BAB 2 STRUKTUR MASYARAKAT, LEMBAGA-LEMBAGA KESENIAN DAN KEBUDAYAAN Dalam kurun waktu dari tahun 1930-an sampai pertengahan tahun 1960-an, di Indonesia telah terjadi serangkaian perubahan sosial yang signifikan. Dalam dunia seni lukis, konteks-konteks sosial itu lebih jauh juga berpengaruh pada perubahan-perubahan bentuk dan paradigmanya. Dengan demikian, perubahan gaya lukisan dan aliran-aliran pemikiran yang melatarbelakanginya tentu bukan semata-mata karena kreativitas seniman. Namun lebih dari itu, terbangunnya gaya dan pemikiran lewat sistem tanda estetik (kodefikasi estetik) itu juga terbentuk atas dukungan masyarakat penyangga dan lembaga-lembaga kesenian. Selama kurun waktu itu, dengan perubahan-perubahan sosial yang cepat telah menempatkan kelompok masyarakat pribumi pada urutan di atas dalam struktur masyarakat Indonesia. Demikian juga dalam dunia seni lukis, kelompok masyarakat pribumi telah mengambil alih peran sebagai seniman, masyarakat penyangga, maupun pengelola lembaga-lembaga kesenian. Funsgsi dan peran dunia seni lukis mengikuti jiwa zaman. Pada masa-masa menjelang pendudukan Jepang sampai percobaan-percobaan demokrasi di republik muda ini, seni lukis digerakkan oleh ideologi-ideologi nasionalisme dan haluan parta politik. Untuk memahami semua aspirasi itu, perlu dilihat bagaimana interaksi para pendukung (patronage) dan lembaga-lembaga kesenian dalam sistem pengelolaan seni lukis itu.
A. Dukungan Masyarakat pada Seni Lukis Pada masa pendudukan Jepang terjadi perubahan struktur masyarakat yang juga berpengaruh pada kehidupan seni lukis. Hilangnya kelompok masyarakat Belanda lebih membuka peluang pelukis pribumi dalam memainkan perannya. Sebagaimana warga Belanda yang lain, para pelukis Belanda banyak yang menjadi tawanan Jepang. Pelukispelukis yang ditawan itu antara lain, Charles Sayers, Auke Sonnega, Rudolf Bonnet, Willem Hoffker, atau pelukis-pelukis Belanda lain yang namanya kurang dikenal. Walter Spies karena berpaspor Jerman justru ditawan oleh tentara Belanda dan meninggal ketika kapal yang akan mengasingkannya ke Ceylon di bom oleh Jepang.1 Perubahan struktur masyarakat yang terjadi dengan cepat itu, selain secara drastis menaikkan peran masyarakat pribumi ke level atas, juga mendorong mobilisasi vertikal golongan masyarakat bawah untuk mendesak para priyayi. Hal itu karena pemerintah 1
Tentang pelukis-pelukis Belanda yang ditawan Jepang lihat Leo Haks and Guus Maris, Lexicon of Foreign Artist Who Visualized Indonesia, 1600-1950 (Singapore: Archipelago Press, 1995), passim.; lihat juga Ruud Spruit, Artist on Bali. (Amsterdam: The Pepin Press, 1995), 77; dan lihat juga Pande Made Kardi Suteja, Koleksi Lukisan Museum Neka. (Ubud Bali: Yayasan Dharma Seni Museum Neka, 1995), 146.
Jepang banyak membuka kesempatan kerja di bidang administrasi pemerintahan. Di lain pihak kondisi priyayi diperburuk dengan kebijakan pemerintah Jepang yang menurunkan gaji para pegawai tingkat atas yang kebanyakan dari golongan priyayi. Akan tetapi, kenaikan jumlah lapisan masyarakat pada status sosial yang lebih tinggi ini tidak ada efeknya pada dukungan komersial pada seni lukis. Jangankan untuk membeli karya seni lukis, untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan saja masyarakat pada masa itu mengalami kesulitan besar. Benedict Anderson melukiskan situasi krisis pada masa pendudukan Jepang itu sebagai zaman edan. Ia mengutip ramalan Joyoboyo itu untuk melukiskan suasana muram dan gelisah akibat terpuruknya kondisi sosial, ekonomi, dan keamanan yang ada di Jawa. 2 Sungguhpun demikian, politik propaganda Jepang masih juga mempunyai efek balik yang lain yaitu menumbuhkan rasa kebangsaan dan percaya diri pada masyarakat. Ada kebebasan suasana sosiokultural yang lebih besar jika dibandingkan pada masa kolonial Belanda. Sebagai contoh pada masa kolonial Belanda pameran-pameran di Kunstkring, di Kolff & Co, atau di tempat-tempat lain di Batavia, maupun kota lain sangat jarang dikunjungi masyarakat kelompok pribumi. Hal itu dikarenakan oleh jarak kultural yang diskriminatif dalam hubungan sosial. Hal yang demikian tidak saja di gedung pameran, tetapi juga di kolam renang, di gerbong kereta, di kamar bola, di kantor, ataupun tempat lainnya. 3 Di masa Jepang, keadaan itu menjadi berubah. Pada pameran-pameran pelukis Indonesia, dukungan apresiasi masyarakat terlihat sangat besar di ruang-ruang pameran. Walaupun dengan gaya hiperbolik, Sudjojono melukiskan bahwa masyarakat sangat antusias dengan berjejal-jejal menikmati pameran lukisan para seniman Indonesia di Pasar Malam Rakoetentji tanggal 3 sampai 19 September 1942. 4 Demikian pula laporan-laporan dari tulisan lain juga mencatat antusiasme masyarakat pada pameran lukisan. Kunjungan masyarakat tidak ada putusnya sehingga mencapai jumlah ribuan, selama pameran lukisan Keimin Bunka Shidosho pada perayaan Tentyosetsu tahun 1943. Demikian juga pada pameran lukisan Affandi yang diselenggarakan Poetra pada tahun 1943, pada hari ketiga jumlah penonton telah mencapai 3500 orang. Masyarakat penonton bukan saja orang Indonesia, tetapi juga orang-orang Jepang, Cina, dan India.5 Pada masa itu pameran lukisan tidak hanya diselenggarakan di Jakarta, tetapi juga di Bandung, Semarang, Surabaya, dan Malang. Dari pameran-pameran pelukis Indonesia itu, respons terbesar masyarakat tetap 2
Benedict R. O’G Anderson, Java in Time of Revolustion, Occupation and Resistence 1944-1946 (Ithaca and London: Cornell University Press, 1972), 29-35. 3 Sartono Kartodirojo, Pengantar Sejarah Indonesia, Sejarah Pergerakan Nasional, dari Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), 97. dan wawancara dengan Suromo, 12 Oktober 1995 di Yogyakarta. 4 S. Soedjojono, “Herbert Hoetagaloeng 1917-1942”, dalam Seni Loekis, Kesenian dan Seniman (Yogyakarta: Penerbit Indonesia sekarang, 1946), 51. 5 U.I.S.M.A., “Pertoendjokan Loekisan”, Pemandangan, (3 Mei 2603/1943); lihat juga T.n., “Pertoendjoekan Seteleng Seni Roepa, Pemberian Idjazah dan Hadiah”, Pemandangan, 10 Mei 2603 (1943); lihat juga Soepeno, “Seteleng Loekisan Affandi”, Asia Raya, th. XI, (9 Juni 2603/1943).
pada lukisan naturalisme dan realisme. Untuk itu pameran Basoeki Abdullah selalu menarik perhatian.6 dukungan masyarakat yang besar, walaupun belum sampai pada tingkat dukungan komersil, mengkondisikan seni lukis Indonesia memasuki babak baru yang menantang. Kondisi itu juga tidak bisa dilepaskan dari jasa dukungan pemerintah pendudukan Jepang. Melalui lembaga Poetra dan Keimin Bunka Shidosho, perhatian langsung dari pejabat-pejabat pemerintah, serta pemberian hadiah penghargaan merupakan bentuk dukungan pemerintah yang signifikan. Selanjutnya, pada masa revolusi kemerdekaan panggilan menjadi pelukis masih merupakan tantangan yang berat. Walaupun demikian pertumbuhan minat pada profesi ini semakin tinggi. Sejak menjelang pendudukan Jepang sampai masa revolusi kemerdekaan, angkatan muda terpelajar pada umumnya mengalami pergolakan jiwa melawan normanorma lama yang feodal dan sistem politik kolonial. Dalam prakteknya, sikap-sikap itu berpengaruh pada perilaku dan pandangan hidup keseharian. Sungguh begitu, keputusan untuk menjadi pelukis bukanlah suatu pilihan yang muda. Terpanggilnya sesorang untuk menjadi pelukis, niscaya disertai pemberontakan jiwa yang berpengaruh pada pandangan hidupnya. Para seniman selalu dihadang hubungan keluarga, dan masyarakat. Sejak tahun 1930-an, pada waktu pelukis-pelukis pribumi melawan kemapanan norma estetik ‘Mooi Indië’, mereka sebenarnya menjadi displaced person dalam masyarakat. 7 belum lagi menjadi pelukis akan dihadang kemiskinan, karena dukungan komersial masyarakat belum terbentuk. Ketimpangan dukungan komersial itu justru menjadi alat seleksi untuk pilihan hidup menjadi pelukis. Dengan kondisi yang seperti itu terbentuklah sikap hidup seniman yang idealis dan jujur mengungkapkan perasaannya. 8 Tahun 1845 sampai 1949 merupakan masa terisolasi dalam hunungan dengan luar negeri. Para pelukis membuat kanvas dari bahan blacu atau memakai kertas dilapisi lem kanji. Oleh karena cat mimyak sangat terbatas, maka dalam sanggar-sanggar pelukis saling membagi cat minyak itu dan disimpan dalam gelas berisi air sehingga tidak kering. Pada masa inilah, seni lukis Indonesia dengan warna-warna sederhana (tidak colorist), kebanyakan menampilkan fragmen kehidupan yang muram atau justru heroik. Media sketsa, aquarel, dan pastel yang lebih sederhana dan hemat banyak digunakan sebagai bentuk eksplorasi lain dalam seni lukis. Pemakaian model wajah atau isteri sendiri, selain sering sebagai studi karakter yang bermakna, sebenarnya juga karena kondisi seni lukis yang sulit. 9 Masih dalam suasana revolusi kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia yang masih muda itu memberikan dukungan subsidi pada para pelukis 6
Airani (L.K. Bohang), “Peloekis Indonesia”, Pandji Poestaka, (9 Juni 2603/1943); lihat juga Tos, “Steleng Loekisan Realistis dan Natiralistis”, Pemandangan, (21 agustus 2603/1943); lihat juga Tos, “Steleng Basoeki Abdoellah”, Asia Raya, (25 Januari 2604/1944). 7 Trsino Sumardjo, “Dasar Pikiran Tentang Akademi kesenian”, Zenith I, No. 12, (Desember 1951); lihat juga Trisno Sumardjo, “Kedudukan Seni Lukis Kita”, Zenith III, No. 9, Spetember 1953, 522. 8 Oesman Effendi, “Seni Lukis Indonesia Baru dan Perkembangan diri Seorang Pelukis”. Mimbar Indonesia, Th. VI, No. 36, (6 September 1952) 9 Kusnadi, Seni Rupa Indonesia dan Pembinaannya (Jakarta: Penerbitan Proyek Pembinaan Kesenian, Dep. P dan K, 1978), 32-33.
untuk membuat lukisan-lukisan perjuangan. Subsidi dan bantuan material itu diberikan pada seniman-seniman SIM lewat Biro Perjuangan Kementrian Pertahanan. Pada tahun 1947, pekerjaan pertama diselesaikan 25 orang pelukis dengan menghasilkan 65 karya. karyakarya itu kemudian dipamerkan di Sonobudojo Yogyakarta. Pada tahun 1949, kembali dikerjakan beberapa lukisan dokumentasi perjuangan oleh Sudjojono dan pelukis-pelukis SIM lainnya, namun hanya menghasilkan karya sedikit. 10 Dukungan yang lain justru langsung berasal dari Presiden Sukarno. Perhatian yang besar Bung Karno pada seni lukis sebenarnya telah terlihat semenjak masa Jepang di Poetra. Nahkan Ia membeli karya Henk Ngantung yang berjudul ‘Memanah’ ketika selesai dipamerkan. Sesudah menjadi presiden, Bung Karno tetap sering mengunjungi sanggarsanggar SIM, Peloekis Rakjat, Sanggar Pelukis Gambir Anom, Sanggar Arca Edhi Sunarso, dan juga sekolah seni rupa ASRI maupun ITB. Sebagai figur karismatik, ternyata Bung Karno sangat akrab dan cari bergaul dengan seniman-seniman. Ia sering mengundang pelukispelukis di Istana Gedung Agung Yogyakarta, maupun di Istana Negara Jakarta untuk berdiskusi masalah seni lukis. Dari kunjungannya ke sanggar-sanggar atau pameranpameran, ia banyak mengoleksi karya-karya. 11 Karya-karya lukisan, patung, an kria yang banyak itu selain dipajang di Istana kepresidenan, akhirnya juga telah dibukukab dalam Koleksi Bung Karno, volume I sampai V. Koleksi lukisan Bung Karno bisa dilihat mencerminkan visi estetik yang beragam. Sukarno tercermin sebagai seorang yang romantis sekaligus seorang nasionalis kerakyatan. Kekayaan visi estetik yang beragam itu, berlainan dengan para penafsir ajaran Manipolnya yang ekstri ke kiri. Memasuki tahun 1950-an, gejolak-gejolak poliyik ekonomi dari masa Jepang dan revolusi kemerdekaan belum bisa mencapai titik equilibrium. Sungguhpun demikian suasana itu secara terbatas tetap memunculkan para klektor lukisan. Untuk Sanggar Peloekis Rakjat ada beberapa pecinta seni yang sering mengkoleksi lukisan. Mereka adala seorang kolonel dari Korps Polisi Militer, seorang usahawan dari Jakarta, beberapa perusahaan, dan orangorang asing. Mulai pertengahan tahn 1950-an Raka Sumichan juga sudah menjadi kolektor lukisan Affandi. Kehidupan pelukis sangat ditunjang oleh sanggar-sanggar. Dapat dikatakan bahwa tahun 1950-an, sanggar-sanggar merupakan pusat dunia seni lukis, sehingga proses pembentukan sampai pencapaian jati diri seniman banyak terjadi di situ. Sanggar berfungsi sebagai lembaga pendidikan tempat para junior menimba teknik dan pendalaman berkesenian lewat para pelukis ternama. Akan terbukti bahwa pelukis-pelukis junior pada masa kehidupan sanggar, seperti Itji Tarmizi, Batar Lubis, Nashar, Zaini, Widayat, Fajar Sidik, Nasjah Djamin, dan lain-lainnya, menjadi pelukis-pelukis yang potensial pada dekade berikutnya. Dalam sanggar, ekonomi para pelukis juga berputar, karena sering ada pembelian karya dari kolektor-kolektor. Di samping itu, negosiasi pembuatan projek-projek 10 11
Trisno Sumardjo, “Dokumentasi Lukisan”, Indonesia 16 Oktober 1950, 11. Soedarmadji dan J.H. Damais, Bung Karno dan Seni (Jakarta: Yayasan Bung Karno, 1979), passim
seni rupa monumental seperti lukisan dinding atau monumen-monumen terjadi lewat sanggar-sanggar yang berfungsi sebagai badan usaha gotong royong. Salah satu proyek yang ditangani Peloekis Rakjta adalah Tugu Muda Semarang. Selain itu, Bung Karno juga banyak melibatkan pelukis-pelukis dan pematung untuk mewujudkan projek-projek bangunan yang mempunyai sentuhan ‘kepribadian Indonesia’. Diorama di Monas dan lukisan-lukisan dinding di Ambarukmo, Bali Beach, Samudra Beach Pelabuhan Ratu melibatkan Edhi Sunarso, Sapto Hariyadi, Trubus, Rustamadji, Djoni Sutrisno, Hendrojasmoro, Budhiani, dan masih banyak lagi. Suasana kehidupan bersama memang menjadi atmosfir sosiokultural kota Yogyakarta. Di Maliobor, setiap malam bertemu para pelukis, penyair, dramawan, atau seniman lainnya. Kehidupan seniman yang masih dekat dengan sikap kolektif itu sangat berbeda dengan para seniman di Jakarta. Sanggar-sanggar di Jakarta tidak berumur panjang dan tidak mengakar pada kehidupan pelukis. Walaupun di Jakarta ada komunitas Senen, namun interaksi kreativitas antarseniman tidaj seliat di Malioboro. Setting sosiokultural Jakarta memang telah berkembang menjadi bentuk kehidupan yang keras dan individual. Untuk itu kehidupan sanggar tidak mendapat iklim yang kondusif. Orang tidak mungkin hidup di Jakarta hanya dari melukis saja seperti di Yogyakarta.12 Periode tahun 1949-1958 oleh Herbert Feith dikatakan sebagai masa paling pluralistik dalam kehidupan sosial bangsa Indonesia. Organisasi-organisasi sosial dan partai politik berkembang dengan masing-masing karakter dan ideologinya. Mobilitas vertikal masyarakat, lebih-lebih kaum terpelajar, bergerak lewat pendidikan maupun partai politik. Pada tahun 1958-1962 peranan parta-parta politik itu bahkan berkembang mencapai bentuk persaingan yang bersifat authoritarian social order (mengutamakan kekuasaan dalam tatanan sosial). 13 Dalam kehidupan kolektif sanggar dan suasana yang dominan politik, para pelukis lebih mudah mencari patronase bebas. Lebih-lebih kondisi ekonomi Indonesia pada masa itu sangat sulit. Dalam periode ini terjadi inflasi yang menyebabkan indeks biasa hidup naik dari basis 100 pada tahun 1958 menjadi 36.000 pada tahun 1965. Dalam periode yang sama jumlah peredaran uang naik dari 30 miliar menjadi hampir 1 triliun rupiah. Pada akhir tahun 1965, defisit anggaran membengkak dalam jumlah yang sangat besar yaitu 1,5 triliun rupiah, dan Indonesia mulai mengabaikan pembayaran hutang luar negerinya. 14 Ketimpangan dukungan komersial akibat kemerosotan ekonomi itu, lebih diperburuk dengan semakin sempitnya ruang kebebasan kreatif seniman. Sebagai upaya pengamanan dukungan ekonomi dan perlindungan politik banyak pelukis-pelukis yang bergabung dalamaliansi partai-parta Nasakom. Dalam periode ini, Lekra mempunyai peranan besar 12
Ajip Rosidi, “Kehidupan Kesenian di Jogja”, Siasat, XII, No. 560. (25 Maret 1958). Herbert Feith, “Indonesia” dalam George Mc Turnan Kahin, Goverments and Politics of Southeast Asia (Ithaca New York: Cornell Universtity Press, 1964), 218-219. 14 Arnold C. Brackman, Cornell Paper: Di Balik Kolapsnya PKI, terj: Fauzi Absal (Yogyakarta: Elst Reba, 2000), 45. 13
dalam memberikan dukungan promosi pada sanggar-sanggar SIM dan Peloekis Rakjat. Sejumlah pelukis telah dipilih untuk perjalanan ke luar negeri dengan misi-misi kebeudayaan. Salah satunya yaitu pada tahun 1951, Sudjojono, Henk Ngantung, Hendra, dan tokoh lain seperti Sudharnoto dan Sunardi dikirim ke Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia di Berlin. Setelah mengikuti festival selama beberapa bulan mereka berkeliling ke Hongaria, Rumania, Cekoslovakia, Uni Sovyet, da Republik Rakyat Tjina (RRT). Dalam kesempatan lain, Amrus Natalsya dan Batara Lubis dikirim ke Austria mengikuti Konferensi Pemudia Sedunia. Sewaktu pulang mereka melewati Moskow, Budapest, dan RRT. Pada tahun 1956 bahkan Sudjojono dan Hendra Gunawan menjadi anggota DPR wakil dari PKI. Adapun Affandi bersikap tidak pernah menerima, namun juga tidak menolak. Sikap itu merupakan ungkapan noncommited-nya terhadap politik. Sudjojono yang akhirnya menginggalkan Lekra memang merupakan pelukis yang paling sadar politik, sehingga manilai Affandi sebagai orang yang ‘a politik’ dan ‘naif’.15 Di samping itu, seniman-seniman Lekra lewat Lembaga Seni Rupa sering mendapat order dari Panitia Negara untuk mengerjakan poster-poster penyambutan tamu negara atau juga event internasional seperti Games of The New Emerging Forces (Ganefo). Mereka juga mendapat pembagian cat minyak dari Rusia.16 Di lain pihak, Amerika juga mengembangkan pengaruhnya pada seniman-seniman dalam dunia seni lukis. Setidaknya hal itu dapat dibaca dari pembagian cat merk Dafoe lewat USIS pada para pelukis. Hal yang demikian juga bisa dilihat dari aktivitas Sticusa yang banyak membantu seniman-seniman dang sanggar-sanggar dengan kanvas asli linen, cat minyak Rembrant, dan kwas talent. Bahkan beberapa pelukis seperti Mochtar Apin, Baharudin M.S., Sudjojono Kerton, Rusli, mendapat beasiswa dari Sticusa untuk belajar seni lukis di negeri Belanda. Beberapa seniman Bandung juga menerima beasiswa dari Amerika. Achmad Sadali dan A.D. Pirous mendapat Rockfeller Fellowship, But Muchtar mendapat USIA Fellowship, dan Srihadi menerima ICA Fellowship, mereka memperdalam seni rupa di berbagai perguruan tinggi di Amerika dengan jalur non degree atau juga degree seperti Srihadi.17 Jika seniman di luar Lekra sulit mendapat akses order-order dari Panitia Negara, maka banyak di antara mereka yang dapat menjual lukisan-lukisan pada orang asing yang bekerja di Indonesia. Lukisan-lukisan kelompok ini bercorak modern atau dalam kecenderungan non figuratif. Pada masa itu mulai juga muncul kolektor-kolektor Indonesia yang berminat dengan lukisan jenis ini. mereka antara lain Mas Agung dan Ciputra. Dengan munculnya wabah pada selera modern itu D.A. Peransi pada tahun 1960 di Mimbar 15
Dari berbagai sumber, lihat Claire Holt, Art in Indonesia: Continuities and Change (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1976), 218-219; lihat Mia Bustam, “Sudjojono dan Aku, Memoar Pribadi” (Semarang: belum diterbitkan, 1992), 34-135; lihat Raka Sumichan dan Umar Kayam, Affandi (Jakarta: Yayasan Bina Lestari Budaya, 1987), 36, dan juga wawancara dengan Amrus Natalsya, tanggal 7 Maret 1999, di Jakarta. 16 Wawancara dengan Amrus Natalsya, tanggal 7 Maret 1999 di Jakarta dan Misbach Tamrin, tanggal 16 April 1999 di Yogyakarta. 17 Wawancara dengan Amrus Natalsya, tanggal 7 Maret 1999 di Jakarta dan Misbach Tamrin, tanggal 16 April 1999 di Yogyakarta; lihat juga Mia Bustam, op. cit., 159; dan Holt op. cit., 321-330 passim.
Indonesia secara sinis mengatakan bahwa munculnya selera sebagai ‘salah nifas’ (belum waktunya-pen) atau mungkin sekedar snobisme. 18 Di Surabaya dengan visi yang beragam muncul juga kolektor-kolektor seperti Lie Ping Tjat, Oei Boen Po, Usman Nabhan, dan Sunarjo Umar Sidik. Demikian juga kemunculan kolektor secara sporadis terjadi di kota-kota lain di Jawa. Di Bali pertumbuhan pasar seni lukis lewat galeri-galeri dan kolektor cenderung lebih pesat karena adanya dukungan pariwisata.
B. Lembaga-lembaga Kesenian dan Kebudayaan B.1. Poetra dan Keimin Bunka Shidosho Dukungan pemerinyah pendudukan Jepang pada lembaga-lembaga kesenian yang dibentuk sebenarnya mempunyai tendensi untuk propaganda dan mobilisasi massa. Sebegitu jauh aktivitasnya di seni lukis bentuk-bentuk tendensi itu tidak memperlihatkan konflik-konflik yang berarti. Jika ada catatan pelarangan, hal itu baru menyangkut karya Affandi yang mengekspos pekerja romusha dengan tubuhnya yang kurus kering. 19 Selebihnya, lembaga-lembaga itu justru dimanfaatkan secara antusias oleh pelukis-pelukis Indonesia untuk beraktivitas. Dengan demikian, jika diukur dari keberhasilan propaganda, maka para pelukis telah bersimpati papa pemerintah Jepang seperti yang telah diuraikan di muka. Sebagaimana dalam sektor kehidupan politik, para pelukis memanfaatkan aktivitas dalam lembaga-lembaga itu sebagai media meningkatkan diri. Di luar tendensi-tendensi politik pemerintah ruang kondusif seperti itu tidak tersedia pada masa kolonial Belanda. Departemen yang secara sistematis menggerakkan monilisasi adalah Bagian Propaganda atau Sedenbu. Para pekerja Sedenbu di Indonesia terbagi menjadi dua kelompok sebagaiman di negara lain. kelompok pertama adalah orang-orang yang direkrut atas dasar karir dan orientasi politik sebelum perang, kharisma dan kedudukannya dalam masyarakat tradisional, dan sifat agitatif serta kemampuan beroidato. Dalam beberapa hal guru dan tokoh pergerakan anti Belanda sangat disukai. Untuk itu Muhammad Yamin, Chairul Saleh, dan Sukarni merupakan figur-figur ideal dalam kelompok ini. Kelompok kedua adalah terdiri dari para penulis dan seniman yang juga dianggap mempunyai peran strategis dalam propaganda. Di antara para seniman itu ialah Raden Mas Soeroso (pelukis) dan Iton Lamana (perancang iklan). 20 Seniman-seniman lain masuk dalam organisasi di bawah Sedenbu yaitu Poetera atau yang lebih spesifik lagi yaitu Keimin BunkaShidoso. Sebagai awal aktivitasnya, Sedenbu mendirikan gerakan Tiga A yang ternyata lembek karena pemimpinnya yang bersifat multirasial dan kurang berakar pada rakyat. Selanjutnya, 18
D.A. Peransi, “Penghargaan Seni dalam Situasi Salah Nifas”, Mimbar Indonesia, XIV, No. 44, (29 Oktober 1960) 19 Nugraha Sumaatmadja, Affandi (Yogyakarta: Penerbitan Yayaysan Kanisius, 1975, 40. 20 Aiko Kurusawa, Mobilisasi dan Kontrol, Studi tentang Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, (10 Maret 2603/1943).
langsung di bawah pemerintahan militer (Gunseikanbu) pada tanggal 9 Maret 2603 (1943) dibentuk Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) dengan merekrut para pemimpin nasionalis yaitu Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan Kjai Hadji Mas Mansur. Aktivitas Poetera meliputi bidang sosial ekonomi dan membina masyarakat untuk memusatkan potensi dalam keperluan dan tujuan pemerintah Jepang. 21 Salah satu unsur badan itu adalah bagian kebudayaan yang dipimpin oleh Sudjojono. Dalam aktivitasnya bagian kebudayaan Poetera ini banyak menyelenggarakan pameran seni lukis. 22 Aktivitas Poetere tetap tidak lepas dari kontrol pemerintah. Namun hal itu justru menyuburkan semangat nasionalisme dan mengurangi dukungan pada pemerintah militer Jepang, sehingga akhirnya Poetera dibubarkan. Pameran-pameran lukisan yang diselenggarakan Poetera ternyata mendapat respon yang besar dari para pelukis maupun masyarakat. Respon itu memperlihatkan bahwa pelukis-pelukis lebih merasa mendapat kesempatan mengembangkan diri daripada menemui kendala dalam penyesuaian birokrasi dan kontrol pemerintah Jepang. Karya-karya yang ditampilkan tetap merupakan ekspresi yang mengungkapkan kebebasan pelukis. Di gedung Poetera Jalan Soenda n. 28 Jakarta, pelukis-pelukis berbakat Indonesia menggelar karyanya di masa pemerintahan pendudukan Jepang yang represif itu. Dimulai pameran tunggal Affandi bulan Juni 1943, pameran selanjutnya susul-menyusul. Pameran kedua, menampilkan lukisan-lukisan naturalis dan realis pelukis Indonesia pada tanggal 19-29 Agustus 1943. Selanjutnya ditampilkan pameran tunggal Kartono Yoedokoesoemo, pelukis Bali I Nyoman Ngendon, Emiria Soenassa, dan Basoeki Abdullah. 23 Ketika struktur pemerintah militer semakin merumit, beberapa biro khusus bidang propaganda dibentuk lagi di luar Sedenbu. Beberapa organisasi itu adalah Jawa Hôsô Kanrikyoku (Biro Pengawas Siaran Jawa), Jawa Shinbunkai (Perusahaan koran Jawa), Dômei (Kantor Berita), Jawa Engeki Kyôkai (Peresrikatan Usaha Sandiwara Jawa), Nihon Eigasha atau Nichi’ei (Perusahaan Film Jepang), dan Eiga Haikyusha atau Eihai (Perusahaan Pendistribusian Film). Operasi propaganda Jepang yang semakin kuat dilaksanakan dengan berbagai media seperti surat kabar, pamflet, buku, poster, foto, siaran radio, pameran, pidato, drama, seni pertunjukkan tradisional, pertunjukkan gambar kertas (kamishibai), musik, dan film. Salah satu ciri utama propaganda di masa perang itu ialah penggunaan media-media tersebut secara positif, terutama yang mengusik ‘pendengaran dan penglihatan’ (audiovisual) seseorang. Adapun untuk menjangkau penduduk desa yang 21
Asia Raya, (10 Maret 2603/1943). S. Soedjojono, “Perjalanan Seteleng-Seteleng Poetera dari Natoeralisme sampai ke Ex-pressionisme Emiria Soenassa”, Asia Raya, (14 Desember 2603/1943). 23 S. “Steleng Affandi”, Pandji Poestaka, No. 19, XXI, (1 Joeli 2603/1943); S. “Steleng Loekisan Naturalistis dan Realistis 19-29 Agoestoes 2603 di “Gedoeng Poetera”, Pandji Poestaka, No. 20, XXI, (Agoestoes 2603/1943); S. Soedjojono, “Steleng Loekisan Kartono Judokusumo”, Pemandangan, No. 239, (13 Oktober 2603/1943); Tn., “I Nyoman Ngendon”, Pandji Poestaka, No. 29, XXI, (8 Desember 2603/1943); Tn. “Peloekis Emiria Soenassa, Wanita Langlang Boeana”, Asia Raya, No. 282, (2 Desember 2603/1943), dan Tos., “Steleng Basoeki Abdoellah..., loc.cit. 22
kebanyakan tidak berpendidikan dan buta huruf, mereka memakai film, seni panggung, kamishibai, dan film yang dianggap lebih efektif.24 Selain organisasi-organisasi tersebut, ada sebuah lembaga yang secara khusus menangani kesenian dan kebudayaan. Lembaga itu adalah Keimin Bunka Shidôsho atau ‘Poesat Keboedajaan’ yang dibentukpada bulan April 1943. (lihat Gb. 8) Dengan berkantor pusat di Jalan Noordwijk, 39, Jakarta, lembaga itu digerakkan oleh pejabat Jepang dan seniman-seniman Indonesia. Sebagai ketua yaitu Sanoesi Pane. Bagian Seni Rupa dipimpin Agoes Djaja, bagian fil dan drama oleh Usmar Ismail, bagian sastra oleh Armyn Pane, dan bagian seni suara serta tari oleh Ibu Soed. Di samping itu, masih ada beberapa seniman yaitu Oetojo Simandjuntak, R. Koebini (kelompok pemusik), serta Djauhar Arifin Soetomo (dramawan). 25 Dengan kegiatan khusus pada kesenian, lembaga ini juga tetap mempunyai fungsi memobilisasi seniman-seniman agar menyumbangkan tenaganya untuk menghibur prajurit Peta dan Heiho, atau untuk kepentingan umum. Hal itu terutama bidang seni prtunjukkan. Sebagai contoh untuk wilayah Jawa Timur, Keimin Bunka Shidôsho menyerukan mobilisasi itu lewat Soeara Asia, 22 Juni 1943. Dalam bidang seni rupa, kegiatan terutama ditujukan pada seni lukis. Di samping itu ada juga usaha memperhatikan seni kerajinan, keramik, dan bangunan-bangunan terutama Museum Gajah di Jakarta. 26 Sebagaimana bagian kebudayaan Poetera, dalam Keimin Bunka Shidôsho juga banyak merekrut pekukis-pelukis dan menyelenggarakan pameran-pameran lukisan. Aktivitas pameran lukisan tentu diarahkan pada masyarakat kota yang terpelajar, sehingga Poesat Keboedajaan itu menyelenggarakannya sampai di kota-kota besar di Jawa. 27 Dalam keberadaannya sampai tahun 1947, Koran Asia Raya mencatat bahwa lembaga ini telah menyelenggarakan pameran 3 kali untuk pelukis-pelukis pribumi. Selain pameran-pameran, Keimin Bunka Shidôsho juga menyelenggarakan latihan khusus melukis yang dipimpin oleh Sudjojono dan Agoes Djaja, atau pelukis-pelukis senior seperti Wahdi, Barli, Affandi, dan Hendra Gunawan.28
B.2. Sanggar-sanggar dengan Orientasi Kerakyatan dan Politik Sanggar-sanggar seni lukis di sepanjang tahun 1945-1965 berperan sebagai lembaga sosiokultural yang menopang dunia seni lukis. Walaupun sifatnya tidak formal, tetapi peran 24
Aiko Kurusawa, op. cit., 230-231 dan 237. Agus Djaja, “Objektivitas dan Kemurnian Sejarah” (Dokumen dan Surat Pribadi, Koleksi Sudarmadji I) jakarta, 1977; lihat juga Aiko Kurusawa, op. cit., 234. 26 Tn., “Poesat Keboedajaan”, Soeara Asia, (22 Juni 2603/1943)Tn;., “Poesat Keboedajaan; Seroean Kepada Para Seniman Dan Seniwati”, Seoara Asia, (22 Juni 2603/1943). 27 Ibid.; lihat juga Agoes Djaja Soeminta, “Seni Roepa Bangsa”, Soeara Asia, 26 Mei 2603 (1943); dan juga Sonoesi Pane, “Seni Roepa Siap Berkembang”, Soeara Asia, 14 Desember 2603 (1946). 28 A.D.S., “Steleng Seni Roepa ke III, Keimin Bunka Shidôsho”, Asia Raya, ( 13 Mei 2604/1944), juga 25
wawancara dengan Handrio, 20 September 1998, di Yogyakarta.
yang dimainkan kompleks dan bermakna. Hal itu dapat dilihat pada proses pergulatan paradigma yang diperjuangkan maupun usahanya untuk mempertahankan kehidupan anggotanya. Dalam proses itu, bersama dengan komponen seniman dan masyarakat, akan tercakup eksplorasinya dalam proses penemuan seni, kreasi atas tradisi dan pembaruan, evaluasi serta konstelasinya dalam sejarah. Namun di antara sanggar sebanyak itu, ada juga yang hidup tanpa visi yang jelas selain hanya untuk tempat berkumpul para pelukis. Ada juga sanggar yang mempunyai tradisi kreativitas yang kuat dan netral dari pengaruh parta politik, seperti Sanggar Bambu. 29 Beberapa sanggar yaitu SIM, Peloekis Rakjat, dan Sanggar Bumi Tarung secara tegas dan kuat memperjuangkan paradigma seni lukis kerakyatan. Bahkan dalam perkembangan terakhir, Sanggar Bumi Tarung mempunyai sikap untuk mengembangkan paradigma kerakyatan yang revolusioner dalam lukisan-lukisannya. Untuk mendapatkan gambaran pada tesis kerakyatan yang menguat dalam seni lukis periode ini, maka ketiga sanggar tersebut perlu mendapat perhatian.
B.2.1. Seniman Indonesia Muda Sanggar pelukis paling besar sesudah Indonesia merdeka ini lahir sebagai kebutuhan konsolidasi para pelukis dan nasionalis. SIM tidak sekedar berfungsi sebagai sanggar tempat pelukis berkumpul dan berlatih, namun juga sebagai medium penerangan perjuangan kemerdekaan. Lewat order bagian peropaganda dan publikasi Biro Perjuangan, pelukispelukis SIM meningkatkan peran sosial politiknya dengan membuat karya-karya dokumentasi dan publikasi perjuangan kemerdekaan. Sudjojono dan para pelukis senior sperti Abdul Salam, Surono, Surono, Soedarso, Basuki Resobowo, Sudibyo merupakan tokoh-tokoh yang menggerakkan SIM. Affandi dan Hendra Gunawan sebantar kemudian berpisah untuk mendirikan Peloekis Rakjat bersama Soedarso. Dalam aktivitasnya mereke mampunyai pandangan dan haluan kerja bahwa seni adalah untuk perjuangan. Dalam ikatannya dengan peran itu dan situasi seosial politik yang masih labil, maka SIM berpindahpindah dari Madiun dan Yogyakarta, ke Solo, kemudian kembali ke Yogyakarta lagi. Hubungan SIM dengan Biro Perjuangan pada tahun 1946 tidak lepas dari ikatan nasionalisme Sudjojono dengan Jendral Djoko Sujono dari Biro Perjuangan. Maka, semenjak SIM bermarkas di Pekapalan 7 Alun-laun Utara Yogyakarta sampai pindah ke Solo di gedung bekas ‘Mas Riboet’ Jalan Singosaren, para pelukis disibukkan pekerjaan membuat poster, plakat-plakat, dan lukisan dokumentasi perjuangan. (lihat Gb. 9,10, 11, 12). Di antaranya terdapat lukisan besar-besar berukuran 2 x 3 meter, yang kemudian dipamerkan di Sonobudoyo Yogyakarta tahun 1947. Pada masa SIM di Solo, kehidupan mereka lebih komunal dibandungkan sewaktu di Yogyakarta. Hal itu karena hidup bercampur dengan Laskar. Bisa dibayangkan bagaimana padatnya hidup berkomunal dengan anggota Biro Perjuangan yang berjumlah 250 orang, sedangkan jumlah seniman SIM sendiri 40 orang.
29
Kartosudirjo, “Sanggar Bambu 59 Jogjakarta, Pembina, No. 12, II (1964), 19-20.
Dengan volume pekerjaan yang besar, orang-orang SIM yang masih tinggal di Madiun, seperti Sunindyo dan Sukasno juga ditarik ke Solo. Perkembangan SIM di Solo mengalami pemekaran kegiatan setelah bergabungnya beberapa seniman seperti Oesman Effendi, Yudhokusumo, Kartono Yudhokusumo, Zaini, Srihadi Sudarsono, dan Sasongko. Di samping itu, para penulis seperti Trisno Sumardjo, Usmar Ismail, Wiratno Sukito, dan Anas Makruf juga masuk ke lingkungan sanggar ini. pada masa inilah, Trisno Sumardjo mulai melukis. Lewat tenaga-tenaga itu SIM dipilah menjadi bagian sebi rupa, bagian sastra, drama dan musik, dan bagian ketoprak. Pada bagian seni rupa ada cabang seni keramik dan seni grafis yang dikelola oleh Suromo. Trisno Sumardjo yang mengelola bagian sastra telah menerjemahkan Hamlet karya Shakespeare untuk dipentaskan oleh seniman-seniman SIM. Yudhokusumo dengan ketoprak SIM nya sering mengadakan pertunjukkan-pertunjukkan di kota kecil. Sebagai komunitas elite kebudayaan, mereka juga menggulirkan wacana kesenian lewat terbitan majalah SIM, yaitu ‘Seniman’. Kehidupan SIM yang romantis dan komunal menjadi tecerai berai sewaktu terjadi krisis agresi Belanda pertama tahun 1947 dan menyusul kabinet Amir Syarifudin jatuh. Hal ini sangat berhubungan dengan keberadaan Republik Indonesia yang terpecah-pecah dan melemahnya support pemerintah pada SIM. Apalgi Laskar Biro Perjuangan juga ditarik dari Solo. Pada akhir tahun 1947 SIM ditarik ke Sekretariat Menteri Negara Urusan Pemuda (SMNUP) di Yogyakarta, dan bermarkas di Wisma Rini, Tamansiswa. Pada tahun 1949, Trisno Sumardjo, Zaini, yang lebih bebas dari politik. Dalam kenyataannya sesudah tahun 1950, SIM dan Peloekis Rakjat dalam aktivitasnya memang semakin cenderung mengikuti faham komunisme. Pada tahun 1956, Sudjojono bahkan menjadi anggota DPR mewakili PKI. 30 Sekembalinya Sudjojono dari perjalanan ke luar negeri tahun 1952, SIM yang semakin lesu dihidupkan kembali. Dalam kehidupannya yang baru sanggar ini mempunyai visi pada pendidikan seni rupa yang lebih terarah. Di Bangrejo Taman, no. 20, Yogyakarta, SIM menyelenggarakan pendidikan dengan nama Akademi Seni Bentuk Seniman Indonesia Muda. Akan tetapi, bagaimanapun sistem pendidikannya tetap condong ke karakter sanggar sehingga yang belajar cukup disebut siswa. Hal yang demikian menjadi memungkinkan untuk dimasuki oleh siswa yang mempunyai berbagai macam pendidikan. Pada saat itu, ada siswa yang berasal dari putus SD, tamatan SMA, gur SMA dan SGA, bahkan juga putus dari Fakultas Kedokteran. SIM lebih menghendaki siswa yang mempunyai bakat melukis dan motivasi yang tinggi. Dipimpin langsung oleh ketua SIM, Sudjojono, semua senior sanggar menjadi pangajar Akademi Seni Bentuk itu. Sudjojono sendiri mengajar melukis, sejarah, dan fisafat 30
Mia Bustam, Sudjojono dan Aku..., op. cit., 59-74, 79-99, 153, 208-209, passim; lihat juga Holt, op. cit., 216 dan 281.
kebudayaan. Hariadi S. Mengajar melukis dan mematung. Surono mengajar melukis tafril. Abdul Salam mengajar grafis dan ilustrasi, sedangkan Suromo khusus mengajar cukil kayu. Hendrodjasmoro mengajar mematung, dan Ramli mengajar bahas Inggris.31
B.2.2 Sanggar Peloekis Rakjat Di kampung Sentulharo Yogyakarta, Sanggar Peloekis Rakjat menjalankan aktivitasnya dengan dinamis. Sanggar ini merupakan tumpuan para pelukis muda yang tidak mengharapkan masuk akademi seni rupa, atau karena tidak mampu secara ekonomi maupun persyaratan seni rupa, atau karena tidak mampu secara ekonomi maupun persyaratan akademis. Hal itu dimungkinkan karena pendidikan di sanggar bersifat informal dan azasnya yang menekankan kedudukannya yang merupakan bagian dari rakyat. Mereka bisa tinggal di sanggar yang seperti asrama, untuk belajar maupun mengerjakan projekprojek dari sanggar. Pada masa itu Peloekis Rakjat merupakan sanggar yang paling aktif, apalagi di dalamnya ada beberapa tokoh pelukis seperti Affandi, Hendra Gunawan, dan Soedarso. Sebagaimana yang termaktub dalam Anggaran Rumah Tangganya, Peloekis Rakjat bertujuan untuk mendorong tumbuhnya nilai karakyatan dalam kesenian, khusunya seni lukis dan seni patung. Untuk menyelenggarakan aktivitas itu, mereka hidup secara komunal, baik dalam pembagian panghasilan maupun dalam berlayih, berkarya, dan menyelenggarakan pemaran-pameran. (lihat Lamp. 3). Suasana sanggar sangat kondusif, sehingga gairah kerja tampak di mana-mana. Hal iyu bisa dilihat dari kamar-kamar anggota di balai depan, maupun di halaman tempat patung-patung dikerjakan. Suasana kerja itu semakin kuat jika sanggar sedang mempersiapkan pameran bersama ataupun sedang mengerjakan suatu proyek. Selain membuat monumen Tugu Muda Semarang, Peloekis Rakjat juga mengerjakan patung Erlangga di Surabaya. Selain itu, patung Sudirman di depan gedung DPR Yogyakarta yang merupakan karya Hendra Gunawan juga merupakan proyek Peloekis Rakjat. 32 Dalam berlatih anggota sanggar sering keluar dalam kelompok-kelompok kecil untuk melukis atau membuat sketsa di berbagai sudut kota, di desa-desa, pantai dan gunung, maupun di candi atau kraton. Demikian pula mereka menggambar model lewat sesama wajah pelukis dan masyarakat bawah. Usaha itu merupakan jalan untuk menggali ketrampilan teknis dan empati terhadap kehidupan rakyat. Berbagai usaha itu masih sama dengan metode yang digunakan oleh Persagi sebelumnya. Demikian juga dalam proses belajar yang bersifat interaktif pemikiran lewat diskusi antarteman maupun seniorseniornya. Akhirnya menjadi ciri yang kuat,bahwa walaupun interaksi wacana itu merupakan keharusan seperti yang tertera dalam Anggaran Rumah Tangga, tetapi Hendra Gunawan tetap tidak dogmatis atau cenderung pada pemikiran-pemikiran seperti 31
Marah Djibal, “Guru Saya Suromo”, dalam Monologium Seni Rupa Indonesia, Pameran Tunggal Suromo (Jakarta: Galeri Lontar, 14-28 Mei 1998), 9; juga wawancara dengan Marah Djibal, 3 Maret 1999, di Jakarta. 32 Sitor Situmorang, “Tjatatan Express Surabaja-Djakarta”, Seni, No. 4, I, (April 1955), 179.
Sudjojono. Demikian juga dalam proses belajar yang bersifat seniornya. Akhirnya menjadi ciri yang kuat, bahwa walaupun interaksi Rumah Tangga, tetapi Hendra Gunawan tetap tidak dogmatis atau cenderung pada pemikiran-pemikiran seperti Sudjojono. Demikian juga, Peloekis Rakjat tetap menekankan aktivitas kerja di bawah pimpanan pelukis Soedarso yang mengganti Hendra Gunawan. 33 Sanggar Sentul Harjo yang bersuasana akrab juga berfungsi sebagai tempat bertemunya komunitas-komunitas dari luar sanggar. Pada balai depan yang luas karya-karya anggota dipajang. Lewat ‘galeri’ itu banyak karya terjual, baik karya Hendra maupun anggota-anggota yang lain. tidak kurang dari Presiden Sukarno, orang-orang asing, ataupun kolektor-kolektor Indonesia yang mulai bermunculan pada tahun 1950-an, sering mengunjungi sanggar Peloekis Rakjat. Dalam berbagai kesempatan, khususnya pada saat pameran, azas penciptaan ‘seni untuk rakyat’ selalu diungkapkan. Namun demikian, wacana itu tidak pernah mendapat pemaknaan yang mendalam, selain mereka menunjukkan lewat lukisan dengan objek-objek kehidupan rakyat. Penjelasan yang populer adalah agar karya-karya itu bisa difahami oleh rakyat. Hal itu didorong oleh kesadaran bahwa mereka tumbuh dari lapisan masyarakat bawah. Pada tahun 19590-an, seniman hidupnya lebih dekat dengan rakyat bawah, karena kelompok masyarakat atas kebanyakan belum bisa menerima kultur kehidupan seniman yang bohemian, bebas seperti ‘gelandangan’.34 Kekosongan penjelasan dalam wacana azas kerakyatan itu sering dipertanyakan dan dipertentangkan dengan azas l’art pour l’art (seni untuk seni). Sebagai contoh, misalnya penulis Agus Siahaan memepertanyakan siapakah rakyat yang dimaksud.35 Lekra melihat azas seni untuk rakyat merupakan celah yang dapat dimasuki dan digarap. Seniman-seniman Peloekis Rakjat sebagai ‘manusia yang terbuang dari lingkungan’ merasa mendapat temapt dengan perhatian pada keberadaannya. Apalagi setelah Bung Karno meratakan jalan dengan Manifesto Politik (Manipol) yang juga membutuhkan tenagatenaga seniman untuk mewujudkannya. Lekra juga melihat potensi Bung Karno yang sering mengunjungi Peloekis Rakjat sebagai pencinta seni lukis. Pameran-pameran Peloekis Rakjat semula bebas dan murni, dari kota besar seperti Jakarta, Semarang, sampai ke kota kecil Wonosari. Pada tahun 19955 pelan-pelan Peloekis Rakjat bersentuhan dengan PKI. Untuk menyambut ulang tahun PKI ke-35, Peloekis Rakjat mengadakan pameran di Semarang. Selain dipamerkan karya-karya seni rupa, juga dipertunjukkan fot-foto tokoh-tokoh PKI yang dicalonkan untuk pemilihan umum.36 33
Holt, op. cit., 217-218. Wawancara dengan Fajar Sidik, 20 September 1998, di Yogyakarta dan dengan Bagong Kussudiarjo, 20 Januari 2000, di Yogyakarta. 35 Agus Siahaan, “Pelukis Rakjat di Semarang”, Seni, 7,I, (Juli 1955), 329-332. 36 Nasahar, “Pameran Pelukis Rakjat”, Mingguan Siasat, No. 440, (16 November 1966), dan Juga Nashar, “Pameran Pelukis Rakjat”, Mimbar Indonesia, No. 34, IX, (17 Agustus 1955). 34
Menurut Hendra yang telah menjadi salah satu Ketua Lembaga Seni Rupa Indonesia dan anggauta DPR dar PKI, bahwa Peloekis Rakjat telah menjadi bagian Lekra. Namun demikian, kenyataannya beberapa anggauta seperti Kusnadi, Bagong Kussudiarjo, Abas Alibasjah, dan Fajar Sidik tetap dalam posisi netral. Mereka adalah orang-orang yang tidak sefaham dengan Lekra ataupun berpandangan kritis. Untuk itu, pada situasi yang semakin kritis orang-orang itu meninggalkan Peloekis Rakjat. Uniknya, Peloekis Rakjat tetap memberikan ruang gerak bagi seniman-seniman yang telah menemukan jati dirinya. Hendra Gunawan, Affandi, dan Soedarso tetap melukis dengan gaya mereka tanpa mau berkompromi dengan realisme sosialis yang ditawarkan PKI lewat Lekra. Demikian juga Hendra di Sanggar itu juga tidak pernah menekan Abas Alibasjah dan Fajar Sidik yang pada tahun 1961 telah menunjukkan kecenderungan lukisan-lukisannya menjadi non figuratif.37pelukis-pelukis yang sangat bersemangat memenuhi doktrik Lekra adalah anggauta-anggauta yang masih muda seperti Itji Tarmizi, Djoni Trisno, dan Batara Lubis.
B.2.3 Sanggar Bumi Tarung Jika SIM dan Peloekis Rakjat terbentuj lewat elemen-elemen revolusi kemerdekaan, maka sanggar Bumi Tarung muncul dari situasi tahun 1960 yang pebuh persaingan politik dan mengerasnya ideologi kerakyatan revolusioner. Dari proses terbentuknya itu, maka dalam SIM dan Peloekis Rakjat bisa dijumpai anggota dengan bermacam pandangan walaupun belakangan ideologi kiri juga banyak berpengaruh. Dalam sanggar Bumi Tarung semua anggotanya otomastis menjadi anggota Lekra. Hal itu karena Bumi Tarung merupakan bagian dari Lembaga Seni Rupa, cabang organisasi Lekra. Sanggar ini terbentuk dari tahun 1959 sampai 1960, dengan penggerak Amrus Natalsja yang sekaligus memimpinnya sampai tahun 1963. Selanjtnya, kepemimpinan dipegang oleh Sutopo sampai tahun 1965 ketika dibubarkan. Dalam usia yang rata-rata masih muda, yaitu 30-an tahun, anggota sanggar pada umumnya direkrut dari mahasisiwa ASRI Yogyakarta. Selain Amrus yang juga pernah singgah sebentar di Peloekis Rakjat, anggota lain yang menonjol yaitu Ngajarbana Sembiring, Misbach Tamrin, Kuslan Budiman, Isa Asanda, dan Djoko Pekik. Mengulangi kondisi seni lukis sturm und drang pada masa revolusi kemerdekaan, pelukis-pelukis muda sanggar Bumi Tarung merasa harus berperan dalam wacana besar yang berkembang saat itu, yaitu berjuang untuk rakyat yang tertindas. Dalam kehidupan sosial politik, wacana itu merupakan doktrin yang kuat dari Manipol dan PKI untuk membangkitkan revolusi berkesinambungan, membela ketertindasan rakyat dari imperialisme dan kapitalisme Barat beserta kompradornya. Pelukis-pelukis Bumi Tarung memberi bentuk desakan politik itu lewat seni lukis revolusioner. Di samping mereka 37
Wawancara dengan Fajar Sidik, 20 November 1998, di Yogyakarta.
mempunyai kredo ‘seni untuk rakyat’, untuk mempertegas lagi ditambahkan bahwa ‘api kehidupan revolusi adalah isi seni lukis’. Manifestasi seni lukis revolusioner bukan sematamata mengungkapkan tipikal kehidupan rakyat seperti pada pelukis-pelukis Persagi, SIM, dan Peloekis Rakjat. Akan tetapi, seni lukis revolusioner itu telah memberi bentuk dengan tegas siapa musuh dan siapa melawan musuh dalam persoalan ketertindasan rakyat.38 Ciriciri visual lukisan-lukisan itu adalah menampilkan ekspresi rakyat yang mengeras dan menyiratkan pertentangan kelas dan konflik sosial.(lihat Gb. 5, 6, 13, 14, 15, 16). Secara kelembagaan anggota sanggar Bumi Tarung diharuskan melukis dengan konsep semacam itu. Untuk mendapatkan ketajaman dalam pemahaman seni lukis revolusioner itu, mereka berpedoman daro doktrin kerja Lekra yang disebut ‘poros satu lima satu’. Metode kerja itu penjabarannya adalah ‘satu’ berarti politik sebagai panglima. Selanjutnya ‘Lima’, yaitu berisi, meluas dan meninggi (luas diterima masyarakat dan tinggi dalam mutu ideologi dan artistik), tradisibaik dan kekinian revolusioner, kreativitet individuil dan kearifan massa, realisme sosial, dan romantik revolusioner. Kemudian terakhir ‘Satu’, yaitu turun kebawah sebagai metoda kerja.39 Doktrin kerja Lekra ‘satu lima satu’ itu menempatkan mereka dalam komitmen estetik yang ideologis tentang seni untuk rakyat. Hal itu sekaligus melahirkan sikap opsisi terhadap pandangan seni untuk seni. Lebih lanjut juga penolakan mereka pada seni lukis abstrak, seni yang dianggap tidak berguna untuk rakyat dan tidak bisa memahami semangat hidup rakyat. Selain kegiatan melukis bersama dan pameran, aktivitas Bumi Tarung banyak diisi diskusi antar anggota maupun masukan pemikiran dari tokoh-tokoh Lekra seperti Sunardi dan S. Ananta Guna. Metode kerja ‘turun ke bawah’ merupakan aktivitas yang menjembatani berbagai wacana revolusioner mereka dengan memahami kehisupan rakyat. Beberapa anggota Bumi Tarung melakukannya dengan intensif. Amrus Natalsja dan Djoko Pekik hidup bergabung dengan penderitaan transmigran di Lampung berbulan-bulan. Demikian juga Djoko Pekik bersama anggota Bumi Tarung lainnya sering hidup bersama dengan petani buruh di pantai Trisik, Brosot, Yogyakarta. Selain menghayati semangat dan kebersahajaan mereka, juga melihat kesewenangan tuan tanah yang menguasai kehidupan buruh tani tersebut.40 Namun demikian, implementasi wacana kerakyatan revolusioner itu, walaupun dilakukan dengan semangat namun belum sempat menghasilkan karya yang benar-benar signifikan. Apalagi setelah tahun 1965, wacana itu digusur dan organisasi pendukungnya semua dibubarkan oleh kekeuatan politik yang melawannya.
38
Wawancara dengan Amrus Natalsja, 7 Maret 1999, di Jakarta. Tentang doktrin “Poros Satu Lima satu”, lihat Sunardi, “Tjita-Tjita dan Kegiatan Lekra”, Zaman Baru, No. 13, 15 Juli 1961.; lihat Keith Foulcher, Social Commitment ini Literature and The Artis: The Indonesian “Institute of People’s Culture 1950-1965 (Clayton Victor: Southeast Asian Studies, 1986), 106-113; lihat juga Surat Misbach Tamrin, “Surat Pencairan Fosil-fosil Pikiran”, Banjar Masin, 25 Mei 1999 (Dokumen Koleksi M. Agus Burhan). 40 Tn., “Djoko Pekik”, Bintang Timur, (14 Juni 1964); juga wawancara dengan Djoko Pekik, 8 Agustus 1999 di Yogyakarta. 39
B.2.4 Sanngar-sanggar Netral, Lembaga Kebudayaan, dan Pendidikan Formal Bentuk-bentuk patronase pada kehidupan seniman dan dukungan pada jenis karya yang dihasilkan mencerminkan pergulatan kecenderungan politik dan pengaruhnya. Walaupun demikian, berlainan dengan sanggar SIM dan Peloekis Rakjat yang berwarna politik atau Bumi Tarung yang sangat plitikal, beberapa sanggar yang lain memilih netral. Sanggar Pelukis Indonesia (PI) yang dipimpin Kusnadi, merupakan pelarian dari Peloekis Rakjat bersama tokoh-tokoh lain yaitu Bagong Kussudiarjda dan Sumitro, sanggar Pelukis Indonesia menempatkan diri dalam posisi netral, walaupun tetap memainkan peran yang integratif dengan pemerintah dan sanggar-sanggar besar lainnya. Apalagi Kusnadi dalam kapsitasnya sebagai kepala Bagian Kesenian P. dan K. mempunyai pengaruh dan lobi yang kuat pada lingkungan dunia seni lukis. Oleh karena itu, sanggar Pelukis Indonesia dapat bekerjasama dalam memperoleh order-order seni rupa dari pemerintah maupun event pameran internasional. Sebagai contoh, keikutsertaan dan peran mereka dalam Pameran Internasional Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Di samping itu, juga keikutsertaan pada pameran-pameran lain misi kebudayaan ke luar negeri yang disponsori pemerintah. Sebagaimana sanggar PI dan Pelukis Indonesia Muda (PIM) yang netral terhadap politik, di Yogyakarta pusat basisi seni kerakyatan berkembang juga di Sanggar Bambu. Anggota-anggota Sanggar Bambu merupakan seniman-seniman muda yang potensial dan bersemangat tinggi. Dalam aktivitas sanggar yang sangat dinamis, setiap kali karya-karya lukisan dan patung dari anggotanya telah siap, maka segera dilakukan pameran lukisan yang menjelajah di Jawa dan Madura sampai pada kota-kota kecil sekalipun. Dalam tahun kelima sejak berdirinya tahun 1959, telah 26 kota di Jawa dan Madura yang disinggahi kegiatan Sanggar Bambu. Dalam muhibah keliling, disamping pameran seni rupa juga diadakan pementasan drama dan musik, demonstrasi melukis, dan ceramah kesenian. Untuk mendukung aktivitas yang dinamis itu, Sanggar Bambu mempunyai tiga komisariat. Komisariat pusat di Yogyakarta, disebut sebagai ‘Jiwa’, yaitu tempat seniman-seniman muda dibentik skil dan mentalitas kesenimanannya. Komisariat Jakarta, diartikan ‘Nafas’ yang mengupayakan dan mengkoordinasi order-order pekerjaan seni untuk kelangsungan hidup mereka. Terakhir, komisariat keliling yang juga berkedudukan di Yogyakarta, diartikan sebagai ‘Tubuh’, sehingga sanggar dapat digerakkan secara aktif. Dalam tahun-tahun yang penuh dengan kepentingan politik sejak berdirinya, sanggar ini tidak bisa lepas dari berbagai tekanan dan ketidaktentuan suasananya. Oleh sebab itu, karena Sanggar Bambu tidak mau bernaung di bawah parta apapun, maka sering dituduh a politik atau stigma politik negatif lainnya. Akan tetapi, sikap politik Sanggar Bambu sebenarnya ingin netral karena tetap ingin bekerjasama dengan semua partai dan mendapat dukungan pemerintah. Untuk itu dalam Mukadimah Anggaran Dasarnya, sanggar ini tetap
mencantumkan heluannya yang mendukung doktrin Manipol dari Pemimpin Besar Revolusi. Kenetralan ini tetap mereka pertahankan, menyusul suasana memanas setelah muncul Manifes Kebudayaan (Manikebu). Terhadap Manikebu yang tidak beraliansi pada parta apapun, Sanggar Bambu juga tidak menerima. Kunci persoalannya dalah karena Sanggar Bambu tetap mendukung Manipol. Belakangan pada Musyawarah Besar Sanggar Bambu, pada bulan Desember 1963, diikrarkan oleh semua anggota bahwa dukungan untuk melaksanakan ajaran Bung Karno adalah seperti yang dirumuskan Pancasila. Filosofi Pancasila merupakan sumber semangat perkembangan kebudayaan dan martabat manusia yang memiliki cinta dan keindahan. 41 Ikrar itu merupakan usaha menegakkan kembali netral mereka. Dalam bidang estetik, kenetralan Sanggar Bambu juga memungkinkan untuk tumbuhnya seni lukis abstrak dan dekoratif. Di samping terdapat pelukis-pelukis yang dalam realisme seperti Sunarto Pr., pelukis-pelukis lain juga memberikan warna estetik dekoratif Sanggar Bambu yang khas. Gaya dekoratif Sanggar Bambu merupakan sintesis bentukbentuk etnis dan wayang serta elemen-elemen hias berupa stilisasi flora, fauna dan bentukbentuk abstrak. Gaya ini tidak hanya terungkap lewat lukisan-lukisan mereka, tetapi juga pada sketsa yang merupakan kekuatan khas pada pelukis Sanggar Bambu. Para pelukis dengan sketsanya yang kuat adalah Sjahwil, Mulyadi E, Isnaini Mh., Danarto, Adi Munardi, Indros Bs, Supono Pr., dan lain-lainnya. 42 Dalam perkembangannya, karena ciri khas gaya itu juga banyak terpublikasi di majalah-majalah kebudayaan, maka kemudian banyak mempengaruhi pelukis-pelukis lain di luar Sanggar Bambu. Lembaga sosiokultural yang mendukung seni lukis di luar sanggar, adalah lembagalembaga kebudayaan partai politik dan lembaga non pemerintah, yaitu Badan Musyawarah Nasional (BMKN), dan pendidikan tinggi seni rupa. Dalam kapasitas yang masih sangat terbatas, Jawatan Kebudayaan P. Dan K., lewat Bagian Kesenian berusaha mengelola dan memperhatikan aspirasi yang berkembang dari seniman-seniman maupun gerak dari daerah-daerah. Lembaga ini mengelola pemaran-pameran dan misi kesenian ke luar negeri, serta menerbitkan majalah tentang kebudayaan yaitu ‘Budata’. Di luar Bagian Kesenian P Dan K, terjadi pergulatan pengaruh antara BMKN dengan Lekra. Akan tetapi, dalam persaingan itu bisa dibandingkan bahwa Lekra sebagai underbouw PKI memang merupakan organisasi kebudayaan yang lebih canggih. Jaringan Lekra ada di 18 propinsi dengan kegiatannya dalam berbagai cabang kesenian. Dengan ikatan ideologi komunisme yang kuat, seksi-seksi kesenian Lekra bisa menebarkan aktivitasnya ke kota-kota kecil, bahkan sampai ke pelosok desa. Hal itu terutama sangat efektif dengan seni pertunjukkan. Dalam seni lukis dapat dilihat bahwa motor-motor seperti Sdujojono, Hendra Gunawan, Henk Ngantung, dan Basuki Resobowo terlibat di dalamnya. Setelah Lekra, LKN 41
Kartosudirdjo, “Sanggar Bambu 59...”, loc.cit. Sudarmadji. “Sketsa-sketsa Sanggar Bambu dalam Retrospeksi”, Budaja Djaja, No. 16, II, (September 1969), 547-553. 42
menempatkan peran yang agak besar. Pelukis-pelukis Kusnadi, Sumitro, Bagong Kussudiardja, Abas Alibasjah, dan Fajar Sidik berada di dalamnya. Lekra dan LKN menjadi kuat selain merupakan underbouw partai-parta besar, juga karena berada dalam front ‘kepribadian nasional’ sesuai dengan doktrik Manipol. Lembaga-lembaga kebudayaan ini merasa mempunyai komitmen yang lebih nasionalistis dibandingkan dengan BMKN. BMKN didirikan 14 April 1952 untuk menggantikan Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI) yang tidak efektif. BMKN diselenggarakan sebagai respons terhadap perlunya suatu koordinasi yang kuat dari lembaga-lembaga kebudayaan yang banyak bermuculan di Indonesia. Apalagi di masa kehidupan sosial yang makin sulit oleh tekanan berbagai krisis politik dan ekonomi. Akan tetapi, BMKN sendiri hidupnya tidak semakin kuat. Di samping masih mengandalkan subsidi pemerintah, yaitu 15.000 rupiah tiap bulan, pengurusnya yang hanya 20 orang kurang memadai untuk mengelola berbagai masalah dan memberi daya tawar pada isu-isu kebudayaan nasional. Namun lebih dari itu, persaingan politik yang sangat menekankan lewat dukungannya pada Manipol mambuat BMKN tersisih. Hal itu karena badan ini walaupun berhaluan netral, namun sering memperlihatkan orientasinya yang liberal. Keberadaan BMKN dan lembaga-lembaga kebudayan partai sebenarnya juga merupakan manifestasi tentang ‘perdebatan besar’ orientasi kebudayaan Barat dan Timur. Atau dalam kesenian adalah orientasi ‘seni dengan kepribadian nasional’, di lain pihak orientasi pada ‘seni universal’. Namun walaupun dengan berbagai kesulitan demikian, BMKN telah meninggalkan jejak aktivitas yang cukup berarti untuk seni lukis. lewat Balai Budaya Jakarta, badang ini banyak menyelenggarakan pameran lukisan dan kursus melukis yang diasuh oleh Oesman Effendi dan Zaini. Di samping itu, juga memberikan hadiah penghargaan pada para pelukis Indonesia yang potensial. Dalam pemikiran kebudayaan, BMKN menyelenggarakan kongres yang hasilnya merupakan dokumen-dokumen penting yang merefleksikan berbagai masalah kebudayaan modern Indonesia. Sebagai media pewacnaan kebudayaan BMKN menerbitkan jurnal ‘Indonesia’, yang di dalamnya melibatkan Trisno Sumardjo dan Oesman Effendi.43 Di luar lembaga-lembaga kebudayaan dan kesenian tersebut, mulai tumbuh dengan sistematis pendidikan formal seni lukis di beberapa tempat di Indonesia. Pendidikan yang memberikan jalan untuk tumbuhnya seni lukis modern sebenarnya telah diperhatikan oleh lembaga pendidikan pribumi pada masa kolonial. Pada tahun 1922 di Tamansiswa Yogyakarta, dan tahun 1928 di INS Kayu Tanam, Padang, telah ditekankan pentingnya pendidikan tinggi yang khusus mengembangkan seni lukis modern baru muncul pada masa kemerdekaan, yaitu Departemen Seni Rupa ITB di Bandung dan ASRI di Yogyakarta. Pada tahun 1947 di Bandung berdiri Universitaire Leergang tot Opleiding voor Tekenleraren (Balai Perguruan Tinggi Guru Gambar) sebagai bagian dari Fakultas Teknik Univesrsitas Indonesia. Para pendirinya adalah Simon Admiral, M.N. Mulder, dan Syafei Sumardja. Sejak tahun 1959 43
Uka T. Sasmita, “Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional”, Siasat, No. 294, VII, (11 Januari 1953); lihat juga Holt, op. cit., 246-248.
lembaga pendidikan itu menjadi Departemen Seni Rupa ITB dan diarahkan untuk mencetak pelukis-pelukis. Dengan guru-guru orang Belanda yang lain seperti Zeilemaker dan Pijper, serta Syafei Sumardja yang juga berpendidikan Belanda, maka corak seni lukis lembaga ini berorientasi ke modernisme. 44 Pada tahun 1950, lewat keputusan Menteri P dan K, didirikan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta. (lihat Gb. 17). Walaupun ASRI dipimpin dan diajar oleh R.J. Katamsi yang memiliki Middelbare Akte Tekenen (Akte mengajar menggambar Sekolah Menengah) dari Belanda, demikian juga guru-guru yang berasal dari PTPI, SIM, Peloekis Rakjat dan PI, maka pendidikannya pada mulanya banyak dipengaruhi sistem sanggar. Dalam orientasi pendidikannya, para guru yang berasal dari pelukis-pelukis pandangan keseniannya lebih dominan berada dalam pandangan yang nasionalistik. Dalam perkembangannya, orientasi seni rupa ITB yang ke Barat-baratan dan ASRI yang nasionalis kerakyatan merupakan salah satu sumber wacana yang melahirkan ‘kubu seni lukis’ Bandung dan Yogyakarta. Setelah dipimpin oleh Djumadi, M.Ed, sistem pendidikan ASRI perlahan-lahan disintesiskan dengan system Barat (Anglo-Saxon). Pada tahun 1968, ASRI meningkatkan statusnya menjadi Sekolah Tinggi Seni Rupa, yaitu STSRI-‘ASRI’. 45
44
Sanento Yuliman, Seni Lukis Indonesia Baru (jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1976), 17; dan Kusnadi, Seni Rupa Indonesia...,op. cit., 46. 45 Tim Ad-Hoc RIP -ISI, Sejarah Singkat ISI Yogyakarta (Yogyakarta: Institut Seni Indonesia, 1985), 5-11. Tentang kubu seni lukis Yogyakarta-Bandung lihat Helena Spanjaard, “The Controversy between the Arts Academies of Bandung and Yigyakarta (1950-1960) and Their Respective Developments (1960-1990): Should Modern Painting in Indonesia be intenationa, Indonesian, Abstract, or Realist?”, Paper at The Conference “Moderism and Post Modernism in Asian Art, Canberra, 22-25 March 1991.