Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
VALIDASI HOTSPOT MODIS INDOFIRE DI PROVINSI RIAU Modis Indofire Hotspot Validation In Riau Province Yenni Vetrita*1, Nanik Suryo Haryani* *Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. LAPAN No. 70, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur, 13710 1 Email:
[email protected] Diterima (received): 02-05-2012, disetujui untuk publikasi (accepted): 14-06- 2012
ABSTRAK Dalam penelitian ini telah diuji akurasi hotspot MODIS Indofire di Provinsi Riau pada tahun 2011 menggunakan penggabungan 3 metode, yaitu survei lapangan, buffering 2 km dari hotspot, dan deteksi asap secara visual. Nilai akurasi diperoleh sebesar 43%, dengan commission error 53%, dan omission error 4%. Nilai tersebut hampir menyerupai nilai yang diperoleh dari hasil pengujian akurasi hotspot MODIS di wilayah Brazil yang juga merupakan wilayah tropis. Faktor utama penyebab rendahnya nilai tersebut salah satunya diduga dari kabut tebal yang tidak bisa dideteksi oleh algoritma MODIS saat ini, disamping kendala awan, luas kebakaran, maupun faktor waktu lintasan satelit dengan waktu terjadinya kebakaran. Hasil pengujian hotspot masih banyak didukung oleh pengujian secara visual dan buffering. Hasil pengecekan lapangan yang lebih banyak, diharapkan dapat lebih menunjang pengujian akurasi ini, mengingat pengujian visual pun memiliki banyak keterbatasan terutama kendala awan. Kerjasama dengan pemerintah daerah setempat dalam mendapatkan lokasi pemadaman kebakaran hutan/lahan dan luas kebakaran diharapkan dapat mempertajam hasil pengujian akurasi hotspot MODIS Indofire. Kata Kunci: Validasi Hotspot/titik panas, MODIS Indofire, Kebakaran hutan/lahan
ABSTRACT This study is aimed to examine the accuracy of MODIS Indofirehotspots in Riau Province for 2011 using three methods, i.e. the field survey, 2 km hotspot buffering, and visually smoke detection. The accuracy values was43%, with 53% commission error and 4% omission error. This is almost similar to the value obtained from hotspot validation in Brazil which is also a tropical region. We infer that the main factor for the low value is a thick fog that cannot be detected by current MODIS algorithm. Besides that, there are cloud constraints, widespread fires, and the time factor of satellite trajectory andfire that become caused factors. The hotspot test results were much supported by visualcheck and buffering methods. more ground checking is expected to provide better accuracy result since the visual method has limitation, particularly due to cloud constraint. Therefore, a cooperation with local government to obtain fire fighting location in the forest/land fires is expected can improve MODIS hotspotIndofire accuracy. Modis Keywords: Hotspot Validation, MODIS Indofire, Forest/land fire
PENDAHULUAN Selama lebih dari satu dekade, informasi hotspot/titik panas menggunakan data satelit penginderaan jauh telah dijadikan sebagai acuan untuk memantau peristiwa
kebakaran di dunia khususnya di Indonesia. Beberapa situs yang melakukan kegiatan operasional pemantauan hotspot antara lain dapat ATSR/Along-Track Scanning Radiometer (ESA, 2011), dan NOAA-AVHRR (The
17
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
National Oceanic and Atmospheric Administration-Advanced Very High Resolution Radiometer) yang dipublikasikan antara lain dalam situs
ASEAN Specialised Centre/ASMC
Meteorological
(www.weather.gov.sg/wip/web/). Satelit lain yang lebih banyak digunakan saat ini adalah Terra/Aqua MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) seperti yang dipublikasikan dalam situs ASMC, Indofire Map Service-LAPAN (http://indofire.landgate.wa.gov.au/), dan NASA/University of Maryland (http://maps.geog.umd.edu/firms/). hotspot juga telah Penelitian dikembangkan untuk mendukung kegiatan lain yang terkait dengan kebakaran hutan/lahan, seperti estimasi area bekas kebakaran (Frazer et al., 2000; Siegert et al., 2000; Roy et al., 2008; Giglio et al., 2009), maupun analisis kebakaran yang terkait dengan parameter-parameter meteorologis lainnya (Chen et al., 2007). Mengingat pentingnya data tersebut maka upaya validasi hotspot menjadi sangat penting untuk dilakukan mengingat tingkat kepentingannya yang tidak hanya sebagai alat utama monitoring kebakaran hutan/lahan di, melainkan juga dijadikan sebagai alat kebijakan pemerintah di Indonesia (Kementerian Kehutanan, 2011). Namun kegiatan ini dinilai cukup sulit dilakukan mengingat tidak adanya algoritma yang konsisten untuk melakukannya (Pereira et al., 1999). Walaupun demikian, menurut Sciszar et al. (2006), validasi hotspot dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu pengamatan langsung dan tidak langsung. Pengamatan langsung dapat
18
dilakukan dengan pengecekan lapangan/survei sedangkan pengamatan tidak langsung dapat dilakukan dengan cara interpretasi visual hotspot dan membandingkannya dengan referensi data lain. Beberapa metode tidak langsung yang dapat dilakukan adalah (1) pendeteksian asap kebakaran dari data MODIS (Phonekeo et al., 2008), (2) pendeteksian asap kebakaran dari SPOT dan hotspot MODIS (CRISP, 2011), (3) analisis lahan bekas kebakaran (Roy et al., 2008; Giglio et al., 2009), dan (4) penggunaan data ASTER/Advance
Spaceborne Thermal Reflection Radiometer
Emission
and
yang memiliki resolusi lebih tinggi (Morisette, et al., 2005; Csiszar et al., 2006; Schroeder et al., 2008). Penelitian ini bertujuan untuk memvalidasi hotspot di Provinsi Riau yang merupakan wilayah di Indonesia dengan jumlah dan sebaran yang selalu tinggi setiap tahunnya. METODE Jenis dan Sumber data Data yang digunakan dalam penelitian mencakup survei lapangan dan beberapa data penginderaan jauh, yaitu: 1. Hotspot MODIS dari Indofire (http://indofire.landgate.wa.gov.au/ind ofire.asp) bulan Mei-September 2011. Penentuan hotspot dihitung berdasarkan kanal termal yaitu pada panjang gelombang 4 µm dan 11 µm, yang terdapat pada kanal 21, 22 dan 31 (Tabel 1). Metode penentuan hotspot dibangun oleh Giglio et al (2003), dengan algoritma sebagai berikut: Bukan hotspot, apabila:
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
a. T4< 310°K, ∆T<10oK, dan ρ0.86>0.3 (siang hari), atau b. T4<305oK, ∆T<10oK (malam hari) Hotspot apabila: a. T4> 360oK (pada siang hari), atau 320 oK (malam hari) atau b. {(∆T > ∆T+3.5δ∆t) - (T4 > T4 + 3δ4) dan [(T11>T11+δ11 - 4K) atau (δ’4>5K)]}, untuk siang hari c. {(∆T > ∆T+3.5δ∆t) - (T4 > T4 + 3δ4), untuk malam hari Dimana: T4= brightness temperature pada panjang gelombang 4 µm T11= brightness temperature pada panjang gelombang 11 µm ∆T = T4-T11, T4= rata-rata dari T4 pixel tetangga yang valid ߜ4= rata-rata absolut deviasi dari T4 pixel tetangga yang valid T11= rata-rata T11 pixel tetangga yang valid ߜ11= rata-rata absolut deviasi dari T11 pixel tetangga yang valid ∆ܶ= rata-rata ∆ܶ dari nilai pixel tetangga yang valid ߜ∆ܶ= rata-rata absolut deviasi dari T11 pixel tetangga yang valid
rata-rata brightness T4 dari nilai pixel tetangga yang tidak dihitung sebagai pixel tetangga valid karena tergolong T’4=Nilai
temperature
background fires, δ’4= Nilai rata-rata absolut deviasi brightness temperature T4 dari nilai pixel tetangga yang tidak dihitung sebagai pixel tetangga valid karena tergolong background fires, 2. Komposit citra MODIS komposit kanal 1-4-3, yang diperoleh dari situs Indofire. 3. Produk MODIS NASA Burned area (area bekas kebakaran) bulanan (MCD45A1) resolusi spasial 500 m, JanuariSeptember 2011 yang didownload dari NASA http://rapidfire.sci.gsfc.nasa.gov. Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Riau bagian Selatan. Pemilihan ini didasarkan pada tingginya kerapatan hotspot di wilayah tersebut serta kemudahan akses ke lapangan. Disamping itu, wilayah ini juga mewakili tipe lahan gambut dan nongambut (Gambar 1).
Tabel 1. Spefikasi kanal MODIS yang digunakan dalam algoritma hotspot Kanal Titik tengah Panjang Tujuan gelombang (µm) 1
0.65
2
0.86
7 21 22 31 32
2.1 4.0 4.0 11.0 12.0
Memisahkan pixel yang terpengaruh pantulan matahari dan air (sun glint, dan coastal false alarm). Memisahkan pixel yang terpengaruh pantulan matahari, dan air (Bright surface, sun glint, dan coastal false alarm) serta masking awan. Sun glint, and coastal false alarm rejection. Kanal untuk deteksi kebakaran/active fire (High-range). Kanal untuk deteksi kebakaran (Low-range). Deteksi kebakaran dan masking awan Masking awan
Sumber: Giglio et al., 2003; Justice et al., 2002. 19
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
Gambar 11.Lokasi Lokasi penelitian
Batasan penelitian Penetapan hotspot yang dapat dikategorikan valid apabila: • Titik tengah koordinat hotspot di lapangan berada dalam radius hingga 2 km (selanjutnya diistilahkan sebagai Survei Lapangan (L)). ). Survei dilakukan 2 kali pada waktu yang berbeda, yaitu pada bulan Juli 2011 untuk mengecek kejadian kebakaran pada bulan Februari-Juli Juli 2011, sedangkan survei kedua dilakukan pada Bulan September 2011 untuk mengecek kejadian kebakaran yang terjadi pada bulan Juli – September 2011. • Hotspot dikategorikan missing (tidak ditemukan), bila tidak ditemukan adanya kejadian/bekas kebakaran di lapangan. Beberapa informasi pemadaman kebakaran juga diperoleh dari pemerintah daerah setempat dan dijadikan pula sebagai bahan validasi lapangan. Penelitian ini dibatasi pada kejadian yang diketahui/dilaporkan
20
saja. Dengan demikian, masih terdapat kemungkinan adanya kejadian kebakaran lain yang tidak dilaporkan atau diketahui. • Hotspot yang berasosiasi dengan pola asap (mengerucut ke atas, tipis menyebar), dengan menggunakan teknik analisis visual citra MODIS komposit Band 1-4-3 (True color) (selanjutnya diistilahkan sebagai Visual (V)). Pendeteksian asap dilakukan secara visual menggunakan komposit citra MODIS 1-4-3. • Hotspot yang muncul selama 2-3 hari berturut-turut pada radius 2 km, dianggap valid terjadi kebakaran (selanjutnya diistilahkan sebagai Buffering (B)). Pertimbangan ini diperoleh dari hasil kuesioner yang diberikan kepada pemerintah lokal (Dinas Kehutanan dan Badan Lingkungan Hidup provinsi Riau) yang telah rutin melakukan pengecekan hotspot di lapangan (Tabel 2, pertanyaan no. 5).
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
Tabel 2. Rekapitulasi informasi kuesioner No. Pertanyaan
Jawaban
Persentase (%)
1
Sumber data
ASMC (NOAA)
100
2
Akurasi
3
Hotspot banyak tetapi tidak
<25 %, 50-75 % sering
75 25 100
4
ditemukan di lapangan Jenis penggunaan lahan
Hutan, kebun masyarakat Berkelompok atau ber-turut muncul (2-3)hari
50 50 100
5
Bagaimana pola hotspot yang cenderung benar-benar terjadi kebakaran ?
buffer ditemukan hotspot yang
valid
maka
semua
berkelompok tersebut dikategorikan sebagai valid pula (Gambar 2).
2.5 Metode perhitungan akurasi
Gambar 2. Cara penentuan hotspot valid berdasarkan metode buffering
Metode Buffering Metode buffering didasarkan pada frekuensi munculnya hotspot secara berturut-turut turut selama 2 hingga 3 hari pada radius 2 km. Penetapan radius 2 km ini didasarkan pada margin of errorhotspot yang telah diketahui ± 1km (Indofire, 2011), serta hasil temuan di lapangan selama survei yang menemukan beberapa titik ditemukan an valid pada jarak sekitar 1.5 km. Pada kondisi dimana hotspot ditemukan berkelompok pada tanggal yang sama, maka bila salah satu
Akurasi dihitung dengan mempertimbangkan nilai berikut: a. Total jumlah hotspot MODIS di lokasi terpilih (M) b. jumlah Hotspot valid (H) c. jumlah hotspot missing di lapangan (E) Selanjutnya perhitungan akurasi dan error/kesalahan didefinisikan sebagai berikut: ு Akurasi = *100%
Commision Error
=
Omission Error
=
ሺெାாሻ ெିு ሺெାாሻ ா ሺெାாሻ
*100% * 100%
Dimana, Commision error akan meningkat bila hotspot yang terdeteksi, tidak ditemukan adanya indikasi kebakaran dari 3 metode yang diajukan. Sebaliknya, omission error merupakan nilai yang mempertimbangkan jumlah kejadian kebakaran yang ditemukan di lapangan, namun tidak terdeteksi adanya hotspot. 21
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran jumlah hotspot tahun 2011 di Indonesia
selama
Pada tahun 2011, puncak jumlah hotspot di Indonesia terdeteksi pada bulan Agustus dan September (Gambar 3). Sepanjang tahun tersebut, bila ditinjau dari sisi sebaran jumlah tertinggi pada
tiap bulannya, Provinsi Riau merupakan satu-satunya provinsi yang memiliki sebaran paling tinggi hampir tiap bulannya. Hanya pada bulan Agustus dan September, Provinsi Riau tidak memiliki jumlah hotspot tertinggi namun tetap dengan jumlah yang besar (Gambar 4 dan Tabel 3).
Gambar 3. Sebaran jumlah hotspot di Indonesia tahun 2011
Gambar4. Perbandingan jumlah total hotspot di Indonesia dengan jumlah hotspot di provinsi Riau
22
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
Tabel 3. Rekapitulasi jumlah hotspot tertinggi per bulan di Indonesia tahun 2011 Bulan
Provinsi
Hotspot tertinggi
Jan
Riau
26
Feb
Riau
611
Mar
Riau
69
Apr Mei
Kalimantan Barat Riau
Jun
Riau
Jul
Riau
Ags
Kalimantan Barat Sumatera Selatan NTT
Sep Okt Nov Des
272 1090 479 629 1518 3687
Sumatera Selatan Sumatera Selatan
310 271 27
Hasil penggabungan metode survei lapangan, visual, dan buffering Dari pengujian hotspot menggunakan 3 metode diperoleh diperoleh sejumlah 47% hotspot valid berdasarkan metode visual, 39% diantaranya dari metode buffering, dan 13% dari hasil survei lapangan (Gambar 6). Hasil pengujian akurasi Nilai akurasi yang diperoleh dalam pengujian hotspot di wilayah studi kasus diperoleh sebesar 43%, dengan commission error sebesar 53%, dan omission error 4%. Nilai ini diperoleh dari hasil perhitungan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.
Hasil survei lapangan Hasil yang diperoleh dari survei lapangan pertama pada bulan Juli ditemukan sejumlah 71% kebakaran tanpa terdeteksi hotspot (HS) dan 29% diantaranya ditemukan kebakaran yang tepat dengan lokasi hotspot. Sebaliknya pada survei kedua pada bulan September ditemukan 80% lokasi hotspot yang tepat dengan kejadian kebakaran, sedangkan 20% diantaranya ditemukan tidak tepat (Gambar 5).
Gambar 6. Hasil pengujian hotspot menggunakan tiga metode
Tabel 4. Rekapitulasi hasil pengujian hotspot dari ketiga metode
Gambar 5. Hasil survei lapangan
Kategori Hotspot MODIS (M) Hotspot valid (H) Ada kebakaran, tidak ada hotspot (E) M+E
Jumlah 580 257 24 604
23
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
Pembahasan
consuming), dan dana juga membatasi
Kegiatan validasi hotspot di lapangan sudah pernah dilakukan di beberapa lokasi antara lain di Siberia (Csiszar et al., 2006), dan Brazil (Morisette et al., 2005). Hasil validasi yang mereka lakukan menggunakan data ASTER mendapatkan nilai peluang hotspot yang benar-benar terdeteksi kebakaran adalah sebesar ˜60% di Siberia, yang hasilnya jauh lebih baik bila dibandingkan di Brazil yaitu sebesar ˜45%. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu sebesar 43%. Mengingat Brazil yang berada di wilayah tropis dengan kendala paling besar pada awan maupun kabut tebal, maka kami menduga alasan yang sama juga menyebabkan rendahnya akurasi hotspot. Algoritma MODIS saat ini belum bisa mendeteksi hotspot pada kondisi kabut tebal (Morissette et al., 2005). Kelemahan lain yang dapat menyebabkan nilai akurasi rendah adalah kemampuan mendeteksi hotspot pada kondisi relatif tidak berawan serta sangat tergantung pada periode lintasan satelit di lokasi kebakaran.
jumlah titik yang dapat disurvei. Selama perjalanan dalam pengecekan lapangan, beberapa titik kebakaran kecil di lapangan telah ditemukan dan dicatat koordinatnya untuk dicocokkan dengan posisi hotspot. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa semua titik kebakaran tidak terdeteksi oleh hotspot. Besar kemungkinan hal ini disebabkan oleh luas kebakaran yang kecil (kurang dari 100 ha). Dari hasil pengecekan menggunakan data MODIS Burned Area MCD45 dengan resolusi 500 m di provinsi Riau, sepanjang tahun 2011 tidak ditemukan adanya informasi daerah bekas kebakaran di provinsi tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa produk ini bersifat underestimate dalam mendeteksi bekas kebakaran di wilayah studi penelitian. Kami menduga jenis kebakaran yang terjadi di Riau lebih banyak berukuran kecil (<100 ha) namun dalam titik-titik kebakaran yang tersebar. Giglio et al. (2009) menduga estimasi luas minimum kebakaran yang dapat dideteksi menggunakan data MODIS 500 m adalah sebesar 120 ha. Dalam penelitian ini, Giglio et al. menggunakan MODIS bersama-sama dengan hotspot MODIS untuk memetakan daerah bekas kebakaran. Terkait dengan hal ini pula, Tansey et al. (2008) menemukan bahwa hotspot dengan tingkat konfidensial rendah hanya sedikit yang ditemukan sebagai kebakaran. Walaupun demikian, hotspot tersebut dapat meningkatkan hasil perhitungan area yang terbakar.
Sebelumnya Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) juga pernah melakukan kegiatan pengecekan lapangan di provinsi Riau (Khomaruddin et al., 2010). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa cukup banyak lokasi titik koordinat yang sulit dijangkau. Medan yang berat, jauh dari pemukiman, tidak bisa diakses oleh kendaraan adalah beberapa permasalahan pokok yang ditemui di lapangan. Hal yang sama juga terjadi pada kegiatan penelitian ini. Disamping itu, kendala waktu (time
24
Dari sisi pengelompokkan hotspot pada satu kejadian kebakaran sebagaimana yang disebutkan oleh Khomarudin et al. (2010)bahwa hotspot yang berkelompok
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
banyak di suatu lokasi dapat menunjukkan terjadinya kebakaran dengan lebih tepat. Dalam penelitian ini juga telah dianalisis hal serupa dan mendapatkan hasil bahwa sebagian besar deteksi asap secara visual banyak ditemukan dalam kondisi berkelompok (Gambar 8). Namun dari data lapangan yang dipastikan telah terjadi kebakaran di lapangan, tidak semuanya ditunjukkan oleh hotspot yang berkelompok (>2 titik). Dari 35 titik kebakaran, 35% diantaranya ditemukan berkelompok, sedangkan 65% diantaranya tidak berkelompok. Kami menemukan bahwa 55% diantaranya ditemukan secara berulang pada waktu jauh sebelum atau sesudah kejadian, tetapi tidak tepat pada saat kejadian kebakaran. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi tersebut rawan kekeringan yang ditunjukkan oleh munculnya hotspot meskipun tidak terjadi kebakaran. Dari hasil analisis penggabungan 3 metode diperoleh hasil pengujian hotspot yang masih banyak didukung oleh pengujian secara visual dan buffering. Hasil pengecekan lapangan yang lebih banyak, diharapkan dapat lebih menunjang pengujian akurasi ini, mengingat pengujian visual pun memiliki banyak keterbatasan terutama kendala awan.
Lingkaran merah menunjukkan asap yang diikuti oleh hotspot yang berkelompok.
Metode analisis pendeteksian asap secara visual dan digitaldapat juga digunakan untuk pendeteksian yang lebih baik. Hasil penelitian Suwarsono et al. (2004) menyarankan pendeteksian kabut asap dilakukan berdasarkan nilai maksimum dan minimum dari suhu kecerahan kanal 4 (panjang gelombang 10,30-11,30 µm) dan kanal 5 (11,50-12,50 µm) NOAAAVHRR. Liu et al. (2010) juga telah melakukan analisis statistik menggunakan perbedaan 2 buah kanal biru pada MODIS yaitu kanal 3 dan kanal 8, selanjutnya disebut sebagai BRD. Mereka membuktikan bahwa kanal biru pada MODIS berpotensi dijadikan sebagai pendekatan yang sederhana untuk mengidentifikasi asap maupun debu yang tebal. Hal ini karena BRD mampu memisahkan asap yang ditimbulkan akibat kebakaran besar dari biomassa dan debu dari berbagai kejadian, seperti awan, es, asap maupun kondisi bebas awan. Chia et al. (2007) menemukan bahwa produk MODIS aerosol sangat baik untuk mendeteksi asap dan dapat dijadikan sebagai input model haze transport. Nilai commission dan omission error dalam penelitian ini sangat erat kaitannya dengan hotspot yang dikategorikan missing sebagaimana yang ungkapkan responden dalam kuesioner.Penambahan data lapangan tentunya akan dapat mempertajam hasil validasi hotspot. KESIMPULAN DAN SARAN
Gambar 8. Deteksi asap secara visual menggunakan citra MODIS komposit 1-4-3.
a. Tingkat akurasi HS MODIS Indofire telah dihitung dalam penelitian ini
25
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
dengan hasil 43%, dengan commision error 53%, dan omission error 4%) b. Rendahnya akurasi antara lain disebabkan kabut tebal yang tidak bisa dideteksi oleh algoritma MODIS, liputan awan, luas area terbakar, kesesuaian lintasan satelit dengan kejadian kebakaran c. Hotspot yang sering muncul (>2x) pada lokasi yang sama baik pada waktu beberapa hari berturut-turutturut maupun pada waktu lain, perlu dijadikan pertimbangan utama pengecekan lapangan, termasuk hotspot yang sifatnya berkelompok. Perlu pengujian statistik lanjutan dg data lapangan yang lebih banyak dan menyebar. d. Perlu dibandingkan pola hotspot di lokasi tanah yang berbeda, khususnya gambut dan non gambut e. Perlu pengecekan hotspot dengan
burned area f. Sebaiknya dilakukan deteksi asap secara visual dan digital g. Penambahan data lapangan perlu dilakukan, salah satu alternatifnya adalah dengan melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah setempat dalam mendapatkan lokasi pemadaman kebakaran hutan/lahan dan luas kebakaran. DAFTAR PUSTAKA Chen. Y, Li Jing, Peng Guangxiong . 2007. Forest Fire Risk Assessment Combining Remote Sensing and Meteorological Information. New
Zealand Journal of Agricultural Research, Vol. 50, Iss. 5. CHIA, A. S., K. H. LIM, B. N. CHEW, S.V. SALINAS and S. C. LIEW. 2007. Detection of smoke haze from 26
vegetation fires using modis aerosol products. ACRS proceeding
(http://www.a-a-rs.org/acrs/proceeding/ACRS2007/Pa pers/PS1.G6.3.pdf). CRISP (Centre for Remote Imaging, Sensing and Processing). Forest Fire Detection and Monitoring. http://www.crisp.nus.edu.sg. [Diakses tanggal 24 Agustus 2011]. Csiszar, I. A. , J.T. Morisette, and L. Giglio. 2006. Validation of Active Fire Detection From Moderate-Resolution Satellite Sensors: The MODIS Example in Northern Eurasia. IEEE
Transactions on Geoscience and Remote Sensing, Vol. 44, No. 7, July. European Space Agency (ESA). ATRSWorld Fire Atlas. http://wfaadat.esrin.esa.int/. [Diakses tanggal 22 November 2011]. Frazer, R.H., S.Li, and J.Cihlar. 2000. Hotspot and NDVI Differencing Synergy (HANDS): A New Technique for Burned Area Mapping over Boreal Forest. Remote Sensing
Environment, 74:362-376. Giglio, L., Descloitres, J., Justice, C. O. and Kaufman, Y. 2003. An enhanced contextual fire detection algorithm for MODIS. Remote Sensing of Environment 87:273-282. doi:10.1016/S0034-4257(03)00184-6 Giglio, L., T.Loboda, D.P. Roy, B. Quayle, C. O. Justice. 2009. An active-fire based burned area mapping algorithm for the MODIS sensor.
Remote Sensing of Environment 113, 408–420. Indofire Map Service. 2011. Indofire. http://www.lapan.go.id/indofire/. [Diakses tanggal 2 Januari 2011]. Justice, C. O., Giglio, L., Korontzi, S., Owens, J., Morisette, J. T., Roy, D.,
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
et al. (2002). The MODIS fire products. Remote Sensing of Environment, 83,244−262. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2011. Sebaran Hotspot dan Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan. Siaran Pers Nomor: 389/PHM-2/2011. http://www.dephut.go.id/index.php? q=id/node/7573. [Diakses tanggal 24 September 2011]. Khomaruddin, M. Rokhis, et al. 2010.
Laporan Teknis Kegiatan Kebakaran Hutan Tahun LAPAN.
Survei 2010,
Li Z., Y.J. Kaufman, C. Ichoku, R. Fraser, A. Trishchenko, L. Giglio, and J. Jin (2001). A review of AVHRR-based active fire detection algorithms: Principles, limitations, and recommendations, in Global and Regional Vegetation Fire Monitoring From Space: Planning and Coordinated International Effort,
edited by F.J. Ahern, J.G. Goldammer, and C.O. Justice,, SPB Acad., The Hague, 2001, 199-225. Liu,
R. and Yang Liu. 2010. Blue Reflectances Contrast of Modis Imagery Implication for Dust and Biomass Burned Smoke Detection.
Geoscience and Remote Sensing Symposium (IGARSS), IEEE. International, 25-30 July, Pg. 1149 – 1150. Meteorological Singapore Services. The ASEAN Specialised Meteorological Centre (ASMC), Haze Information. http://www.weather.gov.sg/wip/web /ASMC. [Diakses tanggal 22 Desember 2011]. MODIS Situs. 2011.MODIS Specifications. http://modis.gsfc.nasa.gov/about/sp
ecifications.php. [Diakses tanggal 2 Februari 2012]. Morisette, J. T., L. Giglio, I. Csiszar, A. Setzer,W. Schroeder, D.Morton,and C. O. Justice. 2005. Validation of MODIS active fire detection products derived from two algorithms. Earth Interact., vol. 9, p. 13. Morisette,J.T. and Y. Kaufman. 2006.
Algorithm Technical Background Document MODIS FIRE PRODUCTS Version 2.3. NASA/University of Maryland. 2002. MODIS Hotspot / Active Fire Detections. Data set. MODIS Rapid Response Project, NASA/GSFC [producer], University of Maryland, Fire Information for Resource Management System [distributors]. http://maps.geog.umd.edu/firms/. [Diakses tanggal 22 Desember 2011]. NASA/University of Maryland. 2011. MODIS Hotspot / Active Fire Detections. Frequently Asked Questions. http://maps.geog.umd.edu/firms/faq .htm. [Diakses tanggal 20 Desember 2011]. Pereira, M. C., B. S. Pereira, P. Barbosa, D. Stroppiana, M.J.P. Vasconcelos, and J.-M. Grégoire. 1999. Satellite monitoring of fire in the EXPRESSO study area during the 1996 dry season experiment: Active fires,burnt area, and atmospheric emissions. J.
Geophys. Res., vol. 104, pp. 30 701– 30 712. Phonekeo, Vivarad. 2008. Monitoring of Active Fire, Smoke and Haze in Southeast Asia using MODIS products (MOD14, MOD04) Terra/Aqua MODIS Receiving Station, A case study of Thailand. 27
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
Geoinformatics Center Asian Institute of Technology. July 15, 2008. Roy, D.P., L. Boschetti, C.O. Justice, J.Ju. 2008. The Collection 5 MODIS Burned Area Product – Global Evaluation by Comparison with MODIS Active Fire Product. Remote
Sensing of Environment 112, 3690– 3707. Schroeder, W., M. Ruminski, I. Csiszar, L. Giglio, E. Prins, C. Schmidt And J. Morisette. 2008. Validation Analyses Of An Operational Fire Monitoring Product: The Hazard Mapping System. International Journal Of Remote Sensing Vol. 29, No. 20, 20 October 2008, 6059–6066. Siegert, F. and Anja A. Hoffmann. 2000. The 1998 Forest Fires in East Kalimantan (Indonesia): A Quantitative Evaluation Using High Resolution, Multitemporal ERS-2 SAR Images and NOAA-AVHRR Hotspot Data. Remote Sens. Environ. 72:64–
77.
28
Siegert, F. and Anja A. Hoffmann. 2000. The 1998 Forest Fires in East Kalimantan (Indonesia): A Quantitative Evaluation Using High Resolution, Multitemporal ERS-2 SAR Images and NOAA-AVHRR Hotspot Data. Remote Sens. Environ. 72:64– 77. Suwarsono dan Parwati. 2004. Studi Identifikasi Kabut Asap Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan Analisis Spektral Data NOAA18/AVHRR. Prosiding Seminar
Nasional Sains Atmosfer I, Bandung 16 Juni 2010. Tansey, K., Beston, J., Hoscilo, A., Page, S.E., and Paredes Hernandez, C.U,. 2008. Relationship between MODIS fire hotspot count and burned area in a degraded tropical peat swamp forest in central Kalimantan,
Indonesia Journal of Geophysical Research, Vol. 113, D23112, page: 1-8