Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan Desember 2014 Vol. 3 No.2 Hal : 135-142 ISSN 2302-6308
Available online at: http://umbidharma.org/jipp E-ISSN 2407-4632
KAJIAN BIJI KARET (Hevea brasiliensis) SEBAGAI KANDIDAT BAHAN BAKU PAKAN IKAN (Study On Rubber Seed Hevea brasiliensis as A Candidat of Fish Feed Ingradient) Mas Bayu Syamsunarno1*, Mas Tri Djoko Sunarno2 1Jurusan
Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Raya Jakarta Km 4, Kampus Untirta Serang Banten Telp (0254) 280706, ext 129. Fax (0254) 280706 *Korespondensi:
[email protected] 2Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar Jl. Sempur No. 1 Bogor Diterima: 25 Oktober Juli 2014 / Disetujui: 21 November 2014
ABSTRACT A study on rubber seed (Hevea brasiliensis) as a candidat of local fish feed ingredient in term of its abundance and nutrient value was conducted. Potency of rubber seed in Indonesia was analized using desk study. Sample of rubber seed was collected from husbandary belonging farmers and company in Batanghari District of Jambi Province. Rubber seed was meal and a part of the meal was processed to reduce its HCN content. Parameters tested were potency of rubber seed, proximate/amino acid composition and HCN concentration. The results showed that potency of rubber seed in Indonesia in 2013 was 5,67 million tons. Rubber seed contained 22,9% crude protein, 48,04% crude fat, 4,42 % crude fibre and 3,14 % ash, respectively. If fat content reduced to be 5,46 %, its protein increased up to 50,74%. Rubber seed had completely essential amino acids, but lack of lysin (0,39%) and methionin (0,01%). Toxic material of HCN in rubber seed could be reduced from 0,06% to 0,003% through chemical process. Keywords: rubber seed potency, Indonesia, proximate composition, feed ingredient
136
SYAMSUNARNO DAN SUNARNO
JIPP
ABSTRAK Suatu kajian biji karet (Hevea brasiliensis) sebagai kandidat bahan baku lokal pakan ikan telah dilakuan dari aspek kelimpahan dan nilai nutriennya. Penelitian menggunakan metode desk study untuk mengetahui potensi kelimpahan biji karet di Indonesia. Sampel biji keret diambil dari perkebunan milik petani dan perusahaan di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Biji karet dibuat tepung serta sebagian sampel diproses untuk pengurangan kandungan lemak dan asam sianida (HCN). Parameter yang diukur adalah potensi biji karet, kandungan proksimat dan asam amino serta HCN. Hasil kajian menunjukkan Potensi biji karet berdasarkan data perkebunan karet tahun 2013 berkisar 5,67 juta ton. Tepung biji karet mengandung 22,9% protein, 48,04% lemak, 4,42% serat kasar, dan 3,14% abu. Bila kandungan lemak dikurangi menjadi 5,46%, kandungan protein meningkat menjadi 50,74%. Biji karet mempunyai susunan asam amino esensial yang lengkap, namun kekurangan lisina (0,39%) dan metionina (0,01%). Racun HCN biji karet dapat dikurangi dari 0,06% menjadi 0,003% melalui proses kimia. Kata kunci: bahan baku pakan ikan, Indonesia, komposisi proksimat, potensi biji karet PENDAHULUAN Peningkatan konsumsi ikan per kapita yang terus meningkat mendorong intensifikasi budidaya ikan. Peranan pakan menjadi penting dalam peningkatan produksi budidaya, termasuk ikan air tawar. Di sisi lain, penggunaan pakan secara intensif menyebabkan penyerapan biaya produksi dari pakan yang mencapai 70%. Semakin meningkat harga pakan, semakin berkurang keuntungan usaha pembudidaya. Hingga saat ini, bahan baku penyusun pakan utama berasal dari impor dan mengharuskan pabrikan pakan untuk meningkatkan harga pakan (Indradjaja, 2010; Ismanadji dan Novari, 2010). Tepung ikan mengandung nutrien lengkap dan bahan yang dapat meningkatkan nafsu makan pada ikan (NRC 1983; Hardy 2008). Namun, penggunaan tepung ikan dalam pakan perlu dibatasi mengingat sediaan ikan semakin berkurang dan bersaing dengan kebutuhan manusia. Bahan nabati dari biji-bijian yang mengandung protein dan lemak lebih dari 20% berpeluang besar sebagai subsitusi tepung ikan dan bilamana kandungan lemaknya dikurangi, kandungan proteinnya akan meningkat (NRC 1983). Hingga saat ini, secara komersial hanya tepung bungkil
kedele yang dapat menggantikan 6070% protein tepung ikan (Suprayudi et al. 1999; Catacutan dan Gregoria, 2004). Indonesia dikenal sebagai produsen karet. Salah satu provinsi penghasil keret adalah Jambi. Tanaman karet baik yang dikelola oleh mayarakat maupun perusahan menggunakan sistem cangkok. Buah karet belum banyak dimanfaatkan. Kelemahannya adalah mengandung 330mg/100 g HCN dan zat anti nutrient lainnya seperti saponin, trypsin inhibitor, pythate, dan tannin (Murni et al. 2008) dan kelebihannya adalah mengandung 21% protein (Oyewusi et al. 2007; Murni et al. 2008). Untuk digunakan sebagai bahan baku pakan, biji karet memenuhi syarat dari aspek kelimpahan dan kandungan nutriennya. Oleh karena itu, suatu studi telah dilakukan untuk menghitung kelimpahan biji karet dan pengolahannya. METODE PENELITIAN Studi menggunakan metode desk study untuk mengekplorasi data kelimpahan dan nutrien biji karet. Data statistik perkebunan Indonesia 2000 – 2013 dan publikasi mengenai biji karet sebagai sumber data. Asumsinya adalah (1) satu ha luas lahan dapat
Vol. 3, 2014
Kajian Biji Karet sebagai Kandidat Pakan
ditanami 500 pohon karet, dan (2) satu pohon menghasilkan 800 buah karet per tahun. Sebanyak 100 kg buah karet diambil dari Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, berasal dari perkebunan rakyat dan besar (perusahaan). Buah karet ditimbang dan dihitung jumlahnya per kg. Buah karet dijemur di bawah sinar matahari dan kemudian dipecah untuk diambil bijinya dan ditimbang per 100 butir biji karet. Sebagian biji karet diolah untuk mengurangi kadar lemak dengan cara pengepresan dengan menggunakan hydrolic press. Sampel biji karet yang diolah dan tidak diolah dikeringkan di bawah sinar matahari dan kemudian dilanjutkan dengan menggunakan oven pada suhu 60-70°C selama 24 jam. Setelah kering, ke dua sampel biji karet tersebut ditepung dan disimpan dalam kantong plastik berlabel. Sampel tepung biji karet dianalisis proksimat dengan menggunakan metode AOAC (1984) dan analisis asam amino dengan menggunakan alat HPLC (High Performance Liquid Chromatography) masing-masing di Laboratorium Nutrisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Tepung sampel biji karet yang dioleh dikurangi kadar lemaknya melalui proses perendaman dalam larutan hexan selama dua hari satu malam. Kadar HCN dari ke dua sampel dianalisis dengan mengunakan alat spektofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Untuk mengurangi kadar HCN tepung biji karet dioleh, cara yang digunakan adalah melalui perendaman dalam air garam dengan dosis 10 g/100 mL air selama 12 jam dan dilanjutkan dengan perebusan terbuka selama 30 menit. Parameter yang dianalisis adalah potensi biji karet di Indonesia pada tahun 2013, kadar proksimat, kadar asam amino, dan kadar HCN. Data disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif.
137
HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Biji Karet di Indonesia Tabel 1 menyajikan data luas perkebunan karet, jumlah tanaman, dan produksi buah karet dalam jumlah dan berat. Luas perkebunan karet rakyat lebih besar dari perkebunan besar. Luas tanaman karet di Indonesia dari tahun 2000-2013 relatif stabil mengingat prioritas pembangunan perkebunan cenderung ke perkebunan kelapa sawit. Meskipun demikian, produksi buah karet dalam jumlah dan berat relatif besar pada tahun 2013, yaitu berkisar 1.422 juta buah karet. Berdasarkan pengamatan, satu buah karet umumnya berisi 4 biji karet dan satu kg buah karet berisi 247,80 ± 27,58 buah karet serta 100 biji karet mempunyai berat 408,36 ± 65,88 g atau 4,08 ± 0,65 g per biji. Jadi, potensi biji karet pada tahun 2013 di Indonesia adalah 5,67 juta ton. Menurut Toh dan Chia (1978), satu buah karet berisi 2 – 4 biji dengan bobot rata-rata ber biji 3,95 ± 0,96 g per biji. Menurut Setyawardhani et al. (2010), setiap pohon diperkirakan menghasilkan 5.000 butir biji per tahun atau satu hektar lahan dapat menghasilkan 2,3 sampai 3 juta biji per tahun. Eckey (1954) dalam Gunawan (1993) menyatakan bahwa tiap biji karet terdiri atas 45-50% kulit biji dan 50-55% daging biji. Sedangkan menurut Wizna et al. (2000), berat daging biji karet adalah 60% dari bobot biji secara keseluruhan. Biji karet di Indonesia masih merupakan produk sampingan yang dapat di kategorikan belum bermanfaat karena baru sebagian kecil yang di gunakan sebagai bibit. Sampai saat ini sebagian besar masyarakat di Indonesia masih sedikit yang mengolah biji karet sebagai salah satu produk olahan makanan karena takut akan beberapa zat yang dapat mengakibatkan keracunan. Para pembudidaya ikan jelawat (Leptobarbus hoeveni) dan ikan patin (Pangasius djambal) di Jambi dan Kalimantan menggunakan buah karet sebagai salah
138
SYAMSUNARNO DAN SUNARNO
satu pakan untuk ikan tersebut (Reksalegora 1979; Christensen 1989). Dage merupakan makanan fermentasi yang banyak dikenal di daerah Jawa Barat. Dage biji karet dibuat dengan cara perebusan awal biji karet yang kemudian diikuti dengan perendaman
JIPP
dalam air (Widayati 1988). Namun yang menjadi kendala adalah produksi biji karet bersifat musiman dan pengumpulan biji karet di Indonesia kurang efisien karena sebagian besar karet berada di perkebunan rakyat.
Tabel 1 Luas perkebunan karet, jumlah tanaman, dan produksi buah karet di Indonesia, 2000 - 2013 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Luas Perkebunan (Ha x 1000) Rakyat Besar 3.046 549 2.838 507 2.826 493 2.773 518 2.748 514 2.767 512 2.833 513 2.900 514 2.900 516 2.953 483 2.949 497 2.932 524 2.987 519 3.016 540
Total Luas (Ha x 1000) 3.595 3.345 3.318 3.290 3.262 3.279 3.346 3.414 3.416 3.435 3.445 3.456 3.506 3.556
Jumlah Tanaman (pohon x juta) 1.798 1.673 1.659 1.645 1.631 1.640 1.673 1.707 1.708 1.718 1.723 1.728 1.753 1.778
Produksi (buah x juta) 1.438 1.338 1.327 1.316 1.305 1.312 1.338 1.365 1.366 1.374 1.378 1.382 1.402 1.422
Sumber: Anonimus (2014)
Kandungan Nutrien, Asam Amino Esensial dan HCN Biji Karet Tabel 2 memuat hasil pengamatan kandungan proksimat biji karet yang dioleh dan tidak diolah. Sebelum diolah, biji karet mengandung 22% protein, dan 48% lemak dan termasuk memenuhi persyaratan untuk dijadikan sebagai bahan baku pakan ikan. Tambahan, kandungan abu (3,14%) dan serat kasarnya (4,42%) termasuk rendah. Menurut Hardy (2008), bahan nabati dari biji-bijian umumnya mengandung protein lebih dari 20% dan lemak yang tinggi. Bila lemaknya dikurangi melalui proses pengepresan dan perendaman dengan hexan, kandungan proteinnya akan meningkat seperti halnya yang diamati pada penelitian ini, yaitu protein dari 22,9% menjadi 50,74% dan lemak dari 48,04% menjadi 5,46%.
Wizna et al. (2000) mengemukakan bahwa daging biji karet terdiri atas bahan kering 92,22%; protein kasar 19,20%; lemak kasar 47,20%; serat kasar 6,00%; abu 3,49%; BETN 24,11%. Biji karet yang mengandung lemak tinggi memungkikan untuk dijadikan sebagai bahan biodisel (Setyawardhani et al. 2010). Bagi masyarakat di Ciamis, kandungan protein yang tinggi mendorong mereka untuk mengolah biji karet sebagai sumber makanan (Widayati 1988). Dalam beberapa daerah biji karet ini sudah dimanfaatkan menjadi produk olahan makanan seperti tempe, emping dan es krim. Kandungan nutrien biji karet yang relatif baik menyebabkan penggunaan biji karet dalam ransum ternak babi (Madubuike et al. 2006),
Vol. 3, 2014
Kajian Biji Karet sebagai Kandidat Pakan
ternak ayam pedaging (Wizna et al. 2000; Khalil et al. 2002). Kualitas protein ditentukan oleh kandungan asam amino esensialnya. Hasil analisis kandungan asam amino esensial biji karet yang tidak diolah dan diolah dapat dilihat pada Tabel 3. Biji karet mempunyai profil asam amino esensial yang lengkap tetapi kandungan lisina dan metioninanya relatif rendah, masing-masing yaitu 0,39 dan 0,10%. Setelah melalui proses pengolahan, komposisi asam amino esensialnya relatif meningkat. Secara keseluruhan, komposisi asam amino esensial biji karet relatif lebih rendah dibandingkan dengan bungkil jagung dan bungkil kedele (Suprayudi 2010). Namun demikian, biji karet khususnya yang diolah dapat digunakan sebagai subsitusi protein bahan baku pakan. Asam amino yang paling banyak terkandung dalam tepung biji karet adalah asam glutamik, asam aspartik dan leusina sedangkan metionina dan sistein merupakan kandungan asam amino yang terendah (Oyewusi et al., 2007). Beberapa protein nabati mempunyai kekurangan satu atau lebih asam amino esensial, sehingga penggunaan protein nabati sebagai bahan baku utama pada pakan harus menyediakan suplemen asam amino. Tujuannya adalah kandungan asam amino yang diberikan mendekati kebutuhan asam amino esensial oleh ikan (Jobling et al. 2002). Kekurangan asam amino esensial akan mengakibatkan penurunan pertumbuhan. Ikan membutuhkan 10 jenis asam amino esensial untuk menghasilkan pertumbuhan optimum, yaitu arginina, fenilalanina, histidina, isoleusina, leusina, lisina, metionina, triptofana,
139
treonina dan valina (NRC, 1983). Menurut Mayasari (2005), penggunaan bahan nabati yang ditambah metionina dan taurina sebanyak 80% dalam pakan memberikan kinerja pertumbuhan relatif sama dengan pakan komersil. Walaupun mempunyai kandungan nutrien relatif baik, biji karet memiliki zat anti nutrien yaitu asam sianida (HCN) atau prussic acid. Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan HCN biji karet sebelum perlakuan sebesar 0,06% dan setelah perlakuan 0,003%. Hasil ini masih dalam kisaran kandungan HCN biji karet yang dikemukakan oleh (Wizna et al. 2000; Njwe et al. 1980; Gunawan 1993). HCN mudah larut dalam air dan mudah menguap bila dipanaskan. Menurut Judoamidjoo et al. (1989) dalam Mulyati (2003), HCN dapat dihilangkan dengan cara merebus biji karet yaitu dengan perbandingan biji karet dan air 1:2-3, sehingga kandungan HCN pada biji karet segar dapat turun sampai pada tingkat yang tidak membahayakan bagi hewan. Selain HCN, biji karet juga mengandung zat anti nutrien lainnya seperti saponin, tripsin inhibitor, fitat dan tanin (Murni et al., 2008). Kandungan HCN pada lingkungan perairan 5,00-7,20 mikrogram per Liter akan mengurangi gerakan ikan bernang dan menghambat reproduksi pada berbagai jenis ikan. Efek lainnya adalah pernapasan terganggu, gangguan pada sistem osmoregulasi dan mengubah pola pertumbuhan. Sedangkan konsentrasi 20,00-70,00 mikrogram per liter sianida menyebabkan kematian pada ikan dan konsentrasi lebih dari 200 mikrogram per liter menyebabkan keracunan dengan cepat pada berbagai jenis ikan (Anonimus 2006).
140
SYAMSUNARNO DAN SUNARNO
JIPP
Tabel 2 Kandungan proksimat biji karet yang diolah dan tidak diolah dalam berat kering (%) Tepung Biji Karet Tidak diolah Diolah 6,06 9,39 22,90 50,74 48,04 5,46 4,42 4,50 3,14 1,98 21,50 37,32 100,00 100,00
Komposisi (%) Air Protein Lemak Serat kasar Kadar abu BETN Total
Tabel 3 Komposisi asam amino esensial biji karet tidak diolah dan diolah No
Asam Amino Esensial (%)
Biji Karet Tidak Diolah
Biji Karet Diolah
Bungkil Jagung*)
Bungkil Kedele*)
1 2 3 4 5
Arginina Histidina Isoleusina Leusina Lisina
0,46 0,20 0,30 0,51 0,39
0,51 0,34 0,50 0,69 0,64
1,21 0,64 1,04 2,89 0,55
3,90 1,40 2,40 4,20 3,30
6 7 8 9 10
Metionina Fenilalanina Theronina Triptofana Valina
0,10 0,38 0,20 0,31
0,19 0,39 0,33 0,47
0,50 1,40 0,93 0,10 1,45
0,70 2,60 3,10 1,00 2,50
Keterangan: *) Sumber: Suprayudi (2010)
Asam sianida dapat dikurangi atau dihilangkan melalui proses perendaman selama 24 jam dengan pergantian air yang sering dan atau melalui perebusan terbuka (Zuhra 2006). Gunawan (1993), gejala keracunan sianida pada ikan antara lain ditandai oleh peningkatan kecepatan pernapasan, diikuti gejala berkembang yang menyebabkan gerak ikan tidak beraturan dan gerakan menyentak-nyentak. Pada akhir serangan, koordinasi gerak tubuh terputus dan biasanya disusul dengan kematian. Proses kematian ini berlangsung hanya beberapa jam setelah ikan dimasukkan dalam larutan yang mengandung sianida. Metelev et al. (1983) diacu dalam Gunawan (1993) menambahkan ikan yang mengalami keracunan sianida pada kadar rendah terlihat gelisah dan
turun sensitivitasnya terhadap rangsangan. KESIMPULAN Biji karet di Indonesia dapat digunakan sebagai kandidat bahan baku pakan ikan atas dasar potensinya pada tahun 2013 berkisar 5,67 juta ton dan komposisi proksimatnya serta susunan asamino esensial yang lengkap, namun kekurangan lisina (0,39%) dan metionina (0,01%). Racun HCN biji karet dapat dikurangi dari 0,06% menjadi 0,003% melalui proses kimia.
Vol. 3, 2014
Kajian Biji Karet sebagai Kandidat Pakan
DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2006. Environmental and Health Effects of Cyanide. International Cyanide Management Institute. Washington, USA. http://www.cyanidecode.org/cyanid e_enviromental.php [1 Oktober 2014]. Anonimus. 2014. Data Statistik Produksi Perkebunan Indonesia 2013. Badan Pusat Statistik. Jakarta. AOAC. 1984. Official Methods of Analysis, 14th ed. AOAC. Airlington, V. A. 1141 pp. Catacutan MR and EP Gregoria. 2004. Partial Replacement of Fishmeal by Defatted Soybean Meal in Formulated Diets for The Mangrove Red Snaper, Lutjanus argentimaculatus (Forsskal 1775). Aquaculture Research 35: 35-306. Christensen MS. 1989. Techniques and Economics of Intensive Cultivation of Jelawat and Lampam in Floating Cages: A Handbook for Extension Workers and Farmers. Percetakan Persada Utama, Jakarta, Indonesia. Gunawan R. 1993. Potensi Ekstraksi Daging Biji Karet (Havea brasiliensis, Muell. Arg.) dalam Pengangkutan Ikan Bandeng (Chanos chanos) [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hardy RW. 2008. Farmed Fish Diet Requirements for The Next Decade and Implications for Global Availability of Nutrients. In Lim C, Webster CD, Lee CS, eds. Alternative Protein Sources in Aquaculture Diets. The Haworth Press. Taylor & Francis Group, New York and London, p: 1-16.
141
Indradjaja DD. 2010. Upaya Penyediaan Pakan Untuk Mendukung Target Produksi Perikanan 353. Makalah disajikan pada Forum Pakan 2010, Sidoarjo, 22-25 November 2010. Direktorat Produksi, Ditjen Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Ismanaji I dan C. Novari. 2010. Peraturan Perundangan dalam Pengembangan Pakan Ikan/Udang dengan Penekanan Pada Penggunaan Bahan Baku Lokal. Makalah Penunjang pada SemiLoka Nutrisi dan Teknologi Pakan Ikan/Udang, Bogor 26 Oktober 2010. Badan Litbang Kelautan dan Perikanan, KKP bekerjasama dengan ISPIKANI, Jakarta. Jobling M, E Gomez and J Diaz. 2002. Feeds Types Manufacturer and Ingredient. In Houlihan D, Boujard T, Jobling, M, eds. Food Intake Fish. Blackwell Science Ltd. Osney Mead. Oxford, p: 31-39. Khalil AB, Daulay & Elihasridas. 2002. Evaluasi Kandungan Energi Metabolime Ransum yang Mengandung Biji Karet Fermentasi Pada Ayam Pedaging. Med., Pet. 25 (1): 20-22 Madubuike FN, BU Ekenyem, and TKO Obin. 2006. Performance and Cost Evaluation of Substituting Rubber Seed Cake for Groundnut Cake in Diets of Growing Pigs. J. Nutrition 5(1): 59-61. Mayasari N. 2005. Penggunaan Metionin dan Taurin Pada Kadar yang Berbeda Dalam Pakan Ikan Lele Dumbo [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 35 hlm. Murni R, Suparjo, Akmal, and BL. Ginting. 2008. Buku Ajar Teknologi Pemanfaatan Limbah untuk Pakan. Fak. Peternakan. Univ. Jambi. Jambi.
142
SYAMSUNARNO DAN SUNARNO
Njwe RM, MK. Chifon, and R. Nte. 1980. Potential of Rubbers Seed as Protein Concentrate Supplement for Dwarf Sheep of Cameroon. Department of Animal Science. University Centre of Dschang. Cameroon. http: //www. fao. org/wakdocs/ ILRL/ x5536E/x5536ed2. HTM. [1 Oktober 2014]. NRC. 1983. Nutrient Requirements of Warmwater Fishes and Shellfishes, Rev. ed. Acad. Press. Washington DC. 86pp. Oyewusi P, AET Akintayo, and Olaofe. 2007. The Proximate and Amino Acid Composition of Defatted Rubber Seed Meal. J. Food, Agriculture & Environment Vol.5 (3&4): 115-118. Reksalegora O. 1979. Fish Cage Culture in The Town of Jambi, Indonesia. International Workshops on Pen and Cage Culture of Fish, 11-12 February 1979, IDRCSEAFDEC, Philippines, p:51-53. Setyawardhani DA, S. Distantina, H. Henfiana & AS. Dewi. 2010. Pembuatan Biodisel dari Asam Lemak Jenuh Minyak Biji Karet. Seminar Rekayasa Kimia dan Proses: D-05-1 – 6. Suprayudi MA, Bintang M, Takeuchi T, I. Mokoginta, T Sutardi. 1999. Defatted Soybean Meal as an Alternatif Source to Subtitute Fish Meal In The Feed Of Giant Gouramy (Osphronemus gouramy Lac.). Sanzoshoku. 47(4): 551-557.
JIPP
Suprayudi MA. 2010. Pengembangan Penggunaan Bahan Baku Lokal untuk Pakan Ikan/Udang: Status Terkini dan Prospeknya. Makalah disajikan pada Semi-Loka Nutrisi dan Teknologi Pakan Ikan/Udang, Bogor 26 Oktober 2010. Badan Litbang Kelautan dan Perikanan, KKP bekerjasama dengan ISPIKANI, Jakarta. Toh KS and SK Chia. 1978. Nutrional Value of Rubber Seed Meal and Livestock. Feeding stuff for livestock in Sout Asia. Procc. Symposium MSAP, Malaysian: 345351. Widayati RY. 1988. Evaluasi Nilai Gizi Dage Biji Karet (Havea brasillensis (Kuuth) Muel Arg. [Skripsi]. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 80 hlm. Wizna, Mirnawati, J. Novirman, Yenti & Zuryani. 2000. Pemanfaatan produk fermentasi biji karet (Hevea brasiliensis) dengan Rhizopus oligosporus dalam ransum ayam boiler. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 18-19 September 2000, Bogor. Pusat Penelitian Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal 296-299. Zuhra CF. 2006. Karet. Karya Ilmiah. Medan: Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Medan. 30 hlm.