KEHILANGAN CADANGAN KARBON AKIBAT KEBAKARAN PADA BERBAGAI TIPE HUTAN DAN LAHAN DI SUMATERA SELATAN (Carbon Stock Loss Affect by Fire on Various Forest and Land Type in South Sumatera) Hengki Siahaan, Adi Kunarso, Agus Sumadi, Purwanto, Teddy Rusolono, Tatang Tiryana, Hendi Sumantri, dan Berthold Haasler ABSTRAK Kebakaran hutan dan lahan merupakan sumber emisi yang besar di Sumatera Selatan. Sejalan dengan kebijakan nasional, Provinsi Sumatera Selatan berkomitme n untuk mengurangi emisi, termasuk emisi dari kebakaran hutan dan lahan. Sebagai dasar pengukuran kinerja pengurangan emisi, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan perlu menetapkan tingkat emisi acuan hutan atau FREL (Forest reference emission level) yang mencakup emisi dari kebakaran hutan dan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kehilangan cadangan karbon akibat kebakaran hutan dan lahan pada berbagai srtatum/tipe hutan di Sumatera Selatan tahun 2015. Penelitian dilakukan dengan pengukuran ulang pada plot-plot pengukuran cadangan karbon yang terbakar tahun 2015. Kehilangan cadangan karbon dihitung dengan membandingkan cadangan karbon sebelum dan sesudah terbakar pada 4 stratum/tipe hutan yang terbakar yaitu hutan rawa gambut sekunder, hutan lahan kering sekunder, semak belukar rawa, dan hutan tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehilangan cadangan karbon bervariasi pada setiap stratum/ tipe hutan. Kehilangan karbon terbesar terjadi pada hutan rawa gambut sekunder sebesar 94,2 t/ha atau setara dengan emisi 345 t CO 2eq/ha. Kehilangan terbesar kedua terjadi pada hutan lahan kering sekunder sebesar 36,3 t/ha dan berikutnya pada hutan tanaman sebesar 18,5 t/ha dan semak belukar rawa sebesar 13,5 t/ha. Pada hutan rawa gambut sekunder dan hutan tanaman kehilangan karbon terbesar terjadi pada pool karbon biomass atas permukaan sedangkan pada hutan lahan kering sekunder dan semak belukar rawa, terjadi pada pool karbon kayu mati.
ABSTRACT Forest and land fire is a high source of emission in South Sumatera. Relevan to the national policy, South Sumatera Province commit to reduce emission, include emission from forest and land fire. As a baseline to assess the reducing emission performance, the South Sumatera Goverment should develope the forest reference emission level (FREL) that include emission from forest and land fire. This research was aimed to assess carbon loss affect by fire in the year of 2015 in South Sumatera. Research was conducted by remeasurement of carbon stocks plots on 4 forest and land type i.e. secondary peat swamp forest, secondary dryland forest, swamp shrub, and forest plantation. Result shows that carbon loss was vary on each forest and land type. The largest number of carbon loss occur on secondary peat swamp forest of 94,2 t/ha that equivalen to emission of 345,4 t CO2eq . The second largest of carbon loss occur on secondary dryland forest of 36,3 t/ha follow by forest plantation and swamp shrub of 18,5 t/ha and 13,5 t/ha. The largest carbon loss on secondary peat swamp forest and forest plantation occur on above ground biomass pool but on secondary dry forest and swamp shrub occur on dead wood pool.
I. PENDAHULUAN Kebakaran hutan dan lahan mempunyai dampak yang sangat luas terhadap lingkungan dan keberlangsungan hidup manusia. Di Sumatera Selatan, kebakaran hutan dan lahan merupakan kejadian yang cenderung terjadi secara berulang atau dapat dikatakan hampir setiap tahun terjadi. Kebakaran terakhir di Sumatera Selatan yang terjadi pada akhir tahun 2015 merupakan kebakaran yang diperkirakan mempunya i dampak terbesar. Untuk mengatasai persoalan tersebut, Pemerintah Indonesia saat ini telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan, baik melalui inisiatif sendiri, misalnya melalui Direktorat Jenderal Pengendalia n Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan KLHK serta Badan Restorasi Gambut, maupun melalui kerjasama internasional (Dharmawan, 2012; Wibowo, 2010). Kehilangan stok karbon dan keanekaragaman hayati merupakan salah satu dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap lingkungan. Kebakaran tersebut juga menjadi penyumbang emisi yang sangat besar, terutama jika terjadi di lahan gambut. Provinsi Sumatera Selatan sebagai salah satu wilayah sebaran lahan gambut di Indonesia, selama bertahun-tahun menjadi penyumbang emisi yang besar dari peristiwa kebakaran gambut tersebut (Gustina, 2014; Agus, 2013; Krisnawati, 2010). Sejalan dengan kebijakan di tingkat nasional, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan telah berkomitmen untuk mengurangi emisi, terutama dari sektor kehutanan dan lahan gambut,
baik
melalui
usaha sendiri
maupun
melalui
mekanisme
kerjasama
internasional. REDD+ (Reducing emissions from deforestation and forest degradation, the role of conservation, sustainable forest management, and enhancement of forest carbon stocks) merupakan salah satu mekanisme internasional dalam penurunan emisi dari sektor kehutanan dan lahan gambut yang diimplementasikan pada tingkat sub nasional.
Implementasi REDD+ memerlukan tingkat emisi acuan hutan (Forest
Reference Emission Level disingkat FREL) sebagai dasar pengukuran kinerja penuruna n emisi, oleh karena itu, implementasi REDD+ pada suatu provinsi memerlukan FREL yang disusun secara spesifik untuk wilayah tersebut dengan tingkat kerincia n yang tinggi (tier 3) (Manuri et al, 2011). Sebagai upaya untuk menyusun FREL yang spesifik dengan tingkat kerincia n yang tinggi, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan dan Kementerian Lingkunga n Hidup dan Kehutanan bekerjasama dengan GIZ Bioclime telah menyusun faktor emisi
untuk berbagai tipe hutan di Sumatera Selatan. Penelitian tersebut dilakukan dengan membangun 112 plot contoh yang tersebar pada 7 tipe kawasan hutan (hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, hutan rawa gambut primer, hutan rawa gambut sekunder, dan hutan tanaman) dan 3 tipe kawasan non hutan yaitu perkebunan, semak belukar, dan semak belukar rawa (Tiryana et al, 2016). Selain itu, sebagai wilayah sebaran gambut yang sering mengalami kebakaran hutan dan lahan, maka penyusunan FREL di Sumatera Selatan harus memperhitungkan emisi yang bersumber dari kebakaran dan dekomposisi gambut. Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan pada tahun 2015 terjadi dengan intensitas yang tinggi dan cakupan areal yang luas. Kebakaran tersebut juga terjadi pada plot-plot sampel yang digunakan untuk penentuan faktor emisi lokal pada berbagai tipe hutan dan tutupan lahan di Sumatera Selatan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk menilai besarnya kehilangan karbon yang terjadi akibat kebakaran tersebut dengan melakukan pengukuran ulang pada plot-plot yang terbakar. Hasil penelitian ini juga akan digunakan sebagai data untuk penyusunan FREL Provinsi Sumatera Selatan.
II. METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian pendugaan kehilangan karbon akibat kebakaran dilaksanaka n pada areal-areal bekas terbakar akhir tahun 2015. Lokasi tersebut terdapat pada 3 kabupaten di Sumatera Selatan yaitu Kabupaten Musi Banyuasin, Banyuasin, dan Musi Rawas serta mencakup 4 tipe hutan/stratum yaitu hutan rawa gambut, hutan lahan kering sekunder, semak belukar rawa, dan hutan tanaman. Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran ulang plot-plot pengukuran cadangan karbon yang dibangun sebelum terjadinya kebakaran pada tahun 2015 (Tiryana et al, 2016). Penempatan dilakukan dengan rancangan penarikan contoh sistematik berlapis (Stratified systematic sampling design), namun demikian jumlah plot pada masing- masing tipe hutan sangat ditentuka n oleh luas areal terbakar pada masing- masing stratum. Plot-plot pengukuran pada masing- masing lokasi disajikan secara rinci pada Tabel 1 dan peta lokasi disajikan pada Gambar 1.
Tabel 1. Lokasi dan tipe hutan pengukuran kehilangan karbon pasca kebakaran tahun 2015 di Sumatera Selatan No.
Tipe hutan
Lokasi
Plot pengukuran
1.
Hutan rawa gambut
Hutan rawa gambut Merang Kepahyang
111, 113, 114, 115, 405, 406
2.
Semak belukar rawa
Hutan rawa gambut Merang Kepahyang, KPHP Lakitan, SM. Bentayan Dangku
527, 528, 173, 378
3.
Hutan lahan kering sekunder
SM. Bentayan Dangku
316, 351
4.
Hutan tanaman
Hutan Tanaman Eucalyptus PT. Musi Hutan Persada (MHP)
14, 68, 76
Gambar 1. Peta lokasi plot penelitian penilaian kehilangan karbon akibat kebakaran pada berbagai stratum/tipe hutan di Sumatera Selatan B. Pembuatan Plot Pengukuran Besarnya kehilangan karbon hutan akibat kebakaran hutan dan lahan dihitung dengan membandingkan cadangan karbon pada plot-plot pengukuran sebelum dan sesudah terjadinya kebakaran. Metode pengukuran yang digunakan mengacu pada
Panduan Survey Cadangan Karbon dan Keanekaragaman Hayati di Sumatera Selatan (Rusolono et al, 2015). Bentuk plot yang digunakan berbentuk persegi panjang berukuran 20 m x 50 m untuk berbagai tipe hutan alam, semak belukar dan areal budidaya masyarakat (Gambar 1). Pada hutan tanaman atau perkebunan yang mempunyai vegetasi dengan ukuran dan umur yang relatif seragam, pengukurannya lebih sederhana sehingga menggunakan plot berbentuk lingkaran (Gambar 2). Radius plot berbentuk lingkaran disesuaikan dengan umur tanaman. Pengukuran pada hutan tanaman dengan umur < 4 tahun menggunaka n plot lingkaran radius 7,98 cm (luas 0,02 ha) dan jika umur > 4 tahun, radius plot adalah 11,29 cm (luas 0,04 ha).
B A C A
D
E A
Gambar 1. Bentuk dan ukuran plot persegi panjang untuk pengukuran kabon pada hutan alam dan tanaman budidaya campuran
r = 11,29 cm
(a)
r = 7,98 cm
(b)
Gambar 2. Bentuk dan ukuran plot lingkaran untuk pengukuran kabon pada hutan tanaman atau perkebunan: (a) umur < 4 tahun dan (b) umur > 4 tahun
C. Analisis Data Pengukuran dan analisis cadangan karbon pada hutan dan lahan pasca kebakaran pada penelitian ini dibatasi pada 3 pool karbon, yaitu pada biomassa diatas permukaan tanah (BAP), nekromas atau kayu mati (KM), dan seresah (SR). Analisis cadangan karbon pada masing- masing pool tersebut dilakukan dengan tingkat ketelitian tier 3 sesuai dengan metode IPPC 2006 dan Panduan Survey Cadangan Karbon dan Keanekaragaman Hayati di Sumatera Selatan (Rusolono et al, 2015). 1. Pengukuran pool karbon di atas permukaan tanah Pool karbon di atas permukaan tanah adalah pool karbon yang tersimpan pada tumbuhan hidup yang terdiri atas tumbuhan berkayu (TK) dan tumbuhan bawah (TB). Tumbuhan berkayu dibedakan menjadi beberapa tingkat permudaan yaitu tingkat pancang, tiang, pohon, dan pohon besar. Pengukuran cadangan karbon tumbuha n berkayu dilakukan pada masing- masing sub plot B, C, D, dan E (Gambar 1) sedangkan pengukuran tumbuhan bawah dilakukan pada sub plot A berukuran 0,5 m x 0,5 m yang diulang sebanyak 3 kali pada pojok sub plot B, C, dan D. Pengukuran cadangan karbon pada biomassa hidup di atas permukaan dilakukan dengan dua pendekatan. Pada tingkat tumbuhan bawah, pendugaan cadangan karbon dilakukan dengan cara penimbangan tumbuhan bawah dalam sub plot A dan kemudian dilakukan pengambilan sampel untuk mengetahui berat keringnya. Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui berat kering tumbuhan bawah per satuan luas (ton/ha). Pada tumbuhan berkayu, pendugaan biomassa dilakukan dengan menggunakan modelmodel allometrik sesuai dengan tipe hutan dan lokasi sebarannya (Tabel 2). Kandungan karbon pada biomassa dihitung dengan menggunakan faktor konversi 0,47 (IPPC 2006). Tabel 2. Model-model allometrik yang digunakan dalam menduga biomassa di atas permukaan tanah Jenis pohon
Model allometrik
Lokasi
Sumber
Hutan tanaman Eucalyptus pellita
W ag = 0.0678*D2.579
Sumatera Selatan
Onrizal et al (2009) dalam Krisnawati et al (2012)
Hutan rawa gambut Species campuran
W ag = 0.15 D2.095 * ρ0.664*H0.552
Riau, Sumatera Selatan
Manuri et al (2014)
Hutan lahan kering Species campuran
Wag = 0.0673 (ρ*D2 *H)0.976
Asia, Afrika, Amerika
Chave et al (2014)
2. Pengukuran pool karbon Seresah Seresah merupakan sisa-sisa bagian tumbuhan berupa daun dan ranting yang telah mengering yang terakumulasi di lantai hutan. Seresah dibatasi sebagai bagian tumbuhan berupa daun, ranting dan dahan yang mati dan jatuh di lantai hutan dengan ukuran diameter < 10 cm. Pengukuran pool karbon seresah dilakukan secara terintegrasi pada plot pengukuran tumbuhan bawah yaitu pada sub plot A berukuran 0,5 m x 0,5 m yaitu dengan cara memisahkan tumbuhan yang masih hidup (tumbuhan bawah) dengan seresah (yang mati). Pengambilan data cadangan karbon dilakukan secara langsung dengan menimbang seluruh seresah yang terdapat pada ketiga sub plot tersebut dan mengambil sampel sebanyak ± 300 gram untuk
pengukuran
berat kering di
laboratorium. 3. Pengukuran pool karbon kayu mati (nekromas) Kayu mati (nekromas) merupakan pohon-pohon atau bagian pohon yang mati, yang terdiri atas kayu mati berdiri (KMB) dan kayu mati yang sudah rebah atau jatuh di lantai hutan (KMR). KMB digolongkan ke dalam 4 kelas, yaitu kelas 1, 2, 3, dan 4 sesuai dengan Panduan Survey Cadangan Karbon dan Keanekaragaman Hayati di Sumatera Selatan (Rusolono et al, 2015). Berdasarkan panduan tersebut biomassa KMB kelas 1, 2, dan 3 dihitung dengan model allometrik pohon hidup (Tabel 2) dengan mengalikan dengan faktor koreksi 0,9; 0,8; dan 0,7 untuk masing-masing kelas KMB 1, 2, dan 3. Sedangkan kelas KMB 4 dihitung dengan konversi volume batang menjadi biomassa dengan persamaan (1). Berat jenis kayu mati yang digunakan sesuai dengan hasil survey cadangan karbon hutan di Sumatera Selatan (Tabel 3). Wdw4 = 0,25 π (D/100)2 *T * f * WD ............................................................. (1) Keterangan: W dw4 = Biomassa dead wood (KMB) kelas 4, D = diameter batang (cm), T = tinggi batang (m), f = angka bentuk (0,6), dan WD = wood density (berat jenis kayu mati).
Pengukuran biomassa kayu mati rebah dihitung dengan metode volumetr ik, yaitu dengan mengalikan volume kayu mati rebah dengan berat jenisnya. Berat jenis kayu mati disesuaikan dengan hasil survey cadangan karbon di Sumatera Selatan (Tiryana et al, 2016) pada Tabel 3. Volume kayu mati dihitung dengan persamaan:
Vldw = 0,25 π ((Dp + Du)/200)2. L ................................................................ (2) Keterangan: Vldw = volume KMR, Dp = diameter pangkal, Du = diameter ujung, dan L = panjang KMR
Tabel 3. Nilai rata-rata berat jenis kayu mati berdiri dan kayu mati rebah pada berbagai tipe hutan di Sumatera Selatan (Sumber: Tiryana et al, 2016) Kelas
Rata-rata (g/cm3 )
St. Deviasi (g/cm3 )
Kayu mati berdiri
1 2 3 4
0,559 0,351 0,389 0,308
0,092 0,099 0,107 0,094
Kayu mati rebah
1 2 3
0,560 0,441 0,354
0,175 0,159 0,153
Jenis kayu mati
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kehilangan Cadangan Karbon Biomassa Atas Permukaan Kehilangan cadangan karbon akibat kebakaran pada biomassa atas permukaan tanah terutama terjadi pada tumbuhan berkayu. Kehilangan cadangan karbon terbesar terjadi pada hutan rawa gambut sekunder, yaitu hutan rawa gambut Merang Kepahyang. Hasil analisis data menunjukkan bahwa cadangan karbon BAP tumbuhan berkayu pada hutan rawa gambut sebelum kebakaran memang tergolong tinggi (Gambar 2), rata-rata 105,3 t/ha dan setelah kebakaran hanya tersisa sebesar 3,4 t/ha, artinya terjadi kehilangan cadangan karbon sebesar 101,9 t/ha atau sebanyak 96,77% (Tabel 4). Kehilangan karbon BAP tumbuhan berkayu terbesar kedua terjadi pada hutan tanaman sebesar 15,9 t/ha, namun dari prosentase kehilangan karbon pada stratum ini adalah yang terbesar, yaitu mencapai 100%. Kehilangan cadangan karbon BAP tumbuha n berkayu pada stratum hutan lahan kering sekunder (HLKS) dan semak belukar rawa (SBR) relatif kecil, yaitu sebesar 2,1 t/ha (10,5%) pada stratum SBR dan 6,8 t/ha (9%) pada stratum HLKS. Perbedaan kehilangan karbon pada tipe hutan atau stratum yang berbeda disebabkan oleh perbedaan karakteristik lahan yang juga menyebabkan perbedaan karakteristik dan intensitas kebakaran yang terjadi. Kebakaran pada hutan rawa gambut sekunder yang mengandung material gambut dengan lapisan yang tebal mengakiba tka n
kebakaran tidak hanya terjadi di permukaan tetapi menjalar hingga ke dalam perakaran pohon. Kebakaran tersebut akan berlangsung lama dan pohon-pohon yang hidup hampir seluruhnya mati. Berbeda halnya dengan kebakaran yang terjadi pada stratum lainnya, yang umumnya hanya terjadi di permukaan, sehingga pohon-pohon yang ada sebagian besar masih bertahan hidup pasca kebakaran. Tabel 4. Cadangan karbon diatas permukaan tanah (BAP) sebelum dan sesudah terbakar pada berbagai stratum/tipe hutan di Sumatera Selatan Stratum/Tipe hutan HRGS SBR HLKS HT
Cadangan Karbon BAP Sebelum terbakar (t/ha) TK 105.3 20.0 75.5 15.9
TB 0.1 1.7 0.0 3.5
Total 105.4 21.8 75.5 19.5
Cadangan Karbon BAP setelah terbakar (t/ha) TK 3.4 17.9 68.7 0.0
TB 1.7 3.5 0.5 2.1
Total 5.1 21.4 69.2 2.1
Keterangan: TK = tumbuhan berkayu, TB = tumbuhan bawah, HRGS = hutan rawa gambut sekunder, SBR = semak belukar rawa, HLKS = hutan lahan kering sekunder, HT = hutan tanaman
Gambar 2. Kondisi Hutan Rawa Gambut Merang Kepahyang sebelum (kiri) dan sesudah kebakaran (kanan) Tabel 4 juga menunjukkan bahwa dampak kebakaran terhadap cadangan karbon BAP tumbuhan bawah relatif tidak berpengaruh, bahkan cenderung mengala mi peningkatan. Hal ini terjadi karena pasca kebakaran, ± 1,5 tahun setelah kebakaran, pada lokasi-lokasi tersebut telah tumbuh tumbuhan bawah yang bisa saja lebih besar jumlahnya dibandingkan sebelum terjadi kebakaran. Namun demikian, presentase cadangan karbon BAP tumbuhan bawah yang kecil, mengakibatkan kenaikan tersebut tidak berarti terhadap penurunan cadangan karbon BAP total.
B. Kehilangan Cadangan Karbon Seresah Perubahan cadangan karbon seresah menunjukkan perbedaan pada masingmasing stratum/tipe hutan. Pada hutan rawa gambut sekunder (HRGS) dan semak belukar rawa (SBR) terjadi penurunan cadangan karbon pada seresah, sebaliknya pada hutan lahan kering sekunder dan hutan tanaman terjadi peningkatan (Tabel 5). Penumpukan seresah di permukaan tanah bersumber dari biomassa atas permukaan (BAP) dan kayu mati (KM) yang mengalami peluruhan ranting atau daun. Seresah yang ada sebelum kebakaran diperkirakan telah habis terbakar, sehingga seresah yang ada setelah kebakaran merupakan seresah yang terakumulasi setelah kebakaran. Pada hutan rawa gambut sekunder (HRGS) dan semak belukar rawa (SBR), seresah hanya bersumber dari peluruhan kayu mati pasca kebakaran sehingga jumla hnya lebih sedikit dibanding dengan jumlah seresah sebelum kebakaran yang merupakan akumulasi jangka panjang. Hal sebaliknya terjadi pada hutan tanaman (HT) dan hutan lahan kering sekunder (HLKS), pada kedua tipe hutan ini terjadi peningkatan cadangan karbon seresah pasca kebakaran (Tabel 5). Peningkatan ini diduga karena pasca kebakaran terjadi peluruhan daun dan ranting pohon yang terbakar. Pohon-pohon pada kedua tipe hutan ini, sebagian besar tidak mati, tetapi bagian-bagian pohon berupa daun dan ranting mengering dan luruh beberapa saat setelah terbakar. Selanjutnya setelah pohon tumbuh normal, secara fisiologis, daun dan ranting pohon yang mengala mi penuaan secara normal akan menjadi sumber akumulasi seresah. Tabel 5. Cadangan karbon seresah sebelum dan sesudah terbakar pada berbagai stratum/tipe hutan di Sumatera Selatan STRATUM HRGS SBR HLKS HT
Cadangan karbon seresah Sebelum Terbakar (t/ha) 4.1 4.0 2.5 1.5
Cadangan karbon seresah Setelah terbakar (t/ha) 2.4 2.2 3.8 3.4
Keterangan: HRGS = hutan rawa gambut sekunder, SBR = semak belukar rawa, HLKS = hutan lahan kering sekunder, HT = hutan tanaman
C. Kehilangan Cadangan Karbon Kayu Mati Cadangan karbon kayu mati umumnya mengalami penurunan setelah kebakaran kecuali pada tipe hutan rawa gambut sekunder (Tabel 6). Kehilangan cadangan karbon kayu mati terbesar terjadi pada tipe hutan lahan kering sekunder, yaitu sebesar 31,4 t/ha
atau (76,2%) dari cadangan karbon sebelum terbakar (41,2 t/ha). Kehilangan ini sebagian besar terjadi karena terbakarnya pohon-pohon mati berdiri yang sebelum terjadi kebakaran mencapai 38,9 t/ha menjadi 5,8 t/ha setelah kebakaran. Kehilanga n cadangan karbon kayu mati terbesar kedua terjadi pada semak belukar rawa, sebesar 9,9 t/ha atau sebesar 58,23% dari cadangan karbon sebelum terjadinya kebakaran. Berbeda dengan 3 tipe hutan/stratum lainnya, cadangan karbon kayu mati (KM) pada hutan rawa gambut sekunder mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena setelah kebakaran, pohon-pohon hidup (BAP) pada lokasi tersebut mati dan menjadi kayu mati berdiri (MB) atau kayu mati rebah (MR). Cadangan karbon kayu mati berdiri pada hutan rawa gambut sekunder meningkat 3,2 t/ha atau 47,06% dari cadangan karbon sebelum terbakar, sedangkan cadangan karbon kayu mati rebah meningkat sebesar 4,6 t/ha atau 52,87 % dibandingkan sebelum terbakar. Tabel 6. Cadangan karbon kayu mati sebelum dan sesudah kebakaran pada berbagai stratum/tipe hutan di Sumatera Selatan STRATUM HRGS SBR HLKS HT
Cadangan karbon Kayu Mati Sebelum terbakar (t/ha) MB MR Total 3.6 8.7 12.3 17.0 1.3 18.3 38.9 2.3 41.2 6.5 0.1 6.6
Cadangan karbon Kayu Mati setelah terbakar (t/ha) MB MR Total 6.8 13.3 20.1 6.2 0.8 7.1 5.8 4.1 9.8 0.8 2.8 3.6
Keterangan: MB = kayu mati berdiri, MR = kayu mati rebah, HRGS = hutan rawa gambut sekunder, SBR = semak belukar rawa, HLKS = hutan lahan kering sekunder, HT = hutan tanaman
D. Kehilangan Cadangan Karbon Total Cadangan karbon total merupakan jumlah cadangan karbon atas permukaan (BAP), karbon seresah (SR), dan karbon kayu mati (KM). Ketiga pool karbon tersebut merupakan pool karbon yang secara langsung dipengaruhi oleh terjadinya kebakaran, sehingga menjadi indikator penting dalam menilai dampak kebakaran terhadap emisi karbon dioksida (CO 2 ). Kehilangan cadangan karbon total terbesar terjadi pada hutan rawa gambut sekunder sebesar 94,2 t/ha (Tabel 7) yang setara dengan emisi sebesar 345,4 t CO2eq/ha. Kehilangan cadangan karbon pada hutan rawa gambut sekunder sebagian besar adalah akibat hilangnya biomassa atas permukaan (BAP) yang habis terbakar atau berubah menjadi kayu mati (KM), sehingga cadangan karbon kayu mati justru mengalami peningkatan setelah kebakaran (Tabel 8).
Emisi terbesar kedua terjadi pada kebakaran hutan lahan kering sekunder yang mengakibatkan kehilangan cadangan karbon sebesar 36,3 t/ha yang setara dengan emisi sebesar 133,1 t CO 2eq/ha. Berbeda dengan hutan rawa gambut sekunder, kehilanga n karbon pada hutan lahan kering sekunder lebih banyak terjadi akibat terbakarnya kayu mati. Kehilangan cadangan karbon total pada stratum semak belukar rawa (SBR) dan hutan tanaman, masing- masing sebesar 18,5 t/ha dan 13,5 t/ha atau setara dengan emisi masing- masing sebesar 67,8 t CO 2eq/ha dan 49,47 t CO 2eq/ha. Pada hutan tanaman, emisi sebagian besar akibat hilangnya biomassa atas permukaan. Pada tipe hutan ini, sekalipun emisi yang terjadi relatif kecil dibanding tipe hutan lainnya, kebakaran pada lokasi ini mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar karena biomassa atas permukaan (BAP) pada stratum ini tanaman yang dibudidayakan. Tabel 7. Kehilangan cadangan karbon total akibat kebakaran pada berbagai stratum/tipe hutan di Sumatera Selatan STRATUM
Cadangan karbon total sebelum terbakar (t/ha)
Cadangan karbon total setelah terbakar (t/ha)
Kehilangan cadangan karbon total (t/ha)
121.8 44.1 119.2 27.6
27.6 30.6 82.9 9.1
94.2 13.5 36.3 18.5
HRGS SBR HLKS HT
Keterangan: MB = kayu mati berdiri, MR = kayu mati rebah, HRGS = hutan rawa gambut sekunder, SBR = semak belukar rawa, HLKS = hutan lahan kering sekunder, HT = hutan tanaman
Tabel 8. Kehilangan cadangan karbon pada setiap pool karbon akibat kebakaran pada berbagai stratum/tipe hutan di Sumatera Selatan STRATUM HRGS SBR HLKS HT
TK 101.8 2.1 6.8 15.9
BAP (t/ha) TB Total -1.6 -1.8 -0.5 1.4
100.3 0.4 6.3 17.3
SR 1.7 1.9 -1.4 -1.9
MB -3.2 10.7 33.2 5.8
Kayu Mati MR Total -4.6 0.5 -1.8 -2.8
-7.8 11.3 31.3 3.0
Karbon Total 94.2 13.5 36.3 18.5
Keterangan: TK = tumbuhan berkayu, TB = tumbuhan bawah, MB = kayu mati berdiri, MR = kayu mat i rebah, HRGS = hutan rawa gambut sekunder, SBR = semak belukar rawa, HLKS = hutan lahan kering sekunder, HT = hutan tanaman. Tanda negatif (-) berarti terjadi peningkatan cadangan karbon pada pool tersebut setelah terbakar
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan tahun 2015 dapat disimpulkan bahwa kehilangan cadangan karbon bervariasi pada setiap stratum/ tipe hutan. Kehilangan karbon terbesar terjadi pada hutan rawa gambut sekunder sebesar 94,2 t/ha atau setara dengan emisi 345 t CO 2eq/ha. Kehilangan terbesar kedua terjadi pada hutan lahan kering sekunder sebesar 36,3 t/ha dan berikutnya pada hutan tanaman sebesar 18,5 t/ha dan semak belukar rawa sebesar 13,5 t/ha. Pada hutan rawa gambut sekunder dan hutan tanaman kehilangan karbon terbesar terjadi pada pool karbon biomass atas permukaan sedangkan pada hutan lahan kering sekunder dan semak belukar rawa, terjadi pada pool karbon kayu mati.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. 2013. Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Gambut untuk Penurunan Emis i karbon: Aplikasi untuk Provinsi Sumatera Selatan. Prosiding workshop Stakeholder Consultation the Application of Method and Technologies to Enhance the Restoration of PSF Ecosystem. Puslibang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Chave, J., Rejou-Mechain M, Burquez A, Chidumayo E, Colgan MS, Delitti WBC, Duque A, Eid T, Fearnside PM, Goodman RC, Henry M, Martinez-Yrizar A, Mugasha WA, Muller-Landau HC, Mencuccini M, Nelson BW, Ngomanda A, Nogueira EM, Ortiz-Malavassi E, Pelissier R, Ploton P, Ryan CM, Saldarriaga JG, Vieilledent G. 2014. Improve allometric models to estimate the above ground biomass of tropical trees. Global Change Biology 20: 3177-3190. Dharmawan W.S. 2012. Konsep Sistem MRV dalam REDD+ dan Perkembangan di Tingkat Global dan Nasional. Prosiding Workshop MRV untuk Persiapan Implementasi REDD+ di Sumatera Selatan. Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor. Gustina, T.M. 2014. Strategi dan Kebijakan Provinsi Sumatera Selatan untuk Mencapai Target Penurunan Emisi: Pengalaman dari Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD). Dalam: Ginoga, K.L., A. Pribadi, D. Djaenudin, dan M. Lugina (Editor): Monitoring Permanen Sample Plot di Provinsi Sumatera Selatan. Bogor. Krisnawati H., Adinugroho WC, Imanudin R. 2012. Model-model allometrik untuk pendugaan biomassa pada berbagai tipe ekosistem hutan di Indonesia. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.
Krisnawati H. 2010. Status Data Stok Karbon Dalam Biomas Hutan di Indonesia. Dalam: Masripatin N., dan Wulandari C (Editors). REDD+ & Forest Governance. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor. Manuri S., Brack C, Nugroho MP, Hergoualc’h K, Novita N, Dotzauer H, Verchot L, Putra CAS, Widyasari E. 2014. Tree biomass equations for tropocal peat swamp forest ecosystems in Indonesia. Forest Ecology and Management 334: 241-253. Manuri S., Lingenfelder and KH. Steinmann. 2011. Tier 3 Biomass Assessment for Baseline Emission in Merang Peat Swamp Forest. Workshop on Tropical Wetland Ecosystems of Indonesia. Cifor. Bogor. Rusolono T., T. Tiryana, dan J. Purwanto. 2015. Panduan Survey Cadangan Karbon dan Keanekaragaman Hayati di Sumatera Selatan. GIZ, Kementerian Lingkunga n Hidup dan Kehutanan, dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Tiryana, T., Rusolono T, Siahaan H, Kunarso A, Sumantri H, dan Haasler B. Cadangan Karbon Hutan dan Keanekaragaman Flora di Sumatera Selatan. Biodivers ity and Climate Change (Bioclime) Project. Deutsche Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit. Palembang. Wibowo, A. 2010. Measurable, Reportable dan Verifyable (MRV) untuk Emisi Gas Rumah Kaca dari Kegiatan Kehutanan. Dalam: Masripatin N., dan Wulandar i C (Editors). REDD+ & Forest Governance. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.