Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
INDEKS KEKERINGAN DI KABUPATEN NGANJUK Abdul Aziz1 ) dan Ali Masduqi2) 1) Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Email:
[email protected] 2) Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi ABSTRAK Kabupaten Nganjuk sering mengalami masalah kekeringan di beberapa kecamatan saat musim kemarau, sehingga dapat mengakibatkan bencana kekeringan daerah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis indeks kekeringan berdasarkan karakteristik iklim dan kondisi geologi di Kabupaten Nganjuk. Penelitian ini diawali dengan pengambilan data curah hujan bulanan dan jenis tanah di dua puluh kecamatan. Selanjutnya dilakukan analisis ketersediaan air tiap bulan di dua puluh kecamatan selama sepuluh tahun (2001-2010) dengan menggunakan metode Thornthwaite. Dari hasil analisis ketersediaan air kemudian dilakukan analisis indeks kekeringan dengan menggunakan metode Palmer (Palmer Drought Severity Index). Hasil penelitian menunjukkan nilai indeks kekeringan tiap bulan selama 10 tahun (2001-2010) di dua puluh kecamatan yang ada di Kabupaten Nganjuk. Nilai rata-rata indeks kekeringan Palmer di Kabupaten Nganjuk sebesar 0,76 yang artinya kondisi iklim Kabupaten Nganjuk adalah awal selang basah. Dengan nilai tertinggi sebesar 1,54 di Kecamatan Kertosono yang artinya kondisi iklim sedikit basah dan nilai terendah sebesar 0,27 di Kecamatan Wilangan yang artinya kondisi iklim normal. Kata kunci: Indeks Kekeringan, Kekeringan, Metode Palmer, Metode Thornthwaite.
PENDAHULUAN Bencana kekeringan yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia sudah menjadi suatu permasalahan yang serius. Kabupaten Nganjuk tidak terlepas dari bencana kekeringan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Beberapa daerah di Kabupaten Nganjuk mengalami kekeringan yang cukup serius. Dari data yang ada, menunjukkan bahwa 8 kecamatan dari 20 kecamatan yang ada di Kabupaten Nganjuk mengalami kekeringan. Kecamatan itu antara lain: Lengkong, Ngluyu, Ngetos, Jatikalen, Wilangan, Loceret, Pace, dan Berbek (BPBD, 2011). Pemerintah daerah Kabupaten Nganjuk sudah melakukan upaya untuk mengatasi masalah kekeringan yang terjadi setiap musim kemarau tiba. Saat ini, yang bisa dilakukan pemerintah dalam hal ini Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang berkoordinasi dengan PDAM maupun instansi terkait adalah melakukan droping air bersih sekitar 2000-2500 L di desa yang mengalami kekeringan. Pemasokan air itu dilakukan atas permintaan warga, karena mereka sudah kesulitan untuk mendapatkan air bersih di daerahnya. Diperlukan suatu analisa untuk menggambarkan tingkat kekeringan di Kabupaten Nganjuk. Perhitungan nilai indeks kekeringan palmer ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kebasahan ataupun kekeringan suatu daerah yang dipengaruhi oleh faktor iklim dan jenis tanah. Indeks kekeringan dapat digunakan untuk sistem peringatan dini adanya kekeringan, menghitung probabilitas keberhasilan dalam penanggulangan kekeringan, menentukan sistem penanggulangan yang tepat untuk mengatasi kekeringan, memeriksa karakteristik kekeringan itu sendiri, menentukan tingkat keparahan kekeringan, dan membuat perbandingan nilai kekeringan di daerah yang berbeda (Quiring dan Papakryiakou, 2003). Kekeringan adalah ISBN : 978-602-97491-7-5 D-11-1
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
suatu keadaan tanpa hujan berkepanjangan atau masa kering di bawah normal yang cukup lama sehingga mengakibatkan keseimbangan hidrologi terganggu secara (Pramudia, 2002). Kekeringan menunjukkan dampak dari suatu kondisi dinamis baik kualitas maupun kuantitas air tersedia (supply side) yang tidak dapat memenuhi jumlah dan kualitas air yang dibutuhkan (demand side), sesuai dimensi ruang dan waktu (Desvita, 2003). Kekeringan berkaitan erat dengan ketersediaan dan kebutuhan air, dimana terjadi kekurangan air pada suatu wilayah akibat adanya penurunan curah hujan dalam periode waktu terpanjang (Hadiyanto, 2007; Tannehill, 1947). Analisa indeks kekeringan salah satunya dikembangkan oleh Palmer. Pada prinsipnya perhitungan nilai indeks palmer ini didasarkan pada besarnya curah hujan dan kemampuan tanah dalam menampung air sesuai dengan jenis tanahnya. Palmer menggunakan model dua lapis tanah yaitu lapisan atas dan lapisan bawah yang di dasarkan pada metode Thornthwaite (Huang et. Al., 20011; Vasiliades dan Loukas, 2009). Indeks palmer didasarkan pada konsep pemasukan dan pengeluaran dari persamaan neraca air, yang juga dipengaruhi oleh data curah hujan dan suhu serta ketersediaan air tanah (Kao dan Govindaraju, 2010; Mishra and Singh, 2010). Metode Indeks kekeringan Palmer berguna untuk mengevaluasi kekeringan yang telah terjadi terutama di daerah-daerah semiarid dan yang beriklim sub-humid kering (Ganesh dan Quiring, 2010; Turyati 1995). Metode Palmer baik digunakan pada area yang luas dan topografi yang seragam (National Drought Mitigation Center (2006). Salah satu alasan digunakan indeks kekeringan palmer karena indeks ini menilai kekeringan dari berbagai sumber pengamatan (Szep et.al., 2005), selain itu metode ini merupakan standarisasi untuk iklim lokal sehingga dapat digunakan untuk semua negara dalam menunjukkan kekeringan relatif atau kondisi curah hujannya (Huang et al., 2011; Suryanti, 2008). Metode palmer juga bisa digunakan untuk mengkaji kekeringan dan dalam memperkirakan kekeringan (Palmer, 1965; Vasiliades dan Loukas, 2009). Tujuan penelitian ini adalah mengkaji nilai indeks kekeringan di Kabupaten Nganjuk. METODE Dalam perhitungan mencari nilai indeks palmer, terlebih dahulu menghitung neraca air dengan menggunakan metode Thornthwaite. Data yang digunakan antara lain: curah hujan bulanan (CH), evapotranspirasi potensial (ETP), kapasitas lapang (KL). Berikut tahapan perhitungan neraca dan ketersediaan air (Purbawa dan Wiryajaya, 2009): 1. Menghitung CH – ETP. 2. Hasil-hasil negatif pada langkah 1 diakumulasi bulan demi bulan sebagai nilai Accumulation of Water Loss (APWL). 3. Menentukan nilai KL tanah berdasarkan jenis tanah. Mengisi nilai kandungan air tanah (KAT) berdasarkan APWL dari bulan ke bulan dengan rumus berikut: KAT = KL x k│APWL│ p dimana, k = po 1 KL dengan Po = 1,000412351 dan P1 = -1,073807306 4. Mengisi kolom perubahan KAT (dKAT) yang merupakan selisih dari KAT dari bulan ke bulan. 5. Kolom Evapotranspirasi Aktual (ETA) Jika CH > ETP maka ETA = ETP. Pada bulan-bulan terjadi APWL (CH < ETP) maka ETA = CH + |dKAT| 6. Kolom Defisit (D) dimana D = ETP – ETA 7. Kolom Surplus (S), surplus terjadi saat CH > ETP, maka S = CH – ETP – dKAT. ISBN : 978-602-97491-7-5 D-11-2
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013 8. Run off (RO)
Merupakan limpasan di permukaan tanah (mm). Ada dua kemungkinan, yaitu: Jika St ≥ KAT, maka Ro = P – (ETP + PR) Jika St < KAT, maka Ro = 0 Menentukan nilai-nilai hidrologi dapat melalui perhitungan berikut ini: 1. Perubahan lengas tanah Dalam metode palmer tanah terbagi dalam dua lapisan (lapisan atas dan lapisan bawah). a. dSa = perubahan lengas tanah di lapisan atas, dengan syarat: jika CH < ETP, maka dSa = Sai-1 atau ETP – CH, dipilih nilai yang paling kecil jika CH > ETP, maka dSa = KATa – Sai-1 dan dSa maksimum = CH – ETP KATa = kapasitas air tersedia di lapisan atas Sai-1 = lengas tanah lapisan atas sebelum bulan ke-i b. dSb = perubahan lengas tanah di lapisan bawah, dengan syarat: Jika CH < ETP, maka dSb = (CH – ETP - |dSa|).Sbi-1/KAT Jika CH > ETP dan Sbi-1 < KATb, maka dSb = CH – ETP – dSa dan dSb maksimum = KATb – Sbi-1 KATb = kapasitas air tersedia di lapisan bawah Sbi-1 = lengas tanah lapisan bawah sebelum bulan ke-i 2. Jumlah lengas tanah Jumlah lengas tanah merupakan jumlah lengas tanah pada bulan ke-i dan perubahan lengas tanah. St = Sti-1 + dSt St = lengas tanah pada kedua lapisan Karena tanah dibagi dalam dua lapisan, maka jumlah lengas tanah total adalah lengas tanah pada lapisan atas dan lapisan bawah. Dituliskan dalam persamaan: St = Sta + Stb Sehingga untuk jumlah lengas tanah total di kedua lapisan, dituliskan dalam persamaan: St = (Stai-1 + dSa) + (Stbi-1 + dSb) 3. Potensial recharge Jumlah lengas agar tanah mencapai kondisi kapasitas lapang. PR = KATi – Sti-1 PR = potensial recharge KATi = nilai KAT bulan ke-i Sti-1 = nilai St sebelum bulan ke-i 4. Recharge Ada tiga kemungkinan, yaitu: Jika PR = 0, maka R = 0 Jika PR ≠ 0 dan CH > ETP, maka R = dSa + dSb Jika PR ≠ 0 dan CH < ETP, maka R = 0 5. Potensial loss Merupakan jumlah nilai potensial loss di kedua lapisan, lapisan atas (PLa) dan lapisan bawah(PLb). PL = PLa + PLb PLa = ETP atau Sai-1, dipilih nilai yang terkecil PLb = (ETP-PLa).Sbi-1/KATi Ada dua kemungkinan, yaitu: Jika ETP < Sai-1, maka PLa = ETP, sehingga PL = ETP ISBN : 978-602-97491-7-5 D-11-3
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
Jika ETP > Sai-1, maka PLa = Sai-1, sehingga PL = Sai-1 + ((ETP – Sai-1).Sbi-1/KATi) 6. Loss Merupakan kehilangan lengas tanah (mm). Ada dua kemungkinan, yaitu: Jika CH > ETP, maka L = 0 Jika CH < ETP, maka L = |dSa| + |dSb| Menentukan nilai konstanta dapat melalui perhitungan berikut ini: 1. Koefisien evapotranspirasi α = ET PE α = koefisien evapotranspirasi ET = nilai evapotranspirasi bulan ke-i PE = rata-rata nilai evapotranpirasi bulan ke-i dalam periode waktu yang ditentukan 2. Koefisien pengisian lengas dalam tanah (recharge) β = R PR β = koefisien recharge R = rata-rata nilai recharge bulan ke-i dalam periode waktu yang ditentukan PR = rata-rata nilai potensial recharge (PR) bulan ke-i dalam periode waktu yang ditentukan 3. Koefisien limpasan (runoff) γ = Ro KATi 1 γ = koefisien runoff Ro = rata-rata nilai runoff bulan ke-i dalam periode waktu yang ditentukan KATi-1 = rata-rata nilai KAT sebelum bulan ke-i dalam periode waktu yang ditentukan 4. Koefisien kehilangan air (loss) δ = L PL δ = koefisien loss L = rata-rata nilai loss bulan ke-i dalam periode waktu yang ditentukan PL = rata-rata nilai potensial loss bulan ke-i dalam periode waktu yang ditentukan 5. Pendekatan terhadap pembobot iklim κ = ETP R CH L κ = pendekatan pertama terhadap pembobot iklim
Menentukan nilai CAFEC dapat melalui perhitungan berikut ini: Penentuan nilai CAFEC berdasarkan nilai kostanta iklim yang telah dihitung sebelumnya. 1. Evapotranpirasi ETd = α * ETP ETd = nilai CAFEC evapotranspirasi α = koefisien evapotranpirasi ETP = avapotranspirasi potensial 2. Runoff Rod = γ * Sti-1 Rod = nilai CAFEC runoff γ = koefisien runoff Sti-1 = nilai St sebelum bulan ke-i
ISBN : 978-602-97491-7-5 D-11-4
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
3. Recharge Rd = β * PR Rd = nilai CAFEC runoff β = koefisien recharge PR = potensial recharge 4. Loss Ld = δ * PL Ld = nilai CAFEC loss δ = koefisien loss PL = potensial loss 5. Presipitasi
P = ETd + Rd + Rod – Ld
P = nilai CAFEC presipitasi Menentukan nilai indeks kekeringan dapat melalui perhitungan berikut ini: 1. Penentuan periode kelebihan atau kekurangan hujan Untuk menentukan periode kelebihan (surplus) atau kekurangan (defisit) hujan, digunakan rumus:
d = CH – P d = penentuan periode kelebihan atau kekurangan hujan 2. Rataan nilai mutlak ( D ) D = rataan nilai mutlak d 3. Pendekatan kedua terhadap nilai faktor K (didekati dengan niali K’), digunakan rumus: PE R RO K’ = 15log10 2,80 D 0,50 PL D K’ = D x K’ 4. Penentuan nilai karakter iklim sebagai faktor pembobot (K) DK ' K = 12 K' DK ' 1
K = nilai akhir karakter iklim sebagai faktor pembobot DK ' = rata-rata nilai D K’ 5. Indeks penyimpangan (anomali) z=dxK 6. Indeks kekeringan PDSI dihitung dengan rumus: x =(z/3)i-1 + Δx Δx = (z/3)i – 0,103 (z/3)i-1
ISBN : 978-602-97491-7-5 D-11-5
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
Tabel 1 Kelas Indeks Kekeringan Palmer dan Sifat Cuaca
Palmer Classifications Indeks Kekeringan Sifat Cuaca ≥ 4.00 Ekstrim Basah 3.00 - 3.99 Sangat Basah 2.00 - 2.99 Agak Basah 1.00 - 1.99 Sedikit Basah 0.50 - 0.99 Awal Selang Basah 0.49 - (-0.49) Normal -0.50 - (-0.99) Awal Selang Kering -1.00 - (-1.99) Sedikit Kering -2.00 - (-2.99) Agak Kering -3.00 - (-3.99) Sangat Kering ≤ - 4.00 Ekstrim Kering Sumber: Palmer (1965) HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan dalam kurun waktu 10 tahun (2001-2010) di tiap kecamatan di Kabupaten Nganjuk. Data yang digunkan adalah curah hujan bulanan yang tercatat dari 43 stasiun pengamat hujan. Dari hasil perhitungan indeks palmer di 43 stasiun yang tersebar di Kabupaten Nganjuk, didapatkan rata-rata nilai indeks kekeringan sebesar 0,8. Sehingga dapat dikatakan sifat cuaca di Kabupaten Nganjuk adalah awal selang basah (mendekati normal) menurut indeks kekeringan palmer dengan curah hujan rata-rata 1.613 mm/tahun. Dapat dikatakan kondisi cuaca di Kabupaten Nganjuk tidak dalam kondisi kering. Dari hasil analisa selama 10 tahun (2001-2010) di 43 stasiun pengamat hujan yang ada di Kabupaten Nganjuk dapat diketahui bahwa nilai indeks kekeringan palmer tertinggi terjadi di Kecamatan Kertosono dengan nilai indeks kekeringan sebesar 1,54 dan terendah di Kecamatan Wilangan dengan nilai indeks kekeringan sebesar 0,27. Ini menunjukkan bahwa Kecamatan Kertosono masuk dalam kondisi cuaca sedikit basah. Sedangkan untuk Kecamatan Wilangan masuk dalam kondisi cuaca awal selang basah. Dari hasil analisa indeks palmer tiap kecamatan, didapatkan beberapa data yang tidak sesuai bila dibandingkan dengan klasifikasi yang telah ditetapkan oleh palmer yang hanya berkisar -4 sampai +4. Ini dikarenakan perbedaan yang sangat besar dalam nilai jumlah curah hujan dan jenis tanah, faktor ini juga yang menyebabkan adanya kondisi kekeringan di beberapa daerah. Tabel 2 Tabel Nilai Indeks Kekeringan dan Kondisi Cuaca di Tiap Kecamatan
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kecamatan Sawahan Ngetos Berbek Loceret Pace Tanjunganom Prambon Ngronggot
Indeks Kekeringan 0,46 0,28 0,32 0,31 0,50 0,84 0,58 0,92
ISBN : 978-602-97491-7-5 D-11-6
Kondisi Cuaca normal normal normal normal awal selang basah awal selang basah awal selang basah awal selang basah
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
Kecamatan Kertosono Patianworo Baron Gondang Sukomoro Nganjuk Bagor Wilangan Rejoso Ngluyu Lengkong Jatikalen
Indeks Kekeringan 1,54 1,45 1,18 0,49 0,78 0,88 1,26 0,27 0,79 0,82 0,56 1,03
Kondisi Cuaca sedikit basah sedikit basah sedikit basah normal awal selang basah awal selang basah sedikit basah normal awal selang basah awal selang basah awal selang basah sedikit basah
1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 Sawahan Ngetos Berbek Loceret Pace Tanjunganom Prambon Ngronggot Kertosono Patianworo Baron Gondang Sukomoro Nganjuk Bagor Wilangan Rejoso Ngluyu Lengkong Jatikalen
Nilai Indeks Palmer
No. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Gambar 1 Nilai Rata-rata Indeks Kekeringan Palmer Tiap Kecamatan dalam 10 Tahun (2001-2010)
KESIMPULAN DAN SARAN
Nilai indeks kekeringan rata-rata di Kabupaten Nganjuk sebesar 0,8 yang dapat dikatakan sifat cuaca di Kabupaten Nganjuk adalah awal selang basah. Nilai indeks kekeringan palmer tertinggi terjadi di Kecamatan Kertosono dengan nilai indeks kekeringan sebesar 1,54 dan terendah di Kecamatan Wilangan dengan nilai indeks kekeringan sebesar 0,27. Dari hasil penelitian yang dilakukan, saran yang penulis berikan yaitu nilai indeks kekeringan dapat dijadikan masukan dalam mengatasi masalah kekeringan. DAFTAR PUSTAKA
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (2011), Data Kecamatan Rawan Kekeringan, Kabupaten Nganjuk. Ganesh, S. dan Quiring, S.M. (2010), “Evaluating the Utility of the Vegetation Condition Index (VCI) for Monitoring Meteorological Drought in Texas”, Agricultural and Forest Meteorology, Vol. 150, hal. 330-339. ISBN : 978-602-97491-7-5 D-11-7
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
Hadiyanto, S. (2007), Pola Tingkat Kerawanan Kekeringan di Jawa Tengah, Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Huang, S., Dahal, D., Young, C., Chander, G., dan Liu, S. (2011), “Integration of Palmer Drought Severity Index and Remote Sensing Data to Simulate Wetland Water Surface from 1910 to 2009 in Cottonwood Lake Area, North Dakota”, Remote Sensing of Environment, Vol. 115, hal. 3377-3389. Kao, S. dan Govindaraju, R.S. (2010), “A Copula-Based Joint Deficit Index for Droughts”, Jurnal of Hydrology, Vol. 380, hal. 121-134. Mishra, A.K. dan Singh, V.P. (2010), “A Review of Drought Concepts”, Journal of Hydrology, Vol. 391, hal. 202-216. National Drought Mitigation Center (2006), What is Drought, USA, Entry from http://drought.unl.edu/ Pramudia, A. (2002), Analisis Sensitivitas Tingkat Kerawanan Produksi Padi di Pantai Utara Jawa Barat Terhadap Kekeringan dan El-Nino, Tesis Magister, Progam Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Quiring, S.M., dan Papakryiakou, T.N. (2003). “An Evaluation of Agricultural Drought Indices for the Canadian Prairies”, Agricultural and Forest Meteorology, Vol. 118, hal 49-62. Szep, I.J., Mika, J., dan Dunkel, Z. (2005), “Palmer Drought Severity Index as Soil Moisture Indicator: Physical Interpretation, Statistical Behaviour and Relation to Global Climate”, Physics and Chemistry of the Earth, Vol. 30, hal. 231–243. Tannehill, R.I. (1947). Drought Its Causes and Effects. Princeton University Press, New Jersey. Turyanti, A. (1995), Sebaran Indeks Kekeringan Wilayah Jawa Barat, Skripsi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Vasiliades, L. dan Loukas, A. (2009), “Hydrological Response to Meteorological Drought Using the Palmer Drought Indices in Thessaly, Greece”, Desalination, Vol. 237, hal. 3-21.
ISBN : 978-602-97491-7-5 D-11-8