BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Koentjaraningrat (2009: 165) menyatakan, bahwa kebudayaan terdiri atas tujuh unsur, antara lain:
sistem religi, sistem organisasi
masyarakat, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, dan kesenian. Kesenian merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menjalani kehidupan. Kesenian sangat identik dengan kebudayaan, bahkan keberadaan kesenian selalu saja dikaitkan dengan kebudayaan suatu daerah. Kesenian senantiasa tumbuh seiring dengan rasa dan keindahan yang dapat dinikmati oleh diri manusia. Lebih lanjut Koentjaraningrat (2005: 19) dalam bukunya menyatakan, bahwa: Kebudayaan (dalam arti kesenian) adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang fungsional, estetis, dan indah sehingga ia dapat dinikmati dengan panca inderanya (yaitu penglihat, penghidu, pengecap, perasa, dan pendengar).
1
2
Dilihat dari segi fungsinya, kesenian merupakan aspek terpenting dalam acara-acara ritual, hiburan, maupun acara-acaran lainnya. Berbagai bentuk dan fungsi seni musik selalu dihadirkan dalam berbagai aktivitas kehidupan manusia. Alan P. Merriam (1964: 219-227) dalam buku The Anthrophology Of Music mengungkapkan setidaknya terdapat 10 fungsi musik, di antaranya: 1). Emotional expression, 2). Aesthetic enjoyment, 3). Entertainment, 4). Communication, 5). Symbolic representation, 6). Physical response, 7). Enforcing conformity to social norms, 8). Validation of social institutions and religious rituals, 9). Contribution to the continuity and stability of culture, 10). Contribution to the integration of society. Namun pada kenyataannya, kesepuluh fungsi pertunjukan ini tidak dapat diaplikasikan ke dalam semua pertunjukan musik. Jawa Barat sebagai wilayah administratif provinsi yang terbagi ke dalam beberapa wilayah Kabupaten dan kota, warga masyarakatnya didominasi oleh masyarakat yang berlatar budaya Sunda. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakatnya sebagian besar masih menjalankan kebudayaan agraris tradisional. Demikian pula halnya dengan masalah kesenian. Kehidupan masyarakat Jawa Barat tidak dapat dipisahkan dari kehadiran seni musik, khususnya adalah musik bambu. Masunah (2003:
3
14)
dalam
buku
Angklung
di
Jawa
Barat:
Sebuah
Perbandingan,
menyebutkan, bahwa: Alat musik bambu yang tersebar di Jawa Barat, bila diklasifikasikan terdiri atas; alat musik yang ditiup, antara lain adalah suling, toleat dan bangsing, alat musik yang dipukul misalnya calung, arumba dan celempung, serta alat musik yang digoyangkan atau digetarkan yaitu angklung. Oleh karena itu, sangatlah wajar apabila di Jawa Barat banyak terdapat alat musik bambu. Hal ini dimungkinkan, karena letak geografisnya yang sangat mendukung tanaman bambu dapat tumbuh dengan subur. Angklung merupakan alat musik bambu yang hingga saat ini masih dapat bertahan dan berkembang di masyarakat, terutama setelah UNESCO pada tanggal 16 November 2010 secara resmi telah memasukkan angklung ke dalam representative list intangible cultural heritage of humanity1 (Daftar warisan budaya takbenda). Angklung yang tersebar hampir di seluruh wilayah Jawa Barat, dengan penyebutan atau nama-nama yang berbeda. Berdasarkan majalah Kawit edisi 41 (1989) dalam Masunah (2003: 4) tercatat kesenian rumpun angklung yang tersebar di Jawa Barat berjumlah 21 jenis. Angklung yang ada di suatu daerah merupakan aspek terpenting yang erat kaitannya dengan upacara ritual penanaman padi, terutama 1
www.kompasiana.com, tersedia pada tanggal 19 Novemver 2010 pukul 01.32.
4
bagi masyarakat yang masih memegang teguh tradisi leluhur. Edi S. Ekajati seperti dikutip oleh Somawijaya (2009: 41) mengatakan, bahwa: Karya musik bambu zaman bihari yang bersifat ritual menurut mitologi masyarakat Sunda, sebagian besar berhubungan dengan penghormatan kepada Dewi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang Sri yang dianggap sebagai penjelmaan padi, oleh karena itu padi atau beras selalu disimpan di tempat yang disucikan. Artinya, mereka percaya dengan adanya dewi pemberi rezeki, yaitu Dewi Sri, dan sebagai wujud rasa syukur atas hasil yang diperoleh, mereka mempersembahkannya melalui berbagai upacara ritual. Di Jawa Barat terdapat sebuah wilayah yang memiliki kekayaan akan khasanah seni dan budaya terutama seni tradisional, yaitu Kabupaten Sumedang.
Kabupaten Sumedang diketahui memiliki
berbagai bentuk dan jenis kesenian, seperti yang tercatat dalam catatan Disbudpar (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata) Kabupaten Sumedang, terdapat lebih dari 46 jenis kesenian. Meskipun dalam catatan Disbudpar terdata sebanyak 46 jenis kesenian, namun pada kenyataannya hanya terdapat beberapa jenis kesenian yang dapat diidentifikasi secara jelas dan itu pun dianggap sebagai kesenian unggulan saja. Adapun kesenian yang dimasukkan sebagai kesenian unggulan meliputi Kuda Renggong, Tarawangsa,
Bangreng,
Umbul,
Genggong,
dan
Tari
Klasik
Kasumedangan, sedangkan jenis-jenis kesenian lainnya dapat dikatakan
5
kurang begitu diperhatikan. Seharusnya dengan keberagaman seni dan budaya yang begitu melimpah, pemerintah seyogyanya bisa memberi perhatian kepada kesenian yang lain. Dengan
motto
yang
diusung
oleh
pemerintah
Kabupaten
Sumedang, yaitu Sumedang Puseur Budaya Sunda, maka kalimat tersebut akan bertolak belakang dengan kenyataan jika kesenian yang tersebar di seluruh pelosok Sumedang tidak tercatat dengan jelas dalam data yang ada di Disbudpar. Berdasarkan kenyataan ini, penulis tertarik untuk meneliti salah satu kesenian yang ada di daerah tersebut, yaitu kesenian Angklung. Salah satu jenis angklung di Sumedang yang menarik untuk diteliti adalah angklung Buncis yang terdapat di Desa Darmajaya, Kecamatan Darmaraja,
Kabupaten
Sumedang.
Masyarakat
Desa
Darmajaya,
Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang pada masa lalu menamakan kesenian
angklung
Buncis
dengan
sebutan
angklung
Kabuyutan.
Berdasarkan keterangan Ooy2, kesenian angklung Buncis ini biasa ditampilkan
pada
acara-acara
yang
berhubungan
dengan
ritual
penanaman padi dan ritual lainnya seperti nyepitan (Sunatan).
2
Ooy adalah salah satu tokoh angklung Buncis yang berperan penting dalam
eksistensi keseniana tersebut, wawancara Mei 2013.
6
Angklung Buncis ini pada awal kemunculannya merupakan kesenian yang sangat digandrungi oleh masyarakat Desa Darmajaya, namun akibat dari arus modernisasi, mulai dari perkembangan teknologi, kebutuhan pokok yang semakin tinggi, kini kesenian tersebut mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya. Salah satu penyebabnya adalah masalah ekonomi, antara lain masalah uang pada zaman sekarang yang telah dianggap sebagai benda penting untuk menyambung hidup. Hal ini berimbas terhadap keberadaan angklung Buncis. Para pelaku seni angklung Buncis sekarang dalam melayani masyarakat lebih bersifat komersial, artinya mereka mau tampil dalam pertunjukan jika ada bayaran. Tentunya dengan keadaan ini Sueb3 selaku pimpinan dari kelompok angklung Buncis tersebut merasa tidak mampu, dikarenakan biaya yang tidak sedikit, baik itu biaya untuk upah para pemain maupun perlengkapan ritual itu sendiri. Sejak angklung dimasukkan dalam daftar warisan budaya dunia takbenda, sudah seharusnya kita sebagai warga negara Indonesia memelihara dan melestarikan kesenian tersebut, agar eksistensinya tetap terjaga. Salah satu caranya adalah dengan melakukan penelitian terhadap Sueb adalah pemilik waditra angklung Buncis, wawancara 14 Desember 2014.
3
7
angklung. Oleh sebab itu, penulis berkeyakinan bahwa kesenian angklung Buncis akan tetap menarik untuk dikaji dan dianalisis terutama dalam segi bentuk dan fungsi pertunjukannya.
B. Rumusan Masalah Objek yang akan dijadikan fokus dalam penelitian ini adalah kesenian angklung Buncis yang terdapat di Desa Darmajaya, Kecamatan Darmaraja,
Kabupaten Sumedang, dengan rumusan permasalahannya
sebagai berikut. 1. Bagaimana bentuk pertunjukan kesenian Angklung Buncis di Desa Darmajaya, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang? 2. Bagaimana fungsi pertunjukan kesenian Angklung Buncis di Desa Darmajaya, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : a. Untuk menjelaskan bentuk pertunjukan kesenian Angklung Buncis di Desa Darmajaya, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang. b. Untuk menjelaskan fungsi pertunjukan kesenian Angklung Buncis di Desa Darmajaya, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang.
8
Penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai harapan, selain itu penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi: 1. Peneliti Menambah wawasan dan pengetahuan dalam bidang kesenian tradisional yang ada di masyarakat, serta menambah wawasan yang lebih jauh mengenai angklung Buncis. 2. Mahasiswa Jurusan Karawitan Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam mengembangkan kesenian angklung Buncis, serta untuk menambah literatur atau bacaan bagi mahasiswa maupun orang yang membutuhkannya. 3. Masyarakat Hasil penelitian ini
dapat
memberikan informasi kepada
masyarakat luas mengenai pengembangan kesenian tradisional dan budaya, khususnya kesenian angklung Buncis.
D. Tinjauan Pustaka
Sebagai bahan referensi untuk menyusun laporan penelitian, penulis menggunakan beberapa sumber yang terkait dengan objek penelitian, yaitu sebagai berikut:
9
1. Angklung di Jawa Barat: Sebuah Perbandingan. 2004. Juju Masunah, dkk. Buku ini memaparkan tentang perbandingan berbagai khasanah angklung di Jawa Barat, terutama perbandingan dari segi fungsi dan kegunaannya di masyarakat, dan juga membahas tentang kesejarahan Angklung. Buku ini memaparkan mengenai angklung berdasarkan konteks sosial, perbandingan fungsi dan kegunaannya di masyarakat, serta memaparkan kesejarahan angklung. 2. “Seni Buncis Kp. Loskulalet Desa Margamekar Kec. Pangalengan Kab. Bandung. Tinjauan Deskriptif Terhadap Perkembangan Fungsi Seni Buncis Di Kp. Loskulalet”. 2012. Oleh Sendy Novian. Skripsi ini menguraikan bahwa seni Buncis ini sejak awal keberadaannya hingga saat
ini
berfungsi
sebagai
sarana
hiburan
dan
mengalami
perkembangan dalam hal permainannya. Skripsi ini dijadikan bacaan komparatif terkait penulisan fungsi kesenian angklung Buncis. 3.
“Analisis Musikalisasi Musik Bambu Jawa Barat”. 2009. Karya Abun Somawijaya. Dalam penelitian ini diungkap tentang perkembangan musik bambu di Jawa Barat yang mengalami perubahan karena perkembangan zaman. Laporan penelitian ini digunakan sebagai sumber acuan terkait perkembangan Kesenian angklung di Jawa Barat.
10
4. “Kasanah Musik Bambu”. 1996. Karya Abun Somawijaya. Laporan penelitian ini memaparkan ragam musik dan alat musik bambu di Jawa Barat. Laporan penelitian ini digunakan penulis sebagai sumber acuan terkait ragam musik bambu yang ada di Jawa Barat khususnya angklung. 5. “Studi Komparatif Angklung Buncis Cigugur Kabupaten Kuningan dan Cireundeu Kota Cimahi”. 2013. Oleh Nanang Jaenudin. Tesis ini membahas tentang perbandingan antara Angklung Buncis Cigugur dan Cireundeu, yang meliputi bentuk pertunjukan, repertoar, instrumentasi, pemain, teknik, dan struktur pertunjukan. Tesis ini digunakan oleh penulis sebagai sumber acuan terkait penulisan bentuk pertunjukan Kesenian Angklung Buncis. Dari uraian tulisan-tulisan sumber di atas, maka dapat dilihat bahwa penelitian atau tulisan tentang bentuk dan fungsi pertunjukan kesenian angklung Buncis di Desa Darmajaya, Kec. Darmaraja, Kab. Sumedang belum pernah ditulis atau diteliti oleh peneliti lainnya, sehingga penulis berkeyakinan bahwa tulisan ini masih orisinal.
11
E. Metode dan Teknik Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Berkaitan dengan masalah metode deskriptif, Nazir (1985: 63) mengungkapkan : Metode deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem, pemikiran atau pun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penelitian deskriptif yakni untuk menggambarkan atau melukiskan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai faktafakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Terkait dengan proses penelitian yang dilakukan, maka dari itu untuk mendeskripsikan kesenian angklung Buncis ini dilakukan dengan teknik-teknik penelitian sebagai berikut : 1. Pengumpulan Data a. Studi Pustaka Studi Pustaka merupakan teknik pengumpulan data dengan cara melakukan penelaahan terhadap buku-buku, literatur, serta laporanlaporan yang ada kaitannya dengan topik dan objek yang diteliti. Dalam hal ini penulis melakukan studi pustaka dengan cara mengumpulkan berbagai data atau bahan yang berkaitan dengan angklung secara umum maupun kesenian angklung Buncis yang pernah diteliti di tempat lain.
12
b. Studi Lapangan 1) Observasi Observasi
merupakan
teknik
pengumpulan
data
dengan
mengadakan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Dengan cara ini penulis melakukan pengamatan langsung terhadap acara sunatan dan Darmaraja Festival kesenian angklung Buncis, di Desa Darmajaya, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang. 2) Wawancara Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan cara bertanya langsung kepada narasumber, yaitu Sueb sebagai pemilik angklung Buncis, Asikin sebagai tokoh angklung Buncis, dan Ooy sebagai orang yang berperan penting dalam hal angklung Buncis dapat eksis kembali. Dalam wawancara ini penulis mengajukan beberapa pertanyaan terkait kesenian Angklung Buncis untuk mendapatkan informasi secara rinci, sehingga dapat tercapai sasaran penelitiannya. Dalam wawancara ini penulis menggunakan alat perekam suara yaitu Hp Nokia E63. 3) Pendokumentasian Pendokumentasian merupakan teknik pengumpulan data audio visual mengenai objek yang diteliti, dengan menggunakan peralatan
13
berteknologi seperti kamera untuk mengambil gambar dan merekam pertunjukan kesenian angklung Buncis. Dalam hal ini penulis menggunakan alat untuk mengambil gambar dan alat perekam video berupa kamera digital Kodak Easy Share M580 , dan kamera Samsung DV100. 2. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan setelah penulis melakukan serangkaian teknik pengumpulan data. Dalam hal ini data yang telah didapat dari lapangan, yang merupakan hasil dari observasi, wawancara, dan pendokumentasian,
diseleksi
dengan
cara
analisis
data
untuk
dideskripsikan secara menyusun dan sitematis, sehingga mengacu pada rumusan permasalahan objek penelitian, dalam hal ini adalah bentuk pertunjukan dan fungsi kesenian angklung Buncis. 3. Penyusunan Laporan Penyusunan
laporan
dilakukan
bersamaan
atau
setelah
serangkaian teknik-teknik penelitian selesai dilakukan. Pada tahap penulisan laporan mengacu pada sistematika yang telah ditetapkan sehingga laporan tersebut dapat tersaji secara runtut, mudah dipahami, dan menarik untuk dibaca.
14
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan merupakan suatu urutan atau tata cara dalam penulisan dengan tujuan untuk mempermudah proses penyusunan sebuah karya tulis, yang dalam hal ini merupakan sebuah skripsi. Adapun sistematika penulisan untuk membuat skripsi ini dirangkai dalam sistematika sebagai berikut. 1. BAB I : Pendahuluan Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode dan teknik penelitian, serta sistematika penulisan. 2. BAB II : Tinjauan Umum Bab ini memaparkan mengenai objek penelitian secara umum, meliputi: Sekilas tentang Kecamatan Darmaraja, gambaran umum masyarakat Desa Darmajaya, Kec. Darmaraja, Kab. Sumedang yang meliputi letak geografis dan keadaan alam, kependudukan, pemerintahan, bahasa,
serta
Angklung
kesenian.
Buncis,
Selanjutnya
dimulai
dari
membahas
sejarah
dan
tentang
Kesenian
keberadaan
serta
perkembangan kesenian tersebut di Desa Darmajaya, Kec. Darmaraja, Kab. Sumedang. 3. BAB III : Bentuk Pertunjukan dan Fungsi Kesenian Angklung Buncis.
15
Bab ini merupakan isi atau pemaparan tentang objek yang diteliti, membahas mengenai bentuk pertunjukan dan fungsi kesenian angklung Buncis di Desa Darmajaya, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang. 4. BAB IV : Kesimpulan dan Saran Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari hasil pembahasan dan penelitian yang telah dilakukan peneliti serta saran-saran dari peneliti untuk berbagai pihak.