KAJIAN GFP, K G APLIKASI G GMP, SSO OP SERTA A PENYUS SUNAN HACC CP PLAN PADA P PR RODUKSII YOGHU URT DI UN NIT PEN NGOLAHA AN SUSU FAKULT TAS PETE ERNAKAN N
S SKRIPSI ISNA A ZAKIAH H
DEPARTEMEN ILMU U PRODUK KSI DAN TE EKNOLOG GI PETERN NAKAN FAKULTA AS PETERN NAKAN INSTITUT PE ERTANIAN N BOGOR 2011
RINGKASAN ISNA ZAKIAH. D140601675. 2011. Kajian GFP, Aplikasi GMP, SSOP serta Penyusunan HACCP Plan pada Pengolahan Yoghurt di Unit Pengolahan Susu Fakultas Peternakan. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Lucia Cyrilla ENSD., MSi Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA Keamanan pangan penting dalam menjamin pangan yang aman dan layak dikonsumsi. Pangan yang bermutu dan aman dapat dihasilkan dari dapur rumah tangga maupun dari industri pangan. Oleh karena itu industri pangan adalah salah satu faktor penentu beredarnya pangan yang memenuhi standar mutu dan keamanan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Semakin meningkat tuntutan masyarakat akan keamanan pangan yang akan dikonsumsi, maka diperlukan upaya untuk identifikasi dan analisis Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dalam proses pengolahan makanan sesuai dengan Good Manufacturing Practices (GMP) Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP). Teknologi yang dapat diterapkan dalam pengolahan susu agar memiliki keamanan pangan yang lebih baik untuk mempertahankan nilai gizi dan daya simpan lebih lama salah satunya adalah proses fermentasi dengan contoh produk yang dihasilkan yaitu yoghurt. Kualitas yoghurt yang baik diperoleh dengan memperhatikan bahan baku utama yaitu susu. Produksi susu yang tinggi dan berkualitas baik didapatkan melalui penerapan Good Farming Practices (GFP) yang meliputi bangunan dan fasilitas peternakannya, manajemen pakan, sumber daya manusia, proses pemerahan dan manajemen peternakan. Kegiatan magang di unit pengolahan susu ini bertujuan untuk melakukan kajian terhadap GFP, GMP, SSOP serta membantu menyusun HACCP plan pada unit pengolahan yoghurt. Kegiatan magang ini dilaksanakan di unit pengolahan susu PT D-Farm Agriprima Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan, peternakan sapi perah Eco Farm Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan pembibitan sapi perah Koperasi Wirausaha Indonesia (KWI). Kegiatan magang ini dilaksanakan pada bulan April 2010 hingga bulan November 2010. Pelaksanaan magang dilakukan dengan cara ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan produksi, melakukan observasi lapang, wawancara dan pengumpulan data. Partisipasi aktif pada unit pengolahan meliputi (a) penerimaan susu, bahan tambahan dan bahan pendukung lainnya, (b) pengujian kualitas baik fisik, kimia dan mikrobiologi pada bahan baku susu, (c) pembuatan yoghurt (d) pengujian akhir yaitu yoghurt sebelum dikemas dan yang sudah dalam kemasan berupa pengujian fisik, kimia dan mikrobiologi serta (e) penetapan Critical Control Point (CCP) pada tiap proses pengolahan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penerapan GFP pada peternakan Eco Farm dapat dikatakan cukup baik dengan mempertimbangkan kesesuaian hasil penilaian terhadap aspek-aspek yang diamati yaitu aspek bangunan dan fasilitas peternakan menunjukkan kesesuaian sebesar 65,08%, manajemen pakan 87,50%, sumber daya manusia 75,61%, proses pemerahan 64,81% dan manajemen peternakan 42,42%. Penilaian pengamatan penerapan GFP pada pembibitan sapi perah di KWI dapat dikatakan baik dengan masing-masing persentase yaitu bangunan dan fasilitas
peternakan 72,22%, manajemen pakan 89,28%, sumber daya manusia 85,36%, proses pemerahan 85,18% dan manajemen peternakan 56,06%. Penilaian terhadap penerapan GMP dilihat dari persentase penyimpangan yang terjadi pada pengamatan tahap awal dapat dikatakan cukup, dengan melihat pada penyimpangan minor, mayor dan serius masing-masing terdapat sebanyak 10, 10 dan 4. Pengamatan tahap akhir pada penerapan GMP dapat dikatakan baik, karena sudah terdapatnya perbaikan yang dilakukan dengan penyimpangan minor, mayor dan serius secara berturut-turut adalah 4, 8 dan 2. Penilaian penyimpangan SSOP pada pengamatan awal secara keseluruhan dapat dikatakan sangat kurang memenuhi, dengan nilai penyimpangan secara keseluruhan sebesar 52,59%, sedangkan pada pengamatan akhir termasuk dalam kategori kurang memenuhi dengan nilai penyimpangan secara keselurahan sebesar 38,79%. Penyusunan rencana awal HACCP dilakukan dengan teridentifikasinya tujuh CCP pada proses produksi yoghurt yaitu penerimaan susu segar, proses pasteurisasi, pendinginan, inokulasi starter, proses pencampuran, proses pengemasan dan penyimpanan. Setiap proses pengolahan harus diperhatikan agar tidak menjadi peluang timbulnya sumber bahaya bagi produk yang dihasilkan. Kata-kata kunci: GFP, Yoghurt, GMP, SSOP, HACCP plan
ABSTRACT Study on GFP at Dairy Farm, Application of GMP, SSOP and HACCP Plan on Yoghurt Production at PT D-Farm Agriprima Zakiah, I., L. Cyrilla and R.R.A. Maheswari Food safety is important in ensuring safety and properly food. Safety and quality food can be produced from the kitchen through industry. Therefore, the food industry is one of certain factors that determines the food circulation which is fulfill the safety and quality standard of government assessment. Consumers claim in food safety is increasing, so that need an effort to identify and analyze the food processing HACCP that appropriate with quality manual of food production and sanitation standard. The appropriate technology that could be applied in milk processing, is still attend to the food safety especially in the longer storage capacity by fermentation, i.e. yoghurt. Yoghurt quality was determined from its raw material such as milk. Thus, we need to analyze the GMP and SSOP standards that have been applied in industry, to find out the final product quality. The others reason are to arrange and to evaluate the GMP and SSOP that is appropriate with the standard and to provide the solution of the problem that will be happen during the production process. The percentage rating of GFP application seen from several aspects, namely buildings and livestock facilities, food management, human resources, the process of milking and farming management. The results of the assessment pursuanted the Eco farm of GFP as whole as 65,08% included in the sufficient category. Assessment GFP application in the KWI as whole as 76.25% included in both categories. Implementation of GMP seen from the percentage of deviations that occured in the early stages of, in other hand it sufficient enough and the good result in the end observation. Assessment SSOP deviation on initial observations as whole as can be said to be fitless and at the end of the observation is unfullfill. We should improve sanitation and hygiene in the process of making yogurt from raw material to finished products used to distribute the product, do not forget to have to give attention to correct sanitation employees, how we can do the preparation. HACCP Plan system have been identified six critical control points in yoghurt production of PT D-Farm Agriprima row milk, in addition pasteurization, refrigeration, starter inoculation, mixing, packaging and storage. Keywords: GFP, Yoghurt, GMP, SSOP, HACCP plan
KAJIAN GFP, APLIKASI GMP, SSOP SERTA PENYUSUNAN HACCP PLAN PADA PENGOLAHAN YOGURT DI PT D-FARM AGRIPRIMA
ISNA ZAKIAH D14061675
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanain Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul : Kajian GFP, Aplikasi GMP, SSOP serta Penyusunan HACCP Plan pada Pengolahan Yogurt di PT D-Farm Agriprima Nama : Isna Zakiah NIM
: D14061675
Menyetujui, Pembimbing Utama
(Ir. Lucia Cyrilla E.N.S.D., M.Si) NIP: 19630705198803 2 001
Pembimbing Anggota,
(Dr. Ir. Rarah R.A Maheswari, DEA) NIP: 19620504 198703 2 002
Mengetahui: Ketua Departemen, Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP. 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian : 7 Februari 2011
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 1 Agustus 1988. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Uya Mulyana dan Ibu Iis Aisyah. Penulis mengenal pendidikan formal di TK Purnama Purwakarta dan TK Al-Qur’an Al-Muhajirin Purwakarta pada tahun 1992-1994, kemudian melanjutkan ke pendidikan dasar pada tahun 1994-2000 di SDN Jend. Sudirman VII, pendidikan lanjutan menengah pertama ditempuh pada tahun 20002003 di SMPN 1 Purwakarta dan pendidikan lanjutan menengah atas pada tahun 2003-2006 di SMUN 2 Purwakarta. Penulis diterima sebagai mahasiswa dengan mayor Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006. Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif menjadi staf Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan IPB pada masa jabatan Tahun 2007-2008 dan aktif di beberapa kepanitian. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Dasar Teknologi Hasil Ternak pada tahun ajaran 2008/2009, asisten praktikum pada mata kuliah Teknik Pengolahan Susu pada tahun ajaran 2009/2010. Penulis pernah mengikuti pelatihan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) pada tahun 2010.
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN .....................................................................................................
i
ABSTRACT........................................................................................................ iii RIWAYAT HIDUP ............................................................................................ iv KATA PENGANTAR ........................................................................................
v
DAFTAR ISI....................................................................................................... vi DAFTAR TABEL............................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xi PENDAHULUAN ............................................................................................
1
Latar Belakang ...................................................................................... Tujuan .....................................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................
3
Good Farming Practices ......................................................................... 3 Good Milking Practices (GMiP) dan Good Hygienie .............................. Practices (GHP) ...................................................................................... 3 Good Manufacturing Practices (GMP) ................................................... 4 Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) .............................. 7 Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) ................................. 7 Susu ........................................................................................................ 8 Yoghurt ................................................................................................... 10 Kerusakan Yoghurt ................................................................................. 12 METODE ......................................................................................................... 14 Waktu dan Lokasi .................................................................................... Materi ...................................................................................................... Prosedur .................................................................................................. Uji Berat Jenis ............................................................................... Uji Alkohol ................................................................................... Uji Derajat Keasaman ................................................................... Uji Kadar Lemak Metode Gerber .................................................. Uji Bahan Kering .......................................................................... Uji Bahan Kering Tanpa Lemak .................................................... Total Asam Tertitrasi .................................................................... Pengujian Kadar Protein dengan Titrasi Formol .......................... Total Plate Count ........................................................................... Jumlah Bakteri Koliform .............................................................. Analisis Kuantitatif total Escherichia coli ..................................... Analisis Kuantitatif total Salmonella ............................................. Pengujian Cemaran Logam Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) ........
14 14 14 18 18 18 18 19 19 19 19 19 20 20 21 21
vi
Pengujian Cemaran Logam Timah ............................................... Pengujian Raksa ............................................................................ Pengujian Arsen .............................................................................
22 23 24
KEADAAN UMUM LOKASI .........................................................................
25
Unit Pengolahan Susu PT D-Farm Agriprima ........................................... Riwayat Perusahaan ...................................................................... Lokasi Perusahaan ......................................................................... Aspek Organisasi, Manajemen dan Ketenagakerjaan ...................... PT D-Farm Agriprima .................................................................... Peternakan Eco Farm ............................................................................... Koperasi Wirausaha Indonesia (KWI) .....................................................
25 25 25
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................
27
Aplikasi Good Farming Practices (GFP) di Peternakan Pemasok............ Susu ................................................................................................. Bangunan dan Fasilitas Peternakan .............................................. Manajemen Pakan ......................................................................... Sumber Daya Manusia .................................................................. Proses Pemerahan ......................................................................... Manajemen Peternakan ................................................................. Aplikasi GMP (Good Manufacturing Practices) dan ............................... Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) .............................. Pimpinan ....................................................................................... Sanitasi Lokasi dan Lingkungan : Fisik ........................................ Sanitasi Lingkungan ....................................................................... Pembuangan/Limbah .................................................................... Investasi Burung, Serangga atau Binatang lain ............................... Pabrik ............................................................................................. Kondisi Umum .............................................................................. Ruang Pengolahan ........................................................................ Fasilitas Pabrik .............................................................................. Pembuangan Limbah Pabrik ......................................................... Operasional Sanitasi di Pabrik ...................................................... Binatang Pengganggu/Serangga dalam Pabrik ............................. Peralatan Produksi ........................................................................ Pasokan Air ................................................................................... Sanitasi dan Higien Karyawan ....................................................... Gudang ........................................................................................... Biasa (kering) ................................................................................ Kemasan Produk ........................................................................... Tindakan Pengawasan ................................................................... Bahan Mentah dan Produk Akhir ................................................. Kualitas Susu dan Yoghurt ........................................................... Kualitas Susu Segar ...................................................................... Kualitas Yoghurt ........................................................................... Tindakan Pengawasan ................................................................... Sarana Pengolahan/Pengawetan ....................................................
25 26 27
28 28 37 40 42 44 47 50 50 51 51 52 53 53 53 55 57 58 58 59 60 61 63 63 64 65 66 67 67 70 73 73
vii
Penggunaan Bahan Kimia ............................................................. Bahan, Penanganan dan Pengolahan ............................................. Penyusunan HACCP .............................................................................. Kebijakan Mutu ............................................................................ Organisasi Tim HACCP ............................................................... Deskripsi Produk Yoghurt ............................................................ Penyusunan Diagram Alir ............................................................. Analisis Bahaya ............................................................................ Penetapan Critical Control Point (CCP) ...................................... Penentuan Batas Kritis .................................................................. Prosedur Pelaksanaan .................................................................... Tindakan Koreksi .......................................................................... Menetapkan Prosedur Verifikasi ................................................... Dokumentasi dan Rekaman ..........................................................
73 73 88 88 88 89 90 95 98 100 101 101 101 102
KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
111
Kesimpulan ................................................................................... Saran .............................................................................................
111 112
UCAPAN TERIMAKASIH ...................................................................
113
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
114
LAMPIRAN ...........................................................................................
119
viii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Standar Mutu Susu Segar (SNI-01-3141-2000)....................................
9
2. Syarat Mutu Yoghurt (SNI 01-2981-1992) ..........................................
11
3. Hasil Penilaian Aplikasi GFP Peternakan Pemasok Susu Eco Farm dan KWI ................................................................................................
28
4. Penilaian Penyimpangan GMP pada Proses Pembuatan Yoghurt di PT D-Farm Agriprima ......................................................................
46
5. Penilaian Penyimpangan SSOP pada Proses Pembuatan Yoghurt di PT D-Farm Agriprima ......................................................................
47
6. Pengujian Susu Segar............................................................................
65
7. Pengujian Yoghurt ................................................................................
68
8. Rekapitulasi Penerapan GMP di PT D-Farm Agriprima ......................
73
9. Rekapitulasi Penerapan SSOP di PT D-Farm Agriprima .....................
82
10. Deskripsi Produk Yoghurt ...................................................................
86
11. Penetapan Analisis Bahaya ................................................................... 100 12. Penetapan CCP ..................................................................................... 103 13. Pengendalian CCP ................................................................................ 105
ix
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Bangunan Kandang di Eco Farm ....................................................
29
2. Bangunan Kandang di KWI ............................................................
29
3. Bentuk Tempat Pakan di Eco Farm .................................................
30
4. Bentuk Tempat Pakan di KWI ........................................................
31
5. Pengelolaan Limbah Padat di Eco Farm .........................................
32
6. Pengelolaan Limbah Padat di KWI ................................................
32
7. Lantai Eco Farm dan KWI ..............................................................
34
8. Fasilitas Pemerahan di KWI ...........................................................
35
9. Pencampuran Konsentrat dan Ampas Tahu di Eco Farm ...............
37
10. Pemberian Pakan di KWI ...............................................................
38
11. Penyimpanan Pakan di Eco Farm ...................................................
38
12. Penyimpanan Pakan di KWI ...........................................................
39
13. Penyimpanan Obat-obatan di KWI .................................................
40
14. Pembersihan Sapi di KWI ...............................................................
42
15. Pemerahan di KWI ..........................................................................
42
16. Lokasi dan Bangunan Unit Pengolahan ..........................................
49
17. Saluran Pembuangan ......................................................................
50
18. Pengendalian Hama ........................................................................
51
19. Fasilitas Pabrik ................................................................................
55
20. Tempat Sampah dengan Pijakan ....................................................
56
21. Penampungan Air ...........................................................................
59
22. Freezer ............................................................................................
62
23. Mesin Pengemas .............................................................................
63
24. Retail Produk, Motor Roda Tiga untuk Pendistribusian Produk, Cool Box ..........................................................................................
72
25. Diagram Alir Yoghurt ......................................................................
91
26. Matriks Analisis Signifikansi Bahaya ..............................................
93
x
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Perhitungan Penilaian Aplikasi GFP ..............................................
117
2. Denah Peternakan Eco Farm .........................................................
118
3. Denah Koperasi Wirausaha Indonesia ..........................................
119
4. Check List GFP ...............................................................................
120
5. Denah PT D-Farm Agriprima ........................................................
123
6. Struktur Organisasi PT D-Farm Agriprima ..................................
124
7. Perhitungan Penilaian Aplikasi SSOP ...........................................
125
8. Recording Produk ..........................................................................
128
9. Log Book Gula ...............................................................................
128
10.
Log Book Produksi .........................................................................
128
11.
Log Book Pemanasan Susu ............................................................
129
12.
Log Book Pengujian Susu ..............................................................
129
13.
Log Book Pengujian Yoghurt ..........................................................
130
14.
Recording Sanitasi Ruangan ..........................................................
130
15.
Log Book Uji Kualitas Air .............................................................
131
16.
Log Book Penerimaan Susu ...........................................................
132
17.
Contoh Check List GMP ...............................................................
133
18.
Contoh Check List SSOP ..............................................................
144
19.
Contoh Penyusunan Tim HACCP .................................................
147
20.
Decision Tree untuk Proses Pengolahan ........................................
148
xi
PENDAHULUAN Latar Belakang Hasil ternak perah berupa susu memiliki komponen penting yang dibutuhkan oleh tubuh manusia diantaranya yaitu protein, lemak, mineral dan vitamin. Komponen-komponen yang terdapat dalam susu merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, yang sering bertanggung jawab terhadap kerusakan susu. Salah satu teknologi yang dapat diterapkan dalam pengolahan susu untuk mempertahankan nilai gizi dan memperpanjang umur simpannya adalah melalui proses fermentasi dengan salah satu produknya yaitu yoghurt. Produk olahan susu fermentasi berupa yoghurt merupakan sekarang ini semakin banyak beredar di pasaran dan digemari konsumen dengan alasan adalah manfaatnya untuk meningkatkan kesehatan tubuh. Proses fermentasi selain memperpanjang umur simpan produk, juga meningkatkan kualitas gizi produk dan menyediakan nutrisi yang mudah diserap oleh tubuh, karena komponen-komponen tersebut tersedia dalam bentuk sederhana sebagai hasil dari aktivitas metabolisme kultur starter. Kualitas yoghurt dipengaruhi oleh bahan baku utama yaitu susu dan kultur starter, serta bahan penunjangnya yang dapat berupa pemanis, pewarna dan perasa. Aplikasi Good Farming Practices (GFP) dalam peternakan sapi perah akan menentukan kualitas dan kuantitas susu yang dihasilkan. Direktorat Jenderal Peternakan (2008) telah mensyaratkan aplikasi Good Farming Practices (GFP) dan Good Hygiene Practices (GHP) yaitu menerapkan cara beternak yang baik, dimulai dari manajemen pemeliharaan, memperhatikan pemberian pakan, memperhatikan kesejahteraan dan kesehatan ternak, memperhatikan higinitas dan sanitasi ternak, memperhatikan lingkungan kandang dan ternaknya, serta melakukan identifikasi dan registrasi ternak. Pada proses pemerahan aplikasi Good Milking Practices (GMiP) sangat penting diterapkan untuk menjaga kualitas susu. Aplikasi Good Manufacturing Practices (GMP)
bertujuan memberikan
jaminan terhadap keamanan pangan pada produk akhir yang menjadi tuntutan utama konsumen terhadap produsen. Penerapan GMP dan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) selama proses pengolahan, merupakan persyaratan yang harus dilakukan produsen untuk menghasilkan produk aman, sehat, utuh dan halal. Industri
1
pengolahan yoghurt harus memperhatikan pula aplikasi GFP, GHP, GMP dan SSOP untuk menjamin keamanan produk yang dihasilkan from farm to table. Unit Teaching Farm Pengolahan Susu PT D-Farm Agriprima yang berlokasi di Fakultas Peternakan IPB, merupakan unit pengolahan pangan yang menghasilkan produk olahan dengan bahan utamanya berasal dari susu. Skala usaha pada pengolahan ini tergolong cukup besar dengan jumlah produksi susu yang diolah minimal 100 liter/hari, sehingga harus memperhatikan kualitas produk yang dihasilkan guna memenuhi standar keamanan pangan. Penerapan GMP dan SSOP oleh unit pengolahan akan menjamin keamanan pangan dari produk yang dihasilkan. Evaluasi terhadap penerapan GMP dan SSOP akan lebih meyakinkan masyarakat sebagai konsumen untuk membuktikan bahwa hasil produk dari unit pengolahan di PT D-Farm Agriprima ini terjaga keamanannya dan sesuai ketentuan standar yang berlaku. Tujuan Penelitian Tujuan kegiatan magang dalam penyelesaian tugas akhir ini adalah melakukan kajian terhadap penerapan GFP, GHP, GMP dan SSOP dimulai dari peternakan sapi perah sebagai pemasok susu segar hingga unit pengolahan yoghurt serta penyusunan HACCP plan di PT D-Farm Agriprima.
2
TINJAUAN PUSTAKA Good Farming Practices (GFP) Good Farming Practices (GFP) menurut Menteri Pertanian (2010) adalah suatu pedoman yang menjelaskan cara budidaya tumbuhan/ternak yang baik agar menghasilkan pangan bermutu, aman dan layak dikonsumsi. Department of Agriculture, Food and Rural Development Irlandia (2001) menyatakan bahwa GFP juga termasuk di dalamnya aturan yang berlaku di lingkungan, higien atau sanitasi, kesejahteraan ternak, identifikasi dan registrasi ternak serta kesehatan ternak. Aspekaspek utama dalam GFP yaitu manajemen nutrisi, manajemen lahan rumput, perlindungan sungai dan sumber air, pemeliharaan habitat liar, pemeliharaan batas peternakan, penggunaan pestisida dan bahan kimia yang berhati-hati, perlindungan situs-situs
bersejarah,
pemeliharaan
penampakan
visual
peternakan
dan
lingkungannya, pemeliharaan catatan peternakan, kesejahteraan ternak, hygiene atau sanitasi, tidak menggunakan bahan yang dilarang dan penggunaan obat hewan yang bertanggung jawab serta menekankan pentingnya pengetahuan peternak tentang GFP. Menurut Office International des Epizooties atau OIE (2006) terdapat enam aspek penting dalam peternakan sapi perah yang harus dilaksanakan yaitu memperhatikan bangunan dan fasilitas lain, daerah sekitar dan kontrol terhadap lingkungan, kondisi kesehatan ternak, pakan ternak, air untuk ternak, obat-obat hewan dan manajemen peternakan. International Dairy Federation Food dan Agriculture Organization of The United Nations (IDF/FAO) (2004) menyatakan bahwa untuk memperoleh susu yang aman dari suatu peternakana sapi perah, maka terdapat lima bagian besar yang perlu diperhatikan dan dipenuhi yaitu kesehatan ternak, pemerahan yang higienis, pakan ternak, kesejahteraan ternak dan lingkungan peternakan. Good Milking Practices (GMiP) dan Good Hygienie Practices (GHP) IDF/FAO (2004) menyatakan bahwa susu harus diperah dan disimpan dalam kondisi yang higienis. Peralatan yang digunakan untuk pemerah susu harus tersedia dan dirawat dengan baik. Pemerahan adalah aktivitas yang terpenting dalam peternakan sapi perah. Konsumen menuntut standar kualitas yang tinggi, sehingga
3
tujuan manajemen pemerahan adalah untuk meminimalisasi kontaminasi fisik, kimia, dan mikrobiologi. Manajemen pemerahan hendaknya meliputi semua aspek dari proses pemerahan secara cepat dan efektif sekaligus memastikan kesehatan sapi dan kualitas susunya. Konsistensi pelaksanaan prosedur pemerahan yang baik adalah bagian yang penting dalam pelaksanaan Good Agricultural Practices (GAP) untuk pemerahan. Good Agricultural Practices merupakan petunjuk penting beserta deskripsinya untuk memastikan pemerahan dan penyimpanan susu dilakukan dalam kondisi yang higienis dan peralatan yang digunakan dalam pemerahan dan penyimpanan susu harus dalam kondisi yang terawat baik. International Dairy Federation Food dan Agriculture Organization of The United Nations (IDF/FAO) (2004) menjelaskan bahwa tujuan GAP untuk pemerahan yaitu (a) memastikan pemerahan yang rutin dan tidak menyebabkan cedera pada sapi atau menambah kontaminasi pada susu, (b) memastikan pemerahan dalam kondisi yang higienis dan (c) memastikan susu ditangani dengan baik setelah proses pemerahan. Pemerahan harus dipastikan dalam kondisi yang higienis, yaitu dengan menjaga kandang dan lingkungannya selalu bersih setiap saat, memastikan terjaganya kebersihan di area pemerahan dan memastikan pemerah mengikuti aturan dasar sanitasi. Good Manufacturing Practices (GMP) Good Manufacturing Practices (GMP) merupakan suatu pedoman cara memproduksi makanan dengan tujuan agar produsen memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk makanan yang bermutu dan sesuai dengan keamanan pangan dan tuntutan konsumen (Taheer, 2005). Pedoman GMP atau Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) menurut Menteri Kesehatan No.23/MENKES/SK/1978 mencakup lokasi pabrik, bangunan, produk akhir, peralatan pengolahan, bahan produksi, higien personal, penyimpanan, pemeliharaan sarana pengolahan dan kegiatan sanitasi, laboratorium, kemasan dan transportasi. 1. Lokasi Pabrik. Berada pada lokasi yang memiliki kemudahan akses jalan masuk, prasarana jalan yang memadai, jauh dari pemukiman penduduk, terbebas dari pencemaran serta memiliki pintu masuk dan keluar yang terpisah. Cemaran yang dimaksud dapat berasal dari polusi, hama,
4
pengolahan limbah serta sistem pembuangan yang tidak berfungsi dengan baik. 2. Bangunan. Konstruksi, desain, tata ruang dan bahan baku dibuat berdasarkan syarat mutu dan teknik perencanaan pembuatan bangunan yang berlaku sesuai dengan jenis produknya. Bahan baku berasal dari bahan yang mudah dibersihkan, dipelihara dan dilakukan sanitasi serta tidak bersifat toksik. 3. Produk akhir. Produk akhir mengalami uji-uji secara kimia, fisik dan mikrobiologi sebelum dipasarkan. 4. Peralatan pengolahan. Bahan baku peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan harus dibuat memenuhi standar baik teknik, mutu dan higienis, seperti bersifat tidak toksik, tahan karat, kuat, tidak menyerap air, tidak mengelupas, mudah dipelihara, dibersihkan dan dilakukan sanitasi. 5. Bahan produksi. Bahan baku serta bahan tambahan yang digunakan untuk menghasilkan produk harus sesuai dengan standar mutu yang berlaku serta tidak membahayakan ataupun merugikan kesehatan konsumen. Masingmasing bahan mengalami pengujian secara organoleptik, fisik, kimia, biologi dan mikrobiologi sebelum diproses. 6. Higien personal. Seluruh karyawan yang berhubungan dengan proses produksi menjalani pemeriksaan rutin (minimal enam bulan satu kali), tidak diperbolehkan
melakukan
kebiasaan
yang
beresiko
meningkatkan
kontaminasi terhadap produk seperti: bersandar pada peralatan, mengusap muka, meludah sembarangan serta memakai arloji dan perhiasan selama proses produksi berlangsung. 7. Pengendalian proses pengolahan. Pengendalian proses pengolahan dilakukan dengan cara, pengecekan alur proses secara berkala, penerapan SSOP dalam setiap langkah serta pemeriksaan raw material secara berkala yang dilakukan dengan pengujian secara organoleptik, fisik, kimia dan biologis. 8. Fasilitas sanitasi. Fasilitas sanitasi yang digunakan harus memenuhi syarat mutu yang berlaku, seperti : memiliki sarana air bersih yang mencukupi, saluran yang berbeda untuk proses sanitasi dan produksi, air yang digunakan untuk proses produksi sesuai dengan syarat mutu air minum dan dilakukan pengecekan berkala terhadap fasilitas sanitasi.
5
9. Label. Label yang tertera pada kemasan harus sesuai dengan syarat yang telah disebutkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan tentang tata cara pelabelan makanan kemasan. 10. Keterangan produk. Keterangan produk yang tertera dalam kemasan harus lengkap serta dapat menjelaskan tentang tata cara penyimpanan, kandungan nutrisi, produsen dan tanggal kadaluarsa. 11. Penyimpanan. Proses penyimpanan bahan baku dan produk dilakukan secara terpisah dengan tujuan untuk meniadakan proses kontaminasi silang antara kedua bahan tersebut, selain itu proses penyimpanan terpisah pun dilakukan pada bahan yang bersifat toksik (bahan kimia) dan bahan pangan serta bahan yang dikemas dengan bahan tidak dikemas. 12. Pemeliharaan sarana pengolahan dan kegiatan sanitasi. Aplikasi pemeliharaan sarana pengolahan dilakukan dengan selalu menerapkan proses sanitasi peralatan pengolahan pada saat sebelum dan setelah proses produksi berlangsung, sedangkan untuk kegiatan sanitasi dilakukan dengan cara mencegah masuknya binatang yang dianggap hama (tikus, serangga, burung dan kecoa) ke dalam ruang produksi, penempatan pest control pada titik yang dianggap kritis serta melakukan monitoring secara berkala dan recording terhadap proses sanitasi yang berlangsung. 13. Laboratorium. Perusahaan yang bergerak dalam bidang pangan diharuskan memiliki laboratorium untuk melakukan uji secara fisik, kimia, biologis dan mikrobiologis terhadap bahan yang digunakan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan. 14. Kemasan. Bahan baku kemasan yang digunakan untuk produk pangan umumnya tidak bersifat toksik dan tidak mencemari atau mengkontaminasi produk sehingga aman untuk kesehatan konsumen 15. Transportasi. Sarana transportasi yang digunakan untuk bahan pangan harus memiliki sifat atau fungsi untuk menjaga bahan pangan agar tidak terkontaminasi dan terlindungi dari kerusakan. Penjagaan bahan baku atau produk dilakukan dengan melengkapi sarana transportasi dengan fasilitas yang dibutuhkan seperti alat pendingin.
6
Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) Undang-undang Pangan RI No. 7 tahun 1996 (Kementrian Kesehatan, 1996) menjelaskan bahwa sanitasi pangan merupakan upaya pencegahan terhadap berbagai kemungkinan tumbuh dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan kesehatan manusia. SSOP merupakan alat bantu dalam penerapan GMP, yang berisi tentang perencanaan tertulis untuk menjalankan GMP, syarat agar penerapan GMP dapat dimonitor dan adanya tindakan koreksi jika terdapat komplain, verifikasi dan dokumentasi (FDA, 1995). SSOP menurut FDA (1995) terdiri atas delapan aspek kunci yaitu, (1) keamanan air proses produksi, (2) kondisi kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan, (3) pencegahan kontaminasi silang dari objek yang tidak saniter, (4) kebersihan pekerja, (5) pencegahan atau perlindungan dari adulterasi, (6) pelabelan dan penyimpanan yang tepat, (7) pengendalian kesehatan karyawan, (8) pemberantasan hama. Pengolahan pangan pada umumnya beresiko akan adanya kontaminasi karena penggunaan alat pengolahan yang kotor dan mengandung mikroba dalam jumlah yang tinggi. Peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan bahan pangan diharuskan mengalami proses sanitasi terlebih dahulu sebelum dan setelah proses produksi berlangsung (Jenie, 1998). Sanitasi alat dan wadah umumnya menggunakan bahan-bahan kimia untuk meminimalisir kandungan mikroba yang terdapat dalam peralatan produksi. Bahan kimia yang umum digunakan sebagai bahan sanitasi peralatan terdiri atas soda kaustik, asam serta alkohol. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) merupakan suatu analisa yang dilakukan terhadap bahan baku, proses dan produk untuk menentukan komponen, kondisi atau tahapan proses yang harus mendapat pengawasan ketat guna menjamin bahwa produk yang dihasilkan aman dan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. HACCP merupakan sistem pengawasan yang bersifat mencegah atau preventif (Fardiaz, 1996). Istilah Critical Control Point (CCP) diidentifikasi dalam HACCP. CCP yaitu semua titik di dalam sistem keamanan pangan yang spesifik yaitu bila terjadi hilangnya kendali akan menyebabkan resiko kesehatan yang besar (Pierson dan Corlett, 1992) 7
Winarno dan Surono (2004) menyatakan, agar sistem HACCP dapat berfungsi dengan baik dan efektif, perlu diawali dengan program pre-requisite, melandasi kondisi lingkungan dan pelaksanaan tugas dan kegiatan lain dalam suatu industri. Prinsip HACCP berdasarkan Badan Standarisasi Nasional (1998) dalam SNI-01-4852-1998 sesuai Codex terdiri atas tujuh yaitu, a) analisis bahaya dan penetapan kategori bahaya; b) penetapan titik kendali kritis (CCP); c) penetapan batas kritis yang harus dipenuhi setiap CCP yang ditentukan; d) dokumentasi prosedur untuk memantau batas kritis CCP; e) penetapan tindakan koreksi yang harus dilakukan bila terjadi penyimpangan selama pemantaun CCP; f) penetapan prosedur verifikasi untuk membuktikan bahwa sistem HACCP telah berhasil dan g) penetapan dokumentasi mengenai semua prosedur catatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip penerapan. Susu Badan
Standarisasi
Nasional
(1998)
dalam
SNI
No.01-3141-1998
mendefinisikan susu segar sebagai cairan yang berasal dari ambing sapi sehat, diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, tidak mengalami penambahan atau pengurangan suatu komponen apapun dan tidak mengalami pemanasan dengan karakteristik mutu seperti diperlihatkan pada Tabel 1. Susu yang baik adalah susu yang mengandung jumlah bakteri sedikit, tidak mengandung spora mikroba patogen, bersih yaitu tidak mengandung debu atau kotoran lainnya dan mempunyai cita rasa atau flavour yang baik (Saleh, 2004). Menurut Rahman et al. (1992) pertumbuhan mikroba pada susu dapat menimbulkan
berbagai
perubahan
karakteristik.
Pembentukkan
asam,
gas,
pelendiran, produk alkali serta perubahan cita rasa dan warna merupakan perubahan karakteristik yang sering dijumpai pada susu akibat adanya mikroorganisme. Kandungan gizi yang terdapat dalam susu yaitu, laktosa yang berfungsi sebagai sumber energi, kalsium yang membantu dalam pembentukan massa tulang, lemak yang menghasilkan energi serta vitamin A, D, E dan K, protein yang kaya akan kandungan lisin, niasin dan ferrum, serta mineral-mineral lain seperti magnesium, seng dan potassium (Susilorini dan Sawitri, 2006).
8
Tabel 1. Standar Mutu Susu Segar (SNI-01-3141-1998) No.
Karakteristik
Syarat
1.
Berat jenis (pada suhu 27,5o C minimal)
1,028 g/cm3
2.
Kadar lemak
Minimum 3,0%
3.
Kadar bahan kering tanpa lemak
Minimum 8,0%
4.
Kadar protein
Minimum 2,7%
5.
Warna, bau, rasa dan kekentalan
Tidak ada perubahan
6.
Derajat keasaman
6 – 7o SH
7.
Uji alkohol (70%)
Negatif
8.
Uji katalase maksimal
3 cc
9.
Angka refraksi
36-38
10.
Angka reduktase
2-5 jam
11.
Cemaran mikroba maksimal
• Total kuman
1x106 CFU/ml
• Salmonella
Negatif
• E. coli (patogen)
Negatif
• Coliform
20/ml
• Streptococcus group B • Staphylococcus aureus 12
Jumlah sel radang ambing maksimal
13
Cemaran logam berbahaya maksimal
14
4x102/ml 4x105/ml 4x 105/ml
• Timbal (Pb)
0,3 ppm
• Seng (Zn)
0,5 ppm
• Merkuri (Hg)
0,5 ppm
• Arsen (As)
0,5 ppm
Residu
Sesuai dengan aturan yang berlaku
• Antibiotika • Pestisida/insektisida 15
Kotoran dan benda asing
Negatif
16
Uji pemalsuan
Negatif
17
Titik beku
-0,5200C s.d -0,5600C
18
Uji Peroksidase
Positif
Sumber : BSN (1998)
9
Yoghurt Yoghurt didefinisikan sebagai produk yang diperoleh dari susu yang telah dipasteurisasi, kemudian difermentasikan dengan bakteri sampai diperoleh keasaman, bau dan rasa yang khas dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diizinkan (BSN, 1992 dalam SNI 01-2981-1992). Yoghurt dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori. Berdasarkan flavornya, yoghurt dibedakan menjadi plain yoghurt atau natural yoghurt dan flavored yoghurt atau fruit yoghurt. Plain yoghurt adalah yoghurt yang tidak ditambah flavor lain dari luar sehingga memiliki rasa asam yang sangat tajam sedangkan flavored yoghurt adalah yoghurt yang ditambah dengan flavor (Rahman et al., 1992). Berdasarkan pembuatannya, yoghurt dibagi menjadi dua tipe, yaitu set yoghurt dan stirred yoghurt. Keduanya berbeda dari cara pembuatan dan struktur fisik koagulum yang terbentuk. Tipe set yoghurt adalah yoghurt yang diinkubasi dengan kultur dalam kemasan-kemasan individual yang siap dijual sehingga gel atau koagulum yang terbentuk berasal dari aktivitas kultur starter itu sendiri, sedangkan tipe stirred yoghurt adalah yoghurt yang difermentasi dengan kultur pada fermentor besar. Koagulum yang terbentuk kemudian dipecah agar produk mudah dialirkan ke dalam kemasan-kemasan individual. Gel atau koagulum yang terbentuk bukan hanya hasil dari aktivitas starter, melainkan juga dari penambahan stabilizer (Rahman et al., 1992). Susu yang mengalami proses fermentasi dan dikenal sebagai yoghurt, memiliki cita rasa asam yang khas disebabkan aktivitas bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus. Senyawa kimia yang dihasilkan yakni asam laktat, asetal dehida, asam asetat dan bahan lain yang mudah menguap. Susu yang difermentasi bukan hanya yang berasal dari sapi, tetapi juga susu kambing dan susu kerbau (Winarno, 2007). Kategori produk yoghurt berdasarkan kandungan lemaknya dibedakan menjadi tiga kelompok. Yoghurt dengan kadar lemak rendah bila mengandung lemak susu 0,5-2,0% dan yoghurt tanpa lemak bisa mengandung lemak susu kurang dari 0,5%. Ketiga kategori yoghurt tersebut, jumlah padatan susu tanpa lemak minimum 8,25%. Syarat mutu yoghurt menurut BSN (1992) dapat ditunjukkan pada Tabel 2.
10
Tabel 2. Syarat Mutu Yoghurt (SNI 01-2981-2009) Kriteria uji
Satuan
Persyaratan
Keadaan Penampakan
Cairan kental/semi padat
Bau
Normal/khas
Rasa
Khas asam
Konsistensi
Homogen
Lemak
(% b/b)
Maksimum 3,8
Berat kering tanpa lemak (BKTL)
(% b/b)
Min 8,2
Protein
(% b/b)
Min 3,5
Abu
(% b/b)
Maks 1,0
Jumlah asam (dihitung sebagai laktat)
(% b/b)
0,5-2,0
Timbal (Pb)
(mg/kg)
Maksimum 0,3
Tembaga (Cu)
(mg/kg)
Maksimum 20
Timah (Sn)
(mg/kg)
Maksimum 40
Raksa (hg)
(mg/kg)
Maksimum0,03
Arsen (As)
(mg/kg)
Maksimum 0,1
(APM/g)
Maks 10
Cemaran logam
Cemaran mikroba a. Koliform b. E. coli
<3
c. Salmonella
Negatif/gram
Sumber : Dewan Standarisasi Nasional (2009)
Pembuatan yoghurt secara umum meliputi pemanasan (pasteurisasi) susu, pendinginan, inokulasi dan inkubasi. Tujuan pemanasan susu adalah untuk menurunkan populasi mikroba patogen dalam susu dan memberikan kondisi yang baik bagi pertumbuhan starter yoghurt, mengurangi kadar air susu sehingga diperoleh yoghurt dengan tekstur yang kompak (Kuntarso, 2007). Selain itu pemanasan susu bertujuan untuk denaturasi protein whey (albumin dan globulin) agar yoghurt yang dihasilkan menjadi lebih kental, mengurangi jumlah oksigen dalam susu agar kultur yoghurt yang secara normal yang bersifat mikroaerofilik dapat tumbuh dengan baik (Tamime dan Robinson, 1999). Rekomendasi suhu pemasakan susu yaitu 90oC selama 15-30 menit (Buckle et al., 2007). Tahap selanjutnya yaitu proses
11
pendinginan susu agar suhu susu optimum untuk pertumbuhan kultur starter yaitu 43oC (Buckle et al., 2007). Inokulasi kultur starter Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus dilakukan sebanyak 2% dan dibiarkan pada suhu 43oC selama 3 jam hingga tercapai keasaman yang dikehendaki yaitu 0,85%-0,90% asam laktat dan pH 4,0-4,5, kemudian produk didinginkan sampai 5oC untuk dikemas (Buckle et al., 2007). Produksi asam laktat oleh bakteri asam laktat berjalan secara cepat, sehingga pertumbuhan mikroba lain yang tidak diinginkan dapat terhambat (Sumedi, 2004). Kelompok bakteri yang termasuk bakteri asam laktat adalah famili Lactobacillaceae, yaitu Lactobacillus dan famili Streptocaceae, terutama Leuconostoc, Streptococcus dan Pediococcus (Fardiaz, 1992). Dua peranan utama kultur starter selama fermentasi yoghurt adalah menghasilkan asam laktat dan senyawa karbonil, asetalaldehida, aseton, asetoin dan diasetil (Marcon, 1994). Probiotik dapat diperoleh melalui konsumsi produk olahan susu fermentasi. Mikroba probiotik dalam susu fermentasi terdiri dari genus Lactobacillus, Pediococcus, Bifidobacterium, Lactococcus, Enterococcus dan Saccharomyces. Bakteri
probiotik
yang
digunakan
dalam
produk
olahan
pangan
harus
mempertimbangkan aspek keamanan (Sudono, 2004). Probiotik itu sendiri adalah mikroorganisme hidup yang bila diberikan dalam jumlah yang cukup akan memberikan manfaat bagi inangnya (FAO, 2001). Keseimbangan yang baik dalam ekosistem mikrobiota usus bisa menguntungkan kesehatan tubuh dan dapat dipengaruhi oleh konsumsi probiotik setiap hari (Lisal, 2005). Hoier (1999) menyatakan bahwa ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan untuk penentuan starin
mikroba
probiotik,
yaitu:
(1)
mampu
melakukan
aktivitas
dalam
memfermentasikan susu dalam waktu yang relatif cepat, (2) mampu menggandakan diri, (3) tahan terhadap suasana asam sehingga mampu dan bertahan dalam saluran pencernaan, (4) menghasilkan produk khir yang dapat diterima konsumen dan (5) mempunyai stabilitas yang tinggi selama proses fermentasi, penyimpanan dan distribusi. Kerusakan Yoghurt Kerusakan fisik yang terjadi umumnya adalah sineresis. Sineresis adalah pemisahan whey protein bebas ke permukaan yoghurt (Robinson, 1993). Sineresis 12
dapat disebabkan oleh padatan bukan lemak atau lemak yang rendah, mineral susu yang kurang dan tidak cukupnya proses pemanasan. Sineresis dapat terjadi pada saat inkubasi. Robinson (1993) menyatakan bahwa sineresis juga dapat terjadi akibat kurangnya pendinginan setelah inkubasi pada suhu 420C. Kerusakan kimia yang terjadi pada yoghurt umumnya karena aktivitas kultur yoghurt yang dapat terhambat oleh adanya residu antibiotik dalam susu. Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus terhambat dengan adanya penisilin 0,005 IU/ml, auromycin 0,061 IU/ml dan streptomycin 0,38 IU/ml (Rahman et al., 1992). Kerusakan yoghurt umumnya disebabkan oleh kontaminasi mikroorganisme, khususnya adalah kapang dan khamir yang relatif tahan asam. Mikroba perusak seperti kapang dan khamir umumnya kurang sensitif terhadap faktor-faktor lingkungan sehingga masih mungkin tumbuh dan berkembang di dalam yoghurt (Rahman et al., 1992). Kontaminasi mikroorganisme biasanya disebabkan oleh kontaminasi silang dari udara pada ruang pengemasan, peralatan untuk pengisian, buah-buahan atau sirup yang ditambahkan dan kontaminasi pengemas. Yoghurt yang telah dipasarkan menurut Rahman et al., (1992) tidak boleh mengandung khamir lebih dari 100 sel/ml dan bila jumlah khamir mencapai 1000 sel/ml atau lebih maka menunjukkan kemungkinan terjadinya resiko kerusakan yang serius. Beberapa jenis khamir yang sering mengkontaminasi yoghurt adalah Kluyveromyces fragilis, Saccharomyces cereviceae dan Kluyveromyces lactis. Pertumbuhan kapang pada yoghurt biasanya lebih lambat dari khamir dan dapat dilihat secara visual pada permukaannya. Beberapa jenis kapang yang seing mengkontaminasi
diantaranya
Mucor,
Aspergillus
atau
Alternaria.
Jumlah
maksimum kapang yang terdapat dalam yoghurt tidak boleh lebih dari 10 koloni/ml (Robinson, 1993).
13
METODE Lokasi dan Waktu Kegiatan magang ini dilaksanakan di unit pengolahan susu PT D-Farm Agriprima, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan, peternakan sapi perah Eco Farm Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan Koperasi Wirausaha Indonesia (KWI). Kegiatan magang ini dilaksanakan pada bulan April hingga November 2010. Pelaksanaan magang di Eco Farm pada bulan April 2010, PT D-Farm Agriprima pada bulan Mei hingga Juli 2010, untuk pelaksanaan magang di KWI pada bulan Agustus 2010, bulan September hingga November 2010 melakukan pengujian kualitas. Materi Bahan yang digunakan dalam proses pembuatan yaitu bahan baku, berupa bahan tambahan dan bahan pendukung dalam proses pembuatan yoghurt. Bahan yang digunakan dalam proses pengujian kualitas yaitu susu, yoghurt dengan berbagai rasa, serta bahan kimia meliputi fenolftalein 1%, kalium oksalat, formalin 4%, aquades, air hangat, larutan buffer pH 7, larutan buffer pH 4, larutan NaOH 0,1N dan 0,25N, larutan methilen biru, asam belerang 91-92%, amilalkohol, zink sulfat 5%, barium hidroxide 4,5%, fenol 1%, picrid acid 1%, sodium disulfat 4,5%, MgNO3, 6H2O 10%, HNO3 pekat, HCl 6 N, KCl, H2SO4 18N, natrium molibdat 2%, H2O2 dan media yang digunakan yaitu Eosin Metylen Blue Agar (EMBA), Violet Red Bile Agar (VRBA), Salmonella Shigella Agar (SSA), Plate Count Agar (PCA) dan Buffer Pepton Water (BPW). Instrumen yang digunakan dalam magang yaitu form penilaian dan alat tulis untuk memperoleh data. Pengujian kualitas bahan baku susu dan yoghurt menggunakan alat labu Erlenmeyer, gun tester, laktodensimeter, milkotester, titrasi buret, pH meter, gelas piala, rotational viscometer, pipet, inkubator, corong, gelas ukur, sumbat karet, labu butirometer, pipet volumetrik, sentrifuse, timbangan analitik, tabung reaksi ulir, rak tabung reaksi, mikro pipet dan spektrofotometer. Prosedur Pelaksanaan magang dilakukan di unit pengolahan susu PT D-Farm Agriprima, peternakan sapi perah Eco Farm Fakultas Peternakan Institut Pertanian 14
Bogor dan pembibitan sapi perah Koperasi Wirausaha Indonesia (KWI), dengan cara ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan produksi, melakukan observasi lapang, wawancara dan pengumpulan data. Partisipasi aktif dalam kegiatan pengolahan, dimulai dari penerimaan susu, bahan tambahan dan bahan pendukung lainnya, pengujian kualitas baik fisik, kimia dan mikrobiologi pada bahan baku yaitu susu, pembuatan yoghurt dan pengujian akhir pada produk yang dihasilkan yaitu yoghurt sebelum dikemas dan yang sudah dalam kemasan meliputi pengujian fisik, kimia dan mikrobiologi. Kajian GFP dan GHP dilakukan di peternakan sapi perah Eco Farm dan KWI. Kajian ini berhubungan dengan pengendalian standar mutu tata laksana peternakan sapi perah sebagai pemasok susu. GFP yang dikaji ini meliputi prosedur baku yang menyangkut tata laksana beternak yang baik dan benar untuk menghasilkan kualitas produk yang tinggi dari peternakan tersebut sesuai dengan aturan Dirjen Peternakan (2008). GHP yang dikaji adalah GMiP yang dilakukan di peternakan sapi perah Eco Farm dan KWI, yaitu berkaitan dengan tata cara pemerahan yang baik dan benar. Wawancara dan pengamatan di lapangan bertujuan untuk mengevaluasi aspek-aspek GFP dan GHP pada peternakan sapi perah. Pengambilan data dilaksanakan pada pekerjaan di kandang, sehingga dapat dilihat secara langsung kondisi nyata di lapangan tersebut. Hasil evaluasi aspek GFP yang diperoleh disusun dan diberi skor berdasarkan penilaian aplikasi di lapangan. Puspitasari (2009) menyatakan bahwa persentase aplikasi masing-masing aspek diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut : % aplikasi aspek X = Nilai total aplikasi aspek X x 100% Nilai sempurna aspek X Hasil penilaian digunakan untuk menentukan kategori berdasarkan penerapan GFP yang ada dengan menggunakan standar sebagai berikut : Nilai
Kategori Penerapan GFP
0-25
Sangat kurang
> 25-50
Kurang
> 50-75
Cukup
> 75-100
Baik
Sumber : Puspitasari (2009)
15
Penerapan HACCP yang diamati adalah kajian pelaksanaan pre-requisites yaitu SSOP dan GMP dengan cara melakukan pengamatan langsung pada saat proses produksi berlangsung. Pengisian form checklist yang digunakan untuk GMP adalah daftar pemeriksaan CPMB sarana produksi pangan. Hasil evaluasi aspek GMP dianalisis berdasarkan penyimpangan yang terjadi. Penyimpangan atau deficiency dikategorikan menjadi penyimpangan minor (MN), penyimpangan major (MJ), penyimpangan serius (SR) dan penyimpangan kritis (KT). Hasil penyimpangan yang diperoleh, kemudian dapat untuk menententukan tingkat (rating) unit pengolahan. Standar penilaian yang digunakan untuk GMP adalah SK MENKES Nomor 23/Menkes/SK/I/1978 tentang Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB). Penilaian kelayakan GMP melalui scoring pada setiap aspek (BPOM, 2003). Hasil penilaian digunakan untuk menentukan tingkat (rating) kelayakan sarana produksi pangan berdasarkan penyimpangan (deficiency/defect) yang ada dengan menggunakan standar sebagai berikut : Tingkat Rating
Jumlah Penyimpangan MN (Minor)
MJ (Mayor)
SR (Serius)
KT (Kritis)
A (Baik Sekali)
0-6
0-5
0
0
B (Baik)
>7
6-10
1-2
0
Atau
Tb
> 11
0
0
C (Kurang)
Tb
> 11
3-4
0
D (Jelek)
Tb
Tb
>5
>1
Sumber : BPOM (2002)
SSOP menurut Winarno (2004) digunakan untuk pembanding proses sanitasi yang diterapkan dari suatu unit (PT D-Farm Agriprima) yang meliputi delapan kunci persyaratan sanitasi. Penilaian kelayakan SSOP dilakukan melalui scoring terhadap semua aspek. Hasil evaluasi aspek SSOP dianalisis dengan suatu rumus untuk mendapatkan persentase kesesuaian antara penerapan GMP dengan Surat Keputusan dari Menteri Kesehatan Nomor 23/Menkes/SK/I/1978. Rumus yang digunakan yaitu sebagai berikut : Y = (n0 x 0) + (n1 x 1) + (n2 x 2) + (n3 x 3) + (n4 x 4)
16
Keterangan: Y = nilai total penyimpangan n0 = jumlah aspek yang memiliki nilai 0 dalam form check list n1 = jumlah aspek yang memiliki nilai 1 dalam form check list n2 = jumlah aspek yang memiliki nilai 2 dalam form check list n3 = jumlah aspek yang memiliki nilai 3 dalam form check list n4 = jumlah aspek yang memiliki nilai 4 dalam form check list Penilaian 0 = penyimpangan terjadi 0%
(memenuhi)
1 = penyimpangan terjadi 1-25% (cukup memenuhi) 2 = penyimpangan terjadi 26-50% (kurang memenuhi) 3 = penyimpangan terjadi 50-75% (sangat kurang memenuhi) 4 = penyimpangan terjadi >75% (tidak memenuhi) Nilai total penyimpangan yang didapat (Y) disesuaikan dengan skala persentase yang telah ditentukan berdasar nilai sempurna di setiap poin kesesuaian untuk mendapatkan klasifikasi aplikasi di perusahaan yaitu: (n x 0)
= aplikasi aspek SSOP di lapangan sebesar 100% (memenuhi)
((n x 0)+1) s/d(n x 1)
= aplikasi aspek SSOP di lapangan sebesar 75% (cukup memenuhi)
((n x 1)+1) s/d(n x 2)
= aplikasi aspek SSOP di lapangan sebesar 50% (kurang memenuhi) = aplikasi aspek SSOP di lapangan sebesar 25% (sangat kurang memenuhi)
((n x 2)+1) s/d(n x 3) ((n x 3)+1) s/d(n x 4)
= aplikasi aspek SSOP di lapangan sebesar <25% (tidak memenuhi)
Keterangan: n = jumlah total aspek yang diamati pada sub bab dalam form check list Penyusunan HACCP plan yang dilakukan meliputi kebijakan mutu perusahaan, organisasi tim HACCP, deskripsi produk, diagram alir proses produksi, analisis bahaya, penetapan CCP, penetapan batas kritis, penetapan tindakan pemantauan (monitoring) dan penentuan tindakan koreksi, penetapan prosedur
17
verifikasi serta penetapan dokumentasi dan rekaman. Penyusunan HACCP plan mengacu pada Winarno dan Surono (2004). Pengujian yang dilakukan pada susu segar berdasarkan SNI (BSN, 1999) yaitu warna, bau, rasa, alkohol, berat jenis, derajat keasaman, protein, lemak, pengujian cemaran mikroba (TPC, Salmonella, Escherichia coli) dan pengujian cemaran logam (timbal dan seng). Pengujian yang dilakukan pada yoghurt berdasarkan SNI No 01-2981-2009 yaitu pengujian bau, rasa, warna, pH, total asam tertitrasi, viskositas, derajat keasaman, protein, lemak, bahan kering tanpa lemak, pengujian cemaran mikroba (Coliform, Salmonella,) dan pengujian cemaran logam (Timbal, Tembaga, Timah, Raksa) (BSN, 2009). Uji Berat Jenis (BSN, 1998). Susu dihomogenkan secara sempurna, kemudian sebanyak 500 ml dimasukkan ke dalam gelas ukur. Laktodensimeter dengan hatihati dicelupkan ke dalam susu, dibiarkan timbul dan ditunggu sampai diam. Skala dan suhu susu yang ditunjukkan laktodensimeter tersebut dibaca dan hasilnya disetarakan dengan tabel penyesuaian berat jenis susu yang diuji pada temperatur 27,50C. Uji Alkohol (BSN, 1998). Susu dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 5 cc dan ditambahkan alkohol 70% sebanyak 5 cc, kemudian dikocok pelan-pelan. Jika terdapat butir-butir pada susu maka dinilai positif. Uji Derajat Keasaman (BSN, 1998). Susu dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer sebanyak 10 ml. Kedalam labu tersebut ditambahkan 2-3 tetes larutan fenolftalin 2% di dalam larutan 96% alkohol. Salah satu labu Erlenmeyer tersebut dititrasi dengan larutan NaOH 0,25N hingga timbul warna merah muda yang tidak lenyap jika dikocok. Susu yang terdapat dalam labu Erlenmeyer lain sebagai pembanding, kemudian dicatat banyaknya NaOH 0,25N yang terpakai. Uji Kadar Lemak Metode Gerber (BSN, 1998). Susu sebanyak 10,75 ml, asam belerang sebanyak 10 ml dan amilalkohol sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam butirometer. Butirometer ditutup dengan sumbat karet dan dikocok perlahan-lahan dengan membentuk angka delapan hingga zat-zat tercampur secara homogen. Butirometer tersebut dimasukkan dalam penangas air (65oC-70oC) selama 5 menit.
18
Dimasukkan dalam sentrifuse selama 5 menit dengan kecepatan 1200 putaran/menit. Dimasukkan kembali dalam penangas air (65oC-70oC) selama 5 menit. Uji Bahan Kering (BSN, 2009). Dapat dihitung dengan menggunakan rumus Fleischman, dengan rumus sebagai berikut. Bahan Kering = 1,23 L + 2,71 100(B.J – 1) ; B.J L kadar lemak (%) dan BJ berat jenis pada 27,5 oC Uji Bahan Kering Tanpa Lemak (BSN, 2009). Dapat dihitung dengan mengurangi kadar bahan kering dengan kadar lemak. Total Asam Tertitrasi (Nielsen, 2003). Sampel sebanyak 10 ml dimasukkan dalam labu Erlenmeyer dan ditambahkan indikator fenolftalein 1% sebanyak 2-3 tetes. Dilakukan titrasi dengan NaOH 0,1 N. Titrasi dihentikan jika sampel telah mengalami perubahan warna menjadi merah muda pertama kalinya dan tidak berubah kembali jika telah dihomogenkan. Banyaknya NaOH yang digunakan dicatat, kemudian persentase asam laktat dihitung dengan rumus sebagai berikut : % Asam Laktat = ml NaOH x 0,009 x N NaOH x 100 Bobot sampel Pengujian Kadar Protein dengan Titrasi Formol (AOAC, 2007). Sampel sebanyak 10 ml dimasukkan dalam labu Erlenmeyer, ditambahkan fenolftalein 1% sebanyak 2-3 tetes, lalu ditambahkan kalium oksalat 0,4 ml dan dihomogenkan. Jika telah homogen maka dititrasi dengan NaOH 0,1 N hingga terjadi perubahan warna merah muda. Banyaknya NaOH yang digunakan tidak dicatat. Ditambahkan juga 2 ml formalin 40%, hingga warna merah muda hilang. Dilakukan titrasi kembali dengan NaOH 0,1N dan dicatat banyaknya NaOH yang terpakai (p ml). Titrasi blanko dibuat dengan mencampur 10 ml aquades, 2 tetes fenolftalein 1%, 0,4 ml kalium oksalat dan 2 ml formalin 40%. Campuran bahan tersebut dititrasi dengan larutan NaOH 0,1N hingga warna merah muda terbentuk dan dicatat banyaknya NaOH yang terpakai (q ml). Kadar protein dapat dihitung dengan rumus : % kadar protein = (p-q) ml x 1,7 ; 1,7 = faktor formol
19
Total Plate Count (BSN, 1992). Pemupukan menggunakan media Plate Count Agar (PCA) Pengenceran dilakukan dengan cara pengambilan sampel sebanyak 1 ml dimasukkan dalam 9 ml Buffer Pepton Water (BPW) untuk mendapatkan pengenceran sepersepuluh (P-1). Pengenceran dilanjutkan dengan cara yang sama untuk mendapatkan pengenceran seperseratus (P-2) hingga diperoleh P-8. Sebanyak 1 ml dari pengenceran yang dikehendaki (P-5 sampai P-8) diambil/diteteskan dengan pipet ke dalam cawan Petri steril, kemudian ditambahkan media PCA yang telah dingin (kira-kira 37 ± 1oC ) dituangkan ke dalam cawan Petri steril tersebut sebanyak 12-15 ml. Campuran tersebut dihomogenkan dengan cara cawan Petri digerakkan dengan arah membentuk arah angka delapan. Setelah agar mengeras, cawan petri diinkubasikan dengan posisi terbalik pada suhu 37 ± 1oC selama 24-48 jam. Jumlah bakteri ditentukan dengan metode hitungan cawan dan untuk melaporkan hasil sesuai dengan Standard Plate Count (SPC). Jumlah bakteri = rata-rata jumlah koloni x faktor pengencer Jumlah Bakteri Koliform (DSN, 1998). Sampel dipipet sebanyak 1 ml sampel dimasukkan ke dalam 9 ml Buffer Pepton Water (BPW) sebagai pengenceran sepersepuluh (P-1). Pengenceran ini dilakukan hingga (P-3). Pengenceran P-1 sampai P-3 dipipet ke dalam cawan Petri steril, kemudian ditambahkan sebanyak 12 ml media Violet Red Bile Agar (VRBA) yang telah dingin (kira-kira 37 ± 1oC) ke dalam cawan Petri steril tersebut. Selanjutnya dihomogenkan dengan cara menggerakkan cawan Petri membentuk arah angka delapan. Bila sudah membeku pada permukaannya dilapisi (over lay) dengan medium yang sama tetapi lebih tipis (±3 ml), lalu dibiarkan lagi sampai agar membeku. Cawan Petri diinkubasi pada posisi terbalik pada suhu 37 ± 1oC selama 24-48 jam. Jumlah bakteri = rata-rata jumlah koloni x faktor pengencer Analisis Kuantitatif Total Escherichia coli (DSN, 1992). Sampel sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer berisi 90 ml larutan Buffer Pepton Water (BPW) steril. Campuran dihomogenkan dan didapatkan pengenceran satu per sepuluh (P-1). Selanjutnya dari P-1 dipipet sebanyak 1 ml dan dilarutkan ke dalam 9 ml larutan pengencer BPW untuk memperoleh P-2, demikian seterusnya dengan cara yang sama dilakukan sampai diperoleh P-3. Pemupukan dilakukan terhadap semua 20
pengenceran yang telah dilakukan (P0 sampai P-3) dengan cara sebanyak 1 ml pengenceran dipipet ke dalam cawan Petri secara duplo dan ditambahkan medium agar EMBA sebanyak 12-15 ml. Campuran dihomogenkan dengan cara digerakkan membentuk angka delapan diatas bidang datar dan dibiarkan hingga agar-agar mengeras. Cawan Petri selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC dengan posisi terbalik. Penghitungan koloni yang tumbuh dilakukan setelah inkubasi 24 jam sampai 48 jam. Cara perhitungan jumlah koloni sebagai berikut: Jumlah bakteri = rata-rata jumlah koloni x faktor pengencer. Analisis Kuantitatif Total Salmonella (APHA, 1992). Analisa pendugaan Salmonella dilakukan terlebih dahulu melalui tahap perbanyakan dengan medium Selenite Sistein Broth (SCB) kemudian sebanyak 10 ml sampel dipipet secara aseptis ke dalam 90 ml SCB, lalu diinkubasi selama 12-16 jam. Proses selanjutnya adalah penggoresan pada cawan Petri steril yang telah berisi medium Salmonella Shigella Agar (SSA), kemudian cawan tersebut diinkubasi pada suhu 30oC selama satu hari. Jika terdapat koloni bening yang terpisah dengan atau tanpa bintik hitam, maka dilakukan pengujian lebih lanjut yang dilakukan adalah uji Triple Sugar Iron (TSI) dan Sugar Indole Motility (SIM). Penetapan Cemaran Logam Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) (BSN, 2009). Sampel sebanyak 5-10 g ditimbang ke dalam cawan porselin/kuarsa/platina (m). Cawan yang berisi sampel dimasukkan dalam penangas listrik dan dipanaskan secara bertahap hingga sampel menjadi arang dan tidak berasap lagi (ditambahkan juga 10 ml MgNO3, 6H2O 10% dalam alkohol untuk mempercepat pengabuan). Pengabuan dilakukan dalam tanur (500 ± 50) oC hingga abu berwarna putih, bebas dari karbon. Apabila abu belum bebas dari karbon yang ditandai dengan warna keabu-abuan, dibasahkan terlebih dahulu dengan beberapa tetes air dan ditambahkan HNO3 pekat kira-kira 0,5-3 ml. Cawan dikeringkan diatas penangas listrik dan dimasukkan kembali ke dalam tanur pada suhu 500oC dan dilanjutkan pemanasan hingga abu berwarna putih. Dilarutkan abu yang sudah berwarna putih dalam 5 ml HCl 6 N atau 5 ml HNO3 1 N sambil dipanaskan di atas penangas listrik atau penangas air selama 2-3 menit dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml, kemudian ditambahkan air suling (v) hingga mencapai tanda garis. Larutan blanko disiapkan dengan 21
penambahan pereaksi, lalu dibaca absorbans larutan baku kerja dan larutan sampel terhadap blanko menggunakan SSA pada panjang gelombang maksimum sekitar 324 nm untuk Cu dan 283 nm untuk Pb. Kurva kalibrasi dibuat antara konsentrasi logam (µg/ml) sebagai sumbu X dan absorbans sebagai sumbu Y. Hasil pembacaan larutan sampel diplotkan terhadap kurva kalibrasi dan dihitung kandungan logam dalam sampel. Kandungan logam dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut : Kandungan logam (mg/kg) = Keterangan : C adalah konsentrasi logam dari kurva kalibrasi (μg/ml) V adalah volume larutan akhir (ml) M adalah bobot contoh (g) Penetapan Cemaran Logam Timah (Sn) (BSN, 2009). Sampel sebanyak 10-20 g sampel ditimbang ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml, lalu ditambahkan 30 ml HNO3 pekat dan dibiarkan selama 15 menit. Campuran tersebut dipanaskan perlahan dan dihindari terjadinya percikan yang berlebihan. Pemanasan dilakukan hingga volume 3-6 ml atau sampel mulai kering pada bagian bawahnya dan hindari terbentuknya arang, labu Erlenmeyer dikeluarkan dari penangas air dan ditambahkan 25 ml HCl pekat dan dipanaskan selama 15 menit sampai letupan dari uap Cl2 berhenti. Pemanasan ditingkatkan dan dididihkan hingga sisa volume kurang lebih 10-15 ml. Ditambahkan 1,0 ml KCl, didinginkan pada temperatur ruang, ditera dengan air dan disaring. Disiapkan larutan blanko dengan penambahan pereaksi. Absorbans larutan baku kerja dan larutan sampel terhadap blanko menggunakan SSA dibaca pada panjang gelombang maksimum 235,5 nm dengan nyala oksidasi N2O-C2H2. Dibuat kurva kalibrasi antara konsentrasi Sn (µg/ml) sebagai sumbu X dan absorbans sebagai sumbu Y. Hasil pembacaan larutan sampel terhadap kurva kalibrasi disesuaikan dengan standar yang diperoleh. Kandungan Sn dalam sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut : Kandungan Sn (mg/kg) = keterangan : C adalah konsentrasi logam dari kurva kalibrasi (μg/ml) V adalah volume larutan akhir (ml) 22
M adalah bobot contoh (g) Pengujian Raksa (Hg) (BSN, 2009). Sampel 5 g (m) ditimbang ke dalam labu ekstruksi dan ditambahkan 25 ml H2SO4 18 N, 20 ml HNO3 7 N, 1 ml larutan natrium molibdat 2% dan 5 batu didih sampai dengan 6 batu didih. Labu destruksi dihubungkan dengan pendingin dan dipanaskan di atas penangas listrik selama 1 jam, setelah itu dihentikan pemanasan, dibiarkan selama 15 menit, lalu ditambahkan 20 ml HNO3 : HClO4 (1 : 1) melalui pendingin. Aliran air pada pendingin dihentikan dan dipanaskan dengan panas tinggi sehingga timbul uap putih. Pemanasan dilanjutkan selama 10 menit kemudian didinginkan. Air sebanyak 10 ml ditambahkan melalui pendingin dengan hati-hati sambil digoyangkan dan dididihkan lagi selama 10 menit. Pemanas dimatikan dan pendingin dicuci dengan 15 ml air suling sebanyak 3 kali, kemudian didinginkan sampai suhu kamar. Larutan destruksi sampel dipindahkan ke dalam labu ukur 100 ml secara kuantitatif dan diencerkan dengan air suling sampai tanda garis. Larutan tersebut diambil menggunakan pipet sebanyak 25 ml ke dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan larutan pengencer sampai tanda garis. Larutan blanko dengan penambahan pereaksi yang sama seperti contoh disiapkan dan ditambahkan larutan pereduksi ke dalam larutan baku kerja Hg, larutan sampel dan larutan blanko pada alat “HVG”. Absorbans larutan baku kerja, larutan sampel dan larutan blanko dapat dibaca menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) tanpa nyala pada panjang gelombang 253,7 nm. Kurva kalibrasi dapat dibuat dengan konsentrasi Hg (μg/ml) sebagai sumbu X dan absorbans sebagai sumbu Y dan hasil pembacaan larutan sampel diplotkan terhadap kurva kalibrasi. Pengerjaan dilakukaan secara duplo dan kandungan Hg dalam sampel dapat dihitung dengan rumus berikut : Kandungan Hg (mg/kg) = Keterangan : C adalah konsentrasi Hg dari kurva kalibrasi (μg/ml) V adalah volume larutan akhir (ml) M adalah bobot contoh (g) Fp adalah faktor pengenceran
23
Pengujian Arsen (As). Sebanyak ± 1 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer ukuran 125 ml atau 100 ml, kemudian ditambahkan 5 ml HNO3 dan didiamkan pada suhu ruang di ruang asam. Sampel dipanaskan di atas hot plate dengan suhu rendah selama 4-6 jam masih dalam ruang asam, kemudian sampel ditutup dan dibiarkan semalam. Sebanyak 0,4 ml H2SO4 ditambahkan ke dalam sampel, lalu dipanaskan di atas hot plate sampai larutan berkurang (lebih pekat), biasanya ± 1 jam. Sampel ditambahkan kembali dengan larutan campuran HClO4 dan HNO3 dengan perbandingan 2:1 sebanyak 2-3 tetes. Sampel masih tetap berada di atas hot plate hingga terjadi perubahan warna dari coklat menjadi kuning tua kemudian kuning muda. Pemanasan dilanjutkan selama 10-15 menit setelah terjadi perubahan warna. Sampel dipindahkan dari atas hot plate. Sebanyak 2 ml aquades dan 0,6 ml HCl ditambahkan pada sampel yang telah didinginkan terlebih dahulu. Sampel kembali dipanaskan selama ± 15 menit agar larut dengan baik, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Sampel yang mengandung endapan disaring dengan glass wool. Hasil pengabuan basah kemudian dianalisis menggunakan AAS untuk analisis arsen (As).
24
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Unit Pengolahan Susu PT D-Farm Agriprima Riwayat Perusahaan PT D-Farm Agriprima adalah unit pengolahan susu yang merupakan unit teaching industry di bawah Bagian Teknologi Hasil Ternak (THT) Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang memiliki kegiatan penanganan dan pengolahan susu segar, pelayanan praktikum, penelitian, kunjungan, pelatihan dan pendampingan kepada masyarakat. Unit Pengolahan Susu D-Farm memulai kegiatannya sejak kepindahan kampus Fakultas Peternakan IPB ke Darmaga dari Gunung Gede yaitu pada tahun 1994. Lokasi Perusahaan Lokasi Unit Pengolahan Susu D-Farm untuk menghasilkan produk olahan susu FAPET berada di Jl. Kayu Manis Laboratorium Lapang A Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ruangan pabrik terdiri atas ruang penerimaan dan uji kualitas susu, ruang penyimpanan susu, ruang pengolahan, ruang pengemasan, ruang cuci, gudang produk dan bahan produksi, serta terdapat satu buah kamar mandi yang berada di bagian luar pabrik. Pabrik pengolahan mempunyai sarana dan perlengkapan pengolahan untuk menunjang proses produksi berlangsung. Denah lokasi pabrik PT D-Farm Agriprima dapat dilihat pada Lampiran 3. Aspek Organisasi, Manajemen dan Ketenagakerjaan PT D-Farm Agriprima PT D-Farm Agriprima sebagai operator berbentuk perseroan terbatas dengan status pemodal dalam negeri. PT D-Farm Agriprima sudah memperoleh perizinan sebagai berikut: 1. Akta Notaris Pendirian Perseroan Terbatas “PT D-Farm Agriprima” dari Notaris Ny. Natalia Lini Handayani, SH No.30 tanggal 12 Mei 2009 2. Surat Keterangan Usaha No. 503/23/V/2009 Tanggal 27 Mei 2009 dari Desa Babakan Kecamatan Dramaga 3. Surat
Izin
Usaha
Perdagangan
(SIUP–Mikro)
No.
0411/10-
20/Pm/P0/VI/2009 tanggal 22 Juni 2009 dari Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor
25
4. Tanda Daftar Industri No. 535.3/006/0007/BPT/2009 tanggal 25 Juni 2009 dari Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor 5. Tanda Daftar Perusahaan PT No. 10.20.1.15.00419 Tanggal 9 Juli 2009 dari Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor 6. SK Menteri Hukum dan HAM Nomor :AHU-37384.AH.01.01. Tahun 2009 Struktur Organisasi Unit Usaha Pengolahan Susu terdiri atas penanggung jawab, bendahara dan anggota. Struktur Organisasi PT D-Farm Agriprima dikepalai oleh seorang direktur yang membawahi empat divisi, yaitu Divisi Administrasi (Adm. Keuangan, Penjualan dan Kantor), Divisi Distribusi dan Pemasaran, Divisi Produksi serta Divisi Logistik. Status tenaga kerja terdiri atas pegawai tetap PT DFarm Agriprima, pegawai harian (juga sebagai tenaga honorer laboratorium IPB), dan tim unit pengolahan susu (Status PNS). Tim Unit Pengolahan Susu merupakan petugas yang melakukan pendampingan dan melakukan supervisi seluruh kegiatan PT D-Farm Agriprima. Tim tersebut dibawah koordinasi Kepala Bagian THT Fapet IPB beranggotakan tiga orang staff Bagian THT Fapet IPB. Peternakan Eco Farm Eco Farm merupakan salah satu peternakan sapi perah yang terletak di Jl. Kayu Manis Laboratorium Kandang Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Eco Farm mulai berdiri pada tahun 2003 yang terbentuk atas bantuan dana dari Departemen Pertanian dengan 20 ekor sapi perah Fries Holland (FH) serta fasilitasnya. Luasan kandang Eco Farm yaitu sekitar 8 x 20 m2 dan memiliki kebun rumput seluas 2 ha. Eco Farm memasarkan hasil produksinya berupa susu segar ke PT D-Farm Agriprima sebanyak 60 liter. Selain itu pihak peternakan juga menyalurkan susu ke lembaga lain dan biasanya juga melayani konsumen yang langsung datang ke peternakan. Eco Farm merupakan unit budidaya sapi perah di Fakultas Peternakan yang berada di bawah pengawasan Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Struktur organisasi Eco Farm terdiri atas penanggung jawab, unit pelaksana teknis, pengolahan dan pemasaran. Pihak Eco Farm setiap bulannya memberikan laporan kondisi, perkembangan serta administrasi pada pihak penanggung jawab, kemudian penanggung jawab memberikan laporan lanjutan kepada Dekan Fakultas Peternakan IPB. Jumlah karyawan di peternakan ini yaitu sebanyak sepuluh orang termasuk satu orang sebagai unit pelaksana teknis. Karyawan ditempatkan pada 26
beberapa bagian yaitu tiga orang di bagian kandang, dua orang pengambil rumput, satu orang di bagian kebun dan dua orang di bagian pengolahan. Jam kerja karyawan yaitu pada hari Senin sampai Jumat dimulai dari pukul 08.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. Khusus untuk bagian kandang, rumput dan kebun biasanya bekerja lebih pagi karena pelaksanaan perkandangan dan pemerahan harus dilaksanakan sejak pagi sekitar pukul 05.30 WIB setiap hari. Koperasi Wirausaha Indonesia (KWI) Koperasi Wirausaha Indonesia (KWI) merupakan salah satu koperasi yang bergerak dibidang pembibitan sapi perah. KWI bekerjasama dengan Fakultas Peternakan untuk mengelola pembibitan sapi perah. Fakultas Peternakan berhasil mendapatkan dana dari Departemen Koperasi untuk pengelolaan peternakan sapi perah, yang dalam pelaksanaan penyalurannya harus melalui koperasi. Berdasarkan akte pengesahan tanggal 25 Mei 1999 No Pengesahan 350/BH/KDK.105/VI/1999 alamat koperasi berada di Kampus Dalam Kp Cangkurawok Desa Babakan Lebak Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat. Bentuk kerjasama diwujudkan dengan pemberian izin penggunaan lokasi pembibitan sapi perah di laboratorium lapang B Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sapi perah yang dikelola KWI merupakan bangsa FH yang berasal dari Australia sebanyak 40 ekor. Perbedaan iklim dan manajemen pemeliharaan menyebabkan beberapa ekor sapi kurang bisa beradaptasi dengan baik sehingga jumlah sapi menurun dan tersisa sebanyak 26 ekor. Jumlah sapi yang dapat diperah sebanyak 21 ekor dan sapi bunting sebanyak 5 ekor. Jumlah rata-rata total produksi susu kandang sebanyak 160 liter/hari. Susu di pasarkan ke D-Farm Agriprima setiap pagi dan sore dengan total sebanyak 100 liter, selain itu KWI juga melayani konsumen yang langsung datang ke peternakan dan konsumen yang berada di luar peternakan. Struktur kepengurusan KWI terdiri atas ketua, sekretaris dan bendahara. Jumlah karyawan dari KWI yaitu sebanyak dua belas orang yang terdiri atas satu orang operasional manager, satu orang kepala kandang, dua orang staf administrasi, satu orang akunting, dua orang tenaga kebun rumput, dua orang security dan tiga orang tenaga kandang. Setiap bulan KWI memberikan laporan kepada Dekan Fakultas
Peternakan
berupa
perkembangan
program
dan
laporan
pertanggungjawaban tersebut oleh pihak Fakultas Peternakan dilanjutkan kepada Kementerian Koperasi setiap tiga bulan sekali.
27
HASIL DAN PEMBAHASAN Aplikasi Good Farming Practices (GFP) di Peternakan Sapi Perah Good Farming Practices (GFP) merupakan cara beternak yang baik dan benar, yang memperhatikan
lingkungan
dan
memenuhi
standar
minimal
sanitasi
dan
kesejahteraan ternak. GFP juga termasuk di dalamnya aturan yang berlaku terhadap lingkungan, higienitas atau sanitasi, kesejahteraan ternak, identifikasi dan registrasi ternak serta kesehatan ternak. Peternakan Eco Farm dan KWI merupakan peternakan pemasok susu segar ke unit pengolahan susu PT D-Farm Agriprima. Peternakan yang merupakan pemasok susu kepada unit pengolahan harus memperhatikan kualitas susu yang dihasilkan, baik secara fisik, biologi dan kimia, yang akan diperoleh dengan cara menerapkan teknis pelaksanaan beternak yang baik dan benar atau yang dikenal dengan Good Farming Practices (GFP). Aspek-aspek utama GFP yang dimiliki meliputi bangunan dan fasilitas, manajemen pakan, sumber daya manusia (SDM), proses pemerahan dan manajemen peternakan. Hasil penilaian aplikasi GFP pada kedua peternakan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Penilaian Aplikasi GFP pada Peternakan Pemasok Susu No. a. b. c. d. e. *)
Aspek Bangunan dan Fasilitas Peternakan Manajemen Pakan Sumber Daya Manusia Proses Pemerahan Manajemen Peternakan
Total Nilai (%)*) Peternakan Koperasi Wirausaha Eco Farm Indonesia 65,08 72,22 87,50 89,28 75,61 85,36 64,81 85,18 42,42 56,06
Perhitungan perolehan persentase nilai dapat dilihat pada Lampiran 1
Bangunan dan Fasilitas Peternakan Peternakan sapi perah Eco Farm maupun KWI berlokasi di Jl. Kayu Manis Laboratorium Lapang A Fakultas Peternakan. Pada Laboratorium Lapang A Fakultas Peternakan, selain peternakan sapi perah Eco Farm dan terdapat pula kandang untuk sapi pedaging, kandang untuk ternak ruminansia kecil (domba, kambing dan kelinci), unit pengolahan limbah, kandang untuk ternak unggas dan rumah pemotongan hewan. Sebelah barat Peternakan Eco Farm ini terdapat peternakan sapi perah dari Bagian Ilmu Produksi Ternak Perah Fakultas Peternakan IPB dan unit pengolahan
28
susu PT D-Farm Agriprima, di bagian selatan berbatasan dengan Rumah Pemotongan Hewan ‘ELDERS’, kandang untuk kambing dan kandang untuk sapi pedaging. Bagian utara Eco Farm terdapat kandang untuk domba penelitian yang sudah tidak digunakan. Bagian timur Eco Farm berbatasan dengan jalan dan kebun rumput. Pada area perkandangan terdapat ruangan khusus untuk para karyawan beristirahat, serta gudang pakan. Peternakan ini mempunyai tempat pembuangan dan pengolahan limbah yang terpisah dengan konstruksi kandang sapi perah yang berada tepat di samping peternakan (Gambar 1). Peternakan Eco Farm berada jauh dari pemukiman dan kegiatan industri, tetapi di sekitar lokasi terdapat tempat tinggal milik pegawai IPB.
Gambar 1. Bangunan Kandang di Eco Farm (Tampak Depan) KWI memiliki fasilitas seperti terdapatnya tempat tinggal khusus karyawan (mess), bangunan untuk ruang istirahat bagi karyawan dan satpam, milking palor (area proses pemerahan), tempat pembuangan dan pengolahan limbah yang berada di bagian belakang lokasi peternakan (Gambar 2). KWI berada jauh dari pemukiman dan kegiatan industri sekitar 20 m. Menurut Direktorat Jenderal Perternakan (2009) jarak kandang dengan bangunan umum dan perumahan minimal 10 m.
29
(b)
(a)
Gambar 2. Bangunan Kandang di KWI (a) Tampak Depan dan (b) Tampak Samping Bahan bangunan yang digunakan tidak menjadi sumber kontaminasi baik kimia ataupun fisik. Bahan yang digunakan pada peternakan Eco Farm dan KWI yaitu semen, batu bata, atap genting, atap asbes, baja tahan karat. Peralatan yang digunakan merupakan milik peternakan Eco Farm dan KWI yang dikelola oleh masing-masing peternakan dan selalu dijaga dalam keadaan bersih. Penggunaan peralatan peternakan secara bersama-sama dengan peternakan lain itu akan menimbulkan resiko penyebaran penyakit akibat tidak menjaga santasi dari peralatan tersebut. Tempat pakan dan minum merupakan salah satu perlengkapan yang penting dalam kandang ternak perah. Tempat pakan yang baik harus memenuhi ketentuan bahwa sapi dapat makan dengan leluasa tidak terganggu oleh sapi lain, tempat pakan tidak boleh terlalu tinggi atau terlalu rendah, sehingga memudahkan sapi pada saat hendak makan dan pakanpun dapat terlihat dengan jelas (Dinas Peternakan, 2009). Peternakan Eco Farm mempunyai tempat pakan dan minum bagi ternak yang masih berbentuk sudut, belum memiliki saluran pembuangan pakan, memiliki saluran air yang langsung mengalir pada masing-masing tempat air. Terdapat dua palungan yang dimanfaatkan untuk tempat pakan dan tempat air (Gambar 3). Pembersihan tempat pakan dan air minum menggunakan peralatan ember, sapu atau sekop dengan cara sisa-sisa pakan diangkat langsung dan dibuang dari palungan tersebut.
30
Gambar 3. Bentuk Tempat Pakan di Eco Farm KWI mempunyai tempat pakan yang lebih sesuai dan tidak membentuk sudut, berbentuk panjang mengikuti luasan kandang tanpa terdapatnya sekat-sekat, hanya terdapat satu palungan yang digunakan secara bergantian dengan tempat air. Pemberian pakan dilakukan terlebih dahulu, kemudian digunakan untuk pemberian air minum. Direktorat Jendral Perternakan (2006) menyatakan bahwa harus terdapat tempat khusus untuk minum yang diberikan secara tidak terbatas atau ad libitum. Tempat pakan harus mudah dibersihkan, permukaannya halus, tidak membuat pakan mudah berhamburan, bentuk yang disarankan adalah bentuk cekung (Dinas Peternakan, 2009). Tempat pakan dan minum pada kedua peternakan ini dibuat di bagian samping kandang tetapi masih di bawah atap (Gambar 4). Tempat pakan dibuat agak lebih tinggi agar pakan tidak dapat diinjak-injak atau tercampur oleh kotoran. (a)
(b)
Gambar 4. Bentuk Tempat Pakan di KWI (a) saat Pemberian Hijauan dan (b) Pemberian Air Minum
31
Pembatas lingkungan pada Peternakan Eco Farm dan KWI yaitu berupa pagar yang berfungsi untuk mencegah masuknya : hewan pengganggu, orang-orang yang tidak berkepentingan, ternak tidak keluar dari area peternakan. Pagar pembatas di sekeliling peternakan ini belum menjamin keamanan ternak dari hewan non ternak dan pengganggu. Pagar pembatas antar kandang terbuat dari bahan yang kuat dan menjamin hewan karantina tidak lepas serta dilengkapi dengan pintu. Air pembersih kandang dan air untuk memandikan sapi harus mudah mengalir menuju ke bak penampungan, maka lantai bagian belakang dan di sekeliling kandang harus dilengkapi parit dengan ukuran lebar 20 cm dan kedalaman 15 cm. Peternakan Eco Farm dan KWI memiliki selokan/saluran pembuangan kotorang di dalam kandang yang terdapat di bagian tengah kandang. Tujuannya, agar pekerja mudah membersihkan kotoran dan urin sapi. Limbah ternak harus tersalur dengan baik pada bak-bak penampungan limbah. Saluran pembuangan ini kurang berfungsi dengan baik bila rumput dan ilalang di sekitar selokan atau saluran pembuangan menutup saluran, sehingga perlu pembersihan secara berkala. Sistem pembuangan limbah cair (urin, sisa air untuk membersihkan kandang) pada peternakan Eco Farm disalurkan melalui selokan menuju bak penampungan, sedangkan limbah padat (sisa hijauan, feses sapi) diangkut dengan gerobak khusus pengangkut kotoran dan ditimbun di tempat pengelolaan limbah (Gambar 5). Limbah padat ini digunakan untuk pemupukan tanaman dengan cara dikeringkan terlebih dahulu.
Gambar 5. Pengelolaan Limbah Padat di Eco Farm
32
Baik limbah cair dan padat di KWI dialirkan melalui selokan menuju bak penampungan pada bak penampungan tersebut dipisahkan antara limbah cair dan padat. Limbah cair langsung dialirkan menuju lahan rumput untuk pemupukan, sedangkan limbah padat dikumpulkan untuk dikeringkan dan dijadikan sebagai pupuk.
Gambar 6. Pengelolaan Limbah Padat dan Limbah Cair (tanda Panah) di KWI Peternakan Eco Farm memiliki luas lahan peternakan yang sesuai dengan jumlah ternak dan kandang mempunyai ventilasi yang cukup. Kandang yang berada di peternakan ini merupakan kandang individu dengan ukuran untuk setiap sapi adalah 2,5x1,5 m. Tipe ini dapat memacu pertumbuhan lebih pesat, karena tidak terjadi kompetisi dalam mendapatkan pakan dan memiliki ruang gerak terbatas. Kandang pada peternakan tipe ganda, sedangkan ternak ditempatkan secara tail to tail yaitu penempatan ternak dilakukan pada dua jajaran saling bertolak belakang, diantara kedua jajaran tersebut terdapat jalur untuk jalan. Dinding kandang tidak tertutup seluruhnya, dibuat terbuka sebagian agar sirkulasi udara di dalam kandang cukup dan lancar. Bahan yang digunakan sebagai dinding berupa tembok beton. Dinding kandang sekaligus digunakan batas empat minum dan pakan yang dibuat dengan ukuran ketinggian 0,5 hingga 1 meter dari permukaan tanah. Menurut Sudono et al. (2003), kandang sapi perah yang baik adalah kandang yang sesuai dan memenuhi persyaratan kebutuhan. Keputusan Menteri Pertanian (2010) beberapa persyaratan yang sesuai dan diperlukan dalam mendirikan kandang antara lain (1) memenuhi persyaratan kesehatan ternak, (2) mempunyai ventilasi yang baik, (3) efisien dalam pengelolaan (4) melindungi ternak dari pengaruh iklim dan
keamanan seperti pencurian (5) serta tidak berdampak buruk terhadap
lingkungan sekitarnya. Persyaratan umum kandang untuk sapi perah yaitu sirkulasi 33
udara yang cukup dan mendapat sinar matahari sehingga kandang tidak lembab (kelembaban yang ideal dibutuhkan sapi perah adalah 60-70%), lantai kandang selalu kering, tempat pakan yang lebar dan tempat air dibuat agar air selalu tersedia sepanjang hari. Kandang yang berada di KWI bertipe ganda, namun penempatan sapi dilakukan pada satu baris atau satu jajaran. Satu ekor sapi memerlukan tempat yang lebih luas daripada kandang individu. Kelemahan tipe kandang ini yaitu terjadi kompetisi dalam mendapatkan pakan sehingga sapi yang lebih kuat cenderung cepat tumbuh daripada yang lemah, karena lebih banyak mendapatkan pakan. Ventilasi kandang diperoleh dari bentuk dinding kandng yang terbuka. Dinding kandang tidak tertutup seluruhnya, dibuat terbuka sebagian agar sirkulasi udara di dalam kandang cukup dan lancar. Bahan yang digunakan sebagai dinding bisa berupa tembok beton, sama seperti pada peternakan Eco Farm. Sukmawati dan Kaharudin (2010) menyatakan, bahwa konstruksi kandang harus kuat dan tahan lama, penataan dan perlengkapan kandang hendaknya dapat memberikan kenyamanan kerja bagi petugas dalam proses produksi seperti, pemberian pakan, pembersihan, pemeriksaan dan penanganan kesehatan. Bentuk dan tipe kandang hendaknya disesuaikan dengan lokasi berdasarkan agroklimat, pola atau tujuan pemeliharaan dan kondisi fisiologis ternak. Ventilasi harus berfungsi dengan baik sehingga keluar ataupun masuknya udara dari dalam dan luar kandang berjalan sempurna. Pengaturan ventilasi yang sempurna berarti memperlancar pergantian udara di dalam kandang yang kotor dengan udara yang bersih dari luar. Jika ventilasi sempurna, maka ruangan kandang tidak pengap, lembab, kotor, berbau dan panas. Pengaturan ventilasi yang baik merupakan kunci dalam menciptakan kondisi ruangan kandang yang sehat. Peternakan Eco Farm memiliki lantai yang terbuat dari semen dan dibuat miring sehingga memudahkan dalam membersihkan dari kotoran sapi. Pembersihan kandang biasanya hanya dilakukan dua kali sebelum proses pemerahan. Peternakan KWI juga memiliki lantai yang terbuat dari semen dan dibuat dengan kemiringan kurang lebih 5%, lantai yang dibuat miring memudahkan air mengalir sehingga lantai terjaga selalu kering. Tingkat kemiringan lantai tidak boleh lebih dari 5% artinya perbedaan tinggi antara lantai depan dengan lantai belakang pada setiap panjang
34
lantai 1 meter tidak boleh lebih dari 5 cm (Direktorat Jenderal Peternakan, 2008). Kemiringan yang terlalu tinggi akan mempersulit ternak dalam menopang tubuhnya, licin sehingga beresiko mencelakakan ternak maupun pekerja dalam menangani sapid an lingkungannya. Peternakan sapi perah di KWI menyediakan alas kandang yang terbuat dari karet yang memberikan keuntungan berupa kebersihan kandang karena bahan tersebut membantu menyerap air sehingga lantai kandang selalu kering, mencegah luka pada kulit sapi, mencegah sapi terpeleset karena dapat berdiri dengan baik dan mencegah infeksi puting yang menyebabkan mastitis. Direktorat Jenderal Peternakan (2009) menyatakan, bahwa lantai kandang harus diusahakan tetap bersih guna mencegah timbulnya berbagai penyakit. Lantai terbuat dari tanah padat atau semen, sehingga mudah dibersihkan dari kotoran sapi. Lantai tanah dialasi dengan jerami kering yang berfungsi pula sebagai alas kandang yang hangat. (a)
(b)
Gambar 7. Lantai Kandang pada Peternakan Eco Farm (a) dan KWI (b) Kandang isolasi sapi digunakan untuk memisahkan sapi-sapi yang diduga terserang penyakit agar sapi lain tidak tertular. Kandang isolasi ini letaknya harus terpisah dari kandang-kandang sapi yang sehat. Tujuannya adalah agar infeksi penyakit yang diderita tidak mudah menular pada kelompok sapi yang sehat dan penderita sendiri tidak terganggu oleh kelompok sapi yang sehat. Kandang isolasi ini biasanya digunakan juga sebagai tempat karantina sapi yang baru datang dari luar wilayah peternakan agar ternak tersebut dapat beradaptasi dengan kandang yang baru.
Peternakan Eco Farm belum memiliki kandang isolasi, untuk KWI telah
memiliki kandang isolasi yang berfungsi untuk memisahkan kandang bagi ternak yang sakit dari ternak yang sehat. Persyaratan kandang untuk keperluan pengamatan 35
intensif dan perawatan hewan sakit diperlukan kandang isolasi yang terpisah dari kandang pengamatan yang minimal berjarak 25 meter, tersedia ruang peralatan kesehatan dan obat-obatan serta peralatan laboratorium, spesifikasi kandang seperti kandang pemeliharaan, jauh dari aliran sungai tapi mudah dijangkau baik oleh tenaga kerja, ternak/angkutannya, luas kandang isolasi minimal 2% dari total luas kandang pengamatan (Badan Karantina Pertanian, 2006). Pemerahan pada Peternakan Eco Farm dan KWI langsung dilakukan di kandang dengan membersihkan terlebih dahulu daerah kandang tersebut. Tempat pemerahan secara khusus atau sistem untuk memfasilitasi pemerahan belum dimiliki Peternakan Eco Farm. Pada KWI sudah terdapat fasilitas tempat pemerahan secara khusus lengkap dengan mesin pemerahan otomatis dengan system walk through, hanya saja belum bisa dioperasikan karena kurangnya pasokan listrik yang mengalir pada peternakan tersebut. Aktivitas pemerahan pada KWI berlangsung di dalam kandang, sapi-sapi yang akan diperah tetap terikat ditempatnya.
Gambar 8. Fasilitas Pemerahan Otomatis dengan Sistem Walk Through di KWI Desain kandang Peternakan Eco Farm dan KWI, keduanya dibuat untuk mudah dalam pembersihan dan didesinfeksi. Kandang yang mudah untuk dibersihkan akan mengurangi resiko kontaminasi pada susu saat dilakukan proses pemerahan. Kandang dan lingkungan peternakan cukup bersih dan cukup terbebas dari genangan air. Genangan air merupakan tempat yang sesuai untuk berkembang biak mikroba dan dapat membantu penyebaran penyakit. Pengunjung peternakan seperti pekerja, petugas kesehatan berpotensi membawa penyakit ke dalam peternakan, maka harus terdapat area disinfeksi. Pada peternakan Eco Farm dan
36
peternakan KWI area disinfeksi ini belum tersedia, sehingga lalu lintas pengunjung dari luar peternakan harus betul-betul dikendalikan. Hasil penilaian aspek bangunan dan fasilitas pada peternakan Eco Farm sebesar 65,08%. Beberapa hal yang belum memenuhi dan mencukupi kesesuaian kondisi peternakan Eco Farm dengan GFP diantaranya adalah belum terdapatnya kandang isolasi, tidak terdapatnya alas kandang khusus bagi ternak, belum terdapatnya kandang khusus pemerahan dan bentuk tempat pakan yang masih berbentuk sudut. Hasil penilaian aspek bangunan dan fasilitas pada peternakan KWI sebesar 72,22%. Kekurangan yang didapatkan dari KWI diantaranya adalah belum dapat digunakannya kandang khusus pemerahan, juga letak bangunan peternakan dengan pengolahan limbah yang dinilai mempunyai jarak yang dekat yaitu ± 7 m. Manajemen Pakan Pakan merupakan salah satu faktor utama dan penting yang mempengaruhi produksi ternak.
Pakan yang baik juga akan meningkatkan daya tahan ternak
terhadap serangan penyakit ataupun pengaruh lingkungan yang buruk. Kekurangan nutrisi akan menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit tertentu.
Siregar (2007)
menyatakan bahwa pakan merupakan faktor yang sangat menentukan terhadap kemampuan berproduksi susu sapi perah. Pakan yang diberikan oleh peternakan Eco Farm yaitu berupa hijauan, konsentrat komersial dan ampas tahu. Pakan yang diberikan umumnya dua kali dalam sehari, yaitu pagi hari setelah pemerahan sekitar pukul 09.00 WIB dan siang hari sebelum pemerahan sore sekitar pukul 15.00 WIB. Sistem pemberian pakan yaitu pemberian konsentrat terlebih dahulu yang dicampur dengan ampas tahu, selanjutnya hijauan yang diberikan kepada ternak. Pencampuran ini dilakukan secara manual dan harus dilakukan secara merata, tetapi pada kondisi tertentu terdapat pencampuran konsentrat dan ampas tahu yang kurang merata. Pencampuran dilakukan dengan alat bantu berupa cangkul dan sekop. Alat yang digunakan untuk memindahkan pakan dari tempat pencampuran ke bak-bak tempat pakan sapi adalah ember plastik. Direktorat Jenderal Peternakan (2006) menenkankan, bahwa pakan hijauan diberikan 2-3 kali sehari yaitu pagi dan siang sesudah pemerahan. Pakan hijauan diberikan sebanyak 10% dari berat badan. Pakan konsentrat diberikan dalam
37
keadaan kering, sesudah pemerahan 1-2 kali sehari sebanyak 1,5-3,0% dari berat badan.
Gambar 9. Pencampuran Konsentrat dan Ampas Tahu di Peternakan Eco Farm Hijauan yang diberikan yaitu rumput gajah dan rumput lapang yang didapatkan dari kebun Eco Farm.
Lahan rumput tersebut berada di sekitar
lingkungan IPB yang terjaga keamanannya karena tidak dilakukan penyemprotan ataupun pemupukan dengan bahan-bahan berbahaya yang dapat menimbulkan penyakit pada ternak, juga residu pada susu yang dihasilkan. Jumlah hijauan yang diberikan yaitu 35 kg per ekor/hari, konsentrat 5 kg/ekor/hari dan ampas tahu 2 kg/ekor/hari. Aryogi et al. (1994) menyatakan bahwa hijauan lebih penting karena berpengaruh terhadap kadar lemak susu yang dihasilkan. Pakan yang diberikan di KWI yaitu berupa hijauan (30 kg/ekor/hari) dan konsentrat (5 kg/ekor/hari). Pakan yang diberikan pada peternakan ini tiga kali dalam sehari. Siregar (2001) menyatakan, bahwa frekuensi pemberian pakan yang lebih dari dua kali akan dapat meningkatkan konsumsi bahan kering pakan, kadar lemak susu dan produksi susu. Pagi hari diberikan konsentrat terlebih dahulu setelah proses pemerahan pagi sekitar pukul 08.00 WIB, pemberian hijauan dilakukan sekitar pukul 08.30 WIB. Pemberian pakan konsentrat yang kedua kalinya dilakukan sebelum proses pemerahan sore sekitar pukul 10.30 WIB dan pemberian hijauan dilakukan sekitar pukul 12.00 WIB. Malam harinya sekitar pukul 19.00 WIB hanya diberikan hijauan saja.
Menurut Rachmawan (2001), pakan konsentrat yang
diberikan terlebih dahulu dimaksudkan agar nutrien dalam konsentrat dapat tercerna dengan mudah serta langsung dimanfaatkan oleh tubuh tanpa harus dirombak atau terdegradasi oleh mikroba rumen yang ada pada sapi. Selain itu pemberian
38
konsentrat dilakukan terlebih dahulu agar sapi dapat mencerna optimal pakan konsentrat karena pakan konsentrat sendiri memiliki palatabilitas yang rendah. Hijauan yang diberikan yaitu rumput gajah dan rumput lapang yang didapatkan dari lahan KWI itu sendiri. Lahan rumput tersebut berada di sekitar lingkungan IPB yang terjaga keamanannya.
(a)
(b)
Gambar 10. Pemberian Pakan (a) Hijauan dan (b) Konsentrat di Peternakan KWI Pakan konsentrat komersial yang dibeli oleh Eco Farm masih belum memiliki label dan belum terdapat pencatatan dari hasil pengamatan visual pada pakan yang masuk. Penilaian kualitas pakan pada proses pembelian oleh Eco Farm didasarkan pada kondisi yang dapat dilihat secara fisik dari pakan, jika terdapat pakan yang berjamur maka akan ditolak, namun hal tersebut belum pernah terjadi. Pemasok selalu memperhatikan persyaratan pakan yang diberikan Eco Farm, sehingga pakan selalu diterima dalam kondisi yang baik dan tidak berjamur. Persyaratan pelabelan pada pakan penting dilakukan agar diketahui komposisi pakan dan terbebas dari residu kimiawi dan bahan pencemar lainnya. Penyimpanan pakan ditempatkan di gudang khusus pakan, sedangkan ampas tahu diletakkan di area kandang sehingga dapat beresiko terhadap tumbuhnya jamur. Hasil penilaian pada aplikasi GFP untuk manajemen pakan pada peternakan Eco Farm adalah sebesar 87,50%. Beberapa aspek yang belum dipenuhi oleh Eco Farm yaitu belum melakukan uji lanjut terhadap pakan yang dapat mengidentifikasi residu terhadap susu dan belum secara berkelanjutan mencatat semua bahan pakan yang masuk.
39
(a)
(b)
(c)
Gambar 11. Penyimpanan Pakan (a) Hijauan dan (b dan c) Konsentrat di Eco Farm Pembelian pakan konsentrat komersial yang berlabel telah dilakukan oleh KWI, pemeriksaan terhadap pakan dilakukan agar pakan yang dibeli tidak tercemar oleh jamur dan dapat menimbulkan penyakit bagi ternak. Penyimpanan pakan ditempatkan pada gudang khusus pakan dalam keadaan tempat yang kering. Hasil penilaian pada aplikasi GFP untuk manajemen pakan pada KWI sebesar 89,28%. Beberapa aspek manajemen pakan di KWI yang belum dipenuhi yaitu belum dilakukan uji lanjut terhadap pakan yang dapat mengakibatkan adanya residu dalam susu.
Gambar 12. Penyimpanan Pakan Konsentrat di KWI Sumber Daya Manusia Berhasilnya suatu usaha peternakan tergantung juga pada sumber daya manusia. Karyawan pada suatu peternakan harus mengetahui semua hal yang berkaitan dengan peternakan, mulai dari pemeliharaan, manajemen pemberian pakan, juga tentang penyakit hewan ternak dan cara penanggulangannya. Pengetahuan mengenai kesehatan ternak merupakan hal yang penting dalam pelaksanaan beternak yang baik dan benar. Secara umum karyawan Eco Farm sudah mengetahui penyakit sapi perah serta cara penanggulangannya, namun peternakan Eco Farm belum memiliki bagian khusus yang memiliki kompetensi dalam menangani ternak yang
40
sakit. Biasanya pengobatan dilakukan secara sederhana dan tradisional, tetapi jika penyakit yang diderita ternak cukup parah maka dikontrol oleh tenaga ahli yang mengetahui mengenai penyakit ternak berasal dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB . Obat-obatan disimpan bersamaan dengan barang lain di gudang penyimpanan. Hasil pengamatan pada aplikasi GFP untuk sumber daya manusia pada peternakan Eco Farm sebesar 75,61%. Beberapa aspek yang belum dipenuhi yaitu belum terdapatnya pencatatan khusus perlakuan terhadap ternak dan pengembangan program manajemen kesehatan ternak belum efektif. Peternakan KWI sudah memiliki bagian khusus kesehatan hewan yaitu bagian reproduksi dan kesehatan hewan yang dipimpin oleh seorang dokter hewan. Pemberian obat-obatan pada sapi yang sakit sudah sesuai dengan dosis yang ditentukan dan diberikan petugas kesehatan. Karyawan KWI secara umum sudah mengetahui penyakit sapi perah serta cara penanggulangannya. Penyimpanan obatobatan ditempatkan di dalam kotak khusus yang ditempatkan di dalam gudang penyimpanan obat-obatan. Hasil penilaian pada aplikasi GFP untuk sumber daya manusia pada peternakan KWI adalah sebesar 85,36%. Beberapa aspek yang belum terpenuhi yaitu karyawan di KWI belum sepenuhnya melakukan recording dengan mencatat perlakuan yang diberikan terhadap setiap ternaknya.
Gambar 13. Penyimpanan Obat-obatan yang tidak Memerlukan Pendingin di KWI Kebersihan karyawan di peternakan ini harus terjaga dengan baik dan memperhatikan aspek sanitasi dan higien. Karyawan harus terbebas dari penyakit kulit atau penyakit menular lainnya. Tindak-tanduk karyawan mampu mengurangi dan mencegah kontaminasi baik dari mikroba maupun benda asing lainnya seperti sebelum pekerja/tamu masuk ke dalam kandang mencuci tangan menggunakan
41
sabun, menggunakan baju khusus untuk bekerja, menggunakan alas kaki (sandal/sepatu boots) khusus untuk masuk ke dalam kandang, celup alas kaki dalam desinfektan (Antisep, Medisep). Hal-hal sederhana itu sebenarnya juga dapat meminimalkan terjadinya penularan penyakit. Proses Pemerahan Persiapan pemerahan yang perlu diperhatikan oleh para petugas antara lain adalah
menenangkan
sapi
yang
akan
diperah,
membersihkan
kandang,
membersihkan bagian tubuh bagi sapi yang akan diperah, mengikat sapi dan pencucian tangan petugas. Peralatan peternakan Eco Farm yang digunakan dalam kondisi yang cukup bersih dan cukup baik, namun pada saat pemerahan berlangsung peralatan yang akan digunakan atau sedang digunakan selalu dikelilingi lalat atau serangga pengganggu lainnya. Peralatan pemerahan yang digunakan di peternakan Eco Farm berupa milk can, saringan, ember dan mangkuk kuarter. Proses pemerahan dimulai dengan memandikan sapi secara satu persatu dan dilakukan pemerahan secara manual oleh petugas kandang, yang sebelumnya puting ternak tersebut diberi margarin. Saputro (2009) mengatakan, bahwa pelicin berupa margarin atau minyak kelapa bertujuan untuk mempermudah proses pemerahan dan sapi tidak merasa sakit, namun penggunaan pelicin dapat menyebabkan kontaminasi pada susu yang dihasilkan. Selain itu pelicin yang banyak mengandung lemak sering terbawa dalam susu sehingga menyebabkan mudah terjadi ketengikan. Pemerahan awal dilakukan dengan membuang susu perahan pertama pada mangkuk kuarter untuk pemeriksaan susu terkait dengan kesehatan ambing sapi perah adanya gejala mastitis atau tidak.
Proses pemerahan dilaksanakan secara
tuntas dan dilakukan pengukuran volume susu, jika proses pemerahan telah berakhir. Susu yang diperoleh dari hasil pemerahan dimasukkan ke dalam milk can setelah melalui tahap penyaringan. Tujuan penyaringan tidak untuk membersihkan susu kotor, tetapi hanya sebagai penanganan (Soetarno, 2000). Milk can yang telah berisi susu hanya ditutup sebagian karena terhalangi oleh penyaring, hal ini mengakibat milk can mudah untuk dihinggapi lalat. Hasil pengamatan pada aplikasi GFP untuk proses pemerahan pada peternakan Eco Farm sebesar 64,81%. Beberapa aspek yang belum dilakukan oleh KWI, seperti tidak adanya pembersihan ambing dengan air hangat, tidak dilakukan pre-dipping dan post dipping. Jika tidak melaksanakan 42
sucihama puting, mikroba dapat masuk ke dalam puting, sehingga beresiko pada berjangkitnya mastitis pada induk sapi perah. Direktorat Jenderal Peternakan (2009) menyatakan, bahwa keuntungan melakukan sucihama puting dapat terhindar dari mastitis. Proses pemerahan sapi perah di peternakan KWI dimulai dengan membersihkan ambing menggunakan air hangat agar merangsang pengeluaran susu. Sudono (1999) menyatakan, bahwa sebelum sapi diperah, kandang tempat sapi harus dibersihkan dan dihilangkan dari bau, baik yang berasal dari kotoran sapi maupun dari makanan atau hijauan yang berbau atau silage karena air susu mudah sekali menyerap bau-bauan yang dapat mempengaruhi kualitas susu. Pemerahan awal dilakukan dengan membuang pancaran susu perahan pertama hingga ketiga, lalu dilakukan pengolesan vaselin. Menurut Hidayat et al., (2002) penggunaan vaselin pada proses pemerahan akan menutupi permukaan puting. Bila terus menerus menggunakan pelicin (vaselin), maka penularan penyakit sulit untuk dihindari, sehingga sebaiknya vaselin tidak digunakan lagi. (a)
(b)
Gambar 14. Pembersihan (a) Kandang dan (b) Ambing dan Puting Sapi sebelum Pemerahan di Peternakan KWI Pemerahan dilakukan secara tuntas secara manual oleh petugas kandang, mengikuti kaidah pemerahan yang benar dengan full hand dan diakhiri dengan srtipping. Pemerahan dengan cara menarik puting susu dari atas ke bawah dapat membuat puting susu melar dan menjadi panjang ke bawah (Siregar et al., 1996). Susu yang telah diperah disaring terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam milk can. Saringan yang digunakan pada peternakan KWI ini berupa kain. Sapi laktasi yang sakit biasanya juga dilakukan pemerahan, hanya saja susu yang didapatkannya diberikan kepada pedet. Jika proses pemerahan telah selesai, maka puting
43
dibersihkan kembali dan diberikan desinfektan. Sudono (1999) menyarankan selesai diperah puting dibersihkan dan dicelupkan ke dalam larutan desinfektan klorin atau iodophor dengan kepekatan 0,01%.
Gambar 15. Pemerahan di KWI Peralatan yang digunakan KWI dalam proses pemerahan yaitu milk can, ember plastik, lap, kain saring dan alat pencelup puting. Susu harus disaring segera setelah pemerahan selesai. Alat saring yang khusus merupakan alat yang paling efisien dan bersih untuk keperluan ini, oleh karena itu saringan ini dibuang setelah dipakai. Jenis kain yang cocok dapat dipakai asalkan sering-sering diganti dan dicuci dengan baik serta disterilkan setelah dipakai. Setelah sapi selesai diperah bakteri dalam susu mulai berkembang. Pendinginan dengan segera dari susu akan sangat mengurangi perkembangan bakteri (Williamson, 1993). Hasil penilaian pada aplikasi GFP untuk proses pemerahan di KWI sebesar 85,18%. Beberapa aspek yang belum dilakukan oleh KWI pada proses pemerahan yaitu, belum dilakukannya pre-dipping. Aplikasi pre-dipping bertujuan untuk desinfeksi puting dan mencegah mikroba masuk ke dalam puting. Manajemen Peternakan Manajemen peternakan merupakan semua proses yang berkaitan dengan peternakan yaitu fasilitas, bangunan, proses produksi, pakan, kesehatan dan sumber daya manusia. Karyawan pada peternakan Eco Farm dan KWI belum pernah mengikuti pelatihan secara formal terkait dengan manajemen pelaksanaan peternakan sapi perah yang baik. Pelatihan secara formal ini sangat penting dalam manajemen peternakan dan harus dipenuhi, karena untuk menjamin mutu bahan pangan asal ternak yang akan diproses lebih lanjut. Pengetahuan dan pengalaman yang didapat oleh karyawan peternakan diperoleh melalui partisipasi langsung dalam kegiatan
44
sehari-hari diantaranya pemeliharaan ternak, dengan diberi bimbingan dan masukan oleh atasannya. Hasil penilaian pada aplikasi GFP untuk manajemen peternakan Eco Farm sebesar 42,42%, yang berarti bahwa peternakan baru dapat
memenuhi
ketentuan manajemen peternakan maksimal sebesar 50%, sisanya menunjukkan masih banyak hal terkait dengan manajemen yang harus diperbaiki atau ditingkatkan. Kesehatan pekerja juga perlu diperhatikan, jika pekerja sakit maka harus diistirahatkan di rumah karena dapat menimbulkan resiko atau menularkan penyakit pada ternak dan kontaminasi pada susu. Pemeriksaan kesehatan pekerja secara rutin belum dilakukan baik oleh peternakan Eco Farm maupun KWI. Hal ini penting dilakukan dan harus dipenuhi untuk dapat menjamin kesehatan para pekerja atau pegawai terlebih yang berurusan langsung dengan pemeliharaan sapi, penanganan susu segar atau kegiatan lain di kandang. Penerapan secara konsisten prosedur standar pemeliharaan, pembersihan dan sanitasi peralatan, kandang dan lingkungan harus, karena besar pengaruhnya terhadap kuantitas produksi dan kualitas produk yang dihasilkan. Area pembatasan akses keluar masuk untuk menghindari penyebaran penyakit, membatasi keluar masuknya orang maupun kendaraan yang tidak berkepentingan harus diberlakukan. Pembatasan akses pada peternakan Eco Farm dinilai belum intensif karena pintu masuk tidak selalu terkunci, selain itu karyawan yang bekerja di peternakan ini tidak selalu berada di area peternakan, hanya dijumpai keberadaannya pada pagi hingga sore hari saja, sehingga pemantauan tidak dapat dilakukan secara optimal. Hama dan serangga pengganggu yang biasanya terdapat dalam peternakan Eco Farm dan KWI lalat dan serangga lainnya. Pengendalian hama dan serangga pengganggu belum dilakukan di Eco Farm dan belum terdapat disinfektan di peternakan. Hal tersebut penting dilaksanakan dan harus dipenuhi untuk menjaga tidak terjadi perkembangbiakan mikroorganisme dan penyebaran penyakit. Peternakan KWI sudah melakukan pengendalian hama berupa pemberian disinfektan, tetapi belum dilakukan secara efektif. Pembatasan akses keluar masuk pada peternakan KWI ditunjukkan tanda larangan di pintu masuk utama bahwa yang tidak berkepentingan dilarang masuk. Pegawai peternakan KWI tinggal di area kandang sepanjang hari, sehingga secara tidak langsung pemantauan terus dilakukan.
45
Kondisi ternak bibit yang dibeli oleh peternakan Eco Farm dan KWI harus terbebas dari penyakit dan terjaga kesehatannya. Ternak yang dibeli harus memiliki status kesehatan yang jelas, terdapat recording sebelumnya dan pemberian tanda pengenal, sehingga status kesehatan dan performa ternak tersebut jelas. Ternak yang baru dibeli sebaiknya diisolasi di kandang karantina, tetapi pada peternakan Eco Farm belum memiliki kandang karantina, sedangkan di KWI sudah terdapat kandang karantina. Kandang karantina berfungsi untuk adaptasi sapi yang baru dibeli terhadap lingkungan barunya. Jika terdapat ternak yang mati maka KWI dan Eco Farm mengeluarkan dan memusnahkan ternak tersebut dengan cepat agar tidak menjadi sumber percemaran mikroba dalam peternakan. Sudono (2003) menyatakan, bahwa peternakan juga harus mampu mengambil keputusan yang tepat jika terjadi penyakit menular yang menyerang ternaknya sebelum menjadi wabah. Manajemen kesehatan sangat penting diterapkan untuk mencegah berbagai penyakit menyerang ternak dan menjaga kondisi kesehatan setiap ternak, sehingga akan meningkatkan kuantitas maupun kualitas susu yang dihasilkan. Jika ternak mengalami sakit atau menunjukkan gejala kurang sehat, maka petugas kesehatan harus melakukan pemeriksaan terhadap keadaan tersebut. Peternakan KWI telah melakukan langkah-langkah tersebut karena telah memiliki bagian khusus kesehatan hewan di bawah pengawasan seorang dokter hewan, sehingga berkompeten dalam menangani penyakiat dan memberikan obat yang diperlukan sesuai dosis yang ditetapkan. Pada peternakan Eco Farm, jika terdapat ternak yang sakit langkah awal yang dilakukan adalah memberikan pengobatan secara tradisional. Bila penyakit ternak tergolong berat dan tak bisa ditangani maka akan diundang petugas kesehatan untuk melakukan pemeriksaan. Hasil penilaian pada aplikasi GFP untuk manajemen peternakan KWI adalah sebesar 56,06%, yang berarti bahwa perbaikan pada manajemen masih perlu ditingkatkan. Pada penerapan cara pemerahan yang baik dan benar, bulu ambing yang terlalu panjang sebaiknya langsung dilakukan pencukuran, karena bulu ambing yang panjang akan menjadi tempat kuman untuk berkembang biak. Bulu ambing yang panjang juga akan menghalangi proses pemerahan. Peternakan Eco Farm maupun KWI telah melakukan langkah tersebut dan membiasakan mencukur bulu ambing sapi-sapi laktasi yang sudah panjang.
46
Aplikasi Good Manufacturing Practices (GMP) dan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) Good Manufacturing Practices (GMP) merupakan suatu pedoman cara memproduksi makanan agar menghasilkan produk makanan dengan tujuan agar produsen memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, untuk menghasilkan produk makanan yang bermutu dan sesuai dengan keamanan pangan dan tuntutan konsumen. Industri dalam bidang pengolahan pangan ini harus memperhatikan berbagai aspek, di mulai dari lokasi pabrik, bangunan, produk akhir, peralatan pengolahan, bahan produksi, higien personal, penyimpanan, pemeliharaan sarana pengolahan dan kegiatan sanitasi, laboratorium, kemasan dan transportasi. Bagian tersebut termasuk dalam Good Manufacturing Practices (GMP) yang sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 23/MenKes/SK/1978. Penilaian GMP berdasarkan daftar pengecekan cara produksi makanan yang baik (CPMB) sarana produksi pangan. Contoh form penilaian dapat dilihat pada Lampiran 17. Hasil penilaian terhadap penyimpangan GMP pada proses pembuatan yoghurt di PT D-Farm Agriprima dapat dilihat pada Tabel 4. SSOP merupakan alat bantu dalam penerapan GMP, yang berisi tentang perencanaan tertulis untuk menjalankan GMP, syarat agar penerapan GMP dapat dimonitor dan adanya tindakan koreksi jika terdapat komplain, verifikasi dan dokumentasi (FDA, 1995). Penilaian terhadap aplikasi SSOP pada unit pengolahan yoghurt D-Farm dilakukan pada pengamatan awal dan pengamatan akhir dengan kurun waktu yang berbeda yaitu sekitar 2 bulan pengamtan. SSOP menurut FDA (1995) terdiri atas delapan aspek kunci yaitu, keamanan air proses produksi, kondisi kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan, pencegahan kontaminasi silang dari objek yang tidak saniter, kebersihan pekerja, pencegahan atau perlindungan dari adulterasi, pelabelan dan penyimpanan yang tepat, pengendalian kesehatan karyawan dan pemberantasan hama. Hasil penilaian penyimpangan SSOP pada proses pembuatan yoghurt di PT D-Farm Agriprima dapat dilihat pada Tabel 5.
47
Tabel 4. Hasil Penilaian Penyimpangan GMP pada Proses Pembuatan Yoghurt di PT D-Farm Agriprima No.
Aspek
1. 2.
Pimpinan Sanitasi Lokasi dan lingkungan: Fisik
3.
Sanitasi lingkungan : Pembuangan/ Limbah • Saluran air/air hujan • Pembuangan limbah:cair, padat, sampah di lingkungan pabrik Sanitasi lingkungan : Investasi burung, serangga atau binatang lain Pabrik-umum Pabrik – Ruang pengolahan • Lantai • Dinding • Langit-langit Fasilitas pabrik • Fasilitas cuci tangan dan kaki • Toilet/urinoir karyawan
4. 5. 6.
7.
• Penerangan • Ventilasi • PPPK/Klinik/Fasilitas Keamanan Kerja 8.
9. 10. 11.
12. 13.
14.
Pembuangan limbah di pabrik • Sistem pembuangan limbah dalam pabrik (cair, sisa produk, padat/kering) • Tempat sampah dalam pabrik • Saluran pembuangan dalam pabrik Operasional sanitasi pabrik Binatang pengganggu/serangga dalam pabrik Peralatan produksi • Sanitasi • Desain • Peralatan tidak dipakai lagi • Kecukupan • Penyuci hama peralatan Pasokan air • Sumber air • Treatment air Sanitasi dan Higiene karyawan • Pembinaan karyawan • Perilaku karyawan • Sanitasi karyawan • Sumber Infeksi Gudang biasa (kering) • Kontrol sanitasi • Pencegahan serangga, tikus dan binatang lain • Ventilasi
Nilai Penyimpangan Tahap awal Tahap akhir OK OK 2 Minor 1 Minor 1 Mayor 1 Mayor 1 Minor OK
OK OK
1 Mayor
1 Mayor
1 Minor
1 Minor
2 Minor 1 Minor OK
1 Minor 1 Minor OK
2 Mayor 2 Serius 1 Minor OK OK 1 Mayor
2 Mayor 2 Serius OK OK OK
OK
OK
OK 1 Minor 1 Mayor OK 1 Mayor
OK 1 Mayor
OK OK OK OK OK
OK OK OK OK OK
OK OK
OK OK
1 Minor 1 Mayor OK 1 Serius OK
OK
OK 1 Mayor OK
OK 1 Mayor OK
OK 1 Mayor
OK OK OK
48
Tabel 4. Lanjutan No.
Aspek
15.
Nilai Penyimpangan Tahap awal Tahap akhir
Gudang kemasan produk • Kontrol sanitasi • Pencegahan serangga, tikus dan binatang lain • Ventilasi
16. 17. 18.
Tindakan pengawasan Bahan mentah dan produk akhir Hasil Uji • Pengujian bahan baku dan produk akhir • Hasil uji tidak memenuhi persyaratan
19.
Tindakan pengawasan • Jaminan mutu • Prosedur pelacakan & penarikan kembali (recall procedure) Sarana pengolahan/pengawetan Penggunaan bahan kimia Bahan, penanganan dan pengolahan • Bahan baku • Bahan tambahan • Penanganan bahan baku • Pengolahan • Pewadahan atau pengemasan • Penyimpanan • Penyimpanan bahan berbahaya • Pengangkutan dan distribusi
20. 21. 22.
Total Penyimpangan
1 Serius 1 Mayor
OK 1 Mayor
OK OK OK
OK OK OK
OK
OK
OK
OK
OK OK
OK OK
OK OK
OK OK
OK OK OK OK OK OK OK OK
OK OK OK OK OK OK OK OK
10 Minor 10 Mayor 4 Serius
4 Minor 4 Mayor 2 Serius
Tabel 5. Hasil Penilaian Penyimpangan SSOP Pada Produksi Yoghurt di PT D-Farm Agriprima No.
Parameter
1.
Keamanan air
2.
Pencegahan kontaminasi silang dari karyawan Pencegahan kontaminasi silang yang kontak dengan permukaan Fasilitas sanitasi
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Perlindungan bahan pangan dari bahan cemaran (adulterant) Sistem pelabelan dan penyimpanan produk Kontrol kesehatan pegawai Pencegahan hama
Tahap Awal 62,5% 45%
Penilaian Penyimpangan (%) Keterangan Tahap Keterangan Akhir sangat kurang 37,5% kurang memenuhi memenuhi kurang memenuhi 20% cukup memenuhi
62,5%
sangat kurang memenuhi
50%
kurang memenuhi
75%
50%
kurang memenuhi
16,67%
sangat kurang memenuhi cukup memenuhi
0%
Memenuhi
37,5%
kurang memenuhi
25%
cukup memenuhi
100%
tidak memenuhi
100%
tidak memenuhi
31,25%
kurang memenuhi
31,25%
kurang memenuhi
49
Pimpinan Pimpinan adalah pemegang kendali suatu perusahaan.
Pimpinan harus
mempunyai wawasan terhadap metode pengawasan modern (HACCP) dan dapat melaksanakannya dengan baik dalam perusahaan itu sendiri. Pimpinan juga harus dapat bekerjasama dengan baik dan dapat menerima pengawasan serta menunjukkan data yang diperlukan dalam pemeriksaan atau inspeksi. Hasil pengamatan terhadap unit pengolahan susu PT D-Farm Agriprima telah memenuhi terhadap aspek pimpinan, terlihat dari hasil pengamatan tidak terdapat penyimpangan, baik pada tahap awal pengamatan maupun akhir pengamatan GMP. Sanitasi Lokasi dan Lingkungan : Fisik Lingkungan unit pengolahan susu PT D-Farm Agriprima berada di sekitar kompleks Laboratorium Lapang Kampus Darmaga, Institut Pertanian Bogor yang berada di lokasi Fakultas Peternakan, satu lokasi dengan Lab.
Lapang untuk
budidaya sapi perah, budidaya sapi potong, pengolahan limbah, budidaya unggas dan lain sebagainya. Salah satu faktor utama yang menyebabkan adanya bakteri pada susu adalah lokasi dan lingkungan industri tersebut. Jarak lokasi pengolahan susu dengan laboratorium lapang budidaya sapi perah yang terlalu dekat, menjadi faktor yang dapat mendatangkan pencemaran terhadap bahan baku untuk pengolahan maupun pada produk akhir. Hal ini disebabkan oleh polusi udara dari kandang sapi perah tersebut, sehingga menyebabkan terdapatnya satu penyimpangan mayor pada pengamatan awal. Terdapatnya rumput-rumput yang tumbuh berlebihan di sekitar perkandangan menyebabkan serangga atau adanya hewan-hewan berdatangan di daerah tersebut. Hal ini menyebabkan dua penyimpangan minor pada pengamatan tahap pertama. Pada pengamatan akhir, rumput-rumput yang tumbuh di sekitar perkandangan
sudah
dibersihkan
sehingga
memperbaiki
penilaian
dengan
menyisakan satu penilaian minor. Lokasi dan bangunan unit pengolahan D-Farm dapat dilihat pada Gambar 16. Air susu bersifat mudah menyerap bau di sekitarnya, dalam hal ini yang mudah menyerap bau adalah butiran lemak susu. Bau yang asam menunjukkan bahwa air susu sudah lama disimpan atau basi. Air susu yang berbau busuk menunjukkan bahwa air susu sudah rusak sama sekali dan tidak layak untuk dikonsumsi (Girisonta, 1995). Pencegahan yang dilakukan oleh unit pengolahan 50
susu D-Farm agar memenuhi persyaratan GMP yaitu membatasi ruangan dengan pintu dan tirai plastik, menjaga ruangan agar selalu tertutup rapat selama proses produksi, mencegah agar karyawan tidak keluar masuk ruang produksi, higien karyawan yang sangat terjaga, tersedia alat untuk mencegah serangga masuk dalam unit pengolahan. Lingkungan pengolahan harus terbebas dari sampah dan barang-barang yang tidak digunakan di areal pabrik maupun di luarnya. Faktor utama yang menyebabkan adanya bakteri pada susu adalah faktor kebersihan dan penyakit. Bakteri dapat berasal dari sapi, lingkungan, udara sekitarnya, peralatan yang digunakan dan petugas pemerah.
(a)
(b)
Gambar 16. Lokasi dan Bangunan Unit Pengolahan D-Farm : (a) Tampak Depan dan (B) Tampak Samping
Sanitasi Lingkungan a. Pembuangan/Limbah. Sistem pembuangan limbah cair atau saluran di sekitar pabrik harus tersedia cukup dan lancar alirannya. Penilaian menunjukkan bahwa sistem pembuangan masih perlu diperbaiki, karena kadangkala saluran (selokan) terdapat genangan air yang diakibatkan tersumbatnya saluran tersebut, sehingga merangsang serangga atau hewan-hewan lain untuk berada di daerah tersebut (Gambar 17). Hal ini menyebabkan terdapatnya satu penyimpangan minor pada pengamatan awal GMP. Kapasitas saluran di lingkungan mencukupi dan sesuai dengan yang dibutuhkan. Limbah cair yang dibuang dialirkan melalui saluran pipa pembuangan dan langsung dialirkan ke selokan. Limbah produksi atau sisa-sisa produksi dikumpulkan dan ditangani dengan baik. Limbah produksi ini biasanya
51
dibuang setiap proses produksi berakhir. Winarno dan Surono (2004) menyatakan bahwa limbah harus dibuang dari ruang pengolahan sesering mungkin, minimal sekali dalam sehari. Limbah kering/padat pada Unit Pengolahan susu D-Farm telah ditangani dengan baik dan dikumpulkan pada wadah yang tertutup dan tersedia mencukupi jumlahnya untuk seluruh pabrik. (a)
(b)
Gambar 17. Saluran Pembuangan di Unit Pengolahan PT D-Farm yang (a) Tersumbat dan (b) Tidak Tersumbat b. Investasi Burung, Serangga atau Binatang lain Ruang produksi didesain secara detail agar hama ataupun serangga tidak dapat memasuki ruangan tersebut. Pencegahan hama tersebut diupayakan dengan menutup lubang angin yang ada dengan kawat kasa, saluran pembuangan air yang dilengkapi dengan katup penutup. Pintu gudang kering yang berada di bagian depan lokasi Unit Pengolahan selalu terbuka lebar, sehingga memungkinkan serangga seperti lalat masuk melalui pintu depan tersebut. Pembatas ruang dengan tirai plastik dan tersedianya pets control electric menyulitkan serangga tersebut masuk dan melindungi area produksi. Penumpukkan peralatan setelah digunakan untuk proses produksi di ruang cuci dapat mendatangkan semut, sehingga proses pencuciian harus dilakukan segera.
Belum tersedia
filter udara dalam ruang proses produksi,
sehingga terdapat penilaian penyimpangan SSOP yang terjadi baik pada awal dan akhir pengamatan yaitu sebesar 31,25% dan termasuk dalam kategori kurang memenuhi. Pembersihan ruangan di seluruh unit pengolahan ini dilakukan secara berkala baik sebelum proses produksi berlangsung ataupun setelah proses produksi. Hasil penilaian GMP menunjukkan bahwa terdapat satu penyimpangan mayor pada tahap awal dan akhir pengamatan, karena pengendalian untuk mencegah
52
serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya di lingkungan pabrik masih belum efektif dilaksanakan sepenuhnya. Beberapa usaha pengendalian hama yang telah dilakukan di Unit Pengolahan susu PT D-Farm dapat dilihat pada Gambar 18.
(a)
(b)
(c)
Gambar 18. Pengendalian Hama di PT D-Farm (a) Pets Control, (b) Perangkap Tikus dan (c) Perangkap Lalat Pabrik a. Kondisi Umum. Bangunan yang terdapat di Unit Pengolahan susu PT D-Farm Agriprima yaitu ruang uji kualitas, ruang penerimaan susu, ruang produksi, ruang pengemasan, ruang penyimpanan dan ruang cuci. Ruang penyimpanan produk akhir menempati ruang yang sama dengan ruang penyimpanan bahan baku, hal ini karena kekurangan ruangan yang dibutuhkan sehingga satu ruang berfungsi ganda. Ruang produksi sudah sesuai dengan kondisi peralatan, kapasitas produksi dan jumlah karyawan. Tata letak ruangan sesuai urutan proses mulai dari penerimaan susu, pengujian kualitas, proses produksi, pengemasan dan penyimpanan, semuanya memiliki ruangan tersendiri dan terpisah oleh tirai plastik. Belum tersedianya ruangan istirahat bagi karyawan, menyebabkan terdapatnya satu penyimpangan minor baik pada pengamatan GMP awal maupun akhir. b. Ruang Pengolahan Pengamatan GMP pada aspek bangunan dan ruangan yaitu lantai, dinding, atap dan langit-langit. Bangunan dalam keadaan terawat dengan baik dan terjaga sanitasinya. Lantai yang terdapat dalam ruang produksi unit pengolahan ini, merupakan keramik yang rapat air, mudah untuk dibersihkan, halus tetapi tidak licin, permukaan rata, memudahkan dalam aliran air, tahan terhadap air, garam, basa, asam dan bahan kimia lainnya, keramik tidak pecah dan tidak retak. Pertemuan antar lantai dengan dinding masih membentuk sudut siku-siku, seharusnya melengkung. Hasil 53
penilaian GMP menunjukkan terdapatnya penyimpangan minor pada tahap awal pengamatan. Saluran pembuangan air yang terdapat dalam ruang produksi sudah langsung dialirkan ke dalam pipa ke bawah tanah, terdapatnya saringan dan katup agar mencegah binatang atau benda asing yang masuk ke dalam ruang produksi, tetapi dalam saluran air ini belum terdapat penahan bau sehingga bisa terdapat bau yang masuk ke dalam ruangan produksi dari saluran limbah pembuangan. Lantai di unit pengolahan ini secara keseluruhan telah memenuhi persyaratan GMP. Bahan yang digunakan mudah diperbaiki/dicuci, konstruksi sudah sesuai dengan persyaratan teknik sanitasi dan higien. Hanya saja lantai yang terdapat di ruang produksi ini akan licin jika terdapatnya genangan air, sehingga dalam saluran pembuangan harus dibuat kemiringan yang sesuai, sehingga hal tersebut memudahkan aliran air terbuang dalam salurannya. Licinnya lantai yang disebabkan oleh genangan air, menyebabkan penilaian tahap awal memiliki penyimpangan minor. Pada pengamatan akhir kemungkinan adanya genangan air itu sudah bisa diatasi. Dinding pada setiap ruangan yang terdapat di pengolahan susu ini kedap air sampai pada ketinggian minimal 1,70 m, bahan dinding terbuat dari bahan yang mudah diperbaiki ataupun mudah dicuci, konstruksi sudah sesuai dengan persyaratan teknik sanitasi dan higien, memiliki konstruksi dinding yang halus, kuat, tidak retak dan cat tidak mudah mengelupas. Pertemuan antara dinding dengan dinding masih berbentuk siku-siku, sehingga sedikit menyulitkan dalam proses pembersihan dinding. Hasil penilaian menunjukkan terdapatnya penyimpangan minor pada tahap awal dan akhir pengamatan. Unit Pengolahan D-Farm memiliki instalasi listrik yang sebagian besar sudah tertanam dalam dinding, beberapa instalasi listrik masih ada yang belum tertanam dalam dinding, hal tersebut dapat membahayakan jika berdekatan dengan sumber air, sehingga perlu penanganan segera. Kebersihan dinding harus diperhatikan, jika terdapat debu dan kotoran yang menempel pada dinding dapat pula masuk ke dalam produk, sehingga frekuensi pembersihan dinding tersebut harus ditingkatkan. Setelah proses produksi dinding harus dibersihkan kembali dengan cara sanitasi kering seperti menggosok dan mengelapnya. Winarno dan Surono (2004) menyatakan bahwa sudut antar dinding,
54
antara dinding dan lantai dan antara dinding dengan langit-langit harus tertutup rapat dan mudah dibersihkan. Tidak terdapat langit-langit atau plafon di tempat tertentu yang diperlukan, langit-langit terbebas dari kemungkinan catnya mengelupas atau rontok atau adanya kondensasi, kedap air dan mudah untuk dibersihkan, tidak retak, tidak bocor dan tidak berlubang. Konstruksi langit-langit terbuat dari bahan eternit berwarna terang, tahan lama. Langit-langit tersebut memiliki ketinggian kurang dari 2,40 m dari permukaan lantai. Bagian langit-langit pada pengolahan ini telah memenuhi persyaratan GMP secara umum. Winarno dan Surono (2004) menyatakan bahwa langit-langit harus dirancang untuk mencegah akumulasi kotoran dan meminimalkan kondensasi serta mudah dibersihkan, tinggi langit-langit minimal 3 meter. Fasilitas Pabrik Pengamatan GMP pada aspek fasilitas pabrik yaitu fasilitas cuci tangan dan kaki, toilet/urinoir karyawan, penerangan, ventilasi dan PPPK/klinik/fasilitas keamanan kerja. Peralatan pencucian tangan mencukupi dan lengkap, tetapi belum terdapat fasilitas bak cuci kaki. Hal ini menunjukkan bahwa terdapatnya dua penyimpangan mayor baik pada pengamatan GMP awal dan akhir. Fasilitas pencucian seperti sabun dan alat pengering tangan (hand dryer) sudah disediakan tetapi masih belum sepenuhnya digunakan karena aliran listrik yang kurang memadai. Setiap sudut ruangan terdapat peringatan pencucian tangan sebelum melakukan pekerjaan, begitupun di dekat tempat pencucian tangan. Toilet di pengolahan ini ditempatkan di bagian belakang lokasi pengolahan, dengan letak tidak terbuka langsung dengan ruang pengolahan. Pintu toilet selalu tertutup, tetapi belum dilengkapi dengan lampu. Tersedia satu toilet untuk semua pegawai yang jumlahnya 6 orang, sehingga jumlah toilet mencukupi sesuai yang dipersyaratkan. Fasilitas atau bahan saniter seperti tissue, sabun (cair) dan pengering belum disediakan di dalam ataupun di sekitar toilet. Belum terdapat peringatan mencuci tangan setelah menggunakan toilet di sekitar daerah toilet tersebut. Peralatan toilet yang tersedia meliputi gayung dan tempat sampah berpenutup tanpa pijakan sebagai pembukanya, sedangkan sikat toilet, tempat sabun, bak larutan khlorin 200 ppm dan alas kaki khusus untuk toilet belum dilengkapi. Hal ini menunjukkan terdapatnya dua penyimpangan serius pada awal pengamatan GMP. 55
Hasil pengamatan akhir hanya terdapat satu penyimpangan serius karena peralatan toilet sudah dilengkapi. Saluran pembuangan dalam kondisi baik dan sumber air mengalir dengan baik. Toilet cukup terawat hanya saja lantai masih terdapat genangan air jika telah digunakan, hal tersebut karena saluran pembuangan yang tidak terlalu miring. Hal ini menunjukkan terdapatnya satu penyimpangan minor pada pengamatan awal GMP, tetapi pada akhir pengamatan GMP keadaan toilet sudah mengalami perubahan dan dinilai cukup baik. Lampu yang digunakan di ruang pengolahan, penyimpanan material dan pengemasan cukup aman karena menggunakan pelindung. Cahaya berfungsi untuk memberikan sinar bagi tempat yang gelap. Adanya penerangan dari cahaya lampu memudahkan dalam melakukan proses produksi dari awal hingga akhir proses. Lampu dengan penerangan yang cukup memudahkan karyawan mendeteksi adanya kontaminasi fisik pada suatu produk. Ventilasi udara yang terdapat dalam pengolahan ini sudah mampu menjamin peredaran udara dengan baik, cukup menghilangkan gas, uap, bau, asap, debu dan panas. Ruang pengemasan telah disertai dengan pendingin ruangan/Air Conditioner agar suhu dapat dipertahankan. Unit pengolahan susu D-Farm belum dilengkapi dengan fasilitas keamanan atau kesehatan kerja berupa klinik yang memadai, tetapi telah tersedia obat-obatan yang bisa digunakan utnuk pertolongan pertama. Hal ini dinilai sebagai satu penyimpangan mayor. Klinik pengobatan disediakan oleh institusi IPB, sehingga pegawai pengolahan ini dapat berobat ke klinik IPB dengan pembayaran gratis. Fasilitas sanitasi yang telah ada di unit pengolahan susu D-Farm yaitu wastafel untuk pencuci tangan beserta sabun dan alat pengering tangan (hand dryer) telah disediakan, namun belum bisa dioperasionalkan, telah tersedia toilet yang berada di luar unit pengolahan, penerangan dan ventilasi yang cukup baik, tetapi belum terdapat ruang ganti pakaian. Fasilitas pencucian tangan ini berada di ruang penerimaan susu, ruang produksi/pengolahan, ruang pencucian atau kebersihan. Belum terdapat fasilitas bak cuci kaki, fasilitas ini diperlukan untuk menghindari kontaminasi silang antara kaki dan sepatu boat yang akan digunakan karena terbilas oleh disinfektan terlebih dahulu. Penilaian penyimpangan pada pengamatan awal sebesar 75% termasuk dalam kategori sangat kurang memenuhi. Penilaian
56
penyimpangan pada pengamatan akhir SSOP sebesar 50% termasuk dalam kategori kurang memenuhi, peningkatan nilai merupakan adanya perbaikan berupa kebersihan toilet yang lebih terjaga. Fasilitas pada unit pengolahan susu D-Farm dapat dilihat pada Gambar 19.
a
b
c
Gambar 19. Fasilitas Pabrik : (a) Toilet Karyawan, (b) Ventilasi Udara dan (c) Wastafel dengan Pengering Tangan Pembuangan Limbah Pabrik Tempat sampah di dalam pabrik disediakan di ruang pencucian, ruang penyimpanan produk dan ruang penerimaan susu. Bentuk tempat sampah yang berada di dalam pabrik sudah sesuai dengan yang disyaratkan yaitu menggunakan tempat sampah tertutup yang menggunakan pijakan kaki sebagai pembuka sehingga lebih aman dari kontaminasi silang dan bau (Gambar 20). Tempat sampah tersebut biasanya dialasi terlebih dahulu dengan trash bag, jika telah selesai proses produksi maka sampah dibuang pada tempat pembuangan akhir yang berada di lingkungan IPB. Sistem pembuangan limbah cair/saluran dalam pabrik masih dinilai kurang baik, hal tersebut karena terdapat kebocoran pada bak pencucian peralatan. Hal ini menunjukkan terdapat satu penyimpangan minor pada pengamatan awal GMP. Pada pengamatan akhir GMP telah diperbaiki, sehingga tidak terdapat penyimpangan. Kapasitas saluran dalam pabrik sendiri telah sesuai, dinding saluran air halus dan kedap air, tetapi tidak tertutup dan tidak dilengkapi dengan bak kontrol. Saluran pembuangan ini dilengkapi dengan katup untuk mencegah masuknya binatang lain ke dalam ruangan pengolahan. Hal tersebut telah sesuai dengan persyaratan seperti dinyatakan Winarno dan Surono (2004), bahwa bagian-bagian selokan yang ke luar melalui dinding ruangan pengolahan harus dilengkapi dengan alat pelindung, 57
misalnya jeruji besi yang dapat diangkat sehingga mempermudah pembersihan dan mencegah masuknya tikus dan binatang lain ke dalam ruangan pengolahan. Hasil pengamatan ini menunjukkan terdapat satu penyimpangan mayor baik pada pengamatan awal maupun akhir GMP. (a)
(b
Gambar 20. Tempat Sampah dengan Pijakan Kaki (a) dalam Ruang Produksi dan (b) di Lingkungan Luar Bangunan Operasional Sanitasi di Pabrik Peralatan dan wadah untuk produksi dicuci hingga bersih dengan sabun dan dibilas hingga tidak ada noda ataupun sisa sabun yang menempel, disanitasi terlebih dahulu sebelum digunakan dan dibilas dengan air panas. Metode pembersihan atau pencucian dilakukan secara manual untuk pencegahan kontaminasi terhadap produk. Semua ruangan yang terdapat di lokasi ini dijaga kebersihan dan sanitasinya, seperti ruang penerimaan, ruang pengolahan, ruang pengemasan, ruang pencucian, ruang penyimpanan bahan baku/produk akhir. Hasil pengamatan GMP menunjukkan telah adanya kesesuaian dengan persyaratan. Binatang Pengganggu/Serangga dalam Pabrik Ruang dan tempat yang digunakan sebagai ruang penerimaan susu, pengolahan dan penyimpanan bahan baku atau produk akhir terpelihara kebersihannya dan sanitasinya. Hama diberantas dengan cara yang tidak mempengaruhi mutu dan keamanan pangan. Pemberantasan hama dilakukan secara fisik seperti dengan penyediaan perangkap tikus atau secara kimia seperti pemberian racun pada tikus. Perlakuan dengan bahan kimia diberikan dengan pertimbangan tidak mencemari pangan. Hasil penilaian GMP menunjukkan bahwa terdapat satu penyimpangan mayor pada tahap awal dan akhir pengamatan, karena pengendalian
58
untuk mencegah serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya di lingkungan pabrik masih belum efektif dilaksanakan sepenuhnya. Peralatan Produksi Peralatan yang terdapat di ruang pengolahan yaitu alat batch pasteurizer sebanyak 3 buah, untuk memanaskan susu dengan kapasitas masing-masing 20 liter, 40 liter dan 500 liter susu. Alat ini terbuat dari bahan stainless, aman untuk digunakan dan mudah dalam proses pembersihannya. Alat tersebut biasanya sebelum dan sesudah proses produksi dibersihkan terlebih dahulu, pemanasan awal mesin menggunakan air hingga mencapai suhu 90ºC. Peralatan yang terdapat di ruang pengemas yaitu alat pengemas otomatis yang digunakan untuk pengemasan produk yang kemasan cup.
Pada ruang
pencucian terdapat kompor gas, milk can, mixer, separator yang semuanya terjaga kebersihannya. Peralatan yang terdapat di ruang penyimpanan atau gudang kering yaitu freezer, sealer, show case yang dirawat dengan baik. Rancang bangun, konstruksi dan penempatan peralatan serta wadah menjamin terjaganya sanitasi dan dapat dibersihkan secara efektif. Bahan yang terbuat dari kayu seperti pengaduk dilapisi dengan bahan yang tidak berbahaya atau kedap air, sebelum penggunaan alat tersebut disterilkan menggunakan air panas. Pengontrolan dilakukan untuk membuang wadah dan peralatan yang sudah tidak layak pakai, rusak atau pun tidak digunakan. Peralatan kebersihan sesuai dengan kapasitas produksi atau cukup tersedia dengan baik. Pasokan air panas atau dingin cukup tersedia, dengan memasaknya langsung sehingga jika membutuhkannya dapat langsung digunakan. Peralatan produksi di unit pengolahan ini pada pengamatan awal dan akhir telah sesuai dengan GMP. Pengamatan SSOP pada frekuensi pembersihan area produksi belum dilakukan secara optimal, sehingga nilai penyimpangan pada pengamatan awal sebesar 62,5% termasuk kategori sangat kurang memenuhi. Frekuensi pembersihan area produksi dilakukan ketika akan melakukan proses produksi dan setelah selesai proses produksi, sehingga mempengaruhi nilai pengamatan SSOP dan penyimpangan yang terjadi menurun menjadi 50% termasuk kategori kurang memenuhi. Area produksi ini pun terjaga sanitasinya setiap pergantian proses produksi. Pembersihan area produksi yang dilakukan secara rutin seperti, pembersihan jendela, lantai, alat 59
pasteurisasi, tirai plastik. Pembersihan dinding, langit-langit, freezer dilakukan satu minggu sekali. Setiap ruangan diberi catatan sanitasi untuk pemantauan terhadap proses kebersihan oleh manajer sehingga proses kebersihan terkontrol dengan baik dan tidak menyebabkan sumber kontaminasi pada proses produksi. Catatan sanitasi tersebut berisi tentang petugas yang membersihkan, waktu pembersihan dan paraf petugas serta manajer. Manajer harus melakukan pengujian mikrobiologis terhadap peralatan yang terdapat di area produksi setiap bulan agar teridentifikasi jumlah mikroba yang terdapat pada permukaan peralatan tersebut agar mencegah kontaminasi silang, unit pengolahan belum menerapkan pengujian tersebut secara kontinyu. Menteri Kesehatan Nomor 715/MENKES/SK/V/2003 menyatakan total mikroba maksimum permukaan alat atau mesin adalah 102 koloni/cm2 dan tidak terdapat E. coli. Pasokan Air Air merupakan salah faktor penting dalam suatu pengolahan dan juga merupakan salah satu dalam penilaian penerapan GMP dan SSOP. Pasokan air panas dan dingin yang dibutuhkan sangat terbilang cukup. Air panas biasanya digunakan untuk mensterilkan alat. Penggunaan air di PT D-Farm dibedakan menjadi dua, yaitu air yang digunakan untuk proses produksi, air untuk pencucian alat dan kegiatan lain diluar produksi. Hal tersebut telah memenuhi persyaratan GMP. Winarno dan Surono (2004) menyatakan bahwa air adalah komoditi yang sangat esensial dalam persiapan dan pengolahan pangan, meliputi air yang akan langsung menjadi bagian produk cair, maupun yang digunakan untuk membersihkan peralatan atau wadah pangan sebelum maupun sesudah persiapan dan pengolahan. Kualitas air untuk pengolahan pangan sama dengan kualitas air minum. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.416/MENKES/Per/IX/1990. Air baku yang digunakan yaitu air mineral yang telah memiliki sertifikasi untuk dapat digunakan sebagai air minum. Air di pabrik berasal dari water treatment IPB. Water treatment tersebut berasal dari air sungai yang telah ditambah kaporit dan dilakukan penyaringan sebelum masuk ke dalam bak-bak penampungan. Pengamatan SSOP pada tahap awal terdapat penyimpangan sebesar 62,5% atau masih sangat kurang memenuhi karena belum dilakukan pengujian terhadap keamanan air dan belum tersedianya pencatatan hasil pemeriksaan. Pengamatan SSOP pada tahap akhir 60
telah melakukan pengujian air yang berupa uji warna, bau, kekeruhan serta pH dan sudah memiliki dokumen kualitas air. Hanya saja pengujian ini belum dilakukan secara efektif, sehingga penilaian penyimpangan menurun menjadi 37,5% tetapi masih termasuk kategori kurang memenuhi. Air di unit pengolahan mudah dijangkau atau disediakan, apabila air tidak mengalir maka pihak perusahaan mengambil air dari sumber lain yang tidak jauh dari unit pengolahan. Air dapat terkontaminasi atau tercemar, namun unit pengolahan ini dapat mengantisipasi dengan menjaga sanitasi, penyimpanan dan penggunaan air.
Gambar 21. Tandon Penampungan Air Bersih untuk PT DFarm Sanitasi dan Higien Karyawan Kebersihan karyawan di unit pengolahan ini dijaga dengan baik dan memperhatikan aspek sanitasi dan higien. Karyawan harus terbebas dari penyakit kulit, atau penyakit menular lainnya. Tindak-tanduk karyawan mampu mengurangi dan mencegah kontaminasi baik dari mikroba maupun benda asing lainnya. Unit pengolahan susu D-Farm sudah dilengkapinya dengan lemari pakaian untuk mencegah kontaminasi silang antara pakaian luar dan pakaian produksi. Tempat penyimpanan sepatu kerja dan sepatu luar telah terpisah, hanya saja fasilitas ruang ganti pakaian masih kurang memadai karena ruangan yang terlalu sempit. Tersedia bak cuci tangan (wastafel) untuk karyawan yang melakukan pengolahan dilengkapi dengan sabun cair dan kertas pengering, begitupun dengan alat pengering tangan (hand dryer) hanya saja alat tersebut belum bisa digunakan. Unit pengolahan ini memiliki perlengkapan untuk mencegah kontaminasi silang dari pekerja terhadap produk, yaitu tersedianya seragam khusus, masker, penutup kepala dan sepatu boat khusus untuk produksi. Semua perlengkapan itu 61
digunakan hanya pada saat proses produksi atau ketika berada di ruang produksi, tetapi masih terdapat pegawai yang menggunakan perlengkapan di luar ruangan produksi. Pengamatan awal SSOP mendapatkan bahwa pengawasan terhadap pegawai masih belum terkontrol, terlihat dari penerapan pencucian tangan pada seluruh tahap proses pengolahan masih belum dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan SSOP pencucian tangan. Penilaian penyimpangan pada tahapan awal pengamatan didapatkan sebesar 45% atau termasuk pada kategori kurang memenuhi. Peringatan pencucian tangan di unit pengolahan ini ditempel pada setiap ruangan yang ada, dimulai di ruang penerimaan susu, ruang produksi/pengolahan, ruang pencucian atau kebersihan, ruang pengemasan dan gudang. Pengamatan akhir SSOP penyediaan fasilitas sanitasi tangan sudah lengkap. Pada setiap westafel pencucian tangan terdapat sabun cuci tangan dan kertas tissue, sehingga nilai penyimpangan SSOP menurun menjadi 20% termasuk dalam kategori cukup memenuhi. Higien personal lainnya yang sudah diterapkan yaitu tidak merokok di areal unit pengolahan, tidak melakukan perbincangan/mengobrol pada saat proses produksi berlangsung, tidak menggunakan perhiasan setiap melakukan proses produksi. Pengamatan mendapatkan belum terdapat pemisahan produk dan di dalam freezer masih terdapat bahan lain yang disimpan bersamaan dengan produk. Unit pengolahan ini telah membuat penugasan khusus pada setiap bagian, tetapi masih belum diperhatikan secara benar, karyawan masih dapat membantu pekerjaan karyawan pada bagian lain. Hal ini mungkin dapat disebabkan terbatasnya karyawan yang dimiliki oleh unit pengolahan ini. Secara umum fasilitas higien karyawan ini telah memenuhi persyaratan, hanya terdapat beberapa bagian yang belum bisa dilakukan, seperti manajemen unit pengolahan belum melakukan pengecekan kesehatan karyawan untuk mengetahui kondisi karyawan dan juga belum mempunyai catatan tentang riwayat kesehatan karyawan. Penilaian penyimpangan SSOP yang terjadi baik pada awal dan akhir pengamatan bernilai 100% termasuk dalam kategori tidak memenuhi. Hal ini penting dilakukan karena dengan pengecekan tersebut maka dapat diketahui penyakit yang dimiliki oleh karyawan tersebut. Unit pengolahan ini menetapkan kebijakan, bahwa jika terdapat karyawan yang sakit dan mengalami luka yang cukup serius atau parah maka diberi izin untuk tidak masuk kerja dan tidak diperbolehkan melakukan
62
pekerjaan seperti biasa hingga sembuh, hal tersebut dilakukan untuk menghindari kontaminasi mikrobiologi terhadap produk ataupun menularkan penyakit kepada karyawan lainnya. Unit pengolahan susu D-Farm belum melakukan pembinaan karyawan dalam manajemen unit pengolahan untuk mencegah karyawan yang diketahui mengidap penyakit, sehingga pada awal pengamatan GMP ini terdapat satu penyimpangan mayor. Selain itu, belum dilakukan pelatihan pekerja dalam hal sanitasi dan higien, maka menyebabkan terdapatnya satu penyimpangan minor pada pengamatan GMP. Kurangnya pengawasan dalam sanitasi, pencucian tangan dan kaki sebelum masuk ruang pengolahan dan setelah keluar dari toilet. Hal ini menunjukkan terdapatnya satu penyimpangan serius. Perlu disediakan sarana pembilas sepatu di depan ruang pengolahan. Gudang a. Gudang Biasa (Kering). Gudang kering ini biasanya untuk menyimpan bahan baku persedian berupa gula, flavour, agar-agar dan sirup. Persediaan bahan diatur dengan FIFO (first in first out). Penyimpanan gula biasanya disimpan didalam tempat khusus untuk gula dan dikondisikan bahan tidak menyentuh lantai (±20 cm dari lantai), dinding (±10 cm dari dinding) serta jauh dari langit-langit. Pencatatan pada penggunaan gula telah dilakukan yang terdiri atas, tanggal pembelian, jumlah pembelian, tanggal penggunaan, jumlah penggunaan. Flavour dan sirup disimpan di dalam kotak yang tertata rapi dan terjaga kebersihannya. Selain itu, terdapat juga kemasan yang belum digunakan seperti cup dan plastik kemasan yang tersimpan rapi di dalam kardus penyimpanan kemasan, yang diletakkan diatas lantai yang bersemen tidak menyentuh lantai ±20 cm dari lantai, ±10 cm dari dinding serta jauh dari langitlangit, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kultur starter disimpan di dalam refrigerator dengan suhu 0-7oC. Produk akhir disimpan dalam freezer (Gambar 22) tersendiri tanpa dicampur dengan produk lain, terdapat pencatatan tentang produk yang masuk dan keluar. Baik refrigerator ataupun freezer disimpan di gudang kering, sehingga ruangan ini pun dalam keadaan bersih, rapi, tidak terdapat hama, memiliki cahaya yang cukup dan freezer berfungsi dengan baik.
63
Pada gudang kering terdapat bahan lain yaitu bahan-bahan stok yang disimpan agar tidak tercemar oleh serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya. Cara penyimpanannya pun berbeda-beda sesuai dengan fungsi dan penggunannya. Biasanya bahan-bahan kimia ditempatkan pada bagian bawah dan dijauhkan dari bahan yang akan digunakan terhadap produk. Gudang ini selalu dibersihkan sebelum dan sesudah proses produksi, dirawat dengan baik dan terjaga sanitasinya. Ventilasi yang terdapat di sekitar gudang kering ini dapat berfungsi dengan baik, sehingga tidak membuat ruangan menjadi lembab, bau dan tidak berasap yang dapat merugikan kesehatan. Peralatan dan perlengkapan produksi masih disimpan di ruang pencucian atau ruang kebersihan, dengan disimpan di atas rak-rak yang tersusun rapi dan terdapat juga tempat penggantungan peralatan yang tidak menempel dengan dinding, lantai ataupun langit-langit. Seharusnya tersedia tempat penyimpanan khusus yang dapat berbentuk lemari dan tertutup rapat, sehingga dapat mencegah kontaminasi alat yang terkotori oleh debu dan pencemaran lainnya. Pengendalian untuk mencegah serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya telah dilakukan, dengan terdapatnya kotak perangkap dan lem tikus, perangkap serangga dan alat pendeteksi serangga yang diletakkan diatas pintu masuk. Hal ini belum efektif untuk pencegahan maka pada pengamatan awal dan akhir GMP terdapat satu penyimpangan mayor.
Gamabr 22. Freezer untuk Penyimpanan Produk di D-Farm b. Gudang Kemasan Produk Peralatan yang terdapat di ruang pengemas yaitu mesin pengemas yang digunakan untuk mengemas produk dalam kemasan cup. Cara kerja alat pengemas adalah otomatis atau semi otomatis. Ruang pengemasan ini selalu dibersihkan ketika
64
akan digunakan dan jika telah selesai digunakan, sanitasi terjaga dan dirawat dengan baik. Ruang pengemas ini merupakan salah satu ruangan yang dilengkapi AC, hal tersebut agar suhu tetap sejuk dan dapat mencegah perubahan pada produk akhir. Masih terdapat pengemas yang disimpan tidak pada tempatnya, hal ini menyebabkan terdapatnya satu penyimpangan serius pada awal pengamatan. Pengamatan akhir GMP tidak terdapat penyimpangan karena pengemas sudah tersusun rapi pada tempat yang bersih. Ruang pengemas ini terdapat di bagian tengah unit pengolahan dan dilengkapi dengan
pengendali serangga,
tikus dan binatang
pengganggu.
Pencegahan dan pengendalian tersebut diantaranya dengan penggunaan pest control electric, perangkap lem tikus dan lalat, namun dalam penggunaanya masih belum begitu efektif salah satunya pencegahan lalat, semut dan serangga lain. Pada pengamatan awal terdapat satu penyimpangan mayor dan pada akhir pengamatan terdapat satu penyimpangan mayor, karena pengendalian serangga telah dilakukan dengan cukup baik. Ruang pengemas ini dilengkapi dengan AC sehingga pintu harus selalu tertutup rapat agar suhu tetap konstan. Ventilasi di ruang pengemas ini berfungsi dengan baik. Ruang pengemasan ini juga berfungsi sebagai ruang steril untuk inokulasi starter sehingga proses inokulasi starter yoghurt ke dalam susu dilakukan pada ruang pengemas sehingga ruang pengemas ini sangat dijaga sanitasinya dari kontaminasi bakteri, agar tidak masuk ke dalam susu.
Gambar 23. Mesin Pengemas Produk Olahan Susu dalam Cup Tindakan Pengawasan Bahan baku atau bahan mentah selalu dilakukan pengujian mutu sebelum diolah. Susu selalu mendapat pengujian alkohol (70%) sedangkan pada gula, flavour
65
dan sirup dilihat secara fisik dan waktu tanggal kadarluarsa. Campuran bahan baku disesuaikan dengan spesifikasi penggunaannya. Proses produksi dilakukan pengawasan setiap tahapan mulai dari proses pemanasan susu, dilakukan pengontrolan pada suhu alat, waktu pemanasaan dan pendinginan, suhu susu ketika akan dipisahkan antara skim dan skim, pengawasan waktu inokulasi, pengecekan kadar gula pada produk akhir dan dilakukan pengujian kualitas pada produk akhir. Penyimpanan bahan baku dan produk akhir dipisahkan, bahan baku berupa susu disimpan dalam freezer di ruang penerimaan susu, sedangkan produk akhir disimpan dalam freezer di gudang kering. Penyimpanan dan penyerahan dilakukan secara FIFO (First in First Out) dan teradapat pencatatan. Bahan Mentah dan Produk Akhir Produk akhir yang akan dipasarkan terlebih dahulu dilakukan pengujian. Pengujian tersebut bertujuan untuk dapat mendeteksi terdapatnya kontaminasi atau tidak pada bahan baku dan bahan produk akhir. Bahan yang digunakan merupakan bahan yang aman, begitupun dengan produk akhir aman untuk dikonsumsi dan tidak terdapat kontaminasi silang. Penanganan, pengolahan, penyimpanan, pengangkutan dan pengemasan dilakukan secara higienis. Hal tersebut sesuai dengan persyaratan GMP. Bahan tambahan lainnya yang dibutuhkan dalam proses produksi disimpan di gudang kering dalam boks yang tertata rapi dan terjaga kebersihannya. Boks penyimpanan bahan ini tertutup dan terdapat label, dikeluarkan jika akan digunakan. Jika terdapat flavour (essens) yang telah dibuat sehingga sudah berbentuk cair/ sirup, maka disimpan di dalam refrigerator dalam wadah yang telah disterilkan terlebih dahulu menggunakan air panas dan di tutup rapat serta menggunakan label sehingga mencegah tumbuhnya mikroorganisme selama penyimpanan. Bahan-bahan tersebut tersimpan dengan kemasan asli dari suplier lengkap dengan tanggal kadaluarsa. Bahan kemasan yang digunakan seperti cup plastik dan plastik kemasan tersimpan rapi di dalam kardus penyimpanan kemasan, tempat tersebut bersih dan terbebas dari hama. Kemasan yang akan digunakan disimpan di ruang steril yang merupakan ruang kemasan itu sendiri sehingga tidak menjadi sumber kontaminasi bagi produk. Alkohol 70% yang ditempatkan di dalam botol disimpan di gudang kering yang tempat penyimpanannya berjarak jauh dengan bahan baku dan bahan 66
tambahan ataupun produk akhir. Alkohol 70% ini digunakan untuk mensanitasi meja yang akan digunakan untuk proses produksi atau pun meja stainless yang berada di ruang kemasan. Botol spray yang berisi alkohol ini diberi label dengan sangat jelas. Pada awal pengamatan SSOP, masih terdapat sampah yang menumpuk sehingga penilaian penyimpangan yang didapat sebesar 16,67% atau termasuk kategori cukup memenuhi. Pada pengamatan akhir sudah tidak terdapat tumpukan sampah yang berlebihan sehingga penilaian penyimpangan menurun menjadi 0% dan termasuk kategori memenuhi. Kualitas Susu dan Yoghurt a. Kualitas Susu Segar . Unit pengolahan ini selalu melakukan pengujian pada susu segar yang digunakan sebagai bahan baku yoghurt. Unit pengolahan telah mendapatkan izin untuk menggunakan Laboratorium Teknologi Hasil Ternak milik Fakultas Peternakan. Saat penerimaan susu dilakukan pengujian yang terdiri atas warna, bau, konsistensi dan uji alkohol. Jika terdapat pengujian yang tidak bisa dilakukan di laboratorium, maka unit pengolahan memberikan sampel ke Balai Besar Industri Agro Departemen Perindustrian. Pengujian yang dilakukan terdiri atas, bahan kering tanpa lemak, protein, lemak, kadar air, berat jenis, derajat keasaman, pengujian cemaran mikroba (TPC, Salmonella, Escherichia coli) dan pengujian cemaran logam (timbal, seng). Tabel 6. Hasil Pengujian Susu Segar Kriteria Uji Keadaan Warna Bau Rasa Konsistensi Uji alkohol 70% Berat jenis Protein Lemak Derajat keasaman Cemaran Logam Timbal Seng Cemaran mikroba Total kuman Salmonella E.coli
Satuan
Hasil
% % % o SH
Normal Normal Normal Normal Negatif 1,03 3,58 3,32 8,2
mg/kg mg/kg
< 0,048 4,18
CFU/ml CFU/ml
3,38 Negatif Negatif
67
Warna yang dimiliki oleh susu segar sebagai bahan baku utama yoghurt yaitu putih kekuningan. Warna pada susu dapat dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi oleh ternak, jenis hewan dan jumlah lemak atau padatan dalam susu. Girisonta (1995) menyatakan bahwa, warna air susu yang sehat adalah putih kekuningan atau oranye terang dan tidak tembus cahaya. Warna ini tergantung pada jumlah bahan kering dalam air susu. Menurut Buckle (2007) warna putih yang khas disebabkan oleh refleksi sinar dari partikel koloidal susu, sehingga dapat dikatakan air susu tidak tembus cahaya, sedangkan warna kuning pada air susu disebabkan karena lemak yang mengandung pigmen karotin dan riboflavin yang larut dalam air. Bau dan rasa susu memiliki aroma yang khas susu segar. Bau yang asam menunjukkan bahwa air susu sudah lama disimpan atau basi, sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Bau dan rasa susu yang kecut, pahit dan asin bisa disebabkan karena penanganan setelah diperah tidak baik dan susu sudah mulai rusak, rasa yang hambar berarti air susu banyak dicampur air biasa. Girisonta (1995) menyatakan bahwa, air susu yang baru mudah menyerap bau disekitarnya dalam hal ini yang mudah menyerap bau adalah butiran lemak. Konsistensi pada susu segar yaitu lebih kental daripada air. Konsistensi air susu juga tergantung pada suhu lingkungan. Hasil pengujian alkohol 70% pada susu segar yaitu negatif. Koagulasi susu oleh alkohol juga disebabkan oleh faktor lain, misalnya adanya penyakit pada ambing, kolostrum dan ranin yang dihasilkan oleh mikroba. Berat jenis susu segar dari hasil pengujian yaitu sebesar 1,03 sesuai dengan SNI 01-3141-1998 pada susu segar minimal sebesar 1,0280. Rachmawan (2001) menyatakan, bahwa semakin besar berat jenis pada susu adalah semakin bagus karena komposisi atau kandungan dari susu tersebut masih pekat dan kadar air dalam susu adalah kecil, sedangkan semakin banyak lemak pada susu maka semakin rendah berat jenisnya, semakin banyak persentase bahan padat bukan lemak, maka semakin berat susu tersebut. Variasi berat jenis terjadi karena perbedaan besarnya kandungan lemak, laktosa, protein dan garam-garam mineral dalam susu (Mukhtar, 2006). Hasil pengujian protein susu segar sebesar 3,58%, nilai tersebut memenuhi persyaratan SNI 01-3141-1998 minimal nilai protein tersebut 2,7%. Protein didalam air susu juga merupakan penentu kualitas air susu sebagai bahan konsumsi. Hasil pengujian lemak pada susu segar sebesar 3,32% sesuai Standar Nasional Indonesia
68
01-3141-1998 minimal nilai lemak tersebut sebesar 3,0%. Varnam dan Sutherland (1999) menyatakan bahwa, air susu merupakan suatu emulsi lemak dalam air yang didalamnya terkandung gula, garam-garam mineral dan protein dalam bentuk suspensi koloid. Rahman et al. (1992), menyatakan bahwa kandungan lemak dalam susu merupakan komponen utama yang menimbulkan flavor pada susu dan sebagian besar produk olahan susu. Nilai derajat keasaman pada susu segar sebesar 8,2%, sedangkan persyaratan mutu susu segar berdasarkan SNI 01-3141-1998 yaitu 6-7° SH hal ini tidak sesuai dengan persyaratan SNI. Hasil pengujian logam timbal pada susu segar yaitu < 0,048 mg/kg, nilai tersebut masih termasuk dalam syarat SNI 01-3141-1998 yaitu sebesar 0,3 ppm. Timbal tidak dibutuhkan oleh manusia, sehingga jika makanan tercemar oleh logam tersebut, tubuh akan mengeluarkannya lewat urin atau feses dan sebagian sisanya akan terakumulasi pada bagian tubuh tertentu seperti ginjal, hati, jaringan lemak dan rambut (Saeni, 1999; Widowati, 2008). Upaya untuk menghindari dan mengurangi pencemaran timbal (Pb) yaitu dengan menghindari penggunaan peralatan-peralatan dapur atau tempat makanan atau minuman yang diduga mengandung Pb misalnya keramik berglasur, wadah yang dipatri atau mengandung cat (Cahyadi, 2004). Hasil pengujian logam seng pada susu segar yaitu 4,18 mg/kg, sedangkan persyaratan mutu susu segar berdasarkan SNI 01-3141-1998 yaitu 0,5 ppm. Maka nilai tersebut melebihi nilai persyaratan SNI, hal ini dapat dimungkinkan karena peralatan yang digunakan mengandung logam Zn dan senyawa-senyawa pembentuk susu telah tercemar logam berat Zn. Hasil pengujian total kuman pada susu segar yaitu sebesar 3,38 CFU/ml sama dengan 3x104CFU/ml masih memenuhi persyaratan SNI 01-3141-1998 sebesar 1x106CFU/ml. jika terdapat kuman mengkontaminasi susu maupun bahan pangan dalam jumlah besar akan menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia. Frazier dan Westhoff (1998) menyatakan, bahwa tingkat kontaminasi berasal dari setiap sumber dan bergantung dari metode sanitasi yang dilakukan. Sumber kontaminasi yang sangat signifikan adalah dari permukaan yang kontak langsung dengan susu. Hasil pengujian Salmonella dan E.coli pada susu segar yaitu negatif sesuai dengan SNI 01-3141-1998. Jika terdapat kontaminasi, maka dapat berasal dari hewan produksi (peternakan) atau juga dari pekerja itu sendiri. Kontaminasi silang dapat
69
terjadi bila makanan jadi yang diproduksi berhubungan langsung dengan permukaan meja atau alat pengolah makanan selama proses persiapan yang sebelumnya telah terkontaminasi kuman patogen (Sartika et al., 2005). b. Kualitas Yoghurt Standar Nasioal Indonesia (SNI) untuk yoghurt yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional tahun 1992 dengan nomor SNI 01-2981-1992, lalu pada tahun 2009 dilakukan revisi. Pengujian yang dilakukan pada yoghurt berdasarkan SNI yaitu pengujian bau, rasa, konsistensi, total asam tertitrasi, derajat keasaman, protein, lemak, bahan kering tanpa lemak, kadar abu, pengujian cemaran mikroba (Coliform, Salmonella,), arsen dan pengujian cemaran logam (timbal, tembaga, timah, raksa). Pengujian tersebut dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak IPB Tabel 7. Hasil Pengujian Yoghurt Kriteria Uji Keadaan Penampakan Bau Rasa Konsistensi Lemak Bahan kering tanpat lemak Protein Abu Jumlah asam (dihitung sebagai asam laktat) Cemaran Logam Timbal Tembaga Timah Raksa Arsen Cemaran mikroba Coliform Salmonella
Satuan
Hasil
-
Cairan kental sampai semi padat Normal /khas Asam/khas Homogen 0,178 14,6 2,48 0,566 0,82
% % % % %
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
< 0,055 0,36 < 0,8 < 0,005 < 0.003
APM/ml 100/ml
210 Negatif
70
Yoghurt hasil produksi unit pengolahan ini memiliki penampakan berupa cairan kental sampai semi padat. Yoghurt adalah sebuah produk susu yang dihasilkan oleh bakteri fermentasi susu. Fermentasi dari laktosa menghasilkan asam laktat yang bekerja pada protein susu sehingga membuat yoghurt lebih padat serta memiliki tekstur dan aroma yang khas. Rasa yang asam pada yoghurt disebabkan karena adanya fermentasi dengan menambahkan bakteri-bakteri tertentu pada yoghurt tersebut. Buckle (2007) menyatakan bahwa, Streptococcus thermophillus memulai fermentasi laktosa menjadi asam laktat. Flavour khas yoghurt disebabkan karena asam laktat dan sisa-sisa asetalhida, diasetil, asam laktat yang dihasilkan oleh fermentasi bakteri. Hasil pengujian lemak pada yoghurt sebesar 0,178% nilai tersebut sesuai dengan SNI 01-2981-2009 maksimal kadar lemak yang dimiliki harus 0,5%. Yoghurt memiliki lemak sebanyak susu yang digunakannya. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa yoghurt tanpa lemak. Kandungan lemak dan padatan bukan lemak yang bervariasi untuk tiap-tiap produk susu yang menjadi bahan baku yoghurt akan berpengaruh langsung terhadap flavour, konsistensi (body) dan nilai gizi produk yoghurt yang dihasilkan (Fardiaz et al., 1992). Hasil pengujian bahan kering tanpa lemak pada yoghurt sebesar 14,6%, dilihat dari persyaratan SNI 01-2981-2009 minimal 8,2% maka nilai tersebut telah memenuhi. Untuk mencapai nilai bahan kering yang baik pada produk akhir yoghurt maka ditambahkan susu skim, umumnya dilakukan dengan kisaran 3-4%, atau 4-5%. Peningkatan bahan kering ini disebabkan karena susu skim bubuk memiliki bahan kering yang sangat tinggi dan memiliki kemampuan untuk mengikat air serta memberikan penampakan yang padat (plump) (Agus 2010). Hasil pengujian protein yoghurt sebesar 2,48% menurut SNI 01-2981-2009 minimal nilai protein sebesar 2,7%. Semakin tinggi susu skim yang ditambahkan semakin tinggi kadar proteinnya karena susu skim sendiri merupakan sumber protein. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Agus (2010), susu skim digunakan untuk mencapai kandungan solid non fat dan sebagai sumber protein jadi secara otomatis kadar protein semakin tinggi, sama halnya dengan jumlah asam (asam laktat), karena susu skim sebagai media pertumbuhan bakteri asam laktat.
71
Hasil pengujian kadar abu yoghurt yaitu 0,566 %, sedangkan menurut SNI 01-2981-2009 maksimal harus 1,0% maka nilai tersebut masih memenuhi persyaratan. Jumlah asam yang dihitung sebagai asam laktat yaitu 0,82%, nilai tersebut memenuhi SNI 01-2981-2009 karena masih berada dikisaran 0,5-2,0%. Hasil pengujian logam timbal pada yoghurt yaitu <0,055 mg/kg, sedangkan persyaratan mutu susu segar berdasarkan SNI 01-2981-2009 maksimal 3 ppm maka masih memenuhi persyaratan. Menurut SNI 01-7387-2009, timbal merupakan logam yang sangat beracun terutama bagi anak-anak. Sumber-sumber timbal antara lain cat usang, debu, udara, air, makanan, tanah yang terkontaminasi dan bahan bakar bertimbal. Hasil pengujian logam tembaga pada yoghurt yaitu 0,36 mg/kg sesuai dengan persyaratan mutu yoghurt berdasarkan SNI 01-2981-2009 yaitu maksimal 20,00 mg/kg. Hasil pengujian timah yoghurt yaitu < 0,8 mg/kg, sedangkan menurut SNI 01-2981-2009 maksimal harus 40,00 mg/kg maka nilai tersebut memenuhi persyaratan. Timah itu sendiri merupakan unsur logam yang dapat ditempa dan berwarna keperakan. Biasanya timah logam ditemukan pada debu dan asap polusi industri (SNI 01-7387-2009). Hasil pengujian raksa pada yoghurt sebesar < 0,005 mg/kg nilai tersebut sesuai dengan SNI 01-2981-2009 maksimal raksa yang dimiliki 0,03 mg/kg. Menurut SNI 01-2981-2009 arsen yang terdapat dalam yoghurt maksimal 0,03 mg/kg hasil pengujian arsen masih memenuhi persyaratan tersebut yaitu < 0.003 mg/kg. Arsen merupakan salah satu elemen yang paling toksik dan merupakan racun akultatif dapat menimbulkan efek penyakit yang akut bagi manusia (SNI 01-7387-2009). Logam berat tidak dibutuhkan oleh manusia, sehingga jika makanan tercemar logam berat tubuh akan mengeluarkan sebagian, sisanya akan terakumulasi pada bagian tubuh tertentu seperti ginjal, hati, kuku dan jaringan lemak (Saeni, 1997). Hasil pengujian coliform pada yoghurt yaitu sebesar 210 CFU/ml menurut persyaratan SNI 01-2981-2009 maksimal 10 APM/g. Susu merupakan media pertumbuhan yang sangat baik bagi bakteri dan dapat menjadi sarana potensial bagi penyebaran bakteri patogen yang mudah tercemar kapan dan dimana saja sepanjang penanganannya tidak memperhatikan kebersihan. Pencemaran pada susu terjadi sejak proses pemerahan, dapat berasal dari berbagai sumber seperti kulit sapi, ambing, air, tanah, debu, manusia, peralatan dan udara (Rombaut, 2005). Hasil pengujian
72
Salmonella pada yoghurt yaitu negatif sesuai dengan SNI 01-2981-2009. Salmonella merupakan bakteri yang berbahaya yang dapat menyebabkan gejala gastrointestinal (gangguan perut), juga menyebabkan demam tifus dan paratifus (Fardiaz, 1992). Tindakan Pengawasan Terdapatnya sistem jaminan mutu pada keseluruhan proses (in-proses), prosedur pelacakan dan penarikan produk yang rusak (Recall procedure) dilakukan dengan baik secara teratur dan kontinu. Sarana Pengolahan/Pengawetan Suhu dan waktu pengolahan sesuai dengan persyaratan seperti pemanasan susu dilakukan hingga mendidih (90-95oC selama 10 menit), pendinginan susu (maksimal hingga suhu 40oC), separasi krim hingga suhu 37-40oC. Terdapat pencatatan suhu dan waktu setiap proses pengolahan, sehingga dapat mengontrol proses pengolahan dengan tepat. Biasanya produk yang telah melalui proses pengemasan disimpan di dalam freezer yang suhunya telah sesuai. Penggunaan Bahan Kimia Bahan kimia yang digunakan sesuai dengan metode yang disyaratkan. Biasanya bahan kimia yang dipakai berupa sanitizer dan bahan kimia sebagai perangkap lalat dan tikus yang dilakukan secara aman. Bahan kimia dan sanitizer sudah memiliki label dari perusahaan produsen dan disimpan dengan baik dengan mengupayakan agar tidak terjadi kontaminasi silang dengan produk. Bahan, Penanganan dan Pengolahan Bahan yang digunakan sesuai dengan standar mutu dan persyaratan yang ditetapkan sehingga tidak membahayakan kesehatan manusia. Bahan-bahan tambahan berupa gula, flavour dan sirup yang digunakan sesuai dengan standar dan pemakaiannya sesuai dengan persyaratan, telah mendapat izin dari Depkes dan telah mendapat MD. Penerimaan bahan baku dilakukan pengujian terlebih dahulu sehingga dapat terlihat hasil yang
baik dan terlindung dari kontaminasi atau
pengaruh lingkungan yang tidak sehat. Suhu produk yang diolah di dalam ruang pengolahan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan, sehingga produk yang
73
dihasilkan tidak rusak. Bahan baku yang datang terlebih dahulu diproses lebih dahulu (sistem First In First Out). Penanganan terhadap bahan baku ataupun produk dari tahap satu ke tahap berikutnya dilakukan secara higienis, sanitasi dan hati-hati. Mulai dari peralatan yang akan digunakan disterilkan dengan air panas, pengawasan sanitasi karyawan yang akan melakukan proses pengolahan. Penanganan produk yang menunggu giliran untuk diproses disimpan di tempat yang saniter, biasanya dimasukkan ke dalam refrigerator ataupun freezer. Proses pengolahan dilakukan sesuai dengan jenis produk dan suhu serta waktu yang telah dipersyaratkan. Produk akhir mempunyai ukuran dan bentuk yang teratur tergantung dari jenis produk akhir tersebut. Sistem pemberian etiket atau kode-kode dilakukan pada waktu memproses bahan baku, sehingga dapat membantu identifikasi produk. Perbedaan identifikasi produk terdapat dalam kemasan produk akhir. Pengemasan dilakukan dengan cepat, tepat dan aseptik untuk mencegah tidak terkena kontaminasi terhadap produk akhir yang dapat menyebabkan penurunan kualitas produk itu sendiri. Produk akhir diberi label yang memuat jenis produk, nama perusahaan, ukuran, tipe, tingkatan mutu, tanggal kadaluarsa, berat bersih, nama bahan tambahan makanan yang dipakai, kode produksi, label halal, MD dan customer service. Pelabelan ini dicantumkan dalam kemasan baik yang berupa cup maupun plastik. Penilaian penyimpangan SSOP yang terjadi pada pengamatan awal sebesar 37,5% termasuk kategori kurang memenuhi, sedangkan pada pengamatan akhir sebesar 25% termasuk kategori cukup memenuhi. Produk akhir disimpan dalam freezer di gudang kering yang bersatu dengan barang lainnya. Susunan produk akhir ini mengikuti sistem FIFO, dimana produk akhir yang lama disimpan dikeluarkan terlebih dahulu. Penyimpanan produk akhir ini terhindar dari bahan berbahaya dan ada pengecekan suhu untuk freezer. Pendistribusian produk akhir menggunakan motor roda tiga dengan produk disimpan pada ice-box dengan suhu dipertahankan rendah. Kontrol terhadap suhu produk dalam ice-box dengan penambahan es batu mampu mempertahankan kondisi atau keawetan yang dipersyaratkan.
74
a
b
c
Gambar 24. Retail Produk dalam (a) Cool Box dengan (b) Motor Roda Tiga dan Penyajian Produk dalam Show Case
75
Tabel 8. Rekapitulasi Penerapan GMP di PT D-Farm Agriprima Kondisi Lapangan
Kondisi Seharusnya
Pimpinan
Aspek GMP
• Pimpinan memiliki wawasan terhadap pengawasan modern. • Memimpin dan mengkoordinasikan semua kegiatan Divisi. • Melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan instansi terkait.
Lokasi dan Lingkungan Pabrik
• Lingkungan terbebas dari semak belukar dan rumput liar. • Memiliki tempat penampungan sampah sementara, setelah proses produksi berakhir dibuang di penampungan sampah yang berada di lingkungan IPB. • Berdekatan dengan rumah potong hewan dan beberapa peternakan sapi perah. • Terbebas dari genangan air dan akses menuju lokasi cukup baik • Ruangan penyimpanan perlengkapan cukup teratur dengan baik dan terpelihara. • Limbah cair dialirkan melalui saluran pipa pembuangan dan langsung dialirkan ke selokan. Limbah produksi atau sisa-sisa produksi dikumpulkan dan ditangani dengan baik. Limbah produksi ini biasanya dibuang setiap proses produksi berakhir. • Telah memiliki tempat sampah yang berpenutup dan terdapat pijakan untuk membukanya. • Saluran pembuangan telah dilengkapi dengan katup penutup, dinding saluran air halus dan kedap air.
• Pimpinan mempunyai wawasan terhadap metode pengawasan modern (HACCP dan melaksanakannya dengan baik) • Berkeinginan bekerja sama dengan Inspektur : a.l. menerima pengawasan dengan sepenuh hati dan mau menunjukkan data yang diperlukan oleh inspektur • Lingkungan bebas dari semak belukar/rumput liar. • Lingkungan bebas dari sampah dan barang-barang tak berguna di areal pabrik maupun di luarnya. • Terdapat tempat sampah disekitar lingkungan pabrik/tempat sampah dirawat dengan baik. • Bangunan yang digunakan untuk menaruh perlengkapan teratur, terawat dan mudah dibersihkan. Tidak terdapat tempat pemeliharaan hewan yang memungkinkan menjadi sumber kontaminasi. • Tidak terdapat debu, asap, bau yang berlebihan di jalanan, tempat parkir atau di sekeliling pabrik. • Sistem pembuangan limbah cair/saluran disekitar lingkungan pabrik baik. • Kapasitas saluran di lingkungan pabrik mencukupi. • Limbah cair disekitar lingkungan ditangani dengan baik. • Konstruksi tempat pembuangan limbah selayaknya. • Tempat/ wadah sampah terdapat penutupnya. • Limbah produksi/sisa-sisa produksi dikumpulkan dan ditangani dengan baik. • Limbah kering/padat ditangani dan dikumpulkan pada wadah yang baik • Dinding saluran air halus dan kedap air.
76 2
Tabel 8. Lanjutan Aspek GMP
Bangunan dan Ruangan Pabrik
Kondisi Lapangan
• Memiliki beberapa ruangan yang terdiri dari ruang penerimaan dan uji kualitas susu, ruang penyimpanan susu, ruang pengolahan, ruang pengemasan, ruang cuci, gudang produk dan bahan produksi, serta terdapat satu buah kamar mandi yang berada di bagian luar pabrik. • Terdapat alat pencegah masuknya hama dan hewan pengerat ke ruang produksi. • Tata letak pabrik sesuai dengan urutan proses tetapi terdapat beberapa proses yang dilakukan pada ruang yang sama. • Belum memiliki ruang istirahat bagi karyawan. • Lantai kedap air, terbuat dari keramik, tidak retak dan pecah, tidak licin serta mudah dibersihkan • Pertemuan antara lantai dan dinding mudah dibersihkan (tidak terdapat lengkungan). • Dinding kedap air hingga ketinggian sekitar 1,70 m. Kontruksi dinding • kuat, halus dan tidak mudah retak. • Jendela berpenutup kassa. • Langit-langit mudah dibersihkan, rata, tidak retak ataupun bocor dan cat yang digunakan tidak mudah mengelupas. • Langit-langit berwarna terang. • Penerangan ruangan cukup dan menggunakan lampu yang berpenutup. • Ventilasi udara cukup baik. • Ruang pengemas dilengkapi dengan AC.
Kondisi Seharusnya • Kapasitas saluran dalam pabrik mencukupi. • Saluran pembuangan dilengkapi dengan alat yang mempunyai katup utnuk mencegah masuknya air ke dalam pabrik. • Rancang bangun, bahan-bahan atau konstruksinya tidak menghambat program sanitasi. • Rancang bangun sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi. • Luas pabrik sesuai dengan kapasitas produksi. • Bangunan dalam keadaan terawat. • Terdapat fasilitas atau usaha lain untuk mencegah binatang atau serangga masuk ke dalam pabrik (kisikisi, kasa penutup lubang angin, tirai udara-air water curtain), kalaupun ada sudah efektif. • Tata ruang sesuai alur proses produksi. • Terdapat ruang istirahat, jika ada memenuhi persyaratan kesehatan. • Ruang pengolahan berhubungan langsung/terbuka dengan tempat tinggal, garasi dan bengkel. • Lantai terbuat dari bahan yang mudah diperbaiki/dicuci dan tidak rusak. Konstruksi sesuai persyaratan teknik sanitasi dan higien (rata, kuat, tidak retak atau tidak licin). Pertemuan antara lantai dan dinding mudah dibersihkan (tidak ada lengkungan). Kemiringan sesuai, kedap air. • Dinding kedap air sampai pada ketingian minimal 1,70 m. Terbuat dari bahan yang mudah diperbaiki/dicuci. Konstruksi sesuai persyaratan teknik sanitasi dan higien (halus, tidak, tidak retak, cat tidak mudah mengelupas). Pertemuan antara lantai dan dinding mudah dibersihkan (tidak ada lengkungan).
77 3
Tabel 8. Lanjutan Aspek GMP
Kondisi Lapangan
Kondisi Seharusnya • Terdapat langit-langit atau plavon di tempat tertentu
Gudang Biasa (kering) dan Gudang Kemasan Produk
• Belum terdapat lemari atau rak khusus untuk penyimpanan bahan-bahan tambahan. • Penyimpanan bahan pengemas, bahan kimia dan bahan tambahan lain disimpan secara berbeda sesuai fungsinya. • Terdapat alat pencegah masuknya hama dan hewan pengerat ke gudang kering dan kemasan. • Ventilasi udara cukup baik. • Wadah dan atau pengemas disimpan pada tempat yang bersih, rapi dan terlindung dari kontaminasi, terpisah pada tempat khusus
• • • • • • • • •
yang diperlukan. Langit-langit/plavon bebas dari kemungkinan catnya tidak mengelupas/rontok , tidak ada kondensasi, kedap air dan mudah dibersihkan, rata, tidak retak, tidak bocor dan tidak berlubang. Ketinggian kurang dari 2,40 m. Gudang kering menggunakan tempat penyimpanan seperti pallet, lemari, kabinet rak dan lain-lain yang dibutuhkan untuk mencegah kontaminasi. Metode penyimpanan bahan berpeluang terjadinya kontaminasi. Fasilitas penyimpanan bersih, saniter dan terawat dengan baik. Pemisahan barang secara teratur dan dipisahpisahkan (penyimpanan bahan pengemas dan bahanbahan lain : kimia bahan berbahaya dll). Terdapat pengendalian untuk mencegah serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya di gudang. Pencegahan serangga, burung, tikus dan binatang lain efektif. Ventilasi pada gudang kering dan gudang kemasan berfungsi dengan baik. Wadah dan atau pengemas disimpan pada tempat yang bersih, rapi dan terlindung dari kontaminasi. Terpisah pada tempat khusus.
78 4
Tabel 8. Lanjutan Aspek GMP Fasilitas
Kondisi Lapangan • • • • • • • • • • •
Kondisi Seharusnya
Belum terdapat bak cuci kaki. Terdapat wastafel untuk mencuci tangan dibeberapa ruangan. Terdapat sabun dan alat pengering berupa hand drying namun belum berfungsi dengan baik.
•
Toilet berada di luar ruang produksi. Toilet dilengkapi sarana cuci tangan. Jumlah toilet mencukupi dan sesuai dengan jumlah karyawan. Belum terdapat peringatan mencuci tangan setelah dari toilet. Memiliki 1 toilet untuk 6 orang karyawan. Toilet berada bagian belakang lokasi pengolahan Pintu toilet selalu tertutup, belum dilengkapi dengan lampu sehingga cahaya kurang mencukupi. Ventilsai udara yang terdapat dalam pengolahan ini sudah mampu menjamin peredaran udara dengan baik. Belum dilengkapi dengan fasilitas keamanan/kesehatan kerja (klinik) yang memadai, hanya tersedia beberapa obat-obatan yang bisa digunakan.
•
• •
• •
• • •
• • • • •
Terdapat tempat cuci tangan, maupun bak cuci kaki, kalau ada mencukupi Tempat cuci tangan dan bak cuci kaki mudah dijangkau atau ditempatkan secara layak. Fasilitas pencuci disediakan (sabun, pengering, dan lain-lain). Terdapat peringatan pencucian tangan sebelum bekerja. Peralatan pencucian tangan cukup/ lengkap Terdapat fasilitas/bahan untuk pencucian tangan seperti tissue, sabun (cair) dan pengering agar karyawan mencuci tangan mereka setelah menggunakan toilet. Jumlah toilet mencukupi sebagaiman yang dipersyaratkan. Pintu toilet tidak berhubungan langsung dengan ruang pengolahan. Konstruksi toilet layak (lantai, dinding, langitlangit, pintu, ventilasi, dll). Dilengkapi dengan saluran pembuangan. Toilet terawat dan tidak digunakan untuk keperluan lain. Intensitas cahaya cukup atau tidak menyilaukan. Tidak terjadi akumulasi kondensasi di atas ruang pengolahan, pengemasan dan penyimpanan bahan. Tidak terdapat kapang (mold), asap dan bau yang mengganggu di ruang pengolahan. Tersedia PPPK atau fasilitas keamanan kerja (klinik) yang memadai. Fasilitas klinik pabrik tidak digunakan untuk cek up rutin seluruh karyawan khusunya di bagian produksi.
79 5
Tabel 8. Lanjutan Aspek GMP
Kondisi Lapangan
Keamanan Air
• Penggunaan air untuk proses produksi dan non produksi dibedakan. Air untuk produksi sama dengan mutu air minum, sedangkan air yang digunakan untuk proses non produksi berasal dari IPB yang telah melalui treatment. • Belum dilakukan pengujian terhadap kualitas air. • Air baku yang digunakan yaitu air mineral yang telah memiliki sertifikasi untuk dapat digunakan sebagai air minum.
Operasional Sanitasi dan Peralatan Produksi
• Sebagian besar peralatan yang digunakan aman, tahan korosif dan mudah dibersihkan, namun masih terdapat peralatan yang terbuat dari kayu. • Peralatan dicuci segera setelah digunakan dengan menggunakan sabun. • Sebelum digunakan peralatan disterilkan terlebih dahulu menggunakan air panas. • Peralatan ditempatkan dalam ruang terbuka (belum terdapat lemari khusus. • Barang yang sudah rusak atau tidak digunakan disimpan terpisah.
Kondisi Seharusnya • Pasokan air panas atau dingin cukup. Air mudah dijangkau/ disediakan. • Air tidak dapat terkontaminasi, misalnya hubungan silang antara air kotor dengan air bersih, sanitasi lingkungan. • Air baku layak digunakan (portable), dilakukan pengujian secara berkala. • Air mendapat persetujuan dari pihak berwenang untuk digunakan sebagai bahan untuk pengolahan (tidak ada hasil uji). • Permukaan peralatan, wadah dan alat-alat lain yang kontak dengan produk dibuat dari bahan yang sesuai seperti halus, tahan karat, tahan air dan tahan terhadap bahan kimia. • Bahan yang terbuat dari kayu dilapisi dengan bahan yang tidak berbahaya dan/atau kedap air. • Peralatan/wadah di cuci dan disanitasi sebelum digunakan. Metode pembersihan/pencucian mencegah kontaminasi terhadap produk. • Rancangan bangun, konstruksi dan penempatan peralatan serta wadah menjamin sanitasi dan dapat dibersihkan secara efektif. • Peralatan /wadah yang masih digunakan dirawat dengan baik. • Terdapat program pemantauan untuk membuang wadah dan peralatan yang sudah rusak/tidak digunakan. • Peralatan kebersihan sesuai kapasitas produksi atau cukup tersedia. • Dilakukan penyuci hamaan peralatan secara efektif.
80 6
Tabel 8. Lanjutan Aspek GMP Bahan, pengolahan dan produk akhir
Kondisi Lapangan • Bahan-bahan yang digunakan untuk proses pengolahan sesuai dengan persyaratan dan telah mendapat ijin dari Depkes. • Belum dilakukan pemeriksaan secara kimia dan biologis terhadap bahan yang digunakan kecuali bahan baku (susu segar). • Penggunaan bahan baku untuk pengolahan dilakukan secara sistem First in First Out (FIFO). • Proses pengolahan sesuai dengan jenis produk dengan formulasi untuk masing-masing pengolahan serta pelaksanaan proses pengolahan sesuai dengan instruksi tahapan proses produksi. • Produk akhir memiliki ukuran dan keteraturan bentuk dengan pemberian kode untuk masing-masing produk. • Pengemasan produk akhir dilakukan secara cepat, tepat dan saniter. • Wadah kemasan yang digunakan berupa cup aseptis tahan panas dengan penutup metalizing. • Produk akhir disimpan di dalam freezer di gudang penyimpanan dengan pemisahan dari bahan lain namun pernah ditemukan adanya bahan baku yang tidak terpisah dari produk akhir. • Produk diberi label di atas bagian penutup cup berupa sticker yang memuat merk dagang, volume kemasan, tanggal kadaluarsa, petunjuk penyimpanan, komposisi, No MD, nama unit pengolahan, alamat perusahaan dan cara penggunaan. • Dilakukan sistem FIFO dan sistem pencatatan untuk proses keluar masuk produk.
Kondisi Seharusnya •
• •
• • • • • •
• •
Bahan baku dan bahan tambahan sesuai dengan standar yang tidak membahayakan kesehatan manusia dan penerimaan bahan baku dilakukan dengan baik, terlindung dari kontaminan. Harus dilakukan pemeriksaan bahan secara organoleptik, fisik, kimia dan biologi. Bahan baku yang datang terlebih dahulu diproses terlebih dahulu juga (sistem FIFO) dan penangannya dari setiap tahapan dilakukan secara hati-hati higienis dan saniter. Proses pengolahan sesuai dengan jenis produk dan memiliki formulasi untuk setiap pengolahan. Terdapat instruksi tahapan proses produksi sesuai SOP produksi produk. Suhu dan waktunya pengolahan sesuai dengan persyaratan. Produk akhir memiliki ukuran keteraturan bentuk. Diberlakukan sistem pemberian etiket atau kode yang dapat membantu identifikasi produk. Produk akhir dikemas secara cepat, tepat dan saniter dengan mnggunakan wadah kemasan yang dapat melindungi dan tidak berpengaruh terhadap isi, mutu serta tidak merugikan dan membahayakan produk. Produk akhir disimpan dalam gudang dan dipisah dengan barang lain. Label produk memuat jenis produk, nama perusahaan pembuat, ukuran, tipe, grade (tingkatan mutu), tanggal kadaluarsa, berat bersih, nama bahan tambahan makanan yang dipakai, kode produksi dan persyaratan lain.
81 7
Tabel 8. Lanjutan Aspek GMP
Kondisi Lapangan
Kondisi Seharusnya
Penggunaan bahan kimia
• Penggunaan insektisida sesuai dengan persyaratan sesuai dosis penggunaan. • Penyimpanan bahan toksin berbeda dengan penyimpanan produk dan telah memiliki label berdasarkan merk dagangnya.
• Penggunaan isektisida/rodentisida/peptisida sesuai dengan persyaratan. • Penggunaan bahan kimia sesuai dengan yang diizinkan dan dengan metode yang dipersyaratkan. • Bahan kimia dan sanitizer disimpan dengan baik dan diberi label.
Tindakan Pengawasan
• Pengawasan dilakukan terhadap bahan yang digunakan untuk proses produksi dengan menjamin mutu bahan yang digunakan dengan menguji kulaitas bahan baku sesuai standar. • Pengawasan dilakukan pada setiap tahapan proses produksi. • Dilakukan pengujian mutu pada tahap akhir sebelum diedarkan. • Produk akhir disimpan di dalam freezer di gudang penyimpanan dengbahan baku dan produk akhir disimpan secara terpisah namun pernah ditemukan adanya bahan baku yang tidak terpisah dari produk akhir. • Prosedur pelacakan dan penarikan (recall procedure) dilakukan dengan baik, teratur dan kontinyu. • Dilakukan sistem FIFO dan sistem pencatatan untuk proses keluar masuk produk.
Pengujian bahan baku dan produk akhir
• Dilakukan pengujian bahan baku (susu segar) yaitu berupa uji fisik dan kimia sebelum diolah namun pengujian secara mikrobiologi belum dilakukan secara berkala. • Pengujian produk akhir baik fisik, kimia dan mikrobiologi masih belum intensif dilaksanakan.
• Pengawasan dilakukan pada setiap tahapan produksi. • Sistem jaminan mutu dilakukan pada keseluruhan proses (in process). • Sebelum diolah dilakukan pengujian mutu dari bahan baku. • Campuran bahan baku disesuaikan spesifikasi. • Bahan tambahan pangan sesuai dengan peraturan. • Sebelum diedarkan dilakukan pengujian mutu pada produk akhir. • Bahan baku dan produk akhir disimpan secara terpisah. • Penyimpanan dan penyerahan produk dilakukan secara FIFO. • Prosedur pelacakan dan penarikan (recall procedure) dilakukan dengan baik, teratur dan kontinyu. • Dilakukan pengujian pada bahan baku dan produk akhir. • Memiliki laboratorium yang minimal dilengkapi dengan peralatan dan media untk pengujian organoleptik dan mikrobiologi.
82 8
Tabel 8. Lanjutan Aspek GMP
Sanitasi dan higien karyawan
Pengendalian hama
Kondisi Lapangan • Belum memiliki laboratorium khusus untuk pengujian, namun pengujian bahan baku dan produk biasanya dilakukan di laboratorium teknologi hasil ternak dan Balai Besar Industri Agro dengan jumlah tenaga yang mencukupi dan memiliki kualifikasi yang memadai. • Hasil pengujian bahan baku dan produk akhir telah memenuhi persyaratan. • Pihak pengolahan memberikan pengarahan mengenai pentingnya sanitasi dan higien personal. • Pihak perusahaan memberikan kebijakan bahwa karyawan yang sakit sebaiknya tidak melakukan proses produksi. • Pemeriksaan karyawan secara berkala belum dilakukan. • Belum ada pencatatan kesehatan karyawan. • Karyawan bebas dari penyakit yang dapat mengkontaminasi produk (luka, TBC, hepatitis, typhus dll). • Kondisi karyawan saat bekerja dalam keadaan sehat. • Karyawan memakai atribut lengkap (pakaian, penutup kepala, masker dan sepatu boot) dan tidak melakukan tindakan yang dapat memberikan peluang pencemaran produk (makan, minum, mengobrol, merokok, mludah, dan kebiasaan buruk lain). • Karyawan mencuci tangan sebelum melakukan proses produksi. • Terdapat pencatatan mengenai kegiatan sanitasi ruangan yang dilakukan oleh karyawan di setiap ruangan. • Terdapat pest control berupa insect killer, perangkap tikus dan lalat, serta penggunaan tirai plastik didalam pabrik sebagai tindakan pencegahan dan pengendalian hama. Namun pelaksanaanya belum efektif.
Kondisi Seharusnya • •
Jumlah tenaga laboratorium mencukupi dan memiliki kualifikasi yang memadai. Hasil uji bahan baku dan produk akhir memenuhi persyaratan.
•
Manajemen unit pengolahan memiliki tindakantindakan efektif untuk mencegah karyawan yang diketahui mengidap penyakit yang dapat mengkontaminasi produk (luka, TBC, hepatitis, typhus dll). • Pelatihan pekerja mengenai sanitasi dan higien yang cukup. • Pemeriksaan karyawan secara rutinm dan terdapat catatan kesehatan karyawan. • Pemakaian pakaia kerja secara lengkap dan bersih, tidak meludah di ruang pengolahan, merokok dll. • Karyawan mampu mengurangi dan mencegah kontaminasi dari mikroba dan bahan lain. • Karyawan bebas dari penyakit kulit dan menular lainnya. • Pengawasan dalam sanitasi pencucian tangan dan kaki sebelum masuk ruang pengolahan dan setelah keluar dari toilet. • Pelaksanaan pengendalian dan pencegahan serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya di lingkungan pabrik secara efektif. • Pelaksanaan pengendalian dan pencegahan serangga, tikus dan binatang lainnya di dalam pabrik secara efektif.
83 9
Tabel 8. Lanjutan Aspek GMP
Kondisi Lapangan • Ruang dan tempat yang digunakan untuk penerimaan, pengolahan dan penyimpanan bahan baku /produk akhir dipelihara kebersihan dan sanitasinya. • Menjaga sanitasi lingkungan pabrik , menjamin penanganan limbah dengan baik serta memantau keefektifan prosedur pemeliharaan dan sanitasi untuk mencegah dan mengendalikan hama. Namun pelaksanaannya belum efektif. • Penggunaan obat pembasmi serangga, binatang pengerat, dan kapang dilakukan secara efektif. • Binatang peliharaan dicegah masuk ke dalam pabrik.
Kondisi Seharusnya • Ruang dan tempat yang digunakan untuk penerimaan, pengolahan dan penyimpanan bahan baku /produk akhir dipelihara kebersihan dan sanitasinya. • Binatang peliharaan dicegah masuk ke dalam pabrik. • Penggunaan obat pembasmi serangga, binatang pengerat, dan kapang dilakukan secara efektif.
84 10
Tabel 9. Rekapitulasi Penerapan SSOP di PT D-Farm Agriprima Aspek SSOP Keamanan Air
Kondisi Lapangan •
• Pencegahan Kontaminasi Silang
•
•
Pencegahan kontaminasi silang yang kontak dengan permukaan
•
• •
Penggunaan air untuk proses produksi dan non produksi dibedakan. Air untuk produksi sama dengan mutu air minum, sedangkan air yang digunakan untuk proses non produksi berasal dari IPB yang telah melalui treatment. Belum dilakukan pengujian terhadap kualitas air. Diwajibkan dalam menggunakan perlengkapan seperti jas lab, masker, penutup kepala dan sepatu boot selama proses produksi. Karyawan mencuci tangan sebelum melakukan prose produksi, melakukan penyemprotan alkohol pada tangan karyawan ketika akan melakukan proses pengemasan. Sebagian besar peralatan yang digunakan aman, tahan korosif dan mudah dibersihkan, namun masih terdapat peralatan yang terbuat dari kayu. Peralatan dicuci segera setelah digunakan dengan menggunakan sabun. Sebelum digunakan, peralatan disterilkan terlebih dahulu menggunakan air panas.
Kondisi Seharusnya •
•
•
•
•
Penilaian Penyimpangan Awal Akhir
Penggunaan air dibedakan antara air yang kontak langsung dengan bahan-bahan dan air yang digunakan untuk pencucian alat. Kualitas air untuk pengolahan pangan sama dengan kualitas air minum.
62,5% (sangat kurang memenuhi)
37,5% (kurang memenuhi)
Pakaian khusus produksi (seragam, masker, hair net, sepatu khusus) harus digunakan hanya pada saat melakukan produksi. Melaksanakan higien personal disetiap proses produksi
45% (kurang memenuhi)
20% (cukup memenuhi)
Peralatan yang digunakan harus dalam keadaan bersih, bebas jamur, minyak/oli, cat yang terkelupas, dan kotoran-kotoran lainnya sisa proses sebelumnya.
62,5% (sangat kurang memenuhi)
50% (kurang memenuhi)
85 11
Tabel 9. Lanjutan Aspek SSOP Fasilitas Sanitasi di Ruang Pengolahan
Kondisi Lapangan • • • •
Belum terdapat bak cuci kaki. Terdapat wastafel untuk mencuci tangan dibeberapa ruangan. Terdapat sabun dan alat pengering berupa hand drying namun belum berfungsi dengan baik. Belum terdapat ruang istirahat dan ruang ganti pakaian.
Kondisi Seharusnya •
• •
Perlindungan dari bahan cemaran (adulterant)
• •
Sistem Pelabelan dan Penyimpanan Produk
• •
Wadah kemasan yang digunakan yaitu cup aseptis tahan panas dengan penutup metalizing. Bahan baku seperti gula disimpan di dalam gudang kering yang terpisah dari ruang proses produksi. Pelabelan yaitu dengan penempelan sticker pada bagian tutu cup. Label memuat Merk dagang, volume kemasan, tanggal kadaluarsa, petunjuk penyimpanan, komposisi, No MD, nama unit pengolahan, alamat perusahaan.
• •
•
Sarana pencuci tangan diletakkan di tempat-tempat yang diperlukan, dilengkapi, dilengkapi dengan air mengalir, alat pengering tangan, dan tempat pembuangan berpenutup. Fasilitas ganti pakaian disesuaikan dengan jumlah karyawan. Tersedia fasilitas foot bath di area masuk ruang produksi. Terdapat tempat penyimpanan khusus untuk bahan pengemas atau alat-alat untuk produksi. Kemasan dan bahan-bahan lain yang digunakan disimpan terpisah dari bahan-bahan sanitasi. Pelabelan dapat digunakan untuk bahan-bahan yang berbahaya untuk menghindari kesalahan penggunaan.
Penilaian Penyimpangan Awal Akhir 75% (sangat kurang memenuhi)
50% (kurang memenuhi)
16,67% (cukup memenuhi)
0% (memenuhi)
37,5% (kurang memenuhi)
25% (cukup memenuhi)
86 12
Tabel 9. Lanjutan Aspek SSOP Kontrol Kesehatan Pegawai
Kondisi Lapangan • • •
Pencegahan Hama Pabrik
• •
Pemeriksaan kesehatan karyawan belum dilakukan secara berkala. Karyawan yang sakit tidak melakukan produksi. Pencatatn tentang riwayat kesehatan karyawan belum dilakukan. Terdapat perangkap serangga, perangkap tikus dan lalat. Pembatas setiap ruangan menggunakan tirai plastik untuk mencegah masuknya serangga.
Kondisi Seharusnya • • •
•
•
Penilaian Penyimpangan Awal Akhir
Kesehatan karyawan perlu di cek secara rutin, untuk mengetahui kondisi karyawan. Terdapat catatan tentang riwayat kesehatan karyawan.
100% (tidak memenuhi)
100% (tidak memenuhi)
Penumpukan barang-barang di ruang inkubasi harus dihindari untuk untuk mencegah munculnya sarang serangga. Perlu disediakan fasilitas pest control dan dilakukan pembersihan ruangan secara fasilitas pest control. Dilakukan pembersihan ruang produksi secara berkala.
31,25% (kurang memenuhi)
31,25% (kurang memenuhi)
87 13
Penyusunan HACCP Kebijakan Mutu PT D-Farm Agriprima adalah suatu unit usaha yang melakukan pelaksana teknis di Unit Pengolahan Susu untuk melakukan proses produksi dan pemasarannya. Unit Pengolahan Susu PT D-Farm Agriprima merupakan unit teaching industry dibawah bagian Teknologi Hasil Ternak yang memiliki kegiatan pelayanan praktikum, penelitian, kunjungan, pelatihan dan pendampingan. Unit ini dikelola atau berada di bawah naungan Unit Pengolahan Susu Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan IPB dan PT D-Farm Agriprima sebagai operator produksi. PT D-Farm Agriprima mempunyai visi yaitu, pengolahan susu yang menjamin kualitas dan kuantitas produk susu berdasarkan kualifikasi keamanan pangan serta berpartisipasi aktif dalam bidang pendidikan. Adapun misi PT D-Farm Agriprima yaitu melakukan proses olahan susu yang ASUH dan memberikan pelatihan pengolahan susu kepada masyarakat luas. Organisasi Tim HACCP Organisasi tim HACCP yaitu tim yang dalam hal ini dapat menyusun HAACP, memberikan jaminan bahwa pengetahuan dan keahlian spesifik produk tertentu tersedia untuk pengembangan Rencana HACCP yang efektif. Tim HACCP seharusnya beranggotakan divisi-divisi dari unit usaha (Quality Anssurance, Produksi, Pemasaran dan lain-lain) dan multi disiplin dengan memperhatikan jenis produk, teknologi pengolahan, teknik penanganan dan distribusi, cara pemasaran dan cara konsumsi produk, serta potensi bahaya (Winarno dan Surono, 2004). Adapun rancangan tim yang dapat disarankan ditampilkan pada Lampiran 18.
88
Deskripsi Produk Tabel 10. Deskripsi Produk Yoghurt Komponen
Uraian
1. Kategori Proses
: Susu Fermentasi
2. Produk
: Yoghurt
3. Bahan Baku 4. Item Produk
: Susu segar, Gula, Pasta flavour, Starter ST dan LB : Yoghurt berperisa mangga, yoghurt berperisa stroberi, yoghurt berperisa sirsak, yoghurt berperisa jambu, yoghurt berperisa leci
5.Nama dagang
: FAPET
6.Cara Produk Digunakan
: Disimpan di freezer dan siap untuk dikonsumsi
7.Tipe Pengemasan
: Pengemasan dalam cup 120 ml
8.Waktu Kadaluarsa
: 1 bulan setelah produksi, dalam suhu 4-7oC
9.Penjualan
: Dijual langsung melalui retail dan langsung ke konsumen, titip jual, kredit
10.Instruksi Pelabelan
: Merk
dagang,volume
kemasan,
tanggal
kadaluarsa,
petunjuk
penyimpanan, komposisi, nama unit pengolahan, cara penggunaan, alamat perusahaan 11.Cara
: Yoghurt dingin atau beku disimpan dalam cool box yang suhunya < 200C
Transportasi/Penyimpanan 12. Standar BMCM dan BMCL
: SNI 2981 : 2009 PRODUK
JENIS PENGUJIAN
Yoghurt berperisa
Cemaran logam
mangga, yoghurt
Timbal (Pb)
Maksimum 0,3
berperisa stroberi,
Tembaga (Cu)
Maksimum 20
yoghurt berperisa
Timah (Sn)
Maksimum 40
sirsak, yoghurt
Raksa (hg)
Maksimum 0,03
berperisa jambu,
Arsen (As)
Maksimum 0,1
yoghurt berperisa
Cemaran mikroba
leci
a. Koliform
Maks 10
b. E. Coli
<3
c. Salmonella
Negatif/gram
12.Persyaratan pelanggan
: Umum kecuali bayi dibawah 1 tahun
13.Persyaratkan yang
:
direncanakan
BATAS MAKSIMUM Per gram/ml
PRODUK
JENIS PENGUJIAN Kadar lemak
BATAS MAKSIMUM Per gram/ml maksimal 0,5%
Sumber : Data primer
89
Penetapan deskripsi produk, perlu memperhatikan dan melakukan identifikasi informasi yang akan berkaitan dengan program HACCP. Deskripsi produk yang lengkap yaitu terdiri dari nama produk, komposisi, struktur kimia/fisika, perlakuanperlakuan (pemanasan, pembekuan), pengemasan, kondisi penyimpanan, daya tahan, persyaratan standar dan metode pendistribusian (Winarno dan Surono, 2004). Terdapatnya waktu kadaluarsa diperlukan agar konsumen mengetahui masa aman suatu makanan atau minuman untuk dikonsumsi. Tanggal kadaluarsa ini ditetapkan oleh PT D-Farm Agriprima. Ketentuan suhu penyimpanan di informasikan agar konsumen mengetahui cara penyimpanan produk yang sesuai hingga tanggal kadaluarsa itu tiba. Persyaratan pelanggan untuk masyarakat yang dapat mengkonsumsi yoghurt yaitu umum kecuali bayi di bawah umur satu tahun. Hal tersebut diberlakukan karena dikhawatirkan terjadi iritasi akibat rasa asam yoghurt pada daerah mulut dan dinding-dinding usus karena saluran ini lebih sensitif. Penyusunan Diagram Alir Tujuan dari pembuatan diagram alir proses adalah untuk menggambarkan garis besar tahapan proses secara singkat dan jelas. Ruang lingkup diagram alir mencakup semua tahapan proses. Sebagai tambahan, diagram ini juga bisa meliputi tahapan rantai bahan pangan sebelum dan setelah pengolahan di pabrik (Winarno dan Surono, 2004). Proses produksi yoghurt meliputi proses penerimaan susu, proses pemanasan atau pemasakan, proses pendinginan, separasi krim, pre heating, pemisahan krim dan skim, proses inokulasi starter, proses inkubasi, proses penambahan pasta flavour dan gula, proses pencampuran, proses pengemasan, proses penyimpanan produk akhir serta distribusi dingin dan retail. Proses Penerimaan Susu Bahan baku utama unit pengolahan ini yaitu susu, susu yang diterima berasal dari peternakan sapi perah Eco Farm dan peternakan sapi perah Koperasi Wirausaha Muda Indonesia (KWI). Pengiriman susu yang berasal dari Eco-Farm dan Koperasi Wirausaha Indonesia menggunakan milk can sekitar pukul 09.00 WIB. Pengujian kualitas yang dilakukan secara langsung pada saat proses penerimaan susu meliputi uji alkohol, warna dan bau. Sedangkan nilai bahan kering tanpa lemak, protein, lemak, kadar air, berat jenis, derajat keasaman, dilakukan sebelum proses
90
pengolahan, tetapi dengan mengambil sampel susu ±100 ml. Hasil pengujian kualitas susu tersebut mengacu pada SNI. Susu yang telah diterima dan diuji kualitasnya kemudian diukur volumenya sesuai jumlah produksi dan penerimaan susu dari peternakan tersebut. Pengukuran volume menggunakan gelas ukur yang telah disterilkan dengan air panas. Proses Pemanasan atau Pemasakan Pemasakan susu ini menggunakan batch pasteurizer. Unit pengolahan ini memiliki tiga batch pasteurizer yang berkapasitas sekitar 500 ml, 20 ml dan 40 ml susu. Alat ini terbuat dari stainless yang tahan terhadap korosif, memiliki pengontrol suhu dan terdapat alat pengaduk yang secara otomatis jika alat tersebut diputar. Pengadukan terjadi secara homogenisasi, maka panas akan merata menyebar ke seluruh bagian susu dan suhu yang tercatat tepat. Susu yang dimasak tergantung pada produksi yang akan dilakukan pada hari itu, pada proses pemanasan susu selalu dilakukan pengontrolan suhu dan waktu pemasakannya. Sebelum proses pemasakan berlangsung, mesin pasteurisasi harus dalam keadaan bersih dan dilakukan pemanasan mesin terlebih dahulu dengan menggunakan air hingga mencapai suhu 90ºC (pemanasan awal). Susu dimasukkan dalam batch pasteurizer dicatat suhu dan waktu awal ketika akan dimulai proses pemasakan, susu dimasak hingga suhu 9095oC dipertahankan selama 30 menit pada suhu tersebut. Setelah selesai proses pemasakan maka suhu akhir susu dicatat kembali, begitupun dengan waktu penyelesaian proses pemasakan susu. Proses Pendinginan Susu yang telah dimasak atau dipanaskan diturunkan dari batch pasteurizer dan dimasukkan ke dalam milk can yang telah disterilkan terlebih dahulu menggunakan air panas. Milk can yang telah berisi susu yang sudah dipanaskan ditutup rapat dan dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air serta dialiri oleh air yang mengalir. Susu tersebut didinginkan hingga suhu 40oC. Pengecekan susu dilakukan secara manual dengan menggunakan termometer. Proses Separasi Krim Pembuatan yoghurt ini menggunakan skim dalam susu, maka dilakukan proses separasi menggunakan separator. Dilakukan pembersihan separator terlebih dahulu 91
menggunakan air panas. Jika alat separator telah siap untuk digunakan, maka dituangkan susu dalam separator dan akan terpisah antara krim dan skim. Separasi krim hingga suhu 37-40oC. Proses Inokulasi Starter Penanaman bakteri atau biasa disebut juga inokulasi adalah pekerjaan memindahkan bakteri dari medium yang lama ke medium yang baru dengan tingkat ketelitian yang sangat tinggi. Untuk melakukan penanaman bakteri (inokulasi) terlebih dahulu diusakan agar semua alat yang ada, dalam hubungannya dengan medium agar tetap steril, hal ini agar menghindari terjadinya kontaminasi (Dwijoseputro, 1998) Proses inokulasi susu ini dilakukan pada saat suhu susu 40oC. Peralatan yang digunakan dalam proses inokulasi ini disterilkan menggunakan air panas. Karyawan sebelum memulai inokulasi starter diwajibkan menggunakan alkohol 70% untuk mensterilkan. Starter bakteri yang digunakan yaitu Streptococcus thermuphilus dan Lactobacillus bulgaricus diinokulasikan pada susu yang terdapat dalam milk can. Proses Inkubasi Inkubasi merupakan suatu teknik perlakuan bagi mikroorganisme yang telah diinokulasikan pada media (padat atau cair), kemudian disimpan pada suhu tertentu untuk dapat melihat pertumbuhannya. Bila suhu inkubasi tidak sesuai dengan yang diperlukan, biasanya mikroorganisme tidak dapat tumbuh dengan baik. Proses inkubasi pada pengolahan ini, dengan menyimpan susu yang telah diinokulasi pada wadah khusus yang telah disterilkan terlebih dahulu dengan kapasitas antara 20-40 ml susu, biasanya disimpan dalam ruang pengemas yang telah disterilkan terlebih dahulu. Suhu yang digunakan yaitu suhu kamar selama 4-6 jam, setelah itu dimasukkan ke dalam freezer selama 24 jam. Proses Penambahan Pasta Flavor, Gula dan Pencampuran Penambahan gula dilakukan setelah terbentuk yoghurt dan telah didinginkan. Penambahan gula ini tidak langsung berupa butiran-butiran gula tetapi dengan membuat larutan gula. Pembuatan larutan gula merupakan bagian dari disterilisasi dengan proses pemanasan gula. Hal tersebut mencegah terjadinya kontaminasi, karena gula atau sukrosa dapat menjadi sumber kontaminasi dari mikroorganisme 92
kapang dan khamir. Umumnya gula yang ditambahkan sekitar 5-7% (Rahman et al., 1992). Proses penambahan pasta flavor dilakukan ke dalam yogurt yang telah terbentuk. Proses mixing ini dilakukan dalam suatu wadah yang sebelumnya disterilkan menggunakan air panas. Bahan-bahan tambahan berupa gula, flavor dan sirup yang digunakan sesuai dengan standar dan pemakaiannya sesuai dengan persyaratan. Jenis flavour yang digunakan telah mendapat izin dari Depkes dan telah mendapat MD. Penambahan sirup flavor yaitu hingga kemanisan mencapai 1415oBrix. Apabila tingkat kemanisan kurang maka ditambahkan dengan sirup flavor hingga mencapai kemanisan tersebut sesuai. Proses Pengemasan Proses pengemasan dilakukan di ruang pengemas yang sudah terdapat AC sehingga suhu ruangan dapat terjaga. Ruangan tersebut dibersihkan terlebih dahulu dan disterilkan, selama menggunakan ruangan pintu tertutup rapat agar tidak mengkontaminasi produk akhir. Kemasan yang digunakan berupa cup yang aseptis berwarna putih dengan volume 120 ml. Pengisian produk ke dalam kemasan dilakukan secara manual dengan menggunakan gelas ukur yang telah disterilkan dengan air panas. Cup yang telah diisi kemudian disusun pada mesin pengemas untuk dilakukan penutupan cup dengan menggunakan penutup metalizing. Setelah selesai pengemasan kemudian yoghurt disimpan sementara pada freezer. Pelabelan dilakukan dengan menempelkan label berupa stiker pada permukaan penutup. Label tersebut menyajikan informasi yang terdiri dari Merk dagang, volume kemasan, tanggal kadaluarsa, petunjuk penyimpanan, komposisi, No MD, nama unit pengolahan, alamat perusahaan dan cara penggunaan. Proses Penyimpanan Produk Akhir Yoghurt yang telah dikemas dan siap untuk dipasarkan disimpan didalam freezer terlebih dahulu. Produk akhir yang disimpan di dalam freezer tidak dalam keadaan hangat agar proses pendinginan di dalam freezer berlangsung sempurna dan baik. Penyimpanan produk akhir ini terpisah dari ruangan pengolahan. Freezer yang digunakan memiliki suhu -4oC. Yoghurt yang telah terkoagulasi pada proses inkubasi harus segera disimpan pada suhu dingin (suhu refrigasi) dengan tujuan mencegah
93
pembentukan asam yang berkelanjutan dan menghambat aktifitas isolat laktat. Suhu dingin yang ideal untuk penyimpanan yoghurt adalah 70oC atau lebih rendah (Rahman et al., 1992). Penerimaan susu segar
Separasi krim hingga suhu 37-40oC
Terpisahnya krim dan skim
Pemanasan
Pendinginan
Inokulasi starter
Inkubasi
Penyimpanan Refrigerator
Penambahan pasta flavour
Mixing
Pengemasan
Sterilisasi kemasan
Gambar 25. Diagram Alir Yoghurt
94
Analisis Bahaya Bahaya yang dapat ditimbulkan adalah keberadaan pencemar (kontaminan) biologis, kimiawi, atau fisik bahan pangan. Selain itu, bahaya lain mencakup pertumbuhan mikrooganisme atau perubahan kimiawi yang tidak dikehendaki selama proses produksi, dan terjadinya kontaminasi silang pada produk antara, produk jadi, atau lingkungan produksi. Tujuan dari analisa bahaya adalah identifikasi bahaya dan tindakan pengendaliannya, identifikasi perlunya modifikasi proses atau produk sehingga jaminan keamanan meningkat, merupakan dasar penentuan titik kendali kritis (Critical Control Point). Terdapat beberapa jenis bahaya dalam pengolahan pangan yang dapat membahayakan konsumen, yaitu bahaya biologis, bahaya kimia dan bahaya fisik. Agar analisa bahaya ini dapat benar-benar mencapai hasil yang dapat menjamin semua informasi mengenai bahaya dapat diperoleh, maka analisa bahaya harus dilaksanakan secara sistematik dan terorganisasi. Secara umum terdapat dua tahapan dalam analisa bahaya. Tahap pertama adalah identifikasi ancaman terhadap kesehatan manusia yang mungkin timbul dalam produk pangan yang diproduksi. Pengelompokan lain yang perlu dipertimbangkan adalah terhadap bahaya kimia dan fisik. Secara sederhana penentuan tingkat bahaya kimia dan fisik dapat dikelompokkan sebagai berikut, tingkat keakutan bahaya tinggi yaitu bahaya yang mengancam jiwa manusia, tingkat keakutan bahaya sedang yaitu bahaya yang mempunyai potensi mengancam jiwa manusia, tingkat keakutan bahaya rendah yaitu bahaya yang mengakibatkan pangan tidak layak konsumsi. Tahap selanjutnya adalah menetapkan signifikansi bahaya dimana merupakan hasil analisa antara tingkat peluang kejadian (risk) dengan tingkat keakutan (severity) dari bahaya kemanan pangan. Tingkat kategori resiko dan keakutan bahaya diberi angka 10 untuk rendah, 100 untuk sedang dan 1000 untuk tinggi. Sedang signifikasi merupakan hasil perkalian antara resiko dan keakutan yang menghasilkan angka 1001.000.000 (Winarno dan Surono, 2004).
95
Gambar 26. Matriks Analisa Signifikansi Bahaya Resiko tinggi (1.000)
Resiko tinggi (1.000)
Resiko tinggi (1.000)
Keakutan rendah (10)
Keakutan sedang (100)
Keakutan tinggi (1.000)
R*K = (10.000)
R*K = (100.000)
R*K= 1.000.000
CCP
CCP
Resiko sedang (100)
Resiko sedang (100)
Resiko sedang (100)
Keakutan rendah (10)
Keakutan sedang (100)
Keakutan tinggi (1.000)
R*K = (1.000)
R*K = 10.000
R*K = 100.000 CCP
Resiko rendah (10)
Resiko rendah (10)
Resiko rendah (10)
Keakutan rendah (10)
Keakutan sedang (100)
Keakutan tinggi (1.000)
R*K = 100
R*K = 1.000
R*K = 10.000
Tingkat Keakutan Bahaya
Bahan baku utama dalam pembuatan yoghurt adalah susu segar yang harus memiliki kualitas yang baik, terhindar dari kontaminasi dan terjamin bebas dari kotoran, debu dan bahan kimia. Bahaya yang berasal dari susu segar ini dapat mempengaruhi kualitas dan lama simpan yoghurt. Sumber kontaminasi biologi, fisik dan kimia dapat disebabkan oleh kontaminasi saat proses pemerahan, kontaminasi dari pegawai saat pengujian kualitas, kontaminasi dari peralatan yang digunakan, kontaminasi dari pakan hewan dan obat-obatan serta udara. Bahaya mikroorganisme
biologis seperti
pada
susu
Salmonella,
dapat
diakibatkan
Escherichia
coli,
karena
terdapatnya
Bacillus
cereus,
Staphylococcus aureus. Salmonella dapat berasal dari kontaminasi kotoran hewan (Sulistyaningsih, 1993). Pengujian kualitas susu dilakukan secara cepat dan tepat agar susu segar tersebut tidak terkontaminasi. Pengujian dilakukan dengan cara mengambil sampel susu sebanyak 100 ml, selanjutnya dilakukan proses pengolahan. Peralatan yang dipergunakan untuk pengolahan terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, tidak bercelah-celah yang memungkinkan kuman hidup dari sisa air susu yang tertinggal di tempat itu. Pembersihan dilakukan dengan menggunakan air bersih, dilanjutkan dengan sabun kemudian dibilas kembali dengan air bersih dan air panas. Peralatan disimpan terbalik pada rak, tidak terkena sinar matahari. Hal tersebut dilakukan agar mencegah kontaminasi yang berasal dari peralatan yang
96
digunakan. Bahaya biologis ini digolongkan ke dalam bahaya dengan tingkat keparahan yang sedang, peluang terjadinya kontaminasi tinggi dan memiliki tingkat resiko tinggi. Bahaya fisik pada susu yaitu terdapatnya kotoran sapi dan debu yang masuk dalam susu selama proses pemerahan. Dilakukan pencegahan dengan sanitasi alat, penyaringan pada susu yang akan diolah, sanitasi pekerja dan mempercepat proses pengambilan sampel. Bahaya fisik ini digolongkan ke dalam bahaya dengan tingkat keparahan yang sedang, peluang terjadinya kontaminasi rendah dan memiliki faktor resiko sedang. Bahaya kimia pada susu adalah antibiotik atau pestisida dalam pakan hijauan. Pencegahan dilakukan dengan pengujian kimia. Bahaya kimia yang timbul pada proses penerimaan susu segar terdapatnya residu antibiotik dan pestisida yang berasal dari hijauan dan residu antibiotik saat pengobatan penyakit pada ternak. Residu antibiotik dalam level rendah dapat menghambat aktivitas kultur starter dan pada level yang tinggi dapat menjadi bahaya bagi kesehatan manusia (Tamime dan Robinson, 1999). Suhu dan waktu dalam proses pemanasan harus diperhatikan betul, karena jika tidak sesuai dan kurang tepat maka akan menimbulkan kontaminasi biologis mikroorganisme pathogen (Salmonella, E.coli). Pencegahan dilakukan dengan pengontrolan waktu dan suhu, kalibrasi alat pengukur suhu, pengawasan kinerja pekerja, harus sesuai SSOP dan perawatan alat yang digunakan. Hal sama pun harus dilakukan pada proses pendinginan. Jika suhu pendinginan yang tidak sesuai maka akan menimbulkan bakteri patogen pada produk dengan tingkat keparahan yang cukup tinggi, faktor resiko yang sedang dan peluang terjadinya kontaminasi rendah, maka harus mempercepat proses pendinginan. Jika proses pendinginan tidak menjaga sanitasi alat yang akan digunakan, maka akan terjadi kontaminasi fisik dari peralatan, pekerja dan udara. Jenis bahaya fisik yang dapat pada produk yaitu, debu dan rambut. Sanitasi peralatan harus benar-benar diperhatikan dalam setiap tahap proses produksi, baik dalam separasi krim, inokulasi starter, penambahan gula, penambahan pasta flavour, pencampuran, pengemasan dan penyimpanan dalam refrigerator. Bahaya yang dapat timbul dalam proses separasi krim yaitu bahaya biologi (mikroorganisme), fisik (rambut, debu, serangga). Kontaminasi dapat terjadi selain
97
karena sanitasi alat yang tidak sesuai, bisa karena kontaminasi dari pekerja yang tidak mematuhi prosedur sanitasi dalam proses pengolahan. Proses inokulasi menimbulkan peluang bahaya biologis (mikroorganisme kapang dan khamir, Bacillus sp, Clostridium sp, Staphylococcus aureus, Salmonella sp dan koliform) yang rendah. Sedangkan pada proses inkubasi menimbulkan peluang bahaya biologis (mikroorganisme kapang dan khamir, Bacillus sp, Clostridium sp, Staphylococcus aureus, Salmonella sp dan koliform) yang tinggi, akibat dari suhu dan waktu proses penggunaan yang tidak tepat. Bisa juga diakibatkan dari suhu yang tidak tetap dan tidak dilakukan pengontrolan suhu dan waktu. Proses penambahan flavor dan mixing memiliki bahaya yang sama yaitu bahaya mikroorganisme kapang dan khamir, Staphylococcus aureus, sedangkan pada penambahan gula terdapat bahaya mikroorganisme pembentuk spora (B. cereus, C. Perfringens,
koliform).
Pencegahan
kontaminasi
dapat
dilakukan
dengan
Mempercepat proses pengolahan, menjaga kebersihan alat, melakukan sesuai SSOP dengan benar. Proses pengemasan dapat menimbulkan kontaminasi jika kemasan yang akan digunakan tidak melalui proses sterilisasi secara sempurna, kontaminasi dari alat, pekerja dan lingkungan. Bahaya yang dapat mungkin terjadi yaitu bahaya mikroorganisme kapang dan khamir, Staphylococcus aureus, Bacillus sp, Clostridium sp, bahaya fisik (debu, rambut). Penggunaan alkohol sebagai bahan sterilisasi dapat menimbulkan kontaminasi jika peralatan yang digunakan kontak langsung dengan produk, hal tersebut dapat menimbulkan bahaya kimia. Bahaya mikroorganisme kapang dan khamir, Staphylococcus aureus, Clostridium sp, Bacillus sp yang terdapat pada proses penyimpanan pada refrigerator dan distribusi dingin serta retail. Hal tersebut dapat disebabkan oleh berubahnya suhu dalam refrigerator, kerusakan wadah dan fluktuasi suhu. Pencegahan yang dilakukan yaitu dengan pengontrolan suhu dan waktu, melakukan sesuai SSOP dengan benar. Penetapan Critical Control Point (CCP) Critical Control Point (CCP atau titik pengendalian kritis), adalah langkah dimana
pengendalian dapat diterapkan dan diperlukan untuk mencegah atau
menghilangkan bahaya atau menguranginya sampai titik aman (Bryan, 1995). Titik pengendalian kritis (CCP) dapat berupa bahan mentah, lokasi, praktek, prosedur atau pengolahan dimana pengendalian dapat diterapkan untuk mencegah atau mengurangi 98
bahaya. Terdapat dua titik pengendalian kritis yaitu, (1) titik pengendalian kritis 1 (CCP-1), adalah sebagai titik dimana bahaya dapat dihilangkan dan (2) titik pengendalian kritis 2 (CCP-2), adalah sebagai titik dimana bahaya dikurangi. Identifikasi CCP pada setiap tahapan proses dengan menggunakan Decision Tree atau pohon keputusan untuk mengidentifikasi bahaya-bahaya yang menjadi CCP. CCP ditetapkan pada setiap tahap proses mulai dari awal produksi suatu makanan hingga sampai ke konsumsi. Setiap tahap ditetapkan jumlah CCP untuk bahaya mikrobiologis, kimia, maupun fisik. Penetapan CCP pada produksi yoghurt dapat dilihat pada tabel Terdapat tujuh CCP pada produksi yoghurt di PT D-Farm Agriprima yaitu penerimaan susu segar, pasteurisasi, pendinginan, inokulasi starter, mixing (pencampuran), pengemasan dan penyimpanan. Proses penerimaan susu segar merupakan CCP pertama, dimana pada tahapan ini terdapat bahaya mikrobiologis yang dapat dihilangkan dengan proses pasteurisasi, sedangkan bahaya fisik pada susu segar dapat dilakukan penyaringan diawal penerimaan susu. Bahan tambahan lainnya tidak teridentifikasi kedalam CCP, karena terdapatnya tindakan pencegahan pada tahapan selanjutnya dan jika terdapat bahaya masih memiliki spesifikasi yang rendah. CCP kedua adalah pada proses pasteurisasi, tahapan ini merupakan tahapan yang dirancang untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yang mungkin terjadi pada tahapan sebelumnya. Pasteurisasi ini dilakukan pada suhu 90-95oC selama 10 menit, pada tahapan ini harus benar-benar dilakukan pengontrolan terhadap suhu dan waktu selama proses pasteurisasi berlangsung. Pasteurisasi tidak berarti sterilisasi karena terdapat beberapa mikroorganisme yang dapat bertahan terhadap pasteurisasi, seperti anggota kelompok pembentuk spora Bacillus sp dan Clostridium sp yang dapat menyebabkan kerusakan terhadap produk. CCP ketiga yaitu pendinginan karena langkah selanjutnya tidak ada proses untuk mengeliminasi bahaya. Proses pendinginan ini harus selalu dilakukan pengontrolan suhu. Inokulasi starter merupakan CCP keempat setelah proses pasteurisasi. Inokulasi starter dilakukan setelah suhu susu diturunkan dengan cepat sampai sekitar 40-45oC, yang dianggap sebagai suhu optimum untuk pertumbuhan dan pembentukan asam oleh isolat starter. Menurut Rahman et al., (1992), penurunan
99
suhu susu sebaiknya dilakukan dengan cepat, kemudian langsung dilakukan inokulasi isolat starter karena pertumbuhan isolat akan lebih cepat pada keadaan demikian dibandingkan pada susu yang didiamkan cukup lama sebelum inokulasi. Hal ini berkaitan dengan suplai oksigen yang dapat mempengaruhi keberadaan isolat yoghurt yang sifatnya anaerob fakultatif. CCP kelima yaitu pada proses pecampuran (mixing) tahapan ini pekerja mempunyai peranan penting yang dapat menyebabkan kontaminasi mikroorganisme. Selain itu peralatan yang digunakan dan udara berperan dalam sumber kontaminasi. Kotaminasi silang dapat terjadi jika sarana, wadah atau alat pengolahan dan atau penyimpanan digunakan bersama-sama baik untuk bahan mentah maupun bahan yang telah matang. Kontaminasi ulang terutama terjadi karena kurangnya sanitasi dan higien. Kontaminasi ulang dapat disebabkan karena penggunaan air, sarana, wadah, atau alat penyimpanan yang tercemar serta oleh pekerja yang tidak menjaga kebersihan dirinya. Proses pengemasan dapat menimbulkan kontaminasi jika kemasan yang akan digunakan tidak melalui proses sterilisasi secara sempurna dengan penyinaran UV selama minimal 15 menit dan tidak menerapkan SSOP dengan baik. Maka proses pengemasan ini termasuk dalam CCP keenam. Winarno dan Surono (2004) menyatakan bahwa radiasi ultra violet (UV) dapat digunakan sebagai sanitizer dengan waktu kontak lebih dari 2 menit. Penggunaan utama sinar UV adalah dalam sanitasi wadah pengemas dan ruangan karena sinar UV hanya membunuh mikroorganisme termasuk virus yang mengalami kontak langsung dengan sinar tersebut. CCP yang ketujuh yaitu proses penyimpanan, proses ini dibuat khusus untuk mengendalikan bahaya. Maka harus dilakukan pengontrolan suhu selama proses penyimpanan, hal tersebut dapat merusak produk dan mengkontaminasi pada produk akhir. Penentuan Batas Kritis Batas kritis adalah nilai yang memisahkan antara nilai yang dapat diterima dengan nilai yang tidak dapat diterima pada setiap CCP. Titik pengendalian kritis (CCP) dapat merupakan bahan mentah/baku, sebuah lokasi, suatu tahap pengolahan, praktek atau prosedur kerja, namun harus spesifik. Sudarmaji (2009) menyatakan, 100
pada setiap titik pengendalian kritis, harus dibuat batas kritis dan kemudian dilakukan validasi. Kriteria yang umum digunakan dalam menentukan batas kritis HACCP pangan adalah suhu, pH, waktu, tingkat kelembaban, kadar air (Aw), ketersediaan klorin, dan parameter fisik seperti tampilan visual dan tekstur. Prosedur Pelaksanaan Pemantauan
atau
monitoring
dalam
HACCP
didefinisikan
sebagai
pengecekan terhadap suatu prosedur pelaksanaan pengolahan dan dalam suatu penanganan pada CCP yang dapat dikendalikan dengan pengujian dan pengamatan sehingga CCP dapat dikendalikan dan dapat menjamin keamanan produk. Winarno dan Surono menyatakan (2004), biasanya perlu dicantumkan frekuensi pemantauan yang ditentukan berdasarkan pertimbangan praktis. Terdapat lima macam pemantauan yang penting dilaksanakan antara lain, pengamatan, evaluasi, sensorik, pengukuran sifat fisik, pengujian kimia, pengujian mikrobiologi. Pemantauan dilakukan oleh manager produksi yang dapat mengambil keputusan dan berwenang dalam proses pengontrolan produksi. Tindakan Koreksi Terdapatnya tindakan koreksi dalam pengendalian CCP yaitu berfungsi sebagai pencegahan yang terjadi terhadap batas kritis yang ditemukan dalam setiap proses pengolahan. Jika terdapatnya kesalahan atau kegagalan dalam proses produksi, maka tindakan koreksi ini harus segera dilaksanakan. Tindakan koreksi ini harus dapat mengurangi potensi bahaya yang dapat terjadi sehingga dapat diterima sesuai dengan persyaratan yang diizinkan. Menetapkan Prosedur Verifikasi Prosedur verifikasi dalam HACCP yaitu melakukan pemeriksaan terhadap semua program HACCP sudah sesuai dengan rencana atau masih terjadi penyimpangan. Verifikasi yang dilakukan dapat mencakup peninjauan terhadap sistem HACCP dan catatannya, peninjauan terhadap penyimpangan dan pengaturan produk, konfirmasi CCP yang berada dalam pengendalian, serta melakukan pemeriksaan (audit) metode, prosedur dan uji. Setelah itu, prosedur verifikasi dilanjutkan dengan pengambilan sampel secara acak dan menganalisanya. Prosedur verifikasi diakhiri dengan validasi sistem untuk memastikan sistem sudah memenuhi 101
semua persyaratan Codex dan memperbaharui sistem apabila terdapat perubahan di tahap proses atau bahan yang digunakan dalam proses produksi. Sudarmaji (2009) menyatakan bahwa, verifikasi tidak pernah menggantikan pemantauan. Verifikasi hanya dapat memberikan tambahan informasi untuk meyakinkan kembali kepada produsen bahwa penerapan HACCP akan menghasilkan produksi makanan yang aman (ILSI-Eropa, 1996). Dokumentasi dan Rekaman Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dalam HACCP. Penyimpanan data merupakan bagian penting pada HACCP. Penyimpanan data dapat meyakinkan bahwa informasi yang dikumpulkan selama instalasi, modifikasi dan operasi sistem akan dapat diperoleh oleh siapapun yang terlibat dalam proses, juga dari pihak luar (auditor) (Sudarmaji, 2009). Beberapa contoh catatan dan dokumentasi dalam sistem HACCP adalah analisis bahaya, penetapan CCP, penetapan batas kritis, aktivitas pemantauan CCP, serta penyimpangan dan tindakan korektif yang berhubungan. Pembuatan dokumentasi dan pencatatan sistem HACCP dilakukan oleh tim HACCP yang dibentuk dengan mekanisme administratif yang rapi sesuai dengan SOP dari perusahaan dan alur distribusi yang jelas terjamin kerahasiannya serta aturan perubahan dokumentasi yang jelas (Thaheer, 2005).
102
Tabel 11. Penetapan Analisis Bahaya No. 1.
Tahapan Proses Penerimaan susu segar
Jenis Bahaya Biologis : mikroorganisme (Salmonella, E.coli, S aureus)
Fisik : kotoran sapi, debu
2.
Pasteurisasi 90-95oC, 10 menit
3.
Pendinginan hingga suhu 40oC
4.
Separasi krim hingga suhu 37oC
Kimia : antibiotik, pestisida Biologis : mikroorganisme pathogen (Salmonella, E.coli) Biologi : bakteri patogen Fisik : debu, rambut Biologi : mikroorganisme
Penyebab Bahaya
Keparahan
Penilaian Bahaya Peluang
Kontaminasi saat pemerahan,dari pekerja saat pengujian kualitas, peralatan yang digunakan, udara dan lingkungan Kontaminasi saat pemerahan dan pengujian kualitas saat penerimaan susu Pakan hewan dan obat-obatan Suhu dan waktu pemanasan yang tidak sesuai
S (100)
T (1000)
Faktor Resiko T (100.000)
S (100)
R (10)
S (1.000)
R (10) S (100)
T (1000) T (1000)
S (10.000) T (100.000)
Suhu pendinginan yang tidak cukup Kontaminasi dari alat, pekerja dan udara Kontaminasi dari alat, pekerja dan udara
T (1000) S (10)
R (10) R (10)
S (10.000) S (100)
T (1000)
S (100)
S (100.000)
Tindakan Pencegahan Uji kualitas mikrobiologi susu, mempercepat proses pengambilan sampel
Sanitasi alat dan pekerja, dilakukan penyaringan susu, mempercepat proses pengambilan sampel Melakukan pengujian kimia Pengontrolan waktu dan suhu, kalibrasi alat pengukur suhu, pengawasan kinerja pekerja, sesuai SSOP dan perawatan alat yang digunakan Mempercepat proses pendinginan, pengecekan suhu Menjaga sanitasi alat Sanitasi alat
103 2
Tabel 11 Lanjutan No.
Tahapan Proses
Jenis Bahaya Fisik: rambut, debu, serangga
5..
Inokulasi starter
6.
Inkubasi pada suhu 40oC selama 48 jam
9.
Mixing
Biologis : mikroorganisme kapang dan khamir, Bacillus sp, Clostridim sp, Staphylococcus aureus, Salmonella sp dan koliform Biologis: mikroorganisme kapang dan khamir, Bacillus sp, Clostridim sp, Staphylococcus aureus, Salmonella sp dan koliform Biologis: mikroorganisme kapang dan khamir, Staphylococcus aureus
Penyebab Bahaya Kontaminasi dari peralatan yang digunakan dan pekerja Kontaminasi alat, pekerja dan lingkungan
Keparahan S (100)
Penilaian Bahaya Peluang Faktor Resiko S S (100) (10.000)
Tindakan Pencegahan Mempercepat proses separasi, sanitasi alat
T (1000)
S (100)
T (100.000)
Melakukan sesuai SSOP, sanitasi alat
Suhu dan waktu yang tidak sesuai
R (10)
T (1000)
S (10.000)
Dilakukan pengontrolan suhu dan waktu, melakukan sesuai SSOP
Kontaminasi dari alat dan pekerja
S (100)
R (10)
S (1000)
Mempercepat proses mixing, kebersihan alat, melakukan sesuai SSOP
104 3
Tabel 11. Lanjutan No.
10.
11.
Tahapan Proses
Pengemasan
Penyimpanan refrigerator
Jenis Bahaya
Penyebab Bahaya
Keparahan
Penilaian Bahaya Peluang Faktor Resiko R S (10) (1000)
Fisik : debu, rambut
Kontaminasi dari alat dan pekerja
S (100)
Biologis: mikroorganisme kapang dan khamir, Staphylococcus aureus, Bacillus sp, Clostridim sp Kimia : alkohol
Kontaminasi dari kemasan yang tidak steril, kontaminasi dari alat, pekerja dan lingkungan
S (100)
R (10)
S (1000)
Kontaminasi dari penggunaan alkohol sebagai bahan sterilisasi Kontaminasi dari berubahnya suhu dalam refrigerator
S (100)
S (100)
S (1000)
R (10)
R (10)
R (1000)
Biologis: mikroorganisme kapang dan khamir, Staphylococcus aureus, Clostridium sp, Bacillus sp
Tindakan Pencegahan Mempercepat proses mixing, kebersihan alat, melakukan sesuai SSOP Mengawasi kebersihan alat, melakukan sesuai SSOP
Mengawasi kebersihan alat, melakukan sesuai SSOP, melakukan penyinaran UV selama 15 menit Dilakukan pengontrolan suhu dan waktu, melakukan sesuai SSOP
105
4
Gambar 12. Penetapan CCP No.
Tahapan Proses Penerimaan susu segar
Bahaya Signifikan Biologis : mikroorganisme (Salmonella, E.coli, B.cereus, S aureus) Fisik : kotoran sapi, debu Kimia : antibiotik, pestisida
P1 Y
P2 Y
P3 -
P4 -
CCP CCP
Y T
T -
Y -
T -
Non CCP Non CCP
Pasteurisasi
Biologis : mikroorganisme (Salmonella, E.coli, B.cereus, S aureus)
Y
T
Y
T
CCP
Pendinginan
Biologi : bakteri patogen
Y
Y
-
-
CCP
Fisik : debu, rambut
Y
T
Y
Y
Non CCP
Biologi : mikroorganisme
Y
T
T
-
Non CCP
Fisik: rambut, debu, serangga
Y
T
T
-
Non CCP
Biologis : mikroorganisme kapang dan khamir, Bacillus sp, Clostridium sp, Staphylococcus aureus, Salmonella sp dan koliform
Y
T
Y
T
CCP
Separasi krim hingga suhu 37oC
Inokulasi starter
Alasan Keputusan Bahaya ini akan hilang pada proses pasteurisasi Terdapat pengujian fisik Belum terdapat pencegahan Proses ini dilakukan untuk mengurangi bahaya yang dapat terjadi Tidak ada proses eliminasi selanjutnya terhadap bahaya Dilakukan pemilihan bahan yang akan digunakan Proses ini dilakukan untuk mengurangi bahaya yang dapat terjadi Dilakukan pemilihan bahan yang akan digunakan Tahapan berikutnya dapat terkontaminasi
106
5
Tabel 12. Lanjutan No.
Tahapan Proses Inkubasi pada suhu 40oC selama 48 jam
Bahaya Signifikan Biologis: mikroorganisme kapang dan khamir, Bacillus sp, Clostridim sp, Staphylococcus aureus, Salmonella sp dan koliform
P1 Y
P2 T
P3 T
P4 -
CCP Non CCP
Mixing
Biologis: mikroorganisme kapang dan khamir, Staphylococcus aureus Fisik : debu, rambut
Y
T
Y
T
CCP
Y
T
T
-
Non CCP
Pengemasan
Penyimpanan refrigerator
Biologis: mikroorganisme kapang dan khamir, Staphylococcus aureus, Bacillus sp, Clostridim sp Fisik : debu, rambut
Y
T
Y
T
CCP
Y
Y
-
-
CCP
Kimia : alkohol
Y
Y
-
-
CCP
Biologis: mikroorganisme kapang dan khamir, Staphylococcus aureus, Clostridium sp, Bacillus sp
Y
Y
T
-
CCP
Alasan Keputusan Kontaminasi mikroorganisme tidak sampai pada taraf yang tidak aman Kontaminasi terjadi dari lingkungan luar Dilakukan pemilihan bahan yang akan digunakan Kontaminasi terjadi pada taraf yang tidak aman Kontaminasi berasal dari pekerja dan lingkungan Langkah ini dibuat untuk mengebdalikan bahaya Proses ini dilakukan untuk mengurangi bahaya yang dapat terjadi
107
6
Gambar 13. Pengendalian CCP No. CCP
Proses
Jenis Bahaya
Batas Kritis Metode
Monitoring Frekuensi
P. Jawab
Tindakan Koreksi
Dokumentasi
Susu segera ditolak oleh koordinator penerimaaan bahan mentah atau manajer produksi Dipasteurisasi ulang dan dipastikan alat berfungsi dengan baik
- Log penerimaan susu segar - Log tindakan koreksi
1.
Penerimaan Susu segar
Kimia: 7ntibiotic, pestisida
Tidak ada kandungan antibiotik, pestisida
Melalukan uji kimia susu
Setiap penerimaan susu
Manajer Produksi
2.
Pasteurisasi
Biologis: mikroorganisme pathogen (Salmonella, E.coli)
Suhu 9095oC, 10 menit
Dilakukan pengukuran suhu dan waktu secara langsung
Setiap proses produksi
Manajer produksi
3.
Pendinginan
Biologi : bakteri patogen
Peralatan yang digunakan
Menjaga sanitasi
Setiap proses produksi
Manajer produksi
Menjaga sanitasi alat dan lingkungan
4.
Inokulasi starter
Biologis : mikroorganisme kapangdan khamir, Bacillus sp, Clostridim sp, Staphylococcus aureus, Salmonella sp dan koliform
Penerapan higien personal dan sanitasi alat terjaga serta ruangan tertutup
Mengamati kinerja para pekerja secara langsung
Setiap proses inokulasi
Manajer Produksi
Segera menegur pekerja dan dilakukan pengawasan serta mengadakan instruksi
- Log pencatatan suhu dan waktu - Log tindakan koreksi - Log tindakan koreksi - Log tindakan koreksi
Verifikasi Metode P. Jawab Melakukan Direktur uji residu antibiotik secara berkala 1 bulan sekali Melakukan pengecekan bakteri patogen secara berkala
Direktur
Menjaga kesterilan dalam proses pendinginan Adanya internal audit (pekerja, alat, ruangan serta pengujian produk)
Direktur
Direktur
108
7
Tabel 13. Lanjutan No. CCP 5.
Proses
Jenis Bahaya
Batas Kritis
Mixing
Biologis: mikroorganisme kapang dan khamir, Staphylococcus aureus
Penerapan higien personal dan sanitasi alat terjaga serta ruangan
6.
Pengemasan
Biologis: mikroorganisme kapang dan khamir, Staphylococcus aureus, Bacillus sp, Clostridim sp
Kemasan telah disterilisasi dengan UV selama 15 menit, sanitasi pekerja dan alat terjaga
Metode Mengamati kinerja para pekerja
Mengamati kinerja para pekerja dan sanitasi ruang
Monitoring Frekuensi Setiap proses pencampuran
Setiap kali proses pengemasan
P. Jawab Manajer Produksi
Manajer Produksi
Tindakan Koreksi Segera menegur pekerja, menjaga sanitasi alat dan lingkungan serta melakukan pengujian oleh Manajer produksi Segera menegur pekerja dan melakukan sterilisasi ruangan dengan sinar UV dan melakukan pengawasan secara rutin oleh Manajer produksi
Dokumentasi - Log tindakan koreksi
- Log pengemasan - Log tindakan koreksi
Verifikasi Metode P. Jawab Melakukan Direktur pengecekan bakteri patogen secara berkala
Menjaga kesterilan dalam proses pengemasan, dan kesesuaian dengan GMP. Adanya internal audit (pekerja, alat, ruangan serta pengujian produk)
Direktur
109
8
Tabel 13. Lanjutan No. CCP
7.
Proses
Jenis Bahaya
Batas Kritis Metode
Penyimpanan refrigerator
Monitoring Frekuensi
P. Jawab
Tindakan Koreksi
Dokumentasi
Fisik : debu, rambut
Penerapan higien personal dan sanitasi alat terjaga
Mengamati kinerja para pekerja
Setiap proses pengemasan
Manajer Produksi
Segera menegur dan melakukan sterilisasi ruangan dengan sinar UV dan melakukan pengawasan secara rutin oleh Manajer produksi
- Log pengemasan - Log tindakan koreksi
Biologis: mikroorganisme kapang dan khamir, Staphylococcus aureus, Clostridium sp, Bacillus sp
Suhu refrigerator
Dilakukan pengontrolan suhu
Setiap produk masuk dalam refrigerator
Manajer Produksi
Melakukan pengawasan secara rutin oleh Manajer produksi
- Log penyimpanan - Log tindakan koreksi
Verifikasi Metode P. Jawab Menjaga Direktur kesterilan dalam proses pengemasan, dan kesesuaian dengan GMP. Adanya internal audit (pekerja, alat, ruangan serta pengujian produk) Melakukan Direktur pengecekan bakteri patogen secara berkala
110
9
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Secara umum dapat disimpulkan dalam pelaksanaan penerapan GFP pada peternakan Eco Farm dan KWI harus ditingkatkan lagi, agar dapat menghasilkan kualitas susu segar yang baik dan aman dikonsumsi bagi masyarakat. Berbagai aspek yang terdapat dalam penerapan GFP yaitu bangunan dan fasilitas, manajemen pakan, sumber daya manusia (SDM), proses pemerahan dan manajemen peternakan pada Eco Farm mendapatkan nilai keselurahan sebesar 65,71% atau termasuk dalam kategori cukup baik. Penilaian aplikasi GFP pada KWI sebesar 76,25% termasuk dalam kategori baik, didukung oleh manajemen pakan, proses pemerahan dan sumber daya manusia telah sesuai dengan penerapan cara beternak yang baik. Penerapan GMP dilihat dari persentase penyimpangan yang terjadi pada pengamatan tahap awal terdapat 10 penyimpangan minor,10 penyimpangan mayor dan 4 penyimpangan serius termasuk dalam tingkat/rating kurangmemenuhi beberapa aspek persyaratan GMP. Penerapan GMP
pada akhir pengamatan
mendapatkan 4 penyimpangan minor, 4 penyimpangan mayor dan 2 penyimpangan serius termasuk dalam tingkat/rating baik, didukung oleh perbaikan beberapa aspek seperti kebersihan lingkungan, bangunan umum pabrik yang sudah memadai dan terbuat dari bahan yang sesuai. Penilaian penyimpangan SSOP pada pengamatan awal secara keseluruhan sebesar 52,59% termasuk dalam kategori sangat kurang memenuhi dan pada pengamatan akhir penilaian secara keseluruhan sebesar 38,79% termasuk dalam kategori kurang memenuhi. Peningkatan sanitasi dan higien dalam proses pembuatan yoghurt mulai dari bahan baku yang digunakan hingga produk jadi hingga pendistribusian produk harus terus dilakukan, dengan memperhatikan pula sanitasi karyawan yang melakukan proses pengolahan. CCP yang teridentifikasi pada proses produksi yoghurt yaitu penerimaan susu segar, proses pasteurisasi, pendinginan, inokulasi starter, proses pencampuran atau mixing, proses pengemasan dan penyimpanan, sehingga harus diperhatikan agar tidak menjadi peluang timbulnya sumber bahaya bagi produk yang dihasilkan. Adanya tindakan koreksi dalam pengendalian CCP berfungsi sebagai pencegahan yang terjadi terhadap batas kritis yang ditemukan dalam setiap proses pengolahan.
112
Saran 1.
Peternakan sapi perah baik Eco Farm maupun KWI
perlu mengadakan
pelatihan bagi karyawan terutama dalam hal teknik pemerahan yang benar, pemberian pakan, pemeriksaan label pakan, sanitasi dan higien karyawan selama proses pemerahan. 2.
Perbaikan sarana dan prasarana baik pada peternakan sapi perah Eco Farm, KWI maupun PT D-Farm Agriprima, meliputi konstruksi bangunan, peralatan dan perlengkapan yang kurang memadai dan perlu adanya ruang sanitasi
3.
Unit pengolahan susu PT D-Farm Agriprima harus mengadakan pelatihan mengenai GMP, SSOP kepada karyawan.
4.
Perlu menjalin kerja sama dengan klinik atau rumah sakit tertentu untuk memeriksa kesehatan karyawan secara rutin agar diketahui riwayat kesehatan karyawan bagi peternakan sapi perah Eco Farm dan KWI maupun unit pengolahan susu PT D-Farm Agriprima, sehingga dapat diketahui riwayat kesehatan pegawau.
5.
Pengujian kualitas mikrobiologi pada bahan baku dan produk akhir harus dilakukan lebih efektif kembali, sehingga akan menjamin mutu produk yang dihasilkan.
6.
PT D-Farm Agriprima harus dapat melaksanakan pre-requisite program lebih efektif kembali dan dilakukan penyusun HACCP plan sehingga kemanan produk dapat terjamin.
113 112
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, berkat Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Terima kasih kepada Ir Lucia Cyrilla E. N. S. D, M.Si selaku pembimbing utama dan Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA selaku pembimbing anggota dan pembimbing akademik yang senantiasa memberikan bimbingan, masukan dan pengarahannya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Maria Ulfah, S.Pt., M.Sc. Agr, Dr. Ir Despal dan Dr. Jakaria, S.Pt. M.Si selaku dosen penguji atas masukan saran terhadap penulisan skripsi ini. Terima kasih yang tak terhingga kepada ayahanda Uya Mulyana dan ibunda Iis Aisyah yang telah memberikan kasih sayang, semangat dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dan pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada adik tercinta Ahmad Naufal Nurfathin, Muhammad Mughni Karamatudhin serta keluarga besar K.H Syadeli Hasan (Alm) yang telah memberikan semangat, dukungan serta do’a selama penyelesaian studi ini. Terima kasih kepada pengurus dan karyawan PT D-Farm Agriprima, Eco Farm dan KWI yang telah memberikan bantuan selama magang. Terima kasih penulis sampaikan kepada Pak Sukma Amd, Pak Dedi Amd, Joni Setiawan S.Pt, Eka Rahmawati S.Pt, Devi Murtini S.Pt dan Ebi atas segala bantuan selama magang. Terima kasih kepada teman seperjuangan magang Ridha Mulyani atas kebersamaan dan pengorbanannya, serta terima kasih kepada teman-teman satu lab Bestarina, Dewi Sunaryo, Yori, Aip, Nurma atas bantuan dan kebersamannya. Terima kasih kepada sahabat-sahabat tercinta Siti Badriah, Sofi, Dewi Sumarni, Kamariah, Ria Retno dan Hadida Latifah yang telah memberikan semangat. Terima Kasih kepada teman-teman Wisma Ar-Riyadh yang selalu memberikan kecerian. Penulis mengucapkan terima kasih kepada IPTP 43 yang telah menemani penulis dalam melaksanakan studinya di Institut Pertanian Bogor. Terakhir penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh civitas akademika Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua. Bogor, Januari 2011 Penulis
114
DAFTAR PUSTAKA Agus Triyono. 2010. Mempelajari Pengaruh Maltodekstrin dan Susu Skim Terhadap Karakteristik Yoghurt Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L.). Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna-LIPI, Semarang. [APHA] American Public Health Association. 1992. Standard Method for The Examination of Dairy Products. 16th Edit. Port City Press., Washington DC. Aryogi, N., K. Wadhani & A. Musofie. 1994. Pola Penyedian Hijauan Pakan di Daerah Sentra Pemeliharaan Sapi Perah di Dataran Tinggi di Jawa Timur. Proceedings Pertemuan Ilmiah Pengelolaan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sapi Perah. Sub Balai Penelitian Ternak Grati. Balai Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian. Association of Official Analytical Chemist. 2007. Official Method of Analysis. 18th Edit. AOAC. Inc., Virginia. Badan Karantina Pertanian. 2006. Keputusan Badan Karantina Pertanian No. 349/kpts/PD.670.210/L/12/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Instalasi Karantina Hewan Ruminansia Besar. Badan Karantina Pertanian, Jakarta. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2003. SK. Menteri Kesehatan Nomor 23/Menkes/SK/I/1978/ tentang Pedoman Cara Produksi yang Baik untuk Makanan. Badan Pengawas Obat dan Makanan, Jakarta. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01-2891-1992: Cara Uji Makanan dan Minuman. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI 01-2782-1998/Rev: Metoda Pengujian Susu Segar. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1998. SNI 01-3141-1998. Susu Segar. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1998. SNI 01-4852-1998. Sistem Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)) serta Pedoman Penerapannya. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI 01-2981-2009. Yoghurt. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI 01-7387-2009. Batas Maksimum Cemaran Logam dalam Pangan. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet & M. Wotton. 2007. Ilmu Pangan. Terjemahan: Adiono dan H. Purnomo. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
115
Cahyadi, W., 2004, Bahaya Pencemaran Timbal pada Makanan dan Minuman, Fakultas Teknik Unpas Departemen Farmasi Pascasarjana ITB. http:// www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/19/cakrawala/utama1.htm-19k[25 November 2010]. Department of Agriculture, Food and Rural Development. 2001. Good Farming Practices. Department of Agriculture, Food and Rural Development, Irlandia. [DSN] Dewan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2897-1992. Metode Pengujian Cemaran Mikroba, Standar Nasional Indonesia, Jakarta. [DSN] Dewan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2981-1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. Standarisasi Nasional Indonesia, Jakarta. [DSN] Dewan Standardisasi Nasional. 1998. Standar Mutu Produk Susu dan Olahannya. SNI 01-3141-1998. Dewan Standardisasi Nasional. Jakarta. Dinas Peternakan dan Kesejahteraan Hewan. 2009. Beternak Sapi Perah. Jakarta. Direktorat Jendral Peternakan. 2006. SK. Menteri Pertanian Nomor 55/Permentan/ OT.140/10/2006 tentang Pedoman Pembibitan Sapi Perah yang Baik (Good Breeding Practice), Jakarta. Direktorat Jendral Peternakan. 2008. SK Menteri Pertanian Nomor: 07007/HK.030/F/05/2008 tentang Petunjuk Teknis Pembibitan Ternak Rakyat, Jakarta. Direktorat Jendral Peternakan. 2009. Prosedur Baku Pelaksanaan Produksi Bibit pada Usaha Pembibitan Sapi Perah, Jakarta. Dwidjoseputro. 1987. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan, Surabaya. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fardiaz, S. 1996. HACCP dalam Industri Pangan. Pusat Antar Universitas dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. [FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2001. Health and Nutritional Properties of Probiotics in Food including Powder Milk with Live Lactic Acid Bacteria. http://www.who.int/foodsafety/publications/fs management/en/probiotics.pdf. [23 Desmber 2010] [FDA]. 1995. Sanitation, sanitary regulation and voluntary programs. In : Marriot & G. Norman (Ed). Principle of Food Sanitation. 3rd Edition. Chapman and Hall, New York. Pp 7. Girisonta. 1995. Beternak Sapi Perah. Kanisius Yogyakarta GKSI. 2000. Perkembangan Koperasi Persusuan Indonesia, Jakarta. Hidayat, A., P. Effendi, A. A. Fuad, Y. Patyadi, K. Taguchi & T. Sugiwaka. 2002. Kesehatan Pemerahan. Dairy Technology Improvement Project In Indonesia, Bandung.
116 115
Hoier, E. 1992. Use probiotic starter culture in dairy products. Food Austr. (44) 9: 418-420. ILSI-Eropa. 1996. Petunjuk Ringkas untuk Memahami dan Menerapkan Konsep Analisis Bahaya dan Titik Pengendalian Kritis. Jakarta. [IDF/FAO] International Dairy Food-Agriculture Organization of the United Nations. 2004. Guide to good dairy farming practices. IDF dan FAO Task Force on Good Dairy Farming Practices, Roma, Italia. Jenie, B. S. L. 1998. Sanitasi dalam Industri Pangan. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kuntarso, A. 2007. Pengembangan Teknologi Pembuatan Low-Fat Fruity BioYoghurt (Lo-Bio F). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lisal, J. S. 2005. Konsep probiotik dan prebiotik untuk modulasi mikrobiota usus besar. J. Med. Nus. 2 (4): 259-262. M. Sukmawati Farida & Kaharudin. 2010. Petunjuk Praktis Perkandangan Sapi. Kementerian Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Nusa Tenggara Barat. Marcon, A. 1994. Yoghurt. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mukhtar, A. 2006. Ilmu Produksi Ternak Perah. Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT UNS Press. Surakarta. Nielsen, S. S. 2003. Food Analysis Laboratory Manual. Plenum Publisher, New York. [OIE] Office International des Epizooties. 2006. Guide to Good Farming Practices for Animal Production Food Safety. Animal Production Food Safety Working Group. World Organization for Animal Health (OIE), Paris. Pierson, M. P. & D. A. Corlett, Jr. 1992. HACCP : Principles and Applications Chapman and Hall Publ, New York. Puspitasari. M. A. 2008. Kajian Penerapan Good Farming Practices dan Good Hygienic Practices pada KSU Jaya Abadi Kabupaten Blitar Jawa Timur. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan. Isntitut Pertanian Bogor. Rachmawan, O. 2001. Penanganan Susu Segar. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Rahman, A., S. Fardiaz, W. P. Rahayu, Suliantari & C. C. Nurwitri. 1992. Bahan Pengajaran : Teknologi Fermentasi Susu. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
117 116
Robinson, R. K. 1993. The Microbiology of Milk Product. Applied Science Publisher, New Jersey. Rombaut, R. 2005. Dairy Microbiology and Starter Cultures. Laboratory of Food Technology and Engineering, Gent University, Belgium. Saeni, M. S. 1999. Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Saleh, E. 2004. Teknologi Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Program Studi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Sumatera Utara, Medan. Saputro, N. H. 2009. Residu Logam Berat (Pb dan As) serta Antibiotik dalam Susu asal Sapi Perah yang Mendapat Hijauan Berbeda di Peternakan Sapi Perah Kebon Pedes Bogor. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Sartika, R. A. D., Indrawani, Y., Sudiarti, T. 2005. Analisis Mikrobiologi E. coli O157:H7 pada Hasil Olahan Hewan Sapi dalam Proses Produksinya. Makara Kesehatan 9 (1): 23-28. Siregar, S. B., M. Rangkuti, Y. T. Rahardja & H. Budiman. 1996. Informasi Teknologi Budaya, Pascapanen dan Analisis Ternak Sapi Perah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Siregar, S. B. 2001. Peningkatan Kemampuan Berproduksi Susu Sapi Perah Laktasi Melalui Perbaikan Pakan dan Frekuensi Pemberiannya. J. Ilmu Ternak Vet. 6 (2): 7 6- 82. Siregar, S. B. 2007. Manajemen Agribisnis Sapi Perah yang Ekonomis dan Kiat Melipatgandakan Keuntungan. Pribadi. Bogor. Soetarno, Timan. 2000. Manajemen Budidaya Sapi Perah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sudarmaji. 2005. Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical Control Point). J. Kes. Lingk. Sudono, A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Fakultas Peternakan, Istitut Pertanian Bogor, Bogor. Sudono, A., R. F. Rosdiana & B. S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Agromedia Pustaka, Jakarta. Sulistyaningsih, T. 1993. Kandungan Bakteri pada Air Susu Segar Dari KUD susu Kelurahan Banyumanik Kecamatan Banyumanik Kotamadya Semarang. Skripsi. Universitas Diponegoro, Semarang. Sumedi, N. B. T. 2004. Formulasi Kultur Asam Laktat dalam Pengembangan Minuman Probiotik. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
118 117
Supardi. I., & Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Penerbit Alumni, Bandung. Surono, I. S. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. PT Tri Cipta Karya, Jakarta. Susilorini, T.E., & M. E. Sawitri. 2006. Produk Olahan Susu. Penerbit PT Penebar Swadaya, Depok. Tamime, A. Y. & R. K. Robinson. 1999. Yoghurt Science and Technology. 2nd Edition. Woodhead Publishing Limited, Cambridge. Thaheer. 2005. Sistem Manajemen HACCP. Bumi Aksara, Jakarta. Varnam, A. H. & J. P. Sutherland. 1994. Milk and Milk Products Technology, Chemistry and Microbiology. Chapman and Hall, London. Widowati, W., A. Sastiono & R. J. Rumampuk. 2008. Efek Toksik Logam Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran. Penerbit Andi, Yogyakarta. Williamson. G & W.J.A Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. UGM Press. Yogyakarta. Winarno, F.G., & Surono. 2004. HACCP dan Penerapannya dalam Industri Pangan. M-Brio Press, Bogor.
119 118
LAMPIRAN
120
Lampiran 1. Perhitungan Penilaian Aplikasi GFP % aplikasi aspek X = Nilai total aplikasi aspek X x 100% Nilai sempurna aspek X 1. Peternakan Eco Farm % Aplikasi bangunan dan fasilitas peternakan =
100%
65,08 %
% Aplikasi manajemen pakan
=
100%
87,50 %
% Aplikasi sumber daya manusia
=
100%
75,61 %
% Aplikasi proses pemerahan
=
100%
64,81 %
% Aplikasi manajemen peternakan
=
100%
42,42 %
• % Penerapan secara keseluruhan =
2. Peternakan Koperasi Wirausaha Indonesia (KWI) % Aplikasi bangunan dan fasilitas peternakan =
,
100%
72,22 %
% Aplikasi manajemen pakan
=
100%
89,28 %
% Aplikasi sumber daya manusia
=
100%
85,36 %
% Aplikasi proses pemerahan
=
100%
85,18 %
% Aplikasi manajemen peternakan
=
100%
56,06 %
• % penerapan secara keseluruhan = 45,5 63
50 56
35 41
46 54
37 x 100% 66
76,25 %
121 120
P E Eco Farm Lampiiran 2. Denaah Kandang Peternakan
Keterangan n: 1. Pintu masuk m 2. Jalan 3. Kandanng 4. Bak pennampungan air 5. Jalan 6. Kandanng Pedet 7. Pembuaangan limbah h 8. Jalan g 9. Gudang 10. Kandan ng 11. Kebunn 12. Torn penampungan p n air
122 121
n Koperasi W Wirausaha Inndonesia (K KWI) Lampiiran 3. Denaah Peternakan
Keteraangan : 1. Piintu masuk 2. Jaalan 3. Ch hopper 4. Kaandang 5. Kaandang Jepitt 6. Baak penampun nga air 7. Seelokan 8. Ru uang karyaw wan 9. Guudang penyiimpanan susu 10. Ru uang karyaw wan 11. Guudang penyiimpanan konnsentrat 12. Ruang R istirahhat 13. Kaandang Pedeet 14. Kaandang pem merahan 15. Peenampungan n limbah cairr 16. Peenampungan n limbah paddat 17. Toorn Penampu ung air 18. Paagar tanaman n 19. Laapangan rum mput
123 122
Lampiran 4. Form Checklist Kesesuaian Kondisi Peternakan dengan GFP No
Perihal
A
BANGUNAN DAN FASILITAS PETERNAKAN Lokasi dan Bangunan Lokasi peternakan jauh dari pemukiman dan kegiatan industri, lingkungan yang mudah terkena polusi tanah serta tempat perkembangbiakan hama Bangunan peternakan atau fasilitas lain terpisah dari tempat pembuangan dan pengolahan limbah, letaknya juga cukup jauh dari peternakan tetangga agar mengurangi risiko penyebaran penyakit Adanya pembatas area peternakan dapat menjamin kemanan area peternakan dari hewan non ternak dan pengganggu Lingkungan peternakan selalu bersih dan bebas dari genangan air serta menyediakan area desinfeksi bagi pengunjung Menggunakan bahan bangunan yang tidak menjadi sumber kontaminasi baik kimia atau biologis Semua peralatan yang digunakan merupakan milik peternakan itu sendiri dan selalu dijaga dalam keadaan bersih Memiliki tempat pembuangan dan pengolahan limbah Memperhitungkan adanya risiko bencana alam Kandang Kandang mempunyai luas yang layak sesuai jumlah ternak dan ventilasi yang baik Alas kandang bersih dan tidak licin Bentuk tempat pakan (palungan) tidak membentuk sudut Terdapat kandang isolasi dan atau kandang karantina Terdapat kandang khusus untuk proses pemerahan atau tersedia sistem pemerahan yang higienis dalam kandang Kandang mudah dibersihkan dan didesinfektan secara keseluruhan Kandang memiliki desain saluran pembuangan yang mempermudah pengeluaran kotoran serta limbah lainnya TOTAL BANGUNAN DAN FASILITAS PETERNAKAN MANAJEMEN PAKAN Hijauan 1.1. Hijauan yang diberikan tidak berasal dari lahan yang tercemar limbah industry 1.2. Pastikan ladang rumput tidak disemprot atau dipupuk dengna bahan yang dapat menimbulkan bahaya dan penyakit pada ternak 1.3. Hijauan yang diberikan jumlahnya cukup sesuai dengan kondisi dan kebutuhan ternak Konsentrat 2.1. Semua bahan pakan dibeli bebas dari residu kimiawi dan bahan pencemar lainnya seperti hasil ikutan ternak yang dilarang 2.2. memeriksa label pada semua bahan pakan yang
1. 2.
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 12. 13. 14.
B. 1.
2
Jawaban Ya Tidak
Bobot*)
Nilai**)
5 5
3 4 4 3 5 2 5 5 3 5 5 4 5 63
5 5 4 5 5
124 123
Lampiran 4. Lanjutan
C. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. D. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
dibeli dan hasil pengamatan visualnya serta catat semua bahan pakan yang masuk 2.3. Menolak dan membuang bahan pakan yang berjamur 2.4. menyimpan sampel bahan pakan untuk uji lanjut ketika residu teridentifikasi pada susu 2.5. Menyimpan bahan pakan dalam tempat yang basah dan kering 2..6. Menyimpan bahan bahan pakan dalam jumlah yang sesuai kebutuhan 2.7. Jika peternak tercampur konsentrat sendiri, maka campuran berbagai komponen konsentrat harus merata 2.8. Hindari pengisian tempat pakan yang terlalu penuh 2.9. Tempat pakan dibersihkan dari sisa pakan sebelum diisi ulang 2.10. Konsentrat yang diberikan jumlahnya cukup sesuai dengan kondisi dan kebutuhan ternak 2.11. semua bahan pakan yang dibeli berasal dari produsen yang memiliki sertifikat jaminan mutu 2.12. Memiliki catatan semua bahan pakan yang diterima peternakan (nota pemesanan) TOTAL MANJEMEN PAKAN SUMBER DAYA MANUSIA Mengetahui penyakit sapi perah secara umum dan cara pencegahan maupun penanggulangannya Mengembangkan program manajemen kesehatan ternak yang efektif Mencatat semua perlakuan ternaknya Selalu memelihara sanitasi dan higien personal Memastikan pemerah mengikuti aturan dasar sanitasi yang baik Menggunakan bahan kimia dan obat hewan sesuai anjuran, menghitung dosis dengan tepat dan cermat, dengan memperhatikan tanggal kadaluarsa Menyimpan bahan kimia dan obat hewan dengan aman dan digunakan secara bertanggung jawab Mampu mengambil keputusan bila ada penyakit ternak yang dapat mempengaruhi kesehatan publik (zoonosis) Memastikan kondisi lingkungan secara umum khusunya di area pemerahan selalu bersih TOTAL SUMBERDAYA MANUSIA PROSES PEMERAHAN Peralatan pemerahan yang digunakan dalam kondisi bersih dan kering serta terawat baik Ambing sapi dibersihkan dengan air hangat Dilakukan pre-dipping Dilakukan fore milking Pemerahan dilakukan dengan teknik atau cara pemerahan yang benar dan menghindarkan cedera pada ambing Pemerahan susu dilakukan dengan tuntas Dilakukan post-dipping Susu disaring sebelum dimasukkan ke dalam milk can
4 3 5 3 2 2 4 4 3 2 56 4 5 5 4 4 5 5 4 5 41 5 5 5 5 5 5 5 4
124 125
Lampiran 4. Lanjutan 9. 10. 11.
E. 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Menutup rapat milk can dengan tutupnya Susu segera disetor pada koperasi dan tidak terlalu lama berada di suhu ruang Susu yang berasal dari ternak yang sakit atau dalam masa perawatan harus dipisahkan dari susu lainnya dan ternak TOTAL PROSES PEMERAHAN MANAJEMEN PETERNAKAN Mengikuti pelatihan sesuai dengan yang dibutuhkan, terkait dengan manajemen pelaksanaan peternakan sapi perah yang baik untk menjamin mutu bahan pangan asal ternak Pemeriksaan kesehatan pekerja dilakukan secara rutin Pekerja yang sakit dilarang untuk melaksanakan pekerjaannya Mengembangkan dan menerapkan secara konsisten prosedur pemeliharaan, pembersihan dan sanitasi peralatan, kandang dan lingkungan Pengendalian hama dan serangga Pengendalian terhadap akses keluar masuk peternakan Memastikan pemindahan bangkai hewan dan pemusnahannya dilakukan dengan cepat agar tidak menjadi sumber bakteri patogen dalam kandang dan lingkungannya Sapi yang dibeli mempunyai status kesehatan yang bebas adari penyakit Setiap ternak memiliki tanda pengenal Mencatat semua data tentang ternak termasuk produksi dan kondisi kesehatannya Ternak yang baru dibeli dikarantina dalam kandang khusus Kesehatan sapi perah harus selalu berada dalam pengawasan dokter hewan atau petugas yang berwenang Ternak yang sakit segera diisolasi dari ternak lainnya dan diberi perawatan yang sesuai Bulu ambing yang panjang dicukur TOTAL MANAJEMEN PETERNKAN
5 5 5 54 5
4 5 5 5 5 5
5 4 4 5 4 5 5 66
*Keterangan Kriteria dan pembobotan kuisioner : 5. Sangat penting dan harus dipenuhi 4. Penting dan harus dipenuhi 3. Cukup penting dan harus dipenuhi 2. Kurang penting dan jika dipenuhi lebih baik 1. Sangat kurang penting dan boleh dipenuhi, boleh tidak **Keterangan Penilaian terhadap kriteria di lapangan: 5. Sangat sesuai 4. Sesuai 3. Cukup sesuai 2. Kurang sesuai 1. Sangat kurang sesuai 0. Tidak sesuai
126125
Lampiran 5. Denah Pabrik PT D-Farm Agriprima
127 126
Lampiran 6. Struktur Organisasi PT D-Farm Agriprima
Unit Pengolahan Susu Fapet
DIREKTUR
DIVISI ADMINISTRASI (ADM. KEUANGAN, PENJUALAN DAN KANTOR)
Keterangan :
DIVISI MARKETING DAN DISTRIBUSI
DIVISI PRODUKSI
DIVISI LOGISTIK
= garis instruksi = garis koordinasi
127 2
Lampiran 7. Perhitungan Penilaian Aplikasi SSOP Y = (n0 x 0) + (n1 x 1) + (n2 x 2) + (n3 x 3) + (n4 x 4) % Penyimpangan =
Y
; 4 = nilai tertinggi untuk penyimpangan
J
>75%
Keterangan: Y = nilai total penerapan n0 = jumlah aspek yang memiliki nilai 0 dalam form check list n1 = jumlah aspek yang memiliki nilai 1 dalam form check list n2 = jumlah aspek yang memiliki nilai 2 dalam form check list n3 = jumlah aspek yang memiliki nilai 3 dalam form check list n4 = jumlah aspek yang memiliki nilai 4 dalam form check list 1.
Tahap awal a. Keamanan air Y = (2 x 0) + (0 x 1) + (0 x 2) + (1 x 3) + (3 x 4) = 15 % Penyimpangan
x 100%
62,5% =
b. Kebersihan yang kontak dengan bahan pangan Y = ( 1x 0) + (0 x 1) + ( 1x 2) + ( 0x 3) + ( 2x 4) = 10 % Penyimpangan =
x 100%
62,5%
c. Pencegahan kontaminasi silang Y = (1 x 0) + (0 x 1) + (3 x 2) + (1 x 3) + (0 x 4) = 9 % Penyimpangan =
x 100%
45%
d. Fasilitas sanitasi Y = (0 x 0) + (0 x 1) + (1x 2) + (1 x 3) + (1 x 4) = 9 % Penyimpangan =
x 100%
75%
e. Perlindungan bahan pangan dari bahan cemaran (adulterant) Y = (2 x 0) + (0 x 1) + (1 x 2) + (0 x 3) + (0 x 4) = % Penyimpangan =
x 100%
16,67%
f. Pelabelan, penggunaan bahan toksin Y = (0 x 0) + (1 x 1) + (1 x 2) + (0 x 3) + (0x 4) = 3
128
Lampiran 7. Lanjutan x 100%
% Penyimpangan =
37,5%
g. Kontrol kesehatan pegawai Y = (0 x 0) + (0 x 1) + (0 x 2) + (0 x 3) + (2 x 4) = 8 x 100%
% Penyimpangan =
100%
h. Pencegahan hama Y = (2 x 0) + (1 x 1) + (0 x 2) + (0 x 3) + (1 x 4) = 5 x 100%
% Penyimpangan =
31,25%
• % Penyimpangan secara keseluruhan : x 100%
2.
52,59 %
Tahap akhir a. Keamanan air Y = (3 x 0) + (1x 1) + (0 x 2) + (0 x 3) + (2x 4) = % Penyimpangan =
x 100%
37,5%
b. Kebersihan yang kontak dengan bahan pangan Y = (2 x 0) + (0 x 1) + (0 x 2) + (1 x 3) + (3 x 4) = 15 % Penyimpangan =
x 100%
50%
c. Pencegahan kontaminasi silang Y = (1 x 0) + (4 x 1) + (0 x 2) + (0x 3) + (0 x 4) = 4 % Penyimpangan =
x 100%
20%
d. Fasilitas sanitasi Y = (0 x 0) + (0 x 1) + (1 x 2) + (1 x 3) + (1x 4) = 9 % Penyimpangan =
x 100%
75%
e. Perlindungan bahan pangan dari bahan cemaran (adulterant) Y = (3 x 0) + (0 x 1) + (0 x 2) + (0 x 3) + (0 x 4) = 0 % Penyimpangan =
x 100%
0%
Lampiran 7. Lanjutan
129
f. Pelabelan, penggunaan bahan toksin Y = (0x 0) + (2 x 1) + (0 x 2) + (0x 3) + (0x 4) = 2 % Penyimpangan =
x 100%
25%
g. Kontrol kesehatan pegawai Y = ( x 0) + (0 x 1) + (0 x 2) + (0 x 3) + (2 x 4) = 8 % Penyimpangan =
x 100%
100%
h. Pencegahan hama Y = (2 x 0) + (1 x 1) + (0 x 2) + (0 x 3) + (1 x 4) = 5 % Penyimpangan =
x 100%
31,25%
• % Penyimpangan secara keseluruhan :
x 100%
38,79 %
130
Lampiran 8. Recording Freezeer Jenis Produk
Rasa
Kode Produksi
Expired date
Σ masuk (in)
Tgl masuk
Petugas
Σ keluar (out)
Lampiran 9. Log Book Gula Tanggal
Produksi
Jenis Flavour
Σ gula (kg)
Σ flavor (ml)
Σ air (ml)
Σ sirup jadi
Tgl keluar
O
Brix
Petugas
Keterangan
Petugas
Keterangan
Jenis Produk Expired date
Kode Produksi
Lampiran 10. Log Book Produksi Jenis Produk Tanggal
Σ produksi
Expired date
Kode Produksi
Σ produksi
Jenis Produk Expired date
Kode Produksi
Σ produksi
131
Lampiran 11. Log Book Pemanasan Susu No
Tanggal
Kode Produksi
No. Batch
Volume Susu
Jenis Flavour
Cleaning Time
Pemanasan Awal t T
Akhir t T
Susu Masuk t T
Proses Awal t T
Akhir t T
Pendinginan Awal t T
Akhir t T
Lampiran 12. Log Book Pengujian Susu Segar No
Tanggal
Milk Can
Uji alkohol
Lemak
BKTL
BJ
Protein
Derajat Keasaman
Konsistensi
Kadar air
Operator
Paraf Operator
Kode Susu Segar
Ket
132
Lampiran 13. Log Book Pengujian Yoghurt Tgl
Rasa
Produksi
Hari ke-
PH
Viskositas
DK
TAT
Protein
Lemak
BKTL
Konsistensi
Keterangan
Lampiran 14. Recording Sanitasi Ruangan TANGGAL
I
PEMBERSIHAN PAGI II III IV
PETUGAS
PEMBERSIHAN SORE I II II IV
PETUGAS
SUPERVISOR
KET
133
Lampiran 15. Log Book Uji Kualitas Air TANGGAL
TANGGAL BACKWASH
RINSE
134
Lampiran 16. Log Book Penerimaan Susu
135
Lampiran. 17. Daftar Pengecekan CPMB Sarana Produksi Pangan Aspek yang dinilai MN MJ SR a. 1.
2.
3. 4. 5. 6. 7. 8.
KT
OK
Keterangan/ tanggal perbaikan
Pimpinan
Pimpinan tidak mempunyai wawasan terhadap metoda pengawasan modern (HACCP dan tidak melaksanakannya dengan baik) Tidak berkeinginan bekerja sama dengan Inspektur : a.l. tidak menerima pengawasan dengan sepenuh hati dan tidak mau menunjukkan data yang diperlukan oleh inspektur b. Sanitasi
X
X
Lingkunga tidak bebas dari semak X belukar/rumput liar Lingkungan tidak bebas dari sampah, dan X barang-barang tak berguna di areal pabrik maupun di luarnya Tidak ada tempat sampah disekitar lingkungan pabrik atau tempat sampah ada tetapi tidak dirawat dengan baik Bangunan yang digunakan untuk menaruh perlengkapan tidak teratur, tidak terawat dan tidak mudah dibersihkan Ada tempat pemeliharaan hewan yang X memungkinkan menjadi sumber kontaminasi Terdapat debu, asap, bau yang berlebihan di X jalanan, tempat parkir atau di sekeliling pabrik. c. Sanitasi Lingkungan : Pembuangan/ Limbah
X X X
Saluran air/ Air hujan : 9.
Sistem pembuangan limbah cair/ saluran X disekitar lingkungan pabrik kurang baik 10. Kapasitas saluran di lingkungan pabrik X tidak mencukupi Pembuangan Limbah : cair, padat, sampah disekitar lingkungan pabrik
X
11. Limbah cair disekitar lingkungan tidak X ditangani dengan baik 12. Konstruksi tempat pembuangan limbah X tidak selayaknya 13. Tempat/ wadah sampah tidak ada X penutupnya d. Sanitasi Lingkungan : Investasi Burung, Serangga atau Binatang Lain 14. Tidak ada pengendalian untuk mencegah serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya di lingkungan pabrik 15. Pencegahan serangga, burung, tikus dan binatang lain tidak efektif
X
X
X
X
136
Lampiran 17. Lanjutan e. Pabrik – Umum 16. Rancang bangun, bahan-bahan atau konstruksinya menghambat program sanitasi 17. Rancang bangun tidak sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi 18. Luas pabrik tidak sesuaui dengan kapasitas produksi 19. Bangunan dalam keadaan tidak terawat 20. Tidak ada fasilitas atau usaha lain untuk mencegah binatang atau serangga masuk ke dalam pabrik (kisi-kisi, kasa penutup lubang angin, tirai udara-air water curtain), kalaupun ada tidak efektif 21. Tata ruang tidak sesuai alur proses produksi 22. Tidak ada ruang istirahat, jika ada tidak memenuhi persyaratan kesehatan f. Pabrik – Ruang Pengolahan
X X X
X
X
X
X
X
X
X
23. Ruang pengolahan berhubungan langsung/terbuka dengan tempat tinggal, garasi dan bengkel. Lantai
X
24. Terbuat dari bahan yang tidak mudah diperbaiki/dicuci atau rusak 25. Konstruksi tidak sesuai persyaratan teknik sanitasi dan higien (tidak rata, tidak kuat, retak atau licin) 26. Pertemuan antara lantai dan dinding tidak mudah dibersihkan (tidak ada lengkungan) 27. Kemiringan tidak sesuai
X X
X
X
X
X
X
28. Tidak kedap air
X
X
Dinding 29. Dinding tidak kedap air sampai pada ketingian minimal 1, 70 m 30. Terbuat dari bahan yang tidak mudah diperbaiki/dicuci 31. Konstruksi tidak sesuai persyaratan teknik sanitasi dan higien (tidak halus, tidak kuat, retak, cat mudah mengelupas) 32. Pertemuan antara dinding dan dinding tidak mudah dibersihkan (tidak ada lengkungan) Langit-langit 33. Tidak da langit-langit atau plavon di tempat tertentu yang diperlukan 34. Langit-langit/plavon tidak bebas dari kemungkinan catnya mengelupas/rontok atau ada kondensasi 35. Tidak kedap air dan tidak mudah dibersihkan 36. Tidak rata, retak, bocor dan berlubang
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X X
X
137
Lampiran 17. Lanjutan 37. Ketinggian kurang dari 2,40 m g.
X
Fasilias Pabrik
Fasilitas cuci tangan 38. Tidak ada tempat cuci tangan, maupun bak cuci kaki, kalau ada tidak mencukupi 39. Tempat cuci tangan dan bak cuci kaki tidak mudah dijangkau atau tidak ditempatkan secara layak 40. Fasilitas pencuci tidak disediakan (sabun, pengering, dan lain-lain) 41. Tidak ada peringatan pencucian tangan sebelum bekerja 42. Peralatan pencucian tangan tidak cukup/ tidak lengkap Toilet/Urinoir karyawan
X X X X X
43. Tidak ada fasilitas/bahan untuk pencucian tangan seperti tissue, sabun (cair) dan pengering agar karyawan mencuci tangan mereka setelah menggunakan toilet 44. Peralatan toilet tidak lengkap 45. Jumlah toilet tidak mencukupi sebagaiman yang dipersyaratkan
46. Pintu toilet berhubungan langsung dengan ruang pengolahan 47. Konstruksi toilet tidak layak (lantai, dinding, langit-langit, pintu, ventilasi, dll) 48. Tidak dilengkapi dengan saluran pembuangan 49. Toilet tidak terawat atau digunakan untuk keperluan lain. Penerangan
X
X
X
X
1-9 orang : 1 toilet 10-25 orang : 2 toilet 26-50 orang : 3 toilet 50-100 orang : 4 toilet Setiap kelebihan 50 orang ditambah 1 toilet X
X X X
50. Intensitas cahaya tidak cukup, atau menyilaukan
X
51. Lampu di ruang pengolahan, penyimpanan material dan pengemasan tidak aman (tanpa pelindung) Ventilasi 52. Terjadi akumulasi kondensasi di atas ruang pengolahan, pengemasan dan penyimpanan bahan 53. Terdapat kapang (mold), asap dan bau yang mengganggu di ruang pengolahan
X
X
X
X X
Ruang pengolahan : 20 fc (220 flux) Tempat pemeriksaan : 50 fc (540 flux) Tempat lain : 10 fc (110 flux) X
X
X
138
Lampiran 17. Lanjutan PPPK/ Klinik/ Fasilitas Keamanan Kerja 54. Tak tersedia PPPK atau fasilitas keamanan kerja (klinik) yang memadai 55. Fasilitas klinik pabrik tidak digunakan untuk cek up rutin seluruh karyawan khusunya di bagian produksi h. Pembuangan Limbah Pabrik
X X
Sistem Pembuangan Limbah dalam Pabrik (cair, sisa produk, padat/kering) 56. Limbah cair tidak ditangani dengan baik 57. Limbah produksi atau sisa-sisa produksi tidak dikumpulkan dan tidak ditangani dengan baik 58. Limbah kering/padat tidak ditangani dan dikumpulkan pada wadah yang baik dan mencukupi jumlahnya untuk seluruh pabrik Tempat sampah dalam pabrik: 59. Konstruksi tempat pembuangan limbah tidak selayaknya 60. Tempat/wadah sampah tidak ada penutupnya Saluran/ Pembuangan dalam Pabrik :
X
61. Sistem pembuangan limbah cair/ saluran dalam pabrik kurang baik 62. Kapasitas saluran dalam pabrik tidak mencukupi 63. Dinding saluran air tidak halus dan tidak kedap air 64. Saluran pembuangan tidak tertutup dan tidak dilengkapapi bak kontrol 65. Tidak dilengkapi dengan alat yang mempunyai katup untuk mencegah masuknya air ke dalam pabrik. i. Operasional Sanitasi Pabrik
X
X
X
X
X
X
X
X
X X
X
X X
X X
X
Program sanitasi 66. Tidak ada program sanitasi yang efektif di unit pengolahan 67. Kontrol sanitasi tidak efektif melindungi X produk dari kontaminsi 68. Peralatan dan wadah tidak di cuci dan disanitasi sebelum digunakan 69. Metode pembersihan /pencucian tidak mencegah kontaminasi terhadap produk j. Binatang Pengganggu atau Binatang dalam Pabrik 70. Ruang dan tempat yang digunakan untuk penerimaan, pengolahan dan penyimpanan bahan baku/produk akhir tidak dipelihara kebersihan dan sanitasinya 71. Tidak ada pengendalian untuk mencegah masuknya serangga, tikus, dan binatang pengganggu lainnya di dalam pabrik
X X X X
X
X
X
139
Lampiran 17. Lanjutan 72. Pencegahan serangga, burung, tikus dan binatang lain tidak efektif di dalam pabrik 73. Binatang peliharaan tidak dicegah masuk ke dalam pabrik 74. Penggunaan obat pembasmi serangga, tikus, binatang pengerat lain, serta kapang tidak efektif (pestisida, insektisida, fungisisda, bahan repellant) k. Peralatan Produksi
X
X
X
X
X
X
Sanitasi 75. Permukaan peralatan, wadah dan alat-alat lain yang kontak dengan produk tidak dibuat dari bahan yang sesuai seperti halus, tahan kara, tahan air dan tahan terhadap bahan kimia 76. Bahan yang terbuat dari kayu tidak dilapisi dengan bahan yang tidak berbahaya dan/atau kedap air. Desain
X
X
X
X
77. Rancangan bangun, konstruksi dan penempatan peralatan serta wadah tidak menjamin sanitasi dan tidak dapat dibersihkan secara efektif 78. Peralatan dan wadah yang masih digunakan tidak dirawat dengan baik. Peralatan tidak dipakai lagi :
X
X
79. Tidak ada program pemantauan untuk membuang wadah dan peralatan yang sudah rusak/tidak digunakan Kecukupan :
X
X
X
80. Peralatan kebersihan tidak sesuai kapasitas produksi atau tidak cukup tersedia Penyuci hamaan peralatan
X
81. Tidak dilakukan penyuci hamaan peralatan secara efektif l. Pasokan Air
X
X
Sumber air 82. Pasokan air panas atau dingin tidak cukup
X
83. Air tidak mudah dijangkau/ disediakan
X
84. Air dapat terkontaminasi, misalnya hubungan silang antara air kotor dengan air bersih, sanitasi lingkungan Treatment Air
X
85. Air baku tidak layak digunakan (potable), tidak dilakukan pengujian secara berkala 86. Air tidak mendapat persetujuan dari pihak berwenang unuk digunakan sebagai bahan pengolahan (tidak ada hasil uji)
X X
140
Lampiran 17. Lanjutan Es (apabila digunakan) 87. Tidak terbuat dari air yang memenuhi persyaratan (potable) 88. Tidak dibuat dari air yang telah diijinkan 89. Tidak dibuat, ditangani dan digunakan sesuai persyaratan sanitasi 90. Digunakan kembali untuk bahan baku yang diproses berikutnya m. Sanitasi dan Higiene Karyawan 91. Manajemen unit pengolahan tidak memiliki tindakan-tindakan efektif untuk mencegah karyawan yang diketahui mengidap penyakit yang dapat mengkontaminasi produk (luka, TBC, Hepatitis, Typus dsb) 92. Pelatihan pekerja dalam hal sanitasi dan higien tidak cukup Perilaku karyawan:
X X X X
X
X
93. Kebersihan karyawan tidak dijaga dengan baik dan tidak memperhatikan aspek sanitasi dan higien (seperti pakaian kurang lengkap dan kotor, meludah di ruang pengolahan, merokok dan lain-lain) 94. Tindak tanduk karyawan tidak mampu mengurangi dan mencegah kontaminasi baik dari mikroba maupun benda asing lainnya Sanitasi karyawan
X
X
95. Pakaian kerja tidak dipakai dengan benar dan bersih 96. Tidak ada pengawasan dalam sanitasi, pencucian tangan dan kaki sebelum masuk ruang pengolahan dan setelah keluar dari toilet Sumber infeksi 97. Karyawan tidak bebas dari penyakit kulit, atau penyakit menular lainnya n. Gudang biasa (kering)
X
X
X
X
X
Kontrol sanitasi 98. Tidak menggunakan tempat penyimpanan seperti pallet, lemari, cabinet rak dan lainlain yang dibutuhkan untuk mencegah kontaminasi 99. Metode penyimpanan bahan berpeluang terjadinya kontaminasi 100. Fasilitas penyimpanan tidak bersih, saniter dan tidak terawat dengan baik 101. Pemisahan barang secara teratur dan dipisah-pisahkan (penyimpanan bahan pengemas dan bahan-bahan lain : kimia,
X
X X X
141
Lampiran 17. Lanjutan bahan berbahaya dll) 102. Tidak ada pengendalian untuk mencegah serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya di gudang 102. Pencegahan serangga, burung, tikus dan binatang lalin tidak efektif Ventilasi
X
X
X
X
103. ventilasi tidak berfungsi dengan baik
X
X
o.
Gudang Beku Dingin (apabila digunakan)
Kontrol sanitasi 104. 105. 106.
Metode penyimpanan bahan-bahan berpeluang terjadinya kontaminasi Fasilitas penyimpanan tidak bersih, saniter dan tidak dirawat dengan baik Tidak ada pemisahan barang secara teratur
X X X
X
Pencegahan serangga, tikus, dan binatang lain 107. 108.
Tidak ada pengendalian untuk mencegah serangga di gudang Pencegahan serangga tidak efektif
X
X
X
X
Kontrol suhu 109.
Produk baku tidak terlindung dari peningkatan suhu 110. Ruang penyimpanan tidak dilengkapi dengan kontrol suhu 111. Ada bahan yang mengandung zat ligam disimpan dengan produk 112. Ruang penyimpanan produk tidak dioperasikan pada suhu yang dipersyaratkan p. Gudang Kemasan Produk
X X X X
Kontrol sanitasi 113. 114. 116. 117. 118.
Tidak menggunakan tempat penyimpanan seperti pallet atau rak dan lain-lain yang dibutuhkan untuk mencegah kontaminasi Metode penyimpanan bahan-bahan berpeluang terjadinya kontaminasi Fasilitas penyimpanan tidak bersih, tidak saniter dan tidak dirawat dengan baik Wadah dan atau pengemas tidak disimpan pada tempat yang bersih, rapi dan terlindung dari kontaminasi Tidak terpisah pada tempat khusus
X X X X X
Pencegahan serangga, tikus dan binatang lain 119. 120.
Tidak ada pengendalian untuk mencegah serangga, tikus dan binatang penggangu lainnya di gudang Pencegahan serangga, burung, tikus dan
X
X
X
X
142
Lampiran 17. Lanjutan binatang lain tidak efektif Ventilasi 121.
Ventilasi tidak berfungsi dengan baik
X
X
q. Tindakan Pengawasan Bahan baku/mentah 122.
Tidak dilakukan pengujian mutu sebelum diolah 123. Campuran bahan baku tidak disesuaikan spesifikasi 124. Baahan tambahan pangan tidak sesuai dengan peraturan 125. Proses produksi tidak dilakukan pengawasan setiap tahap 126. Produk akhir tidak dilakukan pengujian mutu sebelum diedarkan 127. Penyimpanan bahan baku dan produk akhir tidak dipisahkan 128. Penyimpanan dan penyerahan tidak dilakukan secara FIFO r. Bahan Mentah dan Produk Akhir Terindikasi adanya kontaminasi setelah dilakukan pengujian bahan mentah atau produk akhir 130. Terindikasi adanya kemunduran mutu/deteriorasi/dekomposisi setelah dilakukan pengujian bahan mentah dan produk akhir 131. Terindikasi adanya pencemaran fisik benda-benda asing setelah dilakukan pengujian bahan mentah dan produk akhir 132. Penanganan, pengolahan, penyimpanan, pengangkutan dan pengemasan tidak dilakukan secara higienis s. Hasil Uji
X X
X X
X
X
X
X
X
X
X
X
129.
X
X
X
X
X
X
X X
X
X
X
Pengujian bahan baku dan produk akhir 133.
Tidak dilakukan pengujian
134.
Tidak memiliki laboratorium yang sekurang-kurangnya dilengkapi dengan peralatan dan media untuk pengujian organoleptik dan mikrobiologi 135. Jumlah tenaga laboratorium tidak mencukupi dan atau kualifikasi tenaganya tidak memadai 136. Tidak efektif melaksankan monitoring terhadap bahan baku, bahan pembantu, kebersihan peralatan dan produk akhir. Hasil uji tidak memenuhi persyaratan
X
137.
Angka Lempeng Total (ALT)
X
X
138.
Staphyloccocci
X
X
X X
143
Lampiran 17. Lanjutan 139. M. P. N. Coliform
X
X
140.
X
X
Faecal Streptococci t.
Tindakan Pengawasan
Jaminan mutu 141. Tidak dilakukan sistem jaminan mutu pada keseluruhan proses (in-process) Prosedur pelacakan dan penarikan (Recall procedure) 142. Tidak dilakukan dengan baik, teratur dan kontinu u. Sarana Pengolahan/ Pengawetan Pendinginan, pembekuan, pengalengan, pengeringan dan pengolahan lainnya 143. Suhu dan waktu pengolahan/pengawetan tidak sesuai persyaratan v. Penggunaan bahan Kimia
X
X
X
X
X
Insektisida/Rodentisida/Pestisida 144.
Insektisida/rodentisida tidak sesuai persyaratan Bahan Kimia/sanitizer/deterjen dll
X
145.
X
Bahan kimia tidak digunakan sesuai metode yang dipersyaratkan 146. Bahan kimia, sanitizer dan bahan tambahan tidak diberi label dan disimpan dengan baik 147. Penggunaan bahan kimia yang tidak diijinkan x. Bahan penanganan dan Pengolahan
X X
Bahan baku 148.
Tidak sesuai dengan standar sehingga membahayakan kesehatan manusia Bahan tambahan
X
X
149.
Tidak sesuai dengan standar dan pemakaiannya tidak sesuai dengan persyaratan Penanganan bahan baku
X
X
150.
X
151. 152. 153.
Penerimaan bahan baku tidak dilakukan dengan baik dan tidak terlindung dari kontaminan atau pengaruh lingkungan yang tidak sehat Suhu produk yang diolah di dalam ruang pengolahan tidak sesuai syarat Bahan baku yang datang terlebih dahulu tidak diproses lebih dahulu (sistem FIFO) Penanganan bahan baku ataupun produk dari tahap satu ke tahap berikutnya tidak dilakukan secara hati-hati, higien dan saniter
X X X
X
144
Lampiran 17. Lanjutan 154. Penanganan produk yang sedang menunggu giliran untuk diproses tidak disimpan di tempat yang saniter
X
Pengolahan 155.
Proses pengolahan/pengawetan dilakukan tidak sesuai dengan jenis produk dan suhu serta waktunya tidak sesuai dengan persyaratan 156. Produk akhir tidak mempunyai ukuran dan bentuk yang teratur 157. Sistem pemberian etiket atau kode-kode tidak dilakukan pada waktu memproses bahan baku yan yang dapat membatu identifikasi produk Pewadahan dan pengemasan
X
X X
158.
Produk akhir yang disimpan dalam gudang tidak dipisah dengan barang lain 159. Produk akhir tidak diberi label yang memuat : jenis produk, nama perusahaan pembuat, ukuran, tipe, grade (tingkatan mutu), tanggal kadaluwarsa, berat bersih, nama bahan tambahan makanan yang dipakai, kode produksi atau persyaratan lain Penyimpanan
X
X
X
X
160.
Produk akhir yang disimpan dalam gudang tidak dipisah dengan barang lain 161. Susunan produk aktif tidak memungkinkan mempengaruhi kondisi masing-masing kemasan dan tidak memungkinkan produk akhir yang lebih lama disimpan dikeluarkan terlebih dahulu ( tidak mengikuti FIFO) Penyimpanan bahan berbahaya
X
X
162.
X
163.
Tidak tersendiri dan dapat terindar dari hal-hal yang dapat membahayakan Tidak ada tanda peringatan
X
X
X
Pengangkutan dan distribusi 164.
165.
Kendaraan (container) yang dipakai untuk mengangkut produk akhir tidak mampu mempertahankan kondisi/keawetan yang dipersyaratkan Pembongkaran tidak dilakukan dengan cepat, cermat dan terhindar dari pengaruh yang menyebabkan kemunduran mutu
X
X
X
145
Lampiran 17. Lanjutan Keterangan: MN = Penyimpangan Minor MJ = Penyimpangan Major SR = Penyimpangan serius KT = Penyimpangan Kritis OK = Tidak ada penyimpangan HASIL PENILAIAN Penyimpangan (Deficiency) a) Penyimpangan Minor b) Penyimpangan mayor c) Penyimpangan serius d) Penyimpangan kritis 1. Tingkat (Rating) Unit Pengolahan
1) 2) 3) 4)
A (Baik Sekali) B (Baik) C (Kurang) D (Jelek)
146
Lampiran 18. .Form Checklist SSOP No. 1.
Parameter
0
1
Penilaian 2 3
Keterangan 4
Keamanan Air ¾
Penggunaan air dibedakan antara air yang kontak langsung dengan bahan bahan dan air yang digunakan untuk pencucian alat. ¾ Kualitas air untuk pengolahan pangan sama dengan kualitas air minum. ¾
2.
Alat transportasi harus didesain mampu menjaga kehigienisan bahan baku dan produk. ¾ Pemeriksaan laboratorium yang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416/MENKES/Per/IX/1990 terhadap kualitas air yang digunakan telah dilakukan minimal dua kali dalam setahun yaitu pada musim kemarau dan musim hujan, pengambilan sampel air bersih dilakukan pada sumber mata air, bak penampungan dan pada air kran terjauh. ¾ Bagian QC mengambil sampel air pada output air di dalam ruang produksi dan memeriksa kualitasnya (bau, rasa, warna, kekeruhan dan pH) setiap hari. Analisis kualitas mikrobiologi dilakukan setiap 1 bulan sekali. ¾ Disediakan pencatatan hasil pemeriksaan Sub Total Kebersihan Permukaan yang Kontak dengan Bahan Pangan ¾ Peralatan yang digunakan harus dalam keadaan bersih, bebas karat, jamur, minyak/oli, cat yang terkelupas, dan kotoran-kotoran lainnya sisa proses sebelumnya. ¾ Frekuensi pelaksanaan tindakan sanitasi adalah setiap selesai melaksanakan kegiatan proses produksi dan sebelum melaksanakan kegiatan proses produksi ¾ QC melakukan pengujian mikrobiologis terhadap peralatan yang ada di area produksi setiap bulan ¾ Disediakan cheklist record Sub Total
147
Lampiran 18. Lanjutan 3. Pencegahan Kontaminasi Silang ¾ Pakaian khusus produksi (seragam, masker, hair net, sepatu khusus) harus digunakan hanya pada saat melakukan produksi. ¾
4.
Melaksanakan higien personal (tidak merokok, mengobrol, menggunakan perhiasan, selalu mencuci tangan setelah dari toilet, selalu mencuci tangan setiap bersentuhan dengan benda yang tidak terjaga sanitasinya) setiap melakukan proses produksi ¾ Pemisahan produk dan bahan dalam penyimpanan ¾ Pemisahan yang cukup antara aktivitas penanganan dan pengolahan bahan baku dengan produk jadi ¾ Disiplin arus pergerakan pekerja, tidak ada pekerja yang menangani proses diarea lain setelah menangani proses di area yang telah ditentukan Sub Total Fasilitas Sanitasi ¾ Sarana pencuci tangan diletakkan di tempat-tempat yang diperlukan, dilengkapi dengan air mengalir, alat pengering tangan, dan tempat pembuangan berpenutup. ¾ Fasilitas ganti pakaian yang sesuai dengan jumlah karyawan. ¾
5.
Tersedia fasilitas foot bath di pintu masuk area produksi Sub Total Perlindungan bahan pangan dari bahan cemaran (adulteran) ¾ Selama proses produksi karayawan menjaga dan mengontrol bahan-bahan non pangan yang dapat berpotensi menjadi adulteran (dapat mencemari bahan pangan) tidak diperbolehkan berada di dalam ruang produksi maupun gudang seperti bahan-bahan sanitasi ¾ Kemasan dan bahan-bahan lain yang digunakan disimpan terpisah dari bahan-bahan sanitasi dan produk akhir ¾ Tempat sampah bebas tumpukan sampah yang berlebihan, dapat tertutup rapat dan diletakkan tidak berdekatan dengan area aktivitas proses serta penyimpanan bahan Sub Total
148
Lampiran 18. Lanjutan 6. Pelabelan, penggunaan bahan toksin dan penyimpanan yang tepat ¾
Bahan toksin dikelompokkan dan disimpan di dalam boks tertutup dan boks diberi label identitas yang jelas ¾ Bahan toksin memiliki label dan keterangan yang jelas mengenai keamanan bahan serta anjuran pemakaian yang aman Sub Total 7. Kontrol Kesehatan Pegawai ¾ Kesehatan karyawan dicek secara rutin, untuk mengetahui kondisi karyawan ¾ Terdapat catatan tentang riwayat kesehatan karyawan Sub Total 8. Pencegahan Hama ¾ Menutup lubang angin yang ada dengan kawat kasa. ¾ Menggunakan filter udara. ¾ Menyediakan fasilitas pest control ¾ Dilakukan pembersihan ruang produksi secara berkala. Sub Total Total Petunjuk pengisian 1. Isi bagian kolom penilaian dengan memberi tanda √ pada kolom penilaian untuk: Nilai 0 = penyimpangan yang terjadi 0% Nilai 1 = penyimpangan yang terjadi 1% – 25% Nilai 2 = penyimpangan yang terjadi 26% – 50% Nilai 3 = penyimpangan yang terjadi 51% – 75% Niali 4 = penyimpangan yang terjadi > 75% 2. Hitung kalkulasi pada kolom sub total yang menyatakan penilaian keseluruhan dengan cara n ∑ i=1 n (n = jumlah poin pertanyaan sub prinsip SOP)
3. Tingkat keparahan penerapan SOP dapat diketahui dari jumlah nilai keseluruhan 0 126 251 376 Dibuat Oleh, Auditor: ( (
-
125 : ringan 250 : sedang 375 : berat 500 : kritis ) )
Diketahui oleh, Auditee: Produksi Sanitasi Maintenance
149
Lampiran 19. Contoh Penyusunan Tim HACCP No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Jabatan Struktural Penanggung Jawab Penanggung Jawab Penanggung Jawab Penanggung Jawab Direktur Utama Manajer Administrasi dan Keuangan Manajer Marketing dan Dstribusi Operator Produksi Mahasiswa Mahasiswa
Posisi Tim Ketua Sekretaris Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota
Disiplin Ilmu Peternakan Peternakan Teknologi Pangan Teknologi Pangan Supervisi Jaminan Mutu Pangan Akuntansi Agribisnis dan Manajemen Peternakan Peternakan Peternakan
150
Lampiran 20. Decission Tree CCP Proses Produksi P1
Apakah ada tindakan pencegahan ?
Ya
Modifikasi Proses
Tidak
Ya
Apakah pengendalian pada tahap ini untuk pengamanan ?
P2
Bukan CCP Tidak
Apakah langkah itu dibuat khusus untuk mengendalikan bahaya ?
Tidak P3
Dapatkah pencemaran terjadi ?
Bukan CCP Tidak
Ya
Ya
P4
Apakah langkah selanjutnya dapat mengendalikan bahaya? Ya CCP
Bukan CCP Tidak
151