Kajian Kerentanan Korupsi Dalam Sistem Perizinan di Sektor Sumberdaya Alam (SDA): Studi Kasus Sektor Kehutanan Hariadi Kartodihardjo dan Grahat Nagara
PENELITIAN SEBAGAI PELAKSANAAN PROGRAM LITBANG KPK
Jakarta, Januari 2014
Daftar Isi Materi 1.
Pendahuluan, Tujuan dan Metoda
2.
Kajian Pustaka
3.
Situasi Izin dan Kinerjanya
4.
Temuan Analisis Corruption Impact Assessment dan Identifikasi Biaya Tidak Resmi
5.
Penutup
1 Pendahuluan, Tujuan, Metoda • Pengelolaan SDA—hutan—belum sejalan dengan jiwa UUD 1945, pasal 33; • Ketidak-seimbangan pemanfaatan: gap kaya-miskin, kerusakan lingkungan hidup, gap antar wilayah;
• Isi dan pelaksanaan kebijakan PSDA, khususnya kehutanan, telah diketahui menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan korupsi (TI, 2010; Callister,1992, 1999; Contreras-Hermosilla, 1997; Krishnaswamy, A. & Hanson, A. 1999; de Bohan, V., Doggart, N., Ryle, J., Trent, S. & Williams, J. 1996; Human Rights Watch , 2009).
Tujuan • Memetakan permasalahan regulasi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia khususnya terkait sistem perizinan di sektor kehutanan.
• Memetakan titik-titik rentan korupsi dalam proses pemberian izin kehutanan dan mengidentifikasi akar masalahnya.
Cakupan Kajian 1
2
3
Mengurus Izin
Pengurusan perizinan
VerifikasiReview
Pelaksanaan Izin
Pelaksanaan izin
VerifikasiReview
Perdagangan Hasil Hutan
Perdagangan Hasil Hutan
VerifikasiReview
Wawancara dan FGD untuk mendalami pelaksanaan perizinan
Analisis CIA-ARCR/Korea
Verifikasi hasil temuan dengan pembuat kebijakan
Metoda Pengumpulan Data • Kajian pustaka untuk menentukan status kajian governance dan korupsi di perizinan kehutanan; • Peraturan serta perkembangan IUPHHK-HA. IUPHHK-HT dan IPPKH diperoleh dari Kementerian Kehutanan;
• Wawancara: – Dilaksanakan sejalan dengan pelaksanaan sosialisasi dan follow up kajian Tata Kelola Hutan dan Lahan oleh Tim Gabungan di bawah SC UKP4-Kemenhut-Bappenas; – FGD dengan peserta dari anggota APHI pada tanggal 26 Oktober 2013; – Wawancara individual dengan pelaku usaha kehutanan.
Kajian Pustaka 2 Identifikasi Penyalah-gunaan Wewenang Kishor and Damania, 2007. Crime and Justice in garden of eden: Improving governance and reducing corruption in the forestry sector. World Bank. Contreras-Hermosilla, A. 1997. Country sector planning, Proceedings of the XI World Forestry Congress, Volume 5:279–284
•
Kebijakan umum
•
Pemberian Izin
•
•
– Membuat kebijakan untuk pemusatan power (timber baron) – Membuat kebijakan untuk keuntungan pihak tertentu (rent-seizing) – Suap-peras untuk pengesahan akuntasi publik perusahaan
Elite Consolidated power
– Suap-peras untuk memperoleh izin (peta, rekomendasi, penetapan) – Petugas mengurus izin untuk kolega/familinya
Pelaksanaan Izin
– Suap-peras untuk mendapatkan pengesahan penebangan, penebangan di luar blok-di lokasi terlarang, jumlah melebihi AAC, perpanjangan izin – Suap-peran untuk kesalahan hitung dan ukur hasil hutan
Perdagangan Hasil Hutan
– Suap-peras untuk kelancaran angkutan kayu – Suap-peran untuk memperoleh sertifikasi hasil hutan
Door to door approach
Jenis Suap dalam Pengelolaan SDA
Pope, J. (Ed). 1996. The TI Source Book. Transparency International, Berlin.
1.
Suap untuk mendapat manfaat langka dan menghindari biaya (misal: mendapat konsesi);
2.
Suap untuk mendapat diskresi yang menguntungkan (misal: menghindari/ memperkecil pembayaran pajak);
3.
Suap untuk layanan cepat atau informasi “di dalam” (misal: mempercepat perizinan);
4.
Suap untuk mencegah kompetitor mendapat untung atau membuat kompetitor menambah biaya (misal: membayar aparat untuk menggeledah pabrik kompetitor).
Situasi Izin dan Kinerjanya 3
c).
a).
Kemenhut, Kemdagri, Pemda TATA KELOLA
PASAR & INSTRUMEN HARGA
12 K/LNKB-KPK
b). BIG, Kemdagri, BPN, ESDM, Kementan, Pemda
KLAIM KAWASAN HUTAN DAN LAHAN
KemKeu, KemIndus, Kemendag
Ketidak-pastian dan konflik kawasan hutan, 2011 PARAMETER (Persentase) PROPORSI LUAS KH TERHADAP PULAU
PENGUKUHAN KH (penetapan KH)
USULAN PERUBAHAN KH DALAM RTRWP
WILAYAH PENGELOLAAN DI TINGKAT TAPAK
KONFLIK PEMANFAATAN /PENGGUNAA N KH
WILAYAH ADAT
DESA DI DALAM, TEPI DAN SEKITAR KH
SUMATERA
54,62
27,28
23,83
70,26
Tinggi
Tinggi
10.771
JAWA
27,94
65,90
0 ,00
92,28
Sedangtinggi
Rendah
2.935
BALI, NUSRA
37,93
26,49
0 ,00
76,74
Rendah
Rendah
3.157
KALIMANTAN
65,84
19,76
22,90
79,81
Tinggi
Tinggi
6.404
SULAWESI
64,29
28,51
13,64
69,78
Sedang
Sedang
5.519
MALUKU
91,68
20,80
33,84
55,94
Sedang
Tinggi
2.010
PAPUA
96,99
5,02
4,68
55,54
Rendah
Tinggi
3.528
PULAU/ REGION-AL
Keberadaan IPPKH di Dalam IUPHHK 338 unit, 233.029 Ha IPPKH PADA IUPHHK )Produksi)
NO
PERSETUJUAN PRINSIP PADA IUPHHK
IZIN KEGIATAN EKSPLORASI PADA IUPHHK
PROVINSI HA
LUAS (HA)
HT
LUAS (HA)
HA
LUAS (HA)
HT
LUAS (HA)
HA
LUAS (HA)
HT
LUAS (HA)
1
Nanggroe Aceh Darussalam
-
-
2
5,59
-
-
1
237,050
-
-
1
52,702
2 3 4 5
Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi
2 -
99,92 -
8 4 19
1.970,21 2.354,15 422,94
1 1
36,64 301,33
2 8 24
16,840 2.244,560 1.669,670
1 -
335,18 -
1 9
8.469,760 .704,980
6
Sumatera Selatan
-
-
2
298,47
1
70,01
-
-
-
-
1
92,410
7
Kep. Bangka Belitung
-
-
3
131,16
-
-
1
22,960
-
-
-
-
8
Lampung
-
-
2
61,47
-
-
1
18,560
-
-
-
-
9
Nusa Tenggara Barat
-
-
1
0,79
-
-
1
0,030
-
-
-
-
10
Kalimantan Barat
-
-
5
2.765,94
-
-
3
2.375,300
-
-
-
-
11
Kalimantan Tengah
16
2.301,09
2
82,17
16
12.051,83
3
212,520
-
-
-
-
12
Kalimantan Timur
16
11.638,94
30
22.085,73
11
7.868,71
22
16.619,940
3
14.687,49
1
592,050
13
Kalimantan Selatan
5
2.778,55
31
23.166,88
3
2.201,50
27
11.824,410
1
1.067,60
2
8.955,890
14
Sulawesi Tengah
-
-
-
1
7,10
-
-
-
-
-
-
15
Sulawesi Selatan
2
-
-
-
-
10
4.601,260
-
-
-
-
16 17
Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat
-
-
-
-
1 -
456,63 -
-
-
4 -
3.537,29 -
-
-
18
Maluku Utara
2
841,06
-
-
1
176,41
-
-
1
3.432,10
-
-
19
Papua Barat
-
-
-
-
19
22.043,42
1
754,190
2
6.157,19
43
34.788,29
109
53.345,50
55
45.213,58
104
40.597,290
12
9.216,85
Jumlah
Sumber: Kemenhut, 2011
7.128,73
-
15
-
19.867,792
Rekapitulasi Izin Usaha Pertambangan STATUS 26 SEPTEMBER 2013
MINERAL STATUS CLEAR AND CLEAN NON CLEAR AND CLEAN SUB TOTAL TOTAL
BATUBARA JUMLAH
EKS
OP
EKS
OP
1.501
2.029
1.457
969
5.956
1.464
1.996
1.083
410
4.953
2.965
4.025
2.540
1.379
6.990
KETERANGAN: EKS: TAHAP EKSPLORASI OP: TAHAP OPERASI PRODUKSI
Sumber: Ditjen Minerba, 2013
3.919
10.909
Kondisi Alokasi Pemanfaatan Hutan, 2013 NO
URAIAN
JUMLAH (UNIT)
LUAS (Ha)
1.
IUPHHK-HA
272
22.801.113
2.
IUPHHK-HTI
252
10.053.520
3.
IUPHHK-RE
8
377.428
Usaha Skala Besar
33.232.061
85 Koperasi, 6.230 Orang
184.121
Alokasi (%)
96,82
4.
IUPHHK-HTR
5.
IUPH-Sylvo Pastura
1
73
6.
IUPHHBK
7
513.317
7.
IUPHHK-HD & HKm
332
394.030
Usaha Skala Kecil
1.091.541
3,18
34.323.602
100
TOTAL Sumber: Kemenhut, 2013
Indeks Tata Kelola Indeks rata-rata agreggat PGA keseluruhan 2,33 (maks 5); Nilai rata-rata Pusat—Propinsi— Kab: 2,78—2,39—1,80; Tinggi-rendah: Kalbar, Kalteng, Sulteng—Musi Rawas, Ketapang, Kapuas Hulu.
1.8
2.00 1.00 Pusat
Propinsi
Kabupaten
5.00 4.00 3.00
Aceh 1.37
Sumsel 1.52
Riau
Papua Barat
1.54
Jambi 1.54
Papua 1.60
Kaltim
1.70
1.77
1.77
1.84
Sulteng
2.00 1.00
1.85
1.88
1.89
1.91
1.91
1.95
1.96
2.01
2.05
2.26
Sumber: UNDP, 2013
2.39
3.00
Kalbar
•
2.78
Kalteng
•
4.00
1.77
•
5.00
Index Tata-Kelola dan Kapasitas Para Pihak Index TK
Pem/Pemda
CSO
Masy
Bisnis
5
4.5
INDEX TATA KELOLA
4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 P U S A T K A L B A R K A L T E N GS U L T E N G K A L T I M P A P U A
Sumber: UNDP, 2013
J A M BPIA P U A B A R A TR I A U
SUMSEL
ACEH
5.00
Peran Isu Tata kelola • Pusat: – Peningkatan kapasitas dapat menaikkan indeks isu Hukum & Kebijakan terkait hak dan kelola tetapi belum diikuti peningkatan kinerjanya; – Isu utama: open akses kawasan hutan dan konflik.
• Propinsi:
Pusat
4.00
3.00
Hk&Kebj Kaps Kinerja
2.00
1.00
ISU PGA 5.00
– Isu utama: rendahnya indeks penegakan hukum dan tingginya biaya transaksi;
Propinsi 4.00
HK & Kebj
3.00
Kaps
Sumber: UNDP, 2013
Kinerja 2.00
1.00 Inf Kelola Kendali Org Hak Redd+ ISU PGA
Perenc
16
Kondisi IUPHHK, 2012 USAHA HUTAN TANAMAN
USAHA HUTAN ALAM
26
48 80 67
139
179 IUPHHK-HT TDK AKTIF
IUPHHK-HA TDK AKTIF
IUPHHK-HT AKTIF TDK BERSERTIFIKAT IUPHHK-HT AKTIF BERSERTIFIKAT
IUPHHK-HA AKTIF TDK BERSERTIFIKAT
TREN HPH AKTIF
34 juta ha open access
(Jumlah HPH Ak f)
250 200
212 188 167
150
143 115
100 50 0 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Sumber: APHI, 2013
2015
2016
2017
2018
2019
JUMLAH PERUSAHAAN HTI YANG DAPAT MENANAM 50% & UP DARI TARGET (2012) : 21%
Perkembangan Perizinan di Kehutanan Luas (HA)
USAHA HA DAN HT 10 TH TERAKHIR 35,000,000
12,000,000
30,000,000
10,000,000
25,000,000
8,000,000
20,000,000
6,000,000
15,000,000
4,000,000
10,000,000
2,000,000
5,000,000 0
0 1
2
3
4
IUPHHK-HA
5
6
7
8
9 10
IUPHHK-HT
USAHA PINJAM PAKAI 5 TH TERAKHIR 160,000 140,000
140452.28
120,000 100,000
98487.36
80,000 60,000 40,000
38413.76
20,000 0
248.21 1
2 Izin Pinjam Pakai
3
4
Persoalan Izin Terkini • Menuju musnahnya IUPHHK-HA dan digantikan IUPHHK-HT dan IUPPKH. Izin yang SFM dihentikan oleh IUPPKH— didukung kebijakan keuangan dan perdagangan; • Ketimpangan alokasi bagi usaha besar dan kecil/masyarakat serta terjadi monopsoni pada hutan tanaman; • Penyebab: tata kelola yang buruk. Tidak pernah ada evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan perizinan dan pelaksanaannya.
4 Analisis CIA dan Identifikasi BT Titik Korupsi dalam Alur Usaha Pemanfaatan Hasil hutan kayu (UPHHK) Bisnis proses dan sendi-sendi tata kelola usaha PHHK
PERIZINAN DAN PENYIAPAN KAWASAN
TATA USAHA PRODUKSI HASIL HUTAN KAYU
EVALUASI & WASDAL
Persiapan permohonan Working Area
IHMB
RKU
Sertifikasi PHPL/LK
Permohonan
Penilaian
RKT
LHP
LHC
Pengalihan Izin&Saham
Sanksi Administratif Tata Batas
RENTE HASIL HUTAN KAYU
TATA USAHA PENGANGKUTAN Sanksi Pidana
Izin
SKSKB
DR-PSDH
Rekonsiliasi PNBP
RENTE IZIN
Indikasi state capture
IIUP
Potensi suap, pemerasan, penjualan pengaruh
Analisis Kebijakan—Berdasarkan variable CIA
Analisis ini diperoleh dari hasil content analysis peraturan yang terkait dan hasil wawancara terhadap pelaksanaan 19 jenis pengaturan yang diuraikan di bawah Variable CIA
Pengertian
Peraturan dan Wawancara
Kemudahan Pelaksanaan
IUPHHK-HA
1. Kecukupan Beban Pelaksanaan
Kewajaran biaya & korbanan dlm melaksanakan peraturan
2. Kecukupan tingkat hukuman
Besaran hukuman dibandingkan dng aturan sejenis
3. Kemungkinan perlakukan memihak
Apakah kelompok tertentu diuntungkan
IUPHHK-HT
IPPKH
Ketepatan Kebijakan 1. Kejelasan peraturan
Kejelasan siapa, apa, dan batasan kewenangan
2. Ketepatan lingkup kewenangan
Ketepatan kewenangan diukur dari norma lokal dan intn’l
3. Keobyektifan standar kebijakan
Kejelasan pelaksanaan diskresi dan penjabarannya oleh pihak 3
SANGAT MASALAH
CUKUP MASALAH
NETRAL
Lanjutan ... Variable CIA
Pengertian
Peraturan dan Wawancara
Transparansi Prosedur Administrasi 1. Akses dan Keterbukaan
Keterbukaan pembuatan & pelaksanaan peraturan
2. Dapat diprediksi
Proses izin dan administrasi pelaksanaan dapat diprediksi
3. Sistem pengendalian korupsi
Ada kontrol khusus pelaks korupsi dan dijalankan scr konsisten
SANGAT MASALAH
CUKUP MASALAH
NETRAL
Temuan-temuan pokok 7
Prosedur penataa-usahaan belum efektif dan efisien, banyak memberikan ruang bagi pemerasan
8
Regulasi tidak memberikan ruang bagi KemenKeu untuk dapat melakukan pengawasan thd PNBP sektor kehutanan
1
Pengaturan mengenai perencanaan hutan—prasyarat pemanfaatan hasil hutan kayu—saling bertentangan
2
Pengaturan penentuan pencadangan/ arahan pemanfaatan memberikan ruang diskresi terlalu luas
3
Tidak adanya ketentuan yang mengatur batas maksimal luas yang dapat diberikan
9
4
Informasi lengkap areal pencadangan izin tidak termasuk dalam standar pelayanan yang harus disediakan
10
5
Pengaturan kewenangan Bup/Gub dalam proses perizinan tidak memiliki standar waktu dan biaya yang jelas
6
Tidak ada batasan waktu terhadap pengambilan keputusan oleh Menteri Kehutanan untuk pemberian izin
Penilaian kinerja perusahaan melalui sertifikasi PHPL dan VLK diberi ruang untuk dibiayai oleh perusahaan Pelanggaran hukum administratif & pidana yang diatur dalam UU 41/1999, UU 18/2013, PP 45/2004, P. P.39/2008 saling tumpang tindih.
Temuan 1. Pengaturan yang mengatur pengukuhan kawasan hutan dalam perencanaan hutan—prasyarat pemanfaatan hasil hutan kayu— saling bertentangan Isyarat UU 41/1999 bahwa pemanfaatan hutan hanya dapat dilaksanakan pasca perencanaan kehutanan dan IUPHHK seharusnya mengikuti ketentuan tsb. Namun, aturan penjelasannya justru mengatur berbeda. Sebagai contoh, penataan batas dalam PP 44/2004 (Ps.20) diwajibkan pada Panitia Tata Batas, namun dalam PP 6/2007 jo. PP 3/2008 (Ps.71) kewajiban tersebut justru dilimpahkan kepada pemegang IUPHHK. Berdasarkan aturan tersebut, pemanfaatan hutan dapat dilakukan sebelum perencanaan hutan terlaksana. Fakta pasca penataan batas, luas areal perizinan cenderung berkurang hingga 50%. Ketidak pastian alokasi perizinan memberikan disinsentif bagi pelaku usaha untuk melaksanakan kewajiban tata batas.
Jumlah UPHHK yang melaksanakan penataan batas Belum proses tata batas
13, 2% 39, 7%
Permohonan
74, 14% Pembahasan pedoman
43, 8% 49, 9% 12, 2%
311, 58%
Pengesahan pedoman
Instruksi Kerja Tata Batas Temugelang
Penataan batas dalam kawasan hutan oleh pemegang izin berjalan lambat. Secara keseluruhan baru 42% IUPHHK yang memproses tata batas. Hal ini berpotensi menyebabkan setengah dari 34,27 juta ha yang dikelola UPHHK-HA dan HTI tidak memiliki kepastian hukum.
Temuan 2. Pengaturan penentuan pencadangan/ arahan pemanfaatan memberikan peluang diskresi terlalu luas UU 41/1999 dan PP 6/2007 jo. PP 3/2008 tidak mengatur tegas batasan dalam arahan pemanfaatan ruang. Sehingga Menteri sebagai pemberi izin dapat mengatur sendiri batasan kriteria peruntukan dalam pemberian izinnya.
Regulasi yang mengatur kriteria lahan untuk IUPHHK-HTI
Peraturan
Alokasi kawasan
KMK SK.10.1/00 Kawasan hutan produksi yang sudah tidak produktif potensi di bawah 5 meter kubik per hektar. Apabila ada hutan alam maka dilakukan enclaive dan diperlakukan layaknya blok konservasi. KMK SK.101/04 Apabila ada hutan alam maka hasil hutan kayu dapat dimanfaatkan dengan silvikultur THPB. PMK P.61/06 Apabila ada hutan alam maka hasil hutan kayu dapat dimanfaatkan dengan silvikultur yang berlaku bagi hutan alam. PMK P.19/07 Kawasan hutan produksi yang tidak produktif. PMK P.3/08 Apabila ada hutan alam bekas tebangan maka hasil hutan kayu dapat dimanfaatkan dengan silvikultur yang berlaku bagi hutan alam maupun dengan silvikultur THPB. PMK P.50/10 Diutamakan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif atau ditunjuk oleh Menteri. Apabila sebagian besar merupakan hutan alam yang merupakan logged over area(bekas tebangan) maka tetap dijadikan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri.
Faktanya tahun 2000-2010 telah terjadi 5 kali perubahan kriteria pemanfaatan ruang untuk HTI. Sehingga perbuatan melawan hukum yang tadinya dikenakan kepada Azmun, saat ini bukan lagi PMH.
Data produksi kayu Izin Pemanfaatan Kayu dari HTI tidak dapat diperkirakan, karena Kementerian Kehutanan mencampur IPK penyiapan HTI dengan IPK untuk keperluan konversi hutan dan penggunaan kawasan hutan.
Temuan 3. Tidak adanya ketentuan yang mengatur batas maksimal luas yang dapat diberikan Areal UPHHK terluas dan terkecil
Nama Perusahaan
Berbeda dengan pemanfaatan ruang sektor lainnya, meskipun Pasal 2 UU 41/1999 menyebutkan azas keadilan sebagai prinsip, ketentuan berikutnya baik itu dalam PP 6/2007 jo. 3/2008 maupun Permenhut P.50/2010 jo. P.26/2012 tidak mengatur batasan luasan dalam pemberian izin. Ketiadaan pembatasan luas maksimal izin menyebabkan diskresi dan perlakuan memihak dalam luasan pemberian izin.
Berakhir
Luas (ha)
Wapoga Mutiara Timber Unit II, PT
2056
169,170
Wapoga Mutiara Timber Unit III, PT
2017
407,350
Hanurata Coy Ltd, PT
2014
417,570
Bina Ovivipari Semesta, PT (Kalbar)
2021
10,100
Karya Jaya Parakawan, PT (Kaltim)
2055
19,440
Maluku Sentosa, PT (Maluku)
2021
12,600
Sumber: Ditjen BUK, 2013
Dalam wawancara mendalam ditemukan bahwa untuk memperluas izin bisa dilakukan dengan membayar sebesar Rp. 250 juta rupiah.
Temuan 5. Pengaturan kewenangan Bup/Gub dalam proses perizinan UPHHK tidak memiliki standar waktu dan biaya yang jelas
Dalam PP 38/2007 dan PP 6/2007 jo. PP 3/2008 kewenangan daerah Gubernur dan Bupati ditentukan sebagai pemberi pertimbangan teknis. Kewenangan ini dijabarkan kembali dalam P.50/2010 dan P.26/2012. Namun dalam PP 6/2007 jo. PP 3/2008, terutama, tidak diatur batasan waktu dan konsekuensi hukum dalam hal pejabat pemberi pertimbangan tersebut tidak memberikan perteknya. Dalam berbagai kasus, ketidak jelasan batasan waktu dan biaya menjadi bottleneck dalam perizinan UPHHK (maupun perpanjangannya).
Untuk setiap rekom dan pertek yang diterbitkan pemohon harus mengeluarkan biaya sekitar 50 ribu – 100 ribu per hektar. Sehingga untuk UPHHK seluas 100 ribu ha, maka pemohon harus mengeluarkan 10 milyar rupiah. Untuk perpanjangan izin, pelaku usaha harus mengeluarkan 10-15 milyar kepada Bupati dan Gubernur.
Temuan 6. Tidak ada batasan waktu terhadap pengambilan keputusan oleh Menteri Kehutanan untuk pemberian izin dan pengalihan saham Permenhut P.50/2010 jo. P.26/2012 mengatur detail prosedur dan mekanisme pemberian izin, mulai dari penilaian hingga ke urusan internal dalam penyiapan materi keputusan perizinan. Namun demikian, beberapa titik yang krusial, seperti pengambilan keputusan oleh Menteri, P.50/2010 jo. P.26/2012 tersebut justru tidak standar waktunya.
PENYIAPAN MATERI KEPUTUSAN IZIN
PENILAIAN
Permohonan
Pemeriksaan Administratif
Pembentukan Tim Penilai
15 + 10 hari
Penerbitan SP1 (Amdal)
Penelaahan
Penerbitan SP2 (WA)
Penerbitan Izin
15 hari
15 hari
7 hari
Penyusunan WA Ada standar waktu
Penilaian Teknis
Dalam praktiknya ketidak pastian batasan waktu pengambilan keputusan dimanfaatkan ‘extra legal’ untuk menjual pengaruh.
Penyiapan konsep izin
Tidak ada standar waktu
Wawancara menemukan proses jual beli pengaruh untuk pengalihan saham dihargai hingga 6 milyar rupiah.
Temuan 7. Prosedur penataa-usahaan belum efektif dan efisien, banyak memberikan peluang bagi pemerasan
Rata-rata HPH per tahun dikunjungi sebanyak 172 orang dengan maksimum pemeriksaan dilakukan antara 98-270 hari per tahun.
Maks
6.4
6.7
17
18
21
Rataan
1
4
2.85
Alur TUK dalam PHHK, meliputi berbagai dokumen, mulai dari perencanaan (IHMB, RKU, LHC, RKT), produksi (LHP, LMKB), dan pengangkutan (SKSKB) diatur dalam berbagai regulasi termasuk P 33/2009 jo P 5/2011, P 56/2009, P 24/11 menyebabkan birokratisasi berlebihan, sehingga lebih banyak menjadi moral hazzard ketimbang menyeimbangkan informasi. Sebagian besar pengesahan dokumen termasuk IHMB, RKU, RKT, dan LHP tidak memiliki batasan waktu sehingga menjadi bottleneck dan menjadi instrumen pemerasan.
KEMHUT/UPT
PEMPROV
PEMKAB/KOT LEMBAGA NON KEHUTANAN
Frekuensi kunjungan pemeriksaan dalam setahun
Pemeriksaan dokumen angkut (SKSKB, FAKO, FAKB) yang melewati pos aparat minimal menyetor 50-500 ribu, dengan rata-rata 20-30 pos aparat, atau maksimal 15 juta per kali. ”Biaya pengawasan HPH per tahun” = 172 orang x 270 hari x 700 ribu rupiah = Rp. 32,5 milyar per tahun.
Temuan 8. Regulasi tidak memberikan ruang bagi KemenKeu untuk dapat melakukan pengawasan thd PNBP sektor kehutanan
Pencatatan PSDH antara Kemkeu dan Kemenhut
Saat ini pemungutan PNBP diatur dalam dua regulasi yaitu KMK 109/2004 dan PMH... Berbeda dengan KMK 109/2004, PMH tidak mensyaratkan adanya dokumen tembusan kepada Kemenkeu: a. SPP PSDH/DR b. Laporan realisasi oleh bendaharawan penerima/penyetor Perbedaan aturan tersebut memberikan ruang bagi terjadinya asimetri informasi antara kedua kementerian. Akibatnya, pencatatan penerimaan negara antara Kementerian Kehutanan dan Kementerian Keuangan tidak pernah sama dari tahun ketahun.
Kemhut 1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
868856
797799
Kemkeu 833 674
618
669
152 1.217 2011
2010
2009
2008
2007
Dalam kurun waktu antara 2007-2011 terjadi selisih pencatatan penerimaan negara berupa PSDH sebesar 984 milyar rupiah antara Kemenhut dengan Kemenkeu.
Temuan 10. Pelanggaran hukum administratif & pidana yang diatur dalam UU 41/1999, UU 18/2013, PP 45/2004, P. P.39/2008 saling tumpang tindih
Rumusan pelanggaran hukum pidana dan administratif dalam UU 41/1999 jo. UU 18/2013, PP 45/2004 dan P.39/2008 saling tumpang tindih. Sebagai contoh, ketika dokumen angkut ‘mati’, maka pelaku usaha dapat dikenakan pidana Pasal 12 huruf huruf e. UU 18/2013 jo. PP 45/2004, atau Pasal 14 ayat (1) Permenhut P.39/2008. Tumpang tindih rumusan pelanggaran hukum tersebut memberikan celah dan insentif untuk pemerasan oleh oknum aparat (perverse incentives).
Ketika dokumen angkut ‘mati’ di pelabuhan pelaku usaha ‘membayar’ aparat sebesar 500 ribu-3 juta rupiah. Besaran setoran tersebut mempengaruhi seberapa lama kayu tertahan.
Temuan lain yang perlu didalami
Standar pelayanan perizinan, tidak meliputi beberapa informasi penting. Dengan buruknya transparansi, terjadi jual beli data dan informasi perpetaan untuk kepentingan perizinan. Pelaku usaha membayar 25 juta per peta informasi pencadangan.
Penilaian kinerja PHPL dan sertifikasi LK, justru mendorong insentif buruk pemerasan. Belum lagi soal beban biaya penilaian tersebut justru diberikan kepada pelaku usaha yang bisa mencapai 500-700 juta rupiah.
Persoalan benturan kepentingan (conflict of interest) meskipun sudah diatur dalam Permenhut P.27/2010 namun pada praktiknya konflik tersebut masih terjadi. Ditemukan ada Dirjen yang menjabat sebagai salah satu pengurus di UPHHK dan menerima transfer dana dalam jumlah besar secara periodik.
Penyebab Suap/Pemerasan & State Capture Regulasi yang ada saling bertentangan
Regulasi yang ada memberikan diskresi yang luas
Regulasi pelanggaran hukum tumpang tindih
Suap/ pemerasan / trading influence State capture
Beban dan biaya pelaksanaan tata kelola dikeluarkan oleh swasta
Konflik kepentingan
“monitoring” dan “pembinaan” tidak jelas prosedurnya sehingga mudah diselewengkan untuk menjadi ajang pemerasan
Standar layanan yang tidak jelas Keberadaan pihak ketiga Asimetri informasi
Afiliasi dengan pejabat berwenang
Pengaruh kebijakan terhadap biaya transaksi Analisis ini diperoleh dari: a/. hasil identifikasi peraturan yang terkait dan wawancara, b/. FGD dengan pelaku usaha tgl 26 Oktober 2013 yang difasilitasi UNDP PELAKSANAAN KEBIJAKAN KEHUTANAN
-5
-4
PENGARUH TERHADAP BIAYA TRANSAKSI -3 -2 -1 0 +1 +2 +3
+4
+5
PELAKSANAAN PERIZINAN Pencadangan kawasan hutan (SK 6273/2011)
Biaya unofficial sd 25jt untuk mendapat informasi/peta
Analisis makro-mikro (PerDirjen BUK No 5/11)
Biaya negosiasi sd 200 jt agar dpt luasan yang dapat ditanam
Pengurusan izin (P 50/10, 26/12)— rekomendasi Gub/Bup.
Rp. 50 sd 100 ribu/ha
Pelayanan informasi perizinan secara online (P 13/2012) Pengalihan Saham ( PP 6/07 jo PP 3/08)
1
1
1
3
2
2
1
2
1
1
1
1
1
3
3
1
2
2
2
Rp. 2 sd 6 milyard
PERENCANAAN HUTAN Pengesahan rencana kerja usaha (RKU) (P 56/2009, P 24/11)
Revisi 50-100 juta & Unofficial sd 200 jt
1
1
1
Keterangan: Angka menunjukkan jumlah informan yang menyatakan pendapatnya
Lanjutan ... PELAKSANAAN KEBIJAKAN KEHUTANAN
-5
-4
PENGARUH TERHADAP BIAYA TRANSAKSI -3 -2 -1 0 +1 +2 +3
Pengesahan rencana kerja tahunan (RKT) (P 56/2009, 24/11)— menetapkan jatah produksi Penataan batas areal izin (P 19/11, P 43/13)
Tidak ada standar biaya dan waktu kerja. Biaya tambahan sd 300 jt.
1
IHMB (P 33/2009 jo P 5/2011)
Jasa konsultan Rp. 50 ribu/ha dan Unofficial u/ pengesahan sd 1 M
2
Biaya monitoring pra penyusunan RKT, bisa 140 hr kerja x 8 orang
1
+4
+5
3
2
2
1
1 1
PRODUKSI HASIL HUTAN Pemasukan dan penggunaan alat (P 53/2009) Kerjasama operasi dalam hutan tanaman (P 20/05, P 29/12) Pemenuhan tenaga teknis (GANIS) kehutanan (P 58/2009). Izin pembuatan dan penggunaan koridor (P 9/2010)
Unofficial u/ alat & koord dng aparat lain sd 50 jt Biaya unofficial sd 100 jt
5
1
1
1
1
1
2
Biaya pelatihan 30-40 jt/orang Unofficial , kasus 15 juta
1
1
1
PENATA-USAHAAN HASIL HUTAN Double tax dng Sistem informasi penatausahaan beragam hasil hutan dan penatausahaan DR- pungutan 2 2 PSDH (P 8/2009) Keterangan: Angka menunjukkan jumlah informan yang menyatakan pendapatnya
1 3
2
1
1
1
3
Lanjutan ... PELAKSANAAN KEBIJAKAN KEHUTANAN
Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari (HA, HT) (P 38/09, P 68/11, P45/12, P42/13) Verifikasi Legalitas Kayu (P 38/09, P 68/11, P45/12, P42/13)
-5
-4
PENGARUH TERHADAP BIAYA TRANSAKSI -3 -2 -1 0 +1 +2 +3
1 Konsultan ±500 jt, 50-500 rb/pos (20-30 pos), Monev 100-150 x SPT ke pershn
1
1
2
3
2
1
1
3
+4
+5
1
TERKAIT KAWASAN HUTAN Izin Pemanfaatan Kayu (P 14/11, P 20/13) Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (P 18/2011, P 14/2013) Tukar menukar kawasan hutan (P 32/2010, P 41/2012)
Biaya tim teknis lapangannego; tarif/luas-jenis kayu Biaya unofficial tergantung luas, sd 15 M
2
Biaya unofficial untuk mendapat izin
1
1
3 1 1
1
KEBIJAKAN LAIN Monitoring dan pengawasan rutin
Membayar biaya perjalanan dan akomodasi
1
Perlindungan hutan (termasuk Rp 20-30 ribu /pasukan; Puluhan juta setoran rutin apabila terjadi konflik sosial) Keterangan: Angka menunjukkan jumlah informan yang menyatakan pendapatnya
4 1
3
Penyebab Adanya Biaya Transaksi Diperoleh dari himpunan hasil wawancara
Penyebab Langsung:
• Peraturan, izin dan pengesahan. – – – – –
Rekomendasi Gubernur/Bupati & pengesahan2 oleh berbagai pejabat Multi-interpretasi peraturan Lama waktu tidak dipenuhi dan tidak pasti Tidak dapat dilaksanakan tetapi harus dilaporkan Penetapan jumlah produksi
• Hubungan sosial terkait pengamanan usaha dan dan lainnya
Penyebab Tidak Langsung:
– Kualitas birokrasi. – Sistem sangsi/hukuman. – Kontrol institusi : efektivitas supervisi, kebebasan press/media; efektifitas audit. – Hilangnya transparansi. – Kurangnya contoh dari pimpinan.
5 Penutup : Pengendalian BT REKOMENDASI/PENETAPAN/ PENGESAHAN PERSETUJUAN
Rekomendasi izin, Penetapan luas izin Pengesahan RKU-RKT Alih saham Kerjasama operasi Izin Pemanfaatan Kayu
PENGENDALIAN/ KONTROL
KELENGKAPAN PERMOHONAN IZIN
Cek peralatan kerja Cek inventarisasi Cek produksi Pengamanan hutan
Informasi dan peta
PELAKSANAAN SERTIFIKASI-VERIFIKASI
PELAKSANAAN KEGIATAN
Tata batas izin IHMB Pembuatan koridor
Isi Peraturan PerUUan Etika Hub. Transaksional Institusi Ekstra Legal Reformasi Birokrasi
Letak Biaya Transaksi
Pengendalian Biaya Transaksi
Pencegahan dan Peemberantasan Korupsi/PPK Kemenhut Pelaksanaan P 2/2011, P 7/2011 dan P 13/13 ttg Pedoman Penanganan Pengaduan Internal (wistleblower) & Eksternal (masy) atas Tindak Pidana Korupsi di lingkungan Kemenhut, Diklat Budaya Anti Korupsi.
Terimakasih
Referensi terkait Korupsi Kehutanan 1. Transparancy International. 2010. Analysing Corruption in the Forestry Sector: A Manual for risk assesment of corrupt practices and risk management through monitoring for anti corruption instrument. Berlin. Germany. 2. Callister., D.J. 1999. CORRUPT AND ILLEGAL ACTIVITIES IN THE FOREST SECTOR: Current Understandings and Implications for the World Bank Background Paper for the 2002 Forest Strategy. 3. Callister, D.J. 1992. Illegal Tropical Timber Trade: Asia-Pacific. TRAFFIC International, Cambridge. 4. Contreras-Hermosilla, A. 1997. Country sector planning, Proceedings of the XI World Forestry Congress, Volume 5:279–284. 5. Krishnaswamy, A. & Hanson, A. 1999. Summary Report: World Commission on Forests and Sustainable Development. World Commission on Forests & Sustainable Development, Winnipeg. 6. de Bohan, V., Doggart, N., Ryle, J., Trent, S. & Williams, J. 1996. Corporate Power, Corruption and the Destruction of the World’s Forests. Environmental Investigation Agency, London. 7. Human Rights Watch , 2009. “Wild Money”The Human Rights Consequences of Illegal Logging and Corruption in Indonesia’s Forestry Sector. Human Rights Watch. United States of America.