HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN TITIK PANAS (HOTSPOT) DALAM KAITANNYA DENGAN TERJADINYA KEBAKARAN DI PROVINSI RIAU TAHUN 2013
LAKSMI DEWANTI
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Curah Hujan dan Titik Panas (Hotspot) dalam Kaitannya dengan Terjadinya Kebakaran di Provinsi Riau 2013 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2014 Laksmi Dewanti NIM E44100052
ABSTRAK LAKSMI DEWANTI. Hubungan Curah Hujan dan Titik Panas (Hotspot) dalam Kaitannya dengan Terjadinya Kebakaran di Provinsi Riau 2013. Dibimbing oleh BAMBANG HERO SAHARJO dan ERIANTO INDRA PUTRA. Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang paling sering mengalami kejadian kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau terjadi setiap tahun pada dekade terakhir. Iklim merupakan salah satu faktor alami yang dapat menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara curah hujan dengan titik panas (hotspot) di Provinsi Riau pada tahun 2013 dan mengetahui daerah yang paling parah dilanda kebakaran. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa musim kemarau di Provinsi Riau pada tahun 2013 terjadi pada bulan April sampai September dengan puncak musim kemarau pada bulan Juni, yang diikuti dengan peningkatan jumlah titik panas (hotspot) meningkat pada bulan-bulan tersebut. Penelitian ini menunjukkan bahwa curah hujan mempengaruhi kejadian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau pada tahun 2013. Penelitian ini menunjukan 6.52% dari luas seluruh wilayah Riau terbakar pada tahun 2013 dengan jumlah hotspot dan luasan areal terbakar tertinggi terjadi pada Kabupaten Rokan Hilir sebanyak 3 128 titik dan 150 225.40 ha, Kabupaten Bengkalis 3 021 titik dan 133 615.67 ha dan Kabupaten Pelalawan 2 097 titik dan 115 353.42 ha. Kata kunci : Curah hujan, hotspot, luas kebakaran hutan dan lahan, Provinsi Riau ABSTRACT LAKSMI DEWANTI. Relationship of Rainfall and Hotspot in Relation to the Occurrence on Fire in Riau Province, 2013. Supervised by BAMBANG HERO SAHARJO and ERIANTO INDRA PUTRA. Riau province has become one of the province that suffered from forest and land fires. Forest and land fires in Riau Province occur every year in the last decade. Climate is one of the natural factors that can lead to forest and land fires in Riau Province. The aim of this study was to determine the relationship between rainfall and hotspots in Riau Province in 2013 and to provide the most area suffered from forest and land fire occurrences. This study showed that the dry season in Riau Province in 2013 occurred from April to September with peak dry season in June, which was followed with an of hotspots. This study shows that rainfall affects forest and land fires in Riau Province in 2013. Around 6.52% of at Riau province was burned in 2013. Highest number of hotspots and largest area burned area montly occurred at Rokan Hilir with 3 128 hotspot and 150 225.40 ha burned area, Bengkalis 3 021 hotspot and 133 615.67 ha burned area, and Pelalawan 2 097 hotspot and 115 353.42 ha burned area. Keywords: Forest and land fires, hotspot, largest area burned, rainfall, Riau province
HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN TITIK PANAS (HOTSPOT) DALAM KAITANNYA DENGAN TERJADINYA KEBAKARAN DI PROVINSI RIAU TAHUN 2013
LAKSMI DEWANTI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Penelitian
Nama Mahasiswa NRP Program Studi
: Hubungan Curah Hujan dan Titik Panas (Hotspot) dalam Kaitannya dengan Terjadinya Kebakaran di Provinsi Riau Tahun 2013 : Laksmi Dewanti : E44100052 : Silvikultur
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Bambang Hero Saharjo, MAgr Pembimbing I
Dr Erianto Indra Putra, SHut, MSi Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua Departemen Silvikultur
Tanggal Lulus
:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah kebakaran hutan, dengan judul Hubungan Curah Hujan dengan Titik Panas (Hotspot) dalam Kaitannya dengan Terjadinya Kebakaran di Provinsi Riau 2013. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Bambang Hero Saharjo, MAgr dan Dr Erianto Indra Putra, SHut, MSi selaku pembimbing, Dra Sri Rahayu, MSi sebagai dosen penguji, dan Dr Ir Istomo, MS sebagai ketua pada sidang komprehensif, serta para dosen yang telah memberikan pengajaran sangat berharga. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Weather Underground, NASA-FIRMS, kepada teman-teman satu bimbingan, sahabat dan teman-teman Silvikultur 47 yang telah membantu selama pengerjaan skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014 Laksmi Dewanti
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE PRAKTEK
2
Waktu dan Tempat
2
Alat
2
Bahan
2
Analisis Data
2
HASIL DAN PEMBAHASAN
3
Kondisi Umum Provinsi Riau
3
Pola Sebaran Hotspot
5
Pengaruh Curah Hujan Terhadap Jumlah Hotspot
8
SIMPULAN DAN SARAN
12
Kesimpulan
12
Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
12
RIWAYAT HIDUP
14
DAFTAR TABEL 1 Jumlah titik panas (hotspot) Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau tahun 2013 2 Pendugaan luas area terbakar di Provinsi Riau tahun 2013
6 7
5
DAFTAR GAMBAR 1 Peta wilayah administratif Provinsi Riau 2 Sebaran Hotspot di Riau tahun 2013 3 Grafik jumlah curah hujan harian dan jumlah hotspot harian di Provinsi Riau tahun 2013 4 Grafik jumlah curah hujan 10 harian dan jumlah hotspot 10 harian di Provinsi Riau tahun 2013 5 Grafik jumlah curah hujan bulanan dan jumlah hotspot bulanan harian di Provinsi Riau tahun 2013 6 Grafik regresi linear curah hujan dan jumlah hotspot di Provinsi Riau tahun 2013
4 7 8
3 5
9
7
10 11
8
9
PENDAHULUAN Latar Belakang Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang paling sering mengalami kejadian kebakaran hebat terutama di lahan gambut. Anderson dan Brown (2001) menyebutkan bahwa di Sumatera teridentifikasi 7 kawasan utama rawan kebakaran yaitu: (i) Sumatera Utara (perbatasan Riau), (ii) lahan basah Sungai Kampar di Riau, (iii) lahan basah di pesisir Sumatera Barat (perbatasan Sumatera Utara), (iv) Sumatera Barat (lahan basah dipesisir Bengkulu), (v) lahan basah Sungai Batanghari di Jambi berbatasan dengan taman Nasional Berbak, (vi) rawa di pedalaman Sumatera Selatan, dan (vii) lahan basah di pesisir Sumatera Selatan. Sebanyak enam dari tujuh zona rawan kebakaran tersebut mempunyai ciri-ciri yang sama yaitu berada dalam lahan basah yang kaya akan gambut. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Provinsi Riau pada tahun 2013 dianggap sebagai kebakaran terparah yang melanda Provinsi Riau setelah pada era tahun 1990 hingga 1997 sempat menjadi puncak terparah peristiwa kebakaran hutan dan lahan di Riau. Ketika tahun 1990-1997 kawasan yang terbakar atau dibakar adalah kawasan hutan alam yang dulu banyak terdapat di Provinsi Riau (Kasri 2013). Tahun 1997 menjadi puncak kebakaran yang hebat dengan luas lahan yang terbakar cukup besar, namun kondisi pencemaran udara yang ada tidak separah pada tahun 2013. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 1997 juga dapat dipadamkan dengan mudah karena bagian lahan yang terbakar hanya permukaannya saja (Kasri 2013), berbeda dengan kondisi kebakaran yang terjadi di tahun 2013 yang sulit dipadamkan, sebab lahan yang terbakar merupakan lahan gambut dengan kedalaman hingga lima meter. Kebakaran yang terjadi terus membesar dipengaruhi oleh tiupan angin yang terus berhembus, bahkan hembusan angin ini mendorong kabut asap hingga ke negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Iklim merupakan salah satu faktor alami yang dapat menyebabkan terjadinya suatu kebakaran hutan, karena kondisi iklim (suhu, kelembaban, curah hujan, kecepatan angin) dapat mempengaruhi tingkat kekeringan bahan bakar permukaan, banyaknya oksigen yang ada, dan kecepatan penyebaran api (Syaufina 2008). Kondisi iklim Provinsi Riau yang berada pada daerah tropis memiliki curah hujan serta kelembaban tinggi yang menyebabkan kemungkinan terjadinya kebakaran karena faktor alam sangat kecil terjadi, namun pada kondisi tertentu beberapa daerah di Provinsi Riau mengalami musim kemarau yang ekstrim, oleh karena itu pemantauan potensi kebakaran hutan harus dilakukan secara berkala. Informasi deteksi titik panas (hotspot) dapat memberikan informasi mengenai indikasi terjadinya kebakaran. Adanya pengaruh dari unsur iklim, terutama curah hujan terhadap terjadinya kebakaran hutan dapat diketahui dengan mencari hubungan antara hotspot dengan kondisi curah hujan, sebagai suatu indikator terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
2
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara curah hujan dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan dan mengetahui sebaran kejadian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau pada tahun 2013.
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pengaruh curah hujan terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau dan wilayah yang dilanda kebakaran terparah, sehingga tindakan pencegahan maupun pemantauan kebakaran hutan dapat lebih mudah dilakukan.
METODE PNELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai pada bulan Februari sampai Mei 2014.
Alat Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat tulis, seperangkat komputer dengan beberapa perangkat program, yaitu Arc ViewGIS 3.2 untuk pengolahan dalam format Sistem Informasi Geografis (SIG), MS Excel untuk pengolahan grafik dan tabulasi.
Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder: Data curah hujan harian Provinsi Riau periode tahun 2013 yang diperoleh dari Weather Underground dan data sebaran hotspot Provinsi Riau periode tahun 2013 yang diperoleh dari NASA- FIRMS MODIS hotspot dataset.
Analisis Data Data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder yang dimaksud meliputi: (i) data sebaran hotspot di Provinsi Riau tahun2013, (ii) data curah hujan di Provinsi Riau 2013, dan (iii) berbagai literatur yang mendukung penelitian.
3 Pengolahan Data Pengolahan data terbagi menjadi dua, yaitu: 1) pengolahan data penyebaran hotspot beserta rekapitulasi data hotspot dan 2) pengolahan data curah hujan. Informasi penyebaran hotspot diperoleh melalui pengolahan data dengan menggunakan software Arc ViewGIS 3.2, sedangkan untuk pengolahan data curah hujan dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Exel.
Analisis Data Analisis data yang pertama dilakukan adalah pemetaan sebaran titik panas (hotspot) di Provinsi Riau pada tahun 2013 dengan confidence ≥50. Setelah itu dilakukan rekapitulasi jumlah titik panas (hotspot) harian, 10 harian dan bulanan, serta melakukan pengolahan luas area yang terbakar di Provinsi Riau pada tahun 2013. Analisis data berikutnya adalah perhitungan nilai curah hujan 10 harian dan bulanan di Provinsi Riau tahun 2013 berdasarkan nilai curah hujan harian.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Provinsi Riau Provinsi Riau Secara geografis terletak antara 01° 05’ 00” Lintang Selatan - 02° 25’ 00” Lintang Utara dan antara 100° 00’ 00” - 105° 05’ 00” Bujur Timur. Batas-batas Provinsi Riau bila dilihat posisinya dengan negara tetangga dan provinsi lainnya, yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara, sebelah Selatan berbatasan denganp Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat, sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Kepulauan Riau dan Selat Malaka, dan sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Sumatera Utara (Dinas Kehutanan Provinsi Riau 2013). Luas Wilayah Provinsi Riau adalah 107 932.71 Km2 yang membentang dari lereng Bukit Barisan hingga Selat Malaka, terdiri dari Luas daratan 87 712.05 Km2 dan luas lautan 18 782.56 Km2 (Pemerintah Provinsi Riau 2013). Untuk Luas Kawasan hutan di Provinsi Riau sesuai SK Menhut No 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 2011 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Riau adalah seluas 9 456 160 ha, kawasan hutan tersebut meliputi : Hutan Konservasi seluas : 451 240 ha, Hutan Lindung seluas : 397 150 ha, Hutan Produksi Terbatas seluas : 1 971 553 ha ,Hutan Produksi Tetap seluas : 1 866 132 ha, Hutan Produksi yang dapat dikonversi : 4 770 085 ha (Dinas Kehutanan Provinsi Riau 2013). Daerah Riau beriklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 1 000 – 3 000 mm per tahun yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Daerah yang paling sering ditimpa hujan setiap tahun adalah Kota 12 Pekanbaru 193 hari, Kabupaten Indragiri Hulu 178 hari, Kabupaten Pelalawan 147 hari, Kabupaten Rokan Hulu 136 hari, dan Kabupaten Kampar dengan jumlah hari hujan 110 hari. Jumlah Curah Hujan tertinggi pada tahun 2009 terjadi di Kabupaten Kampar dengan curah hujan sebesar 3 349.0 mm, disusul Kota Pekanbaru sebesar 3 214.4 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi di Kota Dumai sebesar 635.0 mm. Selanjutnya menurut catatan Stasiun Meteorologi
4 Simpang Tiga, suhu udara rata-rata di Kota Pekanbaru tahun 2009 menunjukkan 28oC dengan suhu maksimum 36oC dan suhu minimum 21oC (BPS Riau 2010).
Gambar 1 Peta wilayah administratif Provinsi Riau Secara umum topografi Provinsi Riau merupakan daerah dataran rendah dan agak bergelombang dengan ketinggian pada beberapa kota yang terdapat di Wilayah Provinsi Riau antara 2–91 m dpl. Provinsi Riau memiliki empat jenis tanah (Zwieryeki dalam BPS Riau 2011), yakni : (i) jenis tanah organosol glei humus, (ii) jenis tanah padsolik merah kuning dari alluvium, (iii) jenis tanah padsolik merah kuning dari batuan endapan, (iv) jenis tanah podsolik merah kuning dari batuan endapan dan batuan beku. Jenis-jenis tanah tersebut terutama didapati di daerah-daerah sepanjang pantai sampai dengan pertengahan daratan yang berformasi sebagai daratan muda tidak bergunung-gunung, bahkan beberapa bagian terdiri dari tanah berawa-rawa. Selain jenis tanah tersebut, dibeberapa daerah di Provinsi Riau juga tersebar tanah gambut dengan luas seluruh lahan gambut di Provinsi Riau adalah 4 043 602 hektar dan terdapat hampir di semua wilayah kabupaten, tetapi yang paling luas terdapat di wilayah kabupaten yang berada di pantai timur. Enam kabupaten yang memiliki lahan gambut paling luas berturut-turut adalah Kabupaten Indragiri Hilir (983 ribu ha atau 24.3% dari total lahan di provinsi), Bengkalis (856 ribu ha atau 21.2%), Pelalawan (680 ribu ha atau 16.8%), Siak (504 ribu ha atau 12.5%), Rokan Hilir (454 ribu ha atau 11.2%), dan Indragiri Hulu (222 ribu ha atau 5.5%). Kabupaten yang lain seperti Kampar,
5 Karimun, dan Pekanbaru hanya mempunyai lahan gambut kurang dari 5% (Wahyunto et al., 2005).
Pola Sebaran Hotspot Riau merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang setiap tahunnya terdeteksi adanya hotspot. Hampir setiap tahun terjadi kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan yang tidak hanya terjadi di dalam negeri namun hingga luar batas negara. Titik panas (hotspot) merupakan suatu istilah untuk titik yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ambang batas yang telah ditentukan oleh data digital satelit. Menhut No.P12/Pmenhut-II/2009 Pasal 1 angka 9 menyatakan bahwa titik panas atau hotspot adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relative lebih tingi dibandingkan suhu di sekitarnya. Metode yang digunakan dalam pemantauan titik panas (hotspot) adalah metode penginderaan jauh dengan menggunakan satelit. Salah satu perangkat yang digunakan dalam memantau kebakaran hutan dan lahan adalah Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS). MODIS adalah salah satu instrument utama yang dibawa Earth Observing System (EOS) Terra dan Aqua satelittes, yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). MODIS mengorbit bumi secara polar yaitu dari utara menuju selatan pada ketinggian 705 km dan melewati garis khatulistiwa pada pukul 10.30 waktu lokal. MODIS mempunyai cakupan lebih luas dari pada sensor AVHRR sebesar 2.33 km dengan resolusi spasial yang lebih baik. Selain itu MODIS mempunyai jendela atau kanal spektral yang lebih sempit dan beragam. Produk MODIS dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu produk pengamatan vegetasi, radiasi permukaan bumi dan tutupan lahan. Hasil pencapaian dari produk MODIS antara lain pendeteksian kebakaran hutan, pendeteksian penutupan lahan, dan pengukuran suhu permukaan bumi (Thoha 2008). Titik hotspot dideteksi oleh MODIS menggunakan satelit Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS PM) dari NASA Earth Observing System (EOS). MODIS akan mendeteksi suatu objek di permukaan bumi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Suhu yang dideteksi adalah 320 K (siang) dan 315 K (malam) untuk sebuah hotspot. Hotspot MODIS terdeteksi pada ukuran 1 km x 1 km atau 1 km2 sehingga setiap hotspot atau kebakaran yang terdeteksi diwakili oleh 1 km pixel. MODIS memiliki beberapa kelebihan yaitu lebih banyaknya spektral panjang gelombang dan lebih telitinya cakupan lahan serta lebih kerapnya frekuensi pengamatan (Solichin et al. 2007). Hotspot di Provinsi Riau pada tahun 2013 selalu ditemukan pada setiap bulannya. Berdasarkan hasil perhitungan untuk jumlah hotspot yang ada di Provinsi Riau pada tahun 2013 diuraikan per-Kabupaten (Tabel 1). Jumlah hotspot yang ada di Provinsi Riau pada tahun 2013 tertingggi berada pada Kabupaten Rokan Hilir (3 128 titik), diikuti Bengkalis (3 021 titik) dan Pelalawan (2 097 titik). Sedangkan untuk Kota Dumai dan Kota Pekanbaru jumlah hotspot yang ditemukan sangat rendah yaitu 1 dan 4 titik. Jumlah hotspot yang tinggi pada Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis, dan Pelalawan diduga terjadi akibat adanya
6 kegiatan pengkonversian lahan hutan menjadi perkebunan dan lahan pertanian yang dilakukan dengan cara pembakaran oleh pengusaha HTI dan perkebunan sawit (Putra 2012). Akar permasalahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau 90% oleh aktivitas manusia, dan hanya 10% disebabkan oleh alam (WWF 2010). Tingginya jumlah hotspot pada ketiga Kabupaten tersebut juga dapat dipengaruhi oleh pembukaan lahan yang dilakukan di lahan bergambut, sebab ketiganya merupakan Kabupaten di Provinsi Riau dengan luasan lahan gambut cukup besar. Syaufina (2008) menyebutkan bahwa gambut merupakan bahan bakar yang baik dengan nilai kalor lebih besar daripada kayu yang dapat mencapai 27,7 KJ/g dengan kadar abu yang rendah (sekitar 13%). Kemunculan hotspot terbanyak berada pada bulan Juni sebanyak 6 391 titik, diikuti bulan Agustus dan Juli sebanyak 2 231 dan 1 279 titik. Jumlah terendah kemunculan hotspot berada pada bulan November dan Desember dimana hanya ditemukan 11 dan 12 titik. Hal ini disebabkan oleh rendahnya jumlah curah hujan pada bulan Juni-Agustus, dimana pada bulan-bulan tersebut hari hujan yang ada hanya sedikit dan hari lainnya tidak turuh hujan dan tingginya jumlah curah hujan pada bulan November-Desember. Syaufina (2008) menyampaikan bahwa kekeringan berhubungan erat dengan kejadian kebakaran hutan yang besar di beberapa tempat di bumi. Kekeringan menyebabkan kadar air vegetasi turun. Selanjutnya, kekurangan kadar air yang panjang dapat menyebabkan tanaman mati, kayu besar kehilangan kadar air dan potensi kebakaran menjadi tinggi. Tabel 1 Jumlah titik panas (hotspot) Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau tahun 2013. Kabupaten dan Kota
Jumlah
Bulan Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Augts
Sep
Okt
Nov
Des
Bengkalis
30
93
98
175
45
1 947
319
235
56
20
3
0
3 021
Indragiri Hilir
16
13
32
6
3
196
15
114
6
7
2
1
411
Indragiri Hulu
4
1
2
6
4
45
13
156
1
0
0
0
232
Kampar
2
0
4
16
19
212
41
150
18
14
0
3
479
Kota Dumai
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
Kota Pekanbaru
0
0
0
1
0
3
0
0
0
0
0
0
4
Kuantan Singingi
5
0
16
5
3
33
10
57
3
1
3
1
137
48
39
54
39
29
838
97
929
11
8
2
3
2 097
Rokan Hilir
3
11
7
16
72
2 172
437
300
99
11
0
0
3 128
Rokan Hulu
3
0
5
7
19
540
201
119
30
3
0
3
930
12
18
28
3
15
404
146
171
29
2
1
1
830
123
175
246
274
209
6 391
1 279
2 231
253
66
11
12
11 270
Pelalawan
Siak Jumlah
Jun
Jul
Sumber : Hasil Pengolahan Data Jumlah hotspot dapat menjadi penduga awal luas area terbakar disuatu wilayah. Luas area terbakar di Provinsi Riau tahun 2013 disajikan pada Tabel 2. Luas area terbakar terluas pada tahun 2013 terdapat pada Kabupaten Rokan Hilir sebesar 150 225.40 ha atau 16.91% dari luas wilayahnya, diikuti Kabupaten
7 Bengkalis sebesar 133 615.67 atau 17.14% dari luas wilayahnya, dan Kabupaten Pelalawan sebesar 115 353.42 ha atau 8.28% dari luas wilayahnya. Untuk Provinsi Riau tahun 2013 secara keseluruhan luas area yang terbakar sebesar 572 157.27 ha atau 6.52% wilayah daratan Riau terbakar. Tabel 2 Pendugaan luas areal terbakar di Provinsi Riau tahun 2013 Kabupaten dan Luas Kabupaten Luas area Persen area kota dan Kota (ha) terbakar (ha) terbakar (%) Bengkalis 779 393 133 615.67 17.14 Indragiri Hilir
1 160 597
24 946.36
2.15
Indragiri Hulu
819 826
15 558.43
1.90
1 128 928
28 695.75
2.54
172 385
99.36
0.06
63 226
369.40
0.58
765 603
10 891.79
1.42
1 392 494
115 353.42
8.28
Rokan Hilir
888 159
150 225.40
16.91
Rokan Hulu
744 985
50 632.89
6.80
Siak
855 609
41 768.81
4.88
Kampar Kota Dumai Kota Pekanbaru Kuantan Singingi Pelalawan
Jumlah
8 771 205 572 157.27 6.52 Sumber: Pemerintah Provinsi Riau 2013 dan Hasil pengolahan data
Gambar 2 Sebaran Hotspot di Riau tahun 2013
8 Pengaruh Curah Hujan Terhadap Jumlah Hotspot Iklim tropis membuat Indonesia memiliki 2 musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Kebakaran hutan biasanya terjadi pada saat musim kemarau. Pada musim kemarau curah hujan sangat berkurang dan umumnya kondisi kelembaban udara juga relatif rendah sehingga suasana kering tersebut merupakan saat yang sangat rawan bagi terjadinya kebakaran (Sukamawati 2006). Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi tinggi dengan kejadian kebakaran hutan dan merupakan faktor yang paling tinggi dalam menentukan akumulasi bahan bakar (Syaufina 2008). Musim kebakaran hutan berhubungan dengan pola hujan, terutama dengan kekeringan. Puncak musim kebakaran di Riau terjadi pada musim kemarau. Jika curah hujan tinggi maka kelembaban akan tinggi sehingga kejadian kebakaran akan sulit. Menurut Mackinno et al. (1997) dalam Hadiwijoyo 2012, bulan basah ditandai dengan curah hujan >200 mm/bulan, sedangkan bulan kering ditandai oleh curah hujan <100 mm/bulan. Pada musim kering kelembaban udara sangat menentukan kadar air yang dapat dijadikan sebagai indikator bahaya kebakaran.
2 105
874 569.98
Gambar 3 Grafik jumlah curah hujan harian dan jumlah hotspot harian di Provinsi Riau tahun 2013 Hasil perhitungan jumlah curah hujan harian dan jumlah hostpot harian disajikan pada Gambar 3. Puncak tertinggi jumlah hotspot berada pada hari ke170 sebanyak 2 105 titik, dimana jumlah curah hujan berada pada jumlah terendah yaitu 0.00 mm atau tidak turun hujan pada hari tersebut, sedangkan jumlah hotspot terendah berada pada hari ke 363 sebanyak 0 titik, pada saat jumlah curah hujan mencapai nilai tertinggi (569.98 mm). Tingginya jumlah curah hujan pada hari ke 363 berpotensi terjadinya banjir. Berdasarkan prediksi yang dilakukan BMKG Pekanbaru dalam Kuswanto 2013, memperkirakan potensi banjir cukup
9 tinggi antara Normal hingga Atas Normal karena wilayah Provinsi Riau pada bulan Desember 2013 sebagian Kabupaten atau Kota mengalami puncak musim hujan yang pertama tahun 2013-2014, sehingga diperkirakan hampir sebagian besar kabupaten dan Kota di Propinsi Riau akan berpeluang mengalami daerah rawan potensi banjir dalam kategori menengah. Daerah dengan potensi rawan banjir kategori tinggi diperkirakan terjadi di wilayah Kabupaten Kampar bagian selatan. Daerah dengan potensi rawan banjir kategori rendah terjadi di daerah sebagian Kabupaten Bengkalis bagian timur dan utara.
Gambar 4 Grafik rata-rata jumlah curah hujan 10 harian dan jumlah hotspot 10 harian di Provinsi Riau tahun 2013 Hasil perhitungan jumah curah hujan rata-rata 10 harian (dasarian) dan jumlah hotspot tiap 10 harian (Gambar 4) menunjukan puncak tertinggi jumlah hotspot berada pada bulan Juni dasarian-2 dimana jumlah curah hujan berada dibawah angka rata-rata 10 harian yaitu sebesar 8.45 mm, kemudian turun pada bulan Juli dan meningkat kembali pada bulan Agustus diikuti dengan peningkatan jumlah curah hujan 10 harian. Walaupun bulan Agustus didominasi oleh musim kemarau, namun ada satu hari di dasarian-3 dimana intensitas curah hujan sangat tinggi yaitu 117.89 mm, yang menyebabkan peningkatan jumlah curah hujan bulanan di bulan Agustus. Meskipun terjadi satu hari hujan dengan intensitas tinggi tidak mempengaruhi peningkatan jumlah hotspot di bulan Agustus, sebab hari lainnya di bulan tersebut hanya ada beberapa hari hujan dengan intensitas rendah dan bahkan beberapa hari tidak turun hujan. Pada situasi kering inilah kebakaran hutan dan lahan terjadi. Kejadian kebakaran ini semakin tinggi karena didukung dengan perubahan suhu yang sangat panas di siang hari. Perubahan suhu yang terjadi di bulan Agustus mencapai 350C (suhu rata-rata 23-330C). Curah hujan yang turun secara tidak teratur akan mengakibatkan bahan bakar memiliki cukup waktu untuk menurunkan kadar air yang terkandung di dalamnya sehingga akan lebih berpotensi untuk terbakar jika terdapat faktor penyulut (Sukmawati 2006).
10 Jumlah hotspot terendah berada antara bulan Oktober-Desember, dimana jumlah curah hujan berada diatas rata-rata harian yaitu 8.45 mm. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan 10 harian memiliki pengaruh terhadap jumlah rata-rata hotspot 10 harian yang ditemukan pada periode tahun 2013. Peristiwa kebakaran akan sangat rendah apabila musim hujan telah stabil, dimana hampir setiap hari turun hujan. Pada kondisi ini hutan dan lahan gambut akan tergenang oleh air sehingga bahan bakar mempunyai kadar air tinggi dan sulit terbakar (Sukmawati 2006).
Gambar 5 Grafik rata-rata jumlah curah hujan bulanan dan jumlah hotspot bulanan di Provinsi Riau tahun 2013 Hasil perhitungan jumlah rata-rata curah hujan bulanan dan jumlah hostpot bulanan disajikan pada Gambar 5. Puncak tertinggi jumlah hotspot berada pada bulan Juni sebanyak 6 391 titik, sedangkan jumlah hotspot terendah berada pada bulan November sebanyak 11 titik. Pada saat jumlah curah hujan mengalami peningkatan, maka jumlah hotspot yang ditemukan akan mengalami penurunan, dan sebaliknya apabila jumlah curah hujan mengalami penurunan, maka jumlah hotspot akan mengalami peningkatan. Perkecualian ditemukan pada bulan Agustus dimana curah hujan yang tinggi dibulan ini berasal dari curah hujan yang terjadi pada hari 234 sebesar 117.89 mm. Jumlah hotspot tertinggi pada bulan Juni tahun 2013 6 391 titik berdasarkan penyebaran jumlah hotspot bulanan pada saat curah hujan 53.09 mm. Curah hujan tertinggi pada bulan Desember tahun 2013 adalah 733.55 mm dengan jumlah hotspot sebanyak 12 titik. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan mempunyai kaitan erat dengan kejadian kebakaran. Faktor dominan yang menentukan potensi terjadinya kebakaran adalah keadaan cuaca di mana kebakaran hutan sering terjadi atau cuaca yang cocok untuk terjadinya kebakaran hutan (Brown dan Davis 1973).
11 Secara statistik dapat dilihat bahwa antara curah hujan dengan hotspot baik yang harian, 10 harian, maupun bulanan tidak berpengaruh secara nyata sebab nilai P-value yang diperoleh ≥0.05. Menurut Kirkwood BR, Sterne (2007) intepretasi P- value dapat dilakukan sebagai berikut: P-value <0.001; adanya bukti yang kuat untuk menolak hipotesa nol; P-value <0.01 ; adanya bukti yang sedang untuk menolak hipotesa nol; P-value >0.1; adanya bukti yang lemah untuk menolak hipotesa nol. Tetapi, hal yang perlu diperhatikan, nilai P-value tergantung dari jumlah sampel. Sehingga, jika jumlah sampelnya kecil nilai Pvalue umumnya lebih >0.05, kemungkinan hubungan antara jumlah curah hujan dengan deteksi titik panas (hotspot) itu mungkin ada, walaupun kecil, tetapi karena jumlah sampel yang digunakan kecil dalam hal ini hanya satu tahun, hubungan antara variable tidak dapat terdektesi. Untuk curah hujan harian dan hotspot harian mempunyai hubungan yang dimana mempunyai nilai R-square sebesar 0.080 nilai P-value sebesar 0.4471 dan mempunyai persamaannya dimana y = 0.007x – 0.283 adalah jumlah hotspot dan x adalah curah hujan.. Pada parameter nilai rata-rata jumlah curah hujan dan jumlah hotspot 10 harian, didapatkan nilai R-square sebesar 0.238 dan nilai Pvalue sebesar 0.324 dan mempunyai persamaan y = 7.263x + 308.4 dimana y adalah jumlah hotspot dan x adalah curah hujan. Pada parameter nilai rata-rata jumlah curah hujan dan jumlah hotspot bulanan mempunyai nilai R-square sebesar 0.357 dan nilai P-value sebesar 0.2245 dengan persamaan y= 175.6x + 1567 dimana y adalah jumlah hotspot dan x adalah curah hujan. Notasi negatif (-) pada hasil uji korelasi tersebut menunjukkan arah kedua hubungan antara jumlah curah hujan dengan jumlah data hotspot baik dalam persamaan harian, 10 harian, maupun bulanan mempunyai hubungan terbalik. Hubungan terbalik ini memberikan arti bahwa penurunan curah hujan berpotensi meningkatkan jumlah hotspot dan sebaliknya, peningkatan jumlah curah hujan berpotensi menurunkan jumlah hotspot.
Gambar 6 Grafik regresi linear curah hujan dan jumlah hotspot di Provinsi Riau tahun 2013
12
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian ini menunjukann bahwa pada tahun 2013 musim kemarau di Provinsi Riau terjadi pada bulan April sampai September dengan puncak musim kemarau pada bulan Juni yang diikuti dengan peningkatan jumlah hotspot pada bulan-bulan tersebut. Total luas area terbakar di Riau pada tahun 2013 adalah sebesar 572 157.27 ha atau 6.52% dari luas wilayah Provinsi Riau. Kebakaran terbesar terdapat di Kabupaten Rokan Hilir dengan jumlah titik hotspot 3 128 titik dan luas terbakar 150 225.40 ha, Kabupaten Bengkalis (3 021 titik dan 133 615.67 ha), Kabupaten Pelalawan (2 097 titik dan 115 353.42 ha). Jumlah curah hujan berbanding terbalik dengan jumlah hotspot, dimana apabila jumlah curah hujan naik, maka jumlah hotspot yang ditemukan akan menurun, dan sebaliknya apabila jumlah curah hujan turun, maka jumlah hotspot akan mengalami kenaikan.
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh curah hujan dengan titik panas (hotspot) menggunakan kisaran waktu yang lebih lama agar menghasilkan pengaruh yang lebih signifikan dan perlu adanya peta kerawanan kebakaran pada daerah yang tergolong rawan kebakaran sebagai tindakan pencegahan dini terhadap bahaya kebakaran hutan dan lahan.
DAFTAR PUSTAKA Anderson IP, Brown MR. 2001. Fire Zones And The Theart To The Wetlands Of Sumatera, Indonesia. Palembang: Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2010. Riau dalam Angka 2010. Pekanbaru: BPS Provinsi Riau. Brown AA, Davis KP. 1973. Forest Fire Control and Use. New York, USA: McGraw-Hill Book Company. [Dishut] Dinas Kehutanan Provinsi Riau. Profil Kehutanan Riau [Internet]. [diakses 31 Mei 2014].Tersedia pada: http://www. dephut. go. Id / uploads /files/76333af5b0c4474a6498f7d3d1303470.pdf. Hadiwijoyo E. 2012. Pengaruh Anomali Sea Surface Temperature (SST) dan Curah Hujan terhadap Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau [skripsi]. Bogor: Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Irwanto. 2005. Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia[Internet]. [diakses 31 Mei 2014]. Tersedia pada: http://www.irwantoshut.com. Kasri A. 2013. Pakar: Asap Riau Terparah Sepanjang Sejarah. [Internet]. [diakses 28 Januari 2014]. Tersedia pada: http ://regional. kompas.com /read/2013/ 06/25/11290 83 / mediasibr.html.
13 Kirkwood BR, Sterne JA.2007. Essential Medical Statistics India: Replika Press. Kuswanto A. 2013. Seluruh Kabupaten Kota di Riau Berpotensi Banjir. [Internet]. [diakses 11 Juli 2014]. Tersedia pada: http://gagasanriau.com/seluruhkabupaten-kota-di-riau-berpotensi-banjir/. Pemerintah Provinsi Riau. Pemerintah Provinsi Riau [Internet]. [diakses 31 Mei 2014]. Tersedia pada: http://www.riau.go.id /index.php?/detail/61.in. Putra RM. 2012. Pendugaan gas emisi rumah kaca (CO2) akibat kebakaran hutan dan lahan pada berbagai tipe penutupan lahan di Provinsi Riau tahun 2000−2009 [skripsi]. Bogor: Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Solichin, Hasanuddin, dan Cristina.2007. Panduan Pengumpulan Informasi Kebakaran Hutan dan lahan melalui Internet. Palembang (ID).SSFFMP Sukmawati A. 2006. Hubungan Antara Curah Hujan Dengan Titik Panas (Hotspot) Sebagai Indikator Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan Di Kabupaten Pontianak Provinsi Kalimantan Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Perilaku Api, Penyebab,dan Dampak Kebakaran. Malang (ID): Bayumedia Publishing. Thoha AS. 2008. Penggunaan data hotspot untuk monitoring kebakaran hutan dan lahan Indonesia [Internet]. [diakses 14 Mei 2014]. Tersedia pada: http://respository.usu.ac.id Wardhana A. 2003. Penyusunan peringkat bahaya kebakaran hutan berdasarkan indeks kekeringan Keetch-Byram Drought Index (KBDI) dan kode kekeringan (Drought Code/DC) di Provinsi Riau [skripsi]. Bogor: Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Wahyunto, S. Ritung, Suparto, and H. Subagjo. 2005. Peatland distribution and its C content in Sumatra and Kalimantan.Wetland Int’l–Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada. Bogor: Indonesia. [WWF Indonesia] World Wildlife Fund Indonesia. 2010. Fire Bulletin in Year 2010. Buletin WWF Indonesia (6): 2-5. [Internet]. [diakses 11 Juli 2014]. Tersedia pada:http://wwf.cadownloads/fire_bulletin_special_edition_end_of_year_2010 _28_jan_11.pdf . .
14
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 1992 dari ayah Juradi dan ibu Napiyah penulis adalah putri kedua dari dua bersaudara. Tahun 2004 penulis lulus dari SMP Negeri 4 Kota Depok. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Citeureup dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai pengurus Tree Grower Community (TGC) yaitu himpunan mahasiswa silvikultur IPB. Bulan Juni 2012 penulis melakukan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan di Gunung Papandayan dan Pantai Sancang Timur. Bulan Juni-Juli 2013 penulis melakukan Praktik Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi, dan Perum Perhutani Cianjur. Bulan Februari-April 2014 penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan di Perhutani Unit III, KPH Cianjur, Jawa Barat.