KAJIAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS SAPI POTONG MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING DI SULAWESI SELATAN Nurhayu,dkk RINGKASAN Program Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi 2010 (P2SDS) merupakan program pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor daging sapi. Di dalam P2SDS 2010 yang dirancang oleh Direktorat Jenderal peternakan, peran produksi daging dalam negeri harus memberikan kontribusi sebesar 90-95 %, yang saat ini diperkirakan baru mampu memenuhi sekitar 70-75% dari total kebutuhan nasional. (Soedjana, 2007). Untuk mendukung Program P2SDS dibutuhkan terobasanterobasan teknologi diantaranya adalah perbaikan reproduksi sapi potong melalui program perbibitan yang efektif dan efisien dan pengembangan bahan baku pakan lokal. Tingkat reproduksi induk yang rendah merupakan salah satu pembatas utama dalam peningkatan populasi sapi potong. Terobosan teknologi yang dapat dilakukan melalui perbaikan produksi dan reproduksi induk antara lain manipulasi hormone yang dapat digunakan untukmeningkatkan superuvulasi sehingga memicu terjadinya kelahiran kembar dan memperbaiki sistem perkawinan. Upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas ternak melalui pengembangan sumberdaya lokal sebagai pakan sangat penting untuk dilaksanakan mengingat ketersediaanya yang cukup, mudah diperoleh dan harganya murah. Tujuan kegiatan adalah memanfaatkan pakan lokal untuk meningkatkan produktivitas sapi potong dan memperbaiki sistem perbibitan untuk meningkatkan populasi dan reproduksi sapi potong.
SUMMARY Accelerating the Achievement of Self-Sufficient Program Beef 2010 (P2SDS) is a government program to reduce dependence on imported beef. In the P2SDS 2010, designed by the Directorate General for the ranch, the role of domestic meat production should contribute for 90-95%, which is currently estimated at only able to meet about 70-75% of the total national requirement. (Soedjana, 2007). To support the program needed technology-P2SDS technology reproduction of them is the improvement of beef cattle through the breeding programs effectively and efficiently and the development of local raw material feed. Reproduction rates are low parent is one major barrier in increasing beef cattle population. Breakthrough technology that can be done through improving the production and reproduction of the parent include hormone manipulation which can be used so that to increasing superovulation trigger multiple births and improve the system of marriage. Efforts to improve livestock production and productivity through the development of local resources as feed is very important to remember prepared conducted fairly, easily available and cheap. Aim is to use local food to improve beef cattle productivity and improve systems to increase the population breeding and beef cattle reproduction.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 1
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Permintaan daging sapi di Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan
bertambahnya kesejahteraan masyarakat dan pertambahan penduduk. Hal ini dicirikan dengan semakin meningkatnya import daging dan sapi bakalan setiap tahun (+ 500.000 ekor/tahun) atau meningkat 6,8% per tahun, dan dilain pihak dari sisi suplai pertambahan produksi daging hanya naik rata-rata 2,50% pertahun (Anonimous, 2001). Keadaan ini mengidentifikasikan bahwa pasar daging (sapi potong) di Indonesia sangat besar. Beberapa laporan penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen daging sapi adalah masyarakat golongan menengah keatas dan elastisitas daging sapi relatif masih sangat tinggi. Program
Percepatan
Pencapaian
Swasembada
Daging
Sapi
2010
(P2SDS)
merupakan program pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor daging sapi. Di dalam P2SDS 2010 yang dirancang oleh Direktorat Jenderal peternakan, peran produksi daging dalam negeri harus memberikan kontribusi sebesar 90-95 %, yang saat ini diperkirakan baru mampu memenuhi sekitar 70-75% dari total kebutuhan nasional. (Soedjana, 2007). Beberapa kalangan meragukan suksesnya program P2SDS 2010 yang harus dicapai 2 tahun lagi, meskipun road map sapi potong maupun langkah – langkah operasional untuk mendukung tercapainya program tersebut telah mulai dijalankan. Upaya peningkatan produksi peternakan sapi potong baik kualitas maupun kuantitas terus diupayakan melalui berbagai program, namun pertumbuhannya belum mampu memenuhi target yang diharapkan yaitu meningkatnya produktivitas usaha tani masyarakat sehingga berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan petani. Sulawesi Selatan memiliki lahan kering dataran rendah seluas 2.523.762 ha (Kanwil pertanian Sulawesi Selatan, 1999) yang pada umumnya cocok untuk pertanian tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan peternakan. Dalam mengoptimalkan usahatani pada lahan tersebut maka pemanfaatan limbah pertanian sangat potensial sebagai pakan sapi potong.
Disamping pemanfaatan sisa hasil pertanian dan industri pertanian juga perlu
diupayakan penanaman hijauan pakan yang berkualitas dengan memanfaatkan lahan yang diperuntukkannnya tidak bersaing dengan tanaman pangan, bahkan dapat bersinergis antara tanaman pakan dan pangan. Hal ini sangat penting mengingat penyediaan sisa hasil
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 2
pertanian dan industri juga mengalami fluktasi, sedangkan kita ketahui bahwa kebutuhan pakan untuk ternak ruminansia mencapai 60-70% dari hijauan (Nitis et al, 1992). Peningkatan populasi sapi potong dapat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan pembibitan sapi sehingga akan tersedia bibit dan bakalan sapi yang cukup dan berkualitas baik. Peluang akan terjadinya kelahiran kembar akan lebih besar karena tingkat reproduksi induk yang rendah yang merupakan pembatas utama pada peternakan sapi potong selama ini dapat diatasi melalui manipulasi hormonal. 1.2.
Dasar Pertimbangan Peningkatan produksi dan reproduksi melalui peningkatan jumlah populasi ternak
sapi masih menjadi kendala yang perlu perhatian segera mungkin. Penyebabnya antara lain kurang tersedianya pakan untuk ternak baik segi dari kuantitas maupun kualitas. Selain itu performan reproduksi sapi-sapi tersebut maupun hasil silangannya mengalami penurunan oleh karena terjadinya in breeding yang berlangsung cukup lama. Potensi Sulawesi Selatan cukup besar oleh karena lahannya cocok untuk pertanian tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan peternakan. Dalam mengoptimalkan usahatani pada lahan tersebut maka pemanfaatan limbah pertanian sangat potensial sebagai pakan sapi potong. Disamping pemanfaatan sisa hasil pertanian dan industri pertanian juga perlu diupayakan penanaman hijauan pakan yang berkualitas dengan memanfaatkan lahan yang diperuntukkannnya tidak bersaing dengan tanaman pangan, bahkan dapat bersinergis antara tanaman pakan dan pangan. Melalui teknologi pengolahan pakan diharapkan pemanfaatan pakan lokal terhadap peningkatan produktivitas sapi potong menjadi optimal. Sedangkan untuk meningkatkan performans produksi dan reproduksi sapi diperlukan perbaikan sistem perbibitan. 1.3.
Tujuan Memanfaatkan pakan lokal untuk meningkatkan produktivitas sapi potong Meningkatkan kinerja reproduksi sapi potong melalui penyuntikan hormone
1.4.
Keluaran Yang Diharapkan Satu paket teknologi pengolahan/penyusunan ransum Satu paket teknologi untuk meningkatkan kinerja reproduksi sapi potong melalui penyuntikan hormone
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 3
1.5
Perkiraan Manfaat dan Dampak Manfaat o
Tersedianya teknologi pengolahan/penyusunan ransum berbahan pakan lokal
o
Tersedianya teknologi yang dapat meningkatkan kinerja reproduksi sapi potong
Dampak o
Peningkatan populasi sapi potong
o
Meningkatkan kesejahteraan petani
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 4
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kerangka Teoritis Sulawesi Selatan termasuk daerah yang potensial di bidang pengembangan
ternak sapi. Usaha penggemukan sapi muncul di beberapa daerah. Bahkan, pelabuhan Pare-pare terkenal sebagai pintu keluar untuk perdagangan sapi antarpulau. Data Dinas Peternakan Sulsel menyebutkan, hingga April 2009, populasi sapi sudah mencapai 704 ribu ekor dan tersebar pada 18 kabupaten sentra pengembangan sapi. Perdagangan sapi antarpulau masih terus berlangsung, terutama untuk memasok daging kebutuhan masyarakat di kawasan timur Indonesia seperti Kalimantan, Maluku, Papua, Gorontalo dan Sulawesi Utara. Target populasi ternak sapi setiap tahun antara 50 ribu sampai 60 ribu ekor dengan rincian tahun 2009 764.099 ekor, 2010 naik menjadi 822.350 ekor, pada 2011 akan dicapai 880.157 ekor, 2012 bertambah menjadi 943.341 ekor dan tahun 2013 populasinya mencapai 1.016.729 (Anomimous, 2008). Sulawesi Selatan memiliki lahan kering dataran rendah seluas 2.523.762 ha (Kanwil pertanian Sulawesi Selatan, 1999) yang pada umumnya cocok untuk pertanian tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan peternakan. Dalam mengoptimalkan usahatani pada lahan tersebut maka pemanfaatan limbah pertanian sangat potensial sebagai pakan sapi potong. Disamping pemanfaatan sisa hasil pertanian dan industri pertanian juga perlu diupayakan penanaman hijauan pakan yang berkualitas dengan memanfaatkan lahan yang diperuntukkannnya tidak bersaing dengan tanaman pangan, bahkan dapat bersinergis antara tanaman pakan dan pangan. Hal ini sangat penting mengingat penyediaan sisa hasil pertanian dan industri juga mengalami fluktasi, sedangkan kita ketahui bahwa kebutuhan pakan untuk ternak ruminansia mencapai 60-70% dari hijauan (Nitis et al, 1992). Pakan sangat penting untuk diperhatikan, karena pakan sangat besar pengaruhnya terhadap pertambahan bobot badan sapi. Pakan diperlukan untuk hidup pokok, pertumbuhan, reproduksi dan produksi daging. Zat gizi utama yang dibutuhkan sapi adalah protein dan energy (Tilman et al., 1998). Penggunaan limbah yang mempunyai kandungan protein rendah dapat dilakukan dengan menambah suplemen protein dari limbah pertanian lain atau leguminosa yang kemudian disusun menjadi rensum yang serasi. Beberapa metode perlakuan ( pretreatment) dapat dipilih untuk dilakukan guna meningkatkan kualitas jerami. Umumnya perlakuan yang dilakukan
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 5
digolongkan kepada perlakuan fisik, kimiawi dan biologis. Perlakuan fisik tidak mempengaruhi kandungan gizi jerami (Diwyanto dan Handiwirawan, 2004). Superovulasi dapat diinduksi dengan menggunakan hormon reproduksi, diantaranya hormon pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG), follicle stimulating
hormone (FSH), human menopausal gonadotrophin (HMG) (Sugano and Shinogi, 2002). Penggunaan gonadotrophin eksogen untuk menimbulkan efek superovulasi telah dilakukan sejak lama. Meskipun demikian saat ini terdapat suatu program baru untuk sinkronisasi birahi, yaitu ovsynch.
Hormon yang digunakan untuk program
ovsynch adalah GnRH dan Prostaglandin. Kelebihan dalam program ini adalah menjamin adanya ovulasi dengan atau tanpa gejala birahi, sehingga diperoleh angka kebuntingan yang lebih tinggi (Fricke, 1998). Elsdsen et al., 1978 melaporkan pengaruh penggunaan FSH untuk superovulasi pada sapi akan menghasilkan corpus
luteum lebih banyak dibandingkan dengan PMSG.
2.2.
Hasil-Hasil Penelitian Limbah pertanian merupakan sisa tanaman pertanian setelah diambil hasil
utamanya dan dalam sistem pakan digolongkan sebagai pakan non konvensional. Beberapa limbah pertanian penting di Jawa dan Bali adalah jerami padi, jerami jagung, jerami sorghum, pucuk tebu, jerami kacang tanah, jerami kedelai, jerami ketela rambat dan pucuk ketela pohon. Jika dipilah-pilah maka ada kelompok limbah pertanian yang mempunyai kadar protein rendah (<7%) yang juga mempunyai kecernaan rendah yaitu jerami padi (4,5%), jerami jagung (6,1%), jerami sorghum (4,4%) dan pucuk tebu (5,6 %) (Lebdosukoyo, 1983). Superovulasi dapat diinduksi dengan menggunakan hormon reproduksi, diantaranya hormon pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG), follicle stimulating
hormone (FSH), human menopausal gonadotrophin (HMG) (Sugano and Shinogi, 2002). Penggunaan gonadotrophin eksogen untuk menimbulkan efek superovulasi telah dilakukan sejak lama. Meskipun demikian saat ini terdapat suatu program baru untuk sinkronisasi birahi, yaitu ovsynch.
Hormon yang digunakan untuk program
ovsynch adalah GnRH dan Prostaglandin. Kelebihan dalam program ini adalah menjamin adanya ovulasi dengan atau tanpa gejala birahi, sehingga diperoleh angka kebuntingan yang lebih tinggi (Fricke, 1998).
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 6
Penggunaan FSH untuk superovulasi pada sapi perah adalah 28 mg – 40 mg, sedangkan yang optimal adalah 35 mg (Canseco et al, 1992). Penggunaan FSH untuk superovulasi pada sapi potong adalah 15 mg – 28 mg, namun menurut Sakakibara et
al. (1993) melaporkan bahwa penggunaan hormone FSH yang lebih rendah ( 15 mg) menghasilkan respon yang lebih baik. Quaresma et al. (2003) melaporkan penggunaan sumber FSH folltropin sebanyak 400 mg NIH-FSH-P1 mampu menghasilkan 10 ovum artinya tiap 40 mg NIH-FSH-P1 adalah untuk menghasilkan 1 ovum.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 7
III. METODOLOGI a. Pendekatan (Kerangka Pemikiran) Pendekatan melalui PRA (Partisipatory Rural Appraisal/). Pendekatan Pedesaan secara Partispatif
yaitu untuk mengetahui sejauh mana budaya
beternak sapi potong beserta permasalahan yang dihadapi peternak sapi potong di Kabupaten Gowa. b. Ruang Lingkup Kegiatan Kegiatan tersebut akan dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut : 1
Apresiasi dan Konsultasi. Penjelasan pada instansi terkait tentang makna kegiatan guna mendapat dukungan dan tanggapan serta masukan khususnya dalam pemberdayaan otonomi daerah.
2.
Penetapan Lokasi dan Petani Kooperator. Lokasi kegiatan dan waktu pelaksanaan akan ditetapkan berdasarkan hasil penjajakan lokasi/survei.
3.
Identifikasi Kondisi Biofisik Wilayah dan Sosial Ekonomi. Kegiatan ini dilakukan dengan survey dan mengumpulkan data-data sekunder disertai dengan quick PRA.
4.
Sosialisasi Teknologi Kegiatan ini melibatkan instansi terkait dalam lingkup kegiatan dan dilakukan sesuai jadwal yang telah ditentukan.
5.
Penerapan Teknologi. Teknologi yang akan dikaji diaplikasikan berdasarkan kooperator yang telah ditentukan.
6.
Pengumpulan Data. Data yang dikumpulkan mencakup kondisi biofisik, sosial ekonomi, karakteristik petani kooperator, sedangkan data produksi berupa pertambahan berat badan, konsumsi pakan, analisis kandungan nutrisi pakan, efisiensi pakan, dan konversi pakan.
7.
Pembuatan Laporan Data yang dikumpulkan dianalisis kemudian dibuat dalam bentuk laporan hasil
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 8
8.
Seminar Hasil. Laporan hasil pengkajian diseminarkan dalam forum yang melibatkan instansi terkait terutama perguruan tinggi.
9.
Distribusi Laporan. Laporan lengkap yang telah diseminarkan disampaikan kepada penanggungjawab program dan instansi terkait.
c. Metode Pelaksanaan 1. Kajian Sistem Perbibitan untuk Meningkatkan Populasi Sapi Potong di Sulawesi Selatan Kegiatan akan dilaksanakan pada bulan Januari – Desember 2010. Lokasi kegiatan di Desa BorongloE, Kecamatan Pa’jukukang Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Kegiatan ini menggunakan 20 ekor induk sapi Bali yang dibagi dalam 2 kelompok perlakuan dimana masing-masing kelompok terdiri dari 10 ekor sapi. Perlakuan yang diberikan •
Perlakuan A : Penyuntikan hormon Prostaglandin(PGF2a) sebanyak 2ml dengan palpasi rectal terlebih dahulu (pemeriksaan corpus luteum)
•
–
Hari -1 disuntik hormon Prostaglandin(PGF2a) 2ml
–
Hari ke - 4 di IB pada pagi dan Sore hari (pada saat birahi)
–
Langsung dicampur dengan pejantan
Perlakuan B : Penyuntikan hormon Prostaglandin(PGF2a) sebanyak 3 ml tanpa pemeriksaan corpus luteum –
Hari -1 dan hari ke -11 disuntik hormon Prostaglandin(PGF2a) sebanyak 3 ml
–
Hari ke-14 di IB pada pagi dan Sore hari
–
Langsung dicampur dengan pejantan
Pengamatan dilakukan selama 3 bulan. Rancangan yang digunakan adalah RAL Data yang dikumpulkan dianalisis dengan statistik Uji T. Parameter yang akan diukur adalah : reproduksi induk meliputi respon estrus, onset estrus, lama estrus, service per conception (S/C), atau conception rate (CR) dan persentase kelahiran.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 9
2. Kajian Pemanfaatan Pakan Lokal untuk Meningkatkan Produktivitas Sapi Potong Waktu pelaksanaan pada bulan Januari – Desember 2010. Kegiatan akan dilaksanakan di kegiatan di Desa BorongloE, Kecamatan Pa’jukukang
Kabupaten
Bantaeng . Kegiatan akan menggunakan 18 ekor sapi dara Bali yang dibagi dalam tiga kelompok yaitu masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor. Kemudian diberi perlakuan sebagai berikut : Perlakuan A
= Pakan basal (40%) + Konsentrat (60%)
Perlakuan B
= Pakan basal (60%) + Konsentrat (40%)
Perlakuan C
= Pakan basal/Kontrol (sesuai kebiasaan petani)
Pakan basal yang digunakan adalah berupa hijauan yang ada dalam lokasi pengkajian yaitu : rumput gajah, rumput alam, jerami padi, jerami jagung, daundaunan. Konsentrat yang digunakan disusun sebagai berikut :
Tabel 1. Susunan Konsentrat untuk penggemukan sapi potong No 1 2 3 4 5 6 7
Nama Bahan Kulit kacang tanah Tumpi jagung Tongkol jagung Dedak Tepung ikan Bungkil kelapa Mineral Jumlah
Persentase (%) 5 15 15 54,5 5 5 0,5 100
Semua sapi diberikan pakan yang telah disusun dengan kandungan protein sebesar 13%. dengan menggunakan pakan basal dan konsentrat yang berasal dari limbah pertanian dan limbah agroindustri yang ada dilokasi. Pengamatan data dilakukan selama 4 bulan dengan menggunakan RAL. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan
statistik Uji T. Parameter yang akan diukur adalah : bobot badan, tinggi
pundak, panjang badan, lingkar dada, konsumsi pakan, konversi, efisiensi pakan dan analisa ekonomi.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 10
Metode Analisis Untuk menghitung pertambahan berat badan digunakan rumus
ADG
W2 W1 t 2 t1
Dimana : W2 = Bobot Badan akhir W1 = Bobot badan awal t2 = Waktu penimbangan akhir t1 = Waktu penimbangan awal (Cole, 1996)
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 11
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kajian Sistem Perbibitan untuk Meningkatkan Populasi Sapi Potong di Sulawesi Selatan Pengaruh penyuntikan prostaglandin terhadap keserentakan berahi pada sapi Bali tertera pada Tabel 2. Nampak bahwa penyuntikan progesteron sebanyak 3 ml (perlakuan B) memperlihatkan respon berahi yang lebih tinggi dibandingkan penyuntikan 2 ml (perlakuan A), dengan perbedaan respon berahi sekitar 20%. Demikianpun munculnya berahi (perlakuan B) cepat 5 jam dibandingkan dengan (perlakuan A). Munculnya berahi pertama kali pada perlakuan B
sekitar
60
jam
setelah setelah aplikasi hormone (penghentian penyuntikan), sedangkan pada perlakuan A munculnya berahi pertama kali setelah penghentian penyuntikan sekitar 65 jam. NRR % (Non Return Rate) memperlihatkan pada perlakuan B yaitu 90% ini berarti bahwa dari 10 ekor induk yang di IB hanya 1 ekor induk yang memperlihatkan birahi kembali sedang pada perlakuan A 80% yang berarti bahwa dari 10 ekor induk yang di IB terdapat 2 ekor yang birahi kembali. Tabel 2. Tampilan reproduksi dari penyuntikan Progesteron Parameter
Perlakuan A
Perlakuan B
Respon estrus (%)
80
100
Onset estrus (jam)
65
60
Lama estrus (jam)
34
36
NRR (%)
80
90
1,66
1,25
60
80
-
-
S/C CR (%) Tingkat kelahiran
Service per Conception (S/C) pada perlakuan A lebih tinggi dibanding perlakuan B yaitu masing-masing 1,66 dan 1,25. Ini berarti bahwa pada perlakuan A jumlah betina yang bunting sebanyak 6 ekor sedangkan pada perlakuan B sebanyak 8 ekor. CR (conception rate) berdasarkan hasil palpasi bulan ke 4 setelah IB menunjukkan hasil pada perlakuan A 60% dan perlakuan B 80 %. Sedangkan proses
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 12
kelahiran pada tahun anggaran 2010 belum terjadi karena lama kebuntingan sapi induk sekitar 280 hari sedangkan kebuntingan baru memasuki + 180 hari
Namun
kebuntingan akan tetap dipantau hingga terjadi kelahiran pada tahun 2011. Dari hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa penyuntikan hormonal (Perlakuan B) memperbaiki kinerja reproduksi induk sapi Bali dibandingkan dengan (Perlakuan A). Hal ini ditandai dengan tingginya respon berahi serta kebuntingan yang diperoleh serta jumlah inseminasi yang lebih rendah. Hal yang sama dilaporkan oleh Stephens dan Rajamahendran (1998) bahwa penyuntikan PGF-2α sebanyak dua kali pada sapi potong mampu menyerentakan berahi (90%) dengan angka kebuntingan yang lebih tinggi (62%) dibandingkan penyuntikan satu kali. Archbald et al. (1993) melaporkan bahwa penyuntikan PGF-2α sebanyak dua kali pada sapi perah menghasilkan respon estrus sebanyak 91%. Sedangkan MacMillan et al. (1991) mengatakan bahwa penyuntikan PGF-2α sebanyak satu kali pada fase luteal ataupun dua kali selang 11 hari tanpa memperhatikan siklus berahi hasilnya bervariasi antara 75%-100%. Hormon PGF-2α dan analognya telah lama digunakan dalam program sinkronisasi berahi ternak. Metode yang digunakan ada dua jenis, yaitu (1) penyuntikan satu kali, dan (2) penyuntikan dua kali selang 11 atau 12 hari. Metode pertama biasanya efektif menyerentakkan berahi ternak apabila kondisi siklus berahi ternak diketahui, terutama apabila kondisi ternak berada dalam fase luteal. Sedangkan metode kedua biasanya lebih cocok diterapkan pada kondisi lapangan dimana siklus berahi ternak sulit untuk dikontrol atau diamati. Umumnya tingkat keberhasilannya dalam menyerentakkan berahi lebih tinggi pada metode penyuntikan PGF-2α sebanyak dua kali selang 11 atau 12 hari dari penyuntikan pertama dibandingkan penyuntikan satu kali. Terbukti dari hasil penelitian ini, dimana penyuntikan progesterone (PGF-2α sintetis) secara intramuskuler sebanyak dua kali selang 11 hari memberikan respon berahi dan tingkat kebuntingan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyuntikan satu kali. Hal ini mungkin disebabkan setelah penyuntikan kedua semua ternak telah berada dalam fase luteal. Apabila ternak sudah berada dalam fase luteal berarti telah memiliki CL. Akibatnya hormon ini langsung bereaksi dengan melisiskan CL yang terbentuk. Lisisnya CL ini menyebabkan kadar progesteron menurun, yang mengakibatkan hilangnya
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 13
hambatan
terhadap
hormon
gonadotropin,
yang
selanjutnya
diikuti
dengan
pertumbuhan dan pematangan folikel, timbul berahi dan ovulasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Larson dan Ball (1992) bahwa penggunaan hormon PGF-2α untuk program sinkronisasi berahi ternak hanya efektif bila ternak tersebut telah memiliki CL. Selanjutnya Kune (1998) mengatakan bahwa pemberian PGF-2α akan menekan konsentrasi progesteron dalam darah sehingga rasio antara konsentrasi estrogen dan progesteron meningkat, akibatnya ternak akan memperlihatkan pola tingkah laku berahi.
B. Kajian Pemanfaatan Pakan Lokal untuk Meningkatkan Produktivitas Sapi Potong Hijauan yang terdapat di daearah tropis umumnya berkualitas rendah. Ternak ruminansia yang hanya diberi hijauan saja, tidak akan dapat diharapkan produksi maupun efisiensi reproduksi yang tinggi. Manfaat hasil sampingan pertanian dan agroindustri
sebagai
pakan
ternak,
sangat
tergantung
dari
ketersediaan
bahan,
kemampuan ekonomi petani – ternak, dan efisiensi penggunaan bahan pakan tersebut. Preston dan Leng (1987) menyatakan bahwa ternak ruminansia mampu menggunakan zat-zat makanan di dalam pakan, seperti karbohidrat, protein, nitrogen bukan protein dan lemak secara efisien. Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam penggunaan ransum diperlukan pencampuran berbagai bahan pakan dalam jumlah tertentu, disamping menyediakan Zat makanan yang secara langsung dapat diserap dari berbagai alat pencernaan pasca rumen. Menurut Abidin et al.(1988) bahwa penambahan konsentrat dalam ransum ternak ruminansia dapat meningkatkan konsentrasi produk akhir fermentasi rumen yang akan meningkatkan pertambahan bobot badan. Kebutuhan pakan bagi ternak ada dua jenis yaitu kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan untuk produksi. Pengertian kebutuhan hidup pokok secara sederhana dan mudah diukur adalah kebutuhan untuk mempertahankan bobot badan hidup. Artinya, apabila seekor sapi tersebut tidak naik dan juga tidak turun serta tidak menghasilkan susu. Jika sapi diberi lebih dari kebutuhan hidup pokoknya maka kelebihan itu akan diubah menjadi bentuk produksi misalnya susu, daging, tenaga kerja dan pertumbuhan embrio atau fetus dalam masa kebuntingan. Kebutuhan pakan dapat dipenuhi dengan pakan hijauan segar (sebagai pakan utama) dan konsentrat (sebagai pakan penguat). Kedua jenis pakan tersebut dapat diukur jumlah pemberian sesuai dengan berat badan
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 14
dan produksi yang diharapkan. Namun kedua jenis pakan tersebut belum menjamin terpenuhinya unsure-unsur mikro berupa mineral, vitamin serta asam amino tertentu yang tidak diperoleh ternak seperti pada saat di alam bebas. Dengan demikian selain pakan utama dan penguat, ternak yang dipelihara secara intensif juga perlu memperoleh bahan makanan pelengkap atau pakan suplemen ini dapat meningkatkan produksi ternak. Sedangkan
ternak yang kekurangan unsur mikro tertentu dalam
pakan suplemen akan menderita defisiensi atau penurunan efisiensi produksi sampai daya tahan tubuh. Pola pemeliharaan penggemukan memerlukan ketersediaan pakan yang lebih banyak dan kontinyu. Untuk itu pakan lokal sangat relevan dimanfaatkan sehingga tidak tergantung dari luar. Tabel 3. Performans dan ukuran tubuh sapi dara setelah perlakuan pakan di Desa BorongloE, Kecamatan Paj’jukukang kabupaten Bantaeng Parameter Pertambahan bobot badan (kg/ekor/hari)
Perlakuan A 0,30
ns
Perlakuan B 0,18
ns
Perlakuan C 0,06
ns
Pertambahan Panjang badan (cm/ekor/hari)
0,05
0,030
0,016
Pertambahan lingkar dada (cm/ekor/hari)
0,065
0,043
0,01
Pertambahan tinggi pundak (cm/ekor/hari)
0,047
0,029
0,01
ns= pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda beda nyata ( P>0,05) Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan A memberikan pertambahan bobot badan lebih tinggi dibanding perlakuan B dan C sedangkan perlakuan B lebih tinggi daripada perlakuan C. Perbedaan ini disebabkan oleh kandungan zat-zat gizi yang terdapat dalam pakan seperti karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Sejalan yang dikemukakan Soenarjo et. al., (1991) bahwa pemberian pakan yang berkualitas berpengaruh pada pertambahan bobot badan, dimana pakan yang baik akan mempercepat laju pertumbuhan yang optimal. Berdasarkan hasil analisa statistik pada pertumbuhan bobot badan ternak sapi menunjukkan tidak adanya pengaruh perlakuan pakan namun. Demikian pula dengan pertambahan panjang badan, pertambahan lingkar dada, pertambahan tinggi pundak, perlakuan A lebih tinggi dibanding perlakuan B dan C.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 15
Tabel 4. Konsumsi dan Konversi Pakan pada sapi sapi dara di Desa BorongloE, Kecamatan Paj’jukukang kabupaten Bantaeng Parameter
Perlakuan A
Perlakuan B
Perlakuan C
PBB h (kg/ekor/hari)
0,30
0,18
0,06
Konsumsi (kg/ekor/hari) - Pakan basal - Konsentrat
2,15 1,95
2,35 1,80
4,17 -
Konversi pakan
13,67
23,05
69,5
Efisiensi Pakan (%)
7,31
4,33
1,44
Pertambahan bobot badan harian (PBBH) pada kajian ini dipengaruhi oleh perlakuan suplementasi konsentrat. Konsumsi berupa pakan basal dan konsentrat pada perlakuan A dan B hampir sama demikian juga konsumsi pakan basal pada perlakuan C. Konversi pakan pada perlakuan A lebih rendah dibanding perlakuan B dan C yaitu masing-masing 13,67, 23,05 dan 69,5. Sedangkan efisiensi pakan perlakuan A lebih tinggi dibanding perlakuan B dan C yaitu masing-masing 7,31%, 4,33% dan 1,44%. Pakan yang diberikan dikatakan efisien apabila pakan tersebut dapat dikonsumsi sepenuhnya oleh ternak dan tercerna dengan baik pula. Pakan yang berkualitas yang kita berikan diusahankan tidak terbuang percuma (tumpah atau tidak termakan). Di dalam manajemen atau tatalaksana pemeliharaan masalah tumpah dan tidak termakan banyak terjadi dan ini harus dihindari sebisa mungkin. Sebagai tolak ukur efisien pakan yang kita berikan dapat diukur dengan konversi pakan atau yang biasa terkenal dengan sebutan Feed Consumtion rate (FCR). Konversi pakan adalah perbandingan jumlah pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan berat badan dalam waktu tertentu. Makin kecil angka konversi pakan tersebut berarti makin efisien pakan yang kita berikan (Admin, 2010)
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 16
Gambar 1. Grafik Pertambahan bobot badan harian (kg/ekor/hari) selama 4 bulan Tabel 5. Rata-rata umur dan bobot badan sapi dara Bali pada saat estrus pertama Parameter Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Umur awal penelitian (bln) 15,83 18,33 18,5 Umur estrus pertama (bln) 19,83 20,16 21,5 Bobot badan awal penelitian 133,25 160,66 169 (kg) Bobot badan estrus pertama 160,33 167,5 169,25 (kg) Hasil pengamatan menunjukkan bahwa estrus pertama yang tercepat terjadi pada perlakuan A (19,83 bulan) selanjutnya adalah perlakuan B (20,16 bulan) dan perlakuan C (21,5 bulan).
Nutrisi secara nyata mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan hewan. Cepatnya estrus pada perlakuan A sesuai yang dikemukakan oleh Bearden dan Fuqoul, (1980) dalam Anggaraeny, et al., (2006) bahwa estrus pada sapi sangat ditentukan oleh pertumbuhan dan pertambahan bobot badan mulai lepas sapih sampai sapi dara. Hal ini menunjukkan masih adanya peluang untuk memperbaiki pola pemeliharaan dengan harapan mempunyai capaian pertambahan bobot badan yang lebih baik yang mampu mempercepat terjadinya estrus pertama.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 17
V. KESIMPULAN
Penyuntikan hormon progesteron memberikan dampak terhadap tingginya respon berahi dan juga berdampak pada keberhasilan kebuntingan
Perlakuan B memberikan pengaruh respon birahi maupun kebuntingan lebih tinggi daripada perlakuan A
Pemanfaatan
pakan lokal
dalam
bentuk
pakan
basal
dan konsentrat
memberikan pengaruh produktivitas yang lebih tinggi pada sapi dara Bali dibanding hanya diberi pakan basal
Perlakuan A dengan pemberian konsentrat 60% dan pakan basal 40% memberikan pertambahan bobot badan lebih tinggi dibanding perlakuan B dan C
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 18
DAFTAR PUSTAKA Admin. 2010. Evaluasi Keberhasilan Usaha Peternakan Anda. www.sentralternak.com Anggaraeny, Y.N., U. Umiyasih, N.H. Krishna dan L. Affandhy. 2006. Strategi Pemenuhan Gizi melalui Optimalisasi Pemanfaatan limbah untuk Pembesaran Sapi Potong Calon Induk. Lolit Sapi Potong, Grati. Prosiding Seminar Nasional Peternakan. Anonimous. 2008. Bisnis Sapi Potong Tetap Menguntungkan. Kaidokid725. 25 April 2008. http//Infogue.com. Canseco, F.C. Gwadauzkas, R.J. Toole, R. Rajamaahendran, W. Dwhittier and W.E Vinson. 1992. A. Retrospective Study on the Effect of FSH and Prostaglandin on Superovulation Respon in Dairy Cattle. Virginia J. Science. Vol. 43. No. 3. Diwyanto, K dan Handiwirawan, E. 2004. Peran Litbang dalam mendukung usaha agribisnis pola integrasi tanaman – ternak. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman – Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Denpasar, Bali. Fricke, P. M., J. N. Guenther and M. C. Wiltbank. 1998. Reducing the Cost of Using Ovsynch. Theriogenology 50(8): 1275-1284. University of Winconsin-Madison. Lebdosukoyo, S. 1983. Pemanfaatan limbah pertanian untuk menunjang kebutuhan pakan ruminansia. Pros. Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Cisarua, 6 – 9 Desember 1982. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Sakakibara, H. Kudou, K. Shimizu, T. Suzuki. 1993. Effect of dosage level FSH on Superovulation in Fat Japanese Black Beef Cattle. Journal of Japan Vet. Med. Assoc. 46, 295 – 297. Tilman,A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1983. Ilmu Makan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 19