PENYIAPAN KELAYAKAN PERSYARATAN DASAR DAN PENYUSUNAN RENCANA HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) UNTUK PRODUKSI MI KERING PADA PT KUALA PANGAN DI CITEUREUP, BOGOR
AGUS SUDIBYO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir Penyiapan Kelayakan Persyaratan Dasar dan Penyusunan Rencana HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Untuk Produksi Mi Kering Pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian Akhir Tugas Akhir ini.
Bogor, Juli 2008 Agus Sudibyo
ABSTRACT
AGUS SUDIBYO. Preparation of Prerequisite Programs and HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Plan Establishment for Dry Noodle Production In PT Kuala Pangan at Citeureup, Bogor. Under the supervision of BETTY SRI LAKSMI JENIE and SUTRISNO KOSWARA.
The aim of this study was to prepare the prerequisite programs (PRP) and HACCP Plan for dry noodle production in PT Kuala Pangan at Citeureup, Bogor. The methodology of the research was conducted by steps as follows : Data base of the existing conditions related to PRP or GMP implementation of the industry were first evaluated. Second step was to establish HACCP Plan for dry noodle according to Indonesian standard (SNI) 01.4852-1998 and its guideline for implementation, and finally giving recommendation to the company regarding steps needed in developing, implementing and certification of HACCP systems. Observation and inspection on the existing of GMP implementation at the company resulted in good category. There were 13 findings need to be addressed attention before HACCP implementation. The chemical hazards such as (Pb, Cu, Hg and As) come from wheat flour and salt will be controlled by supplier control because there was no elimination step in noodle production; while biological hazards from wheat flour and dry eggs flour (E. coli, coliform group, Salmonella, Staphylococcus) will be controlled by drying process as critical control point or CCP, while from de-mineralized water is controlled by sanitation standard operating procedures (SSOP). The microbiological hazards contamination were also observed during processing steps which come from the equipments and personnel. All these hazards will be controlled by SSOP and GMP (personnel hygiene). Based on the result, it was concluded that PRP programs (GMP) should be improved before implementation and the HACCP Plan should be finalized and implementation before certification.
Keyword : Dry noodle, HACCP Plan, GMP, CCP, SSOP.
ABSTRAK
AGUS SUDIBYO. Penyiapan Kelayakan Persyaratan Dasar dan Penyusunan Rencana HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Untuk Produksi Mi Kering Pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor. Dibimbing oleh BETTY SRI LAKSMI JENIE and SUTRISNO KOSWARA.
Tujuan dari penelitian ini adalah mempersiapkan kelayakan persyaratan dasar dan menyusun rencana HACCP (HACCP Plan) pada produksi mi kering pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor sebagai studi kasus. Penelitian ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : Pertama, melakukan evaluasi terhadap kondisi kelayakan persyaratan dasar atau good manufacturing practice (GMP) di perusahaan PT Kuala Pangan sebelum mengimplementasikan sistem HACCP; kedua, menyusun rencana HACCP untuk produksi mi kering pada PT Kuala Pangan sesuai dengan SNI 01. 4852-1998 yang terdiri dari 7 prinsip HACCP dan 12 langkah penerapan sistem HACCP; dan terakhir memberikan rekomendasi rencana pengembangan sistem HACCP di perusahaan yang akan diimplementasikan dan disertifikasikan ke lembaga akreditasi sistem HACCP. Berdasarkan pengamatan dan inspeksi yang dilakukan di lapangan atas penerapan cara produksi pangan yang baik atau GMP, masuk dalam tingkat (rating) kategori B (baik) dan ditemukan 13 penyimpangan atau ketidaksesuaian, yaitu 1 kategori serius, 6 kategori mayor dan 6 kategori minor. Penyimpanganpenyimpangan tersebut perlu diperbaiki terlebih dahulu sebelum menerapkan HACCP. Bahaya kimia seperti logam-logam berat (Pb, Cu, Hg dan As) berasal dari bahan baku tepung terigu dan garam perlu dikendalikan sebagai control point (CP) dengan cara kontrol terhadap pemasok/supplier karena pada perusahaan tidak ada tahap untuk mengeliminasi bahaya kimia pada proses produksinya; sedangkan bahaya biologis pada bahan baku tepung terigu dan tepung telur (E. coli, coliform group, Salmonella dan Staphylococcus) akan dikendalikan pada tahap pengeringan sebagai titik kendali kritis atau CCP; dan untuk air perlu dikendalikan dengan penerapan sanitation standard operating procedure (SSOP). Bahaya mikrobiologi (Staphylococcus dan biofilm) karena adanya kontaminasi juga dikendalikan pada proses dan peralatan produksi, terutama yang berasal dari kontaminasi alat dan karyawan. Semua bahaya pada tahapan proses produksi dan peralatan yang berasal dari kontaminasi alat dan karyawan ini dikendalikan dengan SSOP dan GMP (higiene karyawan). Berdasarkan penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menerapkan dan mengembangkan sistem HACCP di perusahaan adalah program kelayakan persyaratan dasar atau GMP perlu diperbaiki terlebih dahulu sebelum implementasi sistem HACCP, dan rencana HACCP (HACCP Plan) yang telah disusun perlu difinalisasi dan diimplementasikan di perusahaan sebelum disertifikasikan ke Lembaga/Badan Sertifikasi HACCP. Kata kunci : Mi kering, rencana HACCP, GMP, SSOP, CCP.
RINGKASAN AGUS SUDIBYO. Penyiapan Kelayakan Persyaratan Dasar dan Penyusunan Rencana HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Untuk Produksi Mi Kering Pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor. Dibimbing oleh BETTY SRI LAKSMI JENIE dan SUTRISNO KOSWARA.
Mi merupakan salah satu produk pangan yang saat ini banyak digemari mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, karena rasanya enak, praktis dan mudah cara penyajiannya. Maraknya penggunaan formalin dan boraks pada bahan pangan seperti mi basah atau mi mentah, bakso, tahu, ikan asin, ikan segar dan ayam potong pada tahun 2005-2007 yang dilaporkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berdampak negatif pada industri pembuat mi kering yang mengalami penurunan. Hal tersebut juga berdampak pada citra produk pangan Indonesia di mata konsumen serta berdampak pada kemampuan bersaing produk pangan yang dihasilkan oleh industri pangan di Indonesia. Salah satu usaha untuk menjamin mutu dan keamanan pangan adalah pengembangan dan penerapan sistem HACCP pada industri pangan. Sistem HACCP ini sudah dikenalkan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) ke negara-negara anggota termasuk di Indonesia; dan telah ditetapkan oleh organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO) sebagai sistem standar penjamin keamanan pangan pada perdagangan pangan internasional. Di Indonesia, sistem HACCP ini telah diadopsi oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) yang ditetapkan dalam SNI 01. 4852-1998. Penelitian bertujuan untuk : (a) Mempersiapkan kelayakan persyaratan dasar atau good manufacturing practice (GMP) pada perusahaan PT Kuala Pangan; (b) Menyusun rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi mi kering pada perusahaan PT Kuala Pangan; dan (c) Merekomendasikan untuk pengembangan sistem HACCP di perusahaan PT Kuala Pangan. Manfaat penelitian ini adalah dengan tersusunnya rencana HACCP yang didukung dengan pemenuhan GMP serta diimplementasikan sistem HACCP dalam perusahaan, maka perusahaan tersebut diharapkan : (1) Mampu dan sanggup menghasilkan produk pangan yang memenuhi persyaratan keamanan pangan bagi kepentingan kesehatan manusia, (2) Meningkatkan jaminan keamanan pangan terhadap produk pangan yang dihasilkan oleh perusahaan, (3) Mencegah terjadinya penarikan produk pangan yang dihasilkan, dan (4) Meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap perusahaan atas produk pangan yang dihasilkannya. Penelitian ini dilakukan di perusahaan PT Kuala Pangan yang berlokasi di Jalan Depan Terminal Kav. 23-25 Citeureup, Bogor selama 6 bulan dari awal bulan Oktober 2007 sampai dengan akhir bulan Maret 2008. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : bahan baku utama tepung terigu dan air, bahan pembantu utama garam dan tepung telur, serta bahan tambahan pangan (BTP) berupa garam alkali (natrium dan kalium karbonat) dan bahan pewarna tartrazin CI 1940. Semua bahan-bahan tersebut diperoleh dan berasal dari perusahaan PT Kuala Pangan dan digunakan untuk tujuan : percobaan proses produksi, sebagai sampel (contoh) untuk pengujian di laboratorium yang
sudah terakreditasi, untuk identifikasi dan analisis bahaya, serta verifikasi dan validasi sistem HACCP. Selain bahan-bahan tersebut , digunakan pula bahanbahan lain yang terdiri : (1) Check list Form A untuk penilaian GMP yang dikeluarkan dari Badan POM untuk mengidentifikasi dan mengetahui implementasi program kelayakan persyaratan dasar atau good manufacturing practice (GMP) yang sudah dijalankan perusahaan sebelum menerapkan sistem HACCP, (2) Formulir/lembar kertas kerja untuk penentuan deskripsi produk, (3) Formulir/lembar kertas untuk pembuatan diagram alir proses produksi, (4) Formulir/lembar kertas kerja untuk analisis dan evaluasi bahaya, (5) Formulir/lembar kertas kerja untuk penentuan titik kendali kritis atau critical control point (CCP), (6) Formulir/lembar kertas kerja untuk pengendalian dan pemantauan rencana sistem HACCP atau HACCP Plan. Penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : Pertama, melakukan evaluasi terhadap kelayakan persyaratan dasar atau GMP di perusahaan dengan cara observasi di lapang, wawancara, pengamatan keadaan nyata dan pencatatan data yang ada di perusahaan untuk mengetahui sejauh mana kondisi kesiapan perusahaan dalam rencana menerapkan sistem HACCP dan hal-hal apa yang perlu diperbaiki untuk rencana penerapan sistem HACCP tersebut; Kedua, menyusun rencana HACCP untuk produksi mi kering di perusahaan sesuai dengan SNI 01. 48521998 yang mencakup 7 prinsip HACCP dan 12 tahap/langkah penerapan HACCP untuk mengetahui bahaya potensial pada bahan baku dan bahan lainnya, proses dan peralatan produksi yang digunakan untuk memproduksi mi kering yang perlu dikendalikan dan dimonitor dalam sistem HACCP; dan Ketiga, memberikan rekomendasi rencana pengembangan sistem HACCP di perusahaan berdasarkan studi dan kajian yang dilakukan pada tahap-tahap sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan observasi dan inspeksi di lapangan atas penerapan GMP di perusahaan menggunakan kriteria penilaian pada check list Form A dari Badan POM ditemukan 13 penyimpangan, yaitu aspek bangunan (2 penyimpangan berkategori minor), aspek fasilitas sanitasi (3 penyimpangan berkategori minor), aspek peralatan (1 penyimpangan berkategori minor), aspek higiene karyawan (1 penyimpangan berkategori serius dan 3 berkategori mayor), aspek penyimpanan (1 penyimpangan mayor), aspek pemeliharaan sarana pengolahan dan sanitasi serta pengendalian hama (1 penyimpangan berkategori mayor) dan aspek manajemen dan pelatihan (1 penyimpangan berkategori mayor). Hasil penilaian kondisi penerapan GMP ini sesuai dengan standar yang dikeluarkan Badan POM termasuk dalam tingkat (rating) B (Baik). Penyimpangan-penyimpangan tersebut merupakan penyimpangan yang sangat penting yang harus segera diatasi sebelum diterapkannya sistem HACCP di perusahaan. Bahaya potensial pada bahan baku, bahan penolong/pembantu dan bahan tambahan pangan yang perlu dikendalikan adalah bahan baku tepung terigu, garam, tepung telur dan air. Pada bahan baku tepung terigu dan dan tepung telur, bahaya potensialnya adalah bakteri patogen E. coli, coliform, Salmonella, dan Staphylococcus serta cemaran logam-logam berat seperti timbal (Pb), tembaga (Cu), merkuri (Hg), dan arsen (As). Cemaran logam-logam berat pada bahan baku tepung terigu dan garam perlu dikendalikan sebagai control point (CP) dengan cara kontrol terhadap pemasok/supplier karena bahaya kimia berupa logam-logam berat tersebut dalam proses produksinya tidak dapat dieliminasi secara khusus oleh perusahaan; begitu pula untuk cemaran bakteri patogen E. coli, Salmonella, Staphylococcus pada bahan baku tepung terigu dan
tepung telur perlu dikendalikan sebagai control point (CP) melalui kontrol terhadap supplier, sedang air dikendalikan dengan penerapan SSOP keamanan air secara efektif. Pada bahan tambahan pangan (BTP) natrium dan kalium karbonat serta pewarna tartrazin bahaya potensialnya relatif tidak ada, tetapi dapat disebabkan oleh penggunaan dosis yang tidak tepat atau melebihi batas maksimal yang diizinkan oleh Badan POM, sehingga perlu dikendalikan sebagai Control point (CP) melalui penimbangan kedua jenis bahan yang tepat (penerapan SSOP) dan GMP secara efektif dan konsisten. Sedangkan bahaya potensial pada tahapan proses dan peralatan produksi adalah berupa kemungkinan terkontaminasinya bakteri patogen dari pekerja/karyawan dan peralataan yang digunakan dalam proses produksi serta tumbuhnya bakteri biofilm pada unit peralatan mixer, roll presser, slitter dan cutter; oleh karena itu perlu dikendalikan melalui SSOP peralatan yang kontak dengan produk secara efektif, dan melalui SSOP pengendalian kesehatan karyawan dan higiene personil. Kecuali untuk tahap proses pengeringan harus dikendalikan sebagai titik kendali kritis atau CCP, karena dirancang khusus untuk/spesifik untuk menghilangkan/ memusnahkan bahaya berupa bakteri patogen E. coli, Salmonella, Staphylococcus yang berasal dari bahan tepung terigu, tepung telur, dan air yang digunakan. Untuk pengembangan sistem HACCP di perusahaan PT Kuala Pangan direkomendasikan sebagai berikut : (1) Perbaikan terhadap penerapan GMP di perusahaan terlebih dahulu sebelum menerapkan sistem HACCP sehingga dapat masuk dalam penilaian tingkat (rating) 1 (sangat baik), (2) Melakukan kaji ulang (review) akhir konsep rencana HACCP (HACCP Plan) yang sudah disusun sebelum melaksanakan implementasinya secara penuh, termasuk melengkapi data validasi dan verifikasi terhadap rencana HACCP yang sudah ditetapkan; dan (3) Jika semuanya sudah memenuhi syarat, maka meminta Lembaga/Badan Sertifikasi Sistem HACCP untuk dilakukan sertifikasi terhadap sistem HACCP yang telah diimplementasikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kondisi kelayakan persyaratan dasar atau GMP di perusahaan PT Kuala Pangan mempunyai fondasi yang baik untuk penerapan sistem HACCP, meskipun masih ada beberapa penyimpangan yang perlu diperbaiki terlebih dahulu sebelum menerapkan sistem HACCP. Untuk mengembangkan sistem HACCP di PT Kuala Pangan, langkah yang paling efektif dan efisien adalah mengintegrasikan aspek GMP yang telah diterapkan perusahaan ke dalam sistem HACCP sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam SNI 01.4852-1998.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber . a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENYIAPAN KELAYAKAN PERSYARATAN DASAR DAN PENYUSUNAN RENCANA HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) UNTUK PRODUKSI MI KERING PADA PT KUALA PANGAN DI CITEUREUP, BOGOR
AGUS SUDIBYO
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Teknologi Pangan pada Program Magister Profesi Teknologi Pangan Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 \
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir : Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc
Judul Tesis
: Penyiapan Kelayakan Persyaratan Dasar (GMP) dan Penyusunan Rencana HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Untuk Produksi Mi Kering Pada PT Kuala Pangan Di Citeureup, Bogor.
Nama
: Agus Sudibyo
NIM
: F. 252050175
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS.
Ir. Sutrisno Koswara, Msi.
(Ketua)
(Anggota)
Diketahui,
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Magister Profesi Teknologi Pangan
Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc.
Tanggal Ujian : ................................
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS
Tanggal Lulus : .....................................
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Esa yang telah memberi berkat dan bimbingan kepada penulis sehingga tesis ini dapat dirampungkan/ diselesaikan. Pemahaman akan kaidah-kaidah ilmiah terasa bertambah dari waktu ke waktu selama studi dilakukan, berkat bimbingan yang tak kenal lelah dari komisi pembimbing, yaitu Ibu Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS sebagai Ketua dan Bapak Ir. Sutrisno Koswara, Msi. sebagai anggota. Kepada beliaubeliaulah penghargaan dan terimakasih yang setinggi-tingginya pertama-tama penulis sampaikan. Kedua, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc. sebagai tim penguji dari luar Komisi Pembimbing yang telah memberikan masukan berharga bagi penyempurnaan Tesis ini. Penyiapan kelayakan persyaratan dasar dan penyusunan rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi mi kering pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor ini didasarkan pada studi kasus untuk membantu mempersiapkan perusahaan dalam menerapkan sistem HACCP dan rencana sertifikasinya guna menjamin produk mi kering yang dihasilkan. Penerapan dan pengembangan sistem HACCP tersebut, diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif jawaban bagi perusahaan PT Kuala Pangan untuk meningkatkan daya saing perusahaannya. Studi ini tidak akan mungkin dilakukan tanpa bantuan berbagai pihak. Terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada perusahaan PT Kuala Pangan yang telah menyediakan diri dipakai untuk studi kasus beserta karyawannya; atas kerjasama dan dukungannya yang baik dan cukup konsisten selama pelaksanaan studi. Terima kasih pula kepada Pimpinan Balai Besar Industri Agro (BBIA) dan stafnya serta kepada semua pihak yang turut membantu peneyelesaian tulisan ini yang tidak mungkin disebutkan satu per satu. Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan pula kepada Bapak Ir. Yang Yang Setiawan, MSc., Kepala Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor yang sebagai atasan bukan hanya memberikan keleluasaan waktu kepada penulis, namun juga secara pribadi ikut mendukung dalam membantu memberikan komitmen pembiayaan melalui anggaran DIPA BBIA Bogor. Terakhir, penulis ingin menyampaikan hormat dan terima kasih yang tinggi kepada Dr. Lily Siana Dewi Hoetomo, yang sebagai seorang isteri selalu mendorong penulis untuk mengembangkan ilmu dan berkarya. Beliaulah yang menyarankan penulis untuk mengambil program Magister Profesional Teknologi Pangan ini. Juga kepada ananda Andreas Alphadeo Adetomo, yang selalu memberi semangat dan pengertian yang tinggi selama pekerjaan ini diselesaikan. Semoga karya ilmiah bermanfaat.
Bogor, Juli 2008. Agus Sudibyo.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Klaten (Jawa Tengah) pada tanggal 6 Juli 1957 dari ayah FX Soebroto Djojowiratmo (alm.) dan ibu Christiana Kasiyem (alm.). Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh di SD Tegalyoso II Klaten, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri II Klaten dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri I Klaten. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1978 dan menamatkannya pada tahun 1982. Penulis pernah bekerja di PT Berca Jakarta dari tahun 1982 hingga akhir tahun 1984. Pada tahun 1984 hingga sekarang penulis bekerja di Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor, di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Departemen Perindustrian sebagai tenaga fungsional peneliti. Selama bekerja di BBIA Bogor, penulis pernah berkesempatan mendapat tugas belajar di Department of Food, Technology and Life Science, Cornell University, Ithaca, New York states USA dalam bidang Food Science and Technology pada tahun 1993 dan di Department of Food Science and Technology, Maryland University, Maryland state USA serta Food Drug and Administration (FDA) di Washington, DC - USA dalam bidang Food Safety System pada tahun 1999. Setahun kemudian penulis ditugaskan lagi di Australian
Government
Analytical
Laboratories
(AGAL)
dan
Australian
Quarantine and Inspection Service (AQIS) di Perth, Western Australia dalam bidang Food Safety Monitoring for Small Food Industry pada tahun 2001. Pada tahun 2005, penulis diterima melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB). Jabatan fungsional peneliti penulis sekarang di Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor adalah Peneliti Madya.
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK/ABSTRACT .............................................................................. iv KATA PENGANTAR ................................................................................. ix DAFTAR ISI ............................................................................................... xii DAFTAR TABEL ....................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xviii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xix
I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1 A. LATAR BELAKANG ........................................................................ 1 B. TUJUAN ........................................................................................... 5 C. KEGUNAAN/MANFAAT ................................................................ 6 II. DESKRIPSI UMUM PERUSAHAAN PT KUALA PANGAN ............ 7 A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN ................. 7 B. LOKASI PABRIK ............................................................................. 7 C. STRUKTUR ORGANISASI DAN KETENAGAKERJAAN ........... 8 D. SARANA PENUNJANG PRODUKSI .............................................. 10 1. Air .................................................................................................. 11 2. Tenaga Listrik ................................................................................ 11 3. Sumber Tenaga Uap ....................................................................... 12 4. Peralatan Produksi .......................................................................... 12 E. JENIS PRODUK PERUSAHAAN PT KUALA PANGAN ............. 14 III. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 16 A. BAHAN BAKU DAN BAHAN LAIN SERTA PROSES PRODUKSI MI KERING ................................................................ 16 1. Bahan Baku Utama ....................................................................... 18 2. Bahan Baku Pembantu .................................................................. 18 3. Bahan Tambahan Pangan (BTP) .................................................... 20 4. Bahan Kemasan .............................................................................. 23 5. Proses Produksi Mi Kering ............................................................ 24
Halaman
B. CEMARAN PADA MI KERING ..................................................... 30 1. Cemaran Mikrobiologis ................................................................ 30 2. Cemaran Kimia ............................................................................. 32 3. Cemaran Fisik ............................................................................... 33 C. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN PADA INDUSTRI PANGAN ...................................................................... 33 D. PENERAPAN GMP SEBAGAI PERSYARATAN KELAYAKAN DASAR DALAM SISTEM HACCP ...................... 37 E. PRINSIP HACCP DAN IMPLEMENTASINYA DALAM INDUSTRI PANGAN ...................................................................... 40 1. Definisi dan Terminologi HACCP ................................................ 40 2. Prinsip HACCP Dan Implementasinya Dalam Industri Pangan .... 43 F. KENDALA DALAM PENERAPAN SISTEM HACCP .................. 56 1. Kurangnya Manajemen Komitmen ............................................... 57 2. Hambatan Mental (Psikologis) ...................................................... 58 3. Hambatan Organisasi .................................................................... 59 4. Hambatan Dalam Biaya Implementasi dan Operasi Sistem HACCP .............................................................................. 59 5. Konsepsi Yang Salah tentang Sistem HACCP .............................. 60 IV. METODOLOGI ..................................................................................... 63 A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ......................................... 63 B. BAHAN DAN ALAT ....................................................................... 63 C. METODE PENELITIAN ................................................................... 64 1. Melakukan Evaluasi Kondisi Kelayakan Persyaratan Dasar (GMP) di Perusahaan .................................................................... 64 2. Menyusun Rencana HACCP (HACCP Plan) Untuk Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan ....................................... 65 3. Memberikan Rekomendasi Untuk Pengembangan Sistem HACCP di Perusahaan PT Kuala Pangan ...................................... 78
Halaman V. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 79 A. EVALUASI KONDISI KELAYAKAN PERSYARATAN DASAR (GMP) DI PERUSAHAAN ............................................... 79 B. PENYUSUNAN RENCANA HACCP (HACCP PLAN) UNTUK PRODUKSI MI KERING PADA PT KUALA PANGAN ............. 94 1. Melakukan Pelatihan Sistem HACCP ......................................... 94 2. Menetapkan Kebijakan Mutu Dan Kemanan Pangan ................. 97 3. Pembentukan Tim HACCP ......................................................... 98 4. Deskripsi Produk Dan Identifikasi Pengguna ............................. 100 5. Penentuan Dan Verifikasi Diagram Alir Proses .......................... 101 6. Analisis Bahaya Dan Penentuan Tindakan Pencegahannya ........ 114 7. Menentukan Titik Kendali Kritis ................................................ 132 8. Menentukan Batas Kritis ............................................................. 146 9. Menetapkan Prosedur Monitoring ............................................... 147 10. Menetapkan Prosedur Tindakan Koreksi .................................... 148 11. Menetapkan Tindakan Verifikasi ................................................ 149 12. Menetapkan prosedur Sistem Dokumentasi ................................ 158 13. Menetapkan Prosedur Pengaduan Konsumen ............................. 160 14. Menetapkan Prosedur Recall ....................................................... 162 15. Kendala Dalam Penerapan HACCP di PT Kuala Pangan ........... 162 C. REKOMENDASI UNTUK PENGEMBANGAN SISTEM HACCP DI PERUSAHAAN ........................................................... 164 1. Perbaikan Penerapan GMP Di Perusahaan PT Kuala Pangan ..... 164 2. Pengembangan Sistem HACCP Di Perusahaan PT Kuala Pangan .......................................................................... 166 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 168 A. KESIMPULAN .............................................................................. 168 B. SARAN ........................................................................................... 171 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 172 LAMPIRAN ................................................................................................. 182
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Syarat Mutu Mi Kering Menurut SNI 01-2974-1992 ................... 15 Tabel 2. Syarat Mutu Tepung Terigu Menurut SNI 01. 3751-2006 ........... 17 Tabel 3. Persyaratan Kualitas Air Minum Menurur PerMenKes No. 907/MenKes/SK/VII/2002 tanggal 29 Juli 2002 .................... 18 Tabel 4. Syarat Mutu Garam Konsumsi Beryodium menurut SNI 01.3556-2000 ......................................................................... 19 Tabel 5. Standar Mutu Tepung Telur Ayam Menurut FDA-USA .............. 20 Tabel 6. Kadar Tartrazin Dalam Produk Pangan yang Dikonsumsi oleh Responden Dibandingkan dengan kandungan Tartrazin yang Ditetapkan Dalam Regulasi .................................................. 23 Tabel 7. Persentase Industri Pangan yang Sudah Memahami dan Menerapkan Aspek Keamanan Pangan .......................................... 35 Tabel 8. Persentase Industri kecil Pangan yang Mengimplementasikan dan Tidak Mengimplementasikan Higiene ................................... 36 Tabel 9. Langkah-langkah Penerapan dan Pengembangan Sistem HACCP Dalam Industri Pangan Menurut NACMCF (National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods) dan CAC (Codex Alimentarius Commission) ............................................... 45 Tabel 10. Bahaya Mikrobiologis (Mikroba, Virus, dan Parasit) yang Dibagi Berdasarkan Risiko Keparahan Bahayanya ....................... 47 Tabel 11. Bahan Kimia Berbahaya pada Pangan ......................................... 48 Tabel 12. Material Utama yang Menyebabkan Bahaya Fisik ...................... 49 Tabel 13. Karakteristik Bahaya pada Produk Pangan .................................. 50 Tabel 14. Penetapan Kategori Risiko Produk Pangan ................................. 50 Tabel 15. Penetapan Kategori Risiko Suatu Bahan Pangan ......................... 51 Tabel 16. Matriks Risiko Boevee (Matriks Penentuan Signifikansi Bahaya .......................................................................................... 70
Halaman
Tabel 17. Tingkat Keseriusan Mikroorganisme Patogen ............................. 70 Tabel 18. Hasil Identifikasi Penyimpangan/Ketidaksesuaian Dalam Penerapan Unsur-Unsur GMP di Perusahaan .............................. 80 Tabel 19. Hasil Pengamatan Terhadap Pelaksanaan SSOP di Perusahaan ................................................................................... 88 Tabel 20. Pemantauan pada Program Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) di Perusahaan ……………………………….. 92 Tabel 21. Materi yang Diajarkan dalam Pelatihan Sistem HACCP di Perusahaan PT Kuala Pangan ...................................................... 95 Tabel 22. Hasil Evaluasi Penilaian Tingkat Pengertian dan Pemahaman Peserta (Sebelum dan setelah) Pelatihan .......................... 96 Tabel 23. Struktur Organisasi Tim HACCP di perusahaan PT Kuala Pangan .......................................................................................... 98 Tabel 24. Uraian Tugas Tim HACCP di Perusahaan PT Kuala Pangan ......................................................................................... 99 Tabel 25. Deskripsi Produk Mi Kering Produksi PT Kuala Pangan ............ 101 Tabel 26. Analisis dan Evaluasi Bahaya serta Tindakan Pencegahannya pada Bahan Baku di PT Kuala Pangan.................................. 115 Tabel 27. Hasil Pengujian Cemaran Fisik, Kimia, dan Mikroba pada Bahan Baku tepung Terigu .......................................................... 124 Tabel 28. Hasil pengujian Cemaran Fisik, Kimia, dan Mikroba pada Bahan baku Tepung Telur............................................................. 125 Tabel 29. Hasil Pengujian Cemaran Fisik dan Kimia pada Bahan baku Garam Konsumsi Beryodium .............................................. 125 Tabel 30. Hasil Pengujian Cemaran Fisik, Kimia, dan Mikroba pada Air di Perusahaan ......................................................................... 125 Tabel 31. Hasil Pengujian Cemaran Logam-logam Berat dan arsen pada Produk Mi Kering ................................................................ 131
Halaman
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan ......................... 133 Tabel 33. Batas Kritis Yang Ditetapkan pada CCP Untuk Produksi Mi kering di PT Kuala Pangan ..................................................... 146 Tabel 34. Hasil pengujian Cemaran Logam-logam Berat dan arsen Pada Bahan Baku Tepung Terigu dan Garam serta Bakteri patogen pada Produk Mi Kering ............................................ 147 Tabel 35. Rencana HACCP (HACCP Plan) pada Produksi Mi Kering pada Perusahaan PT Kuala Pangan .............................................. 150 Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan PT Kuala Pangan .................................. 151 Tabel 38. Beberapa Contoh Dokumen dan Rekaman pada Penerapan Sistem HACCP di PT Kuala Pangan ........................................... 160
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Mi Kering pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor ....................................................... 25
Gambar 2. Diagram Alir Pohon Penentuan Titik Kendali Kritis Atau Critical Control Point (CCP) (Sumber : BSN, 1998; CAC, 1997) ....................................................................... 53
Gambar 3. Diagram Alir Pohon Penentuan Titik Kendali Kritis atau CCP Untuk Pengembangan Rencana HACCP (HACCP Plan) di PT Kuala Pangan ..................................................................... 73
Gambar 4. Diagram Alir Proses Produksi Mi Kering Di PT Kuala Pangan Hasil Verifikasi di Lapangan ......................................... 103
Gambar 5. Diagram Penanganan Pengaduan Konsumen Di PT Kuala Pangan ........................................................................................ 161
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Denah Site Plant pada PT Kuala Pangan, Citeureup Bogor ...................................................................................... 182 Lampiran 2. Struktur Organisasi pada Perusahaan PT Kuala Pangan ........ 183 Lampiran 3. Contoh Soal Untuk Evaluasi dan Mengetahui Tingkat Pemahaman Terhadap Peserta Pelatihan SistemHACCP di PT Kuala Pangan .................................................................... 184 Lampiran 4. Contoh Lembar Kertas Kerja Pernyataan Kebijakan Mutu Perusahaan .................................................................... 190 Lampiran 5. Contoh Lembar Kertas Kerja Pembentukan Organisasi Tim HACCP Perusahaan ...................................................... 191 Lampiran 6. Contoh Lembar Kertas Kerja Pembuatan Deskripsi dan Tujuan Penggunaan Produk ................................................... 192 Lampiran 7. Contoh Lembar Kertas Kerja Untuk Pembuatan Diagram Alir Proses Produksi ............................................................... 193 Lampiran 8. Contoh Lembar Kertas Kerja Untuk Penentuan Analisis Bahaya, Penentuan Risiko (Peluang dan Keparahan) dan Tindakan Pencegahannya ....................................................... 194 Lampiran 9. Contoh Lembar Kertas Kerja Untuk Sistem Penentuan Titik Kendali Kritis Untuk Pengembangan Sistem Manajemen Keamanan Pangan Berdasarkan HACCP ................... 195 Lampiran 10. Contoh Lembar Kertas Kerja Untuk Pengembangan dan Pemantauan Rencana HACCP pada Perusahaan Yang akan Menerapkan Sistem HACCP ........................................ 196 Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan GMP Sarana Produksi Pangan pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor .................................. 197 Lampiran 12. Contoh Prosedur dan Jadwal Kebersihan Ruangan di Perusahaan PT Kuala Pangan ............................................... 206
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Beberapa puluh tahun terakhir ini, masalah mengenai keracunan pangan dan isu keamanan pangan di dunia telah meningkat sebagai akibat adanya insiden keracunan pangan yang berdampak pada perdagangan pangan internasional dan perhatian publik yang meningkat terhadap isu keamanan pangan tersebut. Di negara Asia termasuk di Indonesia pun terdapat kecenderungan (trend) yang sama (Ben Embarek, 2004). Beberapa jenis penyebab keracunan pangan adalah listeriosis, salmonellosis, flu burung (Asian influenza), sapi gila atau mad cow (Bovine Spongiform Encephalophaty), penyakit kuku dan mulut pada sapi, dioksin dan ancaman bioterorisme. Menurut Badan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit atau Centre for Diseases Control and Prevention (CDC), terjadi 6-53 juta kasus keracunan pangan di Amerika Serikat. Sebanyak 50.000 kasus di antaranya disebabkan oleh Salmonella (CDC, 2001). Di negara-negara yang sedang berkembang, penyakit akibat keracunan pangan dan air bila dihitung dapat mencapai 0,8 juta orang meninggal setiap tahun. Sedang di negara-negara industri yang sudah maju, penyakit karena keracunan pangan berakibat mencapai 30% dari jumlah populasi manusianya, dan 20 orang di antara dari 1 juta orang yang ada meninggal setiap tahun karena kasus penyakit keracunan pangan. Bahkan di negara-negara Asia, kasus penyakit yang disebabkan karena keracunan pangan telah meningkat pada tahun 2003 dan 2004 yang disebabkan karena adanya penyediaan pangan dari jasa boga untuk keperluan di kantin sekolah, kantin perusahaan, dan untuk keperluan sosial dalam rangka pesta perayaan perkawinan (Ben Embarek, 2004). Isu masalah keamanan pangan di Indonesia pun semakin mendapat perhatian masyarakat Indonesia, baik yang menyangkut produk pangan yang diekspor ke luar negeri maupun untuk produk pangan yang dikonsumsi di dalam negeri. Misalnya, banyak produk industri pangan dan pertanian Indonesia yang ditolak oleh negara tujuan ekspor karena tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan serta dicurigai sebagai produk yang tidak aman untuk dikonsumsi. Beberapa komoditas pangan pernah ditolak di Amerika Serikat oleh
1
US FDA karena terkontaminasi Salmonella (paha kodok, lobster, lada hitam, lada putih, udang), atau menyalahi peraturan low acid canned food (bekicot, jamur, dan ketam kecil dalam kaleng) (Fardiaz, 1996). Contoh lain adalah ditolaknya ekspor 85.000 ton minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO) oleh Belanda akibat terkontaminasi solar (Menhutbun, 2000). Sedang salah satu isu masalah keamanan pangan produk pangan di dalam negeri pada beberapa tahun terakhir yang mendapat perhatian publik adalah isu penggunaan formalin dan boraks dalam beberapa produk pangan termasuk produk pangan mi. Mi merupakan makanan yang sangat digemari mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Alasannya karena rasanya yang enak, praktis dan mudah cara penyajiannya. Di pasaran saat ini dikenal ada beberapa jenis mi, yaitu mi mentah (mi pangsit), mi basah (mi kuning), mi kering dan mi instan. Mi basah atau mi kuning adalah jenis mi yang mengalami proses perebusan dalam air mendidih terlebih dahulu setelah tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan. Kadar air mi basah dapat mencapai sekitar 52% (Winarno dan Rahayu, 1994) sehingga menyebabkan cepat mengalami kerusakan atau penurunan mutu dan daya tahan atau keawetannya cukup singkat, yaitu sekitar 16 jam pada suhu kamar (Astawan, 2005). Sedangkan mi kering dan mi instan merupakan mi yang kering dengan kadar air yang rendah (sekitar 10 %) sehingga lebih awet dibandingkan dengan mi mentah dan mi basah (Widyaningsih dan Murtini, 2006). Pada umumnya di Indonesia mi basah dan mi mentah banyak diproduksi dan dihasilkan oleh industri skala kecil sedangkan mi kering dan mi instan banyak diproduksi dan dihasilkan oleh industri skala menengah dan besar. Saat ini jumlah industri mi kering di Indonesia mencapai 42 industri sedangkan jumlah industri mi instan mencapai 23 industri (BPS, 2005). Maraknya penggunaan formalin dan boraks pada bahan pangan seperti mi basah/mi mentah, bakso, tahu, ikan asin, ikan segar dan ayam potong pada tahun 2005 dan 2007 yang dilaporkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berdampak negatif pada industri pembuat mi kering yang mengalami penurunan. Pada proses pembuatan mi kering sebenarnya tidak menggunakan kedua jenis bahan tambahan tersebut; sedang penggunaan formalin dan boraks tidak diperlukan pada proses pembuatan mi basah atau mi mentah bila bahan yang
2
digunakan dan proses dalam pembuatan mi benar. Hal tersebut dapat berdampak pada citra produk pangan Indonesia di mata konsumen di dalam negeri mapun konsumen di luar negeri serta berdampak pada kemampuan bersaing produk pangan yang dihasilkan oleh industri pangan di Indonesia. Dilema yang dihadapi khususnya pada produk mi adalah mi dengan penambahan formalin yang dihasilkan oleh industri pangan memang lebih unggul dalam hal kekenyalan, keliatan, dan keawetan karena sampai hari ke-4 baru mulai berbau asam dan berlendir sehingga industri tersebut tanpa bersusah payah memperbaiki mutu dan keamanan produknya; di sisi lain formalin menurut lembaga internasional untuk penelitian kanker, menggolongkan formalin sebagai senyawa yang bersifat karsinogen atau senyawa yang dapat memacu pertumbuhan sel-sel kanker (Widyaningsih dan Murtini, 2006) sehingga industri pangan tersebut tetap beroperasi dengan proses produksi dan pengendalian keamanan pangan seadanya. Oleh karena itu, pemberdayaan industri pangan tersebut perlu dilakukan. Salah satu usaha menjamin mutu dan keamanan pangan adalah pengembangan dan penerapan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) pada industri pangan. Sistem HACCP ini sudah dikenalkan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) ke negara-negara anggota sejak tanggal 28 Juni 1993 (WHO, 1993), dan telah ditetapkan oleh organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO) sebagai sistem standar penjamin keamanan pangan pada perdagangan pangan internasional (Hathaway, 1999; Orris, 1999). Untuk mengantisipasi pasar global yang semakin kompetitif, pemerintah Indonesia melalui BSN (Badan Standardisasi Nasional) telah memutuskan untuk mengadopsi sistem mutu ISO 9000 dan sistem keamanan pangan model HACCP serta akan mengadopsi juga sistem manajemen keamanan pangan ISO 22000. BSN telah mengadopsi CAC HACCP System : Guidelines for apllication yang dimodifikasi menjadi
SNI 01-4852-1998 (Sistem Analisa Bahaya dan
Pengendalian Titik Kritis/HACCP – serta Pedoman penerapannya) dan telah menetapkan panduannya, yaitu Pedoman BSN 1004-1999 (Panduan Penyusunan Rencana HACCP) (Suprapto, 1999). Namun Pedoman BSN 1004-1999 ini telah direvisi menjadi Pedoman BSN 1004 -2002 (BSN, 2002).
3
PT Kuala Pangan adalah satu perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan pangan dan menghasilkan produk mi kering. Perusahaan ini berdiri sejak tahun 1974 dan berlokasi di jalan Depan Terminal Kavling 23 – 25, Citeureup, Bogor. Produk perusahaan ini sebagian besar (95%) dijual dan dipasarkan di Indonesia, sedangkan sebagian kecil lainnya untuk diekspor ke negara Belgia, Belanda/Netherland, Timur Tengah dan Luxenburg serta Australia. Produksi mi kering yang dihasilkan perusahaan PT Kuala Pangan ini mencapai sekitar 12,5-15,0 ton per hari. Mi kering adalah produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan (BTP) yang diizinkan, berbentuk khas mi (SNI 01-2974-1992). Mi kering yang diproduksi dan dihasilkan oleh perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan ini dibuat dari bahan tepung terigu, dengan penambahan bahan pangan seperti garam, tepung telur, potasium/kalium karbonat, sodium/natrium karbonat dan bahan tambahan pangan (BTP) pewarna tartrazin CI 1940 yang diizinkan oleh Deparmen Kesehatan atau Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Menyadari pentingnya jaminan penerapan sistem manajemen mutu dan keamanan pangan di perusahaan serta menanggapi maraknya isu penggunaan formalin dalam industri pembuatan mi dan adanya permintaan jaminan keamanan pangan dari pelanggan berdasarkan sistem HACCP, maka pihak manajemen PT Kuala Pangan berkeinginan untuk menerapkan sistem HACCP (Hazard analysis critical control point). Sistem HACCP ini telah diakui secara internasional baik oleh Codex, European Union (EU), dan World Trade Organization (WTO) serta telah diadopsi oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) di atas. Penerapan sistem HACCP pada industri pangan seperti yang akan diterapkan pada PT Kuala Pangan dinilai cukup efektif untuk mencegah dan meminimisasi risiko bahaya keracunan pangan, sehingga dinilai cukup baik untuk memberi jaminan keamanan pangan (Bauman, 1990; Marriott, 1997). Pertama, penerapan sistem HACCP dapat mengurangi tingkat risiko terhadap morbiditas dan mortalitas yang dikaitkan dengan konsumsi pangan yang tidak aman (Antle, 1999). Biaya-biaya yang berkaitan dengan tingkat risiko tersebut antara lain, misalnya : biaya untuk penanganan pasien yang terkena keracunan pangan,
4
hilangnya pendapatan pasien penderita keracunan pangan sebagai akibat kehilangan waktu kerja mereka karena tidak masuk kantor/perusahaan, biaya untuk penyembuhan karena kasus keracunan pangan dan ketidakgunaan/ ketidakmampuan mereka selama sakit karena keracunan pangan. Kedua, Penerapan sistem HACCP sebagai bagian dari sistem manajemen mutu menyeluruh (total quality management) bila diimplementasikan secara tepat dapat memberi keuntungan sebagai berikut : perbaikan dalam efisiensi operasional, mengurangi biaya transaksi dan menciptakan keuntungan yang lebih kompetitif (Caswell et al, 1998; Bredahl et al, 2001; Farina dan Reardon, 2000). Selain itu, penerapan sistem HACCP tidak berdiri sendiri, tetapi dapat diterapkan dan diintegrasikan bersama dengan sistem lain misalnya good manufacturing practice (GMP) dan ISO 9000 (Sunarya, 1999). Produksi bahan baku atau ingredien yang digunakan oleh PT Kuala Pangan untuk bahan pangan haruslah dilakukan sesuai dengan sistem manajemen mutu dan keamanan pangan yang baik agar produk yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi. Melalui penerapan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan HACCP, diharapkan perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan bisa menghasilkan produk pangan dengan kualitas yang baik dan konsisten, serta yang paling penting adalah aman untuk dikonsumsi, yang pada akhirnya akan meningkatkan
kepercayaan
konsumen
terhadap
produk
perusahaan
dan
meningkatkan penjualan produk perusahaan.
B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mempersiapkan kelayakan persyaratan dasar sesuai GMP (Good Manufacturing Practice) dan penyusunan rencana HACCP (hazard analysis critical control point)) atau HACCP Plan untuk produksi mi kering pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor sebagai studi kasus, sesuai dengan Standar Nasional Indonesia – SNI
01. 4852-1998 (Sistem Analisis
Bahaya dan Pengendalian Titik Kendali Kritis – HACCP) serta Pedoman Badan Standarisasi Nasional (BSN) 1004-2002.
5
Secara rinci penelitian ini bertujuan : 1. Mengevaluasi kondisi persyaratan kelayakan dasar sesuai persyaratan GMP pada perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan sebelum menerapkan/ mengimplementasikan sistem
manajemen keamanan pangan berdasarkan
sistem HACCP ; 2. Menyusun dokumen rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi mi kering pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor yang akan digunakan perusahaan sebagai panduan dalam penerapan sistem HACCP ; 3. Merekomendasikan rencana HACCP tersebut untuk pengembangan sistem HACCP pada perusahaan PT Kuala Pangan di Citeureup,Bogor. Dengan demikian, penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan fondasi bagi penyusunan, penerapan dan sertifikasi sistem HACCP untuk produksi mi kering pada perusahaaan industri pangan PT Kuala Pangan.
C. KEGUNAAN/MANFAAT Dengan telah tersusunnya sistem manajemen HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) yang didukung dengan pemenuhan dokumen persyaratan kelayakan dasar (prerequisite programs) dan cara produksi pangan yang baik atau good manufacturing practice (GMP) pada industri pangan yang menghasilkan produk mi kering di PT Kuala Pangan, maka dapat dilakukan penerapan dan sertifikasi sistem HACCP, sesuai dengan Standar Nasional Indonesia – SNI 014852-1998 (Sistem Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kendali Kritis – HACCP) serta Pedoman Penerapannya (Pedoman BSN 1004-2002). Dengan demikian, perusahaan industri pangan yang menghasilkan produk mi kering di PT Kuala Pangan tersebut diharapkan : (1) Mampu dan sanggup menghasilkan produk pangan yang memenuhi persyaratan keamanan pangan bagi kepentingan kesehatan manusia, (2) Meningkatkan jaminan keamanan pangan pada produk pangan yang dihasilkan oleh perusahaan, (3) Mencegah terjadinya penarikan produk pangan yang dihasilkan, dan (4) Meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap perusahaan.
6
II. DESKRIPSI UMUM PERUSAHAAN PT KUALA PANGAN A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN PT Kuala Pangan didirikan pada tanggal 1 Juni 1974. Pada awalnya perusahaan ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan/trading untuk produk-produk hasil pertanian. Kemudian perusahaan tersebut setelah berkembang secara resmi mendirikan pabrik mi kering sejak tanggal 7 Nopember 1988 yang dikukuhkan dengan Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 064/DJAI/IUT-1/NON-PMA-PMDN/II/1988 tanggal 11 Februari 1988 dan Surat Izin Perluasan (Tanpa melalui Tahap Persetujuan Prinsip) oleh Direktorat Jendral Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan, Departemen Perindustrian No. 236/DJIHPK/D.2/Perluasan/VIII/1998, tanggal 28 Agustus 1998. Mengacu pada Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 286/M/SK/ 1989, maka perusahaan PT Kuala Pangan dikategorikan atau termasuk sebagai industri pangan berskala menengah karena mempunyai nilai aset lebih besar dari 5 milyard rupiah (tidak termasuk tanah dan bangunan) dengan jumlah tenaga kerja sekitar 200 orang karyawan.
B. LOKASI PABRIK Pabrik PT Kuala Pangan berlokasi di lingkungan Terminal CiteureupKabupaten Bogor, tepatnya di Jalan Depan Terminal No. 23-25 Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor. PT Kuala Pangan juga mempunyai kantor di Jalan Depan Terminal No. 23-25 Citeureup tersebut dengan nomor telepon (021) 8752467 dan Nomor Fax (021) 8751013. Pabrik terdiri atas beberapa bangunan dan fasiltas, yaitu : bangunan pabrik, bangunan gudang 1 sampai 4, ruang pengemasan, ruang diesel, ruang boiler, gudang terigu, fasilitas kamar mandi dan WC, poliklinik, pos Satpam dan fasilitas tempat parkir. Bangunan pabrik memiliki areal seluas 4.992,53 m2 yang terdiri dari beberapa ruangan, yaitu : ruang kantor utama, ruang administrasi, ruang produksi, ruang persiapan bahan baku, ruang gudang, ruang alat mesin, ruang diesel, ruang boiler dan gedung olahraga; sedangkan lahan terbuka untuk jalan, tempat parkir
7
dan penghijauan memiliki areal seluas 1007,47m2. Denah pabrik dapat dilihat pada Lampiran 1.
C. STRUKTUR ORGANISASI DAN KETENAGAKERJAAN Struktur organisasi adalah hal yang penting dalam setiap organisasi atau perusahaan. Dengan adanya struktur organisasi akan tergambar jelas wewenang dan tanggung jawab setiap bagian. Setiap bagian tersebut melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan tanggung jawab masing-masing sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai secara maksimal. Struktur organisasi PT Kuala Pangan menerapkan bentuk organisasi lini dan staf. Pada bentuk organisasi lini dan staf, pelimpahan wewenang berlangsung secara vertikal dan sepenuhnya dari pimpinan tertinggi kepada unit di bawahnya (Hasibuan, 1990). Sedangkan tenaga kerja PT Kuala Pangan terdiri dari 2 kelompok, yaitu kelompok staf dan non-staf. Tingkat pendidikan mereka terdiri dari SLTP, SLTA Kejuruan atau program Diploma untuk bagian produksi, pemasaran sampai sarjana untuk tingkat manajerial. Kelompok staf meliputi : Direktur Utama, Direktur Pelaksana, Manager Umum dan Pembelian, Manager Personalia, Manager Keuangan (Manager Accounting), Manager Penjualan, Manager Gudang/Pengiriman, Manager Teknik dan Manager Produksi. Struktur organisasi PT Kuala Pangan dapat dilihat pada Lampiran 2. Direktur Utama selaku penanggung jawab dan pemegang wewenang utama PT Kuala Pangan. Direktur Utama bertugas dan bertanggung jawab dalam : (a) menetapkan garis-garis pokok kebijaksanaan pimpinan PT Kuala Pangan, (b) menjalankan koordinasi dan pengawasan atau penyelenggaraan wewenang para anggota manager, (c) mengetahui dan memimpin rapat dengan manager, (d) melaksanakan koordinasi pabrik dalam melaksanakan hubungan PT Kuala Pangan dengan dunia luar perusahaan, masyarakat dan pemerintah. Direktur Pelaksana bertugas dan bertanggung jawab membantu tugas Direktur Utama dalam melaksanakan koordinasi dengan tugas-tugas manager serta membantu Direktur Utama sebagai Wakil perusahaan untuk berhubungan dengan dunia luar perusahaan, dan masyarakat.
8
Manager Umum dan Pembelian bertugas dan bertanggung jawab dalam mengorder dan mutu pembelian bahan baku, bahan penolong/pembantu, bahan tambahan pangan, dan bahan pengemas serta bahan kertas dan alat tulis kantor. Manager Personalia bertugas dan bertanggung jawab terhadap rekruitmen karyawan dan pengelolaan karyawan serta bertanggung jawab membina hubungan internal dan eksternal perusahaan. Manager Keuangan (Manager Akunting) bertugas dan bertanggung jawab membuat rencana pengeluaran biaya operasional, melakukan pencatatan transaksi, mengeluarkan analisis biaya dan melakukan pengendalian (kontrol) terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan. Departemen ini mempunyai 2 bagian, yaitu bagian akuntasi keuangan (finance accounting) dan bagian biaya akuntansi (cost accounting). Manager Pemasaran/Penjualan bertugas dan bertanggung jawab terhadap perencanaan dan pemasaran produk mi kering yang dihasilkan perusahaan, menjalankan kebijakan dan semua strategi pemasaran yang ditetapkan oleh perusahaan (strategi produk, strategi harga, dan strategi distribusi) serta melakukan riset pemasaran. Departemen ini dibantu oleh beberapa staf salesman yang membantu Manager Pemasaran dalam memasarkan produk mi kering yang dihasilkan perusahaan. Manager Gudang & Pengiriman bertugas dan bertanggung jawab terhadap perencanaan dan pengelolaan gudang penyimpanan serta bertanggung jawab dalam melakukan pengiriman dan distribusi produk akhir. Manager Teknik bertugas dan bertanggung jawab atas penanganan dan pengembangan alat-alat dan mesin, boiler, listrik dan bengkel (utilitas pabrik), pemeliharaan mesin dan peralatan termasuk suku cadang (maintenance) untuk kelangsungan proses produksi; dan memastikan seluruh mesin-mesin dan peralatan yang digunakan dalam produksi selalau dalam kondisi baik dan seluruh peralatan yang baru terinstalasi dengan benar. Manager
Produksi
bertanggung
jawab
dalam
mengelola
dan
merealisasikan order/permintaan dari pelanggan dengan efisiensi yang tinggi, menganalisa produk limbah dan hasil produksi, membina dan memotivasi
9
karyawan bagian produksi, serta bertanggung jawab dalam menjalankan sistem manajemen mutu. Supervisor bertugas memimpin dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan kelancaran kegiatan produksi pada seksi produksinya, melakukan pengawasan terhadap tenaga kerja yang berada pada seksinya dengan dibantu operator, dan memberikan masukan kepada manager tentang efisiensi produksi. Operator bertugas mengawasi langsung tenaga kerja yang bertugas pada unit-unit lingkungan seksi produksinya, bertanggung jawab terhadap kebersihan, perawatan dan kelancaran mesin, dan bersama-sama dengan operator lainnya menjamin kesinambungan dan kemantapan kerja seksi produksi. Kelompok karyawan non-staf terdiri dari karyawan tetap dan karyawan harian yang perbedaannya adalah dari segi penerimaan gaji dan tingkat kerja yang dilakukan. Karyawan harian akan menerima gaji sebesar jumlah hari kerja yang dilakukan sehingga pada saat tidak kerja maka mereka tidak mendapat gaji; sedangkan karyawan tetap akan menerima gaji bulanan. Karyawan tetap di pabrik PT Kuala Pangan ini berjumlah 50 orang dan karyawan hariannya berjumlah 150 orang. Jam kerja karyawan dimulai pukul 08.00 sampai dengan pukul 17.00 untuk hari Senin-Kamis dengan waktu istirahat pukul 12.00-13.00; sedangkan hari Jum’at waktu pukul 11.30-13.00 dan hari Sabtu pukul 08.00-12.30 dengan tidak ada waktu istirahat. Sedangkan jam kerja dalam sehari untuk bagian produksi dibagi dalam 2 shift kerja, yaitu : (a) Shift pagi : pukul 07.00-14.30; jam istirahat antara pukul 11.30-12.30 dan (b) Shift siang/sore : pukul 14.30-22.00; jam istirahat antara pukul 18.00-19.00. Pertukaran Shift kerja dilakukan setiap minggu. Sistem pembayaran gaji dilakukan setiap bulan, yaitu pada tanggal 28 kecuali untuk karyawan harian. Besarnya gaji diberikan berdasarkan posisi yang dijabat dan lamanya jam lembur. Selain itu, gaji karyawan juga disesuaikan dengan standar upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Untuk memenuhi kebutuhan
rohani
karyawan
yang
memeluk
agama
islam,
perusahaan
menyediakan musholla yang berada di dalam pabrik.
10
D. SARANA PENUNJANG PRODUKSI Dalam memproduksi mi kering di perusahaan PT Kuala Pangan Citeureup, Bogor diperlukan sarana-sarana penunjang kegiatan produksi. Sarana-sarana penunjang tersebut antara lain air, tenaga listrik, uap dan peralatan produksi mi kering. 1. Air Seluruh air yang digunakan di PT Kuala Pangan Citeureup, Bogor untuk kegiatan produksi maupun untuk keperluan lainnya berasal dari sumur bawah tanah. Air dari sumur tersebut diolah terlebih dahulu berdasarkan kegunaannya melalui beberapa tahapan sehingga menghasilkan air olahan dengan tiga golongan, yaitu air sebagai bahan baku dan bahan pencampur untuk keperluan produksi mi kering, air sebagai media atau sarana proses produksi atau untuk boiler, dan air sebagai media dan sarana pembersih untuk keperluan umum (general use). Air yang dipergunakan untuk bahan baku pencampuran dengan bahan tepung terigu, garam, kalium dan natrium karbonat dan bahan pewarna tartrazin harus memenuhi standar air minum yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan. Air untuk keperluan umum merupakan air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan akan air secara umum, seperti untuk kebutuhan kantor, musholla, pencucian mobil, membersihkan lantai ruangan pabrik (sanitasi ruangan), penyiraman tanaman, dan untuk keperluan mandi dan toilet. Penggunaan air untuk keperluan produksi mi kering rata-rata mencapai 15 m3 setiap harinya; sedangkan untuk keperluan boiler rata-rata mencapai 45 m3 per hari dan untuk MCK (mandi, cuci, kakus/wc) rata-rata sekitar 10 m3 setiap harinya. Dalam industri perlu dilakukan upaya pengendalian terhadap air, yaitu dengan menghitung jumlah besar air yang diperlukan dalam berbagai proses. Pengendalian bertujuan untuk meminimalisasi penggunaan air sehingga lebih efisien dan ketersediaan air untuk kebutuhan proses dapat dikendalikan dengan baik. 2. Tenaga Listrik Listrik memegang peranan penting dalam kegiatan produksi dan aktifitas lainnya karena berperan sebagai energi. Sumber listrik untuk kebutuhan
11
perusahaan diperoleh dari PLN dengan kapasitas 240 KVA. Untuk keperluan cadangan, PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor memeliki sebuah genset yang dipakai hanya bila aliran listrik dari PLN terhenti. Kapasitas genset tersebut tidak mampu menghasilkan energi listrik untuk kegiatan produksi. Dengan kapasitas tersebut, maka energi listrik yang dihasilkan genset hanya digunakan untuk keperluan umum seperti penerangan, sehingga bila aliran listrik di PLN terputus maka kegiatan produksi untuk sementara dihentikan.
3. Sumber Tenaga Uap (Steam) Tenaga uap diperlukan dalam proses pengukusan dan pengeringan mi. Tenaga uap ini dihasilkan dari mesin boiler yang mendidihkan air menjadi uap panas yang akan digunakan untuk menyuplai kebutuhan uap selama proses produksi. Air yang digunakan untuk menghasilkan uap tersebut berasal dari air yang telah mengalami penurunan kesadahan (soft water). Bahan yang ditambahkan untuk menurunkan kesadahan air antara lain Katalyzed, Adjunt Lh, Ametol N23, Adventage 114 dan Emergy 5000. Air dengan kesadahan tinggi tidak layak digunakan karena akan mempertinggi titik uap, sehingga energi dibutuhkan untuk menguapkan air akan lebih banyak.
4. Peralatan Produksi Peralatan untuk produksi mi kering yang dimiliki dan dioperasikan untuk kegiatan produksi mi kering di PT Kuala Pangan Citeureup, Bogor terdiri atas : alat penampung terigu (hopper) 1 buah, alat pencampur adonan (mixer) sebanyak 3 buah, alat pengumpan (feeder) bahan adonan ke alat pengepres 2 buah, alat pengepres adonan untuk membuat lembar adonan dalam bentuk roll pressing 2 buah, alat pembentuk untaian mi (slitter), alat pengukus mi dalam bentuk terowongan atau steamer 2 buah, alat pemotong cetakan mi atau micro cutter 2 buah, alat pengering mi (tunnel dryer) 2 buah, alat konveyor dan kipas pendingin (cooler) 2 buah, satu set alat boiler dan alat pengemas untuk mengemas produk mi sebanyak 2 buah serta mesin pembungkus band sealer 2 buah.
12
a. Hopper Hopper merupakan alat penampung terigu yang akan digunakan untuk produksi pada waktu itu. Pada alat ini terdapat screw conveyor yang akan menarik terigu ke dalam mixer.
b. Mixer Mixer adalah alat yang digunakan untuk mencampur bahan baku (terigu) agar tercampur rata, selain itu juga berfungsi sebagai pencampur antara bahan baku dengan larutan alkali, air dan bahan pewarna tartrazin sehingga terbentuk adonan yang rata dan homogen.
c. Feeder Feeder merupakan alat yang berfungsi sebagai penampung sebelum adonan masuk ke dalam mesin pengepres (pressing) dan dilengkapi dengan pengaduk yang berfungsi sebagai pendorong adonan keluar dari feeder.
d. Roll pressing Roll pressing adalah alat yang digunakan dalam pembentukan adonan menjadi lembaran dengan ketebalan tertentu. Pada proses ini adonan akan melewati 5 atau 7 roll pressing. Pada awalnya, lembaran akan dibentuk tebal, selanjutnya akan semakin tipis sesuai dengan ketebalan yang diinginkan.
e. Slitter Slitter berfungsi sebagai pembentuk untaian pada lembaran adonan setelah melalui roll pressing. Slitter yang digunakan pada produk mi berbedabeda sesuai dengan jenis dan bobot mi-nya. Perbedaaan slitter yang digunakan akan berpengaruh terhadap untaian mi yang dihasilkan.
f. Steamer Steamer merupakan alat yang berfungsi untuk proses pengukusan untaian mi setelah keluar dari proses slitting dengan menggunakan uap panas.
13
Alat ini berbentuk kotak persegi panjang menyerupai terowongan yang didalamnya dilengkapi dengan steamnet yang berfungsi sebagai konveyor.
g. Dryer Dryer merupakan alat yang berfungsi untuk proses pengeringan untaian mi setelah keluar dari proses pembentukan dalam cetakan mi dengan menggunakan uap panas dalam bentuk oven pengering yang dilengkapi dengan kipas/blower penghembus udara panas.
g. Cutter Cutter berfungsi sebagai alat pemotong mi yang telah melalui proses pengukusan (steaming). Setelah mi dipotong, mi akan dilipat sehingga diperoleh mi dengan bentuk segi empat yang rata.
h. Cooler Cooler merupakan alat yang digunakan untuk menurunkan suhu mi setelah melewati proses pengeringan. Di dalam mesin tersebut terdapat blower yang dapat menurunkan suhu mi, sehingga pada saat pengemasan (packing) suhu mi mendekati suhu ruang, dan penampakan mi juga akan lebih baik.
i. Mesin packing Mesin ini digunakan untuk mengemas mi kering yang telah dilengkapi dengan alat untuk memberi tanda kode produksi dan tanggal kadaluwarsa.
E. JENIS PRODUK Jenis produk yang diproduksi dan dihasilkan oleh perusahaan PT Kuala Pangan adalah mi kering dengan merk Cap Atom Bulan. Mi kering ini adalah produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan lain dan bahan tambahan pangan (BTP) yang diijinkan, berbentuk khas mi yang langsung dikeringkan dan mempunyai kadar air sekitar 10%. Produk mi kering PT Kuala Pangan ini dikemas dalam plastik polipropilen (PP) dengan bobot netto 200 gram per kemasan plastik dan kemudian dikemas
14
lagi dalam kemasan kotak karton (boks) dengan kapasitas 20 kemasan plastik PP. Produk mi kering yang dihasilkan oleh PT Kuala Pangan ini mengacu pada SNI 01-2974-1992. Syarat mutu mi kering pada SNI 01-2974-1992 tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Syarat Mutu Mi Kering menurut SNI 01-2974-1992 (*) No 1.
2. 3. 4. 5.
6.
7. 8.
Kriteria Uji Keadaan 1.1. Bau 1.2. Warna 1.3. Rasa Air Abu Protein (N x 6,25) Bahan tambahan pangan 5.1. Boraks atau formalin 5.2. Pewarna (Tartrazin)
Cemaran logam : 6.1. Timbal (Pb) 6.2. Tembaga (Cu) 6.3. Seng (Zn) 6.4. Raksa (Hg) Arsen (As) Cemaran mikroba : 8.1. Angka lempeng total 8.2. E. coli 8.3. Kapang
Satuan
Persyaratan Mutu I
Mutu II
normal normal normal Maksimal 8 Maksimum 3 Minimum 11
normal normal normal Maksimal 10 Maksimum 3 Minimum 8
Tidak boleh ada Sesuai dengan SNI 0222-M dan Peraturan MenKes No.722/MenKes/ Per/IX/88
Tidak boleh ada Sesuai dengan SNI 0222-M dan Peraturan MenKes No.722/MenKes/ Per/ IX / 88
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maksimum 1,0 Maksimum 10,0 Maksimum 40,0 Maksimum 0,05 Maksimum 0,5
Maksimum 1,0 Maksimum 10,0 Maksimum 40,0 Maksimum 0,05 Maksimum 0,5
Koloni/g APM/g Koloni/g
Maksimum 1,0x106 Maksimum 10 Maksimum 1,0x104
Maksimum 1,0x106 Maksimum 10 Maksiumu 1,0x104
% (b/b) % (b/b) % (b/b)
(*)Sumber : Pustan Departemen Perindustrian (1992).
15
III. TINJAUAN PUSTAKA A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING Bahan baku utama dan bahan-bahan lain yang digunakan dalam proses produksi mi kering pada umumnya terdiri atas 4 kelompok, yaitu : bahan baku utama, bahan baku pembantu dan bahan tambahan pangan (BTP) serta bahan pengemas.
1. Bahan Baku Utama a. Tepung Terigu Tepung terigu yang digunakan untuk memproduksi mi kering adalah tepung terigu dengan kadar gluten 10-12%. Tepung terigu ini tergolong dalam medium hard fluor yang diperoleh dari PT Bogasari Flour Mills di Jakarta. Tepung terigu ini berfungsi membentuk struktur mi, sumber protein dan karbohidrat. Kandungan protein utama dari tepung terigu yang berperan dalam pembuatan mi adalah gluten. Gluten adalah suatu jenis protein yang terdiri dari dari 36% gliadin, 20% glutenin, 17% mesonin dan 7% campuran albumin dan globulin (Darmawan, 1994). Apabila ke dalam tepung terigu ditambah air, glutenin akan mengembang. Selama proses pengembangan, glutenin akan menyerap gliadin, mesonin dan sebagian protein yang dapat larut dalam air sehingga membentuk suatu massa yang kenyal dan elastis (Ridwan dan Wiriarno, 1984) sehingga akan mempengaruhi sifat elastisitas dan tekstur mi yang dihasilkan. Menurut Ruiter (1987), karakteristik elastisitas gluten dianggap berasal dari fraksi glutenin, sedangkan karakteristik liat dan melekat diperoleh dari fraksi prolamin. Tepung terigu sebagai bahan pangan (makanan) menurut SNI 01.37512006 didefinisikan sebagai tepung terigu yang dibuat dari endosperma biji gandum Triticum aestivum L (Club wheat) dan/atau Triticum compacticum Host atau campuran keduanya dengan penambahan zat besi (Fe), seng (Zn), vitamin B1 (thiamin), vitamin B2 (riboflavin) dan asam folat sebagai fortifikan. Sedangkan bahan tambahan pangan (BTP) yang dizinkan untuk produk terigu sesuai dengan
16
peraturan tentang BTP. Syarat mutu tepung terigu sebagai bahan pangan (makanan) menurut SNI 01.3751-2006 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Syarat mutu tepung terigu menurut SNI 01.3751-2006 (*) No.
Jenis uji
1. 1.1. 1.2.
Keadaan Bentuk Bau
1.3. 2. 3.
Warna Benda asing Serangga dalam semua bentuk stadia dan potongan-potongannya yang tampak Kehalusan, lolos ayakan 212 μm No. 70 Kadar air Kadar abu Kadar protein Keasaman Falling number (atas dasar kadar air 14%) Besi (Fe) Seng (Zn) Vitamin B1 (thiamin) Vitamin B2 (riboflavin) Asam folat Cemaran logam Timbal (Pb) Raksa (Hg) Tembaga (Cu) Cemaran arsen
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 15.1. 15.2. 15.3. 16. 17. 17.1. 17.2. 17.3.
Satuan
Persyaratan
-
Serbuk Normal (bebas dari bau asing) Putih, khas terigu Tidak ada Tidak ada
% (b/b) % (b/b) % (b/b) % (b/b) mg KOH/100 g detik mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Minimum 95 Maksimum 14,5 Maksimum 0,6 Minimum 7,0 Maksimum 50 Mimimum 300 Minimum 50 Minimum 30 Minimum 2,5 Minimum 4 Minimum 2
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maksimum 1,00 Maksimum 0,05 Maksimum 10 Maksimum 0,50
koloni/g APM/g koloni/g
Maksimum 106 Maksimum 10 Maksimum 104
Angka lempeng total E. coli Kapang
(*) Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2006).
b. Air Bahan baku utama lain yang digunakan untuk memproduksi mi kering adalah air. Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat, melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Pati dan gluten akan mengembang dengan adanya air. Menurut Chung et al. (1985) yang dikutip oleh Mulya (1988) menyebutkan bahwa air sebaiknya memiliki pH antara 6-9. Pada selang pH 4-8, makin tinggi pH air maka mi yang dihasilkan tidak mudah patah karena absorpsi air meningkat dengan meningkatnya pH. Jumlah air yang optimal akan membentuk pasta yang baik.
17
Air sebagai bahan tambahan lain menurut Surat Keputusan Kesehatan Republik Indonesia Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 disebutkan/dinyatakan pada pasal 2 bahwa air yang digunakan untuk produksi makanan dan minuman yang disajikan kepada masyarakat harus memenuhi syarat kesehatan air minum. Persyaratan kualitas air minum berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indoneia Nomor 907/ MENKES/ VII/2002 mencakup persyaratan/ parameter fisik, kimiawi, mikrobiologi dan kimia anorganik dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Persyaratan kualitas air minum menurut PerMenKes No. 907/ MENKES/ SK/VII/2002 tanggal 29 Juli 2002 (*) No. 1. 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. 2. 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 2.8. 2.9. 2.10. 2.11. 2.12. 2.13. 2.14. 2.15. 3. 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5. 3.6. 3.7. 3.8. 4. 4.1. 4.2.
Jenis/Parameter uji Parameter fisik Warna Rasa dan bau Suhu/temperatur Kekeruhan Jumlah zat padat terlarut (TDS) Parameter Kimiawi Aluminium (Al) Besi (Fe) Kesadahan Klorida (Cl) Mangan (Mn) pH Natrium (Na) Sulfat Tembaga (Cu) Sisa klor Amonia Air raksa (Hg) Antimon (At) Barium (Ba) Boron (B) Kimia An-organik Arsen (As) Fluorida (F) Kromium-valensi 6 Kadmium (Cd) Nitrit, sebgai NO2 Nitrat, sebagai NO3 Sianida (CN) Selenium (Se) Parameter Mikrobiologi E. coli atau feacal coli Total bakteri coliform
Satuan
Kadar maksimum yang diperbolehkan
TCU o C NTU mg/l
15 Tidak berasa & berbau Suhu udara ± 3 oC 5 1000
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
0,2 0,3 500 250 0,1 6,5 – 8,5 200 250 1,0 1,5 0,001 0,005 0,7 0,3
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l Jumlah/100 ml Jumlah/100 ml
0,05 1,5 0,05 0,003 3 50 0,07 0,01 0 0
(*) Sumber : Departemen Kesehatan (2002).
2. Bahan Baku Pembantu Bahan baku pembantu yang digunakan dalam proses produksi mi kering terdiri dari jenis, yaitu : garam dan tepung telur.
18
a. Garam Garam atau lebih dikenal dengan garam dapur yang dikonsumsi, pada pembuatan mi instant atau mi kering berfungsi sebagai pemberi rasa, memperkuat tekstur mi, membantu reaksi antara gluten dengan karbohidrat (meningkatkan elastisitas dan fleksibelitas), dan untuk mengikat air (Sunaryo, 1985). Garam dapur juga berfungsi untuk menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga mi tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Mulya, 1988). Garam dapur yang dipergunakan oleh PT Kuala Pangan berasal dari PT Saltindo di Jakarta. Menurut BSN atau Badan Standarisasi Nasional (2000), garam yang digunakan dalam produk makanan merupakan garam yang didefinisikan sebagai pangan (makanan) yang komponen utamanya natrium klorida (NaCl) dengan penambahan kalium yodat (KIO3). Syarat mutu garam konsumsi beryodium sesuai dengan SNI 01.3556-2000 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Syarat mutu garam konsumsi beryodium menurut SNI 01.3556-2000 (*) No. 1. 2.
Kriteria uji Kadar air (H2O) Kadar NaCl (natrium klorida) dihitung dari jumlah klorida
3.
Yodium dihitung sebagai kalium yodat (KIO3) Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Raksa (Hg) Arsen (As)
4. 4.1. 4.2. 4.3. 5.
Satuan % (b/b) % (b/b), atas dasar bahan kering mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Persyaratan mutu Maksimum 7 Minimum 94,7 Minimum 30 Maksimum 10 Maksimum 10 Maksimum 0,1 Maksimum 0,1
(*) Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2000).
b. Tepung Telur Tepung telur ini diperoleh dengan cara mengimpor dari negara Belgia, Belanda atau India. Tepung telur dalam pembuatan mi kering ini fungsinya untuk menghasilkan suatu lapisan yang tipis dan kuat pada permukaan mi. Lapisan tersebut cukup efektif untuk mencegah penyerapan minyak sewaktu digoreng dan kekeruhan saus mi waktu pemasakan. Lesitin yang terdapat pada kuning telur merupakan pengemulsi yang baik, dapat mempercepat hidrasi air pada terigu, dan bersifat mengembangkan adonan (Sunaryo, 1985).
19
Penggunaan tepung telur dalam industri pangan mempunyai kelebihan/ keuntungan sebagai berikut : (a) Umur simpan lebih lama; (b) Penyimpannya lebih mudah atau tanpa refrigerasi; (c) Mengurangi ruang penyimpanan, biaya penyimpanan dan biaya transportasi, dan (d) Mempermudah pengaturan komposisi bahan (Dijen IKAH, Depperindag & Fakultas Teknologi Pertanian – IPB, 2003). Syarat mutu tepung telur ayam menurut Food And Drug Administration (FDA) USA dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Standar mutu tepung telur ayam menurut FDA-USA (*) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kriteria uji Kadar air Kadar lemak Kadar protein Kadar abu Gula pereduksi Total mikroba Bakteri koliform Bakteri Salmonella Warna Bau
Satuan % % % % % koloni/g koloni/g -
Persyaratan mutu Maksimum 5,0 40,0 Minimum 45,0 3,7 Maksimum 0,1 Maksimum 25.000 Maksimum 10 Negatif atau nol Specified on purchase Lembut
(*) Sumber : Ditjen IKAH, Depperindag dan Fakultas Teknologi Pertanian –IPB (2003). 3. Bahan Tambahan Pangan (BTP) Bahan tambahan pangan (BTP) adalah senyawa atau campuran berbagai senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan dan terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan dan atau penyimpanan dan bukan merupakan bahan utama (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1996). Menurut Codex Alimentarius Commission di dalam Branen dan Haggerty (2002), BTP didefinisikan sebagai bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komposisi (ingredient) khas makanan, dapat bernilai gizi atau tidak bernilai gizi, ditambahkan ke dalam pangan dengan sengaja untuk membantu teknik pengolahan pangan (termasuk organoleptik) baik dalam proses pembuatan,
pengolahan,
persiapan,
perlakuan,
pengepakan,
pengemasan,
pengangkutan, dan penyimpanan produk pangan olahan, agar menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu pangan yang lebih baik atau secara nyata mempengaruhi sifat khas pangan tersebut.
20
Di Indonesia, penggunaan BTP telah diatur sejak tahun 1988 dalam Permenkes No.722/MenKes/Per./IX/1988 yang dikuatkan dengan Permenkes No. 1168/MenKes/ Per/VI/1999 menyebutkan bahwa yang termasuk BTP adalah pewarna, pemanis buatan, pengawet, antioksidan, antikempal, penyedap dan penguat rasa, pengatur keasaman, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi, pengental, pengeras, dan sekuestran (untuk memantapkan warna dan tekstur makanan). Bahan tambahan pangan (BTP) yang digunakan pada pembuatan mi kering di PT Kuala Pangan adalah garam alkali sodium karbonat atau natrium karbonat (Na2CO3) dan potasium karbonat atau kalium karbonat (K2CO3) serta bahan pewarna tartrazin CI 19140. Ketiga bahan tambahan pangan tersebut diperoleh dan dibeli dari Amerika Serikat (USA) dan Inggris melalui pemasok lokal PT Union Ajidharma, PT Halim Sakti dan PT Wasiat Chemical atau PT United Chemical Inter Aneka di Jakarta. a. Garam Alkali (Natrium Karbonat dan Kalium Karbonat) Natrium karbonat dan kalium karbonat adalah bahan tambahan yang wajib ditambahkan sebagai bahan alkali pada proses pembuatan mi kering dan memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pembuatan mi. Mi tidak akan jadi jika tidak menggunakan garam alkali tersebut (Puspasari, 2007). Kedua bahan tersebut ditambahkan dengan perbandingan 9:1 dan dilarutkan dalam air serta berfungsi untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi, meningkatkan kehalusan tekstur, dan meningkatkan sifat kenyal. Bahaya pada kedua bahan tambahan pangan tersebut adalah dapat menyebabkan iritasi pada kulit manusia (Sax, 1975). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.722/ MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan sama penggunaannya dengan kalium klorida sebagai pengental, yaitu sebanyak 5 gram per kg. b. Tartrazin C1 19140 Tartrazin merupakan zat warna yang digunakan untuk memberikan warna kuning khas mi dan untuk menambah daya tarik produk mi. Zat warna yang digunakan adalah tartrazin CI 19140, yang merupakan zat warna sintetis berbentuk tepung berwarna kuning yang larut dalam air, dengan larutannya
21
berwarna kuning keamasan. Menurut Winarno (1989), tartrazin tahan terhadap cahaya, asam asetat, asam klorida (HCl), dan natrium hidroksida (NaOH) 10 persen. Pada NaOH 30% akan menjadikan warna berubah kemerah-merahan. Mudah luntur oleh adanya oksidator, FeSO4 membuat larutan zat berwarna menjadi keruh, tetapi aluminium (Al) tidak berpengaruh. Zat warna tartrazin C1 19140 yang digunakan oleh perusahaan PT Kuala Pangan berasal dari PT Wasiat Chemical, Jakarta dan PT United Chemical Inter Aneka, Jakarta. Batas maksimal penggunaan tartrazin dalam produk pangan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/MenKes/Per./IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan tahun 1988 sedangkan oleh organisasi internasional Codex masih dalam tahap pembahasan (CAC, 2006). Namun dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Anisyah (2007) tentang ”Kajian Paparan Tartrazin Dengan Metode Survei Frekuensi Konsumsi Pangan di Wilayah Jakarta Utara” menyimpulkan bahwa : (a) Hasil survei konsumsi pangan yang mengandung tartrazin di wilayah Jakarta Utara menunjukkan nilai konsumsi ratarata pada seluruh responden sebesar 306,38 g/orang/hari, nilai konsumsi rata-rata total tertinggi pada responden anak-anak karena frekuensi konsumsi dan ukuran porsinya relatif lebih besar; (b) Seluruh nilai paparan tartrazin pada hasil penelitian belum melampaui nilai ADI (Acceptable Daily Intake) tartrazin. Tingkat paparan rata-rata total pada seluruh responden sebesar 231,24 μg/kg BB (3,08 % ADI), nilai paparan rata-rata total tertinggi pada responden anak-anak karena tingkat konsumsinya relatif tinggi sedangkan berat badannya relatif rendah. Jenis pangan yang berpotensi memberi paparan tartrazin tertinggi pada seluruh responden adalah mi instan, minuman nonkarbonasi, minuman serbuk, makanan ringan dan biskuit; dan (c) Mi instan merupakan produk pangan yang memiliki tingkat konsumsi terbanyak dan berpotensi memberi paparan tartrazin terbesar pada seluruh responden dan tiap kelompok responden di wilayah Jakarta Utara. Anak-anak merupakan responden yang memiliki tingkat konsumsi dan tingkat paparan tartrazin tertinggi di wilayah Jakarta Utara. Hasil penelitian kajian paparan tartrazin dengan metode survei frekuensi konsumsi pangan di wilayah Jakarta Utara yang dilaporkan Anisyah (2007) dapat dilihat pada Tabel 6.
22
Tabel 6. Kadar tartrazin dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh responden dibandingkan dengan kadar tartrazin yang ditetapkan dalam regulasi (*) No.
Produk pangan
1.
Mi Instan atau Mi kering - Sebelum diolah - Setelah diolah Kembang gula Minuman berkarbonasi Minuman nonkarbonasi Minuman serbuk Minuman buah, squash Sirup Kue lapis Biskuit Roti Makanan ringan Jelli Jem, selai Es krim Susu fermentasi
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Kadar tartrazin dalam produk pangan (mg/kg) Rata-rata Min - Maks 22,50 16,77 90,53 13 22
1 - 100 8,28 27,25 5 - 300 10 15 10
Batas maksimum tartrazin dalam produk pangan menurut peraturan (mg/kg) Indonesia Codex Eropa 300
300
-
300 70 mg/l (produk siap konsumsi)
300 300
300 100
-
40
70 mg/l (produk siap konsumsi)
300
100
13,30 10
0,16 4 -
40 20
70 mg/l (produk siap konsumsi) 70 mg/l (produk siap konsumsi)
300 300
100 100
18 200 72,86 11 88,57 25,95 213 76 50,50
4,2 200 10 11 10 5,4 200 10 1
33,33 200 200 11 200 84,35 226 200 100
70 mg/l (produk siap konsumsi) 300 300 300 300 200 200 100 18 (berasal dari aroma yang digunakan)
300 300 300 300 300 500 500 300
100 200 200 200 200 -
-
(*) Sumber : Anisyah (2007).
4. Bahan Kemasan Kemasan dibutuhkan salah satunya adalah berfungsi untuk melindungi produk mi kering yang dihasilkan dari kerusakan. Bahan pengemas yang digunakan pada produksi mi kering di PT Kuala Pangan Citeureup, Bogor terdiri dari dua jenis, yaitu pengemas primer berupa plastik poli propilen atau plastik jenis PP yang sudah ada labelnya dengan bobot netto 200 gram per kemasan dan kemasan sekunder (kotak karton atau karton boks) dengan kapasitas 20 kemasan plastik . a. Plastik Polipropilen (Plastik jenis PP) Plastik jenis Polipropilen (PP) merupakan kemasan yang ringan, mudah dibentuk, kekuatan tarik lebih besar dan tahan terhadap suhu tinggi, serta merupakan polimer plastik yang memiliki densitas paling rendah di antara polimer-polimer plastik lainnya. PP umumnya tersedia di pasaran dalam dua jenis, yaitu PP tebal dan PP tipis. Perbedaan keduanya adalah pada ketebalan bahan (Puspasari, 2007). Sifat utama dari polipropilen (PP) adalah ringan (densitas 0,9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk kemasan kaku. Polipropilen memiliki kekuatan tarik lebih besar dan lebih kaku daripada
23
polietilen (PE), sertra tidak mudah sobek sehingga mudah dalam penanganan dan distribusi. Namun, permeabilitas uap air PP rendah, permeabilitas gas sedang dan tidak cocok untuk makanan yang peka terhadap oksigen. Plastik PP tahan terhadap suhu tinggi sampai 150oC, sehingga dapat dipakai untuk makanan yang harus disterilisasi. Polipropilen juga tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak (Puspasari, 2007).
b. Kotak Karton Kemasan sekunder adalah kemasan setelah kemasan primer yang berfungsi untuk melindungi mi dari kerusakan fisik yang dapat terjadi pada saat distribusi atau pengiriman. Kemasan yang digunakan adalah karton jenis CFB (Corrugated Fibred Board). Semua jenis pengemas tersebut didatangkan dari pemasok lokal di daerah Jakarta dan sekitarnya.
5. Proses Produksi Mi Kering Proses produksi untuk pembuatan mi kering yang dilakukan di perusahaan industri yang memproduksi mi kering menurut Ridwan dan Wiriano (1990) pada prinsipnya hampir sama dengan proses pembuatan mi instan, perbedaannya hanyalah pada tahap setelah pemotongan (cutting); yaitu pada pembuatan mi kering setelah tahap pemotongan dilakukan pengeringan, sedang pada pembuatan mi instan setelah tahap pemotongan dilakukan penggorengan. Proses produksi mi kering secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1 dan meliputi tahap-tahap sebagai berikut : penimbangan bahan baku dan bahan lain untuk produksi mi, pembutan larutan alkali, pencampuran adonan (mixing), pengepresan dengan roll press, pembentukan untaian pita mi (slitting), pengukusan (steaming), pendinginan (cooling), pemotongan (cutting), penge-ringan dengan oven (drying), pendinginan (cooling), pengemasan produk mi kering dan penyimpanan di gudang.
24
Penimbangan Bahan baku dan Bahan Lain
Pembuatan Larutan Alkali
Pencampuran (Mixing)
Pembentukan adonan menjadi lembaran dengan roll press
Pembentukan untaian pita mi (Slitting)
Pengukusan dengan menggunakan uap panas (Steaming)
Pendinginan (Cooling)
Pemotongan (Cutting)
Pengeringan dengan menggunakan uap panas
Pendinginan (Cooling)
Pengemasan produk mi kering dalam plastik PP & kotak karton Penyimpanan di Gudang
Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Mi Kering (Sumber : Ridwan dan Wiriano, 1990).
25
a. Penimbangan Bahan Baku dan Bahan Lain Untuk Produksi Mi Penimbangan bahan baku dan bahan lain merupakan tahap awal pembuatan mi. Pada proses ini dilakukan penimbangan bahan-bahan yang digunakan untuk proses pembuatan mi kering seperti tepung terigu, garam dapur, tepung telur, bahan tambahan soda abu (natrium karbonat dan kalium karbonat) dan bahan pewarna tartrazin untuk pembuatan larutan alkali. Selain penimbangan bahan-bahan tersebut juga dilakukan pengkuran jumlah volume air yang akan digunakan untuk pembuatan larutan alkali.
b. Pembuatan Larutan Alkali Pembuatan larutan alkali bertujuan untuk menghasilkan larutan alkali yang merupakan merupakan campuran dari soda natrium dan kalium karbonat, air, garam, tepung telur dan bahan pewarna tartrazin. Larutan alkali berfungsi untuk memberi warna, rasa, dan memperkuat struktur mi. Pada pembuatan larutan alkali, uji yang dilakukan yaitu uji standar viskositas, pH, penampakan dan warna. Viskositas larutan alkali diukur dengan menggunakan viskometer, sedangkan nilai pH diukur dengan menggunakan pH meter. Penampakan larutan alkali berwarna kuning, larutan homogen dan tidak terdapat benda asing.
c. Pencampuran Adonan (Mixing) Proses pencampuran adonan (mixing) merupakan proses awal pembuatan mi, yaitu pencampuran dan pengadukan tepung terigu dengan larutan alkali yang dilakukan didalam mixer. Proses pencampuran bertujuan untuk menghasilkan campuran yang homogen, menghindrasi tepung dengan air dan membentuk adonan dari jaringan gluten, sehingga adonan menjadi halus dan elastis. Hal yang harus diperhatikan dalam proses ini adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan dan waktu pengadukan ( Pribadi, 2004). Umumnya air yang ditambahkan sekitar 28-35% dari total bobot tepung. Pencampuran adonan dilakukan dan dipertahankan pada kisaran suhu 32-38oC. Suhu tersebut dipertahankan dengan cara memanaskan alat mixer menggunakan pemanasan sistem jacket dengan uap panas. Apabila suhunya kurang dari 32oC adonan menjadi keras, rapuh dan kasar; sedangkan jika suhunya lebih dari 38oC adonan menjadi lengket dan mi menjadi
26
kurang elastis. Waktu pengadukan biasanya dilakukan sekitar 15-25 menit, karena bila waktu pengadukan kurang dari 15 menit, adonan menjadi lunak dan lengket; sedangkan bila lebih dari 25 menit adonan menjadi keras, rapuh dan kering. Selama proses pengadukan akan terjadi kenaikan suhu akibat gesekan balingbaling
mesin
adonan.
Kenaikan
suhu
tersebut
berpengaruh
terhadap
pengembangan dan kelembutan adonan akibat terjadinya penyebaran dan distribusi air dalam tepung.
d. Pengepresan Dengan Roll Press Pengepresan dengan roll press bertujuan untuk membentuk adonan menjadi lembaran adonan yang halus dan elastis, menghaluskan serat-serat gluten dan membuat adonan menjadi lembaran. Hal ini dilakukan dengan cara melewatkan adonan berulang-ulang di antara dua roll logam sampai dicapai ketebalan tertentu sehingga adonan siap dicetak menjadi untaian pita mi. Pembentukan lembaran dengan roll press akan menyebabkan pembentukan seratserat gluten yang halus, homogen, serta mempunyai ketebalan 1,0 – 1,1 mm. Hal ini akan mempengaruhi mutu mi yang dihasilkan (Pribadi, 2004). Agar dapat menghasilkan lembaran yang halus dengan jalur serat yang searah dan lembaran adonan tidak kasar dan pecah-pecah, maka suhu pengepresan dilakukan pada suhu sekitar 35-37oC dengan menggunakan pemanas dari uap panas yang berasal dari boiler melalui saluran uap panas yang mengalir pada alat roll press tersebut. Mesin pengepres terdiri dari beberapa buah silinder berpasangan yang berputar berlawanan arah. Pada saat melewati roll press, lembaran akan mengalami peregangan dan mengalami relaksasi saat keluar dari roll press. Supaya peregangan dan relaksasi berlangsung dengan baik, maka kedudukan roll press harus diatur sedemikian rupa sehingga lembaran adonan merata di seluruh permukaan roll dan seimbang antara roll awal sampai roll akhir.
d. Pembentukan/Pencetakan Untaian Mi (Slitting) Pencetakan untaian pita mi (slitting) merupakan suatu proses pengubahan lembaran adonan menjadi untaian pita sesuai dengan ukuran yang diinginkan, kemudian siap dibentuk menjadi gelombang mi (Ridwan dan Wiriano, 1990).
27
Proses slitting dimulai dengan melewatkan lembaran tipis adonan yang keluar dari mesin pengepres ke suatu silinder logam beralur kecil (slitter) yang akan memotong lembaran adonan menjadi untaian mi yang terpisah oleh sisir-sisir bergerigi (Noerthana, 2005); selanjutnya untaian mi dilewatkan ke suatu mangkuk slitter berbentuk segi empat. Mangkuk slitter terdiri dari beberapa lajur yang pada setiap lajur menghasilkan 70-80 untaian mi tergantung dari nomor slitter yang digunakan. Dalam mangkuk slitter, mi dipadatkan sehingga terbentuk gelombanggelombang mi. Selanjutnya, untaian pita mi akan masuk ke dalam waving net yang kecepatannya lebih rendah dari mangkuk slitter, sehingga dihasilkan mi yang bergelombang rata. Menurut Noerthana (2005), agar untaian mi yang dihasilkan oleh hasil slitting baik, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : (1) Hasil mixing adonan harus homogen dengan kadar air cukup dengan suhu adonan tidak panas; (2) Pisau slitter harus tajam dan ukurannya seragam; (3) Fungsi sisir mi (noodle comb) harus dalam kondisi baik; (4) Ketepatan pemasangan mangkuk pemisah mi (devider); (5) Khusus untuk slitter baru agar diperhatikan kedalaman roll cutter-nya, karena semakin dalam akan menyebabkan roll cutter-nya cepat tumpul; dan (6) kebersihan alat.
e. Pengukusan (Steaming) Pengukusan (steaming) merupakan proses pengukusan mi yang keluar dari slitter secara kontinyu dengan menggunakan uap panas. Pada proses ini terjadi gelatinasasi pati dan koagulasi gluten sehingga dengan terjadinya dehidrasi air dari gluten akan menyebabkan terjadinya kekenyalan pada mi. Hal ini disebabkan oleh putusnya ikatan hidrogen, sehingga rantai ikatan kompleks pati-gluten menjadi lebih rapat (Pribadi, 2004). Pada waktu sebelum dikukus, ikatan bersifat lunak dan fleksibel, tetapi setelah dikukus menjadi keras dan kuat (Prangdimurti, 1991). Gelatinasasi merupakan peristiwa pembengkakan granula pati sehingga granula tersebut tidak dapat kembali pada kondisi semula (Winarno, 1995). Lebih lanjut Sunaryo (1985) menyatakan bahwa gelatinisasi ini menyebabkan pati meleleh, kemudian membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mi yang dapat
28
memberikan kelembutan mi, meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi mi.
f. Pendinginan (Cooling) Pendinginan (cooling) merupakan proses setelah mi keluar dari proses pengukusan dengan menggunakan kipas angin. Proses pendinginan ini dimaksudkan untuk mencegah mi melekat pada conveyor yang berjalan. Kemudian proses dilanjutkan ke tahap proses pemotongan.
g. Pemotongan (Cutting) Pemotongan (cutting) mi dilakukan dengan mesin pemotong. Dalam proses ini mi dipotong dan dibentuk lipatan dengan mendorong bagian tengah potongan ke dalam dengan menggunakan alat seperti cangkul. Pada bagian atas tersebut terdapat roll berputar yang berfungsi sebagai alat pelipat yang akan melipat mi menjadi dua bagian yang sama panjang.
h. Pengeringan (Drying) Pengeringan didefinisikan sebagai suatu proses pemanasan pada produk bahan pangan pada kondisi yang terkendali dengan cara menguapkan air yang terkandung dalam bahan pangan tersebut dengan tujuan untuk memperpanjang daya simpan dengan mengurangi aktivitas airnya atau aw-nya (Fellows, 2000). Dalam pembuatan mi kering, bertujuan untuk memantapkan pati tergelatinisasi, menurunkan kadar air dan mengeringkan mi sehingga produk akan menjadi kering, kaku dan awet serta memiliki kadar air sekitar 7-8 persen dan mi dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Proses pengeringan untuk pembuatan mi kering biasanya dilakukan pada suhu sekitar 100oC selama 30 menit.
i. Pendinginan (Cooling) Pendinginan (cooling) adalah proses pendinginan yang dilakukan dengan cara melewatkan mi dalam suatu kotak (tunnel) yang di dalamnya terdapat sejumlah kipas angin yang menghembuskan udara segar. Tujuan dari proses ini adalah agar mi yang baru keluar dari proses pengeringan dapat diturunkan
29
suhunya sehingga mencapai suhu sekitar 32oC sebelum dikemas dengan etiket (Pribadi, 2004). Mi yang telah melalui alat pendingin diharapkan telah mengalami pendinginan secara sempurna.
j. Pengemasan (Packing) Setelah dilakukan pendinginan, mi langsung dikemas dengan cara memasukkan produk mi kering ke dalam kemasan plastik yang sudah disiapkan secara manual. Pengemasan ini bertujuan untuk melindungi mi dari kemungkinankemungkinan tercemar atau rusak sehingga mi tidak mengalami penurunan mutu sampai di tangan konsumen. Dengan pengemasan yang baik, produk akan terhindar pencemaran debu dan kotoran tangan, kelembaban oksigen di udara, serangan serangga, dan lain sebagainya (Syarief et al, 1989).
B. CEMARAN PADA PRODUK MI KERING Cemaran pada produk mi kering kemungkinan dapat berupa cemaran mikrobiologis, cemaran kimia dan cemaran fisik. Cemaran-cemaran tersebut dapat berasal dari bahan baku utama, bahan baku pembantu lain dan bahan tambahan pangan (BTP). 1. Cemaran Mikrobiologis Mi kering merupakan produk mi yang telah dikukus dan dikeringkan terlebih dahulu dan memiliki kadar air sekitar 8-10%. Mi kering memiliki aw sekitar 0,80 dan pH sebesar 8,7 (Yustiareni, 2000). Menurut Fardiaz (1992) dan Buckle et. al (2007), pangan dengan kadar air yang rendah dan pH relatif tinggi (pH > 8,5) dikelompokkan sebagai pangan yang tidak mudah rusak. Dengan demikian, kadar air yang rendah dan aw yang rendah menyebabkan mi kering tidak riskan jika disimpan pada suhu ruang. Namun demikian, bukan berarti produk mi kering tersebut tidak bebas dari adanya kemungkinan pencemaran atau kontaminasi baik adanya cemaran mikroba/biologis, kimia maupun fisik yang berasal dari bahan baku dan bahan lainnya. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01.2974-1992 untuk produk mi kering (PUSTAN Departemen Perindustrian, 1992), cemaran mikroba yang mungkin terdapat pada mi kering dapat berupa bakteri E. Coli, kapang dan
30
angka lempeng total. Oleh karena itu, cemaran mikroba tersebut ditetapkan batasnya di dalam SNI dalam keadaan negatif atau tidak boleh ada cemaran mikroba dalam produk mi kering. Menurut Jay (2000), mikroba perusak yang mungkin tumbuh pada produk olahan terigu adalah bakteri genus Bacillus dan beberapa jenis kapang; sedang Fardiaz (1992) menyatakan bahwa jika tumbuh pada bahan pangan, bakteri dapat menyebakan berbagai perubahan pada penampakan maupun komposisi kimia dan cita rasa bahan pangan tersebut. Adanya aktifitas mikroorganisme pembentuk asam misalnya, ditandai dengan terdeteksinya bau asam pada mi basah yang telah rusak. Pada bakteri aerobik pembentuk spora yang dapat memproduksi amilase mungkin tumbuh pada kadar air yang tinggi dengan memanfaatkan terigu dan hasil olahannya sebagai sumber energi. Pada kondisi kadar air lebih rendah, kapang berpotensi untuk tumbuh yang ditandai dengan pembentukan miselia dan spora. Kapang yang tumbuh umumnya berasal dari genus Rhizopus yang dapat dikenali dengan adanya spora berwarna hitam (Jay, 2000). Selain cemaran bakteri dan kapang tersebut, mi kering kemungkinan dapat tercemar oleh bakteri jenis Salmonella dan Staphylococcus yang berasal dari bahan tepung telur serta E. coli dan coliform yang berasal dari bahan air yang digunakan dalam proses pencampuran. Menurut ICMSF (1998), produk yang ingrediennya mengandung tepung telur atau telur kering seperti custard, cream cakes, angel cake dan mi kering dapat terkontaminasi oleh Salmonella dan Staphylococcus. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Matic et. al (1990) dan Narvaiz et. al (1992) dinyatakan bahwa Salmonella yang terdapat pada tepung telur dapat diinaktifkan dengan cara irradiasi dengan sinar gamma dengan dosis 0,8 kGy untuk jenis bakteri S. Enteritidis, S. Typhimurium dan S. Lille. Sedangkan untuk mereduksi sebanyak 103 bakteri diperlukan dosis 2,4 kGy. Produk tepung telur yang telah diirradiasi ini tahan disimpan selama 4 minggu. Untuk mengendalikan produk kering seperti halnya mi kering yang mengandung bahan ingredien tepung telur disarankan oleh ICMSF (1998) sebaiknya melindungi produk itu dari kemungkinan terjadinya kondensasi air ke dalam produk kering tersebut. Oleh karena itu, produk mi kering yang telah
31
dikemas dalam plastik diharapkan tidak ada yang bocor dan terkena kondensasi oleh air dari luar. Cemaran bakteri pada air yang digunakan untuk proses pencampuran guna menghasilkan produk mi kering, kemungkinannya dapat berupa bakteri patogen E. Coli, Campylobacter jejuni, Salmonella sp, Shigella, Vibrio cholerae, Yersinia enterolita dan Aeromonas hydrophila; bila air air tersebut tidak diolah terlebih dahulu untuk menghasilkan kualitas air yang layak diminum/dikonsumsi (Jones dan Watkins, 1989). Dengan demikian, air yang digunakan untuk produksi mi kering pada saat proses pencampuran harus memenuhi persyaratan kualitas air minum menurut PerMenKes No. 907/MENKES/SK/VIII/2002 tanggal 29 Juli 2002, yaitu harus bebas dari bakteri E. coli dan bakteri coliform. Hal ini disebabkan karena bakteri E. coli dan coliform digunakan sebagai indikator tercemarnya air tersebut oleh adanya cemaran yang berasal dari buangan air besar manusia ataupun kotoran hewan. Lebih lanjut Havelar (1994) menyarankan bahwa untuk menghasilkan air yang aman untuk dikonsumsi, sebaiknya dalam proses pengolahannya mengimplementasikan sistem HACCP.
2. Cemaran Kimia Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01. 2974-1992 untuk produk mi kering (PUSTAN Departemen Perindustrian, 1992), ditetapkan bahwa cemaran kimia yang mungkin timbul/terdapat pada mi kering berupa cemaran kimia logam-logam berat berupa timbal (Pb), tembaga (Cu), seng (Zn), raksa/merkuri (Hg) dan arsen (As). Cemaran kimia logam-logam berat ini diduga berasal dari bahan baku tepung terigu, garam dan air yang digunakan dalam proses produksi mi kering. Sumber cemaran kimia logam-logam berat seperti Pb, Cu, Hg, Zn dan As dapat berasal dari lingkungan dan tanah tempat tumbuh asal tanaman terigu yang terkontaminasi oleh polusi asap kendaraaan bermotor dan hasil buangan limbah industri yang mengandung logam-logam berat; selain itu dari bahan baku garam yang tercamar oleh logam-logam berat di tempat asalnya. Sedang seng (Zn) dan tembaga (Cu) dapat berasal darti proses produksi pembuatan tepung terigu di pabrik yang menghasilkan tepung terigu dan proses produksi mi kering di pabrik yang menghasilkan produk mi kering.
32
3. Cemaran Fisik Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01.2974-1992 untuk produk mi kering (PUSTAN Departemen Perindustrian, 1992), ditetapkan bahwa cemaran fisik yang mungkin terdapat pada produk mi kering berupa serangga dalam berbagai bentuk stadia dan potongan-potongannya serta benda-benda asing lainnya. Cemaran fisik benda-benda asing ini dapat berupa rambut, kotoran (pasir, tanah), kelupasan cat, karat, debu, potongan kertas dan tali plastik. Sumber cemaran fisik tersebut dapat berasal dari pekerja/karyawan yang menangani produk, pallet kayu, peralatan yang sudah lama tidak digunakan dan tali plastik yang digunakan untuk pengemasan. Oleh karena itu, cemaran fisik benda-benda asing pada produk mi kering tersebut oleh SNI 01. 2974-1992 ditetapkan harus negatif.
C.
PERMASALAHAN
KEAMANAN
PANGAN
PADA
INDUSTRI
PANGAN Pemerintah Indonesia sebagai fasilitator dan regulator di bidang pangan telah menetapkan bahwa dalam memproduksi pangan untuk diperdagangkan, setiap industri pangan baik skala besar, menengah, menegah-kecil maupun skala kecil tanpa kecuali diharuskan memenuhi kaidah/aturan dan persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah dari aspek penyediaan fasilitas produksi, proses produksi/pengolahan, pengemasan produk, distribusi dan perdagangannya guna menjamin mutu dan keamanan produk pangannya. Pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai macam aturan agar setiap industri pangan mampu dan sanggup menghasilkan pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan bagi kepentingan kesehatan manusia serta tercipta perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab. Beberapa peraturan itu antara lain : PerMenKes No. 23/MenKes/SK/I/1978 tentang pedoman cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau good manufacturing practice (GMP); Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992; PerMenKes No. 722/MenKes/IX/1988 tentang bahan tambahan pangan (BTP) dan penggunaannya; Pedoman higiene makanan Tahun 1996 (Departemen Kesehatan, 1998); Undang-Undang Pangan RI No. 7 Tahun 1996 tentang keamanan pangan yang tercantum pada pasal 4 sampai
33
dengan pasal 23 (Kantor Menpangan, 1996); dan Peraturam Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2004 tentang keamanan pangan, mutu dan gizi pangan (Badan POM, 2004). Melengkapi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan mutu dan keamanan pangan di atas, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan pangan dengan tujuan dan pertimbangan supaya : (1) Setiap industri pangan memberi informasi mengenai pangan yang disampikan kepada masyarakat adalah benar tidak menyesatkan, (2) Konsumen/masyarakat berhak menuntut dan mengetahui bagaimana produk pangan dihasilkan mulai dari hulu sampai di hilirnya baik menyangkut aspek gizi, mutu dan keamanan pangan maupun lingkungannya (Kantor Menteri Negara Pangan dan Hortikultura, 1999). Sementara itu, didalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pada pasal 4 ayat a dan b disebutkan bahwa konsumen mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang serta jaminan yang dijanjikannya (Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, 1999). Implikasinya, konsumen pangan di Indonesia berhak mendapat jaminan mutu dan keamanan pangan dari setiap produsen/industri pangan yang memperdagangkan produk pangannya di Indonesia, tidak terkecuali bagi industri pangan skala menengah. Berdasarkan laporan selama Pelita V dan VI serta laporan pemberitaan di media massa menunjukkan bahwa masih banyak ditemukan peredaran produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan mutu pangan, misalnya adanya cemaran mikroba pada produk pangan; penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang dilarang atau melebihi batas yang diperbolehkan, terutama zat pewarna, pengawet dan pemanis; adanya residu pestisida yang masih tinggi pada produk-produk hortikultura, adanya cemaran logam berat dan lain-lain. Disamping itu, masih banyak ditemukan peredaran produk pangan yang komposisinya tidak sesuai dengan label dan iklan pangan dipromosikan, produk pangan yang tidak mencantumkan masa kadaluwarsa dan produk pangan yang tidak memenuhi standar mutu (Anggrahini, 1997).
34
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudibyo et al (2001) menunjukkan bahwa dari sebanyak 80 sampel industri pangan yang digunakan dalam penelitian, pada umumnya industri pangan tersebut banyak yang belum menerapkan prinsipprinsip atau aspek manajemen keamanan pangan yang baik untuk menjamin keamanan pangan produk pangan yang dihasilkannya. Persentase industri pangan yang sudah mengerti dan menerapkan/mengimplementasikan aspek keamanan pangan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Persentase Industri Pangan Yang Sudah Memahami dan Menerapkan Aspek Keamanan Pangan (*) Aspek Keamanan Pangan - GMP (Good Manufacturing Practice) SOP (Standard Operating Procedure) - Sanitasi dan Higiene
Persentase (%) Industri Pangan Yang Sudah Memahami dan Menerapkan Aspek Keamanan Pangan Paham dan Paham tapi Paham tapi Paham tapi menerapkan menerapkan menerapkan tidak secara penuh sebagian besar sebagian kecil menerapkan sama sekali
25
40
25
10
25
35
7,5
32,5
30
45
20
5
Sumber : Sudibyo et al. (2001). Berdasarkan data dan keterangan di atas terlihat bahwa bila dirata-ratakan hasil persentasenya, maka baru sekitar 35-40% industri pangan berskala menengah yang mempunyai kesadaran, tanggung jawab dan komitmen untuk menghasilkan produk pangan yang aman ditinjau dari aspek penerapan GMP, sanitasi dan higiene serta SOP. Padahal ketiga aspek tersebut dalam program jaminan keamanan pangan merupakan program persyaratan dasar (prerequisite program) yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh setiap industri pangan termasuk industri pangan berskala menengah sebelum melangkah lebih lanjut dalam menerapkan sistem HACCP (WHO, 1997; NACMCF, 1998). Hasil penelitian Sudibyo dan Sumarsi (2004) menunjukkan bahwa industri pangan yang tidak mempraktekkan atau mengimplementasikan higiene pangan pada perusahaannya mencapai 2-5 kalinya dibandingkan dengan industri kecil pangan yang mempraktekkan/mengimplementasikan higiene pangan. Persentase
35
industri kecil pangan yang sudah mengimplementasikan dan yang tidak mengimplementasikan higiene dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Persentase Industri Kecil Pangan Yang Mengimplementasikan dan Tidak Mengimplementasikan Higiene (*). No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Aspek Kegiatan
Pelatihan terhadap karyawan yang menangani pangan Pengendalian bahan baku dan bahan pembantu lain yang dipakai Pengendalian penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) Pengendalian kebersihan pribadi karyawan (higiene personil) Pengendalian proses produksi dan peralatan produksi yang digunakan Pengendalian dalam penanganan dan penyimpanan pangan untuk mencegah kontaminasi Pengendalian alat-alat pembersih (sapu, alat pengepel, cairan deterjen, dan lainlain) Pengendalian hama Pengendalian catatan/dokumen
Persentase (%) Industri Kecil Pangan yang mengimplementasikan/ tidak mengimplementasikan higiene Ya Tidak
15,5
84,5
25,5
74,5
30,0
70,0
30,0
70,0
40,0
60,0
45,5
55,5
40,0
60,0
35,0 20,0
65,0 80,0
(*) Sumber : Sudibyo dan Sumarsi, 2004. Dari data dan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa industri pangan berskala menengah yang memiliki kesadaran, tanggung jawab dan komitmen untuk menghasilkan produk pangan yang aman ditinjau dari aspek penerapan sistem manajemen HACCP secara komulatif baru mencapai 40%. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan sistem manajemen HACCP dalam industri pangan berskala menengah-kecil relatif masih rendah dan terdapat hambatan/kendala dalam pengembangan dan penerapannya. Secara umum berdasarkan hasil penelitian Sudibyo et al (2001) terhadap industri pangan berskala menengah di Indonesia teridentifikasi bahwa program keamanan pangan dan penerapan sistem keamanan pangan ditinjau dari aspek GMP, sanitasi dan higiene, SOP, sistem HACCP dan pelatihan sistem keamanan pangan belum dilaksanakan secara penuh sehingga industri pangan berskala
36
menengah tersebut perlu dibina, diberdayakan dan ditingkatkan kinerjanya dalam bidang keamanan pangan. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka era globalisasi dan perdagangan bebas, industri pangan dituntut untuk menghasilkan produk pangan yang bermutu tinggi dan aman dikonsumsi oleh konsumen, sehingga mampu bersaing dengan produk pangan sejenis yang dihasilkan oleh industri pangan dari luar.
D. PENERAPAN GMP SEBAGAI PERSYARATAN KELAYAKAN DASAR DALAM PENERAPAN SISTEM HACCP Di dalam setiap industri pengolahan pangan yang akan menerapkan sistem keamanan pangan model HACCP harus merencanakan, merancang/mendisain dan mengimplementasikan suatu program persyaratan kelayakan dasar atau sering disebut dengan istilah "prerequisite programs". Persyaratan kelayakan dasar dapat diartikan sebagai suatu ukuran untuk mengetahui suatu unit pengolahan pangan sudah memenuhi persyaratan, baik dalam segi/aspek sanitasi dan higiene maupun dalam aspek cara berproduksi. Program persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs ini menurut Bernard dan Parkinson (1999) merupakan suatu fondasi yang harus dan perlu dipenuhi oleh setiap industri pangan guna menghasilkan produk pangan yang aman dan bermutu ditinjau dari aspek keamanan dan kesehatan. Konsep program persyaratan kelayakan dasar ini pertama kali berasal dan dicetuskan oleh Agriculture and Agri-Food Canada's (AAFC) dalam rangka program peningkatan keamanan pangan di Kanada dan mereka mendefinisikan program persyaratan kelayakan dasar ini sebagai "suatu langkah-langkah universal atau prosedur yang mengendalikan kondisi oprasional dalam suatu industri pangan yang didirikannya guna memenuhi kondisi lingkungan tetap baik untuk menghasilkan pangan yang aman" (Gombas dan Stevenson, 2000). NACMCF (National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods) (1998) mendefinisikan program persyaratan kelayakan dasar sebagai "suatu prosedur termasuk prosedur cara produksi pangan yang baik atau good manufacturing practice (GMP) yang ditujukan untuk menyediakan kondisi operasional dasar sistem HACCP". Pada prinsipnya program persyaratan kelayakan dasar untuk
37
sistem HACCP mencakup suatu program dan prosedur yang sudah harus tersedia di dalam industri pangan yang didirikannya; termasuk juga didalamnya program penerimaan bahan baku dan cara penyimpanannya, manajemen terhadap adanya keluhan pelanggan/konsumen, kemampuan telusur bahan ingredien yang digunakan hingga produk pangan dihasilkan serta program persetujuan untuk pemasok (approved supplier) barang-barang yang masuk ke dalam perusahaan industri pangan (Gombas dan Stevenson, 2000). Menurut Bernard dan Parkinson (1999), program persyaratan kelayakan dasar ini seperti halnya rancangan HACCP (HACCP Plan) sebaiknya terdokumentasi dengan baik dalam standard operating procedures (SOP) yang tertulis dan sebaiknya juga dimengerti dan dihayati oleh setiap karyawan yang bekerja di industri pangan yang bersangkutan. Bahkan program persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs ini jika diperlukan dapat ditinjau/dikaji ulang dan direvisi kembali oleh setiap industri pangan guna menjamin bahwa program yang didisain dan direncanakan, diimplementasikan secara efektif sesuai dengan tujuan keamanan pangan yang hendak dicapai (NACMCF, 1998). Pada dasarnya, program persyaratan kelayakan dasar terdiri dari dua bagian, yaitu cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau good manufacturing practice (GMP) dan standard prosedur oprasional sanitasi atau sanitation standard operating procedure (SSOP). Di Indonesia, sesuai dengan peraturan yang ada di Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan yang sekarang berubah menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menerbitkan pedoman cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau GMP. Pedoman penerapan GMP ini disusun berdasarkan pedoman umum higiene pangan dan peraturan perundang-undangan di bidang pangan, terutama yang mengatur mengenai produksi pangan. Menurut Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM, 1996), tujuan penerapan GMP adalah menghasilkan produk akhir pangan yang bermutu, aman dikonsumsi, dan sesuai dengan selera atau tuntutan konsumen, baik konsumen domestik maupun internasional. Sedang tujuan khusus penerapan GMP adalah : (1) Memberikan prinsip-prinsip dasar yang penting dalam produksi
38
pangan yang dapat diterapkan sepanjang rantai pangan mulai dari produksi primer sampai konsumen akhir, untuk menjamin bahwa pangan yang diproduksi aman dan layak untuk dikonsumsi; (2) Mengarahkan industri agar dapat memenuhi berbagai persyaratan produksi, seperti persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas, peralatan produksi, bahan, proses, mutu produk akhir, serta persyaratan penyimpanan dan distribusi; dan (3) Mengarahkan pendekatan dan penerapan sistem HACCP sebagai suatu cara untuk meningkatkan keamanan pangan. Pedoman penerapan GMP ini berguna bagi pemerintah sebagai dasar untuk mendorong dan menganjurkan industri pangan untuk menerapkan cara produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) Melindungi konsumen dari penyakit atau kerugian yang diakibatkan oleh pangan yang tidak memenuhi persyaratan, (2) Memberikan jaminan kepada konsumen bahwa pangan yang dikonsumsi merupakan pangan yang layak, (3) Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan terhadap pangan yang diperdagangkan secara internasional, dan (4) Memberikan bahan acuan dalam program pendidikan kesehatan di bidang pangan kepada industri dan konsumen. Sedang bagi industri pangan sebagai acuan dalam menerapkan praktek cara produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) Memproduksi dan menyediakan pangan yang aman dan layak bagi konsumen; (2) Memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti kepada masyarakat, misalnya dengan pelabelan dan pemberian petunjuk mengenai cara penyimpanan dan penyediaannya, sehingga masyarakat dapat melindungi pangan terhadap kemungkinan terjadinya kontaminasi dan kerusakan pangan, yaitu dengan cara penyimpanan, penanganan dan penyiapan yang baik; dan (3) Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan dunia internasional terhadap pangan yang diproduksinya (Ditjen POM, 1996). Standar prosedur operasi sanitasi atau sanitation standard operating procedure (SSOP) juga merupakan salah satu unsur/komponen program persyaratan kelayakan dasar yang penting untuk mengimplementasikan dan menjaga sistem HACCP berjalan dengan baik dan sukses; bahkan SSOP yang sudah tertulis dan terdokumentasi dengan baik telah direkomendasikan dan dimandatorikan untuk diimplementasikan secara wajib dalam industri pangan
39
berisiko tinggi seperti pada industri pengolahan ikan dan daging oleh US FDA dan USDA (Katsuyama dan Jantschke, 1999). Program persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs yang perlu dipersiapkan oleh setiap industri pangan untuk mendukung penerapan sistem manajemen HACCP menurut Codex Alimentarius Commission atau CAC (2003) dalam General Principles of Food Hygiene mencakup : Desain bangunan, fasilitas dan peralatan produksi, Pengendalian proses produksi atau operasi (Pengendalian bahaya, sistem pengendalian higiene, persyaratan bahan mentah, pengemasan, pengolahan air, manajemen dan supervisi, dokumentasi dan rekaman, prosedur penarikan produk), Pemeliharaan (Maintenance) dan Sanitasi (Pemeliharaan dan pembersihan, program pembersihan, sistem pengendalian hama dan penyakit menular, pengelolaan dan pengolahan limbah, dan keefektifan pemantauan), Higiene/kebersihan personil/karyawan (Status kesehatan karyawan, kebersihan
personil,
tingkah
laku
personil,
prosedur
penerimaan
tamu/pengunjung), Transportasi (Persyaratan, penggunaan dan pemeliharaannya), Informasi Produk dan Kesadaran (Identifikasi lot, informasi produk, labelling), dan pendidikan konsumen; serta Pelatihan.
E. PRINSIP HACCP DAN IMPLEMENTASINYA DALAM INDUSTRI PANGAN 1. Definisi dan Terminologi HACCP HACCP atau hazard analysis critical control point adalah suatu pendekatan sistem manajemen yang bersifat sistematis untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengendalikan bahaya-bahaya keamanan pangan (NACMCF, 1998). Pendekatan sistem manajemen keamanan pangan ini pertama kali dimulai dalam tahun 1960-an oleh perusahaan industri pengolah pangan Pillsbury company yang bekerja sama dengan NASA (National Aeronatics and Space of America) untuk memasok/mensuplai produk pangan yang diperlukan oleh para astronotnya dalam program ruang angkasanya (Stevenson, 1999). Konsep asli awalnya sistem HACCP sendiri terdiri tiga prinsip, yaitu : prinsip pertama, identifikasi dan pengkajian bahaya yang berhubungan dengan pemanenan hingga penyediaannya; prinsip kedua, penentuan titik kendali kritis dan batas kritis untuk
40
mengendalikan bahaya yang terdidentifikasi; dan prinsip ketiga, menetapkan sistem prosedur untuk memantau titik kendali kritis (Bauman, 1995). Selanjutnya, konsep sistem HACCP ini dari tiga prinsip diperluas oleh the internasional commission on microbiological specifications for foods atau ICMSF (1988) dan national advisory committee on microbiological criteria for foods atau NACMCF (1989) menjadi tujuh prinsip. NACMCF membuat konsep sistem HACCP menjadi lebih ringkas (concise), ada bagian yang dihilangkan, direvisi dan penambahan definisi, termasuk bagian baru yang disebut sebagai program persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs, adanya pendidikan dan pelatihan, serta implementasi dan pemeliharaan rencana/rancangan HACCP-nya. Sejak saat itu, HACCP telah diusulkan secara kuat sebagai sistem pendekatan manajemen keamanan pangan yang efektif untuk pencegahan preventif bahayabahaya keamanan pangan oleh kelompok-kelompok ilmuwan nasional dan internasional, korporasi, lembaga pemerintah dan perguruan tinggi/universitas serta lembaga penelitian dan pengembangan (Pierson, 1995). Selanjutnya, codex alimentarius commission (CAC) yang tergabung dalam WHO/FAO dan NACMCF merevisi dan memperhalus penjelasan prinsip-prinsip HACCP serta memberikan suatu pedoman (guidelines) yang dapat digunakan dalam penerapan prinsip-prinsip HACCP pada berbagai industri pengolahan pangan. Saat ini, komisi gabungan Codex yang berasal dari WHO/FAO telah mengadopsi versi terakhir pedoman penerapan sistem HACCP yang memasukkan gagasan NACMCF (FAO/WHO, 1997). Menurut Motarjeni et al (1996) dan Stevenson (1990), HACCP merupakan sistem manajemen pengawasan dan pengendalian keamanan pangan secara preventif yang bersifat ilmiah, rasional, sistematis dan komprehensif dengan tujuan mengidentifikasi, memantau atau memonitor dan mengendalikan bahaya (hazard) mulai dari bahan baku, proses produksi/pengolahan, manufakturing, penanganan dan penggunaan bahan pangan; untuk menjamin bahwa pangan tersebut aman bila dikonsumsi. Dengan demikian, dalam sistem HACCP, bahan atau materi yang dapat membahayakan keselamatan manusia atau yang merugikan ataupun yang dapat menyebabkan produk pangan tidak dikehendaki; diidentifikasi dan dikaji dimana kemungkinan besar terjadinya kontaminasi atau kerusakan
41
produk pangan mulai dari penyediaan bahan baku, selama tahap proses pengolahan hingga sampai distribusi dan penggunaannya. Sistem HACCP bersifat rasional atau logis, karena pendekatannya didasarkan pada data historis tentang penyebab suatu penyakit yang timbul (illness) dan kerusakan pangannya (spoilage). HACCP dikatakan bersifat sistematis, karena sistem HACCP merupakan rencana yang teliti dan cermat serta meliputi kegiatan operasional tahap demi tahap, prosedur dan ukuran kriteria tindakan pencegahan/pengendaliannya. Sedang sistem HACCP juga disebut bersifat kontinyu, karena apabila ditemukan atau terjadi suatu masalah maka dapat segera melaksanakan tindakan koreksi untuk memperbaikinya (Bryan, 1990). Disamping itu, sistem HACCP dikatakan bersifat komprehensif, karena sistem HACCP ini berkaitan erat dengan ramuan/ingredien pangan, proses pengolahan dan tujuan penggunaan produk pangan selanjutnya (Stevenson, 1999). Dalam beberapa kamus bahasa Inggris disebutkan bahwa istilah bahaya (hazard) dan risiko (risk) kurang lebih hampir sama atau bersinonim. Dalam istilah HACCP, bahaya (hazard) didefinisikan sebagai suatu yang berpotensi menyebabkan kerusakan atau bahaya. NACMCF (1997) dan CAC (1997) mendefinisikan bahaya sebagai suatu agen biologis, kimia dan fisik yang berpotensi menyebabkan sakit (illness) atau cedera (injury) sebagai akibat dari tidak adanya pengendalian. Sedang risiko (risk) adalah peluang kemungkinan terjadinya suatu bahaya. Sampai saat ini sistem HACCP telah dan sedang dikaji untuk diadopsi atau diterapkan dalam peraturan/hukum di beberapa negara. Di EU (European Union), HACCP telah diadopsi melalui peraturan the Directive 93/43 pada tahun 1993 (Ziggers, 2000). Di Amerika Serikat, sistem HACCP telah dimandatorikan dalam industri pengolahan ikan tahun 1995, untuk industri daging dan ternak unggas pada tahun 1998 dan untuk industri pembuatan sari buah (juice) pada tahun 2001 (FDA, 2001). Di Indonesia, melalui BSN (Badan Standardisasi Nasional) telah memutuskan untuk mengadopsi sistem HACCP (CAC HACCP System : Guidelines for application) menjadi SNI 01-4852-1998 (Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis/HACCP – serta Pedoman Penerapannya) dan telah menetapkan panduannya, yaitu Pedoman BSN 1004-1999 tentang panduan
42
penyusunan rencana sistem analisis bahaya dan pengendalian titik kritis – HACC P (Suprapto, 1999). Menurut Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan (1996), dinyatakan bawa tujuan umum HACCP adalah meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara mencegah atau mengurangi kasus keracunan dan penyakit melalui pangan, sedang tujuan khusus HACCP adalah : (1) Mengevaluasi cara memproduksi pangan untuk mengetahui bahaya yang mungkin timbul dari makanan, (2) Memperbaiki cara memproduksi pangan dengan memberi perhatian khusus terhadap tahaptahap proses yang dianggap kritis, (3) Memantau dan mengevaluasi cara-cara penanganan dan pengolahan pangan serta penerapan sanitasi dalam memproduksi pangan, dan (4) Meningkatkan inspeksi mandiri terhadap industri pangan oleh operator dan karyawan. Disamping itu, HACCP sangat berguna bagi industri pangan, yaitu dalam hal : mencegah penarikan produk, mencegah penutupan pabrik, meningkatkan jaminan keamanan produk pangan, pembenahan dan pembersihan pabrik, mencegah kehilangan pembeli atau pasar, meningkatkan kepercayaan konsumen dan mencegah pemborosan biaya atau kerugian yang mungkin timbul karena masalah keamanan produk pangan.
2.Prinsip HACCP dan Implementasinya Dalam Industri Pangan Sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan hazard analysis critical control point (HACCP) pada dasarnya terdiri dari tujuh prinsip sebagai berikut : (CAC, 1997; Ditjen POM, 1996; NACMCF, 1999) : (1) Analisis bahaya dan penetapan risiko, yaitu identifikasi secara hati-hati bahaya yang mungkin timbul/terdapat pada bahan pangan , mulai dari pemanenan bahan mentah dan ingredien, pengolahan, distribusi, pengangkutan dan konsumsi pangan; (2) Identifikasi titik kendali kritis atau CCP (critical control point), yaitu suatu titik, proses atau prosedur yang jika pengendaliannya kurang baik akan menimbulkan risiko bahaya keamanan pangan yang tinggi; (3) Penetapan batas kritis yang harus dipenuhi untuk setiap CCP yang telah ditentukan/teridentifikasi; (4) Penetapan prosedur pemantauan untuk setiap CCP yang perlu dimonitor; (5) Menentukan tindakan koreksi (corrective action) yang segera diambil untuk memperbaiki sistem jika terjadi penyimpangan pada batas kritisnya; (6) Penetapan dan
43
pengembangan sistem dokumentasi yang efektif terhadap catatan operasi (recordkeeping) dan merupakan bagian dari dokumen rancangan HACCP; dan (7) Penetapan prosedur verifikasi yang menunjukkan bahwa sistem HACCP telah berjalan dengan baik. Untuk menerapkan dan mengembangan sistem HACCP dalam industri pangan, tahap pertama yang harus dilakukan oleh setiap industri pangan adalah perlu adanya komitmen dan manajemen kepemimpinan perusahaan industri pangan dengan fokus keamananan pangan serta pemenuhan terhadap persyaratan kelayakan
dasar
sistem
HACCP.
Adanya
komitmen
dan
manajemen
kepemimpinan dari perusahaan industri pangan berarti dari pihak manajemen puncak hingga seluruh karyawan/staf yang terlibat, dalam proses produksi pangan harus mendukung dan melaksanakan program keamanan pangan yang dicanangkan dalam kebijakan perusahaannya. Tanpa adanya komitmen dan manajemen kepemimpinan yang baik, program tersebut tidak akan berhasil dilaksanakan. Persyaratan kelayakan dasar untuk penerapan sistem HACCP yang sangat penting untuk diperhatikan oleh pemilik atau pimpinan atau penanggung jawab manajemen perusahaan industri pangan adalah pemenuhan terhadap persyaratan cara produksi pangan yang baik atau good manufacturing practice (GMP) termasuk higiene dan sanitasinya (IFST, 1991). Salah satu buku petunjuk yang dipakai sebagai acuan untuk memenuhi persyaratan GMP ini di Indonesia adalah buku "pedoman penerapan cara produksi pangan yang baik" oleh Departemen Kesehatan (Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan, 1996). Aspek-aspek yang perlu diperhatikan meliputi : pengadaan bahan mentah, disain bangunan dan fasilitas pabrik, proses pengolahan pangan, bahan pengemas, mutu produk akhir, keterangan produk, higiene dan kesehatan karyawan, pemeliharaan fasilitas dan program sanitasi, penyimpanan, transportasi, laboratorium dan pemeriksaan, manajemen dan pengawasan, dokumentasi/pencatatan dan penarikan produk (recall) serta pelatihan dan pembinaan karyawan. Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) dalam industri pangan menurut standar NACMCF (1997) dan CAC (1997) disajikan secara ringkas pada Tabel 9.
44
Tabel 9. Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP dalam industri pangan menurut standar NACMCF (National Advisory Committee on Microbilogical Criteria for Foods) dan CAC (Codex Alimentarius Commission) (*) No. Kegiatan yang dilakukan untuk penerapan dan Keterangan pengembangan sistem HACCP 1. Penyusunan tim HACCP dan penentuan lingkup Langkah pendahuluan penerapan sistem HACCP pertama 2. Penyusunan deskripsi produk dan metode distribusinya Langkah pendahuluan kedua 3. Penyusunan deskripsi tujuan penggunaan produk Langkah pendahuluan pangan ketiga 4. Penyusunan diagram alir proses produksi secara lengkap Langkah pendahuluan keempat 5. Verifikasi diagram proses produksi (on-site) di lapangan Langkah pendahuluan kelima 6. Penyusunan dan penentuan semua bahaya yang Prinsip HACCP berkaitan dengan setiap langkah proses atau pembuatan pertama tabel analisis bahaya dan penentuan tindakan untuk pengendaliannya 7. Penentuan titik kendali kritis atau critical control point Prinsip HACCP kedua (CCP) 8. Penentuan batas kritis untuk setiap CCP Prinsip HACCP ketiga 9. Penetapan prosedur pemantauan untuk setiap CCP Prinsip HACCP keempat 10. Penyusunan rencana tindakan koreksi untuk setiap Prinsip HACCP kelima kemungkinan penyimpangan atau ketidaksesuaian 11. Penyusunan prosedur perekaman dan dokumentasi Prinsip HACCP sistem HACCP keenam 12. Penyusunan prosedur verifikasi sistem HACCP Prinsip HACCP ketujuh (*) Sumber : NACMCF (1997) dan CAC (1997).
Langkah-langkah 1 sampai dengan 5 pada Tabel 9 tersebut merupakan langkah pendahuluan penerapan dan pengembangan sistem HACCP. Dalam hal ini, perusahaan industri pengolah pangan perlu menyusun tim HACCP terlebih dahulu. Tim bisa berjumlah 3-5 orang atau lebih (tergantung besar kecil dan ruang lingkup kegiatan industri pangan) dan tim ini sebaiknya berasal dari berbagai disiplin ilmu serta pernah mendapat pelatihan sistem HACCP. Anggota tim HACCP tidak perlu dibatasi dan dapat berasal dari bagian : produksi, pengendalian mutu atau quality control (QC), jaminan mutu atau quality assurance (QA), manufakturing, keteknikan (engineering), penelitian dan pengembangan atau research and development (R & D) serta sanitasi. Tim HACCP merupakan individu-individu yang mempunyai pengetahuan dan
45
pengalaman di bidang pekerjaannya masing-masing sehingga informasi teknis dan masukan atau input dari mereka bermanfaat untuk mengembangkan sistem HACCP secara efektif dan benar. Bila tim belum pernah mendapat pelatihan sistem HACCP, sebaiknya diberi pelatihan terlebih dahulu baik melalui program pelatihan di luar perusahaan (eksternal) ataupun pelatihan di dalam perusahaan (internal). Tujuannya supaya anggota tim HACCP tersebut mampu dan kompeten menerapkan dan mengembangkan sistem HACCP dalam perusahaan industri pangan yang bersangkutan. Bila perlu dapat juga memanfaatkan jasa konsultan (tenaga ahli) yang sudah berpengalaman dalam menerapkan dan mengembangkan sistem HACCP. Deskripsi produk pangan yang dihasilkan oleh industri pangan dan cara distribusinya diusahakan disusun secara lengkap (langkah pendahuluan ke-2) dan didiskusikan oleh anggota tim HACCP. Deskripsi produk mencakup : nama produk, bahan baku, uraian singkat proses pengolahan, pengemasan, daya simpan atau keawetan produk, sistem penjualan, instruksi pada label, metode distribusi, target pengguna, serta informasi lain yang sekiranya diperlukan. Sedangkan deskripsi tujuan penggunaan produk perlu dijelaskan, misalnya dikonsumsi langsung (ready-to-eat atau ready-to-drink), dimasak terlebih dahulu, dan sebagainya. Langkah pendahuluan selanjutnya adalah penyusunan diagram alir proses produksi pada industri pangan secara lengkap. Diagram alir proses ini harus dibuat lengkap dari penerimaan bahan di pabrik, bahan penolong untuk keperluan pengolahan pangan, dan bahan pengemas yang dipakai sampai dengan penyimpanan produk dan distribusinya. Kemudian, diagram alir proses harus diverifikasi di lokasi proses produksi agar mencerminkan keadaan/kondisi yang ada di lapangan (NACMCF, 1999). Langkah berikutnya adalah penerapan prinsip-prinsip HACCP mulai dari prinsip pertama HACCP sampai dengan prinsip ketujuh HACCP. Langkah penerapan prinsip pertama adalah tim HACCP yang dibentuk menganalisis dan mendaftar semua potensi bahaya (biologis, kimia, fisik) yang mungkin timbul pada setiap titik/tahap proses pengolahan pangannya beserta menentukan cara pencegahan/pengendaliannya (preventive measure). Menurut NACMCF (1999)
46
ataupun CAC (1997). Tujuan dilaksanakannya analisis bahaya ini adalah untuk mengembangkan suatu daftar bahaya yang beberapa di antaranya diketahui nyata (signifikan) dapat menyebabkan cidera atau sakit bila tidak dikendalikan secara efektif, sedang proses analisis bahaya itu sendiri terdiri atas dua tahap, yaitu : identifikasi bahaya dan evaluasi bahaya. Bahaya (hazards) didalam konteks keamanan pangan menurut Mortimore dan Wallace (1995) adalah perangkat biologis, kimiawi, dan fisik yang dapat menyebabkan pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi manusia dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. International Commission of Microbiological Specifications for Food (ICMSF, 1992) membagi bahaya biologi berdasarkan tingkat risiko bahaya, yaitu Grup I yang mempunyai bahaya besar, grup II mempunyai tingkat bahaya sedang tetapi bahaya penyakit yang ditimbulkannya berpotensi untuk meyebar, dan grup III yang mempunyai tingkat bahaya sedang dengan penyebarannya yang terbatas. Jenis-jenis bahaya mikrobiologis tersebut dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Bahaya mikrobiologis (mikroba, virus dan parasit) yang dibagi berdasarkan risiko keparahan bahayanya (*). Bahaya Tinggi (Grup I) Clostridium botulinum tipe A, B, E dan F Shigella dysenteriae Salmonella typhii, paratyphy A, B Virus Hepatitis A dan E Brucella abortis; B. suis Vibrio cholerae O1 Vibrio vulnivicus Taenia solium Trichinella spiralis
Bahaya Sedang , Potensial menyebar (Grup II)
Bahaya Sedang, Terbatas Penyebarannya (Grup III)
Listeria monocytogenes
Bacillus cereus
Salmonella sp Shigella sp
Campylobacter jejuni Clostridium perfringens
Enterovirulent Escherichia coli (EEC) Streptococcus pyrogenes Rotavirus Norwalk virus grup Entamoeba histolytica Diphyllobothrium latum Ascaris lumbricoides Cryptosporodium parvum
Staphyloccus aureus Vibrio cholerae, non O1 Vibrioparahaemolyticus Yersinia enterocolotica Giardia lamblia Taenia saginata
(*) Sumber : ICMSF (1992).
Menurut Cliver (1992) bahaya kimia dalam makanan dibagi menjadi dua macam, yaitu yang secara alami terjadi dan kedua bahan kimia yang ditambahkan dengan sengaja. Bahan yang tidak disengaja ditambahkan berasal dari residu/kontaminan dari bahan yang bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi, bahan mentah pada penanganan yang terus terbawa sampai saat
47
dikonsumsi, terdapat pada bahan pangan (sedikit atau banyak) akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan dan pengemasan, sisa pestisida, pupuk, antibiotik, herbisida dan logam berat; sedangkan yang sengaja ditambahkan misalnya bahan pengawet, antioksidan, pengemulsi dan penstabil, pewarna, penguat rasa, humektan, pewangi, pengasam, pemanis, pemutih, enzim, penambah nilai gizi dan lain-lain. Bahan-bahan kimia yang berbahaya pada pangan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Bahan kimia berbahaya pada pangan (*) Sumber Bahan Kimia Terbentuk secara tidak sengaja
Ditambahkan secara atau tidak sengaja
sengaja
Jenis Bahan Kimia Berbahaya - Mikotoksin - Skrombotoksin (histamin) - Ciguatoksin - Toksin jamur - Toksin kerang : toksin paralitik (PSP), toksin diare (DSP), neurotoksin (NSP), toksin amnesik (ASP) - Alkaloid pirolizidin - Fitohemaglutinin - PCB (polychlorinated biphenyl) - Bahan kimia pertanian : pestisida, fungisida, pupuk, insektisida, antibiotik, hormon pertumbuhan - Logam berbahaya (Pb, Zn, As, Hg, sianida) - Bahan tambahan (jumlah terbatas) : pengawet (nitrit dan sulfit), perangsang cita rasa (MSG), penambah gizi (niasin), bahan pewarna (amaranth, methanyl yellow, rhodamin B), bahan pemanis - Bahan bangunan dan sanitasi : lubrikan, pembersih, sanitaiser, pelapis cat.
(*) Sumber : Fardiaz (1996).
Bahaya fisik didefinisikan sebagai benda asing yang berbentuk fisik yang secara normalnya tidak terdapat dalam pangan dan dapat menimbulkan penyakit (termasuk trauma psikologis) atau luka terhadap individu (Corlett, 1992). Sumber bahaya fisik antara lain berasal dari bahan mentah air, gedung, peralatan, material gedung dan pekerja. Bahaya yang terkait dengan bahaya fisik dapat dilihat pada Tabel 12. Selain bahaya fisik di atas, bahaya fisik lainnya meliputi rambut, kotoran, kelupasan cat, karat, debu dan kertas (Pierson dan Corlett, 1992). Bahaya kimia sangat dikenali oleh sebagian besar konsumen, padahal pada kenyataannya memberikan risiko kesehatan tidak cukup fatal dan umumnya memberikan pengaruh dalam waktu yang panjang. Bahaya biologis lebih besar, kemungkinan bahaya yang ditimbulkannya dalam bentuk keracunan pangan/ makanan. Adapun bahaya fisik sangat mudah dikenali dan dihindari oleh konsumen (Thaheer, 2005).
48
Tabel 12. Material utama yang menyebabkan bahaya fisik (*) Material Gelas
Kayu
Batu/kerikil Logam Serangga dan kotorannya Bahan insulasi Potongan tulang Plastik
Bagian tubuh (kuku, rambut, bulu, dan lainlain) Sisik, kulit
Bahaya Potensial Terpotong, berdarah, luka dan mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya Terpotong, infeksi, tercekik dan mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya Tercekik, gigi patah Terpotong, infeksi, mungkin perlu operasi untuk menghilangkannya Penyakit, trauma psikologis dan tercekik Tercekik, penggunaan asbes dalam waktu lama Tercekik, trauma Tercekik, terpotong, infeksi, mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya Tercekik, terpotong, gigi patah dan mungkin perlu operasi untuk menghilangkannya Tercekik
Sumber Botol, wadah, pengolahan
lampu,
peralatan
Pallet, boks, gedung, pohon/ ranting Lapangan, gedung Mesin pengolahan lapangan, kawat, pekerja Lapangan, peralatan yang sudah lama tidak digunakan, gudang Material bangunan Lapangan, proses pengolahan (pemisahan tulang yang tidak benar) Lapngan, bahan pengemas, pallet, pekerja Pekerja/karyawan Pembersihan sisik ikan dan pengulitan hewan secara tidak benar
(*) Sumber : Corlett (1992)
Identifikasi bahaya kadang-kadang atau seringkali dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan informasi dari peraturan pemerintah, undang-undang yang berlaku, hasil penelitian dari lembaga/instansi yang kompeten di bidangnya oleh tim HACCP dan selanjutnya tim HACCP akan meninjau atau mengkaji ulang tentang : bahan baku dan/atau ingredien yang digunakan dalam produk, aktivitas yang dilakukan pada setiap langkah proses pengolahan, peralatan yang digunakan untuk membuat/ menghasilkan produk pangan, cara penyimpanan dan distribusi, serta tujuan penggunaan produk dan konsumen yang memanfaatkannya. Sedang evaluasi bahaya dilakukan setelah bahaya-bahaya yang teridentifikasi tersebut dievaluasi berdasarkan dua faktor, yaitu berdasarkan tingkat keparahannya menyebabkan sakit atau cidera dan peluang kemungkinan terjadinya bahaya tersebut (Bernard et al, 1999). Bahkan analisis bahaya ini diperlukan sebagai dasar penyediaan informasi penentuan titik kendali kritis atau CCP (critical control point). Untuk menentukan risiko atau peluang tentang terjadinya suatu bahaya pada produk pangan, maka dapat dilakukan penetapan kategori risiko. Kategori risiko bahaya pada produk pangan ada enam bahaya, yaitu bahaya A sampai F
49
disajikan pada Tabel 13, sedang penetapan kategori risiko produk dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 13. Karakteristik Bahaya Pada Produk Pangan (*) Kelompok Bahaya Bahaya A Bahaya B Bahaya C Bahaya D Bahaya E Bahaya F
Karakteristik Bahaya Produk-produk pangan yang tidak steril dan dibuat untuk konsumsi kelompok berisiko tinggi (lansia, bayi, immunocompromised) Produk mengandung ingredient yang sensitif terhadap bahaya biologi, kimia atau fisik Proses tidak memiliki tahap pengolahan yang terkendali, yang secara efektif membunuh mikroba berbahaya atau menghilangkan bahaya kimia atau fisik Produk mungkin mengalami rekontaminasi setelah pengolahan sebelum pengemasan Ada potensi terjadinya kesalahan penanganan selama distribusi atau oleh konsumen yang menyebabkan produk berbahaya Tidak ada tahap pemanasan akhir setelah pengemasan atau di tangan konsumen, atau tidak ada pemanasan akhir atau pemusnahan mikroba setelah pengemasan sebelum memasuki pabrik (untuk bahan baku), atau tidak ada cara apapun bagi konsumen untuk mendeteksi, menghilangkan atau menghancurkan bahaya kimia atau fisik
(*) Sumber : NACMCF (1995) Tabel 14. Penetapan Kategori Risiko Produk (*) Produk Berisiko Tinggi . Produk-produk yang mengandung ikan, telur, sayur, serealia dan/atau ingredien susu yang perlu direfrigerasi
. Daging, ikan mentah dan produk-produk olahan susu . Produk-produk dengan nilai pH 4,6 atau di atasnya yang disterilisasi dalam wadah yang tertutup secara hermetis
Produk Berisiko Sedang . Produk-produk kering atau beku yang mengandung ikan, daging, telur, sayuran atau serealia dan atau ingredien atau penggantinya dan produk lain yang tidak termasuk dalam regulasi higiene makanan . Sandwich dan kue pies daging untuk konsumsi segar . Produk-produk berbasis lemak misalnya coklat, margarin, spreads, mayones dan dressing
Produk Berisiko Rendah . Produk asam (nilai pH di bawah 4,6) seperti pikel, buah-buahan, konsentrat buah, sari buah dan minuman asam
. Sayuran mentah yang tidak diolah dan tidak dikemas . Selai (jam), marmelade dan conserves
. Produk-produk konfeksioneri berbasis gula . Minyak dan lemak
(*) Sumber : NACMCF (1995).
Dari beberapa banyak bahaya yang dimiliki oleh suatu bahan baku, ingredien pangan dan produk pangan, maka National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods (1995) mengelompokkan kategori risiko
50
bahaya dalam enam kategori, yaitu kategori risiko I sampai dengan VI seperti yang tercantum pada Tabel 15 berikut. Tabel 15. Penetapan Kategori Risiko Suatu Bahan Pangan (*) Karakteristik Bahaya 0 (+) (++) (+++) (++++) (+++++) A+ (Kategori khusus) dengan atau tanpa bahaya BF (*) Sumber : NACMCF (1995).
Kategori Risiko 0 I II III IV V VI
Jenis Bahaya Tidak mengandung bahaya A sampai F Mengandung satu bahaya B sampai F Mengandung dua bahaya B sampai F Mengandung tiga bahaya B sampai F Mengandung empat bahaya B sampai F Mengandung lima bahaya B sampai F Kategori risiko paling tinggi (semua produk yang mempunyai bahaya A)
Setelah bahaya-bahaya tersebut teridentifikasi, dengan menggunakan petunjuk yang disebut "diagram alir pohon penentuan titik kendali kritis" (Gambar 2), maka tim HACCP dapat menentukan pada tahap atau titik mana yang ditetapkan sebagai titik kendali kritis atau CCP (critical control point). NACMCF (1999) dan CAC (1997) mendefinisikan titik kendali kritis atau CCP sebagai suatu titik lokasi/tahap atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan penting untuk mencegah atau mengeliminasi atau mengurangi bahaya keamanan pangan hingga tingkat yang dapat diterima. Beberapa contoh pada tahap produksi pangan yang dapat dikatakan sebagai CCP misalnya : proses thermal, pendinginan (chilling), pembekuan (freezing), pengujian ingredien untuk residu bahan kimia, pengendalian formulasi produk, dan pengujian produk terhadap kontaminasi logam. Oleh karena itu, CCP harus dikembangkan dan didokumentasikan dengan baik oleh tim HACCP. Setelah CCP ditetapkan, tim HACCP pada industri pangan harus menetapkan batas kritisnya, karena batas kritis pada titik kendali kritis atau CCP menujukkan batas keamanan pangan. NACMCF (1999) mendefinisikan batas kritis sebagai nilai toleransi maksimal dan/atau minimal parameter biologi, kimia atau fisik yang ditetapkan dan harus dipenuhi untuk mengendalikan bahaya tersebut pada CCP secara efektif sampai tingkat yang dapat diterima. Beberapa
51
contoh batas kritis yang perlu ditetapkan dan harus dipenuhi sebagai alat tindakan pengendalian/pencegahan bahaya dalam industri pengolahan pangan misalnya adalah : suhu dan waktu maksimal yang ditetapkan untuk proses kecukupan thermal, suhu maksimal untuk menjaga kondisi pendingin-an/pembekuan, jumlah maksimal residu pestisida yang diperkenankan ada dalam bahan pangan, pH maksimal yang diperkenankan pada tahap proses formulasi bahan dan batas maksimal penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang digunakan dalam proses produksi pangan.
52
P1
Lakukan modifikasi tahapan dalam proses atau produk
Apakah ada tindakan pengendalian terhadap bahaya yang diidentifikasi ?
Ya
Tidak Apakah pengendalian pd langkah ini perlu untuk pengamanan ?
Berhenti *)
Bukan CCP
Tidak
P2
Ya
Apakah langkah tsb dirancang khusus/ spesifik untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yg mungkin terjadi sampai ke tingkat yg dapat diterima ? (**)
Ya
Tidak
P3
Dapatkah kontaminasi dgn bahaya yg teridentifikasi terjadi melebihi batas yg dpt diterima atau dapatkah ini meningkat/ berkembang sampai tingkatan yg tdk dapat diterima ?
Ya
P4
Tidak
Apakah langkah/tahapan berikutnya dpt menghilangkan bahaya yg teridentifikasi atau mengurangi tingkatan kemungkinan terjadinya bahaya sampai ke tingkat yg dpt diterima ? **)
Tidak
Bukan CCP
Berhenti *)
Ya Bukan CCP
Berhenti *
Titik Kendali Kritis (CCP)
* ) Identifikasi bahaya dalam menggambarkan proses ** ) Tingkatan yang dapat diterima & tidak dapat diterima yang diperlukan didefinisikan dalam semua tujuan mengidentifikasi CCP dalam rencana HACCP
Gambar 2. Diagram alir bagan penentuan titik kendali kritis atau CCP (Sumber : BSN, 1998; Codex Alimentarius Commission/CAC, 1997)
53
Langkah penerapan selanjutnya adalah pemantauan (monitoring) terhadap titik kendali kritis dan batas kritisnya. Monitoring/pemantauan menurut NACMCF
(1999)
merupakan
rencana
pengawasan
dan
pengukuran
berkesinambungan untuk mengetahui apakah suatu CCP dan batas kritisnya dalam keadaan terkendali dan menghasilkan catatan (record) yang tepat untuk digunakan dalam tahap verifikasi berikutnya. Kegiatan monitoring ini mencakup : (1) Pemeriksaan apakah prosedur penanganan dan pengolahan pada CCP dapat dikendalikan dengan baik; (2) Pengujian atau pengamatan terjadwal terhadap efektifitas suatu proses untuk mengendalikan CCP dan batas kritisnya; dan (3) Pengukuran dan pengamatan batas kritis untuk memperoleh data yang teliti dengan tujuan untuk menjamin bahwa batas kritis yang ditetapkan dapat menjamin keamanan produk (Corlett, 1991). Cara dan prosedur monitoring untuk setiap CCP perlu diidentifikasi oleh tim HACCP agar dapat memberi jaminan bahwa proses pengendalian pengolahan produk pangan masih dalam batas kritisnya dan menjamin tidak ada bahayanya. Idealnya, pemantauan/monitoring pada CCP dilakukan secara kontinyu hingga dicapai tingkat kepercayaan 100% sehingga efektif dalam memberi jaminan keamanan pangan terhadap produk pangan yang dihasilkan. Namun bila hal ini tidak memungkinkan, dapat dilakukan pemantauan secara tidak kontinyu dengan syarat terlebih dahulu harus ditetapkan interval waktu yang sesuai sehingga keamanan benar-benar terjamin. Kegiatan pemantauan/monitoring terhadap CCP dan batas kritisnya mencakup, yaitu : apa (what) yang dipantau, dimana (where) tempat dilakukan pemantauan, bagaimana (how) cara melakukan pemantauan, kapan (when) pemantauan dilakukan dan siapa (who) orang yang melaksanakan tindakan pemantauan (Gombas et al, 2000). Langkah penerapan berikutnya adalah menerapkan prosedur untuk melakukan tindakan koreksi (corrective action) apabila pada CCP tersebut terjadi penyimpangan (bias). Menurut NACMCF (1999) dinyatakan bahwa tindakan koreksi sebaiknya mencakup beberapa unsur sebagai berikut : (a) Penentuan dan pengoreksian
penyebab
terjadinya
ketidaksesuaian
(non-compliance),
(b)
Penentuan disposisi produk yang tidak sesuai atau tidak memenuhi standar proses
54
yang ditetapkan sehingga tidak mengakibatkan potensi bahaya baru, dan (c) Pencatatan dan pendokumentasian terhadap tindakan koreksi yang telah diambil dengan tujuan untuk memodifikasi suatu proses atau pengembangan lainnya. Langkah penerapan selanjutnya adalah menerapkan prosedur pencatatan dan pendokumentasian sistem HACCP yang efektif. Dokumentasi dan rekaman sistem HACCP sangat penting bagi industri pangan untuk keperluan kaji ulang (review) penerapan sistem HACCP dan bagi auditor keamanan pangan untuk mengetahui apakah rancangan HACCP-nya sudah diterapkan secara efektif dan konsisten dalam operasionalnya. Dokumen-dokumen
dan
rekaman-rekaman
sistem
HACCP
yang
diperlukan untuk keperluan audit keamanan pangan mencakup : susunan tim HACCP yang telah disahkan oleh pimpinan manajemen perusahaan, deskripsi produk yang dibuat termasuk penggunaannya, diagram alir dan denah area produksi, tabel analisis dan identifikasi bahaya, tabel penentuan CCP (critical control point), tabel pengendalian sistem HACCP, instruksi kerja CCP, rekaman pemantauan lainnya dan daftar amandemen atau perubahan dokumen. Langkah penerapan berikutnya adalah tim HACCP melakukan kegiatan verifikasi terhadap sistem HACCP. Kegiatan verifikasi tim HACCP dalam industri pangan dapat dilakukan dengan cara mengaji ulang dan audit untuk mencek terhadap metode, prosedur, cara uji, cara analisis dan lain-lain yang dipraktekan di lapangan untuk mengetahui apakah sistem HACCP sudah sesuai dengan
rancangan
HACCP
(HACCP
Plan)
yang
sudah
disusun
dan
beroperasi/bekerja dengan efektif dan benar (NACMCF, 1999). Verifikasi menurut SNI 01-4852-1998 adalah penerapan metode, prosedur, pengujian, dan cara pendataannya, disamping pemantauan untuk menentukan kesesuaian dengan rencana HACCP (HACCP Plan). Dalam panduan HACCP yang dikeluarkan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) yang diadopsi oleh SNI 01-4852-1998 memasukkan validasi ke dalam bagian dari verifikasi. Sementara itu, dalam standar ISO 22000 : 2005, verifikasi disebutkan sebagai konfirmasi melalui penyediaan bukti obyektif bahwa suatu persyaratan khusus telah terpenuhi. Sedang, validasi ditegaskan sebagai konfirmasi melalui penyediaan bukti obyektif
55
bahwa persyaratan bagi penggunaan khusus atau penerapan telah mampu dipenuhi. Verifikasi yang dilakukan oleh tim HACCP mencakup berbagai kegiatan evaluasi terhadap rancangan dan penerapan sistem HACCP, yaitu : penetapan jadwal verifikasi yang tepat, peninjauan kembali (review) rancangan HACCP, pemeriksaan dan penyesuaian catatan CCP dengan kondisi proses sebenarnya, pemeriksaan penyimpangan terhadap CCP dan prosedur koreksi/perbaikan yang harus dilakukan, pengambilan contoh dan analisis (fisik, kimia dan/atau mikrobiologis) secara acak pada tahap-tahap yang dianggap kritis; catatan tertulis mengenai kesuaian dengan rancangan HACCP, penyimpangan terhadap rancangan dan tindakan koreksi/perbaikan yang dilakukan; validasi rancangan HACCP, termasuk pemeriksaan kembali diagram alir dan CCP serta pemeriksaan kembali modifikasi rancangan HACCP (Corlett, 1991). Selain itu, verifikasi oleh tim HACCP dilakukan dengan cara melakukan audit internal dan kaji ulang manajemen atau management review. Sementara itu, jadwal kegiatan verifikasi dapat dilakukan pada saat-saat tertentu, yaitu : (a) secara rutin atau tidak terduga untuk menjamin bahwa CCP yang ditetapkan masih dapat dikendalikan; (b) jika diketahui bahwa produk tertentu memerlukan perhatian khuus karena informasi terbaru tentang keamanan pangan; (c) jika produk yang dihasilkan diketahui atau diduga sebagai penyebab terjadinya keracunan pangan; dan (d) jika kriteria yang ditetapkan dalam rancangan HACCP dirasakan belum mantap, atau jika ada saran/rekomendasi dari instansi yang berwenang dan kompeten di bidang keamanan pangan.
F. KENDALA DALAM PENERAPAN SISTEM HACCP Penerapan sistem HACCP dalam industri pangan memerlukan perubahan sistem manajemen operasional yang harus diikuti oleh seluruh staf organisasi perusahaan. Untuk mencapai keberhasilan penerapan sistem HACCP, programprogram HACCP memerlukan dukungan yang tepat dan sistem manajemen yang baik, karena program HACCP tidak bekerja secara otomatis (Stevenson dan Bernard, 1999). Namun demikian, terdapat bukti bahwa penerapan sistem HACCP
dalam
industri
pangan
mempunyai
beberapa
kendala
dalam
56
penerapannya. Kendala-kendala dalam penerapan sistem HACCP dalam industri pangan dapat mencakup : kurangnya manajemen komitmen, hambatan mental (psikologis), hambatan oraganisasi, biaya yang dikeluarkan untuk implementasi dan operasional sumber daya sistem HACCP, pengalokasian waktu dan adanya pemahaman konsep yang salah (misconception) tentang sistem HACCP.
1. Kurangnya Komitmen Manajemen Program HACCP tidaklah berbeda dengan program-program manajemen lainnya, yakni menyangkut adanya komitmen dalam pengelolaan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya sehingga hasilnya akan terlihat selama penerapannya (Stevenson dan Bernard, 1999). Oleh karena itu, kurangnya manajemen komitmen dari pihak pimpinan manajemen dapat memunculkan masalah-masalah dan kegagalan dalam praktek penerapan sistem HACCP. Tanpa adanya dukungan dan komitmen dari individu-individu yang terlibat dalam sistem HACCP, menyebabkan sistem HACCP akan menjadi tidak dipraktekan dengan baik dan HACCP tidak akan mencapai sasaran sesuai yang diharapkan sebagai program keamanan yang dijanjikan (Mayes, 1994). Dengan demikian, agar sistem HACCP berhasil diterapkan dalam industri pangan, harus ada komitmen yang jelas terhadap keamanan pangan dan konsep atau filosofi sistem HACCP. Perlu diketahui bahwa pengorganisasian dan pengelolaan program HACCP,
pihak
manajemen
harus
komitmen
untuk
menyediakan
dan
mengalokasikan waktu dan sumber daya yang cukup melalui pendidikan dan pelatihan bagi penyelia (supervisor), karyawan pabrik dan personil yang bertanggung jawab di bidang teknis tentang fungsi dan peran mereka dalam sistem HACCP. Penting untuk dicatat/diperhatikan bahwa komitmen manajemen ini sebagai proses yang terus berjalan (Woody et al, 1999). Bahkan setelah awal periode pelatihan sistem HACCP, pelatihan tambahan lain yang diperlukan untuk pengembangan dan penerapan HACCP perlu diidentifikasi dan dilakukan. Misalnya, untuk karyawan yang bukan anggota tim HACCP, tetapi karyawan tersebut mempunyai tanggung jawab untuk memantau CCP, melakukan prosedur tindakan koreksi bila ada penyimpangan dan menyimpan hasil rekamannya. Karyawan tersebut perlu diberi pelatihan agar memahami dan mengerti tidak
57
hanya apa tanggung jawabnya tetapi juga mengapa tanggung jawab tersebut penting dan dibebankan kepada karyawan yang bersangkutan. Oleh karena itu, pihak manajemen harus komit terhadap penyediaan waktu dan sumber daya yang diperlukan sebelum pelatihan secara formal sistem HACCP dilakukan. Komitmen manajemen ini harus dipelihara atau dijaga dalam rencana pengembangan sistem HACCP dan penerapannya, serta pengkajian kembali rencana HACCP yang sudah disusun bila program HACCP itu ingin berhasil diterapkan.
2. Hambatan Mental (Psikologis) Hambatan mental atau psikologis biasanya ditemui terhadap para peserta seminar atau pelatihan pada saat pengenalan sistem HACCP melaui seminar atau pelatihan, karena mereka beranggapan dan berpikir bahwa mereka akan mendapatkan kesulitan dalam menerapkan sistem HACCP dalam perusahaan industri pangannya. Mereka biasanya mempunyai perasaan pesimis dengan kondisi realistik perusahaan yang ada saat ini yang tidak memungkinkan untuk menerapkan sistem HACCP, bila kondisi perusahaan tidak didukung oleh pihak manajemen, misalnya perlu adanya penggantian peralatan baru untuk mendukung sistem HACCP, masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman karyawan tentang sistem HACCP; dan standar prosedur operasi (SOP), instruksi kerja dan lembar catatan kerja belum dibuat. Disamping itu, hambatan psikologis lainnya adalah kurangnya dukungan sumber keuangan dan daya beli perusahaan (Jouve, 1994), lebih kompleksnya praktek dalam penanganan pangan (Sheppard et al, 1990) dan kurangnya tenaga ahli di bidang teknik/rekayasa/proses dan personil dibidangnya (Stevenson, 1990), sehingga semua hal tersebut dikatakan sebagai hambatan mental (psikologis) dalam pengembangan sistem HACCP di industri pangan. Namun demikian, persepsi mereka terhadap sistem HACCP menjadi gugur, karena mereka pada prinsipnya belum memahami sistem HACCP secara jelas. Setelah karyawan dan staf diberi pendidikan dan pelatihan berkenaan dengan pemahaman sistem HACCP (termasuk definisi/terminologi, filosofi, prinsip-prinsip, keuntungan dan penerapan HACCP dalam perusahaan industri pangan), pembuatan dokumen standar prosedur operasi dan instruksi kerja serta program kelayakan dasar, maka mereka menjadi lebih percaya diri dan lebih
58
perhatian terhadap pengendalian keamanan pangan karena dirasakan dapat lebih menjamin keamanan produk pangannya.
3. Hambatan Organisasi Pada awalnya, umumnya industri pangan tidak mengenal sebelumnya suatu struktur organisasi khusus yang bertanggung jawab untuk menerapkan sistem HACCP guna menjamin keamanan pangan produk yang dihasilkan. Perusahaan industri pangan hanya mengenal suatu organisasi fungsional sesuai dengan kebutuhan perusahaan industri pangan. Padahal salah satu keuntungan sistem HACCP adalah kenyataan bahwa manajemen dalam industri pangan perlu program organisasi standar yang bertanggung jawab terhadap keamanan pangan yang mencakup sebagai berikut : bagian penjamin mutu dan keamanan pangan atau bagian pengendalian mutu; bagian pendidikan dan pelatihan tentang sistem; pengendalian proses yang ditujukan pada CCP; perbaikan mutu dan keamanan; inspeksi selama proses produksi dan pengendalian CCP, inspeksi terhadap bahan baku dan pengujiannya; pengujian produk akhir serta pengendalian dokumen dan penyimpnan data rekaman. Namun demikian, tidak berarti bahwa organisasi fungsional tidak dapat mengelola bagian-bagian tersebut, karena dalam kenyataannya bahwa tugas-tugas tersebut dapat didisain dan dibangun dengan baik pada setiap departemen yang sesuai dengan lingkup tanggung jawab tugasnya. Menurut hasil studi Henson et al (1999), dinyatakan bahwa persoalan mendasar dalam menerapkan dan mengoperasikan sistem HACCP yang sering dijumpai adalah berkaitan dengan penempatan personil/karyawan atau staffing. Hal ini disebabkan oleh : Pertama, perlu adanya pelatihan kembali karyawan terutama personil di tingkat penyelia (supervisor) dan ditingkat manajerial. Kedua, motivasi karyawan, tidak hanya termasuk di bagian produksi saja tetapi juga personil di bagian supervisor atau manajerial.
4. Hambatan Dalam Biaya Implementasi Dan Operasi Sistem HACCP Untuk menerapkan dan mengoperasikan sistem HACCP dalam industri pangan memerlukan biaya yang cukup besar tidaklah dipungkiri, karena adanya
59
beberapa perbaikan dalam sistem yang memerlukan biaya guna mendukung keberhasilan penerapan sistem HACCP. Pertanyaanya adalah apa saja yang memerlukan biaya besar untuk menerapkan dan mengoperasikan sistem HACCP? Menurut hasil penelitian Henson et al (1999) dinyatakan bahwa biaya besar utama untuk menerapkan dan mengoperasikan sistem HACCP terdiri dari atau mencakup : biaya untuk konsultan dari luar, biaya investasi untuk peralatan baru, biaya untuk pendidikan dan pelatihan karyawan, biaya untuk perubahan manajerial, biaya untuk perubahan struktur pada pabrik dan biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan pembuatan dokumen sistem HACCP.
5. Konsepsi Yang Salah Tentang Sistem HACCP Kendala lain yang membatasi dalam penerapan dan pengoperasian sistem HACCP adalah adanya sejumlah kontroversi yang timbul dari konsepsi yang salah tentang sistem HACCP. Bila konsepsi yang salah ini berlanjut hingga bertahan lama akan dapat merusak reputasi HACCP dan akan membahayakan keuntungannya terhadap masyarakat (Motarjemi dan kaferstein, 1999). Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk diklarifikasi tentang konsep yang salah ini pada saat sistem HACCP ini sedang diperkenalkan. Menurut Motarjemi dan Kaferstein (1999), beberapa konsepsi yang salah yang perlu diklarifikasi adalah sebagai berikut : Pertama, HACCP dianggap sebagai suatu metode baru yang menggantikan metode yang sebelumnya sudah ada untuk menjamin keamanan pangan yang berdasarkan aplikasi cara praktek higiene yang baik atau good hygiene practice. Meskipun hal tersebut memang benar bahwa metode tradisional diketahui mempunyai kelemahan dan perbedaan yang tajam dalam pendekatannya ke arah jaminan keamanan pangan, HACCP tidak bisa mengganti metode tersebut. Dalam hal ini sistem HACCP dikenal sebagai pelengkap (komplemen) metode tradisional tersebut dengan cara : (a) Mengidentifikasi beberapa tindakan pengendalian tambahan atau yang bersifat khusus pada pangan atau adanya pertanyaan pada saat sedang beroperasi, (b) Menempatkan penekanan tambahan pada beberapa titik cara praktek higiene yang baik dan bersifat sangat penting atau adanya operasi yang sedang dipertanyakan dan perlu dipantau secara ketat, dan (c) Mengamati pengukuran tindakan koreksi
60
bila hasil pemantauan menunjukkan terjadinya hilang kendali atau lepas kendali dan (d) Dengan memberi lebih banyak pelatihan dan tanggung jawab kepada operatornya. Kedua, penerapan sistem HACCP dalam industri pangan cukup kompleks dan mencakup sejumlah dokumentasi dan penyimpanan catatan hasil perekaman yang banyak. Biasanya setiap sistem baru awalnya kelihatan rumit, khususnya bila personil-personil yang berkenaan menangani dengan hal tersebut tidak diberi pelatihan secara tepat atau bila pendekatan yang digunakan untuk pelatihan belum diadopsi. Dalam pengenalan sistem HACCP kepada perusahaan industri pengolah pangan, sebaiknya dan penting untuk diperhatikan jangan membuat bingung peserta pelatihan sehingga perlu penyedehanaan konsep serta menerangkan kebutuhan dan keuntungan sistem HACCP untuk keprluan bisnis perusahaannya. Pada tahap awal, penekanan sebaiknya difokuskan pada lima langkah/tahap prinsip HACCP yang membuat sistem benar-benar berbeda dalam konteks keamanan pangan. Kemudian perusahaan industri pangan perlu menyadari kebutuhan adanya program verifikasi, penyimpanan rekaman (catatan) dan dokumentasi. Dengan demikian, dokumen sistem HACCP tersebut perlu dilihat sebagai alat bukti penjamin keamanan pangan yang memadai dari pada sekedar hanya memenuhi aturan yang dibuat oleh pemerintah saja. Ketiga, penerapan sistem HACCP perlu dukungan suatu sumber daya yang besar. Memang benar, pada tahap awal penerapan, penerapan sistem HACCP memerlukan sumber daya tambahan selain sumber daya yang sudah tersedia di perusahaan industri pangan, misalnya : untuk pelatihan personil/karyawan perusahaan, dukungan bagian teknisi untuk menjaga sistem keamanan dan kemungkinan adanya penambahan peralatan dan bahan tambahan lain yang baru. Tetapi, dalam jangka panjang adanya investasi baru untuk mendukung sumber daya, peralatan dan bahan tambahan lain tersebut akan kembali terbayar dengan menurunnya biaya untuk kasus penarikan produk yang terkontaminasi, perbaikan dalam keamanan pangan, makin tingginya kepercayaan pelanggan terhadap produk yang dihasilkan, dan berkurangnya keluhan dari pelanggan. Keempat, penerapan sistem HACCP pada industri menengah-kecil pangan tidak memungkinkan. Kenyataan menunjukkan bahwa perusahaan industri pangan
61
skala menengah-kecil pada umumnya mempunyai kesulitan dalam menerapakan sistem HACCP.
Beberapa permasalahan tersebut adalah : karena kurangnya
tenaga ahli teknis-teknologis, terutama yang berkenaan dengan personil yang bisa melakukan analisis bahaya dan pemantauan secara tepat; makin besarnya perasaan ketidaknyamanan mereka dalam menyimpan catatan hasil rekaman dan dokumentasi, cepatnya karyawan perusahaan yang sering pindah ke perusahaan lain dan makin besarnya berbagai jenis pangan yang mereka sediakan. Menurut Jouve (1994), masalah utama yang dihadapi oleh indutri menengah-kecil pangan dalam menerapkan sistem HACCP adalah berkaitan dengan semakin kecilnya sumber keuangan yang dimiliki oleh perusahaan untuk keperluan persiapan penerapan sistem HACCP (misalnya : biaya potensial penerapan sistem HACCP relatif lebih besar dibandingkan dengan tingkat kembalinya modal yang diinvestasikan; ketidakmampuan dan daya beli perusahaan yang rendah untuk mengusahakan kecukupan penerapan HACCP berpengaruh
terhadap
pengembangan
sistem
HACCP;
ketidakcukupan
tersedianya sumber daya teknis, yaitu : tenaga teknis dan data ilmiah yang tepat, kurangnya tenaga ahli khusus di bidang teknologi, mikrobiologi, kimia pangan yang berkontribusi terhadap studi HACCP; serta terbatasnya waktu untuk mendapatkan personil yang ahli untuk mengembangkan sistem HACCP.
62
IV. METODOLOGI A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian terhadap persiapan kelayakan persyaratan dasar (GMP) dan penyusunan rencana HACCP (hazard analysis critical control point) untuk produksi mi kering ini dilakukan pada sebuah perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan yang berlokasi di Jl. Depan Terminal Kav. 23-25 Citeureup, Bogor. Penelitian atau pengkajian terhadap persiapan kelayakan persyaratan dasar dan penyusunan rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi mi kering di PT Kuala Pangan, Citeureup-Bogor dilakukan selama 6 (enam) bulan dari awal bulan Oktober tahun 2007 sampai dengan akhir bulan Maret tahun 2008.
B. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : bahan baku utama tepung terigu dan air, bahan pembantu utama garam dan tepung telur, serta bahan tambahan pangan (BTP) yang berupa garam alkali (senyawa natrium dan kalium karbonat) dan bahan pewarna tartrazin C1 1940. Semua bahan-bahan tersebut diperoleh dan berasal dari perusahaan PT Kuala Pangan dan digunakan untuk tujuan : percobaan proses produksi, sebagai sampel pengujian di laboratorium yang sudah terakreditasi, identifikasi dan analisis bahaya, serta verifikasi dan validasi sistem HACCP. Selain bahan-bahan tersebut, dalam penelitian ini digunakan pula bahanbahan lain yang terdiri dari : (1) Check-list Form A untuk penilaian cara produksi pangan yang baik (CPPB) yang dikeluarkan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Jakarta; untuk mengidentifikasi pola pengendalian keamanan pangan yang sudah ada di perusahaan dan mengetahui program persyaratan kelayakan dasar sistem HACCP (prerequisite programs) perusahaan; (2) Lembar kertas kerja untuk penentuan deskripsi produk; (3) Lembar kertas kerja untuk pembuatan diagram alir proses produksi; (4) Lembar kertas kerja untuk analisis dan evaluasi bahaya; (5) Lembar kertas kerja untuk penentuan titik kendali kritis atau CCP (critical control point); dan (6) Lembar kertas kerja untuk pengendalian dan pemantauan sistem HACCP atau HACCP Plan.
63
Peralatan yang digunakan dalam penelitian dan percobaan ini terdiri dari alat-alat yang digunakan untuk proses produksi mi kering dan peralatan laboratorium yang digunakan untuk pengujian produk mi kering yang dihasilkan. Peralatan produksi yang digunakan untuk penelitian dan percobaan terdiri atas : alat pencampur adonan (mixer), alat pengumpan bahan (feeder), alat pengepres adonan untuk menjadi bentuk lembaran adonan (roll presser), alat pengukus dalam terowongan (tunnel steamer), alat pemotong cetakan mi (cutter), alat pengering mi (dryer), alat konveyor untuk membantu proses produksi mi, alat pendingin dalam bentuk kipas (blower), alat pengemas produk mi dan satu set alat pembangkit uap panas (boiler). Kesemua alat tersebut disediakan oleh perusahaan PT Kuala Pangan. Sedangkan alat-alat laboratorium yang digunakan untuk proses pengujian meliputi alat-alat untuk uji fisik, kimia dan mikrobiologis sebagian disediakan oleh perusahaan PT Kuala Pangan dan sebagian alat lain menggunakan fasilitas alat yang tersedia di laboratorium Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor. C. METODE PENELITIAN Penelitian persiapan kelayakan persyaratan dasar atau GMP dan penyusunan rencana HACCP untuk produksi mi kering pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : 1. Melakukan Evaluasi Kondisi Kelayakan Persyaratan Dasar (GMP) di Perusahaan Evaluasi kondisi kelayakan persyaratan dasar atau GMP di perusahaan dilakukan dengan cara membandingkan pemenuhan persyaratan kelayakan dasar atau good manufacturing practice (GMP) di perusahaan PT Kuala Pangan dengan persyaratan standar kelayakan dasar yang ditetapkan oleh pemerintah (Badan POM). Pemenuhan persyaratan kelayakan dasar (GMP) ini merupakan persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum menerapkan sistem HACCP di perusahaan. Evaluasi kondisi kelayakan persyaratan dasar dilakukan dengan cara mengamati kondisi GMP perusahaan berdasarkan observasi di lapang, wawancara, pengamatan keadaaan nyata perusahaan, dan pencatatan data yang
64
ada di perusahaan menggunakan check-list penilaian GMP yang berasal dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai sarana untuk pemeriksaan kondisi GMP pada industri pangan di Indonesia. Evaluasi kondisi kelayakan persyaratan dasar ini dilakukan pula untuk membandingkan pemenuhan persyaratan kelayakan dasar atau GMP di perusahaan terhadap kelengkapan standar prosedur operasi untuk sanitasi atau Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) yang harus dibuat dan dipenuhi oleh perusahaan sebelum menerapkan HACCP, yang mencakup: (a) SSOP untuk menjaga keamanan air yang digunakan, (b) SSOP untuk menjaga kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan, (c) SSOP untuk pencegahan kontaminasi silang, (d) SSOP untuk menjaga fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet, serta peralatan yang digunakan, (e) SSOP untuk proteksi dari bahan-bahan kontaminan, (f) SSOP untuk pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan berbahaya (toksin) yang benar, (g) SSOP untuk pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan kontaminasi, dan (h) SSOP untuk mencegah/menghilangkan hama dan penyakit dari unit pengolahan. Hasil evaluasi kondisi kelayakan persyaratan dasar dan penilaian terhadap program pemenuhan persyaratan kelayakan dasar (GMP) yang diperoleh ini dapat menjadi bahan rujukan dan bahan masukan untuk perbaikan terhadap GMP dan fasilitas perusahaan yang akan menerapkan sistem HACCP. Selain evaluasi terhadap kondisi kelayakan persyaratan dasar itu, dilakukan pula identifikasi dan analisis terhadap kendala-kendala yang dihadapi perusahaan dalam menerapkan sistem HACCP di perusahaan.
2. Menyusun Rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi Mi Kering Penyusunan rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi mi kering pada PT Kuala Pangan dilakukan sesuai dengan SNI 01-4852-1998 dan Pedoman BSN 1004-2002 dengan tahapan sebagai berikut : a. Melakukan pelatihan sistem HACCP Langkah pertama yang perlu dilakukan dalam penyusunan rencana HACCP adalah memberi pelatihan kepada para calon penanggung jawab dan pelaksana sistem HACCP pada perusahaan. Peserta yang dilatih berjumlah 25
65
orang yang berasal dari bagian produksi, pengendalian mutu, teknik dan maintenance, gudang, pembelian, dan bagian pengemasan. Model pelatihan yang diterapkan adalah presentasi mengajar di kelas dengan cara tatap muka, tanya jawab, diskusi dan workshop dengan materi terdiri dari : (a) Cara produksi pangan yang baik atau GMP sebagai persyaratan kelayakan dasar dalam penerapan HACCP, (b) Keamanan pangan dan sumber kontaminasi (fisik, kimia dan biologis/mikrobiologis), (c) Sanitasi dan sistem pengendalian hama, (d) Prinsip HACCP dalam industri pangan, (e) Implementasi HACCP dalam industri pangan, (f) Dokumentasi GMP dan sistem HACCP serta Workshop penyusunan rencana HACCP atau HACCP Plan. Untuk mengetahui tingkat pemahaman dan efektivitas pelatihan sistem HACCP dilakukan evaluasi penilaian dengan cara memberi beberapa pertanyaan dalam bentuk pilihan berganda dan essai pada saat sebelum dan sesudah pelatihan dilakukan sehingga dapat diketahui tingkat pemahaman dan pengetahuan peserta. Contoh soal dan pertanyaan untuk evaluasi terhadap peserta pelatihan dan efektifitasnya dapat dilihat pada Lampiran 3.
b. Menetapkan Kebijakan Mutu dan Keamanan Pangan Yang Berhubungan Dengan HACCP Plan Pemimpin puncak (top management) PT Kuala Pangan harus menetapkan kebijakan mutu dan keamanan pangan perusahaan. Kebijakan mutu dan keamanan pangan merupakan pernyataan yang diungkapkan oleh pimpinan puncak/tertinggi dari suatu organisasi PT Kuala Pangan yang berupa janji atau komitmen untuk melaksanakan dan menegakkan serta memelihara standar mutu yang tinggi. Kebijakan mutu dan keamanan pangan ini harus mencakup tujuan, sumber daya yang digunakan, dan alasan manajemen jaminan mutu yang digunakan. Contoh lembar kertas kerja pernyataan kebijakan mutu dapat dilihat pada Lampiran 4.
c. Pembentukan Organisasi Tim HACCP Pembentukan organisasi tim HACCP sesuai dengan persyaratan SNI 014852-1998 perlu melibatkan semua komponen dalam industri yang terlibat dalam menghasilkan produk pangan yang aman, termasuk dari bagian produksi, pengendalian mutu (QC/QA), pembelian, gudang, dan teknik dan pemeliharan
66
(maintenance). Tim HACCP sebaiknya terdiri dari individu-individu dengan latar belakang pendidikan atau disiplin ilmu yang beragam; dan memiliki keahlian spesifik dari bidang ilmu yang bersangkutan, misalnya ahli mikrobiologi, ahli mesin/rekayasa proses, teknolog pangan, ahli kimia, dan lain sebagainya sehingga dapat melakukan analisis bahaya dan menetapkan tindakan pengendalian bahaya yang tepat dalam mengambil keputusan. Pembentukan organisasi tim HACCP meliputi : identitas dan kualifikasi personil yang dibentuk, uraian tugas, tanggung jawab dan wewenang tim HACCP, serta prosedur yang terkait yang menunjukkan personil yang bertanggung jawab terhadap pengembangan, penerapan dan berjalannya Rencana HACCP atau HACCP Plan perusahaan. Contoh lembar kertas kerja pembentukan organisasi tim HACCP dapat dilihat pada Lampiran 5.
d. Menentukan Ruang Lingkup Penerapan Sistem HACCP Tim HACCP yang telah dibentuk kemudian menentukan ruang lingkup penerapan sistem HACCP. Penentuan ruang lingkup penerapan sistem HACCP di PT Kuala Pangan ditetapkan berdasarkan kegiatan badan usaha tersebut, yaitu mencakup lokasi, jenis jasa yang diberikan dan bidang kegiatan utama perusahaan. Cakupannya dapat mulai dari penerimaan bahan baku, proses produksi, distribusi, hingga penanganan produk oleh konsumen.
e. Mendeskripsikan Produk dan Metode Distribusinya Tim HACCP yang telah dibentuk selanjutnya menyusun deskripsi atau uraian yang lengkap dari produk pangan yang akan disusun rencana HACCP-nya. Tahapan ini berisi tentang gambaran/kumpulan informasi lengkap mengenai produk. Deskripsi produk yang dilakukan berupa informasi yang mencakup nama produk, komposisi produk, formulasi, proses pengolahan atau proses produksi, metode pengawetan, umur/daya simpan produk, standar mutu produk menurut SNI, bahan pengemas dan cara pengemasan yang dipakai, kondisi penyimpanan, metode distribusi serta keterangan lain yang berhubungan dengan produk. Semua informasi tersebut diperlukan oleh Tim HACCP untuk melakukan evaluasi secara luas dan komprehensif.
Pendeskripsian produk dan metode distribusinya
67
ditetapkan dengan menggunakan lembar kertas deskripsi produk seperti yang terlihat pada Lampiran 6.
f. Mendeskripsikan Tujuan Penggunaan produk Pada tahapan ini, tim HACCP setelah menyusun deskripsi produk dan metode distribusinya, perlu menuliskan siapa yang menjadi target sasaran kelompok pengguna produk atau sasaran konsumennya dan bagaimana konsumen yang menjadi target menggunakan produk mi kering tersebut. Deskripsi tujuan penggunaan produk juga ditetapkan dengan menggunakan lembar kertas kerja seperti pada Lampiran 6.
g. Menyusun Persyaratan Kelayakan Dasar (Prerequisite) Pada tahapan ini, tim HACCP perlu menyusun dan melengkapi cara baku yang menjelaskan bagaimana program sanitasi yang berjalan di perusahaan dapat dipantau dan dilaksanakan.
Cara baku ini dituangkan dalam bentuk matriks
model generik ringkasan sanitation standard operating procedure (SSOP) yang mencakup : SSOP untuk pengolahan air dan cara mendapatkan air yang aman dikonsumsi; SSOP untuk menjaga kondisi kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan; SSOP untuk pencegahan kontaminasi silang; SSOP untuk menjaga fasilitas sanitasi dan peralatan yang digunakan; SSOP untuk mencegah/melindungi bahan pangan dari kontaminan; SSOP dan untuk pelabelan, penyimpanan dan penggunaan senyawa toksik dengan benar; SSOP dan untuk pengawasan kondisi kesehatan karyawan; dan SSOP untuk pengendalian hama dan penyakit dalam unit pengolahan.
h. Menyusun Diagram Alir Proses Pada tahapan ini, tim HACCP selanjutnya menyusun diagram alir proses produksi pembuatan produk secara sistematis dengan cara mencatat seluruh tahapan proses, sejak bahan baku diterima hingga produk siap disimpan/ dikarantina dan didistribusikan sesuai dengan Pedoman BSN 1004 : 2002. Dalam penyusunan diagram alir ini, perlu mencantumkan pula bahan-bahan yang digunakan selama pengolahan (bahan baku utama, air, bahan tambahan pangan,
68
pengemas dan sebagainya) dan bahan-bahan yang dihasilkan sebagai produk sampingan (limbah, dan sebagainya) maupun produk akhir. Diagram alir disusun dengan tujuan untuk menggambarkan keseluruhan proses produksi. Disamping itu, selain bermanfaat untuk membantu tim HACCP dalam melaksanakan kerjanya, dapat juga berfungsi sebagai pedoman bagi orang atau lembaga lainnya yang ingin mengerti/memahami proses dan verifikasinya. Contoh lembar kertas kerja untuk pembuatan diagram alir proses dapat dilihat pada Lampiran 7.
i. Verifikasi Diagram Alir Proses Di Lapangan Setelah menyusun diagram alir proses, tim HACCP selanjutnya melakukan verifikasi diagram alir proses dengan cara melakukan peninjauan dan pengamatan ketepatan proses pengolahan yang telah dibuat di lapangan, yaitu dengan mengamati aliran proses, wawancara, pengambilan contoh, dan percobaan namun bukan untuk produksi. Bila diagram alir proses yang dibuat ternyata tidak tepat atau kurang sempurna, maka tim HACCP dapat melakukan modifikasi dan perubahan terhadap diagram alir tersebut. Selanjutnya diagram alir proses yang telah diverifikasi harus didokumentasikan dan dapat dipakai sebagai bahan persiapan untuk analisis bahaya pada tahap berikutnya.
j. Analisis Bahaya Serta Penentuan Tindakan Pencegahannya Pada tahapan ini, tim HACCP selanjutnya melakukan analisis bahaya yang mencakup identifikasi dan evaluasi bahaya beserta cara-cara tindakan pencegahan untuk mengendalikannya, dengan menggunakan Pedoman BSN 1004 : 2002. Analisis bahaya amat penting untuk dilakukan terhadap bahan baku, komposisi (ingredients), setiap tahapan proses produksi, penyimpanan produk, dan distribusi hingga tahap penggunaan oleh konsumen. Tujuan analisis bahaya adalah untuk mengenali bahaya-bahaya apa saja yang mungkin terjadi dalam suatu proses pengolahan sejak awal hingga ke tangan konsumen. Analisis bahaya terdiri dari tiga tahap, yaitu : identifikasi potensi bahaya, penentuan kategori risiko (peluang kejadian dan tingkat keparahan/keakutannya) dan signifikansi bahaya, serta penetapan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk
69
pencegahannya (preventive measure). Penentuan kategori risiko atau signifikansi bahaya ditetapkan dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Boevee (matriks risiko Boevee atau matriks penentuan signifikansi bahaya) yang dikutip oleh Thaheer (2005) seperti yang disajikan pada Tabel 16. Sedangkan penentuan tingkat
keseriusan
mikroorganisme
patogen
ditetapkan
dengan
melihat
dampaknya terhadap kesehatan konsumen dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 16. Matriks Risiko Boevee (Matriks Penentuan Signifikasi Bahaya) (*) Skema Ranking Risiko Berdasarkan Tingkat keparahan bahaya yang dapat ditimbulkan (Severity of hazard) dan Peluang kemungkinan terjadinya bahaya (Probability of hazard) Tingkat keparahan/ Peluang Kemungkinan Terjadinya Bahaya keseriusan bahaya yang Rendah (l) Sedang (m) Tinggi (h) dapat ditimbulkan Tinggi (H)
(Hl) Tidak Signifikan (Ml) Tidak Signifikan (Ll) Tidak Signifikan
Sedang (M) Rendah (L)
(Hm) Signifikan (**) (Mm) Tidak Signifikan (Lm)Tidak signifikan
(Hh) Sangat Signifikan (**) (Mh) Signifikan (**) (Lh) Tidak Signifikan
(*) Sumber : Thaheer (2005). (**) Umumnya bila signifikan, akan diteruskan/dipertimbangkan dalam penetapan CCP. Tabel 17. Tingkat Keseriusan Mikroorganisme Patogen (*) Bahaya Tinggi . Clostridium botulinum tipe A, B, E dan F . Shigella dysenteriae . Salmonella typhi . Salmonella paratyphi A, B . Trichinella spiralis . Brucella militensis, B. Suis . Vibrio cholerae O1 . Vibrio vulnificus . Taenia solium
Bahaya Sedang . Listeria monocytogenes . Salmonella sp., Shigella sp. . Campylobacter jejuni . Enteroinvasive Escherichia coli (EIEC) . Streptococcus pyrogenes . Rotavirus, Norwalk virus grup . Yersinia enterocolitica . Entamoeba histolytica . Diphyllobothrium latum . Ascaris lumricoides . Hepatitis A dan E, Aeromonas sp. . Brucella abortus, Giardia lamblia . Plasiomonas shigelloides . Vibrio parahaemolyticus
Bahaya Rendah . Bacillus cereus . Taenia saginata . Clostridium perfringens . Staphylococcus aureus
(*) Sumber : Syamsir et al (2007).
70
Oleh karena itu, dalam analisis bahaya ini, tim HACCP perlu mempersiapkan daftar bahan mentah dan ingredient yang digunakan dalam proses, diagram alir proses yang telah diverifikasi, cara penyimpanan, serta persyaratan regulasi yang mendukung keamanan pangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah; misalnya standar nasional Indonesia (SNI) untuk tepung terigu, SNI untuk garam dan SNI untuk produk mi kering yang telah ditetapkan oleh BSN;
standar
mutu
tepung
telur
dari
FDA-USA;
PerMenKes
No.
907/MenKes/SK/VII/2002 tentang persyaratan kualitas air minum, PerMenKes No. 722/MenKes/Per./IX/1988 tentang bahan tambahan pangan (BTP) yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan atau Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta spesifikasi persyaratan bahan-bahan yang digunakan perusahaan yang berasal dari pemasok/supplier. Analisis bahaya adalah salah satu hal yang sangat penting dalam penyusunan suatu rencana HACCP. Untuk menetapkan rencana dalam rangka mencegah bahaya keamanan pangan, maka hanya bahaya yang signifikan atau memiliki risiko tinggi yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan titik kendali kritis (CCP). Lembar kertas kerja untuk penentuan tabel analisis bahaya, penentuan risiko (peluang dan keparahan) dan tindakan pencegahannya dapat dilihat pada Lampiran 8.
k. Penentuan Titik Kendali Kritis atau Critical Control Point (CCP) Pada tahapan ini, tim HACCP selanjutnya menentukan titik kendali kritis atau CCP. Titik kendali kritis atau CCP didefinisikan sebagai suatu titik, langkah atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan bahaya keamanan pangan dapat dicegah, dihilangkan atau diturunkan sampai ke batas yang dapat diterima. Pada setiap bahaya yang telah diidentifikasi dalam proses sebelumnya, maka dapat ditentukan satu atau beberapa CCP dimana suatu bahaya dapat dikendalikan. Masing-masing titik penerapan tindakan pencegahan yang telah ditetapkan diuji dengan menggunakan CCP decision tree atau diagram pohon penentuan CCP yang direkomendasikan oleh Codex Alimentarius Commission dan telah diadopsi oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dalam SNI 01-4852-1998 (Gambar 3)
71
untuk menentukan CCP. Decision tree ini berisi urutan pertanyaan mengenai bahaya yang muncul dalam suatu langkah proses, dan dapat juga diaplikasikan pada bahan baku untuk mengidentifikasi bahan baku yang sensitif terhadap bahaya atau untuk menghindari terjadinya kontaminasi silang. Suatu CCP dapat digunakan untuk mengendalikan satu atau beberapa bahaya, misalnya suatu CCP secara bersama-sama dapat dikendalikan untuk mengurangi bahaya fisik dan mikrobiologi. Lembar kertas kerja untuk penentuan CCP dapat dilihat pada Lampiran 9.
l. Menetapkan Batas Kritis pada Titik Kendali Kritis Pada tahapan ini, tim HACCP selanjutnya menetapkan batas kritis pada titik kendali kritisnya. Setiap tahap yang menjadi titik kendali kritis (CCP) harus ditentukan batas kritisnya. Batas kritis atau Critical Limit adalah suatu kriteria yang harus dipenuhi untuk setiap tindakan pencegahan yang ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai batas aman. Batas ini akan memisahkan antara produk ”yang diterima” dan ”yang ditolak”, berupa kisaran toleransi pada setiap CCP. Batas kritis ini ditetapkan untuk menjamin bahwa CCP dapat dikendalikan dengan baik. Penetapan batas kritis harus memiliki alasan kuat mengapa batas tersebut diimplementasikan dan harus dapat divalidasi, artinya sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan serta dapat diukur. Penetapan batas kritis dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu : Pertama, mengacu pada regulasi internasional dan nasional di bidang mutu dan keamanan pangan yang ditetapkan oleh lembaga pemerintah ataupun lembaga internasional, misalnya Codex Alimentarius Commission (CAC), International Commission on Microbiological Safety of Foods (ICMSF), World Health Organization (WHO), United States Food and Drug Administration (US FDA), Badan Standarisasi Nasional (BSN), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Departemen Kesehatan, literatur pengetahuan/ilmiah; Kedua, mengacu pada pendapat dari para ahli/pakar yang diakui kepakarannya, misalnya ahli mikrobiologi, pakar di bidang kimia, pakar di bidang proses thermal ; dan Ketiga, pengujian terhadap bahan yang digunakan atau produk yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan dalam standar SNI atau standar lainnya serta data experiment.
72
P1
Lakukan modifikasi tahapan dalam proses atau produk
Apakah ada tindakan pengendalian terhadap bahaya yang diidentifikasi ?
Ya
Tidak Apakah pengendalian pd langkah ini perlu untuk pengamanan ?
Berhenti *)
Bukan CCP
Tidak
P2
Ya
Apakah langkah tsb dirancang khusus/ spesifik untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yg mungkin terjadi sampai ke tingkat yg dapat diterima ? (**)
Ya
Tidak
P3
Dapatkah kontaminasi dgn bahaya yg teridentifikasi terjadi melebihi batas yg dpt diterima atau dapatkah ini meningkat/ berkembang sampai tingkatan yg tdk dapat diterima ?
Ya
P4
Tidak
Apakah langkah/tahapan berikutnya dpt menghilangkan bahaya yg teridentifikasi atau mengurangi tingkatan kemungkinan terjadinya bahaya sampai ke tingkat yg dpt diterima ? **)
Tidak
Bukan CCP
Berhenti *)
Ya Bukan CCP
Berhenti *
Titik Kendali Kritis (CCP)
* ) Identifikasi bahaya dalam menggambarkan proses ** ) Tingkatan yang dapat diterima & tidak dapat diterima yang diperlukan didefinisikan dalam semua tujuan mengidentifikasi CCP dalam rencana HACCP
Gambar 3. Diagram alir pohon penentuan titik kendali kritis atau CCP untuk pengembangan HACCP Plan di PT Kuala Pangan.
73
Untuk menetapkan batas kritis, maka pertanyaan yang harus dijawab adalah : apakah parameter kritis yang berhubungan dengan CCP? Suatu CCP mungkin memiliki beberapa parameter yang harus dikendalikan untuk menjamin keamanan produk pangan. Secara umum batas kritis dapat digolongkan ke dalam batas fisik (suhu, waktu), batas kimia (pH, kadar garam, kadar toksin, kadar logam berat). Penggunaan batas mikrobiologi (jumlah mikroba dan sebagainya) sebaiknya dihindari karena memerlukan waktu untuk mengukurnya, kecuali jika terdapat uji cepat untuk pengukuran tersebut.
m. Menyusun Prosedur Pemantauan (Monitoring) Untuk Setiap CCP Batas kritis yang sudah ditentukan terhadap titik kendali kritis (CCP) haruslah dimonitor keberadaannya. Hal ini untuk memastikan apakah prosedur pengolahan atau penanganan pada CCP di bawah kendali. Oleh karena itu, pada tahapan ini, tim HACCP selanjutnya menyusun prosedur pemantauan untuk setiap CCP-nya. Prosedur pemantauan ini dapat dilakukan oleh personil yang terampil dengan cara pengamatan (observasi) secara visual yang direkam dalam suatu daftar periksa (checklist) atau pun dengan cara pengujian yang merupakan pengukuran (kimia, fisik) yang direkam ke dalam suatu data sheet. Dalam prosedur pemantauan ini harus mencakup : apa yang akan dipantau (what), dimana akan dilakukan pemantauan (where), siapa yang bertanggung jawab akan melakukan monitoring (who), bagaimana cara memantaunya (how) dan kapan akan dilakukan pemantauan/ monitoringnya (when). Data yang diperoleh dari kegiatan monitoring harus dievaluasi oleh petugas yang ditunjuk sesuai dengan pengetahuan dan kewenangannya untuk melaksanakan tindakan perbaikan bila terjadi indikasi penyimpangan atau bias. Contoh lembar kerja
pemantauan/ monitoring untuk CCP dapat dilihat pada
Lampiran 10.
n. Menetapkan Prosedur Tindakan Koreksi Pada tahapan ini, tim HACCP di perusahaan selanjutnya menetapkan prosedur tindakan koreksi. Tindakan koreksi adalah setiap tindakan yang harus
74
dilakukan jika hasil pemantauan atau monitoring pada suatu titik kendali kritis (CCP) menunjukkan proses tidak terkendali (loss of control) atau terjadi penyimpangan. Tujuan untuk menetapkan tindakan koreksi adalah untuk menjamin eliminasi potensi bahaya; memiliki rencana yang pasti untuk mencegah penyimpangan yang terjadi pada setiap CCP, dan tindakan koreksi diperlukan untuk mengendalikan proses produksi. Ada dua level atau tingkatan tindakan koreksi yang dapat dilakukan, yaitu : Pertama, tindakan koreksi berupa tindakan pencegahan, yakni tindakan koreksi dari hasil pemantauan yang memiliki kecenderungan untuk keluar atau mendekati batas kritis; dan Kedua, tindakan koreksi segera, yakni tindakan koreksi untuk pemantauan, dimana hasil CCP yang dipantau telah melampaui batas kritis. Tindakan
segera
dapat
berupa
penghentian
proses
produksi
sebelum
penyimpangan dikoreksi, penahanan produk dan tidak boleh dipasarkan, pengujian keamanan produk. Tindakan koreksi yang dapat dilakukan selain menghentikan proses produksi antara lain mengeliminasi produk, memisahkan produk yang cacat dan mengulangi proses pengolahan. Tindakan pencegahan dapat berupa memverifikasi setiap perubahan yang telah diterapkan dalam proses dan memastikannya agar tetap efektif, misalnya pertanggungjawaban untuk tindakan koreksi dan pencatatan tindakan koreksi. Pertanggungjawaban untuk tindakan koreksi merupakan tanggung jawab petugas dengan jabatan tertentu di dalam perusahaan, misalnya supervisor produksi atau kepala bagian produksi. Pencatatan/rekaman tindakan koreksi dilakukan dengan pengisian formulir khusus tindakan koreksi, yang berisi identifikasi produk (kode produksi, tanggal kadaluwarsa, jumlah produk yang ditahan), deskripsi penyimpangan (alasan penahanan produk dan penyebab penyimpangan), tindakan koreksi yang dilakukan, tindakan lanjutan untuk mengkaji efektivitas tindakan koreksi, individu yang bertanggung jawab untuk melakukan tindakan koreksi dan evaluasi hasil pelaksanaan tindakan koreksi serta tanda tangan penanggung jawab.
o. Menetapkan Prosedur Verifikasi Pada tahapan ini, selanjutnya tim HACCP menetapkan prosedur verifikasi. Verifikasi adalah metode, prosedur dan pengujian yang digunakan untuk
75
menentukan bahwa pelaksanaan sistem HACCP telah sesuai dengan rencana HACCP yang ditetapkan. Dengan verifikasi maka diharapkan bahwa kesesuaian program HACCP dapat diperiksa dan efektivitas pelaksanaan HACCP dapat dijamin. Verifikasi ini bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tiap karyawan perusahaan akan sistem HACCP, menyediakan dokumentasi pelaksanaan HACCP, membuang dokumen yang sudah tidak relevan dan menetapkan langkah pengembangan sistem HACCP. Verifikasi terhadap rencana HACCP atau HACCP Plan yang disusun pada perusahaan PT Kuala Pangan dilakukan dalam 3 fase, yaitu : validasi, verifikasi berjalan dan audit pihak lain. Fase pertama adalah Validasi yang dilakukan dengan cara verifikasi ilmiah dan teknis dari penetapan batas kritis. Proses validasi ini cukup kompleks dan membutuhkan keterlibatan intensif dari pihak profesional dengan kemampuan tinggi dari berbagai disiplin ilmu. Validasi ini dilakukan untuk mencari pembuktian terhadap beberapa hal sebagai berikut : penetapan daftar bahaya potensial benar-benar didasarkan pada data ilmiah; daftar pertanyaan yang dipakai untuk memeriksa signifikansi bahaya menggunakan pengetahuan teknis dan ilmiah; ukuran kendali dan tindakan pengendalian, baik umum maupun khusus yang disediakan untuk pengendalian bahaya, bisa dibuktikan pada batas yang dapat diterima, tolok ukur dan metode yang digunakan pada ukuran pengendalian cukup memadai, dan tindakan koreksi cukup memadai dan mencegah pelepasan produk yang tidak aman serta dapat menyediakan bukti bahwa keadaan dapat dikoreksi. Fase Kedua adalah verifikasi berjalan yang dilakukan untuk menguji kelengkapan sistem HACCP yang akan diterapkan, yang mencakup : peninjauan kelengkapan rencana HACCP; pemastian ulang akurasi diagram aliran proses; kaji ulang sistem HACCP dan kecukupan fasilitas; melakukan kalibrasi peralatan; melakukan pengambilan contoh secara acak dan pengujian terhadap bahan baku utama tepung terigu, garam, tepung telur, air yang digunakan, dan produk yang dihasilkan; audit internal dan tinjauan manajemen (management review). Verifikasi pada fase ini juga dilakukan, jika ada informasi baru yang menyangkut dengan masalah keamanan pangan. Fase ketiga adalah audit oleh pihak lain atau audit eksternal yang direncanakan akan dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang sudah terakreditasi.
76
p. Menetapkan Prosedur Dokumentasi Dan Pencatatan Pada tahapan ini, tim HACCP selanjutnya menetapkan prosedur dokumentasi dan pencatatan (rekaman) dalam sistem HACCP yang dirancang. Dokumentasi program HACCP meliputi pendataan tertulis seluruh program HACCP sehingga program tersebut dapat diperiksa ulang dan dipertahankan selama periode waktu tertentu. Dokumentasi mencakup semua catatan mengenai CCP, batas kritis, rekaman hasil pemantauan batas kritis, tindakan koreksi yang dilakukan terhadap penyimpangan, catatan tentang verifikasi dan sebagainya. Penetapan prosedur pencatatan dan dokumentasi bertujuan untuk menjaga dan mempermudah pengendalian/pembaruan catatan dari HACCP Plan. Dokumen menjadi bukti pelaksanaan HACCP dan pengendalian atas tiap bahaya yang timbul selama proses pengolahan. Catatan/rekaman juga menunjukkan bahwa batas kritis telah dipenuhi dan telah dilakukan tindakan koreksi yang sesuai atas penyimpangan batas kritis. Contoh pencatatan dan rakaman : kegiatan pemantauan titik kendali kritis, penyimpangan dan tindakan perbaikan yang terkait, dan perubahan pada sistem HACCP. Oleh karena itu, dokumen ini dapat ditunjukkan kepada inspektur pengawas makanan jika dilakukan audit eksternal dan dapat juga digunakan oleh operator.
q. Menetapkan Prosedur Pengaduan Konsumen dan Prosedur Recall Pada tahapan ini, tim HACCP selanjutnya menetapkan prosedur pengaduan konsumen dan prosedur recall. Prosedur pengaduan konsumen adalah suatu prosedur untuk menangani, mengalamatkan dan mencatat keluhan-keluhan konsumen/pelanggan kepada perusahaan industri pangan yang bersangkutan. Sedangkan prosedur recall adalah suatu cara/metode untuk mengidentifikasi, menempatkan dan menarik kembali produk bila terjadi kasus keracunan atau produk telah mengalami kerusakan sehingga tidak layak lagi untuk dikonsumsi oleh konsumen.
77
3. Memberikan Rekomendasi Untuk Pengembangan Sistem HACCP di Perusahaan Rekomendasi model generik untuk pengembangan sistem HACCP pada industri pangan di PT Kuala Pangan dilakukan berdasarkan hasil verifikasi dan validasi sistem HACCP yang dibuat serta berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan pada tahap-tahap sebelumnya sehingga diberikan rekomendasi langkahlangkah yang harus dilakukan perusahaan dalam pengembangan sistem HACCP di perusahaan.
78
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. EVALUASI KELAYAKAN PERSYARATAN DASAR (GMP) DI PERUSAHAAN PT Kuala Pangan sejak berdiri (tahun 1988) sampai dengan pada saat ini (tahun 2008) dalam pengelolaan produksinya belum menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9000 : 2000 ataupun sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP. Namun demikian, pihak manajemen PT Kuala Pangan menyadari pentingnya jaminan keamanan pangan bagi produk mi kering yang dihasilkan, sehingga pihak manajemen berencana untuk menerapkan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP di perusahaan, lebihlebih adanya permintaan sertifikat HACCP dari pihak importir produk mi kering kepada perusahaan PT Kuala Pangan. Penerapan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP di perusahaan akan berjalan dengan sukses apabila penerapan good manufacturing practice (GMP) sebagai fondasi sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP ini telah berjalan dengan efektif. Oleh karena itu, sebelum dilakukan penerapan dan pengembangan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan/berbasis sistem HACCP, akan lebih baik jika dievaluasi terlebih dahulu penerapan GMP yang sudah dijalankan dan dibandingkan dengan standar penerapan GMP yang ada, yaitu standar GMP dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2002. Hal ini disebabkan karena GMP merupakan suatu persyaratan dasar dan program umum bagi industri pangan untuk menghasilkan produk bermutu, layak dan aman secara konsisten. Berdasarkan pengamatan (observasi) yang dilakukan di lapangan, wawancara dan pengamatan keadaan nyata perusahaan atas penerapan GMP di PT Kuala Pangan dibandingkan dengan standar yang ada (berdasarkan kriteria penilaian yang digunakan BPOM tahun 2002) ditemukan 13 penyimpangan; yaitu 1 penyimpangan berkategori serius, 6 penyimpangan mayor dan 6 penyimpangan minor. Oleh karena itu, berdasarkan standar tingkat (rating) kelayakan sarana produksi dari Badan POM tersebut, tingkat (rating) GMP di PT Kuala Pangan
79
masuk dalam peringkat B (baik). Hasil selengkapnya dari pemeriksaan GMP sarana produksi pangan di PT Kuala Pangan dapat dilihat pada Lampiran 11. Hasil identifikasi dan ketiga-belas hasil penyimpangan atau ketidaksesuaian tersebut dapat dikelompokkan dalam unsur-unsur GMP yang disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Hasil Identifikasi Penyimpangan/Ketidaksesuaian Dalam Penerapan Unsur-Unsur GMP di Perusahaan. No 1.
2.
Unsur/Elemen GMP Bangunan
Fasilitas Sanitasi
3.
Peralatan
4.
Higiene Karyawan
5.
Penyimpanan
6.
Pemeliharaan Sarana Pengolahan dan Sanitasi serta Pengendalian Hama Manajemen dan Pelatihan
7.
Penyimpangan/Ketidaksesuaian
Kategori
- Pertemuan antara lantai dan dinding serta antara dinding dengan dinding berbentuk siku, sehingga hal ini tidak mudah untuk pembersihan bila ada deposit kotoran ; - Rancang bangun untuk pabrik, khususnya dengan disain penutup (canopy) untuk perlindungan pada proses produksi di bagian atas proses pembentukan untaian mi belum lengkap untuk mencegah adanya kontaminasi silang. - Fasilitas untuk pencucian tangan tidak tersedia sabun cair dan pengering serta tidak adanya peringatan pencucian tangan sebelum bekerja atau setelah dari toilet ; - Fasilitas toilet/urinoir karyawan tidak terawat dengan baik, ada pintu yang sudah rusak dan perlu adanya perbaikan ; - Sebagian tempat sampah yang disediakan oleh perusahaan tidak ada penutupnya, sehingga dapat berpotensi menimbulkan adanya kontaminasi silang. - Tidak ada program pemantauan untuk membuang wadah dan peralatan yang sudah rusak atau tidk digunakan oleh perusahaan - Tidak ada pengawasan dalam hal sanitasi pencucian tangan dan kaki sebelum masuk ke ruang pengolahan dan setelah keluar dari toilet ; - Fasilitas klinik tidak digunakan untuk check up rutin seluruh karyawan, khususnya di bagian produksi ; - Manajemen unit pengolahan tidak memiliki tindakan efektif untuk mencegah karyawan yang diketahui mengidap penyakit yang dapat mengkontaminasi produk ; - Kebersihan karyawan tidak terjaga dengan baik dan kurang memperhatikan aspek sanitasi dan higiene (misalnya pakaian seragam celemek ada yang kotor, kebiasaan minum di ruang produksi). - Di ruang gudang biasa/kering ditemukan adanya penempatan barang yang tidak teratur dan tidak memisahkan penyimpanan bahan pangan dan bahan nonpangan - Pencegahan binatang pengganggu tikus di dalam pabrik belum efektif, terutama di gudang penyimpanan kering ; - Pest control hingga saat ini dikerjakan oleh perusahaan sendiri
- Minor
-
- Mayor
Pimpinan/pihak manajemen mempunyai wawasan terhadap metode pengawasan modern (ISO 9000, HACCP, TQM, dan lain-lain), tetapi belum melaksanakan penerapannya dalam perusahaan ; - Alasan belum melaksanakan penerapan HACCP di perusahaan adalah HACCP cukup rumit dan perlu persiapan waktu, tenaga dan sumber daya lain.
- Minor
- Minor
- Minor
- Minor - Minor
- Serius
- Mayor - Mayor
- Mayor
- Mayor
- Mayor
80
Penyimpangan/ketidaksesuaian pertama dan kedua, adalah saling terkait dan berhubungan dengan persyaratan bangunan serta berkaitan dengan upaya untuk mencegah adanya kontaminasi silang yang disebabkan oleh keadaaan lingkungan perusahaan/pabrik. Oleh karena itu, untuk mengatasi kedua penyimpangan ini dapat dilakukan dengan program pemasangan penutup (canopy) di ruang produksi mi terutama di atas proses pencetakan/pembentukan kembang mi, memodifikasi bangunan pabrik di bagian proses tersebut agar sesuai dengan jenis pangan mi yang diproduksi dan dihasilkan; dan modifikasi ruang pengolahan khususnya di sudut-sudut pertemuan antara dinding dengan dinding dan dinding dengan lantai untuk dibuat lengkungan sehingga memudahkan pembersihannya. Penyimpangan ini merupakan penyimpangan yang cukup penting yang perlu diatasi sebelum diterapkannya sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP, mengingat rancang bangun dan kontsruksi bangunan di ruang pengolahan/proses produksi sangat penting artinya dalam mendukung pelaksanaan persyaratan dasar sistem HACCP. Penyimpangan/ketidaksesuaian ketiga, keempat dan kelima adalah saling terkait dan berhubungan dengan persyaratan fasilitas sanitasi, serta berkaitan dengan upaya untuk mencegah adanya kontaminasi silang yang disebabkan oleh kebersihan dan kesehatan karyawan. Hal ini berkaitan pula dengan program persyaratan dasar (prerequisite programs) sebelum menerapkan manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP. Oleh karena itu, program perbaikan fasilitas sanitasi dan higiene karyawan khususnya berkaitan dengan fasilitas cuci tangan dan toilet harus dilakukan untuk memenuhi fondasi persyaratan dasar dalam sistem HACCP tersebut. Misalnya perbaikan terhadap konstruksi lantai, dinding dan pintu yang sudah rusak pada toilet/urinoir karyawan, penyediaan fasilitas sabun (cair) dan pengering tangan atau tissue pengering/kain lap serta penyediaan fasiltas tanda peringatan pencucian sebelum bekerja atau setelah ke toilet.
Selain itu, perusahaan juga harus melengkapi
penutup tempat sampah untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang. Penyimpangan/ketidaksesuaian ini merupakan penyimpangan yang sangat penting yang harus diatasi sebelum diterapakannya sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP, mengingat kebersihan dan sanitasi sangat penting
81
artinya dalam pengolahan pangan karena mereka (karyawan) terlibat langsung dan mengalami kontak dengan makanan sehingga kemungkinan kontaminasi terhadap produk sangat tinggi. Dengan demikian, program perbaikan fasilitas sanitasi dan higiene karyawan perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan implementasinya. Penggunaan sanitaiser dalam proses pencucian tangan sangat membantu terwujudnya tangan pekerja yang higienis, karena pada prinsipnya ada beberapa bahan pangan atau kotoran yang melekat di tangan sulit dibersihkan kecuali melibatkan penggunaan sanitaiser. Menurut Jenie (1998), untuk pencucian tangan karyawan/pekerja di bagian produksi dapat menggunakan sabun antiseptik yang mengandung senyawa triklosan (trikloro-hidroksi-difenil-eter), atau mengandung senyawa hipoklorit (klorin) 50 part per million (ppm), senyawa yodofor (yodium), amonium kwartener dan alkohol 70%; selanjutnya dibilas dengan air akan menghilangkan banyak mikroba patogen yang berasal dari makanan, kemudian setelah itu ditambahkan dengan penggunaan air hangat dengan kisaran antara 4050 oC atau larutan pembersih lainnya. Penyimpangan keenam berhubungan dengan persyaratan peralatan dan mesin yang digunakan untuk proses produksi, yaitu tidak ada program pemantauan untuk menangani/membuang peralatan yang sudah rusak/tidak digunakan lagi oleh perusahaan. Hal ini ditandai dengan cara penanganan bekas peralatan yang sudah rusak atau tidak digunakan oleh perusahaan yang tidak terkontrol dengan baik, misalnya menaruh peralatan yang sudah rusak di ruang yang dekat dengan ruang untuk proses produksi. Karena tidak ada program pemantauan dan ruang tersebut tidak dijaga kebersihan dan sanitasinya, mengakibatkan ruang tersebut kotor dan dipakai sarang tikus. Penyimpangan ketujuh, kedelapan, kesembilan dan kesepuluh juga merupakan empat hal yang saling terkait, yaitu berkaitan dengan upaya untuk mencegah adanya kontaminasi silang yang disebabkan oleh status kesehatan karyawan, kebersihan karyawan, dan kebiasaan karyawan (Higiene Karyawan). Oleh karenanya, untuk mengatasi keempat penyimpangan/ketidaksesuaian ini dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dan pemantauan kesehatan karyawan (khususnya bagian produksi) secara berkala, misalnya setahun 3 kali, untuk memastikan bahwa karyawan terbebas dari penyakit yang dapat
82
mengkontaminasi produk. Pemantauan dan pemeriksaan kesehatan karyawan dapat dilakukan secara visual, misalnya luka, penyakit kulit dan lainnya dapat dilakukan langsung oleh supervisor (ketua regu/kelompok) yang sedang bertugas. Apabila dijumpai ada karyawan yang mempunyai luka dan penyakit kulit (luka terbuka), maka karyawan/pekerja tersebut bisa dikeluarkan dari ruang di bagian produksi dan dari pekerjaan penanganan kritis lainnya. Pekerja/karyawan di bagian produksi harus melapor pada penyelia (supervisor) pabrik atau petugas pemeriksa kesehatan di klinik apabila menderita penyakit-penyakit, seperti : hepatitis (sakit kuning), tifus, infeksi Salmonella, disentri, dan infeksi Staphylococcus (termasuk noda, bisul, dan luka terbuka di tangan serta kudis dan eksim yang luas terutama di muka, jari, dan tangan (Jenie, 2007). Sedang, apabila dijumpai/ditemui ada karyawan yang tidak menjaga kebersihan dan tingkah laku karyawannya selama proses produksi, maka karyawan yang bersangkutan dapat ditegur/diperingatkan dan dicatat terlebih dahulu. Bila karyawan yang sudah diperingatkan dan dicatat sudah 5 kali tetapi masih berperi laku yang tidak sesuai dengan aturan penerapan sanitasi dan higiene serta kebiasaan karyawan yang tidak sesuai dengan aturan perusahaan, maka diperlukan adanya pelatihan kembali terhadap karyawan yang bersangkutan dalam hal sanitasi dan higiene sekaligus untuk memperbaiki sikap dan perilaku karyawan dalam berkomitmen untuk mendukung program rencana penerapan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP di perusahaan. Penyimpangan/ketidaksesuaian di atas merupakan penyimpangan yang sangat penting yang perlu segera diatasi dan diprogramkan implementasinya sebelum diterapkannya sistem manajemen kemanan pangan berdasarkan sistem HACCP; mengingat pengendalian kondisi kesehatan karyawan yang berpotensi menghasilkan kontaminasi mikrobiologis terhadap pangan, bahan kemasan pangan dan permukaan yang kontak dengan pangan ini harus dikendalikan dengan baik melalui program penerapan yang efektif. Penyimpangan
kesebelas,
berhubungan
dengan
aspek
GMP
penyimpanan, yaitu di gudang kering, yang mana penempatan barang tidak teratur dan sebagian tidak dipisahkan (penyimpanan bahan pengemas dan bahanbahan lain, bahan kimia dan desinfektan/deterjen), hal ini dapat segera diatasi
83
dengan mengelompokkan atau memisahkan sesuai dengan jenisnya dalam suatu rak/tempat yang terpisah dan khusus untuk jenis barang-barang tersebut. Pengaturan ini perlu dibakukan dan dilaksanakan/ dijalankan secara konsisten. Penyimpangan
kedua-belas,
berhubungan
dengan
aspek
GMP
pemeliharaan sarana pengolahan dan sanitasi serta pengendalian hama, yaitu di gudang kering tempat penyimpanan bahan baku dan di gudang kering tempat penyimpanan produk mi kering yang dihasilkan; pencegahan binatang pengerat tikus yang dapat membawa bibit penyakit pes belum efektif dan dilaksanakan secara konsisten. Hal ini ditandai dengan tidak adanya denah pentunjuk penempatan umpan tikus, belum dilaksanakannya pengendalian binatang tikus ini baik oleh perusahaan sendiri ataupun melalui kontrak yang dilakukan oleh pihak lain. Oleh karena itu, penyimpangan ini dapat segera diatasi dengan melaksanakan dan membuat prosedur pengendalian hama tikus dengan cara menempatkan jebakan/umpan tikus atau menempatkan suatu alat yang menghasilkan gelombang suara tertentu sehingga binatang pengganggu/tikus tidak suka memasuki gudang penyimpanan kering. Pengendalian hama tikus tersebut dapat pula dilakukan dengan cara kontrak dengan pihak kedua yang melakukan program pest control. Penyimpangan ketiga-belas berhubungan dengan aspek manajemen dan pelatihan, yaitu pimpinan/pihak manajemen mempunyai wawasan terhadap metode pengawasan modern (ISO 9000, HACCP) tetapi belum atau sedang akan melaksanakan penerapannya. Berdasarkan wawancara dengan pihak manajemen terungkap
bahwa
perusahaan
mempunyai
kendala/hambatan
dalam
mengembangkan dan menerapkan sistem HACCP di perusahaan disebabkan karena : (1) Kurangnya informasi pengetahuan tentang sistem keamanan pangan dan tenaga ahli/sumber daya manusia yang mengerti sistem HACCP; (2) Adanya perkiraan
tingginya
biaya
yang
harus
ditanggung
perusahaan
untuk
mengoperasikan sistem HACCP; (3) Adanya perkiraan tingginya biaya yang diperlukan untuk memberi pelatihan sistem HACCP kepada karyawannya; (4) Adanya perkiraan tingginya biaya lain yang derlukan untuk mebangun fasilitas laboratorium dan fasilitas pemeliharaan peralatan lainnya guna mendukung penerapan sistem HACCP dalam perusahaan, dan (5) Terbatasnya waktu untuk
84
mempersiapkan penerapan sistem HACCP sebagai akibat kurangnya sumber daya manusia yang mengerti dan memahami sistem HACCP. Ditinjau dari aspek cara produksi pangan yang baik atau good manufacturing practice (GMP) yang sudah diterapkan perusahaan, selain penyimpangan atau ketidaksesuaian yang ditemukan di atas; ada beberapa penyimpangan lain dalam bentuk penyimpangan administrasi, fisik dan oprasional sebagai berikut : a. Spesifikasi bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan pangan belum diterapkan secara konsisten karena standar persyaratan spesifikasi yang ditetapkan perusahaan masih suka berubah, oleh karena itu perlu ditetapkan standar persyaratan spesifikasi bahan-bahan tersebut yang tetap dan konsisten penerapannya; b. Tempat fasilitas sanitasi dan cuci tangan terutama toilet dan urinoir karyawan pada prinsipnya jumlahnya sudah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam pedoman GMP Badan POM yaitu ada 6 toilet untuk 80 orang, namun kondisi fisiknya sudah perlu adanya perbaikan, karena pintunya sudah ada yang mulai rusak dan dinding tempat toilet tersebut sudah mulai kotor dan perlu adanya pengecatan dinding kembali, sehingga program perbaikan fisik sarana fasilitas sanitasi dan cuci tangan ini perlu segera diprogramkan perbaikannya; c. Alat-alat mesin-mesin yang sudah rusak dan tidak dipakai, sebagian masih ada yang disimpan di bagian ruang proses produksi meskipun diletakkan di lantai bawah dan agak terpisah; namun barang-barang (alat-alat) tersebut dapat menjadi tempat sarang tikus dan berpotensi menimbulkan kontaminasi silang. Dengan demikian, perusahaan tidak mempunyai program pemantauan untuk menangani/membuang peralatan yang sudah rusak/tidak digunakan dengan baik. Sebaiknya alat-alat ini dipindahkan dan diletakkan di ruang khusus bagian teknik/bengkel dan maintenance, sehingga kebersihan dan higiene di ruang proses produksi bisa dijaga dengan baik atau dibuang; d. Pada higiene karyawan ditemukan kekurangan dalam pelaksanaan GMP pada saat produksi, antara lain masih adanya karyawan yang menggunakan perhiasan atau jam tangan pada waktu bekerja, penutup kepala yang dipakai
85
tidak menutup seluruh rambutnya dan masih ada karyawan berbicara pada saat berproduksi serta tidak memakai penutup mulut untuk di bagian pengumpulan produk mi kering sebelum dikemas dengan plastik jenis PP (kemasan primer); e. Kondisi sanitasi di ruang/gudang penyimpanan bahan baku tepung terigu saat diobservasi/diinspeksi kurang bersih dan kurang terkontrol. Cukup banyak debu dan kotoran pada lantai dan dindingnya. Kemungkinan kegiatan sanitasi di gudang penyimpanan bahan baku tepung terigu ini belum terjadwal dan terkontrol dengan baik. Oleh karena itu, kegiatan sanitasi di gudang penyimpanan ini harus terjadwal dan terkontrol dengan baik untuk mencegah kontaminasi terhadap bahan baku dari cemaran fisik, debu, kotoran dan serangga; f. Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan pangan terutama pada alat roll presser, slitter, cutter dan conveyor meskipun sudah dilakukan program pembersihan dan sanitasi; namun pada saat tidak digunakan/dipakai terlihat masih ada sisa-sisa produk yang menempel pada perlatan tersebut, sehingga dapat memungkinkan terjadinya kontaminai ke produk mi kering yang akan diproduksi/dihasilkan. Oleh karena itu, program pembersihan dan sanitasi pada perlatan tersebut perlu lebih diefektifkan untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran adonan mi yang lengket pada alat dan menjaga agar kondisi bagian peralatan yang kontak dengan produk pangan tetap bersih dan higienis. Menurut Winarno (2002), prosedur pembersihan peralatan dapat meliputi tahapan perendaman atau penggosokan, pencucian dengan air bersih, pembilasan dengan pembersih seperti deterjen atau sabun, pengecekan secara visual untuk memastikan bahwa permukaan alat sudah bersih, penggunaan desinfektan untuk membunuh mikroba, dan pembersihan akhir untuk membilas
desinfektan
serta
pembilasan
kering
untuk
mengeringkan
desinfektan tanpa dilap. Pembersihan peralatan yang terbuat dari bahan stainless steel dapat digunakan larutan pembersih deterjen alkali non ionik, dan desinfektan yang antara lain : hipoklorit, yodophor, dan klorin organik (Jenie, 1998).
86
Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan standar prosedur operasi sanitasi atau sanitation standard operating procedure (SSOP) secara ringkas di perusahaan PT Kuala Pangan dapat dilihat pada Tabel 19, sedang hal-hal yang perlu dimonitor, tindakan koreksi dan rekaman SSOP dapat dilihat pada Tabel 20. Sanitation standard operating procedure (SSOP) ini akan memberikan manfaat bagi unit usaha perusahaan PT Kuala Pangan dalam menjamin sistem keamanan produksi pangannya, antara lain : (a) Memberi jadwal pada prosedur sanitasi, (b) Memberikan landasan program monitoring berkesinambungan, (c) Menjamin setiap personil mengerti sanitasi, (d) Memberikan sarana pelatihan yang konsisten bagi personil, (e) Mendorong perencanaan yang menjamin dilakukan koreksi bila diperlukan, (f) Mengidentifikasi kecenderungan dan mencegah kembali terjadinya masalah, dan (g) Membawa peningkatan praktek sanitasi dan kondisi yang saniter di unit usaha.
87
Tabel 19. Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan sanitation standard operating procedure (SSOP) di perusahaan. No Kunci Persyaratan Sanitasi 1. Keamanan air
2
Deskripsi Pelaksanaan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) - Air yang digunakan pada proses produksi terbagi menjadi dua, yaitu air bersih yang digunakan pada pencucian alat-alat produksi dan air minum untuk produksi ; - Air bersih digunakan untuk keperluan sanitasi, pencucian peralatan, dan mandi cuci kakus (MCK), sedang air minum untuk produksi harus diolah (treatment) terlebih dahulu dengan SOP(Standar Prosedur Operasi) dan IK (Instruksi Kerja) yang ditetapkan perusahaan sehingga dapat menghasilkan air yang memenuhi persyaratan mutu sesuai dengan PerMen Kes No. 907/MenKes/SK/VII/2002 ; - Mutu produk air untuk produksi dilakukan pengujian oleh bagian QC dan teknik; - Air yang memenuhi standar, selanjutnya disimpan dan ditampung pada storage tank dan diset secara otomatis agar siap digunakan untuk proses produksi ;
Kondisi dan ke- - Semua peralatan yang kontak dengan makanan/produk akhir terbuat dari bahan yang bersifat inert (stainless steel). Hal ini bertujuan untuk mencegah cemaran bersihan permufisik dari korosi logam peralatan produksi ; kaan yang kontak Proses pembersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan terdiri dari dengan bahan pembersihan clean in place (CIP) dan pembersihan untuk kemasan yang pangan digunakan untuk produk akhir ; - Penggunaan seragam produksi dipakai setiap hari dan diganti seminggu dua kali dan dijaga kebersihannya oleh masing-masing karyawan ; Perusahaan menyediakan sarung tangan dan penutup mulut di bagian kemasan primer ; - Pembersihan peralatan produksi yang digunakan sesuai dengan SOP dan IK Instruksi Kerja) yang ditetapkan perusahaan, yang meliputi : penyemprotan air biasa pada seluruh permukaan yang kontak dan bersihkan sampai kotorannya hilang, gosok permukaan alat dengan larutan Duboa 1%, semprotkan air panas ke permukaan alat dan kemudian dikeringkan ; - Proses pembersihan clean in place dilakukan pada vessel mixing dengan kapasitas lebih dari 500 kg. Prosedur pembersihannya dengan cara menyemprotkan bagian dalam vessel dengan air panas (65oC). Jika bagian vessel masih bau, maka dilakukan pembersihan dengan larutan sabun.
Tindakan koreksi
Rekaman
-
- Hasil pemeriksaan mutu air untuk produksi disimpan di bagian QC dan teknik - Hasil pengujian mutu air untuk produksi eksternal disimpan di bagian QC - Monitoring hasil sanitasi permukaan disimpan di bagian QC
Bila air yang diproses untuk keperluan produksi belum memenuhi standar mutu, maka akan dilakukan proses ulang - Air yang digunakan untuk produksi dilakukan pengujian secara eksternal setiap 6 bulan sekali - Agar kegiatan sanitasi berjalan efektif, maka berhentikan/stop operasi dan bersihkan serta disanitasi - Bila perlu karyawan diistirahatkan
- Monitoring terhadap karyawan disimpan di bagian QC
88
Tabel 19. Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan sanitation standard operating procedure (SSOP) di perusahaan (Lanjutan). No Kunci Persyaratan Sanitasi 3. Pencegahan Kontaminasi Silang
4
Menjaga Fasilitas Pencuci Tangan, Sanitasi dan Toilet
Deskripsi Pelaksanaan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)
Tindakan koreksi
Rekaman
- Pencegahan kontaminasi silang dilakukan mulai dari bahan baku, bahan pembantu dan bahan tambahan pangan yang baru masuk sampai penyimpanan produk akhir. Bahan baku dan bahan pembantu yang berada di ruang gudang penyimpanan kondisi kemasannya ada yang bersih, kotor dan berdebu ; - Pencegahan kontaminasi silang pada saat produksi dilakukan dengan cara pemeriksaan bagian dalam vessel atau alat produksi sebelum digunakan untuk proses produksi sesuai dengan SOP dan IK yang ditetapkan perusahaan ; - Bagian dalam vessel atau alat produksi harus bebas dari kotoran dan cemaran fisik agar tidak mengkontaminasi produk akhir pada saat proses produksi ; - Setelah dikemas primer dengan plastik jenis PP dan kemasan sekunder kotak karton harus ditutup dan disegel (diseal) dengan rapat untuk mencegah kontaminasi dari cemaran fisik, mikroba dan zat lain ; - Selama proses produksi, personil harus bekerja sesuai dengan prosedur GMP, menggunakan seragam dan sepatu yang sesuai GMP, penggunaan sarung tangan dan tutup mulut/kepala ; - Pemeliharaan fasilitas sanitasi terdiri kegiatan sanitasi di ruang produksi, gudang penyimpanan, ruang karantina dan ruang MCK. Kegiatan sanitasi di ruang produksi secara umum dilakukan dua minggu sekali pada saat hari libur kerja. Kegiatannya meliputi pembersihan lantai, membersihkan bagian luar vessel, tangki penampungan, dan bagian dinding yang dapat dijangkau ; Kegiatan sanitasi rutin di ruang produksi dilakukan oleh personil produksi, sedang kegiatan sanitasi bulanan dilakukan oleh personil QC dan maintenance ; - Kegiatan sanitasi di ruang gudang dan karantina dilakukan satu minggu sekali. Kegiatannya meliputi pembersihan lantai, dinding, pallet penyimpanan bahan baku dan produk akhir, dan pintu. Pembersihan lantai ruang produksi dan gudang menggunakan sabun deterjen untuk lantai, yaitu Drathon 10 dengan dosis 660 ml per 3400 ml air. - Kegiatan sanitasi di ruang MCK dilakukan setiap hari kerja. Kegiatannya meliputi pembersihan toilet, kamar mandi, dan tempat cuci tangan. Fasilitas cuci tangan terdiri dari air yang mengalir, tetapi kadang-kadang tidak ada sabun cair dan lap pengeringnya.
- Bila ada masalah produksi, stop produksi dan tahan produk yang dihasilkan - Karyawan diperingatkan dan perlu dilatih kembali bila melakukan praktek tidak sesuai dengan SOP; - Evaluasi keamanan produk yang dihasilkan
- Hasil pemeriksaan dan monitoring pembersihan disimpan di bagian QC; - Hasil pemeriksaan dan monitoring karyawan disimpan di bagian QC;
- Cek fasilitas cuci tangan dan toilet dan inspeksi di lapangan dan bila ada kerusakan segera diperbaiki - Karyawan diperingatkan dan perlu dilatih kembali bila melakukan praktek tidak sesuai dengan SOP; - Evaluasi keamanan produk yang dihasilkan -
- Hasil pemeriksaan dan monitoring program sanitasi disimpan di bagian QC; - Hasil pemeriksaan dan monitoring karyawan disimpan di bagian QC;
89
Tabel 19. Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan sanitation standard operating procedure (SSOP) di perusahaan (Lanjutan). No Kunci Persyaratan Sanitasi 5. Proteksi dari bahan-bahan kontaminan
6
Deskripsi Pelaksanaan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) - Bahan-bahan non-pangan atau bahan-bahan kimia yang digunakan selama pengolahan seperti larutan klorin pekat, deterjen/sabun cair, larutan Drathon, larutan Duboa 1% dan pelumas disimpan di gudang penyimpanan khusus di luar area pengolahan dan penggunaannya harus sesuai dengan SOP dan IK yang ditetapkan perusahaan. - Wadah larutan kimia di dalam area pengolahan ditempatkan di pojok ruangan yang jauh dari produk dan pekerja ; jika terjadi terjadi kontaminasi bahan nonpangan/kimia seperti sabun, maka pekerja wajib melaporkannya kepada supervisor. Supervisor akan meneruskan informasi kepada kepala bagian produksi dan produk akan disingkirkan/dipisah ; - Senyawa toksik disimpan dalam wadah berlabel yang juga disertai dengan tanggal penerimaan produk ;
Tindakan koreksi
Rekaman
-
- Catatan hasil pemeriksaan dan monitoring penggunaan bahan kimia disimpan di bagian QC; - Catatan tindakan koreksi dari pemeriksaan dan evaluasi disimpan di bagian QC - Hasil pemeriksaan dan monitoring kegiatan pelabelan dan penyimpanan disimpan di bagian QC; - Hasil pemeriksaan dan monitoring penggunaan bahan kimia disimpan di bagian QC;
Bila ada bahan pengkontaminan, hilangkan bahan tersebut dari permukaan Menghindarkan lingkungan ruang produksi dari adanya genangan air ; - Memindahkan bahan toksik tidak berlabel dengan benar.
- Setiap kemasan yang berisi produk akhir harus mempunyai label yang - Bila ada/terjadi Pelabelan, memberikan informasi mengenai karakteristik dari produk akhir yang dikemas; pelabelan yang sapenyimpanan, Informasi label terdiri atas : nama produk, bobot netto, kode produksi, lah, produksi dihendan penggunaan tikan, pisahkan prokadaluwarsa, dan cara penggunaan produk ; bahan toksin yang - Penyimpanan produk akhir mi kering diletakkan terpisah dengan bahan baku duk yang salah ; benar utama, bahan pembantu lain, bahan tambahan pangan dan produk yang cacat; sedang penyimpanan bahan yang sensitif terhadap suhu disimpan di ruang sensitive room ; - Sistem yang digunakan dalam penyimpanan adalah prinsip FIFO (First In First Out), yaitu produk akhir yang production date atau lotnya lebih lama dikeluarkan terlebih dahulu dibandingkan lot yang baru ; - Semua kegiatan pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan kimia/toksik menggunakan SOP dan IK yang sudah ditetapkan perusahaan.
-
Karyawan diperingatkan dan perlu dilatih kembali bila melakukan praktek tidak sesuai dengan SOP;
90
Tabel 19. Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan sanitation standard operating procedure (SSOP) di perusahaan (Lanjutan). No Kunci Persyaratan Sanitasi 7. Pengawasan Kondisi Kesehatan personil
8.
Deskripsi Pelaksanaan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)
Tindakan koreksi
Rekaman
- Kontrol kondisi kesehatan karyawan/personil terutama di bagian produksi kurang dimanfaatkan/diperhatikan oleh karyawan yang bersangkutan, meskipun perusahaan telah menyediakan fasilitas klinik dan dokter serta perawat kesehatan ; - Pengawasan kesehatan karyawan di perusahaan perlu lebih diintensifkan meskipun perusahaan telah mempunyai SOP dan IK (Instruksi Kerja) yang sudah ditetapkan perusahaan ; - Efektivitas pemantauan kesehatan karyawan sebaiknya perlu dikaji ulang oleh pihak perusahaan atau manajemen, sehingga diperlukan adanya aksi tindak koreksi yang tepat.
- Bila ada karyawan yang terkena penya-kit diistirahatkan dan tidak diperkenankan ke ruang produksi ; - Lakukan pemantauan karyawan dengan lebih ketat.
- Catatan hasil pemeriksaan dan monitoring terhadap karyawan yang menderita sakit disimpan di bagian HRD
Menghilangkan - Hama yang terdapat di kawasan PT Kuala Pangan terdiri dari serangga (lalat, kecoa, - Perusahaan perlu - Hasil pemepro- riksaan dan laba-laba, nyamuk, dan lain-lain), burung dan tikus. Penanganan hama serangga menetapkan pest dari Unit gram pest control ; monitoring seperti lalat, nyamuk dan serangga lain dilakukan dengan memasang insecta trap. pengolahan Lampu insecta trap diletakkan di luar ruang produksi/gudang dan dikontrol setiap satu bulan sekali. - Di ruang produksi dipasang lem perangkap lalat. Lem perangkap lalat juga dipsang di dekat pintu masuk ruang produksi. Adanya lalat atau serangga di dalam ruang produksi dikontrol oleh personil produksi sebelum aktivitas produksi. - Pencegahan binatang lain seperti burung dilakukan dengan cara memasang kawat kassa di ventilasi ruangan atau pintu trap plastik pada pintu ruang gudang, dan ruang produksi ;
- Perlu dibuat denah penempatan program pest control di seluruh pabrik
kegiatan pest control disimpan di bagian QC; - Hasil tindakan koreksi pemeriksaan dan monitoring pest control disimpan di bagian QC;
91
Tabel 20. Pemantauan pada program Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) di perusahaan No. 1
2
3
Kunci Persyaratan Sanitasi Keamanan air
Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan
Pencegahan kontaminasi silang
Apa
Hal-hal Yang Perlu Dimonitor pada Program SSOP Dimana Bagaimana Kapan
Menjaga fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet
Rekaman
- Bila belum memenuhi standar, lakukan proses ulang - Perbaiki instalasi yang memungkinkan kontaminasi - Stop operasi, dibersihkan dan disanitasi
- Monitoring kualitas air
- Kualitas air
- Unit treatment air - Outlet
- Cek kualitas air
- Sebelum operasi
- Instalasi plumbing
- Instalasi dan outlet plumbing
- Inspeksi jaringan
- Saat akan instalasi & modifikasi
- Permukaan harus bersih - Permukaan disanitasi - Sarung tangan dan pakaian harus bersih - Kebiasaan karyawan
- Line produksi
- Inspeksi secara visual
- Setiap sebelum operasi dan setiap 4 jam sekali
- Bagian QC
- Karyawan
- Inspeksi terhadap karyawan
- Bagian QC
- Istirahatkan karyawan
- Line produksi - Karyawan - Toilet daan wastafel - Gudang penyimpanan
- Cek bahan konsentrasi sanitaiser - Cek fasilitas pencuci tangan dan toilet - Inspeksi di lapangan - Inspeksi karyawan - Cek fasilitas pencuci tangan dan toilet - Inspeksi ke lapangan - Cek bahan konsentrasi sanitaiser
- Setiap sebelum operasi dan setiap 4 jam - Setiap sebelum operasi dan setiap 4 jam sekali
- Bagian QC - Supervisor produksi
- Setiap sebelum operasi dan setiap 4 jam sekali
- Petugas kebersihan
- Sebelum operasi, dan setiap 4 jam sekali - Sebelum operasi dan setiap 4 jam sekali
- Bagian QC
- Stop produk dan tahan produk yang dihasilkan - Peringatkan dan latih kembali karyawan - Evaluasi keamanan produk, untuk didisposisi, direproses atau dimusnahkan Perbaiki dan laporkan bila ada kerusakan - Peringatkan pelaksana dan latih kembali
- Desain ruang untuk bahan baku dan produk jadi
4
Tindakan koreksi Siapa
- Fasilitas cuci tangan - Fasilitas toilet - Fasilitas sanitasi
- Tempat cuci tangan - Tempat toilet - Bagian sanitasi
- Bagian QC - Operator water treatment - Bagian QC
- Inspeksi instalasi plumbing - Monitoring permukaan yang kontak dengan pangan - Monitoring terhadap karyawan - Monitoring karyawan - Monitoring pembersihan - Monitoring tata letak produk dalam ruangan
- Monitoring harian sanitasi - Tindakan koreksi yang dilakukan
92
Tabel 20. Pemantauan pada program Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) di perusahaan (Lanjutan) No. 5
Kunci Persyaratan Sanitasi Proteksi dari bahanbahan kontaminan
Apa
Hal-hal Yang Perlu Dimonitor pada Program SSOP Dimana Bagaimana Kapan
- Bahan yang berpotensi untuk mengkontaminasi
- Produk pangan - Bahan pengemas - Permukaan yang kontak langsung dengan pangan
6
7
8
- Cek bahan dan akses personil/ karyawan - Inspeksi secara visual
- Sebelum operasi, dan setiap 3 jam sekali - Sebelum operasi, dan setiap 4 jam sekali
- Bagian QC - Dibantu oleh bagian produksi
Pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan bahan toksin yang benar
- Pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan bahan
- Tempat/ruang penyimpanan
- Cek pelabelan
- Satu kali setiap hari
- Bagian QC
- Tempat penerapan /aplikasi
- Cek cara aplikasinya
- Satu kali per hari
- Bagian QC
Pengawasan kondisi kesehatan personil
- Karyawan dengan tandatanda penyakit/ luka
- Karyawan yang masuk ruang kerja - Pada saat sedang bekerja
- Lakukan inspeksi terhadap karyawan/ pelaksana
- Sebelum operasi dan setiap 4 jam sekali
- Bagian QC - Supervisor produksi
- Seluruh ruangan produksi dan lingkungan pabrik
- Cek dan inspeksi ke lapang
Menghilangkan pest dari unit pengolahan
- Pest di ruang produksi dan gudang
Tindakan koreksi
Rekaman
- Hilangkan bahan kontaminan dari permukaan - Hindari adanya genangan air di dalam ruang produksi
- Monitoring/ pemantauan
- Pindahkan bahan toksin tidak berlabel dengan benar - Peringatkan karyawan dan latih kembali - Stop produksi, dan recall produk yang terkena - Stop produk dan tahan produk yang dihasilkan
- Monitoring/ pemantauan
Siapa
- Tindakan koreksi
- Tindakan koreksi
- Monitoring kesehatan karyawan - Tindakan koreksi
- Dua kali (2x) setiap hari
- Bagian QC dibantu bagian produksi
- Tetapkan program pest control dengan baik - Tetapkan tempat/ denah penempatannya
- Monitoring pest control - Tindakan koreksi yang dilakukan
93
B. PENYUSUNAN RENCANA HACCP (HACCP PLAN) UNTUK PRODUKSI MI KERING PADA PT KUALA PANGAN
Penyusunan rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi mi kering pada PT Kuala Pangan mengacu kepada Codex guidelines dan tujuh prinsip HACCP yang telah diadopsi dan dituangkan dalam acuan (standar) SNI.01.4852-1998 tentang Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (BSN, 1998) serta Pedoman penerapannya yaitu Pedoman BSN 1004 : 2002 (BSN, 2002). Rencana HACCP pada perusahaan ini diintegrasikan ke dalam prosedur dan instruksi kerja yang akan memudahkan karyawan (personil yang terlibat) dalam melaksanakannya. Penyusunan dan pengembangan rencana HACCP dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : 1. Melakukan Pelatihan Sistem HACCP Pelatihan sistem HACCP pada perusahaan PT Kuala Pangan diperuntukkan bagi seluruh karyawan dan pihak manajemen yang akan terlibat dalam mengelola sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP di perusahaan yang bersangkutan. Pelatihan terhadap sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam proses produksi mi kering di perusahaan tersebut bertujuan : (1) Memberdayakan perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan dalam menghadapi era globalisasi, kompetisi dengan perusahaan yang sejenis dan meraih sertifikat jaminan keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP; (2) Meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan keahlian personil yang terlibat dalam mengerjakan dan mengelola perusahaan yang menghasilkan produk mi kering; (3) Meningkatkan kemampuan personil dalam pemahaman
dan
penerapan
sistem keamanan
pangan
yang
mencakup
good
manufacturing practice (GMP), standard operating procedure (SOP), sanitasi dan higiene, sistem manajemen mutu dan HACCP; dan (4) Meningkatkan kesadaran, sikap (attitude) dan tanggung jawab personil perusahaan dalam menerapkan persyaratan dasar sistem HACCP khususnya GMP dan sanitation standard operating procedure (SSOP) di perusahaan. Hal ini disebabkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam pengolahan pangan untuk memproduksi mi kering, sangat berperan dalam membantu kesuksesan perusahaan industri pangan tersebut guna menghasilkan produk mi kering yang aman dikonsumsi memerlukan pengetahuan, ketrampilan, keahlian dan tanggung
94
jawab (komitmen) yang tinggi SDM yang mengerjakan dan mengelolanya. Tingkat pengetahuan, ketrampilan, keahlian dan tanggung jawab yang tinggi mutlak diperlukan, karena industri pengolahan pangan untuk menghasilkan produk mi kering ini adalah industri yang perlu penanganan secara hati-hati. Menurut Maryon (1998) dikatakan bahwa pendidikan dan pelatihan terhadap sumber daya manusia yang terlibat dalam sistem industri pangan merupakan kunci terbaik untuk menghasilkan produk pangan yang aman bagi perusahaan industri pangan. Oleh karena itu, program pelatihan pada perusahaan industri pangan di PT Kuala Pangan ini diharapkan mampu meningkatkan SDM yang terlibat dalam mengerjakan dan mengelola industri pangan tersebut, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja perusahaan PT Kuala Pangan di bidang mutu dan keamanan pangan. Disamping itu, dengan pelatihan ini diharapkan SDM yang terlibat dalam sistem industri pangan menyadari tidak harus mengerti apa yang harus dikerjakan untuk menjamin keamanan pangan produk mi kering yang dihasilkan, tetapi juga harus memahami mengapa mereka harus melaksanakan tugas khusus yang dibebankan kepada mereka (MFSCNPA, 1992). Pelatihan sistem HACCP di perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan diikuti oleh karyawan (dari tingkat line operator, supervisor/kepala regu, kepala bagian) dan manajemen perusahaan yang berjumlah sekitar 30 orang dan dilakukan selama 4 hari dengan cara inhouse training di PT Kuala Pangan Citeureup, Bogor dari tanggal 13 sampai dengan 16 bulan Nopember tahun 2007. Materi yang diajarkan dalam pelatihan ini terdiri dari 7 (delapan) topik yang disampaikan dalam 32 jam pelajaran (jp) dan setiap jam pelajaran dengan waktu 45 menit selama 4 hari dengan rincian sebagai berikut (Tabel 21). Sedang contoh soal untuk evaluasi dan mengetahui tingkat pemahaman peserta pelatihan dapat dilihat di halaman Lampiran 3. Tabel 21. Materi Yang Diajarkan dalam Pelatihan Sistem HACCP di PT Kuala Pangan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Topik pelatihan/pengajaran Pengantar sistem pengendalian keamanan pangan Sanitasi dan higiene dalam industri pangan Good manufacturing practice (GMP) Prinsip sistem HACCP Implementasi sistem HACCP dalam industri pangan Dokumentasi GMP dan sistem HACCP Workshop penyusunan rencana HACCP (HACCP Plan)
Jumlah jam pelajaran (jp); 1 jp = 45 menit 2 2 3 3 3 3 16
95
Hasil evaluasi penilaian tingkat pengertian dan pemahaman peserta pelatihan sistem HACCP di perusahaan sebelum dan sesudah pelatihan dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Hasil evaluasi penilaian tingkat pengertian dan pemahaman peserta (Sebelum dan setelah pelatihan) Tingkat Pemahaman Peserta Pelatihan No.
Jabatan/kedudukan peserta pelatihan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Sebelum Pelatihan SB B C K
Manajer produksi 1 Manajer teknik & maintenance 1 Kepala Bagian QC 1 Supervisor produksi 2 3 Ketua kelompok/regu produksi 2 3 Kepala Gudang 1 2 Operator produksi 12 Staf bagian QC/laboratorium 2 Jumlah peserta 1 9 20 Keterangan : SB = Sangat Baik (Nilai lebih besar atau sama dengan 80) B = Baik (Nilai lebih besar atau sama dengan 70) C = Cukup (Nilai lebih besar atau sama dengan 60) K = Kurang (Nilai lebih kecil dari 60).
Setelah Pelatihan SB B C K
1 1
1 1 2 2 1 1 2 10
3 3 2 11 19
-
Dari Tabel 22 tersebut dapat dilihat bahwa berdasarkan hasil evaluasi penilaian, tingkat pengertian dan pemahaman peserta setelah mendapat pelatihan menunjukkan tingkat pengertian dan pemahamannya sangat baik ada 1 orang, baik berjumlah 10 orang dan cukup 19 orang. Dari Tabel 22 di atas juga terungkap bahwa peserta pelatihan, baik yang berasal dari tingkat manajer dan kepala bagian QC dan staf bagian QC yang pernah mendapat pelatihan sebelum pelatihan sistem manajemen keamanan pangan ini dilkukan, lebih meningkat lagi tingkat pengertian dan pemahamannya. Dengan demikian dapat dikatakan ada dampak positif terhadap sumber daya manusia pada perusahaan PT Kuala Pangan. Hal ini mendukung hasil penelitian/kajian yang dilakukan oleh Manning (1994) dan Howes et al (1996) yang menyatakan bahwa salah satu dampak positif adanya pelatihan sistem keamanan pangan termasuk sistem HACCP adalah meningkatnya tingkat pengetahuan, pengertian dan pemahaman SDM yang terlibat dalam sistem industri pangan.
96
2. Menetapkan Kebijakan Mutu dan Keamanan Pangan Yang Berhubungan Dengan HACCP Plan Kebijakan mutu dan keamanan pangan merupakan pernyataan yang diungkapkan oleh pimpinan tertinggi atau manajemen puncak suatu organisasi yang berupa janji atau komitmen sebagai upaya untuk melaksanakan dan menegakkan serta memelihara standar mutu yang tinggi (BSN, 2002). Pimpinan tertinggi yang bertanggung jawab terhadap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan prosedur HACCP di PT Kuala Pangan dijabat oleh Direktur. Komitmen manajemen puncak ini juga menjadi salah satu unsur dalam pedoman penerapan sistem HACCP (Thaheer, 2005). Pernyataan kebijakan mutu dan keamanan pangan perusahaan adalah sebagai berikut : (a) ”kami menetapkan bahwa mutu dan keamanan produk menjadi prioritas utama dalam sistem produksi, sistem manajemen mutu maupun pola pikir dalam sistem usaha secara keseluruhan dalam jangka pendek maupun jangka panjang”, (b) ”kami menghasilkan produk dan layanan yang aman dan bermutu tinggi sesuai dengan sistem HACCP yang memenuhi standar nasional ataupun internasional”, dan (c) ”kami berupaya secara terus menerus dan konsisten melakukan penegakan keamanan pangan dan perbaikan sistem manajemen”. Konsekuensi dari komitmen perusahaan PT Kuala Pangan tersebut adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pembiayaan dan investasi terhadap suatu fasilitas yang dianggap penting dalam pelaksanaan sistem HACCP akan segera ditanggapi oleh manajemen puncak PT Kuala Pangan. Misalnya biaya yang diperlukan untuk pelatihan tim HACCP dan karyawan perusahaan yang akan mendukung dalam penerapan sistem HACCP, biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki fasilitas sanitasi dan higiene (urinoir, toilet/wc, wastafel) yang sudah dimiliki perusahaan dan perlu adanya perbaikan, biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk pembelian bak sampah sebagai sarana pendukung pengelolaan sampah, adanya perjanjian dalam bentuk kontrak kerja sama dengan pihak lain dalam penanganan pengendalian hama (pest control), biaya yang dikeluarkan pembuatan manual dokumen rencana HACCP serta biaya yang perlu dikeluarkan untuk melatih internal auditor sistem HACCP di perusahaan. Bahkan komitmen tersebut harus dijaga terus secara konsisten oleh perusahaan setelah perusahaan mendapat sertifikat HACCP, karena dalam sistem HACCP berlaku pula filosofi adanya perbaikan yang berkelanjutan.
97
3. Pembentukan Tim HACCP (Langkah Ke-1) Tim HACCP diharapkan merupakan tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu yang mengembangkan, mengimplementasikan dan memelihara sistem HACCP. Anggota tim HACCP yang baik dan lengkap membutuhkan pengetahuan dan keahlian/kepakaran tentang seluruh alur proses produksi, dimulai dari bahan baku, proses produksi, bahaya yang mungkin timbul, dan produk akhir yang dihasilkan sampai pada pengiriman dan pendistribusiannya. Pembentukan Tim HACCP disusun berdasarkan struktur organisasi yang sudah ada dalam badan usaha perusahaan PT Kuala Pangan sehingga legalitas dari tim ini dapat dipertanggung-jawabkan. Pimpinan puncak/tertinggi secara formal organisasi adalah orang yang memiliki wewenang tertinggi dalam pengendalian perusahaan. Berkaiatn dengan pelaksanaan kebijakan penerapan sistem manajemen HACCP, pimpinan puncak memberikan mandatnya kepada wakil manajemen (Ketua/Koordinator Tim HACCP) untuk melaksanakan aktivitas persiapan sertifikasi dan pemantauan dalam penerapannya. Organisasi Tim HACCP di PT Kuala Pangan terdiri dari : Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan Anggota Tim HACCP. Struktur organisasi tim HACCP di perusahaan PT Kuala Pangan dan uraian tugasnya dapat dilihat pada Tabel 23 dan 24. Tabel 23. Struktur Organisasi Tim HACCP di Perusahaan PT Kuala Pangan No.
Nama Personil
Kedudukan di Tim HACCP
Pendidikan
Jabatan di Perusahaan
Kompetensi Personil
1.
Abie Suhendra
Ketua tim
S-1 Kimia
Teknik
Manajer Produksi
2.
Dede Sundjaja
Wakil Ketua
S-1 Mesin
Teknik
Manajer Teknik Maintenance
3.
Mulyanti Rustella
Sekretaris
Sarjana AKA
Muda
Kepala Bagian QC
4.
Sony Irawan
Anggota
Muda
Supervisor QC
5.
Akim
Anggota
Sarjana AKA STM
6. 7. 8.
Anggota Anggota Anggota
STM SAKMA STM
9. 10. 11.
Aden Nurlela Thomas Kartolo Endang Usman Benny Subandy Tipto
Anggota Anggota Anggota
SAKMA STM STM
Operator bagian produksi Staf bagian QC Kepala Regu di bagian produksi Staf bagian QC Supervisor Produksi Kepala gudang
12.
Samyuli
Anggota
STM
Staf Bagian Maintenance
dan
Operator bagian produksi
Di bidang proses dan analisis pangan, pengalaman kerja 20 tahun, pernah training sistem HACCP Di bidang proses dan pemeliharaan mesin, pengalaman kerja 5 tahun, pernah ikut pelatihan sistem HACCP Di bidang analisis fisik dan kimia pangan, pengalaman kerja 3 tahun, Pelatihan internal sistem HACCP Analisis fisik dan kimia, kalibrator, pelatihan internal HACCP Operasi mesin-mesin proses produksi, pelatihan internal HACCP Operasi mesin-mesin proses produksi Di bidang sanitasi Proses dan mesin, pelatihan internal sistem HACCP Pengujian bahan baku Proses dan mesin Pengendali gudang, pelatihan internal HACCP Perawatan mesin
98
Tabel 24. Uraian Tugas Tim HACCP di Perusahaan PT Kuala Pangan No.
Jabatan
1.
Ketua Tim HACCP
2.
Wakil Ketua
3.
Sekretaris
4.
Anggota
Uraian Tugas Tim HACCP - Menyiapkan, membuat dan mengesahkan dokumen manual HACCP - Menjamin dan bertanggung jawab penuh atas penerapan sistem HACCP di dalam organisasi secara meneyeluruh - Memberikan program pelatihan kepada semua karyawan - melakukan verifikasi/audit secara berkala terhadap sistem HACCP dan tindakan perbaikan serta perubahan yang diperlukan - Mengadakan dan memimpin rapat tim HACCP secara berkala - Melakukan dan menjaga hubungan dengan pihak konsultan HACCP dan LSSM HACCP - Membantu Ketua tim HACCP dalam menjalankan tugas penerapan sistem HACCP - Menjalankan tugas dan fungsi ketua, jika yang bersangkutan berhalangan - Membantu Ketua tim dalam program pelatihan sistem HACCP terhadap karyawan perusahaan - Memberikan program pelatihan kepada karyawanh harian terhadap penerapan sistem HACCP - Memberikan masukan, usulan perbaikan sistem HACCP kepada Ketua tim sehingga terjadi peningkatan mutu atas sistem HACCP - Membantu Ketua tim HACCP dalam program pelatihan, penerapan dan perbaikan sistem HACCP di dalam perusahaan - Menyiapkan dan membuat dokumen manual HACCP - Mengendalikan, mendistribusikan dokumen HACCP dan menjamin bahwa setiap unit menerima dokumen HACCP yang benar dan terbaru - Menyimpan semua rekaman dokumen, catatan dan data terhadap semua dokmen HACCP dengan baik dan rapi - Melakukan revisi terhadap dokumen sesuai dengan perubahan yang telah ditetapkan dan mendistribusikan dokumen yang baru serta menarik dokumen yang lama - Memusnahkan dokumen yang sudah tidak terpakai atau yang sudah melewati masa simpan dokumen - Membantu persiapan dan pembuatan dokumen manual sistem HACCP - Memberikan masukan, usulan perbaikan sistem HACCP sehingga terjadi peningkatan mutu atas sistem HACCP - Menjadi fungsi kontrol dalam pelaksanaan sistem HACCP di dalam lingkungan unit masing-masing
Dari struktur organisasi tim HACCP dan kompetensi personil yang termasuk dalam tim HACCP tersebut terlihat belum terdapat personil yang kompeten di bidang mikrobiologi dan personil yang berlatar belakang pendidikan di bidang ilmu dan teknologi pangan, serta personil yang kompeten sebagai internal auditor untuk melakukan program audit sistem HACCP di perusahaan. Oleh karena itu, PT Kuala Pangan sebagai industri atau perusahaan yang menerapkan sistem HACCP harus menyediakan sumber daya manusia (SDM) dengan kompetensi yang sesuai untuk mendukung sistem HACCP tersebut. Bila perusahaan PT Kuala Pangan tidak memiliki SDM dengan kompetensi yang sesuai dan dibutuhkan perusahaan, maka direkomendasikan dapat menggunakan/ memanfaatkan jasa konsultan dari luar perusahaan yang ahli di bidangnya dan pengalaman dalam mengembangkan sistem HACCP.
99
Ruang lingkup dalam penyusunan dan pengembangan rancangan HACCP (HACCP Plan) ini adalah produksi mi kering. Mi kering ini merupakan produk yang berbentuk padat, kering bebentuk khas mi dan dibuat dari bahan baku tepung terigu, garam, tepung telur, air, dan bahan tambahan pangan (BTP) yang terdiri dari natrium karbonat dan kalium karbonat serta bahan pewarna tartrazin. Prosedur untuk rencana HACCP atau HACCP Plan meliputi seluruh proses produksi, mulai dari penerimaan bahan baku sampai dengan penyimpanan sementara produk akhir di gudang penyimpanan dan pendistribusiannya. Bahaya biologi (mikrobiologi) untuk produk mi kering yang mungkin timbul adalah E. coli, coliform, Salmonella, Staphylococcus dan kapang, tetapi karena dalam proses produksinya menggunakan pemanasan dan pengeringan sehingga tidak memungkinkan bahaya biologi tersebut untuk tumbuh. Sedangkan bahan baku yang digunakan juga tidak memungkinkan mikroba untuk tumbuh. Bahaya mikrobiologi yang mungkin terjadi berasal dari tepung telur berupa Salmonella, Staphylococcus dan kapang. Namun bahaya biologi yang berupa bakteri E. coli, Salmonella, Staphylococcus dan kapang akan musnah dan dihilangkan pada saat pemasakan produk mi kering dengan suhu 100oC oleh konsumen sebelum dikonsumsinya. Bahaya kimia dapat berasal dari bahan pembersih (deterjen), bahan pensanitasi (sanitaiser) dan cemaran logam-logam berat yang berasal dari bahan baku tepung terigu dan garam konsumsi beryodium; sedangkan bahaya fisik bukan merupakan suatu bahaya yang potensial.
4. Deskripsi Produk Dan Identifikasi Pengguna (Langkah Ke-2 dan Langkah Ke-3) Deskripsi produk mi kering hasil produski PT Kuala Pangan dan identifikasi penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 25.
100
Tabel 25. Deskripsi Produk Mi Kering produksi PT Kuala Pangan No.
Uraian
1. 2.
Nama produk Deskripsi umum
3. 4.
Komposisi bahan baku dan bahan tambahan lain Karakteristik produk
5.
Metode Pengemasan
6.
Pelabelan
7. 8.
Umur simpan Kondisi penyimpanan
9.
Distribusi
10. 11.
Penjualan Target konsumen
12.
Cara penggunaan
Mi kering Produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan atau penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan (BTP) yang diizinkan, berbentuk khas mi (SNI 01. 2974-1992) Tepung terigu, garam konsumsi beryodium, tepung telur, air, sodium karbonat dan kalium karbonat, serta pewarna tartrazin CI 19140. -Fisik : padat, kering berbentuk khas mi dengan ukuran bobot netto 200 gram, warna kekuningan dengan rasa dan aroma normal, aw 0,81. -Kimia : kadar air 8-10%, kadar protein 8-11%, Tidak mengandung boraks, Kandungan Cemaran logam berat Pb maks. 1,0 (mg/kg), Cu maks, 10,0 (mg/kg), Zn maks. 40,0 (mg/kg), Hg maks. 0,05 (mg/kg), As maks. 0,5 (mg/kg) dan pewarna sesuai dengan SNI.022-M dan Per.Men.Kes. No. 722/MenKes/ Per/ IX/88; -Mikrobiologi : Angka lempeng total maks. 1,0 x 106 koloni/g; E. Coli maks. 10; dan kapang negatif (SNI 01.2974-1992). Dilakukan secara masinal menggunakan mesin pengemas dan manual. Bahan pengemas primer terbuat dari Poli Propilen (PP), sedang pengemas sekunder terbuat dari kotak karton jenis CFB. Nama dan kode produk, nomor lot, bobot netto, komposisi, nama dan alamat perusahaan, tanggal kadaluwarsa, tanggal produksi, kondisi penyimpanan dan petunjuk penggunaannya 1 tahun dalam suhu kamar/suhu ruang biasa. Suhu ruang, tidak terkena cahaya matahari langsung, tempat kering & tidak lembab, tidak berbau. -Menggunakan truk boks tertutup rapat atau truk tertutup rapat (untuk transportasi darat) -Menggunakan container dan kapal (untuk transportasi laut) Dari industri ke distributor dan ekspor ke negara lain Produk dapat dikonsumsi oleh semua orang dan tidak ditujukan secara khusus untuk kelompok populasi tertentu Produk perlu dimasak lebih dahulu sebelum dikonsumsi sesuai petunjuk penggunaan pada label produk
5. Penentuan dan Verifikasi Diagram Alir Proses Produksi (Langkah Ke-4 dan Langkah Ke-5) Diagram alir adalah suatu gambaran yang sistematis dari urutan tahapan atau pelaksanaan pekerjaan yang dipergunakan dalam produksi atau dalam menghasilkan produk pangan tertentu (BSN, 2002). Diagram alir proses produksi dibuat dengan tujuan untuk mempermudah analisis HACCP. Diagram alir proses ini diharapkan dapat membantu mengidentifikasi sumber kontaminasi yang potensial dan upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengendalikan bahaya tersebut. Penentuan diagram alir
101
proses pembuatan produk mi kering di perusahaan dilakukan dengan mencatat seluruh tahapan proses, sejak bahan baku diterima hingga produk siap disimpan sementara dan didistribusikan ke konsumen. Diagram alir proses produksi pembuatan mi kering hasil verifikasi di lapang (on site) dapat dilihat pada Gambar 4.
Penerimaan bahan baku, bahan pembantu dan bahan tambahan pangan
Penyimpanan bahan baku, bahan pembantu dan bahan tambahan pangan
Pengayakan (Khususnya tepung terigu dan garam)
Penimbangan bahan baku , bahan pembantu dan bahan tambahan pangan
Air Air
Pembuatan Larutan Alkali
Pencampuran adonan mi (Mixing)
A
102
A Pembentukan Adonan Menjadi Lembaran dengan Roll Press
Pembentukan/Pencetakan Untaian kembang mi (Slitting)
Uap panas
Pengukusan pada suhu 90-100 oC; selama 1,5-2 menit (Steaming)
Pendinginan Untaian kembang mi dengan kipas angin (Cooling)
Pemotongan Untaian kembang mi (Cutting)
Uap panas
Pengeringan mi dengan oven pada suhu 90-100 oC; selama 25-30 menit (Drying)
Pendinginan mi dalam tunnel dengan kipas angin selama 2-3 menit (Cooling)
Pengemasan primer mi kering dengan plastik jenis PP dan kemasan sekunder kotak karton
Penyimpanan produk mi kering dalam gudang penyimpanan
Pengiriman dan Pendistribusian produk mi kering
Gambar 4. Diagram Alir Proses Produksi Mi kering di PT Kuala Pangan Hasil Verifikasi.
103
Proses produksi atau pembuatan mi kering yang dilakukan di PT Kuala Pangan Citeureup, Bogor meliputi tahap-tahap, sebagai berikut : penerimaan bahan baku dan bahan lain, penyimpanan bahan baku dan bahan lain, pengayakan (khususnya untuk bahan baku tepung terigu dan garam), penimbangan bahan baku dan bahan lain untuk produksi mi, pembuatan larutan alkali, pencampuran adonan mi (mixing), pengepresan dengan roll press, pencetakan untaian pita mi (slitting), pengukusan (steaming), pendinginan (cooling), pemotongan (cutting),
pengeringan dengan oven (drying),
pendinginan (cooling), pengemasan primer (packing) dan sekunder (kartoning), dan penyimpanan di gudang.
a. Penerimaan Bahan Baku dan Bahan Lain Penerimaan bahan baku, bahan pembantu/penolong, bahan tambahan pangan (BTP) dan bahan pengemas merupakan tahap paling awal dalam proses produksi pembuatan mi kering di PT Kuala Pangan. Pada penerimaan bahan-bahan tersebut dilakukan pemeriksaan terhadap bahan-bahan yang diterima untuk setiap kali kedatangan di perusahaan PT Kuala Pangan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan perusahaan. Misalnya untuk tepung terigu dengan spesifikasi : kadar air maksimum 14,5%, kadar protein gluten 8-12%, kadar abu masimum 0,6%, kadar silikat maksimum 0,1%, bau dan rasa normal, dan serangga tidak boleh ada; untuk garam dengan spesifikasi : kadar air maksimum 7%, kadar NaCl 94,4%, warna putih, kadar yodium minimum 30 mg/kg, kadar kalim dan magnesium maksimum 1%; untuk sodium karbonat (Na2CO3) dan potasium karbonat (K2CO3) dengan spesifikasi : kadar air maksimum 3%, kotoran dan benda asing tidak boleh ada, penampakan berbentuk powder dan warna putih, label/segel jelas dan asli, dan kemasan harus baik dan utuh; dan untuk tartrazin CI 19140 dengan spesifikasi : kadar air maksimum 5%, kode produksi CI 19140, kotoran tidak boleh ada, penampakan powder dan berwarna kuning jingga, label dan segel terlihat jelas dan asli serta kemasan dalam kondisi baik dan utuh. Pemeriksaan terhadap bahan-bahan yang diterima di perusahaan dilakukan oleh bagian gudang dan bagian pengendalian mutu (QC) sesuai dengan SOP (standar prosedur operasi) perusahaan. Bila ditemukan adanya bahan-bahan yang tidak sesuai dengan
104
spesifikasi dan COA (certificate of analysis); bahan-bahan yang tidak sesuai tersebut dikembalikan ke pihak pemasok atau supplier.
b. Penyimpanan Bahan Baku dan Bahan Lainnya di Perusahaan Penyimpanan bahan baku dan bahan lainnya di perusahaan merupakan tahap selanjutnya setelah tahapan penerimaan bahan-bahan tersebut. Cara penyimpanan bahan baku, bahan penolong/pembantu, bahan tambahan pangan dan bahan pengemas masingmasing disimpan terpisah satu sama lain di dalam ruang/gudang yang bersih, cukup penerangan, terjamin aliran udaranya, dan pada suhu yang sesuai serta dengan menerapkan prinsip FIFO (first in first out). Setiap bahan baku yang diterima oleh perusahaan disimpan di gudang bahan baku dengan menggunakan fasilitas pallet. Pallet berfungsi sebagai hamparan bahan, menghindari kontak langsung dengan lantai yang lembab, membantu proses sirkulasi udara dan menjaga mutu bahan baku yang akan digunakan untuk proses produksi. Penyimpanan bahan tambahan pangan (BTP) dilakukan sesuai dengan peraturan yang tercantum pada label dan disimpan pada gudang yang berpendingin (dipasang air conditioner) untuk bahan yang sensitif terhadap udara serta untuk menjaga kestabilan bahan. Selain itu, bahan baku, bahan penolong/pembantu dan bahan tambahan pangan tersebut disimpan dengan sistem kartu dengan menyebutkan : nama bahan, tanggal penerimaan, asal bahan, jumlah penerimaan di gudang, tanggal pengeluaran dari gudang, sisa akhir di dalam kemasan/gudang, tanggal pemeriksaan dan hasil pemeriksaan.
c. Pengayakan Pengayakan bahan baku dilakukan untuk menghilangkan cemaran fisik benda padat berupa potongan plastik, benang dan potongan serangga yang mungkin terdapat pada bahan baku, khususnya pada bahan baku tepung terigu dan garam sebelum bahan tersebut dilakukan penimbangan dan diproses lebih lanjut dalam proses pencampuran. Pengayakan bahan-bahan tersebut dilakukan dengan menggunakan alat pengayak yang mempunyai ukuran saringan 200 mesh. Dengan demikan, alat pengayak tersebut dapat berfungsi untuk mengurangi atau mengeliminasi bahaya fisika yang terkandung dalam bahan tepung terigu dan garam sebelum diproses menjadi produk mi kering.
105
d. Penimbangan Bahan Baku dan Bahan Lain Untuk Produksi Mi Penimbangan bahan baku dan bahan lain merupakan tahap awal pembuatan mi. Pada proses ini dilakukan penimbangan bahan-bahan yang digunakan untuk proses pembuatan mi kering seperti tepung terigu, garam dapur (garam konsumsi beryodium), tepung telur, bahan tambahan pangan soda abu (natrium karbonat dan kalium karbonat) dan bahan pewarna tartrazin untuk pembuatan larutan alkali. Selain penimbangan bahanbahan tersebut juga dilakukan pengukuran jumlah volume air yang akan digunakan untuk pembuatan larutan alkali. Penimbangan bahan baku dan bahan lain untuk proses produksi mi kering secara khusus bertujuan untuk menentukan formulasi bahan adonan yang akan dibuat menjadi produk mi kering dan juga untuk mempersiapkan bahan yang akan diproduksi menjadi mi kering berdasarkan perencanaan produksi yang telah ditetapkan di bagian produksi.
e. Pembuatan Larutan Alkali Pembuatan Larutan Alkali bertujuan untuk menghasilkan larutan alkali yang merupakan campuran dari soda natrium karbonat dan kalium karbonat, air, garam, tepung telur dan bahan pewarna tartrazin CI 19140, semuanya dicampur dalam tangki alkali. Alat ini terbuat dari bahan stainless steel dengan bentuk empat persegi panjang. Di bagian dalam alat ini dilengkapi dengan sebuah agitator yang mempunyai 2 buah impeller (baling-baling), yaitu satu buah pada bagian atas dan satu buah lagi di bagian bawah. Baling-baling (impeller) ini berfungsi untuk membantu proses pencampuran agar menjadi lebih merata sehingga diperoleh campuran yang homogen. Operasi alat ini menggunakan energi listrik dengan adanya motor penggerak yang dipasang pada alat tersebut. Spesifikasi tangki alkali yang dipakai di PT Kuala Pangan ini adalah : panjang 120 cm, lebar 120 cm, tinggi 135 cm, kebutuhan ampere 6,6 Amp, kebutuhan daya 1,5 KW, kebutuhan voltage 220 volt, dan kecepatan putar 150 rpm. Larutan alkali berfungsi untuk memberi warna, rasa dan memperkuat struktur mi. Pada pembuatan larutan alkali uji yang dilakukan yaitu uji standar viskositas, pH, penampakan dan pewarna. Viskositas larutan alkali diukur dengan menggunakan viskometer, sedangkan nilai pH diukur dengan menggunakan pH meter. Penampakan larutan alkali berwarna kuning, larutan homogen dan tidak terdapat benda asing.
106
f. Pencampuran Adonan (Mixing) Proses pencampuran adonan (mixing) merupakan proses awal pembuatan mi, yaitu pencampuran dan pengadukan tepung terigu dengan larutan alkali yang dilakukan di dalam mixer. Proses pencampuran bertujuan untuk menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan dari jaringan gluten, sehingga adonan menjadi halus, plastis, elastis dan keadaan adonan tidak pera atau lengket. Hal yang harus diperhatikan dalam proses ini adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan dan waktu pengadukan. Air yang ditambahkan dan digunakan dalam proses pencampuran (mixing) di PT Kuala Pangan adalah sekitar 30-35% dari total bobot tepung terigu; sedang pencampuran adonan dilakukan dan dipertahankan pada pada kisaran suhu 32-35oC serta waktu pengadukan dilakukan selama sekitar 20-25 menit. Suhu tersebut dipertahankan dengan cara memanaskan alat mixer menggunakan pemanasan sistem jacket dengan uap panas. Apabila suhunya kurang dari 32 oC adonan menjadi keras, rapuh dan kasar, sedangkan jika suhunya lebih dari 35oC adonan menjadi lengket dan mi menjadi kurang elastis. Waktu pengadukan dilakukan sekitar 20-25 menit, karena bila waktu pengadukan kurang dari 20 menit adonan menjadi lunak dan lengket, sedangkan bila lebih dari 25 menit adonan menjadi keras, rapuh dan kering. Selama proses pengadukan akan terjadi kenaikan suhu akibat gesekan baling-baling mesin dengan adonan. Kenaikan suhu tersebut berpengaruh terhadap pengembangan dan kelembutan adonan akibat terjadinya penyebaran dan distribusi air dalam tepung.
g. Pengepresan dengan Roll Press Pengepresan dengan roll press bertujuan untuk membentuk adonan menjadi lembaran adonan yang halus dan elastis, menghaluskan serat-serat gluten dan membuat adonan menjadi lembaran. Hal ini dilakukan dengan cara melewatkan adonan berulangulang di antara dua roll logam sampai dicapai ketebalan tertentu sehingga adonan siap dicetak menjadi untaian pita mi. Pembentukan lembaran dengan roll press akan menyebabkan pembentukan serat-serat gluten yang halus, homogen serta mempunyai ketebalan 1,0-1,1 mm. Hal ini akan mempengaruhi mutu mi yang dihasilkan. Agar dapat menghasilkan lembaran yang halus dengan jalur serat yang searah dan lembaran adonan
107
tidak kasar dan pecah-pecah, maka suhu pengepresan dilakukan pada suhu sekitar 35 - 37 o
C dengan menggunakan pemanas dari uap panas yang berasal dari boiler melalaui
saluran uap panas yang mengalir pada alat roll press tersebut. Pengendalian mutu yang dilakukan di PT Kuala Pangan pada proses pengepresan dengan roll press yang paling penting adalah tebal lembar adonan. Menurut Pribadi (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi pengepresan adalah : kerenggangan roll press (standar kerenggangan 1,0-1,2 mm), kebersihan, dan adonan yang tidak standar. Mesin pengepres terdiri dari beberapa buah silinder berpasangan yang berputar berlawanan arah. Pada saat melewati roll press, lembaran akan mengalami peregangan dan mengalami relaksasi saat keluar dari roll press. Semakin renggang roll press, lembaran adonan yang terbentuk akan semakin tebal, sehingga ketebalan untaian mi menjadi tidak standar. Oleh karena itu, Supaya peregangan dan relaksasi berlangsung dengan baik, maka kedudukan roll press harus diatur sedemikian rupa sehingga lembaran adonan merata di seluruh permukaan roll dan seimbang antara roll awal sampai roll akhir. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kebersihan mesin pengepres (pressing) juga sangat berpengaruh terhadap hasil pressing, adanya kotoran selama pengepresan dapat mengganggu jalannya lembaran adonan. Selain itu bila adonan tidak sesuai standar atau adonan terlalu lembek maka akan sulit dipres, sedangkan bila adonan terlalu keras maka menyebabkan adonan retak selama dipres (Pribadi, 2004). Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa adanya kotoran dan tali plastik yang terselip pada roll press berpengaruh terhadap bentuk lembaran adonan yang dihasilkan, yaitu bentuk lembar adonan menjadi tidak rata dan tidak seragam (homogen) sehingga lembaran adonan ini perlu dipisahkan dan diproses kembali dari awal, sedang alat pengepres yang kotor tersebut perlu dibersihkan dulu oleh bagian operator mesin pengepres.
h. Pencetakan Untaian Pita Mi (Slitting) Pencetakan untaian pita mi (slitting) merupakan suatu proses pengubahan lembaran adonan menjadi untaian pita sesuai dengan ukuran yang diinginkan, kemudian siap dibentuk menjadi gelombang mi. Proses slitting dimulai dengan melewatkan lembaran tipis adonan yang keluar dari mesin pengepres ke suatu silinder logam beralur
108
kecil (slitter) yang akan memotong lembaran adonan menjadi untaian mi, selanjutnya untaian mi dilewatkan ke suatu mangkuk slitter berbentuk segi empat. Mangkuk slitter terdiri dari beberapa lajur yang pada setiap lajur menghasilkan 70-80 untaian mi tergantung dari nomor slitter yang digunakan. Tahap selanjutnya dalam proses ini adalah pembentukan untaian mi menjadi untaian mi yang bergelombang. Pembentukan gelombang mi ini terjadi akibat perbedaan kecepatan putaran slitter, waving net conveyor, dan steam box. Untaian mi yang keluar dari slitter dihasilkan dengan kecepatan tinggi dan diterima oleh waving net conveyor yang kecepatannya lebih rendah sehingga terjadi pemadatan untaian. Untaian mi yang menumpuk sangat padat tersebut diterima oleh steam box yang putarannya lebih cepat dari waving net conveyor, tetapi lebih lambat dari slitter sehingga untaian mi yang padat akan sedikit tertarik kembali dan terbentuklah gelombang mi yang rata. Apabila jumlah untaian yang dihasilkan tidak sesuai dengan standar akan berpengaruh terhadap bobot mi yang dihasilkan. Faktor yang mempengaruhi pencetakan adalah kebersihan, dan penyetelan roll slitter dan mangkuk slitter. Adanya kotoran selama dilakukan proses pencetakan dapat mengganggu pembentukan untaian dan gelombang mi serta dapat merusak slitter. Penyetelan roll slitter yang kurang baik akan menyebabkan untaian dan gelombang mi tidak rapi. Semakin sedikit mangkuk slitter maka lajur mi semakin sedikit, jumlah untaian mi tiap lajur makin banyak dan menambah berat mi.
i. Pengukusan (Steaming) Pengukusan (Steaming) merupakan proses pengukusan mi yang keluar dari proses slitting (slitter) secara kontinyu dengan menggunakan uap panas. Proses pengukusan mi di PT Kuala Pangan dilakukan dengan cara melewatkan untaian mi hasil pencetakan ke dalam mesin pengukus sistem uap (steam tunnel) pada suhu 90-100oC dengan menggunakan ban berjalan (conveyor) selama 1,5-2 menit. Pada proses ini terjadi gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga dengan terjadinya dehidrasi air dari gluten akan menyebabkan terjadinya kekenyalan pada mi. Steam tunnel ini berbentuk empat persegi panjang, dengan panjang 15 meter dan lebar 80 cm serta terbuat dari bahan yang stainless steel. Di bagian dalam alat ini, yaitu di
109
bagian kiri dan kanan terdapat pipa-pipa dengan sejumlah lubang-lubang, dimana diameter lubang-lubang tersebut kira-kira 0,2 cm dan jarak antar lubang adalah 12 cm dengan arah menghadap ke bawah membentuk sudut 45o. Lubang-lubang tersebut berfungsi untuk mengalirkan uap panas (steam) yang berasal dari boiler. Pada bagian ujung steam tunnel ini terdapat cerobong yang berfungsi untuk membuang sisa uap.
j. Pendinginan (Cooling) Pendinginan (Cooling) merupakan proses setelah mi keluar dari proses pengukusan dengan cara melewatkan mi hasil pengukusan ke dalam suatu alat berbentuk kotak yang di dalamnya dilengkapi dengan kipas angin (blower) serta terdapat sejumlah lubang kecil yang berfungsi untuk menguapkan/mengeluarkan energi panas yang berasal dari cooling conveyor. Spesifikasi alat cooling conveyor ini adalah : panjang 4,50 m, lebar 1,36 m, tinggi 0,6 m, jumlah kipas angin 4 buah, diameter lubang 0,8 cm dan jarak antar lubang 0,3 cm. Proses pedinginan ini dimaksudkan untuk mencegah mi melekat pada conveyor yang berjalan. Kemudian proses dilanjutkan ke tahap proses pemotongan.
k. Pemotongan (Cutting) Pemotongan (Cutting) mi dilakukan dengan mesin pemotong dan dalam proses ini mi dipotong dan dibentuk lipatan dengan mendorong bagian tengah potongan ke dalam dengan menggunakan alat seperti cangkul. Pada bagian atas tersebut terdapat roll berputar yang berfungsi sebagai alat pelipat yang akan melipat mi menjadi dua bagian sama panjang. Alat pemotong (cutter) yang dimiliki PT Kuala Pangan terdiri dari roll cutter dan pisau cutter yang terbuat dari bahan stainless steel, dimana pisau cutter menempel pada roll cutter. Panjang roll cutter adalah 63 cm, sedangkan panjang pisau cutter adalah 60 cm. Alat ini juga dilengkapi dengan roll plastic yang berfungsi untuk melipat mi pada saat proses cutting. Bobot mi yang keluar dari mesin pemotong di PT Kuala Pangan didisain sedemikian rupa sehingga memiliki bobot sekitar 215 gram dan diharapkan setelah proses pengeringan akan mengalami penurunan bobot sekitar 12-15 gram, sehingga bobot mi nantinya mencapai sekitar 200-203 gram.
110
l. Pengeringan (Drying) Pengeringan (Drying) bertujuan untuk memantapkan pati tergelatinisasi, menurunkan kadar air dan mengeringkan mi sehingga produk akan menjadi kering, kaku dan awet serta memiliki kadar air sekitar 7-8 persen dan mi dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Proses pengeringan untuk pembuatan mi kering di PT Kuala Pangan Citeureup, Bogor dilakukan dengan cara melewatkan produk mi yang telah terpotong dengan menggunakan oven pengering pada kondisi suhu 90-100oC dalam conveyor berjalan selama 25-30 menit. Oven pengering ini berbentuk empat persegi panjang, dengan panjang 40 meter dan lebar 80 cm serta terbuat dari bahan yang stainless steel. Di bagian dalam alat ini, yaitu di bagian kiri dan kanan terdapat pipa-pipa dengan sejumlah lubang-lubang, dimana diameter lubang-lubang tersebut kira-kira 0,2 cm dan jarak antar lubang adalah 12 cm dengan arah menghadap ke bawah membentuk sudut 45o. Lubang-lubang tersebut berfungsi untuk mengalirkan uap panas (steam) yang berasal dari boiler. Pada bagian ujung steam tunnel ini terdapat cerobong yang berfungsi untuk membuang sisa uap. Selain itu di bagian dalam alat ini juga terdapat blower untuk menguapkan uap air yang terdapat pada bahan.
m. Pendinginan (Cooling) Pendinginan (Cooling) adalah proses pendinginan dengan cara melewatkan mi ke dalam suatu kotak (tunnel) yang di dalamnya terdapat sejumlah kipas angin (blower yang digerakkan motor penggerak), sedangkan pada bagian samping alat ini terdapat sejumlah lubang kecil yang berfungsi untuk menguapkan/mengeluarkan energi panas yang berasal dari cooling conveyor. Spesifikasi alat cooling conveyor ini adalah : panjang 9,50 m, lebar 1,36 m, tinggi 0,6 m, jumlah kipas angin 8 buah, diameter lubang 0,8 cm dan jarak antar lubang 0,3 cm. Tujuan dari proses ini adalah agar mi yang baru keluar dari proses pengeringan dapat diturunkan suhunya sehingga mencapai suhu sekitar 32oC sebelum dikemas dengan etiket. Pendinginan berlangsung selama 2-3 menit sehingga mi menjadi lebih keras. Mi yang telah melalui alat pendingin diharapkan telah mengalami pendinginan secara sempurna. Apabila mi masih dalam keadaan panas langsung dikemas, maka akan
111
terjadi penguapan uap air dan menempel pada permukaan dalam etiket. Oleh karena suhu luar etiket lebih rendah, maka titik-titik uap air yang menempel di permukaan dalam etiket akan mengembun dan akan jatuh membasahi mi. Dengan demikian, dalam keadaan ini mi akan mudah rusak karena terserang/ditumbuhi kapang, sehingga umur simpan mi menjadi lebih pendek.
n. Pengemasan (Packing) Pengemasan (Packing) adalah pembungkusan produk mi kering dengan cara memasukkan produk tersebut ke dalam kemasan plastik yang beretiket/berlabel sesuai dengan standar yang telah ditetapkan perusahaan. Tujuan pengemasan produk adalah untuk melindungi mi dari kemungkinan tercemar atau kerusakan sehingga tidak mengalami penurunan mutu dan aman pada saat sampai ke tangan konsumen. Kemasan primer plastik yang digunakan oleh PT Kuala Pangan adalah pengemas plastik jenis polipropilen (PP), dengan bobot netto produk setiap kemasan 200 gram. Menurut Syarief et al (1989), sifat-sifat polipropilen (PP) antara lain ringan, mudah dibentuk, punya kekuatan tarik sobek sehingga mudah dalam penanganan dan distribusi, serta tahan pada suhu tinggi sampai pada suhu 150oC. Dalam mesin pengemas, mi dikemas dengan menggunakan pengemas primer (label) secara otomatis dan pada pengemas dicantumkan kode produksi dan tanggal kadaluwarsa. Setelah keluar dari mesin pengemas, dilakukan pengemasan sekunder dengan memasukkan produk mi yang sudah dikemas dalam plastik ke dalam kotak karton secara manual, dimana setiap kotak karton berisi 20 bungkus kemasan plastik. Selanjutnya kotak karton ditutup rapat dan disealing serta dicantumkan kode produksi dan tanggal kadaluwarsanya. Pengemasan ini dilakukan dengan tujuan : (a) untuk melindungi produk dari kerusakan, (b) melindungi produk dari terjadinya kontaminasi silang dengan bahanbahan lain, dan (c) memudahkan dalam transportasi dan distribusi produk ke pelanggan. Dengan dilakukannya pengemasan yang baik dapat terhindar dari pencemaranpencemaran antara lain : (a) Debu-debu dan kotoran tangan, (b) Serangga-serangga seperti semut, kutu dan lainnya, (c) Kelembaban oksigen di udara, dan (d) Sinar matahari dan lainnya.
112
o. Penyimpanan Produk Dalam Gudang Tahap selanjutnya adalah produk yang sudah dikemas dalam kotak karton tersebut disimpan dalam gudang penyimpanan hasil produksi sebelum didistribusikan ke agen, distributor dan pengecer. Salah satu upaya yang dilakukan oleh PT Kuala Pangan untuk menjaga mutu (kualitas) produk akhir yang akan dipasarkan adalah dengan mengatur stock secara efisien yang dikenal dengan sistem FIFO (First In First Out) dimana produk yang pertama datang akan dikeluarkan terlebih dahulu. Namun, secara operasional sistem ini memiliki kelemahan terutama jika tidak disertai dengan pengawasan yang ketat. Hal ini dapat terjadi terutama pada saat target produksi meningkat sehingga jumlah barang yang disimpan di gudang melebihi kapasitas gudang yang tersedia. Dalam kondisi dan situasi seperti itu seringkali sistem FIFO tidak dapat dijalankan dengan baik. Akibatnya tidak ada jaminan bahwa produk yang datang pertama kali akan dikeluarkan dan dipasarkan terlebih dahulu. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), masalah FIFO dapat diatasi jika sumber daya manusia dalam hal ini pengelola gudang memiliki tingkat kesadaran dan disiplin yang tinggi untuk mencatat tanggal pemasukan/pengeluaran dan lokasi dimana barang ditempatkan.
p. Pengiriman dan Pendistribusian Produk Pengiriman dan pendistribusian produk mi kering yang dihasilkan dilakukan oleh perusahaan PT Kuala Pangan sendiri atau dilakukan oleh perusahaan atau pihak lain melalui sub-kontrak. Untuk pengiriman dan pendistribusian yang dilakukan oleh pihak PT Kuala Pangan menggunakan fasilitas angkutan truk yang tertutup rapat (menggunakan terpal) atau menggunakan mobil boks milik perusahaan sendiri. Sedangkan pihak lain juga menggunakan fasilitas truk yang tertutup rapat pula. Semua produk yang dikirim dan didistribusikan dikeluarkan dengan prinsip FIFO (Firts In First Out) dan dicatat oleh bagian gudang serta bagian pengendalian mutu (QC).
113
6. Analisis Bahaya dan Penentuan Tindakan Pencegahannya (Langkah Ke-6, Prinsip 1 HACCP) Analisis bahaya merupakan prinsip ke-1 dari 7 (tujuh) prinsip penerapan sistem HACCP. Analisis bahaya adalah proses pengumpulan dan menilai informasi bahaya dan keadaan sampai terjadinya bahaya untuk menentukan mana yang berdampak nyata terhadap keamanan pangan dan harus ditangani dalam rencana HACCP sesuai dengan SNI 01.4852-1998 (BSN, 1999). Besarnya peluang potensi bahaya untuk bahan baku utama dan bahan pembantu serta bahan tambahan pangan ditetapkan berdasarkan hasil analisis dari laboratorium yang sudah terakreditasi, sedang untuk tahapan proses produksi ditetapkan berdasarkan hasil observasi dan pengamatan catatan yang ada di lapangan. Analisis bahaya dan tindakan pencegahannya dalam penelitian ini dibahas secara khusus dan komprehensif serta difokuskan pada proses produksi mi kering yang dibuat di PT Kuala Pangan. Kajian bahaya terhadap proses produksi mi kering, terutama pada penerimaan bahan baku (bahan baku utama, bahan pembantu utama, dan bahan tambahan pangan) yang digunakan serta tindakan pencegahannya dapat dilihat pada Tabel 26. Berdasarkan kajian bahaya pada penerimaan bahan baku yang dilakukan, diperoleh bahwa bahaya potensial pada bahan baku yang signifikan yang perlu dikendalikan adalah bahaya biologis berupa kemungkinan adanya bakteri patogen E. coli dan kapang pada tepung terigu; kemungkinan adanya bakteri patogen E. coli, Salmonella, dan Staphylococcus pada tepung telur, serta kemungkinan adanya bakteri patogen E. coli/feacal coli, coliform group dan Salmonella pada air yang digunakan untuk campuran proses produksi ; bahaya kimia berupa cemaran logam-logam berat seperti timbal (Pb), merkuri (Hg), tembaga (Cu) dan cemaran arsen (As) pada bahan baku tepung terigu, garam dan air, serta bahaya fisik berupa potongan benang, tali plastik dan serpihan batu (kerikil) pada tepung terigu dan garam.
114
Tabel 26. Analisis Bahaya dan Tindakan Pencegahannya pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan Langkah Proses/Tahap
Penerimaan bahan baku tepung terigu
Potensi Bahaya yang mungkin timbul/ berkembang (biologis, kimia, fisik) B :Escherichia coli
K : Cemaran logam berat (Pb, Hg, Cu) dan arsen (As) serta residu pestisida
F : Benang, tali plastik, potongan serangga
Penerimaan bahan baku garam
- Penanganan di supplier kurang higienis - Hasil pengujian di laboratorium BBIA : E. Coli = <3 standar maksimal 10; TPC = 7,3 x 102 < standar maksimal 106 (Memenuhi SNI tepung terigu) - Bahan yang digunakan mungkin terkontaminasi logam berat dan residu pestisida sejak dari proses pertaniannya dan tidak dapat dihilangkan - Hasil pengujian di laboratorium BBIA : Pb = <0,07 mg/kg, batas maksimal 1,00 mg/kg; Cu = 1,22 mg/kg, sedang batas maksimal 10 mg/kg; Hg = <0,0005 mg/kg, batas maksimal 0,005 mg/kg; dan As = <0,0002 mg/kg sedang batas maksimal 0,05 mg/kg (Memenuhi syarat SNI tepung terigu) - Pihak supplier kurang memperhatikan lingkungan produksi - Hasil pengujian di laboratorium BBIA : parameter benda asing dan serangga dalam semua bentuk stadia dan potongan-potongannya yang tampak tidak ada (negatif) -
M
Severity (Tingkat keakutan bahaya (h, m, l) m
M
h
Signifikansi bahaya (Y/N) N
Y
Tindakan Pencegahan Bahaya yang telah diidentifikasi - Pada tahap selanjutnya terdapat proses pengukusan pada suhu 90-100oC selama 1,5-2 menit dan proses pengeringan pada suhu 90-100oC selama 25-30 menit - Permintaan jaminan dari pemasok dan pemeriksaan COA bahan baku terigu - Lakukan audit ke pihak supplier - Dilakukan pengujian secara eksternal setiap 6 bulan sekali
L
l
N
- Inspeksi dan pemeriksaan terhadap bahan baku yang masuk ke perusahaan oleh bagian QC - Pada saat sebelum diproses produksi dilakukan proses pengayakan dengan ayakan ukuran mesh 200
-
-
-
-
L
h
N
- Permintaan jaminan dari pemasok/supplier - Inspeksi dan pemeriksaan COA bahan baku garam yang masuk ke perusahan oleh bagian QC - Pengujian secara eksternal setiap 6 bulan sekali
L
l
N
- Pada saat sebelum diproses produksi dilakukan proses pengayakan dengan ayakan ukuran mesh 200
M
m
N
K : Tidak ada
- Hasil pengujian di laboratorium BBIA : Angka lempeng total = 75; E. coli <3, Staphylococcus aereus negatif, Salmonella negatif -
-
-
-
- Pada tahap berikutnya terdapat proses pengukusan dan pengeringan pada suhu 90-100oC selama 25-30 menit -
F : Kotoran
- Pihak supplier kurang memperhatikan lingkungan
L
l
N
B : Tidak ada
K : Cemaran logamlogam berat (Pb, Hg, Cu) dan arsen (As)
Penerimaan bahan baku tepung telur
Penyebab/Justifikasi bahaya
Peluang trjadinya bahaya (H, M, L)
F : Potongan benang, tali plastik, pasir, tanah B : Salmonella, Staphyloccocus, E. coli
- Pihak supplier kurang memperhatikan lingkungan produksi - Hasil pengujian di laboratorium BBIA : Pb = <0,07 mg/kg; Hg = <0,0005 mg/kg; Cu = <0,02 mg/kg dan As = <0,0002 mg/kg (Memenuhi syarat SNI garam) - Supplier kurang memperhatikan lingkungan produksi - Kontaminasi pada saat penanganan dan distribusi
- Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC
Keterangan : Peluang : H= High, M=Medium, L=Low; Severity : h=high, m=medium, l=low; dan Signifikansi : Y=Yes dan N = No.
115
Tabel 26. Analisis Bahaya dan Tindakan Pencegahannya pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Langkah Proses/Tahap
Penerimaan BTP natrium karbonat dan kalium karbonat
Penerimaan bahan tambahan pangan (BTP) pewarna tartrazin
Potensi Bahaya yang mungkin timbul/ berkembang (biologis, kimia, fisik)
-
-
Severity (Tingkat keakutan bahaya) (h, m, l) -
K : Tidak ada cemaran logam berat atau logam lain
- Hasil pemantauan dan pemeriksaan catatan/rekaman di perusahaan, tidak pernah ditemukan/dilaporkan adanya cemaran bahan kimia asing
L
l
N
- Permintaan jaminan dari pemasok dan pemeriksaan COA bahan natrium dan kalium karbonat dari supplier - Audit ke supplier
F : Tidak ada cemaran fisik
-
-
-
-
-
B : Tidak ada
-.
-
-
-
-.
K : Tidak ada
- Penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) tartrazin dalam produk pangan diizinkan oleh PerMenKes No. 722/MenKes/Per/IX/88
-
-
-
-
-
-
-
- Permintaan jaminan dari pemasok/supplier - Inspeksi dan pemeriksaan COA bahan pewarna tartrazin yang masuk ke perusahan oleh bagian QC - Penggunaan bahan pewarna tartrazin ini akan dikendalikan penggunaannya pada proses formulasi dan pencampuran adonan -
- Lingkungan tempat pengambilan air dapat tercemar oleh bakteri - Hasil pengujian di laboratorium BBIA : E. coli = negatif; Salmonella = negatif, coliform group = <2 dan air ini layak digunakan untuk produksi - Hasil pengujian di lab BBIA : Pb = <0,0004 mg/kg, Cu = <0,002 mg/kg, Cd = <0,0004 mg/kg, dan As = <0,0004 mg/kg (Memenuhi syarat PerMenKes No. 907/MenKes/SK/VII/2002) - Hasil pengujian di laboratorium BBIA : jml zat padat terlarut = 246 (standar maks. 500 mg/kg) dan kekeruhan = 0,33 (standar maks. 5 NTU).
M
m
Y
- Water treatment dan penyaringan (filtrasi) - Klorinasi air yang dipakai dan penerapan SSOP keamanan air - Pengujian secara eksternal setiap 6 bulan sekali
L
h
N
- Water treatment - Penerapan SSOP keamanan air
L
m
N
- Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC
B : Tidak ada bakteri
F
Penerimaan bahan pembantu air untuk produksi
Peluang trjadinya bahaya (H, M, L)
: Tidak terdapat cemaran fisik
B : E. coli, coliform group Salmonella, Staphyloccocus
K : Cemaran logamlogam berat dan logam lain serta bahan kimia lainnya F : Kotoran/padatan terlarut (Jumlah zat padat terlarut dan kekeruhan)
Penyebab/Justifikasi bahaya
Signifikansi bahaya (Y/N)
Tindakan Pencegahan Bahaya yang telah diidentifikasi
-
-
Keterangan : Peluang : H= High, M=Medium, L=Low; Severity : h=high, m=medium, l=low; dan Signifikansi : Y=Yes dan N = No.
116
Tabel 26. Analisis Bahaya dan Tindakan Pencegahannya pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Langkah Proses/Tahap
Penerimaan bahan pengemas primer plastik jenis PP
Penerimaan bahan pengemas sekunder kotak karton jenis CFB
Penyimpanan bahan-bahan di gudang
Potensi Bahaya yang mungkin timbul/ berkembang (biologis, kimia, fisik)
-
-
Severity (Tingkat keakutan bahaya) (h, m, l) -
K : Residu bahan kimia additif plastik (plasticizer)
- Cemaran additif plastik dapat migrasi (pindah) dari plastik ke produk pangan dan menyebabkan karsinogenik pada tubuh manusia
L
m
N
- Gunakan plastik food grade - Permintaan jaminan dari pemasok/supplier - Pemeriksaan COA dari pemasok/supplier
F : Debu, kotoran dan benda asing lainnya
- Kontaminasi pada saat penanganan dan penyimpanan di supplier serta saat distribusi kemasan plastik
L
l
N
- Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC dan personil bagian produksi
B : Tidak ada
-
-
-
-
-
K : Tidak ada
-
-
-
-
-
- Kontaminasi karton pada saat penanganan dan penyimpanan di lingkungan supplier yang tidak bersih
L
l
N
- Binatang atau hewan tersebut dapat menyebabkan kontaminasi silang bakteri pada bahan-bahan yang disimpan di gudang - Sisa residu bahan sanitaiser yang terdapa pada alat yang dipakai dapat mengkontaminasi bahan dicampur - Ruang/gudang penyimpanan tidak bersih
L
m
N
- Inspeksi dan pemeriksaan kotak karton yang masuk ke perusahan oleh bagian QC. - Simpan kemasan sesuai persyaratan GMP - Lakukan pengendalian hama (pest control) dengan tepat
L
m
N
L
m
N
B : Tidak ada
-
-
-
-
K : Tidak ada cemaran bahan kimia F : Benang, tali plastik, potongan serangga
-
-
-
-
-
- Bahan baku tepung terigu dan garam yang digunakan kadang-kadang mengandung cemaran fisik berupa benang, potongan tali plastik dan potongan serangga - Hasil pemantauan dan pemeriksaan catatan/rekaman di perusahaan ditemukan adanya benang, potongan tali plastik dan potongan serangga yang jumlahnya kecil
L
l
N
- Lakukan pengayakan dengan menggunakan alat ayakan ukuran mesh 200 - Cemaran fisik yang diperoleh dipisahkan dan dibuang ke tempat sampah
B : Tidak ada
F : Debu, kotoran yang menempel pada karton B : Tikus, kecoa, lalat dan serangga K : Residu bahan sanitaiser F : Debu, kotoran
Pengayakan Tepung terigu dan garam
Peluang trjadinya bahaya (H, M, L)
Penyebab/Justifikasi bahaya
Signifikansi bahaya (Y/N)
Tindakan Pencegahan Bahaya yang telah diidentifikasi
-
-
- Gunakan sanitaiser yang diizinkan pemerintah - Gunakan dosis yang tepat - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC - Penyimpanan sesuai dengan SOP dan GMP -
Keterangan : Peluang : H= High, M=Medium, L=Low; Severity : h=high, m=medium, l=low; dan Signifikansi : Y=Yes dan N = No.
117
Tabel 26. Analisis Bahaya dan Tindakan Pencegahannya pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Langkah Proses/Tahap
Penimbangan bahan baku dan bahan lainnya untuk persiapan formulasi
Potensi Bahaya yang mungkin timbul/ berkembang (biologis, kimia, fisik)
- Adanya kontaminasi bakteri dari alat dan personil yang menangani penimbangan bahan baku dan bahan lainnya
M
Severity (Tingkat keakutan bahaya) (h, m, l) m
-
-
-
-
L
l
N
- Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC dan bagian produksi - Lakukan pembersihan
-
-
-
-
-
: residu bahan sanitaiser F : Debu, kotoran
- Penggunaan bahan sanitaiser untuk sanitasi alat yang digunakan dalam pembuatan larutan alkali - Kontaminasi pada alat yang digunakan saat penanganan
L
m
N
L
l
N
B : Bakteri Salmonella, Staphylococcus, biofilm
- Kontaminasi dari alat yang dipakai dan personil yang melakukan pencampuran dan formulasi pada bahan adonan
M
m
N
K : Residu bahan sanitaiser dan BTP
- Sisa residu bahan sanitaiser yang tersisa pada alat dapat mengkontaminasi bahan yang dicampur - Dosis BTP yang digunakan untuk formulasi tidak sesuai dengan PerMenKes No. 722/MenKes/Per./IX/88 - Kontaminasi alat dari lingkungan produksi
L
m
N
L
m
N
- Kontaminasi pada bahan adonan yang dibuat dan dari alat yang digunakan untuk pengepresan (roll press) - Adanya sisa kerak adonan dapat menimbulkan bakteri biofilm
M
m
N
-
-
-
-
- Gunakan bahan sanitaiser yang diizinkan - Gunakan dosis sanitaiser yang tepat - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagain QC. - Lakukan pembersihan - SSOP Sanitasi alat dan SSOP (kesehatan dan Higiene karyawan) - Pada tahap berikutnya ada proses pengukusan dan pengeringan - Gunakan sanitaiser yang diizinkan pemerintah - Gunakan dosis yang tepat - Gunakan dosis penggunaan BTP dengan tepat dan lakukan pemeriksaan oleh bagian QC - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC - Lakukan pembersihan - Penerapan SSOP kebersihan permukaan alat yang kontak dengan bahan pangan - SSOPencegahan Kontaminasi silang - Pada tahap berikutnya ada proses pengukusan dan pengeringan -
-Adanya kerak adonan yang menempel pada alat pengepres
L
l
N
B
: Staphylococcus, Salmonella
B : Tidak ada
K
Pencampuran dan formulasi adonan mi (Mixing)
F : Debu, kotoran Pengepresan dengan roll press (Pressing)
Penyebab/Justifikasi bahaya
K : Tidak ada F : Debu, kotoran
Pembuatan larutan alkali
Peluang trjadinya bahaya (H, M, L)
B : Bakteri Salmonella, Staphylococcus, biofilm
K : Tidak ada F : Sisa kerak adonan mi
-
Kontaminasi penimbangan
pada
alat
yang
digunakan
dalam
Signifikansi bahaya (Y/N) N
Tindakan Pencegahan Bahaya yang telah diidentifikasi - Penerapan SSOP dan GMP dengan benar - SSOP (Kesehatan dan Higiene pekerja) - Pada tahap selanjutnya ada proses pengukusan dan pengeringan -
- Pemeriksaan oleh bagian QC - Lakukan pembersihan (SSOP Sanitasi)
Keterangan : Peluang : H= High, M=Medium, L=Low; Severity : h=high, m=medium, l=low; dan Signifikansi : Y=Yes dan N = No.
118
Tabel 26. Analisis Bahaya dan Tindakan Pencegahannya pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Langkah Proses/Tahap
Pencetakan untaian pita mi (Slitting)
Pengukusan mi pada suhu 90-100oC selama 1,5-2 menit (Steaming)
Pendinginan mi hasil pengukusan (Cooling)
Pemotongan untaian pita mi (Cutting)
Potensi Bahaya yang mungkin timbul/ berkembang (biologis, kimia, fisik)
Peluang trjadinya bahaya (H, M, L) M
K : Tidak ada
- Adanya kontaminasi bakteri yang terbawa dari bahan bahan baku yang digunakan (terigu, tepung telur, air) dan dari alat yang digunakan serta personil yang menanganinya -
Severity (Tingkat keakutan bahaya) (h, m, l) m
-
-
-
F : Debu, kotoran
-
dalam
L
l
N
- Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC dan bagian produksi - Lakukan pembersihan
B : Bakteri Salmonella Staphylococcus,
- Adanya kontaminasi bakteri yang terbawa dari bahan baku tepung terigu, tepung telur dan air minum yang digunakan dalam proses produksi
M
m
N
K
L
m
N
L
l
N
B : Bakteri Salmonella, Staphylococcus, biofilm K : Tidak ada
- Adanya sisa residu bahan sanitaiser pada alat conveyor yang digunakan dalam pengeringan - Kontaminasi pada alat conveyor yang digunakan untuk proses pengukusan - Kontaminasi bakteri yang terbawa dari bahan adonan dan dari alat yang dipakai serta personil yang melakukan menanganai pendinginan -
M
m
N
-
-
-
- SSOP (Sanitasi alat) dan SSOP (Kesehatan dan Higiene pekerja) - Kontrol suhu pengukusan secara periodik setiap 4 jam sekali - Dilakukan pengeringan pada tahap selanjutnya. - Gunakan bahan sanitaiser yang diizinkan - Gunakan dosis sanitaiser yang tepat - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagain QC. - Lakukan pembersihan - SSOP Sanitasi alat dan SSOP (kesehatan dan Higiene karyawan) - Pada tahap berikutnya ada pengeringan -
F : Debu, kotoran
- Kontaminasi dari alat kipas dan lingkungan produksi
L
m
N
B : Bakteri Salmonella, Staphylococcus, biofilm
- Kontaminasi bakteri yang terbawa dari bahan adonan yang dibuat dan alat yang digunakan untuk pemotongan untaian mi - Adanya sisa kerak adonan yang terdapat pada cutter
M
m
N
K
- Adanya kontaminasi sisa residu bahan sanitaiser pada alat pisau cutter yang digunakan
L
l
N
-Adanya kerak adonan yang menempel pada alat cutter
L
l
N
B
: Staphylococcus, Salmonella, biofilm
: residu bahan sanitaiser F : Debu, kotoran
: residu sanitaiser
bahan
F : sisa kerak adonan
Penyebab/Justifikasi bahaya
Kontaminasi pencetakan
pada
alat
yang
digunakan
Signifikansi bahaya (Y/N) N
Tindakan Pencegahan Bahaya yang telah diidentifikasi - Penerapan SSOP dan GMP dengan benar - SSOP (Kesehatan dan Higiene pekerja) - Pada tahap selanjutnya ada proses pengukusan dan pengeringan -
- Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC - Lakukan pembersihan - Penerapan SSOP kebersihan permukaan alat yang kontak dengan bahan pangan - SSOPencegahan Kontaminasi silang - Pada tahap berikutnya ada proses pengukusan dan pengeringan - Gunakan bahan sanitaiser yang diizinkan dan - Gunakan dosis sanitaiser yang tepat - Pemeriksaan oleh bagian QC - Lakukan pembersihan (SSOP Sanitasi)
Keterangan : Peluang : H= High, M=Medium, L=Low; Severity : h=high, m=medium, l=low; dan Signifikansi : Y=Yes dan N = No.
119
Tabel 26. Analisis Bahaya dan Tindakan Pencegahannya pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Langkah Proses/Tahap
Pengeringan di dalam oven pada suhu 90100oC selama 25-30 menit (Drying)
Potensi Bahaya yang mungkin timbul/ berkembang (biologis, kimia, fisik)
- Adanya kontaminasi bakteri yang terbawa dari bahan bahan baku yang digunakan (terigu, tepung telur, air) dan dari alat yang digunakan serta personil yang menanganinya. Bakteri tersebut dapat menyebabkan penyakit pada manusia
H
Severity (Tingkat keakutan bahaya) (h, m, l) h
-
-
-
-
F : Debu, kotoran
- Kontaminasi pada alat conveyor di dalam alat pengering yang digunakan
L
l
N
- Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC dan bagian produksi - Lakukan pembersihan
B : Bakteri Salmonella Staphylococcus, K : Tidak ada
- Kontaminasi bakteri yang berasal dari alat pendingin dan kipas yang digunakan serta dari lingkungan -
M
m
N
-
-
-
- SSOP (Sanitasi alat dan lingkungan) -
F : Debu, kotoran
- Kontaminasi pada alat kipas (blower) yang digunakan untuk proses pendinginan - Kemasan yang bocor dapat menyebabkan adanya kontaminasi bakteri ke produk mi kering sehingga daya awet menjadi kurang - Kontaminasi yang berasal dari alat dan personil yang menangani pengemasan
L
l
N
M
m
N
- Kontaminasi residu bahan aditif sebagai akibat adanya migrasi aditif tersebut ke produk mi kering
L
m
N
- Kontaminasi pada alat dari lingkungan
M
l
N
B
: Staphylococcus, Salmonella, biofilm
K : Tidak ada
Pendinginan dengan kipas angin selama 2-3 menit (Cooling) Pengemasan dengan plastik jenis PP (Kemasan Primer)
Penyebab/Justifikasi bahaya
Signifikansi bahaya (Y/N) Y
Tindakan Pencegahan Bahaya yang telah diidentifikasi - Set suhu dan waktu yang diinginkan - Kontrol suhu secara periodik setiap 2 jam sekali - Lakukan kalibrasi thermometer/thermocouple secara berkala 2 bulan sekali menggunakan thermometer master yang sudah dikalibrasi - SSOP (Sanitasi alat) dan SSOP (Kesehatan dan Higiene karyawan) -
B : Tidak ada
-
-
-
-
- Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagain QC. - Lakukan pembersihan - SSOP Sanitasi alat dan SSOP (kesehatan dan Higiene karyawan) - Periksa adanya kebocoran kemasan plastik setiap 2 jam sekali - Pada tahap berikutnya ada proses pemasakan/ pemanasan produk mi oleh pihak konsumen - Gunakan bahan pengemas yang food grade - Penerapan SSOP (Sanitasi alat) dan SSOP (Kesehatan dan Higiene karyawan) dengan benar - Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC - Lakukan pembersihan -
K : Tidak ada
-
-
-
-
-
L
L
N
- Pemeriksaan oleh bagian QC - Lakukan pembersihan (SSOP Kebersihan dan Sanitasi)
B : Bakteri Salmonella, Staphylococcus, E. coli
K : Residu bahan aditif plastik (plastizicer, dan lain-lain) F : Debu, kotoran Pengemasan dengan kotak karton (Kemasan sekunder)
Peluang trjadinya bahaya (H, M, L)
F : Debu, kotoran
- Kontaminasi debu dan kotoran pada karton
Keterangan : Peluang : H= High, M=Medium, L=Low; Severity : h=high, m=medium, l=low; dan Signifikansi : Y=Yes dan N = No.
120
Tabel 26. Analisis Bahaya dan Tindakan Pencegahannya pada Proses Produksi Mi Kering di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Langkah Proses/Tahap
Penyimpanan produk mi kering di gudang
Pengiriman dan Pendistribusi an produk mi
Potensi Bahaya yang mungkin timbul/ berkembang (biologis, kimia, fisik)
Peluang trjadinya bahaya (H, M, L) L
K : Tidak ada
- Binatang atau hewan tersebut dapat menyebabkan kontaminasi silang bakteri pada bahan-bahan yang disimpan di gudang -
Severity (Tingkat keakutan bahaya) (h, m, l) M
-
-
-
F : Debu, kotoran
- Ruang/gudang penyimpanan tidak bersih
L
l
N
- Penerapan SSOP pencegahan kontaminasi silang (Pembersihan) - Inspeksi oleh bagian QC dan lakukan pembersihan
B
: Tikus, serangga
kecoa,
Penyebab/Justifikasi bahaya
Signifikansi bahaya (Y/N) N
Tindakan Pencegahan Bahaya yang telah diidentifikasi - Lakukan pengendalian hama dengan tepat - Gunakan denah (lay out) untuk pengendalian hama - Penyimpanan dilakukan dengan prinsip FIFO -
B : Tidak ada
-
-
-
-
K : Tidak ada
-
-
-
-
-
F : Tidak ada
-
-
-
-
-
Keterangan : Peluang : H= High, M=Medium, L=Low; Severity : h=high, m=medium, l=low; dan Signifikansi : Y=Yes dan N = No.
121
Mengacu pada panduan penetapan langkah pengendalian dan tindakan pencegahannya dalam SNI 01.4852-1998 (BSN, 1998) serta pedoman BSN 1004 : 2002 (BSN, 2002), yaitu berdasarkan dampak langkah pengendalian terhadap tingkat peluang bahaya atau frekuensi kejadian, tingkat keparahan bahaya (severity) pada kesehatan konsumen dan kebutuhan untuk monitoring; maka bahaya biologi berupa bakteri patogen (E.coli, Salmonella, Staphylococcus), dan bakteri bentuk coli/coliform group, yang ada pada bahan baku tepung terigu, tepung telur dan air tidak perlu dikendalikan dalam HACCP Plan tetapi perlu dikendalikan dengan SSOP dan penerapan GMP. Begitu pula dengan bahaya kimia berupa cemaran logam-logam (Pb, Hg, Cu) dan cemaran arsen (As) pada bahan baku tepung terigu dan garam tidak perlu dikendalikan dalam rencana HACCP tetapi perlu dikendalikan sebagai control point (CP); sedang bahan tambahan pangan natrium karbonat dan kalium karbonat serta tartrazin CI 19140 juga tidak perlu dikendalikan dalam HACCP Plan, tetapi perlu dikendalikan sebagai control point (CP) dengan SSOP dan penerapan GMP. Tindakan pencegahan bahaya/pengendalian bahaya biologi berupa bakteri patogen (E. coli) dan kapang pada tepung terigu dapat dilakukan dengan cara : (1) Penetapan spesifikasi sesuai dengan persyaratan SNI tepung terigu (SNI 01.3751-2006) dimana ditetapkan bahwa kandungan E coli maksimal 10 koloni/g, angka lempeng total maksimal 106 koloni/g dan kapang maksimal 104 koloni/g; (2) Permintaan jaminan dari pihak pemasok /supplier melalui pemeriksaan/pengecekan Certificate of Analysis (COA) setiap kedatangan tepung terigu di perusahaan; dan (3) Pengujian eksternal bahan baku tepung terigu secara berkala setiap 6 bulan sekali sesuai dengan persyaratan SNI 01.3751-2006. Bila bahan baku tepung terigu yang diterima tersebut ternyata tidak sesuai dengan COA dan spesifikasi perusahaan, maka bahan tepung terigu itu ditolak dan dikembalikan kepada pihak pemasok. Sedang tindakan pencegahan/ pengendalian bahaya biologis berupa bakteri patogen (E.coli, Salmonella, Staphylococcus) pada bahan baku tepung telur dilakukan dengan cara : (1) Penetapan spesifikasi sesuai dengan standar mutu tepung telur menurut FDA-USA dimana ditetapkan kandungan bakteri coli maksimal 10 koloni/g, Salmonella harus negatif, Staphylococcus negatif atau nol, dan angka lempeng total (TPC) maksimal 106 koloni/g; (2) Permintaan jaminan dari pihak pemasok/supplier melalui pemeriksaan/ pengecekan Certificate of Analysis (COA) setiap
122
kedatangan tepung telur di perusahaan; dan Pengujian eksternal bahan baku tepung telur secara berkala setiap 6 bulan sekali sesuai dengan persyaratan standar FDA-USA. Bila bahan baku tepung telur yang diterima tersebut, ternyata tidak sesuai dengan COA dan spesifikasi perusahaan, maka bahan tepung telur itu ditolak dan dikembalikan kepada pihak pemasok. Tindakan pencegahan/pengendalian bahaya biologi berupa bakteri (E. coli/feacal coli, coliform group, dan Salmonella pada air yang digunakan untuk campuran produksi dilakukan dengan cara : (1) Penerapan SSOP keamanan air yang mengacu sesuai dengan persyaratan kualitas air minum menurut PerMenKes No. 907/MenKes/SK/VII/2002 tanggal 29 Juli 2002, dimana ditetapkan kandungan E. coli/feacal coli, coliform group dan Salmonella harus negatif atau nol; (2) Pemeriksaan dan pemantauan kualitas yang digunakan oleh perusahaan secara berkala setiap 1 bulan sekali; dan (3) Pengujian kualitas air minum yang digunakan/dipakai secara eksternal sesuai PerMenKes No. 907/MenKes/SK/VII/2002 di laboratorium yang sudah terakreditasi setiap 6 bulan sekali. Tindakan pencegahan/pengendalian bahaya kimia berupa cemaran logam-logam berat seperti timbal (Pb), merkuri (Hg), tembaga (Cu) dan cemaran arsen (As) pada tepung terigu dilakukan dengan cara : (1) Penetapan spesifikasi sesuai dengan persyaratan SNI tepung terigu (SNI 01.3751-2006) dimana ditetapkan bahwa kandungan timbal (Pb) maksimal 1,00 mg/kg; merkuri (Hg) maksimal 0,05 mg/kg, tembaga (Cu) maksimal 10,0 mg/kg dan cemaran arsen (As) maksimal 0,50 mg/kg; (2) Permintaan jaminan dari pemasok/supplier melalui pemeriksaan certificate of analysis (COA) setiap kali kedatangan tepung terigu di perusahaan; dan (3) Pengujian keamanan dan mutu tepung terigu secara eksternal sesuai dengan SNI 01.3751-2006 setiap 6 bulan sekali. Bila bahan baku tepung terigu yang diterima di perusahaan tersebut tidak sesuai COA dan spesifikasi perusahan, maka bahan tepung terigu itu ditolak dan dikembalikan kepada pihak pemasok/supplier. Tindakan pencegahan/pengendalian bahaya kimia berupa cemaran logam-logam berat (Pb, Hg, Cu) dan cemaran arsen (As) pada bahan pembantu garam dilakukan dengan cara : (1) Penetapan spesifikasi sesuai dengan persyaratan garam konsumsi beryodium (SNI 01.3556-2000) dimana ditetapkan bahwa kandungan timbal (Pb) maksimal 1,0 mg/kg; merkuri (Hg) maksimal 0,1 mg/kg; tembaga (Cu) maksimal 10
123
mg/kg dan arsen (As) maksimal 0,1 mg/kg; (2) Permintaan jaminan dari pihak pemasok melalui pemeriksaan COA setiap 6 kali kedatangan bahan baku garam di perusahaan; dan (3) Pengujian keamanan dan mutu garam secara eksternal sesuai dengan SNI 01.35562000 setiap 6 bulan sekali. Bila diketahui bahwa bahan baku garam yang diterima di perusahaan tersebut tidak sesuai dengan COA dan spesifikasi perusahan, maka bahan baku garam itu ditolak dan dikembalikan kepada pihak pemasok/supplier. Dalam melakukan kajian bahaya yang potensial pada penerimaan bahan baku (bahan baku utama, bahan pembantu utama dan bahan tambahan pangan) untuk produksi mi kering terhadap keamanan pangan telah dilakukan pengujian beberapa parameter keamanan pangan dan parameter mutu bahan baku untuk produksi mi kering yang digunakan oleh perusahaan PT Kuala Pangan. Bahan baku utama tepung terigu, tepung telur, garam dan air yang diuji, yaitu kandungan cemaran mikroba, logam berat dan arsen, dan cemaran fisik serta dibandingkan dengan standar yang ditetapkan oleh regulasi pemerintah; yakni SNI 01.3751-2006 (Untuk tepung terigu), Standar tepung telur menurut FDA-USA, SNI 01.3556-2000 (Untuk garam), dan Standar kualitas air menurut PerMenKes No. 907/MenKes/SK/Per./VII/2002 dengan hasil sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 27, 28, 29 dan Tabel 30. Tabel 27. Hasil Pengujian Cemaran Fisik, Kimia dan Mikroba Pada Tepung Terigu (*) Parameter Cemaran Fisik - Benda asing - Serangga dalam bentuk stadia dan potongan-potongannya Cemaran logam - Timbal (Pb) - Merkuri (Hg) - Tembaga (Cu) Cemaran arsen (As) Cemaran mikroba - Angka lempeng total (ALT) - E. coli - Kapang
Satuan
Hasil Pengujian
SNI 01.3751-2006
-
Tidak ada Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
< 0,007 < 0,0005 <2 < 0,0002
Maksimal 1,00 Maksimal 0,05 Maksimal 10,0 Maksimal 0,50
Koloni/g Koloni/g Koloni/g
7,3 x 102 <2 10
106 10 104
(*) Hasil pengujian 1 kali.
124
Tabel 28. Hasil Pengujian Cemaran Fisik, Kimia dan Mikroba Pada Tepung Telur (*) Parameter Kadar air Cemaran Mikroba - Angka lempeng total (ALT) - E. coli - Salmonella - Staphylococcus aureus
Satuan % (b/b)
Hasil Pengujian 5,36
Koloni/g Koloni/g Koloni/g Koloni/g
75 <3 negatif 0
Standar FDA-USA Maksimal 5,0 Maksimal 25 x 103 Maksimal 10 Negatif Negatif
(*) Hasil pengujian 1 kali.
Tabel 29. Hasil Pengujian Cemaran Fisik dan Kimia Pada Garam Konsumsi Beryodium (*) Parameter Kadar air NaCl (Dihitung dari jumlah klorida) Iodium (Dihitung sebagai KIO3) Cemaran Logam - Timbal (Pb) - Tembaga (Cu) - Raksa (Hg) Cemaran arsen (As)
Satuan % (b/b) % (b/b) % (b/b)
Hasil Pengujian 0,28 99,6 40,92
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
< 0,07 < 0,02 < 0,0005 < 0,0002
SNI 01.3556-2000 Maksimal 7,0 Minimal 94,7 Minimal 30,0 Maksimal 1,0 Maksimal 10,0 Maksimal 0,1 Maksimal 0,1
(*) Hasil pengujian 1 kali.
Tabel 30. Hasil Pengujian Cemaran Fisik , Kimia dan Mikroba Pada Air (*) Parameter Cemaran Fisik - Kekeruhan - Jumlah zat padat terlarut Cemaran logam - Timbal (Pb) - Tembaga (Cu) - Raksa (Hg) - Kadmium (Cd) Cemaran arsen Cemaran Mikroba - E. coli/feacal coli - Angka lempeng total (ALT) - Salmonella - C. perfringens
Satuan % (b/b) NTU mg/l
Hasil Pengujian
SNI 01.3556-2000
0,33 246
Maksimal 5,0 Maksimal 1000
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
< 0,0004 < 0,002 < 0,0003 < 0,0004 < 0,004
Maksimal 0,005 Maksimal 0,50 Maksimal 0,001 Maksimal 0,005 Maksimal 0,05
Koloni/100 ml Koloni/100 ml Koloni/100 ml Koloni/ 100 ml
<1 < 10 negatif negatif
0 1,0 x 102 Negatif Negatif
(*) Hasil pengujian 1 kali.
Berdasarkan data pengujian beberapa paremeter keamanan pangan dan mutu bahan baku (tepung terigu, tepung telur, garam, air) untuk produksi mi kering yang telah dilakukan, maka bahan baku tersebut umumnya memenuhi standar persyaratan yang ditetapkan oleh regulasi pemerintah Indonesia atau regulasi dari negara lain. Namun
125
demikian, mengingat bahan baku tepung terigu, tepung telur, garam dan air merupakan hasil pertanian, peternakan, kelautan dan pertambangan, maka kandungan cemaran di atas perlu dimonitor untuk setiap bahan baku yang digunakan dalam proses produksi mi kering guna memastikan bahwa cemaran tersebut di bawah standar yang ditetapkan. Bahaya potensial terhadap keamanan pangan dari mi kering yang perlu dicermati adalah kandungan cemaran logam berat dan cemaran arsen. Hal ini disebabkan dalam proses produksi mi kering tidak ada proses yang didesain khusus untuk menghilangkan bahaya ini sehingga cemaran ini tidak bisa dihilangkan selama proses produksi mi kering. Dengan demikian, jika cemaran logam-logam berat dan cemaran arsen ada dalam bahan baku (tepung terigu dan garam) terdapat dalam jumlah yang melebihi standar yang telah ditetapkan oleh regulasi pemerintah, maka kemungkinan besar produk mi kering yang dihasilkan juga akan mengandung bahaya ini dalam jumlah melebihi standar yang ditetapkan untuk produk mi kering. Oleh karenanya, akan membahayakan konsumen yang menggunakan produk tersebut. Dengan demikian, jaminan dari pemasok/supplier dan pemeriksaan Certificate of Analysis (COA) dari pemasok sangat penting untuk diperhatikan oleh perusahaan. Untuk cemaran mikroba, mengingat tepung terigu, tepung telur dan air adalah bahan baku alam, maka cemaran mikroba pasti ada. Namun, karena dalam proses pembuatan/pengolahan tepung terigu terdapat cara perlakuan pengeringan dengan oven pengering dan pemutihan (bleaching), sedang dalam proses pembuatan tepung telur kuning terdapat proses pemanasan dan dalam pengolahan air terdapat proses penyaringan dan desinfektan (klorinasi); maka cemaran mikroba akan diminimalkan. Secara umum dan ringkas, proses pembuatan tepung terigu adalah : penerimaan bahan baku biji terigu, pengeringan dengan panas dari oven pengering (suhu 65-70oC), pemisahan dan pengayakan untuk menghilangkan batu, potongan tangkai dan bendabenda asing berat, penghilangan benda-benda asing ringan dengan hembusan udara, penghilangan benda-benda logam/metal dengan magnet; selanjutnya diblending dan digiling (grinding), pengayakan terigu hasil penggilingan, perlakuan pemutihan (bleaching) dan akhirnya dikemas atau bagging (FAO, 1981 ; Lenovich, 1992). Pada prinsipnya, proses pembuatan tepung telur kuning dilakukan dengan metode pengering semprot (spray drying). Kuning telur yang telah dipisah dari putih telur mula-
126
mula dipanaskan terlebih dulu pada suhu antara 65-70oC. Proses ini merupakan pemanasan pendahuluan dengan maksud pengeringan selanjutnya tidak terjadi perubahan suhu secara tiba-tiba (Sarwono, 1994). Setelah itu, diletakkan pada ruangan panas bersuhu 150-160oC dengan cara menyemprotkan bahan dengan nosel bertekanan 3.000. psl, sehingga diperoleh tepung telur dengan kadar air sekitar 3-5% (Sirait, 1986). Lebih lanjut dikatakan bahwa pengeringan juga bertujuan untuk mencegah aktivitas bakteri dan jamur, memperpanjang daya simpan, mengurangi ruangan penyimpanan, serta mempermudah penanganan dan tranposrtasi. Secara umum, pengolahan air yang dilakukan di PT Kuala Pangan menggunakan SSOP keamanan air, yaitu : pengendapan (sedimentasi), penyaringan (filtrasi), dan pembasmian mikroba/bakteri dengan desinfektan, penghilangan mineral terlarut, dan pengujian kualitas air minum sesuai dengan persyaratan standar yang ditetapkan oleh pemerintah yang tertuang dalam PerMenKes No. 907/MenKes/SK/Per./VII/2002. Pengendapan dilakukan dengan menggunakan koagulan aluminium sulfat dan ferro sulfat dan ditambahkan soda abu (Na2CO3) agar kerja koagulan efektif. Selanjutnya dilakukan penyaringan partikel-partikel yang berukuran kecil dengan pasir berukuran 0,4-0,6 mm terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan perlakuan untuk menghilangkan bau, rasa dan warna dengan filter arang/karbon aktif. Kemudian, dilanjutkan dengan tahap desinfeksi air dengan menggunakan senyawa klorin dengan konsentrasi 5-7 ppm (part per million), dan selanjutnya dilakukan proses penghilangan mineral terlarut dengan cara proses pertukaran ion. Air yang diolah disimpan dalam tangki penyimpan, selanjutnya digunakan untuk proses produksi. Sebelum digunakan, air tersebut perlu dilakukan pengujian oleh bagian QC dan teknik setiap sebulan sekali. Bahan baku (tepung terigu, tepung telur dan air) yang dipakai di PT Kuala Pangan adalah berasal dari cara-cara pengolahan yang telah diuraikan di atas. Bila dikaji lebih lanjut, bahan baku tepung terigu komposisi nutrisinya relatif tidak mendukung pertumbuhan mikroba, berbentuk kering dan padat dengan kadar air sekitar 8-10% sehingga mempunyai aw (aktifitas air) yang rendah yaitu sekitar 0,81. Bahan baku garam konsumsi beryodium komposisinya terdiri dari senyawa natrium klorida (NaCl) dengan kadar NaCl sekitar 95 persen dan berfungsi sebagai bahan pengawet karena garam tersebut akan menarik air dan menurunkan nilai aw produk pangan sehingga mikroba
127
tidak akan dapat tumbuh dan berkembang. Sedang bahan baku tepung telur komposisi nutrisinya relatif lebih mendukung pertumbuhan mikroba patogen seperti E. coli, Salmonella, dan Staphylococcus karena kandungan proteinnya yang tinggi; namun karena dalam kondisi berbentuk tepung, padat dan kadar air yang rendah menyebabkan mikroba tidak dapat tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, bahan baku tepung telur ini harus disimpan di gudang kering atau gudang yang suhu ruangannya terkendali/terkontrol. Berdasarkan proses pembuatan tepung terigu, tepung telur dan air di atas, terlihat bahwa selama proses produksi; tepung terigu telah mengalami proses pengeringan (6070oC) dan bleaching, tepung telur telah mengalami dua kali proses pemanasan pada suhu tinggi, dan air telah mengalami pengolahan yang memadai; maka cemaran-cemaran mikroba pada bahan-bahan yang digunakan tersebut dapat diminimalkan. Disamping itu, karena pada proses produksi tahap berikutnya; bahaya biologis tersebut dapat dihilangkan atau dikurangi sampai tingkat yang dapat diterima melalui tahapan proses produksi mi, yaitu pada tahap pengukusan (pemasakan) mi pada suhu 90-100 oC selama 1,5-2 menit dan pada tahap pengeringan mi pada suhu 90-100 oC selama 25-30 menit. Proses produksi mi kering di PT Kuala Pangan dilakukan dengan sistem terbuka dan sistem tertutup, mulai dari tahap penimbangan bahan baku dan pencampuran hingga produk jadi, sehingga kemungkinan terjadinya kontaminasi silang yang disebabkan oleh lingkungan dan manusia dapat diminimalkan. Seluruh peralatan yang kontak dengan bahan baku dan produk terbuat dari bahan anti karat atau stainless steel dan material lain yang food grade sehingga tidak menimbulkan kontaminasi produk. Untuk menghilangkan cemaran fisik benda padat (potongan plastik, benang, potongan serangga) yang mungkin terdapat dalam bahan baku khususnya tepung terigu dan garam maupun selama proses produksi berlangsung, dilakukan filtrasi (penyaringan) terhadap bahan baku dengan media filter 200 mesh. Kemungkinan kontaminasi yang masih ada adalah pada saat penimbangan bahan baku, pencampuran, pembuatan adonan, pembentukan adonan mi menjadi lembaran adonan dengan roll pres, pembentukan untaian mi, pendinginan setelah pengukusan, proses pemotongan mi, dan pengemasan produk mi kering; dimana pada tahap-tahap tersebut peralatan, bahan baku dan produk kontak dengan udara sekitar dan juga
128
penanganan pekerja. Hal ini dapat diminimalkan dengan cara menerapkan SSOP (Sanitasi alat) dan SSOP (Kesehatan dan Higiene Karyawan). Untuk memastikan higinitas dari produk mi yang dihasilkan, maka penerapan GMP untuk aspek personil yang menangani proses penimbangan, pencampuran dan pembuatan adonan, serta pembentukan adonan dan pengemasan harus dilakukan secara disiplin dan efektif. Hal lain yang perlu dipantau secara rutin adalah hasil sanitasi peralatan yang akan digunakan untuk produksi. Mengingat peralatan yang digunakan ada yang sistem terbuka dan ada yang sistem tertutup, serta pembersihan dan sanitasi peralatan yang sistem tertutup dilakukan secara CIP (Cleaning In Place), maka bagianbagian tertentu yang diperkirakan pembersihan dan sanitasinya kurang sempurna (misalnya : titik-titik kelola, sambungan, dan lain-lain) perlu medapat perhatian sendiri selama monitoring hasil pembersihan dan sanitasi peralatan. Kajian bahaya (analisis bahaya) terhadap proses produksi mi kering serta tindakan pencegahannya secara lengkap setelah tahap penerimaan bahan baku dapat dilihat pula pada Tabel 26. Berdasarkan kajian bahaya tahapan proses yang telah dilakukan, diperoleh bahwa bahaya potensial pada tahapan proses yang signifikan yang perlu dikendalikan adalah : (1) Tahap proses pengayakan khususnya bahan baku tepung terigu dan garam, yaitu kemungkinan adanya bahaya fisik berupa potongan benang, plastik, pasir dan kerikil; (2) Tahap proses penimbangan bahan baku tepung terigu, garam, tepung telur dan air berupa kemungkinan kontaminasi bakteri patogen dari pekerja/karyawan; (3) Tahap proses pencampuran dan formulasi pembuatan adonan mi,
pembentukan lembaran
adonan dengan alat roll press, pembentukan untaian kembang mi (slitting) dan pemotongan mi (cutting), yaitu berupa kemungkinan adanya kontaminasi bakteri patogen (bahaya biologi) berupa bakteri Salmonella, Staphylococcus, E. coli, dan biofilm pada unit mesin pencampur (mixer), pengepres (roll press) dan pembentuk kembang mi (slitter); (4) Tahap proses pengeringan mi pada suhu 90-100oC selama 25-30 menit berupa bahaya biologi bakteri patogen E. coli, Salmonella dan Staphylococcus yang berasal dari bahan baku serta kontaminasi dari alat yang digunakan; (5) Tahap proses pendinginan berupa bahaya biologi bakteri yang diakibatkan proses pendinginannya tidak sempurna sehingga ada air yang mengembun setelah dikemas dan menyebabkan timbulnya jamur dan bakteri perusak; (6) Tahap proses pengemasan berupa bahaya
129
biologi bakteri patogen yang diakibatkan dari kontaminasi perkerja maupun kebocoran pengemas plastik yang digunakan; dan (7) Tahap proses penyimpanan produk mi di gudang penyimpanan kering berupa bahaya biologis berupa kontaminasi penyakit pes yang diakibatkan oleh binatang pengerat tikus, kecoa, dan serangga. Hasil pengujian cemaran mikroba dari beberapa produk mi kering yang dihasilkan oleh PT Kuala Pangan menunjukkan bahwa kandungan yang negatif dari bakteri patogen yang diuji yaitu Salmonella, E. coli dan Staphylococcus dan kapang. Sedangkan jumlah angka lempeng total (ALT) menunjukkan sebagian besar <103 koloni per gram, meskipun ada beberapa yang angka lempeng totalnya mencapai 104 koloni/gram tapi masih di bawah batas maksimal yang dipersyaratkan sebesar 106 koloni/gram. Data analisis kapang sebagian besar menunjukkan negatif walaupun ada beberapa yang menunjukkan positif. Data ini menunjukkan bahwa cemaran mikroba yang ada dalam produk mi kering bukan merupakan suatu bahaya potensial bagi keamanan produk mi kering yang dihasilkan oleh PT Kuala Pangan. Namun demikian, karena bahan baku yang digunakan untuk produksi mi kering adalah bahan alam, yaitu tepung terigu (hasil pertanian), tepung telur (hasil peternakan), garam (hasil kelautan), air (hasil pertambangan), dan meskipun proses produksinya ada proses pemasakan (pengukusan dan pengeringan), maka pemeriksaan cemaran mikroba untuk setiap hasil produksi mi kering tetap perlu dilakukan untuk memastikan bahwa cemaran mikroba yang ada dalam produk mi kering berada dalam jumlah yang aman untuk dikonsumsi. Jumlah angka lempeng total, termasuk kapang adalah merupakan salah satu parameter mutu, bukan merupakan suatu bahaya keamanan pangan, yang mana tinggi rendahnya jumlah angka lempeng total ini akan mempengaruhi umur simpan (daya simpan) dari produk mi kering. Semakin tinggi jumlah angka lempeng total ini, maka kemungkinan besar umur simpan produk akan menjadi semakin pendek. Upaya untuk memperkecil jumlah angka lempeng total ini bisa dilakukan dengan menerapkan GMP dan SSOP secara konsisten.
130
Produk mi kering yang dihasilkan oleh perusahaan memiliki kadar air 8-10%, dengan aw rata-rata sekitar 0,81 ; maka sebagian besar bakteri pertumbuhannya akan terhambat. Hampir semua aktivitas mikroba akan dihambat pada aw dibawah 0,6; sebagian besar kapang dihambat pada aw di bawah 0,7 ; sedang sebagian besar khamir dihambat pada aw di bawah 0,8 dan sebagian besar bakteri dihambat pada aw di bawah 0,9 (Fellows, 2000). Oleh karenanya, jika diinginkan produk yang lebih stabil dengan umur simpan yang lama, maka dalam pengembangan produk mi kering ke depan di perusahaan perlu dipertimbangkan untuk mendesain agar produk memiliki aw 0,7. Pengujian cemaran logam berat dan arsen pada produk mi kering yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 31. Berdasarkan data pengujian cemaran logam berat dan arsen pada produk mi kering yang dihasilkan oleh PT Kuala Pangan tersebut menunjukkan bahwa cemaran logam berat dan arsen masih dalam batas di bawah standar yang ada. Namun demikian, mengingat cemaran logam berat dan arsen ini, bergantung pada bahan baku (tepung terigu, garam, dan air) yang digunakan; maka monitoring kandungan cemaran logam berat dan arsen pada bahan baku yang digunakan sangat diperlukan untuk memastikan keamanan produk mi kering yang dihasilkan. Pemeriksaan kandungan logam berat dan arsen pada produk mi kering dapat dilakukan dengan interval waktu tertentu, disarankan 6 bulan sekali. Hal ini karena kandungan logam berat dan arsen sudah dipastikan pada setiap penerimaan bahan bakunya dan selama proses produksi tidak ada kemungkinan penambahan atau kontaminasi bahaya ini.
Tabel 31. Hasil Pengujian Cemaran Logam Berat dan Arsen Produk Mi Kering (*) Parameter
Satuan
Hasil Pengujian
* Cemaran logam - Timbal (Pb) - Merkuri (Hg) - Tembaga (Cu) - Seng (Zn) * Cemaran arsen (As)
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
< 0,05 < 0,0005 <2 <5 < 0,06
Syarat Mutu SNI 01.2974-1992 Mi Kering Maksimal Maksimal Maksimal Maksimal Maksimal
1,0 0,0005 10,0 40 0,5
(*) Hasil pengujian produk 1 kali.
131
7. Menentukan Titik Kendali Kritis atau Critical Control Point (Langkah Ke-7, Prinsip 2 HACCP) Identifikasi penentuan titik kendali kritis atau critical control point (CCP) pada proses produksi mi kering di PT Kuala Pangan mulai dari penerimaan bahan baku, bahan penolong/pembantu, bahan tambahan pangan (BTP) dan bahan pengemas hingga pengiriman dan distribusi produk mi kering dapat dilihat pada Tabel 32. Berdasarkan identifikasi dan kajian bahaya pada penerimaan bahan baku pembuatan mi kering (bahan baku utama, bahan pembantu utama dan bahan tambahan pangan, dan bahan pengemas) yang telah dilakukan, diperoleh bahwa bahaya potensial pada tahap penerimaan bahan baku tersebut yang signifikan dan perlu dikendalikan adalah : (1) Bahan baku tepung terigu, yaitu pada bahaya biologi berupa kemungkinan adanya bakteri patogen (E. coli, coliform, t) dan kapang, bahaya kimia (berupa cemaran logam berat dan arsen); (2) Bahan baku ”garam”, yaitu pada bahaya kimia (cemaran logam berat dan arsen); (3) Tepung telur, yaitu pada bahaya biologi berupa kemungkinan adanya bakteri patogen (E. coli, Salmonella, Staphylococcus) dan kapang; dan (4) Air untuk bahan campuran dalam produksi yang memiliki bahaya biologi berupa kemungkinan adanya bakteri patogen (E. coli/feacal coli, coliform), dan angka lempeng total serta bahaya kimia (logam berat dan arsen serta cemaran kimia lainnya).
132
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan Tahap/ Proses Penerimaan tepung terigu
Penerimaan garam
Penerimaan tepung telur
Bahaya
Penyebab/ justifikasi bahaya
Peluang
Severyty
(H,M,L)
(h,m,l)
B : E. coli
Penanganan di supplier kurang higienis
M
m
K : Logam berat dan arsen
Terkontaminasi sejak dari pertanian dan pengolahan terigu dan tidak dapat dihilangkan Supplier kurang memperhatikan lingkungan produksi
M
h
L
l
-
-
-
K : Logam berat dan arsen
Supplier kurang memperhatikan lingkungan produksi
L
h
F : Potongan benang, pasir, tali plastik
Supplier kurang memperhatikan lingkungan produksi
L
l
B : Salmonella, E. coli, Staphylococcus K : Tidak ada
Terkontaminasi pada saat penanganan
M
m
-
-
-
F : Potongan benang, tali plastik, potongan serangga B : Tidak ada
F : Kotoran
Tindakan pencegahan/ pengendalian
P1
- Proses berikutnya ada pengukusan dan pengeringan - Permintaan jaminan dari supplier dan pemeriksaan COA - Lakukan pengujian setiap 6 bulan sekali - Pemeriksaan dan inspeksi oleh bagian QC - Dilakukan pengayakan dengan ukuran 200 mesh -
Ya
Tidak
Ya
Ya
CP
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
-
-
-
-
-
-
- Permintaan jaminan dari supplier dan pemeriksaan COA - Lakukan pengujian setiap 6 bulan sekali - Pemeriksaan dan inspeksi oleh bagian QC - Dilakukan pengayakan dengan ukuran 200 mesh - Proses berikutnya ada pengukusan dan pengeringan -
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
Meskipun logam berat dan arsen termasuk membahayakan kesehatan, namun hasil pengujian di lab sangat kecil (di bawah standar) Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
Ya
Tidak
Ya
Ya
CP
-
-
-
-
-
-
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
Supplier kurang L l - Inspeksi dan pemememperhatikan riksaan oleh bagian QC lingkungan produksi Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;
P2
P3
P4
CCP/ CP
Alasan Keputusan Meskipun E. coli termasuk bakteri patogen, tetapi akan mati karena pemanasan Meskipun logam berat dan arsen termasuk membahayakan kesehatan, namun hasil pengujian di lab sangat kecil (di bawah standar) Dampaknya tidak sigifikan terhadap kesehatan manusia
Bakteri-bakteri tersebut mati karena pemanasan
akan
133
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Tahap/ Proses
Bahaya
Penyebab/ justifikasi bahaya
Peluang
Severyty
(h,m,l)
Tindakan pencegahan/ pengendalian
P1
(H,M,L)
P2
P3
P4
CCP/ CP
Alasan Keputusan
Penerimaan BTP natrium karbonat dan kalium karbonat
B : Tidak ada
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
K : Tidak ada
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Supplier kurang memperhatikan lingkungan produksi
L
l
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
Dampaknya tidak sigifikan terhadap kesehatan manusia
Penerimaan BTP Pewarna Tartrazin
B : Tidak ada
-
-
-
- Pemeriksaan dan inspeksi oleh bagian QC - Dilakukan pengayakan dengan ukuran 200 mesh -
-
-
-
-
-
-
K : Tidak ada
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
F : Tidak ada
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Lingkungan tempat pengambilan air tercemar oleh bakteri patogen Lingkungan tempat pengambilan air tercemar oleh logam berat dan bahan kimia - Lingkungan pengambilan air kotor
M
m
- Proses berikutnya ada pengukusan dan pengeringan
Ya
Tidak
Ya
Ya
CP
L
l
- Water treatment - SSOP Kemanan air
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
Bakteri-bakteri tersebut akan mati karena pemanasan pada tahap pengukusan dan pengeringan Hasil pemeriksaan di laboratorium memenuhi persyaratan PerMenkes No. 907/MenKes/ Per./VII/2002
L
l
- Inspeksi dan pemeriksaan oleh bagian QC
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
Penerimaan Air Untuk Produksi
F : Benda asing (kotoran, tanah)
B : Salmonella, E. coli, Staphylococcus K : Cemaran logam berat dan bahan kimia lainnya F : Kotoran terlarut
Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;
134
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Tahap/ Proses Penerimaan Bahan Pengemas Primer Plastik Jenis PP
Penerimaan Bahan Pengemas Sekunder Kotak Karton jenis CFB
Penyimpan an Bahanbahan di Gudang
Bahaya B : Tidak ada
K
: Residu bahan aditif plastik F : Benda asing (kotoran, tanah) B : Tidak ada
K : Tidak ada
F : Debu, kotoran yang menempel di karton
Peluang
Severyty
(H,M,L)
(h,m,l)
Tindakan pencegahan/ pengendalian
-
-
-
-
Adanya residu aditif plastik pada pengemas yg dipakai Supplier kurang memperhatikan lingkungan produksi -
L
m
L
l
- Pemeriksaan COA bahan yang masuk oleh bagian QC - Pemeriksaan dan inspeksi oleh bagian QC
-
-
-
-
Penyebab/ justifikasi bahaya
B
: Tikus, kecoa, lalat, serangga
Hasil pemeriksaan dan pemantauan di rekaman tidak pernah ditemukan benda asing Adanya binatang/ hewan tersebut dapat membawa pest
K
: Residu bahan sanitaiser
Terkontaminasi oleh residu bahan sanitaiser
P1
P2
P3
P4
CCP/ CP
Alasan Keputusan
-
-
-
-
-
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
- Menggunakan plastik food grade
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
Dampaknya tidak sigifikan terhadap kesehatan manusia
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
L
l
- Pemeriksaan dan inspeksi oleh bagian QC -
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
L
m
- Lakukan pengendalian hama (pest control) dengan tepat
Ya
Tidak
Ya
Ya
CP
L
m
-
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
Bakteri penyebab pest tersebut akan mati karena pemanasan pada tahap pengukusan dan pengeringan Penggunaan dan dosis sanitaiser yang tidak tepat dapat mengganggu kesehatan
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
Gunakan sanitaiser yang diizinkan - Gunakan dosis yang tepat F : Debu, ko- - Gudang tidak bersih L l - Inspeksi dan pemetoran riksaan oleh bagian QC - Lakukan pembersihan Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;
Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
135
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Tahap/ Proses Pengayakan tepung terigu dan garam
Bahaya
Pembuatan Larutan Alkali
Peluang
Severyty
(h,m,l)
Tindakan pencegahan/ pengendalian
P1
(H,M,L)
P2
P3
P4
CCP/ CP
Alasan Keputusan
B : Tidak ada
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
K : Tidak ada
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
: Benang, plastik, potongan serangga
Supplier kurang memperhatikan lingkungan produksi
L
l
- Pemeriksaan dan inspeksi oleh bagian QC - Lakukan pengayakan dgn alat ayakan ukuran mesh 200
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
- Dampaknya tidak sigifikan terhadap kesehatan manusia - Hasil pemeriksaan rekaman di perusahaan ditemukan bendabenda asing dalam jumlah kecil
B : Salmonella, Staphylococ cus
Kontaminasi bakteri pada bahan dari alat dan personil/karyawan
M
m
-
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
- Pada tahap berikutnya ada proses pengukusan dan pengeringan
-
-
-
Penerapan SSOP (Sanitasi alat) Penerapan SSOP (Kesehatan dan Higiene Karyawan) -
-
-
-
-
-
-
Kontaminasi pada alat yang digunakan dalam penimbangan
L
l
- Pemeriksaan dan inspeksi oleh bagian QC - Lakukan pembersihan
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
Penggunaan dan dosis sanitaiser yang tidak tepat dapat mengganggu kesehatan
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
F
Penimbangan bahan baku dan bahan lain untuk persiapan formulasi
Penyebab/ justifikasi bahaya
K : Tidak ada
F : Debu, kotoran yang menempel di karton B : Tidak ada
K
: Residu bahan sanitaiser
Alat yang digunakan L m - Gunakan sanitaiser terkontaminasi oleh yang diizinkan residu bahan sani- Gunakan dosis yang taiser tepat F : Debu, ko- Terkontaminasi oleh L l - Inspeksi dan pemetoran debu pada saat riksaan oleh bagian QC penanganan - Lakukan pembersihan Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;
136
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Tahap/ Proses Pencampuran dan formulasi adonan mi (Mixing)
Pengepres an dengan roll press (Pressing)
Bahaya
Peluang (H,M,L)
Severyty
- Terbawa dari adonan, kontaminasi dari alat dan karyawan yang menangani
M
m
K
: Residu bahan sanitaiser dan BTP
- Kontaminasi silang dari sisa residu pada alat dan dosis BTP yang tidak sesuai
L
m
F
: Debu, kotoran
Kontaminasi alat dari lingkungan produksi
L
l
B : Salmonella, Staphylococ cus,biofilm
Terbawa dari adonan, dan kontaminasi bakteri dari alat yang dipakai -
M
m
-
-
Adanya kerak adonan yang menempel pada roll press - Terbawa dari adonan, dan kontaminasi dari alat yang dipakai
L
l
M
m
-
-
K : Tidak ada
B : Salmonella, Staphylococ cus, biofilm
(Slitting) K : Tidak ada
F : Debu, kotoran
-
Tindakan pencegahan/ pengendalian
P1
- SSOP Sanitasi alat - SSOP Kesehatan karyawan - Tahap berikutnya ada proses pengukusan - Gunakan sanitaiser yang diizinkan dan dosis yg tepat - Gunakan dosis BTP yang tepat - Inspeksi dan pemeriksaan oleh QC - Lakukan pembersihan
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
- Bakteri tersebut akan mati pada saat pengukusan dan pengeringan
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
- Penggunaan sanitaiser dan BTP yang tidak tepat dapat mengganggu kesehatan
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
- Dampaknya tidak sigifikan terhadap kesehatan manusia
-
Penerapan SSOP (Sanitasi alat) - Tahap berikutnya ada proses pengukusan -
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
- Bakteri tersebut akan mati pada saat pengukusan dan pengeringan
-
-
-
-
-
-
- Pemeriksaan dan inspeksi oleh bagian QC - Lakukan pembersihan Penerapan SSOP (Sanitasi alat) - Tahap berikutnya ada proses pengukusan -
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
- Bakteri tersebut akan mati pada saat pengukusan dan pengeringan
-
-
-
-
-
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
- Penggunaan dan dosis sanitaiser yang tidak tepat dapat mengganggu kesehatan Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
(h,m,l)
B : Salmonella, Staphylococ cus, biofilm
F : Sisa kerak adonan mi Pencetakan Untaian Pita Mi
Penyebab/ justifikasi bahaya
Terkontaminasi oleh L l - Inspeksi dan pemedebu pada saat riksaan oleh bagian QC penanganan - Lakukan pembersihan Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;
P2
P3
P4
CCP/ CP
Alasan Keputusan
137
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Tahap/ Proses
Bahaya
Penyebab/ justifikasi bahaya
Peluang
Severity
(H,M,L)
(h,m,l)
Tindakan pencegahan/ pengendalian
P1
P2
P3
P4
CCP/ CP
- SSOP Sanitasi alat - SSOP Kesehatan karyawan - Tahap berikutnya ada proses pengeringan - Gunakan sanitaiser yang diizinkan dan dosis yg tepat
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
- Bakteri tersebut tidak dapat tumbuh dan berkembang pada saat pengukusan dan pengeringan
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
- Penggunaan sanitaiser yang tidak tepat dapat mengganggu kesehatan
Alasan Keputusan
Pengukusan Mi pada suhu 90-100oC selama 1,5-2 menit
B : Salmonella, Staphylococ cus, biofilm
- Terbawa dari adonan, kontaminasi dari alat dan karyawan yang menangani
M
m
(Steaming)
K
: Residu bahan sanitaiser
L
m
F
: Debu, kotoran
- Kontaminasi silang dari sisa residu pada alat conveyor yang digunakan Kontaminasi pada alat conveyor yang digunakan
L
l
- Inspeksi dan pemeriksaan oleh QC - Lakukan pembersihan
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
- Dampaknya tidak sigifikan terhadap kesehatan manusia
Terbawa dari adonan, dan kontaminasi bakteri dari alat yang dipakai -
M
m
-
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
- Bakteri tersebut akan mati pada proses pengeringan
-
-
Penerapan SSOP (Sanitasi alat) - Tahap berikutnya ada proses pengukusan -
-
-
-
-
-
-
Kontaminasi dari alat kipas dan lingkungan produksi - Terbawa dari adonan, dan kontaminasi dari alat yang dipakai
L
l
- Pemeriksaan dan inspeksi oleh bagian QC - Lakukan pembersihan M m Penerapan SSOP Pemotongan B : Salmonella, Staphylococ (Sanitasi alat) Untaian cus, biofilm - Tahap berikutnya ada Pita Mi proses pengukusan (Cutting) K : Residu Alat yang digunakan L m - Gunakan sanitaiser bahan sani- terkontaminasi oleh yang diizinkan taiser residu bahan sani- Gunakan dosis yang taiser tepat F : Sisa kerak Terkontaminasi oleh L l - Inspeksi dan pemeadonan debu pada saat riksaan oleh bagian QC penanganan - Lakukan pembersihan Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
- Bakteri tersebut akan mati pada saat pengukusan dan pengeringan
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
- Penggunaan dan dosis sanitaiser yang tidak tepat dapat mengganggu kesehatan
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
Pendinginan Mi Hasil Pengukusan
B : Salmonella, Staphylococ cus,biofilm
(Cooling) K : Tidak ada
F
: Debu, kotoran
138
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Tahap/ Proses Pengeringan Mi pada suhu 90-100oC selama 2530 menit
Bahaya B : Salmonella, Staphylococ cus, E. coli
Penyebab/ justifikasi bahaya
Peluang
Severity
(H,M,L)
(h,m,l)
F : Debu, kotoran Pendinginan Mi dengan kipas angin
B : Salmonella, Staphylococ cus,
selama 2 -3 menit (Cooling)
K : Tidak ada
Pengemasan dengan plastik jenis PP (Kemasan Primer)
F
: Debu, kotoran
B : Salmonella, Staphylococ cus, E. coli K
: Residu bahan aditif plastik F : Debu, kotoran
P1
P2
P3
P4
CCP/ CP
- Set suhu dan waktu yg dinginkan - Kontrol suhu secara periodik setiap 2 jam sekali - Lakukan kalibrasi internal termometer secara berkala 2 bulan sekali -
Ya
Ya
-
-
CCP
- Tahap pengeringan ini dirancang khusus untuk menghilangkan/memusnahkan bakteri-bakteri tersebut
-
-
-
-
-
-
- Inspeksi dan pemeriksaan oleh QC - Lakukan pembersihan Penerapan SSOP (Sanitasi alat dan lingkungan)
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
- Dampaknya tidak sigifikan terhadap kesehatan manusia
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
-
Alasan Keputusan
- Terbawa dari adonan, kontaminasi dari alat dan karyawan yang menangani
H
h
-
-
-
Kontaminasi pada alat conveyor yang digunakan Kontaminasi dari alat kipas angin yang digunakan
L
l
M
m
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Kontaminasi dari alat kipas dan lingkungan produksi - Terbawa dari adonan, dan kontaminasi dari alat yang dipakai
L
l
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
M
m
- Pemeriksaan dan inspeksi oleh bagian QC - Lakukan pembersihan Penerapan SSOP (Sanitasi alat) - Tahap berikutnya ada proses pengukusan - Gunakan bahan pengemas plastik food grade
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
- Bila kemasan yang dipakai ada yang bocor, produk mudah ditumbuhi bakteri
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
- Residu aditif yang melebihi batas standar dapat mengganggu kesehatan Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
(Drying)
K : Tidak ada
Tindakan pencegahan/ pengendalian
Kontaminasi residu L m aditif plastik karena migrasi ke produk Terkontaminasi oleh L l - Inspeksi dan pemedebu pada saat riksaan oleh bagian QC penanganan dari - Lakukan pembersihan lingkungan Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;
139
Tabel 32. Identifikasi Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) pada Proses Produksi Mi Keringng di PT Kuala Pangan (Lanjutan) Tahap/ Proses
Bahaya
Penyebab/ justifikasi bahaya
Peluang
Severity
(H,M,L)
(h,m,l)
Pengemasan dengan Kotak karton (Kemasan Sekunder)
B : Tidak ada
-
-
-
K : Tidak ada
-
-
-
F : Debu, kotoran
Kontaminasi dan kotoran karton
debu pada
L
Penyimpanan Produk Mi Kering di Gudang
B
Binatang/hewan tersebut dapat menyebabkan kontaminasi silang pada produk mi
P1
P2
P3
P4
CCP/ CP
Alasan Keputusan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
l
- Inspeksi dan pemeriksaan oleh QC - Lakukan pembersihan
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
- Dampaknya tidak sigifikan terhadap kesehatan manusia
L
m
- Lakukan pengendalian hama dengan tepat - Gunakan denah/lay out untuk pengendalian hama
Ya
Tidak
Tidak
-
CP
- Hewan tersebut dapat menyebabkan pes
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
L
l
Tidak
Tidak
-
CP
Dampaknya tidak signifikan terhadap kesehatan manusia
-
-
- Pemeriksaan dan inspeksi oleh bagian QC - Lakukan pembersihan -
Ya
B : Tidak ada
Ruang/gudang penyimpanan tidak bersih -
-
-
-
-
-
-
K : Tidak ada
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
F : Tidak ada
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
: Tikus, kecoa, serangga
K : Tidak ada
F : Debu, kotoran Pengiriman dan Pendistribusian Produk Mi
Tindakan pencegahan/ pengendalian -
Keterangan : Peluang : H =High, M = Medium, L = Low; Severity : h = high, m = medium, l = low;
140
Mengacu pada panduan penetapan langkah pengendalian dalam SNI 01.48521998 (BSN, 1998), yaitu berdasarkan dampak langkah pengendalian tingkat pengendalian bahaya atau frekuensi kejadian, tingkat keparahan bahaya pada kesehatan konsumen dan kebutuhan untuk pemantauan (monitoring), maka bahaya kimia pada penerimaan bahan baku tepung terigu dan garam tersebut tidak perlu dikendalikan dalam rencana HACCP, tetapi dikendalikan sebagai control point (CP) dan penerapan GMP. Hal ini dikarenakan dalam proses produksi mi kering yang diterapkan perusahaan saat ini tidak mendesain secara khusus untuk menghilangkan bahaya ini, sehingga cemaran logam berat dan arsen tidak bisa dihilangkan selama proses produksi mi kering. Untuk mencegah atau mengendalikan bahaya kimia tersebut, maka perusahaan harus menetapkan spesifikasi bahan baku dengan benar mengacu pada regulasi pemerintah dan melakukan pemeriksaan kesesuaian Certificate of Analysis (sertifikat hasil pengujian) dengan standar yang sudah ditetapkan setiap kali penerimaan bahan baku tersebut. Bila bahan baku tersebut tidak memenuhi persyaratan spesifikasi keamanan pangan, maka perusahaan dapat menolak dan mengembalikan bahan baku tersebut ke pihak pemasok/supplier. Bahaya biologi pada bahan baku (tepung terigu, tepung telur dan air) yang digunakan dalam proses produksi mi kering tidak perlu dimasukkan dalam rencana HACCP atau dengan perkataan lain bukan merupakan titik kendali kritis, karena pada proses produksi pada tahap berikutnya ; bahaya biologi tersebut dapat dihilangkan atau dikurangi sampai tingkat yang dapat diterima melalui tahapan produksi mi, yaitu pada tahap pengukusan (pemasakan) mi pada suhu 90-100oC selama 1,5-2 menit dan pada tahap pengeringan mi pada suhu 90-100oC selama 25-30 menit. Bila dikaji lebih lanjut, bahan baku tepung terigu komposisi nutrisinya relatif tidak mendukung pertumbuhan mikroba, berbentuk kering dan padat dengan kadar air sekitar 8-10% sehingga mempunyai aw (aktifitas air) yang rendah yaitu sekitar 0,81.
Bahan baku (garam)
komposisinya terdiri dari senyawa natrium klorida (NaCl) dengan kadar NaCl sekitar 95% dan berfungsi sebagai bahan pengawet, karena garam tersebut akan menarik air dan menurunkan aw produk pangan sehingga mikroba tidak akan dapat tumbuh dan berkembang. Sedang bahan baku (tepung telur), komposisi nutrisinya relatif lebih mendukung adanya pertumbuhan mikroba patogen seperti E. coli, Salmonella dan Staphylococcus karena kandungan proteinnya yang tinggi; namun karena dalam kondisi
141
berbentuk tepung, padat dan kering dengan kadar air yang rendah (sekitar 4-6%) menyebabkan mikroba tidak dapat tumbuh dan berkembang. Agar pengendalian bahaya yang telah teridentifikasi pada bahan baku (bahan baku utama, bahan pembantu, bahan tambahan pangan, dan bahan pengemas), baik yang dikelola dalam titik kendali kritis atau CCP maupun bukan-CCP atau Control Point (CP) dapat berjalan efektif, maka perlu ditetapkan batas kritis CCP-nya, langkah pemantauan dan juga tindakan koreksinya jika terjadi penyimpangan atas CCP maupun penerapan SSOP dan GMP yang ditetapkan. Langkah pemantauan yang mencakup batas kritis, tindakan koreksi dan tindakan verifikasi yang perlu dilakukan pada setiap CCP atau bukan-CCP akan dibahas lebih lanjut di HACCP Plan-nya. Berdasarkan identifikasi dan kajian bahaya pada tahapan proses dan alat produksi yang dilakukan, diperoleh bahwa bahaya potensial pada tahapan proses yang signifikan yang perlu dikendalikan adalah : (1) Tahap proses pengayakan tepung terigu dan garam, yaitu adanya bahaya fisik berupa potongan benang, plastik, potongan serangga dan pasir/kerikil; (2) Tahap proses penimbangan bahan baku tepung terigu, garam, tepung telur dan air berupa kemungkinan kontaminasi bakteri patogen dari pekerja/karyawan; (3) Tahapan proses pencampuran dan formulasi pembuatan adonan mi, pembentukan lembaran adonan dengan alat roll press, pembentukan untaian kembang mi (slitting) dan pemotongan mi (cutting), yaitu berupa kemungkinan adanya kontaminasi bakteri patogen (bahaya biologi) yang terbawa dari bahan adonan dan alat yang dipakai berupa bakteri E. coli, Salmonella, Staphylococcus dan biofilm pada unit mesin pencampur (mixer), pengepres (roll press) dan pembentuk kembang mi (slitter); (4) Tahap proses pengukusan (pemasakan) mi pada suhu 90-100oC selama 1,5-2 menit dan proses pengeringan mi pada suhu 90-100 oC selama 25-30 menit berupa bahaya biologi bakteri patogen dan kapang yang berasal dari bahan baku (adonan) serta kontaminasi dari pekerja dan alat yang digunakan; (5) Tahap proses pendinginan berupa bahaya biologi bakteri
yang
diakibatkan adanya kontaminasi yang berasal dari alat pendingin dan kipas yang digunakan; (6) Tahap proses pengemasan berupa bahaya biologi bakteri patogen yang diakibatkan dari kontaminasi pekerja maupun kebocoran pengemas plastik yang digunakan; dan (7) Tahap proses penyimpanan produk mi di gudang penyimpanan kering
142
berupa bahaya biologis berupa kontaminasi penyakit pes yang diakibatkan oleh binatang pengerat tikus. Mengacu pada panduan penetapan langkah pengendalian dalam SNI 01.48521998 tentang Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kendali Kritis (BSN, 1998), yaitu berdasarkan dampak langkah pengendalian terhadap tingkat bahaya atau frekuensi kejadian, tingkat keparahan bahaya pada kesehatan kosumen dan kebutuhan untuk pemantauan (monitoring), maka bahaya biologi bakteri patogen (E. coli, Salmonella, Staphylococcus) pada mi yang dimasak pada tahap pengeringan tersebut perlu dikendalikan dalam rencana HACCP sebagai titik kendali kritis atau CCP. Hal ini dikarenakan dalam proses produksi mi kering yang diterapkan perusahaan saat ini, tahapan proses pengeringan ini dirancang/didisain khusus untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya biologis bakteri dan kapang tersebut sampai tingkat yang dapat diterima. Untuk mencegah bahaya tersebut, maka tindakan pengendalian yang dilakukan adalah dengan memeriksa suhu dan waktu pengeringan secara berkala setiap 2 jam sekali selama proses pengeringan dan produksi berlangsung, dan kecepatan udara yang digunakan untuk menegeringkan produk mi kering. Pemeriksaan ini dilakukan dengan inspeksi visual terhadap panel termometer dan panel air flowmeter serta pencatatan suhu dan kecepatan udara hasil inspeksi. Pengendalian terhadap bahan baku, bahan penolong, bahan tambahan pangan (BTP), kemasan dan produk akhir serta pembersihan ruangan masuk dalam kategori GMPs. Sedangkan kategori Critical Point (CP) terdiri dari penerimaan bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan pangan yang baru datang; penyimpanan bahanbahan tersebut di gudang kering dan ruang suhunya terkendali; penimbangan bahan baku, bahan penolong dan BTP di ruang penimbangan; proses pencampuran dan formulasi adonan; proses pembuatan adonan menjadi lembaran adonan dengan roll press; proses pembentukan pita mi (slitting); proses pendinginan mi setelah pengukusan (cooling), proses pemotongan mi (cutting); pengemasan produk mi kering dalam wadah plastik pengemas jenis PP dan kotak karton; penyimpanan dan karantina produk mi kering di gudang penyimpanan; pengiriman dan pendistribusian produk mi kering; dan pembersihan alat dan mesin yang digunakan perusahaan dalam proses produksi.
143
Penerimaan bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan pangan (BTP) serta kemasan yang baru datang masuk kategori CP karena pada tahap ini ada seleksi dan kontrol terhadap pemasok (supplier), pemeriksaan bahan baku dan bahan-bahan lain sesuai dengan spesifikasi dan sertifikat hasil analisis (COA) dan pengujian bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan pangan sebelum digunakan. Pemeriksaan dan pengujian dilakukan untuk melihat mutunya sesuai dengan standar atau spesifikasi yang diinginkan perusahaan. Selain itu juga diperiksa kondisi kemasan dan jumlah bahan baku, bahan penolong dan BTP yang dipesan. Penyimpanan bahan baku, bahan penolong, bahan tambahan pangan dan produk akhir serta pembersihan ruangan masuk dalam kategori GMPs. Kondisi penyimpanan dan ruangan harus dalam keadaan bersih untuk menghindari kontaminasi silang pada bahan yang disimpan. Kebersihan ruangan harus terjaga dan terjadwal dengan baik. Disamping itu, kemasan harus dalam keadaan tertutup dan terlindung dari kotoran dan debu. Contoh prosedur dan jadwal kebersihan ruangan dapat dilihat pada Lampiran 12. Persiapan alat produksi, pemindahan, pengambilan dan penimbangan bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan pangan di ruang produksi masing-masing termasuk kategori CP. Sebelum memproduksi mi kering, personil/karyawan produksi harus mempersiapkan peralatan dan mesin yang akan dipakai. Bagian dalam vessel peralatan dan mesin pencampur (mixer), pembuat adonan menjadi lembaran adonan (roll presser), pembentukan dan pemotongan pita mi (cutter) harus diperiksa kebersihannya sebelum digunakan untuk produksi. Hal ini bertujuan untuk mencegah kontaminasi silang awal selama proses pengolahan. Setiap personil produksi yang terlibat dalam proses pengolahan bekerja sesuai dengan SOP dan daftar pengecekan pesanan bahan yang akan diolah (work order checking list). Pada proses pengambilan dan penimbangan bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan pangan, personil/karyawan di bagian produksi harus mengambil dan menimbang bahan-bahan tersebut sesuai dengan prosedur kerja. Kesalahan pengambilan dan penimbangan bahan baku dan bahan-bahan lain akan menyebabkan perubahan mutu yang tidak sesuai dengan permintaan konsumen. Sebelum kegiatan produksi dimulai, biasanya personil di bagian produksi memeriksa alat timbangan sebelum digunakan dalam proses pencampuran dan formulasi. Pada saat pencampuran bahan baku, bahan
144
penolong, bahan tambahan pangan dan air; personil di bagian produksi ini harus memperhatikan cara produksi yang baik dan higienis. Dengan demikian, hal tersebut akan mencegah kontaminasi silang selama proses pencampuran dan formulasi. Menurut Nuraida (2002), penerapan praktek sanitasi dan higiene makanan yang baik merupakan bentuk yang paling mendasar dari sistem penjaminan keamanan pangan dan merupakan prasyarat dalam penerapan HACCP. Pada proses pencampuran dan formulasi adonan,
proses pembuatan adonan
menjadi lembaran adonan dengan roll press; proses pembentukan untaian pita mi (slitting); proses pendinginan mi setelah pengukusan (cooling), proses pemotongan mi (cutting); karyawan/personil yang terlibat dalam proses tersebut harus melakukan pekerjaan dan tanggung jawabnya sesuai dengan standar prosedur operasi (SOP) yang telah ditetapkan perusahaan. Pada saat proses pencampuran dan formulasi adonan hingga proses pemotongan pita mi; karyawan/personil di bagian produksi juga harus memperhatikan cara produksi yang baik dan higienis. Dengan demikian, hal tersebut akan mencegah kontaminasi silang selama proses tersebut berlangsung. Proses pengemasan produk mi kering juga masuk dalam kategori critical point (CP). Kemasan primer yang akan digunakan berupa plastik jenis PP harus diperiksa dahulu kebersihan dan labelnya. Kemasan primer yang sudah berisi produk akhir disegel/diseal dengan rapat untuk menghindari kebocoran, lalu dikemas lagi dengan kemasan sekunder dalam bentuk kotak karton. Setiap kemasan primer mempunyai bobot netto 200 gram dan setiap kotak karton berisi 20 kemasan primer. Penyimpanan produk akhir di gudang penyimpanan dan pembersihan ruang/ gudang penyimpanan termasuk dalam kategori control point dan GMP. Kondisi gudang penyimpanan harus bersih dan dilakukan tindakan sanitasi serta pengendalian hama untuk menghindari kontaminasi silang pada produk yang disimpan sebagai akibat produknya diganggu binatang perusak/pengerat tikus yang dapat menularkan penyakit pes. Oleh karena itu, kebersihan gudang dan sanitasinya harus terjaga dan terjadwal dengan baik. Agar pengendalian bahaya yang telah teridentifikasi pada tahapan dan alat proses produksi, baik yang akan dikelola dalam titik kendali kritis atau CCP maupun bukanCCP atau Control Point (CP) dapat berjalan efektif; maka perlu ditetapkan batas kritis setiap CCP-nya, langkah pemantauan dan juga tindakan koreksinya jika terjadi
145
penyimpangan atas CCP maupun CP-nya. Langkah pemantauan yang mencakup batas kritis, tindakan koreksi, dan tindakan verifikasi yang perlu dilakukan pada setiap CCP dan CP-nya akan dibahas lebih lanjut di HACCP Plan-nya.
8. Menentukan Batas Kritis (Langkah Ke-8, Prinsip 3 HACCP) Batas kritis adalah kriteria yang membedakan produk atau parameter yang dapat diterima pada produk atau parameter yang tidak dapat diterima/ditolak. Batas kritis ini merupakan toleransi mutlak (absolut) untuk keamanan pangan. Berdasarkan identifikasi bahaya dan titik kendali kritis pada produksi mi kering, maka batas kritis untuk mencegah bahaya biologis pada tahap proses pengeringan (CCP1) dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Batas kritis yang ditetapkan pada titik kendali kritis (CCP) untuk produksi mi kering di PT Kuala Pangan. No. 1.
Jenis Bahaya
Titik Kendali Kritis (CCP)
Bahaya biologis bakteri patogen (E. Coli, coliform, Salmonella, Staphyllococcus, kapang)
Pada tahap Pengeringan dengan cara dioven menggunakan uap panas
Batas Kritis - Suhu 90 - 100 oC - Waktu 20-25 menit - Kadar air maksimal 10% - Kecepatan udara 2 m/det
Penetapan batas kritis untuk untuk bahaya biologi bakteri patogen pada proses produksi pembuatan mi kering di tahap pengeringan sebagai titik kendali kritis (CCP) ditetapkan berdasarkan pengalaman empiris dan penelitian teknis perusahaan serta publikasi ilmiah dari ICMSF (1996) serta Bacon dan Sofos (2003). Pengujian bahaya biologis adanya bakteri patogen (E.coli, Salmonella, Stapahylococcus) dan kapang pada produk mi kering untuk memvalidasi batas kritis tersebut dapat dilihat pada Tabel 34. Berdasarkan hasil pengujian bahaya biologis berupa bakteri patogen (E.coli, Salmonella, Stapahylococcus) dan kapang pada produk hasil pengukusan dan pengeringan menunjukkan negatif dan kandungan kapangnya sekitar 10 koloni/gram. Hasil pengujian ini juga menunjukkan masih di bawah ambang batas kritisnya.
146
Tabel 34. Hasil Pengujian Cemaran Logam Berat, Arsen pada Bahan Baku Tepung Terigu dan Garam serta Bakteri Patogen pada Produk Mi Kering (*). No. 1.
2.
Jenis/Parameter Bahaya Bahaya biologis/ bakteri patogen - E. coli - Salmonella - Staphylococcus - Kapang Bahaya biologis/ bakteri patogen - E. coli - Salmonella - Staphylococcus - Kapang
Satuan
Titik Kendali Kritis
Hasil Pengujian
Batas Kritis
Negatif Negatif Negatif 10
Negatif Negatif Negatif 1 x 104
Negatif Negatif Negatif 10
Negatif Negatif Negatif 1 x 104
Pengukusan Koloni/g Koloni/g Koloni/g Koloni/g
- Suhu 90-100oC - Waktu 1-1,5 menit
Pengeringan Koloni/g Koloni/g Koloni/g Koloni/g
- Suhu 90-100oC - Waktu 25-30 menit
(*) Hasil pengujian 1 kali
9. Menetapkan Prosedur Monitoring (Langkah Ke-9; Prinsip 4 HACCP) Batas kritis berupa bahaya biologi bakteri patogen pada tahapan pengeringan sebagai titik kendali kritis atau CCP haruslah dipantau atau dimonitor keberadaannya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memastikan apakah prosedur pengolahan atau penanganan pada titik kendali kritis atau CCP tersebut masih di bawah kendali. Disamping itu, tujuan monitoring ini adalah untuk mengetahui saat sebuah CCP atau bukan CCP tidak terkontrol yang berakibat dapat meningkatnya risiko terproduksinya produk berbahaya, untuk mengidentifikasi masalah-masalah sebelum mereka muncul, menentukan titik penyebab suatu masalah, membantu verifikasi dan membantu membuktikan kelayakan program HACCP. Salah satu langkah yang dapat dilakukan di perusahaan industri pembuat mi kering PT Kuala Pangan apabila hasil monitoring CCP pada titik kendali kritis (CCP)-nya berada di luar kendali adalah melakukan tindakan (aksi) yang bersifat proaktif dan kreatif (pro-active and creative action). Tindakan yang proaktif dan kreatif ini adalah tindakan yang harus dilakukan ketika hasil pemantauan (monitoring) pada CCP berada di luar kendali. Dengan demikian, diharapkan aksi yang proaktif dan kreatif dapat digunakan untuk mengantisipasi atau mencegah terjadinya penyimpangan sebagai akibat dari tidak terkendalinya CCP. Sebagai tindakan, pada tahapan pengeringan mi dilakukan
147
pemeriksaan secara kontinyu dan teratur terhadap suhu dan waktu yang digunakan pada proses tersebut. Tindakan proaktif dan kreatif ini secara lengkap dapat dilihat di program rencana HACCP atau HACCP Plan (Tabel 35 dan 36).
10. Menetapkan Prosedur Tindakan Koreksi (Langkah Ke-10; Prinsip 5 HACCP) Tindakan
koreksi
adalah
segala
tindakan
yang
diambil
saat
hasil
pemantauan/monitoring CCP mengindikasikan hilangnya kendali. Tindakan koreksi pada tahapan pengeringan sebagai titik kendali kritis (CCP) terhadap bahaya biologis bakteri patogen di PT Kuala Pangan adalah sebagai berikut : (1) Perusahaan akan menghentikan proses produksi sementara guna mengurangi/mengeliminasi jumlah produk yang terproses dan kerja ulang produk, serta mengevaluasi ketidaksesuaian yang ditemukan oleh Bagian Produksi dan QC agar ketidaksesuaian tersebut segera diperbaiki dan ditindaklanjuti perbaikannya oleh bagian pemeliharaan (maintenance) sehingga proses produksi dapat dilanjutkan kembali; (2) Produk mi yang sudah terlanjur diproses menjadi produk akhir dalam bentuk mi kering, harus dipisahkan dan dikarantina dari produk akhir mi yang lain, lalu dilakukan pengujian analisis di laboratorium terhadap parameter sifat mikrobiologisnya untuk memastikan keamanannya sebelum dikirim dan didistribusikan kepada pelanggan/konsumen; (3) produk mi yang gagal /cacat pada tahap proses pengukusan karena batas kritis suhu pengukusannya tidak terpenuhi, maka produk tersebut dapat dilakukan proses ulang kembali atau re-proses dengan catatan bahwa mutu produk tersebut masih baik dan memenuhi persyaratan spesifikasi perusahaan; (4) Produk mi kering yang sudah terlanjur diproduksi tetapi berdasarkan hasil pengujian dan analisis menunjukkan bahwa produk tersebut tidak aman dan tidak layak dikonsumsi harus dimusnahkan; dan (5) Melakukan kalibrasi alat ukur suhu (termometer) yang digunakan pada proses produksi mi kering di tahap pengukusan dan pengeringan. Prosedur proses ulang kembali atau re-proses untuk menangani produk yang gagal/cacat pada saat pengukusan dilakukan dengan cara sebagai berikut : (a) Pisahkan produk mi hasil pengukusan yang gagal/cacat, (b) Dilakukan pemeriksaan oleh bagian QC sesuai dengan acuan standar yang ditetapkan perusahaan, (c) Bila memenuhi standar perusahaan, produk lalu dicampurkan ke dalam pembuatan adonan kembali untuk
148
selanjutnya diproses lagi dari tahap pembuatan adonan hingga pengemasan produk mi dengan plastik jenis PP, kotak karton dan pengiriman/distribusi.
11. Menetapkan Tindakan Verifikasi (Langkah Ke-11; prinsip 6 HACCP) Tindakan verifikasi merupakan suatu kegiatan penerapan metode-metode, prosedur pengujian dan analisis serta evaluasi-evaluasi lain sebagai tambahan dalam sistem pemantauan untuk mengetahui dan memastikan efektifitas terhadap rencana HACCP. Tindakan verifikasi yang direncanakan dilakukan pada industri pengolahan pangan PT Kuala Pangan sebagai produsen pangan mi kering, baik yang menyangkut titik kendali kritis atau CCP pada penerimaan bahan baku dan tahapan proses serta yang menyangkut bukan CCP atau control point (CP) secara ringkas dapat dilihat pada tabel rencana HACCP atau HACCP Plan (Tabel 35 dan 36).
149
Tabel 35. Rencana HACCP (HACCP Plan) Pada Produksi Mi Kering.
CCP1
Tahap Proses
Bahaya yang diidentifikasi
Batas Kritis
Pengeringan produk mi
Bakteri patogen (E. coli, Salmonella, Staphylococcus)
- Suhu 90-100 o C, dan lama pengeringan 25-30 menit
Apa
-
Kecepatan aliran udara 2m/detik
- Kadar air produk mi kering maksimal 10%
-
Suhu oven dan lama pengeringan
Pemantauan (Monitoring) Bagaimana Kapan
Siapa
Dengan memeriksa suhu proses pada mesin oven pengering secara visual dan waktu pengeringan dengan stopwatch/ jam tangan
Selama produksi proses ringan menit)
Kecepatan aliran udara pengeringan
- Dengan memeriksa kecepatan aliran udara pengeringan
- Selama proses setiap pengeringan
Operator bagian QC
- Kadar air produk mi kering yang dihasilkan
- Dengan memakai alat konduktifitas meter
- Setiap selesai proses satu batch pengeringan
Operator bagian QC
-
proses setiap penge(25-30
Operator bagian pengeringan mi dan bagian QC
Tindakan Koreksi
Tindakan Verifikasi
Prosedur Rekaman
-
-
Kalibrasi alat termometer dan stop watch secara berkala
- Dokumentasi Laporan tindakan koreksi
- Uji mikrobiologi ter-hadap produk akhir
- Dokumentasi Laporan kalibrasi alat
Bila suhu tidak sesuai standar, maka produk yang sudah jadi dipisahkan/ dikarantina
- Stop proses dan direproses (Waktu proses pengeringan diperpanjang)
- Dokumentasi Laporan Operator pengeringan produk
- Dokumentasi Laporan catatan batas kritis - Data atau log sheet pengukuran - Data checklist
150
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan PT Kuala Pangan No.
1.
2.
3.
4.
Bahan Baku
Penerimaan Tepung terigu
Penerimaan Tepung Telur
Penerimaan Garam
Penerimaan Air
Nomor CP CP-1
CP-2
CP-3
CP-4
Bahaya
Tindakan pengendalian
-Bakteri patogen (E. coli, Salmonella, kapang) -Cemaran logam berat dan arsen
-SSOP penerimaan bahan tepung terigu
Bakteri patogen (Salmonella, E. coli, Staphy-coccus)
-SSOP penerimaan bahan tepung telur - Tahap berikutnya ada pengukusan dan pengeringan -SSOP Penerimaan bahan baku garam
-Cemaran logam berat dan cemaran arsen -Potongan benang, tali plastik, pasir -Bakteri pathogen (E. coli, Salmonella, Staphylococcus - Cemaran logam berat dan kotoran
Pemantauan Obyek
Lokasi
Prosedur
Frekuensi
Staf/Dept.
Gudang bahan baku
Memeriksa keseuaian COA dgn standar
Setiap penerimaan bahan baku
Staf bagian Gudang & QC
- Mengem balikan ke supplier - Audit supplier - Melakukan pengujian secara eksternal 6 bulan sekali
Ka Bag. Produksi dan QC
Tepung telur
Gudang bahan baku
Memeriksa keseuaian COA dgn standar
Setiap penerimaan bahan baku
Staf bagian Gudang & QC
- Mengembalikan ke supplier
Ka Bag. Produksi dan QC
- Audit supplier
Garam
Gudang bahan baku
Memeriksa keseuaian COA dgn standar
Setiap penerimaan bahan baku
Staf bagian Gudang & QC
- Mengembalikan ke supplier - Audit supplier - Melakukan pengujian secara eksternal 6 bulan sekali
Ka Bag. Produksi dan QC
Air
Gudang Penyimpanan air
Cek mutu/ kualitas air (kandungan E. coli, Salmonella , dll)
Setiap 1 (satu) bulan sekali
Bagian Teknik & Maintenance
- Mengganti filter, filter karbon aktif
Ka. Bag. Teknik & Maintenance
- Tahap berikutnya ada pengayakan
-Water treatment
Tanggung jawab
Tepung terigu
-Tahap berikutnya ada pengukusan
- SSOP Keamanan Air
Tindakan koreksi
Uji eksternal kualitas air sesuai PerMenKes No. 907 /MenKes/SK/VII/ 2002.
Rekaman/ Catatan dokumentasi - Dokumentasi COA - Dokumentasi hasil pengujian - Dokumentasi hasil audit supplier - Dokumentasi COA - Dokumentasi hasil pengujian - Dokumentasi hasil audit supplier - Dokumentasi COA - Dokumentasi hasil pengujian - Dokumentasi hasil audit supplier - Dokumentasi uji E. coli - Dokumentasi hasil Uji eksternal mutu air
151
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan (Lanjutan) No.
5.
6.
Bahan Baku
Penerimaan Natrium dan Kalium Karbonat
Penerimaan Tartrazin CI 19140
Nomor CP CP-5
CP-6
Bahaya
- Tidak ada
- Fisik : kotoran
Tindakan pengendalian
Tindakan koreksi
Pemantauan Obyek
- SSOP penerimaan natrium dan kalium karbonat - Pemeriksaan COA bahan yang masuk
Natrium dan kalium karbonat
SSOP Penerimaan Tartrazin
Tatrtrazin CI 19140
Lokasi Gudang bahan baku
Gudang bahan baku
Prosedur
Frekuensi
Staf/Dept.
Memeriksa keseuaian COA dgn standar
Setiap penerimaan bahan natrium dan kalium karbonat
Staf bagian Gudang & QC
Setiap penerimaan bahan taertrazin
Staf bagian Gudang & QC
Memeriksa keseuaian COA dgn standar
- Mengem balikan ke supplier - Audit supplier
Tanggung jawab Ka Bag. Produksi dan QC
- Uji secara eksternal setiap 1 tahun sekali - Mengembalikan ke supplier - Audit supplier
Ka Bag. Produksi dan QC
- Uji secara eksternal setiap 6 bulan sekali 7.
8.
Penerimaan Bahan pengemas plastik (Kemasan Primer)
CP-7
Penerimaan Bahan pengemas Kotak Karton (Kemasan Sekunder)
CP-8
- Kimia : aditif plastik (plasticizer) - Fisik : debu, kotoran
Fisik : debu, kotoran
- SSOP Penerimaan bahan pengemas plastic - Pemeriksaan COA bahan yang masuk
Plastik jenis PP
- SSOP Penerimaan bahan pengemas kotak karton -Pemeriksaan bahan kotak karton yang masuk
Kotak karton
Gudang bahan baku
Gudang bahan baku
Memeriksa keseuaian COA dgn standar
Setiap penerimaan bahan pengemas plastik PP
Staf bagian Gudang & QC
Memeriksa kesuaian COA dgn standar
Setiap penerimaan bahan pengemas kotak karton
Bagian Teknik & Maintenance
- Mengembalikan ke supplier
Ka Bag. Produksi dan QC
- Audit supplier
- Mengembalikan ke supplier
- Audit supplier
Ka. Bag. Teknik & Maintenance
Rekaman/ Catatan dokumentasi - Dokumentasi COA - Dokumentasi hasil pengujian - Dokumentasi hasil audit supplier - Dokumentasi COA - Dokumentasi hasil pengujian - Dokumentasi hasil audit supplier - Dokumentasi COA - Dokumentasi hasil pengujian - Dokumentasi hasil audit supplier - Dokumentasi uji E. coli - Dokumentasi hasil Uji eksternal mutu air
152
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan (Lanjutan). No.
9.
10.
11.
12
Bahan Baku
Penyimpanan Bahan baku dan bahan lainnya
Penimbangan
Pencampuran (Mixing)
Pencampuran dan Formulasi
Nomor CP CP-9
CP-10
CP-11
CP-12
Bahaya
Tindakan pengendalian
Pemantauan Obyek
Lokasi
Prosedur
- Biologis : SSOP petikus, kecoa, nyimpanan serangga bahan baku - Residu badan bahan han sanitailainnya ser - Lakukan pest control
Bahan baku, bahan lain dan produk
Gudang penyimpanan bahan baku, bahan lain & produk
Memeriksa gudang penyimpanan
- Bakteri patogen
- SSOP (Kesehatan & Higiene Pekerja)
- Pekerja/ karyawan
- Ceceran bahan kimia pembersih
- SSOP (Sanitasi alat)
Alat timbangan
- Bakteri patogen ;
-SSOP (Kesehatan & Higiene Pekerja)
- Pekerja/ karyawan
- Residu bahan sanitaiser
- SSOP (Sanitasi alat)
- Mixer
-Bakteri togen;
-SSOP (Kesehatan & Higiene Pekerja) - SSOP (Sanitasi alat)
- Pekerja/ karyawan
pa-
-Residu sanitaiser
Frekuensi
Staf/Dept.
Setiap minggu sekali
Staf bagian Produksi & QC
Tindakan koreksi
Tanggung jawab
- Perketat praktek penyimpanan bahan sesuai GMP dan SSOP
Ka Bag. Produksi dan QC
- Perketat penerapan pengendalian hama
- Mixer
Ruang proses produksi
Ruang proses produksi
Gudang bahan baku
- Memeriksa kesehatan karyawan
-Minimal 1 tahun sekali
- Memeriksa kondisi kebersihan alat - Memeriksa kesehatan karyawan
-Setiap awal bulan
- Memeriksa kondisi kebersihan alat - Memeriksa kesehatan karyawan - Memeriksa kondisi kebersihan alat
-Minimal 1 tahun sekali
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
Ka Bag. Produksi dan QC
Staf bagian Produksi & QC
- Beri teguran kepada karyawan atau beri pelatihan higiene dan sanitasi - Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
Ka Bag. Produksi dan QC
Staf bagian Produksi & QC
- Beri teguran kepada karyawan atau beri pelatihan higiene dan sanitasi - Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
-Setiap awal bulan
-Minimal 1 tahun sekali -Setiap awal bulan
- Beri teguran kepada karyawan atau beri pelatihan higiene dan sanitasi
Ka. Bag. Teknik & Maintenance.
Rekaman/ Catatan dokumentasi - Dokumentasi hasil pemeriksaan kondisi gudang - Dokumentasi hasil pengendalian hama - Dokumentasi hasil pemeriksaan kesehatan karyawan - Dokumentasi log book hasil pemeriksaan alat - Dokumentasi hasil pemeriksaan kesehatan karyawan - Dokumentasi log book hasil pemeriksaan alat - Dokumentasi hasil pemeriksaan kesehatan karyawan - Dokumentasi log book hasil pemeriksaan alat
153
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan (Lanjutan). No.
13.
14.
15.
16.
Bahan Baku
Penyimpanan Bahan baku dan bahan lainnya
Pengayakan tepung terigu dan garam
Penimbangan bahan
Pembuatan Larutan Alkali
Nomor CP CP-13
CP-14
CP-15
CP-16
Bahaya
Tindakan pengendalian
Pemantauan Obyek
Lokasi
Prosedur
- Biologis : SSOP petikus, kecoa, nyimpanan serangga ; bahan baku dan bahan lainnya - Residu bahan sanitai- - Lakukan pest control ser
Bahan baku, bahan lain dan produk
Gudang penyimpanan bahan baku, bahan lain & produk
Memeriksa gudang penyimpanan
- Cemaran fisik (benang, tali plastik potongan serangga, pasir)
- Bahan tepung terigu dan garam
- Bakteri patogen
- Melakukan pengayakan dengan ayakan ukuran 200 mesh - Cemaran fisik yang diperoleh dipisahkan -SSOP (Kesehatan & Higiene Pekerja)
Frekuensi
Staf/Dept.
Setiap minggu sekali
Staf bagian Produksi & QC
Tindakan koreksi
Tanggung jawab
- Perketat praktek penyimpanan bahan sesuai GMP dan SSOP
Ka Bag. Produksi dan QC
- Perketat penerapan pengendalian hama
- Pekerja/ karyawan
- Debu, kotoran
- SSOP (Sanitasi alat)
Alat timbangan
- Bakteri patogen
-SSOP (Kesehatan & Higiene Pekerja)
- Pekerja/ karyawan
- Ceceran residu sanitaiser
- SSOP (Sanitasi alat)
- Wadah larutan alkali
Ruang proses pengayakan
Ruang proses penimbangan
Ruang proses pembuatan larutan alkali
- Memeriksa ukuran mesh ayakan yang dipakai - Memeriksa kondisi kebersihan alat - Memeriksa kesehatan karyawan
-Setiap kali bahan tepung terigu dan garam akan dipakai
-Minimal 1 tahun sekali
- Memeriksa kondisi kebersihan alat - Memeriksa kesehatan karyawan
-Setiap akan dipakai penimbang an -Minimal 1 tahun sekali
- Memeriksa kondisi kebersihan alat
-Setiap awal bulan
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek pemeriksaan ukuran mesh alat yang dipakai
Staf bagian Produksi & QC
- Beri teguran kepada karyawan atau beri pelatihan higiene dan sanitasi - Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
Staf bagian Produksi & QC
- Beri teguran kepada karyawan atau beri pelatihan higiene dan sanitasi - Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
- Beri teguran kepada karyawan atau beri pelatihan higiene dan sanitasi
Ka Bag. Produksi dan QC
Ka Bag. Produksi dan QC
Ka. Bag. Teknik & Maintenance
Rekaman/ Catatan dokumentasi - Dokumentasi hasil pemeriksaan kondisi gudang - Dokumentasi hasil pengendalian hama - Dokumentasi hasil pemeriksaan kesehatan karyawan - Dokumentasi log book hasil pemeriksaan alat - Dokumentasi hasil pemeriksaan kesehatan karyawan - Dokumentasi log book hasil pemeriksaan alat - Dokumentasi hasil pemeriksaan kesehatan karyawan - Dokumentasi log book hasil pemeriksaan alat
154
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan (Lanjutan). No.
17.
18.
19.
20.
Bahan Baku
Pencampuran dan Formulasi adonan mi (Mixing)
Pembentukan adonan menjadi lembaran adonan (Roll pressing)
Pembentukan untaian/pita mie (Slitting)
Pendinginan (Cooling)
Nomor CP CP-17
CP-18
CP-19
CP-20
Bahaya
Tindakan pengendalian
Tanggung jawab
Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
Ka Bag. Produksi dan QC
Staf bagian Produksi & QC
- Beri teguran kepada karyawan atau beri pelatihan higiene dan sanitasi - Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
Ka Bag. Produksi dan QC
Staf bagian Produksi & QC
- Beri teguran kepada karyawan atau beri pelatihan higiene dan sanitasi - Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
Ka Bag. Produksi dan QC
Staf bagian Produksi & QC
- Beri teguran kepada karyawan atau beri pelatihan higiene dan sanitasi - Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
Ka. Bag. Produksi & QC
Lokasi
Prosedur
Frekuensi
Staf/Dept.
Ruang proses pencampuran dan formulasi adonan
- Memeriksa kesehatan karyawan
-Minimal 1 tahun sekali
-Setiap awal bulan
Ruang proses produksi untuk roll pressing
- Memeriksa kondisi kebersihan alat - Memeriksa kesehatan karyawan
-Setiap awal bulan
Ruang proses pembentukan untaian pita mi (sliiting)
- Memeriksa kondisi kebersihan alat - Memeriksa kesehatan karyawan - Memeriksa kondisi kebersihan alat - Memeriksa kesehatan karyawan
-Setiap awal bulan
- Bakteri patogen
- SSOP (Kesehatan & Higiene Pekerja)
- Pekerja/ karyawan
- Ceceran bahan kimia pembersih
- SSOP (Sanitasi alat)
- Wadah yang digunakan
- Bakteri patogen
- SSOP (Kesehatan & Higiene Pekerja)
- Pekerja/ karyawan
- Ceceran bahan kimia pembersih
- SSOP (Sanitasi alat)
Alat roll presser
- Bakteri patogen
-SSOP (Kesehatan & Higiene Pekerja)
- Pekerja/ karyawan
- SSOP (Sanitasi alat)
Alat slitter
-SSOP (Kesehatan & Higiene Pekerja)
- Pekerja/ karyawan
- SSOP (Sanitasi alat)
Alat cooler
Bakteri patogen
Tindakan koreksi
Pemantauan Obyek
Ruang proses pendinginan
- Memeriksa kondisi kebersihan alat
-Minimal 1 tahun sekali
-Minimal 1 tahun sekali
-Minimal 1 tahun sekali
-Setiap awal bulan
- Beri teguran kepada karyawan atau beri pelatihan higiene dan sanitasi
Rekaman/ Catatan dokumentasi - Dokumentasi hasil pemeriksaan kesehatan karyawan - Dokumentasi log book hasil pemeriksaan alat - Dokumentasi hasil pemeriksaan kesehatan karyawan - Dokumentasi log book hasil pemeriksaan alat - Dokumentasi hasil pemeriksaan kesehatan karyawan - Dokumentasi log book hasil pemeriksaan alat - Dokumentasi hasil pemeriksaan kesehatan karyawan - Dokumentasi log book hasil pemeriksaan alat
155
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan (Lanjutan). No.
21.
22.
23.
24.
Bahan Baku
Pemotongan untaian pita mi (Cutting)
Pembentukan untaian mi dalam wadah yang sudah standar
Pendinginan dengan kipas angin (Cooling)
Pengemasan dengan plastik jenis PP (Polipropilen) dengan sealer
Nomor CP CP-21
CP-22
CP-23
CP-24
Bahaya
Tindakan pengendalian
Pemantauan Obyek
Lokasi
Prosedur
Frekuensi
Staf/Dept.
Ruang proses pemotongan
- Memeriksa kesehatan karyawan
-Minimal 1 tahun sekali
Staf bagian Produksi & QC
- Memeriksa kondisi kebersihan alat
-Setiap awal bulan
- Memeriksa kesehatan karyawan
-Minimal 1 tahun sekali
- Memeriksa kondisi kebersihan alat - Memeriksa kesehatan karyawan
-Setiap awal bulan
- Bakteri patogen
- SSOP (Kesehatan & Higiene Pekerja)
- Pekerja/ karyawan
- Ceceran bahan kimia pembersih
- SSOP (Sanitasi alat)
Alat cutter
- Bakteri patogen
- SSOP (Kesehatan & Higiene Pekerja)
- Pekerja/ karyawan
- Ceceran bahan kimia pembersih
- SSOP (Sanitasi alat)
- Bakteri patogen
-SSOP (Kesehatan & Higiene Pekerja)
- Wadah pembentuk untaian mi - Pekerja/ karyawan
Bakteri patogen
- SSOP (Sanitasi alat)
Alat cooler
-SSOP (Kesehatan & Higiene Pekerja)
- Pekerja/ karyawan
- SSOP (Sanitasi alat & ruangan)
Alat sealer
Ruang proses produksi untuk pembentukan dalam wadah mi
Ruang proses produksi
Ruang proses pengemasan dengan plastik
- Memeriksa kondisi kebersihan alat - Memeriksa kesehatan karyawan - Memeriksa kondisi kebersihan alat dan ruangan
-Minimal 1 tahun sekali
-Setiap awal bulan
Tanggung jawab
- Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
Ka Bag. Produksi dan QC
- Beri teguran kepada karyawan atau beri pelatihan higiene dan sanitasi Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
Ka Bag. Produksi dan QC
Staf bagian Produksi & QC
- Beri teguran kepada karyawan atau beri pelatihan higiene dan sanitasi - Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
Ka Bag. Produksi dan QC
Staf bagian Produksi & QC
- Beri teguran kepada karyawan atau beri pelatihan higiene dan sanitasi - Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
Ka. Bag. Produksi & QC
-Setiap awal bulan
-Minimal 1 tahun sekali
Tindakan koreksi
- Beri teguran kepada karyawan atau beri pelatihan higiene dan sanitasi
Rekaman/ Catatan dokumentasi - Dokumentasi hasil pemeriksaan kesehatan karyawan - Dokumentasi log book hasil pemeriksaan alat - Dokumentasi hasil pemeriksaan kesehatan karyawan - Dokumentasi log book hasil pemeriksaan alat - Dokumentasi hasil pemeriksaan kesehatan karyawan - Dokumentasi log book hasil pemeriksaan alat - Dokumentasi hasil pemeriksaan kesehatan karyawan - Dokumentasi log book hasil pemeriksaan pengemasan plastik
156
Tabel 36. Rencana Pemantauan Control Point (CP) pada Proses Produksi Mi Kering di Perusahaan (Lanjutan). No.
25.
26.
27.
Bahan Baku
Pengemasan dengan kotak karton dan disealer
Penyimpanan produk akhir di gudang
Pengiriman dan Distribusi
Nomor CP CP-25
CP-26
CP-27
Bahaya
- Fisik : debu, kotoran
-
Biologi : tikus, kecoa, serangga
- Fisik : debu dan kotoran
Tindakan pengendalian
Pemantauan Obyek
Lokasi
Prosedur
Frekuensi
Staf/Dept.
- SSOP (Kesehatan & Higiene Pekerja)
- Pekerja/ karyawan
Ruang proses produksi/pengemasan
- Memeriksa kesehatan karyawan
-Minimal 1 tahun sekali
Staf bagian Produksi & QC
- SSOP (Sanitasi alat, ruangan)
Alat sealer
- Memeriksa kondisi kebersihan alat
-Setiap awal bulan
- SSOP (Kesehatan & Higiene Pekerja)
- Pekerja/ karyawan
- Memeriksa kesehatan karyawan
-Minimal 1 tahun sekali
- SSOP (Sanitasi ruangan)
- Ruang gudang penyimpanan
- Memeriksa kondisi kebersihan ruangan
-Setiap awal bulan
-SSOP (Alat transportasi dan distribusi)
Alat transportasi (Truk, container
- Memeriksa kebersihan dan sanitasi alat transportasi
-Setiap pengiriman dan distribusi barang
- SSOP (Sanitasi alat transportasi)
Ruang proses penyimpanan produk akhir
Di tempat pengiriman/ distribusi
Tindakan koreksi
Tanggung jawab
- Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
Ka Bag. Produksi dan QC
- Beri teguran kepada karyawan atau beri pelatihan higiene dan sanitasi Staf bagian Produksi & QC
- Perketat praktek higiene dan kesehatan pekerja
Ka Bag. Produksi dan QC
- Beri teguran kepada karyawan atau beri pelatihan higiene dan sanitasi Staf bagian Produksi & QC
- Perketat pemeriksaan kebersihan alat transport yang dipakai
- Beri teguran kepada karyawan atau beri pelatihan higiene dan sanitasi
Ka Bag. Produksi dan QC
Rekaman/ Catatan dokumentasi - Dokumentasi hasil pemeriksaan kesehatan karyawan - Dokumentasi log book hasil pemeriksaan kemasan karton - Dokumentasi hasil pemeriksaan kesehatan karyawan - Dokumentasi log book hasil pemeriksaan ruang penyimpanan - Dokumentasi hasil pemeriksaan alat transport
- Dokumentasi log book hasil pengiriman dan distribusi
157
Tindakan verifikasi pada tahapan proses pengeringan sebagai titik kendali kritis (CCP) adalah sebagai berikut (1) Melakukan pemeriksaan catatan (records) titik
kendali
kritis
(CCP)
pada
tahap
pengeringan
termasuk
catatan
penyimpangannya dibandingkan dengan standar batas kritis yang sudah ditetapkan, untuk mengetahui arah kecenderungan perubahan/penyimpangan dari batas kritisnya; (2) Melakukan pemeriksaan catatan laporan hasil kegiatan proses pengeringan terutama pada catatan/ rekaman produk hasil pengeringan yang mengalami cacat atau tidak layak untuk dikonsumsi; (3) Melakukan pengambilan contoh produk akhir hasil pengeringan secara acak dan berkala untuk diuji dan dianalisis di laboratorium independen yang sudah terakreditasi sesuai dengan spesifikasi standar yang ditetapkan perusahaan atau pemerintah. Selain tindakan verifikasi di atas, tindakan verifikasi lainnya yang perlu dilakukan Tim HACCP di perusahaan PT Kuala Pangan adalah sebagai berikut : (1) Melakukan peninjauan kelengkapan rencana HACCP yang sudah disusun oleh Tim HACCP, (2) Melakukan peninjauan ulang akurasi/kesesuaian diagram alir dan tata letak yang nyata dengan dokumentasi, (3) Melakukan peninjauan ulang antara dokumen persyaratan dasar (prerequisite programs) dengan kondisi operasi faktual
perusahaan,
(4)
Melakukan
kalibrasi
peralatan
pengukur
suhu
(termometer) di mesin pengukusan dan pengeringan secara rutin (internal) setiap tiga bulan sekali oleh perusahaan dan kalibrasi secara berkala 2-3 tahun sekali (eksternal) di lembaga kalibrasi independen yang sudah terakreditasi berdasarkan sistem ISO 17025, (5) Melakukan kaji ulang rencana HACCP dan kecukupan fasilitas yang dimiliki perusahaan untuk mendukung implementasi sistem HACCP, dan (6) Melakukan kaji ulang antara kekurangan dengan kebutuhan akan kepedulian dan pelatihan staf mengenai kesehatan dan keamanan pangan.
12. Menetapkan Sistem Dokumentasi (Langkah Ke-12; Prinsip 7 HACCP) Penerapan sistem HACCP dalam proses produksi mi kering di PT Kuala Pangan harus diikuti dengan dokumentasi mengenai penerapan HACCP sesuai dengan SNI.01.4852-1998 (BSN, 1998) dan Pedoman BSN 1004 : 2002 (BSN, 2002). Dokumentasi ini berfungsi sebagai acuan dan bukti penerapan HACCP. Penentuan sistem dokumentasi bertujuan untuk menjaga dan mempermudah
158
pengendalian atau pembaharuan (updating) catatan dan rencana HACCP. Oleh karena itu, pencatatan dan pembukuan yang efisien serta akurat di perusahaan PT Kuala Pangan adalah penting dalam penerapan sistem HACCP. Salah satu dokumentasi yang harus disiapkan adalah dokumen ”Manual HACCP” yang di dalamnya meliputi kebijakan mutu dan keamanan pangan, prosedur, dan instruksi yang memaparkan bagaimana perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan sebagai produsen mi kering mampu memenuhi persyaratan. Dokumentasi atau pendataan tertulis seluruh program HACCP ini diharapkan dapat menjamin bahwa program tersebut dilaksanakan, dapat diperiksa kembali dan dipertahankan selama periode tertentu. Menurut Thaheer (2005), tujuan penerapan sistem dokumentasi dan pencatatan adalah : (1) Bukti keamanan produk berkaitan dengan prosedur dan proses yang ada, (2) Jaminan pemenuhan terhadap peraturan, (3) Kemudahan pelacakan/kemamputelusuran dan peninjauan catatan, (4) Dokumentasi data pengukuran menuju catatan permanen mengenai keamanan produk pangan, (5) Merupakan sumber tinjauan data yang diperlukan apabila ada audit HACCP, (6) Rekaman/catatan HACCP dapat lebih memusatkan pada isu keamanan pangan sehingga mempercepat identifikasi masalah, dan (7) Membantu mengidentifikasi lot ingredient, bahan pengemas, dan produk akhir apabila timbul masalah keamanan pangan yang segera dilakukan penarikan produk dari pasaran. Beberapa contoh dokumen dan rekaman pada penerapan HACCP pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 37.
159
Tabel 37. Beberapa contoh dokumen dan rekaman pada penerapan sistem HACCP di PT Kuala Pangan Contoh Manual HACCP Prosedur Pelatihan
Prosedur Pengendalian Proses
Prosedur Tindakan Koreksi Prosedur Internal Audit Prosedur Pengendalian Dokumen
Dokumen Deskripsi Deskripsi kebijakan dan strategi pimpinan perusahaan pada penerapan HACCP Berisi mekanisme peningkatan dan pemeliharaan kompetensi sumber daya manusianya Berisi langkah-langkah pengen-dalian proses termasuk di dalamnya pengendalian CCP
Berisi tahap-tahap yang dilalui apabila terjadi penyimpangan proses produksi Berisi proses verifikasi sistem HACCP melalui pemeriksaan internal yang sitematik Berisi petunjuk pengolahan dan pengendalian dokumen
Contoh Data hasil identifikasi bahaya Sertifikat hasil pelatihan
Catatan pengu-kusan suhu di tahap pengu-kusan dan pengeringan Rekaman langkah tindakan koreksi Jadwal rencana audit internal Bukti permintaan perubahan dokumen
Rekaman Deskripsi Formulir yang telah berisi daftar potensi bahaya dan tindakan pencegahannya Bukti autentik sesorang telah dilatih
Formulir pencatatan/pendataan suhu pengukusan dan pengeringan yang telah berisi dan diotorisasi
Bukti tindakan koreksi yang telah dilakukan
Formulir jadwal yang telah diisi dan diotorisasi Formulir permintaan perubahan dokumen yang telah diisi
13. Menetapkan Prosedur Pengaduan Konsumen Prosedur pengaduan konsumen merupakan persyaratan tambahan yang harus dibuat oleh perusahaan dalam menerapkan sistem HACCP sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam SNI.01.4852-1998 dan Pedoman BSN 1004 : 2002. Prosedur ini menjelaskan metode untuk menerima, menangani pengaduan konsumen dan memberikan penyelesaian terakhir yang terbaik untuk menjawab pengaduan konsumen, yang diterima oleh Bagian Pemasaran. Pengaduan konsumen di PT Kuala Pangan ditangani oleh perusahaan dengan tahapan sebagai berikut : (1) Bagian Pemasaran menerima pengaduan dari konsumen dan dituangkan dalam Complaint Report, dan complaint report ini disampaikan ke bagian pengendalian mutu (QC); (2) Bagian QC mengidentifikasi produk yang dikeluhkan berdasarkan : nama produk, jenis kemasan, nomor batch produksi, tanggal penerimaan, jumlah dan masalah yang dikeluhkan; (3) Bagian QC mengevaluasi hal-hal yang dikeluhkan berdasarkan rekaman produksi dan memeriksa contoh referensi yang disimpan; (4) Bagian QC mendiskusikan dengan
160
Manajer Produksi untuk tindakan perbaikan dan tanggapan atas keluhan tersebut; (5) Direktur memutuskan tindakan penyelesaian akhir berdasarkan laporan dari Manajer QC dan Manajer Produksi; (6) Bagian Pemasaran memberikan tanggapan penyelesaian atas pengaduan tersebut kepada konsumen; dan (7) Bila konsumen menerima penyelesaian tersebut, maka kasus ini dinyatakan ”selesai” dan bukti rekaman semua pengaduan konsumen disimpan oleh Bagian Pemasaran. Diagram penanganan pengaduan konsumen yang ditangani oleh perusahaan PT Kuala Pangan dapat dilihat pada Gambar 5. Informasi Keluhan dari Konsumen/Masyarakat
Bagian QC dan Manajer Produksi berdiskusi untuk penentuan tindakan perbaikan & tanggapan atas keluhan tsb.
Diterima oleh bag. Pemasaran dalam bentuk complaint report
Disampaikan ke bagian QC
Identifikasi produk yg dikeluhkan oleh QC : - Nama produk - Jenis kemasan - No. batch produksi - Tanggal penerimaan - Jml & masalah yg dikeluhkan
Evaluasi terhadap hal-hal yg dikeluhkan oleh QC berdasar rekaman produksi dan memeriksa contoh referensi yang disimpan
Pemutusan tindakan penyelesaian akhir oleh Direktur berdasarkan Laporan Manajer QC dan Manajer Produksi
Pemberian tanggapan penyelesaian atas pengaduan tsb kepada konsumen oleh bagian Pemasaran
Bila penyelesaian diterima konsumen, maka kasus dinyatakan selesai
Gambar 5. Diagram Penanganan Pengaduan Konsumen di PT Kuala Pangan.
161
14. Menetapkan Prosedur Recall Prosedur recall juga merupakan persyaratan tambahan yang harus dibuat oleh perusahaan dalam menerapkan sistem HACCP untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam SNI 01.4852-1998 dan Pedoman BSN 1004 : 2002. Prosedur ini menjelaskan metode untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, menangani pengaduan konsumen dan menarik kembali produk yang dikeluhkan atau ditolak oleh konsumen. Tahapan penarikan produk (recall) yang dilakukan oleh perusahaan PT Kuala Pangan adalah sebagai berikut : (1) Bagian Pengendalian Mutu (QC) mengidentifikasi produk yang dikeluhkan berdasarkan nama produk, jenis kemasan, nomor batch produksi, tanggal pengiriman, jumlah dan masalah yang dikeluhkan; (2) Bagian QC mengevaluasi hal-hal yang dikeluhkan berdasarkan penelusuran rekaman produksi dan menginspeksi sampel reference yang ada di bagian QC; (3) Manajer QC dan Manajer Produksi harus mendiskusikan pengaduan tersebut guna penanganan selanjutnya, yaitu bila pengaduan tidak benar, Manajer QC meminta Bagian Pemasaran untuk menolak pengaduan dan jika diperlukan akan diadakan peninjauan ke pelanggan, sedang jika pengaduan tersebut benar dapat diketahui dari ketidaksesuaian/penanganan pengiriman yang ceroboh, maka Manajer QC bersama Manajer Produksi melaporkan kepada Direktur untuk menarik kembali atau memusnahkan di tempat konsumen; (4) Manajer QC memberikan jawaban kepada Bagian Pemasaran untuk berkoordinasi dengan konsumen guna mengirimkan kembali semua produk yang dikeluhkan atau meminta kepada konsumen untuk memusnahkan sendiri produk yang dikeluhkan; dan (5) Manajer QC memisahkan produk yang dikirim kembali tersebut dan menempatkan pada area dengan garis merah dan bertanda ”Produk Reject” hingga waktu (hari) yang ditentukan.
15. Kendala Dalam Penerapan Sistem HACCP di PT Kuala Pangan Dari hasil studi melalui observasi, pengamatan dan wawancara yang dilakukan ternyata ada beberapa kendala yang dihadapi oleh perusahaan PT Kuala Pangan untuk mengimplementasikan dan mengembangkan terhadap rencana HACCP atau HACCP Plan-nya. Pertama, meskipun pihak Pimpinan manajemen
162
komitmennya cukup tinggi, namun komitmen karyawan yang bukan anggota tim HACCP tetapi bertanggung jawab dalam proses produksi untuk melaksanakan pemantauan terhadap program sanitasi dan higiene kurang melaksanakan dengan baik dengan alasan : menambah beban pekerjaan yang selama ini dilakukan karyawan bersangkutan. Selain itu, karyawan yang ditunjuk sebagai anggota tim HACCP dalam membantu pengelolaan gudang juga kurang komit terhadap tugas dan tanggung jawabnya sebagai akibat adanya tambahan pekerjaan catat mencatat atau tulis menulis yang biasanya tidak banyak dilakukan. Bila dikaji lebih lanjut, karyawan yang kurang komit ini biasanya yang usianya sudah agak tua (umur 45 tahun ke atas dan sudah lama bekerja di perusahaan), sehingga kalau ditanya kaitannya dengan tugas dan tanggung jawabnya menyatakan bahwa ”beginibegini saja juga sudah baik” mengapa harus repot dengan adanya pekerjaan tambahan catat-mencatat atau tulis menulis. Oleh karena itu, sosialisasi rencana penerapan HACCP di perusahaan kepada karyawan tersebut harus lebih diintesifkan supaya mereka cepat menyadari tugas dan tanggung jawabnya di perusahaan yang bersangkutan. Memang untuk mengubah kebiasan yang sudah biasa dilakukan karyawan di perusahaan dengan kebiasaan baru sebagai akibat kebijakan baru yang dikeluarkan perusahaan memerlukan waktu untuk penyesuaiannya, tidak dapat langsung diubah secara cepat. Kedua, adanya hambatan psikologis (mental) terhadap karyawan yang ditunjuk oleh pihak manajemen sebagai anggota tim HACCP. Hal ini disebabkan karena karyawan yang ditunjuk sebagai anggota tim HACCP tersebut ada yang merasa pengetahuan dan pemahaman tentang sistem HACCP masih rendah dan ditambah adanya pekerjaan tambahan untuk membantu mempersiapkan dokumendokumen yang dibutuhkan untuk mendukung penerapan dan pengembangan rencana HACCP di perusahaan. Namun hambatan ini sedikit demi sedikit dapat teratasi setelah anggota tim HACCP tersebut mempersiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk menerapkan rencana HACCP dikerjakan dengan baik dan sungguh-sungguh. Pihak Pimpinan manajemen sendiri juga mempunyai hambatan psikologis yang
agak
pesimis
terhadap
perusahaannya
dalam
menerapkan
dan
mengembangkan rencana HACCP-nya, mengingat perusahaan yang bersangkutan
163
belum mempunyai sumber daya manusia yang lengkap dan komplit serta ahli di bidang mikrobiologi dan ahli di bidang rekayasa proses pangan untuk mendukung implementasi
sistem
HACCP
yang
direncanakan
perusahaan.
Sebagai
konsekuensinya perusahaan perlu mengembangkan sumber daya manusia yang dimiliki nperusahaan dengan cara merekrut sumber daya manusia baru (pegawai baru) yang berlatar belakang disiplin ilmu mikrobiologi atau rekayasa proses pangan. Ketiga, pihak Pimpinan manajemen mempunyai hambatan organisasi di perusahaannya. Hal ini disebabkan karena dalam mengimplementasikan dan mengembangkan rencana sistem HACCP, perusahaan harus menyediakan tim HACCP yang anggota-anggotanya harus kompeten di bidang masing-masing anggota dan multidisiplin ilmu; sementara itu kompetensi personil/karyawan yang ada di struktur organisasi yang dikelola oleh bagian pengembangan sumber daya manusia (Human Resource Development) masih terbatas. Oleh karena itu, konsekuensinya perusahaan PT Kuala Pangan harus mempunyai rencana untuk mengembangkan sumber daya manusia yang dimilikinya dalam rencana menerapkan dan mengembangkan sistem HACCP-nya di perusahaan.
C. REKOMENDASI UNTUK PENGEMBANGAN SISTEM HACCP DI PERUSAHAAN Berdasarkan kajian yang telah dilakukan terhadap kondisi sistem manajemen mutu dan keamanan pangan di perusahaan saat ini dan rencana HACCP Plan perusahaan, maka untuk melakukan pengembangan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP dengan model produk mi kering di PT Kuala Pangan, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut :
1. Perbaikan (Improvement) Penerapan GMP di PT Kuala Pangan Berdasarkan hasil pemeriksaan pelaksanaan GMP di PT Kuala Pangan dengan menggunakan formulir/lembar kerja pemeriksaan GMP sarana produksi pangan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM), ditemukan ada 13 penyimpangan/ketidaksesuaian, yaitu 1 penyimpangan/
164
ketidaksesuaian berkategori serius, 6 penyimpangan/ ketidaksesuaian berkategori mayor dan 6 penyimpangan/ketidaksesuaian berkategori minor. Untuk memperbaiki penyimpangan atau ketidaksesuaian tersebut direkomendasikan hal-hal sebagai berikut : (a) Menugaskan supervisor produksi untuk setiap harinya mengawasi dan memantau dalam sanitasi, pencucian tangan yang dapat diamati secara langsung,
misalnya karyawan/personil sebelum masuk
ke ruang
pengolahan dan setelah keluar dari toilet; (b) Melakukan pemasangan penutup (canopy) untuk mencegah adanya kontaminasi silang dari debu, kotoran dan serangga di atas proses pembentukan lembaran adonan, proses pemotongan (cutting) dan setelah keluar dari tahap proses pengeringan sebelum dikemas dengan plastik jenis PP; (c) Mengendalikan hama tikus (binatang pengerat) dengan cara memasang jebakan/perangkap tikus atau menggunakan alat yang menimbulkan gelombang suara tertentu pada ruang/gudang penyimpanan bahan baku, ruang pencampuran dan formulasi serta gudang penyimpanan bahan reject dan produk akhir untuk mencegah binatang pengerat/tikus tersebut berkeliaran di dalam ruang produksi dan gudang penyimpanan; (d) Melakukan pemeriksaan kesehatan karyawan secara berkala, khususnya karyawan produksi yang menangani produk mi kering secara langsung, direkomendasikan setahun dua kali. Interval dari pemeriksaan kesehatan karyawan secara berkala ini bisa ditinjau kembali berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan; (e) Menugaskan supervisor produksi untuk setiap harinya memantau kebersihan karyawan agar terjaga dengan baik dan memperhatikan aspek sanitasi dan higiene, misalnya pakaian yang kurang lengkap dan kotor, kebiasaan makan/minum di ruang produksi; (f) Menugaskan supervisor produksi untuk setiap harinya memantau kesehatan karyawan yang bisa diamati secara langsung, misalnya penyakit kulit, flu dan batuk dan lainnya, untuk sementara tidak menangani langsung produk mi kering;
165
(g) Melakukan pengaturan dan pengelompokan bahan baku, bahan penolong, produk, kemasan, dan bahan-bahan kimia (chemical, cleaning agents, dan lain-lain) pada suatu rak/tempat yang tertentu untuk menghindari adanya kontaminasi silang; (h) Memperbaiki fasilitas sanitasi dan cuci tangan untuk karyawan/personil, terutama toilet/urinoir yang sebagian sudah mulai rusak, misalnya pintu, lantai dan dinding, untuk dibersihkan dan dicat kembali sehingga fasilitas tersebut menjadi lebih bersih dan higienis; (i) Meningkatkan efektiftas program pembersihan dan sanitasi di ruang produksi, misalnya pembersihan sarang laba-laba pada plafon/atap dan dinding, pembersihan lantai dan mesin-mesin yang digunakan untuk proses produksi, sehingga dapat menghindari adanya kontaminasi silang; (j) Melengkapi wadah/bak sampah yang belum ada penutupnya dengan penutup untuk menghindari adanya kontaminasi silang bakteri yang dibawa/ditularkan melalui lalat, kecoa, serangga dan tikus; (k) Peningkatan kesadaran dan sikap karyawan dalam budaya sanitasi dan higiene di perusahaan dengan program pelatihan yang berkelanjutan, sehingga sikap dan perilaku karyawan (attitude) dalam menerapkan SOP dan GMP lebih konsisten. 2. Pengembangan Sistem Manajemen Keamanan Pangan Berdasarkan HACCP Untuk pengembangan sistem HACCP pada perusahaan PT Kuala Pangan direkomendasikan hal-hal sebagai berikut : a. Melakukan komunikasi eksternal dengan menginformasikan kebijakan mutu dan keamanan pangan ke para pemasok/supplier perusahaan sekaligus melakukan audit ke pemasok perusahaan; b. Melakukan kaji ulang (review) akhir konsep rencana HACCP (HACCP Plan) yang sudah disusun sebelum melaksanakan implementasinya di perusahaan PT Kuala Pangan; c. Melengkapi data validasi terhadap rencana HACCP (HACCP Plan) yang sudah disusun dan ditetapkan perusahaan selama melakukan uji coba
166
penerapan sistem HACCP sesuai dengan persyaratan SNI 01. 48521998; d. Melakukan verifikasi terhadap rencana HACCP yang disusun selama melakukan uji coba penerapan sistem HACCP di perusahaan; e. Melakukan perbaikan yang diperlukan dan melakukan validasi kembali jika ada perubahan dalam rencana HACCP tersebut; dan f. Jika semuanya sudah memenuhi syarat, maka meminta Lembaga/Badan Sertifikasi Sistem HACCP untuk melakukan sertifikasi terhadap sistem HACCP yang telah diimplementasikan.
167
VI . KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Hasil evaluasi terhadap kondisi persyaratan kelayakan dasar atau good manufacturing practice (GMP) di perusahaan PT Kuala Pangan dengan menggunakan pedoman penerapan GMP yang dikeluarkan oleh Badan POM tahun 2002 menunjukkan bahwa kondisi persyaratan kelayakan dasar di perusahaan tersebut terdapat 13 penyimpangan atau ketidaksesuaian dan hasil penilaiannya masuk dalam tingkat (rating) B, yaitu baik. Ketiga-belas penyimpangan itu sesuai dengan aturan Badan POM terbagi dalam 3 kategori, yaitu : 1 (satu) kategori serius, 6 (enam) kategori mayor, dan 6 (enam) kategori minor. Ketiga-belas penyimpangan atau ketidaksesuaian tersebut ditinjau dari aspek (elemen-elemen) GMP terbagi menjadi 7 (tujuh) bagian, yaitu : aspek bangunan 2 kategori minor, aspek fasilitas sanitasi 3 kategori minor, aspek peralataan 1 kategori minor, aspek higiene karyawan (kesehatan karyawan, kebersihan karyawan, kebiasaan karyawan) 1 kategori serius dan 3 kategori mayor, aspek penyimpanan 1 kategori mayor, aspek pemeliharaan sarana pengolahan dan sanitasi serta pengendalian hama 1 kategori mayor, serta aspek manajemen dan pelatihan 1 kategori mayor. Ketiga-belas penyimpangan pada aspek persyaratan kelayakan dasar atau GMP tersebut harus diperbaiki dan disempurnakan terlebih dahulu oleh perusahaan PT Kuala Pangan, sebelum perusahaan yang bersangkutan akan menerapkan sistem HACCP (hazard analysis critical control point) secara penuh sesuai dengan persyaratan kelayakan dasar yang ditetapkan dalam SNI 01. 48521998 ; serta untuk mencapai fondasi persyaratan kelayakan dasar yang lebih baik. Prioritas yang perlu diperbaiki lebih dahulu terhadap aspek persyaratan kelayakan dasar atau GMP adalah sebagai berikut : Prioritas pertama, berkaitan dengan aspek higiene karyawan (kesehatan karyawan, kebersihan karyawan dan kebiasaan karyawan) yang masuk dalam 1 kategori serius dan 3 kategori mayor; Prioritas kedua berkaitan dengan aspek pemeliharaan sarana pengolahan dan sanitasi serta pengendalian hama yang masuk dalam 1 kategori mayor, aspek
168
manajemen dan pelatihan yang masuk dalam 1 kategori mayor; dan Prioritas ketiga/terakhir adalah berkaitan dengan aspek bangunan yang masuk dalam 2 kategori minor dan aspek fasilitas sanitasi yang masuk dalam 3 kategori minor. Guna menyusun dan mengembangkan rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi mi kering di perusahaan PT Kuala Pangan sesuai dengan 12 tahapan langkah yang diterapkan dalam SNI 01.4852-1998 tersebut diperlukan adanya pelatihan sistem HACCP bagi sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam pengelolaan di perusahaan PT Kuala Pangan terlebih dahulu, dengan tujuan : (a) Meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan keahlian atau kompetensi personil yang terlibat dalam mengerjakan dan mengelola perusahaan yang menghasilkan produk mi kering, (b) Meningkatkan kemampuan personil perusahaan dalam pemahaman dan penerapan sistem keamanan pangan yang mencakup GMP, SSOP dan sistem HACCP; dan (c) Meningkatkan kesadaran, sikap (attitude) dan tanggung jawab personil perusahaan dalam menerapkan persyaratan kelayakan dasar sistem HACCP di perusahaan. Dari dua belas tahap penyusunan rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi mi kering pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor; ada 2 tahap yang masih perlu diperbaiki dan dikaji kembali (di-review), yaitu pada pembentukan tim HACCP perusahaan masih perlu mempersiapkan peningkatan kompetensi personil tim HACCP yang masih kurang lengkap untuk mendukung implementasi sistem HACCP, misalnya perlu adanya penambahan personil yang ahli di bidang mikrobiologi dan proses pangan; serta tahap verifikasi berupa persiapan audit internal dan peninjauan rekaman hasil uji coba implementasi sistem HACCP untuk mengetahui dan memastikan efektifitas rencana HACCP. Hasil analisis bahaya untuk produksi mi kering pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor menunjukkan bahwa terdapat 3 jenis bahaya, yaitu bahaya biologi berupa bakteri patogen E. coli, Salmonella dan Staphylococcus yang berasal dari bahan baku tepung terigu, tepung telur dan air serta sebagai akibat adanya kontaminasi dari alat dan karyawan; bahaya kimia berupa logam-logam berat seperti timbal (Pb), merkuri (Hg), tembaga (Cu) dan cemaran arsen (As) yang berasal dari tepung terigu, garam dan air; serta bahaya fisik berupa potongan
169
benang, potongan plastik, dan pasir yang berasal dari kontaminasi pada bahan baku tepung terigu dan garam. Bahaya biologi berupa bakteri E. coli, Salmonella dan Staphylococcus yang berasal dari bahan baku tepung terigu, tepung telur, air dan kontaminasi silang dari alat dan karyawan tersebut di dalam produksi mi kering pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor perlu dipertimbangkan dalam rencana HACCP sehingga perlu dikendalikan sebagai sebagai titik kendali kritis atau critical control point (CCP) pada tahap pengeringan pada suhu 90-100oC selama 25-30 menit dengan kecepatan udara pengeringan 2 m/detik;
sedang bahaya kimia
berupa cemaran cemaran logam-logam berat seperti timbal (Pb), merkuri (Hg), tembaga (Cu) dan cemaran arsen (As) pada bahan baku tepung terigu, garam, dan air tidak perlu dipertimbangkan dalam rencana HACCP tetapi perlu dikendalikan sebagai control point (CP) dengan cara pemeriksaan terhadap certificate of analysis (COA) pada setiap penerimaan bahan-bahan tersebut. Bahaya fisik berupa potongan benang, potongan plastik, dan pasir yang berasal dari bahan baku tepung terigu dan garam juga perlu dikendalikan sebagai control point (CP) dengan cara dilakukan pengayakan. Tahap pada proses pengeringan yang merupakan titik kendali kritis atau CCP (critical control point) tersebut perlu dilakukan pemantauan (monitoring) dan pengawasan secara khusus untuk menjamin keamanan produk pangan mi kering yang dihasilkan perusahaan PT Kuala Pangan. Selain itu, juga harus dilakukan tindakan koreksi bila ada penyimpangan terhadap batas kritis yang sudah ditetapkan serta tindakan verifikasi untuk menjamin efektifitas rencana HACCP (HACCP Plan) yang sudah disusun. Untuk pengembangan sistem HACCP pada perusahaan PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor direkomendasikan hal-hal sebagai berikut : (1) Melakukan kaji ulang (review) dan finalisasi konsep rencana HACCP (HACCP Plan) yang sudah disusun sebelum melaksanakan implementasinya secara penuh di perusahaan PT Kuala Pangan; (2) Melengkapi data validasi dan verifikasi terhadap HACCP Plan yang sudah disusun dan ditetapkan perusahaan selama melakukan uji coba penerapan sistem HACCP; dan (3) Jika semuanya sudah memenuhi syarat, maka meminta Lembaga/Badan Sertifikasi Sistem HACCP
170
untuk
melakukan
sertifikasi
terhadap
sistem
HACCP
yang
telah
diimplementasikan.
B. SARAN Guna menghadapi pasar yang semakin kompetitif untuk lima tahun ke depan terhadap produk yang sejenis dan isu keamanan pangan yang semakin kompleks serta bahaya keamanan pangannya harus mudah dilacak/ditelusuri, maka disarankan perlu dikaji pengharmonisasian sistem HACCP ke dalam sistem manajemen keamanan pangan ISO 22000 pada perusahaan PT Kuala Pangan.
171
DAFTAR PUSTAKA Anggrahini, S. 1997. Aspek Keamanan Penggunaan Bahan Kimia Pada Produk Pangan. Agritech. Vol. 17 No. 4 : 1-8. Anisyah. 2007. Kajian Paparan Tartrazin Dengan Metode Survei Frekuensi Konsumsi Pangan Di Wilayah Jakarta Utara. Makalah disajikan dalam Seminar Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 17 Nopember 2007 di Ruang Kutai Baranangsiang, Bogor. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Antle, JM. 1999. The cost of quality in the meat industry : Implications for HACCP regulation. Paper presented at the NE-165 Conference on Economics of HACCP, June 15-16, 1999. Washington, DC : Food Processor Institute. Antle, JM. 1995. Choice and Efficiency in Food safety Policy.. Washington, DC : American Enterprise Institute. Astawan, M. 2005. Mi, Lezat Bergizi tetapi http://www.ipb.ac.id. [12 Nopember 2007].
Rawan
Formalin.
Bacon, RT and Sofos, JN. 2003. Microorganism in Foods 5 : Characteristics of Microbial Pathogens. London : Blackie Academic & Professional. Badan POM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). 2004. Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Jakarta : Badan Pengawas Obat dan Makanan. Bauman, HE. 1995. The Origin and Concept of HACCP. Didalam : Pearson, AM and Dutson, AT, editor. HACCP In Meat, Poultry and Fish Processing. New York : Champman and Hall, hlm 1-7. Ben Embarek, PK. 2004. Safe Food Supply and Global Health – WHO’s Perspective. Proceeding 4th Asian Conference on Food Safety and Nutrition Safety, March 2-5, 2004; Nusa Dua – Bali, Indonesia. Bernard, DT and Parkinson, NG. 1999. Prerequisite to HACCP. Didalam : Stevenson, KE and Bernard, DT, editor. HACCP : A Systematic Approach to Food Safety, third edition. Washington, DC : The Food Processors Institute, hlm 25 – 29. [BPS] Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik.
2005. Direktori Industri Pengolahan. Jakarta :
172
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2002. Panduan Penyusunan Rencana Sistem Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP). Jakarta : Badan Standarisasi Nasional. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01.3556-2000 Garam Beryodium. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01.3751-2006 Tepung terigu sebagai bahan makanan. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional. Brannen, AL and Haggerty, RJ. 2002. Introduction of Food Additives, 2nd Edition. New York : Marcell Dekker Inc. Bredahl, ME, Norther, JR and Boecker, A. 2001. Consumer demand sparks the growth of quality assurance schemes in the European food sector. In Changing Structure of Global Food Consumption and Trade. USDA Working Paper. Washington, DC : United State of Department of Agriculture (USDA). Bryan, FL. 1990. Hazard analysis critical control point (HACCP) concept. Diary, Food and Environmental Sanitation 10 (7) : 416 – 418. Buckle, KA , Edwards, RA, Fleet, GH dan Wotton, M. 2007. Ilmu Pangan, cetakan 2007. (Terjemahan oleh Hari Purnomo dan Adiono). Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. [CAC] Codex Alimentarius Commission. 1997. Hazard Analysis and Critical Control System and Guidelines for Its Application. Alinorm 97/13A. Rome : Codex Alimentarius Commission. [CAC] Codex Alimentarius Commission. 2003. Recommended International Code of Practice : General Principles of Food Hygiene. CAC/RCP 11969, Rev.4-2003. Rome : Codex Alimentarius Commission. [CAC] Codex Alimentarius Commission. 2006. Working Document for information and support to the discussion on the General Standard for Food Additives. CX/FA 07/39/8. Joint FAO/WHO Food Standards Programme. Rome : CAC. Caswell, JA, Bredahl, ME and Hooker, NH. 1998. How quality management metasystems are affecting the food industry. Review of Agricultural Economics, 20 (2) : 547-557. [CDC] Centre for Disease Control and Prevention. 2001. Update : Outbreaks of Foodborne Disease in United States. Morbidity – mortality Weekly Report, 50 : 611-612.
173
Cliver, DO. 1992. Overview of Biological, Chemical, and Physical Hazard. Didalam HACCP Principles and Applications, ed. by Pierson, MD and Corlett, DA Jr. New York : Chapman and Hall.
Corlett, DA. 1991. Regulatory Verification of Industrial HACCP System. Food Technol. 45 (4) : 144 – 146. Corlett, DA. 1991. Monitoring a Hazard Analysis Critical Control Point Systems. Cereal Foods World 36 (1) : 33 – 40. Corlett, DA. 1992. Overview of Biological, Chemical, and Physical Hazard. Didalam HACCP Principles and Applications, ed. by Pierson, MD and Corlett, DA Jr. New York : Chapman and Hall. Darmawan, L. 1994. Proses Pembuatan Mi Instant Sarimi Di PT Indofood Sukses Makmur, Tangerang, Jawa Barat. (Laporan Kerja Praktek Lapang). Serpong : Jurusan Teknologi Industri Pertanian, ITI. Departemen Kesehatan. 1998. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Makanan, edisi IV. Jakarta : Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan. Departemen Kesehatan. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan republik Indonesia Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Jakarta : Departemen Kesehatan. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM). 1996. Pedoman Penerapan Cara Produksi Pangan Yang Baik (CPPB). Jakarta : Ditjen POM, Departemen Kesehatan. Ditjen Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan, Depperindag dan Fakultas Teknologi Pertanian – IPB (2003). Teknologi Pembuatan Tepung Telur. Laporan Proyek Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah Kimia, Agro dan Hasil Hutan, Ditjen IKAH. Jakarta : Ditjen IKAH, Depperindag. Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan. 1996. Pedoman Umum HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Jakarta : Ditjen POM, Departemen Kesehatan. Ditjen Perdagangan Dalam Negeri. 1999. Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta : Ditjen, PDN, Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Fardiaz, D. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Bogor : IPB Press.
174
Fardiaz, D. 1996. Proses Termal Dalam Pengendalian Tahap Pengolahan Kritis Untuk Menjamin Keamanan Pangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta IPB, Bogor. Bogor : Fateta IPB. Fardiaz, S. 1996. Pengenalan HACCP Pada Industri Pangan. Didalam Pelatihan Singkat Penerapan Cara Berproduksi Yang Baik dan HACCP, di Palembang, tanggal 10-11 Oktober 1996. Jakarta : Direktorat Jendral Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Farina, EMQ and Reardon, T. 2000. Agrifood grades and standards in the extended Mercosur : their role in the changing agrifood system. American Journal of Agricultural Economics, 82 (5) : 1170-1176. [FAO] Food and Agricultural Organization. 1981. FAO Plant Production and Protection Series 21 : Cereal and Grain – Legume Seed Processing (Technical Guidelines). Rome : FAO. [FAO/WHO] Food and Agricultural Organization/World Health Organization. 1997. Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) System and Guidelines for Its Application. Anex to CAC, Rev. 3. Rome : FAO/WHO. [FDA] Food and Drug Administration. 2001. A State of-the-art Approach to Food Safety . [bghaccp.htm}. http://www.cfsan.fda.gov/Ird/bghaccp.htm. [2 Okt. 2006]. Fellows, P. 2000. Food Processing Technology : Principles and Practice. Cambridge : Woodhead Publishing Limited Forsythe, SJ and Hayes, PR. Food Hygiene, Microbiology and HACCP. Maryland, USA : An Aspen Publication. Gombas, DE, Stevenson, KE and Bernard, DT. 1999. Monitoring Critical Control Points (CCPs). Didalam : Stevenson,KE and Bernard, DT, editor. HACCP : A Systematic Approach to Food Safety, third edition. Washington, DC : The Food Processors Institute, hlm : 89 – 93. Gombas, DE and Stevenson, KE. 1999. HACCP Verification and Validation : An Advanced HACCP Workshop, 2nd ed. Washington, DC : The Food Processors Institute. Hasibuan, SPM. 1990. Manajemen Dasar, Pengertian dan Masalah. Jakarta : CV Haji Masagung. Hathaway, S. 1999. Management of Food Safety in international Trade. Food Control 10 : 247 – 253. Havelar, AH. 1994. Application of HACCP to Drinking Water Supply. Food Control, 5 : 145-152.
175
Henson, S, Holt, G and Nothern, J. 1999. Costs and Benefits of Implementing HACCP in UK Dairy Processing Sector. Food Control 10 : 99 –106. Howes, MI., Mc. Wen, S., Griffith, M. and Harris, L. 1996. Food Handler Certification by Home Study, Measuring Changes in Knowledge and Behaviour. Dairy Food Environ. Sanit., 16 : 737-744. [ICMSF] International Commission on Microbiological Safety of Foods. 1988. Microorganism in Foods, Book 4 : Application of the HACCP System to Microbiological Safety and Quality. London : Blackwell Sci. Pub. [ICMSF] International Commission on Microbiological Safety of Foods. 1992. Overview of Biological, Chemical, and Physical Hazard. Didalam : HACCP Principles and Applications, ed. By Pierson, MD and Corlett, DA Jr. New York : Chapman and Hall. [ICMSF] International Commission on Microbiological Safety of Foods. 1996. Microorganism in Foods, Book 5 : Characteristics of Microbial Pathogens. London : Blackie Academic & Professional. [ICMSF] International Commission on Microbiological Safety of Foods. 1998. Microorganism in Foods, Book 6 : Microbial Ecology of Food Commodities. London : Blackie Academic & Professional. [IFST] Institute of Food Science and Technology. 1991. Food and Drink – Good Manufacturing Practice, 3rd edition. London : Institute of Food Sci. and Technol. [ISO] International Organization for Standardization. 2005 a. ISO 22000 : Food safety management systems- Requirements for any organization in the food chain. Geneva : ISO. [ISO] International Organization for Standardization. 2005 b. ISO/TS 22004 : Food safety management systems- Guidance on the application of ISO 22000 : 2005. Geneva : ISO. Jay, JM. 2000. Modern Food Microbiology, 6th ed. New York : Chapman and Hall. Jenie, BSL. 1998. Sanitasi Dalam Industri Pangan. Bogor : Pusat Antar Universitas, IPB. Jenie, BSL. 2007. Sanitasi Dalam Penanganan Pangan. Jakarta : Penerbit Universitas Terbuka. Jones, F. And Watkins, J. 1985. The Water Cycle as Source of Pathogens. J. Appl. Bacteriology (Symp. Supplement), 14 : s.27-36.
176
Jouve, JL. 1994. HACCP as Applied in European Economic Community. Food Control 5 (3) : 181 – 186. Kantor Menpangan (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan). 1996. UndangUndang RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Jakarta : Kantor Menteri Negara Urusan Pangan. Kantor Menteri Negara Pangan dan Hortikultura. 1999. Peraturan Pemerintah (PP) No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Jakarta : Kantor Menteri Negara Pangan dan Hortikultura. Katsuyama, AM and Jantschke, M. 1999. Sanitation and Standard Operating Procedures. Didalam : Stevenson,KE and Bernard, DT, editor. HACCP : A Systematic Approach to Food Safety, third edition. Washington, DC : The Food Processors Institute, hlm : 31-37. Lenovich, LM. 1992. Wheat Science and Technology, didalam Encyclopedia of Food Science and Technology, Vol. 4 : 2823-2834. Mafic, S., Mihokovic, V., Kotusin, RB and Razem, D. 1990. The Eradication of Salmonella in egg powder by gamma irradiation. J. Food Protect., 53 : 111-114. Manning, CK. 1994. Food Safety Knowledge and Attitudes of Workers from Instutional and Temporary Foodserviece Operations. J. Am. Diet Assoc., 94 : 895-897. Marriott, NG. 1997. Essential of Food Sanitation. New York : Champman and Hall. Mayes, T. 1994. HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Training. Food Control 5 (3) : 190 – 195. Menhutbun. 2000. Sambutan Menteri Kehutanan dan Perkebunan pada Seminar Apresiasi dan Intepretasi ISO 9000, ISO 14000 dan HACCP Usaha Perkebunan. Hhtp ://www.mofinet.cbn.net.id./seminar [23 Mei 2008]. Mortimore, S. and Wallace, C. 1995. HACCP : A Practical Approach. London : Chapman and Hall. Motarjemi, Y, Kaferstein, F, Moy, G, Miyagawa, S and Miyagishima, K. 1996. Importance of HACCP for Public Health and Development : the role of the world health organization. Food Control 7 (2) : 77 – 85. Motarjemi, Y and Kaferstein, F. 1999. Food Safety, Hazard Analysis and Critical Control Point and the Increase in Foodborne Diseases : A paradox ?. Food Control 10 : 325 – 333.
177
Muchtadi, TR dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Penuntun Praktikum. Bogor : Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor (IPB). Mulya, H. 1988. Beberapa Aspek Teknologi Pembuatan Mie di PT Suba Indah. Laporan Praktek Lapang. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. [NACMCF] National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods. 1989. Hazard Analysis and Critical Control Point System. Washington, DC : Food Safety and Inspection Service, US Department of Agriculture. [NACMCF] National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods. 1995. Hazard Analysis and Critical Control Point System. Didalam : Stevenson, KE and Bernard, DT, editor. Establishing Hazard Analysis Critical Control Point Programs : A Workshop Manual. Washington, DC : The Food Processors Institute, hlm : 2-1 – 2-25. [NACMCF] National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods. 1999. Hazard Analysis and Critical Control Point System and Guidelines for Its Application, Appendix B. Didalam : Stevenson, KE and Bernard, DT, editor. HACCP : A Systematic Approach to Food Safety, third edition. Washington, DC : the Food Processors Institute, hlm : 127 – 132. NACMCF. 1998. Hazard Analysis and Critical Control Point System and Guidelines for Its Application. J. Food Protect. 61 : 762 –775. Narvaiz, P., Lescano, G. and Kairiyama, E. 1992. Physio-chemical and sensory analysis on egg powder irradiated to inactivate Salmonella and reduce microbial load. J. Food Safety, 12 : 263 -282. Noerthana, OA. 2005. Mempelajari Aspek Proses Produksi Mi Instan di PT Sentra Food Indonesia, Karawang, Jawa Barat (Laporan Magang). Bogor : Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian – IPB. Orris, GD. 1999. Equivalence of Food safety Assurance System. Food Control 10 : 255 – 260. Pierson, MD. 1995. An Overview of HACCP and its Application to Animal Production Food Safety. Paper presented at the HACCP Symposium, Chicago,USA.[PIERSON.HTM]. http://www.cvm.uiuc.edu/HACCP/symp /PIERSON. HTM. [2 Okt. 2006]. Pribadi, KL. 2004. Penerapan Sistem HACCP pada Produksi Mi Instan di PT Jakarana Tama Ciawi – Bogor (Laporan Magang). Bogor : Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian - IPB.
178
Pusat Standarisasi Industri Departemen Perindustrian. 1992. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2974-1992 Mi Kering. Jakarta : Pusat Standarisasi Industri, Departemen Perindustrian. Puspasari, K. 2007. Aplikasi Teknologi dan Bahan Tambahan Pangan Untuk Meningkatkan Umur Simpan Mie Basah Matang. (Skripsi). Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ridwan, IN dan Wiriano, H. 1990. Petunjuk Pelaksanaan Teknis Standar Industri Indonesia Untuk Mie Kering. Bogor : Balai Besar Industri Hasil Pertanian (BBIHP). Ruitter, DD. 1987. Composite Flours. Didalam Advance in Cereal Science and Technology, Vol. 2., ed. by Pomeranz, Y. St. Paul –USA : AACC. Sarwono, B. 1994. Pengawetan dan Pemanfaatan Telur (Edisi Revisi). Jakarta : Penerbit Swadaya. Sax, NI. 1975. Dangerous Properties of Industrial Materials, 4th edition. New York : Van Nostrand Reinhold, Comp. Sheppard, J, Kipps, M and Thomson, J. 1990. Hygiene and Hazard Analysis in Food Service. Didalam Cooper, C editor. Progress in Tourism, Recreation and Hospitality Management. London : Belhaven Press, hlm : 192 – 226. Silva, SD. 2006. ISO 9001 for the food and beverage industry. Daily mirror eedition. http://www.dailymirror.lk/2006/11/09/ft/35.asp. [15 Maret 2007]. Sirait, CH. 1986. Telur dan Pengolahannya. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Stevenson, KE. 1999. Introduction to Hazard Analysis Critical Control point. Didalam : Stevenson, KE and Bernard, DT, editor. HACCP : A Systematic Approach to Food Safet, third edition. Washington, DC : the Food Processors Institute, hlm : 1 – 4. Stevenson, KE. 1990. Implementing HACCP in Food Industry. Food Technol. 44 (5) : 179 – 182. Stevenson, KE and Bernard, DT. 1999. Organizing and Managing HACCP Program. Didalam : Stevenson, KE and Bernard, DT, editor. HACCP : A Systematic Approach to Food Safety, third edition. Washington, Dc : the Food Processors Institute, hlm : 111 – 115. Sudibyo, A, Rahayu, SE, Rohaman, MM, Ridwan, IN, Sirait, SD, Aprianita, N dan Sutrisniati, D. 2001. Pengembangan dan Penerapan Sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Pada Industri Pangan di Indonesia. Warta IHP vol. 18 No. 1-2 : 7 – 18.
179
Sudibyo, A dan Sumarsi. 2004. Penelitian Terhadap Kesadaran dan Tanggung Jawab Industri Pangan Skala Kecil Dalam Memproduksi Pangan Yang Aman dan Bermutu. Warta IHP Vol. 21 No. 1 – 2 : 41 –54. Sunarya. 1999. Keterkaitan HACCP dan ISO 9000. Makalah Desiminasi Pelaksanaan Akreditasi dan Sertifikasi HACCP, 7 Desember 1999. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional (BSN). Suprapto. 1999. Sistem Akreditasi dan Sertifikasi HACCP. Makalah Desiminasi pelaksanaan Akreditasi dan Sertifikasi HACCP, 7 Desember 1999. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional (BSN). Syamsir, E. et al. 2007. Praktikum Terpadu Teknologi Pengeringan : Sweet Potato Flakes. Bogor : Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Syarief, R. Dan Halid, H. 1993. Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta : Penerbit Arcan. Syarief, R., Santausa, S. dan Isyana, S. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Bogor : PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor (IPB). Thaheer, H. 2005. Sistem manajemen HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Jakarta : PT Bumi Aksara. [WHO] World Health Organization. 1993. Guidelines for the Application of Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) System. Alinorm 95/13, appendix II. Rome : Codex Alimentarius Commission (CAC) – WHO. WHO. 1997. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) System and Guidelines for Its application. In General Requirements (Food Hygiene) 2nd edition. Supplement Vol. I B. Rome : CAC- WHO , hlm : 33 – 45. [WHO/FAO] World Health Organization/Food and Agriculture Organization. 1998. Guidance on Regulary Assessment of HACCP : report of a joint FAO/WHO Consultation on the role of government agencies in Assesing HACCP, 2-6 June 1998. Geneva : World Health Organizatiom/Food and Agriculture Organization. Widyaningsih, TD dan Murtini, ES. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan. Jakarta : Trubus Agrisarana. Winarno, FG. 1989. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Penerbit PT Gramedia. Winarno, FG. 2002. Cara Berproduksi Makanan Yang Baik. Makalah Training Auditor Sistem HACCP. M-Brio Training. Hotel Salak, 13-17 Mei 2002.
180
Woody, JM, Gravani, RB and Bernard, DT. 1999. HACCP Training. Didalam Stevenson, KE and Bernard, DT, editor. HACCP : A Systematic Approach to Food Safety , third edition. Washington, DC : the Food Processors Institute, hlm : 123 – 126. Yustiareni, E. 2000. Kajian Substitusi Tepung Terigu oleh Tepung Garut dan Penambahan tepung Kedelai Dalam Pembuatan Mi Kering. (Skripsi). Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ziggers, GW. 2000. HACCP, Vertical Coordination and Competitiveness in the Food Industry. Didalam Unnevehr, editor. The Economic of HACCP : Costs and Benefits. St. Paul, Minnesota, USA : Eagen Press, hlm : 269 – 284.
181
Lampiran 1. Denah Site Plant PT Kuala Pangan, Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor
Keterangan : 1. Pos Satpam 2 s/d 5 Gudang 6. Gudang dan Poliklinik 7. Ruang Pengepakan 8. Ruang Diesel 9. Ruang Boiler 10. Gudang Beras 11. Gudang Terigu 12. Ruang Produksi 13. Gudang Kardus 14. Gedung Olah Raga 15. Gedung Olah Raga
182
Lampiran 2. Struktur Organisasi Perusahaan PT Kuala Pangan Dewan Komisaris Direktur Utama
Direktur Pelaksana
Manajer Umum & Pembelian
Manager Personalia
Manager Akunting
Staf Accounting
Asisten Keuangan
Manager Penjualan
Manager Gudang & Pengiriman
Salesman
Staf Pengiriman & Sopir
Boiler
Mesin
Asisten Umum
Manager Teknik
Listrik
Bengkel
Manager Produksi
Kepala Packing
Kepala Produks
183
Lampiran 3.Contoh Soal Untuk Evaluasi dan Mengetahui Tingkat Pemahaman Peserta dalam Pelatihan Sistem HACCP di PT Kuala Pangan A. Lingkarilah Jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : 1. Dalam cara produksi pangan yang baik atau good manufacturing practice (GMP), aspek yang harus diperhatikan adalah : a. Bahan baku b. Penanganan c. Pengolahan d. Seluruh rangkaian proses 2. Kebiasaan yang baik bagi karyawan dalam pengolahan pangan/makanan, yaitu : a. Merokok b. Makan/minum c. Memakai pakaian kerja d. Memakai perhiasan. 3. Program sanitasi (pemeliharaan dan pembersihan) dilakukan pada : a. Peralatan b. Ruang pengolahan c. Lingkungan unit pengolahan d. Jawaban a,b dan c benar. 4. Di bawah ini merupakan bahaya/kontaminasi fisik pada produk, kecuali : a. Residu pestisida b. Pecahan gelas c. Rambut d. Kerikil. 5. Bakteri penghasil racun yang sangat berbahaya terhadap kesehatan manusia, yaitu : a. Clostridium perfringens b. Listeria monocytogenes c. Escherichia coli d. Clostridium botulinum. 6. Zone suhu berbahaya untuk penyimpanan pangan/makanan, yaitu : a. 35-37oC b. 05-60oC c. Di bawah 5oC d. Di atas 60oC. 7. Faktor kritis yang harus diperhatikan dalam pengendalian proses pengolahan pangan, antara lain : a. Suhu b. Waktu c. Keasaman d. Jawaban a,b dan c benar. 8. Yang termasuk dalam prinsip HACCP, yaitu : a. Analisis bahaya b. Penanganan bahan baku c. Penetapan CCP d. Verifikasi 9. Yang termasuk bahaya fisik dalam keamanan pangan adalah : a. Residu hormon, sanitaiser, pestisida, dan antibiotik b. Gelas, metal, tulang dan plastik c. Bakteri, jamur, kapang dan parasit d. Bakteri, metal, sanitaiser dan plastik.
184
10. Mana pernyataan di bawah ini yang dapat menjadi sumber kontaminasi pada produk pangan : a. Telanan (cutting boards) b. Penyimpanan produk pangan mentah yang tidak tepat c.Termometer yang digunakan untuk memberikan suhu internal pangan d. Semua jawaban di atas benar. 11.
Burung tidak diperkenankan ada dalam pabrik pengolahan pangan/makanan, karena ................................................ a. Kotoran burung mengandung penyakit berbahaya b. Sarang burung sulit dijangkau c. Serangga dapat hidup dalam sarang d. Jawaban a dan c benar.
12. Serangga yang mencemari makanan dengan cara memuntahkan kembali apa yang telah dimakan adalah .......................................... a. tikus b. Lalat c. kecoa d. ngengat. 13. Bentuk serangga yang paling tahan terhadap fumigasi adalah ............ a. telur b. pupa c. larva d. serangga dewasa. 14. Adanya kecoa dalam pabrik pengolahan pangan merupakan bahaya serius karena dapat menimbulkan penyakit berikut ini, kecuali ........... a. radang tenggorokan b. Tifus c. luka pada kulit dan borok d. Disentri. 15. Air disebut ”sangat sadah” apabila mengandung CaCO3 (dalam ppm) sebesar .................. a. > 50 ppm b. > 100 ppm c. 100-200 ppm d. > 200 ppm. 16. Jumlah E. coli yang diizinkan terdapat dalam air adalah ..................... a. < 2,2 /ml dengan teknik MPN b. 1/100 ml dengan teknik membran c. 1/100 ml dengan teknik hitungan cawan total (TPC) d. Jawaban a dan b benar. 17. Sistem Cleaning In Place (CIP) banyak diterapkan untuk .................... a. membersihakan pipa-pipa (vessel) b. proses dingin saja c. peralatan terbuka c. Peralatan kecil 18. Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam penyusunan jadwal pembersihan selain jenis deterjen dan sanitaiser, kecuali ........................ a. Jenis permukaan/peralatan yang akan dibersihkan
185
b. Cara pembersihan yang cocok c. Kapan pembersihan dilakukan; d. Apakah diperlukan evaluasi atau tidak. 19. Aplikasi sinar UV dalam industri pangan terutama untuk sanitasi, kecuali .................................. a. pisau pemotong roti b. udara ruang penyimpanan c. makanan kaleng d. Wadah plastik. 20. Keuntungan penggunaan senyawa amonium kuarterner adalah ............. a. aktif terhadap mikroba tahan panas b. tidak korosif c. mencegah dan menghilangkan bau d. stabil dengan adanya bahan organik. 21. Yodofor jarang digunakan dalam sanitasi di industri pangan, terutama karena ....................................... a. korosif terhadap logam b. Mengiritasi kulit c. memberi warna d. Penetrasi buruk. 22. Semua karyawan yang bekerja di bagian proses produksi pangan harus mencuci tangan dengan menggunakan sabun dan air : a. Sebelum mulai bekerja dan setelah semua selesai bekerja; b. Setelah bersin, batuk, merokok, dan menyentuh rambut ; c. Setelah menggunakan/pergi dari toilet ; d. Setelah menangani bahan-bahanmentah dan merendam peralatan e. Semua jawaban di atas benar. 23. Makan dan merokok tidak diperkenankan di dapur untuk mengolah pangan atau di tempat proses produksi pangan, karena : a. Kelihatan jelek terhadap pelayanan pelanggan ; b. Kerak/sisa makanan dan abu rokok dapat jatuh ke dalam makanan; c. Menyebabkan polusi terhadap udara; d. Menyentuh mulut dapat mengkontaminasi tangan. 24. Prosedur cuci tangan yang tepat mencakup semua tahapan berikut, kecuali ................................. a. Menggunakan sabun dan air yang mengalir ketika melakukan perataan sabun di seluruh tapak tangan ; b. Mencuci seluruh permukaan tangan dan membilasnya kembali dengan air yang mengalir; c. Mengeringkan tangan dengan tissue sekali pakai/handuk atau pengering elektris; d. mematikan kran air yang digunakan.
186
25. Metode, prosedur dan uji yang digunakan untuk menentukan sistem HACCP yang diimplementasikan sesuai dengan rencana HACCP (HACCP Plan) dikenal sebagai .................... a. Verifikasi b. Penyimpanan rekaman c. Dokumentasi d. Validasi. 26. Salah satu kegiatan dalam penerapan sistem HACCP, adalah ............. a. Penyusunan uraian produk b. Penyusunan program sanitasi c. Evaluasi pemasok/supplier d. Pengendalian hama. 27.
Faktor dasar dalam pengendalian keamanan pangan dipersyaratkan ditentukan dengan adanya ......................... a. CP b. CCP c. CP dan CCP d. GMP.
yang
28. Pengendalian hama dapat dilakukan dengan memakai seperti di bawah ini, kecuali : a. Kasa jendela b. Pintu c. Umpan hama d. Cahaya lampu 29. Yang termasuk bahaya kimia dalam sistem HACCP, adalah ................. a. Bahan pembersih (sanitaiser) b. Minyak pelumas c. Toksin d. Jawaban a, b dan c benar. 30. Jika terjadi penyimpangan dalam proses pengolahan pangan, perlu dilakukan .......................................... a. Proses dihentikan b. Pemusnahan produk c. Tindakan koreksi d. Re-proses produk. 31. Analisis bahaya dalam sistem HACCP terdiri dari tahap-tahap : a. Identifikasi potensi bahaya b. Evaluasi potensi bahaya c. Pencegahan potensi bahaya d. Jawaban a,b, dan c benar. 32. Yang termasuk kegiatan verifikasi dalam sistem HACCP adalah : a. Tinjauan rekaman monitoring b. Daftar potensi bahaya c. Pengendalian hama d. Rekaman monitoring CCP. 33. Pemantauan (monitoring) rakaman/catatan adalah : a. Mempunyai sedikit nilai dalam historinya b. Mempunyai sedikit nilai dalam penentuan kecenderungan c. Tidak diperlukan pengesahan oleh orang yang melakukan pemantauan; d. Harus dilengkapi dan ditandatangani pada saat melakukan pemantauan.
34. Rekaman validasi dalam sistem HACCP : a. Harus lebih realistis daripada ilmiahnya b. Harus berdasarkan secara ilmiah c. Merupakan nilai yang kecil dalam proses verifikasi
187
d. Perlu pengesahan dari operator proses yang spesifik. 35. Perlu diperhatikan oleh perusahaan bahwa pengkajian kembali rencana HACCP (HACCP Plan) dilakukan : a. Paling sedikit 1 tahun sekali b. Setiap enam bulan c. Setiap dua tahun sekali d. Setiap tiga tahun. B. Pernyataan-pernyataan di bawah ini Benar (B) atau Salah (S). 1. Karyawan/pekerja pengolahan pangan diperbolehkan makan dan minum di area produksi/pengolahan (.......). 2. Mencuci tangan seharusnya dilakukan sebelum dan sesudah mengolah pangan/makanan (......). 3. Penerapan sistem HACCP dapat dilaksanakan di semua pabrik terkecuali pabrik pangan (......). 4. GMP atau good manufacturing practice bukan merupakan pra-syarat dasar (prerequisite programs) dalam penerapan sistem HACCP (.....). 5. Setiap bahan baku seharusnya diperiksa/diuji dalam aspek mutu dan keamanannya (.....). 6. Makanan dan bahan kimia pembersih (sanitaiser) dapat disimpan dalam satu ruangan penyimpanan (......). 7. Titik kendali kritis atau CCP seharusnya diidentifikasi di setiap tahap dalam rantai produksi pangan (.......). 8. Diagram alir proes (flow chart) tidak perlu diverifikasi dalam kegiatan pengolahan pangan di pabrik (.......). 9. Dokumentasi/rekaman merupakan salah satu prinsip-prinsip sistem manajemen HACCP (.......). 10. Kegiatan sanitasi peralatan dan ruang pengolahan pangan dapat mencegah terjadinya kontaminasi silang (.......). C. Berikan Uraian Singkat Untuk Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini! 1. Aspek apa saja yang harus dipertimbangkan dalam penerapan GMP atau good manufacturing practice ? 2. Mengapa penerapan sistem HACCP dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan ?
188
3. Apa saja yang tercakup dalam prinsip manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP ? 4. Bahaya apa saja yang harus dianalisis dan dikaji dalam sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan HACCP ? 5. Aspek apa saja yang harus diperhatikan dalam pemantauan/monitoring pada titik kendali kritis atau CCP ?.
189
Lampiran 4. Contoh Formulir/Lembar Kertas Kerja Pernyataan Kebijakan Mutu dan Keamanan Pangan Perusahaan
PT KUALA PANGAN Departemen : ................. Tanggal Terbit : .................
KEBIJAKAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN No. Dokumen : ................................... Revisi : ..................... Halaman : ...../......
Isi Pernyataan Kebijakan Mutu dan Keamanan Pangan :
................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. .................................................................................................................................
Disiapkan oleh : ..................................
Disahkan oleh
Bagian
Presiden Direktur : ..............................
: ...................................
: ..............................
190
Lampiran 5. Contoh Formulir/Lembar Kertas Kerja Pembentukan Struktur Organisasi dan Uraian Tugas Tim HACCP
PT KUALA PANGAN Departemen : ................. Tanggal Terbit : .................
KEBIJAKAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN No. Dokumen : ................................... Revisi : ..................... Halaman : ...../......
Struktur Organisasi Tim HACCP :
Ketua : ................................................................... Wakil Ketua : ................................................................... Sekretaris : ................................................................... Anggota : 1 . .............................................................. 2. ............................................................... 3. ............................................................... 4. ............................................................... 5. ............................................................... 1. Ketua Tim selaku .............................., mempunyai tugas dan tanggung jawab : a. ...................................................................................................................... b. ...................................................................................................................... c. ...................................................................................................................... d. ...................................................................................................................... 2. Wakil Ketua selaku ..........................., mempunyai tugas dan tanggung jawab : a. ...................................................................................................................... b. ...................................................................................................................... c. ...................................................................................................................... d. ...................................................................................................................... 3. Sekretaris selaku ............................., mempunyai tugas dan tanggung jawab : a. ....................................................................................................................... b. ....................................................................................................................... c. ....................................................................................................................... 4. Anggota Tim, mempunyai tugas dantanggung jawab : a. ........................................................................................................................ b. ........................................................................................................................ c. ........................................................................................................................
Disiapkan oleh : ...................................
Disahkan oleh
QC Mgr
Presiden Direktur : ...............................
: ...................................
: ...............................
191
Lampiran 6. Contoh Formulir/Lembar Kertas Kerja Deskripsi Produk
PT KUALA PANGAN Departemen : ................. Tanggal Terbit : .................
No.
DESKRIPSI PRODUK No. Dokumen : ................................... Revisi : ..................... Halaman : ...../......
Keterangan
1. 2. 3.
Nama Produk Kategori Produk Komposisi
4.
Bahan dan Cara Pengolahan produk
5.
Penggunaan produk
6.
Kemasan produk
7. 8. 9. 10.
Metode Pengawetan Syarat Penyimpanan Masa Kadaluwarsa Sasaran pengguna/ konsumen
11. 12.
Lokasi Penjualan Cara Distribusi
Uraian produk Mi Kering, merk ........................................................... Makanan 1. Tepung terigu 2. Garam dapur 3. Tepung telur 4. Air 5. BTP (Nat. dan kalium karbonat, pewarna tartrazin) ..................................................................................... ..................................................................................... ..................................................................................... ..................................................................................... ..................................................................................... ..................................................................................... ..................................................................................... Petunjuk penggunaan produk dicantumkan pada label kemasan, yaitu dikonsumsi dengan cara dimasak lebih dahulu dalam air mendidih Dikemas dalam plastik jenis PP dengan bobot netto 200 gram, dimasukkan dalam karton dengan isi 20 bungkus per kotak karton. Pengukusan dan pengeringan Disimpan di tempat kering dan tidak lembab 1 (satu) tahun pada suhu kamar Produk ini dapat dikonsumsi oleh semua orang termasuk oleh kelompok berisiko tinggi dan tidak ditujukan secara khusus untuk kelompok tertentu Toko-toko makanan, Swalayan, Warung Dengan alat transportasi truk tertutup rapat (darat) dan container (tranportasi laut)
Disiapkan oleh : ...................................
Disahkan oleh
QC Mgr
Presiden Direktur : ...............................
: ...................................
: ...............................
192
Lampiran 7. Contoh Formulir/Lembar Kertas Kerja Pembuatan Diagram Alir Proses Produksi
PT KUALA PANGAN Departemen : ................. Tanggal Terbit : .................
DIAGRAM ALIR PROSES PRODUKSI MI KERING No. Dokumen : ................................... Revisi : ..................... Halaman : ...../......
Disiapkan oleh : ...................................
Disahkan oleh
: ...............................
Bagian Produksi : .................................
Presiden Direktur : ...............................
193
Lampiran 8. Formulir/Lembar Kertas Kerja Analisis dan Evaluasi Bahaya Untuk Pengembangan Sistem Manajemen Keamanan Pangan Berdasarkan HACCP Langkah Proses/ Bahan
Potensi Bahaya yang mungkin timbul atau berkembang (biologis, kimiawi, fisik) : Uraikan
Penyebab/Justifikasi Bahaya
Peluang (P), Keparahan (S) dan Signifikansi Bahaya (Y/N) P S Y/N (H,M, L) (h,m,l)
Tindakan pencegahan (Untuk mencegah atau meminimalkan timbulnya bahaya yang telah diidentifikasi)
B : .............................. K : .............................. F : ............................... B : .............................. K : .............................. F : .............................. B : .............................. K : .............................. F : .............................. B : .............................. K : .............................. F : .............................. B : .............................. K : .............................. F : .............................. B : .............................. K : .............................. F : .............................. B : .............................. K : .............................. F : ..............................
194
Lampiran 9. Formulir/Lembar Kertas Kerja Penentuan/Penetapan Titik Kendali Kritis (CCP) Untuk Pengembangan Sistem Manajemen Keamanan Pangan Berdasarkan Sistem HACCP Tahap/Langkah Proses
Deskripsi bahaya yg mungkin timbul Biologi (B) : Kimiawi (K) : Fisik (F) :
P1. Adakah tindakan pengendalian? Bila YA, lanjut ke P2. Bila TIDAK, lanjut ke pertanyaan : Adakah pengendalian pd tahap ini perlu untuk pengamanan ? Bila YA, Lakukan modifikasi tahapan proses atau produk. Bila TIDAK, bukan CCP.
P2. Apakah tahapan ini dirancang spesifik untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yg mungkin terjadi sampai tingkatan yg dpt diterima ? Bila TIDAK, lanjut ke P3. Bila YA, CCP
P3. Dapatkah kontaminasi dgn bahaya yg diidentifkasi terjadi melebihi tingkatan yg dpt diterima atau dapatkah ini meningkat sampai tingkatan yg tdk dpt diterima ? Bila TIDAK, bukan CCP. Bila YA, lanjut ke P4.
P4. Akankah tahapan berikutnya menghilangkan bahaya yg teridentifikasi atau mengurangi tingkatan kemungkinan terjadinya sampai tingkatan yg dpt diterima ? Bila YA, Bukan CCP. Bila TIDAK, CCP.
CCP/Bukan CCP
195
Lampiran 10. Formulir/Lembar Kertas Kerja Untuk Pengendalian dan Pemantauan Rencana HACCP (HACCP Plan) pada Perusahaan yang akan Menerapkan Sistem HACCP CCP
Tahap Proses
Bahaya yang signifikan terdidentifkasi
Batas Kritis Kegiatan
Apa
Pemantauan/Monitoring Bagaimana Kapan
Siapa
Tindakan Koreksi
Tindakan Verifikasi
Rekaman (Record)
196
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor No.
Aspek yang dinilai
Minor
Mayor
Serius
Kritis
OK
Keterangan
I. KETENTUAN UMUM A. PIMPINAN MANAJEMEN 1. 2.
Pimpinan tidak mempunyai wawasan tentang manajemen keamanan pangan Tidak berkeinginan bekerja sama dengan inspektur, a.l. tidak menerima pengawas dengan sepenuh hati dan tidak mau menunjukkkan data yang diperlukan oleh inspektur
x x
√
B. SANITASI DAN HIGIENE KARYAWAN 3.
4. 5.
Manajemen unit pengolahan tidak memiliki tindakan-tindakan efektif untuk mencegah karyawan yang diketahui mengidap penyakit yang dapat mengkontaminasi produk (luka, TBC, hepatitis, tifus, dsb) Pelatihan pekerja dalam hal sanitasi dan higiene tidak cukup Tidak ada supervisor (penyelia) kesehatan dan kebersihan karyawan
Tidak memiliki tindakan efektif untuk mencegah karyawan yang sakit
x
x
√ x
√
Perilaku karyawan 6.
7.
Kebersihan karyawan tidak dijaga dengan baik dan tidak memperhatikan aspek sanitasi dan higiene (seperti pakian kurang lengkap dan kotor, meludah di ruang pengolahan, merookok, kuku berkitek, kotor/panjang dan lain-lain) Perilaku karyawan tidak mampu mengurangi dan mencegah kontaminasi, baik dari mikroba maupun benda asing lainnya
Pakaian kerja ada yang kotor, ada karyawan yang kukunya berkitek
x
x
√
Sanitasi Karyawan 8. 9.
x
Pakaian kerja tidak dipakai dengan benar dan tidak bersih Tidak ada pengawasan dalam sanitasi, pencucian tangan dan kaki sebelum masuk ruang pengoalhan dan setelah keluar dari toilet
√ Tidak ada pengawasan dalam hal sanitasi
x
Sumber Infeksi 10.
Karyawan tidak bebas dari penyakit kulit atau luka yang terbuka atau penyakit menular lainnya
x
√
II. BANGUNAN DAN FASILITAS 11.
12.
13. 14. 15.
16. 17.
Rancang Bangun, bahan-bahan atau konstruksinya menghambat program sanitasi Rancang bangun tidak sesuai dengan jenis pangan/tempat yang diproduksi
Luas pabrik tidak sesuai dengan kapasitas produksi Bangunan dalam keadaan tidak terawat Tidak ada fasilitas atau usaha lain untuk mencegah binatang atau serangga masuk ke dalam pabrik (kisi-kisi, kasa penutup lubang angin, tirai udara-air curtain, tirai plastik atau tirai air-water curtain) kalaupun ada tidak efektif Tata ruang tidak sesuai alur proses produksi Tidak ada ruang istirahat, jika ada tidak memenuhi persyaratan kesehatan
x
√
x
Desain penutup untuk perlindungan produk di bagian sebelum pengukusan tidak sesuai
x
√
x x
x
√
x
√
√ √
197
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor (Lanjutan) No.
Aspek yang dinilai
Minor
Mayor
Serius
Kritis
OK
Keterangan
B. KONSTRUKSI DAN DESAIN RUANG PENGOLAHAN 18.
Ruang pengolahan berhubungan langsung/terbuka dengan tempat tinggal, garasi dan bengkel
x
√
Lantai 19.
22.
Terbuat dari bahan yang tidak mudah diperbaiki/dicuci atau rusak Pelatihan pekerja dalam hal sanitasi dan higiene tidak cukup Pertemuan antara lantai dan dinding tidak mudah dibersihkan (tidak ada lengkungan/siku-siku) Kemiringan tidak sesuai
23.
Tidak kedap air
20. 21.
x x
√ √ Pertemuan antara lantai dan dinding dalam bentuk siku
x x
√ x
√
Dinding 24. 25. 26.
27.
Dinding tidak kedap air sampai pada ketinggian minimal 1,70 meter Terbuat dari bahan yang tidak mudah diperbaiki/dicuci Konstruksi tidak sesuai persyaratan teknik sanitasi dan higiene (tidak halus, tidak kuat, retak, cat mudah mengelupas) Rancang Bangun, bahan-bahan atau konstruksinya menghambat program sanitasi
x
√
x
√
x
√ Pertemuan antara lantai dan dinding dalam bentuk siku
x
Langit-langit 28. 29.
30. 31. 32.
Tidak ada langit-langit atau plafon di tempat tertentu yang diperlukan Langit-langit/plafon tidak bebas dari kemungkinan catnya mengelupas/rontok atau ada kondensasi Tidak kedap air Tidak rata, retak, bocor, berlubang Ketinggian kurang dari 2,40 m
x
√ x
√
x x
√ √ √
x
Penerangan 33.
Intensitas cahaya penerangan cukup, atau menyilaukan
tidak
x
√
34.
Lampu di ruang pengolahan, penyimpanan material dan pengemasan tidak aman (tanpa pelindung)
x
√
x
√
x
√
R. pengolahan 20 fc (220 flux); Tempat pemeriksaaan 50 fc (540 flux); Tempat lain 10 fc (110 flux)
Ventilasi 35.
36.
Terjadi akumulasi kondensasi di atas ruang pengolahan, pengemasan dan penyimpanan bahan Terdapat kapang (mold), asap dan bau yang mengganggu di ruang pengolahan
198
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor (Lanjutan) No.
Aspek yang dinilai
Minor
Mayor
Serius
Kritis
OK
Keterangan
C. GUDANG BIASA (KERING) 37.
38. 39. 40.
Tidak menggunakan tempat penyimpanan seperti pallet, lemari, kabinet rak, dan lain-lain yang dibutuhkan untuk mencegah kontaminasi Metode penyimpanan bahan berpeluang terjadinya kontaminasi Fasilitas penyimpanan tidak bersih, tidak saniter dan tidak dirawat dengan baik Penempatan barang tidak teratur dan tidak dipisahkan (penyimpanan bahan pengemas dan bahan-bahan lain, kmia dan bahan berbahaya dan lain-lain)
x
√
x
√ x
√ Ditemukan bahan kimia sanitaiser dan bahan pelumas yang disimpan di bahan baku
x
Pencegahan serangga, tikus dan binatang lain 41.
42.
x
Tidak ada pengendalian untuk mencegah serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya di gudang Pencegahan serangga , burung, tikus dan binatang lain tidak efektif
√
x
Pencegahan tikus belum efektif
Ventilasi 43.
Ventilasi tidak berfungsi dengan baik
x
√
D. GUDANG BEKU, DINGIN (APABILA DIGUNAKAN) Kontrol Sanitasi 44. 45. 46.
Metode penyimpanan bahan-bahan berpeluang terjadinya kontaminasi Fasilitas penyimpanan tidak bersih, saniter, dan tidak dirawat dengan baik Tidak ada pemisahan barang secara teratur
x
√ x
√
x
√
Pencegahan serangga, tikus dan binatang lain 47. 48.
Tidak ada pengendalian untuk mencegah serangga di gudang Pencegahan serangga, burung, tikus dan binatang lain tidak efektif
x
√
x
√
Kontrol Suhu 49. 50. 51. 52.
Produk beku tidak terlindung dari peningkatan suhu Ruang penyimpanan tidak dilengkapi dengan kontrol suhu Ada bahan yang mengandung zat logam disimpan dengan produk Ruang penyimpanan produk tidak dioperasikan pada suhu yang dipersyaratkan
Tidak berlaku x x x
√ √
x
√
E. GUDANG KEMASAN DAN PRODUK Kontrol Sanitasi 53. Tidak menggunakan tempat penyimpanan seperti pallet atau rak dan lain-lain yang dibutuhkan untuk mencegah kontaminasi 54. Metode penyimpanan bahan-bahan berpeluang terjadinya kontaminasi 55. Fasilitas penyimpanan tidak bersih, tidak saniter dan tidak dirawat dengan baik 56. Wadah atau pengemas tidak disimpan pada tempat yang bersih, rapih dan terlindung dari kontaminasi 57. Tidak terpisah pada tempat khusus
x
√
x
√ x
√ x
x
√ √
199
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor (Lanjutan) No. Aspek yang dinilai Minor Pencegahan serangga, tikus dan binatang lain 58.
59.
Mayor
Tidak ada pengendalian untuk mencegah serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya di gudang Pencegahan serangga, burung, tikus dan binatang lain tidak efektif
Serius
Kritis
OK
x
√
x
√
Keterangan
Ventilasi 60.
x
Ventilasi tidak berfungsi dengan baik
√
F. SANITASI LOKASI 61. 62. 63.
64.
65.
66.
67.
Lingkungan berada di lokasi tidak bebas banjir (dekat sungai, rawa, dan lain-lain) Lingkungan tidak bebas dari semak belukar/rumput liar Lingkungan tidak bebas dari sampah, dan barang-barang tak berguna di areal pabrik maupun di luarnya Tidak ada tempat sampah di sekitar lingkungan pabrik ataau tempat sampah ada tetapi tidak dirawat dengan baik Bangunan yang digunakan untuk menaruh perlengkapan tidak teratur, tidak terawat dan tidak mudah dibersihkan Ada tempat pemeliharaan hewan yang memungkinkan menjadi sumber kontaminasi Terdapat debu, asap, bau yang berlebihan di jalanan, tempat parkir atau sekeliling pabrik
x
√
x
√
x
√ x
√
x
√
x
√
x
√
G. SANITASI LINGKUNGAN : PEMBUANGAN LIMBAH DI PABRIK 68. 69.
70.
71.
Limbah cair tidak ditangani dengan baik Limbah produksi atau sisa-sisa produksi tidak dikumpulkan dan tidak ditangani dengan baik Limbah kering/padat tidak ditangani dan dikumpulkan pada wadah yang baik dan mencukupi jumlahnya untuk seluruh pabrik Konstruksi tempat pembuangan limbah selayaknya
x
√
x
√
x
√
x
√
Tempat sampah dalam pabrik 72. 73.
Jumlah tempat sampah tidak memadain Tempat/wadah sampah tidak ada penutupnya dan label yang jelas
x
√
x
Saluran/pembuangan dalam pabrik 74. 75. 76. 77.
78.
Sistem pembuangan limbah cair/saluran dalam pabrik kurang baik Kapasitas saluran dalam pabrik tidak mencukupi Dinding saluran air tidak halus dan tidak mencukupi Saluran pembuangan tidak tertutup dan tidak dilengkapi bak kontrol dan alirannya terhambat oleh kotoran fisik Tidak dilengkk mencegah masuknya air ke dalam pabrik
x
√ x
x
√ √
x
√
x
√
H. SANITASI LINGKUNGAN : INVESTASI BURUNG, SERANGGA ATAU BINTANG LAIN 79.
80
Tidak ada pengendalian utk mencegah serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya di lingkungan pabrik Pencegahan serangga, burung, tikus dan binatang lain tidak efektif
√ x x
√
200
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor (Lanjutan) No.
Aspek yang dinilai
Minor
Mayor
Serius
Kritis
OK
Keterangan
I. FASILITAS PABRIK Fasilitas Cuci tangan dan Kaki 81. 82.
83. 84.
85.
Tidak ada tempat cuci tangan maupun bak cuci kaki, kalau ada tidak mencukupi Tempat cuci tangan dan bak cuci kaki tidak mudah dijangkau atau tidak ditempatkan secara layak Fasilitas pencucian (sabun, pengering, dan lain-lain) tidak disediakan Tidak ada tanda peringatan pencucian tangan sebelum bekerja atau setelah dari toilet Peralatan pencucian tangan tidak cukup/tidak lengkap
x
√
x
√
x
Tidak ada sabun dan lap/pengering Tidak ada tanda peringatan
x x
√
Toilet/Urinoir Karyawan 86.
87. 88.
89. 90.
91. 92.
Tidak ada fasilitas/bahan untuk pencucian seperti tissue, sabun (cair) dan pengering atau tidak ada peringatan agar karyawan mencuci tangan mereka setelah menggunakan toilet Peralatan toilet tidak lengkap Jumlah toilet tidak mencukupi sebagaimana yang dipersyaratkan
Pintu toilet berhubungan langsung dengan ruang pengolahan Konstruksi toilet tidak layak (lantai, dinding, langit-langit, pintu, ventilasi, dll) Tidak dilengkapi dengan saluran pembuangan Toilet tidak terawat atau digunakan untuk keperluan lain
x
√
x
√
x
√
x
1 toilet : 1-10 org; 2 toilet : 11-25 org; penambahan 1 toilet untuk setiap 20 orang
√
x
√ x
√ Pintu ada yang rusak & perlu perbaikan
x
P3K/Klinik/Fasilitas Keamanan Kerja 93.
94.
Tak tersedia P3K atau fasilitas keamanan/kesehatan kerja (klinik) yang memadai Fasilitas klinik pabrik tidak digunakan untuk cek up rutin seluruh karyawan khususnya di bagian produksi
x
√ Tidak digunakan cek up rutin oleh karyawan bagian produksi
x
J. PASOKAN AIR Sumber Air 95. 96. 97.
Pasokan air panas atau dingin tidak cukup Air tidak mudah dijangkau/disediakan Air dapat terkontaminasi, misalnya hubungan silang antara air kotor dengan air bersih, sanitasi lingkungan
x
√
x
√ x
√
x
√
Treatment Air 98. 99.
Air bak tidak layak digunakan (potable) tidak dilakukan pengujian secara berkala Air tidak mendapat persetujuan dari pihak berwenang untuk digunakan sebagai bahan untuk pengolahan (tidak ada hasil uji)
x
√
201
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor (Lanjutan) No.
Aspek yang dinilai
Minor
Mayor
Serius
Kritis
OK
Keterangan
Es (Apabila digunakan) 100. 101. 102. 103.
Tidak terbuat dari air yang memenuhi persyaratan (potable water) Tidak dibuat dari air yang telah diizinkan Tidak dibuat, ditangani, dan digunakan sesuai persyaratan sanitasi Digunakan kembali untuk bahan baku yang diproses berikutnya
x
Tidak berlaku
x
Tidak berlaku
x
Tidak berlaku
x
Tidak berlaku
K. OPERASIONAL SANITASI DI PABRIK Program Sanitasi 104. 105. 106. 107.
Tidak ada program sanitasi yang efektif di unit pengolahan Kontrol sanitasi tidak efektif melindungi produk dari kontaminasi Peralatan dan wadah tidak dicuci dan disanitasi sebelum digunakan Metode pembersihan/pencucian tidak mencegah kontaminasi terhadap produk
x
√
x
√
x
√
x
√
L. PENCEGAHAN BINATANG PENGGANGGU/SERANGGA DALAM PABRIK 108.
109.
110.
111. 112.
Ruang dan tempat yang digunakan untuk penerimaan, pengolahan dan penyimpanan bahan baku/produk akhir tidak dipelihara kebersihan dan sanitasinya Tidak ada pengendalian untuk mencegah masuknya serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya di dalam pabrik Pencegahan serangga, burung, tikus, dan binatang lain tidak efektif di dalam pabrik Binatang peliharaan tidak dicegah masuk ke dalam pabrik Penggunaan obat pembasmi serangga tikus, binatang pengerat lain, serta kapang tidak efektif (pestisida, insektisida, fungisida, bahan repellent)
x
√
x
√
x
√
x
√
x
√
M. PENGGUNAAN BAHAN KIMIA Insektisida/Rodentisida/Pestisida 113.
Insektisida/rodentisida/pestisida sesuai dengan persyaratan
tidak
x
√
x
√
Bahan Kimia/Sanitaiser/Deterjen dan lain-lain 114. 115.
116.
Bahan kimia tidak digunakan sesuai metode yang dipersyaratkan Bahan kimia, sanitaiser dan bahan tambahan tidak diberi label dan disimpan dengan baik Penggunaan bahan kimia yang tidak diizinkan
x
√
x
√
x
√
x
√
III. PERALATAN Peralatan Produksi Sanitasi 117.
118.
Permukaan peralataan, wadah dan alatalat lain yang kontak dengan produk tidak dibuat dari bahan yang sesuai seperti : halus, tahan karat, tahan air dan tahan terhadap bahan kimia Bahan yang terbuat dari kayu tidak dilapisi dengan bahan yang tidak berbahaya dan atau kedap air
202
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor (Lanjutan) No.
Aspek yang dinilai
Minor
Mayor
Serius
Kritis
OK
Keterangan
Desain 119.
120. 121.
Rancang bangun, konstruksi dan penempatan peralatan serta wadah tidak menjamin sanitasi dan tidak dapat dibersihkan secara efektif Peralatan dan wadah yang masih digunakan tidak dirawat dengan baik Perlengkapan monitoring suhu, kelembaban, pH dan lain-lain tidak berfungsi dengan baik
x
√
x
√ x
√
Peralatan yang tidak dipakai lagi 122.
Tidak ada program pemantauan untuk membuang wadah dan peralatan yang sudah rusak/tidak digunakan lagi
Ada alat yang disimpan di ruang dekat dengan proses produksi
x
Kecukupan 123.
Peralatan kebersihan tidak sesuai kapasitas produksi atau tidak cukup tersedia
x
√
x
√
Penyuci-hamaan Peralatan 124.
Tidak dilakukan penyuci-hamaan (pensterilan) peralatan yang efektif
IV. PRODUKSI DAN PENGENDALIAN PROSES A. PENANGANAN BAHAN BAKU DAN BAHAN TAMBAHAN LAIN Bahan Baku 125.
126. 127. 128. 129. 130. 131.
Penerimaan bahan baku tidak dilakukan dengan baik, dan tidak dilindungi dari kontaminan atau pengaruh lingkungan yang tidak sehat Spesifikasi bahan baku dan bahan tambahan tidak ada Tidak dilakukan pengujian mutu sebelum diolah/diproses Bahan baku tidak sesuai standar sehingga membahayakan kesehatan manusia Pencatatan dan pemberian label tidak dilakukan dengan benar Penyimpanan bahan baku pada kondisi yang tidak tepat/sesuai Bahan baku yang datang terlebih dahulu tidak diproses lebih dahulu sistem FIFO = First In First Out)
x
√
x
√
x
√ x
√
x
√
x
√
x
√
Bahan Tambahan Pangan 132.
Bahan tambahan pangan (BTP) tidak sesuai dengan aturan
x
√
x
√
Bahan Kemasan 133.
Bahan kemasan beracun, membentuk racunn atau dapat menimbulkan penyimpangan yang membahayakan kesehatan
B. PENGENDALIAN PROSES PRODUKSI Proses Produksi 134. 135. 136.
Campuran bahan baku tidak sesuai dengan spesifikasi Pengawasan di setiap tahapan proses yang kritis tidak dilakukan Penanganan bahan baku ataupun produk dari tahap satu ke tahap berikutnya tidak dilakukan secara hati-hati, higienis dan saniter
x
√ x x
√
203
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor (Lanjutan) No.
Aspek yang dinilai
Minor
Mayor
Serius
Kritis
OK
Keterangan
Proses Produksi 137.
138.
139.
Penanganan produk yang sedang menunggu giliran untuk diproses tidak disimpan/dikumpulkan di tempat yang saniter Proses pengolahan/pengawetan dilakukan tidak sesuai dengan jenis produk dan suhu serta waktunya tidak sesuai dengan persyaratan Produk akhir tidak mempunyai ukuran dan bentuk yang teratur
x
√
x
√
x √
Pengemasan 140. 141.
142.
143.
Produk akhir tidak dikemas dan atau diwadahi dengan cepat, tepat dan saniter Sistem pemberian etiket atau kode-kode yang dapat membantu identifikasi produk tidak dilakukan Produk akhir tidak diberi label yang memuat : jenis produk, nama perusahaan pembuat, ukuran, tipe, grade (tingkatan mutu), tanggal kadaluwarsa, berat bersih, nama bahan tambahan pangan yang dipakai, kode produksi atau persyaratan lain Produk akhir tidak dilakukan pengujian mutu sebelum diedarkan/dipasarkan
x
√
x
√
x
√
x
√
Penyimpanan 144.
145. 146.
Kondidi penyimpanan tidak mampu melindungi produk akhir dari kerusakan dan kontaminasi Penyimpanan produk akhir dan bahan baku tidak dipisahkan Susunan produk akhir tidak memungkinkan produk akhir yang lebih lama disimpan dikeluarkan terlebih dahulu (tidak mengikuti sistem FIFO)
x
√
x
√
x
√
x
√
Penyimpanan Bahan Berbahaya (Apabila ada) 147. 148.
Disimpan tersendiri dan dapat terhindar dari hal-hal yang dapat membahayakan Tidak ada tanda peringatan
x
√
Pengangkutan dan Distribusi 149.
150.
Kendaraan (kontainer) yang dipakai untuk mengangkut produk akhir tidak mampu mempertahankan kondisi/ keawetan yang dipersyaratkan Pembongkaran tidak dilakukan dengan cepat, cermat dan terhindar dari pengaruh yang menyebabkan kemunduran mutu
x
√
x
√
x
√
C. TINDAKAN PENGAWASAN Jaminan Mutu 151.
Campuran bahan baku tidak sesuai dengan spesifikasi
Prosedur Pelacakan dan Penarikan (Recall Procedure) 152.
Tidak dilakukan dengan baik, teratur dan kontinyu
x
√
204
Lampiran 11. Hasil Pemeriksaan CPPB atau GMP Sarana Produksi Pangan pada PT Kuala Pangan, di Citeureup, Bogor (Lanjutan) No.
Aspek yang dinilai
Minor
Mayor
Serius
Kritis
OK
Keterangan
Kontaminasi 153.
154.
155.
Terindikasi adanya kontaminan setelah dilakukan pengujian bahan mentah atau produk akhir Terindikasi adanya kemunduran mutu/deteriorasi/dekomposisi setelah dilakukan pengujian bahan dan produk akhir Terindikasi adanya pencemaran fisik benda-benda asing setelah dilakukan pengujian bahan mentah dan produk akhir
x
√
x
√
x
√
x
√
x
√
x
√
x
√
Pengujian Bahan Baku dan Produk Akhir 156.
Tidak dilakukan pengujian
157.
Tidak memiliki laboratorium yang sekurangkurangnya dilengkapi dengan peralatan dan media untuk pengujian organoleptik dan mikrobiologi Jumlah tenaga laboratorium tidak mencukupi dan atau kualifikasi tenaganya tidak memadai Tidak aktif melaksanakan monitoring, terhadap bahan baku, bahan pembantu, kebersihan peralatan dan bahan baku
158.
159.
Hasil Uji Tidak Memenuhi Persyaratan 160. 161. 162. 163.
x
Angka lempeng total (ALT) Staphylococci Escherichia coli (E. coli) Salmonella
√ √ √ √
x x x
HASIL DAN PENILAIAN 1. Penyimpangan (Deficiency) a) Penyimpangan Minor b) Penyimpangan Mayor c) Penyimpangan Serius d) Penyimpangan Kritis 2. Tingkat (rating) unit pengolahan
7 penyimpangan 6 penyimpangan 1 penyimpangan 0 penyimpangan I A (Baik sekali) II B (Baik) III C (Cukup) IV D (Jelek)
√
Kriteria penilaian GMP sarana produksi pangan di atas didasarkan atas kriteria sebagai berikut : Tingkat Jumlah Penyimpangan (Rating) Minor Mayor Serius I 0 - 10 0-5 0 II > 11 11 - 20 1 - 10 III TB > 20 10 - 20 IV TB TB > 21 Keterangan : TB = Tidak berlaku
Kritis 0 0 0 >2
Jumlah Frekuensi Audit 1 kali/6 bulan 1 kali/4 bulan 1 kali/2 bulan 1 kali/1 bulan
205
Lampiran 12. Jadwal Pembersihan Harian Di Perusahaan PT Kuala Pangan
Tgl
Lantai, dinding yang berhubungan dengan daerah pengolahan pangan Nama
Paraf
Mesin-mesin proses produksi : Mixer, mesin Roll press, mesin Box Steam, mesin pendingin Nama
paraf
Bak pencampuran bahan baku, bhn penolong dan bahan tambahan pangan; pipa-pipa Nama paraf
Bulan ...........................
Gudang penyimpanan bahan baku, bahan tambahan pangan dan palet Nama
Paraf
Bak sampah, bak tempat cuci tangan (wastafel)
Nama
Keterangan
Paraf
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
206
Lampiran 12. Jadwal Pembersihan Harian Di Perusahaan PT Kuala Pangan (Lanjutan)
Tgl
Lantai, dinding yang berhubungan dengan daerah pengolahan pangan Nama
Paraf
Mesin-mesin proses produksi : Mixer, mesin Roll press, mesin Box Steam, mesin pendingin Nama
paraf
Bak pencampuran bahan baku, bhn penolong dan bahan tambahan pangan; pipa-pipa Nama paraf
Gudang penyimpanan bahan baku, bahan tambahan pangan dan palet Nama
Paraf
Bulan ...........................
Bak sampah, bak tempat cuci tangan (wastafel)
Nama
Keterangan
Paraf
16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
207
Lampiran 12. Jadwal Pembersihan Harian Di Perusahaan PT Kuala Pangan (Bagian Pengemasaan dan Pengepakan) (Lanjutan) Menyapu Lantai Hari/Tanggal
Mengepel Lantai
Bulan .....................................
Pembersihan dapur
Shift Nama
Paraf
Nama
Paraf
Nama
Paraf
Pembersihan Toilet/WC
Nama
Paraf
Pengawas Nama
Paraf
I II III I II III I II III I II III I II III I II III I II III
208
Lampiran 12. Jadwal Pembersihan Mingguan Di Perusahaan PT Kuala Pangan (Lanjutan) Kegiatan
Minggu I Nama Paraf
Minggu II Nama Paraf
Minggu III Nama Paraf
Bulan : ................................
Minggu IV Nama Paraf
Keterangan
Pembersihan bagian dalam alat pengukus (steaming) Pembersihan sarang labalaba (langit-langit) di daerah ruang produksi Pembersihan terhadap perangkap lalat dan serangga (Insect killer) Pembersihan kipas pendingin dan saringannya Pembersihan pipa-pipa uap Pembersihan pintu-pintu di ruang proses produksi Pembersihan alat roll press pembentuk lembar adonan Pembersihan alat pemotong lembar adonan mi (cutter)
209
210