FORUM ANTIKORUPSI INDONESIA Ke-5 “Bersama Lawan Korupsi!”
CELAH KORUPSI DI SEKTOR PELABUHAN oleh: Devi Darmawan dan Faudzan Farhana Pusat Penelitian Politik, LIPI Jakarta, 29 November 2016
PENDAHULUAN • Selama era reformasi, fokus penindakan KPK masih bertumpu pada aktor poli7k atau aktor yang terlibat dalam kontestasi poli7k • Lingkup pengawasan KPK pun cenderung berpusat pada lembaga penyelenggara negara. • Padahal, potensi Prak7k korupsi melipu7 se7ap lini dan sektor strategis yang saat ini dikelola juga oleh pihak swasta (korporasi), termasuk didalamnya sektor pelabuhan.
Kondisi Pengawasan di Sektor Pelabuhan • Selama ini aspek pengawasan di sektor pelabuhan lebih meni7kberatkan pada 7ndak pidana selain korupsi. • Ada kecenderungan untuk melihat sektor pelabuhan dari segi ancaman keamanan territorial laut dan nasional sehingga kajian dan fokus pengawasan pemerintah dan instansi lainnya lebih kepada pencegahan dan penindakan potensi kejahatan transnasional termasuk penyelundupan barang serta manusia. • Fokus pengawasan pun lebih fokus pada kejahatan yang bersinggungan dengan kegiatan kepelabuhanan, bukan pada pengelolaan dan pengusahaan kepelabuhanan.
Pelabuhan “Nyaris Luput” dari Pengawasan KPK • Sektor pelabuhan baru mulai mendapat perha7an KPK sekurang-kurangnya sejak tahun 2013, berkenaan dengan kasus pembuatan konsesi oleh Direktur Pelindo II, temuan KPK tentang fakta pungutan liar yang terjadi di kapabeanan sektor pelabuhan, dan tata kelola bongkar muat barang yang menyita waktu rela7f panjang (dwelling )me). • Padahal, Prak7k korupsi yang lebih potensial justru terjadi pada pengelolaan kegiatan kepelabuhanan dan pengusahaan di sektor pelabuhan.
Pengelolaan Sektor Pelabuhan dan Unsur Tindak Pidana Korupsi • Unsur pokok dari UU Tindak Pidana Korupsi adalah unsur “merugikan keuangan atau perekonomian negara”. • UU 17/2008=>Kegiatan Kepelabuhanan ditujukan untuk mendorong pertumbuhan perekonomian negara. => Pelabuhan termasuk dalam sektor riil yang menopang ak7vitas perekonomian negara. Dalam konteks inipun, pembangunan dan pengembangan pelabuhan didanai juga oleh APBN. => Pengelola Pelabuhan dapat dimintai pertanggungjawaban atas dasar ini. • Secara fungsional, sektor pelabuhan berperan sebagai ujung tombak pendistribusian logis7k 7ap daerah. Prak7k Korupsi di sektor pelabuhan 7dak hanya merugikan perekonomian negara tapi juga menghambat terpenuhinya kebutuhan pasokan logis7k di beberapa daerah khususnya daerah di luar Jawa dan Sumatera.
“Prakondisi Hukum” Pengelolaan Kepelabuhanan dan Pengusahaan di Pelabuhan • Secara norma7f, pranata hukum yang mengatur tentang pengelolaan kepelabuhanan dan pengusahaan pelabuhan dapat ditemukan dalam UU No. 21/1992 yang kemudian diubah oleh UU No. 17/2008 tentang Pelayaran. • Berdasarkan UU No. 21/1992, pengelola pelabuhan dikelola oleh badan usaha yang ditunjuk secara khusus => Pelindo I-IV (Pasal 26 ayat 1 UU No. 21/1992 dan PP 56-59/1991) • Namun, dalam perkembangannya, peran pengelola pelabuhan Odak lagi menjadi “kewenangan ekslusif” Pelindo I-IV. Sebab, badan usaha lainnya dapat menjadi penyelenggara kegiatan kepelabuhanan atas dasar konsesi yang dilakukan dengan otoritas pelabuhan (Pasal 91 ayat 1 dan Pasal 92 UU No. 17/2008)
Kecenderungan Prak?k Pengelolaan Sektor Pelabuhan • Korporasi sebagai badan usaha swasta lain memiliki posisi yang sama dengan Pelindo (BUMN) dalam memperoleh hak pengelolaan dan pengusahaan di sektor pelabuhan. • Kecenderungan Prak7knya melahirkan banyak Badan Usaha lain yang ikut terlibat sebagai pengelola sektor pelabuhan dimana satu dan lainnya saling bersaing dan cenderung Odak saling mendukung kegiatan di sektor kepelabuhanan, sehingga berdampak pada (in)efekOfitas pengelolaan di sektor pelabuhan. Terhambatnya arus bongkar muat dan rumitnya administrasi perijinan menjadi hal yang sulit dihindari.
Kecenderungan Prak?k Pengelolaan Sektor Pelabuhan (Lanjutan) • Secara norma7f, perwakilan pemerintah yang diberikan kewenangan untuk membuat suatu kesepakatan kerja sama atau konsesi dengan suatu korporasi adalah otoritas pelabuhan selaku UPT dibawah Ditjen Hubla, Kementrian Perhubungan. • Namun, dalam prak7knya, otoritas pelabuhan Odak dapat berOndak sebagai pihak yang membuat kesepakatan dengan pihak korporasi karena peran otoritas pelabuhan hanyalah untuk mengeksekusi perintah Ditjen Hubla untuk mengeluarkan ijin konsesi pada korporasi tertentu.
Kecenderungan Prak?k Pengelolaan Sektor Pelabuhan (Lanjutan) • UU yang baru tetap mengakui Pelindo sebagai BUMN yang diberikan hak pengusahaan di pelabuhan. Akan tetapi, dalam praktiknya pemerintah malah menegasikan status Pelindo selaku badan usaha pelabuhan dengan argumentasi bahwa Pelindo harus melakukan penyesuaian sesuai ketentuan peralihan UU 17/2008. • Padahal dalam ketentuan tersebut, pengurangan kewenangan Pelindo sebagai regulator saja yang dihapuskan, posisi Pelindo sebagai operator pengusahaan di pelabuhan masih tetap berlaku secara hukum. • Penegasian status Pelindo sebagai badan usaha pelabuhan dilanjutkan dengan pemberlakuan kewajiban yang sama bagi Pelindo dan korporasi lainnya.
Kecenderungan Prak?k Pengelolaan Sektor Pelabuhan (Lanjutan) • Dalam konteks pengusahaan di pelabuhan, karena berstatus sebagai BUMN, Pelindo diharuskan untuk memenuhi target pendapatan dalam jumlah tertentu. • Untuk mencapai target, Ditjen Hubla kerap menempatkan Pelindo bukan selaku badan usaha yang menyelenggarakan pengusahaan kegiatan kepelabuhanan melainkan selaku pihak yang membuat “konsesi turunan” dengan badan usaha lain untuk menggandakan keuntungan yang dapat diperoleh berdasarkan perjanjian kerjasama untuk menyediakan jenis layanan atau jasa tertentu di pelabuhan.
KESIMPULAN • Bila dikaitkan dengan fungsi pelabuhan, ketidakberesan pengelolaan pelabuhan akan mengakibatkan potensi korupsi membesar dan juga menghambat pendistribusian logistik di tiap-tiap daearah di Indonesia. • Realitas bahwa pelabuhan memenuhi syarat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari lingkup pemberantasan korupsi dimana aktor didalamnya juga dapat dimintai pertanggungjawaban membuat sektor pelabuhan menjadi penting untuk masuk dalam ruang lingkup KPK dalam menjalankan fungsinya.
KESIMPULAN (Lanjutan) • Bila dilihat dari kecenderungan praktik penyelenggaraan pengusahaan kegiatan kepelabuhanan, dapat dipetakan sejumlah aktor yang semestinya dikawal oleh KPK untuk menutup celah dilakukannya tindak pidana korupsi. • Adapun sejumlah aktor yang berpotensi melakukan tindak pidana korupsi tidak hanya berada di level pejabat pemerintahan seperti kementerian perhubungan atau Ditjen Hubla, otoritas penyelenggara pelabuhan, tetapi juga pihak badan usaha pelabuhan yang menjadi operator dalam menyediakan jasa dan layanan di pelabuhan.
REKOMENDASI Ø Perbaikan regulasi mesti dilakukan untuk memperjelas aturan hukum tentang penyelenggaraan pengusahaan pelabuhan. Ø Perbaikan regulasi juga mesti mengatur tentang pengawasan di semua lini yang berkenaan dengan pengusahaan pelabuhan, termasuk diantaranya, kementerian perhubungan, Dirjen Hubungan Laut, Otoritas Pelabuhan, BUMN, dan Badan Usaha Pelabuhan lainnya.