NASKAH KONSEP MENGELOLA LAHAN GAMBUT DALAM DI RAWA SINGKIL, ACEH: UPAYA MENCAPAI TUJUAN PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DAN KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI 8 MARET 2016
This publication was produced for review by the United States Agency for International Development. It was prepared by Tetra Tech ARD.
This publication was written by Matthew Linkie, Muhamad Muslich, Matthew Leggett, and Willy Marthy of WCS and supported by the USAID LESTARI program.
This publication was prepared for review by the United States Agency for International Development under Contract # AID-497-TO-15-00005.
The period of this contract is from July 2015 to July 2020. Implemented by: Tetra Tech P.O. Box 1397 Burlington, VT 05402
.
NASKAH KONSEP MENGELOLA LAHAN GAMBUT DALAM DI RAWA SINGKIL, ACEH: UPAYA MENCAPAI TUJUAN PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DAN KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI 8 MARET 2016
DISCLAIMER This publication is made possible by the support of the American People through the United States Agency for International Development (USAID). The contents of this publication are the sole responsibility of Tetra Tech ARD and do not necessarily reflect the views of USAID or the United States Government. Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Halaman |1
DAFTAR ISI Ringkasan Eksekutif ........................................................................................................... 3 Executive Summary ............................................................................................................ 5 Pengantar ............................................................................................................................ 7 Lahan Gambut Di Indonesia ............................................................................................... 8 Hutan rawa gambut ............................................................................................................................. 8 Lahan gambut dan kebakaran ............................................................................................................ 8 Regulasi nasional dan inisiatif pengelolaan gambut ........................................................................... 9
Jasa Lingkungan Dan Lahan Gambut Di Aceh ............................................................... 11 Nilai ekonomi dari pelestarian ekosistem hutan Aceh ......................................................................11 Hutan rawa gambut di Aceh ..............................................................................................................12
Analisis Situasi Dari Suaka Margasatwa Rawa Singkil .................................................. 14 Nilai serapan karbon .........................................................................................................................14 Nilai keanekaragaman hayati ............................................................................................................15 Pembersihan lahan pertanian dan kebakaran ..................................................................................16 Pembalakan liar ................................................................................................................................18 Status pengelolaan ...........................................................................................................................18 Inisiatif nasional dan daerah .............................................................................................................20 Dukungan internasional ....................................................................................................................20
Tujuan Dan Aksi ................................................................................................................ 22 Tujuan 1. Meningkatkan efektivitas Suaka Margasatwa Rawa Singkil untuk perlindungan hutan gambut dan hidupan liar ....................................................................................................................22 Tujuan 2. Mengkaji dan memonitor manfaat jasa ekosistem yang disediakan oleh Suaka Margasatwa Rawa Singkil .................................................................................................................23 Tujuan 3. Menginvestigasi rantai pasok ilegal untuk kelapa sawit dan industri kayu di kawasan hutan dan lahan gambut di Aceh Selatan, Subulussulam, dan Singkil yang menunjukkan risiko kebakaran yang tinggi di masa depan untuk hutan Aceh dan keanekaragaman hayati. .................24 Tujuan 4. Mengkaji insentif ekonomi yang saat ini mendorong terjadinya pembukaan hutan pada lahan gambut di Aceh, baik di tingkat kabupaten, propinsi dan nasional, guna membangun skenario bisnis bagi pemanfaatan lahan berkelanjutan...................................................................................26
Kesimpulan ....................................................................................................................... 27
Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Halaman |2
RINGKASAN EKSEKUTIF Laporan ini menyajikan analisis singkat dan informatif dari peran penting lahan gambut dalam berbagai tipe ekosistem di Propinsi Aceh, Indonesia. Hutan gambut mengandung sebagian dari stok karbon tertinggi per hektar-nya dibandingkan tipe hutan lain, dan dengan demikian perlindungan hutan gambut harus menjadi prioritas dari strategi Pemerintah Indonesia dalam penurunan emisi gas rumah kaca. Akan tetapi, kejadian kebakaran dan asap yang luar biasa pada tahun 2015 di Indonesia paling banyak disebabkan oleh pengelolaan lahan gambut yang tidak bertanggung jawab dan menunjukkan ancaman yang signifikan terhadap lahan gambut di Indonesia. Kejadian tersebut menimbulkan konsekuensi yang serius terhadap kesehatan, ekonomi, iklim dan keanekaragaman hayati di wilayah terbakar. Aceh memiliki tiga hutan rawa gambut utama: Tripa, Singkil, dan Kluet. Kawasan Tripa menunjukkan bagaimana cepatnya lahan gambut dalam mengalami degradasi akibat perambahan liar kelapa sawit dan penggunaan api yang sistematis untuk membersihkan lahan berhutan. Dua hutan gambut dalam yang tersisa, Singkil dan Kluet, masih terbilang utuh tetapi terancam oleh kepentingan kelapa sawit ilegal dan pembalakan. Konversi, degradasi, dan drainase ilegal yang terus berlangsung di Singkil dan Kluet meningkatkan risiko kebakaran yang meluas di bagian barat Ekosistem Leuser. Pengalaman dari Tripa menunjukkan bahwa pendekatan proaktif dan preemptive sangat penting guna menghindari kebakaran. Analisis Situasi yang disajikan dalam laporan ini mengungkapkan beberapa gap atau kesenjangan utama yang menghambat upaya-upaya untuk menyelamatkan Suaka Margasatwa Rawa Singkil dan hutan rawa gambut di Aceh lainnya – kapasitas sumberdaya yang kurang tersedia bagi manajemen BKSDA, tata batas kawasan yang kurang jelas, kurangnya informasi taktis tentang rantai pasok perkebunan kelapa sawit dan industri kayu ilegal, kurangnya transparansi terkait status konsesi-konsesi yang ada saat ini, dan rendahnya pengetahuan pemerintah daerah tentang kebijakan dan peraturan perencanaan tata guna lahan. Untuk mengatasi permasalahan ini, suatu pendekatan multi lapis diusulkan, yang terdiri dari 4 tujuan berikut ini:
Tujuan 1. Meningkatkan efektivitas pengelolaan Suaka Margasatwa Rawa Singkil untuk perlindungan hutan gambut dan hidupan liar Tujuan 2. Mengkaji dan memonitor manfaat jasa ekosistem yang disediakan oleh Suaka Margasatwa Rawa Singkil Tujuan 3. Menginvestigasi rantai pasok ilegal untuk kelapa sawit dan industri kayu di kawasan hutan dan lahan gambut di Aceh Selatan, Subulussulam, dan Singkil yang dapat menyebabkan resiko kebakaran yang tinggi di masa depan untuk hutan dan keanekaragaman hayati di Aceh. Tujuan 4. Mengkaji insentif ekonomi yang saat ini mendorong terjadinya pembukaan hutan pada lahan gambut di Aceh, baik di tingkat kabupaten, propinsi dan nasional, guna membangun skenario bisnis bagi pemanfaatan lahan berkelanjutan.
Guna melestarikan Singkil dan jasa ekosistemnya, diperlukan berbagai aksi yang melibatkan mitra pemerintah di berbagai level. Oleh karena itu, LESTARI dapat memainkan peran kunci untuk mengkoordinasikan dan mendukung kerja-kerja institusi pemerintah di tingkat kabupaten, propinsi, dan nasional. Sebagai contoh, LESTARI dapat mendukung pembuatan peta detil lahan gambut nasional, memperbaiki petunjuk teknis untuk tata kelola lahan gambut dan restorasi ekosistem, dan memperkuat sistem monitoring kebakaran berbasis masyarakat. Upaya-upaya ini harus dilengkapi dengan dukungan di tingkat kabupaten dan propinsi untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan kawasan lindung, skema insentif Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Halaman|3
berbasis masyarakat, dan khususnya untuk Singkil, mencegah perambahan ke dalam kawasan. Potensi dukungan ini sesuai dengan kerangka teknis projek LESTARI. Proyek USAID LESTARI mendukung upaya Pemerintah Republik Indonesia (RI) menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), melestarikan keanekaragaman hayati di ekosistem hutan dan mangrove yang bernilai secara biologis serta kaya akan simpanan karbon. Dibangun diatas pondasi proyek USAID IFACS, LESTARI menerapkan pendekatan lanskap untuk menurunkan emisi GRK, dengan mengintegrasikan aksi konservasi hutan dan lahan gambut dan strategi pembangunan rendah emisi (SPRE) di lahan lain yang sudah terdegradasi. Upaya ini dicapai melalui perbaikan tata guna lahan, tata kelola hutan lindung, perlindungan spesies kunci, praktik sektor swasta dan industri yang berkelanjutan, serta peningkatan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dalam kegiatan konservasi. Proyek LESTARI diimplementasikan oleh Tetra Tech bersama mitra konsorsium yang terdiri dari WWF-Indonesia, Winrock International, Wildlife Conservation Society (WCS), Blue Forests, Yayasan Sahabat Cipta, PT Hydro South Pole Carbon, Sustainable Travel International (STI), Michigan State University, dan Yayasan FIELD. Proyek LESTARI berlangsung sejak Agustus 2015 hingga Juli 2020.
Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Halaman|4
EXECUTIVE SUMMARY This report provides a brief yet informative analysis of the crucial role of peatlands in the ecosystems of Aceh Province, Indonesia. Peat forests contain some of the highest carbon stocks per hectare of any forest, and hence their protection must be a priority of the Government of Indonesia’s greenhouse gas emissions reduction strategy. However, the devastating 2015 Indonesian fire and haze event resulted largely from irresponsible peatland management and shows that Indonesia’s peatlands are under threat. This holds serious consequences for the health, economy, climate, and biodiversity of the region. Aceh contains three main peat swamp forests: Tripa, Singkil, and Kluet. Tripa demonstrates how quickly a deep peatland can be degraded by illegal oil palm encroachment and the systematic use of fire to clear forested land. The two remaining deep peat forests, Singkil and Kluet, are both are still relatively intact but are under threat from illegal oil palm and logging interests. The ongoing illegal drainage, degradation, and conversion of Singkil and Kluet greatly heighten the risk of widespread fires across much of the western Leuser Ecosystem. The experience from Tripa shows that a proactive and pre-emptive approach is critical for avoiding fires. The Situation Analysis presented in this report reveals several key gaps that undermine efforts to safeguard Singkil Wildlife Reserve and Aceh’s other peat swamp forests – the low management capacity of BKSDA, lack of actionable information on illegal oil palm and timber supply chains, lack of transparency on the status of existing concessions, and poor knowledge of district government on land use planning policies and laws. To address this, a multi-layered approach is proposed, consisting of the following 4 objectives:
Objective 1. Increase management effectiveness of Singkil Wildlife Reserve to protected peat forest and wildlife Objective 2. Assess and monitor the ecosystem service benefits provided by Singkil Wildlife Reserve Objective 3. Investigate illegal supply chains for palm oil and timber in forest and peatland areas in Aceh Selatan, Subulussulam, and Singkil which present a high future fire risk to Aceh’s forests and biodiversity. Objective 4. Assess the financial incentives which currently drive forest clearance on peatlands in Aceh, at district, provincial and national levels, to build a business case for sustainable land use.
In order to preserve Singkil and its ecosystem services, a range of actions involving government partners at all levels is required. Hence LESTARI can play a key leadership role in coordinating and supporting the work of district, provincial, and national level government agencies. For instance, LESTARI can support the production of a detailed national peatland map, improved technical guidance for peatland governance and ecosystem restoration, and strengthened community-based fire monitoring systems. These efforts must be complemented through provincial and district-level support for enhanced protected area management capacity, community-based incentive schemes, and, especially for Singkil, preventing encroachment into reserve boundaries. USAID LESTARI supports the Government of Indonesia (GoI) to reduce greenhouse gas (GHG) emissions and conserve biodiversity in carbon rich and biologically significant forest and mangrove ecosystems. Built on the strong foundation of USAID’s IFACS project, LESTARI applies a landscape approach to reduce GHG emissions, integrating forest and peatland conservation with low emissions development (LEDS) on other, already degraded Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Halaman|5
land. This is achieved through improved land use governance, enhanced protected areas management and protection of key species, sustainable private sector and industry practices, and expanded constituencies for conservation among various stakeholders. LESTARI is implemented under the leadership of Tetra Tech and a consortium of partners including WWF-Indonesia, Winrock International, Wildlife Conservation Society (WCS), Blue Forests, Yayasan Sahabat Cipta, PT Hydro South Pole Carbon, Sustainable Travel International (STI), Michigan State University, and the FIELD Foundation. LESTARI runs from August 2015 through July 2020.
Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Halaman|6
PENGANTAR Lahan gambut di Indonesia merupakan ekosistem yang paling sensitif dan terancam di bumi. Kawasan ini mengandung stok karbon tinggi yang terbagi secara tidak merata, dibandingkan hutan pada tanah mineral, dan karenanya perlindungan lahan gambut harus menjadi bagian utama dari upaya Pemerintah Indonesia untuk mencapai penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dibawah skenario business-as-usual, atau 41% dengan dukungan internasional. Hutan-hutan rawa gambut di Sumatra, meskipun memiliki nilai keanekaragaman hayati yang tinggi termasuk satwa terancam punah (critically endangered) seperti orangutan dan harimau, sedang mengalami tingkat konversi yang cepat dan ekstensif menjadi lahan perkebunan, tanpa memperhatikan kesesuaian lahan untuk tujuan ini. Laporan singkat ini disusun untuk menggambarkan hutan rawa gambut Indonesia di Propinsi Aceh, dengan fokus utama pada kawasan yang luas, dengan kondisi hutan relatif utuh tetapi berada dibawah tekanan, yaitu Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Laporan ini dimulai dengan mempertimbangkan kerentanan lahan gambut di Indonesia, khususnya terkait dengan episode asap baru-baru ini, dan berbagai inisiatif nasional yang dirancang untuk memperbaiki pengelolaan lahan gambut, karena kesemua hal ini memiliki relevansi dengan upaya penyelamatan hutan gambut Aceh. Laporan ini juga merangkum Total Valuasi Ekonomi dari jasa ekosistem hutan di Propinsi Aceh, dimana hutan rawa gambut Tripa, Kluet dan Singkil menjadi bagian integral dari ekosistem hutan Aceh. Selanjutnya, Analisis Situasi dari Suaka Margasatwa Rawa Singkil dilakukan untuk mengkaji jasa-jasa lingkungan (untuk penyerapan karbon dan keanekaragaman hayati) yang tersedia, ancaman-ancaman utama, status pengelolaan dan berbagai inisiatif konservasi yang ada saat ini (sub-nasional, nasional dan internasional). Analisis tersebut berhasil mengidentifikasi beberapa kesenjangan atau gap utama yang menghambat upaya-upaya perlindungan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Informasi ini kemudian digunakan untuk membangun suatu kerangka kerja yang layak (feasible), namun mendesak, dan berbagai aksi untuk memperbaiki efektivitas pengelolaan dari suaka margasatwa tersebut. Kerangka kerja ini dapat direplikasi (replicable) dan diaplikasikan secara luas untuk mengamankan hutan rawa gambut yang terancam keberadaannya di berbagai wilayah di Indonesia.
Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Halaman|7
LAHAN GAMBUT DI INDONESIA Hutan rawa gambut Indonesia memiliki kurang lebih 92 juta hektar hutan hujan primer1, termasuk diantaranya 22 juta hektar lahan gambut. Angka ini mewakili 80% dari lahan gambut tropis di Asia. Hutan rawa gambut tropis umumnya dikenal sebagai penyimpan karbon (carbon sinks) karena tanah rawa mencegah material organik (daun-daun mati dan tanaman berkayu) terdekomposisi secara penuh yang selama ribuan tahun menghasilkan simpanan karbon dalam jumlah besar. Lahan gambut di Indonesia menyimpan 132 gigaton karbon dioksida, jumlah yang sangat mencolok jika dibandingkan dengan hutan hujan terbesar di dunia (>500 juta hektar), yakni Amazon, yang menyimpan 168 gigaton karbon dioksida. Lahan gambut sangat asam, berpori (spongy) dan terbanjiri secara rutin, membuat jenis lahan ini tidak cocok untuk pertanian. Meskipun demikian, lahan gambut dibuka untuk kelapa sawit dan industri pulp dan kertas dengan tingkat kecepatan yang tidak proporsional, sebagian karena alasan tidak banyak masalah klaim lahan komunitas yang harus diatasi. Sebelum ditanami untuk pertanian, lahan gambut dikeringkan untuk mengurangi tinggi muka air. Oksidasi ini melepaskan sejumlah besar karbon dioksida ke atmosfer – drainase lahan gambut di Asia Tenggara berkontribusi hingga 3% pada emisi global karbon dioksida saat ini yang terutama dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Masalah lain, drainase yang terus berlangsung dan paparan sinar matahari menyisakan materi organik kering yang kaya karbon dan sangat mudah terbakar, dan ketika pembersihan lahan gambut terdrainase dilakukan dengan cara dibakar, lahan ini melepaskan sejumlah besar kabut asap beracun. Drainase juga menyebabkan dekomposisi, penyusutan dan subsidensi karena sifat tanah gambut yang tidak stabil. Di Indonesia, subsidensi lahan gambut sebesar 1-2 meter biasanya terjadi setelah lima tahun pertama drainase dilakukan, diikuti dengan subsidensi sebesar 0.3-0.5 cm per tahun sesudahnya. Karena lahan gambut memiliki tinggi muka air yang dekat dengan permukaan, penurunan permukaan tanah tidak hanya menyebabkan peningkatan risiko banjir, tetapi juga menurunkan produktivitas pertanian dan meningkatkan risiko kehilangan lahan akibat perendaman.
Lahan gambut dan kebakaran Kebakaran hutan yang terjadi pada bulan Agustus-November 2015 di berbagai wilayah di Indonesia bukanlah fenomena baru. Selama lebih dari dua puluh tahun, negara-negara di Asia Tenggara menderita akibat asap beracun yang dihasilkan dari kebakaran besar di Indonesia khususnya dari hutan tanah mineral dan lahan gambut di Sumatra dan Kalimantan. Kebakaran pada lahan gambut melepaskan emisi gas rumah kaca dengan tingkat yang tinggi. Pembakaran dilakukan dengan sengaja selama musim kemarau oleh petani kecil dan perusahaan sebagai teknik pembersihan dan perluasan lahan pertanian, khususnya kelapa sawit. Pada tahun 2015, musim kemarau berkepanjangan karena El Nino menghasilkan salah satu dari kejadian kebakaran hutan terburuk yang diakibatkan oleh ulah manusia. Angka statistik tentang dampak kebakaran hutan pada tahun 2015 sangat mengkhawatirkan, terlepas dari metode yang digunakan untuk melakukan pengukuran, Ekosistem dan keanekaragaman hayati: 5,7 juta hektar hutan dan lahan terbuka rusak terbakar2. Meskipun sulit menghitung dampak keanekaragaman hayati, adanya kehilangan habitat hutan secara luas dan asap beracun mengindikasikan bahwa dampak tersebut signifikan, terutama untuk spesies terancam seperti harimau dan orang-utan. Selain itu juga terdapat sejumlah dampak turunan yang potensial. Sebagai contoh, kebakaran 1
Margono et al. (2014) Primary forest cover loss in Indonesia over 2000–2012. Nature Climate Change 4:730–735.
2
http://www.nytimes.com/2015/10/31/world/asia/indonesia-forest-fires-wildlife.html?_r=0 Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Halaman|8
yang terjadi pada tahun 1997/1998 menyebabkan kerusakan parah pada populasi serangga dan lebah, sebagai penyerbuk utama, yang kemudian berdampak besar pada suplai makanan dan regenerasi hutan alam3,4. Asap dan abu kebakaran juga diketahui berdampak signifikan pada ekosistem laut yang rapuh seperti rumput laut dan terumbu karang5. Emisi gas rumah kaca: Dalam dua bulan pertama kebakaran, emisi karbon Indonesia melebihi total output karbon tahunan Jerman dan ketika kebakaran mencapai puncaknya, emisi yang dihasilkan melebihi karbon harian dari seluruh aktivitas ekonomi Amerika (dimana skalanya lebih dari 20 kali aktivitas ekonomi Indonesia). Kesehatan manusia: kebakaran memiliki dampak yang merusak terhadap kesehatan 28 dan 43 juta penduduk Indonesia6, dengan 500.000 kasus infeksi pernapasan akut7 dilaporkan kurang dari dua bulan. Ekonomi: Kebakaran hutan dan kejadian asap tahun ini menghambat pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dengan estimasi kerugian mencapai 221 triliun rupiah (atau sekitar 16,8 miliar US dolar) yang merepresentasikan 1,9% dari GDP8. Nilai tersebut lebih dari dua kali biaya rekonstruksi untuk Aceh dan Nias setelah kejadian tsunami tahun 2004. Kerugian akibat kebakaran hutan di tingkat regional diperkirakan mencapai kurang lebih $14bn9.
Dampak kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 2015 menggambarkan satu dari bencana lingkungan terburuk di abad ke-21. Sebagai ilustrasi, nilai kerugian gabungan dari tujuh juta orang yang terdampak oleh bencana Chernobyl10 dan kerugian ekonomi bencana Exxon Valdez dan Bhopal11 diperkirakan sebesar kurang dari 4,5 miyar US dolar – nilai ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan estimasi dampak kebakaran di Indonesia. Lebih jauh, anggaran yang dikeluarkan oleh Indonesia antara bulan Agustus dan Oktober untuk memadamkan kebakaran dan memitigasi dampak kabut asap, digabungkan dengan estimasi kerugian ekonomi dari bencana itu sendiri, jauh melebihi jumlah anggaran yang diperlukan untuk menyediakan 120 juta orang miskin di Indonesia dengan layanan sanitasi dasar, air dan limbah, dan nilai tersebut setara dengan seperempat jumlah bantuan tahunan luar negeri untuk Indonesia12.
Regulasi nasional dan inisiatif pengelolaan gambut Berdasarkan UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penggunaan api untuk membersihkan lahan dan membuka lahan gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter tidak diperbolehkan. Ini berarti sebagian besar lahan gambut di Indonesia harus diberi perlindungan karena kedalamannya, tetapi situasi ini jarang terjadi di lapangan seperti ditunjukkan oleh pola kebakaran tahunan. Oleh karena itu,
3
Meijaard, E., pers comm (2015) Borneo Futures Initiative.
4
Nasi, R., Dennis, R., Meijaard, E., Applegate, G. and Moore, P. (2001) Forest fire and biological diversity. FAO. [http://www.fao.org/docrep/004/y3582e/y3582e08.htm]
5
Abrams, J.F., Hohn, S., Rixen, T., Baum, A. and Merico, A. (2016) The impact of Indonesian peatland degradation on downstream marine ecosystems and the global carbon cycle. Global Change Biology, 22:325-337.
6
Sutopo Puro Nugroho, the spokesperson for the Meteorology, Climatology and Geophysics Agency (BMKG) quoted in http://www.theguardian.com/world/2015/oct/26/indonesias-fires-crime-against-humanity-hundreds-of-thousands-suffer
7
http://www.theguardian.com/world/2015/oct/26/indonesias-fires-crime-against-humanity-hundreds-of-thousands-suffer
8
http://www.worldbank.org/en/news/feature/2015/12/15/indonesia-economic-quarterly-december-2015
9
Hery Purnomo, CIFOR, quoted in http://www.nytimes.com/2015/10/31/world/asia/indonesia-forest-fireswildlife.html?_r=0
10
http://chernobyl.undp.org/russian/docs/belarus_23_anniversary.pdf
11
www.bhopal.com
12
$64.77bn; Stats.oecd.org 2013. Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Halaman|9
Pemerintah Indonesia telah memperbaharui komitmennya untuk memerangi kebakaran dimasa depan, khususnya pada lahan gambut, dengan cara menanggulangi faktor penyebabnya dan beberapa aksi pendukung telah diidentifikasi, termasuk: Pembentukan Badan Restorasi Gambut nasional – Peraturan Presiden No. 1/2016 untuk mencegah kebakaran hutan, khususnya pada lahan gambut, dan untuk merestorasi kawasan yang rusak karena kebakaran. Komitmen untuk mengintegrasikan data nasional terkait pemanfaatan lahan gambut dan perijinan yang ada saat ini sebagai referensi bagi tata kelola lahan gambut, melalui inisiatif yang sedang berjalan yaitu Satu Peta (One Map) untuk Indonesia. Menghentikan penerbitan ijin di lahan gambut, dan mengevaluasi ijin yang saat ini berlaku. Restorasi dan rehabilitasi lahan gambut kritis dengan teknik restorasi hidrologi. Melarang penanaman pada lahan gambut yang terbakar dan memberikan mandate untuk restorasi, dengan penekanan pada upaya mengembalikan kawasan terbakar dibawah pengelolaan negara. Berbagai aturan dan inisiatif di tingkat nasional menyediakan dasar yang kuat bagi perlindungan hutan rawa gambut di Aceh. Lebih lanjut, Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh memberikan otonomi yang lebih tinggi kepada pemerintah propinsi untuk pengelolaan sumber daya alam, yang memungkinkan penerbitan peraturan daerah (qanun). Hal ini berdampak baik, contohnya melalui penerapan moratorium industri kayu komersil di level propinsi. Meskipun demikian, kebijakan tersebut juga mengarah pada inkonsistensi antara regulasi nasional dan propinsi, seperti yang dapat ditemukan pada rencana tata ruang Aceh. Untuk mencapai pengelolaan hutan gambut yang efektif, dan juga hutan tanah mineral, menjadi sangat penting bagi rencana tata ruang Aceh untuk sepenuhnya mengakui jasa lingkungan yang disediakan oleh berbagai tipe ekosistem hutan ini. Satu cara untuk mencapai hal ini adalah melalui periode review lima tahunan atas rencana tata ruang yang berlaku. Periode ini memungkinkan penyesuaian terhadap rencana tata ruang melalui zonasi beresolusi tinggi mulai dari kawasan lahan negara, swasta sampai ke kawasan perdesaan. Pendekatan yang lebih bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan juga harus dilakukan, sehingga pada waktu bersamaan, berkontribusi terhadap pertumbuhan regional yang berkelanjutan. Efektivitas zonasi kawasan perdesaan akan dapat dicapai ketika hak dan kewajiban masyarakat yang diklarifikasi melalui penataan batas partisipatif diakui secara hukum, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No 28 Tahun 2006. Zonasi tata ruang, yang partisipatif, dapat disahkan melalui peraturan daerah (qanun) - Peraturan Zonasi – seperti diatur dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP No 15 Tahun 2010. Tata batas dan definisi zonasi diperlukan dalam proses ini. Oleh karena itu, penghargaan dan pengakuan atas jasa ekosistem hutan dapat dimasukkan kedalam zona yang telah ditentukan diseluruh kawasan hutan negara dan swasta.
Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati H a l a m a n | 10
JASA LINGKUNGAN DAN LAHAN GAMBUT DI ACEH Nilai ekonomi dari pelestarian ekosistem hutan Aceh Hutan-hutan rawa gambut di Aceh terletak di pesisir bagian barat propinsi tersebut. Dalam skala konektivitas yang bervarias, lahan gambut ini berdampingan dengan hutan tanah mineral dimana sungai-sungai bermuara. Secara keseluruhan, nilai penting jasa lingkungan yang disediakan baik oleh hutan gambut maupun hutan tanah mineral di Aceh diilustrasikan dengan Total Valuasi Ekonomi13. Pada studi ini, satu model komprehensif dibangun menggunakan data tutupan hutan, indikator sosio-ekonomi dan berbagai jasa ekosistem yang disediakan oleh hutan. Terdapat dua skenario yang dievaluasi: i) Skenario konservasi – dimana seluruh aktivitas ekstraktif dihentikan dan jasa ekosistem hutan dipelihara; dan, ii) Skenario deforestasi – dimana seluruh aktivitas berlangsung seperti biasa (business-asusual) dengan laju deforestasi 1,3% per tahun yang menghasilkan perluasan lahan pertanian tetapi diiringi penurunan hasil pertanian selaras dengan penyusutan jasa ekosistem. Secara singkat, studi ini menemukan perubahan penting pada komposisi Total Valuasi Ekonomi dari kedua skenario tersebut. Sementara deforestasi mungkin dianggap sebagai cara mudah dan cepat untuk mendapatkan penghasilan, sekali lahan dikonversi menjadi perkebunan, erosi tanah akan segera terjadi dan produksi pertanian pun menurun. Penjualan kayu juga mengalami penurunan seiring dengan pembukaan hutan yang berada pada daerah yang mudah diakses dan efek dari degradasi jasa ekosistem pun akan mengambil alih. Dalam kerangka waktu lebih dari 30 tahun, skenario konservasi menghasilkan manfaat bersih yang lebih tinggi (12,9 miliar US dolar) dibandingkan skenario deforestasi (11,6 miliar US dolar; Tabel 1). Kajian ini tidak menginvestigasi secara detil bagaimana manfaat dari jasa lingkungan yang berbeda didistribusikan kepada kelompok-kelompok penerima. Sebagai contoh, skenario deforestasi akan sangat menguntungkan perusahaan-perusahaan kayu skala besar. Perusahaan ini akan membayar pajak kepada pemerintah nasional dan/atau propinsi yang kemudian mungkin diterjemahkan dalam bentuk bantuan dana bagi masyarakat pinggiran hutan. Namun demikian, industri kayu akan beroperasi di kawasan hutan dengan elevasi rendah yang juga menjadi wilayah adat bagi masyarakat pinggiran hutan. Sebaliknya, skenario konservasi akan memastikan bahwa jasa lingkungan paling bermanfaat bagi masyarakat desa (menyediakan suplai air bersih, perikanan dan produk-produk hutan non kayu) dalam jangka panjang. Tabel 1. Total nilai dan distribusi manfaat diantara sektor untuk kedua skenario, dengan diskonto 3,5% (data diambil dari van Beukering et al. 2008) Sektor
Deforestasi
Konservasi
Nilai (juta dolar)
Proporsi (%)
Nilai (juta dolar)
Proporsi (%)
Suplai air bersih
1.059
9
2.487
19
Perikanan
2.025
18
2.490
19
Pencegahan banjir
1.159
10
1.329
11
Pertanian
3.512
30
3.991
31
13
van Beukering, P., Grogan, K., Hansfort, S.L. and Seager, D. (2008) An economic valuation of Aceh’s forests: the road towards sustainable development. Technical report for the Government of Aceh, Aceh, Indonesia. Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati H a l a m a n | 11
Sektor
Deforestasi
Konservasi
Nilai (juta dolar)
Proporsi (%)
Nilai (juta dolar)
Proporsi (%)
Hidroelektrik
16
0
26
0
Pariwisata
25
0
139
1
Keanekaragaman hayati
103
1
582
5
0
0
1.217
9
Pencegahan kebakaran
183
2
225
2
Produk hutan non-kayu
161
1
391
3
Kayu
3.308
29
0
0
Total
11.551
100
12.877
100
Penyerapan karbon
Hutan rawa gambut di Aceh Aceh memiliki tiga hutan rawa gambut utama. Pertama, Tripa yang menunjukkan bagaimana cepatnya lahan gambut dalam terdegradasi oleh perambahan liar kelapa sawit dan penggunaan api yang sistematis untuk pembersihan lahan berhutan. Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana sulitnya menegakkan aturan untuk mencegah aktivitas ilegal tersebut. Malahan, penerbitan surat perintah pengadilan untuk menghentikan pembersihan lahan memacu perusahaan perkebunan untuk mempercepat kegiatan pembersihan lahan. Hal ini menyebabkan beberapa kejadian kebakaran terburuk di Sumatra pada tahun 2012. Terdapat dua hutan gambut dalam yang tersisa di kawasan Ekosistem Leuser, yakni Singkil (82.374 ha) dan Kluet (18.000 ha; Gambar 1). Singkil dan Kluet keduanya masih relatif utuh, akan tetapi mengalami konversi cepat secara ilegal menjadi kebun kelapa sawit (Singkil) dan dieksploitasi oleh para pembalak liar (Singkil dan Kluet). Drainase ilegal yang terus berlangsung, degradasi dan konversi yang terjadi di Singkil dan Kluet meningkatkan risiko kebakaran skala luas di sebagian besar kawasan bagian barat dari Ekosistem Leuser sehingga kerusakan hutan rawa gambut yang kaya karbon dan hutan tanah mineral di sekitarnya, tidak terhindarkan. Emisi karbon yang dihasilkan dari kebakaran di dua kawasan ini saja dapat mencapai 7% dari total emisi tahunan Indonesia, situasi yang membahayakan komitmen Indonesia yang tertuang dalam Rencana Kontribusi secara Nasional (Intended Nationally Determined Contribution) dibawah UNFCCC dan mengarah pada potensi kehilangan keanekaragaman hayati yang signifikan, belum lagi kerugian yang dialami sektor ekonomi dan kesehatan di Indonesia dan kawasan regional14. Pengalaman dari Tripa menunjukkan bahwa pendekatan proaktif dan preemptive menjadi penting diterapkan untuk menghindari kebakaran. Dibawah ini, disajikan analisis situasi dari Singkil sebagai informasi bagi penyusunan strategi guna membantu Pemerintah Aceh membangun suatu praktik terbaik (best practice) dan model yang dapat direplikasi untuk melindungi lahan gambut, menghindari emisi gas rumah kaca beracun dan mempertahankan keanekaragaman hayati.
14
Gaveau D., et al. (2014) Major atmospheric emissions from peat fires in Southeast Asia during non-drought years: evidence from the 2013 Sumatran fires. Scientific Reports, 4:6112. Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati H a l a m a n | 12
Gambar 1. Rangkaian citra sejak tahun 2005-2014 dari Global Forest Watch menunjukkan kehilangan yang hampir menyeluruh dari hutan rawa gambut di Tripa dan laju kehilangan yang tinggi di perbatasan hutan rawa gambut Aceh yang tersisa, Kluet dan Singkil. Kehilangan hutan di sekitar Singkil telah memecah kawasan hutan yang dalam prosesnya memutus koneksi kawasan tersebut dengan Lanskap Leuser. Pola-pola deforestasi ini diprediksi berdampak signifikan terhadap spesies penjelajah seperti harimau dan lebih lanjut, menurunkan daya hidup populasi dari spesies terancam seperti populasi orang-utan.
Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati H a l a m a n | 13
ANALISIS SITUASI DARI SUAKA MARGASATWA RAWA SINGKIL Bagian ini mengkaji status Suaka Margasatwa Rawa Singkil, dengan fokus utama pada jasa lingkungan (untuk serapan karbon dan keanekaragaman hayati), ancaman-ancaman utama, status pengelolaan dan inisiatif konservasi yang ada saat ini. Sebagian analisis digunakan untuk mengidentifikasi kesenjangan dan hambatan pengelolaan kawasan, yang kemudian digunakan untuk menyusun suatu kerangka kerja aksi.
Nilai serapan karbon Peta gambut dalam untuk Singkil yang dibuat oleh Wetlands International (2004) dan RePPProT (1988) memperkirakan rata-rata kedalaman masing-masing 1,2 dan 1,9 m. Naumn, perkiraan kasar yang dihasilkan oleh kedua survei tersebut memerlukan studi lapangan yang lebih detil. Untuk itu, pada tahun 2012, Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) menugaskan Deltares (perusahaan konsultan) untuk melakukan kajian cepat atas deposit gambut di Singkil, Tripa dan Kluet15. Dari kajian tersebut ditemukan bahwa rata-rata kedalaman gambut di Singkil adalah 3,8 m atau setidaknya dua kali lebih dalam dari perkiraan sebelumnya (Gambar 2). Meskipun demikian, beberapa titik sampel di suatu kubah gambut berukuran 10 x 15 km di dalam kawasan Singkil merekam kedalaman gambut hingga 10 m. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai estimasi saat ini bersifat konservatif dan rata-rata kedalaman lahan gambut Singkil masih lebih dalam, tetapi survei lapangan lanjutan diperlukan untuk mengukur hal ini secara komprehensif. Temuan tentang kedalaman lahan gambut ini signifikan karena menguatkan kebutuhan akan adanya dukungan kebijakan untuk melindungi Suaka Margasatwa Rawa Singkil sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang 32/2009 tentang larangan pembukaan gambut dengan kedalaman >3 m. Studi Deltares memperkirakan bahwa Singkil mengandung volume gambut sebesar 3.584 M m3 dan simpanan karbon gambut sebesar 541 M t CO2. Studi Deltares menggunakan pendekatan kajian cepat (rapid assessment). Oleh karena itu, kehati-hatian perlu diterapkan karena hasil studi bersifat sangat tentatif dan mengandung ketidakpastian karena keterbatasan data yang digunakan dan keterbatasan waktu pelaksanaan studi. Laporan studi merekomendasikan kebutuhan studi lapangan yang lebih detil untuk mengumpulkan data ketebalan gambut dan elevasi agar pemodelan kedalaman gambut dapat dibuat untuk wilayah Singkil dan, dari sini, proyeksi perubahan yang lebih akurat dapat dihasilkan untuk periode waktu lebih dari 30 tahun.
15
Deltares (2012). Rapid assessment of peat deposits, carbon stock, CO2 emission reduction/avoidance quantities and hydrological rehabilitation cost for three peatlands in Aceh. A technical report for Floresta and BPKEL; Deltares project number: 1205000. Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati H a l a m a n | 14
Gambar 2. Perbandingan dari tiga kajian kedalaman gambut yang dilakukan oleh RePPProt, Wetlands International (WI) dan Deltares (warna merah muda dan hijau menunjukkan kontur ketebalan gambut). Metode kajian cepat yang diterapkan oleh Deltares memperkirakan kedalaman gambut di sebagian besar wilayah Singkil adalah 2-4 meter, akan tetapi angka ini mungkin masih mewakili estimasi yang bersifat konservatif [Peta disalin dari Deltares, laporan tahun 2012]
Nilai keanekaragaman hayati Singkil adalah rumah bagi dua dari empat spesies mamalia utama - orang-utan dan harimau (gajah dan badak merupakan dua spesies lainnya). Satwa terancam punah orang-utan sumatra (Pongo abelii) yang diperkirakan berjumlah 14.613 individu liar, sejumlah 11.701 individu berada di Ekosistem Leuser16. Dari jumlah tersebut, 1.269 individu hidup di Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Suaka margasatwa ini penting karena memiliki satu dari wilayah dengan kepadatan populasi orang-utan tertinggi (1,75 individu/km2), yang dimungkinkan karena periode kekurangan makanan yang lebih pendek, jarang dan kurang ekstrim di hutan rawa gambut dibandingkan dengan hutan pada tanah mineral. Sebaliknya, hutan rawa gambut tidak mewakili habitat yang optimal bagi satwa terancam punah harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) karena kondisi hutan berawa menyebabkan rendahnya ketersediaan sumber makanan yang berada di tanah (on-theground) untuk mangsa harimau, seperti rusa sumatera (Rusa unicolor), muncak (Muntiacus muntjak), beruk (Macaca nemestrina) dan babi hutan (Sus scrofa). Hutan rawa gambut yang terletak di bagian timur Sumatra tercatat memiliki kepadatan populasi harimau yang rendah (0,5 individu/100km2)17 tetapi mengingat ukuran populasi yang hanya 500-600 hewan, setiap individu menjadi sangat penting keberadaannya untuk bertahan hidup dalam jangka panjang. Survei kamera penjebak (camera trapping) yang dilakukan di Singkil pada tahun 2014 oleh LSM Fauna & Flora International mengonfirmasi keberadaan satu dari kucing paling langka di dunia, yaitu kucing hutan kepala datar (Prionailurus planiceps). Dari jebakan kamera yang dilakukan hutan rawa gambut di seluruh Sumatra, Singkil kemungkinan menjadi rumah bagi populasi beruang madu (Helarctos malayanus), macan dahan (Neofelis diardi), kucing batu (Pardofelis marmorata) dan kucing hutan (Prionailurus bengalensis).
16
Wich, S.A., Singleton,I., Nowak, M.G., Utami Atmoko, S.S., Nisam, G., Arif, S.M., Putra, R.H., Ardi, R., Fredriksson, G., Usher, G., Gaveau, D.L.A. and Kühl, H.S. (2016). Land-cover changes predict steep declines for the Sumatran orangutan (Pongo abelii). Science Advances, 2:e1500789. 17
Sunarto, S., Kelly, M.J., Vaughan, M., Klenzendorf, S., Zulfahmi, Z., Maju, H. and Parakkasi K. (2013) Threatened tigers on the equator: multi-point abundance estimates in central Sumatra. Oryx, 47:211-220. Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati H a l a m a n | 15
Singkil, dan koridor hutan yang dikenal sebagai Trumon, diklasifikasikan sebagai “Important Bird Areas” oleh BirdLife International18, karena memiliki ‘Spesies Terancam Punah Global’, khususnya bangau storm (Ciconia stormi), bangau tong-tong (Leptoptilos javanicus) dan mentok rimba (Cairina scutulata)19, dan ‘Biome-restricted species’.
Pembersihan lahan pertanian dan kebakaran Suaka Margasatwa Rawa Singkil terancam oleh deforestasi yang disebabkan aktivitas kelapa sawit yang terjadi di perbatasan dan di lokasi-lokasi dimana perambahan ke dalam kawasan terjadi20 (Foto 1). Citra satelit mengungkapkan bahwa saluran-saluran kanal gambut ilegal dan jalur akses meluas ke dalam kawasan, dari perkebunan legal yang berada di luar kawasan. Jalur ini juga digunakan sebagai akses bagi pembalak liar. Pembangunan ini terkait erat dengan kebijakan pemerintah daerah yang mendukung pengembangan kelapa sawit, dikombinasikan dengan buruknya penegakan hukum di lapangan. Luas kawasan yang dikonversi ke perkebunan kelapa sawit atau terdegradasi oleh pembalakan liar diperkirakan antara 1000 dan 2000 hektar, tetapi angka ini mungkin jauh lebih tinggi. Studi penginderaan jauh yang dilengkapi dengan cek lapangan sangat diperlukan untuk menghitung tingkat ancaman ini dan memverifikasi peta batas Suaka Margasatwa Rawa Singkil dan batasbatas konsesi perkebunan kelapa sawit. Foto 1. Hutan rawa gambut yang terbakar berlokasi di perbatasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil di Desa Oboh, Kecamatan Runding, Kota Subulussalam. Lahan terdegradasi ini akan ditanami kembali dengan kelapa sawit oleh masyarakat setempat. Batas hutan di latar belakang berlokasi di dalam Suaka Margasatwa Rawa Singkil, dimana suara gergaji mesin dari pembalakan liar terdengar [foto WCS, 2015].
Pembakaran adalah metode umum yang biasa digunakan untuk membersihkan lahan gambut guna penanaman tanaman eksotis, khususnya kelapa sawit, begitu pula akasia dan eucalyptus (untuk industri pulp dan kertas). Kebakaran hutan yang terjadi sejak tahun 2005 sampai 2016 jelas menggambarkan tekanan terhadap hutan rawa gambut Aceh, dengan hampir seluruh dari hutan rawa gambut di pantai barat terdegradasi parah karena kebakaran, termasuk kerusakan kawasan Tripa (Gambar 3). Pada tahun 2007, kebakaran pertama di Kluet terjadi dan kejadian ini mengalami peningkatan setiap tahun, tetapi tidak mencapai level keparahan seperti yang dialami kawasan Tripa. Tingkat kebakaran di wilayah Singkil lebih rendah dan tampaknya hampir tidak ada di dalam kawasan suaka margasatwa (Gambar 4). Namun, kebakaran di kawasan 18
BirdLife International (2016) Important Bird and Biodiversity Area factsheet: Trumon-Singkil. Downloaded from http://www.birdlife.org on 09/02/2016
19
Giesen, W. and van Balen, S. (1992) Several short surveys of Sumatran wetlands. Notes and observation. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project Report No. 26. Bogor.
20
http://news.mongabay.com/2015/06/illegal-forest-clearing-spotted-in-acehs-biggest-peat-swamp/ Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati H a l a m a n | 16
penyangga hutan rawa gambut terjadi tepat di batas suaka margasatwa, yang mungkin akan segera menyusut. Lebih jauh, kanal-kanal drainase baik di dalam dan luar (tetapi tepat di batas kawasan) Suaka Margasatwa merupakan pertanda buruk dimulainya kebakaran dan penyebaran kebakaran yang disengaja. Gambar 3. Analisis sejarah kebakaran hutan di hutan rawa gambut Aceh berdasarkan titik panas MODIS dari tahun 2005 sampai 2016. Peta ini menunjukkan bahwa blok-blok kecil hutan rawa gambut sangat rentan terbakar, , dengan intensitas api yang tinggi.
Gambar 4. Peta titik panas kebakaran yang diperoleh dari MODIS dihitung sejak tahun 20052016. Mayoritas kebakaran di wilayah Singkil terjadi di luar kawasan, meskipun juga terjadi sampai dengan tepi batas kawasan. Pengalaman dari Propinsi Riau, Jambi dan Sumatra Selatan menunjukkan bahwa angin membuat kebakaran yang terjadi di suatu area dengan cepat menyebar ke area lain di sekitarnya, terutama lahan gambut yang telah dikeringkan yang sangat mudah terbakar. Kebakaran besar di sepanjang daerah selatan menunjukkan kerentanan dari kawasan rawa gambut yang tidak dilindungi dan hutan rawa gambut yang terpecah dalam blok-blok kecil.
Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati H a l a m a n | 17
Analisis spasial dari titik panas menyediakan ilustrasi yang jelas tentang pentingnya Suaka Margasatwa Rawa Singkil sebagai ekosistem hutan rawa gambut utama. Meskipun demikian, pola temporal dari kebakaran hutan di Aceh mengungkapkan peningkatan laju kebakaran hutan rawa gambut (Gambar 5). 180
Number of fire events
160
Non-Peat swamp Peat swamp
140 120 100 80 60
Gambar 5. Tren titik panas kebakaran tahunan di seluruh Propinsi Aceh (diambil dari MODIS kebakaran dihitung sejak tahun 2005-2014). Dari 608 titik panas yang terdeteksi, 81% ditemukan terjadi di hutan rawa gambut, karenanya menggarisbawahi status risiko tinggi dari lahan gambut jika pembersihan lahan dilakukan dengan api.
40 20 0
Pembalakan liar Tingkat pembalakan liar secara keseluruhan, untuk kayu keras berkualitas tinggi, di Suaka Margasatwa Rawa Singkil belum pernah diukur. Meskipun demikian, dapat dikonfirmasi saat ini dan selanjutnya bahwa skalanya luas berdasarkan kajian lapangan cepat yang dilakukan oleh WCS pada tahun 2015. Kunjungan lapang ini menemukan sejumlah bukti adanya pembalakan liar untuk spesies kayu bernilai tinggi, dan terdapat banyak titik-titik akses ilegal, dimana pembalak menggunakan konstruksi kayu gelondongan (mengambang dan semi mengambang) yang memanjang lebih dari sepuluh kilometer ke dalam kawasan. Temuan ini didukung oleh studi penginderaan jauh yang dilakukan oleh Greenomics pada tahun 201421 dan kunjungan lapang WCS lainnya yang merekam pembalak sedang menggunakan kanal besar yang dibangun di area Soraya dan dibentuk oleh Sungai Soraya.
Status pengelolaan Suaka Margasatwa Rawa Singkil didirikan pada tahun 1998 untuk melindungi hidupan liar, kemungkinan besar ditujukan untuk orang-utan dan harimau sumatra, sebagai bagian dari keputusan Lanskap Leuser (Keputusan Menteri Kehutanan No. 166/Kpts-II/1998). Suaka Margasatwa Rawa Singkil pada awalnya mencakup area seluas 102.500 hektar, tetapi diturunkan menjadi 82.374 hektar (SK No. 865/Menhut-II/2014) karena perubahan rencana tata ruang. Suaka margasatwa ini meliputi Kabupaten Aceh Singkil, Aceh Selatan, dan Subulussalam, tetapi pengelolaannya berada dibawah Badan Konservasi Sumber Daya Alam Propinsi Aceh (BKSDA-Aceh). Batas Suaka Margasatwa Rawa Singkil belum ditetapkan di lapangan. Oleh karena itu, inkonsistensi terjadi dalam penentuan lokasi batas yang tepat dan ada sejumlah klaim masyarakat atas hak tenurial dan akses di area ini, yang menjadi sumber konflik dengan BKSDA/KPHK Rawa Singkil. Sebagai contoh, masyarakat lokal di Buluh Seuma, Aceh Selatan, secara tradisional memanen madu dari dalam SWR, dengan hasil tahunan berkisar
21
http://news.mongabay.com/2014/08/acehs-largest-peat-swamp-at-risk-from-palm-oil/ Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati H a l a m a n | 18
dari 18.000 sampai 540.000 liter22. Dalam kasus ini, perencanaan tata ruang dengan zonasi yang mengakomodir, sebagai salah satu contoh, pemanfaatan tradisional dari produk hutan non-kayu akan menyediakan peluang untuk mengatasi konflik, khususnya melalui pelibatan masyarakat dalam kemitraan konservasi dengan otoritas pengelola, dimana hal ini juga akan berkontribusi dalam perbaikan nilai METT bagi Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Proses penataan batas saat ini dimulai di lapangan dibawah hibah TFCA yang diberikan untuk Yayasan Leuser Internasional (YLI) bekerja sama dengan BKSDA-Aceh. Penting untuk diingat bahwa proses ini memerlukan koordinasi yang baik antara berbagai institusi seperti yang dimandatkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan (P25/Menhut-II/2014). Proses penataan batas harus dipimpin oleh kepala BPKH melibatkan pemerintah tiga kabupaten dan kota, termasuk Dinas Kehutanan Propinsi, Bappeda, Badan Pertanahan, perwakilan dari kepala daerah dan lainnya. Tanpa keterlibatan semua pihak dan proses yang sesuai dengan peraturan, legitimasi dari penetapan batas akan mengundang pertanyaan. Kajian atas Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang dilakukan oleh KLHK pada tahun 2015 menggunakan Perangkat Pemantauan Efektivitas Pengelolaan (Management Effectiveness Tracking Tool/METT) mencatat poin sebesar 55%. Nilai ini termasuk rendah, mengingat kementerian telah menetapkan target poin sebesar 70% untuk seluruh kawasan konservasi, poin yang dianggap memuaskan bagi efektivitas pengelolaan. Namun demikian, skor yang rendah ini tidak mengejutkan mengingat suaka margasatwa ini dikelola oleh Seksi Wilayah II yang juga mengelola kawasan seluas 227.500 hektar yaitu Taman Wisata Alam Laut Kepulauan Banyak. Kantor Seksi Wilayah II hanya memiliki staf 11 orang (lima diantaranya pegawai negeri dan sisanya pegawai kontrak) dan ini jelas tidak mencukupi untuk mengelola satu kawasan secara efektif, apalagi dua kawasan. Kantor Suaka Margasatwa Rawa Singkil hampir tidak berfungsi dengan tiga orang staf berbasis di lapangan dan patroli lapangan pada tahun 2015 sebesar 22.000 US dolar, yang dapat mendukung hingga enam patroli, tetapi staf lapangan kekurangan perahu untuk menavigasi sungai dan kanal yang ada di hutan rawa gambut23. Pada tahun 2013, Suaka Margasatwa Rawa Singkil diajukan oleh KLHK (SK 980/MenhutII/2013) sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (atau KPHK). KPHK terdiri dari tiga resort, dimana kantor-kantor perlu dibangun atau ditemukan di kota Singkil, Subulussalam dan Tapak Tuan. Kantor-kantor ini kekurangan anggaran dan kendaraan, jelas menjadi hambatan utama bagi operasi mereka. Hal ini sebagian terkait dengan fakta bahwa KPHK belum menyelesaikan penyusunan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (RPJP) mereka. Suaka Margasatwa Rawa Singkil akan didirikan sebagai KPHK tipe B, yang akan dikepalai oleh staf Eselon IV yang akan mengoordinasikan fungsi ini dengan BKSDA-Aceh. Struktur organisasi KPHK Singkil direncanakan terdiri dari satu Kepala Seksi, tiga Kepala Resort, empat Polisi Hutan, satu PPNS, enam non-PNS dan tiga mitra ranger dari masyarakat. Namun demikian, KPHK diprediksi akan menghadapi kesulitan dalam meningkatkan jumlah sumber daya mereka dengan adanya moratorium nasional tentang perekrutan pegawai negeri sipil. Hutan rawa gambut Singkil membentuk sebagian dari sub-DAS Singkil, yang mencakup 1.388.488 hektar (atau 44%) dari DAS utama Wampu Sei Ular (BPDAS 2015). Sub-DAS Singkil membentang di Propinsi Aceh dan Sumatra Utara, tetapi untuk menyederhanakan koordinasi antar propinsi wilayah ini sepenuhnya dikelola oleh BPDAS Wampu Sei Ular. 22
USAID LESTARI. (2016) Buluh Seuma Assessment. Unpublished report for the USAID LESTARI project, Aceh
23
http://news.mongabay.com/2014/08/acehs-largest-peat-swamp-at-risk-from-palm-oil/ Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati H a l a m a n | 19
Seperti yang diatur dalam PP 37/2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, DAS masih harus dikelola melalui kolaborasi antar institusi di lapangan, seperti antar dua propinsi, kondisi yang cukup menantang. Suaka Margasatwa Rawa Singkil terletak di Kabupaten Aceh Singkil (2185 km2) dengan populasi 110.706 jiwa dan kepadatan 50,7 jiwa/km2 (BPS, 2014). Kawasan ini dikelilingi oleh Kabupaten Aceh Selatan (3.841 km2; 210.071 jiwa, 54,7 jiwa/km2) dan Kota Subulussalam (1.206 km2; 72.103 jiwa; 59,8 jiwa/km2). Akhirnya, berdasarkan rencana tata ruang yang diajukan oleh Pemerintah Aceh Selatan, kawasan di bagian utara Singkil akan dialokasikan sebagai pemukiman transmigrasi. Disini, pembukaan hutan dimulai dan konektivitas antara Singkil dan TNGL via Koridor Trumon yang berhutan semakin tergerus. Rencana tata ruang mengindikasikan bahwa infrastruktur energi (tenaga listrik bertekanan tinggi) akan dibangun melalui Suaka Margasatwa Rawa Singkil, dimana perbaikan akses jalan diperlukan dan hal ini kemungkinan memfasilitasi terjadinya deforestasi lebih lanjut.
Inisiatif nasional dan daerah LSM lokal Yayasan Leuser Indonesia (YLI) dengan dukungan dari TFCA-Sumatra menempatkan tanda batas di sepanjang Suaka Margasatwa Rawa Singkil sejauh 233 kilometer dan 2 kilometer di Koridor Trumon, yang saat ini dipisahkan oleh jalan aspal. Meskipun demikian, untuk sejumlah alasan kegiatan ini dilakukan tanpa keterlibatan penuh dari BKSDA, selaku otoritas pengelola, yang akhirnya menimbulkan isu apakah tanda batas tersebut akan diakui oleh berbagai stakeholder pemerintah. Keakuratan penempatan tanda batas juga memerlukan verifikasi. Selanjutnya, upaya yang sedang berjalan yang memiliki keterkaitan dengan perlindungan Kluet dan Singkil dari perambahan oleh agribisnis skala besar adalah tuntutan yang diajukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap lima perusahaan terbesar yang terlibat dalam pembersihan ilegal di Tripa. Hasilnya, untuk pertama kali dan belum pernah terjadi sebelumnya, Mahkamah Agung Indonesia memerintahkan PT Kalistra Alam membayar denda Rp366 miliar (kurang lebih 28 juta US dolar) dan memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan pada hutan rawa gambut Tripa. Upaya lain untuk memulihkan kerusakan di kawasan Tripa termasuk: Dinas Kehutanan Aceh membangun zona perlindungan di bekas kawasan konsesi PT Kalistra Alam, membendung 18 kanal yang dibangun oleh perusahaan untuk mengeringkan gambut, dan penanaman lebih dari 100.000 pohon. Berkaitan dengan hal ini, Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) memberikan dukungan dan advis kepada kelompok-kelompok masyarakat dibawah “Gerakan Rakyat Menggugat Rencana Tata Ruang Aceh” untuk mendaftarkan gugatan terhadap pemerintah nasional. Gugatan ini mempertanyakan legalitas dari peraturan zonasi yang disahkan oleh dewan perwakilan rakyat Aceh pada akhir tahun 2013.
Dukungan internasional Terdapat beberapa proyek penting yang didanai secara internasional, yang beroperasi di lanskap target. Masing-masing menawarkan pendekatan yang saling melengkapi melalui dukungan untuk, Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan restorasi hutan di bagian selatan Aceh (GFA-KfW – German Development Bank, 2013-2019, 8,5 juta Euro) Perbaikan tata kelola pemanfaatan lahan, membangun konstituen multi-pihak dan memperkuat upaya-upaya penegakan hukum (USAID-LESTARI, Agustus 2015 sampai Juli 2020, 5-10 juta US Dolar dialokasikan hanya untuk Lanskap Leuser) Dukungan bagi perencanaan ruang (termasuk Satu Peta atau One Map), melaksanakan analisis dampak pembangunan jalan dan membentuk unit pengelolaan proyek di tingkat propinsi untuk isu-isu lingkungan (Uni Eropa, 2015-2018, 2-4 juta Euro) Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati H a l a m a n | 20
Membangun kapasitas institusi penegak hukum untuk perlindungan hidupan liar dan habitat hutan yang lebih efektif (WCS, 2007-sampai sekarang, 300.000 US Dolar/tahun) Analisis peluang integrasi Air-Pangan-Energi (Water-Energy-Food nexus) kedalam perencanaan guna mendukung pendekatan pembangunan berkelanjutan di Aceh, dan dukungan untuk membangun konstituen konservasi di dewan perwakilan rakyat Aceh (Climate and Development Knowledge Network-WCS, April 2015 sampai Desember 2016, £78,953).
Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati H a l a m a n | 21
TUJUAN DAN AKSI Dari Analisis Situasi diidentifikasi sejumlah kesenjangan utama yang menghambat upayaupaya penyelamatan Suaka Margasatwa Rawa Singkil dan hutan rawa gambut Aceh lainnya, terutama kapasitas manajemen BKSDA yang rendah, kurangnya informasi taktis tentang rantai pasok kelapa sawit dan industri kayu ilegal, kurangnya transparansi tentang status konsesi yang ada saat ini, dan rendahnya pengetahuan pemerintah daerah tentang kebijakan dan aturan rencana tata ruang. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal ini, diperlukan pendekatan multi-lapis. Desain proyek mengambil pendekatan lanskap yang memprioritaskan aksi-aksi untuk Suaka Margasatwa Rawa Singkil dan kawasan penyangganya mengingat tingkat ancaman yang tinggi, akan tetapi aksi-aksi ini juga dirancang untuk memungkinkan pengalihan (transferrable) ke kawasan lain guna memastikan perlindungan Kluet. Kombinasi berbagai pendekatan ini akan menampilkan Suaka Margasatwa Rawa Singkil sebagai lokasi praktik terbaik (best practice) KPHK dan contoh sukses bagi perlindungan hutan rawa gambut.
Tujuan 1. Meningkatkan efektivitas Suaka Margasatwa Rawa Singkil untuk perlindungan hutan gambut dan hidupan liar [Sebagian besar pendanaan untuk kegiatan dibawah tujuan ini disediakan oleh USAIDLESTARI dan WCS; GFA-KfW kemungkinan mendanai kegiatan-kegiatan KPHK] Aksi 1.1. Memfasilitasi penyelesaian rencana pengelolaan jangka panjang untuk KPHK Suaka Margasatwa Rawa Singkil: Dukungan tenaga ahli akan disediakan bagi Unit Implementasi Teknis BKSDA untuk menyusun rencana pengelolaan 10-tahun berkualitas tinggi yang menyokong suatu pendekatan komprehensif yang dielaborasi lebih lanjut melalui rencana kerja tahunan. Rencana pengelolaan ini akan menggambarkan dengan jelas peran dan tanggung jawab dari unit pengelola dan mitramitranya. Didalamnya juga termasuk rencana aksi cepat untuk menutup jaringan kanal ilegal yang telah dibuka di kawasan, dimana drainase tersebut dapat mengancam keberlangsungan ekosistem gambut.
Aksi 1.2. Membangun kapasitas staf KPHK: Peningkatan kapasitas untuk isu-isu teknis dan institusional akan disediakan melalui pelatihan, seperti inventarisasi sumber daya hutan dan perencanaan strategis, dan kunjungan pertukaran ke KPH yang telah dikelola dengan baik (tipe konservasi, produksi dan lingkungan).
Aksi 1.3. Penataan batas Suaka Margasatwa Rawa Singkil dan perencanaan ruang: Bantuan untuk penataan batas suaka sedang berlangsung tetapi akan memerlukan dukungan tambahan. Dalam hal ini, upaya-upaya akan ditempatkan untuk menyelaraskan batas kawasan dengan rencana tata ruang propinsi dan kabupaten, dengan penekanan pada inisiatif One Map. Selain itu, juga penting untuk menyelesaikan klaim masyarakat atas lahan dan pemanfaatan sumber daya melalui zonasi di dalam kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil dan melalui pengelolaan zona penyangga di luar kawasan. Sub-aksi disini termasuk mendukung sistem monitoring kebakaran berbasis masyarakat dan memberikan insentif kepada masyarakat untuk mewujudkan desa-desa bebas kebakaran.
Aksi 1.4. Mengembangkan dan menerapkan sistem patroli SMART-berbasis forest ranger: Untuk mewujudkan upaya perlindungan yang efektif di tingkat tapak, diperlukan sistem pengelolaan yang adaptif (adaptive management system). Model data sistem patroli SMART akan dibangun untuk suaka margasatwa ini. Dua tim patroli SMART penuh-waktu akan dilatih, diperlengkapi dan operasi lapangan mereka akan didukung. Tim ranger akan terdiri dari PNS Polhut dan anggota masyarakat. Patroli mereka akan dilakukan secara strategis berdasarkan pada perubahan pola ancaman ruang, yang akan memungkinkan peningkatan jumlah pembalak dan pemburu liar yang diringkus. Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati H a l a m a n | 22
Tim ranger juga akan bertanggung jawab untuk menjalankan rencana aksi penutupan kanal, juga mengumpulkan lokasi-lokasi GPS dari percobaan pembalakan liar dan perambahan perkebunan/pertanian di dalam kawasan. Data-data ini akan diserahkan kepada WCU (Aksi 1.4).
Aksi 1.5. Wildlife Crime Unit (WCU): Jaringan lokal berbasis informan akan dioperasikan oleh WCU di sekitar suaka margasatwa untuk menentukan aktor-aktor kunci yang terlibat dalam pembalakan dan perburuan/perdagangan satwa ilegal. Kemitraan yang kuat akan dibangun dengan institusi penegak hukum, termasuk BKSDA dan kepolisian, untuk membantu penangkapan pengedar dan pedagang utama yang mengatur permintaan akan produk-produk hasil hutan dari suaka margasatwa.
Aksi 1.6. Wildlife Response Unit (WRU): Untuk membantu masyarakat pinggiran hutan dan perusahaan perkebunan yang menghadapi masalah dengan satwa liar, seperti serangan harimau pada ternak atau manusia dan serangan orang-utan pada tanaman, WCS akan mendukung WRU untuk merespon dengan cepat menggunakan metode mitigasi yang paling sesuai.
Aksi 1.7. Monitoring orang-utan dan harimau: Kombinasi survei berbasis sarang (nestbased surveys) dan jebakan kamera (camera-trapping) akan dilakukan untuk memperoleh estimasi baseline yang meyakinkan untuk orang-utan dan harimau. Survei ulangan akan dilakukan untuk memonitor pola-pola populasi dari spesies-spesifik dan mengevaluasi upaya-upaya menurunkan tingkat perburuan liar.
Tujuan 2. Mengkaji dan memonitor manfaat jasa ekosistem yang disediakan oleh Suaka Margasatwa Rawa Singkil
Aksi 2.1. Bermitra dengan Badan Restorasi Gambut: Dalam upaya menjadikan Singkil (dan juga Kluet) sebagai prioritas nasional dan untuk memastikan bahwa badan pengelola berkolaborasi secara aktif dengan berbagai inisiatif di tingkat nasional, proyek akan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan rutin dengan Badan Restorasi Gambut untuk menjelaskan pentingnya Singkil, melalui diseminasi temuan-temuan utama proyek, mempresentasikan pendekatan proyek sebagai model praktik terbaik yang dapat direplikasi dan untuk mengidentifikasi peluang-peluang baru. Disini, proyek akan menginisiasi diskusi untuk mengembangkan Singkil sebagai lokasi REDD+, sebagai bagian dari komponen pembiayaan berkelanjutan yang akan dikembangkan sepenuhnya berdasarkan diskusi-diskusi tersebut.
Aksi 2.2. Kajian dan monitoring tutupan hutan: Kombinasi citra satelit beresolusi tinggi dan teknologi pesawat terbang tanpa awak atau unmanned aerial vehicles (drone konservasi) akan digunakan untuk menjalankan monitoring berfrekuensi tinggi atas perubahan tutupan hutan, kanal dan selasar buatan di dan sekitar suaka margasatwa. Identifikasi ancaman ini akan digunakan untuk memandu patroli ranger (#1.3) dan mengevaluasi dampak kegiatan tersebut terhadap penurunan aktivitas konversi ilegal. Citra satelit juga akan digunakan untuk melakukan analisis sejarah (historical analysis) kehilangan hutan, degradasi dan fragmentasi yang akan berguna untuk mengidentifikasi penyebab dari pola-pola perubahan lahan ini, yang darinya pola-pola kehilangan dimasa depan dapat diprediksi dan dipetakan. Data-data ini juga akan digunakan untuk menentukan level emisi historik (historical emission level) dan emisi potensial yang dapat dihindari (#2.3).
Aksi 2.3. Mengukur cadangan karbon dan mengkalkulasi penurunan emisi GRK yang dapat dicapai dari perlindungan Singkil: Studi-studi sebelumnya mengenai volume gambut di Singkil didasarkan pada data kasar atau kajian cepat dan dari sini dapat disimpulkan perlunya studi-studi yang lebih detil. Peta ketebalan gambut akan disusun menggunakan model elevasi digital dan data LiDAR. Pengeboran akan dilakukan pada survei-survei lapangan untuk mengambil sampel guna pengukuran deposit gambut dan ketebalan yang lebih detil, yang darinya volume gambut akan dapat dikalkulasi dan Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati H a l a m a n | 23
diikuti dengan volume cadangan karbon. Data-data ini kemudian akan digunakan untuk mengestimasi manfaat ekonomi dari berbagai opsi pemanfaatan lahan dan biaya peluang (opportunity cost) dari emisi yang terhindarkan, termasuk didalamnya berbagai pendekatan proaktif dan reaktif sebagai bagian dari analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis).
Aksi 2.4. Mengkaji kondisi lahan gambut: Perkiraan skala dan luasan dampak pembangunan kanal drainase, khususnya dari perusahan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mengelilingi Suaka Margasatwa Rawa Singkil, dan kajian tingkat keterhubungan hidrologi antara wilayah proyek dan area lahan gambut di sekitarnya akan dilakukan dengan survei-survei lapangan dan teknik pemodelan hidrologi. Skenario untuk perkiraan dampak dari drainase, banjir dan penurunan permukaan tanah akan dibuat dalam interval 25, 50 dan 100 tahun.
Aksi 2.5. Memfasilitasi proyek-proyek riset pascasarjanan tentang aspek lingkungan dan sosio-ekonomi dari hutan rawa gambut: CIFOR saat ini mengelola dana hibah yang cukup besar dari USAID untuk mendukung para mahasiswa Indonesia melakukan studi pascasarjana tentang lahan gambut di berbagai universitas di Amerika. WCS memiliki hubungan yang kuat dengan berbagai universitas di Amerika, seperti Sekolah Kesehatan Masyarakat Harvard atau Harvard School of Public Health (Universitas Harvard University dan pada tahun 2016 akan diselenggarakan lokakarya dengan CIFOR mengenai aplikasi pendekatan lanskap di lokasi-lokasi proyek mereka di Sumatra dan Sulawesi). Oleh karena itu, WCS, CIFOR dan para mitra akan mendukung beberapa proyek riset di Singkil, yang akan difokuskan pada upaya investigasi: perkiraan manfaat karbon; tipe-tipe kebocoran (leakage) dan penilaian berbagai risiko yang menyertai strategi mitigasi; evaluasi atas lokasi yang dipilih terhadap standar karbon (seperti VCS) dan metodologi yang digunakan; kelayakan finansial; dan isu-isu tenurial.
Aksi 2.6. Mengembangkan alat-alat komunikasi proyek: Bagian utama dari proyek adalah mendiseminasikan secara luas temuan-temuan studi tentang pentingnya Singkil dari perspektif lingkungan, sosial dan ekonomi dalam bahasa pesan yang mudah dimengerti. Berbagai teknik akan digunakan seperti pertemuan/lokakarya multi-pihak, naskah-naskah akademik, infografik, artikel media, kelompok-kelompok diskusi di media sosial.
Tujuan 3. Menginvestigasi rantai pasok ilegal untuk kelapa sawit dan industri kayu di kawasan hutan dan lahan gambut di Aceh Selatan, Subulussulam, dan Singkil yang menunjukkan risiko kebakaran yang tinggi di masa depan untuk hutan Aceh dan keanekaragaman hayati.
24
Aksi 3.1. Melaksanakan kajian detil tentang rantai pasok kelapa sawit: Berbagai laporan dari Rainforest Action Network (RAN) telah menunjukkan kaitan awal antara beberapa perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Ekosistem Leuser dengan perusahaanperusahaan utama yang tergabung dalam Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) – Wilmar, Musim Mas, dan Golden Agri Resources24. Seluruh rantai pasok di wilayah-wilayah berisiko tinggi yang terdapat di Singkil dan Kluet akan diinvestigasi. Kegiatan ini akan berfokus pada monitoring petani kecil dan bisnis-bisnis berskala medium yang beroperasi dan/atau memasok pabrik-pabrik di sekitar Ekosistem Leuser dengan buah tandan segar ilegal, meskipun sudah ada upaya untuk memperbaiki dalam mengidentifikasi sumber dari kelapa sawit yang di pasok oleh perusahaan-perusahaan RAN (2015) The Last Place on Earth. [https://d3n8a8pro7vhmx.cloudfront.net/rainforestactionnetwork/pages/2729/attachments/original/1447180363/Last_Pl ace_2015.pdf?1447180363] Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati H a l a m a n | 24
yang tergabung di dalam IPOP. itu merupakan upaya yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan IPOP untuk memperbaiki ketersediaan rantai pasok mereka. Menggunakan data RAN, WCS akan melakukan kajian detil rantai pasok untuk kelapa sawit mulai dari perkebunan-perkebunan rakyat di sekitar rawa gambut Singkil dan Kluet guna menelusuri kaitan antara konversi hutan ilegal dan drainase lahan gambut dengan pedagang dan pembeli utama di pasar internasional, dan untuk mengungkap para pemilik lahan yang melanggar hukum Indonesia.
Aksi 3.2. Melaksanakan kajian detil rantai pasok untuk industri kayu: Rantai pasok kayu ilegal di lokasi studi akan diinvestigasi. Hal ini kemungkinan terkait dengan perusahaan dan investor berskala nasional dan internasional dengan komitmen deforestasi nol (zero deforestation). Tim lapangan WCS akan melakukan investigasi menyeluruh tentang dampak dari rantai suplai kayu ilegal dan bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan yang terimplikasi untuk memastikan bahwa mereka berkomitmen untuk segera menghentikan pengambilan produk-produk kayu dari sumber-sumber ini.
Aksi 3.3. Membantu perusahaan yang memiliki konsesi di luar Singkil dan Kluet untuk mengurangi dampak negatif terhadap kawasan: Rekomendasi akan disusun bersama perusahaan dan diintegrasikan kedalam rencana pengelolaan bisnis. Proyek akan memilih dan memandu mitra-mitra konsesi untuk menerapkan aksi konservasi guna mendukung Singkil dan Kluet, seperti pembendungan kanal dan kolaborasi pengelolaan kebakaran hutan antar konsesi.
Aksi 3.4. Mengompilasi dan mendiseminasikan profil Suaka Margasatwa Rawa Singkil guna penetapan status hukumnya: Adalah sangat penting untuk memperhatikan pembelajaran yang didapat dari kerusakan hutan rawa gambut Tripa tetapi juga pembelajaran dari langkah hukum yang diambil untuk menuntut PT Kalista Alam, dan berbagai upaya tuntutan yang saat ini sedang berjalan terhadap perusahaanperusahaan lainnya, atas pembakaran hutan secara ilegal. Upaya-upaya ini bermuara pada pengenaan denda –yang belum pernah terjadi sebelumnya- sebesar 25,6 juta US dolar, dan kasus-kasus hukum melawan lima perusahaan lainnya juga sedang diproses untuk Tripa. Sebagai aksi preventif untuk menyelamatkan Singkil dan Kluet, berbagai jenis dokumen dan bukti pendukung yang digunakan untuk menyajikan kasus hukum bagi Tripa akan dikompilasi dan dirangkum untuk digunakan bagi kedua lahan gambut lainnya sebagai bagian dari upaya kajian hukum (legal review). Hasil kajian akan disebarluaskan, dengan fokus utama mendiskusikan temuan tersebut dengan pemerintah propinsi dan kabupaten. Hal ini dimaksudkan sebagai aksi untuk mengingatkan tentang pentingnya penerbitan ijin yang benar, khususnya untuk pengembangan kelapa sawit, dan memulai aksi-aksi yang diperlukan bagi para konsesi yang melanggar hukum Indonesia.
Aksi 3.5. Mendukung upaya tuntutan dan mendorong perubahan rantai pasok: Ketika aktivitas ilegal tersingkap di Kluet dan Singkil, WCS akan membantu investigasi kriminal yang dilakukan oleh BKSDA Aceh dan Taman Nasional Gunung Leuser terhadap aktoraktor kunci yang terlibat dalam rantai pasok ilegal ini guna memastikan penangkapan dan upaya tuntutan terhadap mereka. Untuk perusahaan yang teridentifikasi dalam jalur rantai pasok tetapi beroperasi secara legal, namun berada dalam risiko tinggi membeli produk-produk yang memicu terjadinya deforestasi di Ekosistem Leuser, WCS akan mendorong perubahan perilaku dari perusahaan induk untuk menghentikan pembelian dari pemasok-pemasok berisiko ini. WCS juga akan mendiseminasikan hasil kepada kelompok-kelompok LSM untuk memanfaatkan temuan terkait yang berasal dari AksiAksi lain. WCU bekerja erat dengan para hakim dan jaksa dan memiliki pengacara sendiri yang memberikan advis hukum dan memonitor kasus-kasus persidangan untuk memastikan bahwa hukum ditegakkan secara adil dan konsisten. Sebagai contoh, dukungan akan diberikan untuk investigasi dan aksi-aksi lanjutan terhadap perusahaanperusahaan yang melakukan pembakaran ilegal di dalam hutan rawa gambut. Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati H a l a m a n | 25
Tujuan 4. Mengkaji insentif ekonomi yang saat ini mendorong terjadinya pembukaan hutan pada lahan gambut di Aceh, baik di tingkat kabupaten, propinsi dan nasional, guna membangun skenario bisnis bagi pemanfaatan lahan berkelanjutan.
Aksi 4.1. Menganalisa interaksi dan mekanisme pajak daerah: Bekerja sama dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri, WCS akan menginvestigasi bagaimana struktur pendapatan dan pajak daerah di tingkat kabupaten menyediakan insentif negatif bagi pemerintah kabupaten di Aceh untuk membakar dan membuka hutan dan lahan gambut, dan rekomendasi untuk amandemen akan diajukan, dimana rekomendasi ini akan secara signifikan mengurangi risiko kebakaran di lahan gambut dan kawasan tanah mineral di sekitar Ekosistem Leuser. Secara khusus, pendapatan pemerintah kabupaten terdiri dari: i) pajak bumi dan bangunan; ii) bea perolehan hak atas tanah dan bangunan; iii) iuran hak pengusahaan hutan; iv) provisi sumber daya hutan; dan, v) retribusi untuk reboisasi yang dapat berkontribusi terhadap terciptanya insentif negative yang mendorong terjadinya pembakaran. Dalam hal ini, peluang akan dieksplorasi untuk bekerja sama dengan proyek Bank Dunia mengenai kajian dampak kebakaran dari kejadian kabut asap baru-baru ini.
Aksi 4.2. Menyusun serangkaian rekomendasi untuk menghapus insentif ekonomi bagi pembukaan lahan ilegal: Aksi ini akan didasarkan pada hukum Indonesia yang berlaku di tingkat nasional, propinsi dan kabupaten, dan juga dibangun melalui pembelajaran dari negara-negara berhutan lainnya yang telah berhasil menggunakan aturan pajak daerah untuk menghasilkan perubahan-perubahan signifikan dalam upaya menurunkan laju deforestasi (contoh, Costa Rica, Brazil). Aksi ini akan menghasilkan berbagai rekomendasi praktis untuk perubahan hukum dan aturan yang menghapus insentif negatif yang ada saat ini atau loopholes (ambiguitas dalam aturan hukum), dan akan mengeksplorasi perangkat-perangkat bagi sektor swasta yang dapat digunakan untuk mendorong praktik-praktik bisnis berkelanjutan di lanskap-lanskap dengan risiko kebakaran tinggi (contoh, kemudahaan akses kredit).
Aksi 4.3. Menyusun peta risiko investasi bisnis: Berangkat dari analisis rantai pasok dibawah Tujuan 3, WCS akan bekerja sama dengan bank-bank besar baik lokal maupun internasional dan para investor untuk menyusun peta risiko investasi bisnis berbasisbukti (evidence-based) untuk Suaka Margasatwa Rawa Singkil dan Lanskap Leuser yang lebih luas. Para investor yang teridentifikasi dan terimplikasi dalam aksi ini akan dihubungi dan diperlihatkan mengenai dampak investasi mereka di lapangan.
Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati H a l a m a n | 26
KESIMPULAN Pentingnya Suaka Margasatwa Rawa Singkil sebagai prioritas konservasi nasional dapat dilihat dari begitu banyaknya jasa ekosistem yang disediakan oleh hutan rawa gambut. Sebagai contoh: i) untuk keanekaragaman hayati, Singkil adalah rumah bagi populasi spesies penting dunia yakni orang-utan; ii) untuk serapan karbon, Singkil adalah lahan gambut dalam dengan ketebalan rata-rata 3,8m; dan, iii) untuk penghidupan masyarakat desa, banyaknya sungai dan muara menyediakan sumber protein penting berupa cadangan ikan. Sebagai upaya untuk melestarikan Singkil dan jasa ekosistemnya, diperlukan berbagai aksi yang melibatkan mitra pemerintah di berbagai tingkatan. Secara nasional, adalah sangat penting untuk terlibat dengan Badan Restorasi Gambut yang baru didirikan untuk meningkatkan status prioritas dari Singkil. Aksi dukungan dari pemerintah nasional yang diperlukan untuk Singkil dan hutan rawa gambut lainnya, termasuk: membuat peta detil lahan gambut Indonesia; peta detil wilayah konsesi bagi kabupaten dan kecamatan berisiko tinggi; memperbaiki panduan teknis untuk tata kelola lahan gambut dan restorasi ekosistem; dan memperkuat sistem monitoring kebakaran berbasis masyarakat. Untuk menjamin keberhasilan di lapangan, upaya-upaya ini harus diikuti dengan aksi-aksi di tingkat subnasional yang melibatkan berbagai pendekatan utama, seperti pengelolaan kawasan lindung dan konservasi yang efektif, yang digabungkan dengan skema insentif berbasis masyarakat, seperti penghargaan bagi desa-desa bebas kebakaran dan, khususnya untuk Singkil, mencegah perambahan kedalam batas kawasan.
Naskah Konsep USAID LESTARI: Mengelola Lahan Gambut Dalam di Rawa Singkil, Aceh: Upaya Mencapai Tujuan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Konservasi Keanekaragaman Hayati H a l a m a n | 27
LESTARI Wisma GKBI, 12th Floor, #1210 Jl. Jend. Sudirman No. 28, Jakarta 10210, Indonesia. Phone: +62-21 574 0565 Fax: +62-21 574 0566 Email:
[email protected]