1 EVALUASI PENGGUNAAN PAKAN BERBASIS BAHAN BAKU LOKAL TERHADAP NILAI NUTRIEN PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
Revi Nardi, Yuneidi Basri, Elfrida Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan Universitas Bung Hatta E-mail :
[email protected] Abstrack This study aims to determine the effectiveness of the use of local raw materials-based feed and compared with commercial feed on the nutrient value of fish rearing tilapia (Oreochromis niloticus) in floating cages held in Maninjau, West Sumatra. test fish used is Tilapia fish (Oreochromis niloticus) with an average initial weight of 4.0 grams / tail, and an average length of 4.5 cm with a stocking density tail 3910 / plots cages, the cages the size of 5x5x4 meters by 4 plots. The feed is given in the form of pellets and as much as 5% of the weight of the fish biomass is given 3 times a day. The method used is to compare the two types of fish feed with 2 replications. A treatment (artificial feed made from local raw), treatment B (commercial feed production by PT. Prima Medan Central protein Comfeed product name). Variables measured include the retention of protein, fat retention, protein efficiency ratio, the percentage of carcasses, and the pattern of calcium and phosphorus in the test fish. The results showed that feeding with local raw material based treatment A and treatment B commercial feeding, showed no difference in the nutrient value in tilapia like Protein Retention treatment A = (28.55%), treatment B = (28.39%). Fat retention value of treatment A = (30.98%) treatment B = (23.70%). Protein Efficiency Ratio value of treatment A = (6.947%), treatment B = (7.490%). Calcium retention treatment A = (12.22%), treatment B = (14.43%). Phosphorus retention treatment A = (28.16%), treatment B = (28.24%). Percentage of carcass produced at the end of the test fish higher studies obtained in the treatment of each A = (47.36%), and treatment B = (46.00%). Keywords: Oreochromis niloticus, nutrients, retention PENDAHULUAN Salah satu faktor utama kendala terpuruknya usaha budidaya ikan adalah melambungnya harga pakan buatan (pakan dari pabrik). Hal ini menyebabkan biaya yang dikeluarkan untuk pakan sangat tinggi, harga pakan yang sangat tinggi disebabkan kerena bahan baku pakan buatan yang digunakan diimpor dari luar negeri dan harganya mahal, harga bahan baku pakan akan berpengaruh terhadap harga pakan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap biaya produksi.
Pakan ikan merupakan salah satu komponen produksi yang mencapai 6070% dari total biaya produksi dan menjadi salah satu penentu keberhasilan usaha budidaya (Hadadi dkk., 2009). Maka perlu diupayakan pakan yang dapat dibuat dan diramu sendiri sesuai dengan kebutuhan ikan. Untuk itu perlu pengelolaan yang efektif dan efesien, salah satu upaya untuk meningkatkan produksi adalah dengan penyediaan pakan berkualitas baik dan murah dari segi ekonominya. Maka penggunaan bahan baku lokal yang banyak
2 tersedia dialam merupakan suatu alternatif untuk dijadikan bahan baku pakan. Namun kandungan nutrisi pada bahan baku lokal masih relatif rendah, untuk meningkatkan nilai nutrisi didalam bahan baku pakan maka perlu dilakukan proses fermentasi sehingga nilai nutrisinya mencukupi untuk kebutuhan ikan, Dalam penelitian Santoso dan Aryani, (2008) fermentasi pada daun ubi kayu dapat menurunkan kadar serat kasar dan meningkatkan kadar energi dalam pakan, Ayuda, (2011), juga melaporkan fermentasi pada limbah nangka untuk bahan baku pakan dapat meningkatkan protein kasar pakan ikan. Pada penelitian ini, dilakukan percobaan terhadap ikan nila (Oreochromis niloticus) yang diberikan pakan berbahan baku lokal dibandingkan dengan ikan nila (Oreochromis niloticus) yang diberi pakan berbahan baku impor (pakan komersil), dan melihat kualitas pakan yang berbahan baku lokal dan dibandingkan dengan kualitas pakan berbahan baku impor dan mengevaluasi mutu pakan dari segi nutrien pada ikan nila seperti nilai retensi protein, retensi lemak, rasio efisiensi protein, karkas, retensi kalsium dan retensi fosfor. Penggunaan pakan berbahan baku lokal dengan biaya untuk 1 (satu) kilogram pakan lebih kurang Rp 4.300. Dan untuk harga pakan komersil pada komoditas budidaya yang populer seperti ikan nila, yaitu sekitar Rp.6.800 per kilogram. Dengan penggunaan pakan berbahan baku lokal, diharapkan dapat menekan biaya produksi. Hasil penelitian Suhenda dan Samsudin (2008), pemberian pakan yang berbeda memberikan nilai retensi protein yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan benih ikan patin jambal.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan selama 50 hari di Danau Maninjau, Sumatra Barat untuk pembesaran. Kemudian sampel dianalisis di Laboratorium Nutrisi Balai Riset Perikanan Air Tawar Bogor Jawa Barat. Wadah yang digunakan dalam penelitian ini keramba jaring apung sebanyak 4 buah dengan ukuran 5x5x4 meter dengan padat tebar 3910 ekor per petak. ikan uji yang digunakan adalah ikan Nila (Oreochromis niloticus) dengan bobot awal rata-rata 4,0 gram/ekor dengan panjang rata-rata 4,5 cm. Pakan yang diberikan adalah adalah pakan komersial (comfeed) yang diproduksi oleh PT. Central Proteina Prima Medan dan pakan yang berbahan baku local yang dibuat dan di analisis di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor. Sebelum pakan di buat, bahan yang digunakan dianalisis secara proksimat, analisis juga dilakukan terhadap pakan uji dan ikan pada awal dan akhir penelitian. Dalam proses pembuatan pakan, semua bahan baku lokal yang akan dijadikan pakan melalui proses fermentasi. Pakan uji diberikan dengan cara ditebarkan secara manual tiga kali perhari yaitu pukul 07.30, 13.00, dan pada pukul 17.00 Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah membandingkan dua jenis pakan ikan dengan dua ulangan. Adapun perlakuan yang diuji adalah perlakuan A pakan buatan yang berbahan baku lokal dan perlakuan B Pakan komersial yang di produksi oleh pabrik dengan nama produk comfeed. Peubah yang diamati meliputi retensi protein, retensi lemak, rasio efisiensi protein, persentase karkas, dan pola kalsium dan fosfor pada ikan uji, dihitung berdasarkan persamaan-persamaan berikut ini:
3 Retensi protein (Viola dan Rappaport, 1979 dalam Tahapari dan Suhenda, 2009). RP = Pertambaha n bobot protein tubuh (g) x Bobot protein pakan yang diberikan (g) 100% Retensi lemak
(Viola dan Rappaport,
1979 dalam Tahapari dan Suhenda, 2009). RL =
Pertambaha n bobot lemak tubuh (g) Bobot lemak pakan yang diberikan (g)
x 100% Rasio
Efisiensi
Protein
(Viola
dan
Rappaport, 1979 dalam Suhenda dan Samsudin, 2008). REP = Pertambaha n bobot tubu h (g) Bobot protein pakan yang diberikan (g) Rumus Persentase karkas / tubuh Karkas(%) =
Bobot daging ikan sampel (g) Bobot tota l ikan sampel (g)
x 100 polaKalsium dan fosfor Kalsium dan Fosfor(%) = Bobot kalsium dan fosfor yg di hasilkan (g) x Bobot kalsium dan fosfor dlam pakan (g) 100
HASIL DAN PEMBAHASAN Retensi Protein (RP) Dari gambar 2 menunjukan bahwa nilai rata-rata retensi protein untuk pakan berbahan bahan baku lokal adalah sebesar 28,5549 %. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pakan
komersil yang memiliki nilai retensi protein sebesar 28,3907 %. Selisih antara kedua perlakuan sebesar 0,1642 %. Persentase protein yang tersimpan di dalam tubuh ikan lebih tinggi pada perlakuan pakan A, yaitunya bahan pakan berbasis bahan baku lokal. Hasil penelitian Suhenda dan Samsudin (2008), pemberian pakan yang berbeda memberikan nilai retensi protein yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan benih ikan patin jambal. Tingkat retensi protein yang sama pada kedua perlakuan dipengaruhi oleh kandungan protein pakan uji yang relatif sama pada masing-masing perlakuan. Menurut Lan dan Pan (1993) apabila protein dalam pakan berlebih, ikan akan mengalami excessive protein syndrome, sehingga protein tersebut tidak digunakan untuk pertumbuhan tetapi akan dibuang dalam bentuk amonia. Sedangkan menurut Buwono (2000), apabila kandungan protein dalam pakan terlalu tinggi, hanya sebagian yang akan diserap (diretensi) dan digunakan untuk membentuk ataupun memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak, sementara sisanya akan diubah menjadi energi. Tingginya nilai retensi protein untuk pakan berbasis bahan baku lokal disebabkan karena pakan memiliki kandungan asam lemak esensial lebih baik, karena bahan pakan melalui proses bioteknologi (fermentasi). Dengan proses fermentasi senyawa-senyawa yang terdapat pada bahan pakan berupa rantai polimer yang panjang dari protein dirubah menjadi asam-asam amino, lemak menjadi asam lemak, dan karbohidrat menjadi asam gula sederhana sehingga mudah dicerna tubuh ikan. Kandungan protein dalam pakan yang digunakan sebagai perlakuan sudah
4 sesuai dengan kebutuhan protein ikan nila yaitu sebesar 25% sampai 35% untuk ukuran ikan diatas 30 gram (Lovell, 1989). Dan (Houlihan et, al., 1988 dalam Tyas, 2009) menambahkan, kandungan protein terkait dengan jumlah protein yang dikonsumsi melalui stimulasi pada proses sintesis protein dan efisiensi retensi protein yang telah disintesis. 28,55
Retensi protein (%)
28,6
28,39
25,6 A
B Perlakuan
Ket:A = perlakuan pakan berbasis bahan baku lokal B = perlakuan pakan komersil
Gambar 1. Histogram Rata-Rata Retensi Protein Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Retensi Lemak (RL) Dari gambar 3, dapat dilihat bahwa nilai retensi lemak pada pakan yang berbasis bahan baku lokal sebesar 30,9823 %. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai retensi lemak pada perlakuan pakan komersil yaitu sebesar 23,6985 %. Lemak merupakan penyumbang energi bagi kelangsungan hidup ikan. Lemak mengandung asam lemak yang dibutuhkan tubuh ikan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. Ikan nila lebih besar memanfaatkan lemak dibandingkan dengan karbohidrat. Dari histogram retensi lemak pada gambar 3, dapat dilihat bahwa nilai retensi lemak pada perlakuan pakan A (pakan berbasis bahan baku lokal) adalah sebesar 30,98% dengan kandungan lemak pakan sebesar 8,31 %. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan B (pakan komersil) yaitu sebesar 23,70% dengan kandungan lemak pakan sebesar 10,32 %. Selisih persentase retensi lemak dari kedua perlakuan sebesar 7,28 %. Nilai retensi lemak dipengaruhi oleh kadar lemak dalam pakan. Lemak merupakan bagian yang penting dalam pakan ikan karena mengandung asam lemak esensial yang tidak dapat disintesis oleh tubuh ikan. Tingginya retensi lemak pada perlakuan A disebabkan karena pakan memiliki kandungan asam lemak esensial lebih baik, dan bahan pakan A melalui proses bioteknologi (fermentasi) sehingga lemak pakan sudah terurai menjadi lebih sederhana dalam bentuk asam lemak esensil. Tubuh ikan menbutuhkan lemak untuk disimpan sebagai lemak struktural, untuk memenuhi kebutuhan lemak tersebut maka ikan mensintesis (biokonversi) lemak berasal dari nutriea non lemak, seperti karbohidrat menjadi asam-asam lemak dan trigliserida yang terjadi di hati dan jaringan lemak (Linder, 1992). Pada perlakuan B (pakan komersil) terjadi penurunan retensi lemak, dengan kandungan lemak pada pakan lebih tinggi sebesar 10,32 % (Lampiran 3) namun tidak dimanfaatkan secara maksimal di dalam tubuh ikan, dibandingkan dengan kandungan lemak pada pakan A( pakan berbasis bahan baku lokal) sebesar 8,31 % yang dimanfaatkan lebih maksimal dan mudah dicerna di dalam tubuh ikan, sedangkan nilai retensi lemak pada ikan uji lebih tinggi pada perlakuan A lebih tinggi yaitu 30,98 %, dibandingkan dengan nilai retensi lemak pada ikan uji perlakuan B (pakan komersil) sebesar 23,70 %. Itu disebabkan kerana adanya “sparing effect” dari lemak pada penggunaan atau pemanfaatan protein. Watanabe (1982) dalam Suhenda dan Samsudin (2008),
5 menyatakan, pada beberapa jenis ikan, energi berasal dari lemak dan berparan sebagai sparing yang efektif terhadap protein. Hal yang sama juga diperoleh Susanto (2006) terhadap ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) yang diberi kromium ragi yang menghasilkan kadar lemak tubuh yang tertinggi pada ikan kontrol dibandingkan ikan yang diberi kromium.
Retensi Lemak (%)
35 25
30,9823 23,6985
15 5
-5
A B Perlakuan
Ket: A = perlakuan pakan berbasis bahan baku lokal B = perlakuan pakan komersil
Gambar 2. Histogram Rata-Rata Retensi Lemak Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Rasio Efisiensi Protein Dari gambar 4 dapat dijelaskan bahwa kedua perlakuan tidak menunjukan perbedaan, perlakuan pakan dengan bahan baku lokal memiliki rasio efisiensi protein dengan nilai rata-rata lebih rendah sebesar 6,9472% dibandingkan perlakuan pakan komersil dengan rata-rata rasio efisiensi protein sebesar 7,4902 %. Penggunaan pakan A lebih efisien dibandingkan pakan B karena penyerapan protein pakan yang lebih maksimal di dalam tubuh ikan, hal ini disebabkan karena bahan pakan A melalui proses fermentasi sehingga penggunaan protein pakan lebih efisien dan akan berpengaruh
terhadap pertumbuhan ikan. Hal ini terlihat pada selisih bobot ikan akhir dan awal penelitian dari masing-masing perlakuan, pada perlakuan A jumlah daging ikan (karkas) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan B. Nilai rasio efisiensi rasio juga dipengaruhi oleh jumlah protein pakan (berat pakan yang dikonsumsi dikalikan kandungan protein pakan) dan juga kandungan lemak serta karbohidrat dalam pakan yang diberikan Menurut Steffens, (1989) mengemukakan bahwa tinggi rendahnya tingkat efisiensi penggunaan protein pakan tergantung beberapa faktor antara lain kualitas protein, kandungan protein dalam pakan, keberadaan sumber energi dalam pakan seperti karbohidrat, lemak dan frekuensi pemberian pakan. Nilai rasio efisiensi protein dihitung untuk mengetahui jumlah bobot ikan yang dihasilkan dari setiap unit berat protein dalam pakan. Semakin tinggi nilai PER berarti pakan itu lebih efisien, dan protein dapat dimanfaatkan secara maksimal didalam tubuh ikan (Hepher, 1988). Nilai rasio efisiensi protein pada perlakuan A dan perlakuan B relatif lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Tahapari dan Suhenda, (2009) untuk benih ikan patin pasupati berkisar antara 3,00 - 3,40. Selanjutnya Suhenda dan Samsudin, (2008) juga melaporkan nilai rasio efisiensi protein pada pemanfaatan pakan iso protein dengan kadar karbohidrat dan lemak yang berbeda untuk pertumbuhan benih ikan patin jambal, tidak berbeda antar perlakuan dan nilainya berkisar antara 2,96 - 3,36, nilai ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Suhenda et, al., (2004) untuk benih ikan patin jambal sebesar 6,4 g. Berarti penggunaan pakan berbahan baku lokal lebih efektif
6
Rasio Efisiensi Protein (%)
7,6 7,5 7,4 7,3 7,2 7,1 7 6,9 6,8 6,7 6,6
7,4902
6,9472
A Perlakuan B Ket: A = perlakuan pakan berbasis bahan baku lokal B = perlakuan pakan komersil
Gambar 3. Histogram Rata-Rata Rasio Efisiensi Protein Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Persentase Karkas / Tubuh Dari gambar 5 dapat dijelaskan bahwa perlakuan pakan dengan bahan baku lokal menghasilkan bobot daging lebih tinggi, dengan rata-rata 47,3584 %, nilai itu tidak berbeda dibandingkan dengan perlakuan pakan komersil dengan rata-rata karkas 46,0025%. Penggunaan pakan berbasis bahan baku lokal lebih efisien, karena menghasilkan bobot daging lebih banyak dengan pakan yang dihabiskan lebih sedikit (lampiran 2) dibandingkan dengan pakan komersil yang jumlah daging yang di hasilkan lebih sedikit dan jumlah pakan yang dihabiskan lebih banyak. Hal ini disebabakan karena pakan A memiliki kandungan nilai gizi lebih tinggi dan bahan baku yang di gunakan lebih baik, sehingga penyerapan nutrisi pakan lebih baik. Itu di buktikan dalam penyerapan protein dan lemak. Pertambahan berat daging ikan sangat
dipengaruhi oleh nutrisi yang terkandung dalam pakan, pakan berbahan baku lokal memiliki kandungan protein lebih tinggi, yaitu sebesar 28,82 % dan bahan baku pakan melalui proses fermentasi, pada proses fermentasi senyawa-senyawa yang terdapat pada bahan pakan merombak rantai polimer yang panjang dari protein menjadi asam-asam amino, lemak menjadi asam lemak esensil, dan karbohidrat menjadi asam gula sederhana. Dengan penyederhanaan senyawa-senyawa tersebut mudah diserap dan dicerna di dalam tubuh ikan nila. Sedangkan perlakuan pakan komersil memiliki kandungan protein sebesar 27,29%. 47,5 47,3584 47 46,5 Karkas (%)
dibandingkan dengan pakan komersil. Karena memanfaatkan bahan baku pakan yang banyak tersedia di alam dengan biaya relatif rendah dan dapat diramu sesuai kebutuhan.
46,0025
46
45,5 45 A
B Perlakuan
Ket: A = pakan berbasis bahan baku lokal B = pakan komersil
Gambar 4. Histogram Rata-Rata Karkas Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Retensi Kalsium Dari gambar 6 dapat dijelaskan bahwa kedua perlakuan tidak menunjukan perbedaan terhadap nilai retensi kalsium, perlakuan pakan dengan bahan baku lokal memiliki rata-rata 12,2172 %. Dan pada perlakuan pakan komersil sebesar 14,4319 %. Kalsium dan fosfor merupakan mineral makro, yang konsentrasinya dalam tubuh organisme dibutuhkan dalam jumlah besar. Kalsium merupakan unsur mineral makro yang di dalam tubuh disimpan pada
7 tulang, gigi dan sebagian besar pada kulit dan kerangka tubuh .Pada tulang dan kerangka ikan pada perlakuan pemberian pakan berbahan baku lokal lebih kecil dan menghasilkan karkas (daging) lebih banyak Sebaliknya pada pakan komersil menghasilkan kerangka dan tulang lebih besar dan menghasilkan karkas lebih sedikit. Itu disebabkan karena bahan baku pakan berbahan baku lokal melalui proses fermentasi, pada proses fermentasi senyawa-senyawa yang terdapat pada bahan pakan merombak rantai polimer yang panjang dari protein menjadi asamasam amino,lemak menjadi asam lemak, dan karbohidrat menjadi asam gula sederhana. Dengan penyederhanaan senyawa-senyawa tersebut mudah diserap dan dicerna di dalam tubuh ikan nila. Kandungan kalsium dalam tubuh terkait dengan jumlah kalsium yang dikonsumsi dan yang diserap di dalam perairan. Ikan dapat mengabsorpsi (menyerap) kalsium secara langsung dari lingkungannya. Pengambilan kalsium melalui insang, sirip dan epithelium mulut. Insang memegang peranan penting dalam regulasi kalsium. Kebutuhan kalsium pada ikan berkisar antara 5 gram/kg pakan (O’keefe dan Newman, 2011). 14,431 9
Retensi Fosfor Dari histogram rata-rata retensi fosfor pada gambar 7 menunjukan bahwa nilai retensi fosfor untuk perlakuan pakan A sebesar 28,16 %. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai retensi fosfor pada perlakuan pakan B sebesar 28,24 %. Dari kedua perlakuan ini menunjukan hasil yang tidak berbeda. Penyerapan fosfor dalam tubuh ikan lebih tinggi pada perlakuan B dibandingkan dengan perlakuan A. Jumlah fosfor yang tersimpan didalam tubuh ikan terkait dengan jumlah fosfor yang dikonsumsi dari pakan dan penyerapan pada proses sintesis fosfor yang telah disitesis. Tingginya kandungan fosfor didalam tubuh ikan pada prlakuan B akan menghambat pertumbuhan, itu dibuktikan pada retensi protein, retensi lemak, dan karkas. Menurut Suprayudi dan Setiawati (2003), peningkatan kadar fosfor didalam tubuh ikan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ikan. Selanjutnya di laporkan bahwa secara umum kebutuhan ikan akan fosfor berkisar antara 0,4 – 0,9% agar dapat tumbuh dengan normal. 31 28 Retensi fosfor (%)
Retensi Kalsium (%)
15 14,5 14 13,5 13 12,5 12 11,5 11
Gambar 5. Histogram Rata-Rata Retensi Kalsium Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
12,217 2
A B Perlakuan Ket: A = pakan berbasis bahan baku local B = pakan komersil
28,1605 28,2426
25 22 19 16 13 10 A
B Perlakuan
Ket: A = pakan berbasis bahan baku lokal B = pakan komersil
8
Gambar 7. Histogram Rata-Rata Retensi Fosfor Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Kualitas Air. Data kualitas air merupakan data sekunder dari PT. PLN Maninjau pada bulan September 2012 yang bersamaan dengan waktu penelitian. Pada saat pengamatan parameter kualitas air Danau Maninjau dalam keadan kurang baik. Itu terlihat dari parameter pH, BOD5, COD, DO, dan kecerahan, kondisi ini kurang baik untuk pemeliharaan ikan dan tidak memenuhi standar kualitas air untuk bududaya ikan dalam Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2001 dan (Standar BMKA kelas II dalam Syandri dan Azrita, 2012). KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat di ambil kesimpulan bahwa penggunaan pakan berbasis bahan baku lokal terhadap nilai nutrien pada ikan nila (Oreochromis niloticus) memberikan nilai nutrien yang lebih baik pada setiap peubah yang di amati dibandingkan dengan perlakuan pakan komersil.
Hadadi, A., Herry, K. T. Wibowo, E. Pramono, A. Surahman, dan E. Ridwan. 2009. Aplikasi Pemberian Maggot sebagai Sumber Protein dalam Pakan Ikan Lele Sangkuriang (Clarias sp.) dan Gurame (Osphronemus gouramy Lac.). Laporan Tinjauan Hasil Tahun 2008. Balai Pusat Budidaya Air Tawar Sukabumi. hal. 175-181. Hepher, Balfour. 1988. Nutrition of Pond Fishes. Cambridge University Press. Cambridge Suhenda, N dan Reza samsudin. 2008. Pemanfaatan Pakan Iso Protein Dengan Kadar Karbohidrat Dan Lemak Yang Berbeda Untuk Pertumbuhan Benih Ikan Patin Janbal (Pangasius djambal). Jurnal Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar. Bogor
Santoso, U. dan I. Aryani. 2008. Perubahan Komposisi Kimia Daun Ubi Kayu yang Difermentasi oleh EM4. Universitas Bengkulu. Bengkulu. 8 hal.
DAFTAR PUSTAKA Ayuda, B. 2011. Kandungan Serat Kasar, Protein Kasar, dan Bahan Kering pada Limbah Nangka yang Difermentasi dengan Trichoderma viride dan Bacillus subtilis sebagai Bahan Pakan Alternatif Ikan. Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Airlangga. Surabaya. 67 hal.
Susanto, H. & Lingga, P. 1997. Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta Suprayudi dan Setiawati. M. 2003. Kebutuhan Ikan Gurame (Osphronemus gouramy lac.) Akan Fosfor. Jurnal Akuakultur Indonesia. Bogor.
9 Syandry, H dan Azrita. 2012. Analisa Kualitas Air Triwulan Ke 4 Kerjasama PT PLN (Persero) Sektor Pembangkit Bukit Tinggi Dengan LPPM Universitas Bung Hatta padang.........tidak dipublis. Tyas, D.K.M. 2009. Penggunaan meat and bone meal (mbm) sebagai Sumber protein utama dalam pakan untuk Pembesaran ikan nila (oreochromis niloticus).Skripsi FakultasPerikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Tahapari.E dan Ningrum Suhenda.2009. Penentuan Frekuensi Pemberian Pakan Untuk Mendukung Pertumbuhan Benih Ikan Patin Pasupati. Balai riset perikanan budidaya air tawar. Bogr. Utomo, et.,al.2003. Penggunaan Tepung Singkong Sebagai Substitusi Tepung Terigu Pada Pakan Ikan Mas, (Cyprinus carpio L).Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor,