PUSAT STUDI HUKUM DAN KEBIJAKAN INDONESIA
Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan LAPORAN HASIL PENELITIAN TIM PENELITI PSHK Imam Nasima, LLM Gita Putri Damayana, SH M. Nur Sholikin, SH Siti Maryam Rodja, SH April 2009
Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan dilakukan oleh PSHK, bekerjasama dengan DKJ, serta didukung oleh HIVOS, dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran umum peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia yang menyangkut kegiatan kesenian dan kebudayaan. Selain untuk mendapatkan gambaran umum kebijakan pemerintah melalui peraturan-peraturan terkait, diberikan juga ulasan beberapa isu aktual dalam dunia seni dan budaya di Indonesia, berangkat dari analisa atas peraturan-peraturan tersebut.
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
DAFTAR ISI 1.
2.
3.
4.
Pendahuluan .................................................................................................................................... 2 1.1.
Latar Belakang Kajian ............................................................................................................ 4
1.2.
Metodologi ............................................................................................................................ 5
1.3.
Sumber Data dan Narasumber ............................................................................................. 7
Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan (Gambaran Umum)....................... 10 2.1.
Hasil Penelitian.................................................................................................................... 12
2.2.
Hipotesis.............................................................................................................................. 16
Konteks Sosial Politik: Kebijakan Kebudayaan di Indonesia .......................................................... 25 3.1.
Kebijakan Kebudayaan di Indonesia ................................................................................... 25
3.2.
Kebijakan Kebudayaan di Mata Seniman............................................................................ 32
3.3.
Kesimpulan .......................................................................................................................... 35
Isu-Isu Pilihan Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan ....................................................................... 37 Seni dan Budaya sebagai Hak Dasar............................................................................................... 38
5.
4.1.
Pajak/Retribusi Daerah ....................................................................................................... 40
4.2.
Kebijakan Fiskal (Kepabeanan) ........................................................................................... 48
4.3.
Dokumentasi Karya Seni ..................................................................................................... 53
4.4.
Pelestarian Cagar Budaya ................................................................................................... 60
4.5.
Pendidikan Seni ................................................................................................................... 72
4.6.
Posisi Seni dalam Kebijakan Pariwisata .............................................................................. 74
4.7.
Hak Kekayaan Intelektual, Seni, dan Budaya ...................................................................... 79
Kesimpulan dan Rekomendasi ....................................................................................................... 95 5.1.
Kesimpulan .......................................................................................................................... 95
5.2.
Rekomendasi ....................................................................................................................... 96
LAMPIRAN: DAFTAR PERATURAN TERIDENTIFIKASI ................................................................................... 98
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
1
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
1. Pendahuluan
Tsze-lu said, "The ruler of Wei has been waiting for you, in order with you to administer the government. What will you consider the first thing to be done?" The Master replied, "What is necessary is to rectify names." "So! Indeed!" said Tsze-lu. "You are wide of the mark! Why must there be such rectification?" "If names be not correct, language is not in accordance with the truth of things. If language be not in accordance with the truth of things, affairs cannot be carried on to success.” "When affairs cannot be carried on to success, proprieties and music do not flourish. When proprieties and music do not flourish, punishments will not be properly awarded. When punishments are not properly awarded, the people do not know how to move hand or foot.” (Confucius, The Analects, Section 13; Part 3)
Apabila sistem administrasi pemerintahan dapat dianggap sebagai sumber dari segala aspek kehidupan di dalam masyarakat, maka berkembangnya seni dan budaya dalam masyarakat tidak akan lepas pula dari bekerjanya suatu sistem pemerintahan. Bekerjanya sistem administrasi pemerintahan sendiri, seperti ujar-ujar Confucius di atas, diawali dengan perbaikan pada penamaan – dengan kata lain ada sistem yang tertata secara teratur dan dimengerti, serta konsisten ditegakkan. Sehubungan dengan kebijakan kebudayaan di Indonesia, peran pemerintah – melalui pemberlakuan suatu aturan, juga dipandang sebagai hal yang krusial oleh anggota komunitas dunia seni di Indonesia.1 Tapi apa peran pemerintah selama ini? Mungkin mudah untuk menarik kesimpulan bahwa “pemerintah tidak berbuat apaapa”, sebagaimana kesimpulan bahwa “pemerintah sudah berusaha optimal”, namun ukuran yang dipakai untuk mengambil kesimpulan ini tidaklah jelas. Karenanya, untuk dapat memetakan peran pemerintah sehubungan dengan pengembangan sektor seni dan budaya di Indonesia, perlu ada penelaahan kebijakan pemerintah lebih lanjut lagi. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan menelusuri peraturan-peraturan yang menyangkut kegiatan kesenian dan kebudayaan di Indonesia. Sudut pandang di atas, yaitu pandangan yang terfokus pada penelitian peraturanperaturan (yang notabene berangkat dari peran pemerintah), tidak harus diterjemahkan 1
Hal ini tidak hanya didukung dari proses perumusan kajian yang akan dijelaskan dalam latar belakang kajian ini, tetapi juga sangat terlihat dari pendapat-pendapat dari komunitas seni sendiri yang terlibat sebagai narasumber dalam penelitian ini.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
2
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
sebagai adanya dukungan atau pembelaan terhadap suatu sistem pemerintahan yang terpusat (sentralistis). Bagaimanapun juga, peran yang diambil pemerintah akan selalu berpengaruh pada hak dan kewajiban warga negara, baik berupa pengaruh positif, maupun pengaruh negatif. Sehingga, pemetaan kebijakan melalui penelusuran dan penelaahan peraturan, tidak selalu berarti menafikan peran masyarakat sendiri. Dengan adanya pemetaan peraturan yang berhubungan dengan kegiatan kesenian dan kebudayaan, justru diharapkan terbentuk gambaran yang jelas mengenai peran pemerintah di Indonesia, sekaligus ruang yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Kemajuan kebudayaan nasional adalah tanggungjawab negara dan semestinya memberikan ruang yang lapang kepada masyarakat untuk mengembangkan budayanya masing-masing. Hal tersebut telah diatur secara jelas di dalam konstitusi.2 Sebagai sebuah norma konstitusi yang abstrak, kewajiban negara tersebut tentu masih harus diwujudkan oleh pemerintah dalam suatu kebijakan yang bersifat lebih konkrit. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana norma tersebut diwujudkan. Pertanyaan inilah yang akan dijawab oleh penelitian ini. Selanjutnya, sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya, bahwa ada hubungan yang tak terpisahkan antara peran pemerintah (pengambil kebijakan) untuk mengatur dan posisi warga negara yang akan terkena pengaruh dari peraturan yang ditetapkan. Dengan demikian, selain menelusuri dan menelaah peraturan yang ada, perlu digali pula pengalaman dari pegiat dan pemerhati seni sendiri, sehubungan dengan peraturanperaturan (yang dimaksudkan) mengatur kegiatan-kegiatan yang akan mereka lakukan. Menurut hemat kami, hal ini tak kalah penting, karena implementasi (pelaksanaan) suatu aturan di lapangan, tidak dapat diukur hanya dari daftar peraturan perundangan yang ada. Pengalaman pihak yang berhubungan langsung dengan bidang kehidupan yang diatur itulah yang justru dapat menjadi gambaran nyata pelaksanaan suatu peraturan. Untuk itu, selain menelusuri dan menelaah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kegiatan kesenian dan kebudayaan, maka dilakukan pula serangkaian wawancara dengan pegiat dan pemerhati seni (narasumber) untuk membandingkan antara data normatif (peraturan), dengan kenyataan di lapangan. Wawancara dengan narasumber tersebut juga dapat memberikan gambaran yang jelas tentang kendala yang dihadapi atau harapan yang dimiliki oleh pemangku kepentingan sendiri, sehubungan dengan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kehidupan mereka. 2
Pasal 32 ayat 1: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.” Selain aturan tersebut, menurut pasal 28C ayat (1) diatur pula tanggungjawab negara untuk menjamin hak setiap warga negara untuk mengembangkan diri, termasuk di bidang seni dan budaya: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan manusia.”
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
3
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
1.1. Latar Belakang Kajian
Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan berawal dari advokasi yang diberikan oleh PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia) kepada beberapa anggota komunitas seni di bawah koordinasi DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), sehubungan dengan diundangkannya Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang baru pada tahun 2008 (UU No. 36/2008).3 Dalam UU No. 36/2008, meskipun elemen pemberian insentif untuk sektor-sektor tertentu (non-komersial) sudah mulai dimasukkan, namun baru sebatas ditujukan kepada lembaga-lembaga pendidikan, penelitian, dan pengembangan.4 Selain itu, insentif berupa pemotongan penghasilan bruto, baru mencakup sumbangan untuk bencana alam, sumbangan sosial, sumbangan untuk penelitian, pengembangan dan pendidikan.5 Sumbangan untuk sektor seni dan budaya, ternyata tidak masuk ke dalam kategori tersebut. Perjuangan untuk menambahkan pemberlakuan insentif pada sektor seni dan budaya belum membuahkan hasil nyata. Alasan pemerintah untuk menolak memasukkan komponen tersebut, karena proses perumusan undang-undang yang telah selesai dan tinggal menunggu penetapan.6 Meskipun begitu, pemerintah menjanjikan akan mengatur hal tersebut di dalam peraturan pemerintah (PP). Sebelumnya, beberapa anggota komunitas dunia film, telah mengajukan uji konstitusional terhadap UU No. 8/1992 tentang Perfilman.7 Uji konstitusional tersebut diajukan karena adanya penolakan terhadap sistem sensor melalui Lembaga Sensor Film (LSF) yang dipandang oleh para pemohon telah melanggar hak-hak konstitusionalnya (hak untuk mengembangkan diri). Meskipun permohonan tersebut akhirnya tidak dikabulkan, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa aturan mengenai Lembaga Sensor Film tersebut “sudah tidak sesuai dengan semangat zamannya”.8 Menurut Mahkamah Konstitusi lebih lanjut lagi: “sangat mendesak untuk dibentuk undang-undang perfilman yang baru yang lebih sesuai dengan semangat demokratisasi dan penghormatan terhadap HAM”.9
3
Pemberitaan di media, antara lain, dapat dilihat di artikel “Wapres Setuju Insentif Pajak Untuk Kesenian”, www.kompas.com, 12 September 2008. 4 Lihat pasal 4 ayat (3) huruf m UU No. 36/2008. 5 Lihat pasal 6 ayat 1 UU No. 36/2008. 6 Komentar anggota Komisi XI (bidang keuangan dan perbankan), Drajad Hari Wibowo yang saat itu menyalahkan komunitas seni sendiri yang tidak pro aktif memperjuangkan usulan ini sedari awal. “Seniman Minta Insentif Pajak”, www.hukumonline.com, 21 Agustus 2008. 7 Lihat Putusan MK No. 29/PUU-V/2007. 8 Ibid. 9 Ibid.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
4
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Lepas dari hasil dari usaha-usaha yang telah diperjuangkan oleh komunitas seni tersebut di atas, hal yang mulai menarik digarisbawahi adalah bangkitnya kesadaran dan kepedulian dari komunitas seni untuk menuntut hak-haknya sebagai warga negara. Dari kesadaran dan kepedulian ini pula, PSHK atas permintaan DKJ dan didukung oleh HIVOS mengambil inisiatif untuk melangkah lebih jauh lagi (tidak terbatas pada pembahasan masalah insentif pajak dan perfilman), dengan melakukan penelitian yang terfokus pada penulusuran dan penelaahan peraturan-peraturan perundangan yang menyangkut kegiatan kesenian dan kebudayaan di Indonesia. Di samping kajian kerangka hukum ini, PSHK juga akan melakukan kajian khusus di bidang perfilman sebagai tindak lanjut dari Putusan MK No. 29/PUU-V/2007 yang mengamanatkan pembentukan undang-undang perfilman baru, serta kajian khusus mengenai status hukum DKJ. Karenanya, meskipun dua topik tersebut sangat menarik untuk dibahas, namun topik-topik tersebut tidak akan dibicarakan panjang lebar di sini. 1.2. Metodologi
Kajian kerangka hukum mulai kami lakukan dengan cara mendata semua peraturan perundangan terkait kegiatan kesenian dan kebudayaan di Indonesia. Sebuah kajian kerangka hukum, idealnya dapat menyajikan gambaran yang utuh tentang peraturan perundangan dari level paling tinggi sampai level paling rendah. Data tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam klasifikasi-klasifikasi tertentu, jika nantinya ada klasifikasi tertentu yang muncul, untuk melihat strategi kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Meskipun terdengar sederhana, dalam melaksanakan Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan, kami menghadapi beberapa tantangan, baik teknis maupun substantif. Pertama, ada permasalahan definisi yang harus lebih dulu ditetapkan tentang apa yang dapat dikategorikan sebagai “kegiatan kesenian dan kebudayaan”. Definisi “kesenian” dan “kebudayaan” itu sendiri dapat berarti sangat luas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “kesenian” berarti “perihal seni; keindahan”, sedangkan kata “kebudayaan” berarti “hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat; keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya”.10 Dari penjabaran definisi-definisi tersebut di atas (terutama definisi tentang “kebudayaan” yang dapat meliputi segala aspek kehidupan manusia) yang hampir mustahil untuk ditetapkan, maka kami mencoba untuk memulai penelusuran peraturan dengan menggunakan kata kunci “seni” dan “budaya”.
10
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3, cet. 3, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
5
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Penggunaan metode ini tentu mengandung kelemahan, karena tidak semua peraturan yang menyangkut kegiatan kesenian dan kebudayaan berjudul atau setidaknya memuat kata “seni” dan/atau “budaya”, seperti misalnya Undang-Undang Perfilman. Untuk mengantisipasi kelemahan tersebut, kami mencoba untuk menelusuri sendiri hal-hal yang termasuk ke dalam kegiatan kesenian dan kebudayaan, seperti misalnya aturan tentang perfilman tersebut. Selain itu, kami juga mengadakan pertemuan secara rutin dengan pihak DKJ, selain mengadakan wawancara dengan para pegiat dan pemerhati seni. Paling tidak, dari pengalaman anggota komunitas seni di lapangan, kami berharap kelemahan tersebut dapat diminimalisir. Kendala kedua yang kami hadapi dalam melakukan penelitian adalah keterbatasan sumber data yang dapat digunakan. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa belum ada lembaga pemerintahan di Indonesia yang dapat menjalankan sistem administrasi yang baik, termasuk sehubungan dengan pengumpulan dan penyediaan produk-produk peraturan. Sehingga, dalam penelitian ini, kami mengambil inisiatif untuk menggunakan sumber data kami sendiri yang berisi produk-produk peraturan di Indonesia.11 Artinya, data peraturan yang berhasil kami kumpulkan, tidak dapat dikatakan telah ditelusuri dan disaring dari semua produk peraturan yang ada di Indonesia. Terakhir, ada kendala subtantif sehubungan dengan pemetaan kerangka hukum ini, sehubungan dengan konsistensi bentuk peraturan yang dikaji. Kerangka hukum yang kami telusuri dan telaah, meliputi peraturan-peraturan yang dibuat dalam sistem-sistem pemerintahan yang berbeda, dengan bentuk yang berbeda-beda pula.12 Pengesahan perjanjian kerjasama bilateral, misalnya, dilakukan dengan penetapan undang-undang (masa demokrasi konstitusional), keputusan Presiden (masa Orde Baru hingga diundangkannya UU No. 10/2004), serta peraturan Presiden (pasca diundangkannya UU No. 10/2004). Menyadari bahwa permasalahan ini juga pasti akan terjadi pada penelitian-penelitian kerangka hukum lainnya atau dengan kata lain memang masih ada permasalahan keselarasan peraturan perundangan di Indonesia, maka kami tetap mendaftar semua bentuk peraturan tersebut dan menganggapnya setara dengan peraturan sejenis menurut aturan terbaru. Untuk pengesahan perjanjian kerjasama bilateral, misalnya, kami anggap bahwa peraturan-peraturan tersebut ada pada level Peraturan Presiden. 11
Sumber data tersebut berada di bawah pengelolaan Dan Lev Law Library dan selama ini dijadikan pendukung penelitian-penelitian yang dilakukan oleh PSHK. Kumpulan peraturan tersebut memuat sekitar 6600 data peraturan perundangan dari tahun 1946, meliputi produk undang-undang hingga instruksi presiden. 12 Peraturan tertua yang teridentifikasi ditetapkan pada tahun 1953 (masa demokrasi konstitusional). Sesudah masa demokrasi konstitusional yang secara formil berakhir pada tahun 1959, Indonesia mengalami masa pemerintahan demokrasi terpimpin (Orde Lama/1959-1966), demokrasi Pancasila (Orde Baru/1966-1998), dan terakhir masa reformasi (1998-sekarang). Harmonisasi peraturan terbaru ditetapkan pada tahun 2004 (UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), meskipun baru pada tahap normatif – dalam arti belum jelas status peraturan-peraturan yang terbit sebelum undang-undang tersebut . Meskipun beberapa data berasal dari pemerintahan demokrasi konstitusional atau Orde Lama, fokus penelitian ini (berdasar data yang berhasil ditemukan) terfokus pada masa Orde Baru dan masa reformasi.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
6
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Dalam penelitian ini kami juga mengumpulkan beberapa peraturan daerah terkait kegiatan kesenian dan kebudayaan. Untuk hal ini, kami menggunakan situs perdaonline (www.perdaonline.org) yang telah memuat peraturan-peraturan daerah di beberapa daerah di Indonesia. Meskipun dari segi kelengkapan tetap dapat dipertanyakan, dengan adanya beberapa contoh pengaturan oleh pemerintah daerah menyangkut kegiatan kesenian dan kebudayaan, kami berharap dapat memperoleh gambaran tentang kondisi di daerah. Dengan adanya berbagai kendala di atas, penelitian kajian kerangka hukum yang mungkin akan ideal dilakukan dengan menggunakan metode kwantitatif, sehingga dapat memetakan sebuah struktur yang utuh, dalam penelitian ini hanya dapat dilakukan terbatas pada sumber data yang kami miliki. Namun demikian, menurut hemat kami metode ini tetap penting, untuk membangun basis data peraturan terkait kegiatan kesenian dan kebudayaan. Untuk mengantisipasi kelemahan-kelemahan analisa yang mungkin timbul dengan penggunaan metode kwantitatif terbatas ini, selain karena beberapa informasi memang tidak mungkin ditemukan dalam peraturan itu sendiri (misalnya mengenai implementasi dan konteks sosial politik peraturan-peraturan tersebut), kami mencoba untuk menggunakan juga metode kwalitatif. Metode kwalitatif kami praktekkan melalui wawancara mendalam dengan para pegiat dan pemerhati seni untuk menggali dan mendalami isu-isu tertentu dalam dunia seni sendiri. Selain itu, untuk memperjelas konteks sosial politik peraturan yang kami analisa, kami menggunakan disertasi yang pernah ditulis oleh Tod Jones mengenai kebijakan kebudayaan di Indonesia. Dari informasi-informasi yang kami dapatkan tersebut, baik dari penelusuran dari sumber data peraturan, maupun wawancara, baru kami mencari lebih lanjut peraturanperaturan pada level yang lebih konkrit (misalnya Keputusan Menteri) untuk isu-isu tertentu yang menonjol. Sehingga, data yang kami kumpulkan dan analisa, sebagian besar meliputi produk perundangan berupa undang-undang atau peraturan pemerintah. 1.3. Sumber Data dan Narasumber
Seperti sudah disebutkan di atas, kami menggunakan sumber data peraturan perundangan Dan Lev Law Library yang setidaknya berisi 6600 peraturan dari tahun 1946. Untuk peraturan-peraturan daerah kami juga melakukan penelusuran melalui situs perdaonline. Di samping itu, kami menggunakan sumber-sumber yang dapat ditemukan melalui internet berdasarkan pendalaman beberapa isu, maupun peraturanperaturan yang kami temukan dari studi literatur dan informasi dari narasumber atau pihak DKJ. PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
7
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Pemilihan narasumber kami lakukan secara acak, sesuai dengan topik-topik (klasifikasiklasifikasi) peraturan teridentifikasi, serta informasi dari pihak DKJ. Narasumber yang berhasil kami wawancarai dalam penelitian ini adalah: -
Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI (1999-2001). Biantoro, pemilik dan pengelola Nadi Gallery. Dolorosa Sinaga, perupa, pemimpin redaksi majalah budaya batak “Tapian”. Endo Suanda, etnomusikolog, aktif di Lembaga Pendidikan Seni Nusantara. Ismid Hadad, ketua Perhimpunan Filantropi Indonesia. John McGlynn, pemerhati budaya Indonesia, aktif di Yayasan Lontar. Ratna Sarumpaet, sutradara teater, mantan ketua Dewan Kesenian Jakarta (20032006). Seno Gumira Ajidarma, penulis, dosen pada Institut Kesenian Jakarta. Sita Laretna Adishakti, dosen pada Universitas Gajah Mada, aktif di Badan Pelestarian Purbakala Indonesia. Suhadi Hadiwinoto, arsitek, aktif di Badan Pelestarian Purbakala Indonesia. Tita Rubi, perupa. Rohana Manggala, mantan Asisten Kesejahteraan Masyarakat (Askesmas) Pemda DKI Jakarta.
Tanpa adanya bantuan masukan yang sangat berharga dari para narasumber tersebut, mustahil kami dapat memahami sektor seni dan budaya di Indonesia, hanya dengan melihat peraturan perundangan yang ada. Kami juga telah meminta pihak otoritas (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata) untuk diwawancarai sejak awal penelitian ini. Sayangnya, hingga waktu penelitian ini berakhir, wawancara tidak terlaksana. Jawaban yang kami dapatkan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata masih sibuk dengan permasalahan restrukturisasi lembaga. Selain masukan dari narasumber. Dalam penelitian kami, kami juga terbantu dengan adanya penelitian-penelitian yang sebelumnya dilakukan menyangkut kebijakan kebudayaan di Indonesia. Hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berhasil kami telusuri, berkaitan dengan hal tersebut adalah: -
-
-
Haryati Soebadio, Cultural Policy in Indonesia (based on Annual Reports of the Department of Education and Culture and material of Centres and Directorates of the Directorate-General of Culture), Unesco, 1985. Tim Peneliti LIPI, Kebijakan Kebudayaan di masa Orde Baru, Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI dengan the Ford Foundation, 2001. Tod Jones, Indonesian Cultural Policy, 1950-2003: Culture, Institutions, Government, Thesis, Curtin University of Technology, 2005. Helly Minarti & Alex Supartono, Pemetaan Pelaksanaan Program Seni di Indonesia: Lima Studi Kasus (dokumen dapat diunduh di www.inicp.net). PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
8
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Seperti sudah disinggung sebelumnya, secara khusus kami menggunakan disertasi Tod Jones sebagai referensi untuk memperjelas konteks sosial dan politik dibuatnya peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kegiatan kesenian dan kebudayaan di Indonesia. Dibandingkan dengan penelitian-penelitian lainnya, kelebihan disertasi Tod Jones adalah adanya deskripsi yang cukup luas, meliputi sejarah kebijakan kebudayaan, dinamika sosial politik dari masa ke masa. Deskripsi semacam ini yang dibutuhkan oleh penelitian seperti kajian kerangka hukum – yang mencoba untuk memberi gambaran utuh kebijakan kebudayaan di Indonesia melalui pendekatan normatif.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
9
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
2. Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan (Gambaran Umum) Dalam Bab 2 ini akan dipaparkan hasil penelitian kajian kerangka hukum untuk kegiatan kesenian dan kebudayaan. Paparan ini merupakan bacaan umum (global) atas hasil penelitian, sehingga dapat memberikan informasi yang menyeluruh, meskipun tidak rinci (terfokus pada suatu topik tertentu). Tujuannya adalah memberikan gambaran umum dari kebijakan kebudayaan yang diambil pemerintah dari masa ke masa, sekaligus penjelasan topik-topik yang diatur. Dari hasil penelitian yang dipaparkan, akan dirumuskan beberapa hipotesis. Karena baru merupakan hipotesis, maka belum dapat diperlakukan seperti sebuah kesimpulan (baru merupakan data yang perlu diverifikasi lagi). Hipotesis-hipotesis tersebut akan diverifikasi lagi di dalam Bab 3 dengan mengaitkan sumber-sumber bacaan tambahan yang dapat menjelaskan latar belakang dibuatnya kebijakan tersebut. Sementara untuk pembahasan lebih mendalam, kami telah menentukan beberapa isu pilihan yang akan dibahas lebih lanjut di dalam Bab 4. Untuk memahami data-data hasil penelitian yang akan dipaparkan dalam Bab 2 ini, perlu ada pemahaman dasar mengenai jenis dan hierarki peraturan di Indonesia. Menurut aturan terakhir yang mengatur hal ini (UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :13 a. b. c. d. e.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah.
Undang-Undang No. 10/2004 memang hanya mengatur secara lugas peraturanperaturan tersebut di atas. Meskipun begitu, beberapa peraturan peraturan lain diakui, selama didasarkan kepada peraturan yang lebih tinggi.14 Perlu dipahami juga bahwa rentang waktu yang ditelusuri dalam penelitian ini meliputi beberapa struktur pemerintahan yang berbeda, dengan struktur peraturan perundangan yang berbeda pula. Untuk menghindari kebingungan dalam pembacaan data hasil penelitian, perlu diperhatikan peta berikut ini:
13 14
Pasal 7 ayat (1) UU No. 10/2004. Pasal 7 ayat (4) UU No. 10/2004 beserta penjelasannya.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
10
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Skema 2.1. Jenis dan Hierarki Peraturan Yang Teridentifikasi
Dari tabel di atas, hanya peraturan-peraturan dalam kotak-kotak berwarna abu-abu saja (UUD, UU, PP, Perpres, dan Perda) yang diatur secara eksplisit (jenis dan hierarkinya) dalam UU No. 10/2004. Beberapa peraturan lain (Peraturan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Walikota) disebut dalam penjelasan pasal 7 ayat (4) UU No. 10/2004 dengan syarat diperintahkan oleh undang-undang di atasnya, walau penyebutan ini tidak menjelaskan hierarki peraturan-peraturan tersebut. Khusus untuk Keputusan Kepala Daerah (Gubernur atau Walikota) telah diatur pula oleh UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa peraturan seperti ini merupakan peraturan pelaksana Perda dan tidak boleh bertentangan, antara lain, dengan Perda.15 Peraturan-peraturan berupa Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, dan Instruksi Menteri yang ditemukan dalam penelusuran kami, berasal dari rezim peraturan sebelum diundangkannya UU No. 10/2004. Setelah adanya undang-undang tersebut, pengesahan perjanjian kerjasama bilateral yang tadinya diatur dengan Keputusan Presiden, diatur dengan menggunakan Peraturan Presiden, karena pengaturannya yang bersifat umum.16
15
Pasal 146 ayat (2) UU No. 32/2004. Pengaturan bersifat umum diatur dengan menggunakan Peraturan dan pengaturan yang bersifat khusus diatur dengan menggunakan Keputusan Presiden. Lihat juga Pasal 56 UU No. 10/2004. 16
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
11
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
2.1. Hasil Penelitian
Dari hasil penelusuran yang kami lakukan selama periode Desember 2008 – Maret 2009, berhasil terkumpul 108 peraturan. Dari sekian banyak peraturan tersebut, kami membuat pengelompokan berdasarkan jenis peraturan, klasifikasi peraturan, dan tahun ditetapkan. Jenis Peraturan Untuk jenis peraturan, ada 10 (sepuluh) jenis peraturan yang dapat kami telusuri, yaitu Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Keputusan Presiden (Keppres), Instruksi Presiden (Inpres), Peraturan Menteri (Permen), Instruksi Menteri (Irmen), Peraturan Daerah (Perda), Keputusan Gubernur (Kepgub), dan Keputusan Walikota (Kepwali).
Tabel 2.1.1. Jenis Peraturan Yang Teridentifikasi
Klasifikasi Peraturan Untuk klasifikasi peraturan, setidaknya terdapat 20 (dua puluh) isu yang berhasil kami petakan dari peraturan-peraturan yang ada. Di bawah ini daftar dua puluh klasifikasi tersebut, berikut penjelasan klasifikasi yang kami buat. Dari peraturan yang ada, bisa juga dipisahkan antara peraturan yang memang secara khusus ditujukan untuk mengatur kegiatan kesenian dan kebudayaan, maupun peraturan – yang meskipun tidak ditujukan secara khusus, namun memiliki dampak pada kegiatan kesenian dan kebudayaan.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
12
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Tabel 2.1.2. Klasifikasi Peraturan Yang Teridentifikasi
Klasifikasi peraturan-peraturan yang secara langsung ditujukan untuk sektor seni dan budaya:
Adat Budaya o Budaya daerah atau etnis tertentu di Indonesia yang diatur secara khusus dalam suatu peraturan. Dalam penelitian ini ditemukan aturan mengenai pencabutan pengaturan adat kebudayaan etnis Tionghoa dan Qanun (peraturan daerah) yang mengatur tentang Kebudayaan Aceh. Penghargaan Seni o Penghargaan yang diberikan oleh pemerintah dalam bentuk tanda jasa atau hadiah kepada warga negara yang dianggap berjasa dalam pengembangan seni dan atau budaya di Indonesia. Pada prinsipnya hadiah yang khusus ditujukan untuk kegiatan kesenian sendiri diatur di masa Orde Lama. Untuk pengaturan sesudahnya lebih mengatur kegiatan kebudayaan yang sifatnya lebih umum. Birokrasi o Aturan yang berhubungan dengan struktur lembaga pemerintahan yang berhubungan dengan kegiatan kesenian dan kebudayaan di Indonesia, antara lain keputusan presiden yang mengatur pembentukan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2003. PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
13
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Cagar Budaya o Perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa. Dewan Kesenian o Aturan yang berhubungan dengan dasar hukum pembentukan dewan-dewan kesenian di Indonesia. Dokumentasi o Usaha pemerintah untuk membuat dokumentasi atas karya-karya yang dibuat di Indonesia atau oleh warga negara Indonesia, meskipun mungkin motif politik pemerintah sendiri masih dapat diperdebatkan. Kami memilih klasifikasi dokumentasi sebagai sebuah klasifikasi yang netral, dengan tidak menutup kemungkinan adanya perdebatan mengenai motif politik pemerintah di balik itu. Pada prakteknya aturan ini tidak berjalan efektif. Film o Semua aturan yang berhubungan dengan film, termasuk aturan mengenai sensor dan penyelesaian sengketa di dalamnya. Kerjasama Bilateral Kebudayaan o Peraturan yang berisi pengesahan perjanjian kerjasama bilateral kebudayaan Republik Indonesia dengan negara sahabat. Isi perjanjian itu sendiri biasanya dicantumkan di dalam lampiran pengesahan perjanjian tersebut. Sayangnya, dalam penelitian kami, sebagian besar lampiran perjanjian-perjanjian tersebut tidak dapat ditemukan. Pajak/Retribusi Daerah o Peraturan yang menyangkut pajak/retribusi daerah adalah peraturanperaturan daerah mengenai pajak dan retribusi untuk hiburan. Dalam hal ini, kegiatan-kegiatan kesenian dapat dikategorikan sebagai obyek pajak. Pariwisata o Peraturan-peraturan yang menyangkut pengembangan pariwisata. Pendidikan Seni o Pengaturan mengenai pendidikan seni sebagian besar berupa dasar hukum pembentukan institut-institut seni di Indonesia (bersifat institusional). Penyiaran o Peraturan-peraturan yang menyangkut penyiaran, terutama peran dan tugas televesi dan radio negara. Perjanjian Internasional o Meskipun sama-sama berupa kebijakan luar negeri, perjanjian internasional dibedakan dengan perjanjian bilateral, karena biasanya tidak hanya menyangkut perjanjian antara dua negara saja. Selain itu, isi perjanjian tersebut bersifat lebih spesifik untuk hal-hal tertentu. Perpustakaan
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
14
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
o Pengaturan mengenai perpustakaan dapat dipandang sebagai bagian dari kebijakan kebudayaan. Hal ini paling tidak tampak dari usaha pemerintah untuk membuat sistem dokumentasi nasional yang sedianya ditempatkan di perpustakaan nasional dan perpustakaan daerah (lihat penjelasan tentang Dokumentasi di atas). Klasifikasi peraturan-peraturan yang memiliki dampak pada kegiatan kesenian dan kebudayaan:
Fiskal o Pada intinya aturan mengenai fiskal (lalu lintas barang masuk dan keluar dari wilayah Indonesia). Namun demikian, kami juga memasukkan beberapa peraturan tentang perpajakan ke dalam klasifikasi ini. Dalam peraturan-peraturan tersebut ada beberapa perkecualian untuk kegiatan kesenian. Hak atas Kekayaan Intelektual o Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) tidak ditujukan secara khusus untuk pengaturan kegiatan kesenian atau kebudayaan. Dalam prakteknya, peraturan-peraturan tersebut menjadi relevan untuk kegiatan kesenian dan kebudayaan, antara lain dengan adanya pengakuan hak cipta. Hak Asasi Manusia o Relevansi Hak Asasi Manusia dengan kegiatan kesenian dan kebudayaan, terutama berhubungan dengan adanya jaminan kebebasan berekspresi. Industri o Industri kecil dipandang sebagai peluang untuk mengembangkan seni sebagai karya inovatif yang memiliki nilai ekonomis. Otonomi Daerah o Adanya otonomi daerah, secara tidak langsung sangat mempengaruhi kebijakan kebudayaan, karena pengambilan keputusan dan kewenangan yang didelegasikan ke daerah. Pornografi o Pengaturan pornografi dalam konteks kegiatan kesenian dan kebudayaan sebenarnya berhubungan dengan isu kebebasan berekspresi. Namun karena sifatnya yang lebih khusus – bahkan masih dapat diperdebatkan, kami sengaja membuat klasifikasi terpisah.
Tahun Ditetapkan Untuk tahun penetapan peraturan bersangkutan, kami juga menemui beberapa fakta menarik, yaitu masa-masa di mana pengaturan menyangkut kegiatan kesenian dan PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
15
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
kebudayaan sedang marak-maraknya. Hal ini dapat dilihat dari periode penetapan yang ditunjukkan oleh tabel di bawah ini.
Tabel 2.1.3. Periode Penetapan Peraturan Yang Teridentifikasi
Dari gambaran tabel di atas, bisa kita lihat bahwa terdapat dua periode yang cukup menonjol, yaitu periode 1991-1995 dan sekitar waktu itu (selanjutnya disebut Periode I) dan periode 1999-2008 dan sekitar waktu itu (selanjutnya disebut Periode II). Periodeperiode tersebut – di saat jumlah peraturan yang ditetapkan terlihat cukup mencolok, menunjukkan bahwa ada aktivitas pemerintah yang cukup signifikan berkaitan dengan pengaturan kegiatan kesenian dan kebudayaan di Indonesia. Di samping itu, dari grafik tersebut, juga terlihat adanya kecenderungan peningkatan jumlah peraturan yang ditetapkan dari tahun ke tahun. 2.2. Hipotesis
Berdasarkan hasil pengelompokan data penelitian sebagaimana telah dipaparkan di atas, dapat dibuat beberapa hipotesis atau dugaan, sebelum dapat diperdalam lagi. Pendalaman akan dijelaskan pada Bab 3 laporan ini, setelah memperhitungkan konteks sosial politik yang melatarbelakangi pengambilan kebijakan tersebut. Hipotesis-hipotesis yang akan kami sampaikan di bawah ini, murni berdasar pada data-data yang kami temukan. Hasil bacaan berdasarkan jenis peraturan yang teridentifikasi Hipotesis 1: terlihat kecenderungan pengaturan yang terfokus pada level pengaturan pada tataran abstrak (didominasi oleh UU, PP, dan Keppres).
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
16
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Diagram 2.2.1. Jenis Peraturan Yang Teridentifikasi
Dari data jenis peraturan yang teridentifikasi, nampak jelas bahwa sebagian besar peraturan (produk kebijakan) berupa UU, PP, dan Keppres. Ini menunjukkan adanya indikasi pengaturan hanya pada tataran abstrak saja, serta tidak disertai pertimbangan implementasi aturan tersebut. Pertama-tama, harus diakui, bahwa dengan adanya sumber data terbatas yang kami pakai (yang hanya berisi aturan di level UU hingga Inpres), maka hasil penelitian ini didominasi oleh peraturan-peraturan di level abstrak saja. Meskipun demikian, apabila kita mencoba untuk melihat lebih lanjut lagi dalam beberapa topik tertentu, maka memang terdapat beberapa indikasi yang menunjukkan kecenderungan tersebut. Yang pertama adalah mengenai pengaturan tentang dokumentasi karya seni yang diatur dengan UU No. 4/1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam. Pelaksanaan serah simpan tersebut baru diatur sampai level PP. Pada kenyataannya tidak ada aturan yang mengatur tugas dan tanggungjawab pelaksana sendiri (perpustakaan nasional dan perpustakaan daerah) dalam pengelolaan karya yang diserahsimpankan. Sehingga tidak aneh apabila peraturan tersebut tidak efektif.17 Pada tahun 2006, di Jakarta justru muncul Perda yang menyerahkan penanggungjawaban pengelolaan kepada Gubernur (Perda DKI Jakarta No. 6/2006 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam). Padahal, sesuai dengan aturan di atasnya, masalah ini sebenarnya menjadi tugas dan tanggungjawab Kepala Perpustakaan Nasional.18
17
Pembahasan lebih lanjut mengenai topik dokumentasi tersebut dapat dilihat pada Bab 4. Lihat pasal 15 dan pasal 22 PP No. 70/1991. Kami menduga otonomi daerah dan perubahan struktur perpustakaan (dulu perpustakaan daerah ada di bawah kendali perpustakaan nasional) mempengaruhi hal ini. 18
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
17
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Contoh ke dua adalah pengaturan mengenai pengesahan kerjasama bilateral kebudayaan. Pengaturan mengenai hal ini terbukti paling banyak teridentifikasi dalam penelitian kami (total 18 peraturan). Meskipun demikian, pada kenyataannya tidak semua kerjasama kebudayaan dilanjutkan dengan tindakan konkrit. Bahkan, tidak semua lampiran pengesahan yang memuat isi perjanjian mudah untuk didapatkan. Dari data penelusuran kami sendiri, salah satu perjanjian kerjasama bilateral yang disahkan, telah batal karena melewati jangka waktu, tanpa ada tindak lanjut yang nyata atas kerjasama tersebut.19 Hasil bacaan berdasarkan klasifikasi peraturan yang paling banyak muncul Hipotesis 2: terlihat kecenderungan pengaturan yang bersifat formil (tidak tertuju pada pemecahan suatu masalah atau usaha untuk mewujudkan ide tertentu).
Tabel 2.2.2. Klasifikasi Peraturan Yang Teridentifikasi Lebih Dari 10 (Sepuluh) Peraturan
Hipotesis 2 ini masih berhubungan dengan hipotesis 1 di atas. Pengaturan yang hanya ada di level abstrak, dengan sendirinya tidak akan menjangkau permasalahan hingga level implementasi. Hal ini mungkin saja disebabkan karena pembentukan peraturan itu sendiri tidak berangkat dari suatu masalah tertentu – sehingga pada akhirnya juga menjadi tidak penting apakah hal yang diatur di dalam peraturan-peraturan tersebut terwujud ataupun tidak. Bisa juga, peraturan-peraturan tersebut telah didasari oleh suatu masalah tertentu yang ingin dipecahkan, namun tidak disertai dengan pertimbangan atau tindak lanjut dari ditetapkannya peraturan tersebut. Yang jadi pertanyaan kemudian, apa sebenarnya yang menjadi maksud pembuat kebijakan dalam menentukan aturan tersebut? Apakah kebijakan tersebut diambil memang untuk pengembangan kegiatan kesenian dan kebudayaan Indonesia? Mengapa tidak ada tindak lanjut? Untuk menjawab hal ini secara tepat, sebaiknya kita melihat
Bagaimanapun juga, kalaupun ternyata itu terjadi, tidak ada antisipasi pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah untuk memastikan efektivitas peraturan tersebut pada tataran implementasi. 19 Lihat Keppres No. 70/2000 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Republik Kuba mengenai kerjasama kebudayaan yang berlaku selama 5 (lima) tahun dengan kemungkinan diperpanjang.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
18
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
aturan-aturan tersebut itu sendiri. Hal ini pula yang akan diperjelas di dalam Bab 4 nanti – yang antara lain juga akan membahas pengaturan mengenai dokumentasi karya seni. Bagaimanapun juga, dari bacaan umum yang bisa kita dapatkan dari beberapa klasifikasi peraturan yang banyak muncul, terlihat beberapa fakta yang menunjukkan adanya kecenderungan pengaturan yang bersifat formil (tidak tertuju pada pemecahan suatu masalah atau usaha mewujudkan suatu ide tertentu). Kerjasama bilateral, misalnya, banyak dijumpai pada masa-masa awal pemerintahan suatu rezim tertentu. Pemerintah Orde Baru terlihat menonjol pada masa awal 70-an. Sedang pada masa reformasi terlihat giatnya pemerintahan Abdurrahman Wahid mengesahkan kerjasama bilateral kebudayaan (5 peraturan dalam waktu satu tahun). Dalam hal ini, motif politik untuk menjalin hubungan luar negeri pemerintah bersangkutan dengan pemerintah negara lain mungkin berperan besar dalam pengambilan keputusan, meskipun tak menutup kemungkinan ada motif pemerintah untuk menghapus hegemoni kebudayaan tertentu di Indonesia.20 Tahun Ditetapkan
Jumlah Kerjasama Bilateral
1959
1
1968
1
1970
1
1971
1
1972
1
1974
1
1975
1
1980
1
1989
1
2000
5
2002
1
2004
1
2005
1
2007
1
Total
18
Tabel 2.2.3. Pengesahan Perjanjian Kerjasama Bilateral Kebudayaan dari Tahun ke Tahun
Selain kerjasama bilateral, pajak/retribusi daerah menempati posisi yang cukup menonjol, terutama pada awal tahun 2000-an. Data yang kami kumpulkan inipun belum mencakup data seluruh Perda di Indonesia. Maraknya pengaturan ini hampir pasti disebabkan oleh pemberlakuan otonomi daerah (UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah), sehingga membuat pengambilan keputusan (kebijakan) di 20
Wawancara Abdurrahman Wahid (13 Maret 2009).
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
19
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
daerah menjadi lebih aktif. Hal ini berlaku, tanpa kecuali, untuk pengaturan mengenai pajak/retribusi hiburan. Uniknya, pengaturan mengenai pajak masih cenderung seragam, sehingga belum nampak ada rasio obyektif yang dipakai sebagai patokan pengaturan tersebut. Sehingga, belum terlihat bagaimana instrumen ini digunakan oleh pemerintah sebagai sebuah strategi dalam pengembangan kegiatan kesenian dan kebudayaan. Topik ini akan dikaji lebih dalam lagi dalam Bab 4 nanti. Klasifikasi berikutnya yang juga sering muncul adalah menyangkut peraturan fiskal (12 peraturan). Pengaturan permasalahan fiskal sebenarnya tidak ditujukan secara khusus untuk mengatur kegiatan kesenian dan kebudayaan. Peraturan-peraturan ini lebih merupakan kebijakan keuangan yang untuk beberapa hal memang akan berdampak kepada kegiatan kesenian, seperti misalnya bea yang dikenakan untuk pengadaan pameran di luar negeri. Sehingga, meskipun bukannya tidak menarik untuk dibahas secara praktis (pengetahuan mengenai hal ini akan sangat bermanfaat bagi para seniman), namun secara umum hal ini – sebagaimana peraturan mengenai pajak/retribusi daerah, hanya baru menunjukkan belum adanya penggunaan yang optimal dari instrumen ini untuk mendukung pengembangan kegiatan kesenian dan kebudayaan. Topik ini juga akan dibahas lagi secara lebih rinci di dalam Bab 4. Seperti klasifikasi-klasifikasi sebelumnya, peraturan-peraturan yang menyangkut pendidikan seni juga masih bersifat formil. Hal ini paling tidak nampak dari adanya peraturan-peraturan yang terfokus pada pembentukan sekolah seni dan penyesuaian lembaga tersebut dengan sistem pendidikan nasional yang baru (UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Sebagaimana topik-topik sebelumnya, topik ini juga akan kami bahas lagi di dalam Bab 4. Hasil bacaan tahun ditetapkannya peraturan-peraturan tersebut Hipotesis 3: terlihat kecenderungan tindakan aktif pemerintah pada periode 19911995 dan 1999-2008 yang ditujukan atau dapat berdampak pada kegiatan kesenian dan kebudayaan di Indonesia.
Tabel 2.2.3. Jumlah Peraturan dari Tahun ke Tahun PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
20
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Dari keseluruhan data yang berhasil kami kumpulkan, terlihat adanya lonjakan tajam jumlah peraturan teridentifikasi pada periode 1991-1995 (Periode I) dan periode 19992008 (Periode II). Peningkatan jumlah pengaturan tersebut menunjukkan kemungkinan adanya tindakan aktif pemerintah pada periode tersebut sehubungan dengan pengembangan kegiatan kesenian dan kebudayaan. Meskipun sama-sama menunjukkan aktifnya peran pemerintah, sebenarnya terdapat pula perbedaan yang cukup mendasar, dilihat dari isi peraturan-peraturan yang teridentifikasi. Untuk Periode I dan sekitar waktu itu terlihat sekali pengaturan yang memang ditujukan secara spesifik untuk mengatur masalah seni dan budaya di Indonesia seperti terlihat pada tabel berikut ini. Nama Peraturan
Jenis Peraturan
Tahun Ditetapkan
Klasifikasi
UU No. 4/1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam PP No. 70/1991 tentang Pelaksanaan Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam UU No. 5/1992 tentang Cagar Budaya UU No. 8/1992 tentang Perfilman Keppres No. 1/1992 tentang PENGELOLAAN TAMAN WISATA CANDI BOROBUDUR DAN TAMAN WISATA CANDI PRAMBANAN SERTA PENGENDALIAN LINGKUNGAN KAWASANNYA Keppres No. 21/1992 tentang PENDIRIAN SEKOLAH TINGGI SENI INDONESIA SURAKARTA Keppres No. 22/1992 tentang Pendirian Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar Irmendagri 5A/1993 tentang Pembentukan Dewan Kesenian PP No. 7/1994 tentang Lembaga Sensor Film
Undang-Undang
1990
Dokumentasi
Peraturan Pemerintah
1991
Dokumentasi
Undang-Undang
1992
Cagar Budaya
Undang-Undang
1992
Film
Keputusan Presiden
1992
Cagar Budaya
Keputusan Presiden
1992
Pendidikan Seni
Keputusan Presiden
1992
Pendidikan Seni
Instruksi Menteri
1993
Dewan Kesenian
Peraturan Pemerintah
1994
Film
PP No. 8/1994 tentang Badan Pertimbangan Perfilman Nasional
Peraturan Pemerintah
1994
Film
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
21
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
PP No. 6/1994 tentang Usaha Perfilman
Peraturan Pemerintah
1994
Film
Keppres No. 59/1995 tentang Pendirian Sekolah Tingi Seni Indonesia Bandung UU No. 9/1995 tentang Usaha Kecil UU No. 10/1995 tentang Kepabean PP No. 19/1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum PP No. 31/1995 tentang Komisi Banding Paten
Keputusan Presiden
1995
Pendidikan Seni
Undang-Undang
1995
Industri
Undang-Undang
1995
Fiskal
Peraturan Pemerintah
1995
Cagar Budaya
Peraturan Pemerintah
1995
HKI
PP No. 32/1995 tentang Komisi Banding Merek
Peraturan Pemerintah
1995
HKI
Tabel 2.2.4. Peraturan-Peraturan Yang Dibuat Pada Periode I (1991-1995)
Peraturan yang secara jumlah cukup menonjol dan berkaitan langsung dengan kegiatan kesenian pada Periode I dan sekitar waktu itu: pengaturan tentang serah simpan karya cetak dan karya rekam, pengaturan tentang film, pendirian sekolah-sekolah seni, dan pengaturan tentang cagar budaya. Pada periode ini pula pembentukan dewan-dewan kesenian provinsi di seluruh Indonesia ditetapkan.21 Apabila kita amati lebih lanjut lagi, dari karakter peraturan yang teridentifikasi pada periode tersebut, ada kebijakan kesenian yang terpusat (penekanan pada peran aktif pemerintah dalam membentuk budaya). Ada usaha untuk mengatur dokumentasi, mengatur film (termasuk pendirian lembaga sensor film), pendirian sekolah-sekolah seni, hingga pembentukan dewan kesenian di seluruh Indonesia. Apakah memang begitu adanya? Pada prinsipnya hal ini baru merupakan hipotesis berdasarkan data yang berhasil kami kumpulkan. Untuk menjawab pertanyaan ini dengan lebih jernih lagi, perlu dilihat pula konteks sosial politik yang terjadi waktu itu. Hal ini akan dibahas lagi di dalam Bab 3. Sementara itu, berbeda dengan Periode I, peraturan-peraturan pada Periode II cenderung tidak secara langsung mengatur permasalahan seni dan budaya. Klasifikasi peraturan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
21
Irmendagri No. 5A/1993 tentang Pembentukan Dewan Kesenian.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
22
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Tahun Ditetapkan
Klasifikasi
Total
1999
Penghargaan Seni
1
Dokumentasi
1
HAM
1
Pendidikan Seni
2
Adat Budaya
1
Fiskal
2
HKI
1
Kerjasama Bilateral
5
Pajak/Retribusi Daerah
1
Pariwisata
1
HKI
2
Otonomi Daerah
1
Pajak/Retribusi Daerah
5
HKI
1
Kerjasama Bilateral
1
Pajak/Retribusi Daerah
4
Penyiaran
1
Birokrasi
1
Pajak/Retribusi Daerah
1
Pendidikan Seni
1
Adat Budaya
1
Penghargaan Seni
1
Kerjasama Bilateral
1
Otonomi Daerah
1
Fiskal
1
Kerjasama Bilateral
1
Pajak/Retribusi Daerah
1
Pariwisata
1
Pendidikan Seni
2
Penyiaran
3
Perjanjian Internasional
2
Dewan Kesenian
1
Dokumentasi
1
Fiskal
1
Otonomi Daerah
1
Pendidikan Seni
1
Fiskal
1
Kerjasama Bilateral
1
Otonomi Daerah
1
Pendidikan Seni
1
Perjanjian Internasional
1
Perpustakaan
1
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
23
[LAPORAN HASIL PENELITIAN] 2008
Total
Juni, 2009 Fiskal
3
Pariwisata
1
Pornografi
1 65
Tabel 2.2.5. Klasifikasi Peraturan-Peraturan Yang Dibuat Pada Periode II
Permasalahan-permasalahan menonjol yang diatur pada Periode II berhubungan dengan topik pajak/retribusi daerah (12 peraturan), kerjasama bilateral (9 peraturan), fiskal (8 peraturan) dan pendidikan seni (7 peraturan). Untuk permasalahan kebijakan bilateral kebudayaan dan pajak/retribusi daerah sudah disinggung sebelumnya. Pada prinsipnya memang ada kecenderungan politik luar negeri sebuah rezim baru untuk membuka hubungan kerjasama kebudayaan dengan negara lain, sedang untuk masalah pajak/retribusi daerah – yang notabene mengatur pajak/retribusi hiburan, tak lepas dari isu pendelegasian wewenang ke daerah pasca berlakunya otonomi daerah sejak tahun 1999. Di samping dua klasifikasi tersebut, klasifikasi-klasifikasi lain yang menonjol, pada prinsipnya tidak menunjukkan peran pemerintah dalam membentuk budaya tertentu. Banyaknya peraturan fiskal lebih berhubungan dengan adanya pembenahan dalam kebijakan keuangan – yang pada titik tertentu menyangkut kegiatan kesenian dan kebudayaan, serta peraturan-peraturan menyangkut pendidikan seni hanya mengatur perubahan institusional sekolah-sekolah seni dengan diundangkannya UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur bentuk-bentuk baku institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Hipotesis ke tiga ini setidaknya menguatkan perlunya perhatian khusus pada dua periode tersebut, dalam mencari penjelas arah kebijakan kebudayaan di Indonesia. Apa yang sebenarnya terjadi dalam periode-periode tersebut? Mengapa peraturanperaturan ini ditetapkan. Hal ini akan kita bahas dalam Bab 3.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
24
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
3. Konteks Sosial Politik: Kebijakan Kebudayaan di Indonesia Seperti sudah disinggung sebelumnya di dalam Bab 2, hasil penelitian kami menunjukkan adanya kecenderungan pengaturan pada level abstrak yang bersifat formil, serta banyaknya peraturan menyangkut kegiatan kesenian dan kebudayaan yang dibuat pada periode 1990-1995 (Periode I) dan 2000-2008 (Periode II). Meskipun demikian, hanya dengan melihat kondisi sosial politik yang melatari pengambilan kebijakan (penetapan peraturan) pada Periode I dan Periode II tersebut, tidak akan memberikan gambaran yang jelas tentang konteks sosial politik yang melatarbelakangi fenomena ini. Peraturan bukanlah sesuatu yang jatuh begitu saja dari langit. Faktor-faktor yang menyebabkan lahirnya suatu peraturan, timbul dari suatu proses yang berkelanjutan. Untuk itu, dalam pembahasan mengenai konteks sosial politik yang melandasi lahirnya peraturan-peraturan yang menyangkut kegiatan kesenian dan kebudayaan, perlu dilihat juga bagaimana perkembangan kebijakan kebudayaan di Indonesia dari waktu ke waktu. Dalam memahami konteks sosial politik ini, kami sangat terbantu dengan adanya disertasi yang ditulis oleh Tod Jones mengenai kebijakan kebudayaan Indonesia dari tahun 1950-2003.22 Dalam disertasi tersebut, antara lain digambarkan kebijakan kebudayaan di Indonesia dari masa kolonial (Hindia Belanda) hingga masa akhir reformasi, berikut dinamika di dalamnya. Gambaran tersebut tentu dapat lebih memperjelas gambaran umum yang sebelumnya telah kami paparkan di dalam Bab 2. Untuk menyesuaikan dengan ruang lingkup penelitian kajian hukum ini, terutama sehubungan dengan konteks politik, kami akan fokus pada peran pemerintah dan tujuan (rasio) kebijakan kebudayaan yang diambil. Di samping itu, informasi yang kami dapatkan dari para narasumber, dapat digunakan sebagai penjelas konteks sosial yang ada. 3.1. Kebijakan Kebudayaan di Indonesia
Kebijakan kebudayaan di masa kolonial Kebijakan kebudayaan di masa kolonial yang mempunyai pengaruh besar terhadap perspektif kebijakan-kebijakan kebudayaan pada masa-masa sesudahnya, adalah adanya upaya pembudayaan dari pemerintah kolonial. Masyarakat saat itu diperlakukan sebagai dua kelompok masyarakat berbeda: (1) masyarakat bangsa Eropa dan (2) masyarakat pribumi. Kebijakan kebudayaan ditujukan di satu sisi untuk memfasilitasi perkembangan budaya Eropa di antara masyarakat bangsa Eropa sebagai alat untuk menumbuhkan kesadaran kewarganegaraan, sedang di sisi lain ditujukan sebagai alat
22
Tod Jones (2005), Indonesian Cultural Policy, 1950-2003: Culture, Institutions, Government, Thesis, Curtin University of Technology.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
25
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
kontrol terhadap perkembangan budaya di antara masyarakat pribumi yang dianggap masih terbelakang. Kebijakan kebudayaan pemerintah kolonial yang ditujukan untuk membudayakan masyarakat pribumi, pada kenyataannya menimbulkan perdebatan-perdebatan yang tak kalah keras. Ide-ide akan bentuk “orang pribumi yang berbudaya” mendapatkan tanggapan dari orang-orang pribumi sendiri tentang kesempurnaan budaya orang pribumi, terutama setelah adanya kesadaran politik nasionalistis di Indonesia. Pada hakekatnya, perspektif yang dipakai oleh pemerintah kolonial, maupun kaum nasionalis ketika itu, sama-sama berangkat dari fungsi budaya sebagai alat pembentuk perilaku manusia. Seperti ditulis oleh Tod Jones: “In spite of the differences in methods and goals, the governmental function of culture – its role as a tool to shape the attributes and behaviours of individuals and groups – was central to both colonial era cultural institutions and nasionalist cultural politics.”23
Kebijakan kebudayaan di masa pendudukan Jepang Kebijakan kebudayaan yang melihat budaya sebagai alat pembentuk perilaku, juga masih dipakai pada masa pendudukan Jepang. Meskipun demikian, Jepang memasukkan pesan yang berbeda di dalam kebudayaan yang ditanamkan. Kebijakan kebudayaan Jepang bertujuan untuk membawa ide blok negara-negara Asia, termasuk Indonesia, di bawah kepemimpinan Jepang. Ide ini menggantikan ide pembudayaan yang berpusat pada budaya Eropa di masa pemerintah kolonial Hindia Belanda. “The notion of pan-Asian identity and the formation of a bloc of Asian nations under Japanese leadership were central to Japanese cultural policy. […] … Japan still justified its privileged position and control of other countries through presenting itself as an Asian ‘model for modernity … .”24
Selain adanya karakter kebijakan kebudayaan yang masih serupa dengan masa pemerintahan sebelumnya, pada masa pendudukan Jepang mulai berkembang pula pola-pola mobilisasi masa yang diharapkan dapat mendukung strategi perang Jepang. Sehingga, kebijakan kebudayaan di satu sisi mempunyai tujuan jangka panjang yang berfungsi sebagai alat pembudayaan, namun di sisi lain juga ditujukan kepada kepentingan praktis pemerintah Jepang saat itu. Kondisi tersebut, tidak diterima begitu saja oleh orang-orang Indonesia ketika itu, namun juga dimanfaatkan untuk mencapai tujuan mereka sendiri.25 Kebudayaan 23
Ibid, halaman 73. Ibid, halaman 76-77. 25 Ibid, halaman 80. 24
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
26
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
nasional Indonesia sendiri saat itu mengalami perkembangan yang luar biasa, terutama seniman-seniman Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia), asosiasi seniman yang tidak mendapat tempat di masa kolonial karena perspektif anti-kolonial para seniman yang tergabung di dalamnya.26 Namun demikian, beberapa elemen kebijakan kebudayaan Jepang tetap mempengaruhi kebudayaan Indonesia, yaitu usaha mendorong adanya perubahan singkat yang diharapkan dapat segera membudayakan masyarakat Indonesia, serta propaganda perang yang sangat dominan. “For the duration of the Japanese occupation, culture was implicated in a much more ambitious attempt at transforming Indonesian society than it was under the Dutch due to the interventionist streak in Japanese governance, which was amplified by the pressures of fighting a war.”27
Kebijakan kebudayaan di masa demokrasi konstitusional Kebijakan kebudayaan di masa demokrasi konstitusional, ditandai dengan adanya dua kutub berbeda dalam menempatkan peran pemerintah. Di satu kutub peran pemerintah dipandang sebagai fasilitator yang membuka ruang seluas-luasnya bagi kebebasan warga negara mengembangkan budayanya masing-masing (visi liberal), sedang di kutub yang lain masih tetap diasumsikan adanya satu budaya nasional yang paripurna. “Cultural policy during Constitutional Democracy was characterised by two contradictory models regarding the role of cultural policy. The first model was a commitment to institutional development that can be characterised as a broadly liberal model of cultural regulation. […] The second model was centred on the process of synthesis that it was assumed would create a national culture.”28
Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, meskipun tetap ada upaya membudayakan masyarakat, peran pemerintah ketika itu hanya terbatas sebagai fasilitator. Sehingga, perdebatan mengenai budaya nasional bergulir di antara kelompok-kelompok seni sendiri – yang tumbuh dan berkembang di masa itu. Secara normatif peran pemerintah diatur dengan tegas di dalam konstitusi yang secara eksplisit melindungi adanya kebebasan dalam seni, budaya, dan ilmu pengetahuan. “Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebudajaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan. Dengan mendjundjung azas ini maka penguasa memadjukan sekuat tenaganja perkembangan kebangsaan dalam kebudajaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan.”29
Kebijakan kebudayaan di masa demokrasi terpimpin Demokrasi terpimpin ditandai dengan kembalinya UUD 1945. Sistem parlementer pada periode demokrasi konstitusional digantikan dengan sistem presidensiil yang 26
Ibid, halaman 82. Ibid, halaman 90. 28 Ibid, halaman 114. 29 Pasal 40 UUDS 1950. 27
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
27
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
memberikan kekuasaan besar kepada presiden. Dengan berlakunya kembali UUD 1945, maka berlaku pula perspektif kebudayaan dari tahun 1945 yang menekankan pada proses pencapaian budaya nasional di bawah kendali pemerintah. Elemen kebebasan yang disebut secara eksplisit dalam aturan konstitusi sebelumnya (UUDS) kembali hilang. “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.”30
Kombinasi antara peran presiden yang cukup besar dan ide budaya nasional yang sempurna, membuat Soekarno ketika itu menjadi pusat dari pembentukan kebudayaan nasional Indonesia. Sebagai seorang penggalang solidaritas yang handal, Soekarno selalu menekankan pentingnya persatuan. Dalam situasi seperti itu, organisasi-organisasi kesenian yang sudah ada dan pada dasarnya memiliki pandangan budaya berbeda, berlomba-lomba untuk memperjuangkan konsep budayanya sebagai konsep budaya Indonesia. “The activities of non-government arts organisations were an important element of cultural policy during Guided Democracy. Guided Democracy differed from Constitutional Democracy in that artists’ associations were being urged to adopt political themes and particular style that demonstrated political support for Sukarno.”31
Meskipun adanya persaingan antara organisasi-organisasi seni dan budaya tersebut telah berhasil menumbuhkan kesadaran politik secara masif melalui mobilisasi, namun mereka belum mampu merumuskan bagaimana perubahan sosial politik yang lebih terstruktur mesti terjadi.32 Presiden Soekarno sendiri pada akhirnya terlibat dalam pertarungan tersebut, serta lebih condong kepada ide-ide kiri. Dari data peraturan yang kami kumpulkan, gejala ini bisa dilihat dari ditetapkannya Peraturan Presiden No. 26/1960 tentang Pemberian Hadiah Seni yang menegaskan keberpihakan pemerintah terhadap konsep U.S.D.E.K. (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia).33 Kebijakan kebudayaan di masa Orde Baru Kebijakan kebudayaan di masa Orde Baru, setidaknya dapat dibagi ke dalam dua fase yang berbeda, yaitu pada awal berdirinya Orde Baru hingga periode 70-an dan pada periode 80-an dan 90-an.
30
Pasal 32 UUD 1945 (sebelum amandemen). Tod Jones (2005), halaman 133. 32 Ibid. 33 Pasal 3 Perpres No. 26/1960. 31
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
28
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
“The element of cultural policy where changes […] occurred was not its techniques or its governmental function but in cultural policy’s normative model. In other words, cultural policy was attempting to shape a new type of cultural subject suitable for the New Order era.”34
Pada awalnya, kebijakan kebudayaan di masa Orde Baru tidak bisa dilepaskan dengan situasi pada masa pemerintahan sebelumnya. Berdirinya Orde Baru sendiri merupakan antitesa dari kondisi politik di masa demokrasi terpimpin. Meskipun tidak secara langsung terhubung dengan pemerintah – sebagaimana LEKRA dan LKN di masa demokrasi terpimpin, organisasi-organisasi seni yang anti-komunis mendapatkan dukungan khusus dari pemerintah.35 Tak hanya menutup ruang bagi berkembangnya pemikiran kiri, pemerintah Orde Baru juga berusaha untuk melakukan depolitisasi di segala bidang kehidupan, termasuk ekspresi seni dan budaya, untuk kepentingan kekuasaannya.36 Sehingga, meskipun dalam beberapa hal pemerintah Orde Baru memberi ruang bagi berkembangnya seniman-seniman liberal, tetapi secara prinsip ada penolakan terhadap ide liberal itu sendiri dengan motif yang berbeda dengan pemerintah sebelumnya. “Although some assumptions are shared with Sukarno’s notion of ‘national identity’, such as an association of individualism, liberalism and materialism with a Western other, culture under Suharto was used to justify a conservatism that justified and buttressed the political power of the New Order regime.”37
Kontradiksi tersebut – di satu sisi dukungan terhadap seniman-seniman liberal untuk melawan ideologi kiri, namun di sisi lain pandangan konservatif untuk kepentingan politik rezim yang berkuasa, pada akhirnya menentukan kebijakan kebudayaan yang diambil pada periode 80-an dan 90-an. Berkembangnya perekonomian pada periode tersebut, selain dapat dijadikan sebagai legitimasi kuat bagi pemerintah untuk terus berkuasa, juga memberikan ruang bagi berkembangnya kelas menengah di Indonesia.38 Dalam latar sosial seperti ini, maka semangat kritis dan tuntutan akan terbukanya ruang yang lebih bagi kebebasan berekspresi menjadi keniscayaan yang tentu saja mengancam legitimasi pemerintahan itu sendiri. Hal ini membuat pemerintah Orde Baru pada periode 80-an dan 90-an berusaha untuk menyikapi hal ini. “The regime’s response to a changing society in the late 1980s and 1990s was to attempt to reinforce the political order and their governmental discourses. It attempted to strengthen the
34
Tod Jones (2005), halaman 201. Ibid, halaman 159. Hal ini antara lain dapat dilihat dari sejarah pendirian DKJ dan seniman-seniman yang terlibat di dalamnya, serta beberapa perjanjian kerjasama bilateral setelah itu dengan negara-negara Eropa Barat. 36 Ibid, halaman 150. 37 Ibid, halaman 174. 38 Ibid, halaman 168. 35
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
29
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
official ‘cultural process’ in the face of a broader and more pervasive cultural process unleashed by New Order economic policies.”39
Reaksi yang kemudian ditunjukkan oleh pemerintah Orde Baru ketika itu, sebenarnya adalah data-data yang pada Bab 2 tadi telah dipetakan sebagai Periode I (1991-1995). Yang menarik untuk diamati lebih lanjut lagi, adalah aturan mengenai perfilman dan aturan mengenai dokumentasi. Untuk aturan mengenai perfilman, meskipun ada beberapa peraturan yang sifatnya institusional, terlihat adanya reaksi defensif pemerintah “untuk menjaga agar kehidupan dan pertumbuhan perfilman dapat tetap berjalan seiring dengan pandangan hidup dan kebudayaan bangsa, serta melindungi masyarakat akan dampak negatif yang diakibatkan …”.40 Kebijakan kebudayaan sebagai alat kontrol pemerintah sangat terlihat dalam pertimbangan tersebut. Sementara itu, aturan mengenai dokumentasi (serah simpan karya cetak dan karya rekam), selain menunjukkan reaksi defensif pemerintah yang cukup konservatif ketika itu, juga menyimpan permasalahan lain. Sekalipun dilandasi dengan ide positif untuk “mewujudkan koleksi karya-karya tersebut sebagai hasil budaya bangsa, sehingga terwujud suatu koleksi nasional yang lengkap …”,41 cara untuk mewujudkan hal tersebut hendak dicapai melalui pembebanan kewajiban (dengan ancaman pidana) kepada warga negara. Aturan mengenai tanggungjawab pengelola sendiri sangat minim, dalam arti tidak jelas bagaimana pengelolaan tersebut mesti dilakukan. Sehingga, selain menunjukkan adanya upaya dominasi pemerintah atas kehidupan warga negara, peraturan seperti ini juga menunjukkan bahwa pemerintah sendiri sebenarnya tidak siap dengan pengelolaan institusi semacam itu. Kebijakan kebudayaan di masa reformasi Reformasi yang diharapkan menjadi momentum untuk mengembalikan kebebasan warga negara atas dominasi pemerintah, pada kenyataannya belum menjadi sesuatu yang diwujudkan oleh pemerintahan-pemerintahan di era reformasi. Seperti ditulis oleh Tod Jones: “Unlike the beginnings of Guided Democracy and the New Order, where there were preferred cultural discourses that were soon linked with policies, the governments of the Reform era have not provided or adopted strong alternative cultural discourses.”42
39
Ibid, halaman 174. Lihat Penjelasan UU No. 8/1992 tentang Perfilman. 41 Lihat Penjelasan UU No. 4/1990 tentang Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam. 42 Tod Jones (2005), halaman 230. 40
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
30
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Kebijakan kebudayaan di masa reformasi, ditandai dengan dua hal penting, yaitu meningkatnya identitas lokal sebagai akibat desentralisasi dan berkembangnya isu pariwisata yang mendominasi sektor kebudayaan. “Firstly,ethnic and regional identity politics became increasingly important in the context of decentralisation. Secondly, culture’s role was challenged in a contentious restructure that took the culture portfolio out of education and joined it with tourism.”
Pendapat tersebut ada benarnya. Mirip dengan data yang kami dapat, meskipun tidak dominan sebagai upaya perumusan kebijakan budaya, tidak sedikit peraturan yang menyangkut kegiatan kesenian dan kebudayaan. Meskipun begitu, banyak peraturan dari masa sebelumnya tidak mengalami proses peninjauan kembali untuk disesuaikan dengan konteks politik baru yang lebih terbuka. Padahal, di sisi lain, aturan konstitusi sendiri telah berubah dengan memasukkan kembali elemen kebebasan warga negara.43 “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”44
Meskipun mungkin perubahan tersebut terjadi tanpa sadar, sehingga belum mampu mewujudkan suatu perubahan yang komprehensif sampai saat ini, ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati lebih lanjut lagi. Pertama, memang telah ada perubahan di dalam konstitusi Republik Indonesia. Selain menyangkut pandangan negara akan kebudayaan itu sendiri, juga menyangkut pemerintahan daerah dengan pengakuan otonomi daerah.45 Hanya saja, akibat dari adanya otonomi daerah pada peraturan-peraturan yang ada, bukan di titik perumusan identitas lokal, namun pada adanya perubahan pengaturan mengenai pajak hiburan akibat perubahan jenis pajak/retribusi dan lingkup kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kota/kabupaten.46 Sementara itu, kebijakan kebudayaan yang kemudian diarahkan pada sektor pariwisata juga terlihat cukup jelas. Selain berpisahnya Direktorat Kebudayaan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan akhirnya melebur pada Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,47 beberapa peraturan sesudahnya menunjukkan aktivitas kebijakan di sektor pariwisata, termasuk penetapan UU No. 10/2009 tentang Kepariwisataan Indonesia. 48
43
Bandingkan dengan rumusan di dalam UUDS yang sudah disinggung sebelumnya. Pasal 32 ayat (1) UUD 1945. 45 Lihat juga Pasal 18 UUD 1945. 46 Kata ‘pada peraturan-peraturan yang ada’ ditekankan untuk menunjukkan bahwa analisa dilakukan pada level normatif. Tentu tidak tertutup kemungkinan bahwa pada level-level lain (misalnya sosial, politik, atau budaya) pembentukan identitas lokal terjadi. Di level peraturan sendiri hanya terdeteksi Qanun (peraturan daerah) Provinsi NAD No. 12/2004 tentang Kebudayaan Aceh yang menunjukkan gejala adanya pengaturan identitas lokal. 47 Lihat Keppres No. 29/2003 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No. 101/2001 tentang Keduduk 44
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
31
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Memang benar bahwa tidak nampak ada kebijakan yang ditujukan secara khusus (meskipun RUU Kebudayaan sendiri saat ini sedang dalam tahap persiapan), tetapi beberapa peraturan mengenai pengesahan perjanjian kerjasama bilateral di era pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2000) terlihat cukup masif. Di masa awal pemerintahan Abdurrahman Wahid, banyak perjanjian bilateral kebudayaan dibuat dengan negara-negara lain, termasuk negara-negara yang dulunya merupakan “Blok Timur” yang dianggap berseberangan oleh pemerintah Orde Baru, seperti Cina, Rusia, dan Kuba. Selain itu, pemerintahan Abdurrahman Wahid juga mencabut Inpres No. 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, Adat Istiadat Cina.49 Hal ini setidaknya menunjukkan adanya upaya untuk mendorong ke arah kebijakan kebudayaan yang lebih terbuka.50 3.2. Kebijakan Kebudayaan di Mata Seniman
Sehubungan dengan paparan perkembangan kebijakan kebudayaan di Indonesia seperti telah dijelaskan di atas, narasumber yang kami wawancarai adalah para seniman yang terutama aktif berkesenian di masa Orde Baru dan masa reformasi. Di mata para seniman tersebut, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah dianggap belum mampu mengembangkan sektor seni dan budaya di Indonesia.51 Di samping itu, tidak semua peraturan yang menyangkut kegiatan kesenian dan kebudayaan, mereka ketahui keberadaannya. Ada beberapa permasalahan menyangkut kebijakan kebudayaan yang diambil oleh pemerintah, namun hal yang paling mendapatkan perhatian oleh sebagian besar narasumber adalah mengenai (1) bagaimana pemerintah menginterpretasikan nilai-nilai seni dan budaya, serta (2) perhatian pemerintah berupa dukungan nyata terhadap sektor seni dan budaya. Dua permasalahan di atas, terlihat sangat jelas apabila kita juga memahami adanya perubahan kebijakan kebudayaan dari masa Orde Baru ke masa reformasi. Seperti sudah dijelaskan di atas, masa akhir pemerintahan Orde Baru adalah masa di mana perhatian pemerintah kepada sektor seni dan budaya sangat tinggi. Di satu sisi, usaha untuk membentuk budaya nasional telah melahirkan peraturan-peraturan yang
an, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden No. 2/2002. Masalah pariwisata akan dibahas khusus di dalam Bab 4. 48 Peraturan ini belum masuk ke dalam daftar yang sudah kami analisa secara umum di dalam Bab 2. 49 Keppres No. 6/2000 tentang Pencabutan Inpres No. 14/1967. 50 Meskipun Abdurrahman Wahid mengaku lupa tentang kebijakan-kebijakan bilateral kebudayaan yang dibuatnya, tetapi dirinya membenarkan bahwa pencabutan tersebut untuk menghindari adanya dominasi budaya Amerika di Indonesia. Wawancara Abdurrahman Wahid (13 Maret 2009). 51 Hasil wawancara dengan berbagai narasumber.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
32
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
konservatif, sedangkan di sisi lain, usaha pemerintah tersebut juga didukung dengan alokasi dana dan penyediaan fasilitas yang besar bagi dunia seni. Menanggapi dua hal tersebut, respon yang kemudian muncul di antara para seniman juga menunjukkan tanggapan yang bertolak belakang. Di satu sisi berupa reaksi positif terhadap adanya ruang bagi kebebasan berekspresi, namun di sisi lain tampak pula reaksi negatif terhadap peran pemerintah yang terlihat abai terhadap masalah seni dan budaya – kecuali melalui kebijakan pariwisata yang itupun dianggap sebagian besar kalangan hanya menempatkan seni sebagai ornamen saja.52 Ruang bagi kebebasan berekspresi dianggap lebih terbuka di masa reformasi ditandai dengan, antara lain, berakhirnya larangan (mekanisme perijinan) untuk pentas di jaman Orde Baru.53 Hal ini wajar terjadi, karena kekuasaan rezim yang berkepentingan untuk melindungi posisi kekuasaannya, juga telah berakhir. Uniknya, hal tersebut terjadi bukan sebagai bentuk kebijakan pemerintahan baru, tetapi merupakan inisiatif para seniman sendiri.54 Seperti sudah disebutkan pula sebelumnya, posisi kebijakan kebudayaan di masa Orde Baru dianggap begitu penting oleh pemerintah, karena berhubungan dengan motif politik pemerintah saat itu. Sehingga, menjadi masuk akal pula, ketika proyekproyek “kebudayaan nasional” yang diidamkan tidak dapat berkembang secara alamiah.55 Yang menarik, proses pembentukan kebudayaan itu sendiri bukan berarti berakhir dengan berakhirnya pemerintahan yang mengagendakan proyek tersebut. Pada kenyataannya, pembentukan kebudayaan itu terus berlangsung melalui agenda masingmasing komunitas seni yang ada di Indonesia. Dari hasil wawancara kami, setidaknya ada beberapa komunitas seni atau budaya yang aktif mewujudkan agenda-agendanya, seperti misalnya proyek kesenian nusantara yang dijalankan oleh LPSN (Lembaga Pendidikan Seni Nusantara) atau proyek pelestarian cagar budaya BPPI (Badan Pelestarian Pusaka Indonesia). Baik dengan usaha sendiri, maupun bekerjasama dengan atau memberikan usulan kepada pemerintah, komunitas-komunitas tersebut telah memiliki misi dan visi sendiri yang terlepas dari sebuah “proyek kebudayaan” yang dilakukan pemerintah. Hal ini tentu merupakan angin segar bagi perkembangan dunia seni dan budaya di Indonesia. Kebebasan berekspresi telah memberi ruang perkembangan komunitaskomunitas seni di Indonesia. Masalahnya, ada beberapa hal yang masih dipandang sebagai hambatan di kalangan seniman sendiri.
52
Wawancara Seno Gumira Ajidarma (19 Maret 2009). Wawancara Ratna Sarumpaet (20 Maret 2009). 54 Tod Jones (2005), halaman 230. 55 Wawancara Endo Suanda (16 Januari 2009). Narasumber menggambarkan bagaimana proyek “Taman Mini” di masa Orde Baru berangkat dari ilusi penguasa ketika itu, sehingga identitas-identitas budaya yang “terpetakan” pada kenyataannya akan berkontradiksi dengan identitas-identitas budaya yang tumbuh secara alamiah. 53
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
33
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Meskipun hambatan dari pemerintah telah berkurang, beberapa seniman menyebutkan bahwa adanya hambatan yang timbul dari sesama warga negara (gangguan berupa konflik horizontal) masih kerap terjadi.56 Hambatan tersebut terjadi karena dalam sebuah masyarakat yang bebas, maka pandangan komunitas yang satu akan dihadapkan kepada pandangan komunitas yang lain. Peran pemerintah dalam memastikan adanya suatu masyarakat yang bebas, mau tak mau tetap dibutuhkan, dalam menjamin kebebasan itu sendiri. Meskipun demikian, salah seorang narasumber kami menandaskan bahwa adanya pandangan konservatif di dalam masyarakat tak akan terhindarkan, karena pandangan tersebut merupakan bagian dari suatu proses yang terjadi sejak di level pendidikan keluarga.57 Sehingga yang kemudian harus dipastikan oleh pemerintah adalah perlindungan atas hak untuk hidup aman, terlepas dari pandangan seperti apa yang diyakini oleh seorang warga negara. Selain perkembangan yang cukup positif dalam hal kebebasan berekspresi, beberapa narasumber yang lain menyoroti pandangan pemerintah mengenai konsep cagar budaya yang sudah kadaluwarsa. Pemahaman mengenai cagar budaya masih tak jauh berbeda dengan pemahaman pemerintah kolonial yang melihat cagar budaya hanya sebagai perlindungan dan pelestarian benda purbakala saja.58 Yang menarik, narasumber-narasumber tersebut berusaha mewujudkan sendiri program-programnya melalui komunitas yang dibuatnya, untuk memperjuangkan pandangannya sendiri terhadap pengertian cagar budaya. Ini merupakan suatu sinyal positif dari berdayanya masyarakat sipil di Indonesia. Kerjasama-kerjasama bilateral kebudayaan juga dapat disebut sebagai salah satu instrumen yang dapat meluaskan perspektif seni dan budaya di Indonesia. Meskipun tidak menyebut secara langsung, salah satu narasumber kami mengisyaratkan bahwa kebijakan-kebijakan kebudayaan di bawah pemerintahannya ditujukan untuk membuka ruang bagi perkembangan seni dan budaya yang lebih beragam di Indonesia.59 Sedang narasumber yang lain sudah melihat peluang pertukaran budaya, melalui masuk dan keluarnya seniman ke dan dari Indonesia. Masalahnya, potensi seni dan budaya di Indonesia belum optimal berkembang, karena adanya hambatan kemampuan sumber daya manusianya.60 Sampai saat ini, belum ada pengembangan pengetahuan mengenai pengelolaan aktivitas seni dan budaya. Permasalahan pengelolaan, sebenarnya sudah masuk ke dalam permasalahan kedua yang disebutkan di atas tadi, yaitu mengenai minimnya dukungan nyata pemerintah bagi perkembangan seni dan budaya di Indonesia. Pengelolaan seni dan budaya yang tidak berjalan, kenyataannya bukan hanya permasalahan komunitas-komunitas seni saja. Di level administrasi negara sekalipun, masalah tersebut masih sangat terlihat. Hal 56
Wawancara Dolorosa Sinaga (15 Januari 2009) dan Ratna Sarumpaet (20 Maret 2009). Wawancara Dolorosa Sinaga (15 Januari 2009). 58 Wawancara Sita Laretna Adisakti dan Suhadi Hadinoto (7 Januari 2009). 59 Wawancara Abdurrahman Wahid (13 Maret 2009). 60 Wawancara John McGlynn (16 Desember 2008). 57
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
34
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
ini pula yang menyebabkan alokasi dana pemerintah yang diperuntukkan bagi sektor seni dan budaya – yang dikemas dalam kebijakan pariwisata, tak mampu menyentuh kebutuhan riil para seniman yang hidup dari dunia seni. Apa kebutuhan riil para seniman? Tentu tak bisa disebutkan “satu” kebutuhan, karena hal ini harus dipelajari dari kasus-kasus yang muncul di lapangan. Dari hasil penelusuran kami, serta data yang kami dapatkan dari narasumber, kebutuhan-kebutuhan riil tersebut, antara lain menyangkut kebijakan kepabeanan (!). Dua narasumber kami mengeluhkan penegakan hukum yang tidak berjalan baik di wilayah pabean, sehingga mempersulit aktivitas mereka dalam mengorganisir pameran-pameran seni.61 Selain itu, hal lain yang disebut adalah mengenai pengelolaan taman budaya. Dari sisi teknis manajemen, pengelolaannya selama ini dianggap gagal.62 Lalu apa yang bisa dilakukan pemerintah ke depannya? Melihat permasalahan di atas, sebenarnya harus ada upaya untuk menata kebijakan kebudayaan yang bersumber kepada permasalahan riil di lapangan. Komunitas-komunitas seni di Indonesia terbukti mampu berkembang dengan sendirinya, meskipun dengan dukungan yang minim. Hal ini terjadi, karena “proyek kebudayaan” tidak lagi terpusat pada satu institusi, tetapi sudah menjadi kerja bersama yang berjalan beriringan. Pemerintah semestinya mulai mencermati kendala-kendala teknis pengelolaan tersebut, untuk memfasilitasi perkembangan komunitas-komunitas seni di Indonesia, ketimbang membentuk “budaya nasional” atau “seni nasional” yang secara alamiah akan terbentuk melalui pemaknaan masing-masing warga negara. 3.3. Kesimpulan
Konteks sosial politik yang melatarbelakangi maraknya pengaturan pada Periode I dan Periode II menunjukkan adanya dua nuansa yang berbeda. Pada Periode I, peraturanperaturan yang dibuat merupakan bagian dari “proyek kebudayaan” pemerintah yang saat itu mendominasi kehidupan sosial masyarakat. Sementara itu, pada Periode II maraknya pengaturan terjadi karena adanya perubahan struktur politik. Perubahan instrumen-instrumen hukum yang disebabkan oleh adanya perubahan struktur politik, ternyata tidak dibarengi dengan kesadaran pemerintah akan sebuah “budaya baru”. Belum ada perubahan atas instrumen-instrumen hukum sebelumnya yang konservatif, berdasar pada adanya perubahan paradigma yang cukup lugas di dalam konstitusi. Pemerintahan-pemerintahan di masa reformasi justru melihat budaya bukan lagi sesuatu yang penting untuk diperhatikan, kecuali sehubungan dengan kebijakan pariwisata di Indonesia. Hanya pemerintahan Abdurrahman Wahid saja yang cukup 61 62
Wawancara Tita Rubi (30 Maret 2009) dan Biantoro (18 Maret 2009). Wawancara John McGlynn (16 Desember 2008).
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
35
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
peduli dengan usaha untuk memberi jalan bagi budaya yang terbuka di Indonesia, meskipun tidak menunjukkan hasil yang konkrit. Kesadaran akan sebuah “budaya baru” yang terbuka, pada hakekatnya muncul dan akan berkembang, tidak lagi dari lembaga pemerintah, melainkan dari masyarakat sendiri. Meski tetap kagok dengan situasi sosial politik yang jelas berbeda, beberapa komunitas seni dan budaya dapat membuat dan mengembangkan program mereka masing-masing. Bagaimanapun juga, harapan kalangan seniman akan adanya dukungan pemerintah tetap saja tinggi. Dalam kondisi seperti ini, perlu ada kebijakan kebudayaan yang diarahkan sebatas pada penyediaan fasilitas, serta mempercayakan proses pembentukan budaya sepenuhnya kepada sebuah proses alamiah. Penekanan perlu dilakukan pada peningkatan kemampuan pengelolaan institusi, serta perhatian serius terhadap masalah-masalah riil yang dihadapi oleh para seniman sendiri.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
36
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
4. Isu-Isu Pilihan Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan Dalam bab-bab sebelumnya telah disinggung secara umum kebijakan kebudayaan di Indonesia, yaitu bagaimana memahami peraturan-peraturan yang ada dalam sebuah kerangka besar. Sekalipun pendekatan seperti itu dapat memudahkan kita melihat hubungan antara peraturan-peraturan yang ditemukan dengan tujuan-tujuan yang hendak diwujudkan oleh pemerintah, serta mungkin merumuskan masalah secara global, namun untuk memikirkan solusinya tidak akan semudah membalik telapak tangan. Pada kenyataannya, perlu ada pendekatan berbeda dalam usaha untuk memecahkan masalahmasalah tersebut. Dalam penelitian ini, kami sudah mencoba untuk mengelompokkan peraturan-peraturan yang kami temukan ke dalam klasifikasi-klasifikasi tertentu. Menurut hemat kami, solusi yang dibutuhkan untuk perbaikan kebijakan kebudayaan depannya, bukan lagi satu solusi besar yang dapat menyelesaikan segala masalah. Yang berlaku justru sebaliknya. Permasalahan yang dihadapi, seharusnya dilihat lagi sebagai masalah-masalah terpisah yang memang hanya bisa diselesaikan di dalam ruang lingkupnya masing-masing saja. Dengan pendekatan atau cara pandang seperti ini, maka suatu masalah dapat secara nyata dipecahkan. Kegiatan kesenian dan kebudayaan akan berkembang secara alamiah, ketika hambatan-hambatan yang menghalanginya dihilangkan. Dalam laporan penelitian ini, kami akan memberikan paparan dan beberapa analisis permasalahan berdasarkan klasifikasi data yang kami kumpulkan dalam penelitian kami sampai saat ini. Klasifikasi-klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut:63
Pajak/Retribusi Daerah Kebijakan Fiskal (Kepabeanan) Dokumentasi Karya Seni Pelestarian Cagar Budaya Pendidikan Seni Posisi Seni dalam Kebijakan Pariwisata Hak Atas Kekayaan Intelektual
Sebelum melakukan pembahasan tiap klasifikasi tersebut di atas, dalam bagian ini akan terlebih dahulu dipaparkan mengenai peraturan-peraturan yang menyangkut jaminan hak-hak asasi manusia yang menyangkut kegiatan seni dan budaya di Indonesia.
63
Setiap klasifikasi kami bahas secara khusus dan terpisah dengan klasifikasi yang lain. Sehingga Bab 4 ini merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan yang terpisah.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
37
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Seni dan Budaya sebagai Hak Dasar
Hak-hak asasi atau hak-hak dasar yang berhubungan dengan kegiatan seni dan budaya, pada prinsipnya sudah diatur dalam konstitusi. Setelah UUD 1945 mengalami amandemen, setidaknya ada beberapa aturan dasar yang dapat berkaitan dengan kegiatan kesenian dan kebudayaan di Indonesia, yaitu: a. Pasal 28 C ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa “[s]etiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” b. Pasal 28 I ayat (1) yang menegaskan bahwa kemerdekaan pikiran dan hati nurani adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. c. Pasal 28 I ayat (3) yang mengatur bahwa “*i+dentitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. d. Pasal 28 I ayat (4) yang menegaskan bahwa “*p+erlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” e. Pasal 32 ayat (1) yang mengatur bahwa “*n+egara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.” f. Pasal 32 ayat (2) yang menyatakan bahwa “*n+egara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.” Selain ketentuan-ketentuan dalam konstitusi tersebut di atas, setelah reformasi pada tahun 1998, ditetapkan lagi beberapa peraturan menyangkut jaminan atas hak asasi manusia. Ketentuan-ketentuan tersebut dapat ditemukan dalam peraturan-peraturan berikut: a. UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia: i. Pasal 6 ayat (2) yang mengatur perlindungan atas identitas budaya masyarakat hukum adat (sejalan dengan Pasal 28I ayat (3)). ii. Pasal 13 yang mengatur tentang hak untuk mengembangkan diri, termasuk mendapatkan manfaat dari kegiatan seni dan budaya (sama dengan ketentuan Pasal 28 C ayat (1) UUD 1945). iii. Pasal 23 ayat (2) yang mengatur tentang kebebasan berpendapat di muka umum. b. UU No. 11/2005 tentang Pengesahan ICCPR/KIHSP; ketentuan-ketentuan dalam KIHSP yang relevan: i. Pasal 19 ayat (2) yang menjamin bahwa “*t+idak seorangpun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
38
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
ii.
Juni, 2009
dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni, atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.” Menurut Pasal 18 ayat (3) pembatasan hanya diperbolehkan apabila ditujukan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain; atau untuk melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum. Pasal 27 yang menjamin perlindungan golongan minoritas untuk menikmati budaya mereka sendiri, memeluk agama yang mereka yakini, maupun menggunakan bahasa mereka sendiri.
c. UU No. 12/2005 tentang Pengesahan CESCR/Ekosob; ketentuan-ketentuan dalam Ekosob yang relevan: i. Pasal 15 ayat (1) sub a yang mengatur bahwa negara harus mengakui hak setiap orang untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan budaya. Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, berdasarkan peraturan yang berhasil teridentifikasi dalam tulisan ini, sebenarnya sudah ada kebijakan yang mulai mendorong ke arah penghormatan yang lebih baik terhadap hak asasi manusia. Hal ini bisa dilihat dari Keppres No. 6/2000 tentang Pencabutan Inpres No. 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Ini merupakan sinyal positif, karena Inpres No. 14/1967 telah membatasi golongan minoritas untuk menikmati budaya mereka sendiri – yang notabene bertentangan dengan Pasal 27 KIHSP tersebut di atas. Namun demikian, menyangkut jaminan atas hak-hak dasar lain yang berkaitan dengan kegiatan kesenian dan kebudayaan, masih banyak peraturan yang tidak sesuai dengan jaminan atas kebebasan berekspresi. Contoh paling nyata dalam beberapa waktu belakangan ini adalah UU No. 44/2008 tentang Pornografi (selain tentu saja peraturan perfilman yang pernah digugat di MK atau barangkali peraturan mengenai serah simpan karya cetak dan karya rekam yang menimbulkan ketidakpastian hukum). Meskipun barangkali masalah paling esensial dari undang tersebut adalah masalah teknis yuridis dalam implementasinya, sebagian besar kalangan beranggapan bahwa undang-undang tersebut merupakan usaha penyeragaman budaya. Hal ini barangkali lebih disebabkan oleh faktor politik yang melatarbelakangi penetapan peraturan tersebut. Contoh lain lagi yang bisa dilihat adalah putusan MK dalam perkara pengujian sistem sensor film di Indonesia, seperti sudah disinggung di bagian awal tulisan ini. Di satu sisi MK menyatakan bahwa peraturan tersebut sudah tidak sesuai dengan zamannya (dalam arti bertentangan dengan aturan-aturan dasar yang ada saat ini), namun di sisi lain MK tidak membatalkan ketentuan menyangkut sistem sensor tersebut.64 Sehingga nampak standar ganda dari pengambil keputusan (para hakim konstitusi). Di satu sisi mereka telah mengakui bahwa ada peraturan-peraturan baru yang mendorong ke pemberian jaminan lebih baik atas hak dan kebebasan warga negara, namun di sisi lain masih 64
Putusan MK No. 29/PUU-V/2007.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
39
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
terdapat kesadaran budaya konservatif yang mengkhawatirkan ketidaksiapan menghadapi perubahan budaya yang terjadi. Perubahan normatif tidak akan mengubah perspektif budaya masyarakat, setidaknya tidak dalam waktu singkat. Pengujian konstitusional (melalui MK) mungkin dapat menjadi solusi untuk menuntut pemenuhan jaminan atas hak-hak konstitusional. Tapi harus diketahui pula bahwa MK sebenarnya tak lebih dari “negative legislator” yang hanya dapat menguji sah tidaknya suatu kebijakan, tapi tak dapat merumuskan sendiri suatu kebijakan tertentu. Mau tidak mau, kesadaran pemerintah atas hak-hak dasar warga negaranya, akan berpengaruh besar terhadap berkembangnya kegiatan kesenian dan kebudayaan. Paling tidak, sesuai dengan aturan-aturan dasar yang memang telah ditetapkan, termasuk mengambil tanggung jawab untuk “memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Apabila hal paling esensial ini saja tidak dipahami dengan baik oleh pengambil kebijakan di Indonesia, maka bentuk-bentuk kebijakan yang diambil akan lebih didominasi oleh kepentingan politik atau ekonomi, serta bukan ketulusan untuk mengembangkan kehidupan budaya warga negara Indonesia. Permasalahan-permasalahan yang ada pada level yang lebih konkrit akan dibahas topik demi topik di bawah ini. 4.1. Pajak/Retribusi Daerah 4.1.1. Hasil Penelitian
Dalam penelitian ini berhasil ditemukan 10 (sepuluh) peraturan daerah (Perda) yang terkait dengan retribusi daerah dan pajak daerah di bidang seni dan budaya. Perda tersebut terdiri atas: a. Enam perda yang mengatur tentang retribusi, yaitu: 1. Perda kabupaten Lampung Selatan No. 15/2001 tentang Retribusi Sewa Tempat Pameran dan Lokasi Pertunjukan; 2. Perda Kota Medan No. 11/2002 tentang Retribusi Ijin usaha perfilman; 3. Perda Kabupaten Gowa No. 4/2003 tentang Retribusi Objek Wisata Sejarah dan Budaya 4. Retribusi Ijin usaha, yang terdiri atas: a. Perda Kota Surakarta No. 4/2002 Ijin Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum; b. Perda Kabupaten Kudus No. 14/2002 tentang Ijin Usaha; c. Perda Kabupaten Blora No. 4/2005 tentang Retribusi Ijin Usaha Pariwisata dan Budaya. b. Empat perda yang mengatur tentang pajak hiburan, yaitu: PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
40
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
1. 2. 3. 4.
Juni, 2009
Perda Kota Ambon No. 4/2001 tentang Pajak Hiburan; Perda Kabupaten Wonosobo No. 15/2001 tentang Pajak Hiburan ; Perda Kota Semarang No. 9/2001 tentang Pajak Hiburan; Perda Kota Kupang No. 3/2002 tentang Pajak Hiburan.
Berdasarkan Undang-Undang No. 34/2002 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, retribusi daerah dapat dibagi dalam tiga golongan, yaitu: -
Retribusi jasa umum; Retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Jenis retribusi jasa umum yaitu (i) retribusi pelayanan kesehatan, (ii) pelayanan persampahan/kebersihan, (iii) penggantian biaya cetak KTP dan akta catatan sipil, (iv) pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat, (v) pelayanan parkir di tepi jalan umum, (vi) pelayanan pasar, (vii) pengujian kendaraan bermotor, (viii) pemeriksaan alat pemadam kebakaran, (ix) penggantian biaya cetak peta, dan (x) pengujian kapal perikanan.
-
Retribusi jasa usaha; Retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersil karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Jenis retribusi ini adalah (i) retribusi pemakaian kekayaan daerah, (ii) retribusi pasar grosir dan/atau pertokoan, (iii) retribusi tempat pelelangan, (iv) retribusi terminal, (v) retribusi tempat khusus parkir, (vi) retribusi tempat penginapan/ pesanggrahan/villa, (vii) retribusi penyedotan kakus, (viii) retribusi rumah potong hewan, (ix) retribusi pelayanan pelabuhan kapal, (x) retribusi tempat rekreasi dan olah raga, (xi) retribusi penyeberangan di atas air, (xii) retribusi pengolahan limbah cair, (xiii) retribusi penjualan produksi usaha daerah.
-
Retribusi perijinan tertentu; Retribusi atas kegiatan tertentu dalam rangka pemberian ijin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis retribusi ini adalah (i) retribusi ijin mendirikan bangunan, (ii) retribusi ijin tempat penjualan minuman beralkohol, (iii) retribusi ijin gangguan, (iv) retribusi ijin trayek. Selain jenis-jenis retribusi tersebut di atas, pemerintah daerah masih diberi peluang untuk menetapkan jenis retribusi baru dengan ketentuan penetapannya dilakukan melalui perda.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
41
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Terkait dengan pajak, undang-undang membedakan pajak daerah ke dalam dua jenis, yaitu: – Pajak Provinsi yang meliputi (i) pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, (ii) bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraaan di atas air, (iii) pajak bahan bakar kendaraan bermotor, (iv) pajak pengambilan dan pemafaatan air bawah tanah dan air permukaan. – Pajak Kabupaten/Kota yang meliputi (i) pajak hotel, (ii) pajak restoran, (iii) pajak hiburan, (iv) pajak reklame, (v) pajak penerangan jalan, (vi) pajak pengambilan bahan galian golongan C, (vii) pajak parkir. Besaran pajak untuk pajak propinsi adalah sama atau seragam di seluruh Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 65/2001. Sementara itu, besaran pajak untuk kabupaten/kota tidak sama atau definitif (dapat ditetapkan dengan perda), namun tidak boleh melebihi dari tarif maksimum yang telah ditentukan oleh undang-undang. Perda-Perda Retribusi Sehubungan dengan kegiatan kesenian dan kebudayaan, jenis-jenis retribusi yang berhasil teridentifikasi adalah sebagai berikut: -
Retribusi objek wisata sejarah dan budaya; Perda retribusi ini diberlakukan di Kabupaten Gowa. Peraturan Daerah ini bertujuan untuk mengenakan retribusi objek wisata sejarah dan budaya dengan sasaran adalah memberikan dukungan bagi pemeliharaan dan perawatan objek wisata sejarah dan budaya. Yang dimaksud retribusi objek wisata sejarah dan budaya adalah pembayaran atas penyediaan dan pelayanan wisata sejarah dan budaya yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Besar biaya retribusi yang ditetapkan dalam Perda ini adalah untuk dewasa sebesar dua ribu rupiah dan anak-anak sebesar seribu rupiah. Besaran retribusi ini ditetapkan berdasarkan biaya penyediaan jasa yang meliputi biaya administrasi, transportasi, operasional dari pemeliharaan wisata sejarah dan budaya.
-
Retribusi sewa tempat pameran dan lokasi pertunjukan; Perda retribusi ini berlaku di Kabupaten Lampung Selatan. Perda ini bertujuan mewujudkan ketertiban dan terkendalinya pelaksanaan Pameran dan Pertunjukan di Kabupaten Lampung Selatan. Retribusi dikenakan pada penyelenggaran yang menyewa tempat untuk keperluan pameran dan pertunjukan termasuk terkait dengan seni dan budaya.
-
Retribusi ijin usaha pariwisata dan kebudayaan; Perda retribusi ini berlaku di Kabupaten Blora. Perda ini bertujuan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) guna keseimbangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang mengarah pada tercapainya pendapatan daerah PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
42
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
yang maksimal. Ada dua objek retribusi yang terkait dengan kebudayaan dalam Perda ini, yaitu: 1. Kategori usaha sarana wisata dan kebudayaan, yaitu penyediaan sarana kesenian dan kebudayaan. 2. Kategori usaha jasa pariwisata dan kebudayaan lainnya, yaitu: a. Pemberian lisensi/rekomendasi organisasi seni dan identitas seniman (kartu tanda pengenal seniman); b. Atraksi wisata, seni, dan olahraga; c. Kegiatan lain yang bersifat temporer/permanen, bazar, sirkus, pertunjukan keliling, dan kegiatan lain yang sejenis. -
Retribusi ijin usaha; Perda retribusi ini berlaku di Kabupaten Kudus. Pembentukan Perda ini bertujuan untuk menyesuaikan dengan undang-undang tentang retribusi dan pajak daerah yang baru. Terkait dengan seni, pendirian pusat seni dan penyelenggaraan pameran juga dikenai retribusi dengan besaran 500 rupiah per meter persegi. Besaran retribusi yang dikenakan bagi pusat seni dan pameran sama dengan retribusi untuk taman rekreasi, taman satwa, dan pentas pertunjukan satwa.
-
Retribusi ijin usaha rekreasi dan hiburan umum; Perda ini berlaku di Kota Surakarta yang bertujuan untuk melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan usaha rekreasi dan hiburan umum, agar dapat berjalan tertib dan teratur. Pusat seni dan pameran dimasukkan dalam jenis usaha rekreasi dan hiburan umum. Sehingga pembangunannya harus mendapatkan persetujuan prinsip, serta operasionalnya harus mendapatkan ijin usaha yang diberikan oleh Walikota melalui Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya. Untuk mendapatkan persetujuan prinsip dan ijin usaha dikenakan retribusi.
-
Retribusi ijin usaha perfilman; Perda ini berlaku di Kota Medan yang bertujuan melalukan pengaturan tentang pungutan Retribusi Daerah dari sektor usaha perfilman. Izin usaha perfilman terdiri dari : a. Jasa teknik film; b. Gedung bioskop; c. Pertunjukan film; d. Penayangan film; e. Toko rental VCD/rekaman video; f. Penyewaan VCD/rekaman video; g. Film keliling. Walaupun lingkup pengaturan Perda ini adalah retribusi, namun di dalamnya juga diatur wewenang Kepala Daerah untuk melakukan pembinaan dan PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
43
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
pengawasan usaha perfilman. Perda ini mendelegasikan pengaturan tentang pengendalian usaha perfilman dalam bentuk keputusan kepala daerah. Meskipun demikian, perda ini tidak memberi batasan yang tegas yang dimaksud dengan pengawasan dan pembinaan. Sehingga, masih akan dapat dipertanyakan, apa maksud pembinaan dan pengawasan dalam perda ini dan sejauh mana hal tersebut dapat dilakukan oleh kepala daerah. Nama Perda Retribusi Perda Kabupaten Gowa tentang Retribusi Objek Wisata Sejarah dan Budaya
Golongan Retribusi Retribusi Jasa Umum
Besaran Retribusi
Perda Kabupaten Kudus tentang Retribusi ijin usaha
Retribusi Perijinan Tertentu
Pusat seni dan pameran sebesar Rp. 500,/meter persegi
Perda Kota Medan tentang Retribusi Ijin Usaha Pefilman
Retribusi Perijinan Tertentu
a. Usaha jasa tehnik film : Perusahaan film asing komersial sebesar Rp.1.000.000 (satu juta rupiah). Perusahan film nasional komersial sebesar Rp.500.000 (lima ratus ribu rupiah). Perusahaan film non komersial sebesar Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah). b. Gedung bioskop perlayar Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah). c. Usaha pertunjukan film seluloid adalah sebagai berikut : KLASEMEN TARIF ATAU PERTUNJUKAN BIOSKOP FILM IMPOR FILM NASIONAL A II Rp. 15.000 Rp. 8.000 AI Rp. 12.500 Rp. 4.000 B Rp. 7.500 Rp. 2.000 C Rp. 5.000 Rp. 1.000 d. Penayangan film sebesar Rp.10.000.(sepuluh ribu rupiah) e. Toko rental VCD/rekaman video sebesar Rp. 150.000.- (seratus lima puluh ribu rupiah). f. Penyewaan VCD/rekaman video: Film impor sebesar Rp. 1.000.-/judul.
Dewasa Rp. 2000,- /orang Anak-anak Rp. 1000,-/orang
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
44
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Perda Kabupaten Lampung Selatan Retribusi Sewa tempat pameran dan lokasi pertunjukan Perda Kabupaten Blora Retribusi Ijin Usaha pariwisata dan Kebudayaan Perda Kota Surakarta Ijin Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum
Juni, 2009
Retribusi Usaha
Film nasional sebesar Rp. 500.-/judul. g. Pertunjukan film keliling/layar tancap sebesar Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah). Jasa Pertunjukan kesenian dan kebudayaan Rp. 100.000,- per malam
Retribusi perijinan tertentu
Ada dalam lampiran Perda (data tidak diperoleh)
Retribusi perijinan tertentu
Ada dalam lampiran Perda (data tidak diperoleh)
Tabel 4.1.1. Perda-Perda Yang Mengatur Retribusi Daerah
Perda-Perda Pajak Daerah Dalam penelitian ini terdapat empat perda pajak hiburan yang dianalisis. Masing-masing jenis pajak yang dikenakan pada objek pajak terkait seni dan budaya besarannya antara 20 - 25%. Prosentase ini berdasarkan jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk menonton dan atau menikmati hiburan tersebut. Nama Perda Pajak
Tujuan Perda
Jenis Objek Pajak Terkait Kegiatan Seni dan Budaya
Besaran Pajak
Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pajak Hiburan
Peraturan Daerah ini bertujuan untuk melakukan penyesuaian atas perda sejenis lama dengan undangundang yang baru. Terutama terkait dengan penamaan pajak. Berdasarkan undang-undang lama, perda ini bernama Perda tentang pemungutan Atas Pertunjukan dan Keramaian umum. Sedangkan berdasarkan undang-undang baru maka penamaan perda perlu diganti dengan perda tentang Pajak Hiburan. Peraturan Daerah ini bertujuan melakukan penyesuaian atas perda sejenis lama dengan undang-
Pertunjukan kesenian; antara lain kesenian tradisional, pertunjukan sirkus, pameran seni, kontes kecantikan. Pertunjukan/Pagelaran musik, tari, dan sejenisnya.
25%
Pertunjukkan kesenian antara lain kesenian tradisonal, pameran seni,
20%
Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 3 Tahun
25%
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
45
[LAPORAN HASIL PENELITIAN] 2002 tentang Pajak Hiburan
Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 15 Tahun 2001 tentang Pajak Hiburan
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pajak Hiburan
undang yang baru.
Peraturan Daerah ini bertujuan melakukan penyesuaian atas perda sejenis lama dengan undangundang yang baru.
Peraturan Daerah ini bertujuan melakukan penyesuaian atas perda sejenis lama dengan undangundang yang baru.
Juni, 2009 pameran busana, kontes kecantikan. Pertunjukan/Pagelaran musik dan tari. Pertunjukan kesenian; antara lain kesenian tradisional, pertunjukan sirkus, pasar malam, pameran, bazaar, festival/ kontes. Pertunjukan/Pagelaran musik, tari, dan sejenisnya. Pertunjukkan kesenian antara lain kesenian tradisional, musik, tari, pertunjukkan sirkus, pameran seni, pameran busana, kontes kecantikan.
25% 20%
20% 20%
Tabel 4.1.2. Perda-Perda Yang Mengatur Pajak-Pajak Daerah 4.1.2. Analisis
Perda retribusi dan pajak daerah merupakan jenis perda yang paling sering ditemukan di tiap-tiap daerah. Setelah penerapan otonomi daerah, tiap-tiap daerah berlomba untuk meningkatkan pendapatannya dengan pembentukan perda retribusi. Retribusi dan pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah. Asumsinya, semakin besar pendapatan daerah maka semakin besar anggaran untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Namun, kondisi ini sempat menimbulkan kekhawatiran, terutama dari kalangan pengusaha. Banjir perda retribusi ini diperkirakan berpotensi menghambat tumbuhnya iklim investasi di daerah. Undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah memberikan batasan atas prinsip dan sasaran dalam penentuan tarif retribusi. Prinsip ini ditetapkan berdasarkan pada golongan retribusi.65 – Retribusi jasa umum berdasarkan kebijakan daerah dengan mempertimbangkan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat dan aspek keadilan; – Retribusi jasa usaha berdasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak; 65
Pasal 21 UU No. 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
46
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
– Retribusi perijinan tertentu berdasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian ijin yang bersangkutan. Penentuan prinsip dan sasaran ini untuk mencegah terjadinya kesewenangan daerah dalam menetapkan jenis dan tarif retribusi. Terkait dengan seni dan budaya, ada beberapa jenis retribusi daerah dan pajak yang sudah dipaparkan pada bagian sebelumnya. Jenis retribusi yang diterapkan, dari data Perda yang terkumpul, termasuk dalam tiga golongan retribusi. Memang dalam penetapan pajak dan retribusi ini sudah ada undang-undang yang mengaturnya. Artinya, pemerintah daerah harus memperhatikan aturan undang-undang ketika akan menerapkan suatu perda pajak daerah dan retribusi. Dari sisi ekonomis, seni dan budaya bisa menjadi salah satu sumber pendapatan bagi suatu daerah, apabila seni dan budaya tersebut bisa dikembangkan untuk penopang bagi pariwisata di daerah tersebut. Namun, perlu diingat bahwa seni dan budaya juga memerlukan upaya pelestarian dan pengembangan agar mempunyai nilai kompetitif sehingga mampu menjadi daya tarik. Kondisi ini perlu diperhatikan oleh Pemda dalam merumuskan kebijakan retibusi dan pengalokasian pendapatan daerah yang salah satu sumbernya dari bidang seni dan budaya. Ada dua kebijakan yang terkait, yaitu: a. Penerapan retribusi dan pajak yang tidak membebani; Seni dan budaya adalah unsur bermasyarakat. Potensinya dapat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan pariwisata di daerah. Sehingga pemerintah daerah perlu mempertimbangkan upaya penerapan pungutan dalam bentuk retribusi maupun pajak yang bisa membebani dan menghambat perkembangan seni dan budaya. Bahkan seharusnya kebijakan yang diambil adalah kebijakan yang mampu mendukung pengembangan seni dan budaya seperti pembebasan atau pengurangan pungutan bagi aktifitas seni dan budaya bisa ditempuh oleh pemerintah daerah. b. Pengalokasian dana untuk pelestarian seni dan budaya; Pemerintah daerah perlu memberi perhatian yang serius bagi upaya pelestarian seni dan budaya. Penerapan retribusi bagi aktifitas seni dan budaya seharusnya juga diimbangi dengan tindakan pemerintah melalui program-program yang didukung dana APBD untuk pengembangan kegiatan seni dan budaya. Dalam sampel-sampel perda tentang pajak hiburan, pertunjukan kesenian tradisional juga dikenakan pajak yang besarannya bervariasi yaitu 20% dan 25%. Selain itu, pameran seni juga dimasukkan dalam objek pajak. Seharusnya, pemerintah daerah mempertimbangkan penghapusan atau setidaknya keringanan pajak bagi pertunjukan kesenian tertentu yang tersisih oleh mekanisme pasar (misalnya seni tradisional atau seni rakyat). Hal ini perlu dilakukan, selain sebagai stimulus perkembangan seni-seni PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
47
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
tertentu yang tersisih, juga untuk menumbuhkan minat masyarakat atas seni tersebut, sehingga nantinya mampu bersaing. Selain hal di atas, dasar penetapan tarif yang besarannya rata-rata sama tersebut (undang-undang memberikan batas maksimal 35%),66 juga belum terlihat didasarkan pada kondisi obyektif tertentu pada daerah terkait. Indikasinya, antara lain, dapat terlihat dari kategorisasi yang tidak tepat sasaran. Mengapa pameran seni, misalnya, disetarakan dengan kontes kecantikan? Lalu mengapa ini dibebani pajak lebih ringan dari pagelaran musik/tari? Padahal, terkait dengan pungutan pajak, ketentuan di dalam Perda membuka kemungkinan untuk mengajukan pengurangan, keringanan, dan pembebasan. Tata cara untuk mendapatkannya diatur oleh kepala daerah. Untuk membuat ketentuan tersebut dapat efektif dan tepat sasaran, tentu dibutuhkan data empiris di sektor tersebut, seperti misalnya pertunjukan seni apa yang sudah dapat berjalan sendiri mengikuti mekanisme pasar dan pertunjukan seni apa yang masih butuh dukungan pemerintah. Tanpa adanya data obyektif, maka sulit untuk menggunakan instrumen pajak dan retribusi ini sebagai alat pemerintah untuk mengembangkan sektor seni dan budaya. 4.1.3.Kesimpulan
Pemerintah daerah perlu mempertimbangkan pengenaan retribusi daerah dan pajak daerah bagi kegiatan-kegiatan yang terkait dengan kesenian. Hal ini dilakukan untuk memberi dukungan pada pelestarian dan pengembangan kesenian tersebut. Selain itu, penerapan pajak dan retribusi semestinya mempertimbangkan kondisi masing-masing daerah. Ini perlu untuk menciptakan keadilan dan keseimbangan antara kewajiban masyarakat dengan tingkat layanan dan pelaksanaan pembangunan di daerah bersangkutan. Kesenian dan kebudayaan seharusnya tidak semata dipandang sebagai objek yang mampu memberi sumbangan pendapatan besar bagi daerah. Akan tetapi juga perlu dipandang sebagai asset daerah yang perlu dikembangkan dengan mendapatkan stimulus dan kontribusi dari pemerintah daerah. Sehingga dengan berkembangnya seni budaya di daerah akan dapat mendorong pariwisata yang akan mampu mendongkrak pendapatan daerah. 4.2. Kebijakan Fiskal (Kepabeanan) 4.2.1. Hasil Penelitian
66
Pasal 3 ayat (1) huruf e UU No. 18/1997.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
48
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Ada 12 peraturan yang teridentifikasi berhubungan dengan masalah fiskal. Beberapa di antaranya sudah diubah (UU Kepabeanan dan UU Pajak Penghasilan) atau dicabut dengan peraturan yang lebih baru (PP mengenai pelaksanaan ekspor, impor, dan lalu lintas devisa). Peraturan-peraturan yang berhubungan dengan masalah fiskal tersebut, masih dapat dibedakan lagi menjadi dua, yaitu peraturan yang berhubungan dengan pajak (pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan), serta peraturan yang berhubungan dengan masalah kepabeanan (bea masuk dan bea keluar). Peraturan yang berhubungan dengan kepabeanan yang berhasil teridentifikasi adalah sebagai berikut: Nama Peraturan
Jenis Peraturan
Tahun Ditetapkan
PP No. 16/1970 tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Ekspor, Impor dan Lalu Lintas Devisa
Peraturan Pemerintah
1970
PP No. 11/1976 tentang Perubahan PP No. 16/1970
Peraturan Pemerintah
1976
PP No. 1/1982 tentang Pelaksanaan Ekspor, Impor dan Lalu Lintas Devisa
Peraturan Pemerintah
1982
UU No. 10/1995 tentang Kepabeanan
Undang-Undang
1995
PP No. 35/2005 tentang Pungutan Ekspor atas Barang Ekspor Tertentu
Peraturan Pemerintah
2005
UU No. 17/2006 tentang Perubahan atas UU No. 10/1995 tentang Kepabeanan
Undang-Undang
2006
Peraturan Menkeu No. 106/PMK.04/2007 tentang Pembebasan Bea Masuk Dan/Atau Cukai atas Impor Kembali Barang yang telah Diekspor
Peraturan Menteri
2007
PP No. 55/2008 tentang Pengenaan Bea Keluar Terhadap Barang Ekspor
Peraturan Pemerintah
2008
Peraturan Menkeu No. 223/PMK.011/2008 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dengan Tarif Bea Keluar
Peraturan Menteri
2008
Tabel 4.2.1. Peraturan-Peraturan Tentang Kepabeanan
Sebelum tahun 1995, aktivitas yang berhubungan dengan ekspor, impor, dan lalu lintas devisa diatur dengan peraturan pemerintah (PP No. 16/1970, PP No. 11/1976, dan PP No. 1/1982). Peraturan-peraturan ini hanya berkutat dengan pengaturan mengenai PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
49
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
devisa (alat pembayaran) ekspor impor saja, namun tidak mengatur dengan jelas pelaksanaan ekspor impor yang didelegasikan untuk diatur pada level peraturan menteri. Di masa pasca kemerdekaan, pengaturan yang rinci mengenai ekspor dan impor pada level undang-undang baru dapat ditemukan di dalam UU No. 10/1995 tentang Kepabean yang beberapa ketentuannya diubah lagi dengan UU No. 17/2006. Dari hasil diskusi dan wawancara dengan narasumber, masalah yang penting untuk diamati sehubungan dengan praktek kegiatan seni dan budaya, berhubungan dengan masalah kepabeanan. Masalah ini timbul akibat tidak adanya praktek yang pasti dalam pemberlakuan bea masuk dan bea keluar atas barang-barang yang digunakan untuk pengadaan pameran seni di luar negeri. Di awal penelitian, kami dihadapkan pada pertanyaan mengenai pemberlakuan peraturan-peraturan kepabeanan sehubungan dengan barang-barang yang diekspor/diimpor untuk keperluan pameran. Pertanyaan ini merupakan pengalaman pribadi dari salah seorang narasumber kami.
UU No. 10/1995 tentang Kepabeanan Tujuan dari UU No. 10/1995 adalah untuk memantau dan mengawasi lalu lintas perdagangan internasional sehubungan dengan arus barang masuk ke dan keluar dari wilayah Indonesia. Selain itu, diatur pula ketentuan mengenai pungutan bea masuk atas barang yang masuk tersebut – pengaturan mengenai bea keluar (pungutan untuk barang ekspor) sendiri baru dapat ditemukan di dalam UU No. 17/2006 tentang Perubahan atas UU No. 10/1995. Sebelumnya, pungutan atas barang ekspor diatur di dalam PP No. 1/1982 (berupa pajak ekspor). Dari ketentuan-ketentuan di dalam UU No. 10/1995: 1. Pada intinya UU No. 10/1995 adalah aturan mengenai kepabeanan (ekspor dan impor) yang pertama kali dibuat pada level undang-undang setelah Indonesia merdeka. 2. Beberapa hal yang mungkin perlu diperhatikan sehubungan dengan kegiatan seniman yang berhubungan dengan keluar masuknya barang dari dan ke wilayah Indonesia (misalnya untuk pameran di luar negeri atau pameran untuk umum di dalam negeri dengan barang yang didatangkan dari luar negeri) adalah sebagai berikut: a. Adanya kewajiban untuk membayar pajak ekspor dan bea impor, karena dianggap telah ada ekspor (mengeluarkan barang dari Daerah Pabean ketika berangkat) dan impor (memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean ketika kembali). b. Terdapat ketentuan pengecualian mutlak (dikecualikan/berupa pembebasan) bea impor yang menyangkut barang-barang hadiah/hibah yang digunakan untuk keperluan kebudayaan (pasal 25 huruf e). Meskipun demikian, ketentuan untuk pembebasan bea akan diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri, karena berdasarkan rekomendasi departemen terkait (?).
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
50
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
c. Terdapat perkecualian untuk barang-barang yang digunakan untuk tempat yang terbuka untuk umum, seperti museum dan kebun binatang (pasal 25 huruf h). d. Terdapat ketentuan pengecualian relatif (dapat dikecualikan/berupa pembebasan atau keringanan) bea impor untuk barang-barang yang telah diekspor, kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama (pasal 26 huruf g). Penjelasan pasal tersebut menyebut secara eksplisit barang keperluan pameran sebagai contoh dari barang yang memenuhi kriteria ini. 3. Terdapat beberapa aturan untuk banding atas keputusan pengenaan bea masuk yang pada kenyataannya tidak efektif – kemudian diubah di dalam UU No. 17/2006 tentang Perubahan atas UU No. 10/1995 tentang Kepabean. 4. Aturan-aturan di atas sudah diubah dengan UU No. 17/2006, meskipun begitu ketentuan mengenai pengecualian sehubungan dengan pameran seni yang dijelaskan dalam poin ke dua, penting untuk melihat asal muasal adanya aturan tersebut. UU No. 17/2006 tentang Perubahan atas UU No. 10/1995 tentang Kepabeanan Pada intinya UU No. 17/2006 ditujukan untuk mengubah UU No. 10/1995 dengan alasan belum adanya rumusan yang jelas tentang tindakan-tindakan penyelundupan, terutama menyangkut masuk keluarnya barang melalui laut. Selain itu fungsi TPB (Tempat Penimbunan Berikat) diperluas dengan fungsi pelelangan dan daur ulang. Sehubungan dengan perdagangan internasional, terdapat beberapa perubahan untuk menentukan penetapan nilai pabean sesuai dengan konvensi internasional (GATTT – WTO). Perubahan terakhir yang tak kalah penting adalah pengaturan baru mengenai lembaga banding yang sebelumnya tidak berjalan efektif. Dari ketentuan di dalam UU No. 17/2006 perlu diperhatikan: 1. Sehubungan dengan barang-barang yang digunakan untuk keperluan pameran, bea impor untuk barang yang tadinya telah diekspor diatur sebagai pengecualian mutlak di dalam pasal 25 huruf p (di dalam UU No. 10/1995 masuk kriteria pengecualian relatif). Beberapa aturan menyangkut pengecualian mutlak yang berhubungan dengan hal ini (hadiah/hibah kebudayaan dan barang yang digunakan untuk keperluan tempat yang terbuka untuk umum tetap masuk ke dalam pengecualian mutlak (pasal 25 huruf d dan huruf e)). 2. Dari peraturan yang ada belum jelas bagaimana mekanisme pembebasan bea masuk tersebut dilaksanakan.Wewenang untuk menetapkan tata cara pelaksanaan didelegasikan kepada Menteri Keuangan (tata cara pelaksanaan kemudian diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 106/PMK.04/2007). 3. Keberatan atas penetapan tarif bea masuk diajukan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dalam waktu 60 hari dengan menyerahkan jaminan sebesar tarif bea masuk yang harus dibayarkan (Pasal 93). Jaminan tidak diperlukan, apabila barang terkait belum dikeluarkan dari kawasan pabean. Apabila keberatan ditolak, maka jaminan akan digunakan untuk membayar bea masuk yang PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
51
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
dibebankan, sedang apabila keberatan dikabulkan, maka jaminan akan dikembalikan. Apabila dalam waktu 60 hari tidak ada keputusan, keberatan akan dianggap dikabulkan dan jaminan akan dikembalikan. Pengembalian jaminan melebihi waktu 30 hari sejak keberatan dikabulkan, akan berakibat tambahan bunga (atas jaminan) sebesar 2% per bulan yang akan diberikan oleh pemerintah sampai maksimal 24 bulan. 4. Keberatan atas penetapan pejabat bea dan cukai selain tarif, juga harus diajukan kepada Direktur Jenderal, dengan ketentuan sebagaimana di atas (Pasal 93A). 5. Keberatan atas sanksi denda juga diajukan terhadap Direktur Jenderal, dengan ketentuan tersebut di atas (Pasal 94). 6. Keberatan atas keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan-keberatan tersebut di atas dapat diajukan ke Pengadilan Pajak dalam waktu 60 hari, dengan syarat pungutan yang dibebankan telah dilunasi (Pasal 95). 4.2.2. Analisis Praktek adanya pungutan terhadap barang-barang keperluan pameran di luar negeri, berupa pungutan pajak ekspor ketika barang tersebut dibawa ke luar negeri dan berupa bea masuk ketika barang pameran tersebut dibawa kembali ke dalam negeri, ternyata tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Seperti sudah disebutkan di bagian hasil penelitian di atas (baik UU No. 10/1995 ataupun UU No. 17/2006), pada dasarnya terdapat dua pasal yang dapat dijadikan dasar pengecualian atas barang-barang untuk keperluan pameran seni. Untuk keperluan pameran benda seni dari luar negeri di wilayah Indonesia, pada dasarnya pasti akan dikecualikan, apabila memang untuk meningkatkan hubungan kebudayaan antar negara. Meskipun begitu, undang-undang juga mengatur perlunya rekomendasi dari departemen terkait (untuk konteks saat ini adalah Depbudpar) yang belum tentu tahu akan aturan ini. Sedangkan untuk pameran seni di luar negeri dengan barang-barang dari Indonesia, pada dasarnya ada ketentuan pembebasan bea impor ketika barang tersebut masuk kembali ke Indonesia. Kriteria ini di dalam UU No. 10/1995 termasuk ke dalam pengecualian relatif, sedang menurut perubahan di dalam UU No. 17/2006 dimasukkan ke dalam pengecualian mutlak. Apa relevansi peraturan-peraturan ini terhadap kegiatan kesenian dan kebudayaan? Mengapa hal ini juga menjadi begitu penting? Seperti sudah disinggung di atas, masalah-masalah di lapangan timbul akibat tidak adanya aturan yang pasti mengenai pemberlakuan bea masuk dan bea keluar. Dari pengalaman seorang perupa terkemuka di Indonesia, setidaknya terdapat beberapa hal yang perlu dijadikan catatan:67 67
Wawancara Tita Rubi (30 Maret 2009).
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
52
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
1. Tidak ada kejelasan akan aturan main dalam memasukkan atau mengeluarkan barang di wilayah pabean Republik Indonesia. 2. Ketidakjelasan juga menyangkut prosedur penyimpanan (termasuk untuk pengambilan barang) dan tarif yang dikenakan oleh pihak pabean. 3. Adanya ketidakjelasan tersebut mengakibatkan terjadinya praktek tindakan sewenang-wenang oleh aparat pabean, baik berupa pemberlakuan prosedur yang lama dan berbelit-belit, hingga praktek pemerasan. 4. Seniman sendiri mengharap adanya pemisahan antara barang komersial dan non-komersial, karena harga benda-benda seni tentu tidak dapat diukur setara dengan benda-benda komersial biasa. Hal ini tentu menjadi tantangan besar bagi komunitas seni. Adanya pameran di luar negeri, dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengembangkan potensi kegiatan kesenian dan kebudayaan di Indonesia. Namun demikian, untuk memanfaatkan potensi ini, perluu ada perlawanan terhadap kesewenang-wenangan aparat di lapangan. Setidaknya ada dua alternatif yang mungkin ditempuh, yaitu dengan memanfaatkan bantuan hukum (baik dengan melalui konsultasi sebelum kegiatan dilaksanakan, maupun meminta advokasi ketika telah mendapatkan masalah dengan aparat pabean), serta menghidupkan perdebatan mengenai masalah ini. 4.2.3. Kesimpulan Dari paparan di atas, sebenarnya sudah cukup jelas, bahwa aturan yang tak jelas, serta pengetahuan yang minim dari warga negara, mengakibatkan peluang terjadinya penyalahgunaan kewenangan oleh aparat negara menjadi besar. Di sisi lain, sekalipun perubahan diharapkan terjadi dari lembaga negara (pemerintah), pemerintah sendiri belum tentu tahu atau mau tahu permasalahan yang terjadi. Dalam hal ini perlu peran aktif dari warga negara sendiri untuk dapat memanfaatkan terjadinya perubahan dari bawah ke atas, antara lain melalui optimalisasi bantuan hukum. Selain itu perlu dimunculkan perdebatan publik untuk menggalang kekuatan komunitas seni untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang. Banyak orang selama ini tak peduli, karena tak banyak orang mengetahui hal tersebut. 4.3. Dokumentasi Karya Seni 4.3.1. Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan 4 peraturan yang berhubungan dengan dokumentasi karya seni, yaitu UU No. 4/1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, PP No. 70/1991 tentang Pelaksanaan Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, PP No. 23/1999 tentang Pelaksanaan Serah-Simpan dan Pengelolaan Karya Rekam Film Cerita
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
53
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
atau Film Dokumenter, dan Perda DKI Jakarta No. 6/2006 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam. UU No. 4/1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam Tujuan dibentuknya undang-undang ini adalah untuk melestarikan dan memanfaatkan kebudayaan bangsa. Tujuan tersebut akan dicapai dengan membuat koleksi karya rekam dan karya cetak yang dihasilkan di Indonesia, melalui pengaturan kewajiban penyerahan oleh penerbit dan pengusaha rekaman. Selain karya rekam dan karya cetak yang dihasilkan di Indonesia, koleksi ini juga dimaksudkan untuk mengumpulkan karya-karya dari luar negeri yang berhubungan dengan Indonesia (dibuat oleh warga negara Indonesia atau karya-karya mengenai Indonesia yang masuk ke Indonesia). Pembuatan koleksi tersebut juga merupakan salah satu usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Undang-undang tersebut mengatur hal-hal berikut ini: 1. Kewajiban bagi penerbit dan pengusaha rekaman untuk menyerahkan setiap karya rekam atau karya cetak yang dihasilkannya kepada Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Daerah dalam waktu tiga bulan (pasal 2 dan pasal 3). 2. Kewajiban tersebut juga berlaku bagi warga negara Indonesia yang menerbitkan atau merekam karyanya di luar negeri (pasal 4). 3. Kewajiban tersebut juga berlaku bagi siapa saja yang memasukkan karya-karya tentang Indonesia dari luar negeri, apabila karya-karya yang dimasukkan ke Indonesia lebih dari 10 buah (akan dihitung secara kumulatif dalam waktu dua tahun) dan untuk diperdagangkan (pasal 6). 4. Karya-karya yang menjadi koleksi tidak digunakan untuk tujuan komersial (pasal 7). 5. Penerbit dan pengusaha rekaman wajib menyerahkan daftar produk yang dihasilkannya setiap 6 bulan sekali kepada Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Daerah di propinsinya. Ketentuan ini juga berlaku bagi setiap orang yang memasukkan karya cetak atau karya rekam dari luar negeri (pasal 8). 6. Pengelolaan penyimpanan dilakukan oleh Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Daerah atau badan yang ditunjuk khusus untuk itu (pasal 10). 7. Pelanggaran kewajiban-kewajiban tersebut (pasal 2, 3, 4, 6, 7, dan 8) diancam hukuman pidana (pasal 11). Untuk pelanggaran kewajiban yang diatur di dalam pasal 2, 3, 4, 6, dan 7 (kewajiban penyerahan dan penggunaan) diancam hukuman pidana maksimal 6 (enam) bulan atau denda maksimal 5 (lima) juta rupiah, sementara untuk pelanggaran kewajiban yang diatur di dalam pasal 8 (kewajiban menyerahkan daftar produk yang dihasilkan) berlaku ancaman pidana maksimal 3 (tiga) bulan atau denda maksimal 2,5 (dua setengah) juta rupiah. PP No. 70/1991 tentang Pelaksanaan Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
54
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Tujuan dari PP No. 70/1991 adalah mengatur norma-norma pelaksana dari ketentuanketentuan yang diatur di dalam UU No. 4/1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Film. Sebagai norma pelaksana, maka ketentuan-ketentuan yang diatur bersifat lebih spesifik dan mengatur masalah-masalah teknis. Di dalam pasal 13 UU No. 4/1990 ditentukan bahwa pengaturan mengenai kewajiban yang diatur di dalam undangundang tersebut akan diatur di dalam Peraturan Pemerintah, yaitu PP No. 70/1991 ini. Pada intinya PP No. 70/1991 mengulang norma-norma yang sudah ditetapkan oleh UU. Pengaturan yang bersifat lebih spesifik: 1. Selain karya cetak yang sudah ditentukan di dalam UU (karya intelektual dan karya artistik dalam bentuk buku, majalah, surat kabar, peta, brosur dan sejenisnya) PP ini juga merinci definisi beberapa produk, misalnya buku (fiksi dan non fiksi), serta memberikan kewenangan kepada Kepala Perpustakaan Nasional untuk menentukan karya cetak dalam bentuk apa yang wajib diserahkan (pasal 5). 2. Karya cetak diserahkan secara langsung atau melalui pos tercatat (pasal 7). 3. Perincian definisi karya rekam yang harus diserahkan, yaitu dalam bentuk pita atau piringan, seperti film, kaset audio, kaset video, video disk, piringan hitam, disket dan bentuk lain sesuai dengan perkembangan teknologi (pasal 10). 4. Karya rekam diserahkan secara langsung atau melalui pos tercatat (pasal 12). 5. Karya-karya yang diserahkan setidaknya memiliki kualitas sama dengan karya yang dihasilkan (pasal 6). 6. Daftar judul penerbitan yang harus dilaporkan oleh penerbit setiap 6 bulan sekali oleh penerbit memuat sekurang-kurangnya keterangan judul karya cetak, nama pengarang/penyusun/penerjemah, nomor cetakan, tempat terbit, nama penerbit, tahun terbit, nomor jilid, jumlah halaman, jenis edisi (pasal 13). 7. Daftar judul rekaman yang harus dilaporkan oleh pengusaha rekaman memuat sekurang-kurangnya nama pencipta/komposer/pengarang/sutradara, judul karya rekam, tempat perekaman, nama perusahaan rekaman, dan tahun perekaman (pasal 14). 8. Pengelolaan karya yang diserahkan menjadi tanggungjawab Kepala Perpustakaan Nasional (pasal 15). 9. Sebagai bukti penyerahan karya, pihak yang menyerahkan akan menerima tanda terima (pasal 16). 10. Perpustakaan Nasional atau Perpustakaan Daerah membuat Bibliografi yang berisi daftar karya-karya yang telah diserahkan (pasal 19). 11. Karya-karya yang karena sifatnya dilarang oleh pemerintah untuk diedarkan untuk umum, hanya dapat didayagunakan dengan seizin Kepala Perpustakaan Nasional. 12. Perpustakaan Nasional atau Perpustakaan Daerah berwenang memantau pelaksanaan serah simpan, memberi peringatan kepada pihak yang lalai dan mendayagunakan karya cetak dan karya rekam sesuai dengan ketentuan yang berlaku (pasal 20). PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
55
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
PP No. 70/1991 tentang Serah-Simpan dan Pengelolaan Karya Rekam Film Cerita atau Film Dokumenter Peraturan ini untuk mengatur penyimpanan dan pengelolaan karya rekam film cerita dan film dokumenter yang mempunyai bahan baku khusus, sehingga perlu ada penanganan khusus. Pada intinya peraturan ini mengulang aturan yang sudah ditentukan oleh UU No. 4/1990 dan PP No. 70/1991 tentang serah simpan karya rekam. Hanya secara spesifik PP ini mengatur serah simpan karya rekam berupa film cerita atau film dokumenter karena dianggap memakai bahan khusus, sehingga perlu penanganan khusus. Selain itu PP No. 23/1999 ini juga merinci ketentuan mengenai serah simpan dengan lebih rinci dibandingkan PP No. 70/1991. Pengaturan tersebut adalah: 1. PP ini hanya mewajibkan serah simpan film cerita dan film dokumenter. 2. Film yang diserahsimpankan dipersyaratkan film yang telah lulus sensor. 3. Kewajiban untuk menyerahkan daftar judul karya rekam film cerita dan film dokumenter oleh pengusaha rekaman setiap 6 tahun sekali. 4. Perpustakaan Nasional atau Perpustakaan Daerah dapat bekerjasama dengan lembaga lain dalam pengelolaan film cerita dan film dokumenter yang diserahsimpankan. 5. Kepala Perpustakaan Nasional dapat memberi penghargaan kepada pihak yang membantu pengelolaan film cerita dan film dokumenter yang diserahsimpankan (kecuali untuk pengawasan). 6. Karya yang diserahsimpankan dapat ditolak oleh Kepala Perpustakaan dengan alasan tidak memenuhi persyaratan kualitas: kualitas rekaman, kualitas bahan baku, keutuhan, kelengkapan cerita dan tahan lama untuk disimpan. 7. Penolakan dan pengembalian tidak meniadakan kewajiban menyerahkan karya rekam tersebut. 8. Kepala Perpustakaan berwenang menghentikan pemanfaatan karya yang diserahsimpankan, apabila pemanfaatan tidak untuk kepentingan pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian, penyebaran informasi dan kebudayaan. 9. Karya-karya yang dilarang oleh pemerintah untuk diedarkan untuk umum, hanya bisa dimanfaatkan setelah ada izin tertulis dari Kepala Perpustakaan Nasional. Perda DKI Jakarta No. 6/2006 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam Tujuan dari peraturan ini adalah pengawasan dan pembinaan terhadap karya cetak dan karya rekam yang diterbitkan di daerah atau masuk ke daerah, sehingga menghasilkan kualitas yang berguna bagi masyarakat daerah. Pada intinya peraturan tersebut mengatur kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh UU No. 4/1990 tentang Karya Cetak dan Karya Rekam dan PP No. 70/1991 sebagai peraturan pelaksana undang-undang tersebut, dengan penekanan pada penggunaan PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
56
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
kewenangan di wilayah Provinsi DKI Jakarta – dengan mengganti logika wilayah negara RI dengan wilayah Provinsi DKI Jakarta. Uniknya, meskipun ketentuan pelaksanaan serah simpan sebenarnya juga sudah diatur oleh PP No. 70/1991, Perda tersebut juga mengatur adanya delegasi untuk mengatur lebih lanjut ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan serah simpan dan pengelolaannya di dalam Peraturan Gubernur (logika ini juga disalin dari logika di dalam UU No. 4/1990). Perbedaan-perbedaan aturan Perda No. 6/2006 ini dengan aturan-aturan di dalam PP No. 70/1991 jo. UU No. 4/1990 adalah: 1. Tata cara pelaksanaan yang didelegasikan kepada Gubernur (untuk diatur dengan Peraturan Gubernur). 2. Tata cara pengelolaan yang didelegasikan kepada Gubernur (padahal menurut PP sudah jelas bahwa pengelolaan dilakukan oleh Perpustakaan Nasional atau Perpustakaan Daerah). 3. Pembinaan dan pengawasan yang menjadi kewenangan Gubernur (sementara di dalam PP hal-hal tersebut dianggap sebagai pengelolaan dan menjadi tugas Perpustakaan Nasional atau Perpustakaan Daerah). 4. Adanya ketentuan pidana denda yang jauh melebihi norma pidana di dalam UU No. 4/1990 (di dalam undang-undang diatur ancaman hukuman denda maksimal 5 juta bagi pihak-pihak yang melanggar kewajiban serah simpan, sementara di Perda diatur ancaman hukuman denda maksimal 50 juta). 5. Tidak ada kewajiban bagi penerbit atau pengusaha rekaman untuk melaporkan karya-karya yang dihasilkannya secara berkala. 4.3.2. Analisis
Pengaturan mengenai serah simpan karya cetak dan karya rekam, pada dasarnya bisa merupakan suatu ide yang cukup baik dalam memajukan kebudayaan Indonesia, asal motifnya memang hanya untuk mengumpulkan karya-karya hasil budaya Indonesia (netral). Namun demikian, apabila dihubungkan dengan motif politik pemerintahan Orde Baru ketika itu, tidak menutup kemungkinan adanya motif penguasa untuk mengawasi hasil karya cetak dan karya rekam warga negara Indonesia atau karya cetak dan karya rekam mengenai Indonesia yang masuk ke Indonesia.68 Pengaturan kewajiban tersebut juga dikenakan bagi warga negara Indonesia di luar negeri, maupun bagi siapa saja yang memasukkan karya rekam dan karya cetak mengenai Indonesia ke Indonesia – meskipun memakai limit minimal 10 buah dan untuk diperdagangkan.
68
Lihat pembahasan di dalam Bab 3. Paling tidak, ada dominasi peran pemerintah dalam menentukan budaya yang “baik” dan “tidak baik” yang sangat mungkin mengandung muatan politis pihak yang berkuasa ketika itu.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
57
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Konsep yang berangkat dari pemikiran untuk mengumpulkan segala sesuatu “mengenai Indonesia” yang mewajibkan pihak pembuat untuk menyerahkan karyanya kepada instansi yang berwenang, juga akan mengalami kendala implementasi. Misalnya: bagaimana memastikan adanya pemenuhan kewajiban tersebut oleh warga negara Indonesia di luar negeri? Apakah artinya juga ada kewajiban lapor bagi penerbit atau produser rekaman di luar negeri? Secara riil peraturan seperti ini akan sulit ditegakkan, karena ada permasalahan yurisdiksi atau kewenangan. Walaupun secara konsep peraturan ini dapat dinilai gagal – karena faktor implementasi yang tak terpikirkan dan muatan politis yang terkandung di dalamnya, secara prinsipil ide untuk mengumpulkan karya cetak dan karya rekam dalam suatu koleksi umum yang dapat diakses dengan mudah dan tanpa biaya oleh siapa saja adalah ide yang sangat bagus. Masalahnya, dalam membentuk suatu peraturan, perlu dipertimbangkan juga metode yang digunakan, sehingga mencapai tujuan yang hendak diraih tanpa menimbulkan masalah baru. Pengaturan yang berhubungan dengan penilaian substansi seharusnya dihilangkan, kecuali memang ada kriteria yang jelas dalam rangka melindungi nilai tertentu yang dipandang penting, seperti misalnya pembatasan akses karya-karya dengan substansi yang dinilai tabu untuk anak-anak. Dasar alasan pengaturan yang tidak jelas bisa kita lihat juga dalam PP No. 23/1999 yang bertujuan untuk merinci lagi pelaksanaan serah simpan film cerita dan film dokumenter seperti diatur di dalam PP No. 70/1991. Yang mengundang pertanyaan dalam penetapan tujuan ini: apa benar film cerita dan film dokumenter diatur tersendiri karena mengandung bahan khusus? Karena, penjelasan mengenai pengertian film cerita dan film dokumenter dalam PP itu sendiri tidak menyinggung mengenai adanya kekhususan film-film tersebut karena bahan yang digunakan dalam pembuatannya. Perlu diperhatikan juga, bahwa strategi penetapan suatu kewajiban dengan ancaman sanksi belum tentu efektif sebagai sarana untuk mencapai tujuan – dalam hal ini mengumpulkan karya budaya Indonesia. Belum lagi, masalah implementasinya yang tidak mudah, bahkan tidak realistis.69 Yang harus dilakukan oleh pemerintah, seharusnya justru bagaimana memberi nilai tambah kepada produsen (penerbit atau pengusaha rekaman) sehingga mereka akan tertarik untuk berpartisipasi dalam “proyek koleksi” tersebut. Artinya, harus ada juga usaha dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan perpustakaanperpustakaan yang ada, sehingga orang akan tertarik untuk datang dan memanfaatkan koleksi yang ada. Kesempatan untuk bisa terus “hidup” melalui karya yang dikoleksi oleh 69
Dari hasil pertemuan rutin kami dengan anggota DKJ, terbukti bahwa aturan ini tidak banyak diketahui oleh para sineas. Selama ini kopi film diserahkan melalui Gedung Arsip Nasional dengan membayar biaya penyimpanan. Praktek ini tentu berbeda dengan konsep yang telah ditetapkan dalam UU No. 4/1990, tapi kenyataannya praktek ini yang berlaku sebagai aturan di lapangan. Begitu halnya dengan kewajiban bagi penerbit. Dari pengakuan salah satu narasumber kami (pustakawan Dan Lev Law Library), kewajiban penyerahan yang selama ini dia laksanakan adalah pelaksanaan sistem penomoran ISBN (bukan dalam rangka implementasi peraturan ini).
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
58
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
perpustakaan dan dapat dibaca atau ditonton oleh orang Indonesia, tentu dapat menjadi nilai tambah menarik di mata produsen karya cetak atau karya rekam. Ke depannya, aturan seperti ini perlu ditinjau kembali, dengan dasar alasan (motif) yang netral dan dengan mempertimbangkan implementasi yang masuk akal. Contoh pengaturan yang tetap dapat mencapai tujuan tersebut dengan cara seperti itu, misalnya melalui penomoran buku (sistem ISBN) – di mana pengaturan benar-benar ditujukan pada pengaturan mengenai penerbitan dan bukan pembuatan sebuah karya. Pengaturan juga ditujukan untuk memberikan nilai tambah bagi pihak-pihak terkait – dalam hal ini lebih memudahkan perpustakaan dan toko buku untuk mengidentifikasi suatu karya, bukan untuk memberlakukan suatu kewajiban. Untuk hal ini, kebetulan Perpustakaan Nasional juga telah ditunjuk menjadi lembaga yang berwenang untuk mengelola sistem penomoran ini. Tiga peraturan tersebut di atas (UU No. 4/1990, PP No. 70/1991,dan PP No. 23/1999), dibuat pada level nasional dan masih didasari oleh konsep yang serupa. Sementara itu Perda DKI Jakarta No. 6/2006 hanya dibuat untuk lingkup Jakarta. Meskipun mungkin konsep yang dipakai juga serupa, namun ada beberapa alasan mengapa konsep yang dipakai belum tentu berhubungan dengan maksud UU No. 4/1990. Pertama, tujuan peraturan ini adalah pengawasan dan pembinaan terhadap karya cetak dan karya rekam yang diterbitkan di daerah atau masuk ke daerah, sehingga menghasilkan kualitas yang berguna bagi masyarakat daerah. Dalam hal ini telah ada konsep yang serupa (pemerintah sebagai pembentuk budaya masyarakat), namun telah menempatkan daerah tersebut (DKI Jakarta) sebagai satu daerah tersendiri. Fatalnya, peraturan ini hanya menyalin ketentuan-ketentuan di dalam UU No. 4/1990, tanpa mengkaji lagi isi peraturan itu sendiri. Sehingga, dalam pengaturannya, kewajiban serah simpan dikenakan bagi “setiap pengusaha rekaman yang memasukkan karya rekam dan/atau karya rekam film cerita atau dokumenter mengenai Indonesia ke dalam Daerah dengan maksud diperdagangkan *…+”.70 Ketentuan yang tadinya berlaku bagi importir (memasukkan karya dari luar negeri), akhirnya berlaku juga bagi pihak yang memasukkan karya ke provinsi DKI Jakarta (baca: termasuk karya yang dimasukkan dari daerah lain di Indonesia). Lalu bagaimana cara mengawasinya? Selain itu, hal yang cukup patut mendapat perhatian dalam Perda ini, adalah adanya pengaturan sanksi pidana yang jelas bertentangan dengan undang-undang. Tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, adanya pengaturan teknis mengenai pelaksanaan serah simpan, termasuk pengelolaan karya cetak dan karya rekam yang diserahkan, di dalam Perda ini, tidak memperhitungkan ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan di
70
Pasal 8 Perda DKI Jakarta No. 6/2006.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
59
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
dalam PP No. 70/1991, misalnya mengenai kewenangan pelaksanaan dan pengelolaan yang mestinya ada pada Perpustakaan Daerah (bukan Gubernur). Secara prinsipil, pendapat kami mengenai Perda tersebut serupa dengan pendapat kami mengenai UU No. 4/1990. Meskipun barangkali ada tujuan baik yang hendak dicapai, namun adanya maksud politis dari penguasa harus dapat sebisa mungkin diminimalisir, yaitu dengan memakai pendekatan pengaturan dengan penekanan pada adanya fasilitas dari pemerintah untuk menyimpan karya cetak dan karya rekam yang dihasilkan, bukan dengan adanya kewajiban , apalagi pembinaan dan pengawasan pemerintah atas substansi karya-karya tertentu. 4.3.3. Kesimpulan
Pengaturan mengenai dokumentasi belum dapat mencapai hasil yang diidamkan – yaitu adanya koleksi nasional karya rekam dan karya cetak yang dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Kemungkinan besar hal ini terjadi karena motif awal pengaturan ini lebih bersifat pertimbangan politis, bukan pertimbangan teknis. Bahkan pemangku kepentingan sendiri banyak yang tidak mengetahui adanya peraturan ini. Dari sisi teknis, pengaturan untuk pendokumentasian, akan lebih dapat terlaksana dengan mengubah metode pendekatan: dari pembebanan kewajiban menjadi penyediaan fasilitas bagi pihak-pihak terkait hal tersebut. 4.4. Pelestarian Cagar Budaya 4.4.1. Hasil Penelitian
Peraturan perundang-undangan yang terkait benda cagar budaya dalam penelitian ini ada tiga, yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya (UU No. 5/1992); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (PP No. 10/1993); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum (PP No. 19/1995); 4. Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pengelolaan Taman Wisata Candi Borobudur dan Taman Wisata Candi Prambanan serta Pengendalian lingkungan kawasannya (Keppres No. 1/1992). Keempat jenis peraturan tersebut menempatkan benda cagar budaya sebagai obyek vital yang memerlukan pemeliharaan sekaligus pemanfaatan. UU No. 5/1992 mengakui adanya korelasi antara benda cagar budaya dengan identitas bangsa dan kepentingan nasional. Pengakuan tersebut tertuang dalam konsiderans menimbang butir (a) sebagai berikut: PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
60
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
“Benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jatidiri bangsa dan kepentingan nasional.” Ada tiga objek penting yang menjadi “pengguna” benda cagar budaya, yaitu sejarah, ilmu pengetahuan dan budaya. Tiga objek ini diyakini memiliki peran yang besar dalam memahami perkembangan masyarakat dalam konteks negara yang terdiri dari wilayah sanguat luas dan karakter masyarakat yang sangat majemuk. Selanjutnya, apabila dilihat secara lebih jauh, konsiderans tersebut dapat ditafsirkan sebagai bentuk political will pemerintah terhadap keberadaan benda cagar budaya. Dalam level peraturan perundang-undangan, maka undang-undang ini (UU No. 5/1992) merupakan bentuk peraturan yang mempunyai kekuatan hukum tinggi setelah UndangUndang Dasar. Hal ini menunjukkan juga tingginya tingkat komitmen pemerintah terhadap pengaturan pengelolaan benda cagar budaya. Ada dua hal yang ingin dicapai melalui undang-undang ini, yaitu: a. Perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya dengan cara mengatur penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pengawasan; b. Penyesuaian pengaturan benda cagar budaya dengan perkembangan kebutuhan untuk melindungi dan memelihara benda cagar budaya. Sebelum UU No. 5/1992 dibentuk, pengaturan benda cagar budaya diatur dalam Monumenten Ordonantie Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 238), sebagaimana telah diubah dengan Monumenten Ordonantie Nomor 21 Tahun 1934 (Staatsblad Nomor 1934 Nomor 515). UU No. 5/1992 menempatkan pemerintah dengan peran yang sangat besar dalam pengelolaan dan pengawasan benda cagar budaya dan situs. Pasal 4 ayat (1) mengatur bahwa semua benda cagar budaya dikuasai oleh Negara. Penguasaan tunggal oleh negara ini menempatkan bahwa negara berhak melakukan pengaturan terkait dengan benda cagar budaya. Namun, undang-undang membatasi bahwa penguasaan ini harus mendukung upaya pelestariannya. Walaupun UU No. 5/1992 berjudul tentang benda cagar budaya, namun didalamnya juga melingkupi pengaturan tentang situs. Pengertian benda cagar budaya dalam UU No. 5 Tahun 1992 adalah (i) benda buatan manusia bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; (ii) benda alam yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Sementara itu, pengertian PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
61
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
situs dalam UU No. 5/1992 adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya. UU No. 5/1992 terdiri atas 10 bab dan 32 pasal. Beberapa ketentuan penting dalam UU ini dapat dibedakan menjadi beberapa kategori, yaitu: 1. Penguasaan dan pemilikan Negara memiliki kekuasaan atas semua benda cagar budaya yang berada dalam wilayah Indonesia. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 ini merupakan prinsip utama dalam penguasaan benda cagar budaya, artinya negara memiliki wewenang besar dalam pengaturan atas benda cagar budaya. Pengaturan yang dimaksud adalah dalam lingkup pelestarian benda cagar budaya untuk kepentingan umum. Sementara itu, UU ini juga mengatur bahwa setiap orang dapat menguasai atau memiliki benda cagar budaya. Orang yang dimaksud adalah orang perorangan (persoonlijk recht) maupun badan hukum (rechtpersoon) seperti yayasan dan perkumpulan. Pemilikan atau penguasaan di sini diartikan sebagai upaya pengelolaan, pengampuan atau tindakan lain yang sejenis. Pemilikan atau penguasaan secara perorangan harus memenuhi dua syarat, yaitu: a. Dimiliki atau dikuasasi secara turun temurun atau merupakan warisan; b. Jumlah untuk tiap jenisnya cukup banyak dan sebagian telah dimiliki oleh negara. Walaupun secara prinsip penguasaan atau pemilikan secara perorangan atas benda cagar budaya bisa dilakukan oleh WNI maupun WNA, namun ada pembedaan atas benda yang dapat dimilikinya. WNI dapat menguasai benda cagar budaya berdasarkan persyaratan butir a dan b. Sementara itu, WNA hanya dapat memiliki benda cagar budaya berdasarkan syarat b. Kepemilikan benda cagar budaya secara perorangan ini bersifat tidak mutlak, karena harus memperhatikan fungsi sosial atas benda tersebut dan peraturan perundangundangan. Pemilik atau penguasa perorangan benda cagar budaya wajib menjaga dan melindungi dengan memperhatikan sejarah dan nilai keasliannya. Pemerintah memberi teguran kepada pemilik atau penguasa yang tidak meindungi dan menjaga benda cagar budaya, apabila teguran diabaikan maka pemerintah mengambil alih kewajiban untuk melindungi. Pengalihan benda cagar budaya wajib didaftarkan kepada negara. Terkait dengan pengalihan, benda cagar budaya yang dimiliki secara turun temurun atau warisan hanya dapat dialihkan kepada negara dengan kewajiban pemberian imbalan oleh negara kepada pemilik benda cagar budaya semula. PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
62
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
2. Pencarian dan penemuan Upaya pencarian benda cagar budaya harus mendapatkan ijin dari pemerintah. UU ini juga mengatur tentang kewajiban orang yang menemukan atau mengetahui penemuan benda cagar budaya atau yang diduga sebagai benda cagar budaya atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya untuk lapor kepada pemerintah dalam waktu paling lambat 14 hari. Atas laporan tersebut, pemerintah harus segara melakukan penelitian. Selama penelitian dilakukan, benda tersebut berada di bawah perlindungan sebagai benda cagar budaya. Selanjutnya, apabila hasil penelitian menunjukkan bahwa benda yang ditemukan termasuk benda cagar budaya maka penemu mempunyai hak atas: a. Imbalan dari pemerintah; b. Pemilikan sebagian benda, apabila jumlah yang benda yang ditemukan tiap jenis cukup banyak. 3. Pemindahan, pengalihan, dan perubahan benda cagar budaya UU No. 5/1992 mewajibkan adanya ijin dari pemerintah untuk melakukan tindakan tertentu atas benda cagar budaya. Tindakan yang dimaksud, yaitu: a. Membawa ke luar negeri; b. Memindahkan atau membawa dari satu daerah ke daerah lain; c. Mengambil atau memindahkan baik sebagian atau seluruh; d. Mengubah bentuk dan/atau warna serta memugar; e. Memisahkan sebagian; f. Memperdagangkan; g. Memperjualbelikan; h. Memperniagakan. Terkait dengan pemindahan, pemerintah dapat menahan atau memerintahkan benda yang telah dibawa atau dipindahkan tanpa ijin ke tempat asal. Orang yang membawa atau memindahkan benda cagar budaya menanggung biaya pengembalian benda cagar budaya ke tempat asal. 4. Pengelolaan, pemanfaatan dan pengawasan Pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pengelolaan benda cagar budaya dan situs. UU No. 5/1992 memberi peluang kepada masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok untuk berpartisipasi dalam pengelolaan benda cagar budaya dan situs. Pengelolaan di sini adalah tindakan-tindakan untuk memelihara dan merawat demi kelestarian benda cagar budaya. Untuk benda cagar budaya bergerak atau tertentu, negara atau perorangan dapat menyimpan dan merawatnya di museum. Selain pengelolaan, UU No. 5/1992 juga mengatur tentang pemanfaatan benda cagar budaya untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pemerintah memiliki kewenangan pengawasan terhadap benda cagar budaya dan situs. PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
63
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Sekitar satu tahun setelah UU No. 5/1992 dibentuk, pemerintah menyusun peraturan pelaksana untuk melaksanakan ketentuan yang ada. Peraturan pelaksana tersebut adalah PP No. 10/1993. Peraturan ini mengatur lebih lanjut upaya pelestarian benda cagar budaya, terutama dalam hal: 1. Penguasaan; 2. Pemilikan; 3. Pendaftaran; 4. Pengalihan; 5. Penemuan; 6. Pencarian; 7. Perlindungan; 8. Pemeliharaan; 9. Pemanfaatan; 10. Pembinaan; dan 11. Pengawasan. Hal-hal teknis dalam bidang pelestarian benda cagar budaya yang tidak tercakup dalam UU No. 5/1992 diatur dalam PP ini. No 1. 2. 3.
Pasal Pasal 5 Pasal 7 Pasal 8
4. 5.
Pasal 10 Pasal 12
6.
Pasal 14
7.
Pasal 15
8. Pasal 18 9. Pasal 19 10. Pasal 22 11. Pasal 23 12. Pasal 24
Lingkup Pengaturan yang Didelegasikan Penentuan benda cagar budaya Tata cara pengalihan dan pemberian imbalan Pendaftaran pemilikan, pengalihan hak dan pemindahan tempat benda cagar budaya (bentuk dan besaran imbalan) Penemuan benda cagar budaya Syarat-syarat, tata cara perijinan dan ketentuan tentang pencarian benda cagar budaya atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya Pengambilalihan kewajiban perlindungan benda cagar budaya oleh pemerintah Ketentuan dan perijinan pemerintah mengenai pemindahan, pengubahan, pemugaran, pemisahan, dan perdagangan benda cagar budaya Tata cara pengelolaan benda cagar budaya dan situs Ketentuan tentang pemanfaatan dan cara pemanfaatan Pemeliharaan benda cagar budaya yang dirawat dan/atau disimpan di museum Penggandaan benda cagar budaya Pengawasan benda cagar budaya dan situs
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
64
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Upaya pelestarian benda cagar budaya yang telah diatur dalam UU 5/1992 diatur lebih rinci dalam PP ini. Walaupun dalam beberapa pengaturannya masih mendelegasikan lagi ke dalam bentuk peraturan yang dibuat oleh menteri. Peraturan turunan dari UU No. 5/1992 yang lain adalah PP No. 19/1995 yang mengatur tentang pemeliharaan dan perawatan benda cagar budaya di museum. Pasal 22 UU No. 5/1992 mengatur: (1) Benda cagar budaya bergerak atau benda cagar budaya tertentu baik yang dimiliki oleh Negara maupun perorangan dapat disimpan dan/atau dirawat di meseum. (2) Pemeliharaan benda cagar budaya yang disimpan dan/atau dirawat di museum sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pengaturan dalam PP No. 19/1992 bertujuan untuk melakukan upaya pelestarian benda cagar budaya agar dapat menunjang perkembangan kebudayaan nasional melalui perawatan dan pemanfaatan di museum yang berisi ketentuan teknis tentang pemeliharaan dan pemanfaatan benda cagar budaya di museum. Ketentuan teknis pemeliharaan dan pemanfaatan yang dimaksud meliputi empat langkah, yaitu: a. b. c. d.
Penyimpanan; Perawatan; Pengamanan; dan Pemanfaatan.
Selain itu, PP No. 19/1995 mengatur juga tentang persyaratan museum dalam rangka penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda cagar budaya di museum. Persyaratan tersebut meliputi standar bangunan museum, sarana dan prasarana, tenaga, dan sumber dana yang tetap. Ketentuan tentang pemeliharaan dan pemanfaatan yang terdapat dalam PP No. 19/1995 juga berlaku terhadap benda bukan cagar budaya yang ada di museum. Hal ini dilakukan mengingat museum tidak saja sebagai tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda cagar budaya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa, tetapi juga benda bukan benda cagar budaya. Maka pengaturannya dapat pula diperlakukan kepada benda cagar budaya di museum sepanjang jenis dan unsur bahan yang dikandungnya dapat dipersamakan dengan benda cagar budaya. Jenis peraturan ketiga dalam riset ini adalah Keppres No. 1/1992. Keppres ini bertujuan mengatur pengelolaan dan pengendalian lingkungan kawasan Candi Borobudor dan Candi Prambanan melalui langkah-langkah perencanaan dan pembangunan taman serta fasilitas lainnya di sekeliling candi. Upaya ini diharapkan juga mampu menunjang PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
65
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
pengembangan kawasan pariwisata di kawasan candi. Keppres No. 1/1992 dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa candi-candi dalam kawasan Candi Borobudor dan Candi Prambanan merupakan peninggalan budaya bangsa Indonesia yang harus dijaga kelestariaannya. Upaya pelestarian tersebut dilakukan dengan menciptakan suasana lingkungan yang memberi dukungan kepada nilai keagungan peninggalan budaya tersebut. Ketentuan yang ada dalam Keppres No. 1/1992 antara lain mengatur tentang: a. Peruntukan kawasan candi Peruntukan kawasan candi ditetapkan bagi: - pengamanan dan pelestarian nilai-nilai budaya terutama obyek arkeologi yang ada; - penanggulangan terhadap kemungkinan usaha yang dapat merusak kawasan candi; - peningkatan kelestarian dan pemugaran lingkungan pemukiman pedesaan di sekitar - taman wisata dan candi yang mempunyai nilai-nilai tradisional dan dapat dikembangkan - menjadi obyek dan daya tarik wisata; - pengembangan dan pendayagunaan obyek dan daya wisata; - penciptaan kawasan lindung untuk menjamin kelestarian candi dan mendukung taman wisata. b. Kawasan candi Kawasan candi dibagi dalam tiga zona yaitu: - Zona 1, lingkungan kepurbakalaan yang diperuntukkan bagi perlindungan dan pemeliharaan kelestarian lingkungan fisik candi. - Zona 2, kawasan di sekeliling zona 1 masing-masing candi dan diperuntukkan bagi pembangunan taman wisata sebagai tempat kegiatan kepariwisataan, penelitian, kebudayaan, dan pelestarian lingkungan candi - zona 3, kawasan di luar zona 2 masing-masing candi dan diperuntukkan bagi permukiman terbatas, daerah pertanian, jalur hijau, atau fasilitas tertentu lainnya yang disediakan untuk menjamin keserasian dan keseimbangan kawasan di zona 1 pada umumnya, dan untuk mendukung kelestarian candi serta fungsi taman wisata pada khususnya. c. Pengelolaan zona Penataan ruang, peruntukan dan pengembangan zona 3 dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan pertimbangan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Sedangkan pengelolaan zona 2 dilakukan oleh PT Taman Wisata Candi Borobudor dan Prambanan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk ketentuan pajak. PT. Taman Wisata Candi Borobudor dan PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
66
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Prambanan mempunyai wewenang (i) melakukan pengaturan yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kepariwisataan, (ii) menyediakan dan mengoperasikan segala fasilitas untuk menunjang kegiatan usaha, (iii) memberikan dan mencabut izin penempatan, menetapkan persyaratanpersyaratan dan menetapkan serta melakukan pengutan segala usaha komersial di kawasan, (iv) menetapkan dan memungut biaya masuk taman wisata termasuk candi, dan pungutan lainnya atas pemanfaatan fasilitas yang tersedia di dalam taman wisata dan hasil seluruhnya merupakan pendapatan Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT. Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan. 4.4.2. Analisis
Ada dua hal yang dalam kondisi tertentu bisa menjadi saling mendukung atau bertolak belakang, yaitu pelestarian dengan pemanfaatan. Pelestarian merupakan upaya penjagaan atau perawatan, sementara pemanfaatan lebih menekankan pada unsur penggunaan benda cagar budaya dan situs. Kedua hal tersebut, pelestarian dan pemanfaatan harus dapat berjalan beriringan. Timpang pada salah satu tindakan akan dapat menyebabkan tidak efektifnya keberadaan benda cagar budaya. Misalnya, pemanfaatan benda cagar budaya untuk pariwisata atau ilmu pengetahuan secara berlebihan atau besar-besaran, akan dapat berdampak pada kerusakan atau berkurangnya nilai sejarah dalam benda cagar budaya. Sementara, benda cagar budaya harus mampu memberi kontribusi yang maksimal bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pariwisata. Oleh karena itu, negara sebagai regulator harus mampu menjalankan fungsinya secara tepat. Manajemen pelestarian benda cagar budaya membutuhkan regulasi dari pemerintah. Peraturan perundang-undangan harus mampu membentuk sistem yang tepat bagi pelestarian benda cagar budaya dan situs ini. Beberapa peraturan memang sudah dibentuk, namun masih ada beberapa catatan penting agar mampu mendukung perbaikan dalam pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya. Di sisi lain faktor regulasi harus didukung dengan keseriusan pemerintah untuk melakukan upaya pelestarian benda cagar budaya. Hingga kini peran pemerintah masih lemah dalam hal pengelolaan benda cagar budaya. Lemahnya peranan ini terjadi di tiap tingkatan pemerintahan yaitu nasional, propinsi maupun kabupaten/kota.71 UU No. 5/1992 diperlukan sebagai upaya untuk memberi perlindungan dan menjaga kelestarian benda cagar budaya dan situs. Upaya pengaturan ini berada dalam ruang lingkup penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, 71
Wawancara dengan narasumber Sita Laterna Adisakti (19 Februari 2009). Menurutnya, undang-undang harus tegas membagi peran antara pemeritah pusat dengan pemerintah propinsi dan kabupaten/kota. Pembagian peran secara jelas ini dapat menghindari saling lempar tanggung jawab dalam pengelolaan dan pelestarian benda cagar budaya.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
67
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
pengelolaan, pemanfaatan dan pengawasan. Pembentuk undang-undang, DPR dan Pemerintah, meyakini bahwa benda cagar budaya dan situs sangat penting keberadaannya. Ada dua hal penting yang perlu di analisis dalam UU No. 5/1992, yaitu konsep kepemilikan atau penguasaan dan implementasi peran penguasaan. Pertama, terkait dengan konsep kepemilikan. Negara merupakan pemegang kuasa atas benda cagar budaya. Posisi ini menjadikan negara berhak melakukan perbuatan atau langkah-langkah hukum untuk mengatur segala hal tentang benda cagar budaya dan situs. Penguasaan mutlak oleh negara ini seharusnya dipahami sebagai penguasa yang berwenang memanfaatkan dan juga berwenang untuk melestarikan. Di sinilah peran perlindungan benda cagar budaya dan situs akan nampak. Pelestarian tanpa pemanfaatan akan memberi hasil yang nihil. Sementara, pemanfaatan tanpa pelestarian malah membahayakan keberadaan benda cagar budaya dan situs. Oleh karena itu, dua hal ini harus bisa dijalankan secara beriringan. UU No. 5/1992 telah tepat menjadikan negara sebagai penguasa mutlak atas benda cagar budaya dan situs. Nilai sejarah yang tinggi dan korelasinya dengan identitas bangsa seharusnya menjadi unsur pendorong bagi negara untuk menerapkan konsep penguasaan secara lebih tepat. Kepemilikan secara perorangan tetap diakui sepanjang berdasarkan syarat-syarat tertentu. Syarat tersebut merupakan upaya secara tidak langsung negara untuk memberi perlindungan. Kepemilikan perorangan juga dibatasi oleh prinsip sosial. Artinya kepemilikan ini tidak bersifat mutlak. Ada batas-batas tertentu yang harus diakui dan ditaati oleh pemilik perorangan. Kedua, implementasi peran penguasaan. Pembentuk undang-undang menginginkan bahwa undang-undang mampu memberi perlindungan dan pelestarian terhadap benda cagar budaya dan situs. Wewenang terbesar dalam hal ini telah diberikan kepada negara sebagai penguasa tertinggi atas benda cagar budaya dan situs. Memang, UU No. 5/1992 masih membuka peluang bagi keterlibatan masyarakat dalam melakukan perlindungan dan pelestarian. Namun, posisi pemerintah dalam UU No. 5/1992 tetap menjadi aktor utama dan inisiator dalam upaya perlindungan dan pelestarian. Sayangnya, UU No. 5/1992 tidak memberikan acuan bagi pemerintah dalam melakukan perlindungan dan pelestariannya secara baik. Undang-undang ini telah menempatkan pemerintah dalam posisi sebagai regulator dan operator. Posisi ini rentan pada lemahnya implementasi undang-undang. Banyak hal yang strategis dalam upaya perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya dalam undang-undang yang pengaturannya didelegasikan kepada peraturan di bawah undang-undang. Sebagai contoh, pengaturan tentang pengelolaan. Pasal 18 ayat (1) mengatur bahwa pengelolaan benda cagar budaya dan situs menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun, pasal 18 ayat (3) mengatur bahwa tata cara pengelolaan tersebut diatur dalam PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
68
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
peraturan pemerintah. Ini artinya pemerintah berhak mengatur sendiri tanggungjawabnya dan kewajibannya dalan pengelolaan benda cagar budaya dan situs. Dalam hal pelestarian, Undang-undang ini lebih banyak mengatur hubungan antara warga negara dengan benda cagar budaya. Hubungan kepada pemerintah lebih banyak pada penciptaan hubungan yang bersifat administatif. Seperti, pemberian ijin dan pendaftaran. Undang-undang ini menjadikan pemerintah merupakan aktor utama dalam perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya maka seharusnya undangundang ini juga memberi pembebanan kewajiban (bahkan sanksi) kepada aparat pemerintah apabila lalai dalam menjalankan wewenangnya. Kelemahan pengaturan undang-undang ini juga nampak dalam pengaturan tentang pengawasan. Undang-undang ini menempatkan pengawasan dalam kendali pemerintah. Selain itu, undang-undang ini juga menyerahkan pengaturan tentang pengawasan kepada pemerintah. Sehingga undang-undang telah menempatkan pemerintah sebagai regulator, operator, sekaligus supervisor. Model pengaturan seperti ini secara langsung melemahkan implemetasi undang-undang dalam mencapai tujuannya yaitu, perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya dan situs. Seharusnya peran regulator, operator, dan supervisor ini dipisah. Pemisahan ini perlu dilakukan untuk memastikan berjalannya secara baik masing-masing lingkup pengaturanya tersebut yaitu regulasi, implementasi, dan pengawasannya. Sementara itu, terkait secara langsung dengan kebudayaan ataupun kesenian, undangundang ini memberi peluang kepada kalangan seniman atau budayawan untuk memanfaatkan benda cagar budaya dan situs untuk kegiatan seni dan budaya. Namun, perlu diperhatikan bahwa pemanfaatan ini memerlukan ijin kepada pemerintah. Selain itu, peran yang bisa dilakukan oleh kalangan seniman atau budayawan yang muncul dalam undang-undang ini adalah keterlibatannya dalam upaya perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya dan situs. Peran ini penting dilakukan saat ini, di tengah ketidakpedulian pemerintah dalam melestarikan benda cagar budaya dan situs. Kalangan seniman dan budayawan dapat menjadi inisiator dalam melakukan upaya ini. Tentunya pola kerjasama dengan berbagai pihak baik pemerintah dan kalangan pemodal bisa dilakukan dalam kegiatan pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya. Selain diarahkan kepada pelestarian obyek, upaya keterlibatan ini juga diarahkan kepada berkembangnya kepedulian pemerintah dalam melakukan perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya dan situs secara lebih baik. Ketentuan dalam UU No. 5/1992 kemudian diatur lebih lanjut dalam bentuk peraturan pemerintah seperti yang telah didelegasikan undang-undang tersebut. PP No. 10/1993 merupakan peraturan turunan yang sifatnya mengatur lebih lanjut secara teknis ketentuan yang sudah ada dalam UU No. 5/1992. Namun, walaupun karakter peraturan yang seharusnya diharapkan dari PP ini adalah ketentuan teknis, ternyata PP ini masih benyak mendelegaskan ketentuan ke dalam bentuk peraturan yang ada di bawahnya PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
69
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
yaitu peraturan yang dibentuk oleh Menteri baik Peraturan Menteri maupun Keputusan Menteri. Menteri yang berwenang membuat peraturan tersebut adalah menteri yang membidangi kebudayaan yang sekarang menjadi wilayahnya Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Jumlah peraturan menteri yang harus dibuat dari PP tersebut setidaknya berjumlah 24 (dua puluh empat) peraturan. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Pengaturan yang didelegasikan
Pasal yang mendelegasikan Penentuan benda cagar budaya Pasal 3 ayat (4) Penetapan jenis dan jumlah Pasal 4 ayat (3) Pemilikan benda cagar budaya Pasal 5 ayat (3) Pendaftaran benda cagar budaya Pasal 7 ayat (3) Bentuk dan besaran imbalan Pasal 8 ayat (5) Syarat dan tata cara pengalihan, pemilikan dan penguasaan Pasal 10 benda cagar budaya Tata cara penghapusan benda cagar budaya karena musnah Pasal 11 (3) atau rusak Penghapusan benda cagar budaya dari daftar Pasal 12 ayat (5) Penelitian benda temuan Pasal 13 ayat (6) Pengelolaan penemuan benda cagar budaya Pasal 15 ayat (4) Perijinan pencarian benda cagar budaya Pasal 18 ayat (4) Perlindungan benda cagar budaya Pasal 25 ayat (2) Pemeliharaan benda cagar budaya Pasal 26 ayat (3) Perijinan, syarat dan tata cara pemugaran Pasal 27 ayat (3) Syarat dan tata cara peneguran serta pengalihan hak Pasal 28 ayat (6) pemanfaatan dan pengelolaan Perijinan membawa benda cagar budaya ke luar negeri Pasal 30 ayat (4) Pemindahan benda cagar budaya Pasal 32 ayat (2) Penahanan dan pengembalian benda cagar budaya Pasal 33 ayat (4) Perijinan pemindahan dan pengubahan benda cagar budaya Pasal 34 ayat (3) Perijinan pemanfaatan Pasal 36 ayat (8) Perijinan dan tata cara penandaan Pasal 39 ayat (4) Pembinaan dan pengelolaan benda cagar budaya Pasal 41 ayat (4) Pengawasan Pasal 43 ayat (2) Pembangunan yang berdampak atau berkaitan dengan benda Pasal 44 ayat (4) cagar budaya
Banyaknya aturan yang didelegasikan oleh PP kepada menteri mengindikasikan bentuk pengaturan PP yang sifatnya terbuka dan umum. Pendelegasian ini akan berdampak pada implementasi ketentuan yang ada dalam undang-undang dan peraturan pemerintah. Pada level teknis, implementasi pelestarian benda cagar budaya degan segala aspeknya harus menunggu terbitnya peraturan di tingkat menteri. Tentunya kondisi ini akan memakan waktu. PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
70
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Selanjutnya, salah satu bentuk pemeliharaan dan pemanfaatan benda cagar budaya adalah penyimpanan dan perawatan dalam museum. Langkah ini lah yang diambil oleh pemerintah memalui pembentukan PP No. 19/1995. Salah satu bagian penting dalam upaya pemeliharaan dan pemanfaatan benda cagar budaya di museum adalah pembinaan dan pengawasannya. PP 19/1995 memberikan wewenang atas pembinaan dan pengawasan kepada pemerintah melalui menteri yang bertanggungjawab di bidang kebudayaan (saat ini adalah menteri kebudayaan dan pariwisata). Namun, pengaturan atas pengawasan dan pembinaan kurang rinci. Memang, pengaturannya kemudian diserahkan kepada menteri yang bersangkutan. Namun perlu diingat bahwa model pengaturan yang terbuka ini membawa potensi pada lemahnya implementasi. Dalam hal ini menteri adalah orang yang ditunjuk untuk melakukan pembinaan dan pengawasan, namun bagaimana apabila pengaturannya juga diserahkan kepada menteri yang ditunjuk. Hal ini penting mengingat peran pembinaan dan pengawasan yang harus dilakukan terkait dengan pemeliharaan dan pemanfaatan ini sangat besar peranannya dalam mendukung pelestarian benda cagar budaya. PP 19/1995 juga mengatur ruang lingkup pembinaan yang meliputi tiga hal: a.
Bimbingan teknis pemeliharaan dan pemanfaatan benda cagar budaya di museum; b. Bimbingan dan penyuluhan untuk meningkatkan peranserta masyarakat; c. Bantuan, yang dapat berupa dana, sarana dan/atau tenaga ahli perawatan. Ketiga hal ini merupakan pilihan pembinaan yang dapat dilakukan satu per satu atau secara bersamaan karena dalam PP disebutkan dengan istilah “dapat”. Ketiga hal tersebut merupakan layanan minimal yang “seharusnya” diberikan oleh pemerintah dalam kerangka pembinaan dan wajib dilakukan secara bersamaan. Rumusan ini penting mengingat seringkali tindakan yang seharusnya menjadi beban pemerintah dirumuskan dengan istilah “dapat”. Sementara itu, bentuk aturan ketiga dalam riset ini adalah Keppres No. 1/1992. Keppres ini mengatur pengelolaan taman wisata candi Borobudur dan taman wisata candi Prambanan serta pengendalian lingkungannya. Sekilas apabila memperhatikan judul peraturannya maka tercermin suatu upaya atau tindakan yang mampu mengedepankan aspek pelestarian cagar budaya dan situs. Namun, aturan ini tidak secara detil menjelaskan tentang pengelolaan taman wisata. Ketentuan yang ada, lebih banyak menyinggung tentang pembagian lahan melalui penetapan zona dan pembagian pengurusan masing-masing zona tersebut. Upaya pelestarian yang sesungguhnya tidak nampak dalam Keppres ini. Sehingga apabila dihubungkan dengan latar belakang filosofis pembentukan keputusan ini maka ketentuannya tidak mempunyai korelasi secara langsung. PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
71
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
4.4.3. Kesimpulan
Benda cagar budaya dan situs merupakan salah satu bentuk kekayaan bangsa. Di dalamnya terdapat nilai sejarah dan budaya yang sangat besar pengaruhnya dalam memahami perjalanan bangsa ini. Keberadaannya sangat dibutuhkan baik bagi ilmu pengetahuan, sejarah dan kebudayaan. Sudah seharusnya, negara berperan dalam upaya pelestarian. Sebagai institusi formal tertinggi dalam masyarakat, maka kedudukannya sebagai penguasa mutlak bagi benda cagar budaya dan situs harus diiringi dengan upaya konkrit bagi pelestarian baik dari sisi regulasi maupun implementasi pelestarian itu sendiri. Namun, dari sisi regulasi masih memerlukan pengkajian secara mendalam. Terutama tentang posisi dan peranan pemerintah yang diatur dalam UU No. 5/1992. Pemisahan antara regulator, operator dan supervise atau pengawas perlu dilakukan untuk menjamin obyektifitas implementasi dari masing-masing fungsi tersebut. Selanjutnya, terkait dengan pengembangan seni dan budaya, terdapat peluang bagi pegiat seni dan budaya untuk memanfaatkan benda cagar budaya untuk melakukan kegiatan seni dan budaya. Optimalisasi peluang ini perlu dukungan pengaturan yang lebih lanjut untuk memberikan stimulus bagi pegiat seni dan budaya untuk memanfaatkannya. 4.5. Pendidikan Seni 4.5.1. Hasil Penelitian
Pengaturan pendidikan seni antara lain terdapat dalam beberapa peraturan berikut: 1. 2. 3. 4.
Undang-Undang No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Peraturan Pemerintah No. 60/1999 Tentang Sistem Pendidikan Tinggi. Keputusan Presiden No. 33/2003 Tentang Pendirian Institut Seni Denpasar. Keputusan Presiden No. 56/1999 Tentang Pendirian Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padang Panjang. 5. Keputusan Presiden No. 59/1995 Tentang Pendirian Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung. 6. Keputusan Presiden No. 21/1992 Tentang Pendirian Sekolah Tinggi Seni Surakarta (diubah oleh Peraturan Presiden No. 77/2006 menjadi Institut Seni Surakarta). 7. Keputusan Presiden No. 39/1984 Tentang Pendirian Institut Seni Yogyakarta. Apabila memperhatikan peraturan-peraturan tersebut diatas, hipotesis dalam Bab 1 laporan riset ini tentang terlihatnya kecenderungan pengaturan yang bersifat formil (tidak tertuju pada pemecahan suatu masalah atau usaha untuk mewujudkan ide tertentu) benar adanya.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
72
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Kecenderungan yang tercipta dalam pendidikan seni adalah kecenderungan pengaturan institusional, yaitu penerbitan peraturan-peraturan yang menjadi dasar hukum dan landas operasional institusi seni. Dasar peraturan bervariasi, karena adanya UU No.10/2004 Tentang Tata Urutan Perundang-undangan, untuk perubahan status Sekolah Tinggi Seni Surakarta menjadi Institut Seni Surakarta dasar hukumnya adalah Peraturan Presiden no.77/2006. Mengapa Peraturan Presiden (Perpres) yang menjadi landasan berdirinya Institut Seni Surakarta? Karena dengan dasar hukum Perpres, bisa menjadi dasar hukum peraturan dibawahnya, seperti Peraturan Menteri, Keputusan Menteri sampai Peraturan Daerah. Inisiatif pendirian pendidikan tinggi seni rata-rata berasal dari inisiatif daerah, yang kemudian dikuatkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang kemudian diperkuat lagi oleh Keputusan Presiden (dan Peraturan Presiden). Beberapa lembaga, seperti Institut Seni Denpasar misalnya adalah dari penggabungan Fakultas Seni Rupa Program Disain Visual Universitas Udayana dengan Sekolah Tinggi Seni Denpasar. Atau Institut Seni Surakarta, hasil penggabungan Akademi Seni Tari Indonesia dengan Akademi Seni Karawitan. Yang menarik dicermati adalah, pengelolaan pendidikan seni dahulu tercatat dibawah naungan Direktorat Kebudayaan, namun sejak tahun 1976 berada dibawah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara dalam UU No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) materi kesenian diatur dalam pasal-pasal kurikulum pendidikan dasar dan menengah mengenai materi wajib kurikulum. Yang patut menjadi perhatian adalah Peraturan Pemerintah (PP) No.60/1999 Tentang Pendidikan Tinggi. Pertama, pasal 6 tentang satuan penyelenggaraan pendidikan, yaitu pembagian program pendidikan pada masing-masing universitas, akademi, sekolah tinggi dan institut. Kedua, pasal 104 persyaratan akademis pengajar bagi dosen, terutama untuk persyaratan guru besar, yang harus’ memenuhi kualifikasi sebagai pengajar’ (pasal 104 ayat (1) dan (2)). Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber, kekurangan pendidikan seni di Indonesia adalah: pertama, pengaturan soal syarat pendidikan bagi pengajar institut seni mengakibatkan siswa kehilangan kesempatan diajar oleh maestro seni; kedua, mayoritas pengajar seni tidak berkarya sehingga ada kesenjangan antara teori dan praktek (meski menurut narasumber lain, antara berkreasi dan mengajar adalah dua hal yang tidak harus dipertentangkan); ketiga, praktek pengajaran seni di Indonesia hanya menekankan pada apresiais estetika, tidak berusaha memahami secara holistik dengan sistem masyarakat penciptanya; keempat, pendidikan kesenian yang modernis membuatnya sulit mengapresiasi kesenian tradisi.72
72
Sebagian rangkuman wawancara Endo Suanda (16 Januari 2009), Seno Gumira Ajidarma (18 Maret 2009) dan Ratna Sarumpaet (20 Maret 2009).
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
73
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
4.5.2. Analisis
Adanya aturan baru dalam PP No. 60/1999 Tentang Perguruan tinggi soal pembagian satuan pendidikan memiliki dampak pada pendidikan seni. Dalam pasal 6 PP tersebut menyebutkan, sekolah tinggi menyelenggarakan pendidikan untuk satu disiplin ilmu, sementara institut bisa menyelenggarakan pendidikan untuk sekolompok disiplin ilmu yang sejenis. Apabila pasal 6 ini ditarik ke realitas pendidikan seni Indonesia, berarti Sekolah Tinggi Seni (STSI)Padang Panjang dan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, harus menyesuaikan bentuk lembaga mereka menjadi Institut, mengingat disiplin ilmu di kedua STSI tersebut lebih dari satu yang diajarkan. Kemudian mengenai persyaratan pengajar, kendala persyaratan akademis menjadi kesulitan utama bagi institut pendidikan seni. Banyak maestro seni Indonesia yang tidak memiliki gelar akademis (sarjana sekalipun), sehingga bila persyaratan ini diberlakukan secara konsisten, akan terjadi kehilangan sangat besar bagi dunia pendidikan seni. Inisiatif dari kalangan seni harus diambil, mengingat PP No. 60/1999 ini adalah peraturan pelaksana dari UU No. 2/1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang sudah tidak berlaku lagi, sehingga seharusnya dalam waktu dekat disusun peraturan pelaksana UU No. 20/2003 yang baru. 4.5.3. Kesimpulan
Materi pendidikan seni belum menjadi perhatian utama kebijakan pendidikan tinggi Indonesia. Yang diatur selama ini, baru pendirian institusi perguruan tinggi, dimana mayoritas inisiatif pendirian tersebut berasal dari daerah. Inisiatif daerah ini harus dipelihara mengingat pendirian institusi seni diluar pulau Jawa hanya di dua lokasi, Bali dan Sumatra Barat. Selain itu, untuk internal Departemen Pendidikan Nasional, sebaiknya dirancang inisiatif kurikulum untuk menjawab permasalahan yang diajukan oleh narasumber riset ini. 4.6.
Posisi Seni dalam Kebijakan Pariwisata
4.6.1. Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian kami, peraturan-peraturan pariwisata yang menyebutkan soal kesenian adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan menggantikan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990. 2. Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996 Tentang Kepariwisataan 3. Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Seni dan Budaya 4. Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2000 Tentang Badan Pengembangan Pariwisata dan Kesenian 5. Keputusan Presiden No. 16/2005 Tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
74
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
6. Instruksi Presiden No. 9/1969 Tentang Pedoman Pengembangan Pariwisata Nasional Perspektif seni dalam pariwisata sendiri, telah beberapa kali bergeser dalam pergantian kepemimpinan nasional. Pergeseran kepemimpinan nasional menandai perubahan konteks politik dimana kesenian (yang terintegrasi dalam pariwisata) beroperasi. Dari pergeseran ini, bisa ditelisik lebih jauh lagi mengenai posisi premis diatas mengenai seni: apakah benar seni hanya menjadi alat bantú pariwisata? Pengaturan seni dalam konteks pariwisata biasanya disangkutkan dalam dua materi. Pertama, seni sebagai bagian dari strategi pariwisata. Contoh, kesenian di Bali yang sering dikedepankan oleh pemerintah setempat, adalah kesenian tradisional, dengan asumsi turis mengunjungi Bali untuk melihat kesenian tradisional yang hanya ‘menjual Bali’.73 Kedua, kesenian direduksi sebagai sesuatu yang bisa diatur dan ditentukan oleh pemerintah. Contoh untuk hal ini, bisa dilihat dari poin nomor 7 dalam Instruksi Presiden Soal Kebijakan Pariwisata dan Kebudayaan yang mendorong Menteri Luar Negeri untuk mendirikan pusat-pusat kebudayaan (baca: kesenian) Indonesia di luar negeri. Pengaturan kesenian pada masa Orde Baru, diatur dalam struktur Direktorat Kebudayaan di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaaan. Dimulai pada tahun 1968 dan berakhir pada 1998, Direktorat Jenderal Kebudayaan, dikepalai berturut-turut Ida Bagus Mantra, Haryati Soebadio dan Edi Sedyawati. Sejak tahun 1997, kebijakan kesenian yang semula berpayung dalam aras pendidikan, kini juga diatur juga dibawah domain kepariwisataan; ditandai dengan berdirinya Departemen Pariwisata Seni dan Budaya (dahulu Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi), di mana Departemen Pendidikan tetap sebagai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam era reformasi, pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Abdurrahman Wahid), Departemen Pariwisata Seni dan Budaya diubah statusnya menjadi Kementerian Seni dan Budaya.74 Urusan pariwisata, meski tetap menyinggung kesenian dalam materi muatannya, diatur dalam Badan Pengembangan Budaya dan Pariwisata melalui Keppres No. 11/2000. Salah satu tonggak fundamental dari Keppres No. 11/2000 ini adalah menyesuaikan dengan pasal 26 UU No. 22/1999 Tentang Otonomi Daerah (waktu itu) tentang Unit Pelaksana Teknis (UPT) eks Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya yang dialihkan menjadi perangkat daerah/dinas daerah, baik kabupaten/kota. Garis-Garis Besar Haluan Negara atau GBHN (1999-2004) yang disusun pada masa Abdurrahman Wahid menyatakan dua hal penting. Pertama, bahwa kesenian dan budaya tradisional akan dijadikan ‘kendaraan’ bagi pariwisata untuk membangun kepariwisataan nasional dan untuk promosi ke mancanegara.75 Kedua, pembangunan
73
Wawancara dengan narasumber Seno Gumira Ajidarma (18 Maret 2009). Tugas Kementerian adalah mengeluarkan kebijakan pembangunan sehingga mendapat alokasi bujet yang relatif lebih sedikit dibanding bujet Departemen yang membawahi unit teknis sampai ke tingkat daerah. 75 Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999-2004, halaman 31. 74
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
75
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
pariwisata akan diupayakan berlangsung secara holistik, partisipatoris dan menghormati kebudayaan serta lingkungan. Meski demikian, pada era Pemerintahan Megawati Sukarnoputri, melalui Keppres No.29/2003 Badan Pengembangan Budaya dan Pariwisata warisan Abdurrahman Wahid, dilebur dalam Kementerian Budaya dan Pariwisata; suatu keputusan yang mengundang kontroversi di berbagai kalangan.76 Kritik utama soal penggabungan ini adalah dengan penggabungan Badan Pengembangan Budaya dan Pariwisata, harapan akan adanya tindakan yang efektif dan konkrit soal seni dan budaya akan semakin jauh, mengingat Kementerian dengan penggabungan ini hanya akan dibantu oleh tiga deputi, yaitu Deputi Pelestarian Pengembangan Kebudayaan, Deputi Sejarah dan Kepurbakalaan serta Deputi Seni dan Film; suatu pembagian yang juga mengundang kritik.77 Meski demikian, penyertaan aktivitas kesenian dalam kebijakan pariwisata tetap menuai kritik dari para narasumber, antara lain Seno Gumira Ajidarma dan Ratna Sarumpaet. Menurut kedua narasumber ini, meski sektor pariwisata sudah mencakup soal kesenian didalamnya, kesenian masih merupakan tempelan dalam misi-misi kebudayaan ke luar negeri. Tidak pernah ada visi untuk mengedepankan bentuk kesenian tertentu, ditambah metode seleksi misi kebudayaan tersebut juga patut dipertanyakan.78 Patut disebutkan pula di sini, adanya Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kepmendikbud) No. 0267 Tahun 1978 yang menjadi dasar hukum pendirian tamantaman budaya di berbagai daerah. Taman-taman budaya ini mencontoh kesuksesan Taman Ismail Marzuki dan Taman Budaya Bali (biasa disebut Taman Budaya Denpasar), yang didorong oleh inisiatif Dirjen Kebudayaan Ida Bagus Mantra dari perjalanannya ke Eropa dan menyaksikan taman-taman budaya di sana yang dinamis dan berhasil mendatangkan turis. 79 Sejak pertama didirikan pada tahun 1978, dan taman budaya terakhir yang didirikan pada masa Orde Baru pada tahun 1994, tercatat lebih dari 24 taman budaya, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota sudah berdiri. Sebagi salah satu pionir taman budaya, Taman Budaya Denpasar kini sudah menjadi salah satu daya tarik kunjungan turis mancanegara ke Bali, yang dalam kesempatan tertentu berhasil mendatangkan pemasukan bagi pemerintah lokal.80 4.6.2. Analisis
Pergantian struktur departemen menjadi kementerian negara, kemudian kembali menjadi departemen lagi, tak syak membawa perubahan pada visi kepariwisataan. 76
“BP Budpar Resmi Bergabung Dengan Kementerian Budpar”, www.kompas.com, 31 Mei 2003.Kritik dari berbagai kalangan bisa dilihat di “Keppres 29/2003 soal BP Budpar Pemerintah Korbankan Kebudayaan”, www.kompas.com, 3 Juni 2003. 77 Pembagian ini rancu, menurut Nunus Supardi seorang aktivis kepurbakalaan dalam kolomnya di Kompas 19 April 2004, mengingat sejarah, purbakala, seni dan film adalah bagian dari kebudayaan. 78 Wawancara terpisah Seno Gumira Ajidarma (18 Maret 2009) dan Ratna Sarumpaet (20 Maret 2009) 79 Tod Jones (2005). 80 “Taman Budaya Denpasar Jaring Belasan Ribu Turis Tahun Lalu”, www.kompas.com, 4 Juli 2005.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
76
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Meski demikian, dua hipotesis awal laporan penelitian ini yaitu terlihat kecenderungan pengaturan yang terfokus pada level pengaturan pada tataran abstrak dan terlihat kecenderungan pengaturan yang bersifat formil (tidak tertuju pada pemecahan suatu masalah atau usaha untuk mewujudkan ide tertentu) seperti menemukan pembuktiannya. Materi paling detil dan paling mendekati teknis operasional, selain pembentukan BP Budpar melalui Keppres no.11/2000, adalah sejauh pembentukan Inpres No.16/2005 Tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata dengan penugasan Presiden pada masing-masing Menteri . Dalam Inpres tersebut , misalnya Menteri Kebudayaan dan Pariwisata bertugas untuk menyiapkan informasi lengkap bidang kepariwisataan, mendorong pengembangan destinasi wisata unggulan dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kelestarian peninggalan budaya serta daya tarik wisata. Namun, bandingkan dengan tugas Menteri Luar Negeri yang mendukung promosi kerjasama bidang kebudayaan dan pariwisata di luar negeri sertamembantu berdirinya pusat-pusat kebudayaan di luar negeri dan bandingkan juga dengan penugasan kepada Gubernur/Kepala Daerah.81 Fakta bahwa pada tahun 1978 sudah ada Kepmendikbud 0267/1978 Tentang Pendirian Taman Budaya dan hingga kini taman budaya sudah berdiri dimana-mana sampai tingkat dibawah ibukota provinsi,82 luput dari perhatian Inpres untuk diberdayakan, atau setidaknya dievaluasi. Berkaitan dengan konteks sosial politik, menarik untuk mencermati inisiatif penerbitan Keppres No. 11/2000 Tentang BP Budpar pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Bila dibandingkan dengan PP atau Keppres yang terbit sebelum dan sesudahnya (lihat daftar peraturan di bagian Temuan), Keppres ini jelas konkrit dan memisahkan kerja teknis operasional kepariwisataan dan kerja pembuatan kebijakan. Dalam Keppres ini dijelaskan bahwa BP Budpar berfungsi menetapkan kebijakan teknis kepariwisataan sesuai kebijakan yang ditetapkan Presiden, pembinaan kegiatan pariwisata dan kesenian, pemantauan kegiatan lembaga pemerintah, swasta dan masyarakat di bidang pengembangan pariwisata dan kesenian, pengelolaan sumberdaya BP Budpar dan pemberdayaan peran serta lembaga swasta dan masyarakat untuk kesenian. Salah satu tonggak fundamental dari Keppres No.11/2000 ini adalah menyesuaikan dengan pasal 26 UU No. 22/1999 Tentang Otonomi Daerah (waktu itu) tentang Unit Pelaksana Teknis (UPT) eks Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya, yang dialihkan menjadi perangkat daerah/dinas daerah, baik kabupaten/kota. Secara tidak langsung, Abdurrahman Wahid menegaskan posisi kesenian dalam pariwisata, yaitu sebagai bagian dari kebudayaan; kegiatan pariwisata harus berangkat 81
Antara lain tugas Gubernur/Kepala Daerah adalah penataan obyek wisata dan penyiapan infrastruktur dasar, mengembangkan daya tarik wisata di jalur pergerakan wisatawan nusantara dan di sekitar perkotaan serta melestarikan tradisi, nilai dan adat istiadat melalui penyelenggaran event daerah. 82 Lihat situs Kantor Informasi Pariwisata dan Budaya Ketapang: http://inbudpar.ketapang.go.id/web/news_read.php?sub=berita&vN=374 dan lihat juga Taman Budaya Jawa Tengah (dahulu Taman Budaya Surakarta).
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
77
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
dari konteks budaya. Pembagiannya, menurut Abdurrahman Wahid, Menteri Pariwisata dan Kesenian, sementara Menteri Pendidikan dan Kebudayaaan bertugas mengembangkan rintisan kebudayaan baru.83 Ketika pada tahun 2003 Presiden Megawati mengeluarkan Keppres No.29/2003 yang memutuskan BP Budpar dibawah kendali Kementerian Negara Budaya dan Pariwisata, polemik bermunculan. Bagi birokrat, masalahnya adalah bila SDM dialokasikan dibawah Kantor Kementerian Negara berarti alokasi anggaran dan wewenang operasional dibatasi, karena tugas Kementerian Negara adalah mengeluarkan arahan kebijakan, bukan operasional. Artinya, kebutuhan staf dan anggaran jauh lebih sedikit dibanding departemen teknis. Selain masalah SDM, argumen lain yang cukup mengemuka adalah waktu penggabungan yang dekat dengan Pemilu, mengingat tidak ada jaminan Presiden terpilih kelak akan mempertahankan restrukturisasi yang baru tersebut. Kritik dari kalangan akademisi dan budayawan bermunculan, antara lain dari Profesor Antropologi UGM Teuku Jacob dan Budayawan Rahman Arge, bahwa penggabungan BP Budpar dan Kementerian Negara Pariwisata mencerminkan keinginan Pemerintah hanya mengedepankan pariwisata dan menomor duakan kebudayaan.84 Seharusnya, bila menargetkan pariwisata sebagai penarik devisa, yang dipisahkan adalah pariwisata dari kebudayaan, bukan meleburkan BP Budpar dalam Kementerian Negara Pariwisata. Lebih jauh lagi, Jacob dan Arge mengungkapkan pentingnya kebudayaan diurus oleh satu departemen tersendiri, karena nilai budaya,kesenian dan sejarah penting untuk pembangunan karakter bangsa.85 Penggabungan pariwisata dan budaya dalam satu kompartemen tersendiri, entah departemen atau kementerian negara, memang mencerminkan sudut pandang tersendiri soal pariwisata. Secara sinis, seorang perupa menyatakan perspektif dan orientasi kapitalistik dari Pemerintah yang mewajibkan kebudayaan harus berada dibawah struktur dan suprastruktur pariwisata sebagai penghasil devisa 86. Paradigma seni dalam pariwisata bergeser, semula sebagai alat penguat identitas nasional, kini sebagai alat penunjang pariwisata87. Bila dibandingkan , secara garis besar, paradigma kepariwisataan masa Orde Baru, berdasarkan hasil temuan riset ini, tidak mencerminkan satu kebijakan terstruktur mengenai pemanfaatan seni untuk mendukung pariwisata. Langkah paling konkrit pemerintahan Suharto mengaitkan pariwisata dengan budaya adalah membentuk Departemen Pariwisata dan Budaya dalam Kabinet Pembangunan VI, dengan Joop Ave sebagai Menteri. Tidak tercatat ada kebijakan khusus terkait kesenian pada masa ini, tapi pariwisata sebagai industri mulai menunjukkan geliatnya. Yang tercatat, praktek
83
“Presiden:Industri Pariwisata Harus Bergerak dari Budaya”, www.kompas.com, 21 Februari 2000. “Keppres 29/2003: Soal BP Budpar Pemerintah Korbankan Kebudayaan”, www.kompas.com, 2 Juni 2003. 85 Ibid. 86 FX Harsono, “Sampahsenisampahseni Bakar!”, www.kompas.com, 15 Februari 2004. 87 Tod Jones (2005). 84
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
78
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
seperti oknum yang korup dan mengutip dari tiap penampilan seni lokal, adalah ekses yang tak terhindarkan dari perilaku aparat pada masa Orde Baru.88 Selanjutnya, kebijakan pariwisata pada masa Abdurrahman Wahid, yaitu kebudayaan yang sebagai titik berangkatnya pariwisata. Dalam satu kesempatan diakui Abdurrahman Wahid sebagai cara untuk membuat sebuah industri berpihak pada kebudayaan, mengingat praktek yang terjadi selama ini pihak yang menguasai ruang pariwisata hanya pelaku industri pariwisata saja.89 Pengalihan UPT dari wewenang Pemerintah Pusat menjadi pemerintah kota/kabupaten, sayangnya seperti terputus di tengah jalan: inisiatif ini tidak ditanggapi secara seragam oleh pemerintah kota/kabupaten. Sementara pada masa pemerintahan Megawati, pergeseran paradigma yang terjadi adalah merancunya peran insititusi dalam pengaturan pariwisata, dengan pengeluaran Keppres 20/2003 yang menempatkan BP Budpar dibawah Kementerian Negara Pariwisata, ternyata tidak menjadi solutif juga. Kerja kementerian yang tumpang tindih dengan kerja badan operasional; dua fungsi yang sebenarnya membutuhkan domain institusi Negara yang berbeda. Beralih pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), melalui Instruksi Presiden No,16/2005 Tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata, terbaca pemerintahan presiden (SBY) memiliki inisiatif dan mengaitkan kepariwisataan dengan budaya. Kesan ahistoris tidak bisa disangkal dari Inpres 16/2005 dan inisiatif masing-masing aktor dalam melaksanakan penugasan Inpres ini belum mampu terpantau dalam laporan riset ini; meski demikian Inpres yang memberikan tugas pada kabinet sampai pemerintah daerah untuk mendukung kebijakan pariwisata dan budaya adalah yang pertama. 4.6.3. Kesimpulan
Kesenian sebagai bagian dari pariwisata oleh setiap rezim pemerintahan dimaanfatkan, terutama sebagai pemikat turis. Pemihakan pada jenis kesenian tertentu, seperti seni tradisional tidak terhindarkan, karena dipandang sebagai aset nasional, contohnya dari misi-misi kesenian Pemerintah, baik yang menempel pada perjalanan dinas atau bagian dari promosi wisata. Kesenian kontemporer tidak pernah diikutsertakan. Berubahnya paradigma kepariwisataan pada setiap pemerintahan diyakini memberi andil kurangnya visi Pemerintah dalam mengintegrasikan aspek tertentu kesenian dalam pariwisata. 4.7. Hak Kekayaan Intelektual, Seni, dan Budaya 4.7.1. Hasil Penelitian
Hasil penelitian kami menemukan beberapa aturan Hak Kekayaan Intelektual yang terkait dengan kegiatan seni dan budaya adalah sebagai berikut: 88 89
Ibid, hal. 198 “Presiden:Industri Pariwisata Harus Bergerak dari Budaya”, www.kompas.com, 21 Februari 2000.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
79
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Juni, 2009
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Undang-undang No.14 Tahun 2001 tentang Paten Undang-Undang No.15 Tahun 2001 tentang Merek Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1995 tentang Komisi Banding Paten Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1995 tentang Komisi Banding Merek ”everyone has the right freely to participate in the culture life of the community, to enjoy the arts and to share the scientific, advancement and its benefits: Everyone has the right to the protection of the moral and material interest resulting from any scientific, literary of artistic production of which he is the actor” 90
Menurut Black’s Law Dictionary, intelektual/intellectual property adalah:
yang
dimaksud
dengan
kekayaan
“ A category of intangible rights protecting commercially valuable product of the human intellect”91 Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan hak yang timbul dari hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Pada dasarnya HKI merupakan hak untuk menikmati secara ekonomis dan moral atas hasil dari kreatifitas intelektual. Dengan demikian objek-objek dari HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena intelektual manusia.92 Jika dilihat dari definisi Hak Kekayaan Intelektual, tedapat persinggungan antara HKI dengan budaya (kebudayaan) dan dengan seni (kesenian). Kebudayaan merupakan hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia. Buah akal budi tersebut dapat berupa kepercayaan, seni, dan adat istiadat. Seni merupakan kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi. 93 Dari definisi budaya dan seni tersebut terlihat jelas persinggungan yang melekat antara HKI dengan budaya, khususnya seni. Semuanya bertumpu pada hasil dari intelektual manusia atau hasil dari akal budi manusia. Hasil dari kesanggupan akal untuk menciptakan dan menghasilkan suatu ciptaan merupakan karya intelektual yang didalamnya melekat hak kekayaan intelektual. HKI 90
Pasal 27 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights Black’s law Dictionary, Eighth edition, (Thomson Business, 2004), hal 824. 92 Buku Panduan Hak kekayaan Intelektual, (Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, 2007) 93 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Ketiga, (Balai Pustaka, 1990) 91
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
80
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
melindungi pemiliknya dengan hak eksklusif secara moral maupun secara ekonomi atas objek tersebut. Adapun cabang-cabang dari HKI beserta dasar hukumnya, antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Hak Cipta (copyright); Hak Paten; Merek,; Desain Industri; Rahasia Dagang; Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu; dan Varietas Tanaman.
Dari berbagai jenis HKI, terdapat 4 (empat) hak yang sangat melekat dengan produkproduk seni dan budaya. Keempat hak tersebut adalah: (1) Hak Cipta; (2) Hak Merek; (3) Hak Paten; dan (4) Hak Desain Industri. Di tataran praktek, kalangan awam bahkan para seniman sendiri seringkali menggunakan terminologi yang kurang tepat mengenai jenis HKI dan objek yang akan dilindungi haknya. Kata paten seringkali digunakan dalam kalimat-kalimat yang dimaksudkan untuk perlindungan objek hak cipta, seperti lagu, buku, patung, dan karya seni lainnya. Padahal, karya seni merupakan objek hak cipta, bukan objek hak paten. Agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam meggunakan terminologi HKI yang tepat, berikut perbedaan jenis-jenis HKI yang terkait dengan seni dan budaya disertai dengan objek ciptaannya: Jenis HKI yang Terkait dengan Seni dan Budaya
Objek
Hak Cipta
Hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra
Contoh Objek HKI yang terkait dengan seni dan budaya
Jangka waktu Perlindungan
Sastra, folklor Lagu atau musik, dengan atau tanpa teks Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim seni rupa (lukis, patung, gambar, seni ukir, kaligrafi, pahat, kolase dan seni terapan
Seumur hidup pencipta + 50 tahun setelah meninggalnya pencipta
-
-
-
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
81
[LAPORAN HASIL PENELITIAN] Jenis HKI yang Terkait dengan Seni dan Budaya
Objek
Juni, 2009 Contoh Objek HKI yang terkait dengan seni dan budaya
Jangka waktu Perlindungan
(arsitektur, peta, batik, fotografi, sinematografi, terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, dan karya lain dari pengalihwujudan. .
Paten
Hasil Invensi di bidang teknologi (produk atau proses)
Invensi yang merupakan pengembangan dari teknologi tradisional. Misalnya: Pengembangan teknologi tenun ikat dengan invensi alat yang memiliki unsur kebaruan (novelty)
- 20 tahun - 10 tahun untuk paten sederhana
Tidak dapat diperpanjang
Merek
Tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Nama group musik, theatre, merek-merek produk industri kreatif, dll
10 tahun dapat diperpanjang setiap kali dgn wkt yang sama
Desain Industri
Suatu kreasi tentang bentuk konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan dari padanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang komoditas industri, atau
Desain arsitektur, busana, kerajinan tangan, dll
10 tahun penerimaan
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
sejak
82
[LAPORAN HASIL PENELITIAN] Jenis HKI yang Terkait dengan Seni dan Budaya
Objek
Juni, 2009 Contoh Objek HKI yang terkait dengan seni dan budaya
Jangka waktu Perlindungan
kerajinan tangan.
Tabel 4.7.1. Jenis-Jenis HKI Terkait Seni dan Budaya
Jika dilihat dari objek hak cipta dan objek hak desain industri, terdapat hubungan yang saling tumpang tindih antara keduanya. Masalah ini membingungkan para ahli HkI dan perancang undang-undang di seluruh dunia. Biasanya sebuah desain merupakan karya seni yang dapat dilindungi hak cipta. Dari perspektif pencipta, perlindungan hak cipta lebih menguntungkan dibandingkan dengan desain industri. Hal ini dikarenakan tidak perlunya pendaftaran, serta perlindungan hak berlangsung lebih lama. Hak kekayaan intelektual berfungsi untuk memberikan perlindungan hak-hak alami (hak moral dan ekonomi) setiap pencipta. Setiap pencipta yang telah berupaya melahirkan suatu cintaan harus diberikan hak untuk memiliki dan mengontrol ciptaannya. Sangatlah tidak adil jika setiap orang dapat sewenang-wenang memanfaatkan ciptaan orang lain tanpa izin dari pemiliknya. Terlebih jika orang tersebut memanfaatkannya untuk kebutuhan komersil, sementara si pencipta tidak mendapatkan keuntungan apapun dari hasil ciptaannya tersebut. Di sisi lain, HKI juga merupakan bentuk kompensasi dan motivasi bagi setiap orang untuk mencipta. Dengan adanya keuntungan ekonomi yang diperoleh, maka manusia tertarik untuk menciptakan karya-karya baru dalam rangka pengembangan kreatifitas dan pengetahuan. Untuk memperoleh HKI, para pencipta atau inventor dapat mengajukan permohonan pendaftaran hak kepada Ditjen HKI Departemen Hukum dan HAM. Akan tetapi perlu diketahui bahwa lahirnya hak paten, merek, dan desain industri adalah pada tanggal diterimanya permohonan hak oleh Ditjen HKI. Hal ini tidak berlaku bagi hak cipta. Hak Cipta lahir secara otomatis pada saat karya tersebut diciptakan. Pada prinsipnya Hak Cipta diperoleh bukan karena pendaftaran, tetapi dalam hal terjadi sengketa di pengadilan mengenai ciptaan yang terdaftar dan yang tidak terdaftar, apabila pihak-pihak yang berkepentingan dapat membuktikan kebenarannya, HKIm dapat menentukan Pencipta yang sebenarnya berdasarkan pembuktian tersebut. Jejak-jejak Aturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
83
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Undang-undang yang mengatur Hak Kekayaan Intelektual (HKI) bukan merupakan aturan baru di Indonesia. Sejak tahun 1844 Pemerintah Kolonial Belanda telah memperkenalkan undang-undang pertama mengenai perlindungan HKI. Dilanjutkan dengan pembuatan Undang-Undang Merek pada tahun 1844, Undang-Undang Paten tahun 1910, dan Undang-Undang Hak Cipta (Auteurswet) pada tahun 1912. Sebagai Negara jajahan, Indonesia yang kala itu bernama Netherlands East-Indies telah menjadi anggota Paris Convention for the Protection of Industrial Property pada 1888. Pada tahun 1893-1936 menjadi anggota Madrid Convention, dan pada tanggal 1 April 1913, kerajaan Belanda mengikatkan diri pada Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works 1886.94 Konvensi Berne ini diumumkan dalam Staatblad 1914 nomor 797. Pada saat Jepang menjajah Indonesia, peraturan HKI pada masa penjajahan Belanda tetap berlaku, bahkan setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pemberlakuan peraturan peninggalan Belanda di Indonesia didasari dengan ketentuan pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa: ” Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini” Berbeda dengan Undang-undang Hak Cipta dan Undang-undang Merek yang masih tetap diberlakukan, Undang-Undang Paten tidak demikian adanya. Undang-Undang Paten dianggap bertentangan dengan kedaulatan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka. Salah satunya adalah prosedur pemeriksaan atas permohonan Paten harus dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda. Dengan demikian pada saat Indonesia merdeka, Indonesia tidak memiliki aturan di bidang paten.95 Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek merupakan Undang-Undang di bidang HKI pertama yang mengganti Undang-Undang peninggalan Belanda. UndangUndang ini dibentuk untuk melindungi masyarakat dari barang-barang tiruan atau bajakan. Pada tanggal 10 Mei 1979 Indonesia meratifikasi Paris Convention for the
94
Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works merupakan konvensi yang dibentuk dengan tujuan untuk melindungi hak kekayaan intelektual secara Internasional. Pembentukan konvensi ini dipelopori oleh negara-negara Eropa ketika revolusi industri mencapai masa kejayaannya dan perdagangan intermasional mulai berkembang (Lihat: Darco Djaic, Indonesia Intelectual Property Laws, European Intellectual Property Review: 2000. hal. 454. 95 Fabiola M Suwanto, Indonesia’s New Patent Law: A Move in The Right Direction, Santa Carla Computer and High technology Law Journal, 1993.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
84
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Protection of Industrial Property berdasarkan Keputusan Presiden No 24 Tahun 1979. Ratifikasi ini tidak penuh, melainkan ada beberapa pasal reservasi, yaitu pasal 1-12 dan pasal 28 ayat (1). Dalam rangka mempercepat perningkatan kecerdasan bangsa, pada 12 April 1982, UU Hak Cipta peninggalan Belanda diganti dengan UU No 6 Tahun 1982. Undang-undang ini bertujuan untuk mendorong dan melindungi ciptaan, serta mengembangkan penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Untuk mengatasi kevakuman di bidang paten, pada tahun 1953 Pemerintah mengatasinya dengan cara memperbolehkan para pemilik paten untuk mendaftarkan paten mereka di Indonesia. Kegiatan ini dilakukan hingga RUU Paten berhasil disusun pada tahun 1955, akan tetapi RUU ini tidak ada kelanjutannya.96 Setelah itu pemerintah menbentuk Tim Keppres 34 pada tahun 1986 yang memiliki tugas utama untuk penyusunan kebijakan nasional di bidang HKI, termasuk perancangan dan sosialisasinya baik ke tingkat internal pemerintah, penegak hukum, maupun kepada masyarakat. Salah satu hasilnya adalah dibuatnya Undang-Undang No 6 Tahun 1989 tentang Paten, namun UU ini mulai berlaku pada 1 Agustus 1991. Lahirnya Undang-Undang Paten 1989 ini mengakhiri perdebatan panjang tentang signifikansi system paten dan manfaatnya bagi Indonesia. Kalangan yang menyetujui dilahirkannya Undang-Undang Paten merasa penting untuk memiliki aturan di bidang paten dikarenakan kondisi Indonesia pada saat itu sedang melaksanakan program pembangunan nasional khususnya sektor industri dan teknologi, hal ini bertujuan untuk menarik investasi asing dan masuknya teknologi dari luar negeri. Disamping itu tentu adanya kebutuhan nasional untuk menciptakan sistem perlindungan HKI yang efektif. Trobosan Pemerintah Indonesia dalam membuat UU Hak Cipta, Merek, dan Paten berturut-turut di era 80-an di satu sisi merupakan kesadaran pemerintah mengenai pentingnya perlindungan HKI seiring dengan pembangunan ekonomi. Akan tetapi hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat itu, ada faktor permintaan dari negaranegara maju kepada negara berkembang termasuk Indonesia untuk memiliki perangkat aturan tentang HKI. Disamping untuk melindungi kekayaan intelektual dalam negeri, aturan ini juga untuk menjamin kekayaan intelektual milik negara-negara maju yang masuk ke Indonesia. Permintaan ini juga disertai ancaman berupa pencabutan beberapa
96
Tim Lindsey, et al, Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, Alumni: 2003. hal 204.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
85
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
fasilitas dagang seperti Generalized System of Preferences (GSP) jika pemerintah tidak membuat UU di bidang HKI yang lebih modern dan komperhensif.97 Seiring dengan perjalanan modernisasi di Indonesia, pada tanggal 19 September 1987, dengan lahirnya Undang-Undang No 7 tahun 1987, Pemerintah melakukan perubahan terhadap UU No 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Hal ini dikarenakan semakin tingginya tingkat pelanggaran Hak Cipta yang dapat membahayakan kehidupan sosial dan menghancurkan kreatifitas masyarakat. Satu tahun setelah melakukan perubahan terhadap Undang-undang Hak Cipta, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No 32 tahun 1988 yang memutuskan pembentukan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten, Merek (DJ HCPM) yang awalnya bernama Direktorat Paten dan Hak Cipta yang merupakan eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen KeHKIman (kini Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia). Pada tahun 1992, pemerintah mengganti UU Merek 1961 dengan UU No. 19 Tahun 1992 yang diberlalukan pada 1 April 1993. 15 April 1994 Pemerintah menandatangani Final Act Embodying the Result of Uruguay round of Multilateral Trade Negotiations, yang mencangkup Agreement on Trade Related Aspect of Intelectual Property Rights (persetujuan TRIPs). Dengan adanya persetujuan ini, pemerintah menyempurnakan aturan-aturan dibidang HKI, termasuk Undang-Undang Hak Cipta 1987 jo UU 6 Tahun 1982 yang diatur kembali dalam UU No. 19 Tahun 2002, Undang-Undang Merek 1992 yang diatur kembali dalam UU, serta Undang-Undang Paten 1989 yang diatur kembali dalam Undang-Undang No.15 tahun 2001. Jenis HKI
Hak Cipta
Periode
Periode
Periode
Pemerintahan Kolonial Belanda
Kemerdekaan
Pasca Agreement on Trade Related Aspect of Intelectual Property Rights (TRIPs)
Undang Hak (Auteurswet) tahun 1912
- Masih menggunakan peraturan pada masa kolonial (Auteurswet 1912) - Lahir UU No 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta
UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Cipta pada
97
Michael Blackeney, The Impact of TRIPs Agreement In The Asia Pacific Region, European Intellectual Property Review: 1996.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
86
[LAPORAN HASIL PENELITIAN] Jenis HKI
Juni, 2009 Periode
Periode
Periode
Pemerintahan Kolonial Belanda
Kemerdekaan
Pasca Agreement on Trade Related Aspect of Intelectual Property Rights (TRIPs)
- Perubahan UU 6 tahun 1982 dengan UU 7 Tahun 1987
Merek
Undang-Undang Merek pada tahun 1844
Paten
Undang-Undang Paten tahun 1910
Desain Industri
-
- Masih menggunakan peraturan pada masa kolonial (UU Merek 1844) - Undang-Undang No 21 Tahun 1961 tentang Merek - Undang-Undang No 19 Tahun 1992 tentang Merek (mencabut UU No 21 Tahun 1961) - Tidak ada UndangUndang Paten (aturan kolonial tentang paten tidak diberlakukan) - Undang-Undang No 6 Tahun 1989 tentang Paten -
Undang-Undang No. 15 Tahun 2001tentang Merek
Undang-Undang No.15 tahun 2001tenang Paten
Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
Ratifikasi Konvensi Internasional -
- Paris Convention for the Protection of Industrial Property pada 1888. - Pada tahun 18931936 menjadi anggota Madrid Convention - Mengikatkan diri dengan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works 1886. Diumumkan dalam Staatblad 1914 nomor 797.
-1979 Indonesia meratifikasi Paris Convention for the Protection of Industrial Property berdasarkan Keputusan Presiden No 24 Tahun 1979 -Pasca UU Hak Cipta 1987, Indonesia menandatangani Perjanjian bilateral tentang Perlindungan Hukum secara timbal balik dengan masyarakat Eropa (1988), Amerika Serikat
- Indonesia menyetujui Agreement on Trade Related Aspect of Intelectual Property Rights (persetujuan TRIPs) pada 1994 - Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works diratifikasi dengan Keppres No. 18 Tahun 1997 - Pengesahan WIPO Copyrights Treaty dengan Keppres No. 19 tahun 1997
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
87
[LAPORAN HASIL PENELITIAN] Jenis HKI
Juni, 2009 Periode
Periode
Periode
Pemerintahan Kolonial Belanda
Kemerdekaan
Pasca Agreement on Trade Related Aspect of Intelectual Property Rights (TRIPs)
(1989), Australia (1993), Inggris (1994),
- Pengesahan WIPO Performance and Phonogram Treaty (WPPT) dengan Keppres No. 74 Tahun 2004
Tabel 4.7.2. Peta Perubahan Undang-Undang Hak Cipta, Merek, dan Paten di Indonesia
4.7.2. Analisis Manfaat dan Kelemahan Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual Terhadap Seni dan Budaya Setelah meratifikasi perjanjian TRIPs, Indonesia telah mencoba untuk menyempurnakan substansi aturan HKI dengan ketentuan TRIPs. Meski ada manfaat yang dicapai, namun seiring dengan berjalannya waktu, mulai dirasakan adanya kekurangan-kekurangan dalam aturan tersebut yang kiranya perlu adanya penyempurnaan, antara lain: Jenis HKI
Manfaat Bagi Seni dan Budaya
Kelemahan Peraturan
Hak Cipta
-
-
-
-
-
Memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap pencipta (hak moral dan hak ekonomi) Dengan adanya penghargaan atas suatu karya cipta, maka dapat merangsang pihak lain untuk berkarya dan melahirkan ciptaanciptaan baru Lahirnya Hak Cipta bukan akibat dari pendaftaran hak, melainkan secara otomatis pada saat objek tersebut diciptakan Pencipta mendapatkan hak ekonomi dan hak moral atas ciptaannya Masa perlindungan hak cipta selama hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta
-
-
-
Tidak mengatur secara jelas mengenai collecting society yang akan memungut 99 royalty Kurang tegasnya penjelasan mengenai performing right, mechanical right, dan painted right (copy), serta sejauh mana dan siapa saja yang berhak atas hak-hak tersebut Belum sesuai dengan perkembangan teknologi seperti internet, Ring Back Tone, dll
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
88
[LAPORAN HASIL PENELITIAN] Jenis HKI
Juni, 2009 Manfaat Bagi Seni dan Budaya
Kelemahan Peraturan
-
-
-
Paten
-
meninggal dunia Adanya hak terkait (neighbouring 98 right). Negara juga pemegang hak cipta untuk kepentingan pencipta atas ciptaan yang tidak diketahui penciptanya dan ciptaan tersebut belum diterbitkan Ada Penggunaan Wajar (FairDealing) untuk kepentingan masyarakat luas tanpa harus izin dari pencipta, seperti untuk kebutuhan non komersil, pendidikan, dan kebutuhan orang difabel Ada penetapan sementara oleh pengadilan niaga untuk menghindari kerugian yang lebih besar
-
Memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap inventor Dengan adanya penghargaan (moral dan ekonomi) atas suatu temuan, maka dapat merangsang
-
-
Negara merupakan pemegang hak cipta atas folklore untuk mencegah monopoli dan komersialisasi pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan Indonesia. UUHC belum mengatur pencegahan atas monopoli dan komersialisasi yang dilakukan oleh orang/badan Indonesia sendiri Ketentuan bahwa ciptaan harus asli dan berwujud dapat menghambat perlindungan atas karyakarya tradisional (folklore) yang tidak berwujud dan cenderung merupakan pengulangan secara turun-temurun dalam waktu yang lama. UU paten sangat individualistik. UU ini tidak memperhatikan collective property, khususnya atas
99
Kasus-kasus terjadi antara Yayasan Karya Cipta Indonesia dengan label maupun pencipta lagu merupakan akibat dari tidak jelasnya aturan Hak Cipta dalam mengatur collecting society yang bertugas untuk memungut royalty atas kuasa pencipta. Disamping ketidakjalasan siapa pihak yang dapat menjalankan fungsi tersebut, UUHC juga tidak mengatur secara jelas lingkup hak apa saja yang dapat dipungut royalty (performing right, mechanical right, serta painted right) dan siapa yang memiliki kewenangan untuk memungutnya. 98
Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya. Jangka waktu perlindungan hak terkait bagi pelaku adalah 50 tahun sejak pertama kali dipertunjukkan atau dimasukkan dalam media audio atau audiovisual, bagi produser rekaman suara 50 tahun sejak karya selesai direkam, dan 20 tahun bagi lembaga penyiaran (Pasal 1 jo pasal 50 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta)
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
89
[LAPORAN HASIL PENELITIAN] Jenis HKI
Juni, 2009 Manfaat Bagi Seni dan Budaya
Kelemahan Peraturan
Merek
-
-
-
-
-
-
-
pihak lain untuk berkarya dan melahirkan penemuan-penemuan baru di bidang teknologi
perkembangan dari teknologi-teknologi tradisional
Merangsang pertumbuhan dan kompetisi sehat di bidang industri kreatif Ada pengaturan mengenai indikasi geografis untuk melindungi karakteristik barang atau jasa yang khas dari daerah maupun asal tertentu Nama group musik, kelompok teater, tari, dan kelompok seni lainnya yang memasuki ranah industri hiburan dapat melabel kelompoknya dengan merek yang dikategorikan sebagai merek jasa Fungsi pendaftara merek: (1) Sebagai alat bukti bagi pemilik yang berhak atas merek yang didaftarkan, (2) sebagai dasar penolakan dari permohonan merek oleh orang lain terhadap barang/jasa sejenis, (3) mencegah orang lain memakai dan mengedarkan merek sejenis; Industri kreatif yang menghasilkan produk-produk kreatif berupa benda, masuk dalam kategori merek barang Jangka waktu perlindungan merek adalah 10 tahun dan dapat diperpanjang setiap kali dalam jangka waktu yang sama oleh pemilik Permohonan Merek dapat ditolak jika bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum 100 (Pasal 5 huruf a)
Tidak berdampak negatrif terhadap perkembangan seni dan budaya, karena didalamnya telah memuat ketantuan penolakan permohonan merek yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum dengan keterangan yang baik dalam penjelasan pasal tersebut.
100
Termasuk dalam pengertian bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum adalah apabila penggunaan tanda tersebut dapat menyinggung perasaan, kesopanan, ketenteraman, atau keagamaan dari khalayak umum atau dari golongan masyarakat tertentu (Penjelasan Pasal 5 huruf a). Hal ini untuk menghindari adanya pendaftaran merek yang menyinggung kelompok-kelompok tertentu dari masyarakat
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
90
[LAPORAN HASIL PENELITIAN] Jenis HKI
Juni, 2009 Manfaat Bagi Seni dan Budaya
Kelemahan Peraturan
Desain Industri
-
Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru Hak eksklusif Desain Industri dikecualikan untuk kepentingan penelitian dan pendidikan sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pemegang hak Desain Industri
-
-
Hak Desain Industri tidak dapat diberikan apabila Desain Industri tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, agama, atau kesusilaan (Pasal 4). Penjelasan UU Desain industri tidak menjabarkan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan halhal tersebut, khususnya ketertiban umum dan kesusilaan, sebagaimana penjelasan dalam UU Merek. Tidak ada pengaturan tegas untuk melindungi eksploitasi dan komersialisasi atas desain-desain tradisional
Tabel 4.7.2. Manfaat dan Kelemahan Peraturan-Peraturan HKI terhadap Seni dan Budaya
Hak Kekayaan Intelektual vs Pengetahuan Tradisional (indigenous knowledge) Jangan pernah dilupakan bahwa rezim pengaturan hak kekayaan intelektual berasal dari adanya kebutuhan negara maju dalam rangka menjamin hak individu atau pihak tertentu atas kerya intelektual mereka di negara berkembang. Khususnya dalam rangka perluasan investasi mereka di Negara ketiga. Dengan demikian karakteristik dari HKI terlihat jelas penuh dengan nuansa menjunjung kepentingan individual. Sebagai negara berkembang, Indonesia mengalami kondisi dilematis untuk mengambil kebijakan di bidang HKI. Di satu sisi Indonesia mengalami tekanan Internasional jika
sebagaimana yang terjadi pada perusahaan bir di New York Amerika Serikat, yang menggunakan merek dagangnya dengan lukisan kepala suku Indian serta pola-pola tradisonal suku Indian (Lihat: Tim Lindsey, op cit, hal 270)
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
91
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
tidak segera menyesuaikan aturan HKI dengan perjanjian TRIPs dan World Trade Organizaton (WTO). Di sisi lain Indonesia memiliki karakteristik masyarakat yang komunal, yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan pengakuan terhadap kepemilikan bersama (collective property). Dengan kondisi tersebut, kiranya pemerintah harus pandai mensiasati ketentuan yang akan diadopsi dalam bentuk peraturan di tingkat nasional agar tidak menciderai kebutuhan dan nilai-nilai luhur yang telah hidup di masyarakat. Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dan keseniannya. Di tahun 2000-an Indonesia telah membuat produk-produk aturan terbaru di bidang HKI yang tentunya dapat mempengaruhi eksistensi dari pengetahuan tradisional (indigenous knowledge). Undang-Undang Hak Cipta misalnya, didalamnya memang sudah mengatur tentang kewenangan Negara sebagai pemegang hak cipta atas folklore untuk mencegah monopoli dan komersialisasi pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan Indonesia. Akan tetapi, UUHC belum mengatur pencegahan atas monopoli dan komersialisasi yang dilakukan oleh orang/badan Indonesia sendiri. Selain itu aturan UUHC mensyaratkan, untuk mendapatkan perlindungan hak cipta, suatu ciptaan harus bersifat asli dalam bentuk yang berwujud (fixation). Padahal kebanyakan karya seni tradisional tidak didokumentasikan (tidak berwujud), melainkan hanya diceritakan secara turun temurun sehingga menjadi pengetahuan bersama. Pemerintah harus mampu mengakomodir ciptaan-ciptaan tradisional untuk mendapatkan hak cipta. Misalnya dengan cara mengecualikan objek ciptaan yang bersifat asli dan berwujud bagi ciptaan-ciptaan tradisional. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tradisional dapat menerima hak moral dan ekonomi terhadap karya cipta mereka. Di bidang paten, pengembangan teknologi tradisional yang dapat dipatenkan justru dapat menghambat perkembangan masyarakat tradisional itu sendiri. Hal ini dikarenakan teknologi tersebut dimiliki oleh pihak tertentu yang memiliki hak eksklusif atas objek paten tersebut. Dengan adanya hak eksklusif, maka pengguna (user) dari teknologi tersebut harus membayar royalti jika ingin menggunakannya. Dengan demikian nilai-nilai kepemilikan bersama menjadi hilang karena adanya kepemilikan individu terhadap objek paten yang merupakan pengembangan dari teknologi tradisonal tersebut. Dalam pemeriksaan subtantif terhadap objek yang dimohonkan perlindungan paten. Pemerintah harus jeli meneliti sumber dari pengembangan teknologi tersebut. Jika teknologi tersebut berasal dari teknologi masyarakat tradisional, hendaknya perlu ada PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
92
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
pengaturan khusus yang dapat menguntungkan kedua belah pihak (penemu maupun masyarakat tradisional). Peran pemerintah menjadi penting untuk melindungi keduanya. Di satu sisi penemu harus dilindungi agar dapat menikamati hak ekonomi atas pengabdiannya mengambangkan teknologi. Namun disisi lain masyarakat perlu diperhatikan agar dapat menggunakan teknologi tersebut dengan mudah dan murah, tanpa harus membayar royalti yang mahal nilainya. Dengan demikian, semangat untuk menciptakan dan mengembangkan teknologi tetap terpacu karena negara menamin pemenuhan hak ekonominya sebagai penghargaan atas penemuannya. Disisi lain masyarakat, khususnya masyarakat tradisional dapat meningkatkan produktifitasnya dengan teknologi baru tersebut. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam UU Paten adalah belum adanya langkah pencegahan dan perlindungan terhadap ”pencurian” pengetahuan tradisional yang kita miliki. Hal ini sangat penting agar tidak terulang lagi kasus ”pencurian” pengetahuan tradisional kita oleh negara lain. Langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah dengan cara mendokumentasikan segala macam pengetahuan tradisional yang terwujud dalam kearifan lokal seluruh daerah di Indonesia. Dengan adanya pendokumentasian yang baik, maka akan meminimalisir ”pencurian” pengetahuan dan teknologi tradisional yang kita miliki. 4.7.3. Kesimpulan Budaya merupakan buah dari akal budi manusia yang salah satunya tercipta dalam perwujudan seni. Sedangkan Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak yang melindungi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Disinilah terlihat persinggungan antara Hak Kekayaan Intelektual, seni dan budaya. Dari 7 (tujuh) jenis HKI, 4 (empat) diantaranya merupakan Hak Kekayaan Intelektual yang terkait dengan seni dan budaya, yaitu: (1) Undang-Undang Hak Cipta; (2) Undang-Undang Merek; (3) Undang-Undang Paten; dan (4) Undang-Undang Desain Industri. Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonial Belanda, dimana pada masa itu Indonesia sebagai negara jajahan, otomatis diikutsertakan dalam perjanjian-perjanjian Internasional tentang Hak Kekayaan Intelektual yang disepakati oleh Kerajaan Belanda. Pada masa itu hanya ada aturan tentang Hak Cipta, Merek, dan Paten. Setelah Indonesia merdeka, aturan tersebut tetap berlaku, kecuali aturan Paten yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang mengutamakan kebersamaan. Pada tahun 80 hingga 90-an, Indonesia berupaya membuat aturan sendiri tentang HKI, hingga sekitar tahun 2000 Indonesia PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
93
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
mengganti secara keseluruhan pengaturan HKI dengan aturan baru yang telah disesuaikan dengan perjanjian TRIPs pada 1994. Perlu dipahami bahwa filosofi dari aturan HKI merupakan upaya negara-negara maju pada masa revolusi industri untuk memperluas daerah investasinya. Agar hasil-hasil temuan mereka tidak menjadi public property maka dibuatlah aturan untuk menjamin hak individu atas kekayaan intelektual yang dimilikinya. Dari hak tersebut melekat hak moral dan ekonomi yang merupakan hak eksklusif bagi pemilik hak tersebut. Pada saat Amerika masih menjadi negara berkembang, mereka menolak menandatangani konvensi Internasional yang mengatur soal HKI. Mereka menyadari bahwa ada kepentingan besar bagi negara maju untuk melindungi karya ciptanya, maupun temuantemuannya di bidang teknologi. Sebagai negara berkembang yang memiliki potensi budaya dan seni yang luar biasa. Kiranya harus berhati-hati dalam mengatur ketentuan HKI. Di masa orde baru pada saat Indonesia mengutamakan pembangunan nasional, disinilah Indonesia banyak turut serta menandatangani perjanjian-perjanjian Internasional tentang HKI. Dengan demilkian otomatis hal tersebut harus diikuti dengan pengaturan di tingkat nasional. Berbagai kelemahan dari aturan HKI (cipta, paten, merek, maupun desain industri) dari segi teknis pelaksanaan termasuk penegakan hukumnya, menjadi catatan penting yang harus diubah dalam rezim peraturan HKI yang akan datang. Hal yang tidak kalah penting dan sangat mendasar karena menyangkut identitas bangsa adalah pengaturan HKI mendatang perlu mengatur substansi yang berperspektif pada perlindungan dan pengembangan pengetahuan tradisional (indigenous knowledge). Saat ini revisi undang-undang yang mengatur tentang HKI sudah digodok oleh Ditjen HKI Departemen Hukum dan HAM dan rencananya akan dibahas bersama DPR. Momentum ini merupakan peluang untuk memperbaiki aturan HKI di masa mendatang. Para stakeholder (pegiat seni dan budaya) sebaiknya mengambil peran dan turut berpartisipasi untuk memberikan masukan yang positif untuk melindungi hak kekayaan intelektual, tanpa menciderai hak-hak masyarakat tradisional.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
94
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
5. Kesimpulan dan Rekomendasi “*…+ the task of regulating conduct is not just that of the state. Instead, the agencies of the state are one set of instruments of government amongst others, leading Foucault to write that ‘maybe, after all, the state is no more than a composite reality and a mythicised abstraction, whose importance is a lot more limited than many of us think. Maybe what is really important for our modernity [is the] governmentalisation of the state *…+.” (Pendapat Foucault sebagaimana dituliskan kembali oleh Tod Jones dalam disertasinya)
5.1. Kesimpulan
Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari kajian kerangka hukum kegiatan kesenian dan kebudayaan. Kesimpulan ini kami dapatkan, tidak hanya dari substansi kajian saja, namun juga pelajaran yang kami dapatkan dari proses penelitian itu sendiri. Pemikiran bahwa ada satu peta besar peraturan perundang-undangan yang efektif berjalan dan dapat dijadikan sebagai rujukan bersama, masih merupakan mitos di Indonesia. Pada kenyataannya, peraturan-peraturan yang ada – bukan hanya tidak diketahui oleh para pemangku kepentingannya (seniman) sendiri saja, namun juga belum tentu diberlakukan secara efektif oleh aparat negara. Sehingga, dalam dunia yang tak beraturan, kekuasaan yang ada menjadi tak terbatas – pemangku kepentingan hanya berpegang pada informasi yang diberikat oleh aparat yang berkuasa. Situasi ini tentu menempatkan seniman dalam posisi rentan. Kebijakan kebudayaan sendiri telah banyak mengalami perubahan cukup besar dari masa Orde Baru ke masa reformasi. Pada intinya telah terbuka ruang bagi kebebasan berekspresi. Meskipun hal ini mengundang masalah baru juga, dengan adanya potensi konflik horizontal, pada intinya masalah ini akan selesai dengan proses alamiah. Masingmasing komunitas akan dapat bertahan, ketika program-program yang dibuatnya dijalankan dengan konsisten dan profesional. Dalam hal ini peran pemerintah cukup memastikan adanya situasi yang aman dan kondusif bagi berjalannya proses alamiah tersebut, dengan memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi perkembangan komunitas-komunitas yang ada. Sehubungan dengan dukungan pemerintah secara khusus bagi sektor seni dan budaya, perlu ada fokus pada kebijakan yang memberikan dukungan fasilitas terhadap ruang tempat berkembangnya komunitas-komunitas seni dan budaya, maupun senimanseniman secara terpisah. Bentuk kebudayaan yang sempurna, tak perlu lagi dijadikan proyek pemerintah, karena hakekat kebudayaan itu sendiri akan mendapatkan pemaknaan dari proses yang terjadi di dunia nyata.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
95
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Dalam laporan penelitian ini, kami juga sudah memaparkan beberapa permasalahan spesifik yang harus diselesaikan secara khusus pula. Dukungan fasilitas dan dana yang diberikan harus diarahkan sesuai dengan dinamika dunia nyata, bukan dengan menggunakan asumsi penguasa semata. Dengan kata lain, arah kebijakan harus disesuaikan dengan dinamika dan permasalahan yang dihadapi para seniman sendiri (kebijakan responsif). Telah terbukti bahwa dalam kondisi yang terbuka, para seniman telah mencari jalannya sendiri untuk berkembang. Pelajaran berharga juga kami dapatkan dari refleksi atas hasil penelitian kami (peraturan dengan jumlah yang sangat banyak, namun tidak fokus pada usaha untuk mewujudkan suatu capaian konkrit), berikut bacaan kami atas disertasi Tod Jones. Selain memberikan gambaran sejarah kebijakan kebudayaan di Indonesia – yang juga akan memperjelas peran pemerintah pada Periode I dan Periode II, terdapat sebuah cara pandang baru yang ditawarkan oleh Tod Jones untuk melihat dan menilai kebijakan kebudayaan di Indonesia berdasarkan teori pemerintahan Foucault. Cara pandang tersebut intinya tidak hanya menekankan pada peran pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan, tetapi juga melihat peran masyarakat dalam pembentukan kebijakan tersebut. Dalam Bab 2 hipotesis-hipotesis kami menunjukkan banyaknya peraturan-peraturan pada level abstrak dan bersifat formil – yang kemungkinan besar tidak berlaku efektif. Masalah ini hanya bisa diselesaikan dengan melihat permasalahan yang nyata dihadapi oleh para seniman di lapangan, serta perdebatan mengenai isu-isu tersebut secara spesifik. 5.2. Rekomendasi
1. Perubahan paradigma bernegara (dari pemerintahan yang konservatif dan otoriter) menuju masyarakat yang demokratis dan bebas, belum diikuti dengan proses penyelarasan instrumen hukum. Norma konstitusi yang telah berubah tidak diikuti dengan penyesuaian produk peraturan yang ada. Untuk ke depannya, demi supremasi hukum, pemerintah harus melakukan penyesuaian dan penyelarasan peraturan perundang-undangan. Sebagai bentuk langkah konkrit, usaha tersebut bisa dimulai, misalnya, dengan meninjau kembali mekanisme serah simpan (dokumentasi) yang sudah dibahas dalam laporan ini. 2. Aturan yang tak jelas, serta pengetahuan yang minim dari warga negara, mengakibatkan peluang terjadinya penyalahgunaan kewenangan oleh aparat negara menjadi besar. Sehingga, perlu ada penyediaan bantuan hukum bagi para seniman (dapat dibentuk berdasar inisiatif dan pembiayaan para seniman sendiri) untuk menghadapi kesewenang-wenangan aparat pemerintah. Bantuan hukum ini bisa juga difasilitasi, misalnya, oleh Dewan Kesenian atau dengan melibatkan YLBHI. 3. Pemerintah daerah harus meninjau lagi pengenaan retribusi daerah dan pajak daerah bagi kegiatan-kegiatan yang terkait dengan kesenian, karena besaran pajak yang saat ini ditentukan tidak memiliki landasan-landasan obyektif yang nyata. PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
96
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
4. Dari paparan di atas, sebenarnya sudah cukup jelas, bahwa aturan yang tak jelas, serta pengetahuan yang minim dari warga negara, mengakibatkan peluang terjadinya penyalahgunaan kewenangan oleh aparat negara menjadi besar. 5. Untuk dokumentasi karya seni (sehubungan dengan peraturan menyangkut serah simpat karya rekam dan karya cetak), pemerintah harus berpegang pada dasar berpikir bagaimana cara memberi nilai tambah kepada seniman itu sendiri. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka kondisinya akan terus seperti saat ini, yaitu aturan yang berlaku tak ada artinya sama sekali. 6. Untuk permasalahan cagar budaya, perlu ada pemisahan antara regulator, operator dan pengawasan, sehingga fungsi perlindungan dan pelestarian dapat berjalan dengan baik. Selain itu, pemerintah perlu mendengar pendapat para seniman atau budayawan sendiri mengenai apa-apa yang harus dilindungi. 7. Sehubungan dengan pendidikan seni, perlu ada usaha serius untuk membuat kurikulum pendidikan yang obyektif dan berkualitas. Dalam pembuatannya, pemerintah harus memperhatikan program-program komunitas yang telah aktif dalam masalah ini. 8. Kesenian sebagai bagian dari pariwisata oleh setiap rezim pemerintahan dimaanfatkan, terutama sebagai pemikat turis. Hal ini telah menjauhkan proyek kebudayaan pemerintah dari seniman dan kehidupan nyata sehari-hari. Padahal, semestinya kebijakan kebudayaan dapat menjadi alat untuk mendekatkan penguasa dengan warga negara. Untuk itu, perlu ditinjau ulang paradigma yang digunakan dalam kebijakan pariwisata saat ini.
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
97
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
LAMPIRAN: DAFTAR PERATURAN TERIDENTIFIKASI
Nama Peraturan
Jenis Peraturan
Tahun Ditetapkan
Klasifikasi
PP No. 38/1953 tentang Penyerahan Resmi sebagian dari pada Tugas dan Urusan Pemerintah Pusat dalam Lapangan Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan kepada Daerah Otonom Kotapraja Jakarta Raya
Peraturan Pemerintah
1953
Otonomi Daerah
UU No. 3/1959 tentang Kerjasama Ilmiah, Pendidikan dan Kebudayaan antara RI dan Republik Ceko
Undang-Undang
1959
Kerjasama Bilateral
PP No. 38/1959 tentang Pemberian Anugerah Satya Lencana Kebudayaan
Peraturan Pemerintah
1959
Penghargaan Seni
Peraturan Presiden No. 26/1960 tentang Pemberian Hadiah Seni
Peraturan Presiden
1960
Penghargaan Seni
SK Gubernur DKI Pembentukan DKJ
Keputusan Gubernur
1968
Dewan Kesenian
Keppres No. 285/1968 tentang Pengesahan Persetujuan Kebudayaan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Kerajaan Nederlands
Keputusan Presiden
1968
Kerjasama Bilateral
Inpres No. 9/1969 tentang Pedoman Pembinaan Pengembangan Pariwisata Nasional
Instruksi Presiden
1969
Pariwisata
PP No. 16/1970 tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Ekspor, Impor dan Lalu Lintas Devisa
Peraturan Pemerintah
1970
Fiskal
Keppres No. 29/1970 tentang Pengesahan Persetujuan mengenai Kebudayaan dan Kerjasama Tehnik antara Pemerintah RI dan Pemerintah Republik Perancis
Keputusan Presiden
1970
Kerjasama Bilateral
Keppres No. 46/1971 tentang Pengesahan Persetujuan Kebudayaan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Iran
Keputusan Presiden
1971
Kerjasama Bilateral
Jakarta
tentang
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
98
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Keppres No. 61/1972 tentang Pengesahan Persetujuan Kebudayaan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Kerajaan Belgia
Keputusan Presiden
1972
Kerjasama Bilateral
Keppres No. 2/1972 tentang Pengesahan "STATUES OF THE WORLD TOURISM ORGANIZATION" (ANGGARAN DASAR ORGANISASI KEPARIWISATAAN SEDUNIA)
Keputusan Presiden
1972
Perjanjian Internasional
Keppres No. 39/1974 tentang Pengesahan Persetujuan Kebudayaan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Republik Turki
Keputusan Presiden
1974
Kerjasama Bilateral
Keppres No. 47/1975 tentang Pengesahan Persetujuan Kerjasama antara Pemerintah RI dan Pemerintah Republik Austria di Bidang Kebudayaan, Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan dalam Riset di Wina
Keputusan Presiden
1975
Kerjasama Bilateral
PP No. 11/1976 tentang Perubahan PP No. 16/1970
Peraturan Pemerintah
1976
Fiskal
Keppres No. 23/1976 tentang Pemberian Penghargaan Hadiah Seni
Keputusan Presiden
1976
Penghargaan Seni
Keppres No. 5/1980 tentang Pengesahan Persetujuan Kerjasama antara Pemerintah RI dan Pemerintah Republik Rakyat Bangladesh di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Keputusan Presiden
1980
Kerjasama Bilateral
UU No. 10/1980 tentang Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma
Undang-Undang
1980
Penghargaan Seni
PP No. 30/1981 tentang Pengangkatan Tenaga Kesenian dalam Lingkungan Departemen Penerangan menjadi Pegawai Negeri Sipil
Peraturan Pemerintah
1981
Birokrasi
PP No. 1/1982 tentang Pelaksanaan Ekspor, Impor dan Lalu Lintas Devisa
Peraturan Pemerintah
1982
Fiskal
UU No. 5/1984 tentang Perindustrian
Undang-Undang
1984
Industri
PP No. 12/1986 tentang Pelaksanaan UU No. 10/1980 tentang Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma
Peraturan Pemerintah
1986
Penghargaan Seni
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
99
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Inpres No. 7/1987 tentang Penyederhanaan Perizinan dan Restribusi di Bidang Usaha Pariwisata
Instruksi Presiden
1987
Pariwisata
Keppres No. 47/1989 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Federal Jerman mengenai Kerjasama Kebudayaan
Keputusan Presiden
1989
Kerjasama Bilateral
UU No. 4/1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam
Undang-Undang
1990
Dokumentasi
PP No. 70/1991 tentang Pelaksanaan Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam
Peraturan Pemerintah
1991
Dokumentasi
UU No. 5/1992 tentang Cagar Budaya
Undang-Undang
1992
Cagar Budaya
Keppres No. 1/1992 tentang PENGELOLAAN TAMAN WISATA CANDI BOROBUDUR DAN TAMAN WISATA CANDI PRAMBANAN SERTA PENGENDALIAN LINGKUNGAN KAWASANNYA
Keputusan Presiden
1992
Cagar Budaya
UU No. 8/1992 tentang Perfilman
Undang-Undang
1992
Film
Keppres No. 21/1992 tentang PENDIRIAN SEKOLAH TINGGI SENI INDONESIA SURAKARTA
Keputusan Presiden
1992
Pendidikan Seni
Keppres No. 22/1992 tentang Pendirian Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar
Keputusan Presiden
1992
Pendidikan Seni
Irmendagri 5A/1993 tentang Pembentukan Dewan Kesenian
Instruksi Menteri
1993
Dewan Kesenian
PP No. 7/1994 tentang Lembaga Sensor Film
Peraturan Pemerintah
1994
Film
PP No. 8/1994 tentang Badan Pertimbangan Perfilman Nasional
Peraturan Pemerintah
1994
Film
PP No. 6/1994 tentang Usaha Perfilman
Peraturan Pemerintah
1994
Film
PP No. 19/1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum
Peraturan Pemerintah
1995
Cagar Budaya
UU No. 10/1995 tentang Kepabean
Undang-Undang
1995
Fiskal
PP No. 31/1995 tentang Komisi Banding Paten
Peraturan Pemerintah
1995
HKI
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
100
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
PP No. 32/1995 tentang Komisi Banding Merek
Peraturan Pemerintah
1995
HKI
UU No. 9/1995 tentang Usaha Kecil
Undang-Undang
1995
Industri
Keppres No. 59/1995 tentang Pendirian Sekolah Tingi Seni Indonesia Bandung
Keputusan Presiden
1995
Pendidikan Seni
PP No. 67/1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan
Peraturan Pemerintah
1996
Pariwisata
UU No. 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Undang-Undang
1997
Pajak/Retribusi Daerah
UU No. 24/1997 tentang Penyiaran
Undang-Undang
1997
Penyiaran
PP No. 23/1999 tentang Pelaksanaan Serah-Simpan dan Pengelolaan Karya Rekam Film Cerita atau Film Dokumenter
Peraturan Pemerintah
1999
Dokumentasi
UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang
1999
HAM
PP No. 60/1999 tentang Pendidikan Tinggi
Peraturan Pemerintah
1999
Pendidikan Seni
Keppres No. 56/1999 tentang Pendirian Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padang Panjang
Keputusan Presiden
1999
Pendidikan Seni
Keppres No. 84/1999 tentang Pemanfaatan Seni dan Budaya
Keputusan Presiden
1999
Penghargaan Seni
Keppres No. 6/2000 tentang Pencabutan Inpres No. 14/1967 tentang Agama Kebudayaan Adat Cina
Keputusan Presiden
2000
Adat Budaya
UU No. 17/2000 Penghasilan
Pajak
Undang-Undang
2000
Fiskal
UU No. 18/2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Undang-Undang
2000
Fiskal
UU No. 30/2000 tentang Desain Industri
Undang-Undang
2000
Keppres No. 32/2000 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Federasi Rusia mengenai Kerjasama Kebudayaan
Keputusan Presiden
2000
HKI (data ini ditemukan setelah analisa data secara keseluruhan dilakukan) Kerjasama Bilateral
tentang
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
101
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
Keppres No. 70/2000 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Republik Kuba mengenai Kerjasama Kebudayaan
Keputusan Presiden
2000
Kerjasama Bilateral
Keppres No. 71/2000 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Republik Suriname mengenai Kerjasama Kebudayaan
Keputusan Presiden
2000
Kerjasama Bilateral
Keppres No. 72/2000 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Republik Italia mengenai Kerjasama Kebudayaan
Keputusan Presiden
2000
Kerjasama Bilateral
Keppres No. 140/2000 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Kerajaan Jordania mengenai Kerjasama Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan
Keputusan Presiden
2000
Kerjasama Bilateral
UU No. 34/2000 tentang Perubahan atas UU No. 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Undang-Undang
2000
Pajak/Retribusi Daerah
Keppres No. 11/2000 tentang Badan Pengembangan Pariwisata dan Kesenian
Keputusan Presiden
2000
Pariwisata
UU No. 14/2001 tentang Paten
Undang-Undang
2001
HKI
UU No. 15/2001 tentang Merek
Undang-Undang
2001
HKI
UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua
Undang-Undang
2001
Otonomi Daerah
Perda Kota Ambon No. 4/2001 tentang Pajak Hiburan
Peraturan Daerah
2001
Pajak/Retribusi Daerah
Perda Kota Semarang No. 9/2001 tentang Pajak Hiburan
Peraturan Daerah
2001
Pajak/Retribusi Daerah
Perda Kabupaten Lampung Selatan No. 15/2001 tentang Retribusi Tempat Pameran, Lokasi dan Pertunjukan
Peraturan Daerah
2001
Pajak/Retribusi Daerah
Perda Kabupaten Wonosobo 15/2001 tentang Pajak Hiburan
No.
Peraturan Daerah
2001
Pajak/Retribusi Daerah
Perda Kabupaten Lampung Selatan No. 21/2001 tentang Retribusi Ijin Pemutaran Film Keliling
Peraturan Daerah
2001
Pajak/Retribusi Daerah
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
102
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
UU No. 19/2002 tentang Hak Cipta
Undang-Undang
2002
HKI
Keppres No. 43/2002 tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah RI dan Pemerintah Republik Kolo
Keputusan Presiden
2002
Kerjasama Bilateral
Perda Kabupaten Kudus No. 14/2002 tentang Retribusi Izin Usaha Tempat Rekreasi dan Hiburan Umum
Peraturan Daerah
2002
Pajak/Retribusi Daerah
Perda Kota Kupang No. 3/2002 tentang Pajak Hiburan
Peraturan Daerah
2002
Pajak/Retribusi Daerah
Perda Kota Medan No. 11/2002 tentang Retribusi Izin Usaha Perfilman
Peraturan Daerah
2002
Pajak/Retribusi Daerah
Perda Kota Surakarta No. 4/2002 tentang Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum
Peraturan Daerah
2002
Pajak/Retribusi Daerah
UU No. 32/2002 tentang Penyiaran
Undang-Undang
2002
Penyiaran
Keppres No. 29/2003 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No. 101/2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden No. 2/2002
Keputusan Presiden
2003
Birokrasi
Perda Kabupaten Gowa No. 4/2003 tentang Retribusi Ijin Pemutaran Film Keliling
Peraturan Daerah
2003
Pajak/Retribusi Daerah
UU No. 20/2003 Pendidikan Nasional
Undang-Undang
2003
Pendidikan Seni
Qanun Provinsi NAD No. 12/2004 tentang Kebudayaan Aceh
Peraturan Daerah
2004
Adat Budaya
Keppres No. 53/2004 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Republik Polandia tentang Kerjasama Pendidikan dan Kebudayaan
Keputusan Presiden
2004
Kerjasama Bilateral
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang
2004
Otonomi Daerah
Peraturan Menbudpar No. 39/KP.102/MKP/2004 tentang Pemberian Anugerah Kebudayaan
Peraturan Menteri
2004
Penghargaan Seni
tentang
Sistem
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
103
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
PP No. 35/2005 tentang Pungutan Ekspor atas Barang Ekspor Tertentu
Peraturan Pemerintah
2005
Fiskal
Peraturan Presiden No. 4/2005 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Republik Bolivar Venezuela mengenai Kerjasama Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan
Peraturan Presiden
2005
Kerjasama Bilateral
Perda Kabupaten Blora No. 4/2005 tentang Retribusi Izin Usaha Pariwisata dan Kebudayaan
Peraturan Daerah
2005
Pajak/Retribusi Daerah
Inpres No. 16/2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata
Instruksi Presiden
2005
Pariwisata
PP No. 19/2005 tentang Nasional Pendidikan
Standar
Peraturan Pemerintah
2005
Pendidikan Seni
PP No. 20/2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Peraturan Pemerintah
2005
Pendidikan Seni
PP No. 11/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik
Peraturan Pemerintah
2005
Penyiaran
PP No. 12/2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik RRI
Peraturan Pemerintah
2005
Penyiaran
PP No. 13/2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik TVRI
Peraturan Pemerintah
2005
Penyiaran
UU No. 11/2005 tentang Pengesahan ICCPR
Undang-Undang
2005
Perjanjian Internasional
UU No. 12/2005 tentang Pengesahan ICESCR
Undang-Undang
2005
Perjanjian Internasional
Keputusan Walikota 188.45-324/2006 tentang Pengukuhan Pengurus Dewan Kesenian Kota Balikpapan
Keputusan Walikota
2006
Dewan Kesenian
Perda DKI Jakarta No. 6/2006 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam
Peraturan Daerah
2006
Dokumentasi
UU No. 17/2006 tentang Perubahan atas UU No. 10/1995 tentang Kepabean
Undang-Undang
2006
Fiskal
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
104
[LAPORAN HASIL PENELITIAN]
Juni, 2009
UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh
Undang-Undang
2006
Otonomi Daerah
Peraturan Presiden No. 77/2006 tentang Perubahan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta menjadi Institut Seni Indonesia Surakarta
Peraturan Presiden
2006
Pendidikan Seni
Peraturan Menkeu No. 106/PMK.04/2007 tentang Pembebasan Bea Masuk Dan/Atau Cukai atas Impor Kembali Barang yang telah Diekspor
Peraturan Menteri
2007
Fiskal
Peraturan Presiden No. 92/2007 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Republik Korea mengenai Kerjasama di Bidang Kebudayaan
Peraturan Presiden
2007
Kerjasama Bilateral
UU No. 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia
Undang-Undang
2007
Otonomi Daerah
Permen No. 45/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja ISI Surakarta
Peraturan Menteri
2007
Pendidikan Seni
Peraturan Presiden No. 78/2007 tentang Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya TakBenda (Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage)
Peraturan Presiden
2007
Perjanjian Internasional
UU No. 43/2007 tentang Perpustakaan
Undang-Undang
2007
Perpustakaan
PP No. 55/2008 tentang Pengenaan Bea Keluar Terhadap Barang Ekspor
Peraturan Pemerintah
2008
Fiskal
Peraturan Menkeu No. 223/PMK.011/2008 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dengan Tarif Bea Keluar
Peraturan Menteri
2008
Fiskal
UU No. 36/2008 Penghasilan
Undang-Undang
2008
Fiskal
Permen No. 34/2008 tentang Pengamanan Objek Vital Nasional di Bidang Kebudayaan dan Pariwisata
Peraturan Menteri
2008
Pariwisata
UU No. 44/2008 tentang Pornografi
Undang-Undang
2008
Pornografi
tentang
Pajak
PSHK | Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan
105