BAB I PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Kesenian adalah ekspresi kebudayaan manusia. Kesenian dapat hidup, tumbuh, dan berkembang karena didukung oleh masyarakatnya, baik kelompok seniman (komposer, pencipta lagu, koreografer, penari, pemusik, pekerja seni), budayawan, pemimpin politik, dan masyarakat secara umum. Kesenian muncul dalam kebudayaan manusia di seluruh dunia ini, karena pada dasarnya manusia memerlukan pemuasan dan kebutuhan akan keindahan (estetika). Sama juga halnya dengan manusia yang membutuhkan bahasa dalam rangka komunikasi verbal sesamanya, manusia juga membutuhkan pendidikan supaya ia pintar dan dapat mengelola alam sekitarnya. Begitu juga manusia memerlukan mata pencaharian hidup untuk memenuhi keperluan sehari-harinya seperti makan, minum, pakaian, perumahan, dan lainnya. Dengan demikian, manusia memerlukan berbagai kebutuhan, yang kemudian menghasilkan kebudayaan. Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan universal manusia. Dalam sebuah kelompok masyarakat, kesenian ini ada yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut, tidak dipengaruhi oleh kesenian dari luar. Kesenian yang demikian ini merupakan hasil dari proses inovasi para senimannya. Namun di sisi lain, ada juga beberapa genre seni yang merupakan peminjaman atau adopsi dari kesenian luar, atau unsur-unsur kesenian tersebut diambil dari kebudayaan luar. Kesenian yang
Universitas Sumatera Utara
sedemikan ini dapat dikatakan sebagai hasil dari proses akulturasi 1 , yaitu percampuran dua kebudayaan menjadi satu kebudayaan baru. Sebagai contoh, dalam kebudayaan masyarakat di Sumatera Utara, beberapa genre kesenian yang mengekspresikan aspek inovasi internal (dalam hal ini maksudnya kolaborasi seniman terhadap beberapa seni pertunjukan yang ada di wilayah Sumatera Utara) adalah genre seni ronggeng, gordang sambilan, berbagai jenis ende di Mandailing, tortor Batak Toba, nyanyian permangmang Karo, tari faluaya Nias, tradisi ahoi Melayu, permainan kalondang Dairi, dan masih banyak lagi yang lainnya. Di sisi lain, ada pula seni yang merupakan hasil akulturasi kebudayaan masyarakat Sumatera Utara dengan kebudayaan luar. Misalnya seni keroncong, dangdut, keyboard khas Sumatea Utara (Karo, Melayu, Jawa), marhaban, barzanji, zapin 2 , dan lain-lain. Kesenian yang terakhir ini, yaitu zapin tumbuh dan berkembang di dalam kebudayaan Melayu pada umumnya, yang kemudian juga menjadi identitas kepada kesenian Islam. Untuk itu perlu dipahami apa itu Melayu. Menurut Ismail Husein 3 Melayu adalah sebuah terminologi yang dapat diartikan sebagai kelompok etnik, ras, kebudayaan, atau wilayah budaya. Pengertian Melayu bisa menyempit dan bisa juga meluas. Dalam pengertian etnik,
1
248.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hal., 247-
2
Dalam tesis ini istilah zapin yang diserap dari bahasa Arab, ditulis dengan huruf miring (italic) hanya ada pemunculan pertamanya saja. Setelah itu, istilah ini akan ditulis dengan huruf biasa untuk mengefektifkan penulisan dan memenuhi standar dan norma-norma dalam penulisan ilmiah. Istilah zapin ini tentu saja akan muncul secara repetitif di semua tempat, kemungkinan besar di semua halaman. Jadi para pembaca mestila memahami teknik penuisan yang penulis maksud tersebut. 3 Ismail Husein, The Study of Traditional Malay Literature with Selected Bibliography, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1978), hal., 3-4.
Universitas Sumatera Utara
Melayu merupakan salah satu kelompok etnik (atau ras) besar
di dunia.
Berdasarkan penyebaran dan perpindahannya, asal mula penduduk sebagian besar di Asia Tenggara dan Polinesia adalah Melayu. Ini dapat ditinjau dari sejarah persebarannya yang disebut Proto Melayu (Melayu Tua) dan Deutro Melayu (Melayu Muda). Etnik Melayu mendiami beberapa negara seperti Malaysia, Filipina (bagian selatan), Singapura, Myanmar, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Di Indonesia 4 , etnik Melayu terdapat di beberapa provinsi, yaitu: daerah Tamiang di Daerah Istimewa Aceh sekarang Nanggroe Aceh Darussalam, Pesisir Timur Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Jambi, dan Sumatera Selatan. Di Pesisir Timur Sumatera Utara, dahulu masuk wilayah Sumatera Timur, wilayah budaya etnik Melayu berdasarkan pemekarannya meliputi Kabupaten/Kota: Langkat, Binjai, Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi, Asahan, Tanjung Balai, Batubara, dan Labuhan Batu (Labuhan Batu Utara dan Labuhan Batu Selatan), dan Siak Sri Indrapura. Secara teoretis, orang Melayu bisa saja berasal dari setiap suku bangsa, asalkan ia menganut agama Islam, berbicara dalam bahasa Melayu dan hidup sesuai dengan adat-istiadat Melayu dalam kehidupan sehari-hari 5 . Kemudian Judith A. Nagata berpendapat seperti yang dikutip oleh Tengku Luckman Sinar, mengemukakan hal yang sama yaitu bahwa yang disebut dengan etnik Melayu itu adalah seseorang yang beragama Islam, yang dalam lingkungannya berbahasa 4
Tentang wilayah budaya Melayu ini dapat dilihat dari tulisan-tulisan: (1) Tengku Luckman Sinar (1994); (2) Ismail Hussein (1984:3-4); (3) J. C. van Eerde (1920:17-20) dan (4) C. Lekkerkerker (1916:119). 5 Hirako Sasamoto, “Suatu Tinjauan dari Aspek Masyarakat Majemuk,” Skripsi Sarjana USU, 1991, hal., 3.
Universitas Sumatera Utara
Melayu, yang menerapkan tingkah laku adat Melayu, dan memenuhi berbagai syarat setempat. Selanjutnya menurut Lah Husni, yang disebut suku Melayu itu berdasarkan falsafah hidupnya, terdiri dari lima dasar, yaitu: Islam, beradat, berbudaya, berturai, dan berilmu 6 . Arti kata Melayu secara etimologis, ada beberapa pendapat, antara lain seperti dikemukakan oleh Burhanuddin (informan) yang mengatakan bahwa defenisi Melayu secara harfiah adalah negeri yang mula-mula. Selanjutnya menurut Zein bahwa yang dimaksud dengan Melayu adalah bangsa yang menduduki sebahagian besar pulau Sumatera serta pulau-pulau Riau-Lingga, Bangka, Belitung, Semenanjung Melaka, dan pantai laut Kalimantan. Lebih lanjut Zein mengatakan bahwa istilah Melayu adalah kependekan dari Malayapura, yang artinya adalah kota di atas bukit Malaya, kemudian menjadi Malaiur, dan akhirnya menjadi Melayu 7 . Dengan demikian, Melayu sangat berkaitan dengan identitas kebudayaan, yang dilandasi oleh Islam yang universal (syumul), termasuk terapan zapin dalam masyarakat Melayu di Serdang, Sumatera Utara, yang menjadi fokus perhatian penulis dalam tesis ini. Pada tulisan ini saya akan membahas tentang zapin Melayu dalam wilayah budaya Serdang yang mengkaji aspek sejarahnya, fungsi bagi masyarakatnya, struktur musik dan tari, serta kajian teks lagunya. Zapin merupakan produk masa lalu, dan telah menjadi salah satu genre seni tari yang berlanjut sampai saat ini 6
Tengku Lah Husni dalam Muhammad Takari, “Kesenian Hadrah pada Kebudayaan melayu Deli Serdang dan Asahan: Studi Deskriptif Musikal,” Skripsi Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan, 1990, hal., 90. 7 St. Muhmmad Zein dalam Muhammad Takari, “Kesenian Hadrah pada Kebudayaan melayu Deli Serdang dan Asahan: Studi Deskriptif Musikal,” Skripsi Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan, 1990, hal., 33.
Universitas Sumatera Utara
sebagai salah satu bagian dari tradisi seni pertunjukan bersifat kontekstual seremoni dalam kehidupan masyarakat Melayu sehari-hari. Berdasarkan hal itu, maka wajar kiranya terutama masyarakat pendukung tradisi seni zapin melanjutkan eksistensinya dengan segala kemungkinan akan dinamika perubahan, atau merancang perubahan untuk masa mendatang. Sehingga genre zapin yang baru dalam berbagai kemungkinan wajah seni dapat diwujudkan sebagai pemenuh citra estetika manusia ke depan. Zapin menurut penjelasan para informan di kawasan budaya Melayu Serdang adalah tari (tandak). Sedangkan para ilmuwan yang telah meneliti zapin pengertiannya ialah seni pertunjukan tari yang diiringi dengan musik zapin. Jadi dari sini didapatlah pengertian etik dan emik. Pengertian etik itu adalah pandangan orang luar terhadap suatu seni pertunjukan atau budaya, sedangkan emik adalah pandangan orang dalam atau masyarakat pendukung dari suatu kebudayaan itu atau seni pertunjukan itu sendiri. Zapin merupakan salah satu genre dalam seni pentas pertunjukan Melayu yang di dalamnya mencakup musik (rentak atau ritme), tari, serta lagu. Apabila rentak zapin itu didendangkan, maka musik itu dinamakan dengan musik zapin. Seperti apa yang dikatakan oleh Fadlin (wawancara Januari 2011), bahwa struktur rentak atau ritem zapin di Sumatera Utara khususnya di Medan, dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori : (1) rentak induk atau dasar dan (2) rentak anak atau peningkah. Rentak induk dibentuk oleh tanda birama 4/4 dengan pola ritme khas zapin, sedangkan rentak peningkah dikembangkan berdasarkan rentak induk dengan struktur mengikut estetika para pemain musiknya.
Universitas Sumatera Utara
Musik zapin di kawasan Serdang Sumatera Utara, biasa juga disebut musik gambus, yang alat musik utamanya adalah gambus, di samping alat musik marwas dan musik pengiring yang lain seperti biola, akordeon, gendang ronggeng (frame drum), dan vokal. Sedangkan dari struktur melodi, zapin mempergunakan unsur-unsur budaya musik Melayu, Arab, India, dan Barat. Zapin memiliki struktur musik yang cukup jelas. Zapin mempunyai bahagian pembuka yang biasa jadi improvisasi solo gambus yang free meter (taksim), bahagian tengah yang diulang-ulang untuk lagu dasar, dan variasi gendang (tahtum). Dengan demikian zapin dapat pula digolongkan sebagai seni pertunjukan Melayu yang berdasar pada kesenian Islam. Oleh karena itu, maka seni zapin sangat menarik untuk dikaji dari sisi seni pertunjukan, dan juga dengan berbagai disiplin lain seperti etnomusikologi, etnokoreologi, antropologi, sosiologi, sejarah, semiotik, dan lain-lain. Kajian pertunjukan (performing art studies) adalah sebuah disiplin baru, sebuah pendekatan interdisipliner yang mempertemukan berbagai disiplin, antara lain: kajian teater, antropologi, antropologi tari, etnomusikologi, folklor, semiotika, sejarah, linguistik, koreografi, kritik sastra, dan lain-lain. Sasaran kajian pertunjukan tidak terbatas hanya kepada tontonan yang dilakukan di atas panggung, tetapi yang juga terjadi di luar panggung; olahraga, permainan sirkus, karnaval, perjalanan ziarah, nyekar (ziarah kubur), dan ritual (dalam kebudayaan Melayu disebut adat istiadat). Ada beberapa tokoh tentang seni pertunjukan ini antara lain ialah Victor Turner dan Richard Schechner (aktor, sutradara teater,
Universitas Sumatera Utara
pakar pertunjukan, dan editor The Drama Review), Sal Murgiyanto, dan R.M. Soedarsono.(wawancara dengan Torang, 2010) Turner dan Bruner (1982) mengatakan, sebuah ritual harus dilakukan, sebuah mite harus diceritakan, sebuah narasi harus diucapkan, sebuah novel dibaca, sebuah drama dipentaskan, karena lakonan, resitasi, penceritaan, pembacaan, dan pertunjukanlah yang membuat sebuah teks transformatif dan memungkinkan kita mengalami kembali warisan budaya kita. Di sini kita berhubungan dengan teks yang dipertunjukkan, yang menyadarkan kita bahwa antropologi (seni) pertunjukan adalah bagian dari antropologi (seni) pengalaman. Kemudian menurut R.M. Soedarsono 8 secara garis besar fungsi seni pertunjukan ialah: (a) sebagai sarana upacara; (b) sebagai tontonan; dan (c) sebagai hiburan pribadi.(wawancara dengan Torang, 2010) Selain itu, pendekatan pertunjukan juga mengambil pelajaran dari disiplin semiotik dalam usahanya memahami bagaimana makna sebuah peristiwa pertunjukan. Pelopornya, Ferdinand de Saussure (Amerika Serikat), dan Charles Sanders Peirce (Swiss) 9 . Dalam semiotik ada 3 hal yang saling berkaitan yang perlu diperhatikan; representatum (penyaji), interpretant (pengamat), dan objek. Objek
yang
dipertunjukkan
memuat
berbagai
lambang
yang
harus
diinterpretasikan oleh pemain ataupun penonton dalam usahanya memahami proses pertunjukan. 8
R.M. Soedarsono, 1985. “Peranan Seni Budaya dalam Sejarah Kebudayaan Manusia Kontinuitas dan Perubahannya”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 9 Oktober 1985. hal. 18-21. dalam Etnomusikologi, Jurnal Ilmu Pengetahuan Seni, Nomor 7, Medan : Departemen Etnomusikologi, Universitas Sumatera Utara, 4 Maret, 2008. hal.44. 9 Makalah “Aplikasi Teori Semiotika dalam Seni Pertunjukan” oleh Abdul Latif Abu Bakar, dalam etnomusikologi, vol.2, no.1, Mei 2006, hal., 28.
Universitas Sumatera Utara
Lambang ini oleh Peirce dibedakan atas 3 jenis: ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah lambang yang wujudnya menyerupai yang dilambangkan, seperti sebuah foto. Indeks adalah tanda yang menunjukkan akan adanya sesuatu yang lain. Asap adalah tanda akan adanya api. Sedangkan simbol adalah lambang yang tak menyerupai yang dilambangkan; burung garuda sebagai simbol bangsa Indonesia.(wawancara dengan Torang, 2010) Defenisi seni pertunjukan adalah suatu bentuk ekspresi komunal yang penting dan berfungsi sebagai jembatan dialog atau komunikasi 10 : (a) antara Tuhan dan ciptaannya, (b) antara pemuka adat dan masyarakatnya, dan (c) antara sesama manusia. Seni Pertunjukan tradisional terbagi atas dua (2) bagian: 1. seni pertunjukan sakral, yaitu seni pertunjukan yang masih memiliki hubungan dengan upacara keagamaan, baik bersifat komunal sakral, 2. seni pertunjukan sekuler, seni pertunjukan yang memiliki aspek hiburan, pergaulan, serta penonton dapat terlibat dalam pertunjukan. Jadi menurut paparan di atas dapat dilihat bahwa pengaruh unsur budaya Arab sangat tampak sekali kelihatannya dari penggunaan alat musik gambus di dalamnya. Oleh karena itu, walaupun zapin ini yang katanya berasal dari Arab, oleh orang-orang Melayu, zapin dikembangkan dan disesuaikan dengan cita rasa seni dan keperluan kebudayaan etnik Melayu. Bahkan di Alam Melayu dikenal dua jenis zapin yaitu zapin Arab dan zapin Melayu.
10
R.M. Soedarsono, 1999. Metode Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung : Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. hal. 49-50. dalam Etnomusikologi, Jurnal Ilmu Pengetahuan Seni, Nomor 7, Medan : Departemen Etnomusikologi, Universitas Sumatera Utara, 4 Maret, 2008. hal.45.
Universitas Sumatera Utara
Jadi mengingat adanya semangat untuk menunjukkan kreativitas, maka selalu ada variasi gerak yang khas yang membedakan tarian zapin dari satu daerah dengan zapin dari daerah lain. Di situlah sesungguhnya keanekaragaman variasi gerak zapin, yang memperlihatkan perbedaan dan kekayaan lokal genius wilayah budaya setempat, termasuk juga perbedaan penamaannya. Dalam konteks itulah kemudian kita mengenal zapin Arab –yang masih mempertahankan aura padang pasirnya, zapin Johor –yang kini berkembang begitu cepat, zapin Pelan, zapin Tengku, zapin Brunei (jipin tar dan jipin Laila Sembah), zapin Bengkalis (zapin Tepung), zapin gelek sagu, dan sederet panjang nama lain yang menyertai variasi gerak zapin. Bahkan, di Pulau Rupat, pernah pula ada tarian zapin sambil bermain bola api. Orang pun kemudian menyebutnya sebagai zapin api 11 . Selain itu, di beberapa daerah di wilayah Nusantara ini, zapin dikenal dengan nama yang lain. Di Jambi, Palembang, dan Bengkulu misalnya, zapin dikenal dengan nama dana, yang di Lampung disebut bedana, sedangkan di Nusa Tenggara disebut dana-dani. Di Brunei, zapin lebih dikenal dengan nama jipin, yang hampir sama dengan di Kalimantan yang menamakannya jepin, yang di Sulawesi disebut jippeng, sedangkan di Maluku dikenal dengan nama jepen 12 . Zapin Bengkalis, konon, mulai berkembang selepas Kesultanan Siak Sri Indrapura tidak lagi memainkan peranan penting dalam kehidupan pemerintahan. Tarian zapin kemudian tidak lagi dapat dipertahankan sebagai kesenian eksklusif yang hanya dimainkan di kalangan istana dan kerabat kesultanan. Sebagaimana lazimnya kesenian yang tumbuh dan berkembang di kalangan istana, pakem zapin 11 12
http://www. mahayana – mahadewa.com Ibid.
Universitas Sumatera Utara
yang semula begitu ketat dengan gerakan yang sangat menonjolkan kehalusan dan langkah kaki yang rapat, kini mulai disusupi dengan menekankan kelincahan dan kepiawaian gerak. Penari perempuan–yang dalam zapin awal tidak diizinkan— kini justru menjadi bagian yang sama pentingnya dengan penari laki-laki. Dengan demikian, zapin mengalami perubahan fungsi dari konteks hiburan istana menjadi konteks hiburan rakyat. (wawancara dengan Muslim, Desember 2010). Menurut Sal Murgiyanto 13 , tari adalah salah satu saka guru seni pertunjukan tradisi Indonesia. Tari yang merupakan cabang seni pertunjukan tertua lahir bersamaan dengan lahirnya kebudayaan manusia. Ironisnya, sebagai disiplin studi, tari justru merupakan disiplin yang paling muda. Menurutnya jenisjenis tari yang diamatinya tidak terbatas pada tari-tari Melayu Riau dan Sumatera Utara yang disebut sebagai daerah asal dan pusat budaya Melayu, tetapi juga kelompok Melayu dari Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, bahkan yang berasal dari Malaysia. Tari adalah salah satu ekspresi budaya yang sangat kaya, tetapi paling sulit untuk dianalisis dan diinterpretasikan. Mengamati gerak laku sangat mudah, tetapi tidak mengetahui maknanya. Tari dapat diinterpretasikan dalam berbagai tingkat persepsi. untuk memahami maksud yang hendak dikomunikasikan dari sebuah tarian, orang perlu tahu tentang kapan, kenapa, dan oleh siapa tari dilakukan. Dalam mengukur kedalaman sebuah tarian atau menjelaskan sebuah pertunjukan
13
Sal Murgiyanto, 1 Januari 2010, “Seni Tari Melayu : Struktur dan Refleksi Keindahan,” makalah seminar Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya, Tanjung Pinang Riau. hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
dari kebudayaan lain, dituntut pemahaman cara dan pandangan hidup masyarakat yang menciptakan dan menerima tarian tersebut 14 . Selanjutnya dalam pembicaraan tentang estetika atau keindahan tari, jenisjenis tari yang dilakukan sebagai pelepas kekuatan emosional dan fisik tidak akan dibahas. Keterampilan gerak biasanya dikuasai secara instingtif dan intuitif. Tari sebagai ungkapan seni mulai hadir ketika orang mulai sadar akan pentingnya teknik atau keterampilan gerak, dan ketika itu orang mulai mengatur gerak, artinya mulai ada tuntutan keteraturan atau bentuk. Sejalan dengan pertumbuhan itu mulai tumbuh kepekaan nilai pengalaman dan perasaan yang dihayati secara lebih mendalam. Masalah dasar dalam kesenian adalah pengaturan yang terkendali dari suatu medium dalam rangka mengkomunikasikan imaji-imaji dari pengalaman manusia 15 . Sebuah gerakan dinilai baik jika tujuan gerak tersebut dapat dipenuhi dengan efisiensi maksimal dengan usaha yang sekecil-kecilnya, sehingga gerakan tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan terkendali tanpa gerak tambahan yang tidak perlu. Ellfeldt 16 (1976: 136) menyebutkan bahwa yang melahirkan gerakangerakan yang gemulai, anggun, indah adalah pengendalian tenaga dalam melakukan gerak. 14
H. Kuper dalam A.F. Synder, 1984, “Examining the Dance Event From A World Perspective”, Ceramah di Grand Salon, Renwick Gallery, hal. 5, dalam Sal Murgiyanto, 1 Januari 2010, “Seni Tari Melayu : Struktur dan Refleksi Keindahan”, makalah seminar Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya, Tanjung Pinang Riau. hal., 2. 15 Ellfeldt, L. Dance: From Magic to Art. Dubuque, (Iowa: W.C. Brown, 1976), hal. 160, dalam Sal Murgiyanto, 1 Januari 2010, “Seni Tari Melayu : Struktur dan Refleksi Keindahan”, makalah seminar Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya, Tanjung Pinang Riau. hal., 4. 16 Ellfeldt, L. Dance: From Magic to Art. Dubuque, (Iowa: W.C. Brown, 1976), hal. 136, dalam Sal Murgiyanto, 1 Januari 2010, “Seni Tari Melayu : Struktur dan Refleksi Keindahan”, makalah seminar Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya, Tanjung Pinang Riau. hal., 2.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu hal yang membuat kita dapat merasakan keindahan sebuah gerak tari adalah ketika pelakunya mampu menarikan dengan kekuatan, kelenturan, dan koordinasi yang sempurna, sehingga rasa gerak yang dilakukan merambat dan dirasakan oleh penonton. Kalau penari menggambarkan gerakan terbang, maka penonton pun seakan-akan ikut terbang bersama penari. Faktor
pertama
yang
mempengaruhi
estetika
gerak
tari
adalah
keterampilan atau kemahiran melaksanakan gerak. Penari Jawa menyebutnya wiraga dan dalam literatur Barat disebut teknik gerak atau teknik tari. Berbeda dengan gerakan dalam olahraga, gerakan tari bukan saja harus dilakukan secara benar, tetapi “bagaimana gerakan itu dilakukan” harus terpenuhi. Dengan kata lain, “kualitas” dan “gaya” dalam melakukan gerakan menjadi hal yang sangat penting 17 . Sebagaimana halnya tari tradisi lain, ada dua hal utama dalam membicarakan tari tradisi Melayu. Pertama, adanya pola-pola gerak yang menjadi dasar penyusunan tari. Kedua, adanya aturan dan konvensi yang menentukan pengaturan pola-pola yang membangun ragam-ragam gerak 18 . Teknik dalam tari tradisi dimaksudkan sebagai keterampilan mengkoordinasikan gerakan-gerakan tubuh untuk melakukan ragam gerak sesuai dengan aturan dan konvensi yang berlaku dalam tarian yang bersangkutan. Sebagai contoh, keterampilan penari zaman dahulu diukur dari kemampuannya melakukan ragam gerak catuk. Diduga gerak ini diilhami dari cara ayam mencatuk makanan. Penilaian tersebut dilakukan 17
Sal Murgiyanto, 1 Januari 2010, “Seni Tari Melayu : Struktur dan Refleksi Keindahan”, makalah seminar Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya, Tanjung Pinang Riau. hal., 7. 18 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978/1979: hal. 239, dalam Sal Murgiyanto, 1 Januari 2010, “Seni Tari Melayu : Struktur dan Refleksi Keindahan”, makalah seminar Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya, Tanjung Pinang Riau. hal., 5.
Universitas Sumatera Utara
dengan menyuruh dua penari pria menari dengan sebatang rokok pada masingmasing mulutnya. Seorang penari dengan rokok yang sudah menyala, penari lain dengan rokok yang belum menyala. Pada waktu membawakan ragam tari catuk, penari dengan rokok yang belum menyala harus menghidupkan rokoknya dengan jalan mencatukkan rokoknya ke rokok pasangannya. Mencatuk hanya boleh dilakukan sebanyak tiga kali dan apabila penari belum berhasil menghidupkan rokok di mulutnya, ia dianggap belum cukup terampil sebagai penari zapin 19 . Penilaian keindahan gerak tari tradisi sering dipengaruhi oleh faktor sosial, kesukuan, emosional, agama, dan kepercayaan setempat. Dalam menarikan tari tandak dan tari zapin misalnya, pasangan penari pria dan wanita bergerak berdekatan, tetapi tidak boleh saling bersentuhan. Dalam tari Melayu juga dibedakan gerak tari ideal pria dan tari wanita. Mansur 20 berpendapat, penari wanita sebaiknya menonjolkan sikap badan dan gerakan yang lemah lembut, sedangkan penari pria dengan sikap badan dan gerakan yang gagah. Dalam zapin, penari pria menari dengan tempo lebih cepat daripada gerak penari wanita. Medium tari adalah gerak, sedangkan alat yang digerakkan adalah tubuh. Oleh karena itu, untuk dapat memahami tari, orang harus memahami bagaimana menggunakan “alat” tersebut. Esensi tari adalah integrasi tubuh dan jiwa, serta integrasi antara pengalaman batiniah dan pengalaman lahiriah secara konseptual
19
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978/1979: hal. 157, dalam Sal Murgiyanto, 1 Januari 2010, “Seni Tari Melayu : Struktur dan Refleksi Keindahan”, makalah seminar Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya, Tanjung Pinang Riau. hal., 5. 20 Mansur, T. N. A. t.t. “Meninjau Beberapa Jenis Tari Melayu”. Naskah lepas, dalam Sal.Murgiyanto, “Cara Menilai Seorang Penari “, Kompas 19 Juli 1977, Jakarta, dalam Sal Murgiyanto, 1 Januari 2010, “Seni Tari Melayu : Struktur dan Refleksi Keindahan”, makalah seminar Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya, Tanjung Pinang Riau. hal., 5.
Universitas Sumatera Utara
dan estetika. Proses sebuah tarian diawali dengan pengalaman jasmaniah yang secara naluriah mengatur dirinya secara ritmik. Dengan demikian pengaturan ritmik merupakan unsur pokok tari. Seorang penari harus mendengarkan bunyi gendang, dan bila benar-benar memperhatikan dan mendengarkan bunyi gendang, maka dalam dirinya akan hadir gema gendang dan baru dapat benar-benar menari 21 . Dalam berkata-kata kita memerlukan jeda atau perhentian, cepat lambat, dan intonasi suara agar dapat menghadirkan kalimat yang bermakna. Dalam tari pun demikian juga. Gerak sebagai penyusun ragam tari dapat dihasilkan karena pengaturan irama cepat lambat, jeda atau perhentian, awal pengembangan, dan klimaks dari tiga unsur gerak (ruang, waktu, dan tenaga). Pengaturan irama semacam ini sangat membantu penari dalam mengingat dan menghafalkan rangkaian gerak, sehingga penari dapat melakukannya dengan penghayatan maksimal. Pengaturan semacam ini juga memudahkan penonton dalam mengikuti dan memahami ungkapan-ungkapan gerak yang dilakukan penari. Menurut Tengku Luckman Sinar 22 dalam tulisannya menjelaskan rentakrentak sebagai berikut. Pertama, tari lagu senandung, berirama pelan dengan
21
R.F. Thompson, 1974. African Art in Motion. Berkeley: University of California Press, hal. 262, dan A.F. Snyder, 1984. Examining the Dance Event From A World Perspective. Ceramah di Grand Salon, Renwick Gallery, hal. 9, dalam Sal Murgiyanto, 1 Januari 2010, “Seni Tari Melayu : Struktur dan Refleksi Keindahan”, makalah seminar Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya, Tanjung Pinang Riau. hal., 6. 22 Tengku Luckman Sinar, 1982, “Latar Belakang Sejarah dan Perkembangan Seni Tari Melayu di Sumatera Timur”, makalah seminar Pekan Penata Tari dan Komponis Muda Dewan Kesenian Jakarta. hal. 1-2, dalam Sal Murgiyanto, 1 Januari 2010, “Seni Tari Melayu : Struktur dan Refleksi Keindahan”, makalah seminar Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya, Tanjung Pinang Riau. hal., 6-7.
Universitas Sumatera Utara
nyanyian dan pantun nasib yang dibawakan oleh penari. Peralatan musik yang digunakan adalah biola atau akordeon, dua buah gendang ronggeng bulat satu sisi yang terdiri dari induk dan anak, dan sebuah gong atau tawak-tawak. Irama senandung ini khas Melayu dan sudah ada dalam makyong yang masuk ke Tanah Melayu pada abad ke-16. Dalam rentak senandung lebih diutamakan gerakan tangan dan jari yang lemah gemulai daripada gerakan kaki. Kedua, tari lenggang mak inang, dilakukan dengan tempo dan lagu yang dinyanyikan dalam empat baris khorus. Gerak lenggang tangan yang lemah gemulai dikembangkan dengan memegang saputangan atau selendang dan temponya dipercepat. Salah satu variasinya adalah lagu Cek Minah Sayang. Ketiga, tari lagu dua, dilakukan dengan irama 2/4 yang bernada gembira dengan pantun-pantun jenaka. Dalam tarian bertempo cepat ini gerakan kaki yang dihenjut-henjutkan dan agresif lebih diutamakan, terutama bagi laki-laki. Kadangkadang langkah kaki berbunga (double step) seolah-olah tidak menjejak dan badan seperti melayang. Angkatan tangan sebatas pinggang hingga bahu. Salah satu variasi rentak lagu dua adalah pulau sari. Pulau sari merupakan rentak lagu dua yang kecepatannya dilipatkan sehingga tidak pernah diiringi nyanyian lagi. Gerakan kaki penari yang meloncat-loncat ringan sangat diutamakan. Selanjutnya, pusat-pusat pemerintahan atau Kerajaan-kerajaan Melayu hampir seluruhnya terletak di tepi sungai atau di tepi pantai. Sejak dahulu orang Melayu ahli berdagang. Kedua hal ini menyebabkan kebudayaan Melayu terbuka terhadap pengaruh luar. Salah satu pengaruh besar yang kemudian meresap dalam bidang religi adalah pengaruh Arab-Islam. Pengaruh ini seakan-akan menghapus
Universitas Sumatera Utara
budaya Hindu dan Budha, sehingga budaya Hindu-Budha tinggal penghias dalam kebudayaan Melayu. Kesenian zapin (gambus), kasidah, rodat (barodah), dan zikir barat adalah pengaruh dari kebudayaan Islam tersebut 23 . Menurut Sinar, jauh sebelum Islam masuk, hubungan Melayu dengan Siam sudah terbina cukup baik. Pengaruh Siam yang masuk melalui Kedah dan Perlis terlihat dalam bentuk pertunjukan Makyong, Menora, dan Mendu di wilayah Luhak Teluk Aru di Langkat dan di Kerajaan Deli Serdang. Pengaruh India, dalam hal ini Keling atau Tamil, India Selatan, terus berlanjut, sesudah Islam identik dengan Melayu. Pada akhir abad ke-19 pengaruh India ditandai dengan berkembangnya pertunjukan wayang Parsi, Bangsawan, dan sebagainya. Kemudian Luckman Sinar 24 membagi tari-tarian Melayu dalam empat kelompok. Pertama, kelompok tari yang masih bersifat magis-religius. Tari dipimpin oleh pawang yang mengucapkan mantra-mantra tertentu, seperti yang dilakukan dalam upacara mengambil madu lebah, jamu laut, jamu bendang atau dalam tarian keliling sambil menginjak-injak padi yang disebut ahoi. Dalam pertunjukan makyong, pawang mendapat bagian yang menghadap rebab. Kedua, kelompok tari perang. Tari yang termasuk jenis ini adalah tari silat dan tari pedang yang ditarikan oleh laki-laki dengan memakai senjata (pisau, keris, atau pedang). Tarian ini dilakukan untuk menyambut tamu penting atau untuk mengarak 23
Tengku Luckman Sinar, 1982, “Latar Belakang Sejarah dan Perkembangan Seni Tari Melayu di Sumatera Timur”, makalah seminar Pekan Penata Tari dan Komponis Muda Dewan Kesenian Jakarta. hal. 3, dalam Sal Murgiyanto, 1 Januari 2010, “Seni Tari Melayu : Struktur dan Refleksi Keindahan”, makalah seminar Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya, Tanjung Pinang Riau. hal., 2. 24 Tengku Luckman Sinar, 1982, “Latar Belakang Sejarah dan Perkembangan Seni Tari Melayu di Sumatera Timur”, makalah seminar Pekan Penata Tari dan Komponis Muda Dewan Kesenian Jakarta. hal. 5-12, dalam Sal Murgiyanto, 1 Januari 2010, “Seni Tari Melayu : Struktur dan Refleksi Keindahan”, makalah seminar Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya, Tanjung Pinang Riau. hal., 3.
Universitas Sumatera Utara
pengantin. Tari inai dengan gerakan silat sambil memegang lilin yang ditarikan di depan pelaminan dalam “malam berinai besar” termasuk dalam kelompok ini. Ketiga, tari pertunjukan. Tari ini dibedakan menjadi tari yang bersifat semireligius dan tari yang semata-mata bersifat hiburan. Barodah dan zikir barat yang menyanyikan syair pemujaan kepada Allah dan Rasullulah dalam bahasa Arab dan bersumber dari kitab Barzanji, termasuk dalam tari semireligius. Adapun tari yang bersifat hiburan semata-mata yaitu zapin. Keempat, kelompok tari-tari ronggeng untuk menandak, antara lain tari lagu senandung, tari lagu dua, tari lenggang mak inang/cek minah sayang, tari pulau sari, tari patam-patam, dan gubang. Tari lagu senandung, tari lagu dua, tari lenggang mak inang/cek minah sayang, dan tari pulau sari ini sering dilakukan dalam satu rangkaian dan disebut sebagai tari Melayu empat serangkai. Selanjutnya saya akan membicarakan masalah penyebaran tradisi zapin di Asia Tenggara yang dibagi menjadi beberapa bagian yaitu: Thailand Selatan, Singapura, pantai timur Sumatera, kepulauan Riau, dan daerah pesisir yang didominasi Melayu-Borneo (termasuk Brunei, beberapa bagian Sarawak dan Sabah, dan Kalimantan) dalam hal ini mencerminkan hubungan erat antara Melayu maritim dan Islam. Sangat menarik bahwa tradisi zapin dapat ditemukan hanya di antara Melayu muslim yang pernah kontak sejarah dengan orang-orang Arab dan budaya Arab. Ada kemungkinan bahwa beberapa suku Melayu mungkin telah meminjam atau mengembangkan tradisi zapin setelah mengamati kelompok suku Melayu yang lain. Meskipun kinerja gaya zapin di antara berbagai kelompok
Universitas Sumatera Utara
melayu di Asia Tenggara bervariasi, iringan musik dan tarian bagian dasar tetap hampir sama bentuknya. Menurut Mohd Anis Md Nor 25 , unsur-unsur universal dalam tradisi zapin yang paling jelas adalah dominasi pra-gambus atau 'ud sebagai instrumen terkemuka. Penggunaan marwas dan pola interlocking, dengan improvisasi free meter sebagai pembuka, didominasi oleh solo pemain gambus, dengan koda (khas tradisi zapin), dan tidak adanya gerakan kaki pada hitungan pertama frase tarian tari dasar. Sekitar tahun 1720, rangkaian perang di Sumatera timur, yang mencerminkan perpecahan di kesultanan Deli, menyebabkan pembentukan Kesultanan Serdang. Pembentukan kesultanan baru dan kontraksi di wilayah bekas antara kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur dan di Kepulauan Melayu memfasilitasi penyebaran tradisi adat Melayu dari satu kerajaan ke kerajaan yang lain. Ini juga merupakan periode ekspansi nilai-nilai budaya Melayu-Islam dan tradisi, termasuk zapin di antara negara-negara bagian Malaysia di wilayah Johor. Keterkaitan erat yang telah terjalin di antara semua kerajaan Melayu pada kedua sisi Selat Melaka dari periode kejatuhan kerajaan Melaka tercermin dalam keluarga mereka yang saling aristokrat. Para bangsawan dari Perak, Pahang, Trengganu, dan hari ini Johor dapat ditelusuri ke bangsawan Melaka tua. Perkawinan campuran antara keluarga kerajaan Malaysia dari negara-negara
Mohd Anis Md Nor, The Zafin Melayu Dance of Johor: From Village to A National Performance Tradition. disertasi doctoral. Michigan: The University of Michigan, 1990, hal., 66. 25
Universitas Sumatera Utara
ini adalah biasa seperti di masa lalu. Sebelum pecahnya dunia Melayu ke entitas yang terpisah oleh kekuasaan kolonial di tahun 1824, perkawinan campuran antara pangeran dan putri dari kesultanan Melayu di selat Melaka adalah umum. Pertukaran pengantin kerajaan antara Terengganu dan Riau, Siak dan Johor, bangsawan dari Deli Serdang dan istana Langkat dan mereka di Semenanjung Melayu juga umum. Tradisi konsolidasi kekuasaan dan gengsi melalui afinitas (tarik menarik) antar kerajaan juga memberikan kontribusi terhadap penyebaran tradisi antara rumah tangga kerajaan. Itu adalah hal yang umum bagi keluarga pengantin perempuan untuk mengirim pelayan untuk menemaninya ke rumah mempelai pria. Rombongan terdiri dari beberapa inang pengasuh (perawat basah), dayang-dayang (wanita yang menunggu), atau pendayangan (pelayan wanita di suatu tempat). Kadang-kadang, penghibur istana juga termasuk dalam rombongan kerajaan. Pangeran Melayu yang tinggal dengan pengantin wanita biasanya disertai oleh beberapa hulubalang (penjaga kerajaan), dan rombongan kerajaan juga kadang-kadang disertai oleh musisi dan penghibur dari istana pengantin pria. Di mana pun pasangan kerajaan akhirnya tinggal, pengawal pribadi mereka, petugas istana, pembantu istana, dan penghibur biasanya tetap bersama mereka. Dengan cara ini, pertunjukan baru diperkenalkan ke dalam istana-istana kerajaan pasangan. Selanjutnya unsur paling penting dalam tradisi zapin dari Penyengat adalah perlindungan gaya atau aliran yang diterima dari Raja Melayu berikutnya di Riau-Lingga. Zapin adalah tradisi yang paling sering dilakukan untuk hiburan kaum bangsawan di istana sultan. Meskipun tidak ada catatan mengenai kapan
Universitas Sumatera Utara
zapin ditemukan, tapi fakta perlindungan kerajaan di Penyengat menunjukkan bahwa zapin bukan sebuah tradisi rakyat biasa. Keturunan penyanyi zapin yang hidup saat ini di desa Kampung Bulang, di pulau Penyengat, menyandang gelar (Raja) sebelum nama mereka. Hal ini menunjukkan bahwa pemain zapin sendiri milik kelas bangsawan. Kelompok sisa penyanyi zapin di Penyengat adalah dari keluarga Raja Daud bin Abu Bakar Raja, dirinya seorang penari zapin yang tekun. Anggota tertua dari kelompok zapin adalah pemain gambus, Raja Mahmud, yang belajar bermain gambus dari lingkaran keluarga bangsawan ketika ia masih muda. Kelangsungan anggota keluarga Raja dalam pertunjukan zapin, menyarankan tradisi zapin yang dipertahankan dan dipromosikan oleh anggota kelas penguasanya sendiri. Bukti elemen umum yang kuat dalam tradisi zapin ini ialah menampilkan gaya tari. Tari zapin gaya Penyengat sangat mirip dengan lenga di Muar dan Johor. Terminologi yang digunakan untuk mengidentifikasi motif tari zapin beberapa di Penyengat juga mirip dengan yang digunakan di Muar, lenga, dan di pantai timur Sumatera. Istilah yang paling umum adalah titi batang, ayak-ayak, loncat tiong, pusa belanak atau loncat belanak, dan tahtim. Semua persyaratan untuk ungkapan tari zapin diberi nama setelah gerakan bergaya yang mensimulasikan tindakan manusia atau alam. Dalam motif tari titi batang, penari pindah ke cara melintasi jembatan (titi) yang terbuat dari batang pohon (batang). Ayak-ayak mewakili gerakan tari yang merupakan simbol dari satu analisis saringan tepung sagu. Loncat tiong adalah gerakan yang meniru melompat dan melompat (loncat) dari burung Myna bukit (tiong). Pusa atau loncat Belanak mengacu pada memutar-mutar (pusar) atau
Universitas Sumatera Utara
lompatan ikan Belanak yang umum ditemukan di tepi sungai berlumpur. Tahtim adalah koda tari zapin. Penggunaan istilah yang serupa untuk menggambarkan gerakan atau variasi motif tari yang identik di bagian lain Sumatera Timur menunjukkan bahwa tradisi zapin menyebar bersama-sama dengan Islam dan hegemoni politik kerajaan Melaka-Johor. Gaya tarian dari Penyengat juga ditemukan di kabupaten lain di Propinsi Riau-Sumatera, yaitu di daerah Pemerintahan Kampar, Bengkalis, Indragiri, dan daerah di sekitar ibu kota provinsi, Pekanbaru. Semuanya termasuk motif tari Penyengat, bersama-sama dengan motif tari lainnya, dalam repertoar mereka. Sebuah deskripsi singkat dari motif-motif tari dapat disajikan untuk menggambarkan sifat dari beberapa kesamaan. Umum untuk semua kabupaten ini adalah konvensi dari segmentasi gaya zapin menjadi tiga bahagian. Bahagian pertama terdiri dari motif tarian tarian pembukaan dikenal sebagai salam pembukaan (salam perkenalan) dilakukan terhadap penonton. Gerakan-gerakan ini terdiri atas salam Melayu tradisional dengan memberikan salam dengan kedua tangannya menggenggam di depan dahi. Gerakan yang dibuat di awal dan akhir penonton dengan seorang raja, seorang sultan, atau ahli waris kepada takhta. Bagian kedua terdiri dari gerakan zapin yang sebenarnya. Ungkapan-ungkapan ini mencakup semua motif tarian zapin Penyengat serta yang lain dikategorikan di bawah alif (abjad pertama tulisan Arab), pecah (istirahat atau fragmentasi), langkah (langkah atau langkah), sut (mungkin suatu penyesuaian dari suara empat belas surat abjad Arab, tapi yang lain tidak ada artinya), patah ayam (ayam yang patah kaki), atau tahto (penyesuaian dari tahtim atau koda) keanekaragaman. Ini
Universitas Sumatera Utara
semua adalah variasi pada motif tari dasar. Bagian ketiga bentuk koda untuk menari. Pada akhir abad kedelapan belas, seorang keturunan Arab dengan nama Sayid Ali telah menjadi penguasa Siak. Dia mengambil gelar kerajaan Sultan Sharif Ali Assyaidis Abdul Jalil Shaifuddin dan menjadi Sultan Siak pertama keturunan Arab-Melayu. Peran Hadhramis dalam penyebaran zapin juga penting. Hadhramis, yang sudah dikenal dengan kemampuan perdagangan mereka, adalah kelompok perdagangan berpengaruh yang sering diberikan hakhak komersial khusus oleh penguasa Melayu karena mereka dianggap ras yang sama seperti Nabi. Mungkin Hadhramis juga bertanggung jawab untuk pengembangan versi Siak dari zapin setelah penobatan Sayid Ali sebagai Sultan Siak kedelapan. Ada kemungkinan bahwa perluasan repertoar zapin Siak adalah hasil dari hubungan khusus antara Sultan yang berkuasa dan ahli waris dan para pedagang Hadhrami. Para hadhramis mungkin telah menyediakan pemain zapin Siak dengan ide-ide baru untuk penciptaan dan inovasi dalam motif tari dan frase untuk lagu-lagu mereka.(wawancara dengan Muslim, 2010) Sebuah elemen penting dalam hubungan antara kaum bangsawan dan tari zapin adalah salam pembukaan (ucapan dan salam) motif tari. Motif ini jarang dilakukan dalam tradisi tarian rakyat Melayu kecuali bangsawan atau pejabat negara yang hadir. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan rasa hormat dan untuk menghormati tamu istimewa.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Mohd Anis Md Nor 26 variasi dari motif tari salam ada di tradisi zapin Deli Serdang, dan gerakan salam juga ditemukan dalam zapin Johor dan Riau. Mungkin penggunaan ini isyarat tertentu dalam memberikan bukti lebih lanjut tentang hubungan antara zapin dan rumah-rumah kerajaan Melayu. Hal ini sangat mungkin untuk dalil tentang peran Istana dalam penyebaran tradisi zapin di Sumatera timur. Tarian pembukaan dari motif salam pembukaan berisi versi bergaya bentuk ucapan pengantar oleh biasa kepada penguasa. Meskipun motif salam bervariasi dalam gaya dari satu daerah ke daerah lainnya. Semuanya dilakukan sesuai dengan kode ketat etika penghormatan atau penghormatan untuk keluarga Raja Melayu, seperti dalam menyembah, benar-benar motif tradisional Melayu (salam atau penghormatan) dipraktikkan dalam adat istiadat diraja Melayu. Motif tari salam dilakukan sesuai dengan salah satu dari tiga cara menyembah, sebagaimana digambarkan oleh Alwi bin Sheikh Alhady 27 sebagai berikut. (a) Ratu: bawalah tangan bersama-sama dan dengan jari tertutup dan telapak tangan menyentuh, membesarkan mereka ke dahi sampai ujung ibu jari menyentuh dahi antara alis. (b) Untuk baik Yang Di-Pertuan Muda atau Raja Muda [Pewaris-Jelas]: Dengan tangan dan jari seperti di atas, mengangkat tangan dengan cara yang sama, sampai ujung ibu jari menyentuh ujung hidung. (c) Untuk para Bendahara atau Temenggong: Sama halnya seperti di atas, mengangkat tangan sampai ujung ibu jari menyentuh ujung dagunya.
26 27
Ibid, hal., 86. Ibid, hal., 87.
Universitas Sumatera Utara
Meskipun tidak satu pun dari kelompok zapin yang diwawancarai bisa menjelaskan secara meyakinkan mengapa satu gaya tertentu menyembah dipilih untuk lagu-lagu tari mereka. Pendapat umum adalah bahwa gaya menyembah mewakili era ketika zapin sering dilakukan untuk para sultan, anak-anak raja, dan anggota bangsawan lain di istana. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran dari tradisi zapin sepanjang pantai timur Sumatera berkaitan dengan perlindungan dari sultan. Era terbaru perlindungan kerajaan pada zapin di Sumatera bisa dilacak ke kesultanan Deli Serdang di Provinsi
Sumatera Utara. Sultan-Sultan Serdang
adalah penguasa Malaysia di akhir abad kesembilan belas yang memiliki kepentingan dalam tradisi Melayu. Sultan Sulaiman Shariful Alamshah 28 , telah dilantik sebagai penguasa Serdang tahun 1881 pada usia delapan belas tahun. Zapin sudah menjadi tarian terkenal di kalangan orang Melayu-Deli Serdang oleh 1881. Ini dilakukan saat perayaan sosial yang memiliki beberapa arti agama, yaitu, pada hari-hari keberuntungan dalam kalender Islam, seperti ulang tahun Nabi. Kompetisi zapin diadakan di istana sultan, dengan piala untuk para pemenang. Kelompok favorit Sultan sering diperintahkan untuk melakukan pertunjukan untuk para tamu di istana. Istana zapin Serdang juga memiliki sendiri kelompok yang dikenal sebagai Gambus Jamratul 'Uz. dipimpin oleh Sultan Sulaiman, kelompok yang berada di bawah pengawasan yang ketat dari Tengku gambus telah diangkat oleh sultan untuk mengurus kesejahteraan para pemain.
28
Ibid, hal., 89.
Universitas Sumatera Utara
Pemain marwas dipimpin Wak Pian yang datang dari Penang. Jagoan tari adalah Haji Razali, yang berasal dari Jawa tetapi telah menghabiskan dua belas tahun masa mudanya di Mekah dan Hadhramaut. Para pemain musik dan penari diminta untuk berlatih keras dan tidak diperbolehkan untuk maju ke ungkapan tari yang lebih rumit sampai sultan sendiri merasa puas. Pada tahun 1930-an, ada banyak kompetisi zapin yang dikenal sebagai kongres. Kelompok zapin dari Medan,
Deli,
Langkat,
Binjai,
dan
Labuhan
akan
bertemu
di
Serdang. Memenangkan kongres adalah obsesi utama Jamratul Gambus 'Uz dari istana Serdang. Motif tari di Serdang mirip dengan yang ada di Riau dan Siak, instrumen musik juga serupa. Gambus atau 'ud adalah instrumen terkemuka, dan disertai oleh harmonium, tiga atau empat marwas, rebana, dan sebuah markas (maraca). Lagu-lagu zapin juga identik, Anak Ayam yang sedang populer dan Lancang Kuning. Setiap lagu diawali dengan memainkan gambus tunggal nonmetred sebagai pembuka dan diakhiri dengan interlocking marwas. Variasi dan repertoar koreografi tari zapin sering didasarkan pada lagu yang mengiringi tarian. Jadi, zapin Anak ayam atau zapin Lancang Kuning adalah zapin yang dilakukan untuk lagu-lagu dari judul yang sama. Meskipun secara luas diketahui bahwa zapin di Sumatera Timur dan Kepulauan Riau itu sebelumnya dilakukan di dalam dan di dekat istana sultan, genre itu tidak pernah terbatas pada istana sendirian. Bahkan setelah revolusi 1946 anti kerajaan di Sumatera, zapin tetap populer di kalangan orang-orang biasa. Ini menunjukkan bahwa tradisi tari telah mendapatkan dukungan publik yang kuat
Universitas Sumatera Utara
bahkan sebelum runtuhnya kekuasaan dan martabat sultan di Sumatera Timur. Zapin sudah menjadi tradisi rakyat pada saat itu dan kehilangan perlindungan kerajaan Melayu 29 . Mohd Anis mengatakan kinerja paling menonjol di Sumatera adalah zapin dilakukan pada upacara pernikahan. Juga dilakukan untuk upacara sunatan (sunat), khatam Qur'an (penyelesaian belajar bacaan dari Al-Qur'an), dan cukur rambut (cukur rambut bayi). Popularitas dari genre dengan ritual dari bagian orang Melayu Sumatera ini paralel dalam masyarakat Melayu Kepulauan Riau dan Semenanjung Malaysia. Beberapa asumsi dapat dibuat tentang penyebaran zapin Melayu di Asia Tenggara. Pertama, tradisi yang dikembangkan dari pengaruh tradisi budaya Islam dan Arab yang dapat ditelusuri kembali ke tanah air orang Arab dari Hadramaut, menjadi sebuah tradisi yang diturunkan dari Arab, zapin telah diberikan gengsi sosial tinggi karena Arab di Asia Tenggara adalah sangat dihargai untuk kekayaan mereka dan pengetahuan mereka tentang Islam. Kedua, sangat mungkin bahwa pengakuan diberikan bangsawan kerajaan Melayu dan perlindungan pada zapin Melayu ketika tradisi menjadi lebih halus; itu kemudian menikmati status yang lebih tinggi daripada tradisi tari lain Melayu. Ketiga, bahkan jika kekuatan penguasa Melayu tidak memainkan peran sentral dalam penyebaran tradisi zapin Melayu di seluruh dunia, masyarakat umum sendiri mungkin telah menjadi sarana bagi penyebaran tradisi tari.
29
Ibid, hal., 92-95.
Universitas Sumatera Utara
Apakah penyebaran tradisi zapin sepanjang Selat Melaka dapat secara historis dihubungkan dengan perlindungan yang diberikan oleh penguasa Melayu atau penyebaran Islam, atau bersatu di suatu tempat dari masyarakat umum di kesultanan Melayu dalam posisi politik yang stabil? Jelas zapin yang melampaui batas-batas politik dan geografis di sepanjang Selat Melaka. Zapin Melayu saat ini dianggap sebagai persamaan budaya umum dari negara-negara kontemporer Malaysia, Indonesia, dan Singapura. Sebagai aliran tari dan musik, zapin hari ini ada di hampir seluruh Asia Tenggara maritim. Meskipun zapin dikenal sebagai tradisi Melayu Islam, zapin telah mendapatkan popularitas bahkan di antara kaum muslimin non-Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura sejak pertengahan abad kedua puluh. Zapin telah menjadi pertunjukan yang dapat disaksikan langsung kepada masyarakat, baik sebagai sebuah fragmen dari cerita di film-film atau sebagai sebuah pertunjukan tari dalam program-program hiburan televisi. Selama ini daerah geografis yang luas mungkin memiliki nama genre yang sedikit berbeda karena perbedaan dialektis dalam bahasa Melayu, dan juga gaya yang sedikit berbeda. Unsur-unsur umum universal zapin adalah sebagai berikut: 1. Satu set alat musik yang terdiri dari: (a) gambus atau 'ud (b) marwas (c) harmonium atau biola 2. Musik dibagi menjadi tiga segmen: (i) pendahuluan improvisasi free metred, didominasi oleh gambus, harmonium, atau biola (ii) pola interlocking dari marwas (iii) koda terdiri dari pola interlocking marwas. 3. Tarian ini dibagi menjadi tiga segmen: (i) motif tari pengantar, (ii) tari yang tepat, (iii) tahtim atau tahto, atau
Universitas Sumatera Utara
frasa tari tahtom, yang merupakan koda untuk menari. 4. Gerakan tari dasar: (i) jumlah tari empat mengalahkan di semua bagian tari (ii) menjembatani urutan tarian oleh frasa tari dasar dan mengulangi urutan tarian dalam tarian yang tepat (iii) tahtim, tahto, atau motif tari tahtom merupakan bentuk berbeda nyata bagian tari dari ujung gerakan tari 30 . Unsur-unsur ini berada di bawah keseragaman bangsa atau keseragaman genre zapin yang sebangun dengan gagasan keseragaman atau keseragaman alam yang Melayu (Dunia Melayu). Gagasan luas dari alam sebagai dunia orang-orang dan lingkungan mereka merupakan interpretasi komprehensif dari Melayu dan dunianya. Di dalam Alam Melayu (Dunia Melayu), bahwa Melayu merasa bersatu sebagai rumpun, yang secara harafiah berarti gumpalan atau sekelompok rumput, yang kesatuan Dunia Melayu itu dapat disamakan. Dalam konteks ini bahwa Alam Melayu mengacu kepada orang-orang berkumpul dalam Melayu sebagai ras yang berbagi bahasa yang serupa dan gaya hidup. Keseragaman juga tercermin dalam tradisi kinerja Melayu, di aspek seperti cara dan gaya berpakaian artis. Semua penyanyi zapin biasanya memakai gaun Melayu dikenal sebagai baju melayu atau baju teluk belanga, celana (seluar, serawa, atau sarwa), sarung dikenakan di atas celana panjang dan kepala meliputi sepotong kain diikat bulat dahi atau kepala gaun dikenal sebagai songkok atau peci. Jadi para artis zapin berpakaian dengan cara yang mencerminkan keseragaman dari Alam Melayu.
30
Ibid, hal., 98-99.
Universitas Sumatera Utara
Contoh lain dari universalitas zapin Melayu menurut Mohd Anis 31 adalah zapin lagu, pantun atau quatrain. Ini dinyanyikan di versi Melayu atau campuran Melayu dan ayat Arab, tetapi biasanya yang terlebih dahulu (versi Melayu). Dengan menampilkan ekspresi seni yang umum ditemukan di mana pun, tradisi zapin menjadi batu loncatan untuk rasa memiliki, tidak hanya di kalangan kelompok-kelompok kecil seperti orang-orang dari dialek yang sama atau desa, tetapi juga antara negara-negara atau bangsa yang membentuk masyarakat luas dunia Melaka Alam Melayu.
1.2 Pokok Permasalahan 1. Bagaimana sejarah zapin Melayu dalam wilayah budaya Serdang? Yang dimaksud dengan sejarah di sini penulis akan mengarahkan bagaimana seni zapin melintasi dimensi waktu dan ruang di dalam kebudayaan Melayu Serdang. Dimensi waktu akan diukur menurut besaran seperti abad, dekade, tahun, bulan, hari, dan seterusnya. Kemudian dimensi ruang ini mencakup orang-orang atau pelaku sejarah, seperti pihak kesultanan, pemusik, penari, koreografer, tempat pertunjukan, ruang budaya masyarakat Melayu Serdang, dan hal-hal sejenis. 2. Bagaimana guna dan fungsi zapin Melayu bagi masyarakat Melayu itu sendiri? Yang dimaksud dengan guna dan fungsi di dalam kajian pada tesis ini adalah sesuai dengan konsep yang ditawarkan oleh Alan P.
31
Ibid, hal., 101
Universitas Sumatera Utara
Merriam 32 . Merriam memberikan contoh jika sebuah lagu digunakan untuk memikat hati kekasihnya oleh seorang lelaki, maka guna lagu ini adalah untuk memikat hati kekasih. Selanjutya secara lebih terintegrasi dan mendalam, melalui lagu tersebut kedua insan berpacaran, berkenalan, dan melangsungkan pernikahan. Akhirnya mereka memiliki anak-anak. Jadi fungsi lagu seperti ini adalah untuk meneruskan generasi umat manusia. 3. Sejauh apa struktur musik dan tari zapin yang menjadi identitas orang Melayu? Yang dimaksud struktur dalam pokok masalah ini adalah mencakup struktur musik yang dibangun oleh dimensi waktu dan ruang. Dimensi waktu mencakup tempo zapin, rentak zapin yang khas, tanda birama, aksentuasi, senting (pukulan kuat), interloking, pola-pola ritme, dan sejenisnya. Sementara dimensi ruang terdiri dari tangga nada atau maqam, wilayah nada, nada dasar, motif melodi, frase melodi, bentuk melodi, pola-pola kadensa, kontur, interval, nada-nada yang digunakan, dan hal-hal sejenis. Demikian pula untuk struktur tarinya dibentuk oleh waktu, ruang, dan tenaga. Dimensi waktu dalam tarian zapin disusun oleh tempo tari, siklus tari, ritme, perubahan ritme, dan hal-hal sejenis. Dimensi ruang tari terdiri dari pola-pola tari, pola lantai, deskripsi gerak tari, motif tari, frase, bentuk, pecah tari, dan hal-hal sejenis. Dimensi tenaga mencakup seberapa jauh penari menggunakan tenaganya dalam menari.
32 Alan P. Merriam, The Anthropology of Music. (Chicago Nortwestern University, 1964), hal., 219-226.
Universitas Sumatera Utara
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah : (1) Mengkaji kesejarahan seni pertunjukan Zapin Melayu dalam wilayah budaya Serdang, Sumatera Utara. (2) Mengkaji bagaimana guna dan fungsi tari zapin dalam kebudayaan masyarakat Melayu di kawasan budaya Serdang. (3) Mengkaji struktur musik, tari, dan teks lagu Zapin Melayu dalam wilayah budaya Serdang, Sumatera Utara.
1.4 Tinjauan Pustaka Penulis melakukan studi kepustakaan untuk mempelajari literatur yang berkaitan dengan objek pembahasan. Studi ini penting untuk mendapatkan teori, konsep, dan informasi yang diperlukan nantinya sebagai perbandingan ataupun acuan untuk penelitian ini. Pada tulisan ini saya menggunakan beberapa literatur yang berkaitan dengan penulisan saya, di antaranya adalah sebagai yang diuraikan berikut ini. 1. Mohd Anis Md Nor, dalam bukunya yang berjudul The Zapin Melayu Dance of Johor: From Village to A National Performance Tradition, yang ditulis pada tahun 1990, dalam rangka menyelesaikan program doktoralnya di The University of Michigan, Amerika Serikat. Disertasi ini dibentuk oleh delapan bab kajian, yaitu dimulai dari bab satu berupa pendahuluan, bab dua zapin di Johor, kemudian bab tiga Zapin
Universitas Sumatera Utara
di Alam Melayu, bab empat Zapin di Era Pra Perang Dunia Kedua; bab lima Zapin di Dasawarsa 1950an; bab enam Tradisi Zapin Lama dan Baru; bab tujuh Zapin Kontemporer, dan bab delapan Kesimpulan. Walaupun disertasi ini mengkaji asal-usul zapin di alam Melayu secara umum, dan penelitian dilakukan Anis di berbagai tempat, namun akhirnya fokus perhatian adalah proses kesejarahan perkembangan zapin di daerah Melayu Johor saja. 2. Mohd Anis Md Nor, dalam bukunya yang berjudul “Zapin Melayu di Nusantara” yang didalamnya beliau membahas tentang Zapin baik itu struktur tari, musik, dan sebagainya, yang ada di Nusantara. 3. Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, S.H. (Sultan Serdang atau Kepala
Adat
Kesultanan
Negeri
Serdang)
dalam
artikelnya
“Zapin/Gambus di Wilayah Kabupaten Deli-Serdang (Sumatera Utara) yang di dalamnya secara umum menjelaskan asal usul zapin yang ada di daerah Serdang. 4. Muhammad Takari, di dalam artikelnya “Zapin Melayu dalam Peradaban Islam: Sejarah, Struktur Musik, dan Lirik” dimana di dalamnya membahas konsep budaya Islam, difusi budaya Islam, sampai kepada sejarah zapin di Nusantara. 5. Muhammad Takari dan Heristina Dewi dalam bukunya yang berjudul Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara yang didalamnya membahas tentang keberadaan seni pertunjukan dalam kebudayaan Melayu Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
6. H. Jose Rizal Firdaus, dalam artikelnya “Zapin di Sumatera Utara.” Karena latar belakang beliau adalah sebagai penari dan pencipta tari, maka fokus kajian Jose Rizal Firdaus adalah pada tari zapin. Mempertegas aspek sejarah, Jose Rizal Firdaus mengatakan bahwa zapin berasal dari Hadramaut, dan ada yang langsung dan ada pula yang melalui Gujarat. Gerak tari zapin Melayu yang umum adalah angkat, tekuk, patah, dan seret. Penampilan zapin biasanya dimulai dengan tahsim, kemudian gerak alif, gerak pecah, dan di ujung penari minta tahtum atau minta tahto. Itulah norma pertunjukan zapin yang umum di Sumatera Utara. Makalah ini bagi penulis memberikan gambaran dasar bagaimana tari zapin di Sumatera Utara. 7. Muslim dalam artikelnya “Zapin.” Menurutnya zapin adalah salah satu jenis tari tradisional yang terdapat dan berkembang dalam masyarakat Melayu, seperti di Riau, Deli, Jambi, Malaysia, dan Brunei. Di Riau tari ini hidup dan berkembang hampir di sebahagian besar daerah Riau terutama di kawasan pesisirnya. Beliau ini adalah sarjana dan magister seni tari yang menyoroti zapin di Riau dari aspek etnokoreologi. Bagaimanapun tulisan Muslim ini dapat penulis gunakan untuk menjadi rujukan bagaimana gambaran umum zapin di Riau.
1.5 Landasan Teori Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan teori – teori seperti yang diuraikan berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
(1) Teori evolusi kebudayaan yang dikemukakan oleh Alan P.Merriam untuk mengkaji sejarah seni pertunjukan zapin, yang pada hakekatnya dapat melihat perkembangan dan pergeseran kebudayaan.
(2) Teori difusi yang ditawarkan W.H.R Rivers (1864-1922), beliau ialah seorang dokter yang kemudian tertarik terhadap ilmu antropologi, rivers mengatakan bahwa apabila seorang peneliti datang kepada suatu masyarakat, maka sebagian besar bahan keterangannya diperoleh dari para informan dengan cara metode wawancara dengan mengajukan pertanyaan mengenai kaum kerabat dan nenek moyang para individu sebagai pangkal, maka seorang peneliti dapat mengembangkan suatu wawancara yang luas sekali mengenai berbagai macam peristiwa yang menyangkut kaum kerabat dan nenek moyang tadi dengan pertanyaan yang bersifat konkret. Dalam hal ini saya akan melakukan wawancara terhadap kaum kerabat dan senioran ahli Zapin dalam wilayah budaya Serdang.
(3) Teori fungsi Malinowski, A. Radcliffe-Brown, dan Talcott Parsons untuk mengkaji sejauh mana fungsi dan guna Zapin pada masyarakat Melayu dan struktur masyarakat Melayu dalam wilayah budaya Serdang, dan menurut Talcot Parsons setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan struktur maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas dan salah satu fungsi yang harus dimiliki adalah adaptasi dari budaya Arab ke ranah budaya Melayu dan setelah mengalami proses diterima
Universitas Sumatera Utara
menjadi salah satu kebudayaan yang ada di Indonesia pada umumnya dan suku Melayu khususnya.
(4) Teori etnosains untuk mengkaji bagaimana pandangan masyarakat pendukung terhadap seni pertunjukan zapin itu sendiri, pada dasarnya teori ini mencoba membuat aturan-aturan mengenai cara berpikir yang melatarbelakangi suatu kebudayaan berdasarkan analisis logis dari data-data etnografis yang didapati di lapangan.
(5) Teori Semiotika Ferdinand De Sausurre seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders filosof dari Amerika Serikat. Menurut pakar linguistik, Ferdinand De Sausurre, semiotika adalah kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tandatanda itu. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu sendiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifer yang berhubungan dengan konsep (signifed). Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dati dari 3 bagian yang saling berkaitan : (1) respresentatum, (2) pengamat (interpretant) dan (3) objek. Dalam kajian kesenian kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Sedangkan secara saintifik, istilah semiotika berasal dari perkataan Yunani semion. Dalam kaitannya teori semiotika untuk mengkaji teks lagu zapin, maka
Universitas Sumatera Utara
penulis mengutip pendapat van Zoest 33 . Menurutnya di dalam sebuah teks terdapat ikon, apabila adanya persamaan suatu tanda tekstual dengan
acuannya.
Segalanya
mempunyai
kemungkinan
untuk
dianggap sebagai suatu tanda. Penyusunan kalimat-kalimat dalam sajak (keteraturan suku kata, pengulangan fonetik, ataupun hanya wujud satu susunan tipografi tertentu) adalah tanda: penanda “ini adalah sebuah sajak”. Adanya kalimat yang panjang-panjang adalah tanda. Banyaknya kata sifat, pergantian vokalisasi dalam sebuah cerita, panjang pendeknya sebuah teks, semua itu bisa dianggap sebagai tanda. Semua yang dapat diamati dan diidentifikasikan dapat menjadi tanda, baik hal yang sangat kecil seperti atom, maupun yang bersifat kompleks karena terdiri atas sejumlah besar tanda lainnya yang lebih kecil. Pada kekhasan teks hanya tampak setelah dilakukan analisis struktural yang mendalam.
(6) Teori weighted scale (bobot tangga nada) untuk mendeskripsikan struktur musik yang terdapat didalam seni pertunjukan Zapin. Teori ini penulis kutip dari Malm 34 . Malm menawarkan 8 unsur melodi yang akan dianalisis dengan pendekatan etnomusikologi, yaitu: i.
Tangga nada (scale),
ii.
Nada dasar (pitch center),
33
Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (peny.) 1992. Serba-serbi Semiotik. (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal., 11. 34 William P. Malm, 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs; serta terJemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm, Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur Tengah, dan Asia, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari, (Medan : Universitas Sumatera Utara Press, 1993).
Universitas Sumatera Utara
iii.
Wilayah nada (range),
iv.
Jumlah nada-nada (frequency of note),
v.
Jumlah interval (prevalent interval),
vi.
Pola-pola kadensa (cadence patterns),
vii.
Formula melodik (melodic formulas), dan
viii.
Kontur (contour).
1.6 Metode Penelitian Metode penelitian yang akan digunakan adalah metode penelitian kualitatif berwujud data yang bersifat konsep atau pengertian abstrak dalam meneliti fakta-fakta sosial dengan fokus utama pada sejarah budaya, fungsi dan strukturnya. Pada dasarnya penelitian kualitatif umumnya ditujukan untuk mempelajari kehidupan kelompok manusia. Namun demikian, penelitian ini juga memerlukan data-data yang bersifat kuantitatif mengacu kepada pernyataan S. Nasution 35 bahwa setiap penelitian baik itu kualitatif ataupun kuantitatif harus direncanakan. Dan untuk itu perlu desain penelitian. Desain penelitian adalah rencana tentang cara pengumpulan dan menganalisa data agar dapat dilakukan secara ekonomis dan serasi dengan tujuan penelitian itu. Dalam desain ini harus dilakukan antara lain: (a) Populasi sasaran, (b) Metode sampling, (c) Besar sampling,
35
S. Nasution, Metode Research. (Bandung: Jemmars, 1982), hal., 29.
Universitas Sumatera Utara
(d) Prosedur pengumpulan data, (e) Cara-cara menganalisis data setelah terkumpul, (f) Perlu tidaknya menggunakan statistik, (g) Cara mengambil keputusan, dan sebagainya. Edi Sedyawati 36 juga mengungkapkan perlunya tahapan-tahapan dalam meneliti seni tari, sebagai berikut : Penelitian seni tari juga dapat kita bagi kedalam tiga macam atau tahap, yaitu : (1) Pengumpulan, (2) Penggolongan, dan (3) Penganalisaan dan penulisan. Khusus untuk seni tari, ada satu lagi yang dapat kita sebut sebagai tahap nomor empat, yaitu pengolahan atau pemanggungan.
1.7 Teknik Mengumpulkan dan Menganalisis Data Dalam hal mengumpulkan data, penulis melakukan kerja lapangan dan kerja laboratorium. Kerja lapangan maksudnya penulis mengambil data-data langsung di lapangan yang bertujuan agar penulis dapat terlibat langsung dengan objek atau kelompok yang akan diteliti. Di dalam kerja lapangan ini penulis membaginya dalam empat bagian, yaitu : observasi, wawancara, rekaman, dan kerja laboratorium.
36
Edi Sedyawati, Aspek-aspek Komunikasi Budaya yang Diekspresikan dalam Tari. Analisis Kebudayaan. (Tahun II) (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), hal., 116.
Universitas Sumatera Utara
Observasi (pengamatan), yaitu penulis mengamati semua kejadian secara langsung, yang bertujuan untuk memperoleh data-data yang tidak didapat melalui wawancara. Observasi ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang kelakuan manusia seperti yang terjadi dalam kenyataan. Wawancara yaitu penulis mengajukan pertanyaan kepada narasumber objek penelitian, dalam hal ini yang dimaksud ialah keluarga Almarhum Singah Zakaria, yang berdomisili di daerah pasar bengkel, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Deli Serdang dan Bapak Lay Tami (kepala desa) yang berdomisili di desa Nibung Hangus, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara. Wawancara ialah untuk memperoleh data-data yang tidak didapatkan melalui observasi seperti konsep-konsep etnosainsnya tentang estetika pada gerakangerakan Zapin dan teknis musikalnya. Wawancara yang digunakan adalah wawancara yang sifatnya terfokus yaitu yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak mempunyai struktur tertentu, tetapi terpusat kepada suatu pokok tertentu. S. Nasution membagi wawancara sebagai berikut 37 . Berdasarkan fungsinya : (1) diagnostik, (2) terapeutik, (3) penelitian. Berdasarkan jumlah respondennya : (1) individual, (2) kelompok. Berdasarkan lamanya wawancara : (1) singkat, (2) panjang. Berdasarkan pewawancara dan responden: (1) terbuka, tak berstruktur, bebas, non direktif atau client centered; (2) tertutup, berstruktur. Dalam
melakukan
penelitian
ini,
berdasarkan
fungsinya
penulis
menggunakan jenis wawancara penelitian. Berdasarkan jumlah responden penulis
37
S. Nasution, Metode Research. (Bandung: Jemmars, 1982), hal., 31.
Universitas Sumatera Utara
menggunakan wawancara individu dan kelompok. Berdasarkan lamanya penulis menggunakan wawancara panjang. Berdasarkan peranan peneliti dan nara sumber adalah wawancara terbuka, tak berstruktur, bebas dan nondirektif. Rekaman, untuk dokumentasi wawancara dan audiovisual penulis menggunakan Digital Video Camera Recorder Sony (DCR-TRV285SE) dengan menggunakan kaset SONY Hi8 durasi 120 menit dan kamera digital Canon (PC1226). Sedangkan kerja laboratorium, semua data yang penulis dapatkan dari studi
kepustakaan
dan
kerja
lapangan,
diproses
dengan
cara
mengklarifikasikannya sesuai dengan data apa yang penulis perlukan. Kerja laboratorium ini bertujuan untuk mengorganisasikan data-data yang telah diperoleh dan sekaligus mengkoreksi data-data yang belum didapat ataupun yang belum
ditanyakan.
Laboratorium
yang
dimaksud
disini
adalah
khas
etnomusikologi seperti : handycam, kamera digital, tape rekorder dan sejenisnya.
1.8 Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pengertian dalam hal membaca tesis ini, maka penulis membagi tesis ini menjadi 6 bab, yaitu :
BAB I Dalam bab ini penulis akan berbicara mengenai apa itu kesenian, apa itu Melayu, dan zapin secara garis besarnya saja. Kesenian adalah ekspresi kebudayaan manusia dan juga salah satu unsur kebudayaan universal manusia. Selanjutnya Melayu dalam pengertian etnik
Universitas Sumatera Utara
merupakan salah satu kelompok etnik (atau ras) besar di dunia. Ditinjau dari sejarah persebarannya maka Melayu dapat dikategorikan kedalam, Proto Melayu (Melayu Tua) dan Deutro Melayu (Melayu Muda). Kemudian yang dimaksud dengan tari adalah salah satu ekspresi budaya yang sangat kaya, tetapi paling sulit untuk dianalisis dan diinterpretasikan. Mengamati gerak laku sangat mudah, tetapi tidak mengetahui maknanya. Tari dapat diinterpretasikan dalam berbagai tingkat persepsi. untuk memahami maksud yang hendak dikomunikasikan dari sebuah tarian, orang perlu tahu tentang kapan, kenapa, dan oleh siapa tari dilakukan. Zapin menurut penjelasan para informan di kawasan budaya Melayu Serdang adalah tari (tandak). Sedangkan para ilmuwan yang telah meneliti zapin pengertiannya ialah seni pertunjukan tari yang diiringi dengan musik zapin. Jadi dari sini didapatlah pengertian etik dan emik. Pengertian etik itu adalah pandangan orang luar terhadap suatu seni pertunjukan atau budaya, sedangkan emik adalah pandangan orang dalam atau masyarakat pendukung dari suatu kebudayaan itu atau seni pertunjukan itu sendiri. Zapin merupakan salah satu genre dalam seni pentas pertunjukan Melayu yang di dalamnya mencakup musik (rentak atau ritme), tari, serta lagu. Apabila rentak zapin itu didendangkan, maka musik itu dinamakan dengan musik zapin. Selanjutnya penulis membahas pokok permasalahan di dalam bab ini, adapun permasalahannya antara lain : 1) Bagaimana sejarah zapin Melayu dalam wilayah budaya Serdang? 2) Bagaimana guna dan fungsi zapin Melayu bagi masyarakat Melayu itu sendiri?
Universitas Sumatera Utara
3) Sejauh apa struktur musik dan tari zapin yang menjadi identitas orang Melayu? Selanjutnya yang menjadi tujuan penelitian tulisan ini adalah : 1) Mengkaji kesejarahan seni pertunjukan Zapin Melayu dalam wilayah budaya Serdang, Sumatera Utara. 2) Mengkaji bagaimana guna dan fungsi tari zapin dalam kebudayaan masyarakat Melayu di kawasan budaya Serdang. 3) Mengkaji struktur musik, tari, dan teks lagu Zapin Melayu dalam wilayah budaya Serdang, Sumatera Utara. Selanjutnya dalam melakukan studi kepustakaan penulis mempelajari literatur yang berkaitan dengan objek pembahasan, antara lain : 1) Mohd Anis Md Nor, dalam bukunya yang berjudul The Zapin Melayu Dance of Johor: From Village to A National Performance Tradition, yang ditulis pada tahun 1990, dalam rangka menyelesaikan program doktoralnya di The University of Michigan, Amerika Serikat. 2) Mohd Anis Md Nor, dalam bukunya yang berjudul “Zapin Melayu di Nusantara”. 3) Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, S.H. (Sultan Serdang atau Kepala Adat Kesultanan Negeri Serdang) dalam artikelnya “Zapin/Gambus di Wilayah Kabupaten Deli-Serdang (Sumatera Utara). 4) Muhammad Takari, di dalam artikelnya “Zapin Melayu dalam Peradaban Islam: Sejarah, Struktur Musik, dan Lirik”.
Universitas Sumatera Utara
5) Muhammad Takari dan Heristina Dewi dalam bukunya yang berjudul Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. 6) H. Jose Rizal Firdaus, dalam artikelnya “Zapin di Sumatera Utara.”. 7) Muslim dalam artikelnya “Zapin.”. Selanjutnya landasan teori yang penulis gunakan, antara lain : 1) Teori evolusi kebudayaan yang dikemukakan oleh Alan P.Merriam. 2) Teori difusi yang ditawarkan W.H.R Rivers. 3) Teori fungsi Malinowski, A. Radcliffe-Brown, dan Talcott Parsons. 4) Teori etnosains. 5) Teori Semiotika Ferdinand De Sausurre. 6) Teori weighted scale (bobot tangga nada). Selanjutnya metode penelitian yang akan digunakan penulis adalah metode penelitian kualitatif berwujud data yang bersifat konsep atau pengertian abstrak dalam meneliti fakta-fakta sosial dengan fokus utama pada sejarah budaya, fungsi dan strukturnya. Dan dalam mengumpulkan data, penulis melakukan kerja lapangan dan kerja laboratorium. Di dalam kerja lapangan ini penulis membaginya dalam empat bagian, yaitu : observasi, wawancara, rekaman, dan kerja laboratorium. Sedangkan kerja laboratorium, semua data yang penulis dapatkan dari studi kepustakaan dan kerja lapangan, diproses dengan cara mengklarifikasikannya sesuai dengan data apa yang penulis perlukan.
Universitas Sumatera Utara
BAB II Dalam bab ini penulis akan berbicara mengenai apa itu etnografi, alam Melayu, dunia Melayu, negara-negara yang berhubungan dengan Melayu itu sendiri seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Pattani Thailand. Kemudian dilanjutkan dengan Kesultanan yang ada di Sumatera Timur, yang terdiri dari : Kesultanan Deli, Kesultanan Serdang, Kesultanan Asahan., dan Kesultanan Langkat. .Yang dimaksud dengan etnografi adalah jenis karya antropologi khusus dan penting yang mengandung bahan-bahan kajian pokok dari pengolahan dan analisis terhadap kebudayaan satu suku bangsa atau kelompok etnik. Oleh karena itu, untuk mengkaji budaya Melayu misalnya, yang mencakup berbagai negara bangsa, maka seorang antropolog boleh saja memilih etnografi masyarakat Melayu Desa Batang Kuis, atau lebih besar sedikit, masyarakat Melayu Kabupaten Serdang Bedagai, atau masyarakat Melayu Labuhan Batu, dan seterusnya. Kemudian ada pula istilah yang mirip dengan etnografi, yaitu etnologi. Arti etnologi berbeda dengan etnografi. Istilah etnologi adalah dipergunakan sebelum munculnya istilah antropologi. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaannya di seluruh dunia, sama maknanya dengan antropologi, yang lebih lazim dipakai dibelakang hari oleh para ilmuwannya atau dalam konteks sejarah ilmu pengetahuan manusia. Selanjutnya penulis juga akan membatasi masalah dengan pembatasan deskripsi tentang sebuah kebudayaan suku bangsa dalam satu karya etnografi, yang memerlukan metode dalam menentukan asas-asas pembatasan. Selain itu,
Universitas Sumatera Utara
dibicarakan juga bagaimana unsur-unsur dalam kebudayaan suatu suku bangsa yang menunjukkan persamaan dengan unsur-unsur sejenis dalam kebudayaan suku-suku bangsa lain. Untuk itu dilakukan perbandingan satu dengan lain. Perlu membuat suatu konsep yang mencakup persamaan unsur-unsur kebudayaan antara suku-suku bangsa menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih besar lagi. Konsep itu adalah konsep "daerah kebudayaan" atau culture area. Sebuah "daerah kebudayaan" atau culture area merupakan penggabungan atau penggolongan (yang dilakukan oleh ahli-ahli antropologi) dari suku-suku bangsa yang dalam masing-masing kebudayaannya yang beraneka warna 38 . Namun mempunyai beberapa unsur dan ciri mencolok yang serupa. Satu sistem penggolongan daerah kebudayaan sebenarnya adalah suatu sistem klasifikasi yang mengkelaskan beraneka warna suku bangsa yang tersebar di suatu daerah atau benua besar, ke dalam golongan-golongan berdasarkan atas beberapa persaranaan unsur dalam kebudayaannya. Hal ini untuk memudahkan gambaran menyeluruh dalam rangka penelitian analisis atau penelitian komparatif terhadap suku-suku bangsa di daerah atau benua tertentu.
BAB III Di dalam bab ini penulis akan membahas tentang pengertian sejarah, sejarah zapin dalam wilayah budaya Serdang, konsep kebudayaan dalam Islam, dan zapin di wilayah budaya Serdang.
38
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hal.,
271-272.
Universitas Sumatera Utara
Menurut salah seorang pakar sejarah yang bernama Garraghan, sejarah itu adalah peristiwa-peristiwa mengenai manusia pada masa lampau ataupun aktifitas pada masa lalu, kemudian rekaman mengenai manusia di masa lampau atau rekaman tentang aktualitas masa lampau, dan yang terakhir adalah proses atau teknik membuat rekaman sejarah. Sedangkan yang dimaksud dengan sains yaitu suatu bentuk kebenaran umum yang mengacu pada suatu bidang telaah dan dibentuk oleh metode yang efektif. Dan selanjutnya dalam konteks ilmu sejarah sebagai sains maka ada 4 hal yang mendukungnya, yaitu: (1) ilmu sejarah memiliki sistematisasi sebagai sebuah disiplin ilmu, baik mencakup susunan, organisasi, dan pengklasifikasian; (2) ilmu sejarah memiliki metode yang efektif, yaitu metode yang bertujuan memecahkan masalah-masalah kesejarahan; (3) ilmu sejarah memiliki bidang telaah atau lingkup kajian tertentu; (4) ilmu sejarah memiliki rumusan dalam mengacu kepada kebenaran umum yang sifatnya rasional 39 . Kemudian korelasi pembahasan diatas dengan topik yang penulis buat adalah seni pertunjukan zapin dalam wilayah budaya Serdang ini berasal dari timur tengah (Yaman) melalui jalur laut yang dibawa oleh para Sayid yang mampir ke Nusantara ini dalam rangka perdagangan. Dan ini mutlak diakui baik oleh tokoh zapin yang ada di wilayah budaya Serdang maupun masyarakat pendukungnya. Selanjutnya pembahasan mengenai konsep kebudayaan dalam pandangan Islam, sebelumnya penulis akan membahas apa itu budaya, budaya menurut 39
Gilbert J Garraghan, S.J., 1957. A Guide to Historical Method. East Fordham Road, (New York: Fordham University Press, 1957), hal., 38-39.
Universitas Sumatera Utara
penulis dapat didefenisikan sebagai hasil karya cipta manusia melalui proses belajar, yang mana pernyataan ini mengacu kepada apa yang dikemukakan Koentjaraningrat 40 (1980) yang mengutip pendapat Claude Kluckhohn, bahwa kebudayaan adalah sebagai seluruh ide, gagasan, dan tindakan manusia dalam rangka memenuhi keperluan hidup sehari-hari, yang diperoleh melalui proses belajar mengajar (learned action). Kemudian ditinjau secara umum, budaya terdiri dari dua dimensi, yaitu wujud dan isi. Dalam dimensi wujud, budaya terdiri dari tiga unsur, yaitu: (1) wujud dalam bentuk ide atau gagasan, (2) wujud dalam bentuk aktivitas atau kegiatan, dan (3) wujud dalam bentuk benda-benda atau artifak. Ditinjau dari dimensi isi, atau sering disebut tujuh unsur kebudayaan universal, maka kebudayaan terdiri dari tujuh unsur yaitu: (1) sistem religi, (2) bahasa, (3) teknologi dan peralatan hidup, (4) sistem mata pencaharian, (5) sistem organisasi sosial, (6) pendidikan, dan (7) kesenian. Unsur kebudayaan yang terakhir, yaitu kesenian sering juga disinonimkan dengan istilah seni budaya. Dalam kajian budaya, sering pula dikenal istilah peradaban (sivilisasi), yaitu unsur-unsur kebudayaan yang maju, halus, dan tinggi 41 . Kata ini, biasa merujuk kepada peradaban-peradaban seperti: Sumeria, Assiria, Indus, Babilonia, Inca, Oriental, Oksidental, Harappa, Mahenjo-Daro, dan lain-lain. Istilah peradaban itu sendiri merupakan unsur serapan bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab yaitu dari akar kata adab. Umumnya pengertian budaya menurut para ilmuwan Barat seperti yang dikemukakan dalam antropologi dan sosiologi, adalah 40 41
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hal., 180. www.marxists.org/reference/archive/morgan-lewis/ancient-society
Universitas Sumatera Utara
bahwa agama atau sistem religi sebagai bagian dari unsur kebudayaan yang sejajar dengan unsur budaya lain. Dalam Islam, agama memiliki dimensi Ilahiyah atau wahyu, dalam dimensi sedemikian rupa tidak termasuk dalam budaya, bahkan budaya wajib berasaskan kepada wahyu. Sebaliknya, kreativitas manusia dalam rangka mengisi budaya dapat dikategorikan sebagai budaya. Yang intinya agama itu tidak termasuk kedalam budaya dalam konsep kepercayaan umat Islam. Zapin adalah bahagian dari budaya dan kesenian Islam. Dalam Islam, jika dibicarakan istilah kesenian dan budaya, biasanya selalu merujuk kepada kandungan makna pada kata-kata atau istilah yang sejenis, seperti: millah, ummah, tahaqafah, tamadun. Istilah ini digunakan dalam seluruh kurun waktu sepanjang sejarah Islam. Millah artinya adalah agama, syariat, hukum, dan cara beribadah, ummah artinya orang-orang muslim dalam bentuk masyarakat kolektif, tahaqafah artinya adalah pikiran atau akal seseorang itu menjadi tajam, cerdas, atau mempunyai keahlian yang tinggi dalam bidang-bidang tertentu, tamadun artinya peradaban. Zapin berasal dari bahasa Arab yaitu kata "Zafn" yang mempunyai arti pergerakan kaki cepat mengikut rentak pukulan. Zapin merupakan khasanah tarian rumpun Melayu yang mendapat pengaruh
dari Arab. Tarian tradisional ini
bersifat edukatif dan sekaligus menghibur, digunakan sebagai media dakwah Islamiyah melalui syair lagu-lagu zapin yang didendangkan. Jadi kesenian Zapin ini ialah media enkulturasi dakwah Islam. Ensambel musik terdiri dari dua peran yaitu yang membawa melodi adalah musik petik (gambus atau ‘ud) dan pembawa ritme yaitu tiga buah alat pukul kecil (maksudnya gendang marwas). Awalnya
Universitas Sumatera Utara
ditarikan oleh lelaki, namun setelah berakulturasi dengan budaya Melayu yang ada di Nusantara ini, maka mulailah ditarikan oleh perempuan, ataupun campuran laki-laki dan perempuan. Sementara menurut Anis yang dikutipnya dari Winsted, kata zapin berasal dari bahasa Arab, yang banyak digunakan oleh orang Melayu Johor. Zapin dalam bahasa Arab ini menurut Wilkinson adalah tarian yang dilakukan dua orang penari laki-laki. Kata turunan zapin yaitu zaffa maknanya adalah sehelai kain yang dibawa oleh pengantin wanita kepada mempelai lelaki dalam prosesi pernikahan. Kemungkinan besar pula istilah zapin ini disesuaikan dengan lidah Melayu sehingga kemungkinan bisa memiliki arti lain. Namun artiarti itu jika ditelusuri dari bahasa Arab memiliki makna yang dekat, seperti maknanya adalah upacara pernikahan atau menari untuk upacara pernikahan. Kata zapin ini pula tidak dapat dihubungkan dengan kegiatan menari yang bertujuan memperoleh uang yang disebut dengan kegiatan raqasa. Zapin berhubung erat dengan tari yang dipersembahkan pada upacara pernikahan. Dengan demikian, zapin memuat penuh ajaran-ajaran Islam, yaitu memperbolehkan menari di majelis pernikahan (walimatul ursy). Sedangkan di daerah Serdang sangat populer sejak dahulu seni musik dan tari Islam yang kemudian dianggap sebagai milik orang Melayu karena telah beradaptasi dengan ciri dan jati diri orang Melayu disini. Sudah merupakan suatu kenyataan bahwa seni musik dan tari Islam didapatkan melalui proses pembelajaran baik oral maupun tulisan dari pesantren-pesantren yang ada di wilayah Serdang. Di Serdang selain musik “Barodah” (Hadrah) sejak zaman dahulu telah populer tarian Zapin yang artinya dalam bahasa Arab ialah tarian
Universitas Sumatera Utara
yang menghentakkan kaki dengan keras.(wawancara dengan Tengku Luckman Sinar 28 Desember 2010). Tarian Zapin ini sangat erat hubungannya dengan Gambus bahkan tarian itu di Serdang dikenal dengan nama tarian Gambus. Gambus ialah alat musik petik yang mempunyai tiga senar ganda dan satu senar tunggal, yang berasal dari Yaman (Timur Tengah), sedangkan di Zanzibar bernama Gabbus dan si Asia Tengah bernama Kopuz. Menurut cerita Hamzah Ahmed (Tempo, 29 Desember 1984) 42 , istilah Zapin muncul pada sekitar abad ke6 M, ketika terjadi peperangan dengan orang-orang kafir Mekah, dimana pada waktu itu puteri Saidina Hamzah ingin ikut Nabi Muhammad untuk hijrah ke Madinah, namun Nabi Muhammad menolaknya, sehingga terjadi perdebatan, namun tak lama kemudian Nabi menunjuk Saidina Ali untuk menjadi wali pengasuh puteri Saidina Hamzah, yang kemudian Saidina Ali dengan girangnya menari dengan mengangkat kaki. Begitulah ceritanya menurut Hamzah. Kemudian hal yang menyatakan bahwasanya Zapin itu berasal dari Arab (Timur Tengah) adalah pernyataan dari wawancara T. Luckman Sinar, S.H., dengan Tengku Muzier yakni seorang pemimpin band kelompok musik brass band Tuanku Sultan Sulaiman yang telah berusia 75 tahun pada tahun 1975 43 . Beliau mengatakan bahwa menurut cerita yang diperolehnya dari orang-orang tua dahulu sewaktu ia masih kanak-kanak, Zapin ini dibawa oleh saudagar-saudagar Arab dari India ke Serdang. Nah pernyataan ini memperkuat seperti yang telah saya 42
Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, SH., 28 Desember 2010, “Zapin/Gambus di Wilayah Kabupaten Deli – Serdang (Sumatera Utara)”, makalah Seminar & Bengkel Tari Zapin Nusantara, di Hotel Tiara Convention Center, Medan, hal., 14. 43 Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, SH., 28 Desember 2010, “Zapin/Gambus di Wilayah Kabupaten Deli – Serdang (Sumatera Utara)”, makalah Seminar & Bengkel Tari Zapin Nusantara, di Hotel Tiara Convention Center, Medan, hal., 15.
Universitas Sumatera Utara
paparkan pada Bab II dalam tulisan ini mengenai Kerajaan Haru, bahwa pendiri dari pada Kerajaan Deli, nenek moyang Sultan Serdang dan Sultan Deli ialah Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan berasal dari India. Di daerah Serdang ini juga ditemukan nama-nama yang ada kaitannya dengan Islam seperti, ada nama kampung di Serdang yang bernama “Firdaus”, “Bandar Khalipah”, dan sebagainya. Kesenian Zapin di masa Kesultanan Sulaiman Syariful Alamsyah yang tidak lain adalah pemegang tahta kesultanan Serdang yang ke-V periode 1866 – 1946, adalah masa keemasan bagi kesenian Zapin. Di masa inilah setiap tahun oleh Tuanku Sultan Sulaiman diadakan festival Zapin group-group musik dan penari Zapin/Gambus, dimana para pemenangnya selain diberi hadiah dapat tampil dalam Istana Kota Galuh yaitu Istana Kesultanan Tuanku Sulaiman, dan juga diangkat sebagai kelompok Zapin dari Istana yang diatur oleh petugas khusus Istana yang bernama Tengku Gambus. Selanjutnya penulis juga melakukan wawancara terhadap Singah bin Zakaria, seorang tokoh Zapin dari Serdang, namun berhubung beliau sudah meninggal dunia maka penulis mewawancarai keluarga Singah bin Zakaria yang masih hidup yaitu : istrinya yang bernama Dauwiyah binti Alang yang telah berusia 72 tahun. Almarhum Singah bin Zakaria ini adalah sorang polisi dulunya. Beliau lahir pada tanggal 01 Februari 1922 dan meninggal sekitar tahun 2000, dan dikuburkan di belakang Mesjid Istiqamal, Perbaungan. Beliau ini dulunya bertugas sebagai polisi merangkap guru, penari, dan yang terakhir diangkat sebagai Penghulu atau Kepala desa di daerah Perbaungan. Beliau pensiun dari polisi sekitar tahun 1968-1969 dan kemudian diangkat sebagai
Universitas Sumatera Utara
penghulu sampai tahun 1985. Sedangkan istrinya bekerja sebagai perawat dan merangkap penyanyi Zapin. Almarhum Singah bin Zakaria ini mempunyai delapan orang anak yang bernama: (1) Charul Bakti bin Singah bin Zakaria, (2) Ridwan Bakti bin Singah bin Zakaria; (3) Edi Anwar Bakti bin Singah bin Zakaria; (4) Yuspita binti Singah bin Zakaria (Almarhum); (5) Muhammad Zen bin Singah bin Zakaria; (6) Khaidir bin Singah bin Zakaria; (7) Mak Bob bin Singah bin Zakaria; (8) Ilham bin Singah bin Zakaria Ibu Dauwiyah ini bercerita bahwa suaminya ini belajar Zapin dari Ayah dari ibu Dauwiyah itu sendiri yang tidak lain adalah mertua almarhum Singah bin Zakaria. yakni Datuk Alang atau dinamakan juga Wak Alang yang pada masa Kesultanan Tuanku Sulaiman, Raja Serdang yang ke-V, bekerja sebagai tukang pangkas Istana. Datuk Alang ini pandai menari dan bermusik Zapin dan kemudian mengajari menantunya berZapin. Begitulah ceritanya maka Almarhum Singah bin Zakaria ini menjadi tokoh Zapin di Serdang. Kemudian anak-anaknya yang juga sebagai penari Zapin di wilayah pasar bengkel, Perbaungan, yakni : Chairul Bakti bin Singah bin Zakaria dan Edi Anwar Bakti. Mereka ini tergabung kedalam komunitas seni Zapin dari bengkel yang mempunyai anggota, antara lain bernama: (1) Nasri Effhaz bin A. Saari alias bang Cici (pemain Gambus); (2) H. Abubakar (pemain biola); (3) Rizky Faisal (pemain marwas); (4) Hendra Irawan (pemain marwas); (5) Heru Winarto (pemain gendang), dan (6) Hilmi Nazla (pemain marwas). Kemudian pernyataan ini diperkuat lagi dengan ibu Dauwiyah (wawancara 11 Juni 2011) yang merupakan isteri Alamrhum Singah bin Zakaria bahwa zapin
Universitas Sumatera Utara
yang ada di Kesultanan Serdang datang langsung dari Tanah Arab. Ibu Dauwiyah juga bercerita bahwa dulu ada seorang Melayu keturunan Jawa pergi ke Tanah Suci Mekah di abad ke-19 belajar ilmu agama dan seni termasuk zapin dari sana dan kemudian mengembangkannya di Serdang. Tokoh itu bernama Haji Razali. Namun Beliau ini hanyalah rakyat biasa dan tidak termasuk ke dalam kelompok kesenian Zapin Istana. Dan kemudian ketika ibu Dauwiyah ini pergi naik Haji ke Mekah pada tahun 1994, ibu ini bertemu dengan cucu dari Haji Razali yang berada dan berdomisili di Mekah. Bahkan pendapat Almarhum Singah bin Zakaria tentang seni zapin ini dikutip oleh Mohd Anis Md Noor 44 sebagai berikut. Kami menari untuk Tuanku sekurang-kurangnya dua kali sebulan. Tuanku suka sekali sama Gambus. Ada tempat seperti kotak di hadapan singgasana, dari Kepala Gajah. Tuanku mau melihat semua pemain: Wak Pian, Alang, Ja’apar Buta, Noh, Mail semuanya peningkah. Tengku Tobo, pemusik semua duduk di muka. Kami harus di samping, tidak dibenarkan seorang pun memberi belakang kepada penonton. Kotak tempat kami bermain itu dipagar keliling dan diikat sama kain kuning. Itu satu penghormatan menari di muka Tuanku, tapi kami ngeri. Tuanku kuat disiplin. Kami terpaksa kerja keras. Kalau saja kami juara satu dalam pertandingan, Tuanku mengadakan perayaan selama dua hari dua malam. Kami makan roti jala, kari, dan meronggeng. Hebat waktu itu. Demikian penjelasan Almarhum Singah bin Zakaria mengenai sedikit memorinya sebagai penari zapin yang menari di muka Sultan Serdang saat itu. Tampak dari penjelasannya bahwa Sultan Serdang sangat gemar dengan kesenian. Selain itu menurut Yose Rizal Firdaus (wawancara 28 Desember 2010) bahwa Zapin adalah genre kesenian Melayu yang berasal dari Jazirah Arab yang
Mohd Anis Md Nor, “The Zafin Melayu Dance of Johor: From Village to A National Performance Tradition.” disertasi doctoral. Michigan: The University of Michigan, 1990, hal., 90. 44
Universitas Sumatera Utara
masuk ke wilayah Nusantara bersamaan dengan berkembangnya agama Islam di Nusantara ini. Menurut beliau ini ada dua jenis zapin yang ada di Nusantara ini, yaitu : zapin yang langsung datang dari Yaman atau Hadralmaut yang dikenal dengan sebutan zapin Arab atau Sarah atau Hadralmaut, dengan ciri-ciri sebagai berikut, gerakannya sangat dominan pada gerakan kaki, dinamis, cenderung maju, mundur, dan berputar, mengikuti irama dari ritem gendang. Irama musiknya cepat atau kencang. Syairnya berisi tentang riwayat Rasulullah. Penari dan pemusiknya laki-laki. Repertoar lagu umumnya berbahasa Arab. Sedangkan yang kedua datang dari Arab tetapi tidak langsung ke Nusantara, melainkan melalui India oleh para pedagang dan pelaut Gujarat, baru ke Nusantara. Ciri-ciri zapin yang kedua ini adalah gerakan tarinya dipengaruhi gerakan-gerakan dari India serta bercampur dengan gerakan yang ada di daerah dimana tari tersebut masuk. Sudah ada gerakan tangan meskipun lebih dominan gerakan kaki. Lagu iringannya sudah berbahasa Melayu tetapi syairnya tetap berisi tentang riwayat Rasulullah. Bentuk yang kedua ini disebut dengan zapin Melayu. Jadi jelas dari beberapa paparan diatas mengenai silsilah daripada zapin yang ada di wilayah budaya Serdang adalah dari Arab (Yaman), Timur Tengah, dan penulis sangat menyetujuinya.
BAB IV Pada bab ini penulis akan membahas tentang pengertian fungsi dan guna dari para ilmuwan, penggunaan zapin, dan fungsinya.
Universitas Sumatera Utara
Pengertian fungsi dan guna dari ilmuwan antara lain, menurut Lorimer et al. 45 , teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang digunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan kepada kebergantungan institusi dengan kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran, dan pasar. Dalam masyarakat yang lebih sederhana, masyarakat tribal, penyertaan dalam upacara keagamaan berfungsi untuk mendukung kesatuan sosial dalam kelompok manusia yang berhubungan kekerabatannya. Sebagai contoh, masyarakat Melayu di wilayah budaya Serdang, agama dan pihak kesultanan mendukung nilai-nilai seni yang ada pada kesenian zapin difungsikan untuk mendukung kegiatan politik kesultanan, hajatan perkawinan, dakwah agama, proses sunatan, dan sebagainya. Kemudian Dalam membicarakan fungsi dan guna zapin penulis tidak terlepas dari 2 pakar fungsionalisme yaitu, dalam bidang sosiologi ada Talcott Parson dan Robert Merton, kemudian dalam disiplin antropologi ada Malinowski dan Radcliffe-Brown yang dipandang sebagai pendiri teori fungsionalisme, maka dalam etnomusikologi ada seorang tokoh fungsionalisme yang sangat penting, dan menjadi rujukan utama jika mengkaji fungsi musik (kesenian atau kebudayaan) dalam konteks masyarakat pendukungnya. Dia adalah Alan P. Merriam, etnomusikolog dari Amerika Serikat.
45
Lawrence T. Lorimer et al., 1991, Grolier Encyclopedia of Knowledge (vol 1-20). Danburry, Connecticut: Grolier Inc.hal., 112-113, dalam Ben.M.Pasaribu, “Arkeomusikologi”, Balai Arkeologi Medan, 2008, hal., 64-64.
Universitas Sumatera Utara
Malinowski 46 membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi, yaitu: (1) fungsi sosial dari suatu adat, institusi sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau kesannya terhadap adat, prilaku manusia dan institusi sosial yang lain dalam masyarakat; (2) fungsi sosial dari suatu adat, institusi sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau kesannya terhadap keperluan suatu adat atau institusi lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang terlibat; dan (3) fungsi sosial dari suatu adat atau institusi sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau kesannya terhadap keperluan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu. Selanjutnya malinowski juga menggagas suatu teori baru yang bernama teori belajar, atau learning theory, teori inilah yang memberi dasar pasti bagi pemikirannya terhadap hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur sebuah kebudayaan. Seperti yang publik telah ketahui, ketika Malinowski awal kali menulis karangan-karangannya tentang pelbagai aspek masyarakat Trobiand sebagai satu kesatuan, dia tidak sengaja mengenalkan pandangan yang baru dalam ilmu antropologi. Namun reaksi dari kalangan ilmu itu memberinya dorongan untuk mengembangkan suatu teori tentang fungsi dari unsur-unsur kebudayaan manusia. Oleh karena itu, dengan menggunakan learning theory sebagai dasarnya, Malinowski mengembangkan teori fungsionalismenya, yang baru terbit sesudah ia meninggal dunia. Bukunya bertajuk A Scientific Theory of Culture and Other Essays. Dalam buku ini Malinowski mengembangkan teori tentang fungsi unsur46
Malinowski, “Teori Fungsional dan Struktural,” dalam Sejarah Teori Antroplologi I Koentjaraningrat (ed.), (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987). hal., 167.
Universitas Sumatera Utara
unsur kebudayaan yang sangat kompleks 47 . Namun inti dari teori itu adalah pendirian bahwa segala kegiatan kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan satu rangkaian kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena manusia ingin memuaskan keperluan nalurinya akan keindahan. Nah inti daripada pemikiran pemikiran Malinowski ini adalah aspek prilaku sosial yang berkembang adalah untuk memuaskan keinginan individu. Jadi dalam kaitannya dengan tulisan saya ini, di dalam zapin ini terdapat aspek keindahan, terutama gerakan tarinya, jadi pada dasarnya masyarakat Melayu berzapin untuk memuaskan keinginannya akan menari, selain ingin dapat tampil di hadapan Raja pada waktu dulunya (dalam hal ini merupakan suatu kebanggaan jika dapat tampil di dalam Istana), sampai pada kebutuhan untuk perhelatan perkawinan, sunat rasul, dakwah, dan sebagainya, dalam masyarakat Melayu wilayah budaya Serdang khususnya. Sedangkan Arthur Reginald Radcliffe-Brown 48 merasa bahwa pelbagai aspek prilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan keinginan individual, tetapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial sebuah masyarakat adalah keseluruhan jaringan dari hubunganhubungan sosial yang ada. Jadi kaitannya pada tulisan saya ini adalah dengan diadakannya zapin pada perhelatan perkawinan, sunat rasul, dakwah, dan
47
Malinowski, “Teori Fungsional dan Struktural,” dalam Sejarah Teori Antroplologi I Koentjaraningrat (ed.), (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987). hal., 171. 48 Radcliffe-Brown, “Teori Fungsional dan Struktural,” dalam Sejarah Teori Antroplologi I Koentjaraningrat (ed.), (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987). hal., 180-183.
Universitas Sumatera Utara
sebagainya, adalah untuk mempererat dan menjaga kesatuan sistem kekerabatan pada masyarakat Melayu dalam wilayah budaya Serdang khususnya. Selanjutnya penulis juga menggunakan teori fungsi Talcott Parsons. Ia melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi. Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekelompok subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan. Bahasan tentang struktural fungsional Parsons 49 ini akan diawali dengan empat fungsi yang penting untuk semua sistem tindakan. Suatu fungsi adalah kelompok kegiatan yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Parsons menyampaikan empat fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah sistem agar mampu bertahan, yaitu: 1. Adaptasi, sebuah sistem harus mampu menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. 2. Pencapaian, sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
49
www.wikipedia.org
Universitas Sumatera Utara
3. Integrasi, sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya. 4. Pemeliharaan pola, sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi. Kaitannya dalam tulisan saya ini adalah dalam hal adaptasi, zapin yang berasal dari Arab (Yaman) telah beradaptasi ketika sampai di Nusantara ini, sesuai dengan di wilayah mana ia masuk. Kemudian zapin juga terintegrasi dengan baik pada masyarakat Melayu di Dunia Melayu maupun dalam wilayah budaya Serdang khususnya. Dan yang terakhir penulis ingin paparkan ialah Alan P. Merriam yaitu, etnomusikolog dari Amerika Serikat, dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba menerapkannya dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada kebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktek yang biasa dilakukan, atau sebagai bagian dari pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya
Universitas Sumatera Utara
dengan aktivitas-aktivitas lain 50 . Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut, Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a perticular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose which it serves. Dari kutipan di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian penggunaan dan fungsi musik berasaskan kepada tahap dan pengaruhnya dalam sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bagiannya. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Dia memberikan contoh, jika seseorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu dapat dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia—[yaitu untuk memenuhi keinginan biologis bercinta, kawin dan berumah tangga dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia]. Jika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut berhubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual dan kegiatan-kegiatan upacara.
50 Allan. P Merriam, The Anthropology of Music. (Chicago Nortwestern University, 1964), hal., 210.
Universitas Sumatera Utara
“Penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayaninya. Dengan demikian, selaras dengan Merriam, menurut penulis penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya. Dari kerangka berpikir di atas, selanjutnya Merriam mendeskripsikan bahwa sampai tahun 1964, penelitian yang dilakukan para etnomusikolog tentang fungsi musik dalam kehidupan masyarakat, memperlihatkan adanya 10 fungsi. Kesepuluh fungsi musik itu adalah 51 : (1) sebagai pengungkapan emosional, (2) sebagai penghayatan estetika, (3) sebagai hiburan, (4) sebagai komunikasi, (5) sebagai perlambangan, (6) sebagai reaksi jasmani, (7) sebagai yang berkaitan dengan norma-norma sosial, (8) sebagai pengabsahan lembaga sosial dan upacara agama, (9) sebagai kesinambungan kebudayaan, dan (10) sebagai pengintegrasian masyarakat. Merriam menyatakan bahwa fungsi musik termasuk genre musik mungkin kurang dari sepuluh fungsinya atau boleh saja meluas lebih dari sepuluh fungsi tersebut. Penggunaan lagu dan tari zapin di kawasan Serdang Sumatera Utara mencakup berbagai aktivias seperti: memeriahkan suasana pesta pernikahan, memeriahkan suasana pesta khitanan, festival-festival budaya, untuk mengiringi acara-acara peresmian, dan lain-lain.
51
Allan. P Merriam, The Anthropology of Music. (Chicago Nortwestern University, 1964), hal., 219-226.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan seni zapin Melayu ini juga memiliki fungsi dalam konteks sosial dan budaya. Lagu dan tari zapin dalam budaya Melayu Serdang ini hidup karena fungsi-fungsi sosial, antara lain : (a) integrasi sosiobudaya, (b) kelestarian dan stabilitas budaya, (c) pendidikan, (d) hiburan, (e) mengabsahkan berbagai ibadah dan upacara keagamaan Islam, (f)
sebagai sarana dakwah Islam, (g)
sebagai sarana komunikasi, (h) sebagai pencerminan spiritualitas Islam,
(i)
sebagai pendukung mata pencaharian dan lain-lainnya.
BAB V Didalam bab ini penulis akan membahas tentang struktur teks lagu-lagu Zapin, tari, dan musik Zapin. Yang dimaksud dengan terminologi struktur dalam tesis ini adalah suatu bangunan seni (yang di dalamnya terdiri dari teks, tari, dan musik) yang terdiri dari bahagian-bahagian yang lebih kecil, yang membentuk satu kesatuan. Struktur seni ini diwujudkan dalam dimensi waktu dan ruang. Struktur teks, tari, dan musik zapin saling menjalin menjadi sebuah pertunjukan seni yang memiliki identitas dan ciri khas tersendiri. Dalam konteks budaya Melayu istilah zapin mengandung pengertian satu genre seni yang di dalamnya mencakup: (a) teks, (b) tari, (c) musik, yang berakar dari peradaban Yaman di Asia Barat, dan mengandung nilai-nilai ajaran Islam. Unsur teks zapin, dalam kebudayaan Melayu terdiri dari bahasa Arab, bahasa campuran Melayu dan Arab, dan bahasa Melayu sendiri. Teks ini disusun ada yang berdasarkan pantun atau baris-baris teks bebas yang mendukung temanya. Teks zapin bagaimanapun dapat dikelompokkan kepada jenis lagu, karena
Universitas Sumatera Utara
mengikuti melodi yang ada. Teks ini ada yang disampaikan secara eksplisit, namun tidak jarang pula yang disampaikan secara implisit. Teks-teks lagu zapin memiliki makna-makna kebudayaan, yang hanya dapat dipahami berdasarkan pengalaman empiris budaya, terutama budaya Melayu. Untuk tari zapin, gerak-gerak yang digunakan sepenuhnya berakar dari kosa gerak tarian Melayu. Struktur gerak ini mengikuti rentaknya yang biasa dilakukan dalam siklus hitungan empat sebagaimana musiknya. Tari zapin ini biasanya dalam persembahan terdiri dari bahagian pembuka, isi, dan penutupnya. Tari zapin di Serdang gerakan-gerakannya merupakan imitasi alam seperti gerak nelayan di laut, atau orang sedang bercocok tanam di lahan pertanian, atau menirukan flora dan fauna di sekelilingnya. Bagaimanapun gerak-gerak tari zapin ini memiliki makna-makna eksplisit maupun implisit. Di lain sisi, musik zapin terdiri dari unsur-unsurnya seperti instrumentasi dengan menggunakan alat-alat musik tertentu di dalam kebudayaan Melayu. Selain itu musik ini disusun oleh dimensi ruang dan waktu. Dimensi ruang terdiri dari tangga nada, wilayah nada, nada-nada dasar, interval, formula melodi, polapola kadensa, kontur, dan lain-lainnya. Sementara di sisi lain dimensi waktu disusun oleh pola ritme, birama atau meter, cepat lambatnya musik atau tempo, kuat lembutnya ketukan atau aksentuasi, siklus ritme, motif ritme, dan pola ritme, dan hal-hal sejenisnya. Tiga besaran inilah yang akan penulis uraikan dalam bab ini. Lagu-lagu zapin di kawasan Serdang yang dipraktekkan oleh para senimannya umumnya menggunakan teks-teks bahasa Melayu. Ada juga sedikit yang menggunakan bahasa Arab, atau campuran bahasa Melayu dan Arab. Lagu-lagu
Universitas Sumatera Utara
ini memiliki berbagai tema, tetapi umumnya adalah filsafat-filsafat Melayu dan Islam, seperti bagaimana menjalani hidup, pujian kepada Allah dan Nabi, hubungan antara sesama manusia, cinta yang universal yang perlu dibina, dan lain-lainnya. Intinya adalah mencerminkan pandangan hidup manusia Melayu di bawah bimbingan ajaran Ilahi. Dalam menampilkan lagu-lagu zapin Melayu biasanya menggunakan lirik. Tapi dalam sesuatu hal bisa saja hanya untuk mengiringi tarian, dan liriknya tidak dinyanyikan, atau disebut juga dengan instrumentalia (hanya bunyi musiknya saja). Sejauh pengamatan penulis, lirik yang digunakan dalam lagu-lagu zapin mengacu kepada pantun atau ada unsur-unsur pantun di dalamnya. Lagu-lagu zapin Melayu adalah lebih mengutamakan garapan teks dibandingkan garapan melodi atau instrumentasinya. Hal ini dapat dilihat dari garapan teks yang terus menerus berubah, sedangkan melodinya sama atau hampir sama. Dengan demikian musik Melayu ini dapat dikategorikan sebagai musik logogenik. Teksnya berdasar kepada pantun empat baris, kuatrin, yang terdiri dari dua baris sampiran dan dua baris isi. Kecenderungan mempergunakan ulangan-ulangan apakah itu sampiran atau isinya. Selanjutnya konsep tari dalam budaya Melayu biasanya diungkapkan melalui beberapa istilah yang mengandung makna denotasi atau konotasi tertentu. Menurut Sheppard, konsep tentang tari dalam budaya Melayu, diwakili oleh empat terminologi yang memiliki arti yang bernuansa, seperti yang diuraikannya berikut ini. There are four different words meaning ‘dance’ in the Malay language: Tandak emphasizes the dancer’s steps, Igal means
Universitas Sumatera Utara
posturing or dancing with emphasis on body movement, Liok is applied to low bending and swaying of the body, and Tari describes dancing in which the graceful movement of arms, hands, and fingers plays the chief part. The Malays attach so much importance to the fourth of these that Tari is always used to mean the Malay style of dancing 52 . Dari pernyataan Sheppard di atas, terlihat dengan jelas bahwa konsep tari dalam kebudayaan Melayu, yang diwakili oleh istilah-istilah tandak, igal, liok, dan tari, perbedaan maknanya ditentukan oleh dua faktor, yaitu: (1) penekanan gerak yang dilakukan anggota tubuh penari dan (2) tekniknya. Tandak selalu dihubungkaitkan dengan gerakan langkah yang dilakukan oleh kaki; igal gerakan yang secara umum dilakukan oleh tubuh (terutama pinggul); liok atau liuk teknik menggerakkan badan ke bawah dan biasanya sambil miring ke kiri atau ke kanan, gerakan ini sering juga disebut dengan melayah; dan tari selalu dikaitkan dengan gerakan tangan, lengan, dan jari jemari dengan teknik lemah gemulai. Selaras dengan pendapat Sheppard yang banyak mengkaji keberadaan tari di Semenanjung Malaysia, maka Tengku Lah Husni 53 dari Sumatera Utara, mengemukakan bahwa secara taksonomis, tari Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga konsep gerak, yaitu: (1) tari, merupakan gerak yang dilakukan oleh lengan dan jari tangan; (2) tandak, yaitu gerak yang dilakukan oleh wajah, leher, lengan, jari tangan, dan kaki; dan (3) lenggang yang berupa gerakan lenggok atau liuk pinggang dan badan yang disertai ayunan tangan dan jari.
52
Mubin Sheppard, Taman Indera: Malay Decorative Arts and Pastimes. (London: Oxford University Press, 1972), hal., 82. 53 Tengku Lah Husni, 1985. “Keserasian Sosial dalam Kearifan Tradisional Masyarakat Melayu.” Makalah Seminar Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan, di Medan. hal., 84.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Goldsworthy 54 tari-tarian Melayu didasarkan kepada adatistiadat, dan dibatasi oleh pantangan adat. Para penari perempuan disarankan untuk menjaga kehormatan dan harga dirinya. Mereka tidak diperkenankan mengangkat tangan melebihi bahunya, dan tidak diperkenankan menampakkan giginya pada
saat menari. Mereka tidak boleh menggoyang-goyangkan
pinggulnya, kecuali dalam pertunjukan joget. Para penari wanita sebahagian besar mengutamakan sopan-santun, tidak menantang pandangan penari mitra prianya. Penari wanita mengekspresikan sikap jinak-jinak merpati atau malu-malu kucing. Penari wanita gerakan-gerakannya menghindari penari pria. Dengan melihat konsep-konsep tentang tari dalam budaya Melayu seperti tersebut di atas, maka ditemui berbagai persamaan dan perbedaan. Konsep tari yang dikemukakan Sheppard sama dengan yang dikemukakan Husny. Lenggang yang dikemukakan Husny pengertiannya mencakup igal dan liuk yang dikemukakan oleh Sheppard. Tandak yang dikemukakan Husny pengertiannya lebih luas dari yang dikemukakan Sheppard, mencakup gerak wajah, leher, lengan, jari tangan, dan kaki. Namun demikian, dari kedua pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam budaya tari Melayu dikenal beberapa konsep tentang tari yang maknanya menekankan pada gerakan anggota tubuh tertentu seperti teknik gerak. Konsep-konsep tari seperti itu dipergunakan juga dalam ronggeng Melayu. Misalnya gerak tari pada ronggeng, maknanya menekankan kepada gerakan lengan, tangan, dan jari-jari tangan. Gerak tandak berarti
54
David J. Goldsworthy, “Melayu Music of North Sumatra: Continuities and Changes.” Canberra: Monash University. Disertasi Doktoral, 1979, hal., 343.
Universitas Sumatera Utara
menekankan kepada gerakan kaki terutama sering dikaitkan dengan tari lagu dua yang memang mengutamakan gerakan kaki. Begitu juga dengan liuk yang berarti melayahkan badan ke bawah pada saat antara penari ronggeng bertukar posisi. Demikian pula untuk tari-tari yang lain seperti Serampang Dua Belas, Mak Inang Pulau Kampai, Zapin Kasih dan Budi, Zapin Bulan Mengambang, dan lainlainnya. Dalam tari zapin, ada berbagai aspek yang hendak dikomunikasikan. Tari zapin umumnya terdiri dari tiga fase, yaitu: (a) pembuka yang terdiri dari sembah (sembah duduk, berdiri langkah sebelah, dan langkah belakang); (b) isi yang terdiri daripada gerak ragam (ragam satu, ragam dua, ragam tiga, ragam empat, ragam lima, ragam enam, ragam langkah belakang, ragam siku keluang; gerak anak (anak ayam, anak ikan, buang anak); gerak lompat (lompat kecil, pisau belanak, pisau belanak kecil, pisau belanak besar); gerak pecah (pecah dua, pecah empat, pecah enam, pecah lapan, pecah sepuluh, pecah dua belas); dan (c) bagain variasi, yaitu tahto dan tahtim. Adapun yang hendak dikomunikasikan dalam tari zapin ini adalah bahwa siapapun yang hendak melakukan persembahan mestilah memberi hormat kepada penonton sesuai dengan panduan budaya Melayu. Kemudian dalam persembahan para pemain terikat oleh norma-norma tarian yang digariskan oleh adat dan budaya Melayu. Namun selain itu sebagai manusia kita juga perlu mengekspresikan kebebasan yang sopan, yang diberikan saat tahtim dan tahto (tahtum). Di ujung persembahan musik memainkan bahagian tahtim atau tahto sebagai coda persembahan. Suara gendang dalam densitas kuat atau
Universitas Sumatera Utara
senting. Kemudian berakhirlah persembahan satu repertoar tari dan musik zapin tersebut. Ini pola umum pertunjukan zapin di Alam Melayu. Dalam kebudayaan musik Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara, alat-alat musik yang termasuk ke dalam klasifikasi idiofon adalah: tetawak, gong, canang, calempong, ceracap (kesi), dan gambang. Alat-alat musik yang termasuk ke dalam klasifikasi membranofon adalah: gendang ronggeng, gendang rebana (hadrah, taar), kompang, gendang silat (gendang dua muka), gedombak, tabla, dan baya. Alat-alat musik kordofon di antaranya adalah: ‘ud, gambus, biola, dan rebab. Alat-alat musik aerofon di antaranya adalah: akordion, bangsi, seruling, nafiri, dan puput batang padi. Dari keberadaan alat-alat musik yang dipergunakan, kita dapat melihat bahwa etnik Melayu mempunyai alat-alat musik yang berciri khas dari alur utama kebudayaannya dan juga menyerap musik luar dengan tapisan budaya. Transformasi yang terjadi adalah untuk pengkayaan khasanah. Keberadaan alatalat musik tersebut juga mengalami proses kesejarahan. Misalnya alat musik praIslam contohnya adalah gong, tetawak, dan gendang ronggeng. Kemudian selepas masuknya Islam mereka juga menyerap alat-alat musik khas Islam seperti ‘ud dan gedombak (darabuka). Kemudian dengan masuknya Portugis, Inggris, dan Belanda, mereka menyerap alat musik akordion dan biola. Kemudian diteruskan dengan mengambil alat musik saksofon, klarinet, trumpet, drum trap set, gitar akustik, gitar elektronik, dan yang terkini adalah keyboard. Walaupun mempergunakan alat musik dari budaya luar, namun struktur musiknya khas garapan Melayu. Selain itu, musik dari luar ini dianggap menjadi
Universitas Sumatera Utara
bagian dari musik tradisi Melayu. Dari keadaan ini tampaklah bahwa proses transformasi sosiobudaya musik mengikuti sejarah budaya seperti yang telah diuraikan dia atas. Ensambel musik zapin yang terdapat di wilayah budaya Melayu Serdang biasanya menggunakan: (a) satu buah gambus atau ‘ud (yang lebih sering adalah gambus); (b) satu buah akordon atau harmonium; (c) satu buah biola; (d) empat sampai tujuh buah gendang marwas; (e) satu atau dua buah gendang ronggeng. Alat-alat musik inilah yang menjadi musik khas zapin di kawasan Serdang. Seiring bergulirnya waktu, dan terjadi modernisasi ada juga di antara kelompokkelompok zapin di Serdang yang menggunakan alat musik keyboard yang diprogram untuk iringan tarian zapin. Dari alat-alat musik di atas, peran utama alat-alat musik dapat dikelompokkan ke dalam dua bahagian yaitu alat musik pembawa melodi dan alat musik pembawa ritme atau rentak. Yang paling menonjol pembawa melodi adalah gambus dan yang paling menonjol membawakan ritme adalah alat musik marwas. Tekstur yang dihasilkan oleh musik zapin di kawasan Serdang adalah heterofoni, yaitu masing-masing alat pembawa melodi dan kadang disertai vokal membentuk jalinan melodi yang hampir sama garis dasarnya namun dengan menggunakan variasi-variasi individual dan kemampuan virtuoso para pemainnya, yang memperkaya garapan melodis. Ekspresi spontanitas dalam melakukan hiasan melodi ini juga menjadi bahagian penting dalam menghasilkan heterofoni tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Jadi pada akhirnya hubungan musik dengan tari adalah sama-sama menggunakan meter empat. Siklus hitungan empat ini, ditambah dengan pola ritme dan gerak tari muncul dalam pertunjukan zapin. Sejauh pengamatan penulis rentak zapin dan gerak dasar zapin inilah yang menjadi ciri utama kenapa seni pertunjukan Islam ini disebut dengan zapin. Khusus untuk rentak zapin dalam gendang, secara garis besar menggunakan dua onomatope yaitu tung dan tak. Tung dipukul agak ke tengah gendang, sedangkan tak dipukul di bahagian tepi membran gendang.
BAB VI Didalam bab ini adalah bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran atas penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara