i
KARAKTERISTIK BILAH DAN BULUH BAMBU GOMBONG DAN MAYAN
SATRIA PRAWIRA DIRGA
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 i
iii
ABSTRACT E / THH
Characteristics of Bamboo Strip and Bamboo Culm on Gombong and Mayan Bamboo 1) Satria Prawira Dirga, 2)Naresworo Nugroho, 2) Effendi Tri Bahtiar
INTRODUCTIONS. The availability of wood raw material for construction materials is currently experiencing shortages that resulting in a lack of supply to meet the development needs in the future. One of natural resources that is promising as a wood substitute material is bamboo. This is because bamboo has the advantages of a fast growing plant and a relatively short cycle (3-4 years). In its use in society, bamboo as a construction material is widely used in the form of whole round (reed). The purpose of this study are: 1) Identify the anatomical properties providing the types of vascular bonding and vascular vast proportions, 2) To compare the physical and mechanical properties on the nodes and segments (internodes), 3) To compare the result of mechanical properties of bamboo strips of Gombong bamboo (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro) and Mayan bamboo (Gigantochloa robusta Kurz.) with bamboo culms, and 4) To know the relationship between the anatomical properties as an estimation of the mechanical strength of bamboo. MATERIALS AND METHOD. Bamboo species that used in the experimen were gombong bamboo and mayan bamboo those bamboo has been aged 3-4 years, and were cut from bamboo plantations at Dramaga IPB. Preparation the mechanical properties of bamboo strips test specimen refered to the standard ASTM D 143-94. While the mechanical properties of bamoo culm test specimen was based on ISO 22157-1: 2004 that has been modified. RESULTS AND DISCUSSION. The types of vessels in the Gombong bamboo had III and IV bond types. Vascular distribution of the bond density of the Gombong bamboo and Mayan bamboo in the horizontal direction tended to decrease from the edge to the inside, whereas in the vertical direction had a tendency to increase from the base to the top. Physical and mechanical properties of Gombong bamboo and Mayan bamboo on the segment (internode) were better than the physical and mechanical properties of Gombong bamboo and Mayan bamboo in the node. Anatomical properties contributing to the stability and strength was a good indicator in estimating the strength of bamboo. Recommendation for further research is necessary to the appearance of microscopic observation and chemical properties of Gombong bamboo and Mayan bamboo on the nodes and segments bamboo in order to complement the results of this study. Similar research on different species of bamboo is needed in order to know the potential diversification of wood to bamboo viewed from physical and mechanical properties. Keywords: Bamboo, Gigantochloa verticillata,Gigantochloa robusta, Mechanical Property. 1). 2).
Student of Forest Product Departement, Faculty of Forestry IPB; Lecturer of Forest Product Departement, Faculty of Forestry IPB
iv
RINGKASAN Satria Prawira Dirga. E24070087. Karakteristik Bilah dan Buluh Bambu Gombong dan Mayan. Dibimbing Oleh Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Sc dan Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, M.Si.
Ketersediaan bahan baku kayu untuk bahan konstruksi saat ini mengalami kelangkaan yang mengakibatkan kurangnya pasokan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di masa yang akan datang. Salah satu sumberdaya alam yang cukup menjanjikan sebagai bahan substitusi kayu adalah bambu. Karena bambu memiliki keunggulan sebagai tanaman cepat tumbuh dan mempunyai daur yang relatif pendek (3-4 tahun). Dalam pemakaiannya di masyarakat, bambu sebagai bahan konstruksi banyak dipakai dalam bentuk bulat utuh (buluh). Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan suatu informasi mengenai sifat fisis dan mekanis bambu agar dapat digunakan di lapangan. Dengan demikian diperlukan suatu terobosan yang dapat membantu menetapkan suatu penggunaan bambu secara tepat melalui identifikasi sifat-sifat dasar buluh bambu dalam penggunaan tertentu. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1.Indentifikasi sifat anatomi berupa tipe ikatan veskuler dan proporsi luas vaskuler bagian tepi, inti, dan dalam dan pangkal, tengah dan ujung pada buku (node) dan ruas (internode) bambu gombong dan bambu mayan, 2.Membandingkan sifat fisis dan mekanis buku dan ruas bambu gombong dan bambu mayan, 3.Membandingkan sifat mekanis bilah bambu gombong dan mayan dengan buluh utuhnya, 4.Mengetahui hubungan antara sifat anatomi sebagai pendugaan kekuatan mekanis suatu bambu. Bambu diujikan sifat anatominya berupa tipe ikatan vaskuler dan proporsi luas vaskuler, membandingkan sifat fisis dan mekanis pada bagian buku (node) dan ruas (internode), dan membandingkan nilai hasil pengujian sifat mekanis dengan buluh utuhnya dari bambu gombong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro) dan bambu mayan (Gigantochloa robusta Kurz.). Informasi sifat fisis dan mekanis bambu apabila digunakan di lapangan dapat dilakukan melalui pengujian yang mengacu pada standar yang ada yaitu ASTM D 143-94 untuk bilah bambu dan ISO 22157-1:2004 untuk pengujian buluh utuh (full scale) sehingga bisa
v
memberikan informasi pada masyarakat dalam pembangunan konstruksi dari bambu. Tipe ikatan pembuluh pada bambu gombong memiliki tipe ikatan III dan IV. Distribusi kerapatan ikatan vaskuler bambu gombong dan bambu mayan pada arah horizontal cenderung mengalami penurunan dari tepi ke bagian dalam, sedangkan pada arah vertikal batang cenderung mngalami peningkatan dari pangkal ke bagian ujung. Sifat fisis dan mekanis bambu gombong dan bambu mayan pada bagian ruas (internode) cenderung lebih baik dibandingkan sifat fisis dan mekanis bambu gombong dan bambu mayan pada bagian buku (node). Sifat anatomi memberikan kontribusi dalam stabilitas kekuatan dan merupakan indikator yang baik dalam pendugaan kekuatan bambu. Saran
untuk
penelitian
selanjutnya
perlu
dilakukan
pengamatan
penampakan mikroskopis dan sifat kimia bambu gombong dan bambu mayan pada bagian buku dan ruas bambu agar melengkapi hasil penelitian ini. Perlu dilakukan penelitian serupa terhadap jenis bambu yang berbeda agar diketahui potensi diversivikasi kayu ke bambu dilihat dari sifat fisis dan mekanisnya.
Kata Kunci : Bambu, bambu gombong, bambu mayan, sifat fisis bambu, sifat mekanis bambu.
vi
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “KARAKTERISTIK BILAH DAN BULUH BAMBU GOMBONG DAN MAYAN” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2012
Satria Prawira Dirga NIM E24070087
ii
KARAKTERISTIK BILAH DAN BULUH BAMBU GOMBONG DAN MAYAN
SATRIA PRAWIRA DIRGA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
vii
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi
:
Karakteristik Bilah dan Buluh Bambu Gombong dan Mayan
Nama Mahasiswa
:
Satria Prawira Dirga
NIM
:
E24070087
Program Studi
:
Teknologi Hasil Hutan
Menyetujui, Komisi Pembimbing,
Ketua,
Anggota,
Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Sc
Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, M.Si
NIP. 19650122 198903 1 002
NIP. 19760212 200012 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc NIP: 19660212 199103 1 002 Tanggal Lulus :
viii
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dengan judul “KARAKTERISTIK BILAH DAN BULUH BAMBU GOMBONG DAN MAYAN” bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai. Melalui penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan efesiensi dan efektifitas pemakaian bahan baku bambu sebagai substitusi bahan kayu dalam memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kayu. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang berguna bagi pemanfaatan bambu. Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih perlu dikembangkan lagi bagi kesempurnaan penelitian selanjutnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan masyarakat pada umumnya.
Bogor, Mei 2012
Penulis
ix
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lubuk Linggau pada tanggal 30 November 1989 dari pasangan Ayahanda Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Sc dan Ibunda Ir. Anneke Anggraeni, M.Si, Ph.D. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis memulai pendidikan formal di SDN Polisi I pada tahun 1995 dan lulus pada tahun 2001, kemudian melanjutkan di SMP-IT Nurul Fikri Anyer dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan jenjang pendidikan ke SMA Bina Bangsa Sejahtera Bogor. Penulis kemudian terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama perkuliahan, selain mengikuti kegiatan akademis, penulis juga berpartisipasi dalam organisasi kemahasiswaan yaitu menjadi anggota organisasi himpunan profesi mahasiswa (Himpro) DHH yang bernama Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) tahun 2009-2010 sebagai anggota. Pada tahun 2008 penulis mengikuti kepanitiaan Bina Corps Rimbawan (BCR) dan menjadi ketua Divisi PDD salah satu acara HIMASILTAN (KOMPAK). Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) jalur Gunung Burangrang-Cikeong Jawa Barat dan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di hutan pendidikan Gunung Walat Jawa Barat. Selanjutnya, penulis mengikuti Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Barito Pacific, Kalimantan Selatan selama dua bulan dari bulan Juli hingga bulan Agustus 2011. Penulis melakukan penelitian dengan judul “KARAKTERISTIK BILAH DAN BULUH BAMBU GOMBONG DAN BAMBU MAYAN” dengan bimbingan Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.S dan Efendi Tri Bachtiar, S.Hut, M.Si.
x
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.S dan Effendi Tri Bachtiar, S.Hut, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan, dan memberikan banyak ilmu serta wawasan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Ir. Ahmad Hadjib, M.S selaku dosen penguji. 3. Bapak Dr. Ir. Sucahyo Sadiyo, M.S selaku dosen moderator. 4. Seluruh dosen dan staf Fakultas Kehutanan IPB. 5. Orang tua tercinta, Bapak Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Sc dan Ibu Ir. Anneke Anggraeni, M.Si, Ph.D atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis. 6. Kakak penulis, Anggi Mayang Sari, S.Si atas semangat dan dukungan serta doa yang telah diberikan kepada penulis. 7. Hayya Maharatih Tegarini atas doa, bantuan, kasih sayang, semangat dan dukungan yang telah diberikan dalam penyusunan skripsi ini. 8. Teman-teman THH angkatan 44 terutama kepada Syamsi, Djayus, Harisfan, Ridho, Renato, Punto, Mardiyanto, Fetri, Dina dan Esi serta seluruh mahasiswa FAHUTAN angkatan 44 yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas dukungan, semangat dan kerjasamanya selama menempuh kuliah di Fakultas Kehutanan IPB. 9. Teman-teman satu bimbingan: Azhar Anas dan Ria Leliana. Terima kasih atas kebersamaan dan bantuannya kepada penulis selama melaksanakan penelitian. 10. Semua pihak yang telah membantu kelancaran studi penulis baik selama kuliah maupun dalam penyelesaian skripsi ini. Bogor, Mei 2012 Penulis
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI......................................................................................................... xi DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................xv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN1 1.1
Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2
Tujuan....................................................................................................... 2
1.3
Manfaat Penelitian.................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA4 2. 1. Bambu ......................................................................................................... 4 2.1.1 Potensi Bambu ....................................................................................... 5 2.2 Sifat-sifat Bambu .......................................................................................... 6 2.2.1 Sifat Anatomis Bambu ........................................................................... 6 2.2.2 Sifat Fisis ............................................................................................... 9 2.2.3 Sifat Mekanis ....................................................................................... 11 2.3 Bambu Gombong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro) .................. 12 2.4 Bambu Mayan ( Gigantochloa robusta Kurz.) ........................................... 13 BAB III METODOLOGI15 3.1 Waktu dan Tempat ...................................................................................... 15 3.2 Alat dan Bahan ............................................................................................ 15 3.3 Metode Penelitian ....................................................................................... 15 3.3.1 Persiapan Bambu ................................................................................. 15 3.3.2 Pembuatan Contoh Uji ......................................................................... 17 3.3.3 Pengujian Contoh Uji ........................................................................... 22 3.4 Analisis Data ............................................................................................... 26 BAB IV PEMBAHASAN28 4. 1 Sifat Anatomi ............................................................................................. 28
xii
4. 1. 1 Bentuk Batang Bambu ....................................................................... 28 4. 1. 2 Tipe Ikatan Vaskuler .......................................................................... 29 4. 1. 3 Distribusi Ikatan Vaskuler ................................................................. 31 4. 2 Sifat Fisis ................................................................................................... 35 4. 2. 1 Kadar Air ........................................................................................... 35 4. 2. 2 Berat Jenis dan Kerapatan .................................................................. 36 4. 3 Sifat Mekanis ............................................................................................. 42 4. 3. 1 Modulus of Elasticity (MOE) ............................................................ 42 4. 3. 2 Modulus of Rupture (MOR) .............................................................. 45 4. 3. 3 Kekuatan Tarik ................................................................................... 48 4. 3. 4 Kekuatan Tekan Sejajar Serat ............................................................ 52 4. 3. 5 Kekuatan Geser Sejajar Serat ............................................................. 56 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN59 5. 1 Kesimpulan ................................................................................................ 59 5. 2 Saran .......................................................................................................... 59 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................60 LAMPIRAN ..........................................................................................................63
xiii
DAFTAR TABEL No
Hal
1. Sifat fisis dan mekanis pada lima jenis bambu ................................................. 12 2. Skema pembagian batang bambu ...................................................................... 16 3. Pengukuran dimensi buluh dan taper................................................................ 29 4. Tipe ikatan vaskuler pada Bambu Gombong dan Bambu Mayan .................... 30 5. Pengujian kadar air kering udara pada jenis Bambu Gombong dan Mayan ..... 35 6. Tabel pengujian berat jenis (BJ) ....................................................................... 36 7. Nilai pengujian kerapatan ................................................................................. 37 8. Pengujian statistik KA, BJ dan kerapatan ......................................................... 38 9. Hubungan korelasi antara faktor KA, BJ dan kerapatan ................................... 39 10. Hasil analisa statistik pengujian penyusutan dimensi bambu pada bilah ....... 41 11. Uji korelasi KA, BJ dan penyusutan dimensi ................................................. 42 12. Nilai MOE (kgf/cm2) rata-rata pada jenis Bambu Gombong dan Mayan....... 43 13. Nilai MOR (kgf/cm2) pada Bambu Gombong dan Mayan ............................. 45 14. Uji statistik terhadap pengujian MOE dan MOR pada bilah .......................... 46 15. Korelasi antara nilai KA, BJ, MOE dan MOR pada bilah .............................. 47 16. Hasil pengujian statistik nilai MOE dan MOR pada buluh ............................ 47 17. Korelasi antara nilai MOE, MOR, KA, dan BJ pada buluh ............................ 48 18. Nilai keteguhan tarik sejajar serat (kgf/cm2) pada Bambu Gombong dan Mayan ............................................................................................................... 48 19. Hasil analisa statistik pada pengujian tarik sejajar serat ................................. 51 20. Hubungan korelasi antara KA, BJ, dan tarik sejajar serat .............................. 52 21. Nilai keteguhan tekan sejajar serat (kgf/cm2) pada jenis Bambu Gombong dan Mayan ....................................................................................... 53 22. Hasil analisa statistik pada pengujian tekan sejajar serat bilah ....................... 54
xiv
23. Hasil analisa korelasi antara KA, BJ, dan keteguhan tekan sejajar serat pada bilah.......................................................................................................... 55 24. Hasil analisa statistik keteguhan tekan sejajar serat buluh ............................. 55 25. Hasil uji korelasi antara KA, BJ, dan tekan sejajar serat buluh ...................... 56 26. Nilai keteguhan geser sejajar serat (kgf/cm2) ................................................ 56 27. Hasil analisa statistik pengujian keteguhan geser sejajar serat ....................... 57 28. Hasil analisa korelasi antara KA, BJ dan keteguhan geser sejajar serat ......... 58
xv
DAFTAR GAMBAR No
Hal
1. Potensi tanaman bambu di Indonesia .................................................................. 6 2. Tipe ikatan vaskuler pada bambu........................................................................ 8 3. Bagan pembagian batang bambu ...................................................................... 15 4. Contoh pengukuran diameter bambu pada setiap (a) ruas dan (b) buku ........... 17 5. Spesimen sifat anatomi ..................................................................................... 18 6. Spesimen KA, BJ, kerapatan dan penyusutan dimensi ..................................... 18 7. Spesimen pengujian pengembangan dimensi ................................................... 19 8. Pengambilan bilah contoh uji MOE dan MOR ................................................. 19 9. Contoh uji MOE dan MOR bilah ...................................................................... 20 10. Pengujian MOE dan MOR full scale .............................................................. 20 11. Contoh uji tekan sejajar serat pada bilah ........................................................ 20 12. Contoh pengujian tekan sejajar pada buluh (a) ruas dan (b) buku .................. 21 13. Contoh uji tarik sejajar serat (a) tampak atas (b) tampak samping ................. 21 14. Contoh uji geser .............................................................................................. 22 15. Bentuk batang bambu Gombong bagian (a) pangkal (b) tengah dan (c) ujung .............................................................................................................. 28 16. Bentuk batang Bambu Mayan (a) pangkal (b) tengah dan (c) ujung .............. 28 17. a) Ikatan Pembuluh Tipe IV pada bagian pangkal ruas tengah b) Ikatan Pembuluh Tipe III pada bagian tengah ruas tengah c) Ikatan Pembuluh Tipe III pada bagian ujung buku tengah ........................................................ 30 18. a) Ikatan Pembuluh Tipe III pada bagian pangkal ruas dalam b) Ikatan Pembuluh Tipe III pada bagian tengah buku tengah c) Ikatan Pembuluh Tipe III pada bagian ujung ruas tengah.......................................................... 31 19. (a) Jumlah vaskuler/mm2 dan (b) proporsi luas vaskuler arah horizontal....... 32
xvi
20. Sayatan mikro pada penampang lintang (a) ruas pangkal bambu dan (b) buku pangkal Bambu Gombong .................................................................... 33 21. Sayatan mikro pada penampang lintang (a) ruas pangkal bambu dan (b) buku pangkal Bambu Mayan ......................................................................... 33 22. (a) Jumlah vaskuler/mm2 dan (b) proporsi luas vaskuler arah vertikal........... 34 23. Diagram kadar air (%) pada bilah bambu ...................................................... 35 24. Diagram pengujian berat jenis pada ketiga bagian posisi vertikal .................. 37 25. Diagram hasil pengukuran pengujian kerapatan (g/cm3) ................................ 37 26. Nilai (a) penyusutan dan (b) pengembangan dimensi pada Bambu Gombong dan Mayan ..................................................................................... 40 27. Posisi nilai MOE pada bagian pangkal, tengah dan ujung .............................. 43 28. Diagram elastisitas bilah dan buluh utuh bambu ............................................ 44 29. Diagram nilai MOR pada bagian pangkal, tengah dan ujung ......................... 45 30. Diagram keteguhan tarik sejajar serat ............................................................. 49 31. Contoh uji tarik sejajar serat ........................................................................... 50 32. Contoh kerusakan pada pengujian tarik sejajar serat ...................................... 50 33. Keteguhan tekan sejajar serat .......................................................................... 53 34. Diagram kekuatan geser sejajar serat .............................................................. 56
xvii
DAFTAR LAMPIRAN No
Hal
1. Data bentuk buluh bambu ................................................................................. 64 2. Tipe ikatan vaskuler pada masing-masing bagian ............................................ 66 3. Pengujian sifat anatomi bambu ......................................................................... 69 4. Data pengujian kadar air (KA) kering udara ..................................................... 70 5. Data pengujian berat jenis (BJ) .......................................................................... 70 6. Data pengujian kerapatan (g/cm3) ..................................................................... 70 7. Output analisa statistik pengujian kadar air (KA) dan berat jenis (BJ) ............. 71 8. Output analisa statistik pengujian susut dimensi .............................................. 74 9. Analisa korelasi pengujian penyusutan volume dengan faktor KA dan BJ ....... 75 10. Data pengujian MOE (kgf/cm2) pada bilah ..................................................... 76 11. Data pengujian MOR (kgf/cm2) pada bilah .................................................... 76 12. Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR pada bilah ....................... 77 13. Analisa korelasi pengujian MOE dan MOE dengan faktor KA dan BJ........... 80 14. Data pengujian MOE (kgf/cm2) pada buluh ................................................... 81 15. Data pengujian MOR (kgf/cm2) pada buluh ................................................... 81 16. Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR pada buluh utuh .............. 82 17. Analisa korelasi pengujian MOE dan MOR buluh dengan faktor KA dan BJ ................................................................................................................... 85 18. Data pengujian tarik sejajar serat (kgf/cm2) pada bilah .................................. 86 19. Gambar contoh uji tarik terserang oleh kumbang bubuk Anobium sp ............ 87 20 Output analisa statistik pengujian tarik sejajar serat ........................................ 88 21. Analisa korelasi pengujian tarik sejajar serat dengan faktor KA dan BJ ........ 89 22. Data pengujian tekan sejajar serat (kgf/cm2) pada bilah ................................. 90 23. Output analisa statistik pengujian keteguhan tekan sejajar serat .................... 91
xviii
24. Analisa korelasi pengujian tekan pada bilah dengan faktor KA dan BJ ......... 92 25. Data pengujian tekan sejajar serat (kgf/cm2) pada buluh ................................. 93 26. Analisa statistik pengujian keteguhan tekan sejajar pada buluh ..................... 94 27. Analisa korelasi pengujian keteguhan tekan buluh dengan faktor KA dan BJ ................................................................................................................... 95 28. Data pengujian geser sejajar serat (kgf/cm2) pada buluh ................................ 96 29. Analisa statistik pengujian keteguhan geser sejajar serat ............................... 97 30. Analisa korelasi pengujian keteguhan geser sejajar serat dengan faktor KA dan BJ ...................................................................................................... 98
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Saat ini kayu merupakan salah satu bahan baku utama konstruksi.
Kebutuhan kayu sebagai bahan bangunan serta bahan baku industri pada saat ini cenderung semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, sedangkan pasokan kayu dari hutan alam tidak dapat mencukupi kebutuhan tersebut karena eksploitasi hutan yang berlebihan, konversi lahan dan kebakaran hutan. Pemakaian bahan baku kayu yang berlebihan berdampak terhadap persediaan jumlah bahan baku berupa kayu untuk industri yang dipasok oleh hutan alam selalu mengalami penurunan dari tahun ke tahun dan menyebabkan jumlah kayu mencapai tingkat kelangkaan. Kelangkaan dan ketergantungan terhadap kayu yang dipasok oleh hutan alam juga berdampak terhadap ketersediaan kayu untuk bahan konstruksi, yang mengakibatkan kurangnya pasokan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah material khusus sebagai bahan subtitusi kayu. Salah satu sumberdaya alam yang cukup menjanjikan sebagai bahan substitusi kayu adalah bambu, yang memiliki keunggulan sebagai tanaman cepat tumbuh dan mempunyai daur yang relatif pendek (3-4 tahun). Menurut Dransfield dan Widjaja (1995) bambu merupakan salah satu jenis rumput-rumputan yang termasuk famili Graminae yang berpotensi sebagai bahan baku pengganti kayu untuk bahan bangunan dan mebel. Bambu terbagi atas dua bagian yaitu bagian buku (node) dan ruas (internode). Pada bagian buku diisi oleh diafragma yang membatasi rongga bambu, diafragma ini menyusun bagian buku. Pada penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa kekuatan tertinggi terdapat pada bagian ruas (internode) (Yap 1967). Dalam pemanfaatanya bambu dikenal sebagai bahan yang hanya digunakan untuk peralatan sederhana, kerajinan, peralatan rumah-tangga, dan adapun penggunaan konstruksi “outdoor” seperti jembatan. Bambu sebagai bahan konstruksi banyak dipakai dalam bentuk bulat utuh (buluh). Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan suatu informasi mengenai sifat fisis dan mekanis
1
2
bambu agar dapat digunakan di lapangan, dengan demikian diperlukan suatu terobosan yang dapat membantu menetapkan suatu penggunaan bambu secara tepat melalui identifikasi sifat-sifat dasar buluh bambu dalam penggunaan tertentu. Informasi sifat fisis dan mekanis bambu apabila digunakan di lapangan dapat dilakukan melalui pengujian yang mengacu pada standar yang ada yaitu ASTM D 143-94 untuk bilah bambu dan ISO 22157-1:2004 untuk pengujian buluh utuh (full scale) sehingga bisa memberikan informasi pada masyarakat dalam pembangunan konstruksi dari bambu. Penelitian mengenai sifat-sifat dasar bambu telah banyak dilakukan. Namun sebagian besar menggunakan contoh uji berupa bilah. Oleh karena itu diperlukan suatu terobosan konversi sifat-sifat bilah menjadi sifat bambu utuh, terkait dengan bentuk yang khas yaitu seperti pipa yang disusun secara periodik. Dalam penelitian yang dilakukan digunakan dua jenis bambu yaitu bambu gombong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro) dan bambu mayan (Gigantochloa robusta Kurz) yang biasa digunakan sebagai bahan konstruksi oleh masyarakat Indonesia. 1.2
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah a. Indentifikasi sifat anatomi berupa tipe ikatan vaskuler dan proporsi luas vaskuler bagian tepi, inti, dan dalam serta pangkal, tengah dan ujung pada buku (node) dan ruas (internode) bambu gombong dan bambu mayan. b. Membandingkan sifat fisis dan mekanis buku (node) dan ruas (internode) bambu gombong dan bambu mayan. c. Membandingkan sifat mekanis bilah bambu gombong dan mayan dengan buluh utuhnya. d. Mengetahui hubungan antara sifat anatomi sebagai pendugaan kekuatan mekanis bambu.
3
1.3
Manfaat Penelitian Memberikan informasi mengenai perbedaan sifat-sifat dasar (anatomi, fisis
dan mekanis) pada bagian buku (node) dan ruas (internode) bambu gombong dan bambu mayan. Penelitian ini juga sangat penting untuk aplikasi engeneering karena dapat digunakan untuk menentukan faktor koreksi dari sifat mekanis bilah ke buluh utuhnya.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Bambu Bambu merupakan tumbuhan yang termasuk ke dalam famili Graminaeae sub-famili Bambusoideae, dari suku Bambuceae. Bambu merupakan rumputrumputan berkayu yang tumbuh sangat cepat dibandingkan pohon. Bambu adalah tumbuhan yang batang-batangnya berbentuk buluh, beruas, berbuku-buku, berongga, mempunyai cabang, berimpang dan mempunyai daur buluh yang menonjol (Dransfield dan Widjaja 1995). Selanjutnya, diameter batang bambu tergantung dari spesiesnya dan lingkungan tempat tumbuh, dengan nilai bervariasi antara 0,5–20 cm. Besar diameter batang dewasa dapat diketahui dari besar diameter rebung bambu yang masih muda. Bambu dibagi menjadi bagian-bagian kecil oleh jaringan lateral, yaitu bagian buku (node) dan ruas (internode). Batang bambu terdiri atas sel parenkim, serabut dan pembuluh (Liese 1980). Tanaman bambu di Indonesia ditemukan di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian sekitar 3000 m dpl terutama di Jawa, Bali, Sulawesi Selatan dan Sumatra (Reilingh 1921, Heyne 1950 dalam Sulthoni 1994). Menurut Widjaja (2001), jumlah bambu di Indonesia terdiri atas 143 jenis, dengan 60 jenis diperkirakan tumbuh di Jawa. Pertumbuhan bambu di hutan alam mencapai 400 kg/ha/tahun, bahkan di hutan hujan dapat mencapai 4-5 kalinya apabila dilakukan
manajemen pengelolaan yang baik (pengelolaan tanah,
pemupukan, dan penjarangan) serta terlindung dari penggembalaan (Adkoli 1994). Namun, data resmi adanya hutan bambu di Indonesia hampir tidak ada, kecuali di dua lokasi di Jawa Timur seluas ± 30.000 ha dan di Sulawesi Selatan seluas ± 25.000 ha (Widjaja 1980). Selama ini, manfaat terhadap penggunaan bambu telah lama digunakan untuk keperluan rumah tangga seperti kontainer, sumpit, tikar tenunan, pancing, kerajinan tangan, dan mebel. Selain itu bambu juga telah banyak digunakan dalam aplikasi bangunan, seperti lantai, langit-langit, dinding, jendela, pintu, pagar, atap perumahan, gulungan, kasau dan purlin, bahkan digunakan dalam konstruksi sebagai bahan struktural untuk jembatan, fasilitas transportasi air dan langit-langit
5
(Li 2004). Pada umur 1-2 tahun batang bambu cocok dipanen untuk tujuan produksi pulp dan barang kerajinan tangan. Umur 3 tahun, batang bambu umumnya cocok dipanen sebagai bahan bangunan, furniture dan industri lainnya. Menurut Martawijaya (1977) dalam Nandika et al. (1994) 80% bambu di Indonesia digunakan untuk konstruksi (termasuk mebel), 10% untuk bahan pembungkus, 5% untuk bahan baku kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sarana pertanian dan lain-lain. Janssen (1981) menyatakan bambu mempunyai sifat ramah lingkungan (tidak terlalu banyak menghabiskan energi) sama seperti kayu, energi regangannya seefisien baja dan ketahanannya terhadap lendutan serta lengkungan sebagus kayu terutama saat gempa, mempunyai sifat mekanis lebih baik dibanding dengan bata, beton, kayu, bahkan baja. Bambu diperoleh dari tegakan alam dari hasil kegiatan budidaya yang dilakukan oleh manusia melalui perbanyakan dengan berbagai metode, baik secara generatif melalui biji dan perbanyakan bambu, maupun secara vegetatif melalui pemotongan rimpang akar, stek batang, stek cabang, stump batang dalam rumpun bambu, dan kultur jaringan. Pemanenan bambu bergantung pada umur, musim, dan bagian yang digunakan (batang atau rebung). Sulthoni (1987) dalam Dransfield dan Widjaja (1995) mengatakan pemanenan bambu untuk produksi batang dilakukan selama musim kemarau atau pada awal musim kemarau untuk mencegah bambu terserang penggerek. Selama musim kemarau, kandungan pati juga sangat rendah. Menurut Mc Clure (1953), sifat-sifat yang menentukan kegunaan bambu adalah rata-rata dimensi batang, keruncingan batang, kelurusan batang, ukuran dan distribusi cabang, panjang ruas batang, bentuk dan proporsi ruas, proporsi relatif jaringan yang ada, kerapatan dan kekuatan kayu, serta kemudahan diserang jamur dan serangga. 2.1.1 Potensi Bambu Hasil penelitian Darmono (1963) dalam Sulthoni (1994) melaporkan bahwa rata-rata produksi bambu apus di Jawa Timur adalah 7,5 ton/ha/tahun. Hasil studi tim Fakultas Kehutanan UGM yang dilaporkan Sulthoni (1994) menunjukkan taksiran potensi bambu di D.I. Yogyakarta 2.900.000 batang/tahun,
6
Jawa Barat 14.130.000 batang/tahun, Jawa Tengah 24.730.000 batang/tahun, dan Jawa Timur 29.950.000 batang/tahun. Hasil Sensus Pertanian 2003 dalam BPS (2004) menunjukkan bahwa di Indonesia tercatat sekitar 4,73 juta rumah tangga yang mengusai tanaman bambu dengan populasi
yang dikuasai mencapai 37,93 juta rumpun atau rata-rata
penguasaan per rumah tangganya sebesar 8,03 rumpun. Dari total sebanyak 37,93 juta rumpun tanaman bambu, sekitar 27,88 juta rumpun atau 73,52 persen diantaranya adalah merupakan tanaman bambu yang siap tebang. Apabila diamati lebih lanjut pada Gambar 1, seperti halnya tanaman akasia, tanaman bambu lebih banyak ditanam di Jawa yaitu mencapai 29,14 juta rumpun atau sekitar 76,83% dari total populasi bambu Indonesia, sedangkan sisanya sekitar 8,79 juta rumpun (23,17%) berada di luar Jawa. Tanaman bambu di Jawa terkonsentrasi di tiga propinsi berturut-turut adalah di
Jawa Barat
(28,09%), Jawa Tengah (21,59%), dan Jawa Timur (19,38%), sementara di luar Jawa di Propinsi Sulawesi Selatan (3,69%) (BPS 2004).
27%
28% Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan
4%
Lainnya 19%
22%
Sumber: BPS 2004
Gambar 1 Potensi tanaman bambu di Indonesia. 2.2 Sifat-sifat Bambu 2.2.1 Sifat Anatomis Bambu Batang bambu tersusun atas sel-sel parenkim yang membentuk jaringan dasar dan ikatan vaskular (vascular bundle) yang mengandung pembuluh (vessel), pembuluh tapis (sieve tubes) dan serat/sklerenkim (fibre). Batang bambu terdiri dari 50% parenkim, 40% serat/sklerenkim dan 10% sel-sel penghubung
7
(pembuluh dan pembuluh tapis). Parenkim dan sel-sel penghubung lebih banyak ditemukan pada bagian dalam batang bambu, sedangkan pada bagian luar batang persentase serat/sklerenkim lebih tinggi (Liese 1980). Lebih lanjut, Liese (1980) menyatakan bahwa secara anatomis, bambu sulit dilalui cairan karena struktur dinding selnya berlapis-lapis serta hanya terdiri dari serat aksial pada bagian ruas. Bagian terluar batang bambu terbentuk dari lapisan tunggal sel epidermis, dan sedikit ke bagian dalamnya ditutupi oleh lapisan sel sklerenkim. Jaringan dasar pada bambu tersusun atas : a. Parenkim Jaringan dasar terdiri dari sel-sel parenkim yang pendek, umumnya memanjang secara vertikal (100 x 20 μm) berbentuk seperti kubus yang saling menyisip satu dengan lainnya. Sel-sel tipe ini memiliki dinding yang tebal serta mengalami lignifikasi pada tahap awal pertumbuhan rebungnya. Sel-sel yang berukuran lebih pendek dicirikan oleh sitoplasma tebal dan berdinding tipis, serta tidak menunjukkan terjadinya lignifikasi walau batang menjadi dewasa dan aktifitas sitoplasma tetap berlangsung sepanjang waktu. Sel-sel parenkim saling berhubungan satu dengan lainnya melalui noktah sederhana berukuran kecil yang terdapat pada dinding longitudinal (Liese 1980). b. Ikatan Vaskular Menurut Dransfield dan Widjaja (1995), ikatan vaskular pada batang bambu terdiri dari xylem dengan 1–2 elemen protoxylem berukuran kecil dan 2 pembuluh metaxylem berukuran besar (diameter 40–120 μm) dan floem yang berdinding tipis, pembuluh tapis tidak berlignin yang saling berhubungan untuk menggabungkan sel-sel. Jaringan floem dan pembuluh metaxylem dikelilingi oleh selubung sklerenkim. Pada bagian luar batang, ikatan vaskular berukuran kecil dalam jumlah banyak, sedangkan pada bagian dalam batang berukuran besar dalam jumlah sedikit. Jumlah ikatan vaskular berkurang dari bagian luar ke bagian dalam batang bambu, dan dari bawah ke ujung batang. Lebih lanjut Tamolang et al. (1980) menjelaskan dengan rinci bahwa ikatan vaskular beragam dalam formulasi (susunan), ukuran, jumlah, dan bentuk. Bentuk formulasi ikatan vaskular antara lain peripheral, transisional, central, dan inner. Peripheral memiliki ikatan vaskular berukuran kecil dalam jumlah banyak
8
yang tersusun secara tangensial, transisional membentuk ikatan yang tidak sempurna, central membentuk ikatan yang sempurna, sedangkan inner umumnya berukuran kecil, sederhana, dan sering tidak beraturan. Menurut Liese dan Groser (1973) dalam Setiadi (2009), pada umumnya jenis bambu mempunyai ikatan serabut (fibre bundle) yang terpisah pada sisi dalam atau sisi luar ikatan vaskular pusat. Ada empat tipe ikatan pembuluh (Gambar 2), yaitu:
(a)
(b)
(c)
(d)
Sumber: Liese dan Groser (1973) dalam Setiadi (2009)
Gambar 2 Tipe ikatan vaskuler pada bambu, (a) tipe I, (b) tipe II, (c) tipe III dan (d) tipe IV. 1) Tipe I, ikatan pembuluh terdiri atas satu bagian yaitu ikatan pembuluh pusat (central vascular strand) yang hanya didukung oleh jaringan selubung sklerenkim dan ruang interseluler.
9
2) Tipe II, ikatan pembuluh terdiri atas satu bagian yaitu ikatan pembuluh pusat yang hanya didukung oleh jaringan seperti selubung sklerenkim dan selubung ruang interseluler yang lebih besar dari ketiga tipe lainnya. 3) Tipe III, ikatan pembuluh terdiri atas dua bagian yaitu ikatan pembuluh pusat dan satu ikatan serabut. Ikatan serabut terletak di sebelah dalam ikatan vaskular pusat. Selubung ruang interseluler umumnya lebih kecil dari yang lain. 4) Tipe IV, ikatan pembuluh terdiri atas tiga bagian yaitu ikatan pembuluh pusat dan dua ikatan serabut yang terletak di sebelah dalam dan luar dari ikatan vaskular pusat. c. Serat Serat bambu dicirikan oleh sel-sel sklerenkim yang mengelilingi ikatan vaskular dan dipisahkan oleh parenkim. Panjang serat sangat beragam tergantung jenis bambu. Panjang serat bertambah dari bagian luar batang bambu dan mencapai maksimum pada bagian tengah batang, kemudian makin berkurang hingga ke bagian dalam batang. Serat terpendek ditemukan disekitar buku sedangkan serat terpanjang berada di bagian tengah ruas bambu (Dransfield dan Widjaja, 1995). Di lain pihak, Liese (1980) menyatakan bahwa serat lebih banyak ditemukan di sepertiga bagian luar, sedangkan parenkim dan sel-sel penghubung (conducting cells) lebih banyak ditemukan di sepertiga bagian dalam. Pada arah vertikal, jumlah serat meningkat dari bagian bawah ke atas, sebaliknya jumlah parenkim menurun. 2.2.2 Sifat Fisis Menurut Frick (2004), sifat fisis dan mekanis bambu tergantung pada jenis bambu, tempat tumbuh, umur bambu, waktu penebangan, kelembaban udara (kadar air kesetimbangan), dan bagian bambu yang diteliti (pangkal, tengah, atau ujung serta bagian dalam, atau bagian tepi/luar). 2.2.2.1 Kadar Air Menurut Haygreen dan Bowyer (1996) kadar air adalah berat air yang dinyatakan sebagai persen berat kayu bebas air atau kering tanur (BKT). Kadar air bambu sangat penting karena dapat mempengaruhi sifat-sifat mekanis bambu.
10
Kadar air dari bambu dewasa segar berkisar antara 50–99% dan pada bambu muda berkisar dari 80–150%, sedangkan kadar air bambu pada kondisi kering udara berkisar antara 12–8%. Kadar air batang bambu meningkat dari bawah ke atas dan dari umur 1-3 tahun, selanjutnya menurun pada bambu yang berumur lebih dari 3 tahun. Kadar air meningkat pada musim penghujan jika dibandingkan dengan musim kemarau (Dransfield dan Widjaja 1995). Perbedaan kadar air pada musim penghujan dan musim kemarau dapat mencapai 100%. Selama musim kemarau, bagian atas bambu mengandung hanya kira-kira 50% air (Yap 1967). Tamolang et al. (1980) menyatakan bambu muda mengalami penurunan kadar air lebih cepat daripada bambu dewasa selama proses pengeringan, yang dapat menyebabkan terjadinya pecah atau belah pada batang. 2.2.2.2 Berat Jenis (BJ) Haygreen dan Bowyer (1996) mendefinisikan berat jenis sebagai perbandingan antara kerapatan kayu (atas dasar berat pada kadar air tertentu dan volume) dengan kerapatan air pada suhu 40ºC. Menurut Tamolang et al. (1980), BJ bambu cenderung naik ke arah ujung. Selanjutnya Liese (1980) menyatakan BJ bambu bervariasi dari 0,5–0,8, dengan bagian luar (bagian tepi dinding batang) dari batang mempunyai BJ lebih besar dari bagian dalamnya (bagian dalam dinding batang). Hasil pengukuran BJ bambu menunjukkan BJ bambu pada tiap ruas bertambah besar dengan bertambahnya ketinggian ruas batang, kemudian nilainya konstan (Subiyanto et al. 1994). Menurut Brown (1952) dalam Ganie (2008) pada dasarnya sifat-sifat fisik kayu ditentukan oleh faktor-faktor yang inheren pada struktur kayu. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi tiga, yaitu : a.
Banyaknya zat dinding sel yang ada pada sepotong kayu.
b.
Susunan dan arah mikrofibril dalam sel-sel dan jaringan-jaringan.
c.
Susunan kimia zat dinding sel. Kerapatan adalah perbandingan massa atau berat benda terhadap
volumenya. Berat kayu meliputi berat kayu sendiri, berat zat ekstraktif, berat air yang konstan, sedangkan jumlah airnya berubah-ubah.
11
2.2.2.3 Penyusutan Dimensi Penyusutan adalah penurunan dimensi akibat hilangnya sejumlah air pada tangan-tangan OH di bawah titik jenuh serat. Tidak seperti kayu, bambu langsung menyusut setelah dipanen, tetapi tidak berlangsung seragam. Penyusutan dipengaruhi oleh tebal dinding dan diameter batang bambu (Liese 1985). Pengeringan bambu dewasa segar hingga kadar air 20% menyebabkan penyusutan sebesar 4–14% pada tebal dinding dan 3–12% pada diameternya. Sebaliknya, pengembangan merupakan proses saat air memasuki struktur dinding sel (Haygreen dan Bowyer 1996). Menurut Prawiroatmodjo (1976) dalam Ganie (2008), perubahan dimensi bambu tidak sama dari ketiga arah stuktur radial, tangensial dan longitudinal sehingga bambu bersifat anisotropis. Angka pengerutan total untuk kayu atau bambu normal berkisar antara 4,5% - 14% dalam arah radial (tebal), 2,1% - 8,5% dalam arah tangensial (lebar) dan 0,1% - 0,2% dalam arah longitudinal (panjang). Perbedaan penyusutan antara bagian dalam dengan bagian luar dinding batang bambu sangat besar. Penyusutan pada arah longitudinal kurang dari 0,5% (Dransfield dan Widjaja 1995). 2.2.3 Sifat Mekanis Haygreen dan Bowyer (1996) menyatakan kekuatan dan ketahanan terhadap perubahan bentuk suatu bahan disebut sebagai sifat-sifat mekanis. Kekuatan adalah kemampuan suatu bahan untuk memikul beban/gaya yang mengenainya. Ketahanan terhadap perubahan bentuk menentukan banyaknya bahan yang dimanfaatkan, terpuntir atau terlengkungkan oleh beban yang mengenainya. Sifat kekuatan meningkat dengan adanya penurunan kadar air dan berhubungan erat dengan berat jenis (Dransfield dan Widjaja 1995). Kekuatan maupun kekakuan kayu akan naik dengan semakin besarnya berat jenis (Haygreen dan Bowyer 1993). Umur bambu, kondisi bambu, kadar air, bentuk dan ukuran contoh uji, berbuku atau tidaknya, posisi dalam batang, dan lama pembebanan sangat mempengaruhi sifat fisis dan mekanis bambu (Janssen 1980 dalam Kurniawan 2002).
12
Lebih dalam, Janssen (1981) menyatakan kekuatan mekanis sangat bergantung pada lapisan sklerenkim yang merupakan jaringan berdinding tebal dan kuat terdiri dari sel-sel dewasa yang telah mati. Hal ini sejalan dengan Liese (1980) yang menyatakan bahwa sifat mekanis bambu lebih ditentukan oleh keberadaan ikatan vaskulernya (dimana sklerenkim terdapat didalamnya) dan bukan pada parenkim. Selain itu, kekuatan mekanis juga dipengaruhi oleh kulit buluh yang mengandung silika, kehadiran silika meningkatkan kekuatan. Dransfield dan Widjaja (1995) menyatakan kandungan silika batang bambu umumnya lebih tinggi dari kayu sebesar sekitar 0,5-4,0 %. Di samping itu, jenis bambu yang berbeda akan memberikan sifat mekanis yang meliputi keteguhan lentur, keteguhan tarik dan keteguhan tekan yang berbeda pula. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Syafi’i (1984) seperti tertera pada Tabel 1. Tabel 1 Sifat fisis dan mekanis pada lima jenis bambu Sifat yang diuji
Jenis Bambu Betung Gombong Kuning Tali 0,61 0,55 0,52 0,65
1. BJ 2. Susut volume (%) Basah – Kering Udara 10,62 Kering Udara – Kering Tanur 4,99 Susut tebal (%) Basah – Kering Udara 6,02 Kering Udara – Kering Tanur 4,30 Susut lebar (%) Basah – Kering 4,81 Kering Udara – Kering Tanur 4,83 3. MOR (kg/cm2) 1.638 4. MOE(kg/cm2) 131.192 2 5. Tekan sejajar serat(kg/cm ) 605 6. Tekan tegak lurus serat(kg/cm2) 2.127
Sembilang 0,71
12,36 4,96
11,29 4,74
12,45 4,60
11,05 4,49
7,94 5,75
4,31 5,47
5,83 5,32
3,04 7,03
6,58 5,96 1.356 98.294 521 1.914
3,19 6,30 4,19 3,60 1.148 -*) 76.205 -*) 455 -*) 1.322 2.004
2,48 7,57 627 143.207 627 1.907
Sumber: Syafi’i (1984)
2.3 Bambu Gombong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro) Menurut Dransfield dan Widjaja (1995), bambu andong atau bambu gombong memiliki sinonim antara lain Gigantochloa pseudoarundinaceae (Steudel) Widjaja, Bambusa pseudoarundinaceae Steudel dan Gigantochloa
13
maxima Kurtz, dan memiliki nama daerah berupa Pring Sunda, Awi Andong (Sunda), Buluh Batuang Danto (Padang, Sumatera). Sastrapradja et al. (1980) mengemukakan bambu andong mempunyai buluh yang berwarna hijau kekuningkuningan dengan garis-garis kuning yang sejajar dengan buluhnya dengan rumpun yang tidak terlalu rapat. Daerah asalnya diduga Malaya Utara dan Burma. Perbanyakannya dilakukan dengan akar rimpang atau potongan buluhnya. Bambu andong perkembangbiakannya cukup cepat. Bambu andong terutama terdapat pada daerah-daerah yang beriklim kering dengan ketinggian 0 sampai 700 m dpl. Lebih lanjut Dransfield dan Widjaja (1995) menyatakan bambu andong dapat tumbuh pada tanah lempung berpasir atau tanah berlumpur (alluvial) pada ketinggian hingga 1.200 m dpl dengan curah hujan tahunan berkisar antara 2.350– 4.200 mm dan suhu rata-rata 20–32 oC. Dransfield dan Widjaja (1995) menyatakan di Indonesia bambu andong yang tumbuh pada lereng bukit (pada ketinggian 500 m dengan curah hujan tahunan sebesar 4.200 mm) lebih kuat (memiliki berat jenis yang lebih tinggi, kekuatan tarik dan lentur yang lebih tinggi) dibandingkan batang bambu yang tumbuh pada daerah lembah. Bambu andong berbentuk simpodial, tinggi batang 7-30 m, dengan diameter sekitar 5-13 cm, dengan tebal dinding mencapai 2 cm, panjang ruas lebih dari 40-45 atau kurang dari 60 cm. Dimensi serat bambu andong meliputi : panjang 2,75-3,27 mm, diameter 24,55-37,97 μm, jumlah serat meningkat sekitar 10% dari bawah (pangkal) ke atas (ujung) batang bambu. Berat jenis berkisar dari 0,5-0,7 (bagian ruas) dan 0,6-0,8 (bagian buku). Modulus elastisitas sebesar 19.836-29.177 kgf/cm2, modulus patah sebesar 174-211 kgf/cm2, keteguhan tarik 130-195 kgf/cm2. 2.4 Bambu Mayan ( Gigantochloa robusta Kurz.) Bambu Mayan disebut juga awi mayan (Sunda) atau pring serit (Jawa) merupakan jenis bambu yang banyak ditanam di daerah tropis yang lembab dan kering. Bambu mayan mempunyai rumpun yang simpodial, padat dan tegak. Bambu mayan mempunyai rebung hijau muda tertutup bulu coklat hingga hitam. Buluh bambu lurus dan tingginya mencapai 20 meter. Percabangannya terletak jauh di atas permukaan tanah, satu cabang lateral lebih besar daripada cabang lainnya, ujungnya melengkung. Bulu coklat ini melekat hingga buluh menjadi tua,
14
ruas panjangnya mencapai 40 cm, diameternya mencapai 7-9 cm, sedangkan untuk ketebalan dindingnya mencapai 1,8 cm. Pelepah buluh tertutup bulu hitam, mudah luruh pada buluh tua, sedangkan pada buluh muda pelepah masih melekat terutama di bagian pangkal buluh, kuping pelepah buluh membulat dengan bulu kejur yang mencapai 5 mm; ligulannya menggerigi dengan tinggi 1 mm dengan bulu kejur yang panjangnya 3 mm. Buluh bambu mayan banyak digunakan sebagai tempat air dan juga dapat dimanfaatkan sebagai alat musik tradisional. Selain itu industri bambu juga memanfaatkan buluh bambu mayan untuk industri sumpit.
15
BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksankan mulai dari bulan November 2011 - April 2012 yang bertempat di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu dan Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan elektronik, desikator, oven, kaliper, mikroskop, UTM (Universal Testing Machine) merk Instron, gergaji, mesin gergaji circular saw. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan jenis bambu gombong (Giganthocloa verticillata (Willd.) Munro) dan bambu mayan (Gigantochloa robusta Kurz.) yang berusia sekitar 3-4 tahun berasal dari Arboretum Bambu Kampus IPB Darmaga. 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Persiapan Bambu Bambu yang digunakan adalah bambu gombong dan bambu mayan dengan panjang sekitar >10 m. Dari masing-masing jenis bambu dilakukan pengulangan sebanyak 3 batang. Dari keseluruhan batang bambu disamakan panjangnya sepanjang 9 meter. Kemudian bambu dibagi menjadi 3 bagian dengan panjang 3 meter yang dikelompokan sebagai bagian pangkal, tengah dan ujung seperti yang terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Bagan pembagian batang bambu. Pengelompokan batang bambu menjadi pangkal, tengah dan ujung dilakukan kearah vertikal batang yang dinotasikan dengan perbedaan posisi vertikal. Selanjutnya masing-masing bagian dibagi lagi menjadi tiga bagian dengan
16
panjang 1 m. Setelah itu dilakukan dengan pembuatan contoh uji dari masingmasing bagian (Tabel 2). Tabel 2 Skema pembagian batang bambu
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Kode
P1 A P2 A P3 A T1 A T2 A T3 A U1 A U2 A U3 A P1 B P2 B P3 B T1 B T2 B T3 B U1 B U2 B U3 B P1 C P2 C P3 C T1 C T2 C T3 C U1 C U2 C U3 C
Bilah Bambu Anatomi, KA, BJ, Kerapatan, Kembang, Penyusutan, MOE, MOR, Tekan, dan Tarik Buku Ruas
Buluh Utuh Geser
Tekan
Buku Ruas Buku Ruas
MOE dan MOR X
X
X X X
X
X X
X X
X X
X X X
X
X X X
X
X X
X X
X X
X X X
X
X X X
X
X X
X X
X X
X X X
X
X X X
X
X X
X X
X X
X X X
X
X X
X
X
X
Keterangan: P1 : Bambu pangkal bagian pangkal T1 : Bambu tengah bagian pangkal U1 : Bambu ujung bagian pangkal P2 : Bambu pangkal bagian tengah T2: Bambu tengah bagian tengah U2 : Bambu ujung bagian tengah P3 : Bambu pangkal bagian ujung T3 : Bambu tengah bagian ujung U3 : Bambu ujung bagian ujung Dengan angka di belakang kode sebagai jumlah ulangan ke-i
Bagian pangkal tengah (P2), tengah tengah (T2), dan ujung tengah (U2) dilakukan pembuatan contoh uji bilah dengan pengelompokan buku (node) dan ruas (internode) yang dinotasikan dengan perbedaan lokasi. Pembuatan contoh uji bilah dilakukan dalam beberapa pengamatan yaitu : struktur anatomi, pengukuran KA, BJ, kerapatan, penyusutan dimensi, pengembangan dimensi, Modulus of
17
Elasticity (MOE) dan Modulus of Rupture (MOR), kekuatan tekan dan kekuatan tarik sejajar serat. Bambu yang tesisa dipisahkan kembali untuk dilakukan pembuatan contoh uji buluh yang meliputi: kekuatan tekan sejajar serat, kekuatan geser sejajar serat pada bagian buku (node) dan bagian ruas (internode) dan pengujian MOE dan MOR. 3.3.2 Pembuatan Contoh Uji Pembuatan contoh uji sifat anatomi mengacu pada Pedoman Penuntun Praktikum Anatomi dan Identifikasi Kayu yang disusun oleh Pandit (1991) dalam Nuryatin (2000), sedangkan sifat fisis berdasarkan penelitian terdahulu (Sharma dan Mehra dalam Syafi’i 1984). Contoh uji sifat mekanis pada bilah bambu mengacu pada standar ASTM D 143-94. Sedangkan contoh uji sifat mekanis pada buluh utuh penelitian ini berdasarkan pada ISO 22157-1: 2004 yang dimodifikasi. 3.3.2.1 Contoh Uji Sifat Anatomi 3.3.2.1.1 Pengamatan Penampakan Makroskopis Penelitian sifat dasar ini dilakukan untuk bambu layak tebang. Pengamatan dilakukan terhadap penampakan makroskopis bambu dari pangkal sampai ujung. Variabel yang diukur antara lain: a. Diameter bambu diukur pada setiap buku dan ruas
Keterangan: Du : Diameter tepi luar bambu pada ujung spesimen (mm) du : Diameter tepi dalam bambu pada ujung spesimen (mm) Dp : Diameter tepi luar bambu pada pangkal spesimen (mm) dp : Diameter tepi dalam bambu pada pangkal spesimen (mm) Gambar 4 Contoh pengukuran diameter bambu pada setiap (a) ruas dan (b)buku.
18
Pengukuran diameter bambu dilakukan langsung terhadap batang bambu utuh. Pengukuran menggunakan alat kaliper, besar diameter yang dicatat meliputi diameter luar bambu dan diameter dalam bambu. Diameter bambu yang diukur meliputi diameter bambu dengan buku dan tanpa buku (ruas). 3.3.2.1.1 Sayatan penampang distribusi ikatan vaskular Contoh uji sifat anatomi berukuran 3 cm x 2 cm x tebal bambu (cm) seperti terlihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Spesimen sifat anatomi. 3.3.2.2 Contoh Uji Sifat Fisis 3.3.2.2.1 Pengujian KA, BJ, Kerapatan dan Susut Dimensi Bambu Pembuatan contoh uji KA, BJ, kerapatan dan susut bambu menggunakan contoh uji dengan ukuran 3 cm x 2 cm x tebal bambu (cm) ( Gambar 6). 2 cm Tebal bambu (cm)
3 cm Gambar 6 Spesimen KA, BJ, kerapatan dan penyusutan dimensi. Pengujian dilakukan terhadap KA, BJ, kerapatan dan susut dimensi dengan perbedaan lokasi (buku dan ruas). 3.3.2.2.2 Pengujian Pengembangan Dimensi Pengujian pengembangan dimensi menggunakan contoh uji dengan ukuran 4 cm x 2 cm x tebal bambu (cm) dengan ilustrasi pada Gambar 7.
19
2 cm Tebal bambu
4 cm Gambar 7 Spesimen pengujian pengembangan dimensi. Sama seperti pengujian KA, BJ, Kerapatan dan susut dimensi, pengujian terhadap kembang dimensi juga dilakukan dengan perbedaan lokasi (buku dan ruas). 3.3.2.3 Contoh Uji Sifat Mekanis 3.3.2.3.1 Pembuatan Contoh Uji MOE dan MOR Bilah bambu untuk setiap spesimen diambil dari bagian ruas dan bukunya. Spesimen untuk pengujian contoh uji bilah bambu utuh (full scale) diambil dari bilah bambu utuh dengan panjang 100 cm, sehingga dalam setiap spesimen terdapat bagian buku bambu. Contoh uji MOE dan MOR pada bilah bambu berukuran 30 cm x 2 cm x tebal bambu (cm) seperti diilustrasikan pada Gambar 8 dan 9, sedangkan contoh uji MOE dan MOR pada buluh utuh yang seharusnya berukuran tebal (diameter) dan panjang 15 kali diameter (± 150 cm), namun dikarenakan panjang contoh uji tidak mencukupi, maka panjang contoh uji MOE dan MOR pada buluh utuh dibuat menjadi 100 cm seperti pada Gambar 10.
bagian ruas bambu bagian buku bambu
Gambar 8 Pengambilan bilah contoh uji MOE dan MOR.
20
Gambar 9 Contoh uji MOE dan MOR bilah.
Gambar 10 Pengujian MOE dan MOR full scale. 3.3.2.3.2 Contoh Uji Tekan Sejajar Serat Contoh uji tekan sejajar serat pada bilah berukuran 3 cm x 2 cm x tebal bambu (cm), sedangkan contoh uji pada buluh utuh berbentuk tabung dengan tinggi = diameter bambu.
Gambar 11 Contoh uji tekan sejajar serat pada bilah. Pada pengujian ini contoh uji buluh utuh terjadi modifikasi pada contoh uji. Hal ini disebabkan alat UTM merk Instron hanya mampu memberi beban maksimal kurang dari 5.000 kgf, sedangkan beban maksimal yang bisa ditahan buluh utuh lebih dari 5.000 kgf.
21
Gambar 12 Contoh uji pengujian tekan sejajar pada buluh (a) ruas dan (b) buku. 3.3.2.3.3 Pembuatan Contoh Tarik Sejajar Serat Contoh uji tarik sejajar serat didasarkan pada ASTM D 143 – 52. Contoh uji tarik sejajar serat dapat dilihat pada Gambar 13. 25,33 cm
(a)
0,949 cm
10,133 cm
9,49 cm
6,33 cm
(b) 0,474 cm
10,133 cm
9,49 cm
6,33 cm
9,49 cm
10,133 cm
0,633 cm tebal bambu 9,49 cm
10,133 cm
Gambar 13 Contoh uji tarik sejajar serat (a) tampak atas (b) tampak samping. 3.3.2.3.4 Contoh Uji Geser Sejajar Serat Pada pengujian ini, contoh uji geser sejajar serat dimodifikasi. Hal ini dikarenakan ketidaktersediaan alat. Sehingga contoh uji geser sejajar serat dibagi menjadi 2. Contoh uji geser sejajar serat dapat dilihat pada Gambar 14.
22
1,27 cm 6,33 cm 5,06 cm
Gambar 14 Contoh uji geser sejajar serat. 3.3.3 Pengujian Contoh Uji 3.3.3.1 Sifat Anatomi Bambu Contoh uji berukuran 3 cm x 2 cm x tebal bambu (cm), baik bagian buku ataupun ruas, disayat bagian cross sectionnya, kemudian diletakkan di atas mikroskop. Sampel diamati dengan mikroskop perbesaran 10 kali, kemudian difoto dengan software Motic Images Plus 2.0 ML yang sudah terinstal di komputer. Pengukuran yang dilakukan pada uji anatomi antara lain penentuan tipe ikatan vaskuler bundel, jumlah vaskuler bundel/mm2, dan proporsi luas vaskuler bundel pada arah horizontal (tepi, inti dan dalam) dan arah vertikal (pangkal, tengah, dan ujung). Vaskular bundel yang terdapat pada sampel dihitung jumlahnya dan diukur diameternya. Perhitungan dilakukan pada arah horizontal, yaitu bagian tepi (dekat kulit), inti dan dalam, sedangkan pengukuran diameter hanya diambil sebagian. Pengukuran diameter dilakukan untuk menghitung luasnya dengan menggunakan rumus luas lingkaran. Hal ini dilakukan pada arah vertikal (bagian pangkal, tengah dan ujung). 3.3.3.2 Sifat Fisis Bambu a.
Kadar Air Contoh uji KA berukuran 3 x 2 x tebal bambu, ditimbang beratnya (BB)
dengan timbangan digital, selanjutnya dioven pada suhu 103 ± 2 oC hingga mencapai berat konstan. Setelah pengovenan contoh uji diletakan dalam desikator
23
hingga suhunya mencapai suhu ruangan, selanjutnya diukur berat kering tanurnya (BKT). Nilai kadar air (KA) ini dihitung menggunakan rumus: 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 % =
𝐵𝐵 − 𝐵𝐾𝑇 × 100 𝐵𝐾𝑇
Keterangan : BB = Berat basah (g) BKT = Berat kering tanur (g) b.
Berat Jenis Penentuan berat jenis bambu tali dan ampel dilakukan dengan contoh uji
berukuran 3 cm x 2 cm x tebal bambu (cm). Contoh uji diukur dimensi panjang, lebar dan tebal, kemudian dioven pada suhu 103 ± 2 oC hingga beratnya konstan, lalu ditimbang berat kering tanur (BKT). Berat Jenis dihitung berdasarkan rumus : 𝐵𝐽 = Keterangan : BJ BKT p l t ρ air c.
𝐵𝐾𝑇 𝑝 × 𝑙 × 𝑡 𝑥 𝜌 𝑎𝑖𝑟
= Berat jenis = Berat kering tanur (g) = Panjang contoh uji (cm) = Lebar contoh uji (cm) = Tebal contoh uji (cm) = 1 g/cm3
Kerapatan
Penentuan Kerapatan bambu tali dan ampel dilakukan dengan contoh uji berukuran 3 cm x 2 cm x tebal bambu (cm). Contoh uji tersebut ditimbang pada keadaan kering udara (BKU), kemudian diukur dimensi panjang, lebar dan tebal. Kerapatan dihitung berdasarkan rumus : Kerapatan (g/cm3 ) = Keterangan : Kr BKU p l t
= Kerapatan (g/cm3) = Berat kering udara (g) = Panjang contoh uji (cm) = Lebar contoh uji (cm) = Tebal contoh uji (cm)
𝐵𝐾𝑈 𝑝×𝑙×𝑡
24
d.
Penyusutan Dimensi
Contoh uji diukur dimensi lebar (L1) dan tebal (T1) dalam keadaan kering udara dengan kaliper. Kemudian dioven pada suhu 103 ± 2 oC hingga beratnya konstan, lalu diukur kembali dimensi lebar (L2) dan tebal (T2). 𝑆𝑇 = Keterangan : ST T1 T2 SL T1 T2 e.
𝑇1 − 𝑇2 𝑥 100% 𝑇2
𝑆𝐿 =
𝐿1 − 𝐿2 𝑥 100% 𝐿2
= Susut dimensi tebal (%) = Tebal saat BKU (cm) = Tebal saat BKT (cm) = Susut dimensi lebar (%) = Lebar saat BKU (cm) = Lebar saat BKT (cm)
Pengembangan Dimensi Contoh uji diukur dimensi tebal (T1) dan lebar (L1) dalam keadaan kering
udara dengan kaliper. Selanjutnya dilakukan perendaman selama 7 x 24 jam (satu minggu). Setelah direndam, dimensi tebal (T2) dan lebar (L2) diukur kembali. Nilai pengembangan dihitung menggunakan rumus : 𝑃𝑇 = Keterangan : PT T1 T2 PL L1 L2
𝑇2 − 𝑇1 𝑥100% 𝑇1
𝑃𝐿 =
𝐿2 − 𝐿1 𝑥100% 𝐿1
= Pengembangan dimensi tebal (%) = Tebal saat kering udara (cm) = Tebal setelah perendaman (cm) = Pengembangan dimensi lebar (%) = Lebar saat kering udara (cm) = Lebar setelah perendaman (cm)
3.3.3.3 Sifat Mekanis Bambu a.
Modulus of Elasticity (MOE) dan Modulus of Rupture (MOR) Pengujian ini dilakukan menggunakan UTM
merk Instron. Sebelum
dilakukan pengujian, terlebih dahulu dilakukan pengukuran dimensi panjang, lebar dan tebal. Laju pembebanan tidak melebihi 6 mm per menit. Nilai MOE MOR pada contoh kecil dapat dihitung menggunakan rumus: 𝛥𝑃𝐿3 𝑀𝑂𝐸 = 4𝛥𝑌𝑏3
𝑀𝑂𝑅 =
3 𝑃𝑚𝑎𝑘𝑠 𝐿 2𝑏2
25
Nilai MOE MOR pada contoh bambu utuh dapat dihitung menggunakan rumus: 𝛥𝑃𝐿3 𝑀𝑂𝐸 = 12𝛥𝑦𝜋(𝑅 4 − 𝑟 4 ) Keterangan : MOE MOR ∆P ∆y Pmaks L b h π R r b.
𝑀𝑂𝑅 =
𝑃𝑚𝑎𝑘𝑠 𝐿 𝑅 𝜋(𝑅 4 − 𝑟 4 )
= Keteguhan lentur (kgf/cm2) = Keteguhan patah (kgf/cm2) = Selisih beban (kgf) = Perubahan defleksi setiap perubahan beban (cm) = Beban maksimum (kgf) = Panjang bentang (cm) = Lebar contoh uji (cm) = Tebal contoh uji (cm) = 3,14 = Jari-jari luar (cm) = jari-jari dalam (cm)
Keteguhan Tekan Sejajar Serat (τtk) Contoh uji kecil berukuran 3 cm x 2 cm x tebal bambu (cm). Lalu dicari
luas penampang cross sectionnya dengan mengalikan lebar dan tebal bambu. Sedangkan pada pengujian tekan buluh, contoh uji seperti terlihat pada Gambar 6 (c) dan 6 (d). Contoh uji diambil dari bambu bulat yang dibelah empat. Untuk menghitung besar keteguhan tekan sejajar serat menggunakan rumus: 𝜏𝑡𝑘//𝑠𝑒𝑟𝑎𝑡 Keterangan: τtk// P A c.
𝑘𝑔𝑓 𝑃 = 2 𝑐𝑚 𝐴
= Keteguhan tekan sejajar serat (kgf/cm2) = Beban tekan maksimum (kgf) = Luas penampang (cm2)
Keteguhan Tarik Sejajar Serat (τtr//) Bambu dibentuk seperti Gambar 13. Lalu dicari luas penampang
terkecilnya dengan mengalikan tebal terkecil dan lebar terkecil. Untuk menghitung besar keteguhan tarik sejajar serat menggunakan rumus: 𝜏𝑡𝑟//𝑠𝑒𝑟𝑎𝑡 Keterangan: τtr// P A
𝑘𝑔𝑓 𝑃 = 2 𝑐𝑚 𝐴
= Keteguhan tarik sejajar serat (kgf/cm2) = Beban tarik maksimum (kgf) = Luas penampang terkecil (cm2)
26
d.
Keteguhan Geser Sejajar Serat (σ//) Bambu dibentuk seperti Gambar 14. Lalu dicari luas penampangnya 2
dengan mengalikan tebal bambu dan a (a = 3 x tinggi). Untuk menghitung besar keteguhan geser sejajar serat menggunakan rumus: σ// = Keterangan: σ// P A
P A
= Keteguhan geser sejajar serat (kgf/cm2) = Beban tarik maksimum (kgf) = Luas penampang terkecil (cm2)
3.4 Analisis Data Peubah yang diamati dalam penelitian terdiri atas sifat anatomi, sifat fisis dan sifat mekanis. Sifat anatomi yang terdiri atas kerapatan ikatan pembuluh, luas ikatan pembuluh, persentase ikatan pembuluh dideskripsikan mengunakan software Microsoft Excel 2007 berdasarkan jenis bambu (gombong dan mayan), posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung) dan perbedaan lokasi (ruas dan buku). Pengujian statistik terhadap sifat fisis terdiri dari Kadar Air (KA), Berat Jenis (BJ), Kerapatan dan sifat mekanis yang terdiri dari MOE, MOR, tarik sejajar serat, tekan sejajar serat, dan geser sejajar serat dilakukan menggunakan prosedur Generalized Linear Model (GLM) menggunakan SAS software versi 9.1 dengan tiga faktor, yaitu jenis bambu (gombong dan mayan), posisi vertikal (pangkal, tengah, dan ujung) dan lokasi (ruas dan buku). Pengujian statistik terhadap MOE dan MOR pada buluh dilakukan menggunakan prosedur GLM menggunakan SAS software versi 9.1 dengan dua faktor, yaitu jenis bambu (gombong dan mayan), posisi vertikal (pangkal, tengah, dan ujung). Model rancangan acak lengkap menggunakan tiga faktor disajikan sebagai berikut : Yijkl = μ + αi + βj + γk + αβij + αγik + βγjk + αβγijk + εijkl Dimana : Yijkl = Nilai pengamatan pada jenis ke-i,posisi vertikal ke-j, dan lokasi ke-k μ = Rataan umum α = Pengaruh aditif dari jenis bambu ke-i β = Pengaruh aditif dari posisi vertikal ke-j γ = Pengaruh aditif dari lokasi ke-k ε = Galat eror
27
Pengujian korelasi peubah yang diamati dilakukan menggunatan Minitab software versi 14 dengan persamaan sebagai berikut :
𝑟=
𝛴𝑋 (𝛴𝑌) 𝑛
𝛴𝑋𝑌 − 𝛴𝑋 2 −
Dimana : r = Nilai koefisien korelasi X = Nilai pengamatan peubah X Y = Nilai pengamatan peubah Y
𝛴𝑋 𝑛
2
𝛴𝑌 2 −
𝛴𝑌 𝑛
2
28
BAB IV PEMBAHASAN 4. 1 Sifat Anatomi 4. 1. 1 Bentuk Batang Bambu Bambu gombong (G. verticillata) dan bambu mayan (G. robusta) termasuk kedalam genus yang sama yaitu Genus Gigantochloa. Pada umumnya bambu dengan Genus Gigantochloa memiliki batang yang dapat tumbuh besar sehingga disebut sebagai bambu raksasa. Gambaran tentang bentuk batang bambu disajikan pada Gambar 15.
(a)
(b)
(c)
Gambar 15 Bentuk batang Bambu Gombong bagian (a) pangkal (b) tengah dan (c) ujung.
(a)
(b)
(c)
Gambar 16 Bentuk batang Bambu Mayan bagian (a) pangkal (b) tengah dan (c) ujung.
29
Bambu memiliki bentuk batang yang tidak silindris. Seperti halnya pada kayu bentuk batang bambu terdapat perbedaan diameter pada bagian pangkal dan ujungnya yang disebut taper. Batang bambu memiliki buku (node) yang memisahkan anatara ruas (internode) yang satu dengan ruas lainnya. Pengukuran dimensi buluh dan taper disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Pengukuran dimensi buluh dan taper Jenis
Gombong
Mayan
Posisi Pangkal Tengah Ujung Pangkal Tengah Ujung
Dimensi Diameter Jarak Antar (cm) Buku (cm) 9,97 36,74 9,05 43,21 7,93 40,35 9,25 39,17 9,31 53,86 7,90 45,02
Taper Dalam
Luar
0,0055 0,0066 0,0053 0,0037 0,0051 0,0041
0,0018 0,0017 0,0066 0,0014 0,0010 0,0060
Dilihat berdasarkan hasil pengamatan kedua jenis bambu memiliki diameter yang hampir sama besar. Kecendrungan kesamaan dimensi tidak hanya ditemukan dari diameternya saja, begitu juga dengan tebal dinding yang terdapat pada masing-masing jenis bambu memiliki nilai tebal dinding yang hampir sama besar. Bambu mayan memiliki nilai jarak antar buku yang lebih panjang daripada bambu gombong. Dari Tabel 3 diperoleh hasil pada bagian pangkal dan tengah bambu gombong memiliki nilai taper yang lebih besar dibandingkan bambu mayan. Sedangkan pada bagian ujung bambu mayan memiliki nilai taper yang lebih besar daripada bambu gombong. Besar nilai taper erat kaitanya terhadap bentuk suatu batang menyerupai bentuk kerucut. Semakin besar nilai taper maka semakin tidak silindris suatu batang bambu mendekati bentuk kerucut. Nilai taper juga berguna dalam pendugaan suatu volume batang. 4. 1. 2 Tipe Ikatan Vaskuler Pengamatan berupa tipe ikatan vaskuler dilakukan pada arah horizontal dan vertikal. Hasil pengamatan anatomi berupa tipe ikatan vaskuler dengan mikroskop terhadap penampang melintang bambu gombong dan bambu mayan pada bagian pangkal, tengah dan ujung dapat disajikan pada Tabel 4.
30
Tabel 4 Tipe ikatan vaskuler pada Bambu Gombong dan Mayan Bagian Vertikal Jenis
Bagian
Bambu
Horizontal
Gombong
Mayan
Pangkal
Tengah
Ujung
Ruas
Buku
Ruas
Buku
Ruas
Buku
Tepi
III
III
III
III
III
III
Inti
III dan IV
III
III
III
III
IV
Dalam
IV
III
III
III
III
IV
Tepi
III
III
III
III
III
III
Inti
III
III
III
IV
III
III dan IV
Dalam
III
III
III
IV
III
III dan IV
Pola ikatan vaskuler bambu gombong pada bagian pangkal ruas memiliki dua tipe ikatan vaskuler berbeda, bagian tepi memiliki pola ikatan tipe III, bagian inti memiliki pola ikatan peralihan dari tipe III ke tipe IV, dan bagian dalam memiliki pola ikatan tipe IV. Sedangkan pola ikatan vaskuler ke arah vertikal batang bagian tengah dan ujung, hampir semua memiliki pola ikatan vaskuler tipe III terkecuali pada ujung buku, bagian inti dan dalam memiliki pola ikatan tipe IV. Untuk membedakan ikatan vaskuler tipe III dan IV pada bambu gombong dapat dilihat pada Gambar 17 (a), (b) dan (c).
Gambar 17 a) Ikatan vaskuler peralihan tipe III dan IV pada bagian pangkal ruas inti b) Ikatan vaskuler tipe III pada bagian tengah ruas inti c) Ikatan vaskuler tipe IV pada bagian ujung buku inti. Untuk membedakan tipe ikatan vaskuler pada bambu mayan dapat dilihat pada Gambar 18 (a), (b) dan (c).
31
Gambar 18 a) Ikatan vaskuler tipe III pada bagian pangkal ruas dalam b) Ikatan vaskuler tipe IV pada bagian tengah buku inti c) Ikatan vaskuler tipe III pada bagian ujung ruas inti Sama seperti bambu gombong, bambu mayan memiliki dua tipe ikatan vaskuler berbeda, yaitu tipe III dan tipe IV. Hampir semua pola ikatan vaskuler pada bambu mayan memiliki tipe III, terkecuali pada bagian tengah buku dan ujung buku yang memiliki pola ikatan tipe IV. Menurut Nuryatin (2012), BJ bambu dipengaruhi oleh kandungan sklerenkim pada bambu. Vaskuler dengan ikatan bertipe III dan IV relatif memiliki sklerenkim yang hampir sama, walaupun memiliki jumlah rantai serabut yang berbeda. Sehingga vaskuler dengan tipe ikatan III dan IV tidak memiliki perbedaan BJ yang signifikan. Pola ikatan tipe IV memiliki diameter batang yang besar serta dinding batang yang tebal sehingga sesuai jika digunakan sebagai bahan baku struktural. Pola ikatan vaskuler bambu adalah variabel sifat anatomi selain dapat digunakan sebagai kunci identifikasi juga menunjukan karakter yang mewakili sifat-sifat suatu jenis bambu. Pola tersebut memiliki fungsi dan keterikaitan dengan sifat-sifat dasar yang berguna dalam arah pemanfaatan bambu. 4. 1. 3 Distribusi Ikatan Vaskuler Pengujian ikatan vaskuler mencakup pengamatan terhadap distribusi kerapatan ikatan vaskuler, luas dimensi arah lebar ikatan vaskuler, proporsi luas vakuler dan tipe ikatan pembuluh pada arah horizontal (tepi, inti dan dalam) dan vertikal (pangkal, tengah dan ujung). Jumlah vaskuler diperoleh dari perhitungan jumlah ikatan vaskuler yang terdapat dalam suatu luasan foto, dengan kata lain distribusi ikattan vaskuler adalah kerapatan ikatan vaskuler dalam satu luasan yang sama. Proporsi luas
32
ikatan vaskuler diperoleh dari perhitungan luas satu ikatan vaskuler di kali dengan banyaknya jumlah ikatan vaskuler di bagi dengan luas foto. Luas dimensi arah lebar ikatan vaskuler diperoleh berdasarkan pengukuran rata-rata diameter ikatan vaskuler. Distribusi ikatan vaskuler pada arah horizontal Perbedaan jumlah vaskuler /mm2 bambu dan proporsi luas vaskuler bambu
Jumlah Vaskuler /mm2
arah horizontal Gambar 19. 2,5 2,0 1,5
1,0
Tepi
0,5
Inti
0,0
Dalam Ruas
Buku
Ruas
Buku
Proporsi Luas IkatanVaskuler (%)
Gombong Mayan Jenis dan Bagian Bambu (a) 100,0 80,0 60,0 40,0
Tepi
20,0
Inti
0,0
Dalam Ruas
Buku
Gombong
Ruas
Buku
Mayan
Jenis dan Bagian Bambu (b) Gambar 19 (a)Jumlah vaskuler/mm2 dan (b) proporsi luas vaskuler arah horizontal. Pada Gambar 19 (a) terlihat bahwa ikatan vaskuler pada bagian tepi memiliki kerapatan yang sangat tinggi bila dibandingkan bagian inti dan dalam. Semakin kearah dalam semakin sedikit/jarang jumlah ikatan vaskuler per satuan
33
luas. Gambar 19 (b) menunjukkan bahwa proporsi luas vaskuler bambu gombong dan bambu mayan semakin kecil dari tepi ke dalam. Selain itu bagian ruas memiliki jumlah vaskuler/mm2 dan proporsi luas vaskuler yang lebih tinggi bila dibandingkan bagian buku. Sayatan distribusi ikatan vaskuler pada penampang lintang bambu gombong (Gambar 20).
tepi
tengah
dalam
tepi
tengah
dalam
(b)
(a)
Gambar 20 Sayatan mikro pada penampang lintang (a) ruas pangkal bambu dan (b) buku pangkal Bambu Gombong. Dari data hasil pengamatan (Lampiran 1), bagian ruas bambu gombong memiliki nilai rata-rata kerapatan distribusi ikatan vaskuler yang lebih besar yaitu 1,156 buah/mm2 dari kerapatan distribusi ikatan vaskuler bagian buku dengan nilai 0,887 buah/mm2. Besar nilai proporsi ikatan vaskuler rata-rata bagian ruas (64,86%) memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan bagian buku (55,41%). Sayatan penampang lintang bambu dan distribusi kerapatan ikatan pembuluh pada bambu mayan terlihat pada Gambar 21.
tepi
tengah (a)
dalam
tepi
tengah
dalam
(b)
Gambar 21 Sayatan mikro pada penampang lintang (a) ruas pangkal bambu dan (b) buku pangkal Bambu Mayan.
34
Dari hasil pengamatan (Lampiran 2), menunjukan nilai distribusi kerapatan ikatan vaskuler pada bagian ruas pangkal tepi (1,84 buah/mm2) lebih tinggi bila dibandingkan bagian inti (0,68 buah/mm2) dan dalam (0,48 buah/mm2). Bagian ruas memiliki nilai distribusi ikatan yang lebih tinggi bila dibandingkan bagian buku. Distribusi ikatan vaskuler pada arah vertikal Bila dibandingkan selisih nilai antara jumlah vaskuler/mm2 dengan proporsi vaskuler pada bagian tepi ke dalam, jumlah vaskuler/mm2 memiliki nilai selisih yang lebih besar. Hal ini dikarenakan bagian tepi memiliki ukuran vaskuler yang lebih kecil dan berjumlah banyak, sedangkan bagian tengah dan dalam memiliki ukuran vaskuler yang besar dengan jumlah sedikit. Perbedaan jumlah vaskuler/mm2 bambu dan proporsi luas vaskuler bambu arah horizontal disajikan
Jumlah Vaskuler /mm2
pada Gambar 22. 1,4 1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0
Pangkal Tengah Ruas
Buku
Ruas
Gombong
Buku
Ujung
Mayan
Jenis dan Bagian Bambu
Proporsi Luas Vaskuler (%)
(a) 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Pangkal
Tengah Ruas
Buku
Ruas
Buku
Ujung
Gombong Mayan Jenis dan Bagian Bambu (b) Gambar 22 (a) Jumlah vaskuler/mm2 dan (b) proporsi luas vaskuler arah vertikal.
35
Dari data hasil pengamatan pada kedua jenis bambu dapat dilihat adanya kecenderungan meningkatnya jumlah vaskuler/mm2 dari pangkal ke ujung. Semakin tinggi posisi bagian batang berbanding lurus tehadap kerapatan ikatan vaskuler. Gambar 22 (b) menunjukan bahwa proporsi luas vaskuler pada kedua jenis bambu cenderung menurun dari pangkal ke ujung. Hal ini diduga karena bagian tengah memiliki ukuran vaskuler yang lebih besar daripada bagian pangkalnya dan mengecil ke bagian ujung. 4. 2 Sifat Fisis 4. 2. 1 Kadar Air Pengujian penentuan kadar air terhadap banyaknya jumlah air yang tersimpan dalam bambu per satuan volume dilakukan pada keadaan kering udara. Jumlah kandungan kadar air pada kedua jenis bambu ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5 Pengujian kadar air (%) kering udara pada jenis Bambu Gombong dan Mayan Gombong
Posisi
Mayan
Buku
Ruas
Buku
Pangkal
13,53
14,69
13,48
12,89
Tengah
14,80
12,85
14,49
13,43
Ujung
14,37
12,70
13,38
13,32
Rata-Rata
14,23
13,41
13,78
13,21
Kadar Air (%)
Ruas
16 14 12 10 8 6 4 2 0
Pangkal Tengah Ujung Ruas
Buku
Ruas
Gombong
Buku Mayan
Jenis Bambu
Gambar 23 Diagram kadar air (%) pada bilah bambu. Bambu gombong memiliki KA 12,7 – 14,8 % dengan rata – rata 13,82 %. Sedangkan bambu mayan memiliki nilai KA 12,89 – 14,49 % dengan rata-rata
36
13,5 %. Berdasarkan hasil pengujian (Gambar 23), terlihat bahwa kadar air kering udara pada bambu bagian tengah memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan bagian pangkal dan ujungnya, terkecuali pada jenis bambu gombong dengan lokasi bagian buku. Jika dilihat berdasarkan persen kadar air rata-rata hasil ini sedikit lebih besar dari dugaan Janssen (1981) yang memperkirakan bahwa pada kelembaban relatif (RH) 90% kadar air kering udara bambu sekitar 12,7%. Nilai perbedaan kadar air ini dipengaruhi oleh presentase sklerenkim yang terdapat pada suatu bambu, yang dapat diduga dari nilai berat jenis (BJ). Semakin tinggi nilai BJ maka semakin tinggi tingkat kestabilan dimensi bambu. Kandungan air pada bagian pangkal lebih besar dibandingkan bagian ujung atau ditunjukkan pula oleh perbedaan nilai BJ antara pangkal dan ujung. Kandungan air yang besar dapat menyebabkan tingkat kesetabilan dimensi lebih rendah pada bagian pangkal dibanding bagian ujung (Mohmod et al. 1991). Demikian pula dengan zat-zat ekstraktif yang mengisi sebagian rongga-rongga sel akan mengurangi nilai penyusutan. Adapun faktor lain yang diduga ikut berpengaruh adalah meningkatnya kandungan lignin dari bagian pangkal ke bagian ujung sehingga akan berpengaruh pula terhadap besarnya penyusutan. 4. 2. 2 Berat Jenis dan Kerapatan BJ bambu gombong berkisar 0,57 – 0,68 dengan rataan 0,62 dan BJ bambu mayan berkisar 0,65 - 0,7 dengan rataan 0,67. Berdasarkan hasil pengamatan, BJ bambu gombong cenderung meningkat dari bagian pangkal ke bagian ujung. Sedangkan kecenderungan ini tidak tampak pada bambu mayan dengan lokasi buku. Hasil pengujian BJ bilah pada bagian pangkal, tengah dan ujung tersaji pada Tabel 6 dan Gambar 24. Tabel 6 Tabel pengujian berat jenis (BJ) Posisi
Gombong
Mayan
Ruas
Buku
Ruas
Buku
Pangkal
0,61
0,66
0,66
0,70
Tengah
0,57
0,60
0,67
0,67
Ujung
0,64
0,68
0,65
0,67
Rata-rata
0,61
0,65
0,66
0,68
37
Berat Jenis
0,8 0,6 0,4
Pangkal
0,2
Tengah
0
Ujung Ruas
Buku
Ruas
Buku
Gombong Mayan Jenis Bambu Gambar 24 Diagram pengujian berat jenis pada ketiga bagian posisi vertikal. Perbedaan besarnya kerapatan pada masing-masing bagian disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 25. Tabel 7 Nilai pengujian kerapatan (g/cm3) Gombong
Mayan
Kerapatan (g/cm3)
Posisi Ruas
Buku
Ruas
Buku
Pangkal
0,69
0,76
0,74
0,79
Tengah
0,66
0,68
0,77
0,76
Ujung
0,74
0,77
0,74
0,76
1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
Pangkal Tengah Ruas
Buku
Ruas
Gombong
Buku
Ujung
Mayan
Jenis Bambu Gambar 25 Diagram hasil pengukuran pengujian kerapatan (g/cm3). Pengujian kerapatan bambu gombong dan bambu mayan yang berumur 4 tahun yang berasal dari daerah Hutan Tanaman Bambu IPB Dramaga dilakukan terhadap volume kering udara dan berat kering tanur. Besar nilai kerapatan bambu gombong berkisar antara 0,66 – 0,77 g/cm3 dengan rata-rata 0,72 g/cm3 dan nilai kerapatan pada bambu mayan berkisar antara 0,74 - 0,79 g/cm3 dengan rata – rata 0,76 g/cm3.
38
BJ dan kerapatan bambu gombong menunjukkan kecenderungan meningkat dari pangkal ke ujung. Bila dikaitkan dengan struktur anatomi kecenderungan ini berbanding lurus dengan nilai jumlah vaskuler/mm2 yang meningkat dari pangkal ke bagian ujung. Sedangkan pada bambu mayan tidak tampak adanya kecenderungan yang sama, nilai BJ dan kerapatan bambu mayan cenderung menurun dari pangkal ke bagian ujung. Hal ini diduga nilai BJ dan kerapatan tidak hanya dipengaruhi oleh nilai jumlah vaskuler/mm2, faktor proporsi luas ikatan vaskuler merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi nilai BJ dan kerapatan. Nilai proporsi luas ikatan vaskuler bambu mayan cenderung menurun dari pangkal ke ujung. Sedangkan pada lokasi buku dan ruas, bagian buku memiliki nilai BJ yang lebih besar dari bagian ruasnya. Hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized Linear Model (GLM) diukur menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung), dan lokasi (ruas dan buku) diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Pengujian statistik KA, BJ dan kerapatan KA (%) BJ ρ (g/cm3) Posisi Lokasi Gombong Mayan Gombong Mayan Gombong Mayan 14,7 ± 0,45 12,9 ± 1,19 0,7 ± 0,02 0,7 ± 0,04 0,8 ± 0,02 0,8 ± 0,05 Buku (3,03) (9,23) (2,99) (6,23) (2,72) (6,01) Pangkal 13,5 ± 1,18 13,5 ± 1,33 0,6 ± 0,04 0,7 ± 0,05 0,7 ± 0,05 0,7 ± 0,06 Ruas (8,69) (9,83) (6,79) (8,02) (7,11) (7,73) X 12,9 ± 1,10 13,4 ± 1,91 0,6 ± 0,03 0,7 ± 0,08 0,7 ± 0,03 0,8 ± 0,08 Buku (8,56) (14,18) (4,34) (12,04) (4,20) (10,86) Tengah 14,8 ± 0,20Y 14,5 ± 0,67 0,6 ± 0,08 0,7 ± 0,07 0,7 ± 0,09 0,8 ± 0,08 Ruas (1,35) (4,61) (14,10) (10,06) (13,51) (9,75) 8,5 ± 7,38 13,3 ± 0,35 0,5 ± 0,40 0,7 ± 0,04 0,5 ± 0,45 0,8 ± 0,04 Buku (87,16) (2,61) (86,78) (5,38) (86,87) (4,74) Ujung 14,4 ± 0,94 13,4 ± 1,43 0,6 ± 0,07 0,7 ± 0,06 0,7 ± 0,07 0,7 ± 0,07 Ruas (6,51) (10,68) (10,53) (8,66) (9,46) (9,54) Ketrangan : superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
39
Hasil uji statistik menunjukkan ada perbedaan nyata KA oleh faktor perbedaan lokasi (ruas dan buku) pada bagian tengah bambu gombong. Tidak ada perbedaan nyata BJ dan kerapatan oleh faktor jenis, posisi vertikal batang, dan lokasi (ruas dan buku). Hasil pengujian korelasi peubah KA, BJ, dan kerapatan yang diamati disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Hubungan korelasi antara faktor KA, BJ dan kerapatan Korelasi
KA (%)
BJ
0,710
-
0,000
-
0,740
0,998
0,000
0,000
BJ Kerapatan (g/cm3)
Berdasarkan hasil uji korelasi ditemukan hubungan yang erat antara ketiga variabel. Semakin tinggi kadar air yang tekandung di dalam bambu maka semakin tinggi nilai berat jenis dan kerapatan. 4. 2. 3 Kembang Susut Dimensi Bambu sebagai hasil alam merupakan bahan anisotropis, oleh karena itu penelitian terhadap stabilitas pengembangan dan penyusutan dimensi bambu dilihat dari tiga arah, yaitu arah tebal, arah diameter dan arah arah longitudinal. Seperti halnya kayu, penyusutan dan pengembangan
bambu arah
longitudinal sangat kecil (tidak mencapai 1%), baik untuk bagian pangkal, maupun bagian tengah. Melalui hasil pengamatan yang disajikan pada Gambar 26 a dan b, terlihat bahwa penyususutan dan pengembangan arah tebal paling besar dibandingkan penyusutan arah lebar, sedangkan penyusutan dan pengembangan arah longitudinal sangat kecil. Besarnya nilai penyusutan arah tebal pada 2 jenis bambu cenderung lebih besar dibanding susut arah lebar, diduga karena antara lain karena tidak terdapatnya sel jari-jari sebagai penahan proses penyusutan ke arah tebal sehingga penyusutan arah tebal lebih besar. Menurut Haygreen dan Bowyer (1989) pengembangan secara sederhana adalah kebalikan dari proses penyusutan.
Penyusutan (%)
40
5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0
Ruas
Buku
Ruas
Gombong
Buku
Tebal Lebar
Mayan
Tebal
3,98
4,14
4,22
4,38
Lebar
1,64
1,70
1,78
1,56
Panjang
0,16
0,33
0,11
0,18
Panjang
Jenis Bambu
Pengembangan (%)
(a) 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0
Tebal Ruas
Buku
Ruas
Gombong
Buku Mayan
Lebar Panjang
Tebal
2,87
3,47
3,26
3,01
Lebar
1,65
1,40
1,10
1,08
Panjang
0,30
0,17
0,13
0,15
Jenis Bambu
(b) Gambar 26 Nilai (a) penyusutan dan (b) pengembangan dimensi pada Bambu Gombong dan Mayan. Faktor lain yang diduga ikut berperan dalam penyusutan adalah adanya distribusi ikatan vaskular yang tidak merata antara bagian luar, tengah dan dalam dinding batang bambu. Sehingga nilai penyusutan tebal adalah total dari nilai penyusutan bagian luar, tengah dan dalam sedangkan pada arah lebar nilai penyusutan ditentukan oleh dua bagian baik terluar maupun bagian paling dalam dinding batang yang relatif nilai susutnya lebih kecil karena umumnya mempunyai kerapatan yang lebih tinggi sehingga nilai penyusutan ke arah lebar akan mempunyai nilai yang lebih kecil dibandingkan arah tebal. Selain struktur anatomi perbedaan kadar air dan lignin serta zat ekstraktif dapat mempengaruhi besar kembang susut pada bambu. Kandungan air pada bagian pangkal lebih besar dibandingkan bagian ujung atau ditunjukkan pula oleh
41
perbedaan nilai BJ antara pangkal dan ujung, yang dapat menyebabkan tingkat kestabilan dimensi lebih rendah pada bagian pangkal dibandingkan bagian ujung (Mohmod et al. 1991). Demikian pula dengan zat-zat ekstraktif yang mengisi sebagian rongga-rongga sel akan mengurangi nilai penyusutan. Adapun faktor lain yang diduga ikut berpengaruh adalah meningkatnya kandungan lignin dari bagian pangkal ke bagian ujung sehingga akan berpengaruh pula terhadap besarnya penyusutan. Proses penyusutan pada bambu berbeda jika dibandingkan dengan kayu karena pada bambu, penyusutan dimulai pada saat pengeringan atau di atas titik jenuh serat (Liese 1985). Hal ini diduga karena adanya perbedaan dalam struktur anatomi antara kayu dan bambu, dimana pada bambu strukturnya didominasi oleh parenkim sebagai jaringan dasar yang dindingnya cukup tipis, sehingga pada saat pengeringan (masih diatas titik jenuh serat) air bebas yang keluar dari rongga sel parenkim mengakibatkan tahanan dalam lumen akan menjadi berkurang sehingga dinding sel parenkim yang tipis akan melisut (collaps) dan proses penyusutan pun akan dimulai sebelum dinding sel menyusut. Dengan demikian pada tanaman bambu, besarnya penyusutan akan lebih besar bila dibandingkan dengan kayu. Tabel 10 Hasil analisa statistik pengujian penyusutan dimensi bambu pada bilah Posisi Lokasi
KA (%) Gombong
Mayan
BJ Gombong
Susut (%) Mayan
Gombong H
Mayan
14,7 ± 0,45 12,9 ± 1,19 0,7 ± 0,02 0,7 ± 0,04 7,4 ± 0,25 7,1 ± 0,28H (3,03) (9,23) (2,99) (6,23) (3,37) (3,88) Pangkal H 13,5 ± 1,18 13,5 ± 1,33 0,6 ± 0,04 0,7 ± 0,05 7,0 ± 0,78 7,1 ± 0,35H Ruas (8,69) (9,83) (6,79) (8,02) (11,10) (4,95) X HI 12,9 ± 1,10 13,4 ± 1,91 0,6 ± 0,03 0,7 ± 0,08 6,0 ± 0,40 6,1 ± 0,33I Buku (8,56) (14,18) (4,34) (12,04) (6,57) (5,50) Tengah Y H 14,8 ± 0,20 14,5 ± 0,67 0,6 ± 0,08 0,7 ± 0,07 5,8 ± 0,49 6,1 ± 0,61H Ruas (1,35) (4,61) (14,10) (10,06) (8,43) (9,90) I 8,5 ± 7,38 13,3 ± 0,35 0,5 ± 0,40 0,7 ± 0,04 3,2 ± 2,80 4,9 ± 0,33J Buku (87,16) (2,61) (86,78) (5,38) (86,73) (6,58) Ujung I 14,4 ± 0,94 13,4 ± 1,43 0,6 ± 0,07 0,7 ± 0,06 4,4 ± 0,23 4,9 ± 0,41I Ruas (6,51) (10,68) (10,53) (8,66) (5,20) (8,44) Keterangan : superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) Buku
42
Hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized Linear Model (GLM) diukur menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung), dan lokasi (ruas dan buku) diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 10. Dari hasil uji statistik didapatkan adanya perbedaan nyata susut dimensi oleh faktor posisi vertikal. Tidak ada perbedaan nyata susut dimensi oleh faktor jenis dan lokasi (ruas dan buku). Dari pengujian korelasi peubah KA, BJ, dan susut volume yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Uji korelasi KA, BJ dan susut dimensi Korelasi BJ Susut Volume (%)
KA (%)
BJ
0,710 0,000 0,621
0,603
0,000
0,000
Dari hasil uji korelasi antara KA, BJ, dan susut dimensi ditemukan adanya hubungan yang erat pada ketiga faktor. Semakin tinggi kadar air yang terdapat pada bambu maka berpengaruh nyata terhadap besar nilai berat jenis suatu bambu. Semakin tinggi nilai kadar air pada suatu bambu maka berhubungan erat terhadap besar susut volume pada bambu. Semakin tinggi nilai BJ suatu bambu maka berhubungan erat terhadap besar nilai penyusutan bambu. 4. 3 Sifat Mekanis 4. 3. 1 Modulus of Elasticity (MOE) Nilai MOE bilah bambu gombong berkisar antara 108.413 – 212.493 kgf/cm2 dengan rata- rata 145.557 kgf/cm2, sedangkan MOE buluh utuh berkisar antara 47.418 – 83.327 kgf/cm2 dengan rata – rata 60.287 kgf/cm2. Nilai MOE bilah bambu mayan berkisar antara 121.960 – 150.203 kgf/cm2 dengan rata – rata 134.400, sedangkan untuk buluh utuh berkisar antara 54.370 – 61.728 kgf/cm2 dengan rata – rata 57.409 kgf/cm2 (Tabel 12 dan Gambar 27).
43
Tabel 12 Nilai MOE rata-rata (kgf/cm2) pada jenis Bambu Gombong dan Mayan Gombong Ruas Buku 108.413 120.677 47.418 212.493 160.652 50116 158.531 112.578 83.327
Posisi Pangkal Tengah
MOE x 104 (kg/cm2)
Ujung
bilah buluh bilah buluh bilah buluh
Mayan Ruas Buku 147.857 126.827 54370 150.203 135.907 56.129 123649 121960 61.729
25,0 20,0 15,0 10,0
pangkal tengah ujung
5,0 0,0 ruas
buku bilah
ruas buluh
buku bilah
Gombong
buluh
mayan
Jenis Bambu
Gambar 27 Posisi nilai MOE pada bagian pangkal, tengah dan ujung. Berdasarkan Gambar 27, terlihat bahwa nilai MOE bilah bambu gombong dan bambu mayan meningkat dari bagian pangkal ke bagian tengah lalu menurun ke bagian ujung. Kecenderungan ini juga terlihat pada lokasi (ruas dan buku) yang berbeda. Janssen (1981) mengemukakan perbedaan nilai MOE terjadi karena perbedaan persentase skelerenkim. Jika dilihat sifat anatominya, bagian pangkal ruas bambu gombong terjadi peningkatan nilai proporsi luas vaskular bundel ke bagian tengah lalu mengalami penurunan ke bagian ujung (Lampiran 3). Selain itu hal ini diduga karena adanya perbedaan fase tumbuh pada kedua jenis bambu. Pada bagian ujung kedua jenis bambu diduga telah melewati fase tumbuh maksimal, sehingga mengalami penurunan nilai dalam menahan suatu beban. Perbedaan nilai MOE juga diduga karena pengaruh jumlah lignin dan dimensi panjang sel serabut. Kandungan lignin pada bagian pangkal mengalami peningkatan ke bagian ujung. Liese (1980) menyatakan bahwa, secara keseluruhan ukuran panjang serat semakin bertambah panjang dari posisi pangkal
44
batang menuju ke ujung batang bambu tersebut (Liese 1980). Panjang serabut berkorelasi sangat kuat terhadap nilai MOE (Liese et al. 2003). Serabut tersusun atas sejumlah lapisan/lamella dengan berbagai orientasi mikofibril. Susunan sel serabut akan memberikan kontribusi yang tinggi terhadap fleksibilitas bambu. Dari hasil pengamatan nilai MOE pada kedua jenis bambu, terlihat bahwa bambu gombong memiliki nilai MOE yang lebih tinggi daripada bambu mayan baik pada lokasi ruas maupun buku. Selain itu, terdapat perbedaan nilai MOE yang berbeda pada lokasi (ruas dan buku), dengan nilai MOE pada bagian buku lebih kecil dari bagian ruas. Hal ini disebabkan serabut tersusun atas sejumlah lapisan/lamella dengan berbagai orientasi mikofibril. Susunan sel serabut akan memberikan kontribusi yang tinggi terhadap fleksibilitas bambu. Dransfield dan Widjaja (1995) menyatakan serat terpendek ditemukan di sekitar buku sedangkan serat terpanjang berada di bagian tengah ruas bambu. Hal ini diperkuat oleh Bachtiar (2008) yang mengemukakan arah serat pada daerah buku tidak semua lurus, karena bagian serat berbelok ke dalam, dan sebagian kecil berbelok ke keluar. Hal ini diduga yang mempengaruhi perbedaan nilai MOE pada kedua lokasi yang berbeda dengan nilai MOE pada lokasi buku lebih rendah dari ruas. Berdasarkan hasil uji MOE, pada Gambar 27 terlihat bahwa terdapat perbedaan nilai MOE pada buluh utuh lebih kecil dibandingkan dengan bilah bambu. Hal ini diduga disebabkan oleh tahanan geser bambu pada buluh yang sangat lemah, sehingga menyebabkan defleksi akibat geser menjadi besar
Beban (kgf)
dibandingkan akibat momen. 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
Buluh Utuh 1 Buluh Utuh 2 Bilah 1
bilah 2 0
1
2
3
4
Defleksi (mm) Gambar 2817 Diagram elastisitas bilah dan buluh utuh bambu.
45
Sehingga kerusakan beban maksimal pada buluh terjadi bukan karena patah tapi disebabkan karena contoh uji mengalami kerusakan belah terlebih dahulu yang menyebabkan terjadinya penurunan grafik. 4. 3. 2 Modulus of Rupture (MOR) Tegangan pada batas patah (MOR) merupakan ukuran kekuatan suatu bahan pada saat menerima beban maksimum yang menyebabkan terjadinya kerusakan. Hasil pengujian nilai MOR selengkapnya tercantum dalam lampiran sedangkan nilai rata-rata disajikan pada Tabel 13 dan Gambar 29. Tabel 13 Nilai MOR (kg/cm2) pada Bambu Gombong dan Mayan Gombong Ruas Buku 899 1.288 464 1.406 1.637 361 1.252 1.171 520
Posisi Pangkal Tengah Ujung
bilah buluh bilah buluh bilah buluh
Mayan Ruas 1.189
Buku 1.233 313
1.341
1.303 238
1.265
1.300 258
Nilai MOR bilah bambu gombong berkisar 899 – 1.637 kgf/cm2 dengan rata- rata 1.276 kgf/cm2, sedangkan MOR buluh utuh berkisar antara 361 – 520 kgf/cm2 dengan rata – rata 448 kgf/cm2. Nilai MOR bilah bambu mayan berkisar antara 1.189 – 1.341 kgf/cm2 dengan rataan 1.271 kgf/cm2, sedangkan untuk buluh utuh berkisar antara 238 – 313 kgf/cm2 dengan rata – rata 269 kgf/cm2.
MOR (kgf/cm2)
2000 1500 1000 500
pangkal tengah
0 ruas
buku
bilah
ruas buluh
bilah
Gombong
ujung
buku buluh
mayan Jenis Bambu
Gambar 2918 Diagram nilai MOR pada bagian pangkal, tengah dan ujung.
46
Pada Gambar 29 terlihat bahwa MOR bambu gombong dan bambu mayan cenderung meningkat pada bagian pangkal ke bagian tengah namun terjadi penurunan pada bagian tengah ke bagian ujung. Hasil penelitian Subyakto (1995) menunjukkan bahwa nilai MOR dari bagian pangkal ke bagian ujung mengalami peningkatan. Adanya penurunan nilai MOR dari bagian tengah ke bagian ujung diduga pada bagian ujung kedua jenis bambu diduga telah melewati fase tumbuh maksimal, sehingga mengalami penurunan nilai dalam menahan suatu beban. Selain itu berdasarkan hasil uji korelasi yang dilakukan terdapat hubungan yang erat antara nilai MOE dan MOR, sehingga pendugaan MOR dengan MOE dapat dilakukan. Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized Linear Model (GLM) diukur dengan model Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung), dan lokasi (ruas dan buku) (Tabel 14). Tabel 14 Uji statistik terhadap pengujian MOE dan MOR pada bilah Posisi
Lokasi Buku
Pangkal Ruas Buku Tengah Ruas Buku Ujung Ruas
MOE (kgf/cm2) Gombong Mayan 120677,0 ± 10760,00 126828,0 ± 12252,00 (8,92) (9,66) 108413,0 ± 6952,00B 147857,0 ± 18368,00A (6,41) (12,42) 160653,0 ± 64654,00 135907,0 ± 20843,00 (40,24) (15,34) 212493,0 ± 116371,00 150203,0 ± 12776,00 (54,76) (8,51) 112579,0 ± 26811,00 121960,0 ± 19268,00 (23,82) (15,80) 158532,0 ± 57767,00 123650,0 ± 16611,00 (36,44) (13,43)
MOR (kgf/cm2) Gombong Mayan X 1288,9 ± 57,40 1233,1 ± 114,60 (4,46) (9,29) 899,2 ± 46,10Y 1190,0 ± 200,00 (5,13) (16,84) 1638,0 ± 540,00 1304,0 ± 110,10 (32,97) (8,44) 1407,0 ± 467,00 1341,0 ± 179,00 (33,22) (13,31) 1171,0 ± 253,00 1300,2 ± 164,70 (21,57) (12,67) 1253,0 ± 275,00 1266,0 ± 174,00 (21,95) (13,78)
Ketrangan : superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
Hasil analisa statistik menunjukan terdapat perbedaan nyata nilai MOE akibat faktor jenis bambu, dengan nilai MOE pada bambu mayan lebih besar daripada
47
bambu gombong. Nilai MOR tidak dipengaruhi oleh jenis bambu dan posisi vertikal. Terdapat perbedaan nyata MOR akibat perbedaan lokasi. Dari pengujian korelasi peubah KA, BJ, MOE dan MOR pada bilah bambu yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Korelasi antara nilai KA, BJ, MOE dan MOR pada bilah MOE MOR 2 (kgf/cm ) (kgf/cm2) MOR 0,781 2 (kgf/cm ) 0,000 0,270 0,222 KA (%) 0,111 0,193 -0,017 0,128 BJ 0,924 0,456 Korelasi
KA (%) 0,710 0,000
Terdapat hubungan yang kuat antara MOE dan MOR. Semakin tinggi nilai MOE yang didapatkan maka nilai MOR yang didapatkan semakin tinggi juga. Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized Linear Model (GLM) diukur menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktor yaitu jenis bambu dan posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung) diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Hasil pengujian statistik nilai MOE dan MOR pada buluh MOE (kgf/cm2) MOR (kgf/cm2) Gombong Mayan Gombong Mayan A 47418,0 ± 561,00 54370,0 ± 19028,00 464,3 ± 65,40 313,2 ± 11,55B Pangkal (1,18) (35,00) (14,08) (3,69) A 50116,0 ± 14300,00 56129,0 ± 23508,00 361,6 ± 21,80 238,3 ± 68,00B Tengah (28,53) (41,88) (6,02) (28,52) 83328,0 ± 25781,00 61729,0 ± 11507,00 520,0 ± 261,00 258,2 ± 47,30 Ujung (30,94) (18,64) (50,09) (18,31) Ketrangan : superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) Posisi
Dari hasil uji statistik didapatkan ada perbedaan nyata nilai MOR akibat faktor jenis. Perbedaan MOR terlihat pada bagian pangkal dan tengah kedua jenis
48
bambu, dengan nilai yang lebih besar pada jenis bambu gombong. Tidak ada perbedaan nyata nilai MOE oleh faktor jenis, posisi vertikal. Tidak ada perbedaan nilai MOR akibat faktor posisi vertikal. Dari pengujian korelasi peubah KA, BJ, MOE da MOR pada buluh yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Korelasi antara nilai MOE, MOR, KA, dan BJ pada buluh MOE MOR 2 (kgf/cm ) (kgf/cm2) 0,459 MOR (kgf/cm2) 0,056 0,223 0,571 KA (%) 0,374 0,013 0,023 -0,513 BJ 0,928 0,029 Korelasi
KA (%) -0,549 0,018
Terdapat hubungan erat MOR dengan BJ. Semakin tinggi BJ nilai MOR semakin tinggi pula. 4. 3. 3 Kekuatan Tarik Kekuatan tarik sejajar serat bambu gombong adalah 885 – 2.768 kgf/cm2 dengan rata – rata 1.761 kgf/cm2. Sedangkan pada bambu mayan berkisar 853 – 2.734 kgf/cm2 dengan rata – rata 1.584 kgf/cm2. Hasil pengujian keteguhan tarik sejajar serat selengkapnya dalam Lampiran 18 dan nilai rata-ratannya tercantum dalam Tabel 18 dan ilustrasinya dalam Gambar 30. Tabel 18 Nilai keteguhan tarik (kgf/cm2) pada Bambu Gombong dan Mayan Gombong
Mayan
Posisi Ruas
Buku
Ruas
Buku
Pangkal
1.696
1.483
2.223
853
Tengah
2.548
885
2.734
980
Ujung
2.768
1.189
1.772
941
Keteguhan Tarik (kg/cm2)
49
3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Pangkal Tengah Ujung Ruas
Buku
Ruas
Gombong
Buku Mayan
Jenis Bambu
Gambar 3019 Diagram keteguhan tarik sejajar serat. Pada Gambar 30 terlihat kecenderungan nilai tarik sejajar serat meningkat dari bagian pangkal ke bagian ujung. Hal yang berbeda terjadi pada bambu mayan, kekuatan tarik menurun dari bagian tengah ruas ke bagian ujung ruas. Wangaard (1950) menyatakan bahwa keteguhan tarik sejajar serat sangat tergantung kepada kekuatan serabut (sifat kohesi) dan dipengaruhi oleh dimensi kayu, elemen penyusun dan susunannya dalam kayu. Kekuatan tarik terbesar akan diperoleh spesimen dengan serabut yang tersusun secara lurus serta berdinding tebal. Serat melintang akan mengurangi kekuatan tarik. Sedangkan Janssen (1981) mengemukakan bahwa kekuatan tarik tergantung kepada persentase sklerenkeim (serabut) yang dimiliki bambu. Hal ini diperkuat oleh Wang (1970) yang mengemukakan bahwa skelerenkim memberikan kontribusi dalam stabilitas kekuatan, sementara Li (2004) menyatakan bahwa kerapatan serabut dalam jaringan skelerenkim adalah indikator yang baik dalam pendugaan kekuatan bambu. Jika ditinjau berdasarkan struktur anatominya bagian ujung ruas memiliki distribusi penyebaran ikatan vaskuler yang lebih rapat dari bagian tengah dan pangkalnya. Kecendrungan ini dicerminkan dengan nilai kekuatan tarik pada bambu gombong. Sedangkan kecenderungan yang berbeda pada bambu mayan terjadi penurunan nilai kekuatan tarik dari bagian tengah ruas ke bagian ujung ruas. Hal ini diduga karena proporsi luas vaskuler pada bagian tengah lebih besar daripada bagian ujungnya. Pada kedua kelompok sampel nampak bahwa nilai tegangan tarik bambu akan berkurang lebih dari 50% pada bagian buku (Gambar 30). Menurut sumbu
50
longitudinal, serat pada internodia yang berada di dekat nodia selalu mempunyai ukuran yang paling pendek. Ukuran panjang serat tersebut semakin bertambah panjang dari posisi di dekat nodia menuju kepertengahan nodia dan mencapai ukuran terpanjang pada bagian tengah internodia. Disamping itu arah serat pada daerah buku tidak semua lurus, karena bagian serat berbelok ke dalam, dan sebagian kecil berbelok ke keluar (Bachtiar 2008). Dalam pembuatan sampel uji tarik dibuat daerah kritis yang luas penampangnya kecil (Gambar 31). Diharapkan, kerusakan akibat beban tarik terjadi pada daerah kritis, yaitu sampel putus pada daerah tersebut. Pada pengujian yang dilakukan, putusnya sampel pada daerah kritis seperti pada Gambar 32 (a) tidak terjadi semua pada sampel.
Gambar 31 Contoh uji tarik sejajar serat.
(a)
(b)
keterangan : (a) contoh uji tarik rusak pada daerah kritis (b) contoh uji tarik rusak bukan pada daerah kritis Gambar 32 Contoh kerusakan pada pengujian tarik sejajar serat.
51
Kuat tarik bambu bagian dalam yang lebih kecil akan mengakibatkan rusaknya sampel tidak seragam, seperti terlihat pada Gambar 32 (b), dimana pada daerah kritis sebelah dalam sudah putus, sementara bagian luar belum. Besarnya variasi mengakibatkan permasalahan dalam pengujian tarik. Kerusakan yang terjadi tidak selalu pada daerah kritis, seperti yang diharapkan. Kerusakan dapat terjadi pada daerah buku mengarah pada buku, seperti pada Gambar 32 (b). Pada keadaan ini, kerusakan pada daerah kritis terjadi, bukan karena tarik, tetapi karena geser. Dari diagram kekuatan tarik (Gambar 30) terlihat pada bagian pangkal ruas dan tengah ruas bambu mayan memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan bambu gombong. Hal ini diduga karena adannya perbedaan struktur anatomi terhadap persentase serabut. Kekuatan suatu bahan dapat pula diduga melalui sifat fisik terutama BJ karena BJ dapat digunakan sebagai penduga kekuatan suatu bahan. Dengan demikian semakin besar nilai BJ maka semakin tinggi pula nilai kekuatan suatu bahan. Tabel 19 Hasil analisa statistik pada pengujian tarik sejajar serat Posisi
Lokasi Buku
Pangkal Ruas Buku Tengah Ruas Buku Ujung Ruas
Tarik (kgf/cm2) Gombong 1484,0 ± 458,00 (30,85) 1696,0 ± 327,00BH (19,29) 1484,0 ± 458,00X (30,85) 1696,0 ± 327,00YIJ (19,29) 1190,0 ± 193,00X (16,20) 2768,0 ± 397,00AYJ (14,33)
Mayan 853,4 ± 86,20X (10,10) 2224,0 ± 284,00AYHI (12,77) 980,4 ± 132,20X (13,48) 2734,2 ± 19,90YH (0,73) 941,6 ± 80,80X (8,58) 1772,0 ± 457,00BYI (25,76)
Ketrangan : superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
52
Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized Linear Model (GLM) diukur menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung), dan lokasi (ruas dan buku) diperoleh hasil analisa statistik pengujian tarik yang disajikan pada Tabel 19. Uji statistik mengindikasikan terdapat perbedaan nyata nilai kekuatan tarik akibat perbedaan jenis bambu, yaitu pada sampel pangkal ruas bambu gombong dan mayan, dengan nilai kekuatan tarik pada bambu gombong lebih besar dari mayan. Nilai kekuatan tarik di pengaruhi oleh perbedaan jenis pada sampel ujung ruas dengan nilai bambu mayan lebih besar dari bambu gombong. Terdapat perbedaan nyata nilai kekuatan tarik akibat perbedaan posisi arah vertikal, pada pangkal ruas bambu, tengah ruas bambu dan ujung ruas bambu pada kedua jenis bambu. Terdapat perbedaan nyata nilai kekuatan tarik akibat faktor lokasi (ruas dan buku) pada sampel bambu gombong bagian tengah ruas dan tengah buku, ujung ruas dan ujung buku. Pada bambu mayan terdapat perbedaan nyata/pengaruh terhadap nilai kekuatan tarik oleh faktor lokasi pada sampel bagian pangkal ruas dan buku, tengah ruas dan buku, ujung ruas dan buku. Dari pengujian korelasi peubah KA, BJ, dan keteguhan tarik sejajar serat yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 20. Berdasarkan hasil uji korelasi tidak terdapat hubungan yang erat nilai kteguhan tarik sejajar serat dengan nilai KA dan BJ. Tabel 20 Hubungan korelasi antara KA, BJ, dan tarik Korelasi BJ Tarik (kgf/cm2)
KA (%) 0,710 0,000 0,307 0,068
BJ 0,050 0,771
4. 3. 4 Kekuatan Tekan Sejajar Serat Kekuatan tekan sejajar serat bilah bambu gombong berkisar 391 – 491 kgf/cm2 dengan rata – rata 434 kgf/cm2, pada bambu mayan berkisar 430 – 533 kgf/cm2 dengan rata – rata 469 kgf/cm2. Kekuatan tekan sejajar serat buluh bambu gombong berkisar 458 – 665 kgf/cm2 dengan rata – rata 525 kgf/cm2, pada bambu
53
mayan berkisar 366 – 524 kgf/cm2 dengan rata – rata 466 kgf/cm2 (Tabel 21 dan Gambar 33). Tabel 21 Nilai keteguhan tekan sejajar serat (kgf/cm2) pada jenis Bambu Gombong dan Mayan Posisi bilah buluh bilah buluh bilah buluh
Pangkal Tengah Ujung
Keteguhan Tekan // Serat (kg/cm2)
Ruas 391 491 452 458 491 665
Gombong Buku 426 459 428 494 415 580
Mayan Ruas 489 492 444 509 533 436
800 700 600 500 400 300 200 100 0
Buku 477 465 445 524 430 366
pangkal tengah ujung Ruas
Buku
Ruas
bilah
Buku
buluh
Ruas
Buku
Ruas
bilah
gombong
Buku
buluh mayan
Jenis Bambu
Gambar 33 Keteguhan tekan sejajar serat. Pada Gambar 33 terlihat bahwa nilai tekan sejajar serat pada kedua jenis bambu cenderung menaik dari pangkal ke ujung. Hasil pengamatan struktur sel penampang lintang menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan distribusi jumlah ikatan vaskular/mm2 dari bagian pangkal ke bagian ujung, sehingga akan meningkatkan nilai keteguhan tekan dari pangkal ke ujung batang. Hal yang berbeda terjadi pada bambu mayan bagian bilah buku dan buluh ruas dan buku. Hal ini disebabkan pada sampel posisi ujung bambu mayan terserang oleh kumbang bubuk, yang diindikasikan dengan berkurangnya volume sampel dan berubah menjadi butiran serbuk yang banyak. Selain itu disebabkan adanya penurunan proporsi luas ikatan vaskuler dari bagian tengah ke ujung.
54
Berdasarkan hasil pehitungan rata-rata keteguhan tekan sejajar serat pada bilah, meunjukan bahwa nilai keteguhan tekan bambu mayan lebih tinggi daripada bambu gombong. Sedangkan pada bagian buluh, bambu gombong memiliki keteguhan tekan sejajar serat yang lebih tinggi daripada bambu mayan. Dari Gambar 33 terlihat bahwa kekuatan tekan bilah pada kedua jenis bambu lebih kecil dibandingkan kekuatan tekan buluh utuhnya. Hal ini dikarenakan pada buluh utuh bambu memiliki angka kelangsingan yang lebih besar sehingga menyebabkan kekuatan lebih besar. Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized Linear Model (GLM) menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung), dan lokasi (ruas dan buku) (Tabel 22). Tabel 22 Hasil analisa statistik pada pengujian tekan sejajar serat bilah Posisi
Lokasi Buku
Pangkal Ruas Buku Tengah Ruas Buku Ujung Ruas
Tekan Bilah (kgf/cm2) Gombong Mayan 426,8 ± 13,93 477,1 ± 67,00 (3,26) (14,05) 391,1 ± 100,70 489,1 ± 46,90 (25,74) (9,58) 428,6 ± 71,70 587,0 ± 246,00 (16,73) (41,88) 452,1 ± 135,30 444,7 ± 75,50 (29,93) (16,98) 415,7 ± 65,90 430,5 ± 64,10 (15,86) (14,89) 491,5 ± 61,20 533,1 ± 140,40 (12,45) (26,34)
Keterangan : superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama pada lokasi yang sama dan posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
Tidak ada perbedaan nyata nilai keteguhan tekan sejajar serat pada bilah akibat faktor jenis bambu, posisi vertikal dan lokasi (ruas dan buku). Dari pengujian korelasi peubah KA, BJ, dan keteguhan tekan sejajar serat pada bilah yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 23.
55
Tabel 23 Hasil analisa korelasi antara KA, BJ, dan keteguhan tekan sejajar serat pada bilah Korelasi BJ Tekan (kgf/cm2)
KA (%) 0,710 0,000 0,086 0,616
BJ 0,397 0,017
Terdapat hubungan yang erat antara nilai keteguhan tekan sejajar serat pada bilah dengan BJ. Semakin tinggi BJ nilai keteguhan tekan sejajar serat semakin tinggi pula. Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized Linear Model (GLM) diukur menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung), dan likasi (ruas dan buku) (Tabel 24). Tabel 24 Hasil analisa statistik keteguhan tekan sejajar serat buluh Posisi
Lokasi Buku
Pangkal Ruas Buku Tengah Ruas Buku Ujung Ruas
Tekan Buluh (kgf/cm2) Gombong Mayan 443,9 ± 27,60 465,8 ± 16,88 (6,21) (3,62) 491,7 ± 57,00 492,4 ± 40,00 (11,59) (8,13) 494,7 ± 66,60 525,0 ± 147,50 (13,46) (28,09) 458,0 ± 54,60 509,8 ± 67,60 (11,92) (13,26) 580,9 ± 99,10 366,6 ± 163,50 (17,06) (44,59) 665,7 ± 132,10 437,0 ± 232,00 (19,84) (53,16)
Keterangan : superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
Tidak ada perbedaan nyata nilai keteguhan tekan akibat faktor jenis, posisi vertikal dan lokasi (ruas dan buku). Dari pengujian korelasi peubah KA, BJ, dan keteguhan tekan sejajar serat pada buluh yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 25.
56
Tabel 25 Hasil uji korelasi antara KA, BJ, dan tekan sejajar serat buluh Korelasi
KA (%) 0,710 0,000 -0,058 0,739
BJ Tekan (kgf/cm2)
BJ 0,135 0,433
Tidak ada hubungan yang erat antara nilai keteguhan tekan sejajar pada buluh dengan KA dan BJ. 4. 3. 5 Kekuatan Geser Sejajar Serat Kekuatan geser sejajar serat rata – rata bambu gombong dan bambu mayan adalah 86,03 kgf/cm2 dan 91,16 kgf/cm2 (Tabel 26 dan Gambar 34). Tabel 26 Nilai keteguhan geser sejajar serat (kgf/cm2) Gombong
Posisi
Mayan
Buku
Ruas
Buku
Pangkal
81,79
76,87
74,09
84,55
Tengah
89,57
88,84
84,31
98,93
Ujung
90,76
88,32
93,91
111,16
Kuat Geser (kg/cm2)
Ruas
140 120 100 80 60 40 20 0
Pangkal Tengah Ujung Ruas
Buku
Ruas
Gombong
Buku
Mayan
Jenis Bambu
Gambar 34 Diagram kekuatan geser sejajar serat. Dari hasil pengujian kekuatan geser sejajar serat pada Gambar 34 menunjukan kekuatan geser cenderung meningkat dari arah pangkal ke arah ujung pada kedua jenis bambu. Hal ini diduga disebabkan oleh distribusi jumlah ikatan pembuluh per satuan luas yang semakin besar dari bagian pangkal ke bagian ujung.
57
Perbedaan lokasi pada bambu mayan menyebabkan hasil kekuatan geser pada lokasi buku lebih besar nilainnya dari lokasi ruas. Hal ini diduga bahwa pada buku-buku (node), serat-serat ini saling bertautan dan sebagian memasuki diafragma dan cabang-cabang dapat meningkatkan nilai ketahan terhadap pembebanan geser sejajar serat. Sedangkan pada bambu gombong tidak terlihat perbedaan yang jelas terhadap nilai kekuatan geser sejajar serat pada kedua lokasi (ruas dan buku). Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized Linear Model (GLM) diukur menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung), dan likasi (ruas dan buku) (Tabel 27). Tabel 27. Hasil Analisa Statistik Pengujian Keteguhan Geser Sejajar Serat Posisi
Lokasi Buku
Pangkal Ruas Buku Tengah Ruas Buku Ujung Ruas
Geser (kgf/cm2) Gombong Mayan 76,9 ± 7,68 84,6 ± 12,89 (9,99) (15,24) 81,8 ± 6,98 74,1 ± 12,19 (8,53) (16,45) 88,9 ± 13,95 98,9 ± 11,15 (15,70) (11,27) 89,6 ± 11,49 84,3 ± 15,66 (12,82) (18,57) 88,3 ± 18,56 111,2 ± 26,70 (21,02) (23,99) 90,8 ± 10,43 93,9 ± 16,24 (11,49) (17,29)
Ketrangan : superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05) supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
Dari hasil uji analisis statistik tidak ada perbedaan nyata nilai keteguhan geser akibat faktor jenis, posisi vertikal batang dan lokasi (ruas dan buku). Dari pengujian korelasi peubah KA, BJ, dan keteguhan geser sejajar serat pada buluh yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 28.
58
Tabel 28 Hasil analisa korelasi antara KA, BJ dan keteguhan geser sejajar serat Korelasi BJ Geser
KA 0,710 0,000 0,039 0,822
BJ
0,292 0,084
Tidak ada hubungan yang erat antara keteguhan geser sejajar serat dengan KA dan BJ.
59
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5. 1 Kesimpulan 1. Tipe ikatan pembuluh pada bambu gombong memiliki tipe ikatan III dan IV. Distribusi kerapatan ikatan vaskuler bambu gombong dan bambu mayan pada arah horizontal cenderung mengalami penurunan dari tepi ke bagian dalam, sedangkan pada arah vertikal batang cenderung mngalami peningkatan dari pangkal ke bagian ujung. 2.
Sifat fisis dan mekanis bambu gombong dan bambu mayan pada bagian ruas (internode) cenderung lebih baik dibandingkan sifat fisis dan mekanis bambu gombong dan bambu mayan pada bagian buku (node).
3. Sifat mekanis bilah pada bambu gombong dan bambu mayan cenderung lebih baik dibandingkan sifat mekanis buluh utuhnya. 4. Sifat anatomi memberikan kontribusi dalam stabilitas kekuatan dan merupakan indikator yang baik dalam pendugaan kekuatan bambu. 5. 2 Saran 1. Perlu dilakukan pengamatan penampakan mikroskopis dan sifat kimia bambu gombong dan bambu mayan pada bagian buku (node) dan ruas (internode) bambu agar melengkapi hasil penelitian ini. 2. Perlu dilakukan penelitian serupa terhadap jenis bambu yang berbeda agar diketahui potensi diversivikasi kayu ke bambu dilihat dari sifat fisis dan mekanisnya.
60
DAFTAR PUSTAKA Adkoli NS. 1994. Bamboo in the Indian Pulp Industry. In: Bamboo in Asia and the Pacific. Proceedings of the fourth International Bamboo Workshop, Chiangmai, Thailand, 27-30 Nov. 1994. International Development Research Centre and Food & Agriculture Organizations of the United Nations. [ASTM] American Society for Testing and Materials. 2007. D 143-94 Standard Methods of Testing Small Clear Speciments of Timber (Secondary Methods). USA. Badan Pusat Statistik. 2004. Potensi Hutan Rakyat 2003. Jakarta: Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan & Direktorat Statistik Pertanian, BPS. Bachtiar G. 2008. Pemanfaatan Buluh Bambu Tali Sebagai Komponen Pada Konstruksi Rangka Batang Ruang. [disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Dransfield S, Widjaja EA. 1995. PROSEA, Plant Resource of South East Asia 7: Bamboos. Leiden: Backhuys Publisher. Frick H. 2004. Ilmu Konstruksi Bangunan Bambu, Seri Konstruksi Arsitektur 7. Yogyakarta : Kanesius. Ganie CN. 2008. Pengaruh Isian Mortar Terhadap Kuat Tekan Bambu Wulung [skripsi]. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia. Habib. 2010. Bambu. [internet]. [diunduh 16 Maret 2012]. Dapat diunduh dari: http://habib00ugm.wordpress.com/2010/06/05/bambu/ Haygreen JG, Bowyer JL. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu: Suatu pengantar (terjemahan). Yogyakarta: Gajahmada University Press. Janssen JJA. 1981a. The Relationship Between the Mechanical Properties and The Biological and Chemical Composition of Bamboo. Dalam Higuchi, T. (Ed.), Proceedings of the Congress Group 5.3, Productions and Utilization of Bamboo and Related Species, XVII International Union Forest Research Organization Word Congress Kyoto, Japan. (hlm : 27-32). Janssen JJA. 1981b. Bamboo in Building Structures, Doktor of Technical Science Thesis, Eindhoven University of Technology, Eindhoven, Netherlands. ISO 22157-1: 2004 (E). laboratory Manual on Testing Methods for Determination of Physical and Mechanical Properties of Bamboo. Published Switzerland.
61
Kurniawan H. 2002. Sifat Mekanis Laminasi Lengkung Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schultes.f) Backer ex Heyne) Menggunakan Perekat PVAc [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Li XB. 2004. Physical, Chemical and Mechanical Properties of Bamboo and Its Utilization Potential for Fibreboard Manufacturing [tesis]. Chinese Academy of Forestry. Liese W. 1980. Anatomy of Bamboo. Bamboo Reasearch in Asia, Proceedings of a Workshop. Singapore: 28-30 May 1980. Singapore: International Development Research Center and the International Union of Forestry Research Organizations. hlm 161-164. Liese W. 1985. Anatomy of Bamboo Proceedings Workshop Bamboo Research in Asia, Singapore 28-30 May 1980. International Development Research Center. Ottawa. Liese W, Kumar S. 2003. Bamboo Preservation Compendium. India: Centre for Indian Bamboo Resource and Technology. Maulana AC. 2011. Aplikasi Kurva Respon Cahaya Sinusoidal Untuk Pengukuran Daya Serap Karbondioksida Pada Bambu Betung [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. McClure FA. 1953. Bambu as a Bulding Material. In Bamboo in Buliding Contructions. Mohmod AL, Hamid NH, Sulaiman O. 1991. Variation in Physical Properties of Two Malaysian Bamboos. Dalam Bamboo in the Asia Pacific, pp. 232236. Nandika D, Dharma IGKT, Matangaran JR. 1994. Keawetan dan Pengawetan Bambu, Prosiding Sarasehan Penelitian Bambu Indonesia, Puspitek Serpong. Bogor : Yayasan Bambu Lestari. Noermalicha. 2001. Rekayasa Rancangan Bangunan Laminasi Lengkungan Bambu [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Nuryatin N. 2000. Studi Analisa Sifat-sifat Dasar Bambu Pada Beberapa Tujuan Penggunaan. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. . 2012. Pola Ikatan Pembuluh Bambu sebagai Penduga Pemanfaatan Bambu. [disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Sastrapradja SA, Widjaja, Prawiroatmojo S, Soenarko S. 1980. Beberapa Jenis Bambu. Lembaga Biologi Nasional-LIPI. Bogor. Setiadi A. 2009. Sifat Kimia Beberapa Jenis Bambu pada Empat Tipe Ikatan Pembuluh. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
62
Subiyanto B, Sudijono, Gopar M. 1994. Pengembangan Papan Bambu Komposit. Dalam Strategi Penelitian Bambu Indonesia. Bogor: Yayasan Bambu Lingkungan Lestari. Subyakto. 1995. Variation on Specific Gravity and Bending Properties of Dendrocalamus asper Culm Grown in Bogor. Dalam Engineering and Utilization, pp. 185-192. Sulthoni A. 1994. Permasalahan Sumberdaya Bambu di Indonesia. Dalam Strategi Penelitian Bambu Indonesia, hal : 30-36. Syafi’i LI. 1984. Pengujian Sifat-sifat Fisis dan Mekanis Contoh Kecil Bebas Cacat Beberapa Jenis Bambu. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Tamolang EN. Lopez FR. Seamana JA. Casin RF. Espiloy ZB. 1980. Properties and Utilization Phillipine Bamboo. Proceeding: Workshop Bamboos Research Center, Ottawa. Canada. Wang CK. 1970. Matriks Methods of Structural Analysis, American Publishing, Wisconsin. Wangaard FF. 1950. The Mechanical Properties of Wood. John Willey & Sons, Inc. New york, Chapman & Hill Limited, London. Widjaja EA. 1980. Indonesia. Dalam Bamboo Research in Asia, hal : 63-68. Widjaja, EA. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Kepulaan Sunda Kecil. Pusat Penelitian dan Pengembangan LIPI. Balai Penelitian Botani Herbarium Bogoriense. Bogor. Yap F. 1967. Bambu Sebagai Bahan Bangunan. Bandung: Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan.
63
LAMPIRAN
64
Lampiran 1. Data bentuk buluh bambu No
Kode
øPangkal-øUjung
Diameter Luar
Pangkal Diameter dalam
Tebal Kulit
Diameter Luar
Ujung Diameter Dalam
Tebal Kulit
Luar
Dalam
Taper Panjang
Luar
Dalam
Jarak Antar Buku
Gombong Pangkal 1
GBP1
11,69
7,89
1,90
11,27
7,77
1,75
0,41
0,11
302,0
0,0014
0,0004
39,80
2
GBP2
9,08
5,28
1,90
8,28
5,98
1,15
0,80
2,30
301,0
0,0026
0,0076
36,66
3
GBP3
10,03
6,48
1,78
9,62
7,07
1,28
0,41
2,55
303,5
0,0014
0,0084
33,77
0,0018
0,0055
36,74
Rata-rata Tengah 4
GBT1
11,15
8,30
1,43
10,51
7,91
1,30
0,64
2,60
300,5
0,0021
0,0087
45,13
5
GBT2
6,91
5,46
0,73
6,37
4,97
0,70
0,54
1,40
301,0
0,0018
0,0047
40,88
6
GBT3
9,39
6,74
1,33
9,01
7,06
0,98
0,38
1,95
301,0
0,0013
0,0065
43,63
0,0017
0,0066
43,21
Rata-rata Ujung 7
GBU1
9,87
7,67
1,10
8,50
6,50
1,00
1,37
2,00
300,8
0,0046
0,0066
42,00
8
GBU2
8,12
6,17
0,98
4,30
3,05
0,63
3,82
1,25
300,0
0,0127
0,0042
37,25
9
GBU3
8,89
7,39
0,75
8,15
6,60
0,78
0,73
1,55
305,5
0,0024
0,0051
41,80
0,0066
0,0053
40,35
Rata-rata Mayan Pangkal MYP1
10,03
5,78
2,13
9,71
7,21
1,25
0,32
-1,43
305,0
0,0010
-0,0047
38,10
2
MYP2
8,66
5,46
1,60
8,34
6,29
1,03
0,32
2,05
300,0
0,0011
0,0068
39,50
3
MYP3
9,87
5,62
2,13
9,24
6,59
1,33
0,64
2,65
300,3
0,0021
0,0088
39,90
0,0014
0,0037
39,17
Rata-rata
64
1
64
65
Lampiran 1 (Lanjutan). Data bentuk buluh bambu Tengah 4
MYT1
10,19
7,99
1,10
9,94
8,34
0,80
0,25
1,60
301,8
0,0008
0,0053
50,83
5
MYT2
8,60
6,70
0,95
8,15
6,75
0,70
0,45
1,40
287,0
0,0016
0,0049
57,50
6
MYT3
9,55
7,35
1,10
9,36
7,86
0,75
0,19
1,50
300,1
0,0006
0,0050
53,25
0,0010
0,0051
53,86
Rata-rata Ujung 7
MYU1
9,65
8,00
0,83
7,26
5,81
0,73
2,39
1,45
302,0
0,0079
0,0048
37,40
8
MYU2
7,10
5,75
0,68
5,48
4,33
0,58
1,62
1,15
301,8
0,0054
0,0038
46,50
9
MYU3
9,14
7,59
0,78
7,71
6,56
0,58
1,43
1,15
301,5
0,0048
0,0038
51,17
0,0060
0,0041
45,02
Rata-rata
65
66
Lampiran 2. Tipe ikatan vaskuler pada masing – masing bagian Gombong (Gigantochloa verticillata (Wild.) Munro) Bagian : Pangkal No Tepi Inti lokasi : Ruas I
Tipe Ikatan
III
III dan IV Lokasi : Buku
Dalam
IV
II
Tipe Ikatan
III
III Bagian : Tengah Lokasi : Ruas
III
III
III Lokasi : Buku
III
III
III
III
III
Tipe Ikatan IV
Tipe Ikatan
66
67
Lampiran 2 (Lanjutan). Tipe ikatan vaskuler pada masing – masing bagian Bagian : Ujung Lokasi : Ruas V
Tipe Ikatan
III
III Lokasi : Buku
III
III
IV
IV
VI
Tipe Ikatan
Mayan (Gigantochloa robusta Kurz.) Bagian : Pangkal No Tepi Inti lokasi : Ruas I
Tipe Ikatan
Dalam
III
III Lokasi : Buku
III
III
III
III
II
Tipe Ikatan
68
Lampiran 2 (Lanjutan). Tipe ikatan vaskuler pada masing – masing bagian Bagian : Tengah Lokasi : Ruas III
Tipe Ikatan
III
III Lokasi : Buku
III
III
IV Bagian : Ujung Lokasi : Ruas
IV
III
III Lokasi : Buku
III
IV
Tipe Ikatan
V
Tipe Ikatan VI
Tipe Ikatan
III
III dan IV
III dan IV
69
Lampiran 3. Pengujian sifat anatomi bambu Posisi Vertikal Pangkal
Lokasi Ruas
Posisi Horizontal Tepi Tengah Dalam
Rata-rata
Buku
Tepi Tengah Dalam
Rata-rata
Tengah
Ruas
Tepi Tengah Dalam
Rata-rata
Buku
Tepi Tengah Dalam
Rata-rata
Ujung
Ruas
Tepi Tengah Dalam
Rata-rata
Buku
Rata-rata
Tepi Tengah Dalam
Buah/mm2 GB 2,10 0,80 0,55 1,15 1,75 0,61 0,29 0,88 2,15 0,79 0,56 1,17 2,04 0,53 0,28 0,95 2,27 0,88 0,50 1,22 1,97 0,65 0,32 0,98
MY 1,84 0,67 0,48 1,00 1,55 0,48 0,36 0,80 1,77 0,61 0,39 0,92 1,78 0,56 0,16 0,83 2,53 0,88 0,41 1,27 2,05 0,48 0,14 0,89
Luas Ikatan Vaskuler (mm2) GB MY 31,58 35,24 20,88 28,60 17,62 27,15 0,67 0,94 43,44 33,60 28,39 17,54 18,15 11,78 0,81 0,68 21,36 23,32 16,85 18,68 14,80 15,93 0,72 1,00 24,59 21,48 17,25 13,03 9,82 4,13 0,67 0,54 15,20 10,30 10,03 9,10 6,29 4,77 0,56 0,59 14,99 12,89 10,29 6,00 6,74 1,51 0,59 0,47
Proporsi Luas Ikatan Vaskuler GB 87,68% 57,97% 48,92% 64,86% 80,25% 52,45% 33,53% 55,41% 80,84% 63,77% 56,03% 66,88% 62,91% 44,12% 25,12% 44,05% 84,45% 55,77% 34,99% 58,40% 61,53% 42,27% 27,66% 43,82%
MY 85,34% 69,26% 65,76% 73,45% 76,91% 40,16% 26,97% 48,01% 84,36% 67,60% 57,63% 69,86% 57,98% 35,17% 11,16% 34,77% 70,46% 62,28% 32,64% 55,13% 63,11% 29,35% 7,40% 33,29%
70
Lampiran 4. Data pengujian kadar air (KA) dari keadaan kering udara No
Kode
1 GBP1 2 GBP2 3 GBP3 Rata-Rata Stdev 1 MYP1 2 MYP2 3 MYP3 Rata-Rata Stdev
Nilai Ruas Buku 12,96 15,17 14,89 14,62 12,76 14,29 13,54 14,70 1,17 0,44 14,12 12,04 14,37 12,38 11,96 14,25 13,48 12,89 1,33 1,19
Kode GBT1 GBT2 GBT3
MYT1 MYT2 MYT3
Nilai Ruas Buku 14,64 14,06 14,76 12,61 15,03 11,90 14,81 12,86 0,20 1,10 14,70 14,96 13,75 11,30 15,04 14,05 14,50 13,44 0,67 1,90
Kode GBU1 GBU2 GBU3
MYU1 MYU2 MYU3
Nilai Ruas Buku 13,76 13,54 15,45 13,91 11,87 14,38 12,70 0,94 1,18 12,08 13,40 13,15 12,94 14,91 13,62 13,38 13,32 1,43 0,35
Lampiran 5. Data pengujian berat jenis (BJ) No
Kode
1 2 3
GBP1 GBP2 GBP3 Rata-Rata Stdev 1 MYP1 2 MYP2 3 MYP3 Rata-Rata Stdev
Nilai Nilai Nilai Kode Kode Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku 0,60 0,65 GBT1 0,62 0,59 GBU1 0,70 0,71 0,58 0,67 GBT2 0,48 0,60 GBU2 0,57 0,66 0,69 GBT3 0,62 0,64 GBU3 0,67 0,66 0,61 0,67 0,58 0,61 0,65 0,69 0,05 0,02 0,08 0,03 0,07 0,04 0,60 0,67 MYT1 0,60 0,64 MYU1 0,61 0,63 0,68 0,75 MYT2 0,73 0,77 MYU2 0,72 0,70 0,70 0,68 MYT3 0,70 0,62 MYU3 0,64 0,68 0,66 0,70 0,68 0,68 0,66 0,67 0,05 0,04 0,07 0,08 0,06 0,04
Lampiran 6 Data pengujian kerapatan (g/cm3) No 1 2 3
Kode
GBP1 GBP2 GBP3 Rata-Rata Stdev 1 MYP1 2 MYP2 3 MYP3 Rata-Rata Stdev
Nilai Nilai Nilai Kode Kode Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku 0,67 0,75 GBT1 0,72 0,67 GBU1 0,79 0,81 0,66 0,76 GBT2 0,56 0,67 GBU2 0,66 0,75 0,79 GBT3 0,71 0,72 GBU3 0,77 0,74 0,70 0,77 0,66 0,69 0,74 0,78 0,05 0,02 0,09 0,03 0,07 0,05 0,68 0,75 MYT1 0,69 0,74 MYU1 0,68 0,72 0,78 0,84 MYT2 0,83 0,86 MYU2 0,82 0,79 0,78 0,77 MYT3 0,81 0,70 MYU3 0,73 0,77 0,75 0,79 0,77 0,77 0,74 0,76 0,06 0,05 0,08 0,08 0,07 0,04
71
Lampiran 7. Output analisa statistik pengujian kadar air (KA) dan berat jenis (BJ) The SAS System The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values Jenis 2 GB MY Posisi Vertikal 3 Pangkal Tengah Ujung Lokasi 2 Buku Ruas Number of Observations Read 36 Number of Observations Used 36 Dependent Variable: KA Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 34.8005278 8.7001319 1.40 0.2562 Error 31 192.2838944 6.2027063 Corrected Total 35 227.0844222 R-Square Coeff Var Root MSE KA Mean 0.153249 18.70855 2.490523 13.31222 Source Jenis Posisi Vertikal Lokasi
DF 1 2 1
Dependent Variable: BJ Source DF Model 4 Error 31 Corrected Total 35
Type III SS 1.28444444 15.82003889 17.69604444
Mean Square 1.28444444 7.91001944 17.69604444
F Value 0.21 1.28 2.85
Pr > F 0.6522 0.2936 0.1012
Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F 0.07276111 0.01819028 1.24 0.3142 0.45451389 0.01466174 0.52727500
R-Square Coeff Var Root MSE BJ Mean 0.137995 19.09367 0.121086 0.634167 Source Jenis Posisi Vertikal Lokasi
DF 1 2 1
Type III SS 0.05522500 0.01706667 0.00046944
Mean Square 0.05522500 0.00853333 0.00046944
F Value 3.77 0.58 0.03
Pr > F 0.0614 0.5648 0.8592
Duncan's Multiple Range Test for KA NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 6.202706 Number of Means 2 Critical Range 1.693
72
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Jenis A 13.5011 18 MY A A 13.1233 18 GB Duncan's Multiple Range Test for BJ NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 0.014662 Number of Means 2 Critical Range .08232 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Jenis A 0.67333 18 MY A A 0.59500 18 GB
Duncan's Multiple Range Test for KA NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 6.202706
Number of Means 2 3 Critical Range 2.074 2.179 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal A 13.900 12 Tengah A A 13.651 12 Pangkal A A 12.386 12 Ujung Duncan's Multiple Range Test for BJ NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 ErrorDegreesofFreedom 31 ErrorMeanSquare 0.014662
73
NumberofMeans 2 3 CriticalRange .1008 .1060 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Vertikal A 0.66083 12 Pangkal A A 0.63417 12 Tengah A A 0.60750 12 Ujung Duncan's Multiple Range Test for KA NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 6.202706 NumberofMeans 2 CriticalRange 1.693
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Lokasi A 14.0133 18 Ruas A A 12.6111 18 Buku Duncan's Multiple Range Test for BJ NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 0.014662 Number of Means 2 Critical Range .08232 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Lokasi A 0.63778 18 Ruas A A 0.63056 18 Buku
74
Lampiran 8. Output analisa statistik pengujian penyusutan dimensi The SAS System The GLM Procedure Class Level Information Class Jenis Posisi Vertikal Lokasi
Levels 2 3 2
Values GB MY Pangkal Tengah Ujung Buku Ruas
Number of Observations Read 36 Number of Observations Used 36 Dependent Variable: Susut Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 48.88614778 12.22153694 15.63 <.0001 Error 31 24.24521497 0.78210371 Corrected Total 35 73.13136275 R-Square Coeff Var Root MSE Susut Mean 0.668470 15.16988 0.884366 5.829750 Source Jenis Posisi Vertikal Lokasi
DF 1 2 1
Type III SS 1.52646025 47.30500950 0.05467803
Mean Square 1.52646025 23.65250475 0.05467803
F Value 1.95 30.24 0.07
Pr > F 0.1723 <.0001 0.7932
Duncan's Multiple Range Test for Susut NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 0.782104 Number of Means 2 Critical Range .6012 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Jenis A 6.0357 18 MY A A 5.6238 18 GB Duncan's Multiple Range Test for Susut NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 0.782104
75
Number of Means 2 3 Critical Range .7364 .7739 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal A 7.1438 12 Pangkal B 5.9950 12 Tengah C 4.3505 12 Ujung Duncan's Multiple Range Test for Susut NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 0.782104 Number of Means 2 Critical Range .6012 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Lokasi A 5.8687 18 Ruas A A 5.7908 18 Buku Lampiran 9. Analisa korelasi pengujian susut volume dengan faktor KA dan BJ Correlations: Susut Volume, KA, BJ Volume KA KA 0.621 0.000 BJ 0.603 0.710 0.000 0.000 Cell Contents: Pearson correlation P-Value
76
Lampiran 10 Data pengujian MOE (kgf/cm2) pada bilah No
Kode
1 GBP1 2 GBP2 3 GBP3 Rata-Rata Stdev 1 MYP1 2 MYP2 3 MYP3 Rata-Rata Stdev
Nilai Ruas Buku 115576 108495 101693 128882 107969 124655 108413 120677 6952 10760 144470 122228 167683 140714 131418 117541 147857 126828 18368 12252
Kode GBT1 GBT2 GBT3
MYT1 MYT2 MYT3
Nilai Ruas Buku 143162 120458 346844 235233 147473 126268 212493 160653 116371 64654 138701 112171 163954 144328 147955 151223 150203 135907 12776 20843
Kode GBU1 GBU2 GBU3
MYU1 MYU2 MYU3
Nilai Ruas Buku 112063 130002 223209 81705 140322 126030 158532 112579 57767 26811 108440 104663 141376 142727 121132 118490 123650 121960 16611 19268
Lampiran 11 Data pengujian MOR (kgf/cm2) pada bilah Nilai Nilai Nilai Kode Kode Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku 1 GBP1 952 1355 GBT1 1093 1431 GBU1 998 1280 2 GBP2 876 1262 GBT2 1944 2250 GBU2 1544 882 3 GBP3 870 1250 GBT3 1183 1231 GBU3 1216 1351 Rata-Rata 899 1289 1407 1638 1253 1171 Stdev 46 57 467 540 275 253 1 MYP1 1331 1228 MYT1 1149 1178 MYU1 1156 1189 2 MYP2 1278 1350 MYT2 1501 1381 MYU2 1467 1490 3 MYP3 961 1121 MYT3 1375 1353 MYU3 1174 1222 Rata-Rata 1190 1233 1341 1304 1266 1300 Stdev 200 115 179 110 174 165
No
Kode
77
Lampiran 12. Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR pada bilah The SAS System The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values Jenis 2 GB MY PosisiVertikal 3 Pangkal Tengah Ujung Lokasi 2 Buku Ruas Number of Observations Read 36 Number of Observations Used 36 Dependent Variable: MOE Source DF Model 4 Error 31 Corrected Total 35
Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F 16039239200 4009809800 2.12 0.1019 58601667610 1890376375 74640906810
R-Square Coeff Var Root MSE MOE Mean 0.214885 31.06062 43478.46 139979.4 Source Jenis Posisi Vertikal Lokasi
DF 1 2 1
Type III SS 1120301622 11164709106 3754228471
Mean Square 1120301622 5582354553 3754228471
F Value 0.59 2.95 1.99
Pr > F 0.4472 0.0670 0.1687
Dependent Variable: MOR Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 532986.935 133246.734 2.03 0.1147 Error 31 2035617.201 65665.071 Corrected Total 35 2568604.136 R-Square Coeff Var Root MSE MOR Mean 0.207501 20.11065 256.2520 1274.210 Source
DF
Jenis Posisi Vertikal Lokasi
1 2 1
Type III SS
Mean Square 120.1145 120.1145 448946.7380 224473.3690 83920.0830 83920.0830
F Value
Pr > F
0.00 3.42 1.28
0.9662 0.0455 0.2669
Duncan's Multiple Range Test for MOE NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 1.8904E9
78
Lampiran 12 (Lanjutan). Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR pada bilah Number of Means 2 Critical Range 29558 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Jenis A 145558 18 GB A A 134401 18 MY Duncan's Multiple Range Test for MOR NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 65665.07 Number of Means 2 Critical Range 174.2 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Jenis A 1276.04 18 GB A A 1272.38 18 MY Duncan's Multiple Range Test for MOE NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 1.8904E9 NumberofMeans 2 3 CriticalRange 36202 38047 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal A 164814 12 Tengah A B A 129180 12 Ujung B B 125944 12 Pangkal Duncan's Multiple Range Test for MOR NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
79
Lampiran 12 (Lanjutan). Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR pada bilah Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 65665.07 NumberofMeans 2 3 CriticalRange 213.4 224.2 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal A 1422.4 12 Tengah A B A 1247.4 12 Ujung B B 1152.8 12 Pangkal Duncan's Multiple Range Test for MOE NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 1.8904E9 Number of Means 2 Critical Range 29558 Means with the same letter are not significantly different. DuncanGrouping Mean N Lokasi A 150191 18 Ruas A A 129767 18 Buku Duncan's Multiple Range Test for MOR NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 65665.07 Number of Means 2 Critical Range 174.2 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Lokasi A 1322.49 18 Buku A A 1225.93 18 Ruas
80
Lampiran 13. Analisa korelasi pengujian MOE dan MOE dengan faktor KA dan BJ Correlations: MOE, MOR, KA, BJ MOE MOR 0.781 0.000 KA 0.270 0.111 BJ -0.017 0.924
MOR KA
0.222 0.193 0.128 0.710 0.456 0.000
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
81
Lampiran 14. Data pengujian MOE (kgf/cm2) pada buluh NO Kode Nilai Kode Nilai 1 GBP1 48025 GBT1 33811 2 GBP2 46917 GBT2 56017 3 GBP3 47313 GBT3 60522 Rata-Rata 47418 50116 St.Dev 561 14300 1 MYP1 39378 MYT1 35627 2 MYP2 75776 MYT2 50973 3 MYP3 47956 MYT3 81787 Rata-Rata 54370 56129 St.Dev 19028 23508
Kode GBU1 GBU2 GBU3
MYU1 MYU2 MYU3
Nilai 60242 111149 78592 83328 25781 50463 73462 61261 61729 11507
Lampiran 15 Data pengujian MOR (kgf/cm2) pada buluh NO 1 2 3 Rata-Rata St.Dev 1 2 3 Rata-Rata St.Dev
KODE GBP1 GBP2 GBP3
MYP1 MYP2 MYP3
Nilai 525 395 473 464 65 314 301 325 313 12
GBT1 GBT2 GBT3
MYT1 MYT2 MYT3
Nilai 343 357 385 362 22 293 162 259 238 68
GBU1 GBU2 GBU3
MYU1 MYU2 MYU3
Nilai 334 818 408 520 261 248 217 310 258 47
82
Lampiran 16. Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR pada buluh utuh The GLM Procedure Class Level Information Class Jenis PosisiVertikal Lokasi
Levels 2 3 2
Values GB MY Pangkal Tengah Ujung Buku Ruas
Number of Observations Read 36 Number of Observations Used 36 Dependent Variable: MOE Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 16039239200 4009809800 2.12 0.1019 Error 31 58601667610 1890376375 Corrected Total 35 74640906810 R-Square Coeff Var Root MSE MOE Mean 0.214885 31.06062 43478.46 139979.4 Source Jenis Posisi Vertikal Lokasi
DF 1 2 1
Type III SS 1120301622 11164709106 3754228471
Mean Square 1120301622 5582354553 3754228471
F Value 0.59 2.95 1.99
Pr > F 0.4472 0.0670 0.1687
Dependent Variable: MOR Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 532986.935 133246.734 2.03 0.1147 Error 31 2035617.201 65665.071 Corrected Total 35 2568604.136 R-Square Coeff Var Root MSE MOR Mean 0.207501 20.11065 256.2520 1274.210 Source
DF
Jenis Posisi Vertikal Lokasi
1 2 1
Type III SS
Mean Square 120.1145 120.1145 448946.7380 224473.3690 83920.0830 83920.0830
F Value
Pr > F
0.00 3.42 1.28
0.9662 0.0455 0.2669
Duncan's Multiple Range Test for MOE NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 1.8904E9 Number of Means 2
83
Lampiran 16 (Lanjutan). Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR pada buluh utuh pada bilah Critical Range 29558 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Jenis A 145558 18 GB A A 134401 18 MY Duncan's Multiple Range Test for MOR NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 65665.07 Number of Means 2 Critical Range 174.2 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Jenis A 1276.04 18 GB A A 1272.38 18 MY Duncan's Multiple Range Test for MOE NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 1.8904E9 NumberofMeans 2 3 CriticalRange 36202 38047 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal A 164814 12 Tengah A B A 129180 12 Ujung B B 125944 12 Pangkal
Duncan's Multiple Range Test for MOR NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
84
Lampiran 16 (Lanjutan). Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR pada buluh utuh pada bilah Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 65665.07 NumberofMeans 2 3 CriticalRange 213.4 224.2 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal A 1422.4 12 Tengah A B A 1247.4 12 Ujung B B 1152.8 12 Pangkal Duncan's Multiple Range Test for MOE NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 1.8904E9 Number of Means 2 Critical Range 29558 Means with the same letter are not significantly different. DuncanGrouping Mean N Lokasi A 150191 18 Ruas A A 129767 18 Buku Duncan's Multiple Range Test for MOR NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 65665.07 Number of Means 2 Critical Range 174.2 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Lokasi A 1322.49 18 Buku A A 1225.93 18 Ruas
85
Lampiran 17. Analisa korelasi pengujian MOE dan MOR buluh dengan faktor KA dan BJ Correlations: MOE, MOR, KA, BJ MOE MOR KA MOR 0.459 0.056 KA 0.223 0.571 0.374 0.013 BJ 0.023 -0.513 -0.549 0.928 0.029 0.018 Cell Contents: Pearson correlation P-Value
86
Lampiran 18. Data pengujian tarik sejajar serat (kgf/cm2) pada bilah Nilai Nilai Nilai Kode Kode Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku 1 GBP1 2050 1391 GBT1 2566 1258 GBU1 3051 1152 2 GBP2 1404 1981 GBT2 2500 325 GBU2 2315 1019 3 GBP3 1635 1080 GBT3 2579 1075 GBU3 2939 1398 Rata-Rata 1696 1484 2548 886 2768 1190 Stdev 327 458 43 494 397 193 1 MYP1 2403 820 MYT1 2754 1132 MYU1 2155 962 2 MYP2 2372 789 MYT2 2715 921 MYU2 1895 852 3 MYP3 1896 951 MYT3 2734 888 MYU3 1267 1010 Rata-Rata 2224 853 2734 980 1772 942 Stdev 284 86 20 132 457 81 No
Kode
87
Lampiran 19. Gambar contoh uji tarik terserang oleh kumbang bubuk Anobium sp
88
Lampiran 20. Output analisa statistik pengujian tarik sejajar serat The SAS System The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values Jenis 2 GB MY PosisiVertikal 3 Pangkal Tengah Ujung Lokasi 2 Buku Ruas Number of Observations Read 36 Number of Observations Used 36 Dependent Variable: Tarik Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 14303956.21 3575989.05 19.12 <.0001 Error 31 5796877.12 186996.04 Corrected Total 35 20100833.33 R-Square Coeff Var Root MSE Tarik Mean 0.711610 25.84546 432.4304 1673.139 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F Jenis 1 284179.89 284179.89 1.52 0.2269 PosisiVertikal 2 298238.55 149119.28 0.80 0.4595 Lokasi 1 13721537.77 13721537.77 73.38 <.0001 Duncan's Multiple Range Test for Tarik NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 186996 Number of Means 2 Critical Range 294.0 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Jenis A 1762.0 18 GB A A 1584.3 18 MY Duncan's Multiple Range Test for Tarik NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 186996 Number of Means 2 3 Critical Range 360.1 378.4
89
Lampiran 20 (Lanjutan). Output analisa statistik pengujian tarik sejajar serat Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal A 1787.1 12 Tengah A A 1668.0 12 Ujung A A 1564.3 12 Pangkal Duncan's Multiple Range Test for Tarik NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 186996 Number of Means 2 Critical Range 294.0 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Lokasi A 2290.5 18 Ruas B 1055.8 18 Buku
Lampiran 21. Analisa korelasi pengujian tarik sejajar serat dengan faktor KA dan BJ Correlations: KA, BJ, Tarik KA BJ BJ 0.710 0.000 Tarik 0.307 0.050 0.068 0.771 Cell Contents: Pearson correlation P-Value
90
Lampiran 22. Data pengujian tekan sejajar serat (kgf/cm2) pada bilah No 1 2 3 Rata-Rata Stdev 1 2 3 Rata-Rata Stdev
Nilai Nilai Nilai Kode Kode Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku GBP1 499 426 GBT1 500 505 GBU1 483 419 GBP2 375 413 GBT2 299 363 GBU2 435 348 GBP3 300 441 GBT3 557 418 GBU3 557 480 391 427 452 429 492 416 101 14 135 72 61 66 MYP1 484 544 MYT1 358 438 MYU1 377 357 MYP2 538 477 MYT2 484 MYU2 573 464 MYP3 445 410 MYT3 492 453 MYU3 649 471 489 477 445 445 533 431 47 67 76 11 140 64 Kode
91
Lampiran 23. Output analisa statistik pengujian keteguhan tekan sejajar serat The SAS System The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values Jenis 2 GBMY Posisi Vertikal 3 Pangkal Tengah Ujung Lokasi 2 Buku Ruas Number of Observations Read 36 Number of Observations Used 36 Dependent Variable: TekanCKBC Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 38508.3557 9627.0889 0.88 0.4873 Error 31 339189.2226 10941.5878 Corrected Total 35 377697.5783 R-Square Coeff Var Root MSE Tekan CKBC Mean 0.101956 22.54478 104.6020 463.9746 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F Jenis 1 31727.14101 31727.14101 2.90 0.0986 Posisi Vertikal 2 6463.24078 3231.62039 0.30 0.7463 Lokasi 1 317.97388 317.97388 0.03 0.8657 Duncan's Multiple Range Test for TekanCKBC NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 10941.59 Number of Means 2 Critical Range 71.11 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Jenis A 493.66 18 MY A A 434.29 18 GB Duncan's Multiple Range Test for TekanCKBC NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 10941.59 Number of Means 2 3 Critical Range 87.10 91.53
92
Lampiran 23 (Lanjutan). Output analisa statistik pengujian keteguhan tekan sejajar serat Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal A 478.19 12 Tengah A A 467.72 12 Ujung A A 446.02 12 Pangkal Duncan's Multiple Range Test for TekanCKBC NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 10941.59 Number of Means 2 Critical Range 71.11 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Lokasi A 466.95 18 Ruas A A 461.00 18 Buku Lampiran 24. Analisa korelasi pengujian tekan pada bilah dengan faktor KA dan BJ Correlations: KA, BJ, Tekan Bilah KA BJ BJ 0.710 0.000 Tekan 0.086 0.397 0.616 0.017 Cell Contents: Pearson correlation P-Value
93
Lampiran 25. Data pengujian tekan sejajar serat (kgf/cm2) pada buluh No 1 2 3 Rata-Rata Stdev 1 2 3 Rata-Rata Stdev
Nilai Nilai Nilai Kode Kode Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku GBP1 466 466 GBT1 451 480 GBU1 558 631 GBP2 452 452 GBT2 407 436 GBU2 813 467 GBP3 557 GBT3 516 567 GBU3 625 645 492 459 458 495 666 581 57 10 55 67 132 99 MYP1 450 473 MYT1 433 362 MYU1 479 318 MYP2 530 478 MYT2 560 648 MYU2 645 549 MYP3 496 447 MYT3 536 565 MYU3 186 233 492 466 510 525 437 367 40 17 68 147 232 163 Kode
94
Lampiran 26. Output analisa statistik pengujian keteguhan tekan sejajar (kgf/cm2) pada buluh The SAS System The GLM Procedure Class Level Information Class Jenis PosisiVertikal Lokasi
Levels 2 3 2
Values GB MY Pangkal Tengah Ujung Buku Ruas
Number of Observations Read 36 Number of Observations Used 36 Dependent Variable: TekanFS Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 45821.9707 11455.4927 0.81 0.5259 Error 31 436209.5205 14071.2749 Corrected Total 35 482031.4911 R-Square Coeff Var Root MSE Tekan FS Mean 0.095060 24.00107 118.6224 494.2380 Source Jenis Posisi Vertikal Lokasi
DF 1 2 1
Type III SS 28700.02352 9252.89304 7869.05411
Mean Square 28700.02352 4626.44652 7869.05411
F Value 2.04 0.33 0.56
Pr > F 0.1632 0.7223 0.4602
Duncan's Multiple Range Test for TekanFS NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 14071.27 Number of Means 2 Critical Range 80.64 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Jenis A 522.47 18 GB A A 466.00 18 MY Duncan's Multiple Range Test for TekanFS NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
95
Lampiran 26 (Lanjutan). Output analisa statistik pengujian keteguhan tekan sejajar (kgf/cm2) pada buluh Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 14071.27 NumberofMeans 2 3 CriticalRange 98.8 103.8 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal A 512.43 12 Ujung A A 496.86 12 Tengah A A 473.42 12 Pangkal Duncan's Multiple Range Test for TekanFS NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 31 Error Mean Square 14071.27 NumberofMeans 2 CriticalRange 80.64 Means with the same letter are not significantly different. DuncanGrouping Mean N Lokasi A 509.02 18 Ruas A A 479.45 18 Buku
Lampiran 27. Analisa korelasi pengujian keteguhan tekan buluh dengan faktor KA dan BJ Correlations: KA, BJ, Tekan Buluh KA BJ BJ 0.710 0.000 Tekan -0.058 0.135 0.739 0.433 Cell Contents: Pearson correlation P-Value
96
Lampiran 28. Data pengujian geser sejajar serat (kgf/cm2) pada buluh No
Kode
1
GBP1
2
GBP2
3
GBP3
Rata-Rata Stdev 1 MYP1 2
MYP2
3
MYP3
Rata-Rata Stdev
Nilai TB 80 76 81 74 90 90 82 7 79 59 87 88 66 65 74 12
B 70 74 70 86 74 87 77 8 62 84 88 95 80 98 85 13
Kode GBT1 GBT2 GBT3
MYT1 MYT2 MYT3
Nilai TB 77 80 90 85 105 101 90 11 66 67 101 100 91 81 84 16
B 101 96 68 76 92 101 89 14 83 94 106 111 108 91 99 11
Kode GBU1 GBU2 GBU3
MYU1 MYU2 MYU3
Nilai TB 82 89 86 82 98 108 91 10 86 95 117 107 73 85 94 16
B 81 81 77 69 115 107 88 19 102 104 124 153 111 73 111 27
97
Lampiran 29. Output analisa statistik pengujian keteguhan geser sejajar serat The SAS System The GLM Procedure Class Level Information Class Jenis PosisiVertikal Lokasi
Levels 2 3 2
Values GBMY PangkalTengahUjung BukuRuas
Number of Observations Read 72 Number of Observations Used 72 Dependent Variable: Geser Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 4531.68764 1132.92191 5.17 0.0011 Error 67 14676.14355 219.04692 Corrected Total 71 19207.83119 R-Square Coeff Var Root MSE Geser Mean 0.235929 16.70489 14.80023 88.59820 Source Jenis Posisi Vertikal Lokasi
DF 1 2 1
Type III SS 474.398077 3471.499751 585.789815
Mean Square 474.398077 1735.749876 585.789815
F Value 2.17 7.92 2.67
Pr > F 0.1458 0.0008 0.1067
Duncan's Multiple Range Test for Geser NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 67 Error Mean Square 219.0469 Number of Means 2 Critical Range 6.963 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Jenis A 91.165 36 MY A A 86.031 36 GB Duncan's Multiple Range Test for Geser NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
98
Lampiran 29 (Lanjutan). Output analisa statistik pengujian keteguhan geser sejajar serat Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means 2 Critical Range 8.528
0.05 67 219.0469 3 8.972
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal A 96.043 24 Ujung A A 90.421 24 Tengah B 79.330 24 Pangkal Duncan's Multiple Range Test for Geser NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 67 Error Mean Square 219.0469 Number of Means 2 Critical Range 6.963 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Lokasi A 91.451 36 Buku A A 85.746 36 Ruas
Lampiran 30. Analisa korelasi pengujian keteguhan geser sejajar serat dengan faktor KA dan BJ Correlations: KA, BJ, Geser KA BJ BJ 0.710 0.000 Geser 0.039 0.292 0.822 0.084 Cell Contents: Pearson correlation P-Value