Reaktualisasi Dekastanisasi Berbahasa dalam Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia1 Oleh Dr. I. B. Putera Manuaba, Drs.,M.Hum.2 Abstrak Dalam tindak berbahasa, disadari atau tidak disadari, sikap berbahasa pengguna bahasa di Indonesia seringkali menstratakan bahasa-bahasa secara vertikal (atas-bawah). Akibatnya, tiga kelompok bahasa yang ada (bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing) yang seharusnya diposisikan dalam kesetaraan, terposisikan dalam ketidaksetaraan. Akibatnya, ada bahasa yang dianggap berkedudukan tinggi dan rendah, sebagaimana halnya dengan sistem kasta yang mengenal adanya kasta tinggi dan rendah. Terjadinya serupa pengkastaan dalam bahasa-bahasa semacam itu, di antaranya sebagai akibat gengsi, kuasa, dan krisis kebanggaan. Apabila disadari keniscayaan adanya tiga kelompok bahasa itu maka ketiganya harus dapat ditumbuhkan dan dikembangkan dalam dinamika yang wajar. Pada titik inilah diperlukan reaktualisasi dekastanisasi atas bahasa-bahasa; yang berarti, menyegarkan kembali dan sekaligus mengembangkan bahasa-bahasa pada tiga kelompok itu secara proporsional, sehingga masing-masing dapat tumbuh dan berkembang secara wajar. Patut diakui pula bahwa setiap kelompok bahasa memiliki arah, fungsi, dan nilai sendiri-sendiri dalam masyarakat dan kebudayaaannya, yang tentu saja tidak dapat saling menggantikan dan apalagi saling meniadakan. Kata-kata Kunci: bahasa, reaktualisasi, dekastanisasi Abstract In acting to have Ianguage, realized or is not realized the, attitude of have Ianguage of Ianguage consumer in Indonesia oftentimes Ianguage strata vertically (on-under). As a result, three existing Ianguage group (vernacular, Indonesian, and foreign Ianguage) what ought to be positioned in equivalence, positioned in to is not positioned. As a result, there is Ianguage assumed rank high and lower, as also to caste system recognizing the existence of high caste and lower. The happening of similar is caste in such Ianguage, among other things as effect of prestige, power, and pride crisis. If realized undoubtedly the existence of that three Ianguage group hence third nya have to can be grown and developed in fair dynamics. At dot of this is needed by reactuatlization decastelization for Ianguage; meaning, refreshing and at one blow develop the Ianguage of at that three group by proporsional, so that each can grow and expand to the manner born. Make proper confessed also that each; every Ianguage group own the direction, function, and assess by self in society and cultural, what of course cannot is replacing each other and and surely is negating each other.
Key words: Ianguage, reaktualisasi, dekastanisasi
1. Kesadaran atas Keniscayaan Bahasa-bahasa yang Nirkasta Mengawali makalah ini, ada baiknya diajukan pemahaman bahwa bahasa merupakan satu unsur kebudayaan yang penting dalam berinteraksi-sosial. Sebagai manusia, kita dikodratkan untuk berinteraksi satu sama lain, karena secara kodrati kita adalah makhluk sosial (homo socius) yang memerlukan orang lain agar dapat survive. Sosiolog kontemporer Berger dan Luckmann (1990:6-7), menyatakan bahwa suatu keniscayaan jika manusia tidak memiliki dunia sejak awal (lahir). Kondisi ini berbeda dengan 1
Makalah ini disampaikan dalam Kongres Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia (KIMLI 2011) di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, tanggal 9 s.d. 12 Oktober 2011. 2 Dosen pada Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya
1
binatang yang sudah memiliki dunianya, yang sudah serba-terspesifikasi, sehingga langsung dapat survive. Oleh karena itu, manusia harus membangun dunianya sendiri. Oleh karena itulah manusia memerlukan kebudayaan, dan bahasa menjadi satu unsur kebudayaan penting yang mendukung proses membangun dunia manusia itu. Dengan bahasalah orang berkomunikasi dan membangun dunianya. Wibowo (2003:1) menyatakan bahwa tidak pernah terjadi percakapan dilakukan manusia tanpa bahasa. Sejalan dengan itu, Rivers, dkk. (2003:28) menyatakan manusia itu sebagai pembuat simbol. Kemampuan ini ada karena manusia memiliki kemampuan lebih dari binatang, yakni berlogika dan menggunakan simbol-simbol. Adanya simbol-simbol itulah yang memungkinkan manusia berkomunikasi. Pada awal terjadinya komunikasi antarmanusia dahulu kala, dilakukan dengan menggunakan bahasa isyarat, yang kemudian berkembang menjadi bahasa verbal. Bahasa inilah yang kemudian merupakan bahasa yang diharapkan dapat mengekspresikan rasa, cipta, dan karsa manusia. Sampai pada titik ini, bahasa dipahami sebagai tanda yang disepakati oleh masyarakat, yang pembentukannya terjadi secara bebas (arbitrer), bergantung kepada pengguna bahasa yang menyepakatinya. Kata-kata, kalimat-kalimat, dan wacana-wacana yang terbangun, semuanya didasarkan atas kesepakatan dari pengguna bahasa. Bagi Wibowo (2003:3), bahasa dalam wacana linguistik diberi pengertian sebagai sistem simbol bunyi bermakna dan berartikulasi, yang bersifat arbitrer dan konvensi, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk mengekspresikan perasan dan pikiran. Aart van Zoest (dalam Sibarani, 1992) menyatakan simbol itu sebagai sesuatu yang dapat mewakili ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan. Setiap suku dan bangsa mana pun di dunia memerlukan tanda sebagai bahasa untuk berkomunikasi. Indonesia sebagai negara kepulauan, yang melingkupi banyak suku, memerlukan bahasa yang dapat digunakan sebagai bahasa komunikasi antarsuku. Sebagai satu bangsa, diperlukan satu bahasa yang dapat dimengerti dan dipahami bersama, yakni bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang kemunculannya memiliki sejarah yang panjang, awal mulanya berasal dari bahasa Melayu Riau yang kemudian dalam perkembangannya sudah diperkaya dengan bahasa-bahasa daerah dan bahasa-bahasa asing. Bahasa Indonesia ini oleh Halim, ed. (1980:21--28) kemudian dinyatakan memiliki dua kedudukan yakni sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Bagi Manuaba (1992), bahasa Indonesia semakin mematangkan dirinya menjadi bahasa modern, yang penting artinya dalam membangun jiwa kebangsaan dan penguasaan ipteks. Selanjutnya, Manuaba (1996) menegaskan sebelumnya bahwa bahasa Indonesia merupakan media utama dalam pendidikan di Indonesia, yang di dalamnya mengandung nilai budaya bangsa. Selain bahasa itu kita juga memerlukan bahasa asing untuk komunikasi global. Setiap bangsa perlu melakukan hubungan antarbangsa. Maka itu, bahasa-bahasa internasional yang diakui PBB menjadi bahasa yang penting untuk dimengerti dan dipahami dalam kehidupan global ini. Itulah keniscayaan bahasa-bahasa yang patut diakui, yang semuanya memerlukan penguatan dan pemantapan, agar kita dapat berkomunikasi secara proporsional dalam kondisi dunia yang semakin berubah dan berkembang. Namun, yang perlu dicatat adalah perihal penguatan dan pemantapan ini seyogianya tidak hanya terjadi pada satu kelompok bahasa saja. 2. Sikap dan Orientasi Berbahasa Pengguna Bahasa Kita sebagai warga Indonesia sekaligus adalah sebagai warga daerah dan warga dunia. Hal ini dapat dijelaskan dengan pemahaman berikut. Pertama, sebagai warga Indonesia, kita mesti mampu tampil sebagai pengguna bahasa Indonesia yang baik, karena kitalah penutur asli bahasa Indonesia. Pengguna bahasa yang baik tidak dimaksudkan hanya mampu sebatas berbahasa Indonesia secara lisan, namun juga sampai pada berbahasa secara tertulis. Ada banyak contoh yang menunjukkan bahwa bahasa Indonesia kurang ditekuni warga Indonesia sendiri. Misalnya, seringnya dilontarkan ucapan: “Buat apa mempelajari bahasa Indonesia, toh kita dalam sehari-hari sudah berbahasa Indonesia.” Akibatnya, banyak yang kurang tekun dan kurang mampu berbahasa Indonesia dengan baik. Ada juga contoh banyaknya anggapan atas bahasa Indonesia yang
2
memposisikan bahasa Indonesia sebagai yang lebih rendah dari bahasa asing. Buktinya, papan nama yang bertebaran di Indonesia, sekitar 80% menggunakan kata-kata bahasa asing (Inggris), dan hanya sekitar 20% menggunakan bahasa Indonesia. Pendegradasian kebanggaan itu, acapkali berupa penggunaan kata bahasa asing (Inggris) agar produknya laku di pasaran (marketable): “... dalam tindakan berbahasa di masyarakat, baik menyangkut penulisan pada papan nama, baleho, istilah di jalanan, rumah makan, hotel, perusahaan, rumah sakit, dan institusi tinggi...sebuah “warung” cenderung menggunakan istilah cafe, karena dianggap lebih laku jual...” (Manuaba, 2009:4). Selain itu, penggunaan bahasa asing ini juga mencerminkan sebuah kuasa, karena di Indonesia sesuatu yang serba-asing masih dianggap sebagai sesuatu yang lebih berkualitas, patut dipercaya, dan dijamin kualitasnya. Kalau dipahami dengan pemikiran Roland Barthes (1981:115), ini mungkin juga merupakan mitos modern yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Kedua, sebagai warga daerah, pengguna bahasa yang berbahasa Indonesia sekaligus pengguna bahasa daerah. Suatu kenyataan menunjukkan bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki bahasa daerah. Pijakan pada bahasa daerah diperlukan sebagai peneguhan karakter isi masyarakat global: “Bahasa daerah...perlu disadari sebagai bahasa ibu (mother language)... mengandung nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom)...lewat bahasa daerah inilah ia dapat menginternalisasi nilai-nilai lokalitasnya (Manuaba, 2009). Oleh karena itu, memakai bahasa daerah dalam konteks yang diperlukan, sama sekali tidak berarti ‘kuno’ (jadul), seperti anggapan umum. Sekali lagi, bahasa daerah tidak identik dengan sikap kekunoan atau ketidakmodernan. Selain bahasa daerah sebagai bagian kekayaan budaya, juga merupakan wahana komunikasi di tingkat lokal yang bernuansa keakraban. Manuaba (1999) menyatakan, bahasa bukan hanya sekedar alat komunikasi, tetapi lebih dari itu. Dengan menyitir pandangan filsuf Yunani, bahasa dipahami sebagai alat untuk mencari dan mengungkap kebenaran, mengekspresikan hal yang bersifat artistik dan untuk mempersuasif. Dalam pandangan hidup orang Athena abad ke-5, bahasa menjadi instrumen untuk mencapai tujuan tertentu, yang konkret dan praktis; sebagai senjata ampuh tingkat tinggi; dan sebagai wahana untuk menyampaikan kebijaksanaan. Tindak komunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dari sisi rasa kebahasaan, tidak dapat tergantikan bahasa Indonesia atau bahasa asing. Untuk itu, sebagai pengguna bahasa, kita harus tetap berikhtiar menghidupkan dan mengembangkan bahasa daerah. Ketiga, sebagai warga dunia, pengguna bahasa yang berbahasa Indonesia dan daerah, pada konteks kondisi tertentu mesti memakai bahasa asing yang diakui PBB sebagai bahasa internasional. Namun, bahasa asing digunakan bukan karena alasan pencitraan, tetapi karena memang menjadi tuntutan komunikasi dalam konteks berinteraksi dengan orang luar negeri. Untuk itu, sikap berbahasa merupakan bagian penting dalam tindak komunikasi. Sikap berbahasa memungkinkan kita melestarikan dan mengembangkan semua kelompok bahasa yang ada. Sikap bahasa adalah tata keyakinan yang relatif berjangka panjang mengenai bahasa dan objek bahasa tertentu, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya (http://blog. unnes.ac.id/karatikahernawan/2010/04/30/sikap bahasa/09/08/2011). Apabila kita ingin agar bahasa daerah tetap eksis di tengah masyarakat maka kita harus berperan sebagai pendukung dari bahasa itu, yang tidak hanya ikut melestarikan tetapi juga mengembangkannya. Garvin dan Mathiot (http://blog. unnes.ac.id/karatikahernawan/2010/04/30/sikap bahasa/09/08/2011) mengemukakan perlunya ada kesetiaan bahasa (language loyality) dan kebanggaan bahasa (language pride), yang dimiliki oleh pendukung bahasa itu. Kesetiaan bahasa adalah keinginan masyarakat mendukung bahasa untuk memelihara dan mempertahankan bahasa itu. Kebanggaan bahasa mendorong seseorang atau masyarakat pendukung bahasa untuk menjadikannya sebagai penanda jatidiri. Adanya sikap berbahasa inilah yang mendorong pengguna bahasa dapat memosisikan bahasabahasa secara horizontal. Untuk jelasnya, sikap berbahasa ini dapat disimak dalam bagan berikut.
3
Bagan 1: Sikap Berbahasa dan Orientasi Berbahasa KEPENTINGAN: KOMUNIKASI BERDASARKAN GENGSI, KUASA, DAN PRESTIS
KASTANISASIB AHASABAHASA
SIKAP BERBAHASA DAN ORIENTASI PENGGUNA BAHASA
VERSUS
KEPENTINGAN: KOMUNIKASI TINGKAT LOKAL, NASIONAL, DAN INTERNASIONAL
DEKASTANISASI BAHASABAHASA
3. Beberapa Sikap Berbahasa sebagai Penyebab Kastanisasi Bahasa Ada beberapa sikap berbahasa yang menyebabkan terjadinya “pengkastaan” bahasa-bahasa. Beberapa sikap tersebut adalah seperti berikut. Pertama, pengguna bahasa ingin disebut modern, prestis, mengglobal, dan seterusnya, sehingga ia cenderung memilih bahasa mana yang dianggap lebih tinggi nilainya di tengah masyarakat (Manuaba, 2010). Misalnya, dalam masyarakat daerah yang berbahasa daerah, ia memilih sebagian atau keseluruhan dalam bahasa Indonesia dan atau bahasa asing. Kedua, adanya sikap yang memosisikan diri hanya sebagai pengguna bahasa (konsumen), dan bukan sebagai pemilik bahasa (produsen). Dalam sikap ini, pengguna bahasa tidak pernah memikirkan bagaimana bahasa yang dipakai untuk dilestarikan dan dikembangkan dalam tindak komunikasi. Di sini bahasa dipahami hanya sebatas wahana, tanpa pernah dianggap sebagai bagian dari kebudayaan yang juga sarat dengan nilai-nilai yang penting diperhatikan pengguna bahasa. Ketiga, adanya sikap yang tidak menyadari bahwa setiap bahasa memiliki nilainya sendiri. Nilai tinggi bahasa tidak didasarkan pada nilai yang ada di dalam diri masing-masing bahasa itu, tetapi nilai ditentukan dengan membandingkan antar-bahasa. Bahasa asing memiliki nilai yang lebih tinggi ketimbang bahasa Indonesia; kemudian bahasa Indonesia memiliki nilai yang lebih tinggi ketimbang bahasa daerah. Pengkastaan bahasa-bahasa itu terus terjadi mulai dari tindak komunikasi sehari-hari hingga tindak komunikasi akademis. Dalam komunikasi akademis, sering dapat dijumpai tulisan yang lebih gandrung menggunakan istilah-istilah bahasa Inggris, padahal sebetulnya padanan kata dalam bahasa Indonesianya sudah ada. Dalam dunia politik sering dipakai istilah top-down atau botton-up; dalam dunia usaha sering digunakan entrepreneurship. 4. Menuju Reaktualisasi Dekastanisasi Berbahasa dalam Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia Bertitik-tolak dari kenyataan tersebut, jelaslah bahwa dalam bahasa-bahasa itu tidak dikenal adanya “pengkastaan” sebagaimana yang dikenal dalam sistem kasta di Bali dan di India. Pengkastaan terjadi bukan oleh keniscayaan bahasa-bahasa yang ada tetapi karena sikap si pengguna bahasa. 4.1 Fungsi Laten dan Manifes Bahasa Setiap pengguna bahasa perlu melakukan instrospeksi diri, apakah ketika berkomunikasi itu ia cenderung ke arah fungsi laten atau manifesnya? Si pengguna bahasa yang menggunakan bahasa dengan tujuan gengsi, kuasa, dan prestis dapat dikatakan mengarah ke fungsi laten. Di sini pengguna bahasa lebih menggunakan pertimbangan itu untuk menentukan bahasa apa yang akan dipakai, karena tujuannya adalah agar dirinya selaku si pengguna bahasa dinilai memiliki gengsi, kuasa, dan prestis yang tinggi.
4
Berlawanan dengan tujuan itu, pengguna bahasa yang menggunakan bahasa dengan arah fungsi manifes, cenderung berkomunikasi untuk kepentingan menyampaikan informasi secara kontekstual. Berbahasa dinilai baik manakala berbahasa pada tempatnya. Seorang komunikator bahasa daerah akan dihargai komunikannya, manakala ia dapat berkomunikasi dalam konteks kondisi orang harus berbicara dalam bahasa daerah. Jadi, berbahasa itu sendiri menyangkut soal kepantasan. Kepantasan berbahasa itu tidak hanya menyangkut kepantasan memilih bahasa apa, tetapi juga memilih ragam apa. Seorang komunikator berbicara dalam forum ilmiah dengan menggunakan nonilmiah. Sudah tentu kondisi berbahasa itu kurang memenuhi kepantasan berbahasa. Sebaliknya, si pengguna bahasa yang tujuan komunikasinya untuk penyampaian informasi yang efektif dan efisien serta penyerapan nilai-nilai, ia akan memilih bahasa apa dan ragam apa yang sesuai. 4.2 Kesetaraan Bahasa-bahasa dalam Konteks Komunikasi Perihal kesetaraan dan ketidaksetaraan bahasa-bahasa ditentukan oleh sikap pengguna bahasa. Pengguna bahasa yang multilingual, akan memilih apakah dalam berkomunikasi ia menggunakan bahasa daerah, bahasa Indonesia, atau bahasa asing. Konteks kondisilah yang menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan bahasa. Ia juga menyadari, di samping bahasa-bahasa itu setara, keberfungsiannya ditentukan oleh konteks berbahasa. Apakah pengguna bahasa tengah berkomunikasi dengan orang lokal (intrasuku), sesama bangsa (antarsuku), atau orang luar negeri (global). Perihal kesetaraan dan bagaimana pengguna bahasa menentukan bahasa dalam tindak komunikasi, serta kesadaran nilai yang dimiliki dalam bahasa-bahasa itu, tampak dalam bagan berikut. Bagan 2: Kesetaraan Bahasa-bahasa dan Konteks Komunikasi NILAI LOKALITAS
INTERAKSI DAN KOMUNIKASI DALAM KONTEKS LOKAL
BAHASA DAERAH
NILAI KEBANGSAAN
INTERAKSI DAN KOMUNIKASI DALAM KONTEKS NASIONAL
BAHASA INDONESIA
NILAI GLOBAL
INTERAKSI DAN KOMUNIKASI DALAM KONTEKS INTERNASIONAL
BAHASA ASING
PENGGUNA BAHASA (KECENDERUNGAN MULTILINGUALISME)
4.2 Reaktualisasi Dekastanisasi Berbahasa Reaktualisasi yang dimaksudkan di sini bukan hanya soal pengembalian kesetaraan tetapi penyegaran kembali bahasa-bahasa. Berikut adalah beberapa sikap yang dapat dilakukan pengguna bahasa untuk melakukan reaktualisasi dekastanisasi berbahasa. 1) Pengguna bahasa dalam berkomunikasi perlu menanamkan kesadaran tentang keniscayaan bahasa-bahasa yang berada dalam kesetaraan. 2) Memilih bahasa yang akan digunakan dalam tindak komunikasi bukan didasarkan pada gengsi, kuasa, atau prestis, tetapi didasarkan pada keperluan berkomunikasi secara kondisional.
5
3) Pengguna bahasa perlu menyadari bahwa setiap bahasa dalam kelompok bahasa yang ada memiliki nilai tersendiri yang penting artinya bagi pengguna bahasa. Nilai yang dimaksudkan di sini ditentukan oleh kelompok bahasanya. Dalam konteks berbahasa, sikap-sikap itu tidak hanya perlu ditanamkan pada siswa, mahasiswa, guru, dosen, dan peneliti, tetapi juga segenap masyarakat. Seorang pejabat negara, wakil rakyat, dan siapa pun yang melaksanakan tindak komunikasi perlu secara konsisten melakukan sikap komunikasi seperti ini. Untuk itu, diperlukan sebuah pembiasaan (habitalization), agar “pengkastaan” atas bahasa-bahasa tidak terwariskan terus-menerus dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia. 5. Simpulan Simpulan yang dapat disampaikan adalah seperti berikut. Pertama, dekastanisasi
merupakan bentuk kebijaksanaan pengguna bahasa yang mau dan dapat menghargai dan memuliakan keberadaan bahasa-bahasa dalam posisinya yang setara atau horisontal. Kedua, pengguna bahasa memiliki kedudukan penting bagi tumbuh-kembangnya bahasa-bahasa yang ada, sehingga setiap pengguna bahasa seyogianya memosisikan dirinya sebagai pendukung bahasa tersebut. Ketiga, untuk mereaktualisasikan dekastanisasi itu, diperlukan sikap konsisten dan berkesinambungan, serta dalam memilih bahasa mana yang akan dipakai, seyogianya menggunakan pertimbangan keefektivan dan keefisienan dalam konteks berbahasa. Bibliografi Abdullah, Taufik. 1999. “Situasi Kebahasaan Masa Kini: Kepungan Eksternal dalam Perkembangan Bahasa dan Wacana di Indonesia”, dalam Yudi latif dan Idi Subandy Ibrahim, ed., Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan Pustaka. Barthes, Roland. 1981. Elements of Semiology. New York: Hill and Wang. Berger, Peter L. 1991. Kabar Angin dari Langit: Makna Teologi dalam Masyarakat Modern (diterjemahkan dari buku asli A Rumor of Angels: Modern Society and the Rediscovery of the Supernatural oleh J. B. Sudarmantao). Jakarta: LP3ES. Halim, Amran (ed.). 1980. Politik Bahasa Nasional 2. Jakarta: Balai Pustaka. http://wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia, akses tanggal 9 Juni 2009. http://blog.unnes.ac.id/karatikahernawan/2010/04/30/sikap-bahasa/tanggal akses 09/08/2011, waktu 21:17 Manuaba, Putera. 1992. “Menjadikan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Ipteks”, dalam Surabaya Post, 22 Oktober, halaman 4. ______ 1996. “Perkembangan Bahasa Indonesia sebagai Proses Dialektika”, dalam Nusa Tenggara. ______ 1999, “Evolusi Bahasa Politik Kita”, dalam Surabaya Post, 18 Oktober, halaman 4. ______ 2009. “Pergeseran Peran Bahasa Indonesia dalam Konteks Lokal dan Global”. Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Relasi Lokalitas-Globalitas Menuju Modernitas Bahasa dan Sastra Indonesia, tanggal 24—25 Juni 2009. di Hotel Garden Palace, Surabaya, ______ 2010. “Dekastanisasi Bahasa-bahasa”, dalam Warta Unair, diterbitkan oleh Universitas Airlangga, Surabaya. Rivers William L.,Theodore Peterson, dan Jay W. Jensen. 2003. Media Massa Masyarakat Modern, edisi kedua (diterjemahkan dari buku asli Mass Media and Modern Society, 2nd edition oleh Haris Munandar & Dudy Priatna. Jakarta: Renada Media. Subagio, Ari. 2009. “Masalah Utama Bahasa Indonesia”, dalam Kompas. Wibowo, Wahyu. 2003. Manajemen Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
6