Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi
JTMGB Edisi 01-2007
Fenomena Gen “X” dan Tantangannya ditempat kerja COAL BED METHANE Energy Alternatif
STUDI PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KESTABILAN BUSA DALAM PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK
IATMI
IATMI
Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (Society of Indonesian Petroleum Engineers)
Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia
BERKREASI
MENGABDI SECARA PROFESIONAL Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia
IATMI
IATMI
Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (Society of Indonesian Petroleum Engineers)
IATMI
Fenomena Gen X dan tantangannya di tempat kerja Para manajer/pemimpin perlu melakukan perubahan pendekatan dalam mengelola tenaga kerja generasi X untuk menghasilkan kinerja yang optimal bagi perusahaan dan harus mempunyai sifat kepemimpinan yang transformational untuk menjawab tantangan perubahan generasi.
Halaman 5.....................
Energi Alternatif: Coal Bed Methane Definisi dan Evaluasi Cadangan dengan Metode Volumetris
Perkiraan OGIP reservoir CBM dengan pendekatan metode volumetris, dihitung berdasarkan dua komponen rumus yaitu volume gas terserap dan volume gas bebas, yang tergantung pada kondisi kejenuhan reservoir CBM
Halaman 11..................... Studi Pengaruh Surfaktan terhadap Kestabilan Busa dalam Peningkatan Produksi Minyak ………………………………………………halaman 17 Peranan Manajemen Reservoir Dalam Program Optimasi Pemboran Pengembangan Lapangan Minyak Lepas Pantai…………….…..halaman 25 Aplikasi Online Fuel Monitoring System dalam Penghematan Bahan Bakar Kapal……………………………………………………………………………halaman 31 Model Perkiraan Permeabilitas Relatif Air-Metana dalam Batubara ……………………………………………………………………………………………...halaman 35 Pressure and Temperature Drop Prediction Oil Transmission Pipeline Network Using Implicit Method …………………………………………..halaman 38 Solusi Analitik untuk menentukan Laju Alir Kritis di Sumur Vertikal Isotropik dan Anisotropik……………………………………………………..halaman 42
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
3
JTMGB Edisi 01 - September 2007
KEPUTUSAN KETUA UMUM PUSAT IKATAN AHLI TEKNIK PERMINYAKAN INDON NO: 009/SK/IATMI/VIII/2007 Penanggung Jawab
EDITORIAL Pembaca yang budiman, Salam IATMI
Kuswo Wahyono (BPMIGAS) Pemimpin Redaksi Gregorius S. Utomo (Chevron) Redaktur Pelaksana: Mukmin P. Tamsil (Universitas Trisakti) Anggota Redaksi: Sugiatmo Kasmungin (Universitas Trisakti) Taufik Fataddin (Universitas Trisakti)
Saat ini Pemerintah Republik Indonesia, dan kita semua yang bekerja di dunia Minyak dan Gas Bumi di tanah air sedang menghadapi tantangan yang sangat besar. Di tengah menurunnya produksi Minyak dan Gas Bumi secara nasional, kita ditantang untuk menaikkan produksi sebesar 30% dalam dua setengah tahun ke depan ini. Untuk mencapai produksi yang maksimal diperlukan teknologi, kebijakan dan peraturan yang mendukung berjalannya operasi, pemasaran, dan lain-lain. Semuanya itu memerlukan tenaga ahli untuk menjalankannya. Tenaga ahli yang bagaimana yang kita perlukan saat ini, dan apa saja tantangan yang sedang kita hadapi sehubungan dengan masalah tenaga ahli yang kita sebut PROFESIONAL ini?.
Dedy Kristanto (UPN"Veteran" Yogyakarta) Andang Kustamsi (Universitas Trisakti) Ratnayu Sitaresmi (Universitas Trisakti) Fauzi Imron (MEDCO) Nurwahidi (BPMIGAS) Ali Dikri (Chevron) Gunung Sardjono (PERTAMINA) Yudhi I. Herlambang (EWS Oilfield Services) Peer Rev iew: Septoratno Siregar (ITB) Doddy Abdassah (ITB) Leksono Mucharam (ITB) Sudjati Rachmat (ITB) Asep Kurnia Permadi (ITB) Rudi Rubiandini (ITB) Sponsorship: Amir Hamzah (BPMIGAS) Humas: Nyimas Fauziah Rikani (BPMIGAS) Susana Kurniasih (BPMIGAS)
Dengan banyaknya tawaran menarik di luar negeri, maka tidak sedikit para PROFESIONAL kita yang hijrah ke Negara-negara penghasil migas lain. Apa yang kita harus mengerti mengenai fenomena ini? IATMI sebagai suatu badan yang merupakan asosiasi profesi di bidang migas, merasa ikut bertanggung jawab atas mutu PROFESIONAL di bidang migas di tanah air tercinta ini. Kita berusaha meningkatkan profesionalisme. Salah satu caranya adalah dengan tulisan-tulisan di Majalah JTMGB ini. JTMGB kali ini menyajikan tulisan-tulisan baik yang langsung mengenai teknologi maupun mengenai sumber daya manusia yaitu “Phenomena gen X dan tantangannya” yang membahas karakteristik pegawai jaman sekarang. Masalah popular di dalam operasi seharihari menjadi bagian pula dari Majalah kesayangan kita, pada terbitan ini kita menulis mengenai monitoring penggunaan bahan bakar pada kapal. Beberapa tulisan yang mencakup Reservoir Engineering meliputi; Sifat-sifat Reservoir, aliran minyak di dalam pipa, dan lain sebagainya. Surfaktan yang saat ini mulai menjadi perhatian untuk peningkatan produksi juga dibahas sedikit di terbitan ini. Demikian pula dengan Coal Bed Methane yang mulai menjadi popular kami sajikan juga di Majalah ini. Dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman kita harapkan dapat mengisi sebagian dari peningkatan profesionalisme kita di bidang migas. Ditambah dengan rasa cinta tanah air kita berjuang bersama untuk mendukung peningkatan produksi nasional. Selamat membaca
Lay out Design: Dita Dwityawarman (CNOOC) Ophy Irawan (IATMI) Sirkulasi: Sunoto Murbini (IATMI) Nursyantini (IATMI) Abdul Manan (IATMI)
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
Sekretariat: Komplek Pertamina Simprug Jl. Teuku Nyak Arief (Sinabung II Terusan) Simprug - Kebayoran Lama Jakarta Selatan- 12220 Telpon: 021-7264764 Faksimili: 021-7264764 - 021-7264758 Homepage: http://www.iatmi.or.id Email:
[email protected]
4
Fenomena Gen X dan Tantangannya di Tempat kerja Sugembong - Star Energy Sudarmoyo - UPN ”Veteran”
ABSTRAK Dalam kehidupan sehari-hari, akhir-akhir ini kita merasakan bagaimana sulitnya memotivasi anak-anak kita untuk meraih sukses, demikian juga kita merasakan bagaimana sulitnya memotivasi karyawan untuk mencapai produktivitas yang tinggi. Sering perintah atau anjuran tersebut terasa berlalu begitu saja tanpa hasil. “Nggak nyambung, nggak connect” kata mereka. Kalau sudah begitu apa yang terjadi selanjutnya ? mereka akan bekerja dalam dunianya masing-masing, dengan cara mereka sendiri. Teknologi terus berkembang dengan cepat, globalisasi melanda dunia dengan segala implikasinya. Orang bisa berkomunikasi setiap saat, kapan saja, dimana saja tanpa ada batas waktu dan tempat, borderless. Mal dan plaza menggantikan pasar tradisional, Café menggantikan warung kopi. “Dugem” pun marak dimana-mana menggantikan disco tradisional dari rumah ke rumah jaman dahulu. Handphone ditenteng tiap hari kemana-mana seolah olah tiada hari yang pas tanpa dia. Setiap hari kita jumpai gerombolan anak muda di “Star buck” yang mana jarang kita jumpai sebelumnya. Dunia telah berubah ! Perang Dunia II telah lama berlalu, generasi baby boomer mulai menyurut dan pensiun satu demi satu. Muncullah generasi baru, generasi X yang akan menggantikannya. Siapa Gen-X, bagaimana sifat dan tabiatnya, apa dampak keberadaan mereka di tempat kerja, dan bagaimana menanggulangi fenomena ini ? Semua akan dibahas dalam paper ini
PENDAHULUAN Akhir-akhir ini banyak manager human resources merasakan kesulitan dalam mengelola tenaga kerjanya. Terutama mereka yang mempunyai talenta yang tinggi dan berkerier dengan baik pada suatu perusahaan tiba-tiba keluar. Berbagai cara-cara dan metoda untuk menahan pegawai telah dilakukan namun tidak sepenuhnya berhasil. Fenomena ini tidak hanya terjadi di perusahaan minyak yang akhir-akhir ini banyak eksodus dari perusahaan. Kalau suatu perusahaan tidak mampu membendung eksodus tersebut, hal ini tidak hanya mengganggu kinerja saat ini namun juga kinerja jangka panjang perusahaan. Bertitik tolak dari hal tersebut, maka penulis mencoba mengamati dan menganalisa kejadian-kejadian tersebut melalui berbagai cara baik dari interview-interview yang dilakukan terhadap pegawai yang akan masuk maupun yang akan keluar, diskusi dengan beberapa direktur, VP dan manajer human resources, studi referensi dan survei sederhana kepada kurang lebih 88 generasi muda. PERUBAHAN GENERASI Dari buku ”Motivating the Workforce”, menunjukan bahwa
setelah perang Dunia II berakhir terjadi peledakan penduduk dunia, jumlah bayi lahir meningkat sampai 3.5 juta pertahun yang sebelumnya berkisar dibawah 2.5 juta pertahun. Jumlah bayi lahir tersebut meningkat terus dari tahun ketahun hingga mencapai 4.5 juta setahun ditahun 1960 an yang kemudian menurun secara perlahan. Penduduk dunia yang lahir pada periode tersebut dikenal dengan sebutan ”Baby Boomer” Baby boomer tersebut saat ini menduduki posisi- posisi penting didalam organisasi dan perusahaan, dimana usia mereka antara +/- 47 sampai dengan 62 tahun, usia yang matang untuk menduduki pada posisi puncak, bahkan diantara mereka sebagian sudah pada mulai pensiun, dimana usia pensiun dibeberapa negara seperti Indonesia 56 tahun. Secara alamiah beberapa posisi yang ditingggalkan oleh generasi tersebut harus digantikan oleh generasi berikutnya untuk menjaga kelangsungan kehidupan organisasi dan perusahaan. Generasi ini berbeda dengan generasi pendahulunya dari sifat dan sikap hidupnya. Hal ini bisa diamati dan dirasakan keberadaanya. Dari berbagai sumber dan beberapa ahli menamakan generasi ini dengan generasi X untuk membedakan dengan generasi Baby Boomer. Populasi tenaga kerja baby boomer saat ini mencapai 45% selebihnya
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
terdiri dari : generasi tua (generasi yang lahir sebelum perang dunia II) 5% dan generasi muda 50%. Generasi muda ini terdiri dari generasi X dan generasi milenium. Generasi X yang lahir antara tahun 1960an sampai dengan 1980an dan generasi Y yang lahir setelahnya. Didalam dunia kerja saat ini, generasi baby boomer sangat dominan dan ”mengontrol” bisnis, etika kerja Baby Boomer hampir sama dengan generasi tua dimana keadaan perang saat itu sangat mempengaruhinya. Dimana mereka menciptakan dunia kerja dengan sistem komando yang kaku , hirarki diperlakukan dengan ketat. Promosi dan hadiah diberikan setelah yang bersangkutan mengabdi dan membuktikan dirinya mampu dan siap pada posisi lebih tinggi. Pegawai bekerja keras untuk mencapai posisi dan jabatan yang penting dan tinggi. Mereka mempunyai definisi kesuksesan yang sama : meniti karier untuk mendapatkan penghargaan dan tanggung jawab yang lebih tinggi hingga mencapai posisi puncak. Dua asumsi umum yang sering dilakukan generasi ini kepada generasi barikutnya adalah : 1) Generasi berikutnya akan mengukur kesuksesan sama dengan generasi mereka. 2) Generasi tua percaya bahwa generasi yang lebih muda akan menjalani step (path) yang sama dengan mereka.
5
Fenomena Gen X dan Tantangannya di Tempat kerja GENERASI X Pada saat generasi X lahir, mereka dibesarkan oleh generasi baby boomer dimana etika kerja generasi ini sangat kuat, kerja keras adalah jalan menuju sukses. Sehingga banyak waktu yang tersita ditempat kerja. Pada umumnya mereka bekerja mulai pagi hari dan pulang pada waktu hari sudah mulai malam. Tidak jarang kedua orang tua mereka bekerja, sehingga anak-anak tersebut dititipkan di day-care. Keadaan ini akan mengurangi kuantitas dan intensitas hubungan emosi antara orang tua dan anak. Pada saat itu pula perubahan dunia terjadi begitu cepat antara lain kemajuan teknologi televisi dan komputer yang begitu cepat, sehingga arus informasi dan pengetahuan dunia dapat dengan mudah dilihat. Perubahan tatanan sosial, budaya dan politik terus berlangsung menjadi tatanan dunia. Kultur lokal mulai dimasuki oleh kultur dari luar yang mendunia. Kondisi ekonomi orang tua generasi X berbeda dengan orang tua generasi baby boomer, dimana kerja keras baby boomer telah meningkatkan tingkat perekonomian sehingga generasi X mempunyai kesempatan untuk mulai menikmati kemajuan teknologi baik melalui televisi, permainan-permainan dan teknologi informasi. Sejak kecil mereka sudah mengenal dengan komputer (PC) dan teknologi lain. Bagi mereka teknologi sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Teknologi digunakan untuk melihat ”dunia” dan mendapatkan informasi ”dunia” yang akan membantu dalam mengerjakan tugas-tugas. PERUBAHAN KEBUTUHAN
TINGKAH
LAKU
&
Pengalaman pada saat anak-anak dan remaja akan membentuk sifat dan tingkah laku dimasa dewasa. Paradigma terbentuk dari sesuatu kondisi yang dilihat, dirasakan dan keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pemimpin saat itu. Generasi Baby Boomer dipengaruhi oleh situasi dengan keberadaan TV, Rock & Roll, perang dingin, dan ancaman nuklir. Generasi X melihat keberadaan PC, AIDS, single parent, percampuran
budaya, dan pengurangan pegawai. Generasi sekarang hidup dengan internet, cable vision, globalisasi, September 11, dan masalah lingkungan. Dengan kondisi orang tua mereka yang sangat sibuk, dimana pada umumnya mereka sebagai pekerja yang masuk kerja sebelum matahari terbit dan pulang kerja setelah matahari terbenan, belum ditambah dengan pekerjaan kantor yang dibawa kerumah, maka intensitas hubungan antara orang tua dan anak jauh berkurang dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Hubungan orang tua - anak menjadi hambar, anak-anak mencari figur dengan caranya sendiri. Pada generasi X mereka sudah sulit mencari figur dibandingkan generasi sebelumnya. Sehingga sebagian dari mereka bahkan tidak punya figur atau tokoh yang diidamkan. Dari survei, pada generasi X : 37.5 % tidak punya tokoh sedangkan pada generasi Y mencapai : 70%. Kecendeungan generasi muda yang serba instant ini terlihat pada pemenuhan kebutuhan jangka pendek yang dapat ditunjukkan dari survei dimana semakin muda semakin banyak persentase pemenuhan kebutuhan sekarang (Gen X : 25% & gen Y : 34%). Perubahan ini terjadi karena pada generasi ini, tingkat kehidupan mereka jauh lebih bagus pada masa anak-anak, sehingga kebutuhan lebih mudah dipenuhi oleh orang tuanya. Kebiasaan ini terbawa sampai mereka dewasa. Perubahan tingkah laku di tempat kerja Perubahan tingkah laku terjadi karena pengaruh dari lingkungan keluarga, pengaruh lingkungan sekitar dan kebutuhan yang ingin dicapai. Perubahan sikap tersebut bisa terbawa sampai ke perubahan sikap dan tingkah laku di tempat kerja, beberapa perubahan sikap dan tingkah laku tersebut bisa terlihat dengan jelas seperti : pekerja yang mudah berpindah tempat, pekerja yang ingin serba cepat, kebutuhan bersosialisasi dan mencari figur leader ditempat kerja.
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
Pekerja mudah berpindah tempat Pekerja sekarang cenderung sering berpindah tempat karena keinginan untuk memenuhi kebutuhan dengan segera, sehingga mereka mencoba berpindah-pindah untuk mendapatkan pendapatan lebih tinggi guna memenuhi kebutuhan. Fenomena ini terjadi karena juga didukung oleh sarana teknologi yang tersedia seperti teknologi informasi, internet, handphone dll, sehingga tawaran pekerjaan bisa didapat dengan mudah dan proses perekrutan pegawai dilakukan secara jarak jauh. Saat ini banyak lembaga atau perusahaan yang sudah membidik pangsa pasar akibat perubahan teknologi dan tingkah laku ini dengan mendirikan perusahaan pencari tenaga kerja, job hunter, head hunter dll. Pekerja ingin serba cepat Dengan semakin meningkatnya kebutuhan saat ini, generasi X cenderung tidak mau meniru langkah-langkah generasi sebelumnya. Jalan yang ditempuh generasi baby bommer dinilai lambat, hal ini ditunjang bahwa mereka punya banyak teman yang bisa membantu untuk mengerjakan pekerjaan , selain itu mereka juga lebih menguasai teknologi sehingga dengan bantuan teknologi maka pekerjaan bisa dikerjakan jauh lebih cepat. Hal ini berbeda dengan generasi sebelumnya dimana teknologi komputer (PC) masih belum tersedia pada saat itu. Keinginan serba cepat ini tidak hanya didalam hal memperoleh pendapatan namun juga dalam hal mendapatkan jabatan. Dalam kenyataannya, saat ini banyak pekerja usia 40an sudah menduduki jabatan utama di banyak perusahaan. Pekerja perlu bersosialisasi
waktu
untuk
Saat ini banyak bertumbuhan mal, plaza, tempat karaoke, cafe-cafe sampai tempat-tempat klub malam, hal ini menarik minat orang untuk berkumpul dan bersosialisasi dengan teman-temannya. Fenomena ini membuat suatu kebutuhan baru bagi mereka.
6
Fenomena Gen X dan Tantangannya di Tempat kerja Mereka butuh sebagian waktunya untuk melakukan hal-hal yang dianggap penting bagi mereka yaitu berkumpul dan menikmati kehidupan saat ini. Akibat dari hal ini, pekerja harus bekerja lebih cepat dikantor sehingga ada sebagian waktunya yang bisa dipakai untuk berkumpul. Dari pengamatan menunjukan bahwa mereka tidak betah lebih dari 12 jam bekerja dikantor. Mereka merasa mampu bekerja lebih cepat.
yang lahir setelah tahun 60an. Beberapa sikap dan aspirasi baru karyawan generasi muda (generasi X dan generasi setelahnya yang biasa disebut generasi Y) adalah : Etika kerja tidak lagi 10 jam per hari. Sangat mudah dan singkat menguasai teknologi yang ada ataupun teknologi yang baru akan muncul. Melemah loyalitas pada perusahaan Perubahan prioritas hidup dipengaruhi oleh sejarah kepegawaiannya.
Pekerja mencari leader Dengan situasi hubungan orang tua dan anak yang makin terbatas pada saat generasi X dibesarkan, maka anak-anak tersebut cenderung mencari figur seseorang yang bisa dianggap mewakili orangtuanya. Pencarian ini berjalan terus menerus sampai akhirnya pada usia kerja. Generasi X cenderung mencari leader yang bisa diajak bicara bukan seorang bos atau manajer yang hanya memerintah. Mereka mencari seorang ”role model” yang tidak hanya menyuruh namun juga yang bisa memberi suri teladan. Seorang leader yang Walk the Talk dan Talk the Walk. Walk the Talk adalah seseorang yang melakukan tindakan dan bertingkah laku sesuai dengan ucapannya. Apa yang diucapkan itu yang dijalaninya, bukannya seorang yang hanya menyuruh orang lain untuk berbuat demikian sementara dia sendiri tidak melakukannya. Pada saat generasi baby boomer, hal ini tidak banyak masalah pada saat itu, kemungkinan tidak banyak “option” pada saat itu, namun hal tsb. akan punya banyak masalah pada saat sekarang. Talk the Walk adalah berbicara atau mengatakan sesutau yang telah dijalaninya dengan benar. Hal ini menyangkut masalah budaya honesty dan integrity. Generasi muda lebih mudah mencerna sesuatu yang jelas, hitam dan putih, ringkas, dan tidak berbelit belit. Kebenaran dan kejujuran akan sangat membantu generasi X untuk memahami keinginan leadernya. GENERATION GAP Generation Gap adalah perbedaan pandangan antara generasi satu dengan generasi lainnya. Dalam buku ”Motivating the Workforce” oleh Cam Martson dikatakan bahwa budaya generasi tua sebelum perang dunia II (mature) hampir sama dengan generasi setelah perang (Baby Boomer). Namun budaya generasi Baby Boomer berbeda dengan generasi X
Berikut ini, perubahan perspektif antara generasi tua dan generasi muda menyangkut : waktu, teknologi dan loyalitas. Waktu Waktu adalah uang. Namun beda generasi berbeda dalam menilai arti dari uang ini. Untuk baby boomer, waktu adalah hal-hal yang dapat kita investasikan untuk keperluan masa depan. Boomer bekerja dan menaruh banyak waktu (55 jam seminggu) dan mengharapkan suatu reward atas investasinya tersebut. Apakah mereka mendapatkan apa yang mereka harapkan ? pada umumnya tidak. Generasi muda menganggap waktu adalah sesuatu yang bisa mereka kontrol, seperti halnya uang. Contoh : kalau kita tidak mampu membayar pegawai muda maka kita harus membayar dengan waktu kita untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Generasi muda tidak ingin untuk menginvestasikan waktunya untuk pekerjaan yang tidak tentu. Dengan banyaknya pekerjaan yang tidak secure,layoff dan perubahan industri, mereka menganggap bahwa bekerja pada suatu perusahaan adalah punya potensi risiko ketidakpastian. Technology Gap Teknologi secara umum diakui sebagai kunci kesuksesan suatu perusahaan. Untuk perusahaan kecil penguasaan teknologi bisa didapat melalui konsultan yang
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
membantunya, namun untuk organisasi besar perlu ada departemen khusus yang menangani teknologi tersebut. Teknologi juga berkembang terus menerus sehingga teknologi terus berubah. Bagi generasi tua penguasaan perubahan teknologi dirasa sesuatu yang tidak gampang dan menakutkan. Namun bagi generasi muda, mereka sangat antusias untuk mengeksplorasi perubahan teknologi tersebut bagi mereka penguasaan perubahan teknologi adalah sesuatu yang mudah dan menyenangkan. Loyalitas Generasi muda punya banyak alasan mengapa mereka tidak mudah percaya dengan para pemimpinnya. Mereka sering mendapatkan kebohongan-kebohongan dari para pemimpin mereka, baik para pemimpin pemerintahan, militer, perusahaan dan bahkan pemimpin spiritual. Akibatnya mereka secara otomatis selalu mempertanyakannya. Saat ini mereka kehilangan kepercayaan pada institusi pemerintah dan swasta dan mereka cenderung menginvestasikan loyalitasnya pada individu yang mereka anggap benar. Mereka ingin bekerja pada ”bos” yang benar. Kalau mereka tidak bisa mendapatkannya maka mereka akan pindah tempat sampai menemukannya. Generasi tua tidak mempunyai kesempatan seperti itu. Bekerja pada pemimpin yang tidak disukai adalah bagian dari ”job description”, kalau suka pada bos itu adalah suatu bonus yang tak diduga sebelumnya. Tidak cukup alasan bagi mereka untuk keluar dari perusahaan hanya karena masalah bos nya. Namun pada saat ini, untuk generasi muda, dari suatu survei, loyalitas pada seseorang menjadi alasan no 1 untuk tetap tinggal pada perusahaan tersebut, terutama dalam masa kritis 3 bulan pertama. Ketidak sukaan pada bos adalah alasan utama mereka keluar dari suatu perusahaan. TANTANGAN & SARAN Dengan berjalannya waktu, generasi Baby Boomer yang sarat dengan pengalaman mulai pensiun satu demi satu. Di sisi lain, semua tahu kalau setiap generasi mempunyai sifat dan sikap berbeda dengan generasi lainnya. Generasi yang paling siap menggantikan generasi Baby Boomer adalah generasi X. Maka sangatlah penting bagi para manajer untuk mengerti perubahan sikap dan tingkah laku pada generasi X.
7
Fenomena Gen X dan Tantangannya di Tempat kerja Dengan mengetahui sikap dan aspirasinya maka lebih mudah bagi para manajer mengelola tenaga kerjanya untuk mendapatkan keuntungan bisnis, berikut beberapa hal yang bisa dijadikan acuan tersebut : 1.
Berkomunikasi lugas dan jelas
secara
Generasi muda (X dan Y) ingin dan butuh komunikasi yang lugas dan jelas (clear), langsung to the point, tidak berbelit belit. Mereka perlu diarahkan pada pekerjaan mereka. Tidak perlu ada ”hidden agenda or messages”. Pegawai muda lebih sedikit punya toleransi dibanding generasi sebelumnya. ”Kalau saya ingin mengerjakan sesuatu, katakan !. Kalau anda punya rencana yang jelas bagaimana saya bertindak, tolong beritahu saya”.
3.
Rayakan keberhasilan
Pada generasi tua, perayaan ditempat kerja terjadi pada saat pensiun atau promosi besar ditandai dengan jam emas dan jabat tangan dari bos. Perayaan tersebut adalah refleksi dari pengakuan terhadap kerja keras selama ini. Untuk situasi pada saat ini perayaan harus lebih banyak dilakukan sebagai pengakuan dan apresiasi terhadap prestasi kerja mereka dan sekaligus membentuk budaya kerja. Perayaan tidak harus selalu besar, bisa berupa makan bersama, makan malam atau bahkan hal-hal sederhana seperti mencatumkan namanya dipapan pengumuman sebagai ”man of the month”, memasang balon di kursi kerja dll. Hal ini dilakukan untuk menunjukan perhatian dan pengakuan atas prestasi kerja yang dilakukannya.
Value for Stake Holders, Respect People, Innovative & Entrepreneurial, Go the Extra Mile, Honesty & Integrity, Teach Yourself Daily, SHE, Teamwork, Awareness of Cost dan Relationships are Important. Dengan adanya nilai-nilai tersebut maka generasi X akan sangat mudah dan jelas untuk memahami sikap dan tingkah laku apa yang diharapkan oleh perusahaan dalam mengerjakan suatu tugas. Bagi mereka yang cocok dengan nilainilai tsb. akan lebih nyaman dalam bekerja karena sesuai dengan hati nuraninya, namun bagi yang tidak cocok akan segera meninggalkan perusahaan. Dengan adanya nilainilai ini maka memudahkan perusahaan dalam menseleksi pelamar kerja. Adanya budaya perusahaan akan membentuk suatu lingkungan kerja yang baik dan kondusif.
TALENT MANAGEMENT Dari survei, yang dilakukan secara acak terhadap 24 pegawai Star Energy dan UPN pada usia generasi X, menunjukan bahwa hanya 8% yang ingin dijelaskan secara umum mengenai tugas dan pekerjaan mereka selebihnya 92% menginginkan pemimpinnya untuk menjelaskan pekerjaan secara rinci. 2.
Jangan berasumsi
Ketika Boomer berkata ”Saya tidak akan memberikan semua jawaban, kamu harus mencarinya seperti yang saya lakukan dahulu” Generasi X akan merespon ”Saya tidak akan mau bekerja dengan pekerjaan yang tolol ini, jika kamu mau saya mengerjakan apa, katakan !. Jangan berharap saya untuk mencari sesuatu yang tidak jelas yang kamu inginkan”. Generasi muda perlu dijelaskan apa, kapan dan bagaimana suatu pekerjaan harus dikerjakan. Mereka berharap mereka diberitahu aturan dan caranya mengerjakan sesuatu pekerjaan, tidak berasumsi mereka akan mengerti dengan sendirinya.
Bagaimana suatu perusahaan atau korporasi bisa menarik, mempertahankan dan memotivasi pegawai yang punya talenta tinggi pada saat ini ? Beberapa pendekatan telah dilakukan dibanyak perusahaan termasuk di Star Energy yaitu melalui pendekatan pengelolaan sumber daya manusia yang terintegrasi. Programprogram tersebut antara lain : 1. 2. 3. 4.
Mengamalkan Budaya Perusahaan Pengelolaan Manajemen Manusia Terpadu Kepemimpinan Transformational Program Mentoring & Succession Planning
Pengelolaan Manajemen Manusia Terpadu Selain gaji, ”benefit” dan lingkungan kerja yang kondusif perlu dibarengi dengan pengelolaan tenaga kerja yang baik dan terpadu. Perusahaan perlu membuat career planning yang jelas dari mulai pegawai baru hingga masa usia pensiun. Pegawai baru perlu dijelaskan mengenai sistem evaluasi kinerja, sistem promosi, karier dan lain-lain di suatu perusahaan. Setiap leader harus memastikan sistem tersebut dimengerti oleh setiap pegawai. Sehingga pegawai mempunyai gambaran yang jelas akan karier dan masa depannya. Kepemimpinan Transformational
Budaya Perusahaan Selain visi dan misi, perusahaan perlu mempunyai budaya. Budaya tersebut disebut sebagai budaya perusahaan. Budaya ini terdiri dari nilai-nilai dan sistem atau proses kerja. Nilai-nilai perusahaan yang akan memberikan warna sikap dan tingkah laku seseorang berbeda dengan orang lain. Budaya ini perlu dikomunikasikan, diajarkan, dan diamalkan oleh seluruh pegawai dari lini teratas sampai lini terbawah. Di Star Energy nilai-nilai ini terangkum dalam : BRIGHT STAR yang terdiri dari nilai-nilai Balanced
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
Dalam mengelola generasi X akan sangat sulit kalau tipe kepemimpinan kita masih menggunakan cara-cara lama, seorang pimpinan yang hanya memerintah dan menyalahkan. Tipe kepemimpinan untuk saat sekarang sangat kritikal untuk menentukan betah tidaknya / loyalitas seorang pegawai bekerja pada suatu perusahaan. Seorang pimpinan harus bertindak sebagai leader bukan sekedar manajer atau bos.
8
Fenomena Gen X dan Tantangannya di Tempat kerja Kepemimpian transformasional adalah kepemimpinan yang mengubah mind-set dari seorang bos menjadi seorang leader. Seorang leader tidak hanya memberi perintah tetapi juga memberi contoh role model, dimana leader tsb. Bisa berperan sebagai coach (pelatih), leader yang bisa memberi inspirasi kepada bawahan, mampu sebagai partner, mampu mengelola perkerjaan, mampu memberikan hasil yang optimal, mampu mempengaruhi pengikutnya dan mampu memilih penerusnya. Mentoring & Succession Planning Mentoring & Succession Planning adalah salah satu program yang sangat penting bagi pergantian kepemimpinan. Mentoring adalah jembatan atau media untuk mentransfer soft skill dan pengetahuan dari pegawai yang lebih senior kepada pegawai yang lebih muda. Hal ini dilakukan untuk menjembatani perbedaan (gap) antara 2 generasi. Generasi muda yang ingin segera menggantikannya namun disisi lain kekurangan dalam pengetahuan dan pengalaman dan generasi tua yang penuh pengalaman namun akan mencapai usia pensiun. Dengan adanya program mentoring maka akan terbentuk komunikasi
antara kedua belah pihak untuk memastikan terjadinya transfer pengetahuan dan pengalaman.
Boomer, generasi X dan generasi Y. Keberadaan generasi Baby Boomer secara perlahan akan digantikan oleh generasi X yang mempunyai sifat dan aspirasi berbeda.
Dipihak lain, generasi muda bisa mengukur kemampuan dan pengalamannya sebelum menduduki jabatan tertentu. Dengan demikian generasi muda mempunyai kesabaran untuk mencari ilmu dan pengalaman yang cukup sebelum menduduki jabatan tersebut. Dengan mentoring program yang baik maka akan menghasilkan succession kepemimpinan dengan baik.
Para manajer perlu melakukan perubahan pendekatan dalam mengelola tenaga kerja generasi X untuk menghasilkan kinerja yang optimal bagi perusahaan. Para pemimpin harus mempunyai sifat kepemimpinan yang transformational untuk menjawab tantangan perubahan generasi.
KESIMPULAN
Perlu dibuat suatu pengelolaan manajemen manusia terpadu yang mengintegrasikan budaya perusahaan, perencanaan karier dan program mentoring & succession planning untuk mengelola tenaga kerja bertalenta tinggi guna kesinambungan bisnis perusahaan.
Dari hasil penelaahan : pengalaman sehari-hari, studi referensi, diskusi dengan berbagai kalangan dibagian human resources dan survei yang dilakukan, maka bisa disimpulkan beberapa hal berikut: Perubahan dunia (teknologi, isu-isu sosial budaya, politik dll) mendorong terjadinya segmentasi antara satu generasi dengan generasi berikutnya. Yang secara umum bisa dibagi dalam : generasi Tua, generasi Baby
REFERENSI 1.
2.
Motivating the “What’s In It For Me?” Workforce, Marston, Cam., John Wiley & Sons, Inc. Hoboken, New Jersey. 2007 Understanding Generation Y, McCrindle, Mark, The
Tabel 1 J e n is K e lam in & P ek e rja a n O ra n g T u a R e s p o n d e n J e n is K e lam in
U s ia 2 5 -4 5 th n
U s ia < 2 5 th n
L a k i-la k i P e rem p u a n
17 7
45 19
T o ta l
24
64
P e k e rja a n O ra n g T u a
U s ia 2 5 -4 5 th n
U s ia < 2 5 th n
K a rya w a n
6
14
P e g . N e g e ri
5
23
P engusaha L a in n ya
1 12
17 10
T o ta l
24
64
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
9
Fenomena Gen X dan Tantangannya di Tempat kerja Tabel 2 Hasil Survey Generasi X (Usia 25-45 thn)
Deskripsi 1 Apakah anda punya banyak teman 2 Apakah anda punya "hero" 3 Apakah mengikuti trend teknologi sekarang 4 Apakah anda menikmati kehidupan modern 5 Apa arti sukses bagi anda 6 Apakah anda mau bekerja keras utk cita-cita 7 Apa arti kerja bagi anda 8 Bagaimana tugas harus diberikan 9 Bagaimana pimpinan harus berperan 10 Berupa apa penghargaan harus diberikan 11 Kalau salah, apa sebaiknya yang diberikan 12 Apa arti birokrasi bagi anda 13 Berapa kali per minggu rapat dilakukan 14 Prioritas yang mana yg penting bagi anda
ya 23 ya 15 ya 20 ya 20 kaya 1 ya 24 serius 11 detail 10 arah 5 uang 8 penjelasan 11 memperlancar 2 tidak ada 1 sekarang 6
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
tidak 1 tidak 9 tidak 4 tidak 4 jabatan 1 tidak 0 fun 10 garis besar 2 contoh 3 barang 3 hukuman 2 menghambat 6 1 kali 20 jk panjang 18
lainnya 22 0 lainnya 3 keduanya 12 keduanya 16 lainnya 13 kesempatan 11 keduanya 16 lebih 2 kali 3
Generasi Y (Usia < 25 thn) ya 48 ya 19 ya 39 ya 48 kaya 15 ya 58 serius 36 detail 29 arah 7 uang 13 penjelasan 31 memperlancar 3 tidak ada 5 sekarang 22
tidak 16 tidak 45 tidak 25 tidak 16 jabatan 16 tidak 6 fun 28 garis besar 12 contoh 7 barang 11 hukuman 2 menghambat 17 1 kali 47 jk panjang 42
lainnya 33
lainnya keduanya 23 keduanya 50 lainnya 40 kesempatan 31 keduanya 44 lebih 2 kali 12
10
Coal Bed Methane : Definisi Dan Evaluasi Cadangan Dengan Metode Volumetris Edo Sayib Sugiarto (UPN “Veteran” Yogyakarta)
Gas alam yang berasal dari batubara telah diketahui pada penambangan batubara dan merupakan ancaman keselamatan bagi pekerja tambang karena beracun dan mematikan. Telah diketahui pula pada proses pemboran sumur-sumur migas yang melewati lapisan batubara seringkali terjadi kick yang mengindikasikan adanya intrusi gas ke lubang sumur atau loss circulation yang mengindikasikan adanya rekahan. Hal ini merupakan indikasi bahwa lapisan batubara merupakan suatu reservoir. Tetapi bagaimanakah konsep sumber gas alam ini dapat disebut sebagai reservoir coal bed methane dan potensial untuk dikembangkan pada industri perminyakan, serta bagaimana pula evaluasi reservoir untuk memperkirakan cadangannya dengan pendekatan metode volumetris?. Metodologi yang digunakan sebagai solusi permasalahan ini adalah dengan menguraikan definisi dari batubara serta gas yang terbentuk dan tersimpan dalam batubara akibat proses sedimentasinya yang disebut coalifikasi, sehingga terbentuk pengertian mengenai coal bed methane (CBM). Dari pengertian CBM kemudian diuraikan menurut konsep petroleum system serta komponen reservoirnya, dimana reservoir CBM selain bertindak sebagai reservoir, sekaligus bertindak sebagai source rock. Analisis parameter sifat fisik fundamental batuan reservoir yang digunakan dalam perhitungan cadangan dengan pendekatan metode volumetrik juga diuraikan, karena sifat fisik fundamental batuan reservoir CBM tidak sama, namun memiliki analogi dengan sifat fisik fundamental batuan reservoir migas konvensional. Hasil dari kajian ini akan mendefinisikan reservoir CBM itu sendiri, sebagai gas yang dihasilkan dan tersimpan pada lapisan batubara dengan kondisi dan syarat tertentu dilihat dari sudut pandang dunia perminyakan. Perhitungan menggunakan data hipotetik juga diuraikan disini, sebagai gambaran sederhana dalam perkiraan cadangan gas reservoir CBM yang dihitung dengan metode volumetris.
1.
Pendahuluan
CBM pada beberapa tahun terakhir ini menjadi salah satu kandidat alternatif pemenuhan kebutuhan energi fosil, dimana reservoir-reservoir gas konvensional mulai mengalami penurunan produksi mendekati batas laju ekonomisnya, dan belum ditemukannya atau belum mulai dieksploitasikannya lapangan gas baru. Gas alam yang berasal dari batubara telah diketahui pada penambangan batubara dan merupakan ancaman keselamatan bagi pekerja tambang karena beracun dan mematikan. Untuk itu dibuat suatu sumur dengan target menembus lapisan batubara yang digunakan sebagai tempat penambangan batubara bawah tanah sebagai teknik ventilasi yang tujuannya membuang gas metana dari penambangan batubara Proses pemboran sumursumur migas dengan target reservoir batupasir/batugamping yang melewati lapisan batubara seringkali terjadi kick atau loss circulation. Kick mengindikasikan adanya intrusi gas ke lubang sumur sedangkan loss circulation mengindikasikan adanya rekahan. Indikasi ini memberi pandangan bahwa lapisan batubara dapat dipertimbangkan sebagai reservoir.
Makalah ini membahas mengenai studi literatur dari referensi yang telah dipublikasikan untuk menguraikan pendefinisian CBM. Evaluasi cadangan dengan pendekatan metode volumetris juga diuraikan disini. 2. Definisi Dan Konsep Dasar 2.1. Coalifikasi dan Batubara Batubara merupakan material yang terdiri atas lebih dari 50% berat dan 70% volume dari senyawa karbon termasuk kelembaban yang tidak dapat Batubara merupakan dikurangi1). batuan sedimen nonklastik. Batuan sedimen non klastik didefinisikan sebagai batuan sedimen terbentuk oleh proses kimia, biologi atau biokimia pada permukaan bumi tanpa mengalami proses erosi dan pengendapan seperti batuan sedimen klastik dan selanjutnya mengalami proses penguburan, pengompakan diteruskan dengan coalifikasi. Coalifikasi merupakan proses transformasi material organik menjadi bentuk material organik yang lain yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya.
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
Dari tumpukan material organik kemudian tertransformasi menjadi peat, lignite, sub-bituminious, bituminious, antrachite dan graphite, yang umumnya disebut tingkatan/rank batubara. Coalifikasi juga menghasilkan produk samping berupa air dan gas. Dari proses coalifikasi ini dapat diketahui bahwa semua batubara mengandung gas seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1 yang menyatakan hubungan volume pembentukan gas sebagai fungsi dari rank batubara. Gambar 2.1. juga menunjukkan bahwa rank bituminious mempunyai volume pembentukan gas yang paling tinggi. Rank peat tidak dimasukkan dalam hubungan ini karena penguburan dan terbentuknya peat masih dekat dengan permukaan, sehingga gas yang dihasilkan langsung terbebaskan.
11
Coal Bed Methane : Definisi Dan Evaluasi Cadangan Dengan Metode Volumetris 2.2. Reservoir Coal Bed Methane Coal Bed Methane merupakan gas yang dihasilkan dan tersimpan pada lapisan batubara, meskipun istilah metana sering digunakan oleh industri yang pada kenyataannya merupakan campuran gas C1, C2, C3 dan gas pengotor seperti N2 dan CO21). Bedanya dengan Coal Mine Methane, gas pada batubara ini merupakan ancaman bahaya pada penambangan batubara. Oleh karena itu pada penambangan batubara dibuat saluran ventilasi gas untuk membuang gas tersebut. Meskipun merupakan produk samping pada coalifikasi namun dari sudut pandang dunia perminyakan, gas inilah yang menjadi target utama diproduksikannya gas dari reservoir CBM. Lapisan batubara yang disebut reservoir CBM merupakan lapisan batubara yang berada >500 m dibawah permukaan dan diproduksikan fluida reservoirnya dengan membuat suatu sumur. Untuk lapisan batubara <500 m dibawah permukaan, merupakan potensi untuk dikembangkan penambangan terbuka yang diambil batubaranya langsung.
Batuan penutup (seal) reservoir yang impermeabel untuk mencegah hidrokarbon lolos kepermukaan. Kondisi reservoir yang direpresentasikan sebagai tekanan dan suhu reservoir yang bersangkutan. Komponen reservoir CBM terdiri atas batuan reservoir, isi dari reservoir yang terdiri atas komponen utama yaitu gas alam sedangkan air sebagai komponen ikutan, batuan penutup (seal) reservoir dan kondisi reservoir. Reservoir CBM mempunyai porositas ganda. Gas tersimpan dalam dua kondisi, yaitu mayoritas tersimpan pada kondisi terserap di pori mikro dan kondisi bebas pada pori makro yang merupakan rekahan dan disebut sebagai cleat. Cleat terdiri atas face cleat yang merupakan jalur rekahan bersifat menerus sepanjang pelapisan dan butt cleat yang merupakan jalur rekahan bersifat tidak menerus. Uniknya, face cleat dan butt cleat saling tegak lurus.
2.3. Petroleum System Terbentuk dan terakumulasinya minyak dan gas dibawah permukaan harus memenuhi beberapa syarat yang merupakan unsur-unsur petroleum system yaitu adanya batuan sumber (source rock), migrasi hidrokarbon sebagai fungsi jarak dan waktu, batuan reservoir, perangkap reservoir dan batuan penutup (seal). Petroleum system pada reservoir CBM sama dengan reservoir migas konvensional namun karena lapisan batubara merupakan batuan sumber sekaligus sebagai reservoir, maka tidak memerlukan migrasi serta perangkap reservoir
3. Adsorption isotherm Adsorption isotherm didefinisikan sebagai kemampuan batubara untuk menyerap gas metana dalam kondisi tekanan tertentu pada suhu konstan. Adsorption isotherm dirumuskan oleh Langmuir yang dikenal sebagai isotherm Langmuir1) dengan persamaan untuk menghitung kemampuan menyerap (sorption capacity):
2.4. Komponen Reservoir Komponen reservoir migas konvensional yaitu: Batuan reservoir sebagai wadah yang diisi oleh minyak dan atau gas bumi. Batuan reservoir merupakan batuan berpori dan permeabel. Isi dari reservoir yang terdiri atas minyak, gas dan air konat. Perangkap (trap) reservoir, merupakan suatu komponen pembentuk reservoir dimana minyak dan gas bumi terjebak.
V
VL
p p pL
.............(3-1)
Dimana: V = sorption capacity, scf/cuft = volume Langmuir, VL scf/cuft pL = tekanan Langmuir, psi p = tekanan reservoir, psi Jumlah gas yang teradsorbsi tergantung dari massa batubara bukan volumenya, oleh karena itu bentuk persamaan yang lebih sering digunakan untuk mengekspresikan volume gas yang teradsorbsi tiap satuan massa batubara adalah1):
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
V
VL
bp 1 bp
............(3-2)
Dimana: = konstanta isotherm Langmuir, Vm scf/ton b = konstanta tekanan Langmuir, 1/psi Percobaan sorption capacity mengukur jumlah gas yang terserap dan tekanan, yang divisualisasikan dalam bentuk grafis seperti pada Gambar 3.1. Dari grafik ini dapat ditentukan parameter Vm dan b. Prosedur percobaan dan penentuan parameter Vm dan b lebih detailnya dapat dibaca pada referensi 1 dan referensi 8. 4. Kondisi Kejenuhan Reservoir CBM Kondisi kejenuhan reservoir CBM didapatkan dengan mengkombinasikan data kandungan gas (gas content) dari desorption analysis1,4,8,11) dengan grafik adsorption isotherm. Ilustrasi plot grafik kondisi kejenuhan reservoir CBM ini dapat dilihat pada Gambar 3.1. Bila kandungan gas terletak tepat di grafik sorption capacity pada tekanan reservoir (1900 psia), maka kondisi reservoir tersebut dikatakan jenuh (saturated) seperti dicontohkan oleh batubara A pada Gambar 3.1. Pada kondisi jenuh ini, cleat terisi mayoritas oleh gas dengan saturasi air tertentu. Bila kandungan gas yang diukur dari contoh batubara yang diambil langsung (undisturb sample) dari sumur yang menembus reservoir CBM menunjukkan hasil yang lebih rendah dari sorption capacitynya pada tekanan reservoirnya (1900 psia), maka reservoir CBM berada pada keadaan dibawah titik jenuh (undersaturated). Kondisi unsaturated ini terjadi akibat cleat/rekahan pada reservoir CBM dijenuhi air 100%, seperti dicontohkan pada Batubara B pada Gambar 3.1. Kondisi saturated dan undersaturated pada reservoir CBM ini juga merupakan salah satu parameter yang membedakan perilaku reservoir CBM dengan reservoir gas alam konvensional yaitu reservoir CBM selalu memproduksi air terlebih dahulu dalam jumlah besar sebelum gas mulai terdesorpsi, terutama pada kondisi undersaturated, yang dinamakan proses pengurasan air (dewatering process). Seperti terlihat pada Gambar 3.1 untuk batubara B, gas akan mulai terproduksi pada tekanan desorpsi di 900 psia. Air disini merupakan hasil dari coalifikasi yang tersimpan pada cleat, bukan dari akuifer.
12
Coal Bed Methane : Definisi Dan Evaluasi Cadangan Dengan Metode Volumetris 5. Perhitungan Cadangan Perhitungan Original Gas In Place (OGIP) reservoir CBM dengan pendekatan metode volumetris pada prinsipnya dibagi dalam dua bentuk persamaan perhitungan, yaitu volume gas yang tersimpan dalam kondisi terserap pada pori mikro dan volume gas yang tersimpan dalam kondisi bebas pada cleat. Namun hal ini masih dikaitkan dengan kondisi kejenuhan reservoir CBM. Kondisi kejenuhan reservoir dikaitkan dengan perhitungan perkiraan OGIP reservoir CBM: Apabila reservoir CBM pada kondisi jenuh (saturated) maka cleat dijenuhi sebagian besar oleh gas sehingga perhitungan OGIP reservoir CBM merupakan penjumahan volume gas pada pori mikro dan volume gas pada cleat. Apabila reservoir CBM pada kondisi tidak jenuh (undersaturated), maka cleat dijenuhi 100% oleh air sehingga volume gas pada cleat bernilai nol dan perhitungan OGIP reservoir CBM hanya merupakan volume gas pada pori mikro. 5.1. Rumus OGIP dengan Metode Volumetris Rumus dasar perhitungan OGIP metode volumetris merupakan penjumlahan untuk volume gas yang tersimpan dalam kondisi terserap pada pori mikro (Ga) dan volume gas bebas yang berada pada cleat (Gf): OGIP=(Ga+Gf) ...................(5-1) Ga=1359,7A.h.ρc.GC .........
(5-2)
Gf=43560A.h.Φc(1-Sw)/Bgi.. . (5-3) Dimana: = gas yang tersimpan Ga dalam matriks batubara dalam kondisi teradsorbsi, SCF = gas yang tersimpan Gf dalam cleat batubara dalam kondisi gas bebas, SCF
A = luasan reservoir, acre h = ketebalan bersih lapisan, ft = densitas batubara bebas ρc abu, gr/cc GC = kandungan gas, SCF/ton = porositas cleat, fraksi Φcleat Swcleat = saturasi air pada cleat, fraksi = faktor volume formasi Bgi gas (FVF) pada tekanan reservoir awal, cuft/SCF 43560 = faktor konversi acre-ft ke cuft 1359,7 = perkalian antara faktor konversi (acre-ft) ke (cuft) dan (gr/cc) ke (ton/SCF) Fraksi gas bebas pada cleat batubara kadang-kadang sangat kecil kapasitas penyimpanannya dan dapat diasumsikan sebagai gas yang tidak dapat diproduksikan lagi. Oleh karena itu, volume gas yang tersimpan pada kondisi bebas di cleat (Gf) pada persamaan (5-3) dapat diabaikan (bernilai nol). Penurunan persamaan perhitungan OGIP metode volumetris untuk volume gas yang tersimpan dalam kondisi terserap pada reservoir CBM diturunkan dari persamaan perhitungan OGIP metode volumetris untuk reservoir gas konvensional.
G = A h (1 - Sw ) ............ (5-4) Dengan menguraikan berdasarkan komponen-komponennya yaitu volume bulk batuan, Vb, sebagai luas area reservoir, A, dikalikan ketebalan reservoir, h, porositas, Φ, sebagai volume pori total batuan (Vp) dibagi dengan volume bulk batuan dan saturasi gas, Sg, (direpresentasikan sebagai (1-Sw) didefinisikan sebagai volume gas yang mengisi pori batuan, Vg dibagi dengan volume pori total batuan. Sehingga persamaan (5-1) dapat diuraikan menjadi:
G = Vb
V p V gas Vb Vp
..............(5-5)
=
m .................... (5-6) V
Maka dengan menghilangkan komponen volume pori, Vp, kemudian mengkalikan dengan perbandingan massa/massa:
G = Vb
V gas m ................(5-7) Vb m
Dengan definisi kandungan gas merupakan volume gas yang tersimpan pada pori batubara, dalam SCF, untuk tiap satuan massa dari batubara, dalam ton, yang dirumuskan:
GC =
V gas .............................. (5-8) m
Maka didapatkan persamaan:
G = Vb
V gas m m Vb
= Vb GC
c
....(5-9)
5.2. Analisis Parameter 5.2.1. Densitas Batubara Bebas Abu Densitas didefinisikan sebagai perbandingan antara massa per volume. Densitas analogi dengan porositas yang secara sistematis dapat diterangkan dalam perhitungan volume gas dalam reservoir (OGIP). Pada pengumpulan data lapangan, data densitas batubara yang diperoleh dari percobaan di laboratorium7) maupun density log9) merupakan data densitas batubara kasar (ρb). Dalam hal ini, densitas batubara masih tercampur dengan komponen lain seperti mineral-mineral yang pengaruhnya akan meningkatkan densitas batubara hingga dua kali lipatnya dari densitas batubara yang sebenarnya1,9). Oleh karena itu harus dikoreksi menjadi densitas batubara bebas abu (ρc). Abu disini merepresentasikan kondisi percobaan proximate analysis7), yaitu analisis pengukuran fraksi-fraksi penyusun batubara yaitu kelembaban (moisture, m), bahan volatil (volatile matter, VM), karbon tetap (fixed carbon, FC) dan bahan mineral (mineral matter, a), dengan kombinasi teknik gravimetri dan beberapa tingkatan pemanasan. Pada tingkatan pemanasan terakhir, batubara meningggalkan residu berbentuk abu yang merupakan bahan mineral.
Densitas zat (ρ), dalam gr/cc yaitu massa zat (m) dalam gr, dibagi dengan volume zat (V) dalam cc:
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
13
Coal Bed Methane : Definisi Dan Evaluasi Cadangan Dengan Metode Volumetris 5.2.1.1. Persamaan Koreksi Densitas Batubara Terhadap Abu Volume total batubara (Vt) merupakan volume bahan organik dan bahan mineral (Vc dan Va, secara berurutan) dijabarkan dengan persamaan:
Vt
........................ =c V + V a
(5-10)
Massa total batubara (mt) merupakan massa bahan organik (mc) dan bahan mineral (ma), dijabarkan pada persamaan: (5-11) m t = c +ma ...................... m Jika dinyatakan dalam hubungan fraksi volume dan massa:
Fv c
Vc = Vt
........................... (5-12)
Fv a
Va = Vt
........................... (5-13)
Fm c
mc = mt
........................... (5-14)
Fm a
ma = mt
........................... (5-15)
Dimana Fvc adalah fraksi volume bahan organik, Fva adalah fraksi volume bahan mineral, Fmc adalah fraksi massa bahan organik dan Fma adalah fraksi massa bahan mineral. Dengan asumsi fraksi massa dari batubara bebas abu (Fmc) dan fraksi massa dari abu (bahan mineral, Fma) seragam, maka dapat dirumuskan:
1
=)
(m+a)F............... ( F
mc
(5-16)
Rata – rata dari densitas batubara kasar (ρb) dari sampel yang mengandung bahan organik dan bahan mineral ditentukan dengan mengkalikan densitas batubara bebas abu dan densitas bahan mineral (ρc dan ρa, berturut – turut) dengan fraksi volumenya yang mewakili sehingga: b
=m c
(c ) F
+
mc
a
)(..........
....(5-17) Maka dengan mengatur ulang persaman (5-16) didapatkan densitas batubara bebas abu (ρc) :
c
b =
-
ms
Fm c
(
a
F)
............ (5-18)
Fraksi massa penyusun batubara diperoleh dari hasil proximate analysis. Densitas abu (ρa) diperkirakan pada harga 2,75 g/cc9) atau diambil harga densitas abu dari interpretasi density log. Abu diidentikkan dengan mineral lempung sehingga respon density log pada interval lempung didekat lapisan batubara dapat digunakan sebagai acuan kisaran. 5.2.1.2. Koreksi Densitas Batubara Bebas Abu Secara Pintas Dari Interpretasi Density Log Batubara mempunyai densitas yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan shale atau batupasir. Sebagai hasilnya, ketebalan kotor dari interval yang didominasi batubara dapat langsung dikuantitaskan pada grafik density log. Dalam prakteknya, ketebalan reservoir CBM yang dianalisis menggunakan density log digunakan harga 1,75 g/cc sebagai harga maksimum dari densitas bulk untuk lapisan batubara yang dianggap mempunyai kandungan gas yang signifikan1). Tetapi pada kasus di cekungan San Juan densitas batubara yang menyimpan gas dengan jumlah yang signifikan tipikal densitasnya berkisar antara 2,4 hingga 2,5 g/cc, maka dapat dibuat suatu kisaran bahwa densitas batubara yang menyimpan gas yang signifikan berkisar antara 1,7 hingga 2,5 g/cc1). Namun densitas ini belum dikoreksi terhadap abu. Respon dari density log untuk densitas batubara bebas abu dapat diketahui pada pembacaan densitas terendah9) melewati interval lapisan batubara. 5.2.2. Kandungan Gas Saturasi fluida terdiri atas saturasi air, saturasi minyak dan saturasi gas. Pengukuran saturasi fluida pada analisa inti batuan rutin reservoir migas biasanya ditentukan dengan penentuan saturasi air terlebih dahulu, begitu pula pada interpretasi wireline log. Selanjutnya saturasi minyak dan saturasi gas dapat diketahui2). Kandungan gas merupakan sifat fisik fundamental reservoir CBM yang analogi dengan saturasi fluida. Pengukuran kandungan gas pada reservoir CBM dinamakan
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
desorption analysis4,11). Pengukuran kandungan gas dilakukan tanpa pengukuran kandungan air terlebih dahulu seperti pada reservoir migas konvensional. Desorption analysis pada prinsipnya mengukur gas yang terdesorpsi/terlepaskan oleh sampel batubara kedalam tiga kategori yaitu: Gas hilang didefinisikan sebagai gas yang hilang saat pertama kali sampel dipotong saat coring hingga dibungkus dengan kontainer gas ketat (canister). Gas yang hilang tidak diukur tetapi harus diperkirakan. Gas terdesorpsi yaitu gas yang terukur melalui canister. Setelah laju desorpsi/emisi gas turun dibawah harga ambang batas, sampel dihancurkan menjadi bubuk yang sangat halus untuk melepaskan gas sisa yang dinamakan gas residu. Harga ambang batas awalnya diset pada 0,05 cm3/hari untuk lima hari pengukuran (oleh McCulloch et al., 1975) tetapi telah direvisi menjadi rata – rata 10 cm3/hari untuk tujuh hari pengukuran (oleh Diamond dan Levine, 1981; Diamond et al., 1986)4,11). Total kandungan gas merupakan penjumlahan dari volume gas yang hilang, volume gas yang terukur melalui canister dan volume gas residu. Data pengukuran dan pencatatan merupakan plot antara jumlah gas yang terkumpul versus akar pangkat dua dari waktu desorpsi. Waktu desorpsi ini dimulai ketika core mulai dipotong didalam lubang bor, sehingga pada perhitungan waktu tersebut, gas yang hilang mulai diperkirakan. Teknik perkiraan gas hilang lebih detail diuraikan pada referensi 4 dan referensi 11. Koreksi terhadap data kandungan gas mengacu pada komposisi gas pengotor seperti gas nitrogen dan karbondioksida. Komposisi gas diperoleh dari hasil analisa gas chromatography. Kandungan gas yang telah dikoreksi disini merupakan murni gas metana.
14
Coal Bed Methane : Definisi Dan Evaluasi Cadangan Dengan Metode Volumetris 5.3. Faktor Perolehan Cadangan gas merupakan hasil perkalian antara OGIP dengan faktor perolehan. Faktor perolehan reservoir gas konvensional dirumuskan6):
RF
1-
Bgi Bga
..............(5-19)
= 0,7 o Swcleat o Bgi = 0.004 cuft/SCF o Bga = 0,015 cuft/SCF Pertanyaan: Hitung cadangan reservoir CBM Jawab: a. Mengkoreksi densitas batubara bebas abu:
5.4. Contoh Perhitungan Perkiraan Cadangan Gas Reservoir CBM Diketahui data-data Vb = 6711,6 acre-ft ρb = 2,22 gr/cc ρa = 2,75 gr/cc Dari percobaan proximate analysis diketahui: o Massa batubara total = 100 gr o Massa abu = 10 gr Dari hasil percobaan desorption analysis untuk 100 gr sampel batubara diketahui: o Perkiraan gas hilang = 50 cc o Gas terukur pada canister = 260 cc o Gas residu = 20 cc Dari hasil analisa gas chromatography, diketahui gas reservoir CBM merupakan 100% metana. Dari hasil analisa grafik adsorption isotherm diketahui reservoir CBM dalam kondisi undersaturated dan diketahui parameter: = 0,14 o Φcleat
Fma Fmc
b
c
Dimana RF = faktor perolehan, fraksi Bga = faktor volume formasi gas pada tekanan reservoir abandon, cuft/SCF Pada volume gas reservoir CBM dalam kondisi bebas, persamaan (5-19) dapat diaplikasikan. Namun pada volume gas dalam kondisi terserap, Ga, pengukuran kandungan gas reservoir CBM diukur pada kondisi permukaan, sehingga tidak ada konversi FVF. Pengurangan kandungan gas total dengan gas residu dari hasil pengukuran desorption analysis, merupakan representasi faktor perolehan. Gas residu adalah gas yang tidak dapat bergerak lagi dan tetap menempati pori batubara pada kondisi abandon.
sebagai source rock, maka tidak memerlukan migrasi dan perangkap reservoir. Perkiraan OGIP reservoir CBM dengan pendekatan metode volumetris, dihitung berdasarkan dua komponen rumus yaitu volume gas terserap dan volume gas bebas, yang tergantung pada kondisi kejenuhan reservoir CBM. Sifat fisik fundamental reservoir yang digunakan pada perhitungan OGIP reservoir CBM dengan metode volumetris, mempunyai analogi terhadap sifat fisik fundamental reservoir migas konvensional, yaitu densitas batubara analogi dengan porositas, kandungan gas analogi dengan saturasi gas. Contoh perhitungan perkiraan cadangan gas dengan metode volumetris menggunakan data hipotetik memberikan gambaran sederhana evaluasi cadangan gas reservoir CBM.
a
10 2,75 100 c 100 90 100 ρc = 2,16 gr/cc 2,22
b.
Menghitung kandungan gas:
GC= Gas hilang + gas terukur GC= (2500 + 13260)/100
GC= (169,8 cc/gr)X(3,53.10-5SCF/cc)X(1.106gr/ton)
GC= 5563,28 SCF/ton
7. Daftar Pustaka c.
Menghitung volume gas yang terserap: Ga = 1359,7 Vb ρc (GC)
1.
= (1359,7)(6711,59) (2,16)(5563,28)
d.
e. Gp
= 109661,12 MMSCF Menghitung volume gas bebas: Gf = [43560 A h Φc (1-Sw)/Bgi] (1- (Bgi/Bga) =(43560)(6711,59) (0,14)(1-0,7)/(0.004)] [1- (0,004/0,015] = 2251,15 MMSCF Menghitung cadangan gas : = (Ga + Gf) = 109661,12 + 2251,15 = 111912,27 MMSCF = 111,91 Bscf
2.
3.
4.
5.
6. Kesimpulan Reservoir coal bed methane merupakan reservoir gas yang menghasilkan dan menyimpan gas alam pada lapisan batubara dengan kedalaman > 500 meter dibawah permukaan dan diproduksikan fluida reservoirnya melalui suatu sumur. Petroleum system dan komponen reservoir CBM sama dengan reservoir migas konvesional, namun karena reservoir CBM juga bertindak
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
6.
7.
8.
Ahmed, Tarek; McKinley, Paul D. :”Advanced Reservoir Engineering”, Elsevier Scientific Publishing Company, Oxford, 2005. Amyx, James W.; Bass, Daniel M, Jr; Whiting, Robert L.: ”Petroleum Reservoir Engineering: Physical Properties”, McGraw-Hill Book Company, New York, 1960. Anderson, John. et al.; ”Producing Natural Gas From Coal”, Oilfield Review, Autumn, 2003. Dan, Yee; Seidle, John P. John; Hanson, William B, : “Gas Sorption on Coal and Measurement of Gas Content “, AAPG Studies in Geology #38, (203-218) 1993. Koesoemadinata, R. P. : ”Geologi Minyak dan Gas Bumi”, Jilid 1 dan 2 Penerbit ITB, 1980. Lee, John; Wattenberg , Robert A. : “Gas Reservoir Engineering”, Henry L. Doherty Memorial Fund of AIME, SPE, Richardson,TX, 1996. Levine, Jeffry R.: “Coalification : The Evolution of Coal as Source Rock and Reservoir Rock For Oil and Gas “ , AAPG Studies in Geology #38, (3978) 1993. McElhiney J.E.; Paul G.W.; Young, G.B.C. dan McCartney, J.A. :”Reservoir Engineering Aspect of Coalbed Methane”, AAPG Studies in Geology #38, (269-286) 1993.
15
Coal Bed Methane : Definisi Dan Evaluasi Cadangan Dengan Metode Volumetris 9.
Scott, Andrew R.; Zhou, Naijiang and Levine, Jeffry R. : “A Modified Approach to Estimating Coal and Coal Gas Resources : Example from Sand Wash Basin, Colorado”, AAPG Bulletin Vol. 79, No.9 (September 1995) (1320-1336).
10. Stevens, Scott H. and Sani, Kartono :”Coalbed Methane Potential of Indonesia : Preliminary Evaluation of a New Natural Gas Resources”, Proceeding Indonesia Petroleum Association on 28th
Annual Convention Exhibition, October 2001.
and
11. Waetcher, Noel B. et al : “Accurate Gas Content Analysis Improves Coalbed Gas Resource Estimation “, World Oil, Agustus 2004.
Gambar 2.1. Hubungan volume gas yang terbentuk sebagai fungsi rank batubara3)
Gambar 3.1. Deskripsi grafik kombinasi adsorption isotherm dan data kandungan gas yang menerangkan kondisi kejenuhan reservoir CBM(8)
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
16
STUDI PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KESTABILAN BUSA DALAM PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK Williandrew Arya Pratama & Yashinta Ira Widyanti Universitas Trisakti
ABSTRAK Setelah reservoir dengan tenaga dorong alamiah (primary recovery) dan usaha secondary recovery sudah tidak dapat mendorong minyak untuk naik kepermukaan maka diperlukan mekanisme usaha untuk mendorong sisa minyak yang terjebak diantara pori-pori batuan yaitu dengan metode Enhanced Oil Recovery (EOR). Salah satu metode EOR yang digunakan yaitu injeksi busa merupakan kelanjutan dari injeksi kimia, dengan surfaktan sebagai bahan kimia yang digunakan. Peningkatan perolehan minyak pada Enhanced Oil Recovery (EOR) dengan injeksi kimia menggunakan surfaktan berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan minyak dan air sehingga dapat mendesak sisa-sisa minyak yang terjebak dalam pori-pori batuan dan meningkatkan produksi minyak. Injeksi busa merupakan kelanjutan dari injeksi kimia, dengan surfaktan sebagai bahan kimia yang digunakan. Injeksi busa ini dapat mengontrol mobilitas minyak yang dapat menurunkan tegangan permukaan minyak dan air. Injeksi busa bertujuan untuk mengontrol mobilitas sehingga gelembung minyak yang terpisah dengan air formasi dan tertinggal dalam pori-pori batuan dapat didesak oleh busa dan kemudian menyatu bersama air formasi yang telah terkontaminasi dengan surfaktan, selanjutnya dapat didesak dan diproduksikan bersama air formasi. Kestabilan busa merupakan faktor penting didalam proses pendesakan minyak oleh busa. Busa dikatakan stabil bila tidak mudah pecah pada saat tertentu dan juga memiliki bentuk dan ukuran yang seragam. Busa tersebut menyusup kedalam pori-pori batuan dan mendesak minyak yang terperangkap didalamnya dan dapat meningkatkan perolehan produksi minyak. Percobaan yang dilakukan pada Laboratorium EOR ini menggunakan metode Durability Test. Jenis minyak yang digunakan adalah parafin, sedangkan jenis surfaktan yang digunakan adalah surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan non ionik dan surfaktan amphoter. I. PENDAHULUAN Setelah reservoir dengan tenaga dorong alamiah (primary recovery) dan usaha secondary recovery sudah
tidak dapat mendorong minyak untuk naik kepermukaan maka diperlukan mekanisme usaha untuk mendorong sisa minyak yang terjebak diantara pori-pori batuan yaitu dengan metode Enhanced Oil Recovery (EOR). Salah satu metode EOR yang digunakan yaitu injeksi busa merupakan kelanjutan dari injeksi kimia, dengan surfaktan sebagai bahan kimia yang digunakan. Surfaktan flooding merupakan salah satu cara untuk mengurangi sisa minyak yang masih tertinggal pada reservoir dengan jalan menginjeksikan suatu zat aktif permukaan (petroleum sulfonate) kedalam reservoir untuk menurunkan tegangan permukaan antar permukaan minyak-air. Dengan turunnya tegangan permukaan maka tekanan kapiler pada daerah penyempitan pori-pori dapat didesak dan diproduksikan. Tekanan kapiler yang bekerja pada daerah penyempitan pori-pori merupakan penghambat aliran minyak. Tekanan kapiler tergantung pada tegangan antar muka dan afinitas batuan reservoir yang ditunjukkan oleh besarnya tegangan adhesi. Besarnya tegangan adhesi batuan terhadap fluida, mencerminkan kecenderungan fluida membasahi batuan. Dalam kegiatan eksploitasi minyak dan gas bumi, selain minyak dan gas yang diproduksikan terdapat juga air yang umumnya dikenal air formasi (brine). Air formasi (brine) merupakan air yang terkumpul bersama minyak dan gas didalam lapisan reservoir, terletak pada kedalaman lebih dari 1000m dan terletak dibawah zone minyak. Injeksi busa bertujuan untuk mengontrol mobilitas sehingga gelembung minyak yang terpisah dengan air formasi dan tertinggal dalam pori-pori batuan dapat didesak oleh busa dan kemudian menyatu bersama air formasi yang telah terkontaminasi dengan surfaktan, selanjutnya dapat didesak dan diproduksikan bersama air formasi. Kestabilan busa merupakan faktor penting didalam proses pendesakan minyak oleh busa. Busa dikatakan stabil bila tidak mudah pecah pada saat tertentu dan juga memiliki bentuk dan ukuran yang seragam. Busa tersebut menyusup kedalam pori-pori batuan dan mendesak minyak yang terperangkap
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
didalamnya dan dapat meningkatkan perolehan produksi minyak. II. TEORI DASAR Semua usaha untuk meningkatkan perolehan minyak dengan salah satu atau beberapa metode pengurasan yang menggunakan energi luar reservoir seperti menginjeksikan fluida kedalam reservoir, dimana fluida yang digunakan biasanya tidak terdapat didalam reservoir disebut dengan usaha Enhanced Oil Recovery (EOR). Biasanya sebelum tahap EOR ini dilakukan upaya lain untuk memperbaiki recovery factor dimulai dengan memperluas rencana pengembangan melalui pemboran beberapa sumur lagi serta menambahkan tenaga reservoir dengan menginjeksikan air dan gas. Adapun tujuan dari injeksi EOR adalah untuk merubah sifat-sifat fisik fluida dan batuan reservoir sehingga dapat meningkatkan produksi minyak. Minyak yang tersisa di dalam reservoir pada tahap primary recovery yang tidak dapat diproduksikan dengan metode konvensional, berkisar antara 6070% dari volume minyak mulamula. Sisa cadangan minyak yang tidak dapat diproduksikan tersebut, dibedakan menjadi 2 macam, yaitu Residual oil dan Bypassed oil. Residual oil disebabkan karena adanya tekanan kapiler dan tegangan permukaan antar muka yang besar antara minyak dan air sehingga minyak tidak dapat mengalir dan diproduksikan ke permukaan. Sedangkan Bypassed oil disebabkan minyak yang tidak dapat diproduksikan karena kondisi reservoir dimana perbandingan mobilitas air injeksi dengan mobilitas minyak lebih dari 1 sehingga dapat menyebabkan breakthrough yang lebih awal. Alternative EOR yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi seperti diatas adalah injeksi polimer.
17
STUDI PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KESTABILAN BUSA DALAM PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK Metode EOR Metode EOR atau Enhanced Oil Recovery merupakan suatu perolehan atau pengurasan cadangan minyak tahap lanjut setelah pelaksanaan tahap primary recovery dan secondary recovery dengan menggunakan material injeksi guna meningkatkan produksi minyak yang belum optimal. Teknologi EOR bertujuan untuk merubah sifat-sifat fisik fluida dan batuan reservoir sehingga dapat meningkatkan perolehan serta produksi minyak dari reservoir. Berdasarkan pada jenis fluida injeksi, metode EOR dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu : injeksi gas (injeksi gas CO2 tercampur, injeksi gas inert dan injeksi gas hidrokarbon), injeksi kimia (injeksi alkali, injeksi surfaktan dan injeksi polimer) dan injeksi panas (injeksi uap, injeksi panas dan in-situ combustion). Beberapa mekanisme pendesakan minyak yang diharapkan akan memperbesar efisiensi penyapuan dengan menerapkan metode Enhanced Oil Recovery (EOR), antara lain bertujuan : Mengekstrasi larutan agar tercapai pembauran Menurunkan tegangan antar muka Merubah viscositas minyak atau air Metode EOR merupakan teknologi yang memerlukan biaya dan resiko yang tinggi. Oleh sebab itu, diperlukan kajian awal secara teknis yang diawali dengan melakukan penyaringan terhadap karakteristik reservoir untuk menentukan pemilihan metode EOR yang tepat, dikenal dengan istilah Screening Criteria. Surfaktan Surfaktan atau Surface Active Agent dapat didefinisikan sebagai sebuah molekul yang bekerja pada sebuah bidang pemisah dan mempunyai kemampuan untuk merubah kondisi yang sebenarnya. Surfaktan dapat menurunkan tegangan antar muka dua cairan yang tidak bercampur dengan penyerapan pada antar muka cairan dan padatan.
Surfaktan adalah zat yang bersifat aktif permukaan, apabila dilarutkan dalam air dan kontak dengan minyak cenderung akan terkonsentrasi pada antar muka minyak air. Pada umumnya molekul surfaktan mempunyai dua gugus yang terpisah pada kedua ujung rantai molekul, yaitu gugus hidrofil (menyukai air atau larut dalam air) atau lipofob (menolak minyak) dalam jumlah yang sedikit dan gugus hidrofob (tidak menyukai air tetapi larut dalam minyak) atau lipofil (menolak air) dalam jumlah yang cukup besar. Didalam air, gugus hidrofil pada molekul surfaktan akan menarik seluruh molekul air dalam larutan, sedangkan gugus hidrofob cenderung menolak molekul air tersebut. Jika terdapat keseimbangan antara dua tenaga gugus tersebut, make zat terlarut dan pelarutnya akan terkonsentrasi pada bidang antar muka, dimana gugus hidrofob akan terorientasi pada media yang relative bersifat non polar. Sedangkan pada gugus hidrofil akan terorientasi pada media yang bersifat polar. Bahan utama surfaktan ialah petroleum sulfonate yang mempunyai rumus kimia R-SO3H, dimana “R” adalah gugusan atom-atom karbonaromatik. Gugus hidrofil biasanya berupa senyawa hidrokabon atom C8 sampai dengan C22, sedangkan hidrofob umumnya berupa karboksilat, sulfonat, phosphate dan sisa asam lainnya. Pada pemilihan surfaktan yang akan digunakan dalam EOR terdiri dari empat criteria utama yaitu : 1. Tegangan antar muka minyak air yang rendah 2. Adsorpsi rendah 3. Kesesuaian dengan fluida reservoir 4. Biaya rendah Surfaktan yang umum digunakan dalam proyek EOR adalah surfaktan anionic. Bila surfaktan anionic dilarutkan kedalam larutan encer, make surfaktan akan berdisosiasi (terpisah) menjadi kation dan monomer. Bila konsentrasi surfaktan kemudian naik gugus hidrofob (gugus yang suka minyak) akan saling berkumpul membentuk kumpulan yang disebut micelle, dimana tiap-tiap micelle terdiri dari beberapa monomer. Micelle-micelle yang terbentuk didalam campuran senyawa tersebut tersusun secara spherik atau lamellar. Pada konsentrasi surfaktan masih rendah, micelle belum terbentuk. Bila
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
konsentrasi kritik micelle (CMC) sudah tercapai, make terbentuklah micelle, dengan kata lain Critical Micellar Concentratuon (CMC) adalah konsentrasi dimana molekul surfaktan mulai membentuk micelle. Karena harga CMC ini sangat kecil yaitu 10-5 sampai 10-4 kg mole/m-3 make praktis larutan surfaktan selalu menonjol dalam bentuk micelle. Struktur micelle ini tidak tetap dan dapat berubah dalam berbagai bentuk. Bila larutan surfaktan kontak dengan fasa berminyak (oleic phase), surfaktan cenderung berakumulasi pada permukaan yang mengelilingi (permukaan antara fasa minyak dan fasa cair). Gugus yang suka minyak larut dalam fasa berminyak sedangkan gugus yang suka air larut dalam fasa air. Karena sifat tersebut maka surfaktan akan menyebabkan tegangan permukaan antara dua fasa yang tidak campur tersebut menurun. Berdasarkan sifat kelistrikannya, surfaktan dapat digolongkan menjadi : 1. Surfaktan anion yang bermuatan negative 2. Surfaktan kation yang bermuatan positif 3. Surfaktan non ionic tidak terionisasi dalam larutan 4. Surfaktan amphoter yang bermuatan positif dan negative tergantung dari harga pH larutan. Surfaktan Anionik Gugus hidrofob dari surfaktan anionik merupakan suatu gugus polar dan bermuatan negatif dalam air. Anion diperlukan dalam keadaan elektron netral, anionik (kutub negatif) molekul surfaktan adalah tidak menarik katiob pada metal inorganic (biasanya yodium) yang menggabungkan dengan monomer. Pada larutan ion, ionisasi molekul membebaskan kation dan ionik monomer. Anion surfaktan ini umumnya terdapat dalam pendesakan Micellar Polymer karena merupakan surfaktan yang baik, tahan dalam penyimpanan, stabil dan dapat dibuat dengan harga murah. Secara komersial, group anionik diproduksikan dalam bentuk karboksilat, sulfat, sulfonat, phospat, atau phosphonate.
18
STUDI PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KESTABILAN BUSA DALAM PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK Contoh surfaktan anionik adalah : Garam Asam Carboxylic Garam sodium dan potassium dari asam lemak rantai lurus (soap) Garam sodium dan potassium dari asam lemak minyak kelapa Garam sodium dan potassium dari asam minyak tall Garam amine Acylated Polypeptides Garam Asam Sulfonate Linear Alkyl Benzene Sulfonate (LAS) Higher Alkyl Benzene Sulfonate Benzene, Toluene, Xylene dan Cumenesulfonate Ligninsulfonate Petroleum Sulfonate N-Acyl-n-alkyltaurates Parafin Sulfonate (SAS), Secondary n- alkyltaurates Alfa Olefin Sulfonate (AOS) Ester Sulfonate Isethionates Sodium Ester dari phosporic dan polyphosporic Perfluorinated Anion Surfaktan Kationik Gugus hidrofil dari surfaktan kationik membentuk ion positif dalam air. Senyawa polar jika berkutub positif, surfaktan sebagai kation. Pada keadaan ini molekul surfaktan mengandung anion inorganic untuk menetralkan kutub. Surfaktan kation digunakan sedikit dalam pendesakan micellar-polymer. Hal ini dikarenakan surfaktan tersebut mempunyai daya adsorpsi yang tinggi oleh permukaan anionik dari permukaan clay. Surfaktan kationik pada umumnya memiliki kelarutan yang lebih tinggi dalam kondisi asam dibandingkan pada kondisi netral atau larutan alkali. Contoh surfaktan kationik adalah : Amine rantai panjang dan garam-garamnya Garam quartenary ammonium Diamine dan polyamines dan garam-garamnya Polyaxyethlenated amine rantai panjang Quarternized polyoxyethlenated rantai panjang Amine oxides Surfaktan Non Ionik Surfaktan non ionik adalah surfaktan yang tidak terionisasi atau tidak
terurai jika dilarutkan dalam air, maka dari itu tidak bermuatan. Surfaktan non ionik merupakan golongan surfaktan yang mempunyai manfaat yang meluas dalam Micellar-Polymer yaitu terutama sebagai cosurfaktan, tetapi pada dasarnya sebagai non ionik surfaktan primer. Surfaktan ini tidak berbentuk ikatan ionik, tetapi ketika terlarut dalam larutan air sifat elektronegatif surfaktan menunjukkan perbedaan antara unsur-unsur utamanya. Non ionik sangat toleransi terhadap salinitas tinggi daripada anionik dan mempunyai surfaktan lebih sedikit. Umumnya surfaktan non ionik adalah larut dalam air seperti polimer ethylene oxide atau propylene oxide. Surfaktan non ionik merupakan sintesa yang dihasilkan melalui kondensasi Fatty Alkohol, Fatty Acids atau Fatty Amides dengan Etillen Oksida. Contoh surfaktan non ionik adalah : Polyoxyethlenated Alkylphenols, Alkylphenol Ethoxylates Polyoxyethlenated rantai lurus alcohol, Alcohol Ethoxylates Polyoxyethlenated Mercaptans Alkanolamine Kondensate, Alkanolamides Tertiart Acetylenic Glycol Surfaktan Amphoter Surfaktan amphoter adalah surfaktan yang termasuk dalam gugus hidrofil, bisa bermuatan positif atau tidak bermuatan. Muatan ion pada surfaktan amphoter tergantung dari pada pH system. Surfaktan jenis ini mengandung dua atau lebih aspek jenis lain. Contoh amphoterik mungkin mengandung anion group dan non polar group. Ada empat (4) jenis surfaktan amphoter yang umum dipakai pada proyek EOR, yaitu: Sulfobetains Betain Alkymidazolimiumbetains Amidoalkybetains Surfaktan amphoter ini merupakan pembentuk busa yang baik, yang telah ditest pada suhu tinggi (200oF) dalam larutan 10% garam. Muatan amphoter surfaktan tergantung pada pH dari sistem, pada larutan asam (pH<7) molekulnya akan bermuatan positif (kation) pada larutan basa (pH>7) molekulnya akan bermuatan negatif (anion) sedangkan pada larutan netral (pH=7) molekulnya tidak bermuatan (non ionik).
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
Efektif tidaknya masing-masing tipe surfaktan tersebut diatas dalam membentuk busa tergantung pada keadaan temperatur dan salinitas dari sistem. Surfaktan anionik merupakan senyawa yang bersifat polar sehingga daya larutnya dalam air cukup besar karena itu tipe ini adalah pembentuk busa dalam campuran hidrokarbon dan brine daripada didalam air tawar, selain itu tipe kationik dengan berat molekul rendah kebanyakan lebih efektif membentuk busa dalam campuran hidrokarbon dan brine daripada yang berat molekulnya besar. Sedangkan untuk surfaktan non ionik sebaliknya dipakai air yang bersalinitas rendah dan temperatur yang tinggi menurunkan daya larut tipe ini. Dari semua tipe-tipe surfaktan ini yang paling sedikit menimbulkan problem emulsi adalah surfaktan non ionik karena tipe ini tidak tergantung dari muatan ion. Busa Busa merupakan penyebaran kasar daripada gas didalam cairan dan terdapat dua keadaan struktur yang sangat berbeda dimana suatu disperse dari volume gas yang relative besar didalam volume liquid yang kecil. Busa menurut bentuknya umunya dapat dbedakan menjadi dua jenis. Jenis pertama terdiri dari gelembung yang hampir berbentuk sfera yang terpisah oleh selaput yang agak tebal daripada cairan yang agak pekat. Jenis kedua kebanyakan merupakan fasa gas yang berbentuk polyhedron dan dipisahkan oleh selaput film. Busa terbentuk ketika liquid yang mengandung konsentrasi surfaktan yang kecil mengalami kontak gas dan menimbulkan energi mekanik yang cukup menyebabkan liquid untuk membentuk busa. Dibawah ini merupakan aplikasi-aplikasi kegunaan dari busa antara lain : Menutup aliran dari fluida yang tidak diinginkan Menutup aliran dari fluida yang diinjeksikan Meningkatkan mobilitas rasio pada proses pergerakan dengan mengurangi mobilitas dari fluida yang diinjeksikan
19
STUDI PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KESTABILAN BUSA DALAM PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK Kualitas Busa Kualitas busa diartikan sebagai perbandingan volume gas yang membentuk busa terhadap volume busa dan dinyatakan dalam9 %. Kualitas busa dapat dikatakan sebagai busa berkualitas kering (>90%) sedang (70-90%) dan basah (<90%). Tabel 2.1 Kualitas Busa Jenis Kualitas Busa Sangat Basah Basah Sederhana Kering
Bentuk Gelembung dan Ciri Selaput Hampir seragam dan tebal Hampir seragam Seragam Tak seragam dan sangat tipis
Kualitas busa merupakan salah satu factor yang penting untuk diketahui karena akan mempengaruhi sifat busa yang lainnya seperti keikatan busa setara dan mobility busa. Kualitas busa yang lazim digunakan dalam proses EOR berkisar antara 70% hingga 95%. Dengan meningkatnya kualitas, busa akan menghasilkan keikatan busa yang tinggi, selanjutnya dengan meningkatnya kualitas busa akan meningkatkan perolehan minyak. Jenis busa yang dihasilkan dari proses pembentukan busa tersebut, menghasilkan dua sifat bentuk busa yang berbeda yaitu : Busa basah Busa basah yaitu busa yang tidak dapat bertahan lama sehingga busa yang terbentuk langsung mencair. Busa kering Busa kering yaitu busa yang dapat bertahan lama dan menghasilkan bentuk busa yang solid. Bentuk busa yang solid dapat juga disebut bentuk busa yang stabil. Kestabilan Busa Kestabilan busa merupakan factor yang penting di dalam suatu proses pendesakan minyak oleh busa. Busa dikatakan stabil apabila busa tersebut tidak mudah musnah pada saat tertentu dan juga mempunyai bentuk dan ukuran yang seragam. Selanjutnya busa yang dikatakan tidak stabil bila busa mudah musnah pada saat tertentu dengan bentuk dan ukuran busa tidak seragam. Kestabilan busa dapat ditentukan
dengan memperhatikan musnahnya busa melalui penurunan ketinggian busa berbanding dengan waktu didalam mika (Bikerman,1997). Busa yang stabil mempunyai waktu lebih dari 30 menit untuk musnah dengan sempurna. Menurut Iglesias (1995) kestabilan busa mempunyai kaitan dengan waktu paruh :
t1
2
0,693 kr ………………….(2.1)
dimana : t 1/2 = Waktu paruh, menit kr = Slope yang diperoleh antara tinggi busa (cm) dengan waktu penurunan busa (menit) Ketika busa dimasukkan, akan menghasilkan bubble fit yang terdiri dari sejumlah gas yang diselimuti oleh cairan. Busa terbentuk masuk kedalam pori-pori batuan dengan laju yang lambat. Selain itu, busa tersebut dapat meningkatkan saturasi gas yang terperangkap, dan saturasi minyak akan berkurang. Dengan demikian bila semakin banyak saturasi gas yang terperangkap maka akan mengurangi mobilitas gas. Disamping itu, penggunaan busa dengan teknologi EOR dapat menurunkan tegangan antar muka air-minyak dan meningkatkan derajat kebasahan minyak pada permukaan batuan. Jadi hanya busa saja yang dapat mengatasi kondisi dimana saturasi minyak rendah dan saturasi air tinggi. Dan hal tersebut sangat berpengaruh pada zone tersapu oleh air (waterflood zone).
Faktor Yang Mempengaruhi Kestabilan Busa Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kestabilan busa yaitu : jenis surfaktan, konsentrasi surfaktan, salinitas air formasi, elektrolit, kualitas busa, suhu, tekanan, minyak dan pengaruh zat lain. Jenis surfaktan Jenis surfaktan merupakan salah satu factor yang menetukan kesatbilan busa. Terdapat empat jenis surfaktan (beranion, kation, nonionic dan amphoter). Menurut jenisnya surfaktan jenis beranion merupakan jenis surfaktan yang menghasilkan busa yang lebih stabil dibandingkan jenis lainnya. Hal ini disebabkan oleh masingmasing jenis surfaktan mempunyai
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
struktur molekul kimia yang berbeda. Menurut Mayers (1991) terdapat dua jenis surfaktan (beranion dan bukan ion) yang diamati selepas pembentukan busa pada waktu 5 menit. Surfaktan jenis beranion menunjukkan prestasi yang baik dibandingkan jenis bukan ion. Konsentrasi surfaktan Konsentrasi surfaktan merupakan salah satu factor yang dapat mempengaruhi kestabilan busa. Konsentrasi surfaktan berpengaruh besar terhadap terjadinya adsorpsi oleh batuan reservoir. Dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan akan meningkatknan terjadinya adsorpsi dan penurunan tegangan permukaan antar muka minyak dan air terus berlangsung sampai batuan reservoir mencapai titik jenuh. Salinitas air formasi Air formasi pada umumnya adalah air asin yang mempunyai 60-80% kandungan Natrium Chloride (NaCl). Kandungan natrium chloride tersebut akan mempengaruhi kesatbilan busa. Dengan meningkatnya salinitas air maka busa akan lebih mudah musnah. Hal ini disebabkan meningkatnya salinitas akan menurunkan CMC, selanjutnya molekulmolekul surfaktan pada salinitas tinggi mudah terpisah, maka busa didapati tidak mudah terbentuk dan kurang stabil. Suhu Kestabilan busa sangat sensitive terhadap suhu. Pada umumnya suhu reservoir berada pada 60 oF sampai 392 oF. Dengan meningkatnya suhu maka busa akan mengalami degradasi atau penurunan kestabilan. Hal ini disebabkan dengan kenaikan suhu akan meningkatkan CMC, make permukaan busa yang diselimuti cairan mudah menjadi uap. Sehingga pada suhu yang tinggi menjadikan busa lebih mudah musnah.
20
STUDI PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KESTABILAN BUSA DALAM PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK Tekanan Adanya tekanan mempengaruhi kestabilan busa yang terbentuk. Meningkatnya tekanan akan mengakibatkan turunnya kestabilan busa, busa terbentuk dari lapisan tipis cairan yang terdapat gas didalamnya. Busa akan pecah bila diberi tekanan yang melebihi tekanan gas didalam busa itu sendiri. Minyak Pada umumnya adanya minyak akan mempengaruhi kestabilan busa. Menurut jenis minyaknya dapat digolongkan menjadi dua jenis minyak yaitu minyak merebak (spreading oil) dan minyak tidak merebak (non spreading oil). Elektrolit Meningkatnya elektrolit mempengaruhi kestabilan busa terlebih lagi bila ion elektolit mempunyai daya afinitas besar sehingga akan mudah terurai dan bila ion tersebut berikatan dengan surfaktan make akan cepat kehilangan sifat zat aktifnya, salah satu contohnya adalah ion Na+.
III. ALAT DAN BAHAN Pada bagian ini akan dijelaskan peralatan dan bahan-bahan yang digunakan di laboratorium Enhanced Oil Recovery (EOR) Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti. Peralatan Yang Digunakan Peralatan yang digunakan dalam kajian ini antara lain : Tensiometer Du Nouy, digunakan untuk mengukur tegangan permukaan fluida Viscometer Ostwald, digunakan untuk mengukur viskositas fluida Picnometer, digunakan untuk mengukur densitas fluida dengan pengukuran neraca berat cairan yang dilakukan pada temperatur kamar Neraca analitik, digunakan untuk menimbang sampel Kaca arloji, digunakan untuk tempat menimbang sampel Magnetid Stirer, digunakan untuk mengaduk larutan sampel sehingga larut sempurna Piala gelas 1000 ml, digunakan untuk tempat membuat atau melakukan pencampuran larutan Gelas ukur 25 ml, digunakan untuk tempat larutan Flowmeter, digunakan untuk mengukur besarnya laju aliran gas Nitrogen
Regulator, digunakan untuk mengetahui besarnya tekanan yang berada didalam tabung gas dalam satuan psi Tabung gas nitrogen, digunakan untuk menyimpan gas nitrogen Gas nitrogen, digunakan untuk melakukan injeksi sehingga terbentuk busa Selang gas, digunakan sebagai media mengalirnya gas nitrogen Tabung mika, digunakan untuk meneteskan parafin kedalam tabung mika Pengaduk, digunakan untuk mengaduk sampel larutan Stopwatch, digunakan untuk mengukur waktu Aluminium foil, digunakan untuk menutup piala gelas agar kotoran tidak masuk Bulb, digunakan untuk mengisap larutan sampel Bahan Yang Digunakan Air formasi pH = 8.43 Resistivity = 0.25521456 Surfaktan anionik Surfaktan kationik Surfaktan amphoter Crude Oil Minyak parafin Aquadest Pewarna air, digunakan untuk mewarnai larutan Pewarna minyak, digunakan untuk mewarnai parafin IV. HASIL PERCOBAAN Percobaan yang dilakukan pada laboratorium Enhanced Oil Recovery (EOR) bertujuan : Menganalisa kestabilan busa dari campuran air formasi dengan konsentrasi dan jenis surfaktan yang berbeda (anion, kation dan amphoter) dan dicampur dengan minyak jenis paraffin pada temperature 94ºC Menganalisa sifat fisika larutan dari konsentrasi dan jenis surfaktan yang berbeda (anion, kation dan amphoter) dan dicampur dengan minyak jenis paraffin pada temperature 94ºC. Sifat fisika yang diukur adalah sebagai berikut : Tegangan Permukaan Densitas Viscositas Analisa Kestabilan Busa dari Campuran Air Formasi–Surfaktan– Minyak
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
Analisa kestabilan busa yang dilakukan dalam kajian ini merupakan pengamatan busa yang terbentuk dari campuran air formasi dengan konsentrasi dan jenis surfaktan yang berbeda yang kemudian dicampur dengan minyak. Air formasi yang digunakan adalah air formasi dengan salinitas 16000 ppm. Surfaktan yang digunakan adalah jenis surfaktan anioc, kation, dan amphoter. Konsentrasi surfaktan yang digunakan adalah 0.1 %, 0.5 %, dan 1 %. Alat yang digunakan dalam pengamatan kestabilan busa adalah Tabung Durability. Analisa Kestabilan Busa Dari Campuran Air Formasi dengan Surfaktan Anion dan Minyak Dari pengamatan kestabilan busa dari campuran air formasi dengan surfaktan anion dengan konsentrasi 0.1 % dan minyak parafin 10 % didapat hasil bahwa campuran ini dapat membentuk busa namun tidak stabil walaupun busa yang terbentuk memiliki bentuk yang hampir seragam. Busa yang terbentuk dari akibat injeksi gas nitrogen ini tidak mampu mencapai ketinggian yang diinginkan yaitu setinggi 90 cm. Hal ini berbeda dengan campuran yang mengandung konsentrasi surfaktan 0.5 % dan 1 %, di mana ketinggian busa mampu mencapai ketinggian 90 cm, sehingga pengamatan penurunan busa dapat dilakukan. Hasil pengamatan penurunan busa dari konsentrasi surfaktan 0.5 % dapat dilihat pada table 4.1 di bawah ini. Tabel 4.1 Penurunan Busa dari Campuran yang Menggunakan Jenis Surfaktan Anion dengan Konsentrasi 0.5 %
Waktu (menit) 2 4 6 8
Ketinggian Busa Level Busa (cm) (ml) 65 760 51 600 34 410 0 -
Untuk konsentrasi surfaktan anion 1 %, busa yang terbentuk lebih stabil lagi. Hal ini dapat dilihat dari penurunan busa pada table 4.2.
21
STUDI PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KESTABILAN BUSA DALAM PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK Tabel 4.2 Penurunan Busa dari Campuran yang Menggunakan Jenis Surfaktan Anion dengan Konsentrasi 1 %
Waktu (menit) 2 4 6 8 10 12 14
Ketinggian Busa Level Busa (cm) (ml) 74.5 840 57.5 660 52 600 43 500 36 480 18 220 0 -
Analisa Kestabilan Busa Dari Campuran Air Formasi dengan Surfaktan Kation dan Minyak Dari pengamatan kestabilan busa dari campuran air formasi dengan surfaktan kation dengan konsentrasi 0.1 % dan minyak parafin 10 % didapat hasil bahwa campuran ini tidak dapat membentuk busa. Ketika diinjeksikan dengan nitrogen, hanya berupa gelembung – gelembung saja dan busa tidak terbentuk sama sekali. Pada campuran yang mengandung konsentrasi surfaktan yang lebih besar ( 0.5 % ), busa juga tidak dapat terbentuk. Begitu pula yang terjadi pada konsentrasi surfaktan 1 % tetap tidak dapat terbentuk busa. Analisa Kestabilan Busa Dari Campuran Air Formasi dengan Surfaktan Amphoter dan Minyak Dari pengamatan kestabilan busa dari campuran air formasi dengan surfaktan amphoter dengan konsentrasi 0.1 % dan minyak parafin 10 % didapat hasil bahwa campuran ini dapat membentuk busa namun tidak stabil, tidak seragam, dan tidak solid. Ketika diinjeksikan dengan nitrogen, tidak mampu membentuk busa hingga ketinggian 90 cm karena busa yang dihasilkan cepat sekali musnah. Untuk konsentrasi surfaktan 0.5 % tetap terbentuk busa yang tidak seragam dan tidak stabil, namun hasil pembentukan busanya lebih baik jika disbanding dengan konsentrasi 0.1 %. Hal ini juga terjadi pada kondisi konsentrasi surfaktan 1 %. Karena busanya cepat musnah, ketinggian maksimum yang mampu dicapai hanya setinggi 16 cm ( 200 ml ) saja. Pengukuran Tegangan Permukaan dari Campuran Air FormasiSurfaktan-Minyak
Analisa ini dilakukan dengan komposisi yang sama seperti pada waktu pengamatan kestabilan busa. Dalam pengukuran untuk mendapatkan harga tegangan permukaan, alat yang digunakan adalah Tensiometer Du Nuoy. Pengukuran Tegangan Permukaan Dari Campuran Air Formasi dengan Surfaktan Anion dan Minyak Hasil pengukuran tegangan permukaan dapat dilihat pada table 4.3 di bawah ini. Tabel 4.3 Tegangan Permukaan dari Campuran yang Menggunakan Jenis Surfaktan Anion
Konsentrasi Surfaktan (%) 0.1 0.5 1
Tegangan Permukaan ( dyne/cm ) 28.7833 27.2 25.7333
Dari table di atas dapat dilihat bahwa dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan, harga tegangan permukaan juga semakin besar. Pengukuran Tegangan Permukaan Dari Campuran Air Formasi dengan Surfaktan Kation dan Minyak Hasil pengukuran tegangan permukaan dapat dilihat pada table 4.4 di bawah ini. Tabel 4.4 Tegangan Permukaan dari Campuran yang Menggunakan Jenis Surfaktan Kation
Konsentrasi Surfaktan (%) 0.1 0.5 1
Tegangan Permukaan ( dyne/cm ) 30.0333 29.07 27.1667
Dari table di atas dapat dilihat bahwa dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan, harga tegangan permukaan juga semakin besar. Besarnya harga tegangan permukaan pada campuran yang mengandung surfaktan kation lebih besar dibanding dengan harga tegangan permukaan dari surfaktan anion. Pengukuran Tegangan Permukaan Dari Campuran Air Formasi dengan Surfaktan Amphoter dan Minyak Sama seperti jenis surfaktan yang lainnya, pada surfaktan amphoter, dengan meningkatnya konsentrasi
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
surfaktan, harga tegangan permukaan juga semakin besar. Hasil pengukuran tegangan permukaan dapat dilihat pada table 4.5. Tabel 4.5 Tegangan Permukaan dari Campuran yang Menggunakan Jenis Surfaktan Amphoter
Konsentrasi Surfaktan (%) 0.1 0.5 1
Tegangan Permukaan ( dyne/cm ) 29.9 28.4667 27.8667
Pengukuran Densitas dari Campuran Air Formasi – Surfaktan – Minyak Analisa ini dilakukan dengan komposisi yang sama seperti pada waktu pengamatan kestabilan busa. Dalam pengukuran untuk mendapatkan harga densitas, alat yang digunakan adalah Picnometer, di mana besarnya harga densitas merupakan massa picnometer kosong dikurangi dengan massa picnometer yang berisi larutan kemudian dibagi dengan volume picnometer, yaitu 25 ml. Pengukuran Densitas Dari Campuran Air Formasi dengan Surfaktan Anion dan Minyak Hasil pengukuran densitas dapat dilihat pada table 4.6 di bawah ini. Tabel 4.6 Densitas dari Campuran yang Menggunakan Jenis Surfaktan Anion
Konsentrasi Surfaktan (%) 0.1 0.5 1
Densitas ( gr/ml ) 0.9657 0.9658 0.9659
Dari table di atas dapat dilihat bahwa dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan, harga densitas juga semakin besar. Pengukuran Densitas Dari Campuran Air Formasi dengan Surfaktan Kation dan Minyak Hasil pengukuran densitas dapat dilihat pada table 4.7 di bawah ini.
22
STUDI PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KESTABILAN BUSA DALAM PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK Tabel 4.7 Densitas dari Campuran yang Menggunakan Jenis Surfaktan Kation
Konsentrasi Surfaktan (%) 0.1 0.5 1
Densitas ( gr/ml ) 0.965371 0.966868 0.967692
. Pengukuran Densitas Dari Campuran Air Formasi dengan Surfaktan Amphoter dan Minyak Sama seperti jenis surfaktan yang lainnya, pada surfaktan amphoter, dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan, harga densitasnya juga semakin besar. Hasil pengukuran densitas dapat dilihat pada table 4.8. Tabel 4.8 Densitas dari Campuran yang Menggunakan Jenis Surfaktan Amphoter
Konsentrasi Surfaktan (%) 0.1 0.5 1
Densitas ( gr/ml ) 0.96818 0.96926 0.97262
Pengukuran Viscositas dari Campuran Air Formasi – Surfaktan – Minyak Dalam pengukuran untuk mendapatkan harga densitas, alat yang digunakan adalah viscometer. Harga yang didapat dalam pengukuran dengan menggunakan viscometer adalah dalam milisecon. Untuk merubahnya dalam centipoises, harga yang didapat dari alat viscometer harus dikalikan dengan 1.427 Pengukuran Viscositas Dari Campuran Air Formasi dengan Surfaktan Anion dan Minyak Hasil pengukuran viscositas dapat dilihat pada table 4.9 di bawah ini. Tabel 4.9 Viscositas dari Campuran yang Menggunakan Jenis Surfaktan Anion
Konsentrasi Surfaktan (%) 0.1 0.5 1
Viscositas ( cp ) 1.108 1.128 1.123
Dari table di atas dapat dilihat bahwa dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan, harga viscositas juga semakin besar. Pengukuran Viscositas Dari Campuran Air Formasi dengan Surfaktan Kation dan Minyak Hasil pengukuran Viscositas dapat dilihat pada table 4.10 di bawah ini. Tabel 4.10 Viscositas dari Campuran yang Menggunakan Jenis Surfaktan Kation
Konsentrasi Surfaktan (%) 0.1 0.5 1
Viscositas ( cp ) 1.01 1.0549 1.0647
. Pengukuran Viscositas Dari Campuran Air Formasi dengan Surfaktan Amphoter dan Minyak Sama seperti jenis surfaktan yang lainnya, pada surfaktan amphoter, dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan, harga viscositasnya juga semakin besar. Hasil pengukuran viscositas dapat dilihat pada table 4.11
Tabel 4.11 Viscositas dari Campuran yang Menggunakan Jenis Surfaktan Amphoter
Konsentrasi Surfaktan (%) 0.1 0.5 1
Viscositas ( cp ) 1.0994 1.1534 1.104
V. PEMBAHASAN Untuk mengetahui kestabilan busa, dilakukan dengan melakukan pengujian surfaktan di laboratorium EOR dengan menggunakan alat durability test. Pengujian pertama dilakukan terhadap ketiga jenis surfaktan, yaitu surfactant jenis anion, kation, dan amfoter dengan air aquadest. Pengujian dilakukan pada temperature yang dikondisikan seperti di reservoir, yaitu 94ºC. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui jenis surfaktan mana yang dapat menghasilkan busa paling stabil, apakah jenis anion, kation atau amphoter, serta bagaimana pengaruh jenis dan
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
konsentrasi surfaktan terhadap sifat fisik larutan (tegangan permukaan, densitas, dan viscositas ). Dari pengujian yang dilakukan di laboratorium EOR, diketahui dari ketiga jenis surfactant yang diuji, surfaktan jenis anion mampu menghasilkan busa yang stabil, surfaktan ampoter mampu membentuk busa tetapi sangat tidak stabil, sedangkan surfaktan kation tidak dapat menghasilkan busa. Hal ini dimungkinkan karena adanya pengaruh dari jenis surfactant yang mempunyai struktur kimia yang berbeda-beda, konsentrasi surfactant, suhu, tekanan, elektrolit dan pengaruh lain-lainnya. Dalam pengukuran kestabilan busa, campuran yang digunakan adalah air formasi dengan salinitas 16000 ppm, ketiga jenis surfaktan (anion, kation, dan amphoter) dan minyak parafin sebanyak 10 %. Dari hasil pengujian didapatkan bahwa surfaktan jenis anion dapat menghasilkan busa yang seragam dan ketika diinjeksikan dengan nitrogen mampu mencapai ketinggian 90 cm, sehingga penurunan busa dapat diamati. Namun walaupun jenis surfaktan anion mampu membentuk busa, busa yang dihasilkannya tidak stabil. Dengan konsentrasi surfaktan yang tinggi, busa dapat bertahan hingga lama waktu 14 menit, padahal busa dapat dikatakan stabil jika penurunan waktunya lebih dari 30 menit. Surfaktan jenis kation, ketika dicoba dengan alat durability test didapatkan bahwa jenis surfaktan kation dapat bereaksi dengan air formasi, akan tetapi tidak berhasil sama sekali dalam pembentukan busa. Surfaktan amphoter mampu membentuk busa, tetapi busa yang terbentuk sangat tidak stabil dan cepat musnah. Ketika diinjeksikan dengan gas nitrogen, busa yang terbentuk tidak mampu mencapai ketinggian 90 cm, sehingga penurunan busa tidak dapat diamati.
23
STUDI PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KESTABILAN BUSA DALAM PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK Dari ketiga percobaan tersebut dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis surfactant sangat berpengaruh terhadap kestabilkan busa. Jenis surfaktan anion dan amphoter mampu bekerja dengan baik dalam pembentukan busa pada suhu yang tinggi, yaitu 94ºC. Selain itu, air formasi yang digunakan dalam campuran ini memiliki pH 8.43, sehingga bila dicampur dengan surfaktan ampoter, maka molekulnya akan bermuatan negative ( anion ). Hal ini dapat dilihat dari hasil pengamatan yang terlihat bahwa ada sedikit kemiripan antara jenis surfaktan anion dengan amphoter dalam pembentukan busa. Injeksi surfaktan bertujuan untuk menurunkan tegangan permukaan. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengukuran tegangan permukaan, di manan pada semua jenis surfaktan dengan konsentrasi 0.1%. 0.5%, dan 1 % memperlihatkan adanya penurunan tegangan permukaan. Dengan semakin besarnya konsentrasi surfaktan yang digunakan, maka harga densitas yang didapat juga semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa densitas berbanding lurus dengan massa larutan. Begitu juga dengan viscositas larutan yang diamati dalam kajian ini, bahwa dengan
meningkatnya konsentrasi surfaktan, harga viskositas juga semakin besar. VI. KESIMPULAN 1. Dari ketiga jenis surfaktan yang digunakan dalam kajian ini, yaitu jenis surfaktan anion, kation, dan amphoter, secara umum ketiganya tidak mampu membentuk busa yang stabil. Namun jika dilihat dari performance masing – masing, jenis surfaktan anion merupakan jenis surfaktan yang paling baik dalam pembentukan busa dibandingkan dengan jenis surfaktan yang lainnya. 2. Peningkatan konsentrasi surfaktan sangat berpengaruh terhadap kestabilan busa. Dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan, busa yang terbentuk semakin stabil. 3. Semakin meningkatnya konsentrasi surfaktan, besarnya tegangan permukaan dari campuran (air formasi, surfaktan, dan minyak) akan semakin berkurang. 4. Adanya peningkatan konsentrasi surfaktan, harga densitas juga akan semakin besar. 5. Semakin meningkatnya konsentrasi surfaktan, besarnya harga viscositas dari campuran
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
(air formasi, surfaktan, dan minyak) akan semakin berkurang. DAFTAR PUSTAKA Anonymous, ”Foam Field Subsea WAG Development”, SINTEF, Norwegian, 2002. Toolen, Van. H. K, “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, PennWell Publishing Co, Tulsa, 1980. Skauge, Arne, “Mechanistic Foam Studies”, Integrated Petroleum Research, Norwegian, 2005. Tim Laboratorium Analisa Fluida Reservoir., ”Petunjuk Praktikum Analisa Air Formasi”, Jurusan Teknik Perminyakan, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti, Jakarta, 2004. Lake, Larry., ”Enhanced Oil Recovery”, Prentice Hall, EnglandCliffs, New Jersey, 1989. Adim, Herlan., “Pengetahuan Dasar Mekanika Reservoir”, Jurusan Teknik Perminyakan, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti, 1991.
24
Peranan Manajemen Reservoir
Dalam Program Optimasi Pemboran Pengembangan Lapangan Minyak Lepas Pantai Dedy Kristanto, UPN ”Veteran” Yogyakarta
ABSTRAK Metode operasi pemboran lepas pantai membutuhkan teknologi yang canggih dan biaya operasi yang mahal serta memiliki resiko yang tinggi, maka diperlukan adanya suatu perencanaan yang matang agar didapatkan hasil yang optimal. Untuk mendapatkan hasil yang optimum dari suatu pemboran maka diperlukan adanya program optimasi pemboran. Optimasi pemboran dapat digambarkan sebagai analisa sistematik dan pemilihan variabel-variabel pemboran untuk meminimalkan biaya pemboran. Sebagai pedoman didalam melaksanakan program optimasi adalah dengan menggunakan data-data dan pengalaman yang diperoleh dari sumursumur sebelumnya untuk mengurangi biaya pemboran pada sumur-sumur pemboran selanjutnya. Manajemen reservoir merupakan proses pengelolaan reservoir oleh suatu tim dan saling sinergi yang didasarkan pada tindakan nyata, pada penggunaan dan pengelolaan sumber daya yang ada sebagai contoh manusia, alam, teknologi dan keuangan untuk memaksimalkan keuntungan dalam waktu tertentu dengan meminimalkan biaya awal dan biaya operasional Manajemen reservoir dituntut proaktif memberikan kontribusinya sebagai tim yang terdiri dari seluruh komponen yang terkait baik teknis maupun non teknis dari seluruh bidang disiplin ilmu dan harus saling bekerja sama dalam memberikan data atau informasi untuk bersama-sama menghasilkan kesepakatan bersama yang akan diterapkan dalam proses operasi pemboran agar operasi pemboran lepas pantai dapat mencapai suatu hasil yang optimum. 1.
PENDAHULUAN
Proses pengelolaan suatu reservoir dimulai dari proses eksplorasi untuk penemuan reservoir, kemudian diikuti oleh deliniasi reservoir, pengembangan lapangan, tahap produksi primer, sekunder, dan tersier, sampai reservoir tidak dapat berproduksi lagi dan akhirnya sumur ditutup (abandonment). Proses-proses reservoir disatukan dalam manajemen
reservoir yang menjadi kunci kesuksesan dalam menjalankan seluruh operasi yang berhubungan dalam usaha-usaha pada proses pengelolaan reservoir. Pada dasarnya seluruh bidang / bagian suatu proyek pengembangan lapangan minyak menginginkan untuk memperoleh keuntungan yang sebesarbesarnya atau meminimalkan biaya operasi suatu proyek pengembangan lapangan dengan kondisi reservoir yang ada. Dalam mendapatkan atau mewujudkan keinginan tersebut banyak kendala yang akan dihadapi. Maka suatu perusahaan atau industri minyak dalam menjalankan suatu proyek pengembangan lapangan minyak membentuk manajemen reservoir. Hal tersebut dilakukan karena faktor yang paling menentukan dalam memperoleh keuntungan adalah jumlah minyak yang tersedia yang dapat diambil di dalam reservoir. Manajemen reservoir modern melibatkan beberapa proses atau tahapan dengan menetapkan strategi dan pengembangan rencana, implementasi, pengawasan rencana dan mengevaluasi hasil, tidak ada satupun komponen manajemen reservoir berdiri sendiri (terpisah) dari komponen lainnya. Penggabungan seluruh komponen mempengaruhi kesuksesan manajemen reservoir. Proyek dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan ekonomi dengan tujuan tertentu. Berbagai cara atau metode dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut dan dari berbagai cara atau alternatif yang ada harus dipilih alternatif yang optimum yaitu dengan biaya minimum dengan keuntungan maksimum. Salah satu usaha atau proyek dalam pengembangan lapangan minyak lepas pantai adalah pemboran pengembangan dimana dalam perencanaannya dibuat suatu program optimasi pemboran pengembangan. Optimasi pemboran merupakan suatu analisa dari sistem yang diterapkan pada operasi pemboran dimana perlu dilakukan pemilihan faktor-faktor pemboran yang selektif guna mendapatkan hasil pemboran yang sesuai dengan yang diinginkan. Tujuan utama dari optimasi pemboran pengembangan adalah menekan waktu operasi seminimal mungkin, sehingga biaya operasi yang diperlukan juga semakin rendah, dengan dasar data-
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
data yang telah didapat pada pemboran sebelumnya. Jadi yang akan dibahas disini adalah sampai dimana usaha optimasi tersebut agar dapat menekan biaya operasi dari program pemboran pengembangan lepas pantai. Usaha optimasi operasi ditekankan pada optimasi operasi pemborannya, hal ini akan dapat dicapai dengan mengusahakan laju pemboran yang seoptimal mungkin sehingga dapat menekaan biaya per feet lubang bor. Sedangkan program optimasi dari pengaruh lingkungan laut lebih ditekankan pada pemilihan konstruksi permukaan. 2.
TIM MANAJEMEN RESERVOIR Keberhasilan manajemen reservoir menghendaki adanya usaha tim dan sinergi. Hal tersebut lebih merupakan pengakuan bahwa manajemen reservoir bukanlah persamaan dari teknik reservoir atau reservoir geologi. Keberhasilan menghendaki adanya usaha tim yaitu gabungan dari berbagai ilmu/ multidisiplin ilmu. Anggota tim harus bekerja sama membuat keputusan dan pengembangan dalam perencanaan manajemen (Gambar 1). Seluruh keputusan pengembangan dan pengoperasian harus dibuat oleh tim manajemen reservoir yang mengakui keberadaan seluruh sistem pada kelakuan alami reservoir. Seluruh keputusan tidak hanya dibuat oleh ahli reservoir. Sesungguhnya anggota timlah yang mempertimbangkan seluruh sistem, yang lebih baik dalam pembuatan keputusan yang efektif dari pada hanya dari segi reservoir saja. Hal-hal yang merugikan dapat diatasi, jika seseorang memiliki latar belakang pengetahuan pada teknik reservoir, geologi, produksi, pemboran, uji sumur, dan peralatan permukaan. Tidak semua orang dalam suatu tim memiliki pengetahuan di seluruh bidang akan tetapi banyak orang mengembangkan intuisinya pada seluruh sistem dan mengetahui kapan memberikan pendapat / nasehat mengenai beberapa elemen pada sistem.
25
Peranan Manajemen Reservoir
Dalam Program Optimasi Pemboran Pengembangan Lapangan Minyak Lepas Pantai Dengan adanya teknologi dan alam yang komplek yang berbeda setiap subsistemnya, menyebabkan kesulitan setiap orang untuk ahli diseluruh bidang. Oleh karena itu nyatalah bahwa perpaduan antara keahlian dan majunya teknologi harus diimbangi dengan keunggulan dari kualitas, produktivitas, dan usaha tim yang keras. Pendekatan tim manajemen reservoir dapat ditambahkan sebagai berikut : Adanya fasilitas komunikasi diantara bermacam-macam disiplin ilmu keahlian dari ilmu teknik, geologi dan tim operasional dengan : 1. Mengadakan pertemuan rutin kerja sama antar disiplin ilmu dalam menjelaskan masingmasing obyek fungsionalnya. 2. Membangun kepercayaan dan saling menghormati juga masing-masing anggota tim harus belajar menjadi guru yang baik. Dalam beberapa tingkatan seorang ahli harus mengembangkan pengetahuan di bidang geologi mengenai karakteristik batuan dan deposisi lingkungan serta seorang ahli geologi harus menambah pengetahuan tentang well complesi dan tugas ilmu teknik lainnya yang ada hubungannya dengan proyek yang ditanganinya. Dalam tim manajemen reservoir masing-masing anggota tim harus menekan ambisi dan sikap egois untuk mencapai tujuan. Setiap anggota tim harus mempertahankan persaingan teknik pada level tinggi. Anggota tim harus bekerja dengan koordinasi yang baik seperti ”basket ball team” daripada ”relay team”. Seorang ahli reservoir tidak harus menunggu ahli geologi untuk melengkapi dan memulai pekerjaannya tapi lebih baik saling mempengaruhi atau proaktif antara fungsional group dalam menjalankan tugasnya. Sinergi berarti bahwa ahli geologi, geophysic, perminyakan dan lain-lain bekerja sama dalam suatu proyek yang lebih efektif dan efisien sebagai tim yang bekerja dalam sebuah grup dari pada secara individu. Pendekatan tim manajemen reservoir memerlukan dan melibatkan interaksi antara teknik pengelolaan, peneliti, geoscience dan fungsi pelayanan. Sedangkan keterkaitan antara engineering dan geoscience yaitu adanya tiga keadaan / hal dimana hubungan antara teknik pemboran dan geologi telah terpelihara melalui kedua pendekatan baik secara tim maupun individual. Ketiga hal tersebut adalah
biaya awal, tersedianya tenaga kerja.
pendekatan dasar proyek, dasar tim dan berbagai keahlian individu. Konsep dari tim dan sinergi merupakan elemen penting untuk mengintegrasikan antara geoscience dan engineering (Gambar 2). Kesuksesan integrasi tergantung dari : Mengerti proses manajemen reservoir, teknologi dan kemudian menggabungkan latihan peralatan dengan kewajiban pekerjaan.
3.2.
Adanya keterbukaan, komunikasi dan koordinasi.
Tujuan utama dari suatu perencanaan pemboran lepas pantai adalah membuat suatu perumusan program pelaksanaan berdasarkan beberapa variabel untuk melaksanakan pemboran agar pelaksanaannya memenuhi tujuan berikut : Aman (safety) Hemat biaya (minimum cost) Berdaya guna (usable hole)
fleksibel,
Adanya kerja tim. Adanya ketangguhan. 3.
PROSES MANAJEMEN RESERVOIR
Manajemen reservoir modern melibatkan beberapa proses atau tahapan dengan menetapkan strategi dan pengembangan rencana, implementasi, pengawasan rencana dan mengevaluasi hasil, tidak ada satupun komponen manajemen reservoir berdiri sendiri (terpisah) dari komponen lainnya. Penggabungan seluruh komponen mempengaruhi kesuksesan manajemen reservoir (Gambar 3). 3.1. Penentuan Strategi Dibutuhkan pemahaman tentang kebutuhan yang lebih spesifik dalam membuat perencanaan yang realistis dan pencapaian maksud rnerupakan langkah awal manajemen reservoir. Unsur yang mempengaruhi penentuan strategi manajemen reservoir adalah : 1.
Karakteristik formasi Karakteristik formasi menjadi sangat penting dalam melatarbelakangi strategi manajemen reservoir. Mengetahui dengan baik karakteristik formasi memerlukan pengetahuan di bidang geologi, sifat fisik batuan formasi, sifat fisik fluida formasi, dan kondisi reservoir.
2.
Teknologi yang tersedia Keberhasilan manajemen reservoir tergantung pada pemakaian teknologi yang dapat dipercaya dan penggunaan yang tepat dalam aplikasinya terhadap operasi pemboran lepas pantai. Banyak kemajuan teknologi telah dibuat di seluruh bidang, akan tetapi kemajuan teknologi menawarkan kesempatan yang belum tentu tepat/cocok untuk setiap operasi pemboran.
3.
Sosial meliputi konservasi energi, keselamatan kerja, peraturan lindung lingkungan.
Lingkungan secara keseluruhan Pengertian dari lingkungan merupakan hal penting dalam pengembangan strategi dan efektifitas manajemen reservoir sebagai berikut :
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
Korporat meliputi tujuan, kekuatan keuangan, budaya dan sikap. Ekonomi meliputi suasana bisnis, harga minyak atau gas, inflasi,
Perencanaan Pengembangan Operasi Pemboran Lepas Pantai
Filosofi dari optimasi pemboran adalah menggunakan data-data dan pengalaman yang diperoleh dari sumursumur didaerah sekitar, agar bisa dijadikan acuan untuk pemboran sumursumur yang baru sehingga pemboran pada sumur-sumur berikutnya bisa lebih cepat, dengan waktu pemboran yang minimum dan problem pemboran yang terjadi dapat diminimalkan. Aspek paling penting dalam menyiapkan perencanaan pemboran sumur minyak atau gas adalah menentukan karakteristik formasi yang akan ditembus dan problem-problem yang mungkin akan dihadapi. Lubang bor tidak bisa direncanakan dengan baik bila faktor-faktor tersebut tidak diketahui dengan detail. Oleh karena itu, perlu dicari beberapa tipe data untuk mendapatkan pandangan atau wawasan yang luas agar bisa digunakan sebagai acuan dalam pemboran yang telah direncanakan sesuai dengan kondisi yang ada.
Economic & Management
Drilling Engineer G&G
Environment Legal Aspects Reservoir Engineer Research & Service Labs
Reservoir Management Production Engineer
Gas & Chemical Engineer Production Operations
Design & Contstruction Eng.
Gambar 1 Tim Managemen Reservoir (Courtesy of Satter, A and Thakur, G., 1994)
Data-data yang diperlukan pada program perencanaan yang berasal dari sumur sebelumnya, antara lain :
26
Peranan Manajemen Reservoir
Dalam Program Optimasi Pemboran Pengembangan Lapangan Minyak Lepas Pantai 1.
2.
Data Formasi, Sifat-sifat fisik dan kimia batuan serta fluida formasi harus dianalisis secara detail agar memberikan petunjuk yang akurat dalam merencanakan kondisi operasi pemboran. Data-data formasi mencakup data geologi dan data geofisik. Offset Well Selection, merupakan sumber data yang bisa digunakan dari sumur-sumur yang telah dibor. Hal ini diperlukan untuk estimasi tekanan formasi, lithology, proses operasi dan antisipasi problemproblem yang mungkin terjadi. Offset Well Selection mencakup datadata: a. Bit Record, mengidentifikasikan problem dalam pemakaian pahat seperti kerusakan pada gigi bit, menganalisa kerusakan prematur sebagai perumusan untuk sumur baru. Didalamnya terdiri dari : nomor bit dan tipe bit, ukuran jet, footage dan laju penembusan tiap bit, penyimpangan lubang, data pompa, mud properties, dull bit grading dan komentar. b. IADC Report, mencatat laporan tiap jam operasi pemboran, karakteristik drillstring, mud properties, waktu break-down untuk seluruh operasi. c. Mud record, menggambarkan karakteristik fisik dan kimia dari sistem lumpur. Laporan ini biasanya harian dan berisi tentang : kedalaman sumur, ukuran dan nomor bit, volume pit, data pompa, peralatan pengontrol solid, data drillstring, dan juga terdapat mud properties. d. Mud Logging Record, mencatat feet per feet dari operai pemboran, lumpur dan formasi yang ditembus. Didalamnya mengandung parameter pemboran yang terdiri dari : laju penembusan, berat pada pahat dan kecepatan rotasi, dan tipe bit. Selain itu juga berisi temperature lumpur, kandungan gas dan lithologi batuan. e. Laporan Harian Pemboran, laporan tentang proses operasi pemboran secara kontinyu dari spud in sampai rig down, segala jenis peralatan yang digunakan, peralatan utama sampai penunjang, jumlah serta kondisi material dilokasi pemboran
f.
3.
tersebut dan personil yang melakukan tugas saat itu. Laporan Akhir Pemboran, dalam laporan akhir ini disampaikan secara ringkas dan jelas proses pemboran dengan acuan program pemboran, data teknis dan solusi praktis yang diambil berdasarkan kondisi saat itu. Kemudian dijelaskan hasil akhir pelaksanaan pemboran tersebut sejauh mana kesesuaiannya dengan program yang telah ditetapkan dan bentuk aktual dari konstruksi sumur yang telah di bor. Laporan akhir pemboran meliputi : - Well summary : Berisi tentang seluruh aktivitas pemboran, antara lain : nama, klasifikasi dan lokasi sumur, region, tanggal spud, teached TD, rig released, formation top, casing, mud program, dan core serta rig yang dipakai. - Well history : Berisi tentang rig yang dipakai, tanggal spud, ukuran bit dan casing, problem yang terjadi dan penanggulangannya. - Stratigrafi : Berisi tentang lithology dari seluruh formasi yang ditembus dan puncak kedalaman tiap formasi.
Data reservoir dan produksi , datadata reservoir dan produksi untuk keperluan perencanaan pemboran dipakai terutama untuk perbandingan teknis dan biaya. Dengan mengetahui cadangan minyak awal, terambil dan yang masih tersisa, dan mengetahui potensi produksi dan biaya yang berkaitan dalam operasi produksi maka bisa ditentukan apakah teknik pemboran yang ditentukan lebih ekonomis untuk diterapkan.
Setelah semua data terkumpul, kita dapat melakukan pengolahan data. Salah satu pola pendekatan dalam pengolahan data adalah menggunakan metode pemilahan data-data dari informasi yang ada untuk menentukan disain perencanaan pemboran yang baik. Studi mendetail dari berbagai sisi sangat diperlukan dalam mengolah data-data penting untuk memastikan bahwa operasi tersebut bisa dilaksanakan atas dasar berbagai pertimbangan teknik dan ekonomis (Gambar 4).
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
3.3. Program Optimasi Pemboran Lepas Pantai Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa optimasi pemboran didefinisikan sebagai suatu proses logis dengan menganalisa variabel-variabel yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya untuk mencapai efesiensi pemboran yang maksimum. Dengan kata lain optimasi pemboran merupakan suatu usaha untuk mendapatkan hasil pemboran yang baik dengan biaya murah, waktu operasi yang seminimal mungkin dan mendukung proses pengoperasian sumur selanjutnya. Dasar dari optimasi pemboran itu sendiri adalah untuk mencapai tingkat tertinggi dari effisiensi yang mungkin dapat dicapai pada keadaan dan kondisi tertentu. Kondisi disini adalah kondisi sumur pemboran misalnya: kedalaman formasi, tekanan abnormal dan sub normal, zona lost circulation dan shale yang sensitif air. Sedangkan keadaan yang dimaksud adalah kemampuan pompa lumpur, horse power yang memadai dan material atau peralatan control lumpur. Untuk pencapaian optimasi pemboran ada faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu meliputi faktor yang tidak dapat berubah dan faktor yang dapat berubah. Faktor-faktor tersebut merupakan komponen yang mempengaruhi pengendalian optimasi pemboran. Faktor-faktor yang tidak dapat dirubah adalah kondisi lingkungan laut, karakteristik formasi batuan yang ditembus dan kedalaman target. Sedangkan faktor yang dapat dirubah adalah faktor mekanis (pengaturan WOB dan RPM) faktor lumpur dan hidrolikanya dan faktor pemilihan bit. Faktor-faktor itulah yang menjadi kontrol pada optimasi pemboran karena memiliki pengaruh sangat besar terhadap tercapainya penetration rate yang optimal. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi diatas maka program optimasi pemboran dibagi menjadi dua bagian yaitu : program optimasi berdasarkan kondisi lingkungan laut dan program optimasi untuk laju pemboran.
27
Peranan Manajemen Reservoir
Dalam Program Optimasi Pemboran Pengembangan Lapangan Minyak Lepas Pantai 3.4.
lebih. Pada posisi pemboran, kapal diangkat dan berdiri di atas kaki, cukup tinggi di atas air serta di atas jangkauan ombak. Kedalaman laut terbatas, sesuai dengan panjang kaki. Hingga tahun 1974 kedalaman laut maximum yang dapat dicapai adalah 350 ft. Jack-up cukup stabil, tidak terpengaruh oleh cuaca, arus dan ombak. Semua peralatan dan material berada di atas kapal. Operasi pemboran seperti di atas darat. Pada pemboran pengembangan, biasanya sebelum pemboran dimulai, terlebih dahulu dipasang jacket, kemudian dipasang konduktor dan ditumbuk. Pada pemboran eksplorasi, biasanya digunakan mudline suspension, dan dari mudline suspension casing disambungkan ke atas sampai di platform casing head dan BOP dipasang pada platform. Penyelesaian sumur dapat dengan chrismas tree di dasar laut atau di atas platform.
Program Optimasi BerdasarkanKondisi Lingkungan Laut
Peralatan mutlak yang harus ada dalam operasi pemboran lepas pantai adalah sebuah struktur anjungan (platform) sebagai tempat untuk meletakkan peralatan pemboran. Kondisi lingkungan laut berpengaruh terhadap pemilihan jenis platform. Jenis platform secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu : Fixed Platform dan Mobile Platform. 1.
Fixed Platform
Fixed platform (anjungan permanen) merupakan “dataran” buatan. Rig berada di platform sampai operasi pemboran selesai. Semua keperluan peralatan dan material berada di platform. Fixed platform ini cukup stabil dan tidak terpengaruh cuaca. Platform ini banyak digunakan untuk operasi pemboran pada laut dangkal. Operasi pemboran pelaksanaannya seperti di darat, hanya lokasi yang tersedia sangat terbatas. Penyelesaian sumur (well completion) dengan conventioanal wellhead dan chrismast tree pada platform. 2.
Mobile Platform a. Bottom Supported Platform Drilling Barge. Drilling Barge dioperasikan untuk pemboran di daerah rawa atau laut yang sangat dangkal. Barge ini duduk di dasar rawa/laut, stabil, tidak terpengaruh cuaca dan pasang surut. Penyelesaian sumur dengan conventional wellhead dan chrismast tree pada platform permanen.
b. Floating Platform Semi-Submersible. SemiSubmersible berbentuk seperti kapal dan pada umumnya tidak mempunyai propeller sendiri sehingga untuk menuju ke lokasi harus ditarik kapal tunda. Karena sifatnya mengapung (floating), sehingga sangat dipengaruhi oleh alur ombak dan pasang surut. Untuk mengatasi pengaruh tersebut harus dijangkar. Sistem penjangkaran ada dua macam, yaitu Conventional Mooring System dan Dynamic Positioning Drill Ship. Drill Ship merupakan bentuk kapal sepenuhnya dan dilengkapi dengan propeller sendiri. Karena sifatnya mengapung (floating), sehingga sangat dipengaruhi oleh arus, ombak dan pasang surut. Untuk mengatasi pengaruh tersebut harus dijangkar seperti pada semi sub-mersible.
Submersible. Submersible sebenarnya adalah floating platform. Bila dioperasikan pada laut dangkal, submersible ini didudukkan pada dasar laut dan berfungsi seperti drilling barge. Jack Up. Jack up berbentuk semacam barge, berukuran besar, tidak mempunyai propeller sendiri, sehingga untuk menuju ke lokasi harus ditarik dengan kapal tunda (tug boat). Jack-up dilengkapi dengan kaki-kaki yang dapat terdiri dari tiga, empat, lima kaki atau
3.5. Program Optimasi Laju Pemboran Agar laju pemboran optimum maka perlu mengoptimasikan faktor-
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
faktor yang dapat berubah seperti merencanakan pemilihan lumpur, hidrolika pemboran, pemilihan pahat dan WOB-RPM. Pemilihan Lumpur Pemboran Dasar yang digunakan dalam pemilihan lumpur pemboran untuk beberapa formasi yang ditembus adalah sebagai berikut : - Faktor formasi, pemakaian lumpur pemboran yang tidak sesuai dengan kondisi formasi akan menyebabkan terjadinya problem yang tidak diharapkan, bahkan dapat mengakibatkan terjadinya kegagalan didalam operasi pemboran. Yang termasuk dalam faktor formasi adalah meliputi : jenis batuan, temperatur formasi, tekanan dan kerapuhan formasi, serta kandungan clay dan garam. - Efek dari penggunaan sifat lumpur pemboran, Kemampuan suatu lumpur yang dipergunakan didalam pemboran sangat ditentukan oleh sifat-sifat fisik yang diperlihatkan oleh lumpur tersebut, yang dapat diperoleh dari percobaan di laboratorium. Hasil analisa tersebut diharapkan mampu memenuhi properties / sifat-sifat yang diharapkan, apabila lumpur tersebut dipergunakan untuk membor suatu formasi. Sifat-sifat yang harus diperlihatkan oleh suatu lumpur sebelum dipergunakan dalam pemboran adalah densitas, viscositas, gel strength dan filtration loss. Faktor Hidrolika Hidrolika berhubungan dengan tenaga pompa yang digunakan untuk sirkulasi Lumpur pemboran. Perhitungan program hidrolika berdasarkan pembatasan tenaga dan tekanan di permukaan. Perhitungan ini dengan memperhatikan distribusi tekanan dan tenaganya serta sumber jumlah yang diperlukan. Sebelum hal ini dilakukan sebaiknya menentukan kecepatan pengangkatan serbuk bor yang diperlukan dan mengontrol apakah program hidrolika tersebut dapat mengangkat serbuk bor ke permukaan.
28
Peranan Manajemen Reservoir
Dalam Program Optimasi Pemboran Pengembangan Lapangan Minyak Lepas Pantai Bit Hydraulic Impact. Prinsip dasar dari metode Bit Hydraulic Impact adalah menganggap bahwa semakin besar Impact (tumbukan sesaat) yang diterima batuan formasi dari lumpur yang dipancarkan dari Bit semakin besar pula efek pembersihannya, sehingga metode ini berusaha untuk mengoptimumkan Impact pada Bit. Jet Velocity. Prinsip dasar dari metode Jet Velocity adalah semakin besar rate yang terjadi di Bit akan berarti semakin besar efektifitas pembersihan dasar lubang, maka metode ini berusaha untuk mengoptimumkan rate pompa supaya rate di Bit maksimum. Faktor Mekanis Merupakan salah satu faktor dalam pengoptimasian pemboran karena pengaruh berat di atas pahat (WOB) dan kecepatan meja putar (RPM) yang mempengaruhi penetration rate secara langsung. WOB adalah berat yang bekerja atau dibebankan agar dapat menembus batuan formasi juga untuk menjaga agar rangkaian pipa bor (drill string) selalu dalam keadaan tegang (tension). Hal ini dimaksud supaya lubang bor tetap lurus dan untuk menghindari pergeseran antara sistim rangkaian pipa bor dan dinding lubang bor. Dalam kondisi normal, WOB yang efektif aman diberikan antara 50 - 70 % dari berat total drill collar yang dipakai. Untuk mengetahui WOB selama operasi pemboran berjalan digunakan alat yang bernama Weight Indikator, alat ini untuk mencatat beban yang diderita hook, oleh karena WOB adalah selisih berat yang diderita hook pada saat rangkaian pipa bor menggantung (tidak dioperasikan) dengan beban yang diderita hook pada waktu pemboran berlangsung. Pembebanan bit dengan WOB perlu diatur sedemikian rupa sesuai dengan tipe bit yang digunakan dan lapisan yang sedang ditembus. Pembebanan bit dengan WOB yang terlalu besar akan mempercepat kerusakan bit atau memperpendek waktu pemakaian bit (umur bit), sehingga untuk formasi lunak biasanya dipakai bit dengan gigigigi panjang dan WOB yang diberikan relatif kecil. Sedang untuk formasi yang keras digunakan bit dengan gigi-gigi pendek dan WOB yang relatif besar. Pengaturan WOB inilah yang
dimaksudkan mempengaruhi pencapaian penetration rate yang optimal. Kecepatan meja putar atau RPM juga merupakan faktor yang penting yang akan menentukan penetration rate, yang dinyatakan putaran tiap menit Hal ini juga menyatakan putaran rangkaian pipa bor dan kecepatan putar bitnya sendiri RPM dapat diatur sedemikian rupa sehingga merupakan kombinasi yang baik dengan berat diatas bit (WOB). Dilapangan RPM diukur dengan alat yaitu Tachometer, dimana penggunaan RPM yang tidak tepat untuk suatu ukuran bit atau type bit yang telah ditentukan akan mengurangi umur bit itu sendiri. Karena itu perlu ditentukan RPM yang tepat untuk mengoperasikan suatu type bit, sehingga dapat memberikan laju pemboran yang optimum dan bit tidak cepat rusak. Mengingat faktor mekanis merupakan kombinasi dari WOB dan RPM maka pada prinsipnya keduanya dapat divariasikan sebagai berikut : WOB optimum untuk RPM tertentu, ini jika keadaan formasi atau peralatan tidak memungkinkan untuk uji coba dengan berbagai putaran permenit, maka cara yang dipakai adalah dengan mengatur harga dari WOB. RPM optimum untuk WOB tertentu, karena terbatasnya drill collar yang dipakai, maka WOB tertentu pula, oleh sebab itu diatur RPM yang terbaik untuk WOB tertentu. RPM dan WOB optimum, cara ini hanya untuk satu interval formasi saja, tanpa ada keterbatasan peralatan dan faktor-faktor lain sudah dianggap optimal.
tambahan dan optimasi pemboran yang dimaksud tidak tercapai. Metode yang dipakai dalam penentuan biaya pemboran berkaitan dengan pemakaian bit adalah metode kumulatif cost per feet (CCF). Sedangkan dasar dari pemilihan bit ini memiliki beberapa kriteria tergantung pada tahap mana dari suatu operasi pemboran. Penentuan bit yang dipakai bisa ditentukan dengan metode seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya Demikian pula ditentukan dengan "off set well bit records" juga memberikan dasar pemilihan karena memberikan hasil test logging, khususnya mengenai lithologi batuan, kekuatan dan kekerasan batuan. Sedangkan mengenai kombinasi nozzle untuk suatu type bit, ditentukan dari perencanaan program hidrolika. Sehingga untuk suatu sumber diameter bit tertentu, kombinasi nozzle yang ada memberikan hasil yang optimum.
Gambar 2, Integrasi Manajemen Reservoir (Courtesy of Satter, A and Thakur, G., 1994)
Reservoir Manajemen Proses
Pemilihan Type Bit Setting Strategy
Merupakan faktor yang sangat penting yang secara langsung berpengaruh dalam optimasi pemboran. Pemilihan type bit berdasarkan prinsip murah dan laju pemboran yang dihasilkan cepat, sehingga biaya per feet dari operasi pemboran murah. Tetapi tetap dipertimbangkan faktor lain supaya dengan maksud mempercepat waktu dan pengeluaran biaya sedikit (khusus untuk bit), tidak berakibat pemilihan material dengan kualitas rendah yang kemudian justru menimbulkan problem
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
Developing Plan
Implemanting
Revising
Monitoring
Evaluating
Completing
Gambar 3, Proses Managemen Reservoir (Courtesy of Satter, A and Thakur, G., 1994)
29
Peranan Manajemen Reservoir
Dalam Program Optimasi Pemboran Pengembangan Lapangan Minyak Lepas Pantai KESIMPULAN 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Keberhasilan program optimasi pemboran pengembangan lapangan minyak lepas pantai sangat bergantung pada kesuksesan manajemen reservoir, dan saling mempengaruhi antara satu sama lain. Perencanaan program optimasi pemboran melibatkan tim yang didukung dengan adanya keterbukaan, fleksibilitas, komunikasi dan koordinasi, adanya kerja tim, ketangguhan dan proaktif. Konsep Tim dan Synergy adalah elemen-elemen penting dan saling berpengaruh dalam manajemen reservoir yang terdiri dari integrasi antara Sumber daya manusia, Peralatan, Data dan Teknologi. Faktor-faktor yang mempengaruhi optimasi pemboran terdiri dari faktor yang dapat dirubah dan faktor yang tidak dapat dirubah, dimana program optimasi pemboran pengembangan dilakukan dengan mengamati faktorfaktor tersebut agar dapat dibuat seoptimal mungkin, yaitu : a. Optimasi struktur pemboran. b. Optimasi laju pemboran. Secara umum struktur pemboran lepas pantai dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu : a. Struktur tetap (Fixed Platform), digunakan pada laut dangkal sampai sedang, dan sangat dipengaruhi oleh faktor kondisi dasar laut. b. Struktur terapung (Floating Platform), digunakan pada laut dalam, faktor-faktor yang memepengaruhi adalah faktor angin, ombak, dan arus laut. Agar laju pemboran optimum maka perlu mengoptimasikan faktor-faktor yang dapat berubah seperti merencanakan pemilihan lumpur, hidrolika pemboran, pemilihan pahat dan WOB-RPM. Optimasi pemboran dinyatakan berhasil, jika laju pemboran maksimal, waktu operasi pemboran minimum, murah, aman dan lubang yang dihasilkan berdaya guna.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13. DAFTAR PUSTAKA 1.
Abdus Satter, Ph.d., “Integrated Petroleum Reservoir Management”,
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
Texaco E&P Technology Department Houston, Texas, 1994. Adams, J. Neal, ”Drilling Engineering A Complete Well Planning Aproach”, Penn Well Publishing Company, Tulsa, Oklahoma, 1985. Bosswell., ”Platform Superstructure Design and Construction”, Grassons Street, London, 1984. Curtis. F. Kruse., ”A Primer of Offshore Operations”, First Edition, Petroleum Extension Service, The University of Texas at Austin, 1976. Fertl, W. H., ”Abnormal Formation Pressure, Implications to Exploration, Drilling, and Production of Oil and Gas Resources”, Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam-Oxford-New York, 1976. Flint, R. F., Skinner, B. J., ”Physical Geology”, John Wiley & Son, Inc., New York – London – Sydney – Toronto, 1974. Gatlin, C.,”Petroleum Engineering-Drilling and Well Completion”, Prentice-Hall, inc., Engelwood Cliffs, New Jersey, 1960. Harris, L. M., ”Deep Water Floating Drilling Operation”, The Petroleum Publishing Company, Tulsa, Oklahoma, 1972. Harry Whitehead., ”An A – Z of Offshore Oil and Gas”, Gulf Publishing Company, Book Division, London, 1976. Huffco Indonesia, ”Industri Perminyakan : Operasi – Operasi dan Perlengkapan Pengeboran”, Huffco Indonesia, A Division of Roy M. Huffington, inc., Edisi Ketiga, September, 1983. Joseph Weisberg and Howard Parish., ”Introductory Oceanography”, McGraw Hill, Kogakusha, LTD Tokyo, 1974. Keith, S. Stowe., ”Ocean Science”, John Wiley & Sons, New York, 1979. Lummus, J.L. and Azar, J. J., ”Drilling Fluids Optimization”, Penn Well Publishing Company, Tulsa, Oklahoma, 1986.
14.
Moore, P. L., ”Drilling Practice Manual”, The Petroleum Publishing Co., Tulsa, 1974. 15. Novi Widhi Danarto,ST., “Perencanaan Program Optimasi Pemboran Pada Tahap Pengembangan Lapangan Migas di Lepas Pantai”, Fakultas Teknik Perminyakan UPN “Veteran”, Yogyakarta, 1997. 16. Pettyjhon. F.J., ”Sedimentary Rock”, Harper and Brother, New York, 1957. 17. Rabia, H., ”Oil Well Drilling Engineering: Principles & Practice”, Graham & Trotman Inc., Oxford, UK, 1985. 18. Rubiandini, R., ”Teknik Pemboran I dan II”, Jurusan Teknik Perminyakan, Insitut Teknologi Bandung, 1993. 19. Rubiandini, R., ”Teknik Pemboran Lanjut”, Jurusan Teknik Perminyakan, Insitut Teknologi Bandung, 2001. Sheffield Riley., ”Floating Drilling Equipment Its Use”, Gulf Publishing Company, Houston, Texas, 1985.
Developing Plan
Dev & Depletion Strategles
Environmental Consideration
Data Aquistion & Analyses
Geological & Num. Model Studies
Production & Reserves Forecast
Facilities & Requirement
Economic Optimization
Management Approval
Gambar 4, Perencanaan Pengembangan Berdasarkan Konsep Manajemen Reservoir (Courtesy of Satter, A and Thakur, G., 1994)
30
FUEL MONITORING SYSTEM
APLIKASI ONLINE DALAM PENGHEMATAN BAHAN BAKAR KAPAL Muhammad Zukhri (PT. EWS Oilfield Services)
Fuel
Monitoring
System
(FMS)
ialah
ruang yang lebih fleksibel dalam
Latar Belakang Kontrol pemakaian BBM untuk kapal
mengunakan dana APBN yang telah
pemakaian bahan bakar minyak (BBM)
baik
dianggarkan.
terutama untuk kapal baik yang bekerja
perminyakan maupun jasa transportasi
dana
di
menjadi
penting
disalurkan pada sektor-sektor lain
harga
seperti pada sektor pendidikan dan
usaha
minyak yang sangat signifikan. Biaya
kesehatan. Jelas hal ini akan sangat
pemantauan ini memiliki makna strategis
operasi menjadi membengkak baik dari
bermanfaat untuk rakyat Indonesia.
karena
segi pembiayaan tenaga kerja maupun
Sedangkan
alokasi biaya BBM.
penghematan
sebuah
solusi
lingkungan
maupun
untuk
industri
jasa
lingkungan
perminyakan
transportasi. perminyakan
tidak
pemakaian
memonitor
hanya
BBM
Bagi
mengoptimalkan
kapal
namun
juga
yang
bekerja
hal
terutama
yang
setelah
mengenai
Keadaan
kemungkinan adanya praktik kecurangan
operator
seperti penjualan BBM tersebut secara
meningkatkan
illegal.
memantau
lebih
jauh
di
ini
lingkungan
sangat kenaikan
menjadi
kapal
pemakaian
BBM
bagi
pada dapat
konsumen,
BBM
ini
akan
bagi
berdampak pada kemudahan untuk
tuntutan
memperoleh harga sewa kapal yang
dilema
dengan
Penghematan
kinerja
dengan
lebih rendah.
BBM
melakukan sedikit penyesuaian harga
Di lingkungan industri perminyakan,
menjadi salah satu prioritas pemerintah
penawaran dan meningkatnya biaya
pemakaian
Indonesia mengingat jumlah biaya yang
operasi. Jalan keluar yang pertama
kegiatan eksplorasi, produksi dan
dapat
BBM
sekali ditempuh oleh operator kapal
transportasi
tersebut dapat dialokasikan ke bidang
ialah dengan melakukan efesiensi di
pemerintah sebagai bagian dari cost
lain dan penjualan BBM illegal sangat
beberapa sektor termasuk pada bagian
recovery. Selama ini pemakaian BBM
merugikan Indonesia. Aplikasi dari FMS
penghematan BBM.
sulit sekali dikontrol karena hanya
secara online telah membuktikan bahwa
Tindakan
ada
meningkatkan
memiliki
dampak
dalam
beberapa
pihak
Memonitor
dihemat
peluang
pendapatan penghematan
pemakaian
dari
untuk negara dan
pemakaian
hal
pemantauan
pemakaian BBM secara signifikan.
efesiensi
diantaranya konsumen sendiri.
tanggung
untuk
oleh
BBM
mengandalkan data-data statistik.
domino
bagi
Kecurangan-kecurangan
adalah dan
di
kapal
pemakaian
selain
operator, pemerintah,
rakyat
Pemerintah
BBM
Indonesia
akan
memiliki
seperti
penyelundupan BBM kapal secara illegal kerap terjadi. Sehingga
diperlukan
sebuah
mekanisme yang jelas untuk dapat
Gambar 1. Arsitektur sistem FMS
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
31
FUEL MONITORING SYSTEM
APLIKASI ONLINE DALAM PENGHEMATAN BAHAN BAKAR KAPAL Metode
n
Metode pemantauan pemakaian BBM kapal dilakukan
VolumeBBM
qin i 1
secara sederhana, yaitu dengan mengambil data
t …………(3)
i
jumlah BBM yang terpakai untuk selama selang waktu
Volume BBM yang mengalir menuju tiap-tiap mesin
tertentu dan data tersebut dikirim secara real time ke
dapat dihitung dari persamaan berikut:
sebuah
server.
Data
tersebut
selanjutnya
diolah
menjadi data-data yang dapat dianalisa dan sebagai
n
KonsumsiBBM j
rekomendasi untuk pengambilan kebijakan. Data kasar yang dibutuhkan ialah posisi dan laju alir BBM menuju dan keluar tangki penampungan. Data tersebut
dikirimkan
dengan
sebuah
peralatan
komunikasi menuju sebuah server. Data kasar ini untuk
selanjutnya
dengan
diolah
menggunakan
sederhana.
menjadi
bahan
beberapa
Selanjutnya
analisa
perhitungan
dibentuk
hubungan
penghematan pemakaian bahan bakar dan waktu tempuh
kapal
untuk
menentukan
sejauh
mana
penghematan bahan bakar dapat dilakukan dengan
qout i 1
t (4)
i
Kinerja Mesin Kinerja dari tiap-tiap mesin dapat diketahui dari hubungan antara kecepatan kapal dan konsumsi BBM dari mesin tersebut. Umumnya penghematan dapat terjadi
bila
kecepatan
kecepatan optimum.
kapal
dapat
Kecepatan
mencapai
optimum
yang
dimaksud menciptakan hubungan antara efesiensi mesin dan konsumsi BBM yang berimbang. Mesin
pada
kecepatan
mendekati
kecepatan
maksimumnya akan memberikan tenaga yang besar, namun pencapaian tenaga ini ternyata mengkomsumsi
tetap memperhatikan kinerja kapal.
BBM dengan jumlah yang sangat besar. Sebagai ilustrasi
Persamaan Matematika Data kasar seperti posisi dan laju alir BBM dikirim pada selang waktu tertentu (misalnya selang 2 jam sekali) dari PC menuju server dalam satu hari. Data GPS yang diperoleh memberikan posisi koordinat kapal (x,y) pada suatu waktu (t) tertentu. Jika data GPS ini dikumpulkan maka akan diperoleh jarak
t.
tempuh minimum dalam selang
untuk
mencapai
kecepatan
2
kali
dari
kecepatan normal membutuhkan BBM lebih besar dari 2 kali pemakaian normal. Untuk mencapai kecepatan optimum maka kecepatan kapal harus diperkecil namun masih dalam rentang efesiensi mesin kapal. Berikut
ilustrasi
yang
menggambarkan
hubungan
antara kecepatan kapal dan konsumsi BBM.
Jarak ini akan
menjadi lebih valid jika selang waktu
t
kecil.
Secara sederhana, maka jarak tempuh kapal akan diperoleh pada persamaan (1) berikut:
D
x, y
Kecepatan
t1
x, y
x t1
t2
kapal
rata-rata
xt 2
2
y t1
dapat
yt 2
2
diperoleh
…(1) dari
persamaan (2) berikut:
v
Jarak selangwaktu
Gambar 2. Tipikal hubungan kecepatan mesin diesel dan konsumsi BBM
D t
……………(2)
Namun gambar 2 diatas tidak berlaku untuk mesin diesel dengan turbocharger. Mesin diesel dengan
Data laju alir rata-rata BBM pada selang t
t
yang
turbocharger harus dioperasikan pada 80% kecepatan
dikirim dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu laju alir
maksimum
RPM
BBM yang menuju tangki dan laju alir BBM yang
kecepatan
kapal
keluar dari tangki menuju mesin. Volume BBM yang
turbocharger.
nya.
Berikut
dengan
ilustrasi
konsumsi
hubungan
BBM
dengan
terisi di tangki dapat dihitung dari persamaan (3) berikut:
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
32
FUEL MONITORING SYSTEM
APLIKASI ONLINE DALAM PENGHEMATAN BAHAN BAKAR KAPAL
Dengan adanya konsekuensi naiknya waktu tempuh dengan adanya penghematan, maka perlu dibuat analisa kecenderungan nilai biaya penghematan
dibandingkan dengan
naiknya
waktu tempuh. Nilai biaya penghematan BBM dalam 1 jam dapat diformulasikan sebagai
Gambar 3. Hubungan kecepatan mesin diesel
berikut:
turbocharger dengan konsumsi BBM
Value @1hour
Dengan
demikian
pencarian
kecepatan
optimum kapal sangat cocok dilakukan untuk
Sedangkan
mesin yang tidak memiliki turbocharger sebab telah
diketahui
bahwa
penghematan
Fuel _ price Re duction _ Fuel _ Consumption Increase _ in _ Journey _ Time …………(5)
pengurangan
konsumsi
FC
(Reduction Fuel Consumption
kapal ) dapat
BBM diketahui dari persamaan berikut:
seiring dengan pengurangan kecepatan kapal.
FC
D1 FC1 _ per _ mile
D2 FC2 _ per _ mile ……………...(6)
Penerapan Optimasi Pemakaian BBM Kapal
Dimana FC ialah Fuel Consumption. Naiknya
Penting untuk diperhatikan bahwa optimasi
waktu tempuh (journey time) dapat diketahui
pemakaian BBM untuk kapal bermesin diesel tanpa
turbocharger
juga
harus
dari persamaan berikut:
melihat
Dalam
situasi
penting,
kemungkinan
penalti
darurat untuk
dan setiap Berikut
dengan
penghematan
bukanlah situasi
memperlambat
pilihan
yang
yang
dihadapi
laju
bijaksana. menjadi
kapal
Sehingga
hal
D1 v1
…
………………………..(7)
keterlambatan kapal maka penghematan BBM cara
D2 v2
Increase _ Journey _ Time
keterkaitan dengan kepentingan operasional.
salah
satu
contoh
BBM
dari
dengan
penerapan
menggunakan
aplikasi Fuel Monitoring System. Data tersebut
pokok
dikirim setiap 2 jam sekali dan dibuat sebuah
pertimbangan untuk melakukan penghematan
tabel dan grafik untuk analisa. Berikut tabel
konsumsi BBM kapal.
konsumsi BBM di kapal tersebut.
Tabel 1. Konsumsi BBM Kapal Volume Tangki (liter)
Kecepatan Kapal (knot)
Jarak Tempuh (mile)
Konsumsi BBM (liter)
Konsumsi BBM/satuan jarak (liter/mile)
Biaya ($/hour)
180
6.7
13.4
6.3
0.94
173.7
7.1
14.2
8.2
1.15
7.54
165.5
7.7
15.4
10.6
1.38
6.27
154.9
8.1
16.2
12.4
1.53
7.18
142.5
8.8
17.6
15.9
1.81
8.52
126.6
9.2
18.4
19.4
2.11
17.70
107.2
9.6
19.2
23.2
2.42
20.82
84
9.9
19.8
27.6
2.79
34.71
56.4
10.1
20.2
32.4
3.21
63.78
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
33
FUEL MONITORING SYSTEM
APLIKASI ONLINE DALAM PENGHEMATAN BAHAN BAKAR KAPAL
maupun mencegah terjadinya kecurangan-kecurangan. Dampak
ini
akan
penerapannya
dirasakan
dilakukan
sangat
secara
besar
jika
menyeluruh
dan
komprehensif. Secara umum manfaat dari penerapan aplikasi FMS ini adalah sebagai berikut: 1.
Optimasi
pemakaian
BBM
sehingga
dapat
menekan biaya operasi. 2.
3. Pada gambar 4 terihat jelas bahwa kecepatan optimum
pada
9,6
knot
dengan
tidak seperti pada kecepatan dibawah 9,6 knot. kapal
yang
dipergunakan
Penghematan biaya APBN di sektor energi bagi pemerintah dan dapat mendistribusikan dana
kecepatan 9,6 knot naiknya kecepatan kapal diikuti dengan naiknya konsumsi BBM yang sangat berlebihan,
Penerapannya secara luas di kapal-kapal pada
kategori cost recovery secara signifikan. 4.
optimum ini diperoleh dengan analisa bahwa diatas
mesin
pada
menekan biaya operasi yang masuk kedalam
hanya
membutuhkan biaya sebesar $20,82/hour. Kecepatan
Untuk
kecurangan
operasi eksploitasi dan produksi migas akan
kapal untuk memperoleh penghematan biaya konsumsi berada
terjadinya
pemakaian BBM seperti penyelundupan illegal.
Gambar 4. Konsumsi BBM kapal
kapal
Mencegah
APBN ke sektor lainnya yang penting. 5.
Kemudahan bagi pengguna jasa kapal untuk memperoleh kapal dengan sewa yang lebih
sebagai
rendah.
generator, aplikasi ini juga dapat diterapkan dengan memasukkan variabel RPM mesin sebagai pengganti kecepatan kapal.
Kesimpulan Fuel Monitoring System (FMS) sangat berguna untuk memantau pemakaian BBM di kapal agar tidak terjadi
Manfaat FMS Analisa
dari
kecurangan-kecurangan perangkat
peralatan
Fuel
Monitoring
System jelas akan memberikan rekomendasi mengenai kondisi
kerja
menghemat
mesin
kapal
pemakaian
yang
BBM
optimum
kapal.
untuk
Aplikasi
Fuel
Monitoring System (FMS) ini juga dapat dipergunakan untuk
mendeteksi
mungkin
saja
kecurangan-kecurangan
terjadi
seperti
yang
penyelundupan
BBM.
Pemantauan BBM dapat diketahui dari volume BBM yang berada di tangki dan kinerja mesin. BBM yang
dan
juga
untuk
mengoptimalkan konsumsi BBM sehingga dapat lebih hemat dalam pembiayaannya. Sistem FMS ini telah diujicobakan pada sebuah kapal milik swasta dan berhasil dengan baik. Tantangan yang dihadapi ialah pada sistem komunikasi yang harus dapat berjalan baik pada segala cuaca dan kondisi laut di Indonesia. Penghematan yang diperoleh pada uji coba ini sebesar 80% dari konsumsi BBM sebelum peralatan FMS ini dipasang pada kapal tersebut.
diselundupkan akan diketahui dari volume BBM di tangki dan kinerja mesin yang memburuk secara tidak wajar. Aplikasi FMS ini juga berguna untuk memperkirakan waktu
pemeliharaan
overhaul).
Selain
mesin
itu
dengan
(maintenance dilengkapi
dan
dengan
perangkat GPS, posisi kapal dan dipantau setiap saat dan
meningkatkan
keamanan
dan
kenyamanan
operator kapal dan konsumen. Bagi pemerintah, dalam hal ini BP Migas, aplikasi FMS ini
benar-benar
akan
mempermudah
pengawasan
pemakaian BBM, baik dari segi penghematan biaya
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
Daftar Simbol
D = jarak tempuh kapal (mile) x = koordinat bujur dari posisi kapal (°) y = koordinat lintang dari posisi kapal (°) t = waktu tempuh kapal (jam) t = selang waktu tempuh kapal (jam) v = kecepatan kapal (knot, mile/jam) q = laju alir BBM (liter/jam) n = jumlah node j = jenis mesin FC = konsumsi BBM per satuan jarak
(liter/mile)
34
MODEL PERKIRAAN PERMEABILITAS
AIR-METANA DALAM BATUBARA
RELATIF
Ratnayu Sitaresmi, M.G. Sriwahyuni, Sisworini, Fathaddin, M.T. Program Studi Teknik Perminyakan, Universitas Trisakti
ABSTRAK Paper ini mengajukan pendekatan model regresi dalam mengembangkan persamaan-persamaan untuk memperkirakan permeabilitas relatif air dan gas dalam batubara. Data yang digunakan dalam penurunan persamaan-persamaan permeabilitas relatif diperoleh dari rujukan-rujukan yang telah dipublikasikan. Persamaanpersamaan yang dikembangkan untuk sistem air-gas dalam sistem batubara. Hal ini berkenaan dengan kurangnya data yang dapat diperoleh. Untuk melihat validasi persamaanpersamaan usulan tersebut dibandingkan dengan persamaan yang telah digunakan sebelumnya.
1. PENDAHULUAN Pengukuran permeabilitas relatif dari contoh batubara di laboratorium umumnya memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Bila tidak tersedia data laboratorium, harga permeabilitas relatif dapat diperkirakan dari persamaan. Dalam paper ini dikembangkan persamaanpersamaan permeabilitas relatif untuk air dan gas untuk sistem batubara. Data untuk mengembangkan persamaanpersamaan tersebut diperoleh dari beberapa rujukan.(1-19) Persamaan-persamaan yang dikembangkan meliputi persamaan permeabilitas untuk cleat, matriks, maupun keseluruhan/gabungan dari keduanya. 2. PREVIOUS MEASUREMENT Mavor dan Robinson (1993) telah menurunkan persamaan-persamaan permeabilitas relatif air dan gas untuk sistem batubara. Persamaan-persamaan tersebut adalah sebagai berikut: krg = kg’ (1-Sw*)n[1-(Sw*)(2+ krw = (Sw*)(2+3
)/
Sw* = (Sw – Siw)/(1-Siw)
)/
]
(1) (2) (3)
Untuk kurva dalam studinya Mavor dan Robinson (1993) memberikan harga = 100, Siw = 0.05, n = 0.5 dan kg’ = 0.65. 3. NORMALISASI DAN ANALISA REGRESI Kurva-kurva permeabilitas relatif yang digunakan dalam studi ini tidak mempunyai susunan yang sama, yakni sebagian kurva ditampilkan dalam bentuk klasik sementara sisanya dalam bentuk yang dinormalkan. Olh karena itu perlu dilakukan penyeragaman sebelum dilakukan analisa regresi. Bentuk yang dinormalkan dipilih sebagai bentuk standar karena dua hal. Pertama, lebih mudah untuk mengubah bentuk data klasik ke dalam bentuk yang dinormalkan daripada mengubah bentuk yang dinormalkan ke dalam bentuk klasik. Ini berkenaan dengan sukarnya menentukan titik ujung permeabilitas relatif pada kurva klasik karena tidak diberikan oleh penulis dalam kebanyakan artikel yang ditinjau. Kedua, sebagian besar data yag dikumpulkan tersedia dalam bentuk yang dinormalkan.
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
Fluida di dalam lapisan batubara terdiri dari air dan gas. Karenanya persamaan normalisasi yang digunakan untuk menormalisasi kurva adalah sebagai berikut (Mohamad Ibrahim, M.N. and Koederitz, 2001 dan 2002):
Sg *
Sg
S gc
1 (S gc
Sw * 1
S wc )
Sg 1 S wc
krw* = krw@Sw/krw@Sgc
(6)
krg* = krg@Sg/krg@Swc
(7)
Dalam study ini teknik regresi digunakan untuk mengembangkan persamaan untuk memperkirakan permeabilitas relatif. Keberhasilan model dalam menjelaskan variasi variabel tak bebas diukur dengan menggunakan harga koefisien determinasi, R2. Koefisien determinasi diterjemahkan sebagai persentase dari data yang diamati yang dapat dijelaskan dengan model regresi tersebut. Dengan kata lain, koefisien determinasi digunakan untuk mengukur seberapa baik kesesuaian antara model dan data.
4. PEMBAHASAN Persamaan-persamaan yang dikembangkan dalam studi ini diberikan pada Lampiran A dan sifatsifatnya. Tabel 1 menggambarkan sifat persamaan tersebut. Sebanyak 13 set data permeabilitas relatif digunakan untuk menurunkan persamaan permeabilitas relatif air, sedangkan untuk menurunkan persamaan permeabilitas relatif gas menggunakan 16 set data. Untuk menurunkan persamaan permeabilitas relatif cleat dan matriks digunakan berturut-turut 4 dan 1 set data. Tabel 1 memperlihatkan harga koefisien determinasi untuk persaman-persamaan permabilitas relatif tersebut. Harga rata-rata koefisien tersebut berkisar antara 0.635 hingga 0.998. Tabel 2 menunjukkan jangkauan porositas, permeabilitas serta saturasi fluida yang digunakan dalam menurunkan persamaan-persamaan tersebut. Gambar 1 dan 2 memperlihatkan perbandingan plot perkiraan permeabilitas relatif antara persamaan A5 dan A6 dan persamaan Mavor-Robinson (1993). Data untuk Gambar 1 diperoleh dari Okeke (2005) sedangkan data untuk Gambar 2 diperoleh dari Jochen, Holditch dan Lee, 1994.
35
MODEL PERKIRAAN PERMEABILITAS
AIR-METANA DALAM BATUBARA
Kedua gambar tersebut menunjukkan kesesuaian yang baik antara persamaan-persamaan usulan dan persamaan sebelumnya. Kedua kurva pada Gambar 1 memberikan perbedaan permeabilitas relatif air dan gas masing-masing rata-rata sebesar 0.026343 dan 0.018947. Sedangkan perbedaan permeabilitas relatif air dan gas pada Gambar 2 masing-masing rata-rata sebesar 0.03694 dan 0.023804. Kedua gambar tersebut juga menunjukan bahwa persamaan A5 memberikan kurva permeabilitas relatif air yang sedikit lebih landai dibandingkan persamaan Mavor-Robinson. Sebaliknya persamaan A6 memberikan kurva yang sedikit lebih curam dalam membentuk kurva permeabilitas relatif gas. Dalam hal ini jumlah data dan sifat fisik sistem batubara yang digunakan dalam studi ini merupakan parameter untuk membangun persamaan yang akurat
7.
8.
9.
10.
11. 5. KESIMPULAN Tulisan ini mengajukan persamaan-persamaan permeabilitas relatif untuk sistem batubara. Tiga pasang persamaan permeabilitas relatif berturut-turut untuk matriks, cleat dan keseluruhan dikembangkan menggunakan analisa regresi. Perbandingan dengan korelasi sebelumnya menunjukkan kesesuaian yang baik.
12.
13. Daftar R2 Sg Sgc Sw Swc krg krw *
Simbol = = = = = = = =
koefisien determinasi saturasi gas, fraksi saturasi gas kritis, fraksi saturasi air, fraksi saturasi air kritis (konat), fraksi permeabilitas relaif gas, fraksi permeabilitas relatif air, fraksi harga yang dinormalkan
DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3.
4.
5.
6.
Meaney, K. and Paterson, L., “Relative Permeability in Coal,” SPE 36986, 1996. Ancell, K.L., Lambert, S., and Johnson, F.S., “Analysis of the Coalbed Degasification Process at a Seventeen Well Pattern in the Warrior Basin of Alabama,SPE/DOE 8971, presented at the 1980 Unconventional Gas Recovery Symposium, Pittsburgh, PA, 1980. Seidle, J.P. and Arri, L.E., “Use of Conventional Reservoir Models for Coalbed Methane Simulation, SPE 21599, 1990. Chopra, A.K. and Carter, R.D., “Proof of the TwoPhase Steady-State Theory for Flow Through Porous Media,” SPEFE, 1986, 603 – 608. Jochen, V.A., Holditch, S.A., Lee, W.J., “Determining Permeability in Coalbed Methane Reservoir”, SPE 28584, 1994, 203 – 215. Tan, T., “Advanced Large-Scale Coalbed Methane Modeling Using a Conventional Reservoir Simulator”, SPE 75672, 2002, 1 – 13.
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
RELATIF
Gash, B. W., “Measurement of Rock Properties in Coal for Coalbed Methane Production,” SPE 22909, 1991. Law, D.H.S., van der Meer, L.G.H., and Gunter, W.D.,”Numerical Simulator Comparison Study for Enhanced Coalbed Methane Recovery Processes, Part I: Pure Carbon Dioxide Injection, SPE 75669, 2002. Aminian, K., Ameri, S., Bhavsar, A., Sanchez, M., and Garcia, A., “Type Curves for Coalbed Methane Production Prediction,” SPE 91482, 2004. Saulsberry, J. L., Schafer, P.S. aqnd Schraufnagel, R.A. eds., A Guide to Coalbed Methane Reservoir Engineering, Gas Research Institute report GRI-94/0397, Chicago, Illinois, 1996. Gash, B.W., “Measurement of Rock Properties in Coal for Coalbed Methane Production,” SPE 22909, 1991. Rightmire, C.T., Eddy, G.E., and Kirr, J.N., eds., Coalbed Methane Resources of the United States, AAPG Studies in Geology Series # 17, American Association of Petroleum Geologists, Tulsa, Oklahoma, 1984. Jones, A.H., Bush, D.D., and Ahmed, U., “Performance Forecasting and Economic Evaluation of a Deeply Buried Coalbed Methane Reservoir in the San Juan Basin, SPE 14450, 1985. Kuuskraa, V.A. and Wicks, D.E., “Geologic and Reservoir Mechanisms Controlling Gas Recovery from the Antrim Shale,” SPE 24883, 1992. Okeke, A. N., Sensitivity Analysis of Modeling Parameters that Affect the Dual Peaking Behavior in Coalbed Methane Reservoirs, MS Thesis, Texas A&M University, 2005. http://www.pe.tamu.edu/wattenbarger/public_ht ml/Selected_papers/Coalbed%20Methane/Maggar d's%20CBM/, Accessed in March 2006. Cox, D.O., Young, G.B.C., and Bell, M.J., “Well Testing in Coalbed Methane (CBM) Wells: An Environmental Remediation Case History,” SPE 30578, 1995. Puri, R., Evanoff, J.C., and Brugler, M.L., “Measurement of Coal Cleat Porosity and Relative Permeability Characteristics, SPE 21491, 1991. Mavor, M.J.and Robinson, J.R., “Analysis of Coal Gas Reservoir Interference and Cavity Well,” SPE 25860, 1993. Crichlow, H.B., Modern Reservoir Engineering – A Simulation Approach, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, 1977. Mohamad Ibrahim, M.N. and Koederitz, L.F., “Two-Phase Steady-State and Unsteady-State Relative Permeability Predicton Models,” SPE 68065, 2001. Mohamad Ibrahim, M. N. and Koederitz, L. F.,” Two-Phase Relative Permeability Prediction Using a Linear Regression Model”, SPE 65631, 2000.
36
MODEL PERKIRAAN PERMEABILITAS
AIR-METANA DALAM BATUBARA
RELATIF
LAMPIRAN A Persamaan-persamaan permeabilitas relatif untuk cleat batubara: (A1) krw* = 0.1943 Sg*2 – 1.2262 Sg* + 1.0228 krg* = 0.4019 Sg*2 + 0.445 Sg*
(A2)
Persamaan-persamaan permeabilitas relatif untuk matriks batubara: (A3) krw* = -1.9489 Sg*3 + 4.4312 Sg*2 – 3.4908 Sg* + 1.0009 krg* = 0.9816 Sg*3 + 0.0247 Sg*2 - 0.013 Sg* + 0.0005
(A4)
Persamaan-persamaan permeabilitas relatif untuk keseluruhan sistem batubara: (A5) krw* = -1.4633 Sg*3 + 3.5458 Sg*2 – 3.0591 Sg* + 0.967 krg* = 0.8482 Sg*2 + 0.0966 Sg* + 0.0123
(A6)
TABLE 1: SIFAT PERSAMAAN YANG DIKEMBANGKAN DALAM STUDI INI
Persamaan A1 A2 A3 A4 A5 A6
Koef. Determinasi, R2 0.635 0.957 0.998 0.997 0.933 0.772
Jumlah Set Data 4 4 1 1 13 16
1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
krw(Mavor-Robinson) krg(Mavor-Robinson) krw(Pers A5)
kr, fraksi
kr, fraksi
TABLE 2: JANGKAUAN SIFAT FISIK BATUAN DAN SATURASI FLUIDA YANG DIGUNAKAN DALAM PENGEMBANGAN PERSAMAAN PERMEABILITAS RELATIF Sifat fisik Sgr 0.05 – 0.2 Swc 0.05 – 0.825 0.1 – 3.5 k 2 – 50 mD
krq(Pers A6)
1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
krw(Mavor-Robinson) krg(Mavor-Robinson) krw(Pers A5) krq(Pers A6)
0
0
0.2
0.4 0.6 Sw, fraksi
0.8
1
GAMBAR 1 PERBANDINGAN PERKIRAAN PERMEABILITAS RELATIF ANTARA PERSAMAAN USULAN DENGAN PERSAMAAN SEBELUMNYA (DATA DARI OKEKE, 2005).
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
0.2
0.4 0.6 Sg, fraksi
0.8
1
GAMBAR 2 PERBANDINGAN PERKIRAAN PERMEABILITAS RELATIF ANTARA PERSAMAAN USULAN DENGAN PERSAMAAN (DATA DARI JONHCEN, HOLDITCH DAN LEE, 1994).
37
PRESSURE AND TEMPERATURE DROP PREDICTION IN OIL
TRANSMISSION PIPELINE NETWORK USING IMPLICIT METHOD
Leksono Mucharam1, 2, Kuntjoro A. Sidarto1, 3, Darmadi1, Rela P. Pamungkas1, Agus I. Hasan1, Musyoffi Yahya1, 2 1 Research Consortium OPPINET, Institut Teknologi Bandung 2 Program Studi Teknik Perminyakan, Institut Teknologi Bandung 3 Program Studi Matematika, Institut Teknologi Bandung ABSTRACT In the surface production system, oil transmission pipeline is in the network configuration rather than single line. Oil transmission pipeline is usually transmitting oil from several gathering stations to selling point and it often has a water content even though in a small amount. A model for oil and water in transmission pipeline network has been successfully developed based on general energy balance equation assuming steady–state condition. The model is in implicit form, so the pressure and temperature equation can be solved simultaneously. The fluid mixture properties are calculated using volumetric average approach. The model is numerically solved using implicit Newton-Raphson method. One study case using hypothetical data has been successfully simulated. The comparison with commercial software shows that the model and method that was used in this study gives satisfied results. Keywords : High pour point oil, oil water flow, transmission pipeline network, pressure and temperature equation, volumetric average approach, Newton-Rhapson method
INTRODUCTION In the crude oil production system, the production wells are normally located in several sites far from each other. Therefore, it would be more effective if there was to be built one or several gathering stations for these production fields. The crude oil from production wells is delivered to gathering station using surface production line. In the gathering station, crude oil is separated from gas and water before delivered to export station using transportation line. The oil transmission pipeline usually has water content even though in a small amount. There are many cases in oil fields where it found that the oil has high pour point. This condition may result in a serious problem during said oil is transported from the production well to the gathering station and from the gathering station to the export station. Due to heat transfer from surrounding, the oil temperature would drop below its pour point before it reached the destination. In this study, it has been developed a transmission pipeline network model for high pour point oil. The model is developed based on energy balance equation. Pressure drop and temperature drop calculation along the pipe is done using a non-isothermal model that is solved implicitly using Newton – Raphson method (Mucharam and Tobing, 1994).
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
DEVELOPMENT OF MODEL Objective of this study is modeling of the transmission pipeline network for high pour point oil. The model can be used to predict the pressure and temperature loss in the transmission pipeline network. Predicting of the pressure and temperature loss in the system is performed using implicit equation system including both of the pressure and temperature variables. The pressure and temperature loss can be solved simultaneously using Newton-Raphson iteration method. Model formulation for this research is same as model formulation for Oil – Water Flow in a single pipeline. The system of equation which is made up of pressure and temperature profile equation can be derived from General Energy Equation. The equation for the pressure profile in the pipeline which is derived from the general energy balance equation can be written in implicit form as:
Po
Pi
36.67
9.7 10
m
4 m 5
L sin f Qm2 L
D
0
(1)
The temperature profile equation is also derived from the energy balance equation. By coupling with the thermodynamic relation:
dH
C
m
dT
C
m
dP
(2)
A temperature profile equation can be formulated as:
Tot
Tin Ts
Ts
C1 exp C2
C 2 L.5280 (3)
C1 C2
where
C1
sin 778Cp m
(4)
C2
1.1199974 .D.Uhm .Mwm Qm m Cp m
(5)
38
PRESSURE AND TEMPERATURE DROP PREDICTION IN OIL
TRANSMISSION PIPELINE NETWORK USING IMPLICIT METHOD
The variable
Cp m
m and
in equation (4) and (5) depend
on temperature and pressure, therefore there are two implicit systems equation (2) and equation (3) with unknown variables P and T. In a general concise form as: F ( P, T ) ( E , G ) T
C2
1.093 10 6
3.497 10 9 T
4.57 10 12 T 2
C3
5 10 11
6.429 10 13 T
1.43 10 15 T 2
Density of the Mixture
E ( P, T ) G ( P, T )
(6)
The density of the oil and water fluid mixture is defined by following relation
Where E(P,T) represents equation (1), the implicit form of the pressure profile equation; G(P,T) represent equation (3), the implicit form of the temperature equation.
o (1
m
where Calculation of Fluid Mixture Properties By assuming that the water is uniformly distributed throughout the system, the fluid properties of the oil and water mixture can be represented by their volumetric average. However, the viscosity of the oil and water mixture does not likewise vary linearly with the volumetric fraction of water. Volume Formation Factor The formation volume factor of a fluid is a convenient parameter to use for converting from standard volumes to actual or in-situ volumes existing at any pressure and temperature in the system. Equations of volume formation factor for oil and water are given below. 1. Oil The Vasquez and Beggs method is used to estimate the oil formation factor as a function of gas specific gravity, API, solution gas and temperature. The equation is Bo
1 C1R s C 2 (T 60)( API / g ) C3 R s (T 60)( API / g )
(7)
where C1
0.9911 6.35 10 5 T
C2
1.093 10 6
C3
5 10 11
3.497 10 9 T 6.429 10 13 T
is the fluid fraction of water by volume. In
o
62.4 o
0.972
(10)
0.000147(1.25T )1.175
Equation (10) defines the density of oil as a function of temperature only. The density of water is determined by the equation below w
1.485 x10 6 P
62.4 w 0.952 10 (0.001996(T 100) 1.2676)
(11) In this case, the density of water is a function of both pressure and temperature. Viscosity of the Mixture In this model, the mixture of oil and water is assumed to be a fluid emulsion, such that the relation between the viscosity of the fluid mixture and the percentage of water is non-linear. The viscosity of the fluid mixture is calculated using the correlation below, (1 20.6162 f w 34.9295 f w2 13.184855 f w3 ) o
.
4.57 10 12 T 2
(12)
To determine viscosity mixture using this equation, the input required are water volume fraction and viscosity of oil. The viscosity of oil is determined here by applying Glasso’s Correlation, which can be written as
1.43 10 15 T 2
2. Water The equation of volume formation factor for water given in the HP Petroleum Fluids Pac is Bw
(9)
w fw
this model, the density of oil phase is determined using Standing’s Correlation Equation (1981), which can be written as
m
8.5 10 7 T 2
fw
fw)
Bwp (1 XY 10 4 )
(8)
where
o
3.141x1010 T 3.444 (log( API )) a
(13)
where a 10.313 log(T ) 36.447 Equation (13) is valid for a range of temperature from 50 – 300oF and crude oil gravities between 20.1 and 48.1oAPI.
Bwp
C1 C2 P C3P 2
X
5 .1
108 P
(T
6 0 ) 2 ( 3 .2 3
(T
6 0 ) (5 .4 7 10
8
10 8 .5
6
1 .9 5
10
13 P )
10
10 P )
COMPUTATIONAL METHOD The generalized equation (6) used to solve for pressure and temperature of the fluid mixture is derived using the Newton-Raphson iteration method. Using this technique, the equation can be written in the following general form: Un 1 Un
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
F ( P, T ) J ( P, T )
(14)
39
PRESSURE AND TEMPERATURE DROP PREDICTION IN OIL
TRANSMISSION PIPELINE NETWORK USING IMPLICIT METHOD
F(P,T) is an implicit form of the system of equation to be solved and U is the primary dependent variable vector for pressure and temperature. J(P,T) represent the Jacobian matrix of the system of equation. The Jacobian matrix is defined as:
J ( P, T )
E P G P
E T G T
(15)
Based on the study results above, it can be concluded as follows: 1.
The Newton-Raphson iteration method has been successfully implemented to determine the pressure and temperature drop in transmission pipelines network.
2.
The model developed in this study is robust for varying pipeline parameter and fluid properties.
3.
The model can be used to predict mixture fluid properties in the transmission pipeline network.
So the equation (14) can be expanded as: P T
n 1
P T
n
E P G P
E T G T
NOMENCLATURE
1 E ( P, T ) G ( P, T )
(16)
Then calculation procedure in order to predict pressure and temperature loss along the pipeline is as follow: 1. 2. 3. 4. 5.
6.
Assume the values of pressure and temperature at the outlet, P1 and T1 of a segment respectively. Calculate the average pressure and temperature for the segment. Evaluate the fluid mixture properties using the average of pressure and temperature condition for each segment. Solve for P and T iteratively using equation (16). Compare the values of P1 and T1 obtained from step 4 with those values assumed in step 1. If the difference is greater that a specified tolerance, than repeat the calculation starting from step 2 using the value of P1 and T1 which were predict from step 4. Continue the calculation until convergence is reached. In this model, the specified tolerance in convergence was 10-4. Continue the calculation for predicting P and T for the next segment using values of P0 and T0 equal to P1 and T1, calculated from the previous segment.
CASE STUDY It is simulated a case using field data to show the implementation of the model developed in this study. The model is a simple pipeline network with two sources and one sink as is shown in Figure 1. The thermodynamic properties data is shown in Table 1. While the sources properties of the system are shown both in Table 2 and 3.The sink properties are shown in Table 4. Last, the pipe geometry data are shown in Table 5 through 7. ANALYSIS AND DISCUSSION According to the result which is showed in Table 8, the pressure and temperature drop calculations using both of software give almost same value. The difference calculation may occur because each software using different correlation equation for fluid properties calculation. The difference result from this study calculation is about 6% for pressure and 3% for temperature compared with commercial software. It means the developed model in this study is good enough to predict pressure and temperature distribution of oil and water in pipeline network. CONCLUDING REMARKS
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
Cpm D H L NRe P Q Qm T Uhm V W Z f fw g gc kfw kfo kfm u v w
Fluid mixture heat capacity (BTU/lbm0F) Internal pipe diameter (in) enthalpy (BTU/lbm) Length (ft) Reynold’s number Pressure (Psia) heat energy (BTU/lbm) fluid mixture rate (Bbl/D) Temperature (F) Fluid mixture overall heat transfer (BTU/sqft.sec.F) = Volume (ft3) = Work (BTU/lbm) = Elevation (ft) = Friction factor = Water fraction (%) = Acceleration due to gravity (ft/sec2) = Gravitational convention factor (lbm ft/sec2) = Water thermal conductivity coefficient (BTU/h ft F) = Oil thermal conductivity coefficient (BTU/h ft F) = Fluid mixture thermal conductivity coefficient (BTU/h ft F) = Internal energy (BTU/lbm) = Velocity (ft/sec) = Mass flow rate (lbm/sec) = = = = = = = = = =
o
= Oil specific gravity
w
= Water specific gravity = Density (lbm/ft3) = Surface roughness (in) = Joule-Thompson Coefficient (R/Psi) = Angle (Degree)
REFERENCES [1] Leksono Mucharam and Budhira L. Tobing, “The Development of An Implicit Flow Model for Predicting The Flow Performance of High Viscosity Oil and Water in Pipelines”, Proceedings Indonesian Petroleum Association, 23rd Annual Convention, October, 1994. [2] Mucharam, L., Darmadi, Pamungkas, R. P., and Rahutomo, S., “Modeling of Oil Water Flow in High Pour Point Oil Transmission Pipeline” RC-OPPINET 5th Year Annual Report, Bandung, March, 2006.
40
PRESSURE AND TEMPERATURE DROP PREDICTION IN OIL
TRANSMISSION PIPELINE NETWORK USING IMPLICIT METHOD B
TABLE 5. PIPE GEOMETRY DATA
C
A
AT LINK A TO JUNCTION
FIGURE 1. SIMPLE PIPELINE NETWORK MODEL TABLE 1. THERMODYNAMICS CHARACTERISTICS Data Boiling point of Oil Heat capacity of Water Oil Heat conductivity Pipe Heat conductivity Insulator heat coefficient
Unit
482
F
1
BTU/lbmF
0.2
BTU/h.ft.F
TABLE 6. PIPE GEOMETRY DATA
23.69
BTU/h.ft.F
AT LINK B TO JUNCTION
0.15
BTU/h.ft.F
Data
Magnitude
Unit Bbl/D
Water Cut
0.05
%
Wind Velocity
7.33
ft/s
Temperature
177
F
Unit
8
in in
Insulator Thickness
2
in
Absolute Roughness
0.0018
ft
0
Degree
100
m
Pipe Elevation Pipe Length
TABLE 7. PIPE GEOMETRY DATA
TABLE 3. INPUT DATA AT INLET B Magnitude
Unit
Flow Rate
19,500
Bbl/D
Water Cut
0.05
%
Wind Velocity
7.33
ft/s
Temperature
156
F
AT LINK JUNCTION TO C Data Inside Diameter Wall Thickness Insulator Thickness Absolute Roughness Pipe Elevation Pipe Length
TABLE 4. INPUT DATA AT OUTLET C Magnitude
Unit
Flow Rate
40,000
Bbl/D
Water Cut
0.05
%
Wind Velocity
7.33
ft/s
20
Psia
Pressure
Unit in in in ft Degree m
0.3125
Wall Thickness
20,500
Data
Magnitude
Inside Diameter
Flow Rate
Data
Magnitude 24 0.344 2 0.0018 0 34,000
Magnitude
TABLE 2. INPUT DATA AT INLET A Data
Data Inside Diameter Wall Thickness Insulator Thickness Absolute Roughness Pipe Elevation Pipe Length
Magnitude 12 0.375 2 0.0018 0 37,000
Unit in in in ft Degree m
TABLE 8. RESULT OF PRESSURE AND TEMPERATURE DISTRIBUTION
Parameter Press.
This Study Results
Commercial Software
Unit
Inlet A
203.5
216.4
Psia
Inlet B
208.4
217.5
Psia
20
20
Psia
Inlet A
156
156
F
Inlet B
177
177
F
Outlet C
66.6
73.4
F
Point
Outlet C Temp
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
41
SOLUSI ANALITIK UNTUK MENENTUKAN LAJU ALIR
KRITIS DI SUMUR VERTIKAL: ISOTROPIK DAN ANISOTROPIK Sudianto Lumbantobing* Taufan Mahendrajana**
Sari Water coning adalah terbentuknya kerucut akibat aliran air dari bawah yang masuk ke bagian bawah perforasi pada sumur produksi. Masalah water coning sangat penting dan selalu dihadapi dalam produksi primer reservoir. Hadirnya coning akan menurunkan produktivitas produksi minyak dari reservoir. Sampai saat ini telah banyak ditemukan metode untuk menyelesaikan masalah water coning. Kehadiran air ke perforasi tidak dikehendaki. Salah satu cara pencegahan agar tidak terjadi coning adalah dengan menghitung laju alir kritis minyak yaitu laju produksi maksimum minyak sebelum terjadinya coning. Beberapa persamaan yang terkenal dalam penentuan laju alir kritis adalah Craft and Hawkins, Meyer, Gardner dan Pirson, Chaperon, Schols, Hoyland et al, dan lain-lain. tulisan ini mengusulkan solusi yang baru dalam menentukan laju alir kritis minyak yang diturunkan dengan sederhana dan memiliki validasi yang akurat dengan metode terdahulu dan simulator. Dalam paper ini diturunkan juga solusi laju alir kritis untuk isotropik dan reservoir anisotropik. Kata kunci: water coning, laju alir kritis, reservoir anisotropik.
I. PENDAHULUAN Produksi air dari sebuah sumur dapat disebabkan oleh karena telah terjadi water coning. Water coning dapat terjadi jika air bergerak dari bagian bawah reservoir secara vertikal menuju bagian bawah perforasi dan membentuk kerucut air sampai terjadi tembus air (water break through). Water coning disebabkan oleh tekanan sumur yang rendah sehingga menyebabkan pressure drawdown yang tinggi, perforasi yang terlalu dekat dengan water oil contact, dan kecilnya permeability barrier terhadap aliran vertikal. Terjadinya water coning sampai terjadi water break through di perforasi akan merugikan secara operasional karena menyebabkan produktivitas minyak menurun, lifting cost menjadi lebih tinggi, dan recovery efficiency menurun. Produksi air akan menghambat produksi minyak oleh sebab itu salah satu cara untuk mencegah terproduksinya air adalah dengan menghitung laju alir kritis. Untuk itu, diajukan berbagai persamaan dalam menentukan laju alir kritis minyak. Dalam paper ini diajukan kembali persamaan baru yang diturunkan dengan sederhana secara analitik dengan menggunakan konsep kesetimbangan gaya-gaya yang terjadi di reservoir yaitu gravity force dan viscous force. II. ISOTROPIK Water coning terjadi jika tekanan akibat viscous force lebih besar dari tekanan hidrostatik kolom fluida antara perforasi terbawah dengan water oil contact akibat gravity force. Penyederhanaan penurunan persamaan dilakukan dengan mengasumsikan efek capillary force sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Laju alir kritis dihitung dengan membuat kesetimbangan tekanan akibat viscous force dengan tekanan akibat gravity force. Tekanan akibat viscous force dituliskan sebagai berikut:
Qo Pv
141,2
o
o
ln
k o ho
re rw
Sedangkan tekanan sebagai berikut:
Pg
0,433
w
akibat
o
(ho
gravity
hp )
force
dituliskan
…… (2)
Melalui konsep kesetimbangan, maka kedua persamaan di atas dapat dituliskan sebagai berikut:
Pg
Pv ……………………………(3)
Dengan memasukkan
Pg dan
Pv
pada persamaan (1)
dan (2) maka dapat dituliskan sebagai berikut:
r Qo oBo ln e rw ……(3) 0.433 w o (ho hp) 141,2 koho Pg dan Pv pada persamaan Dengan memasukkan (1) dan (2) maka dapat dituliskan sebagai berikut:
Qo oBo ln 0.433
w
o
(ho hp) 141,2
re rw
………….(3)
koho
Dengan menyederhanakan persamaan (3) dan mengubah Qo menjadi Qc, maka persamaan laju alir kritis minyak untuk reservoir anisotropik dapat dituliskan sebagai berikut: w
Qc 3,066x10
o
koho2 (1
3
hp ho
) ............(4)
re o Bo ln rw
……… (1)
* Mahasiswa Program Studi Teknik Perminyakan, FIKTM-ITB ** Pembimbing/Dosen Program Studi Teknik Perminyakan, FIKTM-ITB
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
42
SOLUSI ANALITIK UNTUK MENENTUKAN LAJU ALIR KRITIS DI SUMUR VERTIKAL: ISOTROPIK DAN ANISOTROPIK
III. ANISOTROPIK Solusi untuk anisotropik diperoleh dengan mentransformasi parameter-parameter yang dipengaruhi oleh permebilitas vertikal dan permeabilitas horizontal. Parameter-parameter yang ditransformasi adalah radius sumur, radius reservoir, panjang perforasi, tebal lapisan zona minyak, dan permeabilitas minyak. Parameter-parameter tersebut ditransformasi dengan menggunakan rumus-rumus dalam Tabel 9 (terlampir) dan hasil transformasi dapat dilihat juga dalam Tabel 9 (terlampir). Untuk mentransformasi maka persamaan (4) dapat dituliskan menjadi: " w
Qc 3,066 x10
o
"
"2 o
kh
3
re o Bo ln rw
h"p 1 " ho "
……(5)
Setelah mentransformasi parameter-parameter yang disebutkan di atas maka hasil transformasi tersebut disubstitusikan ke dalam persamaan (5). Melalui proses transformasi ini diperoleh persamaan umum untuk menentukan laju alir kritis minyak seperti ditunjukkan pada persamaan (4) di bawah ini:
w
khho
kh kv
1/3
1
hp ho
Pengaruh Permeabilitas Beberapa persamaan terdahulu yang memasukkan pengaruh permeabilitas vertikal dan horizontal terhadap persamaannya adalah Joshi dan Chaperon. Karena persamaan usulan juga memasukkan pengaruh permeabilitas vertikal maka dapat dibandingkan dengan persamaan terdahulu seperti terlihat dalam Gambar 1 di bawah ini. Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa persamaan usulan memiliki kecenderungan yang sama dengan persamaan Chaperon. Persamaan Chaperon hanya memiliki pengaruh yang signifikan untuk permeabilitas vertikal yang kecil yaitu di bawah 0,25, sementara untuk permeabilitas vertikal yang besar tidak terlihat pengaruh yang signifikan. Pada persamaan Jhosi, permeabilitas vertikal tidak berpengaruh karena hanya memperhitungkan permeabilitas horizontal. Pengaruh permeabilitas vertikal lebih jelas dilihat pada persamaan usulan. Pada kenyataaannya, permeabilitas vertikal memiliki pengaruh yang sangat besar dalam terjadinya water coning. Semakin kecil permeability barrier ke arah vertikal maka terjadinya coning semakin cepat.
.(6)
re o Bo ln rw
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam penurunan persamaan (4) dan (6) adalah sebagai berikut: 1. Bottom water drive 2. Efek tekanan kapiler diabaikan 3. Pola aliran radial 4. Periode aliran steady state 5. Hanya terdiri dari dua fasa yaitu minyak dan air 6. Tenaga pendorong strong water drive reservoir
Persamaan Usulan Jhosi
Qc vs kv/kh
1200 1000
Chaperon
800 Qc
Qc 3,066x10
3
o
2
Selanjutnya dilakukan validasi dengan menguji sensitivitas persamaan usulan dan persamaan-persamaan terdahulu dengan terhadap parameter-parameter yang berpengaruh dalam persamaan coning. Parameter-parameter yang berpengaruh adalah permeabilitas, tebal zona minyak, panjang perforasi, densitas, radius eksternal, radius sumur, viskositas minyak, dan FVF minyak.
600 400 200 0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
kv/kh Gambar 1. Pengaruh Permeabilitas terhadap Laju Alir Kritis Minyak
IV. VALIDASI PERSAMAAN USULAN DENGAN PERSAMAAN TERDAHULU Untuk membuktikan kebenaran persamaan usulan di atas maka dilakukan validasi dengan persamaanpersamaan terdahulu. Validasi awal adalah dengan membandingkan hasil perhitungan laju alir kritis minyak dari persamaan usulan dengan hasil perhitungan persamaan terdahulu. Dengan menggunakan data dalam Tabel 1 (terlampir) maka di peroleh hasil perhitungan seperti tertera dalam Tabel 2 (terlampir). Dari hasil perhitungan tersebut diperoleh bahwa hasil perhitungan laju alir kritis persamaan usulan berada dalam rentang hasil perhitungan persamaan-persamaan terdahulu sehingga didapat kesimpulan sementara yaitu persamaan usulan tersebut valid.
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
43
SOLUSI ANALITIK UNTUK MENENTUKAN LAJU ALIR KRITIS DI SUMUR VERTIKAL: ISOTROPIK DAN ANISOTROPIK
Pengaruh Panjang Perforasi Pada Gambar 2 dapat dilihat pengaruh panjang perforasi terhadap laju alir kritis minyak untuk setiap persamaan. Pada Gambar 2 dapat dilihat juga bahwa persamaan usulan berada dalam rentang beberapa persamaan terdahulu. Semakin panjang perforasi maka akan semakin mempercepat terjadinya water coning (menghasilkan laju alir kritis yang semakin kecil). Pada persamaan Craft and Hawkins dapat dilihat anomali yaitu semakin panjang perforasi justru memperbesar nilai laju alir kritis. Hal ini tidak sesuai dengan kondisi lapangan sehingga persamaan Craft and Hawkins tidak valid terhadap pengaruh panjang perforasi. Sementara pada persamaan Chaperon dapat dilihat hubungan yang konstan, hal ini karena Chaperon tidak memasukkan parameter panjang perforasi terhadap persamaannya. Hasil persamaan usulan memperlihatkan hasil yang lebih aman karena berada dalam rentang persamaan Meyer, Gardner and Pirson; Hoyland; dan Schols.
Q c v s D if f e r en c e de n sit y
Craft and Hawkins MGP
Qc vs hp/ho 6000
P er s. U su la n
6 00
H o y lan d
5 00
Sc h o ls C h ap er o n
4 00
M GP
Qc
Chaperon
5000
3 00
C r a f t an d H a wk in s
Schols
4000 Qc
Semakin besar perbedaan densitas maka laju alir kritis minyak makin tinggi, artinya minyak yang jauh lebih ringan akan mengalir lebih mudah dari air sehingga hadirnya coning dapat dikurangi. Pada Gambar 4 terlihat bahwa persamaan usulan sangat dekat dengan persamaan Hoyland dengan deviasi yang membesar seiring dengan besarnya perbedaaan densitas minyak dengan air. Gradien kenaikan laju alir kritis pada persamaan usulan lebih kecil. Pada gambar tersebut juga terlihat bahwa hasil persamaan usulan berada dalam rentang persamaan yang lain sehingga persamaan usulan valid. Suatu anomali juga terlihat dalam gambar tersebut, yaitu persamaan Craft and Hawkins memperlihatkan hubungan yang konstan. Hal ini terjadi karena persamaan Craft and Hawkins tidak memasukkan pengaruh densitas sehingga kurang sesuai dengan keadaan sebenarnya di lapangan.
2 00
Hoyland 3000
1 00
Pers.Usulan 2000
0
1000
0 .1
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
hp/ho
Gambar 2. Pengaruh Panjang Perforasi terhadap Laju Alir Kritis Minyak Pengaruh Tebal Zona Minyak Semakin besar tebal zona minyak maka semakin lama terjadinya water coning (laju alir kritis semakin besar) dengan asumsi panjang perforasi yang konstan. Pada Gambar 3 terlihat pengaruh dari tebal zona minyak terhadap laju alir kritis minyak. Pada gambar tersebut juga terlihat bahwa persamaan usulan memiliki kecenderungan yang sama terhadap persamaanpersamaan yang lain. Pada persamaan Craft and Hawkins dapat dilihat efek yang tidak terlalu signifikan. Hal ini tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya yang terjadi di lapangan.
0 .3
0 .4
0.5
Gambar 4. Pengaruh densitas terhadap Laju Alir Kritis Minyak
Pengaruh Radius Eksternal Pada Gambar 5 terlihat bahwa radius eksternal hanya berpengaruh untuk radius di bawah 3000 ft. Artinya, untuk infinite acting reservoir maka radius eksternal tidak terlalu berpengaruh. Pada radius dibawah 3000 ft terlihat bahwa peningkatan radius eksternal memperkecil laju alir kritis minyak. Hal ini terjadi karena turunnya kolom minyak akibat penurunan tekanan reservoir (pengaruh produksi) sehingga mempercepat munculnya coning. Persamaan usulan memperlihatkan hasil yang kecenderungan yang sama karena berada pada rentang persamaan-persamaan terdahulu sehingga persamaan usulan valid.
Craft and Hawkins MGP
Qc vs ho 900 800 600
Hoyland
300 Persamaan Usulan
200 100 0 20
40
60
80
100
ho
Gambar 3. Pengaruh Tebal Zona Minyak terhadap Laju Alir Kritis Minyak Pengaruh Densitas
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
Critica l Ra te
400
MGP
510
Schols
500
Craft n Hawkins
Qc vs Re
Chaperon
700
Qc
0.2
D if f e r en c e de n sit y
0
Chaperon
410
Schols
310
Hoyland Persamaan Usulan
210 110 10 -90
0
5000
10000
Eksternal Radius
Gambar 5. Pengaruh Radius Eksternal terhadap Laju Alir Kritis Minyak
44
SOLUSI ANALITIK UNTUK MENENTUKAN LAJU ALIR KRITIS DI SUMUR VERTIKAL: ISOTROPIK DAN ANISOTROPIK
Pengaruh Radius Sumur Pengaruh FVF Minyak Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa radius sumur tidak mempengaruhi terjadinya coning karena didapat hubungan yang konstan dengan laju alir kritis minyak. Pada persamaan Craft and Hawkins terlihat bahwa radius sumur mempengaruhi laju alir kritis minyak yaitu semakin besar radius sumur maka akan memperlambat terjadinya coning. Sementara persamaan usulan tidak memperlihatkan pengaruh yang berarti dan berada pada rentang persamaan Hoyland; Schols; Chaperon; dan Meyer, Gardner and Pirson. Pada keadaan di lapangan, radius sumur tidak berpengaruh karena terlalu kecil terhadap radius ekternal. Hal ini mengindikasikan bahwa persamaan usulan valid sedangkan persamaan Craft and Hawkins tidak valid.
Dalam persamaan usulan diasumsikan FVF minyak konstan namun sebenarnya merupakan fungsi dari tekanan. Pada Gambar 8 diperoleh bahwa hubungan laju alir kritis dengan FVF minyak linier yaitu semakin besar FVF minyak maka laju alir kritis minyak semakin kecil. Persamaan usulan berada dalam rentang persamaan-persamaan terdahulu dan sangat dekat dengan persamaan Hoyland, Craft and Hawkins sehingga persamaan usulan valid untuk sensitivitas FVF minyak. Qc vs FVF Oil
Craft n Hawkins MGP
Qc vs Rw 500
Chaperon
400
Schols Hoyland
300
Pers.Usulan
200
150 Critical Rate
MGP
Critical Rate
Chaperon
Craft n Hawkins
1.26 FVF Oil
0.2
0.3
0.4
0.5
Gambar 8. Pengaruh FVF Minyak terhadap Laju Alir Kritis Minyak
Well Radius
Gambar 6. Pengaruh Radius Sumur terhadap Laju Alir Kritis Minyak Pengaruh Viskositas Minyak Pada Gambar 7 diperoleh bahwa semakin besar viskositas minyak maka laju alir kritis minyak semakin kecil. Dapat dilihat juga bahwa persamaan Craft and Hawkins, Hoyland, dan persamaan usulan sangat mendekati dan secara keseluruhan persamaan usulan berada dalam rentang persamaan-persamaan terdahulu sehingga persamaan usulan valid. Pada Gambar 7 juga terlihat bahwa untuk viskositas minyak yang sama maka persamaan Chaperon menghasilkan laju alir kritis yang paling besar (optimis) dan persamaan Meyer, Gardner and Pirson menghasilkan laju alir kritis yang paling kecil (pesimis). Qc vs Viskositas Oil
Craft n Hawkins MGP
C ritic al R a te
Pers.Usulan
50
0
500
Chaperon
400 300 200
Schols Hoyland Pers.Usulan
100 0 0.4
Hoyland
100
0 1.06
100
Schols
0.9
V. VALIDASI SIMULATOR
PERSAMAAN
USULAN
DENGAN
Setelah dilakukan validasi dengan persamaanpersamaan terdahulu diperoleh kesimpulan bahwa persamaan usulan valid. Untuk meningkatkan tingkat kepercayaan terhadap persamaan usulan maka dilakukan validasi dengan IMEX. Hasil validasi dapat dilihat pada Gambar 9, Gambar 10, Gambar 11, Gambar 12, dan Gambar 13. Hasil validasi menunjukkan bahwa semakin besar kv/kh maka validasi persamaan usulan berkurang. Hal ini disebabkan karena pada persamaan usulan viskositas minyak dan FVF minyak dianggap konstan sedangkan pada IMEX kedua parameter tersebut tidak konstan. Pada Gambar 9 (kv/kh = 0,05) dapat dilihat bahwa water cut masih nol sampai 2,7 tahun. Pada Gambar 10 (kv/kh = 0,25) dapat dilihat bahwa water cut masih nol sampai 320 hari. Pada Gambar 11 (kv/kh = 0,5) dapat dilihat bahwa water cut nol sampai 185 hari. Pada Gambar 12 (kv/kh = 0,75) dapat dilihat bahwa water cut masih nol sampai 160 hari. Sementara pada gambar 13 (kv/kh = 1) water cut hanya nol hanya sampai 120 hari. Hal ini membuktikan pengaruh permeability barrier ke arah vertikal sangat besar.
1.4
Viskositas Oil
Gambar 7. Pengaruh Viskositas Minyak terhadap Laju Alir Kritis Minyak
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
45
SOLUSI ANALITIK UNTUK MENENTUKAN LAJU ALIR KRITIS DI SUMUR VERTIKAL: ISOTROPIK DAN ANISOTROPIK
Gambar 9. Validasi untuk kv/kh=0,05
Gambar 12. Validasi untuk kv/kh=0,75
Gambar 13. Validasi untuk kv/kh=1 Gambar 10. Validasi untuk kv/kh=0,25
Gambar 11. Validasi untuk kv/kh=0,5
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
VI. KESIMPULAN Melalui hasil pembahasan di atas diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Persamaan usulan memiliki validasi yang baik terhadap persamaan-persamaan terdahulu. 2. Persamaan Craft and Hawkins tidak akurat pada sensitivitas tebal zona minyak, densitas, dan radius sumur, serta panjang panjang perforasi karena memperlihatkan deviasi yang jauh dari persamaan–persamaan yang lain. 3. Validasi dengan IMEX memperlihatkan bahwa persamaan usulan pada kv/kh yang semakin kecil. 4. Semakin panjang perforasi akan mempercepat terjadinya water coning (untuk tebal zona minyak yang konstan). 5. Semakin besar tebal zona minyak akan memperlambat terjadinya water coning untuk panjang perforasi yang konstan. 6. Semakin besar permeabilitas vertikal akan mempercepat terjadinya water coning karena kecilnya permeability barier ke arah vertikal.
46
SOLUSI ANALITIK UNTUK MENENTUKAN LAJU ALIR KRITIS DI SUMUR VERTIKAL: ISOTROPIK DAN ANISOTROPIK
7.
8.
9.
Semakin besar perbedaan densitas minyak dengan densitas air akan memperlambat terjadinya coning karena akan mempermudah minyak lebih dahulu untuk mengalir. Radius eksternal hanya berpengaruh pada terjadinya coning untuk radius yang kecil (bounded reservoir). Radius sumur tidak mempengaruhi terjadinya coning karena terlalu kecil dibandingkan radius eksternal.
4.
5.
6. DAFTAR SIMBOL Bo = FVF minyak (bbl/stb) = Tebal zona minyak (ft) ho ho ” = Transformasi tebal zona minyak (ft) = Panjang Perforasi (ft) hp hp” = Transformasi panjang perforasi (ft) = Permeabilitas minyak (mD) ko = Transformasi ko (mD) ko” kh = Permeabilitas horizontal (mD) = Permeabilitas vertikal (mD) kv Pv = Tekanan akibat gravity force (Psi) = Tekanan akibat viscous force (Psi) Pv Qc = Laju alir kritis minyak (bbl/d) = Laju alir minyak (bbl/d) Qo re = Radius eksternal (ft) = Radius sumur (ft) rw ? o = Densitas minyak (g/cc) = Densitas air (g/cc) ? w µo = Viskositas minyak (cp) Δ = Delta DAFTAR PUSTAKA 1. Bournazel and B. Jeanson:“Fast Water Coning Evaluation Method”. SPE 3268, presented at 46th SPE fall meeting, 1971. 2. Asep Kurnia Permadi:“Diktat Teknik Reservoir II”. Edisi Pertama, 2004. 3. I. Chaperon:”Theoretical Study of Coning Toward Horizontal and Vertical Wells in Anisotropic
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Formations: “Sub Critical and Critical Rates”. SPE 15377, presented at 61st SPE Annual Technical Conference and Exhibition, 1986. J.P Spivey and W. John Lee:”Estimating the Pressure-Transient Response for a Horizontal or a Hydraulically Fractured Well at an Arbitrary Orientation in an Anisotropic Reservoir”. SPE Reservoir Eval. and Eng. , 1999. S.D. Jhosi, Ph.D.:”Horizontal Well Technology”. Penwell Pub-lishing Company. Tulsa, Oklahoma, 1991. Schols, R. S.:”An Empirical Formula for the Critical Oil Production Rate,”Erdoel Erdgas, Z., Vol. 88, No. 1, pp. 6-11, January 1972. Hoyland, L. A., Papatzacos, P. and Skjaevaland, S. M.:”Critical Rate fo Water Coning: Correlation and Analytical Solution,” SPE Reservoir Engineeering, pp. 495-502, November 1989. Sobocinski, D. P. and Cornelius, A. J.:”A Correlation for Predicting Water Coning Time,”Journal of Petroleum Technology,” pp. 1065-1077, June 1980. Craft, B. C. and Hawkins, M. F.:”Applied Petroleum Reservoir Engineering,” Englewood Cliffs, New Jersey, Prentice-Hall, 1959. Meyer, H. L. and Gardner, A. O.:”Mechanics of Two Immicible Fluids in Porous Media,”Journal of Applied Physics, Vol. 25, No. 11, pp. 1400ff. Pirson, S. J.:”Oil Reservoir Engineering,” Robert E. Krieger Publishing Company, Hun-tington, New York, 1977. Kuo, M. C. T. and DesBrisay, C. L.:”A Simplified Method for Water Coning,” paper SPE 12067, presented at the 58th Annual Technical Conference and Exhibition, San Fransisco, California, Oct. 5-8, 1983. Papatzacos, P.,Gustafson, S. A. Skjaevelan, S. M.:”Critical Time for Cone Breakthrough in Horizontal Well,”presented at seminaron Recovery from Thin Oil zones, Norwegian Petroleum Directorate, Stavanger, Norway, April 21-22, 1988.
47
SOLUSI ANALITIK UNTUK MENENTUKAN LAJU ALIR KRITIS DI SUMUR VERTIKAL: ISOTROPIK DAN ANISOTROPIK LAMPIRAN Parameter-Parameter
Data 1
Data 2
Data 3
Data 4
Data 5
Difference density
0.48
0.35
0.48
0.48
0.48
Permeabilitas minyak
200
200
200
200
200
80
80
80
80
80
Tebal Reservoir Panjang Perforasi
8
8
40
8
8
Viskositas minyak
0.4
0.4
0.4
0.4
0.4
Bo
1.32
1.32
1.32
1.32
1.32
Radius Eksternal
1053
1053
1053
10000
1053
0.25
0.5
Radius Sumur 0.25 0.25 0.25 Tabel 1. Data untuk Validasi dengan Persamaan Terdahulu
Laju alir Kritis Metode
Data 1
Data 2
Craft and Hawkins
383.28
Meyer, Gardner,and Pirson
211.88
Chaperon Schols
Data 3
Data 4
Data 5
383.28
1312
301.87
498.27
154.5
160.5
166.88
231.08
499.82
364.45
499.8
424.68
499.82
316.77
230.98
240
208.29
330.13
Hoyland, et. al.
395.67
288.51
273.9
226.54
395.67
Persamaan yang diajukan
384.74
280.54
213.7
303.01
419.59
Tabel 2. Hasil Validasi dengan Beberapa Persamaan Terdahulu
Laju Alir Kritis kh(md)
kh/kv
Joshi
Chaperon
a
qc
200
20
1044.350337
211.88415
791.40593
2.943
1.39
0.05
200
4
610.7397822
211.88415
583.79766
6.581
1.03
0.25
200
2
484.7444864
211.88415
534.60372
9.307
0.94
0.5
200
1.3333
423.4633137
211.88415
512.81
11.4
0.9
0.75
200
1
384.7419538
211.88415
499.81835
13.16
0.88
1
Pers.Usulan
kv/kh
Tabel 3. Pengaruh Permeabilitas terhadap Laju Alir Kritis Minyak dan Parameter Validasi dengan IMEX
Laju Alir Kritis Minyak hp/ho
0.1
Craft and Hawkins
0.2
0.3
0.4
0.5
0.7
0.9
Meyer, Gardner, and Pirson 1324.3 1284.15 1217.26 1123.63 1003.24 682.203 254.154 Chaperon
1
794.94 1410.57 1980.94 2516.17 3019.62 3939.38 4759.02 5139.44 0
3911.2 3911.17 3911.17 3911.17 3911.17 3911.17 3911.17 3911.17
Schols
2250.8 2182.59 2068.91 1909.77 1705.15 1159.5 431.971
0
Hoyland,et. al.
3075.5 2952.64 2750.62 2473.84 2128.91 1277.12 345.183
0
Persamaan Usulan
2404.6 2137.46 1870.27 1603.09 1335.91 801.546 267.182
0
Tabel 4. Pengaruh Panjang Perforasi terhadap Laju Alir Kritis Minyak
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
48
SOLUSI ANALITIK UNTUK MENENTUKAN LAJU ALIR KRITIS DI SUMUR VERTIKAL: ISOTROPIK DAN ANISOTROPIK
Laju Alir Kritis Ho
100
80
60
40
20
Craft and Hawkins
455.657
Meyer, Gardner, dan Pirson
331.069
210.6803 117.0446
Chaperon
813.771
499.8184 269.3382 114.457 27.30212
Schols
454.2676 451.2765 442.813 399.1795 50.162
10.03239
510.66
314.9705 168.0761 68.0576 12.35271
Hoyland, et. al.
651.947
392.6892 202.9026 78.0311 12.30714
Persamaan Usulan
601.159
374.0547 200.3864 80.1546
13.3591
Tabel 5. Pengaruh Tebal Zona Minyak terhadap Laju Alir Kritis Minyak
Laju Alir Kritis Difference Density
0.48
0.44
0.4
0.36
0.32
0.28
0.24
0.2
0.15
0.1
Craft and Hawkins
383.3
383.3
383.3
383.3
383.3
383.3
383.3
383.3
383.3
383.3
Meyer, Gardner, and Pirson
211.9
194.2
176.6
158.9
141.3
123.6
105.9
88.29
66.21
44.14
Chaperon
499.8
458.2
416.5
374.9
333.2
291.6
249.9
208.3
156.2
104.1
Schols
316.8
290.4
264
237.6
211.2
184.8
158.4
132
98.99
65.99
Hoyland,et. al.
395.7
362.7
329.7
296.7
263.8
230.8
197.8
164.9
123.6
82.43
Persamaan Usulan
384.7
352.7
320.6
288.6
256.5
224.4
192.4
160.3
120.2
80.15
Tabel 6. Pengaruh Densitas terhadap Laju Alir Kritis Minyak
re Craft and Hawkins
1000
3000
5000
10000
385.671 340.5609 322.9946 301.867
Meyer, Gardner, and Pirson 213.203 188.2661 178.5553 166.876 Chaperon
504.269 445.3158 433.5251 424.682
Schols
319.994 259.3863 236.05
Hoyland, et. al.
401.573 299.3704 264.7009 226.536
Persamaan Usulan
387.138 341.856 324.223 303.015
208.289
Tabel 7. Pengaruh Radius Eksternal terhadap Laju Alir Kritis Minyak
rw Craft and Hawkins
0.25
0.3
0.35
0.4
383.284 409.1824 433.3085 456.037
Meyer, Gardner, and Pirson 211.884 216.6164 220.7855 224.529 Chaperon Schols
499.818 499.8184 499.8184 499.818 316.77 320.0637 322.9652 325.57
Hoyland, et. al.
395.665 395.6651 395.6651 395.665
Persamaan Usulan
384.742 393.3348 400.9052 407.702
Tabel 8. Pengaruh Radius Sumur terhadap Laju Alir Kritis Minyak
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
49
SOLUSI ANALITIK UNTUK MENENTUKAN LAJU ALIR KRITIS DI SUMUR VERTIKAL: ISOTROPIK DAN ANISOTROPIK
k"
Karena k x k"
k"
kh kv
kh
k"
kh
x
"
k v dan maka :
kz
maka :
1/ 3
1/ 3 1/ 2
"
1/ 2
k" y ky
ho
ho "
ho
ho "
ho
1/ 3
z
y
1/ 6
1/ 2
k" x kx
"
ho
ky
kx kz
kh kv
k" z kz
"
y
k h dan k z
k h 2 / 3 k v1/ 3
"
z
ky 1/ 3
k h2 k v
Jika
k
1/ 3
kxk ykz
1/ 6
x 1/ 3
kh
1/ 2
kv 2 / 3 1/ 2 1/ 3
Untuk h p memiliki transformasi yang sama sehingga : hp" '' e
r
hp re
1/ 3
k" kh
1/ 2
Untuk rw memiliki transformasi yang sama sehingga : '' w
r
rw
k" kh
1/ 2
Tabel 9. Rumus-rumus Transformasi Parameter-parameter dalam Persamaan Usulan
Jurnal Tentang Minyak & Gas Bumi November 2007
50