RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-X/2012 Tentang Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi Oleh Negara
I.
PEMOHON 1. Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), diwakili oleh drg. Ugan Gandar dan Noviandri selaku Presiden dan Sekretaris Jenderal FSPPB, sebagai Pemohon I; 2. Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI), diwakili oleh Faisal Yusra selaku Presiden KSPMI, sebagai Pemohon II. Selanjutnya secara bersama-sama disebut sebagai Para Pemohon
KUASA HUKUM Ecoline Situmorang, S.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus.
II. POKOK PERKARA Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap UUD 1945.
III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Para Pemohon dalam permohonan sebagaimana dimaksud menjelaskan, bahwa ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji adalah : ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji adalah : 1. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
2. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas, pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan Para Pemohon
IV. KEDUDUKAN PEMOHON ( LEGAL STANDING) Para Pemohon dalam permohonannya menyebutkan sebagai Badan Hukum Privat yang bergerak untuk membela hak-hak pekerja tambang migas dan bekerja untuk kemajuan produksi migas nasional. Selanjutnya Para Pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya berpotensi dirugikan oleh berlakunya ketentuan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
V. NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DIUJI A. NORMA MATERIIL Norma yang diujikan, yaitu : 1. Pasal 1 angka 19 Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama
lain
dalam
kegiatan
Eksplorasi
dan
Eksploitasi
yang
lebih
menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat 2. Pasal 1 angka 23 Badan pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha huku di bidang Minyak dan Gas Bumi 3. Pasal 1 angka 24 Badan Pengatur adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian bahan bakar minyak dan gas bumi pada kegiatan usaha hilir 4. Pasal 6 ayat (1) Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 19
5. Pasal 6 ayat (2) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit memuat persyaratan : a. kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan; b. pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; c. modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap 6. Pasal 9 ayat (1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh : a. badan usaha milik negara; b. badan usaha milik daerah; c. koperasi; usaha kecil; d. badan usaha swasta. 7. Pasal 10 ayat (1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir 8. Pasal 10 ayat (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu 9. Pasal 44 ayat (1) Pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) 10. Pasal 44 ayat (2) Fungsi Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu agar pengembalian sumber daya alam minyak dan gas bumi milik Negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran
11. Pasal 44 ayat (3) Tugas Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. Memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama; b. Melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; c. Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu wilayah kerja kepada menteri untuk mendapatkan persetujuan; d. Memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf c; e. Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran; f. Melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan kontrak kerja sama; g. Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian Negara yang dapat memberikan keuntungan sebebsar-besarnya bagi Negara. 12. Pasal 46 ayat (1) Pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian bahan bakar minyak dan pengangkutan gas bumi melalui pipa dilakukan oleh Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) 13. Pasal 46 ayat (2) Fungsi Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan pengaturan agar ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi yang ditetapkan Pemerintah dapat terjamin di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta meningkatkan pemanfaatan Gas Bumi di dalam negeri 14. Pasal 46 ayat (3) Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pengaturan dan penetapan mengenai : a. ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak; b. cadangan Bahan Bakar Minyak nasional; c. pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan Bahan Bakar
Minyak; d. tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa; e. harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil; f. pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi. 15. Pasal 46 ayat (4) Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mencakup juga tugas pengawasan dalam bidang-bidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) 16. Pasal 63 huruf c Pada saat Undang-undang ini berlaku: (c) semua kontrak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak yang bersangkutan
B. NORMA UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Norma yang dijadikan sebagai penguji, yaitu : 1. Pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum 2. Pasal 33 ayat (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara 3. Pasal 33 ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
VI. Alasan-alasan Pemohon Dengan diterapkan UU a quo Bertentangan Dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena : 1. Pemisahan Badan Pelaksana dan Badan Pengatur dibagian hulu dan hilir (Pasal 1 angka 23, Pasal 44, Pasal 1 angka 24, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi) telah mengakibatkan terjadinya sektoralisasi penguasaan Negara atas minyak dan gas bumi
Indonesia, sehingga mengakibatkan Hak Menguasai Negara (HMN) tidak berlangsung secara efektif; 2. Badan Pelaksana dan Badan Pengatur yang dimaksud dalam Undang-Undang a quo adalah berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang harus menerapkan prinsip dan asas Good Corporate Governance, sehingga setiap tindakannya harus dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan demi tercapainya amanat Konstitusi, namun pada kenyataannya di dalam Undang-Undang a quo, Badan Pelaksana dalam hal ini adalah BP Migas (Badan Pelaksana Minyak dan Gas) serta Badan Pengatur dalam hal ini adalah BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi) tidak menyebutkan adanya konsep pertanggungjawaban yang terbuka terhadap masyarakat; 3. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang a quo, kata “dapat” bersifat opsional dan memberikan ruang kepada jenis-jenis pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usaha hulu dan kegiatan hilir sektor migas, tanpa adanya prioritas pelaku usaha dalam hal ini Badan Usaha Milik Negara dan perlindungan terhadap koperasi serta usaha kecil, maka jelas Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang a quo serta pelaksanaannya adalah merupakan perwujudan dari liberalisasi sektor migas; 4. Dengan
diberlakukannya Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang a quo maka
Undang-Undang a quo telah memberikan ruang yang sama antara Badan usaha swasta dengan BUMN (equal position), yang dalam prakteknya telah mengakibatkan terdominasinya sektor migas nasional oleh pihak swasta; 5. Kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 19 dan Pasal 6 Undang-undang a quo terdiri dari dua bentuk kontrak, yaitu kontrak bagi hasil dan kontrak kerjasama lainnya dan hal tersebut bertentangan dengan asas kepastian hukum sebagai mana diamanatkan Pasal 28D ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 karena bersifat multi tafsir, sepatutnya kontrak kerjasama lainnya haruslah dinyatakan secara jelas dan spesifik agar tidak menimbulkan multi tafsir demi kepastian hukum didalam pengelolaan sumber daya alam; 6. Sistem kontrak yang tidak jelas ini di dalam prakteknya juga berpotensi untuk merongrong kedaulatan negara kita dalam menentukan harga serta melakukan tindakan lainnya terkait sumber daya kita;
7. Pasal 10 Undang-undang a quo telah menyebabkan PT. Pertamina Persero selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam kegiatan usahanya harus membentuk anak perusahaan dengan spesifikasi kerja berbeda-beda untuk mengelola industri hulu dan hilir; 8. Pembentukan anak-anak perusahaan ini mengakibatkan terjadinya high cost production dan inefisiensi tata kelola sektor Migas yang pada akhirnya menjauhkan industri Migas nasional dari tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang mana hal ini tentunya sangat bertentangan dengan amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945; 9. Dengan berlakunya Pasal 63 huruf (c) Undang-Undang a quo, maka akan sangat membahayakan cadangan kekayaan alam Indonesia yang vital sementara kekayaan alam itu sendiri tetap disedot dan diambil oleh pihak luar dan tanpa dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, oleh karena itu azas pacta sunt servanda (kesucian berkontrak) sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1338 jo. Pasal 1320 BW haruslah diartikan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi; 10. Jika Pasal 63 huruf (c) Undang-Undang a quo dipraktekkan, maka tentunya sumber kekayaan alam kita telah habis terkeruk oleh pihak swasta/asing manakala menunggu jangka waktu kontrak selesai terlebih dahulu yang tentunya sangat bertentangan dengan amanat Konstitusi dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
VII. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian ini; 2. Menyatakan Pasal 1 angka 19, Pasal 6, Pasal 1 angka 23, Pasal 44, Pasal 1 angka 24, Pasal 46 , Pasal 10 dan Pasal 63 huruf c Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945; 3. Menyatakan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi, Lembaran Negara RI Tahun 2001 No. 136
inkonstitusional dengan Undang-undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai Badan Usaha Milik Negara mendapatkan prioritas selaku pelaksana kegiatan usaha hulu dan kegiatan hilir sektor Minyak dan Gas Bumi; 4. Menyatakan Pasal 1 angka 19, Pasal 6, Pasal 1 angka 23, Pasal 44, Pasal 1 angka 24, Pasal 46 , Pasal 9 ayat (1) sepanjang tidak dimaknai Badan Usaha Milik Negara mendapatkan prioritas selaku pelaksana kegiatan usaha hulu dan kegiatan hilir sektor Minyak dan Gas Bumi, Pasal 10 dan Pasal 63 huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya; 5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Catatan: - Perubahan terdapat pada Petitum a. Permohonan Awal 1) Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian ini; 2) Menyatakan Pasal 1 angka 23, Pasal 44, Pasal 1 angka 24, Pasal 46 , Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 dan Pasal 63 huruf c Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi Lembaran Negara RI Tahun 2001 No.136 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945; 3) Menyatakan Pasal 1 angka 19 dan Pasal 6 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi Lembaran Negara RI Tahun 2001 No.136 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; 4) Menyatakan Pasal 1 angka 23, Pasal 44, Pasal 1 angka 24, Pasal 46 , Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 dan Pasal 63 huruf c Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi Lembaran Negara RI Tahun 2001 No.136 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala
akibat hukumnya; 5) Menyatakan Pasal 1 angka 19 dan Pasal 6 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi Lembaran Negara RI Tahun 2001 No.136 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya; 6) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). b. Perbaikan Permohonan 1) Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian ini; 2) Menyatakan Pasal 1 angka 19, Pasal 6, Pasal 1 angka 23, Pasal 44, Pasal 1 angka 24, Pasal 46 , Pasal 10 dan Pasal 63 huruf c Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945; 3) Menyatakan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi, Lembaran Negara RI Tahun 2001 No. 136 inkonstitusional dengan Undang-undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai Badan Usaha Milik Negara mendapatkan prioritas selaku pelaksana kegiatan usaha hulu dan kegiatan hilir sektor Minyak dan Gas Bumi; 4) Menyatakan Pasal 1 angka 19, Pasal 6, Pasal 1 angka 23, Pasal 44, Pasal 1 angka 24, Pasal 46 , Pasal 9 ayat (1) sepanjang tidak dimaknai Badan Usaha Milik Negara mendapatkan prioritas selaku pelaksana kegiatan usaha hulu dan kegiatan hilir sektor Minyak dan Gas Bumi, Pasal 10 dan Pasal 63 huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya; 5) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).