SINTESIS DAN KARAKTERISASI BIODIESEL DARI MINYAK BIJI KARET (Hevea brasiliensis) MELALUI PROSES ESTRANS (ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI)
Oleh: MUHAMMAD YUSUF MF F 34104040
2010 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
MUHAMMAD YUSUF MF. F34104040. Sintesis dan Karakterisasi Biodiesel dari Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) Melalui Proses Estrans (EsterifikasiTransesterifikasi). Di bawah bimbingan Khaswar Syamsu dan Ono Suparno. 2010.
RINGKASAN Biodiesel merupakan senyawa alkil ester yang dapat digunakan pada mesin diesel yang berasal dari turunan minyak/lemak nabati dan hewani. Salah satu jenis minyak nabati yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan biodiesel adalah minyak biji karet. Namun, mengingat kandungan asam lemak bebas di dalam minyak biji karet yang tinggi, maka proses pembuatan biodiesel dari minyak biji karet lebih efektif dan efisien dilakukan dengan proses estrans, yaitu proses dua tahap reaksi Esterifikasi-Transesterifikasi dengan penggunaan katalis yang sesuai. Tujuan penelitian ini secara umum ialah sebagai salah satu upaya untuk memanfaatkan biji karet yang selama ini masih belum optimal pemanfaatannya. Sedangkan tujuan khusus dalam penelitian ini adalah : [1] Memperoleh kondisi terpilih proses estrans pengolahan minyak biji karet menjadi biodiesel, dan [2] Mengetahui karakteristik biodiesel minyak biji karet hasil proses estrans terpilih dan perbandingannya dengan standar biodiesel yang telah ditetapkan. Hasil analisis proksimat biji karet menunjukkan bahwa kadar lemak yang terkandung dalam biji karet cukup tinggi, yakni sebesar 38,65 % (berat kering) dan hasil rendemen minyak setelah diekstraksi diketahui rata-rata sebesar 15,69 %. Karakteristik minyak biji karet setelah dilakukan proses degumming, diketahui bahwa nilai viskositas kinematik minyak pada suhu 40 oC, densitas minyak pada suhu 25 oC, dan bilangan asam minyak cukup tinggi, yakni masing-masing sebesar 23,31 cSt, 0,896 g/ml, dan 22,22 mg KOH/g sampel. Oleh karena itu, minyak biji karet belum dapat digunakan secara langsung sebagai bahan bakar karena tingginya nilai dari ketiga parameter ini. Untuk itu perlu dilakukan proses estrans minyak biji karet sehingga dihasilkan biodiesel (metil ester) yang meemenuhi standar dan dapat digunakan sebagai bahan bakar. Berdasarkan hasil proses estrans minyak biji karet menjadi biodiesel, diketahui bahwa kondisi perlakuan reaksi esterifikasi terpilih, yaitu pada perlakuan A1B2C3 (Konsentrasi HCl 1 %, Waktu Reaksi 120 menit, dan Rasio Mol Metanol : Minyak = 20 : 1), dimana bilangan asam yang dihasilkan sudah memenuhi standar, yakni sebesar 0,32 mg KOH/g sampel. Sedangkan kondisi perlakukan terpilih pada reaksi transesterifikasi adalah perlakuan A1B2 (Waktu Reaksi 30 menit dan Rasio Mol Metanol : Minyak = 6 : 1), dimana nilai viskositas kinematik pada suhu 40 oC sebesar 4,77 cSt,, rendemen biodiesel sebesar 74,51 %, dan bilangan asam sebesar 0,22 mg KOH/g sampel. Berdasarkan hasil karakteristik biodiesel, jika dibandingkan dengan standar biodiesel, maka kualitas biodiesel yang dihasilkan dalam penelitian ini sudah sesuai dengan standar biodisel untuk parameter viskositas kinematik, densitas, bilangan asam, dan titik nyala (flash point). Kata Kunci : Biodiesel, Minyak Biji Karet, Esterifikasi-Transesterifikasi
MUHAMMAD YUSUF MF. F34104040. Synthesize and Characterization of Biodiesel from Rubber Seed Oil (Hevea brasiliensis) through Estrans (Esterification-Transesterification) Process. Supervised by Khaswar Syamsu and Ono Suparno. 2010.
SUMMARY Biodiesel is alkyl ester produced from of vegetable, animal or fat oil derivate which could be used in diesel machine. One of the materials that can be used in making biodiesel is rubber seed oil. In order to influence the effective and efficient of biodiesel production, the process held in two steps esterificationtransesterification with the appropriate catalyst. The process had to be held in two step because of the high concentration of free fatty acid in rubber seed oil. The general purpose of this research was to add the utilization of rubber seed oil. The particular purposes of this research were to obtain the opted esterification-transesterification process from rubber seed oil and to know the characteristic of biodiesel produced from rubber seed oil esterificationtransesterification process and compare it with the obtained biodiesel standard. The result of proximate analysis of rubber seed showed that fat concentration in rubber seed was high enough about 38.65 % (dry basis) and the mean of rubber seed oil yield after extraction was 15.69 %. The characteristics of rubber seed oil after degumming were; cinematic viscosity at 40 oC was 23.31 cSt, the oil density at 25 oC was 0.896 g/ml and fatty acid value was 22.22 mg KOH/g of sample. Moreover, the oil could not be used directly as biodiesel because of three parameter values were higher than the standard. Therefore, the Esterification-Transesterification process must be carried out, so biodiesel that produced could fulfill the standard and could be used as fuel. Based on biodiesel production of rubber seed oil through EsterificationTransesterification could be known that the opted condition of esterification process was at A1B2C3 (HCl 1 %, reaction time 120 minutes, and mole ratio of methanol: oil = 20:1), fatty acid value was 0.32 mg KOH/g sample. The opted condition of transesterification was at A1B2 (reaction time 30 minutes and mole ratio of methanol:oil = 6:1), cinematic viscosity at 40 oC was 4.77 cSt, yield of biodiesel was about 74.51 %, and fatty acid value was 0.22 mg KOH/g of sample. Based on biodiesel characterization, the biodiesel quality produced in this research was appropriate with the standard of biodiesel for cinematic viscosity, density, fatty acid number, and flash point. Keywords : Biodiesel, Rubber Seed Oil, Esterification-Transesterification
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Sintesis dan Karakterisasi Biodiesel dari Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) Melalui Proses Estrans (Esterifikasi-Transesterifikasi)” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, Februari 2010 Yang membuat pernyataan,
MUHAMMAD YUSUF MF F34104040
SINTESIS DAN KARAKTERISASI BIODIESEL DARI MINYAK BIJI KARET (Hevea brasiliensis) MELALUI PROSES ESTRANS (ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh MUHAMMAD YUSUF MF F 34104040
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Sintesis dan Karakterisasi Biodiesel dari Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) Melalui Proses Estrans (EsterifikasiTransesterifikasi) Nama
: Muhammad Yusuf MF
NIM
: F34104040
Menyetujui, Dosen Pembimbing I
Dosen P embimbing II
Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M. Sc NIP : 19630817 198803 1 003
Dr. Ono Suparno S. TP, M.T NIP : 19721203199702 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP : 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 10 Juli 1986. Penulis merupakan anak keenam dari enam bersaudara, putra dari pasangan M. Fahri MS dan Zamanniah. Penulis memulai pendidikannya di SD N 194 Jambi (1992-1998). Kemudian Penulis melanjutkan pendidikannya di SLTP N 1 Jambi (1998-2001) dan SMU N 2 Jambi (2001-2004). Pada tahun 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) di Fakultas Teknologi Pertanian, Departemen Teknologi Industri Pertanian. Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis pernah menjadi Asisiten Praktikum pada mata kuliah Teknologi Pengemasan, Distribusi, dan Transportasi tahun 2006, serta Asisten Praktikum Bioproses pada tahun 2008. Penulis juga aktif dalam berbagai keorganisasian dan kepanitiaan. Beberapa organisasi yang pernah diikuti oleh penulis adalah Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) sebagai staff Departemen Kewirausahaan, Forum Bina Islami Fateta (FBI-F) sebagai staff Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia, Himpunan Mahasiswa Jambi (HIMAJA), dan Unit Kebun Mahasiswa Agrifarma. Sedangkan beberapa kepanitiaan kegiatan yang pernah diikuti oleh penulis adalah Training Unit Kebun Mahasiswa Agrifarma tahun 2005-2006, Masa Pengenalan Fakultas Teknologi Pertanian (MPF) tahun 2006, dan Hari Warga Industri (HAGATRI) tahun 2006. Penulis melaksanakan Praktek Lapang pada tahun 2007 dengan judul “Studi dan Analisis Mengenai Aspek Proses Produksi dan Pengawasan Mutu (Quality Control) Produk Roti Tawar Di PT. Agronesia BMC Divisi Makanan dan Minuman”. Kemudian untuk menyelesaikan tugas akhir, Penulis melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi berjudul “Sintesis dan Karakterisasi Biodiesel dari Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) Melalui Proses Estrans (Esterifikasi-Transesterifikasi)”, dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M. Sc dan Dr. Ono Suparno, S.TP., M.T.
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dan dapat menyusun laporan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Skripsi dengan judul “Sintesis dan Karakterisasi Biodiesel dari Minyak Biji
Karet
(Hevea
brasiliensis)
Melalui
Proses
Estrans
(Esterifikasi-
Transesterifikasi)” disusun dalam rangka untuk memenuhi persyaratan ujian Strata-1 dan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian-IPB. Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini, Penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan penuh ketakziman penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M. Sc, Selaku Dosen pembimbing Skripsi I yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan saran selama pelaksanaan perkuliahan hingga skripsi ini terselesaikan. 2. Dr. Ono Suparno, S.TP., M.T, Selaku Dosen pembimbing Skripsi II yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, dan saran selama pelaksanaan penelitian hingga skripsi ini terselesaikan. 3. Prayoga Suryadarma, S.TP., MT, sebagai dosen penguji yang telah memberikan banyak saran dan masukan bagi kesempurnaan skripsi ini. 4. Ayah, Ibu, Nenek,
Kakak-kakakku tercinta (Agustini, Nurasiah,
Firmansyah, Wahyu Firdaus, dan Siti Masita) dan seluruh keluargaku yang selalu mencintai dan menyayangi Penulis, yang selalu memberikan motivasi, kasih sayang, dukungan, dan do’a dengan sepenuh hati dan tak henti-hentinya. 5. Staf UPT Departemen dan BAAK Fakultas yang telah membantu Penulis mengurus administrasi dan kelengkapan kelulusan lainnya. 6. Ibu Ega, Pak Gunawan, Ibu Rini, Ibu Sri, Bapak Edi, Pak Sugiardi beserta staff Departemen Teknologi Industri Pertanian lainnya yang telah bersedia membantu penulis selama penelitian.
7. Pak Suminta dan keluarga serta teman-teman kostan di Bateng No. 93, Dramaga-Bogor atas kebersamaan dan keceriaannya. 8. Teman-teman satu Bimbingan Ademik (Yayan, Yuyun, dan Dika) atas kebersamaan dan pengertiannya. 9. Seluruh teman-teman TIN 41 seperjuangan yang telah berjuang bersamasama di almamater IPB untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. 10. Pihak-pihak lain yang telah berjasa dan tidak dapat disebut satu persatu yang telah senantiasa mendukung penulis hingga saat ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran yang membangun, senantiasa Penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak yang membutuhkannya dan menambah wawasan bagi yang membacanya. Amin.
Bogor, Februari 2010
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman RIWAYAT HIDUP..................................................................................
iii
KATA PENGANTAR.............................................................................
iv
DAFTAR TABEL....................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR...............................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................
x
I.
PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG................................................................
1
B. TUJUAN.....................................................................................
5
II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN KARET..................................................................
6
B. BIJI BUAH KARET...................................................................
7
C. MINYAK BIJI KARET..............................................................
8
D. ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI.................................
9
E. BIODIESEL…………………………………………….............
13
III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT.................................................................
17
B. METODE PENELITIAN............................................................
17
C. RANCANGAN PERCOBAAN..................................................
23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN BAKU...................................................
26
1. Persentase Bagian-Bagian Biji Karet......................................
26
2. Komposisi Kimia Daging Biji Karet......................................
27
3. Ektraksi Minyak Biji Karet.....................................................
29
4. Degumming Minyak Biji Karet...............................................
30
B. KARAKTERISTIK MINYAK BIJI KARET.............................
32
C. PENELITIAN UTAMA..............................................................
36
1. Esterifikasi...............................................................................
37
2. Transesterifikasi......................................................................
42
vi
D. KARAKTERISTIK BIODIESEL DAN PERBANDINGAN DENGAN STANDAR............................................................. V. KESIMPULAN DAN SARAN
47
A. KESIMPULAN...........................................................................
49
B. SARAN.......................................................................................
50
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................
51
LAMPIRAN.............................................................................................
56
vii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Tumbuhan penghasil biodiesel yang dapat dikembangkan di Indonesia........................................................................................ Tabel 2. Luas areal tanaman karet seluruh Indonesia menurut pengusahaan............................................................................ Tabel 3. Komposisi kimia daging biji karet.......................................
7 8
Tabel 4. Komposisi asam-asam lemak di dalam minyak biji karet...
9
Tabel 5. Perbandingan sifat fisik biodiesel dari minyak sawit dan minyak jarak dengan solar (Svlele, 2002) dalam Hambali et al., (2006)................................................................................ Tabel 6. Standar mutu biodiesel Eropa, Amerika, dan Indonesia........
14 15
Tabel 7. Perentase kulit dan daging biji karet....................................
26
Tabel 8. Hasil analisis komposisi kimia daging biji karet…………
27
Tabel 9. Rendemen minyak daging biji Karet (per 250 gram daging biji)........................................................................................... Tabel 10. Sifat fisikokimia minyak biji karet hasil ekstraksi..............
30 32
Tabel 11. Hasil analisis biodiesel biji karet dan perbandingan dengan standar......................................................................................
48
3
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Bagian-bagian biji karet (Lusianti, 1989)............................
8
Gambar 2. Reaksi esterifikasi antara metanol dan asam lemak bebas..
10
Gambar 3. Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan alkohol............
11
Gambar 4. Sistematika tahapan penelitian...............................................
18
Gambar 5. Diagram alir proses pembuatan biodiesel minyak biji karet melalui proses estrans.................................................. Gambar 6. Bilangan asam dari produk-produk hasil reaksi esterifikasi pada berbagai perlakuan...................................... Gambar 7. Viskositas kinematik metil ester hasil proses transesterifikasi pada berbagai perlakuan................................ Gambar 8. Rendemen metil ester (biodiesel) hasil proses transesterifikasi pada berbagai perlakuan............................ Gambar 9. Bilangan asam rendemen metil ester (biodiesel) hasil proses transesterifikasi pada berbagai perlakuan................................
22 39 43 45 46
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Prosedur Analisis Komposisi Kimia Biji Karet..................
57
Lampiran 2. Prosedur Analisis Minyak Biji Karet..................................
59
Lampiran 3. Perhitungan Jumlah Pereaksi dan Katalis untuk Proses Estrans................................................................................. Lampiran 4. Prosedur Analisis Biodisel (Metil Ester)............................
63 64
Lampiran 5. Tabulasi Data Bilangan Asam Produk Hasil Reaksi Esterifikasi........................................................................... Lampiran 6. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Bilangan Asam Produk Hasil Reaksi Esterifikasi..................................................... Lampiran 7. Hasil Uji Lanjut Duncan Terhadap Bilangan Asam Produk Hasil Reaksi Esterifikasi........................................ Lampiran 8. Tabulasi Data Nilai Viskositas Kinematik Metil Ester Hasil Reaksi Transesterifikasi............................................. Lampiran 9. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Viskositas Kinematik Metil Ester Produk Hasil Reaksi Transesterifikasi............. Lampiran 10. Hasil Uji Lanjut Duncan Terhadap Viskositas Kinematik Metil Ester Hasil Reaksi Tansesterifikasi............................. Lampiran 11. Tabulasi Data Nilai Rendemen Ester Hasil Reaksi Transesterifikasi………………………………………….. Lampiran 12. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Rendemen Metil Ester Produk Hasil Reaksi Transesterifikasi................................ Lampiran 13. Tabulasi Data Nilai Bilangan Asam Ester Hasil Reaksi Transesterifikasi.................................................................. Lampiran 14. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Bilangan Asam Metil Ester Produk Hasil Reaksi Transesterifikasi Lampiran 15. Dokumentasi Penelitian.......................................................
67 68 69 70 70 71 71 72 72 73 74
x
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Ketersediaan energi fosil yang terdapat di dalam perut bumi diprediksi semakin menipis, sementara itu kegiatan konsumsi diperkirakan akan meningkat seiring dengan berjalannya waktu, pertumbuhan ekonomi, dan perkembangan industri. Kondisi ini akan berdampak pada kenaikan harga minyak dunia, yang pada tahun 2005 harga minyak dunia mencapai US$ 70 per barel (pada bulan Agustus 2005), kemudian meningkat pada tahun 2008 menjadi $100 per barel (Anonim, 2005). Indonesia sudah tidak lagi menjadi negara eksportir minyak (netto), akan tetapi telah menjadi salah satu negara importir minyak di dunia dalam beberapa tahun terakhir ini. Kondisi ini dipengaruhi oleh laju peningkatan konsumsi serta terbatasnya kapasitas kilang minyak nasional. Selain itu, pertambahan jumlah penduduk telah meningkatkan kebutuhan sarana transportasi dan aktivitas industri, yang berakibat pada peningkatan kebutuhan dan konsumsi BBM nasional. Produksi minyak saat ini sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan minyak nasional, baik untuk kepentingan industri maupun transportasi. Cadangan minyak Indonesia diperkirakan hanya sebesar 0,6 % dari cadangan minyak dunia, sementara jumlah penduduk Indonesia mencapai 3,5 % populasi dunia. Akibatnya, jika tidak ada penemuan ladang minyak baru, maka cadangan minyak Indonesia akan habis selama kurun waktu 15 tahun. Untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri, pemerintah Indonesia mengimpor sebagian BBM dari negara lain. Impor BBM terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yakni dari 106,9 juta barel tahun 2002 menjadi 116,2 juta barel pada tahun 2003 dan 154,4 juta barel pada tahun 2004. Dilihat dari jenis BBM yang diimpor, minyak diesel merupakan volume impor terbesar setiap tahunnya; impor minyak solar mencapai 60,6 juta barel atau 56,7 % dari total, kemudian meningkat menjadi 61,1 juta barel pada tahun 2003 dan 77,6 juta barel pada tahun 2004 (Ditjen Migas, 2005).
2 Minyak diesel (solar) merupakan salah satu BBM yang memegang peranan
penting
dalam
perekonomian
Indonesia.
Seiring
dengan
bertambahnya jumlah kendaraan dan industri yang mengkonsumsi bahan bakar diesel, diperkirakan permintaan solar dalam negeri akan terus meningkat, padahal kemampuan kilang nasional untuk memproduksi solar tidak bertambah. Hal ini juga mengakibatkan impor solar di masa yang akan datang diperkirakan akan meningkat. Mulyadi et al., (2007) diacu oleh Nugraha (2007), menyatakan bahwa impor solar Indonesia tahun 2006 mencapai sekitar 5-6 milyar liter dan diperkirakan pada tahun 2010 kebutuhan solar di Indonesia sebesar 36 milyar liter. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi minyak (khususnya minyak solar) dalam negeri adalah dengan meningkatkan kapasitas kilang minyak nasional. Namun, upaya tersebut sulit untuk dilakukan dalam waktu singkat karena memerlukan investasi yang bersifat padat modal (capital intensive). Selain itu, eksploitasi besar-besaran minyak mineral sebagai bahan bakar yang sifatnya tidak diperbaharuhi secara terusmenerus, dapat menyebabkan berkurangnya atau bahkan habis persediaan bahan bakar fosil yang terdapat di alam. Sementara itu dari sisi lingkungan, pemakaian bahan bakar fosil (khususunya minyak solar) untuk keperluan aktivitas kehidupan manusia telah menyebabkan timbulnya isu lingkungan, seperti efek rumah kaca yang menyebabkan peristiwa global warming. Berbagai
cara
dilakukan
pemerintah
untuk
menanggulangi
permasalahan tersebut, diantaranya dengan mengurangi subsidi bahan bakar minyak di dalam negeri, yang pada akhirnya berdampak pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia untuk mencari energi alternatif yang mampu berkontribusi sebagai pengganti bahan bakar fosil dan mampu mengurangi ketergantungan akan energi fosil, khususnya minyak solar. Biomassa merupakan sumber energi terbarukan yang paling tinggi potensinya secara keseluruhan. Teknologi konversi biomassa pada tingkat produksi menghasilkan apa yang dikenal sebagai bahan bakar hayati, yaitu biodiesel, bioetanol, dan biogas. Diantara ketiganya, biodiesel merupakan produk bahan bakar hayati yang paling potensial secara ekonomi.
3 Indonesia merupakan negara dengan tingkat kenaekaragaman hayati yang tinggi, dimana alam Indonesia menyimpan sejumlah potensi ketersediaan bahan baku biodisel yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Hal ini juga didukung oleh kondisi lahan di Indonesia yang relatif subur, sehingga memungkinkan proses budidaya tanaman-tanaman yang menjadi bahan baku biodiesel dapat berlangsung dengan baik. Beberapa tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan baku dalam pembuatan biodiesel di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tumbuhan penghasil biodiesel yang dapat dikembangkan di Indonesia No. 1 2 3 4 4 6
Nama Indonesia Alpukat Jarak pagar Karet Kelapa Kemiri Kelapa sawit
Nama Latin
Sumber
Hodgsonia macrodcarpa Arachis hypogea Hevea brasiliensis Cocos mucifera Aleurrites molucana Elaes guineensis
Daging buah Biji Biji Daging buah Inti biji (kernel) Daging buah
Kadar Minyak (%-Bkr) 40-80 35-55 40-50 60-70 57-69 46-54
P/NP P P NP P NP P
Sumber : Majalah komoditi edisi v (2006) yang diacu oleh Nugraha (2007) Keterangan : Bkr = basis kering P = minyak/lemak pangan (edible fat/oil) NP = minyak/lemak non pangan (nonedible fat/oil)
Pada Tabel 1, berdasarkan jumlah kandungan minyak yang dimiliki, tanaman alpukat, kelapa, dan kelapa sawit memiliki kandungan minyak yang tinggi. Akan tetapi, kandungan minyak yang dimiliki merupakan jenis minyak pangan (edible oil). Jika penggunaannya diarahkan sebagai bahan baku biodiesel, maka dikhawatirkan terjadinya kompetisi penggunaan untuk kepentingan pangan. Oleh karena itu, sangatlah baik jika dipilih tanaman yang memiliki kandungan minyak yang tinggi dan merupakan jenis minyak non pangan (nonedible oil) sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Berdasarkan Tabel 1, biji dari tanaman karet memiliki kedua faktor tersebut, yakni memiliki kandungan minyak yang tinggi (40-50 %) dan merupakan jenis minyak non pangan (edible oil), sehingga sangat baik digunakan sebagai bahan baku produksi biodiesel. Pemilihan tanaman karet sebagai bahan baku biodiesel juga dikarenakan ketersediaan bahan bakunya yang melimpah di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai areal perkebunan
4 karet yang luas, dimana dari perkebunan karet inilah selain menghasilkan getah karet, juga menghasilkan biji keret yang merupakan hasil samping yang belum dimanfaatkan secara optimal. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (1996), luas tanaman karet di seluruh Indonesia pada tahun 1996 sebesar 3.534.581 ha, dengan proporsi luas tanaman produktif sebesar 2.160.669 ha (61%) dan luas tanaman non-produktif sebesar 1.373.912 ha (39%). Apabila setiap hektar rata-rata dapat menghasilkan biji karet sebanyak 186,62 kg (Nadarajapillat dan Wijewantha, 1967), maka dari luas areal tanaman karet produktif akan dapat menghasilkan biji karet setiap tahunnya sekitar 402.370,39 ton biji karet. Jika dari produksi tersebut diasumsikan 25% digunakan untuk bibit/benih, maka biji karet yang belum dimanfaatkan secara optimal masih sekitar 301.777,75 ton per tahun. Berdasarkan hal tersebut, maka proses pengolahan terhadap biji karet berpotensi sekali untuk dilakukan. Salah satunya yakni dengan memanfaatkan kandungan minyak dalam biji karet sebagai bahan baku dalam pembuatan biodiesel, sedangkan hasil ekstraksi minyak biji karet tersebut (ampas) dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak. Dengan demikian, adanya upaya pemanfaatan minyak biji karet sebagai bahan baku biodiesel, juga sangat mendukung
pengembangan
perkebunan
karet
sendiri,
yakni
selain
menghasilkan getah karet dan kayu, juga dihasilkan biji karet yang menjadi bahan baku untuk pembuatan biodiesel. Pada dasarnya biodiesel merupakan senyawa monoester asam-asam lemak yang dihasilkan dari proses transesterifikasi minyak nabati dengan pereaksi alkohol dan katalis asam atau basa. Sebelum melalui tahapan reaksi transesterifikasi, minyak nabati yang memiliki bilangan asam yang tinggi perlu dilakukan tahapan proses esterifikasi, karena asam lemak bebas yang tinggi dapat mempengaruhi proses transesterifikasi. Hal ini dikarenakan Asam lemak bebas akan bereaksi dengan katalis basa membentuk sabun, sehingga jumlah katalis basa yang dibutuhkan untuk proses transesterifikasi menjadi rendah, proses tidak efisien, dan menyebabkan rendemen yang dihasilkan menjadi rendah. Selain itu, sabun yang terbentuk akan menyulitkan dalam pencucian biodiesel. Oleh karena itu, minyak nabati yang memiliki bilangan
5 asam atau kadar asam lemak bebas yang tinggi, perlu dilakukan dua tahap proses estrans (esterifikasi-transesterifikasi) untuk menghasilkan alkil ester yang sesuai dengan standar yang diharapkan. Adapun penelitian yang berhubungan dengan proses estrans minyak nabati menjadi metil ester (biodiesel), antara lain yaitu Gubitz et al. (1999) tentang produksi metil ester dari minyak kedelai, biji bunga matahari, dan lobak melalui proses estrans dan Jaya (2005) tentang optimasi sintesis biodiesel dari minyak jarak pagar melalui proses estrans. Kedua penelitian tersebut telah menghasilkan biodiesel yang layak untuk digunakan pada kendaraan dan mesin diesel (solar) Mengingat kandungan asam lemak bebas di dalam minyak biji karet yang tinggi, maka proses pembuatan biodiesel dari minyak biji karet lebih efektif dan efisien dilakukan dengan proses estrans, yaitu proses dua tahap esterifikasi-transesterifikasi dengan penggunaan katalis yang sesuai. Melalui proses ini diharapkan akan menghasilkan biodiesel yang berkualitas tinggi dan sesuai dengan syarat mutu biodisel yang telah ditetapkan.
B. TUJUAN PENELITIAN Pada saat ini, masyarakat Indonesia belum memanfaatkan biji karet secara optimal. Biji karet pada umumnya hanya digunakan sebagai bibit/benih tanaman karet itu sendiri. Penelitian dan pengembangan biji karet secara fungsional dapat dikatakan masih belum optimal. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini secara umum ialah sebagai salah satu upaya untuk memanfaatkan
biji
karet
yang
selama
ini
masih
belum
optimal
pemanfaatannya. Pada penelitian ini, upaya yang dilakukan adalah pembuatan biodiesel (metil ester) dari minyak biji karet melalui proses estrans (Esterifikasi–Transesterifikasi). Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan khusus penelitian ini adalah : (1) Memperoleh kondisi terpilih proses estrans pengolahan minyak biji karet menjadi biodiesel. (2) Mengetahui karakteristik biodiesel minyak biji karet hasil proses estrans terpilih dan perbandingannya dengan standar biodiesel yang telah ditetapkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. TANAMAN KARET Tanaman karet merupakan tanaman yang telah dikenal luas oleh rakyat Indonesia. Tanaman karet termasuk ke dalam divisio Spermatophyta, sub divisio Angiospermae, kelas Dycotyledonae, ordo Euphorbiaceae, genus Hevea (Tim Penebar Swadaya, 1994). Dalam genus Hevea, hanya spesies Hevea brasiliensis Muell Arg. yang dapat menghasilkan lateks unggul, dimana sebanyak 90 % karet alam dihasilkan oleh spesies tersebut. Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik di sekitar ekuator antara 10 o
LU dan 10 oLS. Pertumbuhan tanaman karet sangat ideal bila ditanam pada
ketinggian 0–200 m dpl dengan curah hujan berkisar antara 2500–4000 mm per tahun dan pH 3.8–8.0. Suhu harian yang cocok untuk tanaman karet ratarata 25–30 oC. Suhu di bawah 20 oC atau terlalui tinggi kurang baik terhadap petumbuhan tanaman karet. Syarat lain yang dibutuhkan tanaman karet adalah sinar matahari dengan intensitas yang cukup yaitu selama 5–7 jam (Supijatno dan Iskandar, 1988). Perakaran tanaman karet menyebar secara ekstensif, sehingga diperlukan drainase yang baik. Akar tersebut mampu menembus/menetrasi tanah hingga kedalaman satu meter. Banjir yang sering melanda tanaman karet dapat merusak perakarannya. Tanaman karet dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, seperti tanah berpasir hingga laterit merah dan podsolik kuning, tanah abu gunung, tanah berliat, serta tanah yang mengandung peat. Tanaman karet tidak membutuhkan waktu yang khusus ataupun topografi tertentu. Di Malaysia Barat, perkebunan karet diklasifikasikan berdasarkan jenis tanah, angin kencang, serangan penyakit dan topografi. Dengan demikian, sifat kimia tanah bukan hal yang mutlak untuk pertumbuhan (Syamsulbahri, 1996). Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa dapat mencapai 25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi ke atas. Pada beberapa perkebunan karet, terdapat kecondongan arah tumbuh tanaman karet agak miring menghadap ke utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang
7 dikenal dengan nama lateks (Tim Penebar Swadaya, 1994). Selain menghasilkan getah, tanaman karet juga menghasilkan biji (Iskandar, 1983). Luas areal tanaman karet di Indonesia pada periode tahun 1990-1996 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Luas areal tanaman karet seluruh indonesia menurut pengusahaan
1990
Luas Perkebunan Rakyat (Juta ha) 2.639
Luas Perkebunan Negara (Juta ha) 0.267
Luas Perkebunan Swasta (Juta ha) 0.235
1991
2.668
0.264
0.242
1992
2.748
0.267
0.274
1993
2.847
0.276
0.282
1994
2.865
0.281
0.299
1995
2.952
0.248
0.295
1996
2.991
0.248
0.295
Tahun
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (1996) Menurut Aritonang (1986) diacu oleh Silam (1998), karet merupakan tanaman berbuah polong (diselaputi kulit yang keras) yang sewaktu masih muda buahnya berpaut erat dengan rantingnya. Buah karet dilapisi oleh kulit tipis berwarna hijau dan di dalamnya terdapat kulit yang keras dan berkotak. Tiap kotak berisi sebuah biji yang dilapisi tempurung, setelah tua warna kulit buah berubah menjadi keabu-abuan dan kemudian mengering. Pada waktunya pecah dan jatuh, bijinya tercampak lepas dari kotaknya. Tiap buah tersusun atas dua sampai empat kotak biji. Pada umumnya berisi tiga kotak biji dimana setiap kotak terdapat satu biji. Tanaman karet mulai menghasilkan buah pada umur lima tahun dan akan semakin banyak setiap pertambahan umur tanaman.
B. BIJI BUAH KARET Bobot biji karet sekitar 3-5 gram, tergantung dari varietas, umur biji dan kadar air. Biji karet berbentuk bulat telur dan rata pada salah satu sisinya (Nadarajapillat dan Wijewantha, 1967). Gambar 1 memperlihatkan bagianbagian biji karet.
8 Pori Pertumbuhan Lembaga Endosperm
Kotiledon Kulit biji
Gambar 1. Bagian-bagian biji karet (Lusianti, 1989) Biji Karet terdiri atas 45-50 % kulit biji yang keras berwarna coklat dan 50-55 % daging biji yang berwarna putih (Nadarajah, 1969). Biji karet segar terdiri atas 34,1 % kulit, 41,2 % isi, dan 24,4 % air. Sedangkan biji karet yang telah dijemur dua hari terdiri atas 41,6 % kulit, 8,0 % kadar air, 15,3 % minyak, dan 35,1 % bahan kering (Nadarajapillat dan Wijewantha, 1967). Tabel 3 memperlihatkan komposisi kimia daging biji karet. Tabel 3. Komposisi kimia daging biji karet Komponen
Persentasea)
Persentaseb)
Kadar air
14.5
7.6
Protein kasar
22.5
21.7
Serat kasar
3.8
2.8
Lemak kasar
49.5
39.0
Kadar abu
3.5
3.1
a)
Sumber : Bahasuan (1984) diacu oleh Aritonang (1986) b) Stosic dan Kaykay diacuh oleh Aritonang (1986)
C. MINYAK BIJI KARET Kandungan minyak biji atau inti biji karet yaitu sebesar 45–50 %, dengan komposisi 17–22 % asam lemak jenuh yang terdiri atas asam palmitat, stearat, arakhidat, serta asam lemak tidak jenuh sebesar 77–82 % yang terdiri atas asam oleat, linoleat dan linolenat (Hardjosuwito dan Hoesnan, 1976 diacu oleh Ongge, 2001). Selain itu, biji karet mengandung 27 % protein, 40–45 % lemak, 2,4 % abu dan 3,6 % air (Lauw et al., 1967). Komposisi asam-asam lemak di dalam minyak biji karet dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.
9 Tabel 4. Komposisi asam-asam lemak di dalam minyak biji karet Asam lemak
Persentasea)
Persentaseb)
Asam palmitat
8.1
11
Asam stearat
10.5
12
Asam arakhidat
0.3
1
Asam oleat
21.5
24
Asam linoleat
27.3
35
Asam linolenat
21.7
17
a)
Sumber : Ong dan Yeong diacu oleh Aritonang (1986) b) Eckey (1954)
Minyak biji karet merupakan salah satu jenis minyak mengering (drying oil), yaitu minyak yang mempunyai sifat mengering jika terkena oksidasi dan akan berubah menjadi lapisan tebal, bersifat kental dan membentuk sejenis selaput jika dibiarkan di udara terbuka (Ketaren, 1986). Penggunaan minyak biji karet sebagai bahan pangan (minyak makan) masih dalam taraf penelitian. Hal ini karena adanya asam linolenat yang cukup tinggi dalam minyak biji karet dan mempunyai bau yang tidak enak. Apabila pemisahan asam linolenat telah berhasil dikukan, diperkirakan minyak biji karet akan setaraf dengan minyak nabati lainnya. Penggunaan minyak biji karet dalam industri non pangan, antara lain untuk pelumas dalam industri genteng, cat, vernis, dan industri baja sebagai pelapis agar tahan karat (Nadarajah, 1969).
D. ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI Istilah esterifikasi mengacu pada reaksi asam karboksilat, dalam hal ini asam lemak dengan alkohol untuk menghasilkan ester. Transesterifikasi adalah reaksi ester baru yang mengalami penukaran posisi asam lemak (Swern, 1982). Proses transesterifikasi lebih disukai untuk memproduksi biodiesel karena lebih efisien (Freedman et al., 1984). Alkoholisis lemak yang menggunakan alkohol rantai pendek seperti metanol atau etanol dapat dikatalis oleh asam maupun katalis basa. Namun, katalis basa banyak digunakan karena reaksinya sangat cepat, sempurna, dan
10 dapat dilakukan pada suhu rendah (Swern, 1982). Reaksi esterifikasi antara asam lemak bebas dan metanol dapat dilihat pada Gambar 2. R1COOH + CH3OH Asam Lemak Bebas
R1COOCH3 + H2O
Metil Ester Katalis asam
Air
Gambar 2. Reaksi esterifikasi antara metanol dan asam lemak bebas Transmetilasi berkatalis basa berlangsung antara metanol dan trigliserida melalui pembentukan berturut-turut digliserida dan monogliserida yang menghasilkan metil ester pada tiap tahapannya (Mao et al., 2004). Laju konversi monogliserida menjadi metil ester lebih cepat dari pada digliserida dan trigliserida (Darmoko dan Cheryan, 2000). Menurut Mao et al., (2004), hal ini terjadi karena monoglierida lebih mudah larut dalam fase polar (gliserol) dimana katalis berada. Metanolisis berkatalis basa memerlukan minyak dengan syarat tertentu. Sifat dasar minyak yang harus dipenuhi adalah bersih, tanpa air, dan netral secara substansial (Swern, 1982). Kegagalan reaksi ini menghasilkan sabun yang dapat mengurangi kebasaan katalis dan membentuk lapisan gel yang dapat mempersulit pemisahan dan pengendapan gliserol (Canakci dan Gerpen, 2001). Kandungan asam lemak bebas dan air yang lebih dari 0,5 % dan 0,3 % dapat menurunkan rendemen transesterifikasi minyak (Freedman et al., 1984). Di samping itu, Lee et al., (2002) juga melaporkan bahwa rendemen transesterifikasi dapat ditingkatkan dari 25 % menjadi 96 % dengan memurnikan minyak jelantah (dari 10 % asam lemak bebas dan 0.2 % air menjadi 0,23 % asam lemak bebas dan 0,02 % air). Transesterifikasi minyak menjadi metil ester dilakukan baik dengan satu atau dua tahap proses, bergantung pada mutu awal minyak. Minyak yang mengandung asam lemak bebas yang tinggi, dapat dengan efisien dikonversi menjadi esternya melalui beberapa tahap reaksi yang melibatkan katalis asam, untuk mengesterifikasi asam lemak bebas yang dilanjutkan dengan transesterifikasi asam lemak bebas berkatalis basa yang mengkonversi sisa trigliserida (Canakci dan Gerpen, 2001). Jika minyak mempunyai kandungan asam lemak bebas yang rendah, transesterifikasi dapat dilakukan dengan satu
11 tahap (Ambarita, 2002). Gambar 3 memperlihatkan reaksi transesterifikasi anatara trigliserida dengan alkohol. O
O
H
R1-C-O-C-H O R2-C-O-C-H O
R1-C-O-R O +
3R-OH
R3-C-O-C-H H Minyak atau Lemak (Trigliserida)
Alkohol
R2-C-O-R O
HO-CH2 +
HO-CH
R3-C-O-R
HO-CH2
Biodiesel (Alkil ester)
Gliserol
Gambar 3. Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan alkohol Katalis asam selain mengesterifikasi asam lemak bebas, juga mengkonversi trigliserida menjadi metil esternya. Meskipun demikian, kecepatannya lebih rendah dibandingkan dengan transesterifikasi yang menggunakan katalis basa (Haas et al., 2003). Reaksi esterifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah jumlah pereaksi, metanol dan asam lemak bebas, waktu reaksi, suhu, konversi katalis, dan kandungan air pada minyak (Ozgul dan Turkay, 2002). Semakin tinggi jumlah metanol yang digunakan dan kandungan asam lemak bebas pada minyak, maka semakin tinggi rendemen metil ester serta semakin kecil kandungan asam lemak bebas di akhir reaksi. Goff et al. (2004), menyatakan bahwa minyak dengan kadar air kurang dari 0.1 % dapat menghasilkan metil ester lebih dari 90 %. Ozgul dan Turkay (2002), juga menyatakan bahwa semakin lama waktu reaksi esterifikasi maka semakin besar rendemen metil ester yang didapat. Suhu 65 oC sudah memberikan rendemen metil ester yang memadai. Akan tetapi, jumlah katalis yang berlebihan tidak akan meningkatkan dengan nyata rendemen metil ester. Haas et al., (2003) menambahkan bahwa air yang dihasilkan selama proses esterifikasi berkurang seiring berjalannya waktu.
12 Reaksi transesterifikasi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah kondisi minyak itu sendiri misalnya kandungan air, kandungan asam lemak bebas, dan kandungan zat terlarut maupun tak terlarut yang dapat mempengaruhi reaksi. Faktor eksternal adalah kondisi yang bukan berasal dari minyak dan dapat mempengaruhi reaksi. Faktor eksternal diantaranya adalah suhu, waktu, kecepatan pengadukan, jenis dan konsentrasi katalis, serta jumlah rasio molar metanol terhadap minyak. Jumlah alkohol yang dianjurkan sekitar 1.6 kali jumlah yang dibutuhkan secara teoritis. Bahkan bisa dikurangi sampai 1.2 kali jika direaksikan dalam tiga tahap. Jumlah alkohol yang lebih dari 1.75 kali jumlah teoritis tidak akan mempercepat reaksi bahkan mempersulit pemisahan gliserol selanjutnya (Swern, 1982). Proses transesterifikasi dapat dilakukan secara curah (batch) atau sinambung (continuous) (Darnoko et al., 2001). Menurut Mao et al. (2004), transesterifikasi pada minyak kedelai dengan jumlah metanol 6:1 (20 % v/v) dan 2 % bobot NaOH terhadap minyak, dalam waktu 3 menit menghasilkan metil ester yang memenuhi standar biodiesel. Akan tetapi, menurut Freedman et al. (1984), katalis yang dapat dipakai adalah 1,0 % bobot minyak atau kurang dan rasio molar metanol terhadap minyak adalah 6:1. Tidak ada peningkatan rendemen yang signifikan jika kedua variabel tersebut ditingkatkan. Reaksi ini menghasilkan 95 % metil ester dalam waktu 1 jam pada suhu 65 oC. Rendemen transesterifikasi dapat diperbaiki dengan penggunaan katalis basa yang dilebihkan untuk minyak yang mengandung asam lemak bebas tinggi, karena asam lemak bebas yang tidak teresterifikasi dapat dikonversi menjadi garam alkalinya/sabun (Haas et al., 2003). Tetapi, terbentuknya sabun menyulitkan proses pencucian dan memungkinkan hilangnya produk yang berguna. Alternatifnya, proses dilakukan dengan dua tahap reaksi yang menggunakan katalis asam dan katalis basa (Canakci dan Gerpen, 2001). Ion metoksida bertindak sebagai nukleofil dalam transesterifikasi. Laju reaksi sebanding dengan konsentrasi metoksida. Namun, dalam kasus penggunaan hidroksida, ion metoksida didapat dari kesetimbangan hidroksida
13 dalam metanol. Dengan kata lain, konsentrasi ion metoksida sebanding dengan konsentrasi hidroksida dalam metanol. Meskipun demikian, penggunaan metoksida lebih baik dibanding hidroksida, karena kesetimbangan hidroksida dalam metanol menghasilkan air yang menghambat reaksi transesterifikasi (Mao et al., 2004; Zhou et al., 2003).
E. BIODIESEL Biodiesel didefinisikan sebagai bahan bakar mesin diesel yang berasal dari sumber lipid alami terbarukan (Soerawidjaja, 2002). Biodiesel diolah dari sumber
trigliserida
alami
terbarukan
melalui
proses
esterifikasi-
transesterifikasi untuk memperoleh alkil ester dari asam lemak yang telah diproses. Secara kimiawi, biodiesel merupakan turunan lipid dari golongan monoalkil ester dengan panjang rantai karbon 12–20 (Darnoko et al., 2001). Biodiesel dapat berupa minyak kasar atau monoalkil ester asam lemaknya, umumnya merupakan metil ester. Metil ester atau etil ester adalah senyawa yang relatif stabil, cair pada suhu ruang (titik leleh antara 4-18 oC), nonkorosif, dan titik didihnya rendah (Allen et al., 1999). Keuntungan penggunaan biodiesel diantaranya adalah bahan bakunya dapat diperbaharuhi (renewable), penggunaan energi lebih efisien, dapat menggantikan bahan bakar diesel dan turunannya dari petroleum, dapat digunakan pada peralatan diesel tanpa perlu modifikasi atau hanya modifikasi kecil, dapat mengurangi emisi/pancaran gas yang menyebabkan pemanasan global, dapat mengurangi emisi udara beracun karena kandungan sulfurnya kecil atau bahkan tidak ada, memiliki titik nyala yang cukup tinggi sehingga aman
dalam
penyimpanannya,
bersifat
biodegradable,
cocok
untuk
lingkungan sensitif, dan mudah digunakan (Knothe, 2006). Sifat fisiko-kimia biodiesel hampir mirip dengan bahan bakar diesel, tetapi dalam beberapa hal biodiesel jauh lebih unggul. Bahan bakar fosil memiliki kandungan sulfur, nitrogen, dan metal yang tinggi yang dapat menyebabkan hujan asam dan efek rumah kaca. Biodiesel tidak mengandung sulfur dan senyawa benzena sehingga lebih ramah lingkungan. Kandungan energi, viskositas, dan perubahan fase pada biodiesel relatif sama dengan
14 bahan bakar diesel (petroleum). Sebagai suatu bahan bakar yang berpotensi menggantikan petrodiesel, penggunaan biodiesel dapat dilakukan secara murni atau dicampurkan dengan petrodiesel dalam nisbah tertentu, seperti B10, B20, atau B30, yang artinya kadar pencampuran antara metil ester dengan petrodiesel, yakni dengan kadar 10 %, 20 %, dan 30 %. Perbandingan sifat fisik antara biodiesel dengan solar (diesel) dapat dilihat pada Tabel 5. Kualitas biodiesel ditentukan oleh kemurnian senyawa metil ester di dalam biodiesel. Senyawa selain metil ester (kontaminan) yang terdapat di dalam biodiesel dapat menyebabkan permasalahan ketika penggunaan biodiesel pada mesin. Kontaminan dapat menyebabkan timbulnya kerak pada mesin dan penyumbatan pada saluran injeksi. Kontaminan yang terdapat pada biodiesel dapat berupa asam lemak bebas, gliserol, mono-, di- dan trigliserida yang masih terdapat pada biodiesel (Knothe, 2006). Gliserol, mono-, di- dan trigliserida dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan pada alat injeksi mesin. Sedangakan asam lemak bebas, terutama asam lemak bebas tidak jenuh dan air dapat menyebabkan timbulnya kerak pada tangki bahan bakar dan saluran pembakaran. Selain itu, air dapat menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme dan pembentukan emulsi. Tabel 5. Perbandingan sifat fisik biodiesel dari minyak sawit dan minyak jarak dengan solar (Svlele, 2002) dalam Hambali et al. (2006) No.
Parameter
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Densitas, g/ml (15 oC) Viskositas kinematik (Cst) (40 oC) Cloud point (oC) Titik nyala (oC) Nilai kalori, LVH (MJ/kg) Kandungan sulfur (ppm) Bilangan setana Bilangan penyabunan (mg KOH/g) Bilangan iod (mg I2/g)
Palm Biodiesel 0.868 5.3 16 174 37-38 < 50 62 209.7 45-62
Nilai Jatropha Biodiesel 0.879 4.84 5 191 37-38 < 50 51 198 95-107
Solar 0.83 5.2 18 70 41 Max 500 42 NA NA
15 Tabel 6. Standar mutu biodiesel Eropa, Amerika, dan Indonesia
Massa jenis pada 40 oC, g/cm3
Eropa (EN 14214) 0,86-0,90
-
Indonesia (SNI : 04-7182-2006) 0,850-0,890
Viskositas kinematik pada 40
3,5-5,0
1,9-6,0
2,3-6,0
Min. 51
Min. 57
Min. 51
Min. 120
Min. 130
Min. 100
Titik kabut, C
-
-
Maks. 18
Korosi tembaga (3 jam pada
-
Maks. No. 3
Maks. No. 3
- dalam contoh asli
-
Maks. 0,05% massa
Maks. 0,05% massa
- dalam 10% ampas destilasi
-
-
-
Air dan sedimen
-
Maks. 0,05% volume
Parameter
o
Amerika (ASTM D6751)
2
C, mm /s (cSt)
Angka setana o
Titik nyala (closed cup), C o
o
50 C) Residu karbon
Maks. 0,05% volume
Temperatur distilasi 90%
-
Maks. 360 C
Maks. 360 oC
Abu tersurfaktan, %-b
-
Maks. 0,02% massa
Maks. 0,02% massa
Belerang, ppm-b (mg/kg)
Maks. 10
Maks. 0,05% massa
Maks. 100
Fosfor, ppm-b, (mg/kg)
Maks. 10
Maks. 0,001% massa
Maks. 10
Maks. 0,8
Maks. 0,8
Angka asam, mg-KOH/G
o
Gliseril bebas, %-b
-
Maks. 0,02
Maks. 0,02
Gliserin total, %-b
0,25
Maks. 0,24
Maks. 0,24
Kadar ester alkil, %-b
Min. 96,5
-
Min. 96,5
Angka iodium, %-b (g-I2/100 g)
Maks. 120
-
-
Uji halphen
-
-
Negatif
Sumber : Sudrajat (2006) Tingkat kesempurnaan pembakaran biodiesel ditentukan oleh variabel angka setana dan carbon residu. Nilai angka setana yang rendah menyebabkan terjadinya keterlambatan proses pembakaran biodiesel pada ruang pembakaran. Nilai carbon residu menyatakan kecenderungan pembentukan deposit karbon pada biodiesel setelah proses pembakaran. Deposit karbon dapat menyebabkan kerak pada ruang pembakaran (Knothe, 2006). Parameter lainnya yang menentukan kualitas biodiesel adalah viskositas. Viskositas yang tinggi merupakan alasan utama mengapa minyak nabati tidak dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar mesin diesel. Viskositas yang tinggi dapat
16 menyebabkan terganggunya alat injeksi mesin kendaraan dan cenderung menghasilkan deposit pada tangki pembakaran (Knothe, 2004). Menurut Dunn (2004) di dalam Knothe (2004) kecenderungan biodiesel untuk membentuk gel dan padatan ditentukan oleh variabel titik awan dan titik tuang. Titik awan merupakan nilai yang menyatakan suhu ketika mulai terbentuknya kristal yang berdiameter (d) lebih besar atau sama dengan 0.5 µm pada biodiesel. Titik tuang menyatakan suhu terendah ketika biodiesel masih mengalir. Kedua variabel ini sangat penting terutama untuk negara-negara yang mempunyai musim dingin. Perbandingan standar mutu biodiesel Indonesia dengan biodiesel Eropa dan Amerika dapat dilihat pada Tabel 6.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas, bahan-bahan kimia lain juga diperlukan untuk analisis minyak dan biodiesel minyak biji karet, diantaranya toluen, etanol 95 %, larutan KOH 0,1 N, indikator fenoftalein, larutan KOH beralkohol 0,5 N, lautan HCl 0,1 N, indikator pati, kloroform, larutan Wijs, asam asetat glasial, larutan KI, Na2S2O3 0,1 N, dan aquades. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah ekstraktor minyak (pompa hidraulik), neraca analitik, labu leher tiga, termometer, kondensor, sumbat karet, labu pemisah, gelas piala, gelas ukur, Erlenmeyer, kertas saring, corong gelas, pipet Mohr, hot plate stirrer, magnetic stirrer, pendingin tegak, piknometer, cawan porselin, oven, desikator, viskometer Ostwald, perangkat titrasi, dan perangkat gelas lainnya.
B. METODE PENELITIAN Sistematika penelitian ini terdiri atas tiga tahap, yakni (1) Persiapan bahan baku yang meliputi penentuan persentase bagian-bagian biji karet, analisis komposisi kimia daging biji karet, ekstraksi minyak biji karet, dan degumming minyak biji karet; (2) Karakterisasi (analisis) minyak biji karet hasil proses degumming; dan (3) Penelitian utama yang meliputi proses estrans (esterifikasi-transesterifikasi) minyak biji karet menjadi biodiesel, analisis biodiesel hasil proses estrans terpilih, serta perbandingannya dengan standar. Skema tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
18
BIJI KARET
PENENTUAN PERSENTASE BAGIAN-BAGIAN BIJI KARET
ANALISIS KOMPOSISI KIMIA DAGING BJI KARET TAHAP PERSIAPAN BAHAN BAKU EKSTRAKSI MINYAK BIJI KARET
DEGUMMING MINYAK BIJI KARET HASIL EKSTRAKSI
ANALISIS SIFAT FISIKO-KIMIA MINYAK HASIL PROSES DEGUMNMING
TAHAP KARAKTERISASI MINYAK
PROSES ESTERIFIKASI
PROSES TRANSESTERIFIKASI TAHAP PENELITIAN UTAMA ANALISIS BIODIESEL HASIL PROSES ESTRANS
PERBANDINGAN DENGAN STANDAR BIODIESEL
Gambar 4. Sistematika tahapan penelitian
19 Tahapan Penelitian 1. Persiapan Bahan baku Persiapan
bahan
baku
bertujuan
untuk
mempersiapkan
dan
mengkarakterisasi bahan sebelum digunakan dalam penelitian, yang meliputi penentuan persentase bagian–bagian biji karet, analisis proksimat daging biji karet, ekstraksi minyak biji karet, dan proses degumming minyak biji karet. ¾ Penentuan persentase bagian-bagian biji karet dilakukan dengan memisahkan antara bagian kulit biji dan daging biji karet. Kemudian dilakukan perhitungan persentase antara kedua bagian tersebut (%). ¾ Analisis proksimat daging biji karet yang dilakukan meliputi kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar serat kasar, dan kadar abu. Prosedur analisisnya dapat dilihat pada Lampiran 1. ¾ Ekstraksi minyak biji karet dilakukan dengan mengekstrak biji karet secara mekanis dengan hydraulic press dan dengan bantuan pemanasan. Besarnya tekanan kempa adalah maksimum 20 ton (2,5 Kpa) dan suhu 60 - 70 oC selama pemanasan. Bungkil biji sisa pengempaan diulang kembali pengempaannya sebanyak 1 kali. ¾ Degumming minyak biji karet bertujuan untuk menghilangkan gumgum dan senyawa fosfor yang terdapat di dalam minyak. Caranya adalah mula-mula 400 g minyak biji karet hasil ekstraksi dipanaskan di atas hot plate stirrer hingga mencapai suhu 80 oC sambil terus diaduk dengan magnetic stirrer. Selanjutnya ke dalam minyak tersebut ditambahkan larutan asam fosfat 20 % sebanyak 0,2-0,3 % (v/b) dan diaduk selama 15 menit. Minyak dimasukkan ke dalam labu pemisah dan dicuci dengan air hangat. Pencucian dilakukan secara berulangulang sampai air buangan mencapai pH netral (6-7). Air yang masih tersisa di dalam minyak dihilangkan dengan cara pemanasan sampai suhu minyak 120 oC, lalu minyak dibiarkan hingga dingin pada suhu ruang. Setelah itu, minyak dianalisis sifat fisikokimianya yang akan dilakukan pada tahap berikutnya, yakni pada tahap karakterisasi minyak yang telah di-degumming.
20 2. Karakterisasi Minyak Karakterisasi minyak dalam penelitian ini dilakukan dengan menganalisis minyak biji karet yang telah melalui perlakukan pada tahapan persiapan bahan baku sebelumnya. Sifat-sifat yang dianalisis diantaranya adalah bilangan asam, FFA, viskositas kinematik, densitas, kadar air, bilangan iod, bilangan penyabunan, bilangan ester teoritis, dan bilangan peroksida. Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui sifat awal minyak biji karet sebelum diproses lebih lanjut menjadi biodiesel. Data sekunder mengenai komposisi asam lemak hasil penelitian sebelumnya juga digunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini. Prosedur analisisnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
3. Penelitian Utama Penelitian utama meliputi proses esterifikasi dan transesterifikasi minyak biji karet untuk membuat biodiesel, analisis biodiesel minyak biji karet hasil proses estrans terpilih, serta perbandingan hasil analisis biodiesel yang terpilih dengan standar. Esterifikasi Reaksi esterifikasi diawali dengan mengisi labu leher tiga dengan 100 gram minyak biji karet, kemudian dipanaskan di atas hot plate stirrer hingga suhu minyak berkisar 55-60 oC. Katalis HCl (perlakuan taraf : 1% dan 2% dari bobot minyak) dilarutkan dalam metanol (perlakuan taraf rasio mol metanol : minyak = 10:1; 15:1; dan 20:1). Penentuan taraf pada rasio molar metanol : minyak didasarkan pada pernyataan oleh Gerpen et al. (2004), bahwa reaksi esterifikasi dengan katalis asam terhadap minyak dengan FFA yang tinggi pada suhu 60 oC memerlukan perbandingan jumlah alkohol : minyak sebesar 20:1. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan 3 taraf rasio mol metanol : minyak, yakni 10:1; 15:1; dan 20:1, dimana taraf tertinggi disesuaikan dengan dasar pemikiran yang telah dijelaskan sebelumnya. Penggunaan taraf di bawah rasio mol metanol : minyak (20:1), yakni 10:1 dan 15:1 dimaksudkan untuk mengetahui apakah dengan perbandingan tersebut sudah mampu memperoleh kondisi
21 perlakuan yang terbaik. Setelah metanol dan katalis HCl dicampurkan, kemudian campuran tersebut dimasukkan ke dalam labu leher tiga berisi minyak biji karet, kemudian proses esterifikasi dilakukan selama waktu yang telah ditentukan (perlakuan waktu : 60 menit dan 120 menit). Setelah melalui proses esterifikasi, dilakukan penyaringan produk yang didapat dengan menggunakan kapas untuk menyaring kotoran-kotoran padat yang mungkin terbentuk selama reaksi. Perlakuan yang menghasilkan bilangan asam yang rendah dan memenuhi standar dijadikan sebagai kondisi perlakuan terpilih dan akan dilanjutkan pada reaksi transesterifikasi. Transesterifikasi Perlakuan
terbaik
dari reaksi
esterifikasi
sebelumnya, kemudian
dilanjutkan proses transesterifikasi selama (perlakuan waktu : 30 menit dan 60 menit) dalam kisaran suhu yang sama dengan proses esterifikasi, hanya saja dalam proses transesterifikasi digunakan katalis basa berupa NaOH (0,5 % dari bobot minyak) dan rasio mol metanol dengan minyak (taraf perlakuan 4:1; 6:1; dan 8:1). Seperti halnya pada reaksi esterifikasi, penentuan taraf rasio mol metanol : minyak pada penelitian ini, juga ditentukan berdasarkan pernyataan Gerpen et al, (2004), dimana reaksi transesterifikasi
dapat
berjalan
sempurna
dengan
penggunaan
perbandingan metanol terhadap minyak, yakni 6:1. Penggunaan taraf rasio mol metanol : minyak yang lebih kecil (4:1) dan lebih besar (8:1) dari 6:1, dimaksudkan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap parameter yang diukur. Setelah proses transesterifikasi selesai, maka selanjutnya dilakukan proses pencucian biodiesel dengan cara mengendapkannya selama ±12 jam, kemudian dilakukan pemisahan antara gliserol dan metil ester. Selanjutnya metil ester (biodiesel) yang diperoleh dibersihkan dari sisa katalis dengan air yang mengandung asam lemah (CH3COOH), lalu dibilas dengan air hangat sampai air buangan mencapai pH netral (6-7). Diagram alir proses pembuatan biodiesel melalui proses estrans dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5. Perhitungan jumlah metanol dan katalis yang digunakan untuk proses estrans dapat dilihat pada Lampiran 3.
22 Karakterisasi Biodiesel dan Perbandingannya dengan Standar Biodiesel hasil proses estrans terpilih, selanjutnya dilakukan analisis (karakterisasi). Analisis yang dilakukan diantaranya adalah bilangan asam, FFA, viskositas kinematik pada suhu 40 o C, densitas pada suhu 15 o C, bilangan penyabunan, bilangan ester teoritis, dan titik nyala Kemudian hasil analisis yang diperoleh dibandingkan dengan standar biodiesel. Prosedur analisis biodiesel (metil ester) yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 4. Minyak Biji Karet Rasio mol methanol: minyak 10:1; 15:1; 20:1.
Waktu reaksi 60 menit; 120 menit
Pemanasan 55-60 oC
Metanol Esterifikasi 55-60 oC HCl Konsentrasi HCl 1%; 2%
Sisa metanol Pemisahan Air Produk Esterifikasi
Rasio mol methanol: minyak 4:1; 6:1; 8:1.
Pemanasan 55-60 oC
Metanol
Waktu reaksi 30 menit; 60 menit
Transesterifikasi 55-60 oC NaOH 0,5 % minyak
Pemisahan
Gliserol
Biodiesel Kasar Pencucian
Biodiesel Gambar 5. Diagram alir proses pembuatan biodiesel minyak biji karet melalui proses estrans
23 C. RANCANGAN PERCOBAAN Penelitian ini menggunakan beberapa variabel dalam proses pengolahan minyak biji karet menjadi biodiesel melalui proses estrans yang dilakukan. Variabel tersebut dibagi dalam dua tahap reaksi, yakni sebagai berikut : 1. Reaksi Esterifikasi Variabel perlakuan yang digunakan adalah konsentrasi HCl (A) dalam dua taraf, yaitu 1 % (A1) dan 2 % (A2); waktu reaksi (B) dalam dua taraf, yaitu 60 menit (B1) dan 120 menit (B2); dan rasio mol metanol : minyak dalam tiga taraf, yaitu 10 : 1 (C1), 15 : 1 (C2), dan 20 : 1 (C3). Setiap kombinasi perlakuan dilakukan ulangan sebanyak 2 kali. Parameter yang diamati adalah bilangan asam minyak hasil reaksi esterifikasi setelah dicuci dengan air hangat yang mengandung NaHCO3 0,01 %. Tujuan proses esterifikasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi reaksi terpilih yang menghasilkan minyak dengan kandungan asam lemak bebas yang memenuhi standar (maksimal 0,8 mg KOH/ g minyak). Minyak yang dihasilkan dari kondisi terbaik reaksi esterifikasi tersebut, selanjutnya akan digunakan untuk proses transesterifikasi. Analisis lain yang diperlukan adalah densitas dan viskositas kinematik, serta bilangan penyabunan untuk menentukan bilangan ester teoritis. Analisis ini dilakukan pada perlakuan penelitian terpilih. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) berpola Faktorial. Parameter yang diukur hanya bilangan asam karena tujuan reaksi ini hanya untuk mengetahui bilangan asam yang memenuhi standar yang dihasilkan oleh variabel perlakuan pada penelitian ini. Metode linear aditifnya dapat dilihat sebagai berikut : Yijkl = µ + Ai + Bj + Ck + (AB)ij + (AC)ik + (BC)jk + (ABC)ijk + eijkl Keterangan : Yijkl
: nilai pengamatan (bilangan asam)
µ
: nilai tengah umum
Ai
: pengaruh konsentrasi HCl ke-i
Bj
: pengaruh waktu ke-j
Ck
: pengaruh rasio mol metanol : minyak ke-k
24 (AB)ij
: pengaruh interaksi faktor Ai dan Bj
(AC)ik
: pengaruh interaksi faktor Ai dan Ck
(BC)kl
: pengaruh interaksi faktor Bj dan Ck
(ABC)ijk : pengaruh interaksi faktor Ai , Bj dan Ck eijkl
: galat (kesalahan percobaan)
Berdasarkan model rancangan percobaan yang digunakan, maka jumlah satuan percobaan pada tahap reaksi esterifikasi adalah A x B x C x jumlah ulangan = 2 x 2 x 3 x 2 = 24 satuan percobaan. Hasil analisis sidik ragam dilanjutkan dengan uji jarak beda nyata (Duncan) untuk mengetahui kombinasi perlakuan yang menyebabkan perbedaan nyata dari bilangan asam minyak yang dihasilkan.
2. Reaksi Transesterifikasi Pada proses transesterifikasi digunakan kondisi proses esterifikasi terpilih yang menghasilkan bilangan asam yang memenuhi standar. Variabel yang digunakan adalah waktu reaksi (A) dalam dua taraf, yaitu 30 menit (A1) dan 60 menit (A2); dan rasio mol metanol : minyak (B) dalam dua taraf, yaitu 4 : 1 (B1), 6 : 1 (B2), dan 8 : 1 (C3). Setiap kombinasi perlakuan dilakukan ulangan sebanyak 2 kali. Parameter yang diamati adalah viskositas kinematik, rendemen, dan bilangan asam. Pengukuran viskositas kinematik, rendemen, dan bilangan asam dilakukan pada minyak hasil reaksi transesterifikasi setelah dicuci dengan air hangat yang mengandung CH3COOH 0,01 %. Tujuan proses transesterifikasi dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi terbaik yang menghasilkan metil ester dengan viskositas kinematik dan bilangan asam yang memenuhi standar, serta rendemen yang tinggi. Analisis lain yang diperlukan adalah bilangan penyabunan untuk mengetahui bilangan ester teoritis. Analisis ini dilakukan pada perlakuan penelitian terpilih. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) berpola Faktorial. Parameter yang diukur adalah viskositas kinematik, rendemen, dan bilangan asam metil ester. Tujuan reaksi ini
25 adalah untuk mengetahui viskositas kinematik, rendemen, dan bilangan asam metil ester yang dihasilkan oleh variabel perlakuan pada penelitian ini. Model linear aditifnya adalah sebagai berikut : Yijkl = µ + Ai + Bj + (AB)ij + eijk Keterangan : Yijkl
: pengamatan (viskositas, rendemen, dan bilangan asam)
µ
: nilai tengah umum
Ai
: pengaruh waktu ke-i
Bj
: pengaruh rasio mol metanol : minyak ke-j
(AB)ij
: pengaruh interaksi faktor Ai dan Bj
eijkl
: galat (kesalahan percobaan)
Berdasarkan model rancangan percobaan yang digunakan, maka jumlah satuan percobaan pada tahap reaksi esterifikasi adalah A x B x jumlah ulangan = 2 x 3 x 2 = 12 satuan percobaan. Hasil analisis sidik ragam dilanjutkan dengan uji jarak beda nyata (Duncan) untuk mengetahui kombinasi perlakuan yang menyebabkan perbedaan nyata dari viskositas kinematik, rendemen, dan bilangan asam metil ester yang dihasilkan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PERSIAPAN BAHAN BAKU Tahap persiapan bahan baku dalam penelitian ini meliputi penentuan persentase bagian-bagian biji karet, analisis komposisi kimiawi (analisis proksimat) daging biji karet, ekstraksi minyak biji karet, dan degumming minyak biji karet. 1. Persentase Bagian-Bagian Biji Karet Pada proses penentuan bagian-bagian biji karet, digunakan biji karet utuh (biji karet yang belum dikupas). Selanjutnya penentuan persentase bagian biji karet dilakukan dengan mengambil biji karet sebanyak 10 buah yang dipilih secara acak, lalu dilakukan pemisahan antara daging biji dan kulitnya untuk selanjutnya ditimbang, sehingga dapat diketahui persentase dari masingmasing bagian tersebut. Hasil penentuan persentase bagian-bagian biji karet disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Persentase kulit dan daging biji karet No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata-rata
Bobot 10
Daging
Kulit
Persentase
Persentase
Biji Karet
Biji
Biji
Daging Biji
Kulit Biji
(gram)
(gram)
(gram)
(%)
(%)
37,05
20,70
16,35
55,87
44,13
36,58
20,85
15,73
57,00
43,00
36,48
20,55
15,94
56,32
43,68
36,54
20,74
15,80
56,77
43,23
36,92
20,92
16,00
56,66
43,34
34,05
18,93
15,12
55,59
44,41
39,30
21,58
17,72
54,92
45,08
35,11
19,85
15,27
56,52
43,48
36,69
20,78
15,91
56,64
43,36
37,87 36,66
21,08 20,60
16,79 16,06
55,67 56,20
44,33 43,80
27 Menurut Nadarajah (1969), biji karet terdiri atas 45-50 % kulit biji yang keras berwarna coklat dan 50-55 % daging biji yang berwarna putih. Berdasarkan Tabel 7, maka dapat diketahui bahwa biji karet yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai persentase daging biji karet yang lebih besar dibandingkan dengan persentase kulit bijinya, yakni rata-rata persentase daging biji karet sebesar 56,20 % dan persentase kulit biji karet sebesar 43,80 %. Perbedaan persentase dari daging dan kulit biji karet tergantung dari jenis klon, topografi (kualitas tempat tumbuh) tanaman karet, lama penyimpanan biji karet, dan kandungan air biji karet (Nadarajapilat dan Wijewantha, 1967).
2. Komposisi Kimia Daging Biji Karet Setelah dilakukan penentuan persentase bagian-bagian biji karet, maka selanjutnya dilakukan analisis proksimat daging biji karet untuk mengetahui komposisi kimia daging biji karet. Hasil dari analisis proksimat yang telah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini. Tabel 8. Hasil analisis komposisi kimia daging biji karet Kadar Ulangan
Air (%)
Kadar Abu
Kadar Lemak
Kadar Protein
Kadar Serat Kasar
Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
Segar
Kering
Segar
Kering
Segar
Kering
Segar
Kering
1
7,90
2,67
2,90
35,54
38,59
15,83
17,19
4,54
4,93
2
7,80
3,34
3,62
36,67
38,70
15,62
16,95
4,78
5,19
Rata-rata
7,85
3,01
3,26
36,11
38,65
15,73
17,07
4,66
5,06
Berdasarkan Tabel 8, dapat diketahui bahwa kandungan minyak yang dimiliki daging biji karet dalam penelitian ini sebesar 38,65 % (berat kering). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini lebih besar dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Aliem (2008), yang menyatakan bahwa daging biji karet memiliki kandungan minyak sebesar 37,94 %. Namun, kandungan minyak biji karet dalam penelitian masih lebih rendah dari penelitian yang dilakukan oleh Silam (1998), dimana kandungan minyak dalam biji karet sebesar 50,56 %. Hal ini juga tidak sama dengan hasil penelitian yang dikemukakan oleh Hardjosuwito dan Hoesnan (1976) diacu oleh Ongge (2001), bahwa daging
28 biji atau inti biji karet memiliki kandungan minyak sebesar 45-50 %. Akan tetapi, kandungan minyak dari daging biji karet hasil penelitian ini tergolong cukup tinggi. Kadar minyak dalam daging biji karet dipengaruhi oleh varietas, ukuran biji, iklim, kelembaban, keadaan tanah tempat tumbuh, penanganan pasca panen, dan jenis pelarut serta metode ekstraksi yang ditetapkan (Ketaren, 1986). Kadar minyak yang tinggi menyebabkan minyak biji karet sangat baik digunakan untuk industri yang menggunakan bahan baku minyak mengering, sehingga prospek pengembangan ke depannya sangat menjanjikan. Selain kandungan minyak yang tinggi, hasil analisis proksimat daging biji karet juga menunjukkan kandungan protein yang cukup tinggi, yakni sebesar 17,07 % (berat kering). Kadar protein dalam penelitian ini sedikit lebih rendah dari penelitian yang dilakukan oleh Silam (1998), dimana kandungan protein minyak biji karet yang dihasilkan sebesar 18,60 %. Kadar protein dalam biji karet yang tinggi, dapat mengakibatkan terjadinya proses penguraian protein secara enzimatis yang menghasilkan senyawa-senyawa yang larut dalam minyak, sehingga minyak menjadi kotor dan berwarna gelap. Selain itu, kandungan protein yang tinggi dalam biji karet juga dapat menyebabkan biji cepat rusak dan akhirnya minyak yang dihasilkan bermutu rendah. Apalagi jika kadar air dalam biji karet yang digunakan tinggi, dimana hal ini akan dapat menyebabkan terjadinya hidrolisis. Berdasarkan hasil proksimat daging biji karet, diketahui bahwa kada air biji karet sebesar 7.85 %. Kerusakan yang terjadi pada biji karet juga dapat disebabkan oleh adanya mikroorganisme yang terdapat pada biji karet. Namun, kerusakan biji karet yang mutlak terjadi, yakni karena adanya aktivitas enzim. Menurut Ketaren (1986), enzim lipase merupakan salah satu jenis enzim yang aktif pada biji-bijian yang telah dipanen. Aksi enzim ini akan mendorong penguraian gliserida menjadi asam lemak dan gliserol. Untuk menghindari agar protein dan mikroorganisme tidak ikut terekstraksi, maka sebelum diekstrak biasanya biji-bijian dipanaskan terlebih dahulu. Pemanasan ini bertujuan untuk mengkoagulasikan protein sehingga dapat meningkatkan rendemen minyak biji karet.
29 Selain itu, berdasarkan hasil analisis proksimat daging biji keret dalam penelitian ini, diketahui bahwa kadar abu dan kadar serat kasar yang terkandung dalam biji karet yang digunakan dalam penelitian ini, yakni masing-masing sebesar 3,01 % (berat kering) dan 5,06 % (berat kering).
3. Ekstraksi Minyak Biji Karet Menurut Bailey (1950), ekstraksi minyak dan lemak merupakan proses pemisahan minyak atau lemak dari bahan-bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Ektraksi dapat dilakukan dengan cara rendering, mekanis, pelarut atau kombinasi cara mekanis dan pelarut. Ekstraksi dengan cara mekanis, biasanya diterapkan pada bahan-bahan yang diduga berkadar lemak tinggi (30-70 %), terutama bahan yang berupa biji-bijian. Ekstraksi minyak dengan cara ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap perlakuan pendahuluan dan tahap pengempaan. Tahap perlakuan pendahuluan terdiri dari pembersihan bahan, pemisahan kulit, pengecilan ukuran, dan pemasakan/pemanasan (Bailey, 1950). Ada dua cara yang umum dilakukan dalam pengepresan mekanis, yaitu pengepresan hidrolik (hydraulic pressing) dan pengepresan berulir (expeller pressing). Ekstraksi minyak biji karet dalam penelitian ini dilakukan secara mekanis dengan alat hidrolik press. Besarnya tekanan kempa yang digunakan adalah maksimum 20 ton (2,5 Kpa) dan suhu 60 - 70 oC selama pemanasan. Bungkil biji sisa pengempaan diulang kembali pengempaannya sebanyak 1 kali. Hasil rendemen minyak yang diperoleh dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 9. Rendemen merupakan perbandingan antara minyak biji karet yang dihasilkan dengan bobot bahan baku daging biji karet sebelum diekstrak. Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, rendemen minyak biji karet berkisar antara 12-19 %, dengan rata-rata sebesar 15,69 %. Nilai rendemen minyak dalam penelitian ini lebih rendah daripada yang dihasilkan oleh Silam (1998), yakni sebesar rata-rata 26,83 % yang menggunakan pengepresan berulir.
30 Banyaknya minyak atau lemak yang dapat diekstraksi tergantung dari lamanya pengepresan, tekanan kempa yang digunakan, serta kandungan minyak dalam bahan asal. Menurut Bailey (1950), pemasakan merupakan salah satu tahap yang sangat penting dalam ekstraksi minyak menggunakan cara pengempaan mekanik. Tujuan utama pemasakan adalah untuk mengkoagulasikan
protein
dalam
bahan,
sehingga
butiran
minyak
terakumulasi dan minyak mudah keluar dari bahan. Selain itu, pemasakan menyebabkan penurunan afinitas minyak dengan permukaan bahan, sehingga minyak diperoleh semaksimal mungkin pada waktu bahan dikempa. Tabel 9. Rendemen minyak daging biji karet (per 250 gram daging biji) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata-rata
Bobot Minyak Hasil Ekstraksi (gram)
Rendemen Minyak (%)
30,43 34,78 35,79 47,51 39,52 33,61 38,18 44,62 44,52 43,24
12,17 13,91 14,32 19,00 15,81 13,44 15,27 17,85 17,81 17,30
39,22
15,69
Rendemen yang dihasilkan dari sesuatu ekstraksi juga dipengaruhi oleh kadar minyak di dalam bahan asal. Kadar minyak yang terkandung di dalam daging biji karet yang digunakan dalam penelitian ini cukup tinggi yaitu 38,65 % (berat kering). Kurangnya rendemen yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh kondisi alat pengempaan, seperti umur alat, kondisi peralatan kempa, serta tekanan dan suhu yang digunakan. 4. Degumming Minyak Biji Karet Minyak biji karet harus di-degumming terlebih dahulu untuk menghilangkan sifat emulsifier dari zat-zat terlarut seperti gum, protein, dan fosfatida sebelum digunakan untuk memproduksi biodiesel. Menutut Norris (1981), degumming adalah proses pemurnian minyak untuk menghilangkan
31 senyawa fosfat dan gum yang terdapat pada minyak dengan cara memanaskan minyak sehingga menurunkan kelarutan fosfat dan gum di dalam minyak. Menurut Kirk dan Othmer (1964), tujuan dari proses degumming adalah untuk menghilangkan partikel-partikel halus tersuspensi atau berbentuk koloidal. Iwouha et al. (1996) mengemukakan bahwa pada dasarnya degumming dilakukan dengan penambahan reagent (larutan) kimia untuk memperoleh crude oil pada suhu 85-90 oC selama 20 menit atau pada suhu 5070 oC selama 30 menit, kemudian dilakukan pendinginan hingga mencapai suhu 40 oC. Koris dan Vatai (2002) menambahkan bahwa degumming merupakan langkah pertama pada proses refining minyak nabati yang berfungsi untuk menghilangkan fosfolipida dari minyak. Menurut Kim et al. (2002), fosfolipida harus dihilangkan karena dapat mempengaruhi kualitas minyak
yang
dihasilkan,
dimana
fosfolipida
dalam
minyak
dapat
menyebabkan minyak menjadi berwarna gelap selama deodorisasi pada suhu tinggi, sehingga kualitas minyak menjadi rendah. Wiedermann (1981) menjelaskan bahwa dalam proses degumming, fosfatida dikondisikan dengan asam fosfat dan dihidrasi dengan air. Hasil yang larut yaitu berupa hydrated gum diseparasi sebagai lumpur (sludge) dengan gaya sentrifugal. Proses degumming minyak untuk menghilangkan zat-zat terlarut dalam minyak, selain bertujuan memurnikan minyak juga bertujuan untuk mempermudah proses pengolahan minyak lebih lanjut, seperti proses netralisasi. Proses degumming perlu dilakukan sebelum proses netralisasi karena 2 alasan. Alasan pertama adalah sabun yang terbentuk dari hasil reaksi antara asam lemak bebas dengan kaustik soda pada proses netralisasi akan menyerap gum (getah atau lendir) sehingga menghambat proses pemisahan sabun (soap stock) dari minyak. Alasan kedua adalah netralisasi minyak yang masih mengandung gum akan menambah partikel emulsi dalam minyak, sehingga mengurangi rendemen trigliserida (Ketaren, 1986). Pada penelitian ini, degumming minyak biji karet dilakukan dengan metode pemanasan (80 oC) dan pengasaman (asam fosfat 20 %) sebanyak 0,20,3 % (v/b). Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak biji karet sebelum dan sesudah dilakukan proses degumming memiliki tingkat kejernihan yang
32 berbeda. Minyak biji karet yang sudah di-degumming secara visual, tampak kelihatan lebih jernih dibandingkan dengan minyak sebelum dilakukan degumming. Selain itu rendemen minyak biji karet yang diperoleh setelah didegumming, yakni sebesar 84,89 %. Adapun siifat fisiko kimia minyak biji karet setelah degumming, dalam penelitian ini dijelasakan pada tahap karakterisasi minyak biji karet.
B. KARAKTERISTIK MINYAK BIJI KARET Setelah dilakukan proses degumming minyak biji karet, maka selanjutnya minyak dianalisis sifat fisiko-kimianya untuk mengetahui karakteristik awal minyak sebelum diolah lebih lanjut. Hasil karakterisasi minyak biji karet setelah dilakukan proses degumming dapat dilihat pada Tabel 10 berikut ini. Tabel 10. Sifat Fisikokimia Minyak Biji Karet Hasil Ekstraksi dan Degumming
Parameter Kadar Air [% berat] Viskositas Kinematik pada 40oC [Cst] Densitas pada 25oC [g/ml] Bilangan Asam [mg KOH/gram sampel] FFA [%] Bilangan Penyabunan [mg KOH/g sampel] Bilangan Ester Teoritis [mg KOH/g sampel] Bilangan Iod [g I2/ 100 g] Bilangan Peroksida
Nilai 0,18 23,31 0,896 22,22 11,06 203,33 181,11 139,30 24,85
Kadar air merupakan parameter penting dalam penentuan kualitas suatu minyak, termasuk juga minyak biji karet. Kadar air yang tinggi dalam minyak biji karet dapat mendorong terjadinya proses hidrolisis trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air dalam minyak biji karet setelah di-degumming sebesar 0,18 % (b/b), lebih tinggi dibandingkan dengan kadar air minyak biji karet yang diperoleh oleh Silam (1998), yaitu sebesar 0,09 %. Namun, jika dibandingkan dengan minyak setelah diekstraksi, diketahui bahwa kadar air minyak yang dihasilkan dalam penelitian ini telah mengalami penurunan, dimana nilainya jauh di bawah nilai yang dinyatakan oleh Ketaren (1986), bahwa kadar air minyak atau lemak yang dihasilkan dari proses ekstraksi mekanis minyak, yakni
33 berkisar antara 2,5-3,5 %. Perbedaan kadar air dalam minyak disebabkan oleh perbedaan penanganan pasca panen terhadap biji karet. Perlakuan pasca panen seperti penngeringan terhadap biji karet sebelum proses ekstraksi dapat menurunkan kandungan air di dalam minyak biji karet. Kandungan air yang rendah dalam minyak tentu sangat menguntungkan, karena air merupakan senyawa yang berperan dalam reaksi kerusakan minyak akibat hidrolisis, sehingga dengan kadar air yang rendah diharapkan reaksi hidrolisis berjalan lambat. Bilangan asam didefinisikan sebagai jumlah miligram basa yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak/lemak. Asam lemak bebas ini merupakan produk hidrolisis dari trigliserida. Nilai bilangan asam digunakan untuk menentukan kualitas minyak/lemak. Semakin tinggi bilangan asam yang terkandung dalam minyak, semakin tinggi pula tingkat kerusakan minyak tersebut (Ketaren, 1986). Bilangan asam yang dimiliki oleh minyak biji karet dalam penelitian ini adalah 22,22 mg KOH/g sampel. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan bilangan asam minyak biji karet hasil penelitian Silam (1998) dan Aliem (2008), yakni masing-masing sebesar 9,92 dan 0,37 mg KOH/g sampel. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan kandungan air di dalam minyak biji karet. Semakin tinggi kandungan air di dalam minyak dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya proses hidrolisis trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Selain itu, kondisi penyimpanan minyak yang berbeda menyebabkan perbedaan nilai bilangan asam tersebut. Minyak yang dibiarkan kontak dengan udara dan logam seperti besi akan menyebabkan terjadinya proses oksidasi minyak, sehingga menghasilkan asam-asam berantai pendek, akibatnya akan meningkatkan nilai bilangan asam. Asam lemak bebas merupakan produk hidrolisis trigliserida. Reaksi ini terjadi karena hadirnya molekul air. Reaksi ini tidak terjadi secara sederhana, akan tetapi bertahap dan dapat balik (reversible). Proses hidrolisis dapat dipercepat dengan adanya suhu tinggi. Reaksi ini menghasilkan asam lemak bebas dan molekul gliserol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai persen FFA minyak biji karet sebesar 11,06 %. Nilai ini lebih besar dari hasil yang
34 diperoleh oleh Silam (1998) dan Aliem (2008), yakni masing-masing sebesar 4,91 % dan 0,18 %. Persen FFA diperoleh dari hasil konversi bilangan asam dibagi dengan faktor konversi untuk asam linoleat, yaitu sebesar 2,01 (Sudarmadji et al., 1989). Hal ini disebabkan karena asam linoleat merupakan asam lemak paling tinggi yang terdapat pada minyak biji karet. Perbedaan nilai persen FFA dipengaruhi oleh kandungan air dalam minyak dan kondisi penyimpanan minyak. Bilangan penyabunan merupakan jumlah miligram KOH yang diperlukan untuk menyabunkan satu gram minyak atau lemak. Proses penyabunan dapat terjadi karena adanya reaksi antara 3 molekul KOH dengan trigliserida
menghasilkan
gliserol
dan
sabun.
Bilangan
penyabunan
berhubungan dengan bobot molekul minyak. Minyak yang memiliki bobot molekul lebih tinggi akan memilki bilangan penyabunan yang lebih rendah, sebaliknya minyak yang memiliki bobot molekul yang rendah akan memiliki bilangan penyabunan yang tinggi (Ketaren, 1986). Nilai bilangan penyabunan minyak biji karet menunjukkan bahwa minyak biji karet terdiri dari senyawasenyawa yang memiliki gugus reaktif (gugus karboksil dan gugus ester), seperti gliserida, asam lemak bebas, dan asam-asam organik (Sonntag, 1982). Hasil penelitian menunjukkan bilangan penyabunan minyak biji karet yang diperoleh, yakni sebesar 203. 33 mg KOH/g sampel. Hasil ini lebih tinggi dari yang diperoleh oleh Aliem (2008), yakni sebesar 200,10 mg KOH/g sampel. Namun, hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian oleh Silam (1998), yakni sebesar 206,48 mg KOH/g sampel. Perbedaan tersebut disebabkan oleh kondisi minyak yang digunakan dan perbedaan pengolahan minyak yang digunakan. Pengukuran
bilangan
ester
minyak
menunjukkan
banyaknya
kandungan ester teoritis di dalam minyak biji karet. Bilangan ester teoritis dihitung dari hasil pengurangan bilangan penyabunan dengan bilangan asam (Ketaren, 1986). Meskipun tidak menunjukkan kuantitas senyawa ester yang sebenarnya, tetapi secara teoritis, bilangan ini dapat memperkirakan jumlah asam organik yang bersenyawa sebagai ester. Berdasarkan hasil pengukuran
35 bilangan asam dan bilangan penyabunan, bilangan ester minyak biji karet adalah 181,11 mg KOH/g sampel. Bilangan iod menunjukkan ukuran ketidakjenuhan atau banyaknya ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak yang menyusun gliserida dari suatu minyak atau lemak. Bilangan iod adalah jumlah (gram) iod yang dapat diikat oleh 100 gram minyak. Jumlah ikatan rangkap yang semakin banyak ditunjukkan oleh bilangan iod yang tinggi. Penentuan bilangan iod berdasarkan atas prinsip titrasi. Gliserida tidak jenuh suatu minyak atau lemak mempunyai kemampuan mengabsorbsi sejumlah iod sehingga membentuk suatu senyawa yang jenuh. Untuk mengetahui jumlah iod yang diabsorbsi oleh minyak, kelebihan tersebut dititrasi menggunakan natrium tiosulfat (Hamilton & Rossel, 1987). Nilai bilangan iod merupakan parameter mutu minyak yang penting, karena digunakan untuk menyatakan derajat ketidakjenuhan suatu minyak atau lemak. Selain itu, dapat juga dipergunakan untuk menggolongkan jenis minyak pengering dan minyak bukan pengering. Minyak pengering mempunyai bilangan iod yang lebih dari 130, sedangkan minyak yang mempunyai bilangan iod antara 100-130 bersifat setengah mengering (Djatmiko dan Widjaja, 1985). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai biangan iod minyak biji karet yang diperoleh, yakni sebesar 139,30. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang diperoleh oleh Silam (1998) dan Aliem (2008), yakni masing-masing sebesar 139,55 dan 140,06 g I2/100 g. Berdasarkan hasil penelitian, karena bilangan iod yang diperoleh lebih dari 130 maka minyak biji karet termasuk dalam minyak mengering (dry oil). Bilangan peroksida merupakan nilai terpenting untuk menunjukkan derajat kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Bilangan peroksida ini ditentukan dengan metode iodometri. Menurut Bailey (1950), peroksida merupakan hasil proses oksidasi terhadap minyak, pada proses ini terjadi penambahan molekul oksigen pada ikatan rangkap dari asam lemak tidak jenuh. Peroksida tersebut selanjutnya akan mendorong terjadinya proses oksidasi minyak lebih lanjut sehingga dihasilkan senyawa yang lebih
36 sederhana seperti aldehida, keton dan asam-asam lemak dengan berat molekul lebih rendah. Hasil penelitian menunjukkan bilangan peroksida minyak biji karet, yakni sebesar 24,85. hasil ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian Aliem (2008), yakni sebesar 38,55. Namun, hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan penelitian Silam (1998), yakni sebesar 9,93. Oleh karena minyak biji karet tidak digunakan sebagai minyak makan, maka bilangan peroksida tidak menjadi parameter mutu yang terlalu penting. Namun demikian, minyak dengan bilangan peroksida yang rendah lebih baik daripada minyak dengan bilangan peroksida yang tinggi, karena akan relatif lebih tahan lama terhadap kerusakan. Viskositas dan densitas minyak biji karet dalam penelitian ini, yakni masing-masing sebesar 23,31 cSt dan 0,98 g/ml. Viskositas dan densitas yang tinggi merupakan alasan utama mengapa minyak nabati tidak dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar mesin diesel. Viskositas yang tinggi dapat menyebabkan terganggunya alat injeksi mesin kendaraan dan cenderung menghasilkan deposit pada tangki pembakaran (Knothe, 2004). Oleh karena itu, minyak/lemak nabati (termasuk minyak biji karet) harus diproses lebih lanjut sampai diperoleh nilai viskositas dan densitas yang memenuhi standar bahan
bakar,
sehingga
penggunaannya
sebagai
bahan
bakar
dapat
diaplikasikan.
C. PENELITIAN UTAMA Penelitian utama pada penelitian ini meliputi proses esterifikasi dan transesterifikasi minyak biji karet untuk memproduksi biodiesel (metil ester), karakteristik biodiesel proses estrans terpilih, serta perbandingannya dengan standar. Proses esterifikasi dilakukan untuk menurunkan bilangan asam pada produk esterifikasi yang dihasilkan, sedangkan proses transesterifikasi dimaksudkan untuk memproduksi metil ester, menghilangkan gliserida, menurunkan viskositas, dan titik tuang. Kedua proses ini disebut proses dua tahap atau estrans (Sudrajat et al., 2005).
37 1. Esterifikasi Proses esterifikasi dapat dilakukan dengan atau tanpa menggunakan katalis. Katalis yang sering digunakan dalam proses esterifikasi adalah katalis asam, sedangkan reaksi tanpa menggunakan katalis dapat dilakukan pada suhu tinggi. Penggunaan katalis asam dapat dilakukan pada minyak dengan kadar air rendah, karena katalis asam merupakan katalisator untuk reaksi hidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol. Semakin rendah kandungan air dalam minyak, maka semakin baik minyak tersebut untuk digunakan dalam proses esterifikasi menggunakan katalis asam. Proses esterifikasi dimaksudkan untuk menurunkan kandungan asam lemak bebas dalam minyak. Mao et al. (2004) mengatakan bahwa asam lemak bebas dan air adalah parameter penting dalam menentukan proses pembuatan biodiesel. Untuk memasuki tahap transesterifikasi, kadar asam lemak bebas dalam minyak harus kurang dari satu persen. Semakin tinggi keasaman minyak, maka semakin rendah efisiensi konversi trigliserida berkatalis basa. Minyak yang mengandung asam lemak bebas dalam jumlah besar tidak dapat dikonversi menjadi biodiesel dengan menggunakan katalis basa, karena dapat membentuk formasi sabun yang menyulitkan pemisahan biodiesel dari gliserol selama proses berlangsung. Reaksi esterifikasi terjadi antara asam lemak bebas dan alkohol sehingga menghasilkan ester dan air. Reaksi ini merupakan reaksi reversible dan kebalikan dari reaksi hidrolisis. Proses esterifikasi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan reaktan metanol, dimana rasio molar metanol terhadap minyak yang digunakan adalah 10:1; 15:1; dan 20:1. Penggunaan masing-masing perlakuan rasio molar ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat keefektifan jalannya reaksi. Selain itu, penggunaan pereaksi metanol dalam penelitian ini, dikarenakan lebih ekonomis dibandingkan dengan golongan alkohol lainnya. Sedangkan waktu reaksi dalam penelitian ini dilakukan selama 1 jam dan 2 jam. Pada penelitian ini, proses esterifikasi dilakukan pada kisaran suhu 55o
60 C dengan menggunakan katalis asam, yakni HCl dengan dua taraf (1 % dan 2 %). Proses esterifikasi sebaiknya dilakukan pada suhu dibawah titik
38 didih metanol untuk menjaga fasa cair metanol (58 oC), sehingga reaktan (metanol) dapat tetap kontak dengan minyak. Penggunaan suhu yang tinggi tanpa adanya pengaturan tekanan dapat mengubah fasa metanol menjadi fasa gas yang dapat mengurangi kemampuan kontaknya dengan minyak. Selain itu, suhu reaksi dikondisikan pada kisaran suhu 55-60 oC, dibawah titik didih metanol (65 oC), dimaksudkan agar bejana reaksi tidak perlu diberi tekanan udara. Ma dan Hanna (1999) mengatakan bahwa suhu dan kecepatan reaksi dapat ditingkatkan jika digunakan sistem tertutup atau refluks. Oleh karena itu, dalam proses estrans digunakan kondensor untuk menjaga kekonstanan suhu dan mencegah terjadinya penguapan metanol selama proses. Proses estrans sebaiknya dibantu dengan pengadukan, dimana dalam penelitian ini digunakan magnetic stirrer. Proses pengadukan ini akan meningkatkan kontak antara minyak, metanol, dan katalis sehingga meningkatkan kecepatan reaksi pembentukan metil ester. Selain itu, adanya pemanasan
menyebabkan
molekul-molekul
minyak
terdispersi
dan
terdistribusi ke dalam melekul-molekul metanol dan bereaksi, sehingga memutuskan ikatan gliserida membentuk metil ester (Noureddini dan Zhu, 1997). Gunadi (1999) menambahkan bahwa pemanasan akan meningkatkan pergerakan molekul-molekul yang terdapat dalam campuran minyak dan metanol, sehingga menyebabkan terjadinya tumbukan antarmolekul dan memberikan energi yang cukup untuk mencapai kompleks aktivasi, akibatnya terjadilah rekasi estrans. Selama proses esterifikasi, sebenarnya juga terjadi perubahan trigliserida menjadi metil ester, hanya saja kecepatan konversinya lebih rendah dibandingkan dengan reaksi transesterifikasi. Kandungan air dalam minyak biji karet dalam penelitian ini, yakni sebesar 0,18 %. Kandungan air dalam minyak inilah yang menyebabkan terjadinya proses hidrolisis minyak menjadi asam lemak dan gliserol, sehingga meningkatkan nilai bilangan asam, dimana dalam penelitian ini nilainya sebesar 22,22 mg KOH/g sampel. Hasil analisis menunjukkan bilangan asam minyak biji karet yang telah diesterifikasi menurun menjadi 0,17 - 7,09 mg KOH/g sampel. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa seluruh variabel perlakuan dan interaksinya memberikan hasil yang sangat berbeda nyata.
39 Faktor konsenterasi HCl (A), waktu reaksi (B), rasio molar metanol : minyak (C), interaksi A*B, A*C, B*C, dan A*B*C dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (Lampiran 6). Hasil pengkuran bilangan asam setelah reaksi esterifikasi disajikan pada Gambar 6. Menurut Freedman et al. (1984), kandungan asam lemak bebas yang lebih dari dari 0,5 % (bilangan asam 1,0 mg KOH/g sampel) dapat menurunkan rendemen reaksi transesterifikasi, dimana standar biodiesel mengharuskan metil ester hasil reaksi memiliki bilangan asam maksimal 0,8 mg KOH/g sampel. Parameter yang diamati pada reaksi esterifikasi dalam penelitian ini adalah bilangan asam yang memenuhi standar, dimana dengan syarat tersebut maka penelitian ini juga memerlukan minyak dengan bilangan asam (≤ 0,8 mg KOH/g sampel) sebelum ditransesterifikasi, agar metil ester yang dihasilkan memiliki bilangan asam kurang dari nilai tersebut.
8
7.09 6.38
7 B il a n g a n a s a m ( m g K O H /g s a m p e l )
6 5 4
3.6
3.56
Kondisi Terpilih A1B2C3
3.24
3
2.36 1.7
2
1.53
0.86
0.84 0.32
1
0.17
0 A1B1C1 A1B1C2 A1B1C3 A1B2C1 A1B2C2 A1B2C3 A2B1C3 A2B2C2 A2B2C3 A2B2C1 A2B2C2 A2B2C3
Perlakuan
Keterangan : A = Konsentarsi HCl Æ A1 = 1 %; A2 = 2 %. B = Waktu reaksiÆ B1 = 60 menit; B2 = 120 menit. C = Rasio Mol Metanol : Minyak Æ C1 = 10 : 1; C2 = 15 : 1; C3 = 20 : 1. Gambar 6.
Bilangan asam dari produk-produk hasil reaksi esterifikasi pada berbagai perlakuan
40 Berdasarkan uji beda nyata (Duncan), hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan A1B1C3 dan A2B2C3 adalah kombinasi rekasi esterifikasi terbaik. Hasil ini menunjukkan bahwa kedua kombinasi perlakuan ini tidak berbeda nyata, tetapi berbeda dengan seluruh kombinasi perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini (Lampiran 7). Kelompok kombinasi perlakuan tersebut memenuhi persyaratan di atas, yaitu menghasilkan minyak dengan bilangan asam yang memenuhi standar. Dari kedua kombinasi tersebut, perlakuan A1B2C3 (Konsentrasi HCl 1 %, Waktu Reaksi 120 menit, dan Rasio Mol Metanol : Minyak = 20 : 1) merupakan kondisi terpilih reaksi esterifikasi dalam penelitian ini. Hal ini karena penggunaan konsentrasi HCl yang lebih hemat dari perlakuan A2B2C3. Jumlah katalis HCL 1 % sudah cukup menurunkan bilangan asam minyak biji karet yang diesterifikasi. Hal ini mungkin disebabkan oleh jumlah molekul HCl sudah mencukupi untuk mempercepat jalannya reaksi esterifikasi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, interaksi antara asam lemak dan metanol bersifat reversible dan lambat. Mekanisme reaksi esterifikasi berkatalis melibatkan proses protonasi atom oksigen pada gugus karbonil asam lemak membentuk suatu ion asam konjugat dari asam lemaknya. Ion ini mengalami reaksi penukaran oleh molekul metanol untuk menghasilkan molekul air. Selanjutnya proton dilepaskan untuk menghasilkan metil ester. Reaksi penukaran antara molekul metanol dan asam lemak merupakan proses yang sangat lambat dan sangat menentukan kesempurnaan proses reaksi keseluruhan. Jumlah metanol yang memadai sangat membantu kesempurnaan reaksi pada tahapan ini. Pada tahapan penelitian ini, penggunaan rasio molar metanol:minyak sebesar 20:1 telah berhasil menurunkan bilangan asam. Perbandingan rasio ini menujukkan bahwa penelitian ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa reaksi esterifikasi dengan penggunaan rasio molar metanol terhadap minyak sebesar 20 : 1, dapat menyebabkan proses berjalan efektif. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu reaksi selama 60 menit memberikan efek yang kurang nyata terhadap penurunan bilangan asam. Sehingga diperlukan waktu yang lebih lama, yaitu 120 menit untuk
41 menghasilkan kondisi reaksi esterifikasi yang mampu menurunkan bilangan asam yang memenuhi standar. Setelah diperoleh kondisi reaksi terpilh pada tahapan reaksi esterifikasi, maka selanjutnya dilakukan pengukuran pada bilangan penyabunan, viskositas kinematik, dan densitas juga diukur pada kondisi reaksi esterifikasi terpilih. Pengkuran parameter ini dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik minyak sebelum dilakukan proses berikutnya, yakni proses transesterifikasi. Pengkuran bilangan penyabunan pada produk hasil esterifikasi terpilih, selanjutnya diperlukan untuk mengukur bilangan ester minyak secara teoritis. Berdasarkan hasil pengkuran diketahui bahwa bilangan penyabunan kondisi terpilih reaksi esterifikasi (A1B2C3) sebesar 209,35 mg KOH/g sampel. Bilangan asam pada kondisi terpilih adalah 0,32 mg KOH/g sampel, sehingga besarnya bilangan ester teoritis dapat ditentukan berdasarkan pengurangan dari bilangan penyabunan dengan bilangan asam, dan diperoleh hasil sebesar 209,03 mg KOH/g sampel. Bilangan ester teoritis tidak secara murni menunjukkan kandungan metil ester yang terkandung di dalamnya. Meskipun tidak menunjukkan kuantitas senyawa ester yang sebenarnya, tetapi secara teoritis, bilangan ini dapat memperkirakan jumlah asam organik yang bersenyawa sebagai ester (Gubitz et al., 1999). Produk esterifikasi (metil ester) dalam penelitian ini tidak dilakukan untuk pengujian kadar gliserol bebas, total dan kadar ester (Gas Chromatografy), dikarenakan penelitian ini dimaksudkan sebagai penelitian
terbarukan dan sifatnya awalan, dimana
belum banyak dilakukan penelitian yang dimaksudkan (biodiesel dari minyak biji karet). Karenanya hanya dilakukan pengujian yang sifatnya partial (hanya beberapa uji yang dilakukan), sebagai bahan informasi hasil penelitian untuk penunjang penelitian sejenis ke depannya. Oleh karena itu, disarankan sebaiknya dilakukan pengujian yang lebih spesifik untuk menentukan kandungan bilangan ester, yakni dengan pegujian kandungan gliserol bebas untuk selanjutnya menentukan bilangan ester. Namun, pengujian kandungan gliserol bebas dalam penelitian ini tidak dilakukan, tetapi penentuan bilangan ester dalam penelitian ini dilakukan dengan cara konversi pada bilangan penyabunan yang telah diukur.
42 Densitas (25 oC) dan viskositas kinematik (40 oC) produk kondisi terpilih reaksi esterifikasi pada penelitian ini, yakni masing-masing sebesar 0,896 g/ml dan 18,30 cSt. Densitas dan viskositas masih cukup tinggi sehingga tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan bakar otomotif. Oleh karena itu, untuk menurunkan kedua parameter tersebut diperlukan proses transesterifikasi. 2. Transesterifikasi Reaksi transesterifikasi dilakukan untuk mengkonversi trigliserida dalam minyak biji karet yang sudah diesterifikasi menjadi metil ester. Reaksi ini dipengaruhi oleh faktor internal dan eskternal. Faktor internal adalah kondisi minyak itu sendiri misalnya kandungan air, kandungan asam lemak bebas, dan kandungan zat terlarut maupun tak terlarut yang dapat mempengaruhi reaksi. Faktor eksternal adalah kondisi yang bukan berasal dari minyak dan dapat mempengaruhi reaksi. Faktor eksternal diantaranya adalah suhu reaksi, waktu reaksi, kecepatan pengadukan, jenis dan konsentrasi katalis, serta jumlah rasio molar metanol terhadap minyak. Paramater yang diamati pada tahapan penelitian ini, yakni meliputi viskositas kinematik, rendemen, dan bilangan asam. Viskositas minyak sebelum transesterifikasi cukup tinggi, yaitu 18,30 cSt (A1B2C3). Hal ini disebabkan oleh kandungan trigliserida yang tinggi. Minyak yang telah ditransesterifikasi sebagian atau seluruhnya memiliki viskositas kinematik yang rendah, karena kandungan trigliseridanya rendah. Semakin tinggi kandungan metil ester maka semakin rendah viskositas kinematiknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa viskositas kinematik metil ester hasil reaksi transesterifikasi berkisar antara 3,135 – 8,985 cSt. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa variabel waktu reaksi (A), rasio molar metanol : minyak (B), dan interaksinya (A*B) memberikan hasil yang berbeda sangat nyata terhadap viskositas kinematik yang diukur (Lampiran 9). Berdasarkan
hasil
pengukuran,
kondisi
terpilih
dari
reaksi
transesterifikasi pada penelitian ini adalah pada perlakuan A1B2 (waktu reaksi
43 30 menit dan rasio molar metanol : minyak = 6:1), dimana nilai viskostas kinematik yang dihasilkan memenuhi standar, yakni sebesar 4,77 cSt. Walaupun perlakuan A2B1 (waktu reaksi 60 menit dan rasio molar metanol : minyak = 4 : 1) juga memberikan nilai viskositas kinematik yang memenuhi standar dengan penggunaan metanol yang lebih hemat dari perlakuan A2B1, namun waktu reaksi yang diperlukan lebih lama dari pada waktu reaksi kondisi terpilih. Waktu reaksi yang terlalu lama akan mengakibatkan pemborosan energi dan semakin banyaknya waktu yang terbuang untuk memproduksi metil ester dalam skala besar. Adapun hasil pengukuran viskositas kinematik metil ester hasil reaksi transesterifikasi dapat dilihat pada Gambar 7.
9
8.985
8 Viskositas kinematik (cSt)
7 6
5.515 4.765
5 4
3.135
3.17
3.49
Kondisi Terpilih A1B2
3 2 1 0 A1B1
A1B2
A1B3
A2B1
A2B2
A2B3
Perlakuan
Keterangan : A = Waktu reaksiÆ A1 = 30 menit; A2 = 60 menit. B = Rasio Mol Metanol : Minyak Æ B1 = 4 : 1; B2 = 6 : 1; B3 = 8 : 1. Gambar 7. Viskositas kinematik metil ester hasil proses transesterifikasi pada berbagai perlakuan Berbeda dengan reaksi esterifikasi yang berkatalis asam, reaksi transesterifikasi berkatalis basa sehingga reaksi ini tidak melalui tahapan penukaran oleh alkohol. Sebagai gantinya, terjadi penukaran oleh ion metoksida. Ion metoksida adalah suatu nukleofil kuat yang berasal dari reaksi metanol dengan ion hidroksida. Ion ini dapat dengan mudah menukar gugus karbonil pada asam lemak. Oleh karena alasan tersebut, reaksi transesterifikasi
44 dapat berjalan dengan cepat. Selain itu, reaksi transesterifikasi bersifat endoterm, sehingga panas yang dihasilkan dapat mempercapat jalannya reaksi. Rendemen merupakan perbandingan antara metil ester (biodiesel) yang dihasilkan dari proses estrans dengan minyak biji karet awal yang dilakukan proses estrans. Pengukuran rendemen ini dimaksudkan untuk mengetahui jumlah biodiesel yang diperoleh dari berbagai perlakuan yang dilakukan dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil pengukuran rendemen biodiesel (Gambar 8), diketahui rendemen yang dihasilkan berkisar antara 44,72 – 74,51 %. Analisis sidik ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa faktor A (waktu reaksi), interaksi antara waktu reaksi dengan rasio molar metanol terhadap miyak (A*B) menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Sedangkan pemberian perlakuan rasio molar metanol terhadap minyak (B) memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata. Dilihat dari hasil pengukuran, dapat ditentukan bahwa kondisi terpilih reaksi transesterifikasi penelitian ini terhadap nilai rendemen biodiesel, yakni pada perlakuan A1B2 (waktu reaksi 30 menit dan rasio molar metanol : minyak = 6:1), dimana rendemen metil ester yang dihasilkan lebih tinggi dari perlakuan lainnya, yaitu sebesar 74,51 %. Rendemen dipengaruhi oleh kandungan asam lemak bebas yang terdapat pada minyak. Kandungan asam lemak bebas yang tinggi di dalam minyak dapat mengkonsumsi katalis basa pada proses transesterifikasi membentuk sabun, sehingga katalis yang digunakan untuk mendukung proses transesterifikasi menjadi berkurang. Akibatnya proses konversi trigliserida menjadi metil ester tidak sempurna dan menghasilkan senyawa intermediet (mono- dan digliserida). Senyawa intermediet ini dapat menjadi emulsifier di dalam biodiesel, sehingga kemungkinan hilang di dalam proses pencucian semakin besar dan dapat mengurangi perolehan biodiesel.
Perolehan Rendemen (%)
45
80
74.505
70
73.335 68.675
65.645
60 50
44.72
44.78
40 30
Kondisi Terpilih A1B2
20 10 0
A1B1
A1B2
A1B3
A2B1
A2B2
A2B3
Perlakuan
Keterangan : A = Waktu reaksiÆ A1 = 30 menit; A2 = 60 menit. B = Rasio Mol Metanol : Minyak Æ B1 = 4 : 1; B2 = 6 : 1; B3 = 8 : 1. Gambar 8.
Rendemen metil ester (biodiesel) hasil proses transesterifikasi pada berbagai perlakuan
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bilangan asam didefinisikan sebagai jumlah miligram basa yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak/lemak. Asam lemak bebas ini merupakan produk hidrolisis dari trigliserida. Nilai bilangan asam digunakan untuk menentukan kualitas minyak/lemak. Semakin tinggi bilangan asam yang terkandung dalam minyak. Semakin tinggi pula tingkat kerusakan minyak tersebut (Ketaren, 1986). Bilangan asam sebelum ditransesterifikasi (A1B2C3), yakni sebesar 0,32 mg KOH/g sampel. Hasil analisis menunjukkan bahwa bilangan asam metil ester hasil proses transesterifikasi mengalami penurunan. Analisis sidik ragam bilangan asam metil ester menunjukkan bahwa kedua perlakuan : waktu reaksi (A) dan rasio molar metanol terhadap minyak (B) tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan asam dari metil ester yang diukur. Begitu juga dengan interaksi keduanya (A*B) tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan asam dari metil ester yang diukur (Lampiran 14). Dengan demikian, penggunaan berbagai variasi waktu, jumlah metanol, dan interaksi keduanya menghasilkan
46 bilangan asam yang dapat dikatakan sama, yakni sebesar 0,22 mg KOH/g sampel. Nilai tersebut sudah memenuhi kriteria standar biodiesel yang mensyaratkan bahwa nilai bilangan asam tidal boleh lebih dari 0,8 mg KOH/g sampel. Terjadinya penurunan bilangan asam pada reaksi transesterifikasi dapat dikatakan tidak signifikan. Minyak yang digunakan untuk reaksi ini sudah terlebih dahulu diturunkan kandungan asam lemak bebasnya melalui reaksi esterifikasi. Hasil pengukuran bilangan asam metil ester (biodiesel) disajikan pada Gambar 9. 0.3
0.255
0.255 0.22
Bilangan Asam (mg KOH/g sampel)
0.25
0.185
0.185 0.2
0.15 0.15
Kondisi Terpilih A1B2
0.1
0.05
0
A1B1
A1B2
A1B3
A2B1
A2B2
A2B3
Perlakuan
Keterangan : A = Waktu reaksiÆ A1 = 30 menit; A2 = 60 menit. B = Rasio Mol Metanol : Minyak Æ B1 = 4 : 1; B2 = 6 : 1; B3 = 8 : 1. Gambar 9. Bilangan asam rendemen metil ester (biodiesel) hasil proses transesterifikasi pada berbagai perlakuan Terjadinya penurunan bilangan asam pada semua perlakuan setelah proses transesterifikasi dibandingkan dengan sebelum proses transesterifikasi, mengindikasikan terjadinya reaksi penyabunan antara katalis basa dengan asam lemak bebas yang terdapat di dalam minyak. Adanya reaksi penyabunan tersebut menyebabkan berkurangnya jumlah katalis yang tersedia untuk mendukung proses transesterifikasi. Selain itu, adanya reaksi penyabunan akan menyulitkan dalam proses pencucian biodiesel, karena terjadinya pembentukan emulsi antara air dengan minyak akibat adanya sabun di dalam biodiesel.
47 Berdasarkan ketiga parameter yang diukur pada tahapan reaksi transesterifikasi, maka kondisi perlakuan terpilih dalam penelitian ini yakni, perlakuan A1B2 (waktu reaksi 30 menit dan rasio molar metanol : minyak = 6:1), dimana pada perlakuan tersebut dihasilkan rendemen tertinggi dan juga diketahui memiliki nilai viskositas kinematik serta bilangan asam yang sudah memenuhi standar.
D. KARAKTERISTIK BIODIESEL DAN PERBANDINGAN DENGAN STANDAR Setelah diperoleh kondisi (perlakuan) terpilih dari proses estrans dalam penelitian ini, maka selanjutnya dilakukan analisis terhadap beberapa parameter biodiesel (metil ester) yang diperoleh. Parameter yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi densitas pada suhu 15 oC, bilangan penyabunan untuk selanjutnya digunakan dalam pengkuran bilangan ester teoritis, serta dilakukan pengukuran titik nyala. Sedangkan nilai viskositas kinematik dan bilangan asam metil ester, sebelumnya sudah dilakukan pengukuran pada tahapan reaksi transesterifiksi dan digunakan kembali untuk dibandingakan dengan standar biodiesel. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, diketahui bahwa densitas dan titik nyala metil ester dari perlakuan estrans terpilih, yakni berturut-turut tsebesar 0,887 g/ml dan 103 oC. Bilangan penyabunan metil ester yang terukur, yakni sebesar 225,90 mg KOH/g sampel, sehingga dapat diketahui bilangan ester teoritis metil ester yang terukur adalah 224,68 mg KOH/g sampel. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam penelitian ini pengukuran bilangan ester
hanya dilakukan secara teoritis,
yakni dengan konversi pengurangan bilangan penyabunan dengan bilangan asam yang telah diukur. Pengukuran yang lebih tepat dapat dilakukan dengan mengukur kandungan gliserol bebas sehingga akan diperoleh jumlah kandungan ester biodiesel, atau menggunakan alat GC untuk mendapatkan kadar ester (% b/b). Namun, pengkuran bilangan ester dalam penelitian ini meskipun tidak menunjukkan kuantitas senyawa ester yang sebenarnya, tetapi secara teoritis, bilangan ini dapat memperkirakan jumlah asam organik yang
48 bersenyawa sebagai ester. Oleh karena itu, disarankan dalam penelitian sejenis ke depannya agar dilakukan pengukuran yang lebih lengkap lagi, yakni pengkurunan kadar gilserol bebas dan total, serta kadar ester dengan menggunakan GC sehingga diperoleh hasil yang lebih optimal untuk mengetahui kualitas biodiesel yang dihasilkan. Penelitian ini mencoba memberikan informasi awalan mengenai beberapa paramater hasil penelitian yang telah dilakukan, sehingga diharapkan dapat berguna untuk informasi acuan dalam penelitian sejenis ke depannya. Tabel 11 memperlihatkan hasil analisis metil ester (biodiesel) perlakuan estrans terpilih. Tabel 11. Hasil analisis biodiesel biji karet dan perbandingan dengan standar Parameter
Satuan
Bilangan Asam Viskositas kinematik 40 o C Densitas 15 0 C Titik nyala Bilangan Penyabunan Bilangan Ester Teoritis
mg KOH/g sampel cSt
Metil Ester Biji Karet 0,22 4,77
g/ml o C mg KOH/g sampel mg KOH/g sampel
0,887 103 225,90 225,68
Maks 0,8 1,9 – 6
Metode Pengukuran ASTM D-664 ASTM D-445
0,85 – 0,89 Min 100
ASTM D-1298 ASTM D-92
Standar
Berdasarkan tebel di atas, maka dapat diketahui bahwa biodisel (metil ester) minyak biji karet dalam penelitian ini sudah memenuhi standar biodiesel untuk parameter bilangan asam, viskositas kinematik, densitas, dan titik nyala.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Minyak biji karet merupakan minyak nabati yang dapat dijadikan sebagai bahan baku dalam produksi biodiesel di Indonesia. Pemanfaatannya sebagai bahan baku biodiesel adalah pilihan yang sangat tepat, mengingat beberapa keuntungan yang dimiliki oleh minyak biji karet, diantaranya adalah ketersediaan bahan baku, renewable, kandungan minyak yang tinggi, dan merupakan jenis minyak non-edible. Hasil Penelitian pada tahapan persiapan bahan baku, diketahui bahwa persentase bagian daging biji karet yang digunakan lebih besar dari persentase bagian kulit biji. Kemudian juga diketahui bahwa kadar minyak dalam biji karet dalam penelitian ini diketahui cukup tinggi, yakni sebesar 38,65 % (berat kering). Rendemen minyak biji karet hasil ekstraksi ratarata sebesar 15,69 %, sedangkan rendemen minyak biji karet setelah dilakukan proses degumming, yakni sebesar 84,89 %. Hasil karakteristik minyak biji karet setelah dilakukan proses degumming, menunjukkan nilai viskositas kinematik pada suhu 40 ºC sebesar 23,31 cSt, densitas minyak pada suhu 25 ºC sebesar 0,896 g/ml, dan bilangan asam sebesar 22,22 mg KOH/g. Oleh karena tingginya parameter ini, maka minyak biji karet tidak dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar, sehingga harus melalui tahapan proses estrans untuk mengkonversi minyak biji karet menjadi metil ester yang memenuhi standar bahan bakar. Kondisi perlakuan terpilih pada reaksi esterifikasi pada penelitian ini, yakni pada perlakuan A1B2C3 (konsentrasi HCl 1 %, waktu reaksi 120 menit, dan rasio mol metanol : minyak = 20 : 1), dimana bilangan asam yang dihasilkan sebesar 0,32 mg KOH/g sampel. Kondisi perlakukan terpilih pada reaksi transesterifikasi adalah perlakuan A1B2 (waktu reaksi 30 menit dan rasio mol metanol : minyak = 6 : 1), dimana nilai viskositas kinematik pada suhu 40 ºC sebesar 4,77 cSt, rendemen biodiesel sebesar 74,51 %, dan bilangan asam sebesar 0,22 mg KOH/g sampel.
50 Hasil karakterisasi biodiesel minyak biji karet melalui proses estrans terpilih dalam penelitian ini, meliputi viskositas kinematik pada suhu 40 ºC sebesar 4,77 cSt, densitas pada suhu 15 ºC sebesar 0,883 g/ml, bilangan asam sebesar 0,22 mg KOH/g sampel, bilangan penyabunan sebesar 225,90 mg KOH/g sampel, bilangan ester teoritis sebesar 225,68 mg KOH/g sampel, dan titik nyala biodiesel 103 ºC. Berdasarkan hasil karakteristik biodiesel, jika dibandingkan dengan standar biodiesel, maka kualitas biodiesel yang dihasilkan dalam penelitian ini sudah sesuai dengan standar biodisel untuk parameter viskositas kinematik, densitas, bilangan asam, dan titik nyala (flash point). Penelitian ini mencoba memberikan informasi awalan mengenai beberapa paramater hasil penelitian yang telah dilakukan, sehingga diharapkan dapat berguna untuk informasi acuan dalam penelitian sejenis ke depannya.
B. SARAN Untuk meningkatkan perolehan rendemen minyak biji karet, disarankan perlunya menerapkan metode ekstraksi minyak lainnya. Untuk penelitian ke depannya, disarankan perlunya pengujian untuk parameter biodiesel yang lainnya, seperti kadar gliserol bebas dan total, bilangan setana, kadar metil ester (GC), titik tuang, titik awan dan sebagainya, serta diperlukan kajian lebih lanjut tentang proses produksi biodisel dari minyak biji karet dengan metode dan perlakuan variabel lainnya, misalnya dengan menggunakan katalis yang berbeda dari penelitian ini. Perlu dilakukan pendugaan secara stoikiometri jumlah metil ester yang dihasilkan dengan menghitung jumlah gliserol yang terbentuk. Perlu dilakukan kajian mengenai studi kelayakan tekno ekonomi usaha produksi biodiesel berbahan baku minyak biji karet.
DAFTAR PUSTAKA Allen, CAW., Watts, KC., Ackman, RG., and Peg, MJ. 1999. Predicting The Viscosity of Biodiesel Fuel from Their Fatty Acid Ester Composition. Fuel 78 : 1319-1326. Aliem, M.I. 2008. Optimasi Pengempaan Biji Karet dan Sifat Fisiko-Kimia Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) untuk Penyamakan Kulit. Skripsi. Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Ambarita, MTD. 2002. Transesterifikasi Minyak Goreng Bekas untuk Produksi Metil Ester. Tesis. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Anonim. 2005. Mengurangi Subsidi Harga BBM agar Generasi Mendatang Terhindar Krisis Energi. www. Warung informasi bbm.htm. [April 2008]. Aritonang. 1986. Kemungkinan Pemanfaatan Biji Karet dalam Ramuan Makanan Ternak. Jurnal Litbang Pertanian. 5(3) : 73. Bailey, A.E. 1950. Industrial Oil and Fat Products. Interscholastic Publisher, Inc., New York. Canakci, M. dan Gerpen, J Van. 2001. Biodiesel from Oils and Fats with High Free Fatty Acids. Trans Am Soc Automotive Engine 44 : 1429-1436. Darmoko, D. dan Cheryan, M. 2000. Kinetics of Palm Oil Transesterification in Batch Reactor. J Am Chem Soc 77 : 1263-1267. Darnoko, Herawan, T., dan Guritno, P. 2001. Teknologi Produksi Biodiesel dan Prospek Pengembangannya di Indonesia. Warta PPKS 9:17-27. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. 2005. ‘Implementasi Kebijakan Energi Nasional Terhadap Harga BBM’. Ditjen Migas. Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. 1996. Statistik Perkebunan Indonesia 1995-1997 : Karet. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Djatmiko, B. dan Widjaja, A.P. 1985. Teknologi Minyak dan Lemak. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Dunn, R.O 2004. Cold weather properties and performance of biodiesel. Di dalam G. Knothe, J.V. Gerpen dan J. Krahl (Editor). The biodiesel handbook. AOCS Press, Illinois. Eckey, E.W. 1954. Vegetable, Fats and Oils. Reinhold Publ., New York.
52
Freedman, B., Pryde, EH., and Mounts, TL. 1984. Variable Affeccting The Yields of Fatty Esters from Transesterified Vegetable Oils. J Am Oil Chem Soc 61:1638-1643. Goff, MJ., Bauer, NS., Sutterlin, WR., and Suppes, GJ. 2004. Acid-Catalyzed Alcoholysis of Soybean Oil. J Am Oil Chem Soc 81 : 415-420. Gubitz, GM., Mittelback M, dan Trabi M. 1999. Exploitation of the tropical oil seed plant Jatropha curcas L. Biores Technol. 67:73-82. Gunadi, F. 1999. Pemanfaatan Minyak Goreng Bekas sebagai Bahan Baku Ester Metilat. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Haas, MJ., Michalski, PJ., Runyon, S., Nunez, A., and Scott, KM. 2003. Production of FAME from Acid Oil, a by Product of Vegetable Oil Refining. J Am Oil Chem Soc 80 : 97-102. Hambali, E., A. Suryani, Dadang, Hariyadi, H. Hanafie, I.K. Reksowardojo, M. Rivai, M. Ihsanur, P. Suryadarma, S. Tjitrosemito, T.H. Soerawidjaja, T. Prawitasari, T. Prakoso dan W. Purnama. 2006. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel. Penebar Swadaya, Depok. Hamilton, R.J. dan Rossel, J.B. 1987. Analysis of Oils and Fats. New York : Elsevier Applied Science Publisher Co. Hariadi, P., N. Andarwulan, L., Nuraida dan Y. Sukamwati. 2005. Kajian Kebijakan dan Kumpulan Artikel Penelitian Biodiesel. SEAFAST Center IPB. Iskandar, S.H. 1983. Pengantar Budidaya Karet. Program Diploma I. Jurusanan PLPT Perkebunan-IPB, Bogor . Iwouha, C.I., C.N. Ubbaonu, R.C. Ugwo, dan N.U. Okereke. 1996. Chemical and Physical Characteristic of Palm, Palm Kernel and Groundnut Oils as Affected by Degumming. J.Food Chemistry. 55 (1) : 29-34. Jaya, I. 2005. Optimasi Sintesis Biodiesel dari Minyak Jarak pagar (Jatropha curcas L.) Melalui Proses Esterifikasi-Transesterifikasi. Skripsi. Departemen Kimia, Fakultas MIPA. IPB, Bogor. Kementerian Lingkungan Hidup. 2005. Dialog Kebijakan “Peluang dan Tantangan”. Jakarta. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak pangan. UI-Press, Jakarta.
53
Kim, I., J.H. Kim, K.H. Lee, dan T.M. Tak. 2002. Phospholipids Separation (Degumming) from Crude Vegetable Oil by Polymide Ultrafiltration Membrane. J. of Membrane Sci (205). 113-123. Kirk, R.E. dan D.F Othmer. 1964. Enchyclopedia of Chemical Technology Vol. 6. The Interscience Enchyclopedia Inc, New York. Knothe, G. 2004. Viscosity of Biodiesel. Di dalam The biodiesel handbook. OCS Press, Illinois. Knothe, G. 2006. Analyzing Biodiesel : Standars and Other Methods. Journal American Oil Chemical Society 83 (10) : 823-833. Koris, A. dan G. Vatai. 2002. Dry Degumming of Vegetable Oils by Membrane Filtration. Desalination (148). 149-153. Lauw, T. G., Samsudin dan T. Tarwodjo. 1967. Nutritional Value of Ruber Seed Protein. American Journal of Clinical Nutrition, 20 (12) : 1300 – 1303. Lee, KT., Foglia, TA., and Chang, KS. 2002. Production of Alkyl Ester as Biodiesel from Fractioned Lard and Restaurant Grease. J Am Oil Chem Soc 79 : 191-195. Lusianti, M. 1989. Pemanfaatan Tempurung Biji Karet (Hevea brasiliensis) untuk Arang Aktif. Skripsi Fateta-IPB, Bogor. Mao, V., Konar, SK., and Boocock, DGB. 2004. The Pseudo-Single-Phase BaseCatalyzed Trans-Methylation of Soybean Oil. J Am Oil Chem Soc 81:803-808. Ma, F. dan M. A. Hanna. 1997. Biodiesel Productions : A Review. Biosource Technology 70 : 1-15. Nadarajah, M. 1969. The Collection and Utilization of Rubber Seed in Ceylon. RRIC Bulletin, 4:23. Nadarajapillat, N dan R.T. Wijewantha. 1967. Productivity Potential of Rubber Seed. RRIC Bulletin, 2 : 8-16. Noris, F.A. 1981. Refining and Bleaching. Di dalam Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Vol. II. John Wiley and Sons, New York. Noureddini, H. dan D. Zhu. 1997. Kinetics of Transesterification of Soybean Oil. JAOCS 74 (11) : 1457-1463.
54
Nugraha, S. 2007. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Energi Alternatif Biodiesel (Studi Kasus PT. Energi Alternatif Indonesia, Kecamatan Tanjung Priok, Kotamadya Jakarta Utara). Skripsi. Fakultas pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ongge, D. 2001. Studi Penggunaan Ekstrak Biji Karet (Hevea brasiliensis Muell Agr.) Sebagai Bahan Pemingsan dalam Transportasi Ikan Nila Gift (Oreochromosis sp) Hidup Sistem Kering. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ozgul, S. dan Turkay, S. 2002. Variable Affecting The Yields of Methyl Ester Derived from In situ Esterification of Rice Bran Oil. J Am Oil Chem Soc 79 : 611-614. Silam. 1998. Ekstraksi Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) dengan Alat Pengempa Berulir (Expeller) dan Karakteristik Mutu minyaknya. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institus Pertanian Bogor. Bogor. Soerawidjaja, TH. 2002. Perbandingan Bahan Bakar Cair Alternatif Pengganti Solar. Disampaikan pada Pertemuan Forum Biodiesel Indonesia ke-7 di Balai Penelitian Penerapan Teknologi, Jakarta. Sonntag, N. 1982. Fat Spiliting, Esterification, and Interesterification. Di dalam Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Vol. II. Jhon Wiley and Sons, New York. Suarthama, P. 2006. Biodisel-Biofuel Energi Berbasis Biji. Majalah Komoditi, Edisi V, 9 Januari-8 Februari, hal 9. Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1989. Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin. Pradnya Paramita, Jakarta. Sudrajat, I., Jaya, dan D. Setiawan. 2005. Optimalisasi Proses Estrans pada Pembuatan Biodiesel dari Minyak Biji Jarak Pagar (Jtropha curcas L.). Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23 : 239 – 257. Sudrajat. 2006. Memproduksi biodiesel dari jarak pagar. Penebar swadaya. Cimanggis, Depok. Supijatno dan Iskandar, H. S. 1988. Budidaya dan Pengolahan Karet, Dalam Rangka Pelatihan Guru Sekolah Menengah Teknologi Pertanian. IPB. 46 hal. Swern, D, editor. 1982. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Ed ke-4. Volume ke-2. New York : John Wiley & Sons.
55
Syamsulbahri. 1996. Budidaya dan Pengolahan Karet. PT. Agromedia Pustaka. Depok. 150 hal. Tim Penebar Swadaya. 1994. Karet : Strategi : Pemasaran Tahun 2000, Budidaya dan Pengolahan. Penebar Swadaya, Jakarta. Wiedermann, L.H. 1981. Degumming, Refining, and Bleaching Soybean Oil. JAOCS. (54) : 159-166. Zhou, W., Konar, SK., and Boocock, DGB. 2003. Ethyl Ester from The SinglePhase Base-Catalyzed Etanolisis of Vegetable Oils. J Am Oil Chem Soc 80 : 367-371.
Lampiran 1. Prosedur Analisis Komposisi Kimia Biji Karet 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Sebanyak 2 gram contoh daging biji yang telah digerus ditimbang secara teliti dalam cawan alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Cawan kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105-110 oC selama 3 jam. Cawan dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang. Pengeringan dilanjutkan lagi dan setiap setengah jam didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot yang konstan. Kadar air dihitung dengan persamaan berikut : Kadar air =
Bobot Awal − Bobot Kons tan x 100 % Bobot Awal
2. Kadar Lemak (AOAC, 1985) Contoh bekas analisis kadar air ditimbang 2-3 gram, kemudian dibungkus dengan kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan soxhlet yang dihubungkan dengan pendingin balik, labu lemak yang berisi beberapa butir batu dan hot plate. Pelarut yang digunakan adalah petroleum eter dengan volume yang lebih tinggi dari bungkusan contoh yang ada dalam soxhlet. Ekstraksi dilakukan selama 5-6 jam atau sekitar 60 kali putaran. Bekas contoh yang telah terekstrak minyaknya dikeringkan dalam oven serta ditimbang bobotnya sampai diperoleh bobot konstan. Kadar lemak dihitung dengan persamaan berikut : Kadar lemak =
Bobot Awal − Bobot Akhir x 100 % Bobot Awal
3. Kadar Protein (A0AC, 1970) Penentuan kadar protein ditentukan secara semi mikro kjeldhal. Contoh bekas analisis kadar air sebanyak 1 gram dan 2 gram katalis (CuSO4 = 1.2 : 1) dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal, kemudian ditambahkan 2,5 asam sulfat pekat. Contoh di dalam labu Kjeldhal didestruksi dalam ruang asam sampai warna hijau jernih. Setelah dingin dimasukkan ke dalam labu suling dengan pembilas aquades, kemudian ditambahkan NaOH 50 % sampai warna cairan coklat kehitaman. Destilat ditampung dalam labu erlenmeyer 300 ml yang berisi 25 ml HCl 0.02 N serta diberi indikator mengset sebanyak 3 tetes. Destilasi dilakukan selama ± 10 menit atau samapai volume destilat dua kali volume semula. Selanjutnya dititrasi dengan NaOH 0.02 N sampai diperoleh
58 warna yang berubah dari merah kebiruan menjadi hijau. Dilakukan juga pada titrasi blanko. Kadar protein dihitung dengan persamaan berikut : Kadar Protein =
B − A x N x 0.014 x 6.25 x 100 % C
Keterangan : A = jumlah titrasi contoh (ml) B = jumlah titrasi blanko (ml) C = bobot contoh (gram) N = normalitas NaOH 4. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1984) Sebanyak ± 2 gram contoh dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 500 ml dan ditambah 100 ml asam sulfat 0.325 N. Campuran contoh kemudian didihkan dengan dengan alat pendingin tegak selama kurang lebih 30 menit, kemudian ditambahkan lagi 50 ml NaOH 1.25 N dan dididihkan lagi selama 30 menit. Campuran tersebut kemudian disaring dengan kertas saring Whatman yang telah dikeringkan dan diketahi bobotnya dalam keadaan panas. Pembilasan hasil saringan dilakukan berturut-turut dengan asam sulfat 0.325 N, air panas dan aseton. Kertas saring dikeringkan dalam oven selama 1-2 jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobotnya. Pengeringan diulangi setiap setengah jam, kemudian ditimbang sampai diperoleh bobot konstan. Kadar serat kasar dihitung dengan persamaan berikut : Kadar serat kasar =
Bobot endapan ker ing x 100 % Bobot awal
5. Kadar Abu (AOAC, 1984) Contoh daging biji sebanyak kurang lebih 3 gram ditimbang secara teliti dalam cawan porselin yang telah diabukan dan diketahui bobotnya. Sebelum pengabuan, contoh dipijarkan sampai tidak berasap. Selanjutnya dilakukan pengabuan di dalam tanur pada suhu 600 oC sampai semua contoh terabukan. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Adapun kadar abu dihitung dengan persamaan berikut :
Kadar abu =
Bobot abu x 100 % Bobot contoh
59
Lampiran 2. Prosedur Analisis Minyak Biji Karet 1. Kandungan Asam Lemak Bebas dan Persen FFA (IUPAC 1979) Kandungan asam lemak bebas (bilangan asam) mengacu pada jumlah KOH dalam mg yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas untuk tiap gram minyak. Sedangkan asiditas adalah persen asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak untuk tiap gram minyak. Prosedurnya adalah sebanyak ± 2 gram minyak ditimbang (ketelitian 0,005 g) dalam labu erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 50 ml campuran 95 % (v/v) etanol dengan dietil eter dengan perbandingan 1:1 (v/v) yang telah dinetralkan. Setelah ditambahkan 3 tetes indikator fenolftalin, larutan dititrasi dengan larutan KOH/etanol 0,1 N yang telah distandarisasi sampai terbentuk warna merah jambu yang stabil selama 10 detik. Bilangan asam dihitung sebagai : AV =
M. N.V m
Keterangan : AV = bilangan asam (mg KOH/g minyak) M = bobot molekul KOH (56,1 g/mol) N = normalitas KOH setelah distandarisasi (N) V = volume KOH yang digunakan untuk titrasi (ml) m = bobot sampel minyak (g)
FFA =
Bilangan asam Faktor konversi
Dimana, Faktor konversi untuk oleat
= 1,99
Faktor konversi untuk palmitat = 2,19 Faktor konversi untuk laurat
= 2,80
Faktor konversi untuk lineleat
= 2,01
2. Bilangan Penyabunan Metode Indikator & Bilangan Ester Teoritis (IUPAC 1979) Bilangan penyabunan adalah jumlah KOH dalam mg yang digunakan untuk menyabunkan 1 g minyak. Sebanyak ± 2 gram minyak ditimbang secara teliti dalam labu erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 25 ml larutan KOH 0,5 N menggunakan buret. Larutan tersebut direfluks di bawah kondensor pada suhu didihnya selama 1 jam. Larutan dititrasi menggunakan HCl 0,5 N dengan kehadiran indikator fenolftalin. Dilakukan juga titrasi pada blanko dengan cara yang sama tanpa cuplikan minyak.
60 Larutan KOH dan HCl yang digunakan harus distandarisasi sebelum digunakan. Bilangan penyabunan dihitung sebagai : SV =
M . N . (V1 − V0 ) m
Keterangan : SV = bilangan penyabunan (mg KOH) M = bobot molekul KOH (56,1 g/mol) N = normalitas HCl setelah distandarisasi (N) V1 = volume HCl yang digunakan untuk titrasi (ml) V0 = volume HCl yang digunakan untuk titrasi blanko (ml) m = bobot sampel minyak (g) Bilangan Ester Teoritis [mg KOH/g sampel] = Bilangan Penyabunan – Bilangan asam
3. Kadar Air (AOAC 1995) Sebanyak 10 gram minyak dimasukkan ke dalam oven 104-106 oC selama 30 menit. Minyak diangkat dari oven dan didinginkan dalam desikator sampai mencapai suhu kamar, setelah itu ditimbang. Prosedur diulang sampai bobotnya stabil (tidak berbeda lebih dari 0,005%). Kadar air dan zat yang mudah menguap dihitung sebagai : Kadar air =
(M 1 − M 0 ) x 100% M0
Keterangan : M0 = bobot sebelum pemanasan (g) M1 = bobot setelah pemanasan (g)
4. Densitas Piknometer Piknometer 50 ml ditimbang bobot kosongnya. Piknometer diisi dengan minyak. Setelah itu didiamkan selama 1 jam dalam termostat sampai suhu analisis (25±5oC) tercapai dan dicatat dengan ketelitian 0,1 oC. Piknometer ditera denga sampai batas yang ditentukan lalu ditimbang. Densitas dihitung sebagai : ρt =
m1 − m 0 Vt
Keterangan : ρt = densitas pada suhu t (g/ml)
61 m1 = bobot piknometer yang berisi minyak (g) m2 = bobot piknometer kosong (g) Vt = volume piknometer pada suhu t (ml)
5. Viskositas Metode Oswalt Viskometer Oswalt dibersihkan dengan cairan pembersih, kemudian dibilas dengan hati-hati dengan air suling dan dikeringkan dengan aseton di udara terbuka. Alat dicelupkan ke dalam termostat air yang bertemperatur 25 oC agar tercapai ekuilibrium. Gelas yang berisi air diletakkan di dalam termostat tersebut. Air suling yang telah disetimbangkan temperaturnya dimasukkan ke dalam viskometer. Densitas air juga diukur pada suhu yang sama. Selanjutnya, contoh minyak diukur viskositasnya pada alat tersebut pada kondisi yang sama dengan pengikuran viskositas air. Untuk fluida nonkompresibel, digunakan persamaan Poiseulle untuk menghitung viskositas, yaitu :
dV π r 4 ( P1 − P2 ) = dt 8η L dengan : η = viskositas kinematik dV/dt = laju aliran fluida yang melalui kapiler r = diameter kapiler L = panjang kapiler (P1-P2) = beda tekanan pada kedua ujung kapiler Karena (P1-P2) sebanding dengan densitas ρ, ditunjukkan bahwa untuk total volume cairan (H/ρ = Bt), dengan t adalah waktu yang dibutuhkan fluida untuk melewati batas atas sampai batas bawah pada viskometer Ostwald, dan B adalah konstanta alat yang ditentukan melewati kalibrasi alat dengan cairan yang telah diketahui viskositasnya.
6. Bilangan Iod Metode Wijs (AOCS, 1951) Contoh minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0,1 – 0,5 gram dalam labu erlenmeyer 500 ml yang bertutup. Sebanyak 20 ml khloroform dan 25 ml larutan wijs ditambahkan ke dalam contoh dengan hati-hati (menggunakan pipet). Labu erlenmeyer kemudian disimpan pada tempat gelap selama ± 30 menit, dan kemudian ditambahkan 20 ml KI 15 % dan 100 ml aquades. Titrasi dilakukan dengan larutan natrium tiosulfat 0,1 N dengan indikator pati sampa warna biru berubah menjai putih
62 jernih. Dengan cara yang sama dilakukan pula pada blanko. Bilangan iod dihitung dengan rumus berikut : Bilangan Iod =
(B − A) x N Na − Tio x 12,69 Bobot contoh
Dimana : A = ml Na-Tio untuk titrasi contoh B = ml Na-Tio untuk titrasi blanko 12,69 = sepersepuluh dari BM atom iodium
7. Bilangan Peroksida (AOAC, 1995) Sebanyak 5 gram minyak ditimbang dalam erlenmeyer 300 ml, kemudian dilarutkan dengan pelarut yang merupakan campuran dari 60 persen asam asetat glasial dan 40 persen khloroform, kemudian ditambahkan 0,5 ml KI jenuh sambil dikocok. Dua menit setelah penambahan KI, ditambahkan aquades sebanyak 30 ml. Larutan kemudian dititrasi dengan indikator pati. Dengan cara yang sama lakukan juga pada blanko. Bilangan peroksida dinyatakan dalam mili-equivalen dari peroksida setiap 1000 gram contoh. Bilangan Peroksida =
ml Na 2 S 2 O2 x N tio x 1000 Bobot contoh
63 Lampiran 3. Perhitungan Jumlah Pereaksi dan Katalis untuk Proses Estrans
Bobot minyak biji karet = 100 gram Kadar asam lemak bebas = 11,06 %
Esterifikasi
Jumlah katalis asam (HCl) yang ditambahkan : -
Perlakuan 1 = 1% x 100 g = 1 g HCl ≈ 0,84 ml
-
Perlakuan 2 = 2% x 100 g = 2 g HCl ≈ 1,68 ml
Jumlah asam lemak yang harus dikonversi = 11,06 % x 100 g = 11,06 g Mol asam lemak bebas = 11,06 g / 280 g/mol = 0, 04 mol Rasio mol metanol :minyak = 10:1 (X); 15 ;1 (Y); 20 ;1 (Z) Mol metanol yang dibutuhkan (X) = 0,04 mol x 10 = 0,4 mol Jumlah metanol yang dibutuhkan (X) = 0,8 mol x 32 g/mol = 12,80 g metanol Mol metanol yang dibutuhkan (Y) = 0,04 mol x 15 = 0,6 mol Jumlah metanol yang dibutuhkan (Y) = 0,6 mol x 32 g/mol = 19,20 g metanol Mol metanol yang dibutuhkan (Z) = 0,04 mol x 20 = 0,8 mol Jumlah metanol yang dibutuhkan (Z) = 0,8 mol x 32 g/mol = 25,6 g metanol
Transesterifikasi
Rasio mol metanol : minyak = 4:1 (A); 6:1 (B); 8:1 (C) Mol trigliserida = 100 g/884 g/mol = 0,11 mol Mol metanol yang dibutuhkan (A) = 0,11 mol x 4 = 0,44 mol Jumlah metanol yang dibutuhkan (A) = 0,44 mol x 32 g/mol = 14,08 g metanol Mol metanol yang dibutuhkan (B) = 0,11 mol x 6 = 0,66 mol Jumlah metanol yang dibutuhkan (B) = 0,66 mol x 32 g/mol = 21,12 g metanol Mol metanol yang dibutuhkan (C) = 0,11 mol x 8 = 0,88 mol Jumlah metanol yang dibutuhkan = 0,88 mol x 32 g/mol = 28,16 g metanol
64 Lampiran 4. Prosedur Analisis Biodisel (Metil Ester) 1. Kandungan Asam Lemak Bebas dan Persen FFA (IUPAC 1979) Kandungan asam lemak bebas (bilangan asam) mengacu pada jumlah KOH dalam mg yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas untuk tiap gram minyak. Sedangkan asiditas adalah persen asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak untuk tiap gram minyak. Prosedurnya adalah sebanyak ± 2 gram minyak ditimbang (ketelitian 0,005 g) dalam labu erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 50 ml campuran 95 % (v/v) etanol dengan dietil eter dengan perbandingan 1:1 (v/v) yang telah dinetralkan. Setelah ditambahkan 3 tetes indikator fenolftalin, larutan dititrasi dengan larutan KOH/etanol 0,1 N yang telah distandarisasi sampai terbentuk warna merah jambu yang stabil selama 10 detik. Bilangan asam dihitung sebagai : AV =
M. N.V m
Keterangan : AV = bilangan asam (mg KOH/g minyak) M = bobot molekul KOH (56,1 g/mol) N = normalitas KOH setelah distandarisasi (N) V = volume KOH yang digunakan untuk titrasi (ml) m = bobot sampel minyak (g)
FFA =
Bilangan asam Faktor konversi
Dimana, Faktor konversi untuk oleat
= 1,99
Faktor konversi untuk palmitat = 2,19 Faktor konversi untuk laurat
= 2,80
Faktor konversi untuk lineleat
= 2,01
2. Bilangan Penyabunan Metode Indikator & Bilangan Ester Teoritis (IUPAC 1979) Bilangan penyabunan adalah jumlah KOH dalam mg yang digunakan untuk menyabunkan 1 g minyak. Sebanyak ± 2 gram minyak ditimbang secara teliti dalam labu erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 25 ml larutan KOH 0,5 N menggunakan buret. Larutan tersebut direfluks di bawah kondensor pada suhu didihnya selama 1 jam. Larutan dititrasi menggunakan HCl 0,5 N dengan kehadiran indikator fenolftalin. Dilakukan juga titrasi pada blanko dengan cara yang sama tanpa cuplikan minyak.
65 Larutan KOH dan HCl yang digunakan harus distandarisasi sebelum digunakan. Bilangan penyabunan dihitung sebagai : SV =
M . N . (V1 − V0 ) m
Keterangan : SV = bilangan penyabunan (mg KOH) M = bobot molekul KOH (56,1 g/mol) N = normalitas HCl setelah distandarisasi (N) V1 = volume HCl yang digunakan untuk titrasi (ml) V0 = volume HCl yang digunakan untuk titrasi blanko (ml) m = bobot sampel minyak (g) Bilangan Ester Teoritis [mg KOH/g sampel] = Bilangan Penyabunan – Bilangan asam
3. Densitas Piknometer Piknometer 50 ml ditimbang bobot kosongnya. Piknometer diisi dengan minyak. Setelah itu didiamkan selama 1 jam dalam termostat sampai suhu analisis (25±5oC) tercapai dan dicatat dengan ketelitian 0,1 oC. Piknometer ditera denga sampai batas yang ditentukan lalu ditimbang. Densitas dihitung sebagai : ρt =
m1 − m 0 Vt
Keterangan : ρt = densitas pada suhu t (g/ml) m1 = bobot piknometer yang berisi minyak (g) m2 = bobot piknometer kosong (g) Vt = volume piknometer pada suhu t (ml)
4. Viskositas Metode Oswalt Viskometer Oswalt dibersihkan dengan cairan pembersih, kemudian dibilas dengan hati-hati dengan air suling dan dikeringkan dengan aseton di udara terbuka. Alat dicelupkan ke dalam termostat air yang bertemperatur 25 oC agar tercapai ekuilibrium. Gelas yang berisi air diletakkan di dalam termostat tersebut. Air suling yang telah disetimbangkan temperaturnya dimasukkan ke dalam viskometer. Densitas air juga
66 diukur pada suhu yang sama. Selanjutnya, contoh minyak diukur viskositasnya pada alat tersebut pada kondisi yang sama dengan pengikuran viskositas air. Untuk fluida nonkompresibel, digunakan persamaan Poiseulle untuk menghitung viskositas, yaitu :
dV π r 4 ( P1 − P2 ) = dt 8η L dengan : η = viskositas kinematik dV/dt = laju aliran fluida yang melalui kapiler r = diameter kapiler L = panjang kapiler (P1-P2) = beda tekanan pada kedua ujung kapiler Karena (P1-P2) sebanding dengan densitas ρ, ditunjukkan bahwa untuk total volume cairan (H/ρ = Bt), dengan t adalah waktu yang dibutuhkan fluida untuk melewati batas atas sampai batas bawah pada viskometer Ostwald, dan B adalah konstanta alat yang ditentukan melewati kalibrasi alat dengan cairan yang telah diketahui viskositasnya.
5. Flash Point dengan Metode Pensky-Martens Closed Tester (ASTM 93) Sampel diuji pada suhu 15 ± 5 oC atau 11 oC lebih rendah dari flash point sampel yang diperkirakan. Sampel diaduk 120 ± 10 rpm dengan arah cenderung ke bawah. Suhu dinaikkan selama pengujian pada kecepatan 1-1,5 oC/menit. Flash point ditentukan pada suhu saat nyala api disambar oleh biodiesel.
67
Lampiran 5. Tabulasi Data Bilangan Asam Produk Hasil Reaksi Esterifikasi Perlakuan A
B
B1 A1 B2
B1 A2 B2
Bilangan Asam (mg KOH/g sampel) C
Ulangan 1
Ulangan 2
Rataan ± Simpangan Baku
C1
7.11
7.07
7.0900 ± 0.02828
C2
3.54
3.58
3.5600 ± 0.02828
C3
0.88
0.84
0.8600 ± 0.02828
C1
3.62
3.58
3.6000 ± 0.02828
C2
1.79
1.61
1.7000 ± 0.12728
C3
0.30
0.34
0.3200 ± 0.02828
C1
6.55
6.2
6.3750 ± 0.24749
C2
2.52
2.19
2.3550 ± 0.23335
C3
0.86
0.81
0.8350 ± 0.03536
C1
3.33
3.14
3.2350 ± 0.13435
C2
1.65
1.41
1.5300 ± 0.16971
C3
0.15
0.19
0.1700 ± 0.02828
Keterangan : A = Konsentarsi HCl Æ A1 = 1 %; A2 = 2 %. B = Waktu Æ B1 = 60 menit; B2 = 120 menit. C = Rasio Mol Metanol : Minyak Æ C1 = 10 : 1; C2 = 15 : 1; C3 = 20 : 1.
68
Lampiran 6. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Bilangan Asam Produk Hasil Reaksi Esterifikasi Sumber
Derajat
Keragaman Kebebasan
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
F-Hitung
F-Tabel
F-Tabel
[0,05]
[0,01]
A
1
1.153
1.153
74.858**
4.75
9.33
B
1
18.445
18.445
1197.732**
4.75
9.33
C
2
83.505
41.752
2711.195**
3.89
6.93
A*B
1
0.265
0.265
17.182**
4.75
9.33
A*C
2
0.391
0.196
12.695**
3.89
6.93
B*C
2
7.864
3.932
255.325**
3.89
6.93
A*B*C
2
0.340
0.170
11.041**
3.89
6.93
Galat
12
0.185
0.015
Total
24
112.148
Keterangan : ** = Berbeda sangat nyata pada taraf 1 % (α = 0,01)
69
Lampiran 7. Hasil Uji Lanjut Duncan Terhadap Bilangan Asam Produk Hasil Reaksi Esterifikasi Perlakuan
N
Rata-rata
Kelompok Duncan
A2B2C3
2
0.1700
A
A1B2C3
2
0.3200
A
A2B1C3
2
0.8350
B
A1B1C3
2
0.8600
B
A2B2C2
2
1.5300
C
A1B2C2
2
1.7000
C
A2B1C2
2
2.3550
D
A2B2C1
2
3.2350
E
A1B1C2
2
3.5600
F
A1B2C1
2
3.6000
F
A2B1C1
2
6.3750
G
A1B1C1
2
7.0900
H
Keterangan : ¾
Huruf Pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata
¾
Huruf Pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata
¾
A
70
Lampiran 8. Tabulasi Data Nilai Viskositas Kinematik Metil Ester Hasil Reaksi Transesterifikasi Perlakuan A A1
A2
B
Viskositas Kinematik (cSt) Ulangan 1 Ulangan 2
Rataan ± Simpangan Baku
B1
8.95
9.02
8.9850 ± 0.04950
B2
5.09
4.44
4.7650 ± 0.45962
B3
3.22
3.12
3.1700 ± 0.07071
B1
5.26
5.77
5.5150 ± 0.36062
B2
3.22
3.05
3.1350 ± 0.12021
B3
3.83
3.15
3.4900 ± 0.48083
Keterangan : A = Waktu Æ A1 = 30 menit; A2 = 60 menit. B = Rasio Mol Metanol : Minyak Æ B1 = 4 : 1; B2 = 6 : 1; B3 = 8 : 1.
Lampiran 9. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Viskositas Kinematik Metil Ester Produk Hasil Reaksi Transesterifikasi Sumber
Derajat
Keragaman Kebebasan
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
F-Hitung
F-Tabel
F-Tabel
[0,05]
[0,01]
A
1
7.616
7.616
76.879 **
5.99
13.75
B
2
35.521
17.761
179.279 **
5.14
10.92
A*B
2
7.184
3.592
36.259 **
5.14
10.92
Galat
6
0.594
0.099
Total
12
50.915
Keterangan : ** = Berbeda sangat nyata pada taraf 1 % (α = 0,01)
71
Lampiran 10. Hasil Uji Lanjut Duncan Terhadap Viskositas Kinematik Metil Ester Hasil Reaksi Tansesterifikasi Perlakuan
N
Rata-rata
Kelompok Duncan
A1B2C2
2
3.1350
A
A1B1C3
2
3.1700
A
A1B2C3
2
3.4900
A
A1B1C2
2
4.7650
B
A1B2C1
2
5.5150
B
A1B1C1
2
8.9850
C
Keterangan : ¾ Huruf Pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata ¾ Huruf Pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata ¾ A
Lampiran 11. Tabulasi Data Nilai Rendemen Ester Hasil Reaksi Transesterifikasi
Perlakuan A A1
A2
B
Rendemen [%] Ulangan 1 Ulangan 2
Rataan ± Simpangan Baku
B1
45.21
44.23
44.7200 ± 0.69296
B2
73.03
75.98
74.5050 ± 2.08597
B3
65.08
66.21
65.6450 ± 0.79903
B1
44.93
44.63
44.7800 ± 0.21213
B2
73.82
72.85
73.3350 ± 0.68589
B3
67.84
69.51
68.6750 ± 1.18087
Keterangan : A = Waktu Æ A1 = 30 menit; A2 = 60 menit. B = Rasio Mol Metanol : Minyak Æ B1 = 4 : 1; B2 = 6 : 1; B3 = 8 : 1.
72
Lampilran 12.
Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Rendemen Metil Ester Produk Hasil Reaksi Transesterifikasi
Sumber
Derajat
Keragaman Kebebasan
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
F-Hitung
F-Tabel
F-Tabel
[0,05]
[0,01]
A
1
1.229
1.229
0.999 tn
5.99
13.75
B
2
1865.059
932.530
758.175 **
5.14
10.92
A*B
2
9.325
4.662
3.791 tn
5.14
10.92
Galat
6
7.380
1.230
Total
12
1882.993
Keterangan : tn = tidak berbeda nyata ** = Berbeda sangat nyata pada taraf 1 % (α = 0,01)
Lampiran 13. Tabulasi Data Nilai Bilangan Asam Ester Hasil Reaksi Transesterifikasi Perlakuan A A1
A2
B
Bilangan Asam [mg KOH/g sample] Ulangan 1 Ulangan 2
Rataan ± Simpangan Baku
B1
0.22
0.29
0.2550 ± 0.04950
B2
0.22
0.22
0.2200 ± 0.00000
B3
0.15
0.22
0.1850 ± 0.04950
B1
0.29
0.22
0.2550 ± 0.04950
B2
0.15
0.15
0.1500 ± 0.00000
B3
0.15
0.22
0.1850 ± 0.04950
Keterangan : A = Waktu Æ A1 = 30 menit; A2 = 60 menit. B = Rasio Mol Metanol : Minyak Æ B1 = 4 : 1; B2 = 6 : 1; B3 = 8 : 1.
73
Lampiran 14. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Bilangan Asam Metil Ester Produk Hasil Reaksi Transesterifikasi Sumber
Derajat
Keragaman Kebebasan
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
F-Hitung
F-Tabel
F-Tabel
[0,05]
[0,01]
tn
5.99
13.75
A
1
0.002
0.002
1.000
B
2
0.013
0.007
4.000 tn
5.14
10.92
tn
5.14
10.92
A*B
2
0.003
0.002
Galat
6
0.010
0.002
Total
12
0.028
Keterangan : tn = tidak berbeda nyata
1.000
74
Lampiran 15. Dokumentasi Penelitian
Perkebunan Karet Ciampea-Bogor
Penjemuran Daging Biji Karet
Pemisahan Daging dan Kulit Biji Karet
Alat Ekstraksi Minyak (Hydraulic Press)
Minyak Biji Karet Hasil ekstraksi
Proses Degumming Minyak Biji Karet
Pencucian Minyak Biji Karet Hasil Proses Degumming
Minyak Biji Karet Hasil Degumming
75 Lampiran 15 (Lanjutan)
Proses Esterifikasi dan Transesterifikasi
Proses Pencucian Biodiesel Hasil Proses Estrans
Gliserol dari Reaksi Estrans
76
Produk Hasil Reaksi Esterifikasi
Keterangan (dari kiri ke kanan) : Minyak biji karet, A1B1C1, A1B1C2, A1B1C3, A1B2C1, A1B2C2, A1B2C3, A2B1C1, A2B1C2, A2B1C3, A2B2C1, A2B2C2, A2B2C3. Dimana : A = Konsentarsi HCl Æ A1 = 1 %; A2 = 2 % B = Waktu Æ B1 = 60 menit; B2 = 120 menit C = Rasio Mol Metanol : Minyak Æ C1 = 10 : 1; C2 = 15 : 1; C3 = 20 : 1
77 Lampiran 15 (Lanjutan)
Perbandingan Biodiesel Hasil Reaksi Estrans untuk Masing-Masing Perlakuan
Keterangan (dari kiri ke kanan) : A1B1, A1B2, A1B3, A2B1, A2B2, A2B3 Dimana : A = Waktu reaksi Æ A1 = 60 menit; A2 = 120 menit B = Rasio Mol Metanol : Minyak Æ B1 = 4 : 1; B2 = 6 : 1; B3 = 8 : 1