30
PERHITUNGAN AMBLESAN (SUBSIDENCE) DENGAN PENDEKATAN PROKSIMAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN EMISI GAS RUMAH KACA PADA LAHAN GAMBUT
Ahmad Kurnain Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru 70714 (
[email protected])
Abstrak. Amblesan (subsidence) gambut sering dikaitkan dengan emisi gas rumah kaca (GRK). Logika ini didasarkan pada asumsi bahwa amblesan gambut yang menyebabkan menurunnya permukaan lahan gambut sejalan dengan kehilangan massa gambut melalui proses oksidasi yang pada akhirnya meningkatkan emisi GRK terutama CO 2. Logika ini jika tidak dipahami secara baik dan benar akan menghasilkan taksiranlebih (overestimate) atas emisi GRK yang terjadi di lahan gambut, karena amblesan gambut bukan hanya akibat kehilangan massa gambut tetapi juga akibat pemadatan dan pengawaairan (dewatering). Penelitian ini mencoba mencermati dan menganalisis data hidro-fisik gambut yang dikumpulkan pada berbagai tipe pemanfaatan lahan gambut untuk menurunkan proporsi amblesan akibat pemadatan atau pengawaairan. Amblesan lahan gambut dapat digambarkan secara proksimat melalui indikator pemadatan dan kadar lengas. Pada kadar lengas spesifik >2 dm3kg-1amblesan gambut akibat pemadatan secara proporsional dapat digambarkan dengan persamaan modifikasi dari Groenevelt dan Grant (2004). Dari persamaan ini dapat juga ditunjukkan kadar lengas kritis terjadinya amblesan akibat kehilangan massa gambut. Pendekatan proksimat ini perlu diuji dengan banyak data yang tersedia sebelum diaplikasikan pada perhitungan kehilangan karbon pada lahan gambut. Katakunci: amblesan gambut, emisi gas rumah kaca, kadar lengas. Abstract. Losses of peat mass as a result of peat oxidation is often related to peat subsidence that subsequently used in practices to estimate green house gas emission. This logics will result in an overestimate of GHG emission as the peat subsidence is not only due tothe loss of peat, but also due to compaction and dewatering of peat. The study emphasized on analysis of peat hydro-physics data collected on various types of peatland uses to estimate proportion of peat subsidence due to compaction and dewatering. The peat subsidence could be described proximately through indicators of compaction and moisture content. At spesific moisture content of >2 dm3 kg-1, the subsidence due to peat compaction dan dewatering proportionally could be described with a modified equation of Groenevelt and Grant (2004). A critical moisture content at which the subsidence is only due to peat losses (peat oxidation) could be extrapolated from the curve resulted from the quation, however this proximate approach has to be validated with other data before it is applied to calculate losses of carbon on peatlands. Keywords: GHG emission, moisture content, peat subsidence.
369
A. Kurnain
PENDAHULUAN Lahan gambut merupakan megaekosistem terestrial yang mengandung sangat banyak karbon. Hutan konifera di Pasifik Barat Amerika Utara dengan pohon-pohon tertingginya di dunia hanya menyimpan setengah dari simpanan karbon di lahan gambut per satuan luas yang sama (Joosten dan Couwenberg, 2009). Lahan gambut yang hanya menutupi 3% (4.000.000 km2) dari luas lahan dunia, menyimpan karbon 550 Gton di dalam gambutnya (Parish et al. 2008). Pada kondisi alamiah ketika lahan gambut tetap basah, simpanan karbon yang sangat besar ini tetap terjaga dengan baik. Persoalan kemudian muncul manakala lahan gambut alamiah ini dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti pertanian, kehutanan, deforestasi, ekstraksi gambut, dan pengembangan infrastruktur. Pemanfaatan lahan gambut untuk berbagai kepentingan tersebut dihadapkan pada karakter hidrologinya yang selalu basah dan tergenang sepanjang tahun, sehingga menyulitkan pemanfaatannya dan menghambat keterjangkauannya (aksesibilitas). Oleh karena itu lahan gambut alamiah tersebut harus direklamasi dengan melakukan pengatusan (drainage) agar dapat dimanfaatkan (Alan Tan dan Ritzema 2003; Kurnain et al. 2001). Pengatusan lahan gambut tidak hanya menciptakan kondisi hidrologis yang sesuai (favorable) bagi berbagai pemanfaatan, tetapi juga menimbulkan dampak negatif berupa amblesan permukaan (subsidensi) lahan gambut. Laju amblesan gambut dapat dibagi ke dalam dua fase. Pada fase pertama periode 1 – 3 tahun setelah reklamasi, lajunya berkisar antara 5 – 50 cm tahun-1 , dan pada fase kedua periode berikutnya lajunya diperlambat menjadi 0,5 – 5 cm tahun-1 (Wösten dan Ritzema, 2002; Wösten et al. 1997; Hooijer et al. 2010). Laju amblesan dua fase ini ditentukan oleh sifat hidro-fisik gambut (Kurnain, 2005; Kurnain et al. 2006) meliputi kadar lengas, berat volume, kerutan (shrinkage), dan kadar serat. Amblesan gambut terjadi melalui dua proses, yaitu pemadatan atau pengerutan gambut dan kehilangan massa akibat oksidasi gambut (Andriesse, 1988; Kurnain, 2005). Amblesan fase pertama lebih banyak ditentukan oleh proses pemadatan, pengerutan, atau pengawaairan gambut (Kurnain, 2005); dan amblesan fase kedua lebih banyak atau hanya ditentukan oleh proses oksidasi gambut (Hooijer et al. 2010). Kehilangan massa gambut akibat oksidasi gambut berkorelasi langsung dengan kehilangan karbon pada gambut. Kehilangan karbon seringkali dikaitkan dengan besar dan laju amblesan lahan gambut, padahal amblesan gambut juga ditentukan oleh proses pemadatan dan pengawaairan. Persoalan yang muncul adalah bagaimana menghitung amblesan akibat pemadatan dan oksidasi gambut. Jawaban atas persoalan tersebut sangat variatif dan spesifik (local existing condition). Penelitian ini mencoba mencermati dan menganalisis data hidro-fisik gambut yang dikumpulkan pada berbagai tipe pemanfaatan lahan untuk menurunkan nilai kadar lengas kritis terjadinya amblesan gambut akibat kehilangan massa gambut, sekaligus menunjukkan proporsi amblesan gambut akibat pemadatan atau pengawaairan (dewatering) pada berbagai tipe pemanfaatan lahan gambut. 370
Perhitungan amblesan dengan pendekatan proksimat
BAHAN DAN METODE Pengambilan sampel gambut Sampel gambut diambil dari berbagai tipe pemanfaatan lahan, yaitu 1) hutan gambut tebang pilih (2o20’40” LS; 114o2’16” BT), (2) hutan gambut yang terbakar tahun 1997 (2o18’7” LS; 114o1’36” BT), (3) lahan gambut yang terbuka (2 o17’20” LS; 114o1’5” BT), (4) lahan jagung (2o17’5” LS; 114o1’8” BT), (5) lahan nanas (2o17’22” LS; 114o2’16” BT), dan (6) lahan karet (2o17’10” LS; 114o1’24” BT) yang semuanya ada di Kalimantan Tengah. Berdasarkan tipe hidro-topografinya, gambutnya tergolong sebagai gambut ombrogen. Sampel gambut tak terusik diambil dengan menggunakan ring logam "Edjelkamp" dengan garis tengah 5,0 cm dan tinggi 5,0 cm. Kedalaman lapisan gambut yang diambil, yaitu: (1) 5–10 cm, (2) 25–30 cm, dan (3) 55–60 cm. Penetapan kedalaman lapisan sampel didasarkan pada fluktuasi muka air tanah, yang masing-masing lapisan 5–10 cm untuk mewakili lapisan tanah gambut yang sering berada di atas muka air tanah (acrotelm). Lapisan berikutnya, yakni 25–30 cm mewakili lapisan tanah yang fluktuasi muka air tanahnya bersifat dinamis, kadang-kadang di atas atau di bawah muka air tanah. Lapisan paling bawah, yakni 55–60 cm mewakili lapisan yang sering berada dalam zona air tanah (catotelm). Penetapan sifat pemampatan gambut Sampel gambut tak terusik dalam ring sampel digunakan untuk penetapan sifatsifat fisika tanah gambut yang terkait dengan pemampatan. Tingkat pemampatan secara tidak langsung dapat diukur dari nilai berat volume, kerutan, dan volume spesifik tanah gambut (Défossez et al. 2003; Lipiec dan Hatano, 2003). Berat volume dinyatakan dalam berat setelah pengeringan dalam tanur bersuhu 105 oC selama sedikitnya 4 jam per volume tanah gambut pada kondisi lapangan saat pencuplikan (volume gambut basah). Berat volume ini dinamakan juga dengan berat volume kering. Kerutan didapatkan dari selisih volume gambut basah dan volume gambut setelah pengeringan dalam tanur bersuhu 105oC selama sedikitnya 4 jam dan dinyatakan dalam persentase pengerutan terhadap volume awal (volume gambut basah). Volume spesifik tanah gambut ialah sama dengan nilai kebalikan dari berat volumenya (McLay et al. 1992; Dexter, 2004). Kurva kerutan. Sifat mengerut gambut digambarkan dengan kurva kerutan menurut fungsi kadar lengas gambut. Kerutan tanah disifatkan dengan perubahan volume tanah menurut fungsi volume lengas yang hilang (Brandyk et al. 2001; Groenevelt dan Grant, 2004). Groenevelt dan Grant (2004) menggambarkan kerutan tanah mineral dengan perubahan nisbah volume pori atas volume padatan (void ratio) menurut fungsi nisbah
371
A. Kurnain
volume lengas atas volume padatan (moisture ratio). Data pengukurannya kemudian dicocokkan dengan persamaan (1): e() = eo + ( – eo)exp[ko(-n – -n)]
(1)
di mana e ialah nisbah pori, nisbah lengas, eo nisbah pori tanah kering-tanur, nisbah pori pada saat udara mulai memasuki pori, dan ko dan n ialah parameter hasil pencocokan (fitting). Selain itu, McLay et al. (1992) menggambarkan sifat kerutan tanah gambut dengan perubahan volume spesifik tanah gambut menurut fungsi kadar lengas gravimetrik. Akan tetapi persamaan (1) di atas tidak dapat digunakan secara langsung terhadap penggambaran sifat kerutan tanah gambut seperti yang dilakukan oleh McLay et al. (1992). Oleh karena itu, agar persamaan (1) di atas dapat digunakan, data volume spesifik tanah gambut diubah ke dalam volume spesifik pori, dan data kadar lengas gravimetrik diubah ke dalam kadar lengas spesifik (Kurnain, 2005). Volume spesifik pori diperoleh dari pengurangan volume spesifik tanah gambut dengan volume spesifik padatan. Volume spesifik padatan ialah kebalikan dari berat jenis padatan, yang untuk tanah gambut tropis rata-ratanya sekitar 1,4 kg dm-3 (Driessen dan Rochimah, 1977; Kamiya dan Kawabata, 2003), sehingga nilainya sama dengan 0,7 dm3 kg-1. Sedang kadar lengas spesifik (dm3 kg1 ) diperoleh dari hasil membagi kadar lengas gravimetrik (kg kg-1) terhadap berat jenis lengas (1 dm3 kg-1). Data volume spesifik pori digambarkan menurut fungsi kadar lengas spesifik, dan dicocokkan dengan persamaan (2). Peubah nisbah pori dan nisbah lengas dalam persamaan (1) diganti masing-masing dengan volume spesifik pori dan kadar lengas spesifik. Untuk itu, persamaan (1) disesuaikan menjadi persamaan (2) (Kurnain, 2005): vp(vw) = vp,o + (Vp – vp,o)exp[ko(Vp-n – vw-n)]
(2)
di mana vp ialah volume spesifik pori, vw kadar lengas spesifik, vp,o volume spesifik pori tanah kering-tanur, dan Vp ialah volume spesifik pori pada saat udara mulai mengisi pori.
HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi tanah gambut untuk mengerut dapat digambarkan dengan sifat kerutan (shrinkage) (Driessen dan Rochimah, 1977; Andriesse, 1988; Gray dan Allbrook, 2002) dan volume spesifiknya (Mc Lay et al. 1992; Défossez et al. 2003). Analisis ragam menunjukkan bahwa kegiatan pertanian di lahan gambut dan kebakaran hutan gambut berpengaruh terhadap kerutan dan volume spesifik tanah gambut. Gambar 1 menunjukkan bahwa kerutan tanah gambut dari hutan gambut tebang pilih tidak berbeda nyata dengan kerutan tanah gambut dari lahan-lahan pertanian dan 372
Perhitungan amblesan dengan pendekatan proksimat
bekas kebakaran, kecuali dengan yang dari lahan karet di lapisan atas (BNT 5%) dan lapisan bawah (BNT 1%) dan dari lahan jagung di lapisan bawah (BNT 5%). Meskipun demikian, besaran (magnitude) kerutan tanah gambut di lapisan atas cenderung menurun dengan adanya kegiatan pertanian dan kebakaran hutan lahan gambut. Tanah gambut dari lahan gambut terusik, karena adanya pengatusan yang berlebihan, mengalami peneguhan (konsolidasi) dan pemampatan (Andriesse, 1988), sehingga menurunkan kemampuannya untuk mengerut (Gray dan Allbrook, 2002).
Gambar 1. Perbandingan nilai kerutan tanah gambut dari hutan gambut tebang pilih dengan nilai dari setiap tipe lahan gambut terusik pada setiap lapisan gambut dengan menggunakan uji BNT Kecenderungan semakin menurunnya kemampuan tanah gambut untuk mengerut akibat kegiatan pertanian dan kebakaran hutan, dapat dilihat dengan lebih jelas pada perbandingan volume spesifiknya (Gambar 2). Di lapisan atas, volume spesifik tanah gambut dari lahan gambut terusik oleh kegiatan pertanian dan kebakaran lebih rendah daripada yang dari hutan gambut tebang pilih. Demikian juga di lapisan berikutnya (tengah), kecuali yang dari lahan karet. Untuk lapisan bawah, volume spesifiknya tidak berbeda nyata pada uji BNT 5% dengan yang diperoleh dari hutan gambut tebang pilih. Dengan demikian, semakin jelas terlihat bahwa kemampuan tanah gambut untuk mengerut menurun dengan adanya kegiatan pertanian di lahan gambut dan kebakaran hutan gambut.
373
A. Kurnain
Gambar2. Perbandingannilai volume spesifik tanah gambut dari hutan gambut tebang pilih dengan nilai dari setiap tipe lahan gambut terusik pada setiap lapisan gambut dengan menggunakan uji BNT Pengerutan tanah gambut dapat disebabkan oleh pengawaairan (dewatering) atau perombakan (oksidasi) bahan gambut atau kedua-duanya (Driessen dan Rochimah, 1977; Andriesse, 1988; Mc Lay et al. 1992; Brandyk et al. 2001). Jika dipertimbangkan bahwa pengerutannya hanya disebabkan oleh pengawaairan, maka sifat pengerutan tanah gambut yang diamati dalam penelitian ini dapat digambarkan seperti pada Gambar 3 (Mc Lay et al. 1992; Groenevelt dan Grant, 2004). Pencaran data pengamatan dicocokkan dengan persamaan 2. Sifat kerutan tanah gambut tampaknya sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh Groenevelt dan Grant (2004) untuk cuplikan tanah mineral. Namun demikian, hasil ini dapat saja sama dengan yang ditunjukkan oleh Brandyk et al. (2001) bahwa sifat kerutan tanah gambut nontropis tidak mengikuti sifat kerutan seperti untuk tanah mineral, karena data kerutan pada kadar lengas di bawah 2 dm3 kg-1 tidak tersedia pada penelitian ini. Gambar 3 menunjukkan bahwa pengerutan bahan gambut berlangsung dalam tiga fase, yaitu fase struktural, fase normal (proporsional), dan fase residual (Brandyk et al. 2001; Groenevelt dan Grant, 2004). Fase struktural terjadi pada keadaan jenuh air, sehingga penurunan volume bahan gambut sama dengan volume lengas yang hilang. Fase normal atau proporsional berlangsung dari saat ruang pori mulai terisi udara sampai pengerutannya diperlambat untuk memulai fase residual.
374
Perhitungan amblesan dengan pendekatan proksimat
Gambar 3. Kurva pengerutan gambut sebagai fungsi kadar lengas gambut pada beberapa tipe penggunaan lahan gambut. (Keterangan: garis jenuh 1:1 menunjukkan kurva teoritis pengerutan gambut jika gambut dijenuhi air dan pengerutannya hanya disebabkan oleh pengawaairan. Kurva kerutan dicocokkan dengan persamaan 2. Volume spesifik pori gambut kering-tanur dan saat udara mulai mengisi ruang pori masing-masing adalah 2,36 dan 9,00 dm3 kg-1, parameter lainnya: ko = 7,36 dm3 kg-1 dan n = 0,60).
Pengerutan fase normal ini diperkirakan berlangsung pada rentang penurunan lengas yang setara dengan nilai ko = 7,36 dm3 kg-1 (Groenevelt dan Grant, 2004). Penurunan volume tanah gambut pada fase ini sedikit lebih kecil daripada volume lengas yang hilang, tetapi penurunannya sebanding dengan penurunan volume lengasnya. Sebagian besar data pengamatan terpencar pada fase normal, sehingga pengerutan tanah gambut yang dicuplik dari lokasi penelitian ini terutama disebabkan oleh pengawaairan. Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan kebakaran lahan gambut menunjukkan adanya kejadian amblesan lahan gambut seperti yang secara tidak langsung dapat diamati dari perubahan sifat pemampatan gambut. Implikasi hasil penelitian ini dapat dikaitkan dengan perhitungan kehilangan karbon akibat deforestasi dan degradasi lahan gambut. Menurut fungsi kadar lengas gambut, watak dan perilaku amblesan lahan gambut secara tidak langsung (proksimat) dapat dijelaskan. Pada kadar lengas spesifik di 375
A. Kurnain
bawah 2 dm3 kg-1 amblesan sepenuhnya diakibatkan oleh adanya oksidasi gambut atau dengan kata lain terkait langsung dengan kehilangan karbon. Pada kadar lengas spesifik di atas 2 dm3 kg-1 amblesan lahan gambut akibat kehilangan lengas (dalam hal ini terkait dengan proses pemadatan dan kehilangan daya apung gambut) secara proporsional dapat dihitung dengan menggunakan persamaan modifikasi dari Groenevelt dan Grant (2004). Nilai kadar lengas spesifik di atas 2 dm3 kg-1 setara dengan kadar lengas volumetrik 20– 40% jika dipertimbangkan berat volume gambutnya 0,1 – 0,2 kg dm-3. Jika dihubungkan dengan kurva retensi dan pelepasan air seperti pada Gambar 4, nilai kadar lengas volumetrik secara tidak langsung ditentukan oleh ketinggian muka air tanah. Secara teknis hal ini menyiratkan pentingnya pengelolaan tinggi muka air tanah bagi pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan.
Gambar 4. Data dan model penahanan (retensi) dan pelepasan lengas menurut fungsi potensial air. (Keterangan: cuplikan gambut yang dikumpulkan pada lapisan atas 0–15 cm di (a) hutan gambut tebang pilih, (b) hutan gambut terbakar, (c) lahan gambut terbuka, (d) lahan jagung, (e) lahan nenas, dan (f) lahan karet (Kurnain et al. 2006).
KESIMPULAN DAN SARAN 1.
376
Perhitungan amblesan dapat didekati secara proksimat dengan indikator pemadatan dan kadar lengas. Perkiraan amblesan dapat mengikuti persamaan modifikasi dari Groenevelt dan Grant (2004) pada kadar lengas spesifik >2 dm3 kg-1.
Perhitungan amblesan dengan pendekatan proksimat
2.
Persamaan modifikasi di atas perlu diuji lebih jauh dengan lebih banyak data dan perlu dikembangkan untuk perhitungan amblesan berdasarkan kehilangan massa akibat oksidasi gambut.
DAFTAR PUSTAKA Alan Tan K.C. dan Ritzema H.P. 2003. Sustainable Development in Peat land of Sarawak – Water Management Approach. Int. Conf. on Hydrology and Water Resources in Asia Pacific Region, Kyoto, Japan, March 13-15, 2003 Andriesse, J.P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. FAO Soil Bulletin 59. Rome, Italy. 165 halaman. Brandyk, T., R. Oleszczuk, and J. Szatylowicz. 2001. Investigation of soil water dynamics in a fen peat-moorsh soil profile. International Peat Journal 11: 15–24. Défossez, P., G. Richard, H. Boizard, and M.F. O’Sullivan. 2003. Modeling change in soil compaction due to agricultural traffic as function of soil water content. Geoderma 116: 89–105. Dexter, A.R. 2004a. Soil physical quality: Part I. Theory, effects of soil texture, density, and organic matter, and effects on root growth. Geoderma 120: 201–214. Driessen, P.M., and L. Rochimah. 1977. The physical properties of lowland peats from Kalimantan. Dalam: Peat and Podzolics Soils and Their Potential for Agriculture in Indonesia. Proceedings ATA 106 Midterm Seminar. Soil Research Institute, Bogor. Halaman: 56–73. Gray, C.W., and R. Allbrook. 2002. Relationships between shrinkage indices and soil properties in some New Zealand soils. Geoderma 108: 287–299. Groenevelt, P.H., and C.D. Grant. 2004. Analysis of soil shrinkage data. Soil and Tillage Research 79: 71–77. Hooijer, A., S. Page, J. Jauhiainen, W.A. Lee, and X. Lu. 2010. Recent findings on subsidence and carbon loss in tropical peatlands: reducing uncertainties, Workshop on “Tropical Wetland Ecosystems of Indonesia: Science Needs to Address Climate Change Adaptation and Mitigation”, Bali, 11-14 April 2010. Joosten, H. and J. Couwenberg. 2009. Are emission reductions from peatlands MRVable?. Wetland International, Ede. Kamiya, M. and S. Kawabata. 2003. Physical properties of peat in Central Kalimantan. Dalam: M. Osaki, T. Iwakuma, T. Kohyama, R. Hatano, K. Yonebayashi, H. Tachibana, H. Takahashi, T. Shinano, S. Higashi, H. Simbolon, S.J. Tuah, H. Wijaya, and S.H. Limin. (eds.), Land Management and Biodiversity in Southeast Asia. Hokkaido University, Japan dan Research Centre for Biology, The Indonesian Institute of Sciences. Bogor, Indonesia. Halaman: 341–345. Kurnain, A. 2005. Dampak kegiatan pertanian dan kebakaran atas watak gambut ombrogen. Disertasi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 377
A. Kurnain
Kurnain, A., B. Radjagukguk, and T. Notohadikusumo. 2006. Impact of development and cultivation on hydro-physical properties of tropical peat soils, Tropics 15(4): 383389. Kurnain, A., T. Notohadikusumo, B. Radjagukguk, and Sri Hastuti. 2001. Peat soil properties related to degree of decomposition under different landuse systems, International Peat Journal 11: 67-78. Lipiec, J., and R. Hatano. 2003. Quantification of compaction effects on soil physical properties and crop growth. Geoderma 116: 107–136. McLay, C.D.A., R.F. Allbrook, and K. Thompson. 1992. Effect of development and cultivation on physical properties of peat soils in New Zealand. Geoderma 54: 23– 37. Parish, F., A. Sirin, D. Charman, H. Joosten, T. Minaeva and M. Silvius. 2008. Assessment on peatlands, biodiversity and climate change. Global Environment Centre, Kuala Lumpur and Wetland International Wageningen, 179p. Wösten, J.H.M. and Ritzema, H.P. 2002. Land and water management options for peatland development in Sarawak, Malaysia. International Peat Journal, 11: 59-66. Wösten, J.H.M., A.B. Ismail and A.L.M. van Wijk. 1997. Peat subsidence and its practical implications: a case study in Malaysia. Geoderma 78: 25-36.
378