PENGARUH JUMLAH BAHAN PRETANNING DAN MINYAK BIJI KARET (Hevea brasiliensis) TERHADAP MUTU KULIT SAMOA
Oleh: ZAINI FAHROJI F34104097
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi
: PENGARUH JUMLAH BAHAN PRETANNING DAN MINYAK BIJI KARET (Hevea brasiliensis) TERHADAP MUTU KULIT SAMOA
Nama
: ZAINI FAHROJI
NIM
: F34104097
Menyetujui Dosen Pembimbing
Dr. Ono Suparno, S.TP, MT 19721203 199702 1 001
Mengetahui : Ketua Departemen,
Prof. Dr. Ir. Nastiti Sis wi Indrasti 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus : 8 Januari 2010
Zaini Fahroji. F34104097. 2010. Pengaruh Jumlah Bahan Pretanning dan Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) Terhadap Mutu Kulit Samoa. Di bawah bimbingan Ono Suparno. RINGKASAN Kulit adalah produk samping yang paling berharga dari industri pemotongan hewan. Sebagian besar kulit diolah menjadi kulit samak melalui proses penyamakan. Proses penyamakan kulit yang populer adalah penyamakan kulit yang menggunakan krom. Dalam penyamakan kulit yang menggunakan krom, sejumlah besar komponen krom dibuang ke lingkungan yang menghasilkan dampak yang signifikan terhadap kerusakan lingkungan biologi dan ekologi. Oleh karena itulah, industri secara perlahan mulai mengurangi penggunaan krom sebagai bahan penyamak, dan beralih ke bahan penyamak yang lebih ramah lingkungan. Kulit samak yang bebas krom juga dianggap lebih unggul dipasaran terutama di industri otomotif Eropa. Salah satu produk akhir kulit samak adalah kulit samoa (chamois leather). Kulit samoa dihasilkan dari penyamakan kulit dengan menggunakan minyak yang pada umumnya adalah minyak ikan. Tingginya harga dan adanya kendala bau yang ditimbulkan oleh minyak ikan pada kulit samoa mendorong adanya berbagai penelitian untuk mengganti minyak ikan. Minyak biji karet adalah salah satu bahan yang diduga dapat menggantikan minyak ikan. Perlakuan pretanning diperlukan untuk meningkatkan penetrasi minyak ke dalam kulit dan mencegah kulit menjadi busuk pada saat berlangsungnya proses oksidasi (Krisnan et al., 2005), sehingga proses penyamakan minyak dapat berlangsung dengan baik. Bahan yang digunakan sebagai bahan pretanning adalah Relugan GT 50. Relugan GT 50 adalah nama komersial produk BASF yang merupakan larutan glutaraldehida dengan konsentrasi sebesar 50%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jumlah persentase Relugan GT 50 dan minyak biji karet terhadap mutu kulit samoa yang dihasilkan. Selain itu, penelitian bertujuan untuk menentukan perlakuan terbaik dari perlakuan yang digunakan serta karakteristik kulit samoa yang dihasilkan. Penelitian pendahuluan dilakukan dengan cara menganalisis persentase kulit biji karet, daging biji karet dan parameter fisiko-kimia minyak biji karet. Penelitian utama dilakukan dengan menyamak kulit berdasarkan perlakuan jumlah Relugan GT 50 pada taraf 1,5%; 3,0%; dan 4,5% dan persentase minyak biji karet 10%, 20%, dan 30% dengan ulangan sebanyak 2 kali. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian pendahuluan, persentase kulit biji karet sebesar 49% dan persentase daging biji karet sebesar 51%. Nilai karakteristik minyak biji karet yang diperoleh adalah: bobot jenis 0,94 (b/v), viskositas 48,4 centistokes, warna 2713 Unit PtCo , bilangan iod 113 g iod/ 100 g minyak, bilangan penyabunan 350 mg KOH/g minyak, bilangan peroksida 24 miliekuivalen/1000 g minyak, bilangan asam 15 mg KOH/g minyak, dan FFA 5,8%. Hasil pengaruh perlakuan terhadap sifat fisik dan kimia pada kulit adalah kosentrasi Relugan GT 50 berpengaruh nyata terhadap suhu pengerutan (Ts) dan pH; sedangkan persentase minyak biji karet hanya berpengaruh terhadap sifat
organoleptik kulit samoa. Perlakuan percobaan yang terpilih adalah penyamakan kulit dengan taraf jumlah Relugan GT 50 sebesar 3,0% dan persentase minyak biji karet sebesar 10%. Nilai sifat fisik yang diperoleh adalah: suhu pengerutan 75o C, ketebalan 0,92 mm, kekuatan tarik sebesar 21,50 N/mm2 , elongasi putus sebesar 144%, kekuatan sobek sebesar 55,77 N/mm, daya serap air sebesar 266% (2 jam) dan 299% (24 jam). Nilai sifat kimia yang diperoleh adalah: kadar minyak 2,5%, kadar abu 1,2% dan pH 8. Nilai sifat organoleptik yang diperoleh yaitu kehalusan 7–8, warna 8–9, dan bau 8–9.
Zaini Fahroji. F34104097. 2010. The Effects of Pretanning Agent Concentrations and Rubber Seed (Hevea brasiliensis) Oil Concentrations on Chamois Leather Quality. Supervised by Ono Suparno. SUMMARY Animal hides or skins are the most valuable by product of the meat industry. Most of those hides are converted into leather by leather tanning process. Chrome based tanning is the most popular tanning process. At the chrome based tanning process, a lot of amount chrome are throw away into the environment that make a significant effect to the biological and ecological environment damaged. Due to concerns over the use and disposal of chromed tanned leather, the leather industry is now facing increasing scrutiny over its use of chrome as tanning agent. The use of non-chrome tannages has gradually become pre-eminent to producing leather, particularly in the European automotive leather markets. Chamois leather is one of leather product. It is produced from animal hides/skins by oil tanning process, usually with fish oil. High price and odour problems to the chamois leather that produced using fish oil motivate to do some research to solve that problems. Rubber seed oil is an oil that predicted can substitute fish oil. Pretanning process is needed to increase the oil penetration and protects the pelt from putrefying during oxidation periods (Khrisnan et al., 2005). Relugan GT 50 is the agent that used on this research. Relugan GT 50 is an aldehyde tanning agent, produced by BASF. This research was aimed to find out the effects of Relugan GT 50 concentration (offer) and rubber seeds (Hevea brasiliensis) oil to the chamois leather’s quality. Beside that, this research is also aimed to decide the best combination of the factors to produce chamois leather also to know the chamois leather characteristics. The preliminary research was carried out by analyzing the rubber seed’s kernel and eggshell as well as physico-chemical properties of the rubber seed oil. The main research was done by tanning the skin with Relugan GT 50 in concentrations of 1.5, 3.0 and 4.5% followed by rubber seed oil concentrations of 10, 20, and 30%. The experimental design used was completely randomize factorial design. The preliminary research shows that rubber seed’s kernel was 49% and rubber seed’s eggshell was 51%. The rubber seed’s oil characterstics were density of 0.94 (g/cm3 ), viscosity of 48,4 centistokes, colour of 2713 PtCo units, inodine value 113 g iod/ 100 g, peroxide value of 24 miliequivalent/1000 gram oil, acid value of 15 mg KOH/g oil and FFA content of 5.8%. The research shows that Relugan GT 50 concentration significantly affected shrinkage temperature (Ts) and pH; rubber seed oil concentration significantly affect the organoleptic properties of the leather. The optimum conditions for the tanning were Relugan GT of 3.0% concentration and 10% rubber seeds oil. The physical properties of the leather were shrinkage
temperature of 75o C, thickness of 0.92 mm, tensile strength of 21.50 N/mm2 , elongation at break of 144%, tear strength of 55.77 N/mm, water absorption of 266% (2 hours) and 299% (24 hours). The chemical properties were oil content of 2.5%, ash content of 1.2% and pH of 8. The organoleptic properties were softness of 7–8, colour of 8-9, and odour of 8-9.
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul PENGARUH JUMLAH BAHAN PRETANNING DAN MINYAK BIJI KARET (Hevea brasiliensis) TERHADAP MUTU KULIT SAMOA adalah hasil karya saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 12 Januari 2010
Zaini Fahroji F34104097
RIWAYAT HIDUP Zaini Fahroji dilahirkan di Madiun, Jawa Timur pada tanggal 18 Juni 1985 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Ahmad Daroini dan Ibu Iswanti.
Pada
tahun
1992
penulis
menyelesaikan
pendidikan formal di TK Putra PKK dan pada tahun yang sama melanjutkan jenjang pendidikan di SD Negeri I Candimulyo dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri I Dolopo dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Geger, Madiun dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri I Geger, Madiun dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah lembaga kemahasiswaan seperti Agrifarma sebagai staf Departemen Hubungan Masyarakat (2006-2007), Paguyuban Sedulur Madiun (Pasmad) IPB tahun 2006-2007 sebagai Wakil Ketua, dan UKM Tae Kwon Do IPB pada tahun 2007-2008. Penulis juga pernah mengikuti praktek lapang/magang di PT. Kelola Mina Laut, Gresik serta Magang Kerja di Radar Bogor. Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Jumlah Bahan Pretanning dan Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) Terhadap Mutu Kulit Samoa” untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian di bawah bimbingan Dr. Ono Suparno S.TP, MT.
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi robbil ’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Jumlah Bahan Pretanning dan Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) Terhadap Mutu Kulit Samoa” ini dengan baik. Skripsi ini disusun melalui penelitian yang telah dilakukan di Laboratorium Penyamakan Kulit, dan Laboratorium Dasar Ilmu Terapan,
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada bebagai pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian, kepada Bapak Dr. Ono Suparno, STP, MT, dosen pembimbing akademik
yang senantiasa membimbing serta
memberikan saran dan arahan kepada penulis selama ini. Penghargaan penulis disampaikan pula kepada Ibu Ega dan Bapak Gunawan dari Laboratorium Dasar Ilmu Terapan I dan II Fakultas Teknologi Pertanian IPB yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan bantuan dalam penyediaan bahan penelitian Selain itu ucapan terima kasih juga penulis sampaikan untuk Bapak, Ibu, dan adik tercinta atas segala dukungan, semangat dan kasih sayang, serta teman-teman TIN 41 atas segala bantuan, semangat dan kebersamaannya. Penulis menyadari banyak kekurangan dan kekhilafan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik sangatlah penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Bogor, 12 januari 2010
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan setulus hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Allah SWT beserta Rasul-Nya atas segala nikmat, rahmat, dan petunjuk-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Ayah dan Ibu tercinta atas segala harapan, kasih sayang, semangat dan dukungan baik moral maupun materi, serta doa yang tulus kepada penulis. 3. Adik tercinta (Linda Nurul Hidayati) serta seluruh keluarga besa r yang selalu memberikan doa dan semangat. 4. Oryza Dian Virgostin dan keluarga yang selalu memberikan semangat dan doa. 5. Bapak Dr. Ono Suparno, S.TP, M.T, atas segala bimbingan, arahan, nasehat, dan dukungannya. 6. Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti dan Dr. Dwi Setyaningsih, S.TP, MSi sebagai dosen penguji atas segala masukannya. 7. Eko Wahyudi dan Fherdes Setiawan, teman satu tim atas segala bantuan dan kerjasamanya. 8. Ibu Ega dan Bapak Gunawan dari Laboratorium Dasar Ilmu Terapan I dan II Fakultas Teknologi Pertanian IPB. 9. Teman-teman TIN, (Endro, Asif, Farid, Sayfudin, Rendy, Arif, Dego dkk) atas segala bantuan, semangat, dukungannya. 10. Seluruh pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu-persatu, atas segala bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung.
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR....................................................................................... vii DAFTAR TABEL.............................................................................................. x DAFTAR GAMBAR......................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xii I.
PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG.............................................................................. 1 B. TUJUAN................................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Karet......................................................................................... 4 B. Biji Karet.................................................................................................. 5 C. Minyak Biji Karet.................................................................................... 6 D. Kulit.......................................................................................................... 7 E. Penyamakan Kulit.................................................................................... 10 F. Penyamakan Aldehida............................................................................. 12 G. Penyamakan Minyak................................................................................ 14 H. Kulit Samoa (Chamois Leather).............................................................. 16 III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT............................................................................. 18 B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN............................................... 18 C. TATA LAKSANA.................................................................................. 19 D. METODE PENELITIAN........................................................................ 19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN.......................................................... 24 1. Persentase Bagian-Bagian Biji Karet.................................................. 24 2. Karakterisasi Minyak Biji Karet......................................................... 25 B. PENELITIAN UTAMA.......................................................................... 27 1. Proses Penyamakan Kulit................................................................... 27 2. Analisis Sifat Fisik, Kimia dan Organoleptik..................................... 33 3. Penentuan Perlakuan Terbaik Berdasarkan Mutu Kulit Samoa.......... 51 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN...................................................................................... 52 B. SARAN................................................................................................... 53 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 54 LAMPIRAN....................................................................................................... 58
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Komposisi kimia daging biji karet......................................................... 6 Tabel 2. Gugus amino yang terdapat pada kulit.................................................. 10 Tabel 3. Persyaratan mutu kulit samoa menurut SNI 06-1752-1990................. 17 Tabel 4. Tahapan Proses penyamakan ............................................................... 21 Tabel 5. Persentase kulit dan daging biji karet.................................................... 24 Tabel 6. Karakteristik minyak biji karet.............................................................. 25 Tabel 7. Standar atmosfer dan toleransinya......................................................... 82
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Tanaman karet (Hevea brasiliensis).................................................. 4 Gambar 2. Biji karet............................................................................................ 5 Gambar 3. Struktur kulit secara makroskopis..................................................... 7 Gambar 4. Penampang kulit................................................................................ 8 Gambar 5. Jaringan kulit sebelum dan setelah disamak (ilustrasi).................... 11 Gambar 6. Reaktifitas glutaraldehida................................................................. 13 Gambar 7. Kulit samoa (chamois leather)......................................................... 16 Gambar 8a. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan suhu pengerutan setelah pretanning............................. 29 Gambar 8b.Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan suhu pengerutan setelah penyamakan minyak............. 31 Gambar 9a. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan kekuatan tarik perpendicular........................................ 35 Gambar 9b.Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan kekuatan tarik paralel................................................... 37 Gambar 9c. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan kekuatan tarik rata-rata perpendicular paralel............. 35 Gambar 10.Penampang kulit secara vertikal...................................................... 37 Gambar 11.Arah jaringan serat kolagen pada kulit ............................................ 37 Gambar 12a. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan elongasi putus sampel perpendicular........................... 39 Gambar 12b. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan elongasi putus sampel paralel....................................... 40 Gambar 12c. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan elongasi putus rata-rata sampel perpendicular dan paralel............................................................................................... 40
Gambar 13a. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan kekuatan sobek perpendicular...................................... 41 Gambar 13b. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan kekuatan sobek paralel................................................. 41 Gambar 13c. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan kekuatan sobek rata-rata perpendicular paralel........... 41 Gambar 14. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan daya serap air................................................................ 44 Gambar 15. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan kadar minyak................................................................ 45 Gambar 16. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan kadar abu...................................................................... 47 Gambar 17. Histogram hubungan antara jumlah Relugan GT 50, persentase minyak dan pH................................................................................. 49 Gambar 18. Histogram hubungan antara perlakuan penyamakan dengan nilai organoleptik (kehalusan, warna, dan bau)....................................... 50 Gambar 19. Bentuk dan ukuran sampel uji kekuatan tarik................................. 84 Gambar 20. Skema alat uji sobek....................................................................... 85 Gambar 21. Skema alat uji daya serap air.......................................................... 86 Gambar 22. Skema alat pengujian suhu pengerutan.......................................... 87 Gambar 23. Lokasi pengambilan sampel uji kimia............................................ 88
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1a. Rekapitulasi data uji suhu pengerutan setelah pretanning ........ 59 Lampiran 1b. Hasil analisis ragam uji suhu pengerutan setelah pretanning...... 59 Lampiran 1c. Uji lanjut uji suhu pengerutan setelah pretanning....................... 59 Lampiran 2a. Rekapitulasi data uji suhu pengerutan setelah penyamakan minyak…………………………………………….……….…... 60 Lampiran 2b. Hasil analisis ragam uji suhu pengerutan setelah penyamakan minyak......................................................................................... 60 Lampiran 2c. Uji lanjut uji suhu pengerutan setelah penyamakan minyak....... 60 Lampiran 3. Rekapitulasi data uji ketebalan...................................................... 61 Lampiran 4a. Rekapitulasi data uji kekuatan tarik perpendicular .................... 62 Lampiran 4b. Hasil analisis ragam uji kekuatan tarik perpendicular …...…….62 Lampiran 4c. Uji lanjut uji kekuatan tarik perpendicular.................................. 62 Lampiran 5a. Rekapitulasi data uji kekuatan tarik paralel................................. 63 Lampiran 5b. Hasil analisis ragam uji kekuatan tarik perpendicular ………….63 Lampiran 5c. Uji lanjut uji kekuatan tarik perpendicular.................................. 63 Lampiran 6a. Rekapitulasi data uji kekuatan tarik rata-rata............................... 64 Lampiran 6b. Hasil analisis ragam uji kekuatan tarik rata-rata …….………… 64 Lampiran 7a. Rekapitulasi data elongasi putus perpendicular.......................... 65 Lampiran 7b. Hasil analisis ragam elongasi putus perpendicular …............….65 Lampiran 7c. Uji lanjut elongasi putus perpendicular....................................... 65 Lampiran 8a. Rekapitulasi data uji elongasi putus paralel................................. 66 Lampiran 8b. Hasil analisis ragam elongasi putus paralel……………….....… 66 Lampiran 8c. Uji lanjut elongasi putus paralel................................................... 66
Lampiran 9a. Rekapitulasi data uji elongasi putus rata-rata................................ 67 Lampiran 9b. Hasil analisis ragam elongasi putus rata-rata………..….........…. 67 Lampiran 10a. Rekapitulasi data uji kekuatan sobek perpendicular.................. 68 Lampiran 10b. Hasil analisis ragam uji kekuatan sobek perpendicular ….........68 Lampiran 10c. Uji lanjut uji kekuatan sobek perpendicular................................68 Lampiran 11a. Rekapitulasi data uji kekuatan sobek paralael............................ 69 Lampiran 11b. Hasil analisis ragam uji kekuatan sobek paralel…..................… 69 Lampiran 11c. Uji lanjut uji kekuatan sobek perpendicular................................ 69 Lampiran 12a. Rekapitulasi data uji kekuatan sobek rata-rata............................ 70 Lampiran 12b. Hasil analisis ragam uji kekuatan sobek rata-rata ..................… 70 Lampiran 13a. Rekapitulasi data uji daya serap air 2 jam................................... 71 Lampiran 13b. Hasil analisis ragam uji daya serap air 2 jam.........................… 71 Lampiran 14a. Rekapitulasi data uji daya serap air 24 jam................................. 72 Lampiran 14b. Hasil analisis ragam uji daya serap air 24 jam........................… 72 Lampiran 15a. Rekapitulasi data uji kadar minyak..............................................73 Lampiran 15b. Hasil analisis ragam uji kadar minyak....................................… 73 Lampiran 16a. Rekapitulasi data uji kadar abu....................................................73 Lampiran 16b. Hasil analisis ragam uji kadar abu..........................................… 74 Lampiran 17a. Rekapitulasi data uji pH...............................................................75 Lampiran 17b. Hasil analisis ragam uji pH.....................................................… 75 Lampiran 17c. Uji lanjut uji pH.......................................................................... 75 Lampiran 18a. Rekapitulasi data uji organoleptik............................................... 76 Lampiran 18b. Hasil analisis ragam uji organoleptik kehalusan.....................… 77 Lampiran 18c. Uji lanjut uji organoleptik kehalusan.......................................... 77
Lampiran 18d. Rekapitulasi data uji organoleptik warna................................... 78 Lampiran 18e. Hasil analisis ragam uji organoleptik warna...........................… 78 Lampiran 18f. Uji lanjut uji organoleptik warna................................................. 78 Lampiran 18g. Rekapitulasi data uji organoleptik bau........................................ 79 Lampiran 18h. Hasil analisis ragam uji organoleptik bau................................… 79 Lampiran 18i. Uji lanjut uji organoleptik bau...................................................... 79
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Kulit adalah produk samping yang paling berharga dari industri pemotongan hewan. Sebagian besar kulit diolah menjadi kulit samak. Salah satu produk kulit samak yang populer adalah kulit samoa (chamois leather). Kulit samoa dapat digunakan sebagai lap pembersih kendaraan bermotor, alatalat optik, alat pengering (handuk), filtrasi gasoline kualitas tinggi, alat pembungkus perhiasan/kristal dan masih banyak kegunaan lainnya. Penyamakan kulit dapat dilakukan dengan berbagai bahan penyamak, bahan penyamak tersebut bisa berupa penyamak nabati, sintetis, mineral, dan penyamak minyak (Anonim,2008). Pada umumnya, penyamakan kulit dibedakan menjadi dua yaitu penyamakan kulit yang menggunakan krom (chrome-based leather tanning) dan penyamakan dengan selain krom (chrome-free leather tanning). Krom adalah kontaminan terbesar dalam limbah pada proses penyamakan kulit. Dalam penyamakan kulit menggunakan krom, sejumlah besar komponen krom dibuang ke lingkungan yang menghasilkan dampak yang signifikan terhadap kerusakan lingkungan biologi dan ekologi (Shanker, 2009). Oleh karena itulah, industri secara perlahan mulai mengurangi penggunaan krom sebagai bahan penyamak. Penyamakan kulit yang bebas krom lebih ramah lingkungan baik dari segi proses produksi maupun produk yang dihasilkannya. Kulit samak yang bebas krom juga dianggap lebih unggul dipasaran industri otomotif Eropa (Liu, 2007).Penggunaan produk kulit samak yang bebas krom mulai digalakkan terutama untuk tujuan-tujuan khusus seperti produk perawatan kesehatan, produk yang berhubungan dengan anakanak dan sebagainya (Liu, 2007) Salah satu bahan penyamak selain krom yang sering digunakan dalam proses pretanning kulit adalah aldehida seperti misalnya adalah Relugan GT 50. Relugan GT 50 adalah produk BASF. Angka 50 menunjukkan konsentrasi dari glutaraldehida tersebut. Bahan penyamak ini dapat digunakan untuk segala jenis kulit sebagai bahan penyamak tunggal ataupun kombinasi,
1
mempunyai karakteristik penyebaran lemak yang sangat luas, menghasilkan kulit samak yang halus, berwarna kekuningan, mempunyai permeabilitas udara dan daya tahan yang baik (BASF, 2009), sehingga sangat cocok digunakan untuk proses pembuatan kulit samoa. Saat ini, kulit samoa banyak diproduksi dengan menggunakan minyak ikan sebagai bahan baku utama dalam proses penyamakan. Beberapa jenis minyak ikan yang biasa digunakan adalah minyak ikan cod, sardine, herring, dan hiu (Krishnan et al., 2005a). Akan tetapi, penyamakan dengan menggunakan
minyak
ikan
memiliki beberapa
kekurangan
seperti
ketidakseragaman akibat keragaman dalam distribusi dan bau yang berhubungan dengan minyak ikan, selain itu harga minyak ikan juga cukup mahal. Minyak biji karet diduga dapat digunakan sebagai bahan penyamak untuk memproduksi kulit samoa (chamois leather), karena minyak biji karet memiliki nilai bilangan iod yang tinggi yaitu lebih dari 120. Bilangan iod ini merupakan karakteristik utama minyak yang dapat digunakan untuk penyamak kulit (Suparno, 2006). Namun demikian biji karet sedikit terkendala musim, karena tanaman karet hanya berbuah pada musim- musim tertentu. Dalam industri pemrosesan lateks, biji karet tidak secara intensif dikumpulkan untuk tujuan komersial. Total perkebunan karet di Indonesia mencapai 3 juta hektar lebih, terluas didunia. Sayangnya lahan karet yang luas tidak
diimbangi
dengan
pengolahan
yang
memadai
akibatnya
prtoduktifitasnya menjadi rendah (Zuhra, 2006). Melihat kegunaan serta pemanfaatannya, minyak biji karet mempunyai peluang yang cukup potensial untuk dikembangkan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka menarik untuk dilakukan penelitian terhadap pengaruh persentase bahan pretanning (Relugan GT 50) dalam proses penyamakan kulit samoa. B. TUJUAN Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh jumlah bahan pretanning Relugan GT 50 dan persentase minyak biji karet terhadap mutu kulit samoa. 2
2. Menentukan perlakuan terbaik dari berbagai perlakuan yang digunakan. 3. Mengetahui karakteristik kulit samoa yang dihasilkan.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Karet Tanaman karet (Hevea brasiliensis) termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, keluarga Euphorbiaceae, dan genus Hevea (Tim Penebar Swadaya, 1992).
Gambar 1. Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) (Anonim, 2009). Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 m. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks (Tim Penebar Swadaya, 1992). Selain menghasilkan getah, tanaman karet juga menghasilkan biji (Iskandar, 1993). Tanaman karet adalah tanaman daerah tropis. Daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zona 15 o LS dan 15 o LU. Bila ditanam di luar zona tersebut, pertumbuhannya agak lambat, sehingga memulai produksinya pun lebih lambat. Curah hujan tahunan yang cocok untuk pertumbuhan tanaman karet tidak kurang dari 2.000 mm. Optimal antara 2.500-4.000 mm/tahun,
yang terbagi dalam 100-150 hari hujan
(Setyamidjaja, 1993). Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian antara 1-600 meter diatas permukaan laut, dengan suhu harian 25-30o C. Derajat
4
keasaman tanah yang paling cocok untuk ditanami tanaman karet adalah 56 (Tim Penebar Swadaya, 1992). Tanaman karet tumbuh optimal di dataran rendah, yakni pada ketinggian sampai 200 meter di atas permukaan laut. Semakin tinggi letak tempat, pertumbuhannya semakin lambat dan hasilnya lebih rendah. Ketinggian lebih dari 600 meter dari permukaan laut tidak cocok lagi untuk tanaman karet. Selain itu, tanaman karet juga dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, baik pada tanah-tanah vulkanis maupun vulkanis tua, aluvial, dan bahkan tanah gambut (Setyamidjaja, 1993).
B. Biji Karet Bobot biji karet sekitar 3-5 gram tergantung dari varietas, umur biji dan kadar air. Biji karet berbentuk bulat telur dan rata pada salah satu sisinya (Nadarajapillat dan Wijewantha, 1967).
Gambar 2. Biji karet (Anonim, 2009). Biji karet terdapat dalam setiap ruang buah. Jumlah biji biasanya tiga, kadang-kadang enam, sesuai dengan jumlah ruang. Ukuran biji besar dengan kulit keras. Warnanya coklat kehitaman dengan bercak-bercak berpola yang khas (Tim Penebar Swadaya, 1992). Biji karet terdiri atas 45-50% kulit biji yang keras berwarna coklat dan 50-55% daging biji yang berwarna putih (Nadarajah, 1969). Biji karet segar terdiri atas 34,1% kulit, 41,2% isi dan 24,4% air, sedangkan biji karet yang telah dijemur dua hari terdiri atas 41,6% kulit, 8% kadar air, 15,3% minyak dan 35,1% bahan kering (Nadarajapillat dan Wijewantha, 1967). 5
Tabel 1. Komposisi kimia daging biji karet Komposisi (%)
Komponen
A
B
C
Kadar air
14,50
7,60
6,10
Kadar lemak
49,50
39,00
50,56
Kadar serat kasar
3,80
2,80
15,30
Kadar protein
22,50
21,70
18,60
Kadar abu
3,50
3,10
3,21
Sumber : A = Bahasuan (1984) B = Stosic dan Kaykay (1981) C = Silam (1998)
C. Minyak Biji Karet Minyak biji karet adalah minyak yang diperoleh dari ekstraksi biji yang berasal dari tanaman karet. Dalam industri pemrosesan lateks, biji karet tidak secara intensif dikumpulkan untuk tujuan komersial. Kandungan minyak dalam daging biji karet atau inti biji karet adalah 4550 persen (Hardjosuwito dan Hoesnan, 1976). Analisis saat ini menunjukkan bahwa minyak biji karet banyak mengandung asam lemak jenuh (18,9%) yang terdiri dari asam palmitat (10,2%) dan asam stearat (8,7%) serta asam lemak tidak jenuh (80,5%) yang terdiri dari asam oleat (24,6%), asam linoleat (39,6%) dan asam linolenat (16,3%) (Anonim, 2009). Studi pendahuluan mengenai kemungkinan penggunaan minyak biji karet sebagai minyak goreng memberikan hasil bahwa minyak biji karet dapat digunakan sebagai minyak goreng asalkan proses pembuatan minyak biji karet dilakukan dengan baik. Hasil analisis kimianya menunjukkan, bahwa sifat kimianya hampir sama dengan s ifat minyak kacang tanah, tetapi penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa minyak biji karet Indonesia apabila didasarkan pada standar AOCS untuk minyak kelapa, baik sebelum maupun sesudah pemurnian tidak dapat digunakan sebagai minyak goreng (Anonim, 1984). Pemakaian minyak biji karet dalam industri nonpangan antara lain untuk bahan pembuat sabun, bahan cat sebagai minyak mengering,
6
bahan pelengkap kosmetik, damar alkid, faktis, dan lain sebagainya (Anonim, 1984). Minyak biji karet juga diduga dapat digunakan sebagai bahan penyamak untuk memproduksi kulit samoa (chamois leather), karena minyak biji karet memiliki nilai bilangan iod yang tinggi yaitu lebih dari 120. Bilangan iod ini merupakan karakteristik utama minyak yang dapat digunakan untuk penyamak kulit (Suparno, 2006).
D. Kulit Kulit adalah bagian terluar dari struktur manusia, hewan atau tumbuhan. Pada hewan atau manusia kulit adalah lapisan luar tubuh yang merupakan suatu kerangka luar, tempat bulu tumbuh. Kulit berfungsi melindungi badan atau tubuh dari pengaruh-pengaruh luar, misalnya panas, pengaruh yang bersifat mekanis, kimiawi, serta merupakan alat penghantar suhu (Suardana et al., 2008). Menurut Judoamidjojo
(1974), struktur kulit
hewan dapat
dibedakan secara makroskopis dan mikroskopis (histology). Secara makroskopis, kulit hewan dibagi atas beberapa daerah yaitu daerah krupon (crupon), kepala dan leher, serta daerah kaki, ekor dan perut. Secara mikroskopis, kulit hewan terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan epidermis, korium, dan subkutis.
Keterangan : A, B Bag ian kepala dan leher ; C, D Krupon ; EF Ekor, perut, dan kaki
Gambar 3. Struktur kulit secara makroskopis (Suardana et al., 2008)
7
Pembagian kulit secara makroskopis adalah pembagian yang mengacu kepada bagian-bagian kulit yang pada umumnya disamak dan menunjukkan kualitas kulit. Daerah krupon adalah bagian terpenting dari kulit hewan karena bagian ini meliputi 55% dari seluruh kulit. Pada bagian ini, terdapat jaringan yang rapat dan kuat. Daerah kepala dan leher meliputi sekitar 23% dari seluruh kulit. Ketebalan kulit pada daerah kepala dan leher relatif lebih tebal dari daerah lainnya, tetapi mempunyai jaringan yang lebih longgar dari daerah krupon. Daerah kaki, perut dan ekor, meliputi 22% dari seluruh kulit. Pada daerah perut, ketebalan kulit relatif tipis dan jaringannya longgar, sedangkan daerah kaki kulit lebih tebal dan jaringan lebih padat (Judoamidjojo, 1974). Kulit hewan secara mikroskoskopis (histologis) dibagi berdasarkan struktur lapisan yang menyusun kulit. Kulit memiliki tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis, korium, dan subkutis. Lapisan epidermis juga disebut lapisan tanduk, yang berfungsi sebagai pelindung pada hewan hidup. Korium merupakan tenunan kolagen kulit yang merupakan bahan utama dalam proses-proses penyamakan. Korium sebagian besar dibangun oleh serat kolagen yang merupakan benang-benang halus yang berkelokkelok dalam berkas-berkas yang terbungkus lembaran anyaman atau tenunan retikular. Lapisan subkutis merupakan tenunan pengikat longgar yang menghubungkan korium dengan bagian-bagian lain dari tubuh. Hipodermis sebagian besar terdiri atas serat-serat kolagen dan elastin.
Keterangan :1. Rambut, 2. Lubang rambut, 3. Kelenjar lemak, 4. Kantong rambut, 5. Kelen jar keringat, 6. Sel lemak, 7.Pembuluh darah, 8. Syaraf, 9. Serat Collagen, 10. Tenunan lemak,
Gambar 4. Penampang kulit (Suardana et al., 2008).
8
Komposisi kimia kulit terdiri dari dua golongan yaitu golongan protein dan golongan non protein. Protein berbentuk terdiri dari kolagen, elastin, dan keratin. Kolagen merupakan bagian terpenting dalam teknologi kulit, karena kolagen menjadi dasar susunan kulit samak dan dapat tahan terhadap enzim proteolitik. Protein tak berbentuk (globular protein) merupakan media bagi protein berbentuk, dapat larut dalam air dan mudah terdenaturasi karena pemanasan. Protein tak berbentuk terdiri dari albumin globulin. Golongan non protein terdiri dari air, lipid, dan bahan mineral. Persentase kandungan kimia dalam kulit yaitu: air 65%, lemak 1,8%, bahan mineral 0,2% dan protein 33% (Judoamidjojo, 1974). Air di dalam kulit ada dua macam yaitu air yang terikat dengan protein (polar) dan air yang bebas (kapiler). Air yang terikat kira-kira 1/3 bagian, sedangkan air yang bebas 2/3 bagian. Bagian kulit secara makroskopis yang mengandung air paling banyak adalah bagian perut, sedangkan bagian yang paling sedikit adalah bagian krupon. Bagian kulit secara mikroskopis yang memiliki kandungan air paling banyak adalah korium. Lipid paling banyak terdapat pada bagian subkutis kulit. Hewan yang memiliki bulu tebal pada umumnya memiliki kandungan lemak yang lebih banyak. Bahan mineral dalam kulit terdiri dari K, Ca, Fe, P, dan umumnya sebagian garam klorida, sulfat, karbonat, dan fosfat; sedikit SiO2 , Zn, Ni, As, Fe, dan S (Purnomo, 1985). Ketika hewan hidup, kulitnya sangat lembut, fleksibel dan sangat kuat. Kulit mereka memiliki kemampuan untuk terjadinya penguapan air ke luar kulit, namun sebaliknya air tidak bisa masuk ke dalamnya. Ketika mereka mati, mereka kehilangan karakteristik tersebut. Jika mereka basah maka mereka akan busuk, dan jika mereka kering maka mereka akan mengeras dan rapuh. Tujuan dari proses penyamakan adalah untuk mempertahankan karakteristik alami kulit, mempertahankan kestabilan dan sekaligus mencegah terjadinya pembusukan (Mann, 2000).
9
Tabel 2. Gugus amino yang terdapat pada kulit (Mann, 2000).
E. Penyamakan Kulit Kulit tersusun dari banyak sekali ikatan jaringan serat yang dapat bergerak dan berikatan antar satu sama lain ketika hewan masih hidup. Ketika hewan sudah mati, jaringan tersebut cenderung mengerut dan menjadi keras. Pada dasarnya, tujuan utama dilakukan proses penyamakan adalah untuk menetapkan jaringan serat kolagen melalui proses kimiawi, melumasi mereka sehingga mereka dapat bergerak dan berika tan satu sama lain. Oleh karena itulah melalui proses penyamakan dapat meningkatkan fleksibilitas dan kekuatan kulit (Mann, 2000). Penyamakan adalah perubahan kulit mentah yang sifatnya tidak stabil menjadi lebih stabil terhadap perlakuan-perlakuan tertentu seperti
10
aksi bakteri, zat kimia, dan perlakuan fisik (Fahidin, 1977). Dengan kata lain, penyamakan adalah proses memodifikasi struktur kolagen, komponen utama kulit, dengan mereaksikannya dengan berbagai bahan kimia (tanin atau bahan penyamak) yang pada umumnya meningkatkan stabilitas hidrotermal kulit tersebut dan kulit tersebut menjadi tahan terhadap mikroorganisme (Suparno et al., 2005). Penyamakan merupakan perpaduan antara ilmu dan seni untuk mengubah kulit hewan yang sangat mudah rusak menjadi kulit samak. Rangkaian proses ini merupakan proses yang sangat tua untuk memproduksi berbagai produk garmen yang mewah serta beberapa produk kulit. Sampai saat ini tidak ada yang dapat menggantikan ataupun menyerupai karakteristik dari kulit samak (Churchill, 1983). Penyamakan adalah perubahan kulit mentah yang sifatnya tidak stabil menjadi lebih stabil terhadap perlakuan-perlakuan tertentu seperti aksi bakteri, zat kimia, dan perlakuan fisik (Fahidin, 1977). Dengan kata lain, penyamakan adalah proses memodifikasi struktur kolagen, komponen utama kulit, dengan mereaksikannya dengan berbagai bahan kimia (tanin atau bahan penyamak) yang pada umumnya meningkatkan stabilitas hidrotermal kulit tersebut dan kulit tersebut menjadi tahan terhadap mikroorganisme (Suparno et al., 2005).
Gambar 5. Jaringan kulit sebelum dan setelah disamak (ilustrasi) (Mann, 2000).
11
Penyamakan dilakukan dengan menggunakan bahan pernyamak (tanning agent). Pada proses penyamakan kulit jaringan kolagen distabilkan oleh tanning agent dari sifat asli kulit seperti misalnya sifat kulit yang sangat rentan terhadap pembusukan. Di dalam prosesnya, jaringan kolagen distabilkan melalui pembentukan crosslink dengan tanning agent. Selanjutnya dimensi kestabilannya akan meningkat, lebih tahan terhadap aksi mekanis, dan terhadap suhu. Kulit samak yang telah digunakan orang untuk berbagai keperluan sejak ribuan tahun lalu mempunyai sifat istimewa yang tidak dimiliki oleh bahan alami maupun bahan buatan manusia yang lain. Kulit samak dapat mengeras tetapi dapat pula sangat lembut dan lugas seperti tekstil. Kulit samak tidak hanya kuat, tahan lama serta lugas tetapi juga mempunyai struktur berpori yang unik sehingga memiliki permeabilitas udara yang baik (Judoamidjojo, 1981).
F. Penyamakan Aldehida Bahan penyamak sangat banyak jenisnya, bisa berupa penyamak nabati, sintetis, mineral, dan penyamak minyak (Anonim, 2008). Penggunanan bahan penyamak ini tergantung dari karakte r produk yang ingin dihasilkan. Beberapa golongan aldehida memiliki sifat reaktif terhadap kolagen dan mencegah pembusukan kulit. Glutaraldehida (OCH-(CH2 )3 CHO) adalah dialdehida yang dapat digunakan sebagai bahan pretanning. Glutaraldehida bebentuk ikatan semiacetal dengan gugus hidroksil dari hidroksiprolin, hidroksilin dan serin. Dengan fenol, dia akan membentuk komponen yang tidak larut (insoluble), sehingga glutaraldehida tidak bisa digunakan dengan bahan penyamak nabati. Glutaraldehida menghasilkan kulit samak dengan karakteristik tahan terhadap peluh, tahan pencucian, lebih sempurna dan densitas yang lebih baik. Glutaraldehida membentuk polimer di dalam larutan, gugus hidroksil dari polimer akan aktif dan akan bereaksi dengan gugus amino. Penyamakan aldehida menghasilkan kulit
12
samak
dengan
stabilitas
hidrotermal
maksimum 85 o C
mencapai
(Covington, 1997). Bahan penyamak aldehida digunakan untuk membuat produk kulit yang sangat lembut, berwarna keputihan, dan biasanya digunakan untuk menyamak kulit domba dengan lapisan grain yang dihilangkan. Kulit samak yang dihasilkan dapat dicuci (Natesan, 1998) Relugan GT 50 adalah gluteraldehyde-tanning agent yang merupakan produk BASF. Angka 50 menunjukkan konsentrasi dari glutaraldehida tersebut. Bahan penyamak ini dapat digunakan untuk segala jenis kulit sebagai bahan penyamak tunggal, kombinasi, maupun penyamak ulang. Bahan ini mempunyai karakteristik penyebaran lemak yang sangat luas, menghasilkan kulit samak yang halus, berwarna kekuningan, permeabilitas udara dan daya tahan yang baik (Anonim, 2009). Bahan penyamak ini dapat menghasilkan produk dengan karakter spesial seperti misalnya kemampuan mencuci yang permanen, sangat lembut dan stabil. Karakter spesialnya tersebut memungkinkan untuk digunakan dalam lingkungan medis. Kulit samak yang dihasilkan berwarna kuning keemasan (Anonim, 2008). CH2 H2 CO
CH2
C H
CH2
C
C O O
O
CH2
O
O
CH2
H2 CO
C
C O
CH2 CH2
H2 CO
C O
OH
CH2
CH2
C
C O
OH
H
H2 CO
CH2
H2 CO
C O
n
O
C O
O
Gambar 6. Reaktifitas glutaraldehida (Covington, 1997). Walaupun reaksi crosslink antara kolagen dengan aldehida telah lama dipelajari, namun mekanisme rekasinya belum dapat diketahui
13
dengan pasti. Sebagian besar peneliti sepakat bahwa gugus aldehidik berikatan dengan gugus amino bebas dari lisin dan membentuk ikatan silang (Covington, 1997). Kolagen + NH2
Kolagen-NH2 -CH2OH
Bahan penyamak aldehida, glutaraldehida dapat digunakan untuk menyamak kulit domba. Dengan jenis penyamakan ini, kulit domba dapat menghasilkan berbagai produk yang sangat berguna untuk clothing yang dapat dicuci seperti pakaian dan pada umumnya sangat tahan terhadap pengerutan pada kondisi dibawah normal. Bahan penyamak ini juga mempunyai kemampuan untuk menjaga stabilitas kulit dari pembusukan, peluh dan dapat menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan (Churchill, 1983).
G.
Penyamakan Minyak Penyamakan minyak adalah penyamakan kulit menggunakan minyak, biasanya minyak ikan, untuk menghasilkan kulit samoa (chamois leather).
Metode
tradisional
pembuatan
kulit
chamois
adalah
mengimpregnasi kulit domba split basah dengan minyak ikan dalam fulling stocks dan kemudian menggantungnya dalam stoves hangat untuk oksidasi minyak. Minyak yang teroksidasi tersebut memiliki kemampuan menyamak kulit. Kedua proses tersebut dapat diulang sampai kulit tersamak dengan memadai. Kelebihan minyak dari kulit dihilangkan dengan pengepresan hidrolik dilanjutkan dengan pencucian akhir dalam air alkalin hangat. Kulit tersebut kemudian digantung untuk pengeringan dan kemudian dilanjutkan ke finishing (Sharphouse, 1981; Dewhurst, 2004). Dalam finishing, kulit diwarnai dengan bahan pewarna (dye) untuk meningkatkan keindahannya atau untuk keperluan mode (fashion). Umumnya, warna diperoleh dengan cara menggunakan pewarna asam atau premetallised yang menghasilkan warna-warna cerah (Covington et al., 2005). Dasar penyamakan minyak modern adalah mengoksidasi minyak ikan yang sudah diaplikasikan pada kulit setelah penghilangan kapur
14
(delimed pelt) dengan bantuan oksigen atmosfir pada kondisi terkendali. Bahan penyamak gliserida tak jenuh yang biasa digunakan adalah minyak cod dan minyak sardine. Asam-asam lemak tersebut memiliki sampai enam ikatan ganda dalam rantai alifatiknya yang memberikan produk reaksi dari oksidasi dan polimerisasi untuk memberikan efek penyamakan minyak pada kondisi penyamakan normal (Sharphouse, 1985). Menurut Judoamidjojo (1981), penyamakan minyak berlangsung dalam dua fase, mula- mula minyak diambil oleh kulit secara mekanis, kemudian dilanjutkan dengan proses oksidasi. Dalam proses pengikatan yang penting adalah terdapatnya paling sedikit dua ikatan rangkap dalam molekul. Pada proses oksidasi, ikatan rangkap mengambil dua atom oksigen dan membentuk peroksida. Sebagian dari peroksida dapat bereaksi dengan gugus amino dari kolagen. Minyak yang dibutuhkan dalam penyamakan tergantung dari jumlah bahan (kulit) yang akan disamak. Minyak tersebut akan melakukan crosslink dengan protein yang ada di kulit untuk membentuk kulit samak. (Suparno, 2006). Serat kolagen adalah komponen utama yang akan bereaksi dengan minyak sehingga kebutuhan minyak yang akan digunakan sebagai bahan penyamak disesuaikan dengan jumlah bahan (kulit) yang akan disamak. Kelebihan minyak dari kulit dihilangkan dengan pengepresan hidrolik dilanjutkan dengan pencucian akhir dalam air basa hangat. Kulit tersebut kemudian digantung untuk pengeringan dan kemudian dilanjutkan ke finishing (Sharphouse, 1981; Dewhurst, 2004). Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Proses oksidasi tidak ditentukan oleh besar kecilnya jumlah lemak dalam bahan sehingga bahan yang mengandung lemak dalam jumlah kecilpun mudah mengalami proses oksidasi. Oksidasi spontan lemak tidak jenuh didasarkan pada serangan oksigen terhadap ikatan rangkap (ikatan tidak jenuh) sehingga membentuk hidroperoksida tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh yang terdapat dalam molekul trigliserida terdiri dari asam oleat (mengandung 1 ikatan
15
rangkap), asam linoleat (2 ikatan rangkap), dan asam linolenat (3 ikatan rangkap) (Ketaren, 1986).
H. Kulit Samoa (Chamois Leather) Kulit samoa merupakan artikel kulit yang populer dalam perdagangan (Sharphouse, 1995). Permintaan akan kulit samoa di pasaran global terus meningkat (Krishnan et al., 2005). Kulit jenis tersebut biasanya dihasilkan baik dari kulit kambing atau domba setelah penghilangan kapur (delimed pelt) dan lapisan grain.
Gambar 7. Kulit samoa (chamois leather) (Anonim, 2009). Kulit samoa dibuat dari kulit domba atau anak sapi dengan lapisan grain yang dihilangkan. Kulit samoa disamak dengan menggunakan minyak ikan untuk membuat kulit tersebut menjadi sangat lembut dan lemas. Kulit ini sangat lunak pada kedua sisinya. Kulit samoa tidak mahal dan sangat umum digunakan untuk penyaringan minyak bumi dan industri alat-alat optik. Kulit Samoa juga bisa digunakan untuk industri garmen (Natesan, 1998) Kulit samoa memiliki sifat-sifat yang istimewa, yakni memiliki berat jenis yang sangat rendah, absorpsi air yang tinggi, kelembutan, dan kenyamanan (Wachsmann, 1999). Penggunaan utama kulit samoa adalah sebagai alat pencuci, yang memiliki kelebihan diantaranya adalah kapasitas mengabsorpsi air yang tinggi, pengeluaran air dengan mudah, dan sebagian besar kotoran mudah dicuci dari kulit tersebut. Penggunaan lainnya adalah untuk pembuatan sarung tangan, untuk penyaringan air dari minyak bumi, dan orthopaedic leather (Sharphouse, 1995; John, 1996).
16
Persyaratan-persyaratan penting kulit chamois yang diperlukan, misalnya persyaratan kulit samoa menurut SNI disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Persyaratan mutu kulit samoa menurut SNI 06-1752-1990. Persyaratan Parameter Sifat Ki mi a: Kadar minyak (%) Kadar Abu (%) pH
Satuan
-
Keterangan Mi ni mal
Maksimal
-
10 5 8
sesudah disarikan minyaknya
Persyaratan Parameter Sifat Fisis: Tebal Kekuatan tarik Kemuluran putus (%) Kekuatan jahit Kekuatan sobek Penyerapan air (%) - 2 jam - 24 jam Organoleptis: Keadaan kulit Warna
Satuan
Keterangan Mi ni mal
Maksimal
mm N/ mm N/ mm2 N/ mm2
0,3 7,5 50 40 15
1,2 -
-
-
100 200
-
-
-
halus kuning muda/ mendekat i putih
seperti beledu
Sumber: Badan Standardisasi Nasional (1990).
17
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Relugan GT 50, minyak biji karet dan kulit domba pikel. Relugan GT adalah nama produk BASF yang termasuk ke dalam bahan penyamak aldehida. Minyak biji karet diperoleh dari ekstraksi biji karet yang dibeli dari Ciseeng, Bogor. Kulit domba pikel diperoleh dari pabrik kulit di Ciluar, Bogor. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah natrium karbonat, asam formiat, NaCl dan Eusapon S (sejenis degreaser). Selain itu juga digunakan berbagai bahan kimia yang diperlukan untuk pengujian seperti n-heksan, katalis (CuSO 4 :Na2 SO 4 = 1,2:1), H2 SO 4 pekat, NaOH 50%, HCl 0,002 N, indikator mengsel, NaOH 0,02 N, H2 SO4 0,325 N, NaOH 1,25 N, aseton, akuades, khloroform, larutan Wijs, KI 15%, natrium tiosulfat 0,1 N, indikator pati, alkohol 95%, KOH 0,1 N, KI jenuh, asam asetat glasial, KOH beralkohol 0,5 N, indikator phenolpthalein, dan HCl 0,5 N. 2. Alat Alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah hydraulic press, hammer mill, drum pemutar (mesin molen), mesin shaving, mesin buffing, staking, toggle dryer, shaker dan pH meter. Alat yang digunakan untuk pengujian adalah alat uji suhu pengerutan, uji ketebalan, daya serap air, uji kekuatan tarik dan kekuatan sobek. B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian dilakukan pada bulan Februari-Sepetember 2009 di : 1. Balai Pasca Panen, Bogor. Ekstraksi minyak biji karet dilakukan di balai tersebut. 2. Laboratorium Penyamakan Kulit Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fateta, IPB.
18
3. Laboratorium Pengawasan Mutu, Laboratorium Dasar Ilmu Terapan, Laboratorium
Bio
Industri
dan
Laboratorium
Pengemasan,
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fateta, IPB. Laboratoriumlaboratorium tersebut digunakan untuk pengujian kulit samoa.
C. TATA LAKSANA Tahapan proses penelitian terdiri dari beberapa tahap yaitu : penjemuran biji karet, ekstraksi minyak biji karet, karakterisasi minyak biji karet, proses penyamakan kulit, karakterisasi kulit samak yang dihasilkan dan pengolahan data.
D. METODE PENELITIAN 1. Penje muran Biji Karet Penjemuran biji karet dilakukan selama 3 hari berturut-turut, dengan waktu penjemuran selama 5 jam tiap harinya. Tujuan dari penjemuran ini adalah untuk menurunkan kadar air biji serta mengurangi aktivitas enzim dan mikroorganisme, sehingga biji lebih tahan lama jika disimpan. 2. Penelitian Pendahuluan Pada penelitian ini dilakukan penentuan persentase bagianbagian biji karet yaitu persentase kulit biji dan daging biji karet. Kemudian dilakukan juga analisis komposisi kimia daging biji karet yang meliputi penentuan kadar air dan kadar abu. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 19. Setelah
itu
dilakukan
pengeringan
biji
karet
dengan
menggunakan oven. Sebelum dikeringkan, biji karet (masih memiliki tempurung) disortir terlebih dahulu. Tujuan penyortiran ini adalah untuk memisahkan biji karet yang baik dan biji karet yang rusak. Meskipun dengan penyortiran seperti ini belum tentu biji karet yang dari luar kelihatan baik daging bijinya pasti baik. Setelah penyortiran biji karet dipanaskan dalam oven dengan suhu 70 o C selama 1 jam.
19
Tahap selanjutnya adalah menggiling biji karet dengan menggunakan alat penggiling biji (hammer mill). Setelah itu, biji dibungkus dengan kain saring dan selanjutnya diekstraksi dengan menggunakan alat pengempa hidrolik pada suhu 65 + 2 o C selama + 90 menit atau sampai sudah tidak ada lagi minyak yang keluar. Setelah itu dilakukan karakterisasi terhadap minyak biji karet yang dihasilkan. Sifat fisiko-kimia yang dianalisis adalah warna, viskositas, berat jenis, bilangan iod, bilangan asam, bilangan peroksida, bilangan penyabunan dan kadar asam lemak bebas (FFA). Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 19. 3. Penelitian Utama Proses Penyamakan Kulit Pada penelitian utama dilakukan proses penyamakan kulit. Secara keseluruhan tahapan proses penyamakan kulit disajikan pada Tabel 4.
20
Tabel 4. Tahapan proses penyamakan Proses Pencucian
Bahan kimia
Jumlah
Durasi
NaCl
8 -10% kulit
20 menit
Air
200% kulit
Pencucian ke 2
NaCl air
8-10% kulit 100% kulit
10 menit
Pretanning
Relugan GT 50
1,5% ; 3,0% ; 4,5%
3x15 + 30 menit
Air
300% Relugan GT 50
Natrium formiat Air
1% 1000% air
4x10 + 20 menit
Natrium Karbonat Air
2% kulit
3x15 menit
10% kulit
1 jam
Air Natrium Karbonat Air
200% kulit shaving 05%
3x10 menit 10 menit
100%
10 menit
Minyak biji karet
10% ; 20%; 30%
Natrium karbonat Air
0,5%
Catatan Ukur min. 8 o Be, jika kurang dari 8 tambahkan NaCl Ukur min. 8 o Be, < 8, tambahkan garam Cek pH min. 3, >3, tambahkan asam formiat
Melarutkan Relugan GT 50 Melarutkan Relugan GT 50
Cek pH, min 8
Shaving Pencucian
Horse up Penyamakan minyak
± 12 jam
300% Natrium karbonat
Setting out Pencucian II
Melarutkan Natrium karbonat 1 jam 10 hari
Oksidasi Pencucian I
Cek pH, baik = 8-9
Air
300%
Natrium karbonat Eusapon S Air
4% 2% 1000%
15 menit
Air
1000%
60 menit
Natrium karbonat Eusapon S Air
2% 1% 1000%
Putar di molen Bentangkan di toggle
60 menit
15 menit
Setting out Pengeringan Staking Buffing
2 x 24 jam Melenturkan kulit Ketebalan 0,3-1,2 cm (SNI 06-1752-1990)
21
Analisis Sifat Fisik, Kimia dan Organoleptik Setelah proses penyamakan dilakukan dan kulit samoa didapatkan, selanjutnya dilakukan pengujian sifat fisik, kimia dan organoleptik. Pengujian sifat fisik meliputi uji ketebalan, uji kekuatan tarik, uji kemuluran putus, uji kekuatan sobek dan uji daya serap air. Pengujian sifat kimia meliputi pH, kadar minyak dan kadar abu. Pengujian sifat organoleptik meliputi kehalusan, bau dan warna kulit samoa. Prosedur pengujian sifat fisik dan kimia disajikan pada Lampiran 19. Rancangan pe rcobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan menggunakan dua faktor, dimana faktor pertama dan faktor kedua masing- masing terdiri dari tiga taraf. Pada setiap perlakuan dilakukan dua kali ulangan. Faktor pertama adalah persentase Relugan GT 50 yang terdiri dari tiga taraf yaitu 1,5% (A1 ), 3,0% (A2 ), dan 4,5% (A3 ). Faktor kedua adalah persentase minyak (faktor B) yang terdiri dari tiga taraf yaitu 10% (B1 ), 20% (B2 ), dan 30% (B3 ). Dari 9 kombinasi perlakuan dengan dua kali ulangan tiap kombinasi perlakuan diperoleh 18 satuan percobaan. Model matematika yang digunakan adalah (Mattjik, 2002) : Yijk = µ + Ai + Bj + ABij +
ijk
dimana: i = 1, 2, 3 j = 1, 2, 3 k = 1, 2 Yijk
= Respon dari pengaruh faktor A ke-i, faktor B ke-j, dan ulangan ke-k
µ
= Nilai rata-rata umum
Ai
= Pengaruh faktor A (petak utama) ke- i
Bj
= Pengaruh faktor B (anak petak) ke-j
ABij
= Pengaruh interaksi faktor A ke-i dan faktor B ke-j
22
= Galat dari faktor A ke- i, faktor B ke-j, dan ulangan ke-k
ijk
Pengolahan Data Setelah data sifat fisik, kimia dan organoleptik diperoleh maka selanjutnya dilakukan analisis statistik untuk mengetahui pengaruh dari berbagai perlakuan yang digunakan. Analisis statistik dilakukan dengan software
SAS (Statistic Analysis System). Jika hasilnya
berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan. Uji wilayah ini bertujuan untuk melihat perbedaan pengaruh tiap faktor maupun kombinasi perlakuan. .
23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Persentase Bagian-Bagian Biji Karet Biji karet yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet yang diperoleh dari Ciseeng, Bogor. Biji karet tersebut masih dalam keadaan belum dikupas (masih memiliki tempurung). Biji karet kemudian ditentukan persentase bagian-bagiannya. Penentuan persentase bagian-bagian biji karet dilakukan dengan cara mengambil biji karet sebanyak 15 buah secara acak dengan 3 kali ulangan. Biji karet dipecahkan, dipisahkan antara daging biji dan tempurungnya
kemudian dilakukan penimbangan.
Hasil yang
didapatkan tercantum pada Tabel 5. Tabel 5. Persentase kulit dan daging biji karet
1
Bobot 15 Biji Karet (gram) 34,26
2
35,82
18,31
17,51
51,12
48,88
3
34,62
17,68
16,94
51,07
48,93
Rat arata
34,90
17,82
17,08
51,07
48,93
No.
Daging Biji (gram)
Kulit Biji (tempurung) (gram)
Daging Biji (%)
17,48
16,78
51,02
Kulit Biji (tempurung ) (%) 48,98
Berdasarkan Tabel 5 di atas, dapat diketahui bahwa biji karet yang digunakan dalam penelitian memiliki persentase daging biji yang sedikit lebih besar daripada persentase kulit bijinya. Hal ini hampir sama dengan penelitian Andayani (2008) yang menyatakan bahwa persentase daging biji karet terdiri dari sekitar 51 persen daging biji dan sekitar 49 persen kulit biji, namun agak sedikit berbeda dengan hasil penelitian Silam (1999), yang menyatakan bahwa biji karet memiliki persentase daging biji yang lebih rendah bila dibandingkan dengan persentase kulit bijinya, yaitu secara umum dalam setiap biji karet terdiri dari 48-50 persen daging biji dan 50-52 persen kulit biji. Hal ini bisa saja terjadi karena persentase daging dan kulit
24
biji karet ini dapat berbeda-beda tergantung dari jenis klon, lama penyimpanan biji karet, dan kadar air biji karet (Nadarajapillat & Wijewantha, 1967). 2. Karakterisasi Minyak Biji Karet Minyak yang diperoleh kemudian di uji sifat fisiko dan kimianya. Beberapa sifat fisiko-kimia tersebut adalah bobot jenis, viskositas, warna, bilangan asam, persen FFA, bilangan iod, bilangan penyabunan, dan bilangan peroksida. Sifat Fisiko-kimia minyak merupakan parameter yang menujukkan kualitas minyak. Data hasil penelitian sifat kimia minyak dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Karakteristik minyak biji karet dan minyak ikan No
Sifat fisika kimia 3
Nilai
A
B
Minyak ikan*
0,94
0,93
0,92
0,92
1
Bobot jenis (g/cm )
2
Viskositas (centistokes)
48,4
67,3
160
-
3
Warna (unit PtCo)
2713
2713
4077
6106
4
Bilangan iod (g iod/100 g minyak)
113
115
146
148
5
Bilangan penyabunan (mg KOH/g minyak)
350
357
185
168
6
Bilangan peroksida (meq/1000 g minyak)
24
23
30
14
7
Bilangan asam (mg KOH/g minyak)
15
12
2
0,19
8
Persen FFA (%)
5,8
5,8
1
5,8
Sumber : A = Setawan (2009) B = Andayani (2008) * = Suparno (2009a)
Bilangan iod adalah parameter penting yang menentukan apakah minyak bisa digunakan untuk proses penyamakan atau tidak. Dari hasil penelitian pada Tabel 6 di atas, diperoleh bilangan iod sebesar 113 g iod/100 g minyak. Nilai tesebut lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya oleh Andayani (2008) yaitu 146 g iod/100 g minyak dan Setiawan (2009) yaitu 115 g iod/ 100 g minyak. Menurut Suparno (2006), minyak biji karet memiliki nilai bilangan iod yang tinggi yaitu lebih dari 120. Bilangan iod ini merupakan karakteristik utama minyak yang dapat digunakan untuk penyamak kulit. Nilai bilangan iod yang lebih rendah ini dimungkinkan karena minyak biji karet telah mengalami kerusakan, baik pada saat sebelum ekstraksi, saat ekstraksi maupun setelah ekstraksi.
25
Kerusakan pada minyak sebelum ekstraksi dapat terjadi misalnya karena penyimpanan. Ketika minyak masih dalam jaringan biji, kerusakan dapat disebabkan oleh aktivitas enzim, dan mikroorganisme dalam biji yang menyebabkan terjadinya proses hidrolisis. Biji karet yang diperoleh dalam penelitian ini tidak diketahui berapa lama telah disimpan. Hal ini tidak dapat dipastikan karena keterbatasan/sulitnya memperoleh biji karet yang masih baru pada saat penelitian, sehingga minyak biji karet yang dihasilkan juga mempunyai mutu yang lebih rendah. Kerusakan yang lain juga dapat terjadi pada saat proses ekstraksi maupun karena penyimpanan minyak. Reaksi yang sering terjadi dan menurunkan kualitas minyak adalah reaksi oksidasi dan polimerisasi. Proses oksidasi dapat terjadi pada proses ekstraksi minyak. Adanya kontak dengan udara luar, pemanasan, oksigen akan berikatan dengan ikatan rangkap asam lemak tidak jenuh. Proses tersebut mengakibatkan ketidakjenuhan minyak berkurang karena ikatan rangkap pada asam lemak menjadi ikatan tunggal sehingga nilai bilangan iodnya berkurang. Semakin tinggi pemanasan yang diberikan maka semakin banyak minyak yang teroksidasi. Proses oksidasi merupakan proses utama yang berperan dalam menurunkan ketidakjenuhan minyak. Proses ini dapat dipercepat oleh suhu yang tinggi, adanya senyawa peroksida (termasuk minyak yang teroksidasi), enzim lipoksidase, katalis logam, dan katalis Feorganik (Lea, 1962). Berdasarkan Tabel 6, nilai bilangan penyabunan adalah sebesar 350 mg KOH/g minyak. Nilai tersebut sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Andayani (2008), besarnya bilangan penyabunan minyak biji karet adalah sebesar 185 mg KOH/g minyak. Namun tidak jauh berbeda dengan penelitian Setiawan (2009) yaitu sebesar 357 mg KOH/g minyak. Perbedaan nilai yang diperoleh dengan penelitian Andayani (2008) dimungkinkan disebabkan karena sebagian besar asam lemak yang terekstraksi adalah asam lemak yang berantai pendek, sehingga bobot molekul minyak rendah. Minyak yang mempunyai berat molekul rendah akan mempunyai bilangan penyabunan yang lebih tinggi daripada minyak yang mempunyai berat molekul tinggi (Ketaren, 1986).
26
Bilangan peroksida yang diperoleh pada penelitian ini adalah 24 tidak berbeda jauh dengan penelitian Setiawan (2008) yaitu sebesar 23 meq/1000 g minyak (Tabel 6). Faktor-faktor yang mempengaruhi proses oksidasi pada minyak mempengaruhi nilai bilangan peroksida yang diperoleh. Peroksida yang terbentuk pada minyak disebabkan beberapa faktor sebagaimana faktor yang mempengaruhi nilai bilangan iod. Jika pada pengukuran bilangan iod, kerusakan minyak dilihat dari penurunan jumlah ikatan rangkap pada minyak, sedangkan pada pengujian bilangan peroksida dilihat dari banyaknya oksigen yang terikat pada asam lemak tidak jenuh akibat proses oksidasi. Berdasarkan Tabel 6, bilangan asam yang diproleh dari minyak biji karet adalah sebesar 15 mg KOH/g minyak. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian Setiawan (2008) yaitu 12 mg KOH/g minyak, namun sangat jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Andayani (2008) yaitu 2 mg KOH/g minyak. Bilangan asam menunjukkan seberapa banyak jumlah asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak akibat proses hidrolisis. Semakin tinggi nilai bilangan asam suatu minyak, maka akan semakin tinggi pula tingkat kerusakannya karena jumlah molekul trigliserida yang terhidrolisisnya pun lebih banyak. Dengan demikian, kualitas dari minyak tersebut akan semakin rendah. Pembentukan asam lemak bebas pada minyak dapat terjadi karena proses pengolahan (penyiapan bahan). B. PENELITIAN UTAMA 1. Proses Penyamakan Kulit Penyamakan dapat dilakukan dengan menggunakan satu bahan penyamak (single tanning) atau beberapa bahan penyamak. Setiap bahan penyamak akan menghasilkan kulit samak dengan karakteristik tertentu. Suatu bahan penyamak dapat menghasilkan karakteristik yang baik pada sifat tertentu namun kurang baik pada sifat lainnya. Untuk itulah perlu digunakan bahan penyamak lebih dari satu. Sehingga dengan menggunakan
27
bahan penyamak lebih dari satu diharapkan dapat menggabungkan sifatsifat baik dari bahan penyamak yang digunakan. Zat penyamak sangat banyak jenisnya, bisa berupa penyamak nabati, sintetis,
mineral, dan penyamak
minyak (Anonim, 2008).
Penggunanan bahan penyamak ini tergantung dari karakter produk yang ingin dihasilkan. Pada penelitian ini digunakan dua bahan penyamak. Bahan penyamak yang pertama adalah Relugan GT 50 yang termasuk ke dalam jenis penyamak aldehida. Relugan GT 50 digunakan sebagai bahan penyamak awal/pretanning. Bahan penyamak ini menghasilkan kulit samak dengan karakteristik penyebaran lemak yang sangat luas, menghasilkan kulit samak yang halus, berwarna kekuningan, mempunyai permeabilitas udara dan daya tahan yang baik (Anonim, 2009). Namun, kulit samak yang dihasilkan adalah tipis dan mempunyai daya serap air yang kurang baik. Bahan penyamak kedua adalah minyak biji karet. Penyamakan minyak menghasilkan kulit samak yang lebih halus, lebih tebal, dan daya serap air yang lebih tinggi. Kulit yang telah berhasil disamak minyak, akan berwarna coklat tua, setelah melalui proses oksidasi. Keberhasilan proses penyamakan dapat dilihat dari suhu pengerutan (Ts) kulit samak. Suhu pengerutan didefinisikan sebagai suhu dimana terjadi pengerutan kulit yang paling ekstrim. Suhu pengerutan kulit samak aldehida adalah 80-85o C (Suparno, 2009b). Semakin tinggi suhu pengerutan, maka mutu kulit samak akan semakin baik, yang menunjukkan stabilitas hidrothermal kulit tersebut tinggi. Pada penelitian, ini shrinkage temperature test kulit samak dilakukan sebanyak dua kali, yaitu setelah pretanning dan setelah penyamakan minyak. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh dari masing- masing bahan penyamak tersebut.
28
a. Suhu Pengerutan Setelah Pretanning Pada pengukuran suhu pengerutan setelah Pretanning dari berbagai persentase Relugan GT 50 yang digunakan menunjukkan nilai yang berkisar antara 70 o C sampai dengan 80 o C. Nilai suhu pengerutan tertinggi yaitu dihasilkan pada persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% sedangkan suhu pengerutan terendah terjadi pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 1,5%. Keterangan lebih lengkap konsentrasi Minyak 20 %
Suhu Pengerutan (oC)
dapat dilihat pada Gambar 8a. 80 60 40 20 0
1.5 3 4.5 Konsentrasi Relugan GT 50 (%)
Gambar 8a. Histogram hubungan antara persentase Relugan GT 50 dan suhu pengerutan setelah pretanning. Hasil analisis ragam, setelah pretanning untuk parameter shrinkage temperature test seluruh perlakuan menujukkan bahwa faktor bahan pretanning Relugan GT 50 berpengaruh terhadap suhu pengerutan kulit samak yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan dari ketiga taraf faktor persentase Relugan GT 50, konsentrasi 1,5%; konsentrasi 3,0%; dan konsentrasi 4,5% menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% adalah konsentrasi terbaik yang akan memberikan nilai suhu pengerutan tertinggi. Menurut Mann (2000) pada proses penyamakan, didapatkan keuntungan yang lain. Karena terjadinya proses penyamakan, kulit menjadi lebih tahan terhadap kenaikan suhu. Sifat ini merupakan salah satu sifat yang sangat penting dari penggunaan kulit samak. Dari hasil analisis ragam setelah penyamakan minyak untuk parameter suhu pengerutan seluruh perlakuan menujukkan bahwa faktor
29
bahan pretanning Relugan GT 50 berpengaruh sangat nyata terhadap suhu pengerutan, sedangkan persentase minyak biji karet tidak berpengaruh terhadap suhu pengerutan kulit samak, begitu juga dengan interkasinya dengan Relugan GT 50. Hasil uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan ketiga taraf faktor persentase Relugan GT 50, konsentrasi 1,5%, 3,0%, dan 4,5% menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata, semakin tinggi persentase Relugan GT maka suhu pengerutan juga akan mengalami peningkatan. Pada persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% proses pretanning berlangsung lebih sempurna. Proses pretanning bertujuan untuk mencegah terjadinya pembusukan kulit pada saat proses oksidasi sekaligus mempersiapkan kulit agar lebih mudah tersamak pada proses penyamakan minyak. Kulit yang tersamak sempurna hanya mengalami sedikit pengerutan dan lebih tahan terhadap suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan kulit yang kurang tersamak (Kana gy, 1977). Kulit yang telah disamak akan mempunyai jumlah ikatan silang yang lebih banyak yang dapat menstabilkan protein kolagen pada kulit, sehingga lebih tahan terhadap pengaruh perlakuan dari luar (Purnomo, 1985). Semakin tinggi suhu pengerutan, maka semakin baik mutu kulit samak yang dihasilkan. Suhu pengerutan kolagen berkaitan erat dengan kestabilannya. Ketika kestabilan berkurang karena kehilangan ikatan hidrogen, adanya zat yang dapat memecah ikatan hidrogen atau kerusakan yang disebabkan oleh zat kimia, maka akan lebih sedikit energi yang diperlukan untuk memecahkan ikatan hidrogen tersebut, dan suhu pengerutan juga akan menurun. Sebaliknya adanya bahan yang dapat memicu terjadinya ikatan antarkolagen, seperti misalnya pada proses penyamakan akan meningkatkan ketahanan enzimatis dan suhu pengerutan (Brown, 1958). Oleh karena itulah, semakin besar persentase Relugan GT 50 yang digunakan maka suhu pengerutan juga semakin meningkat. Persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% menghasilkan kulit samak yang lebih stabil dibandingkan dengan konsentrasi lebih rendah.
30
Namun demikian, seperti pada proses penyamakan minyak dengan minyak ikan bahwa proses penyamakan minyak cenderung tidak meningkatkan nilai suhu pengerutan dan sekaligus suhu pengerutan bukanlah satu-satunya faktor yang mentukan mutu kulit samoa, maka penelitian utama tetap dilakukan pada seluruh taraf Relugan GT 50 yang digunakan. Diharapkan dengan kegiatan tersebut akan didapatkan gambaran yang lebih jelas tentang pengaruh jumlah Relugan GT 50 terhadap mutu kulit samoa, interaksinya dengan minyak biji karet dan pada akhirnya dapat ditentukan jumlah Relugan GT 50 terbaik dari berbagai taraf yang digunakan, yang bisa digunakan dalam proses penyamakan minyak. b. Suhu Pengerutan Setelah Penyamakan Minyak Pada pengukuran suhu pengerutan setelah penyamakan minyak dari berbagai persentase Relugan GT 50 yang digunakan menunjukkan nilai yang berkisar antara 69,5 o C sampai dengan 76,5 o C. (Gambar 8b). Pada umumnya lebih rendah jika dibandingan sebelum dilakukan penyamakan minyak. Nilai suhu pengerutan tertinggi dihasilkan pada persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% dan persentase minyak 20%, sedangkan suhu pengerutan terendah terjadi pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 1,5% dan persentase minyak 20%.
Suhu Pengerutan ( oC)
80 60
kons entra s i Mi nya k 10 %
40
kons entra s i Mi nya k 20 % kons entra s i Mi nya k 30 %
20 0 1.5
3
4.5
Konsentrasi Relugan GT 50 (%)
Gambar 8b. Histogram hubungan antara persentase Relugan GT 50, persentase minyak dan suhu pengerutan setelah penyamakan minyak. Penggunaan minyak akan meningkatkan beberapa parameter mutu kulit samoa, seperti kehalusan kulit yang lebih baik dan daya
31
serap air yang lebih tinggi. Namun sampai pada taraf tertentu penambahan minyak justru akan menurunkan mutu kulit samak, misalnya sifat fisik kulit samak. Hal ini terlihat dari sifat fisik kulit samak seperti misalnya suhu pengerutan yang pada taraf penambahan minyak biji karet sebesar 10% dan 20% suhu pengerutannya tetap, namun pada taraf 30% nilai suhu pengerutan mengalami sedikit penurunan. Selain menurunkan nilai suhu pengerutan, penggunaan minyak juga akan berpengaruh terhadap bau dan warna kulit samoa, semakin tinggi jumlah minyak yang digunakan maka nilai bau dan warna kulit samoa akan semakin menurun. Menurut Suparno (2009b), bahan aktif penyamakan minyak adalah minyak tak jenuh, yang dapat dimodelkan dengan asam linoleat. CH3 (CH2 )4 CH=CHCH2 CH=CH(CH2 )7 CO2OH yang diketahui dapat berpolimerisasi. Reaksi tersebut berbasiskan pada pembentukan senyawa-senyawa aldehida, terutama karena proses tersebut diikuti dengan pelepasan akrolein, CH2 =CHCHO, yang telah digunakan sebagai salah satu elemen pengendalian mutu. Namun, akrolein sendiri tidak dapat digunakan dalam pembuatan kulit samoa (Covington, 2009). Sharphouse (1985), menyimpulkan penyamakan minyak sebagai fiksasi produk-produk oto-oksidasi resin atau minyak terhadap serat protein dalam bentuk seperti pembungkus. Hal ini mungkin dalam bentuk polimer dan tahan terhadap air pencuci basa dan pelarut-pelarut umum. Menurut Suparno (2009b), hasil dari penyamakan tersebut sebagai sebuah matriks polimer dalam matriks kolagen. Tidak ada kepastian reaksi antara polimer tersebut dan kolagen, tidak seperti hasil dari penyamakan aldehida. Dengan demikian, sistem tersebut dapat digambarkan sebagai suatu matriks dari ikatan- ikatan hidrokarbon terpolimerisasi, menahan struktur serat kolagen terpisah/berjauhan, sebagai suatu bentuk lubrikasi ekstrim untuk mencegah struktur serat tersebut bersatu dan lengket.
32
Menurut Covington di dalam Suparno (2009b) model tersebut memberikan sebuah rasional untuk menerangkan tiga ciri penting kulit samoa : 1. Stabilitas hidrotermal. Suhu pengerutan kulit samoa adalah sedikit lebih tinggi daripada bahan awalnya. Dengan demikian, pandangan konvensional
mengenai
penyamakan
tidak
berlaku.
Pada
penyamakan minyak, sedikit interaksi antara bahan penyamak dan serat kolagen. Ini merupakan salah satu contoh bahan penyamak yang memiliki afinitas lebih besar untuk dirinya sendiri daripada untuk substratnya. 2. Retensi air. Efek menjaga struktur serat berjauhan berarti kolagen dapat dihidrasi dan menahan air berlebih dalam matrik minyak polimerisasi hidrofobik. 3. Efek Ewald. Kulit samoa adalah satu dari sedikit kasus yang kulit samak menunjukkan suatu reversibilitas pengerutan hidrotermal. Jika kulit tersebut direndam dalam air panas, pada atau di atas suhu pengerutannya,
kulit
tersebut
akan
mengerut
sebagaima na
diharapkan. Namun jika kulit tersebut segera dimasukkan ke dalam air dingin, kulit tersebut kembali mendapatkan sekitar 90% dari luas awalnya. 4. Analisis Sifat Fisik, Kimia dan Organoleptik a.
Sifat Fisik Kulit 1. Ketebalan (Thickness) Dari pengukuran
ketebalan
kulit
samoa
didapatkan
ketebalan kulit berkisar antara 0,66-0,93 mm dengan ketebalan ratarata adalah 0,79 mm (Lampiran 2). Hal ini menunjukkan bahwa ketebalan kulit samoa pada penelitian ini telah memenuhi SNI (BSN, 1990), yakni 0,3-1,2 mm. Ketebalan kulit domba pada umumnya berkisar antara 1-2 mm dengan jalinan serat kolagen pada lapisan corium yang relatif lebih halus serta lapisan grain yang hampir setengah dari ketebalan kulit total (Haines, 1975). Ketebalan kulit dapat disesuaikan dengan 33
mudah sesuai dengan keinginan pada waktu pembuatan kulit samoa. Pada proses shaving selain bertujuan untuk menghilangkan bagian rajah (grain) kulit serta daging (flash), kegiatan ini juga dapat mengatur ketebalan kulit sesuai dengan yang diinginkan. Selain itu pada proses buffing selain bertujuan untuk menghaluskan kulit samak, pada proses ini juga dapat mengatur ketebalan kulit. Ketebalan kulit awal dapat berbeda-beda menurut umur, jenis kelamin, dan tebal tipisnya bulu hewan. Semakin tua hewannya, makin tebal bulunya dan makin tipis, lapisan papilarisnya (Purnomo, 1985). 2. Kekuatan Tarik (Tensile Strength) Berdasarkan data hasil penelitian, nilai kekuatan tarik sampel perpendicular berkisar antara 22,63-28,13 N/mm2 . Nilai kekuatan tarik tertinggi terdapat pada perlak uan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 3,0% dan persentase minyak sebesar 30%, sedangkan nilai kekuatan tarik terendah terdapat pada perlakuan persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% dan persentase minyak sebesar 10% (Gambar 9a)
Kekuatan Tarik (N/mm 2 )
30 25
kons entra s i Mi nya k 10 %
20
kons entra s i Mi nya k 20 %
15
kons entra s i Mi nya k 30 %
10 5 0 1.5
3
4.5
Konsentrasi Relugan GT 50 (%)
Gambar 9a. Histogram hubungan antara persentase Relugan GT 50, persentase minyak dan kekuatan tarik perpendicular. Pada sampel paralel, nilai kekuatan tarik berada pada kisaran 13,11-16,71 N/mm2 . Nilai kekuatan tarik tertinggi terdapat pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 1,5% dan
34
persentase minyak sebesar 10%, sedangkan nilai kekuatan terendah terdapat pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 3,0% dan persentase minyak sebesar 10%.(Gambar 9b).
Kekuatan Tarik (N/mm 2 )
30 25
kons entra s i Mi nya k 10 %
20
kons entra s i Mi nya k 20 %
15
kons entra s i Mi nya k 30 %
10 5 0 1.5
3
4.5
Konsentrasi Relugan GT 50 (%)
Gambar 9b. Histogram hubungan antara persentase Relugan GT 50, persentase minyak dan kekuatan tarik paralel. Jika dirata-ratakan nilai kekuatan tarik pada sampel perpendicular dan paralel berkisar antara 18,90-22,84 N/mm2 (Gambar 9c). Nilai kekuatan tarik tertinggi terdapat pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 3,0% dan persentase minyak sebesar 30%, sedangkan nilai kekuatan tarik terendah terdapat pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 3,0% dan persentase minyak sebesar 10%.
Kekuatan Tarik (N/mm 2 )
30 25
kons entra s i Mi nya k 10 %
20
kons entra s i Mi nya k 20 %
15
kons entra s i Mi nya k 30 %
10 5 0 1.5
3
4.5
Konsentrasi Relugan GT 50 (%)
Keterangan :
: Kulit samoa minyak ikan : Standar Nasional Indonesia (SNI 06-1752-1990)
Gambar 9c. Histogram hubungan antara persentase Relugan GT 50, persentase minyak dan kekuatan tarik rata-rata perpendicular dan paralel.
35
Secara keseluruhan nilai kekuatan tarik tersebut sudah memenuhi SNI (BSN, 1990) yaitu minimal 7,5 N/mm. Namun, nilai kekuatan tarik tersebut sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai kekuatan tarik kulit samoa minyak ikan yang bernilai sekitar 23,1 (N/mm2 ) (Suparno et al., 2009). Hasil analisis ragam pada pengujian kekuatan tarik rata-rata perpendicular dan paralel seluruh perlakuan menujukkan bahwa faktor bahan pretanning Relugan GT 50 dan persentase minyak biji karet tidak berpengaruh terhadap kekuatan tarik kulit samoa yang dihasilkan, begitu juga dengan interaksi keduanya. Besar kecilnya kekuatan tarik dipengaruhi oleh berbagai faktor, menurut Haines (1975) sudut yang kecil antara jalinan seratserat kolagen terhadap permukaan grain kulit memungkinkan gaya tarik dapat didistribusikan lebih menyebar ke seluruh sumbu jalinan serat, sehingga kekuatan tarik kulit menjadi lebih besar. Sudut yang kecil juga memungkinkan adanya lebih banyak jalinan serat-serat kolagen jika dibandingkan dengan sudut yang lebih besar pada kulit samak dengan ketebalan yang sama. Oleh karena itulah nilai kekuatan tarik menjadi semakin besar. Tingginya nilai kekuatan tarik kulit juga dipengaruhi oleh tingginya komposisi protein serat di dalam kulit (Kanagy, 1977) Sebaliknya, menurut O’Flaherty dan Lollar (1960) bahwa kulit yang tipis mempunyai serat kolagen yang longgar sehingga mempunyai daya regang dan kekuatan tarik yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kulit yang lebih tebal. Pada industri nilai kekuatan tarik yang ini bisa di antisipasi dengan mengatur ketebalan kulit, jika diinginkan kekuatan tarik yang lebih besar maka bisa dengan memotong kulit yang lebih tebal, begitu juga sebaliknya.
36
Gambaran yang lebih jelas tentang serat kolagen dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Penampang kulit samak secara vertikal (Dempsey, 1974). Jika dilihat pada grafik, secara garis besar nilai kekuatan tarik pada sampel perpendicular memiliki nilai yang lebih besar jika dibandingkan pada arah paralel. Menurut Haines (1975), kekuatan tarik sangat dipengaruhi oleh arah jalinan serat. Kekuatan tarik yang lebih besar diberikan oleh jalinan serat yang sejajar dengan arah tarikan dan begitu pula sebaliknya. Arah jalinan serat kolagen tidak hanya dipengaruhi oleh ketebalan kulit, tetapi juga dipengaruhi olah lokasinya pada kulit tersebut.
Lokasi pengambilan sampel
Gambar 11. Arah jaringan serat kolagen pada kulit (Haines, 1975).
37
Seperti terlihat pada Gambar 11 di atas, pada lokasi pengambilan sampel arah jaringan serat kolagen menuju ke arah perpendicular/ke
arah perut
sehingga sejajar dengan
arah
pengukuran kekuatan tarik. Akan lebih susah memutuskan serat kolagen, jika dibandingkan dengan memutuskan ikatan antar serat kolagen, sehingga nilai kekuatan tarik pada arah perpendicular lebih besar jika dibandingkan dengan arah paralel.
3. Kemuluran Putus (Elongation at Break) Tingkat kemuluran putus merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan mutu kulit samoa. Tingkat kemuluran putus menunjukkan nilai elastisitas kulit samoa. Kulit samak yang mempunyai tingkat kemuluran putus tinggi memungkinkan kulit tersebut untuk tidak mudah sobek pada saat digunakan, dibersihkan dan sebagainya. Hasil penelitian menunjukkan nilai elongasi putus kulit samoa untuk sampel kulit perpendicular berada pada kisaran 140210%. Nilai kemuluran putus tertinggi terdapat pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 3,0% dan persentase minyak 30%, sedangkan nilai kemuluran putus yang paling rendah terdapat pada perlakuan persentase Relugan GT 50 sebesar 1,5% dan persentase minyak 20% (Gambar12a).
Elongasi putus (%)
200 150
kons entra s i Mi nya k 10 %
100
kons entra s i Mi nya k 20 %
50
kons entra s i Mi nya k 30 %
0 1.5
3
4.5
Konsentrasi Relugan GT 50 (%)
Gambar 12a. Histogram hubungan antara persentase Relugan GT 50, persentase minyak dan elongasi putus sampel perpendicular.
38
Pada sampel arah paralel, nilai kemuluran putus berkisar antara 64-94% (Gambar12b). Kemuluran putus sampel paralel, nilai tertinggi terdapat pada perlakuan persentase Relugan GT 50 sebesar 3,0% dan persentase minyak 20%, sedangkan nilai kemuluran putus yang paling rendah terdapat pada perlakuan persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% dan persentase minyak 10%.
Elongasi putus (%)
200 kons entra s i Mi nya k 10 %
150
kons entra s i Mi nya k 20 %
100
kons entra s i Mi nya k 30 %
50 0 1.5
3
4.5
Konsentrasi Relugan GT 50 (%)
Gambar 12b. Histogram hubungan antara persentase Relugan GT 50, persentase minyak dan elongasi putus sampel paralel. Secara keseluruhan nilai kemuluran putus pada sampel perpendicular dan paralel bila dirata-ratakan berada pada kisaran 103-148% (Gambar12c). Nilai kekuatan tarik tertinggi terdapat pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 3,0% dan persentase minyak 30%, sedangkan nilai kemuluran putus terendah terdapat pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 1,5% dan persentase minyak 20%.
39
Bila dilihat secara keseluruhan, nilai kemuluran putus berada di atas batas minimal SNI (BSN, 1990) yaitu diatas 50%, dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai kemuluran putus kulit samoa minyak ikan yang bernilai sekitar 91% (Suparno et al., 2009).
Elongasi putus (%)
200 kons entra s i Mi nya k 10 %
150
kons entra s i Mi nya k 20 %
100
kons entra s i Mi nya k 30 %
50 0 1.5
3
4.5
Konsentrasi Relugan GT 50 (%)
Keterangan :
: Kulit samoa minyak ikan : Standar Nasional Indonesia (SNI 06-1752-1990)
Gambar 12c. Histogram hubungan antara persentase Relugan GT 50, persentase minyak dan elongasi putus sampel rata-rata perpendicular dan paralel Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor persentase Relugan GT 50 dan persentase minyak biji karet tidak berpengaruh terhadap elogasi rata-rata sampel perpendicular dan parallel. Begitu juga dengan interaksi keduanya. Besar kecilnya kemuluran putus kulit samak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Kulit yang tersamak dengan baik
akan
memiliki nilai elastisitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kulit yang kurang tersamak. Proses penyamakan minyak terjadi ketika minyak berpenetrasi ke dalam kulit dan mengalami proses oksidasi yang mengakibatkan terjadinya ikatan antara minyak dan protein kolagen pada kulit. Secara keseluruhan nilai kemuluran putus pada arah perpendicular juga lebih besar jika dibandingkan dengan dengan arah paralel. Kemuluran putus kulit samak sangat dipengaruhi oleh
serat
kolagen
seperti
factor- faktor
yang
mempengaruhi kekuatan tarik dan sobek.
40
4. Kekuatan Sobek (Tear Strength) Pada sampel dengan arah perpendicular, kisaran nilai kekuatan sobek berkisar antara 43,07-73,94 N/mm (Gambar13a). Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan dengan perlakuan persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% dan persentase minyak 30%, sedangkan nilai yang paling rendah terdapat pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% dan persentase minyak 10%. Kekuatan Sobek (N/mm)
100 kons entra s i Mi nya k 10 %
75
kons entra s i Mi nya k 20 %
50
kons entra s i Mi nya k 30 %
25 0 1.5
3
4.5
Konsentrasi Relugan GT 50 (%)
Gambar 13a. Histogram hubungan antara persentase Relugan GT 50, persentase minyak dan kekuatan sobek perpendicular.
41
Pada pengujian sampel paralel, kisaran nilai kekuatan sobek adalah 50,35-120,31 N/mm (Gambar13b). Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% dan persentase minyak 10%, sedangkan nilai yang paling rendah terdapat pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 1,5% dan persentase minyak 10%.
Kekuatan Sobek (N/mm)
100 kons entra s i Mi nya k 10 %
75
kons entra s i Mi nya k 20 %
50
kons entra s i Mi nya k 30 %
25 0 1.5
3
4.5
Konsentrasi Relugan GT 50 (%)
Gambar 13b. Histogram hubungan antara persentase Relugan GT 50, persentase minyak dan kekuatan sobek paralel.
Kekuatan Sobek (N/mm)
100 kons entra s i Mi nya k 10 %
75
kons entra s i Mi nya k 20 %
50
kons entra s i Mi nya k 30 %
25 0 1.5
3
4.5
Konsentrasi Relugan GT 50 (%)
Keterangan :
: Standar Nasional Indonesia (SNI 06-1752-1990)
Gambar 13c. Histogram hubungan antara persentase Relugan GT 50, persentase minyak dan kekuatan sobek rata-rata perpendicular dan paralel. Jika dirata-rata nilai kekuatan sobek sampel perpendicular dan paralel berada pada kisaran 46,71-85,24 N/mm (Gambar 128c) dengan nilai kekuatan sobek tertinggi terdapat pada perlakuan
42
dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 1,5% dan persentase minyak 10%, sedangkan nilai kekuatan sobek yang paling rendah terdapat pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% dan persentase minyak 10%. Secara keseluruhan, nilai kekuatan sobek berada diatas SNI (BSN, 1990) yaitu diatas 15 N/mm. Hasil analisis ragam pada pengujian kekuatan sobek seluruh perlakuan menunjukkan bahwa faktor bahan pretanning Relugan GT 50 dan persentase minyak biji karet tidak berpengaruh terhadap kekuatan sobek rata-rata perpendicular dan paralel kulit samak, demikian juga dengan interaksi keduanya. Sama seperti pada kekuatan tarik, uji kekuatan sobek juga sangat dipengaruhi oleh arah serat kolagen, dan sudut serat kolagen terhadap lapisan grain. Menurut Haines (1975) sudut yang kecil antara arah jalinan serat-serat kolagen terhadap permukaan grain kulit maka gaya tarik dapat didistribusikan lebih menyebar ke seluruh sumbu jalinan serat, sehingga kekuatan sobek kulit menjadi lebih besar. Sudut yang kecil juga memungkinkan adanya lebih banyak jalinan serat-serat kolagen jika dibandingkan dengan sudut yang lebih besar pada kulit samak dengan ketebalan yang sama. Begitu juga dengan faktor lainnya yang mempengaruhi nilai kekuatan tarik juga sangat mempengaruhi nilai kekuatan sobek. 5. Daya Serap Air Daya serap air adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan mutu kulit samoa. Pengukuran daya serap air dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada saat 2 jam dan 24 jam, sesuai dengan Standar Nasional Indonesia. Data hasil penelitian menunjukan bahwa daya serap air pada waktu 2 jam pertama memilki kisaran nilai antara 245-296% (Gambar14a). Pada pengukuran daya serap waktu 24 jam, kisaran nilai antara 263-358% (Gambar14b). Secara keseluruhan nilai daya serap air untuk waktu 2 jam dan 24 jam berada di atas nilai standar 43
(Anonim, 1990) yaitu minimal 100% untuk waktu 2 jam dan 200% untuk waktu 24 jam. Nilai tertinggi dan terendah pada pengukuran dua waktu tersebut terdapat pada perlakuan yang sama, yaitu pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% dan persentase minyak biji karet 10%, sedangkan nilai terendah pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% dan persentase minyak biji karet 10%.
Daya Serap Air (%)
400 kons entra s i Mi nya k 10 %
300
kons entra s i Mi nya k 20 %
200
kons entra s i Mi nya k 30 %
100 0 1.5
3
4.5
Konsentrasi Relugan GT 50 (%)
(a)
Daya Serap Air (%)
500 400
kons entra s i Mi nya k 10 %
300
kons entra s i Mi nya k 20 %
200
kons entra s i Mi nya k 30 %
100 0 1.5
3
4.5
Konsentrasi Relugan GT 50 (%)
(b) Keterangan :
: Kulit samoa minyak ikan : Standar Nasional Indonesia (SNI 06-1752-1990)
Gambar 14. Histogram hubungan antara persentase Relugan GT 50, persentase minyak dan daya serap air. a) 2 jam (b) 24 jam. Hasil analisis ragam faktor persentase Relugan GT 50 dan persentase minyak biji karet tidak berpengaruh terhadap daya serap 44
air pada waktu 2 jam kulit samak yang dihasilkan, begitu juga dengan interaksi keduanya baik pada waktu 2 jam maupun 24 jam. Secara keseluruhan nilai daya serapa air kulit samoa minyak biji karet telah memenuhi SNI (BSN, 1990), yang bernilai sekitar 100% (2 jam) dan 200% (24 jam), namun sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan kulit samoa minyak ikan (Suparno, et al., 2009). Secara garis besar daya serap air pada waktu 24 jam lebih tinggi jika dibandingkan dengan daya serap air pada waktu 2 jam, semakin lama waktu penyerapan maka akan semakin banyak air yang terserap oleh kulit dan akan tetap pada saat tercapai titik jenuhnya.
Sifat Kimia Kulit 1. Kadar Minyak Pada kulit samak, kadar minyak yang rendah menunjukkan kualitas yang lebih baik. Hal ini dapat mengurang efek bau, efek berminyak
serta
menunjukkan bahwa kegiatan penyamakan
berlangsung secara lebih baik.
7 6
Kadar Minyak (%)
b.
kons entra s i Mi nya k 10 %
5
kons entra s i Mi nya k 20 %
4 3
kons entra s i Mi nya k 30 %
2 1 0 1.5
3
4.5
Konsentrasi Relugan GT 50 (%)
Gambar15. Histogram hubungan antara persentase Relugan GT 50,persentase minyak dan kadar minyak. Berdasarkan data hasil penelitian ini, nilai kadar minyak untuk semua sampel kulit berada pada kisaran antara 2,5-6,0% (Gambar15). Bila dilihat secara keseluruhan, nilai kadar minyak
45
masih masuk dalam SNI (BSN, 1990) yaitu dibawah 10%. Kadar minyak tertinggi terdapat pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% dan persentase minyak biji karet 20%, sedangkan nilai yang terendah terdapat pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 3,0% dan persentase minyak biji karet 10%. Berdasarkan hasil analisis ragam, faktor persentase Relugan GT 50 dan persentase minyak biji karet tidak berpengaruh terhadap kadar minyak kulit samak. Begitu juga dengan interaksi keduanya. Kadar minyak dalam kulit samak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Seperti terlihat pada Gambar15, semakin tingi minyak yang digunakan, kadar minyak pada kulit juga semakin tinggi. Minyak yang berlebih pada proses penyamakan minyak dapat dihilangkan pada proses pencucian dengan menggunakan air alkalin hangat (Suparno, 2008). Dengan demikian, kandungan minyak yang masih tertinggal dalam kulit hasil penyamakan minyak sangat tergantung kepada proses pencucian yang dilakukan. Selain itu, kadar minyak pada kulit juga dipengaruhi oleh proses Pretanning, misalnya tahap pengapuran kulit. Proses pengapuran bertujuan untuk melarutkan epidermis dan menghidrolisa lemak
serta zat-zat yang tidak
diperlukan pada proses penyamakan sehingga sewaktu proses pengapuran sebagian lemak pada kulit akan terbuang. 2. Kadar Abu Nilai kadar abu dalam penelitian ini berkisar antara 1,21,7% (Gambar16). Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 4,5% dan persentase minyak biji karet 10%, sedangkan nilai terendah terdapat pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 3,0% dan persentase minyak biji karet 10%.
46
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa, faktor persentase Relugan GT 50 dan persentase minyak biji karet tidak berpengaruh terhadap kadar abu kulit samak. Begitu juga dengan interaksi keduanya.
Kadar Abu (%)
3 kons entra s i Mi nya k 10 %
2
kons entra s i Mi nya k 20 % kons entra s i Mi nya k 30 %
1
0 1.5
3
4.5
Konsentrasi Relugan GT 50 (%)
Keterangan :
: Kulit samoa minyak ikan
Gambar 16. Histogram hubungan antara persentase Relugan GT 50, persentase minyak dan kadar abu. Secara umum, kadar abu mempunyai nilai yang sama. Kadar abu pada kulit dipengaruhi oleh bahan mineral tersebut antara lain K, Ca, Fe, P dan umumnya sebagai garam khlorida, sulfat, karbonat, dan fosfat; sedikit SiO 2 , ZN, Ni, As, Fe,dan S. Bila dilihat secara keseluruhan, nilai kadar abu masih masuk dalam SNI (BSN, 1990) yakni dibawah 5%, sekaligus lebih rendah jika dibandingkan kadar abu kulit samoa minyak ikan yang bernilai sekitar 3% (Suparno, et al., 2009). Hal ini menujukkan bahwa kulit samoa minyak biji karet memiliki mutu yang lebih baik jika dibandingkan dengan kulit samoa minyak ikan.
3. pH Nilai pH yang diperoleh dalam penelitian ini untuk semua sampel berkisar antara 7-8 (Gambar17). Nilai pH tertinggi terdapat pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 1,5% dan persentase minyak biji karet sebesar 10%, sedangkan untuk nilai pH terendah terdapat pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50
47
sebesar 3,0% dan persentase minyak biji karet sebesar 10%. Secara keseluruhan nilai pH kulit samoa minyak biji karet sebanding/tidak berbeda jauh dengan kulit samoa minyak ikan, dan telah memenuhi
pH
SNI (BSN, 1990). 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
kons entra s i Mi nya k 10 % kons entra s i Mi nya k 20 % kons entra s i Mi nya k 30 %
1.5
3
4.5
Konsentrasi Relugan GT 50 (%)
Keterangan :
: Kulit samoa minyak ikan : Standar Nasional Indonesia (SNI 06-1752-1990)
Gambar 17. Histogram hubungan antara persentase Relugan GT 50, persentase minyak dan pH Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor persentase Relugan GT 50 berpengaruh terhadap pH kulit samak, sedangkan minyak biji karet tidak berpengaruh, namun interaksi keduanya berpengaruh. Hasil uji lanjut Duncan menujukkan bahwa dari ketiga taraf faktor persentase Relugan GT 50 memberikan pengaruh yang berbeda nyata, semakin tinggi persentase Relugan GT maka nilai pH akan semakin menurun. c.
Sifat Organoleptik Sifat organoleptik adalah parameter utama dalam menentukan kualitas kulit samoa. Sifat organoleptik yang penting untuk kulit samoa yaitu kehalusan, warna dan bau kulit samak. Pada proses penyamakan, didapatkan
keuntungan
yang
lain.
Karena
terjadinya
proses
penyamakan, kulit menjadi lebih tahan terhadap kenaikan suhu. Sifat ini merupakan salah satu sifat yang sagat penting dari penggunaan kulit samak. Selain itu, karena proses penyamakan juga berpengaruh terhadapa warna,
tekstur dan
hasil akhir kulit samak
untuk 48
meningkatkan kualitasnya dan sangat cocok dengan kebutuhan saat ini (Mann, 2000). Hasil penilaian sifat organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 18a. Terdapat dua perlakuan yang menghasilkan nilai kehalusan tertinggi, yaitu yang pertama perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesa 4,5% dan persentase minyak biji karet sebesar 30% (A3B3), yang kedua adalah perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 3% dan persentase minyak biji karet sebesar 10%. Nilai kehalusan terendah terdapat pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 1,5% dan persentase minyak biji karet sebesar 10% (Gambar 18).
Keterangan : nilai organoleptik: 1-2 = sangat kurang, 3-4 = kurang, 5-6 = cukup, 7- 8 = baik, 9-10= sangat baik
Gambar 18. Histogram hubungan antara perlakuan penyamakan dengan nilai organoleptik (kehalusan, warna, dan bau) Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor persentase Relugan GT 50, persentase minyak biji karet maupun interaksi keduanya berpengaruh terhadap kehalusan kulit samak. Dari uji lanjut Duncan ketiga taraf persentase Relugan GT 50 menunjukkan hasil yang berbeda nyata, dengan peningkatan persentase Relugan GT 50 dan persentase minyak maka akan meningkatkan nilai kehalusan.
49
Hasil analisis ragam pada parameter warna menunjukkan bahwa faktor persentase Relugan GT 50 tidak berpengaruh terhadap warna kulit samak. Persentase minyak biji karet berpengaruh terhadap warna kulit samak dengan korelasi negatif, semakin tinggi minyak yang digunakan akan menghasilkan warna kulit samoa yang kurang baik. Hasil analisis ragam pada parameter bau menunjukkan bahwa faktor persentase Relugan GT 50 tidak berpengaruh terhadap bau kulit samak, sedangkan persentase minyak biji karet berpengaruh terhadap bau kulit samak begitu juga dengan interaksi keduanya. Persentase minyak biji karet berpengaruh terhadap bau kulit samak dengan korelasi negatif, semakin tinggi minyak yang digunakan akan meningkatkan bau kulit samoa, sehingga kualitasnya menjadi kurang baik. Nilai kehalusan dipengaruhi oleh persentase Relugan GT 50, terlihat dari perbedaan nilai yang diperoleh pada setiap taraf persentase Relugan GT 50 yang digunakan. Persentase Relugan GT 50 memberikan pengaruh terhadap kehalusan kulit samoa. Persentase Relugan GT 50 yang lebih besar menyebabkan proses pretanning dapat berlangsung secara lebih baik, sehingga pengaruh penyamakan mengakibatkan perubahan sifat fisik (kehalusan) pada kulit menjadi lebih sempurna. Minyak biji karet juga sangat mempengaruhi kehalusan kulit samak. Minyak biji karet memang lebih berfungsi untuk meningkatkan kehalusan kulit samak yang merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan mutu kulit samak. Minyak berikatan dengan jaringan kolagen kulit, melonggarkan ikatan antar jaringan sehingga diperoleh kulit Samoa yang lebih tebal, lebih lembut. Karena itulah penyamakan minyak sampai pada taraf tertentu juga akan sedikit menurunkan nilai parameter fisik pada kulit samoa. Nilai bau dan warna kulit samoa sangat dipengaruhi oleh persentase minyak. Semakin tinggi persentase minyak biji karet yang digunakan akan menghasilkan warna dan bau kulit samoa yang kurang baik. Perbedaan nilai warna dan bau hanya terlihat pada taraf konsentrasi miyak yang berbeda, sedangkan pada setiap taraf persentase
50
Relugan GT 50 memiliki nilai yang sama. Semakin tinggi persentase minyak yang digunakan dalam penyamakan minyak, maka intensitas bau semakin tinggi, yang berarti kualitas kulit tersebut semakin menurun. Hal ini disebabkan karena dengan semakin banyaknya persentase minyak yang digunakan dalam penyamakan memungkinkan semakin banyaknya minyak yang tertinggal pada kulit samak sehingga meninggalkan bau sekaligus menghasilkan warna yang kurang baik.
3. Penentuan Perlakuan Terbaik Berdasarkan Mutu Kulit Samoa Parameter utama yang menjadi penentu mutu kulit samoa adalah kehalusan dan daya serap air. Hal ini sangat berkaitan dengan fungsinya pada saat digunakan. Semakin tinggi nilai kehalusan akan meningkatkan kenyamanan dan keamanan kulit pada saat digunakan, sedangkan daya serap air menunjukan kemampuan penyerapan kulit terhadap air. Perlakuan penyamakan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 3% dan persentase minyak biji karet sebesar 10% (A2B1) merupakan kombinasi perlakuan yang terbaik. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengujian organoleptik, fisik dan kimia yang diperoleh. Kulit samoa yang dihasilkan memiliki kehalusan yang baik, warna dan bau yang sangat baik. Didukung dengan berbagai parameter lainnya seperti daya serap air yang baik, suhu pengerutan yang baik, kekuatan tarik dan kekuatan sobek yang cukup baik.
51
V. KESIMPULAN
A. KESIMPULAN Jumlah bahan pretanning (Relugan GT 50) berpengaruh terhadap suhu pengerutan, pH dan kehalusan, sedangkan persentase minyak biji karet tidak berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia kulit namun sangat berpengaruh terhadap sifat organoleptik kehalusan, warna dan bau kulit samoa yang dihasilkan. Persentase minyak berpengaruh negatif terhadap bau dan warna kulit samoa. Nilai kehalusan sangat dipengaruhi oleh taraf persentase Relugan GT 50. Semakin tinggi persentase Relugan GT 50, maka nilai kehalusan semakin tinggi. Nilai kehalusan terbaik terdapat pada kulit yang disamak dengan perlakuan persentase Relugan GT 50 sebesar 3,0% dan persentase minyak biji karet sebesar 10% dengan nilai selang 7-8. Sifat organoleptik yang dinilai yaitu kehalusan, warna dan bau dengan selang nilai antara 1-10. Nilai bau dan warna sangat dipengaruhi oleh taraf persentase minyak. Semakin tinggi persentase minyak yang digunakan maka nilai bau akan semakin menurun. Nilai bau dan warna terbaik terdapat pada kulit yang disamak pada perlakuan dengan persentase Relugan GT 50 sebesar 3% dan persentase minyak biji karet sebesar 10%, dengan selang nilai 8-9. Perlakuan percobaan yang terpilih berdasarkan mutu kulit samak terbaik adalah perlakuan dengan taraf persentase Relugan GT 50 sebesar 3,0% dan persentase minyak sebesar 10%. Nilai sifat fisik yang diperoleh adalah: suhu pengerutan 75o C, ketebalan 0,92 mm, kekuatan tarik sebesar 21,50 N/mm2 , elongasi putus sebesar 144%, kekuatan sobek sebesar 55,77 N/mm, daya serap air 245% (2 jam) dan 263% (24 jam). Nilai sifat kimia yang diperoleh yaitu: kadar minyak 2,5%, kadar abu 1,2% dan pH 8. Nilai sifat organoleptik kehalusan dengan selang 7-8, warna dengan selang 8-9, dan bau dengan selang 8-9.
52
B. SARAN Untuk menghasilkan kulit samoa biji karet yang lebih baik lagi disarankan: 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mempercepat proses/waktu oksidasi, sehingga dapat dihasilkan kulit samoa dengan lebih cepat. 2. Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan bahan pretanning lainnya, sehingga dapat dihasilkan kulit samoa yang lebih baik.
53
DAFTAR PUSTAKA Andayani, G.N. 2008. Pengaruh Pengeringan Terhadap Sifat Fisiko Kimia Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) untuk Penyamakan Kulit. [Skripsi]. Bogor. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. [AOCS] The American Oil Chemist Society. 1951. Official and Tentative Methods of The American Oil Chemist Society 2 nd ed. Chicago: AOCS. [Anonim]. 1984. Minyak Biji Karet. Warta Perkaretan 6 (5): 12. [Anonim]. 2005. Penyamakan K ulit. http://q- lit.com. [1 agustus 2009]. [Anonim]. 2009. Chamois Leather. http://leatherhouse.com. [ 1 oktober 2008]. [Anonim]. 2009. Performance Chemical Adding Value to Leather http://mingyun trade.com. [1 agustus 2009] Bahasuan, A.M 1984. Pengaruh Biji Karet (Hevea brasiliensis) Dalam Ransum Ayam Pedaging Terhadap Bobot Karkas, Bobot Lemak Rongga Tubuh, Bobot Hati dan Bobot Ginjal. Jurnal Litbang Pertanian. 5(3) : 75. BASF (2009). Products for the Leather Industry www.basf- india.com [1 agustus 2009] Brown, P.C, Consden, R, Glynn, L.E. (1958). Observation On the Shrink Temperature of Collagen and Its Variation With Age and Disease. Special Unit for Juvenile Rheumatism, Canadian Red Cross Memorial Hospital, Taplow, near Maidenhead, Berkshire, England. Ann. rheum. Dis. (1958), 17, 196. [BSN] Badan Standarisasi Nasional 1990. Standar Nasional Indonesia. Kulit Samoa (chamois). SNI 06-1752-1990. Jakarta: BSN. Covington, A.D, Evans, C.S, Lilley T.H, Suparno, O. 2005. Collagen and PolypHenols: New Relationships and New Outcomes. Part 2. Phenolic Reactions For Simultaneous Tanning and Coloring. Journal of the American Leather Chemists Association 100 (9): 336-343. Covington, A.D. 2009. Tanning Chemistry, The Science of Leather. The Royal Society of Chemistry, Cambridge. Di dalam Suparno O. 2009. Penyamakan Kulit Samoa (chamois leather) [karya ilmiah]. Tidak dipublikasikan. Churchill, J.E. 1983. The Complete Book of Tanning Skins and Furs. Stackpole Books, Mechanicsburg, USA. Dempsey, M. (1974). Scanning Electron Microscope Studies of The Grain Surface of Leather. New Zealand Leather and Shoe Research Association, Palmerston North, New Zealand. Journal of Material Science 9 (1974) 651-657.
54
Fahidin. 1970. Proses Penyamakan Kulit. [skripsi]. Bogor : Fakultas Mekanisasi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Fahidin. 1977. Pengelolaan Hasil Ternak Unit Pengolahan Ternak. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Haines, B.M, Barlow, J.R. Review. (1975). The Anatomy of Leather. British Leather Manufacturers' Research Association, Milton Park, Egham, Surrey, UK. Journal of Material Science 10 (1975) 525-538. Hardjosuwito, B. dan Hoesnan. 1976. Minyak Biji Karet, Analisis dan Kemungkinan Penggunaannya. Menara Perkebunan, 44 (55) : 225 Iskandar, S.H. 1983. Pengantar Budidaya Karet. Program Diploma I. Jurusan PLPT Perkebunan-IPB, Bogor. John, G. 1996. Possible Deffects in Leather Production. Hemsbach: Druck Partner Rubelmann GmbH. Judoamidjojo, R.M. 1974. Dasar Teknologi dan K imia Kulit. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor . 1974. Dasar Teknologi dan K imia Kulit. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Kanagy, R.J. 1977. Physical and Performance Properties of Leather. Robert E. Krieger Publishing So. Hunting, New York. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press, Jakarta. Krishnan, S.H, Sundar, V.J, Rangasamy, T, Muralidharan, C, and Sadullla, S.2005a. Studies on Chamois Leather-Tanning Using Plant Oil. Journal of the Society of Leather Technologists and Chemist, 89 : 260-262. Lea, C.H. 1962. The Oxidative Deterioration of Food Lipids. Di dalam: Symposium on Foods. Lipid and Their Oxidation. Connecticut: The AVI Publ. Co. Inc. Westport. Liu, C.K, Latona, N.P, DiMaio G.L, and Cooke P.H. 2007. Viscoelasticity studies for a fibrous collagen material: chrome- free Leather. Agricultural Research Service, Eastern Regional Research Center, United States Department of Agriculture, East Mermaid Lane, Wyndmoor. Mann, B.R, and McMillan, M,M. 2000. The Cemistry of The Leather Industry. G.L Bowron & Co. Ltd. New Zealand. Mattjik, A. A, dan Sumerta, M. 2002. Perancangan Percobaan. Jurusan Statistika FMIPA IPB. Bogor.
55
Nadarajapillat, N, Wijewantha, R.T. 1967. Productivity Potential of Rubber Seed. RRIC Bulletin 2: 8-16. Natesan, S. 1998. Manual For Leather Accessories and Leather Goods. Central Leather Institute, Adyar, Chennai, India. O’Flaherty, F, Roddy, W.T and Lollar, R.M. 1958. The Chemistry and Technology of Leather. Reinhold Publishing Co., New York. Purnomo, E. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi Teknologi Kulit, Departemen Perindustrian, Yogyakarta. Setiawan, F. 2009. Pengaruh Konsentrasi Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) dan Waktu Oksidasi Dalam Penyamakan Minyak Terhadap Mutu Kulit Samoa. [Skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Setyamidjaja, D. 1993. Karet: Budidaya dan Pengolahan. Yogyakarta: Kanisius. Shanker, A.K, Ravichandran, V, and Pathmanabhan, G. (2005). Phytoaccumulation of Chromium by Some Multipurpose-tree Seedlings. Agroforestry Systems 64: 83-87 DOI 10.1007/s10457-005-2477-2 Sharphouse, J.H 1995. Leather Technician’s Handbook. Leather Producer’s Association, Northampton. Silam.1998. Ekstraksi Minyak Biji Karet (Hevea Brasiliensis) Dengan Alat Pengempa Berulir (expeller) dan Karakteristik Mutu Minyak. [Skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Suparno, O, A.D, Covington and C.S, Evans. 2005. Kraft lignin degradation products for tanning and dyeing of leather. Journal of Chemical Technology and Biotechnology 80 (1): 44-49. Suparno, O. 2006. Potensi Pemanfaatan Biji Karet di Indonesia [karya ilmiah]. Tidak dipublikasikan. Suparno, O et al., 2009a. Chamois Leather Tanning Using Rubber Seeds Oil. Tidak dipublikasikan. Suparno, O. 2009b. Penyamakan kulit samoa (chamois leather) [karya ilmiah]. Tidak dipublikasikan. Stosic, D.D, J.M. Kaykay. 1981. Rubber seeds as animal feed in Liberia. Di dalam: D. Aritonang. 1986. Kemungkinan pemanfaatan biji karet dalam ramuan makanan ternak. Jurnal Litbang Pertanian 5 (3): 73. Suardana, I.W., I. M. Sudiadnyana P., dan Rubiyanto. 2008. Kriya Kulit Jilid 1 untuk SMK. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan,
56
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Tim Penebar Swadaya. 1994. Karet : Strategi Pemasaran Tahun 2000, Budidaya dan Pengolahan. Penebar Swadaya, Jakarta. Wachsmann, H.M. 1999. Chamois Leather-Traditional and Today. World Leather, October 1999. Zuhra. C.F. 2006. Karet. [karya ilmiah]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara.
57
58
Lampiran 1a. Rekapitulasi data suhu pengerutan setelah pretanning Kombinasi perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Ulangan 1 70 70 70 75 75 75 80 80 80
2 69 70 69 75 74 75 79 80 80
Rata-rata (o C) 69,5 70,0 69,5 75,0 74,5 75,0 79,5 80,0 80,0
Lampiran 1b. Hasil analisis ragam suhu pengerutan setelah pretanning Sumber F Tabel Db JK KT F Hitung keragaman α = 0,05 α = 0,01 A 2 310,11 155,05 465,17** 9,55 30,82 Galat (a) 3 1,00 0,33 B 2 0,11 0,55 0,33 5,14 10,93 AB 4 0,88 0,22 1,33 4,53 9,15 Galat (b) 6 1,00 0,17 Total 17 Keterangan : * **
= berbeda nyata = berbeda sangat nyata
Lampiran 1c. Uji lanjut suhu pengerutan setelah pretanning Persentase Relugan GT Suhu pengerutan setelah Berganda Duncan α = 50 (%) pretanning 0,05 1,5 69,67 C 3,0 74,83 B 4,5 79,83 A
59
Lampiran 2a. Rekapitulasi data suhu pengerutan setelah penyamakan minyak Kombinasi perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Ulangan 1 71 69 72 75 75 75 75 77 76
2 71 70 73 74 76 74 77 76 75
Rata-rata (o C) 71,0 69,5 72,5 74,5 75,5 74,5 76,0 76,5 75,5
Lampiran 2b. Hasil analisis ragam suhu pengerutan setelah penyamakan minyak Sumber F Tabel Db JK KT F Hitung keragaman α = 0,05 α = 0,01 A 2 82,11 41,05 147,80** 9,55 30,82 Galat (a) 3 0,83 0,28 B 2 0,44 0,22 0,29 5,14 10,93 AB 4 10,89 2,72 3,50 4,53 9,15 Galat (b) 6 4,67 Total 17 Keterangan : * **
= berbeda nyata = berbeda sangat nyata
Lampiran 2c. Uji lanjut suhu pengerutan setelah penyamakan minyak Persentase Relugan GT Suhu pengerutan setelah Berganda Duncan α = 50 (%) penyamakan minyak 0,05 1,5 71,00 C 3,0 74,83 B 4,5 76,00 A
60
Lampiran 3. Rekapitulasi data uji ketebalan Kombinasi perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Ulangan 1 0,66 0,75 0,75 0,90 0,81 0,83 0,77 0,79 0,86
2 0,72 0,72 0,73 0,93 0,80 0,85 0,73 0,77 0,81
Rata-rata (mm) 0,69 0,74 0,74 0,92 0,81 0,84 0,75 0,78 0,84
Keterangan: Nilai ketebalan dapat disesuaikan pada proses shaving dan buffing sehingga tidak perlu dilaku kan analisis ragam dari kedua faktor perlakuan.
61
Lampiran 4a. Rekapitulasi data uji kekuatan tarik perpendicular Kombinasi perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Ulangan 1 23,08 23,54 24,68 24,10 25,50 31,81 23,35 25,61 28,85
2 25,48 24,98 24,19 25,26 24,88 27,09 21,91 24,07 27,41
Rata-rata (N/mm2 ) 24,28 24,26 24,44 24,68 25,21 29,45 22,63 28,84 28,13
Lampiran 4b. Hasil analisis ragam kekuatan tarik perpendicular Sumber F Tabel Db JK KT F Hitung keragaman α = 0,05 α = 0,01 A 2 13,55 6,78 2,53 9,55 30,82 Galat (a) 3 8,04 2,68 B 2 39,03 19,52 10,40* 5,14 10,93 AB 4 19,08 4,77 2,54 4,53 9,15 Galat (b) 6 11,26 1,88 Total 17 Keterangan : * = berbeda nyata
Lampiran 4c. Uji lanjut kekuatan tarik perpendicular Persentase minyak biji Kekuatan tarik karet (%) perpendicular 10 23,86 20 24,76 30 27,33
Berganda Duncan α = 0,05 B B A
Keterangan : Huruf yang sama pada kolo m uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakukan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
62
Lampiran 5a. Rekapitulasi data uji kekuatan tarik paralel Kombinasi perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Ulangan 1 15,11 15,63 16,61 13,07 14,78 16,38 15,76 16,03 16,27
2 14,11 14,94 16,81 13,15 14,89 16,08 16,24 16,26 15,76
Rata-rata (N/mm2 ) 14,61 15,29 16,71 13,11 14,84 16,23 16,00 16,15 16,02
Lampiran 5b. Hasil analisis ragam uji kekuatan tarik paralel Sumber F Tabel Db JK KT F Hitung keragaman α = 0,05 α = 0,01 A 2 5,38 2,67 21,30* 9,55 30,82 Galat (a) 3 0,38 0,13 B 2 9,14 4,57 38,87** 5,14 10,93 AB 4 5,26 1,31 11,18** 4,53 9,15 Galat (b) 6 0,70 0,12 Total 17 Keterangan : * **
= berbeda nyata = berbeda sangat nyata
Lampiran 5c. Uji lanjut uji kekuatan tarik paralel Persentase Relugan GT Kekuatan tarik paralel 50 (%) 1,5 15,53 3,0 14,72 4,5 16,05 Persentase minyak biji karet (%) 1,5 3,0 4,5
Kekuatan tarik paralel 14,57 15,42 16,31
Berganda Duncan α = 0,05 A B A Berganda Duncan α = 0,05 C B A
Keterangan : Huruf yang sama pada kolo m uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakukan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
63
Lampiran 6a. Rekapitulasi data uji kekuatan tarik rata-rata Kombinasi perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Ulangan Perpendicular 24,28 24,26 24,44 24,68 25,21 29,45 22,63 28,84 28,13
Paralel 17,33 15,29 16,71 13,11 14,84 16,23 16,00 16,15 16,02
Rata-rata (N/mm2 ) 20,81 19,78 20,58 18,90 20,03 22,84 19,32 22,50 22,08
Lampiran 6b. Hasil analisis ragam uji kekuatan tarik rata-rata F Tabel Sumber Db JK KT F Hitung keragaman α = 0,05 α = 0,01 A 2 2,74 1,37 0,01 9,55 30,82 Galat (a) 3 463,90 154,63 B 2 13,98 6,99 2,94 5,14 10,93 AB 4 15,64 3,91 1,64 4,53 9,15 Galat (b) 6 14,27 2,38 Total 17 Keterangan : Huruf yang sama pada kolo m uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakukan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
64
Lampiran 7a. Hasil analisis nilai elongasi putus perpendicular Kombinasi perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Ulangan 1 142 148 152 164 164 208 168 176 176
2 146 132 152 160 172 212 172 172 168
Rata-rata (%) 144 140 152 162 168 210 170 174 172
Lampiran 7b. Hasil analisis ragam nilai elongasi putus perpendicular F Tabel Sumber Db JK KT F Hitung keragaman α = 0,05 α = 0,01 A 2 3953,78 1976,89 130,82** 9,55 30,82 Galat (a) 3 45,33 15,11 B 2 1356,44 678,22 21,80** 5,14 10,93 AB 4 1544,89 386,22 12,41** 4,53 9,15 Galat (b) 6 186,67 31,11 Total 17 Keterangan : * **
= berbeda nyata = berbeda sangat nyata
Lampiran 7c. Uji lanjut nilai elongasi putus perpendicular Persentase Relugan GT Elongasi putus Berganda Duncan α = 50 (%) perpendicular 0,05 1,5 145,33 C 3,0 172,00 B 4,5 180,00 A Persentase minyak biji karet (%) 10 20 30
Elongasi putus perpendicular 158,67 160,67 178
Berganda Duncan α = 0,05 B B A
Keterangan : Huruf yang sama pada kolo m uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakukan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
65
Lampiran 8a. Rekapitulasi data nilai elongasi putus paralel Kombinasi perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Ulangan 1 63 68 80 90 92 76 80 100 108
2 65 64 76 91 96 96 84 112 112
Rata-rata (%) 64 66 78 91 94 86 82 106 110
Lampiran 8b : Hasil analisis ragam nilai elongasi putus paralel Sumber F Tabel Db JK KT F Hitung keragaman α = 0,05 α = 0,01 A 2 2836,11 1418,05 24,06* 9,55 30,82 Galat (a) 3 176,83 58,94 B 2 520,11 260,05 11,33** 5,14 10,93 AB 4 690,89 172,72 7,53* 4,53 9,15 Galat (b) 6 137,67 22,94 Total 17 Keterangan : * **
= berbeda nyata = berbeda sangat nyata
Lampiran 8c. Uji lanjut nilai elongasi putus paralel Persentase Relugan GT Elongasi putus paralel 50 (%) 1,5 69,33 3,0 90,17 4,5 99,33 Persentase minyak biji karet (%) 10 20 30
Elongasi putus paralel 78,83 88,67 91,33
Berganda Duncan α = 0,05 B A A Berganda Duncan α = 0,05 B A A
Keterangan : Huruf yang sama pada kolo m uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakukan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
66
Lampiran 9a. Rekapitulasi data nilai elongasi putus rata-rata Kombinasi perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Ulangan Perpendicular 144 140 152 162 168 210 170 174 172
Pararel 64 66 78 91 94 86 64 106 110
Rata-rata (%) 124 103 115 127 131 148 117 140 141
Lampiran 9b. Hasil analisis ragam nilai elongasi putus rata-rata Sumber F Tabel Db JK KT F Hitung keragaman α = 0,05 α = 0,01 A 2 2845,44 1422,72 0,14 9,55 30,82 Galat (a) 3 30006,83 10002,28 B 2 1065,44 532,72 2,18 5,14 10,93 AB 4 363,55 90,89 0,37 4,53 9,15 Galat (b) 6 1467,67 244,61 Total 17 Keterangan : Huruf yang sama pada kolo m uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakukan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
67
Lampiran 10a. Rekapitulasi data uji kekuatan sobek perpendicular Kombinasi perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Ulangan 1 46,21 74,29 65,79 57,44 51,70 69,78 43,44 64,47 72,38
2 54,12 72,40 69,44 57,41 43,60 68,94 42,70 64,78 75,49
Rata-rata (N/mm) 50,17 73,35 67,62 57,43 47,65 69,36 43,07 64,63 73,94
Lampiran 10b. Hasil analisis ragam uji kekuatan sobek perpendicular F Tabel Sumber Db JK KT F Hitung keragaman α = 0,05 α = 0,01 A 2 93,44 46,72 4,64 9,55 30,82 Galat (a) 3 30,19 10,06 B 2 1220,41 610,20 76,51** 5,14 10,93 AB 4 838,19 209,55 26,27** 4,53 9,15 Galat (b) 6 47,85 7,97 Total 17 Keterangan : * **
= berbeda nyata = berbeda sangat nyata
Lampiran 10c. Uji lanjut uji kekuatan sobek perpendicular Persentase minyak biji kekuatan sobek Berganda Duncan α = karet (%) perpendicular 0,05 10 50,22 C 20 61,87 B 30 70,03 A Keterangan : Huruf yang sama pada kolo m uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakukan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
68
Lampiran 11a. Rekapitulasi data uji kekuatan sobek paralel Kombinasi perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Ulangan 1 117,68 77,21 87,35 54,96 72,04 75,74 51,96 71,97 66,38
2 122,93 84,15 86,17 53,25 71,82 75,88 48,74 73,28 63,49
Rata-rata (N/mm) 120,31 80,68 86,76 54,11 71,93 75,81 50,35 72,63 64,94
Lampiran 11b. Hasil analisis ragam uji kekuatan sobek paralel F Tabel Sumber Db JK KT F Hitung keragaman α = 0,05 α = 0,01 A 2 3897,78 1948,89 237,89** 9,55 30,82 Galat (a) 3 24,57 8,19 B 2 2,87 1,43 0,34 5,14 10,93 AB 4 2866,66 716,66 167,34** 4,53 9,15 Galat (b) 6 25,70 4,28 Total 17 Keterangan : * **
= berbeda nyata = berbeda sangat nyata
Lampiran 11c. Uji lanjut uji kekuatan sobek paralel Persentase Relugan GT kekuatan sobek paralel 50 (%) 1,5 95,91 3,0 67,28 4,5 62,64
Berganda Duncan α = 0,05 A B B
Keterangan : Huruf yang sama pada kolo m uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakukan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
69
Lampiran 12a. rekapitulasi data uji kekuatan sobek rata-rata Kombinasi perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Ulangan Perpendicular 50,17 73,35 67,62 57,43 47,65 69,36 43,07 64,63 73,94
Paralel 120,31 80,68 86,76 54,11 71,93 75,81 50,35 72,63 64,94
Rata-rata (N/mm) 85,24 77,02 77,19 55,77 59,79 72,59 46,71 68,63 69,44
Lampiran 12b. Hasil analisis ragam uji kekuatan sobek paralel F Tabel Sumber Db JK KT F Hitung keragaman α = 0,05 α = 0,01 A 2 1251,39 625,70 1,11 9,55 30,82 Galat (a) 3 1687,37 562,46 B 2 332,36 166,18 0,71 5,14 10,93 AB 4 729,56 182,39 0,78 4,53 9,15 Galat (b) 6 5403,24 233,76 Total 17 Keterangan: Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlaku kan tidak berpengaruh nyata sehingga tidak perlu dilaku kan uji lanjut Duncan
70
Lampiran 13a. Rekapitulasi data uji daya serap air 2 jam Kombinasi perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Ulangan 1 286 234 287 295 280 261 246 251 291
2 280 300 303 238 275 303 243 261 275
Rata-rata (%) 283 267 295 266 278 282 245 256 283
Lampiran 13b. Hasil analisis ragam uji uji daya serap air 2 jam Sumber F Tabel Db JK KT F Hitung keragaman α = 0,05 α = 0,01 A 2 132,11 661,05 1,90 9,55 30,82 Galat (a) 3 1042,83 347,61 B 2 1764,11 882,05 1,33 5,14 10,93 AB 4 841,89 210,47 0,32 4,53 9,15 Galat (b) 6 3982,67 663,78 Total 17 Keterangan: Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlaku kan tidak berpengaruh nyata sehingga tidak perlu dilaku kan uji lanjut Duncan
71
Lampiran 14a. Rekapitulasi data uji daya serap 24 jam Kombinasi perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Ulangan 1 332 249 303 318 290 277 258 293 318
2 352 317 413 280 285 331 268 320 291
Rata-rata (%) 342 283 358 299 288 304 263 307 305
Lampiran 14b. Hasil analisis ragam uji daya serap 24 jam Sumber F Tabel Db JK KT F Hitung keragaman α = 0,05 α = 0,01 A 2 4602,11 2301,55 1,05 9,55 30,82 Galat (a) 3 6570,83 2190,28 B 2 2810,11 1405,05 1,70 5,14 10,93 AB 4 6129,89 1532,47 1,85 4,53 9,15 Galat (b) 6 4962,67 827,11 Total 17 Keterangan: Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlaku kan tidak berpengaruh nyata sehingga tidak perlu dilaku kan uji lanjut Duncan
72
Lampiran 15a. Rekapitulasi data uji kadar minyak Kombinasi perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Ulangan 1 3,0 3,8 3,7 2,4 5,0 4,6 4,9 6,2 4,5
2 3,0 3,7 3,8 2,6 4,1 4,6 6,9 6,0 5,9
Lampiran 15b. Hasil analisis ragam uji kadar minyak Sumber Db JK KT F Hitung keragaman A 2 18,27 9,14 7,87 Galat (a) 3 3,48 1,16 B 2 0,88 0,44 0,76 AB 4 1,34 0,33 0,57 Galat (b) 6 3,51 0,58 Total 17
Rata-rata (%) 3,0 3,8 3,7 2,5 4,6 4,6 5,9 6,1 5,2
F Tabel α = 0,05 α = 0,01 9,55 30,82 5,14 4,53
10,93 9,15
Keterangan: Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlaku kan tidak berpenga ruh nyata sehingga tidak perlu dilaku kan uji lanjut Duncan.
73
Lampiran 16a. Rekapitulasi data uji kadar abu Kombinasi perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Ulangan 1 1,6 1,4 1,4 1,2 1,3 1,6 1,7 1,5 1,1
2 1,3 1,7 1,7 1,1 1,2 1,4 1,8 1,3 1,5
Lampiran 16b. Hasil analisis ragam uji kadar abu Sumber Db JK KT F Hitung keragaman A 2 0,16 0,82 4,32 Galat (a) 3 0,06 0,02 B 2 0,01 0,00 0,14 AB 4 0,36 0,09 2,51 Galat (b) 6 0,21 0,03 Total 17
Rata-rata (%) 1,4 1,6 1,5 1,2 1,2 1,5 1,7 1,4 1,3
F Tabel α = 0,05 α = 0,01 9,55 30,82 5,14 4,53
10,93 9,15
Keterangan: Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlaku kan tidak berpengaruh nyata sehingga tidak perlu dilaku kan uji lanjut Duncan
74
Lampiran 17a. Rekapitulasi data uji pH Kombinasi perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Ulangan 1 8,2 8,2 8,0 8,0 8,0 8,0 7,5 7,7 7,7
Lampiran 17b. Hasil analisis ragam uji pH Sumber Db JK KT keragaman A 2 0,53 0,26 Galat (a) 3 0,48 0,16 B 2 0,14 0,01 AB 4 0,05 0,01 Galat (b) 6 0,02 0,00 Total 17
Rata-rata
2 8,2 8,2 8,0 8,0 7,9 7,9 7,8 7,8 7,8
F Hitung 16,38* 2,60 5,00*
8,2 8,2 8,0 8,0 8,0 8,0 7,7 7,8 7,7
F Tabel α = 0,05 α = 0,01 9,55 30,82 5,14 4,53
10,93 9,15
Keterangan : * = berbeda nyata
Lampiran 17c. Uji lanjut uji kekuatan pH Persentase Relugan GT pH 50 (%) 1,5 8,13 3,0 7,97 4,5 7,72
Berganda Duncan α = 0,05 A A B
Keterangan: Huruf yang sama pada ko lo m uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlaku kan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
75
Lampiran 18a. Rekapitulasi data penilaian uji organoleptik Perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Kehalusan P1 P2 1 2 2 3 3 4 8 7 5 6 6 7 4 5 7 6 8 7
Nilai 1-2 2-3 3-4 7-8 5-6 6-7 4-5 6-7 7-8
Warna P1 P2 9 8 8 7 7 6 9 8 8 7 7 6 9 8 8 7 7 6
Nilai 8-9 7-8 6-7 8-9 7-8 6-7 8-9 7-8 6-7
P1 8 7 6 8 7 6 8 7 6
Bau P2 8 7 6 8 7 6 8 7 6
Nilai 8-9 7-8 6-7 8-9 7-8 6-7 8-9 7-8 6-7
Keterangan : P1 = Panelis 1 P2 = Panelis 2 A1B1 = Perlakuan persentase Relugan GT 50 1,5% dan persentase minyak 10% A1B2 = Perlakuan persentase Relugan GT 50 1,5% dan persentase minyak 20% A1B3 = Perlakuan persentase Relugan GT 50 1,5% dan persentase minyak 30% A2B1 = Perlakuan persentase Relugan GT 50 3,0% dan persentase minyak 10% A2B2 = Perlakuan persentase Relugan GT 50 3,0% dan persentase minyak 20% A2B3 = Perlakuan persentase Relugan GT 50 3,0% dan persentase minyak 30% A3B1 = Perlakuan persentase Relugan GT 50 4,5% dan persentase minyak 10% A3B2 = Perlakuan persentase Relugan GT 50 4,5% dan persentase minyak 20% A3B3 = Perlakuan persentase Relugan GT 50 4,5% dan persentase minyak 30% Hasil tersebut adalah rata-rata dari dua penguji ahli Keterangan 1-2 = sangat kurang 3-4 = kurang 5-6 = cukup 7-8 = baik 9-10 = Sangat baik
76
Lampiran 18b. Hasil analisis ragam penilaian kehalusan Sumber Db JK KT F Hitung keragaman A 2 59,11 29,55 48,36** Galat (a) 3 1,83 0,61 B 2 5,78 2,89 6,50* AB 4 11,55 2,89 6,50* Galat (b) 6 2,67 0,44 Total 17 Keterangan : * **
F Tabel α = 0,05 α = 0,01 9,55 30,82 5,14 4,53
10,93 9,15
= berbeda nyata = berbeda sangat nyata
Lampiran 18c. Uji lanjut suhu penilaian uji kehalusan Persentase Relugan GT penilaian kehalusan 50 (%) 1,5 2,50 3,0 6,17 4,5 6,50 Persentase minyak biji karet (%) 10 20 30
penilaian kehalusan 4,50 4,83 5,83
Berganda Duncan α = 0,05 B A A Berganda Duncan α = 0,05 B B A
Keterangan: Huruf yang sama pada ko lo m uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlaku kan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
77
Lampiran 18c. Hasil analisis ragam penilaian warna Sumber Db JK KT F Hitung keragaman A 2 0,00 0,00 infty Galat (a) 3 4,50 1,50 B 2 12,00 6,00 Infty* AB 4 0,00 0,00 0,00 Galat (b) 6 0,00 0,00 Total 17
F Tabel α = 0,05 α = 0,01 9,55 30,82 5,14 4,53
10,93 9,15
Keterangan : * = berbeda nyata
Lampiran 18d. Uji lanjut suhu penilaian warna Persentase minyak biji penilaian warna karet (%) 10 8,5 20 7,5 30 6,5
Berganda Duncan α = 0,05 A B C
Keterangan: Huruf yang sama pada ko lo m uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlaku kan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata.
78
Lampiran 18d. Hasil analisis ragam penilaian bau Sumber Db JK KT F Hitung keragaman A 2 0,00 0,00 1,00 Galat (a) 3 0,00 0,00 B 2 12,00 6,00 Infty* AB 4 0,00 0,00 Galat (b) 6 0,00 0,00 Total 17
F Tabel α = 0,05 α = 0,01 9,55 30,82 5,14 4,53
10,93 9,15
Keterangan : * = berbeda nyata
Lampiran 18e. Uji lanjut suhu penilaian bau Persentase minyak biji penilaian bau karet (%) 10 8,0 20 7,0 30 6,0
Berganda Duncan α = 0,05 A B C
Keterangan: Huruf yang sama pada ko lo m uji wilayah berg anda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlaku kan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata.
79
Lampiran 19. Prosedur Analisis dan Uji 1. Minyak Biji Karet a. Bilangan Asam (AOAC, 1995) Contoh minyak yang akan diuji ditimbang sebanyak 10-20 gram, kemudian ke dalam contoh tersebut ditambahkan 50 ml alkohol 95 persen, lalu dipanaskan pada penangas air sambil diaduk sampai semua minyak larut (sekitar 10 menit). Larutan ini kemudian dititrasi dengan KOH 0,1 N dengan indikator phenolpthalein (pp) (sampai terbentuk warna merah jambu yang tidak hilang selama 10 detik. Bilangan asam dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Bilangan asam =
ml KOH x N KOH x 56,1 Bobot contoh (g)
b. Kadar Asam Lemak Bebas /Persen FFA Bilangan asam sering juga dinyatakan sebagai kadar asam lemak bebas persen (FFA). Hubungan kadar asam lemak bebas dengan bilangan asam menurut Sudarmadji et al., (1989) dapat dtituliskan sebagai berikut:
Persen FFA =
Bilangan asam Faktor konversi
Dimana : Faktor konversi untuk oleat
= 1,99
Faktor konversi untuk palmitat = 2,19 Faktor konversi untuk laurat
= 2,80
Faktor konversi untuk linoleat = 2,01 c. Bilangan Iod Cara Wijs (AOCS, 1951) Contoh minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0.1-0.5 gram dalam labu erlenmeyer 500 ml yang bertutup. Sebanyak 20 ml khloroform dan 25 larutan Wijs ditambahkan ke dalam contoh dengan hati-hati (menggunakan pipet). Labu erlenmeyer kemudian disimpan pada tempat gelap selama 30 menit, dan akhirnya ditambahkan 20 ml KI 15 persen dan 100 ml aquades. Kemudian erlenmeyer ditutup dan dikocok dengan hati- hati. Titrasi dilakukan dengan larutan natrium tiosulfat 0,1 N 80
dengan indikator pati, sampai warna biru berubah menjadi putih jernih. Dengan cara yang sama dilakukan pula titrasi blanko. Bilangan iod dihitung dengan rumus berikut:
Bilangan iod =
(B-A) x N Na-tio x 12,69 Bobot contoh (g)
A
= ml Na-tio untuk titrasi contoh
B
= ml Na-tio untuk titasi blanko 12,69 = sepersepuluh dari BM atom iodium
d. Bilangan Peroksida (AOAC, 1995) Sebanyak 5 gram minyak ditimbang dalam erlenmeyer 300 ml, kemudian dilarutkan dengan pelarut yang merupakan campuran dari 60 persen asam asetat glasial dan 40 persen kloroform, lalu ditambahkan 0.5 ml KI jenuh sambil dikocok. Dua menit setelah penambahan KI, ditambahkan aquades sebanyak 30 ml. Larutan kemudian dititrasi dengan indikator pati. Dengan cara yang sama dibuat pula titrasi blanko tanpa minyak. Bilangan peroksida dinyatakan dalam mili-equivalen dari peroksida setiap 100 gram contoh.
Bilangan peroksida =
mml Na2 S2 O3 x N tio x 1000 Bobot contoh (g)
e. Bilangan penyabunan (AOAC, 1995) Contoh minyak sebanyak 2-5 gram ditimbang dalam labu Erlenmeyer 300 ml, kemudian ditambahkan 50 ml KOH beralkohol 0,5 N. Selanjutnya larutan didihkan selama setengah sampai satu jam dengan menggunakan pendingin tegak dan dikocok sampai beberapa kali sampai semua minyak tersabunkan. Setelah dingin, bagian atas pendingin dibilas denga sedikit aquades. Larutan KOH sisa ditetapkan dengan titrasi oleh HCl 0,5 N dengan menggunakan indikator pp sampai warna merah muda hilang. Dibuat juga titrasi blanko dengan cara yang sama. Bilangan penyabunan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
81
Bilangan penyabunan =
ml HCl (blanko-contoh) x 28,05 Bobot contoh (g)
f. Warna Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan alat DR (Direct Read) 2000. Sebelum dilakukan pengukuran, contoh minyak yang akan digunakan diencerkan terlebih dahulu dengan menggunakan pelarut nheksan. Perbandingan antara minyak dan pelarut adalah 1 : 9. Kemudian panjang gelombang cahaya yang akan digunakan adalah 455 nm. Setelah siap, kuvet yang berisi aquades dimasukan ke dalam alat, kemudian skala dinolkan. Kuvet yang berisi aquades diganti dengan kuvet yang berisi contoh minyak dan nilai warna dapat dibaca setelah menekan tanda ‘read’ pada alat tersebut. Pengukuran dilakukan minimal sebanyak tiga kali untuk setiap contoh minyak. Rataan dari nilai tersebut dikalikan dengan faktor pengenceran ditetapkan sebagai warna dari contoh.
3. Sifat Fisik Kulit Pengkondisian sampel (IUP3/SLP 3) Sebelum diuji fisik dan mekanis sampel harus dikondisikan terlebih dahulu. Ini dapat dipakai untuk semua jenis kulit kering. a. Standar atmosfer Standar atmosfer dan toleransinya diberikan pada Tabel 7 Tabel 7. Standar atmosfer dan toleransinya Penandaan
Suhu
Kelembaban relati (RH)
20/65
20 ± 2
65 ± 5
Kondisi di bawah adalah alternatif, namun tidak ekuivalen, kondisi ini mungkin bisa digunakan. 23/50
23 ± 2
50 ± 5
b. Pengkondisian Kondisikan sampel sesuai dengan standar atmosfer seperti tabel di atas. Usahakan udara bebas dapat mengenai kedua sisi permukaan sampel.
82
Pengkondisian sampel dilakukan minimal selama 48 jam sebelum pengujian.
a. Ketebalan (IUP4/SLP 4) Ketebalan kulit diukur pada tiga titik permukaan kulit dan dihitung rata-rata dari hasil pengukuran. Pengukuran ketebalan dengan menggunakan alat thickness gauge. Alat diletakkan di atas bidang horizontal dengan permukaan yang rata. Sampel diletakkan di antara tatakan dan penekan dengan sisi grain berada di atas (jika dapat diidentifikasi). Jika sisis grainnya tidak dapat diidentifikasi letakkan sampel dengan salah satu sisi ke atas. Lepaskan penekan, tunggu sekitar 5 detik ± 1 detik, catat angka yang terbaca pada meteran. 1. Letakkan alat di atas bidang yang rata. 2. Letakkan sampel dengan permukaan grain di atas, jika hal ini dapat diidentifikasi. Jika hal ini tidak dapat diidentifikasi, letakkan dengan salah satu permukaan berada di atas. 3. Letakkan penekan, biarkan selama 5 detik ± 1, catat ketebalan kulit yang terbaca pada alat 4. Hasil yang terbaca Dasar Ilmu Terapanunjukkan dirata-ratakan.
b. Kekuatan Tarik (SLTC, 1996/SLP 6) Pengujian kekutan tarik dilakukan dengan menggunakan alat tensile strength tester. Sampel dipasang pada alat penguji dengan cara menjepitkan kedua ujung sampel pada alat penjepit. Jarak antar jepitan adalah 5 cm. Setelah sampel terpasang, mesin dinyalakan dan dimatikan ketika sampel terputus.
83
Nilai kekuatan tarik dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut F t xl
Kekuatan tarik (kgf/mm2 ) =
F = nilai yang terbaca pada alat (kgf) l = lebar kulit yang diuji (mm) t = ketebalan kulit (mm)
Gambar 19. Bentuk dan ukuran sampel uji kekuatan tarik c. Kemuluran putus /Elongasi putus (SLTC, 1996/ SLP 6) Pengujian kemuluran putus (elongasi putus) adalah pengukuran perpanjangan kulit yang ditarik mulai dari kondisi awal sampai dengan akhir yaitu terputusnya kulit pada saat pengujian kekuatan tarik. Kemuluran putus dihitung dengan membandingkan perpanjangan kulit ketika terputus pada saat pengujian kekuatan tarik dengan panjang kulit diawal pengukuran. Penghitungan kemuluran putus dilakukan dengan menggunakan rumus sedabagi berikut :
Elongasi putus (%) =
L1 -L0 L0
x 100
L1 = Panjang pada waktu putus (mm) L0 = Panjang mula- mula (mm)
84
d. Kekuatan Sobek (SLTC, 1996/SLP 7) Pengujian kekuatan sobek menggunakan alat yang sama dengan uji kekuatan tarik, yang berbeda hanya pada bentuk sampel dan penggunaan alat tambahan pada alat tensile strength tester. Alat tambahan yang digunakan yaitu pengait yang berfungsi untuk menarik sampel uji kekuatan sobek. Sampel dipasang dengan cara mengaitkan bagian tengah sampel pada alat pengait. Alat pengait akan menarik sampel dengan arah yang berlawanan sehingga sampel akan tersobek. Nilai kekuatan sobek yang terbaca pada alat dilihat ketika sampel mulai tersobek dan jarum penunjuk nilai kekuatan sobek pada alat pengujian berhenti. Nilai kekuatan sobek dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Kekuatan sobek (kgf/mm) = F t
F = Nilai yang terbaca pada alat ( kgf) t = Ketebalan kulit (mm)
Keterangan :
A. Penampang alat u ji kekuatan sobek. B. Bentuk dan ukuran sampel. C. Posisi sampel untuk pengujian kekuatan sobek.
Gambar 20. Skema alat uji sobek.
85
e. Daya Serap Air (SLTC, 1996) Pengujian daya serap air dilakukan dengan cara merendam sampel kulit pada alat uji daya serap air selama 2 jam pertama da n 24 jam berikutnya. Sampel kulit yang diuji memiliki bentuk lingkaran dengan diameter 6 cm.
Keterangan : A. Penampang alat u ji kekuatan sobek. B. Bentuk dan ukuran sampel.
Gambar 21. Skema alat uji daya serap air. f. Suhu Pengerutan (SLTC, 1996/SLP 18) Prosedur pengujian : 1. Kaitkan sampel kepada pengait D dan J 2. Letakkan ke dalam gelas A yang telah berisi 350 ± 50 ml air destilasi. Kecuali sampel diduga mempunyai suhu pengerutan di bawah 60 oC , letakkan di dalam air dengan suhu 50 ± 5 oC. Panaskan air dengan menjaga kenaikan suhu sebisa mungkin sebesar 2 o C per menit. 3. Setiap interval setengah menit, catat suhu pada termometer M di hubungkan dengan pembacaan pointer G. Teruskan kegiatan ini sampai sampel mengalami pegerutan. Kegiatan ini dapat diakhiri setelah sampel
86
tidak lagi mengalami pengerutan seiring dengan kenaikan suhunya. Dengan membaca hubungan antara suhu dan besarnya derajat pergerakan pointer atau dengan menggunakan grafik hubungan antara pembacaan pointer dengan suhu maka dapat ditentukan derajat pengerutan dari sampel tersebut. Suhu pengerutan adalah suhu dimana terjadi pengerutan sampel dengan derajat paling besar.
Keterangan : A. Penampang alat u ji kekuatan sobek. B. Bentuk dan ukuran sampel.
Gambar 22. Skema alat pengujian suhu pengerutan.
87
4. Sifat Kimia Sampel diambil pada bagian berikut ini :
Gambar 23. Lokasi pengambilan sampel uji kimia a. Kadar Minyak (AOAC, 1984) Sampel yang telah dikeringkan dalam oven, ditimbang sebanyak 2-3 gram. Sampel kemudian dibungkus dengan kertas saring dan dibentuk silinder sesuai dengan jumlah dan ukuran sampel. Selanjutnya, sampel dimasukkan ke dalam soxhlet yang telah berisi pelarut (heksan) dan dihubungkan dengan pendingin tegak, abu lemak, dan pemanas. Labu lemak yang digunakan sebelumnya harus sudah diketahui bobotnya.
Setelah semua alat terpasang,
pemanas
dinyalalakan. Selama pemanasan, pelarut akan mengalir melewati bahan (refluks). Setelah refluks sebanyak 60 kali maka pemanasan dihentikan. Minyak yang telah bercampur denga pelarut dalam labu lemak kemudian dipisahkan dengan menggunakan alat rotary evaporator sampai semua pelarut terpisah dari minyak. Kadar minyak pada sampel adalah persentase minyak yang terdapat pada labu lemak.
88
Penghitungan kadar minyak dibuat dengan persamaan sebagai berikut:
Kadar minyak (%) =
bobot akhir labu – bobot awal labu x 100 Bobot sampel (g)
c. Kadar Abu (AOAC, 1984) Contoh sebanyak 3 gram ditimbang pada cawan porselin yang telah diketahui bobotnya. Cawan porselin yang berisi sampel kemudian dibakar dengan menggunakan pemanas listrik di ruang destruksi sampai tidak ada lagi asap yang keluar dari sampel. Selanjutnya, sampel pada cawan poselin dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 750o C selama 4 jam. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: Kadar abu (%) =
B A
x 100
B = Berat contoh akhir (g) A = Berat contoh awal (g) e. Uji Organoleptik Uji organoleptik dilakukan dengan cara mengindentifikasi beberapa parameter mutu kulit samoa diantaranya yaitu: kehalusan, warna, dan bau. Indentifikasi dilakukan oleh panelis ahli yang mengetahui standar mutu kulit samoa. Selang nilai yang diberikan adalah 1-10 dengan skala nilai 1 adalah sangat kurang dan 10 adalah sangat baik.
89
Lampiran 19. Foto-foto alat penelitian
Hydrolic press
Drum pemutar (molen)
90
Mesin shaving
Mesin buffing
91
Timbangan
Hammer mill
Toggle dryer
Kuda-kuda Alat stacking
92
Lampiran 20. Foto-foto hasil penelitian
Biji karet
Bungkil biji karet
93
Minyak Biji Karet
Kulit Samoa
94