ISSN 0853 - 5884
JURNAL PENELITIAN PERIKANAN INDONESIA Volume 19 Nomor 2 Juni 2013 Nomor Akreditasi: 455/AU2/P2MI/LIPI/08/2012 (Periode: Agustus 2012 - Agustus 2015) Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia adalah wadah informasi perikanan, baik laut maupun perairan umum daratan. Jurnal ini menyajikan hasil penelitian sumber daya, penangkapan, oseanografi, lingkungan, rehabilitasi lingkungan, dan pengkayaan stok ikan. Terbit pertama kali tahun 1994. Tahun 2006, frekuensi penerbitan Jurnal ini tiga kali dalam setahun pada bulan April, Agustus, dan Desember. Tahun 2008, frekuensi penerbitan menjadi empat kali yaitu pada bulan MARET, JUNI, SEPTEMBER, dan DESEMBER. Ketua Redaksi: Prof. Dr. Wudianto, M.Sc Anggota: Prof. Dr. Ir. Ngurah Nyoman Wiadnyana, DEA Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Indra Jaya Prof. Dr. Ir. M.F. Rahardjo, DEA Dr. Ir. Abdul Ghofar, M.Sc. Mitra Bestari untuk Nomor ini: Prof. Dr. Ir. Endi Setiadi Kartamihardja, M.Sc. Redaksi Pelaksana: Dra. Endang Sriyati Arief Gunawan, S.Kom. Desain Grafis : Kharisma Citra, S.Sn
Alamat Redaksi/Penerbit: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Gedung Balitbang KP II, Jl. Pasir Putih II Ancol Timur Jakarta Utara 14430 Telp. (021) 64700928, Fax. (021) 64700929 Email:
[email protected] Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan PerikananKementerian Kelautan dan Perikanan.
KATA PENGANTAR Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia (JPPI) di tahun 2013 memasuki Volume ke-19. Pencetakan jurnal ini dibiayai oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan anggaran tahun 2013. Semua naskah yang terbit telah melalui proses evaluasi oleh Dewan Redaksi dan editing oleh Redaksi Pelaksana. Penerbitan kedua di Volume 19 tahun 2013 menampilkan tujuh artikel hasil penelitian perikanan di perairan Indonesia. Ketujuh artikel tersebut mengulas tentang: Pengaruh kecerahan air laut terhadap struktur komunitas ikan karang di perairan Pulau Belitung; Selektivitas jaring insang monofilamen dan aspek biologi ikan Oscar (Amphilopus citrinellus) di Situ Panjalu, Ciamis; Optimisasi hasil tangkapan perikanan pukat cincin di perairan Laut Jawa dan sekitarnya; Pengaruh lama setting dan jumlah pancing terhadap hasil tangkapan rawai tuna di Laut Banda; Interaksi antar trawl dan rawai dasar pada perikanan kakap merah (Lutjanus malabaricus) di Laut Timor dan Arafura; Kapasitas penangkapan pancing ulur tuna di Kepulauan Banda Neira; Pengaruh iluminasi atraktor cahaya terhadap hasil tangkapan ikan pada bagan apung. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan kontribusi bagi para pengambil kebijakan dan pengelola sumber daya perikanan di Indonesia. Redaksi mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif para peneliti dari lingkup dan luar Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan.
Redaksi
i
ISSN 0853 - 5884 JURNAL PENELITIAN PERIKANAN INDONESIA Volume 19 Nomor 2 Juni 2013 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………………...
i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………………….
iii
Pengaruh Kecerahan Air Laut terhadap Struktur Komunitas Ikan Karang di Perairan Pulau Belitung Oleh: Isa Nagib Edrus dan Iwan Erik Setyawan ............................................................................
55-64
Selektivitas Jaring Insang Monofilamen dan Aspek Biologi Ikan Oscar (Amphilopus citrinellus) di Situ Panjalu, Ciamis Oleh: Andri Warsa dan Kunto Purnomo .......................................................................................
65-72
Optimisasi Hasil Tangkapan Perikanan Pukat Cincin di Perairan Laut Jawa dan Sekitarnya Oleh: Suherman Banon Atmaja dan Duto Nugroho ........................................................................
73-80
Pengaruh Lama Setting dan Jumlah Pancing terhadap Hasil Tangkapan Rawai Tuna di Laut Banda Oleh: Setiya Triharyuni, Budi Nugraha dan Umi Chodriyah ........................................................
81-88
Interaksi Antar Trawl dan Rawai Dasar pada Perikanan Kakap Merah (Lutjanus malabaricus) di Laut Timor dan Arafura Oleh: Bambang Sadhotomo dan Suprapto ...............................................................................
89-95
Kapasitas Penangkapan Pancing Ulur Tuna di Kepulauan Banda Neira Oleh: Baihaqi dan Hufiadi ........................................................................................................
97-103
Pengaruh Iluminasi Atraktor Cahaya terhadap Hasil Tangkapan Ikan pada Bagan Apung Oleh: Regi Fiji Anggawangsa, Ignatius Tri Hargiyatno dan Berbudi Wibowo .................................
105-111
iii
Pengaruh Kecerahan Air Laut…………….di Perairan Pulau Belitung (Edrus. I, N & E. Setyawan)
PENGARUH KECERAHAN AIR LAUT TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS IKAN KARANG DI PERAIRAN PULAU BELITUNG EFFECTS OF WATER TRANSPARENCY ON COMMUNITY STRUCTURES OF REEF FISH IN BELITUNG ISLAND WATERS Isa Nagib Edrus dan Iwan Erik Setyawan Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 01 Juni 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 30 Mei 2013; Disetujui terbit tanggal: 19 Juni 2013
ABSTRAK Ikan karang selalu memberikan respon terhadap perubahan habitatnya, terutama ganguan yang terjadi pada terumbu karang dan kolom airnya. Penelitian ini dilakukan pada Juli 2010 di pesisir Pulau Belitung. Tujuan penelitian adalah untuk mengindentifikasi struktur komunitas ikan karang dan hubungannya dengan kecerahan perairan. Metode pengumpulan data adalah mengunakan cara sensus visual dalam transek sabuk seluas 250 m2 dan alat secchi disk. Hasil penelitian pada 25 lokasi transek menunjukkan bahwa sedikitnya terdapat 163 jenis ikan karang dari 75 genus dan 30 famili. Indeks kekayaan jenis berkisar pada nilai 2,3 sampai 9,3. Keanekaragam komunitas ikan tergolong sedang, dibawah 3,6. Kepadatan individu per meter persegi tergolong sangat jarang pada semua lokasi transek. Kecerahan perairan berkisar dari 1,5 sampai 15 meter. Peubah jumlah jenis dan indeks ekologisnya berkorelasi nyata dengan peubah kecerahan. Kecerahan di bawah 5 meter berpengaruh negatif pada keanekaragaman ikan karang. KATA KUNCI: Ikan karang, kecerahan air, keanekaragaman hayati, Belitung ABSTRACT Reef fishes are always responsive to their habitat changes especially to alterations on coral reefs and body water. This study was caried out in July 2010 in the Belitung Island and adjacent waters. The objective of this study is to identify community structures of reef fishes and their relationship with water transparency. This study used a visual census technique within area of 250 m2, while transparency was measured using a secchi disk from 25 sampling sites. The results show that at least there were 163 reef-fish species represented 75 genus and 30 families. Richness index of fish ranged from 2.3 to 9.3. Diversity indices of fish community were grouped in moderate level (< 3.6). The density of fish per square meter was very rare in each transect are. Water transfarency ranged from 1.5 to 15 meter. The species numbers and their ecological indices have a significant relationship with water transparency variables. The low level of water transfarency negatively influenced to reef fish diversity. KEYWORDS: Reef fishes, water transparency, biodiversity, Belitung
PENDAHULUAN Pulau Belitung memiliki sejarah panjang dengan pertambangan timah. Dampak negatif pertambangan tersebut sampai pada perairan terumbu karang, dimana memberi pengaruh nyata terhadap tingginya sedimentasi dari daratan ke perairan sekitarnya dan diprediksi berpengaruh pada biota laut seperti ikan karang.
perkembangan populasi ikan karang, terutama oleh adanya peranan ikan-ikan herbivora (grazers) (Fitz et al., 2002; Steneck, 2010). Secara umum setiap terumbu karang memiliki keanekaragaman ikan yang tinggi (Nybakken, 1988), tetapi pada kenyataannya hubungan yang harmonis tersebut juga terbuka terhadap gangguan-gangguan eksternal pada terumbu karang yang selanjutnya berpengaruh pada struktur komunitas ikan karang.
Dalam proses ko-evolusi, ikan karang tumbuh berkembang seiring dengan tumbuh berkembangnya terumbu karang sebagai habitatnya. Ikan karang selalu merespon terhadap perubahan dalam ekosistem terumbu karang dan terumbu karang juga akan terpengaruh dan dapat berubah oleh
Beberapa penelitian menunjukan hubungan yang signifikan antara kelimpahan dan keanekaragaman jenis ikan karang dengan tutupan karang hidup, dimana gerombolan ikan karang sering memperlihatkan perubahan dramatis dalam struktur dan keanekaragaman menurun dalam hubungannya
___________________ Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Jakarta Utara
55
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 55-64
dengan penurunan persen tutupan karang (Halford et al., 2004; Jones et al., 2004; Graham et al., 2006). Masing-masing jenis dalam komunitas ikan karang memiliki ketertarikan yang kuat pada karang sesuai fungsinya pada tiap relung ekologi. Sebagian ikan karang secara khusus menyukai karang jenis tunggal karena dapat hidup dan bertahan disitu (Munday, 2004). Sebagian yang lain menyukai karang batu dengan beragam jenis tertentu karena berpindahpindah mencari makan di permukaan terumbu dan disela-sela terumbu dan beberapa jenis lainnya, seperti blenid dan gobid, menyukai permukaan pasir dan ada yang hidup meliang pada dasar perairan (Green, 1996). Adanya perubahan struktur komunitas ikan dalam merespon perubahan habitat berkaitan dengan menurunnya kualitas atau gangguan pada relung ekologi tersebut, dimana fungsi ikan yang sepesifik pada habitatnya juga terganggu. Mekanisme terjadinya perubahan struktur komunitas ikan karang pada lokasi yang berbeda dan faktor penyebab yang berbeda masih sedikit informasinya (Feary et al., 2007). Perubahan habitat ikan karang pada suatu lokasi dianggap sebagai akibat dari peristiwa hilangnya karang hidup dalam skala luas dan kejadian ini adalah faktor terpenting yang menyebabkan terjadinya pergantian dalam struktur komunitas ikan karang (Allen et al., 2003; Booth, 2002; Garpe et al., 2006; Graham et al., 2006; Jones et al., 2004). Selain itu, faktor yang juga sama pentingnya adalah laju sedimentasi tanah dari daratan. Sedimentasi dapat mempengaruhi struktur komunitas dan komposisi tropik dari ikan karang (Mallela et al., 2007). Sedimentasi berpengaruh langsung pada kehidupan karang karena turbiditas yang rendah dan juga berpengaruh tidak langsung pada komunitas ikan sebagai akibat degradasi terumbu karang (Manthachitra & Cheevaporn, 2007). Kajian tentang hubungan antara kelimpahan dan keanekaragaman dengan kondisi terumbu karang sudah banyak dilakukan, tetapi masih sangat jarang dikaitkan dengan kecerahan perairan (Amesbury, 1981). Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi struktur komunitas ikan karang, terutama mengukur indeks-indeks penting seperti kekayaan jenis, keanekaragaman, dominasi, dan keseragaman
56
populasi dalam komunitas serta menganalisa hubungannya dengan variabel kecerahan air laut. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada 25 titik transek pengamatan di wilayah perairan pesisir pulau Belitung dan pulau-pulau kecil yang ada di sekitarnya (Gambar 1). Pengumpuan data dilakukan selama 15 hari pada Juli 2010. Metode yang digunakan adalah sensus visual (English et al., 1994) yang dikerjakan oleh penyelam sepanjang garis transek 50 meter dengan luas area sensus (50 x 5) m 2 . Identifikasi jenis ikan menggunakan buku petunjuk bergambar (Kuiter & Tonozuka, 2001). Data kecerahan air laut diperoleh dengan menggunakan cakram (secchi disk) dengan satuan meter. Analisa keragaman hayati ikan karang menggunakan beberapa indeks, yaitu Indeks Kekayaan Jenis (Indeks Margalef), Indeks Keanekaragaman (Indeks Shannon Weaver & Simpson) dan Indeks Keseimbangan (Indeks Pielou). Rumus untuk memperoleh nilai masing-masing indeks tersebut adalah sebagai berikut: Indeks Margalef R = (S-1)/ln(n) .................. (1) Indeks Dominasi (D) Simpson λ = ∑ {(ni(ni – 1) / } ....................................................(2) (N(N –1)} } .......(3) Indeks Shannon H = Σ{ Σ{(ni/N) ln(ni/N)} dimana ni = jumlah ikan jenis ke I, dan N = total individu ikan untuk semua jenis. } …...............(4) Indeks Pielou E = {H / ln (S)} dimana S = banyaknya jenis, H = Indeks Shannon. Hubungan antara indeks ekologi tersebut dengan kecerahan air laut ditampilkan dengan grafik untuk melihat fluktuasinya dan keeratan hubungannya dianalisa dengan menggunakan nilai korelasi (R). Nilai R semakin mendekati 1, semakin memiliki keeratan hubungan antara variabel indeks dan angka kecerahan air.
Pengaruh Kecerahan Air Laut…………….di Perairan Pulau Belitung (Edrus. I, N & E. Setyawan)
Gambar 1. Lokasi transek pengamatan di perairan Pulau Belitung, Provinsi Bangka Belitung Figure 1. Transect sites for observation in Belitung Island waters, Bangka Belitung Province HASIL DAN BAHASAN HASIL Dari hasil sensus visual pada 25 titik lokasi penelitian telah teridentifikasi sebanyak 163 jenis ikan karang yang mewakili 75 genus dan 32 famili, dengan sebaran jumlah di setiap stasiunnya disajikan dalam Tabel 1. Dalam tabel ini juga dirangkum berbagai indeks ekologi, dan kepadatan ikan karang serta kecerahan perairan di setiap stasiun. Gambar 2 menunjukkan variasi dari masing-masing peubah jenis dan indeks ekologi pada setiap stasiun pengamatan. Variasi tersebut dipresentasikan juga menurut hubungannya dengan peubah kecerahan perairan di setiap stasiun, dimana peubah jenis, indeks H dan indeks E mengikuti pola fluktuasi peubah kecerahan, sebaliknya peubah indeks D terlihat berlawanan
dengan peubah kecerahan. Hasil uji data dengan menggunakan regresi sederhana menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) yang cukup signifikan, berkisar pada nilai 0,57 sampai 0,71 (Gambar 3). Nilai koefisien korelasi (r) berturut-turut untuk korelasi antara variabel (1) jumlah jenis, (2) indeks kekayaan jenis, (3) indeks keanekaragaman, (4) indeks dominasi, dan (5) indeks keseragaman populasi dengan variabel kecerahan adalah masing-masing 0,78, 0,79, 0,58, 0,75, dan 0,62. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antar semua peubah tersebut dengan kecerahan perairan. Tingkat kepadatan individu per meter persegi mulai dari 1 sampai 2,8 individu per m2 (Gambar 4). Kepadatan dibawah 5 individu per m2 tergolong pada kriteria sangat jarang (Djamali & Darsono, 2005).
57
58 1,6
15
Bk 10
Sd
Sd : Sedang (Fair)
7
Bk
H : Keanekaragaman/Diversit y E : Kemerataan populasi/ Population Evenness
7
1,7
2,6
10
Bk
60,1 65,3 46,1 74,2
1,4
57 35 13
60 35 15
1,2
4,6 0,1 2,4 0,7
27 22 8
2
4,4 0,1 2,8 0,8
28 21 11
2
6,1 0,1 3,0 0,8
39 27 11
1,8
7,4 0,1 2,9 0,8
46 30 11
2
6,9 0,1 3,2 0,8
44 25 11
3
8,2 0,1 3,3 0,8
55 30 13
2
5,5 0,1 3,1 0,8
35 23 11
10
Bk 5
Sd 4
Br 6
Sd 8
Sd 10
Bk 10
Sd 2,5
Sd
55 26,4 22,5 33,3 34,4 63,4 49,8 49,8
2,3
7,7 8,6 9,3 0,1 0,04 0,03 3,1 3,4 3,6 0,8 0,8 0,9
47 32 11
Bk : Baik (good) Br : Buruk (Poor )
4
55 30 14
R : Kekayaan jenis /Species Richness D : Dominan/Dominance
1,5
Sd
2
Keterangan/Remarks :
Bk
Bk
1,9
Kecerahan (m) (Transparency-m )
Bk
53 34 14
1,8
2,3 0,2 3,3 0,8
15 10 5
2,5
8,4 0,0 2,7 0,9
55 36 16
1,4
5,3 0,1 3,1 0,8
32 24 12
1
4,7 0,1 2,1 0,8
27 22 14
1,4
7,0 0,1 3,3 0,8
42 32 16
22
1,9
7,8 0,1 2,9 0,8
49 32 12
23
2,3
8,4 0,1 2,7 0,8
54 35 15
24
2,8
7,5 0,1 3,1 0,8
50 35 16
25
2
Bk
10
Bk
6
Br
7
Sd
2,5
Bk
7
Sd
5
Sd
4
Sd
8
Bk
66 60,2 23,3 46,2 52,7 49,8 49,7 37,6 69,1
1
2,9 0,2 1,8 0,7
17 11 4
LOKASI TRANSEK DI PERAIRAN BELITUNG (Transect Sites in the Belitung Warters ) Nomor Stasiun (Numerics of the Station) 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
6,3 8,8 8,9 0,1 0,04 0,1 3,2 3,5 3,3 0,9 0,9 0,8
40 28 11
4
51,7 66,7 53,4 34
1,8
6,2 0,1 2,9 0,8
39 26 9
3
Kondisi Karang (Reef Health )
1,7
6,0 0,1 2,5 0,9
6,2 0,1 2,6 0,9
1,8
37 25 10
2
39 25 10
1
Tutupan Karang (percent covers )
Individual/m
2
Jumlah (Number) Jenis (Species) Marga (Genus) Suku (Families) Indeks (Indices) R D H E Kepadatan/Density
(Categories )
KATEGORI
Tabel 1. Data struktur komunitas ikan karang, kondisi karang dan tranparansi perairan di sekitar pulau Belitung Table 1. Data of reef fish community structures, reef condition and water tranparency along the coast of Belitung Island
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 55-64
70
16
60
14 12
50
10 40 8 30 6 20
4
10
2
0
Kecerahan (Transparency)
Jumlah Jenis (Species Number)
Pengaruh Kecerahan Air Laut…………….di Perairan Pulau Belitung (Edrus. I, N & E. Setyawan)
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Stasiun (Stations )
4,0
16
3,5
14
3,0
12
2,5
10
2,0
8
1,5
6
1,0
4
0,5
2
0,0
(Transparency)
Kecerahan (Transparency)
Kecerahan
Indeks H
(H Indices)
Jenis (Species)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Stasiun (Stations ) Kecerahan (Transparency)
1,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00
16 14 12 10 8 6 4 2 0
Kecerahan (Transparency)
Nilai Indeks (Index Values)
Indeks H (H Indices)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
STASIUN (Stations) Indeks Dominasi (Dominance Indices) Kecerahan (Transparency)
Indeks Keseragaman (Evenness Indices)
Gambar 2. Hubungan antara peubah jenis ikan karang dan kecerahan perairan (atas), hubungan antara peubah indeks H dan kecerahan (tengah), dan hubungan antara peubah indeks E serta D dan kecerahan (bawah). Figure 2. Relationship between fish species variables and water transparency (above), relationship between H-diversity index variables and water transparency (middle), and relationship between E and D index variables and water transparency (below)
59
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 55-64 70
12,0
60
10,0
50
Jumlah Jenis Ikan Species number
8,0
Indeks R Richness Indices
40 30
6,0 4,0
y = 2,876x + 22,86 R² = 0,612
20 10
y = 0,436x + 3,76 R² = 0,623
2,0
0
0,0
0
5
10
15
0
20
5
4,0
0,30
3,5
0,25
3,0
Indeks D Dominant 0,15 Indices
y = 2,072x0,198 R² = 0,566
1,5 1,0
15
20
y = 0,262x -0,69 R² = 0,712
0,20
Indeks H 2,5 Diversity 2,0 Indices
10
Kecerahan Periran (Water Transparency)
Kecerahan Perairan Water Transparency
0,10 0,05
0,5
0,00
0,0 0
5
10
Kecerahan Perairan Water Transparency
15
20
0
5
10
15
20
Kecerahan Perairan Water Transparency
0,90 0,85 0,80
Indeks E Eveness Indices
0,75
y = 0,668x 0,097 R² = 0,570
0,70 0,65 0,60 0
5
10
15
20
Kecerahan Perairan Water Transparency
Gambar 3. Hubungan antara peubah indeks-ekologi dan peubah kecerahan Figure 3. Relationship between ecology index variables and transparency variables Individu / M2 (Individual per Square) 5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
STASIUN (Stations) Batas atas (Top Boundary)
Individu/m2 (Individual per Square)
Gambar 4. Kepadatan ikan karang di perairan karang Belitung dengan kriteria sangat jarang Figure 4. Reef fish density in the Belitung’s reef waters with very rare kriteria
60
Pengaruh Kecerahan Air Laut…………….di Perairan Pulau Belitung (Edrus. I, N & E. Setyawan)
BAHASAN Hasil sensus visual ikan karang di seluruh perairan karang pulau Belitung sebanyak 163 jenis dengan variasi antara 15 sampai 60 spesies adalah tergolong kategori rendah, sementara kondisi tutupan karang batu masih cukup baik dengan status sedang sampai baik (Tabel 1). Secara teoritis, hal ini menunjukkan suatu fenomena yang tidak biasa karena terumbu karang di perairan Belitung masih cukup baik sebagai habitat ikan. Rendahnya jumlah jenis ikan karang diasumsikan karena adanya ganngguan pada kolom air. Jika diperbandingkan dengan kondisi perairan Taman Laut Nasional yang memiliki perairan yang sehat dan jenih, seperti Bunaken misalnya, kondisi kekayaan jenis atau keanekaragaman jenis ikan karang di perairan Pulau Belitung jauh lebih kecil dan berada di bawah batas rata-rata variasi indeks kekayaan jenis dan indeks keanekaragaman di perairan Bunaken. Jenis ikan yang dijumpai di perairan Bunaken sebanyak 314 species dari 127 genus dan 46 famili, dimana variasi antar lokasi berkisar antara 48 sampai 192 jenis (Anonimous, 2007). Jumlah jenis ikan karang per lokasi atau total dari seluruh lokasi di perairan Belitung menunjukkan sesuatu keterbatasan dalam kaitannya dengan pengembangan jumlah populasi. Jumlah populasi maupun kepadatan dari masing-masing populasi tergolong rendah dan hanya populasi yang mampu bertahan pada kondisi kekeruhan tinggi di periran Belitung yang berkembang. Hal ini terbukti dari kecilnya nilai kekayaan jenis dan indeks keanekaragaman (Tabel 1). Menurut Nybakken (1988), banyak fungsi dari populasi ikan dalam relung (niches) ekologinya terganggu ketika kolom airnya terganggu oleh sedimentasi. Hal ini menjadi jelas ketika struktur komunitasnya diperbandingkan dengan wilayahwilayah pusat keanekaragaman Indo-Pasifik yang lain, seperti Halmahera (Anonimous, 2006) dan Raja Ampat Papua (Allen, 2002), yang dengan kondisi perairan yang jernih hingga populasi ikan berkembang baik. Dibandingankan dengan berbagai lokasi yang memiliki tingkat kecerahan mulai dari baik sampai kritis, seperti terumbu karang di Teluk Saleh atau perairan Banggai (Saputro & Edrus, 2008) akan lebih memperjelas bahwa telah terjadi suatu masalah keterbatasan kecerahan air yang sama di perairan Pulau Belitung. Masalah yang sama juga ditemukan di perairan karang Kalimantan Barat dengan tutupan karang kategori baik, tetapi populasi ikan kurang berkembang (Edrus et al., 2007). Kecerahan perairan laut sekitar pulau Belitung sesuai dengan kondisi setempat dan musim adalah bervariasi antara 1,5 sampai 15 meter (Tabel 1).
Kecerahan yang rendah disebabkan oleh kekeruhan yang tinggi sebagai akibat dari sedimentasi daratan. Aktivitas penambangan timah sejak abad ke 18 diasumsikan berdampak negatif pada kualitas perairan pulau Belitung. Di perairan Belitung, kekeruhan dibentuk antara lain oleh sedimen lumpur dan debris makro algae. Fenomena seperti ini dipengaruhi oleh gerakan masa air laut (gelombang dan arus) dari arah luar yang menyebabkan dasar perairan tidak stabil, walaupun pada sekitar tempat penelitian kondisi permukaan relatif tenang dan cuaca cerah. Dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa variasi tingkat kecerahan tersebut berpengaruh pada kehadiran jenis maupun jumlah individu. Pada kondisi keruh jumlah jenis ikan menurun dan populasi jenis yang mampu beradaptasi akan bertahan dan mengembangkan populasinya, sementara sebagian yang lain menghilang karena berbagai sebab, seperti mencari tempat yang lebih memenuhi syarat sesuai dengan mobilitasnya yang tinggi (Lieske &. Myers. 1997). Selain sifat mobilitas, ikan karang lebih peka dalam memilih habitat pada rentang spasial yang disukainya, yang mana ikan dapat menjalankan fungsi ekologisnya dalam relung dengan menggunakan penciuman (Atema et al., 2002; Lecchini et al., 2005; Gerlach et al., 2007), penglihatan (Booth, 1992; Leis & Carson- Ewart, 1999) dan pendengaran (Egner & Mann, 2005; Simpson et al., 2005; Wright et al., 2005). Faktor penglihatan dan penciuman diprediksi menjadi terganggu pada kondisi kekeruhan yang tinggi. Seperti diketahui bahwa wilayah yang keruh akan mengganggu hubungan antara pemangsa dan mangsa. Ikan-ikan predator berukuran besar pada umumnya mengontrol lingkungannya pada jarak jauh dan kecerahan yang rendah akan mengganggu pandangannya. Oleh karena itu, jenis ikan karang yang bertahan pada tetorialnya dan menyandarkan aktivitasnya pada ruang yang terbatas, akan terus menempati habitat dengan tingkat turbiditas air yang optimal. Pengaruh rendahnya tingkat kecerahan sebagai akibat dari kekeruhan perairan dapat berupa penurunan kekayaan dan keanekragaman jenis, serta penurunan kelimpahan individu ikan karang (Amesbury, 1981; Mallela et al., 2007), seperti terjadi di perairan pulau Belitung. Gambar 2 menunjukkan adanya peningkatan nilai indeks dominasi ketika kecerahan rendah karena adanya sedimentasi yang tinggi, seperti pada stasiun 1, 2, 16, 17, dan 21, sementara indeks keseragaman meningkat seiring meningkatnya kecerahan perairan. Pada kondisi yang ekstrim (keruh), hanya populasi tertentu yang biasanya mampu bertahan, berkembang
61
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 55-64
dan mendominasi dalam komunitas ikan karang. Sebaliknya, indeks keseragaman mendekati nilai 1 dalam kondisi yang lebih baik, populasi akan hadir dalam jumlah individu yang relatif sama dan alam memberikan kesempatan setiap populasi tumbuh berkembang bersama. Oleh karena itu tidak ada populasi yang menonjol membentuk dominasi tunggal sehubungan indeks dominasi mendekati nilai “nol”. Pola sebaran jumlah jenis ikan karang dan indeksindeks ekologis yang diilustrasikan pada Gambar 2, terlihat mengikuti pola sebaran kecerahan perairan pada ke 25 stasiun penelitian. Hasil uji regresi sederhana menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) yang cukup signifikan dan menggambarkan adanya keeratan hubungan antara semua unsur indeks ekologi dan nilai kecerahan perairan. Hasil uji ini menunjukkan adanya pengaruh kecerahan perairan terhadap struktur komunitas ikan karang. Secara logika dapat diterangkan bahwa ikan selalu menyukai tempat-tempat yang menyenangkan (favorable), seperti sehatnya terumbu karang dan kolom air. Tutupan karang batu di perairan Belitung menunjukkan status dengan kategori sedang sampai baik (Tabel 1), untuk kolom air di beberapa lokasi mengalami kekeruhan akibat sedimentasi dan pergerakan kuat massa air (gelombang) di beberapa lokasi yang terbuka. Dengan demikian kondisi kolom air yang keruh lebih kuat pengaruhnya dan dapat menjadi penyebab ketidakhadiran ikan di suatu lokasi, karena sifat mobilitas ikan memberikan kesempatan menghingdar dari area dimana kualitas lingkungan menurun (Amesbury, 1981). Ketika energi ombak berubah, keseimbangan antara erosi dan deposisi juga saling berpengaruh (Tomascik et al., 1997). Ketika intensitas gelombang kecil, proses sedimentasi dapat terbatas pada area pesisir karena proses deposisi partikel sedimen terbatas pada pesisir, tetapi ketika gelombang besar proses sedimentasi menjadi meluas. Pada pesisir timur Belitung, pengaruhnya sampai pada pulau-pulau kecil yang terdekat di bagian Tenggara dan Timur Laut. Pada area karang dangkal, pertumbuhan karang terbantu oleh adanya gerak arus kuat yang mencuci karang (Hubbard, 1997; Philip & Febricius, 2003), sebaliknya kekeruhan berpengaruh pada sebaran ikan karang, dimana jumlah jenis ikan karang yang hadir dalam kondisi kekeruhan seperti itu hanya sedikit, yakni 37 sampai 60 jenis.
1. Kekayaan (jumlah) jenis ikan karang dan kepadatannya tergolong rendah pada seluruh sisi pulau Belitung. 2. Indeks keanekaragaman ikan karang berada di bawah kriteria “sedang” untuk semua lokasi, yang menunjukkan adanya keterbatasan pertumbuhan populasi ikan karang. Hanya populasi tertentu dari ikan berukuran kecil dan menyukai wilayah sedikit gelap yang dapat berkembang dan mendominasi komunitas pada tingkat kecerahan rendah, seperti kelompok kepe-kepe - Chaetodon octofasciatus dan Chelmon rostratus, kelompok beseng Apogon spp., kelompok betok – Dischistodus spp., Neopomacentrus spp., dan Pomacentrus grammorhynchus, kelompok kakatua -Scarus gobban, kelompok labrid - Halichoeres argus, dan H. Chloropterus, dan kelompok kapas-kapas Gerres oeyana. 3. Peubah-peubah dari jumlah jenis dan semua indeks ekologis berkorelasi positif dengan peubah kecerahan perairan (< 5 m) dan hal ini menjadi tanda adanya pengaruh yang signifikan dari kekeruhan terhadap struktur komunitas ikan karang di perairan Belitung. Saran untuk kepentingan pengelolaan perairan pesisir meliputi : 1. Perairan Belitung Barat Daya, Barat Laut dan Timur Laut perlu dipastikan bebas sedimentasi di masa mendatang, karena wilayah ini merupakan sumber plasma nutfah dan memiliki prospek pariwisata bahari. 2. Diperlukan penataan dalam pengembangan wilayah pesisir dan menutup area tambang yang sudah tidak produktif lagi serta menghentikan program eksplorasi pertambangan timah di laut. Gerakan yang dianjurkan adalah melakukan reboisasi hutan dan penanaman mangrove. PERSANTUNAN Penelitian ini merupakan bagian dari Kegiatan Survei Inventarisasi Sumber Daya Alam Laut dan Pesisir Pulau Belitung dan sekitarnya oleh Bakosurtanal pada Tahun Anggaran APBN 2010. DAFTAR PUSTAKA
KESIMPULAN DAN SARAN
Amesbury, S. S. 1981. Effects of turbidity on shallowwater reef fish assemblages in Truk, Eastern Caroline Islands. Proceedings of the Fourth International Coral Reef Symposium, Manilla 1, p. 155–159.
Struktur komunitas ikan karang di perairan Belitung dicirikan oleh:
Anonimous, 2006. Kajian Analisis dan Data Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan:
62
Pengaruh Kecerahan Air Laut…………….di Perairan Pulau Belitung (Edrus. I, N & E. Setyawan)
Penyusunan dan Pemetaan Perwilayahan Ekosistem Pesisir. Bappeda Maluku Utara dan BPTP Maluku Utara, Ternate, 169 p. Anonimous, 2007. Pulau Mantehage. Inventarisasi Sumber Daya Alam Laut dan Pesisir. INSDAL Publ, Bakosurtanal, Cibinong. Allen, G.R. 2002. Reef Fishes of the Raja Ampat Islands, Papua Province, Indonesia. Dalam: A Marine Rapid Assessment of the Raja Ampat Isalands, Papua Province, Indonesia. S.A. McKenna, G.R. Allen, & S. Suryadi (Eds). RAP Bulletin of Biological Assessment 22, Conservation International Center for Applied Biodiversity Science, Washington, USA. 46 p.
Feary, D.A., G.R. Almany, G.P. Jones, & M.I. McCormick. 2007. Coral degradation and the structure of tropical reef fish communities. Mar. Ecol. Prog. Ser. 333: 243–248. Fitz, H.C., M.L. Reaka, E. Bermingham, & N.G. Wolf. 2002. Coral Recruitment at Moderate Depths: The Influence of Grazing. Converted to electronic format by Damon J. Gomez. NOAA/RSMAS, Miami Regional Library. 96 p. Garpe, K.C., S.A.S. Yahya, U. Lindahl, & M.C. Öhman. 2006. Long-term effects of the 1998 bleaching event on reef fish assemblages. Mar. Ecol. Prog. Ser. 315: 237–247.
Allen, .G.R., R.C. Steene,., P. Humann, & N. DeLoach. 2003. Reef Fish identifcation: Tropical Pacific. New World Publications, Fla.
Gerlach, G., J. Atema, M.J. Kingsford, K.P. Black, & V. Miller-Sims. 2007. Smelling home can prevent dispersal of reef fish larvae. Proc. Nat. Acad. Sci. USA 104: 858–863.
Atema, J., M.J. Kingsford, & G. Gerlach. 2002. Larval reef fish could use odour for detection, retention and orientation to reefs. Mar. Ecol. Prog. Ser. 241: 151–160.
Graham N.A.J, S.K. Wilson, S. Jennings V.V.C. Polunin, J.P. Bijoux, & J. Robinson. 2006. Dynamic fragility of oceanic coral reef ecosystems. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 103:8425–8429
Booth, D.J. 1992. Larval settlement patterns and preferences by domino damselfish Dascyllus albisella Gill. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 155: 85– 104.
Green, A.L. 1996. Spatial, temporal and ontogenetic patterns of habitat use by coral reef Fishes (family Labridae). Mar. Ecol. Prog. Ser. 133:1–11.
Booth, D.J. 2002. Distribution changes after settlement in six species of damsel fish (Pomacentridae) in One Tree Island lagoon, Great Barrier Reef. Mar. Ecol Prog. Ser. 226: 157–164. Djamali, A. & P. Darsono. 2005. Petunjuk teknis Lapangan untuk Penelitian Ikan Karang di Ekosistem terumbu Karang. Materi Kursus. Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah-LIPI, Jakarta. Egner, S.A. & D. Mann. 2005. Auditory sensitivity of sergeant major damselfish Abudefduf saxatilis from post-settlement juvenile to adult. Mar. Ecol. Prog. Ser. 285: 213–222. Edrus, I.N., Y. Siswantoro, & I. Suprihanto. 2007. Jenis-jenis dan kepadatan ikan karang di pulau Penata Besar, Lemukutan, dan pulau Kabung, Perairan Kalimantan Barat. Jur. Pen. Perikanan Indonesia. 13 (1) : 21 – 34. English, S., C. Wilkinson & V. Baker. 1994. Survei Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Australia.
Halford, A., A.J. Cheal, D.A.J. Ryan, & D.M. Williams. 2004. Resilience to large-scale disturbance in coral and fish assemblages on the Great Barrier Reef. Ecology 85:1892–1905. Hubbard, D.K. 1997. Reef as Dynamic System. Edited by Charles Brikeland. Life and Death of Coral Reef. Champman and Hall. USA. p. 43 – 67. Jones, G.P., M.I. McCormick, M. Srinivasan, & J.V. Eagle. 2004. Coral decline threatens fish biodiversity in marine reserves. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 101:8251–8253. Kuiter, R.H. & T. Tonozuka. 2001. Pictorial Guide to : Indonesian Reef Fishes. Zoonetics Publc. Seaford VIC 3198. Australia. Lecchini, D., J.S. Shima, B. Banaigs, & R. Galzin. 2005. Larval sensory abilities and mechanisms of habitat selection of a coral reef fish during settlement. Oecologia. 143: 326–334. Leis, J.M. & B.M. Carson-Ewart. 1999. In situ swimming and settlement behaviour of larvae of an Indo-Pacific coral-reef fish, the coral trout
63
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 55-64
Plectropomas leopardus (Pisces: Serranidae). Mar. Biol. 134: 51–64. Lieske, E. & R. Myers. 1997. Reef Fishes of the World. Periplus Edition. Jakarta, Indonesia. Mallela, J., C. Roberts, C. Harrod, & C.R. Goldspink. 2007. Distributional patterns and community structure of Caribbean coral reef fishes within a river-impacted bay. Journal of Fish Biology. 70, 523-537. Manthachitra, V. & V. Cheevaporn. 2007. Reef fish and coral assemblages at Maptaput, Rayong Province. Songklanakarin J. Sci. Technol., 2007, 29(4) : 907-918. Munday, P.L. 2004. Habitat loss, resource specialization, and extinction on coral reefs. Global Change Biol. 10:1642–1647. Philip, E & K. Febricius. 2003. Photophysiological Stress In Sclerectinian Corals In Response To Short Term Sedimentation. J. Exp. Mar. Biol. & Ecol. (287): 57 – 78.
64
Nybakken, 1988., Biologi Laut: suatu pendekatan ekologi. (penterjemah : M. Eidman; Koesoebion; Ditriech; Hutomo; dan Sukarjo). PT. Gramedia. Saputro, G.B. & I.N. Edrus. 2008. Sumber daya ikan karang perairan Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Jur. Pen. Perikanan Indonesia. 14 (1) : 79 – 121. Simpson, S.D., M.G. Meekan, J.C. Montogomery, R. McCauley, & A. Jeffs. 2005. Homeward sound. Science 308:221. Steneck, B. 2010. How to kill a coral reef: Lessons from the Caribbean. Bahamas Biocomplexity Project. Dalam : Herbivory. http:// w w w. r e e f r e s i l i e n c e . o r g / To o l k i t _ C o r a l / C3a1_Herbivory.html. Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji, & M.K. Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas: Part One. Periplus Edition (HK) Ltd. Singapore. Wright, K.J., D.M. Higgs, A.J. Belanger, & J.M. Leis. 2005. Auditory and olfactory abilities of presettlement larvae and post-settlement juveniles of a coral reef damselfish (Pisces: Pomacentridae). Mar. Biol. 147:1425–1434.
Selektivitas Jaring Insang Monofilamen…………di Situ Panjalu, Ciamis (Warsa, A & K. Purnomo)
SELEKTIVITAS JARING INSANG MONOFILAMEN DAN ASPEK BIOLOGI IKAN OSCAR (Amphilopus citrinellus) DI SITU PANJALU, CIAMIS MONOFILLAMENT GILLNETS SELECTIVITY AND BIOLOGY ASPECT OF MIDAS CICHLID (Amphilopus citrinellus) AT PANJALU LAKE, CIAMIS-WEST JAVA Andri Warsa dan Kunto Purnomo Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Teregistrasi I tanggal: 20 Desember 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 15 Mei 2013; Disetujui terbit tanggal: 21 Mei 2013
ABSTRAK Situ Panjalu yang terdapat di Kabupaten Ciamis dengan luas ± 45 ha memiliki keragaman ikan yang cukup tinggi. Ikan oscar merupakan ikan introduksi yang berasal dari benua Afrika yang hidup pada perairan yang hangat dengan kisaran suhu 28–33 oC. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui selektivitas jaring insang dan aspek biologi ikan oscar (Amphilopus Citrinellus) di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis – Jawa Barat. Penelitian dilakukan di Situ Panjalu pada bulan Mei, Juni, Agustus dan Oktober 2010 dengan menggunakan jaring insang percobaan dengan mesh size 2,547,62 cm dengan interval 0,65 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang infinity (L”) ikan oscar adalah 21,0 cm TL dengan kecepatan pertumbuhan (K) adalah 1,7 /tahun. Ikan oscar yang terdapat di Situ Panjalu mempunyai pola pertumbuhan alometrik negatif dengan nilai b = 2,890. Panjang total ikan oscar yang ditemukan matang gonad adalah 11-17 cm TL dan berat 27,0 – 80,0 gram dengan fekunditas berkisar 463 – 3.663 butir. Ikan oscar di Situ Panjalu termasuk karnivora dengan pakan alami berupa ikan dan udang. Faktor selektivitas jaring insang dengan ukuran mata jaring 2,54; 3,18; 3,81 dan 4,45 cm yang dipasang secara bersamaan untuk penangkapan ikan oscar adalah 3,074. Panjang total optimal ikan oscar yang tertangkap pada ukuran mata jaring 2,54; 3,18; 3,81 dan 4,45 cm masing-masing adalah 7,5; 10; 11,5 dan 14 cm TL. KATA KUNCI : Aspek biologi, ikan oscar,selektivitas jaring insang, Situ Panjalu ABSTRACT The area of Panjalu Pond, Ciamis Regency estimated about 45 ha, has a high diversity of fish. Midas cichlid (Amphilophus citrinellus) as fish introduction from Africa which live in warm water with temperature around 28-33oC. The purpose of this research were to know gillnet selectivity and some biology aspect of midas cichlid at Panjalu Lake, Ciamis Regency-West Java Province. This research was done in May, June, August and October 2010. Using experimental gillnet by 2.54-7.62 cm mesh size with 0.65 cm interval. The result show that lenght infinity (L”) and growth contants (k) of this fish were 21.0 cmTL and 1.7 /year respectively. Lenght-weight relationship of this fish was negative allometric with value of b=2.890. Total lenght of fish at maturity ranged 11-17 cm, weight ranged between 27-80 g and fecundity ranged between 463-3.663 eggs. Midas cichlid was carnivore by feed of small fish and shrimp. Gillnets selectivity factor for the following mesh size 2.54; 3.18; 3.81 dan 4.45 cm of mesh size for midas cichlid capture was 3.074. Optimal total lenght of midas cichlid cought by gillnet with the following mesh size 2.54; 3.18; 3.81 and 4.45 cm mesh size were 7.5; 10.0; 11.5 and 14 cm TL. KEY WORD : Biology aspect, midas cichlid, gillnet monofilament selsctivity, Panjalu Lake
PENDAHULUAN Situ Panjalu yang terdapat di Kabupaten Ciamis dengan luas ± 45 ha memiliki keragaman ikan yang cukup tinggi antara lain keril (Aequidens rivulatus), kongo (Parachromis managuensis), nila (Oreochromis niloticus), betok (Anabas testudineus), sepat (Trichogaster trichopterus), oscar (Amphilophus citrinellus), golsom (Aequidens goldsom), lele (Clarias batrachus), patin (Pangasianodon hypopthalmus),
sapu–sapu (Liposarcus pardalis) dan corencang (Cyclocheilichthys apogon). Ikan oscar umumnya ditemukan di danau dan di sungai dengan arus yang lemah. Hasil penelitian di Costa Rica menunjukkan bahwa jenis ikan tersebut terdapat di Sungai San Juan, Danau Nicaragua, Managua, Masaya dan Apoyo di Australia hanya terdapat di Sungai Ross, Queensland Utara (Corfield et al., 2008). Ikan oscar merupakan jenis ikan yang diintroduksi secara tidak disengaja di Situ Panjalu dan merupakan jenis ikan yang dominan
___________________ Korespondensi penulis: Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Jatiluhur Jl. Cilalawi Jatiluhur PO BOX 01, Purwakarta-41152
65
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 65-72
tertangkap dengan persentase sebesar 59,1% (Warsa, 2011). Ikan ini merupakan jenis ikan hias namun tidak mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Keberadaan ikan ini berdampak pada penurunan populasi udang (Caridina sp) di Situ Panjalu (Warsa & Purnomo, 2012). Adanya dominansi ikan oscar berdampak negatif terhadap komunitas ikan yaitu penurunan keragaman jenis di Waduk Djuanda (Hedianto & Purnamaningtyas, 2011).
ini pernah dilakukan untuk pengendalian populasi ikan asing di Mizoro Ga Ike di Jepang dan ikan nile perch (Lates niloticus) di Danau Victoria (Perrow et al., 2002; Abekura, 2004). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui selektivitas jaring insang monofilamen dan beberapa aspek biologi ikan oscar di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis – Jawa Barat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk pengendalian populasi ikan oscar di Situ Panjalu.
Salah satu alat tangkap yang efektif untuk menangkap ikan oscar adalah jaring insang (gillnet monofilamen). Jaring insang merupakan alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan di Situ Panjalu selain tangkul (lift net), jala (cash net) dan pancing (hooks). Jaring insang merupakan alat tangkap yang selektif, dimana penggunaan ukuran mata jaring yang tepat akan mencegah tertangkapnya juvenil dan memungkinkan untuk menangkap ukuran ikan yang diinginkan (Petrakis & Stergiou, 1996). Ikan yang tertangkap dengan menggunakan jaring insang berhubungan dengan karakteristik jaring dan bentuk dari tubuh ikan (Ozekinci, 2005). Selektivitas jaring insang monofilamen ini dapat digunakan untuk pengendalian populasi ikan oscar di Situ Panjalu. Hal
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis – Jawa Barat pada bulan Maret, Mei, Juni dan Agustus 2010. Contoh ikan ditangkap dengan jaring insang monofilamen berukuran mata jaring 1,0–3,0 inci (2,45-7,62 cm) dengan interval 0,25 inci (0,65 cm). Pemasangan jaring insang percobaan dilakukan di sekitar Pulau Larangan (Gambar 1). Kombinasi dari beberapa ukuran mata jaring dari ukuran kecil hingga ukuran yang lebih besar di mana ikan jenis tertentu hanya sedikit yang tertangkap sangat diperlukan untuk menghindari kesalahan dalam menentukan distribusi ukuran stok ikan (Albert & Einarson, 2004).
P. Larangan
Gambar 1. Lokasi pemasangan jaring insang percobaan di Situ Panjalu Figure 1. Sampling stations using monofilamen gillnet in Panjalu Lake Jaring insang dipasang secara serentak pada lokasi yang telah ditentukan pada sore hari dan diangkat pada keesokan paginya. Ikan yang diperoleh kemudian dipisahkan berdasarkan ukuran mata jaring dimana ikan tersebut tertangkap. Contoh ikan kemudian diukur panjangnnya menggunakan papan ukur dengan ketelitian 0,1 cm dan ditimbang beratnya dengan menggunakan timbangan digital ketelitian 0,1 g. Sampel ikan yang masih utuh kemudian diawetkan dengan formalin 10% dan didentifikasi berdasarkan
66
buku bergambar Kottelat et al (1993), Kullander (2003), dan situs Fishbase (Froese & Pauly, 2012). Untuk mengetahui kebiasaan makannya, ikan oscar di ambil ususnya dan diawetkan dengan formalin 4%. Sampel kemudian dianalisa dibawah mikroskop dengan perbesaran 10 x. Identifikasi jenis makanan menggunakan acuan Needham & Needham (1963); Edmonson (1959) dan Sachlan (1982).
Selektivitas Jaring Insang Monofilamen…………di Situ Panjalu, Ciamis (Warsa, A & K. Purnomo)
ANALISA DATA Penentuan parameter pertumbuhan meliputi kecepatan pertumbuhan (k) dan panjang asimptotik (L”) menggunakan perangkat lunak melalui “ Electronic Lenght Frequency Analysis (ELEFAN 1) yang terdapat pada program “Stock Assessment Tools (FiSAT) (Gayanilo & Pauly, 1997). Analisa indeks makanan bagian terbesar kandugan isi lambung ikan dihitung dengan menggunakan Indeks Preponderan sebagai berikut (Natarajan & Jhingran dalam Effendie, 1979).
IP(%) =
Vi x O i n
(Vi xOi )
Metode ini mengestimasi parameter selektivitas dengan membandingkan hasil tangkapan dari dua ukuran mata jaring yang berbeda, ma dan mb untuk kelas panjang yang sama. Metode ini telah dimodifikasi oleh Sparre & Venema (1999) dan dituliskan sebagai berikut: Logaritma natural dari jumlah tangkapan tiap kelas panjang, Ca dan Cb untuk jaring insang dengan ukuran mata jaring yang berbeda, ma dan mb adalah linier terhadap panjang ikan. Ca dan Cb adalah frekuensi panjang total ikan pada kelas yang sama yang tertangkap pada ukuran mata jaring a dan b. Untuk ma dan mb adalah ukuran mata jaring insang yang digunakan.
x 100 ........................ (1) ln (Cb/Ca) = a +bL ...........................................(4)
i =1
dimana: Ii = indeks prepoderan jenis makanan ke i, = persentase volume pakan ke i dan Vi Oi = persentase kejadian pakan ke i.
keterangan: L : kelas panjang ikan yang tertangkap (cm) a : intercept b : slope
Untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan dilakukan analisis dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Panjang optimum (Lma dan Lmb) untuk ukuran mata jaring ma dan mb,
W = aLb ..................................................... (2)
Lma = -2[ama/b(ma + mb)] .............................. (5) Lmb = -2[amb/b(ma + mb)] .............................. (6)
di mana: W = L = a dan b =
berat tubuh ikan (g) panjang ikan (cm) konstanta
Nilai konstanta “b” yang diperoleh dari persamaan tersebut diatas selanjutnya diuji ketepatannya terhadap nilai b = 3 menggunakan “uji t”. Perhitungan jumlah butir telur atau fekunditas ikan dengan TKG IV dilakukan dengan menggunakan metode gravimetri (Effendie, 1979):
Faktor selektivitas (SF) dan standar deviasi (Sd) diestimasi dari pemasangan jaring insang percobaan menggunakan lebih dari dua ukuran mata jaring digunakan persamaan sebagai berikut: SF =-2 SD = {1/n – 1)
2 2
1/2
(mi+1 – mi)]/bi (mi + mi + 1)]}
] . (7) ..8)
Kemungkinan tertangkapnya (P) untuk panjang L pada suatu jaring insang dengan ukuran mata jaring m ditentukan dengan persamaan: P = exp[-(L-Lm)2/(2SD)2] .............................. (9)
F=
GxVxX Q
dimana: F = fekunditas (butir) G = berat gonad total (gram) V = volume pengenceran (ml) X = jumlah telur tiap ml (butir) Q = berat telur contoh (gram)
Panjang optimal (kemungkinan tertangkap 100%) untuk setiap ukuran mata jaring diperoleh: Lm = SF x m ............................................ (10) Keterangan: Lm = Panjang optimal ikan yang diperoleh (cm) SF = Faktor selektivitas m = Ukuran mata jaring (inci)
Metode yang digunakan untuk mengestimasi selektivitas jaring insang adalah indirect method.
67
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 65-72
HASIL DAN BAHASAN HASIL Kisaran panjang total ikan oscar yang tertangkap di Situ Panjalu dengan jaring insang monofilamen percobaan selama penelitian berkisar antara 6,0–17,5 cm. Ukuran panjang total ikan yang dominan tertangkap berkisar antara 8,5-11,5 cm. Analisa menggunakan program FiSAT di peroleh panjang asimptotik (L”) ikan oscar di Situ Panjalu adalah 21,0 cm TL dengan kecepatan pertumbuhan (K) adalah 1,7 /tahun (Gambar 2).
Gambar 2. Kurva pertumbuhan Von Bartalanfy ikan oscar di Situ Panjalu Figure 2. Von Bartalanfy Growth curve of midas cichlid at Panjalu Lake
Berat (gr) Weight (g)
Jumlah contoh ikan yang digunakan dalam analisa hubungan panjang berat sebanyak 900 ekor. Ikan oscar yang terdapat di Situ Panjalu mempunyai pola pertumbuhan alometrik negatif dengan nilai b = 2,8813 (Gambar 3). 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Pola pertumbuhan ikan oscar setiap bulan pengamatan menunjukkan nilai yang sama yaitu alometrik negatif (Tabel 1). Berdasarkan uji t dengan batas kepercayaan 95% nilai b‘“3 yang menandakan bahwa pertambahan panjang ikan lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan berat. Tabel 1. Pola pertumbuhan ikan oscar berdasarkan bulan pengamatan. Table 1. Lenght-weight relationships of midas cichlid based on research periode. Persamaan
R2
Mei
W = 0,057 TL 2,457
0,915
Juni
W = 0,022 TL
2,862
0,921
Agustus
W = 0,022 TL
2,891
0,948
Oktober
W = 0,022 TL 2,891
0,948
Bulan
Pola pertumbuhan Alometrik negatif Alometrik negatif Alometrik negatif Alometrik negatif
Panjang total ikan oscar di Situ Panjalu yang ditemukan matang gonad berkisar antara 11–17 cm TL dan berat berkisar antara 27,0–80,0 gram. Ikan oscar tersebut memiliki fekunditas berkisar antara 4633663 butir. Ikan oscar di Situ Panjalu memanfaatkan fitoplankton, tumbuhan, insekta moluska, detritus, ikan dan udang sebagai pakan alaminya (Gambar 4). Ikan ini merupakan jenis ikan karnivora. Insekta dan moluska merupakan jenis pakan alami yang paling banyak digunakan oleh ikan oscar. Untuk pakan alami berupa fitoplankton, detritus, tumbuhan, udang dan ikan ditemukan dalam jumlah yang sedikit.
W = 0,0217L 2,8813 R² = 0,9494 n=900
Indeks preponderance (%) 0
20
40
60
80
100
fitoplankton Maret
Tumbuhan Insecta
juni
Molusca Detritus
0
5
10 Panjang total (cm) Total lenght (cm)
15
20
Agustus
Ikan Udang
Oktober
Gambar 3. Hubungan panjang berat ikan oscar tertangkap di Situ Panjalu Figure 3. Lenght-weight relationships of midas cichlid at Panjalu Lakes
68
Gambar 4. Indeks preponderan pakan alami ikan oscar Figure 4. Index of preponderance for food habits of midas cichlid
Selektivitas Jaring Insang Monofilamen…………di Situ Panjalu, Ciamis (Warsa, A & K. Purnomo)
Data ukuran panjang total ikan untuk seluruh periode pengamatan dikelompokan berdasarkan ukuran mata jaring 1,0-1,75 inci disajikan pada Tabel 2. Ukuran panjang total ikan yang tertangkap pada mata jaring 2,54; 3,18; 3,81 dan 4,45 cm masingmasing berkisar antara 5,5-8,5 cm; 5,5-14,5 cm; 7,512,5cm dan 8,5-17,5 cm.
Distibusi panjang total ikan yang tertangkap pada setiap pasangan mata jaring digunakan dalam analisis regresi. Nilai slope dan intersept yang diperoleh dari regresi antara natural logaritma rasio jumlah hasil tangkapan dengan nilai tengah kelas panjang total ikan, panjang optimum dan faktor seleksi untuk setiap kombinasi pasangan uuran mata jaring disajikan pada Tabel 3.
Tabel 2. Distibusi frekuensi panjang ikan oscar berdasarkan ukuran mata jaring Tabel 2. Length frekuency distribution of midas cichlid based on mesh size Kelas Panjang (cm)
Ukuran mata jaring (cm) 2,54
3,18
5,5
6
1
6,5
32
2
7,5
17
22
8,5
3
3,81
4,45
4,5
1
76
8
7
9,5
50
46
7
10,5
16
33
45
11,5
5
50
12,5
1
7
13,5
6
14,5
1
15,5
1
16,5
1
17,5
1
Tabel 3. Konstanta regresi dan parameter selektivitas jaring insang monofilament ikan oscar Table 3. Regression constans and selectivity parameter of monofilament gillnet for midas cichlid Ukuran mata jaring (cm) mesh size (cm) ma mb 2,54 3,18 3,18 3,81 3,81 4,45
Konstanta regresi Constanta regresion a b r2 -7,5988 0,907 0,9968 -10,1210 0,828 0,9999 -14,1210 1,211 0,9268
Ukuran panjang total ikan oscar dengan kemungkinan tertangkap 100% untuk kombinasi dua ukuran mata jaring disajikan pada Gambar 5. Untuk kombinasi ukuran mata jaring 2,54 dan 3,18 cm, panjang total ikan optimal dengan kemungkinan tertangkap 100% adalah 7,4 dan 9,3 cm. Kombinasi ukuran mata jaring 3,18 dan 3,81 cm maka panjang total optimal dengan kemungkinan tertangkap 100% adalah 10,7 dan 12,8 cm. Kombinasi ukuran mata jaring 3,81 dan 4,45 cm panjang total optimal ikan
Parameter selektivitas Parameters selectivity Lma (cm) Lmb (cm) SF 7,4 9,3 2,9294 10,7 12,8 3,3566 11,2 13,3 3,4987
SD 1,4377 1,3216 1,6319
dengan kemungkinan tertangkap 100% adalah 11,2 dan 13,3 cm. Faktor selektivitas jaring insang untuk kombinasi ukuran mata jaring 2,54; 3,18; 3,81 dan 4,45 cm yang dipasang secara bersamaan adalah 3,0745. Panjang total optimal ikan yang tertangkap dengan kemungkinan tertangkap 100% untuk ukuran mata jaring 2,54; 3,18; 3,81 dan 4,45 cm masing-masing adalah 7,5; 10; 11,5 dan 14 cm TL (Gambar 6).
69
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 65-72
A
B
C
Gambar 5. Kurva selektivitas ikan oscar pada ukuran mata jaring A. (2,54 & 3,18 cm). B. (3,18 & 3,81 cm) dan C. (3,81 & 4,45 cm). Figure 5. Selectivity curve for midas cichlid at mesh size A. (2.54 & 3.18 cm). B. (3.18 & 3.81 cm) dan C. (3.81 & 4.45 cm). ikan ini adalah 28–33oC sedangkan suhu air di Situ Panjalu berkisar 25–27,6 oC dengan demikian maka suhu air di Situ Panjalu lebih rendah dari pada suhu air optimal untuk pertumbuhan ikan oscar.
Gambar 6. Kurva selektivitas jarring insang ikan oscar untuk kombinasi 2,54; 3,18; 3,81 dan 4,45 cm Figure 6. Selectivity curve for midas cichlid at combination mesh size 2,54; 3,18; 3,81 and 4,45 cm. BAHASAN Tingkat ekploitasi ikan oscar di Situ Panjalu cukup rendah dikarenakan jumlah nelayan yang sedikit dan alat tangkap yang digunakan masih sederhana. Faktor lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat eksploitasi karena ikan ini bukan merupakan jenis ikan ekonomis penting. Hal ini menyebabkan nelayan tidak mau menangkap ikan tersebut. Berdasarkan data fishbase ikan ini dapat mencapai panjang maksimal 24 cm (Corfield et al., 2008), sedangkan untuk genus Amphilophus spp dapat mencapai panjang maksimal berkisar 30 cm (Stolting, 2004). Panjang asimptotik ikan oscar di Waduk Djuanda adalah 21,6 cm (Tampubolon et al., 2012). Perbedaaan panjang asimptotik ikan oscar di Situ Panjalu dengan perairan di Australia disebabkan oleh karena perbedaan suhu habitat tempat ikan tersebut hidup (King, 1995). Laju pertumbuhan ikan sangat dipengaruhi oleh suhu, ketersediaan pakan dan nilai nutrisi yang terkandung di dalam pakan tersebut. (Welcomme, 2001). Suhu air yang menjadi habitat
70
Pola pertumbuhan oscar ini berbeda dengan yang ditemukan di Djuanda yaitu isometrik dengan nilai b = 3,5705 (Purnamaningtyas & Tjahjo, 2010). Ukuran panjang total ikan oscar yang matang gonad dan fekunditas di Situ Panjalu lebih kecil jika dibandingkan yang ditemukan di Waduk Djuanda yaitu berkisar 12– 21 cm dan berat 15 – 210 gram dengan fekunditas 1.595 – 3.567 butir (Purnamaningtyas & Tjahjo, 2010). Pakan alami suatu jenis ikan kemungkinan akan berbeda dari waktu ke waktu (Bowen, 1985). Pakan alami ikan oscar di Situ Panjalu cenderung bervariasi berdasarkan bulan pengamatan. Pada pengamatan bulan Maret, ikan oscar hanya memanfaatkan insekta sebagai pakan alaminya. Pada pengamatan bulan Juni selain memanfaatkan insekta sebagai pakan utamanya, ikan ini juga memanfaatkan udang sebagai pakan tambahanya dan sebagai pakan pelengkapnya memanfaatkan ikan, moluska dan tumbuhan. Pada pengamatan bulan Agutus dan Oktober pakan utama ikan ini adalah insekta dan moluska sedangkan sebagai pakan pelengkapnya adalah udang, ikan, detritus dan tumbuhan. Jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh suatu spesies ikan akan dipengaruhi oleh umur, tempat, waktu dan faktor lingkungan yang mempengaruhi ketersediaan makanan (Effendi, 1997; Lagler, 1972). Pakan alami ikan oscar yang ditemukan di Situ Panjalu berbeda dengan pakan alami ikan oscar yang ditemukan di Waduk Djuanda. Ikan oscar di Waduk Djuanda cenderung lebih banyak memilih Cyanophyceae, Bacillariophyceae, Rotifera, Cladocera dan potongan ikan. Berdasarkan persentase indeks kebiasaan makan maka ikan oscar
Selektivitas Jaring Insang Monofilamen…………di Situ Panjalu, Ciamis (Warsa, A & K. Purnomo)
di Waduk Djuanda termasuk dalam kelompok omnivora cenderung karnivora (Nurnaningsih et al., 2005) sedangkan di Situ Panjalu termasuk kedalam kelompok karnivora. Nilai modus ukuran panjang total suatu jenis ikan yang tertangkap semakin bertambah dengan bertambahnya ukuran mata jaring yang digunakan (Oginni et al .,2006). Hal yang sama juga diperoleh pada hasil penelitian Ozyurt & Avsar (2005) untuk ikan mas (Cyprinus carpio) di Danau Seyhan Dam, Turki. Jika dibandingkan dengan panjang total ikan oscar yang tertangkap pada tingkat kematangan gonad (TKG) menunjukkan bahwa jaring insang dengan ukuran mata jaring 3,8-4,45 cm akan menangkap ikan pada TKG IV. Diharapkan penangkapan ikan dengan menggunakan ukuran mata jaring tersebut dapat mengendalikan populsi ikan oscar tersebut. KESIMPULAN Panjang asimptotik (L”) ikan oscar adalah 21 cm TL dengan kecepatan pertumbuhan (K) adalah 1,7 / tahun. Pola pertumbuhan ikan oscar bersifat alometrik negatif dengan persamaan panjang-berat W= 0,0217L 2,8813 dan nilai b = 2,8813. Kisaran panjang total ikan oscar yang matang gonad berkisar 11–17 cm TL dan berat 27,0 – 80,0 gram dengan fekunditas berkisar antara 463 - 3663 butir. Ikan oscar yang ditemukan di Situ Panjalu termasuk karnivora dengan pakan alami berupa insekta dan moluska. Faktor selektivitas jaring insang dengan ukuran mata jaring 2,54; 3,18; 3,81 dan 4,45 cm untuk penangkapan ikan oscar adalah 3,074 dengan panjang total optimal ikan oscar yang tertangkap pada masing-masing ukuran mata jaring yang diteliti adalah 7,5; 10; 11,5 dan 14 cm TL. PERSATUNAN Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian dengan judul Penelitian Perikanan Berbasis Budidaya (Culture base fisheries, CBF) di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis-Jawa Barat dan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes-Jawa Tengah T.A 2010.
Corfield J., B. Diggles, C. Jubb, R. M. McDowall, A. Moore, A. Richards & D. K. Rowe, 2008. Review of the impacts of introduced ornamental fish species that have established wild populations in Australia. Commonwealth of Australia. 284 p. Edmonson. W.T. 1959. Freshwater biology. 2 nd Ed. John Wiley & Sonc. Inc. New York.1248 p. Effendi, M.I. 1997. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 p. Froese, R. & D. Pauly. Editors. 2012. FishBase. World Wide Web electronic publication. www.fishbase.org Gayanilo, F. C. Jr & D. Pauly. 1997. FAO-ICLARM Stock Assessmment Tools (Fisat) Refernce Manual.FAO Computerized Information Series (Fisheries). No. 8. FAO, Rome. 262 p. King, M. 1995. Fisheries biology: assessment and Management. Blackwell Science. Ltd. Australia. 341 p. Kottelat, M., J. A. Whitten, S. N. Kartikasari & S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia And Sulawesi. Periplus Edition (HK) Ltd. Hongkong. 377 p. Kullander, S. O. 2003. Family cichlidae (cichlids). p. 605-654. In R.E. Reis, S.O. Kullander & C. J. Ferraris, Jr. (eds.) Checklist of the Freshwater Fishes of South and Central America. Porto Alegre: Brasil. Hedianto, D. A & S. E. Purnamaningtyas. 2011. Penerapan Kurva ABC (Rasio Kelimpahan/ Biomassa) untuk mengevaluasi Dampak introduksi terhadap komunitas ikan di Waduk Ir. H. Djuanda. Kartamihardja, E. S., M. F. Rahardjo & K. Purnomo; Eds. Forum Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan III: p. 1-11.
DAFTAR PUSTAKA
Lagler, K.F., 1972. Freshwater fishery biology. W.M. C. Brown Comp. Publ. Dubuque. 421 p.
Abekura, K., M. Hori & Y. Takemon. 2004. Changes in fish community after invansion and control of alien fish poplatuin in Mizoro-Ga-Ika. Kyoto City. Global Environmental Research 8(2). p. 145 – 154.
Needham. J.G & P.R. Needham 1963. A guide to the study of freshwater biology. Fifth Edition. Revised and Enlarged. Holden Day. Inc. San Fransisco: 180 p.
Albert, A & H. A. Einarsson, 2004. Selectivity of gillnet series in sampling of perch (Perca fluviatilis L.) and roach (Rutilus rutilus L.) in the coastal sea of Estonia. The United National University. 34 p.
Nurnaningsih, M.F. Rahardjo, & S. Sukimin. 2005. Pemanfaatan makanan oleh ikan-ikan dominan di perairan waduk Ir. H. Djuanda. Jurnal lktiologi Indonesia. 4 (2). 62-65
71
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 65-72
Ozekinci, U. 2005. Determination of the selectivity of monofilament gillnets used for catching the annular sea bream (Diplodus annularis L., 1758) by lenghtgirth relationship in Izmir Bay (Aegen Sea). Turk J Vet Anim Sci .29: 375 – 380. Ozenkici, U., U. Altinagac., A. Ayaz & O. Cengis. 2007. Monofilament gillnets selectivity parameters for european chub (Leuciscus cephalus L. 1758) in Atikhisar Reservoir, Canakkale, Turkey. Pakistan Journal of Biological Sciences. 10 (8): 1305 – 1308.
Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Fakutas Peternakan dan Perikanan. Universitas Diponegoro. Semarang. 156p. Sparre, P & S. C Venema, 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. FAO. 438 p. Stolting, K. N. 2004. The Midas Cichlid species flock: Incipient sympatric speciation. Thesis. Frachbereich biologie der universiat konstanz. 86 p.
Ozyurt, C. C & D. Avsar. 2005. Investiation of the selectivity parameters for carp (Cyprinus carpio Linnaeus, 1758) in Seyhan Dam Lake. Turk.J Vet. Anim Sci 29. 219-223.
Tampubolon, P. A. R. P., M. F Rahardjo dan Krismono. 2012. Pertumbuhan ikan oscar (Amphilophus citrinellus Gunther 1864) di Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia. 12 (2): 195202.
Perrow, M. R., M. L. Tomlinson & L. Zambrano. 2002. Handbooks of Ecological restoration priciples of Restoration: Fish. Volume 1. Perrow, M. R & A. J. Davy: edts. Cambridge University Press. United Kingdom. 444 p.
Warsa, A. 2011. Komposisi dan keragaman jenis ikan hasil tangkapan gillnet di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis-Jawa Barat. Isnansetyo, I., Djumanto & Suadi: Eds. Prosiding Seminasr Nasional Tahunan VII.Universitas Gadjah Mada: p. 1-7
Petrakis, G & K.I Stergiou. 1996. Gill net selectivity for four fish species (Mullus barbatus, Pagellus erythrinus, Pagellus acarne and Spicara flexuosa) in Greek waters. Fisheries research. 27: 17 – 27.
Warsa, A & k. Purnomo. 2012. Struktur komunitas ikan pasca penebaran ikan patin (Pangasianodon hypophthalmus) di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis – Jawa Barat. J. Lit. Perikan. Ind. 18 (3): 145156.
Purnamaningtyas S.E & D.W.H Tjahjo. 2010. Beberapa aspek biologi ikan oscar (Amphilophus citrinellus) di Waduk Ir H Djuanda, Jatiluhur, Jawa Barat. Bawal. 3 (1): 9-16.
72
Welcomme, R. L. 2001. Inland fisheries: Ecology and Management. Blackwell Science. United Kingdom: 358 p.
Optimisasi Hasil Tangkapan Perikanan………..di Perairan Laut Jawa dan Sekitarnya (Banon, S & D. Nugroho)
OPTIMISASI HASIL TANGKAPAN PERIKANAN PUKAT CINCIN DI PERAIRAN LAUT JAWA DAN SEKITARNYA OPTIMUM SUSTAINABLE YIELD OF PURSE SEINE FISHERIES IN THE JAVA SEA AND ITS ADJACENT WATERS Suherman Banon Atmaja dan Duto Nugroho Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut Teregistrasi I tanggal: 05 November 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 15 April 2013; Disetujui terbit tanggal: 19 April 2013
ABSTRAK Dinamika dan kompleksitas perikanan pukat cincin di Laut Jawa memerlukan kajian dari berbagai sudut pandang analisis. Perkembangan ini memberikan peluang dilakukannya pendekatan integrasi bio-ekonomi untuk menduga tingkat hasil tangkapan, upaya penangkapan dan biomassa optimum, melalui aplikasi model surplus produksi Schaefer dan konsep optimisasi Gordon & Schaefer. Pandangan umum selama ini mencerminkan bahwa sebagian besar pengelolaan perikanan di berbagai perairan selalu mengacu pada pencarian tingkat upaya penangkapan tertinggi untuk menghasilkan nilai hasil ekonomi maksimum (MEY) daripada mencari tingkat upaya penangkapan optimum untuk menghasilkan tangkapan lestari maksimum (MSY). Kajian ini secara umum memberikan indikasi bahwa semakin tinggi rasio nilai biaya eksploitasi (p/c) maka tingkat tangkapan optimum lestari (OSY) akan mendekati nilai MSY. Apabila nilai OSY atau JTB (total tangkapan yang diperbolehkan) sungguh-sungguh akan diterapkan sebagai landasan utama pengelolaan perikanan pukat cincin di Laut Jawa, maka sudah sewajarnya dilakukan penataan upaya penangkapan melalui pengurangan intensitas pemanfaatan sekitar 30%. Selain itu, perlu dilaksanakan pengendalian teknologi terhadap peningkatan bertahap upaya penangkapan (technological creep atau effort creep) dan pembatasan investasi tambahan input lainnya. KATA KUNCI: Hasil tangkapan, lestari, optimum, pukat cincin, Laut Jawa ABSTRACT The dynamic and existence of purse seine fisheries operated in the Java Sea need to be explored from a broader view to manage the fisheries. This situation allows to describe and discuss the integration of bio-economy to determine the level optimum of catch, fishing effort and biomass, through application of surplus production models and concepts Gordon & Schaefer. It has been generally accepted that most of fisheries management reference point rely on effort level which produces maximum economic yield (MEY) rather than at effort level produces maximum sustainable yield (MSY). Overall, the higher the ratio price/exploitation cost (p/c) then optimum sustainable yield (OSY) close to MSY. If OSY or TAC (Total Allowable Catch) seriously applied as a baseline of fisheries management plan on purse seine fleets in the Java Sea, the on going fishing efforts should be decreased by about 30%. In addition a regular monitoring and control of technological creep or effort creep including additional investment restrictions on other inputs must be done. KEY WORDS: Optimum, sustainable, yield, purse seine, Java Sea
PENDAHULUAN Sejarah pengelolaan perikanan berbagai perairan tropis masih belum memberikan hasil nyata seperti yang diharapkan. Berbagai upaya pengelolaan sumber daya ikan telah diupayakan dalam skala internasional antara lain dilakukan melalui pembentukan pedoman tata kelola perikanan tangkap secara bertanggung jawab yang dikeluarkan oleh FAO (1995), dimana saat ini telah menjadi salah satu payung besar pengelolaan sumberdaya ikan di berbagai negara. Sebagian besar upaya pengelolaan
perikanan dilakukan melalui inisiasi pemetaan ulang jumlah armada dan teknologi perikanan tangkap di perairan tropis belum memberikan indikasi adanya upaya pengendalian terhadap hasil tangkapan yang lestari. Berbagai pertimbangan yang sangat sering dikaitkan dengan rendahnya ketersediaan informasi ilmiah sebagai landasan pembuatan keputusan pengelolaan yang memadai, yang berakibat pada kesulitan para pembuat kebijakan untuk melakukan tindakan praktis di lapang (Sinclair & Murawski, 1997). Beberapa acuan berdasarkan temuan penelitian di berbagai perairan dunia memberikan pelajaran tentang
___________________ Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Jakarta Utara
73
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 73-80
pelaksanaan pengelolaan perikanan yang tidak efisien dan berakibat pada kegagalan pencapaian prinsip keberlanjutannya (Hilborn & Walters, 1992; Hall, 1999; Charles, 2001; Dankel et al., 2007). Banyak kasus sumber daya alam belum dikelola berdasarkan prinsip berkelanjutan baik ditinjau dari aspek biologis maupun sosio-ekonomi. Hal ini dicerminkan dalam tren statistik Organisasi Pangan Dunia selama 25 tahun terakhir, menunjukkan bahwa penurunan stok ikan di kawasan Asia-Pasifik sekitar 6-33% (FAO, 2004). Selanjutnya, kajian terhadap status dan tren pemanfaatan sumberdaya ikan (FAO, 2005) mengemukakan bahwa stok ikan laut dunia saat ini yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi hanya tersisa sekitar 24% dan 52% stok ikan telah termanfaatkan secara maksimal dan tidak mungkin dieksploitasi lebih lanjut, sedangkan sisanya telah dieksploitasi berlebihan atau stoknya sudah menurun. Eksploitasi berlebihan sumber daya perikanan di berbagai perairan dunia terlihat semakin menjadi gejala umum, dengan proporsi terbesar disebabkan oleh tidak terkendalinya peningkatan upaya penangkapan yang berakibat pada status pemanfaatan yang dikategorikan sebagai lebih tangkap. Kajian ilmiah terhadap fenomena tingkat kapasitas berlebih telah dilakukan untuk membatasi hal ini, dengan memperkenalkan beberapa bentuk konsep dasar regulasi melalui pengendalian akses terhadap sumber daya yang cenderung semakin berkurang (Beddington et al., 2007). Perubahan radikal kesehatan ekosistem laut yang terjadi akhir akhir ini merupakan dampak dari aktivitas manusia, sehingga menimbulkan kesepakatan mendasar antara pemangku kepentingan untuk memperbaiki pengelolaan sumberdaya tersebut (Erlandson et al.,2008). Kapitalisasi penangkapan dunia telah berdampak pada penurunan stok secara bertahap, hasil tangkapan ikan yang berumur panjang telah tergantikan oleh kelompok jenis ikan dengan siklus pendek dan invertebrate, sehingga terjadi perubahan rantai makanan menjadi lebih sederhana yang berdampak pada penurunan kapasitas daya dukung (Pauly et al., 2002; Mullon et al., 2005). Investasi berlebih pada armada perikanan dunia, dan dampak pertumbuhan populasi manusia pada kesehatan ekosistem memerlukan pencarian perbaikan kerangka pengelolaan (Caddy, 1999). Pendekatan hasil tangkapan optimum lestari (Optimum Sustainable Yield, OSY) merupakan suatu konsep pengelolaan perikanan dan perspektif ini tercermin pada hampir semua model ekonomi. Kriteria pengelolaan yang optimum adalah memaksimalkan nilai sekarang dari keuntungan bersih
74
atau imbalan pemanfaatan sumber daya sesuai dengan tingkat upaya yang lebih rendah dibandingkan dengan hasil maksimum yang lestari (Clark, 1985; Conrad & Clark, 1987). Berbeda dengan model ekonomi yang secara umum menggunakan konsep maksimalisasi keuntungan bersih, tampaknya tidak menjadi tujuan kebijakan yang memotivasi pengelolaan perikanan. Perkembangan pengelolaan perikanan yang lebih sesuai dengan kondisi saat ini cenderung menggunakan pendekatan dengan mempertimbangkan kepentingan kesehatan ekosistem secara berkelanjutan sebagai tujuan utama dari pengelolaan perikanan berbasis ekosistem (Charles, 2001). Sebagai kelanjutan dari penelitian sebelumnya, kajian ini menjelaskan dan membahas integrasi bioekonomi untuk menetapkan tingkat hasil tangkapan, upaya penangkapan dan biomassa optimum sebagai dasar pertimbangan pengelolaan perikanan pukat cincin di laut Jawa. BAHAN DAN METODE Sumber data berasal dari kapal pukat cincin komersial yang berpangkalan di Pekalongan dan Juwana, yaitu data berupa hasil tangkapan dan upaya penangkapan selama kurun waktu 1976 – 2004, serta data dan informasi yang dikumpulkan terkait dengan pendaratan selama 6 tahun terakhir. Sementara parameter model surplus produksi Schaefer yang digunakan dari hasil penelitian Atmaja (2007), yaitu: r = 1,05; B” = 348 000 ton, q=1,08 10-5. Perubahan besarnya stok ikan berdasarkan pergeseran waktu akibat tekanan penangkapan adalah selisih antara laju pertumbuhan stok dikurangi dengan hasil tangkapan (C) dimana dapat diturunkan dalam fungsi logistic sebagai berikut: F(B) = “B/”t = rB (1 – B/B”) – C
(1)
Dimana pada kondisi pertumbuhan biomassa ikan sama dengan hasil tangkapan dari persamaan 1 maka diperoleh persamaan menjadi: C = rB (1 – B/B”)
(2)
dimana: C = hasil tangkapan B = biomassa r = laju pertumbuhan intrinsik B ” = daya dukung lingkungan (enviromental carrying capacity)
Optimisasi Hasil Tangkapan Perikanan………..di Perairan Laut Jawa dan Sekitarnya (Banon, S & D. Nugroho)
Pendekatan analitik optimasi statik, penurunan tingkat eksploitasi optimum pada pendekatan bioekonomik diturunkan dalam persamaan sebagai berikut: Pendapatan bersih (keuntungan) dari usaha penangkapan ikan (π ) adalah: π = pC – cE
(3)
dimana: p = rata-rata harga ikan, c = rata-rata biaya per satuan upaya penangkapan E = upaya penangkapan Hasil tangkapan diasumsikan berbanding lurus dengan biomassa dan upaya penangkapan (C=qBE atau E = C/qB ), disubstitusikan ke dalam persamaan 3 akan diperoleh, π = (p - c/qB) C (4) dimana: q = koefisien kemampuan tangkap Pada kondisi pertumbuhan biomassa ikan sama dengan hasil tangkapan atau C = F(B), maka persamaan rente ekonomi yang lestari dapat dirumuskan sebagai berikut: π = (p - c/qB)*F(B) atau π = (p - c/qB )*rB (1 - B/B”) (5) Maksimisasi keuntungan statik : “π/”B = pr(1- 2B/B”) + cr/qB”
(6)
Sehingga nilai biomasa yang optimum (B*), hasil tangkapan optimum (C*) dan upaya penangkapan optimum (E*), yaitu: B* = B”/2 (1 + c/pqB”) C* = rB”/4 (1 + c/pqB”) (1 - c/pqB”) E* = r/2q (1 - c/pqB”)
(7)
HASIL DAN BAHASAN HASIL Sumberdaya Ikan dan Pemanfaatannya Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di Laut Jawa telah berlangsung intensif sejak tahun 1970. Pendaratan berseri selama 34 tahun pada kurun waktu
1977 hingga 2011 yang diturunkan berdasarkan data statistik perikanan tangkap memperlihatkan bahwa kelompok jenis ikan layang (Decapterus spp) mencapai pendaratan maksimum pada volume sekitar 150 ribu ton per tahun pada tahun 1997 kemudian terus menurun hingga tahun 2007, kemudian cenderung meningkat kembali pada tahun berikutnya. Observasi dilapangan menunjukkan bahwa kenaikan volume pada tahun 1989 hingga 1997 terjadi sebagai akibat expansi armada pukat cincin ke daerah penangkapan dari Laut Jawa (WPP 712) ke arah barat hingga perairan Laut Natuna (WPP 711) sehingga terdapat kontaminasi pendaratan yang berasal dan Selat Makassar dan Laut Flores (WPP 713) hingga tahun 2007. Pendaratan kelompok jenis ikan pelagis lainnya memberikan indikasi bahwa volume pendaratan kelompok jenis kembung (Rastrelliger spp.) cenderung relatif berfluktuasi pada kisaran 3565 ribu ton per tahun. Demikian pula kelompok jenis bentong (Selar spp.) berada pada kisaran 30-40 ribu ton per tahun (Gambar 1). Fenomena pergeseran daerah operasi dan peningkatan efisiensi operasional armada pukat cincin semi-industri dengan ukuran >100 GT yang berbasis di pantai Utara Jawa merupakan bagian dari upaya mempertahankan usahanya yang dilakukan secara radikal namun sejalan dengan kemudahan peraturan bagi operator yang sangat dimungkinkan untuk beroperasi pada kawasan dengan tekanan penangkapan yang masih rendah (Atmaja et al., 2011). Perubahan taktik dan strategi penangkapan tersebut belum sepenuhnya didukung dengan sistem pendataan hasil tangkapan untuk mendukung evaluasi sediaan ikan di kawasan tersebut. Dengan menggunakan data yang sering digunakan dalam membuat kebijakan baik pada tingkat lokal maupun pusat, maka indikasi perubahan hasil tangkapan tahunan per unit upaya penangkapan atau CPUE (tanpa koreksi koefisien daya tangkap akibat perubahan teknologi penangkapan) menunjukkan bahwa penurunan CPUE pada lima kelompok spesies utama pelagis kecil (Layang, Kembung, Tembang, Bentong dan Japuh) (Gambar 2). Sedangkan estimasi biomassa ikan pelagis kecil setelah berlangsungnya pemanfaatan selama lebih dari 30 tahun memberikan indikasi bahwa biomassa tersisa pada tahun 2010 sebesar kurang dari 30% dibandingkan pada tahun 1980 (Atmaja et al., 2011). Upaya pemerintah terhadap pemulihan sediaan ikan belum sepenuhnya mendukung konsep pengelolaan secara berkelanjutan.
75
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 73-80 160
PENDARATAN (X1000 ton)
140 120 100 80 60 40 20
LYG
KBG
TBG
BTG
2011
2009
2007
2005
2003
2001
1999
1997
1995
1993
1991
1989
1987
1985
1983
1981
1979
1977
0
JAP
Gambar 1. Pendaratan ikan pelagis kecil menurut jenis ikan pada tahun 1977 – 2011. Sumber : Anon, (1979 – 1999; 2000 – 2011). Figure 1. Small pelagic landings by fish spesies in 1977-2011. sources: Anon, (1979 – 1999; 2000 – 2011).
30
14
25
12 20 10 8
15
6
10
CPUE (ton/kapal/th) LYG
CPUE (ton/kapal/tahun) KBG, TBG, BTG, JAP, BYR
16
4 5
2 0
0
1980 KBG
1985 TBG
1990 BTG
1995 JAP
2000 SLR
2005 BYR
2010 LYG
2015 Linear (LYG)
Gambar 2. Perubahan tahunan hasil tangkapan menurut upaya pukat cincin nominal di Laut Jawa Figure 2. Annual changes of catch per unit effort by nominal purse seine in the Java Sea Berbagai upaya pemerintah untuk mempertahankan sediaan ikan pada besaran biomassa minimum tertentu telah dilakukan melalui penerbitan Peraturan Menteri Kelautan tentang kewajiban pemasangan sistem pemantauan kapal NOMOR 10/PERMEN-KP/2013 yang dengan tegas menyatakan bahwa kapal perikanan berukuran lebih dari 30GT wajib dilakukan pemasangan alat pemancar on line seperti tercantum pada Pasal 11 dimana setiap kapal perikanan dengan ukuran > 30 GT yang beroperasi di WPP-NRI atau di laut lepas yang akan mengajukan permohonan SIPI atau SIKPI wajib memasang transmiter SPKP online. Demikan pula upaya perbaikan sistem pencatatan hasil tangkapan
76
telah dilakukan melalui diterbitkan Peraturan Menteri Kelautan Perikanan NOMOR PER.18/MEN/2010 yang berisikan persyaratan bagi armada penangkapan dengan ukuran > 30 GT seperti termaktub pada Pasal 4 yang secara garis besar berisi informasi mengenai: data kapal perikanan; data alat penangkapan ikan; data operasi penangkapan ikan; dan data ikan hasil tangkapan. Pemetaan tingkat kepatuhan para operator dalam menerapkan peraturan tersebut belum sepenuhnya dapat dianalisis dengan pertimbangan dibutuhkannya proses validasi data tersebut. Optimasi Pemanfaatan Sejauh ini, pijakan praktis bagi pengelola perikanan di Indonesia dilakukan berdasarkan atas temuan ilmiah pendugaan stok ikan dengan model surplus produksi Schaefer (1957) dan konsep Gordon (1954) yang menerapkan prediksi sediaan yang berlandaskan ilmu biologi dan ekonomi mikro dalam desain kebijakan. Secara teoritis hasil ekonomi maksimum (MEY) merupakan keuntungan maksimum secara ekonomi, sedangkan hasil tangkapan yang optimum (Optimum Sustainable Yield, OSY) berada di bawah nilai MSY yang diilustrasikan oleh Karjalainen & Marjomäki (2005). Pada kasus perikanan pukat cincin di Laut Jawa, untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada nilai biomassa yang tersisa untuk menjamin keberlanjutan sediaan ikan yang dikelola dengan akses terbuka, dilakukan simulasi maka parameter hasil tangkapan dan upaya penangkapan yang optimum pengaruh rasio harga ikan - biaya eksploitasi terhadap ketiga
Optimisasi Hasil Tangkapan Perikanan………..di Perairan Laut Jawa dan Sekitarnya (Banon, S & D. Nugroho)
parameter tersebut. Dengan masukan berbagai nilai p/c seperti tertera pada Tabel 1 diperoleh perubahan nilai B*, C* dan E* sejalan dengan rasio harga ikan – biaya eksploitasi (p/c). Secara keseluruhan, semakin tinggi rasio p/c maka OSY mendekati MSY, perubahan hasil tangkapan yang optimum (C*) berada di bawah ukuran asimtotik (CMSY) (Gambar 3), upaya penangkapan yang optimum (E*) berada di bawah ukuran asimtotik (EMSY) (Gambar 4), dan biomassa optimum (B*) berada di bawah ukuran asimtotik (BMSY) (Gambar 5). Dengan demikian konsep OSY dipatok di bawah ukuran asimtotik tingkat MSY, karena pada posisi sebelum tingkat MSY kecenderungan
penurunan CPUE masih diikuti dengan produksi terus meningkat dan tidak ada bahaya eksploitasi berlebihan jika upaya penangkapan tetap di bawah tingkat EMSY. Pada Gambar tersebut juga dapat diinterpretasikan bahwa kenaikan nilai p/c semakin tinggi akan menyebabkan harga ikan menjadi sangat mahal. Namun demikian, secara bio-ekonomi dengan rasio harga ikan – biaya eksploitasi (p/c) pada 2004 sebesar 1,58 pada harga BBM sekitar Rp 2 100, dan rasio harga ikan – biaya eksploitasi pada 2005 sebesar 1,95 (Tabel 1) menunjukkan tingkat eksploitasi perikanan pukat cincin sudah mendekati tingkat MSY.
Tabel 1. Rasio harga ikan – biaya eksploitasi pada 2004 dan 2005 Table 1. The ratio of fish price – the cost of exploitation in 2004 and 2005
Biaya eksploitasi (Rp. juta/hari) 1,87 1,96
Rasio harga ikan – biaya eksploitasi 1,58 1,95
100000 80000 60000
Atmaja & Nugroho (2006) Sismadi (2006)
C*
40000
CMSY p/c
20000 0 0
2
4
6
8
10
280000 210000 140000 70000 0 0
Rasio harga ikan - biaya eksploitasi
2
4
6
8
10
Rasio harga ikan - biaya eksploitasi
Gambar 3. Hubungan berbagai nilai rasio harga ikan - biaya eksploitasi (p/c) dengan hasil tangkapan optimum Figure 3. Relationships between various fish price ratio - the cost of exploitation (p / c) with the optimum catch Upaya penangkapan optimal (hari)
Sumber
350000 Biomassa optimal (ton)
Hasil tangkapan optimal (ton)
Tahun 2004 Tahun 2005
Harga ikan (Rp. juta/ton) 2,95 3,82
50000
Gambar 5. Hubungan berbagai nilai rasio harga ikan - biaya eksploitasi (p/c) dengan biomassa optimum Figure 5. Relationships between various fish price ratio - the cost of exploitation (p / c) with the optimum biomass BAHASAN
40000 30000 20000
E* EMSY p/c
10000 0 0
2
4
6
8
10
Rasio harga ikan - biaya eksploitasi
Gambar 4. Hubungan berbagai nilai rasio harga ikan biaya eksploitasi (p/c) dengan upaya penangkapan optimum. Figure 4. Relationships between various fish price ratio - the cost of exploitation (p / c) with the optimum fishing effort.
Kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Indonesia, sejauh ini dilakukan dengan pendekatan bahwa stok ikan dikelola dengan menetapkan batasan volume penangkapan tahunan atau total tangkapan yang diperbolehkan, yang secara operasional diturunkan melalui langkah-langkah konsepsional teknis seperti halnya pembatasan alat tangkap, peraturan ukuran mata jaring, daya lampu dan jalur penangkapan. JTB ditetapkan berdasarkan atas tingkat manfaat yang optimal dan berkelanjutan (UU 31/2004 pasal 6 ayat 1, pasal 6 tidak diubah dalam UU 45/2009 tentang perubahan UU 31/2004), secara teoritis berada di sekitar 2/3 biomassa awal
77
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 73-80
yang diterjemahkan secara praktis sebesar 80% dari nilai MSY. Penafsiran terhadap pendugaan dari MSY yang sering terjadi dikalangan pembuat kebijakan, adalah terjadinya penyederhanaan pemahaman terhadap selisih volume hasil tangkapan (produksi) di bawah nilai MSY sebagai tanda adanya ruang bagi perluasan atau peningkatan armada penangkapan, tanpa mempertimbangkan tren hasil tangkapan tahunan dari perikanan yang sedang berjalan. Kebijakan ini justru berakibat pada peningkatan tekanan pemanfaatan pada sumberdaya dan menjauhi konsep keberlanjutan sumberdaya seperti dimandatkan dalam UU 45/2009 pasal 2 huruf j dan k bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan azas kelestarian dan pembangunan berkelanjutan. Hasil analisis sebelumnya terhadap perkembangan perikanan dan status pemanfaatannya selama 30 tahun memperlihatkan bahwa status dan tren kelangsungan perikanan pelagis kecil dan pukat cincin di Laut Jawa telah melewati kapasitas pulih dan secara ekonomi berada pada tingkat economic overfishing, dimana biaya ekonomi (economic cost) usaha penangkapan yang semakin mahal untuk hasil cenderung semakin sedikit, selain itu pengamatan secara praktis juga menunjukkan bahwa biaya sosial (social cost) semakin tinggi karena para operator harus meninggalkan keluarga dengan rentang waktu yang semakin lama akibat meningkatnya tingkat kesulitan untuk mencari gerombolan ikan. Kini ratarata jumlah hari operasi kapal pukat cincin berkisar 53 – 84 hari (Atmaja et al., 2011). Dengan demikian apabila OSY atau JTB sungguh-sungguh diterapkan sebagai tujuan pengelolaan perikanan pukat cincin di Laut Jawa maka para pengambil kebijakan perlu memahami untuk melakukan penataan upaya penangkapan dengan penurunan intensitas sekitar 30%. Selain itu, perlu dilaksanakan pengendalian terhadap peningkatan bertahap upaya penangkapan (technological creep atau effort creep) dan pembatasan investasi tambahan input lainnya. Walaupun kapal perikanan pukat cincin semi industri yang aktif di Laut Jawa telah berkurang, karena sebagian kapal telah melakukan diversifikasi usaha dengan mengalihkan menjadi alat penangkap cumi-cumi dan jaring cantrang, juga merelokasi usahanya. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh penurunan aktivitas penangkapan selama 15 tahun, rata-rata trip/kapal menurun tajam dari sekitar 7,8 trip/ kapal pada 1995 menjadi sekitar 2,3 trip/kapal pada 2010 (Atmaja et al., 2011). Pada kenyataannya peningkatan kemampuan tangkap terus dilakukan sebagai kompensasi penurunan CPUE sehubungan penurunan sumber daya ikan. Pada 2011, kapal jenis ini telah menambah jumlah lampu pijar dengan daya
78
2 000 watt sebanyak 20 buah. Kini paling sedikitnya kapal telah menggunakan 40 000 – 70 000 watt (Sadhotomo & Atmaja, 2012). Peraturan Menteri KP No. PER.02/MEN/2011 tentang penggunakan alat bantu penangkapan, pasal 22 huruf a-c dicantumkan bahwa daya lampu sebagai alat pengumpul ikan tidak melebihi lebih 16 000 watt untuk bobot kapal e” 30 GT. Keadaan lapang memperlihatkan bahwa penggunaan daya lampu pada armada tertentu lima kali lipat dari ketentuan yang dibolehkan. Pola konvensional yang digunakan untuk menganalisa sumber daya perikanan, dan untuk mengatur jumlah tangkapan, diyakini tidak mampu untuk menghambat laju kerusakan sumber daya ikan (Pauly et al., 2002). Pendekatan tradisional untuk menduga perikanan campuran (multi species dan multi gear) berdasarkan pada analisis spesies tunggal, umumnya mengabaikan perubahan komposisi hasil tangkapan karena dinamika alat penangkapan dan perubahan dalam distribusi upaya penangkapan (Pauly et al., 1998; Fonseca et al., 2008). Beddington & May (1977) menyatakan bahwa pendugaan MSY dan JTB tahunan mengandung ketidakpastian. Jika MSY di atas perkiraan dan diambil dari stok secara acak bervariasi, hal ini dengan cepat akan menyebabkan runtuhnya stok. Hal lain, pengelolaan perikanan terkonsentrasi pada panen spesies tunggal. Pengelolaan satu spesies berdasarkan pada asumsi yang disederhanakan, bahwa dinamika dari setiap spesies tidak akan terpengaruh oleh perubahan lain dalam komunitas ikan atau konteks lingkungan yang lebih luas. Bagaimanapun dinamika suatu spesies dalam komunitas ekologis juga mempengaruhi produksi spesies lain karena berkaitan dengan kompetisi dan predasi. Dari sudut pandang biologis, konsep MSY tidak cukup baik, karena tidak memperhitungkan efek penangkapan ikan pada struktur umur hasil tangkapan, sifat genetik populasi, kehadiran subpopulasi dengan berbagai produktivitas, dan masalah yang terkait dengan multi-spesies perikanan (Larkin 1977). Sehubungan dengan keragaman stok ikan, wilayah pengelolaan dan industri, adalah mustahil untuk memberikan rekomendasi pengelolaan jika hanya dengan pertimbangan ekonomi atau biologi (Caddy & Seijo 2005). Clark et al. (2010) mengakui bahwa konsep memaksimalkan imbalan ekonomi tidak berlaku jika tujuannya adalah untuk memaksimalkan upaya penangkapan atau menjamin konservasi jangka panjang dari ekosistem laut dan sumber daya perikanan, tetapi konsep tetap berguna jika tujuannya adalah untuk mengoptimalkan keuntungan. Selain itu, penerapan OSY ataupun JTB yang sungguh-sungguh sebagai tujuan pengelolaan
Optimisasi Hasil Tangkapan Perikanan………..di Perairan Laut Jawa dan Sekitarnya (Banon, S & D. Nugroho)
perikanan, perlu dukungan sebagian besar pemangku kepentingan untuk menyepakati tujuan tersebut. Pengelolaan yang berkelanjutan juga harus didasarkan pada pemahaman ilmiah dari sistem perikanan secara keseluruhan, yang harus dikomunikasikan sedemikian rupa sehingga sebagian besar pemangku kepentingan memahami dan mengakui serta konsekuensinya.
Atmaja, S.B., D. Nugroho & M. Natsir. 2011. Respon Radikal Kelebihan Kapasitas Penangkapan Armada Pukat Cincin Semi Industri. JPPI. 17 (2): 115-123. Atmaja, S.B., D. Nugroho & B. Sadhotomo. 2011. Overfishing pada perikanan pukat cincin semi industri di Laut Jawa dan Implikasi Pengelolaannya. JKPI. 3 (1): 51 -60.
KESIMPULAN Dari hasil analisis ini dapat disarikan dalam kesimpulan, sebagai berikut: 1) Secara keseluruhan, semakin tinggi proporsi harga ikan maka OSY akan lebih dekat dengan MSY. Konsep OSY ditetapkan di bawah ukuran asimtotik tingkat MSY, karena pada posisi sebelum tingkat MSY kecenderungan penurunan CPUE masih diikuti dengan produksi terus meningkat, tidak ada bahaya eksploitasi berlebihan jika upaya penangkapan tetap di bawah tingkat EMSY, tetapi konsep memaksimalkan imbalan ekonomi tidak berlaku jika tujuannya adalah untuk menjamin konservasi jangka panjang dari ekosistem laut. 2) Dalam kasus perikanan pelagis kecil dan pukat cincin di Laut Jawa, apabila OSY atau JTB sungguh-sungguh diterapkan sebagai tujuan pengelolaan perikanan pukat cincin di Laut Jawa maka harus dilakukan penurunan upaya penangkakan sekitar 30%. Selain itu, perlu dilaksanakan pengendalian terhadap peningkatan bertahap upaya penangkapan (technological creep atau effort creep) dan pembatasan investasi tambahan input lainnya. 3) Kegagalan memperhitungkan peningkatan bertahap upaya penangkapan (technological creep atau effort creep) dari sejumlah kapal yang masih aktif akan mempengaruhi upaya penangkapan efektif, sehingga upaya penangkapan nominal tetap telah melampaui tingkat EMSY. DAFTAR PUSTAKA Anonimus, 1979 – 1999. Statistik Nasional Perikanan Tangkap. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Anonimus, 2000 – 2013. Statistik Nasional Perikanan Tangkap. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Atmaja, S.B. 2008. Sumber daya ikan pelagis kecil dan Dinamika perikanan pukat cincin di Laut Jawa dan sekitarnya. BRPL. PRPT. BRKP. 100 p.
Beddington, J.R. & R.M. May. 1977. Harvesting natural populations in a randomly fluctuating environment. Science 197: 463-465. Caddy, J.F. 1999. Fisheries management in the twenty- first century: will new paradigms apply? Reviews in Fish Biology and Fisheries. 9, 1–43. Caddy J.F. & J.C. Seijo. 2005, This is more difficult than we thought! The responsibility of scientists, managers and stakeholders to mitigate the unsustainability of marine fisheries. Philos Trans Roy Soc B. 360: 59–75. Charles, A. 2001. Sustainable fishery systems. Blackwell Science, Oxord, 370 p. Clark, C.W. 1985. Bioeconomic modeling and fisheries management. John Wiley & Sons, New York. 300 p. Clark, C.W., G. Munro & U.R. Sumaila, 2010. Limits to the privatization of fishery resources. Land Economics. 86, 209–218. Conrad J.M & C.W. Clark. 1987. Natural Resource Economics. Cambridge University Press. New York. 231p. Dankel D.J., D.W. Skagen & Ø. Ulltang. 2007. Fisheries management in practice: review of 13 commercially important fish stocks. Rev Fish Biol Fisheries. DOI 10.1007/s11160-007-9068-4. 33 p. FAO, 1995. Code of Conduct of Responsible Fisheries. Rome. 1995. 41 p. FAO, 2004. Ovefishing on the increase in Asia-Pacific seas. http://www. fao.org/ newsroom /en/news/ 2004. FAO, 2005. Depleted fish stocks require recovery efforts. http://www.fao.org/ newsroom /en/news/ 2005.
79
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 73-80
Fonseca T., A. Campos, M.A. Dýas, P. Fonseca & J. Pereira. 2008. Trawling for cephalopods off the Portuguese coast-fleet dynamics and landings composition. Fisheries Research. 92: 180–188. Erlandson J.M; T.C. Rick, T.J. Braje, A.Steinberg & R.L. Vellanoweth, 2008. Human impacts on ancient shellfish: a 10,000 year record from San Miguel Island, California. Journal of Archaeological Science. 35: 2144 -2152. Gordon, H. S. 1954. The economic theory of a common property resource: the fishery, Journal of Political Economics, vol. 62, nº 2, p. 124-142. Hall, S.J. 1999. The Effects of Fishing on Marine Ecosystems and Communities. Blackwell Science. 274 p. Hilborn, R. & C.J. Walters. 1992. Quantitative Fisheries Stock Assessment: Choice, Dynamics and Uncertainty. Chapman and Hall. New York, London. 570 p. Karjalainen J. & T.J Marjomäki, 2005. Sustainability in fisheries management. In Jalkanen, A. & P. Nygren (eds.) 2005. Sustainable use of renewable natural resources — from principles to practices. University of Helsinki Department of Forest. Ecology Publications 34. http://www.helsinki.fi/ mmtdk/mmeko/sunare
80
Larkin, P.A. 1977. An epitaph for the concept of maximum sustained yield. Transactions of American Fisheries Society. 106: 1-11. Pauly D., V. Christensen, J. Dalsgaard, R. Froese & F.C. Torres Jr. 1998. Fishing down marine food webs. Science. 279: 860–863. Pauly D., V. Christensen, S. Guénette, T.J. Pitcher, U. R. Sumaila, C.J. Walters,R. Watson & D. Zeller. 2002. Towards sustainability in world fisheries. Nature 418: 689-695. www.nature.com/nature. Sadhotomo, B. & S.B. Atmaja. 2012. Sintesa Kajian Stok ikan Pelagis kecil di Laut Jawa. JPPI. 18 (4): 267-283. Schaefer, M.B. 1957. A study of the dynamics of fishery for yellowfin tuna in the Eastern Tropical Pacific Ocean. Bulletin of Inter-American Tropical Tuna Commission. 2: 247-285. Sinclair, A.F. & S.A. Murawski 1997. Why have groundfish stocks declined in the northwest Atlantic? p. 71-93 In J. Boreman, B. Nakashima, H. Pauls, J. Wilson and R. Kendall [ed.].Northwest Atlantic groundfish: perspectives on a fishery collapse. American Fisheries Society, Bethesda, Md. Sismadi, 2006. Analisis efisiensi penggunaan input alat tangkap purse seine di kota Pekalongan. Tesis. Program Studi Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Pascasarjana UNDIP Semarang 111 p.
Pengaruh Lama Setting dan Jumlah ..…. Rawai Tuna di Laut Banda (Triharyuni, S., et al.)
PENGARUH LAMA SETTING DAN JUMLAH PANCING TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAWAI TUNA DI LAUT BANDA INFLUENCE OF SETTING TIME AND NUMBERS OF HOOKS AT TUNA LONGLINE CATCH IN BANDA SEA 1
Setiya Triharyuni, 2Budi Nugraha dan 3Umi Chodriyah
1
Peneliti pada Puslit. Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan 2 Peneliti pada Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa 3 Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut Teregistrasi I tanggal: 19 Desember 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 16 Mei 2013; Disetujui terbit tanggal: 22 Mei 2013
ABSTRAK Rawai tuna atau tuna longline merupakan salah satu alat tangkap yang sangat efektif untuk menangkap tuna dan merupakan alat tangkap yang selektif. Kegiatan observasi di atas kapal telah dilakukan selama Oktober 2002 – Februari 2003 pada 31 kapal dan pada Oktober-November 2011 pada 1 kapal yang beroperasi di Laut Banda. Data yang dicatat selama observasi berupa data trip kapal, setting, waktu setting (mulai dan selesai), jumlah pancing yang digunakan tiap setting dan hasil tangkapan berdasarkan jenis ikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan lama setting dan jumlah pancing terhadap hasil tangkapan rawai tuna di perairan Laut Banda. Waktu setting selama penelitian berkisar antara 190-345 menit sedangkan untuk jumlah pancing berkisar antara 660-1600 buah. Data waktu untuk setting kemudian dibedakan dalam enam kelompok dan untuk jumlah pancing dibedakan dalam empat kelompok. Hasil pengelompokan data ini kemudian dilakukan analisis ragam atau analysis of variance (ANOVA). Analisis digunakan untuk mengetahui pengaruh perbedaan antar kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama setting tidak berpengaruh nyata terhadap hook rate rawai tuna sehingga tidak berpengaruh juga terhadap hasil tangkapan. Sedangkan perbedaan jumlah pancing berpengaruh nyata terhadap nilai hook rate rawai tuna di Laut Banda. Jumlah pancing dengan nilai hook rate tinggi dan hasil tangkapan paling banyak adalah pada jumlah pancing 1201-1600 buah dengan didominasi ikan tuna mata besar. KATA KUNCI: Rawai Tuna, Lama Setting, Jumlah Pancing, Analisis Ragam dan Laut Banda ABSTRACT Tuna longline is an effective fishing gear to catch tuna. It is also a selective fishing gear. Observation on the board had been conducted during October 2002 - February 2003 which 31 tuna longline vessels and October-November 2011 only 1 vessel. These vessels operated in the Banda Sea. Data of boat trips, setting, time setting (start and finish), the number of hooks used for each setting and catch were collected. The purpose of this paper is to determine differences in the setting time and the number of hooks for tuna longline catches. Range of the setting time for the study between 190-345 minutes and then divided into 6 groups. Range of hooks between 660-1600 hooks and then divided into 4 groups. Analysis of variance (ANOVA) performed to determine the effect of differences between groups. The results showed that the length of setting did not significantly affect of hook rate while differences in the number hooks are significantly affects the hook rate. The highest of tuna longline hook rate and the most the tuna longline catch on 1201-1600 hooks with begeye tuna dominated. KEYWORDS: Tuna Longline, Setting Time, Numbers of Hooks, Analysis of variance and BandaSea
PENDAHULUAN Laut Banda merupakan salah satu perairan di kawasan Indonesia timur yang sangat potensial untuk menangkap tuna terutama tuna mata besar (Thunnus obesus) dan madidihang (Thunnus albacares). Pemanfaatan sumber daya tuna di Laut Banda dari tahun ke tahun cenderung meningkat, karena tuna merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ___________________
tinggi dan banyak diekspor. Kenaikan rata-rata hasil tangkapan di Laut Banda selama tahun 2006 – 2011 sebesar 50,84% untuk madidihang dan 39,43% untuk tuna mata besar (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2013). Hasil kajian stok sumber daya ikan pada 2010 menunjukkan bahwa tingkat eksploitasi madidihang telah mencapai titik jenuh atau ‘fully exploited’, sedangkan untuk tuna mata besar telah dalam tahap lebih tangkap atau ‘over exploited’
Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Gedung Balitbang KP II, Jl. Pasir Putih II Ancol Timur, Jakarta Utara
81
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 81-88
(Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45 tahun 2011). Rawai tuna atau lebih dikenal dengan nama tuna longline merupakan salah satu alat tangkap yang sangat efektif untuk menangkap tuna dan merupakan alat tangkap yang selektif terhadap hasil tangkapan. Alat tangkap ini bersifat pasif dalam pengoperasiannya, menanti umpan dimakan oleh ikan sasaran, sehingga alat ini tidak merusak sumber daya hayati yang ada di perairan. Penelitian perbedaan jenis umpan terhadap hasil tangkapan rawai tuna telah dilakukan oleh Santoso (1995) di sekitar perairan Kepulauan Enggano, dimana hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh nyata terhadap umpan yang digunakan. Selanjutnya Barata el al. (2011) menyatakan bahwa faktor umpan merupakan hal yang penting dalam perikanan rawai tuna di Samudera Hindia dan jenis umpan yang digunakan mempengaruhi waktu setting. Nugraha & Triharyuni (2010) menyatakan bahwa kedalaman mata pancing merupakan salah satu faktor penting untuk mendapatkan hasil tangkapan maksimum dan perbedaan kedalaman mata pancing dipengaruhi oleh perbedaan jumlah tali cabang, panjang tali pelampung, panjang tali utama, panjang tali cabang, kecepatan kapal pada saat setting, dan lama setting (Nugraha et al., 2010). Informasi tentang lama setting dan perbedaan jumlah pancing yang digunakan di Laut Banda belum tersedia dan juga informasi mengenai daerah penangkapan atau penyebaran tuna di Laut Banda masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan lama setting dan jumlah pancing yang diduga mempengaruhi hasil tangkapan rawai tuna di perairan Laut Banda. BAHAN DAN METODE Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data hasil observasi langsung pada kapal rawai tuna di perairan Laut Banda yang berjumlah 31 buah kapal selama Oktober 2002 – Februari 2003 dan 1 kapal untuk Oktober-November 2011. Data yang dicatat selama mengikuti kapal berupa trip kapal, setting, waktu setting (mulai dan selesai), jumlah pancing yang digunakan tiap setting dan hasil tangkapan berdasarkan jenis ikan. Untuk mengetahui perbedaan lama setting dan jumlah pancing, data dikelompokkan berdasarkan beberapa perlakuan. Lama setting selama penelitian berkisar antara 190–345 menit, untuk itu dilakukan 6 (enam) perlakuan dengan perbedaan tiap perlakuan selama 30 menit. Perlakuan pertama dengan kisaran
82
waktu 181–210 menit, kedua 211–240 menit, ketiga dan seterusnya dengan kisaran waktu 241–270 menit, 271–300 menit, 301–330 menit dan 331–360 menit. Untuk mengetahui perbedaan jumlah pancing, data dikelompokkan dalam 4 (empat) perlakuan, yaitu d” 1.000 pancing, 1.001–1.200 pancing, 1.201–1.400 pancing dan 1.401–1.600 pancing. Pengelompokan data ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh terhadap hasil tangkapan rawai tuna dengan melihat nilai laju pemancingan (hook rate) untuk tiap perlakuan. Adapun hook rate hasil tangkapan adalah jumlah ikan yang tertangkap untuk setiap 100 mata pancing, dengan rumus: ………………………………(1) dimana adalah laju pemancingan (hook rate), jumlah ikan yang tertangkap (ekor) dan jumlah pancing yang digunakan (buah). Hasil pengelompokan data ini kemudian dianalisis dengan perhitungan analisis ragam atau analysis of variance (ANOVA). ANOVA merupakan salah satu teknik analisis multivariate yang berfungsi untuk membedakan rerata lebih dari dua kelompok data dengan cara membandingkan variansinya. Syarat menggunakan rumus ANOVA meliputi normalitas, heterokedastisitas dan random sampling (Ghozali, 2009). Analisis ANOVA disini menggunakan One-way anova, dimana analisis ini dilakukan untuk menguji perbedaan tiga kelompok atau lebih berdasarkan satu variabel independen. HASIL DAN BAHASAN HASIL Hasil Tangkapan Penangkapan
Berdasarkan
Daerah
Hasil tangkapan berdasarkan jenisnya terdiri atas hasil tangkapan utama (target species) dan hasil tangkapan sampingan (by-catch). Jenis hasil tangkapan utama yang tertangkap selama penelitian adalah jenis tuna mata besar (bigeye tuna; Thunnus obesus) dan madidihang (yellowfin tuna; Thunnus albacares). Untuk jenis tangkapan sampingannya berupa ikan pedang/meka (Xiphias gladius), marlin (Makaira spp.), cucut atau hiu (Elasmobranchii) dan ikan layaran/basho (Istiophorus platypterus), bawal bulat (Taracticthys steindachneri), ikan naga (lancetfish; Alepisaurus sp.), pari lumpur (Dasyatis sp.), ikan gindara (oilfish; Ruvettus pretiosus) dan cakalang (Katsuwonus pelamis).
Pengaruh Lama Setting dan Jumlah ..…. Rawai Tuna di Laut Banda (Triharyuni, S., et al.)
Komposisi hasil tangkapan pada tahun 2002-2003 berbeda dengan komposisi hasil tangkapan tahun 2011. Komposisi tahun 2002-2003 didominasi oleh ikan tuna mata besar yang mencapai 80%, kemudian madidihang 14% dan terakhir tangkapan sampingan hanya 6%. Komposisi tangkapan tahun 2011 didominasi oleh tangkapan sampingan dengan persentase sebesar 75% kemudian madidihang 17%
A.2002/2003 YF 14%
dan tuna mata besar hanya 8% (Gambar1). Perbedaan komposisi hasil tangkapan ini diduga karena adanya perbedaan lokasi penangkapan dan jenis kapal yang digunakan. Pada tahun 2002/2003 jenis kapal rawai tuna yang digunakan adalah subsurface longline dan deep longline namun jumlahnya lebih banyak jenis deep longline sedangkan untuk observasi tahun 2011 hanya menggunakan kapal subsurface longline.
B. 2011
bycatch 6%
BE 8% YF 17%
bycatch 75%
BE 80%
Gambar 1. Komposisi Hasil Tangkapan rawai tuna 2002/2003 dan 2011. Figure 1. Catch composition of tuna longline at 2002/2003 and 2011. Daerah penangkapan kapal rawai tuna yang beroperasi di Laut Banda selama penelitian tahun 2002-2003 berkisar antara 50 – 80 LS dan 1190 – 1270 BT, sedangkan untuk penelitian tahun 2011 berkisar antara 50-60 LS dan 1240-1280 BT. Hasil tangkapan dominan ini berupa tuna mata besar banyak tertangkap pada posisi 6,70-6,80 LS dan 123,50 – 124,50 BT serta pada 5,80 LS dan 126,60 BT, sedangkan madidihang pada posisi 7,60 LS dan 119,50 BT. Hasil tangkapan sampingan (bycatch) banyak tertangkap pada posisi 5,80 LS dan 126,60 BT. Secara keseluruhan tangkapan terbanyak pada posisi 6,8 0 LS dan 123,5 0 BT sebanyak 327 ekor, kemudian disusul posisi 6,70 LS dan 124,50 BT sebanyak 259 ekor dan posisi 5,80 LS dan 126,60 BT sebanyak 241 ekor. Posisi 7,30 LS dan 122,50 BT dan 6,60 LS dan 126,50 BT sebanyak 142 ekor dan 101 ekor. Dari kelima posisi ini, hanya satu posisi yang didominasi oleh tangkapan sampingan 5,5 0 LS dan 126,6 0 BT, sedangkan keempat posisi lainnya didominasi oleh ikan tuna mata besar. Hasil tangkapan pada posisi yang lain kurang dari 95 ekor dan hasil tangkapan paling sedikit diperoleh pada posisi 7,030 LS dan 125,50 BT yang hanya berjumlah 12 ekor (Gambar 2).
sedangkan yang paling banyak tangkapan dan tinggi nilai hook ratenya terdapat pada kapal nomor 32. Waktu setting yang digunakan untuk semua kapal ini berkisar antara 190–345 menit. Hasil tangkapan berdasarkan waktu setting berkisar antara 8–691 ekor dengan nilai hook rate antara 0,11-0,41. Nilai hook rate terendah terjadi pada waktu setting selama 180– 210 menit yang hanya 0,11 dan hook rate tertinggi pada kelompok setting selama 271–300 menit (Tabel 1). 120
121
122
123
124
125
126
Jumlah Tangkapan (ekor)
327
259
241
-5
142
Thn 2011 Be Be Yf Yf Bycatch Bycatch Thn 2002-2003 Be Yf Bycatch
-5
101 90-92 81 #
56 30 12
-6
-6 #
LAUT BANDA # #
#
#
-7
-7 #
#
#
# #
#
-8
-8
-9
-9 N
80
0 120
80 121
122
160 Miles 123
N
124
125
126
Lama Setting Hasil tangkapan kapal rawai tuna (32 kapal) berkisar antara 12 – 241 ekor dan nilai hook rate antara 0,1-1,24. Hasil tangkapan dan nilai hook rate yang paling rendah terdapat pada kapal nomor 23,
Gambar 2. Daerah penangkapan dan komposisi hasil tangkapan rawai tuna di Laut Banda. Figure 2. Fishing ground and catch composition of tuna longline in the Banda Sea.
83
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 81-88
Tabel 1. Laju Pemancingan hasil tangkapan rawai tuna berdasarkan perbedaan lama setting Table 1. Hook Rate of tuna longline catch based on time of setting Kapal Vessels 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Kapal Lama setting (menit) Lama setting (menit) Vessels Time of setting (minutes) Time of setting (minutes) 180-210 211-240 241-270 271-300 301-330 331-360 180-210 211-240 241-270 271-300 301-330 331-360 0.22 0.12 17 0.39 0.12 0 0 0 0 0 0 0 0 0.25 0.63 18 0.16 0 0 0 0 0 0 0 0 0.36 0.29 19 0.26 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.15 0.38 0.08 20 0.33 0.20 0 0 0 0 0 0 0.08 0.25 0.52 1.63 21 0.09 0.25 0.33 0 0 0 0 0 0.21 0.24 22 0.82 0.36 0.56 0 0 0 0 0 0 0.23 23 0.09 0.06 0.26 0 0 0 0 0 0.00 0 0 0.18 24 0.30 0.43 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.51 25 0.33 0 0 0 0 0 0 0.00 0 0 0 0.20 0.37 26 0.41 0.35 0 0 0 0 0 0 0 0 0.33 0.21 0.20 27 0.26 0.18 0 0 0 0 0 0 0 0.14 0.38 0.31 28 0.33 0.24 0.22 0 0 0 0 0 0 0.19 0.13 0.38 29 0.17 0.18 0 0 0.13 0 0 0 0 0.26 0.41 0.68 30 0.47 0 0 0 0 0 0 0 0 0.22 0.48 31 0.42 0.13 0 0 0 0 0 0 0 0.19 0.36 32 1.22 1.38 1.16 0 0 0 0 0 0 0 Jumlah 0.63 3.85 9.04 6.94 3.30 0.57 Rata-rata 0.02 0.12 0.29 0.22 0.10 0.02
Berdasarkan analisis one-way ANOVA terhadap nilai hook rate rawai tuna dengan perbedaan lama setting diperoleh nilai F hitung lebih kecil dari pada nilai F tabel (1,126 < 2,342) pada taraf nyata 5% dan nilai signifikannya (p value) lebih besar dari taraf nyata
(0,35 > 0,05) (Tabel 2). Hasil ini menunjukkan bahwa perbedaan lama waktu setting pada rawai tuna terhadap hook rate tidak berbeda nyata. Hal ini berarti lama waktu setting tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan rawai tuna.
Tabel 2. Hasil analisis one-way ANOVA pengaruh lama setting Table 2. Results analysis of variance of the influence of time of setting Source of Variation
Sum of Squares 0,487
df 5
Mean Square 0,097
Within Groups
6,233
72
0,087
Total
6,721
77
Between Groups
Jumlah Pancing Pancing yang digunakaan kapal rawai tuna saat beroperasi berjumlah antara 600–1600 buah pancing. Dari kisaran ini kemudian di cari nilai hook rate dalam 4 kategori jumlah pancing, yaitu hook rate yang diperoleh dengan menggunakan pancing hingga 1000 buah, antara 1.001–1.200, 1.201–1.400 dan 1.401–
84
F 1,126
Sig. 0,354
Fcrit 2,342
1.600 buah pancing. Rata-rata nilai hook rate pada tiap-tiap kelompok jumlah pancing berkisar antar 0,060,18. Kategori jumlah pancing ketiga memberikan nilai hook rate tertinggi, kemudian kategori keempat, pertama dan kategori yang memberikan nilai hook rate terendah adalah kategori pancing kedua (Tabel 3).
Pengaruh Lama Setting dan Jumlah ..…. Rawai Tuna di Laut Banda (Triharyuni, S., et al.)
Tabel 3. Laju pemancingan hasil tangkapan rawai tuna berdasarkan jumlah pancing Table 3. Hook rate of tuna longline catch based on hooks Kapal Vessels 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Jumlah pancing (buah) Jumlah pancing (buah) Kapal Vessels Hooks (units ) Hooks (units ) ≤ 1000 1001-1200 1201-1400 1401-1600 ≤ 1000 1001-1200 1201-1400 1401-1600 0.22 0.08 17 0.31 0 0 0 0 0 0.28 18 0.15 0 0 0 0 0 0 0.33 19 0.26 0 0 0 0 0 0 0.31 20 0.26 0 0 0 0 0 0 0.58 21 0.22 0.12 0 0 0 0 0 0.23 0.25 22 0.48 0 0 0 0 0 0.25 0.20 23 0.10 0 0 0 0 0 0.18 24 0.40 0 0 0 0 0 0 0.51 25 0.27 0 0 0 0 0 0 0.31 26 0.35 0 0 0 0 0 0 0.22 27 0.28 0.12 0 0 0 0 0 0.14 0.36 28 0.33 0.22 0 0 0 0 0.11 0.21 29 0.17 0.15 0 0 0 0 0.43 0.53 30 0.47 0 0 0 0 0 0.26 31 0.38 0 0 0 0 0 0 0.23 32 1.24 0 0 0 0 0 0 2.67 1.81 4.76 3.24 Jumlah 0.08 0.06 0.18 0.12 Rata-rata
Tabel 4. menggambarkan hasil analisis one-way ANOVA terhadap nilai laju pemancingan rawai tuna dengan perbedaan jumlah pancing. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai F hitung lebih besar dari pada nilai F tabel (8,977 > 2,852) pada taraf nyata 5% dan nilai signifikannya (p value) kurang dari taraf nyata (0,0001<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah pancing saat beroperasi berpengaruh nyata terhadap laju pemancingan rawai tuna sehingga berpengaruh terhadap hasil tangkapan yang diperoleh. Hasil tangkapan pada kategori kedua memberikan nilai hook rate terendah dengan hasil tangkapan yang paling sedikit juga, yaitu hanya 8,31%. Nilai hook rate pada kategori pancing pertama sebesar 0,08 dengan hasil tangkapan sebesar 21,9%, selanjutnya hasil tangkapan pada kategori pancing empat 33,71%
dan tangkapan yang paling banyak terjadi pada kategori ketiga yang mencapai 36,08% dengan nilai hook rate terbesar pula (0,18). Hasil tangkapan tuna mata besar banyak tertangkap pada jumlah pancing 1201-1600 buah, madidihang dan bycatch pada jumlah pancing d” 1000 buah pancing. Hasil tangkapan sampingan (bycatch) lainnya memiliki komposisi yang berbeda pada jumlah pancing yang berbeda, tangkapan ikan pari dan ikan naga banyak tertangkap pada pancing d”1000 pancing, ikan meka dan marlin banyak tertangkap pada penggunaan pancing 1201-1400 buah, ikan cucut pada pancing yang berjumlah 1401-1600 buah dan ikan basho pada penggunaan pancing 1201-1600 buah pancing (Gambar 2).
Tabel 4. Hasil analisis one-way ANOVA pengaruh jumlah pancing Table 4. Results analysis of variance of the influence of numbers of hooks Source of Variation
Sum of Squares 0,633
df 3
Mean Square 0,211
Within Groups
0,893
38
0,024
Total
1,525
41
Between Groups
F 8,977
Sig. 0,0001
Fcrit 2,852
85
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 81-88
tangkapan tuna mata besar 69% dan madidihang hanya sekitar 14%. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa perairan Laut Banda merupakan salah satu daerah penangkapan tuna (khususnya jenis tuna mata besar) di kawasan timur Indonesia (Merta et al., 2004). Namun hal ini berbeda dari hasil tangkapan utama kapal rawai tuna yang diperoleh dari perairan Laut Banda yang didaratkan di Benoa pada Maret 2007 didominansi oleh madidihang yaitu 49,69% dan tuna mata besar 11,74% (Nugraha dan Chodriyah, 2010).
450 400 350 300 Jml (ekor)
250 200 150 100 50 0 BE <1000
YF 1001 – 1200
1201 – 1400
BYCATCH 1401 – 1600
Gambar 2. Hasil tangkapan rawai tuna (kiri) dan hasil tangkapan sampingan (kanan) berdasarkan jumlah pancing Figure 2. Tuna longline catch (left) and byactch (right) based on numbers of hooks BAHASAN Operasi penangkapan rawai tuna di perairan Laut Banda dilakukan pada Oktober 2002–Februari 2003 pada posisi 50–80 LS dan 1190–1270 BT. Posisi ini diduga merupakan daerah penangkapan tuna mata besar dan madidihang di perairan Laut Banda. Sedangkan operasi penangkapan pada 2011 berkisar antara 50-60 LS dan 1240-1280 BT, pada posisi ini lebih banyak tertangkap bycatch. Daerah penangkapan tersebut lebih luas dibandingkan hasil penelitian Nugraha & Chodriyah (2010) yang menyatakan bahwa operasi penangkapan kapal rawai tuna di Laut Banda pada September–Februari 2006 berada pada posisi 50–60 LS dan 1290–1300 BT. Hasil tangkapan kapal rawai tuna yang beroperasi di Laut Banda terbanyak pada posisi 6,80 LS dan 123,50 BT dan tangkapan paling sedikit diperoleh pada posisi 7,030 LS dan 125,50 BT. Hal ini terkait dengan kelimpahan klorofil yang berpengaruh pada kesuburan perairan, disamping itu pula di pengaruhi oleh suhu perairan (Balai Riset Perikanan Laut, 2007). Amin & Nugroho (1990) menyatakan bahwa kepadatan stok ikan pada musim timur cenderung lebih tinggi dibandingkan pada musim Barat. Sedangkan Uktolseja et al. (1991) dalam Merta et al. (2004) mengatakan bahwa kisaran musim penangkapan ikan tuna dan cakalang dengan rawai tuna di Laut Banda berkisar antara September-Maret dengan puncak musim penangkapan tuna terjadi pada November (Merta et al., 2004). Komposisi hasil tangkapan tuna di Laut Banda selama penelitian didominasi oleh tuna mata besar kemudian madidihang, dimana rata-rata hasil
86
Hasil tangkapan tuna mata besar lebih banyak dibandingkan dengan hasil tangkapan madidihang karena tipe alat tangkap yang digunakan selama penelitian terdiri atas subsurface longline dan deep longline. Sebagian besar kapal yang digunakan adalah deep longline, dimana kapal ini memiliki jangkauan lebih dalam sehingga mampu mencapai kedalaman renang tuna mata besar. Kapal yang mengoperasikan subsurface longline biasanya berukuran kecil, yaitu antara 30–60 GT, dengan kedalaman mata pancing sekitar 60–190 m. Kapal deep longline berukuran antara 60–100 GT dengan kedalaman mata pancing sekitar 90–350 m. Dari keseluruhan kapal yang digunakan hanya terdapat 3 kapal jenis subsurface longline dan sisanya kapal deep longline. Lebih banyaknya kapal deep longline yang digunakan sehingga mampu menjangkau kedalaman renang tuna mata besar (100–300 m), sehingga peluang tuna mata besar tertangkap akan lebih besar. Hal ini sama dengan hasil penelitian Nugraha et al. (2010) di Samudera Hindia yang menyatakan bahwa hasil tangkapan tuna mata besar dalam 13 setting sebesar 98%. Hal ini disebabkan jenis rawai tuna yang banyak digunakan adalah deep longline dimana menurut Marcille et al. (1984) dalam Herlindah (1994) sasaran penggunaan longline jenis deep longline adalah untuk menangkap tuna mata besar. Berdasarkan hasil analisis statistik pada nilai hook rate berdasarkan lama setting diperoleh nilai F hitung lebih kecil dari pada nilai F tabel pada taraf nyata 5% dan nilai signifikannya (p value) lebih besar dari taraf nyata (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa lama setting tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan rawai tuna. Setting merupakan kegiatan penurunan alat tangkap kedalam perairan. Menurut Sadhori (1985) dalam Perkasa, (2004) kegiatan penurunan alat tangkap ini diusahakan agar memotong arus, hal ini disebabkan karena ikan tuna mempunyai kebiasaan berenang berlawanan dengan arus sehingga dengan posisi alat tangkap yang memotong arus berarti akan memperluas daerah penangkapan. Salah satu keberhasilan penangkapan tuna adalah posisi kapal pada saat setting, dimana
Pengaruh Lama Setting dan Jumlah ..…. Rawai Tuna di Laut Banda (Triharyuni, S., et al.)
pada saat setting posisi kapal harus diatur sedemikian rupa sehingga penurunan alat tangkap dapat memotong arus air laut hal ini bertujuan untuk memperluas daerah penangkapan dan untuk menghadang gerak ikan tuna yang bergerak berlawanan dengan arus. Hasil analisis statistik pada jumlah pancing yang digunakan saat beroperasi menunjukkan bahwa nilai F hitung lebih kecil dari pada F tabel pada taraf nyata 5% dan nilai signifikannya (p value) kurang dari taraf nyata, maka dapat diartikan bahwa jumlah pancing saat beroperasi berpengaruh nyata terhadap hook rate sehingga berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Jumlah pancing dalam rawai tuna ini berhubungan dengan kedalaman pancing. Alat tangkap rawai tuna yang digunakan selama penelitian terdiri atas subsurface longline dan deep longline. Kedalaman mata pancing yang dapat terjangkau oleh subs urface longline berkisar antara 60–190 m dengan jumlah pancing antara 500–800 buah, sedangkan deep longline berkisar antara 90–350 m dengan jumlah pancing antara 1000–1800 buah. Kapal subsurface longline yang dioperasikan dalam penelitian ini menggunakan pancing antara 660–800 buah, sedangkan kapal deep longline menggunakan pancing antara 1100–1600 buah. Kedalaman daerah penangkapan sangat berpengaruh dalam keberhasilan operasi penangkapan. Kedalaman daerah penangkapan harus disesuaikan dengan alat tangkap dan kedalaman renang ikan terutama ikan tuna. Nilai hook rate dan hasil tangkapan kapal rawai tuna paling tinggi dan banyak diperoleh pada jumlah pancing 1201-1400 pancing kemudian 1401-1600 pancing, hasil tangkapan mencapai lebih dari 30%. Hasil tangkapan pada posisi ini berkaitan dengan tangkapan yang terbanyak dari kapal rawai tuna selama penelitian adalah tuna mata besar. Kisaran jumlah pancing ini merupakan kisaran jumlah pancing pada jenis deep longline yang kedalamannya mencapai 350 m sehingga bisa mencapai lapisan renang tuna mata besar. Tuna mata besar merupakan spesies tuna yang memiliki lapisan renang terjauh dan mampu beradaptasi pada suhu rendah (Barata et al., 2011). Hasil penelitian Nugraha & Triharyuni (2009) menyebutkan bahwa tuna dapat tertangkap pada interval kedalaman 150,0-399,9 m, dimana tuna mata besar pada interval kedalaman 300,0-399,9 m. Pada penelitian di Laut Banda (Gafa et al.,2004), dengan menggunakan metode yang sama, ikan tuna mata besar banyak tertangkap pada interval kedalaman 200,0-300,0m.
KESIMPULAN Hasil tangkapan kapal rawai tuna yang beroperasi di Laut Banda pada posisi antara 50–80 LS dan 1190– 1270 BT didominasi oleh jenis ikan tuna mata besar. Perbedaan lamanya waktu setting tidak berpengaruh nyata terhadap hook rate sehingga tidak mempengaruhi hasil tangkapan rawai tuna. Sedangkan perbedaan dalam jumlah pancing yang digunakan berpengaruh nyata terhadap hook rate rawai tuna. Jumlah pancing yang menghasilkan nilai hook rate tertinggi dan hasil tangkapan paling banyak adalah pada 1201-1600 buah pancing yang kedalamannya mencapai 350 m dan dapat menjangkau lapisan renang tuna mata besar sebagai tangkapan dominan. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan Program Observasi Tuna di Perairan Laut Flores, Laut Banda dan Sekitarnya T.A. 2003, di Pusat Riset Perikanan Tangkap dan kegiatan Indeks Kelimpahan Sumberdaya Ikan Pelagis Besar dan Kondisi Oseanografis di WPP Laut Banda T.A. 2011. DAFTAR PUSTAKA Amin, E.M. & D. Nugroho. 1990. Accoustic surveys of pelagic fish resources in the Banda Sea during August 1984 and February-March 1985. Neth.J.Sea.Res., 25 (4): 621-626. Barata, A. A. Bahtiar & H. Hartaty. 2001. Pengaruh Perbedaan Umpan dan Waktu Setting Rawai Tuna Terhadap Hasil Tangkapan Tuna di Samudera Hindia. J. Lit. Perikan. Ind. 17 ( 2): 133-138. Barata, A, D. Novianto & A. Bahtiar. 2011. Sebaran Ikan Tuna Berdasarkan Suhu dan Kedalaman di Samudera Hindia. ILMU KELAUTAN. 16 (3): 165170. Balai Riset Perikanan Laut. 2007. Riset stok sumber daya ikan dan kondisi hidrologi perairan Laut Banda. Laporan Akhir Tahun 2007. Balai Riset Perikanan Laut. Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Statistik Perikanan Tangkap Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). 2013. Statistik Perikanan Tangkap. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Gafa, B., K. Wagiyo, & B. Nugraha. 2004. Hubungan antara suhu dan kedalaman mata pancing terhadap
87
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 81-88
hasil tangkapan tuna mata besar (Thunnus obesus) dan madidihang (Thunnus albacares) dengan tuna long line di perairan Laut Banda dan sekitarnya. Prosiding Hasil-Hasil Flsef. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. p.63-80. Ghozali, I. 2009. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang : BP UNDIP. Herlindah, R. 1994. Analisis efisiensi teknis dan ekonomis unit penangkapan tuna longline di PT. Perikanan Samodera Besar, Benoa-Bali. Skripsi. (tidak dipublikasikan). Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor 136 p.
Nugraha, B. & S. Triharyuni. 2009. Pengaruh Suhu dan Kedalaman Mata Pancing Rawai Tuna (Tuna Longline) Terhadap Hasil Tangkapan Tuna di Samudera Hindia. J. Lit. Perikan. Ind. 15 (3): 239247 . Nugraha, B., R.I. Wahju, M.F.A. Sondita & Zulkarnain. 2010, Estimasi Kedalaman Mata Pancing Tuna Longline di Samudera Hindia: Metode Yoshihara dan Minilog. J. Lit. Perikan. Ind. 16 (3). 195-203 Nugraha, B. & U. Chodriyah. 2010. Komposisi Hasil Tangkapan dan Daerah Penangkapan Tuna Long Line di Perairan Laut Banda. J. Lit. Perikan. Ind. 16 (4). 305-309
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, No. Kep. 45/Men/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Perkasa, A. 2004. Analisis Pengaruh Perbedaan Waktu Pengoperasian Terhadap Hasil Tangkapan Pukat Cincin (Purse Seine) di Perairan Prigi Kabupaten Trenggalek. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 45 p.
Merta, I.D.S., B.I. Prisantosa & S. Bahar. 2004. Musim Penangkapan Ikan di Indonesia (Musim Penangkapan Ikan Pelagis Besar). edisi cetakan 1. Jakarta: Balai Riset Perikanan Laut. p. 8-22
Santoso, H. 1995. Pengaruh Perbedaan Jenis Umpan Terhadap Hasil Tangkap Rawai Tuna Di Sekitar Kepulauan Enggano. Skripsi. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 52 p.
88
Interaksi Antar Trawl dan Rawai Dasar………..di Laut Timor dan Arafura (Sadhotomo, B & Suprapto)
INTERAKSI ANTAR TRAWL DAN RAWAI DASAR PADA PERIKANAN KAKAP MERAH (Lutjanus malabaricus) DI LAUT TIMOR DAN ARAFURA INTERACTION BETWEEN TRAWL AND BOTTOM LONGLINE OF RED SNAPPER (LUTJANUS MALABARICUS) FISHERIES IN THE TIMOR AND ARAFURA SEA Bambang Sadhotomo dan Suprapto Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut Teregistrasi I tanggal: 15 Mei 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 09 Juli 2013; Disetujui terbit tanggal: 12 Juli 2013
ABSTRAK Informasi mengenai biologi populasi ikan kakap yang diduga merupakan stok bersama dan dimanfaatkan oleh Indonesia dan Australia masih sangat minim. Begitu pula informasi mengenai pengaruh interaksi antara alat tangkap terhadap kelangsungan reproduksi ikan kakap. Informasiinformasi tersebut diharapkan dapat menunjang pengelolaan perikanan kakap merah yang dilakukan di Laut Timor dan Arafura terutama dalam hal pengaturan alokasi upaya penangkapan dan jumlah alat tangkap. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai pengaruh interaksi dari alat tangkap pukat ikan dan pancing dasar yang memiliki ikan target yang sama yaitu kakap merah. Penelitian ini berbasis pada data komposisi panjang ikan demersal laut dalam yang tertangkap trawl ikan dan rawai pancing dasar vertikal yang beroperasi di Laut Arafura dan Laut Timor. Estimasi parameter biologi dan populasi dilakukan untuk memenuhi masukan bagi analisis yield per recruit. Hasil analisis menunjukkan adanya interaksi antar perikanan pukat ikan dan pancing rawai dasar yang mengeksploitasi ikan demersal di perairan tersebut. Dampak perkembangan perikanan pukat ikan terhadap penurunan produksi dan yield keseluruhan perikanan tangkap terlihat sangat signifikan. KATA KUNCI: Interaksi, kakap merah, rawai dasar, fishnet, Laut Timor, Laut Arafura ABSTRACT Information on the biology of snapper populations which had possibility as a shared stock utilized by Indonesia and Australia fisheries is still lack. Moreover information on the effect of interactions between fishing gears to the sustainable of the snapper resource. This information is expected to support the management of red snapper in the Timor and Arafura Sea, especially in terms of setting the allocation of effort and number of fishing gear. The objective of this study is to obtain information regarding the interaction effect from two different fishing gears i.e. trawl fishing gear and vertical bottom long line which targeted red snapper as the main target species. The research was based on length composition data of demersal deep-sea fish caught by fishnet and vertical bottom longline operations in the Arafura Sea and Timor Sea. Estimation of the biology and population parameter was conducted to meet the input for the analysis of yield per recruit. The analysis revealed the existence of interactions between fisheries and other fishnet which exploit demersal fish in these waters. The impact of the development of fishnet to the decline of production and the total fisheries yield was very significant. KEYWORDS : Interaction, red snapper, bottom longine,fishtrawl, Timor Sea, Arafura Sea
PENDAHULUAN Laut Timor dan Laut Arafura secara geografis merupakan perairan yang berbatasan dengan perairan Australia. Sebagian besar dari perairan ini merupakan bagian dari Dangkalan Sahul. Berbagai jenis ikan demersal laut dalam menempati perairan ini. Jenisjenis kakap merah (Lutjanus sp) umumnya menempati perairan dengan kedalaman 50-180 m dan merupakan ___________________
sasaran penangkapan perikanan rawai dasar dan trawl ikan. Penelitian sebelumnya menunjukan kemungkinan terdapat stok bersama (shared stock) dari ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus dan L. erythropterus) di perairan ini dengan stok yang mendiami Australia bagian Utara, simulasi yang ditunjukkan dalam penelitian tersebut memperlihatkan kemungkinan
Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Jakarta Utara
89
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 89-95
penurunan hasil tangkapan secara drastis pada 2006 (Blaber et al., 2005). Walaupun proyeksi tersebut sangat diragukan namun degradasi stok dapat diperkirakan akan terus terjadi pada kondisi tingkat eksploitasi seperti saat sekarang. Jenis kakap laut dalam lainnya, yaitu Pristipomoides multidens (goldband snapper) menunjukkan pola struktur stok yang berbeda. Jenis ini lebih berasosiasi dengan gugusan karang dan secara genetis berbeda antara stok di Laut Arafura dan di utara Australia (Lloyd et al., 1996). Data dasar1 sebelumnya menunjukkan bahwa jenis-jenis kakap laut dalam lebih terkonsentrasi di sebelah selatan Laut Arafura. Tiga bentuk armada perikanan, yaitu trawl ikan, trawl udang dan rawai dasar dapat diperkirakan sebagai pemberi kontribusi utama penyebab berkurangnya stok kakap di perairan tersebut. Eksploitasi terus berlanjut tanpa penambahan upaya penangkapan yang berarti, namun dampak pada penurunan kualitas sumber daya akan berlangsung dan mengarah pada degradasi stok. Dari sisi biologis ikan kakap merupakan organisme yang berumur relatif panjang, dengan siklus reproduksi dan pertumbuhan somatik yang lebih lambat. Secara teoritis jenis ini lebih rapuh terhadap eksploitasi, sehingga berpotensi akan cepat menurun ukuran stoknya. Penambahan armada trawl ikan dalam jumlah besar sejak dua dekade yang lalu dan penangkapan yang terus berlanjut merupakan potensi kerusakan sumber daya ini. Penelitian ini mencoba menggambarkan dampak dari perkembangan penangkapan terhadap produksi perikanan melalui simulasi model yield (Beverton & Holt, 1957). BAHAN DAN METODE Data yang diperoleh berbentuk: data hasil tangkapan dan pengukuran frekuensi panjang. Data observasi ini berasal dari pengukuran di atas kapal dan hasil tangkapan yang didaratkan. Frekuensi pengamatan di atas kapal yang sedang operasi, dilaksanakan selama 4 kali oleh observer. Pengamatan di tempat pendaratan dilaksanakan beberapa kali dalam seminggu selama dapat dilaksanakan oleh enumerator diharapkan mencakup area Laut Timor dan Arafura. Teknik sampling sederhana diterapkan untuk masing-masing pengamatan di atas. Kegiatan penelitian dilakukan selama periode Maret dan Desember 2010. Lokasi pengambilan contoh dan pengumpulan data meliputi : 1) Probolinggo, untuk pancing rawai dasar; 2) Ambon, 1
untuk trawl ikan (fishnet); 3) Kupang, untuk pancing rawai dasar. Analisis dilaksanakan dalam dua tahap: 1) tabulasi dalam format yang dapat digunakan analisis selanjutnya dan dokumentasi bagi database. Data frekuensi panjang dianalisis menurut persamaan pertumbuhan von Bertalanfy sesuai dengan program Fisat (1990) yang akan menghasilkan parameter pertumbuhan (L, K, to) dan mortalitas (Z dan M); 2) Aplikasi model dan pemodelan: modifikasi model klasik Yield per Recruit (Beverton & Holt, 1957) diterapkan untuk menggambarkan optimasi dan sebagainya. Estimasi parameter dilaksanakan sebagai bahan masukan bagi langkah tersebut. Model yield per recruit pertama diperkenalkan oleh Beverton & Holt (1957), dan telah digunakan secara luas untuk analisis data komposisi ukuran panjang. Dalam model ini rentang umur ikan dibagi dalam dua bagian, pertama adalah umur pre-recruit dan kedua adalah mulai dari umur recruit. Pada dasarnya analisis ini memodelkan perubahan populasi dari umur rekruit sampai umur maksimum yang dapat dicapai. Teori dan penurunan matematik telah disajikan secara lengkap dalam Beverton & Holt (1957). Untuk memudahkan komputasi re-parameterisasi telah disusun dengan asumsi bahwa pertumbuhan bersifat allometrik (berat adalah fungsi pangkat 3 dari panjang). Hasil tangkapan atau yield dapat dinyatakan sebagai persamaan berikut :
dimana, Y = yield; R1 = R0.e - M(tc-tr) ; R0= jumlah rekrut ; M = mortalitas alami; F = mortalitas penangkapan; K= konstanta pertumbuhan; t0 = umur teoritis pada panjang sama dengan nol (assumed, t0≈0); W∝= berat maksimum; tc = umur pada saat masuk perikanan; tλ = umur maksimum; tr = umur rekruitmen; Ω0=1, Ω1=3, Ω2=3, Ω3=1 Persamaan tersebut berlaku untuk satu perikanan, sedangkan untuk dua perikanan yang mengeksploitasi stok yang sama, modifikasi dapat dilaksanakan dengan tetap menerapkan prinsip persamaan dasar sebagaimana telah dilaksanakan oleh Marcille (1978). Untuk perikanan yang beroperasi di daerah penangkapan dan metode yang berbeda memberi kemungkinan perbedaan ukuran/umur ikan yang dapat memerlukan perubahan dalam penggunaan model. Untuk ukuran rata-rata yang saling tumpang tindih (overlapping) yield dapat dinyatakan sebagai:
Database BRPL Riset di Laut Arafura tahun 2000, 2001, 2003,2004
90
Interaksi Antar Trawl dan Rawai Dasar………..di Laut Timor dan Arafura (Sadhotomo, B & Suprapto)
Y=Y1.0+Y1.1+Y2.0+Y2.1 …………....………(2) dimana subscribs 1.0,1.1 dan 2.0, 2.1 menunjukkan yield parsial untuk kisaran umur yang dieksploitasi oleh dua perikanan berbeda (i.e. dalam hal ini indeks kematian dinyatakan sebagai F1 and F2).
hanya dilaksanakan untuk jenis Lutjanus malabaricus yang merupakan target utama dan hasil tangkapan yang dominan. Dua bentuk perikanan yaitu fishnet (notasi/subskrib 1, dan rawai dasar/vertikal dengan subskrib 2). Langkah pertama adalah menghitung simulasi Y/R pada nilai F2 dan Lc2 bervariasi dan nilai F1 arbritrari dan sebaliknya yang masing-masing akan menghasilkan diagram isopleth. HASIL DAN BAHASAN HASIL Karakteristik Penangkapan
-M(tc1-tr) dimana : R1 = R0 e adalah jumlah rekruit, R2 -(M+F1)(tλ1-tc1) -M(tc2-tλ1) = R1 e R = R e , 3 2 Dalam penelitian ini jumlah rekruit tidak diketahui sehingga yield dihitung per satuan rekruit (yield per recruit) untuk dua perikanan. Mengingat pola penyebaran ikan yang beragam, dalam penelitian ini
Perikanan
dan
Daerah
Paling sedikit ada empat jenis perikanan tangkap yang memanfaatkan sumber daya ikan demersal berekonomis tinggi, yaitu fishnet (trawl ikan), trawl udang (ikan tersebut sebagai bycatch), rawai dasarvertikal dan rawai dasar skala kecil. Lokasi daerah penangkapan tampak pada Gambar 1.
0°
-2°
Latitude S
-4°
-6°
200 m
-8°
2
-10°
3 4
-12° 120°
122°
124°
1 126°
128°
132°
130°
134°
136°
138°
140°
Longitude E
Gambar 1. Lokasi daerah penangkapan ikan demersal di perairan Laut Timor dan Arafura. (1: rawai dasar berbasis di Kupang; 2: fishnet; 3: rawai dasar vertikal; 4: Lokasi penelitian dengan rawai dasar). Figure 1. Fishing ground of demersal fish in Timor and Arafura Sea (1. Bottom long line base in Kupang, 2. Fishnet, 3. Vertical bottom long line, 4. Research location by using bottom long line). Kapal-kapal fishnet beroperasi selama 60-90 hari per trip dengan lokasi penangkapan lebih ke arah lepas pantai, sementara kapal trawl udang cenderung lebih dekat pantai Papua atau Pulau Aru. Kapal-kapal rawai dasar yang berpangkalan di Probolinggo dan Denpasar (berukuran 50-100 GT) melakukan operasi
penangkapan di kedalaman 30-300 m di perairan di atas tubir paparan, sesuai dengan target yaitu ikan kakap laut dalam. Sementara kapal-kapal berukuran lebih kecil yang berpangkalan di Kupang melakukan penangkapan di perairan Laut Timor dekat perbatasan dengan Australia.
91
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 89-95
Daerah penangkapan rawai dasar vertikal yang berbasis di Probolinggo yang beroperasi di Laut Arafura dan Laut Timor memiliki periode waktu berbeda-beda berkaitan dengan perubahan kondisi klimatologi dan oseanografi. Pada periode April hingga Oktober, daerah penangkapan yang berpotensi dengan jumlah tangkapan relatif banyak adalah perairan Laut Timor, sedangkan pada periode November hingga Mei, daerah penangkapan yang berpotensi adalah Laut Arafura, sebaliknya daerah penangkapan fishnet tidak terpengaruh oleh perubahan periode waktu, daerah penangkapannya relatif menetap di suatu area yang sama yaitu di perairan Arafura yang relatif lebih dangkal. Demikian halnya dengan rawai dasar berbasis di Kupang, hanya beroperasi di perairan Laut Timor, tidak seperti rawai dasar vertikal yang berbasis di Probolinggo, dengan daerah penangkapan di Laut Arafura. Hasil Tangkapan Hasil tangkapan fish net per kapal sebesar 318.726 kg/trip atau sekitar 318,7 ton/trip, sedangkan rawai dasar vertikal sebesar 5147,07 kg/trip. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbandingan hasil tangkapan yang sangat mencolok antara kapal rawai dasar dengan fish net yakni dengan proporsi 1 : 60. Komposisi jenis ikan yang tertangkap rawai dasar vertikal didominasi oleh kakap merah Lutjanus malabaricus) sebesar 46,8% (2.409,7 kg/trip), anggoli (Pristipomoides multidens) 24,3% (1.248 kg/trip) dan kerapu coklat (Epinephelus sp) 13,0% (671 kg/trip), sedangkan fishnet didominasi oleh ikan-ikan campuran bernilai ekonomis rendah sebesar 57,1% (182.016 kg/trip), kakap merah (Lutjanus malabaricus) dan kurisi bali/anggoli (Pristipomoides multidens) tertangkap relatif sedikit yaitu sekitar 1,3 % (4.104 kg/trip) dan 4,3% 1,3% (13.644 kg/trip). Meskipun tidak dominan, kedua jenis kakap tersebut tertangkap dalam jumlah individu yang lebih banyak dibandingkan dengan tangkapan rawai dasar vertikal. Dugaan Parameter Populasi Pola sebaran frekuensi panjang ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) tercantum pada Gambar 2, sedangkan hasil analisis parameter populasi yang meliputi: panjang maksimum teoritis (L”), laju pertumbuhan (K), laju kematian (Z, M dan F), laju eksploitasi (E) dan panjang pertama kali tertangkap (Lc), terhadap ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) yang tertangkap rawai dasar berbasis di Probolinggo dan fishnet berbasis di Ambon tercantum dalam Tabel 1.
92
Gambar 2. Pola sebaran frekuensi panjang ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus). Figure 2. Length frequency distribution of Lutjanus malabaricus. Tabel 1. Dugaan nilai parameter populasi ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus). Table 1. Population parameters of Lutjanus malabaricus.
Parameter populasi (Population prameters) L∞ (Panjang maksimum)
Nilai (Value) 100 cm
K (Laju pertumbuhan)
0,3 cm
Z (Laju kematian total)
1,72 cm
M (Laju kematian alami)
0,27 cm
F (Laju Kematian penangkapan)
1,14 cm
E (Laju exploitasi)
0,66 cm
Lc (Rawai dasar/Bottom long line)
50 cm
Lc (Trawl ikan/Fishnet)
33 cm
Dari persentase frekuensi kumulatif diperoleh posisi 50% dari sebaran tersebut. Hal ini mencerminkan nilai Lc, yaitu ukuran panjang pertama kali tertangkap. Lc ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) yang tertangkap rawai dasar vertikal yang berbasis di Probolinggo adalah 50 cm, sedangkan Lc yang tertangkap fishnet yang berbasis di Ambon nilainya lebih kecil yaitu 33 cm. Nilai laju eksploitasi E > 0,5 dan laju kematian alami M = 0,27 lebih kecil dibandingkan dengan laju kematian karena penangkapan yaitu F = 1,14
Interaksi Antar Trawl dan Rawai Dasar………..di Laut Timor dan Arafura (Sadhotomo, B & Suprapto)
Interaksi Antar Perikanan
masuk daerah penangkapan, length at first recruitment) diasumsikan sebagai rata-rata (mode) sebaran frekuensi panjang kelompok terkecil yang tertangkap fishnet dan rawai dasar skala kecil yang berpangkalan di Kupang. Parameter masukan lainnya untuk analisis Y/R ikan L. malabaricus adalah sebagai berikut: F2=1,1, Lr=15 cm, Lc1=33 cm (length-atfirst capture pukat ikan), Lc2=50 cm (length-atcapture rawai ) dan a=0,007061, b= 3,2297 (dari persamaan length-weight relationship).
Dampak perkembangan salah satu perikanan terhadap hasil tangkapan dinyatakan sebagai yield per recruit. Simulasi diterapkan untuk memperlihatkan kondisi sumber daya saat ini berdasarkan pada dugaan parameter mortalitas alami, penangkapan dan parameter pertumbuhan Lutjanus malabaricus. Pemilihan jenis ini didasarkan pada pertimbangan bahwa semua jenis armada memanfaatkan jenis ini.
Untuk mengetahui dampak penangkapan fishnet terhadap nilai Yield per recruit total, dihitung pada nilai Lc2 konstan dan Lc1 variable. Bentuk isopleth Yield per recruit mencerminkan perlunya optimasi kombinasi nilai Lc dan F yang dapat memberi hasil tangkapan yang tinggi seperti ditunjukkan sebagai garis terputus pada diagram Gambar 3. Sementara perubahan nilai F yang dibangkitkan oleh rawai dasar tidak memberikan pola yang jelas (Gambar 4).
Pemodelan diterapkan untuk hasil tangkapan fishnet dan rawai dasar dengan ukuran tertangkap saling tumpang tindih (overlapping). Masukan untuk model ditetapkan sebagai berikut: L”= 100 cm, K= 0,3, to=-0,05, dan M=0,27. Simulasi pertama Lc dan nilai F fishnet variabel dan Lc rawai dasar dianggap tetap, simulasi kedua berlaku sebaliknya. Dalam hal ini Lc untuk fishnet lebih kecil dibandingkan Lc untuk rawai dasar vertikal, sedangkan Lr (panjang rata-rata
45
Lc(cm )
40
35
30
25
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
Fishing Mortality (1/year)
Gambar 3. Diagram isopleth Lutjanus malabaricus dengan variabel nilai Lc fishnet dan Lc rawai dasar tetap. Figure 3. Isopleth diagram of Lutjanus malabaricus with fishnet and bottom long line variable value.
55
Lc(cm )
50
45
40
35
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
Fishing Mortality (1/year)
Gambar 4. Diagram isopleth Lutjanus malabaricus pada variabel nilai Lc rawai dasar. Figure 4. Isopleth diagram of Lutjanus malabaricus on the bottom long line variable value.
93
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 89-95
BAHASAN Memperhatikan variasi hasil tangkapan setiap tahun, menunjukkan bahwa ada indikasi pola perubahan daerah penangkapan sehubungan dengan kelimpahan ikan. Hasil tangkapan di Arafura cenderung rendah pada periode April-Oktober diduga berkaitan dengan kondisi suhu air yang relatif dingin pada sebagian besar wilayah perairan Arafura terutama bagian selatan yang berbatasan dengan Australia pada saat itu. Dengan kondisi tersebut akan mempengaruhi pola migrasi sebagian besar populasi ikan demersal menuju ke daerah perairan yang lebih hangat yaitu ke perairan lain (Laut Timor). Berdasarkan pada nilai Lc yang tertangkap fishnet lebih kecil dibandingkan dengan Lc yang tertangkap rawai dasar vertikal, menunjukkan bahwa penangkapan fishnet memiliki dampak yang sangat buruk, karena ikan-ikan yang tertangkap berukuran relatif kecil dan diperkirakan belum sempat melakukan pemijahan. Apabila kondisi ini dibiarkan terus menerus, maka dapat mengganggu kelestarian sumber daya. Oleh karena itu pengembangan perikanan fishnet ke depan perlu dikaji kembali. Hasil analisis parameter populasi diperoleh nilai laju kematian karena penangkapan (F) lebih besar dibandingkan laju kematian alami (M), hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat kematian ikan kakap lebih banyak disebabkan oleh faktor tekanan penangkapan, sedangkan laju eksploitasi (E) > 0,5 mengindikasikan bahwa tekanan eksploitasi sudah cukup tinggi atau overfishing. Pola diagram isopleth yield per recruit memperlihatkan pengaruh yang kuat terhadap nilai Lc yang rendah pada hasil tangkapan fishnet, sementara dengan menentukan perubahan nilai F yang dibangkitkan oleh rawai dasar, tidak memberikan pola yang jelas. Hal ini menunjukkan bahwa dampak perkembangan indeks kematian penangkapan rawai dasar atau upaya penangkapan tidak memberi pengaruh yang nyata pada produktifitas perikanan. Sementara kenaikan upaya penangkapan fishnet berdampak sangat nyata pada nilai yield keseluruhan. Interaksi antar perikanan dimungkinkan oleh perbedaan daerah penangkapan yang dihuni oleh kelompok umur yang berbeda. Penangkapan ikan muda secara teoritis memberi pengaruh yang kuat terhadap hasil tangkapan total walaupun hanya ditunjukkan oleh pola nilai yield per recruit. Nilai ini sebenarnya lebih mencermikan kelimpahan yang pada akhirnya akan tampak sebagai
94
hasil tangkapan per upaya. Sementara belum diperoleh informasi yang akurat mengenai komposisi hasil tangkapan dan struktur data tangkapan, informasi yang dibangkitkan dari analisis ini sudah cukup memadai untuk menetapkan pembatasan penangkapan ikan muda oleh fishnet. Pengembangan penangkapan rawai dasar masih memungkinkan dengan asumsi tidak ada penambahan upaya penangkapan fishnet yang disertai pembatasan penangkapan ikan muda. KESIMPULAN Rangkuman dan sintesis informasi melalui analisis yield per recruit jenis Lutjanus malabaricus, dapat dihasilkan simulasi untuk penangkapan oleh fishnet. Simulasi sejalan dengan nilai eksploitasi sebesar 0,66 yang melampaui batasan optimal yaitu sebesar 0,5. Peningkatan ekspolitasi oleh fishnet berdampak sangat signfikan terhadap kelimpahan dan hasil tangkapan, sebaliknya untuk rawai dasar dan vertikal tidak memberi dampak penurunan sumber daya. Interaksi antar perikanan akan sangat mungkin terjadi jika eksploitasi penangkapan fishnet terus meningkat, yang akan menurunkan produktifitas perikanan rawai dasar dan semua jenis perikanan. Untuk itu disarankan pengawasan dan pembatasan secara ketat perikanan fishnet. Monitoring dan penelitian yang lebih terpadu masih diperlukan untuk menentukan rumusan pengelolaan di masa depan. DAFTAR PUSTAKA Blaber, S.J.M., Dichmont, C.M., Buckworth, R.C., Badruddin, Sumiono, B., Nurhakim, S., Iskandar, B., Fegan, B., Ramm, D.C. & J.P Salini. 2005. Shared‘stocks of snappers (Lutjanidae) in Australia and Indonesia: Integrating biology, population dynamics and socio-economic to examin management scenarios. Review in Fish Biology and Fisheries. 15:111-127. Beverton, R.J.H. & S.J Holt.1957. On the dynamics of exploited fish populations. Fishery Investigations. Ministry of Agricultural. Fishery and Food. London 19, 533. Jones, R. 1964. Estimating population size from commercial statistics when fishing mortality varies with age. Conseil Permanent International pour l’Exploration de la Mer. Rapp. P_v. 155. Jones, R. 1981. The use of length composition data in fish stock assessments (with notes on VPA and Cohort analysis). FAO Fish. Circ. 734. 54p
Interaksi Antar Trawl dan Rawai Dasar………..di Laut Timor dan Arafura (Sadhotomo, B & Suprapto)
Jones, R. 1984. Assessing the effect of change in exploitation pattern using length composition data (with notes on VPA and cohort analysis). FAO Fish. Tech. Pap. 256.188p. Lloyd, J., Ovenden, J.,Newman, S. & C, Keenan. 1996. Stock Structure of Pristipomoides multidens Resources across Northern Australia. Fisheries Research Development Corporation. Department of Primary Industry and Fisheries. Project No.1996/131. Fishery Report No. 49.
Marcille, J. 1978. Dynamique de populations de crevettes exploitées à Madagascar. Travaux et Document de l’ORSTOM, 92 ,1-165. Pope, J.G. 1972. An investigation of the accuracy of virtual population analysis using cohort analysis. Res. Bull. Int. Comm. Norwest Atl. Fish. 9,65-74.
95
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 :
96
Kapasitas Penangkapan Pancing Ulur Tuna di Kepulauan Banda Neira (Baihaqi & Hufiadi)
KAPASITAS PENANGKAPAN PANCING ULUR TUNA DI KEPULAUAN BANDA NEIRA FISHING CAPACITY OF TUNA HANDLINE IN BANDA NEIRA ISLANDS Baihaqi dan Hufiadi Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru - Jakarta Teregistrasi I tanggal: 24 April 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 01 Mei 2013; Disetujui terbit tanggal: 03 Mei 2013
ABSTRAK Kapasitas penangkapan merupakan suatu pendekatan pengelolaan perikanan yang berkaitan dengan pembatasan kapasitas upaya penangkapan ikan. Keberadaan kapasitas upaya penangkapan ditentukan oleh beberapa variabel, seperti : ukuran kapal dan mesin kapal, ukuran jaring, dan teknologi alat bantu penangkapan. Kajian pengelolaan perikanan berbasis kapasitas penangkapan merupakan alternatif pendekatan guna mengendalikan faktor-faktor input yang tidak efisien yang digunakan dalam usaha penangkapan. Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui tingkat efesiensi teknis armada penangkapan pancing tuna di Laut Banda (Banda Neira). Kapasitas penangkapan dikaji menggunakan analisis teknik data envelopment analysis (DEA) dengan menggunakan program linier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perikanan pancing tuna di Banda Neira dengan pendekatan single output (bobot tangkapan), secara umum berada pada tingkat efisiensi yang jauh di bawah optimal dan tingkat input yang ada saat ini sudah melebihi kapasitas yang seharusnya (optimal). Untuk mencapai produksi yang potensial dari ketiga daerah penangkapan (P.Hatta, P.Manukang dan P.Rhum), dilakukan dengan mengurangi kapasitas masing-masing sebesar 33%, 42% dan 45%. KATA KUNCI : Kapasitas penangkapan, efesiensi teknis, pancing tuna, Laut Banda ABSTRACT Fishing capacity is an approad to fishery management relating to restrictions on fishing effort capacity. The effort capacity is determined by several variables such as vessel and engine sizes, the size of the nets, and fishing tool technology. Study of fishing capacity based fisheries management is an alternative approach to control the input factors that are not efficiently used in fishing effort. Through the research capacity ,it is expected to know the level of technical efficiency of fishing tuna fishing fleet in the Banda Sea. Fishing capacity was examined using analysis technique Data Envelopment Analysis (DEA) using a linear programming. The results show that the tuna line fisheries in the Banda Neira with single output aprroach (catch weight), was generally at the level of efficiency that is far under from the optimal level with the current input has exceeded the optimal capacity. To achieve the production potential of the third fishing grounds, reducing the capacity of 33%, 42% and 45% for Hatta Island, Manukang Island and Rhum Island, respectively should be done. KEYWORDS : Fishing capacity, technical efficiency, tuna handline, banda sea
PENDAHULUAN Pengelolaan perikanan pada hakekatnya adalah suatu upaya untuk mengontrol upaya penangkapan, atau kongkretnya mengatur nelayan, pelaku utama kegiatan perikanan, dalam mengoperasikan alat tangkapnya, kapan, dimana dan seberapa besar kapasitas perikanan yang boleh digunakan (Wiyono, 2011). Oleh sebab itu, pengetahuan tentang dinamika perilaku nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Sistem perikanan mempunyai interaksi yang sangat kompleks antara stok dan faktor-faktor lainnya seperti anak buah kapal dan modal yang digunakan
untuk menangkap ikan. Interaksi yang terjadi secara dinamis dapat menyebabkan perubahan secara dinamis baik pada stok sumber daya ikan itu sendiri maupun upaya penangkapannya (Fletcher et al., 1988). Sulitnya pembatasan input (upaya) terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan menjadi suatu permasalahan dan dilema bagi semua komponen dalam pengelolaan perikanan di Indonesia. Untuk mencapai tujuan perikanan tangkap yang berkelanjutan, perlu dilakukan terobosan dalam kaitannya dengan efisiensi input yang digunakan. Efisiensi input sangat berhubungan erat dengan konsep kapasitas penangkapan. Perkembangan
___________________ Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Jakarta Utara
97
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 97-103
kegiatan penangkapan yang tidak terkendali menyebabkan kegiatan perikanan menjadi tidak efisien. Food and Agriculture Organization (FAO) pada 1998 menyebutkan Sumber utama dari kerusakan perikanan di beberapa negara adalah sulitnya mengontrol input (armada perikanan), sehingga manajemen perikanan didekati dengan pengaturan kapasitas penangkapan dari alat tangkap ikan itu sendiri atau management of fishing capacity (FAO, 1998). Pengertian fishing capacity adalah kemampuan unit kapal perikanan (dengan segala aspeknya) untuk menangkap ikan. Kemampuan ini bergantung pada volume stok sumberdaya ikan yang ditangkap (baik musiman maupun tahunan) dan kemampuan alat tangkap ikan itu sendiri (Wiyono, 2005). Kondisi perikanan pancing tuna (pancing ulur/hand line) di Banda Neira telah mengalami peningkatan upaya, sehingga perubahan peningkatan upaya penangkapan tersebut dapat berpengaruh terhadap efisiensi penangkapannya. Secara umum selama 10 tahun terakhir produksi ikan di Banda Neira didominasi oleh tangkapan Thunnus albacares sebesar 6.330 ton, diikuti oleh Decapterus spp sebesar 104,70 ton dan Katsuwonus pelamis sebesar 44,25 ton. Sejak tahun 2005 produksi tuna mengalami peningkatan hingga mencapai 575 ton di tahun 2010.
Pengumpulan Data Penelitian ini menerapkan metode survei yaitu untuk menggali data dan informasi terkait teknis operasional dan karakteristik kapal dan alat tangkap serta hasil tangkapan setiap unit kapal. Pengumpulan data dilakukan di tempat pendaratan ikan (kapal penampung ikan). Data aspek teknis operasional yang dihimpun menurut daerah penangkapan yaitu di Pulau Hatta, Pulau Rhum dan Pulau Manukang. Karakteristik unit penangkapan yang dikumpulkan antara lain dimensi alat tangkap, kapal dan tenaga penggerak. Penentuan sampel unit penangkapan dilakukan secara sengaja untuk unit penangkapan yang mempunyai kelengkapan data. Jumlah keseluruhan kapal sampel yang berhasil dihimpun dari ketiga daerah penangkapan sebanyak 308 kapal sampel. Data primer dikumpulkan dari hasil wawancara dengan nelayan dan pencatatan enumerator. Sedangkan data sekunder berasal dari hasil pencatatan data statistik perikanan. Data yang dihimpun meliputi: dimensi kapal, kekuatan kapal (HP), jumlah ABK (orang), konsumsi bahan bakar minyak (liter), es, jumlah hari di laut, daerah penangkapan, sedangkan aspek output yang digunakan adalah data hasil tangkapan. Analisis Data
Dengan memperhatikan perkembangan dan konstribusi perikanan pancing tuna di Banda Neira maka diperlukan pengelolaan sehingga usaha penangkapan dapat berkesinambungan dan menghindari terjadinya kelebihan kapasitas penangkapan. Untuk mengetahui status pengusahaan perikanan pancing tuna di perairan Banda Neira dan sekitarnya telah dilakukan penelitian nilai efesiensi teknisnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan tingkat efisiensi teknis dan kapasitas penangkapan perikanan pancing tuna di Banda Neira. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Februari – Desember 2011 di Banda Neira, Maluku Tengah.
98
Untuk mengetahui kapasitas penangkapan, data dianalisis dengan metode Data Envelopment Analysis (DEA) dengan menggunakan pendekatan Banker, Charnes and Cooper (BCC) (Cooper et al, 2004). Model analisis DEA yang digunakan dalam analisis efisiensi bersifat variable return to scale (VRS). Data yang telah terkumpul kemudian ditabulasikan, diolah dan dianalisis dengan serangkaian metode dan masing-masing disajikan dalam bentuk tabel, gambar dan grafik. Pengukuran efisiensi penangkapan dilakukan dengan menggunakan teknik DEA. Data dianalisis menggunakan program linear dengan bantuan software Data Envelopment Analysis Programming (DEAP) kemudian analisis dilanjutkan dengan menggunakan program Microsoft Excel versi 2007. Pertama kali ditentukan vektor output sebagai u dan vektor inputs sebagai x. Ada m outputs, n inputs dan j unit penangkapan ikan atau pengamatan. Input dibagi menjadi fixed input (xf) dan variable input (xv). Kapasitas output dan nilai pemanfaatan sempurna dari input, selanjutnya dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Fare et al., 1989):
Kapasitas Penangkapan Pancing Ulur Tuna di Kepulauan Banda Neira (Baihaqi & Hufiadi)
TE = Max θ1 θ , z ,λ
HASIL DAN BAHASAN .......................................... 1
TE (technical efficiency) Sebagai kendalD J
θ1 u jm ≤ z j u jm , j =1
(output dibandingkan
DMU; decision making unit) J
z
j
x jn ≤ x jn ,
j
x jn = λ jn x jn , n ∈ x v
j =1 J
z j =1
n∈ xf
z j ≥ 0,
j = 1, 2,..., J ,
λ jn ≥ 0,
n = 1, 2,..., N .
HASIL Keragaan Pancing Tuna (Hand Line) Kegiatan penangkapan jenis-jenis ikan tuna oleh nelayan di Pulau Banda dan Morella Ambon saat ini menggunakan alat tangkap pancing tuna (hand line). Jumlah armada penangkapan yang mengoperasikan pancing tuna di Banda Neira mencapai 140 unit. Daerah penangkapan pancing tuna berada di wilayah perairan Laut Banda yaitu di sekitar Pulau Hatta, Pulau Rhum, Seram (Pulau Manukang), Pulau Pisang dan Pulau Syahrir. Operasi penangkapan ikan oleh armada pancing tuna dilakukan satu hari per trip (one day fishing ), yaitu berangkat pagi pulang sore hari. Perbekalan untuk operasional penangkapan menggunakan bahan bakar solar (BBM) berkisar 50 – 100 liter terutama untuk pancing tuna yang beroperasi di perairan Pulau Seram (Pulau Manukang). Perbekalan lainnya adalah es balok 7 – 15 balok yang diperoleh dari kapal penampung yang berada di Banda Neira.
Efisiensi Pancing Tuna yang Beroperasi Di Pulau Hatta Dengan keterangan, zj adalah variable intensitas untuk jth pengamatan; θ 1 nilai efisiensi teknis atau Uji model DEA menghasilkan angka efisiensi proporsi di mana output dapat ditingkatkan pada * sebagai indikator kapasitas penangkapan. Angka λ kondisi produksi pada tingkat kapasitas penuh; dan jnefisiensi setiap kapal pancing tuna yang beroperasi adalah rata-rata pemanfaatan variable input di sekitar Pulau Hatta sebagaimana pada Gambar 1 (variable input utilization rate, VIU), yaitu rasio dan distribusi angka efisiensi sebagaimana terlihat penggunaan input secara optimum xjn terhadap pada Gambar 2. Grafik distribusi menunjukkan bahwa pemanfaatan input dari pengamatan xjn. dari 83 kapal pancing tuna, 21 kapal (25,3%) efisien dan yang lainnya (74,3%) kurang efisien. Rata-rata Kapasitas output pada efisiensi teknis (technical tingkat efisiensi pancing tuna mencapai 0,67 efficiency capacity output, TECU) kemudian menunjukkan rata-rata input optimal yang digunakan didefinisikan dengan menggandakan θ1* dengan adalah sekitar 67% dari rata-rata input aktual selama produksi sesungguhnya. Pemanfaatan kapasitas kapal beroperasi. Dengan capaian nilai tersebut (CU ) , berdasarkan pada output pengamatan, menunjukkan bahwa pancing tuna di Banda Neira kemudian dihitung dengan persamaan berikut: perlu ditingkatkan nilai optimumnya dalam pemanfaatan input yang digunakan. Beberapa kapal yang memiliki nilai efisiensi sangat rendah (< 0,5), u 1 TECU = * = * sehingga dianggap tidak menguntungkan. θ1 u θ1 ……………………..……2 Gambar 1, menjelaskan bahwa kondisi faktual Analisis efisiensi teknis dilakukan dengan penangkapan tuna dengan pancing tuna di Banda membandingkan nilai efisiensi antar kapal yang Neira, sebagian berada pada tingkat yang jauh dari dijadikan sebagai DMU (decision making unit). pemanfaatan optimalnya. Peubah ABK, BBM dan Es, Proses penghitungan yaitu dengan menentukan nilai merupakan peubah yang dapat dijadikan instrumen konstanta dari output (µ), fixed input (x) dan variable pengendalian kapasitas. Distribusi pemanfaatan input λ pada masing-masing DMU sehingga variabel input pancing tuna Banda untuk variabel ABK, diperoleh nilai efisiensi penangkapan berdasarkan variabel BBM dan variabel Es masing-masing tingkat pemanfaatan kapasitas (CU) penangkapan dan diperoleh variable of input utilization rate rata-rata tingkat pemanfaatan kapasitas variabel input (VIU). 0,99; 0,97 dan 0,95. Ketiga pemanfaatan variabel input tersebut diperoleh nilai variable of input utilization rate terendah masing-masing 0,75; 0,74; dan 0,46. 99
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 97-103
Efisensi pancing tuna yang beroperasi di Pulau Manukang
Perahu (unit)
60
80 60 40 20 0
40
< 0,700
20 0 < 0,700
1,00 Efisiensi
> 0,700
Gambar 2. Distribusi efisiensi kapal pancing tuna yang beroperasi di perairan Pulau Hatta. Figure 2. Distribution efficiency of tuna handline boats operating in Hatta Island waters.
Perahu (unit)
Perahu (unit)
Gambar 1. Efisiensi kapal pancing tuna (n=83) di perairan Pulau Hatta. Figure 1. Efficiency of tuna handline boats (n = 83) operated in Hatta island waters.
Distribusi angka efisiensi sebagaimana terlihat pada Gambar 4 dan efisiensi tiap kapal pancing tuna yang beroperasi di sekitar Pulau Manukang disajikan pada Gambar 5. Hasil perhitungan kapasitas penangkapan (capacity utilization) pancing tuna yang beroperasi di perairan Pulau Manukang dengan single output diperoleh nilai yang bervariatif. Berdasarkan pada 140 contoh kapal (decision making unit), diperoleh nilai capacity utilization rata-rata 0,58 dengan 100
1,00 CU
> 0,700
Gambar 4. Distribusi efisiensi kapal pancing tuna beroperasi di perairan Pulau Manukang. Figure 4. Distribution of efficiency of tuna handline boats operated in Manukang island waters.
100 ABK
50
BBM ES
0
< 0,70
1,00
>0,70
VIU
Gambar 3. Distribusi pemanfaatan variabel input pancing tuna di periaran P.Hatta. Figure 3. Utilization of input variable distribution of tuna handline in Hatta island waters.
Untuk perbaikan armada yang tidak efisien secara umum perlu mengurangi input yang menjadi instrumen dalam penghitungan kapasitas penangkapan (ABK, BBM, mesin, es, panjang kapal dan lebar kapal).
Gambar 5. Efisiensi kapal pancing tuna (n=140) di perairan Pulau Manukang. Figure 5. Efficiency of tuna handline boats (n=140) operated in Manukang island waters. standar deviasi 0,28. Jumlah kapal yang berada pada nilai CU=1,00 (pemanfaatan optimal) berjumlah 24 kapal (17%), nilai CU<1,00 berjumlah 88 kapal (63%) dan nilai CU>1,00 berjumlah 28 kapal (20%). Pemanfaatan variabel input pancing tuna untuk variabel ABK, BBM dan Es masing-masing diperoleh variable of input utilization rate rata-rata 0,97; 0,97
100
Kapasitas Penangkapan Pancing Ulur Tuna di Kepulauan Banda Neira (Baihaqi & Hufiadi)
ABK
100
BBM ES
50 0
< 0,70
1,00
> 0,70
VIU
Gambar 6. Distribusi pemanfaatan variabel input pancing tuna di perairan Pulau Manukang. Figure 6. Utilization of input variable distribution of tuna handline in Manukang island waters. dan 0,95 dengan standar deviasi masing-masing 0,08; 0,05; 0,12. Ketiga pemanfaatan variabel input (ABK, BBM dan Es) diperoleh nilai variable of input utilization rate terendah (minimum) masing-masing 0,55; 0,81; dan 0,41 (Gambar 6). Secara umum efisiensi pancing tuna dapat ditingkatkan dengan cara mengurangi variabel input antara lain ABK, BBM, kekuatan mesin, es, panjang kapal dan lebar kapal.
Ibrahim Saleh Ali Nyong Ali La Emon La azis Saleh
0,00 0,20 Efficiency 0,40 0,60 0,80 1,00 Gambar 8. Efisiensi kapal pancing tuna (n=85) di perairan Pulau Rhum. Figure 8. Efficiency of tuna handline vessels (n = 85) operated in Rhum island waters.
Perahu (unit)
Perahu (unit)
150
70 60 50 40 30 20 10 0
Perahu (unit)
Tingkat penggunaan variabel input pancing tuna yang beroperasi di perairan Pulau Rhum dengan 100
BBM ES
< 0,70
Efisensi Pancing Tuna yang Beroperasi Di Pulau Rhum Grafik distribusi (Gambar 7), menunjukkan bahwa dari 85 kapal, terdapat 14 (16%) diantaranya berada pada tingkat yang efisien dan yang lain (84%) kurang efisien. Rata-rata tingkat efisiensi pancing tuna yang beroperasi di perairan Pulau Rhum sebesar 0,55 (Gambar 8). Hal ini menunjukkan rata- rata input optimal yang digunakan adalah sekitar 55% dari ratarata input aktual selama kapal beroperasi. Dengan capaian nilai tersebut, pancing tuna perlu ditingkatkan nilai optimalnya terutama kapal yang hanya mampu mendukung kurang dari 50% dari sumberdaya yang ada untuk mencapai kapasitas yang optimal.
ABK
1,00 VIU
>0,70
Gambar 9. Distribusi pemanfaatan variabel input pancing tuna di perairan Pulau Rhum. Figure 9. Utilization of input variable distribution of tuna handline in Rhum island waters. perhitungan single output dapat dilihat pada Gambar 9. Kondisi faktual penangkapan tuna dengan pancing tuna yang beroperasi di Pulau Rhum sebagian besar dalam pemanfaatan variabel input (ABK, BBM dan Es). Distribusi efisiensi antar kapal pancing tuna yang beroperasi di perairan Pulau Rhum dalam penggunaan input variabel sebagian besar berada pada tingkat pemanfaatan yang optimal. Untuk perbaikan armada yang tidak efisien secara umum perlu mengurangi variabel input yang menjadi instrumen dalam penghitungan kapasitas penangkapan. BAHASAN
50 0 < 0,700
1,00
Efisiensi
> 0,700
Gambar 7. Distribusi efisiensi antar kapal pancing tuna beroperasi di perairan Pulau Rhum. Figure 7. Distribution efficiency of tuna handline vessels operated in Rhum island waters.
Kompetisi antar nelayan yang meningkat telah mendorong nelayan untuk melakukan upaya-upaya peningkatan efisiensi dengan menambah daya kapal, teknologi penangkapan ikan, dan alat bantu penangkapan ikan yang kesemuanya menyebabkan meningkatnya kapasitas penangkapan ikan. Dalam mengembangkan taktik penangkapan, nelayan sering kali menggunakan inovasi teknologi untuk
101
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 97-103
meningkatkan efisensi penangkapan. Untuk meningkatkan upaya efisiensi, nelayan pancing tuna di Banda Neira menggunakan pancing layang-layang sebagai alat bantu yang hanya digunakan saat-saat tertentu dan dalam pengoperasiannya menggunakan umpan hidup dan umpan tiruan. Umpan hidup yang digunakan adalah ikan layang dan ikan terbang sedangkan umpan tiruan berupa ikan buatan yang menyerupai cumi-cumi dan ikan terbang. Strategi nelayan untuk keberlanjutan usaha dan mengurangi dampak ketidakpastian hasil tangkapan dapat dilakukan dengan cara menentukan dimana, kapan dan bagaimana taktik dalam menangkap ikan yang harus diterapkan (Mathiesen, 2005). Menurut Smith & Hanna (1990), komponen kapasitas penangkapan dapat dirumuskan dengan menentukan jumlah kapal, ukuran tiap kapal, efisiensi teknis operasional kapal, kemampuan waktu penangkapan tiap kapal pada tiap periode waktu (tahun atau musim). Berdasarkan pada hasil perhitungan DEA terhadap pancing tuna di Banda Neira, diperoleh rata-rata tingkat efisiensi pancing tuna di Banda, Ambon yang beroperasi di perairan Pulau Hatta sebesar 0,67, di perairan Manukang rata-rata sebesar 0,58 dan di Pulau Rhum sebesar 0,55. Pencapaian nilai-nilai efisiensi tersebut, menunjukkan bahwa perikanan pancing tuna di Banda dengan output bobot tangkapan, secara umum berada pada tingkat efisiensi jauh di bawah optimal dan tingkat input yang ada saat ini sudah melebihi kapasitas yang seharusnya (optimal) yang sesuai untuk kapasitas perikanan pancing tuna yang beroperasi di Pulau Hatta, Manukang dan Pulau Rhum masing-masing adalah 50%, 72% dan 83% lebih besar dari produksi aktual. Untuk meningkatkan produksi perikanan pancing tuna mencapai produksi yang potensial dari ketiga daerah penangkapan (P.Hatta, P.Manukang dan P.Rhum) yaitu dengan mengurangi kapasitas masing-masing sebesar 33%, 42% dan 45%. Upaya perbaikan kapasitas diperlukan dengan cara mengurangi input yang berlebih. Agar tingkat kapasitas pemanfaatan optimal dapat dilakukan dengan menambah output atau mengurangi input (Kirkley & Squaire, 1999). Dengan demikian berdasarkan pada pemanfaatan kapasitas variabel input, kapal-kapal pancing tuna yang beroperasi di perairan Pulau Hatta yang tidak mencapai efisiensi penuh (fully efficient) dapat ditingkatkan dengan cara mengurangi es 17%, mengurangi BBM 11%, ABK 4%, mengurangi kekuatan mesin 36%, panjang kapal dan
102
lebar kapal masing-masing 16%. Untuk perbaikan efisiensi armada yang beroperasi di perairan Pulau Manukang dapat dilakukan dengan mengurangi input variabel ABK sebesar 8%, mengurangi konsumsi BBM 7%, dan es 14%. Sementara kapal-kapal pancing tuna yang beroperasi di perairan Pulau Rhum dapat meningkatkan efisiensi dengan cara mengurangi es 15%, mengurangi BBM 6%, ABK 15%, mengurangi kekuatan mesin 32% , panjang jaring dan lebar kapal masing-masing 14% dan 18%. Hasil kajian kapasitas ini mengisyaratkan bahwa dengan kondisi armada perikanan yang ada dan kondisi sumberdaya ikan yang ada, armada penangkapan perlu meningkatkan efisiensi penangkapannya dengan memanfaatkan atau menggunakan input-input untuk penangkapannya secara tidak berlebih. Karena dengan faktor sumberdaya ikan yang sudah sangat terbatas menyebabkan ukuran kapal serta kapasitas mesin penggerak yang semakin besar tidak serta merta mempunyai efisiensi tinggi. Disisi lain dalam penyesuaian ukuran kapal perlu mempertimbangkan terhadap kemampuan jangkauan daerah penangkapan termasuk kestabilan kapal tidak menyebabkan berpengaruh negatif terhadap tingkat efisiensi secara teknis. KESIMPULAN Dari pencapaian nilai efisiensi pancing tuna yang beroperasi di Pulau Hatta, P.manukang dan P.Rhum masing-masing rata-rata sebesar 0,67, 0,58 dan 0,55 , ditunjukkan bahwa perikanan pancing tuna di Banda secara umum berada pada tingkat efisiensi dibawah optimal dan tingkat input yang ada saat ini sudah melebihi kapasitas yang optimal. SARAN Untuk meningkatkan produksi perikanan pancing tuna dapat mencapai produksi yang potensial dari ketiga daerah penangkapan (P.Hatta, P.Manukang dan P.Rhum) yaitu dengan mengurangi kapasitas masingmasing sebesar 33%, 42% dan 45%. PERSANTUNAN Kegiatan dari hasil riset Kapasitas Penangkapan Perikanan Pukat Hela di Selat Makasar dan Pancing Tuna di Laut Banda TA. 2011 di Balai Penelitian Perikanan Laut.
Kapasitas Penangkapan Pancing Ulur Tuna di Kepulauan Banda Neira (Baihaqi & Hufiadi)
DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 2011. Statistik Perikanan Banda Neira Tahun 2001 – 2010. Dinas Kelautan dan Perikanan Banda Neira, Maluku Tengah. Cooper, W.C., L.M. Seiford, Tone & Kaoru. 2004. Data Envelopment Analysis. Massachusets: Kluwer Academic Publisher. FAO (Food and Agriculture Organisation of The Unit Nation). 1998. Report of the Technical Working Group on the Management of Fishing Capacity. Rome: FAO Fisheries Report No. 586 Fare R. Grosskopf S. & EC Kokkelenberg. 1989. Measuring Plan Capacity, Utilization and Technical Change: A Nonparametric Approach. International Economic Review 30: 655-666. Fletcher et al., 1988. Trace Element Deficiencies and Immune Responsiveness in Human and Animal Models. In: Nutrition and Immunology, Chandra, R.K. (Ed.). Alan, R. Liss Inc., New York, USA.
Kirkley J.E. & D.E. Squires. 1999. Measuring Capacity and Capacity Utilization in Fisheries. Greboval D, Editor. Managing Fishing capacity. Rome: FAO Fisheries Technical Paper 386: 752000. Mathiesen, C. 2005. Analitycal framework for studying fishers’ behavior and adaptation strategies. Institute of fisheries Management and Coastal Community Development (IFM), Denmark. Smith, C. L., & S. S. Hanna. 1990. Measuring Fleet Capacity and Capacity Utilization. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Science. 47. Wiyono, E.S. 2011. Reorientasi Manajemen Perikanan Skala Kecil. New Paradigma In Marine Fisheries. Pemanfaatan Dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut Berkelanjutan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institu Pertanian Bogor . Buku II. hal 23-33. Wiyono, E.S. 2005. Perspektif Baru dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan. Edisi Vol.3/XVII/ Maret2005-Nasional. (http:\\io.ppi-jepang. org.article.php).
103
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 :
104
Pengaruh Iluminasi Atraktor Cahaya …. Tangkapan Ikan pada Bagan Apung (Anggawangsa, R. F., et al)
PENGARUH ILUMINASI ATRAKTOR CAHAYA TERHADAP HASIL TANGKAPAN IKAN PADA BAGAN APUNG EFFECT OF LIGHT ILLUMINATION OF ATTRACTOR ON CATCH OF LIFT NET IN PELABUHAN RATU Regi Fiji Anggawangsa, Ignatius Tri Hargiyatno dan Berbudi Wibowo Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Teregistrasi I tanggal: 01 Februari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 04 April 2013; Disetujui terbit tanggal: 15 April 2013
ABSTRAK Atraktor cahaya sebagai alat bantu penangkapan banyak digunakan untuk mengumpulkan ikan pada alat tangkap bagan apung. Tiga macam atraktor cahaya, yaitu petromaks minyak tanah (dengan iluminasi maksimal 80 lux), petromaks gas (dengan iluminasi maksimal 60 lux), dan lampu genset (dengan iluminasi maksimal 500 lux) digunakan pada bagan apung di Palabuhanratu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan iluminasi cahaya pada ketiga macam sumber cahaya tersebut terhadap hasil tangkapan bagan apung. Metode yang digunakan adalah eksperimen penangkapan ikan dengan menggunakan tiga jenis atraktor cahaya pada bagan apung. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan iluminasi atraktor cahaya pada bagan apung berpengaruh terhadap komposisi hasil tangkapan. Hasil tangkapan bagan pada saat menggunakan atraktor cahaya petromaks minyak tanah (80 lux) didominasi oleh ikan layur (Trichiurus spp.) yang mencapai lebih dari 50%, petromaks gas (60 lux) didominasi oleh ikan layur (Trichiurus spp.) dan cumi-cumi (Loligo spp.) sedangkan untuk atraktor lampu genset (500 lux) didominasi oleh layur dan cumi-cumi. KATA KUNCI: Atraktor cahaya, petromaks, lampu, bagan apung ABSTRACT Light attractor has been used as a fishing device to gather fish schooling on lift net. There are three types of light attractors i.e. kerosene pressure lamp, gas pressure lamp and genset lamp used by Palabuhanratu’s lift net. The aim of this research is to investigate the effect of those light attractors on the lift net catches. The experimental fishing method was used. The results show that illumination produced by genset lamp was higher (500 lux) than the two other light attractors at all observation positions with maximum illumination obtained of 80 lux for kerosene pressure lamp and 60 lux for gas pressure lamp. Catch of lift net when using kerosene pressure lamp attractor (80 lux) was dominated by hairtail fish (Trichiurus spp.) that reaches more than 50%, gas kerosene lamps attractor (60 lux) was dominated by fish Layur (Trichiurus spp.) and squid (Loligo spp.) while for the attractor generator light (500 lux) was dominated either by Layur and squid. KEYWORDS: Light attractor, pressure lamp, lamp, lift net
PENDAHULUAN Penggunaan alat bantu cahaya merupakan salah satu metode yang paling berhasil untuk mengontrol perilaku ikan dan cumi-cumi untuk tujuan penangkapan, karena penglihatan merupakan indera yang paling dominan dalam aktifitas makan dan aktifitas lainnya pada kebanyakan ikan yang hidup di permukaan (Anongponyoskun et.al., 2011; Blaxter, 1980). Cahaya digunakan untuk menarik/ mengumpulkan ikan agar dapat tertangkap dengan lebih mudah. Biasanya penggunaan cahaya ini dilakukan pada alat tangkap yang beroperasi malam hari. Penggunaan cahaya lampu banyak digunakan di hampir seluruh daerah tropis dan sub-tropis untuk menarik ikan dengan alat tangkap purse seine, ring ___________________
net atau lift net. Atraktor cahaya tidak banyak digunakan di perairan beriklim sedang karena tidak adanya reaksi positif dari ikan (Thompson & Ben-Yami, 1984). Menurut Subani & Barus (1989), penggunaan lampu sebagai alat bantu penangkapan (light fishing) di Indonesia sudah lama dikenal nelayan, perkembangannya yang berarti terjadi sejak tahun 1950-an sama halnya dengan alat bantu rumpon dan payos. Fungsi lampu adalah untuk mengumpulkan kawanan ikan kemudian ikan yang sudah terkumpul ditangkap dengan menggunakan berbagai alat tangkap, seperti payang (danish seine), payang oros, pukat buton, pukat cincin (purse seine), lampara, soma dampar, soma redi, bouke ami (stick held dipnet), jaring insang lingkar (encircling gillnet), pancing (hook and line), serok (scoop net) dan bagan (lift net).
Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Gedung Balitbang KP II, Jl. Pasir Putih II Ancol Timur, Jakarta Utara
105
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 105-111
Bagan merupakan salah satu jenis alat tangkap yang termasuk ke dalam kelompok jaring angkat (lift net). Penggunaan jaring angkat sudah banyak digunakan di Asia, ditempatkan pada beberapa kapal dan kadang-kadang dioperasikan oleh beberapa kapal berkelompok. Alat tangkap ini dioperasikan dengan menggunakan atraktor cahaya dan menggunakan rangka persegi untuk menopang jaring dan bangunan di atas nya (Sainsbury, 1996). Di Indonesia, terdapat beberapa jenis bagan yang biasa dioperasikan oleh nelayan yaitu bagan apung, bagan tancap dan bagan rakit/bagan perahu. Bagan, khususnya bagan apung merupakan salah satu alat tangkap utama untuk menangkap ikan pelagis di Palabuhanratu selain payang dan gillnet. Bagan apung di Palabuhanratu beroperasi di sekitar atau dekat dengan pantai tersebar hampir di sepanjang pesisir Palabuhanratu sampai ke perbatasan dengan Provinsi Banten. Produksi hasil tangkapan bagan merupakan salah satu yang tertinggi di Palabuhanratu, pada 2009 sekitar 259,49 ton dengan nilai produksinya mencapai lebih dari 1,3 milyar rupiah (Anonymous, 2010). Produksi perikanan bagan mengalami fluktuasi setiap tahunnya dan cenderung meningkat, sedangkan untuk tiap bulannya juga mengalami fluktuasi dan mengalami puncak rata-rata pada Juli sampai September. Sebelum 2009 lampu petromaks merupakan sumber cahaya utama untuk alat tangkap bagan apung di Palabuhanratu. Harga BBM khususnya minyak tanah sebagai bahan bakar lampu petromaks yang meningkat tinggi menjadikan nelayan bagan apung mencari alternatif bahan bakar lain dengan biaya yang lebih murah. Pada 2009 hampir semua nelayan bagan apung memodifikasi lampu petromaks menjadi berbahan bakar LPG, namun hanya bertahan beberapa bulan sampai digunakannya lampu genset sebagai sumber cahaya bagan apung karena biaya operasionalnya yang lebih murah dan hasil tangkapan lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh iluminasi cahaya pada tiga sumber cahaya bagan apung dan pengaruhya terhadap komposisi hasil tangkapan pada bagan apung. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan dengan menggunakan bagan apung milik nelayan Palabuhanratu, menggunakan tiga jenis sumber cahaya sebagai perlakuan yaitu lampu petromaks dengan bahan bakar minyak tanah, lampu petromaks dengan bahan bakar gas LPG dan lampu Visicom 600 watt dengan listrik dari genset.
106
Pengamatan dilakukan pada November 2010 di perairan Cibangban, Palabuhanratu, Jawa Barat (Gambar 2). Peralatan yang digunakan antara lain secchi disc untuk mengukur kecerahan, lux-meter tipe OSK 16648 marine dengan skala 0-500 lux untuk mengukur luminansi cahaya, termometer, neraca digital dan kamera. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan satu unit bagan apung yang dioperasikan menggunakan tiga jenis atraktor cahaya (lampu petromaks dengan bahan bakar minyak tanah, lampu petromaks dengan bahan bakar gas LPG dan lampu listrik) sebagai perlakuan. Ketiga atraktor cahaya masing-masing dioperasikan sebanyak tiga kali setting dengan lama setting 3-4 jam. Untuk setiap pemakaian sumber cahaya berbeda dilakukan pengukuran suhu kecerahan, iluminansi cahaya dan hasil tangkapannya. Pengukuran luminansi cahaya dengan menggunaka lux meter dilakukan pada jarak 0 m, 1 m, 2 m dari pusat cahaya dan di ujung bagan (4.5 m pada garis tengah dan 6.3 m pada diagonal), pengukuran dilakukan pada garis tengah dan diagonal bagan. Pengukuran iluminansi cahaya dimulai dari permukaan (0 m) setiap 1 meter sampai kedalaman dimana luminasi tidak terdeteksi lagi oleh lux meter (Gambar 3). Asumsi yang digunakan adalah tidak ada perbedaan kondisi perairan pada semua setting dan peluang ikan tertangkap setiap setting sama. Iluminasi cahaya (E) adalah ukuran fluks fotometrik per satuan luas, atau kerapatan fluks yang terlihat. Untuk mengukur iluminasi cahaya dari suatu sumber cahaya digunakan rumus berikut (Anonymous, 2000). E=
………………………………………….. 1)
dimana, E : Iluminasi cahaya (lux;lm/m2); I : Intensitas cahaya (lm); dan r : Jarak dari sumber cahaya (m). Ikan hasil tangkapan yang didapatkan kemudian dikelompokkan menurut spesies dan dilakukan pengukuran berat dan jumlah individu untuk masingmasing kelompok spesies.
Pengaruh Iluminasi Atraktor Cahaya …. Tangkapan Ikan pada Bagan Apung (Anggawangsa, R. F., et al)
Gambar 1. Lokasi Penelitian. Figure 1. Research location. Iluminasi Cahaya Pada Atraktor Cahaya Bagan Apung
Gambar 2. Posisi horizontal pengukuran iluminasi cahaya dengan Lux meter. Figure 2. Horizontal Position of the measurement of light ilumination with Lux meter. HASIL DAN BAHASAN HASIL Suhu dan Kecerahan Perairan Pengamatan suhu permukaan dan kecerahan dilakukan pada saat sumber cahaya sudah mulai dinyalakan. Suhu permukaan air pada tiga macam sumber cahaya tidak berbeda, yaitu sekitar 26° C. Kecerahan perairan menunjukkan perbedaan antara lampu genset dengan dua macam lampu petromaks. Kecerahan perairan untuk dua jenis lampu petromaks sama yaitu sekitar 3 meter, sedangkan untuk lampu genset mencapai 5 meter.
Nilai iluminasi cahaya untuk ketiga jenis atraktor bervariasi. Nilai iluminasi maksimum untuk petromaks minyak tanah adalah 80 lux, untuk petromaks gas 60 lux dan untuk lampu genset 500 lux. Iluminasi di permukaan air tepat di bawah cahaya lampu genset mencapai 500 lux sedangkan untuk petromaks minyak tanah dan petromaks gas kurang dari 100 lux. Sebaran vertikal (menurut kedalaman perairan) iluminasi cahaya menunjukkan semakin dalam cahaya menembus medium air laut semakin kecil iluminasi cahayanya. Pada gambar 3 terlihat nilai iluminasi cahaya semakin menurun dari permukaan. Dari beberapa posisi pengukuran menunjukkan bahwa iluminasi sumber cahaya dari petromaks minyak tanah dan petromaks gas dapat terukur sampai kedalaman 4-5 meter, sedangkan untuk lampu genset dapat terukur sampai kedalaman 8-9 meter dari permukaan. Pada posisi pengamatan ujung samping dan ujung diagonal, iluminasi cahaya (khususnya pada lampu genset) pada permukaan bernilai kecil (< 5 lux) dan semakin menguat sampai kedalaman 3 - 4 meter kemudian nilainya semakin berkurang sampai tidak terdeteksi lagi di kedalaman 8 – 9 meter. Hasil Tangkapan Hasil tangkapan bagan apung yang didapatkaan selama penelitian didominasi oleh ikan-ikan pelagis
107
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 105-111
Pusat
Samping ujung (4.5 m) Iluminasi cahaya (lux) 0
Kedalaman (meter)
seperti tembang (Sardinella fimbriata), teri (Stolephorus spp.), ikan terbang (Hirundichthys spp.) dan talang-talang (Chorinemus tala), selain itu juga tertangkap ikan demersal seperti pepetek (Leiognathus spp.), layur (Trichiurus spp.), cumi-cumi (Loligo spp.) dan udang rebon (Mysis spp.). Terdapat 7 spesies ikan yang tertangkap dengan atraktor petromaks gas, 5 spesies yang tertangkap dengan atraktor petromaks minyak tanah dan 4 spesies yang tertangkap dengan atraktor lampu genset.
Iluminasi cahaya (lux) 0
100
200
300
400
500
5
10
15
20
25
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
600
Petromaks minyak
Petromaks gas
Lampu diesel
0 1
Kedalaman (m)
2
(d)
3 4
Diagonal 1 meter
5 6
Iluminasi cahaya (lux)
7
0
8
20
40
60
80
100
120
140
0
9
Petromaks minyak
Petromaks gas
Lampu diesel
(a)
Samping 1 meter
Kedalaman (meter)
10
2 4 6 8 10
Iluminasi cahaya (lux) 0
20
40
60
80
100
120
12
140
Petromaks minyak
Kedalaman (meter)
0
Petromaks gas
Lampu diesel
2
(e)
4
Diagonal 2 meter
6 8
Iluminasi cahaya (lux)
10
0
10
20
30
40
50
60
0
12
Petromaks gas
Lampu diesel
(b)
Samping 2 meter Iluminasi cahaya (lux)
Kedalaman (meter)
0
20
40
60
100
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2 3 4 5 6 7 8 9 10
Petromaks minyak
Petromaks gas
(f)
Petromaks minyak
Petromaks gas
(c)
108
80
Kedalaman (meter)
1
Petromaks minyak
Lampu diesel
Lampu diesel
Pengaruh Iluminasi Atraktor Cahaya …. Tangkapan Ikan pada Bagan Apung (Anggawangsa, R. F., et al)
1.600
Diagonal ujung (6.3 m)
1.400
Iluminasi cahaya (lux) 4
6
1.200
8
10
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tangkapan (gr)
2
Layur
1.000
Cumi-cumi Tembang
800
Terbang
600
Talang-talang
400
Pepetek Teri
200
Udang merah
0 Petromaks minyak tanah
Petromaks gas
Lampu diesel
Jenis Atraktor Lampu
Petromaks minyak
Petromaks gas
Lampu diesel
(g) Gambar 3. Sebaran iluminasi cahaya berdasarkan kedalaman: (a) pusat; (b) samping 1 m; (c) Samping 2 m; (d) samping ujung (4.5 m); (e) diagonal 1 m; (f) diagonal 2 m; (g) diagonal ujung (6.3 m). Figure 3. Distribution of light illumination by depth: (a) center; (b) side - 1 m; (c) side – 2 m; (d) side – edge (4.5 m); (e) diagonal – 1 m; (f) diagonal – 2 m; (g) diagonal – edge (6.3 m).
Gambar 4. Berat total hasil tangkapan bagan apung berdasarkan jenis lampu Figure 4. Total catch (weight/hauling) for life net based on type of lamp 100% 90% 80% 70% Proporsi
Kedalaman (meter)
0
Udang merah
60%
Teri
50%
Pepetek
40%
Talang-talang
30%
Terbang
20%
Tembang
10%
Cumi-cumi Layur
0% Petromaks minyak tanah
Petromaks gas
Lampu diesel
Jenis Atraktor
(a) 100% 90% 80% Proporsi
Total tangkapan yang didapatkan per tarikan bagan apung selama penelitian adalah 522 gr pada atraktor petromaks minyak tanah, 1,823 gr/tarikan pada atraktor petromaks gas dan 1,682 gr/tarikan untuk atraktor lampu (Gambar 4). Tangkapan bagan yang menggunakan atraktor petromaks minyak tanah dan petromaks gas didominasi oleh layur baik dari jumlah individu maupun berat tangkapannya, sedangkan untuk atraktor lampu genset dari segi jumlah individu tangkapan didominasi oleh teri dan cumi-cumi, tetapi untuk berat tangkapan jenis cumi-cumi yang lebih banyak tertangkap (Gambar 5a & 5b).
70%
Udang merah
60%
Teri
50%
Pepetek
40% 30%
Talang-talang
20%
Tembang
10%
Cumi-cumi
Terbang
0%
Layur
Petromaks minyak tanah
Petromaks gas
Lampu diesel
Jenis Atraktor
(b) BAHASAN Suhu permukaan yang diperoleh tidak berbeda untuk ketiga atraktor yaitu sekitar 26° C, hal tersebut sedikit berbeda dari hasil penelitian Ta’alidin (2000) yaitu suhu perairan di sekitar bagan apung Palabuhanratu berkisar antara 23,1° - 25,3° C. Perbedaan kecerahan perairan pada saat pengoperasian bagan apung dengan menggunakan atraktor petromaks minyak tanah dan petromaks gas (3 m) dengan atraktor lampu genset (5 m) disebabkan iluminasi cahaya yang dihasilkan lampu genset jauh lebih besar sehingga mampu menembus medium air lebih dalam.
Gambar 5. Komposisi hasil tangkapan bagan apung: (a) jumlah individu; (b) berat tangkapan. Figure 5. Catch composition of liftnet: (a) number of fish; (b) catch weight. Besarnya iluminasi cahaya pada atraktor lampu tepat di bawah sumber cahaya jauh lebih besar daripada atraktor lainnya, hal tersebut selain karena intensitas cahaya yang berbeda juga karena keberadaan konstruksi penyangga semprong tangki bahan bakar yang berada di bagian bawah petromaks sehingga menghalangi cahaya memancar ke arah bawah (Puspito, 2008). Iluminasi cahaya akan semakin menurun jika jarak dari sumber cahaya semakin jauh dan apabila cahaya tersebut melewati
109
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 2 Juni 2013 : 105-111
medium air. Sebaran intensitas cahaya mengikuti pola merambat dan berkurang intensitasnya secara eksponensial seiring dengan kedalaman perairan (Ben Yami, 1987; Natsir & Mahiswara, 2010). Rendahnya nilai iluminasi cahaya pada pengukuran di ujung samping dan ujung diagonal disebabkan penggunaan tudung (penutup) di atas sumber cahaya (petromaks dan lampu) sebagai reflektor sehingga cahaya lebih banyak diarahkan ke arah bawah dibanding ke arah samping. Hasil tangkapan yang didapatkan pada saat penelitian terdiri dari beberapa spesies antara lain tembang (Sardinella fimbriata), teri (Stolephorus spp.), ikan terbang (Hirundichthys spp.), talang-talang (Chorinemus tala), pepetek (Leiognatus spp.), layur (Trichiurus spp.), cumi-cumi (Loligo spp.) dan udang rebon (Mysis spp.). Ikan-ikan tersebut tertangkap disebabkan tertarik pada atraktor cahaya maupun mencari mangsa di sekitar bagan apung. Ikan hasil tangkapan yang ditangkap oleh pukat atau jaring angkat dengan bantuan atraktor cahaya cenderung terdiri dari banyak spesies dan didominasi ikan pelagis kecil, hal ini disebabkan hampir semua ikan pelagis kecil di wilayah tropis menunjukkan sifat phototaxis positif seperti sardine, teri, tongkol kecil dan ikan-ikan kecil lainnya. Ikan-ikan tersebut tertangkap disebabkan oleh respon ikan terhadap cahaya buatan yang dihasilkan oleh atraktor cahaya pada bagan, terdapat hubungan antara respon perilaku terhadap cahaya buatan dan perilaku visual terhadap kondisi cahaya alami. Reaksi spesies tertentu terhadap cahaya buatan diduga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, kebiasaan dan strategi makan (Thompson & Ben-Yami, 1984; Marchesan et al., 2005). Berat total tangkapan bagan pada saat menggunakan atraktor petromaks gas lebih besar dari dua jenis atraktor lain, hal ini disebabkan ikan yang dominan tertangkap adalah ikan yang berukuran besar seperti cumi-cumi dan layur. Berbeda dengan atraktor lainnya, lampu genset lebih banyak menangkap ikan teri yang berukuran kecil dengan jumlah individu yang banyak namun untuk berat tangkapan didominasi oleh cumi-cumi. Ikan teri dominan tertangkap dengan atraktor lampu genset disebabkan iluminasi yang dihasilkan lampu genset jauh lebih besar dibanding dua atraktor lain dan sifat ikan teri fototaksis positif sehingga semakin besar intensitas cahaya yang dipancarkan atraktor semakin banyak pula konsentrasi ikan tersebut di bawah atraktor cahaya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sudirman (2003) bahwa secara fisiologis, ikan teri (Stolephorus sp.) yang tertangkap pada bagan murni fototaksis positif, senang pada intensitas cahaya yang tinggi dan
110
tertangkap setelah teradaptasi sempurna pada cahaya. Ikan yang tertangkap sebagian merupakan jenisjenis ikan yang berukuran kecil seperti teri, tembang dan pepetek, namun terdapat pula jenis ikan lain yang masih muda/berukuran kecil seperti ikan talang-talang dan ikan terbang. Menurut Natsir & Mahiswara (2010), Ikan-ikan berukuran kecil akan lebih cepat tertarik mendekati pusat cahaya pada awal penyinaran. Kebanyakan ikan memanfaatkan penglihatan untuk orientasi gerak dan melakukan aktivitas seperti mencari makan, berkembang biak dan menghindari predator (Marchesan et al., 2005). Pada bagan apung yang menggunakan lampu genset (500 lux), nilai iluminasi cahaya yang tinggi tidak terlalu mempengaruhi keberadaan ikan-ikan predator seperti layur karena ikan-ikan predator tersebut tertangkap karena mencari makan ikan-ikan kecil. Ikan yang berukuran lebih besar yang tertangkap lebih tertarik oleh konsentrasi dan pergerakan ikan-ikan kecil yang dipengaruhi cahaya dan cenderung berada pada wilayah transisi (transition zone) antara gelap dan terang, sedangkan cumi-cumi juga tertarik dengan cahaya tetapi lebih banyak berada pada pinngiran daerah yang terang (Thompson & Ben-Yami, 1984; Natsir & Mahiswara, 2010), hal ini dapat dilihat dari hasil tangkapan bagan menggunakan atraktor lampu genset yang didominasi oleh cumi-cumi. KESIMPULAN Iluminasi cahaya yang dihasilkan atraktor cahaya lampu genset jauh lebih besar (500 lux) dari atraktor petromaks minyak tanah (80 lux) dan petromaks gas (60 lux) pada semua posisi pengukuran baik horizontal maupun vertikal menurut kedalaman perairan. Perbedaan iluminasi atraktor cahaya pada bagan apung berpengaruh terhadap komposisi hasil tangkapan. Hasil tangkapan bagan yang menggunakan atraktor cahaya petromaks minyak tanah didominasi oleh ikan layur (Trichiurus sp.), petromaks gas didominasi oleh cumi-cumi (Loligo spp.), sedangkan untuk atraktor lampu genset didominasi oleh ikan layur dan cumi-cumi. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian Kajian Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Laut dan Perairan Umum Daratan, T.A. 2010 di Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan.
Pengaruh Iluminasi Atraktor Cahaya …. Tangkapan Ikan pada Bagan Apung (Anggawangsa, R. F., et al)
DAFTAR PUSTAKA Anongponyoskun, M., K. Awaiwanont, S. Ananpongsuk & S. Arnupapboon. 2011. Comparison of Different Light Spectra in Fishing Lamps. Kasetsart J. (Nat. Sci.). 45 (2011) : 856 – 862. Anonymous. 2000. Illumination Fundamentals. The Lighting Research Center: New York. 46 p. ———————. 2010. Laporan Tahunan Statistik Perikanan Tangkap Tahun 2009. PPN Palabuhanratu. Blaxter, J.H.S. 1980. Vision and the feeding of fishes, In Bardach, J.E., J.J. Magnuson, R.C. May and J.M. Reinhart (eds.) Fish behavior and its use in the capture and culture of fishes. ICLARM Conference Proceedings 5, 512 p. International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila, Philippines. p. 32-56. Ben-Yami, M. 1987. Fishing with light. FAO Fishing Manuals. FAO, Rome, Italy. 121 p. Marchesan, M, Spoto, M, Verginella, L & E.A. Ferrero. 2005. Behavioural effects of artificial light on fish species of commercial interest. Fisheries Research 73 : 171-185.
Sainsbury, J.C. 1996. Commercial Fishing Methods: An Introduction to Vessel and Gears. 3rd Edition. Oxford: Fishing News Book. 369 p. Subani, W. & H. Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 50. Edisi Khusus, BPPL, Deptan, Jakarta. 248 p. Sudirman. 2003. Analisis Tingkah Laku Ikan untuk Mewujudkan Teknologi Ramah Lingkungan dalam Proses Penangkapan pada Bagan Rambo. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 307 p. Ta’aladin, Z. 2000. Pemanfaatan Lampu Listrik dalam Upaya Peningkatan Hasil Tangkapan pada Bagan Apung Tradisional di Pelabuhan Ratu. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 92 p. Thompson, D.B & M. Ben-Yami. 1984. Fishing Gear Selectivity and Performance. Papers presented at the Expert Consultation on the regulation of fishing effort (fishing mortality). Rome, 17–26 January 1983. A preparatory meeting for the FAO World Conference on fisheries management and development. FAO Fish.Rep. (289) Suppl. 2: 214p.
Natsir, M & Mahiswara. 2010. Pola Agegrasi Ikan Pelagis terhadap Pengaruh Cahaya pada Alat Tangkap Mini Purse Seine. J.Lit.Perikanan.Ind 16 (1): 63 -73. Puspito, G. 2008. Lampu Petromaks: Manfaat, Kelemahan dan Solusinya pada Perikanan Bagan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan-Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. 62 p.
111
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Pedoman Bagi Penulis UMUM 1. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia memuat hasil-hasil penelitian bidang biologi perikanan, teknologi pemanfaatan sumberdaya ikan, pengkajian potensi dan pemacuan sumberdaya ikan. 2. Naskah yang dikirim asli dan jelas tujuan, bahan yang digunakan, maupun metode yang diterapkan dan belum pernah dipublikasikan atau dikirimkan untuk dipublikasikan di mana saja. 3. Naskah ditulis/diketik dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak diperkenankan menggunakan singkatan yang tidak umum 4. Naskah diketik dengan program MS-Word dalam 2 spasi , margin 4 cm (kiri)-3 cm (atas)-3 cm (bawah) dan 3 cm (kanan), kertas A4, font 12-times news roman, jumlah naskah maksimal 15 halaman dan dikirim rangkap 3 beserta soft copynya. Penulis dapat mengirimkan naskah ke Redaksi Pelaksana Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Pusat Riset Perikanan Tangkap, Jl. Pasir Putih No.1 Ancol, Jakarta Utara 14430, Telp.: (021) 64711940, Fax.: (021) 6402640, E-mail:
[email protected]. 5. Dewan Redaksi berhak menolak naskah yang dianggap tidak layak untuk diterbitkan. PENYIAPAN NASKAH 1.
Judul
2.
Abstrak
3.
Kata Kunci
4.
Pendahuluan
5.
Bahan dan Metode
6.
Hasil dan Bahasan
7. 8. 9.
Kesimpulan Persantunan Daftar Pustaka
Contoh
10. Tabel 11. Gambar
: Naskah hendaknya tidak lebih dari 15 kata dan mencerminkan isi naskah, diikuti dengan nama penulis. Jabatan atau instansi penulis ditulis sebagai catatan kaki di bawah halaman pertama. : Dibuat dengan Bahasa Indonesia dan Inggris paling banyak 250 kata, isinya ringkas dan jelas serta mewakili isi naskah. : Ditulis dengan Bahasa Indonesia dan Inggris, terdiri atas 4 sampai 6 kata ditulis dibawah abstrak dan dipilih dengan mengacu pada agrovocs. : Secara ringkas menguraikan masalah-masalah, tujuan, dan pentingnya penelitian. Jangan menggunakan sub bab. : Secara jelas dan ringkas menguraikan penelitian dengan rincian secukupnya sehingga memungkinkan peneliti lain untuk mengulangi penelitian yang terkait. : Hasil dan bahasan dipisah, diuraikan secara jelas serta dibahas sesuai dengan topik atau permasalahan yang terkait dengan judul. : Disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud, tujuan, serta hasil penelitian. : Memuat judul kegiatan dan dana penelitian yang menjadi sumber penulisan naskah. : Disusun berdasarkan pada abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut. Nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku atau nama dan nomor jurnal, penerbit dan kota, serta jumlah atau nomor halaman.
: Sunarno, M. T. D., A. Wibowo, & Subagja. 2007. Identifikasi tiga kelompok ikan belida (Chitala lopis) di Sungai Tulang Bawang, Kampar, dan Kapuas dengan pendekatan biometrik. J.Lit.Perikan.Ind. 13 (3). 1-14. Sadhotomo, B. 2006. Review of environmental features of the Java Sea. Ind.Fish Res J. 12 (2). 129-157. Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scintific Publishing Company. New York. 318 p. Defeo, O., T. R. Mc Clanahan, & J. C. Castilla. 2007. A brief history of fisheries management with emphasis on societal participatory roles. In McClanahan T. & J. C. Castilla (eds). Fisheries Management: Progress toward Sustainability. Blackwell Publishing. Singapore. p. 3-24. Utomo, A. D., M. T. D. Sunarno, & S. Adjie. 2005. Teknik peningkatan produksi perikanan perairan umum di rawa banjiran melalui penyediaan suaka perikanan. In Wiadnyana, N. N., E. S. Kartamihardja, D. I. Hartoto, A. Sarnita, & M. T. D. Sunarno (eds). Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia Ke-1. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. p. 185-192. Publikasi yang tak diterbitkan tidak dapat digunakan, kecuali tesis, seperti contoh sebagai berikut: Anderson, M.E, Satria F. 2007. A New Subfamily, Genus, and Species of Pearlfish (Teleostei: Ophidiiformes: Carapidae) from Deep Water off Indonesia. Species Diversity 12: 73-82.
: Disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, dengan judul di bagian atas tabel dan keterangan. : Skema, diagram alir, dan potret diberi nomor urut dengan angka Arab. Judul dan keterangan gambar diletakkan di bawah gambar dan disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. 12. Foto : Dipilih warna kontras atau foto hitam putih, judul foto ditulis dalam dua Bahasa Indonesia dan Inggris, dan nomor urut di sebaliknya. Dicetak dalam kertas foto atau dalam bentuk digital. 13. Cetak Lepas (Reprint) : Penulis akan menerima cetak lepas secara cuma-cuma. Bagi tulisan yang disusun oleh lebih dari seorang penulis, pembagiannya diserahkan pada yang bersangkutan.