i
PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (CO2) AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN DI PROVINSI SUMATRA SELATAN TAHUN 2000-2009
NURSYAMSI SYAM
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ii
PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (CO2) AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN DI PROVINSI SUMATRA SELATAN TAHUN 2000-2009
NURSYAMSI SYAM
Skripsi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
iii
RINGKASAN NURSYAMSI SYAM. Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca (CO2) Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Tutupan Lahan di Provinsi Sumatra Selatan Tahun 2000-2009. Di bawah bimbingan BAMBANG HERO SAHARJO dan ERIANTO INDRA PUTRA. Kebakaran hutan merupakan suatu permasalahan serius dan berpengaruh terhadap keseimbangan hutan yang berdampak sangat merugikan baik segi ekologis, ekonomi maupun politik. Oleh karena itu, diperlukan informasi mengenai kejadian kebakaran hutan dan lahan berdasarkan sebaran titik panas (hotspot) beserta emisi karbondioksida yang dihasilkannya, terutama di daerah yang rawan kebakaran hutan dan lahan, salah satunya Provinsi Sumatra Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung sebaran titik panas (hotspot) sebagai penduga terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Sumatra Selatan, menghitung estimasi luas area terbakar melalui sebaran titik panas (hotspot), dan menghitung estimasi emisi karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari luas area terbakar berdasarkan penutupan lahan yang berbeda. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-September 2012 di Laboratorium Kebakaran Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Data yang digunakan adalah data hotspot MODIS dari FIRMS, data curah hujan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan peta tutupan lahan Sumatra Selatan dari RSPO. Hasil analisis menunjukkan bahwa luas area terbakar terbesar di Provinsi Sumatra Selatan terdapat pada lahan pertanian tanah kering bercampur semak yang memiliki luas terbakar masing-masing sebesar 6.172 ha (2000),61.836,81 ha (2005), dan 127.259,53 ha (2009). Emisi CO2 terbesar terdapat pada pertanian tanah kering bercampur semak yaitu masingmasing sebesar 52.475,73 ton (2000), 524.417,17 ton (2005), 1.071.972,41 ton (2009) yang terdapat di tanah mineral, dan emisi CO2 terbesar akibat perubahan penutupan lahan terdapat pada perubahan pertanian tanah kering bercampur semak masing-masing sebesar 3.078.899,73 ton (44,52%) dan 20.443.299,85 ton (50,60%). Kata kunci: emisi karbondioksida, kebakaran hutan dan lahan, penutupan lahan
iiii
iv
SUMMARY NURSYAMSI SYAM. Carbondioxide (CO2) Emission Estimation Caused by Forest Fires on Different Land Covers in South Sumatra Province in 2000-2009. Under the guidance of BAMBANG HERO SAHARJO and ERIANTO INDRA PUTRA. Forest fire has became serious problem and affected to forest balance and bring negative impact for ecology, economy, and political aspects. Therefore, information about land and forest fire based on hotspot are needed as well as carbondioxide emission that released, especially in area that has vulnerability of forest fire, such as South Sumatra Province. The aims of this research are to calculating hotspot in South Sumatra as indicator of land and forest fire, to estimating burned area based on hotspot data, and to calculating carbondioxide (CO2) emission that released from burnt area on different land covers. This research was conducted from July to September 2012 at Forest Fires Laboratory, Department of Silviculture, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University. The data used in this research are MODIS hotspot data from Fire Information Resources Management System (FIRMS), precipitation data from Center of Meteorology Climatology and Geophysics (BMKG), and land covers map of South Sumatra from Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). The result showed that the widest burned area in South Sumatra Province was in dry cultivation land which covered by shrub amounted to 6.172 ha (2000), 61.836,81 ha (2005), and 127.259,53 ha (2009). The highest carbondioxide emission was released from dry cultivation land which covered by shrub on mineral land amounted to 52.475,73 ton (2000), 524.417,17 ton (2005), and 1.071.972,41 ton (2009). While the highest carbondioxide emission as result from land covers changed was from cultivation land which covered by shrub amounted to 3.078.899,73 ton (44,52%) and 20.443.299,85 ton (50,60%). Keywords: carbondioxide emission, land and forest fire, land covers
iv
v
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca (CO2) Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Tutupan Lahan di Provinsi Sumatra Selatan Tahun 2000-2009” adalah benarbenar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Oktober 2012
Nursyamsi Syam NRP E44080048
iv
vi
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi : Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca (CO2) Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Tutupan Lahan di Provinsi Sumatra Selatan Tahun 2000-2009 Nama : Nursyamsi Syam NIM : E44080048
Menyetujui: Komisi Pembimbing Ketua,
Anggota
Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr Dr. Erianto Indra Putra, S.Hut, M.Si NIP 19641110 199002 1 001 NIP 19740107 200501 1 002
Mengetahui: Ketua Departemen Silvikultur
Prof. Dr. Ir Nurheni Wijayanto, MS NIP 19601024 198403 1 009
Tanggal Lulus:
vi
vii
KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat beserta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan bagi seluruh umat manusia. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Institut Pertanian Bogor, yang berjudul “Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca (CO2) Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Tutupan Lahan di Provinsi Sumatra Selatan Tahun 2000-2009”. Penelitian ini dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr dan Dr. Erianto Indra Putra, S.Hut, M.Si. Kebakaran hutan dan lahan menjadi suatu permasalahan yang rutin terjadi di Indonesia. Sumatra Selatan merupakan salah satu provinsi yang setiap tahun mengalami kebakaran hutan dan lahan dalam dekade terakhir. Konversi lahan menjadi salah satu penyebab kebakaran hutan dan lahan yang akan menghasilkan emisi karbondioksida. Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung sebaran titik panas (hotspot) sebagai penduga terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Sumatra Selatan, menghitung estimasi luas area terbakar melalui sebaran titik panas (hotspot), dan menghitung estimasi emisi karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari luas area terbakar berdasarkan penutupan lahan yang berbeda. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr dan Dr. Erianto Indra Putra, S.Hut, M.Si atas bimbingan dan dukungan persiapan hingga akhir penyelesaian skripsi ini. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut mendukung dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh penulis. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
vii
viii
RIWAYAT PENULIS Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 2 Mei 1990 sebagai anak tunggal pasangan Drs. H. Syamsuddin, M.Pd dan Hj. Nuraeni R, S.Pd. Pada tahun 2008 penulis lulus dari SMAN 1 Sungguminasa dan pada tahun yang sama masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan mayor Silvikultur, Fakultas Kehutanan dan selanjutnya mengambil Laboratorium Kebakaran Hutan. Pada tahun 2010 penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di BKPH Sancang Timur dan Gunung Papandayan. Pada tahun 2011 Penulis melakukan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan diantaranya, Tree Gorwer Community (TGC), dan Mushroom Study (MS) yaitu sebuah organisasi mengenai jamur tiram dibawah Laboratorium Patologi, Departemen Silvikultur pada tahun 2010. Penulis juga menjadi panitia Belantara Departemen Silvikultur pada tahun 2010. Selain itu, penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di KPH Banyuwangi Barat PERUM PERHUTANI Unit II Jawa Timur. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian dengan judul “Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca (CO2) Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Tutupan Lahan di Provinsi Sumatra Selatan Tahun 2000-2009” dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr dan Dr. Erianto Indra Putra, S.Hut, M.Si.
viii
ix
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari berbagai pihak yang telah ikut mendukung dan memberi bantuan. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr dan Dr. Erianto Indra Putra, S.Hut, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran untuk memberikan bimbingan serta arahan dengan penuh kesabaran kepada penulis. 2. Kedua orang tua tercinta (Drs. H. Syamsuddin, M.Pd dan Hj. Nuraeni R, S.Pd), yang telah memberikan dukungan secara moril dan materil, memberikan kasih sayang, perhatian, doa, dan semangat kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. 3. Ir. Ahmad Hadjib, MS selaku Penguji dan Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc. F.Trop selaku pimpinan sidang dengan pesan jagalah nama baik almamater Fakultas Kehutanan IPB. 4. Sahabat Maryam Mansion (Nia Trikusuma, Ranityasari, Ratna Dila, Firdha Zahra Alfia, Arry, Ayu, Lia), atas waktu yang telah diluangkan untuk berbagi ilmu dan memberikan masukan serta pendapat dalam penyusunan skripsi. 5. Keluarga besar Laboratorium Kebakaran Hutan (Ibu Ati, Bapak Wardana) atas bantuannya membantu penulis. 6. Rekan satu bimbingan (Umar Atik, Renando Meiko Putra, dan Uan Subhan) atas masukan serta diskusi dengan penulis. 7. Semua rekan-rekan Fahutan dan SVK 45 khususnya Yolan, Ageng, Qory, Febri, Fransxisco, Selly, Fitria Dewi dan rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas kebersamaan selama ini. 8. Keluarga besar Departemen Silvikultur atas bantuannya dalam pengurusan administrasi seminar, ujian skripsi dan sebagainya. 9. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi. Terima kasih atas bantuannya kepada penulis. Semoga skripsi ini dapat memberikan masukan serta dapat bermanfaat bagi banyak pihak. ix
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
xiv
BAB I.
BAB II.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian ...............................................................
2
1.3 Manfaat Penelitian .............................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan dan Lahan ..............................................
3
2.2 Proses Terjadinya Kebakaran .............................................
3
2.3 Iklim ..................................................................................
4
2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan .........
5
2.5 Penggunaan Lahan (LandUse) ............................................
7
2.6 Emisi Karbon .....................................................................
7
2.7 Titik Panas (Hotspot) .........................................................
8
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat .............................................................
9
3.2 Alat dan Bahan...................................................................
9
3.3 Analisis Data ......................................................................
9
3.4 Pengolahan.........................................................................
9
BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah .....................................
12
4.2 Musim................................................................................
12
4.3 Iklim ..................................................................................
13
4.4 Kondisi Penutupan Lahan ..................................................
13
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil ..................................................................................
15
5.2 Pembahasan .......................................................................
24
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ........................................................................
30
x
xi
6.2 Saran ..................................................................................
30
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
31
LAMPIRAN ............................................................................................
34
xi
xii
DAFTAR TABEL No 1
Teks
Halaman
Luas areal tutupan lahan Sumatra Selatan pada tahun 2000, 2005, 2009 ......................................................................................................
15
2
Perubahan tutupan lahan pada tahun 2000-2005 di Sumatra Selatan ......
16
3
Perubahan tutupan lahan pada tahun 2005-2009 di Sumatra Selatan ......
17
4
Sebaran hotspot di tanah mineral dan gambut pada berbagai tipe tutupan lahan tahun 2000, 2005,dan 2009 ..............................................
18
Pendugaan luas areal terbakar (ha) pada tahun 2000 di Sumatra Selatan ..................................................................................................
21
Pendugaan luas areal terbakar (ha) pada tahun 2005 di Sumatra Selatan ..................................................................................................
22
Pendugaan luas areal terbakar (ha) pada tahun 2009 di Sumatra Selatan ..................................................................................................
22
Pendugaan massa karbon pada tahun 2000, 2005, dan 2009 di Sumatra Selatan ..................................................................................................
23
Pendugaan emisi karbondioksida (CO2) pada tanah mineral tahun 2000, 2005 dan 2009 .......................................................................................
24
10 Pendugaan emisi karbondioksida (CO2) pada tanah gambut tahun 2000, 2005 dan 2009 ....................................................................................
24
5 6 7 8 9
xii
xiii
DAFTAR GAMBAR No.
Teks
Halaman
1 Segitiga api .........................................................................................
4
2 Diagram alir pengolahan data menggunakan ArcView GIS 3.3............
10
3 Peta Sumatra Selatan ...........................................................................
12
4 Sebaran tipe hotspot tahun 2000-2009 di Sumatra Selatan ...................
19
5 Sebaran hotspot di Sumatra Selatan: (a) tahun 2000, (b) tahun 2005, dan (c) tahun 2009 ...............................................................................
19
6 Hotspot dan curah hujan di Sumatra Selatan: tahun 2000 (atas), tahun 2005 (tengah), dan tahun 2009 (bawah) .....................................
20
xiii iiixii
xiv
DAFTAR LAMPIRAN No.
Teks
Halaman
1 Nilai koefisien muatan biomasa dan efisiensi pembakaran ...................
35
2 Matriks luas perubahan tutupan lahan tahun 2000−2005 ......................
36
3 Matriks luas perubahan tutupan lahan tahun 2005−2009 ......................
38
4 Matriks emisi karbon pada perubahan penutupan lahan di tanah mineral Sumatra Selatan tahun 2000−2005 ..........................................
40
5 Matriks emisi karbon pada perubahan penutupan lahan di tanah mineral Sumatra Selatan tahun 2005−2009 ..........................................
42
6 Matriks emisi karbon pada perubahan penutupan lahan di gambut Sumatra Selatan tahun 2000−2005.......................................................
44
7 Matriks emisi karbon pada perubahan penutupan lahan di gambut Sumatra Selatan tahun 2005−2009.......................................................
46
xiv
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Kebakaran hutan merupakan salah satu permasalahan yang serius dan
berpengaruh terhadap keseimbangan hutan yang berdampak sangat merugikan baik segi ekologis, ekonomi maupun politik. Kebakaran hutan dari segi ekologis berakibat pada hilang dan rusaknya sumberdaya hutan dan terganggunya keseimbangan ekologi hutan. Kebakaran hutan dan lahan dari segi ekonomi dapat menurunkan devisa negara. Pada bidang politik kebakaran hutan dan lahan dapat mengganggu hubungan dengan negara tetangga terkait dengan adanya asap kebakaran. Dalam dua puluh tahun terakhir, kebakaran hutan seringkali menjadi salah satu cara untuk merubah satu tipe penutupan lahan menjadi tipe yang lain, salah satunya perubahan hutan menjadi non hutan. Kebakaran hutan merupakan kejadian yang sering terjadi di Pulau Kalimantan dan Sumatra, kejadian kebakaran terparah terjadi pada tahun 1986, 1991, 1994 dan 1997 (Samsuri 2008). Hotspot merupakan titik panas yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya dan menjadi indikator adanya kebakaran hutan dan lahan di suatu wilayah (Syaufina 2008). Oleh sebab itu, untuk mengantisipasi secara dini terjadinya kebakaran hutan diperlukan suatu upaya pemantauan adanya titiktitik panas (hotspot) misalnya melalui satelit MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer). Kejadian kebakaran hutan dan lahan erat hubungannya dengan masalah emisi karbon yang dihasilkan, karena unsur karbon merupakan senyawa yang dominan dalam kebakaran hutan. Kejadian kebakaran hutan erat kaitannya dengan tujuan penggunaan lahan, dalam penyiapan lahan biasanya dengan pembakaran untuk membersihkan permukaan tanah sehingga data hotspot sangat dibutuhkan oleh berbagai stakeholder dalam rangka pengambilan keputusan di lapangan untuk upaya pengendalian kebakaran hutan. Oleh karena itu, diperlukan informasi mengenai kejadian kebakaran hutan dan lahan berdasarkan sebaran hotspot beserta emisi karbondioksida yang dihasilkannya, terutama di daerah yang rawan kebakaran hutan dan lahan, salah satunya Provinsi Sumatra Selatan.
2
1.2
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menghitung sebaran hotspot sebagai penduga terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Sumatra Selatan. 2. Menghitung potensi luas area terbakar melalui data sebaran hotspot. 3. Menghitung potensi emisi karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari luas area terbakar berdasarkan penutupan lahan yang berbeda. 1.3
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu para stakeholder yang
ada di lapangan untuk upaya pengendalian kebakaran hutan, melalui data informasi dari sebaran hotspot pada berbagai tipe penutupan lahan dan informasi estimasi emisi karbondioksida (CO2) yang dihasilkannya.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Kebakaran Hutan Pengertian kebakaran hutan secara umum adalah kejadian alam yang
bermula dari proses secara cepat dari oksigen dengan unsur-unsur lainnya yang ditandai dengan panas cahaya secara nyata (Davis 1959). Kebakaran hutan adalah pembakaran yang tidak tertahan dan menjalar secara bebas, yang mengkonsumsi bahan bakar yang ada di hutan antara lain terdiri dari serasah, rumput, cabang pohon yang sudah mati, batang kayu, tunggak, daun-daunan, dan pohon-pohon yang masih hidup (US Forest Service (1956) dalam Brown dan Davis (1973). Kebakaran hutan didefinisikan sebagai proses reaksi cepat merusak pohon-pohon dengan kombinasi kerusakan pada tajuk, akar dan kambium. Pohon dapat kehilangan 20%–30% tajuk akibat kebakaran sebelum dapat mengancam pertumbuhan pohon (Fuller 1991). Penyebab utama kebakaran hutan adalah konversi lahan (terutama pertanian), hama dan penyakit, kebakaran, over eksploitasi hutan (kayu industri, kayu bakar), praktek pemanenan yang buruk, penggembalaan berlebih, polusi udara dan badai (FAO 2001). Dari sejumlah pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud kebakaran hutan adalah kejadian alam yang bermula dari proses secara cepat yang disebabkan oleh interaksi antara oksigen, bahan bakar, dan sumber panas. 2.2
Proses Terjadinya Kebakaran Menurut Brown dan Davis (1973) proses pembakaran dalam kebakaran
hutan merupakan kebalikan dari proses fotosintesis yang dapat dijelaskan secara reaksi kimia, sebagai berikut: Proses fotosintesis pada tumbuhan memerlukan tiga komponen berupa karbondioksida (CO2), air (H2O), dan energi matahari dengan hasil keluaran berupa karbohidrat (C6H12O6) dan oksigen (6O2) yang keduanya sangat dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhan. Sebaliknya proses pembakaran memerlukan karbohidrat (C6H12O6), oksigen (O2), dan energi matahari untuk menghasilkan karbondioksida (6CO2), air (6H2O), dan panas sebagai sumber energi untuk dilepaskan ke udara.
4
Pembakaran terjadi melalui dua proses, ialah proses kimia dan fisika. Proses ini berlangsung cepat memisahkan jaringan-jaringan tanaman menjadi unsur kimia, proses ini berlawanan dengan proses pembentukan bagian-bagian tanaman melalui proses fotosintesis (Saharjo 2003). Proses kebakaran umumnya sama dengan terjadinya kebakaran ialah bahan bakar, oksigen dan sumber panas. Kombinasi dari ketiga elemen tersebut merupakan unsur-unsur yang saling berkaitan dengan terjadinya api atau sering juga disebut dengan segitiga api (Gambar 1), yang digambarkan sebagai berikut: Bahan Bakar
Oksigen
Sumber Panas
Gambar 1 Prinsip segitiga api (Brown dan Davis 1973)
2.3
Iklim Menurut Brown dan Davis (1973), cuaca atau iklim merupakan faktor yang
sangat menentukan kadar air bahan bakar, terutama peran dari hujan. Pada musim kering kelembaban udara sangat menentukan kadar air yang dapat dijadikan indkator bahaya kebakaran. Kadar air lebih besar atau sama dengan 30% dari bahan bakar dianggap aman terhadap bahaya kebakaran, tetapi menurunnya persentase kadar air akan meningkatkan potensi kebakaran. Cuaca kebakaran (fire weather) adalah kondisi cuaca yang mempengaruhi awal munculnya api, perilaku api dan penjalarannya. Kelembaban udara di dalam hutan akan sangat mempengaruhi mudah tidaknya bahan bakar mengering dan terbakar, hal ini disebabkan kelembaban (kadar air di udara) dapat menentukan jumlah kandungan air di dalam bahan bakar. Kadar air semakin rendah di udara (RH kecil) maka akan semakin mudah bahan bakar mengering (Fuller 1991). Suratmo et al. (2003) menyatakan bahwa cuaca kebakaran adalah kondisi cuaca yang mempengaruhi awal munculnya api, perilaku api dan penjalarannya. Beberapa faktor cuaca dan iklim yang berpengaruh diantaranya adalah suhu udara, kelembaban, dan curah hujan. Curah hujan berpengaruh terhadap kelembaban
5
bahan bakar. Jika curah hujan tinggi maka kelembaban akan tinggi sehingga kejadian kebakaran akan sulit. Curah hujan didefinisikan sebagai jumlah air yang jatuh di permukaan tanah dan diukur sebagai tinggi air dalam satuan mm (milimeter) sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi dan peresapan atau perembesan ke dalam tanah (Hidayanti 1993). Menurut Hamzah (1985) dalam Triani (1995), faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap luas area terbakar adalah musim kemarau yang terlalu panjang.Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi tinggi dengan kejadian kebakaran hutan (Soares dan Sampaio 2000). Musim kebakaran hutan berhubungan dengan pola hujan, terutama dengan kekeringan. Puncak musim kebakaran terjadi pada musim kemarau. 2.4
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan
2.4.1 Faktor lingkungan biofisik a.
Karakteristik bahan bakar Menurut Brown dan Davis, (1973) dan Chandler et al. (1983) terdapat 3 tipe
bahan bakar yaitu (1) bahan bakar bawah terdiri atas duff, akar, dan gambut; (2) bahan bakar permukaan terdiri atas serasah, ranting, kulit kayu dan cabang pohon yang semua belum terurai, termasuk juga rumput, tumbuhan bawah, anakan dan semai; (3) bahan bakar tajuk terdiri atas bahan bakar hidup ataupun yang sudah mati berada di atas dan menutupi kanopi menyebar dari tanah dengan tinggi 1,2 meter. Kadar air bahan bakar sebagai kandungan air pada partikel bahan bakar adalah faktor yang mempengaruhi perilaku kebakaran hutan dan lahan (Syaufina 2008). Kandungan air yang tinggi dari bahan bakar, memerlukan panas yang tinggi sebelum bahan bakar dibakar api sehingga tingkat kebakaran dan daya nyala bahan bakar akan berkurang. Kadar air dari bahan bakar berubah seiring dengan perubahan kondisi cuaca, baik musiman maupun selama periode waktu yang lebih pendek. Kadar air gambut (peat moisture) ditentukan ketebalan gambut. Kadar air gambut jauh lebih besar dibandingkan dengan kadar air tanah mineral. Kadar air gambut yang belum mengalami perombakan berkisar antara 500%–1000%, sedangkan kadar air gambut yang telah mengalami perombakan
6
berkisar 200%–600% (Boelter 1996 dalam Noor 2001). Kemampuan gambut yang terbakar dalam memegang air turun sekitar 50% (Rieley et al. 1996 dalam Noor 2001). b.
Tipe tanah Kejadian kebakaran hutan dan lahan di daerah bergambut pada umumnya
dipengaruhi oleh kandungan air gambut, jumlahnya sesuai dengan curah hujan dikurangi dengan evapotranspirasi dan dipengaruhi oleh kondisi drainase (Kusmana et al. 2008). Tanah gambut yang sudah terbuka dan dimanfaatkan cenderung padat, menjadi kering sehingga mudah terbakar. Kebakaran di lahan gambut merupakan jenis kebakaran yang berbahaya bila dibandingkan dengan tipe kebakaran hutan yang lain yang sulit dideteksi dan dikendalikan. Kebakaran ditanah gambut menembus ke bawah lapisan tanah dan membentuk lubang corong, kemudian api menyebar di bawah permukaan secara horizontal (Syaufina 2002). Variasi iklim berperan penting dalam mempengaruhi kebakaran rawan gambut. Musim mempengaruhi kandungan air, bulk density, potassium, magnesium, sodium dan tinggi muka air Syaufina (2002). 2.4.2 Faktor manusia Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia umumnya adalah manusia baik sengaja maupun karena kelalaian, menurut Saharjo (2003) penyebab kebakaran hutan di Indonesia 99% adalah faktor manusia. Masyarakat melakukan kegiatan kebakaran dilatarbelakangi oleh faktor sosial ekonomi. Faktor ini sangat erat hubungannya dengan konsep penggunaan lahan oleh masyarakat, yang mana masyarakat yang luas lahannya kecil/tidak memiliki lahan akan berupaya membuka lahan baru atau ikut kerjasama dengan masyarakat pendatang dalam bentuk kelompok tani yayasan, atau koperasi (Pratondo et al. 2007). Menurut Boonyanuphap (2001) pemukiman merupakan faktor aktivitas manusia yang paling signifikan menentukan resiko kebakaran hutan dan lahan selain jaringan jalan, jaringan sungai, dan penggunaan lahan. Akibat bertambahnya pendatang baru dan meningkatnya akses manusia kedalam kawasan hutan meningkatkan kemungkinan terjadinya pembalakan liar, dan pembukaan lahan dengan pembakaran.
7
2.5
Penggunaan Lahan (Land Use) Penggunaan lahan atau land use diartikan sebagai setiap bentuk intervensi
(campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan berbeda dengan penutupan lahan. Penutupan lahan adalah jenis kenampakan yang terdapat di permukaan bumi sementara penggunaan lahan mengarah pada kegiatan manusia pada objek tersebut (Hartanto 2006). Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan dan dimanfaatkan atau atas jenis tumbuhan atau tanaman yang terdapat di atas lahan tersebut. Berdasarkan hal ini terdapat berbagai penggunaan lahan seperti tegalan (pertanian lahan kering atau pertanian pada lahan tidak beririgasi), sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang, dan sebagainya. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam lahan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi, pertambangan, dan sebagainya. Menurut Pratondo et al. (2007) masyarakat maupun pengembang berupaya mengkonversi lahan hutan secara besar-besaran. Penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat adalah kegiatan pembukaan lahan secara besar-besaran untuk kelapa sawit, dimana setelah IUPHHK memanen kayu komersial, maka selanjutnya terjadi perubahan status lahan dari hutan menjadi perkebunan
sawit
atau
IUPHHT.
Dalam
penyiapan
lahannya
mereka
menggunakan api untuk membersihkan bahan bakar yang terdapat di atas permukaan tanah. 2.6
Emisi Karbon Kebakaran hutan tidak hanya memberikan dampak jangka pendek terhadap
lingkungan sekitar, tetapi juga dampak jangka panjang seperti asap yang bisa meluas sampai menembus batas geografis suatu negara. Hasil pembakaran hutan berupa emisi tersebut menjadi salah satu masalah serius karena sangat berhubungan dengan pemanasan global, yaitu mengakibatkan akumulasi polutanpolutan di atmosfer sehingga menyebabkan efek rumah kaca (green house effect). Pada kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998, menurut
8
ADB (1999) Indonesia menjadi salah satu negara penyumbang emisi karbon dan polutan terbesar di dunia dan kejadian tersebut disebut sebagai kejadian terparah karena besarnya dampak bagi hutan dan emisi yang dihasilkan sangat besar. Emisi karbon yang dihasilkan dari beberapa aktivitas seperti kebakaran hutan, perindustrian dan lain-lain dapat diduga jumlahnya melalui estimasi emisi karbon. Unsur karbon merupakan senyawa yang dominan dalam kebakaran hutan, karena hampir 45% materi kering tumbuhan adalah karbon (Hao et al. 1990). Sebagian besar unsur karbon yang teremisikan ke udara dalam bentuk CO 2, sisanya berbentuk CO, hidrokarbon terutama CH4, dan asap. Sulfur akan tertinggal sebagai asap dan sedikit terbentuk menjadi SO2 dan unsur klorin membentuk senyawa CH3Cl (Crutzen dan Andreae 1990 dalam Lobert et al. 1990). Asumsi lain untuk penghitungan emisi karbon yaitu dengan menggunakan variasi sebaran Hotspot atau titik api dan satuan jenis lahannya. 2.7
Titik Panas (Hotspot) Hotspot sering diidentikkan dengan titik api. Namun dalam kenyataannya
tidak semua hotspot mengindikasikan adanya titik api. Istilah hotspot lebih tepat bila bersinonimkan dengan titik panas. Data tentang hotspot tersebut dapat dihimpun melalui satelit MODIS dan dapat digunakan untuk pemantauan secara global. Terlebih lagi, NASA telah membuka akses yang luas bagi para pengguna MODIS di seluruh dunia (Andersonet al. 1999 dalam Heryalianto 2006). Hotspot yang digunakan untuk informasi mengenai kebakaran hutan dan lahan salah satunya berasal dari hasil deteksi satelit MODIS. MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) adalah perangkat yang dimiliki satelit Terra dan Aqua. Orbit satelit Terra adalah di sekitar bumi yang bergerak dari arah utara ke selatan melintasi khatulistiwa di pagi hari, sementara satelit Aqua bergerak dari selatan ke utara di atas khatulistiwa setiap sore hari. Perangkat MODIS menyediakan sensitivitas radiometrik yang tinggi (12 kanal) dalam 36 spektral band dengan kisaran panjang gelombang dari 0,4–14,4µm dengan resolusi spasial yang bervariasi (2 kanal pada 250m, 5 kanal pada 500m dan 29 kanal pada 1km). Alat ini didesain untuk menyediakan pengukuran dalam skala besar termasuk perubahan tutupan bumi oleh awan, radiasi dan peristiwa yang terjadi di laut, di daratan, dan pada tingkat atmosfer terendah.
9
BAB III METODE PENELITIAN 3.1
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan, Departemen
Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai September 2012. 3.2
Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah perangkat komputer dengan
perangkat lunak program ArcView GIS 3.3, Microsoft Office, alat tulis. Bahanbahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sebaran hotspot harian tahun 2000 sampai 2009 dari citra satelit MODIS dari Fire Information Resources Management System (FIRMS), peta Sumatra Selatan dan peta penutupan lahan Provinsi Sumatra Selatan dari Round Table on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan data curah hujan Provinsi Sumatra Selatan tahun 2000 sampai 2009 dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). 3.3
Analisis data Tahap analisis data yang dilakukan adalah analisis sebaran titik panas
(hotspot) di Sumatra Selatan tahun 2000‒2009, menghitung luas area kebakaran hutan dan lahan dari tahun 2000‒2009 di Sumatra Selatan dengan mengorelasikan jumlah hotspot, analisis perhitungan estimasi emisi karbondioksida (CO 2) yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan di Sumatra Selatan. 3.4
Pengolahan Data yang sudah diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan
perangkat lunak Microsoft Excel. Untuk pengolahan data selanjutnya dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3 dan disajikan pada Gambar 2.
10
ArcView GIS 3.3 Peta Sumatera Selatan Seleksi Data Data penutupan lahan Sumatera Selatan
Peta Administrasi Sumatera Selatan
Overlay
Hotspot dengan Confidence ≥ 50%
Seleksi Data Penutupan Lahan
Tema Penutupan Lahan
Clipping Hotspot dengan Tema Penutupan Lahan Buffering Clipping Hasil Buffering Projection tools Tanah Mineral
Luas area terbakar Seleksi
Tanah Gambut
Emisi Karbon (Seiler dan Crutzen 1980) Rekapitulasi di MS Excel Gambar 2 Tahapan pengolahan data emisi karbon
11
3.4.1 Penghitungan Estimasi Karbon Perhitungan estimasi karbon bertujuan untuk menduga nilai karbon yang dikeluarkan dari massa bahan bakar yang terbakar. Kehilangan biomassa terbakar dikalkulasikan dengan mengikuti persamaan Seiler dan Crutzen (1980): M=AxBxE Keterangan: M = Massa bahan bakar yang terbakar (ton) A = Luas areal terbakar (hektar) B = Efisiensi pembakaran (burning efficiency) penggunaan lahan E = Muatan bahan bakar (fuel load) penggunaan lahan (ton/ha) Karbon pada pembakaran biomassa diasumsikan tergabung kedalam gas dan kehilangan karbon dari pembakaran M(C). Hal ini dapat dikalkulasikan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: M(C) = 0,45 x M Keterangan: M(C) = Biomassa karbon (ton) M
= Massa bahan bakar yang terbakar (ton) Pengukuran estimasi karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan dari proses
pembakaran dibedakan atas jenis tanah mineral dan gambut. Emisi karbon dioksida pada tanah mineral dihitung dengan menggunakan persamaan (1). Emisi karbondioksida yang dihasilkan pada pembakaran di tanah gambut dihitung dengan menggunakan persamaan (2). M (CO2) = 0,90 x M(C)
(1)
M (CO2) = (0,5) x (0,7) x M(C)
(2)
12
BAB IV KONDISI UMUM SUMATRA SELATAN 4.1
Letak Geografis dan Batas Wilayah Secara geografis Provinsi Sumatra Selatan terletak antara 10–40LS dan
1020–1060BT dengan luas daerah seluruhnya 87.017,41 km (Gambar 3). Batas wilayah dari Provinsi Sumatra Selatan yaitu: sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Jambi, sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Bangka Belitung, sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Lampung, dan sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Bengkulu.
Gambar 3 Peta Provinsi Sumatra Selatan (Rahmah 2012)
4.2
Musim Musim yang terdapat di Sumatra Selatan sama dengan yang terjadi di
Indonesia, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Pada bulan Juni sampai dengan bulan September arus angin berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air, sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember sampai dengan Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudra Pasifik terjadi musim hujan. Keadaan seperti itu terjadi setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April sampai dengan Mei dan Oktober sampai dengan November.
13
4.3
Iklim Provinsi Sumatra Selatan mempunyai iklim tropis dan basah dengan curah
hujan 1.500–3.200mm/tahun (rata-rata per bulan 195,8mm). Faktor alam berupa kondisi iklim selama ini memberikan peranan yang besar sebagai faktor pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan: a.
Sumatra Selatan sebagai kawasan tropis, memiliki dua musim yang ekstrim antara musim hujan dan kemarau. Pada musim kemarau merupakan periode rawan terjadi kebakaran hutan dan lahan meskipun tidak setiap tahun terjadi kemarau panjang.
b.
Terjadinya
perubahan
cuaca
dengan
curah
hujan
rendah
yang
berkepanjangan, biasanya berhubungan dengan datangnya El-nino, ini menyebabkan gejala alam yang dipengaruhi oleh perubahan iklim global. 4.4
Kondisi Penutupan Lahan Kondisi penutupan lahan berpengaruh besar terhadap potensi kebakaran di
suatu daerah. Tipe lahan, luas dan jenis vegetasi penutupnya berkorelasi langsung dengan besaran penyediaan bahan bakar dan tingkat kemudahan untuk terbakar. Banyaknya lahan-lahan tidur di Sumatra Selatan yang umumnya didominasi jenis alang-alang dan semak belukar serta adanya kegiatan perambahan dan penebangan liar semakin mempertinggi tingkat resiko kebakaran hutan dan lahan. Kondisi geomorphologis berupa tipe lahan basah gambut yang cukup luas yang mendominasi 4 daerah kabupaten, yaitu Kabupaten Musi Banyuasin, Banyuasin, Ogan Ilir dan Ogan Komering Ilir. Selama ini diketahui bahwa lahan gambut mudah terbakar pada saat kering dan menjadi sumber utama terjadinya kabut asap pada musim kebakaran hutan dan lahan. Tipologi lahan basah gambut yang masih asli dan belum banyak campur tangan manusia sebenarnya merupakan kawasan yang tidak mudah terbakar, karena intensitas penggenangan air yang lama hampir sepanjang tahun menjadikan kawasan ini memiliki kelembaban yang tinggi. Namun adanya perubahan keseimbangan ekosistem sebagai akibat pembuatan kanal-kanal besar untuk pemukiman transmigrasi di sebagian lahan basah gambut di daerah Ogan Komering Ilir, Banyuasin dan Musi Banyuasin, maka cadangan air di areal tersebut segera terbuang melalui kanal-kanal, sehingga pada musim kemarau
14
lahan basah ini menjadi kering dan mudah terbakar. Pengusahaan hutan pada hutan rawa gambut oleh HPH juga memberikan kontribusi terhadap perubahan ekosistem lahan basah tersebut sehingga menjadi ekosistem yang rawan terhadap kebakaran.
15
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Penutupan Lahan Penutupan lahan yang terdapat di Sumatra Selatan pada tahun 2000–2009 terdiri atas 20 jenis. Luas area pada setiap penutupan lahan di Sumatra Selatan tahun 2000–2009 disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Luas area penutupan lahan di Sumatra Selatan tahun 2000, 2005, dan 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Penutupan lahan
Luas penutupan lahan (ha) 2000 1.468.093,97 30.224,12 218.472,57 275.892,97 278.581,63 199.237,43 260.190,51 539.095,41 144.134,84 28.855,31 527.517,33 270.029,60 555.565,80 2.790.590,23
2005 1.328.708,66 30.220,40 205.176,46 275.892,97 267.041,19 216.815,69 299.844,83 524.391,18 142.452,36 30.537,79 533.369,83 270.029,60 556.501,56 2.787.344,64
2009 1.243.221,42 19.765,51 186.752,59 274.558,50 246.593,38 218.391,97 439.328,79 554.737,88 104.016,28 67.430,88 518.624,83 269.930,86 555.979,75 2.791.691,03
222.558,55 143.032,23
222.558,55 141.672,98
222.558,55 136.661,53
15 16
Semak Belukar Rawa (SSH) Hutan Rawa Primer (USF) Hutan Rawa Sekunder (DSF) Hutan Primer (UDF) Hutan Sekunder (DIF) Hutan Tanaman Industri (TPL) Perkebunan Kelapa Sawit (OPL) Tanaman Perkebunan (CPL) Hutan Mangrove Primer (UDM) Hutan Mangrove Sekunder (DIM) Semak Belukar (SCH) Sawah (RCF) Pertanian Tanah Kering (DCL) Pertanian Tanah Kering Bercampur Semak (MTC) Pemukiman (SET) Rawa (WAB)
17
Pertambangan (MIN)
28.145,86
28.194,83
28.148,57
18 19 20
Tanah Terbuka (BRL) Tambak (CFP) Tubuh Air (WAB2)
393.649,16 50.378,88 10.064,68
503.851,20 59.641,69 10.064,68
486.226,17 59.627,91 10.064,68
8.434.311,08
8.434.311,08
8.434.311,08
Total
Tabel 1 memperlihatkan bahwa luas areal penutupan lahan terbesar di Sumatra selatan terdapat pada pertanian tanah kering bercampur semak, sedangkan penutupan lahan yang luasannya paling kecil adalah tubuh air. Perubahan penutupan lahan di Sumatra Selatan pada tahun 2000-2009 dapat disajikan pada Tabel 2 dan 3.
16
Tabel 2 Matriks perubahan penutupan lahan di Provinsi Sumatra Selatan pada tahun 2000-2005 2000
2005 SSH
USF
DSF
UDF
DIF
TPL
OPL
CPL
UDM
DIM
SCH
RCF
DCL
MTC
SET
RR
MIN
BRL
CFP
SSH
V
-
-
-
-
V
V
V
-
-
-
-
V
-
-
-
-
V
V
USF
-
V
-
-
-
-
V
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
DSF
V
-
V
-
-
-
V
V
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
UDF
-
-
-
V
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
DIF
-
-
-
-
V
-
-
-
-
-
V
-
-
V
-
-
-
-
-
TPL
-
-
-
-
-
V
-
-
-
-
V
-
-
-
-
-
-
-
V
OPL
-
-
-
-
-
-
V
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
CPL
-
-
-
-
-
-
V
V
-
-
V
-
-
-
-
-
-
V
-
UDM
-
-
-
-
-
-
-
-
V
V
-
-
-
-
-
-
-
-
-
DIM
-
-
-
-
-
-
-
-
-
V
-
-
-
-
-
-
-
-
-
SCH
-
-
-
-
-
-
V
-
-
-
V
-
V
V
-
-
V
V
-
RCF
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
V
-
-
-
-
-
-
-
DCL
-
-
-
-
-
-
V
-
-
-
-
-
V
-
-
-
-
V
-
MTC
-
-
-
-
-
-
V
-
-
-
-
-
-
V
-
-
-
V
-
SET
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
V
-
-
-
-
RR
-
-
-
-
-
-
V
-
-
-
-
-
-
-
-
V
-
-
-
MIN
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
V
-
-
BRL
V
-
-
-
-
V
V
V
-
-
V
-
V
-
-
-
-
V
-
CFP
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
V
16
17
Tabel 3 Matriks perubahan penutupan lahan di Provinsi Sumatra Selatan pada tahun 2005-2009 2005
2009 SSH
USF
DSF
UDF
DIF
TPL
OPL
CPL
UDM
DIM
SCH
RCF
DCL
MTC
SET
RR
MIN
BRL
CFP
SSH
V
-
-
-
-
-
V
V
-
V
-
-
-
-
-
-
-
-
V
USF
V
V
V
-
-
-
V
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
DSF
V
-
V
-
-
-
V
V
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
UDF
-
-
-
V
V
-
-
-
-
-
V
-
-
-
-
-
-
-
-
DIF
-
-
-
-
V
-
V
V
-
-
V
-
V
V
-
-
-
V
-
TPL
-
-
-
-
-
V
-
-
-
-
V
-
-
-
-
-
-
V
-
OPL
-
-
-
-
-
-
V
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
CPL
-
-
-
-
-
-
V
V
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
UDM
V
-
-
-
-
-
-
-
V
V
-
-
-
-
-
-
-
-
V
DIM
-
-
-
-
-
V
-
-
-
V
-
-
-
-
-
-
-
-
V
SCH
-
-
-
-
-
V
-
V
-
-
V
-
-
V
-
-
-
V
-
RCF
-
-
-
-
-
-
V
-
-
-
-
V
-
-
-
-
-
-
-
DCL
-
-
-
-
-
-
V
-
-
-
-
-
V
-
-
-
-
-
-
MTC
-
-
-
-
-
-
V
V
-
-
-
-
-
V
-
-
-
V
-
SET
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
V
-
-
-
-
RR
-
-
-
-
-
-
V
V
-
-
-
-
-
-
-
V
-
-
-
MIN
-
-
-
-
-
-
V
-
-
-
-
-
-
-
-
-
V
-
-
BRL
-
-
-
-
-
-
V
V
-
-
V
V
V
V
-
-
-
V
-
CFP
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
V
v = perubahan penutupan lahan; - = tidak ada perubahan penutupan lahan
17
18
5.1.2 Sebaran Hotspot di Provinsi Sumatra Selatan tahun 2000-2009 Titik panas (hotspot) merupakan titik yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan suhu sekitarnya dan dapat menjadi indikator adanya kebakaran hutan dan lahan di suatu wilayah. Perbandingan jumlah hotspot di tanah mineral dan gambut Sumatra Selatan tahun 2000, 2005, 2009 disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Sebaran jumlah hotspot tahun 2000, 2005, dan 2009 No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
15 16 17 18
Nama penutupan lahan Semak Belukar Rawa Hutan Rawa Primer Hutan Rawa Sekunder Hutan Primer Hutan Sekunder Hutan Tanaman Industri Perkebunan Kelapa sawit Tanaman Perkebunan Hutan Mangrove Primer Hutan Mangrove Sekunder Lahan Belukar Sawah Pertanian Tanah Kering Pertanian Tanah Kering Bercampur Semak Pemukiman Rawa Pertambangan Tanah terbuka Total
Sebaran hotspot 2005 Min gam total 115 26 141
min 20
2000 gam 8
total 28
Min 476
2009 gam 702
Total 1178
-
-
-
-
2
2
-
-
-
-
-
-
11
6
17
2
18
20
2 7
-
2 7
2 22 59
1
2 22 60
43 141
16
43 157
3
2
5
18
23
41
65
91
156
24
2
26
86
2
88
124
16
140
1
-
1
-
1
1
-
-
-
-
-
-
1
-
1
-
-
-
10 5 29
1
10 5 30
113 17 108
2 -
113 19 108
221 233
31 8
252 241
87
-
87
706
3
709
1493
31
1524
19 3 18 33
1 1
19 4 18 34
27 15 14 137
5 10
27 20 14 147
47 106 20 239
19 79 88
66 185 20 327
261
15
276
1.451
81
1.532
3210
1099
4309
min: mineral; gam: gambut
Hotspot di Provinsi Sumatra Selatan pada tahun 2000, 2005, dan 2009 mengalami fluktuasi pada tahun 2000-2009. Gambar 4 menampilkan fluktuasi jumlah hotspot pada tahun 2000-2009.
Jumlah hospot
19
20000 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
13862
5910 379
5091 2167
1900
4395
3097
2028
Tahun
Gambar 4 Jumlah hotspot tahun 2000-2009 di Sumatra Selatan
Jumlah hotspot yang terdeteksi di Sumatra Selatan pada tahun 2000-2009 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah hotspot paling kecil terjadi pada tahun 2000 dan paling banyak terjadi pada tahun 2006. Gambar 5 menyajikan sebaran hotspot di Sumatra Selatan pada tahun 2000, 2005, dan 2009.
2000
2005
2009
Gambar 5 Sebaran hotspot di Sumatra Selatan
Curah hujan sangat berpengaruh terhadap sebaran hotspot. Semakin tinggi curah hujan sebaran hotspot makin sedikit. Gambar 6 menampilkan hubungan antara jumlah hotspot dan curah hujan di Sumatra Selatan pada tahun 2000, 2005 dan 2009.
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
Curah Hujan
2000
Jumlah Hotspot
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
Jumlah hotspot
Curah hujan
20
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
Curah Hujan
2005
Jumlah Hotspot
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
Jumlah hotspot
Curah hujan
Bulan
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
Jumlah Hotspot
Curah Hujan
2009
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
Jumlah hotspot
Curah Hujan
Bulan
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Bulan Gambar 6 Hubungan antara jumlah hotspot dan curah hujan di Semuatera Selatan: tahun 2000 (atas), tahun 2005 (tengah), tahun 2009 (bawah).
21
5.1.3 Estimasi luas terbakar Pendugaan luas area terbakar di Sumatra Selatan tahun 2000, 2005, 2009 ditunjukkan pada Tabel 5, Tabel 6, dan Tabel 7. Luas area terbakar terluas di Provinsi Sumatra Selatan pada tahun 2000, 2005, dan 2009 terjadi pada lahan non hutan, yaitu tipe penutupan lahan pertanian tanah kering bercampur semak. Hal tersebut sebanding dengan jumlah hotspot yang terdeteksi di tipe penutupan lahan tersebut. Luas area terbakar dibedakan berdasarkan tanah mineral dan juga tanah gambut. Tabel 5 Estimasi luas area terbakar di Sumatra Selatan tahun 2000 No
Penutupan lahan
Luas terbakar (ha) gambut
mineral
total
% terbakar
686,17 -
1.414,40 -
2.100,57 -
11,15 -
-
161,74 539,47
161,74 539,47
0,86 2,86
1 2 3
Semak Belukar Rawa Hutan Rawa Primer Hutan Rawa Sekunder
4 5 6
Hutan Primer Hutan Sekunder Hutan Tanaman Industri
7 8
Perkebunan Kelapa Sawit Tanaman Perkebunan
161,99 126,66
219,84 1.737,44
381,83 1.864,10
2,03 9,89
9 10 11 12 13 14
31,24 97,09 2,01
64,19 630,30 418,84 2.443,05 6.169,99
64,19 661,54 418,84 2.540,14 6.172,00
0,34 3,51 2,22 13,48 32,76
15
Hutan Mangrove Primer Hutan Mangrove Sekunder Lahan Belukar Sawah Pertanian Tanah Kering Pertanian Tanah Kering Bercampur Semak Pemukiman
-
702,88
702,88
3,73
16 17
Rawa Pertambangan
98,85 -
212,40 195,85
311,25 195,85
1,65 1,04
18
Tanah Terbuka
37,23
2.557,93
2.595,16
13,77
19
Tambak
-
131,36
131,36
0,70
1.241,24
17.468,32
18.709,56
100
Total
22
Tabel 6 Estimasi luas area terbakar di Sumatra Selatan tahun 2005 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Penutupan lahan Semak Belukar Rawa Hutan Rawa Primer Hutan Rawa Sekunder Hutan Primer Hutan Sekunder Hutan Tanaman Industri Perkebunan Kelapa Sawit Tanaman Perkebunan Hutan Mangrove Primer Hutan Mangrove Sekunder Lahan Belukar Sawah Pertanian Tanah Kering Pertanian Tanah Kering Bercampur semak Pemukiman Rawa Pertambangan Tanah Terbuka Tambak Total
Luas Terbakar (ha) gambut 2.028,29 131,75 520,44 98,91 1.914,05 227,72 66,69 183,40 2,43 176,94
mineral 7.88,32 10,06 770,34 162,22 1.620,57 4.503,70 1.405,29 6.318,52 10,06 31,74 8.716,08 1.298,72 8.035,92 61.659,87
total 9.910,62 131,75 1.290,78 162,22 1.620,57 4.602,61 3.319,34 6.546,24 76,74 31,74 8.716,08 1.482,12 8.038,34 61.836,81
% terbakar 8,10 0,11 1,05 0,13 1,32 3,76 2,71 5,35 0,06 0,03 7,12 1,21 6,57 50,52
417,88 817,46 372,85 6.585,94
1.378,19 1.005,92 907,48 9.527,51 208,33 115.244,51
1.378,19 1.423,81 907,48 10.344,97 581,18 121.820,39
1,13 1,16 0,74 8,45 0,47 100
Tabel 7 Estimasi luas area terbakar di Sumatra Selatan tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Penutupan lahan Semak Belukar Rawa Hutan Rawa Primer Hutan Rawa Sekunder Hutan Primer Hutan Sekunder Hutan Tanaman Industri Perkebunan Kelapa Sawit Tanaman Perkebunan Hutan Mangrove Primer Hutan Mangrove Sekunder Lahan Belukar Sawah Pertanian Tanah Kering Pertanian Tanah Kering Bercampur semak Pemukiman Rawa Pertambangan Tanah Terbuka Tambak Total
gambut 34.644,98 1.032,50 930,08 6.289,54 1.017,16 2.228,59 443,97
Luas Terbakar (ha) mineral total 30.246,98 64.891,82 1.24,20 1.156,70 3.079,21 3.709,21 11.161,76 12.091,84 4.840,60 11.130,14 9.186,85 10.204,01 16.248,41 18.477,00 16.254,47 16.698,44
% terbakar 21,46 0,38 1,02 4,00 3,68 3,37 6,11 5,52
1.219,27
126.040,26
127.259,53
42,08
477,65 4.785,80 5.972,44 55,56 59.041,98
2.185,10 6.741,59 856,20 16.137,08 221,07 243.102,57
2.662,75 11.527,39 856,20 22.109,52 276,63 302.144,55
0,88 3,81 0,28 7,31 0,09 100
23
5.1.4 Estimasi emisi karbondioksida Luas area terbakar merupakan satu variabel untuk menduga emisi karbon yang dihasilkan akibat kebakaran hutan dan lahan. Penghitungan nilai emisi karbon diperoleh dari perhitungan nilai biomassa terbakar dengan koefisien pembakaran dan nilai bahan bakar. Emisi karbon yang dihasilkan akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 2000, 2005 dan 2009 disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Pendugaan emisi karbon di Sumatra Selatan tahun 2000, 2005, dan 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Penutupan Lahan Semak Belukar Rawa Hutan Rawa Primer Hutan Rawa Sekunder Hutan Primer Hutan Sekunder Hutan Tanaman Industri Perkebunan Kelapa Sawit Tanaman Perkebunan Hutan Mangrove Primer Hutan Mangrove Sekunder Lahan Belukar Sawah Pertanian Tanah Kering Pertanian Tanah Kering Bercampur semak Pemukiman Rawa Pertambangan Tanah Terbuka Total
2000 14.179 1.820 6.069 3.436 5.033 433 5.954 1.696 24.004 58.325
Emisi karbon (ton) 2005 66.897 1.787 11.617 2.044 18.231 51.779 29.874 17.675 518 214 78.445 6.003 75.962 584.358
2009 438.020 10.410 34.641 136.033 100.171 27.551 166.293 157.800 1.202.603
1.265 1.961 353 17.517
2.481 8.970 1.633 69.829
4.793 72.623 1.541 149.239
142.046
1.028.316
2.501.718
Emisi karbondioksida (CO2) adalah emisi terbesar yang dihasilkan akibat kebakaran (Seiler dan Crutzen 1980). Hasil pendugaan emisi CO2 di Sumatra Selatan menunjukkan bahwa kebakaran hutan di tanah mineral menghasilkan CO2 lebih tinggi dari kebakaran hutan di tanah gambut baik tahun 2000, 2005 dan 2009. Pendugaan CO2 pada tanah mineral dan gambut disajikan pada Tabel 9 dan 10.
24
Tabel 9 Pendugaan emisi karbondioksida pada tanah mineral di Sumatra Selatan tahun 2000, 2005, dan 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Penutupan lahan Semak Belukar Rawa Hutan Rawa Primer Hutan Rawa Sekunder Hutan Primer Hutan Sekunder Hutan Tanaman Industri Perkebunan Kelapa Sawit Tanaman Perkebunan Hutan Mangrove Primer Hutan Mangrove Sekunder Lahan Belukar Sawah Pertanian Tanah Kering Pertanian Tanah Kering Bercampur Semak Pemukiman Rawa Pertambangan Tanah Terbuka Total
2000 8.592,49 1.637,63 5.462,13 1.780,69 4.221,99 389,95 5.105,45 1.526,68 20.778,12 52.475,73
Emisi karbondioksida 2005 47.885,12 114,04 6.239,76 1.839,54 16.408,29 45.559,96 11.382,85 15.354,01 61,09 192,84 70.600,23 4.733,83 68.345,47 524.417,17
2009 183.749,55 1.006,02 31.177,00 113.012,82 39.208,86 22.324,05 131.612,12 138.244,27 1.071.972,41
1.138,66 1.204,32 317,28 15.539,40
2.232,67 5.703,58 1.470,12 57.879,62
3.539,86 38.224,82 1.387,04 98.032,76
120.170,53
880.460,20
1.873.491,58
Tabel 10 Pendugaan emisi karbondioksida pada tanah gambut di Sumatra Selatan tahun 2000, 2005 dan 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
5.2
Penutupan Lahan Semak Belukar Rawa Hutan Rawa Primer Hutan Rawa Sekunder Hutan Primer Hutan Sekunder Hutan Tanaman Industri Perkebunan Kelapa Sawit Tanaman Perkebunan Hutan Mangrove Primer Hutan Mangrove Sekunder Lahan Belukar Sawah Pertanian Tanah Kering Pertanian Tanah Kering Bercampur semak Pemukiman Rawa Pertambangan Tanah Terbuka Total
2000 3.602,40 1.133,96 265,98 218,67 713,60 14,80 484,35 195,45 6.629,20
Emisi karbondioksida 2005 10.648,54 1.291,11 3.643,05 865,47 13.398,36 478,20 350,10 577,70 17,84 1.300,50 2.047,63 4.291,65 38.910,14
2009 181.886,15 7.227,50 8.138,20 44.026,78 2.136,04 15.600,13 3.263,18 8.961,63 668,71 23.450,42 31.355,31 326.714,05
Pembahasan Penutupan lahan adalah jenis kenampakan yang terdapat di permukaan
bumi sementara penggunaan lahan mengarah pada kegiatan manusia pada objek
25
tersebut (Hartono 2006). Jenis penutupan lahan yang ada di Sumatra Selatan pada tahun 2000–2009 berjumlah 20 tipe penutupan lahan dengan luas total penutupan lahan sebesar 8.434.311,09 ha. Penutupan lahan terluas yaitu pertanian tanah kering bercampur semak seluas 2.790.590,23 ha (33,09%) pada tahun 2000, 2.787.344,64 ha (33,05%) pada tahun 2005, dan 2.791.691,03 ha (33,10%) pada tahun 2009. Penutupan lahan pada areal semak belukar rawa seluas 1,4 juta ha (17,40%) pada tahun 2000, 1,3 juta ha (15,75%) pada tahun 2005, dan pada tahun 2009 sebesar 1,2 juta ha (14,74%). Hal tersebut memperlihatkan bahwa setiap periode 2000, 2005, dan 2009 mengalami penurunan penutupan lahan semak belukar rawa sebesar 0,1 juta ha. Satu tipe penutupan lahan dapat berubah menjadi tipe penutupan lahan yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi lahan (Ekadinata et al. 2011). Perubahan penutupan lahan yang disebabkan oleh kegiatan konversi dapat meningkatkan atau menurunkan luasan masing-masing penutupan lahan tersebut. Pada tahun 2000-2005 semak belukar rawa mengalami penurunan terbesar yaitu sebesar 139.385,31 ha (9,49%) dari 1.468.093,97 ha menjadi 1.328.708,66 ha sedangkan tanah terbuka mengalami kenaikan luas area terbesar sebesar 110.202,04 ha (27,99%) dari 393.649,16 ha menjadi 503.851,20 ha. Pada tahun 2005–2009 semak belukar rawa masih tetap mengalami penurunan yaitu sebesar 85.487,24 ha (6,43%) dari 1.328.708,66 ha menjadi 1.243.221,42 ha. Penurunan luas penutupan lahan tersebut dikarenakan konversi lahan menjadi hutan tanaman industri, perkebunan sawit, dan pertanian (Tabel 2 dan Tabel 3). Hal tersebut sesuai dengan luas perkebunan kelapa sawit yang mengalami kenaikan sebesar 139.483,96 ha (46,51%) dari 299.844,83 ha menjadi 439.328,79 ha (Tabel 1). Peningkatan luas area perkebunan didasari oleh alasan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan seiring dengan adanya kebijakan pemerintah tentang pemberian insentif terhadap sektor perkebunan yang menyebabkan luas perkebunan meningkat pesat (Syaufina 2008). Selama tahun 2000-2009 terdapat 9 jenis penutupan lahan yang berubah menjadi perkebunan kelapa sawit yaitu semak belukar rawa, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, tanah perkebunan, semak belukar, pertanian tanah kering, pertanian tanah kering bercampur semak, tanah terbuka, dan hutan rawa (Tabel 2
26
dan Tabel 3). Perubahan penutupan lahan terbesar yang terjadi pada tahun 2000– 2005 terdapat pada semak belukar menjadi tanah terbuka dan perkebunan kelapa sawit, begitu juga pada tahun 2005–2009 perubahan terbesar terjadi pada semak belukar rawa menjadi perkebunan kelapa sawit dengan luasan sebesar 139.483,96 ha. Hal ini terjadi karena mudahnya semak belukar dibakar karena bahan bakarnya yang melimpah dan relatif kering, terutama untuk kebutuhan penyiapan lahan. Hotspot merupakan titik yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya dan menjadi indikator adanya kebakaran hutan dan lahan di suatu wilayah (Syaufina 2008). Tabel 4 memperlihatkan sebaran jumlah hotspot pada tahun 2000, 2005, dan 2009 di tanah mineral lebih banyak dibandingkan dengan di tanah gambut. Hal ini diduga pada tanah mineral banyak ditumbuhi oleh semak, karena terlihat bahwa penutupan lahan di daerah Sumatra selatan didominasi oleh pertanian tanah kering bercampur semak dan semak belukar rawa. Semak dikategorikan sebagai bahan bakar yang mudah terbakar (Pratondo et al. 2008). Selain itu, menurut Septocorini (2006), tingginya hotspot di tanah mineral dikarenakan area tanah mineral lebih didominasi oleh daerah produksi konversi, sehingga
aktivitas pembukaan lahan yang berhubungan
dengan penggunaan api sangat tinggi. Jumlah hotspot pada tahun 2009 tertinggi dibandingkan tahun 2000 dan 2005, yaitu sebesar 3.210 hotspot di tanah mineral dan 1.099 hotspot di tanah gambut. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti faktor alam (cuaca, iklim, bahan bakar) maupun manusia seperti kegiatan pemanfaatan lahan, ekonomi, dan budaya (Syaufina 2008). Selain itu, tingginya jumlah hotspot pada tahun 2009 disebabkan karena tingginya perubahan penutupan lahan menjadi area perkebunan kelapa sawit, tanaman perkebunan, semak belukar, dan tanah terbuka (Tabel 3), sehingga kerentanan timbulnya titik panas pada tahun tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun 2000 dan 2005. Jumlah hotspot yang terbesar pada tahun 2000, 2005, dan 2009 terdapat pada pertanian tanah kering bercampur semak, yaitu 87 hotspot, 709 hotspot, dan 1524 hotspot. Tingginya jumlah hotspot pada jenis penutupan lahan tersebut dikarenakan penggunaan lahan tersebut sangat berkaitan dengan penggunaan api dalam penyiapan lahan. Selain itu, bahan bakarnya yang didominasi oleh semak
27
menyebabkan kejadian kebakaran lebih rentan terjadi (Pratondo et al. 2008). Hotspot terbesar pada periode tahun 2000–2009 terdapat pada tahun 2006, yaitu sebesar 13.862 hotspot. Hal ini dikarenakan pada 2006 terjadi El Nino kelas moderat, terutama di Sumatra dan Kalimantan (Putra et al. 2008). Menurut Suratmo (2003) untuk Indonesia cuaca kebakaran dan iklimnya sangat dipengaruhi lokasi kepulauan Indonesia yang berada di garis equator, laut yang berada disekitar kita dan topografi. Hubungan jumlah hotspot yang terdeteksi di Sumatra Selatan dengan curah hujan pada tahun 2000, 2005, dan 2009 disajikan pada Gambar 6. Pada tahun 2000 terlihat jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Juli, tahun 2005 dan 2009 pada bulan September. Hal ini dikarenakan curah hujan pada bulan tersebut lebih rendah dibandingkan pada bulan-bulan lainnya. Syaufina (2008) menyebutkan jika curah hujan tinggi maka kelembaban bahan bakar juga akan tinggi sehingga menyulitkan terjadi kebakaran. Hal ini memperlihatkan bahwa faktor iklim turut mempengaruhi jumlah hotspot dan kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Tingginya hotspot pada bulan tersebut juga dipengaruhi oleh kegiatan persiapan dan pembersihan lahan oleh masyarakat yang dilakukan pada musim kemarau dengan cara membakar kawasan hutan atau areal pertanian (Putra 2002 dalam Heryalianto 2006). Luas area terbakar di Sumatra Selatan pada tahun 2000 seluas 18.709,56 ha (Tabel 5) didominasi oleh pertanian tanah kering bercampur semak sebesar 6.172 ha dan paling rendah terdapat pada daerah pertambangan sebesar 195,85 ha. Tingginya luas area terbakar di area pertanian tanah kering bercampur semak diduga dikarenakan tingginya penggunaan api sebagai salah satu cara penyiapan lahan di tipe penutupan lahan tersebut, sedangkan pada area pertambangan luas area yang terbakar terbilang kecil karena kegiatan penyiapan lahan di pertambangan jarang menggunakan sistem bakar. Hal ini juga terjadi pada tahun 2005 dan 2009 luas area terbakar didominasi oleh pertanian tanah kering bercampur semak sebesar 61.836,81 ha (50,52%) pada tahun 2005 dan 127.259,53 ha (42,08%) pada tahun 2009. Luas total area terbakar pada tahun 2005 meningkat dibandingkan dengan tahun 2000 yaitu menjadi sebesar
121.820,39 ha dan
kembali meningkat pada tahun 2009 menjadi sebesar 302.144,55 ha. Peningkatan
28
luas total area terbakar tersebut sebanding dengan peningkatan jumlah hotspot di Provinsi Sumatra Selatan. Emisi karbon merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan karena unsur karbon merupakan senyawa yang dominan dengan kebakaran hutan, hampir 45% materi kering tumbuhan adalah karbon (Hao et al. 1990). Sebagian besar unsur karbon yang teremisikan ke udara adalah karbondioksida, sisanya berbentuk CO, hidrokarbon terutama CH4, dan asap (Seiler dan Crutzen 1980). Emisi karbon terbesar yang dihasilkan akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2000 terdapat pada pertanian tanah kering bercampur semak sebesar 58.325 ton dan diikuti oleh pertanian kering sebesar 24.004 ton (Tabel 8). Emisi karbon terbesar pada tahun 2005, juga terdapat pada area pertanian tanah kering bercampur semak 584.358 ton, diikuti oleh lahan belukar sebesar 78.445 ton, begitu juga pada tahun 2009 terjadi pada pertanian tanah kering bercampur semak yaitu sebesar 1.202.603 ton, diikuti oleh semak belukar rawa sebesar 438.020 ton. Tingginya emisi karbon yang dihasilkan di pertanian tanah kering bercampur semak berbanding lurus dengan luas area terbakar di penutupan lahan tersebut. Total emisi karbon pada tahun 2000, 2005, dan 2009 mengalami peningkatan yang sangat signifikan, dimana emisi karbon pada tahun 2009 (2.501.718 ton) lebih besar dibandingkan dengan tahun 2005 (1.028.316 ton) dan 2000 (142.046 ton). Penghitungan emisi karbondioksida dibedakan berdasarkan tanah mineral dan gambut. Emisi karbondioksida (CO2) yang dihasilkan pada tanah mineral yaitu pada pertanian tanah kering bercampur semak yang memperlihatkan emisi karbon terbesar terdapat pada tahun 2009 (1.071.972,41 ton), dan 2005 (524.417,17
ton),
sedangkan
pada
tahun
2000
emisi
karbondioksida
memperlihatkan nilai terkecil yaitu sebesar 52.475,73 ton. Pada tanah gambut, penghasil emisi karbondioksida dari masing-masing penutupan lahan memperlihatkan penyumbang emisi yang berbeda-beda, pada tahun 2000 semak belukar rawa menempati urutan pertama dengan jumlah emisi 3.602,40 ton, pada tahun 2005 terdapat pada perkebunan kelapa sawit sebesar 13.398,36 ton, dan tahun 2009 terdapat pada semak belukar rawa sebesar
29
181.886,15 ton. Emisi karbondioksida terbesar terdapat pada tahun 2009, hal ini disebabkan semak belukar rawa didominasi oleh lahan gambut, dimana tingginya emisi karbondioksida yang dihasilkan akibat kebakaran hutan dan lahan sebagian besar teremisi ke udara dalam bentuk CO2.
30
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan
1
Hotspot tertinggi pada tahun 2000, 2005, dan 2009 terdapat pada tipe penutupan lahan pertanian tanah kering bercampur semak sejumlah 87 hotspot (2000), 709 hotspot (2005), dan 1524 hotspot (2009).
2
Luas area terbakar terbesar di Provinsi Sumatra Selatan pada tahun 2000, 2005, dan 2009 terdapat pada pertanian tanah kering bercampur semak yang memiliki luas terbakar masing-masing sebesar 6.172 ha (2000), 61.836,81 ha (2005), dan 127.259,53 ha (2009).
3
Emisi CO2 terbesar akibat kebakaran hutan dan lahan di tanah mineral tahun 2000, 2005, dan 2009 terdapat pada pertanian tanah kering bercampur semak yaitu masing-masing sebesar 52.475,73 ton (2000), 524.417,17 ton (2005), 1.071.972,41 ton (2009). Emisi CO2 terbesar akibat perubahan penutupan lahan tahun 2000-2005 dan 2005-2009 terdapat pada perubahan pertanian
tanah
kering
bercampur
semak
masing-masing
sebesar
3.078.899,73 ton (44,52%) dan 20.443.299,85 ton (50,60%). 6.2
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sebaran hotspot, luas area
terbakar dan emisi karbondioksida di wilayah lain di Indonesia yang rawan terjadinya kebakaran hutan, terutama wilayah Sumatra dan Kalimantan sehingga dapat diperoleh hasil rekapitulasi per daerah bagi keperluan pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
31
DAFTAR PUSTAKA
Amanda F. 2009. Peningkatan peran masyarakat dalam upaya pengendalian kebakaran hutan di KPH Malang Perum Perhutani Unit II Jawa Timur [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Anderson IP, Manda ID, Muhnandar. 1999. Vegetation Fires in Sumatra, Indonesia. Eropa: European Union and Indonesian Ministry of Forestry and Estate Crops. Arsyad S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. Pratondo BJ. 2007. Kajian pembangunan insfratuktur dan spasial nasional (DSN) untuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan (Studi Kasus di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat) [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Boonyanuphap J. 2001. GIS based method in developing wildlife risk model in Sasamba East Kalimantan Indonesia [tesis]. Bogor: Graduated Program, Bogor Agricultural University. Brown and Davis. 1973. Forest Fire Control and Use. New York: McGraw-Hill Company Inc. Chandler C, Cheney P, Thomas P, Trabaud L, Williams D. Forestry Vol. I. Canada: John Wiley and Sons. .
1983.
Fire in
Clar CR, Chatten LR. 1954. Principle of Forest FireManagement. California: Departement of Nature Resources Division of Forestry. . Darwo. 2009. Perilaku api dan sebab akibat kebakaran hutan. [terhubung berkala] http://www.p3hka.org/pdf/394Karo.pdf. [10 Mei 2012]. Davis KP. 1959. Forest Fire Control and Use.New York: Mc. Graw–Hill Books Company, Inc. Ekadinata A, Dewi S. 2011. Memahami Keragaman Sistem Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya terhadap Penghitungan Opportunity Cost. Bogor: World Agroforestry Centre. FAO. 2001. Deforestation Continues At A High Rate In Tropical Areas; FAO calls upon countries to fight forest crime and corruption. FAO. Retrieved 10-07-2003,2003,from the World Wide Web [terhubung berkala] http://www.fao.org/WAICENT/OIS/PRESSNE/PRESSENG/2001/pren0106 1.htm. (10 Mei 2012) Fuller M. 1991. Forest Fire An Introduction to Wildland Fire Behavior, Management, Fire Fighting and Prevention. New York: John Willey and Sons. Hao M, Liu M, Crutzen P. 1990. Estimate of annual and regional release of CO2 and other trace gases to the atmosphere from fire in tropicbased on the FAO statistics for the period 1975 and 1980. Di dalam: Goldammer J, editor.Fire
32
in Tropical Biota (Ecological Studies 84). New York:Springer. hlm. 440460. Harahap AJ, Hutagalung L. 1998. Status Tanah Gambut di Sumatera Utara dalam Prosiding Seminar Lahan Gambut. Universitas Tanjungpura. Hartanto. 2006. Land Use dan Land Cover. [terhubung http://hartanto.wordpress.com/2006/08/14/land-use-dan-landcover/[30September2012].
berkala].
Hidayanti. 1993. Masalah perubahan iklim di Indonesia beberapa contoh kasus. [terhubung berkala]. http://www.rudyct.250x.com/sem012.rinihidayanti.htm [30 september 2012]. Heryalianto S. 2006. Studi tentang sebaran titik panas (hotspot) sebagai penduga kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Kalimantan Barat tahun 2003 dan tahun 2004 [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Kusmana C, BI Setiawan, Istomo, DR Nurromat, S Hardjoamidjojo. 2008. Menumbuhkembangkan Implementasi Hutan Tanaman di Indonesia. Bogor: Departemen Silvikultur-Fakultas Kehutanan IPB. [LAPAN] Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional. 2004 .Kebakaran hutan/lahan dan sebaran asap di Sumatra dari Data Satelit Lingkungan dan cuaca. Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh Lembaga PenerbangandanAntariksa Nasional (LAPAN). [terhubung berkala]http://www.lapanrs.com/SMBA/smba.php?hal=3&data_id=hn_hr_2 0040626_all. (15 September 2012) Noor M. 2001. Kanisius.
Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Jakarta:
Pratondo B, Saharjo B, Kardono P. 2006. Aplikasi infrastruktur data spasial nasional (IDSN) untuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan.Jurnal Ilmiah Geomatika 12(2):70-71. Rahmah. 2012. Catatan backpacker Taman Nasional Sebangau[terhubung berkala]http://chemistrahmah.com/wp-content/uploads/2012/04/GAMBARPETA-SUMATRA-SELATAN-150x150.gif. [2 Oktober 2012]. Ratnasari, E. 2000. Pemantauan kebakaran hutan dengan menggunakan data Citra NOAA AVHRR dan Citra Landsat TM: Studi kasus di daerah Kalimantan Timur. [skripsi]. Bogor. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Saharjo, B. H. 2002. Strategi Pengendalian Limbah Vegetasi dan Kebakaran Hutan di Indonesia. Di dalam: Semiloka Pengendalian Hukum Kebakaran Hutan dan Lahan; Pekanbaru, 27-28 September 2000. hlm 30-40. Saharjo, B. H. 2003. Pengendalian Kebakaran Hutan. Suratmo F. G. et al. Penyunting. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Samsuri. 2008. Model Spasial Tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan TM: studi kasus di wilayah Propinsi Kalimantan Tengah. [tesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana Magister, Institut Pertanian Bogor.
33
Seiler W, Crutzen P. 1980. Estimates of gross an net fluxes of carbon between the biosphere and the atmosphere from biomass burning. Climate Change 2:207-247. Septocorini E. 2006. Studi penentuan tingkat kerawanan kebakaran hutan di Kabupaten Ogan Komering Ilir Propinsi Sumatra Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Soares R, Sampaio O. 2000. Standardisasi Nasional.
Klasifikasi Penutupan Lahan. Jakarta: Badan
Suratmo F, Husaeni E, Jaya N. 2003. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor. Fakultas Kehutanan IPB. Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di IndonesiaPerilaku Api, Penyebab,dan Dampak Kebakaran. Malang: Bayumedia. Syaufina L. 2002. The effect of climate variation on peat swamp forest condition and peat combustibility [doctoral thesis]. Malaysia: Faculty of Forestry University Putra. Triani W. 1995. Keterkaitan kebakaran dengan faktor-faktor iklim di KPH Banyuwangi Selatan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
34
LAMPIRAN
35
Lampiran 1 Nilai koefisien muatan biomasa (fuel load) dan efisiensi pembakaran (burning effieciency) menurut Seiler and Crutzen (1980) Koefisien Bahan Efisiensi Kode Penutupan Lahan Bakar (ton/ha) Pembakaran SSH Semak belukar rawa 30 0,5 USF Hutan rawa primer 70 0,4 DSF Hutan rawa sekunder 50 0,4 UDF Hutan primer 70 0,4 DIF Hutan sekunder 50 0,5 TPL Hutan tanaman industri 50 0,5 Pertanian tanah kering MTC 30 0,7 bercampur semak CPL Tanaman perkebunan 10 0,6 OPL Kelapa sawit 40 0,5 Hutan mangrove DIM 30 0,5 sekunder UDM Hutan mangrove primer 30 0,5 DCL Pertanian tanah kering 30 0,7 SCH Semak belukar 25 0,8 RCF Sawah 10 0,9 CFP Tambak 0 0 SET Pemukiman 5 0,8 WAB Rawa 20 0,7 MIN Pertambangan 5 0,8 BRL Tanah terbuka 30 0,5
36
Lampiran 2 Matriks luas perubahan tutupan lahan tahun 2000-2005 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
LU brl-brl brl-cpl brl-ssh brl-opl brl-sch brl-dcl brl-tpl cfp-cfp cpl-sch cpl-cpl
Luas Penutupan Lahan 378.791,60 3.665,51 4.808,06 3.441,87 1.211,47 544,08 1.186,53 50.378,88 4.403,45 513.882,59
Luas Terbakar 105.101,01 351,63 3.439,12 1.181,86 122,23 2.603,05 3.450,70 1.345,12 60.707,57
Presentase 27,75 9,59 71,53 34,34 10,09 6,85 30,55 11,81
Keterangan: ssh : semak belukar rawa tpl : hutan tanaman industri opl : perkebunan kelapa sawit cpl : tanaman perkebunan sch : semak belukar dcl : pertanian tanah kering brl : tanah terbuka cfp : tambak
* Data lengkap dapat disajikan berdasarkan permintaan. Hubungi penulis (
[email protected])
37
Lampiran 3 Matriks luas perubahan tutupan lahan tahun 2005-2009 No
LU
Luas penutupan lahan
Luas terbakar
Presentase
1
brl-brl
483.947,18
404.263,46
83,53
2 3
brl-sch brl-cpl
570,91 3.206,95
460,22 2.127,59
80,61 66,34
4 5
brl-dcl brl-mtc
71,84 1.355,42
71,84 1.257,50
100, 92,78
6 7 8 9 10
brl-rcf brl-opl cfp-cfp cfp-opl cpl-cpl
10,41 14.644,46 59.321,01 320,67 510.986,59
10,41 14.550,74 45.784,29 320,67 416.409,78
100 99,36 77,18 100 81,49
Keterangan: opl : perkebunan kelapa sawit cpl : tanaman perkebunan sch : semak belukar rcf : sawah dcl : pertanian tanah kering mtc : pertanian tanah kering bercampur semak min : pertambangan brl : tanah terbuka cfp : tambak
* Data lengkap dapat disajikan berdasarkan permintaan. Hubungi penulis (
[email protected])
38
Lampiran 4 Matriks emisi karbon perubahan penutupan lahan di tanah mineral tahun 2000-2005 No
LU
Luas terbakar
M (co2) ton
%
1
brl-brl
80.592,54
72.533,29
2 3
brl-cpl brl-ssh
351,63 3.439,12
316,47 3.095,21
4 5
brl-opl brl-sch
1.181,86 122,23
1.063,67 110,01
6 7 8 9 10
brl-dcl brl-tpl cfp-cfp cpl-sch cpl-cpl
1.759,05 1.345,12 54.052,14
1.583,15 1.210,61 48.646,93
7,08 0,03 0,30 0,10 0,01 0,05 1,90
Keterangan: ssh : semak belukar rawa tpl : hutan tanaman industri opl : perkebunan kelapa sawit cpl : tanaman perkebunan sch : semak belukar dcl : pertanian tanah kering brl : tanah terbuka cfp :tambak
* Data lengkap dapat disajikan berdasarkan permintaan. Hubungi penulis (
[email protected])
39
Lampiran 5 Matriks emisi karbon pada perubahan penutupan lahan di gambut Sumatra Selatan tahun 2000-2005 No
LU
Luas terbakar
M (co2) ton
%
1
brl-brl
24.508,47
57.901,26
6,70
2 3
brl-cpl brl-ssh
-
-
-
4 5
brl-opl brl-sch
-
-
-
6 7 8 9 10
brl-dcl brl-tpl cfp-cfp cpl-sch cpl-cpl
2.603,05 1.691,65 6.655,43
7.379,65 6.289,38
0,85 0,73
Keterangan: ssh : semak belukar rawa tpl : hutan tanaman industri opl : perkebunan kelapa sawit cpl : tanaman perkebunan sch : semak belukar dcl : pertanian tanah kering brl : tanah terbuka cfp : tambak
* Data lengkap dapat disajikan berdasarkan permintaan. Hubungi penulis (
[email protected])
40
Lampiran 6 Matriks emisi karbon pada perubahan penutupan lahan di tanah mineral Sumatra Selatan tahun 2005-2009 No
LU
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
brl-brl brl-sch brl-cpl brl-dcl brl-mtc brl-rcf brl-opl cfp-cfp cfp-opl cpl-cpl
Luas Terbakar 284.207,20 460,22 2.127,59 71,84 1.257,50 10,41 13.495,82 30.537,41 9,00 388.938,24
M (CO2) ton mineral 1.726.558,74 2.795,84 12.925,11 436,43 7.639,31 63,24 81.987,11 945.119,92
% 4,27 0,01 0,03 0,00 0,02 0,00 0,20 2,34
Keterangan: ssh : semak belukar rawa tpl : hutan tanaman industri opl : perkebunan kelapa sawit cpl : tanaman perkebunan sch : semak belukar rcf : sawah dcl : pertanian tanah kering mtc : pertanian tanah kering bercampur semak brl : tanah terbuka cfp :tambak
* Data lengkap dapat disajikan berdasarkan permintaan. Hubungi penulis (
[email protected])
41
Lampiran 7 Matriks emisi karbon pada perubahan penutupan lahan di gambut Sumatra Selatantahun 2005-2009 No.
LU
luas terbakar
M (CO2) ton
%
1
brl-brl
120.056,26
283.632,91
11,30
2 3
brl-sch brl-cpl
-
-
-
4 5
brl-dcl brl-mtc
-
-
-
6 7 8 9 10
brl-rcf brl-opl cfp-cfp cfp-opl cpl-cpl
1.054,92 15.246,88 131,50 27.471,54
2.492,25 25.960,61
0,10 1,03
Keterangan: tpl : hutan tanaman industri opl : perkebunan kelapa sawit cpl : tanaman perkebunan sch : semak belukar rcf : sawah dcl : pertanian tanah kering mtc : pertanian tanah kering bercampur semak brl : tanah terbuka cfp :tambak
* Data lengkap dapat disajikan berdasarkan permintaan. Hubungi penulis (
[email protected])