Bumi Aksara. Keenleyside KA, Dudley N, Cairns S, Hall CM, Stolton S. 2012. Ecological Restoration for Protected Areas: Principles, Guidelines and Best Practices. Gland (CH) : IUCN. Khan MR, Omoloso AD, Bareway Y. 2006. Antimicrobial activity of Derris elliptica, Derris Indica and Derris trifoliata extractives. Fitoterapia 77: 327-330. Khazali M. 1999. Panduan Teknis: Penanaman Mangrove bersama Masyarakat. Savitri LA (editor). Bogor (ID): Wetlands International-Indonesia Programme. [KNLH]. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Kustanti A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. Kusmana C, penyunting. Bogor (ID): IPB Press. Lewis III RR. 2005. Ecological engineering for successful management and restoration of mangrove forests. Ecological Engineering 24: 403-418. Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing. New York (US): John Wiley & Sons. MacKinnon K. 1987. Conservation status of primates in Malaysia, with special reference to Indonesia. Primate Conservation 8: 175-183. Maisels F, Hion G, Gautier JP. 1994. Diets of two sympatric Colobines in Zaire: more evidence on seed eating in forests on poor soil. International Journal of Primatology 15(5): 681-701. Manansang J, Holzer KT, Reed D, Leus K. 2005. Indonesian proboscis monkey population and habitat viability assessment. [Final report]. Apple Valley, Minnesota (US) : IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group. Matsuda I, Tuuga A, Akiyama Y, Higashi S. 2008. Selection of river crossing location and sleeping site by proboscis monkeys (Nasalis larvatus) in Sabah, Malaysia. American Journal of Primatology 70: 1097-1101. Matsuda I, Tuuga A, Higashi S. 2009. The feeding ecology and activity budget of proboscis monkeys. American Journal of Primatology 71:478-492. Matsuda I, Tuuga A, Higashi S. 2010. Effect of water level on sleeping-site selection and intergroup association in proboscis monkeys : why do they sleep alone inland on flooded days?. Ecological Research 25 : 475-482. Matsuda I, Tuuga A, Bernard H. 2011. Riverine refuging by proboscis monkeys (Nasalis larvatus) and Sympatric primate: Implications for adaftive benefits of the riverine habitat. Mammalian Biology 76:165-171. Mawazin, Subiakto A. 2013. Keanekaragaman dan komposisi jenis permudaan alam hutan rawa ganbut bekas tebangan di Riau. Forest Rehabilitation Journal 1(1): 59-73. McNelly JA, Miller KR, Reid RA, Miltermeier RA, Werner TB. 1990. Conserving The World’s Biological Diversity. Gland, Switzerland (CH): IUCN, WRI, CI, WWF-US & The World Bank.
53 Meijaard E, Nijman V. 2000. Distribution and concervation of of the proboscis monkey (Nasalis larvatus) in Kalimantan, Indonesia. Biological Conservation 92:15-24. Muhumuza M, Balkwill K. 2014. Factors affecting the success of conserving biodiversity in national parks : A review of cas studies from Africa. International Journal of Biodiversity 2013. Doi : 10.1155/2013/79810. Murai T. 2004. Social behaviour of all-male proboscis monkey when joined by females. Ecologycal Research 19: 451-454. Murai T. 2006. Mating behaviours of the proboscis monkey (Nasalis larvatus). American Journal of Primatology 68 (8): 832-837. Doi: 10.1002/ajp.20266. Murai T, Mohamed M, Bernard H, Mahedi PA, Saburi R, Higashi S. 2007. Female transfer between one-male groups of proboscis monkey (Nasalis larvatus). Primates 48 : 117-121. Doi : 10.1007/s10329-006-005-2. Odum EP. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Samingan T, penerjemah; Srigandono B, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnasdass R, Anthony S. 2009. Agroforestree Database : a tree reference and selection guide version 4.0. Kenya (KE) : Word Agroforestry Centre [diunduh 2015 Jun 29]. Tersedia pada: http://www.worldagroforestry.org/resources/database/agroforestree. Patton DR. 2011. Forest Wildlife Ecology and Habitat Management. Boca Raton (US): CRC Press Taylor & Francis Group. Saidah S, Djoko M, Achmad S. 2002. Studi vegetasi habitat alternatif bekantan (Nasalis larvatus) di Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Agrosains 15 (1): 18-29. Salter RE, Mackenzie NA, Nightingale N, Aken KM, Chai P. 1985. Habitat use, ranging behaviour and food habits on proboscis monkey Nasalis larvatus (Van Wurmb) in Sarawak. Primates 26 (4): 436-451. Sambu AH, Damar A, Bengen DG, Yulianda F. 2013. Desain tambak silvofishery ramah lingkungan berbasis daya dukung: Studi kasus Kelurahan Samataring, Kabupaten Sinjai. Jurnal Segara 9 ( 2 ): 157-165. Shankar U. 2001. A case of high tree diversity in Sal (Shorea robusta)-dominated lowland forest of eastern Himalaya: Floristic composition, regeneration and conservation. Current Science 81(7) :776-786. Sarkar MR, Hasan M, Howlader MSI, Rahman MS, Deys SK. 2012. Antioxidant & Analgesic Activities of leaves of panlata (Derris trifoliate): In-vitro investigation. International Journal of Pharmaceutical and Life Sciences 1 (2). [SER International] Society for Ecological Restoration International. 2004. Acuan Dasar (Primer) Perhimpunan Ekologi Restorasi Internasional (SER Internasional) terhadap Restorasi Ekologis (Versi 2). Sinclair ARE, Fryxell JM, Caughley G. 2006. Wildlife Ecology, Conservation and Management. Second Edition. Sunderland, Massachusetts (US): Blackwell Publishing. Soendjoto MA. 2005. Adaptasi bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) terhadap hutan karet: Studi Kasus di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Soendjoto MA, Alikodra HS, Bismark M, Setijanto H. 2006a. Jenis dan komposisi pakan bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Hutan Karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Biodiversitas 7 (1): 34-38.
54 Soendjoto MA, Alikodra HS, Bismark M, Setijanto H. 2006b. Aktivitas harian bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di hutan karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Biota 11 (2): 101-109. Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Stark DJ, Nijman V, Lhota S, Robins JG, Goossens B. 2012. Modeling population viability of local proboscis monkey Nasalis larvatus populations: conservation implications. Endangered Spesies Research 16: 31-43. Doi: 10.3354/esr00385. Suwarto. 2015. Kesesuaian habitat bekantan (Nasalis larvatus) di hutan mangrove Taman Nasional Kutai [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tangah J. 2014. A note on the sexual behaviour of proboscis monkeys at Labuk Bay, Sandakan, Sabah. ISME/GLOMIS Electronic Journal 12 (1):1-5. Triyanto, Wijaya NI, Widiyanto T, Yuniarti I, Setiawan F, Lestari FS. 2012. Pengembangan silvofishery kepiting bakau (Scylla serrata) dalam pemanfaatan kawasan mangrove di Kabupaten Berau. Prosiding Seminar Nasional Limnologi VI Tahun 2012. Uyub AM, Nwachukwu IN, Azlan AA, Fariza SS. 2010. In-vitro antibacteria activity and cytotoxity of selected medicanal plants extracts from Penang Island Malaysia on metronidazole-resistant-Helicobacter pylory and some pathogenic bacteria. Ethnobotany Journal 8 : 95-1006. Whitmore TC. 1990. An Introduction to Tropical Rainforest. New York (US): Oxford University Press. Yeager CP.1989. Feeding ecology of the proboscis monkeys (Nasalis larvatus). American Journal of Primatology 24 :61-66. Yeager CP. 1990. Proboscis monkey (Nasalis larvatus) social organization group structure. Nasalis larvatus Nasalis larvatus 20: 95-106. Yeager CP. 1992. Changes in proboscis monkey (Nasalis larvatus) group size and density at Tanjung Puting National Park, Kalimantan Tengah, Indonesia. Tropical Biodiversity 1 (1): 49-55. Yeager CP, Blondal TK. 1992. Concervation status of the proboscis monkeys (Nasalis larvatus) at Tanjung Puting National Park, Kalimantan Tengah, Indonesia. In : Ismail G, Mohamed M, Omar S, editor. Forest Biology and Conservation in Borneo. Center for Borneo Studies Publication 2: 220-222. Yenesew A, Twinomuhwezi, Kabaru JM, Akala HM, Kiremire BT, Heydenreich M, Peter MG, Eyase FL, Waters NC, Walsh DS. 2009. Antiplasmodial and larvacidal flavonoids from Derris trifoliata. Bulletin Chemical Society of Ethiopia 23 (3): 409-414. Zan QJ, Wang BS, Wang YJ, Li MG. 2003. Ecological assessment on the introduced Sonneratia caseolaris and S. apetala at the mangrove forest of Shenzhen Bay, China. Acta Botanica Sinica 45(5): 544-551.
55
LAMPIRAN
56 Lampiran 1 Data hasill pengukuran komponen fisik habitat Komponen Waktu Tapak Tapak yang diukur pengukuran referensi Model 1 Kondisi iklim mikro: Suhu udara (°C) 07:30 24.7 24.9 12:30 33.3 33.2 17:30 32.1 32.0 Rata-rata harian: 28.7 28.8 Kelembaban 07:30 90.0 90.0 udara (%) 12:30 60.0 60.0 17:30 70.0 70.0 Rata-rata harian: 76.8 76.8 Intensitas 07:30 low low cahaya matahari 12:30 low low yang sampai ke 17:30 low low tanah Rata-rata harian: low low Kondisi tanah Suhu (°C) 07:30 27.0 27.2 12:30 31.8 31.5 17:30 31.0 31.2 Rata-rata harian: 29.2 29.3 pH 07:30 4.5 4.5 12:30 6.5 6.5 17:30 4.5 4.5 Rata-rata harian: 5.0 5.0 Kelembaban 07:30 wet wet 12:30 wet wet 17:30 wet wet Rata-rata harian: wet wet Kondisi perairan sungai : Suhu (°C) 07:30 28.7 28.6 12:30 29.4 29.3 17:30 31.6 31.5 Rata-rata harian: 29.6 29.5 pH 07:30 5.2 5.1 12:30 6.1 6.0 17:30 5.6 5.6 Rata-rata harian: 5.5 5.4 Salinitas 07:30 0.0 0.0 12:30 0.0 0.0 17:30 0.0 0.0 Rata-rata harian: 0.0 0.0
Tapak Model 2 25.5 34.0 32.8 29.5 90.0 60.0 67.0 76.3 low low low low 27.5 31.0 31.5 29.4 4.5 6.5 4.5 5.0 wet wet wet wet 28.8 29.0 31.7 29.6 4.5 4.5 5.6 4.8 0.0 0.0 0.0 0.0
57 Lampiran 2 Daftar nama pemilik tambak di kawasan SM Kuala Lupak No. Nama Pemilik Posisi Luas (Ha) Keterangan A. Sungai Bakau: 1. Badu Kiri sungai Kisaran luas Jumlah tambak pemilik 2. H. Amat)1 Kiri sungai antara 10-20 tambak 7 KK 3. Hairani Kanan sungai ha/KK 4. H. Sarwani Kanan sungai dengan rata5. Aril Kanan sungai rata ±15 ha 6. Nurdin Kanan sungai 7. Suli Kanan sungai Luas tambak di Sungai Bakau: ±102.00 B. Sungai Pampan: 1. Salim Kanan sungai Kisaran luas Jumlah tambak pemilik 2. Firman Kanan sungai antara 7-8 tambak 7 KK 3. Masbudi Kanan sungai )2 ha/KK 4. Yanto Kanan sungai dengan rata5. Tison Kanan sungai rata ±7.5 ha 6. Hj Miloh Kanan sungai 7. Barlan Kiri sungai Luas tambak di Sungai Pampan: ±52.00 C. Sungai Ladung : 1. Ambruni Kanan sungai Kisaran luas Jumlah 2. Jawesa Kanan sungai tambak pemilik 3. Abdullah Kanan sungai antara 6-8 tambak 23 4. Semang Kanan sungai ha/KK KK 5. Sakri Kanan sungai dengan rata6. Onna Kanan sungai rata ±7 ha 7. Bado Kamal Kanan sungai 8. Aspa Kanan sungai 9. H. Samsu)3 Kanan sungai 10. Epaldi Kanan sungai 11. Emboto Kanan sungai 12. Muslimin Kanan sungai 13. Sudi Kanan sungai 14. Ramang Kiri sungai 15. Jumma Kiri sungai 16. Bahar Kiri sungai 17. Pahin Kiri sungai 18. Mansur Kiri sungai 19. Seribu Kiri sungai 20. Sida Kiri sungai 21. Imbaran Kiri sungai 22. Darwis)4 Kiri sungai 23. Undul Kiri sungai
58 Lampiran 2 Daftar nama pemilik tambak di kawasan SM Kuala Lupak (Lanjutan) No. Nama Pemilik Posisi Luas (Ha) Keterangan Sungai Ladung: 24. H.Kina Kiri sungai 25. H. Dupo Kiri sungai 26. H. Busra)5 Kiri sungai Luas tambak di Sungai Ladung: 179.00 D. Sungai Rangit: 1. Wahyu Kanan sungai Kisaran luas 2. Suriansyah)6 Kanan sungai tambak 3. Aan Kanan sungai antara 6-12 4. Yuhar Kanan sungai ha/KK 5. Aris Kanan sungai dengan rata6. Murad Kanan sungai rata ±9 ha 7. H. Samsu)3 Kanan sungai 8. H. Tehir Kanan sungai 9. Udin)7 Kanan sungai )10 10. Ahmad Kanan sungai 11. Ahmad )10 Kanan sungai )11 12. Bani Kanan sungai 13. Isai Kanan sungai 14. Haim Kanan sungai )12 15. H. Tujan Kanan sungai 16. Pajamu Kanan sungai 17. Maida Kiri sungai 18. A. Muis Kiri sungai 19. Sumang Kiri sungai 20. Bakri Kiri sungai 21. Nordin Kiri sungai 22. Ambutu)13 Kiri sungai 23. Ambutu)13 Kiri sungai 5 24. H. Busra ) Kiri sungai 25. Sahrun Kiri sungai )14 26. Asan Kiri sungai 27. Iyan)15 Kiri sungai )15 28. Iyan Kiri sungai 29. H.Abdul Muhid)16 Kiri sungai 30. H.Abdul Muhid)16 Kiri sungai 31. H.Abdul Muhid)16 Kiri sungai 32. H. Ampil Kiri sungai 33. Ma’at Kiri sungai 34. Bani)11 Kiri sungai 11 35. Bani) Kiri sungai 36. H. Tujan)12 Kiri sungai Luas tambak di Sungai Rangit: 320.00
59 Lampiran 2 Daftar nama pemilik tambak di kawasan SM Kuala Lupak (Lanjutan) No. Nama Pemilik Posisi Tambak Luas (Ha) Keterangan E. Sungai Tongkang 1. Basir)17 Kanan sungai Kisaran luas Jumlah 2. Kasman Kanan sungai tambak pemilik 3. Sulti)18 Kanan sungai antara 6-10 tambak 13 4. Windi Kanan sungai ha/KK KK 5. Rasid Kanan sungai dengan rata6. A. Kajiono)20 Kanan sungai rata ±8 ha 7. H. Ugi)21 Kanan sungai 8. H. Jafar Kanan sungai )19 9. Lesno Kiri sungai 10. Mesi Kiri sungai 11. Acu Kiri sungai 12. Beddu Kiri sungai 13. Rudi Kiri sungai 14. Lesno)19 Kiri sungai 18 15. Sulti) Kiri sungai 16. A. Kajiono)20 Kiri sungai Luas tambak di Sungai Tongkang 126.00 F. Sungai Rintisan: 1. Kurnain Kanan sungai Kisaran luas Jumlah 2. Baihaki Kanan sungai tambak pemilik 3. Gais Kanan sungai antara 6-12 tambak 43 4. H. Ugi)21 Kanan sungai ha/KK KK 5. Jamal Kanan sungai dengan rata6. Ramli Kanan sungai rata ±9 ha 7. H. Sahrun Kanan sungai 8. Mahlan)22 Kanan sungai 9. Rullah Kanan sungai )23 10. H. Durahman Kanan sungai 11. Hadi Kanan sungai 12. H. Durahman)23 Kanan sungai )24 13. Jamani Kanan sungai 14. Etek)9 Kanan sungai )1 15. H. Amat Kanan sungai 16. Mahlan)22 Kanan sungai 17. Misra Kanan sungai 18. Udin)7 Kanan sungai )8 19. Anang Kanan sungai 20. Jamani)24 Kanan sungai 21. Etek)9 Kanan sungai 22. Idur Kanan sungai 23. H. Aini Kanan sungai )25 24. Nadi Kanan sungai
60
Lampiran 2 Daftar nama pemilik tambak di kawasan SM Kuala Lupak (Lanjutan) No. Nama Pemilik Posisi Sungai Rintisan: 25. Lainun Kanan sungai )1 26. Basir Kiri sungai 27. Irin Kiri sungai 28. Pani Kiri sungai 29. Pandut Kiri sungai )26 30. Sahbirin Kiri sungai 31. Nadi)25 Kiri sungai 32. Irul Kiri sungai 33. Jailani Kiri sungai 34. Anang)8 Kiri sungai 35. Sukiri Kiri sungai 36. Mail Kiri sungai 37. Mastor Kiri sungai 38. Amruni Kiri sungai 39. Yahya Kiri sungai 40. Azis Kiri sungai )13 41. Asan Kiri sungai 42. Suriansyah)6 Kiri sungai 43. H. Noordin Kiri sungai 44. Takin)27 Kiri sungai 45. Takin)27 Kiri sungai 46. Tatap Kiri sungai 47. Arup Kiri sungai )10 48. Ahmad Kiri sungai 49. Ajis Kiri sungai )15 50. Iyan Kiri sungai Luas tambak di Sungai Rintisan: G. Sungai Pagatan: 1. Hatta Kanan sungai 2. Baharudin Kanan sungai 3. M. Syahdan )20 Kanan sungai 4. Armani Kanan sungai 5. Supian Kanan sungai 6. Agus Kanan sungai 7. Ratno/Nono Kanan sungai 8. Idar Kanan sungai )28 9. Amat Kanan sungai 10. Madi Kanan sungai 11. Ungkis/Abdullah Kanan sungai 12. Isur Kanan sungai 13. H. Udin Kanan sungai 14. Sumardi Kiri sungai )19 15. Ibar Kiri sungai 16. Amat )28 Kiri sungai
Luas (Ha)
Keterangan
445.00 Kisaran luas tambak antara 515ha/KK dengan ratarata ±10 ha
Jumlah pemilik tambak 22 KK
61 Lampiran 2 Daftar nama pemilik tambak di kawasan SM Kuala Lupak (Lanjutan) No. Nama Pemilik Posisi Luas (Ha) Keterangan Sungai Pagatan: 17. Ibar)19 Kiri sungai 18. Iwan Kiri sungai 19. Suri Kiri sungai 20. Arpandi Kiri sungai 21. Jesmo Kiri sungai 22. Baan Kiri sungai 23. Epeh Kiri sungai 24. Jani Kiri sungai Luas tambak di Sungai Pagatan: 234.0 H. Sungai Bahaur: 1. Arifin Kanan sungai Kisaran luas Jumlah 2. Yusup Kanan sungai tambak pemilik 3. Dong Kanan sungai antara 6-10 tambak 4. H. Sekkri Kanan sungai ha/KK 23 KK )2 5. Yanto Kanan sungai dengan rata6. Sema Kanan sungai rata ±8 ha 7. Tamein Kanan sungai 8. Sahbirin)26 Kanan sungai 9. Utuh Pagaluh Kanan sungai 10. Amat )28 Kanan sungai 11. Ali Akbar Kanan sungai 12. Kamah Kiri sungai 13. Saliha Kiri sungai 14. Idris Kiri sungai 15. Mansyah Kiri sungai 16. H. Ahip Kiri sungai 17. Uma Kiri sungai 18. Juada Kiri sungai 19. Darwis)4 Kiri sungai 20. H. Tamrin Kiri sungai 21. Sumit Kiri sungai 22. Abas Kiri sungai 23. Amir Kiri sungai Luas tambak di Sungai Bahaur : 182.00 Total tambak 189 buah Total pemilik tambak 156 KK Total luas tambak A+B+C+D+E+F+G 1,640 ha Ket: )*=pemilik yang memiliki lebih dari satu tambak, *=1,2,3 dst
62 Lampiran 3 Saran strategi berdasarkan kondisi eksisting aspek habitat Kondisi Eksisting Permasalahan Peluang - Kerapatan vegetasi di - Habitat referensi masih semua tingkat memberikan gambaran pertumbuhan rendah kondisi ekosistem yang belum mengalami degradasi, meski tidak
ideal.
- Hambatan regenerasi alami terutama jenis S. caseolaris yang merupakan pohon fundamental bekantan.
Saran Strategi - Habitat referensi acuan
dalam pelaksanaan restorasi. - Intervensi penanaman dengan prioritas jenis S. caseolaris disertai jenis pohon lainnya yang menjadi sumber pakan bekantan.
- Permudaan S. caseolaris - Penanaman menggunakan masih dijumpai di lokasi di bibit alami yang tersedia di luar habitat referensi yang lokasi untuk meningkatkan tidak dijumpai populasi peluang hidup tanaman, bekantan, yakni di tepi bibit buatan digunakan sungai di SMKL hanya jika propagule alami - Keberhasilan penanaman tidak tersedia secara alami. S. caseolaris pada habitat - Keberhasilan penanaman bekantan terdegradasi di S. caseolaris dapat dipelajari SM P.Kaget dan diacu dengan penyesuaian/ modifikasi sesuai karakteristik tapak di SMKL
- Dominansi tumbuhan - D. trifoliata memiliki bawah D. trifoliata potensi yang bisa menghambat regenerasi dimanfaatkan jenis mangrove mayor
- Pengendalian D. trifolita, secara ekologi dan mengembangkan peluang pemanfaatannya
63 Lampiran 4 Saran strategi berdasarkan aspek populasi bekantan Kondisi Eksisting Permasalahan Peluang - Habitat referensi bersifat open acces, lokasi menjadi jalur lalu lintas kelotok masyarakat yang akan ke lokasi tambak
- Populasi bekantan - Populasi bekantan di terkonsentrasi di habitat habitat referensi masih referensi pada luasan menunjukkan adaptasi sempit dan terisolasi terhadap kondisi habitat oleh habitat yang telah yang ada dikonversi menjadi areal budidaya, terpisah sejauh jarak ± 12 km dari populasi lainnya
Saran Strategi - Meningkatkan pengamanan habitat referensi dengan cara membatasi atau menutup lalu lintas kelotok yang melintasi wilayah ini untuk meminimalkan gangguan terhadap habitat bekantan - Menyediakan jalur lalu lintas alternatif bagi masyarakat - Restorasi jangka menengah diarahkan pada pembangunan koridor habitat yang dapat mempertemukan populasi bekantan yang ada di SMKL dengan populasi bekantan di luar kawasan
- Struktur populasi menunjukkan jumlah anakan
-Regenerasi bekantan masih berlangsung yang ditandai adanya populasi bayi dan remaja - Seks ratio dewasa (1:3.09) masih memenuhi sistem perkawinan bekantan yang polygini
-Mempertahankan kondisi habitat yang ada, dan mencegah adanya gangguan yang lebih luas terhadap habitat referensi yang ada
- Data demografi bekantan belum lengkap
-Monitoring populasi - Melengkapi data bekantan merupakan salah demografi bekantan satu kegiatan prioritas dengan membangun BKSDA dalam rangka baseline data sebagai mencapai peningkatan dasar pertimbangan populasi kegiatan pembinaan populasi
64 Lampiran 5 Saran strategi berdasarkan kondisi eksisting aspek sosial Permasalahan - Tambak di SMKL merupakan mata pencaharian utama masyarakat
Kondisi Eksisting Peluang -Bekantan tidak dianggap hama oleh masyarakat, sebagian masyarakat masih mengetahui pohon pakan dan pohon tidurnya
- Dukungan masyarakat (pelaku konversi lahan) rendah, ada indikasi menyabotase pertumbuhan tanaman dengan menutup pintu air
- Belum ada kelembagaan masyarakat serta belum ada kegiatan pendampingan masyarakat
- Pengawasan dan pengamanan kawasan SMKL belum efektif - Koordinasi antar sektor dalam penyelesaian perambahan SMKL masih lemah
Saran Strategi
- Program pengalihan tambak konvensional ke tambak ramah lingkungan - Memanfaatkan pengetahuan masyarakat sebagai strategi mempertahankan habitat bekantan dengan himbauan mempertahankan keberadaan jenisjenis pohon pakan atau pohon tidur bekantan dalam bentuk aturan lokal. - Sebagian besar - Meningkatkan sosialisasi masyarakat mengetahui program restorasi, status kawasan SMKL penyadartahuan sebagai kawasan mengenai fungsi konservasi ekosistem mangrove - Para petambak bersedia SMKL mendukung kegiatan - Pelibatan masyarakat restorasi jika ada peluang dalam kegiatan restorasi untuk meningkatkan mulai dari perencanaan pendapatan dan implementasi - Terdapat kelembagaan masyarakat non formal yang terbentuk atas dasar pekerjaan dan kesukuan
- Memfasilitasi pembentukan kelembagaan masyarakat pelestari mangrove yang anggotanya adalah aktor konversi lahan, dan mengintensifkan kegiatan pendampingan - Pencegahan adanya pembukaan tambak baru dengan meningkatkan pengamanan kawasan. - Meningkatkan koordinasi dengan jajaran pemda Kab. Barito Kuala terkait penyelesaian permasalahan perambahan SMKL, khususnya peluangpeluang mata pencaharian alternatif dengan meminimalisir kerusakan ekosistem mangrove SMKL
65
Lampiran 6 Peta strategi restorasi habitat bekantan SM Kuala Lupak: aspek ruang
67
RIWAYAT HIDUP
Mila Rabiati dilahirkan di Kandangan, Kalimantan Selatan pada tanggal 15 Maret 1977, merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, pasangan bapak Drs. Andy Hamdy dan ibu Narsah. Pendidikan S1 ditempuh pada Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru, tahun 1996 dan lulus pada tahun 2001. Tahun 2013 penulis memperoleh kesempatan tugas belajar karyasiswa dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (dulu: Kementerian Kehutanan) melanjutkan ke Program Magister Konservasi Biodiversitas Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui beasiswa pendidikan pascasarjana dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Manusia Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penulis bekerja sebagai Pengendali Ekosistem Hutan Muda di Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Selatan di Banjarbaru sejak bulan September 2011, dan sebelumnya di Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tenggara di Kendari pada tahun 2003 hingga Agustus 2011.