BAB II Songket Dan Kebudayaan Dalam Masyarakat
2.1 Seni dan Kebudayaan Budaya adalah suatu konsep yang membangkitan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakan diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu. Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari objek-objek materi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Objek-objek seperti rumah, alat, dan mesin yang digunakan dalam industri dan pertanian, jenis-jenis transportasi, dan alat-alat perang, menyediakan suatu landasan utama bagi kehidupan sosial. Budaya berkesinambungan dan hadir di mana-mana; budaya meliputi semua peneguhan perilaku yang diterima selama periode kehidupan. Budaya juga berkenaan dengan bentuk dan struktur fisik serta lingkungan sosial yang mempengaruhi hidup kita. Sebagian besar pengaruh budaya terhadap kehidupan kita dan tidak kita sadari. Mungkin suatu cara untuk memahami pengaruh budaya adalah dengan membandingkannya dengan computer elektronik: kita memogram komputer agar melakukan sesuatu, budaya kita pun memogram kita agar melakukan sesuatu dan menjadikan kita apa adanya, budaya kita secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati dan bahkan setelah mati pun kita dikuburkan dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya kita.(Deddy Mulyana, 2005: 18)
14
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai “semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmani (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan pada keperluan masyarakat.
Seorang antropolog, yaitu E.B. Tylor dalam tahun 1871 pernah mencoba untuk memberikan definisi mengenai kebudayaan sebagai berikut (terjemahannya); “Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Dengan lain perkataan, kebudayaan mencakup kesemuannya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kata “Kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta ‘buddhayah’ yang merupakan bentuk jamak dari kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”.
Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata Latin colere yang berarti mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani. Dari asal arti tersebut yaitu colere kemudian culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan merubah alam.
Seorang antropolog yang bernama C. Kluckhohn mengatakan ada tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universals, yaitu: -
Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transportasi, dan sebagainya).
-
Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi, dan sebagainya.
15
-
Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan).
-
Bahasa (lisan maupun tertulis).
-
Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya).
-
Sistem pengetahuan.
-
Religi (sistem kepercayaan).
Dalam pengertian sehari-hari, istilah kebudayaan sering diartikan sama dengan seni. Akan tetapi apabila istilah kebudayaan diartikan ilmu-ilmu sosial, maka seni merupakan salah satu bagian saja dari kebudayaan. (Soerjono, 1982:170)
Rathus dalam bukunya “Understanding Art” memberikan setidaknya empat belas kriteria tujuan penciptaan seni yaitu: Menciptakan keindahan (to create beauty), menghias (to provide decoration), mengungkapkan kebenaran (to reaveal truth), mengabadikan (to immortalize), mengekspresikan nilai-nilai religius (to express religious values), menstimulasi intelektualitas dan membangkitkan emosi ( to stimulate the intellect and fire the emotions), menciptakan keteratuan dan harmoni (to create order and harmony), mengekspresikan kekacauan (to express chaos), mencatat dan mengingat pengalaman (to record and commemorate experience), merefleksikan konteks sosial dan budaya (to reflect the social and culture context), memprotes ketidakadilan dan meningkatkan kesadaran sosial (to protest injustice and rates social consciosness), mengangkat permasalahan umum (to elevate the commonplace), dan sebagai sarana seniman berekpresi (to meet the needs of the artist). ( Rathus dalam Dwi Rahayu, 2004:20)
Dikaitkan dengan penciptaan seni khususnya pada songket Palembang, sedikitnya ada empat tujuan penciptaan yang terwakili yaitu, selain menciptakan keindahan, meyajikan hiasan pada benda pakai (provide decoration) tampaknya songket lebih bertujuan merefleksikan keadaan sosial dan budaya masyarakat Palembang, selain bertujuan mencatat dan mengenang pengalaman kejayaan masa kerajaan kesultanan Palembang kuno yang sangat dibanggakan oleh masyarat Palembang.
16
2.2 Pergeseran Kebudayaan Seorang sosiolog dalam mempelajari kebudayaan sebagai hasil masyarakat, tidak akan membataskan dari struktur dari kebudayaan tersebut, yakni unsur-unsurnya yang stastis, akan tetapi perhatiannya juga dicurakan pada pergeseran kebudayaan tersebut atau disebut dengan gerak kebudayaan. Dalam kebudayaan tak ada yang statis; semua kebudayaan mempunyai dinamika atau pergeseran atau gerak. Pergeseran kebudayaan tersebut sebenarnya tak lain pergeseran atau gerak dari manusia yang hidup dalam masyarakat yang menjadi wadah kebudayaan tadi. Gerak manusia tersebut terjadi oleh sebab adanya hubungan-hubungan dengan manusia-manusia lainnya, ataupun oleh karena terjadinya hubungan antar kelompok-kelompok manusia di dalam masyarakat. (Soerjono Soekanto,1982:22).
Akulturasi terjadi apabila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan yang tertentu, dihadapkan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu dengan lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Proses akulturasi di dalam sejarah kebudayaan manusia, telah terjadi dalam masa-masa yang silam. Biasanya suatu masyarakat hidup bertetangga dengan masyarakat lainnya dan diantara mereka itu diadakan
hubungan-hubungan
mungkin
dalam
aktifitas
perdagangan,
pemerintahan, pernikahan antara dua ras yang berbeda, dan sebagainya, dimana unsur masing-masing kebudayaan saling menyusup. Proses migrasi, asimilasi, bilateral, hingga multilateral dapat mempermudahkan berlangsunganya akulturasi tersebut.
Suatu proses akulturasi yang berjalan dengan baik, dapat menghasilkan intergrasi dari unsur-unsur kebudayaan asing dengan unsur-unsur kebudayaan sendiri dari masyarakat penerima. Dengan demikian, unsur-unsur kebudayaan asing tidak dirasakan lagi sebagai hal yang berasal dari luar, akan tetapi dianggap sebagai unsur-unsur kebudayaan sendiri. Unsur-unsur asing yang diterima tersebut,
17
tentunya terlebih dahulu mengalami proses pengolahan, sehingga bentuknya tidaklah asli lagi seperti semula. Pergeseran ini terjadi disebabkan oleh berubahnya manusia di dalam masyarakat, perubahan kondisi alam, dan juga hasil dari tindakan belajar yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat yang kemudian berpengaruh besar kepada masyarakat secara luas.
Menurut pendapat Koentjaraningrat dalam teori difusi kebudayaan, pergeseran kebudayaan juga dimungkinkan oleh adanya penyebaran penduduk dan migrasi kelompok-kelompok manusia di muka bumi yang juga membawa serta unsurunsur kebudayaannya ke tempat baru. Penyebaran unsur-unsur kebudayaan juga dapat terjadi tanpa ada perpindahan kelompok-kelompok manusia ke satu tempat lain, bisa juga karena ada individu-individu tertentu yang membawa unsur-unsur kebudayaan itu hingga jauh sekali. Individu-individu tersebut bisa para pelancong, pedagang, penyebar agama atau pelaut yang mendifusikan berbagai unsur dari kebudayaan asalnya.
Bila dikaitkan dengan songket Palembang, pergeseran kebudayaan memang terjadi berupa akulturasi budaya. Hal tersebut dapat diamati dalam corak ragam hias songket Palembang, warna, kualitas material benang, kualitas material zat pewarna, hingga proses pengaplikasian terhadap masyarakat melalui sosialisasi budaya Palembang. Pergeseran
budaya ini terjadi karena adanya masyarakat
setempat melakukan aktifitas perdagangan antara pedagang cina dan India, maupun masyarakat dari daerah lainnya. Hal tersebut terjadi karena daerah Palembang merupakan pusat lintasan jalur pelayaran kapal-kapal yang bermuatan besar di wilayah Sumatera Selatan. Pada dasarnya pergeseran budaya ini terjadi karena adanya warga masyarakat yang dengan sengaja melakukan tindakan belajar ‘learning behaviour’. Pertemuan antara individu dari suatu kelompok manusia dengan individu dari kelompok tetangga dengan cara belajar tadi menghasilkan perubahan kebudayaan dari ‘tabu’ menjadi ‘umum’ karena
18
terdorong juga oleh kebijakan baru dan kebutuhan baru dalam unsur teknologi dan unsur ekonomi.
Proses belajar yang dilakukan oleh warga masyarakat ini menghasilkan inovasi yang bersifat culture change. Inovasi adalah pembauran kebudayaan melalui proses dari penggunaan sumber-sumber alam, energi, dan modal, pengaturan baru dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru yang akan menyebabkan produksi dan dibuatnya produk-produk baru. Culture chage terjadi dalam budaya Palembang sebagai akibat adanya pendorong terhadap pergeseran kebudayaan khususnya pada tenun songket Palembang.
2.3 Estetika dalam Kebudayaan Istilah estetika berasal dari kata bahasa Yunani ‘aisthanesthai’ yang berarti mengamati secara lahiriah, jasmani, inderawi. Filsafat keindahan, nilai seni dan karya seni sudah dibahas sejak jaman Yunani kuno. (Ensiklopedi,1989)
Estetika adalah suatu penilaian indah atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap suatu hal atau objek. Penilaian ini muncul dari diri sendiri secara subjektif atau akibat pengaruh lingkungan dan pengalaman. (Singgih D.Gunarsa, 1989:200)
Estetika adalah bagian filsafat yang mengkaji dan membicarakan tentang seni dan keindahan; tanggapan dan kepekaan terhadap keindahan. Keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualita yang dibebankan terhadap sesuatu. Sejumlah kualita pokok tertentu yang paling sering disebut adalah kesatuan (unitiy), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symetri), keseimbangan (balance), dan perlawanan (contras). Dengan demikian estetika berkaitan dengan keindahan dalam kualita tertentu.(A.A.M. Djelantik, 1999)
19
Lois Fichner dalam bukunya “ Understanding Art” mengatakan bahwa konsep keindahan tidak harus selalu sama. Proses penciptaan estetika memang tidak lepas dari pengaruh-pengaruh lingkungan termasuk sistem kepercayaan, yang saling berhubungan, sehingga menjadi pelengkap rasa estetis.
Dalam dunia seni rupa selain istilah estetika dikenal pula istilah bahasa rupa yang menurut
Primadi
Tabrani
merupakan
komunikasi
simbolik
dengan
mempergunakan berbagai tanda yang memiliki kaidah, asas, atau konsep berupa titik, garis, ukuran, warna, tekstur, ruang dan sebagainya. Dalam arti luas”bahasa rupa” adalah segala sesuatu yang kasat mata (Primadi,98). Menurut Primadi bahasa rupa gambar bisa berbentuk ekspresif, deskriptif, abstrak, geometris, stilasi, estetik, simbolik, semiotik.
Dalam songket salah satu cabang seni yang visual, bahasa rupanya berbentuk geometris, stilasi, dan simbolik. Simbolik dalam bahasan ini bermakna, suatu sistem konsep yang diwariskan dan terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis yang digunakan manusia untuk berkomunikasi, melestarikan dan memperkembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan.
2.3.1 Nilai Seni pada Songket sebagai Karya Kerajinan. Songket adalah salah satu hasil karya kerajinan masyarakat Palembang. Karya kerajinan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jadi kegiatan kerajinan timbul atas desakan kebutuhan praktis dengan mempergunakan bahan yang tersedia dan berdasarkan pengalaman kerja yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari. Apabila dalam kerajinan songket perasaan manusia ikut tergugah dan berperan, maka munculah daya cipta yang mengandung nilai keindahan atau bernilai artistik yaitu kemampuan manusia yang menyangkut tiga pokok budaya sebagai kebulatan yakni pikiran atau cipta, kemauan atau karsa, dan rasa. Oleh karena itu, kerajinan songket sebagai karya seni tidak dilepaskan dari ide atau cita rasa pengrajinnya sebagai seniman. Dengan demikian sumber ide dan daya cipta
20
pembuatnya memegang peranan penting dalam seni kerajinan, karena hal ini akan mencermikan identitas budaya.
Menentukan nilai seni kerajinan haruslah memperhatikan keadaan lingkungan alam di setiap daerah dan memperhatikan pula tingkat perkembangan kebudayaan masyarakat setempat karena tiap daerah pada setiap zaman menghasilkan seni kerajinan dengan watak dan ciri tertentu akibat pengaruh kebudayaan yang selalu berkembang. Perbedaan itu disebabkan karena peranan kebudayaan yang tidak dirasakan sama di tiap daerah (Wiyoso,98). Untuk seni kerajinan, Wiyoso menggunakan beberapa parameter yang terbagi kedalam dua nilai fungsional seni kerajinan, yaitu ‘fungsi spiritual’ dan ‘fungsi fisikal’ seni kerajinan.
Fungsi spiritual dari seni kerajinan berkaitan dengan sumber ide yang didukung oleh kebutuhan rohani manusia. Kebutuhan spiritual manusia sejak semula mencapai manifestasinya dalam bentuk berbagai kegiatan termasuk dalam kegiatan seni. Maka dalam seni kerajinan landasan dari kebutuhan spiritual ini juga tampak. Kebutuhan spiritual tersebut berakar pada pandangan manusia terhadap sesuatu yang gaib, yang ingin dipuja, segala sesuatu yang serba rahasia yang dapat kita kenal pada segala bentuk kepercayaan dan agama serta falsafah hidup.
Nilai-nilai yang terdapat dalam fungsi ini adalah ‘nilai magis’,’nilai animistik’, dan ‘nilai adat’. ‘Nilai magis’ berlaku dalam masyarakat yang masih mempercayai kekuatan gaib, dimana benda-benda magis dibuat oleh mereka yang dianggap banyak mengetahui tentang segala rahasia mengenai kekuatan magis. ‘Nilai animistik’ berlaku dalam masyarakat yang memiliki kepercayaan kepada arwah dan roh yang disebut animisme yang berkeinginan dan bersikap memuja dengan maksud mendapat perlindungan atau berkah. Segala bentuk pemujaan atau kultus ini membutuhkan alat atau media berupa benda buatan manusia.
21
‘Nilai adat’ dikenakan pada benda-benda kerajinan yang masih dipakai dalam upacara-upacara adat sebagai media atau sarana yang memiliki arti spiritual sesuai dengan tujuan dari upacara yang dimaksud.
Fungsi fisikal dari seni kerajinan menyangkut segi kegunaan praktis. Sebagai cabang seni guna, desain bentuk dan hiasan benda kerajinan erat hubungannya dengan cara-cara penggunaanya. Artinya nilai artistik dari bentuk dan hiasan tidak berdiri sendiri, tetapi nilai artistik ini harus pula bisa menjawab nilai-nilai pakainya sebagai benda untuk memenuhi kebutuhan praktis.
Selain nilai-nilai diatas, benda kerajinan juga memiliki ‘nilai teknik’. Pada hakekatnya membuat benda kerajinan adalah perpaduan keterampilan pengrajin dalam mempergunakan bahan dan alat dengan kepekaan apresiasi dalam mencipta desain sesuai dengan tuntutan fungsi pakai.
Keterampilan dalam mempergunakan bahan berarti pula mengenal watak bahan yang dipergunakan dengan cara-cara mengolah dan mengerjakannya. Kemampuan mengolah dan mengerjakan bahan dalam seni kerajinan inilah yang menentukan nilai-nilai teknik.
2.3.2 Nilai Estetik pada Songket Sebagai karya seni, benda kerajinan harus menampilkan nilai estetik atau nilai keindahan rupa, sedangkan sebagai karya seni terapan, nilai estetik karya kerajinan tidak dapat dipisahkan dari nilai gunanya. (Wiyoso,98).
Tenun songket di Indonesia termasuk kedalam seni kriya atau seni kerajinan. Pada hakekatnya kerajinan sebagai kegiatan artistik tidak berdiri sendiri. Untuk mengenal dan memberi penilaian karya seni kerajinan diperlukan pengetahuan tentang latar belakangnya yang antara lain menyangkut kesejarahan dan kehidupan sosial budaya masyarakatnya, demikian pula dengan menilai songket.
22
Songket sebagai bentuk budaya adalah sebagai artefak yang berisikan wacana representasi diri secara tersembunyi bagi pembuat, pemesan atau pemakai yang dikerangkai budaya yang melahirkannya, dengan kata lain songket bisa dibaca berdasarkan
falsafah
atau
pandangan
hidup
masyarakat
yang
melatar
belakanginya.
Sebagai karya seni songket harus menampilkan nilai estetik atau nilai keindahan visual atau rupa, sedangkan sebagai seni terapan, nilai estetik songket tidak dapat dipisahkan dari nilai gunanya, selain itu nilai teknis juga menentukan kualitas karya seni tenun songket sebagai kriya. Nilai estetik pada songket berkaitan dengan konsep ornamentik seni hiasnya yang menggunakan simbol-simbol magis sebagai konsep berpikir yang menjadi falsafah hidup dan budaya masyarakat pembuat songket. Bentuk ornamen songket tercermin melalui unsur pembentukan corak yakni unsur utama, unsur pelengkap, dan makna simbolik atau makna filosofis songket berkait dengan hal-hal yang ada dibalik nama dan bentuk ornamen songket itu sendiri.
Sebagai karya kerajinan songket diproduksi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sehari-hari artinya kebutuhan praktis. Apabila dalam benda kerajinan tersebut ada unsur yang menggugah perasaan, maka benda tersebut selain memiliki fungsi pakai juga nilai-nilai artistik atau keindahan, namun demikian keindahan bukan satu-satunya persyaratan untuk menghasilkan karya seni kerajinan yang bermutu.
Dalam tradisi masyarakat Indonesia bahkan mungkin di seluruh Asia tak ada karya senirupa yang dibuat semata untuk ‘keindahan’ sebaliknya tidak ada benda pakai yang asal bisa dipakai, benda pakai tersebut biasanya juga ‘indah’. Tabrani dalam teorinya tentang senirupa tradisi menjelaskan bahwa keindahan pada seni tradisi di Indonesia bukan hanya sekedar memuaskan mata, tapi melebur dengan kaidah adat, tabu, kepercayaan, agama dan sebagainya. Jadi menurutnya, senirupa tradisi ataupun kriya tradisi selain bermakna juga sekaligus indah. (Tabrani,2002).
23
Menurut Primadi, dalam perupaan seni tradisi di Indonesia tidak ditemukan perupaan yang sungguh-sungguh naturalis atau sungguh-sungguh abstrak sebagaimana di Barat (Eropa). Perupaan senirupa tradisi di Indonesia lebih bersifat dekoratif berupa ragam hias yang memiliki keseimbangan dinamis. Konsep berpikir dan konsep komunikasi yang digunakan adalah magis simbolis, bukan verbal secara mutlak, sehingga tidak ada yang benar-benar konkrit dan tidak ada yang benar-benar abstrak. Hal-hal inilah yang menjadikan seni kriya Indonesia sangat khas dan berbeda dengan seni kriya Barat atau Eropa. Kekhasan ini juga berlaku dalam kerajinan songket yang dianggap sebagai seni tradisi.
2.4 Tinjauan Estetika Arti estetika / keindahan menurut Herbert Read adalah sekian kualita pokok tertentu yang terdapat pada sesuatu hal. Kualita pokok itu antara lain kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance), dan perlawanan (contrast). Dan ciri atau kualita pokok itu antara lain tersusun oleh susunan berbagai keselarasan dan perlawanan dari titik, garis, warna, bentuk, tekstur, dan bahan serat (dalam tekstil).
Pengertian estetika adalah falsafah tentang keindahan, meliputi keindahan alam dan keindahan buatan manusia yang pada umumnya disebut kesenian. Dengan demikian kesenian dapat dikatakan merupakan salah satu wadah yang mengandung unsur-unsur keindahan (Djelantik, 1999:15). Estetika itu sendiri mengandung tiga aspek yang mendasar yaitu wujud atau rupa, bobot atau isi dan penampilan atau penyajian. Wujud adalah kenyataan yang nampak secara kongkrit (berarti dapat dipersepsi dengan mata atau telinga) maupun kenyataanya yang tidak nampak secara kongkrit yakni abstrak. Wujud terdiri bentuk (form) dan susunan, struktur (structure). (Djelantik, 1999:18)
Lebih lanjut Djelantik menjelaskan bahwa bobot atau isi dari benda atau peristiwa kesenian meliputi bukan hanya yang dilihat semata-mata tetapi juga apa yang dirasakan atau dihayati sebagai makna dari wujud kesenian itu. Bobot kesenian
24
mempunyai tiga aspek yaitu suasana (mood), gagasan (idea) dan ibarat/pesan (message). Sedangkan yang dimaksud dengan penampilan adalah cara bagaimana kesenian itu disajikan, disuguhkan kepada yang menikmatinya. Ada tiga unsur dalam penampilan yaitu bakat (talent), keterampilan (skill), sarana atau media (medium atau vehicle).
Pada perkembangan selanjutnya penafsiran tentang estetika mengalami proses perubahan, keindahan tidak hanya terbatas pada pengetahuan tentang persepsi fenomena fisikal, tetapi berkembang pada tataran yang lebih abstrak. Dalam konsep pengertian estetika sangat luas, didalamnya terpaut pengertian tentang sesuatu yang benar, teratur, tertata hirarkinya, bagus, indah, yang berguna dan berbagai predikat lainnya. Derajat substansi dari predikat ini berubah-ubah tergantung pada obyek pengamatan.
Pendekatan estetis digunakan untuk mengkaji bentuk songket dalam kategori obyek dua dimensi. Songket sebagai karya seni tradisional memiliki kaidahkaidah desain yang dapat dianalisis yaitu unsur seni rupa dalam desain (titik, garis, bentuk, dan warna) dan prinsip-prinsip penyusunan desain (keseimbangan, irama, dan keselarasan).
Dari pengertian ragam hias yang berasal dari keinginan manusia untuk menghias sebuah bidang atau objek, kata hiasan maupun menghias menyangkut makna keindahan dimana unsur-unsur rupa dilibatkan dalam proses menghias atau mengkaji bentuk ragam hias songket. Menghias memiliki arti luas dan arti yang sempit. Dalam pengertian yang luas menghias sama artinya estetik atau indah. menurut
Webster,
membuat
kesenangan
dengan
kepuasan
hati
yang
mementingkan keharmonisan antara unsur-unsur garis, warna, dan irama. Dalam penerapannya disesuaikan dengan ruang, posisi dan panjang suatu benda. Sedangkan dalam arti sempit menghias adalah sesuatu yang relitas dan dalam pengungkapannya secara ekspresif, dalam hal ini merupakan karakter aliran Gothic (Thomas Munro,1951:122)
25
Bentuk ragam hias songket sebagai karya seni tradisional selain memiliki aspekaspek visual dua dimensi, dan mempunyai aspek simbol yang melatarbelakangi munculnya ragam hias, terkait dengan bagaimana sistem kepercayaan dan sosial budaya daerah bersangkutan. Pendekatan estetis dalam menggunakan dua aspek yaitu unsur seni rupa dan prinsip pengorganisasian unsur-unsur rupa, dalam desain mengenai bentuk ragam hias songket Palembang.
2.4.1 Unsur-Unsur Seni Rupa dalam Bentuk Songket Secara umum seni rupa menggunakan bahasa rupa dengan unsur-unsurnya seperti bentuk, titik, garis, tekstur, dan warna sebagai tanda atau simbol rupa yang sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia. Karya seni rupa tidak sekedar tanda tetapi lebih merupakan simbol karena mempunyai unsur rupa seperti bentuk, warna, dan bahan yang membentuk kualitas keindahan. Disamping memiliki sifat yang unik khas dan inovatif serta dirancang berdasarkan suatu penyatuan unsur rupa untuk memenuhi aturan tertentu. Dalam penggunaan tertentu simbol rupa mampu membawa imajinasi manusia kealam pikiran sebagai ungkapan simbolik. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur rupa dapat menjadi bentuk simbolik yang berfokus pada makna dan memiliki nilai-nilai yang hakiki. Untuk itu unsur-unsur seni rupa sebagai pengembangan ide dan perasaan tidaklah sekedar bentuk atau gaya tetapi sebuah ungkapan simbolik.
Seperti halnya tanda maupun simbol, unsur rupa berfungsi sebagai ekspresi serta memberikan makna dan pemahaman melalui suatu penafsiran. Oleh karena itu unsur rupa merupakan simbol ekspresi yang mengungkapkan ide dan perasaan. Sebagai suatu ungkapan simbolik, unsur rupa seringkali memiliki makna yang mendalam, yaitu suatu konsep yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Beragam simbol ekspresi dalam seni rupa mempunyai susunan dari unsur-unsur seni rupa yaitu titik, garis, bentuk, tekstur, dan warna.
26
2.4.1.1 Titik Menurut Djelantik dalam buku estetika mengatakan bahwa, titik tersendiri belum berarti dan baru mendapat arti setelah tersusun penempatannya. Disamping itu titik bisa menggunakan unsur-unsur penunjang, yang bisa juga membantu atau dipakai untuk membentuk wujud yang lain. Penunjang-penunjang itu misalnya: gerak, sinar, dan warna.
Titik yang digerakkan bisa memberi kesan garis yang beraneka rupa dan berlikuliku. Gerak-gerak ini dapat dilengkapi dengan sinar atau warna. Sinarnya yang dipancarkan oleh titik itu sendiri sering dijumpai pada ragam hias songket. Jarakjarak antara titik, gerak, dan kecepatan, giliran dan warnanya dapat disusun (distrukturkan) sedemikian rupa sehingga bisa berwujud indah dan memenuhi syarat-syarat estetis.
Titik dalam penggunaanya di bidang seni, arsitektur, dan desain adalah elemen visual yang paling sederhana dan minimal. Ia merupakan pembangkit segala bentuk yang paling utama dan dapat berperan sebagai pendeterminasi serta pendefinisi posisi dalam suatu ruang. Untuk dapat dilihat, titik haruslah mempunyai ukuran, bentuk dan nilai. Cara melihatnya tergantung dari referensi yang ada disekitarnya. Artinya titik itu bisa berarti besar, kecil, berupa bulatan, kotak, segitiga, huruf “Z” atau sama sekali tidak berdimensi (khayalan). Misalnya, bayangkan seseorang yang melukis dengan perantaraan mesin tik. Lalu misalnya dibandingkan dengan pengertian dot yang terlanjur sudah mempunyai konsep tertentu yaitu semacam bulatan aneka ukuran, contohnya kita mendengar motif polka dot atau dot matrix, raster, dan lain-lain. (Acmad Haldani, 2007:116)
27
Gambar 2.1 Titik sebagai unsur ragam hias kain tenun tradisional (Sumber: Album Tenunan Indonesia, 1995)
Haldani menerangkan bahwa dalam tenun songket, titik dapat dihasilkan dalam bentuk kotak (pattern). Bentuk titik dalam tenunan tidak dapat berbentuk bulatan atau lingkaran, misalnya yang sering kita lihat dalam ragam hias batik. Dari susunan atau sekelompok kotak-kotak (pattern) dapat mengasilkan suatu garis maupun bentuk dalam struktur kain tenun. Maka dalam tenun songket, titik dapat ditimbulkan melalui proses persilangan antara satu helai benang pakan dengan sehelai benang lungsi, menghasilkan satu titik pada stuktur benang tenun. Jika persilangan benang pakan dan benang lungsi itu terjadi secara berulang-ulang maka titik tersebut akan memiliki gerakan dan warna yang tersusun secara teratur. Dari kumpulan atau sekelompok titik-titik pada struktur benang akan menimbulkan kesan estetis atau indah.
2.4.1.2 Garis Pengulangan titik akan menimbulkan garis, sesuatu yang hanya mempunyai satu dimensi, yaitu panjang, dan didalam ruang ia mempunyai arah sekaligus posisi. Garis akan nampak pada prilaku menggambar, menyampaikan gagasan, konsep, suasana hati, ekspresi (goresan) dan jenis informasi lainnya. Garis dapat dipergunakan untuk mempresentasikan bidang, bentuk (shape), objek, dan berbagai susunan lainnya. Garis dapat membawa makna, simbol dan ekspresi sehubungan dengan visual dan pesan-pesan informasinya, baik langsung maupun
28
tidak langsung. Contohnya, yang berhubungan dengan simbol-simbol tanda dan lain-lain pada berbagai sejarah peradaban (huruf hieroglyph, gambar, bahasa tulisan, dan lain-lain.
Garis merupakan elemen mendasar untuk menciptakan dan mewakili bentuk. Garis sebagaimana halnya titik dapat memberi sifat dan karateristik rupa / perupaan seperti nada, sifat, dan tekstur suatu permukaan latar. Garis juga dapat memberi sifat kuat, tebal, ringan, anggun, aktif, rapat, spontan, dan sebagainya (intensitas karakter), termasuk juga dalam melihat seni tenun songket yang stilasi dan abstrak.
Garis sebagai bentuk mengandung arti yang lebih daripada titik; karena dengan bentuknya sendiri, garis menimbulkan kesan tertentu pada sang pengamat. Garis yang kencang memberikan perasaan yang lain daripada yang membelok atau melengkung. Yang satu memberi kesan kaku, keras, dan yang lain memberi kesan yang luwes. Kesan yang diciptakan juga tergantung dari ukurannya, dari tebaltipisnya, dan dari penempatannya terhadap garis-garis yang lain, sedang warnanya selaku penunjang menambahkan kualitas tersendiri. (Djelantik, 1999:22)
Kumpulan garis-garis dapat disusun (diberi struktur) sedemikian rupa sehingga mewujudkan
unsur-unsur
struktural
seperti
misalnya
ritme,
simetri,
keseimbangan, kontras, dan penonjolan. Seolah-olah garis sudah bisa “berbicara” lebih daripada titik-titik. (Djelantik,1999:22)
29
Gambar 2.2 Garis sebagai unsur ragam hias songket tradisional (sumber: Album Tenunan Indonesia,1995)
Karakteristik garis pada seni songket dapat dilihat dalam ornamen songket antar lain ornamen apit (berbentuk garis lurus), ombak-ombak (berbentuk garis gelombang), dan patah beras (berbentuk garis diagonal yang membentuk patahan segitiga. Karakter garis dalam songket, umumnya berbentuk statis dan sifat yang kaku namun ada juga yang berbentuk dinamis. Semua karakter dari garis dapat di implementasikan pada seni-seni lainnya, seperti arsitektur, seni lukis, tekstil, fashion dan sebagainya
Garis-garis dapat disusun secara geometris (sama dengan ukuran, proporsi, sikusiku tertentu yang teratur) dan mewujudkan gambar yang memberi kepuasan dan rasa indah karena keserasian dan keseimbangan bentuknya. Susunan garis-garis yang geometris, baik yang polos atau yang rumit sifatnya, pada umumnya sangat tepat untuk digunakan sebagai penghias (ornament). Maka semua ornamen tidak terlepas dari unsur-unsur garis yang sebagai dasar pembentuk ragam hias songket.
30
2.4.1.3 Bentuk Bentuk (shape) dapat diartikan sebagai konfigurasi permukaan yang spesifik dari plane, figur, atau obyek. Bentuk (shape) bisa mudah dikenal bisa juga abstrak atau sebagai bidang-bidang yang dapat didefinisikan, baik berdasarkan kontur garis atau bidang (plane). Ini yang disebut sebagai atribut fisik atau asosiasi. Seperti kita mengenal bentuk-bentuk geometri (triangle, hexagon, pentagon, dan lainlain). Bentuk (shape) lebih konkrit dibading plane (bidang), dia lebih mempunyai arah dan stabilitas visual. Oleh karenanya bentuk (shape) mempunyai kecenderungan lebih sebagai berikut: a. Regular, tetap (jenisnya: polygon dan polyhedron) dan irregular, tidak tetap. Jenisnya: polygon dan polyhedron. b. Dua dimensi dan tiga dimensi. Bentuk (shape) adalah karakteristik dari bidang (plane) yang dikenali. Bentuk (shape) ditentukan oleh konfigurasi garis atau batas-batas bidang (plane), dalam arti: sesuatu figur atau bentuk yang dapat dikenali. Bentuk-bentuk (shapes) mempunyai sekian nama berdasarkan konturnya, atribut fisiknya, dan asosiasinya. Bentuk dapat dikategorikan sebagai geometrik atau abstrak, representasional atau non-representasional, atau simbolis. Hal diatas dapat dijelaskan sebagai berikut: letakkan empat buah titik dengan formasi seolah-olah ini membuat sekeping ubin lantai. Tariklah garis dengan menghubungkan keempat titik tadi. Contoh ini disebut dengan bidang segi empat atau bujur sangkar (tetragon, secara ilmu geometrik, tetra artinya empat, gon artinya segi, bahasa Yunani). Sedangkan regular 3 dimensi, contohnya seperti kubus. Maka disini sudah membicarakan apa yang disebut bentuk (shape). Kata kunci dalam peryataan ini, sebagaimana halnya titik dan garis akan menghasilkan bidang (plane) juga membangkitkan bentuk, pencitraan nada, tekstur dengan berbagai teknik, seperti perbedaan nilai pada ketebalan warna, ukuran, pengulangan, dan sebagainya.
Contoh bentuk yang paling sederhana dalam seni rupa adalah titik. Titik tersendiri tidak mempunyai ukuran atau dimensi. Namun kumpulan dari beberapa titik akan mempunyai arti dengan menempatkan titik-titik itu secara tertentu. Kalau titik-
31
titik berkumpul dekat sekali dalam suatu lintasan, titik tersebut menjadi bentuk garis. Beberapa garis bersamaan bisa menjadi bentuk bidang. Beberapa bidang bersamaan bisa menjadikan bentuk ruang. Titik, garis, bidang, dan ruang merupakan bentuk-bentuk yang mendasar bagi seni rupa. (Djelantik,1999:21) Dalam kacamata seni, bentuk (form) diartikan sebagai organisasi, penempatan, atau relasi-relasi dari elemen-elemen dasar, seperti garis dan warna dalam tenunan songket, atau volumen dan ruang dalam seni songket guna menghasilkan eitera yang koheren struktur formal dari karya seni. ( The Random House of Dictionary, dalam Munro:3).
Gambar 2.3 Bentuk atau bidang yang sering ditemui dalam songket tradisional (sumber, dok.2006)
Bila dikaitkan dengan seni songket, maka seni songket merupakan bentuk dari dua dimensi. Hal ini dapat kita lihat pada ornamen songket diatas. Sekelompok titik dapat membentuk garis, sekelompok garis-garis yang disusun dengan ukuran tertentu dapat menghasilkan bidang. Hal ini mewujudkan suatu bentuk yang diinginkan oleh setiap kreator. Bentuk-bentuk tersebut dapat dilihat dalam seni songket, terutama pada ornamen-ornamen pada kain tradisional songket.
32
Contohnya, bentuk ragam hias bunga tanjung dan bentuk kotak-kotak. Hal ini merupakan wujud dari sekelompok garis-garis maupun titik-titik yang membentuk suatu bidang dan ruang terukur. Maka setiap motif yang terdapat pada kain tenun Nusantara tidak terlepas dari unsur-unsur penunjang seperti warna dan ukuran yang berbentuk simetri atau asimetri guna menghasilkan ornamen yang bernilai estetis.
2.4.1.4 Warna Warna primer (hue) yakni, warna-warna yang tidak bisa dibuat dengan warna yang lain sebagai bahannya. Warna primer terdiri dari merah, kuning, dan biru. Warna sekunder, yakni warna-warna yang dapat dibuat dengan campuran antara dua warna primer, seperti: merah bersama kuning menjadi orange, kuning bersama biru menjadi hijau, dan biru bersama merah menjadi unggu. Warna tersier dibuat dengan warna sekunder dicampur dengan warna primer yang bukan komplemen dari warna itu, seperti: Merah dengan oranye menjadi oranye kemerahan, Merah dengan unggu menjadi unggu kemerahan, Kuning dengan oranye membuat oranye kekuningan, Kuning dengan hijau membuat hijau kekuningan, Biru dengan hijau membuat hijau kebiruan, Biru dengan unggu membuat unggu kebiruan. Jumlah warna-warni yang dapat dibuat dengan campuran-campuran warna tidak ada batasnya. Hasilnya tergantung bukan hanya dari jenis warna yang dipakai tetapi juga dari banyaknya zat warna dari masing-masing elemen yang disertakan.
33
Ttr.
Pr.
Sek.
Ttr. O.ke k
Kuning
Oranye
H.ke k
Ttr.
Sek. O.ke m.
Hijau
H.ke b.
Merah Pr.
Ttr. U.ke m.
Biru Unggu
Ttr.
U.ke b. Pr.
Sek.
Ttr.
Lingkaran warna-warni
Warna-warni primer, sekunder, dan tersier bisa disusun dalam suatu lingkaran. Warna-warni yang dalam lingkaran itu berposisi silang berhadapan dirasakan cocok untuk dikombinasikan (dipakai berdampingan, bukan dicampur) disebut warna komplementer (saling mengisi) (Djelantik,1999:32-39)
Berdasarkan persepsi psikologis, bahwa warna dapat mengandung makna tertentu bagi kehidupan manusia. Contohnya, warna merah yang menggambarkan panas, kegembiraan, dan kegiatan saat baik untuk menimbulkan suasana hangat. Warna kuning
merupakan
warna
matahari.
Percobaan-percobaan
psikologis
membuktikan bahwa warna ini adalah warna yang paling menyenangkan dan merangsang mata ataupun syaraf. Warna biru adalah warna langit dan laut luas sehingga
menimbulkan
suasana
adem.
Percobaan-percobaan
psikologis
menunjukkan bahwa warna ini mengurangi ketegangan otot. (Liang Gie, 1996:46) 34
Gambar 2.4 Warna songket Palembang yang sering disebut merah anggur dan warna kuning emas. (sumber, dok.2006)
Menurut masyarakat Palembang, warna songket lebih didominasi dengan menggunakan warna cerah, seperti merah dan warna emas. Warna dapat diartikan sebagai unsur simbolik pada setiap obyek yang mendasari identitas budaya setempat. Contohnya warna merah melambangkan kebahagian, warna kuning emas melambangkan keagungan dan kebesaran. Menurut masyarakat Palembang ditahun 1980-an. Warna merah dan kuning emas merupakan pengaruh budaya Cina, sebab kedua warna tersebut melambangkan anugrah atau berkat dari para dewa-dewa dalam mencapai kehidupan yang bahagia didunia. Namun saat ini warna-warna songket mengalami perkembangan, sehinggga songket itu tidak selalu berwarna merah melainkan beranekaragam warna, seperti: unggu tua, biru dongker, oranye, hitam, pink, dan putih.
35
2.4.1.5 Tekstur Tekstur adalah unsur rupa yang menunjukkan rasa permukaan bahan, yang sengaja dibuat dan dihadirkan dalam susunannya untuk mencapai bentuk rupa, sebagai usaha untuk memberikan rasa tertentu pada permukaan bidang, perwajahan bentuk pada karya desain secara nyata atau semu. Tekstur mempunyai kualitas plastis yang menimbulkan bayangan pada permukaannya sehingga memberikan sifat atau karakter yang bervariasi. Pada prinsipnya permukaan benda menjadi rasa tertentu secara raba atau secara visual. (Toekio,1987:76)
Gambar 2.5 Tekstur permukaan kain songket tampak depan. Songket ini disebut Lepus Nago Besaung. Sifat kainnya tampak sedikit kaku dengan bentuk komposisi estetik. (sumber, dok.2066)
36
Tekstur pada kain songket disebabkan oleh adanya motif. Motif pada songket terasa lebih timbul dari bahan dasar kain merupakan efek dari teknik menenun dengan pakan tambahan. Biasanya permukaan songket hanya bisa dipakai sebelah bagian depannya saja, karena permukaan depanlah yang lebih halus teksturnya, sedangkan bagian belakang sedikit lebih kasar karena banyak rentangan benang pakan tambahan, terutama untuk motif yang lebih besar. Jadi pengertian tekstur pada songket adalah efek rasa yang ditimbulkan oleh pakan tambahan dalam pembuatan motif songket dan efek rasa dari bahan yang digunakan.
2.4.2 Prinsip-Prinsip Pengorganisasian dalam Songket Unsur-unsur seni rupa dibentuk atau disusun yang mengangkat suatu organisasi visual, yaitu organisasi yang mempunyai efektivitas lebih besar atau lebih kecil tergantung pada bagaimana baiknya unsur visual saling bekerjasama. Karya-karya seni dari semua jenis menampilkan pola-pola umum tertentu mengenai “kerjasama” yang disebut dengan prinsip-prinsip desain. (E.B.Felmand, 1967:258) Prinsip-prinsip ini akhirnya didasarkan pada cara seseorang melihat sesuatu yang paling efektif dan menyenangkan dan atas cara bagaimana unsurunsur itu dibentuk dengan paling memuaskan dari titik tolak pandang yang paling efektif dan menyenangkan. Dalam arti apa yang disebut dengan prinsip-prinsip desain adalah hasil eksperimentasi empiris dan intuitif yang panjang.
Dengan dasar kesamaan dalam prinsip-prinsip penyusunan desain memberikan persamaan persepsi dan visi manusia yang mempertimbangkan keragaman daripada keragaman pada visi manusia. Sesuai dengan ragam hias songket, dari beberapa prinsip penyusunan desain antara lain keseimbangan, irama dan harmoni.
37
2.4.2.1 Keseimbangan Keseimbangan adalah kesamaan dari unsur-unsur yang berlawanan atau bertentangan. Dalam karya seni, walaupun unsur-unsur tampaknya bertentangan, tetapi
sesungguhnya
saling
memerlukan
karena
bersama-sama
mereka
menciptakan suatu kebulatan. Unsur-unsur yang saling berlawanan itu tidak perlu hal yang sama, karena ini lalu menjadi kesetangkupan melainkan yang utama ialah kesamaan dalam nilai. Dengan kesamaan dari nilai-nilai yang saling bertentangan terdapatlah keseimbangan secara estetis. (Liang Gie,1996:74)
Keseimbangan merupakan penyelesaian kembali dari semua kekuatan dalam suatu struktur yang mengarah pada keseimbangan atau perimbangan. Hal demikian terbukti nyata dalam alam, manusia, dan dalam dunia buatan manusia. Keseimbangan secara struktural sebagian besar merupakan persoalan rekonsiliasi berat dan tekanan yang mengarah pada stabilitas. (E.B. Feldmand, 1967:263)
Pengorganisasian dari unsur-unsur rupa dalam desain diatur sedemikian rupa agar tercapai komposisi yang memenuhi keseimbangan. Komposisi desain yang seimbang dikategorikan dalam komposisi simetri dan asimetri. Dalam keseimbangan asimetri ini termasuk beberapa jenis keseimbangan berdasarkan besar kecilnya, berat atau besar obyek dalam sebuah komposisi, misalnya antara obyek besar dan obyek kecil dalam sebuah kesatuan lukisan. Kesimbangan berdasarkan penempatan obyek yang menjadi perhatian utama dalam sebuah komposisi, misalnya di ujung lukisan digambar sebuah pohon yang ukurannya lebih besar dari pohon-pohon lainnya. Ada juga kesimbangan berdasarkan kekontrasan
antara
obyek
dan
warna,
misalnya
unsur
warna
hangat
dikomposisikan dengan warna dingin atau ragam hias geometris dengan organis.
Bentuk corak songket yang berkaitan dengan keseimbangan ini sebagai contoh adalah corak atau ragam hias dengan kesimbangan simetris dan netral. Pada corak songket, konsep keseimbangan melambangkan keseimbangan antara kosmologi yaitu kedudukan sang Pencipta, alam semesta dan manusia. Adanya dari nenek
38
moyang sejak masa prasejarah yaitu adanya dunia atas, dunia manusia, dan dunia bawah menjadi dasar dari ragam hias songket dengan percampuaran konsep masuknya pengaruh Cina.
2.4.2.2 Irama Dalam suatu karya seni, ritme atau irama merupakan kondisi yang menunjukkan kehadiran sesuatu yang terjadi berulang-ulang secara teratur. (Djelantik,1999:44) Irama didefinisikan dalam seni rupa adalah pengulangan suatu unsur-unsur secara teratur dan tersusun. Yang utama dari irama adalah pengorganisasian repetitive, alternative, dan progesif
yang berkesinambungan. Pengulangan dari bentuk,
warna, garis, atau arah yang sama atau hampir sama akan mendukung irama. Pengulangan ruang-ruang antara garis-garis yang dibentuk serupa dan pengulangan warna-warna dan berbagai bentuk positif juga merupakan irama. (E.B.Feldmand,1967:267)
Irama selalu dikaitkan dengan pola berulang, sesuatu yang bergerak, dan kedinamisan. Ragam hias songket sebagai karya tekstil selalu berhubungan dengan irama terutama jenis pola berulang, baik simetris maupun asimetris. Komposisi irama dengan pola berulang-ulang yang teratur banyak terdapat pada songket dengan ragam hias stilasi simetris.
2.4.2.3 Harmoni Harmoni dimaksudkan adanya keselarasan antara bagian-bagian atau komponen yang disusun untuk menjadi kesatuan bagian-bagian itu tidak ada yang saling bertentangan, semua cocok dan terpadu. Tidak ada yang bertentangan dalam segi bentuk, ukuran, jarak, warna-warninya, dan tujuannya. (Djelantik, 1999:46)
Harmoni atau keselarasan menyangkut bagaimana semua unsur-unsur rupa atau bagian-bagian disusun saling berhubungan dalam sebuah komposisi sehingga tercapai keselarasan serta memperkuat keutuhan. Dalam ragam hias songket, kelarasan menyangkut kaedah estetis secara visual sesuai dengan ciri khas
39
songket, harmonisasi semua unsur visual dalam sehelai kain songket, ragam hias songket selaras dengan kesatuan ragam hias, tata warna, tata letak, ukuran kain dan fungsi. Sedangkan ditinjau dari keselarasan secara estetis tradisi masyarakat, menyangkut juga konsep keselarasan ragam hias yang menggambarkan semua unsur-unsur rupa dan pemaknaannya.
2.4.3 Estetika pada Songket Songket merupakan suatu hasil karya seni yang memiliki nilai estetika yang cukup tinggi. Disamping proses pengolahannya yang rumit namun keindahan tetap terpancarkan melalui struktur permukaan kain tradisional. Keindahan songket terwujud dari adanya kesatuan, keseimbangan, dan irama dalam mengolah suatu titik, garis, bentuk, dan warna pada satu komposisi ornamen. Dari keseluruhan unsur-unsur seni rupa tersebut dapat dibentuk menjadi suatu produk songket yang bernilai estetis melalui pembentukan atau pengorganisasian benang pakan dan lungsi. Sebab tidak ada tenun songket ataupun kain tradisional lainnya yang tidak menampilkan ragam hiasnya pada struktur benang.
Kesatuan (unitiy) dalam struktur desain terlihat dari hubungan yang bermakna relevan antar bagian tanpa adanya bagian yang tidak berguna atau tidak ada hubungan dengan bagian lainnya. (Djelantik, 2001:38) Hubungan yang relevan antar bagian bukan berarti gabungan semata-mata atau begitu saja, tetapi yang satu memerlukan yang lain, bagian-bagian saling mengisi, sehingga terlihat kesatuan yang menyeluruh. Dalam songket kesatuan dimunculkan oleh adanya hubungan yang relevan antara motif-motif yang disusun, warna, bidang, tekstur maupun bentuk motif dengan bagian-bagian yang lainnya. Djelantik membagi tiga macam kondisi yang berpontensi atau bersifat memperkuat kesatuan (unity) yaitu simetri (symetry), ritme (rhytm), keselarasan (harmony). Simetri adalah ciri atau kondisi suatu kesatuan, apabila dibagi menjadi dua secara vertikal ataupun horizontal menjadi dua bagian yang sama besarnya, bentuk dan wujudnya. Simetri dalam istilah lain disebut seimbang (keseimbangan) dan lawannya adalah asimetri atau tidak seimbang. Ritme atau irama merupakan
40
kondisi yang menunjukkan kehadiran sesuatu yang terjadi berulang-ulang secara teratur. Keteraturan dalam ritme terdapat pada ukuran, bentuk maupun jarak yang sama dalam sebuah desain ataupun seni. Keteraturan dalam irama disebut dengan komposisi. Sedangkan harmoni terlihat dengan adanya keselarasan antara bagian atau komponen yang disusun untuk menjadi kesatuan yang cocok dan terpadu. (Djelantik, 2001:39-40)
Nilai estetik secara objektif yang terdapat pada songket tradisional pada umumnya terbentuk oleh kesatuan yang terbangun antar bagian, antar motif dengan motif yang lainnya, antar bidang yang terdapat dalam songket (kepala kain, badan kain, dan pinggir kain). Keseimbangan yang simetri secara vertikal maupun horizontal merupakan ciri keseimbangan bentuk songket tradisional di Indonesia. Irama dibentuk dengan penataan motif dalam bidang kain dengan memberikan beberapa variasi ukuran, bentuk motif di antaranya merupakan pengulangan. Harmoni ditunjukkan dengan keselarasan hubungan antara bidang-bidang pada songket.
Pada umumnya ragam hias songket tradisional mempunyai nama, bentuk dan nilai-nilai yang abstrak pada motif songketnya sesuai dengan kebiasaan suatu daerah mengungkapkan ekspresi estetiknya. Salah satu songket dengan nilai-nilai tradisi tersebut adalah songket tradisional Palembang. Sehingga keindahan songket tradisi juga ditentukan oleh fungsi songket tersebut dalam budaya tradisi masyarakat. Karena dalam tradisi di Indonesia pembuatan suatu benda budaya seperti songket selalu diikuti oleh ketentuan-ketentuan guna oleh suku yang membuatnya.
2.5 Pengertian, Teknik Pembuatan, dan Motif Songket 2.5.1 Pengertian Berdasarkan sejarah Sriwijaya di abad 18, songket berasal dari kata menyongket atau menyungkit. Kata tersebut maksudnya adalah pekerjaan menyusun benang pakan dan benang lungsi melalui proses menenun yang berbentuk tradisional (manual). Penyusunan dan penyukitan inilah yang dinamakan songket dan dalam
41
bahasa Inggrisnya adalah design atau perencanaan. (Sejarah & Kebudayaan Palembang, 1985:63).
Kata songket bagian salah satu dari hasil kerajinan rakyat daerah tertentu di Indonesia dalam bidang pertekstilan, misalnya: daerah Bali, Palembang, Jambi, Sumatera Barat, Aceh, Lampung, Bengkulu, Kalimantan, dan sebagainya. Songket tersebut dibuat dengan alat tenun sederhana (ATBM gedokan) dengan bermacam motif yang dibuat dengan menyulamkan benang emas, benang perak, benang kapas bewarna, benang filamen.
Anyaman dasarnya adalah anyaman polos sedang anyaman motif bermacammacam demikian pula dengan corak maupun warnanya yang kontras dan dinamis. Ada yang penuh dengan motif benang emas, ada yang kosong dibagian tengahnya tetapi motif diberikan pada bagian tepi kain, ada pula kembang-kembang dicampur benang-benang biasa bewarna putih, merah atau hijau dan beraneka pula ragam coraknya. (ITT,1977:217). Kerajinan kriya songket yang tersebar di seluruh Indonesia sangat beraneka ragam jenisnya, namun di setiap daerah memiliki perbedaan dan keunikannya tersendiri. Hal tersebut dapat diamati pada corak ragam hias, tingkatan kualitas bahan, fungsi pemakaian, serta warna yang dihasilkan.
Kerajinan tenun songket Palembang memiliki beberapa perbedaan jenis yang bila ditinjau dari segi produk songket itu sendiri, antara lain: a. Songket Lepus (Lepus berarti menutupi) adalah songket yang bermotif benang emas menutupi hampir seluruh bagian permukaan kain sesuai dengan motifnya. b. Songket Tawur adalah songket yang motifnya tidak menutupi seluruh permukaan kain tetapi berkelompok-kelompok yang letaknya menyebar. Benang pakan dalam pembentukan motif kembang tidak disisipkan dari pinggir ke pinggir seperti halnya pada tenun polos yang biasa, tetapi hanya sekelompok-sekelompok saja mengikuti struktur dari corak kembang itu
42
sendiri. Misalnya: songket Tawur Lintang, songket Tawur Tampuk Manggis, dan lain-lain. c. Songket Limar adalah kain songket ini motifnya tidak dibentuk oleh benangbenang tambahan seperti benang emas atau perak tetapi corak ragam hiasnya dibentuk dari benang pakan yang di celup pada bagian-bagian tertentu sebelum ditenun. Biasanya songket ini disebut dengan songket Limar. Kain Limar ini ada yang dikombinasikan dengan songket berkembang benang emas Tawur dan disebut dengan songket Limar Tawur. d. Songket Tretes Mender adalah kain songket ini tidak dijumpai suatu gambar motif pada bagian tengahnya. Motif-motifnya hanya terletak pada kedua ujung pangkal dan pinggir-pinggir kain. e. Songket Kombinasi adalah songket yang merupakan kombinasi dari jenis songket-songket diatas, misalnya songket Bungo Cino adalah gabungan dari songket Tawur dan songket Bungo Pacik, songket Bungo Intan adalah gabungan antara songket Tretes Mender dan songket Bungo Pacik. f.
songket Bungo Pacik adalah kain songket ini sebagian besar benang motif dari emas diganti dengan benang kapas putih sehingga anyaman benang emasnya tidak banyak lagi dan hanya sebagai selingan. (Pengetahuan Barang Tekstil,ITT, 1977:218)
2.5.2 Teknik Pembuatan Songket Proses pembuatan kain songket Palembang harus melalui tiga tahap, yaitu: pertama, mempersiapkan kompenen dari peralatan tenun ATBM gedokan. Kedua, pengolahan material bahan benang, dan ketiga, proses menenun benang pakan dan lungsi hingga menjadi sehelai kain songket.
a. Komponen Peralatan ATBM Gedokan. Dari perkembangan alat tenun yang ada di masa sekarang semua asas teknologi berasal dari alat tenun gedokan. Sebagai cikal bakal alat tenun ini memang sangat sesuai dengan kebutuhan di masa lampau dimana membuat tenun bukanlah pekerjaan dalam arti ekonomi saja melainkan juga berhubungan dengan cita rasa
43
dan sakral. Jadi alat ini sederhana bentuknya, lamban produksinya tetapi sangat intensif dalam menghasilkan karya. Dalam perkembangan alat tenun gedokan tersebut disebut ATBM. ATBM ini masih tetap menggunakan tenaga manusia tetapi ditambah dengan prinsip-prinsip mekanik pengungkit, maka alat ini lebih maju dan lebih cepat dalam menghasilkan tenunan. ATBM ini kebanyakan digunakan untuk menenun kain Gebeng maupun kain songket.
Alat tenun terdiri dari beberapa bagian yang saling berhubungan. Artinya bila satu saja bagian dari gedokan tersebut hilang maka gedokan tersebut tidak akan berfungsi sebagai alat tenun. Adapun nama-nama bagian dari alat tenun gedokan adalah sebagai berikut: 1. Cacak, Merupakan tumpuan untuk meletakkan dayan, terdiri dari dua buah tiang ada yang berukir dan ada yang polos.
2. Dayan, Berupa sekeping papan tempat menggulung benang lungsi.
3. Apit, Tempat menggulung benang yang sudah ditenun menjadi kain.
44
4. Lempaut/Por, Penahan yang diletakkan di punggung penenun berfungsi untuk menahan benang lungsi. Bila alat ini terlepas maka benang pakan yang telah disusun menjadi kendur. Di bagian kanan dan kiri lempaut/por diletakkan seutas tali yang dihubungkan dengan apit.
5. Tumpuan, Merupakan penahan kaki penenun. 6. Beliro, Berfungsi sebagai penekan supaya benang pakan menjadi rapat, bentuknya berupa kayu pipih dengan panjang kurang lebih 1 meter.
7. Suri, Untuk menyisir benang pakan supaya benang pakan menjadi rapat sehingga hasil tenunan juga rapat.
8. Gulungan, Untuk menahan keluar masuknya benang pakan.
45
9. Cucuk karap/Nyincing, Berfungsi untuk membuka benang agar benang lungsi tetap kencang dan teratur letaknya.
10. Pelipiran, Berfungsi untuk membantu membuat motif dengan cara membuka benang lungsi sebelum dimasuki benang pakan.
11. Lidi/Gun, Berfungsi untuk membuat motif kain tenun. Semakin banyak motif kain tenun semakin banyak lidi yang diperlukan.
Alat tenun ATBM Gedokan
Gambar 2.5 Alat tenun bukan mesin atau ATBM Gedokan. ( sumber, dok 2007)
46
b. Pengolahan Material Benang Sebelum proses menenun dimulai sebelumnya benang lebih dahulu diolah. Bahan baku yang digunakan untuk tenun ikat, adapun proses pengolahan benang adalah sebagai berikut: 1. Mencelup benang. Masukan air panas ke dalam baskom sebanyak yang diperlukan. Selanjutnya masukkan bahan pewarna aduk sampai larut setelah bahan larut masukan benang. Obat pewarna yang digunakan adalah naftol atau basis atau jenis lain seperti costik, BS, BO. Untuk menggunakan obat pewarna ini diperlukan keahlian khusus serta pengalaman. Komposisi obat pewarna sangat menentukan warna benang. Untuk mendapatkan warna gelap misalnya, diperlukan obat pewarna BO lebih banyak dari lainnya sedangkan untuk mendapatkan warna terang BO tidak diperlukan. Untuk mendapat warna cerah diperlukan obat pewarna lain lagi sedangkan untuk memunculkan warna perlu ditambahkan lagi obat merah B.
47
2. Menjemur benang Setelah benang dicelup kemudian diangkat dan dijemur sampai kering.
3. Meriring Benang tersebut diriring (dikelos) dengan berpuluh-puluh riringan / kelosan untuk mengetahui jumlah yang diperlukan.
4. Mengani 48
Mengani yaitu menyusun jumlah benang sesuai dengan bentuk dan kebutuhan seperti untuk membuat selendang dan kain.
5. Mencolet / melimar / nyecep Yaitu memberi warna lain pada benang yang telah diberi warna dasar untuk membuat bentuk atau warna lain. 6. Setelah dicolet dijemur lagi sampai kering. 7. Memasukan benang ke dalam sisir 8. Menggulung benang di dayan 9. Membuat motif, yaitu memasang gun kembang sesuai dengan rencana tenun yang dikehendaki. 10. Setelah benang diberi ragam hias / motif kemudian dipindahkan ke alat yang disebut pleting untuk kemudian menjadi benang pakan. Begitu juga dengan benang emas dipindahkan dari gulungan besar ke pleting. Pemindahan ini dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut lilingan yaitu meriring / mengelos.
b. Proses Menenun
49
Langkah-langkah untuk menenun adalah sebagai berikut : 1. Setelah semua peralatan dan ATBM gedokan siap, penenun mulai menenun. Posisi tubuh duduk dengan kedua kaki diselonjorkan ke depan, sambil menekan penahan kaki. 2. Setelah benang digulungkan ke dayan dan sebagai benang lungsi ke apit, selanjutnya dimulai menenun. Menenun tenun ikat songket dimulai dengan matok / patuk. Patuk tidak memiliki ragam hias. Cara patuk adalah dengan memasukkan benang pakan diantara benang lungsi ke arah kanan, kemudian dengan menggunakan suri dan beliro benang pakan dirapatkan. Selanjutnya kembali benang pakan dimasukkan ke arah kiri dan dirapatkan dengan suri dan beliro. Begitu seterusnya sampai leher patuk kira-kira 10-15 cm. 3. Benang pakan disiapkan, digulung di pleting dan diletakan dikiri dan kanan penenun. Gulungan benang pakan tambahan ini digunakan untuk membuat motif pinggiran kanan dan kiri tenun ikat. Sama seperti menggerjakan patuk benang pakan disisipkan diantara benang lungsi kiri dan kanan, kemudian benang pakan polos. Baru kemudian disusun dan dirapatkan dengan beliro, begitu seterusnya. 4. Setelah matok, selanjutnya membuat motif tumpal kurang lebih 30 cm, baru selanjutnya ngembang yaitu membuat motif ragam hias ditengah kain. 5. Untuk membuat motif/ragam hias ini dipergunakan benang emas tambahan dan sisipkan diantara benang lungsi yang sudah memiliki motif. Selanjutnya digunakan sisir dan beliro untuk merapatkan benang pakan.
Secara lebih terurai langkah-langkah dari menenun motif yaitu: pertama, masukkan lidi kembang (di tarik), angkat/tegakan pelipiran, masukkan incing/karap satu, sisir dengan suri masukkan baliro, masukkan benang pakan tambahan, tarik beliro, angkat incing/karap, sambil geser suri, masukkan beliro lagi dan pantak/tekan. Masukkan benang limar, pantak, masukkan benang tambahan (emas) pantak. Angkat incing/karap masukkan bambu, masukkan beliro, pantak masukkan benang limar pantak, begitu seterusnya.
50
Setelah ditinjau di lapangan bahwa proses pembuatan kain songket membutuhkan waktu 4 minggu ditambah dengan pembuatan selendang songket membutuhkan waktu 4 minggu. Jadi setiap satu set produk songket bisa mencapai 1 hingga 2 bulan. Songket sangat dipengaruhi oleh tingkat kerumitan berbagai jenis ragam hias yang dibutuhkan. Bila produk songket tersebut menerapkan corak ragam hias lebih sederhana maka waktu yang dibutuhkan dalam memproses bahan baku benang hingga menenun, bisa mencapai waktu 2-3 minggu dalam setiap satu set produk songket.
Gambar 2.7 Proses menenun kain songket tawur di wilayah Ki Gede Ing Suro kota Palembang (Dokumen, Netty Juliana:2004)
2.6 Tinjauan Umum Ragam hias Ragam hias berasal dari kata ‘ragam’ dan ‘hias’. Ragam berarti macam, jenis, modelnya beragam agar memenuhi selera pembeli; warna, corak.(Kamus Indonesia, 2006:638). Sedangkan hias berarti mempercantik diri, memperelok diri, memperindah diri, berdandan. (kamus Indonesia, 2006:322). Maka ragam hias dapat dikatakan sebagai model dari berbagai macam bentuk yang berfungsi sebagai keindahan dari suatu objek itu sendiri.
51
Ragam hias dalam bahasa Inggris disebut dengan kata ‘ornament’. Ornamen diartikan sebagai hasil dari kerajinan tangan, hiasan dalam arsitektur: hiasan yang dibuat dengan pahatan-pahatan (misalnya pada candi, rumah tradisional, dan sebagainya). Ornamental: bersifat sebagai hiasan, bersifat sebagai lukisan. (Kamus Indonesia, 2006:264).
Pendapat lain mengatakan ragam hias merupakan tiruan dari bentuk atau mengembangkan bentuk alam yang dipergunakan sebagai elemen dekorasi yang diaplikasikan pada permukaan benda. Ia mempersolek suatu bentuk benda secara lahiriah, bahkan satu atau sebagian darinya memiliki nilai simbolik atau mengandung makna tertentu. Dalam penciptaan ragam hias tidak dapat dilepaskan unsur- unsur apa yang menjadi pendukung terjadinya bentuk-bentuk visual tersebut, di antaranya peranan garis, bidang, tekstur dan warna. (Toekio, 1987:2)
Ragam hias adalah pangkal atau pokok dari suatu pola yang disusun dan dikomposisikan secara berulang-ulang, maka akan diperoleh suatu pola, kemudian setelah pola tersebut diterapkan pada benda maka akan terjadilah suatu ragam hias. Ragam hias yang diterapkan pada suatu benda digunakan dalam dua aspek, yaitu sebagai dekorasi dan sebagai lambang dalam konsepsi filosofi pada kehidupan manusia. Sebagai dekorasi ragam hias tampil dalam berbagai bentuk pada berbagai produk seperti cenderamata, barang-barang hiasan rumah tangga, busana, dan lain-lain. Sebagai lambang ragam hias selain berfungsi praktis sebagai penghias suatu benda juga diperuntukkan pula untuk tujuan lain seperti keselamatan, kemakmuran tanda-tanda khusus, lambang kebesaran, ajaran tentang adat dan sebagainya. Pada kesenian trdisional Indonesia, keberadaan ragam hias tidaklah semata-mata sebagai media artistik, banyak diantaranya mempunyai makna simbolik sebagai ungkapan atau cerminan budaya suku bangsa yang membuatnya. Ragam hias menjadi simbol dari media tutur untuk menyampaikan pesan tertentu yang berkaitan dengan sistem kepercayaan dan filosofi hidup masyarakat.(Gustami, 1990:7)
52
Ciri utama ragam hias Indonesia adalah keberagaman bentuk dan warnanya yang sangat kompleks. Kompleksitas tersebut karena latar belakang budaya masyarakat dan lingkungan alamnya yang sangat beragam. Secara umum ragam hias di Indonesia mempunyai banyak kemiripan, terutama ragam hias pada kerajinan tekstil seperti kain songket. Hal ini disebabkan karena adanya kesamaan konsep estetik yang berdasarkan pada kosmologi asli yang mengutamakan keselarasan, serta faktor akulturasi dari hubungan dagang dengan budaya asing seperti India, Cina, dan bangsa Eropa. Kalaupun terdapat perbedaan warna dan bentuk serta bahan yang digunakan, semua itu mendukung terbentuknya ciri dan kekuatan warna lokal masing-masing. Keberagaman ragam hias sangat dipengaruhi oleh faktor adat, situasi dan kondisi lingkungan dan senimannya. Tetapi kebutuhan terhadap ragam hias termotivasi oleh kebutuhan artistik. Daya artistik yang besar terungkap dalam segala rupa ciptaan artistik dan kerajinan yang sangat indah. (M.Lubis, 2006:16).
Ornamen ataupun ragam hias sering dijumpai pada arsitektur bangunan, tembikar, kain tenun, ukiran mebel, hingga peralatan rumah tangga. Namun ragam hias dipengaruhi oleh sifat alami material yang dibuat, demikian juga halnya gaya atau cara dimana objek alami dibuat untuk ornamentasi oleh orang yang berbeda pada waktu yang berbeda. Oleh sebab itu seni ragam hias berkaitan erat dengan material, tujuan, bentuk dan gaya. Bentuk ragam hias yang paling tua terdiri gambar geometris, lingkaran-lingkaran kecil, garis lurus dan lengkung dan sebagainya, semua digambar dengan bentuk keteraturan pasti dan menurut irama tertentu. Dengan kemajuan intelektual umat manusia, seniman memperoleh lebih banyak kecakapan teknis, dan mencoba bahkan mengunakan ornamen binatang, tumbuhan dan figur manusia sebagai seni ragam hias.
53
2.6.1 Ragam Hias Cina pada Tekstil Kecenderungan kain tenun songket, tenun ikat pakan, ikat lungsi, maupun batik di
masa
prasejarah
mencermikan
pandangan
hidup
yang
menekankan
keseimbangan, keselarasan, keserasian dan kelestarian. Ragam hias tekstil Nusantara dibentuk bukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan teknis, estetis dan fungsi saja, tetapi selalu dihubungkan dengan kekuatan gaib, yang dilambangkan dalam bentuk ragam hias dekoratif dan simbolis.
Bangsa Indonesia memiliki tradisi yang bersifat ‘dualisme dwitunggal’ ada dunia atas: dewa, angkasa, gunung, lelaki, baik, kanan, dan sebagainya. Sebagai pasangannya, ada dunia bawah: manusia, laut, wanita, jahat, kiri, dan sebagainya. Dualisme ini bukan untuk dipertentangkan tapi untuk diintergarasikan. Selain itu, berkembang pula pandangan dualisme: lama-baru, kenal-asing, dalam-luar. Dualisme itu bukan untuk dipertentangkan. Melainkan perlu kerjasama untuk menciptakan paduan yang seimbang, selaras, serasi, dan lestari. Kepada sesuatu yang baru, asing, luar, bangsa Indonesia tidak langsung menolaknya, tetapi menjalin hubungan dengannya kemudian mengintergrasikannya untuk menjadi “milik barunya” tanpa meninggalkan jati dirinya. (Primadi Tabrani,1995).
Menurut catatan sejarah bangsa Indonesia, budaya Cina masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan hingga kawasan Hindia dan pasifik. Masyarakat Cina melalukan transaksi jual beli dengan masyarakat pribumi diantaranya kain sutera, porselin yang berbentuk guci, kain katun, rempah-rempah, dan lain sebagainya. Dan masa kebudayaan perunggu, bangsa Indonesia telah biasa melakukan perdagangan antar pulau di Nusantara. Mereka bahkan mengadakan kontak dagang dengan penduduk di Vietnam. Kemungkinan besar mereka telah melakukan perdagangan dengan cina dan menyaksikan kebudayaan Cina seperti yang digambarkan dalam nekara, benda-benda perunggu seperti kapak perunggu, porselin, barang-barang logam dan kayu tekstil. Pada barang-barang tersebut terdapat ragam hias yang indah sehingga menjadi daya tarik bagi pembelinya.
54
Orang Cina mengenal filsafat kesinambungan yang melambangkan dinamika alam. Menurut shu Ching, ada lima elemen wujud yang berinteraksi: air, api, kayu, logam, dan tanah. Kelima elemen tersebut dapat saling bersahabat, tapi juga bisa saling bermusuhan satu dengan lainnya. William 1976 menulis: Water produces wood, but destroys fire; Fire produces Earth, but destroys Metal; Metal produces Water, but destroys Wood; Wood produces Fire, but destroys earth; Earth produces Metal, but destroys Water. Dari analogi dengan lima elemen tersebut berkembang lima susunan lainnya seperti lima atmosfer, lima jenis padi-padian, lima planet, lima logam, lima warna, dan sebagainya. Hubungan antara lima logam dan lima warna digambarkan sebagai berikut: emas = kuning, perak = putih, tembaga = merah, timah = biru, dan besi = hitam.
Filsafat kesinambungan dinamis dijadikan titik tolak pemikiran bahwa elemenelemen di alam ini merupakan suatu siklus yang terus-menerus aktif sepenjang masa. Elemen-elemen yang menunjang kehidupan selalu aktif berinteraksi membawa
manfaat.
Menghayati
kedinamisan
alam
ini,
seniman
cina
mengekspresikan bentuk-bentuk yang ada di alam ini dengan garis dan susunan yang dinamis, berirama, berubah, hidup dan tidak membosankan. Alam penuh gejolak, waktu selalu berubah, alam memiliki daya untuk mengubah lingkungan. Angin menyebabkan gelombang, gulungan awan, lidah api, goyang daun, dan getaran rasa. Dengan demikian bentuk ragam hias Cina cenderung digambarkan dinamis, seperti meander yang tersusun ritmis, bentuk lidah api, bentuk awan, swastika yang memutar ke kanan, dan bentuk spiral yang melilit. Pemandangan, tumbuhan, binatang, dan manusia digambarkan dengan komposisi dinamis. Gambar pada porselin dan tekstil Cina, disusun secara dinamis, seperti burung terbang dengan sayap mengepak, kupu-kupu riang bercumbu, dan bunga bergoyang seolah tersenyum. Semua itu merupakan ungkapan kecintaan terhadap alam. Ragam hias Cina yang masih sangat berpengaruh terhadap kain tradisional,
55
baik itu kain batik maupun kain tenun Nusantara. Corak lakcon ini terdiri atas ragam hias burung funiks dengan ekor berjumbai. Burung funiks adalah mitologi Cina yang dianggap sebagai maharaja semua burung, yang melambangkan kegagahan dan keperkasaan. (Hasanudin,2001: 43).
Pengaruh kebudayaan cina pada kain songket Palembang tergambar pada berbagai corak seperti bungo cino, nago besaung, dan meander. Warna pada songket Palembang juga dipengaruhi oleh kebudayaan Cina seperti warna emas dan warna merah anggur. Pada awal abad 20 kain songket mulai bergeser menjadi kain tradisional yang tidak tergantung lagi pada makna simbol pemakainya, tetapi dapat dipakai oleh siapa saja yang ingin mengenakannya, sesuai dengan selera konsumen maupun permintaan pasar.
2.6.2 Ragam Hias India pada Tekstil Dalam buku Perpolus dan Hyphegesis adalah catatan sejarah yang membuka mata para pedagang Barat untuk mengenal lebih jauh jalur pelayaran Samudaera Hindia ke Indonesia. Dengan jalur laut ini terbuka kemungkinan meningkatkan kontak dagang antar kota dagang di Romawi, Arab, Persia, India dan Indonesia bahkan Cina. Menurut Van Leur, barang dagangan yang beredar di pasar pada waktu itu adalah emas, perhiasan, berbagai barang tenunan, barang pecah belah, bahan kerajinan, ramuan untuk wewangian dan obat-obatan. (Marwati,1992).
Perdagangan antara Indonesia dan India merupakan salah satu faktor yang memberi peluang masuknya pengaruh kebudayaan India. Proses penyerapan nilainilai kebudayaan India banyak dipengaruhi oleh sikap bangsa Indonesia yang telah dimiliki sejak masa prasejarah sebagai bangsa bahari yang terbuka dan ramah. India tidak hanya melakukan hubungan dagang saja melainkan menyebarkan agama Budha dan Hindu. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan masa kejayaan kerajaan Hindu dan Budha yang sampai sekarang masih bisa disaksikan seperti candi, arca yang melambangkan dewa-dewa dalam ajaran Hindu, arca raja, dan prasasti yang mengungkapkan latar belakang sejarah. Bukti
56
sejarah tentang perkembangan kerajaan Hindu dan Budha banyak diperoleh dari catatan orang Cina.
Perdagangan antara kerajaan-kerajaan Indonesia dengan Cina dan India berkembang pesat. Hal ini disebabkan oleh kemajuan transportasi, baik laut maupun darat, sehingga mempercepat hubungan dengan sumber penghasilan. Jalur-jalur pendalaman dibuka dengan menggunakan angkutan darat berupa kereta berkuda. Pengaruh kebudayaan India pada bangsa Indonesia adalah membentuk kedinamisan dalam berpikir, terutama setelah mengenal cara membaca dan menulis, sehingga bangsa Indonesia dapat membaca perkembangan budaya. Hubungan dagang antara India dan Indonesia mendorong terbukanya hubungan dagang lebih luas, yang melibatkan Cina Parsi dan Arab. Indonesia terletak dipersilangan lalu lintas dagang Arab dan Cina, adalah wilayah yang strategis yang banyak dikunjungi oleh bangsa lain. Karena itu, Indonesia dapat langsung menawarkan hasil bumi atau hasil usaha lainnya secara langsung kepada mancanegara yang datang. Karena itu, para pedagang Indonesia dapat secara tepat dan cepat mengetahui kebutuhan pasar. (Hasanudin, 2001)
Pengaruh kebudayaan India mendorong perkembangan agama Hindu dan Budha di Indonesia. Perkembangan ini banyak melahirkan tempat peribadatan yang dibangun secara artistik, dan upacara, yang menumbuhkan kesenian, seperti seni patung, seni ukir, seni tari, wayang, gamelan, tenunan, batik, dan seni sastra. Dalam seni rupa, seni yang banyak mengungkap bentuk ragam hias adalah seni ukir, tenun, dan batik. Ragam hias pada seni tersebut banyak diilhami oleh gambar-gambar mitologi Hindu dan Budha. Ragam hias banyak terdapat pada dinding candi, seperti ceplok, jlamprang, banji, dan bentuk-bentuk geometris lainnya. Selain itu, terdapat pula ragam hias manusia, wayang, kedok, bermacammacam binatang, termasuk binatang mitologi dan ragam hias tanaman, dengan langgam sulur-suluran yang tesusun ritmis. Ragam hias tersebut berpengaruh pada corak batik dan corak tenun songket Palembang.
57
2.6.3 Ragam Hias Pada Kain Songket Ragam hias pada tekstil Indonesia pada umumnya dapat dikelompokan menjadi dua yaitu ragam hias geometris dan non geometris/organik. Ragam hias geometris mengambil bentuk-bentuk terukur seperti segi empat, segitiga, lingkaran dan lainlain. Ragam hias geometris terdiri dari berbagai jenis di Indonesia yang terkenal adalah jenis ragam hias meander, jenis ragam hias tumpal, jenis ragam hias banji, jenis ragam hias spiral atau pilin, dan jenis ragam hias kawung. Ragam hias organik adalah ragam hias yang pola hiasnya tersusun dari bentuk-bentuk yang lebih bebas, tidak terikat pada pola-pola tertentu yang dikategorikan sebagai pola geometris. Ragam hias ini bentuknya lebih kompleks dan dinamis, susunan bentuknya terdiri dari berbagai jenis stilasi bentuk bersumber dari lingkungan alam (flora, fauna, dan alam/benda mati).
Pengembangan bentuk-bentuk mahluk hidup atau objek tumbuhan sebagai objek ragam hias dapat dilakukan dengan dua cara, pertama; dibentuk dengan wujud alami objek itu, inilah yang disebut dengan ragam hias naturalistik. Dan yang kedua dalam suatu bentuk yang mencerminkan spirit waktu, religius atau gagasan politis dari suatu masyarakat tertentu disebut dengan Sylistic Ornament. Masingmasing mempunyai bentuk-bentuk ragam hias yang lebih disukai oleh masyarakat dimana ragam hias itu tumbuh. (N.S.Djumena, 1986:8) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya rancangan dari ragam hias yang begitu banyaknya, juga untuk membedakan macam ragam hias setiap daerah yaitu letak geografis suatu daerah, sifat dan tata kehidupan daerah, kepercayaan, serta adat istiadat, keadaan alam sekitar termasuk flora fauna dan kontak atau hubungan antar daerah penghasil kerajinan.
Terjadinya akulturasi, khususnya akulturasi kebudayaan Indonesia itu sendiri, merupakan hal yang rumit. Hal ini dikarenakan letak wilayah Indonesia, yang berada pada titik-titik pengaruh kebudayaan dari tiga benua. Dari hasil pengaruhpengaruh tersebut, memang memberikan kekayaan corak atau gaya dalam kebudayaan Indonesia. Akan tetapi, bila dilihat dari suatu nilai dan fungsi setiap
58
hasil kreatifitas menunjukkan adanya dua sifat yaitu sebagai hiasan dan sebagai lambang. Hal ini hampir dialami oleh setiap kelompok masyarakat di muka bumi ini. Sebagai misal, bentuk (ciptaan) karya seni gaya dekoratif dengan berbagai figur ragam hias yang hanya untuk dekorasi saja, atau sebagai suatu perlambangan, untuk suatu upacara. Dari gaya yang ditampilkan oleh masing-masing etnis di kepulauan Indonesia ini, tampak jelas perbedaan-perbedaan motifnya. Namun dari bentuk dasar sebagai motif memiliki beberapa unsur yang sama. Hal ini merupakan bukti adanya sumber pengaruh yang searah. Unsur-unsur geometrik, bentuk-bentuk pilin, meander serta figur-figur binatang, tumbuh-tumbuhan dan manusia semua orang di kepulauan Indonesia ini
menggunakannya sebagai
gambar ornamen. Di dalam bentuk ornamen yang diterapkan pada bentuk-bentuk tertentu, selain sebagai dekorasi, mempunyai arti lain, yaitu sebagai lambang/simbol. (Hasanudin, 2001)
Seni ragam (ornamen), memang cocok/tepat, bila digunakan dalam dunia perlambangan. Banyak tanda-tanda yang digunakan oleh manusia sebagai lambang untuk kepentingan-kepentingan tertentu di dalam kehidupan manusia. Contohnya bentuk binatang, misalnya seekor burung dalam seni ornamen, dikaitkan sebagai lambang dewa atas. Demikian juga seekor ular atau biawak, sebagai lambang dewa bawah. Di dalam seni ragam hias sebatang pohon ditampilkan dalam bentuk gambar stilasi yang dikaitkan dengan lambang pohon hayat, atau pohon kehidupan atau Hyang Maha Esa. Gambar pohon ini hampir menyebar di seluruh kepulauan Indonesia. Demikian pula bentuk-bentuk ornamen dengan figur-figur tertentu sebagai motif dapat mempunyai arti tertentu pula, sesuai dengan manfaatnya. Hal ini dapat dilihat pada penjelasan-penjelasan sebagai berikut.
Ragam hias yang terdapat pada seni songket Palembang dibentuk melalui proses ditenun dengan menggunakan benang pakan emas. Ragam hias songket dipengaruhi oleh budaya Cina-Hindu dan.India, misalnya motif ular naga (naga besaung). Sedangkan kepandaian bertenun songket Palembang dipengaruhi oleh
59
budaya India. dengan ragam hias gunungan. Lambang/simbol gunungan pada songket Palembang merupakan simbol tempat pembelajaran para pemuka agama Budha dalam mensucikan diri terhadap kehidupan dunia (bertapa). Sedangkan ragam hias pucuk rebung merupakan simbol dari kesuburan terhadap kondisi lingkungan alam sekitar. Ragam hias yang utama, pada songket umumnya berbentuk geometrik yang bersifat abstrak, seperti ragam hias naga besaung, pucuk rebung, gunungan, kembang mawar, bunga melati, bunga tanjung, bunga, sulur-sulur dedaunan, apit (garis horizontal), kotak-kotak, pilin dan sebagainya.
Maka motif songket sebagai salah satu kebudayaan Indonesia diciptakan oleh lingkungan masyarakat dengan latar budaya dan adat istiadat yang beragam. Keberagaman terlihat pada bentuk ragam hias sebagai ungkapan estetik etnis dengan ciri kedaerahan masing-masing. Walaupun terdapat perbedaan juga terdapat banyak persamaan dan kemiripan, terutama oleh daerah-daerah penghasil kerajinan songket yang berdekatan, atau daerah yang mendapat pengaruh dari budaya yang sama. Seperti motif pucuk rebung atau tumpal hampir ditemui pada semua songket Melayu (Aceh, Riau, Minang, Bengkulu, Jambi, Palembang, bahkan Malaysia), bahkan motif pucuk rebung juga ditemui dalam songket dan kain-kain tradisional di Jawa, Bali, Sulawesi, dan Kalimantan. Dengan demikian songket dari setiap daerah lebih mempunyai arti apabila kita dapat meghayati dari sikap dan pandangan masyarakatnya yang menciptakan songket tersebut. Karena perbedaan yang timbul juga disebabkan oleh fungsi dan cara penggunaan dalam adat dan budaya masyarakat setempat.
60