KAJIAN POTENSI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DARI ASPEK BIOMASA DAN INDEKS KEKERINGAN DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN
TESIS
Oleh SAHDIN ZUNAIDI 067004014/PSL
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
KAJIAN POTENSI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DARI ASPEK BIOMASA DAN INDEKS KEKERINGAN DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh SAHDIN ZUNAIDI 067004014/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: KAJIAN POTENSI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DARI ASPEK BIOMASA DAN INDEKS KEKERINGAN DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN : Sahdin Zunaidi : 067004014 : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., PhD) Ketua
(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS) Anggota
(Dr. Delvian, SP, MS) Anggota
Ketua Program Studi
Direktur
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS)
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)
Tanggal lulus: 11 Februari 2009 Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
Telah diuji pada Tanggal : 11 Februari 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
: Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D
Anggota
: 1. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS 2. Dr. Delvian, SP, MS 3. Prof. Dr. Ir. Sengli J. Damanik, M.Sc 4. Ir. Guslim, MS
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengkaji potensi biomasa sebagai salah satu faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan pada berbagai pola pemanfaatan lahan, menganalisa hubungan antara penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan, mulai dari faktor iklim (suhu dan curah hujan) dan biomasa untuk bahan masukan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Pelaksanaan penelitian dibagi dalam dua tahap yaitu tahap pengambilan data biomasa di lapangan, yang bertempat di Kabupaten Tapanuli Selatan dan pengolahan data di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, dengan lama 1 (satu) bulan. Pengukuran biomasa dilakukan pada hutan melalui pembuatan plot besar 20 m x 100 m (diameter pohon > 30 cm), subplot 5 m x 40 m (diameter pohon 5cm
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
ABSTRACT
The purpose of this study is to analyze the potencial of biomass as one of factor that causes farm and forest fire in the various pattern of forest use, to analyze the relationship between the causes of farm and forest fire commencing from the factors of climate (temperature and rainfall) and biomass to be the inputs in the proses of land and forest fire control. This study was conducted into two phases such as taking the biomass data from the field in Tapanuli Selatan District and data analysis processing in Forest Product Technology Laboratory, Faculty of Agriculture, University of North Sumatera, for one month. The measurement of biomass was taken in the forest by making big plot 20 m x 100 m (diameter of the tree > 30 cm), subplot of 5 m x 40 m (diameter of the tree 5 cm < D < 30 cm) with three times of replication, and the plot of 0.5 m x 0.5 m for the trees with diameter < 5 cm, understorey and litter with six times replication. The biomass was calculated by using the allometric approach through measuring the stem diameter, height, total dry weight of understorey, litters and necromass from the three plots made and then the result of this measurement was calculated to find out the potential of biomass per hectare. The result of the biomass measurement done in the forest was 395.12 Mg ha-1 while the result of the biomass measurement done in the oil palm plantation was 106.84 Mg ha-1 and the resource of the biomass was tree, understroy, necromass, litter, and for the resource of biomass measured in the oil palm plantation, the leaves of oil palm were included and they were counted 20 % from biomass of oil palm tree. The result of the analysis the relationship between the potential of biomass in the forest and in the oil palm plantation at the Value from Drought Index from Keecth Byram from 2004 to 2007, and hotspot as the indicator the cause of fire, shows that fire frequently occurs in the forest and oil palm plantation with adequately high biomass. The fire is mostly monitored during the dry months from Agustus to October and from February to March especially in the sub-districts with adequantely large plantation areas. The relationship between high plantation activities starting from preparing new plantation area and up to the replanting that can be one of the causes of forest and farm fires can be seen from the total area of the plantations located in the respective sub-districts in Tapanuli Selatan District. The highest plantation activities and the number of hotspots monitored from 2004 to 2007 are found in Padang Bolak and Barumun Tengah Sub-districs. Key word: Biomass, Drought Index, Fire, Tapanuli Selatan.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, berkat ridhoNya akhirnya dapat penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis dengan judul “Kajian Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan dari Aspek Biomasa dan Indeks Kekeringan di Kabupaten Tapanuli Selatan”, merupakan tugas akhir dalam memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. Pada saat mengikuti perkuliahan, pelaksanaan penelitian sampai dengan penulisan tesis ini, berbagai pihak telah banyak membantu dan mendorong hingga dapat diselesaikan dengan baik. Berkenaan dengan hal tersebut pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih banyak pada: 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS dan Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc Ketua dan Sekretaris Program Studi PSL Universitas Sumatera Utara. 2. Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D, Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS dan Dr. Delvian, SP, MS sebagai Komisi Pembimbing serta Prof. Dr. Ir. Sengli J. Damanik dan Ir. Guslim, MS sebagai Dosen Pembanding/Penguji. 3. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4. Staf Administrasi PSL USU dan rekan-rekan sesama Mahasiswa PSL USU khususnya Angkatan 2006.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
5. Bapak, Ibunda serta Kakak dan Adik-adik penulis yang tak lepas mendorong dan berdoa dalam penyelesaian tugas-tugas penulis. 6. Istri dan anak-anak tercinta yang selalu berdoa dan bersabar dengan bertambahnya kesibukan penulis menyelesaikan studi. 7. Semua pihak dan rekan-rekan di Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara. Akhirnya dengan segala kerendahan hati kami berharap kiranya ada manfaat dari tesis ini, dalam rangka mengungkap sebagian tabir ilmu dan menambah khasanah pengetahuan serta semoga bermanfaat.
Medan,
Januari 2009
Penulis
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bungabondar (Kecamatan Sipirok) Kabupaten Tapanuli Selatan pada tanggal 24 November 1963, anak ke-2 dari 6 bersaudara dari keluarga pendidik Bapanda Sutan Humala Hasian Siregar dan Ibunda Ompu Anggi Piliang. Pendidikan dasar diselesaikan pada SDN 2 Bungabondar tahun 1975, dan pendidikan menengah pertama pada SMPN Bungabondar yang diselesaikan di SMPN 5 Padangsidimpuan tahun 1979 dan pendidikan menengah atas pada SMAN 3 Padangsidimpuan tahun 1982. Pada akhir pendidikan menengah atas mendapat kesempatan dari IPB Bogor untuk menjadi mahasiswa baru melalui program Proyek Perintis II, dan memilih Jurusan Manajemen Hutan sebagai bidang keahliannya sampai lulus tahun 1987. Setelah lulus dari Fakultas Kehutanan IPB, bekerja di PT. Inti Indorayon Utama (Sumatera Utara) sampai dengan 1993, dengan spesifikasi Reseach and Development. Pada tahun 1994 diterima menjadi PNS Departemen Kehutanan dan ditugaskan di NAD sampai tahun 2000, tahun 2000 pindah tugas ke Sumatera Utara, tahun 2004 ditugaskan di Sulawesi Selatan dan pada tahun 2005 ditugaskan kembali ke Sumatera Utara. Menikah pada tahun 1990 dengan Anna Lely Piliang, S.Pd seorang Guru pada SMAN 1 Batang Kuis dan telah dianugrahi 3 orang anak, 2 orang perempuan dan 1
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
orang laki-laki, masing-masing: Rifa Annisa Siregar (SMA kelas 2), Muhammad Fadly Siregar (SD kelas 6) dan Meilisa Syafrina Siregar (SD kelas 3). Pada tahun 2006 memasuki Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan sebagai tugas akhir menyusun tesis berjudul “Kajian Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan dari Aspek Biomasa dan Indeks Kekeringan di Kabupaten Tapanuli Selatan”.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ............................................................................................................... i ABSTRACT............................................................................................................ ii KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii RIWAYAT HIDUP .................................................................................................v DAFTAR ISI......................................................................................................... vii DAFTAR TABEL.................................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................x DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ xiv I. PENDAHULUAN ..................................................................................1 1.1. Latar Belakang ................................................................................1 1.2. Perumusan Masalah ........................................................................3 1.3. Kerangka Pikir ................................................................................3 1.4. Tujuan ............................................................................................4 1.5. Hipotesis..........................................................................................5 1.6. Manfaat Penelitian .........................................................................5 II.
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................7 2.1. Kebakaran Hutan dan Lahan..........................................................7 2.2. Jenis Kebakaran Hutan...................................................................7 2.3. Pengaruh Bentuk Permukaan Tanah dan Kondisi Vegetasi Hutan .............................................................................................8 2.4. Tata Guna Lahan ......................................................................... 10 2.5. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan .................................12 2.6. Sistem Informasi Kebakaran Hutan dan Lahan ..........................13 2.7. Kandungan Karbon .....................................................................14
III.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN............................................17 3.1. Tempat dan Waktu .......................................................................17 3.2. Metode Penelitian ........................................................................18 3.3. Pengamatan Biomasa Hutan ........................................................24 3.4. Pengamatan Biomasa Kebun Sawit .............................................25
IV.
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ..............................26
V.
HASIL ..................................................................................................27 5.1. Biomasa pada Hutan .................................................................... 27 5.2. Biomasa pada Kebun Sawit .........................................................27
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
5.3. Indeks Kekeringan ...................................................................... 29 5.4. Pemantauan Hotspot .................................................................... 60 VI.
PEMBAHASAN ..................................................................................76 6.1. Analisis Potensi Biomasa..............................................................76 6.2. Analisis Indeks Kekeringan Bulanan ............................................79 6.3. Analisis Jumlah Hotspot Tiap Pola Penggunaan Lahan ...............84 6.4. Analisis Jumlah Hotspot Tiap Kecamatan ....................................89
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................93 7.1. Kesimpulan ..................................................................................93 7.2. Saran..............................................................................................93 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................95
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR TABEL
No.
Judul
Halaman
1.
Skala Sifat Indeks Kekeringan ..................................................................23
2.
Biomasa Hutan Hasil Pengukuran untuk Masing-Masing Plot .................27
3.
Biomasa Sawit Hasil Pengukuran untuk Masing-masing Plot...................28
4.
Potensi Biomasa Hasil Pengukuran dan Data Sekunder ............................76
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR GAMBAR
No.
Judul
Halaman
3.1.
Plot Pengamatan Biomasa untuk Pohon Diameter > 5 cm ........................20
3.2.
Plot Pengamatan Biomasa untuk Pohon Diameter > 5 cm ........................20
5.1.
Pengukuran Biomasa pada : a. Hutan dan b. Kebun Sawit .......................28
5.2.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang .......................................................29
5.3.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang .....................................................30
5.4.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang ......................................................31
5.5.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang .......................................................32
5.6.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua ......................................................32
5.7.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua .......................................................33
5.8.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua .....................................................34
5.9.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua ......................................................35
5.10.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Binanga .............................................................35
5.11.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Binang................................................................36
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
5.12.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Binanga ..............................................................37
5.13.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Binanga .............................................................38
5.14.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Arse....................................................................38
5.15.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Arse....................................................................39
5.16.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Arse....................................................................40
5.17.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Arse....................................................................41
5.18.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon...............................................41
5.19.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon ..............................................42
5.20.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon...............................................43
5.21.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon...............................................44
5.22.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Aliaga ...........................................................................44
5.23.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Aliaga.................................................................45
5.24.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hjujan Aliaga................................................................46
5.25.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Aliaga.................................................................47
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
5.26.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu ..............................................47
5.27.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu ...............................................48
5.28.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu ..............................................49
5.29.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu ............................................. 50
5.30.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Sosopan............................................................. 51
5.31.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Sosopan..............................................................52
5.32.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Sosopan..............................................................53
5.33.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Sosopan..............................................................53
5.34.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Saipar Dolok Hole ............................................54
5.35.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Saipar Dolok Hole .............................................55
5.36.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Saipar Dolok Hole .............................................56
5.37.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Saipar Dolok Hole. ............................................57
5.38.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Padang Balakka..................................................57
5.39.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Padang Balakka..................................................58
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
5.40.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Padang Balakka..................................................59
5.41.
Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Padang Balakka..................................................60
5.42.
Sebaran Hotspot Tiap Bulan untuk Masing-masing Pola Pemanfaatan Lahan Tahun 2004................................................................61
5.43.
Sebaran Hotspot Tiap Bulan untuk Masing-masing Pola Pemanfaatan Lahan Tahun 2005................................................................63
5.44.
Sebaran Hotspot Tiap Bulan untuk Masing-masing Pola Pemanfaatan Lahan Tahun 2006................................................................65
5.45.
Jumlah Hotspot Tiap Bulan untuk Masing-masing Pola Pemanfaatan Lahan Tahun 2007................................................................67
5.46.
Jumlah Hotspot Tiap Kecamatan untuk Masing-masing Pola Pemanfaatan Lahan Tahun 2004................................................................69
5.47.
Sebaran Hotspot Tiap Kecamatan untuk Masing-masing Pola Pemanfaatan Lahan Tahun 2005................................................................71
5.48.
Sebaran Hotspot Tiap Kecamatan untuk Masing-masing Pola Pemanfaatan Lahan Tahun 2006................................................................73
5.49.
Sebaran Hotspot Tiap Kecamatan untuk Masing-masing Pola Pemanfaatan Lahan Tahun 2007 ...............................................................75
a.
Sebaran Hotspot tiap bulan sejak tahun 2004 s/d 2007 .............................82
b.
Jumlah Hotspot Tertinggi pada Tahun 2004 s/d 2007 pada Tiap Pola Pemanfaatan Lahan.................................... ................................................85
c.
Jumlah Hotspot yang Terpantau pada Tahun 2004 s/d 2007 pada Tiap Pola Pemanfaatan Lahan ..........................................................87
6.4
Persiapan Lahan Tanpa Bakar pada Kebun Sawit .....................................88
6.5.
Hotspot pada 3 Kecamatan Tahun 2004 s/d 2007......................................90
6.6.
Pembukaan Lahan pada : a. Semak Belukar dan b. Hutan .......................92
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Judul
Halaman
1.
Hasil Pengukuran Biomasa pada Hutan Plot I .....................................100
2.
Hasil Pengukuran Biomasa pada Hutan Plot II.....................................102
3.
Hasil Pengukuran Biomasa pada Hutan Plot III ...................................104
4.
Hasil Pengukuran Biomasa pada Kebun Sawit Plot I ...........................105
5.
Hasil Pengukuran Biomasa pada Kebun Sawit Plot II..........................107
6.
Hasil Pengukuran Biomasa pada Kebun Sawit Plot III ........................109
7.
Nilai Keetch Byram Drought Index (KBDI) pada Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang Tahun 2004 s/d 2007.............................................111
8.
Nilai Keetch Byram Drought Index (KBDI) pada Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua Tahun 2004 s/d 2007 ........................................... 113
9.
Nilai Keetch Byram Drought Index (KBDI) pada Stasiun Pengamat Hujan Binanga Tahun 2004 s/d 2007 ............ .....................................115
10.
Nilai Keetch Byram Drought Index (KBDI) pada Stasiun Pengamat Hujan Arse Tahun 2004 s/d 2007 ..........................................................117
11.
Nilai Keetch Byram Drought Index (KBDI) pada Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon Tahun 2004 s/d 2007 ...................................119
12.
Nilai Keetch Byram Drought Index (KBDI) pada Stasiun Pengamat Hujan Aliaga Tahun 2004 s/d 2007 ................................ ....................121
13.
Nilai Keetch Byram Drought Index (KBDI) pada Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu Tahun 2004 s/d 2007 ...................................123
14.
Nilai Keetch Byram Drought Index (KBDI) pada Stasiun Pengamat Hujan Sosopan Tahun 2004 s/d 2007 ........ .........................................125
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
15.
Nilai Keetch Byram Drought Index (KBDI) pada Stasiun Pengamat Hujan Saipar Dolok Hole Tahun 2004 s/d 2007 ......... ....................... 127
16.
Nilai Keetch Byram Drought Index (KBDI) pada Stasiun Pengamat Hujan Padang Balakka Tahun 2004 s/d 2007 .......................................129
17.
Jumlah Hotspot Tiap Pemanfaatan Lahan Setiap Bulan pada Tahun 2004 .......................................................................................... 131
18.
Jumlah Hotspot Tiap Pemanfaatan Lahan Setiap Bulan pada Tahun 2005 .......................................................................................... 132
19.
Jumlah Hotspot Tiap Pemanfaatan Lahan Setiap Bulan pada Tahun 2006 .......................................................................................... 133
20.
Jumlah Hotspot Tiap Pemanfaatan Lahan Setiap Bulan pada Tahun 2007 .......................................................................................... 134
21.
Jumlah Hotspot Tiap Kecamatan pada Masing-Masing Pemanfaatan Lahan Tahun 2004 ............................................................ ...................135
22.
Jumlah Hotspot Tiap Kecamatan pada Masing-Masing Pemanfaatan Lahan Tahun 2005 ................................................................................ 136
23.
Jumlah Hotspot Tiap Kecamatan pada Masing-Masing Pemanfaatan Lahan Tahun 2006 .................................................................................137
24.
Jumlah Hotspot Tiap Kecamatan pada Masing-Masing Pemanfaatan Lahan Tahun 2007 ................................................................................. 138
25.
Data Curah Hujan Bulanan Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2004.. 139
26.
Data Curah Hujan Bulanan Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2005...139
27.
Data Curah Hujan Bulanan Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2006.. 140
28.
Data Curah Hujan Bulanan Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2007...140
29.
Data Curah Hujan Tahunan Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2004, 2005, 2006 dan 2007 ..............................................................................141
30.
Jumlah Hotspot Tiap Tahun pada Masing-Masing Pemanfaatan Lahan.142
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
31.
Jumlah Hotspot Tiap Kecamatan pada Masing-Masing Pemanfaatan Lahan Tahun 2004 s/d 2007 ...................................................................143
32.
Jumlah Hotspot Tiap Pemanfaatan Lahan pada Bulan Ekstrim Tahun 2004 s/d 2007 .........................................................................................144
33.
Surat Keterangan Penelitian .................................................................145
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan telah menyebabkan kerugian bagi masyarakat,
baik langsung maupun tidak langsung. Kerugian langsung berupa terbakarnya lahanlahan produktif masyarakat, yang menjadi sumber penghidupannya. Lahan produktif tersebut berupa lahan pertanian yang ditanami palawija, maupun lahan perkebunan yang ditanami tanaman keras. Selain kerugian tersebut, dampak yang sangat nyata pada dekade belakangan ini meningkatnya polusi asap, yang semakin meluas sehingga menyebabkan gangguan penerbangan dan kesehatan. Polusi asap telah mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut maupun udara, di lain pihak munculnya masalah bagi kesehatan manusia maupun keanekaragaman hayati, menurunnya indeks ekonomi hutan dan produktivitas lahan. Dampak penting akibat kebakaran hutan dan lahan yang sangat dirasakan, terutama oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan, satwa liar yang kehilangan habitatnya. Seperti yang terdapat dalam satu lingkaran, selain berkontribusi terhadap akumulasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfir dengan bertambahnya gas karbon dunia, juga memicu meningkatnya pemanasan global (Puspawardani, 2007). Pembakaran hutan dan lahan masih dianggap cara yang paling murah, mudah dan cepat untuk persiapan lahan, dilain pihak juga dimaksudkan sebagai upaya
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
mendapatkan rumput muda bagi ternaknya secara murah dan juga mengusir hama (tikus dan babi). Masalah perilaku dan kebiasaan demikian, menjadi perhatian serius, mengingat akibat kebakaran yang sangat merugikan banyak pihak dan lingkungan (Dephut, 1998). Beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya kebakaran hutan dan lahan, perlu dikaji untuk mengetahui potensi biomasa sebagai salah satu faktor yang menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Faktor-faktor yang telah dikenal menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan antara lain adalah: faktor manusia dan perilakunya, faktor pola pemanfaatan lahan, faktor iklim dan faktor alam seperti halilintar yang bisa menimbulkan api. Berbagai metoda telah dikembangkan untuk mengetahui potensi biomasa tanaman antara lain melalui pendekatan alometrik, baik dengan cara merusak maupun dengan metode tidak merusak tanaman (Hairiah et al, 2001). Pada penelitian ini akan dilakukan perhitungan biomasa pada 2 (dua) pola pemanfaatan lahan yaitu: hutan dan kebun sawit, dengan lokasi di Kabupaten Tapanuli Selatan, dengan metoda pengukuran tidak merusak. Untuk mengetahui potensi biomasa sebagai bahan bakar dan iklim yang menjadi faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan, maka dilakukan penelitian ini. Pemilihan tempat penelitian di Kabupaten Tapanuli Selatan dengan pertimbangan, pemantauan satelit NOOA ternyata titik api banyak terpantau dan pada saat ini proses konversi lahan masih berlangsung.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
1.2.
Perumusan Masalah Bahwa pada setiap penggunaan lahan terjadi perbedaan kandungan biomasa,
yang merupakan bahan utama cepat terbakar. Perilaku masyarakat dalam pengolahan lahan, iklim, jenis tanah merupakan faktor-faktor lainnya yang akan mempengaruhi langsung kebakaran hutan dan lahan. Faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan oleh pemanfaatan lahan dapat berbeda akibat adanya potensi biomasa yang berbeda, yang tersimpan pada tanaman yang tumbuh di atasnya. Perhitungan biomasa pada setiap pola pemanfaatan lahan menjadi penting, untuk menjadi dasar perkiraan besarnya dampak kalau terjadi kebakaran hutan dan lahan.
1.3.
Kerangka Pikir Kebakaran hutan dan lahan dapat terjadi akibat adanya reaksi tiga unsur
penyebab utama yaitu udara, panas dan bahan bakar. Unsur panas tidak bisa dikendalikan oleh manusia, akan tetapi dalam keadaan udara yang memungkinkan dapat menyebabkan terjadinya kebakaran maka aktifitas manusia yang berhubungan dengan kebakaran diminimalkan. Salah satu sumber kebakaran berupa panas yang diakibatkan perilaku manusia sangat penting untuk dikendalikan, untuk tidak menjadi pemicu kebakaran hutan dan lahan, demikian juga halnya akan bahan bakar yang ada di alam maupun hasil daya upaya manusia harus dikendalikan seminimum mungkin.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
Pola pemanfaatan lahan ditengarai juga dapat menyumbang hal penting untuk terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pemanfaatan lahan secara terbuka mendorong terbentuknya tumpukan bahan bakar dari ranting dan daun, dan panas matahari langsung yang merupakan potensi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pola pemanfaatan lahan menjadi salah satu langkah penting untuk dikaji dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang pada gilirannya, dampak kebakaran hutan dan lahan tidak merugikan kehidupan makhluk dibumi. Pengaturan pola pemanfaatan lahan mempunyai peranan akan menumpuknya biomasa hasil persiapan lahan, yang bisa merupakan potensi bahan bakar bila terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
1.4.
Tujuan 1. Mengetahui jumlah biomasa tersimpan dalam tanaman pada hutan dan kebun sawit sebagai bahan bakar dalam kejadian kebakaran hutan dan lahan. 2. Mengkaji potensi biomasa pada pola pemanfaatan lahan hutan dan kebun sawit yang merupakan bahan bakar pada kejadian kebakaran hutan dan lahan. 3. Menganalisis aspek iklim (suhu dan curah hujan) dan biomasa sebagai faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan untuk bahan masukan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
1.5.
Hipotesis 1. Potensi biomasa yang berbeda pada pola pemanfaatan lahan akan mempengaruhi perbedaan kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan. 2. Nilai indeks kekeringan dapat merupakan alat analisis dalam mengkaji tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan.
1.6.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain sebagai berikut: 1. Indeks kekeringan yang dianalisis dari faktor iklim berupa suhu da curah hujan, dapat menjadi bahan kajian dalam kebakaran hutan dan lahan dalam bentuk peringatan dini. 2. Menjadi bahan pertimbangan dalam manajemen pola pemanfaatan lahan yang dapat meminimalisasi kebakaran hutan dan lahan. 3. Bahan koordinasi antar instansi terkait yang berhubungan dengan pemanfaatan lahan, sesuai tugas dan fungsinya masing-masing untuk mengambil peran dalam mengantisipasi sedini mungkin potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan dan upaya pengendaliannya. 4. Menjadi bahan masukan pada berbagai pihak pada berbagai pola pemanfaatan lahan sebagai pertimbangan dalam mengelola lahan yang antisipatif terhadap kebakaran hutan dan lahan.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
5. Menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya mengenai biomasa yang juga menjadi penyimpan karbon di dalam tanaman dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kebakaran Hutan dan Lahan Depatemen Kehutanan (1998) menyebutkan bahwa sumber kebakaran hutan
yang perlu diwaspadai adalah: alam berupa halilintar atau gesekan tanaman yang dapat menimbulkan api, manusia berupa kegiatan perladangan, pembakaran untuk mendapatkan daun muda, pembakaran untuk tujuan mengusir hama, tanpa tujuan dan sisa-sisa obor atau api unggun. Pendapat lain menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan merupakan reaksi dari tiga unsur yaitu panas, udara (oksigen) dan bahan bakar, yang dikenal dengan segitiga api. Masing-masing unsur memegang peranan dalam terjadinya kebakaran dan bila salah satu unsur tidak terpenuhi maka tidak akan terjadi kebakaran. Karakteristik kebakaran dapat digambarkan berdasarkan lokasi kebakaran, bentuk permukaan tanah dan meluasnya kobaran api (Akihiro dan Marbawa, 2000).
2.2.
Jenis Kebakaran Hutan Kebakaran hutan dan lahan berdasarkan sumber apinya dapat dibagi menjadi
3 (tiga) jenis yaitu kebakaran permukaan, kebakaran batang dan tajuk serta kebakaran bawah permukaan. Adapun karakteristik dari jenis kebakaran hutan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut (Akihiro dan Marbawa, 2000):
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
1. Kebakaran bawah permukaan, disebabkan oleh terbakarnya lapisan batu bara, bauksit dan bahan organik (gambut) yang ada di lapisan bumi. 2. Kebakaran bawah permukaan merupakan kebakaran yang paling banyak terjadi karena terbakarnya belukar, limbah pembalakan, rerumputan, tonggak pohon, daun dan ranting (yang jatuh dan menutupi permukaan tanah). 3. Kebakaran tajuk dan batang, merupakan kebakaran karena terbakarnya pohon (ranting-daun) yang diakibatkan oleh api loncat (spot fire) yang umumnya timbul pada saat terjadinya kebakaran permukaan. Api kebakaran tajuk ini jarang berasal dari pohon itu sendiri.
2.3.
Pengaruh Bentuk Permukaan Tanah dan Kondisi Vegetasi Hutan Kebanyakan terjadinya kebakaran hutan disebabkan oleh faktor manusia, akan
tetapi menjalarnya kebakaran dan membesarnya kerugian, banyak dipengaruhi oleh kondisi alam, antara lain adalah (Akihiro dan Marbawa, 2000): a. Pengaruh bentuk tanah Bentuk tanah yang disebut tanah pegunungan umumnya adalah tinggi rendah lereng dan gundukan tanah (elevasi). Sifat kebakaran yang dipengaruhi bentuk permukaan tanah, umumnya, naiknya udara panas yang menyusuri lereng bukit dan puncak gunung dapat mengakibatkan meluasnya kobaran api. Angin yang bertiup ke atas dari lembah ke perbukitan menjadi sumber pensuplay oksigen, jalan setapak di hutan
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
dan tebing yang ada di lereng yang curam tidak efektif sebagai jalur pencegah meluasnya kobaran api. b. Pengaruh kondisi hutan Menjalarnya kobaran api di padang rumput seperti alang-alang cukup cepat, di mana kebakaran yang melanda padang rumput kadang-kadang menjalar ke hutan, bahkan akan sampai ke tengah hutan bila terjadi kemarau panjang. Akan tetapi bagian hutan yang berdekatan dengan padang rumput akan mudah terbakar kembali sebelum kondisi hutannya pulih kembali. Pepohonan sulit tumbuh di areal padang rumput, sehingga menjadikan areal ini mudah terbakar dibandingkan dengan areal yang belum pernah terbakar. c. Pengaruh cuaca Terjadinya kebakaran hutan tidak sama setiap tahunnya, musim kemarau merupakan masa di mana banyak terjadi kebakaran terutama antara bulan Juni hingga Oktober (Akihiro dan Marbawa, 2000). Di Provinsi Kalimantan Timur dalam kurun waktu beberapa tahun terjadi panas yang luar biasa yang diduga akibat adanya Fenomena Foehn, yaitu suatu kejadian alam di mana pada musim angin timur laut berhembus angin kering dan kencang yang menyebabkan kekeringan pada tumbuh-tumbuhan yang dilewatinya termasuk hutan. Fenomena ini biasanya terjadi setiap belasan tahun sekali (antara bulan Desember
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
hingga bulan Maret) yang dapat menimbulkan kebakaran hutan yang cukup luas (Hajime dan Sumantri, 2003). Bahwa pengaruh cuaca yang berlangsung musim hujan paling sedikit enam bulan di Indonesia bagian barat, mulai berangsur-angsur menurun sampai hanya kurang dari dua bulan. Menjelang akhir bulan Januari 1998, rekaman titik api melalui pengamatan di citra satelit NOAA 18, karena kekeringan terjadi sampai kalender tahun kedua. Pola kebakaran hutan tahun 1997 kembali terjadi di kawasan berawa di pesisir timur Sumatera dari bulan Januari sampai April, sementara kebakaran terkonsentrasi di Kalimantan Timur (Anonim, 2007).
2.4.
Tata Guna Lahan Ekosistem hutan hujan tropik yang belum terganggu dapat dikatakan “tahan
api”, di mana tajuk pohon yang berlapis-lapis dapat mempertahankan kelembaban serta meredam angin dan panas. Pembalakan dan pembangunan jalan mengakibatkan matahari dan panas dapat masuk kedalam hutan, yang dapat mengurangi kelembaban dan mengeringkan hutan (Moore and Haase, 2003). Di lain pihak juga dengan pembalakan dan pembangunan jalan hutan, saling berhubungan
dengan
ketahanan
alami
terhadap
api/kebakaran,
juga
akan
menyediakan lebih banyak kayu-kayu mati yang menjadi bahan bakar. Kebakaran hutan semula dianggap terjadi secara alami, tetapi mungkin manusia mempunyai peran dalam memulai kebakaran di milenium terakhir ini, pertama untuk Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
memudahkan perburuan dan selanjutnya untuk pembuatan petak-petak pertanian di dalam hutan (Moore and Haase, 2003). Pembalakan telah meninggalkan akumulasi limbah pembalakan yang luar biasa di dalam hutan, di mana banyak spesies pionir dan sekunder tumbuh pesat di kawasan-kawasan yang telah dibalak, sehingga membentuk lapisan vegetasi bawah yang padat dan mudah terbakar (Anonim, 2007). Setelah membandingkan “titik api” kebakaran pada citra satelit dan berbagai peta tata guna lahan, pada bulan September pemerintah menetapkan bahwa kebakaran sebagian besar terjadi pada areal Hutan Tanaman Industri dan perkebunan kelapa sawit, meskipun petani-petani juga terlibat (Akihiro dan Marbawa, 2000). Dengan mengambil contoh di Kalimantan Barat dan Riau, analisa titik panas menunjukkan sebaran titik panas sebagai berikut: konsesi perkebunan sawit (23,37%), Hutan Tanaman Industri (16,16%), Hak Pengusahaan Hutan (1,88%), dan areal penggunaan lain/APL (58,59%). APL ini dapat berupa lahan masyarakat, lahan terlantar, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi. Secara ilmiah, hasil analisis ini tidak bisa digeneralisasi sebagai representasi kondisi kebakaran hutan dan lahan di seluruh wilayah Indonesia. Meskipun demikian, data ini dapat menggambarkan sebaran titik panas berdasarkan fungsi lahan. Sementara itu, berdasarkan kondisi lahannya, 36,41% titk panas terdeteksi pada lahan gambut (Anonim, 2007).
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2.5.
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Pengendalian kebakaran hutan dan lahan adalah upaya melindungi hutan dan
lahan dari kerusakan akibat kebakaran melalui usaha pencegahan dan menekan sekecil mungkin terjadinya kebakaran (Dephut, 1998). Berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan, baik langsung maupun tidak langsung antara lain dikenal; penerapan peraturan perundangan, pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat dan mengurangi bahaya atau kemungkinan timbulnya kebakaran (Dephut, 1997). Dalam Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 disebutkan bahwa dalam rangka pengendalian kebakaran hutan dan lahan, maka setiap instansi yang terkait bertanggung jawab mengembangkan kemampuan sumber daya manusia di bidang evaluasi dampak lingkungan hidup dan penyusunan strategi pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan. Selanjutnya (Anonim, 2007) berdasarkan laporan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/UNDP menyimpulkan bahwa secara kelembagaan “Indonesia belum memiliki suatu organisasi pengelolaan kebakaran yang profesional”. Berbagai usaha pemadaman kebakaran dilakukan berdasarkan koordinasi diantara beberapa lembaga yang terkait. Berbagai lembaga yang terlibat dalam pengelolaan kebakaran tidak memiliki mandat yang memadai, tingkat kemampuan dan peralatan yang tidak memadai untuk melaksanakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2.6.
Sistim Informasi Kebakaran Hutan dan Lahan Dalam sistem pengendalian kebakaran hutan dan lahan, maka pengenalan
faktor-faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan sangat penting. Pratondo et al, (2003) membagi faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan menjadi; faktor fisik, faktor aktivitas dan faktor aksessibilitas. Pendugaan untuk peringatan dini kebakaran hutan dan lahan menggunakan indikator-indikator berupa hotspot, penutupan lahan, cuaca dan potensi bahan bakar. Hasil pengolahan data dari indikator di atas dapat dimunculkan dalam bentuk peta kerawanan kebakaran, yang menjadi peringatan untuk antisipasi kebakaran (UPTD, 2004). Cuaca sebagai indikator kebakaran hutan dituangkan dalam bentuk indeks kekeringan, yang menggambarkan keadaan suatu wilayah mudah terbakar atau tidak. Untuk menghitung Indeksnya Keetch/Byram memperkenalkan KBDI (Keetch Byram Drought Index) yang merupakan indeks yang diperhitungkan setiap hari dari curah hujan tahunan dan suhu maksimum harian, rata-rata tertinggi curah hujan tahunan dan curah hujan. Untuk mulai menghitung KBDI pada daerah tertentu, pengguna harus kembali ke periode ketika KBDI berada pada posisi “0”, yaitu saat satu hari setelah masa hujan dengan curah hujan sebanyak 150 – 200 mm dalam satu minggu (Keetch dan Byram dalam Thoha, 2006). Thoha (2006) menyebutkan bahwa hotspot dapat digunakan sebagai indikator terjadinya kebakaran hutan, berdasarkan hasil interpretasi dan analisa citra landsat. Lahan terbakar diidentifikasi dengan karakteristik warna merah muda hingga merah Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
tua untuk kombinasi Band 543 dan hijau muda hingga hijau tua untuk kombinasi Band 543.
2.7.
Kandungan Karbon Hairiah dan Rahayu (2007) menyebutkan bahwa pada ekosistem daratan, C
tersimpan dalam 3 komponen pokok, yaitu: a. Biomasa; masa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semai. b. Nekromasa: masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak dilahan (batang atau tunggul pohon), atau tumbang/tergeletak dan daun-daun gugur (serasah) yang belum lapuk. c. Bahan organik tanah: sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan manusia) yang mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah, ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2mm. Selanjutnya Hairiah dan Rahayu (2007) menyebutkan bahwa berdasarkan keberadaannya di alam, ketiga komponen C tersebut dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu: i.
Karbon di atas permukaan tanah, meliputi: 1. Biomasa pohon: Proporsi terbesar penyimpanan C di daratan umumnya terdapat pada komponen pepohonan. Untuk mengurangi tindakan perusakan selama pengukuran, biomasa pohon dapat
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
diestimasi dengan menggunakan persamaan alometrik yang didasarkan pada pengukuran diameter batang. 2. Biomasa tumbuhan bawah: Tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumputrumputan atau gulma. Estimasi biomasa tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil bagian tanaman (melibatkan perusakan). 3. Nekromasa: Batang pohon mati, baik yang masih tegak atau telah tumbang dan tergeletak dipermukaan tanah, yang merupakan komponen penting dari C dan harus diukur agar diperoleh estimasi penyimpanan C yang akurat. 4. Serasah. Serasah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah. ii.
Karbon di dalam tanah, meliputi: 1. Biomasa akar. Akar mentransfer C dalam jumlah besar langsung ke dalam tanah, dan keberadaannya dalam tanah bisa cukup lama. Pada tanah hutan biomasa akar lebih didominasi oleh akar-akar besar (diameter > 2 mm), sedangkan pada tanah pertanian lebih didominasi oleh akar-akar halus yang lebih pendek daur hidupnya. Biomasa akar dapat pula diestimasi berdasarkan diameter akar proksimal, sama dengan cara untuk mengestimasi biomasa pohon yang didasarkan pada diameter batang.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2. Bahan organik tanah. Sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada di permukaan dan di dalam tanah, sebagian atau seluruhnya dirombak oleh organisme tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah, dinamakan bahan organik tanah. Heriansyah dan Mindawati (2005) menyatakan bahwa kemampuan tanaman menyerap CO2 dari atmosfir bervariasi menurut jenis dan umur tanaman. Dari tujuh jenis Shorea yang dilakukan pengamatan dicapai hasil sebagai berikut; Shorea stenoptera Burck (72,178 Kg CO2/tahun), S. seminis (deViese) Sloot (71,37 Kg CO2/tahun), S. Leprosula Miq (55,128 Kg CO2/tahun), S. selanica Blume (40,462 Kg CO2/tahun), S. palembanica Miq (35,365 Kg CO2/tahun), S. pinanga Scheff (28,967 Kg CO2/tahun) dan S. stenoptera form Ard (20,405 Kg CO2/tahun).
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
III.
3.1.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu 1. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Tapanuli Selatan (sebelum adanya pemekaran wilayah menjadi Kabupaten Padang Lawas dan Padang Lawas Utara), dengan pertimbangan sering terpantau hotspot, masih ada kawasan hutan dan aktifitas perubahan lahan dari hutan menjadi non hutan masih berlangsung.
2. Waktu Penelitian dilaksanakan dari 13 September sampai dengan 10 Oktober 2008, yang dimulai dari pengambilan data lapangan di Kabupaten Tapanuli Selatan sampai pada proses pengolahan data lapangan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. 3. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah areal yang pola pemanfaatan lahannya berupa; hutan dan kebun sawit di Kabupaten Tapanuli Selatan. Alat-alat yang dipergunakan untuk mendapatkan data primer adalah: pita ukur panjang 50 m, tali rafia panjang 100 m, tongkat kayu ukuran 1,3 m, tongkat Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
kayu ukuran 1 m, pita ukur 5 m, parang, haga meter, Global Positioning System (GPS), spidol dan blanko pengukuran.
3.2.
Metode Penelitian Jenis dan tahapan pelaksanaan pengambilan dan pengolahan data penelitian
adalah sebagai berikut: 1. Jenis data penelitian a. Data primer biomasa didapatkan melalui pengukuran pada hutan dan kebun sawit. b. Data sekunder berupa: hotspot dan peta pemanfaatan lahan dikumpulkan dari Departemen Kehutanan/NOOA, data klimatologi dari Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah I Medan/Stasiun Klimatologi Sampali, data sosial ekonomi dan keadaan umum daerah penelitian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan dan Badan Pusat Statistik. 2. Cara pengambilan data Pengukuran potensi biomasa pada kawasan hutan dan kebun sawit dilakukan dengan pembuatan plot contoh pengamatan. Penentuan awal plot contoh pengamatan dilakukan secara purposive sampling, dengan mengarahkan plot contoh pada areal yang sering terpantau hotspot pada peta wilayah Tapanuli Selatan, untuk selanjutnya diplotkan di lapangan. Plot contoh dibuat berbentuk transek, dengan langkah-langkah pengamatan pada plot contoh sebagai berikut: Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
a. Hutan Pengukuran biomasa pada hutan dilakukan dengan pengamatan pada plot contoh 20 m x 100 m, untuk vegetasi yang memiliki pohon berdiameter > 30 cm dan 5 m x 40 m untuk vegetasi yang memiliki pohon berdiameter 5 < D < 30 cm, masing-masing 3 x ulangan. Data yang diukur meliputi tinggi pohon, diameter pohon setinggi dada (dbh) dan mencatat semua jenis pohon. Bila ditemukan tunggul tanpa tunas, dilakukan pengukuran diameter dan tinggi tunggul, cabang-cabang hidup diukur untuk yang berdiameter > 5 cm. Adapun sub plot contoh ukuran 0,5 m x 0,5 m sebanyak 6 ulangan, dibuat untuk pengamatan tumbuhan bawah/ serasah dan pohon berdiameter < 5 cm, dengan mengambil semua tumbuhan yang ada di atasnya. Untuk pengamatan biomasa serasah basah dilakukan dengan menggali tanah sedalam 5 cm dan mengambil semua tanahnya, dilakukan pengayakan dengan ukuran lubang 2 mm lalu diambil semua serasah basah yang tertinggal pada ayakan. b. Kebun Sawit Pengukuran biomasa pada kebun sawit dilakukan dengan pengamatan pada plot contoh yang dibuat dengan ukuran 20 m x 100 m dan 5 m x 40 m untuk vegetasi yang memiliki pohon berdiameter 5 < D < 30 cm, ulangan 3 kali. Pengamatan yang dilakukan meliputi pengukuran tinggi dan diameter setinggi dada. Sub plot contoh ukuran 0,5 m x 0,5 m dengan 6 ulangan dibuat untuk tumbuhan bawah/serasah dan untuk pohon Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
berdiameter < 5 cm, dengan mengambil semua tumbuhan yang ada diatasnya. Untuk pengamatan biomasa serasah basah dilakukan dengan menggali tanah sedalam 5 cm dan mengambil semua tanahnya, dilakukan pengayakan dengan ukuran lubang 2 mm lalu diambil semua serasah basah yang tertinggal pada ayakan. 5 * 40 m SUB PLOT
y y y y y
y y
y y y y
20 m
y
2 * (0.5 X 0.5) SUB-SUBPLOT
20 * 100 m PLOT BESAR 100 m Pohon yang berdiameter di atas 30 cm y
Pohon yang berdiameter antara 5 – 30 cm Plot pengamatan Tumbuhan bawah dan serasah
Gambar 3.1. Plot Pengamatan Biomasa untuk Pohon Diameter > 5 cm
5m 40 m
0,5 m
0,5 m
Gambar 3.2. Plot Pengamatan Biomasa untuk Pohon Diameter < 5 cm
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
3. Potensi biomasa pada berbagai pemanfaatan lahan a. Data biomasa pohon Semua pohon yang berdiameter > 5 cm dilakukan perhitungan biomasa melalui pendekatan alometrik dengan menggunakan rumus yang telah diperkenalkan Hairiah dan Rahayu (2001): W = 0.319 D2,32, untuk pohon bercabang (pohon) W = πρH D2/40, pohon tidak bercabang (sawit) Di mana, W = biomasa, D = diameter, H = tinggi, ρ = berat jenis kayu, π = 3,14 dan 2,32 = Konstanta rumus biomasa. Indeks ρ dalam penelitian ini menggunakan berat jenis yang diambil dari pustaka untuk jenis-jenis kayu yang sudah umum dikenal, atau berat jenis rata-rata untuk beberapa jenis kayu kurang komersial (Dephut, 1997). b. Data biomasa tumbuhan bawah Perhitungan biomasa tumbuhan bawah dilakukan dengan cara mengambil contoh daun dan ranting termasuk tumbuhan yang berdiameter < 5 cm pada tiap sub plot contoh, masing-masing dipisahkan wadahnya, selanjutnya dikeringkan pada oven dengan suhu 800C selama 2 x 24 jam untuk mendapatkan berat kering daun dan ranting. c. Data nekromasa Nekromasa ada dua kelompok, yaitu: nekromasa berkayu berupa pohon mati yang masih berdiri maupun roboh, tunggul-tunggul tanaman, cabang dan ranting yang masih utuh yang berdiameter 5 cm dan panjang 0,5 m Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
dan dilakukan pengukuran diameter dan panjangnya Nekromasa tidak berkayu yang berupa serasah daun yang masih utuh (serasah kasar) dan bahan organik lainnya yang telah terdekomposisi sebagian dan berukuran > 2 mm (serasah halus). Pengukuran dilakukan dengan mengambil semua serasah kasar setelah pengambilan contoh tumbuhan bawah, termasuk daun dan ranting-ranting gugur pada tiap kuadran. d. Data serasah Biomasa serasah termasuk dalam kelompok nekromasa tidak berkayu dihitung dengan menimbang semua serasah kasar yang terdapat pada permukaan tanah dan serasah halus yang terdapat melalui penggalian tanah sedalam 5 cm, dan diayak dengan pori ukuran 2 mm yang terdapat dalam kuadran ukuran 0,5 M x 0,5 M. Adapun cara perhitungan biomasanya serasah dilakukan dengan pengeringan serasah kasar dan halus pada oven suhu 800C selama 2 x 24 jam untuk mendapatkan serasah kasar dan serasah halus. 4. Indeks kekeringan menggunakan perhitungan dari Keecth Byram Drought Index (KBDI) dengan mengunakan rumus sebagai berikut (Deeming, 1995 dalam Thoha, 2006): KBDI Hari ini = {∑ KBDI kemarin –(10*CH) + DF hari ini}, Di mana : CH = Curah hujan
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
DF = Faktor kekeringan yang telah dimodifikasi dan dapat digunakan untuk perkiraan bahaya kebakaran, dengan formulasi sebagai berikut: DF = (200 –YKBDI)* (0,9676*exp(0,0875*Tmax + 1,552) – 8,229)*0,001 (1+10,88*Exp(-0.00175)*ann.Rain Tmax = suhu maksimum harian, ann.Rain = rata-rata curah hujan tahunan
Dari hasil perhitungan indeks kekeringan yang kisarannya 0 – 2.000, dikategorikan menjadi 4 (empat) skala sifat bahaya kebakaran, yaitu: Tabel 1. Skala Sifat Indeks Kekeringan No
Indeks KBDI
Skala sifat
1
0- 999
Rendah (R)
2
1.000- 1.499
Menengah (M)
3
1.500- 1.749
Tinggi (T)
4
1.750 – 2.000
Ekstrim (E)
Sumber: BBMG Sumatera Utara 5. Parameter pengamatan Parameter yang menjadi pengamatan dalam penelitian ini adalah: i. Jumlah biomasa pada tiap pola pemanfaatan lahan masing-masing; Hutan dan kebun sawit. ii. Data suhu dan curah hujan tahun 2004, 2005, 2006 dan 2007. iii. Data Hot spot dari tahun 2004, 2005, 2006 dan 2007. iv. Analisis Data.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
Analisis data dilakukan terhadap parameter yang diamati, dengan cara deskriptif melalui analisis indikasi kebakaran hutan, potensi biomasa dan indeks kekeringan yang dilakukan dengan analisis grafik. Perhitungan C tersimpan yang digunakan adalah dari Subekti, Lusiana, dan Van Noordwijk (2005) yaitu C tersimpan = 0,45 % x total biomasa, sebagaimana telah beberapa kali digunakan oleh peneliti sebelumnya dan hasil perhitungan juga diacu sebagai data sekunder pada penelitian ini. Perhitungan
biomasa
pada
sawit
menurut
Brwoun
(1997)
harus
memperhitungkan 20 % x biomasa pohon, yang merupan perkiraan biomasa dari daun yang tidak dilakukan pengukuran secara langsung.
3.3.
Pengamatan Biomasa Hutan Pengukuran biomasa hutan dilakukan pada kawasan hutan produksi yang
berlokasi di Kecamatan Barumun Tengah, dengan kondisi vegetasi hutan tidak merata. Pengamatan pada plot pengamatan ke-1 ukuran 5 x 40 cm ditemukan 61 (enam puluh satu) pohon untuk kelas diameter 5 < D < 30 cm dan 14 (empat belas) pohon untuk pohon kelas diameter > 30 cm, plot 2 ukuran 5 x 40 cm ditemukan 57 (lima puluh tujuh) pohon untuk kelas diameter 5 < D < 30 cm dan 10 (sepuluh) pohon untuk pohon klas diameter > 30 cm dan plot pengamatan ke-3 ukuran 5 x 40 m ditemukan 38 (tiga puluh delapan) pohon untuk kelas diameter 5 < D < 30 cm dan tidak ada pohon untuk pohon kelas diameter > 30 cm atau rata-rata 2.600 (dua ribu
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
enam ratus) pohon untuk kelas diameter 5 < D < 30 cm dan 40 (empat puluh) pohon untuk kelas diameter > 30 cm (Lampiran 1, 2 dan 3).
3.4.
Pengamatan Biomasa Kebun sawit Pengukuran biomasa pada kebun sawit dilakukan pada kebun sawit
masyarakat yang berlokasi di Kecamatan Padang Bolak. Tanaman sawit berumur 14 (empat belas tahun) tahun, persiapan lahan pada awal penanamannya dilakukan dengan cara manual yang dimulai dengan membabat dan selanjutnya dilakukan pembakaran. Hasil pengamatan pada plot pengamatan ke-1 ditemukan 2 (dua) pohon sawit untuk kelas diameter 5 < D < 30 cm dan 41 (empat puluh satu) pohon sawit untuk pohon kelas diameter > 30 Cm, plot pengamatan ke- 2 tidak ditemukan pohon sawit untuk kelas diameter 5 < D < 30 cm sedangkan pada kelas diameter > 30 Cm ditemukan 38 (tiga puluh delapan) pohon sawit, adapun untuk plot pengamatan ke -3 tidak ditemukan pohon sawit untuk kelas diameter 5 < D < 30 cm akan tetapi ada 36 (tiga puluh enam) pohon sawit untuk pohon kelas diameter > 30 Cm. Dari ke tiga plot pengamatan sawit ditemukan 43 (empat puluh tiga) pohon pada plot 1, 43 (empat puluh tiga) pohon pada plot 2 dan 36 (tiga puluh enam) pohon pada plot 3 dengan luas plot 2.000 m2 atau rata-rata pohon sawit adalah 195 pohon/ha (Lampiran 4, 5 dan 6).
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Kabupaten Tapanuli Selatan secara geografis terletak pada 0010’- 1050’LU dan 98050” – 100010’ BT dengan ibukotanya Padangsidimpuan, berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara di sebelah Utara, Propinsi Riau dan Kabupaten Labuhan Batu di sebelah Timur, dengan Samudera Indonesia dan Kabupaten Mandailing Natal di sebelah Barat dan Propinsi Sumatera Barat Kabupaten Mandailing Natal di sebelah Selatan. Luas seluruh Kabupaten adalah 12.261, 55 km2, yang berada pada ketinggian 0 – 1.915 m dpl. Tapanuli Selatan dalam struktur pemerintahannya terbagi kedalam 28 (dua puluh delapan) kecamatan, 1.193 kelurahan/desa dengan jumlah penduduk 638.573 jiwa dengan perbandingan laki-laki 315.509 jiwa dan perempuan 323.064 jiwa. Pada tahun 2007 sesuai dengan Undang-Undang No. 38 Tahun 2007 sebagian wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan dipisahkan menjadi Kabupaten Padang Lawas yang terdiri dari 9 (sembilan) kecamatan. Dan sesuai Undang-Undang No. 37 Tahun 2007 dibentuk Kabupaten Padang Lawas Utara terdiri dari 8 (delapan) kecamatan, yang sebelumnya termasuk kedalam Kabupaten Tapanuli Selatan. Penelitian masih menggunakan wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, karena data yang dipergunakan merupakan rangkaian data sejak tahun 2004 pada secara keseluruhan kabupaten saat itu, adapun data untuk Kabupaten Padang Lawas dan Padang Lawas Utara masih bergabung dalam data kabupaten induk.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
V. HASIL
5.1.
Biomasa pada Hutan Data biomasa hutan merupakan hasil perhitungan dari pengukuran biomasa
pohon, tumbuhan bawah, nekromasa dan serasah. Pohon merupakan sumber biomasa tertinggi dibandingkan sumber biomasa lainnya, disusul nekromasa, serasah dan terendah adalah tumbuhan bawah. Biomasa rata-rata untuk hutan secara keseluruhan dari hasil pengukuran untuk 3 (tiga) plot contoh adalah sebesar 395, 12 Mg ha-1, selengkapnya tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Biomasa Hutan Hasil Pengukuran untuk Masing-masing Plot Sumber Biomasa
Plot I (Ton/Ha)
Plot II (Ton/Ha)
Plot III (Ton/Ha)
Jumlah (Ton/Ha)
Rata-rata (Ton/Ha)
Pohon Tumbuhan bawah Nekromasa Serasah Jumlah
403,27 0,14 45,00 1,99 450,40
379,74 0,07 55,00 2,07 436,64
239,74 0,04 57,00 1,54 298,32
1.022,51 0,25 157,00 5,60 1.185,36
340,84 0,08 52,33 1,87
5.2.
Biomasa Pada Kebun Sawit Data biomasa merupakan hasil perhitungan dari pengukuran di kebun sawit
bersumber dari pohon, daun (20% x biomasa pohon), tumbuhan bawah, dan serasah. Pohon sawit merupakan sumber biomasa tertinggi dibandingkan sumber biomasa lainnya, disusul daun, serasah dan terendah biomasa dari tumbuhan bawah. Biomasa rata-rata dari pengukuran masing-masing plot contoh kebun sawit adalah 106,84 Mg ha-1, selengkapnya pada Tabel 3. Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
Tabel 3. Biomasa Sawit Hasil Pengukuran untuk Masing-masing Plot Sumber Biomasa
Plot I Plot II Plot III Jumlah Rata-rata (Ton/Ha) (Ton/Ha) (Ton/Ha) (Ton/Ha) (Ton/Ha) Pohon 84,73 109,02 70,02 264,02 88,01 Daun (20 %* pohon) 16,95 21,80 14,05 52,80 17,60 Tumbuhan bawah 0,12 0,12 0,19 0,43 0,14 Serasah 0,96 0,84 1,46 3,26 1,09 Jumlah 102,27 131,78 85,97 320,51
a
b
Gambar 5.1.Pengukuran Biomasa pada: a. Hutan dan b. Kebun Sawit
5.3.
Indeks Kekeringan Indeks kekeringan adalah nilai yang menggambarkan kondisi tingkah
kemudahan terbakarnya bahan bakar pada tiap wilayah, dihitung dalam bentuk Keetch Byram Drought Index (KBDI). Perhitungan indeks kekeringan menggunakan variabel suhu maksimum dan rata-rata curah hujan tahunan yang diukur pada 10 (sepuluh) stasiun Pengamat hujan yang tersebar di Kabupaten Tapanuli Selatan. Data
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
yang digunakan mulai tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 dengan rincian indeks masing-masing sebagai berikut: 1.
Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang Tahun 2004 Indeks Kekeringan pada kisaran nilai mulai dari 23,8 sampai 973,6 (Lampiran
7)
dan
skala
sifatnya
semuanya
rendah.
Untuk
menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.2. 1200
Januari Februari
1000
Maret April Mei
800
KBDI
Juni Juli
600
Agustus September
400
Oktober Nopember
200
Desember
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.2. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 Pada Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang 2.
Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang Tahun 2005 Indeks Kekeringan tertinggi pada bulan Juli, Agustus, Oktober dan November, yang merata hampir setiap harinya pada skala sifat ekstrim adapun bulan lainnya bervariasi dari rendah sampai ekstrim (Lampiran 7). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.3.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2000.00
JANUARI FEBRUARI
1800.00
MARET
1600.00
APRIL MEI
1400.00
JUNI JULI
KBDI
1200.00
AGUSTUS SEPTEMBER
1000.00
OKTOBER
800.00
NOPEMBER DESEMBER
600.00 400.00 200.00 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.3. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang 3.
Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang Tahun 2006 Indeks Kekeringan tertinggi pada bulan Juni, Juli, Agustus yang merata setiap harinya dengan skala sifat ekstrim adapun bulan lainnya bervariasi dari skala sifat rendah sampai tinggi (Lampiran 7). Untuk menggambarkan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.4.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2000 1800
JANUARI FEBRUARI
1600
MARET
1400
APRIL
KBDI
1200
MEI JUNI
1000
JULI
800
AGUSTUS SEPTEMBER
600
OKTOBER
400
NOPEMBER
200
DESEMBER
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.4. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 Pada Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang 4.
Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang Tahun 2007 Indeks Kekeringan tertinggi pada bulan Maret dan Juli kebanyakan pada skala sifat menengah adapun bulan lainnya rendah (Lampiran 7). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada sebagaimana Gambar 5.5.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2000 JANUARI
1800
FEBRUARI MARET
1600
APRIL
1400
MEI JUNI
KBDI
1200
JULI AGUSTUS
1000
SEPTEMBER
800
OKTOBER NOPEMBER
600
DESEMBER
400 200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.5. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 Pada Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang 5.
Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua Tahun 2004 Indeks Kekeringan pada kisaran nilai indeks pada skala sifat rendah (Lampiran 8). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.6. 2000
JANUARI FEBRUARI
1800
MARET APRIL
1600
MEI JUNI JULI
1400
AGUSTUS SEPTEMBER
KBDI
1200
OKTOBER NOPEMBER
1000
DESEMBER
800
600
400
200
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
TANGGAL
Gambar 5.6. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
6.
Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua Tahun 2005 Indeks Kekeringan tertinggi pada bulan Juli dan Agustus yang dengan skala sifat ekstrim adapun bulan lainnya bervariasi dari skala sifat rendah sampai menengah (Lampiran 8). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.7.
2000
Januari
1800
Februari
1600
Maret April
KBDI
1400
Mei
1200
Juni
1000
Juli Agustus
800
September
600
Oktober Nopember
400
Desember 200 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.7. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua 7.
Stasiun Pengamat Gunung Hujan Tua Tahun 2006 Indeks Kekeringan pada bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus dengan skala sifat ekstrim adapun bulan lainnya bervariasi dari skala sifat rendah sampai menengah (Lampiran 8). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.8.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2000
Januari 1800
Februari
1600
Maret
1400
April Mei
KBDI
1200
Juni
1000
Juli 800
Agustus
600
September
400
Oktober Nopember
200
Desember 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.8. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua
8.
Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua Tahun 2007 Indeks Kekeringan pada bulan Juli, Agustus, September dan Oktober dengan skala sifat tinggi adapun bulan lainnya bervariasi dari skala sifat rendah sampai menengah (Lampiran 8). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.9.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2000 Januari 1800
Februari
1600
Maret April
1400
Mei
KBDI
1200
Juni Juli
1000
Agustus 800
September
600
Oktober Nopember
400
Desember 200 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.9. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua 9.
Stasiun Pengamat Hujan Binanga Tahun 2004 Indeks Kekeringan pada bulan Nopember dan Desember dengan skala sifat rendah (Lampiran 9). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.10. 2000
Januari Februari
1800
Mar Aprtil
1600
Mei Juni
1400
Juli Agustus
KBDI
1200
September Oktober Nopember
1000
Desember
800 600 400 200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
TANGGAL
Gambar 5.10. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Binanga Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
10.
Stasiun Pengamat Hujan Binanga Tahun 2005 Indeks Kekeringan pada bulan Mei, Juni, Juli dan September dengan skala sifat ekstrim adapun bulan lainnya bervariasi dari skala sifat rendah sampai menengah (Lampiran 9). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.11. 2000
Jan Feb
1800
Maret April
1600
Mei Juni
1400
Juli
KBDI
1200
Agustus September
1000
Oktober Nopember
800
Desember
600 400 200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.11. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Binanga 11.
Stasiun Pengamat Hujan Binanga Tahun 2006 Indeks Kekeringan pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September dengan skala sifat tinggi sampai ekstrim adapun bulan lainnya bervariasi dari skala sifat rendah sampai menengah (Lampiran 9). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.12.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2000
Jan Feb
1800
Mar 1600
Aprtil 1400
Mei Juni
KBDI
1200
Juli 1000
Agustus 800
Septembe r Oktober
600
Nop 400
Desember
200
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.12. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Binanga
12.
Stasiun Pengamat Hujan Binanga Tahun 2007 Indeks Kekeringan bulan Maret, April, Mei dan Juni dengan skala sifat tinggi sampai ekstrim adapun bulan lainnya bervariasi dari skala sifat rendah sampai menengah (Lampiran 9). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.13.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2000
Jan Feb
1800
Mar Aprtil
1600
Mei Juni
1400
Juli Agustus
KBDI
1200
September Oktober
1000
Nop Desember
800 600 400 200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.13. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Binanga 13.
Stasiun Pengamat Hujan Arse Tahun 2004 Indeks Kekeringan pada bulan Nopember dan Desember dengan skala sifat rendah (Lampiran 10). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.14.
600
Januari Februari Maret
500
April Mei Juni
400
Juli
KBDI
Agustus September 300
Oktober Nopember Desember
200
100
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
TANGGAL
Gambar 5.14. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Arse Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
14.
Stasiun Pengamat Hujan Arse Tahun 2005 Indeks Kekeringan bulan Mei, Juni, Juli, Agustus dan September dengan skala tinggi adapun bulan lainnya bervariasi dari rendah sampai menengah (Lampiran 10). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.15.
2000
Jan Feb
1800
Mar Aprtil
1600
Mei Juni
1400
Juli Agustus
KBDI
1200
September Oktober
1000
Nop 800
Desember
600 400 200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.15. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Arse 15.
Stasiun Pengamat Hujan Arse Tahun 2006 Indeks Kekeringan bulan Juni, Juli, Agustus dan September dengan skala sifat tinggi sampai ekstrim, adapun bulan lainnya bervariasi dari skala
sifat
rendah
sampai
menengah
(Lampiran
10).
Untuk
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.16.
2000 Jan Feb
1800
Mar AprIl
1600
Mei Juni
1400
Juli
KBDI
1200
Agustus September
1000
Oktober Nop
800
Desember
600 400 200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.16. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Arse 16.
Stasiun Pengamat Hujan Arse Tahun 2007 Indeks Kekeringan pada bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus dengan skala sifat tinggi sampai ekstrim adapun bulan lainnya bervariasi dari skala sifat rendah sampai menengah (Lampiran 10). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.17.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2000 Jan Feb
1800
Mar 1600
AprIl Mei
1400
Juni Juli
KBDI
1200
Agustus 1000
September Oktober
800
Nop Desember
600 400 200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
30 31
TANGGAL
Gambar 5.17. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Arse 17.
Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon Tahun 2004 Indeks Kekeringan bulan Nopember dan Desember dengan skala sifat rendah (Lampiran 11). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.18.
2000 1800
Nopember
1600
Desember
1400
KBDI
1200 1000 800 600 400 200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
TANGGAL
Gambar 5.18. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
18.
Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon Tahun 2005 Indeks Kekeringan pada bulan Mei, Juni, Juli dan dan Agustus setiap hari dengan skala sifat ekstrim adapun bulan lainnya bervariasi dari skala
sifat
menengah
sampai
tinggi
(Lampiran
11).
Untuk
menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.19.
2000 Janurari Februari
1800
Marert 1600
April Mei
1400
Juni Juli
KBDI
1200
Agustus 1000
September Oktober
800
Nopember Desember
600 400 200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.19. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon 19.
Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon Tahun 2006 Indeks Kekeringan hanya bulan Januari, September, Oktober dan November dengan skala sifat rendah dan menengah, adapun bulan lainnya hampir sepanjang hari pada skala sifat tinggi sampai ekstrim
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
(Lampiran 11). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.20.
2000 Janurari
1800
Februari Marert
1600
April Mei
1400
Juni Juli
KBDI
1200
Agustus September
1000
Oktober Nopember
800
Desember 600 400 200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.20. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon 20.
Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon Tahun 2007 Indeks Kekeringan tertinggi pada bulan Agustus skala sifat ekstrim pada awal bulan, dan menurun dengan skala sifat tinggi sampai menengah pada akhir bulan. Bulan Februari dan Januari pada skala sifat menengah pada awal bulan dan menurun pada akhir bulan adapun bulan lainnya pada skala sifat rendah sampai menengah (Lampiran 11). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.21.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2000
Januari Februari
1800
Maret 1600
April Mei
1400
Juni Juli
KBDI
1200
Agustus 1000
September Oktober
800
Nopember 600
Desember
400
200
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.21. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon 21.
Stasiun Pengamat Hujan Aliaga Tahun 2004 Indeks Kekeringan skala sifat ekstrim pada bulan Juli, Agustus dan September, adapun pada bulan lainnya skala sifatnya rendah sampai tinggi (Lampiran 12). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.22.
2000 Januari 1800
Februari Maret
1600
April 1400
Mei
KBDI
1200
Juni Juli
1000
Agustus 800
September Oktober
600
Nopember 400 Desember 200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.22. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Aliaga Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
22.
Stasiun Pengamat Hujan Aliaga Tahun 2005 Indeks Kekeringan tertinggi bulan Juni dan Agustus skala sifat tinggi sampai ekstrim pada awal bulan, adapun bulan lainnya dengan skala sifat rendah sampai tinggi dan tidak ada skala sifat ekstrim (Lampiran 11). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.23.
2000 Januari 1800
Februari
1600
Maret April
1400
Mei Juni
KBDI
1200
Juli
1000
Agustus 800
September Oktober
600
Nopember 400
Desember
200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.23. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Aliaga 23.
Stasiun Pengamat Hujan Aliaga Tahun 2006 Indeks Kekeringan tertinggi pada bulan Maret, Juli, Agustus, November dan Desember skala sifat ekstrim adapun bulan lainnya pada skala sifat rendah sampai menengah dan tidak ada skala sifat ekstrim (Lampiran
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
12). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.24.
2000 Januari 1800
Februari Maret
1600
April 1400
Mei Juni
KBDI
1200
Juli 1000
Agustus September
800
Oktober 600
Nopember Desember
400 200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.24. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Aliaga 24.
Stasiun Pengamat Hujan Aliaga Tahun 2007 Indeks Kekeringan tertinggi pada bulan Januari dengan skala sifat beberapa hari ekstrim adapun bulan lainnya, skala sifatnya rendah sampai
menengah
(Lampiran
12).
Untuk
menggambarkan
perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.25.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2000 Januari 1800
Februari Maret
1600 April Mei
1400
Juni
KBDI
1200
Juli Agustus
1000
September 800
Oktober Nopember
600
Desember 400
200
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.25. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Aliaga 25.
Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu Tahun 2004 Indeks Kekeringan bulan Desember, dengan Indeks skala sifat rendah (Lampiran 13), Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.26.
2000 1800 1600 1400
KBDI
1200 Dec-04
1000 800 600 400 200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
TANGGAL
Gambar 5.26. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
26.
Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu Tahun 2005 Indeks Kekeringan tertinggi pada bulan Mei dengan skala sifat menengah sampai tinggi, adapun bulan lainnya pada skala sifat rendah sampai menengah dan tidak ada skala sifat ekstrim (Lampiran 13), Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.27.
2000 Januari 1800
Februari Maret
1600
April 1400
Mei Juni
KBDI
1200
Juli 1000
Agustus September
800
Oktober 600
Nopember Desember
400 200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.27. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu 27.
Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu Tahun 2006 Indeks Kekeringan paling tinggi pada bulan Januari, Februari, Juli dan Agustus dengan skala sifat menengah, tinggi sampai ekstrim, adapun bulan lainnya pada skala sifat rendah (Lampiran 13). Untuk
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.28. 2000 Januari Februari
1800
Maret 1600
April Mei
1400
Juni
KBD I
1200
Juli Agustus
1000
September 800
Oktober Nopember
600
Desember 400
200
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.28. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu 28.
Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu Tahun 2007 Indeks Kekeringan tertinggi pada bulan April, Mei dan Juni dengan adanya skala sifat ekstrim, adapun bulan lainnya dengan skala sifat menengah sampai tinggi kecuali Januari ada skala sifat rendah (Lampiran 13). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.29.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2000
Januari
1800
Februari Maret
1600
April 1400
Mei Juni
KBDI
1200
Juli 1000
Agustus September
800
Oktober 600
Nopember Desember
400 200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.29. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu 29.
Stasiun Pengamat Hujan Sosopan Tahun 2004 Indeks Kekeringan bulan April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, Nopember dan Desember, dengan skala sifat ekstrim pada bulan Agustus dan September (Lampiran 14). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.30.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2000 Januari 1800
Februari Maret
1600
April 1400
Mei Juni
KBDI
1200
Juli 1000
Agustus September
800
Oktober 600
Nopember
400
Desember
200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
TANGGAL
Gambar 5.30. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Sosopan 30.
Stasiun Pengamat Hujan Sosopan Tahun 2005 Indeks Kekeringan bulan April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, Nopember dan Desember, dengan skala sifat ekstrim pada bulan Agustus dan September (Lampiran 14). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.31.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2000 Januari 1800
Februari Maret
1600
April 1400
Mei Juni
KBDI
1200
Juli 1000
Agustus
800
September Oktober
600
Nopember 400
Desember
200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.31. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Sosopan 31.
Stasiun Pengamat Hujan Sosopan Tahun 2006 Indeks Kekeringan dengan skala sifat pada kisaran menengah sampai tinggi pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September, sedangkan bulan lainnya pada skala sifat rendah dan sebagian harinya skala sifat menengah (Lampiran 14). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.32.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2000 Januari 1800
Februari Maret
1600
April 1400
Mei Juni
KBDI
1200
Juli 1000
Agustus September
800
Oktober 600 Nopember 400
Desember
200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.32. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Sosopan 32.
Stasiun Pengamat Hujan Sosopan Tahun 2007 Indeks Kekeringan tertinggi bulan Juni, Juli dan Agustus dan hanya bulan Agustus ada skala sifat ekstrim, bulan lainnya skala sifat rendah sampai
menengah
(Lampiran
14).
Untuk
menggambarkan
perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.33. 2000.0
1800.0
1600.0
Januari
1400.0
Februari Maret
KBDI
1200.0
April Mei
1000.0
Juni Juli Agustus
800.0
September Oktober
600.0
Nopember Desember
400.0
200.0
0.0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11
12
13 14
15 16 17
18 19
20 21 22
23 24
25
26 27
28 29 30
31
TANGGAL
Gambar 5.33. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Sosopan Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
33.
Stasiun Pengamat Hujan Saipar Dolok Hole Tahun 2004 Indeks Kekeringan bulan Oktober, Nopember dan Desember, dengan skala sifat rendah (Lampiran 15), Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.34.
2000
Januari
1800
Februari Maret
1600
April 1400
Mei Juni
KBDI
1200
Juli 1000
Agustus September
800
Oktober 600 Nopember 400
Desember
200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.34. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Saipar Dolok Hole
34.
Stasiun Pengamat Hujan Saipar Dolok Hole Tahun 2005 Indeks Kekeringan bulan Juni, Juli dan Agustus dengan skala sifat tinggi sampai ekstrim, Mei skala sifat menengah sampai tinggi (Lampiran 15). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.35.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2000 Januari 1800
Februari Maret
1600
April 1400
Mei Juni
1200
KBDI
Juli 1000
Agustus September
800
Oktober 600
Nopember Desember
400 200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.35. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Saipar Dolok Hole
35.
Stasiun Pengamat Hujan Saipar Dolok Hole Tahun 2006 Indeks Kekeringan tertinggi pada bulan Februari, Maret, Juli dan Oktober dengan skala sifat menengah, bulan lainnya skala sifat rendah (Lampiran 15). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.36.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2000 Januari 1800
Februari Maret
1600
April 1400
Mei Juni
KBDI
1200
Juli 1000
Agustus September
800
Oktober 600 Nopember 400
Desember
200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.36. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Saipar Dolok Hole 36.
Stasiun Pengamat Hujan Saipar Dolok Hole Tahun 2007 Indeks Kekeringan tertinggi bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus skala sifat ekstrim, adapun bulan lainnya skala sifat rendah sampai tinggi (Lampiran 15). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.37.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2000 Januari 1800
Februari Maret
1600
April 1400
Mei Juni
KBDI
1200
Juli 1000
Agustus September
800
Oktober 600
Nopember Desember
400 200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.37. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Saipar Dolok Hole 37.
Stasiun Pengamat Hujan Padang Balakka Tahun 2004 Indeks Kekeringan untuk September, Oktober, Nopember dan Desember,
dengan
skala
sifat
rendah
(Lampiran
16).
Untuk
menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.38. 2000 Januari Februari
1800
Maret 1600
April Mei
1400
Juni
KBDI
1200
Juli Agustus
1000
September 800
Oktober Nopember
600
Desember 400
200
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
TANGGAL
Gambar 5.38. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Padang Balakka Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
38.
Stasiun Pengamat Hujan Padang Balakka Tahun 2005 Indeks Kekeringan tertinggi pada bulan Juni, Juli dan Agustus beberapa hari terdapat skala sifat ekstrim. Pada bulan lainnya berada pada skala sifat rendah sampai tinggi (Lampiran 16). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 39. 2000 Januari 1800
Februari Maret
1600
April
1400
Mei
KBDI
1200
Juni
1000
Juli Agustus
800
September 600 Oktober 400
Nopember Desember
200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.39. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Padang Balakka
39.
Stasiun Pengamat Hujan Padang Balakka Tahun 2006 Indeks Kekeringan dengan skala sifat rendah sampai tinggi dan tidak ada skala sifat ekstrim. Pada bulan Agustus, September dan Oktober skala sifat menengah sampai tinggi (Lampiran 16). Untuk menggambarkan
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.40. 2000 Januari 1800
Februari Maret
1600 April Mei
1400
Juni
KBDI
1200
Juli Agustus
1000
September 800
Oktober Nopember
600
Desember 400
200
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.40. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Padang Balakka 40.
Stasiun Pengamat Hujan Padang Balakka Tahun 2007 Indeks Kekeringan tertinggi pada bulan Mei dan Agustus dengan skala sifat ekstrim, adapun bulan lainnya pada skala sifat rendah sampai tinggi (Lampiran 16). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.41.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2000
1800
1600 Januari 1400
Februari Maret
KBDI
1200
April Mei Juni
1000
Juli Agustus
800
September Oktober
600
Nopember Desember
400
200
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TANGGAL
Gambar 5.41. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Padang Balakka
5.4.
Pemantauan Hotspot
5.4.1. Pada Tiap Pola Pemanfaatan Lahan Setiap Bulannya Pada tahun 2004 hotspot tertinggi terpantau pada bulan Agustus dan Februari, akan tetapi pada Juni, Juli dan September ada kecenderungan meningkat dibanding bulan-bulan lainnya. Adapun lokasi yang terpantau hotspot tertinggi pada hutan, ladang masyarakat dan areal lainnya (Lampiran 17) dan untuk menggambarkan perbandingannya masing-masing pola pemanfaatan lahan sebagaimana pada Gambar 5.42. Bulan September terpantau hotspot tertinggi berlokasi pada semak belukar, selanjutnya hutan dan kebun sawit juga merupakan lokasi yang terpantau hotspot tinggi masing-masing hutan 42 titik dan kebun sawit 21 titik.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
VI. PEMBAHASAN
6.1.
Analisis Potensi Biomasa Biomasa pada hutan dan kebun sawit hasil pengukuran lebih rendah bila
dibandingkan dengan hasil pengukuran yang dilakukan Tomich et al (1998). Untuk membandingkan hasil pengukuran Tomich et al (1998) pada kebun karet, ladang masyarakat, semak belukar dan areal lainnya sebagai diperlihatkan pada Tabel 4 berikut. Tabel 4. Potensi Biomasa Hasil Pengukuran dan Data Sekunder Pola Pengunaan Lahan (Mg ha-1) Hutan
Kebun Karet
Kebun Sawit
Ladang Masyarakat
Semak Belukar
Areal lainnya
Biomasa
395,12
-
106,84
-
-
-
C-stock
177,80
-
48,00
-
-
-
254
103
91
71
74
39
C-stock *)
*) Sumber Tomich et al 1998 Biomasa hasil pengukuran untuk hutan lebih rendah dari pada hasil pengukuran yang dilakukan oleh Tomich, et al (1998) dengan nilai cadangan karbon 254 Mg ha-1. Demikian juga halnya untuk biomasa kebun sawit 106,84 Mg ha-1 atau setara dengan 48 Mg ha-1 cadangan karbon dibandingkan dengan 91 Mg ha-1. Hal ini karena jumlah biomasa dipengaruhi oleh keragaman tumbuhan dan berat jenis pohon, umur tanaman serta cara pengolahan lahannya. Kebun sawit yang dilakukan
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
pengukuran berumur 14 (empat belas) tahun, sedangkan Tomich et al (1998) mengukur pada kebun sawit berumur 20 (dua puluh) tahun. Perbedaan potensi biomasa pada hutan antara hasil pengukuran dan hasil pengukuran Tomich et al (1998) diduga dipengaruhi oleh jumlah pohon pada tiap plot, umur pohon dan jenis pohon pada tiap plot. Jenis pohon yang berbeda akan berbeda berat jenisnya yang akan mempengaruhi total biomasa hasil perhitungan pada plot pengukuran. Jumlah pohon pada klas diameter 5 – 30 cm 65 pohon, diameter di atas 30 cm terdapat 12 pohon, sedangkan Tomich et al 1998 menemukan jumlah pohon diameter 5 – 148 cm sebanyak 170 pohon. Jumlah pohon yang makin banyak akan meningkatkan biomasa kayu, apabila jenis kayunya sama, jenis kayu mempengaruhi biomasa dengan adanya perbedaan berat jenis masing-masing kayu. Heriansyah dan Mindawati (2005) menyebutkan bahwa pada Famili Dipterocarpacea berbeda kemampuannya dalam menyerap CO2 dari atmosfir yang bervariasi menurut jenis dan umur tanaman. Pada plot pengamatan pohon ditemukan 11 jenis dengan berat jenis berkisar 0,37 – 0,93 gr/cm3 atau rata-rata 0,65 gr/cm3, sedangkan hasil pengamatan Rahayu, Luciana dan van Noorrdwijk (2005) dengan berat jenis 0,68 gr/cm3 untuk hutan primer dan 0,61 gr/cm3 untuk hutan bekas tebangan. Dari berat jenis kayu tersebut Rahayu, Luciana dan van Noorrdwijk (2005) menemukan cadangan karbon masingmasing hutan primer 230,1 Mg ha-1, hutan bekas tebangan 0 – 10 tahun 206, 8 Mg ha1
, hutan bekas tebangan 11-30 tahun 212, 9 Mg ha-1 dan hutan bekas tebangan 31-50
tahun 184,2 Mg ha-1. Dari hasil pengamatan tersebut perhitungan biomasa Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
di Kabupaten Tapanuli Selatan mendekati dengan hasil pengukuran pada hutan bekas tebangan yang berumur 31-50 tahun. Setiawan, Irawan dan Kamal
(2005) yang melakukan pengukuran
penyimpanan karbon pada jalur hijau di Kota Bandar Lampung menemukan bahwa ada 54 jenis pohon di jalur hijau. Hasil pengukuran yang dibedakan berdasarkan lokasinya masing-masing ditemukan jalur hijau kota berpotensi menyerap karbon 10,60 Mg ha-1/tahun, jalur hijau sungai berpotensi menyerap karbon 8,76 Mg ha1/tahun dan jalur hijau pantai berpotensi menyerap karbon 5,58 Mg ha-1/tahun. Perbedaan cadangan karbon terukur disebabkan perbedaan jenis pohon yang ditemukan pada masing-masing jalur hijau, sebagaimana juga ditemukan adanya perbedaan potensi biomasa di hutan dan kebun sawit hasil pengukuran. Cadangan karbon pada hutan sebesar 177,8 Mg ha-1 dan pada kebun sawit sebesar 48,0 Mg ha-1, adapun hasil penelitian Berlian (2004) menemukan bahwa pada hutan terukur cadangan karbon 196 Mg ha-1, kopi multistrata 34 Mg ha-1, kopi naungan 23 Mg ha-1 dan kopi monokultur 7 Mg ha-1. Kondisi cadangan karbon tersebut merupakan gambaran adanya perbedaan cadangan karbon pada masingmasing pola pemanfaatan lahan yang berbeda. Rahayu, Luciana dan van Noorrdwijk (2005) menyebutkan bahwa konversi dari hutan ke lahan pertanian untuk padi lahan kering – siklus pertumbuhan ’bera’ (fallow) akan menurunkan cadangan karbon lebih dari 85 %, tergantung pada lamanya siklus ’bera’.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
6.2.
Analisis Indeks Kekeringan Bulanan Indeks kekeringan dikategorikan kedalam 4 (empat) skala sifat, yaitu Rendah
(R), Menengah (M), Tinggi (T) dan Ekstrim (E). Stasiun Pengamat hujan Aek Godang tahun 2005 menunjukkan bahwa bulan Juli dan Agustus tercatat adanya indeks kekeringan pada skala ekstrim. Curah hujan pada bulan Juli sangat rendah (9 mm/bulan) dan hanya 3 hari hujan, sedangkan pada bulan Agustus tercatat curah hujan 96,7 mm/bulan dan hanya 7 hari hujan. Kondisi indeks kekeringan berskala sifat ekstrim dapat menunjukkan keringnya bahan bakar dan tanah, yang dipengaruhi oleh kadar air (Thoha, 2008). Pada stasiun pengamat hujan Padang Bolak dan Barumun Tengah mempunyai total curah hujan tahunan selama tahun 2004 masing-masing 2.523 mm/tahun dan 2.881 mm/tahun dan hari hujan 140 hari hujan dan 120 hari hujan, terendah bila dibandingkan hasil pengamatan stasiun pengamat hujan lainnya. Rendahnya total curah hujan tahunan dan hari hujan mempengaruhi secara langsung kadar air bahan bakar dan tanah, yang ditunjukkan oleh indeks kekeringan. Fuller dalam Thoha (2004) menyatakan bahwa perbedaan pemanasan matahari pada permukaan bumi berperan dalam variasi iklim yang memberikan kontribusi pada bahaya kebakaran hutan. Penyinaran matahari, selain memanaskan permukaan bumi juga memanaskan lapisan udara di bawahnya. Pemanasan udara menimbulkan perbedaan tekanan udara yang menyebabkan terbentuknya pola pergerakan angin sehingga angin akan bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Angin dan penyinaran matahari merupakan faktor penting Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
pada pengeringan bahan bakar. Berhubungan dengan pemanasan bumi oleh radiasi matahari, maka pada bulan Maret dan September posisi matahari paling dekat dengan bumi, yang bermakna radiasi maksimum terjadi pada saat posisi matahari paling dekat dengan bumi. Keadaan curah hujan yang rendah telah dimulai sejak bulan Mei, akan tetapi pada saat bulan tersebut masih sering terjadi hujan walaupun dalam jumlah yang lebih sedikit. Hubungan kedua faktor curah hujan dan hari hujan yang mempengaruhi bahan bakar sebagai salah satu unsur dalam kebakaran hutan dan lahan, hujan yang lebih sering akan mengakibatkan meningkatnya kelembaban bahan bakar. Pada tahun 2004 mulai bulan April sampai dengan bulan Agustus curah hujannya mulai menurun, demikian juga jumlah hari hujan. Kondisi demikian mengakibatkan menurunnya kandungan air dan kelembaban bahan bakar dan tanah, dan bila berlangsung lama akan meningkatkan pemanasan bahan bakar. Pemanasan yang berlangsung secara terus menerus mencapai puncaknya pada bulan September, sebagaimana nilai indeks kekeringan yang sering terpantau pada skala sifat ekstrim. Sejalan dengan pemahaman indeks kekeringan tersebut, maka Departemen Kehutanan menetapkan Juli sampai Oktober setiap tahunnya merupakan tahapan siaga sebagai pertanda kondisi rawan kebakaran hutan dan lahan. Stasiun Pengamat hujan Binanga pada tahun 2005 yang berada pada wilayah Kecamatan Barumun Tengah dan sering terpantau hotspot, menunjukkan bahwa mulai Mei dan Juni indeks kekeringan pada skala sifat tinggi sampai dengan ekstrim, sedangkan untuk tahun 2006 bulan Juni, Juli dan Agustus skala sifat tinggi sampai Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
dengan ekstrim. Pada Stasiun Pengamat hujan Balakka Sitokkon tahun 2005 yang berada pada wilayah Kecamatan Binanga, tercatat skala sifat indeks kekeringan tinggi sampai ekstrim untuk bulan April sampai dengan September, dan untuk tahun 2006 indeks kekeringan pada skala sifat tinggi sampai ekstrim terjadi sepanjang tahun kecuali bulan Januari dan Oktober. Stasiun Pengamat hujan Aek Godang pada tahun 2005 yang berada pada wilayah Kecamatan Padang Bolak dan sering terpantau hotspot, menunjukkan bahwa mulai Juni sampai dengan Nopember indeks kekeringan pada skala sifat tinggi sampai dengan ekstrim, sedangkan untuk tahun 2006 bulan Juni, Juli dan Agustus skala sifat tinggi sampai dengan ekstrim. Pada Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua tahun 2006 yang berada pada wilayah Kecamatan Padang Bolak, tercatat indeks keringan pada skala sifat tinggi sampai ekstrim untuk bulan Mei sampai dengan Agustus, dan untuk tahun 2007 sifat indeks kekeringan pada skala tinggi sampai ekstrim mulai bulan Juni sampai dengan Oktober. Pemantauan hotspot untuk Tapanuli Selatan sejak tahun 2004 sampai dengan 2007 menunjukkan pola bahwa bulan Februari dan Maret terpantau tinggi, dan mulai menurun pada bulan April. Bulan Juni meningkat lagi dan mencapai puncaknya pada bulan Agustus, dan menurun kembali bulan September. Pola penyebaran hotspot seperti disebutkan di atas dari tahun 2004 sampai dengan 2007 di Kabupaten Tapanuli Selatan seperti pada Gambar 6.1.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
250
1.000 936 900 212
200
800 700 600
594
586 574
160 150 537
136 500
445 404 100
400
348 319
336 80
300 221 200
47
43
100
59
Jan
Feb
32 31
32
8
15 10
20
Mar
Apr
Mei
60
90 53
30
116
Juli
44 36
24
59
Agus
100
349
46
134 16
Juni
92
58
51
134
9 7
-
70 207 60
179
46
59
318
366
15 Sep
17 9 -
12 Okt
Nov
4
JUMLAH HOTSPOT
CURAH HUJAN RATA-RATA
721
2004 2005 2006 2007 2004 2005 2006 2007
50
-
Des
BULAN
Gambar 6.1. Sebaran Hotspot Tiap Bulan Sejak Tahun 2004 S/D 2007
Pola sebaran hotspot seperti gambar di atas mempunyai persamaan dengan pola indeks kekeringan yang ditunjukkan dari hasil pengukuran cuaca pada 10 (sepuluh) stasiun pengamat hujan, yang juga mempunyai pola indeks kekeringan bulan Februari pada skala sifat tinggi sampai ekstrim dan pada bulan Juni mulai meningkat sampai puncaknya bulan Agustus serta menurun pada bulan September. Berdasarkan klasifikasi iklim dari Oldeman (1975), maka di wilayah Padang Bolak untuk tahun 2006 yang terpantau hotspot tertinggi, mengalami bulan kering (curah hujan rata-rata bulanan < 100 mm) terjadi pada bulan Februari, Mei, Juni, Juli dan Agustus. Demikian juga halnya unuk wilayah Barumun Tengah bulan kering terjadi pada bulan Januari dan Februari yang terpantau hotspot yang tinggi, dan mencapai
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
puncaknya bulan Agustus dengan bulan kering telah terjadi sejak bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus. Syaufina (2008) menyatakan di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau, memiliki pola iklim dengan dua periode musim kemarau, yaitu bulan Februari – Maret dan bulan Juli – September. Pola iklim demikian berhubungan dengan peningkatan dan penurunan jumlah hotspot pada bulan-bulan tertentu berkaitan dengan peningkatan dan penurunan curah hujan. Pola iklim yang sama ditemukan di Kabupaten Tapanuli Selatan, dengan menurunnya curah hujan mulai akhir bulan Januari – awal Maret dan bulan Mei – September. Pola terbalik dengan curah hujan ditemukan di Kabupaten Tapanuli Selatan paling tinggi pada bulan Agustus dan menyusul pada bulan Februari seperti ditunjukkan pada Gambar 6.1. Pola penyebaran hotspot dan indeks kekeringan dengan pola tersebut di atas erat kaitannya dengan penyinaran matahari pada bulan Februari yang berada pada posisi paling dekat bumi. Adapun bulan Juni sampai dengan Agustus merupakan musim panas, dan hanya ada sedikit curah hujan dan sedikit jumlah hari hujan yang mempengaruhi kadar air bahan bakar. Selanjutnya Rastioningrum dalam Syaufina (2008) menyatakan bahwa dalam waktu 10 (sepuluh) hari, kadar air daun akan mengalami penurunan sebesar 90%, kadar air bahan bakar ranting diameter 0,5 – 1 cm akan menurun sebesar 124,5%, bahan bakar ranting diameter 2-5 cm masingmasing akan mengalami penurunan kadar air sebesar 78,3% dan 23,9%.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
6.3.
Analisis Jumlah Hotspot Tiap Pola Penggunaan Lahan Hotspot yang terjadi bila diamati dari kejadiannya setiap bulannya
menunjukkan bahwa pada bulan Agustus paling tinggi, menyusul bulan Februari dan telah terjadi sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2007. Bila dikaji pada curah hujan rata-rata bulanan maupun hari hujan bulanan beberapa stasiun pengamat hujan menunjukkan nilai yang rendah, seperti stasiun pengamat hujan Aek Godang dan Aliaga tidak ada hujan sepanjang bulan September terjadi bulan kering atau rata-rata curah hujan bulanan < 100 mm. Hotspot yang terpantau bila dilihat dari pola pemanfaatan lahannya paling banyak pada hutan, terutama di wilayah-wilayah yang pengusahaan lahan untuk perkebunan cukup luas. Aktifitas pembukaan lahan untuk pembuatan kebun berpotensi untuk menumpuk bahan bakar, yang merupakan hasil penebangan pohon ataupun semak belukar pada lokasi pembuatan kebun baru. Sejalan dengan terjadinya kebakaran yang diindikasikan oleh hotspot, Moore and Haase (2003) menyebutkan bahwa pembalakan dan pembangunan jalan hutan, saling berhubungan dengan ketahanan alami api/kebakaran. Kondisi ini akan menyediakan lebih banyak kayu mati yang menjadi bahan bakar. Selanjutnya Moore and Haase (2003) menyebutkan bahwa ekosistem hujan tropik yang belum terganggu dapat dikatakan “tahan api”, di mana tajuk pohon yang berlapis-lapis dapat mempertahankan kelembaban serta meredam angin dan panas. Pembalakan dan pembangunan jalan juga mengakibatkan matahari dan panas dapat masuk kedalam hutan, yang dapat mengurangi kelembaban dan mengeringkan hutan. Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
80 72
Hutan
72
69
70
Semak belukar 65 Kebun sawit
60
56
Kebun karet Ladang Masyarakat
49
50 Jumlah Hotspot
56
46
45
45
Areal Lainnya
42
42 40
35
33
32
36
31
30 22
21 20 12 10
6 5
12 11 8
21
20
15 12 10
9 6
11 8 7
0 0 Februari
Juli 2004
Agustus
Februari
Juli 2005
14
11
3
5 1 Agustus
19
17
14
4
0
20
19
17
Februari
7 2 23 Juli 2006
12 11
9 5
Agustus
4
16 13
9 2
4
Februari
6
6
120 1 Juli
4
6 2
Agustus
2007
Gambar 6.2. Jumlah Hotspot Tertinggi Pada Tahun 2004 s/d 2007 pada Tiap Pola Pemanfaatan Lahan
Pola penggunaan lahan berupa kebun masyarakat yang antara lain menanam sawit, juga berpotensi untuk meningkatnya jumlah hotspot yang terpantau, di mana masyarakat yang melakukan kegiatan pengolahan lahan kebunnya diduga juga melakukan upaya-upaya persiapan lahannya dengan pembakaran. Demikian juga halnya pada kegiatan peremajaan kebun sawit, dengan menebang tanaman lama dan dibakar untuk percepatan waktu persiapan lahan dengan biaya murah dan cepat akan meningkatkan jumlah hotspot pada wilayah kebun sawit. Tingginya biomasa pada hutan dan kebun sawit merupakan potensi bahan bakar yang tinggi apabila ada kejadian kebakaran, yang akan dapat terpantaunya berupa hotspot pada wilayah tersebut. Pembukaan hutan maupun peremajaan sawit Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
biasanya dalam luasan yang besar, sehingga bila terbakar akan terpantau sebagai hotspot. Hotspot yang dapat dipantau oleh satelit NOAA minimal dengan luasan 1,1 km2 UPTD (2004), hal demikian menunjukkan bahwa hanya hutan, kebun atau lahan yang luas yang akan terpantau sebagai hotspot. Menurut data BPS (2007), bahwa pembukaan kebun baru ataupun peremajaan kebun sawit bila dihubungkan dengan luasan kebun yang dibuka di Tapanuli Selatan sampai tahun 2006 adalah: kebun rakyat dengan berbagai komoditi seluas 139.178,80 ha. Adapun perkebunan sawit rakyat mencapai 4.494 ha, kebun BUMN 22.22,10 ha, kebun besar 201.994,21 ha dan koperasi 10.378,70 ha atau seluas 299.093,01 ha untuk seluruh luasan Kabupaten Tapanuli Selatan 12.261, 55 Km2 (12.261.550 Ha). Luasanya kebun yang dibuka akan sejalan dengan tingginya kegiatan masyarakat dalam pengelolaan lahan kebun sawitnya, salah satunya dengan melakukan pembakaran pada kegiatan perkebunannya. Pembakaran dalam persiapan lahan masih dianggap cara cepat, mudah dan murah, sebagaimana juga di praktekkan masyarakat di beberapa daerah di Indonesia. Selanjutnya Soemarwoto (2001) mengatakan bahwa kebakaran hutan itu adalah antropogenik, yaitu karena ulah manusia dan bukannya semata-mata faktor alam.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
350
Hutan Semak belukar
300
Kebun sawit
287
279
275
250
Kebun karet Ladang Masyarakat Areal Lainnya
236
Jumlah Hotspot
216 193
200
175 157 150
94
100
50
35
63
58
53 29
71 60
52 39
35 17
16
14
17 5
0 2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 6.3. Jumlah Hotspot yang Terpantau pada tahun 2004 s/d 2007 pada Tiap Pola Pemanfaatan Lahan
Dari Gambar 6.3 di atas menunjukkan bahwa pada kawasan hutan dari tahun 2004 sampai dengan 2006 terpantau paling tinggi hotspot, menyusul ladang masyarakat dan kebun sawit. Pada tahun 2007 hotspot paling tinggi terpantau pada ladang masyarakat, selanjutnya hutan dan kebun sawit. Pada hutan kejadian ini dapat diduga akibat pembukaan hutan untuk kebun baru, dan pada ladang masyarakat merupakan fenomena meluasnya pembukaan kebun rakyat baik untuk pembukaan kebun sawit baru maupun karet yang cukup luas di Kabupaten Tapanuli Selatan. Terpantaunya hotspot di kebun sawit diduga karena adanya kegiatan peremajaan sawit, dengan kegiatan menebang pohon tua dan selanjutnya dilakukan pembakaran. Hal yang sama juga dikemukakan Anonim (2007) bahwa kejadian kebakaran Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
di Kalimantan dan Riau menunjukkan sebaran titik api pada konsesi perkebunan (23,37%), Hutan Tanaman Industri (16,16%), Hak Pengusahaan Hutan (1,88%) dan areal penggunaan lain/APL (58, 59%). Kejadian menurunnya hotspot pada tahun 2007 dapat diakibatkan oleh menurunnya kegiatan pembukaan hutan untuk kebun dan peremajaan kebun sawit, di lain pihak diterapkannya persiapan lahan tanpa bakar oleh beberapa perkebunan baik untuk pembukaan kebun baru maupun pada kegiatan peremajaan. Kegiatan penyiapan lahan tanpa bakar untuk sawit dengan meracun pohon tua, dan langsung menanam tanaman baru di sebelahnya tanpa melakukan pembakaran sebagaimana Gambar 6.4.
Gambar 6.4. Persiapan Lahan Tanpa Bakar pada Kebun Sawit
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
6.4.
Analisis Jumlah Hotspot Tiap Kecamatan Anonim (2004) menyatakan bahwa hotspot yang dipantau oleh satelit NOAA-
AVHRR (National Oceanic Atmospheric Administration – Advanced Very High Resolution Radiometer), diolah berbentuk titik-titik kordinat yang kemudian dapat ditampilkan berupa peta yang dilengkapi informasi lainnya seperti sungai, batas administratif, lokasi pemukiman, batas penggunaan lahan dan lain sebagainya dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG). Hotspot yang terpantau pada tiap lokasi dapat mengindikasikan kebakaran vegetasi, yang berupa hutan, kebun sawit, kebun karet, semak belukar maupun ladang masyarakat. Pemantauan hotspot pada tiap Kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan untuk tahun 2004 menunjukkan bahwa terpantau hotspot tertinggi di Kecamatan Padang Bolak dan Barumun Tengah. Selanjutnya bila dianalisis lebih lanjut bahwa hotspot sebagai indikasi kebakaran, Hajime dan Sumantri (2003) menyebutkan kebakaran hampir 99% diakibatkan oleh kegiatan manusia (baik disengaja maupun tidak), yang meliputi kegiatan: konversi lahan 34%, perladangan liar 25%, pertanian 17%, kecemburuan sosial 14%, proyek transmigrasi 8% dan hanya 1% disebabkan oleh alam. Untuk wilayah Indonesia kejadian kebakaran yang disebabkan oleh alam berupa petir masih sangat kecil, secara umum kejadian petir selalu diikuti oleh hujan sehingga api yang berasal dari petir tidak mampu bertahan dan membakar bahan bakar. Di daerah temperate yang berhubungan dengan erat dengan arsitektur bahan
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
bakar dan flamabilitasnya (kemampuan bahan bakar untuk terbakar) memungkinkan terjadinya api petir (Syaufina 2008). Soemarwoto (2001) menegaskan manusia memegang peranan penting dalam kebakaran hutan dan lahan, dengan meninggalkan limbah pembalakan di hutan yang menjadi bahan bakar bila terjadi kebakaran. Kekeringan dan bahan bakar menyediakan potensi untuk terjadinya kebakaran. Maka pada waktu dialakukan pembukaan lahan untuk perladangan, perkebunan dan HTI dengan api mudahlah terjadi kebakaran. Potensi kebakaran itupun menjadi realistis, dan jelas kebakaran hutan adalah antropogenik, yaitu karena ulah manusia dan bukannya karena semata-
B a ru m u n Tengah H u ta R a ja T in g g i Padang B o la k
B a ru m u n Tengah H u ta R a ja T in g g i Padang B o la k
2004
2005
2006
Hutan Semak belukar Kebun sawit Kebun karet Ladang Masyarakat Areal Lainnya
B a ru m u n Tengah
B a ru m u n Tengah H u ta R a ja T in g g i Padang B o la k
100 92 90 75 73 72 80 64 70 60 50 39 39 40 3127 31 31 25 24 30 21 2117 17 21 21 20 18 17 13 13 11 11 9 20 10 9 9 9 8 73 58 3 5 736 7 7 7 7 8 6 10 0 000 0 0 0 0 1 4 1 1 2 0 30 024 0 Padang B o la k
JUM LAH h O TSPO T
mata faktor alam.
2007
Gambar 6.5. Hotspot pada 3 Kecamatan Tahun 2004 s/d 2007
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
Kecamatan Padang Bolak dengan luas 772, 90 Km2 90 dengan jumlah penduduk 51.708 jiwa dan Kecamatan Barumun Tengah dengan luas Kecamatan 1.075,27 KM2 dan penduduk 28.587 jiwa (BPS, 2007), terdapat banyak kegiatan pengolahan lahan untuk perkebunan. Luasan kedua kecamatan tersebut juga diikuti dengan jumlah dan luas perkebunan tertinggi, yaitu masing-masing 9.567,50 ha dan 1.059 ha di mana pembukaan dan pemeliharaan perkebunan sangat tinggi kegiatan masyarakat dan tidak tertutup kemungkinan melakukan pembakaran. Dari uraian di atas untuk Kabupaten Tapanuli Selatan kegiatan konversi lahan untuk keperluan pertanian dan perkebunan menjadi potensi terbesar dalam kebakaran hutan dan lahan. Konversi lahan bukan hanya dari kawasan hutan menjadi lahan untuk pertanian, dapat terjadi juga pembukaan semak belukar milik masyarakat untuk dijadikan kebun sawit atau kebun karet. Fakta ini dapat dilihat pada saat pengamatan lapangan di mana lokasi yang berdekatan dengan lokasi penelitian terutama di Kecamatan Padang Bolak sebagaimana Gambar 55 a dan 55 b, hasil pembukaan lahan akan dijadikan kebun karet oleh masyarakat.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
a
b
Gambar 6.6. Pembukaan Lahan pada: a. Semak Belukar dan b. Hutan
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1.
Kesimpulan 1. Biomasa pada hutan 395,12 Mg ha-1 atau setara dengan cadangan karbon 177,80 Mg ha-1 dan biomasa pada kebun sawit 106,84 Mg ha-1 atau setara dengan cadangan karbon 48,00 Mg ha-1. 2. Bulan Februari dan Agustus mempunyai nilai indeks kekeringan paling tinggi atau maknanya skala sifatnya ekstrim dan sangat rawan akan terjadi kebakaran hutan dan lahan, yang mempunyai pola yang sama dengan jumlah hotspot yang terpantau. 3. Hutan merupakan lokasi paling banyak terpantau hotspot untuk seluruh Kabupaten Tapanuli Selatan, hotspot tertinggi pada periode 2004 s/d 2007 terpantau pada bulan Februari dan Agustus. 4. Kecamatan Padang Bolak dan Barumun Tengah merupakan wilayah paling banyak terpantau hotspot untuk seluruh wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.
7.2.
Saran 1. Untuk mengetahui potensi biomasa sebagai bahan bakar perlu dilakukan pengukuran pada sistem penggunaan lahan lainnya, seperti ladang masyarakat, kebun karet maupun kawasan hutan lindung.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
2. Perhitungan indeks kekeringan yang mempunyai nilai tinggi pada bulan Februari dan Agustus menjadi masukan untuk kesiapsiagaan terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan. 3. Pemantauan hotspot yang merupakan indikasi kebakaran dengan pola yang sama dengan indeks kekeringan selama 4 (empat) tahun terakhir perlu diwaspadai untuk tidak terulang kembali, terutama pada bulan-bulan Februari dan mulai bulan Juni sampai Agustus.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2006.Living With Fire – Sustaining Ecosystems & Livelihoods Through Integraded Fire Management. Tallahase. [Anonim]. 2007. WWF for a living planet. Titik Panas Utama dan Analisis. Fire Bulletin. http://.www. eyesontheforest. or.id [6 Oktober 2007]. Akihiro, K dan Marbawa, IKC. 2000. Manual-Dasar-Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Forest Fire Prevention Management Project. Direktorat Jenderal PHKA dan Japan International Coorporation Agency (JICA). Bampard, J.M and Guizol, P. 1999. Land Management in the Province of South Sumatera. Fanning the falmes : The Institutional Causes of Vegetation fire. http://www.mdp.co.id.htm [10 Januari 2008]. Bagian Botani Hutan. 1973. Daftar Nama Pohon-pohonan Sumatera Utara. Lembaga Penelitian Hutan. Bogor. Laporan No. 171. Edisi Revisi. Berlian 2004. Ketebalan lapisan Serasah dan Cadangan karbon pada lahan Hutan dan Sistem Agroforestry Berbasis Kopi, di Sumberjaya, Lampung Barat. Jurusan Tanah. Universitas Brawijaya. Malang. Skripsi. Tidak Diterbitkan. http://www.worldagroforestrycentre.org/Publication/files/abstract/thesis/T D0040-4.pdf [22 Desember 2008]. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan. 2007. Tapanuli Selatan Dalam Angka 2007. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan. Boer, R. 2003. Penambatan Karbon Pada berbagai Bentuk Sistem Usaha Tani Sebagai Salah Satu Bentuk Multifungsi. Laboratorium Klimatologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB. Proceefing Seminar Nasional Multifungsi dan konversi lahan Pertanian Penyunting Undang Kurnia,F.Agus D, dan A. Setiyanto. httw://balittanah.litbang.deptan.go.id/ dokumentasi/proceeding/mflp2003/rizaldi%20boer06.pdf[22 Desember 2008]. Butler, RB. 2007. Kebakaran Hutan sebagai hasil dari kegagalan Pemerintah Indonesia. (Terjemahan). http://.www.trulyjogja.com. [6 Oktober 2007].
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
Brown, S. 1997. Estimating and Biomass Change of Tropical Forests : a Primer. (FAO Forestry Paper – 134). FAO. Rome. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1997. Handbook of Indonesian Forestry. Departemen Kehutanan Republik Indonesia . Jakarta. Hal 187-195. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1998. Panduan Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Hal V10-V20. Dolling, K, Chu, P.S and Fujioka, F. 2005. A climatological study of the Keetch/Byram drought index and fire activity in the Hawaiian Islands. Agricultural and Forest Meteorology 133 (2005) 17-27.USA. www.elsevier.com/locate/agroforest [21 Februari 2008]. Hajime, N dan Sumantri. 2003. Manual Umum Pemadaman Kebakaran Hutan. Forest Fire Prevention Management Project dan Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan Direktorat Jenderal PHKA. Hairiah, K dan Rahayu, S. 2007. Petunjuk Praktis Pengukuran ”Karbon Tersimpan” di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. World Agroforestry Centre. Bogor. http://.www.woldagroforestrycentre.org/sea [15 Februari 2007]. Hairiah, K, Sitompul, S.M, Van Noordwijk, M. and Palm, C. 2001. Methods for sampling cadangan karbons above and below ground. World Agroforestry Centre. Bogor. http://.www.worldagroforestrycentre. org/sea [15 Februari 2007] Hairiah, K, Sitompul, S.M , Van Noordwijk, M. and Palm, C. 2001a. Cadangan karbons of tropical land use systems as part of the global C balance : effects of forest conversion and options for ‘clean development’ activities. World Agroforestry Centre. Bogor. http://.www.woldagroforestrycentre.org/sea [15 Februari 2007] Heriansyah, I dan Mindawati, N. 2005. Potensi Hutan Tanaman Marga Shorea dalam Menyerap CO2 melalui Pendugaan Biomasa di Hutan Penelitian Haurbentes. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol II No. 2 Tahun 2005. Bogor. Heriansyah, I. 2007. Potensi Hutan Tanaman Industri dalam mensequester Karbon :Studi Kasus di HTI Akasia dan Pinus. Inovasi Ed.Vol /XVII/Maret 2005. http://.www.paisageti.net/SapreRenovables/EVG/sproj.html [23 Februari 2007]. Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
Ingalsbee, T. 2005. Fire Ecology; Issues, Management, Policy, and Opinions. A forum for the Association for Fire Ecology. Fire Ecology Vol 1, No-1, : 85-89. Kaufman, M.R, Shlishy, A and Marcland, P.2007. Good Fire, Bad Fire, How to think about forest land management and ecological processes. The Nature Conservancy.USDA Forest Service. Kettering, Q.M., Richad, C., van Noorrdwijk, M., Amabagau, Y, dan Palm, C.A. 2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equition for predicting above-ground tree biomass in mixed secondary forest. Forest Ecologi and management 146 (2001) 199-209. www.elsevier.com/locate/foreco [22 Desember 2008] Moore, Peter and Haase, N. 2003: Kebakaran di Daerah Tropika sangat nyata namun kurang dipahami. Bulletin Burning Issues. Vol.5.Hal 1-4, http://.www. pffsea.com. [6 Oktober 2007] Murdiyarso, D., Rosalina, U., Hairian, K., Muslihat,L.,Suryanaputra dan Jaya, A. 2004. Petunjuk Lapangan:Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatslands In Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programmed an Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. Nicolas, M.V.J and G.S. Beebe. 1999. The Training of Forest Firefighters in Indonesia. Kanwil Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Kalimantan Timur dan Propinsi Sumatera Selatan. Samarinda htt://.www.mdp.co.id/ffpcp.htm [6 Oktober 2007].
Notohadinegoro, T. 1997. Pembakaran dan Kebakaran Lahan. (Repro : Ilmu Tanah UGM. 2006).Simposium Dampak Kebakaran Hutan terhadap Alam dan Lingkungan. Pusat Studi Energi, Pusat Studi Bencana Alam, Pusat Studi Sumberdaya Lahan dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UGM. Yogyakarta, 16-17 Desember 1997 http://.www. pffsea.com. [6 Oktober 2007] Nasution, H. 2007. Sistem Informasi Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Indeks Kekeringan dan Titik Panas di Kabupaten Tapanuli Selatan [Skripsi]. Medan. Universitas Sumatera Utara. Tidak Diterbitkan. [PP] Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1995. Pengendalian Pencemaran Udara. Lembaran Negara RI Tahun 199 Nomor 69 Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
[PP] Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun. 2001. Pengendalian Kerusakan Dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Lembaran Tahun 2001 No. 10 Pratondo, B.J, Alikodra, H.S, Sahardjo, B.H dan Kardono, P. 2003. Aplikasi Infrastruktur Data Spasial Nasional (ISDN) untuk Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat). Bogor. http://.www.bakosurtanal.go.id/upl-document/publikasi [23 Februari 2007] Prasetyo, L.B. 2004. Estimation of Greenhouse Gases Emission (GHG) from Forest Fire. Working Papre No. 5. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor. Bogor. Puspawardani, V.2007. Kebakaran Hutan dan Lahan dan Perubahan Iklim. http://.www.WWF. or. Id/climate. [06-10-07]. Rahayu, S, Lusiana, B dan van Noorrdwijk, M. 2005. Pendugaan Cadangan Karbon di atas Permukaan Tanah pada berbagai Sistem Penggunaan Lahan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. hhttp://www.worldagroforestry.org/sea/Publications/files/book/BK008905/BK0089-05-2.PDF Romme, W.H, Seberry, P.J, Hanna, D.D, Floyd, M.L and White,S. 2006. A Wild Hazard Assement and Map for LA Palta Country, Colorado, USA. Fire Ecology Vol 2 No 1 Hal 7-30 Setiawan, A, Irawan, B dan Kamal, M. 2005. Keanekaragaman Jenis Pohon dan Penyimpanan Karbon Jalur Hijau Kota Bandar Lampung. Soemarwoto,O. 2001. Atur –Diri –Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Supriadi, A, Rachman, O dan Sarwono, E. 1999. Characteristics and sawing properties of oil-palm (Elaeis guinensis Jacq) wood logs. http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/ur.294079.pdf [21 Oktober 2008]. Syaufina, L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Perilaku Api, Penyebab dan dampak Kebakaran. Bayumedia Publishing. Malang.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008
Tacconi, L.2003. Kebakaran Hutan di Indonesia. Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan. Center for International Forestry Researh (CIFOR). Bogor. http://www.cifor.cgiar.org [6 Oktober 2007]. Thomich, T.P, van Noordwijk, M, Voti, S.A, Witcover, J. 1998. Agricultural Development with Rain Forest Conservation : methods for seeking best bet alternative to slash- and – burn, with application to Brazil and Indonesia. Agricultural Economics Vol 19 (1-2) p 159-174. http://www.sciencedirect.com/science?_ob=ArticleURL&_udi=B6T3V3V4KMG7-J&_user=10&rdoc=1&_fmt [22 Desember 2008] Thoha, A.S. 2001. Cuaca Kebakaran Hutan Kaitannya dengan Upaya Pencegahan Kebakaran Hutan di Indonesia. Digitized by USU Digital Library.http://library.usu.ac.id/download/fp/hutan-achmad.pdf [23 Februari 2007] Thoha, A.S. 2006. Penggunaan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Deteksi dan Prediksi Kebakaran Gambut di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau [Thesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pasca Sarjana (tidak diterbitkan). Thoha, A.S. 2008. Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Departemen Kehautanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. USU Repository. [UPTD] Unit Pelaksana Teknis Daerah Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Samarinda. 2007. Pengelolaan Kebakaran Hutan dan Lahan Terpadu di Kalimantan Timur .http://www.papua.go.id/bkpbapedalda/Makalah %20rian%20Jaya.htm [1 Maret 2007]. Van Noordwijk, M, Mulia, R dan Hairiah, K. 2005. Estimasi Biomasa Pohon di atas dan di bawah permukaan tanah dalam system Agroforestry : Analisis Cabang Fungsional (Functional Branch Analisis, FBA) untuk membuat Persamaan Alometrik Pohon. http://www.worldagroforestry.org/sea/products/afmodels/WaNulCAS/files 14110002/LectureNotes/LectureNote8.pdf [22 Desember 2008]
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009 USU Repository © 2008