KAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.S DENGAN GANGGUAN KENYAMANAN:NYERI POST APPENDIKTOM APPENDIKTOMI HARI KE-1 DI RS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Tugas Akhir Dalam Rangka Menyelesaikan Pendidikan Program Studi Diploma III Keperawatan
Oleh :
ISLAMIATUN NIM 2011.1415
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014
ii
iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS ILMIAH
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Karya Tulis Ilmiah dengan judul :
KAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. S DENGAN GANGGUAN KENYAMANAN: NYERI POST APPENDIKTOMI HARI KE-1 DI RS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA Saya yang bertanda tanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa, tugas akhir ini karya saya sendiri (ASLI). Dan isi dalam tugas akhir ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan oleh orang lain atau kelompok lain untuk memperoleh gelar akademis disuatu Institusi Pendidikan, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis dan/atau diterbitkan oleh orang lain atau kelompok lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, Juli 2014
Islamiatun
iv
MOTTO
" Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka mau mengubahnya sendiri" (QS. Ar-Ra'd: 11)
"Gunakan kesempatan sehatmu untuk (persiapan saat) sakitmu dan hidupmu untuk kematianmu" (H.R. Bukhari)
"Jangan takut menghadapi masalah, tapi takutlah tidak mendapat pertolongan Allah dalam menghadapi masalah" (My Inspiration)
v
PERSEMBAHAN
Syukur Alhamdulilah segala puji bagi Allah SWT atas segala anugerah dan nikmat-Nya hingga terselesaikannya Karya Tulis Ilmiah ini. Karya Tulis Ilmiah ini penulis persembahkan kepada: 1.
Ayah, ibu dan adik tercinta yang selalu memberiku dukungan baik moral dan spiritual yang tiada pernah henti dan tiada kenal lelah
2.
Para dosen dan staff STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta.
3.
Seseorang tersayang yang telah memberiku semangat disaat aku lelah dan membantuku dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.
4.
Sahabat terbaikku aRyan yang telah menemaniku dari pembuatan proposal sampai Karya Tulis Ilmiah ini selesai, serta teman-temanku yang tak bisa disebutkan satu persatu, yang selalu siap memberikan bantuan kapan dan dimanapun. Tanpa kalian mungkin tak akan pernah selesai Karya Tulis Ilmiah ini.
5.
Untuk teman-teman keperawatan angkatan 2011, terima kasih untuk semua kenangan dan semangat yang kalian berikan.
6.
Almamaterku
tercinta
Prodi
DIII
MUHAMMADIYAH SURAKARTA”.
vi
Keperawatan
“STIKES
PKU
KATA PENGANTAR
Dengan segala puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta memberi kekuatan, ketabahan, kemudian dalam berfikir sehingga penulis dapat menyusun Karya Tulis Ilmiah ini dengan lancar. Penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini mengambil judul “Kajian Asuhan Keperawatan Pada Tn. S dengan Gangguan Kenyamanan: Nyeri Post Appendiktomi Hari Ke-1 di RS PKU Muhammadiyah Surakarta”. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini mengalami banyak kesulitan dan hambatan, namun berkat bantuan, arahan, dorongan serta bimbingan dari berbagai pihak, maka kesulitan maupun hambatan tersebut dapat teratasi. Untuk itu dalam kesempatan ini, dengan kerendahan hati, penulis menyampaikan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Weny Hastuti, S.Kep., M.Kes, selaku Direktur STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan DIII Keperawatan. 2. Sri Mintarsih, S.Kep., Ns., M.Kes, selaku Puket 1 STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta beserta para staff-staffnya yang telah memberikan rekomendasi bagi penulis untuk melakukan Studi Kasus. 3. Cemy Nur Fitria, S.Kep., Ns, M.Kep selaku Ketua Prodi D III Keperawatan STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta dan selaku dosen pembimbing I, dengan sabar dan bijaksana membantu dan menyumbangkan ide-idenya dalam
vii
mengoreksi, merevisi serta melengkapi dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini. 4. Nanang Sri Mujiono S.Kep selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini. 5. Ibu Ika Kusuma, S.Kep.,Ns., selaku Pelaksana Biro Karya Tulis Ilmiah (KTI) STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta yang telah memberikan rekomendasi bagi penulis untuk melakukan studi kasus. 6. Kedua orang tua tercinta serta keluarga yang telah bekerja keras untuk mendukung masa depan, senantiasa memberi kasih sayang, membimbing dan mendoakan keberhasilan penulis dalam menyusun tugas akhir ini. 7. Teman-teman seperjuangan sealmamater yang telah memberikan support, motivasi dan masukan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini. 8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa dengan keterbatasan pengetahuan, kemampuan dan waktu yang dimiliki, masih banyak kekurangan dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini. Untuk itu saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan. Penulis berharap Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait, kalangan akademis dan masyarakat yang berminat terhadap ilmu keperawatan. Surakarta, Juli 2014
Islamiatun
viii
ABSTRAK
KAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.S DENGAN GANGGUAN KENYAMANAN: NYERI POST APPENDIKTOMI HARI KE-1 DI RS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA Islamiatun1, Nanang Sri Mujiono2, Cemy Nur Fitria3
Latar Belakang: Perkembangan zaman saat ini mempengaruhi gaya hidup atau kebiasaan sehari-hari. Misalnya kurang mengkonsumsi makanan berserat dalam menu sehari-hari yang diduga sebagai salah satu penyebab appendisitis. Jumlah pasien yang menderita penyakit appendisitis di Indonesia berjumlah sekitar 27% dari jumlah penduduk Indonesia. Komplikasi yang mungkin terjadi dapat dicegah dengan pengobatan dan perawatan yang optimal, salah satunya dengan melakukan tindakan appendiktomi. Tujuan: Mengetahui intensitas nyeri pada pasien post appendiktomi hari ke-1 dengan appendisitis akut di RS PKU Muhammadiyah Surakarta dan dapat melaksanakan asuhan keperawatan sesuai dengan teori manajemen keperawatan. Metode Penulisan: Penyusunan karya tulis ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan studi kasus yaitu metode ilmiah yang bersifat mengumpulkan data, menganalisis data dan menarik kesimpulan data. Subyeknya Tn.S pada tanggal 25 April 2014. Instrumen yang digunakan formulir pengkajian medikal bedah dengan menggunakan 11 fungsional Gordon dan skala nyeri menurut Hayward. Hasil: Diagnosa Keperawatan yang muncul diantaranya nyeri akut b.d terputusnya kontinuitas jaringan, intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik, gangguan integritas kulit b.d luka insisi pembedahan. Kesimpulan: Semua masalah dalam diagnosa keperawatan tertasi karena sudah sesuai dengan kriteria hasil yang ditetapkan sebelumnya.
Kata kunci: Appendisitis akut, Appendiktomi 1. Mahasiswa Program D III STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta. 2. Dosen Pengampu D III STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta. 3. Dosen Pengampu D III STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta.
ix
ABSTRACT
STUDY OF NURSING CARE MR.S WITH IMPAIRED COMFORT: PAIN ONE DAY POST APPENDIKTOMY IN THE PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA HOSPITAL Islamiatun1, Nanang Sri Mujiono2, Cemy Nur Fitria3
Background: The times when these affect or daily habits. For example the lackof fibrous foods in daily menu suspected as one cause of appendicitis. The number of patient suffering from appendicitis in Indonesia amounted to approximately 27% of the total population of Indonesia. Destination: Knowing the intensity of pain in patient with post appendiktomy days to one in the PKU Muhammadiyah Surakarta hospital and can implement nursing care in accordance with the theory and management of nursing. Research Methods: The general purpose of writing a scientific paper is to know the intensity of pain in patient with post appendiktomy. The preparation of this paper uses descriptive method with a case study approach is a scientific method that is collecting the data, analyzing the data, the data and draw conclusions. Mr.S subject on 25 April 2014. Instruments used medical surgical assessment form using 11 functional and pain scale. Results: Nursing diagnose that appear among acute pain b.d dissolution of continuity network, activity intolerance b.d physical weakness, impaired skin integrity b.d incision surgery. Conclusions: All resolved problems in nursing diagnose because the results are in accordance with the criteria set out previously.
Keywords: Appendicitis acute, Appendiktomy 1. Student Nursing Program D III STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta. 2. Nursing lecturer of D III STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta. 3. Nursing lecturer of D III STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ................................................. HALAMAN MOTTO ...................................................................................... HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... KATA PENGANTAR ..................................................................................... ABSTRAK ....................................................................................................... ABSTRACT ..................................................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................................... DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................ DAFTAR RIWAYAT HIDUP......................................................................... BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah............................................................................. B. Tujuan ........................................................................................................ C. Manfaat ...................................................................................................... BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori Diagnosa Medis ................................................................. 1. Apendisitis .......................................................................................... a. Pengertian Appendisitis ................................................................ b. Etiologi ......................................................................................... c. Patofisiologi .................................................................................. d. Manifestasi Klinis ......................................................................... e. Pemeriksaan Penunjang ................................................................ f. Penatalaksanaan ............................................................................ 1) Appendiktomi ......................................................................... 2) Teknik Appendiktom iMc Burney .......................................... g. Komplikasi ................................................................................... h. Pengkajian Fokus.......................................................................... i. Diagnosa Keperawatan dan Fokus Intervensi .............................. B. Tinjauan Kebutuhan Dasar 1. Nyeri ................................................................................................... a. Pengertian Nyeri ........................................................................... b. Fisiologi Nyeri .............................................................................. c. Klasifikasi Nyeri ........................................................................... d. Faktor yang Mempengaruhi Nyeri ............................................... e. Fokus Pengkajian.......................................................................... C. Pathway ...................................................................................................... BAB III METODE STUDI KASUS A. Desain Studi Kasus .................................................................................... B. Subyek Studi Kasus ................................................................................... C. Tempat dan Waktu Studi Kasus .................................................................
xi
i ii iii iv v vi vii ix x xi xiii xiv xv 1 4 5 6 6 6 7 7 9 9 10 10 13 14 14 24 27 27 28 31 34 36 40 41 41 41
D. Instrument .................................................................................................. E. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Resume Kasus ............................................................................................ B. Pembahasan ................................................................................................ BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan .................................................................................................... B. Saran........................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xii
41 42 44 55 66 67
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Pathway ..........................................................................................
xiii
40
DAFTAR TABEL
Perbedaannyeriakutdannyerikronis .................................................................. Analisa Data .....................................................................................................
xiv
33 50
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
NAMA TEMPAT/TANGGAL LAHIR AGAMA ALAMAT PENDIDIKAN 1. TAHUN 1999 – 2005 2. TAHUN 2005 – 2008 3. TAHUN 2008 – 2011 4. TAHUN 2011 – 2014
:Islamiatun :Karanganyar, 19 Desember 1993 : Islam :JetisKulon RT 01 RW VI, Jaten, KRA : : SD NEGERI 02 JETIS : SMP NEGERI 1 JATEN : SMA NEGERI 1 KEBAKKRAMAT : PROGRAM DIII KEPERAWATAN STIKES PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kesehatan sangat penting bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu sebagai petugas kesehatan, khususnya perawat memiliki tanggungjawab untuk meningkat kan pengetahuan dan ketrampilan guna menunjang dan memberikan pelayanan yang baik. Perkembangan saat ini, juga mempengaruhi gaya
hidup
atau
pada
kebiasaan
sehari-hari,
misalnya
kurangnya
mengkonsumsi makanan berserat dalam menu sehari-hari, yang diduga salah satu penyebab apendiks (Sander, 2011dikutip dalam Wijaya, 2013). Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang di kenal di masyarakat awam adalah usus yang buntu sebenarnya adalah sekum. Organ yang tidak diketahui fungsinya ini sering menimbulkan masalah kesehatan. Peradangan akut apendiks memerlukan tindak bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya (Sjamsuhidajat, 2005). Insidens apendisitis di Negara maju lebih tinggi daripada Negara berkembang. Hal ini di duga di sebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insiden pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun insiden laki-laki lebih tinggi (Sjamsuhidajat, 2005).
1
2
Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan segera mungkin untuk mengurangi resiko perforasi (Brunner&Suddarth, 2005 dikutip dalam Wijaya, 2013). Apendiktomi merupakan pembedahan atau operasi klasik pengangkatan apendiks. Apendiktomi direncanakan pada infiltrate periapendikuler tanpa pus yang telah ditenangkan. Sebelumnya pasien diberi antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan apendiktomi (Sjamsuhidajat, 2004). Bedah apendiks pada apendisitis tanpa perforasi, kejadian infeksi pasca bedah jarang sekali terjadi, sedang pada apendisitis perforate infeksi sering terjadi sehingga pemberian antibiotic profilaksis secara parenteral dari golongan penisilin, sefalosporin atau tetrasiklin, metronidazol intravena atau rekal sangat diperlukan. Bila ternyata tidak ada apendisitis perforasi, pemberian antibiotik yang mulai prabedah tidak diteruskan, tetapi bila ditemukan apendisitis gangrenosa antibiotik diteruskan 1-2 hari. Bila terdapat peritonitis, pemberian antibiotic harus diberikan lebih lama karena dalam hal ini sifatnya sebagai terapi (Sjamsuhidajat, 2005). Beberapa literatur menyebutkan bahwa tindakan apendiktomi ini dapat timbul berbagai masalah keperawatan, salah satu diantaranya nyeri. Nyeri pasca bedah mungkin sekali disebabkan oleh luka operasi. Pada setiap keluhan nyeri, terdapat suatu nosisepsi disuatu tempat pada tubuh yang disebabkan oleh suatu noksa, baru kemudian mengalami sensasi nyeri. Akhirnya timbul
3
sensasi reaksi nyeri dalam bentuk sikap dan perilaku verbal maupun nonverbal untuk mengemukakan apa yang dirasakan (Sjamsuhidajat, 2005). Berdasarkan lama waktu nyeri, nyeri dibagi menjadi dua yaitu nyeri akut dan nyeri kronik (Judha, 2012). Nyeri akut terjadi setelah cidera penyakit akut, atau intervensi bedah memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas bervariasi, dan langsung untuk waktu singkat. Sedangkan nyeri kronik berlangsung lama, intensitas yang bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan (Potterdan Perry, 2006). Tujuh persen penduduk di negara Barat menderita apendisitis dan terdapat lebih dari 200.000 apendiktomi dilakukan di Amerika Serikat setiap tahunnya. WHO (World Health Organization) menyebutkan insidensi apendisitis di Asia dan Afrika pada tahun 2004 adalah 4,8% dan 2,6% penduduk dari total populasi. Di Indonesia insiden appendisitis cukup tinggi, terlihat dengan adanya peningkatan jumlah pasien dari tahun ketahun. Berdasarkan data yang diperoleh dari (Depkes, 2008), kasus appendisitis pada tahun 2005 sebanyak 65.755 orang dan pada tahun 2007 jumlah pasien appendisitis sebanyak 75.601 orang. Dinkes jateng menyebutkan pada tahun 2009 jumlah kasus apendisitis di jawa tengah sebanyak 5.980 penderita dan 177
penderita
diantaranya
menyebabkan
kematian.
Di
RS
PKU
Muhammadiyah Surakarta tercatat jumlah pasien pasca operasi appendiktomi sebanyak 27 pasien selama setahun dan menurut hasil wawancara salah seorang perawat RS PKU Muhammadiyah Surakarta, biasanya hari rawat pasien pasca operasi appendiktomi 3-5 hari pasca operasi.
4
Sehubungan dengan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik mengambil topik dalam studi Karya Tulis Ilmiah dengan judul "Kajian Asuhan Keperawatan Pada Tn. S dengan Gangguan Kenyamanan: Nyeri Post Appendiktomi Hari Ke-1 di RS PKU Muhammadiyah Surakarta".
B. Tujuan Dalam penulisan ini penulis mempunyai harapan dan tujuan sebagai berikut: 1. Tujuan Umum Mengetahui intensitas nyeri pada pasien post apendiktomi hari ke-1 dengan appendisitis akut di RS PKU Muhammadiyah Surakarta dan dapat melaksanakan asuhan keperawatan sesuai dengan teori manajemen keperawatan. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui tentang post Appendiktomi. b. Mengetahui tentang Teori Kenyamanan Nyeri. c. Melaksanakan Asuhan Keperawatan pada pasien post appendiktomi hari ke-1 di RS PKU Muhammadiyah Surakarta. d. Menganalisa teori post Appendiktomi dan teori kenyamanan dengan pelaksanaan Asuhan Keperawatan post Appendiktomi hari ke-1.
5
C. Manfaat Manfaat penulisan iniadalah : 1. Bagi penulis sendiri, sebagai pengalaman yang nyata tentang kajian asuhan keperawatan pada pasien post operasi apendiktomi hari ke-1 dengan apendisitis akut. 2. Bagi ilmu pengetahuan, dapat menambah pengetahuan tentang asuhan keperawatan mengenai post operasi apendiktomi dengan apendisitis akut. 3. Bagi Institusi Pendidikan Kesehatan, sebagai referensi dan tambahan informasi dalam peningkatan dan mutu pendidikan di masa yang akan datang. 4. Bagi Rumah Sakit, sebagai tambahan informasi dalam saran dan evaluasi untuk peningkatan mutu pelayanan yang lebih kepada pasien rumah sakit yang akan datang.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori Diagnosa Medis 1. Apendisitis a. Pengertian Appendisitis Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing atau apendiks. Usus buntu adalah sebenarnya adalah sekum. Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya (Sjamsuhidajat, 2005). Menurut Nurarif (2013) klasifikasi apendisitis terbagi atas 3 yakni: 1) Apendisitis
akut
radang
mendadak
umbai
cacing
yang
memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsangan peritoneum lokal. 2) Apendisitis rekrens yaitu jika ada riwayat nyeri berulang diperut kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendiktomi. Kelainan ini terjadi jika apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun apendisitis tidak pernah kembali kebentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut. 3) Apendisitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks segera makroskopik (fibrosis menyeluruh didinding apendiks,
6
7
sumbatan parsial atau lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa dan infiltasi sel inflamasi kronik) dan keluhan menghilang setelah apendiktomi.
b. Etiologi Penyebab apendisitis adalah: diet kurang serat, batu, tumor, cacing/parasit, infeksi virus, dan benda asing (Inayah, 2004). Sedangkan menurut Lippincott (2011) penyebab apendistis adalah: obstruksi lumen intestinal karena gumpalan fekal, penyempitan, masuknya barium atau infeksi virus.
c. Patofisiologi Menurut Mansjoer dkk (2004) patofisiologi appendisitis adalah sebagai berikut: Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat
aliran limfe yang yang mengakibatkan edema, diapendisitis bakteri,
8
dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menebus dinding. timbul
meluas
dan
mengenai
peritoneum
menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah.
Peradangan yang setempat
sehingga
Keadaan ini disebut
dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangrenosa. Stadium ini disebut apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak omentum lebih pendek, apendiks lebih panjang dan dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.
9
d. Manifestasi klinis Menurut Lippincott (2011) tanda gejala dari apendisitis adalah: 1) Tanda awal: nyeri periumbilikal atau epigastrik kolik yang tergeneralisasi maupun setempat, anoreksia, mual, dari muntah, nyeri setempat di kuadran abdomen kanan bawah, rigiditas abdominal yang mirip papan, respirasi retraktif, rasa perih yang semakin menjadi, spasma abdominal yang semakin parah, rasa perih yang terbalik (rasa perih yang terbalik di sisi yang berlawanan
dari
abdomen
menunjukkan
adanya
inflamasi
peritoneal), gejala yang minimal dan samar dan rasa perih yang ringan pada pasien berusia lanjut. 2) Gejala selanjutnya: konstipasi (tetapi diare juga bisa), suhu pasien 99˚ sampai 102˚ F (37,2˚ sampai 39˚ C), takikardia, perforasi atau infarksi apendiks, yang diindikasikan oleh berhentinya nyeri abdominal secara mendadak.
e. Pemeriksaan Penunjang Menurut Bararah dan Jauhar (2013) pemeriksaan penunjang apendisitis terdiri dari: 1) Laboratorium: terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan
10
neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. 2) Radiologi: terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.
f. Penatalaksanaan Tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya pilihan paling
baik
bila
diagnosis
sudah
jelas
adalah
appenditomi
(Sjamsuhidajat, 2005). Menurut Lippincott (2011) penanganan apendisitis adalah: apendiktomi merupakan satu-satunya penanganan efektif dan jika terjadi peritonitis, penanganannya meliputi intubasi GI, penggantian parenteral caiaran dan elektrolit, dan pemberian antibiotik. 1) Apendiktomi Ada tiga cara untuk mencapai apendiks yang secara teknik mempunyai keuntungan dan kerugian menurut Mansjoer dkk (2004) yaitu: a) Insisi menurut Mc Burney (grid incision atau muscle splitting incision). Sayatan dilakukan pada garis yang tegak lurus pada
11
garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior dengan umbilicus pada batas sepertiga lateral (titik Mc Burney). Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia. Otot-otot dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu akan tampak peritoneum parietal (mengkilat dan berwarna biru keabu-abuan) yang disayat secukupnya untuk meluksasi sekum. Sekum dikenali dari ukurannya yang besar, mengkilat, lebih kelabu/putih mempunyai haustrae dan taenia koli, sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah, dan tidak mempunyai haustrae dan taenia koli. Basis apendiks dicari pada pertemuan ketiga taenia koli. Teknik inilah yang paling sering dikerjakan karena keuntungannya tidak terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh, dan masa istirahat pasca bedah yang lebih pendek karena penyembuhan lebih cepat. Kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas dan waktu operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat diperluas dengan memotong otot secara tajam. b) Insisi menurut Roux (muscle cutting incision). Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc burnay, hanya sayatanya langsung menembus otot dinding perut tanpa memperdulikan arah serabutsampai tampak peritoneum. Keuntunganya adalah lapangan operasi lebih luas, mudah di perluas, sederhana dan
12
mudah. Kerugianya diagnosis yang harus tepat sehingga lokasi dapat di dipastikan lebih banyak memotong saraf dan pembuluh darah sehingga peredaran menjadi lebih banyak, masa istirahat pasca bedah lebih lama karena adanya benjolan yang mengganggu pasien, nyeri pasca operasi lebih sering terjadi, kadang-kadang ada hematoma yang terinfeksi dan masa penyembuhan lebih lama. c) Insisi pararektal. Di lakukan sayatan pada garis batas lateral m. rektus abdominis dekstra secara vertikal dari kranial ke kaudal sepanjang 10 cm. Keuntunganya, teknik ini dapat di pakai pada kasus-kasus apindiks yang belum pasti dan kalau perlu sayatan dapat di perpanjang dengan mudah. Kerugianya, sayatan ini tidak secara langsung mengarah ke apendiks atau sekum, kemungkinan memotong saraf dan pembuluh darah lebih besar dan untuk menutup luka operasi di perlukan jahitan penunjang. Setelah peritoneum di buka dengan retraktor, maka baris apendiks dapat di cari pada pertemuan tiga teania koli. Ada dua cara yang dapat di pakai sesuai situasi dan kondisi untuk membebaskan dari meso-apendiks, yaitu apendiktomi secara biasa; kita mulai dari apeks ke baris apendiks untuk memotong mesoapendiks. Ini di lakukan pada apendiks yang tergantung bebas pada sekum atau bila puncak apendiks mudah di temukan.
13
2) Teknik apendiktomi Mc Burney menurut Mansjoer dkk (2004): a) Pasien berbaring telentang dalam anestesi umum atau regional. Kemudian di lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah perut kanan bawah. Di buat sayatan menurut Mc Burnay sepanjang kurang lebih 10 cm dan otot otot dinding perut di belah secara tumpul menurut arah serabutnya, berturut-urut m.oblikus abdominis internus, m.transversus abdominis, sampai akhirnya tampak peritoneum. b) Peritoneum disayat sehingga cukup lebar untuk eksplorasi. c) Sekum beserta apendiks diluksasi keluar. d) Mesoapendiks dibebaskan dan dipotong dari apendiks secara biasa, dari puncak arah basis. e) Semua perdarahan dirawat. f) Di siapkan tabac sac mengelilingi basis apendiks dengan sutra, basis apendiks kemudian di jahit dengan catgut. g) Dilakukan pemotongan apendiks apikal dari jahitan tersebut. h) Puntung apendiks diolesi betadin. i) Jahitan tabac sac. Disimpulkan dan puntung dikuburkan dalam simpul tersebut mesoapendiks diikat dengan sutera. j) Dilakukan pemeriksaan terhadap rongga peritoneum dan alatalat didalamnya, semua perdarahan di rawat. k) Sekum dikembalikan ke dalam abdomen.
14
l) Sebelum ditutupi, peritoneum dijepit dengan minimal 4 klem dan didekatkan untuk memudahkan penutupanya. Peritoneum ini jahit jelejur dengan chromic catgut
dan otot otot
dikembalikan. m) Dinding perut di tutupi/dijahit lapis demi lapis, fasia dengan sutera, subkutis dengan catgut dan akhirnya kulit dengan sutera. n) Luka operasi dibersihkan dan ditutupi dengan kasa steril.
g. Komplikasi Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami perbandingan sehingga berupa masa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus (Sjamsuhidajat, 2005). Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi appendiks, yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses, abses subfrenikus dan fokal sepsis intra abdominal lain (Bararah dan Jauhar, 2013).
h. Pengkajian fokus 1) Pengkajian fokus pada klien apendisitis menurut Yayan (2008) dikutip dalam Handayani (2008) adalah:
15
a) Identitas Klien (1) Umur: biasanya apendisitis lebih sering terjadi pada usia 10-30 tahun. (2) Jenis kelamin: laki-laki lebih sering terkena apendisitis dari pada wanita. b) Lingkungan Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya tahan tubuh penderita akan lebih baik dari pada tinggal di lingkungan yang kotor. Hal itu akan mencegah masuknya cacing askariasis ke dalam lumen apendiks. c) Riwayat keperawatan (1) Riwayat kesehatan saat ini: keluhan nyeri pada luka post operasi apendektomi, mual muntah, peningkatan suhu tubuh, peningkatan leukosit. (2) kesehatan masa lalu d) Pemeriksaan Fisik (1) Inspeksi Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen. (2) Palpasi Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa
16
nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah, ini disebut tanda Rovsing (Rovsing sign). Apabila tekanan pada perut kiri dilepas maka juga akan terasa sakit diperut kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg (Blumberg sign). (3) Pemeriksaan colok dubur Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukan letak apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika. (4) Uji psoas dan uji obturator. Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas mayor lewat hiperekstensi panggul kanan kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel pada m.psoasmayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan andorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang
17
merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika. e) Perubahan Pola Fungsi Data yang di peroleh dalam kasus appendisitis menurut Bararah dan Jauhar (2013) adalah sebagai berikut: (1) Aktivitas/istirahat Gejala: malaise (2) Sirkulasi Tanda: takikardi (3) Eliminasi Gejala: konstipasi pada awitan awal, diare (kadangkadang). Tanda:
distensi
abdomen,
nyeri
tekan/nyeri
lepas,
kekakuan. Penurunan atau tidak ada bising usus. (4) Makanan/cairan Gejala: anoreksia dan mual/muntah (5) Nyeri/kenyamanan Gejala: nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc Burney (setengah jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan), meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam (nyeri berhenti tiba-tiba diduga perforasi atau infark pada apendiks). Keluhan berbagai rasa nyeri/gejala
18
tidak jelas (sehubungan dengan lokasi apendiks, contoh: retrosekal atau sebelah ureter). Tanda: perilaku berhati-hati, berbaring ke samping atau telentang dengan lutut ditekuk. Meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak.
Nyeri lepas pada sisi kiri diduga
inflamasi peritoneal. (6) Pernafasan Tanda: takipnea, pernapasan dangkal. (7) Keamanan Tanda: demam (biasanya rendah). 2) Pengkajian fokus pada klien post operasi appendiktomi menurut Bararah dan Jauhar (2013) antara lain: a) Identitas (1) Identitas klien post operasi appendiktomi yang menjadi pengkajian dasar meliputi: nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat, diagnosa medis, tindakan medis, no rekam medis, tanggal masuk, tanggal operasi dan tanggal pengkajian. (2) Identitas penanggungjawab meliputi: nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat dan sumber biaya.
19
b) Lingkup Masalah Keperawatan Berisi keluhan utama pasien saat dikaji, klien post operasi appendiktomi biasanya mengeluh nyeri pada luka operasi. c) Riwayat penyakit (1) Riwayat Penyakit Sekarang Riwayat
Penyakit
Sekarang
ditemukan
saat
pengkajian yaitu diuraikan dari masuk tempat perawatan sampai dilakukan pengkajian.
Keluhan sekarang dikaji
dengan menggunakan PQRST (Provokatif, Quality, Region, Severitys cale and Time).
Klien yang telah menjalani
operasi appendiktomi pada umumnya mengeluh nyeri pada luka operasi yang akan bertambah saat digerakkan atau ditekan dan umumnya berkurang setelah diberi obat dan diistirahatkan. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk dengan skala nyeri lebih dari lima (0-10). Nyeri akan terlokalisasi di daerah operasi dapat pula menyebar diseluruh abdomen dan paha kanan dan umumnya menetap sepanjang hari. Nyeri mungkin dapat mengganggu aktivitas seperti rentang toleransi klien masing-masing.
20
(2) Riwayat Penyakit Dahulu Berisi pengalaman penyakit sebelumnya, apakah memberi pengaruh kepada penyakit yang diderita sekarang serta apakah pernah mengalami pembedahan sebelumnya. (3) Riwayat Penyakit Keluarga Perlu diketahui apakah ada anggota keluarga lainnya yang menderita sakit yang sama seperti klien, dikaji pula mengenai adanya penyakit keturunan atau menular dalam keluarga. d) Riwayat psikologis Secara umum klien dengan post appendisitis tidak mengalami penyimpangan dalam fungsi psikologis.
Namun
demikian tetap perlu dilakukan mengenai kelima konsep diri klien (citra tubuh, identitas diri, fungsi peran, ideal diri dan harga diri). e) Riwayat Sosial Klien
dengan
post
operasi
appendiktomi
tidak
mengalami gangguan dalam hubungan sosial dengan orang lain, akan tetapi harus dibandingkan hubungan sosial klien antara sebelum dan sesudah menjalani operasi. f) Riwayat Spiritual Pada umumnya klien yang menjalani perawatan akan mengalami keterbatasan dalam aktivitas begitu pula dalam hal
21
ibadah. Perlu dikaji keyakinan klien terhadap keadaan sakit dan motivasi untuk kesembuhannya. g) Kebiasaan sehari-hari Klien yang menjalani operasi pengangkatan apendiks pada umumnya mengalami kesulitan dalam beraktivitas karena nyeri yang akut dan kelemahan. Klien dapat mengalami gangguan dalam perawatan diri. Klien akan mengalami pembatasan masukan oral sampai fungsi pencernaan kembali ke dalam rentang normalnya. Kemungkinan klien akan mengalami mual muntah dan konstipasi pada periode awal post operasi karena pengaruh anastesi. Intake oral dapat mulai diberikan setelah fungsi pencernaan kembali ke dalam rentang normalnya. Klien juga dapat mengalami penurunan haluaran urin karena adanya pembatasan masukan oral. Pola istirahat klien dapat terganggu maupun tidak terganggu, tergantung toleransi klien terhadap nyeri yang dirasakan. h) Pemeriksaan Fisik (1) Keadaan Umum Klien post appendiktomi mencapai kesadaran penuh setelah
beberapa
jam
kembali
dari
meja
operasi,
penampilan menunjukkan keadaan sakit ringan sampai berat tergantung periode akut rasa nyeri.
Tanda vital
22
umumnya stabil kecuali akan mengalami ketidakstabilan pada klien yang mengalami perforasi apendiks. (2) Sistem Pernafasan Klien
post
appendiktomi
akan
mengalami
penurunan atau peningkatan frekuensi nafas (takipneu) serta pernafasan dangkal, sesuai rentang yang dapat ditoleransi oleh klien. (3) Sistem Kardiovaskuler Umumnya klien mengalami takikardi (sebagai respon terhadap stress dan hipovolemia), mengalami hipertensi (sebagai respon terhadap nyeri), hipotensi (kelemahan dan tirah baring). Pengisian kapiler biasanya normal, dikaji pula keadaan konjungtiva , adanya sianosis dan auskultasi bunyi jantung. (4) Sistem Pencernaan Adanya nyeri pada luka operasi di abdomen kanan bawah saat dipalpasi. Klien post appendiktomi biasanya mengeluh mual muntah, konstipasi pada awitan awal post operasi dan penurunan bising usus. Akan tampak adanya luka operasi di abdomen kanan bawah bekas sayatan operasi.
23
(5) Sistem Perkemihan Awal post operasi klien akan mengalami penurunan jumlah output urin, hal ini terjadi karena adanya pembatasan
intake oral
selama periode
awal
post
appendiktomi. Output urin akan berlangsung normal seiring dengan peningkatan intake oral. (6) Sistem Muskuloskeletal Secara umum, klien dapat mengalami kelemahan karena tirah baring post operasi dan kekakuan. Kekuatan otot berangsur membaik seiring dengan peningkatan toleransi aktivitas. (7) Sistem Integumen Akan tampak adanya luka operasi di abdomen kanan bawah bekas sayatan operasi disertai kemerahan. Turgor kulit akan membaik seiring dengan peningkatan intake oral. (8) Sistem Persarafan Pengkajian fungsi persarafan meliputi: tingkat kesadaran, saraf kranial dan reflek. (9) Sistem Pendengaran Pengkajian yang dilakukan meliputi: bentuk dan kesimetrisan telinga, ada tidaknya peradangan dan fungsi pendengaran.
24
(10) Sistem Endokrin Klien post appendiktomi tidak mengalami kelainan fungsi endokrin. Akan tetapi petap perlu dikaji keadekuatan fungsi endokrin (tiroid dan lain-lain).
i. Diagnosa Keperawatan dan Fokus Intervensi 1) Nyeri akut b.d terputusnya kontinuitas jaringan akibat insisi bedah Tujuan: Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam di harapkan nyeri berkurang atau hilang. KH : Klien melaporkan nyeri berkurang / hilang, klien tampak rileks, skala nyeri menjadi 1-3 Intervensi : a) Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala 0-10). Selidiki dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat. Rasional: Berguna dalam pengawasan
keefektifan obat,
kemajuan penyembuhan. Perubahan pada karakteristik nyeri menunjukkan terjadinya abses/peritonitis, memerlukan upaya evaluasi medik dan intervensi. b) Ajarkan tehnik relaksasi. Rasional: Untuk mengalihkan rasa nyeri sehingga pasien lebih nyaman c) Pertahankan istirahat dengan posisi telentang.
25
Rasional: Menghilangkan tekanan abdomen yang bertambah dengan posisi telentang. d) Berikan kantong es pada abdomen. Rasional: Menghilangkan dan mengurangi nyeri melalui penghilangan rasa ujung saraf. Catatan: jangan lakukan kompres panas karena dapat menyebabkan kompresi jaringan. e) Beritahukan penyebab nyeri. Rasional: Membantu klien dalam mekanisme koping f) Berikan analgesik sesuai indikasi. Rasional: Menghilangkan nyeri mempermudah kerjasama dengan intervensi terapi lain seperti ambulasi, batuk (Bararah dan Jauhar, 2013). 2) Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi intoleransi aktivitas. KH: Pasien tidak lemas, pasien mampu melakukan aktivitas mandiri sesuai kondisi dan kemampuan. Intervensi: a) Observasi tanda-tanda vital sebelum dan sesudah aktivitas. Rasional: Untuk mengetahui sejauh mana perbedaan selama aktivitas. b) Kaji penyebab kelemahan. Rasional: Merencanakan intervensi dengan tepat.
26
c) Ajarkan latihan gerak aktif pasif. Rasional:
Meningkatkan
sirkulasi
darah
dan
mencegah
komplikasi. d) Lakukan alih baring tiap 2 jam. Rasional: Mencegah terjadinya kelembaban yang berlebih pada kulit pasien. e) Bantu pasien dalam beraktivitas. Rasional: Bisa memaksimalkan penggunaan energi yang dikeluarkan. 3) Gangguan integritas kulit b.d luka insisi pembedahan Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam integritas kulit kembali utuh. KH: integritas kulit membaik, tidak ada tanda-tanda infeksi, leukosit normal. Intervensi: a) Kaji tanda-tanda infeksi. Rasional: Mengetahui tanda infeksi lebih dini. b) Monitor jumlah leukosit. Rasional: Mengetahui kadar infeksi dalam tubuh pasien. c) Observasi keadaan luka. Rasional: Memberikan deteksi dini proses terjadinya infeksi. d) Anjurkan pasien untuk menjaga area insisi agar tetap bersih dan kering.
27
Rasional: Menghindari terjadinya infeksi. e) Instruksikan untuk selalu cuci tangan. Rasional: Untuk mencegah terjadinya penularan pathogen. f) Beri penkes tentang pentingnya perawatan luka. Rasional: Supaya pasien dan keluarga mengetahui pentingnya perawatan luka. g) Lakukan perawatan luka Rasional: Mencegah terjadinya infeksi. h) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik. Rasional: Mencegah terjadinya infeksi.
B. Tinjauan Teori Kebutuhan Dasar 1. Nyeri a. Pengertian Nyeri Gangguan rasa nyaman adalah merasa kurang senang, lega, dan sempurna dalam dimensi fisik, psikospiritual, lingkungan dan sosial (NANDA, 2013). Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International Association for the study of pain), awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung <6 bulan (NANDA, 2013).
28
Nyeri kronis adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International Association for the study of pain), awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat, terjadi secara konstan atau berulang tanpa akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung >6 bulan (NANDA, 2013). b. Fisiologi Nyeri Cara penyebaran nyeri dipersepsikan oleh individu masih belum sepenuhnya dimengerti.
Namun, bisa tidaknya nyeri dirasakan dan
derajat nyeri tersebut mengganggu dipengaruhi oleh sistem algesia tubuh dan transmisi system saraf serta interprestasi stimulus. Fisiologi nyeri menurut Saputra (2013) adalah: 1) Nosisepsi Sistem saraf perifer mengandung saraf sensorik primer yang berfungsi mendeteksi kerusakan jaringan dan membangkitkan beberapa sensasi, salah satunya adalah sensasi nyeri. Rasa nyeri dihantarkan oleh reseptor yang disebut nosiseptor. Nosiseptor merupakan ujung saraf perifer yang bebas dan tidak bermielin atau hanya memiliki sedikit mielin. Reseptor ini tersebar di kulit dan mukosa, khusunya pada viseral, persendian, dinding arteri, hati, dan kandung empedu. Reseptor nyeri tersebut dapat dirangsang oleh
29
stimulus mekanis, termal, listrik, atau kimiawi misalnya histamin, bradikinin dan prostaglandin. Proses fisiologis nyeri disebut nosisepsi. Proses ini terdiri dari 4 tahap yaitu sebagai berikut: a) Transduksi: rangsangan stimulus yang membahayakan pemicu pelepasan mediator biokimia misalnya histamin, bradikinin & prostaglandin dan substansi P. Mediator ini kemudian mensensitisasi nosiseptor. b) Transmisi: tahap transmisi terdiri atas tiga bagian yaitu: (1) Stimulasi yang diterima oleh reseptor ditransmisikan berupa impuls nyeri dari serabut saraf perifer ke medulla spinalis. Jenis nosiseptor yang terlibat dalam transmisi ini ada dua jenis yaitu serabut C dan serabut A-delta.
Serabut C
mentransmisikan nyeri yang tajam dan terlokalisasi. (2) Nyeri ditransmisikan dari medulla spinalis ke batang otak dan thalamus melalui jalur spinotalamikus yang membawa informasi tentang sifat dan lokasi stimulus ke thalamus. (3) Sinyal diteruskan ke korteks sensorik somatik (tempat nyeri dipersepsikan). Impuls yang di transmisikan melalui SST mengaktifkan respon otonomik dan limbik. c) Persepsi Individu mulai menyadari adanya nyeri dan tampaknya persepsi nyeri tersebut terjadi di struktur korteks sehingga
30
memungkinkan timbulnya berbagai strategi perilaku kognitf untuk mengurangi komponen sensorik dan afektif nyeri. d) Modulasi atau system desendens Neuron di batang otak mengirimkan sinyal-sinyal kembali ke tanduk dorsal medulla spinalis yang terkondusi dengan nosiseptor impuls supresif. Serabut desendens tersebut melepaskan substansi seperti opioid, serotonin dan norepinefrin yang akan menghambat impuls asendens yang membahayakan di bagian dorsal medula spinalis. 2) Teori Gate Control Teori gate control dikemukakan oleh Melzack dan Well pada tahun 1965.
Berdasarkan teori ini, fisiologi nyeri dapat
dijelaskan sebagai berikut. Akar dorsal pada medulla spinalis terdiri atas beberapa lapisan atau laminae yang saling bertautan. Diantara lapisan dua dan tiga terdapat substansi gelatinosa yang berperan seperti layaknya pintu gerbang yang memungkinkan atau menghalangi masuknya impuls nyeri menuju otak.
Substansi gelatinosa ini
dilewati oleh saraf besar dan saraf kecil yang berperan dalam penghantaran nyeri. Mekanisme nyeri, rangsangan nyeri dihantarkan oleh serabut saraf kecil. Rangsangan pada saraf kecil dapat menghambat substansi gelatinosa dan membuka pintu mekanisme sehingga
31
merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya akan menghantarkan rangsangan nyeri. Rangsangan nyeri yang dihantarkan melalui saraf kecil dapat dihambat apabila terjadi rangsangan pada saraf besar. Rangsangan pada saraf besar akan mengakibatkan aktivitas substansi gelatinosa meningkat sehingga pintu mekanisme tertutup dan hantaran rangsangan pun terhambat. Rangsangan yang melalui saraf besar dapat
langsung
merambat
ke
korteks
serebri
agar
dapat
diidentifikasi dengan cepat. c. Klasifikasi nyeri Menurut Saputra (2013) nyeri dapat dibedakan berdasarkan jenis dan bentuknya. 1) Jenis Nyeri a) Nyeri perifer Nyeri perifer dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu sebagai berikut: (1) Nyeri superfisial: rasa nyeri muncul akibat rangsangan pada kulit dan mukosa. (2) Nyeri viseral: rasa nyeri yang timbul akibat rangsangan pada reseptor nyeri di rongga abdomen, kranium dan thorak. (3) Nyeri alih: rasa nyeri dirasakan di daerah lain yang jauh dari jaringan penyebab nyeri.
32
b) Nyeri sentral: nyeri yang muncul akibat rangsangan pada medulla spinalis, batang otak dan thalamus. c) Nyeri psikogenik: nyeri yang penyebab fisiknya tidak diketahui. Umumnya nyeri ini disebabkan oleh faktor psikologis. Selain jenis-jenis nyeri yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat juga beberapa jenis nyeri yang lain. Contohnya adalah sebagai berikut: a) Nyeri somatik: nyeri yang berasal dari tendon, tulang, saraf, dan pembuluh darah. b) Nyeri menjalar: nyeri yang terasa di bagian tubuh yang lain, umumnya disebabkan oleh kerusakan atau cidera pada organ viseral. c) Nyeri neurologis: bentuk nyeri tajam yang disebabkan oleh spasme di sepanjang atau di beberapa jalur saraf. d) Nyeri phantom: nyeri yang dirasakan pada bagian tubuh yang hilang misalnya pada bagian kaki yang sebenarnya sudah diamputasi. 2) Bentuk Nyeri a) Nyeri akut Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat menghilang. Umumnya nyeri ini berlangsung tidak lebih dari enam bulan. Penyebab dan lokasi
33
nyeri biasanya sudah diketahui. Nyeri akut ditandai dengan peningkatan tegangan otot dan kecemasan. b) Nyeri kronis Nyeri kronis merupakan nyeri yang berlangsung berkepanjangan, berulang dan menetap selama lebih dari enam bulan. Sumber nyeri dapat diketahui atau tidak. Umumnya nyeri ini tidak dapat disembuhkan. Nyeri kronis dapat dibagi menjadi beberapa kategori, antara lain nyeri terminal, sindrom nyeri kronis dan nyeri psikosomatis. Perbedaan nyeri akut dan nyeri kronis: Karakteristik Pengalaman Sumber Serangan Durasi Pernyataan nyeri
Gejala klinis
Perjalanan
Prognosis
Nyeri Akut Suatu kejadian
Nyeri Kronis Suatu situasi, status eksistensi nyeri Faktor eksternal atau Tidak di ketahui penyakit dari dalam Mendadak Bisa mendadak atau bertahap tersembunyi Sampai 6 bulan Enam bulan lebih sampai bertahun-tahun Daerah nyeri Daerah nyeri sulit umumnya diketahui dibedakan intensitasnya dengan pasti dengan daerah yang tidak nyeri sehingga sulit dievaluasi Pola respon yang Pola respon bervariasi khas dengan gejala yang lebih jelas Umumnya gejala Gejala berlangsung terus berkurang setelah dengan intensitas yang beberapa waktu tetap atau bervariasi Baik dan mudah Penyenbuhan total dihilangkan umumnya tidak terjadi
34
d. Faktor yang mempengaruhi nyeri Menurut Saryono (2010) faktor yang mempengaruhi nyeri yaitu: 1) Usia Perbedaan usia dalam berespon terhadap nyeri. Anak kecil memiliki kesulitan untuk memahami dan mengekspresikan nyeri. Pada lansia, mereka untuk tidak melaporkan nyeri karena persepsi nyeri yang harus mereka terima, menyangkal merasakan nyeri karena takut akan konsekuensi atau tindakan media yang dilakukan dan takut akan penyakit dari rasa nyeri itu. 2) Jenis kelamin Seorang laki-laki harus lebih berani sehingga tertanamkan yang menyebabkan mereka lebih tahan terhadap nyeri dibanding wanita. 3) Kebudayaan Beberapa kebudayaan meyakini bahwa memperlihatkan nyeri adalah sesuatu yang wajar namun ada berberapa kebudayaan yang
mengajarkan
untuk
menutup
perilaku
untuk
tidak
memperlihatkan nyeri. 4) Makna nyeri Makna nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan adaptasi terhadap nyeri.
35
5) Perhatian Seseorang yang mampu mengalihkan perhatian, sensasi nyeri akan berkurang. Karena upaya pengalihan dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. 6) Ansietas Ansietas sering meningkatkan persepsi nyeri dan nyeri dapat menimbulkan ansietas. 7) Keletihan Keletihan meningkatkan persepsi nyeri yang menurunkan kemampuan koping. 8) Pengalaman nyeri Seseorang dengan pengalaman nyeri akan lebih terbentuk koping yang baik dibanding dengan orang yang pertama terkena nyeri, maka akan mengganggu koping. 9) Gaya koping Klien sering menemukan cara untuk mengembangkan koping terhadap efek fisiologis dan psikologis. Gaya koping ini berhubungan dengan pengalaman nyeri. 10) Dukungan keluarga dan sosial Kehadiran
keluarga
meminimalkan persepsi nyeri.
atau
orang
yang
dicintai
akan
36
e. Fokus pengkajian 1) Pengkajian Keperawatan Menurut Saputra (2013) pengkajian keperawatan pada masalah nyeri serta umum mencakup 5 hal yaitu pemicu nyeri, kualitas nyeri, lokasi nyeri, intensitas nyeri, dan waktu serangan. Cara mudah mengatasinya adalah dengan PQRST. P = Provoking atau pemicu, yaitu faktor yang menimbulkan nyeri dan mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri. Q = Quality atau kualitas nyeri, misalnya rasa tajam atau tumpul. R = Region atau daerah/lokasi, yaitu perjalanan ke daerah lain. S = Severity atau keparahan, yaitu intensitas nyeri. T = Time atau waktu, yaitu jangka waktu serangan atau frekuensi nyeri. 2) Komponen pengkajian nyeri menurut Saputra (2013): riwayat nyeri dan observasi langsung. a) Lokasi Nyeri
superfisial
biasanya
dapat
secara
akurat
ditunjukkan oleh klien; sedangkan nyeri yang timbul dari bagian dalam lebih dirasakan secara umum. Nyeri dapat pula dijelaskan menjadi 4 kategori, yang berhubungan dengan lokasi: 1) Nyeri terlokalisir: jelas terlihat pada area asalnya.
37
2) Nyeri terproyeksi: sepanjang saraf atau serabut saraf spesifik. 3) Nyeri radiasi 4) Nyeri alih (Reffered Pain) b) Intensitas Beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri: 1) Distraksi atau konsentrasi dari klien pada suatu kejadian 2) Status kesadaran klien 3) Harapan klien Menurut Potter dan Perry (2006) nyeri dapat berupa: ringan, sedang, berat atau tak tertahankan. 1) Nyeri ringan: hilang tanpa pengobatan, tidak mengganggu aktifitas sehari-hari 2) Nyeri sedang: nyeri yang menyebar ke perut bagian bawah, mengganggu aktivitas sehari-hari. 3) Nyeri berat atau tak tertahankan: nyeri disertai pusing, sakit kepala berat, muntah, diare, sangat mengganggu aktifitas sehari-hari, menangis, meringis, gelisah, menghindar percakapan dan kontak sosial, sesak nafas, immobilisasi, menggigit bibir, penurunan rentan kesadaran.
38
c) Waktu dan lama (Time dan Duration) Perawat perlu mencatat kapan nyeri timbul, berapa lama, bagaimana timbulnya dan juga tanpa nyeri dan kapan nyeri terakhir timbul. d) Kualitas Mengkomunikasikan kualitas dari nyeri. Menganjurkan klien menggunakan bahasa yang dia ketahui. e) Perilaku non verbal Ekspresi wajah, gemeretak gigi, menggigit bibir bawah. f) Faktor lain Beberapa faktor lain yang akan meningkatkan nyeri: lingkungan, suhu ekstrim, kegiatan yang tiba-tiba, stressor fisi dan emosi. g) Alat pengukur nyeri Skala Nyeri Menurut Hayward Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri Hayward dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah satu bilangan (dari 0-10) yang menurutnya paling menggambarkan pengalaman nyeri yang dirasakan. Skala nyeri menurut Hayward dapat dituliskan sebagai berikut:
0
1 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
39
0
= tidak nyeri
1-3
= nyeri ringan
4-6
= nyeri sedang
7-9
= sangat nyeri, tetapi masih dapat dikendalikan dengan aktivitas yang biasa dilakukan
10
= sangat nyeri dan tidak bias dikendalikan
40
C. Pathway Sekresi mukus berlebih pada lumen
Invasi dan Multiplikasi bakteri
Peradangan pada jaringan
Appendik teregang
Appendisitis
Hipertermi Febris
Tekanan intraluminal lebih dari tekanan vena
Spasme dinding appendik Peristaltik usus
Hipoksia jaringan appendik Distensi abdomen
Kerusakan kontrol suhu terhadap inflamasi
Ulserasi Gangguan rasa nyaman
mual muntah
Resiko ketidakefektifan perfusi gastrointestinal
Perforasi
Anoreksia
Resiko kekurangan volume cairan
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Akumulasi sekret Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Operasi Intra operasi
Post operasi Luka insisi
Pembedahan dengan spinal anastesi Perdarahan
Insisi pembedahan (port de entry)
Ketidakseimbangan volume cairan
Pintu masuk kuman Resiko infeksi
Kerusakan jaringan
Kelemahan
Ujung saraf terputus
Intoleransi aktivitas
Pelepasan prostaglandin Resiko infeksi
Spinal anastesi
Kerusakan integritas jaringan
Stimulasi dihantarkan Spinal cord
Kerusakan integritas kulit
Korteks Serebri Nyeri akut Sumber : Nurarif, Huda Kusuma (2013)
BAB III METODE PENULISAN A. Desain Studi Kasus Penyusunan karya tulis ilmiah ini penulis menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan studi kasus yaitu metode ilmiah yang bersifat mengumpulkan data, menganalisis data, menarik kesimpulan (Notoatmodjo, 2011).
B. Subyek Studi Kasus Subyek pengambilan kasus ini adalah Tn.S dengan Gangguan Kenyamanan: Nyeri Post Appendiktomi hari ke-1.
C. Tempat dan Waktu Studi Kasus Penulisan karya tulis ilmiah ini mengambil kasus di RS PKU Muhammadiyah Surakarta pada tanggal 25 April 2014.
D. Instrument Instrument merupakan alat atau fasilitas yang digunakan untuk mendapatkan data. Alat-alat dan bahan merupakan penjelasan tentang alatalat yang dibutuhkan selama pelaksanaan studi kasus (Budiarto, 2009). Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data berupa formulir pengkajian medikal bedah yang menggunakan 11 fungsional gordon dan menggunakan assement nyeri untuk mengetahui tingkat skala nyeri pada
41
pasien post appendiktomi hari ke-1. Skala nyeri yang digunakan skala nyeri menurut Hayward yang dituliskan 0-10.
E. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data adalah menentukan metode setepat-tepatnya untuk memperoleh data, kemudian disusul dengan cara-cara menyusun alat pembantunya, yaitu instrument (Arikunto, 2010). Agar data dapat terkumpul dengan baik dan terarah, dilakukan pengumpulan data dengan metode antara lain: wawancara/interview, pemeriksaan fisik/physical assessment, observasi dan studi kepustakaan. 1. Wawancara Wawancara di lakukan untuk mendapatkan data subyektif dengan menggunakan pertanyaan terbuka atau tertutup, penulis bertanya langsung dengan klien demikian akan memudahkan penulis untuk mengetahui masalah keperawatan klien. 2. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi dilakukan untuk melengkapi data yang sudah ada. 3. Observasi Penulis melakukan pengamatan untuk mendapatkan data obyektif dilakukan langsung terhadap klien secara nyara berdasarkan pengamatan sehingga data yang didapatkan menjadi lengkap.
42
4. Studi Kepustakaan Penulis menggunakan berbagai sumber buku sebagai referensi yang membahas tentang gangguan sistem pencernaan apendisitis.
43
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Resume Kasus Bab ini berisi tentang "Kajian Asuhan Keperawatan pada Tn.S dengan Gangguan Kenyamanan: Nyeri Post Appendiktomi Hari Ke-1 di RS PKU Muhammadiyah Surakarta". Asuhan keperawatan, tersebut terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi dan evaluasi keperawatan. Data yang penulis dapatkan pada kasus ini berasal dari pasien, keluarga pasien, catatan keperawatan dan tim keperawatan. 1. Pengkajian a. Identitas Pasien dan Penanggung jawab Pengkajian dilakukan pada hari Kamis tanggal 24 April 2014 pukul 09.45 WIB, dengan metode alloanamnesa dan autoanamnesa. Data yang diperoleh dari pengkajian ini adalah nama pasien Tn.S umur 70 tahun, jenis kelamin laki-laki, agama Islam, suku bangsa Jawa, pendidikan SMP, alamat Gondangrejo Karanganyar, pasien masuk pada tanggal 22 April 2014. No. rekam medik 0144303 dengan diagnosa medis appendisitis. Penanggung jawab terhadap pasien: nama Tn.P, jenis kelamin: laki-laki, pendidikan SMP, alamat Gondangrejo Karanganyar, hubungan pasien adalah Anak.
44
b. Riwayat Kesehatan Keluhan utama: Setelah operasi hari ke-1 pasien mengatakan nyeri karena pasca operasi, nyeri seperti teriris-iris dan timbul saat melakukan pergerakan/ perpindahan tempat, nyeri dibagian perut kanan bawah, skala 6 dan secara terus-menerus. Riwayat kesehatan sekarang bahwa sebelum dirawat di Rumah Sakit pasien mengatakan badannya panas dan perut sebelah kanan bawah nyeri kurang lebih 2 minggu. Nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk dengan skala nyeri 6 secara terus menerus dan pasien meringis kesakitan. Oleh keluarga, pasien dibawa untuk diperiksakan ke puskesmas terdekat. Dari Puskesmas pasien diberi obat pencahar melalui rute rektal, karena kondisi pasien masih tetap sama, keesokan harinya pasien kembali lagi ke Puskesmas. Oleh dokter, pasien dirujuk ke RS PKU Muhammadiyah. Pada tanggal 23 April 2014 dilakukan USG dan hasilnya (+) menderita appendisitis, lalu pada tanggal 24 April 2013 dilakukan operasi appendisitis pada jam 07.20 WIB.
Setelah post operasi hari pertama
pasien mengatakan gatal pada luka operasi. Riwayat kesehatan dahulu bahwa pasien belum pernah mondok di Rumah Sakit. Riwayat kesehatan keluarga mengatakan di dalam anggota keluarga tidak ada yang menderita penyakit keturunan seperti Hepatitis, Diabetes Mellitus, Hipertensi, TBC.
45
Pada pengkajian fungsional didapatkan pola persepsi dan management kesehatan sebelum sakit: pasien mengatakan kesehatan itu mahal biayanya dan harus dipelihara dengan baik, selama sakit: pasien mengatakan kondisi sakit adalah suatu yang tidak menyenangkan dan pasien berharap untuk cepat sembuh. Pola nutrisi sebelum sakit: pasien mengatakan makan 3 kali sehari habis 1 porsi dengan menu nasi, lauk kadang-kadang tempe atau tahu karena pasien tidak suka sayur, minum air putih 6-8 gelas perhari, selama sakit: pasien mengatakan selama dirawat di rumah sakit nafsu makan berkurang karena terasa mual kadang muntah, makan 3 kali sehari dengan porsi Rumah Sakit hanya habis kurang lebih 3-4 sendok sekali makan, minum kurang lebih 1-2 gelas perhari. Pola eliminasi sebelum sakit: pasien mengatakan buang air besar 1-2 kali perhari dengan konsistensi lunak, warna kuning, bau khas, BAK 4-5 kali bau khas, warna kuning jernih. Selama sakit: pasien mengatakan setelah masuk Rumah Sakit belum pernah BAB, BAK tidak terkaji berapa kali sehari karena terpasang kateter, dilihat dari urine bag pasien BAK kurang lebih 600 cc/8 jam dengan warna kuning pekat. Pola aktifitas dan latihan sebelum sakit: pasien mengatakan sehariharinya bekerja sebagai petani dan melakukan aktivitasnya mandiri. Selama sakit: pasien mengatakan aktivitasnya dibantu oleh keluarga, pasien mengatakan badannya masih lemas dan tidak mampu melakukan
46
aktivitas sehari-hari secara mandiri seperti makan, minum, ganti pakaian dll. Pola istirahat tidur sebelum sakit: pasien mengatakan tidur malam kurang lebih 8 jam (21.00-05.00). Selama sakit: pasien mengatakan banyak tidur dan sering tidur karena pasien beranggapan dengan tidur nyeri tidak terasa. Pola persepsi dan konsep diri, ideal diri: pasien ingin cepat pulang dan kondisinya membaik, identitas diri: pasien mengatakan masih bisa mengenali dirinya dan keluarganya, harga diri: pasien mengatakan sering memikirkan kondisinya, gambaran diri: pasien mengatakan dirinya tetap baik walaupun disaat ini terbaring lemah di rumah sakit dan tempat tidur, pasien yakin pasti sembuh. Pola peran dan hubungan sebelum sakit: pasien mengatakan hubungan dengan keluarga, saudara dan tetangga serta masyarakat sekitar baik, selama sakit: pasien mengatakan hubungan dengan keluarga baik dan saudaranya banyak yang menjenguk. Pola reproduksi dan seksual: pasien berjenis kelamin laki-laki berumur 70 tahun yang sudah menikah dan mempunyai 4 orang anak dan 7 cucu. Pola koping terhadap stres: pasien mengatakan apabila ada masalah langsung dibicarakan dengan keluarganya untuk menyelesaikannya. Pola nilai dan keyakinan: pasien adalah seorang yang beragama Islam tetapi jarang menjalankan ibadah sholat 5 waktu.
47
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum kesadaran composmentis, keadaan umum: baik, tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 90 kali/menit, pernafasan 22 x/menit, suhu 37,2°C. Pada pemeriksaan fisik kepala: bentuk mesocnepal, rambut putih, kulit kepala bersih, tidak ada nyeri tekan, mata: bola mata simetris kanan dan kiri, konjungtiva tidak anemis, pupil isokor, sklera tidak ikterik, hidung: simetris, tidak ada polip, penciuman baik dan bagus, mulut: mukosa bibir kering, gigi caries, tidak ada stomatitis, telinga: simetris, serumen cukup, pendengaran bagus, tidak keluar cairan, leher: tidak ada pembesaran kelenjar tyroid. Pada paru: pengembangan dada kanan sama dengan kiri, datar, tidak ada bekas luka, fremitus vokal kanan=kiri, tidak ada nyeri tekan, suara perkusi sonor, suara nafas vesikuler, pada jantung: ictus cordis tidak tampak, ictus cordis teraba di SIC V, jantung tidak melebar, bunyi jantung I-II terdengar. Pada abdomen terdapat luka operasi di perut kanan bawah sepanjang kurang lebih 7 cm dan heacting dengan jumlah 9, keadaan balutan rapi dan bersih, tidak terdapat pengeluaran darah, bising usus 7 x/menit, suara tympani, terdapat nyeri tekan di sebelah kanan bawah. Ekstremitas: Capilary refill < 2 detik, tangan kanan dapat digerakkan dengan bebas, tangan kiri hanya terbatas karena terpasang infus RL 16 tetes per menit,tidak terdapat kemerahan, bengkak dan nyeri tekan. Untuk kedua kaki dapat digerakkan bebas tetapi masih lemas, tidak ada oedema, genetalia: alat kelamin bersih, terpasang kateter. 48
Data penunjang pada tanggal 24 April 2014 adalah Leukosit 13,5 ribu/uL (4,0-12,0), Eritrosit 5,00 jt/uL (4,5-5,9), Hb 14,5 g/dl (14,0-18,0), Hematokrit 42,1 % (40-52), Trombosit 185 ribu/uL (150-400), Netrofil 84,8 % (50-70), Limfosit 9,2 % (25-40), Monosit 5,8 % (2-8), Eosinofil 0,0 % (2-4), Basofil 0,2 % (0-1), MCV 84,2 fL (79,0-99,0), CH 29,0 Pg (27,0-31,0), MCHC 34,4 g/dl (33,0-37,0). Terapi obat: injeksi ceftriaxon 1 gr/8 jam, torasic 30 mg/12 jam, ranitidine 50 mg/8 jam, metrolidazol 3 x 500 mg, oral: sanmol 3x1, Dexiclaf 500 mg 3x1, Torasic 2x1. Pengkajian pada tanggal 24 April 2014 didapatkan data-data fokus yang dibedakan menjadi data subjektif dan data objektif. Untuk data subjektif didapatkan bahwa pasien mengatakan nyeri karena pasca operasi, nyeri seperti teriris-iris dan timbul saat melakukan pergerakan/ perpindahan tempat, nyeri dibagian perut kanan bawah, skala 6 dan secara terus-menerus, Pasien mengatakan badannya masih lemas, aktivitasnya dibantu oleh keluarga dan belum mampu melakukan aktivitas secara mandiri seperti makan, minum, ganti pakaian, mobilisasi di tempat tidur, dll, Pasien mengatakan gatal pada luka insisi. Data objektif: Pasien tampak menahan nyeri, terdapat luka pasca operasi di perut kanan bawah, TD: 100/70 mmHg, N: 90 x/menit, S: 37,2°C, RR: 22 x/menit, Pasien masih terbaring lemas ditempat tidur, semua aktivitasnya masih tergantung oleh keluarga, terdapat luka operasi di perut kanan bawah, terdapat luka operasi di perut kanan bawah sepanjang kurang lebih 7 cm 49
dan heacting dengan jumlah 9, keadaan balutan rapi dan bersih, karakteristik infeksi yaitu (dolor) nyeri pada bagian perut kanan bawah pasca operasi, adanya rasa panas (kalor) dibagian perut kanan bawah pasien mengatakan rasa panas yang tak tertahankan, merah (rubor) belum tahu terjadi kemerahan atau tidak disekitar luka karena balutan belum boleh dibuka, pembengkakan (tumor) pada luka di perut kanan bawah tidak nampak adanya pembengkakan yang terjadi. Leukosit 13,5 ribu/uL.
2. Analisa Data No
Tanggal/Jam
1.
25 April 2014 10.00
2.
25 April 2014 10.00
Data Fokus
Problem
DS: Nyeri akut Pasien mengatakan nyeri: P: karena pasca operasi Q:seperti teriris-iris dan timbul saat melakukan pergerakan/ perpindahan tempat R: dibagian perut kanan bawah S: skala 6 T: terus-menerus DO: Pasien tampak menahan nyeri, terdapat luka pasca operasi di perut kanan bawah, TD: 100/70 mmHg, N: 90 x/menit, S: 37,2°C, RR: 22 x/menit. terdapat nyeri tekan pada perut kanan bawah. DS: Intoleransi Pasien mengatakan badannya aktivitas masih lemas, aktivitasnya dibantu oleh keluarga dan belum mampu melakukan aktivitas secara mandiri seperti 50
Etiologi terputusnya kontinuitas jaringan akibat insisi pembedahan
Kelemahan fisik
3.
25 April 2014 10.00
makan, minum, ganti pakaian dll. DO: Pasien masih terbaring lemas ditempat tidur, semua aktivitasnya masih tergantung oleh keluarga, terdapat luka operasi di perut kanan bawah. DS: Gangguan Pasien mengatakan gatal pada integritas luka insisi kulit DO: Terdapat luka operasi di perut kanan bawah sepanjang kurang lebih 7 cm dan heacting dengan jumlah 9, keadaan balutan rapi dan bersih, karakteristik infeksi yaitu (dolor) nyeri pada bagian perut kanan bawah pasca operasi, adanya rasa panas (kalor) dibagian perut kanan bawah yang tak tertahankan, merah (rubor) belum tahu terjadi kemerahan atau tidak disekitar luka karena balutan belum boleh dibuka, pembengkakan (tumor) pada luka di perut kanan bawah tidak nampak adanya pembengkakan yang terjadi. Leukosit 13,5 ribu/uL
luka insisi pembedahan
3. Intervensi Keperawatan a. Nyeri akut b.d terputusnya kontinuitas jaringan akibat insisi pembedahan Tujuan yang diharapkan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam nyeri berkurang dengan kriteria hasil ekspresi pasien tampak rileks, skala nyeri berkurang menjadi 3, tanda-tanda vital dalam
51
batas normal dalam rentang TD: 110-120/70-80 mmHg, S: 36,0-37,0°C, N: 60-100 x/menit, RR: 16-22 x/menit. Rencana keperawatan yang sesuai yaitu kaji nyeri, catat lokasi dan karakteristik nyerinya, ajarkan tehnik relaksasi, pertahankan istirahat dengan posisi telentang, beri penkes tentang nyeri, beri kantong es pada abdomen, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik. b. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik Tujuan yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam gangguan mobilitas fisik teratasi dengan kriteria hasil pasien tidak lemas, pasien mampu melakukan aktivitas mandiri sesuai kondisi dan kemampuan. Rencana keperawatan yang sesuai yaitu observasi tanda-tanda vital sebelum dan sesudah beraktivitas, kaji penyebab kelemahan, ajarkan untuk latihan gerak aktif pasif, ikuti pola istirahat pasien dan hindari pemberian intervensi pada saat istirahat, lakukan alih baring tiap 2 jam, bantu pasien dalam melakukan aktivitas. c. Gangguan integritas kulit b.d luka insisi pembedahan Tujuan yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam integritas kulit kembali utuh dengan kriteria hasil integritas kulit membaik, tidak ada tanda-tanda infeksi, leukosit normal. Rencana keperawatan yang sesuai yaitu kaji tanda-tanda infeksi, monitor jumlah leukosit, instruksikan untuk selalu cuci tangan, observasi 52
keadaan luka tiap hari, anjurkan pasien untuk menjaga area insisi agar tetap bersi dan kering, lakukan perawatan luka, beri penkes tentang pentingnya perawatan luka, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.
4. Implementasi Keperawatan a. Diagnosa keperawatan 1 Nyeri akut b.d terputusnya kontinuitas jaringan akibat insisi pembedahan adalah mengkaji nyeri, mencatat lokasi dan karakteristik nyerinya, mengajarkan tehnik relaksasi nafas dalam, mempertahankan istirahat dengan posisi telentang, melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik. b. Diagnosa keperawatan 2 Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik adalah mengobservasi tanda-tanda vital sebelum dan sesudah beraktivitas, mengkaji penyebab kelemahan, mengajarkan untuk latihan gerak aktif pasif, melakukan alih baring tiap 2 jam, membantu pasien dalam melakukan aktivitas. c. Diagnosa keperawatan 3 Gangguan integritas kulit b.d luka insisi pembedahan adalah mengkaji mengkaji tanda-tanda infeksi, monitor jumlah leukosit, menginstruksikan selalu cuci tangan, mengobservasi keadaan luka, menganjurkan pasien untuk menjaga area insisi agar tetap bersih dan kering, melakukan perawatan luka, melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik. 53
5. Evaluasi a. Diagnosa keperawatan 1 Nyeri akut b.d terputusnya kontinuitas jaringan akibat insisi pembedahan adalah subyektif pasien mengatakan nyeri karena luka operasi dibagian perut kanan bawah, nyeri terasa berdenyut dengan skala 3 dan nyeri hilang timbul, obyektif pasien lebih rileks, skala nyeri 3, Assesment Masalah teratasi, Planning Intervensi dihentikan pasien boleh pulang. b. Diagnosa keperawatan 2 Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik adalah subyektif pasien mengatakan sudah tidak lemas, bisa melakukan aktivitas sesuai kemampuan, obyektif pasien tampak tidak lemas, dapat melakukan aktivitas sesuai kemampuan, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 82 kali/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu 36,8°C, Assesment Masalah teratasi, Planning Intervensi dihentikan pasien boleh pulang. c. Diagnosa keperawatan 3 Gangguan integritas kulit b.d luka insisi pembedahan adalah subyektif pasien mengatakan tidak terasa gatal pada luka operasi, obyektif tidak ada pus, jahitan rapi, integritas kulit kembali utuh, tidak terjadi tanda-tanda infeksi, leukosit dalam batas normal 8,9 ribu/uL, Assesment Masalah teratasi, Planning Intervensi dihentikan pasien boleh pulang.
54
B. Pembahasan 1. Diagnosa Keperawatan 1 nyeri akut b.d terputusnya kontinuitas jaringan akibat insisi pembedahan Diagnosa nyeri akut b.d terputusnya kontinuitas jaringan akibat insisi pembedahan muncul pada post operasi, menurut NANDA (2013) nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International Association for the study of pain), awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung <6 bulan. Diagnosa ini ditegakkan karena ditemukan data subjektif pasien dengan hasil pengkajian berupa pasien mengatakan nyeri karena pasca operasi, nyeri seperti teriris-iris saat melakukan pergerakan/perpindahan tempat, nyeri dibagian perut kanan bawah, skala 6 dan secara terus-menerus. Data Objektif yang didapatkan pasien tampak menahan nyeri karena nyeri ini biasanya disebabkan trauma bedah atau inflamasi. Nyeri akut akan berhenti dengan sendirinya (self limiting) dan akhirnya menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang terjadi kerusakan. Data obyektif lainnya juga terdapat luka pasca operasi di perut kanan bawah karena letak appendiks dibagian perut kanan bawah. Terdapat nyeri tekan bagian perut kanan bawah karena stimulasi yang diterima oleh reseptor 55
ditransmisikan berupa impuls nyeri dari serabut saraf perifer ke medulla spinalis, nyeri ditransmisikan dari medulla spinalis ke batang otak dan thalamus melalui jalur spinotalamikus yang membawa informasi tentang sifat dan lokasi stimulus ke thalamus dan sinyal diteruskan ke korteks sensorik somatik (tempat nyeri dipersepsikan) sehingga individu mulai menyadari adanya nyeri tersebut terjadi di struktur korteks sehingga memungkinkan timbulnya berbagai strategi perilaku kognitif untuk mengurangi komponen sensorik dan afektif nyeri. Diagnosa keperawatan ini muncul pada Tn. S karena ditemukannya data pasien mengatakan nyeri dan panas pada perut kanan bawah luka post operasi, nyeri bertambah ketika pasien bergerak/berpindah tempat dan yang dirasakan seperti teriris-iris dengan skala nyeri 6 kemudian nyeri yang dirasakan terus menerus. Nyeri yang dirasakan pada Tn. S disebabkan terputusnya kontinuitas jaringan akibat insisi pembedahan, didapatkan skala nyeri 6 yang temasuk nyeri sedang (Potter dan Perry, 2006) P (Paliatif/ Provocatif) yang menyebabkan timbulnya masalah nyeri. Kasus pada Tn. S nyeri yang dirasakan setelah operasi appendiktomi adalah nyeri dirasa saat bergerak/berpindah tempat. Tindakan pembedahan operasi appendiktomi merupakan penyebab terjadinya nyeri karena adanya trauma atau insisi pembedahan dan saat bergerak bisa memicu terjadinya nyeri. Q (Quality dan Quantity) kualitas dan kuantitas nyeri yang dirasakan oleh pasien (Andarmoyo, 2013). Tn. S mengatakan kualitasnya seperti teriris-iris. Kualitas 56
nyeri pasien pasca pembedahan biasanya terasa panas dan teriris-iris dikarenakan terjadnya insisi pembedahan. R (Region) lokasi nyeri dimana dirasakannya nyeri. Tn. S mengatakan nyeri yang dirasakan pada luka pasca operasi appendiktomi dibagian perut kanan bawah karena letak appendiks dibagian perut kanan bawah. S (Severity) tingkat keparahan merupakan karakteristik paling subjektif. Mengukur tingkat keparahan ini dengan menggunakan skala deskriptif (Verbal Descriptor Scale, VDS) karena pengukuran nyeri ini yang lebih objektif. Tn. S menunjukan skala nyeri 6 yaitu skala nyeri sedang. T (Timing) merupakan waktu saat nyeri itu timbul. Tn. S mengatakan nyeri yang dirasakan terus menerus. Pada pasien post operasi appendiktomi nyeri akan terasa terus menerus setelah efek anastesi menghilang kemudian akan berkurang secara periodik (Potter dan Perry, 2006). Diagnosa keperawatan ini muncul sebagai prioritas utama, karena menurut Hierarki Maslow kebutuhan aman nyaman menempati urutan kedua. Masalah nyeri bila tidak segera ditangani akan menimbulkan rasa tidak nyaman yang berkepanjangan, sehingga menggangu istirahat dan akan mengakibatkan syok neurologik (syok karena nyeri yang berlebihan). Tujuan yang diharapkan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam nyeri berkurang bahkan hilang. Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah kaji nyeri, catat lokasi dan karakteristik nyerinya dengan rasionalisasi berguna 57
dalam pengawasan keefektifan obat dan kemajuan penyembuhan. Ajarkan tehnik relaksasi nafas dalam dengan rasionalisasi untuk mengalihkan rasa nyeri sehingga pasien lebih nyaman. Pertahankan istirahat dengan posisi telentang dengan rasionalisasi menghilangkan tekanan abdomen yang bertambah dengan posisi telentang. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik dengan rasionalisasi untuk menghilangkan nyeri (Bararah dan Jauhar, 2013). Tindakan yang diberikan pada Tn S untuk mengatasi nyeri yaitu mengobservasi status nyeri meliputi penyebab, lokasi, skala, dan waktu terjadinya nyeri. Mengajarkan tehnik relaksasi nafas dalam untuk mengurangi rasa nyeri. Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan napas dalam, napas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan napas secara perlahan, selain dapat menurunkan intensitas nyeri. Teknik relaksasi napas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah. Memberi kantong es pada abdomen tidak dilakukan pada pasien karena belum berani. Dokter dan perawat senior pun tidak ada yang melakukan tindakan keperawatan itu. Mempertahankan pasien dalam posisi telentang, pasien lebih nyaman dengan posisi telentang karena dapat mengurangi regangan pada daerah abdomen. Melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antalgetik Torasic 30 mg/12 jam untuk mempercepat penyembuhan. 58
Kekuatan dari pelaksanaan tindakan yaitu adanya peran serta aktif dan kooperatif dari pasien dan keluarga dalam tindakan mandiri maupun kolaboratif, sehingga tindakan dapat dilaksanakan dengan baik. Kelemahan dari pelaksana tindakan keperawatan adalah pasien sangat takut dengan lukanya bila digunakan untuk bergerak. Evaluasi yang dicapai setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam masalah teratasi karena sudah sesuai program dengan data subjektif pasien mengatakan nyeri berkurang, skala nyeri 3 dan data obyektifnya ekspresi pasien tampak rileks, tanda-tanda vital dalam batas normal. Data yang didapatkan sudah sesuai dengan kriteria hasil maka intervensi dihentikan.
2. Diagnosa keperawatan 2 Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik Intoleransi aktivitas adalah ketidakcakupan energi psikologis atau fisiologis untuk melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan seharihari yang harus atau yang diinginkan (NANDA, 2009). Intoleransi
aktivitas
merupakan
suatu
diagnosa
yang
lebih
menitikberatkan respon tubuh yang tidak mampu untuk bergerak terlalu banyak karena tubuh tidak mampu memproduksi energi yang cukup. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa untuk bergerak, kita membutuhkan sejumlah energi.
59
Diagnosa ini ditegakkan apabila tidak ditangani akan mengakibatkan gangguan dalam beraktivitas (menggerakkan anggota badan, kepala, tangan, kaki). Data yang mendukung dari masalah ini adalah pasien mengatakan badannya masih lemas karena efek anastesi, aktivitasnya dibantu oleh keluarga dan belum mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri seperti makan, minum, ganti pakaian dll. Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah observasi tanda-tanda vital sebelum dan sesudah beraktivitas dengan rasionalisasi melihat sejauh mana perbedaan peningkatan selama aktivitas. Kaji penyebab kelemahan dengan rasionalisasi merencanakan intervensi dengan tepat. Anjurkan untuk latihan gerak aktif pasif dengan rasionalisasi meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah komplikasi. Lakukan alih baring tiap 2 jam dengan rasionalisasi mencegah terjadinya kelembaban yang terlebih pada kulit pasien. Bantu pasien dalam beraktivitas dengan rasionalisasi dengan membantu pasien beraktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki bisa memaksimalkan penggunaan energi yang dikeluarkan (Carpenito, 2007). Implementasi yang dilakukan yaitu mengobservasi tanda-tanda vital sebelum dan sesudah beraktivitas dan mengkaji penyebab kelemahan, dengan melakukan observasi bisa mengetahui tingkat kelemahan pasien. Mengajarkan latihan gerak aktif pasif untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakkan persendian secara normal dan 60
lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter dan Perry, 2006). Melakukan alih baring tiap 2 jam, alih baring dilakukan dengan cara memiringkan pasien dari telentang ke miring maupun sebaliknya. Alih baring tiap 2 jam dilakukan untuk menghindari pasien badrest, mencegah terjadinya dekubitus, mencegah kerusakan integritas kulit, dan memperbaiki sirkulasi dan perfusi. Membantu pasien dalam beraktivitas, dengan dibantu pasien dapat melakukan mobilitas dengan baik dan dengan energi yang cukup. Kekuatan dari tindakan adalah dapat dilakukan latihan gerak aktif pasif dan alih baring dengan baik, dengan adanya keterlibatan pasien yang kooperatif dan keluarga yang mematuhi anjuran dari tim kesehatan. Kelemahannya yaitu, pasien mengeluh tidak tahan dengan rasa sakit, maka dalam perawatan harus hati-hati. Evaluasi yang dicapai setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam masalah teratasi dengan data subyektif pasien mengatakan sudah tidak lemas dan data obyektifnya pasien melakukan aktivitas sendiri sesuai kemampuan. Data yang didapatkan sudah sesuai dengan kriteria hasil yang ditetapkan maka intervensi dihentikan.
3. Diagnosa Keperawatan 3 Gangguan integritas kulit b.d luka insisi pembedahan Integritas kulit adalah keadaan ketika seorang individu mengalalmi atau berisiko mengalami jaringan epidermis dan dermis (Carpenito, 2009). 61
Gangguan integritas kulit terjadi karena kerusakan sel β yang menyebabkan produksi insulin berkurang dan mengakibatkan terjadinya peningkatan konsentrasi glukosa disekresi mukus, gula darah meningkat, darah menjadi pekat dan mengakibatkan kerusakan sistem vaskuler, terjadi ganggan fungsi imun, penurunan aliran darah menjadikan gangguan penyembuhan luka pada ulkus. Mengetahui tanda-tanda infeksi karena proses penyembuhan luka ada 3 tahap yaitu fase inflamasi terjadi pada hari pertama dan kedua, fase inflamasi merupakan reaksi tubuh terhadap luka yang dimulai setelah beberapa menit dan berlangsung selama sekitar 3 hari setelah cedera. Proses perbaikan terdiri dari mengontrol perdarahan (hemostasis), mengirim darah dan sel ke area yang mengalami cedera (inflamasi) dan membentuk sel-sel epitel pada tempat cedera (epitelialisasi). Proses hemostasis pada pembuluh darah yang cedera akan mengalami kontriksi dan trombosit berkumpul dan menghentikan perdarahan. Bekuan-bekuan darah membentuk matriks fibrin yang nantinya akan menjadi kerangka untuk perbaikan sel. Jaringan yang rusak dan sel mast menyekresi histamin, yang menyebabkan vasodilatasi kapiler di sekitarnya dan mengeluarkan serum dan sel darah putih ke dalam jaringan yang rusak. Hal ini menimbulkan kemerahan, edema, hangat dan nyeri lokal. Leukosit akan mencapai luka dalam beberapa jam. Leukosit utama yang bekerja pada luka adalah netrofil, yang mulai memakan bakteri dan debris 62
yang kecil. Neutrofil mati dalam beberapa hari dan meninggalkan eksudat enzim yang akan menyerang bakteri atau membantu perbaikan jaringan. Leukosit (white blood cell) adalah sel yang membentuk komponen darah. Sel darah putih ini berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh. Fase kedua dalam proses infeksi yaitu fase proliferasi terjadi pada hari ketiga dan keempat yaitu mengisi luka dengan jaringan penyambung untuk menutup luka, kemudian fase terakhir yaitu fase maturasi terjadi pada hari ke 21 merupakan tahap akhir penyembuhan (Potter dan Perry, 2006). Diagnosa ini ditegakkan karena ditemukan data subjektif pasien dengan hasil pengkajian berupa pasien mengatakan gatal pada luka insisi karena pada saat proses operasi dilakukan proses pemotongan saraf-saraf dan ketika mulai terhubung kembali maka akan menimbulkan rasa gatal yang dialami didaerah luka bekas operasi. Data Objektif yang didapatkan terdapat luka operasi di perut kanan bawah sepanjang kurang lebih 7 cm dan heacting dengan jumlah 9. Sayatan dilakukan pada garis yang tegak lurus pada garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior dengan umbilicus pada batas sepertiga lateral (titik Mc Burney). Tujuan yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam integritas kulit kembali utuh. Integritas kulit kembali utuh dalam hal ini tidak beresiko mengalami perubahan kulit yang buruk.
63
Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah kaji tanda-tanda infeksi dengan rasionalisasi untuk mengetahui tanda infeksi lebih dini. Monitor jumlah leukosit untuk mengetahui kadar infeksi dalam tubuh pasien. Instruksikan untuk selalu cuci tangan dengan rasionalisasi untuk mencegah terjadinya penularan pathogen. Menganjurkan pasien untuk menjaga area insisi agar tetap bersi dan kering dengan rasionalisasi menghindari adanya infeksi Lakukan perawatan luka dengan rasionalisasi untuk membantu penyembuhan dan mengurangi media pertumbuhan kuman-kuman pathogen. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik dengan rasionalisasi untuk mencegah terjadinya infeksi (Bararah dan Jauhar, 2013). Tindakan yang dilakukan yaitu memonitor tanda dan gejala infeksi seperti nyeri (dolor) dimana Tn. S mengatakan adanya nyeri pada bagian perut kanan bawah pasca operasi, adanya rasa panas (kalor) dibagian perut kanan bawah pasien mengatakan rasa panas yang tak tertahankan, merah (rubor) belum tahu terjadi kemerahan atau tidak disekitar luka karena balutan belum boleh dibuka, pembengkakan (tumor) pada luka di perut kanan bawah tidak nampak adanya pembengkakan yang terjadi. Pada reaksi tersebut disebabkan trauma atau kerusakan jaringan yang menyebabkan darah mengalir lebih banyak ke daerah yang mengalami cedera (Sjamsuhidajat, 2010). Memonitor jumlah leukosit dimana leukosit keluar dari pembuluh darah yang disebakan oleh cedera dengan terbukti leukosit Tn. S yaitu 13,5 64
ribu/uL. Menginstruksikan untuk selalu cuci tangan dan memberikan perawatan luka apabila tidak dilakukan tindakan tersebut dapat terjadi pembusukan dan pernanahan yang disebabkan oleh mikroba pada luka. Menganjurkan pasien untuk menjaga area insisi agar tetap bersi dan kering, untuk menghindari terjadinya iritasi pada kulit sekitar luka. Pemberian zink salep pada kulit sekitar luka ntuk menghindari terjadinya iritasi. Melakukan perawatan luka untuk meningkatkan proses penyembuhan jaringan, mencegah infeksi dan mempercepat penyembuhan luka itu sendiri. Melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik Ceftriaxon 1 gr/8 jam. Kekuatan dari pelaksanaan tindakan yaitu tersedianya alat steril yang digunakan untuk perawatan luka. Kelemahannya adalah meskipun di rumah sakit sudah disediakan alat sterilisator, namun rumah sakit tidak memungkinkan untuk menyediakan satu set alat medikasi untuk satu orang pasien sehingga alat yang digunakan untuk satu pasien digunakan lagi untuk pasien lain. Evaluasi yang dicapai setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam masalah teratasi dengan data subyektif pasien mengatakan sudah tidak merasakan gatal pada luka operasi dan data obyektifnya integritas kulit kembali utuh, tidak terdapat pus, tidak terjadi tanda-tanda infeksi, leukosit dalam batas normal 8,9 ribu/uL, Data yang didapatkan sudah sesuai dengan kriteria hasil yang ditetapkan maka intervensi dihentikan.
65
66
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Berdasarkan
pembahasan
sebelumnya,
maka
penulis
mengambil
kesimpulan diantaranya: 1. Pengkajian nyeri post appendiktomi meliputi P = Nyeri karena pasca operasi, Q = Nyeri terasa berdenyut, R = Nyeri dibagian perut kanan bawah, S = Skala nyeri 3, T = Nyeri secara hilang timbul. 2. Diagnosa keperawatan yang muncul post appendiktomi hari ke-1 yaitu Nyeri akut b.d terputusnya kontinuitas jaringan akibat insisi pembedahan, Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik, Gangguan integritas kulit b.d luka insisi pembedahan. 3. Intervensi dari diagnosa Nyeri akut b.d terputusnya kontinuitas jaringan akibat insisi pembedahan adalah ajarkan tehnik relaksasi dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik adalah ajarkan latihan gerak aktif pasif. Gangguan integritas kulit b.d luka insisi pembedahan adalah lakukan perawatan luka. 4. Tindakan yang dilakukan dalam implementasi keperawatan harus dilakukan secara bersama-sama dengan kerjasama antara dokter, perawat dan keluarga.
67
5. Evaluasi dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan adalah masalah sudah teratasi karena sudah sesuai dengan kriteria hasil yang telah ditetapkan sebelumnya.
B. Saran Berdasarkan
hasil
pembahasan
dari
kesimpulan,
maka
penulis
memberikan saran yaitu: 1. Bagi mahasiswa Meningkatkan wawasan tentang asuhan keperawatan pada pasien post appendiktomi hari ke-1. 2. Bagi penulis Karya Tulis Ilmiah lainnya untuk lebih menggali lagi dan meningkatkan teori-teori serta penemuan yang mendukung kasus pasien post appendiktomi hari ke-1 ini. 3. Bagi Institusi pelayanan kesehatan (Rumah Sakit) Hal ini diharapkan Rumah Sakit memberikan pelayanan kesehatan dan mempertahankan hubungan kerjasama baik antara tim kesehatan maupun pasien sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan lainnya pada umumnya dan pasien post appendiktomi hari ke-1 khususnya. Diharapkan Rumah Sakit mampu menyediakan fasilitas serta sarana dan prasarana yang dapat mendukung kesembuhan pasien.
68
4. Bagi tenaga kesehatan khususnya perawat Diharapkan selalu berkoordinasi dengan tim kesehatan lainnya dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien agar lebih maksimal, khususnya pada klien dengan post appendiktomy. Perawat diharapkan dapat memberikan pelayanan professional dan komprehensif. 5. Bagi institusi pendidikan Dapat meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang lebih berkualitas dan professional sehingga dapat tercipta perawat professional, terampil, inovatif dan bermutu yang mampu memberikan asuhan keperawatan secara menyeluruh berdasarkan kode etik keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Bararah, Taqiyyah dan Jauhar. 2013. Asuhan Keperawatan: Panduan Lengkap Menjadi Perawat Profesional. Jakarta: Prestasi Pusaka Raya
Budiarto, Eko. 2009. Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall. 2007. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinis. Jakarta: EGC
Handayani, Ninik. 2010. Asuhan Keperawatan Post Operasi Appendiktomi pada Tn. K dengan Appendisitis Akut di Ruang Multazam RS PKU Muhammadiyah Surakarta. Karya Tulis Ilmiah tidak diterbitkan. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta
Inayah, Iin. 2004. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Pencernaan. Jakarta: Salemba Medika Judha, Mohammad. 2012. Teori Pengukuran Nyeri & Nyeri Persalinan. Yogyakarta: Nuha Medika
Lippincott dan Williams & Wilkins. 2011. Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit. Jakarata: Jurnal Nursing
Mansjoer, Suprohaita, Wardhani, dan Setiowulan. 2004. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
NANDA. 2011. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014 Alih Bahasa, Made Sumarwati, dan Nike Budhi Subekti. Jakarta: EGC
Nasution, Patranita. 2013. Hubungan Antara Jumlah Leukosit dengan Appendisitis Akut dan Appendisitis Perforasi di RSU Dokter Soedarso
Pontianak tahun 2011. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/1782-5796-1PB.pdf. Diakses tanggal 11 Januari 2014
Notoatmodjo, Soekidjo. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Nurarif, Huda dan Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA (North American Nursing Diagnosis Association) NIC-NOC. Jakarta: MediAction
Nursalam. 2008. Proses dan Dokumentasi Keperawatan Konsep dan Praktik. Jakarta: Salemba Medika
Potter dan Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep Proses dan Praktik. Jakarta: EGC
Potter dan Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep Proses dan Praktik edisi 4 vol 1. Jakarta: EGC
Rahman, Devia. 2013. Asuhan Keperawatan Nyeri Akut Pada Ny.W dengan Post Operasi Appendiktomi atas Indikasi Apendisitis Akut di Ruang Cempaka RS Panti Waluyo Surakarta. http:// digilib.stikeskusumahusada.ac.id/files/disk1/5/01-gdl-rafideviar-473-1rafidev-n APPENDIKTOMI.pdf. Diakses tanggal 2 Desember 2013
Saputra, Lyndon. 2013. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Binarupa Aksara
Saryono dan Widianti. 2010. Catatan Kuliah Kebutuhan Dasar Manusia (KDM). Yogyakarta: Nuha Medika
Sjamsuhidajat, R dan Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Sjamsuhidajat, R dan Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Sjamsuhidajat, R dan Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Wijaya, Puspa. 2012. Asuhan Keperawatan Nyeri Akut Pada Ny. M dengan Post Operasi Apendiktomi hari ke-II Ruang Bougenville RS Panti Waluyo Surakarta.http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id/files/disk1/5/01-gdlpuspawijay-205-1-puspawi-7.pdf. Diakses tanggal 19 Desember 2013