HUBUNGAN CURAH HUJAN DENGAN KEJADIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN
MUHAMMAD DERY FAUZAN
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Curah Hujan dengan Kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2013 Muhammad Dery Fauzan NIM E44090071
ABSTRAK MUHAMMAD DERY FAUZAN. Hubungan Curah Hujan Dengan Kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan. Dibimbing oleh ERIANTO INDRA PUTRA. Keberadaan hutan di Indonesia amat rentan terhadap gangguan, terutama kebakaran hutan. Salah satu pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah kondisi cuaca yang sangat kering pada musim kemarau. Sumatera Selatan merupakan wilayah yang memiliki tingkat kerawanan kebakaran hutan yang tinggi, termasuk kedalam tiga provinsi dengan kebakaran hutan tertinggi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh curah hujan terhadap kejadian kebakaran di Provinsi Sumatera Selatan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa musim kemarau di Sumatera Selatan terjadi pada bulan Juli sampai September dengan puncak musim kemarau pada bulan Agustus. Jumlah hotspot meningkat antara bulan Mei sampai Oktober, dengan puncak musim kebakaran terjadi pada bulan September. Penelitian ini menunjukkan bahwa ratarata curah hujan harian dan 10 harian dapat digunakan untuk menerangkan kejadian kebakaran. Hasil dari penelitian ini menekankan bahwa kegiatan pencegahan kebakaran di Sumatera Selatan sebaiknya dimulai sejak bulan Mei saat curah hujan mulai menurun dan hotspot mulai meningkat. Kata kunci : curah hujan, hotspot, kebakaran, Sumatera Selatan
ABSTRACT MUHAMMAD DERY FAUZAN. The Relation Between Precipitation and Forest and Land Fire Occurrences In South Sumatera Province. Supervised by ERIANTO INDRA PUTRA. Forest existence in Indonesia is vulnerable due to a disturbance, particularly forest fire. One of the causes of forest and land fire is the weather condition which is so fierce in the drought season. South Sumatera is an area with high vulnerability of forest fire, it is included into three provinces with the highest forest fire occurrence in Indonesia. This research aim to analize the influence of precipitation toward the forest and land fire occurrences at South Sumatera province. The result shows that the drought season in South Sumatera occur from July until September, with the peak season at August. The number of hotspot increase between May until October with peak of forest fire occurrence at September, right after the peak of drought season at August. It is clearly showed that daily and 10-daily mean of daily precipitation could be used to explain forest fire occurences. The result of this research emphasize that forest fire prevention in South Sumatera strongly suggested to be started at May when the number of precipitation decrease drastically and the number of hotspot increase. Keywords : forest fire, hotspot, precipitation, South Sumatera
HUBUNGAN CURAH HUJAN DENGAN KEJADIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN
MUHAMMAD DERY FAUZAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Hubungan Curah Hujan dengan Kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan Nama : Muhammad Dery Fauzan NIM : E44090071
Disetujui oleh
Dr Erianto Indra Putra, SHut, MSi Pembimbing I
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua Departemen Silvikultur
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah kebakaran hutan, dengan judul Hubungan Curah Hujan dengan Kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Bapak Dr Erianto Indra Putra SHut, MSi selaku pembimbing, Dr Ir Endes N. Dahlan MS sebagai dosen penguji, dan Dr Ir Sri Wilarso Budi R. MS sebagai ketua pada sidang komprehensif, serta para dosen yang telah memberikan pengajaran yang sangat berharga. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada BMKG, Weather Underground, NASA-FIRMS serta kepada teman-teman Silvikultur 46 yang telah membantu selama pengerjaan skripsi ini. Ungkapan terima kasih yang paling besar disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2013 Muhammad Dery Fauzan
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
1
METODE
2
Lokasi dan Waktu Praktek
2
Alat dan Bahan
2
Analisis Data
2
HASIL DAN PEMBAHASAN
2
Kondisi Umum Provinsi Sumatera Selatan
2
Pola Curah Hujan Provinsi Sumatera Selatan
4
Pola Sebaran Hotspot
6
Pengaruh Curah Hujan terhadap Jumlah Hotspot
8
Analisis Uji Korelasi SIMPULAN DAN SARAN
11 12
Simpulan
12
Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
12
LAMPIRAN
14
RIWAYAT HIDUP
15
DAFTAR TABEL 1 Jumlah hotspot di Provinsi Sumatera Selatan periode 2005–2012 2 Jumlah hotspot tertinggi dan jumlah curah hujan di Sumatera Selatan 2005–2012 3 Jumlah hotspot terendah dan jumlah curah hujan di Sumatera Selatan 2005–2012
7 10 10
DAFTAR GAMBAR 1 Peta wilayah administratif Provinsi Sumatera Selatan (sumber: Bakosurtanal) 2 Pembagian wilayah iklim di Indonesia (Aldrian dan Susanto 2003) 3 Grafik Curah hujan pada 3 zona iklim di Indonesia: zona A, zona B, zona C (Aldrian dan Susanto 2003) 4 Pola curah hujan zona A (Aldrian dan Susanto 2003) (a) dan pola curah hujan Provinsi Sumatera Selatan hasil penelitian ini (b) 5 Pola sebaran hotspot di Sumatera Selatan tahun 2005–2012 6 Grafik rata-rata jumlah curah hujan dan jumlah hotspot harian di Sumatera Selatan periode 2005–2012 7 Grafik rata-rata jumlah curah hujan dan jumlah hotspot 10 harian di Sumatera Selatan periode 2005–2012 8 Grafik rata-rata jumlah curah hujan dan jumlah hotspot bulanan di Sumatera Selatan periode 2005–2012
3 4 5 6 7 8 9 9
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil Analisis Uji korelasi Curah Hujan dan Hotspot di Sumatera Selatan.
14
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu potensi alam terbesar di Indonesia, namun keberadaan hutan di Indonesia amat rentan terhadap gangguan terutama kebakaran hutan. Kebakaran hutan dan lahan merupakan gangguan hutan yang paling merugikan, karena dapat mengganggu stabilitas dan kelestarian hutan. Pencegahan dan pengendalian sangat diperlukan untuk meminimalkan dampak kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan di indonesia telah menimbulkan dampak negatif baik dari segi ekologi maupun ekonomi. Kebakaran hutan dan lahan sebagian besar terjadi karena interaksi manusia dengan hutan, namun kebakaran hutan dan lahan dapat terjadi pula karena faktor alam, salah satunya adalah iklim. Iklim merupakan salah satu faktor alami yang dapat menyebabkan terjadinya suatu kebakaran hutan, karena kondisi iklim (suhu, kelembaban, curah hujan, kecepatan angin) dapat mempengaruhi tingkat kekeringan bahan bakar permukaan, banyaknya oksigen yang ada, dan kecepatan penyebaran api (Syaufina 2008). Indonesia memiliki karakterisktik curah hujan yang berbeda pada setiap bulannya. Salah satu pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah kondisi cuaca yang sangat kering pada musim kemarau. Sumatera Selatan merupakan wilayah yang memiliki tingkat kerawanan kebakaran hutan yang tinggi, termasuk kedalam tiga provinsi dengan kebakaran hutan tertinggi di Indonesia (Kartodiharjo dan Jhamtani 2006). Kondisi iklim Sumatera Selatan yang berada pada daerah tropis memiliki curah hujan serta kelembaban tinggi yang menyebabkan kemungkinan terjadinya kebakaran karena faktor alam sangat kecil terjadi, namun pada kondisi tertentu beberapa daerah di Sumatera Selatan mengalami musim kemarau yang ekstrim, oleh karena itu pemantauan potensi kebakaran hutan harus dilakukan secara berkala. Tujuan Penelitian Pelaksanaan penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh curah hujan terhadap kejadian kebakaran di Provinsi Sumatera Selatan. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pengaruh curah hujan terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Sumatera Selatan, sehingga tindakan pencegahan maupun pemantauan kebakaran hutan dapat lebih mudah dilakukan.
2
METODE Lokasi dan Waktu Praktek Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada bulan April 2013 sampai Agustus 2013. Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder: Data curah hujan harian Provinsi Sumatera Selatan periode tahun 2005 sampai dengan 2012 yang diperoleh dari BMKG pusat dan Weather Underground, data sebaran hotspot Provinsi Sumatera Selatan periode tahun 2005 sampai dengan 2012 yang diperoleh dari NASA- FIRMS MODIS hotspot dataset. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat tulis, seperangkat komputer dengan beberapa perangkat program, yaitu Arc ViewGIS 3.3 untuk pengolahan dalam format Sistem Informasi Geografis (SIG), MS Excel untuk pengolahan grafik dan tabulasi, dan MINITAB 16 untuk analisis uji korelasi. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskriptif dan statistik. Analisis data yang pertama dilakukan adalah pemetaan sebaran hotspot harian di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2005−2012 dan dengan menggunakan data hotspot MODIS. Setelah itu dilakukan perhitungan nilai ratarata hotspot harian, 10 harian, dan bulanan di Provinsi Sumatera Selatan pada periode tahun 2005−2012 dengan menggunakan Arc ViewGIS 3.3, dan perhitungan nilai rata-rata curah hujan harian, 10 harian, dan bulanan di Provinsi Sumatera Selatan pada periode tahun 2005−2012. Perhitungan data harian, 10 harian, dan bulanan atau disebut metode dasarian merupakan metode yang digunakan pada analisis curah hujan yang dilakukan oleh BMKG. Analisis data berikutnya yaitu Analisis uji korelasi menggunakan software MINITAB 16. Analisis uji korelasi dilakukan untuk mengetahui tingkat hubungan antara parameter curah hujan dan hotspot, yang dilakukan menggunakan rata-rata harian, 10 harian, dan bulanan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Provinsi Sumatera Selatan Provinsi Sumatera Selatan merupakan bagian dari Pulau Sumatera yang mempunyai luas wilayah 91 774.99 km2, terletak pada 1°LS-4°LS dan 102°BT106°BT. Di sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Jambi, di sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Kepulauan Bangka dan Belitung, di sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Lampung, dan di sebelah Barat berbatasan langsung
3 dengan Provinsi Bengkulu (Dishubkominfo Provinsi Sumatera Selatan) (Gambar 1).
Gambar 1 Peta wilayah administratif Provinsi Sumatera Selatan (sumber: Bakosurtanal) Provinsi Sumatera Selatan memiliki luas daratan sebesar 8 701 741 hektar dan dialiri banyak sungai, salah satunya yaitu sungai Musi yang merupakan sungai terpanjang di Pulau sumatera dengan panjang sekitar 750 km. Provinsi Sumatera Selatan mempunyai iklim tropis dan basah. Faktor alam berupa kondisi iklim selama ini memberikan peranan yang besar sebagai faktor pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Sumatera Selatan sebagai kawasan tropis, memiliki dua musim yang ekstrim antara musim hujan dan kemarau. Pada musim kemarau merupakan periode rawan terjadi kebakaran hutan dan lahan meskipun tidak setiap tahun terjadi kemarau panjang. Luas wilayah Provinsi Sumatera Selatan sebagian besar masih merupakan areal hutan dengan luas lebih dari separuh luas wilayah daratan di Sumatera Selatan yang mencapai 3 784 078 ha atau sebesar 43 persen. Kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi. Tutupan lahan di Provinsi Sumatera Selatan didominasi oleh lahan gambut, namun banyak juga lahan yang di dominasi oleh alang-alang dan semak. Banyaknya lahan-lahan tidur di Sumatera Selatan yang umumnya didominasi jenis alang-alang dan semak belukar serta adanya kegiatan perambahan dan penebangan liar semakin mempertinggi tingkat resiko kebakaran hutan dan lahan. Kondisi geomorphologis berupa tipe lahan basah gambut yang cukup luas mendominasi empat kabupaten, yaitu Kabupaten Musi Banyuasin, Banyuasin, Ogan Ilir dan Ogan Komering Ilir (Dishubkominfo Provinsi Sumatera Selatan). Selama ini diketahui bahwa lahan gambut mudah terbakar pada saat kering dan
4 menjadi sumber utama terjadinya kabut asap pada musim kebakaran hutan dan lahan. Tipologi lahan basah gambut yang masih asli dan belum banyak campur tangan manusia sebenarnya merupakan kawasan yang tidak mudah terbakar, karena intensitas penggenangan air yang lama hampir sepanjang tahun menjadikan kawasan ini memiliki kelembaban yang tinggi. Namun adanya perubahan keseimbangan ekosistem sebagai akibat pembuatan kanal-kanal besar untuk pemukiman transmigrasi di sebagian lahan basah gambut di daerah Ogan Komering Ilir, Banyuasin dan Musi Banyuasin, maka cadangan air di areal tersebut segera terbuang melalui kanal-kanal, sehingga pada musim kemarau lahan basah ini menjadi kering dan mudah terbakar. Pengusahaan hutan pada hutan rawa gambut juga memberikan kontribusi terhadap perubahan ekosistem lahan basah tersebut sehingga menjadi ekosistem yang rawan terhadap kebakaran (Noor et al. 2008). Pola Curah Hujan Provinsi Sumatera Selatan Provinsi Sumatera Selatan termasuk kedalam wilayah beriklim tropis dengan rata-rata curah hujan tahunannya sebanyak 2 000–4 000 mm yang dipengaruhi oleh musim hujan dan musim kemarau. Zona iklim di wilayah Indonesia menurut Aldrian dan Susanto (2003) terbagi menjadi tiga zona, yaitu zona A (selatan Indonesia dari Sumatera bagian selatan ke Pulau Timor, Kalimantan bagian selatan, Sulawesi dan sebagian dari Irian Jaya), zona B (Indonesia barat daya, Sumatera bagian utara dan Kalimantan bagian timur laut), dan zona C (Maluku dan sebagian dari Sulawesi) (Gambar 2).
Gambar 2 Pembagian wilayah iklim di Indonesia (Aldrian dan Susanto 2003)
5 Zona A merupakan wilayah dengan curah hujan maksimum pada bulan Desember/Januari/Februari (DJF) dan minimum pada bulan Juli/Agustus/September (JAS) (Gambar 3). Hal ini mengilustrasikan dua zona monsun: monsun basah dari November hingga Maret (NDJFM) dan monsun kering dari Mei hingga September (MJJAS). Siklus tahunan zona B mempunyai dua puncak pada bulan Oktober/November/Desember (OND) dan juga pada bulan Maret/April/Mei (MAM). Perbedaan yang cukup mencolok terdapat di zona C dimana daerah ini mempunyai satu puncak pada bulan Mei/Juni/Juli (Gambar 3) (Aldrian dan Susanto 2003).
Gambar 3 Grafik Curah hujan pada 3 zona iklim di Indonesia: zona A, zona B, zona C (Aldrian dan Susanto 2003) Data jumlah curah hujan rata-rata bulanan dari tahun 2005 sampai tahun 2012 menunjukan bahwa pola curah hujan di Provinsi Sumatera Selatan memiliki pola yang sama dengan siklus curah hujan zona A (Gambar 4). Menurut Schmidt dan Ferguson (1951), kriteria curah hujan bulanan terbagi menjadi tiga yaitu: Bulan basah (CH >100 mm), bulan lembab (CH antara 60–100 mm), dan bulan kering (CH <60 mm). Rata-rata curah hujan bulanan di Sumatera Selatan pada periode tahun 2005 sampai dengan 2012 adalah 228.8 mm. Curah hujan tinggi (>100 mm) di Sumatera Selatan terjadi pada bulan November-April, sedangkan curah hujan rendah (<100 mm) terjadi pada bulan Juli–September (Gambar 4). Pola hujan di Sumatera Selatan termasuk kedalam pola hujan monsun. Gambar 4 menunjukan perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau. Pola hujan monsun memiliki tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan), musim hujan pada bulan Desember/Januari/Februari (DJF) dan musim kemarau pada bulan Juni/Juli/Agustus (JJA) (Tjasyono 2004). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa puncak curah hujan di Sumatera Selatan terjadi pada bulan Maret, sedangkan puncak musim kemarau pada saat curah hujan mencapai titik paling rendah yaitu pada bulan Agustus.
6
(a) (b) Gambar 4 Pola curah hujan zona A (Aldrian dan Susanto 2003) (a) dan pola curah hujan Provinsi Sumatera Selatan hasil penelitian ini (b) Pola Sebaran Hotspot Hotspot pada dasarnya merupakan sebuah titik panas, namun banyak orang yang salah mengartikannya sebagai titik api. Menurut menhut No. P12/PmenhutII/2009 Pasal 1 angka 9, titik panas atau hotspot adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan suhu di sekitarnya. Data hotspot dapat dijadikan sebagai salah satu indikator tentang kemungkinan terjadinya kebakaran sehingga perlu dilakukan analisa, pemantauan, dan terkadang dilakukan cek lapangan (ground surveying) untuk mengetahui apakah diperlukan tindakan penanggulangan dini khususnya pada saat musim kemarau dimana penyebaran api sangat cepat (Adinugroho et al. 2005). Menurut Davis et al. (2009) titik hotspot dideteksi oleh MODIS menggunakan Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS PM) dari NASA Earth Observing System (EOS). MODIS akan mendeteksi suatu objek di permukaan bumi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Suhu yang dideteksi adalah 320 K (siang) dan 315 K (malam) untuk sebuah hotspot. Hotspot MODIS terdeteksi pada ukuran 1 km x 1 km atau 1 km2 sehingga setiap hotspot atau kebakaran yang terdeteksi diwakili oleh 1 km piksel, MODIS memiliki beberapa kelebihan yaitu lebih banyaknya spektral panjang gelombang dan lebih telitinya cakupan lahan serta lebih seringnya frekuensi pengamatan (Solichin et al. 2007). Hotspot di Sumatera Selatan selalu ditemukan pada periode tahun 2005– 2012 (Gambar 4). Banyaknya jumlah hotspot di Sumatera Selatan bersifat fluktuatif dari tahun 2005–2012. Gambar 4 menunjukkan perbedaan yang cukup terlihat pada tahun 2006, pada peta sebaran hotspot tahun 2006 terlihat bahwa terdapat banyak titik hotspot yang ditemukan, kondisi sebaliknya terlihat pada tahun 2010 dimana pada peta sebaran hotspot terlihat bahwa titik panas yang ditemukan relatif sedikit sehingga dapat dikatakan bahwa tahun 2006 memiliki
7 sebaran hotspot yang tertinggi, dan tahun 2010 memiliki sebaran hotspot yang paling rendah.
Gambar 5 Pola sebaran hotspot di Sumatera Selatan tahun 2005–2012 Menurut data jumlah hotspot, kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Sumatera Selatan terbesar terjadi pada tahun 2006, Tabel 1 menunjukan bahwa tahun 2006 memiliki jumlah hotspot yang terbesar yaitu 17 657 titik, dan jumlah terendah pada tahun 2010 yaitu sebanyak 930 titik. Faktor utama yang mempengaruhi perilaku kebakaran hutan yaitu bahan bakar (kadar air, jumlah, ukuran, dan susunan bahan bakar), kondisi cuaca (suhu, curah hujan, kelembaban, dan angin), dan topografi (Wibowo 2003). Table 1 Jumlah hotspot di Provinsi Sumatera Selatan periode 2005–2012 Tahun
Jumlah Hotspot
Curah Hujan (mm)
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
1 911 17 657 3 762 2 578 6 256 930 7 279 8 290
3 140 2 383 2 429 2 543 2 187 3 793 2 462 3 025
Sumber : Hasil Pengolahan Data
8 Pengaruh Curah Hujan terhadap Jumlah Hotspot Hasil perhitungan jumlah rata-rata curah hujan harian dan jumlah rata-rata hostpot harian disajikan pada Gambar 6. Puncak tertinggi jumlah hotspot berada antara hari ke 239-295, dimana jumlah curah hujan berada dibawah angka ratarata harian yaitu sebesar 5.8 mm, sedangkan jumlah hotspot terendah berada antara hari ke 341-97, atau pada saat jumlah curah hujan berada diatas rata-rata harian yaitu 5.8 mm. 400
60
350
50
300 40
250 200
30
150
20
100 10
50
0 1 15 29 43 57 71 85 99 113 127 141 155 169 183 197 211 225 239 253 267 281 295 309 323 337 351 365
0
Hari Hotspot
CH
Rata-rata CH
Gambar 6 Grafik rata-rata jumlah curah hujan harian dan jumlah hotspot harian di Sumatera Selatan periode 2005–2012 Hasil perhitungan jumah curah hujan rata-rata setiap 10 harian dan jumlah hotspot rata-rata tiap 10 harian juga menunjukkan perbandingan yang sama dengan hasil perhitungan jumlah rata-rata curah hujan harian dan jumlah rata-rata hostpot harian (Gambar 7). Pucak tertinggi jumlah hotspot berada antara bulan Agustus–Oktober, dimana jumlah curah hujan berada dibawah angka rata-rata 10 harian yaitu sebesar 5.8 mm, sedangkan jumlah hotspot terendah berada antara bulan Desember–Maret, dimana jumlah curah hujan berada diatas rata-rata harian yaitu 5.8 mm. Gambar 7 menunjukkan bahwa jumlah hotspot mulai mengalami kenaikan pada bulan Juni, dan terus naik sampai titik tertinggi pada bulan Agustus, lalu akan mengalami penurunan kembali pada bulan November sampai pada akhir musim hujan sekitar bulan Maret. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan 10 harian memiliki pengaruh terhadap jumlah rata-rata hotspot 10 harian yang ditemukan pada periode tahun 2005–2012.
9
Gambar 7 Grafik rata-rata jumlah curah hujan 10 harian dan jumlah hotspot 10 harian di Sumatera Selatan periode 2005–2012 Hasil perhitungan jumlah rata-rata curah hujan bulanan dan jumlah rata-rata hostpot bulanan disajikan pada Gambar 8. Pucak tertinggi jumlah hotspot berada pada bulan September, dimana jumlah curah hujan berada dibawah angka 100 mm (bulan lembab dan bulan kering), sedangkan jumlah hotspot terendah berada pada bulan Januari, dimana jumlah curah hujan berada diatas angka 100 mm (bulan basah). Gambar 8 menunjukan bahwa curah hujan bulanan berbanding terbalik dengan hotspot bulanan, dimana apabila jumlah curah hujan naik, maka jumlah hotspot yang ditemukan akan menurun, dan sebaliknya apabila jumlah curah hujan turun, makan jumlah hotspot akan mengalami kenaikan.
Gambar 8 Grafik rata-rata jumlah curah hujan bulanan dan jumlah hotspot bulanan di Sumatera Selatan periode 2005–2012
10 Jumlah hotspot di Sumatera Selatan umumnya meningkat pada saat curah hujan berada dibawah rata-rata (rendah) (Tabel 2). Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah hotspot tertinggi pada setiap tahunnya terjadi pada bulan Agustus– Oktober, pada bulan-bulan tersebut terjadi musim kemarau di Provinsi Sumatera Selatan. Tabel 2 Jumlah hotspot tertinggi dan jumlah curah hujan di Sumatera Selatan 2005–2012 Tahun
Bulan
Jumlah Hotspot
Curah Hujan (mm)
2005
September
818
137
2006
Oktober
7 389
27
2007
September
1 826
47
2008
September
1 062
116
2009
September
3 434
22
2010
Agustus
248
124
2011
September
4 501
6
2012
September
3 955
61
Sumber : Hasil Pengolahan Data
Jumlah hotspot di Sumatera Selatan berada pada jumlah terendah pada saat curah hujan berada diatas rata-rata (tinggi) (Tabel 3). Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah hotspot terendah pada setiap tahunnya terjadi pada bulan November– Februari, pada bulan-bulan tersebut terjadi musim hujan di Provinsi Sumatera Selatan. Tabel 3 Jumlah hotspot terendah dan jumlah curah hujan di Sumatera Selatan 2005–2012 Tahun
Bulan
Jumlah Hotspot
Curah Hujan (mm)
2005
Februari
3
259
2006
Januari
2
325
2007
Januari
10
489
2008
Desember
2
268
2009
Januari
6
191
2010
November
9
256
2011
Januari
1
253
2012
Desember
4
291
Sumber : Hasil Pengolahan Data
11 Jumlah curah hujan dan jumlah hotspot di Provinsi Sumatera Selatan pada periode 2005 sampai 2012 bersifat fluktuatif setiap tahunnya. Hasil perhitungan menunjukan bahwa tahun 2006 menjadi tahun dengan jumlah hotspot tertinggi sepanjang periode 2005–2012. Curah hujan dan kelembaban udara sangat berkaitan dengan musim kebakaran hutan, karena mempengaruhi bahan bakar dan faktor cuaca lainnya. Bahan bakar akan menyerap air dari udara yang lembab dan melepaskan uap air ke udara yang kering. Iklim tropis yang dimiliki Indonesia secara umum menimbulkan dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Kebakaran hutan biasanya terjadi pada saat musim kemarau. Dalam situasi tertentu sering terjadi suasana kekeringan yang amat tajam dimana curah hujan sedemikian rendahnya. Pada situasi semacam itu umumnya kondisi kelembaban udara juga relatif rendah sehingga suasana kering tersebut merupakan saat yang sangat rawan bagi penularan dan penyebaran api. Pada musim kering kelembaban udara akan menentukan jumlah kadar air yang terkandung dalam bahan bakar, sehingga dapat menjadi indikator bahaya kebakaran. Menurut Syaufina (2008), curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi yang tinggi dengan kejadian kebakaran hutan dan curah hujan merupakan faktor yang paling tinggi dalam menentukan akumulasi bahan bakar. Gambar 6, 7, dan 8 menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai curah hujan maka jumlah hotspot akan semakin menurun, dan sebaliknya semakin rendah nilai curah hujan maka jumlah hotspot cenderung naik. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan memiliki keterkaitan dengan kejadian kebakaran. Menurut Brown dan Davis (1973), faktor dominan yang menentukan potensi terjadinya kebakaran adalah keadaan cuaca di mana kebakaran hutan sering terjadi pada cuaca yang cocok untuk terjadinya kebakaran. Kebakaran terjadi pada buan-bulan yang memiliki curah hujan yg rendah pada musim kemarau. Menurut Syaufina (2008) luas dan frekuensi kebakaran hutan tertinggi terjadi pada bulan-bulan dengan curah hujan rendah (kurang dari 60 mm), pada periode tersebut terjadi pengeringan bahan bakar yang intensif. Analisis Uji Korelasi Perhitungan Analisis uji korelasi dan P-value digunakan untuk mengetahui tingkat keterkaitan antara parameter curah hujan dan hotspot. Nilai R-square yang rendah pada uji korelasi antara curah hujan dan kejadian kebakaran baik pada kejadian harian, 10 harian dan bulanan menunjukan bahwa lebih banyak faktor lain yang menyebabkan kejadian kebakaran daripada faktor curah hujan. R-square cukup besar hanya ditunjukkan oleh hubungan antara curah hujan bulanan dengan kejadian hotspot bulanan (R-square = 31.7%) sedangkan R-square untuk 10 harian sebesar 16.3%, dan untuk harian sebesar 4.7%. Untuk itu dilakukan pengamatan terhadap nilai P-value untuk menentukan keeratan pengaruh curah hujan terhadap kejadian kebakaran. Pada parameter nilai rata-rata jumlah curah hujan dan jumlah hotspot harian, nilai P-value yang di dapat yaitu sebesar 0.000. Nilai P-value yang kurang dari 0.05 pada parameter rataan curah hujan dan jumlah hotspot harian, menunjukkan bahwa curah hujan harian mempengaruhi kejadian hotspot harian. Pada parameter nilai rata-rata jumlah curah hujan dan jumlah hotspot 10 harian, nilai P-value yang di dapat yaitu sebesar 0.003. Nilai P-value yang kurang dari
12 0.05 pada parameter rataan curah hujan dan jumlah hotspot 10 harian menunjukkan bahwa curah hujan mempengaruhi kejadian hotspot 10 harian di Sumsel pada periode 2005–2012. Hasil Analisis uji korelasi yang berbeda didapat pada parameter nilai ratarata jumlah curah hujan dan jumlah hotspot per bulan, nilai P-value yang di dapat yaitu sebesar 0.057. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan harian dan 10 harian lebih dapat digunakan untuk menunjukkan kejadian kebakaran di Sumatera Selatan dibandingkan dengan parameter bulanan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari penelitian yang berjudul Hubungan Curah Hujan dengan Kejadian Kebakaran di Provinsi Sumatera Selatan ini dapat disimpulkan bahwa musim kemarau di Sumatera Selatan terjadi pada bulan Juli sampai September dengan puncak musim kemarau pada bulan Agustus. Jumlah hotspot meningkat antara bulan Mei sampai Oktober mengikuti pola curah hujan yang rendah pada bulanbulan tersebut. Puncak musim kebakaran di Sumatera Selatan terjadi pada bulan September setelah terjadinya puncak musim kemarau di bulan Agustus. Perhitungan hasil analisis uji korelasi nilai P-value yang kurang dari 0.05 pada parameter rataan curah hujan dan jumlah hotspot harian dan pada parameter rataan curah hujan dan jumlah hotspot 10 harian menunjukkan bahwa curah hujan harian dan 10 harian mempengaruhi kejadian hotspot harian dan 10 harian. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menambahkan parameterparameter lain seperti suhu dan kecepatan angin, dan penelitian lebih lanjut pada daerah-daerah lain yang memiliki tingkat kerawanan kebakaran yang tinggi. Pengawasan kebakaran perlu lebih ditingkatkan mulai bulan Mei sampai Oktober, karena pada bulan tersebut curah hujan di Sumatera Selatan menurun dan hotspot berada pada jumlah yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Adinugroho WC, Saharjo BH, Siboro L, Suryadiputra INN. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Bogor (ID): Wetlands Internasional. Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification of Three Dominant Precipitation Regions Within Indonesia and their Relationship to Sea Surface Temperature. Int J Climatol 23: 1435-1452. [Bakosurtanal] Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Peta Provinsi Sumatera Selatan [Internet]. [diunduh 19 Sep 2013]. Tersedia pada: http://www.saripedia.files.wordpress.com/2010/11/sumsel.jpg Brown AA and KP Davis. 1973. Forest Fire Control and Use. New York (US): McGraw-Hill.
13 [Dishubkominfo] Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Provinsi Sumatera Selatan. Sekilas Sumsel [Internet]. [diakses 2013 Agu 8]. Tersedia pada: http://www.sumselprov.go.id/index.php?module=content&id=2.html. Kartodihardjo dan Jhamtani, 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta (ID): PT Equinox Publishing Indonesia. Noor YR, Kaat A, Silvius M, Tol S, Widyastuti W. 2008. Seputar Gambut di Asia Tenggara, Khususnya Indonesia. Palangka Raya (ID): Central Kalimantan Peatlands Project (CKPP). Schmidt FH, and JHA Ferguson. 1951. Rainfall Type Based on Wet and Dry Period Ratio for Indonesia with Western New Gurinea. Kementerian Perhubungan. Jakarta (ID): Jawatan Meteorologi dan Geofisika. Solichin, Hasanuddin, dan Christiana. 2007. Panduan Pengumpulan Informasi Kebakaran Hutan dan Lahan melalui Internet. Palembang (ID): SSFFMP. Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Perilaku Api, Penyebab, dan Dampak Kebakaran. Malang (ID): Bayumedia Publishing. Tjasyono B. 2004. Klimatologi. Cetakan ke-2. Bandung (ID): ITB Press. Wibowo A. 2003. Permasalahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
14
Lampiran 1 Hasil Analisis Uji korelasi Curah Hujan dan Hotspot di Sumatera Selatan. A.
Harian Predictor
Coef
SE Coef
T
P
CH
-1.32
0.3105
-4.25
0.000
R-Sq = 4.7% R-Sq(adj) = 4.5% B.
10 Harian Predictor
Coef
SE Coef
T
P
CH
-0.01143
0.00437
-2.61
0.003
R-Sq = 16.3% R-Sq(adj) = 14.0% C.
Bulanan Predictor
Coef
SE Coef
T
P
CH
-4.252
1.975
-2.15
0.057
R-Sq = 31.7% R-Sq(adj) = 24.8%
15
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 25 April 1991 dari ayah Mamduh Saefullah dan ibu Euis Ratna Dewi N. penulis adalah putra pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2003 penulis lulus dari SMP Negeri 1 kota Bogor. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Kota Bogor dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Talenta Mandiri IPB dan diterima di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum kebakaran hutan tahun ajaran 2012-2013, dan asisten praktikum pemantauan kesehatan hutan tahun ajaran 2013-2014. Penulis juga pernah aktif sebagai pengurus Tree Grower Community (TGC) yaitu himpunan mahasiswa silvikultur IPB. Bulan Juli 2011 penulis melakukan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan di Taman Wisata Alam Tangkuban Parahu Bandung, dan KPH Cikiong Jawa Barat. Bulan Juli-Agustus 2012 penulis melakukan Praktik Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi, dan Perum Perhutani Cianjur. Bulan Februari-April 2013 penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan di IUPHHKHA PT. East Point Indonesia Kalimantan Tengah dengan judul Perlindungan Hutan di IUUPHK-HA PT. East Point Indonesia.