BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Keadaan krisis di Indonesia sekarang ini tidak menentu dan telah mempengaruhi perubahan di berbagai bidang kehidupan seperti ekonomi masyarakat baik kota dan di desa. Keadaan ekonomi masyarakat semakin sulit menyangkut mata pencaharian, tenaga kerja, dan pendapatan masyarakat (Rina, Emi, Ester, 2009:1). Krisis moneter yang berlangsung sejak pertengahan Juli 1997 telah berkembang
menjadi
krisis
ekonomi
dan
bahkan
menjadi
krisis
multidimensional. Krisis ekonomi tersebut menyebabkan perekonomian Indonesia mengalami konstraksi. Pada tahun 1998 perekonomian Indonesia bertumbuh sebesar -13,68%. Demikian pula krisis ekonomi yang melanda Indonesia, krisis tersebut merupakan shock yang berdampak pada sektorsektor lain dalam perekonomian. Penurunan ini diakibatkan naiknya harga barang-barang impor yang digunakan untuk barang antara dan barang modal dalam proses produksi industri. Krisis selama periode 1997-1998 menurut hasil simulasi membawa dampak pada penurunan employment sebesar 13,18%. Seperti diketahui, banyak sektor terpaksa mengurangi aktivitas dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya. Dampak krisis ekonomi menyebabkan juga terjadinya penurunan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut terjadi karena pendapatan riil masyarakat mengalami
1
penurunan akibat adanya kenaikan harga yang melambung tinggi (Sri, 2008:38, 39, 45, 46, dan 48). Batik merupakan salah satu produk budaya bangsa Indonesia. Dalam perkembangannya, batik mengalami perkembangan corak, teknik, proses dan fungsi akibat perjalanan masa dan sentuhan berbagai budaya lain. Batik dibangun dengan pandangan dasar seni gambar yang berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Batik adalah salah satu citra budaya bangsa Indonesia. Batik Indonesia memiliki kekhasan pada kerajinan, kerumitan, dan keluasan ragam hias akibat tapak cantingnya. Potensi pembatik cukup besar dan menyebar luas. Mereka menanti uluran tangan dari para perancang dan seniman untuk secara bergandengan menyongsong masa depan yang lebih cerah (Hasanudin, 2001:9). Pengakuan batik sebagai warisan budaya asli bangsa Indonesia ini kemudian membawa gairah baru bagi kondisi dunia perbatikan di Indonesia. Pengakuan batik sebagai warisan budaya tersebut mendorong permintaan kain batik pasar lokal maupun luar daerah atau negeri yang terus mengalir. Pemerintah berusaha memajukan kembali batik dan menghidupkan industriindustri batik terutama batik tulis yang sempat lesu. Langkah ini diikuti oleh pemerintah-pemerintah daerah, baik tingkat Propinsi maupun Kabupaten, dengan menetapkan peraturan penggunaan batik sebagai salah satu seragam kerja. Beberapa pemerintah daerah yang memiliki sentra kerajinan batik bahkan berupaya merevitalisasi sentra-sentra kerajinan batik yang ada agar mampu meningkatkan produksinya kembali. Harapannya, pengakuan batik
2
oleh dunia ini dapat menghidupkan kembali industri batik dalam negeri serta mampu mendongkrak produksi dan penjualan batik. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi serta melestarikan batik di dalam negeri. Pada akhirnya semua pihak berharap agar berbagai upaya yang dilakukan dapat berjalan dengan baik dan pengakuan dunia terhadap batik Indonesia dapat dipertanggungjawabkan (Hempri, dkk, 2010:16-17). Berawal pada 3 September 2008 terjadi adanya pengakuan dari negara lain yang kemudian diterima secara resmi oleh UNESCO pada tanggal 9 Januari 2009. Tahap selanjutnya adalah pengujian tertutup oleh UNESCO di Paris pada tanggal 11 hingga 14 Mei 2009. Delegasi Malaysia sendiri menjadi saksi di antara 114 negara itu. Dalam prosesnya, batik Indonesia bersaing dengan kain yang bermotif dari malasyia, Jepang, Tiongkok, India, Afrika, Jerman dan Belanda. Setelah melalui beberapa persyaratan dan pengamatan dari badan PBB UNESCO, akhirnya UNESCO dengan kewenangan yang dimilikinya menetapkan batik sebagai salah satu warisan umat manusia yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia. Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadangkala suatu motif pun dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Sejak batik diakui oleh UNESCO tanggal 2 Oktober 2009 sebagai salah satu warisan budaya tak benda, pada beberapa daerah banyak tergali potensi batik yang menunjukkan ciri khas masing-masing daerah. Batik membuka peluang usaha baru bagi daerah untuk tenaga kerja dan perekonomiannya. Kerajinan batik di Blora berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu hanya
3
setahun saja, kain batik karya pengrajin di Blora telah menembus pasar luar negeri. Selama ini, hampir di sejumlah daerah di Jawa Tengah, memiliki motif batik khas masing-masing, termasuk Kabupaten Blora juga memiliki batik tulis khas. Meskipun belum setenar daerah lainnya, batik khas Blora juga mulai diminati konsumen dari berbagai daerah di Tanah Air. Bahkan, wisatawan mancanegara juga mulai tertarik dengan motif batik khas Blora. Berdasarkan hasil penulusuran, motif-motif batik khas Blora umumnya hampir sama dengan motif batik Surakarta, yaitu kembang manggar, semen romo (sulur-sulur kembang), dan lar (bulu). Selanjutnya, dikembangkan motif batik khas Blora, seperti motif daun jati dan mustika yang mengandung filosofi hidup dan etos kerja. Motif batik baru tersebut, diperkenalkan pada 2008, sebagai simbol potensi Blora yang 40 persen luasan wilayahnya merupakan hutan jati. Selanjutnya, pada 2009 Pemerintah Daerah setempat mendesain batik mustika yang mengusung kekhasan Blora, seperti kilang minyak, barongan, tayub, sate, Sedulur Sikep atau Samin, dan daun jati. Blora memang dikenal dengan hasil buminya, seperti minyak dan gas bumi, sedangkan barongan merupakan kesenian lokal yang coba dilestarikan, sedangkan sate merupakan makanan yang dianggap khas dan cukup populer di Kota Blora, demikian halnya sedulur sikep. Pada tahun 2000 kondisi perekonomian masyarakat Blora masih belum berkembang. Namun sejak bertumbuhnya pengrajin batik di Blora maka bertumbuh pula perekonomian masyarakat Blora. Hal yang menarik untuk diteliti adalah faktor-faktor apa yang mendorong masyarakat memilih batik
4
untuk mengembangkan ekonominya dan bagaimana pengaruhnya terhadap perkembangan perekonomian masyarakat Blora. B. Perumusan Masalah Dalam penelitian ini permasalahan yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana kerajinan batik Blora? 2. Bagaimana faktor pendorong memilih usaha batik? 3. Bagaimana potensi batik Blora terhadap perkembangan perekonomian masyarakat Blora? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mendeskripsikan kerajinan batik Blora. 2. Untuk mengetahui alasan memilih usaha batik (mengembangkan batik). 3. Untuk mengetahui potensi batik Blora terhadap perkembangan perekonomian masyarakat Blora. D. Manfaat Penelitian Berbagai masukan dalam penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai teori akademis dan praktis: 1.
Secara teoritis atau akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan pendidikan terutama dalam mata kuliah Sejarah Sosial, Sosiologi, dan Ekonomi.
5
2.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang potensi batik Blora untuk mempromosikan Batik Blora: a) Mengenalkan motif-motif batik Blora. b) Rasa cinta dan bangga terhadap batik Blora.
6