KETERCERNAAN BAHAN BAKU PAKAN PADA IKAN NILA MERAH Oreochromis niloticus
TAQDIR ISKANDAR SIMAMORA
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Ketercernaan Bahan Baku Pakan pada Ikan Nila Merah Oreochromis niloticus” adalah benar karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2017
Taqdir Iskandar Simamora NIM C14120044
ABSTRAK TAQDIR ISKANDAR SIMAMORA. Ketercernaan Bahan Baku Pakan pada Ikan Nila Merah Oreochromis niloticus. Dibimbing oleh MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI dan DEDI JUSADI Penelitian ini bertujuan meninjau bahan baku yang berbeda terhadap ketercernaan pada pakan ikan nila merah Oreochromis niloticus. Ikan nila merah berukuran 8,56±0,40 g dengan rataan panjang 6,33±0,10 cm dipelihara dalam akuarium dengan volume air 60 liter selama 40 hari. Pakan yang digunakan adalah pakan tenggelam dengan kadar protein pakan berkisar 22-37%. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 3 kali sehari secara at satiation. Penelitian dilakukan dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan, yaitu perlakukan RD (reference diet), FM (tepung ikan), FTM (tepung bulu), MBM (tepung daging dan tulang), dan P (pollard). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ketercernaan total pakan tertinggi terdapat pada pakan B (30% FM + 70% RD) sebesar 58,70±0,31%, ketercernaan protein pakan tertinggi terdapat pada pakan B (30% FM + 70% RD) sebesar 84,97±0,55%, ketercernaan bahan baku tertinggi terdapat pada bahan FM (77,18±1,85%) dan ketercernaan protein bahan tertinggi terdapat pada FM (88,13±1,47%). .
Kata kunci: Nila merah, Ketercernaan, Pakan, FM, MBM, FTM, Pollard
ABSTRACT TAQDIR ISKANDAR SIMAMORA. Digestibility of Feed Ingredients on Red Nile Tilapia Oreochromis niloticus. Supervised by MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI and DEDI JUSADI. The experiment was conducted to evaluate feed with difference of raw materials for feed digestibility of red tilapia Oreochromis niloticus. The red tilapia with an 8.56±0.40 g were reared in the aquarium with water volume 60 litres for 40 days. Diet used was sinking pellets with feed protein content about 22-37%. Fish were fed on the diets three times a day at satiation. The study was conducted with 5 treatments and 3 replications consisted of RD (reference diet), FTM (feather meal), FM (fish meal), MBM (meat and bone meal), dan P (pollard) . The result of this study showed that the highest apparent digestibility of feed was found in feed B (30% FM + 70% RD) 58.70±0.31%, the highest apparent digestibility of feed protein was found in feed B (30% FM + 70% RD) 84.97±0.55%, the highest apparent digestibility of feed ingredients was found in fish meal (77.18±1.85%) and the highest apparent digestibility of feed ingredients protein was found in fish meal (88.13±1.47%). Keywords: Red tilapia, Digestibility, Feed, FM, MBM, FTM, Pollard
KETERCERNAAN BAHAN BAKU PAKAN PADA IKAN NILA MERAH Oreochromis niloticus
TAQDIR ISKANDAR SIMAMORA
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah “Ketercernaan Bahan Baku Pakan pada Ikan Nila Merah Oreochromis niloticus”. Skripsi ini bersumber pada hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret 2016 sampai Juni 2016 bertempat Laboratorium Basah Nutrisi, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari segala bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik ide, tenaga, moril maupun material. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada: 1. Kedua orang tua tercinta, Djafar Umum Simamora dan Farida yang selalu mencurahkan kasih sayang, do’a, dan dukungan yang tiada henti. Abang Rahmad Juanda Simamora dan Abdul Muis Rais Simamora yang senantiasa menjadi penyemangat untuk selalu menjadi yang terbaik. 2. Dr. Muhammad Agus Suprayudi selaku pembimbing I dan Dr. Dedi Jusadi selaku pembimbing II dan Ir. Harton Arfah selaku pembimbing akademik atas segala masukan dan dukungannya selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan tugas ahir ini. 3. Wasjan dan Retno Meilasari Nurulita Lubis, A Md yang telah banyak membantu dalam analisis di Laboratorium Nutrisi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Yosi yang telah membantu dalam pembuatan pakan uji. 4. Keluarga BDP 49 khususnya teman-teman di Laboratorium Nutrisi, BDP 49 yang saya sayangi terkhusus kepada Aryudi Adha dan Fernando. 5. Lembaga beasiswa PPA-BBM yang telah membantu dalam hal biaya perkuliahan semester 5 hingga semester 7. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya perikanan.
Bogor, Januari 2017
Taqdir Iskandar Simamora
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan METODE Waktu dan Tempat Penelitian Materi Uji Rancangan Penelitian Prosedur Penelitian Analisis Kimia Parameter Uji Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
ii ii 1 1 2 2 2 2 2 2 4 5 5 5 5 6 9 9 9 9 12 15
ii
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Formulasi pakan acuan reference diet (g/kg) Komposisi dan proksimat pakan uji Parameter dan alat pengukuran kualitas air Ketercernaan total pakan dan ketercernaan protein pakan pada ikan nila merah dipelihara selama 40 hari 5 Ketercernaan total bahan dan ketercernaan protein bahan pada ikan nila merah dipelihara selama 40 hari
3 3 4 6 6
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Prosedur analisis proksimat Anova dan hasil uji Duncan ketercernaan total pakan Anova dan hasil uji Duncan ketercernaan protein pakan Anova dan hasil uji Duncan ketercernaan total bahan baku Anova dan hasil uji Duncan ketercernaan protein bahan baku
12 13 14 14 14
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan nila merupakan salah satu komoditas perikanan air tawar yang jumlah produksinya meningkat setiap tahunnya. Menurut data KKP (2015) jumlah produksi ikan nila dari tahun 2014 hingga 2015 mengalami peningkatan rata- rata sebesar 30,29%. Jumlah produksi ikan nila tahun 2014 sebesar 999.695 ton dan terus meningkat hingga akhir tahun 2015 capaian produksi ikan nila mencapai 1.576.607 ton. Peningkatan produksi disebabkan oleh tingginya tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia yaitu sebesar 38.14 kg/kapita pada tahun 2014 (KKP 2014). Produksi budidaya ikan, pakan merupakan salah satu faktor yang penting. Bahan baku sangat menentukan dalam pembuatan pakan. Sekitar 60-85% biaya produksi perikanan budidaya air tawar didominasi oleh pakan (Suprayudi 2010). Umumnya, bahan baku yang sering digunakan sebagai sumber protein adalah tepung ikan dan tepung kedelai. Namun bahan baku tersebut saat ini masih diimpor sehingga harganya mahal. Adanya keterbatasan ini sehingga perlu diketahui bahan baku alternatif sumber protein lainnya. Alternatif lainnya yang telah diteliti yaitu tepung tulang dan daging (meat and bone meal) dan tepung bulu (feather meal). Tepung tulang dan daging (MBM) merupakan salah satu bahan baku sumber protein alternatif yang berasal dari hasil limbah pengolahan hewan ternak. Kandungan protein yang terdapat pada MBM sekitar 45-55% (Lovell 1989). Tepung bulu juga termasuk bahan baku sumber protein alternatif yang berasal dari limbah ternak. Protein yang terkandung pada tepung bulu lebih dari 80% dan telah digunakan pada pakan ikan yang berbeda. Penggunaan tepung MBM telah diteliti pada ikan nila ukuran 12,5 g dengan inklusi 40% (El-Sayed 1998), ikan nila ukuran 96,6 g dengan inklusi 30% (Guimaraes et al. 2008), benih ikan gilthead seabream dengan inklusi 38% (Davies et al. 1991) dan ikan gilthead seabream ukuran 35-40 g dengan inklusi maksimal 20% (Robaina et al. 1997). Penggunaan tepung bulu (FTM) juga telah diteliti pada ikan nila ukuran 96,6 g dengan inklusi 30% (Guimaraes et al. 2008), ikan rainbow trout ukuran 17 g dengan inklusi 8-20% (Bureau et al. 2000), benih labeo rohita dengan iklusi 25-50% (Hasan et al. 1997) dan ikan rainbow trout ukuran 16,7% (Steffens 1994). Selain penggunaan protein, ikan juga membutuhkan sumber karbohidrat sebagai sumber energi. Sumber karbohidrat yang sering digunakan dalam pakan ikan nila adalah wheat bran dengan inklusi 30-45% (El-Sayed 1998), wheat flour dengan inklusi 12-49% dan 38% (Wang et al. 2011; Koprucu dan Ozdemir 2005), broken rice dengan inklusi 27% (Guimaraes et al. 2008) dan pollard dengan inklusi 28% (Tyas 2009). Adanya bahan baku alternatif ini merupakan suatu peluang dalam memenuhi kebutuhan nutrien ikan dalam pakan. Namun informasi ketercernaan bahan baku alternatif ini khususnya untuk ikan nila merah belum diketahui. Ketercernaan merupakan indikator kemampuan ikan untuk mencerna atau memanfaatkan nutrien dalam pakan yang diberikan. Ketercernaan pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis ikan, ukuran ikan, komposisi pakan, jumlah yang dikonsumsi dan kondisi fisiologis ikan. Menurut Hepher (1988) ketercernaan dipengaruhi oleh
2
beberapa faktor, yaitu keberadaan enzim dalam saluran pencernaan, tingkat aktivitas enzim dan lama waktu pakan bereaksi dengan enzim pencernaan. Menurut Akiyama et al. (1989), ketercernaan suatu bahan baku merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan penggunaan bahan baku dalam pakan. Oleh karena itu ketercernaan suatu bahan perlu diketahui sehingga dapat menjadi suatu referensi yang baik dalam formulasi pakan ikan nila merah. Menurut Cho dan Khausik (1990), pengetahuan ketercernaan dari suatu bahan baku merupakan suatu kebutuhan dasar dalam pembuatan pakan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan meninjau bahan baku yang berbeda terhadap ketercernaan pada ikan nila merah Oreochromis niloticus.
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Juni 2016. Pemeliharaan ikan dilakukan di Laboratorium Nutrisi, Departemen Budidaya Perairan. Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Nutrisi, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Materi Uji Ikan uji yang digunakan adalah ikan nila merah Oreochromis niloticus dengan bobot 8,56±0,40 gram/ekor dengan rataan panjang 6,33±0,10 cm dipelihara pada volume air 60 liter selama 40 hari. Setiap perlakuan terdiri atas 10 ekor ikan nila merah. Bahan uji yang digunakan adalah tepung ikan, tepung tulang dan daging, tepung bulu dan tepung pollard. Rancangan Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 kali ulangan. Berikut merupakan rancangan penelitian. Pakan A: Pakan dengan kandungan Reference Diet (RD) 100% Pakan B: Pakan dengan kandungan RD 70% dan Fish Meal (FM) 30% Pakan C: Pakan dengan kandungan RD 70% dan Feather Meal (FTM) 30% Pakan D: Pakan dengan kandungan RD 70% dan Meat and Bone Meal (MBM) 30% Pakan E: Pakan dengan kandungan RD 70% dan Pollard Meal 30% Prosedur penelitian Pembuatan Pakan Uji Pakan yang digunakan selama pemeliharaan ikan berdasarkan bahan baku yang berbeda pada masing-masing perlakuan. Perlakuan yang digunakan adalah
3
reference diet (RD), fish meal (FM), feather meal (FTM), meat and bone meal (MBM) dan pollard (P). Pakan ini digunakan untuk mengetahui ketercernaan bahan baku pakan terhadap ikan uji. Pakan uji dibuat dengan cara pakan reference diet dibuat terlebih dahulu. Bahan penyusun pakan reference diet adalah tepung pollard, tepung kedelai, tepung daging dan tulang, tepung ikan, tepung distillers dried grains with solubles (DDGS), tepung tapioka dan premiks. Semua penyusun bahan baku pakan dicampurkan terlebih dahulu. Pakan uji dibuat dengan cara pakan RD sebanyak 70% dicampurkan kedalam masing-masing bahan baku perlakuan sebanyak 30%. Setiap pakan perlakuan diberikan Cr203 0,6%, antioksidan 0,02%, anti mold 0,2%, binder (PMC) 0,2%, dan minyak ikan : minyak jagung 2,5%. Semua bahan baku dicampur hingga merata. Setelah pakan tercampur rata, pakan dicetak kemudian dipanaskan di dalam oven pada suhu 60 0C selama 4 jam. Pakan uji yang telah dibuat kemudian dianalisis proksimat untuk mengetahui kadar nutrien yang terkandung dalam pakan. Pakan uji diberikan selama 40 hari pemeliharaan. Formulasi pakan acuan dapat dilihat pada Tabel 1. Komposisi dan proksimat pakan uji dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Formulasi pakan acuan reference diet (g/kg) Bahan baku Reference diet (RD) (g/kg) Pollard 406,8 SBM 130 MBM 120 FM 140 DDGS 110 Tapioka 28 Premiks 30 Cr2O3 6 Antioksidan 0,2 Anti mold 2 PMC 2 FO : CO 25 Keterangan: soy bean meal (SBM), meat and bone meal (MBM), fish meal (FM), distillers dried grains with solubles (DDGS), reference diet (RD) dan pollard (P).
Tabel 2. Komposisi dan proksimat pakan uji Komposisi g/kg) FM FTM MBM P RD Cr2O3 PMC Analisis Proksimat Protein (% BK) Lemak (% BK) Kadar abu (% BK) SK (%BK) BETN (%) GE (kkal/kg) C/P (energi/ protein)
RD
FM 300
FTM
MBM
P
300 300 992 6 2
692 6 2
692 6 2
692 6 2
300 692 6 2
28,86 7,49 10,80 5,69 47,16 4253,68 14,74
37,36 9,81 11,84 4,21 36,77 4522,52 12,10
36,13 7,79 18,30 4,40 33,83 4124,09 11,42
32,72 10,86 16,94 4,31 35,17 4295,54 13,13
22,82 6,73 15,18 12,02 43,25 3683,44 16,14
4
Keterangan: reference diet (RD), feather meal (FTM), fish meal (FM), meat and bone meal (MBM), serat kasar (SK), pollard (P), Gross energy (GE), bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), 1 g protein : 5,6 kkal GE, 1 g karbohidrat: 4,1 kkal GE dan 1 g lemak 9,4 kkal GE (Watanabe 1988).
Analisis Kimia Pada penelitian ini dilakukan analisis kimia meliputi analisis proksimat, kualitas air dan analisis ketercernaan. Analisis Proksimat Analisis proksimat dilakukan pada pakan uji. Uji proksimat pakan, sampel pakan diambil pada setiap perlakuan dan digerus terlebih dahulu. Analisis proksimat yang dilakukan yaitu kadar air, serat kasar, lemak, protein dan abu. Analisis kadar air dilakukan dengan pengeringan dalam oven dengan suhu 105-110 o C selama 6 jam, serat kasar dengan metode pelarutan asam dan basa kuat serta pemanasan, protein dengan metode Kjeldahl, lemak kering dilakukan dengan metode Soxchlet dan kadar abu dengan pemanasan sampel dalam tanur 600oC (Takeuchi 1988). Prosedur analisis proksimat lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. Kualitas Air Selama pemeliharaan ikan dilakukan pengujian kualitas air. Uji kualitas air dilakukan sebanyak 2 kali selama penelitian, yaitu di awal penelitian dan di akhir penelitian. Metode pengukuran kualitas air terdapat pada Tabel 3. Pengukuran dilakukan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tabel 3 Parameter dan alat pengukuran kualitas air No 1 2 3
Parameter Suhu (0C) pH Oksigen terlarut (mg L-1)
Terukur 26,5-27.2 7.07-7.77 4.2-4.9
Alat Termometer pH meter DO Meter
Analisis Ketercernaan Uji ketercernaan dilakukan selama 40 hari pemeliharaan. Uji ketercernaan dilakukan dengan metode pengumpulan feses. Ikan uji diadaptasikan dengan pakan uji selama 4-5 hari pada awal pemeliharan. Pemberian pakan dilakukan secara at satiation sebanyak 3 kali dalam sehari pada pukul 08.00, 12.00, dam 16.00 WIB. Feses mulai dikumpulkan pada hari ke-11 yang dilakukan 30-60 menit setelah pemberian pakan. Pengumpulan feses dilakukan selama 30 hari dengan cara penyifonan feses. Penyimpanan feses ikan dimasukkan didalam freezer. Setelah feses ikan terkumpul selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan oven suhu 110 ºC selama 4-6 jam. Analisis Cr2O3 feses yang telah kering dilakukan menggunakan metode oksidasi. Kemudian dilakukan pembacaan nilai absorban ketercernaan dengan bantuan alat spektofotometer pada panjang gelombang 350 nm (Takeuchi 1988).
5
Parameter Uji Ketercernaan Total Pakan Ketercernaan total dapat dihitung menggunakan rumus berikut (Halver dan Hardy 2002): KT (%) = 1 -
%krom dalam pakan %krom dalam feses
x 100
Ketercernaan Protein Pakan Ketercernaan protein dapat dihitung menggunakan rumus berikut (Halver dan Hardy 2002): KP (%) = [1 -
% krom dalam pakan % krom dalam feses
x
% protein dalam feses % protein dalam pakan
]
X
100
Ketercernaan Nutrien Bahan Nilai ketercernaan bahan baku dalam pakan dapat diukur menggunakan rumus sebagai berikut (Sugiura et al. 1998): ADC test ingredient = ADC test diet + ((ADC test diet – ADC ref.diet) x (0,7xD ref / 0,3xD ingredient )) Keterangan:
ADC test ingredient ADC test diet ADC ref.diet D ref D ingredient
= nilai ketercernaan nutrien bahan baku = nilai ketercernaan total pakan uji = nilai ketercernaan total pakan pembanding = nutrien pakan pembanding = nutrien bahan baku uji Analisis Data
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Data dianalisis menggunakan SPSS versi 23.0. Untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan data dianalisis menggunakan ANOVA dan dilanjutkan uji Duncan dengan selang kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Nilai ketercernaan pakan hasil dari pengamatan selama 40 hari pemeliharaan disajikan pada Tabel 4. Nilai ketercernaan terdiri atas ketercernaan total pakan dan ketercernaan protein pakan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa setiap perlakuan memiliki hasil ketercernaan pakan yang berbeda-beda. Perlakuan pakan B (RD+FM) merupakan nilai ketercernaan total pakan tertinggi sebesar 58,70±0,31% dan nilai ketercernaan total pakan terendah pada perlakuan pakan C (RD+FTM) sebesar 48,56±0,75%. Sementara nilai ketercernaan protein pakan
6
tertinggi terdapat pada perlakuan pakan B (RD+FM) sebesar 84,97±0,55% dan nilai ketercernaan protein pakan terendah pada perlakuan pakan E (RD+P) sebesar 77,21±0,92%. Tabel 4. Ketercernaan total pakan dan ketercernaan protein pakan pada ikan nila merah dipelihara selama 40 hari Perlakuan pakan uji A B C D E (RD) (RD+FM) (RD+FTM) (RD+MBM) (RD+P) KT (%) 50,78±0,89d 58,70±0,31a 48,56±0,75e 54,28±0,40b 52,30±0,68c b a d c KP (%) 82,30±0,34 84,97±0,55 77,99±0,41 79,85±0,59 77,21±0,92d Keterangan: huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan antar perlakuan (P<0,05), bobot kering (BK), ketercernaan total (KT), ketercernaan protein (KP), reference diet (RD), feather meal (FTM), fish meal (FM), meat and bone meal (MBM) dan pollard (P). Parameter (BK)
Nilai ketercernaan bahan hasil dari pengamatan selama 40 hari pemeliharaan disajikan pada Tabel 5. Nilai ketercernaan terdiri atas ketercernaan bahan dan ketercernaan protein bahan. Hasil ketercernaan bahan menunjukan bahwa setiap perlakuan berbeda-beda. Perlakuan FM merupakan nilai ketercernaan bahan tertinggi sebesar 77,18±1,85% dan nilai ketercernaan bahan terendah pada perlakuan FTM sebesar 43,38±1,99%. Sementara nilai ketercernaan protein bahan tertinggi terdapat pada perlakuan FM sebesar 88,13±1,47% dan ketercernaan protein bahan terendah pada perlakuan P sebesar 71,27±1,88%. Tabel 5. Ketercernaan total bahan dan ketercernaan protein bahan pada ikan nila merah dipelihara selama 40 hari Perlakuan bahan baku FM FTM MBM P Ketercernaan Bahan (%) 77,18±1,85a 43,38±1,99d 62,43±1,44b 55,82±0,51c Ketercernaan Protein (%) 88,13±1,47a 72,86±1,09c 76,94±1,18b 71,15±1,88c Keterangan: huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan antar perlakuan (P<0,05), feather meal (FTM), fish meal (FM), meat and bone meal (MBM) dan pollard (P) Parameter (BK)
Pembahasan Penelitian ini menunjukan bahwa nilai ketercernaan pakan dan ketercernaan bahan dari masing masing perlakuan berbeda. Nilai ketercernaan total pakan pada penelitian ini diketahui bahwa pakan B lebih tinggi dari pakan A. Hal ini diduga karena komposisi nutrien dari bahan baku tepung ikan di dalam pakan B yang lebih baik. Tingginya nilai ketercernaan pakan dipengaruhi oleh karakteristik bahan baku yang digunakan. Menurut Lim dan Klesius (2004) menyatakan bahwa tepung ikan mengandung protein yang tinggi, profil asam amino yang sesuai, ketercernaan protein dan asam amino yang tinggi. Sehingga pakan dengan kandungan FM akan memiliki ketercernaan total pakan yang tinggi. Ketercernaan total pakan C, D dan E pada penelitian ini diketahui lebih rendah dari pakan A. Hal ini diduga karena komposisi nutrien dari masing-masing pakan berbeda. Ketercernaan pakan D dengan bahan baku MBM rendah
7
dikarenakan kadar abu dalam pakan yang tinggi. Menurut Bureau et al. (1999) bahwa ketercernaan yang rendah karena sulitnya mencerna abu yang terdapat pada MBM. Semakin tinggi kadar abu maka menyebabkan ketercernaan pakan menjadi rendah. Ketercernaan pakan C merupakan pakan dengan ketercernaan terendah. Hal ini diduga dikarenakan kadar abu pakan yang tinggi sehingga ketercernaan menjadi rendah. Sementara ketercernaan pakan E dengan bahan baku pollard lebih rendah dari pakan A diduga karena serat kasar dan kadar abu yang tinggi didalam pakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Yang et al. (2009), kadar abu dan serat yang tinggi pada suatu bahan baku dapat menurunkan ketercernaan pakan. Ketercernaan suatu bahan baku merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan penggunaan bahan baku dalam pakan (Akiyama et al. 1989). Tinggi rendahnya ketercernaan pakan dipengaruhi oleh ketercernaan bahan baku. Hasil penelitian ini memiliki nilai ketercernaan bahan baku yang berbeda (p<0,05). Ketercernaan bahan baku tertinggi teramati pada bahan baku FM sebesar 77,18±1,85%. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Allan et al. (2000) bahwa ketercernaan bahan FM berkisar 76-94% dengan jenis tepung ikan yang berbeda pada ikan silver perch. Perbedaan hasil terdapat pada penelitian sebelumnya seperti pada ikan rainbow sebesar 88% (Gomes et al. 1995) dan juvenil ikan rockfish sebesar 89%. Tingginya ketercernaan FM diduga karena availability dari FM sangat baik sehingga mudah diterima dan dicerna oleh ikan. Menurut Millamena et al. (2002), tepung ikan merupakan bahan baku sumber protein hewani yang memiliki profil asam amino yang mendekati ikan budidaya. Nilai ketercernaan tepung MBM pada penelitian ini sebesar 62,43±1,44%. Menurut penelitian Bureau et al. (1999) diketahui bahwa ketercernaan bahan baku MBM sekitar 61-72% dengan sumber dan pengolahan yang berbeda pada ikan rainbow trout. Hasil ketercernaan bahan MBM yang rendah diduga karena kadar abu yang tinggi dalam pakan dan level inklusi MBM yang ditingkatkan. Menurut Ai et al. (2006), meningkatnya kadar abu dalam pakan dengan meningkatnya level MBM pada pakan dapat menurunkan ketercernaan bahan. Berdasarkan data ini menunjukan bahwa ketercernaan total tepung FM lebih baik dari tepung MBM. Nilai ketercernaan tepung bulu (FTM) pada penelitian ini sebesar 43,38±1,99%. Hasil penelitian ini lebih rendah dari penelitian sebelumnya pada jenis ikan berbeda seperti benih rockfish sebesar 77% (Lee 2002), juvenil siberian sturgeon sebesar 68,6% dan ikan labeo rohita sebesar 51,59% (Shahzad et al. 2006). Perbedaan hasil ini diduga disebabkan dari kondisi pembuatan bahan baku dan karakteristik bahan yang berbeda. Tepung pollard merupakan sumber karbohidrat nabati yang dapat dimanfaatkan oleh ikan. Nilai ketercernaan bahan pollard pada penelitian ini lebih besar dari tepung bulu (FTM), yaitu sebesar 55,82±0,51%. Menurut penelitian Lee (2002), hasil menunjukan bahwa terjadi penurunan ketercernaan bahan dan energi yang disebabkan oleh tingginya kadar serat kasar suatu bahan baku. Hal ini diduga yang menjadi penyebab ketercernaan bahan tepung pollard penelitian ini menjadi rendah. Namun pada penelitian ini menunjukan bahwa ikan nila merah lebih baik mencerna pollard dibandingkan tepung bulu. Nilai ketercernaan protein pakan pada penelitian ini berbeda-beda (p<0,05). Pakan B diketahui memiliki ketercernaan protein lebih tinggi dibandingkan pakan A dan lainnya. Hal ini diduga karena kandungan protein pada pakan B lebih tinggi dari lainnya. Namun pakan C, D dan E pada penelitian ini teramati lebih rendah
8
dari pakan A. Hal tersebut dikarenakan inklusi dari bahan MBM, FTM dan pollard sebesar 30% menyebabkan kadar abu dan serat kasar tinggi sehingga ketercernaan protein pakan menjadi rendah. Nilai kadar abu pada pakan B teramati lebih rendah dari pakan lainnya (Tabel 2). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Robaina et al. (1997) bahwa kadar abu dalam pakan yang melebihi dari 12,5% dapat menyebabkan ketercernaan protein pakan menjadi rendah. Nilai ketercernaan protein pada penelitian ini berbeda pada setiap perlakuan (p<0,05). Ketercernaan protein bahan tertinggi teramati pada bahan tepung ikan (FM) dan terendah pada bahan pollard. Ketercernaan protein tepung ikan pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan bahan lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Allan et al. (2000), bahwa bahan nabati dan animal meal lainnya memiliki kelemahan dibandingkan tepung ikan yaitu dari segi profil dan kandungan asam amino esensialnya. Ketercernaan protein menunjukan ukuran ketersediaan hayati (bioavailability) bagi ikan. Nilai yang sama belum bisa langsung diimplikasikan bahwa penggunaan bahan tersebut akan menghasilkan pertumbuhan yang sama. Faktor kualitas protein bahan lainnya yang perlu dipertimbangkan saat pemilihan bahan baku selain ketercenaannya dan profil nutrien adalah kesegaran, komposisi, serta cara pengolahannya (Akiyama et al. 1992). Ketercernaan protein tepung MBM pada penelitian ini teramati lebih tinggi dari tepung pollard dan tepung bulu, tetapi lebih rendah dari tepung ikan. Ketercernaan protein MBM penelitian ini sebesar 76,94±1,18%. Hasil ini lebih rendah dari penelitian sebelumnya pada ikan nila sebesar 78,4% (Guimaraes et al. 2008). Menurut Bureau et al. (1999), ketercernaan yang rendah umumnya karena abu dari bahan MBM sulit dicerna dalam jumlah banyak. Menurut Yang et al. (2004) bahwa tepung MBM merupakan sumber protein yang tidak ideal dibandingkan dengan tepung ikan (FM) karena profil asam amino yang relatif miskin. Hasil ini diduga yang menyebabkan ketercernaan menjadi rendah. Nilai ketercernaan protein bahan pollard pada penelitian ini lebih rendah dari tepung bulu (FTM). Ketercernaan protein tepung pollard sebesar 71,15±1,88%. Hasil penelitian sebelumnya menunjukan bahwa penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian sebelumnya dengan sumber karbohidrat wheat middling pada ikan bluntnose black bream dengan nilai ketercernaan protein sebesar 95,3% (Zhou et al. 2008). Hasil rendah pada penelitian ini diduga karena tepung pollard merupakan sumber karbohidrat sehingga ketercernaan proteinnya rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suprayudi (2010) bahwa pollard merupakan sumber karbohidrat yang memiliki nilai ketercernaan dan bioaviability yang tinggi, namun nilai ketercernaan proteinnya yang rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan ikan nila merah dalam mencerna protein dari tepung pollard cukup baik. Ketercernaan protein tepung bulu (FTM) pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan bahan baku protein hewani lainnya. Tepung bulu menjadi perhatian pada studi nutrisi karena kandungan proteinnya yang tinggi hingga 90% dengan jenis protein utamanya keratin. Protein keratin tepung bulu sangat kaya akan beberapa asam amino, terutama asam amino sistein yang mengandung ikatan sulfida. Ikatan ini sulit dipecah sehingga menyebabkan kelarutan dan ketercernaannya menjadi rendah. Menurut penelitian Guimaraes et al. (2008), tepung bulu (FTM) memiliki nilai ketercernaan protein sebesar 78,5%. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian ini. Perbedaan hasil ini diduga disebabkan dari kondisi pembuatan bahan baku yang mempengaruhi beberapa
9
ketersediaan hayati (bioavailability) asam amino dan ketercernaan proteinnya. Berdasarkan penelitian Moritz dan Latshaw (2001), tekanan tinggi dalam waktu yang lama pada proses hidrolisasi tepung bulu dapat menyebabkan ketercernaan protein yang rendah.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Data ketercernaan bahan baku hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi penting dalam pembuatan pakan untuk ikan nila merah. Nilai ketercernaan total pakan, ketercernaan protein pakan, ketercernaan total bahan dan ketercernaan protein bahan tertinggi teramati pada pakan dengan bahan baku tepung ikan. Oleh karena itu bahan baku pakan yang terbaik untuk pakan ikan nila merah adalah tepung ikan (FM). Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan penelitian lanjutan mengenai informasi ketercernaan asam amino dalam pakan dan parameter lainnya sehingga dapat memperoleh informasi yang lebih lengkap mengenai ketercernaan pakan ikan nila merah.
DAFTAR PUSTAKA Ai QH, Mai K, Tan B, Xu W, Duan Q, Ma H, Zhang L. 2006. Replacement of Fish Meal by Meat and Bone Meal in Diets for Large Yellow Croaker Pseudosciaena crocea. Aquaculture 260: 255-263. Akiyama DM, Coelho SR, Lawrence AL, Robinson EH. 1989. Apparent Digestibility of Feedstuffs by The Marine Shrimp Penaeus vannamei Boone. Bulletin of the Japanese Society of Scientific Fisheries 55: 91-98. Akiyama DM, Dominy WG, Lawrence AL. 1992. Penaeid Shrimp Nutrition. Elsevier Science 535-568. Allan GL, Scott P, Mark AB, David AJ, Stuart JR, Jane F, Rebecca WS. 2000. Replacement of Fish Meal in Diets for Australian Silver Perch Bidyanus bidyanus: I. Digestibility of Alternative Ingredients. Aquaculture 186: 293310. Bureau DP, Harris AM, Bevan DJ, Simmons LA, Azevedo PA, Cho CY. 2000. Feather Meals and Meat and Bone Meals from Different Origins as Protein Sources in Rainbow Trout Oncorhynchus mykiss Diets. Aquaculture 181: 281-291.
10
Bureau DP, Harris AM, Cho CY. 1999. Apparent Digestibility of Rendered Animal Protein Ingredients for Rainbow Trout Oncorhynchus mykiss. Aquaculture 180: 345-358. Cho CY, Kaushik S. 1990. Nutritional Energetics in Fish: Energy and Protein Utilization in Rainbow Trout. World Review Nutrition and Dietic 61: 132172. Davies SJ, Nengs I, Alexis M. 1991. Partial Substitution of Fishmeal with Different Meat Meal Products in Diets for Seabream Sparus aurata. Fish Nutrition in Practice 61: 907-911. El-Sayed AF. 1998. Total Replacement of Fish Meal with Animal Protein Sources in Nile Tilapia Oreochromis niloticus Feeds. Aquaculture Research 29: 275280. Gomes AF, Rema P, Khausik JS. 1995. Replacement of Fish Meal by Plant Proteins in The Diet of Rainbow Trout Oncorhynchus mykiss: Digestibility and Growth Performance. Aquaculture 30: 177-186. Guimaraes IG, Pezzato LE, Barros MM. 2008. Amino Acid Availability and Protein Digestibility of Several Protein Sources for Nile Tilapia Oreochromis niloticus. Aquaculture Nutrition 14: 396-404. Halver JE, Hardy. 2002. Fish Nutrition Third Edition. California: Academy Press. Hasan MR, Haq MS, Das PM, Mowlah G. 1997. Evaluation of Poultry-Feather Meal as a Dietary Protein Source for Indian Major Carp Labeo rohita Fry. Aquaculture 151: 47-54. Hepher B. l988. Nutrition of Pond Fishes. Cambridge: Cambridge University Press. [KKP]. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2015. Laporan Kinerja Perikanan Budidaya. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya: Jakarta. [KKP]. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Statistik Tingkat Konsumsi Ikan. Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing: Jakarta. Koprucu K, Ozdemir Y. 2005. Apparent Digestibility of Selected Feed Ingredients for Nile Tilapia Oreochromis niloticus. Aquaculture 250: 308-316. Lee SM. 2002. Apparent Digestibility Coefficients of Various Feed Ingredients for Juvenile and Grower Rockfish Sebastes schlegeli. Aquaculture 207: 79-95. Lim C, Klesius PH. 2004. Use of Alternatife Protein Source in Diet of Warm Water Fishes. Abstract. 11th International Symposium on Nutrition and Feeding in Fish. Phuket Island. Hal 30. Lovell RT. 1989. Nutrition and Feeding of Fish. New York: Nostrand Reinhold. Millamena OM. 2002. Replacement of Fish Meal by Animal by Product Meals in a Practical Diet for Growout Culture of Grouper Epinephelus coioides. Aquaculture 204: 75-84. Moritz JS, Latshaw JD. 2001. Indicators of Nutritional Value of Hydrolyzed Feather Meal. Poultry Science 80: 79–86. Robaina L, Moyano FJ, Izquierdo MS, Socorro J, Vergara JM, Montero D. 1997. Corn Gluten and Meat and Bone Meals as Protein Sources in Diets for Gilthead Seabream Sparus aurata Nutrition and Histological Implications. Aquaculture 157: 347-359. Shahzad K, Salim M, Asad F. 2006. Evaluation of Apparent Digestibility Coefficient of Corn, Wheat and Feather Meal for Labeo rohita. Zoological Society of Pakistan 38: 125-130.
11
Steffens W. 1994. Replacing Fish Meal with Poultry by-Product Meal in Diets for Rainbow Trout Oncorhynchus mykiss. Aquaculture 124: 27-34. Sugiura SH, Dong FM, Rathbone CK, Hardy RW. 1998. Apparent Protein Digestibility and Mineral Availabilities in Various Feed Ingredients for Salmonids Feeds. Aquaculture 159: 177-202. Suprayudi MA. 2010. Bahan Baku Lokal: Tantangan dan Harapan Akuakultur Masa Depan. Abstrak. Simposium Nasional Bioteknologi Akuakultur III. IPB Convention Center Bogor. Hal 31. Takeuci T. 1988. Laboratory Work-Chemical Evaluation of Dietary Nutrients. Japan: Kanagawa International Fisheries Training Center. Hal 179−233. Tyas DKM. 2009. Penggunaan Meat and Bone Meal ( MBM ) sebagai Sumber Protein Utama dalam Pakan untuk Pembesaran Ikan Nila Oreochromis niloticus. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Wang Y, Jiang RL, Ji WX, Xie NX. 2011. The Effect of Dietary Protein Level on The Apparent Digestibility Coefficient of Two Selected Feed Ingredients for Nile Tilapia Oreochromis niloticus. Aquaculture Research 42: 1170-1177. Watanabe T. 1988. Fish Nutrition and Marine Culture. JICA Texbook. The General of Aquaculture Course. Departemen of Aquatic. Biosciense. Tokyo. Hal 238. Yang Q, Zhou X, Zhou Q, Tan B, Chi S, Dong X. 2009. Apparent Digestibility of Selected Feed Ingredients for White Shrimp Litopenaeus vannamei Boone. Aquaculture Research 41: 78-86. Yang Y, Xie Y, Cui Y, Lei W, Zhu X, Yang Y, Yu Y. 2004. Effect of Replacement of Dietary Fish Meal by Meat and Bone Meal and Poultry by-Product Meal on Growth and Feed Utilization of Gibel Carp Carassius auratus Gibelio. Aquaculture Nutrition 10: 289-294. Zhou Z, Ren Z, Zeng H, Yao B. 2008. Apparent Digestibility of Various Feedstuffs for Bluntnose Black Bream Megalobrama amblycephala. Aquaculture Nutrition 14: 153-165.
12
LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Proksimat 1.1 Kadar Air Cawan dipanaskan pada suhu 105-110oC salama 1 jam, kemudian didinginkan di dalam deksikator dan ditimbang (X1). Bahan yang akan dianalisa ditimbang sebanyak 2-3 gram (A). Cawan dan bahan tersebut dipanaskan pada suhu 105-110oC selama 4-5 jam, disimpan dalam deksikator dan ditimbang (X2). Persentase kadar air diperoleh dengan menggunakan rumus: Kadar Air (%) =
(X1+A)−X2 A
𝑥 100
1.2 Kadar Abu Cawan dipanaskan selama 1 jam pada suhu 105-110oC, didinginkan dalam deksikator dan ditimbang (X1). Bahan yang akan dianalisa ditimbang sebanyak 23 gram (A). Cawan dan bahan tersebut dipanaskan di atas pembakar bunsen sampai uapnya hilang. Kemudian dipanaskan kembali di dalam tanur pada suhu 600oC sampai bahan berwarna putih semua (seperti abu). Kemudian disimpan dalam deksikator dan ditimbang (X2). Persentase kadar abu dapat diperoleh dengan menggunakan rumus: Kadar Abu (%) =
(𝑋2−X1) A
𝑥 100
1.3 Kadar Protein i. Tahap Oksidasi Bahan yang akan dianalisa ditimbang sebanyak 0.5-1 gram (A), dimasukkan ke dalam labu, ditambahkan 3 gram katalis, 4 butir granul dan 10 ml H2SO4 pekat. Dipanaskan hingga terjadi perubahan warna menjadi hijau bening, kemudian didinginkan. Setelah dingin diencerkan dengan akuades hingga volume 100 ml. ii. Tahap Destilasi 10 ml H2SO4 ditambah 2-3 tetes MR-MB dimasukkan ke dalam erlenmeyer 125 ml, kemudian disiapkan erlenmeyer di bawah alat destilasi. Diambil 5 ml larutan hasil oksidasi, dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal dan ditambahkan 10 ml NaOH 30%. Dipanaskan hingga terjadi kondensasi (selama 10 menit), sejak terjadi tetesan pertama. iii. Tahap Titirasi Hasil destilasi dititrasi dengan NaOH 0.05N hingga cairan berwarna hijau muda, dihitung volume titran yang digunakan (Va), dilakukan prosedur yang sama terhadap blanko (Vb). Kadar Protein (%) =
0,0007 𝑥 (𝑉𝑏−𝑉𝑎)𝑥 6,25 𝑥 20 A
𝑥 100
13
1.4 Kadar Lemak Metode Sochlet Labu dipanaskan pada suhu 105-110oC selama 1 jam, disimpan di dalam deksikator dan ditimbang (X1), dimasukkan petroleum benzen sebanyak 150-200 ml. Bahan yang akan dianalisa ditimbang sebanyak 2-3 gram (A), kemudian masukkan ke dalam selongsong dan Sochlet serta diletakkan pemberat di atasnya. Labu yang telah dihubungkan dengan Sochlet dipanaskan diatas water bath 70oC sampai cairan yang merendam bahan dalam Sochlet menjadi bening. Labu dilepaskan dan tetap dipanaskan hingga petroleum benzen menguap semua. Labu dan lemak yang tersisa dipanaskan dalam oven ± 15 menit hingga 1 jam, disimpan dalam deksikator dan ditimbang (X2). Kadar Lemak (%) =
𝑋2−X1 A
𝑥 100
1.5 Kadar Serat Kasar Sebanyak 0.5 gram bahan ditimbang (A) dimasukkan ke dalam erlenmeyer 350 ml dan ditambahkan 50 ml H2SO4 0.3N. Erlenmeyer yang berisi bahan tersebut dipanaskan kemudian didinginkan dan ditambah lagi 25 ml NaOH 1.5N, dipanaskan selama 30 menit. Kertas saring dipanaskan dan ditimbang (X1), dipasang pada corong Buchner dan dihubungkan pada vacuum pump untuk mempercepat proses penyaringan. Larutan dan bahan yang dipanaskan tersebut dituangkan ke dalam corong Buchner. Kemudian bilas berturut-turut dengan 50 ml air panas, 50 ml H2SO4 0.3N, 50 ml air panas, dan 25 ml aceton. Disiapkan cawan porselen yang sudah dipanaskan pada suhu 105-110oC selama 1 jam, kertas saring dimasukan ke dalam cawan, dipanaskan pada suhu 105oC, simpan di deksikator dan ditimbang (X2). Dipanaskan di atas bunsen dan selanjutnya pada tanur dengan suhu 600oC hingga berwarna putih, kemudian didinginkan dan ditimbang (X3). Serat kasar (%) =
(𝑋2−X1)−𝑋3 A
𝑥 100
Lampiran 2 Anova dan hasil uji Duncan ketercernaan total pakan Jumlah Kuadrat Antar Perlakuan Antar Ulangan Total
177,665 4,164 182,829
Derajat Bebas 4 10 14
Kuadrat Tengah 44,416 ,416
F
Sig.
106,679
,000
D
E
Kecenaan Total Perlakuan
N
FM MBM P RD FTM Sig.
3 3 3 3 3
A 48,5633
B
Bagian C
54,2767 52,2967 50,7833 1,000
1,000
1,000
1,000
48,5633 1,000
14
Lampiran 3 Anova dan hasil uji Duncan ketercernaan protein pakan Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Sig.
Antar Perlakuan
122,202
4
30,551
85,977
Antar Ulangan
3,553
10
,355
,000 ,000
Total
125,756
14
Ketercernaan Protein Bagian
Perlakuan
N
FM
3
RD
3
MBM
3
FTM
3
77,9867
P
3
77,2133
A
B
C
D
84,9667 82,3033 79,8533
Sig.
,143
1,000
,170
Lampiran 4 Anova dan hasil uji Duncan ketercernaan total bahan baku Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Sig.
Antar Perlakuan
1782,851
3
594,284
243,759
,000
Antar Ulangan
19,504
8
2,438
Total
1802,355
11
Ketercernaan Protein Perlakuan
N
FM MBM P FTM
3 3 3 3
A 77,1800
Bagian B
C
D
62,4333 55,8233
Sig.
1,000
1,000
1,000
43,3833 1,000
Lampiran 5 Anova dan hasil uji Duncan ketercernaan total bahan baku Jumlah Kuadrat Antar Perlakuan Antar Ulangan Total
524,819 16,529 541,348
Derajat Bebas 3 8 11
Kuadrat Tengah 174,940 2,066
F
Sig.
84,669
,000
Ketercernaan Protein Perlakuan
N
FM MBM FTM P
3 3 3 3
Sig.
A 88,1300
Bagian B
C
76,9400 72,8567 71,1533 ,185
1,000
1,000
15
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Taqdir Iskandar Simamora, dilahirkan di kota Medan pada 07 Juli 1994. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari ayah Djafar Umum Simamora dan ibu Farida. Tahun 2012, penulis lulus dari SMA Swasta Harapan 1 Medan dan diterima di Institut Pertanian Bogor melalui SNMPTN jalur undangan dengan program studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama masa perkuliahan penulis pernah aktif dalam organisasi dalam kampus seperti Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa FPIK tahun 2014 dan Ketua Komisi Dewan Perwakilan Mahasiswa FPIK 2015. Selain aktif dalam organisasi, penulis pernah menjadi asisten praktikum dalam mata kuliah Fisiologi dan Reproduksi Ikan tahun ajaran 2014/2015, Fisiologi Hewan Air tahun ajaran 2014/2015 dan 2015/2016, dan Dasar-dasar akuakultur tahun ajaran 2015/2016. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Ketercernaan Bahan Baku Pakan pada Ikan Nila Merah Oreochromis niloticus” dibimbing oleh Bapak Dr. Muhammad Agus Suprayudi dan Bapak Dr. Dedi Jusadi.