BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia menjadi negara Indonesia yang memiliki keunikan dengan budaya yang beraneka ragam dengan bahasa dan adat istiadat yang berbeda yang menambah daya tarik wisatawan untuk mengunjungi negara Indonesia, maka adat istiadat dan bahasa daerah perlu dilestarikan, termasuk pula budaya atau adat isiadat di Yogyakarta yang menjadi pusat kebudayaan berbagai daerah di tanah Jawa. Wilayah Yogyakarta memiliki berbagai jenis budaya dan makanan khas termasuk pula kesenian, dan bangunan bersejarah yang menjadi bagian dari kebudayaan kota istimewa.
Budaya atau tradisi yang ada di Yogyakarta
memiliki aneka upacara. Baik upacara keagamaan maupun upacara tradisional. Sistem religi
dan upacara keagamaan merupakan salah satu dari tujuh
kebudayaan lain yaitu, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 1987:2) Upacara tradisi merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan. Setiap upacara tradisional mengandung nilai filosofi yang tinggi yang dapat dipelajari nilai-nilai yang sangat penting dan sukar diamati dalam kehidupan biasa, seperti yang dikatakan oleh Turner
dalam Monica Wilson sebagai
berikut: ”ritual reveal values at their deepest level.. then express in ritual what moves them most.. it is the values of the group that are revealed” (Turner, 1969:6)
1
Dalam kehidupan masyarakat, upacara tradisi telah memegang peranan yang penting dalam menentukan arah dan warna kehidupan masyarakat, demikian pula dengan kehidupan masyarakat Yogyakarta sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang masih memegang teguh terhadap warisan leluhur yang jaman dahulu pernah menjadi pusat pemerintahan tradisional yang berbentuk kerajaan (Kraton). Tradisi Yogyakarta, dari jaman dahulu sampai sekarang masih tetap dipelihara dan dipegang teguh oleh warga Kraton, bahkan masyarakat umum.
Hal tersebut membuktikan Yogyakarta masih banyak
melakukan acara ritual keagamaan maupun upacara tradisi berupa slametan atau bancakan yang masih ada di tengah masyarakat Yogyakarta dengan berbagai nilai luhur budaya daerah yang tewujud dalam upacara tradisi. Kraton Yogyakarta menjadi panutan bagi rakyatnya sehingga secara esensial, pelaksanaan upacara tradisi daur hidup tersebut bagi masyarakat Yogyakarta pada zaman dahulu tidak banyak perbedaan antara masyarakat biasa dengan Kraton. Namun dalam perkembangan selanjutnya, tampak terjadi suatu perbedaan yang cukup berarti. Salah satu contoh yang terjadi adalah pada zaman dahulu masyarakat bangsawan Kraton, selalu melaksanakan upacara daur hidup pada masa kehamilan itu secara lengkap dan resmi,tetapi sekarang tidak seluruh tradisi tersebut dilakukan. Masyarakat Yogyakarta masih melakukan beberapa upacara daur hidup, tetapi lambat laun upacara masa kehamilan dalam masyarakat mulai mengalami perubahan. Saat ini, upacara kehamilan pada masyarakat biasa umumnya hanya tingkeban atau mitoni (upacara kehamilan 7 bulan). Penyebab
2
bergesernya pelaksanaan upacara tradisi tersebut salah satunya adalah sistem pewarisan. Sistem pewarisan budaya Jawa termasuk upacara tradisi, tidak dilakukan secara normatif dan tertulis, namun lebih secara lisan. Sedangkan generasi penerus mewarisinya berdasarkan pengamatan, dan pengalaman yang diperoleh selama mengikuti upacara tradisi, baik dalam masyarakat maupun keluarga. Pergeseran dalam pelaksanaan upacara adat perlu mendapat perhatian dari berbagai kalangan, tidak hanya para praktisi budaya Jawa, namun juga para birokrat dalam hal ini pemerintah daerah setempat dalam mengembalikan kelestarian budaya Jawa. Semakin majunya peradaban bangsa dan majunya teknologi menjadikan budaya hampir punah, sehingga masyarakat Jawa perlu memperhatikan pelestarian budaya Jawa, baik dilakukan oleh
masyarakat
Kraton, para akademisi, maupun masyarakat biasa. Budaya Jawa menjadikan suatu aset untuk mengembangkan kemajuan wilayah terutama dalam sektor pariwisata yang menumbuhkan minat bagi wisatawan yang ingin memperoleh informasi tentang upacara daur hidup sebagai upaya untuk mengetahui seberapa jauh makna dan esensi upacara tradisi daur hidup. Pada masyarakat
Jawa khususnya Yogyakarta yang kental dengan
upacara tradisi, banyak mengandung muatan simbolik yang mencerminkan nama-nama serta nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat. Pada tingkat wacana kehidupan berbangsa dan bernegara, norma-norma dan nilainilai budaya itu merupakan unsur yang penting dalam keikutsertaannya membentuk identitas kehidupan budaya bangsa Indonesia.
3
Budaya di Yogyakarta memiliki beberapa bentuk upacara tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat, baik masyarakat Kraton maupun masyarakat awam yang menjalani upacara daur hidup manusia (individual life cycle). Di Jawa sendiri terdapat berbagai upacara dalam siklus hidup manusia dan dilaksanakan sejak ada tanda-tanda kehamilan sampai manusia meninggal dunia dengan jangka waktu tertentu. Upacara daur hidup sendiri umumnya dibagi menjadi beberapa bagian menurut perjalanan hidup seseorang. Tentu saja pelaksanaan itu tidak terlepas dari kepercayaan yang tumbuh dalam masyarakat. Upacara daur hidup yang di mulai sejak masa kehamilan sampai kematian tersebut terbagi dalam beberapa tahap yaitu masa kehamilan, kelahiran, kanak-kanak dan remaja, perkawinan serta kematian. Salah satu upacara daur hidup pada masa kanak-kanak yang ada pada masyarakat Jawa adalah upacaraTedhak Siten. Upacara Tedhak Siten menarik untuk ditelaah lebih lanjut karena kegiatan tersebut saat ini sudah jarang diselenggarakan. Upacara Tedhak Siten sebagai bagian dari budaya yang perlu dilestarikan, meski berbagai budaya asing ada di wilayah Yogyakarta. Hingga saat ini upacara Tedhak Siten masih dilakukan baik oleh keluarga bangsawan maupun masyarakat biasa menjadi salah satu cara untuk mempertahankan jati diri bangsa Indonesia. B. Permasalahan Masyarakat Jawa meyakini bahwa upacara daur hidup yang mereka lakukan dipenuhi dengan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang tumbuh secara turun temurun. Nilai-nilai dan norma-norma tersebut digunakan untuk
4
mencari keseimbangan tatanan kehidupan mereka (Mulder dalam Soeseno: 1992). Salah satu upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa ketika memasuki babak baru dalam tingkat kehidupannya adalah upacara yang berkenaan dengan kelahiran seorang anak. Setelah seorang laki-laki dan perempuan melaksanakan pernikahan, seorang anak merupakan dambaan bagi setiap rumah tangga. Karena seorang anak mempunyai nilai-nilai khusus, misalnya nilai ekonomis status sosial, memberi suasana tentram dalam keluarga membahagiakan orang tua, serta memberikan harapan di masa mendatang, sebagai payung dimana orang tuanya sudah jompo karena tidak bisa bekerja lagi (Geertz,1973:89). Hadirnya seorang anak juga sebagai bukti nyata hasil perkawinan antar kelompok dan sering dianggap sebagai hadiah kehidupan yang jelas dari pihak wanita pada pihak suaminya. Pengharapan tinggi terhadap seorang anak (terutama anak pertama) merupakan kebahagian tersendiri. Untuk itu setelah anak tersebut lahir selalu ada upacara-upacara yang di lakukan sebagai usaha penjagaan terhadap anak, diantaranya adalah upacara ketika anak menginjakan tanah untuk yang pertama kalinya atau yang sering disebut dengan upacara Tedhak Siten. Upacara Tedhak Siten merupakan salah satu upacara daur hidup yang saat ini jarang ditemukan Upacara Tedhak Siten mengalami perkembangan akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga berpengaruh terhadap pandangan hidup dan sikap hidup orang Jawa dalam melanjutkan tradisi nenek moyang, sehingga
terdapat
melaksanakan tradisi seketat ketentuan
kecenderungan untuk tidak semula.
Penulis bermaksud
5
mengetahui eksistensi upacara Tedhak Siten di Yogyakarta. Dari uraian diatas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.
Mengapa upacara Tedhak Sitenmasih dilaksanakan saat ini?
2.
Apakah terdapat pergeseran makna Tedhak Siten pada kerabat bangsawan dan masyarakat biasa?
C. Tujuan Penelitian Secara umum tulisan ini bertujuan untuk mengetahui seluk-beluk mengenai tradisi upacara Tedhak Siten dan mendeskripsikan proses pelaksanaan Tedhak Siten saat ini, serta mendokumentasikannya dalam bentuk karya tulis. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih dalam prosesi tradisi upacara Tedhak Siten sebagai bagian dari ritus daur hidup dalam sistem nilai budaya yang sudah dilakukan dari dulu dan merupakan bagian dari sebuah proses yang mengiringi pertumbuhan anak menuju ketahap yang lebih lanjut. D. Kerangka Pemikiran Manusia adalah mahluk yang berbudaya, sebab kebudayaan menjadi pendorong di dalam tingkah laku manusia pada kehidupannya. Kebudayaan menyimpan pula berbagai nilai yang menjadi landasan pokok bagi penentu sikap terhadap dunia luar, bahkan menjadi dasar setiap tingkah laku yang dilakukan sehubungan dengan pola hidup di masyarakat (Cassirer:1987). Nilainilai luhur dari kebudayaan inilah yang telah diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya melalui berbagai adat istiadat yang khusus.
6
Berkaitan dengan hal di atas, setiap kelompok masyarakat pada umumnya mempunyai konsep bahwa tiap-tiap individu terbagi dalam tingkatan hidup. Tingkat demi tingkat itu akan dilalui dan akan dialami oleh individuindividu yang bersangkutan di sepanjang masa, dalam Antropologi disebut sebagai stages along the life cycle. Setiap individu dianggap bersangkutan dalam kondisi dan lingkungan tertentu pada tiap tingkatan hidup. Oleh karena itu setiap peralihan dari satu tingkat ke tingkat lainnya dapat dikatakan sebagai peralihan dari satu lingkungan sosial ke lingkungan sosial yang lain. Lingkungan sosial individu mulai terbentuk sejak ia masih dalam kandungan ibunya hingga akhirnya ia meninggal dunia. Lingkungan sosial yang harus dilalui dalam perjalanan hidup seseorang meliputi masa dalam rahim atau kandungan ibunya (kehamilan), kelahiran bayi, masa anak-anak, masa remaja, dewasa, tua dan mati (Koentjaraningrat:1985). Pada berbagai kebudayaan ada anggapan bahwa masa peralihan manusia yaitu peralihan dari satu tingkat kehidupan atau lingkungan sosial ke tingkat kehidupan atau lingkungan sosial yang lain merupakan saat-saat penuh bahaya, baik bahaya yang nyata maupun gaib. Oleh karena itu dalam beberapa kebudayaan sering di lakukan suatu upacara daur hidup (life cycle) yang dimaksudkan untuk menghindari bahaya nyata maupun gaib yang mungkin datang. Upacara ini sering disebut dengan upacara kritis hidup (crities rites). Di dalam kebudayaan Jawa juga mengenal upacara-upacara daur hidup, yaitu mulai dari upacara masa hamil, upacara kelahiran, upacara perkawinan, hingga upacara kematian (Darori, 2000). Seperti yang telah dikemukakan
7
sebelumnya sebagai awal dari penjelasan mengenai tradisi upacara Tedhak Siten, maka penelusuran penulis bermula dari ritus atau upacara daur hidup. Dalam bukunya yang berjudul The Rites of Passage (1960), Van Gennep mengulas tentang upacara-upacara yang mengiringi perubahan-perubahan dalam hidup manusia, antara lain upacara kehamilan, kelahiran, masa kanakkanak, pertunangan, pernikahan, kematian, upacara kewilayahan (seperti pindah rumah), hingga upacara inisiasi. Pada daur hidup, jika ingin ingin berpindah dari satu tingkat tingkat berikutnya yang lebih tinggi, maka diperlukan kondisi tertentu untuk mewujudkannya. Selanjutnya hal ini dianalogikan oleh Gennep (1960:1) layaknya proses mobilitas pada konteks sosial, sama-sama bergerak dan berubah. Seperti apabila kita ingin mendapatkan kenaikan pangkat pada jabatan pekerjaan, maka seseorang perlu melakukan kerja keras agar ia dapat mengubah posisinya menjadi lebih tinggi. Untuk menuju level itu, seseorang harus melewati tahap intermediate atau posisi di tengah-tengah, dan akan meninggalkan posisinya yang dahulu akan tetapi belum benar-benar menempati posisinya yang baru. Pola serupa tidak hanya ditemukan pada konteks kehidupan profan namun juga terdapat pada dimensi sakral seperti, kelahiran, melahirkan, kematian. Seseorang juga harus mengalami tahap intermediate dalam proses peralihan pada daur hidupnya. Masa penting transisi ini dianggap sebagai suatu bagian dari kehidupan yang secara simbolik ditandai melalui seremoni tertentu. Selanjutnya oleh Gennep (1960:1) berbagai proses peralihan itu dinamakan ritus peralihan (rites of passage).
8
Munculnya ritus, selamatan ataupun upacara ini merupakan suatu upaya manusia untuk mencapai keselamatan, ketentraman, dan sekaligus menjaga kelestarian
kosmos.
Pada
hakekatnya
selamatan
merupakan
upacara
keagamaan yang paling umum di dunia dan melambangkan kesatuan mistis dan sosial dari mereka yang ikut hadir di dalamnya (Geertz, 1981). Upacara Tedhak Siten adalah suatu acara memperkenalkan anak untuk pertama kalinya pada bumi atau tanah dengan maksud anak tersebut mampu berdiri sendiri dalam menempuh kehidupannya kelak. Bagi masyarakat Jawa upacara ini merupakan wujud pengharapan orang tua terhadap buah hatinya agar kelak siap dan sukses dalam menapaki kehidupan yang penuh dengan rintangan dan hambatan dengan bimbingan orang tuanya (Bratawijaya : 1997). Selain itu upacara ini juga sebagai bentuk penghormatan terhadap bumi sebagai tempat berpijak sekaligus yang telah memberikan banyak hal dalam kehidupan manusia. Dikatakan bahwa manusia hidup dan mati berada di bumi, makan minum, rumah, kendaraan semua berasal dari bumi, maka manusia perlu menghormatinya. Sebab dengan cara seperti ini maka manusia akan mendapatkan keselarasan terhadap alam, karena dalam konsep masyarakat Jawa manusia menemukan hidupnya tergantung dari alam dan apabila hidupnya selaras akan memperoleh kebaikan (Salamun dkk, 2000). Jadi dapat dikatakan bahwa upacara Tedhak Siten merupakan peringatan bagi manusia akan pentingnya hidup di atas bumi yang mempunyai hubungan yakni, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia serta hubungan manusia dengan lingkungannya (Wibowo, 2000).
9
Pada dasarnya setiap pelaksanaan upacara di kalangan masyarakat menunjukan adanya kandungan makna di balik upacara itu sediri, dimana makna tersebut sangat berkaitan erat dengan kehidupan masyarakatnya. Biasanya hal itu diberikan melalui simbol-simbol dalam upacara, lambang atau simbol inilah yang sebenarnya mempunyai nilai cukup penting bagi kehidupan manusia (Rostyati, 1994). Demikian pula pelaksanaan upacara Tedhak Siten pada masyarakat Jawa, pelaksanaan upacara ini tidak hanya sebagai ungkapan terima kasih telah diberi anugerah oleh Tuhan berupa hadirnya seorang anak akan tetapi juga mempunyai makna tertentu baik bagi anak orang tua maupun bagi masyarakat. Menurut Budhisantoso
(1984), fungsi
upacara tradisional
pada
masyarakat pendukungnya masa kini bisa dilihat pada fungsi sosial, termasuk pengendalian sosial (social standart), media sosial (social media), norma sosial (social standard), dan pengelompokan sosial (social alligment). Upacara tradisional juga berfungsi spiritual, yakni berhubungan dengan pemujaan manusia untuk meminta keselamatan pada leluhur, roh halus atau Tuhannya. Selain itu, fungsi upacara tradisional juga dikaitkan dengan pengembangan pariwisata untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di daerah maupun di tingkat nasional. Di tengah pesatnya pengaruh budaya global, tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi dan informasi akan bersinggungan pula dengan budaya-budaya dan tradisi lokal, termasuk budaya dan tradisi Yogyakarta yang menjadi satu di antara sekian daerah tujuan wisata bagi para wisatawan
10
nusantara maupun mancanegara karena Yogyakarta merupakan miniatur budaya yang dimiliki bangsa Indonesia. Meskipun terdapat kemajuan teknologi dan informasi, namun dengan budaya dan tradisi lokal yang dilestarikan merupakan peluang untuk mempromosikan tradisi budaya di Yogyakarta. E. Metode Penelitian 1. Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di Yogyakarta karena masyarakat Yogyakarta masih memegang teguh warisan leluhur bangsa Indonesia, selain itu Yogyakarta dahulu juga pernah merupakan pusat pemerintahan tradisional yang berbentuk kerajaan (kraton). Oleh karena itu penulis memilih Yogyakarta sebagai lokasi penelitian pada penulisan skripsi ini. Yogyakarta menarik aneka banyak orang dari begitu banyak kelompok etnis dan kultural Indonesia. Dengan demikian Yogyakarta menjadi sebuah komunitas yang jauh lebih plural daripada sebelumnya, pola pikir masyarakat Yogyakarta juga sudah mulai berubah terbuka menerima
kebudayaan
mempengaruhi
yang
perubahan
dan
masuk
daerah
pergeseran
lain.
tradisi
Hal
tersebut
kebudayaan
di
Yogyakarta dalam pelaksanaan upacara adat. Oleh karena itu penulis memilih Yogyakarta menjadi lokasi penelitian untuk melihat perubahan kebudayaan yang semakin kompleks. 2. Pemilihan informan Penelitian ini menggunakan informan dari keluarga priyayi (masyarakat Kraton) dan non priyayi (masyarakat biasa) yang melakukan
11
tradisi Tedhak Siten. Informan yang dijadikan nara sumber penelitian ini adalah keluarga yang pernah menyelenggarakan upacara Tedhak Siten untuk anaknya dengan latar belakang keluarga yang berbeda. Informan yang dipilih memiliki karakteristik latar belakang budaya (keluarga) Jawa dan berpendidikan tinggi (sarjana). Hal ini dilakukan karena keluarga tersebut memperhatikan tradisi budaya Jawa dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai tradisi upacara daur hidup Tedhak Siten. Alasan informan yang dipilih dengan memperhatikan latar belakang pendidikan karena diasumsikan informan memiliki ilmu pengetahuan tinggi dan pengalaman pola asuh anak akan berdampak pada proses pemaknaan ulang tradisi Tedhak Siten. Selain itu, pertimbangan informan lain yang dipilih juga berdasar pertimbangan mereka memahami dan mengerti tentang tata cara upacara tradisi dan berpengalaman dalam melaksanakan suatu upacara tradisi yang terbiasa membantu kelancaran keluarga lain yang akan melaksanakan ritual tradisi seperti wedding organizer yang menyediakan melayani paket upacara tradisi, dan menyediakan master of ceremony atau pranata adicara pada upacara tradisi tersebut. Oleh karena itu memilih informan sebagai berikut: 1. Keluarga kerabat bangsawan. Keluarga ini tinggal di daerah Suryowijayan Yogyakarta dan masih merupakan keturunan HB VIII.
12
2. Keluarga biasa non kerabat bangsawan. Keluarga dengan ekonomi menengah keatas ini tinggal di Perumahan Banteng Baru Yogyakarta. 3. Wedding Organizer Kalithi di bawah pimpinan bu Yas yang berlokasi di daerah Joyonegaran Yogyakarta. 4. Wedding Organizer Kartini di bawah pimpinan bu Lies yang berlokasi di daerah jalan Taman Siswa Yogyakarta. 5. Angger Sukisno selaku pranata adicara atau MC profesional di Yogyakarta. 6. KRT. Purwadiningrat dan Altianto yang mengabdi di Perpustakaan Widyabudaya sebagai narasumber dari dalam Kraton Ngayogyakarta. 7. Marie
Condronegoro,
narasumber
sekaligus
praktisi
kebudayaan di Yogyakarta. 3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Teknik pengumpulan data dengan observasi dan wawancara. Pengumpulan data dengan observasi lapangan yaitu dengan melihat proses pelaksanaan upacara Tedhak Siten dan peneliti mendokumentasikan prosesi pelaksanaan Tedhak Siten dari informan. Metode wawancara mendalam juga dilakukan dalam penelitian ini dengan mewawancarai informan yang dipilih sebagai proses untuk menggali tentang latar belakang keluarga, tradisi dalam keluarga hingga hal-hal yang diyakini oleh masing-masing informan. Selain itu peneliti juga menggunakan studi
13
literatur dengan menelusuri bahan bacaan berupa buku, jurnal, laporan penelitian, maupun majalah yang berhubungan dengan budaya dan upacara tradisi daur hidup terutama Tedhak Siten. dan memaksimalkan catatan renik dari data lain. Pengumpulan data dilengkapi dengan catatan pribadi dari informan, maupun internet. Penelitian dan pengumpulan data pada karya tulis dimulai dari bulan Juni 2014 sampai bulan Maret 2015 dengan mendatangi satu persatu lokasi informan untuk melakukan wawancara dan melakukan observasi. Hambatan yang ditemui saat proses pengumpulan data adalah minimnya informasi mengenai sejarah dan pakeman mengenai upacara Tedhak Siten sebagai tema penulisan. Serta jarangnya masyarakat Yogyakarta yang menyelenggarakan Tedhak Siten sehingga penulis membutuhka waktu untuk mencari informan seperti yang sudah dijelaskan, agar dapat menyaksikan dan mengamati secara langsung proses Tedhak Siten yang dilakukan saat ini supaya data yang diperoleh lebih maksimal. Analisis
data dilakukan dengan membandingkan
beberapa
penelitian tradisi dahulu serta tulisan sebelumnya berkaitan dengan tradisi daur hidup. Peneliti membandingkan tradisi yang dilakukan oleh para informan yang terbagi menjadi keluarga priyayi dari kerabat kraton dan keluarga non priyayi dari masyarakat biasa. Dalam kebudayaan Jawa, istilah priyayi atau berdarah biru merupakan suatu kelas sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan. Suatu golongan tertinggi dalam masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan. Peneliti
14
menelaah tentang prosesi dan perlengkapan tradisi Tedhak Siten dengan membandingkan ketentuan yang telah ditetapkan semenjak zaman dulu dengan perlengkapan dan prosesi yang dilakukan saat ini untuk meninjau kemungkinan pergeseran makna prosesi Tedhak Siten sehingga dapat melihat dinamika yang terjadi di dalamnya.
15