LAMPIRAN A: SPESIFIKASI TEKNIS SEKTOR PELABUHAN
ASPEK AKSES TRANSPORTASI DARAT A. Analisis berbasis jaringan (network-based) Analisis akses transportasi darat dengan menggunakan basis jaringan umumnya dilakukan dengan menggunakan metode Pemodelan Transportasi Empat Tahap. 1. Umum Pemodelan transportasi jalan digunakan untuk memprediksi kondisi jaringan jalan di wilayah studi baik dengan dan tanpa adanya pembangunan pelabuhan baru di pantai utara Provinsi Jawa Barat. Indikator lalu lintas yang diprediksi dari model transportasi jalan seperti arus lalu lintas ruas, kecepatan ruas, panjang perjalanan, dan waktu perjalanan, akan digunakan sebagai basis untuk analisis lainnya seperti analisis finansial dan ekonomi. Dengan kata lain, proses pemodelan transportasi dalam studi ini ditujukan untuk membentuk model untuk mengevaluasi kinerja pembangunan pelabuhan baru di pantai utara Provinsi Jawa Barat dalam konteks biaya vs manfaat selama waktu analisis. Untuk keperluan tersebut maka detail dan luas wilayah studi harus dijaga seoptimal mungkin agar mampu memberikan gambaran prediksi yang layak. Proses logis dalam melakukan pemodelan transportasi secara umum dilakukan sesuai dengan bagan alir yang disampaikan pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan bahwa dalam proses studi setidaknya terdapat 3 (tiga) jenis data yang dibutuhkan yakni data untuk pembentukan model atau disebut dengan data tahun dasar (base year data), data untuk validasi (validation data), dan data untuk simulasi model yang diprediksi pada beberapa tahun tinjauan (predicted data). Base year data dan validation data dapat diperoleh dari survey (sekunder ataupun primer), sedangkan predicted data hanya dapat diperoleh dengan meramalkannya dengan dasar data yang ada saat ini dan pengaruh faktor-faktor perubahan di masa datang.
A-1
Base year data
Spesifikasi model
Predicted data
Variabel model
Simulasi
Out put model
Kalibrasi model
“Best fit” model
Analisis
Struktur model
Validasi Model
(ekonomi, finansial, lingkungan, dll)
Validation data
Gambar 1 Diagram Alir Pengembangan Model Transportasi
2. Konsep Pemodelan Transportasi Empat Tahap Model perencanaan transportasi empat tahap merupakan pilihan konsep pemodelan yang paling sering digunakan dalam berbagai studi transportasi di Indonesia, karena selain kemudahannya juga kemampuannya dalam menggambarkan berbagai interaksi antara sistem transportasi dan tata ruang di wilayah studi. Secara umum model ini merupakan gabungan dari beberapa seri submodel yang masingmasing harus dilakukan secara berurutan, yaitu Model Bangkitan/Tarikan Perjalanan, Model Sebaran Pergerakan, Model Pemilihan Moda, dan Model Pemilihan Rute. Struktur umum konsep model perencanaan transportasi empat tahap ini disajikan pada Gambar 2.
A-2
Data jaringan transportasi
Model bangkitan perjalanan
Data sistem zona wilayah studi
Karakteristik populasi
Biaya perjalanan antar zona (aksesibilitas)
Produksi perjalanan (trip ends) per zona
dan tata ruang zona
Model sebaran perjalanan
MAT antar zona Karakteristik pelaku perjalanan
Karakteristik moda Model pemilihan moda perjalanan
MAT setiap moda Karakteristik rute/ruas Model pemilihan rute perjalanan
Arus lalu lintas
Analisis lanjutan
Gambar 2 Bagan Alir Pemodelan Transportasi 4 Tahap
Pendekatan model dimulai dengan menetapkan sistem zona dan jaringan jalan, termasuk di dalamnya adalah karakteristik populasi yang ada di setiap zona. Dengan menggunakan informasi dari data tersebut kemudian dilakukan estimasi total perjalanan yang dibangkitkan dan/ atau yang ditarik oleh suatu zona tertentu (trip ends) atau disebut dengan proses bangkitan/tarikan perjalanan (trip generation/ attraction). Tahap ini akan menghasilkan persamaan trip generation/ attraction yang menghubungkan jumlah perjalanan dengan karakteristik populasi serta pola dan intensitas tata guna lahan di zona yang bersangkutan. Selanjutnya diprediksi dari/ kemana tujuan perjalanan yang dibangkitkan atau yang ditarik oleh suatu zona tertentu atau disebut tahap distribusi perjalanan (trip distribution). Dalam tahap ini akan dihasilkan matriks asal-tujuan (MAT). Pada tahap pemilihan moda (modal split) MAT tersebut kemudian dialokasikan sesuai dengan moda transportasi yang digunakan para pelaku perjalanan untuk mencapai tujuan perjalanannya. Dalam tahap ini dihasilkan MAT per moda. Terakhir, pada tahap pembebanan (trip assignment) MAT didistribusikan ke ruas-ruas jalan yang tersedia di dalam jaringan jalan sesuai dengan kinerja rute yang ada. Tahap ini A-3
menghasilkan estimasi arus lalu lintas di setiap ruas jalan yang akan menjadi dasar dalam melakukan analisis kinerja. Dengan melihat proses di atas maka secara garis besar proses analisis transportasi jalan terdiri atas beberapa kegiatan utama, yaitu: penetapan wilayah studi, analisis sistem jaringan, analisis kebutuhan pergerakan, dan analisis sistem pergerakan. Berikut adalah halhal yang perlu dilakukan dalam setiap tahap pemodelan transportasi yang dilakukan. a. Penentuan batas-batas wilayah studi dan sistem zona
Batas wilayah studi dapat berupa batas administratif, batas alam (sungai, gunung, dan lain sebagainya) atau batas lainnya (seperti jalan, rel kereta api, dan lain-lain). Wilayah studi dikelompokkan ke dalam zona. Semakin banyak zona semakin banyak analisis yang diperlukan. Pembagian zona dapat didasarkan kepada perwilayahan administratif, kondisi alam (dibatasi oleh sungai, gunung, dan sebagainya), atau berdasarkan tata guna lahan. Sistem zona ini digunakan sebagai dasar pergerakan.
b. Analisis sistem jaringan Data jaringan transportasi jalan eksisting disusun sesuai format yang diperlukan. Adapun penyusunan database jaringan jalan tersebut dilakukan untuk 2 (dua) kondisi yaitu: Kondisi tanpa pembangunan pelabuhan baru. Kondisi dengan pembangunan pelabuhan baru. c. Analisis Kebutuhan Pergerakan
Bangkitan/tarikan masing-masing zona - Bangkitan/tarikan dasar diperoleh dengan menjumlahkan seluruh baris dan kolom pada MAT dasar. - MAT dasar menggunakan Asal Tujuan Transportasi Nasional (ATTN) 2011. Model bangkitan/tarikan - Pembentukan model bangkitan/ tarikan didekati dengan menggunakan parameter sosio-ekonomi dari masing-masing zona. Pemodelan dilakukan dengan menggunakan metode multilinear regression. - Parameter sosio-ekonomi yang dipergunakan adalah jumlah penduduk, PDRB, dan juga parameter lain yang berkorelasi dengan potensi alam (seperti luas lahan produksi, dan lain-lain). - Tahap ini menghasilkan model bangkitan/ tarikan berupa persamaan matematis, dengan parameter sosio-ekonomi sebagai variabel bebas dan bangkitan/ tarikan sebagai variabel tak bebas.
d. Analisis Sistem Pergerakan
Proyeksi Parameter Sosio-Ekonomi Terdapat dua metoda proyeksi variabel sosio-ekonomi, yaitu: -
Proyeksi berdasarkan kecenderungan (trend), yaitu berdasarkan kecenderungan historis perkembangan parameter sosio-ekonomi. Dengan anggapan bahwa tingkat pertumbuhan pada masa yang akan datang sama dengan masa yang lalu, maka dapat diketahui besarnya parameter sosio-ekonomi pada masa yang akan datang dengan mengalikan besarnya pada saat sekarang dengan tingkat pertumbuhannya.
A-4
Proyeksi berdasarkan pola yang ingin dituju, yaitu berdasarkan target pembangunan yang ingin dicapai.
Proyeksi Bangkitan/ tarikan Proyeksi bangkitan/ tarikan masing-masing zona pada masa yang akan datang diperoleh dengan menggunakan model bangkitan/ tarikan yang telah diperoleh dengan input parameter sosio ekonomi hasil proyeksi.
e. Pembentukan Matriks Asal Tujuan di Tahun Dasar Pemodelan distribusi perjalanan dilakukan dengan metode Estimasi Matriks Entropy Maksimum (EMEM) dan model pembebanan dilakukan dengan model equilibrium jaringan pada software SATURN. Software SATURN merupakan program simulasi jaringan yang dapat digunakan untuk melakukan estimasi OD matriks (atau sering disebut sebagai MAT = Matriks Asal Tujuan) dan arus lalu lintas. Bagan alir estimasi matriks dalam SATURN disampaikan pada Gambar 3. MAT Dasar yang diperoleh dari ATTN 2011 diupdate dengan menggunakan data traffic counting yang dilakukan pada tahun eksising (2015) sehingga dengan menggunakan metodologi ini akan diperoleh MAT Eksisting pada Tahun 2015.
Gambar 3 Metodologi Updating MAT dengan Metode EMEM
f.
Pembebanan Lalu lintas Jalan Diagram alir pembebanan lalu lintas dilakukan dengan membebankan MAT hasil model EMEM ke dalam jaringan jalan sehingga diperoleh data arus lalu lintas, kecepatan, waktu perjalanan, dan panjang perjalanan dalam sistem. Pembebanan lalu lintas ini dilakukan untuk selama masa tahun analisis.
A-5
Gambar 4 Metodologi Pemilihan Rute
3. Ukuran Kinerja Lalu Lintas Dalam hal ini indikator kinerja sebagai dampak dioperasikannya jalan tol bagi jaringan jalan di wilayah studi diwakili oleh beberapa parameter yang diperbandingkan antara kondisi tanpa (without) dan dengan (with). Adapun indikator lalu lintas yang digunakan adalah:
Waktu perjalanan sistem, yang menunjukkan total konsumsi waktu perjalanan yang digunakan oleh seluruh pengguna jalan di wilayah studi dari setiap asal tujuan. Jarak atau Panjang perjalanan sistem, yang menunjukkan total jarak atau panjang perjalanan yang ditempuh oleh seluruh pengguna jalan di wilayah studi dari setiap asal tujuan. Kecepatan Rata-rata, yang menunjukkan rata-rata kecepatan dari seluruh ruas jalan yang ada di wilayah studi.
B. Analisis berbasis ruas (link-based) Analisis berbasis ruas dalam analisis akses transportasi umumnya dilakukan dengan menggunakan pendekatan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997. Jalan akses pelabuhan umumnya merupakan tipe jalan bebas hambatan sehingga analisis perhitungan yang dilakukan menggunakan bab terkait dengan jalan bebas hambatan ada MKJI 1997. 1. Kebutuhan data Data-data lalu lintas meliputi:
Besar arus per arah Nilai faktor k Rasio arah Komposisi lalu lintas Nilai emp A-6
Selain daripada itu perlu juga diinventarisir data-data mengenai kondisi pengaturan lalu lintas eksisting yang meliputi:
Batas kecepatan Larangan terhadap jenis kendaraan tertentu Larangan kendaraan dengan berat dan/ atau beban gambar tertentu Alat pengatur lalu lintas Peraturan lain
2. Analisis kapasitas Kapasitas dihitung dengan menggunakan persamaan berikut
Dimana: C C0 FCW FCSP
= = = =
kapasitas kapasitas dasar (smp/ jam) faktor penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas faktor penyesuaian akibat pemisahan arah (jalan bebas hambatan tak terbagi)
Nilai kapasitas dasar, baik pada kondisi datar maupun terdapat kelandaian khusus, dan nilai faktor-faktor penyesuaian mengacu pada MKJI 1997. 3. Ukuran Kinerja Perilaku lalu lintas dinilai melalui beberapa parameter ukuran, yaitu derajat kejenuhan atau biasa dikenal dengan istilah Volume-Capacity Ratio (VCR), kecepatan dan waktu tempuh, derajat iringan (hanya untuk tipe 2/2 UD), dan pengaruh kelandaian khusus terhadap kecepatan dan waktu tempuh. Nilai derajat kejenuhan dihitung dengan menggunakan persamaan berikut
Dimana: VCR Q C
= = =
derajat kejenuhan atau Volume-Capacity Ratio volume lalu lintas (smp/jam) kapasitas (smp/jam)
ASPEK FISIK TEKNIS A. Alur Pelayaran 1. Kedalaman Alur Kedalaman air diukur terhadap muka air referensi nilai rata-rata dari muka air surut terendah pada saat pasang kecil (neap tide) dalam periode panjang yang disebut LLWL (Lowest Low Water Level). Kedalaman alur total adalah:
Dimana: d
=
draft kapal (m) A-7
G R P S K
= = = = =
gerak vertikal kapal karena gelombang dan squat (m) ruang kebebasan bersih (m) ketelitian pengukuran (m) pengendapan sedimen antara dua pengerukan (m) toleransi pengerukan (m)
Pendekatan untuk penentuan kedalaman alur adalah:
Gambar 5 Penentuan Kedalaman Alur
2. Lebar Alur Lebar alur pelayaran bergantung kepada jumlah kapal yang direncanakan akan dilayani. Perhitungan lebar alur dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan matematis berikut ini: Alur pelayaran untuk satu kapal
Dimana: B C
= =
lebar kapal (m) clearance/jarak aman antar kapal (m), di ambil sama dengan B
A-8
Gambar 6 Lebar Alur untuk 1 Kapal
Alur pelayaran untuk dua kapal
Dimana: B C
= =
lebar kapal (m) clearance/jarak aman antar kapal (m), di ambil sama dengan B
Gambar 7 Lebar Alur untuk 2 Kapal
A-9
B. Perencanaan Kolam Pelabuhan Perairan yang menampung kegiatan kapal untuk bongkar muat, berlabuh, mengisi persediaan dan memutar kapal dinamakan kolam pelabuhan. Parameter-parameter bagi perencanaan kolam pelabuhan adalah sebagai berikut:
Batimetri laut (kedalaman perairan) Elevasi muka air rencana yang ada (hasil analisa pasang surut) Kondisi angin di perairan (arah dan kecepatan) Arah, kecepatan dan tinggi gelombang pada perairan (hasil peramalan gelombang) Arus yang terjadi di perairan Ukuran kapal rencana dan rencana manuver yang diperbolehkan Perairan yang relatif tenang Lebar dan kedalaman perairan disesuaikan dengan kebutuhan Kemudahan gerak kapal (manuver)
Di samping parameter-parameter yang telah dijelaskan di atas, kolam pelabuhan juga harus memenuhi syarat sebagai berikut:
Cukup luas sehingga dapat menampung semua kapal yang datang berlabuh dan masih dapat bergerak dengan bebas Cukup lebar sehingga kapal dapat melakukan manuver dengan bebas yang merupakan gerak melingkar yang tidak terputus Cukup dalam sehingga kapal terbesar masih bisa masuk ke dalam kolam pelabuhan pada saat air surut
1. Luas Kolam Untuk perencanaan luas kolam yang ada, kemudahan manuver kapal menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan. Mengingat hal tersebut, maka perlu disediakan area pada kolam untuk dapat menampung kegiatan yang dilakukan oleh kapal mulai dari kedatangan sampai berangkat dengan membuat perencanaan kolam sebagai berikut:
Perlu disediakan kolam putar untuk manuver kapal; Perlu adanya area bongkar muat kapal; Perlu disediakan area tambat terpisah dengan area bongkar.
Dengan demikian persamaan untuk menghitung kebutuhan luas kolam pelabuhan adalah:
Dimana: ATR AB AT
= = =
luas kolam putar (turning basin) (m2) luas area bongkar muat (m2) luas area tambat (m2)
2. Kolam Putar (Turning Basin) Turning basin atau kolam putar diperlukan agar kapal dapat mudah melakukan manuver. Luas area untuk perputaran kapal sangat dipengaruhi oleh ukuran kapal, sistem operasi dan jenis kapal. Radius kolam putar diperkirakan sebesar 1,5 kali ukuran panjang kapal maksimum sehingga luas kolam putar menjadi:
A-10
Dimana: ATR L
= =
luas kolam putar (m2) panjang kapal maksimum yang akan berlabuh di pelabuhan (m)
3. Area Bongkar Muat Kolam pelabuhan diperlukan untuk kegiatan berlabuh untuk bongkar/muat muatan, persiapan operasi, dan lain sebagainya. Diperkirakan luas kolam untuk keperluan tersebut tidak kurang dari sebagai berikut:
Dimana: ABM n L B
= = = =
luas area bongkar muat yang dibutuhkan (m2) jumlah kapal berlabuh di pelabuhan panjang kapal (m) lebar kapal (m)
4. Kedalaman Kolam Kedalaman kolam pelabuhan ditentukan oleh faktor-faktor draft kapal dengan muatan penuh, tinggi gelombang maksimum (<50 cm), tinggi ayunan kapal (squat) dan jarak aman antara lunas dan dasar perairan. Kedalaman kolam dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
Dimana: D S C
= = =
draft kapal (m) squat kapal (m) clearance/jarak aman (m)
A-11
Gambar 8 Komponen Penentu Kedalaman Kolam Pelabuhan
C. Hidrooseanografi Pemodelan hidrooseanografi bertujuan untuk mensimulasikan penjalaran refraksi dan difraksi gelombang laut menuju pantai. Pemodelan dan simulasinya umumnya dilakukan dengan bantuan perangkat lunak. Data-data yang dibutuhkan dalam pemodelan hidrooseanografi antara lain adalah
Tinggi gelombang Periode gelombang Garis pantai dan titik kedalamannya
Contoh hasil pemodelan hidrooseanografi disajikan pada Gambar 9 berikut ini.
A-12
Gambar 9 Contoh Pemodelan Hidrooseanografi
D. Hidrodinamika dan Sedimentasi Pemodelan hidrodinamika dan sedimentasi bertujuan untuk memprediksi tingkat sedimentasi yang terjadi pada kondisi pergerakan aliran yang terjadi. Data-data yang dibutuhkan dalam pemodelan ini antara lain adalah:
Elevasi muka air Parameter viskositas Eddy Nilai Manning
Contoh hasil pemodelan hidrodinamika disajikan pada Gambar 10 berikut ini.
Gambar 10 Contoh Pemodelan Hidrodinamika (Kiri = Arus; Kanan = Sedimentasi)
A-13
ASPEK PEMILIHAN LOKASI Pemilihan lokasi terbaik umumnya dilakukan dengan menggunakan metode analisis multikriteria (multi criteria analysis). Salah satu metode analisis multikriteria yang umum digunakan adalah metode Analytic Hierarchical Process (AHP). AHP merupakan metodologi yang komprehensif dan memiliki kemampuan untuk menyatukan kriteria kualitatif dan kuantiatif dalam pengambilan keputusan. AHP menggunakan hirarki dalam aplikasinya. Hirarki tersebut terdiri dari tujuan, kriteria dan alternatif. AHP menggunakan persepsi responden yang biasanya disebut ‘expert’ untuk menilai suatu kondisi atau memprediksi nilai suatu variable. Terdapat tiga tahap dalam aplikasi AHP yaitu dekomposisi, prioritisasi dan sintesis. Dekomposisi digunakan untuk membuat hirarki dalam pengambilan keputusan atau estimasi nilai suatu variabel. Prioritisasi merupakan proses membandingkan tingkat kepentingan atau besarnya nilai suatu varibel yang satu dengan variabel yang lain. Metode AHP ini mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi-objective dan multi-criteria berdasarkan pada perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki fungsional. Adapun tahapan analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1)
Pendefinisian masalah dan menentukan solusi yang diinginkan.
2)
Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah.
3)
Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan penilaian (judgment) dari pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen dengan elemen lainnya.
4)
Melakukan perbandingan pasangan sehingga diperoleh judgment seluruhnya sebanyak n x [(n – 1)/2] buah, dimana: n = banyaknya elemen yang dibandingkan.
5)
Menghitung nilai eigenvalue dan menguji konsistensinya, jika tidak konsisten maka pengambilan data diulangi.
6)
Mengulangi langkah 3, 4 dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki.
7)
Menghitung eigenvector dari setiap matriks perbandingan pasangan. Nilai eigenvector merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini bertujuan untuk mensintesiskan penilaian dalam penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah sampai pencapaian tujuan.
8)
Pemeriksa konsistensi hirarki. Jika nilainya lebih besar dari 10% maka penilaian data harus diperbaiki.
9)
Saaty (1994), menetapkan skala kuantitatif dari: 1 s.d. 9, untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen lain, seperti yang diperlihatkan dalam tabel berikut.
Tabel 1 Skala Kuantitatif
Nilai
Definisi
1
Kedua elemen sama penting
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting dari yang lainnya
5
Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya
7
Elemen yang satu jelas sangat penting dari elemen yang lain
A-14
Nilai 9
Definisi Elemen yang satu mutlak sangat penting dari elemen yang lain
2, 4, 6, 8
Nilai tengah di antara dua perbandingan yang berdekatan
Kebalikannya
Jika x mempunyai nilai s kali y, maka y mempunyai nilai 1/s dari x
Formulasi bentuk matematis dari model AHP ini, dilakukan dengan menggunakan matriks. Perbandingan pasangan dimulai dari tingkat hirarki paling tinggi dimana suatu kriteria digunakan sebagai dasar pembuat perbandingan. Nilai perbandingan pasangan antara wI dan wj dapat dipresentasikan: ⁄ Jika penilaian yang dilakukan konsisten akan diperoleh eigenvalue maksimum dari A yang bernilai sama dengan n. Untuk mendapatkan W dapat dilakukan dengan mensubstitusikan harga eigenvalue maksimum pada persamaan:
Dalam teori matriks diketahui bahwa dengan kesalahan yang kecil pada koefisien akan menyebabkan penyimpangan kecil pada eigenvalue. Jika nilai diagonal matriks A dengan aij dimana i = j dan A konsisten, maka penyimpangan kecil akan tetap menunjukkan eigenvalue terbesar maks dengan besar nilai akan mendekati n dan eigenvalue sisanya mendekati nol. Penyimpangan dari konsistensi dinyatakan dengan Consistency Index, dengan persamaan:
Berdasarkan perhitungan Saaty dengan menggunakan 500 sampel dimana nilai numerik diambil acak dari skala 1/9, 1/8, ..., 1, 2, ..., 9, akan diperoleh konsistensi rata-rata untuk matriks dengan ukuran yang berbeda, seperti pada Tabel 2. Consistensy Ratio (CR) adalah perbandingan antara consistency index (CI) dan random index (RI) untuk semua matriks, ditulis:
Dengan metode AHP, matriks perbandingan dapat diterima jika nilai ratio konsistensi adalah: 0.00 < CR < 0.10. Tabel 2 Nilai Indeks Acak
Ukuran matriks
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Indeks acak
0,00
0,00
0,58
0,90
1,12
1,24
1,32
1,41
1,45
1,49
DESIGN PELABUHAN A. Dermaga 1. Asumsi Perhitungan kapasitas dermaga ideal umumnya menggunakan beberapa asumsi seperti berikut ini:
A-15
Waktu kerja pelabuhan Pelabuhan ideal memiliki total waktu kerja selama 24 jam/hari, 7 hari/mingu, dan 365 hari/tahun (Thoresen, 2014).
Downtime (Not Operation Time) Agar tidak terjadi kepadatan pada lalu lintas pelabuhan, nilai downtime tidak boleh lebih besar dari 5-20% (Thoresen, 2014).
Work Crane Time (WCT) Dalam kenyataan di lapangan, pada kegiatan bongkar muat, container crane tidak bekerja penuh. Ada beberapa faktor yang menyebabkan container crane tidak bekerja (persiapan dan penggantian shift). Besar WCT berkisar antara 70 – 90% (Thoresen, 2014).
Berth Occupancy Ratio (BOR) Nilai BOR bergantung pada jumlah tambatan yang ada di pelabuhan. Nilai BOR yang direkomendasikan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Berth Occupancy Ratio (BOR)
Jumlah dermaga
Kontrol kedatangan kapal ke dermaga Tidak ada
Rata-rata
Tinggi
1
25%
35%
45%
2
40%
45%
50%
3
45%
50%
55%
4
55%
60%
65%
5
60%
65%
70%
6 atau lebih
65%
70%
75%
(Sumber: Thoresen, 2014)
Ukuran Kapal Rencana Berikut adalah tabel mengenai ukuran kapal (DWT) serta konversinya dalam TEUs.
Tabel 4 Ukuran Kapal Rencana
DWT
MD
LOA
LBP
B
D
F
CB
Kapasitas
(t)
(t)
(m)
(m)
(m)
(m)
(m)
60000
83000
290
275
32,2
13,2
8,6
0,693
4000
50000
68000
267
253
32,2
12,5
7,8
0,651
3500
40000
54000
237
225
32,2
11,7
6,9
0,622
3000
30000
40500
210
200
30
10,7
5,9
0,615
2300
20000
27000
174
165
26,2
9,2
4,4
0,662
1500
10000
13500
130
124
21,2
7,3
2,7
0,686
800
TEUs
(Sumber: Technical note of NILIM no. 309) A-16
2. Berth Occupancy Ratio (BOR) BOR adalah perbandingan antara jumlah waktu pemakaian (bongkar muat) tiap dermaga yang tersedia dibagi dengan jumlah waktu yang tersedia dalam satu periode. Rumus untuk mencari BOR dijelaskan melalui persamaan di bawah ini.
Dimana: Nb Nv BOR Ts Tbw
= = = = =
jumlah berth jumlah ship call per minggu (Demand/Ship Parcel) berth occupancy ratio (%) waktu bongkar/muat per kapal peti kemas (jam) waktu kerja dermaga (jam)
3. Service Time (Ts) Besarnya waktu yang dibutuhkan untuk melayani kegiatan bongkar muat (Service Time) adalah:
Dimana: nQcc pQcc WCT Sp
= = = =
jumlah quay container crane/kapal peti kemas kapasitas container crane (TEUs/jam) working crane time (0.65-1) kapasitas kapal peti kemas (TEUs)
4. Downtime (Dt) Dengan mengetahui faktor downtime (Dt) dan total jam kerja pelabuhan, jam kerja dermaga per minggu dapat dihitung menggunakan persamaan berikut ini
Dimana: Tbw Td Nd Dt
= = = =
waktu kerja dermaga (jam) jam kerja per hari (jam) jumlah hari kerja dalam 1 minggu downtime
5. Berth Number (Nb) Dengan mengetahui faktor downtime (Dt) dan total jam kerja pelabuhan, jam kerja dermaga per minggu dapat dihitung menggunakan berikut ini.
Jumlah dermaga yang dibutuhkan untuk membongkar kapal peti kemas selama 1 minggu adalah
Dimana: Nb Nv BOR
= = =
jumlah berth jumlah ship call per minggu berth occupancy ratio (%) A-17
6. Quay Length (QL) Panjang dermaga yang dibutuhkan adalah:
Dimana: QL LOA Bg C
= = = =
panjang dermaga (m) panjang kapal (m) berth gap (m) : 15 m (OCDI 2002) clearance (m) : 30 m (OCDI 2002)
7. Quay Container Crane (Qcc) Selain QL, dalam penghitungan panjang dermaga juga akan didapatkan data mengenai jumlah container crane yang dibutuhkan.
Dimana: nQcc Nb Qcc
= = =
jumlah quay container crane jumlah berth quay container crane
B. Penghitungan Container Yard 1. Asumsi Perhitungan container yard umumnya menggunakan beberapa asumsi seperti berikut ini:
Alat penumpukan
Buffer Area (Bf) Lapangan penumpukan harus memiliki buffer area yang berkisar antara 5-20% (Thoressen, 2014).
Luas daerah primer (N) Pada container yard tidak hanya terdapat fasilitas lapangan penumpukan peti kemas, biasanya juga terdapt fasilitas gudang, kantor, reefer, dan tempat penyimpanan peti kemas kosong. Luas lapangan penumpukan peti kemas berkisar antara 50-75% dari total luas container yard (Thoressen, 2014).
Faktor layout (L) Bentuk layout dari container yard mempengaruhi luas total container yard yang dapat digunakan.
Faktor segregasi (S) Dalam penumpukan peti kemas di pelabuhan, biasanya terdapat prosedur yang harus diikuti sehingga menyebabkan tidak semua area container yard dapat digunakan. Faktor segregasi berkisar antara 80- 100%.
A-18
2. Diagram alir perhitungan container yard Penghitungan fasilitas container yard dilakukan dengan menggunakan data lalu lintas petikemas (TEUs) dalam satu tahun, dwelling time, dan alat penumpukan yang digunakan. Diagram alir dari penghitungan fasilitas container yard dengan disajikan pada Gambar 11 berikut.
Gambar 11 Diagram Alir Penghitungan Fasilitas Container Yard
3. Net Stacking Area (AN) Penghitungan luas container yard bersih (AN) dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan matematis berikut:
Dimana: AN Throughput D ATEU Bf H
= = = = = =
luas container yard bersih (m2) jumlah TEUs dlm 1 tahun (TEUs) dwelling time (Hari) luasan yang diperlukan untuk 1 TEUs (lihat Tabel 5) faktor buffer (biasanya 0.05-0.1 dari total area) rasio ketinggian stacking container (0.5-0.8)
Tabel 5 Tabel ATEUs
Jenis alat Chassis FLT (Front-lift Truck) atau RS (Reach Stacker)
SC (Straddle Carrier)
Tinggi tumpukan: Jumlah kontainer 1 1 2 3 4 1 over 1 1 over 2
1 65 72
Jalur Kontainer 2 5 7
9
72 36 24 18
30 16 A-19
Jenis alat
RTG atau RMG
Tinggi tumpukan: Jumlah kontainer 1 over 3 1 over 2 1 over 3 1 over 4 1 over 5
1 12
Jalur Kontainer 2 5 7
9
21 14 11 8
15 10 8 6
18 12 9 7
4. Total Yard Area (AT) Penghitungan luas container yard total (AT) dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan matematis berikut ini
Dimana: AT AN N L S
= = = = =
total area container yard yang dibutuhkan (m2) luas container yard bersih (m2) luas daerah primer (0.5-0.75) faktor layout (utk segitiga 0.7 utk persegi 1) faktor segregasi akibat destinasi, prosedur, dll (0.8-1)
REFERENSI LEBIH LANJUT 1. Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997 2. Ortuzar, J. de D. % Willumsen, L. G. (1990). Modelling Transport. John Wiley & Sons Ltd. 3. Thoresen, Carl A. (2014) Port Designer’s Handbook Third Edition. ICE Publishing
A-20