VARIABILITAS CURAH HUJAN INTRAMUSIMAN DI SUMATRA UTARA DAN KAITANNYA DENGAN FENOMENA BOREAL SUMMER INTRASEASONAL OSCILLATION (BSISO)
DESIANA NURUSSYIFA
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENG ETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Variabilitas Curah Hujan Intramusiman di Sumatra Utara dan Kaitannya dengan Fenomena Boreal Summer Intraseasonal Oscillation (BSISO) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau d ikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Desiana Nurussyifa NIM G24120003
ABSTRAK DESIANA NURUSSYIFA. Variabilitas Curah Hujan Intramusiman di Sumatra Utara dan Kaitannya dengan Fenomena Boreal Summer Intraseasonal Oscillation (BSISO). Dibimbing oleh AKHMAD FAQIH. Boreal Summer Intraseasonal Oscillation (BSISO) adalah fenomena variabilitas iklim intramusiman yang dominan terjadi saat Belahan Bumi Utara (BBU) mengalami musim panas. Propagasi dan aktivitas BSISO dapat dipantau dengan menggunakan dua indeks yang disebut sebagai BSISO1 dan BSISO2. Fenomena BSISO dapat mempengaruhi anomali curah hujan dan curah hujan ekstrem di beberapa wilayah termasuk di Indonesia. Anomali curah hujan dan curah hujan ekstrem di Sumatra Utara berpotensi terkena pengaruh BSISO karena lokasi wilayah tersebut berada di jalur propagasi BSISO. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis hubungan BSISO dan pengaruhnya terhadap anomali curah hujan dan curah hujan harian ekstrem pada berbagai fase dan tipe BSISO. Analisis spektral dilakukan untuk mengetahui periode osilasi BSISO. Hasil analisis menunjukkan adanya kemiripan periodisitas antara BSISO1 dan curah hujan harian Sumatra Utara terutama pada periode osilasi antara 50-60 harian. Penelitian ini juga mengidentifikasi curah hujan ekstrem pada tiap fase BSISO yang menunjukkan adanya peningkatan curah hujan ekstrem terutama pada saat BSISO1 dan BSISO2. Curah hujan ekstrem saat terjadi BSISO1 dan BSISO2 terdapat pada keseluruhan fase untuk threshold pada persentil 90% dan 95%, sedangkan curah hujan ekstrem untuk threshold 99% terdapat hanya pada fase 3 BSISO1 serta fase 2 dan 5 BSISO2. Untuk mengetahui karakteristik spasial dari anomali curah hujan dan simpangan bakunya pada saat terjadi BSISO, dilakukan analisis komposit untuk setiap fase BSISO. Analisis komposit tersebut menunjukkan adanya pengaruh BSISO terhadap keragaman curah hujan di Sumatra Utara terutama saat berlangsungnya fase 2 dan 3 dari BSISO 1 dan fase 1 dan 2 dari BSISO 2. Kata kunci: BSISO, CHIRPS, komposit, spektral.
ABSTRACT DESIANA NURUSSYIFA. Intraseasonal rainfall variability in North Sumatra and its relationship with Boreal Summer Intraseasonal Oscillation (BSISO). Supervised by AKHMAD FAQIH. The Boreal Summer Intraseasonal Oscillation (BSISO) is a mode of climate variability on intraseasonal timescales that dominantly occurs during the Northern Hemisphere summer monsoon. Its propagation and activity can be monitored by using indices namely as BSISO1 and BSISO2. The phenomenon could effect daily rainfall anomalies and extreme rainfall in some regions, including in Indonesia. The rainfall anomalies and extremes in North Sumatra may be potentially affected by BSISO due to its location within the path of BSISO propagation. This study analyzes the relationship of BSISO with daily rainfall anomalies and extremes during different phases and types of BSISO. Spectral analysis was conducted to identify dominant periods of BSISO indices and daily rainfall. It shows that there is an agreement in the periodicity of BSISO1 and daily rainfall, especially on 50-60 days oscillation periods. This study also identify extreme rainfall during different phases of BSISO, showing that the extreme rainfall increased during both BSISO1 and BSISO2. Extreme rainfall beyond 90th and 95th percentile thresholds were found in the whole phase of BSISO1 and BSISO2, while the extreme rainfall above 99 th percentile threshold were found only in phase 3 of BSISO1 and phase 2 and 5 of BSISO2. Composite analysis conducted separately for spatial daily rainfall anomalies and its standard deviations were also performed in this study. The results found BSISO influences on rainfall variability in North Sumatra especially during phase 2 and 3 of BSISO1, and phase 1 and 2 of BSISO2. Keywords: BSISO, CHIRPS, composite, spectral.
VARIABILITAS CURAH HUJAN INTRAMUSIMAN DI SUMATRA UTARA DAN KAITANNYA DENGAN FENOMENA BOREAL SUMMER INTRASEASONAL OSCILLATION (BSISO)
DESIANA NURUSSYIFA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENG ETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan lancar. Karya ilmiah dengan judul “Variabilitas Curah Hujan Intramusiman di Sumatra Utara dan Kaitannya dengan Fenomena Boreal Summer Intraseasonal Oscillation (BSISO)” ini disusun sejak bulan Januari hingga Agustus 2016 di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Bapak, Ibu, Um, Bulik, Mba Oris, Mba Ika, Mba Rini, Mba N isa, Mba Asri, Mas Fahmi, dan Mz Ahmad Tubagus Tsani Rizqi Aji atas kasih sayang, doa, dan ridlonya. 2. Beasiswa Bidikmisi yang telah mendukung pembiayaan selama penulis mengikuti perkuliahan. 3. Bapak Dr. Akhmad Faqih selaku dosen pembimbing skripsi. 4. Bapak Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik. 5. Ibu Dr. Ir. Tania June, M.Sc selaku Kepala Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. 6. Dosen dan staf Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB. 7. Sahabat-sahabat GFM 49 semuanya yaitu Kikuk, Cul, Sitibol, Ka Ana, Zi, Bunda, Cindy, Ninis, Dara, Anggibol, Neng, Ame, Mba Dwi, Mba Siw, Muti, Megasar, Megafit, Mamon, Oci, Orita, Ipank, Betha, Nadia, Luisa, Rani, Risa, Debby, Didi, Nisa, Nuri, Mute, Rias, Ummu, Yessica, Sekar, Astri, Cicil, Laras, Cikita, Fitri, Irvan, Eqi, Budi, Yansen, Aji, Dhana, Umar, Beben, Ipul, Mas Bey, Dinul, Amri, Agis, Anjias, Edya, Adji, Ega, Allan, Insan, Galih, Qamal, Zaman, Yahdi, Aiman, Rapael, Irul yang saling mendukung dan kompak aamiiin… Serta Puput, Ari (ja ntan), Fajar (komti), dan Irsan yang tetap selalu bagian dari kami. 8. Seluruh pihak yang turut andil sehingga penyusunan karya ilmiah ini dapat dilaksanakan dengan lancar. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Agustus 2016 Desiana Nurussyifa
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
TINJAUAN PUSTAKA
2
Profil Sumatra Utara
2
Pola Hujan Sumatra Utara dan Kejadian Bencana Meteorologis
3
Boreal Summer Intraseasonal Oscillation (BSISO)
4
Climate Hazards Group InfraRed Precipitation with Station data (CHIRPS)
6
METODE PENELITIAN
6
Waktu dan Tempat Penelitian
6
Alat dan Bahan
7
Prosedur Analisis Data
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
10
Pola Curah Hujan Sumatra Utara
10
Periode Osilasi BSISO
11
Analisis Curah Hujan Ekstrem pada Fase BSISO
13
Analisis Komposit Anomali Curah Hujan CHIRPS dan Observasi
16
SIMPULAN DAN SARAN
23
Simpulan
23
Saran
23
DAFTAR PUSTAKA
24
LAMPIRAN
26
RIWAYAT HIDUP
35
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Batas curah hujan ekstrem Jumlah kejadian curah hujan yang melebihi threshold Jumlah kejadian anomali curah hujan positif Simpangan baku anomali curah hujan observasi pada tiap fase BSISO
13 14 15 22
DAFTAR GAMBAR 5 Peta Pulau Sumatra. Warna merah muda: Sumatra Utara. Sumber: Margono et al (2012) 6 Pola curah hujan di Indonesia monsunal (A), ekuatorial (B), dan lokal (C). Sumber: Aldrian dan Susanto (2003) 7 Pola kejadian banjir di Sumatra Utara tahun 1965 – 2007. Sumber: Handayani (2010) 8 Fase-fase yang dilalui oleh BSISO1 (a) dan BSISO2 (b). Sumber: Lee et al. (2013) 9 Propagasi BSISO1 (a) dan BSISO2 (b). Sumber: Lee et al. (2013) 10 Sebaran korelasi antara data CHIRPS dan data observasi per stasiun. Merah: 0.410-0.627, kuning: 0.627-0.719, hijau: 0.719-0.822, dan biru: 0.822-0.991. Sumber: Radini (2015) 11 Diagram alir penelitian 12 Pola curah hujan rata-rata wilayah Sumatra Utara berdasarkan data CHIRPS 13 Pola curah hujan di empat stasiun cuaca 14 Osilasi BSISO1 (a), BSISO2 (b), dan curah hujan Sumatra Utara (c) selama bulan Mei- Oktober tahun 2008-2010 15 Diagram fase BSISO1 pada bulan Juli, Agustus, dan September 2009 16 Diagram fase BSISO2 pada bulan Mei, Juni, dan Juli 2009 17 Fase-fase BSISO1 (a) dan BSISO2 (b) yang berpengaruh terhadap curah hujan Sumatra Utara. Simbol kotak bergaris batas merah muda = persentil 90%, simbol segitiga bergaris batas hijau = persentil 95%, dan simbol silang bergaris batas jingga = persentil 99% 18 Anomali curah hujan Sumatra Utara pada tiap fase BSISO 19 Komposit anomali curah hujan CHIRPS dan observasi tiap fase BSISO1. Biru = anomali positif, merah = anomali negatif 20 Komposit anomali curah hujan CHIRPS dan observasi tiap fase BSISO2. Biru = anomali positif, merah = anomali negatif 21 Peta lokasi stasiun cuaca: Belawan (merah), Sampali (kuning), Tuntungan (hijau), dan F. L Tobing (biru) 22 Simpangan baku anomali curah hujan Sumatra Utara pada tiap fase BSISO1 (a) dan BSISO2 (b) 23 Anomali curah hujan di stasiun cuaca F.L Tobing dan indeks BSISO1 kuat pada bulan Agustus 2009
2 3 4 5 5
6 9 10 10 11 12 12
14 15 17 18 19 21 22
DAFTAR LAMPIRAN 24 25 26 27 28 29
Grafik sebaran Gamma curah hujan Sumatra Utara tahun 1991-2010 Script pembentukan grafik Power Spectral Density (PSD) Script pengolahan data menggunakan Grads 2.0.1 Script pengolahan data menggunakan CDO Script pengolahan data menggunakan NCL Anomali curah hujan di empat titik stasiun cuaca
26 27 28 29 30 34
PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomena iklim yang terjadi di permukaan bumi terdiri dari berbagai macam mulai dari lingkup yang lebih sempit hingga yang berpengaruh secara global. Perkembangan ilmu pengetahuan semakin maju dalam analisis variablitas iklim. Penelitian terbaru menunjukkan adanya penemuan fenomena intramusiman baru yaitu Boreal Summer Intraseasonal Oscillation (BSISO). BSISO merupakan sirkulasi akibat interaksi antara lautan dan atmosfer dengan arah pergerakan berasal dari Samudera Hindia menuju barat laut Samudera Pasifik (Lee et al. 2013). BSISO memiliki kemiripan dengan Madden Julian Oscillation (MJO). MJO merupakan salah satu fenomena iklim di sekitar ekuator yang ditandai dengan pergerakan proses konveksi dari arah barat ke timur yaitu dari Samudera Hindia menuju Samudera Pasifik (Madden dan Julian 1972). Perbedaan antara BSISO dan MJO terletak pada waktu kejadian dimana MJO mendominasi pada saat Belahan Bumi Utara (BBU) mengalami musim dingin sedangkan BSISO mendominasi pada saat BBU mengalami musim panas (Kikuchi et al. 2011). Perbedaan lainnya juga terdapat pada periode sirkulasinya, MJO memiliki periode 40-50 harian (Madden dan Julian 1972), sedangkan BSISO terdiri dari dua jenis yaitu periode 30-60 harian yang disebut BSISO1 dan 10-20 harian yang disebut BSISO2 (Lee et al. 2013). Jalur pergerakan antara BSISO1 dan BSISO2 juga memiliki perbedaan sesuai dengan fase-fase yang dilalui. Sirkulasi BSISO akan mempengaruhi kondisi curah hujan di wilayahwilayah yang dilalui selama pergerakannya termasuk sebagian wilayah Indonesia. Analisis curah hujan akibat dari dampak sirkulasi BSISO perlu dilakukan pada wilayah-wilayah yang dilalui selama pergerakannya. Menurut Hsu et al. (2015), BSISO1 diduga memiliki andil dalam tragedi banjir Sungai Yangtze di Cina pada tahun 1998 yang berdampak pada jumlah korban lebih dari 3 000 jiwa dengan kerugian ekonomi sejumlah 45 milyar dollar dan BSISO2 juga terlibat dalam tragedi banjir di Provinsi Fujian di Cina bagian selatan pada tahun 2000 dengan kerugian lebih dari 2 milyar dollar. BSISO terjadi pada wilayah tropis bagian utara sehingga wilayah Indonesia yang memungkinkan terkena dampak pergerakan BSISO adalah wilayah Indonesia bagian utara, seperti Provinsi Sumatra Utara. Sumatra Utara merupakan wilayah yang memiliki persentase jumlah bencana meteorologis tertinggi di Pulau Sumatra yaitu sebesar 22%. Kejadian banjir dari tahun 1965 hingga 2007 tercatat memiliki puncak tertinggi berada pada bulan Desember-Januari, sedangkan puncak sekunder terdapat pada bulan Mei (Handayani 2010). Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi keterkaitan antara variabilitas curah hujan wilayah Sumatra Utara dengan fenomena BSISO yang aktif pada bulan MeiOktober. Tujuan Penelitian Penelitian mengenai variabilitas curah hujan intramusiman di Sumatra Utara dan kaitannya dengan fenomena Boreal Summer Intraseasonal Oscillation
2 (BSISO) bertujuan menganalisis hubungan keterkaitan antara variabilitas curah hujan wilayah Sumatra Utara dengan fenomena BSISO, menganalisis pengaruh BSISO terhadap curah hujan harian ekstrem pada fase- fase BSISO, dan mengidentifikasi BSISO yang lebih dominan di antara BSISO1 dan BSISO2 terkait pengaruhnya terhadap variabilitas curah hujan intramusiman di wilayah Sumatra Utara.
TINJAUAN PUSTAKA Profil Sumatra Utara Penelitian tentang pengaruh BSISO dengan variabilitas curah hujan ini dilakukan untuk wilayah Provinsi Sumatra Utara. Provinsi Sumatra Utara terletak di antara 1o -4o LU dan 98o -100o BT dengan luas daratan sebesar 71 680.68 km2 dan luas perairan sebesar 110 000.65 km2 . Batas wilayah Provinsi Sumatra Utara antara lain Provinsi Aceh di sebelah utara, Provinsi Riau dan Sumatra Barat di sebelah selatan, Samudera Hindia di sebelah barat, dan Selat Malaka di sebelah timur. Secara administratif, Provinsi Sumatra Utara terdiri dari 25 Kabupaten, 8 Kotamadya, 417 Kecamatan, dan 5 744 Desa/Kelurahan (Bappeda Sumatra Utara 2012).
Gambar 1 Peta Pulau Sumatra. Warna merah muda: Sumatra Utara. Sumber: Margono et al (2012) Sumatra Utara memiliki iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin Passat dan angin Muson. Musim kemarau biasanya dialami pada bulan Juni hingga
3 September dan musim penghujan biasanya dialami pada bulan November hingga Maret dengan curah hujan berkisar 1 431 – 2 265 mm/tahun atau rata-rata 2 100 mm/tahun, dan jumlah hari hujan rata-rata sebesar 173 - 230 hari/tahun. Curah hujan tahunan rata-rata kurang dari 1 500 mm terjadi di wilayah kering, sedangkan di beberapa bagian wilayah Sumatra Utara memiliki curah hujan tinggi berkisar antara 2 000 hingga 4 500 mm. Kelembaban udara rata-rata di wilayah ini yaitu 78%-91%. Ketinggian daratan Provinsi Sumatra Utara bervariasi, terdiri dari daerah datar yang memiliki suhu udara sekitar 35 o C, daerah berbukit dengan kemiringan yang landai, dan daerah ketinggian yang suhu minimalnya dapat mencapai 13o C (Bappeda Sumatra Utara 2012). Pola Hujan Sumatra Utara dan Kejadian Bencana Meteorologis Pola hujan di Indonesia terdiri dari tiga macam yaitu pola monsunal, pola lokal, dan pola ekuatorial. Pola monsun dipengaruhi oleh adanya tiupan angin Monsun Barat karena angin Monsun Barat biasanya lebih lembab dan banyak menimbulkan hujan dibandingkan angin Monsun Timur. Pola lokal lebih dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik wilayah lokal seperti adanya bentang perairan yang dapat menjadi sumber penguapan dan pegunungan sebagai daerah tangkapan hujan. Pola ekuatorial berhubungan dengan pergerakan posisi zona konvergensi yang membentuk garis Inter-Tropical Convergence Zone (ITCZ) yang mengikuti gerak semu matahari dimana matahari melintasi ekuator sebanyak dua kali dalam satu tahun. Zona konvergensi yaitu daerah pertemuan dua massa udara yang berasal dari dua belahan bumi, kemudian massa udara tersebut bergerak ke atas. Garis ITCZ akan menyebabkan tempat-tempat yang dilaluinya memiliki curah hujan tinggi. Pola ekuatorial juga dicirikan dengan musim kemarau yang singkat dan musim hujan yang panjang, dengan maksimum curah hujan bulanan terjadi dua kali dalam setahun (Tukidi 2010). Sumatra Utara secara umum termasuk ke dalam golongan wilayah yang memiliki pola hujan ekuatorial (Gambar 2).
Sumatra Utara
Gambar 2 Pola curah hujan di Indonesia monsunal (A), ekuatorial (B), dan lokal (C). Sumber: Aldrian dan Susanto (2003) Menurut Handayani (2010), total bencana yang disebabkan oleh cuaca ekstrem atau bencana meteorologis yang terjadi di Sumatra Utara antara tahun 1965-2007 tercatat sejumlah 245 kejadian dengan intensitas bencana sebesar 22% dari total keseluruhan bencana di Pulau Sumatra. Nilai tersebut merupakan nilai
4 persentase tertinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya di Pulau Sumatra. Bencana meteorologis yang dimaksud adalah banjir. Kejadian banjir tertinggi berada pada bulan Desember-Januari, sedangkan puncak sekunder terdapat pada bulan Mei. Kota Medan dan Deli Serdang memiliki jumlah kejadian bencana meteorologis tertinggi di wilayah Sumatra Utara.
Gambar 3 Pola kejadian banjir di Sumatra Utara tahun 1965 – 2007. Sumber: Handayani (2010) Boreal Summer Intraseasonal Oscillation (BSISO) Intraseasonal Oscillation (ISO) atau osilasi intramusiman adalah mode dominan dari variabilitas frekuensi rendah di troposfer tropis (Madden dan Julian 1994). Menurut Kikuchi et al. (2011), terdapat ISO yang mendominasi pada saat Belahan Bumi Utara (BBU) mengalami musim dingin yaitu Madden-Julian Oscillation (MJO), sedangkan ISO yang mendominasi pada saat BBU mengalami musim panas yaitu Boreal Summer Intraseasonal Oscillation (BSISO). BSISO merupakan sirkulasi akibat interaksi antara lautan dan atmosfer yang memiliki kemiripan dengan MJO dimana pergerakannya berasal dari Samudera Hindia menuju barat laut Samudera Pasifik yang terjadi pada saat Belahan Bumi Utara (BBU) mengalami musim panas (Lee et al. 2013). Umumnya, keduanya menggambarkan propagasi anomali konvektif dan anomali angin pada skala besar, namun BSISO memiliki karakteristik yang sangat berbeda dalam hal intensitas, frekuensi, dan propagasinya dibandingkan dengan MJO (Ding et al. 2011). Perbedaan antara keduanya yaitu MJO mendominasi selama BBU mengalami musim dingin pada bulan Desember-April dengan propagasi ke arah timur, sedangkan BSISO mendominasi selama BBU mengalami musim panas pada bulan Juni-Oktober dengan propagasi kea rah utara, sementara bulan Mei dan November menjadi bulan transisi (Kikuchi et al. 2011). BSISO terdiri dari dua jenis yaitu BSISO1 dan BSISO2. BSISO1 memiliki lama periode 30-60 hari (Annamalai dan Sperber 2005; Lee et al. 2013). sedangkan BSISO2 memiliki lama periode 10-20 hari (Kikuchi dan Wang 2010; Lee et al. 2013). Indeks BSISO terdiri dari nilai Principal Components (PC) atau koefisien proyeksi pada masing- masing jenis BSISO. BSISO1 terdiri dari PC1 dan PC2, sedangkan BSISO2 terdiri dari PC3 dan PC4. PC tersebut dibentuk dari OLR (Outgoing Longwave Radiation) dan angin zonal di ketinggian 850-hPa (Lee et al. 2013). Gambar 4 menunjukkan fase-fase dan propagasi BSISO1 dan BSISO2.
2
5
(a)
(b)
Gambar 4 Fase- fase yang dilalui oleh BSISO1 (a) dan BSISO2 (b). Sumber: Lee et al. (2013) Fase-fase yang dilalui BSISO1 dan BSISO2 masing- masing terdiri dari 8 fase, namun daerah dari keduanya berbeda. BSISO1 melewati fase 1 di Samudera Hindia bagian ekuator, fase 2-3 di Samudera Hindia dan Asia Timur, fase 4-5 di India, fase 6-7 di Laut Cina Selatan dan Teluk Benggala, dan fase 8 di Barat Laut Samudera Pasifik. Sementara BSISO2 melewati fase 1 dan 2 di Samudera Hindia dan Laut Filipina, fase 3 di India dan Laut Cina Selatan, fase 4-5 di Teluk Benggala, fase 6 di Asia Tenggara, fase 7 di Timur Laut Asia, dan fase 8 Barat Laut Samudera Pasifik. Alur propagasi BSISO1 dan BSISO2 pada dasarnya berawal dan berakhir di daerah yang sama yaitu dari Samudera Hindia menuju Barat Laut Samudera Pasifik sebagaimana ditunjukkan oleh warna biru pada Gambar 5. Nilai OLR yang semakin negatif mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan curah hujan akibat tutupan awan konvektif yang tebal (BMKG 2015a).
(a)
(b)
Gambar 5 Propagasi BSISO1 (a) dan BSISO2 (b). Sumber: Lee et al. (2013)
6 Climate Hazards Group InfraRed Precipitation with Station data (CHIRPS) Data curah hujan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Climate Hazards Group InfraRed Precipitation with Station data (CHIRPS) (Funk et al. 2015). CHIRPS merupakan data curah hujan yang berasal dari monitoring satelit dan telah divalidasi dengan data observasi membentuk data grid. Cakupan wilayah yang mampu ditangkap CHIRPS yaitu 50°Lintang Selatan hingga 50°Lintang Utara untuk seluruh derajat bujur. Data yang tersedia dimulai dari tahun 1981 hingga sekarang dan terus diperbaharui. Resolusi data tertinggi mencapai 0.05 o dan versi CHIRPS 2.0 merupakan versi terbaru yang diluncurkan pada tanggal 12 Februari 2015 (Funk et al. 2015). Sumat ra Utara
Gambar 6 Sebaran korelasi antara data CHIRPS dan data observasi per stasiun. Merah: 0.410-0.627, kuning: 0.627-0.719, hijau: 0.719-0.822, dan biru: 0.822-0.991. Sumber: Radini (2015) Menurut penelitian Radini (2015), koreksi dan validasi antara data CHIRPS dan data curah hujan observasi stasiun cuaca dari 24 stasiun di Indonesia selama tahun 1981-2010 memiliki nilai korelasi rata-rata sebesar 0.715 dengan pola data yang mampu mengikuti pola curah hujan observasi. Gambar 6 menunjukkan sebaran nilai korelasi antara data CHIRPS dan data curah hujan observasi. Stasiun cuaca di wilayah Sumatra Utara diwakili oleh stasiun SampaliMedan yang memiliki nilai korelasi hijau tepatnya bernilai 0.720. Nilai tersebut digolongkan ke dalam kategori korelasi kuat sehingga penelitian menggunakan data CHIRPS dapat dilakukan.
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Klimatologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai pada bulan Januari 2016 hingga Mei 2016.
7 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian mengenai variabilitas curah hujan intramusiman di Sumatra Utara dan kaitannya dengan fenomena Boreal Summer Intraseasonal Oscillation (BSISO) yaitu laptop dengan software Microsoft Office, Minitab 16, Grads 2.0.1, Matlab R2013a, CDO (Climate Data Operator) 1.6.4, NCL (NCAR Command Language), ArcMap 10.1, Global Mapper 10, dan Surfer 10. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data-data yang terdiri dari data curah hujan harian selama 20 tahun (tahun 1991-2010), meliputi data curah hujan harian dari satelit cuaca berupa data CHIRPS bentuk tabel, data fase BSISO, dan data indeks BSISO dari IRI Data Library (iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.UCSB/.CHIRPS/.v2p0/.daily/.global/.0p05/. prcp/), data CHIRPS format “.nc” dari Climate Hazard Group (ftp://ftp.chg.ucsb.edu/pub/org/chg/products/CHIRPS-2.0/global_daily/netcdf/ p05/), data curah hujan observasi stasiun cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dan peta dasar (basemap) Provinsi Sumatra Utara. Wilayah kajian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Provinsi Sumatra Utara yang terletak di antara 1o - 4o Lintang Utara dan 98o -100o Bujur Timur. Prosedur Analisis Data Analisis Spektral Spektral merupakan transformasi data domain waktu menjadi domain frekuensi. Analisis spektral digunakan untuk melakukan estimasi fungsi densitas spektrum dari sebuah deret waktu yang merupakan modifikasi dari analisis Fourier sehingga analisis ini sesuai untuk deret waktu yang stokastik (Chatfield 1989). Penelitian Hermawan et al. (2010), menggunakan analisis Power Spectral Density (PSD) untuk mengetahui osilasi dominan dari suatu fenomena iklim global yang dikajinya berdasarkan data iklim global maupun curah hujan lokal. Berikut ini adalah persamaan matematis dari PSD (Stoica dan Randolph 2005): …………………..… (1) Keterangan: = fungsi power spectral density = autokovariansi ke-k ω = frekuensi radian Menurut Sugianti (2014), densitas spektral diaplikasikan terhadap signal yang memiliki dimensi fisika tertentu maupun tidak. Densitas spektral yang dikalikan dengan suatu faktor akan membentuk daya yang dibawa oleh gelombang per satuan frekuensi yang disebut densitas spektral daya (Power Spectral Density). Analisis spektral dalam penelitian ini dilakukan untuk menampilkan osilasi dominan dari fenomena BSISO dan curah hujan di wilayah Sumatra Utara menggunakan software Matlab 2013 (Lampiran 2).
8 Analisis Peluang Sebelum dilakukan analisis peluang, terlebih dahulu diduga jenis sebaran data melalui histogram. Hasil dari plot histogram menunjukkan sebaran data curah hujan Sumatra Utara miring ke kanan. Menurut Sutikno dan Ahmad (2003), data curah hujan yang mengikuti pola miring ke kanan (skewness positive) memiliki beberapa kemungkinan jenis distribusi yaitu Wibull family, Gamma family, Chisquare family, Lognormal family, dan Power Lognormal Family. Jenis sebaran data dapat diuji dengan uji Anderson Darling (A-D), Kolmogorov-Smirnov (K-S), dan Chi-square. A-D dan K-S lebih cocok untuk data kontinu seperti curah hujan, sedangkan Chi-square lebih cocok untuk data diskret. Menurut Sharma dan Jai (2010), distribusi Gamma banyak digunakan dalam penelitian-penelitian untuk menganalisis data curah hujan. Berikut ini adalah persamaan matematis untuk fungsi kepekatan peluang distribusi Gamma (Sutikno dan Ahmad 2003). ………….……….. (2) 0 < x < ~, η > 0, λ > 0 Dengan η adalah parameter shape (bentuk) dan λ adalah parameter scale (lokasi). Grafik sebaran Gamma curah hujan Sumatra Utara tahun 1991-2010 dapat dilihat pada Lampiran 1. Analisis peluang dalam penelitian ini dilakukan untuk menentukan batas (threshold) sebagai penentu curah hujan ekstrem. Threshold dihasilkan berdasarkan penentuan periode ulang kejadian. Nilai curah hujan yang melebihi batas peluang merupakan curah hujan ekstrem. Analisis Komposit Hermawan dan Adi (2012), melakukan analisis komposit untuk mengetahui karakteristik curah hujan di wilayah kajian penelitiannya sehingga dapat dibedakan antara musim hujan, transisi, dan kemarau. Sveinsson et al. (2008), juga
menggunakan analisis komposit untuk mengetahui pola sirkulasi atmosfer dalam penelitiannya. Analisis komposit juga dilakukan untuk merata-ratakan jumlah kejadian peristiwa El-Nino dan La-Nina dalam penelitian Welhouse et al. (2016). Komposit dalam penelitian ini dilakukan dengan menggabungan dan merataratakan anomali curah hujan pada tiap fase BSISO. Analisis komposit digunakan untuk mengidentifikasi fase-fase yang berpengaruh terhadap curah hujan di wilayah kajian menggunakan software NCL (NCAR Command Language) dan Grads 2.0.1, kemudian dibandingkan dengan hasil pengelompokkan fase- fase menggunakan Microsoft Excel untuk pengambilan keputusan fase yang berpengaruh. Data curah hujan yang digunakan dibatasi bulan Mei-Oktober untuk setiap tahun selama 20 tahun (tahun 1991-2010) dengan indeks BSISO lebih dari 1. Hal ini dilakukan untuk lebih memfokuskan fenomena BSISO yang aktif terjadi pada bulan Mei-Oktober. Berbagai script pengolahan data disajikan pada Lampiran 3, 4, dan 5.
9 Alur Penelitian Alur penelitian mengenai variabilitas curah hujan intramusiman di Sumatra Utara dan kaitannya dengan fenomena Boreal Summer Intraseasonal Oscillation (BSISO) digambarkan melalui diagram alir berikut ini. M ulai
CHIRPS harian tahun 19912010
Data tabel CH Sumatra Utara
Fase BSISO
Indeks BSISO
Pola hujan
Data global format “.nc” per tahun
CH observasi 1991-2010
Filter data M ei-Oktober
Fase filter M embuat sebaran Gamma dengan M initab 16
Batas (threshold): P= 90% P= 95% P= 99% menggunakan Ms.Excel 2007
Diagram fase BSISO
Indeks BSISO filter
CHIRPS filter
Crop wilayah menggunakan Grads 2.0.1 Indeks BSISO >1
M enggabungkan data menggunakan CDO 1.6.4
Tidak
Ya M embuat anomali curah hujan format “.nc”
Tanggal fase
Basemap
M embuat grafik Power Spektral Density dengan M atlab R2013a
Analisis spektral Komposit anomali curah hujan dan simpangan baku menggunakan NCL
Anomali CHIRPS
M enampilkan sebaran spasial menggunakan Grads 2.0.1
Indeks BSISO >1 Ya
Tidak
Analisis peluang
Stop
Gambar 7 Diagram alir penelitian
Basemap “.shp” dengan Global Mapper 10 dan ArcGIS 10
CH observasi filter
Anomali CH observasi filter
Indeks BSI SO >1
Ya
Tidak
Pemetaan anomali CH di lima titik stasiun cuaca dengan Surfer 10
10
HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Curah Hujan Sumatra Utara
350 300 250 200 150 100 50 0
Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari
Curah Hujan Rata-rata (mm/bulan)
Sumatra Utara memiliki pola curah hujan ekuatorial yang memiliki dua puncak dalam satu tahun. Gambar 8 menunjukkan curah hujan rata-rata bulanan berdasarkan data CHIRPS dan data observasi empat stasiun cuaca di wilayah Sumatra Utara dari tahun 1991 hingga 2010.
Bulan
Gambar 8 Pola curah hujan rata-rata wilayah Sumatra Utara berdasarkan data CHIRPS St. Meteorologi Maritim Belawan 400 300 200 100 0
Bulan
Bulan
600 500 400 300 200 100 0
Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari
St. Meteorologi F. L Tobing Curah Hujan Rata-rata (mm/bulan)
St. Klimatologi Sampali 300 250 200 150 100 50 0
Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari
Curah Hujan Rata-rata (mm/bulan)
Bulan
Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari
Curah Hujan Rata-rata (mm/bulan)
Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari
Curah Hujan Rata-rata (mm/bulan)
St. Geofisika Tuntungan 500 400 300 200 100 0
Bulan
Gambar 9 Pola curah hujan di empat stasiun cuaca Pola curah hujan yang dihasilkan dari data CHIRPS menunjukkan dua puncak dalam satu tahun yaitu pada bulan Maret dan November, sedangkan pola
11 curah hujan yang dihasilkan dari data observasi di empat stasiun cuaca cukup bervariasi. Meskipun demikian, secara umum empat stasiun cuaca menghasilkan pola yang sama dengan data CHIRPS yaitu memiliki dua puncak curah hujan dalam satu tahun. Stasiun cuaca geofisika Tuntungan memiliki puncak curah hujan pada bulan Mei dan September, stasiun cuaca meteorologi maritim Belawan memiliki puncak curah hujan pada bulan Mei dan Oktober, stasiun cuaca klimatologi Sampali memiliki puncak curah hujan pada bulan Mei dan September, dan stasiun cuaca meteorologi F. L Tobing memiliki puncak curah hujan pada bulan April dan November. Periode Osilasi BSISO Energi spektral dapat digunakan untuk mengetahui osilasi suatu fenomena iklim. Periode osilasi BSISO diketahui dengan membentuk grafik Power Spectral Density (PSD) menggunakan indeks BSISO, baik BSISO1 maupun BSISO2. PSD juga dibentuk dari curah hujan untuk membandingkan dengan PSD BSISO terkait dengan hubungan keduanya. 50-60 harian
(a)
10-20 harian
(b)
(c)
Gambar 10 Osilasi BSISO1 (a), BSISO2 (b), dan curah hujan Sumatra Utara (c) selama bulan Mei- Oktober tahun 2008-2010
12 Analisis spektral untuk data indeks BSISO harian selama tiga tahun (20082010) menghasilkan grafik energi spektral tertinggi pada BSISO1 terdapat pada periode 50-60 harian sedangkan BSISO2 pada periode 10-20 harian. Periode tersebut menunjukkan periode osilasi BSISO. Hal ini sesuai dengan teori bahwa BSISO1 memiliki periode osilasi 30-60 harian, sedangkan BSISO2 memiliki periode osilasi 10-20 harian (Lee et al. 2013). Hasil PSD curah hujan menunjukkan bahwa pada periode antara 50-60 harian bersamaan dengan periode BSISO1 terdapat peningkatan energi spektral curah hujan, sedangkan pada periode 10-20 harian energi spektral curah hujan bersamaan dengan periode BSISO2 terlihat meningkat meskipun tidak terlalu signifikan. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara aktivitas BSISO dengan curah hujan Sumatra Utara.
Gambar 11 Diagram fase BSISO1 pada bulan Juli, Agustus, dan September 2009
Gambar 12 Diagram fase BSISO2 pada bulan Mei, Juni, dan Juli 2009
13 Propagasi BSISO1 dan BSISO2 dimulai dari fase 1 hingga fase 8 namun keduanya memiliki rute wilayah propagasi yang berbeda. Gambar 11 dan Gambar 12 adalah contoh diagram fase BSISO yang dihasilkan dari nilai PC1 dan PC2 untuk indeks BSISO1 serta PC3 dan PC4 untuk indeks BSISO2 dalam waktu beberapa bulan pada tahun 2009. Grafik yang terdapat di dalam lingkaran atau indeks BSISO bernilai kurang dari 1 menunjukkan bahwa BSISO dalam keadaan lemah, sebaliknya grafik yang berada di luar lingkaran atau indeks BSISO lebih dari 1 menunjukkan bahwa BSISO dalam keadaan kuat. BSISO1 yang terjadi selama bulan Juli – Agustus - September 2009 dalam keadaan kuat terdapat di fase 1 hingga 8, namun jumlah kejadian tertinggi terdapat pada fase 5 yaitu 17 hari dan fase 2 yaitu 9 hari, sedangkan BSISO2 yang terjadi selama bulan Mei – Juni - Juli 2009 dalam keadaan kuat terdapat di beberapa fase yaitu fase 3, 4, 5, 6, 7, dan 8, namun jumlah kejadian tertinggi terdapat pada fase 8 yaitu 16 hari dan fase 6 yaitu 14 hari. Fase 5 pada BSISO1 terjadi di India dan Benua Maritim dan fase 2 terjadi di Samudera Hindia dan Asia Timur, sedangkan fase 8 pada BSISO2 terjadi di Barat Laut Samudera Pasifik dan fase 6 terjadi di Asia Tenggara. Lokasi terjadinya fase- fase BSISO tersebut cukup berdekatan dengan wilayah Sumatra Utara sehingga fase- fase tersebut menyebabkan wilayah Sumatra Utara mengalami peningkatan curah hujan akibat aktivitas BSISO. Analisis Curah Hujan Ekstrem pada Fase BSISO Pengaruh aktivitas BSISO dapat diamati dengan mengelompokkan curah hujan Sumatra Utara pada fase- fase BSISO kemudian dilakukan analisis curah hujan ekstrem yang melebihi batas (threshold) peluang kejadian. Nilai threshold diperoleh berdasarkan sebaran Gamma dari curah hujan yang terbentuk. Nilai threshold tersebut kemudian diplotkan sebagai batas curah hujan ekstrem pada grafik antara fase BSISO dengan curah hujan rata-rata wilayah Sumatra Utara yang telah difilter khusus bulan Mei-Oktober selama 20 tahun yaitu tahun 1991 hingga 2010 dengan nilai indeks BSISO lebih dari 1. Filter data bertujuan untuk memfokuskan kondisi curah hujan saat BSISO dalam keadaan aktif. Tabel 2 menunjukkan nilai threshold dari persentil 90%, 95%, dan 99% yang dibentuk dari parameter sebaran Gamma dengan nilai parameter shape 1.18 dan parameter scale 6.47 (Lampiran 1). Tabel 1 Batas curah hujan ekstrem Persentil 0.9 0.95 0.99
Threshold Curah Hujan Ekstrem (mm/hari) 16.91 21.62 32.44
Persentil 90% berarti bahwa kejadian curah hujan ekstrem terjadi di atas batas atau threshold yang melebihi dari total data 90%, begitupun untuk persentil 95% dan 99% yang merupakan batas atau threshold curah hujan ekstrem yang melebihi dari total data 95% dan 99%. Semakin besar persentil maka semakin kecil peluang terjadinya curah hujan ekstrem yang melebihi threshold. Besaran nilai threshold curah hujan wilayah Sumatra Utara yaitu 16.91 mm/hari untuk persentil 90%, 21.62 mm/hari untuk persentil 95%, dan 32.44 mm/hari untuk persentil 99%. Nilai yang melebihi threshold digolongkan ke dalam curah hujan
14
(a)
Curah Hujan Rata-rata (mm/hari)
ekstrem sebagaimana penelitian mengenai curah hujan ekstrem terkait BSISO di Cina bagian Selatan yang dilakukan menggunakan persentil 75% dan 90% (Hsu et al. 2015). 40 35 30 25 20 15 10 5 0
P=90%
P=95% P=99%
(b)
Curah Hujan Rata-rata (mm/hari)
0
1
2
3 4 5 6 Fase BSISO1
7
8
40 35 30 25 20 15 10 5 0
P=90% P=95% P=99% 0
1
2
3 4 5 6 Fase BSISO2
7
8
Gambar 13 Fase-fase BSISO1 (a) dan BSISO2 (b) yang berpengaruh terhadap curah hujan Sumatra Utara. Simbol kotak bergaris batas merah muda = persentil 90%, simbol segitiga bergaris batas hijau = persentil 95%, dan simbol silang bergaris batas jingga = persentil 99% Tabel 2 Jumlah kejadian curah hujan yang melebihi threshold BSISO
Percentil
BSISO1
90% 95% 99%
Total BSISO2 90% 95% 99% Total
Fase 1 22 11 0 33 27 13 0 40
2 42 17 0 59 38 15 1 54
3 25 7 2 34 22 6 0 28
4 11 2 0 13 14 5 0 19
5 11 3 0 14 18 6 1 25
6 10 3 0 13 6 1 0 7
7 17 8 0 25 11 5 0 16
8 12 5 0 17 21 10 0 31
Curah hujan yang melebihi batas nilai threshold merupakan curah hujan ekstrem yang dapat disebabkan oleh fenomena BSISO, baik BSISO1 maupun BSISO2. Curah hujan ekstrem saat terjadi BSISO1 dan BSISO2 terdapat pada
15 keseluruhan fase untuk threshold pada persentil 90% dan 95%, sedangkan curah hujan ekstrem untuk threshold 99% terdapat pada fase 3 saat BSISO1 dan fase 2 dan 5 saat BSISO2 (Gambar 13). Selanjutnya, dilakukan penentuan fase- fase BSISO yang berpengaruh terhadap curah hujan Sumatra Utara dengan mengidentifikasi jumlah kejadian curah hujan ekstrem pada tiap fase BSISO. Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah kejadian curah hujan ekstrem yang melebihi threshold untuk tiga nilai tertinggi berturut-turut yaitu terdapat pada fase 2, 3, dan 1 saat BSISO1, serta tiga nilai tertinggi terdapat pada fase 2, 1, dan 3 saat BSISO2. Fase- fase tersebut merupakan fase yang berpengaruh terhadap tingginya curah hujan wilayah Sumatra Utara pada saat BSISO dalam keadaan aktif. Identifikasi juga dilakukan terhadap nilai anomali curah hujan wilayah Sumatra Utara. Anomali curah hujan merupakan selisih antara nilai curah hujan dengan nilai curah hujan rata-rata. Anomali positif memiliki arti bahwa intensitas curah hujan meningkat dibandingkan nilai normalnya. Sebaliknya, anomali negatif berarti bahwa intensitas curah hujan menurun dibandingkan nilai normalnya (BMKG 2015b).
(a)
Anomali Curah Hujan (mm/hari)
30 20 10
0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
6
7
8
-10 -20
Fase BSISO1
(b)
Anomali Curah Hujan (mm/hari)
30
20 10 0 0
1
2
3
4
5
-10 -20 Fase BSISO2
Gambar 14 Anomali curah hujan Sumatra Utara pada tiap fase BSISO Tabel 3 Jumlah kejadian anomali curah hujan positif BSISO BSISO1 BSISO2
1 135 158
2 188 157
3 143 135
Fase 4 5 79 87 112 99
6 61 114
7 113 113
8 112 103
16 Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah kejadian anomali curah hujan positif untuk tiga nilai tertinggi berturut-turut yaitu terdapat pada fase 2, 3, dan 1 saat BSISO1, serta fase 1, 2, dan 3 saat BSISO2. Nilai kejadian anomali positif tertinggi pada BSISO2 cukup berbeda dengan nilai kejadian curah hujan pada BSISO2. Kejadian anomali curah hujan tertinggi saat BSISO2 terdapat pada fase 1, sedangkan kejadian curah hujan ekstrem tertinggi saat BSISO2 terdapat pada fase 2. Analisis dilanjutkan untuk menentukan fase-fase BSISO yang berpengaruh terhadap curah hujan wilayah Sumatra Utara dengan melakukan komposit anomali curah hujan pada tiap fase BSISO1 dan BSISO2, baik secara spasial maupun secara titik. Gambar 14 menunjukkan hubungan antara anomali curah hujan dengan BSISO1 dan BSISO2. Fase 1, 2, dan 3 pada BSISO1 terlihat dominan menghasilkan anomali positif, begitu juga dengan BSISO2 memiliki nilai anomali tertinggi terdapat pada fase 1, 2, dan 3 meskipun terdapat nilai anomali curah hujan yang tinggi pada fase 5 namun hanya terdapat satu titik. Hasil analisis peluang antara curah hujan dan anomali curah hujan tidak jauh berbeda, keduanya menunjukkan bahwa fase- fase BSISO yang berpengaruh terhadap curah hujan Sumatra Utara yaitu fase 1, 2, dan 3 pada aktivitas BSISO1, begitu juga fase 1, 2, dan 3 pada aktivitas BSISO2. Identifikasi juga dilakukan terhadap jumlah kejadian anomali curah hujan terkait dengan aktivitas BSISO. Nilai rataan anomali curah hujan di empat titik stasiun cuaca dapat dilihat pada Lampiran 6. Analisis Komposit Anomali Curah Hujan CHIRPS dan Observasi Pengambilan keputusan mengenai fase- fase BSISO yang berpengaruh terhadap curah hujan wilayah Sumatra Utara diperkuat dengan melakukan komposit anomali curah hujan berdasarkan data CHIRPS serta komposit anomali curah hujan berdasarkan data observasi stasiun cuaca untuk kemudian dibandingkan keduanya. Data yang digunakan yaitu data curah hujan CHIRPS dan observasi stasiun cuaca bulan Mei-Oktober tahun 1991-2010. Pemetaan anomali curah hujan yang menggunakan data observasi dilakukan di empat titik stasiun cuaca di Sumatra Utara yaitu stasiun geofisika Tuntungan, stasiun meteorologi maritim Belawan, stasiun meteorologi F.L Tobing, dan stasiun klimatologi Sampali. Posisi stasiun geofisika Tuntungan, stasiun meteorologi Maritim Belawan, dan stasiun klimatologi Sampali mengumpul di sekitar Kota Medan, sedangkan stasiun meteorologi F.L Tobing jauh terdapat di Sibo lga Kota. Empat stasiun tersebut dipilih sebagai sampel yang mewakili analisis terhadap data observasi dengan memperhatikan ketersediaan dan kelengkapan data. Gambar 15 dan Gambar 16 menunjukkan hasil dari komposit anomali curah hujan CHIRPS wilayah Sumatra Utara dan observasi di empat titik stasiun cuaca pada saat BSISO1 dan BSISO2 aktif.
17 Fase 1
Fase 2
Fase 3
Fase 4
Fase 5
Fase 6
Fase 7
Fase 8
Gambar 15
Komposit anomali curah hujan CHIRPS dan observasi tiap fase BSISO1. Biru = anomali positif, merah = anomali negatif
18 Fase 1
Fase 2
Fase 3
Fase 4
Fase 5
Fase 6
Fase 7
Fase 8
Gambar 16
Komposit anomali curah hujan CHIRPS dan observasi tiap fase BSISO2. Biru = anomali positif, merah = anomali negatif
19
Gambar 17 Peta lokasi stasiun cuaca: Belawan (merah), Sampali (kuning), Tuntungan (hijau), dan F. L Tobing (biru) Anomali curah hujan saat BSISO1 secara umum bernilai positif pada fase 1, 2, dan 3 dengan nilai anomali curah hujan berkisar antara 0 hingga 6 mm/hari, anomali negatif secara umum terdapat pada fase 5, 6, dan 7 dengan nilai anomali curah hujan berkisar antara -6 hingga 0 mm/hari, sedangkan fase 4 dan 8 cukup beragam dengan nilai anomali berkisar antara -2 hingga 2 mm/hari namun dominan mengalami anomali negatif (Gambar 15). Hasil komposit antara CHIRPS dan observasi stasiun terlihat cukup sesuai ditunjukkan dengan warna nilai anomali curah hujan yang serupa. Secara spasial, terlihat bahwa sebaran anomali positif tertinggi terdapat pada fase 2 dengan nilai anomali curah hujan positif mencapai hingga 6 mm/hari begitupun empat titik stasiun seluruhnya mengalami anomali positif. Sementara itu, anomali positif pada fase 3 terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan fase 1. Hal itu terlihat dari sebaran spasial yang menunjukkan bahwa luasan tertentu pada fase 3 mengalami anomali positif yang tinggi dibandingkan dengan fase 1. Selain itu, pada fase 1 terdapat satu stasiun yang memiliki anomali negatif yaitu stasiun geofisika Tuntungan. Fase 2 dan 3 yang memiliki anomali positif tertinggi mengindikasikan bahwa Sumatra Utara mengalami curah hujan tinggi pada saat terjadi BSISO1 pada fase tersebut. Hasil analisis peluang yang menunjukkan fase 1, 2, dan 3 pada BSISO1 dominan berpengaruh terhadap curah hujan Sumatra Utara dapat disesuaikan dengan hasil komposit anomali curah hujan dimana fase 2 dan 3 yang lebih dominan berpengaruh. Oleh karena itu, fase dari BSISO1 yang berpengaruh terhadap peningkatan curah hujan wilayah Sumatra Utara adalah fase 2 dan 3. Komposit anomali curah hujan juga dilakukan pada fase-fase BSISO2 (Gambar 16). Hasil komposit anomali curah hujan terkait aktivitas BSISO2 terlihat cukup berbeda dengan BSISO1. Wilayah Sumatra Utara mengalami anomali positif secara keseluruhan pada saaf fase 1 dan 2 dengan nilai anomali curah hujan positif mencapai 4 mm/hari, anomali negatif secara keseluruhan pada fase 6 dengan nilai anomali curah hujan negatif mencapai -4 mm/hari, serta anomali yang cukup beragam pada fase 3, 4, 5, 7, dan 8 dengan nilai anomali curah hujan berada pada kisaran +/- 2 mm/hari. Fase 4, 5, dan 7 dominan mengalami anomali negatif sedangkan fase 3 dan 8 dominan mengalami anomali positif. Hasil komposit berdasarkan data observasi juga tidak jauh berbeda dengan hasil komposit data CHIRPS. Sebaran anomali curah hujan yang bernilai positif
20 tertinggi terdapat pada fase 1 begitupun empat stasiun cuaca keseluruha n mengalami anomali positif. Sementara itu, sebaran anomali positif pada fase 2 terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan fase 3. Hal itu dapat diamati berdasarkan luasan tertentu pada fase 2 mengalami nilai anomali positif yang tinggi. Hasil komposit data observasi juga menunjukkan bahwa pada fase 2 terdapat satu stasiun cuaca yang mengalami anomali negatif yaitu stasiun geofisika Tuntungan, sedangkan pada fase 3 terdapat dua stasiun yang mengalami anomali negatif yaitu stasiun geofisika Tuntungan dan Stas iun klimatologi Sampali. Hasil analisis peluang BSISO2 yang menunjukkan bahwa curah hujan tinggi terdapat pada fase 1, 2, dan 3 ternyata dapat disesuaikan dengan hasil komposit anomali curah hujan. Namun fase 3 pada komposit anomali curah hujan memiliki nilai anomali yang tidak terlalu tinggi sehingga dapat dikatakan bahwa fase BSISO2 yang dominan dalam mempengaruhi curah hujan wilayah Sumatra Utara yaitu fase 1 dan 2. Aktivitas BSISO1 pada fase 2 dan 3 terjadi di Samudera Hindia dan Asia Timur, sedangkan aktivitas BSISO2 pada fase 1 dan 2 terjadi di Samudera Hindia dan Laut Filiphina. Wilayah Sumatra Utara yang merupakan Indonesia bagian barat dapat terkena dampak dari aktivitas BSISO, baik BSISO1 maupun BSISO2 karena letaknya yang berdekatan dengan daerah pembentukan BSISO pada fasefase tersebut. Hal ini juga sesuai dengan propagasi BSISO yang ditunjukkan oleh komposit Outgoing Longwave Radiation (OLR) dan angin zonal di ketinggian 850-hPa (Gambar 5) yang merupakan hasil penelitian Lee et al. (2013). Wilayah Sumatra Utara yang mengalami nilai OLR negatif terdapat pada fase 2 dan 3 saat BSISO1, serta fase 1 dan 2 saat BSISO2 bergerak melintasi Sumatra Utara dalam jalur propagasinya. Nilai OLR yang semakin negatif pada suatu wilayah mengindikasikan bahwa wilayah tersebut mengalami peningkatan curah hujan akibat kondisi keawanan yang tinggi. Berdasarkan hasil komposit anomali curah hujan pada fase-fase BSISO1 dan BSISO2, nilai anomali tertinggi terdapat pada BSISO1 yaitu pada fase 2 yang mencapai 6 mm/hari di sekitar Sibolga Kota dibandingkan dengan fase 2 pada BSISO2 yang memiliki anomali positif tertinggi hanya sekitar 4 mm/hari sehingga BSISO1 memberikan pengaruh yang lebih tinggi terhadap peningkatan curah hujan wilayah Sumatra Utara. Hal ini juga sesuai dengan Lee at al. (2013), bahwa hasil komposit OLR pada BSISO1 lebih bernilai negatif dibandingkan dengan BSISO2. Oleh karena itu, intensitas curah hujan wilayah Sumatra Utara pada rentang bulan antara Mei hingga Oktober akan mengalami peningkatan terutama pada saat BSISO aktif melewati fase- fase yang telah disebutkan. Variabilitas curah hujan Sumatra Utara juga dapat ditentukan berdasarkan komposit nilai simpangan baku dari anomali curah hujan yang ditunjukkan oleh Gambar 18.
21
(a)
(b)
Fase 1
Fase 2
Fase 3
Fase 4
Fase 5
Fase 6
Fase 7
Fase 8
Fase 1
Fase 2
Fase 3
Fase 4
Fase 5
Fase 6
Fase 7
Fase 8
Gambar 18 Simpangan baku anomali curah hujan Sumatra Utara pada tiap fase BSISO1 (a) dan BSISO2 (b)
22 Tabel 4 Simpangan baku anomali curah hujan observasi pada tiap fase BSISO BSISO
Fase
BSISO1
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
BSISO2
Tuntungan 15.27 17.18 18.78 21.28 13.98 17.38 15.58 18.72 20.96 15.43 17.16 15.68 18.56 15.80 17.88 19.12
Stasiun Belawan F.L Tobing 18.17 38.89 19.84 35.94 18.54 30.34 14.62 20.19 11.16 21.87 13.46 18.51 15.91 14.57 17.36 18.88 16.31 30.09 19.31 33.66 17.17 28.02 15.32 16.31 13.41 16.30 15.95 19.25 18.71 23.17 20.81 27.64
Sampali 15.40 16.15 15.02 15.02 14.89 9.95 12.59 14.89 13.73 15.64 11.39 12.20 12.73 11.22 16.13 17.27
30
4 3
20
2 10
1
0
0
-1
-10
-2 -20 -30
Indeks BSISO1 kuat
Anomali Curah Hujan (mm/day)
Menurut Morton et al. (2001), simpangan baku adalah parameter statistik yang digunakan untuk mengetahui jarak sebaran data terhadap nilai rata-ratanya. Komposit simpangan baku anomali curah hujan berdasarkan data CHIRPS menghasilkan nilai yang berbeda dibandingkan dengan nilai simpangan baku anomali curah hujan berdasarkan data observasi di empat titik stasiun cuaca. Secara umum, nilai simpangan baku memiliki nilai yang tinggi saat BSISO1 aktif pada fase 2 dan 3, dan saat BSISO2 aktif pada fase 1 dan 2. Nilai simpangan baku yang semakin tinggi mengindikasikan bahwa variasi anomali curah hujan dari nilai rata-ratanya semakin besar.
-3 Tanggal
-4 Anomali Curah Hujan (mm/day) Indeks BSISO1 kuat
Gambar 19 Anomali curah hujan di stasiun cuaca F.L Tobing dan indeks BSISO1 kuat pada bulan Agustus 2009
23 Gambar 19 menunjukkan nilai anomali curah hujan di stasiun F.L Tobing yang terletak di Sibolga Kota dan indeks BSISO1 kuat pada bulan Agustus 2009. Indeks BSISO kuat memiliki nilai lebih dari 1. Anomali curah hujan di Sibolga Kota sebagian bernilai positif saat BSISO1 kuat. Menurut FPBI (2009), terjadi banjir lumpur di Sibolga Kota pada hari Rabu, 19 Agustus 2009 akibat hujan deras yang mengguyur wilayah galian yang berada di bukit sekitar rumah warga dan mengakibatkan longsor. Ratusan rumah terendam oleh banjir lumpur tersebut. Menurut Golden Gate Weather Service (2016), tahun 2009 termasuk tergolong tahun normal. Gambar 19 menunjukkan bahwa anomali curah hujan pada tanggal 19 Agustus 2009 di stasiun cuaca F.L Tobing yang berada di Sibolga Kota memiliki nilai yang tinggi yaitu 18.9 mm/hari disertai indeks BSISO1 yang kuat yaitu 2.87 dan berada pada fase 2 dimana BSISO1 aktif di Samudera Hindia dan Asia Timur. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa terdapat pengaruh aktivitas BSISO1 terhadap variabilitas curah hujan di bagian wilayah Sumatra Utara, khususnya Sibolga Kota yang terletak di dekat pantai barat Provinsi Sumatera Utara dan berdekatan dengan pembentukan BSISO1 saat fase 2. Indeks BSISO yang kuat tidak selalu diiringi dengan anomali curah hujan positif. Hal ini dapat disebabkan oleh aktivitas BSISO yang kuat pada suatu fase tergantung pada wilayah pembentukan BSISO pada fase tersebut sehingga tidak seluruh bagian wilayah Sumatra Utara terkena dampak peningkatan curah hujan secara merata.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Curah hujan wilayah Sumatra Utara dipengaruhi oleh aktivitas BSISO, baik BSISO1 maupun BSISO2. Fase-fase BSISO yang dominan meningkatkan curah hujan di wilayah tersebut yaitu fase 2 dan 3 pada BSISO1 dengan nilai anomali curah hujan positif mencapai 6 mm/hari, serta fase 1 dan 2 pada BSISO2 positif mencapai 4 mm/hari. Fase 2 dan 3 pada BSISO1 terjadi di Samudera Hindia dan Asia Timur, sedangkan aktivitas BSISO2 saat fase 1 dan 2 terjadi di Samudera Hindia dan Laut Filipina. Daerah-daerah tersebut berdekatan dengan letak Sumatra Utara yang merupakan Indonesia bagian barat sehingga Sumatra Utara dapat terkena dampak dari aktivitas BSISO terutama pada bulan Mei-Oktober. BSISO1 lebih tinggi pengaruhnya dibandingkan dengan BSISO2 karena hasil komposit anomali curah hujan menunjukkan anomali tertinggi terjadi pada fase 2 saat BSISO1 dibandingkan dengan BSISO2. Simpangan baku pada fase- fase BSISO yang berpengaruh juga memiliki nilai yang cukup tinggi yang menunjukkan adanya pengaruh aktivitas BSISO terhadap variabilitas curah hujan di Sumatra Utara. Saran Penelitian ini hanya membahas tentang hubungan antara fenomena BSISO dan variabilitas curah hujan wilayah Sumatra Utara secara sederhana dengan berbasis pada data curah hujan, sehingga perlu adanya penelitian lanjutan untuk menganalisis hubungan keduanya berdasarkan parameter lain seperti data a ngin, suhu, dan unsur cuaca lainnya.
24
DAFTAR PUSTAKA Aldrian E, Dwi Susanto R. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Int. J. Climatol. (23): 1435 – 1452. Annamalai H, Sperber KR. 2005. Regional heat sources and the active and break phases of boreal summer intraseasonal (30–50 day) variability. J. Atmos. Sci. 62:2726–2748. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumatra Utara. 2012. Geografi. [internet]. [diunduh 2016 Feb 02]. Tersedia pada: http://bappeda.sumutprov.go.id/index.php/potensi-daerah/141-aspekgeografi-dan-demografi. [BMKG] Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. 2015a. Analisa Madden Jullian Oscillation (MJO) terhadap Karakteristik Curah Hujan di Ngurah Rai Bali. Buletin Meteo Ngurah Rai. Ed: Januari 2015. [BMKG] Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. 2015b. Dinamika atmosfer & lautan bulan Oktober 2015. Buletin Stasiun Meteorologi Hang Nadim Batam. Ed. 23: November 2015. Chatfield C. 1989. The Analysis of Time series: An Introduction. London (UK): Chapman and Hall. Ding R, J. Li, K. H. Seo. 2011. Estimate o f the predictability of Boreal Summer and Winter Intraseasonal Oscillations from observations. J. Monthly Weather Review 139: 2421-2438. [FPBI] Forum Peduli Bencana Indonesia. Banjir Sibolga merendam ratusan rumah. [internet]. [diunduh 2016 Agust 10]. Tersedia pada: http://fpbisiaga.blogspot.co.id/2009/08/banjir-sibolga- merendam-ratusan-rumah.html. Funk, Chris, Pete P, Martin L, Diego P, James V, Shraddhanand S, Gregory H, James R, Laura H, Andrew H et al. 2015. The climate hazards infrared precipitation with stations—a new environmental record for monitoring extremes. Scientific Data 2, 150066. Doi:10.1038/sdata.2015.66 2015. Golden Gate Weather Service. El Niño and La Niña Years and Intensities Based on Oceanic Niño Index (ONI). [internet]. [diunduh 2016 Agust 11]. Tersedia pada: http://ggweather.com/enso/oni.htm. Handayani A.S. 2010. Analisis daerah endemik bencana akibat cuaca ekstrim di Sumatra Utara. Jurnal Meteorologi dan Geofisika 11(1): 54 – 58. Hermawan E, Juniarti V, Trismidianto, Krismianto, Ibnu F, Ining S. 2010. Pengembangan ekspert sistem berbasis indeks ENSO, DMI, Monsun dan MJO untuk penentuan awal musim. Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY. Semarang. Hermawan E, Adi W. 2012. Penerapan metode analisis komposit dalam menentukan terjadinya perbedaan musim kemarau/penghujan di Kab. Kukar, Bulungan dan Berau Provinsi Kalimantan Timur secara serempak (simultan). Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer & Antariksa. Serpong. Hsu P.C, June-Yi L, Kyung-Ja H. 2015. Influence of Boreal Summer Intraseasonal Oscillation on rainfall extremes in southern China. Int. J. Climatol. Doi: 10.1002/joc.443.
25 Kikuchi K, B Wang. 2010. Formation of tropical cyclones in the northern Indian Ocean associated with two types of tropical intraseasonal oscillation modes. J. Meteorol. Soc. Jpn. 88:475–496. Kikuchi K, B Wang, Y Kajikawa. 2011. Bimodal representation of the tropical intraseasonal oscillation. Clim. Dyn. 38:1989–2000. Doi: 10.1007/s00382011-1159-1. Lee J, Bin W, Matthew C. W, Xiouhua F, Duane E. W, In-Sik K. 2013. Real-time multivariate indices for the Boreal Summer Intraseasonal Oscillation over the Asian summer monsoon region. Clim. Dyn. 40:493–509. Madden R.A., P.R Julian. 1972. Description of global-scale circulation cells in the tropics with a 40–50 day period. Journal of the Atmospheric Science 29: 1109–1123. Madden R. A., P. R. Julian. 1994. Observations of the 40–50-day tropical oscillation. A review. Mon. Wea. 122: 814–837. Margono B.A, Svetlana T, Ilona Z, Peter P, Alexandra T, Alessandro B, Scott G, Matthew C.H. 2012. Mapping and monitoring deforestation and forest degradation in Sumatra (Indonesia) using Landsat time series data sets from 1990 to 2010. Environ. Res. Lett. : 1-16. Doi:10.1088/17489326/7/3/034010. Morton R.F, J.R Hebel, R.J McCarter. 2001. A Study Guide to Epidemiology and Biostatistics, 5th Ed. Sudbury (US): Jones and Bartlett Publishers, Inc. Radini. 2015. Proyeksi perubahan pola curah hujan di Indonesia menggunakan skenario perubahan iklim jangka pendek [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sharma M.A, Jai B.S. 2010. Use of probability distribution in rainfall analysis. New York Science Journal 3 (9): 40-49. Stoica P, Randolph M. 2005. Spectral Analysis of Signals. New Jersey (US): Prentice Hall, Inc. Sugianti N. 2014. Variabilitas iklim untuk identifikasi perubahan iklim berdasarkan analisis spektral di stasiun geofisika klas I Bandung. J. Megasains 5(2): 68-75. Sutikno, Ahmad B. 2003. Analisis peluang untuk memprediksi kejadian iklim ekstrim. Studi kasus: distribusi curah hujan di Kabupaten Karawang, Indramayu, dan Subang. J. Agromet 17(1-2): 62-72. Sveinsson O.G.B, Upmanu L, Jocelyn G, Yochanan K, Steve Z, Vincent F. 2008. analysis of climatic states and atmospheric circulation patterns that influence québec spring streamflows. Journal Of Hydrologic Engineering : 411-425. Doi: 10.1061/(ASCE)1084-0699(2008)13:6(411). Tukidi. 2010. Karakter curah hujan di Indonesia. Jurnal Geografi 7(2): 136-145. Welhouse L.J, Matthew A.L, Linda M.K, Gregory J.T, Matthew H.H. 2016. Composite analysis of the effects of ENSO events on Antarctica. Journal of Climate 29: 1797-1808. Doi: 10.1175/JCLI-D-15-0108.1. Yana S, Andi I, Muhammad I J, Apriansyah. 2014. Analisis pengaruh Madden Julian Oscillation, Anual Oscillation, ENSO dan Dipole Mode terhadap curah hujan di Kabupaten Kapuas Hulu. Prisma Fisika 2(2): 31–34.
26
LAMPIRAN Lampiran 1 Grafik sebaran Gamma curah hujan Sumatra Utara tahun 1991-2010 Histogram of mm/day Gamma
800
Shape 1.182 Scale 6.475 N 7210
700
Frequency
600 500 400 300 200 100 0
0
7
14
21 28 mm/day
35
42
49
27 Lampiran 2 Script pembentukan grafik Power Spectral Density (PSD) script program dimodifikasi oleh Shailla Rustiana Indeks BSISO1 %load data dari excel data=xlsread('BSISO1',1,'B9857:B10951'); [m,n]=size(data); t=1:length(data); y=data; [spec,f]= fftrl(y,t); spec=real(spec).^2+imag(spec).^2; %rms frekuensi f=1./f; figure;semilogx(f,spec);grid on h = legend('Indeks BSISO1',1); set (gca,'xtick',[0 10^0 10 20 30 40 50 60 70 90 120 180 240 300 365]) xlabel('Periode (hari)','fontweight','bold','fontsize',16) ylabel('Energi Spektral (/Hz)','fontweight','bold','fontsize',16) title('Power Spectral Density (PSD) Indeks BSISO1 2010','fontweight','bold','fontsize',16) Indeks BSISO2 %load data dari excel data=xlsread('BSISO2',1,'B9857:B10951'); [m,n]=size(data); t=1:length(data); y=data; [spec,f]= fftrl(y,t); spec=real(spec).^2+imag(spec).^2; %rms frekuensi f=1./f; figure;semilogx(f,spec);grid on h = legend('Indeks BSISO2',1); set (gca,'xtick',[0 10^0 10 20 30 40 50 60 70 90 120 180 240 300 365]) xlabel('Periode (hari)','fontweight','bold','fontsize',16) ylabel('Energi Spektral (/Hz)','fontweight','bold','fontsize',16) title('Power Spectral Density (PSD) Indeks BSISO2 2010','fontweight','bold','fontsize',16) Curah Hujan Sumatra Utara %load data dari excel data=xlsread('CH_Sumut',1,'B370:B921'); [m,n]=size(data); t=1:length(data); y=data; [spec,f]= fftrl(y,t); spec=real(spec).^2+imag(spec).^2; %rms frekuensi f=1./f; figure;semilogx(f,spec);grid on h = legend('Curah Hujan',1); set (gca,'xtick',[0 10^0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 120 180 365]) xlabel('Periode (hari)','fontweight','bold','fontsize',16) ylabel('Energi Spektral (/Hz)','fontweight','bold','fontsize',16) title('Power Spectral Density (PSD) Curah Hujan Mei-Oktober 2010','fontweight','bold','fontsize',16)
2008-
2008-
2008-
28 Lampiran 3 Script pengolahan data menggunakan Grads 2.0.1 Crop Data CHIRPS format “.nc” Wilayah Sumatra Utara sdfopen lokasi file input\nama file input.nc q file set t 1 last set lat 1 4 set lon 98 100 define nama variabel baru=variabel yang dipilih set sdfwrite lokasi file output\nama file output.nc sdfwrite nama variabel baru reinit Menampilkan Anomali Curah Hujan Spasial sdfopen lokasi file input\nama file input.nc q file set gxout shaded set xlint 0.5 set ylint 0.5 color -10 10 2 -kind red->white->blue set mpdset hires set csmooth on d anomch cbarn printim lokasi file output\nama file output.png white reinit
29 Lampiran 4 Script pengolahan data menggunakan CDO Penggabungan Data cdo mergetime (lokasi file\nama file tahun ke-1.nc) (lokasi file\nama file tahun ke-2.nc)............(lokasi file\nama file tahun terakhir.nc) (lokasi file\nama file baru gabungan semua tahun.nc) Pembentukan Data Anomali Curah Hujan cdo –ydaysub (lokasi file input\nama file input.nc) –ydaymean (lokasi file input\nama file input.nc) (lokasi file output\nama file output.nc)
30 Lampiran 5 Script pengolahan data menggunakan NCL script program dimodifikasi oleh Sandro Lubis dan Rahmi Ariani Komposit anomali curah hujan
load "$NCARG_ROOT/lib/ncarg/nclscripts/csm/gsn_code.ncl" load "$NCARG_ROOT/lib/ncarg/nclscripts/csm/gsn_csm.ncl" load "$NCARG_ROOT/lib/ncarg/nclscripts/csm/contributed.ncl" *********************************************************** begin ************************************************** Membaca input file ************************************************** diri = "/home/vanf/" fili = "anomchirps_sumut.nc" in = addfile(diri+fili,"r") P = in->precip1(:,:,:)
;direktori file input ; nama file input ;fungsi untuk input ; mendefinisikan file input dengan nama baru bebas (P)
; ************************************************ ; Indeks tanggal Phase BSISO ; ************************************************ pdate = cd_calendar(P&time, -2) ;converting time format to YYYYMMDD print( "01---read ascii and make index" ) cdate0 = asciiread("Phase1.txt",-1,"integer") ;membaca file index.txt cdate1 = asciiread("Phase2.txt",-1,"integer") ; -1 (kolom jadi baris) cdate2 = asciiread("Phase3.txt",-1,"integer") cdate3 = asciiread("Phase4.txt",-1,"integer") cdate4 = asciiread("Phase5.txt",-1,"integer") cdate5 = asciiread("Phase6.txt",-1,"integer") cdate6 = asciiread("Phase7.txt",-1,"integer") cdate7 = asciiread("Phase8.txt",-1,"integer") idate0= get1Dindex(pdate, cdate0) ;memasukan tanggal indeks idate1= get1Dindex(pdate, cdate1) idate2= get1Dindex(pdate, cdate2) idate3= get1Dindex(pdate, cdate3) idate4= get1Dindex(pdate, cdate4) idate5= get1Dindex(pdate, cdate5) idate6= get1Dindex(pdate, cdate6) idate7= get1Dindex(pdate, cdate7) ;printVarSummary(idate1) ; ************************************************
31 ; Komposit PRECIP ; ************************************************ print( "02---komposit" ) PhaseP1 = P(idate0,:,:) ;dates with respect to the defined Indices PhaseP2 = P(idate1,:,:) PhaseP3 = P(idate2,:,:) PhaseP4 = P(idate3,:,:) PhaseP5 = P(idate4,:,:) PhaseP6 = P(idate5,:,:) PhaseP7 = P(idate6,:,:) PhaseP8 = P(idate7,:,:) printVarSummary(PhaseP) ; ************************************************ ; Average Date of BSISO ; ************************************************ print( "03---averaging" ) AvgTimeP1 = dim_avg_n_Wrap ( PhaseP1, 0 ) ;merata-ratakan (komposit) AvgTimeP2 = dim_avg_n_Wrap ( PhaseP2, 0 ) AvgTimeP3 = dim_avg_n_Wrap( PhaseP3, 0 ) AvgTimeP4 = dim_avg_n_Wrap( PhaseP4, 0 ) AvgTimeP5 = dim_avg_n_Wrap( PhaseP5, 0 ) AvgTimeP6 = dim_avg_n_Wrap( PhaseP6, 0 ) AvgTimeP7 = dim_avg_n_Wrap( PhaseP7, 0 ) AvgTimeP8 = dim_avg_n_Wrap( PhaseP8, 0 ) printVarSummary(AvgTimeP8) ;********************save output as ncdf***************** print( "04---saving output" ) setfileoption("nc","Format","LargeFile") system ("/bin/rm - f P8bsiso2.nc") fout = addfile("P8bsiso2.nc" ,"c") fout->anomch = AvgTimeP8 "anomch" ke hasil komposit
;memasukkan nama variabel
end Simpangan Baku load "$NCARG_ROOT/lib/ncarg/nclscripts/csm/gsn_code.ncl" load "$NCARG_ROOT/lib/ncarg/nclscripts/csm/gsn_csm.ncl" load "$NCARG_ROOT/lib/ncarg/nclscripts/csm/contributed.ncl" ;*********************************************************** begin
32
;************************************************** ;************************************************** diri = "Desi_komposit_stdev/BSISO2_1991_stdev/" ;direktori file input fili = "anomali.nc" ; nama file input in = addfile(diri+fili,"r") ;fungsi untuk input P = in->precip1(:,:,:) ; definisikan fileinput dengan nama baru ; ************************************************ ; ************************************************ pdate = cd_calendar(P&time, -2) ;converting time format to YYYYMMDD
print( "01---read ascii and make index" ) cdate0 = asciiread("Desi_komposit_stdev/BSISO2_1991_stdev/Phase1.txt",1,"integer") cdate1 = asciiread("Desi_komposit_stdev/BSISO2_1991_stdev/Phase2.txt",1,"integer") ; -1 (kolom jadi baris) cdate2 = asciiread("Desi_komposit_stdev/BSISO2_1991_stdev/Pha se3.txt",1,"integer") cdate3 = asciiread("Desi_komposit_stdev/BSISO2_1991_stdev/Phase4.txt",1,"integer") cdate4 = asciiread("Desi_komposit_stdev/BSISO2_1991_stdev/Phase5.txt",1,"integer") cdate5 = asciiread("Desi_komposit_stdev/BSISO2_1991_stdev/Phase6.txt",1,"integer") cdate6 = asciiread("Desi_komposit_stdev/BSISO2_1991_stdev/Phase7.txt",1,"integer") cdate7 = asciiread("Desi_komposit_stdev/BSISO2_1991_stdev/Phase8.txt",1,"integer") idate0= idate1= idate2= idate3= idate4= idate5= idate6=
get1Dindex(pdate, cdate0) get1Dindex(pdate, cdate1) get1Dindex(pdate, cdate2) get1Dindex(pdate, cdate3) get1Dindex(pdate, cdate4) get1Dindex(pdate, cdate5) get1Dindex(pdate, cdate6)
33 idate7= get1Dindex(pdate, cdate7) ;printVarSummary(idate1) ; ************************************************ ; ************************************************
PhaseP1 = P(idate0,:,:) PhaseP2 = P(idate1,:,:) PhaseP3 = P(idate2,:,:) PhaseP4 = P(idate3,:,:) PhaseP5 = P(idate4,:,:) PhaseP6 = P(idate5,:,:) PhaseP7 = P(idate6,:,:) PhaseP8 = P(idate7,:,:) printVarSummary(PhaseP8) ; ************************************************ ; ************************************************ print( "03---averaging" ) AvgTimeP1 = dim_stddev_n_Wrap( PhaseP1, 0 ) AvgTimeP2 = dim_stddev_n_Wrap( PhaseP2, 0 ) AvgTimeP3 = dim_stddev_n_Wrap( PhaseP3, 0 ) AvgTimeP4 = dim_stddev_n_Wrap( PhaseP4, 0 ) AvgTimeP5 = dim_stddev_n_Wrap( PhaseP5, 0 ) AvgTimeP6 = dim_stddev_n_Wrap( PhaseP6, 0 ) AvgTimeP7 = dim_stddev_n_Wrap( PhaseP7, 0 ) AvgTimeP8 = dim_stddev_n_Wrap( PhaseP8, 0 ) printVarSummary(AvgTimeP8) ;********************save output as ncdf***************** print( "04---saving output" ) setfileoption("nc","Format","LargeFile") system ("/bin/rm - f P8bsiso2.nc") fout = addfile("P8bsiso2.nc" ,"c") fout->stdev = AvgTimeP8 end
34 Lampiran 6 Anomali curah hujan di empat titik stasiun cuaca BSISO
Fase
BSISO1
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
BSISO2
Tuntungan -0.11 0.20 1.66 1.41 -2.50 -0.70 -1.02 1.24 2.69 -0.52 -0.13 -1.37 -0.34 -0.56 -0.31 0.15
Anomali Curah Hujan (mm/hari) Maritim F.L Tobing Belawan 1.48 7.42 1.84 9.60 2.21 4.16 -0.16 -3.08 -2.92 -2.39 -1.69 -5.10 -1.59 -6.07 -1.10 -2.66 1.21 3.45 1.67 6.39 1.12 2.51 -0.68 -3.10 -1.19 -4.19 -0.73 -2.64 0.61 -1.06 0.65 -0.92
Sampali 0.68 1.15 0.96 1.47 -0.66 -2.01 -0.59 -0.09 1.66 0.94 -0.52 -0.39 -1.49 -1.83 -0.06 0.73
35
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Tegal, pada tanggal 25 Desember 1993 dari pasangan Bapak Samhari dan Ibu Rubiyati. Penulis adalah anak ke-7 dari 7 bersaudara. Penulis memulai pendidikannya di TK Dewi Masyitoh 1 Banyumudal pada tahun 19992000, SD Negeri 1 Banyumudal pada tahun 2000-2006, SMP Negeri 1 Moga pada tahun 2006-2009, dan SMA Negeri 3 Kota Tegal pada tahun 2009-2010. Namun karena kondisi suatu hal, penulis memutuskan untuk beralih studi saat kelas XI ke SMA Negeri 1 Randudongkal hingga lulus pada tahun 2012. Selanjutnya, penulis terpilih dalam daftar Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Nasional (SNMPTN) jalur Undangan dan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan bidang studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi. Penulis adalah penerima beasiswa BIDIKMISI selama 8 semester. Selama menjalani studinya, penulis aktif di beberapa organisasi dan kepanitiaan. Organisasi yang telah diikuti oleh penulis antara lain Unit Kegiatan Mahasiswa Lingkungan Seni Sunda (UKM Lises) Gentra Kaheman sebagai anggota musik angklung tahun 2012-2013, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) IPB Kabinet Berani Beda sebagai staff kementerian Apresiasi dan Olahraga tahun 2014, Himpunan Profesi Mahasiswa Agrometeorologi (HIMAGRETO) Kabinet 44 sebagai staff divisi Sosial dan Lingkungan tahun 2015, dan Indonesia Green Action Forum (IGAF) Local Committe IPB sebagai staff divisi internal tahun 2015. Penulis pernah menjadi tim dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) IPB yaitu IPB Goes to Field program “Diseminasi Tungku Sekam di Kabupaten Tegal” tahun 2014. Prestasi penulis selama menjadi mahasiswa yaitu pemenang lomba foto busana batik dalam rangka Hari Batik Nasional tingkat Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB tahun 2014 dan pemenang seleksi nasional pendanaan Dirjen Dikti (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Pengabdian Masyarakat dengan judul “Reinkarnasi Tungku serbuk Tradisional dengan Modifikasi Limbah Baglog Jamur Tiram dan sekam Padi sebagai Bahan Bakar Alternatif Penghemat MIGAS di Kalangan Masyarakat Desa Dramaga” sebagai ketua tim pada bulan Februari-Mei 2015. Pada bulan Juni 2015, penulis melakukan magang di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Pusat dalam sub-bidang Meteorologi Penerbangan dan Maritim.