LAPORAN PEKERJAAN SWAKELOLA
KAJIAN POTENSI PEMANFAATAN INFRASTRUKTUR NON-TELEKOMUNIKASI SECARA LUAS DALAM PENYEDIAAN JASA TELEKOMUNIKASI
Direktorat Energi, Telekomunikasi dan Informatika Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Jakarta 2006
DAFTAR ISI BAB I
PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
BAB II
BAB III
Latar Belakang dan Permasalahan ……………………………...…………... 5 Tujuan dan Sasaran …………………………………...……………… 11 Ruang Lingkup dan Keluaran ……………………...…………………. 11 Kerangka Pemikiran dan Metodologi ……………………………….. 12 Pelaksanaan Rencana Kerja ………………...………………………. 14
HASIL KAJIAN 2.1 2.2 2.3 2.4
…..…………………………………………………..… 5
............................................................................. 16
Jaringan Telekomunikasi Eksisting dan Masa Depan .................. 17 Jaringan Infrastruktur Alternatif .......................................................... 19 Aspek Regulasi .....................................................................................20 Aspek Bisnis .................................................................................... 20
ANALISIS HASIL KAJIAN
................................................................. 22
3.1 Trend Pembangunan Infrastruktur Telekomunikasi ................. 22 3.2 Perkiraan dan Implikasi Kebutuhan Infrastruktur Telekomunikasi .... 23 3.3 Analisis Hasil Pemetaaan ....................................................................... 24 3.3.1 Pengoptimalan Jaringan Serat Optik PT PLN dan PT PGN .......................................................... 27 3.3.2 Eksplorasi Infrastruktur PLC ............................................. 28 3.4 Rekomendasi Kebijakan ....................................................................... 31
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ..................................................... 35 4.1 Kesimpulan 4.2 Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
.................................................................................... 35 .................................................................................... 36
......................................................................................... 38
2
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Persentase Wilayah (Desa) Yang Sudah Memiliki Fasilitas Telekomunikasi (2002)
............................................... 6
Tabel 2
Arahan Substansi
.................................................................................... 14
Tabel 3
Jadwal Pelaksanaan Kajian
Tabel 4
Proyeksi Supply-Demand Sambungan Tetap ............................................. 18
Tabel 5
Jaringan Telekomunikasi PT PLN dan PT PGN ............................................. 19
Tabel 6
Perbandingan Implementasi Infrastruktur PLC dengan FWA .................. 20
Tabel 7
Perbandingan Jumlah Pelanggan Sambungan Tetap dan Sambungan Bergerak ....................................................................... 25
Tabel 8
Strategi Pengembangan PLC Berdasarkan Analisa SWOT
....................................................................... 15
.................. 30
3
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Perbandingan Infrastruktur Telekomunikasi Negara-Negara ASEAN ....... 6
Gambar 2
Tataran Penyelenggaraan Pos dan Telematika ............................................... 8
Gambar 3
Alur Kegiatan Kajian .................................................................................... 12
Gambar 4
Kerangka Pemikiran
Gambar 5
Keterkaitan Antara Teknologi, Pasar dan Kebijakan
.................................................................................... 13 ................................ 33
4
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Dalam era informasi dimana informasi mempunyai nilai ekonomi, kemampuan untuk mendapatkan, memanfaatkan dan mengolah informasi mutlak dimiliki suatu bangsa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus daya saing bangsa tersebut. Kemampuan yang sama juga mutlak dimiliki setiap daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk mendukung kemampuan tersebut, ketersediaan akses informasi terutama infrastruktur telekomunikasi sangat esensial untuk membuka keterisolasian suatu daerah sekaligus membuka peluang ekonomi bagi daerah tersebut. Infrastruktur telekomunikasi yang memadai dan handal akan mendukung kegiatan sektor riil terutama dalam menjamin kelancaran arus barang dan informasi. Penelitian yang dilakukan oleh World Economic Forum menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi, termasuk telekomunikasi, mempunyai kontribusi sebesar 17% terhadap daya saing bangsa (competitiveness index) untuk negara non-core innovator seperti Indonesia, dan sebesar 25% untuk negara core innovator. Selain mendukung kehidupan perekonomian, telekomunikasi juga berperan dalam peningkatan kualitas masyarakat dan bangsa. Sebagaimana tertuang dalam UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, sektor telekomunikasi juga diarahkan untuk menjadi wahana yang mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan hubungan antarbangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, serta mendukung kegiatan pemerintahan. Secara nasional, ketersediaan infrastruktur telekomunikasi saat ini masih terbatas. Hingga tahun 2005, infrastruktur sambungan tetap baru mencapai sekitar 12 juta satuan sambungan (ss) yang terkonsentrasi di wilayah barat Indonesia. Di sisi lain, walaupun layanan sambungan bergerak (mobile communications) sudah menjangkau ke seluruh kabupaten dengan total pelanggan mencapai 46 juta orang, jumlah pelanggan terbesar tetap terkonsentrasi di Jawa, Bali dan Sumatera. Disparitas infrastruktur telekomunikasi juga terjadi antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Secara umum, teledensitas sambungan tetap di wilayah Jabodetabek dan daerah perkotaan lain masing-masing mencapai 35% dan 11-25%, sedangkan wilayah perdesaan baru mencapai 0,2%. Saat ini masih terdapat 43 ribu desa yang belum memiliki fasilitas telekomunikasi yang memadai atau bahkan belum memiliki fasilitas telekomunikasi sama sekali.
5
Keterbatasan infrastruktur telekomunikasi secara langsung menyebabkan semakin lebarnya kesenjangan digital (digital divide) baik antara Indonesia dengan negara lain (Gambar 1) maupun antardaerah di Indonesia (Tabel 1). Gambar 1 Perbandingan Infrastruktur Telekomunikasi Negara-Negara ASEAN Vietnam Thailand Singapore Philippines Myanmar Malaysia Lao Indonesia Cambodia Brunei Fixed Line
50.00 Mobile
100.00
150.00
200.00
250.00
Internet
Sumber: International Telecommunications Union, 2005
Dari Gambar 1 terlihat bahwa teledensitas telepon tetap, telepon bergerak dan pengguna internet Indonesia masing-masing baru mencapai 5,73%; 21,06%; dan 6,61%, sedangkan Malaysia sudah mencapai 16,79%; 75,17%; dan 39,71%. Kondisi Indonesia tidak jauh berbeda dengan Vietnam yang pada tahun yang sama mencapai 18,73% (teledensitas telepon tetap); 10,68% (telepon bergerak); dan 7,1% (pengguna internet). Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur telekomunikasi Indonesia tertinggal dibandingkan dengan infrastruktur negara-negara ASEAN lain. Tabel 1 Persentase Wilayah (Desa) Yang Sudah Memiliki Fasilitas Telekomunikasi (2002) Wilayah Operasi
Jumlah Desa
Jumlah Desa Yang Memiliki Fasilitas Telekomunikasi
Divre I (Sumatera) 21.508 5.926 Divre II (Jabodetabek) 2.445 2.445 Divre III (Jabar) 5.075 2.790 Divre IV (Jateng) 8.968 4.052 Divre V (Jatim) 8.413 4.851 Divre VI (Kalimantan) 6.059 1.099 Divre VII (KTI lainnya) 14.310 2.593 Total 66.778 23.756 Sumber: Laporan Tahunan PT Telkom, Ditjen Postel Depkominfo, berbagai tahun
Persentase (%) 28 100 55 45 58 18 18 36
6
Fasilitas telekomunikasi yang dimaksud dalam Tabel 1 adalah sambungan tetap kabel (wireline). Pada tahun 2006 diperkirakan terdapat 25.000 desa yang berada dalam footprint jaringan nirkabel (wireless) baik dalam bentuk fixed wireless access (FWA) atau mobile communications, dan 5.000 desa yang berpotensi untuk terjangkau oleh footprint jaringan nirkabel (masing-masing dimungkinkan setelah diberikan subsidi). Dengan demikian, tersisa 13.000 desa yang tidak memiliki fasilitas telekomunikasi sama sekali (sumber: Providing Telecommunications to Rural Indonesia, Jan van Rees, 2006) Dari Tabel 1 di atas terlihat bahwa sebagian besar infrastruktur terutama telepon tetap berada di wilayah barat Indonesia. Jumlah desa di wilayah timur Indonesia (Kalimantan dan daerah KTI lainnya) yang sudah memiliki fasilitas telekomunikasi baru mencapai 36%, artinya masih terdapat 64% desa di KTI yang tidak memiliki fasilitas telekomunikasi. Dari sisi pasokan (supply), keterbatasan infrastruktur antara lain disebabkan oleh: a. Terbatasnya kemampuan pembiayaan operator (penyedia infrastruktur dan layanan). Secara umum terdapat tiga strategi dalam pengembangan infrastruktur dan layanan telekomunikasi, yaitu (a) network widening yang bertujuan untuk membuka daerah baru; (2) network deepening yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas jaringan sehingga mampu menampung trafik yang lebih banyak; dan (c) network innovation yang bertujuan untuk memperkaya fitur layanan. Dengan adanya keterbatasan kemampuan pembiayaan, setiap operator harus menentukan prioritas dari ketiga strategi tersebut. Operator baru umumnya tidak melakukan network widening karena memerlukan investasi yang besar untuk melakukan roll out jaringan. Dengan demikian, pembukaan daerah baru masih terbatas dan sangat bergantung kepada incumbent. Di sisi lain, operator juga mengalami keterbatasan dalam melakukan network deepening dan network innovation. Hal ini disebabkan oleh perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat cepat sehingga membawa dampak kepada meningkatnya kebutuhan investasi baru dalam waktu yang lebih singkat. Dengan demikian investasi jangka panjang menjadi tidak menarik lagi. Padahal, pembangunan infrastruktur telekomunikasi itu sendiri membutuhkan perencanaan dan implementasi yang cukup panjang dengan waktu pengembalian modal yang panjang. b. Masih tingginya barrier to entry. Pada penyelenggaraan telekomunikasi sambungan tetap yang menganut sistem duopoli sebagai transisi dari bentuk monopoli ke kompetisi, penguasaan akses penting masih dikuasai oleh incumbent, seperti penomoran dan interkoneksi. Sementara itu, pada penyelenggaraan telekomunikasi sambungan bergerak yang sudah dilakukan secara kompetisi sejak awal, permasalahan utama bagi operator baru adalah terbatasnya ketersediaan spektrum frekuensi karena sebagian besar alokasi spektrum frekuensi sudah ditetapkan untuk operator eksisting. Kondisi ini menjadi barrier to entry bagi operator baru untuk masuk ke dalam pasar, bertahan, berkembang, dan
7
berkompetisi. Dengan demikian, penyediaan infrastruktur dan layanan telekomunikasi praktis masih dimonopoli oleh incumbent. c. Terbatasnya kemampuan adopsi dan adaptasi teknologi. Perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat cepat belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena terbatasnya kemampuan penyedia layanan dan industri dalam negeri untuk melakukan adopsi dan adaptasi teknologi. Perangkat regulasi yang ada juga umumnya belum dapat mengantisipasi perkembangan teknologi secara cepat sehingga pemanfaatan teknologi baru masih terbatas. Adapun dari sisi permintaan (demand), kesenjangan digital dan keterbatasan infrastruktur disebabkan oleh terbatasnya kemampuan daerah dalam mendukung operator untuk beroperasi secara komersial. Secara umum, kesediaan operator untuk beroperasi secara komersial di suatu wilayah dipengaruhi oleh kepadatan penduduk; daya beli masyarakat (purchasing power dan willingness to pay); serta konsentrasi dan jenis aktivitas masyarakat. Daerah perkotaan yang padat penduduk dan memiliki daya beli tinggi, atau daerah yang memiliki pusat industri merupakan daerah yang menjadi target utama operator. Sebaliknya, daerah yang mempunyai kemampuan terbatas menjadi tidak menarik bagi operator. Daerah inilah yang kemudian menjadi fokus program Universal Service Obligation (USO). Gambar 2 Tataran Penyelenggaraan Pos dan Telematika TATARAN PENYELENGGARAAN
POS
TELEKOMUNIKASI
FUNGSI KEBIJAKAN
Pemerintah
Pemerintah
FUNGSI REGULASI
Daerah Komersial FUNGSI OPERASI
Daerah USO/ PSO
Pembiayaan dan Pelaksana Pembiayaan
Pelaksana
Pemerintah
BUMN Swasta
Pemerintah Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI)
TEKNOLOGI INFORMASI Pemerintah
Pemerintah
BUMN Swasta
PENYIARAN Pemerintah Pemerintah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pemerintah
Swasta
BUMN*
Pemerintah**
Swasta*
Swasta
Swasta
Pemerintah
BUMN
BUMN Swasta
Pemerintah
Swasta
Keterangan: *Melalui PNBP; **sebagian dilakukan oleh pemerintah melalui proyek percontohan
8
Sesuai dengan karakteristik penyelenggaraan pos, telekomunikasi, teknologi informasi dan penyiaran, diperlukan pendekatan yang berbeda untuk meningkatkan laju pembangunan infrastruktur (Gambar 2). Pada penyelenggaraan telekomunikasi, pemerintah tidak lagi berperan dalam aspek operasi tetapi lebih bersifat sebagai fasilitator. Oleh karena itu, sesuai dengan arahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2004-2009, prioritas pembangunan yang didanai dari APBN difokuskan kepada (1) perkuatan fungsi pengaturan baik pada tataran kebijakan/regulasi, kelembagaan maupun industri (kerangka regulasi); dan (2) penyediaan infrastruktur di daerah yang secara ekonomi kurang menguntungkan melalui program USO (kerangka anggaran). Sebagaimana ditetapkan dalam RPJM Nasional 2004-2009, sasaran umum pembangunan sektor pos dan telematika adalah (1) terwujudnya penyelenggaraan pos dan telematika yang efisien, yaitu mampu mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi nasional dengan tetap memperhatikan kemanfaatan aspek sosial dan komersial; (2) meningkatnya aksesibilitas masyarakat akan layanan pos dan telematika; dan (3) meningkatnya kapasitas serta kemampuan dalam mengembangkan dan mendayagunakan teknologi dan aplikasi telematika secara efektif. Adapun sasaran khusus pembangunan pos dan telematika di antaranya adalah tercapainya pembangunan sambungan tetap baru sebanyak 16 juta ss atau teledensitas sebesar 13%1. Pada kenyataannya, realisasi pembangunan baru sambungan tetap masih di bawah rencana pembangunan sebagaimana tertuang dalam KM Perhubungan No. 162 Tahun 2004 dan No. 203 Tahun 2004 tentang izin penyelenggaraan jaringan tetap dan penyelenggaraan jasa teleponi dasar masing-masing untuk PT Telkom dan PT Indosat. Di sisi lain, kemajuan teknologi nirkabel (wireless) yang dikenal dengan Fixed Wireless Access (FWA) saat ini banyak digunakan karena memungkinkan implementasi pembangunan sambungan tetap yang lebih cepat dan murah dibandingkan sambungan kabel. Dalam segmen ini, selain PT Telkom dan PT Indosat, pemerintah sudah memberikan izin penyelenggaraan kepada PT Bakrie Telecom2. Hanya dalam waktu 3 tahun, yaitu sejak awal penyelenggaraan FWA di tahun 2002 hingga 2005, pembangunan akses FWA meningkat sebesar 4,3 juta ss. Untuk pembangunan sambungan tetap selanjutnya, para operator bahkan sudah menyatakan hanya akan menggunakan FWA.
1 Asumsi:
bentuk duopoli dipertahankan hingga tahun 2009 dan komitmen pembangunan operator sambungan lokal tercapai. Bentuk duopoli dalam penyelenggaraan telekomunikasi tetap ditetapkan sebagai transisi dari bentuk monopoli ke kompetisi. Pada tahun 2002 pemerintah menterminasi dini hak eksklusif PT Telkom sebagai penyelenggara sambungan lokal. Pada tahun 2003 pemerintah menterminasi dini hak eksklusif PT Telkom sebagai penyelenggara Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) dan PT Indosat sebagai penyelenggara Sambungan Langsung Internasional (SLI). Sebagai konsekuensi dari terminasi dini, pemerintah membayar kompensasi. Sasaran ini merupakan kondisi minimum yang harus dipenuhi. 2 Dulu dikenal dengan PT Ratelindo
9
Terlepas dari implementasi yang lebih cepat dan murah, dengan adanya keterbatasan alokasi spektrum frekuensi, pembangunan FWA diperkirakan hanya merupakan solusi jangka pendek. Sejalan dengan waktu, aplikasi dan layanan yang memerlukan spektrum frekuensi akan semakin banyak, tanpa disertai manajemen alokasi dan monitoring spektrum frekuensi yang baik, berbagai aplikasi yang bermoda nirkabel, termasuk FWA, sulit untuk berkembang. Dengan memperhatikan semakin tingginya kebutuhan masyarakat akan layanan telekomunikasi serta semakin lebarnya kesenjangan digital, pemerintah perlu mendorong penyediaan infrastruktur telekomunikasi. Terbatasnya sumber daya termasuk pembiayaan, secara langsung membatasi kemampuan pembangunan. Praktek yang terjadi saat ini, pembangunan infrastruktur baru cenderung lebih diutamakan daripada pemanfaatan infrastruktur eksisting sehingga terjadi pemborosan investasi. Hal ini dapat diamati dari beberapa contoh, seperti: a. Belum optimalnya pemanfaatan infrastruktur telekomunikasi yang dimiliki dan dikelola oleh operator non-telekomunikasi, seperti PT PLN dan PT PGN, yang terlihat dari rendahnya tingkat utilisasi jaringan serat optik; b. Belum optimalnya pemanfaatan infrastruktur pendukung seperti menara. Saat ini banyak terdapat menara pemancar/penerima layanan seluler tersebar di seluruh Indonesia sehingga tidak saja mengurangi estetika tata ruang wilayah tetapi juga menimbulkan duplikasi investasi; dan c. Belum tergalinya potensi pemanfaatan infrastruktur alternatif seperti Powerline Communications (PLC) atau Broadband Powerline (BPL) yang menggunakan jaringan listrik dalam penyediaan jasa telekomunikasi dan internet. Pemanfaatan infrastruktur alternatif perlu mendapatkan perhatian. Kemajuan teknologi memungkinkan penggunaan jaringan listrik untuk menyediakan jasa telekomunikasi dengan menambahkan konsentrator PLC di setiap gardu distribusi. Hingga akhir tahun 2000, terdapat lebih dari 225 ribu gardu distribusi yang menjangkau lebih dari 29 juta pelanggan listrik di seluruh Indonesia. Selain itu, dengan infrastruktur PT PLN yang ada, seperti right of way, tiang, dan menara listrik, waktu pembangunan sambungan baru dapat dipercepat hingga tiga kali lipat sehingga menekan biaya investasi sebesar 30%. Tidak dimanfaatkannya secara optimal infrastruktur eksisting akan mengurangi kemungkinan perluasan akses dan merupakan inefisiensi pemanfaatan aset nasional.
10
1.2 Tujuan dan Sasaran Dalam upaya peningkatan efisiensi investasi, optimalisasi pemanfaatan dan pembangunan infrastruktur perlu dilakukan. Studi ini bertujuan untuk mengkaji kemungkinan pemanfaatan PLC/BPL dan infrastruktur telekomunikasi milik operator non-telekomunikasi secara luas dalam penyediaan jasa telekomunikasi. Adapun sasaran akhir kajian adalah agar Bappenas khususnya Direktorat Energi, Telekomunikasi dan Informatika mendapatkan gambaran utuh mengenai potensi pemanfaatan infrastruktur alternatif dalam penyediaan jasa telekomunikasi. Mengingat teknologi PLC/BPL berbasis internet protocol (IP) yang merupakan teknologi masa depan, maka hasil kajian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi rencana induk pengembangan telekomunikasi nasional terutama tatanan infrastruktur yang mendorong integrasi berbagai jaringan.
1.3 Ruang Lingkup dan Keluaran Studi Dalam melakukan kajian, objek penelitian dibatasi pada infrastruktur telekomunikasi dan PLC PT PLN yang dikelola oleh PT Indonesia Comnets Plus (ICON+)3, serta infrastruktur telekomunikasi yang dikelola oleh PT PGN. Dalam melakukan kajian, Direktorat Energi, Telekomunikasi dan Informatika didukung oleh Tim Konsultan dari Lembaga Teknologi Fakultas Teknik Universitas Indonesia yang dipilih melalui lelang. Kegiatan utama kajian secara keseluruhan meliputi (Gambar 3): a. Identifikasi kesenjangan pasokan (supply) dan kebutuhan (demand) layanan telekomunikasi; b. Inventarisasi kapasitas, jangkauan, dan lokasi infrastruktur alternatif eksisting; c. Identifikasi permasalahan dalam pemanfaatan infrastruktur alternatif secara luas; d. Kajian kemungkinan pemanfaatan infrastruktur alternatif dalam penyediaan jasa telekomunikasi; dan e. Menyusun rekomendasi kebijakan terkait pemanfaatan infrastruktur alternatif dalam penyediaan jasa telekomunikasi.
3 PT
ICON+ merupakan anak perusahaan PT PLN yang mengelola aset PT PLN terkait dengan penyediaan jasa telekomunikasi. Saat ini PT ICON+ sudah memiliki izin penyelenggaraan jaringan tetap tertutup yang merupakan closed user group (bukan merupakan jaringan publik) dan izin Voice over Internet Protocol (VoIP).
11
Gambar 3 Alur Kegiatan Kajian Sektor Telekomunikasi Kesenjangan supply-demand
Potensi pemanfaatan infrastruktur alternatif
Barrier to entry bagi operator baru
Kondisi nyata kemungkinan pemanfaatan infrastruktur alternatif
Kebijakan terkait pemanfaatan infrastruktur alternatif
Pemanfaatan infrastruktur alternatif secara optimal
Sektor NonTelekomunikasi Kapasitas, jangkauan, lokasi infrastruktur alternatif
Hambatan dalam pengembangan infrastruktur alternatif secara luas
Adapun pembagian tugas antara Tim Bappenas dan Tim Konsultan adalah sebagai berikut: a. Tim Konsultan melakukan (1) pemetaan kondisi eksisting dan identifikasi permasalahan dari aspek teknis dan regulasi; dan (2) melakukan identifikasi potensi dan skema bisnis. b. Tim Bappenas (1) memberikan arahan secara keseluruhan selama proses kajian; (2) memeriksa hasil evaluasi konsultan; (3) melakukan analisa menyeluruh atas pemetaan dan evaluasi yang dilakukan oleh Tim Konsultan; dan (4) menyusun rekomendasi kebijakan yang diperlukan untuk mendukung pemanfaatan infrastruktur alternatif. Keluaran kajian yang diharapkan adalah hasil evaluasi terhadap kemungkinan pemanfaatan infrastruktur alternatif secara luas dalam penyediaan jasa telekomunikasi.
1.4 Kerangka Pemikiran dan Metodologi Kerangka pemikiran kajian berlatar belakang pada perlunya percepatan penyediaan infrastruktur. Pada penyelenggaraan telekomunikasi sambungan tetap, pendekatan yang terfokus hanya kepada pembangunan baru ternyata tidak cukup efektif. Hal ini terlihat dari realisasi pembangunan baru yang masih di bawah rencana pembangunan. Pembangunan sambungan tetap kabel dihadapkan pada permasalahan besarnya investasi yang diperlukan dan terbatasnya mobilitas seiring dengan munculnya gaya hidup mobile yang lebih praktis. Kedua hal ini menyebabkan sambungan tetap kabel menjadi tidak menarik lagi bagi operator. Adapun pembangunan sambungan tetap nirkabel dihadapkan pada tantangan terbatasnya spektrum frekuensi.
12
Di sisi lain, kehadiran sambungan tetap masih diperlukan terutama untuk mengantipasi kebutuhan masa depan yang berorientasi broadband (pita besar) sehingga dapat menampung layanan suara, data, dan gambar (tripple play) sekaligus. Berdasarkan pemikiran tersebut, perlu diambil langkah-langkah efisiensi di antaranya adalah (a) memanfaatkan infrastruktur eksisting secara bersama (resource sharing) seperti pemakaian menara layanan seluler secara bersama oleh beberapa operator, dan (b) mengeksplorasi infrastruktur alternatif yang dalam hal ini diwakili oleh PLC/BPL. Sebagaimana terlihat pada rangkaian pemikiran (Gambar 4), optimalisasi infrastruktur eksisting hanya merupakan salah satu cara untuk mempercepat penyediaan infrastruktur dalam rangka peningkatan akses informasi ke masyarakat. Optimalisasi infrastruktur eksisting dilakukan dengan dukungan dari tiga faktor, yaitu kebijakan dan regulasi, kelembagaan, dan industri. Ketiga faktor ini yang menjadi landasan dalam penyusunan rekomendasi kebijakan yang diperlukan untuk mendukung pemanfaatan infrastruktur alternatif. Gambar 4 Kerangka Pemikiran
SASARAN AKHIR
PENINGKATAN AKSES INFORMASI KE MASYARAKAT (aspek supply: meningkatkan kapasitas, kualitas, dan jangkauan)
PROGRAM
PERCEPATAN PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR
1. PEMBANGUNAN BARU
KEGIATAN
2. OPTIMALISASI INFRASTRUKTUR EKSISTING
2.a. RESOURCE SHARING
2.b. EKSPLORASI INFRASTRUKTUR ALTERNATIF
PENDUKUNG
Kebijakan dan Regulasi
Kelembagaan
Industri
Kajian ini dilaksanakan melalui (a) pengumpulan dan evaluasi literatur, seperti peraturan perundang-undangan, kebijakan sektor, dan konsep terkait lainnya; (b) pengumpulan data; (3) analisa; dan (4) penyusunan rekomendasi.
13
1.5 Pelaksanaan Rencana Kerja Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Tim Bappenas mempunyai tugas untuk (a) memberikan arahan secara keseluruhan selama proses kajian; (b) memeriksa hasil evaluasi Tim Konsultan; (c) melakukan analisa menyeluruh atas pemetaan dan evaluasi yang dilakukan oleh Tim Konsultan; dan (d) menyusun rekomendasi kebijakan yang diperlukan untuk mendukung pemanfaatan infrastruktur alternatif. Dalam melaksanakan tugas butir (a), Tim Bappenas melakukan komunikasi berkala dengan Tim Konsultan. Berikut adalah arahan substansi yang diberikan kepada Tim Konsultan. Tabel 2 Arahan Substansi No
Kegiatan
1.
Evaluasi Kesenjangan Supply-Demand Sektor Telekomunikasi
2.
Identifikasi Kapasitas, Jangkauan, Lokasi Infrastruktur Alternatif Evaluasi Potensi Pemanfaatan Infrastruktur Alternatif
3.
4.
Evaluasi Barrier-to-Entry Bagi Operator Baru di Sektor Telekomunikasi
Substansi yang Dibahas
1. Pemetaan dan evaluasi penyelenggaraan telekomunikasi a. Lisensi (jaringan tetap, jaringan bergerak, … / jasa ...) b. Moda (copper, FWA, seluler, …) c. Teknologi (PSTN, seluler, IP, …) 2. Identifikasi kapasitas dan jangkauan per kabupaten/propinsi (eksisting dan forecast) 3. Identifikasi demand (eksisting dan forecast) 4. Evaluasi kesenjangan supply-demand (eksisting dan forecast) 5. Identifikasi investasi yang dibutuhkan untuk menutup kesenjangan tersebut 1. Identifikasi kapasitas, jangkauan, dan lokasi serat optik PT PLN dan PT PGN 2. Identifikasi kapasitas, jangkauan dan lokasi PLC/BPL 1. Identifikasi kapasitas yang tidak terpakai (idle) 2. Identifikasi kapasitas yang berpotensi untuk digunakan untuk menutup kesenjangan supply-demand (diasumsikan terdapat infrastruktur alternatif yang tidak melewati penduduk sehingga tidak dapat digunakan sebagai last mile) Evaluasi kesulitan bagi pemain baru untuk masuk dalam sektor telekomunikasi (UMUM) a. aspek regulasi, misalnya dalam penyelenggaraan fixed communications masih bersifat duopoli (masalah lisensi, interkoneksi, ...) b. aspek bisnis, misalnya kebutuhan investasi roll out yang besar, penciptaan basis pelanggan, ...
14
No
Kegiatan
Substansi yang Dibahas
5.
Identifikasi Hambatan dalam Pengembangan Alternatif Secara Luas
6.
Evaluasi Kemungkinan Pemanfaatan Infrastruktur Alternatif
Evaluasi hambatan bagi PT PLN dan PT PGN (serat optik dan PLC/BPL) dalam mengembangkan infrastruktur alternatif (SPESIFIK BAGI PT PLN DAN PT PGN): a. aspek teknis, misalnya evaluasi kompatibilitas dan integrasi dengan sistem/infrastruktur eksisting (PSTN) b. aspek regulasi, misalnya evaluasi kemungkinan pemanfaatan infrastruktur alternatif dengan regulasi yang ada sekarang c. aspek bisnis, misalnya evaluasi kebutuhan investasi yang diperlukan untuk PT PLN dan PT PGN untuk melakukan roll out (dengan asumsi (i) ada dan (ii) tidak ada kesulitan teknis); 1. Evaluasi kemungkinan investasi yang dilakukan untuk PT PLN dan PT PGN untuk melakukan roll out 2. Evaluasi skema penyelenggaraan a. operator tunggal, kerjasama, ... b. operator jaringan, operator jasa, ...
Adapun hasil pelaksanaan butir (b) dilakukan bersamaan dengan analisa hasil pemetaan yang dilakukan oleh Tim Konsultan (c) termasuk kesimpulan dan rekomendasi (d). Analisa tersebut dapat dilihat pada bab-bab selanjutnya. Jadwal pelaksanaan kajian dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3 Jadwal Pelaksanaan Kajian Kegiatan
B-1
B-2
B-3
B-4
B-5
B-6
B-7
B-8
Pengumpulan bahan dan evaluasi awal Koordinasi dengan konsultan Memeriksa hasil evaluasi konsultan Analisa hasil pemetaan Penyusunan rekomendasi/rancangan kebijakan Konsultasi stakeholders Penyempurnaan rekomendasi
15
BAB II HASIL KAJIAN
Dengan diterbitkannya UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1989, konsep monopoli dalam penyelenggaraan telekomunikasi mengalami perubahan menjadi konsep kompetisi. Dengan adanya deregulasi dan mengingat potensi pasar telekomunikasi yang masih sangat besar, operator dituntut untuk memiliki strategi pembangunan infrastruktur yang efisien, cepat, dan tepat dengan kualitas dan harga/tarif yang kompetitif. Pada kenyataannya, pemain baru menghadapi hambatan dalam melakukan pembangunan jaringan dan penciptaan basis pelanggan karena investasi yang besar dan waktu implementasi yang lama. Selain itu, sikap anti-kompetisi dari incumbent juga menciptakan barrier to entry. Pada akhirnya, kondisi ini menciptakan bottleneck dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi. Kondisi bottleneck tersebut juga tercipta akibat masih terbatasnya opsi pengembangan infrastruktur yang terfokus kepada pembangunan infrastruktur baru. Tidak dimanfaatkannya secara optimal infrastruktur alternatif ini secara langsung mengurangi kemungkinan perluasan akses. Sesungguhnya pemanfaatan infrastruktur alternatif tidak saja dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pasar akan jasa telekomunikasi yang semakin tinggi, tetapi juga sebagai upaya efisiensi pemanfaatan aset nasional, terutama mengingat besarnya investasi aset tersebut. Permasalahan tersebut telah ditemukenali dalam RPJM Nasional 2004-2009. Di dalam RPJM Nasional disampaikan bahwa salah satu kebijakan sektor pos dan telematika diarahkan untuk peningkatan efisiensi pemanfaatan dan pembangunan infrastruktur pos dan telematika. Dijelaskan bahwa penyediaan infrastruktur pos dan telematika yang memadai sangat diperlukan untuk memperkecil kesenjangan digital bukan hanya antardaerah di Indonesia tetapi juga antara Indonesia dengan negara lain. Terbatasnya sumber daya yang dimiliki, termasuk pembiayaan, secara langsung membatasi kemampuan pembangunan. Oleh karena itu akan ditempuh langkah-langkah peningkatan efisiensi baik dalam pemanfaatan infrastruktur yang ada maupun pembangunan infrastruktur baru, seperti optimasi pemanfaatan infrastruktur non-telekomunikasi yang berpotensi untuk digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi dan pemakaian bersama suatu infrastruktur oleh beberapa penyelenggara (resource sharing). Dengan adanya efisiensi investasi melalui resource sharing diharapkan para penyelenggara dapat menggunakan hasil penghematan investasi untuk memperluas jaringan akses lokal (last mile) atau pengembangan layanan lain. Dengan bertambahnya kapasitas infrastruktur, trafik diharapkan
16
akan lebih mudah dibangkitkan dan pada saat yang sama industri aplikasi juga dapat berkembang. Berikut ini adalah rangkuman hasil pemetaan yang dilakukan oleh Tim Konsultan dengan arahan dari Tim Bappenas yang terdiri dari aspek (a) teknis, meliputi jaringan telekomunikasi eksisting dan masa depan dan jaringan infrastruktur alternatif; (b) regulasi; dan (c) bisnis. 2.1 Jaringan Telekomunikasi Eksisting dan Masa Depan Pada dasarnya jaringan telekomunikasi tetap dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kabel dan nirkabel. Jaringan kabel eksisting merupakan bagian dari public switched telephone network (PSTN) yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) dibangun untuk layanan suara; (2) kecerdasan layanan terpusat pada sentral (central switch); (3) sirkuit terduduki penuh (dedicated circuit) untuk setiap proses pemanggilan; (4) terminal pelanggan sederhana dan murah; (5) sistem sangat handal; (6) lisensi dan regulasi yang jelas; (7) penyelenggaraan berbentuk duopoli; dan (8) memiliki layanan panggilan darurat. Adapun jaringan nirkabel (FWA) menggunakan konsep seluler seperti jaringan telekomunikasi bergerak dengan karakteristik sebagai berikut: (1) dibangun untuk layanan suara dan data; (2) kecerdasan layanan terpusat pada sentral; (3) sirkuit terduduki penuh untuk setiap proses pemanggilan; (4) lisensi dan regulasi yang jelas; (5) sistem lebih kompleks dibandingkan PSTN; (6) penyelenggaraan berbentuk kompetisi; dan (7) dapat diinterkoneksi ke/dari jaringan bergerak lain dan PSTN. Pergeseran bentuk penyelenggaraan telekomunikasi dari monopoli ke bentuk yang lebih kompetitif berjalan seiring dengan kemajuan teknologi. Pergeseran pertama sudah terjadi saat fungsi kabel (teknologi PSTN) digantikan oleh nirkabel (teknologi seluler), sedangkan pergeseran kedua merupakan migrasi sistem seluler ke Next Generation Network (NGN) yang berbasis IP. Teknologi IP merupakan teknologi masa depan yang mampu menyelenggarakan multi layanan suara, data, dan gambar secara bersamaaan, sekaligus dapat mengakomodasi sistem telekomunikasi multi operator. Secara umum, karakteristik jaringan IP adalah (1) untuk menunjang layanan data; (2) informasi tidak langsung disambungkan tetapi dirutekan melalui jalur yang tersedia sehingga pendudukan jaringan menjadi lebih efisien; dan (3) kecerdasan pada host atau end-user. Terdapat tiga faktor utama yang mendorong terjadinya evolusi jaringan PSTN menuju NGN, yaitu: 1. Keterbatasan arsitektur sentral PSTN yang ada. Operator telekomunikasi akan mengalami kesulitan dalam meningkatkan kemampuan PSTN untuk melayani layanan multimedia apabila hanya mengandalkan upgrading perangkat lunak dan perangkat pada sentral yang
17
ada. Saat ini infrastruktur sentral yang ada sebagian besar merupakan proprietary, yaitu teknologi yang bersifat tertutup dan dikuasai oleh vendor tertentu. Kondisi ini menimbulkan ketergantungan kepada pemasok perangkat tersebut sehingga operator sulit melakukan inovasi fitur baru. 2. Trend konvergensi jaringan dan layanan. Adanya perbedaan teknis antara jaringan PSTN dan jaringan komunikasi data (packet switched data network atau PSDN) menyebabkan terjadinya pemisahan antara kedua jaringan tersebut. PSTN yang berbasis circuit switched merupakan jaringan kompleks dengan ukuran yang besar, tersentralisir, dan tertutup. Di lain pihak, PSDN berbasis packet switched, lebih sederhana dan terdistribusi. Di masa depan, kedua jaringan ini akan berkonvergen menjadi satu jaringan tunggal. 3. Regulasi telekomunikasi yang mendukung munculnya operator baru. Persaingan yang semakin ketat antaroperator menyebabkan pengguna jasa akan berpindah ke kompetitor lain jika operator tersebut tidak mampu memberikan layanan yang beragam, berpita lebar dengan beragam fitur serta murah. Dalam perspektif teknologi, liberalisasi sektor telekomunikasi Indonesia terjadi bersamaan dengan terjadinya perubahan fundamental dalam pemilihan teknologi. Dengan demikian, pengembangan infrastruktur telekomunikasi selanjutnya harus sudah mengantisipasi evolusi jaringan ke NGN . Salah satu langkah reformasi di sektor telekomunikasi yang dilakukan pemerintah adalah menetapkan bentuk duopoli sebagai transisi menuju kompetisi. Pada kenyataannya, kebijakan duopoli tersebut tidak cukup efektif dalam mendorong peningkatan penetrasi infrastruktur dan layanan telekomunikasi sambungan tetap. Akibatnya, sebagian permintaan akan sambungan tetap diperkirakan tidak dapat dipenuhi. Berdasarkan analisa JP Morgan tahun 2005, permintaan kebutuhan FWA hingga tahun 2010 adalah sebagai berikut. Tabel 4 Proyeksi Supply-Demand Sambungan Tetap No.
Tahun
1. 2. 3. 4. 5.
2006 2007 2008 2009 2010
Demand FWA (ss) 15.000.000 19.000.000 25.000.000 30.000.000 34.000.000
Supply Sambungan Tetap (ss) 14.000.000 16.200.000 20.000.000 26.000.000 31.200.000
Kesenjangan Supply-Demand (ss) 1.000.000 2.800.000 5.000.000 4.000.000 2.800.000
Sumber: JP Morgan, 2005 (Demand FWA) dan Depkominfo, 2006 (Supply Sambungan Tetap) Keterangan: Rencana pembangunan (supply) sambungan tetap merupakan gabungan antara sambungan tetap kabel dan nirkabel. Dengan pertimbangan investasi yang lebih murah, implementasi yang lebih
18
cepat, dan roll out jaringan yang lebih sederhana, pembangunan sambungan tetap terfokus kepada pembangunan FWA.
Dari Tabel 4 di atas terlihat bahwa terdapat kebutuhan akan 15,6 juta ss yang tidak dapat dipenuhi.
2.2 Jaringan Infrastruktur Alternatif Pada bagian ini telah dilakukan identifikasi infrastruktur telekomunikasi yang dimiliki oleh PT PLN dan PT PGN yang dibangun sebagai kelengkapan sistem distribusi listrik (PLN) dan gas (PGN) yaitu untuk keperluan supervisionary control and data acquitition (SCADA). Selain itu, juga diidentifikasi teknologi PLC. Tabel 5 Jaringan Telekomunikasi PT PLN dan PT PGN Kapasitas Terpasang Kapasitas Terpakai Kapasitas Idle Lokasi
Basis pelanggan
PT PLN
PT PGN
2 Gbps (STM16) 2 Mbps 1,8 Gbps Jawa, Bali (Jakarta, Cikampek, Cirebon, Pekalongan, Semarang, Purwodadi, Surabaya, Banyuwangi, Denpasar, Jember, Malang, Madiun, Solo, DIY, Purwokerto, Tasikmalaya, Bandung, Bogor) 34,4 juta orang dengan kategori rumah tangga, bisnis, sosial, serta industri dan pemerintah
24 core (10Gbps) 2 core 9,2 Gbps (24 core); 39,2 Gbps (96 core) Grissik-Jambi, Jambi-Sakeman, Sakeman-Jabung, Jabung-Panaran, Panaran-Pemping
Tidak ada basis pelanggan. Keamanan merupakan faktor utama sehingga pembangunan jaringan tidak memperhatikan lokasi ke pelanggan
Sumber: PT PLN dan PT PGN
Karakteristik PLC yang berbasis IP menjadikan teknologi ini sebagai salah satu teknologi akses dalam jaringan NGN masa depan. Walaupun demikian, pemanfaatan PLC juga harus dievaluasi terutama terkait dengan aspek teknis (kesesuaian dan integrasi dengan sistem eksiting), dan aspek bisnis (investasi). Dari aspek teknis, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan PLC adalah kualitas jaringan listrik ke pelanggan. Bila sering terjadi pemadaman listrik maka tingkat kesuksesan panggilan (success call ratio) menjadi rendah. Selain itu, standar perangkat dan frekuensi juga penting. Dari aspek investasi, infrastruktur jaringan listrik PLN untuk PLC juga tidak dapat serta merta digunakan karena diperlukan perangkat tambahan, seperti main station, base station, coupling
19
(conditioning unit), dan perangkat terminal. Kondisi ini menyebabkan investasi pemanfaatan PLC dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi menjadi tinggi. Perbandingan antara PLC dengan FWA ditunjukkan sebagai berikut. Tabel 6 Perbandingan Implementasi Infrastruktur PLC dengan FWA Komponen Biaya/ss (US$) Jangkauan
Performansi
Platform Layanan
Implementasi Infrastruktur PLC FWA 100-150 7-28 Roll out terbatas pada daerah Roll out dimungkinkan dimana yang sudah dijangkau serat optik saja PLN dan PGN Stabil walaupun jumlah Tergantung kondisi link. pengguna bertambah Performansi turun ketika jumlah Bandwidth lebar pengguna bertambah. Bandwidth kecil/sedang IP Time Division Multiplexing (TDM) Suara, data, gambar Suara dan data
2.3 Aspek Regulasi Berdasarkan UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan peraturan perundangundangan di bawahnya, penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi adalah badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Badan Usaha Milik Negera (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah, badan usaha swasta, dan koperasi. Adapun penyelenggaraan telekomunikasi dapat terlaksana setelah penyelenggara mendapatkan izin penyelenggaraan dari Menteri. PT ICON+ sebagai anak perusahaan PT PLN mempunyai kewenangan untuk mengelola aset PT PLN yang terkait dengan penyelenggaraan telekomunikasi. Saat ini PT ICON+ sudah memiliki izin penyelenggaraan jaringan tetap tertutup dan Voice over Internet Protocol (VoIP). Di lain pihak, PT PGN belum memiliki anak perusahaan atau unit bisnis yang mengelola aset telekomunikasi. Dari aspek regulasi, pemanfaatan PLC dalam penyediaan jasa telekomunikasi menghadapi kendala karena masih diberlakukannya bentuk duopoli dalam penyelenggaraan telekomunikasi tetap.
2.4 Aspek Bisnis Sebagaimana disampaikan sebelumnya, PT PLN dan PT PGN memerlukan investasi tambahan untuk mengoperasikan infrastruktur serat optik dan PLC dalam penyediaan jasa telekomunikasi
20
Untuk mengoperasikan PLC, diperlukan tambahan perangkat main station, base station, coupling unit dan terminal, sedangkan untuk mengoperasikan serat optik, diperlukan tambahan investasi untuk point of presence (POP) yang terdiri dari peralatan gigabit ethernet router, fiber optic card, dan rak. Berbeda dengan PT PLN yang sudah memiliki 94 POP di Jawa Bali, PT PGN belum memiliki POP. Investasi yang diperlukan untuk 1 POP diperkirakan mencapai US$ 500 ribu – US$ 750 ribu, sedangkan investasi roll out PLC diperkirakan sebesar US$ 100 – US$ 150. Secara umum, pemanfaatan infrastruktur alternatif dapat diidentifikasi ke dalam tiga model, yaitu (a) operator tunggal; (b) kerjasama operasi; dan (c) disewakan ke operator jaringan.
21
BAB III ANALISIS HASIL KAJIAN
3.1 Trend Pembangunan Infrastruktur Telekomunikasi Pembangunan infrastruktur telekomunikasi sangat dipengaruhi oleh teknologi yang berkembang saat itu. Pemanfaatan teknologi digital di awal tahun 1970-an terbukti mampu meningkatkan efisiensi dan kualitas infrastruktur dan layanan telekomunikasi, sedangkan teknologi satelit dan sistem komunikasi kabel laut mampu mempercepat perluasan jangkauan penyediaan layanan. Sangat cepat dan dinamisnya perubahan teknologi informasi dan komunikasi menuntut pemerintah dan para penyelenggara untuk memiliki kemampuan mengadopsi dan mengadaptasi teknologi yang baik. Hal tersebut antara lain terlihat dari trend pembangunan sistem telekomunikasi bergerak (STB) atau mobile communications yang mengalami pertumbuhan eksponensial. Dalam 5 tahun pertama pengembangan layanan ini (1992-1997), jumlah pelanggan meningkat 25 kali, yaitu dari 35 orang ribu pelanggan menjadi 900 ribu. Hal ini terjadi karena adanya berbagai perkembangan teknologi seluler yang menjadikan teknologi STB lebih efisien dan mature (evolusi dari generasi pertama ke generasi kedua seluler). Dalam 5 tahun kedua (1998-2003), jumlah pelanggan STB melonjak drastis dari 1 juta orang menjadi lebih dari 18 juta orang. Dalam waktu relatif singkat, tingkat penetrasi layanan STB telah mencapai lebih dari 12%, sedangkan tingkat penetrasi telepon tetap yang telah dikembangkan selama puluhan tahun baru sekitar 4%. Dengan munculnya generasi ketiga seluler pada pertengahan tahun 2000, dalam tahun-tahun mendatang diperkirakan pasar untuk layanan seluler masih berkembang walaupun mulai terbatas. Ketersediaan spektrum frekuensi yang merupakan sumber daya terbatas akan sangat mempengaruhi laju pembangunan layanan ini. Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi nirkabel yang mempengaruhi pembangunan telekomunikasi tetap. Saat ini, operator lebih banyak menggunakan teknologi tersebut karena investasi yang lebih rendah dan waktu implementasi yang lebih singkat. Hal ini terlihat dari melonjaknya pembangunan fixed wireless, sebagai substitusi kabel (fixed wireline), dalam 2 tahun pengembangannya, yaitu dari 264.787 ss di tahun 2003 menjadi 1.429.368 ss di tahun 2004 (14% dari total kapasitas). Selanjutnya, teknologi IP diperkirakan akan berkembang dan menyebabkan perubahan fundamental dalam pemilihan teknologi, yaitu beralihnya teknologi PSTN dan seluler ke NGN.
22
3.2 Perkiraan dan Implikasi Kebutuhan Infrastruktur Telekomunikasi Sejalan dengan upaya penciptaan lingkungan yang kompetitif, reposisi dan restrukturisasi BUMN penyelenggara telekomunikasi merupakan salah satu bagian terpenting dari proses restrukturisasi sektor telekomunikasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk merestrukturisasi dan mereposisi BUMN penyelenggara antara lain melalui peniadaan kepemilikan bersama (joint ownership) dan kepemilikan silang (cross ownership) oleh PT Telkom dan PT Indosat dalam suatu perusahaan afiliasi bidang telekomunikasi. Pemerintah juga melakukan terminasi dini atas hak eksklusivitas PT Telkom dan PT Indosat sebagai penyelenggara telekomunikasi tetap sambungan lokal, SLJJ, dan SLI. Dengan diberlakukannya UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, monopoli di sektor telekomunikasi dihapuskan. Hak eksklusivitas yang diberikan oleh pemerintah kepada PT Telkom dan PT Indosat tersebut tidak menjadi hilang. Pasal 61 UU tersebut menyatakan bahwa hak eksklusivitas dimaksud masih berlaku, namun jangka waktunya dapat dipersingkat sesuai dengan kesepakatan pemerintah dan badan penyelenggara. Pasal tersebut juga menyatakan bahwa pengakhiran hak eksklusivitas tersebut harus dilakukan melalui cara dan persyaratan yang disepakati bersama dengan memperhatikan prinsip kejujuran, keadilan dan keterbukaan, misalnya dengan memberikan kompensasi. Dengan mengacu kepada peraturan tersebut, pemerintah melakukan terminasi dini hak eksklusivitas dan memberikan kompensasi sebagai konsekuensinya. Terminasi dini dilakukan pada tanggal 1 Agustus 2002 untuk lokal, sedangkan untuk SLJJ dan SLI pada tanggal 1 Agustus 2003. Pembukaan pasar dalam penyelenggaraan telekomunikasi sambungan tetap memang sangat diperlukan. Hal ini diantaranya disebabkan oleh terbatasnya infrastruktur telekomunikasi saat ini. Walaupun saat ini terdapat dua penyelenggara telekomunikasi sambungan lokal lain, yaitu PT Bakrie Telecom dan PT Batam Bintan, namun mengingat pelayanan kedua penyelenggara ini masih bersifat regional dengan jumlah pelanggan sangat terbatas, maka dapat dikatakan bahwa pembangunan infrastruktur telekomunikasi sambungan lokal sangat tergantung pada kemampuan PT Telkom. Dengan memperhatikan kondisi tersebut, pemerintah selain melakukan terminasi dini juga menetapkan kebijakan duopoli yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pembangunan infrastruktur telekomunikasi, khususnya penetrasi telepon tetap, sehingga akan memberikan tambahan layanan dan pilihan kepada masyarakat. Dengan ditetapkannya duopoli maka baik PT Telkom dan PT Indosat direposisi menjadi Full Network and Service Provider (FNSP) pada penyelenggaraan telepon tetap.
23
Walaupun pemerintah telah memberikan izin penyelenggaraan sambungan lokal dan SLJJ kepada PT Indosat, tidak dapat dipungkiri bahwa PT Telkom masih menjadi pemegang posisi dominan. Sebagaimana diketahui bahwa infrastruktur yang dimiliki oleh PT Telkom merupakan tulang punggung infrastruktur telekomunikasi Indonesia. Terbatasnya kemampuan PT Indosat sebagai pemain baru untuk membangun infrastruktur dan menciptakan basis pelanggan yang signifikan, serta adanya hambatan bagi pemain baru untuk mengakses fasilitas yang dimiliki oleh incumbent menjadikan peningkatan penyediaan akses telekomunikasi bagi masyarakat kurang efektif. Berdasarkan perhitungan berdasarkan rentang waktu (time series), tingkat penetrasi infrastruktur telekomunikasi hingga tahun 2009 diperkirakan akan mencapai 13%. Proyeksi ini dihitung berdasarkan kebutuhan minimal yang lebih menggambarkan kondisi suppressed demand daripada kebutuhan sesungguhnya. Merujuk kepada proyeksi kemampuan pembangunan tersebut di atas, diperkirakan ketersediaan infrastruktur telekomunikasi di tahun 2009 masih belum memadai untuk mendukung target World Summit on Information Society4, terutama dengan regulasi yang berlaku saat ini (duopoli). Oleh karena itu, perlu dikembangkan berbagai opsi yang dapat mempercepat penyediaan infrastruktur.
3.3 Analisis Hasil Pemetaan Pembangunan infrastruktur sambungan tetap kabel yang juga dikenal sebagai legacy network sudah mulai ditinggalkan seiring dengan semakin berkembangnya teknologi dan aplikasi berbasis nirkabel. Tingginya investasi dan lamanya pembangunan merupakan alasan utama ditinggalkannya sambungan tetap kabel. Di sisi lain, berbagai fitur layanan yang ditawarkan dalam penyelenggaraan sambungan bergerak, seperti short message service, kartu pra-bayar (prepaid), berbagai fitur seperti mobile internet, dan e-banking, serta tarif yang sangat kompetitif semakin menghidupkan gaya hidup mobile. Penurunan pertumbuhan pembangunan sambungan tetap dan peningkatan pertumbuhan sambungan bergerak dapat dilihat pada Tabel 7.
4
Sebagaimana tertuang dalam rencana tindak World Summit on Information Society, pada tahun 2015 diharapkan seluruh desa yang ada, begitu pula dengan perguruan tinggi, sekolah, perpustakaan, pusat riset dan teknologi, sudah terhubung dengan internet
24
Tabel 7 Perbandingan Jumlah Pelanggan Sambungan Tetap dan Sambungan Bergerak Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Sambungan Tetap 4.186.030 4.982.466 5.571.644 6.080.193 6.662.605 7.218.938 7.750.035 8.479.115 9.988.718 12.085.162
Pertumbuhan (%) 19,0 11,8 9,1 9,6 8,4 7,4 9,4 17,8 21,0
Sambungan Bergerak 562.517 916.173 1.065.820 2.154.708 3.508.670 6.394.179 11.273.420 18.494.251 30.336.607 46.909.972
Pertumbuhan (%) 63,0 16,3 102,2 62,8 82,2 76,3 64,1 64,0 54,6
Sumber: Berbagai sumber
Dari Tabel 7 di atas terlihat bahwa sejak terjadinya krisis ekonomi di tahun 1997, pertumbuhan pembangunan sambungan tetap mengalami penurunan menjadi single digit, adapun kenaikan pertumbuhan sejak tahun 2003 merupakan kontribusi dari FWA. Sejak dikeluarkannya izin penyelenggaraan FWA, pembangunan sambungan tetap praktis bertumpu pada pembangunan FWA. Dari tabel di atas juga terlihat bahwa pada tahun 2002, jumlah pelanggan sambungan bergerak melebihi sambungan tetap yang didorong oleh teknologi seluler yang semakin matang. Bahkan hanya dalam kurun waktu 3 tahun (2002-2005) jumlah pelanggan sambungan bergerak tumbuh lebih dari 300%. Walaupun demikian, tidak berarti sambungan tetap perlu ditinggalkan. Keterbatasan spektrum frekuensi dan tingginya kebutuhan akan infrastruktur berpita lebar (broadband) merupakan alasan utama bagi pentingnya pembangunan sambungan tetap untuk terus dilakukan. Karakteristik sambungan tetap di masa depan adalah yang mampu mengakomodasi berbagai layanan sekaligus (suara, data, dan gambar), handal, berkualitas, berkapasitas tinggi, dan efisien. Secara umum, perubahan paradigma dalam penyelenggaraan telekomunikasi nasional dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu (1) perubahan sistem penyelenggaraan ke bentuk yang lebih kompetitif dalam lingkungan multi operator; dan (2) perubahan teknologi yang sangat cepat dan mengarah kepada konvergensi. Kedua hal ini harus dapat diantisipasi oleh perangkat peraturan untuk mendapatkan hasil yang optimal, yaitu investasi yang efisien, pertumbuhan penyediaan infrastruktur dan layanan yang tinggi, serta manfaat bagi masyarakat pengguna. Kedua faktor tersebut saling mempengaruhi sehingga harus diantisipasi secara menyeluruh. Implikasi perkembangan teknologi dalam penyelenggaraan telekomunikasi dapat dijelaskan
25
sebagai berikut. Pengalaman membuktikan bahwa kemajuan teknologi informasi dan komunikasi mendorong terciptanya teknologi yang lebih matang, efisien dan murah, seperti perkembangan pemanfaatan spektrum frekuensi baik untuk layanan sambungan bergerak maupun tetap (FWA). FWA diperkirakan akan tetap mendominasi pembangunan infrastruktur sambungan tetap. PT Telkom bahkan merencanakan pembangunan baru FWA sebanyak 21 juta ss dalam 5 tahun (2006-2010) sehingga di akhir tahun 2010 akan terdapat FWA sebanyak 26 juta ss. Dengan demikian, dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun jumlah FWA akan jauh melebihi jumlah sambungan tetap kabel yang dibangun dalam 40 tahun terakhir. Implikasi pembukaan pasar menjadi lebih kompetitif dapat dijelaskan sebagai berikut. Tuntutan efisiensi, sejalan dengan kemajuan teknologi, mendorong masuknya operator-operator baru dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Permasalahan utama dalam proses liberalisasi, terutama dalam penyelenggaraan telekomunikasi sambungan tetap, terkait erat dengan karakteristik pasar yang cenderung memperkuat posisi incumbent (PT Telkom). Luasnya jaringan, besarnya aset dan pengalaman yang dimiliki incumbent, serta tingginya sunk cost5 dan investasi awal pembangunan jaringan menyebabkan tingginya hambatan masuk bagi pemain baru. PT Indosat pun, sebagai operator FNSP kedua dalam penyelenggaraan sambungan tetap, membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan roll out jaringan dan membangun basis pelanggan. Selain itu, penyelenggaraan jaringan dan jasa yang terintegrasi secara vertikal juga menimbukan hambatan bagi operator baru. Hambatan ini yang kemudian mendorong PT Indosat untuk berinvestasi di FWA sebagai akses sambungan tetap. Sebagaimana diketahui bahwa secara teknis, FWA merupakan aplikasi yang serupa dengan sambungan bergerak, yaitu (1) menggunakan spektrum frekuensi, walaupun operator FWA membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) Frekuensi yang lebih rendah daripada operator mobile; dan (2) memiliki kemampuan jelajah (mobility). Saat ini penyelenggaraan FWA digunakan untuk menyediakan layanan sambungan tetap, sehingga menggunakan skema pentarifan untuk telepon tetap, dengan persyaratan jelajah FWA yang dibatasi (limited mobility) 6 . Pada prakteknya, beberapa operator telah membuka fitur jelajah terbatas menjadi jelajah antarwilayah karena secara teknis memang memungkinkan. Dalam kasus ini, beberapa pihak merasa bahwa kondisi ini tidak adil karena operator FWA mempunyai kewajiban membayar BHP Frekuensi yang lebih murah, tetapi mempunyai fitur yang sama dengan operator mobile. Oleh karena itu, pemerintah dan regulator dituntut untuk dapat menetapkan kebijakan yang secara tepat menempatkan FWA sehingga dapat memberikan kepastian berusaha bagi operator mobile.
5 Investasi
pembangunan infrastruktur bersifat irreversible. jelajah pada FWA dibatasi hanya pada daerah yang memiliki kode area yang sama. Dengan demikian, FWA di satu propinsi tidak diperbolehkan beroperasi di propinsi lain walaupun secara teknis memungkinkan. 6 Fitur
26
Di sisi lain, juga perlu diperhatikan bahwa FWA menggunakan spektrum frekuensi yang merupakan sumber daya langka (scarce resources) sehingga pengembangannya harus diikuti oleh manajemen alokasi dan monitoring pemanfaatan spektrum frekuensi yang baik. Selain itu, lebar pita FWA masih terbatas sedangkan orientasi masa depan adalah pita lebar (broadband). Ilustrasi tersebut di atas menunjukkan bahwa kemajuan teknologi dan proses reformasi terjadi bersamaan dan saling terkait. Merupakan suatu hal yang tidak mungkin apabila reformasi sektor dilaksanakan tanpa mempertimbangkan kemajuan teknologi. Dan sebaliknya, kemajuan teknologi tidak akan membawa manfaat apabila tidak diimbangi oleh penataan sektor. Terkait dengan hal tersebut, kemajuan teknologi yang memungkinkan pemanfaatan jaringan listrik dalam penyediaan jasa telekomunikasi juga harus diperhatikan. Pertimbangan pertama adalah adanya keterbatasan dalam pembangunan baru sambungan tetap. Pada pembangunan baru berbasis kabel, tantangan utama adalah besarnya investasi yang diperlukan dan terintegrasinya jaringan dan jasa incumbent secara vertikal sehingga menyulitkan penciptaan kompetisi level playing field. Adapun pembangunan baru FWA menghadapi tantangan terbatasnya spektrum frekuensi. Pertimbangan kedua adalah adanya kebutuhan 15,6 juta ss yang tidak dapat dipenuhi sebagaimana dijelaskan pada Tabel 4. Berdasarkan kedua pertimbangan tersebut, paradigma penyediaan sambungan tetap yang hanya terfokus kepada pembangunan baru harus diubah. Pemerintah harus mulai menjajaki kemungkinan untuk mengoptimalkan pemanfaatan infrastruktur eksisting dan mengeksplorasi infrastruktur alternatif.
3.3.1 Pengoptimalan Jaringan Serat Optik PT PLN dan PT PGN Mengingat PT PLN dan PT PGN bukan merupakan perusahaan bidang telekomunikasi, maka pengembangan serat optik keduanya sangat tergantung kepada kebutuhan bisnis perusahaan baik kapasitas maupun jalurnya. Saat ini kapasitas serat optik yang tidak terpakai (idle) kedua perusahaan tersebut masih sangat besar, yaitu pada PT PLN masih mencapai 1,8 Gbps dan pada PT PGN mencapai 9,2 Gbps untuk jalur dengan 24 core dan 39,2 Gbps untuk jalur dengan 96 core. Di sisi lain, kapasitas yang besar tersebut tidak serta merta dapat digunakan. Pada kasus PT PGN, keamanan merupakan faktor utama sehingga jaringan tidak selalu melewati daerah perumahan. Akibatnya, untuk menyambungkan infrastruktur tersebut dengan pengguna (end user), masih diperlukan investasi untuk infrastruktur dan perangkat tambahan. Selain itu, PT PGN juga tidak mempunyai basis pelanggan.
27
Pada kasus PT PLN, pengembangan serat optik mengikuti jalur jaringan listrik yang tersebar di seluruh Indonesia dan menjangkau hingga pengguna, namun saat ini penggunaannya untuk penyelenggaraan telekomunikasi masih terfokus di daerah Jawa dan Bali yang memiliki tingkat kebutuhan lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan infrastruktur telekomunikasi, PT PLN sudah membuat unit bisnis yang kemudian berkembang menjadi anak perusahaan (PT ICON+). Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka jaringan serat optik PT PGN hanya dapat digunakan sebagai tulang punggung (backbone) yang dapat disewakan ke operator telekomunikasi lain. Apabila PT PGN juga berminat untuk mengoperasikan jaringan serat optik tersebut atau mengoperasikannya hingga ke pengguna, maka perusahaan harus mengajukan permohonan izin penyelenggaraan kepada pemerintah. Walaupun secara teknis dimungkinkan, namun implementasinya diperkirakan tidak akan mudah. Hal ini dikarenakan bisnis utama PT PGN bukan di bidang telekomunikasi sehingga pengetahuan, kapasitas SDM, strategi, dan budaya bisnis perusahaan harus disesuaikan dengan sektor telekomunikasi yang sangat dinamis dan agresif. Saat ini pemerintah sedang mengembangkan konsep pembangunan jaringan serat optik Palapa Ring yang merupakan tulang punggung (backbone) berbentuk cincin (ring) dan bertujuan untuk menghubungkan seluruh ibu kota propinsi/kabupaten/kota. Serat optik milik kedua perusahaan ini dapat diintegrasikan dengan Palapa Ring agar pemanfaatannya dapat lebih optimal.
3.3.2 Eksplorasi Infrastruktur PLC Dengan jumlah pelanggan lebih dari 34 juta orang yang tersebar di seluruh Indonesia, PT ICON+ sangat berpotensi menyerap kebutuhan pasar telekomunikasi melalui pemanfaatan PLC. Dari sekitar 34 juta pelanggan listrik, kategori pemakai terbesar adalah rumah tangga (93%), bisnis (4,1%), sosial (2%), serta industri dan pemerintah (0,6%) yang sebagian besar terdapat di pulau Jawa. Apabila diasumsikan pelanggan potensial PLC adalah pelanggan dengan daya minimal 1.300 VA (diasumsikan mempunyai kemampuan bayar yang mencukupi), maka berdasarkan data tahun 2005 terdapat potensi pelanggan hampir 5 juta pelanggan atau sekitar 15% dari total pelanggan PT PLN. Mengingat implementasi PLC memerlukan jaringan tulang punggung serat optik, maka pemanfaatan PLC difokuskan di wilayah yang sudah memiliki POP yaitu di daerah DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur dan Bali. Di sisi lain, teknologi PLC masih terus berkembang sehingga belum ada standarisasi frekuensi, dan perangkat. Hal ini yang menjadikan implementasi PLC lambat. Hal-hal seperti standarisasi
28
dan dukungan industri dalam negeri yang kuat harus dipersiapkan untuk mendorong pengembangan PLC sehingga dapat segera diimplementasikan secara komersial. Berbeda dengan berbagai negara maju yang mempunyai tingkat penetrasi jaringan telekomunikasi tinggi sehingga PLC hanya merupakan infrastruktur pelengkap, implementasi PLC di Indonesia dapat menjadi infrastruktur alternatif dengan fungsi yang sama dengan jaringan telekomunikasi konvensional. Hal ini perlu mendapat perhatian terlebih mengingat PLC sudah berbasis IP yang merupakan teknologi masa depan. PLC telah diimplementasikan secara komersial namun masih terbatas yaitu di kompleks perumahan dan beberapa pusat bisnis dan hotel di Jawa. Setelah teruji secara teknis dan komersial, pemerintah perlu segera mengakhiri bentuk duopoli dalam penyelenggaraan telekomunikasi sambungan tetap dan membuka peluang usaha bagi pemain baru termasuk PT ICON+ yang menggunakan teknologi PLC. Sebagaimana terlihat pada Tabel 6, investasi PLC masih berkisar US$ 100-150 per ss sedangkan FWA sudah mencapai US$ 7-28 ss, namun PLC berbasis IP dengan kemampuan untuk mengakomodasi layanan suara, data dan gambar sekaligus sedangkan FWA masih berbasis TDM dengan kemampuan layanan suara dan data. Di lain pihak, FWA dapat diimplementasikan di mana saja, sedangkan PLC untuk saat ini sebaiknya difokuskan di daerah Jawa Bali yang sudah memiliki POP. Dari Tabel 6 tersebut terlihat bahwa masing-masing teknologi mempunyai keunggulan dan kelemahan. Oleh karena itu, pemilihan teknologi sangat penting dalam rancangan pengembangan jaringan telekomunikasi nasional. Untuk menekan biaya investasi PLC, diperlukan dukungan dari industri dalam negeri untuk menjamin skala keekonomisan melalui mass product. Selain itu, pengembangan dan penelitian harus terus dilakukan untuk mematangkan teknologi PLC. Hal lain yang perlu diantisipasi adalah penomoran dan interkoneksi dengan operator telekomunikasi eksisting. Merujuk kepada kesepakatan internasional, jumlah digit dalam penomoran adalah 12 angka dengan catatan angka nol tidak dapat digunakan pada awal nomor. Pada beberapa negara juga terdapat penomoran khusus seperti 1-800-... yang biasanya digunakan untuk keperluan tertentu. Karena pada awal pengembangan jaringan telekomunikasi didominasi oleh sambungan tetap kabel yang dilakukan oleh PT Telkom secara monopoli, maka sebagian besar penomoran dikuasai oleh PT Telkom. Penataan penomoran juga bukan merupakan hal yang sederhana karena dapat berimplikasi kepada perubahan di sentral switching. Regulasi yang berlaku saat ini menjamin bahwa setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat memanfaatkan jaringan telekomunikasi milik penyelenggara lain melalui interkoneksi. Pada UU Telekomunikasi diamanatkan bahwa setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak
29
untuk mendapatkan interkoneksi dari penyelenggara lain dan berkewajiban untuk menyediakan interkoneksi apabila diminta. Pada UU tersebut juga ditegaskan bahwa interkoneksi dilakukan berdasarkan prinsip pemanfaatan sumber daya secara efisien dan persaingan usaha sehat yang tidak saling merugikan. Berdasarkan peraturan tersebut, interkoneksi harus dimanfaatkan secara optimal untuk memfasilitasi masuknya pemain baru, termasuk PLC. Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bahwa pemerintah harus terus mengeksplorasi berbagai kemungkinan pengembangan infrastruktur termasuk pemilihan teknologi. Pemanfaatan teknologi baru juga harus dibuktikan secara teknis dan komersial. Untuk mendorong pemanfaatan teknologi baru tersebut diperlukan dukungan kebijakan, regulasi, industri, dan kelembagaan. Pada kasus PLC, teknologi ini terbukti dapat dikembangkan secara teknis dan saat ini sedang diuji secara komersial secara terbatas. Untuk mendukung pemanfaatan PLC dalam skala yang lebih luas, pemerintah perlu menjamin adanya standarisasi, penomoran dan interkoneksi. Berdasarkan analisa Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat (SWOT), pemanfaatan infrastruktur alternatif PLC/BPL dalam penyelenggaraan telekomunikasi dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada aspek kekuatan (strength): (1) infrastruktur jaringan telah terpasang; (2) mempunyai jangkauan nasional; dan (3) mudah dalam instalasi. Pada aspek kelemahan (weakness): (1) belum adanya standar; (2) keterbatasan frekuensi; (3) memiliki kebisingan dan redaman; dan (4) belum diuji secara komersial. Pada aspek peluang (opportunity): (1) deregulasi sektor telekomunikasi; (2) ketersediaan infrastruktur telekomunikasi yang masih terbatas; (3) perkembangan teknologi yang cepat sehingga penyempurnaan teknologi PLC terus berjalan; (4) peningkatan utilisasi distribusi jaringan listrik; dan (5) kemampuan untuk diintegrasikan dengan teknologi eksisting. Pada aspek ancaman (threat): (1) belum ada regulasi yang mendukung; (2) daya saing investasi; dan (3) belum adanya standarisasi. Dengan memperhatikan keempat aspek tersebut, dirumuskan strategi sebagai berikut: Tabel 8 Strategi Pengembangan PLC Berdasarkan Analisa SWOT Strength
Weakness
Opportunity
Memanfaatkan jaringan listrik yang ada untuk meningkatkan penetrasi layanan telekomunikasi dan utilisasi jaringan listrik
Mengurangi kebisingan dan redaman melalui penyempurnaan teknologi PLC dengan melibatkan vendor lokal
Threat
Memanfaatkan jaringan listrik yang ada untuk meningkatkan daya saing investasi
Membuat standarisasi dan regulasi untuk meningkatkan kualitas sistem
30
Kondisi di atas menunjukkan bahwa: 1. Pemerintah harus mengadopsi konsep teknologi netral yang tidak berpihak kepada teknologi atau vendor tertentu; 2. Pemerintah harus mempersiapkan perangkat peraturan yang dapat menjamin interoperabilitas dan integrasi dari berbagai teknologi yang berbeda dalam lingkungan multi operator untuk menghasilkan manfaat yang optimal; dan 3. Infrastruktur alternatif berpotensi untuk dimanfaatkan dalam penyelenggaraan telekomunikasi tetapi memerlukan dukungan teknis dan regulasi. Oleh karena itu, kebijakan pemanfaatan infrastruktur alternatif harus terintegrasi dengan kebijakan sektor lainnya, seperti standarisasi, penomoran, dan interkoneksi. Sebagaimana disampaikan pada hasil pemetaan, terdapat tiga model pemanfaatan infrastruktur alternatif, yaitu (a) operator tunggal; (b) kerjasama operasi; dan (c) disewakan ke operator jaringan. Pada kasus PT PLN, dengan izin penyelenggaraan jaringan tetap tertutup, PT PLN melalui PT ICON+ sudah menyewakan sebagian kapasitas serat optik yang dimiliki ke operator jaringan telekomunikasi dan pelanggan korporat lainnya, seperti perusahaan di bidang perbankan. Dengan demikian, model ketiga adalah model yang diterapkan PT ICON+ saat ini. Apabila di masa depan PT ICON+ juga berminat untuk menjadi operator retail yang melayani pelanggan individu, model kedua merupakan pilihan yang sesuai sebagai transisi dari operator dengan pelanggan korporat ke pelanggan retail. Adapun model operator tunggal sampai saat ini belum dapat disimulasi karena penyelenggaraan telekomunikasi tetap masih berbentuk duopoli. Pada kasus PT PGN, sebaiknya dapat dimulai dengan pembentukan unit bisnis yang menangani pengelolaan infrastruktur telekomunikasi agar kapasitas tidak terpakai dapat diutilisasi secara lebih optimal.
3.4 Rekomendasi Kebijakan Optimasi, integrasi, dan sinergi merupakan kata kunci dalam upaya meningkatkan efisiensi investasi dalam pembangunan dan pemanfaatan infrastruktur, serta dalam rangka mengantisipasi konvergensi infrastruktur dan layanan dalam platform NGN di masa depan. Untuk itu, diperlukan: 1.
Kebijakan yang mendorong pemanfaatan infrastruktur alternatif dalam penyediaan jasa telekomunikasi, yaitu (a) kebijakan peningkatan efisiensi pemanfaatan dan pembangunan infrastruktur telekomunikasi; dan (b) kebijakan yang responsif terhadap perkembangan teknologi. Kedua kebijakan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
31
a. Kebijakan peningkatan efisiensi pemanfaatan dan pembangunan infrastruktur telekomunikasi Penyediaan infrastruktur telekomunikasi yang memadai sangat diperlukan untuk memperkecil kesenjangan digital bukan saja antardaerah di Indonesia tetapi juga antara Indonesia dengan negara lain. Untuk mengatasi masalah keterbatasan sumber daya pembiayaan, perlu diambil langkah-langkah peningkatan efisiensi baik dalam pemanfaatan infrastruktur yang ada maupun pembangunan infrastruktur baru, antara lain melalui (1) optimasi pemanfaatan infrastruktur; dan (2) peningkatan sinergi pemanfaatan dan pembangunan infrastruktur. (1) Optimasi pemanfaatan infrastruktur telekomunikasi. Dalam penyediaan infrastruktur telekomunikasi nasional terdapat kecenderungan yang lebih mengutamakan pembangunan fasilitas baru dibandingkan pemanfaatan infrastruktur eksisting secara optimal. Keberhasilan suatu upaya penyediaan infrastruktur diantaranya dapat diamati dari tingkat efektivitas investasi yang dilakukan. Secara umum, terdapat dua aspek yang mempengaruhi efektivitas investasi suatu pembangunan infrastruktur, yaitu ekspansi (tingkat penetrasi), dan intensitas pemanfaatan. Tingginya biaya investasi, tidak adanya sistem pembiayaan yang mampu menjamin keberlangsungan pembangunan, tingginya barrier to entry, tidak menariknya skema pentarifan, dan jenuhnya pasar merupakan permasalahan yang mempengaruhi keberhasilan tingkat penetrasi. Apabila permasalahan tersebut tidak diselesaikan, maka pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan penetrasi menjadi tidak efektif. Di lain sisi, ketersediaan infrastruktur, kesesuaian dengan infrastruktur lain yang ada, serda dukungan regulasi merupakan hal-hal yang menentukan intensitas pemanfaatan infrastruktur yang maksimal. Dengan memperhatikan kedua aspek tersebut, efektivitas investasi dapat diukur dari intensitas pembangunan dan pemanfaatannya. Investasi masif untuk pembangunan baru akan menjadi siasia apabila tidak diikuti dengan pemanfaatan infrastruktur secara optimal. (2) Penciptaan sinergi pemanfaatan dan pengembangan infrastruktur. Sejalan dengan berkembangnya peran informasi, kebutuhan infrastruktur telekomunikasi semakin bertambah. Pada penyelenggaraan telekomunikasi yang bersifat monopoli, pemenuhan kebutuhan tersebut sangat sulit dilakukan terutama karena terbatasnya kemampuan operator. Bertambahnya jumlah penyelenggara pada lingkungan multi operator seharusnya dapat meningkatkan kemampuan penyediaan infrastruktur. Pada kenyataannya masih dirasakan adanya kendala akibat besarnya kebutuhan investasi untuk pembangunan baru. Oleh karena itu perlu dilakukan resource sharing antaroperator sebagai upaya efisiensi investasi. Dengan adanya efisiensi investasi, para operator dapat menggunakan hasil penghematan investasi untuk memperluas jaringan akses lokal (last mile) atau pengembangan layanan lain.
32
Selanjutnya, dengan bertambahnya kapasitas infrastruktur, trafik diharapkan akan lebih mudah dibangkitkan dan industri isi (content) dan aplikasi dapat tumbuh dengan baik.
b. Kebijakan yang responsif terhadap perkembangan teknologi Secara umum, pengembangan suatu industri dipengaruhi oleh faktor teknologi, kebijakan dan pasar (Gambar 5). Kemampuan teknologi suatu bangsa menjadi penting karena saat ini teknologi tidak saja berperan dalam percepatan pertumbuhan ekonomi nasional dan penguasaan pasar global, tetapi juga sudah merupakan bagian dari kehidupan manusia dalam peradaban yang bersifat technological dependent. Rendahnya indeks teknologi Indonesia mencerminkan rendahnya kemampuan inovasi, adopsi dan adaptasi teknologi sehingga menjadikan Indonesia hanya sebagai technology follower. Gambar 5 Keterkaitan Antara Teknologi, Pasar dan Kebijakan
TEKNOLOGI
PASAR
APLIKASI
JASA
REGULASI
KEBIJAKAN
Di satu sisi, kemajuan teknologi menawarkan berbagai pilihan dan kemudahan bagi masyarakat dalam berkomunikasi, namun di sisi lain terkadang juga menimbulkan berbagai permasalahan mengingat perubahan teknologi dapat menimbulkan berbagai implikasi, seperti kemungkinan kompensasi yang harus disediakan oleh pemerintah, kepastian iklim usaha bagi para operator dan jaminan layanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, perkembangan teknologi harus diantisipasi oleh kebijakan dan regulasi yang tepat. Selain itu, juga diperlukan kerjasama yang erat antara industri, lembaga pendidikan, dan lembaga riset untuk meningkatkan kemampuan dan daya saing industri dalam negeri sekaligus meningkatkan kemampuan adopsi dan adaptasi teknologi.
33
2.
Kebijakan pengakhiran duopoli dalam penyelenggaraan telekomunikasi sambungan tetap. Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa PLC berpotensi untuk menyerap kebutuhan pasar telekomunikasi sambungan tetap yang tidak dapat dipenuhi seluruhnya baik oleh sambungan kabel maupun nirkabel (FWA). Untuk memungkinkan beroperasinya PLC secara luas, maka bentuk duopoli dalam penyelenggaraan telekomunikasi sambungan tetap yang hanya memberikan izin FNSP kepada PT Telkom dan PT Indosat, perlu segera diakhiri.
3.
Penyusunan rencana induk pengembangan infrastruktur nasional yang mendorong terintegrasinya berbagai jaringan, aplikasi dan layanan. Sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, konvergensi infrastruktur dan layanan telekomunikasi, teknologi informasi dan penyiaran tidak dapat dihindari lagi. Secara teknis, infrastruktur teknologi informasi dapat dimanfaatkan untuk menyediakan layanan telekomunikasi dan penyiaran, seperti layanan VoIP dan penyiaran radio melalui internet. Rencana induk pengembangan infrastruktur nasional diharapkan dapat memberikan arahan pembangunan infrastruktur yang lebih efisien.
4.
Konvergensi perangkat peraturan. Konvergensi infrastruktur dan layanan telekomunikasi, teknologi informasi dan penyiaran juga perlu diantisipasi oleh perangkat peraturan. Saat ini, perangkat peraturan telekomunikasi dibuat secara terpisah dari perangkat peraturan penyiaran walaupun kedua sektor menggunakan spektrum frekuensi. Demikian pula halnya dengan perangkat peraturan penyiaran yang terpisah dari teknologi informasi walaupun materi penyiaran dapat diakses melalui IP streaming bukan melalui penyiaran (broadcasting) konvensional.
34
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1 Kesimpulan Beberapa kesimpulan dari kajian untuk pekerjaan swakelola adalah sebagai berikut: 1. Saat ini pembangunan baru sambungan tetap kabel (wireline) mengalami perlambatan sedangkan sambungan tetap nirkabel (FWA) mengalami peningkatan tajam. Dengan hanya mengandalkan sambungan tetap kabel, tanpa adanya FWA, target RPJM Nasional sebesar 13% diperkirakan tidak akan tercapai. Di sisi lain, FWA diperkirakan kurang tepat sebagai solusi jangka panjang karena akses ini menggunakan spektrum frekuensi yang merupakan sumber daya terbatas. Bila tidak disertai dengan manajemen alokasi dan monitoring pemanfaatan spektrum frekuensi yang baik, maka berbagai aplikasi yang bermoda nirkabel termasuk FWA sulit untuk berkembang. 2. Terkait dengan pemanfaatan infrastruktur alternatif, dalam salah satu kebijakan RPJM Nasional 2004-2009 sektor pos dan telematika diarahkan untuk peningkatan efisiensi pemanfaatan dan pembangunan infrastruktur pos dan telematika. Langkah-langkah efisiensi tersebut di antaranya meliputi (a) pemanfaatan infrastruktur eksisting secara bersama, dan (b) mengeksplorasi infrastruktur alternatif PLC yang merupakan pemanfaatan jaringan listrik untuk penyediaan jasa telekomunikasi. 3. Merujuk kepada data kebutuhan pembangunan FWA dan perkiraan pemenuhan kebutuhan sambungan tetap (wireline dan FWA), diperkirakan terdapat kesenjangan supply-demand sebesar 15,6 juta satuan sambungan selama rentang waktu tahun 2006-2010. Kesenjangan supply-demand ini merupakan pasar potensi bagi infrastruktur alternatif. 4. Saat ini kapasitas jaringan serat optik PT PLN yang tidak terpakai (idle) adalah 1,8 Gbps, sedangkan PT PGN memiliki 39,2 Gbps kapasitas idle untuk jalur dengan 96 core dan 9,2 Gbps untuk 24 core. Infrastruktur yang dimiliki PT PLN didukung oleh jangkauan jaringan yang luas dan jumlah pelanggan yang besar, sedangkan infrastruktur PT PGN didukung oleh kapasitas yang besar. 5. Kapasitas tidak terpakai PT PGN ini tidak serta merta dapat digunakan untuk penyediaan jasa telekomunikasi karena lokasinya tidak selalu berdekatan dengan pengguna (end user). Untuk itu, diperlukan investasi tambahan.
35
6. Jalur serat optik PT PLN mengikuti jalur jaringan listrik sehingga berdekatan dengan pengguna. Data tahun 2005 menunjukkan bahwa pelanggan PT PLN sudah mencapai lebih dari 34 juta. Apabila diasumsikan pelanggan potensial PLC adalah pelanggan dengan daya minimal 1.300 VA, maka terdapat potensi hampir mencapai 5 juta pelanggan atau sekitar 15% dari total pelanggan PT PLN. Dengan demikian, PLC sangat berpotensi sebagai salah satu penyedia jasa telekomunikasi. 7. Di sisi lain, PLC juga masih mempunyai beberapa kekurangan, yaitu (a) memerlukan tambahan investasi perangkat untuk menyediakan jasa telekomunikasi; dan belum adanya standarisasi frekuensi dan perangkat. Kedua hal ini menjadikan perangkat PLC masih lebih mahal dibandingkan dengan FWA. Namun demikian, PLC sudah berbasis IP dan mampu menampung layanan suara, data dan gambar sekaligus, sedangkan FWA masih berbasis TDM dan hanya dapat menampung layanan suara dan data.
4.2 Rekomendasi Berdasarkan hasil kajian, terdapat beberapa hal yang kami rekomendasikan sebagai tindak lanjut pemanfaatan infrastruktur alternatif dalam penyediaan jasa telekomunikasi. 1. Paradigma penyediaan infrastruktur yang hanya terfokus kepada pembangunan baru perlu dihilangkan. Pemerintah juga perlu mengoptimalkan infrastruktur eksisting dan mengeksplorasi infrastruktur alternatif sebagai upaya percepatan penyediaan infrastruktur dan efisiensi investasi. 2. Saat ini pemanfaatan infrastruktur alternatif sudah dimulai namun berdasarkan regulasi yang berlaku pemanfaatannya masih terbatas pada penyewaan jaringan serat optik ke pelanggan korporat. Untuk lebih mendorong pemanfaatan infrastruktur alternatif, termasuk implementasi PLC secara komersial, pemerintah perlu mengadopsi konsep teknologi netral yang tidak membatasi kepada pemakaian teknologi atau vendor tertentu. Di sisi lain, pemerintah harus dapat menjaga interoperabilitas dan integrasi antara teknologi dan sistem yang berbeda untuk menjamin kualitas layanan dan tidak merugikan pengguna layanan. 3. Pemanfaatan infrastruktur alternatif perlu didukung oleh kebijakan, regulasi, kelembagaan dan industri. Selain itu, kebijakan pemanfaatan infrastruktur alternatif harus terintegrasi dengan kebijakan sektor. Tanpa adanya pengaturan mengenai standarisasi, penomoran, dan jaminan interkoneksi, PLC akan sulit berkembang. 4. Untuk mempercepat pematangan teknologi PLC dan menekan tingginya investasi PLC, diperlukan dukungan dari industri dalam negeri yang siap untuk memproduksi perangkat PLC
36
sehingga dapat mencapai skala ekonnominya. Selain itu, pengembangan dan penelitian juga harus terus dilakukan. Oleh karena itu, kerjasama antara industri, lembaga pendidikan, dan lembaga riset harus selalu dikembangkan. 5. Untuk mendorong pemanfaatan infrastruktur alternatif, rekomendasi kebijakan hasil kajian adalah: Kebijakan yang mendorong pemanfaatan infrastruktur alternatif dalam penyediaan jasa telekomunikasi, yaitu (a) kebijakan peningkatan efisiensi pemanfaatan dan pembangunan infrastruktur telekomunikasi; dan (b) kebijakan yang responsif terhadap perkembangan teknologi; Kebijakan pengakhiran duopoli dalam penyelenggaraan telekomunikasi sambungan tetap; Penyusunan rencana induk pengembangan infrastruktur nasional yang mendorong terintegrasinya berbagai jaringan, aplikasi dan layanan; dan Konvergensi perangkat peraturan.
37
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Komunikasi dan Informatika dan KKPPI, “Telecommunications Sector Review”, Jakarta, 2006 Departemen Komunikasi dan Informatika dan KKPPI, “Palapa Rings Project: Preliminary Information Memorandum”, Jakarta, 2006 Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009, Jakarta, 2005 PT Telkom, Laporan Tahunan, Jakarta, 2005 Van Rees, Jan, “Providing Telecommunications to Rural Indonesia”, Jakarta, 2006
38
This document was created with Win2PDF available at http://www.win2pdf.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only. This page will not be added after purchasing Win2PDF.