837
Nilai nutrisi limbah fillet ikan nila sebagai ... (Sukarman)
NIL AI NUTRISI LIMBAH FILLET IKAN NIL A SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN IKAN Sukarman, Siti Subandiyah, Asep Permana, dan I Wayan Subamia Balai Riset Budidaya Ikan Hias Jl. Perikanan No. 13, Pancoran Mas, Depok 16436 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Bahan baku sumber protein alternatif pengganti tepung ikan sampai saat ini masih terus dicari. Di sisi lain, saat ini juga berkembang industri pengolahan hasil perikanan yang salah satunya menghasilkan limbah fillet ikan nila. Tujuan studi ini adalah mengetahui nilai nutrisi limbah fillet ikan nila sebagai bahan baku pakan ikan. Limbah fillet ikan nila yang telah berbentuk tepung dianalisis proksimatnnya berdasarkan metode dari AOAC, dan asam amino dianalisis menggunakan HPLC. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa kandungan protein, lemak, abu, ca, dan fosfor total dari limbah fillet ikan nila berturut-turut adalah 53,3% ; 11,2% ; 24,4% ; 5% ; 3,5%. Kandungan asam amino lisin, metionin, arginin, threonin, dan tryptopan limbah fillet ikan nila berturut-turut adalah 3,68% ;1,38% ; 3,25%, 1,91% ; dan 0,37%. Nilai kecernaan pepsin (pepsin digestability) limbah industri fillet adalah 85%, setara dengan tepung ikan lokal namun masih lebih rendah dibandingkan tepung ikan impor. Total volatile nitrogen (TVN) pada limbah fiilet ikan nila berkisar antara 150-200 mg/100 g, lebih tinggi dibandingkan dengan tepung ikan lokal (150 mg/kg), dan tepung ikan peru (120 mg/kg). Secara keseluruhan limbah fillet ikan nila layak digunakan sebagai bahan baku alternatif untuk mensubtitusi tepung ikan. KATA KUNCI:
limbah, fillet, nila, nutrisi
PENDAHULUAN Tepung ikan merupakan sumber protein pilihan pertama yang digunakan dalam pakan ikan (Aberoumand, 2010) karena (1) kandungan proteinnya tinggi dan (2) profil asam aminonya sesuai untuk ikan-ikan jenis carnivora (Hardy, 2008). Namun demikian saat ini produksi ikan budidaya makin meningkat dan jumlah tepung ikan di dunia semakin menurun. Selaras dengan hal tersebut kebutuhan tepung ikan juga semakin meningkat, sehingga harganya semakin mahal terlebih hasil tangkapan laut tetap bersaing dengan sektor industri pangan. Beberapa bahan baku yang merupakan limbah industri pertanian dan peternakan seperti bungkil kedelai, gluten jagung, serta tepung daging dan tulang saat ini juga banyak digunakan, tetapi jumlahnya tidak banyak karena bersaing dengan pakan ternak. Kondisi tersebut di atas menyebabkan pengganti tepung ikan masih terus dicari. Sektor budidaya dan pengolahan hasil perikanan seperti industri flilet ikan untuk ekspor juga terus berkembang. Salah satu jenis ikan konsumsi produksi dalam negeri yang di-fillet adalah ikan nila (Oreochromis niloticus). Industri fillet ikan menyisakan kepala, sedikit daging, sirip, dan ekor, saluran pencernaan, beserta isinya. Sebagian masyarakat memanfaatkan limbah ini untuk dikonsumsi, namun kesadaran tentang gizi serta meningkatnya kemampuan masyarakat untuk membeli bahan pangan yang lebih layak telah mengurangi penggunan limbah industri fillet untuk pangan. Sebagian besar dari limbah industri fillet ikan nila saat ini telah di olah menjadi tepung ikan dan tepung tulang yang bernilai komersial untuk pakan ikan. Pengolahan limbah industri fillet ikan nila menjadi tepung ikan sama dengan proses pembuatan tepung ikan. Mula-mula limbah industri fillet dimasukan ke dalam steam (uap air bertekanan tinggi), kemudian diikurangi minyaknya sebelum dikeringkan menggunakan mesin pengering. Bahan yang telah kering dipisahkan antara tulang yang berukuran besar dengan bagian lainnya. Tulang-tulang yang terkumpul dibuat menjadi tepung tulang sebagai bahan baku sumber kalsium dan fosfor, sedangkan bagaian lainnya dibuat menjadi tepung, yang disebut sebagai limbah fillet ikan nila dalam makalah ini.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
838
Limbah fillet ikan nila diduga mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi karena terdiri atas sisa-sisa daging ikan nila, saluran pencernaan beserta isinya yang masih berupa pakan. Dengan mengetahui profil nutrisi mulai dari data proksimat, kandungan asam amino dan juga kecernaan pepsinya sebagai tolak ukur kualitas protein diharapkan pemanfaatan limbah fillet ikan nila menjadi lebih optimal. BAHAN DAN METODE Analisis Protein dan Asam Amino Limbah fillet ikan nila yang yang telah berbentuk tepung dianalisis kandungan proksimat dengan metode mengacu pada AOAC (1984). Sedangkan analisis asam amino dilakukan dengan menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Tahapan analisis asam amino adalah sebagai berikut: sebanyak 10 mL asam cloride (6 N) ditambahkan ke dalam 2 g sampel tepung limbah industri fillet nila. Sampel dihidrolisis menggunakan autoclave (1.100°C) selama kurang lebih 20 jam, kemudian didiamkan dalam suhu ruang. Setelah itu sampel diuapkan dalam suhu 500°C, lalu ditambah dengan NaOH 6N. Sampel yang telah siap disaring menggunakan kertas saring berukuran 0,45 ìm menggunakan vacuum filter. Sebelum dimasukan ke dalam HPLC, 275 ìL OPA solution (0,01 g phetaldialdehyde, 9 mL methanol, 40 mL buffer borax pH 9.1, 100 ìL 2-mercaptoethanol) ditambahkan ke dalam 25 ìL sampel kemudian diaduk dan dibiarkan selama 5 menit. Analisis Kecernaan Pepsin (Pepsin Digestability) Timbang sampel 1 g, kemudian diekstrasiksi lemaknya menggunakan petrolium ether 80 mL menggunakan alat soxtek. Sampel yang sudah diekstraksi lemaknya kemudian ditimbang sebanyak 0,5-1 g, dimasukan ke dalam tabung erlenmeyer 250 mL. Setelah itu, ditambahkan 150 mL pepsin standar soln (0,02%). Sediakan 150 mL pepsin standar tanpa sampel untuk blanko.tabung erlenmeyer ditutup dan dimasukan ke dalam water shaking bath dengan suhu konstan 45°C, kecepatan 15 rpm selama 16 jam. Setelah di-shaker didiamkan sampai dingin. Setelah dingin disentrifuse atau disaring menggunakan kertas saring whatman no. 41. Hasil saringan diambil 20 mL kemudian ditambah 3 g selenium mixture dan 15 mL H2SO4 pekat. Kemudian di-degest selama 1 jam dengan suhu 400°C atau sampai larutan berwarna hijau jernih. Setelah didinginkan selama 15-20 menit, kemudian % gram sampel
% NDP
% PD
bobot sampel yang ditimbang (sesudah diekstrak lemaknya) (100 - % lemak sampel - % kadar air sampel)
(volume titrasi x faktor HCL) x 150 g sampel x 20
% NDP x 100 % PK sampel
ditambahkan ke dalamnya 75 mL H2O, dan kemudian didestilasi dan titrasi dalam kjeltec auto. Prosedur tersebut di atas dilakukan juga pada blanko. Untuk mengetahui hasilnya sampel harus dianalisis proteinnya juga. Perhitungan: Keterangan: PK = Protein kasar NDP = Net Digestable Protein PD = Pepsin Digestability (kecernaan pepsin)
839
Nilai nutrisi limbah fillet ikan nila sebagai ... (Sukarman)
HASIL DAN BAHASAN Limbah fillet ikan nila mengandung protein tinggi dan ini sangat penting sebagai sumber nutrisi untuk ikan. Kandungan protein limbah fillet ikan nila (53,3%) setara dengan tepung ikan lokal (50%60%), namun lebih rendah dibandingkan tepung ikan peru (60%-70%). Menurut Chapman & Miles (2006), tepung ikan yang berkualitas tinggi umunya mengandung 60% hingga 72% protein kasar. Barziza (2005) menambahkan bahwa bahan baku yang tidak segar mempengaruhi menurunnya kandungan protein dan kecernaan tepung ikan. Rendahnya protein tepung dari limbah fillet ikan nila dibandingkan tepung ikan pada umumnya diduga karena tingkat kesegarannya. Walaupun demikian limbah fillet ikan nila bisa dijadikan bahan alternatif sumber protein, karena lebih tinggi nilainya dibandingkan sumber protein lain seperti bungkil kedelai, bungkil biji bunga matahari, dan bungkil biji kapuk. Menurut Dersjant-Li (2002), ketiga bahan tersebut berturut-turut mengandung protein 44%; 42,2%; dan 41,4%. Subtitusi sumber protein sangat penting dalam pakan ikan, karena tepung ikan saat ini dianjurkan mulai dikurangi sedangkan 65%-75% jaringan tubuh ikan dalam bahan kering (dy matter basis) adalah protein (Millamena et al., 2002). Selain protein, limbah fillet ikan nila juga mengandung lemak, abu, kalsium, dan fosfor dengan nilai berturut-turut adalah 10%; 17%; 5%; 3,5%. Lemak merupakan komponen penting pada pakan ikan karena mengandung energi tinggi yang bisa dimanfaatkan oleh ikan (Millamena et al., 2002). Kandungan kalsium dan fosfor pada limbah fillet tidak terlalu tinggi, karena sebagian besar tulang telah dipisahkan menjadi tepung tulang. Kalsium dan fosfor penting dalam pertumbuhan tulang serta sistem osmoregulasi tubuh. Pada dasarnya protein yang terbaca dalam analisis proksimat adalah nitrogen, namun tidak semua nitrogen (N) dapat dimanfaatkan oleh ikan. Oleh karena itu, pengujian tingkat kecernaan protein merupakan suatu hal yang diperlukan. Barziza (2005) menjelaskan bahwa tipe dan kualitas tepung ikan mempengaruhi kecernaan, level nutrisi, daya racun, kandungan energi, dan palatability. Umumnya industri pakan ikan dan udang menguji kecernaan pepsin (pepsin digestability) pada bahan baku asal hewan dan anti tripsin pada bahan baku asal tanaman sebagai indikator kualitas protein (kecernaan protein). Hasil pengujian pepsin digestability (0,002%) dari limbah fillet ikan nila adalah 85%, setara dibandingkan tepung ikan lokal (80%-90%), namun lebih rendah dibandingkan dengan tepung ikan impor asal Peru (92%-94%). Tepung ikan dari Norvegia dan Canada mengandung pepsin digestability 94% (Anderson et al., 1993). Enzim pepsin di dalam saluran pencernaan ikan merupakan merupakan jenis protease utama selain trypsin, chymotrypsin, elastase, dan colagenase. Selaras dengan pendapat tersebut Gawlicka et al. (2001) menjelaskan bahwa pepsin merupakan enzim utama dalam degradasi protein. Enzim pepsin bekerja dalam proses pencernaan protein pada lambung (stomach) (Guilaume et al., 2001) dan hanya dihasilkan oleh ikan-ikan yang memiliki lambung seperti ikan salmon, ikan lele, ikan bandeng, dan ikan omnivora lainnya yang cenderung karnivora (Millamena, et al., 2002). Terlebih pada udang, Tabel 1. Komposisi nutrisi dari limbah fillet ikan nila(1) Nutrisi
LFIN(2)
Tepung ikan lokal
Kadar air (%) Protein kasar (%) Lemak kasar (%) Serat kasar (%) Abu (%) Kalsium (%) Fosfor total (%)
9,6 53,3 11,2 1,5 24,4 5 3,5
10 58 10,4 1,38 17,3 3.6 2,5
(1) berdasar kering asfed, (2) Limbah fillet ikan nila
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
840
Tabel 2. Komposisi asam amino esensial limbah fillet ikan nila (LFIN) (%)(1)
Asam amino Protein Arginin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Phenilalanin Threonin Triptopan Valine
LFIN(2) 53,3 3,25 1,48 2,71 3,85 3,68 1,38 2,14 1,91 0,37 2,68
Tepung
Bungkil Ikan lokal Ikan Peru kedelai 58 2,6 1,61 2,95 4,2 4,45 1,53 2,22 2,38 0,6 2,87
66 3,83 1,92 2,71 5,03 5,2 1,89 2,4 2,82 0,78 3,32
46 3,38 1,21 1,97 3,49 2,78 0,65 2,22 1,78 0,64 2,05
(1) berdasar kering asfed, (2) LFNI = Limbah fillet ikan nila
enzim pepsin sangat sedikit (Guillaume, 1997). Kondisi inilah yang menuntut tingginya nilai kecernaan pepsin untuk bahan-bahan asal hewan. Sedangkan trypsin, chymotrypsin, elastase, dan colagenase dihasilkan oleh semua ikan pada saluran pencernaan bagian tengah (midgut). Kandungan protein juga mencerminkan kandungan asam amino bahan, karena protein tersusun dari asam-asam amino esensial dan non esensial. Selain itu, pada proses pencernaan enzimatis, protein dalam pakan akan dipecah menjadi asam-asam amino kemudian diserap oleh tubuh ikan. Saat ini penyusunan formula pakan ikan tidak hanya didasarkan atas tingginya protein saja, tetapi telah menggunakan konsep protein ideal. Richard & Chapman (2007), konsep protein ideal diartikan sebagai keseimbangan asam amino yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan performan dan pertumbuhan. Asam amino non esensial artinya bisa disintesis dari asam amino lain dalam tubuh, sedangkan esensial artinya tidak bisa disintetis sehingga harus dicukupi dari makanan. Asam amino esensial untuk ikan terdiri atas 10 jenis, 5 di antaranya yang sering kekurangan dalam pakan adalah arginin, lisin, methionin, threonin, dan triptophan. Saat ini kekurangan lisin dan metionin pada pakan bisa dipenuhi dengan penambahan L-Lisin dan DL-Metionin. Asam amino treonin sintetis ada di pasaran namun belum banyak digunakan sebagai suplemen dalam pakan ikan. Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan asam amino esensial limbah fillet ikan nila (Tabel 2) secara umum lebih tinggi dari pada bungkil kedelai, setara dengan tepung ikan lokal tetapi lebih rendah dibandingkan tepung ikan Peru. Kandungan asam amino lisin pada limbah fillet ikan nila (3,68%) lebih tinggi daripada bungkil kedelai (2,78%). Lisin merupakan salah satu asam amino esensial, yang sering digunakan sebagai tolak ukur dalam menhitung keseimbangan tiap asam amino (Richard & Chapman, 2007). Asam amino bersulfur yaitu metionin dalam limbah fillet (1,38) dua kali lipat metionin dalam bungil kedelai (0,65%). Kedua asam amino ini merupakan asam amino pembatas utama dalam hampir semua spesies ikan dan udang. Salah satu kelebihan limbah fillet ikan nila terletak pada tingginya arginin. Persentase arginin terhadap protein adalah 6,01% lebih tinngi dibandingkan tepung ikan lokal (1,03%) dan tepung ikan Peru (5,8%) namun lebih rendah dibandingkan bungkil kedelai (7,3%).Tidak diketahui pasti mengapa arginin dalam limbah fillet ikan nila lebih tinggi dari tepung ikan, namun kemungkinan dipengaruhi oleh sisa pakan yang ada dalam saluran pencernaan. Kelebihan ini juga bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan arginin dalam formulasi pakan yang biasanya kekurangan dan belum bisa disubtitusi oleh arginin sintetis. Secara keseluruhan profil asam amino dalam limbah fillet ikan nila menyerupai tepung ikan .
841
Nilai nutrisi limbah fillet ikan nila sebagai ... (Sukarman)
Tingkat kesegaran limbah fillet ikan nila bisa diketahui dari aroma dan kandungan total volatile nitrogennya. Kandungan TVN (total volatile nitrogen) secara tradisional digunakan dalam industri tepung ikan untuk mengevaluasi kesegaran dari bahan baku (Olafsdottir et al., 2000). Menurut Betes et al. (1995), total volatile nitrogen (TVN) dalam tepung ikan berasal dari amonia, trimethylamin (TMA), dan dimethylamin (DMA). TVN akan meningkat setelah adanya bakteri dan kerusakan oleh proses enzymatik. TVN dinyatakan dalam mg/100 g sampel. Ariyawansa (2000); Aberoumand (2010) menambahkan bahwa kandungan amonia dalam tepung ikan terlihat dari nilai TVN-nya. Hasil analisis menggunakan metode Conway & Byrne (1939), menunjukkan bahwa tepung yang berasal dari limbah fillet ikan nila berkisar antara 150-200 mg/100 g. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan tepung ikan lokal (150 mg/kg) dan tepung ikan Peru (<120 mg/kg). Jensen (1990) menjelaskan bahwa dibutuhkan bahan dengan kandungan TVN kurang dari 40 mg/100 g untuk membuat tepung ikan dengan kualitas premium (tinggi). Semakin tinggi nilai TVN berarti tingkat kesegaran ikan semakin rendah. Tingginya TVN limbah fillet ikan nila diduga karena adanya pembusukan oleh bakteri sebelum proses penepungan dan enzimatis pada sisa pakan dalam saluran pencernaan. Meningkatnya suhu pengeringan dan nilai TVN menurunkan tingkat kecernaan tepung ikan (Jensen, 1990). Tingginya TVN diduga mempengaruhi profil asam amino bahan sehingga menyebabkan ketidakseimbangan asam amino dalam pakan. Menurut Millamena et al. (2002), ketidakseimbangan asam amino bisa berakibat pada ketersediaan asam amino lain dan mengurangi tingkat pertumbuhan. Meningkatnya suhu pengeringan dan nilai TVN menurunkan tingkat kecernaan tepung ikan (Jensen, 1990). KESIMPULAN Tepung yang dibuat dari limbah fillet ikan nila mempunyai kandungan protein, lemak, abu, ca, dan fosfor total berturut-turut adalah 53,3%; 11,2%; 24.4%; 5%; 3,5%. Nilai tersebut tidak setara dengan kandungan tepung ikan lokal. Tepung ikan lokal umumnya mengandung protein 50%-60%, sedangkan tepung ikan peru mengandung protein berkisar 60%-66%. Kandungan asam amino lisin, metionin, arginin, threonin, dan tryptopan limbah fillet ikan nila berturut-turut adalah 3,68%;1,38%; 3,25%; 1,91%; dan 0,37%. Kandungan asam amino tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan asam amino pada bungkil kedelai yang merupakan pengganti tepung ikan pada saat ini. Nilai kecernaan pepsin (pepsin digestability) limbah industri fillet adalah 85%, setara dengan tepung ikan lokal namun masih lebih rendah dibandingkan tepung ikan impor. Total volatile (TVN) nitrogen pada limbah fillet ikan nila berkisar antara 150-200 mg/100 g, lebih tinggi dibandingkan dengan tepung ikan lokal (150 mg/kg) dan tepung ikan Peru (120 mg/kg). Secara keseluruhan nilai nutrisi limbah fillet ikan nila layak digunakan sebagai bahan baku alternatif untuk mensubtitusi tepung ikan atau menggantikan bungkil kedelai. DAFTAR ACUAN Association of Official Analytical Chemists (AOAC) (1984). Official Methode of Analysis. Airlington, VA, USA. Aberoumand, A. 2010. A Research Work on Chemical Composition and Quality of Some Fishes Meal in Iran. World J. of Fish and Marine Science, 2(6): 505-507. Anderson, J.S., Lall, S.P., Anderson, D.M., & McNiven, M.A. 1993. Evaluation of Protein Quality in Fish Meal by Chemical and biological assay. Aquaculture, 155: 305-325. Anderson, J.S & Lall, S.P. 1993. Nutritive Value of Fish Meal for Salmonids. Ariyawansa, S. 2000. The Evaluation of Functional Properties of Fish Meal. UNU-Fisheries Training Programme. Barziza, D. 2005. Consideration for Fish Meal Use and Replacement in Shrimp Feed. Cargil Animal Nutrition , Minneapolis, MN,USA. Betes, L.S., Akiyama, D.M., Shing, L.R.1995. Aquaculture Feed Microscopy Manual: 41-42. American Soybean Association. Singapore. Chapman, F.A dan Miles,R.D. 2006. The Benefits of Fish Meal in Aquaculture Diet. University of Florida. FA 122.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
842
Conway & Byrne. 1939. The microdetermination of amonia. Biochem, J., 217: 419-429. Cyrino, J.E.P., Bureau, D.P., & Kapoor, B.G. 2008. Feeding and Digestive Functions of Fishes. Science Publishers, Enfield, NH, USA. Dersjant-Li, Y. 2002. The Use of Soy Protein in Aquafeed. In : Cruz-Suàres, L. E., Rique, D., TapiaSalazar, M., Gaxiola-Cartés,M.G., Simoes.(Eds). Advance en Nutrición Acuicola VI, memories del VI Simpocium Internacional de nutricíon Acuícola. 3 al 6 de septiembre del 2002. Cancún, Quintana Rou, México. Gawlicka, A., Legiandro, C.T., Gallant, J.W., & Douglas, S.E. 2001. Cellular expression of the pepsinogen and proton pump genes in the stomach of winter flounder as determined by in situ hybridization. J. of Fish Biology, 58: 529-536. Guillaume, J.1997. Protein and Amino Acid, The Book of Crustacean Nutrition. Advances in World Aquaculture, 6: 26-41. Guilaume, J., Kaushik, S., Bergot, P., & Metailer, R. 2001. Nutrition and Feeding of Fish and Crustaceans. Hardy, R.W. 2008. Farmed Fish Diet Requirment for next Decade and Implications for Global Availability of Nutrient. Book of Alternatif Protein Source in Aquaculture Diets, p. 1-15. Herman, T.J. 1997. Feed Quality Assurance. American Soybean Meal Association. Hertrampf, J.W. & Pascual, F.P. 2000. Hand Book on Ingredient for Aquaculture. Hepher, B. 2009. Nutrition of Pond Fishes. Cambridge University Press. Huntington, T.C. 2004. Feeding The Fish : Sustainable Fish Feed and Scottish Aquaculture. Report to the Join Marine Programme (Scottish Wildlife and WFF Scotland) and RSPB Scotland. Jensen, N.C. 1990. Quality Fish Meal: Specification and Use in Aquaculture and Fur Farming. International by Products Conference April 1990. Khajarern, J. & Khajarern, S. 1999. Manual of Feed Microscopy and Quality Control. Faculty of Agriculture, Khon Kaen University. Thailand. Langers,S., Bakhtiyar, Y., & Laknotra, R. 2011. Replacement of Fish Meal with Locally Available Ingredients in Diet Composition of Macrobrachium dayanum. African J. of Agricultural Research, 6(5): 1,080-1,084 Lim, C. & Webster, C.D. 2001. Nutrition and Fish Health. The Haworth Press. Lückstädt, C. & Kühlmann, K. 2011. Effects of a liquid potassium diformate blend as preservative for Sardines Sardinella sp. under tropical conditions. www.addcon.net Maughan, P.J., Vertegen, M.W.A., & Visser-Reyneveld, M.I. 2000. Feed Evaluation: Principles and Practice. Wageningen Pers. Millamena, O.M., Coloso, R.M., & Pascual, F.P. 2002. Nutrition in Tropical Aquaculture. Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAEDEC). Tagibauan, Iloilo, Philippines. Nef, E., Rohde, H.R., & Kersten, J. 2005. Principles of Mixed Feed Production. Agrimedia GmbH. Germany. Olafsdottir, G., Hognadottir, A., Martinsdottir, E., & Jonsdottir, H. 2000. Application of an electronic nose to predict total volatile bases in capelin (Mallotus villosus) for fish meal production. J. of Agricultural and food chemistry, 48: 2,353-2,359. Orban, E., Nevigato, T., Lena, G.D., Masci, M., Casini, I., Caproni, R., & Rampacci, M. 2011. Total volatile basic nitrogen and trimethylamine nitrogen levels during ice storage of European hake (Merluccius merluccius): A seasonal and size differentiation. Food Chemistry, 128: 679-682. Özogul, F. & Özogul, Y. 2000. Comparision of Methods Used for Determination of Total Volatile Basic Nitrogen (TVB-N) in Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss). Turk. J. Zool., 24: 113-120. Pivarnik, L., Ellis, P., Wang, X., & Reilly, T. 2001. Standardization of the Ammonia Electrode Method for Evaluating Seafood Quality by Correlation to Sensory Analysis. J. of Food Science, 66: 7. Richard D.M. & Frank A.C.. 2007. The Concept of Ideal Protein in Formulation of Aquaculture Feeds. Department of Fisheries and Aquatic Sciences, University of Florida, FA 144.
843
Nilai nutrisi limbah fillet ikan nila sebagai ... (Sukarman)
Samocha, T.M., Davis, D.A., Sudud, I.P., & DeBault, K. 2004. Subtitution of Fish Meal by co-extruded Soybean, Poultry by-product Meal in Practical Diet for Pasific White Shrimp, Litopenaeus vannamei. Aquaculture, 231: 197-203 (www.elsiever.com). Stoner, G.R., Nelssen, J.L., & Goodband, R.D. 2006. Effect Fish Meal Quality on The Growth Performance of Weanling Pigs. Kansas State University. Tacon, A.G.J., Cahyono, E.W., Sugema, O., Zaudjat, C., & Nates, S. 2010. Replacing Fish Meal With Animal Protein. The National Magazine of Rendering. August 2010. Tacon, A.G.J. & Metian, M. 2008. Global Overview on the Use Fish Meal and Fish Oil in Industrially Compounded Aquafeed: Trend and Future Prospect. J. of Aquaculture, 285: 146-158 (www.elsivier.com). Tapia-Salazar, M., Cruz-Sua´rez, L.E., Ricque-Marie, D., Pike, I.H., Smith, T.K., Harris, A., Einar Nygàrd, E., & Opstvedt, J. 2004. Effect of fishmeal made from stale versus fresh herring and of added crystalline iogenic amines on growth and survival of blue shrimp Litopenaeus stylirostris fed practical diets. J. Aquaculture, 242: 437-453
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
844