BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mengandalkan pariwisata sebagai objek mata pencaharian. Kebudayaan merupakan faktor utama ketertarikan wisatawan mancanegara datang ke Bali sehingga mendatangkan berbagai kesempatan mencari penghasilan pada sektor pariwisata. Produktifitas bisnis pariwisata budaya memicu pergerakan ekonomi di bidang perdagangan, sektor pertanian, hingga beragam pekerjaan bidang jasa. Keberadaan, keberlangsungan, dan keberlanjutan perekonomian Bali untuk selanjutnya terus menerus bergantung pada hal yang berkaitan dengan kebudayaan, sebab Bali memang hanya mempunyai sebagian kecil sumberdaya alam (fisik) yang dapat dikelola. Kebudayaan menjadi tonggak utama karena memiliki keberagaman jenis sehingga para wisatawan tidak pernah merasa bosan untuk menyaksikannya. Kebudayaan tersebut tidak saja terbatas pada sistem ritual dan keagamaan, namun juga mencangkup seluruh sendi kehidupan masyarakat Bali seperti; sistem tata ruang dan lingkungan hidup, sistem arsitektur ruang dan bangunan, sistem sosial kemasyarakatan, sistem irigasi dan pertanian, serta berbagai sub-sistem lainnya yang membangun satu kesatuan identitas budaya. Hal yang paling mendasar dan merupakan awal mula pembentuk kesatuan identitas dari sistem-sistem tersebut merupakan sistem sosial kemasyarakatan masyarakat Bali yang dikenal dengan nama desa pakraman. Desa Pakraman merupakan istilah lain dari desa adat seperti yang tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas
1
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Pada pasal 1 angka (4) disebutkan bahwa : Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Pada pasal 3 Peraturan Menteri Desa Nomor 1 Tahun 2015 disebutkan bahwa desa adat mempunyai kewenangan berdasarkan hak asal-usul yang meliputi: a. Pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli; b. Pengaturan dan pengurusan ulayat/wilayah adat; c. Pelestarian nilai sosial budaya; d. Penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat; e. Penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan desa adat; f. Pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat sesuai hukum adat; g. Pengembangan kehidupan hukum adat. Luasnya kewenangan yang diberikan kepada desa adat atau desa pakraman sebagaimana disebut di Bali, merupakan bentuk pengakuan yang konkret terhadap eksistensi adat dan budaya Bali. Selama ini pengakuan tersebut hanya tertuang dalam ketentuan Pasal 18b Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut menentukan bahwa: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur undangundang. Penyelenggaraan pemerintahan desa pakraman akan dapat terlaksana secara maksimal apabila desa pakraman memiliki kapasitas keuangan yang mandiri sehingga segala bentuk penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya akan berjalan dengan baik.
Salah satu bentuk kekayaan desa pakraman yang memiliki ciri khas dan mampu mendorong perekonomian karena mempunyai fungsi selayaknya lembaga keuangan pada umumnya adalah Lembaga Perkreditan Desa (LPD). LPD di Bali yang saat ini berjumlah 1.423 memiliki total aset sebesar Rp 14,6 triliun atau dua kali lipat dari aset BPR di Bali. LPD yang memiliki aset diatas Rp 100 milyar hingga tahun 2016 mencapai 29 unit. Jumlah aset yang sangat besar ini adalah salah satu indikator betapa strategisnya LPD sebagai penghimpun dana masyarakat yang harus dilindungi keberadaannya. Jika LPD dapat terus eksis dan berkembang tentu dampaknya dalam mendorong perekonomian masyarakat desa pakraman sangatlah luar biasa. Dari 1.423 LPD di Bali, hanya 10% (sepuluh persen) yang dinyatakan tidak sehat. Ini menunjukkan bahwa LPD mampu dan eksis bersaing dengan lembaga keuangan lain yang sejenis. Pengertian LPD termuat dalam Pasal 1 Angka 11 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa, yaitu: Lembaga Perkreditan Desa yang selanjutnya disebut LPD adalah lembaga keuangan milik Desa Pakraman yang bertempat di wilayah Desa Pakraman. LPD memiliki kekhususan tersendiri, akan tetapi sistem pengelolaannya secara teknis hampir sama dengan lembaga keuangan mikro dan lembaga perbankan konvensional. Salah satu sifat kekhususan LPD adalah LPD wajib melakukan fungsi intermediasi, yakni menghimpun dana (funding) hanya dari masyarakat desa pakraman dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit (lending) hanya kepada masyarakat desa pakraman. Kewajiban ini tertuang dalam Pasal 2 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa, yaitu: LPD merupakan badan usaha keuangan milik Desa yang melaksanakan kegiatan usaha dilingkungan Desa dan untuk Krama Desa.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa juga mengatur tentang ijin pendirian LPD, modal LPD, pengawasan LPD, dana perlindungan dan penjaminan LPD, kepengurusan, hingga sanksi terkait pengelolaan LPD. Peraturan Daerah ini ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Gubernur Bali Nomor 11 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa. Peraturan Gubernur Bali tersebut berisikan mekanisme pengelolaan LPD yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian pengelolaan LPD, pengurus dan pengawas internal LPD, badan kerjasama LPD, lembaga pemberdayaan LPD, dana pembinaan LPD, skim dana penjaminan simpanan nasabah LPD, hingga penyetoran dan penggunaan keuntungan bersih LPD. Pembentukan LPD didorong karena mendesak dan menguatnya kebutuhan keuangan desa pakraman dalam menyelenggarakan berbagai fungsi peradaban yang sangat berat dan tidak pernah dipikirkan atau dikerjakan oleh lembaga keuangan umum atau bank manapun juga. Sifat khas LPD juga dibedakan oleh instrumen pengelolanya, yaitu dengan menggunakan instrumen komunikasi dan sosial budaya, seperti awig-awig, pesangkepan, dan terutama tujuannya yaitu keberadaan LPD, lebih dimaksudkan untuk membangun kemampuan keuangan masyarakat desa pakraman, dalam rangka menunjang misi mereka untuk memelihara, menyangga, dan mengembangkan peradaban budaya Bali. Peradaban budaya Bali yang menjadi landasan LPD menjadikan karakteristik LPD juga bersifat sosial, komunal, religius (tidak hanya tanggungjawab secara fisik/sekala namun juga secara nonfisik/niskala).
Kekhususan LPD terutama dalam hal hak dan kewajiban seperti yang telah disebutkan di atas, membuat pemerintah mengecualikan keberadaan LPD dalam Pasal 39 ayat (3) UndangUndang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Undang-Undang LKM). Posisi LPD dan lembaga keuangan sejenis, misalnya, Lumbung Pitih Nagari di Sumatera Selatan, dianggap tidak termasuk dalam Lembaga Keuangan Mikro dan dibebaskan dari segala aturan yang mengikat Lembaga Keuangan Mikro serta dinyatakan diakui keberadaannya berdasarkan hukum adat. LPD hanya terdapat di Bali, untuk itu LPD hanya tunduk pada hukum adat yang di Bali, pengaturan tentang LPD ini wajib terdapat dalam awig-awig pada masingmasing desa pakraman. Pengecualian ini menimbulkan kekosongan hukum mengingat seperti yang telah dipaparkan di atas, selama ini status dan kedudukan LPD hanya diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa. Belum ada tindak lanjut dari pemerintah Provinsi Bali didalam menyikapi Undang-Undang LKM dengan melakukan revisi Peraturan Daerah tersebut agar pengaturan dan tata kelola LPD disesuaikan dengan hukum adat. Namun demikian, Majelis Desa Pakraman Bali telah melaksanakan Paruman Agung Tanggal 8 Agustus 2014 yang menghasilkan Keputusan Paruman Agung III MDP Bali No. 007/SK-PA III/MDP Bali/VIII/2014 tentang Pararem LPD Bali, sebagai upaya untuk mengamankan keberadaan LPD agar sesuai dengan amanat Undang-Undang LKM. LPD dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat desa pakraman juga mensyaratkan adanya jaminan yang diikuti dengan pengikatan jaminan demi keamanan LPD apabila ada peminjam yang melakukan wanprestasi. Oleh sebab itu, untuk saat ini, karena belum adanya pengaturan lebih lanjut mengenai LPD termasuk dalam melakukan pengikatan jaminan dalam
transaksi kredit, Notaris/PPAT masih mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan berdasarkan hukum negara (misalnya ; untuk pengikatan jaminan berupa benda tetap mengacu kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah serta untuk pengikatan jaminan berupa benda bergerak tetap mengacu kepada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia). Kondisi ini disebabkan karena LPD dalam Peraturan Daerah disebut sebagai Badan Usaha Keuangan Milik Desa yang mengacu kepada pengertian Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Ini juga disebabkan dalam pengaturan dan tata kelola LPD (baik oleh Peraturan Daerah maupun Peraturan Gubernur) tidak ada ketentuan mengenai pengikatan jaminan kredit di LPD. Hal ini menimbulkan polemik karena melihat pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, jika dilihat dari aspek pemegang haknya, Pasal 9 UndangUndang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa yang berhak memegang hak tanggungan adalah perseorangan dan badan usaha. Demikian pula apabila memperhatikan Pasal 1 angka 6 UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa pemegang hak atau penerima fidusia adalah korporasi maupun perseorangan. LPD dalam karakteristik dan kekhususannya yang diamanatkan untuk tunduk pada hukum adat seperti saat ini, dianggap tidak dapat dipersamakan dengan badan hukum, korporasi, maupun perseorangan seperti yang ada di Indonesia saat ini. Dari berbagai uraian latar belakang permasalahan di atas, maka secara sistematis permasalahan pokok dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang LKM yang mengecualikan keberadaan LPD, maka kedudukan LPD tidak lagi dapat dipersamakan
dengan Bank Pekreditan Rakyat, Koperasi, Lembaga Keuangan Mikro, maupun lembaga keuangan lain, sehingga peraturan-peraturan yang mengikat Lembaga Keuangan Mikro tidak dapat diterapkan pada LPD. 2. LPD hanya ada di Bali. Oleh karena itu, LPD tunduk pada hukum adat Bali dalam hal ini awig-awig yang ada pada masing-masing desa pakraman, sehingga pemerintah harus melakukan revisi untuk melakukan penyesuaian status dan kedudukan hukum LPD agar sesuai dengan amanat Undang-Undang LKM. 3. Belum adanya tindak lanjut dari pemerintah terkait amanat status dan kedudukan hukum LPD, baik itu berupa perubahan, penggantian, maupun pencabutan Peraturan Daerah menyebabkan timbulnya kekosongan hukum baik dalam status dan kedudukan hukum LPD maupun dalam pengikatan jaminan kredit di LPD. Dari uraian di atas maka dapat ditarik suatu isu hukum yang berkaitan dengan adanya kekosongan hukum berkaitan dengan status dan kedudukan hukum LPD dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 yang berpotensi menimbulkan polemik terkait keabsahan pengikatan jaminan kredit di LPD
, karena belum adanya aturan hukum adat maupun
perubahan/penggantian/pencabutan Peraturan Daerah yang menyatakan bahwa LPD tunduk pada hukum adat. Padahal pengikatan jaminan dalam transaksi kredit amatlah penting demi memberikan rasa aman bagi LPD, ketika si peminjam melakukan wanprestasi karena memiliki kepastian hukum dalam pelaksanaan lelang jaminan. Dalam penelitian ini, peneliti telah membandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang masalah perkreditan di LPD. Adapun penelitian yang mirip dengan penelitian ini antara lain:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Ni Nyoman Rumbiani dalam rangka menyelesaikan program Pascasarjana di Magister Kenotariatan Universitas Udayana (2013) yang berjudul “Perjanjian Kredit dengan Jaminan Hak Atas Tanah pada Lembaga Perkreditan Desa di Kabupaten Gianyar”. Rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah : a).
Persyaratan apakah yang harus dipenuhi oleh bukan krama desa (krama tamiu) dalam mengajukan permohonan kredit di Lembaga Perkreditan Desa Kabupaten Gianyar dengan jaminan hak atas tanah?
b)
Bagaimanakah tanggungjawab serta upaya hukum yang dilakukan oleh Lembaga Perkreditan Desa di kabupaten Gianyar apabila debitur wanprestasi?
Simpulan dari permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian tersebut adalah : a). Hasil penelitian menunjukkan persyaratan yang harus ditempuh debitur Lembaga Perkreditan Desa yang bukan krama desa/krama tamiu dalam mengajukan kredit dengan jaminan hak milik atas tanah untuk memperoleh kredit pada Lembaga Perkreditan Desa di Kabupaten Gianyar adalah adanya penanggung jawab atau penjamin dari krama desa. Untuk kredit di atas Rp 25 juta, krama tamiu juga diwajibkan menyerahkan jaminan sertipikat hak milik atas tanah atas nama peminjam kredit. Sertipikat Hak Milik tersebut kemudian dibuatkan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT). b). Apabila debitur wanprestasi, tanggungjawab dan langkah yang diambil oleh Lembaga Perkreditan Desa adalah melakukan pendekatan secara kekeluargaan
dengan memperpanjang jangka waktu pengembalian kredit sehingga debitur bisa mencicil sesuai kemampuannya. 2.
Penelitian ini ditulis oleh Jeanne Wiryadani Ratnaningrum yang dalam rangka menyelesaikan program Pascasarjana di Magister Kenotariatan Universitas Udayana (2015). Tesis ini menganalisis mengenai “Wewenang Lembaga Perkreditan Desa sebagai Subjek Hak Tanggungan”. Rumusan masalah yang diangkat pada tesis ini ada dua, pertama apakah Lembaga Perkreditan Desa berwenang sebagai subjek hukum hak tanggungan dan yang kedua bagaimana akibat hukum dari perjanjian yang dibuat oleh LPD sebagai debitur dalam suatu perjanjian Hak Tanggungan. Kesimpulan yang didapat adalah, pertama LPD tidak dapat menjadi subjek hukum hak tanggungan karena LPD adalah duwe desa pakraman. Akibat hukum dari perjanjian LPD adalah tidak sah karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dari uraian beberapa penelitian diatas tidak ditemukan kesamaan, karena fokus dari pada kajian penelitian ini adalah lebih kepada kekosongan hukum berkaitan dengan status dan kedudukan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro yang berpengaruh terhadap pengikatan jaminan di LPD, sehingga tingkat originalitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan. Penelitian tentang kajian yuridis pengikatan jaminan di LPD merupakan isu hukum yang penting demi terjaganya keamanan lembaga keuangan khusus milik desa pakraman yang hanya satu-satunya di Bali, untuk itu berdasarkan hal inilah yang melatarbelakangi penulis tertarik mengangkat penelitian ini dengan judul: “Status dan Kedudukan Lembaga Perkreditan Desa (LPD)
terkait Pengikatan Jaminan dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro”. 1.2 Rumusan Masalah Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1.2.1 Bagaimanakah status dan kedudukan hukum Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro? 1.2.2 Bagaimanakah pengaturan hukum pengikatan jaminan pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan pada permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini secara umum diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan perkreditan di Lembaga Perkreditan Desa di Provinsi Bali, agar dikemudian hari tidak terjadi keragu-raguan dan para pihak yang bersengketa dapat memiliki kepastian hukum. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui status dan kedudukan hukum Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.
b. Untuk mengetahui pengaturan hukum pengikatan jaminan pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1.4.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang hukum adat dan hukum jaminan. Penelitian ini dapat membantu untuk lebih memperhatikan dan berusaha untuk memberikan sumbangan pemikiran sesuai dengan kejadian dan fakta di lapangan. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan dalam bidang hukum adat serta agar para pihak mengerti akan tuntutan dan menyadari pentingnya perlindungan hukum terhadap hak-hak lembaga adat yang belum sepenuhnya terakomodasi oleh pemerintah. 1.5 Landasan Teoritis Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum atau teori hukum khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma, dan lainlain, yang akan dipakai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Landasan teoritis terdiri atas pemikiran-pemikiran teoritis yaitu pengertian tentang hukum, konsep-konsep hukum, dan teori-teori hukum yang digunakan dalam setiap penelitian disebabkan terdapat hubungan yang erat antara teori dengan kegiatan yang akan dilakukan dalam penelitian tersebut. Landasan teoritis tersebut akan menuntun penelitian ke arah yang lebih jelas.
Teori yang akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah pertama mengenai pengaturan hukum pengikatan jaminan Hak Tanggungan pada LPD setelah berlakunya UndangUndang Lembaga Keuangan Mikro adalah Teori Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Teori Badan Hukum. Sedangkan teori Transplantasi Hukum akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua. a. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pada mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal mengenai teori jenjang hukum (Stufentheorie) yang merupakan pendapat dari Hans Kelsen. Hans Kelsen menyatakan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu norma dasar (grundnorm).1 Norma Dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma yang tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu norma dasar itu dikatakan pre-supposed.2 Norma dasar sendiri berarti kaidah-kaidah yang paling fundamental tentang kehidupan manusia di mana di atas norma dasar tersebut dibuatlah kaidah-kaidah hukum lain yang lebih konkret dan lebih khusus. Biasanya, norma dasar yang berlaku dalam suatu negara ditulis dalam konstitusi negara tersebut. Suatu norma dasar tidak dengan sendirinya mengikat tanpa kehadiran suatu aturan hukum yang lebih konkret berupa norma hukum yang valid. Harus ada hukum positif untuk itu, baik dalam bentuk aturan tertulis, yurisprudensi, maupun hanya berupa hukum 1
Trevor. J. Saunders, 2005, The Laws, Penguin Books, New York. Maria Farida Indrati Soeprapto, 2010,Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, hal. 41. 2
kebiasaan yang mengikat secara hukum yang menyatakan bahwa manusia tersebut memiliki suatu kewajiban terhadap suatu hal tertentu.3 Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya. Dalam hal tata susunan/hirarki sistem norma, norma yang tertinggi (norma dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya, sehingga apabila norma dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada di bawahnya.4 Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen mengembangkan teori tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky menyatakan bahwa suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar.5 Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar antara lain: 1. Kelompok I: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara); 2. Kelompok II: Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara); 3. Kelompok III: Formell Gesetz (Undang-Undang ”Formal”); 4. Kelompok IV: Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana).6 Hans Nawiasky memaparkan, isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar
bagi 3
pembentukan
konstitusi
atau
undang-undang
dasar
dari
suatu
negara
Ibid, hal. 138 Ibid, hal 42 5 Astim Riyanto, 2000, Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung, hal. 56 6 Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safaat, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hal.171. 4
(staatsverfassung),
termasuk
norma
pengubahannya.
Hakikat
hukum
suatu
staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar.7 Selanjutnya Hans Nawiasky melanjutkan bahwa norma tertinggi yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara seharusnya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara. Grundnorm mempunyai kecenderungan untuk tidak berubah atau bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu negara norma fundamental negara itu dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya pemberontakan, kudeta dan sebagainya.8 Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan perlu memperhatikan asas-asas peraturan perundang-undangan antara lain9: 1. Undang-Undang tidak dapat berlaku surut; 2. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat; 3. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan yang tinggi pula (Lex superiori derogat legi inferiori); 4. Undang-Undang yang bersifat khusus akan mengesampingkan atau melumpuhkan undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat legi generalis); 5. Undang-Undang yang baru mengalahkan atau melumpuhkan undang-undang yang lama (Lex posteriori derogat legi priori);
7
Soerjono Soekanto & Purnadi Purbacaraka, 1993, Perihal Kaidah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 88. 9
Purnadi Purbacanaka & M. Chidir Ali, 1990, Disiplin Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 58
6. Undang-Undang merupakan sarana terbaik untuk keseimbangan spiritual masyarakat maupun individu, melalui proses pembaharuan atau pelestarian.10 Dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hirarki peraturan perundangundangan. Ada peraturan perundang-undangan yang mempunyai tingkatan yang tinggi dan ada yang mempunyai tingkatan lebih rendah. Pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, selengkapnya berbunyi sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam proses penerapan suatu peraturan tidak cukup hanya dengan peraturan yang baik
(pro-masyarakat) dan dilaksanakan oleh aparatur pemerintah yang baik (bukan hanya sebagai corong undang-undang), akan tetapi wajib pula dilengkapi dengan budaya hukum masyarakat yang berkeinginan kuat mematuhi aturan tersebut. Budaya hukum suatu masyarakat ditentukan oleh nilai-nilai tertentu yang hidup pada masyarakat serta dijadikan sebagai acuan dalam membuat suatu aturan. Artinya, ketika suatu undang-undang dibuat harus terlebih dahulu melihat budaya hukum masyarakat yang akan diaturnya. Dalam upaya mengetahui budaya hukum tersebut, salah satu caranya adalah dengan melakukan studi ilmiah terhadap suatu peraturan yang akan dibuat yaitu biasanya dikenal dengan naskah akademik suatu rancangan peraturan perundang-undangan. Suatu naskah akademik harus memiliki kajian ilmiah tentang keadaan sosiologis masyarakat terhadap aturan-aturan yang akan
10
Ellydar Chaidir & Sudi Fahmi, 2010, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media, Yogyakarta, hal. 73
dibuat. Oleh sebab itu, keberadaan naskah akademik tersebut harus ada dalam setiap rancangan peraturan perundang-undangan. Naskah akademik mempunyai 7 (tujuh) indikator dan/atau faktor yang harus ada, yang dikenal dengan istilah ROCCIPI (Rules, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Procces dan Ideology). Berikut ini merupakan penjelasan mengenai ROCCIPI yang sangat diperlukan dalam pembuatan naskah akademik.11 Dari tujuh indikator tersebut dibagi menjadi indikator subjektif dan indikator objektif. Termasuk dalam indikator dan/atau faktor subjektif ini adalah Interest dan Ideology.12 1. Interest terkait dengan pandangan tentang manfaat bagi pelaku peran (pembuat undangundang maupun yang terkena atau masyarakat yang diaturnya); 2. Ideology terkait dengan masalah yang lebih luas cakupannya yakni nilai, sikap, selera, bahkan mitos-mitos dan asumsi-asumsi tentang dunia, agama, kepercayaan, politik, sosial, ekonomi. Sedangkan yang termasuk indikator dan/atau faktor objektif adalah Rules, Opportunity, Capacity, Communication dan Procces.13 1. Rules adalah faktor bahwa orang berperilaku tidak hanya dalam satu peraturan, tetapi dalam kerangka peraturan perundang-undangan yang sering saling terkait. Oleh sebab itu, pembuatannya harus selalu mengingat peraturan perundang-undangan lain yang mungkin ada kaitannya baik secara vertikal maupun horizontal. Kalau ini diabaikan maka bisa timbul penolakan bahkan digugat secara hukum untuk dibatalkan melalui judicial review;
11
Aan Seidman, Robert B. Seidmann, & Nalin Abeyserkere, 2001, Penyusunan Rancangan UndangUndang dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis, sebuah Panduan untuk Pembuat Rancangan UndangUndang, ELIPS, Jakarta, hal. 21 12 Local Government Support Program, 2007, Legal Drafting Penyusunan Peraturan Daerah Buku Pegangan untuk DPRD, The United States Agency for International Development (USAID), Jakarta, hal. 17 13 Ibid, hal. 18
2. Opportunity adalah faktor lingkungan (eksternal) dari pihak-pihak yang akan dituju yang juga harus diketahui secara jelas sehingga memungkinkan mereka berperilaku sesuai dengan perintah atau larangan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat. Faktor ini menuntut pembuat peraturan perundang-undangan memahami tentang konfigurasi dan keadaan riil masyarakat yang akan dikenakan peraturan yang akan dibuat sebab hukum yang tak berpijak pada realitas sosial tak akan dapat bekerja secara efektif; 3. Capacity adalah faktor yang terkait dengan ciri-ciri pelaku (internal) yang mungkin punya masalah yang bisa mendorong mereka atau menyulitkan mereka atau tidak memungkinkan mereka untuk menaati peraturan perundang-undangan; 4. Communication adalah faktor peran pihak yang berwenang atau aparat dalam mengambil langkah-langkah, apakah sudah memadai atau belum, untuk mengomunikasikan peraturan perundang-undangan kepada pihak yang dituju. Pihak yang dituju untuk berlakunya peraturan perundang-undangan itu, harus mendapat informasi yang jelas juga, bukan hanya kita yang harus mendapat informasi tentang mereka, tetapi juga mereka harus mendapat infomasi dari kita tentang peraturan perundang-undangan yang akan dibuat. Oleh sebab itu, komunikasi dan publikasi melalui media massa menjadi sangat penting; 5. Procces adalah prosedur bagi pelaku peran untuk memutuskan akan memenuhi (mematuhi) atau tidak akan mematuhi terhadap peraturan perundang-undangan. Dari faktor ini terkandung juga keharusan agar pembentukan peraturan perundang-undangan harus melalui prosedur dan mekanisme yang berlaku untuk itu yang jika tidak diperhatikan produknya dapat terkena pengujian yudisial (yudicial review) secara formal.
Setidaknya, dengan adanya tujuh indikator dan/atau faktor tersebut terdapat dalam naskah akademik
rancangan
peraturan
perundang-undangan,
maka
masyarakat
akan
dapat
melaksanakannya dengan suka rela dan bertanggungjawab. b. Teori Badan Hukum Teori Badan Hukum pertama kali berkembang di Inggris pada masa revolusi industri. Istilah Teori Badan Hukum berasal dari terjemahan bahasa inggris yaitu The Intity Theory.14 Sementara itu dalam bahasa Belanda disebut dengan Rechtpersoon Theorie. Badan Hukum atau Rechtpersoon adalah himpunan orang sebagai perkumpulan, perkumpulan diadakan atau diakui oleh pejabat umum, maupun perkumpulan itu didirikan untuk maksud tertentu yang tidak berkentangan dengan undang-undang dan kesusilaan.15 Menurut Munir Fuady beberapa prinsip hukum tentang badan hukum khususnya badan hukum bisnis, yang berkembang sejak revolusi industri sebagai berikut : 1. Pengakuan kepada perkumpulan-perkumpulan bisnis sebagai badan hukum; 2. Sebagai badan hukum, perusahaan adalah pemangku hak dan kewajiban; 3. Tanggung jawab yang terpisah antara pribadi pemilik perusahaan dengan tanggung jawab perusahaannya sendiri; 4. Berlaku prinsip kebebasan mengalihkan saham (free transfer ability of share / interest); 5. Sebagai badan hukum perusahaan dapat memiliki harta benda sendiri; 6. Sebagai badan hukum, perusahaan memiliki manajemen selaku kaki tangan penyelenggara perusahaan; 7. Berlaku prnsip kebebasan untuk mendirikan perusahaan (freedom on incorporation); 8. Perusahaan berwenang untuk membuat kontrak dan melakukan berbagai perbuatan hukum lainnya, kecuali terhadap perbuatan hukum yang tidak sesuai dengan kodrat badan hukum.16 Teori badan hukum dipelopori oleh sarjana Jerman, Friedrich Carl von Savigny (1779 – 1861), tokoh utama aliran atau mazhab sejarah pada permulaan abad ke – 19.17 Teori ini dianut
14
Chidir Ali, 2011, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 29 HS Salim, 2010, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal.25 16 Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.157 17 HS Salim, loc.cit 15
di beberapa Negara, antara lain di negeri Belanda dianut oleh Opmozer, Diephuis, Land dan Houwing serta Langemayer.18 Menurut Von Savigny bahwa hanya manusia saja yang mempunyai kehendak. Selanjutnya dikemukakan bahwa badan hukum adalah suatu abstraksi, bukan merupakan suatu hal yang konkrit.19 Jadi karena hanya suatu abstraksi, maka tidak mungkin menjadi suatu subjek dari hubungan hukum, sebab hukum memberi hak-hak kepada yang bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa (wilsmacht). Orang bersikap seolah-olah ada subjek hukum, tetapi wujud yang tidak riil itu dapat melakukan perbuatan-perbuatan sehingga yang melakukan ialah manusia sebagai wakil-wakilnya. Teori Badan Hukum terdiri atas beberapa pembagian antara lain : Teori Fiksi, Teori Organ, Teori Leer van het ambtelijk vermogen, Teori Kekayaan Bersama, Teori Kekayaan Bertujuan, Teori Kenyataan Yuridis, dan Teori dari Leon Duguit. Diantara tujuh pembagian Teori Badan Hukum yang dipaparkan di atas, teori yang dipergunakan adalah Teori Fiksi. Teori Fiksi menjelaskan badan hukum semata-mata hanyalah buatan pemerintah atau negara. “Terkecuali negara, badan hukum itu suatu fiksi yakni sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangannya untuk menerangkan sesuatu hal”.20 Dengan kata lain Von Savigny berpendapat badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Menurut alam hanya manusia sajalah sebagai subjek hukum, badan hukum itu hanya suatu fiksi, tetapi orang menciptakan dalam bayangan suatu pelaku hukum (badan hukum) sebagai subjek hukum diperhitungkan sama dengan manusia.21 c. Teori Transplantasi Hukum
18
Munir Fuady, loc.cit Munir Fuady, loc.cit 20 Chidir Ali, op.cit, hal. 31- hal. 32 21 Ali Rido, 2012, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Alumni, Bandung, hal.7 19
Teori Transplantasi Hukum akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua berkaitan dengan pengaturan hukum pengikatan jaminan pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Studi mengenai “Transplantasi Hukum” memang merupakan studi yang terbatas jumlahnya. Konsep ini sendiri oleh berbagai ahli diberikan pengertian yang berbeda-beda. Salah satu definisi dikemukakan oleh Alan Watson bahwa Transplantasi Hukum merupakan “the borrowing and transmissibility of rules from one society or sistem to another”. Definisi semacam ini bisa disebut sebagai definisi yang luas, yang mempertimbangkan bukan saja pembentukan hukum sebagai hubungan antar negara melainkan pula pengaruh dari tradisi hukum antar masyarakat.22 Legal transplants atau legal borrowing, atau legal adoption demikian istilah yang diperkenalkan oleh Alan Watson, untuk menyebutkan suatu proses meminjam atau mengambil alih atau memindahkan hukum dari satu tempat atau dari satu negara atau dari satu bangsa ke tempat, negara atau bangsa lain kemudian hukum itu diterapkan di tempat yang baru bersamasama dengan hukum yang sudah ada sebelumnya.23 Definisi lainnya yang dikemukakan oleh Black’s law dictionary menyangkut legal reception memiliki makna dimana keberadaan suatu wilayah hukum tertentu bisa memberikan pengaruh pada pembentukan hukum di wilayah hukum lainnya. Ditemukan pula pendapat dari sudut pandang ahli pemerintahan seperti Frederick Schauer yang memberi pengertian legal
22
Budiyoni, Tri, 2009, Transplantasi Hukum Harmonisasi dan Potensi Benturan Studi Transplantasi Doktrin Yang Dikembangkan dari Tradisi Common Law pada UU PT, Griya Media, Salatiga, hal 9 23
Ibid, hal. 10
transplantation sebagai “…the process by which laws and legal institutions developed in one country are then adopted by another.”24 Menurut Tri Budiyono, Transplantasi Hukum25 adalah pengambilalihan aturan hukum (legal rule), ajaran hukum (doctrine), struktur (structure), atau institusi hukum (legal institution) dari suatu sistem hukum yang lain atau dari wilayah hukum ke wilayah hukum yang lain. Transplantasi hukum dapat menimbulkan harmonisasi hukum apabila terjadi kebersesuaian yang meliputi aturan hukumnya, ajaran hukumnya, struktur hukumnya, atau institusi hukumnya. Semuanya bergantung dari substansi yang ditransplantasikan. Transplantasi Hukum selalu terkait dengan tradisi hukum. Tradisi hukum yang ada bukan saja menyangkut Civil Law, tetapi juga di Indonesia, terdapat hukum adat dan hukum Islam. Dalam situasi dimana tradisi-tradisi hukum yang ada saling berkompetisi (contoh: menempatkan sistem perbankan Syariah dalam sistem hukum perbankan nasional yang notabene “barat”) maka Transplantasi Hukum mungkin saja tidak akan selesai dalam waktu singkat, melainkan akan memerlukan usaha harmonisasi hukum yang menjadi agenda nasional. Hal di atas kini dialami pula oleh sebuah negara baru, Timor Leste, yang harus melakukan harmonisasi terhadap produkproduk bentukan hukum Indonesia, hukum Portugis, hukum adat, dan hukum dari wilayah Amerika latin, mulai dari isi konstitusinya sampai dengan prosedur berperkara di pengadilan.26 Pilihan politik Transplantasi Hukum dalam kebijakan pembangunan hukum nasional yang sesuai dengan jiwa dan roh hukum Indonesia, jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, dasar ideologis-filosofis Pancasila yang merupakan the original paradicmatic value of Indonesian
24
Frederick Schauer. The Politics and Incentives of Legal Transplantations. CID (Center for International Development at Harvard University) Working Paper No. 44. April 2000. 25 Budiyono, Tri, 2002, “Menggagas Sintesa Global-Lokal dalam Membangun Hukum Ekonomi, Jurnal Ilmu Hukum, Edisi April-Oktober 2002, hal. 1 26 Duarte Tilman Soares.Perbandingan Penerapan Hukum Nasional Timor Leste dengan Hukum yang berlaku di Indonesia. Makalah seminar di fakultas hukum uksw, tanggal 18 Februari 2003.
culture and society, adalah pilihan politik dalam aktivitas pembuatan norma hukum konkrit (basic policy) tanpa harus mengabaikan posisi dan keberadaan Indonesia ditengah-tengah pergaulan internasional. Dengan demikian hukum yang dilahirkan adalah hukum yang commit nationally, think globaly and act locally.27 Transplantasi saat ini dan ke depan akan terus menjadi pilihan politik hukum di negeri ini. Kebijakan membuat undang-undang (basic policy) yang memadukan unsur yang bersumber dari hukum asing dengan hukum yang bersumber dari the original paradicmatic values of Indonesian culture and society haruslah dilakukan secara cermat dan penuh perhitungan, agar hukum yang akan diberlakukan di negeri ini tidak tercerabut dari akar ideologis-filosofis negara dan bangsa Indonesia.28 1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang pada dasarnya merupakan metode sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, kecuali itu maka diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan. Jenis penelitian ini adalah penelitian yang berbasis kepada ilmu hukum normatif, dan mengacu kepada norma-norma hukum positif yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan dan bahan hukum lainnya29. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif karena, sebagaimana tergambar pada uraian latar belakang masalah, penelitian ini berusaha mencari jawaban atas terjadinya adanya 27
Evaristus Hartoko W, 2002, “Good Corporate Governance in Indonesia”, Griffin’s View on International and Comparative Law”, Volume 3 Number 1, Januari 2002, hal. 103 28 Ibid, hal 109 29 Ibrahim Johni, 2005, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayu Media Publishing, hal. 336.
kekosongan hukum berkaitan dengan status dan kedudukan hukum LPD dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 yang berpotensi menimbulkan polemik terkait keabsahan pengikatan jaminan kredit di LPD, karena belum adanya aturan hukum adat maupun perubahan/penggantian/pencabutan Peraturan Daerah yang menyatakan bahwa LPD tunduk pada hukum adat. Padahal pengikatan jaminan dalam transaksi kredit amatlah penting demi memberikan rasa aman bagi LPD, ketika si peminjam melakukan wanprestasi karena memiliki kepastian hukum dalam pelaksanaan lelang jaminan. Dalam penelitian hukum normatif seringkali dikonsepkan apa saja yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang diharapkan untuk memperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat bagaimana menjawab permasalahan. Penelitian ini meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan beberapa buku mengenai Lembaga Perkreditan Desa dan jaminan yang ada untuk mengetahui secara jelas mengenai kedudukan dan status LPD. 1.6.2 Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan yakni; Pendekatan Kasus ( The Case Approach), Pendekatan Perundang-Undangan (The Statute Approach), Pendekatan Fakta (The Fact Approach), Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analytical and Conceptual Approach), Pendekatan Futuristik (Futuristic
approach), dan Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach). Dalam penelitian ini akan digunakan jenis pendekatan:30 1. Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach); Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Undang-Undang Fidusia), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (Undang-Undang Hak Tanggungan), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UndangUndang Desa), dan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 tentang Lembaga Perkreditan Desa yang akan berkaitan erat dengan kewajiban Lembaga Perkreditan Desa dalam melakukan pengikatan jaminan terhadap jaminan kredit yang diajukan oleh debiturnya. 2. Pendekatan Futuristik (Futuristic approach); Pada pendekatan futuristik maka dicari pemecahannya dalam peraturan-peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam rancangan undang-undang. Intepretasi ini merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif. Metode ini
dilakukan
dengan
menafsirkan
ketentuan
perundang-undangan
dengan
berpedoman pada kaedah-kaedah perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan hukum, Contohnya pada saat undang- undang tentang pemberantasan tindak subversi yang pada saat itu sedang di bahas di DPR akan mencabut berlakunya undang-undang
tersebut,
maka
jaksa
berdasarkan
interpretasi
futuristik,
menghentikan penuntutan terhadap orang yang di sidik berdasarkan undang-undang 30
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Kencana, Jakarta, hal. 133
pemberantasan tindak pidana subversi. Hakim apabila menghadapi suatu kasus, dimana kasus tersebut belum diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi Hakim mengetahui bahwa untuk kasus tersebut telah mempunyai rancangan dan pasti akan disahkan oleh DPR, maka hakim dapat menggunakan rancangan tersebut untuk melakukan penemuan hukum. 3. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analytical and Conceptual Approach); Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti harus mencari suatu mengenai kecocokan penerapan konsep pengikatan jaminan Hak Tanggungan dan Fidusia berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan dan Undang-Undang Fidusia dengan konsep LPD sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro. Pendekatan ini merupakan dasar analisis terhadap konsep dari suatu norma. 1.6.3 Sumber Bahan Hukum Sebagai penelitian hukum normatif, penelitian ini menitikberatkan pada studi kepustakaan. Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Sumber bahan hukum primer antara lain: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek); c. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889); d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632);
e. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394); f. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125); g. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491); h. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); i. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman; j. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa; k. Surat Keputusan Gubernur Nomor 972 Tahun 1984 tentang Lembaga Perkreditan Desa; l. Pararem Lembaga Perkreditan Desa.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu, bahan-bahan yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, pendapat pakar hukum yang erat kaitannya dengan objek penelitian.31 3. Bahan hukum tertier, yaitu, bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, surat kabar, internet, serta makalahmakalah yang berkaitan dengan objek penelitian. 1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik Pengumpulan Bahan Hukum yang dipergunakan dalam penulisan penelitian ini ialah dengan melakukan pencatatan secara sistematis dari bahan-bahan yang diperoleh melalui studi kepustakaan beserta dialog yang dilakukan kepada tokoh-tokoh di bidang hukum. 1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Berdasarkan bahan hukum yang telah diperoleh melalui studi kepustakaan dan dialog, maka bahan-bahan hukum tersebut diolah secara kualitatif. Terhadap bahan-bahan hukum yang diperoleh ini dilakukan pengklasifikasian untuk mempermudah di dalam mendukung penulisan secara menyeluruh. Selanjutnya dari data-data tersebut dilakukan penyajian secara deskriptif analisis dalam bentuk karya ilmiah berupa tesis. Adapun teknik analisis bahan hukum yang digunakan yaitu deskripsi, sistematisasi, evaluasi, interpretasi, dan argumentasi, yang dipaparkan sebagai berikut:32 1. Teknik deskripsi
31
Ronny Hanitijo Soemitro, 1982, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, hal. 24.
Teknik deskripsi adalah memaparkan situasi atau peristiwa. Pada teknik ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak adanya hubungan, tidak menguji hipotesis, atau membuat prediksi.33 Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Jadi, dalam tesis ini yang dideskripsikan adalah pengaturan hukum pengikatan jaminan pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dengan berlakunya Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro. 2. Teknik sistematisasi Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat dan tidak sederajat. Dalam tesis ini akan dibahas apakah LPD merupakan badan usaha sesuai dengan pengertian yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan pengaturan hukum pengikatan jaminan pada LPD mengingat kedudukannya yang telah dibedakan dari jenis lembaga-lembaga keuangan mikro yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, namun dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Lembaga Perkreditan Desa, LPD masih dikategorikan sebagai Badan Usaha Milik Desa. 3. Teknik evaluasi Adapun penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun badan hukum sekunder. Dalam tesis ini, LPD sebagai kreditur yang dapat menjadi penerima hak tanggungan dan fidusia karena merupakan suatu badan usaha milik desa harus ditujukkan
33
M. Hariwijaya, 2007, Metodelogi dan Teknik Penulisan Skripsi Tesis dan Disertasi, Azza Grafika, Yogyakarta, hal. 48
dasar hukumnya dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. 4. Teknis interpretasi Berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis, kontektual, dan lain-lain. LPD dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro kedudukannya sudah dikecualikan, sehingga LPD seharusnya diberikan status dan kedudukan yang sesuai dengan jiwa hukum adat mengingat kedudukannya yang sangat khusus yang tunduk pada hukum adat. 5. Teknik argumentasi Tidak dapat dipisahkan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam tesis ini nantinya akan ada temuan hukum yaitu pengaturan hukum pengikatan jaminan pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) setelah berlakunya Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro dan penjelasan mengenai status kedudukan Lembaga Perkreditan Desa dengan berlakunya UndangUndang Lembaga Keuangan Mikro yang sesuai dengan karakteristiknya selaku lembaga keuangan milik desa adat.