1
PENGARUH PENGERINGAN TERHADAP SIFAT FISIKO-KIMIA MINYAK BIJI KARET (Hevea brasiliensis) UNTUK PENYAMAKAN KULIT
GITA NOVELIA ANDAYANI
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN GITA NOVELIA ANDAYANI. E 24103008. Pengaruh Pengeringan terhadap Sifat Fisiko-Kimia Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) untuk Penyamakan Kulit. Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Kurnia Sofyan dan Dr. Ono Suparno, S.TP., M.T.
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil karet alam terbesar di dunia. Selain menghasilkan lateks, perkebunan karet juga menghasilkan biji karet sebanyak 2.289.440,25 ton per tahun yang belum termanfaatkan secara optimal. Dengan melihat tingginya kandungan minyak di dalam daging biji karet yaitu sebesar 45-50 % (Hardjosuwito & Hoesnan 1976), maka dari biji karet yang belum dimanfaatkan akan dapat menghasilkan minyak biji karet sebanyak 572.360,06 ton per tahun. Minyak biji karet ini diduga dapat menggantikan minyak ikan sebagai bahan penyamak kulit samak minyak (chamois leather), karena mempunyai bilangan iod lebih dari 120. Bilangan iod ini merupakan karakteristik utama minyak yang dapat digunakan untuk penyamak kulit (Suparno 2006). Penyamakan dengan menggunakan minyak ikan masih menghadapi masalah bau yang ditimbulkan oleh sisa minyak ikan yang teroksidasi yang menempel pada produk kulit chamois. Oleh karena itu, penelitian untuk memperoleh bahan pengganti yang dapat mengurangi masalah tersebut perlu dilakukan. Salah satu bahan penggantinya adalah minyak biji karet. Penelitian ini mencoba untuk menentukan kombinasi suhu dan lama pemanasan biji karet yang menghasilkan rendemen dan sifat fisiko-kimia minyak biji karet yang paling optimal untuk penyamakan, mengetahui karakterisasi minyak biji karet yang optimal untuk penyamakan dan membandingkannya dengan minyak ikan, serta untuk mengetahui potensi minyak biji karet sebagai bahan penyamak kulit, dilihat dari bilangan iod dan gugus fungsionalnya. Penelitian pengaruh pengeringan terhadap sifat fisiko-kimia minyak biji karet untuk penyamakan kulit ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap penjemuran biji karet, tahap penelitian pendahuluan yang terdiri dari penentuan persentase bagian-bagian biji karet dan analisis komposisi kimia daging biji karet, serta tahap penelitian utama yang terdiri dari penyortiran biji karet, pengovenan, pengukuran kadar air biji karet setelah pengeringan, penggilingan, pengempaan, dan analisis terhadap minyak kasar dan bungkil yang dihasilkan. Selain itu, dilakukan juga analisis yang sama terhadap minyak ikan sebagai pembanding. Berdasarkan hasil penelitian, biji karet dengan jenis klon GT yang digunakan dalam penelitian ini memiliki persentase daging biji sebesar 50,81 % dan kulit biji (tempurung) sebesar 49,18 %. Biji karet tersebut mengandung kadar air sebesar 8,97 %, kadar minyak 37,94 %, kadar serat kasar 22,30 %, kadar protein (dasar kering) 13,85 %, kadar protein (dasar basah) 12,62 %, dan kadar abu 3,02 %. Kandungan minyak daging biji karet yang digunakan dalam penelitian ini masih tergolong tinggi. Semakin tinggi suhu dan lama pemanasan biji karet menghasilkan nilai kadar minyak dalam bungkil dan warna minyak biji karet yang cenderung meningkat, sedangkan nilai rendemen, bilangan iod, bilangan asam, dan persen FFA yang dihasilkan serta nilai kadar air biji karet cenderung menurun seiring dengan meningkatnya suhu dan lama pemanasan biji karet yang digunakan. Dilihat dari rendemen dan bilangan iod tertinggi, maka kombinasi perlakuan pemanasan biji karet dengan jenis klon GT yang menghasilkan minyak biji karet yang paling optimal untuk penyamakan kulit adalah kombinasi perlakuan pemanasan pada suhu 70 oC selama 1 jam. Kombinasi perlakuan ini
menghasilkan sifat fisiko-kimia minyak biji karet antara lain: rendemen 20,52 %, kadar minyak dalam bungkil 9,84 %, warna 4077 unit PtCo, berat jenis 0,924, viskositas 160 centipoise, bilangan iod 145,74, bilangan asam 2,08, persen FFA 1,04, bilangan penyabunan 184,58, bilangan peroksida 30,46, dan gugus fungsional yang terdiri dari COOH, COOR, –CH=CH–, OH, dan C–H. Sedangkan sifat fisiko-kimia minyak ikan yaitu memiliki nilai warna 6106 unit PtCo, berat jenis 0,922, viskositas 120 centipoise, bilangan iod 147,72, bilangan asam 0,19, persen FFA 0,09, bilangan penyabunan 168,20, bilangan peroksida 13,97, dan gugus fungsional yang terdiri dari COOH, COOR, –CH=CH–, OH, dan C–H. Dengan melihat nilai bilangan iod minyak biji karet yang hampir sama dengan minyak ikan dan gugus fungsional yang dimiliki oleh kedua minyak tersebut adalah sama, maka minyak biji karet yang dihasilkan dalam penelitian ini berpotensi untuk digunakan sebagai bahan penyamak kulit. Keywords: pengeringan, minyak, biji karet, penyamakan kulit.
PERNYATAAN Dengan
ini
saya
menyatakan
bahwa
skripsi
berjudul
Pengaruh
Pengeringan terhadap Sifat Fisiko-Kimia Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) untuk Penyamakan Kulit adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2008
Gita Novelia Andayani NRP E 24103008
i
: Pengaruh Pengeringan terhadap Sifat Fisiko-Kimia Minyak Biji
Judul Skripsi
Karet (Hevea brasiliensis) untuk Penyamakan Kulit Nama
: Gita Novelia Andayani
NRP
: E 24103008
Menyetujui: Komisi Pembimbing
Ketua,
Anggota,
Prof. Dr. Ir. Kurnia Sofyan NIP. 130 350 068
Dr. Ono Suparno, S.TP., M.T. NIP. 132 158 755
Mengetahui: Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 578 788
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi robbil ’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala berkat, rahmat, ridho, dan hidayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul Pengaruh Pengeringan terhadap Sifat Fisiko-Kimia Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) untuk Penyamakan Kulit ini telah berhasil diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Kurnia Sofyan dan Bapak Dr. Ono Suparno, S.TP., M.T. selaku dosen pembimbing. Selain itu, penghargaan penulis disampaikan pula kepada Ibu Ega dan Bapak Gunawan dari Laboratorium Dasar Ilmu Terapan I dan II Fakultas Teknologi Pertanian IPB, serta Bapak Ali dari Laboratorium Pengolahan Kimia Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan - Bogor, yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan bantuan dalam penyediaan alat dan bahan penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, dan adik tercinta, serta seluruh keluarga atas segala doa, semangat, dan kasih sayangnya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Bogor, Januari 2008 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumedang, Jawa Barat pada tanggal 6 November 1984 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Ir. Atang dan Ibu Enok Nurhayati. Pada tahun 1991 penulis menyelesaikan pendidikan formal di TK Bhakti Pertiwi dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan jenjang pendidikan di SD Negeri Tonjong dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun 1997 penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 2 Buahdua dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Cimalaka dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Cimalaka dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai staf Departemen Kesekretariatan ASEAN Forestry Students Association (AFSA) Local Committee IPB tahun 2004-2005, ketua Departemen Kesekretariatan ASEAN Forestry Students Association (AFSA) Local Committee IPB tahun 2005-2006, staf Departemen Kesekretariatan Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) tahun 2004-2005, asisten praktikum M.K. Dendrologi tahun 2005, Panitia KOMPAK Departemen Hasil Hutan tahun 2005, dan panitia Seminar Bangunan Tahan Gempa tahun 2005. Selain itu, penulis juga mengikuti beberapa praktek lapang yaitu Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) pada bulan Juli-Agustus 2006 di Perhutani Unit I Jawa Tengah dan Perhutani Unit II Jawa Timur. Pada bulan Pebruari-April 2007 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Kertas Padalarang, Bandung. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pengaruh Pengeringan terhadap Sifat Fisiko-Kimia Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) untuk Penyamakan Kulit dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Kurnia Sofyan dan Dr. Ono Suparno, S.TP., M.T.
UCAPAN TERIMA KASIH Dengan setulus hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Allah SWT beserta Rasul-Nya atas segala rahmat, nikmat, ridho, petunjuk, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Papap dan mamah tersayang yang telah mendidik, memberikan semangat, dukungan baik moral maupun materi, dan mendo’akan penulis dengan tulus ikhlas dan penuh kasih sayang. 3. Adik tercinta (Kiky dan d’ Andry) serta seluruh keluarga besar yang selalu memberikan do’a, semangat, dan kasih sayang. 4. Agus Rahmat dan keluarga yang selalu memberikan do’a, semangat, dukungan, bantuan, perhatian, dan kasih sayang. 5. Bapak Prof. Dr. Ir. Kurnia Sofyan dan Bapak Dr. Ono Suparno, S.TP., M.T., atas bimbingan, arahan, nasehat, dan dukungannya. 6. Bapak Dr. Ir. Harnios Arief, M.Sc.F., selaku dosen penguji wakil dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata dan Bapak Ir. Muhdin, M.Sc.F.Trop., selaku dosen penguji wakil dari Departemen Manajemen Hutan. 7. M. Idham Aliem sebagai teman satu tim, atas segala bantuan dan kerjasamanya. 8. Ibu Ega dan Bapak Gunawan dari Laboratorium Dasar Ilmu Terapan I dan II Fakultas Teknologi Pertanian IPB, serta Bapak Ali dari Laboratorium Pengolahan Kimia Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan - Bogor, atas bimbingan, arahan, dan bantuannya dalam penyediaan alat dan bahan kimia untuk penelitian. 9. Seluruh penghuni ”Pondok Ginastri” (Yeyet, V-ni, Echa, Sinta, Mba Niken, Noorma, Irma, Agus, Nayu, Melisa, Myu, Arie, dll), atas semangat bantuan, persaudaraan, dan kebersamaannya. 10. Teman-teman THH ’40, atas semangat, dukungan, kekompakkan, kerja sama, dan kebersamaannya. 11. Teman-teman TIN ’40 (Sylvilia, Rian, Mila, Ika, Adam, Lita, Retno, dll), atas bantuan dan kerja samanya. 12. Seluruh pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu-persatu, atas segala bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung.
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI.......................................................................................................
i
DAFTAR TABEL................................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................
v
BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1.2 Tujuan Penelitian..........................................................................
BAB II
1 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.2 2.3 2.4
2.5 2.6
2.7 2.8
Tanaman Karet............................................................................. 3 Biji Karet ....................................................................................... 3 Minyak Biji Karet........................................................................... 4 Ekstraksi Minyak........................................................................... 4 2.4.1 Rendering ........................................................................... 5 2.4.2 Pengepresan Mekanis (Mechanical Expression)................ 5 2.4.3 Ekstraksi dengan Pelarut (Solvent Extraction) ................... 6 Kulit Samak Minyak (chamois leather) ......................................... 6 Penyamakan Kulit (tanning) ......................................................... 8 2.6.1 Proses Pra Penyamakan .................................................... 8 2.6.2 Penyamakan....................................................................... 9 2.6.3 Penyelesaian ...................................................................... 10 Penyamakan Minyak (oil tanning) ................................................ 10 Potensi Penggunaan Minyak Nabati dalam Penyamakan Minyak 11
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ....................................................................... 3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat ..................................................................................... 3.2.2 Bahan ................................................................................. 3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Penjemuran Biji Karet......................................................... 3.3.2 Penelitian Pendahuluan...................................................... 3.3.3 Penelitian Utama ................................................................ 3.3.4 Karakterisasi Minyak Biji Karet dan Minyak Ikan ................ 3.4 Rancangan Percobaan................................................................. 3.5 Pengolahan Data..........................................................................
12 12 12 13 13 15 20 22 23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan................................................................ 4.1.1 Persentase Bagian-bagian Biji Karet .................................. 4.1.2 Komposisi Kimia Daging Biji Karet ..................................... 4.2 Penelitian Utama .......................................................................... 4.2.1 Kadar Air Biji Karet ............................................................. 4.2.2 Rendemen .......................................................................... 4.2.3 Kadar Minyak dalam Bungkil .............................................. 4.2.4 Warna ................................................................................. 4.2.5 Bilangan Iod........................................................................
24 24 24 26 27 28 29 31 33
ii
4.2.6 Bilangan Asam ................................................................... 35 4.2.7 Persen FFA ........................................................................ 36 4.3 Karakterisasi Minyak Biji Karet dan Minyak Ikan .......................... 37 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan................................................................................... 40 5.2 Saran ............................................................................................ 40 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 41 LAMPIRAN ........................................................................................................ 44
iii
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Komposisi kimia daging biji karet ................................................................
4
2. Persyaratan mutu kulit chamois menurut SNI 06-1752-1990......................
6
3. Persyaratan mutu kulit chamois untuk kulit sarung tangan .........................
7
4. Persyaratan mutu kulit chamois untuk orthopaedic leather.........................
7
5. Persentase kulit dan daging biji karet.......................................................... 24 6. Hasil analisis komposisi kimia daging biji karet ........................................... 25 7. Sifat fisiko-kimia minyak biji karet dan minyak ikan..................................... 38 8. Gugus fungsional minyak biji karet dan minyak ikan................................... 38
iv
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Diagram alir ekstraksi minyak biji karet dengan pengempa hidrolik............ 19 2. Reaksi hidrolisis trigliserida (Ketaren 1986) ................................................ 26 3. Histogram hubungan suhu pemanasan dengan kadar air biji karet ............ 27 4. Histogram hubungan suhu pemanasan dengan rendemen ........................ 28 5. Histogram hubungan suhu pemanasan dengan kadar minyak dalam bungkil ......................................................................................................... 30 6. Histogram hubungan suhu pemanasan dengan warna............................... 32 7. Histogram hubungan suhu pemanasan dengan bilangan iod ..................... 33 8. Histogram hubungan suhu pemanasan dengan bilangan asam ................. 35 9. Histogram hubungan suhu pemanasan dengan persen FFA...................... 37
v
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Hasil analisis kadar air biji karet setelah pengeringan................................. 46 2. Hasil analisis rendemen minyak biji karet.................................................... 48 3. Hasil analisis kadar minyak dalam bungkil .................................................. 50 4. Hasil analisis warna minyak biji karet .......................................................... 51 5. Hasil analisis bilangan iod minyak biji karet ................................................ 53 6. Hasil analisis bilangan asam minyak biji karet ............................................ 55 7. Hasil analisis persen FFA minyak biji karet ................................................. 56 8. Foto peralatan penelitian ............................................................................. 57 9. Foto hasil penelitian .................................................................................... 58
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara penghasil karet alam terbesar di dunia. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan (2006), pada tahun 2003 Indonesia mempunyai total areal perkebunan karet sebesar 3.338.162 ha dengan proporsi tanaman karet yang menghasilkan adalah 2.035.058 ha (61%). Selain menghasilkan lateks, perkebunan karet juga menghasilkan biji karet sebanyak 1500 kg/ha/tahun yang belum termanfaatkan secara optimal. Dari luas areal tanaman menghasilkan tersebut, maka akan diproduksi biji karet sekitar 3.052.587 ton per tahun. Apabila diasumsikan 25 persen digunakan untuk benih, maka biji karet yang belum dimanfaatkan secara optimal sekitar 2.289.440,25 ton per tahun. Dengan melihat tingginya kandungan minyak di dalam daging biji karet yaitu sebesar 45-50 % (Hardjosuwito & Hoesnan 1976), maka dari biji karet yang belum dimanfaatkan akan dapat menghasilkan minyak biji karet sebanyak 572.360,06 ton setiap tahunnya. Minyak biji karet merupakan salah satu jenis minyak mengering (drying oil) yaitu minyak yang mempunyai sifat dapat mengering jika terkena oksidasi dan akan berubah menjadi lapisan tebal, bersifat kental, dan membentuk sejenis selaput jika dibiarkan di udara terbuka (Ketaren 1986). Jenis minyak ini dapat digunakan untuk bahan pembuat sabun, bahan cat sebagai minyak mengering, dan bahan pelengkap kosmetik (Anonim 1984). Selain itu, minyak biji karet juga diduga dapat digunakan sebagai bahan penyamak untuk memproduksi kulit samak minyak (chamois leather), karena minyak biji karet memiliki nilai bilangan iod yang tinggi yaitu lebih dari 120. Bilangan iod ini merupakan karakteristik utama minyak yang dapat digunakan untuk penyamak kulit (Suparno 2006). Kulit chamois merupakan produk kulit olahan yang populer dalam perdagangan,
karena
mempunyai
penggunaan
khusus,
misalnya
dalam
penyaringan gasolin kualitas tinggi dan pembersihan alat-alat optik (kacamata, kaca jendela, dan kendaraan bermotor). Dewasa ini, kulit samak minyak diproduksi dengan menggunakan minyak ikan sebagai bahan penyamak utamanya.
Penyamakan
dengan
menggunakan
minyak
ikan
tersebut
menghadapi masalah bau yang ditimbulkan oleh sisa minyak ikan yang teroksidasi yang menempel pada produk kulit chamois. Bau tersebut sampai saat
2
ini belum dapat dihilangkan dengan sempurna. Oleh karena itu, untuk mengurangi masalah tersebut perlu dilakukan usaha-usaha untuk mensubstitusi minyak ikan dengan minyak nabati dalam penyamakan kulit chamois. Minyak biji karet adalah salah satu bahan penyamak kulit yang diduga dapat menggantikan minyak ikan. Hal ini diperkuat dengan adanya alasan bahwa minyak biji karet tidak akan menimbulkan bau dan dapat melakukan cross-link dengan protein yang ada di kulit untuk membentuk kulit samak. Minyak biji karet dapat diperoleh dengan cara ekstraksi. Salah satu jenis ekstraksi yang umum digunakan adalah ekstraksi secara mekanis dengan menggunakan pengempa hidrolik (hydraulic pressing). Ekstraksi cara ini sesuai untuk biji karet yang mangandung kadar minyak yang cukup tinggi. Dua tahapan yang perlu dilakukan pada ekstraksi mekanis yaitu tahap perlakuan pendahuluan dan tahap pengempaan. Tahap perlakuan pendahuluan terdiri dari pembersihan bahan, pemisahan kulit, pengecilan ukuran, dan pemasakan. Tujuan dari pemasakan adalah untuk mengkoagulasikan protein dalam bahan dan menurunkan viskositas minyak sehingga minyak mudah keluar. Selain itu, dengan pemasakan dapat menyebabkan afinitas minyak dengan permukaan bahan menjadi berkurang sehingga pada saat pengempaan minyak dapat diperoleh semaksimal mungkin. Berdasarkan latar belakang di atas, maka menarik untuk dilakukan penelitian terhadap minyak biji karet yang diperoleh dengan ekstraksi menggunakan pengempa hidrolik. Untuk mendapatkan minyak yang optimal maka sebelum diekstraksi biji karet yang digunakan diberikan perlakuan pemanasan dengan oven. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menentukan kombinasi suhu dan lama pemanasan biji karet yang menghasilkan rendemen dan sifat fisiko-kimia minyak biji karet yang paling optimal untuk penyamakan kulit. 2. Mengetahui karakterisasi minyak biji karet yang optimal untuk penyamakan dan membandingkannya dengan minyak ikan. 3. Mengetahui potensi minyak biji karet sebagai bahan penyamak kulit.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Karet Tanaman karet dikenal orang semenjak abad ke-18, yakni ketika Freasneau mengarang buku tentang karet yang digunakan di Amerika Selatan (Yusuf & Yasri 1983). Tanaman karet (Hevea brasiliensis) termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, keluarga Euphorbiaceae, dan genus Hevea (Tim Penebar Swadaya 1992). Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 m. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Di beberapa kebun karet ada kecondongan arah tumbuhnya agak miring ke arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks (Tim Penebar Swadaya 1992). Tanaman karet adalah tanaman daerah tropis. Daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zone 15 oLS dan 15 oLU. Bila ditanam di luar zone tersebut, pertumbuhannya agak lambat, sehingga memulai produksinya pun lebih lambat. Curah hujan tahunan yang cocok untuk pertumbuhan tanaman karet tidak kurang dari 2.000 mm. Optimal antara 2.500-4.000 mm/tahun, yang terbagi dalam 100-150 hari hujan (Setyamidjaja 1993). Tanaman karet tumbuh optimal di dataran rendah, yakni pada ketinggian sampai 200 meter di atas permukaan laut. Semakin tinggi letak tempat, pertumbuhannya semakin lambat dan hasilnya lebih rendah. Ketinggian lebih dari 600 meter dari permukaan laut tidak cocok lagi untuk tanaman karet. Selain itu, tanaman karet juga dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, baik pada tanah-tanah vulkanis maupun vulkanis tua, aluvial, dan bahkan tanah gambut (Setyamidjaja 1993). 2.2 Biji Karet Biji karet terdapat dalam setiap ruang buah. Jumlah biji biasanya tiga, kadang-kadang enam, sesuai dengan jumlah ruang. Ukuran biji besar dengan kulit keras. Warnanya coklat kehitaman dengan bercak-bercak berpola yang khas. Biji yang sering menjadi mainan anak-anak ini sebenarnya berbahaya karena mengandung racun (Tim Penebar Swadaya 1992). Racun yang dimaksud
4
adalah racun sianida. Kadar sianida di dalam biji karet yaitu sebesar 330 mg dari setiap gram bahan (Zuhra 2006). Biji karet terdiri dari 45-50 % kulit biji yang keras berwarna coklat dan 50-55 % daging biji yang berwarna putih (Nadarajah 1969). Bobot biji karet sekitar 3-5 gram tergantung dari varietas, umur biji, dan kadar air. Biji karet berbentuk bulat telur dan rata pada salah satu sisinya (Nadarajapillat & Wijewantha 1967). Komposisi kimia daging biji karet disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia daging biji karet Komponen
Komposisi (%)
Kadar air
A 14,50
B 7,60
C 6,10
Kadar lemak
49,50
39,00
50,56
3,80
2,80
15,30
22,50
21,70
18,60
3,50
3,10
3,21
Kadar serat kasar Kadar protein Kadar abu
Sumber : A = Bahasuan (1984) diacu dalam Aritonang (1986) B = Stosic dan Kaykay (1981) diacu dalam Aritonang (1986) C = Silam (1998)
2.3 Minyak Biji Karet Kandungan minyak dalam daging biji atau inti biji karet adalah 45-50 % dengan komposisi 17-22 % asam lemak jenuh yang terdiri atas asam palmitat, stearat, dan arakhidat, serta asam lemak tidak jenuh sebesar 77-82 % yang tediri atas asam oleat, linoleat, dan linolenat (Hardjosuwito & Hoesnan 1976). Studi mengenai kemungkinan penggunaan biji karet sebagai minyak goreng menunjukkan bahwa sifat kimianya hampir sama dengan sifat minyak kacang tanah, tetapi minyak biji karet tidak dapat digunakan sebagai minyak goreng. Penggunaan minyak biji karet dalam industri non pangan antara lain untuk bahan pembuat sabun, bahan cat sebagai minyak mengering, dan bahan pelengkap kosmetik (Anonim 1984). 2.4 Ekstraksi Minyak Ekstraksi minyak atau lemak adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Adapun cara ekstraksi ini bermacam-macam, yaitu rendering (dry rendering dan wet rendering), mechanical expression, dan solvent extraction (Ketaren 1986).
5
2.4.1 Rendering Rendering merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak yang diduga mengandung minyak atau lemak dengan kadar air yang tinggi. Pada semua cara rendering, penggunaan panas adalah suatu hal yang spesifik, yang bertujuan untuk menggumpalkan protein pada dinding sel bahan dan untuk memecahkan dinding sel tersebut, sehingga mudah ditembus oleh minyak atau lemak yang terkandung di dalamnya. Menurut pengerjaannya rendering dibagi dalam dua cara yaitu wet rendering dan dry rendering. Wet rendering adalah proses rendering
dengan
penambahan
sejumlah
air
selama
proses
tersebut
berlangsung, sedangkan dry rendering adalah cara rendering tanpa penambahan air selama proses berlangsung (Ketaren 1986). 2.4.2 Pengepresan Mekanis (Mechanical Expression) Pengepresan mekanis merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak, terutama untuk bahan yang berasal dari biji-bijian. Cara ini dilakukan untuk memisahkan minyak dari bahan yang berkadar minyak tinggi (30-70 %). Pada pengepresan mekanis ini diperlukan perlakuan pendahuluan sebelum minyak atau lemak dipisahkan dari bijinya. Perlakuan pendahuluan tersebut mencakup pembuatan serpih, perajangan, dan penggilingan, serta tempering atau pemasakan (Ketaren 1986). Dua cara yang umum dalam pengepresan mekanis, yaitu pengepresan hidrolik (hydraulic pressing) dan pengepresan berulir (expeller pressing). Pada cara pengepresan hidrolik, bahan dipres dengan tekanan sekitar 2000 pound/inch2 (140,6 kg/cm = 136 atm). Banyaknya minyak atau lemak yang dapat diekstraksi tergantung dari lamanya pengepresan, tekanan yang dipergunakan, dan kandungan minyak dalam bahan asal. Cara pengepresan berulir memerlukan perlakuan pendahuluan yang terdiri atas proses pemasakan atau tempering. Proses pemasakan berlangsung pada 240 oF (115,5 oC) dengan tekanan sekitar 15-20 ton/inch2 (Ketaren 1986). Menurut
Bailey
(1950),
tujuan
utama
pemasakan
adalah
untuk
mengkoagulasikan protein dalam bahan, sehingga butiran minyak terakumulasi dan minyak mudah keluar dari bahan. Selain itu, pemasakan menyebabkan penurunan afinitas minyak dengan permukaan bahan, sehingga minyak diperoleh semaksimal mungkin pada waktu bahan dikempa.
6
2.4.3 Ekstraksi dengan Pelarut (Solvent Extraction) Prinsip dari proses ini adalah ekstraksi dengan melarutkan minyak dalam pelarut minyak atau lemak. Pelarut minyak atau lemak yang biasa dipergunakan dalam proses ekstraksi dengan pelarut menguap adalah petroleum eter, gasolin karbon disulfida, karbon tetraklorida, benzena, dan n-heksan (Ketaren 1986). Menurut Bailey (1950), cara ini efisien untuk bahan-bahan yang berkadar lemak rendah. 2.5 Kulit Samak Minyak (chamois leather) Kulit chamois merupakan artikel kulit yang populer dalam perdagangan (Sharpouse 1995). Permintaan akan kulit chamois di pasaran global terus meningkat (Krishnan et al. 2005a). Kulit jenis tersebut biasanya dihasilkan baik dari kulit kambing atau domba setelah penghilangan kapur (delimed pelt) dan lapisan grain. Kulit chamois memiliki sifat-sifat yang istimewa, yakni memiliki berat jenis yang sangat rendah, absorpsi air yang tinggi, kelembutan, dan kenyamanan (Wachsmann 1999). Penggunaan utama kulit samak minyak adalah sebagai alat pencuci, yang memiliki kelebihan diantaranya adalah kapasitas mengabsorpsi air yang tinggi, pengeluaran air dengan mudah, dan sebagian besar kotoran mudah dicuci dari kulit tersebut. Penggunaan lainnya adalah untuk pembuatan sarung tangan, untuk penyaringan air dari minyak bumi, dan orthopaedic leather (Sharpouse 1995; John 1996). Persyaratan-persyaratan penting kulit chamois yang diperlukan, misalnya persyaratan kulit chamois menurut SNI disajikan dalam Tabel 2, persyaratan untuk pembuatan sarung tangan disajikan dalam Tabel 3, dan persyaratan untuk orthopaedic leather disajikan pada Tabel 4. Tabel 2 Persyaratan mutu kulit chamois menurut SNI 06-1752-1990 Parameter Sifat Kimia: Kadar minyak (%) Kadar Abu (%) pH
Satuan
-
Persyaratan Minimal
Maksimal
-
10 5 8
Keterangan
sesudah disarikan minyaknya
7
Parameter Sifat Fisis: Tebal Kekuatan tarik Kemuluran (%) Kekuatan jahit Kekuatan sobek Penyerapan air (%) - 2 jam - 24 jam Organoleptis: Keadaan kulit Warna
Satuan
Persyaratan
Keterangan
Minimal
Maksimal
mm N/mm2 N/mm2 N/mm2
0,3 7,5 50 40 15
1,2 -
-
-
100 200
-
-
-
halus kuning muda/ mendekati putih
seperti beledu
Sumber: Badan Standardisasi Nasional (1990)
Tabel 3 Persyaratan mutu kulit chamois untuk kulit sarung tangan Parameter
Persyaratan
Kadar abu
Maksimal 6,0 %
Bahan-bahan lemak
Maksimal 10 %
Kekuatan tarik
Minimal 10 N/cm2
Ektensi pada 2 N/cm
Minimal 30
Elongation at break
Minimal 50 %
Kemampuan cuci
Maksimum suhu pencucian 30 ± 2 oC
Nilai pH
Aqueous extract (1:20), ≤ 8,5
Sumber: John (1996)
Tabel 4 Persyaratan mutu kulit chamois untuk orthopaedic leather Parameter Bahan-bahan lemak
Maksimal 20 %
Kadar abu total
Maksimal 6 %
Nilai pH (ekstrak)
4,0-8,0
Kekuatan tarik
Minimal 1000 N/cm2
Elongation at break
Minimal 50 %
Absorpsi air - setelah 2 menit - setelah 1 jam
Minimal 150 % Minimal 175 %
Bahan-bahan berbahaya Sumber: John (1996)
Persyaratan
Tidak mengandung bahan-bahan berbahaya
8
2.6 Penyamakan Kulit (tanning) Penyamakan adalah perubahan kulit mentah yang sifatnya tidak stabil menjadi lebih stabil terhadap perlakuan-perlakuan tertentu seperti aksi bakteri, zat kimia, dan perlakuan fisik (Fahidin 1977 diacu dalam Nugraha 1999). Dengan kata lain, penyamakan adalah proses memodifikasi struktur kolagen, komponen utama kulit, dengan mereaksikannya dengan berbagai bahan kimia (tanin atau bahan penyamak) yang pada umumnya meningkatkan stabilitas hidrotermal
kulit
tersebut
dan
kulit
tersebut
menjadi
tahan
terhadap
mikroorganisme (Suparno et al. 2005). Kulit samak yang telah digunakan orang untuk berbagai keperluan sejak ribuan tahun lalu, mempunyai sifat istimewa yang tidak dimiliki oleh bahan alami maupun bahan buatan manusia yang lain. Kulit samak dapat mengeras tetapi dapat pula sangat lembut dan lugas seperti tekstil. Kulit samak tidak hanya kuat, tahan lama serta lugas tetapi juga mempunyai struktur berpori yang unik sehingga dapat bernapas (Judoamidjojo 1981). Menurut Fahidin (1977) diacu dalam Nugraha (1999), proses penyamakan kulit dapat digolongkan menjadi tiga golongan besar, yaitu proses pra penyamakan, penyamakan, dan penyelesaian (finishing). 2.6.1 Proses Pra Penyamakan Proses awal penyamakan lazim disebut beam house, tetapi ada juga yang menyebut proses rumah basah, karena dalam pelaksanaannya selalu dilakukan dalam keadaan basah (Purnomo 1991). Proses awal penyamakan terdiri atas beberapa tahapan proses, yakni proses perendaman (soaking), pengapuran (liming), pembuangan kapur (deliming), pelumatan (bating), dan pemikelan (pickling). Proses perendaman bertujuan untuk mengembalikan kadar air kulit sampai mendekati kadar air kulit segar serta membersihkan kotoran-kotoran dan bahan-bahan kimia yang masih menempel dan juga untuk melarutkan protein (Fahidin 1977 diacu dalam Nugraha 1999). Selain itu, perendaman juga bertujuan agar kulit siap menerima perlakuan secara kimia ataupun fisis dalam proses penyamakan, sebab kulit yang direndam akan mudah bereaksi dengan bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses penyamakan (Purnomo 1991). Proses
selanjutnya
adalah
pengapuran
yang
bertujuan
untuk
menghilangkan sisik (pada kulit reptil), menghilangkan zat-zat kulit yang tidak diperlukan terutama globular protein yang berada di antara serat-serat kolagen,
9
menyabunkan lemak-lemak yang terdapat dalam kulit, dan membengkakan kulit agar sisa daging yang melekat pada kulit mudah dihilangkan (Purnomo 1991). Bahan yang digunakan dalam proses pengapuran ini adalah kapur (Ca(OH)2) untuk membuka tenunan serat kulit dan natrium sulfida (Na2S) untuk membuang bulu dan menghilangkan epidermis (Fahidin 1977 diacu dalam Nugraha 1999). Proses buang kapur dilakukan untuk membuang kapur bebas maupun yang terikat dalam kulit, karena kulit yang akan disamak dengan penyamak krom tidak boleh mengandung kapur, tetapi dalam penyamakan nabati kapur tersebut masih diperlukan untuk memperkeras hasil samak. Proses buang kapur dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi pembengkakan akibat proses pengapuran (Judoamidjojo 1974 diacu dalam Pitoyo 1997). Menurut Judoamidjojo (1974) diacu dalam Nugraha (1999), pembuangan kapur yang tidak terikat dibuang dengan menambahkan garam ammonium sulfat (NH4)2SO4. Dengan garam ini, kapur dapat mudah terbuang karena tidak terjadi pengendapan serta tidak menyebabkan pembengkakan pada kulit. Reaksinya adalah sebagai berikut: Ca(OH)2 + (NH4)2SO4
CaSO4 + 2NH4OH
Pelempaian (bating) bertujuan untuk membuka tenunan kulit lebih sempurna dengan menggunakan enzim. Fungsi enzim disini terutama untuk melanjutkan hidrolisis dari serat kolagen dan elastin kulit hewan. Bahan pelumat yang banyak digunakan adalah oropon yang berasal dari ekstrak pankreas. Setelah proses bating, dilanjutkan dengan proses pemikelan yang bertujuan untuk mengasamkan kulit sehingga fiksasi bahan penyamak dapat diperlambat. Menurut Fahidin (1977) diacu dalam Nugraha (1999), beberapa bahan yang digunakan pada proses pemikelan, antara lain : a. Asam. Asam digunakan untuk mengasamkan kulit. Asam yang digunakan antara lain asam semut, asam formiat, asam sulfat, dan asam klorida. b. Garam. Garam digunakan untuk menahan pembengkakan pada kulit karena adanya asam. Garam yang biasanya digunakan adalah garam dapur (NaCl). 2.6.2 Penyamakan Penyamakan bertujuan untuk mengubah kulit mentah yang mudah rusak oleh aktivitas mikroorganisme, kimia atau fisis menjadi kulit tersamak yang lebih
10
tahan terhadap pengaruh-pengaruh tersebut. Mekanisme penyamakan kulit pada prinsipnya adalah memasukkan bahan tertentu yang disebut bahan penyamak ke dalam anyaman atau jaringan serat kulit, sehingga terjadi ikatan kimia antara bahan penyamak dengan serat kulit (Purnomo 1991). Kulit hewan dapat disamak dengan beberapa golongan bahan penyamak diantaranya bahan penyamak nabati, bahan penyamak mineral, aldehida, minyak, serta sintetis (Fahidin 1977 diacu dalam Nugraha 1999). Pemilihan metode penyamakan didasarkan pada sifat-sifat yang diperlukan dalam produk akhir kulit, biaya bahan-bahan kimia, pabrik atau peralatan yang tersedia, dan jenis bahan mentah (Sharpouse 1995). 2.6.3 Penyelesaian Proses penyelesaian (finishing) terdiri dari beberapa tahapan proses yang tujuan umumnya adalah untuk membentuk sifat-sifat tertentu pada kulit. Proses finishing ini sangat bervariasi dan dapat dilakukan dengan metode yang berbeda-beda tergantung pada jenis penyamakannya, jenis kulitnya, serta tujuan akhir kulit jadinya (Purnomo 1991). 2.7 Penyamakan Minyak (oil tanning) Penyamakan minyak adalah penyamakan kulit menggunakan minyak, biasanya minyak ikan, untuk menghasilkan kulit samak minyak (chamois leather). Metode tradisional pembuatan kulit chamois adalah mengimpregnasi kulit domba split
basah
dengan
minyak
ikan
dalam
fulling
stocks
dan
kemudian
menggantungnya dalam stoves hangat untuk oksidasi minyak. Minyak yang teroksidasi tersebut memiliki kemampuan menyamak kulit. Kedua proses tersebut dapat diulang sampai kulit tersamak dengan memadai. Kelebihan minyak dari kulit dihilangkan dengan pengepresan hidrolik dilanjutkan dengan pencucian akhir dalam air alkalin hangat. Kulit tersebut kemudian digantung untuk pengeringan dan kemudian dilanjutkan ke finishing (Sharpouse 1981; Dewhurst 2004). Dalam finishing, kulit diwarnai dengan bahan pewarna (dye) untuk meningkatkan keindahannya atau untuk keperluan mode (fashion). Umumnya, warna diperoleh dengan cara menggunakan pewarna asam atau premetallised yang menghasilkan warna-warna cerah (Covington et al. 2005). Dasar penyamakan minyak modern adalah mengoksidasi minyak ikan yang sudah diaplikasikan pada kulit setelah penghilangan kapur (delimed pelt) dengan bantuan oksigen atmosfir pada kondisi terkendali. Bahan penyamak gliserida tak
11
jenuh yang biasa digunakan adalah minyak cod dan minyak sardine. Asam-asam lemak tersebut memiliki sampai enam ikatan ganda dalam rantai alifatiknya yang memberikan produk reaksi dari oksidasi dan polimerisasi untuk memberikan efek penyamakan minyak pada kondisi penyamakan normal (Sharpouse 1985). 2.8 Potensi Penggunaan Minyak Nabati dalam Penyamakan Minyak Kulit chamois yang dibuat secara konvensional berasosiasi dengan kelemahan, seperti ketidakseragaman akibat keragaman dalam distribusi dan bau yang berhubungan dengan minyak ikan (Krishnan et al. 2005a). Bau minyak ikan
dalam
kulit
chamois
menyebabkan
masalah
estetika.
Selain
itu,
penyamakan menggunakan minyak ikan menghadapi kendala untuk kelestarian ikan-ikan laut penghasil minyak ikan, seperti cod, sardine, herring, dan hiu (Krishnan et al. 2005b). Oleh karena itu, usaha-usaha untuk menghasilkan kulit chamois dengan menggunakan minyak-minyak yang berasal dari tanaman perlu dilakukan.
12
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dimulai dari bulan Juni sampai dengan Oktober 2007 yang dilaksanakan di Laboratorium Dasar Ilmu Terapan I dan II, Laboratorium Pengawasan
Mutu,
dan
Laboratorium
Teknologi
Kimia
Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian - Institut Pertanian Bogor, BaIai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan - Bogor, dan Pusat Studi Biofarmaka - Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengempa hidrolik (hydraulic pressing), penggiling biji (hammer mill), oven, timbangan elektrik, kain saring, kertas saring, botol, tanur, soxhlet, pendingin balik, labu lemak, batu didih,
hot plate, alat destilasi, labu destilasi, DR 2000, otoklaf, buret, pipet,
cawan porselin, cawan aluminium, labu Erlenmeyer, labu Kjeldahl, penangas air, pendingin
tegak,
gelas
ukur,
piknometer,
desikator,
viskometer,
dan
Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (FTIR). 3.2.2 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet dengan jenis klon GT yang diperoleh dari PTPN VIII Kebun Wangunreja, Subang dan minyak ikan yang diperoleh dari Industri Penyamakan Kulit CV. Agrin, Ciheuleut - Bogor. Bahan
kimia
yang
digunakan
antara
lain:
n-heksan,
katalis
(CuSO4:Na2SO4 = 1,2:1), H2SO4 pekat, NaOH 50 %, HCl 0,002 N, indikator mengsel, NaOH 0,02 N, H2SO4 0,325 N, NaOH 1,25 N, aseton, aquades, khloroform, larutan Wijs, KI 15 %, natrium tiosulfat 0,1 N, indikator pati, alkohol 95 %, KOH 0,1 N, KI jenuh, asam asetat glasial, KOH beralkohol 0,5 N, indikator phenolpthalein, dan HCl 0,5 N.
13
3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Penjemuran Biji Karet Penjemuran biji karet dilakukan selama 3 hari berturut-turut, yang dalam sehari biji tersebut dijemur selama 5 jam. Tujuan dari penjemuran ini adalah untuk menurunkan kadar air biji serta mengurangi aktivitas enzim dan mikroorganisme, sehingga biji lebih tahan lama jika disimpan. 3.3.2 Penelitian Pendahuluan Pada penelitian ini dilakukan penentuan persentase bagian-bagian biji karet yaitu persentase kulit biji dan daging biji karet. Selain itu, dilakukan juga analisis komposisi kimia daging biji karet yang meliputi penentuan kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar serat kasar, dan kadar abu. Prosedur analisisnya adalah sebagai berikut: a. Kadar Air (AOAC 1995) Sebanyak 2 gram contoh daging biji yang telah digerus ditimbang secara teliti dalam cawan aluminium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Cawan kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105-110 oC selama 3 jam. Cawan dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang. Pengeringan dilanjutkan lagi dan setiap setengah jam didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot yang konstan. Kadar air dihitung dengan persamaan berikut:
b. Kadar Lemak (AOAC 1984) Contoh bekas analisis kadar air ditimbang 2-3 gram, kemudian dibungkus dengan kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya.
Ekstraksi
dilakukan
dengan
menggunakan
soxhlet
yang
dihubungkan dengan pendingin balik, labu lemak yang berisi beberapa butir batu didih dan hot plate. Pelarut yang digunakan adalah n-heksan dengan volume lebih tinggi dari bungkusan contoh yang ada dalam soxhlet. Ekstraksi dilakukan selama 5-6 jam atau sekitar 60 kali putaran. Bekas contoh yang telah diekstrak minyaknya dikeringkan dalam oven serta ditimbang bobotnya sampai diperoleh bobot konstan.
14
Kadar lemak dihitung dengan persamaan berikut:
c. Kadar Protein (AOAC 1970) Penentuan kadar protein ditentukan secara semi mikrokjeldahl. Contoh bekas analisis kadar air sebanyak 0,1-0,2 gram dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, kemudian ditambahkan 1 gram dan 2 gram katalis (CuSO4:Na2SO4 = 1,2:1). Setelah itu, ditambahkan 2,5 ml asam sulfat pekat. Contoh di dalam labu Kjeldahl didestruksi dalam ruang asam sampai warna hijau jernih. Setelah dingin dimasukkan ke dalam labu suling dengan pembilas aquades, kemudian ditambahkan NaOH 50 % sampai warna cairan coklat kehitaman. Destilat ditampung dalam labu Erlenmeyer 300 ml yang berisi 25 ml HCl 0,002 N serta diberi indikator mengsel sebanyak 3 tetes. Destilasi dilakukan selama kurang lebih 10 menit atau sampai volume destilat dua kali volume semula. Selanjutnya dititrasi dengan NaOH 0,02 N sampai diperoleh warna yang berubah dari merah kebiruan menjadi hijau. Dilakukan juga titrasi blanko. Kadar protein dihitung dengan persamaan berikut:
dimana: A = jumlah titrasi contoh (ml) B = jumlah titrasi blanko (ml) G = bobot contoh (gram) N = normalitas NaOH d. Kadar Serat Kasar (AOAC 1984) Sebanyak + 2 gram contoh bekas analisis kadar lemak dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 500 ml dan ditambah 100 ml asam sulfat 0,325 N. Campuran contoh kemudian dimasukkan ke otoklaf selama 15 menit pada suhu 105 oC. Setelah itu, contoh didinginkan, kemudian ditambahkan 50 ml NaOH 1,25 N. Setelah itu, dimasukkan lagi ke dalam otoklaf selama 15 menit pada suhu 105 oC. Campuran tersebut kemudian disaring dengan kertas saring Whatman yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya dalam keadaan panas. Pembilasan hasil saringan dilakukan berturut-turut dengan 25 ml air panas, 25 ml asam sulfat 0,325 N, 25 ml air panas, dan 25 ml aseton. Kertas saring dikeringkan dalam oven selama 1-2 jam, kemudian
15
didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobotnya. Pengeringan diulangi setiap setengah jam, ditimbang sampai diperoleh bobot konstan.
e. Kadar Abu (AOAC 1984) Contoh daging biji sebanyak kurang lebih 3 gram ditimbang secara teliti dalam cawan porselin yang telah diabukan dan diketahui bobotnya. Sebelum pengabuan, contoh dipijarkan sampai berasap. Selanjutnya dilakukan pengabuan di dalam tanur pada suhu 600
o
C sampai semua contoh
terabukan. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu dihitung dengan persamaan berikut:
3.3.3 Penelitian Utama Pada
penelitian
utama
dilakukan
pengeringan
biji
karet
dengan
menggunakan oven. Sebelum dikeringkan, biji karet (masih memiliki tempurung) disortir terlebih dahulu. Tujuan penyortiran ini adalah untuk memisahkan biji karet yang baik dengan biji karet yang rusak. Namun, dengan penyortiran seperti ini belum tentu daging biji karet yang berada di dalam tempurung tersebut masih baik. Setelah penyortiran, biji karet tersebut ditimbang sebanyak 750 gram untuk setiap unit percobaan. Kemudian biji karet dikeringkan dengan menggunakan oven pada berbagai variasi suhu dan lama pemanasan (Gambar 1). Variasi suhu yang digunakan yaitu 70
o
C, 90 oC, dan 110 oC, sedangkan variasi lama
pemanasan yang digunakan yaitu 1 jam, 2 jam, dan 3 jam. Setelah dikeringkan, biji karet tersebut diukur kadar airnya. Selain biji karet yang diberikan perlakuan pengeringan, digunakan juga biji karet kering jemur (tanpa pemanasan) sebagai kontrol. Tahap selanjutnya yaitu menggiling biji karet dengan menggunakan alat penggiling biji (hammer mill). Setelah itu, biji dibungkus dengan kain saring dan selanjutnya
diekstraksi
dengan
menggunakan
alat
pengempa
hidrolik
menggunakan suhu 65 + 2 oC selama + 90 menit atau sampai sudah tidak ada lagi minyak yang keluar. Minyak kasar yang terekstrak kemudian dihitung rendemennya dan disaring dengan menggunakan kertas saring. Minyak kasar dan bungkil yang dihasilkan, selanjutnya dianalisis sifat fisiko-kimianya. Sifat-sifat yang dianalisis adalah kadar minyak dalam bungkil, warna, bilangan iod,
16
bilangan asam, dan persen FFA (Gambar 1). Prosedur analisisnya adalah sebagai berikut: a. Rendemen Perhitungan rendemen (R) diperlukan untuk melihat banyaknya minyak yang dapat dihasilkan (M) dari bahan mentah yang tersedia (B).
b. Kadar Minyak dalam Bungkil Contoh bekas analisis kadar air ditimbang 2-3 gram, kemudian dibungkus dengan kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya.
Ekstraksi
dilakukan
dengan
menggunakan
soxhlet
yang
dihubungkan dengan pendingin balik, labu lemak yang berisi beberapa butir batu didih dan hot plate. Pelarut yang digunakan adalah n-heksan dengan volume lebih tinggi dari bungkusan contoh yang ada dalam soxhlet. Ekstraksi dilakukan selama 5-6 jam atau sekitar 60 kali putaran. Bekas contoh yang telah diekstrak minyaknya dikeringkan dalam oven serta ditimbang bobotnya sampai diperoleh bobot konstan. Kadar lemak dihitung dengan persamaan berikut:
c. Warna Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan alat DR (Direct Read) 2000. Sebelum dilakukan pengukuran, contoh minyak yang akan digunakan diencerkan terlebih dahulu dengan menggunakan pelarut nheksan. Perbandingan antara minyak dengan pelarut adalah 1:9. Kemudian panjang gelombang cahaya yang akan digunakan dipilih. Dalam penelitian ini, panjang gelombang yang digunakan adalah 455 nm. Setelah siap, cuvet yang berisi aquades dimasukkan ke dalam alat, kemudian skala dinolkan. Cuvet yang berisi aquades diganti dengan cuvet yang berisi contoh minyak dan nilai warna dapat dibaca setelah menekan tanda “read” pada alat tersebut. Pengukuran dilakukan minimal sebanyak tiga kali untuk setiap contoh
minyak.
Rataan
dari
nilai
tersebut
dikalikan dengan faktor
pengenceran ditetapkan sebagai warna dari contoh.
17
d. Bilangan Iod (Cara Wijs (AOCS 1951)) Contoh minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0,1-0,5 gram dalam labu Erlenmeyer 500 ml yang bertutup. Sebanyak 20 ml khloroform dan 25 larutan Wijs ditambahkan ke dalam contoh dengan hati-hati (menggunakan pipet). Labu Erlenmeyer kemudian disimpan pada tempat yang gelap selama 30 menit, dan akhirnya ditambahkan 20 ml KI 15 % dan 100 ml aquades. Kemudian Erlenmeyer ditutup dan dikocok dengan hati-hati. Titrasi dilakukan dengan larutan natrium tiosulfat 0,1 N dengan indikator pati, sampai warna biru berubah menjadi putih jernih. Dengan cara yang sama dilakukan pula titrasi blanko. Bilangan iod dihitung dengan rumus sebagai berikut: dimana: A
= ml Na-tio untuk titrasi contoh
B
= ml Na-tio untuk titrasi blanko
12,69 = sepersepuluh dari BM atom iodium e. Bilangan Asam (AOAC 1995) Asam-asam lemak bebas merupakan hasil dekomposisi trigliserida karena reaksi hidrolisis minyak. Asam-asam ini akan bereaksi membentuk sabun dengan larutan alkali. Contoh minyak yang akan diuji ditimbang sebanyak 10-20 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Ke dalam contoh tersebut ditambahkan 50 ml alkohol 95 %, lalu dipanaskan pada penangas air sambil diaduk sampai semua minyak larut (sekitar 10 menit). Larutan ini kemudian dititrasi dengan KOH 0,1 N dengan menggunakan indikator pH meter sampai nilai pada pH meter tersebut adalah 7. Bilangan asam dapat dihitung dengan persamaan berikut:
dimana: N KOH = Normalitas larutan KOH 56,1
= bobot molekul KOH
18
f.
Kadar Asam Lemak Bebas (Persen FFA) Bilangan asam sering juga dinyatakan sebagai kadar asam lemak bebas (persen FFA). Hubungan kadar asam lemak bebas dengan bilangan asam menurut Sudarmadji et al. (1989) dapat dituliskan sebagai berikut:
dimana: Faktor konversi untuk Oleat
= 1,99
Faktor konversi untuk Palmitat = 2,19 Faktor konversi untuk Laurat
= 2,80
Faktor konversi untuk Linoleat = 2,01
19
Biji karet
Penjemuran
Penyortiran Penimbangan Pengovenan Pengukuran kadar air Penggilingan
Pengempaan pada suhu 65 + 2 oC
Bungkil
Minyak kasar Rendemen
Analisis: Kadar minyak dalam bungkil
Penyaringan
Analisis: Warna Bilangan iod Bilangan asam Persen FFA
Gambar 1 Diagram alir ekstraksi minyak biji karet dengan pengempa hidrolik.
20
3.3.4 Karakterisasi Minyak Biji Karet dan Minyak Ikan Pada tahap ini dilakukan karakterisasi terhadap minyak biji karet yang tidak diberi perlakuan pemanasan dan minyak biji karet yang paling optimal untuk penyamakan. Sifat fisiko-kimia yang dianalisis adalah selain yang telah dilakukan sebelumnya, seperti berat jenis, bilangan peroksida, bilangan penyabunan, dan gugus fungsionalnya. Selain itu, dilakukan juga analisis sifat fisiko-kimia yang sama terhadap minyak ikan. Prosedur analisisnya adalah sebagai berikut: a. Berat Jenis Berat jenis adalah perbandingan berat dari volume sampel minyak dengan berat air yang volumenya sama pada suhu tertentu (biasanya ditentukan pada suhu 25 oC). Alat yang digunakan adalah piknometer. Piknometer yang akan digunakan untuk pengukuran dibersihkan dan dikeringkan terlebih dahulu. Kemudian piknometer diisi dengan aquades bersuhu 20-30 oC. Pengisian dilakukan sampai air dalam botol meluap dan tidak ada gelembung udara di dalamnya. Setelah ditutup, botol direndam dalam bak air yang bersuhu 25 oC dengan toleransi 0,2 oC selama 30 menit. Kemudian botol diangkat dari bak dan dikeringkan dengan kertas pengisap. Setelah itu, botol yang berisi aquades tersebut ditimbang. Contoh minyak yang akan ditentukan berat jenisnya disaring terlebih dahulu
dengan
kertas
saring.
Hal
ini
bertujuan
untuk
membuang
benda-benda asing dan kandungan air. Selanjutnya minyak diperlakukan seperti langkah-langkah sebelumnya.
b. Viskositas Alat yang digunakan adalah viskometer yang dilengkapi dengan spindle sensor. Contoh dimasukkan ke dalam tabung seperti gelas ukur 20-25 ml, kemudian ke dalam contoh tersebut dimasukkan spindle viskometer sampai tanda batas pada spindle. Spindle yang digunakan dalam penelitian ini adalah spindle nomor 4. Setelah siap, viskometer yang telah dihubungkan dengan arus listrik dihidupkan, dan setelah spindle berputar satu menit viskometer dimatikan. Nilai viskositas contoh dapat dibaca langsung pada skala sesaat setelah viskometer dimatikan.
21
c. Bilangan Peroksida (AOAC 1995) Peroksida adalah hasil reaksi oksidasi antara asam-asam lemak tidak jenuh dengan oksigen bebas yang terjadi pada ikatan rangkap. Peroksida ini merupakan oksidator yang akan mengoksidasi kalium iodida sehingga menghasilkan iodium bebas. Iodium bebas ini ditentukan jumlahnya dengan cara iodometri menggunakan larutan Na-tio dan indikator pati. Sebanyak 5 gram minyak ditimbang dalam labu Erlenmeyer 300 ml, kemudian dilarutkan dengan pelarut yang merupakan campuran dari 60 % asam asetat glasial dan 40 % khloroform, lalu ditambahkan 0,5 ml KI jenuh sambil dikocok. Dua menit setelah penambahan KI, ditambahkan aquades sebanyak 30 ml. Larutan kemudian dititrasi dengan indikator pati. Dengan cara yang sama dibuat pula titrasi blanko tanpa minyak.
dimana: S = ml Na-tio untuk titrasi contoh B = ml Na-tio untuk titrasi blanko 8 = ½ berat molekul oksigen
d. Bilangan Penyabunan (AOAC 1995) Di dalam minyak masih terdapat asam-asam lemak yang berada dalam keadaan bebas ataupun masih terikat dalam trigliserida. Dalam penentuan bilangan penyabunan seluruh asam lemak disabunkan dengan cara mereaksikan dengan larutan basa disertai dengan pemanasan. Contoh minyak sebanyak 2-5 gram ditimbang dalam labu Erlenmeyer 300 ml, kemudian ditambahkan 50 ml KOH beralkohol 0,5 N. Selanjutnya larutan dididihkan selama setengah sampai satu jam dengan menggunakan pendingin tegak dan dikocok sampai beberapa kali sampai semua minyak tersabunkan. Setelah dingin, bagian atas pendingin dibilas dengan sedikit aquades. Larutan KOH sisa ditetapkan dengan titrasi oleh HCl 0,5 N dengan menggunakan indikator pp sampai warna merah muda hilang. Dibuat juga titrasi blanko dengan cara yang sama. Bilangan penyabunan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
dimana: 28,05 = setengah dari berat molekul KOH
22
e. Gugus Fungsional Minyak Alat yang digunakan adalah Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (FTIR). Alat ini berfungsi untuk mengukur serapan radiasi inframerah pada berbagai panjang gelombang. Inti-inti atom yang terikat oleh ikatan kovalen mengalami getaran (vibrasi) atau osilasi (oscillation), dengan cara serupa dengan dua bola yang terikat oleh suatu pegas. Bila molekul menyerap radiasi inframerah, energi yang diserap menyebabkan kenaikan dalam amplitudo getaran atom-atom yang terikat itu. Jadi, molekul ini berada dalam keadaan vibrasi tereksitasi (excited vibration state; Energi yang terserap ini akan dibuang dalam bentuk panas bila molekul itu kembali ke keadaan dasar). Suatu ikatan dalam sebuah molekul dapat menjalani berbagai osilasi atau getaran (vibrasi). Oleh karena itu, suatu ikatan tertentu dapat menyerap energi pada lebih daripada satu panjang gelombang (Fessenden & Fessenden 1994). 3.4 Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan petak terpisah (Split Plot Design) dengan menggunakan dua faktor, dimana faktor pertama (petak utama) dan faktor kedua (anak petak) masing-masing terdiri dari tiga taraf. Pada setiap perlakuan dilakukan dua kali ulangan. Faktor pertama (petak utama) adalah suhu pemanasan (faktor A) yang terdiri dari tiga taraf yaitu 70 oC (A1), 90 oC (A2), dan 110 oC (A3). Faktor kedua (anak petak) adalah lama pemanasan (faktor B) yang terdiri dari tiga taraf yaitu 1 jam (B1), 2 jam (B2), dan 3 jam (B3). Dari 9 kombinasi perlakuan dengan dua kali ulangan tiap kombinasi perlakuan diperoleh 18 satuan percobaan. Terhadap setiap satuan percobaan dilakukan pengujian sifat fisiko-kimia minyak dan bungkil biji karet. Model matematika yang digunakan adalah: Yijk = µ + Ai +
ik
+ Bj + ABij +
ijk
dimana: i = 1,2,3 j = 1,2,3 k = 1,2 Yijk = Respon dari pengaruh faktor A ke-i, faktor B ke-j, dan ulangan ke-k µ
= Nilai rata-rata umum
Ai
= Pengaruh faktor A (petak utama) ke-i
ik
= Galat petak utama
23
Bj B
= Pengaruh faktor B (anak petak) ke-j
ABij = Pengaruh interaksi faktor A ke-i dan faktor B ke-j ijk
= Galat dari faktor A ke-i, faktor B ke-j, dan ulangan ke-k
3.5 Pengolahan Data Data hasil penelitian diolah dengan menggunakan analisis sidik ragam sesuai dengan rancangan percobaan yang telah dijelaskan sebelumnya. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SAS (Statistic Analysis System). Jika hasilnya berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan. Uji wilayah ini bertujuan untuk melihat perbedaan pengaruh tiap faktor maupun kombinasi perlakuan.
24
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan 4.1.1 Persentase Bagian-bagian Biji Karet Biji karet yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet yang belum dikupas (masih memiliki tempurung). Penentuan persentase bagian-bagian biji karet dilakukan sebanyak tiga kali ulangan yaitu dengan cara mengambil biji karet secara acak sebanyak 15 buah untuk setiap ulangan, kemudian dilakukan penimbangan dan didapatkan hasil seperti tercantum pada Tabel 5. Tabel 5 Persentase kulit dan daging biji karet No.
Bobot 15 Biji Karet (gram)
Daging Biji (gram)
Kulit Biji (tempurung) (gram)
Daging Biji (%)
Kulit Biji (tempurung) (%)
1
34,15
17,32
16,83
50,72
49,28
2
35,72
18,09
17,63
50,64
49,34
3
34,30
17,52
16,78
51,08
48,92
Ratarata
34,72
17,64
17,08
50,81
49,18
Berdasarkan Tabel 5 di atas, dapat diketahui bahwa biji karet yang digunakan dalam penelitian ini memiliki persentase daging biji yang sedikit lebih besar daripada persentase kulit bijinya. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Silam (1999), yang menyatakan bahwa biji karet memiliki persentase daging biji yang lebih rendah bila dibandingkan dengan persentase kulit bijinya, yaitu secara umum dalam setiap biji karet terdiri dari 48-50 persen daging biji dan 50-52 persen kulit biji. Persentase daging dan kulit biji karet ini dapat berbeda-beda tergantung dari jenis klon, lama penyimpanan biji karet, dan kadar air biji karet (Nadarajapillat & Wijewantha 1967). 4.1.2 Komposisi Kimia Daging Biji Karet Komposisi kimia daging biji karet dapat diketahui dengan melakukan analisis proksimat terhadap daging biji tersebut. Analisis tersebut meliputi kadar
25
air, kadar lemak, kadar serat kasar, kadar protein, dan kadar abu. Hasil analisisnya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil analisis komposisi kimia daging biji karet Komponen
Kandungan Rata-rata (%)
Kadar Aira)
8,97
Kadar Lemakb)
37,94
Kadar Serat Kasar b)
22,30
Kadar Protein
b)
13,85
Kadar Protein
a)
12,62
Kadar Abu a) Keterangan:
a) b)
3,02
= Dasar basah = Dasar kering
Dari Tabel 6 di atas, dapat diketahui bahwa daging biji karet yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kandungan minyak yaitu sebesar 37,94 %. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Hardjosuwito dan Hoesnan (1976) yang menyatakan bahwa daging biji atau inti biji karet memiliki kandungan minyak 45-50 %. Begitu juga dengan hasil penelitian Silam (1998), yang menyatakan bahwa daging biji karet yang digunakan dalam penelitiannya mempunyai
kandungan
minyak
sebesar 50,56
%.
Meskipun
demikian,
kandungan minyak daging biji karet yang digunakan dalam penelitian ini masih tergolong tinggi. Kadar minyak dalam biji-bijian ini tergantung pada varietas tanaman, keadaan tanah, iklim, kematangan buah waktu dipanen (Burkill 1935), ukuran biji, kelembaban, dan penanganan pasca panen (Ketaren 1986). Selain memiliki kandungan minyak yang tinggi, daging biji karet yang digunakan dalam penelitian ini juga memiliki kandungan protein yang cukup tinggi yaitu sebesar 13,85 % (dasar kering) dan 12,62 % (dasar basah) (Tabel 6). Nilai kadar protein keduanya tidak terlalu berbeda jauh, namun masih adanya air dalam bahan menyebabkan kadar protein yang dihasilkan menjadi lebih rendah. Tingginya kadar minyak, kadar protein, dan kadar air dalam daging biji karet menyebabkan biji karet termasuk biji yang mudah rusak. Kerusakan tersebut dapat disebabkan oleh aktivitas enzim dan mikroorganisme yang terdapat dalam biji. Menurut Ketaren (1986), enzim lipase merupakan salah satu jenis enzim yang aktif pada biji-bijian yang telah dipanen. Aksi enzim ini akan mendorong penguraian gliserida menjadi asam lemak dan gliserol. Proses ini
26 sering disebut dengan proses hidrolisis. Reaksi ini dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini. O // α CH2-O-C-R1 O // β CH-O-C-R2
CH2OH H+ atau OH-
CH(OH)
O // α' CH2-O-C-R3
CH2OH
trigliserida
gliserol
+ R1COOH + R2COOH + R3COOH
asam lemak
Gambar 2 Reaksi hidrolisis trigliserida (Ketaren 1986). Proses hidrolisis dapat berlangsung pada waktu minyak masih berada dalam jaringan biji yang telah dipanen, selama pengolahan, dan penyimpanan. Untuk mengurangi terjadinya hidrolisis atau kerusakan minyak, maka sebelum diekstraksi biasanya biji-bijian diberi perlakuan pemanasan terlebih dahulu. 4.2 Penelitian Utama Pengeringan merupakan salah satu tahap yang sangat penting dalam ekstraksi minyak secara mekanis. Selain dapat mengurangi terjadinya hidrolisis atau kerusakan minyak seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pengeringan juga dapat meningkatkan rendemen hasil ekstraksi. Hal ini disebabkan karena afinitas minyak dengan permukaan bahan akan berkurang dan terjadinya penggumpalan protein sehingga minyak akan mudah keluar pada saat pengempaan. Pengeringan bahan baku biji karet dilakukan dengan cara pemanasan menggunakan oven dengan kombinasi tiga taraf suhu (A) dan tiga taraf lama pemanasan (B). Penentuan suhu pemanasan ini berdasarkan pendapat Kerleskind (1996) yang menyatakan bahwa pada suhu 70 oC protein yang terdapat dalam bahan sudah dapat menggumpal secara sempurna sehingga akan memudahkan minyak keluar dari bahan tersebut, sedangkan penentuan lama pemanasan berdasarkan pendapat Jamieson diacu dalam Lukman (1982)
27
yang menyatakan bahwa pemanasan biji-bijian sebelum dikempa dilakukan pada suhu di atas titik didih air (100 oC) selama setengah jam atau lebih. Pengamatan dilakukan terhadap biji karet setelah pengeringan dan minyak kasar serta bungkil biji karet yang dihasilkan setelah proses ekstraksi. Pengamatan terhadap biji karet hanya meliputi kadar air biji karet setelah dikeringkan saja, sedangkan pengamatan terhadap minyak kasar dan bungkil biji karet yang dihasilkan meliputi rendemen, kadar minyak dalam bungkil, warna, bilangan iod, bilangan asam, dan persen FFA. 4.2.1 Kadar Air Biji Karet Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 1b) menunjukkan bahwa faktor suhu pemanasan dan lama pemanasan serta interaksi keduanya memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar air biji karet yang dihasilkan. Berdasarkan hasil analisis uji lanjut Duncan mengenai interaksi antara perlakuan
suhu
pemanasan
dengan
lama
pemanasan
(Lampiran
1c),
menunjukkan bahwa semua kombinasi perlakuan menghasilkan kadar air biji karet yang berbeda nyata, kecuali pada kombinasi perlakuan A2B2 dan A3B1 yang B
B
menghasilkan kadar air biji karet yang tidak berbeda nyata. Selanjutnya, hasil uji lanjut juga menunjukkan bahwa kadar air biji karet yang tertinggi dihasilkan dari kombinasi perlakuan A1B1 yaitu sebesar 5,86 %, sedangkan yang terendah B
dihasilkan dari kombinasi perlakuan A3B3 yaitu sebesar 0,28 %. Keterangan lebih B
lengkap dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini.
Gambar 3 Histogram hubungan suhu pemanasan dengan kadar air biji karet. Pada Gambar 3 di atas, dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu dan lama pemanasan biji karet, menghasilkan kadar air biji yang semakin menurun. Hal ini
28 disebabkan karena semakin tinggi suhu dan lama pemanasan maka air dalam biji karet yang menguap semakin banyak sehingga kadar air biji karet akan semakin menurun. 4.2.2 Rendemen Rendemen merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengetahui jumlah minyak yang dihasilkan pada proses ekstraksi. Rendemen tersebut dihitung dengan cara membandingkan jumlah minyak yang dihasilkan dari setiap perlakuan dengan jumlah bahan (daging biji) yang digunakan. Berat daging biji diperoleh dari rata-rata persentase daging biji hasil penelitian (Tabel 5) dikalikan dengan berat biji karet utuh yang digunakan dalam penelitian. Rendemen minyak yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 8,21-20,52 % dengan nilai rataan sebesar 15,66 %. Rendemen terendah dihasilkan dari kombinasi perlakuan pemanasan pada suhu 110 oC selama 3 jam, sedangkan rendemen tertinggi dihasilkan dari kombinasi perlakuan pemanasan pada suhu 70 oC selama 1 jam. Nilai rendemen dari kombinasi perlakuan pemanasan pada suhu 70 oC selama 1 jam ini lebih tinggi daripada rendemen biji karet yang tidak mengalami pemanasan terlebih dahulu (kontrol) yaitu sebesar 18,07 %. Hal ini disebabkan karena pada biji yang dipanaskan pada suhu 70 oC selama 1 jam telah terjadi penggumpalan protein pada dinding sel dan telah terjadinya kerusakan pada dinding sel sehingga dinding selnya akan mudah dipecahkan. Hal inilah yang menyebabkan dinding sel tersebut mudah ditembus oleh minyak atau lemak sehingga minyak akan mudah keluar. Keterangan lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini.
25
Rendemen (%)
20 1 jam
15
2 jam
10
3 jam
5 0 Kontrol
70
90
110
Suhu pem anas an (˚C)
Gambar 4 Histogram hubungan suhu pemanasan dengan rendemen.
29
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2b) menunjukkan bahwa faktor suhu pemanasan dan lama pemanasan serta interaksi keduanya memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap rendemen minyak biji karet yang dihasilkan. Pada Gambar 4, dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu dan lama pemanasan biji karet maka rendemen yang dihasilkan semakin menurun. Hal ini diduga karena kandungan air dalam tempurung semakin berkurang seiring dengan meningkatnya suhu dan lama pemanasan biji karet, sehingga menyebabkan sebagian minyak terperangkap dalam tempurung biji karet tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan meningkatnya kadar minyak sisa di dalam bungkil pada biji yang dipanaskan pada suhu dan lama pemanasan yang semakin tinggi (Gambar 5). Dari hasil analisis uji lanjut Duncan mengenai interaksi antara perlakuan suhu pemanasan dengan lama pemanasan (Lampiran 2c) menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan A1B1 menghasilkan rendemen yang tidak berbeda nyata B
dengan A1B2, A3B1, dan A2B1, tetapi berbeda nyata dengan A1B3, A2B2, A2B3, B
B
B
B
B
B
A3B2, dan A3B3. Selanjutnya, untuk kombinasi perlakuan A1B3 menghasilkan B
B
B
rendemen yang tidak berbeda nyata dengan A2B2, tetapi berbeda nyata dengan B
A2B3, A3B2, dan A3B3. Selain itu, A2B3 tidak berbeda nyata dengan A3B2, tetapi B
B
B
B
B
berbeda nyata dengan A3B3. B
4.2.3 Kadar Minyak dalam Bungkil Kadar minyak dalam bungkil merupakan parameter untuk mengetahui kandungan minyak yang masih tersisa dalam bungkil atau ampas hasil ekstraksi. Yang disebut bungkil dalam penelitian ini adalah bungkil yang terdiri dari campuran daging dan tempurung biji karet yang telah hancur (Lampiran 9). Dalam penentuan kadar minyak dalam bungkil diasumsikan campuran tersebut terdistribusi secara merata.
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 3b) menunjukkan bahwa faktor lama pemanasan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar minyak sisa di dalam bungkil biji karet yang dihasilkan, sedangkan faktor suhu pemanasan dan interaksi antara perlakuan suhu pemanasan dengan lama pemanasan tidak memberikan pengaruh terhadap kadar minyak sisa di dalam bungkil biji karet yang dihasilkan. Kadar minyak yang masih tersisa di dalam bungkil yang diperoleh dari penelitian ini berkisar antara 9,58-18,73 % dengan
30 nilai rataan sebesar 13,15 %. Kadar minyak yang tertinggi terdapat dalam bungkil dari kombinasi perlakuan pemanasan pada suhu 110
o
C selama 3 jam,
sedangkan yang terendah terdapat dalam bungkil yang diberi perlakuan pemanasan 90 oC selama 1 jam. Keterangan lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah ini.
Kadar minyak dalam bungkil (%)
20 15
1 jam
10
2 jam 3 jam
5 0
Kontrol
70
90
110
Suhu pem anasan (˚C)
Gambar 5 Histogram hubungan suhu pemanasan dengan kadar minyak dalam bungkil. Hasil analisis uji lanjut Duncan (Lampiran 3c) menunjukkan bahwa taraf perlakuan B3 (3 jam) menghasilkan rata-rata nilai kadar minyak sisa di dalam bungkil yang tertinggi dan berbeda nyata dengan taraf perlakuan B1 (1 jam) dan B2 (2 jam). Selain itu, taraf perlakuan B1 (1 jam) juga berbeda nyata dengan taraf B
perlakuan B2 (2 jam). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan lama pemanasan selama 1 jam menghasilkan peningkatan kadar minyak sisa di dalam bungkil yang berarti. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa semakin meningkatnya suhu dan lama pemanasan biji karet diduga akan menyebabkan kandungan air dalam tempurung menjadi semakin berkurang sehingga menyebabkan sebagian minyak terperangkap dalam tempurung biji karet tersebut. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab kadar minyak sisa di dalam bungkil menjadi semakin tinggi seiring dengan meningkatnya suhu dan lama pemanasan biji karet. Menurut Ketaren (1986), banyaknya minyak yang tersisa pada bungkil hasil pengempaan menggunakan pengempa hidrolik berkisar antara 4-6 %. Hasil penelitian menunjukkan nilai kadar minyak dalam bungkil yang lebih besar dari nilai tersebut. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan lama bungkil tersebut ditekan di bawah tekanan hidrolik, tekanan yang digunakan, serta kandungan
31 minyak dari bahan asal yang digunakan. Melihat masih tingginya kadar minyak sisa di dalam bungkil yang dihasilkan dalam penelitian ini memungkinkan untuk dilakukan ekstraksi kembali terhadap bungkil tersebut. Ekstraksi dapat dilakukan dengan menggunakan pengempaan mekanis atau bahkan ekstraksi dengan pelarut. Namun, dalam penelitian ini ekstraksi kembali terhadap bungkil tersebut tidak dilakukan. Menurut Aritonang (1986), bungkil biji karet mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi, dengan kandungan protein kasarnya relatif lebih tinggi daripada dedak padi yaitu antara 20-30 %. Bungkil biji karet dapat digunakan sebagai sumber protein yang baik dalam ransum babi (Stosic & Kaykay 1985 diacu dalam Aritonang 1986), dan dapat digunakan sebagai pakan ternak (Nadarajah 1969). Namun demikian, adanya tempurung dalam bungkil biji karet yang dihasilkan dalam penelitian ini memungkinkan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kegunaan dari bungkil biji karet tersebut. 4.2.4 Warna Zat warna di dalam minyak terdiri dari dua golongan yaitu zat warna yang secara alamiah terdapat dalam bahan yang mengandung minyak dan warna dari hasil dekomposisi zat warna alamiah. Warna ini merupakan kriteria yang akan menentukan mutu minyak yang dihasilkan (Ketaren 1986). Zat warna alami dapat ikut terekstrak bersama minyak pada saat pengempaan. Zat warna alami ini terdiri dari α dan β karoten, xanthofil, klorofil, dan anthosyanin yang masing-masing menyebabkan minyak berwarna kuning, kuning kecoklatan, kehijau-hijauan, dan kemerah-merahan. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 4b) menunjukkan bahwa faktor suhu pemanasan dan lama pemanasan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap warna minyak biji karet yang dihasilkan, sedangkan interaksi keduanya memberikan pengaruh yang nyata terhadap warna minyak biji karet yang dihasilkan. Berdasarkan data hasil pengukuran diperoleh nilai warna minyak berkisar antara 4077-5095 unit PtCo dengan nilai rataan sebesar 4744 unit PtCo. Nilai terendah dihasilkan dari taraf perlakuan pemanasan pada suhu 70 oC selama 1 jam, sedangkan nilai tertinggi dihasilkan dari perlakuan pemanasan pada suhu 110 oC selama 3 jam. Keterangan lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 6.
32
6000
Warna (Unit PtCo)
5000 1 jam
4000
2 jam
3000
3 jam
2000 1000 0 Kontrol
70
90
110
Suhu pem anasan (˚C)
Gambar 6 Histogram hubungan suhu pemanasan dengan warna. Rendahnya nilai warna dari perlakuan pemanasan pada suhu 70 oC selama 1 jam lebih diakibatkan oleh suhu dan lama pemanasan yang digunakan lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya sehingga proses oksidasi minyak yang terjadi tidak terlalu lama. Sedangkan tingginya warna dari perlakuan pemanasan pada suhu 110 oC selama 3 jam, diduga selain disebabkan oleh proses oksidasi terhadap minyak itu sendiri, disebabkan juga oleh beberapa proses
yang
terjadi
pada
saat
pemanasan.
Menurut
Ketaren
(1986),
proses-proses tersebut adalah proses oksidasi terhadap tokoferol, ikut terekstraknya zat-zat warna yang terdapat dalam minyak, dan degradasi komponen-komponen kimia lainnya yang terdapat dalam minyak. Selain itu, proses lainnya yang mungkin terjadi adalah proses browning, yaitu suatu reaksi antara molekul karbohidrat dengan gugus pereduksi seperti aldehida serta gugus amino dari molekul protein dan yang disebabkan oleh aktivitas enzim seperti fenol oksidase, polifenol oksidase, dan sebagainya. Proses-proses di ataslah yang dapat menyebabkan warna minyak menjadi lebih gelap. Dari hasil analisis uji lanjut Duncan (Lampiran 4c) mengenai interaksi antara perlakuan suhu pemanasan dengan lama pemanasan, menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan A3B3 menghasilkan nilai warna tertinggi dan tidak B
berbeda nyata dengan A2B3 dan A2B2, tetapi berbeda nyata dengan A1B3, A3B2, B
B
B
B
A2B1, A3B1, A1B2, dan A1B1. Selanjutnya untuk kombinasi perlakuan A2B2 B
B
B
B
B
menghasilkan nilai warna yang tidak berbeda nyata dengan A1B3, tetapi berbeda B
nyata dengan A3B2, A2B1, A3B1, A1B2, dan A1B1. Sementara itu, A1B3 tidak B
B
B
B
B
B
berbeda nyata dengan A3B2, A2B1, A3B1, tetapi berbeda nyata dengan A1B2 dan B
B
B
A1B1, sedangkan A1B2 dengan A1B1 berbeda nyata. B
B
B
B
33
4.2.5 Bilangan Iod Bilangan iod merupakan karakteristik utama minyak sebagai bahan penyamak kulit. Bilangan iod adalah jumlah (gram) iod yang dapat diserap atau diikat oleh 100 gram minyak atau lemak. Bilangan iod dapat menyatakan derajat ketidakjenuhan dari minyak atau lemak. Semakin tinggi bilangan iod maka ikatan rangkap yang terdapat dalam minyak tersebut semakin banyak. Ikatan rangkap ini mempunyai kemampuan untuk mengabsorpsi sejumlah iod terutama jika ditambahkan carier seperti ICl2 atau IBr2 yang kemudian membentuk asam lemak jenuh. Bilangan iod yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 139,62-145,74 dengan rataan sebesar 143,40. Nilai terendah dihasilkan dari perlakuan pemanasan pada suhu 110 oC selama 3 jam, sedangkan nilai tertinggi dihasilkan dari perlakuan pemanasan pada suhu 70
o
C selama 1 jam.
Bilangan iod
Keterangan lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 7 di bawah ini. 146 145 144 143 142 141 140 139 138 137 136
1 jam 2 jam 3 jam
Kontrol
70
90
110
Suhu pem anasan (˚C)
Gambar 7 Histogram hubungan suhu pemanasan dengan bilangan iod. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 5b) menunjukkan bahwa faktor suhu pemanasan dan interaksi antara suhu pemanasan dengan lama pemanasan memberikan pengaruh yang nyata terhadap bilangan iod minyak biji karet yang dihasilkan, sedangkan faktor lama pemanasan tidak memberikan pengaruh terhadap bilangan iod minyak biji karet yang dihasilkan. Hasil analisis uji lanjut Duncan (Lampiran 5c) mengenai interaksi antara perlakuan suhu pemanasan dengan lama pemanasan terhadap bilangan iod minyak biji karet, menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan A1B1 menghasilkan B
bilangan iod tertinggi, sedangkan kombinasi perlakuan A3B3 menghasilkan B
bilangan iod terendah. A1B1 tidak berbeda nyata dengan A1B3, A1B2, A3B2, dan B
B
B
B
34
A3B1, tetapi berbeda nyata dengan A2B3, A2B2, A2B1, dan A3B3. Selanjutnya untuk B
B
B
B
B
kombinasi perlakuan A1B2 menghasilkan bilangan iod yang tidak berbeda nyata B
dengan A3B2, A3B1, A2B3, dan A2B2, tetapi berbeda nyata dengan A2B1 dan A3B3. B
B
B
B
B
B
Sementara itu, A3B1 tidak berbeda nyata dengan A2B3, A2B2, dan A2B1, tetapi B
B
B
B
berbeda nyata dengan A3B3, sedangkan A2B1 dengan A3B3 tidak berbeda nyata. B
B
B
Tingginya bilangan iod pada kombinasi perlakuan pemanasan pada suhu 70 oC selama 1 jam diduga disebabkan karena terjadinya reaksi-reaksi yang dapat menyebabkan putusnya ikatan rangkap pada asam lemak seperti reaksi oksidasi, hidrolisis, maupun polimerisasi tidak terlalu besar. Sedangkan rendahnya bilangan iod pada kombinasi perlakuan pemanasan pada suhu 110
o
C selama 3 jam diduga akibat terjadinya proses oksidasi pada saat
pemanasan sehingga menimbulkan terikatnya oksigen pada ikatan rangkap asam lemak tidak jenuh. Proses tersebut mengakibatkan ketidakjenuhan minyak berkurang karena ikatan rangkap pada asam lemak menjadi ikatan tunggal sehingga nilai bilangan iodnya semakin berkurang. Semakin tinggi pemanasan yang diberikan maka semakin banyak minyak yang teroksidasi. Proses oksidasi berlangsung karena terjadinya kontak antara oksigen dengan minyak, baik minyak yang masih terikat dalam jaringan biji maupun yang telah terpisahkan. Proses oksidasi merupakan proses utama yang berperan dalam menurunkan ketidakjenuhan minyak. Proses ini dapat dipercepat oleh suhu yang tinggi, adanya senyawa peroksida (termasuk minyak yang teroksidasi), enzim lipoksidase, katalis logam, dan katalis Fe-organik (Lea 1962). Untuk setiap penambahan suhu 10 oC, kecepatan reaksi oksidasi diperkirakan akan bertambah dua kali (Djatmiko & Widjaja 1985). Pemanasan biji karet akan menyebabkan juga pemanasan komponen minyak yang terdapat dalam biji tersebut. Dengan semakin tingginya suhu dan lamanya pemanasan maka energi panas yang diterima oleh biji maupun oleh komponen minyak dalam biji akan semakin besar. Keadaan ini akan mendorong terjadinya reaksi-reaksi kimia pada komponen minyak sehingga mengakibatkan terjadinya beberapa perubahan pada komponen minyak tersebut. Perkin (1967) diacu dalam Djatmiko dan Enie (1985), mengemukakan bahwa pemanasan minyak pada suhu tinggi dengan adanya oksigen akan mengakibatkan rusaknya asam-asam lemak tidak jenuh yang terdapat dalam minyak. Salah satu indikator kerusakan minyak akibat pemanasan adalah terjadinya penurunan bilangan iod.
35 4.2.6 Bilangan Asam Bilangan asam merupakan salah satu parameter yang menentukan kualitas suatu minyak. Pengukuran bilangan asam ini menunjukkan seberapa banyak jumlah asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak akibat proses hidrolisis. Semakin tinggi nilai bilangan asam suatu minyak, maka akan semakin tinggi pula tingkat kerusakannya karena jumlah molekul trigliserida yang terhidrolisisnya pun lebih banyak. Dengan demikian, kualitas dari minyak tersebut akan semakin rendah. Proses hidrolisis merupakan kebalikan dari sintesis trigliserida. Pada reaksi hidrolisis, selain dihasilkan asam lemak bebas juga dihasilkan molekul gliserol (Gambar 2). Pembentukan asam lemak bebas pada minyak dapat terjadi karena proses pengolahan (penyiapan bahan). Menurut Ketaren (1986), proses hidrolisis dapat berlangsung pada waktu minyak masih berada dalam jaringan biji yang telah dipanen, selama pengolahan, dan penyimpanan. Ketaren juga menyatakan bahwa lemak hewan dan nabati yang masih berada dalam jaringan, biasanya mengandung enzim yang dapat menghidrolisis lemak. Dari data hasil analisis diperoleh bilangan asam yang berkisar antara 1,61-2,08 dengan rataan sebesar 1,83. Nilai bilangan asam tertinggi dihasilkan dari kombinasi perlakuan pemanasan pada suhu 70 oC selama 1 jam, sedangkan nilai bilangan asam terendah dihasilkan dari kombinasi perlakuan pemanasan pada suhu 110 oC selama 3 jam. Keterangan lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 8 di bawah ini.
3
Bilangan asam
2.5 1 jam
2
2 jam
1.5
3 jam 1 0.5 0 Kontrol
70
90
110
Suhu pem anasan (˚C)
Gambar 8 Histogram hubungan suhu pemanasan dengan bilangan asam.
36 Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6b) menunjukkan bahwa faktor suhu pemanasan memberikan pengaruh yang nyata terhadap bilangan asam minyak biji karet yang dihasilkan, sedangkan faktor lama pemanasan dan interaksi antara suhu pemanasan dengan lama pemanasan tidak memberikan pengaruh terhadap bilangan asam minyak biji karet yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 6c) mengenai pengaruh suhu pemanasan terhadap bilangan asam minyak biji karet yang dihasilkan, menunjukkan bahwa taraf perlakuan A1 (70 oC ) memiliki rata-rata bilangan asam yang tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan taraf perlakuan A2 (90 oC), tetapi berbeda nyata dengan taraf perlakuan A3 (110 oC), sedangkan taraf perlakuan A2 (90 oC) menghasilkan bilangan asam yang tidak berbeda nyata dengan A3 (110 oC). Lebih tingginya bilangan asam yang dihasilkan dari taraf perlakuan suhu pemanasan 70 oC diduga disebabkan karena kadar air biji yang dipanaskan pada suhu 70 oC lebih besar daripada kadar air biji yang diberi perlakuan pemanasan pada suhu 90 oC dan 100 oC. Menurut Swern (1982), biji yang mempunyai kadar air tinggi akan menghasilkan minyak yang mempunyai kadar air yang tinggi juga dan akan mudah terhidrolisis. Selain itu, diduga disebabkan juga oleh masih tingginya aktivitas enzim dan mikroorganisme yang mengkatalis proses hidrolisis minyak. Semua enzim yang termasuk golongan lipase mampu menghidrolisis lemak, namun enzim tersebut inaktif oleh panas. Meskipun demikian, diduga pemanasan pada suhu 70 oC masih belum dapat meng-inaktifkan enzim tersebut sehingga proses hidrolisisnya berjalan lebih cepat. Sementara itu, rendahnya bilangan asam yang dihasilkan dari taraf perlakuan pemanasan pada suhu 110 oC, diduga disebabkan oleh rendahnya aktivitas enzim lipase dengan adanya pemanasan, sehingga kemampuan enzim tersebut untuk menguraikan trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol menjadi rendah. Selain itu, mungkin juga disebabkan oleh semakin kecilnya air yang tersuspensi dengan minyak sehingga proses hidrolisis berjalan lebih lambat. 4.2.7 Persen FFA Pengukuran asam lemak bebas (Free Fatty Acid) bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan hidrolitik di dalam minyak. Biasanya kadar asam lemak bebas ini dinyatakan sebagai bilangan asam, derajat asam, atau kadar asam. Bilangan asam dinyatakan sebagai jumlah miligram KOH 0,1 N yang digunakan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam 1 gram
37 minyak atau lemak, sedangkan derajat asam adalah banyaknya mililiter larutan KOH 0,1 N yang dibutuhkan untuk menetralkan 100 gram minyak atau lemak. Dalam penelitian ini, kadar asam-asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak dinyatakan dalam persen yang diperoleh dari hasil konversi bilangan asam yang dibagi dengan faktor konversi untuk asam lemak linoleat, yaitu sebesar 2,01 (Sudarmadji et al. 1989). Hal ini disebabkan karena asam lemak bebas yang paling besar terdapat dalam minyak biji karet adalah asam linoleat. Oleh karena FFA merupakan hasil konversi dari bilangan asam, maka hasil analisis sidik ragam dan hasil uji lanjut Duncan yang diperoleh akan memberikan pengaruh yang sama terhadap persen FFA yang dihasilkan seperti halnya hasil analisis sidik ragam dan hasil uji lanjut Duncan untuk bilangan asam. Persen FFA yang diperoleh dari penelitian ini berkisar antara 0,80-1,04 % dengan nilai rataan sebesar 0,91 %. Nilai tertinggi dihasilkan dari kombinasi perlakuan pemanasan pada suhu 70 oC selama 1 jam, sedangkan yang terendah dihasilkan dari kombinasi pemanasan pada suhu 110 oC selama 3 jam. Keterangan lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 9 di bawah ini.
1.4 1.2
FFA (%)
1 1 jam
0.8
2 jam
0.6
3 jam
0.4 0.2 0 Kontrol
70
90
110
Suhu pem anasan (˚C)
Gambar 9 Histogram hubungan suhu pemanasan dengan persen FFA. 4.3 Karakterisasi Minyak Biji Karet dan Minyak Ikan Dilihat dari rendemen dan bilangan iod tertinggi, maka kombinasi perlakuan yang menghasilkan minyak biji karet yang paling optimal untuk penyamakan kulit yaitu pemanasan biji karet pada suhu 70 oC selama 1 jam. Minyak biji karet tersebut dikarakterisasi sifat fisiko-kimia dan gugus fungsional yang terkandung di dalamnya. Selain itu, dilakukan juga karakterisasi yang sama terhadap minyak
38
ikan sebagai pembanding. Hasil karakterisasinya dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8. Tabel 7 Sifat fisiko-kimia minyak biji karet dan minyak ikan Parameter Berat Jenis Viskositas (centipoise)
Minyak Biji Karet Kontrol 0,919
Optimal 0,924
Minyak Ikan 0,922
60
160
120
Warna (Unit PtCo)
4895
4077
6106
Bilangan Asam
2,56
2,08
0,19
Persen FFA
1,27
1,03
0,09
Bilangan Iod
141,74
145,74
147,72
Bilangan Penyabunan
190,10
184,58
168,20
Bilangan Peroksida
51,80
30,46
13,97
Tabel 8 Gugus fungsional minyak biji karet dan minyak ikan Minyak Biji Karet Gugus Fungsional COOH
Kontrol Peaks (cm-1) 2904,55
Optimal Peaks (cm-1) 2912,82
Minyak Ikan Peaks (cm-1) 2910,20
COOR
1161,81
1163,80
1152,00
–CH=CH–
722,75
722,73
720,89
OH
3471,95
3471,97
3472,33
C–H
2852,21
2855,41
2854,27
Dari Tabel 7, dapat dilihat bahwa minyak biji karet kontrol memiliki nilai viskositas yang lebih rendah dibandingkan dengan minyak biji karet yang optimal untuk penyamakan kulit. Hal ini diduga disebabkan oleh sebagian besar asam lemak yang ikut terekstrak bersama minyak biji karet kontrol pada saat ekstraksi adalah asam lemak yang berantai pendek, sedangkan pada minyak biji karet yang optimal untuk penyamakan adalah sebagian besar asam lemak yang berantai panjang. Asam lemak yang berantai panjang ini memiliki bobot molekul yang lebih besar daripada asam lemak yang berantai pendek sehingga akan menghasilkan viskositas yang lebih besar. Pada Tabel 7 juga dapat dilihat bahwa bilangan iod minyak biji karet yang optimal untuk penyamakan kulit tidak terlalu berbeda jauh dengan bilangan iod
39 minyak ikan. Bilangan iod ini merupakan karakteristik utama minyak sebagai bahan penyamak kulit. Dengan demikian, minyak biji karet yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan pemanasan biji karet pada suhu 70 oC selama 1 jam berpotensi untuk digunakan sebagai bahan penyamak kulit. Selain itu, diperkuat juga oleh alasan bahwa di dalam minyak biji karet yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan pemanasan biji karet pada suhu 70 oC selama 1 jam memiliki gugus fungsional yang sama dengan minyak ikan (Tabel 8). Pada Tabel 8 juga menunjukkan bahwa adanya pemanasan biji karet tidak menyebabkan perbedaan gugus fungsional yang terdapat dalam minyak biji karet.
40
BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan 1.
Melihat rendemen dan bilangan iod tertinggi, maka kombinasi perlakuan pemanasan biji karet dengan jenis klon GT yang menghasilkan minyak biji karet yang paling optimal untuk penyamakan kulit adalah kombinasi perlakuan pemanasan pada suhu 70 oC selama 1 jam.
2.
Sifat fisiko-kimia minyak biji karet yang paling optimal untuk penyamakan kulit yaitu memiliki rendemen 20,52 %, kadar minyak dalam bungkil 9,84 %, warna 4077 unit PtCo, berat jenis 0,924, viskositas 160 centipoise, bilangan iod 145,74, bilangan asam 2,08, persen FFA 1,04, bilangan penyabunan 184,58, bilangan peroksida 30,46, dan gugus fungsional yang terdiri dari COOH, COOR, –CH=CH–, OH, dan C–H. Sedangkan sifat fisiko-kimia minyak ikan yaitu memiliki nilai warna 6106 unit PtCo, berat jenis 0,922, viskositas 120 centipoise, bilangan iod 147,72, bilangan asam 0,19, persen FFA 0,09, bilangan penyabunan 168,20, bilangan peroksida 13,97, dan gugus fungsional yang terdiri dari COOH, COOR, –CH=CH–, OH, dan C–H.
3.
Nilai bilangan iod minyak biji karet hampir sama dengan minyak ikan dan gugus fungsional yang dimiliki oleh kedua minyak tersebut adalah sama. Dengan demikian, minyak biji karet yang dihasilkan dalam penelitian ini berpotensi untuk digunakan sebagai bahan penyamak kulit.
5.2 Saran 1. Perlu
dilakukan
penelitian
mengenai
aplikasi
penyamakan
kulit
menggunakan minyak biji karet yang dihasilkan dalam penelitian. 2. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan bungkil biji karet yang dihasilkan dalam penelitian ini, mengingat di dalam bungkil tersebut tidak hanya terdiri dari daging biji melainkan terdiri dari daging biji dan tempurung biji karet. Oleh karena itu, adanya tempurung biji karet memungkinkan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.
41
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 1984. Minyak biji karet. Warta Perkaretan 6 (5): 12. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1970. Official Methods of Analysis. Washington DC: AOAC. . 1984. Official Methods of Analysis. Washington DC: AOAC. . 1995. Official Methods of Analysis. Washington DC: AOAC. [AOCS] The American Oil Chemist Society. 1951. Official and Tentative Methods of The American Oil Chemist Society 2nd ed. Chicago: AOCS. Aritonang. 1986. Kemungkinan pemanfaatan biji karet dalam ramuan makanan ternak. Jurnal Litbang Pertanian 5 (3): 73. Bailey AE. 1950. Industrial Oil and Fat Products. New York: Interscholastic Publishers, Inc. Burkill I.H. 1935. A Dictionary f The Economic Products of The Malay Peninsula. Volume I (A-H). London: The Crown Agents for the Colonies. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1990. Standar Nasional Indonesia: Kulit Samoa (chamois). SNI 06-1752-1990. Jakarta: BSN. Covington AD, Evans CS, Lilley TH, Suparno O. 2005. Collagen and polyphenols: new relationships and new outcomes. Part 2. Phenolic reactions for simultaneous tanning and coloring. Journal of the American Leather Chemists Association 100 (9): 336-343. Dewhurst J. 2004. Oil tan buff leather-man’s first leather?. Journal of the Society of Leather Technologists and Chemists 88 (6): 260-262. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006. Luas areal dan produksi perkebunan rakyat di Indonesia 1995-2003. Diperoleh dari www.deptan.go.id. html [20 Maret 2006]. Fahidin. 1977. Pengelolaan hasil ternak unit pengolahan ternak. Di dalam: Nugraha G. 1999. Pemanfaatan tanin dari kulit kayu akasia (Acacia mangium Wild) sebagai bahan penyamak nabati [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Fessenden J, Fessenden S. 1994. Kimia Organik. Jakarta: Erlangga. Hardjosuwito B, Hoesnan A. 1976. Minyak biji karet, analisis dan kemungkinan penggunaannya. Menara Perkebunan 44 (55): 255. John G. 1996. Possible deffects in leather production. Hemsbach: Druck Partner Rubelmann GmbH.
42 Judoamidjojo RM. 1974. Dasar teknologi dan kimia kulit. Di dalam: Pitoyo. 1997. Pengaruh metoda penyamakan dan lama waktu pengapuran terhadap mutu kulit samak ikan cucut (Carcharhinus limbatus) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. . 1974. Dasar teknologi dan kimia kulit. Di dalam: Nugraha G. 1999. Pemanfaatan tanin dari kulit kayu akasia (Acacia mangium Wild) sebagai bahan penyamak nabati [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. . 1981. Teknik Penyamakan Kulit untuk Pedesaan. Bandung: Penerbit Angkasa. Kerleskind A. 1996. Oils and Fats Manual. Volume I. Paris: Lavoisier TEC dan DOC. Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Ed ke-1. Jakarta: UI-Press. Krishnan SH, Sundar VJ, Rangasamy T, Muralidharan C, Sadulla S. 2005a. Studies on chamois leather-tanning using plant oil. Journal of te Society of Leather Technologists and Chemists 89: 260-262. Krishnan SH, Sundar VJ, Vedaraman N, Babu VH, Muralidharan C, Sadulla S. 2005b. Studies on chamois tanning-an investigation using modified fish oil. Journal of the American Leather Chemists Association 100 (2): 61-65. Lea CH. 1962. The Oxidative Deterioration of Food Lipids. Di dalam: Symposium on Foods. Lipid and Their Oxidation. Connecticut: The AVI Publ. Co. Inc. Westport. Nadarajapillat N, Wijewantha RT. 1967. Productivity potential of rubber seed. RRIC Bulletin 2: 8-16. Nadaradjah M. 1969. The collection and utilisation of rubber seed in ceylon. RRIC Bulletin 4: 33. Perkins GE.1967. Formation of non volatile decomposition products in heated fats and oils. Di dalam: Djatmiko B. dan AB Enie. 1985. Proses Penggorengan dan pengaruhnya terhadap sifat Fisiko-Kimia Minyak dan Lemak. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Fateta-IPB. Purnomo E. 1991. Penyamakan Kulit Reptil. Yogyakarta: Kanisius. Setyamidjaja D. 1993. Karet: Budidaya dan Pengolahan. Yogyakarta: Kanisius. Sharphouse JH. 1981. Chamois leather and oil tannages: gloving, clothing, and special leathers. Tropical Products Institute, Desember 1981. . 1985. Theory and practice of modern chamois leather production. Journal of the Society of Leather Technologists and Chemists 69 (2): 29-43.
43 . 1995. Leather Technician’s Handbook. Northampton: Leather Producer’s Association. Silam. 1998. Ekstraksi minyak biji karet (Hevea brasiliensis) dengan alat pengempa berulir (expeller) dan karakteristik mutu minyaknya [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Stosic DD, JM. Kaykay. 1981. Rubber seeds as animal feed in Liberia. Di dalam: D. Aritonang. 1986. Kemungkinan pemanfaatan biji karet dalam ramuan makanan ternak. Jurnal Litbang Pertanian 5 (3): 73. Sudarmadji S, B. Haryono, Suhardi. 1989. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty. Suparno O, Covington AD, Evans CS. 2005. Kraft lignin degradation products for tanning and dyeing of leather. Journal of Chemical Technology and Biotechnology 80 (1): 44-49. Suparno O. 2006. Potensi pemanfaatan biji karet di Indonesia [karya ilmiah]. Tidak dipublikasikan. Swern D. 1982. Bailey’s Industrial Oil and fat Products. Volume 2. New York: John Wiley and Son. Tim Penulis Penebar Swadaya. 1998. Karet: Strategi Pemasaran Tahun 2000, Budidaya dan Pengolahan. Cetakan ke-5. Jakarta: Penebar Swadaya. Wachsmann HM. 1999. Chamois leather-traditional and today. World Leather, Oktober 1999. Zuhra CH. 2006. Karet. Diperoleh dari www.google.co.id. html [20 Januari 2008]
44
LAMPIRAN
45
Keterangan: Kontrol : Tanpa pemanasan A1
: Suhu Pemanasan 70 °C
A2
: Suhu Pemanasan 90 °C
A3
: Suhu Pemanasan 110 °C
B1
: Lama Pemanasan 1 jam
B2
: Lama Pemanasan 2 jam
B3
: Lama Pemanasan 3 jam
B
B
B
46
Lampiran 1 Hasil analisis kadar air biji karet setelah pengeringan Lampiran 1a Rekapitulasi data kadar air biji karet Ulangan
Kombinasi Perlakuan
1
2
Kontrol
9,03
9,09
9,06
A1B1
5,92
5,79
5,86
A1B2
4,82
4,58
4,70
A1B3
4,19
3,88
4,04
A2B1
4,36
4,45
4,41
A2B2
3,10
2,95
3,03
A2B3
2,09
1,91
2,00
A3B1
2,81
2,98
2,90
A3B2
0,89
0,97
0,93
A3B3
0,27
0,28
0,28
B
B
B
B
B
B
B
B
B
Rata-rata (%)
Lampiran 1b Analisa sidik ragam kadar air biji karet Sumber Keragaman A
JK
KT
F Hitung
2
36,6832
18,3416
561,86 **
9,55
30,82
Galat (a)
3
0,0979
0,0326
B
2
16,1340
8,0670 1323,67 **
5,14
10,93
AB
4
0,5209
0,1302
4,53
9,15
Galat (b)
6
0,0366
0,0061
Total
17
53,4726
Keterangan: ** = berbeda sangat nyata
F Tabel α=0,05 α=0,01
db
21,37 **
47 Lampiran 1c
Pengaruh interaksi antara suhu pemanasan dengan lama pemanasan terhadap kadar air biji karet berdasarkan uji wilayah berganda Duncan
Kombinasi Perlakuan A1B1
Kadar Air Rata-rata (%)
Uji Wilayah Berganda Duncan α=0,05
5,855
A
A1B2
4,700
B
A2B1
4,405
C
A1B3
4,035
D
A2B2
3,025
E
A3B1
2,895
E
A2B3
2,000
F
A3B2
0,930
G
A3B3
0,275
H
B
B
B
B
B
B
B
B
B
Keterangan: huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
48
Lampiran 2 Hasil analisis rendemen minyak biji karet Lampiran 2a Rekapitulasi data rendemen minyak biji karet Ulangan
Kombinasi Perlakuan
Rata-rata (%)
Kontrol
1 18,39
2 17,75
A1B1
20,11
20,93
20,52
A1B2
19,74
20,48
20,11
A1B3
16,26
16,28
16,27
A2B1
19,16
19,15
19,16
A2B2
15,71
14,90
15,31
A2B3
12,18
10,05
11,12
A3B1
19,40
19,24
19,32
A3B2
9,43
12,38
10,91
A3B3
8,43
7,99
8,21
B
B
B
B
B
B
B
B
B
18,07
Lampiran 2b Analisa sidik ragam rendemen minyak biji karet Sumber Keragaman A
JK
KT
2
115,5981
57,7991
Galat (a)
3
2,7869
0,9290
B
2
182,9425
91,4713
112,45 **
5,14
10,93
AB
4
38,0600
9,5150
11,70 **
4,53
9,15
Galat (b)
6
4,8807
0,8135
Total
17
344,2682
Keterangan: ** = berbeda sangat nyata
F Tabel α=0,05 α=0,01 62,22 ** 9,55 30,82
db
F Hitung
49 Lampiran 2c
Pengaruh interaksi antara suhu pemanasan dengan lama pemanasan terhadap rendemen minyak biji karet berdasarkan uji wilayah berganda Duncan
Kombinasi Perlakuan A1B1
Rendemen Rata-rata (%) 20,520
Uji Wilayah Berganda Duncan α=0,05 A
A1B2
20,110
A
A3B1
19,320
A
A2B1
19,155
A
A1B3
16,270
B
A2B2
15,305
B
A2B3
11,115
C
A3B2
10,905
C
A3B3
8,210
D
B
B
B
B
B
B
B
B
B
Keterangan: huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
50
Lampiran 3 Hasil analisis kadar minyak dalam bungkil Lampiran 3a Rekapitulasi data kadar minyak dalam bungkil Ulangan
Kombinasi Perlakuan
Rata-rata (%)
Kontrol
1 15,33
2 11,96
A1B1
9,45
10,22
9,84
A1B2
9,81
12,30
11,06
A1B3
11,29
12,84
12,07
A2B1
10,06
9,10
9,58
A2B2
15,66
11,06
13,36
A2B3
16,52
13,52
15,02
A3B1
12,61
13,87
13,24
A3B2
16,98
13,89
15,42
A3B3
17,85
19,61
18,73
B
B
B
B
B
B
B
B
B
13,65
Lampiran 3b Analisa sidik ragam kadar minyak dalam bungkil biji karet Sumber Keragaman A
db
JK
KT
F Hitung
2
71,7912
35,8956
6,70
Galat (a)
3
16,0691
5,3564
B
2
57,8966
28,9483
AB
4
8,7261
2,1815
Galat (b)
6
11,1861
1,8644
Total
17
165,6692
F Tabel α=0,05 α=0,01
15,53 ** 1,17
9,55
30,82
5,14
10,93
4,53
9,15
Keterangan: ** = berbeda sangat nyata
Lampiran 3c
Pengaruh lama pemanasan terhadap kadar minyak dalam bungkil biji karet berdasarkan uji wilayah berganda Duncan
Lama Pemanasan (jam)
Kadar Minyak Rata-rata (%)
Uji Wilayah Berganda Duncan α=0,05
1
10,8850
C
2
13,2833
B
3
15,2717
A
Keterangan: huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
51
Lampiran 4 Hasil analisis warna minyak biji karet Lampiran 4a Rekapitulasi data warna minyak biji karet Ulangan
Kombinasi Perlakuan
1
2
Kontrol
4870
4920
4895
A1B1
4155
3998
4077
A1B2
4494
4329
4412
A1B3
4817
4855
4836
A2B1
4725
4777
4751
A2B2
4987
4958
4973
A2B3
5079
5015
5047
A3B1
4814
4630
4722
A3B2
4775
4783
4779
A3B3
5108
5081
5095
B
B
B
B
B
B
B
B
B
Rata-rata (%)
Lampiran 4b Analisa sidik ragam warna minyak biji karet Sumber db Keragaman A 2
JK
831044,3 415522,2
Galat (a)
3
B
2
684217,0 342108,5
AB
4
151142,7
37785,7
Galat (b)
6
27213,0
4535,5
Total
17
1714208,0
20591,0
Keterangan: * = berbeda nyata ** =berbeda sangat nyata
KT
F Hitung
F Tabel α=0,05 α=0,01
60,54 **
9,55
30,82
75,43 **
5,14
10,93
8,33 *
4,53
9,15
6863,7
52 Lampiran 4c
Pengaruh interaksi antara suhu pemanasan dengan lama pemanasan terhadap warna minyak biji karet berdasarkan uji wilayah berganda Duncan
Kombinasi Perlakuan A3B3
Warna Rata-rata (%)
Uji Wilayah Berganda Duncan α=0,05
5094,50
A
A2B3
5047,00
A
A2B2
4972,50
AB
A1B3
4836,00
BC
A3B2
4779,00
C
A2B1
4751,00
C
A3B1
4722,00
C
A1B2
4411,50
D
A1B1
4076,50
E
B
B
B
B
B
B
B
B
B
Keterangan: huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
53
Lampiran 5 Hasil analisis bilangan iod minyak biji karet Lampiran 5a Rekapitulasi data bilangan iod minyak biji karet Ulangan
Kombinasi Perlakuan
1
2
Kontrol
141,06
142,41
141,74
A1B1
145,17
146,30
145,74
A1B2
144,66
145,05
144,86
A1B3
144,92
146,19
145,56
A2B1
140,08
142,89
141,49
A2B2
141,94
143,20
142,57
A2B3
142,41
143,02
142,72
A3B1
144,26
142,30
143,28
A3B2
143,90
145,57
144,74
A3B3
138,86
140,38
139,62
B
B
B
B
B
B
B
B
B
Rata-rata (%)
Lampiran 5b Analisa sidik ragam bilangan iod minyak biji karet Sumber Keragaman A
db
JK
KT
2
35,7909
17,8954
Galat (a)
3
3,9494
1,3165
B
2
6,1779
AB
4
Galat (b) Total
F Tabel α=0,05 α=0,01
13,59 *
9,55
30,82
3,0890
2,66
5,14
10,93
24,2780
6,0695
5,22 *
4,53
9,15
6
6,9699
1,1616
17
77,1660
Keterangan: * = berbeda nyata
F Hitung
54 Lampiran 5c
Pengaruh interaksi antara suhu pemanasan dengan lama pemanasan terhadap bilangan iod minyak biji karet berdasarkan uji wilayah berganda Duncan
Kombinasi Perlakuan A1B1
Bilangan Iod Rata-rata (%)
Uji Wilayah Berganda Duncan α=0,05
145,735
A
A1B3
145,555
A
A1B2
144,855
AB
A3B2
144,735
AB
A3B1
143,280
ABC
A2B3
142,715
BC
A2B2
142,570
BC
A2B1
141,485
CD
A3B3
139,620
D
B
B
B
B
B
B
B
B
B
Keterangan: huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
55
Lampiran 6 Hasil analisis bilangan asam minyak biji karet Lampiran 6a Rekapitulasi data bilangan asam minyak biji karet Ulangan
Kombinasi Perlakuan
1
2
Kontrol
2,56
2,56
2,56
A1B1
1,92
2,24
2,08
A1B2
2,00
2,06
2,03
A1B3
1,77
1,90
1,84
A2B1
2,17
1,76
1,97
A2B2
1,61
1,64
1,63
A2B3
1,77
2,16
1,97
A3B1
1,69
1,61
1,65
A3B2
1,85
1,61
1,73
A3B3
1,52
1,69
1,61
B
B
B
B
B
B
B
B
B
Rata-rata (%)
Lampiran 6b Analisa sidik ragam bilangan asam minyak biji karet Sumber Keragaman A
db
JK
KT
F Hitung
2
0,310800 0,155400
Galat (a)
3
0,047117 0,015706
B
2
AB
F Tabel α=0,05 α=0,01
9,89 *
9,55
30,82
0,040133 0,020067
0,54
5,14
10,93
4
0,197067 0,049267
1,34
4,53
9,15
Galat (b)
6
0,221333 0,036889
Total
17
0,816450
Keterangan: * = berbeda nyata
Lampiran 6c
Pengaruh suhu pemanasan terhadap bilangan asam minyak biji karet berdasarkan uji wilayah berganda Duncan
Suhu Pemanasan (°C)
Bilangan Asam Rata-rata (%)
Uji Wilayah Berganda Duncan α=0,05
70
1,98167
A
90
1,85167
AB
110
1,66167
B
Keterangan: huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
56
Lampiran 7 Hasil analisis persen FFA minyak biji karet Lampiran 7a Rekapitulasi data persen FFA minyak biji karet Ulangan
Kombinasi Perlakuan
1
2
Kontrol
1,27
1,27
1,27
A1B1
0,96
1,11
1,04
A1B2
1,00
1,02
1,01
A1B3
0,88
0,95
0,92
A2B1
1,08
0,88
0,98
A2B2
0,80
0,82
0,81
A2B3
0,88
1,07
0,98
A3B1
0,84
0,80
0,82
A3B2
0,92
0,80
0,86
A3B3
0,76
0,84
0,80
B
B
B
B
B
B
B
B
B
Rata-rata (%)
Lampiran 7b Analisa sidik ragam persen FFA minyak biji karet Sumber Keragaman A
db
JK
KT
F Hitung
2
0,077700 0,038850
Galat (a)
3
0,010683 0,003561
B
2
AB
F Tabel α=0,05 α=0,01
10,91 *
9,55
30,82
0,010033 0,005017
0,57
5,14
10,93
4
0,047167 0,011792
1,34
4,53
9,15
Galat (b)
6
0,052667 0,008778
Total
17
0,198250
Keterangan: * = berbeda nyata
Lampiran 7c
Pengaruh suhu pemanasan terhadap persen FFA minyak biji karet berdasarkan uji wilayah berganda Duncan
Suhu Pemanasan (°C)
Persen FFA Rata-rata (%)
Uji Wilayah Berganda Duncan α=0,05
70
0,98667
A
90
0,92167
AB
110
0,82667
B
Keterangan: huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
57 Lampiran 8 Foto peralatan penelitian
Penggiling biji
Pengempa hidrolik
Otoklaf
DR 2000
Oven
Spektrofotometer FTIR
58 Lampiran 9 Foto hasil penelitian
Biji karet
Minyak ikan (kiri) dan minyak biji karet (kanan)
Biji hasil penggilingan
Bungkil biji karet