ISSN 1979 - 9366
JURNAL KEBIJAKAN PERIKANAN INDONESIA Volume 5 Nomor 2 Nopember 2013 Nomor Akreditasi : 425/AU/P2MI-LIPI/04/2012 (Periode April 2012 – April 2015) Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia adalah wadah informasi perikanan, baik laut maupun perairan umum daratan. Jurnal ini menyajikan analisis dan sintesis hasil-hasil penelitian, informasi, dan pemikiran dalam kebijakan kelautan dan perikanan. Terbit pertama kali tahun 2009, dengan frekuensi penerbitan dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan: MEI dan NOPEMBER. Ketua Redaksi: Prof. Dr. Ali Suman Anggota: Prof. Dr. Ir. Wudianto, M.Sc. Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Dr. Ir. Sonny Koeshendrajana, M.Sc. Dr. Achmad Poernomo, M. App. Sc. Dr. Ir. Luky Adrianto, M. Sc. Mitra Bestari untuk Nomor ini: Prof. Dr. Ir. Endi Setiadi Kartamihardja, M.Sc. (Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi SDI-Jatiluhur) Prof. Dr. Ir. Ngurah N Wiadnyana, DEA (Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi KP-Jakarta) Dr. Ir. Augy Syahailatua, M.Sc. (Pusat Penelitian Oseanologi-LIPI) Drs. Bambang Sumiono, M.Si. (Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi SDI-Jakarta) Redaksi Pelaksana: R. Thomas Mahulette, S.Pi., M.Si. Darwanto, S.Sos Desain Grafis : Arief Gunawan, S.Kom
Alamat Redaksi/Penerbit: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Gedung Balitbang KP II, Jl. Pasir Putih II, Ancol Timur Jakarta Utara-14430 Telp. (021) 64700928 ; Fax. (021) 64700929 Email:
[email protected] Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan PerikananKementerian Kelautan dan Perikanan.
KATA PENGANTAR Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia volume 5 Nomor 2 Nopember 2013 adalah terbitan kedua di tahun 2013. Percetakan ini dibiayai oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan menggunakan anggaran tahun 2013. Sebelum diterbitkan tulisan ini telah melalui proses revisi dan evaluasi dari Dewan Redaksi dan Mitra Bestari sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing dan proses editing dari Redaksi Pelaksana. Pada terbitan nomor dua ini, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia menampilkan tujuh artikel hasil penelitian perikanan perairan umum dan daratan dan perairan laut. Ketujuh artikel mengulas tentang Strategi pengelolaan perikanan paparan banjir Lubuk Lampam Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan; Kebijakan pengelolaan hasil tangkapan sampingan Tuna Longline di Samudera Hindia; Angka acuan sasaran untuk pengelolaan perikanan udang Laut Arafura dengan tujuan beragam; Pendekatan ekosistem untuk pengelolaan sumberdaya ikan arwana Irian, Scleropages jardinii di Sungai Maro, Merauke–Papua; Kebijakan rumponisasi perikanan pukat cincin Indonesia yang beroperasi di perairan laut lepas; Kebijakan perlindungan dan konservasi hewan Oktokoralian/Bambu Laut (Isis hippuris Linnaeus 1758 ); Status introduksi ikan dan strategi pelaksanaan secara berkelanjutan di perairan umum daratan di Indonesia. Diharapkan tulisan ini dapat memberikanan kontribusi bagi para pengambil kebijakan dan pengelola sumberdaya perikanan di Indonesia. Redaksi mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif para peneliti dari lingkup dan luar Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan.
Redaksi
i
ISSN 1979 - 9366 JURNAL KEBIJAKAN PERIKANAN INDONESIA Volume 5 Nomor 2 Nopember 2013 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………………....
i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………………..
iii
Strategi Pengelolaan Perikanan Paparan Banjir Lubuk Lampam Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan Oleh: Eko Prianto, Mohammad Mukhlis Kamal, Ismudi Muchsin, dan Endi Setiadi Kartamihardja……
57-66
Kebijakan Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Tuna Longline di Samudera Hindia Oleh: Budi Nugraha dan Bram Setyadji........................................................................................ 67-71 Angka Acuan Sasaran untuk Pengelolaan Perikanan Udang Laut Arafura dengan Tujuan Beragam Oleh: Purwanto……………………………………………………………………………………………………
73-85
Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Sumberdaya Ikan Arwana Irian, Scleropages jardinii di Sungai Maro, Merauke–Papua Oleh: Endi Setiadi Kartamihardja, Kunto Purnomo, Didik Wahju Hendro Tjahjo, dan Sonny Koeshendradjana ..........................................................................................................
87-96
Kebijakan Rumponisasi Perikanan Pukat Cincin Indonesia yang Beroperasi di Perairan Laut Lepas Oleh: Duto Nugroho dan Suherman Banon Atmaja…………………………………………………………… 97-106 Kebijakan Perlindungan dan Konservasi Hewan Oktokoralian/Bambu Laut (Isis hippuris Linnaeus 1758 ) Oleh: Isa Nagib Edrus dan Ali Suman…………………………………………………………………………. 107-112 Status Introduksi Ikan dan Strategi Pelaksanaan Secara Berkelanjutan di Perairan Umum Daratan di Indonesia Oleh: Chairulwan Umar dan Priyo Suharsono Sulaiman……………………………………………………..113-120
iii
Strategi Pengelolaan Perikanan Paparan ………… Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan (Prianto E., et al)
STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN PAPARAN BANJIR LUBUK LAMPAM KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR, SUMATERA SELATAN MANAGEMENT STRATEGY OF FLOODPLAIN FISHERIES OF LUBUK LAMPAM OGAN KOMERING ILIR, SOUTH SUMATERA Eko Prianto1, Mohammad Mukhlis Kamal2, Ismudi Muchsin2 dan Endi Setiadi Kartamihardja1 1
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan 2 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Teregistrasi I tanggal: 04 Februari; Diterima setelah perbaikan tanggal: 24 Juni 2013; Disetujui terbit tanggal: 15 Juli 2013
ABSTRAK Perairan Lubuk Lampam merupakan salah satu kawasan lelang lebak lebung yang saat ini masih dikelola oleh masyarakat dan berperan penting sebagai mata pencaharian. Lubuk Lampam memiliki luas + 1.200 ha dan terdiri dari 4 tipe sub ekosistem paparan banjiran antara lain hutan rawang, lebak kumpai, lebung dan sungai utama. Seperti daerah lainnya di OKI, perairan Lubuk Lampam saat ini juga mengalami tekanan yang besar akibat akitifitas manusia seperti penangkapan yang berlebih dan alih fungsi lahan untuk perkebunan. Saat ini produksi perikanan di Lubuk Lampam mengalami penurunan yang sangat drastis dari 93 ton pada tahun 1997 menjadi 12 ton tahun 2012. Penelitian ini menggunakan data primer dan wawancara langsung dengan nelayan dan selanjutnya dianalisa secara deskriptif. Keanekaragaman dan komposisi jenis ikan juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu, tahun 1992 jumlah jenis ikan sebanyak 63 jenis dan tahun 2008 sebanyak 48 jenis, sedangkan tahun 2013 meningkat menjadi 63 jenis. Beberapa ancaman yang dapat merusak sumberdaya ikan antara lain, i) alih fungsi lahan untuk perkebunan kelapa sawit, ii) penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, iii) kurang memperhatikan waktu penangkapan dan iv) penggunaan pestisida. Untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya perikanan dimasa mendatang diperlukan langkah-langkah pengelolaan sebagai berikut: 1) rehabilitasi habitat Lubuk Lampam yang meliputi hutan rawang, lebak kumpai dan lebung-lebung, 2) Penetapan waktu dan lokasi penangkapan, 3) pengaturan jenis alat tangkap yang diperbolehkan, 4) rehabilitasi kawasan reservat Lebung Proyek, Suak Buayo dan Kapak Hulu dan 5) menerapkan Peraturan Daerah (PERDA) Ogan Komering Ilir (OKI) No. 9/2008 tentang Pengelolaan Lebak, Lebung, dan Sungai. KATA KUNCI: Paparan banjiran, Lubuk Lampam, strategi pengelolaan ABSTRACT Lubuk Lampam floodplain is one of the lebak lebung auction region has been managed by local community and plays an important role as a livelihood. Lubuk Lampam has an area of 1.200 ha and consist four type of sub ecosystem such as wet forest (rawang), swampy area (lebak kumpai), deep pool (lebung), main river (sungai utama). As with other areas in Ogan Komering Ilir, Lubuk Lampam area is experiencing great pressure due to human activity such as over fishing and land convertion to be palm oil plantation. Current fishery production in Lubuk Lampam decreased drastically from 93 tons (1997) to 12 tons (2012). This study used primary data and direct interviews with fishermen and subsequently analyzed descriptively. Diversity and species composition also changed over time. The number of species was 63 species in 1992 then decreased 48 species in 2008, while in 2013, increased to be 63 species. Some threats that can damage fish resources, such as i) land conversion for oil palm plantations, ii) destructive fishing, iii) lack of attention to the time of fishing and iv) utilizing pesticides. To ensure the future sustainability of fisheries management are required as follows: 1) habitat rehabilitation of Lubuk Lampam covering wet forest, swampy area, deep pool and main river, 2) Determination of the time and location of fishing, 3) arrangement the type of fishing gear is allowed, 4) rehabilitation of Lebung proyek reserves, Suak Buayo and Kapak Hulu and 5) implementing of local regulation of Ogan Komering Ilir (OKI) No. 9/2008 about the Management of Lebak, Lebung, and river. KEY WORD : floodplain, Lubuk Lampam, management strategy
___________________ Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Email:
[email protected] Jl. Pasir Putih II, Ancol Timur - Jakarta Utara, 14430
57
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 57-66
PENDAHULUAN Perairan paparan banjiran merupakan ekosistem yang unik dan memiliki multi fungsi baik secara ekologi maupun ekonomi. Secara ekologi paparan banjir berperan penting sebagai daerah pemijahan, asuhan dan pembesaran bagi berbagai jenis ikan (Welcomme 1979; Bayley 1995; Sparks 1995; Crain et al., 2004). Sebagai daerah pembesaran ikan, paparan banjiran mampu menyediakan invertebrata yang berlimpah sebagai makanan (Holland & Huston 1985), daerah perlindungan ikan dari perubahan suhu yang ekstrim dan arus air yang kuat (Holland 1986) serta daerah perlindungan ikan dari pemangsaan (Paller 1987). Secara ekonomi perairan paparan banjiran berperan besar dalam menghasilkan sumberdaya ikan yang berlimpah dan merupakan komponen penting dalam menghasilkan produksi ikan dalam skala luas (Galat et al., 2004). Ogan Komering Ilir (OKI) merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Sumatera Selatan yang 60% wilayahnya adalah perairan. Salah satu daerah penangkapan ikan yang produktif adalah ekosistem paparan banjiran. Banyak lokasi penangkapan ikan yang potensial ditemukan di wilayah ini diantaranya perairan Lubuk Lampam, Lebak Danau, Lebak Air Itam, dan Lebak Sarang Lang. Hasil produksi dari kegiatan penangkapan, khususnya di perairan umum daratan telah mengalami penurunan, hal tersebut diduga karena semakin berkurangnya stok ikan pada perairan tersebut akibat usaha penangkapan yang terus dilakukan dari tahun ke tahun dan tidak terkendali. Menurut Ajie (1996) dalam Muflikhah et al., (2012) produksi ikan pada tahun 1989 sebesar 38.661 ton tetapi pada tahun 1993 hanya sebesar 4.482 ton. Penurunan hasil produksi ini selain sangat berpengaruh terhadap pendapat nelayan dan juga merupakan salah satu indikasi telah terjadinya tangkap lebih (over fishing) pada perairan tersebut sebagai akibat kegiatan eksploitasi yang telah berlangsung sejak lama. Salah satu perairan yang memiliki sumberdaya perikanan yang besar di Kabupaten Ogan Komering Ilir adalah Lubuk Lampam. Perairan Lubuk Lampam merupakan salah satu kawasan lelang lebak lebung yang saat ini masih dikelola oleh masyarakat. Seperti daerah lainnya di OKI, perairan Lubuk Lampam saat ini juga mengalami tekanan yang besar akibat akitiftas manusia seperti penangkapan yang berlebih dan alih fungsi lahan untuk perkebunan. Disamping terjadinya
58
indikasi tangkapan lebih oleh nelayan, faktor lain juga berperan dalam menurunnya sumberdaya ikan di Lubuk Lampam antara lain alih fungsi lahan untuk perkebunan. Perkebunan kelapa sawit yang dibangun beberapa waktu lalu, berbatasan dengan Lubuk Lampam telah menurunkan luas kawasan tersebut. Untuk mencegah terjadinya penurunan sumberdaya perikanan diperlukan pengelolaan secara lestari yang berdasarkan aspek bioekologi ikan di Lubuk Lampam. Pola pengelolaan perairan paparan banjiran di Sumatera Selatan belum terintegrasi dan masih dilakukan secara partial dan sektoral (Muthmainnah et al., 2012). Hal ini disebabkan karena ekosistem paparan banjiran sangat kompleks dan belum dipahami dengan baik. Kompleksitas pengelolaan kawasan ini disebabkan oleh stok ikan bersifat multispesies, eksploitasi yang bersifat tradisional dengan berbagai alat tangkap, kawasan melewati batas-batas administrasi desa dan variasi lingkungan yang tinggi (Koeshendrajana & Hoggarth 1998). Data dan informasi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode observasi (survey lapangan). Data primer yang digunakan merupakan hasil pengukuran aspek biologi dan lingkungan sedangkan informasi tentang aktifitas nelayan sehari-hari diperoleh melalui wawancara. Data sekunder diperoleh dari berbagai laporan hasil penelitian dan jurnal hasil penelitian. Selanjutnya data primer dan sekunder ditabulasikan dan dianalisa secara deskriptif. KARAKTERISTIK EKOSISTEM PAPARAN BANJIR LUBUK LAMPAM Ekosistem Lubuk Lampam terdiri dari lebak kumpai, hutang rawang, sungai utama dan lebunglebung yang merupakan habitat bagi berbagai jenis ikan. Menurut Samuel (2008) bahwa perairan Lubuk Lampam memiliki luas ± 1.200 ha terdiri dari: lebak kumpai merupakan areal yang terluas ± 965 ha, disusul areal hutan rawang ± 213 ha, sungai utama (batanghari) ±18 ha dan lebung-lebung ± 4 ha. Hasil dari olahan citra World View 2 tahun 2013 diperoleh perubahan luasan Lubuk Lampam sebesar + 74.3 ha dan luasnya saat ini menjadi 1.125,7 ha (Gambar 1). Perubahan luasan ini disebabkan karena pengembangan perkebunan kelapa sawit dengan mengkonversi hutan rawang dan lebak kumpai.
Strategi Pengelolaan Perikanan Paparan ………… Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan (Prianto E., et al)
Gambar 1. Peta Lubuk Lampam Tahun 2013 Figure 1. Map of Lubuk Lampam in 2013 Ekosistem paparan banjiran selalu mengalami perubahan karena turun naiknya permukaan perairan oleh curah hujan. Selama musim hujan air terdistribusi hingga ke seluruh dataran banjir (plain), tetapi selama musim kemarau hanya saluran sungai utama dan bagian perairan yang rendah tetap tergenang. Kondisi ini memberikan karakteristik khusus pada ekosistem paparan banjiran. Ciri-ciri ekosistem paparan banjiran meliputi saluran sungai, danau banjiran, batas penghalang, aliran sungai yang berkelok membentuk lengkungan cembung atau scroll, rawa, tanggul alami dan rawa yang terbendung atau backswamp (Welcomme 1979). Samuel (2008) membagi perairan paparan banjiran Lubuk Lampam menjadi empat tipe sub ekosistem yang meliputi: i) Hutan rawang, bagian perairan yang banyak ditumbuhi oleh vegetasi atau pohon-pohon yang besar (hutan lebat). Pada musim penghujan hutan rawang akan digenangi air sedangkan pada musim kemarau akan kering.
ii) Lebak Kumpai, bagian perairan yang banyak ditumbuhi oleh tumbuhan air terutama jenis kumpai (Graminae). Sama halnya dengan hutan rawang, ketika musim hujan bagian perairan ini akan tergenang air tetapi sebaliknya pada musim kemarau akan kering. iii) Lebung dan lubuk, merupakan tipe sub ekosistem yang terletak di dalam areal rawang dan lebak kumpai. Lebung dan lubuk merupakan bagian perairan yang sepanjang tahun tidak kering. Lebung dan lubuk merupakan dua tipe sub habitat penting pada tipe perairan paparan banjir, dikarenakan kedua habitat tersebut merupakan tempat perlindungan dan penyelamatan ikan-ikan ekonomis penting tertentu pada saat datangnya musim kemarau. iv) Sungai utama, merupakan tipe sub ekosistem yang dialiri air dan tidak kering sepanjang tahun. Sungai ini terdiri dari bagian-bagian yang dalam disebut “lubuk” dan bagian-bagian yang agak dangkal disebut dengan istilah “rantau”.
59
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 57-66
KARAKTERISTIK SUMBERDAYA IKAN DAN PERIKANAN Keanekaragaman Jenis Ikan Perairan Lubuk Lampam memiliki sumberdaya ikan yang beragam. Jumlah jenis ikan di Lubuk Lampam pada tahun 2013 ditemukan sebanyak 22 famili terdiri 63 jenis. Ikan dengan kelimpahan yang tinggi ditemukan sebanyak 23 jenis, kelimpahan sedang sebanyak 30 jenis dan sedikit 10 jenis. Sebagian besar jenis ikan yang ditemukan merupakan famili Cyprinidae sebanyak 24 jenis. Keragaman dan komposisi jenis ikan di Lubuk Lampam mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Makmur (2008) menyatakan pada tahun 1992 jumlah jenis ikan di Lubuk Lampam ditemukan sebanyak 63 jenis dan 19 famili, namun tahun 2008 ditemukan hanya 48 jenis sedangkan Muflikhah et al., (2012) menemukan sekitar 62 jenis ikan. Walaupun sumberdaya perikanan di Lubuk Lampam masih tinggi, namun ada beberapa jenis ikan yang sudah hilang dari perairan. Beberapa jenis ikan tersebut arwana (Scleropages formosus), tapa (Kryptopterus sp) dan botia (Botia macracanthus). Ikan arwana dan botia merupakan ikan hias dengan harga jual yang tinggi sedangkan ikan tapa merupakan ikan konsumsi. Ketiga jenis ikan tersebut merupakan ikan ekonomis penting sehingga masyarakat terus menangkap secara intensif tanpa melakukan upaya konservasi. Keberadaan ikan invasif juga menjadi perhatian serius dalam beberapa tahun terakhir ini. Jenis ikan invasif yang ditemukan di Lubuk Lampam antara lain: tawes (Barbodes goneonotus), sapu-sapu (Hyposarcus pardialis), nila (Oreochromis niloticus) dan patin siam (Pangasionodon hypopthalmus). Keberadaan ikan sapu-sapu berasal dari perairan lain disekitar Lubuk Lampam yang masuk ketika saat banjir besar yang terjadi tahun 2010, sedangkan ikan tawes, nila dan patin siam berasal dari keramba masyarakat yang lepas diperairan. Keberadaan ikan-ikan tersebut saat ini telah menjadi masalah yang cukup serius karena ikan-ikan ini
60
berkembang dengan baik didalam perairan alami. Dikhawatirkan dengan berkembangnya ikan-ikan invasif ini maka keberadaan ikan asli akan semakin terancam. Pada tahun 2012 produksi perikanan di Lubuk Lampam sebesar 12 ton (Muflikhah et al., 2012) sedangkan menurut Utomo & Wijaya (2008) produksi perikanan di Lubuk Lampam tahun 1997 sebesar 93 ton. Jika dibandingkan antara 1997 dan 2012 produksi perikanan di Lubuk Lampam mengalami penurunan yang signifikan yaitu 81 ton. Penyebab menurunnya sumberdaya ikan di kawasan ini karena alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit, pembuatan kanal, waktu dan cara penangkapan yang salah dan intensitas penangkapan yang tinggi, sehingga mempengaruhi produksi perikanan. Pemijahan Ikan-Ikan di Paparan Banjiran Ikan-ikan di perairan paparan banjiran sebagian besar memijah pada waktu musim penghujan. Ketika musim penghujan terjadi peningkatan muka air sungai sehingga air sungai melimpah ke perairan rawa sekitarnya. Pada saat tersebut ikan-ikan sungai akan melakukan migrasi ke rawa untuk melakukan pemijahan. Sebagian besar ikan-ikan yang hidup di sungai dan rawa sangat tergantung dengan keberadaan tumbuhan air. Tumbuhan air berfungsi sebagai sumber makanan, tempat berlindung dari serangan predator dan panas matahari serta tempat meletakkan telur saat memijah. Waktu pemijahan ikan merupakan informasi penting dalam upaya penangkapan ikan, jika penangkapan dilakukan pada saat musim pemijahan maka kegagalan ikan dalam proses recruitment akan semakin besar begitu pula sebaliknya. Sebaiknya pada saat musim pemijahan sebaiknya nelayan tidak melakukan penangkapan. Sebagian besar jenis ikan di paparan banjiran melakukan pemijahan saat air mulai naik hingga banjir maksimal atau pada bulan November hingga Maret (Tabel 1).
Strategi Pengelolaan Perikanan Paparan ………… Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan (Prianto E., et al)
Tabel 1. Waktu pemijahan beberapa jenis ikan paparan banjiran Lubuk Lampam Table 1. Spawning time of several species in Lubuk Lampam
1.
Jenis ikan/Speci es Siamis
Nama Perdagangan/ Common name Carps
2.
Riu
Catfish
3.
Betok
Climbing perch
4. 5. 6.
Sepat mata merah Selinca Sepatung
7.
Kapas
Three-spot gouramy Belontid Striped tiger nandid Carps
8. 9. 10.
Damaian Senggiring an Seluang
11. 12.
Pirik elang Sebarau
13. 14.
Berengit Keperas
15.
Sepat siam
16.
Baung
No.
Carps Rasbora Carps Transverse-bar barb Striped mystus Silver barb/chemperas Snakeskin gouramy Yellow mystus
Nama Ilmiah/scientific Name Parachela oxygastrodes Pseudeutropius brachypopterus Anabas testudineus Trichogaster tricopterus Belontia hasselti Pristolepis fasciata
1
Waktu (Bulan)/Time (Month) 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1
12
Puntioplites waandersi Laptobarbus sp Puntius lineatus Rasbora argyrotaenia Puntius johorensis Hampala ampalong Mystus nigriceps Cyclocheilichthys apogon Trichogaster pectoralis Mystus nemurus
Sumber: Data primer tahun 2012 dan 2013 Source: Primery data 2012 and 2013
61
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 57-66
Aktifitas Penangkapan dan Produksi Ikan Paparan banjiran merupakan ekosistem yang memiliki potensi sumberdaya ikan yang paling produktif. Keanekaragaman jenis ikan menyebabkan bervariasinya sistem penangkapan ikan di wilayah tersebut (Moss 1998). Tekanan aktivitas penangkapan di paparan banjir cenderung meningkat. Bahkan pada sebagian besar sumberdaya ikan di perairan umum daratan dieksploitasi pada tingkat atau di atas maksimum tangkapan lestari (Revenga & Kura 2003). Berbagai alat tangkap ikan digunakan di perairan paparan banjir. Welcomme (1983) mengelompokkan jenis alat tangkap menjadi alat tangkap pasif dan alat tangkap aktif. Alat tangkap pasif merupakan alat tangkap ikan yang tidak digerakkan dalam pengoperasiannya. Alat tangkap pasif yang digunakan di perairan Lubuk Lampam meliputi : pengilar gilas, pengilar kawat, pancing tajur, pancing tongkat, rawai, bubu gabus, kylung, menceban, lulung, bubu belut dan pancing betok. Alat tangkap aktif adalah alat tangkap ikan yang harus aktif digerakkan pada saat dioperasikan. Alat tangkap jenis ini meliputi : jaring lempar, serok, anco. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Lubuk Lampam bergantung pada tipe habitat dan target ikan yang ditangkap. Penangkapan ikan di Lubuk Lampam berlangsung sepanjang tahun dengan target spesies dan penggunaan alat tangkap berbeda-beda setiap bulannya (Tabel 2). Namun, puncak musim penangkapan terjadi pada musim kemarau bulan JuniAgustus yang memberikan hasil tertinggi sedangkan pada musim penghujan Desember-Februari hasil tangkapan minimal. Berdasarkan tipe ekosistemnya, hasil tangkapan tertinggi diperoleh dari lebak kumpai (rawa berumput), selanjutnya rawa berhutan dan paling kecil di anak sungai. Penangkapan ikan di saluran-saluran menggunakan kilung pada musim ikan bermigrasi dari
62
sungai ke rawa atau sebaliknya. Pada hutan rawang penggunaan jaring akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu cenderung digunakan alat tangkap bukan jaring seperti: penjebak, bubu gabus, bubu betok, pengilar kawat, pengilar gilas dan pancing. Pada perairan sungai utama penangkapan dengan menggunakan pancing tajur, pancing tongkat, rawai, menceban, kilung, lulung, jaring lempar dan anco. STATUS PENGELOLAAN PERIKANAN DI LEBAK LEBUNG Pengelolaan perikanan di Sumatera Selatan termasuk Lubuk Lampam melalui sistem lelang lebak lebung. Diperkirakan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan sistem lebak lebung berlangsung sejak zaman kerajaan Palembang Darusalam tahun 1630, dimana saat itu perairan lebak lebung sudah dijadikan objek lelang (lelang lebak lebung). Tujuan utama dari lelang lebak lebung adalah untuk meredam konflik perebutan perairan, dan juga sebagai pendapatan asli daerah (PAD). Selanjutnya secara berturut-turut masih diteruskan oleh Pemerintah belanda, dan pemerintahan RI setelah kemerdekaan hingga sekarang (Nasution & Koeshendrajana, 2008). Menurut Nasution (2008) tahun 2003, hasil lelang lebak lebung di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) sebesar Rp. 3.526.272.500 or 38.75% dari total PAD di kabupaten tersebut. Sistem lelang lebak lebung ini pada hakekatnya melelang perairan kepada individu atau kelompok masyarakat dengan harga tertentu dan pemenangnya berhak untuk mengelola perairan lebak lebung terutama sumberdaya ikan yang terdapat didalamnya dalam waktu yang telah ditentukan (1 tahun). Para pemenang lelang berhak memanfaatkan sumberdaya ikan yang terdapat didalam lebak lebung. Jika dilihat dari tujuannya sistem lebak lebung jelas akan menguntungkan pemerintah daerah karena memberikan pemasukan keuangan berupa PAD.
Strategi Pengelolaan Perikanan Paparan ………… Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan (Prianto E., et al)
Tabel 2. Jenis alat tangkap dan waktu pengoperasiannya di Lubuk Lampam Table 2. Fishing gears and time operational in Lubuk Lampam
Jenis Alat No. Tangkap/Gears
1
Pengilar Gilas
Nama Perdagangan/ Common name bamboo pot trap
wire pot trap 2
Pengilar Kawat
Tangkapan Utama/ Main Catch
5
Rawai
6
Bubu Gabus
trap
gabus
Kilung Menceban (Jebakan)
Filtering nets
berbagai jenis ikan baung, toman, gabus
4
7 8
Pancing Tajur Pancing Tongkat
9 Lulung 10
Active seine nets/barriers large fykes, with trap chambers
Bubu Belut
3
4 5
6
7 8
9
10
11
12
gabus, baung gabus, baung gabus, baung
baung, toman, gabus belut
Pancing betok
Hook and lines
12
Jaring lempar
Cast net
13
Langian
14
Anco
15
Tuguk
11
1 2
sepat siam, sepat mata merah, tambakan, gabus, betok, lele sepat siam, sepat mata merah, tambakan, gabus, betok, lele
Hook and lines Hook and lines Long line
3
Waktu Penangkapan (Bulan)/Time (Month)
Scoop net
Lift nets
Filtering device
betok berbagai jenis ikan seperti seluang, palau, berengit, tambakan, sepat siam, lampam seluang, palau, berengit, tambakan, sepat siam seluang, palau, berengit, tambakan, sepat siam berbagai jenis ikan
sumber: hasil wawancara nelayan tahun 2013 source: interview result to fisherman 2013
PERMASALAHAN PENGELOLAAN PERIKANAN Sumberdaya perikanan di Lubuk Lampam mengalami penurunan yang sangat tajam yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Alih fungsi lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Pembukaan perkebunan ini menyebabkan luas perairan lebak kumpai dan hutan rawang menurun tajam. Luas perairan berkorelasi positif dengan produksi perikanan, dengan berkurangnya luas
tersebut maka menyebabkan produksi ikan menurun. 2. Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Salah satu contoh adalah alat tangkap tuguk, merupakan alat tangkap yang dipasang memotong kanal-kanal atau anak sungai sehingga memutus ruaya ikan. Alat tangkap ini dipasang saat air mulai naik dan air mulai surut. Ketika air mulai naik, banyak ikan-ikan dewasa yang beruaya untuk melakukan pemijahan di rawa atau hutan
63
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 57-66
rawang terperangkap, sehingga kebanyakan ikan yang tertangkap sudah matang gonad. 3. Waktu penangkapan yang dilakukan sepanjang tahun. Penangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap. Pada saat air mulai naik hingga banjir maksimal (Oktober-Februari), masyarakat masih melakukan penangkapan. Periode bulan tersebut merupakan puncak dalam perkembangbiakan ikan. Pada periode tersebut sebagian besar ikan-ikan sudah matang gonad dan siap untuk memijah dan pada waktu tersebut seharusnya nelayan tidak melakukan penangkapan di perairan tersebut atau jika melakukan penangkapan harus dilakukan diluar daerah pemijahan. 4. Penggunaan pestisida. Penggunaan pestisida rutin dilakukan oleh perusahan perkebunan kelapa sawit di sekitar Lubuk Lampam. Dampak serius dari penggunaan ini adalah tercemarnya perairan yang menyebabkan kematian ikan dalam jumlah besar dan akumulasi pestisida di dalam tubuh ikan.
2.
3.
STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN Saat ini kondisi perairan Lubuk Lampam semakin terancam akibat aktifitas penangkapan dan perkebunan di sekitarnya. Untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan usaha perikanan tangkap di masa mendatang maka diperlukan beberapa opsi pengelolaan. Beberapa opsi/langkah-langkah pengelolaan perikanan yang dapat dilakukan adalah: 1. Rehabilitasi habitat Lubuk Lampam Perairan Lubuk Lampam memiliki empat tipe sub ekosistem yaitu hutan rawang, lebak kumpai, lebung dan sungai. Hutan rawang, lebung dan kumpai saat ini telah mengalami penurunan luas yang tajam. Luas hutan rawang telah mengalami penurunan akibat alih fungsi lahan. Lubuk Lampam memiliki > 7 buah lebung dengan luas 4 ha (Samuel, 2008) diantaranya Lebung Bandung, Rimbo Lumut, Bedeng, Temeras, Timbun Gelam, Buatan dan Proyek. Praktis saat ini hanya lebung proyek dengan luas 0.2 ha saja yang masih berfungsi baik dan selebihnya sudah hilang akibat sedimentasi dan tertimbun rerumputan. Lebak kumpai secara umum kondisinya baik namun sebagian telah mengalami perubahan menjadi perkebunan sawit. Berdasarkan hal tersebut untuk mengembalikan fungsinya maka perlu dilakukan rehabilitasi habitat antara lain: 1) penanaman vegetasi hutan (hutan rawang), sehingga habitat pemijahan ikan seperti ikan tapa, baung, belida dan sebagainya bertambah luas, 2) untuk lebung yang mengalami pendangkalan dan tertimbun rumput perlu dilakukan penggalian agar fungsinya sebagai
64
4.
5.
penampung ikan saat kemarau dapat pulih kembali, 3) untuk lebak kumpai yang ada saat ini kondisi ekosistem perlu dipertahankan dan sebaiknya kanal-kanal untuk ikan beruaya perlu diperbanyak dan dijaga agar ikan dapat bermigrasi dengan mudah. Penetapan waktu dan lokasi penangkapan Waktu dan lokasi penangkapan perlu diperhatikan dengan baik, terutama saat ikan akan melakukan pemijahan. Sebaiknya waktu penangkapan ikan yang dilarang pada saat air mulai naik hingga air banjir maksimal yaitu bulan November-Februari karena sebagian besar ikan-ikan paparan bajir melakukan pemijahan pada bulan tersebut. Pada bulan November-Februari lokasi penangkapan yang dilarang yaitu sepanjang kanal-kanal perairan yang menghubungkan sungai dan rawa, lebung proyek, suak buayo dan sebagian besar lebak kumpai. Di sungai penangkapan masih diperbolehkan dengan menggunakan alat tangkap yang selektif seperti pancing, rawai dan bubu. Penentuan jenis alat tangkap yang diperbolehkan Jenis alat tangkap yang boleh digunakan di daerah ini adalah alat tangkap yang selektif dan tidak mengganggu ruaya ikan, sedangkan alat tangkap yang dilarang adalah tuguk. Menurut Utomo (2001); Pramoda & Nasution (2011), tuguk memiliki dampak serius dalam keberlanjutan sumberdaya ikan karena sistem pengopersiannya dengan cara memotong migrasi ikan. Sehingga ikan-ikan yang akan bermigrasi untuk memijah atau mencari makan akan terhalang. Selain itu, penggunaan electrik fishing dan racun untuk menangkap juga dilarang karena dapat membunuh ikan-ikan yang berukuran kecil hingga besar. Beberapa peralatan yang menggunakan jaring seperti Kilung harus menggunakan mata jaring > 1 inci, sedangkan penggunaan gillnet harus menggunakan mata jaring > 2,5 inci agar ikan-ikan berukuran kecil tidak tertangkap. Rehabilitasi kawasan reservat Perairan Lubuk Lampam memiliki 3 kawasan reservat yang masih aktif seperti Suak Buayo dan Kapak Hulu. Kedua reservat ini berfungsi sebagai pemasok benih di perairan sekitarnya. Saat ini kondisi reservat tersebut telah mengalami penurunan luas dan pendangkalan. Menerapkan Peraturan Daerah (PERDA) Ogan Komering Ilir (OKI) No. 18/2010 tentang Pengelolaan Lebak, Lebung, dan Sungai. Peraturan Daerah Ogan Komering Ilir (OKI) No. 18/2010 Bab VII Pasal 25 ayat 8 yang berbunyi “setiap orang dilarang melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat penangkapan ikan yang menurut peraturan Perundang-Undangan dilarang untuk digunakan pada areal lebak, lebung dan sungai”.
Strategi Pengelolaan Perikanan Paparan ………… Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan (Prianto E., et al)
KESIMPULAN Perairan Lubuk Lampam telah mengalami degradasi akibat aktifitas manusia seperti alih fungsi lahan untuk perkebunan, intensitas penangkapan yang tinggi dan penggunaan alat tangkap yang merusak seperti tuguk. Untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya perikanan di masa mendatang diperlukan langkah-langkah pengelolaan sebagai berikut: (1) Rehabilitasi habitat seperti penanaman kembali pada hutan rawang, lebak kumpai dan menggali lebunglebung yang tertimbun rumput, (2) Penetapan waktu pelarangan menangkap ikan (bulan NovemberFebruari) dan lokasi penangkapan ikan yang dilarang meliputi sepanjang kanal-kanal perairan yang menghubungkan sungai dan rawa, lebung proyek dan suak buayo, (3) Melarang penggunaan alat tangkap tuguk, (4) Rehabilitasi kawasan reservat melalui penataan dan perluasan kawasan Lebung Proyek, Suak Buayo dan Kapak Hulu dan (5) Menerapkan Peraturan Daerah Ogan Komering Ilir No. 18/2010 tentang Pengelolaan Lebak, Lebung, dan Sungai. DAFTAR PUSTAKA Bayley, P. B. 1995. Understanding large river-floodplain ecosystems. Bioscience 45:153–158. Crain, P. K; K. Whitener & P. B. Moyle. 2004. Use of a Restored Central California Floodplain by Larvae of Native and Alien Fishes. American Fisheries Society Symposium 39:125–140. Galat, D.L; G. W. Whitledge; L. D. Patton & J. Hoker. 2004. Larval Fish Use Of Lower Missouri River Scour Basins In Relation To Connectivity. Final Report to Missouri Department of Conservation Conservation Research Center 1110 S. p. 84. Holland, L. E., & M. L. Huston. 1985. Distribution and food habits of fishes in a backwater lake of the upper Mississippi River. Journal of Freshwater Ecology 3:81–91. Koeshendrajana, S & D. D. Hoggarth. 1998. Harvest reserves in Indonesia river fisheries. Paper presented at Fifth Asian Fsiheries ForumInternational Conference of Fisheries and Food Security Beyond the Year 2000. Chiang May. 1114 November 1998. Moss, B. 1998. Ecology of Freshwaters. Man and Medium, Past and Future. Third Edition. Oxford: Blackwell Science. Ltd.
Makmur, 2008. Pattern of Change of Ichthyofauna In Lubuk Lampam Floodplain South Sumatra. Fisheries Ecology and Management of Lubuk Lampam Floodplain Musi River, South Sumatera. Research Institute For Inland Waters Fisheries. p 55-61. Muflikhah, N; A. K. Gaffar; E. Prianto; Y.C. Ditya; M. Marini, Burnawi & Mersi. 2012. Dinamika dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan sebagai Komponen Permodelan Pengelolaan Perikanan di Rawa Banjiran Sumatera Selatan. Laporan Teknis Penelitian. Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum. 70 hal. Muthmainnah, D; Z. Dahlan; R. H. Susanto; A. K. Gaffar & D. P. Priadi. 2012. Pola Pengelolaan Rawa Lebak Berbasis Keterpaduan Ekologi-EkonomiSosial-Budaya Untuk Pemanfaatan Berkelanjutan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 4 (2): 59-67. Nasution, Z. 2008. Development of Fisher Community In the Floodplain Fisheries of Lubuk Lampam, South Sumatra. Fisheries Ecology and Management of Lubuk Lampam Floodplain Musi River, South Sumatera. Research Institute For Inland Waters Fisheries. p 113-121. Nasution, Z & S. Koeshendrajana. 2008. Resource Allocation of The Floodplain Fisheries In South Sumatra. Fisheries Ecology and Management of Lubuk Lampam Floodplain Musi River, South Sumatera. Research Institute For Inland Waters Fisheries. p 132-142. Paller, M. H. 1987. Distribution of larval fish between macrophyte beds and open water in a southeastern floodplain swamp. Journal of Freshwater Ecology 4:191–200. Pramoda, R & Z. Nasution. 2011. Transformasi Pengelolaan Perairan Umum Daratan di Kabupaten Ogan Komering Ilir. J. Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. 6 (2);131-147. Revenga, C & Kura, Y. 2003. Status and Trends of Biodiversity of Inland Water Ecosystems. Secretariat of The Convention on Biological Diversity. Technical Series No. 11. Montreal: Secretariat of CBD. Samuel, 2008. The Morphology of Lubuk Lampam Floodplain Fisheries Ecology and Management of Lubuk Lampam Floodplain Musi River, South Sumatera. Research Institute For Inland Waters Fisheries. p. 1-7.
65
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 57-66
Sparks, R. E. 1995. Need for ecosystem management of large rivers and their floodplains. Bioscience. 45:168–182. Utomo, A. D & D. Wijaya. 2008. Dynamics of Fish Production From Lubuk Lampam Floodplain. Fisheries Ecology and Management of Lubuk Lampam Floodplain Musi River, South Sumatera. Research Institute For Inland Waters Fisheries. p 73-84.
66
Utomo, A.D. 2001. Ruaya Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii) di Sungai Lempuing Sumatra Selatan. Program Studi Ilmu Perairan, Pascasarjana IPB, Bogor. Thesis. 72 p. Welcomme, R. L. 1979. Fisheries ecology of floodplain rivers. Longman Group, New York. Welcomme, R. L. 1983. River Basin. FAO Fisheries Technicl Paper (202). Roma: FAO.
Kebijakan Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Tuna Longline di Samudera Hindia (Nugraha B & Bram S)
KEBIJAKAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN TUNA LONGLINE DI SAMUDERA HINDIA MANAGEMENT POLICIES OF TUNA LONGLINE BY-CATCH IN INDIAN OCEAN Budi Nugraha dan Bram Setyadji Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa Teregistrasi I tanggal: 04 Maret 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 30 September 2013; Disetujui terbit tanggal: 10 Oktober 2013
ABSTRAK Tuna longline atau rawai tuna merupakan salah satu alat tangkap yang sangat efektif untuk menangkap tuna. Selain efektif alat tangkap ini juga merupakan alat tangkap yang selektif terhadap hasil tangkapannya. Namun demikian, alat tangkap ini masih menimbulkan suatu masalah dimana ikan hasil tangkapan yang diperoleh tidak semuanya merupakan hasil tangkapan utama (target species), ada sebagian yang merupakan hasil tangkapan sampingan (by-catch). Sebagian besar hasil tangkapan sampingan tuna longline memiliki nilai ekonomis, hanya jenis pari lumpur dan ikan naga yang tidak memiliki nilai ekonomis. Namun demikian, justru yang tidak memiliki nilai ekonomis mendominasi hasil tangkapan sampingan pada perikanan tuna longline. Oleh karena itu perlu adanya tindak lanjut dengan menyusun peraturan atau regulasi yang terkait dengan pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan dan pengelolaan yang benar terhadap hasil tangkapan tersebut beserta habitatnya agar terjaga kelestarian sumberdayanya dan juga tetap menjadi sumber pendapatan masyarakat.Tulisan ini membahas secara ringkas tentang isu hasil tangkapan sampingan pada perikanan tuna longline, komposisi jenisnya, pemanfaatannya dan kebijakannya. KATA KUNCI: Hasil tangkapan sampingan, tuna longline, Samudera Hindia ABSTRACT Tuna longline is one of the most effective fishing gears to catch tuna. In addition, this fishing gear is selective to catch tuna. However, this gear is still causing a problem where some species other than their target species were caught as by-catch. Most of by-catch species from the tuna longliners have an economic value, except pelagic stingrays and lancetfish. In fact, these by-catch species (non economical-valued species) dominated the longline catch. Therefore, it is needed to develop rules or regulations related to the management of the fish by-products, and properly manage the fishing activities on these by-catch species and habitat preservation to preserve its resources and also remain as a source of income. This paper briefly discusses the issue of by-catch in tuna longline fisheries, species composition, its utilization and its policy. KEYWORDS: By-catch, tuna longline, Indian Ocean
PENDAHULUAN Tuna longline atau rawai tuna merupakan salah satu alat tangkap yang sangat efektif untuk menangkap tuna. Selain efektif alat tangkap ini juga merupakan alat tangkap yang selektif terhadap hasil tangkapannya. Menurut Sainsbury (1996),longline merupakan alat tangkap yang efisien bahan bakar, ramah lingkungan dan memiliki metode penangkapan paling bersih, serta dapat digunakan untuk menangkap ikan demersal maupun pelagis.Tuna longline bersifat pasif dalam pengoperasiannya sehingga alat ini tidak merusak sumber daya hayati yang ada di perairan. Namun demikian, alat tangkap ini masih menimbulkan suatu masalah dimana ikan hasil tangkapan yang diperoleh tidak semuanya ___________________ Korespondensi penulis: Loka Penelitian Perikanan Tuna. Email:
[email protected] Jl. Raya Pelabuhan Benoa, Denpasar-Bali
merupakan hasil tangkapan utama (target species), ada sebagian yang merupakan hasil tangkapan sampingan (by-catch). Hasil tangkapan sampingan (HTS) dapat diartikan sebagai hasil tangkapan yang tertangkap selain hasil tangkapan utama (target species) dan bukan merupakan target spesies (non target species).Spesies non-target dapat dibagi menjadi spesies-spesies yang memiliki nilai ekonomis (byproduct) dan spesies-spesies yang tidak diinginkan (by-catch) karena mereka tidak memiliki nilai ekonomis atau dilindungi oleh hukum. Spesies byproduct mencakup beberapa jenis hiu, marlin, layaran, lemadang, nyunglas dan ikan opah, sedangkan spesies by-catch termasuk snake mackerel,ikan pari
67
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 67-71
(yang tidak memiliki nilai ekonomis) dan spesies seperti penyu (yang hampir punah dan dilindungi oleh hukum) (King, 2004). Alverson et al. (1994) dalam Ardill et al. (2013) memperkirakan bahwa rata-rata 27 juta ton ikan dibuang setiap tahunnya, setara dengan 30% dari ikan yang didaratkan dunia, walaupun ada laporan yang menyatakan bahwa beberapa ikan ini mungkin telah didaratkan dan dikonsumsi. Bahkan WWF (2013) memperkirakan bahwa setidaknya 40 persen atau 38 juta ton tangkapan laut dunia tahunan adalah berupa hasil tangkapan sampingan. Melihat tingginya prosentase hasil tangkapan sampingan tersebut, maka perlu adanya pendekatan perikanan bernuansa ramah lingkungan dimana pengelolaan perikanan diarahkan agar stok ikan berada di atas “save biological limit” atau pemulihan sumberdaya ikan hingga tingkat yang dibutuhkan. Hal ini harus diikuti dengan pengurangan secaranyata terhadap hasil tangkapan sampingan dan jenis ikan tidak termanfaatkan, serta melindungi ekosistem bahari dari aktivitas penangkapan yang merusak lingkungan (Anon, 2009 dalam Atmaja & Nugroho, 2011). ISU HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PADA PERIKANAN TUNA LONGLINE Hasil tangkapan sampingan telah menjadi permasalahan dan isu perikanan terpenting dunia sejak tahun 1990-an. Hal ini dikarenakan peningkatan jumlah hasil tangkapan sampingan menjadi salah satu penyebab penurunan stok ikan yang dapat mengancam keberlanjutan perikanan dunia (Marpaung, 2006) dan menimbulkan masalah ekologi, sosial dan ekonomi (PEW Environment Group, 2010), Gilman & Lundin (2008) menyebutkan bahwa hasil tangkapan sampingan merupakan isu internasional yang semakin menonjol dimana menimbulkan permasalahan ekologi, karena beberapa spesies seperti cetacean (paus, dan lumba-lumba), burung laut, penyu laut, hiu dan pari serta jenis ikan lainnya sangat rentan terhadap eksploitasi berlebihan dan lambat untuk pulih apabila terjadi penurunan populasi yang besar. Hasil tangkapan sampingan dapat mengubah keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem dimana akan menghapus predator puncak dan spesies mangsa pada tingkat yang paling atas (Myers et al., 2007dalam Gilman & Lundin, 2008). Hasil tangkapan yang dibuang (discards) menimbulkan masalah sosial dimana ikan yang dibuang menjadi limbah. Dari tahun 1992 – 2001 ratarata 7,3 juta ton ikan per tahun dibuang, dimana hasil ini mewakili 8% dari hasil tangkapan dunia (FAO, 2005 dalam Gilman & Lundin, 2008).
68
Salah satu industri perikanan yang menghasilkan hasil tangkapan sampingan adalah industri perikanan tuna longline. Menurut Ardill et al. (2013), perikanan tuna longline di Samudera Hindia memiliki hasil tangkapan sampingan yang lebih tinggi dibandingkan perikanan pole and line atau perikanan purse seine, yaitu sekitar 11,6% dimana terdapat 87 spesies atau kelompok spesies by-catch yang terdiri dari ikan hiu, burung laut dan kura-kura yang terdaftar sebagai spesies terancam atau hampir punah oleh the International Union for Conservation of Nature (IUCN). KOMPOSISI JENIS HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PADA PERIKANAN TUNA LONGLINE Hasil tangkapan tuna longline terdiri dari dua jenis yaitu hasil tangkapan utama (target species) dan bukan hasil tangkapan utama atau hasil tangkapan sampingan (non target species/by-catch) (Chapman, 2001). Beverly et al. (2003) menyatakan bahwa hasil tangkapan sampingan adalah hasil tangkapan yang tidak diinginkan namun tertangkap secara kebetulan selama operasi penangkapan dengan tuna longline. Widodo et al. (2010) menyebutkan bahwa pada perikanan tuna longline, jenis-jenis ikan hiu atau cucut, pari, setuhuk, layaran dan lainnya sering tertangkap sebagai hasil tangkapan sampingan, diantaranya adalah hiu selendang biru (Prionace glauca), hiu koboy (Carcharhinus longimanus), hiu tikus (Alopias pelagicus), hiu mako (Isurus oxyrhyncus) dan pari lumpur (Dasyatis spp.), jenis setuhuk atau ikan berparuh seperti ikan pedang (Xiphias gladius), setuhuk hitam (Makaira indica), setuhuk biru (Makaira nigricans), ikan layaran (Istiophorus platypterus) dan jenis lainnya seperti ikan naga (Alepisaurusspp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), bawal sabit (Taractichthys steindachneri), bawal lonjong (Taractes rubescens), tenggiri nyunglas (Acanthocybium solandri), lemadang (Coryphaena hippurus), ikan gindara (Lepidocybium spp.), ikan gindara berkulit duri (Ruvettus pretiosus), ikan mambo (Mola mola), ikan opah (Lampris guttatus) serta jenis penyu seperti penyu lekang (Lepidochelys olivacea). Sebagian besar hasil tangkapan sampingan tuna longline memiliki nilai ekonomis, hanya jenis pari lumpur dan ikan naga yang tidak memiliki nilai ekonomis. Namun demikian, justru yang tidak memiliki nilai ekonomis mendominasi hasil tangkapan sampingan pada perikanan tuna longline. Hal ini terlihat dari komposisi hasil tangkapan yang diperoleh kapal tuna longline yang beroperasi pada bulan Maret – Mei 2010 dimana ikan naga dan pari lumpur mendominasi hasil tangkapan sampingan kapal tersebut (Setyadji & Nugraha, 2012a). Bahkan hasil
Kebijakan Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Tuna Longline di Samudera Hindia (Nugraha B & Bram S)
penelitian Setyadji & Nugraha (2012b) menunjukkan bahwa hasil tangkapan tuna longline selama tahun 2010 – 2011 yang didaratkan di Pelabuhan Benoa didominasi oleh hasil tangkapan sampingan sebanyak 81,52%, sedangkan hasil tangkapan utama hanya 18,47%. Hasil tangkapan yang dibuang atau tidak memiliki nilai ekonomis (discards) sebanyak 51,11% dan hasil tangkapan sampingan yang memiliki nilai ekonomis (by-product) sebanyak 30,41%. PEMANFAATAN HTS Saat ini terdapat perubahan pola pemanfaatan hasil tangkapan sampingan pada perikanan tuna longline yang berbasis di Pelabuhan Benoa. Semula terdapataturan dari perusahaan bahwa hasil tangkapan sampingan tidak boleh dibawa atau disimpan di dalam palka karena palka diutamakan untuk menyimpan hasil tangkapan utama. Pada umumnya hasil tangkapan sampingan yang diperoleh hanya untuk keperluan makan ABK di atas kapal selama operasi seperti ikan bawal sabit, ikan opah dan ikan gindara. Bahkan untuk jenis hiu hanya siripnya saja yang dimanfaatkan dan tubuhnya dibuang ke laut. Namun sekarang, seiring dengan berkurangnya hasil tangkapan utama, semua hasil tangkapan sampingan yang memiliki nilai ekonomis diperbolehkan dibawa. Hiu yang dahulu hanya dimanfaatkan siripnya saja, sekarang seluruh tubuhnya dibawa sebagai hasil tangkapan sampingan yang memiliki nilai ekonomis mulai dari daging, hati, tulang, kulit dan giginya (Sudjoko, 1991). Bahkan menurut Anonim (2013) hiu memiliki kandungan gizi berupa nutrisi, kalori, mineral dan vitamin. Sirip ikan hiu banyak diekspor ke Jepang dan Korea (Solihin, 2013). Ikan berparuh (billfish) merupakan jenis ikan hasil tangkapan sampingan yang memiliki nilai ekonomis. Berdasarkan data Rapid Alert System for Food and Feed Portal (2009), ikan berparuh yang dijual (ekspor) ke Uni Eropa adalah ikan pedang beku ke Italia, Spanyol, Belanda dan Perancis, ikan pedang filet beku ke Yunani, ikan pedang segar ke Belanda, ikan pedang loin ke Jerman, Belanda dan Inggris, serta marlin hitam beku ke Italia, Spanyol dan Belgia. Beberapa hasil tangkapan sampingan lainnya saat ini sudah dijual ke pasar luar negeri (ekspor) seperti ikan opah beku ke Perancis dan ikan opah filet ke Jerman, ikan gindara beku ke Polandia dan Swedia, ikan gindara filet ke Jerman, lemadang filet ke Perancis, hiu selendang biru beku ke Belgia dan Italia, hiu mako beku ke Italia dan hiu mako loin ke Belanda.
KEBIJAKAN PEGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN 1. Resolusi IOTC Pengelolaan hasil tangkapan sampingan pada perikanan tuna longline di Indonesia, khususnya di Samudera Hindia tidak terlepas dari perikanan tuna dimana pengelolaannya harus melibatkan negaranegara lain yang tergabung dalam organisasi pengelolaan perikanan regional (Regional Fisheries Management Organization) seperti Indian Ocean Tuna Commission (IOTC). Sebagai salah satu anggotanya, Indonesia harus mengikuti aturan-aturan atau resolusiresolusi yang telah dibuat oleh organisasi tersebut yang bertujuan untuk mengatur dan mengelola perikanan tangkap di perairan Samudera Hindia. IOTC telah menerapkan beberapa resolusi dan rekomendasi yang berkaitan dengan hasil tangkapan sampingan, termasuk hiu, burung laut dan penyu, seperti (IOTC, 2012): a) Resolution 08/02 on establishing a programme for transhipment by large-scale fishing vessels. Di dalam resolusi ini IOTC menghimbau kepada anggotanya untuk memantau pemindahan hasil tangkapan sampingan pada perikanan tuna longline skala besar, termasuk hiu dan spesies lainnya. b) Resolution 10/02 mandatory statistical requirements for IOTC members and cooperating non-contracting parties (CPC’s). Di dalam resolusi ini IOTC menghimbau kepada anggotanya untuk melaporkan tingkat hasil tangkapan sampingan untuk spesies lain, termasuk mamalia laut. c) Resolution 10/04 on a regional observer scheme. Resolusi ini menghimbau kepada anggota IOTC untuk mengumpulkan informasi hasil tangkapan sampingan di pelabuhan (perikanan artisanal) dan di laut (perikanan industri). d) Resolution 05/05 concerning the conservation of sharks caught in association with fisheries managed by IOTC. Didalam resolusi ini IOTC menghimbaukepada setiap anggotanya untuk melaporkan hiu yang ditangkap kepada IOTC dan membuat langkah-langkah untuk mengurangi tangkapan tersebut. e) Resolution 09/06 on marine turtles and recommendation 05/08 on sea turtles. Resolusi ini menghimbau kepada anggota IOTC untuk melaporkan tingkat hasil tangkapan sampingan penyu dan langkah-langkah untuk mengurangi hasil tangkapan sampingan tersebut atau mengurangi kematiannya. f) Resolution 10/06 on reducing the incidental bycatch of seabirds in longline fisheries and recommendation 05/09 on incidental mortality of
69
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 67-71
seabirds. Resolusi ini menghimbau kepada anggota IOTC untuk melaporkan tingkat hasil tangkapan sampingan burung laut dan langkahlangkah untuk mengurangi hasil tangkapan sampingan tersebut. g) Resolution 10/12 on the conversation of thresher shark (family Alopiidae) caught in association with fisheries in the IOTC area of competence. Didalam resolusi 10/12 IOTC diatur mengenai (a) pelarangan menahan di atas kapal, memindahkan dari/ke kapal lain, mendaratkan, menyimpan, menjual bagian manapun atau seluruh bangkai semua spesies hiu thresher dari family Alopiidae; (b) melaporkan tangkapan hiu thresher; (c) melepas dalam keadaan hidup untuk thresher sharks yang tertangkap pada kegiatan rekreasi dan olahraga penangkapan ikan. Dengan adanya ketentuan resolusi tersebut maka negara kita harus membuat ketentuan nasional mengenai pengaturan penangkapan thresher sharks (hiu tikus). 2. Kebijakan atau Peraturan Pemerintah RI Terkait Hasil Tangkapan Sampingan Pemerintah Indonesia telah membuat beberapa kebijakan tentang hasil tangkapan sampingan, seperti (Sadili, 2013): (1) Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang jenisjenis tumbuhan dan hewan yang dilindungi, telah menetapkan hiu gergaji (Pritis spp.) sebagai jenis hiu dilindungi, dan perlindungan terhadap ikan lumba-lumba famili Dolphinidae dan Ziphidae serta jenis penyu belimbing, hijau, pipih, ridel, sisik dan penyu tempayan. (2) Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat No. 09 Tahun 2012 tentang larangan penangkapan hiu, pari manta dan jenis-jenis tertentu di perairan Laut Raja Ampat; (3) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 18 tahun 2013 tentang penetapan status perlindungan penuh ikan hiu paus (Rhincodontypus); (4) National plan of action (NPOA): Shark and ray management tahun 2010.Rencana ini ditujukan untuk mengidentifikasi isu-isu kunci pengelolaan hiu dan pari di Indonesia dan strategi yang luas untuk mengatasinya (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2010).
3. Saat ini terdapat perubahan pola pemanfaatan hasil tangkapan sampingan pada perikanan tuna longline yang berbasis di Pelabuhan Benoa. 4. Pengelolaan hasil tangkapan sampingan pada perikanan tuna longline di Indonesia, khususnya di Samudera Hindia tidak terlepas dari perikanan tuna dimana pengelolaannya harus melibatkan negara-negara lain yang tergabung dalam organisasi pengelolaan perikanan regional. 5. Pemerintah Indonesia dan IOTC telah membuat kebijakan dan resolusi yang berkaitan dengan hasil tangkapan sampingan, termasuk hiu, burung laut dan penyu. REKOMENDASI Tingginya hasil tangkapan sampingan yang dibuang atau tidak memiliki nilai ekonomis pada perikanan tuna longline di perairan Samudera Hindia akan mengakibatkan perubahan komposisi jenis dan ukuran serta kelimpahan sumberdaya ikan yang akan berpengaruh terhadap rantai makanan di perairan tersebut. Oleh karena itu perlu adanya tindak lanjut dengan menyusun peraturan atau regulasi yang terkait dengan pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan dan pengelolaan yang benar terhadap hasil tangkapan tersebut beserta habitatnya agar terjaga kelestarian sumberdayanya dan juga tetap menjadi sumber pendapatan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Alverson, D.L., Freeberg, M.H., Murawski, S.A. & Pope, J.G. 1994. A global assessment of by-catch and discards. FAO Fisheries Technical Paper No. 339. FAO. Rome. 233 p. Anonim. 2009. Towards sustainable fisheries. Comment to the Commission ìs Green Paper “Reform of the Common Fisheries Policy”(COM(2009)163 final). October 2009 No. 7. SRU, German Advisory Council on the environment. 14 p. Anonim. 2013. Nutrition and calories in sharks. 2 p. Diunduh dari http://www.calorie-counter.net/fishcalories/shark.htm.
KESIMPULAN 1. Salah satu industri perikanan yang menghasilkan hasil tangkapan sampingan adalah industri perikanan tuna longline. 2. Hasil tangkapan sampingan tuna longline yang tidak memiliki nilai ekonomis mendominasi hasil tangkapan sampingan pada perikanan tuna longline yang berbasis di Pelabuhan Benoa.
70
Ardill, D., Itano, D. & Gillet, R. 2013. A review of bycatch and discard issues in Indian Ocean tuna fisheries. Implementation of a regional fisheries strategy for the Eastern-Southern Africa and Indian Ocean region. SF/2013/32. SmartFish Programme. Indian Ocean Commission. 61 p. Diunduh dari http://www.media.wix.com/.
Kebijakan Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Tuna Longline di Samudera Hindia (Nugraha B & Bram S)
Atmaja, S.B. & Nugroho, D. 2011. Upaya-upaya pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan di Indonesia. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia. 3 (2): 101-113.
PEW Environment Group. 2010. Sharks by-catch in tuna fisheries. Kobe 2 By-catch Workshop, June 23-25 2010, Brisbane, Australia. 3 p. Diunduh darihttp://www.pewenvironment.org/.
Beverly, S., L. Chapman & W. Sokimi. 2003.Horizontal longline fishing methods and techniques. A manual for fishermen. Multipress. Noumea, New Caledonia.
Rapid Alert System for Food and Feed Portal. 2009. Database Rapid Alert System for Food and Feed From Indonesia to European Union 2009. Diunduh dari https://webgate.ec.europa.eu/rasff-window.
Chapman, L. 2001. By-catch in the tuna longline fishery. Working paper 5, 2 ndSPC Heads of Fisheries Meeting, Noumea, New Caledonia, 23 – 27 July 2001. Secretariat of the Pacific Community. Coastal Fisheries Programme.Fisheries Development Section. Noumea, New Caledonia. http://www.spc.int/coastfish/.
Sadili, D. 2013. Ikan Hiu di Indonesia; Pemanfaatan versus Konservasinya. 5 p. Diunduh dari http:// didisadili.blogspot.com/2013/04/ikan-hiu-diindonesia-pemanfaatan.html.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2010. National plan of action (NPOA): Shark and ray management. Jakarta. FAO. 2005. Discards in the world’s marine fisheries: An update. FAO Fisheries Technical Paper No. 470. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. 131 p. Gilman, E., &Lundin, C. 2008. Minimizing by-catch of sensitive species groups in marine capture fisheries: Lessons from commercial tuna fisheries. In: Grafton, Q., Hillborn, R., Squires, D., Tait, M., &Williams, M. (Eds.). Handbook of Marine Fisheries Conservation and Management. Oxford University Press. 22 p. Diunduh dari http:// cmsdata.iucn.org/. IOTC. 2012. Collection of Active Conservation and Management Measures for the( Indian Ocean Tuna Commission. IOTC, Victoria, Mahé, Seychelles. 183 p. Diunduh dari http://www.iotc.org/. King, M. 2004. Protected marine species and the tuna longline fishery in the Pacific Islands. Fisheries Training Section. Secretariat of the Pacific Community Noumea. New Caledonia. 44 p. Diunduh darihttp://www.spc.int/. Marpaung, A. 2006. Kajian pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang: Studi kasus di Laut Arafura, Provinsi Papua. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sainsbury, J. C. 1996. Commercial fishing methods:An introduction to vessel and gears. Fishing News Book Ltd. London. 359 p. Setyadji, B. & Nugraha, B. 2012a. Hasil tangkap sampingan (HTS) kapal rawai tuna di Samudera Hindia yang berbasis di Benoa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 18 (1): 43-51. Setyadji, B. & Nugraha, B. 2012b. Commonly discarded fishes in the tuna longline fishery based in Port of Benoa, Bali. Dipresentasikan pada Seminar Hasil Penelitian Lingkup P4KSI pada tanggal 3-5 Juli 2012 di Bogor. Solihin, E. 2013. Perajin sirip hiu tak sanggup penuhi ekspor. Editor: Ruslan Burhani. 2 p. Diunduh dari http://www.antaranews.com/. Sudjoko, B. 1991. Pemanfaatan ikan cucut.Oseana, Vol. XVI, No. 4 : 31-37. Diunduh dari www.oseanografi.lipi.go.id. Widodo, A.A., Prisantoso, B.I. & Mahulette, R.T. 2010. Jenis dan distribusi ukuran ikan hasil tangkap sampingan (by-catch)pada perikanan tuna( di Samudera Pasifik. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian.Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa. Dewan Riset Nasional Kementerian Negara Riset dan Teknologi – Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 50 p. WWF. 2013. By-catch Fisheries Program. WWFIndonesia Fisheries Program. Diunduh dari http:// awsassets.wwf.or.id/.
Myers, R.A., Baum, J.K., Shepherd, T.D., Powers, S.P., & Peterson, C.H. 2007. Cascading effects of the loss of apex predatory sharks from a coastal ocean.Science 315 (Mar): 1846-1850.
71
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 :
72
Angka Acuan Sasaran untuk Pengelolaan Perikanan Udang Laut Arafura Dengan Tujuan Beragam (Purwanto)
ANGKA ACUAN SASARAN UNTUK PENGELOLAAN PERIKANAN UDANG LAUT ARAFURA DENGAN TUJUAN BERAGAM TARGET REFERENCE POINTS FOR THE MANAGEMENT OF ARAFURA SEA SHRIMP FISHERY WITH MULTIPLE-OBJECTIVES Purwanto Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 26 Juli 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 19 September 2013; Disetujui terbit tanggal: 31 September 2013
ABSTRAK Kriteria pengelolaan perikanan dalam kerangka pembangunan nasional, yaitu pro-growth, pro-poor, pro-job dan pro-environment, mengarahkan pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura untuk mengoptimumkan produksi lestari dan keuntungan perikanan, serta meningkatkan keuntungan per kapal dan peluang kerja sebagai nelayan. Masing-masing tujuan tersebut perlu ditetapkan angka acuan sasarannya yang diharapkan dicapai dalam pengelolaan perikanan. Mengingat tujuan tersebut saling bertentangan, sehingga tidak dapat dicapai bersamaan, perlu ditentukan tingkat kompromi optimal diantara tujuan tersebut dan angka acuan sasarannya. Tulisan ini menyajikan model pemrograman matematika untuk optimisasi dengan empat tujuan pengelolaan, serta menggunakannya untuk mengestimasi angka acuan sasaran dan jumlah optimal kapal penangkap. Hasil optimisasi dengan pemberian bobot prioritas yang sama terhadap empat tujuan pengelolaan perikanan dalam kerangka pembangunan nasional menunjukkan bahwa angka acuan sasaran pada tingkat kompromi optimal dicapai dengan pengendalian upaya penangkapan pada tingkat yang setara dengan daya tangkap 512 kapal pukat udang 130 GT. Angka acuan sasaran yang sama dihasilkan dari optimisasi dengan pemberian bobot prioritas yang lebih tinggi terhadap dua tujuan pengelolaan perikanan sesuai dengan Pasal 6 Undang Undang Perikanan tahun 2004. KATA KUNCI: Angka acuan sasaran, perikanan udang, pemrograman dengan sasaran beragam ABSTRACT The criteria of fisheries management undertaken in a framework of national development, particularly pro-growth, pro-poor, pro-job and pro-environment, guide the management of shrimp fishery in the Arafura Sea to optimising shrimp production and fishery profit, and increasing per vessel profit and job opportunity as fishers. As those objectives were conflicting that could not be achieved simultaneously, it is necessary to seek an optimal compromise amongst several conflicting objectives and to estimate their target reference points. This paper presents a mathematical programming model accommodating four objectives of fisheries management, and the utilisation of this for estimating the target reference points and the optimal number of fishing vessels. The result of optimisation shows that target reference points at the optimal compromise levels for the four conflicting objectives, with equal priority, of fisheries management supporting the national development could be achieved by controlling fishing effort at the level equal to fishing power of 512 shrimp trawlers of 130 GT. The same target reference points resulted from the analysis providing higher priority to the objectives of fisheries management stated in Article 6 of Fisheries Act of 2004. KEYWORDS: Target reference points, shrimp fishery, multiple goal programming.
PENDAHULUAN Sumberdaya Ikan (SDI) yang terdapat di wilayah perairan laut dan ZEE Indonesia, termasuk pula stok udang di Laut Arafura, merupakan salah satu kekayaan alam yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33(3) UUD 1945). Potensi kemakmuran dari SDI tersebut perlu didayagunakan pada tingkat optimal untuk mewujudkan Tujuan dan Cita-cita Nasional, yaitu antara lain memajukan kesejahteraan umum untuk
mewujudkan bangsa yang makmur (Pembukaan UUD 1945). Tujuan Nasional tersebut diwujudkan melalui pelaksanaan Pembangunan Nasional, dengan kekayaan alam hayati di laut sebagai salah satu modal dasar (Lampiran UU nomor 17 tahun 2007). Laut Arafura merupakan daerah utama penangkapan udang bagi armada perikanan Indonesia. Hasil estimasi potensi produksi udang masing-masing WPP (KepMenKP nomor 45/Men/ 2011) menunjukkan bahwa stok udang di Laut Arafura
___________________ Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Email:
[email protected] Jl. Pasir Putih II, Ancol Timur - Jakarta Utara, 14430
73
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 73-85
dapat menghasilkan produksi lestari sekitar 45% dari potensi produksi yang dapat dihasilkan secara lestari dari stok udang di Indonesia. Namun, stok udang tersebut beberapa-kali dimanfaatkan melebihi dayadukungnya. Berdasarkan kecenderungan produksi udang dan produktivitas kapal pukat udang tahun 1992 – 1997, Widodo, et al. (2001) menyimpulkan bahwa stok udang tersebut telah mengalami pemanfaatan berlebih sejak tahun 1996. Sementara itu, berdasarkan hasil analisis hubungan antara produktivitas kapal pukat udang dengan jumlah kapal pukat udang dan kapal pukat ikan menggunakan data tahun 1996 – 2005 Purwanto (2008, 2010 & 2013a) menyimpulkan bahwa upaya penangkapan udang di Laut Arafura pada periode tahun 1998 – 2003 lebih tinggi daripada tingkat upaya yang menghasilkan produksi lestari maksimum (E MSY ). Kondisi pemanfaatan stok udang yang terburuk terjadi pada tahun 2000, pada saat produktivitas mencapai titik terendah (Purwanto, 2008, 2010 & 2013a). Hal tersebut merupakan akibat dari jumlah kapal penangkap yang diizinkan beroperasi melebihi tingkat optimumnya dan intensitas penangkapan secara ilegal relatif tinggi (Purwanto, 2010). Konsekuensi dari hal tersebut adalah kelimpahan stok dan kemampuan produksinya lebih rendah dari tingkat optimumnya (Naamin, 1984; Badrudin, Sumiono & Wirdaningsih, 2002; Purwanto, 2008, 2010 & 2013a) dan keuntungan ekonomi yang diperoleh pelaku usaha lebih rendah dibanding tingkat optimum, bahkan sebagian pelaku usaha mengalami kerugian (Purwanto, 2011b & 2013b). Kondisi perikanan udang tersebut membaik, sebagaimana nampak dari kecenderungan penurunan upaya penangkapan sejak tahun 2001, ketika dilakukan perbaikan pengelolaan perikanannya, mencakup antara lain penataan perizinan dan perbaikan pengendalian perikanan lainnya, serta peningkatan pengawasan perikanan dan penegakan hukum. Pada tahun 2004 – 2005, upaya penangkapan tidak lagi melebihi EMSY (Purwanto, 2008, 2010 & 2013a). Namun, kondisi stock udang tersebut kembali memburuk akibat pemanfaatan berlebih setelah tahun 2005, khususnya oleh tingginya kegiatan penangkapan secara ilegal (Purwanto, 2013a). Agar stok udang dapat menghasilkan manfaat secara optimum dan berkelanjutan serta terjamin kelestariannya, pemerintah atau otoritas lain perlu melaksanakan pengelolaan terhadap perikanan yang memanfaatkan SDI tersebut (Pasal 6 UU nomor 31 tahun 2004). Pengelolaan perikanan secara benar diharapkan akan memberikan dukungan optimum terhadap pembangunan nasional dengan kontribusi positif dalam kaitan dengan pertumbuhan ekonomi (progrowth), pendapatan per kapita (pro-poor) dan
74
kesempatan kerja (pro-job), dengan tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya (pro-environment) (Buku I Lampiran Perpres nomor 5 tahun 2010). Oleh karena itu, strategi pengelolaan perikanan dalam kerangka pembangunan nasional perlu disusun dan diputuskan dengan mempertimbangkan empat kriteria tersebut. Secara umum, pengambilan keputusan dengan kriteria beragam tersebut memiliki beberapa tujuan (objectives), dan masing-masing tujuan perlu ditetapkan sasaran yang diharapkan. Dalam pengambilan keputusan pengelolaan perikanan digunakan angka acuan sasaran (target reference point) dan angka acuan batas (limit reference point) sebagai ukuran atau sasaran operasional. Angka acuan sasaran menunjukkan sasaran atau kondisi perikanan yang diharapkan dapat dicapai dari pengelolaan perikanan, mencakup antara lain mortalitas penangkapan, biomasa, tingkat keuntungan, hasil tangkapan utama dan sampingan. Angka acuan sasaran tersebut mencerminkan tujuan yang diinginkan masyarakat dalam pengelolaan perikanan (Sainsbury, 2008). Sementara itu, angka acuan batas mencerminkan batas dari kondisi yang perlu dihindari (FAO, 1997; Sainsbury, 2008). Sementara itu, berdasarkan empat kriteria pengelolaan perikanan dalam kerangka pembangunan nasional dapat diidentifikasikan setidaknya empat tujuan pada pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura, yaitu (1) mengoptimumkan produksi udang dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, (2) mengoptimumkan total keuntungan dari perikanan udang, (3) meningkatkan keuntungan per unit kapal yang diperoleh pelaku usaha penangkapan udang dan (4) meningkatkan peluang kerja sebagai awak kapal penangkap udang, dengan tetap mempertahankan kelestarian stok udang. Namun, empat tujuan pengelolaan perikanan tersebut saling bertentangan sehingga tidak dapat dicapai secara bersamaan (Purwanto, 2003, 2011a&b; Purwanto & Wudianto, 2012). Oleh karena itu perlu ditentukan tingkat kompromi optimal diantara beberapa tujuan yang saling bertentangan dan angka acuan sasarannya pada tingkat yang memuaskan. Tulisan ini menyajikan model pemrograman matematika untuk optimisasi dengan empat tujuan pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura. Model tersebut selanjutnya digunakan untuk mengestimasi angka acuan sasaran, yang merupakan tingkat kompromi optimal sasaran dari empat tujuan pengelolaan perikanan, dan jumlah optimal kapal penangkap udang.
Angka Acuan Sasaran untuk Pengelolaan Perikanan Udang Laut Arafura Dengan Tujuan Beragam (Purwanto)
Sesuai Pasal 6 UU nomor 31 tahun 2004, pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan serta terjaminnya kelestarian SDI. Sementara itu, pengelolaan perikanan tersebut dalam kerangka pembangunan nasional perlu diarahkan untuk mengoptimumkan produksi udang dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi (Tujuan-I), mengoptimumkan keuntungan ekonomi perikanan udang (Tujuan-II), meningkatkan keuntungan per unit kapal yang diperoleh pelaku usaha penangkapan udang (Tujuan-III) dan meningkatkan peluang kerja sebagai awak kapal penangkap udang (Tujuan-IV), dengan tetap mempertahankan kelestarian stok udang. Salah satu kebijakan dalam mencapai tujuan pengelolaan perikanan di Indonesia adalah dengan pengendalian kemampuan penangkapan ikan dari armada perikanan, yang diukur dengan upaya penangkapan (OECD, 2007; McCluskey & Lewison, 2008). Oleh karena itu pada pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura, sasaran ideal untuk Tujuan-I adalah produksi maksimum lestari (maximum sustainable Produksi Keuntungan
300
50
MSY
250
40
MEY
200
900 150
20
100
EMEY
EMSY
(A)
0
50 0
200 400 600 800 1000 Upaya penangkapan (Jumlah kapal pukat udang)
Biomasa Udang (1000 ton)
0
180
700 120 500 300
(B)
0 -100 0 -300
200 400 600 800 1000 Upaya penangkapan (Jumlah kapal pukat udang)
60
100
50
80
40
60
30
40
20
20
10
(C)
0
0 0
60
100
Biomasa Pertumbuhan biomasa
120
240
-60
Pertumbuhan biomasa udang (1000 ton/th)
30
10
Keuntungan per kapal Jumlah tenaga kerja
1100
Keuntungan (US$ juta/th) Keuntungan per kapal (US$ 1000/th)
Produksi udang (1000 ton/th)
60
yield – MSY).yang dicapai dengan pengendalian upaya penangkapan pada tingkat EMSY. Sasaran ideal untuk Tujuan-II adalah total keuntungan optimum yang dicapai dengan pengendalian upaya penangkapan pada tingkat EMEY (Gambar 1(A)), yang menghasilkan produksi lestari yang secara ekonomis optimum (maximum economic yield - MEY). Sementara itu, Tujuan-III dicapai dengan memperkecil upaya penangkapan, namun pengurangan upaya penangkapan lebih rendah dari E MEY akan menghasilkan keuntungan ekonomi perikanan yang lebih kecil dibandingkan tingkat optimumnya, walaupun keuntungan per kapal tetap meningkat (Gambar 1(B)). Sebaliknya, Tujuan-IV dicapai dengan memperbesar upaya penangkapan, namun peningkatan upaya penangkapan melebihi EMSY menghasilkan produksi udang yang lebih rendah dibandingkan MSY, walaupun peluang kerja di kapal penangkap udang tetap meningkat (Gambar 1). Di lain pihak, agar stok udang setidaknya pada tingkat kelimpahan dengan laju pertumbuhan biomasa maksimum, sehingga menghasilkan produksi lestari maksimum, upaya penangkapan perlu dikendalikan paling tinggi pada tingkat EMSY (Gambar 1(C)).
Jumlah tenaga kerja di kapal (100 orang)
TUJUAN PENGELOLAAN PERIKANAN
EMSY
200 400 600 800 1000 Upaya penangkapan (Jumlah pukat udang)
Gambar 1. Hubungan antara upaya penangkapan dengan (A) produksi udang dan keuntungan perikanan, (B) keuntungan per kapal dan jumlah nelayan perikanan udang, serta (C) kelimpahan dan pertumbuhan biomasa udang, di Laut Arafura, berdasarkan data and informasi dari Purwanto (2013a,c). Figure 1. The relationship between fishing effort and (A) shrimp production and fishery profit, (B) profit per boat and number of fishers of shrimp fishery, and (C) abundance and growth of shrimp biomass, in the Arafura Sea, based on data and information from Purwanto (2013a,c).
75
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 73-85
Pada Tabel 1 disajikan implikasi dari pemilihan angka acuan diantara MSY dan MEY untuk pengelolaan perikanan. Penggunaan angka MSY sebagai sasaran akan memungkinkan optimisasi produksi dan peluang kerja di atas kapal perikanan, namun keuntungan perikanan akan sub-optimal dan keuntungan per unit kapal lebih rendah. Sebaliknya, bila sasaran pengelolaan adalah MEY, keuntungan perikanan akan optimal dan keuntungan per kapal akan lebih tinggi, namun produksi lestari akan sub-optimal dan peluang kerja sebagai nelayan akan lebih rendah. Idealnya, tingkat optimum dari produksi lestari, keuntungan perikanan, keuntungan per unit kapal dan peluang kerja di kapal perikanan (kolom (5) pada Tabel 1) dicapai secara bersamaan. Namun, sebagaimana disajikan pada Gambar 1 dan Tabel 1 (kolom (3) & (4)), empat tujuan pengelolaan perikanan tersebut tidak dapat dicapai secara bersamaan (Purwanto, 2003, 2011a&b, 2013a&b). Oleh karena itu perlu ditentukan tingkat kompromi optimal diantara beberapa tujuan yang saling bertentangan dengan sasaran pada tingkat yang memuaskan (Romero & Rechman, 1989). PEMROGRAMAN MATEMATIKA UNTUK OPTIMISASI DENGAN TUJUAN BERAGAM Masalah pengambilan keputusan pengelolaan perikanan dengan empat tujuan (Tujuan I – IV) tersebut dapat dituliskan dalam rumusan matematika dengan upaya penangkapan sebagai variabel keputusan. Rumusan matematika tersebut, yang disusun berdasarkan model bio-ekonomi dari Gordon (1954) dengan menggunakan model produksi dari Schaefer (1954; 1957), adalah sebagai berikut: Maksimumkan Y = U.E (1) Maksimumkan R = h.U.E – c.E (2) Maksimumkan P = h.U – c (3) Maksimumkan K = k.E (4) Dengan syarat: (5) U = a1 - a2.E Bm < b1 - b2.E (6) E>0 (7) Keterangan: Y = produksi udang, U = berat keseluruhan udang hasil tangkapan per unit kapal, E = upaya penangkapan, R = keuntungan ekonomi perikanan udang, P = keuntungan per unit kapal penangkap udang, K = peluang kerja sebagai awak kapal penangkap udang,
76
h = harga udang per satuan berat, c = biaya penangkapan udang per unit kapal, k = jumlah awak per unit kapal, Bm = kelimpahan minimum stok udang untuk mempertahankan kelestariannya, a1, a2, b1, dan b2 = koefisien. Optimisasi untuk pengelolaan perikanan dengan beragam tujuan dapat dilakukan dengan menggunakan goal programming ataupun compromise programming (Romero & Rechman, 1989). Goal programming telah digunakan antara lain oleh Drynan & Sandiford (1985), Sandiford (1986), Mardle et al. (2000), dan Kjaersgaard & Andersen (2003) untuk estimasi sasaran pengelolaan perikanan di Eropa, serta oleh Purwanto (2011a) dan Purwanto & Wudianto (2012) untuk estimasi sasaran pengelolaan di Laut Arafura dan Selat Bali. Sementara itu, compromise programming antara lain digunakan oleh Purwanto (2003; 2011b) untuk estimasi sasaran pengelolaan perikanan di Laut Jawa dan Laut Arafura. Optimisasi untuk menentukan tingkat kompromi optimal dari sejumlah sasaran ideal yang disajikan pada tulisan ini (kolom (5) pada Tabel 1) dilakukan dengan pemrograman matematika dengan sasaran beragam (multiple-goal programming). Optimisasi ini menggunakan model deterministik serta tidak mempertimbangkan dinamika karena faktor waktu agar model sederhana dan mudah dipahami. Optimisasi dengan multiple-goal programming ditujukan untuk meminimumkan deviasi relatif angka acuan sasaran (target reference point), yang merupakan tingkat kompromi yang dihasilkan dari optimisasi, terhadap sasaran ideal pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura. Pada pemrograman matematika dengan sasaran beragam yang disajikan pada tulisan ini akan menghasilkan angka acuan sasaran untuk pengelolaan perikanan tersebut. Pencapaian sasaran pengelolaan perikanan tersebut dilakukan dengan pengendalian upaya penangkapan. Nilai maksimal (ideal) dan nilai minimal (anti-ideal) sasaran-sasaran pengelolaan perikanan udang yang digunakan dalam optimisasi ini menggunakan titik acuan EMEY dan EMSY. Walaupun upaya pengelolaan perikanan diarahkan untuk mencapai semua tujuan pengelolaan, prioritas dapat ditetapkan dalam mencapai tujuan tersebut. Pemberian prioritas yang berbeda terhadap masing-masing tujuan pengelolaan dilakukan dengan memberikannya pembobotan dengan nilai berbeda. Berikut ini adalah rumusan matematika dari masalah optimisasi tersebut untuk dipecahkan dengan multiple-goal programming.
Keterangan: berdasarkan data and informasi dari Purwanto (2013a,b&c).
Jumlah kapal pukat udang (number of shrimp trawlers)
Upaya penangkapan/Fishing effort
13337
Orang (People)
635
56,332
157,9
US$ 1000/kapal/tahun (US$ 1000/vessel/yr)
1000 ton (1000 tonnes)
100,3
49,5
(3)
MSY sebagai acuan/ MSY as a reference point
US$ juta/tahun (US$ million/yr)
1000 ton/tahun (1000 tonnes/yr)
Biomasa udang/Shrimp biomass
Keuntungan perikanan keseluruhan/Total fishery profit Keuntungan pelaku usaha/Profit gained by each fisher Peluang kerja di kapal/Job opportunity as vessel crews
udang/Shrimp
(2)
(1)
Produksi production
Satuan (Units)
Kriteria/Criteria
388
78,232
8152
433,8
168,4
42,0
(4)
MEY sebagai acuan/ MEY as a reference point
Dampak kebijakan pengelolaan perikanan/ Estimated impact of fishery management
78,232
13337
433,8
168,4
49,5
(5)
Sasaran ideal pengelolaan perikanan/ Expected value of ideal goals for fishery management
Tabel 1. Dampak pengelolaan perikanan dengan acuan MSY dan MEY, serta sasaran ideal yang diharapkan pada perikanan udang di Laut Arafura. Table 1. Estimated impact of fishery management using MSY and MEY as reference points, and expected value of ideal goals of the management of Arafura shrimp fishery.
Angka Acuan Sasaran untuk Pengelolaan Perikanan Udang Laut Arafura Dengan Tujuan Beragam (Purwanto)
77
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 73-85
A. Fungsi Tujuan: Minimumkan: R = w1.r1 + w2.r2 + w3.r3 + w4.r4 ...(8) B. Fungsi Kendala: Deviasi relatif terhadap sasaran: r1 = n1/(G1 – L1) r2 = n2/(G2 – L2) r3 = n3/(G3 – L3) r4 = n4/(G4 – L4) Sasaran produksi udang: G1 = U.E + n1 Sasaran perolehan neto perikanan udang: G2 = h.U.E – c.E + n2 Sasaran keuntungan pelaku usaha: G3 = (h.U – c) + n3 Sasaran peluang kerja di kapal: G4 = k.E + n4 Kelimpahan stok udang: BMSY < b1 - b2.E Produktivitas kapal perikanan udang: U = a1 - a2.E Keterangan: w1, w2, w3 dan w4 G1, G2, G3 dan G4 L1, L2, L3 dan L4
n1, n2, n3 dan n4
BMSY
(9) (10) (11) (12)
(13) (14) (15) (16)
SASARAN DARI PENGELOLAAN
BERAGAM
TUJUAN
Sasaran beragam dengan bobot prioritas sama Angka acuan sasaran (target reference points) yang merupakan nilai estimasi kompromi optimal terhadap beragam sasaran ideal yang saling bertentangan pada pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura dalam kerangka Pembangunan Nasional diperoleh dari optimisasi menggunakan pemrograman matematika dengan memberikan bobot prioritas yang sama terhadap empat tujuan pengelolaan. Hasil estimasi angka acuan sasaran dengan pemrograman tersebut disajikan pada Tabel 3.
(17)
(18)
= bobot yang mencerminkan prioritas masing-masing tujuan pengelolaan; = nilai sasaran ideal masingmasing tujuan pengelolaan; = nilai sasaran minimal atau sasaran tidak ideal (anti-ideal) masing-masing tujuan pengelolaan; = nilai deviasi negatif dari tingkat kompromi masing-masing sasaran terhadap nilai idealnya; = kelimpahan stok (biomasa) udang yang menghasilkan MSY.
Nilai masing-masing parameter/koefisien dan sasaran yang digunakan untuk pemrograman matematika dengan sasaran beragam tersebut disajikan pada Tabel 2. Nilai dari h, c dan k adalah berdasarkan data atau informasi tahun 2011, bersumber dari beberapa perusahaan penangkapan udang. Nilai dari a1, a2, b1, b2, BMSY dan nilai sasaran bersumber dari Purwanto (2013a,b&c). Optimisasi dengan non-linear multiple-goal programming tersebut
78
dilakukan menggunakan piranti lunak GAMS (General Algebraic Modelling System; Anonymous, 2011). Program GAMS untuk optimisasi tersebut disajikan pada Lampiran 1.
Tingkat produksi dan total keuntungan perikanan udang untuk acuan sasaran pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura masing-masing adalah sekitar 47,6 ribu ton/tahun dan US$ 151,4 juta/tahun (Tabel 3). Deviasi relatif angka acuan sasaran tersebut terhadap masing-masing sasaran idealnya adalah sekitar 25%. Kompromi optimal tersebut mendekati sasaran ideal. Sementara itu, angka acuan tingkat keuntungan yang diperoleh pelaku usaha dan peluang kerja di kapal sebagai sasaran pengelolaan perikanan tersebut adalah sekitar US$ 295,8 ribu/kapal/tahun dan 10744 orang. Deviasi relatif dua angka acuan sasaran ini terhadap masing-masing sasaran idealnya adalah sekitar 50%. Kompromi optimal ini berada di tengah di antara batas atas yang merupakan sasaran ideal dan batas bawah yang merupakan sasaran tidak ideal. Untuk mencapai sasaran yang menjadi acuan dalam pengelolaan perikanan tersebut perlu dilakukan pengendalian upaya penangkapan udang pada tingkat yang setara dengan daya tangkap dari 512 kapal pukat udang ukuran 130 GT (Tabel 3). Pada tingkat upaya penangkapan tersebut kelimpahan stok udang di Laut Arafura diharapkan akan mencapai sekitar 67,3 ribu ton. Biomasa udang pada kondisi dicapainya kompromi optimal dari sejumlah tujuan pengelolaan perikanan yang saling bertentangan tersebut lebih besar dibandingkan biomasa untuk mempertahankan kelestarian stok udang dengan laju pertumbuhan maksimum (BMSY).
8152
9107 551,84
L4
h c
US$/ton (US$/tonnes) US$ 1000/kapal/tahun (US$ 1000/vessel/year) Orang/kapal (People/vessel) Ton (Tonnes)
Orang (People)
Ton/tahun (Tonnes/year) Ton/tahun (Tonnes/year) US$ juta/tahun (US$ million/year) US$ juta/tahun (US$ million/year) US$ 1000/kapal/tahun (US$ 1000/vessel/year) US$ 1000/kapal/tahun (US$ 1000 /vessel/year) Orang (People)
Satuan (Units)
Angka MSY (Quantity of MSY) Angka MEY (Quantity of MEY) Tingkat optimum keuntungan perikanan (The optimal profit of fishery) Keuntungan perikanan saat dicapai MSY (Profit of fishery at MSY) Keuntungan per kapal saat dicapai MEY (Profit per vessel when achieved) Keuntungan per kapal saat dicapai MSY (Profit per vessel when achieved) Peluang kerja sebagai awak kapal penangkap udang saat dicapai (Opportunity for job as fishing vessel crews when MSY achieved) Peluang kerja sebagai awak kapal penangkap udang saat dicapai (Opportunity for job as fishing vessel crews when MEY achieved)
Keterangan (Remarks)
Sumber: Purwanto (2013a,b&c), kecuali G4 dan L4 yang merupakan hasil perhitungan berdasarkan EMSY dan EMSY dari Purwanto (2013a) dan k.
21 56332 155,86 0,1227 112663,4 88,7008
13337
G4
k BMSY a1 a2 b1 b2
157,9
L3
parameter/koefisien/ sasaran Nilai (coefficients/ (Values) parameters/goals) G1 49492 L1 42012 G2 168,4 100,3 L2 G3 433,8
MEY
MSY
MSY
MEY
Tabel 2. Nilai koefisien/parameter dan sasaran yang digunakan dalam pemrograman dengan sasaran beragam untuk pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura. Table 2. The value of coefficients/parameters and goals used in a programming with multiple goals for the management of shrimp fishery in the Arafura Sea.
Angka Acuan Sasaran untuk Pengelolaan Perikanan Udang Laut Arafura Dengan Tujuan Beragam (Purwanto)
79
80 Ton/kapal/tahun (Tonnes/vessel/year) US$ juta/tahun (US$ million/yr) US$ juta/tahun (US$ million/yr)
Produktivitas kapal pukat udang/Shrimp trawler productivity
Perolehan perikanan keseluruhan/Total revenue of fishery Biaya perikanan keseluruhan/Total running cost of fishery
1000 ton (1000 tonnes)
Orang (People)
US$ 1000/kapal/tahun (US$ 1000/vessel/yr)
US$ juta/tahun (US$ million/yr)
1000 ton/tahun (1000 tonnes/yr)
Jumlah kapal pukat udang (number of shrimp trawlers)
5. Biomasa udang/Shrimp biomass
2. Keuntungan perikanan keseluruhan/Total fishery profit 3. Keuntungan pelaku usaha/Profit gained by each fisher 4. Peluang kerja di kapal/Job opportunity as vessel crews
1. Produksi udang/Shrimp production
Satuan (Units)
Upaya penangkapan/Fishing effort
Pro-environment
Pro-job
Pro-poor
Pro-growth
Kriteria/Criteria
78,2
13337
433,8
168,4
49,5
Nilai sasaran ideal/ Expected value of ideal goals
Tabel 3. Nilai sasaran ideal yang diharapkan dan angka acuan sasaran dari pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura. Table 3. Expected value of ideal goals and target reference points of the management of shrimp fishery in the Arafura Sea.
433,7 282,3
93,1
512
67,3
10744
295,8
151,4
47,6
Angka acuan sasaran/ Target reference points
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 73-85
Angka Acuan Sasaran untuk Pengelolaan Perikanan Udang Laut Arafura Dengan Tujuan Beragam (Purwanto)
Hal tersebut sesuai dengan perkembangan strategi pengelolaan perikanan pada tahun-tahun terakhir ini yang tidak lagi menggunakan MSY sebagai angka acuan yang menjadi sasaran pengelolaan perikanan melainkan digunakan sebagai angka acuan yang menjadi batas guna memperkecil resiko kegagalan pelestarian SDI (FAO, 1997; Mace, 2001; Quinn & Collie, 2005). Angka acuan yang menjadi sasaran pengelolaan adalah pada tingkat yang lebih rendah daripada MSY. Pemrograman optimisasi dengan beragam tujuan yang saling bertentangan dengan menggunakan angka acuan batas MSY, EMSY, MEY dan EMEY, sebagaimana disajikan dalam tulisan ini, menghasilkan EMEY < E* < EMSY, yaitu tingkat upaya penangkapan optimal (E*) lebih rendah dibandingkan EMSY namun lebih tinggi dibandingkan EMEY. Deviasi relatif E* terhadap EMSY dan EMEY adalah sekitar 50%. Dengan menggunakan acuan tingkat upaya penangkapan optimal hasil optimisasi tersebut dalam pengendalian penangkapan udang, pengelolaan perikanan selain menghasilkan capaian sasaran pada tingkat kompromi optimal juga lebih menjamin kelestarian stok udang. Pengendalian upaya penangkapan udang pada tingkat kompromi optimal mengkondisikan pemanfaatan SDI pada tingkat optimal dan lestari. Hal ini juga akan mengkondisikan adanya iklim investasi yang lebih kondusif bagi kegiatan perikanan berbasis sumberdaya alam hayati. Tujuan pengelolaan perikanan di Indonesia mencakup aspek ekonomi, sosial, sumberdaya alam dan lingkungan, sebagaimana dirumuskan sebagai kriteria pembangunan yaitu pro-growth, pro-poor, pro-
job dan pro-environment Pemrograman optimisasi dengan beragam sasaran yang saling bertentangan, sebagaimana disajikan disini, telah digunakan untuk mengestimasikan tingkat kesetimbangan diantara aspek-aspek tersebut. Deviasi relatif dari tingkat kompromi optimal terhadap sasaran ideal produksi dan total keuntungan perikanan udang (25%) serta terhadap sasaran ideal keuntungan pelaku usaha dan peluang kerja di kapal (50%) mengindikasikan kesetimbangan optimal diantara aspek-aspek tersebut. Sasaran beragam dengan bobot prioritas berbeda Optimisasi lanjutan dilakukan dengan memberikan bobot prioritas yang lebih tinggi terhadap dua tujuan pengelolaan perikanan udang sesuai dengan amanat pada Pasal 6(1) UU nomor 31 tahun 2004, yaitu untuk mengoptimumkan produksi udang dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi (Tujuan-I) dan mengoptimumkan keuntungan ekonomi perikanan udang (Tujuan-II). Optimisasi dengan dua tujuan tersebut menghasilkan tingkat kompromi optimal yang tidak berbeda dari hasil optimisasi untuk pengelolaan perikanan dalam kerangka pembangunan nasional (Tabel 3). Angka acuan yang menjadi sasaran, yang merupakan tingkat kompromi optimal terhadap sasaran ideal dari tujuan yang saling bertentangan, dalam pengelolaan perikanan udang dalam rangka merealisasikan amanat Pasal 6 UU nomor 31 tahun 2004 dicapai dengan mengendalikan upaya penangkapan udang pada tingkat yang setara dengan daya tangkap dari 512 kapal pukat udang ukuran 130 GT.
Tabel 3. Upaya penangkapan optimal untuk mencapai tingkat kompromi optimal dari beragam tujuan pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura dengan bobot prioritas yang berbeda untuk masingmasing tujuan. Table 3. Optimal fishing effort to achieve optimal compromise levels for the conflicting objectives of the management of shrimp fishery in the Arafura Sea by prioritising different objectives. Bobot prioritas masing-masing tujuan pengelolaan perikanan/ Weight of priority for each objective of fisheries management Tujuan-I/ Objective-I: Optimisasi Produksi udang/ Optimisation of shrimp production
Tujuan-II/ Objective-II: Optimisasi keuntungan perikanan/ Optimisation fishery profit
of
Tujuan-III/ Objective-III: Peningkatan keuntungan pelaku usaha/ Increasing profit gained by each fisher
Tujuan-IV/ Objective-IV: Peningkatan peluang kerja di kapal/ Increasing job opportunity as vessel crews
1 1 1 1 10 10 1 1 100 100 1 1 1000 1000 1 1 Keterangan: * kapal dengan daya tangkap setara kapal pukat udang 130 GT/ Remark: * a vessel with fishing power equal to a shrimp trawler of 130 GT.
Upaya penangkapan optimal (Jumlah kapal*)/ The optimal fishing effort (Number of vessels*) 512 512 512 512
81
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 73-85
Hasil optimisasi tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan pengelolaan perikanan dengan memberikan bobot prioritas yang lebih tinggi terhadap Tujuan-I dan Tujuan-II membutuhkan strategi pengelolaan yang tidak berbeda dari strategi pengelolaan perikanan dalam kerangka Pembangunan Nasional yang dilaksanakan untuk mencapai empat tujuan dengan bobot prioritas yang sama. Hal yang sama ditunjukkan oleh Purwanto (2011a) dan Purwanto & Wudianto (2012) dari estimasi angka acuan sasaran untuk pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali. KESIMPULAN Sasaran ideal dari empat tujuan yang saling bertentangan pada pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura tidak dapat dicapai secara bersamaan. Angka acuan sasaran pada tingkat kompromi optimal untuk pengelolaan perikanan dalam kerangka pembangunan nasional, dengan memberikan bobot prioritas sama terhadap empat tujuan pengelolaan, dicapai dengan pengendalian upaya penangkapan pada tingkat yang setara dengan daya tangkap 512 kapal pukat udang 130GT. Angka acuan sasaran yang sama dihasilkan dari optimisasi dengan pemberian bobot prioritas yang lebih tinggi terhadap dua tujuan pengelolaan perikanan sesuai dengan Pasal 6 Undang Undang Perikanan tahun 2004. DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 2011. GAMS: A User’s Guide. GAMS Development Corporation, Washington, DC. 269p. Badrudin, B. Sumiono & N. Wirdaningsih. 2002. Laju tangkap, hasil tangkapan maksimum (MSY), dan upaya optimum perikanan udang di Laut Arafura. J. Penelitian Perikanan Indonesia, 8(4): 23-29. Drynan, R.G. & F. Sandiford. 1985. Incorporating economic objectives in goal programming for fishery management. Marine Resource Economics, 2: 175-195. FAO. 1997. Fisheries management. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. No. 4. Rome, FAO. 1997. 82p. Gordon, H.S. 1954. The economic theory of the common property resource: the fishery. Journal of Political Economy, 62: 124-42. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 45/Men/2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia
82
Kjaersgaard, J. & J.L. Andersen. 2003. Multi-objective management in fisheries: The case of the Danish industrial fishery in the North Sea. Danish Research Institute of Food Economics. 90p. Mace, P.M. 2001. A new role for MSY in single-species and ecosystem approaches to fisheries stock assessment and management. Fish and Fisheries, 2: 2-32. Mardle, S., S. Pascoe, M. Tamiz & D. Jones. 2000. Resource allocation in the North Sea demersal fisheries: A goal programming approach. Annals of Operations Research, 94: 321–342. McCluskey, S.M. & R.L. Lewison. 2008. Quantifying fishing effort: a synthesis of current methods and their applications. Fish and Fisheries 9: 188–200. Naamin, N. 1984. Dinamika populasi udang jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di perairan Arafura dan alternatif pengelolaannya. Disertasi Doktor. Fakultas Pasca Sarjana IPB. 281p. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 2007. Glossary of statistical terms. OECD. 863p. Peraturan Presiden (Perpres) nomor 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2010 – 2014. Purwanto. 2003. Status and management of the Java Sea fisheries, p. 793 - 832. In G. Silvestre, L. Garces, I. Stobutzki, M. Ahmed, R.A. ValmonteSantos, C. Luna, L. Lachica-Aliño, P. Munro, V. Christensen and D. Pauly (eds.) Assessment, Management and Future Directions for Coastal Fisheries in Asian Countries. WorldFish Center Conference Proceeding 67, 1120 p. Purwanto. 2008. Resource rent generated in the Arafura shrimp fishery. Final Draft. Prepared for the World Bank PROFISH Program. Washington. D.C. 29p. Purwanto, 2010. The biological optimal level of the arafura shrimp fishery. Ind. Fish. Res. J., 16(2): 79-89. Purwanto. 2011a. Model optimisasi dengan sasaran beragam untuk pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia 3(1): 61-75.
Angka Acuan Sasaran untuk Pengelolaan Perikanan Udang Laut Arafura Dengan Tujuan Beragam (Purwanto)
Purwanto. 2011b. A compromise solution to the conflicting objectives in the management of the Arafura shrimp fishery. Ind. Fish. Res. J., 17(1): 37-44. Purwanto, 2013a. Biomasa udang, produktivitas armada penangkapan dan potensi produksi perikanan udang di Laut Arafura. Purwanto, 2013b. Angka acuan batas pemanfaatan optimum stok udang dan ikan demersal di Laut Arafura. Purwanto, 2013c. Profitabilitas dan potensi ekonomi perikanan udang di Laut Arafura. Purwanto & Wudianto, 2012. Angka acuan sasaran untuk pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali dengan tujuan beragam. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia 4(1): 35-47.
Sandiford, F. 1986. An analysis of multiobjective decision-making for the Scottish inshore fishery. Journal of Agricultural Economics, 37: 207-219. Schaefer, M. B. 1954. Some aspects of the dynamics of populations important to the management of commercial marine fisheries. Bulletin of the Inter American Tropical Tuna Commission, 1: 25-56. Schaefer, M. B. 1957. Some considerations of population dynamics and economics in relation to the management of marine fisheries. Journal of the Fisheries Research Board of Canada, 14: 66981. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945). Undang Undang (UU) nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
Quinn II, T.J. & J.S. Collie. 2005. Sustainability in single-species population models. Phil. Trans. R. Soc. B, 360: 147–162.
Undang Undang nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005 – 2025.
Romero, C. & T. Rehman. 1989. Multiple Criteria Analysis for Agricultural Decisions. Elsevier Science Publishers, Amsterdam. 257p.
Widodo, J., Purwanto & S. Nurhakim. 2001. Evaluasi Penangkapan Ikan di Perairan ZEEI Arafura: Pengkajian sumberdaya ikan demersal. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 50p.
Sainsbury, K. 2008. Best Practice Reference Points for Australian Fisheries. AFMA, Canberra.
83
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 73-85
Lampiran 1 PROGRAM GAMS UNTUK ESTIMASI ANGKA ACUAN SASARAN PENGELOLAAN PERIKANAN UDANG ARAFURA $Title ESTIMATION OF THE TARGET REFERENCE POINT FOR THE MANAGEMENT OF ARAFURA SHRIMP FISHERY SCALARS PRICE Price of shrimps in US$ 1000 per tonnes / 9.107 / COST Cost of fishing in US$ 1000 per vessel per yr / 551.84 / ALFA0 A0 coefficient of Schaefer production model / 155.8619 / ALFA1 A1 coefficient of Schaefer production model / 0.12271 / BETA0 B0 coefficient of Schaefer biomass model / 112663.389 / BETA1 B1 coefficient of Schaefer biomass model / 88.700789 / BIOMMSY Shrimp biomass at MSY in tonnes / 56331.695 / CREW Number of people working on a shrimp trawler / 21 / * Weights attached to each of the objectives W1 Weight of priority for goal-1:QTYMSY W2 Weight of priority for goal-2:RENTMEY W3 Weight of priority for goal-3:VPROFMEY W4 Weight of priority for goal-4:LABORMSY
/ / / /
1 1 1 1
/ / / /
* Ideal solution or Goals: QTYMSY maximum sustainable yield in tonnes / 49492.027 / RENTMEY Total profit at MEY in US$ million / 1.6839E+5 / VPROFMEY Profit per unit vessel at MEY in US$ 1000 / 433.797 / LABORMSY Total labor engaged in shrimp fishery at MSY / 13337 / * Anti-ideal solution: QTYMEY maximum sustainable yield in tonnes / 42011.516 / RENTMSY Total profit at MSY in US$ million / 1.0026E+5 / VPROFMSY Profit per unit vessel at MSY in US$ 1000 / 157.877 / LABORMEY Total labor engaged in shrimp fishery at MEY / 8152 /; VARIABLES GOAL POSITIVE VARIABLES RDEVCATCH Relative deviation of catch RDEVRENT Relative deviation of resource rent RDEVPROF Relative deviation of vessel profit RDEVLAB Relative deviation of labor n1 n2 n3 n4 RENT Resource rent generated in US$ 1000 per year TREVN Total annual return of catching shrimps in US$ 1000 TCOST Total annual cost of catching shrimps in US$ 1000 VPROF Profit per unit vessel in US$ 1000 TCATCH Total catch of shrimp fishery in tonnes CPUE Catch per unit effort of shrimp fishery in tonnes TLABOR Total labor engaged in shrimp fishery EFFORT Effort standardised in the number of shrimp trawlers BIOMASS Abundance of shrimp stock in tonnes;
84
Angka Acuan Sasaran untuk Pengelolaan Perikanan Udang Laut Arafura Dengan Tujuan Beragam (Purwanto)
EQUATIONS OBJECTIVE RELDEVIATION1 RELDEVIATION2 RELDEVIATION3 RELDEVIATION4 GOALPRODN GOALRRENT GOALVPROFIT GOALTLABOR RESOURCERENT FISHINGREVENUE FISHINGCOST VESSELPROFIT PRODUCTION PRODUCTIVITY TOTALLABOR SHRSTOCKCONST STOCKABUNDANCE; OBJECTIVE..
GOAL =E= W1*RDEVCATCH + W2*RDEVRENT + W3*RDEVPROF + W4*RDEVLAB;
RELDEVIATION1.. RELDEVIATION2.. RELDEVIATION3.. RELDEVIATION4..
RDEVCATCH =E= n1/(QTYMSY - QTYMEY); RDEVRENT =E= n2/(RENTMEY - RENTMSY); RDEVPROF =E= n3/(VPROFMEY - VPROFMSY); RDEVLAB =E= n4/(LABORMSY - LABORMEY);
GOALPRODN.. QTYMSY =E= TCATCH + n1; GOALRRENT.. RENTMEY =E= RENT + n2; GOALVPROFIT.. VPROFMEY =E= VPROF + n3; GOALTLABOR..LABORMSY =E= TLABOR + n4; RESOURCERENT.. RENT =E= TREVN - TCOST; FISHINGREVENUE.. TREVN =E= PRICE*TCATCH; FISHINGCOST.. TCOST =E= COST*EFFORT; VESSELPROFIT.. VPROF =E= PRICE*CPUE - COST; PRODUCTION.. TCATCH =E= EFFORT*CPUE; PRODUCTIVITY.. CPUE =E= ALFA0 - ALFA1*EFFORT; TOTALLABOR.. TLABOR =E= CREW*EFFORT; SHRSTOCKCONST.. BIOMASS =G= BIOMMSY; STOCKABUNDANCE.. BIOMASS =E= BETA0 - BETA1*EFFORT; MODEL POLICY /ALL/; SOLVE POLICY MINIMISING GOAL USING NLP;
85
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 :
86
Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan………….di Sungai Maro, Merauke-Papua (Kartamihardja, E.S, et al)
PENDEKATAN EKOSISTEM UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN ARWANA IRIAN, Scleropages jardinii DI SUNGAI MARO, MERAUKE–PAPUA ECOSYSTEM APPROACH TO MANAGEMENT OF SARATOGA, Scleropages jardinii RESOURCES AT MARO RIVER, MERAUKE-PAPUA 1
Endi Setiadi Kartamihardja, 1Kunto Purnomo, 1Didik Wahju Hendro Tjahjo dan 2 Sonny Koeshendradjana 1
Balai Penelitian Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Jatiluhur Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 10 Juni 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 04 Oktober 2013; Disetujui terbit tanggal: 08 Oktober 2013 2
ABSTRAK Pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem merupakan bagian dari berbagai prinsip dasar pengelolaan perikanan sejak disetujuinya konvensi mengenai keanekaragaman hayati (Convention on Biological Diversity), dan FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries. Ikan arwana irian (Scleropages jardinii) merupakan satwa yang dilindungi sehingga pemanfaatannya didasarkan pada jumlah kuota nasional. Sampai saat ini, jumlah kuota yang ditetapkan belum didasarkan secara proporsional atas potensi sumberdaya riil (stok) ikan arwana di setiap perairan sungai yang berada di empat kabupaten, yaitu: Kabupaten Merauke, Boven Digul, Mappi dan Asmat. Sungai Maro di Kabupaten Merauke merupakan salah satu kawasan eksploitasi ikan arwana yang paling intensif. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan arwana dengan pendekatan ekosistem di perairan Sungai Maro perlu dilakukan. Pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumber daya ikan arwana di Sungai Maro terdiri dari nelayan, kepala dusun, kepala adat, plasma (pengumpul yuwana ikan arwana), pengusaha ikan hias, penangkar, pemerintah daerah (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Merauke, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Merauke), Balai Konservasi Sumberdaya Alam dan Agen Perubahan (Peneliti Badan Litbang Kelautan dan Perikanan dan Penyuluh). Langkah-langkah pengelolaan sumberdaya ikan arwana yang perlu diterapkan meliputi: penetapan kuota yuwana ikan arwana di Sungai Maro sebanyak 112.000 ekor per musim; penetapan kawasan konservasi habitat pemijahan dan pembesaran yuwana arwana di sebagian kecil kawasan sentra penangkapan yang hanya ditutup pada musim penangkapan yuwana ikan arwana; pencatatan hasil tangkapan yuwana ikan arwana yang dilakukan oleh nelayan dan pengumpul sesuai dengan kuota; adopsi pengelolaan secara ko-manajemen dan berdasarkan pendekatan ekosistem yang didasarkan pada indikator pengelolaan yaitu indikator lingkungan sumberdaya, biologi, sosial dan ekonomi. Kata kunci: Pendekatan ekosistem, ko-manajemen, konservasi, arwana irian, Scleropages jardinii, Sungai Maro-Papua ABSTRACT Ecosystem approach to fisheries is a part of basic principles of fisheries management since ratification of convention on biological diversity and FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries are agreed. Saratoga (Scleropages jardinii), a protected fish fauna of Papua being exploited based on national quota. Unfortunately, the Saratoga quota has not been estimated proportionally based on their potential stock at every waters body of the Saratoga inhabits which were administratively included in four regencies, namely Merauke, Boven Digul, Mappi and Asmat. Maro River at Merauke Regency is one of the potential rivers which were exploited intensively for Saratoga. Therefore, policy management package of ecosystem approach to Saratoga fisheries at Maro River should be implemented. The main stakeholders of Saratoga management at Maro River compose of fishers, head of village, head of local ethnic group, whole seller, raisers, exotic fish seller, local government (Regency of Fisheries Extension Service, Regency of Environmental Agency), Institute of Natural Resources Conservation, and Agent of Change (Researcher of the Agency for Fisheries and Marine Research). Management measures which should be implemented are: quota of Saratoga juvenile of Maro River was 112,000 individuals per spawning season; establishment of conservation area for spawning and nursery of Saratoga by allocated a part of center exploited area and there closed for fishing at Saratoga spawning season; collected and reported of the number of Saratoga fry by the
___________________ Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Jatiluhur. Email:
[email protected] Jl. Cilalawi No. 1, Jatiluhur, Purwakarta-Jawa Barat
87
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 87-96 fishers and whole sellers; development of co-management and ecosystem approach to Saratoga fisheries which should be based on environmental, biological, social and economic indicators. Keywords: Ecosystem approach, co-management, conservation, saratoga, Scleropages jardinii, Maro River-Papua
PENDAHULUAN Di Sungai Maro, Merauke, sumberdaya ikan arwana (Sclerophages jardinii) telah dieksploitasi cukup intensif dan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan nelayan dan masyarakat serta pemerintah daerah setempat. Selain di Sungai Maro, ikan arwana terdapat pula di perairan sungai lainnya yang termasuk dalam wilayah kabupaten Merauke, Mappi, Boven Digul dan Asmat. Tata cara eksploitasi ikan arwana irian sebagai jenis ikan yang dilindungi, ditetapkan menurut kuota nasional. Namun demikian, jumlah kuota juwana ikan arwana yang boleh dieksploitasi belum ditetapkan secara proporsional berdasarkan potensi sumber daya arwana di setiap kawasan perairan sungai yang berada di wilayah empat kabupaten tersebut. Dewasa ini, eksploitasi ikan arwana yang intensif terjadi di Sungai Maro yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Merauke. Berbagai masalah yang muncul dalam eksploitasi ikan arwana di Sungai Maro antara lain: penetapan kuota belum didasarkan potensi stok arwana yang tersedia; jumlah kuota masih ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan bukan Menteri Kelautan dan Perikanan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya ikan; regulasi penangkapan dan perdagangan yang belum tegap. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan bahwa otoritas pengelolaan sumberdaya ikan dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dan otoritas ilmiahnya dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, sehingga dari segi peraturan, upaya konservasi ikan arwana tersebut sudah cukup kuat, hanya implementasinya yang belum tegap. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem adalah suatu perluasan dari prinsip-prinsip konvensional tentang pengembangan perikanan berkelanjutan yang mencakup ekosistem secara keseluruhan. Pengelolaan tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa kapasitas ekosistem akuatik dalam menghasilkan ikan, keuntungan dan manfaat, kelangsungan tenaga kerja, dan yang lebih umum lagi jasa penting dan kehidupan masyarakat secara tak
88
terbatas dipelihara untuk manfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Implikasi dari hal tersebut adalah perlunya untuk melakukan konservasi struktur ekosistem, proses dan interaksinya melalui pemanfaatan berkelanjutan (FAO, 2003). Makalah ini membahas tetang kebijakan pengelolaan sumber daya ikan arwana secara komanajemen dengan pendekatan ekosistem bagi optimasi pemanfaatan dan pelestariannya di perairan Sungai Maro, Merauke. PERATURAN PERUNDANGAN YANG TERKAIT DENGAN PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM Berbagai peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem, khususnya pengelolaan perikanan arwana adalah sebagai berikut: 1) Ratifikasi Konvensi dan Kesepakatan Internasional, antara lain Convention on Biological Diversity 2) Code of Conduct for Responsible Fisheries, khususnya mengenai Fisheries Management suplement 2 The Ecosystem Approach to Fisheries 3) UUD 1945 pasal 33, yang menyatakan bahwa kekayaan alam Indonesia digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 4) UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang telah direvisi menjadi UU Nomor 45 tahun 2009 5) UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang mengamanatkan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan di perairan umum daratan menjadi wewenang Pemerintah Daerah. 6) UU No. 7 tahun 2004 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam 7) PP Nomor 60 tahun 2007 tentang Konservasi sumberdaya Ikan 8) Sejarah perkembangan peraturan tentang konservasi sumberdaya ikan arwana Irian, antara lain: Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12/ Menhut–II/2005 mengenai penetapan ikan arwana irian sebagai satwa buru 9) Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Merauke Nomor 13 tahun 2007 tentang Retribusi IUCN Red List menganggap ikan ini tidak berada pada status bahaya ataupun terancam. Namun demikian, selama ini di Indonesia pemanfaatan yuwana ikan arwana didasarkan pada kuota nasional
Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan………….di Sungai Maro, Merauke-Papua (Kartamihardja, E.S, et al)
Status Sumberdaya Ikan dan Perikanan Arwana Distribusi ikan arwana terdapat di Papua bagian selatan, Papua Nugini dan Australia (Hitchcock, 2006). Ikan tersebut biasa hidup di sungai yang berarus lambat atau di bagian rawa di sekitarnya yang berair tenang. Di Sungai Maro, kandungan oksigen terlarut habitat ikan arwana tergolong rendah yaitu antara 2,09-5,17 mg/l (rata-rata 3,24 mg/l) dan pH antara 4,0-6,5 (rata-rata 5,5 cm)(Astuti & Satria, 2009; Astuti et al., 2007). Data ini mengindikasikan bahwa perairannya bersifat masam dan kandungan oksigen yang relatif rendah. Tumbuhan air di Sungai Maro berperanan penting sebagai substrat tempat perlindungan dan mencari makan bagi ikan arwana. Tumbuhan air tersebut, umumnya ditemukan di tepian sungai yang airnya relatif tidak mengalir. Habitat ikan arwana di bagian hulu Sungai Maro, antara lain berada di Desa Bupul, Tanas, Kweel, Barkei, Toray, dan Wanggo. Rawa banjiran di Sungai Maro yang merupakan habitat ikan arwana dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu: (a) Tipe genangan banjir di tepi sungai, (b) Tipe semak belukar, (c) Tipe rerumputan, dan (d) Tipe cabangcabang kayu (Satria & Kartamihardja, 2010). Ikan arwana adalah ikan karnivora dengan makanan utamanya ikan-ikan kecil, serangga dan udang sedangkan makanan tambahannya ialah cacing dan larva serangga (Allen et al., 2002). Ikan ini bisa mencapai panjang total 90 cm dengan berat 17,2 kg dan panjang total untuk pertama matang kelamin (Lm) pada ukuran 45 cm (Allen, 1991; Allen et al., 2002). Menurut Haryono & Tjakrawidjaja (2005), fekunditas ikan arwana dengan panjang total antara 26,7–60 cm dan bobot antara 160–1100 gram berkisar antara 87– 131 butir. Ikan arwana termasuk ikan yang mengerami telur di dalam mulutnya (mouth brooder) (Adite et al., 2006). Di Australia, pemijahan arwana terjadi jika suhu permukaan air mendekati 30°C dan telur akan menetas dalam 1-2 minggu (Allen, 1989). Di Sungai Maro,
Di Sungai Maro, penangkapan ikan paling intensif yang ditunjukkan dengan produksi ikan yang tinggi terjadi antara bulan Juli sampai Desember dimana tinggi muka air sungai (curah hujan) berada pada paras rendah, sedangkan produksi ikan terrendah dicapai pada paras muka air sungai tinggi (Gambar 1). 35.000 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
STATUS PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN ARWANA
jumlah yuwana yang dierami dalam mulut seekor induk arwana sangat bervariasi, berkisar antara 60–100 ekor atau rata-rata 65 ekor (Satria & Kartamihardja, 2010).
Produksi ikan (kg)
yang ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan berdasarkan rujukan dari hasil penelitian Pusat Penelitian Biologi, LIPI. Di masa yang akan datang berdasarkan PP Nomor 60 Tahun 2007, kuota yuwana ikan arwana seharusnya ditetapkan oleh Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai Otoritas Pengelola. Pembagian kuota juga harus didasarkan pada potensi yuwana arwana di setiap badan air.
Tahun 2007 Produksi ikan
Curah hujan
Gambar 1. Hubungan pola curah hujan dan produksi ikan di Sungai Maro Figure 1. Relationship of rainfall pattern and fish catches at Maro River Dalam hal ini, musim penangkapan ikan arwana terjadi pada musim pemijahannya, yaitu mulai bulan Oktober sampai dengan Februari dengan puncaknya terjadi pada bulan Desember-Januari (Satria & Kartamihardja, 2010). Yuwana ikan arwana ditangkap dengan cara menangkap induk yang sedang mengerami. Induk arwana yang tertangkap, yuwananya dikeluarkan dari mulut induknya sedangkan induknya dilepas kembali ke alam. Pelepasan kembali induk ikan arwana tersebut sesuai dengan kesepakatan para tokoh pemuka adat setempat dalam rangka menjaga kelestariannya. Pada tahun 2007, kelimpahan stok induk ikan arwana di Sungai Maro ditaksir berkisar antara 2.3674.206 ekor atau rata-rata antara 1,6-2,8 ekor per hektar yang dapat menghasilkan yuwana ikan arwana sebanyak 201.305-250.215 ekor dengan rata-rata 225.760 ekor yuwana per musim pemijahan (Satria & Kartamihardja, 2010). Untuk menjaga kelestarian produksi yuwana ikan arwana maka jumlah yuwana maksimum yang dapat dieksloitasi sebesar 50% dari rata-rata total yuwana yang dihasilkan atau sebesar 112.800 ekor per musim pemijahan.
89
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 87-96
Penangkapan ikan arwana di Sungai Maro sudah dilakukan masyarakat sejak tahun 1988. Musim pemijahan ikan arwana pertama kali terjadi di bagian hulu Sungai Maro, yaitu sekitar Oktober sedangkan di Kampung Toray dan sekitarnya (di bagian hilir sungai Maro), musim penangkapan ikan arwana dimulai pada bulan November. Di Australia, ikan arwana memijah antara bulan September-November (Allen, 1989). Penangkapan ikan arwana dilakukan nelayan secara berkelompok antara 3-5 orang atau 5-12 orang dengan menggunakan jaring insang berukuran mata 3,5 inci, sedangkan pada beberapa tahun yang lalu kebanyakan menggunakan jaring insang berukuran mata 4,5–5,0 inci. Penggunaan ukuran mata jaring yang semakin mengecil mengindikasikan bahwa ukuran induk ikan arwana di alam sudah semakin mengecil. Dalam setiap trip penangkapan (selama 5 hari) dapat menghasilkan sekitar 10–12 ekor induk arwana dengan total yuwana mencapai 1000 ekor. Penangkapan ikan arwana merupakan pekerjaan andalan dan mata pencaharian masyarakat di sekitar Sungai Maro yang bisa menghasilkan pendapatan yang tinggi. Pada tahun 2007, harga yuwana ikan arwana di tingkat nelayan berkisar antara 3.000-6.000 rupiah per ekor, sedangkan pada tahun 2009, harganya berkisar antara 12.000-20.000 rupiah per ekor dan pada tahun 2010 telah mencapai 25.00040.000 rupiah per ekornya. Dalam periode 2005-2010, jumlah yuwana ikan arwana yang dikirim ke luar Kabupaten Merauke adalah sebanyak 779.184 ekor dengan rata-rata 155.837 ekor per tahun (Tabel 1). Tabel 1. Jumlah yuwana ikan arwana yang dikirim ke luar Kabupaten Merauke Table 1. Number of saratoga juvenils transfered out side Merauke Regency Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah yuwana arwana (ekor) 195.484 308.100 125.100 105.500 145.000 427.602
Sumber: Data BKSDA 2010, diolah
Jumlah yuwana ikan arwana tersebut sebagian besar berasal dari Sungai Maro, sehingga penangkapan yuwana dari sungai tersebut telah mencapai optimum. Pada periode 2005-2006, jumlah pengiriman yuwana ikan arwana sangat besar sekali
90
dibanding periode tahun 2007-2009. Perbedaan tersebut kemungkinan dikarenakan populasi induk arwana di alam sudah mulai menurun. Pada tahun 2010, jumlah yuwana arwana yang dikirim mulai meningkat kembali, hal ini terjadi karena mulai ada pengelolaan dan pengaturan eksploitasi sumberdaya ikan arwana oleh pemerintah daerah setempat bersama masyarakat dan ada penambahan yuwana ikan arwana yang berasal dari sungai lain, seperti Sungai Kumbe. Pada dasarnya, masyarakat di sekitar Sungai Maro menginginkan adanya pengelolaan dan sanksi yang jelas bagi para pelanggar yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan arwana. Status dan Peran Pemangku Kepentingan Pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pengelolaan populasi ikan arwana berperanan penting bagi optimasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya ikan arwana dan keberlanjutan usahanya. Pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya ikan arwana di Sungai Maro terdiri dari nelayan, kepala dusun, kepala adat, plasma (pengumpul anak ikan arwana), pengusaha ikan hias, penangkar, pemerintah daerah (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Merauke, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Merauke), Balai Konservasi Sumberdaya Alam/BKSDA (Kementerian Kehutanan), Balai Karantina Ikan, Balai Konservasi Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Sorong, Agen Perubahan (Peneliti Badan Litbang Kelautan dan Perikanan dan Penyuluh), dan Dinas Pekerjaan Umum. Kepala adat yang biasanya menguasai kawasan penangkapan ikan arwana berperanan penting dalam menentukan aturan pemanfaatan sumberdaya ikan arwana. Jumlah yuwana ikan arwana yang dijual sangat ditentukan oleh plasma. Oleh karena itu, besarnya kuota yuwana ikan arwana yang boleh dieksploitasi akan sangat ditentukan oleh kerjasama antara nelayan (yang dipimpin kepala adat) dan plasma yang menampung hasil tangkapan. Persepsi Nelayan terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Arwana Selama diskusi kelompok terfokus yang dilakukan dengan masyarakat nelayan dihasilkan berbagai persepsi mereka terhadap pemanfaatan sumber daya ikan arwana sebagai berikut: 1) Masyarakat sepakat bahwa keberadaan ikan arwana harus terlindungi, baik untuk kepentingan sekarang maupun di masa mendatang; 2) Penangkapan yuwana arwana hanya dilakukan pada saat-saat tertentu yaitu mulai bulan Oktober
Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan………….di Sungai Maro, Merauke-Papua (Kartamihardja, E.S, et al)
3) 4)
5)
6)
sampai dengan Januari tahun berikutnya. Penangkapan dengan menggunakan jaring insang (gillnet) hanya ditujukan untuk menangkap yuwana arwana, sedangkan induknya dilepas kembali; Penurunan hasil tangkapan anak ikan arwana sudah terjadi dari tahun ke tahun; Sampai saat ini belum ada daerah atau kawasan perlindungan dimana penangkapan ikan arwana dilarang dan hampir semua ‘marga’ di sekitar sungai Maro melakukan kegiatan penangkapan ikan arwana secara bebas; Masyarakat sepakat agar ditetapkan kawasan konservasi ikan arwana dengan cara mengalokasikan sebagian kecil perairan di sentra penangkapan dan kawasan tersebut hanya tertutup bagi penangkapan pada musim yuwana ikan arwana. Kelompok nelayan belum terbentuk secara formal meskipun operasional penangkapan dilakukan secara berkelompok.
Persepsi masyarakat tersebut menandakan bahwa mereka mempunyai komitmen yang sama akan pentingnya pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan arwana di masa yang akan datang. OPSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN ARWANA Optimasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya ikan arwana di Sungai Maro perlu dilakukan dengan mengembangkan dan menerapkan berbagai opsi pengelolaan sebagai berikut. Pengembangan Perikanan
Kawasan
Pengelolaan
Kawasan pengelolaan perikanan merupakan suatu kawasan dengan batas-batas tertentu, dikelola secara terpadu diantara pemanfaat perairan (pemangku kepentingan) untuk tercapainya pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal dan lestari bagi generasi sekarang dan mendatang. Penentuan batas kawasan dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan potensi sumberdaya ikan, ekosistem, sosial ekonomi dan administrasi kepemerintahan (kabupaten, distrik/ kecamatan atau desa). Pertimbangan lain dalam menentukan batas-batas kawasan pengelolaan perikanan tersebut adalah kemudahan dalam pengelolaannya. Berdasarkan hal tersebut, pengembangan kawasan pengelolaan perikanan di Sungai Maro sebaiknya ditetapkan mulai dari Berkei di bagian hulu sungai sampai desa Odro di bagian hilirnya. Di kawasan ini, sumberdaya ikan sangat beragam dan merupakan sentra produksi ikan arwana sejak tahun 1988. Kawasan ini juga merupakan lahan
andalan bagi masyarakat setempat dalam menggantungkan kehidupannya. Oleh karena setiap kawasan penangkapan dikuasai oleh setiap suku yang bermukim di sekitar perairan sungai Maro, maka unit kawasan pengelolaan harus disesuaikan dengan kawasan yang dikuasai oleh suku tersebut. Ekosistem perairan sangat sesuai bagi perkembangan berbagai jenis ikan asli termasuk ikan arwana, meskipun akhir-akhir ini telah terjadi penurunan kualitas perairan sebagai akibat dari limbah hasil prabik kelapa sawit dan pabrik pengolahan kayu yang berada di sektor Muting, bagian hulu dari Sungai Maro seperti yang dilaporkan oleh seorang tokoh masyarakat di desa Toray. Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Kabupaten Merauke akan sangat berperan dalam pengendalian pencemaran di daerah tersebut. Di kawasan pengelolaan perikanan tersebut harus dilakukan pembagian zonasi yang terdiri dari zona usaha penangkapan ikan, zona konservasi, zona usaha budidaya ikan (untuk antisipasi rencana pengembangan budidaya ikan di sungai), zona bebas untuk semua aktivitas yang dilakukan di kawasan tersebut seperti untuk transportasi, air minum dan zona lainnya yang mungkin untuk dikembangkan dengan tidak mengganggu kelestarian sumberdaya ikan dan ekosistem perairan. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Arwana Pengelolaan sumberdaya ikan arwana harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan sumberdaya ikan secara keseluruhan yang berada di kawasan pengelolaan perikanan di Sungai Maro. Hal ini dikarenakan sumberdaya ikan arwana berada dalam ekosistem yang sama dan berinteraksi dengan sumberdaya ikan lainnya. Ikan arwana berada pada tingkat trofik (trophic level) tertentu yang mungkin sama dengan tingkat tropik ikan lainnya, seperti ikan gastor (Channa striata), kakap (Lates spp), ikan duri (Arius spp) yang termasuk ikan predator (Satria, 2009), sehingga kompetisi makanan di antara jenis-jenis ikan tersebut akan tinggi. Berdasarkan peraturan yang ada, eksploitasi sumberdaya ikan arwana hanya boleh dilakukan terhadap yuwananya yang masih berada dalam mulut induknya. Induk ikan yang tertangkap dan mengandung yuwana di dalam mulutnya, hanya boleh ditangkap anaknya sedangkan induknya harus dilepaskan kembali dalam keadaan hidup. Praktek penangkapan yuwana ikan arwana seperti ini sudah lama berlangsung. Oleh karena itu, hal terpenting yang
91
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 87-96
harus dilakukan adalah menjaga agar induk yang tertangkap tetap hidup sampai induk tersebut dilepaskan kembali ke perairan. Untuk itu, peran kelompok pengawas yang sebaiknya berada dalam satu suku perlu dikembangkan.
komitmen bersama dalam upaya pengendalian pencemaran tersebut. Dengan demikian, limbah yang dibuang ke perairan Sungai Maro dapat dikendalikan dan tidak mengganggu kehidupan organisme akuatik termasuk ikan arwana dan masyarakat sekitarnya seperti yang dikeluhkan selama ini.
Pengelolaan Penangkapan Pengelolaan penangkapan ikan yang harus ditetapkan antara lain meliputi pengaturan ukuran mata jaring yang digunakan, daerah dan musim penangkapan serta jumlah yuwana ikan arwana yang boleh dieksploitasi. Ukuran mata jaring insang yang digunakan untuk menangkap ikan arwana harus lebih besar dari 3,5 inci, hal ini dilakukan untuk menghindari penangkapan ikan arwana yang belum pernah melakukan pemijahan atau ukurannya lebih kecil dari 45 cm yang merupakan ukuran ikan arwana pertama kali matang kelamin (Lm). Kesepakatan yang telah dilaksanakan dan dipatuhi tentang induk ikan arwana yang tertangkap harus dikembalikan lagi dalam keadaan hidup ke perairan perlu terus dilakukan. Penangkapan selektif terhadap ikan gastor sebagai ikan predator dari yuwana ikan arwana harus diintensifkan. Pengendalian terhadap upaya introduksi ikan dari luar ke kawasan perairan Sungai Maro harus dilakukan dan sampai saat ini upaya introduksi ikan tersebut tidak perlu dilakukan karena dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap populasi ikan asli, khususnya ikan arwana dan ikan ekonomis penting lainnya. Pengelolaan Ekosistem Akuatik dan Kawasan Suaka Ikan Arwana Pengelolaan ekosistem akuatik termasuk pengelolaan habitat dan suaka ikan arwana. Habitat ikan arwana yang meliputi empat tipe, yaitu habitat genangan banjiran di tepi sungai, habitat tipe rerumputan, habitat tipe tumbuhan semak belukar dan habitat tipe cabang-cabang pohon harus dikelola sehingga tidak terjadi perubahan yang mencolok dari ke empat habitat tersebut. Pemeliharaan vegetasi riparian harus menjadi bagian penting dari pelaksanaan pengelolaan ekosistem akuatik Sungai Maro. Disamping itu, pengendalian pencemaran yang disebabkan oleh pembuangan limbah dari kegiatan penambangan emas dan perkebunan sawit harus dilakukan. Oleh karena aktivitas pencemaran tersebut dilakukan oleh sektor di luar perikanan, maka masyarakat nelayan dengan advokasi dari pemerintah dan instansi terkait lainnya dapat melakukan koordinasi dan mengambil kesepakatan dan
92
Pengembangan kawasan suaka ikan arwana perlu dilakukan dalam rangka menyediakan habitat pemijahan, asuhan dan pembesarannya. Berdasarkan karakteristik kesesuaian habitat dan kelimpahan induk arwana dari 20 lokasi yang dianalisis ternyata tiga lokasi yaitu Rawa Walayah, Mouver dan Odro merupakan calon suaka ikan arwana yang paling sesuai (Satria & Kartamihardja, 2010). Pengembangan kawasan suaka ikan arwana di ke tiga lokasi tersebut harus dikonfirmasikan dengan masyarakat nelayan sehingga dalam pengelolaannya akan lebih efektif. Masyarakat mengharapkan beberapa kawasan suaka ikan arwana di Sungai Maro dapat ditetapkan di Bupul, Kali Obat, Semo (Rawa Walayah), Kali Wanggo dan Obaa. Ke lima lokasi ini termasuk dalam lokasi penelitian calon suaka yang telah dilakukan pada tahun 2007 (Satria & Kartamihardja, 2010), sehingga dalam pelaksanaannya akan mudah untuk diterapkan. Berbagai alternatif yang dapat ditempuh dalam rangka menetapkan suaka ikan arwana adalah menetapkan suaka alami dimana pengelolaannya ditetapkan bersama dengan masyarakat; dan suaka buatan berupa kolam pagar atau pen/hampang yang dibangun di suatu teluk di perairan Sungai Maro. Pengembangan Kelembagaan dan Peraturan Untuk keperluan pengelolaan sumberdaya ikan arwana diperlukan unit kelembagaan pengelolaan yang unsur-unsurnya terdiri dari perwakilan kelompok pemangku kepentingan yang berkaitan langsung dengan perikanan arwana di Sungai Maro. Kelembagaan pengelola tersebut sangat penting karena akan berperanan sebagai pelaksana kegiatan pengelolaan. Peraturan formal yang berkaitan dengan eksploitasi dan konservasi sumberdaya ikan arwana telah tersedia yang dapat digunakan sebagai rambu-rambu pencegahan pelanggaran dalam pengusahaan sumberdaya ikan arwana. Eksploitasi ikan arwana secara formal telah diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12/Menhut–II/2005 mengenai penetapan ikan arwana sebagai satwa buru, sedangkan konservasi sumberdaya ikan arwana secara formal dilandasi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Dengan terbitnya peraturan pemerintah ini maka
Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan………….di Sungai Maro, Merauke-Papua (Kartamihardja, E.S, et al)
sudah seharusnya peraturan Menteri Kehutanan dicabut dan diperbaharui dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Disamping peraturan formal tersebut, penggalian kearifan lokal ataupun pembangunan komitmen dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan arwana di antara pemangku kepentingan biasanya akan lebih efektif dalam penerapannya. Penerapan Pengelolaan dengan Pendekatan Ekosistem dan Ko-manajemen Pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries) mengisyaratkan pentingnya upaya integrasi aspek biologi, ekologi, ekonomi dan sosial dalam memahami, memanfaatkan dan mendaya-gunakan sumberdaya sebagai suatu sistem alam (ekosistem) yang mampu secara terus-menerus menghasilkan jasa-jasa ekosistemnya. Di perairan umum daratan, sasaran pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem memerlukan agenda penelitian yang difokuskan pada: kuantifikasi jasa ekosistem yang disediakan oleh perairan; kuantifikasi keuntungan ekonomis, sosial dan nutrisi dari perikanan; perbaikan rancangan kajian untuk mengevaluasi potensi eksploitasi perikanan; dan kajian timbal balik antara perikanan, produktivitas ekosistem dan keanekaragaman akuatik (Beard et al., 2011). Dengan demikian, kompleksitas yang tercermin sebagai proses interaksi, interkoneksi dan jejaring antar manusia (masyarakat nelayan) sebagai pemanfaat dan alam (ekosistem Sungai Maro) sebagai penyedia jasa ekosistem bersifat dinamik dan adaptif. Indikator kunci pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem adalah dalam kerangka keberlanjutan keseimbangan ekologis dan sosial-ekonomi dalam pengertian bahwa pengelolaan atau pembangunan yang dilaksanakan harus mampu menyediakan manfaat ekonomi bagi masyarakat, sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakat yang memanfaatkan dan sejalan dengan daya dukung (stok sumber daya ikan arwana) dan daya tampung lingkungan sumberdayanya. Tantangan pengelolaan sumber daya ikan arwana yang krusial adalah terkait dengan semakin besarnya perubahan ekologis dan sosial masyarakat yang semakin tinggi seperti yang dikemukakan oleh Holling (1986). Kedua aspek tersebut memiliki kompleksitas dan terus menerus mengalami perubahan bersifat non-linier dan menempati batas tertentu dalam dinamikanya (Folke et al., 2002). Dalam rangka upaya peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan, pembangunan perikanan harus ditujukan terhadap upaya pemanfaatan dan
pendayagunaan sumberdaya ikan arwana tersebut, yaitu pembangunan kawasan sumberdaya ikan arwana di Sungai Maro. Pengelolaan perikanan, seperti dimaksudkan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1995) maupun UU No 45 tahun 2009 adalah suatu proses yang terpadu di awali dengan pengumpulan data dan informasi, melakukan analisis, membuat perencanaan, melakukan konsultasi, pengambilan keputusan, menentukan alokasi sumberdaya serta perumusan dan implementasinya dan penegakan hukum dari peraturan yang mengendalikan kegiatan perikanan dengan tujuan untuk menjamin keberlanjutan produksi dari sumberdaya dan tercapainya tujuan perikanan lainnya. Pengalaman di masa lalu memberikan pembelajaran bahwa model pengelolaan yang bersifat sentralistik ternyata tidak mampu mewujudkan tujuan akhir dari pembangunan, yakni terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan terpeliharanya sumber daya ikan secara berkelanjutan. Selain dari pada itu, pemerintah sebagai sentral pengelola suatu sumberdaya mempunyai keterbatasan menyangkut jumlah pegawai (sumberdaya manusia), dana dan waktu yang tersedia, padahal masyarakat lokal di sekitar sumberdaya memiliki pemahaman dan keterikatan yang kuat dengan sumberdaya tersebut seperti yang mereka sepakati dari hasil diskusi terfokus yang dilakukan. Oleh karena itu, dalam perencanaan pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan arwana, sudah selayaknya melibatkan peran serta masyarakat sebagai pemanfaat sumberdaya secara lebih aktif. Pada sisi lain, kapasitas dan kemampuan masyarakat dalam mengelola sumber daya ikan arwana secara mandiri masih jauh dari memadai. Oleh karena itu, suatu model pengelolaan yang secara bersama-sama mampu melibatkan partisipasi masyarakat secara lebih aktif sangat relevan diterapkan pada masa sekarang, yaitu dalam bentuk pengelolaan bersama bersifat adaptif (Adaptive Co-management) (Koeshendrajana et al., 2007). Beberapa pertimbangan akan perlunya pengelolaan perikanan secara bersama (ko-manajemen) adalah sebagai berikut: 1) Aktivitas penangkapan yuwana arwana menunjukkan tren perkembangan penangkapan ke arah tidak terkontrol sehingga jika terus dibiarkan maka keberlanjutan usaha perikanan arwana di masa mendatang tidak akan terjamin; 2) Pemanfaatan sumber daya perairan sungai Maro bersifat multi guna yang melibatkan berbagai pengguna (stakeholders) 3) Pengelolaan usaha perikanan arwana belum optimal, antara lain belum dikembangkannya zonazona pemanfaatan dan perlindungan, fluktuasi harga dan disparitas harga yang tinggi dan masih
93
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 87-96
rendahnya pemahaman dari berbagai pemangku kepentingan tentang tujuan pemanfaatan sumber daya ikan arwana; 4) Masyarakat lokal lebih memahami kharakteristik sumber daya secara lokal dan ada pengetahuan lokal yang mungkin saja kurang atau tidak dipahami oleh pusat (pemerintah); disamping itu, mungkin saja di lokasi tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang bersifat adat tapi belum terakomodasi baik di tingkat nasional, propinsi maupun daerah kabupaten; 5) Pemerintah sebagai regulator dan fasilitator mempunyai sumber daya (tenaga, dana dan waktu) yang sangat terbatas. Beberapa faktor sebagai prasyarat agar komanajemen dapat diimplementasikan dan menghasilkan kinerja yang diharapkan adalah: adanya (1) batasan area pengelolaan kawasan sumber daya yang disepakati; (2) keanggotaan dinyatakan dengan jelas; (3) permasalahan yang dirasakan secara bersama-sama; (4) kesamaan ikatan dalam kelompok (kelompok relatif homogen berkaitan dengan latar belakang statusnya atau tujuannya); (5) kelompokkelompok yang secara tradisi telah terbentuk; (6) jaminan bahwa manfaat lebih besar dari biaya; (7) partisipasi antar kelompok pemanfaat; (8) aturan yang telah ada dijalankan; (9) legalitas kelompok-kelompok yang telah ada/terbentuk; (10) kerjasama dan kepemimpinan lokal; (11) pendelegasian wewenang; dan (12) koordinasi antara pemerintah dan pemanfaat. Kaidah utama keberhasilan penerapan model pengelolaan secara bersama adalah partisipasi kelompok pengguna sumber daya yang berperan sebagai pilar utama penerapan ko-manajemen perikanan, sedangkan puncak dari partisipasi adalah terwujudnya secara bahu membahu antara masyarakat sebagai pemanfaat utama sumberdaya dengan pemerintah sebagai regulator dalam menyusun rencana ko-manajemen perikanan. Lima langkah utama yang harus dilakukan dalam penerapan ko-manajemen perikanan meliputi: (1) identifikasi kawasan pengelolaan perikanan secara partisipatif; (2) identifikasi masalah dan kondisi yang ada sekarang; (3) identifikasi perubahan yang diharapkan (perumusan tujuan ko-manajemen perikanan); (4) penetapan cara untuk mencapai tujuan; dan (5) penetapan cara menilai apakah rencana komanajemen perikanan mencapai sasaran (Koeshendrajana et al., 2007). Pada hakekatnya, tujuan pembangunan perikanan adalah secara simultan mensejahterakan masyarakat dan mempertahankan kelestarian sumberdaya ikan
94
sehingga manfaat keberadaan sumberdaya dapat dinikmati oleh generasi sekarang maupun generasi di masa mendatang. Dalam kaitannya dengan hal terebut, Smith et al. (2005) menyatakan bahwa strategi pengembangan mata pencaharian masyarakat harus mampu mendorong terciptanya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Monitoring dan Evaluasi Monitoring sumberdaya ikan arwana meliputi monitoring hasil tangkapan yuwana ikan arwana dan monitoring aktivitas yang dilakukan di suaka ikan arwana. Data dan informasi yang dihasilkan dari monitoring untuk kemudian dianalisis dan dievaluasi dalam rangka perbaikan pengelolaan di masa yang akan datang. Melalui evaluasi akan dapat diketahui apakah pengelolaan yang dilakukan telah sesuai dengan tujuan dan sasaran pengelolaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi perlu didasarkan pada berbagai indikator keberhasilan pengelolaan sebagai berikut: a) Lingkungan Sumberdaya yang meliputi: produksi yuwana arwana; ukuran ikan hasil tangkapan, terpeliharanya daerah pemijahan dan asuhan; perairan bebas dari cemaran, terpeliharanya vegetasi rivarian. b) Ekonomi yang meliputi: harga yuwana ikan arwana; pendapatan nelayan; system pemasaran c) Sosial yang meliputi: jumlah nelayan, kelembagaan, tingkat kepatuhan dalam pengelolaan, tingkat pemahaman masyarakat dalam pengelolaan dan konservasi sumberdaya ikan. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KESIMPULAN Pemangku kepentingan dalam pengelolaan populasi ikan arwana di Sungai Maro terdiri dari nelayan, kepala dusun, kepala adat, plasma (pengumpul yuwana ikan arwana), pengusaha ikan hias, penangkar, pemerintah daerah (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Merauke, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Merauke), Balai Konservasi Sumberdaya Alam, dan Agen Perubahan (Peneliti Badan Litbang KP dan Penyuluh). Kesepakatan di antara pemangku kepentingan tentang kuota eksploitasi anak ikan arwana di Sungai Maro sebesar 112.000 ekor per musim perlu diterapkan untuk menjaga keberlanjutan sumber dayanya. Kawasan konservasi sebagai habitat pemijahan dan pembesaran yuwana arwana disepakati untuk ditetapkan dan hanya ditutup pada musim
Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan………….di Sungai Maro, Merauke-Papua (Kartamihardja, E.S, et al)
pemijahan ikan arwana. Pencatatan hasil tangkapan yuwana ikan arwana dilakukan oleh nelayan dan pengumpul sesuai dengan kuota yang telah ditetapkan. Pengelolaan sumberdaya ikan arwana secara ko-nanajemen dan berdasarkan pendekatan ekosistem merupakan rejim pengelolaan sumber daya ikan arwana yang sesuai untuk dikembangkan. REKOMENDASI Kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan arwana dengan pendekatan ekosistem ini dapat ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke. Bahan paket kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan arwana ini merupakan bahan bagi pengambil kebijakan di daerah untuk pengelolaan sumberdaya ikan arwana di Sungai Maro dan sebagai rujukkan untuk pengelolaan sumberdaya ikan arwana di sungai-sungai lainnya di Papua.
Beard, T. D., S.J. Cooke, R. Arlinghaus, P. B. McIntyre, S.S. De Silva, D. Bartley and I. G. Cowx. 2011. Ecosystem approach to inland fisheries: research needs and implementation strategies. Meeting report. Inland ûsheries research needs Biol. Lett. 3p. EPAP (Ecosystem Principles Advisory Panel). 1998. Ecosystem-Based Fishery Management. A Report to Congres. As mandated by the Sustainable Fisheries Act amendments to the MagnusonStevens Fishery Conservation and Management Act 1996. 62p. FAO (Food and Agriculture Organization). 2003. Fisheries Management. Ecosystem Approach to Fisheries. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. Supplement 2. FAO-UN. 121p.
DAFTAR PUSTAKA Adite, A., K.O. Winemiller & E.D. Fiogbe, 2006. Ontogenetic, seasonal, and spatial variation in the diet of Heterotis niloticus (Osteoglossiformes: Osteoglossidae) in the Sô River and Lake Hlan, Benin, West Africa. Env. Biol. Fish. 73:367-378. Allen, G.R., 1989. Freshwater fishes of Australia. T.F.H. Publications, Inc., Neptune City, New Jersey. Allen, G.R., 1991. Field guide to the freshwater fishes of New Guinea. Publication, no. 9. 268 p. Christensen Research Institute, Madang, Papua New Guinea. Allen, G.R., S.H. Midgley & M. Allen, 2002. Field guide to the freshwater fishes of Australia. Western Australian Museum, Perth, Western Australia. 394 p. Anomim, 2009. Laporan Pelaksanaan Survey Populasi ikan Arwana Jardini (Scleropages jardinii) di Kabupaten Merauke. Balai Konservasi Sumberdaya Alam I (BKSDA I), Jayapura. Astuti, L.P. & H. Satria. 2009. Kondisi perairan pada musim pemijahan ikan arwana di Sungai Maro Bagian tengah, Kabupaten Merauke. Bawal. Vol. 2, No. 4: 155-161. Astuti, L.P., A. Warsa, & H. Satria. 2007. Sifat Fisika Kimiawi Air Dan Jenis-Jenis Ikan Sungai Maro Bagian Tengah, Merauke Dalam Rangka Upaya Pelestariannya. Pros. Forum Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan I, Badan Litbang Kelautan dan Perikanan. Hal. 105-113.
Folke, C., S.R. Carpenter, B.H. Walker, M. Sxheffer, T. Elmqvist, L.H. Gunderson and C.S. Holling. 2002. Regime shift, resilienceband biodiversity in ecosystem management. Annual Review in Ecology, Evolution and Systematics. 35: 557-81. Haryono & A.H. Tjakrawidjaja. 2005. Metode survei dan pemantauan populasi satwa. Seri II. Ikan Siluk. Bidang Zoologi (Museum Zoologicum, Bogoriense). Pusat Penelitian Biologi-LIPI. 32 hal. Hitchcock, G., 2006. Cross-border trade in Saratoga fingerlings from the Bensbach River, south-west Papua New Guinea. Pacific Conservation Biology 12:218-228. Holling, C.S. 1986. The resilience of terrestrial ecosystem: local surprise and global change. In Clark and Munn (eds), Sustainable development of the biosphere. Cambridge University Press. Cambridge. Koeshendrajana, S., D.I. Hartoto, Sulastri & S. Larashati. 2007. Model Pengelolaan Bersama (CoManagement) Kawasan Konservasi Perikanan Perairan Muara. Pros. Seminar Nasional Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun IV, 28 Juli 2007. UGM, Yogyakarta. Satria, H. & E.S. Kartamihardja. 2010. Kelimpahan Stok dan Pengembangan Suaka Ikan Arwana Irian (Scleropages jardinii Saville-Kent 1892) Di Sungai Maro, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. J. Lit. Perikan. Ind. 16(1): 49-62
95
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 87-96
Satria, H. 2009. Produksi Dan Keragaan Jenis Ikan Di Perairan Sungai Maro Bagian Hulu, Kabupaten Merauke, Papua. Pros. Forum Pemacuan Sumber Daya Ikan II, Balai Penelitian Pemulihan Sumberdaya Ikan, Badan Litbang Kelautan dan Perikanan. Hal CS-05. Smith, L.E.D, S.N. Khoa & K. Lorenzen. 2005. Livelihood functions of inland fisheries: policy implications in developing countries. Water Policy 7 (2005): 359-83.
96
Tjakrawidjaja, A.H. 2006. Pertumbuhan Ikan Arwana Irian (Scleropages jardinii, Saville-Kent) di Akuarium. J. Iktiologi Ind. 6(1). Juni 2006.
Kebijakan Rumponisasi Perikanan Pukat Cincin …… di Perairan Laut Lepas (Nugroho, D & Suherman B.A)
KEBIJAKAN RUMPONISASI PERIKANAN PUKAT CINCIN INDONESIA YANG BEROPERASI DI PERAIRAN LAUT LEPAS APPLYING HIGH SEAS FISH AGGREGATING DEVICES POLICIES ON INDONESIAN PURSE SEINE FLEETS 1
Duto Nugroho dan 2 Suherman Banon Atmaja
1
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan-Jakarta 2 Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru Jakarta Teregistrasi I tanggal: 14 Mei 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 18 Oktober 2013; Disetujui terbit tanggal: 22 Oktober 2013
ABSTRAK Penggunaan rumpon laut-dalam telah mengubah taktik dan strategi perikanan pukat cincin pelagis kecil yang beroperasi di perairan dangkal untuk bergeser pada perikanan tuna neritik tropis. Rumponisasi perikanan pukat cincin yang dirancang untuk meningkatkan produktivitas telah menjadi masalah serius pada perikanan neritik tuna. Hal ini terjadi karena tertangkapnya ikan berukuran kecil dalam jumlah yang dominan sehingga dalam jangka panjang akan berpotensi konflik dengan perikanan lainnya. Para ilmuwan yang tergabung dalam pengelolaan perikanan regional merekomendasikan bahwa pengembangan terkendali terhadap penggunaan rumpon di daerah asuhan juvenile tuna tropis. Pengendalian dalam jangka panjang dapat meminimalkan ancaman bagi kelangsungan hidup kelompok jenis tuna. Hal ini terkait dengan pentingnya memperbesar peluang masuknya sediaan kelompok jenis ini pada tingkat yang layak untuk dimanfaatkan. Di Indonesia, pilihan kebijakan perikanan tangkap baik melalui peralihan sasaran kelompok spesies maupun diversifikasi usaha penangkapan akan selalu bertumpu pada pertimbangan sosial. Bagaimanapun juga, proses mengubah pemahaman nelayan nelalui pengendalian jumlah dan teknologi kapal penangkap ikan serta penutupan sementara daerah penangkapan yang akan melalui proses panjang harus tetap dijalankan untuk mencegah runtuhnya perikanan yang saat ini sedang berjalan. Kata kunci: Kebijakan, rumponisasi, perikanan laut lepas, Indonesia ABSTRACT The use of Fish Aggregating Devices (FADs) has radically changing the tactic and strategy shallow waters small pelagic purse seiner into high seas tropical neritics tuna fisheries. Applying FADs on purse seine fishery which initiated to increase its productivity became a serious problem to neritics tuna fishery. This indicated by the negative impact on neritics and tropical tuna populations due to large number of small size of tunas being caught and uncertain of number and of FADS position in the high seas. In the long run it will generate a potential conflict to other existing fisheries. The member scientists of regional fisheries management organization (RFMO) recommends that the development of the use of FADs, especially in the area which dominated of juvenile of tropical tuna, should be strongly regulated. FADs management through control system should be applied to minimize impact on recruitment process that associated with the importance of long term availability of its fisheries. Management option through shifting target species and diversification of the fishing activities in Indonesia would always be rely on social dimension. Nevertheles, reorientation on fishers understanding on controllable number of fishing vessels and its technological creeps should strongly be implemented to avoid collapse their existing fisheries. Key words: Fish aggregating device, high seas, purse seine, Indonesia
PENDAHULAN Sumberdaya ikan pelagis merupakan salah satu kelompok jenis ikan yang sebagian besar daur hidupnya berasosiasi berada di lingkungan permukaan air (McLintock, 1966). Penggunaan rumpon diawali ketika nelayan melihat adanya perilaku kelompok
jenis ikan tuna dan jenis pelagis lainnya berkumpul secara alami di sekitar benda terapung di permukaan laut untuk dimanfaatkan sebagai matapencariannya (Gooding & Magnisson, 1967). Sistem penangkapan dengan bantuan rumpon telah diterapkan di perairan tropis sejak tahun 1950 an (Kakuma 2000; MoralesNin et al., 2000). Di Indonesia, awal penggunaanya di
___________________ Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Email:
[email protected] Jl. Pasir Putih II, Ancol Timur - Jakarta Utara, 14430
97
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 97-106
laut Jawa pertama kali dilaporkan oleh Soemarto (1960) dalam Gooding & Magnisson (1967), sedangkan penerapan teknologi rumpon laut-dalam di perairan kawasan timur Indonesia pertama kali dikembangkan oleh nelayan mandar (Schlais, 1981 dalam Alimuddin, 2005) kemudian secara bertahap menyebar sebagai alat bantu perikanan pukat cincin dan pancing ulur di berbagai perairan kepulauan Indonesia. Pengetahuan empiris nelayan tentang agregasi tuna di bawah benda terapung telah meningkatkan jumlah rumpon laut-dalam atau payaos. Kemampuan nelayan dan pemilik armada pukat cincin untuk melihat peluang peningkatan hasil tangkapannya melalui penerapan teknologi rumpon sejalan dengan meningkatnya kebutuhan pasar telah berperan dalam penambahan jumlah armada dan perluasan daerah penangkapannya. Tingginya aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di perairan paparan Sunda oleh armada pukat cincin yang dilengkapi berbagai teknologi alat bantu diikuti oleh rendahnya kepatuhan kebijakan pengendalian tentang kesesuaian laju eksploitasi terhadap sediaan ikan layang dan kembung telah berakibat pada rendahnya kemampuan pulih biomassa induk ikan tersebut. Rendahnya produktivitas perikanan pukat cincin tersebut ditanggapi para pelaku usaha dengan cara merubah taktik dan strategi penangkapan serta perpindahan daerah penangkapan maupun penyesuaian teknologi pada sasaran tangkap yang dituju (Atmaja, 2008; Atmaja & Sadhotomo, 2012). Makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengkaji aktivitas, pergeseran daerah penangkapan dan rumponisasi armada pukat cincin berbendera Indonesia yang beroperasi di perairan laut lepas terkait dengan peluang, permasalahan serta solusi yang diusulkan. Keluaran diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan bagi penyusunan kebijakan ringkas pengelolaan perikanan tersebut. Materi disusun berdasarkan penelusuran hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh Balai Penelitian Perikanan Laut sejak tahun 1980an, dilengkapi kajian pustaka serta peraturan terkait pemanfaatan sumberdaya ikan tuna tropis dan neritik di perairan kepulauan maupun laut lepas. PERAN RUMPON LAUT-DALAM PADA PERIKANAN PUKAT CINCIN Penggunaan rumpon laut-dalam telah menjadi bagian dari aktivitas perikanan tuna tropis dan neritik di kawasan timur Indonesia. Sejak tahun 1985, penerapan teknologi ini telah dikembangkan baik pada armada skala kecil (<30 GT) maupun semi industri di perairan sekitar Sorong, Fakfak, Teluk Tomini (WPP
98
715), Laut Sulawesi (WPP 716), Sulawesi Tenggara (WPP 714) dan Sulawesi Selatan (WPP 713) sebagai alat bantu untuk menangkap ikan tuna dan cakalang pada perikanan huhate dan pancing ulur (Gafa & Subani, 1993). Upaya pemanfaatan sumberdaya tuna diawali oleh pukat cincin komersial buatan Jepang (600 GT; 2500 HP) di perairan Timur Indonesia pada tahun 1980 dengan daerah operasi di perairan Utara Papua dan Barat Pasifik (Marcille et al., 1984). Pada 1990, pemerintah Indonesia memberikan izin bagi pukat cincin Filipina dengan sistem kerjasama untuk menangkap ikan cakalang dan tuna di ZEEI di utara Sulawesi dan Utara Irian Jaya. Satu unit pukat cincin terdiri dari sebuah kapal penangkap berukuran 100 – 150 GT dan cara operasi alat tangkap tersebut dibantu dengan rumpon laut-dalam (Gafa et al., 1993). Akhir-akhir ini perkembangan pemanfaatan kelompok jenis tuna tropis dan neritik yang mempunyai sifat ruaya jauh semakin menjadi isu di kawasan regional. Hal ini dibuktikan oleh meningkatnya jumlah armada pukat cincin yang dilengkapi dengan rumpon laut-dalam di Negara sekitar Pasifik Barat untuk melakukan penangkapan ikan tuna secara eksklusif pada akhir tahun 1970 setelah keberhasilan survei eksplorasi di perairan Filipina oleh dua kapal pukat cincin yang berasal dari Kanada. Keberhasilan rumponisasi di perairan Hawaii dan Filipina telah memicu pengembangan program rumpon laut-dalam di Pasifik Selatan (Gillett, 2007). Sementara itu, penggunaan rumpon laut-dalam pada perikanan pukat cincin di Samudra Hindia dimulai pada awal tahun 1980an setelah dilakukan survey ekplorasi oleh organisasi perikanan Jepang (Jam Arc) di bagian Barat Samudra Hindia (Takahashi et al. 1988; Watanabe et al., 1988 dalam Marsac et al., 2000). Pada tahun 1982 penangkapan skala besar pukat cincin komersial di kawasan ini diprakarsai oleh kapal pukat cincin berbendera Perancis, kemudian pada tahun 1983 diikuti oleh armada yang berasal dari Mauritius dan Jepang (Nishida, 1996). Di perairan kawasan timur Indonesia, meningkatnya operasi penangkapan pukat cincin terjadi pada pertengahan tahun 2003 dengan beroperasinya delapan kapal pukat cincin pelagis kecil yang berasal dari Pelabuhan Perikanan Pontianak dan Pekalongan mengalihkan daerah penangkapannya ke kawasan Timur Indonesia dan berpangkalan di pelabuhan perikanan Bitung Sulawesi Utara. Sedangkan perkembangan di perairan Samudra Hindia didahului oleh rumponisasi pada perikanan pukat cincin di perairan Barat Sumatera sekitar tahun
Kebijakan Rumponisasi Perikanan Pukat Cincin …… di Perairan Laut Lepas (Nugroho, D & Suherman B.A)
2003, setelah beroperasinya armada pukat cincin dengan mata jaring berukuran 4 inci yang berasal dari Sibolga beroperasi di sekitar di perairan Mentawai (Atmaja et al., 2012). Pada tahun 2006 teratat sejumlah 46 rumpon laut-dalam ditempatkan oleh nelayan Sibolga yang beroperasi di Samudra Hindia (Widodo, 2006). Peluang ini diikuti oleh sebagian armada kapal pukat cincin yang berpangkalan di Pekalongan dan Juwana melakukan pergeseran daerah penangkapan ke perairan Samudra Hindia Barat Sumatera dan Selatan Pulau Jawa (Atmaja, 2008).
penangkapan. Perkembangan pukat cincin tuna Indonesia yang beroperasi di Samudra Pasifik dan Hindia tidak terlepas dari kondisi sumberdaya ikan pelagis di perairan paparan Sunda yang telah mengalami penurunan hasil tangkapan dan kinerja ekonomi. Perubahan wilayah operasional penangkapan merupakan upaya relokasi usaha perikanan dari kawasan jenuh penangkapan (WPP712 Laut Jawa) ke perairan yang relatif rendah tingkat pemanfaatannya di Kawasan Timur Indonesia (WPP713,714,715,716) dan Samudera Hindia (WPP572,573) (Atmaja el al., 2011).
ALOKASI SPASIAL UPAYA PENANGKAPAN
Pemetaan rekaman data sistem pemantauan kapal (VMS) terhadap 35 contoh kapal pukat cincin selama tahun 2008 – 2011 memperlihatkan bahwa daerah penangkapan armada tersebut telah menyebar ke perairan Samudera Hindia dan Laut Maluku. Di Samudera Hindia, berdasarkan asumsi persebaran aktivitas tawur sebagai petunjuk awal persebaran rumpon menunjukkan adanya dua kelompok penyebaran, yaitu pada posisi geografis 1000-1050 Bujur Timur (BT), 60- 90 Lintang Selatan (LS) dan 11001150 BT, 90-120 LS (Gambar 1).
Pola spasial dan temporal alokasi penangkapan dapat digunakan untuk menduga dampak dari upaya penangkapan terhadap sumberdaya dan evaluasi pilihan pengelolaan. Persebaran upaya penangkapan di daerah penangkapan ikan dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi dan kelembagaan seperti teknologi, pengelolaan dan pengetahuan nelayan. Pengembangan dan intervensi pengelolaan umumnya selalu mengubah persebaran spasial upaya
Gambar 1. Plot estimasi posisi tawur kapal pukat cincin berdasarkan data VMS. Figure 1. Ploting estimation of haul position of purse seiners based on VMS data. Keterangan / Remarks: 1 Jakarta, 2 Pekalongan, 3 Juwana, 4 Pelabuhan Ratu, 5 Cilacap, 6 Banyuwangi, Ternate, 8 Bitung) Sumber / Source : Atmaja et al., 2012
Analisis jalur lintasan dan posisi kecepatan nol kapal pukat cincin contoh pada pelayaran selama kurun waktu bulan Maret hingga Juni 2010 (Gambar 2 atas) dan plot tumpang tindih setiap aktivitas penangkapan dengan estimasi tawur pada kecepatan nol pada jam 4 pagi (Gambar 2 bawah) memperlihatkan dua daerah penangkapan, yaitu disekitar Kepulauan Mentawai dan di perairan Barat Lampung. Plot tumbang tindih jalur lintasan kapal pukat cincin contoh pada pelayaran Januari hingga
7
Maret 2009 dengan kecepatan kapal nol (Gambar 3 atas) dan setiap aktivitas dengan kecepatan nol pada jam 4 pagi (Gambar 3 bawah) memperlihatkan kapal contoh tersebut berangkat dari Jakarta menuju perairan Barat Sumatera. Selanjutnya kapal bergerak ke perairan Selatan Pulau Jawa dan kembali lagi ke perairan Barat Sumatera. Pergerakan kapal pada gambar 3 memperlihatkan bahwa setelah melakukan aktivitas tawur sebanyak 11 kali di Barat Sumatera, kapal beroperasi di perairan Selatan Jawa dan
99
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 97-106
melakukan 7 aktivitas tawur kemudian singgah pada koordinat 8,272 LS/111,794 BT (diduga PPN Prigi Trenggalek (8°17’25"S 111°43’50"E)). Setelah berada di pelabuhan singgah, kapal melakukan pencarian daerah penangkapan di perairan Selatan Jawa dan melakukan dua aktivitas tawur, kemudian berpindah lagi menuju perairan Barat Sumatera dan melakukan 32 aktivitas tawur (Nugroho et al., in prep). Berdasarkan aktivitas dan pola pergerakan aktivitas penangkapan ikan oleh individu kapal memperlihatkan secara nyata bahwa pola
agregat upaya penangkapan terjadi pada skala yang berbeda. Pengambilan keputusan penentuan daerah penangkapan dipengaruhi oleh pengetahuan yang dilandasi oleh kombinasi pertimbangan ekologis dan teknis. Hal ini merupakan pertimbangan yang dilakukan oleh nakhoda dalam mengelola kapal penangkap ikan sebagai upaya untuk meningkatkan peluang keberhasilan sesuai kondisi yang sedang dialami termasuk aspek keselamatan dan pemahaman tentang regulasi yang melekat pada aktivitasnya (Thomson, 1993).
Gambar 2 Jalur lintasan dan posisi kecepatan nol kapal pukat cincin (pelayaran Januari – Maret 2009) dari Jakarta (atas) dan plot tumpang tindih setiap aktivitas penangkapan dengan estimasi tawur pada kecepatan nol pada jam 4 pagi (bawah) Figure 2. Trajectory of Jakarta purse seiner and position of vessel speed of zero (trip Januari – March 2009) (upper), and plots overlap each fishing activity with an estimated hauling at zero speed at 4 am (lower). Keterangan / Remarks: JKT = Jakarta, DP = Daerah Penangkapan / fishing ground.
Gambar 3. Jalur lintasan dan posisi kecepatan nol kapal pukat cincin (pelayaran Maret – Juni 2010) Jakarta (atas) dan plot tumpang tindih aktivitas penangkapan dengan estimasi tawur pada kecepatan nol pada jam 4 pagi (bawah). Figure 3. Trajectory of Jakarta purse seiner and position of speed zero (trip 29/03/2010 - 08/06/2010) (upper), and plots overlap each fishing activity with an estimated hauling at 4 am (lower). Keterangan / Remarks: JKT = Jakarta, DP = fishing ground.
100
Kebijakan Rumponisasi Perikanan Pukat Cincin …… di Perairan Laut Lepas (Nugroho, D & Suherman B.A)
Pemetaan pergerakan aktivitas penangkapan tersebut berpotensi memunculnya masalah pada pembagian 2 WPP di Samudera Hindia terutama pendataan bagi ikan yang beruaya jauh karena delineasi wilayah pengelolaan tersebut bukan merupakan pembatas keberadaan ikan. Disamping itu, keberhasilan operasi penangkapan dalam satu pelayaran lintas WPP membuka kemungkinan terjadinya kekeliruan (misreported) maupun kealpaan (unreported) pencatatan data hasil tangkapan kapal tersebut. Penyimpangan data dan informasi dalam jangka panjang akan mempengaruhi proses evaluasi sediaan ikan ketika berada pada status perlu dikendalikan sedangkan kepentingan ekonomi tetap harus berjalan. Pertimbangan mendasar terhadap permasalahan perilaku nelayan dalam mengambil keputusan sering tidak dijadikan masukan dalam proses pembuatan kebijakan yang akan diterapkan (Pitcher & Chuangpadee 1993). Dinamika pemanfaatan terkait dengan pergeseran pola taktik dan strategi pemanfaatan sumberdaya menjadi salah satu komponen yang sangat berpengaruh terhadap terjaminnya sediaan sumberdaya ikan di masa mendatang (Pitcher et al., 2005). Pengamatan langsung dilapangan menemukan adanya sistem tangkahan dalam pendaratan ikan yang diduga sebagian besar hasil tangkapan tidak melalui proses pencatatan data sesuai Peraturan Menteri KP no. PER.30/MEN/ 2012 pasal 37 ayat 5 yang mengatur bahwa setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan wajib mendaratkan ikan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan sebagaimana
tercantum dalam SIPI atau SIKPI. Penerapan peraturan Menteri KP Nomor PER.18/MEN/2010 tentang Log book penangkapan ikan seperti tercantum pada pasal 3 butir 2 huruf b terkait pukat cincin dan pasal 4 butir 1 huruf c dan d yang mencantumkan kewajiban memberikan informasi tentang daerah operasi penangkapan ikan dan data ikan hasil tangkapan sangat membantu proses evaluasi sediaan ikan dalam jangka panjang. DILEMA RUMPONISASI LAUT LEPAS PADA PERIKANAN PUKAT CINCIN Status Stok Ikan Tuna Tropis dan Neritik Sejak Indonesia menyatakan hak berdaulat untuk memanfaatkan sumberdaya hayati perairan di perairan ZEEI yang dituangkan dalam UU nomor 5 1983 kemudian ratifikasi hukum laut internasional pada UU nomor 17 tahun 1985, peluang pemanfaatan dengan memperhatikan kelestariannya sangat membantu program pemerintah untuk peningkatan kesejahteraan bangsa dengan memanfaatkan segenap sumber daya alam yang tersedia, baik hayati maupun non hayati. Sebagian kelompok jenis yang menjadi sasaran armada pukat cincin termasuk dalam kriteria ikan peruaya jauh (UNCLOS, 1982 Appendix 1), sedangkan pasal 64 konvensi tersebut menyatakan bahwa pemanfaatan optimal ikan peruaya jauh harus menjamin konservasinya. Hasil pertemuan regional tentang status tingkat ekspoitasi cakalang (Katsuwonus pelamis Kishinouye, 1923) berdasarkan kajian IOTC masih berada pada kondisi moderate sedangkan spesies lainnya telah dieksploitasi penuh dan lebih tangkap (Sharma, 2012).
Tabel 1. Estimasi pemanfaatan optimal tiga spesies ikan tuna di Samudera Hindia Table 1. Estimation of optimal catch of three tuna species in Indian Ocean. Spesies / species Cakalang (Skipjack) Madidihang (Yellowfin tuna) Matabesar (Bigeye tuna)
MSY (x 1000 tons)
Hasil Tangkapan / Catch (x 1000 tons)
Sumber / Source
396 (334 – 458)
398
Sharma, 2012
233,5 (212 – 255)
298
Langley et al., 2012
102.9 (86.6 – 119.3)
104.7
IOTC-2011
101
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 97-106
Perkiraan tersebut dapat dijadikan salah satu pertimbangan dalam memanfaatkan ketiga jenis komoditas yang menjadi sasaran tangkap armada pukat cincin disamping jenis alat tangkap lainnya yang juga ditujukan untuk menangkap jenis ikan yang sama. Hasil Tangkapan Tidak Sengaja Romanov (2000) melaporkan bahwa hanya dua spesies sebagai target utama (cakalang, Katsuwonas pelamis dan madidihang, Thunnus albacares) yang umum tercatat dan dilaporkan pada aktivitas perikanan. Sementara sebagian besar hasil sampingan non tuna yang berasosiasi dengan rumpon yang tidak dilaporkan, dan tercatat lebih dari 40 spesies ikan dan hewan laut lainnya. Persentase spesies utama adalah cakalang sekitar 70% dan madidihang sekitar 22%, sedangkan sisanya sebagai hasil sampingan (8%). Pengetahuan tentang interaksi antar spesies yang sering ditemukan di sekitar rumpon semakin menjadi perhatian organisasi pengelola perikanan regional (RFMOs). Perlunya data spesies yang bukan tujuan perikanan juga berperan dalam upaya pelestarian spesies yang dipengaruhi oleh aktivitas perikanan pukat cincin. Jenis spesies yang terkait dengan faktor ekologis antara lain burung laut, penyu, lumba-lumba dan hiu terutama yang tercantum dalam daftar spesies terancam. Perangkap Ekologi Konsep perangkap adalah gagasan berlandaskan pertimbangan biologi populasi yang digunakan untuk menggambarkan situasi ketika kelimpahan populasi menurun menyusul terjadinya perubahan mendadak pada lingkungannya. Fonteneau et al., (2000) menyatakan bahwa rumpon laut-dalam ditengarai berfungsi sebagai perangkap ekologis. Hal ini digambarkan oleh berkurangnya laju penambahan populasi sebagai konsekuensi dari individu melakukan adaptasi habitat yang secara alamiah tidak sesuai. Dalam jangka panjang perilaku ikan bergerombol pada wilayah yang tetap akan berdampak pada populasi tuna seperti terjadinya penurunan kualitas genetik akibat berkurangnya kualitas proses reproduksi dan kelangsungan hidupnya. Ikan tuna yang ditangkap di bawah rumpon memiliki kualitas makanan kurang baik dibandingkan yang tertangkap dari gerombolan bebas. Selain itu, spesimen hasil tangkapan di rumpon menunjukkan kemontokan lebih rendah dari geromblan ikan bebas. Hal ini mencerminkan kekurangan cadangan akumulasi energi ikan tuna
102
yang terkonsentrasi di sekitar rumpon. Untuk itu, para ilmuwan menganjurkan agar dilakukan pembatasan penggunaan rumpon di kawasan berkumpulnya juvenil tuna tropis karena dalam jangka panjang akan meminimalkan bahaya bagi kelangsungan hidup spesies ini (Dempster & Taquet, 2004). Kesesuaian posisi dan jumlah rumpon akan meminimalkan bahaya bagi kelangsungan hidup ikan muda sebagai masa depan keseluruhan stok. Pembatasan tersebut juga menjadi cara untuk menghindari tersesatnya ikan pada kawasan yang jauh dari zona yang secara ekologis paling menguntungkan bagi mereka (Ménard et al., 2004). Hasil penelitian dengan metoda penandaan ikan (tagging) yang dilakukan di perairan Teluk Tomini menunjukkan bahwa rumpon dapat menahan ikan cakalang sekitar 340 hari (Gafa & Subani, 1993). Lebih lanjut diterangkan bahwa pola ruaya ikan cakalang dan madidihang diduga sebagian tetap berada di perairan Indonesia dan setelah tiga bulan berada di sekitar rumpon sebagian lagi keluar perairan Indonesia dan diperkirakan bahwa perairan utara Papua. Konflik Antar Pengguna Pemanfaatan kelompok jenis ikan tuna di Samudera Hindia dilakukan juga oleh alat tangkap pancing ulur dengan alat bantu rumpon laut – dalam yang mulai berkembang di perairan Selatan Malang (Sendang Biru) sekitar tahun 1990-an. Teknologi ini diperkenalkan oleh nelayan yang berasal dari Sulawesi Selatan (Merta et al., 2006). Penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan memberi kepastian dalam penentuan daerah penangkapan, terutama setelah diterapkannya kebijakan pengurangan subsidi harga BBM pada tahun 2005. Penurunan subsidi harga BBM tersebut juga diantisipasi oleh pemerintah daerah untuk pengembangan rumpon laut-dalam, karena berdasarkan pertimbangan operasional mampu menekan biaya BBM sebesar 30% dan meningkatkan produksi ikan. Selanjutnya rumponisasi di Selatan Pulau Jawa berkembang pesat sejak tahun 2004, dengan alat tangkap pancing ulur (Merta et al. 2006). Rumponisasi dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak negatif, konflik horizontal antara nelayan pengguna rumpon dengan yang tidak menggunakannya. Pada awal penggunakan rumpon di Teluk Pelabuhan Ratu Sukabumi Jawa Barat, terjadi penolakan oleh kelompok nelayan payang yang merasa dirugikan. Namun seiring dengan runtuhnya perikanan jaring insang hanyut dan payang akhirnya nelayan mulai menerima kehadiran rumpon terutama setelah didukung oleh terjaminnya harga pada saat panen.
Kebijakan Rumponisasi Perikanan Pukat Cincin …… di Perairan Laut Lepas (Nugroho, D & Suherman B.A)
Benturan kepentingan antara perusahan penangkapan rawai tuna dengan pukat cincin, hal ini terjadi karena daerah penangkapan kedua perikanan tersebut tumpang tindih. Banyak ditemukan rumpon tidak berijin yang ditempatkan tidak hanya di perairan Bali, tetapi juga di Nusa Tenggara telah meresahkan perikanan rawai tuna karena kerapkali menyebabkan terganggunya olah gerak operasi kapal tuna. Sementara di kawasan timur Indonesian dan bagian barat Samudera Pasifik, ketidak-seimbangan produktivitas pemasangan rumpon oleh nelayan Filipina yang tidak terkendali telah menimbulkan keresahan nelayan perikanan huhate yang sudah berjalan sejak tahun 1970an semakin rendah hasil tangkapannya akibat dari tingginya hasil tangkapan dan banyaknya pukat cincin yang beroperasi dengan rumpon. Penelitian dampak perikanan pukat cincin terhadap perikanan rawai tuna madidihang di Samudera Hindia Barat berdasarkan atas analisis deskriptif (spasial dan temporal) aktivitas penangkapannya menunjukkan bahwa CPUE rawai tuna cenderung tetap dengan sedikit penurunan sebelum dan sesudah dimulainya operasi pukat cincin, sedangkan di daerah penangkapan utama perikanan pukat cincin menunjukkan terjadinya penurunan CPUE pada tingkat moderat sebagai akibat interaksi antara industri perikanan lepas pantai dengan nelayan artisanal yang menggunakan rumpon tetap (Nishida, 1996). Analisis hasil tangkapan di kawasan regional menunjukkan bahwa banyak tuna matabesar dan madidihang tertangkap di sekitar rumpon laut-dalam dan umumnya berumur sekitar satu tahun (Bromhead et al., 2003). Pianet & Nordstrom (2002) melaporkan bahwa pukat cincin dengan rumpon yang beroperasi di Samudera Hindia cenderung menangkap jenis ikan tuna berukuran lebih kecil dari pada gerombolan bebas (free schooling). Hallier & Gaertne (2008) menyatakan bahwa cakalang yang tertangkap terutama ikan dewasa, sedangkan madidihang dan tuna mata besar masih berukuran juvenil (FL <100 cm). Juvenil tuna mata besar kerapkali ditemukan dan tertangkap oleh perikanan pukat cincin (Harley et al., 2010). Ménard et al., (2003) melaporkan bahwa perikanan rumpon memanfaatkan konsentrasi cakalang bercampur dengan sejumlah ikan tuna mata besar dan madidihang pada ukuran yang sama (46 cm). Hasil tangkapan pada gelombolan ikan tuna yang tidak berassosiasi dengan rumpon laut-dalam sebagian besar terdiri atas madidihang dewasa dalam tahap berkembang-biak (breeding). Hasil tangkapan per satuan upaya CPUE tuna matabesar (Thunnus
obesus) oleh pukat cincin dengan alat bantu rumpon sangat meningkat pada awal 1990-an (Watters & Maunder, 2001). Fenomena yang sama juga terjadi pada perikanan tuna di perairan Samudra Atlantik dan Samudra Hindia (Fonteneau et al. 2004). Rumponisasi armada pukat cincin yang berkembang pesat di berbagai Negara telah meningkatkan keprihatinan tentang perlunya pertimbangan kebijakan pemanfaatan terkendali. Laju kematian pada kelompok ukuran juvenile jenis tuna matabesar dan madihihang dalam perikanan pukat cincin adalah bagian penting yang mempengaruhi tidak hanya perikanan permukaan terapi kemungkinan interaksinya dengan perikanan rawai tuna yang menangkap tuna pada ukuran yang lebih besar. Rumponisasi perikanan pukat cincin laut lepas ditengarai telah berdampak negatif terhadap perikanan rawai tuna, hal ini dibuktikan oleh tertangkapnya ikan tuna di sekitar rumpon merupakan kelompok umur yang secara komersial dikategorikan sebagai baby tuna (3 – 10 kg per ekor ) atau berukuran < 50 cmFL. Untuk jenis cakalang ukuran layak tangkap > 50 cmFL sedangkan ikan tuna mata besar dan madidihang layak ditangkap pada ukuran >100 cmFL (IOTC, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa relokasi dan perkembangan rumponisasi perikanan pukat cincin laut lepas sangat baik bila diikuti pertimbangan menghindari terancamnya populasi tuna. Kebijakan pengendalian melalui waktu penutupan penangkapan pada kawasan geografis tertentu merupakan sarana yang sering digunakan untuk mengendalikan upaya penangkapan, melindungi daerah asuhan dan pemijahannya. Pada tahun 1998, Komisi Internasional Konservasi Tuna Atlantik (ICCAT) merekomendasikan pembatasan periodik pada penggunaan rumpon di Atlantik (Teluk Guinea). Penutupan secara efektif menurunkan angka laju kematian akibat penangkapan tuna matabesar ketika armada mematuhi penutupan, walaupun ada beberapa bukti penangkapan tetap terjadi oleh kapal yang tidak berpartisipasi dan bergeser ke daerah yang tidak ditutup (Bromhead et al., 2003). Kebijakan penutupan kawasan dan waktu lebih berdasarkan pertimbangan biologi dan ekologi, dan sejauh ini tidak melibatkan perilaku nelayan di laut. Pemahaman dinamika perpindahan armada sebagai pelengkap informasi biologi dan ekologi berperan penting sebelum dilakukan penutupan berdasarkan waktu dan kawasan. Selanjutnya, dengan pertimbangan bahwa kelompok jenis tuna merupakan spesies beruaya, antisipasi upaya realokasi pukat cincin perlu didukung peraturan yang berorientasi pada
103
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 97-106
pemanfaatan secara spasial (Irineo et al., 2011). Dengan mengacu pada kategori tipologi konflik pembatasan baik jumlah rumpon maupun armada penangkapannya merupakan bagian dari mekanisme pengelolaan konflik kepentingan yang berkaitan dengan kebijakan pengelolaan perikanan dan bagaimana perikanan dikendalikan (Charles, 1992). PENUTUP Kebijakan pengelolaan perikanan pukat cincin laut lepas untuk meregulasi armada jumlah kapal telah diupayakan oleh pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri KP No. PER.12/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas. Kapal penangkap ikan yang telah memiliki SIPI atau kapal pengangkut ikan yang telah memiliki SIKPI yang beroperasi di laut lepas harus disetujui dan terdaftar atau memiliki nomor identitas kapal dari Sekretariat RFMO. Sementara pemasangan rumpon laut-dalam masih berlandaskan pada aturan SK Mentan. 51/Kpts/ IK.250/1/97. Aturan tersebut menyebutkan ketentuan pemasangan rumpon tidak boleh dipasang dengan jarak antar rumpon kurang dari 10 mil laut, dipasang pada kedalaman perairan lebih dari 200 meter dengan jarak lebih dari 12 mil laut diukur dari garis pasang surut terendah dan tidak dipasang mengakibatkan efek pagar. Keprihatinan timbul akibat adanya kenyataan di lapangan bahwa pemasangan rumpon perairan Samudera cenderung tidak terkendali. Peningkatan kesadaran tentang pentingnya kepatuhan terhadap pertimbangan bio – ekologis merupakan hambatan yang perlu diatasi terutama pada pengambilan keputusan di berbagai tingkatan dan diikuti peningkatan kesadaran kolektif dan kolegial terhadap dampak negatif rumpon terhadap populasi tuna. Penggunaan rumpon menyebabkan banyak hasil tangkapan yang terdiri dari ikan juvenil yang dalam jangka panjang berkontribusi pada penurunan stok ikan. Interaksi negatif antara industri perikanan lepas pantai dengan artisanal menggunakan rumpon tetap menjadi isu perbedaan kepentingan. Di Indonesia, pertimbangan sosial menjadi pilihan kebijakan regulasi perikanan tangkap baik melalui peralihan spesies target maupun diversifikasi usaha penangkapan. Untuk itu secara umum direkomendasikan untuk mengurangi dampak negatif dari rumpon laut-dalam melalui peningkatan pemahaman tentang larangan pemasangan di kawasan agregasi juvenil tuna, pembatasan kedalaman minimum, jarak pemasangan, pembatasan jumlah rumpon yang digunakan, pengendalian efisiensi kapal terhadap peningkatan bertahap upaya
104
penangkapan (technological creep), mengukur perubahan koefisien daya tangkap (q atau catchability coeficient) dari waktu ke waktu. DAFTAR PUSTAKA Alimuddin, M.R., 2005. Orang Mandar Orang Laut: Kebudayaan Bahari Mandar Mengarungi Gelombang Perubahan Zama. Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI. Jakarta. Atmaja, S.B, 2008. Sumber daya ikan pelagis kecil dan Dinamika perikanan pukat cincin di Laut Jawa dan sekitarnya. BRPL. PRPT. BRKP. 100 p. Atmaja S.B., D. Nugroho & M. Natsir, 2011. Respons Radikal Kelebihan Kapasitas Penangkapan Armada Pukat Cincin Semi Industri. JPPI. 17 (2):115-123. Atmaja S.B., M. Natsir & B. Sadhotomo, 2012. Dinamika Spasial Perikanan Pukat cincin di Laut Jawa dan Samudera Hindia. JPPI 18 (2): 69-76. Bromhead D., J. Foster, R. Attard, J. Findlay & J. Kalish, 2003. A review of the impacts of fish aggregating devices (FADs) on tuna fisheries. Final report to the Fisheries Resources Research Fund. Bureau of Rural Sciences, Canberra, Australia. 122 p. Dempster T. & M. Taquet, 2004; Fish aggregation device (FAD) research: gaps in current knowledge and future directions for ecological studies. Reviews in Fish Biology and Fisheries; 14(1) : 21 - 42 Fonteneau A., P. Pallares, R. Pianet, 2000. A worldwide review of purse seine fisheries on FADs. In: Le Gall JY, P Cayré, M Taquet (eds) Pêche thonière et dispositifs de concentration de poissons. Actes Colloques-IFREMER 28:15–35. Fonteneau A., Ariz Telleria, D. Gaertner, V. Nordstrom & P. Pallares, 2000 Observed changes in the species composition of tuna schools in the Gulf of Guinea between 1981 and 1999, in relation with the Fishing Aggregating Device fishery. Aquat. Living Resour., 13(4), 253-257. Fonteneau A., J. Ariz, A. Delgado, P. Pallares & R. Pianet, 2004. A comparison of bigeye stocks and fisheries in the Atlantic, Indian and Pacific Oceans. Collective Volume of Scientific Papers ICCAT, 57: 41-66.
Kebijakan Rumponisasi Perikanan Pukat Cincin …… di Perairan Laut Lepas (Nugroho, D & Suherman B.A)
Charles, A.T. 1992. Fishing conflicts, a unified framework. Journal of Marine Policy: 16 (5): 379-393. Gafa, B., G.S. Merta, H.R. Barus & E.D. Amin, 1993. Penurunan hasil tangkapan ikan tuna dan cakalang di perairan Sulawesi Utara dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Jur. Pen Per. Laut 73: 11-19. Gafa, B. & W. Subani, 1993. Studi pengaruh rumpon terhadap perilaku ruaya ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan madidihang (Thunnus albacores) dengan metode tagging kawasan Indonesia Timur. Jur. Pen Per. Laut 73: 65- 78. Gillett R. 2007. A Short History of Industrial Fishing in the Pacific Islands. Bangkok: Asia-Pacific Fishery Commission, FAO Regional Office for Asia and the Pacific, RAP publication 2007/22. Available: ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/010/ ai001e/ ai001e00.pdf. Access date: January 15, 2010. Gooding, R.M. & Magnuson, J.J., 1967. Ecological significance of a Drifting Object to Pelagic Fishes. Pacific Science Vol. XXI. October 1967. Hallier J.P. & D. Gaertne, 2008. Drifting fish aggregation devices could act as an ecological trap for tropical tuna species. Marine Ecology Progress Series. 353: 255–264. Harley S.J., P. Williams & J. Hampton. 2010. Characterization of ‘purse seine fishing activities during the 2009 FAD closures. Sixth regular session of the WCPFC Scientific Committee, Aug. 10-19, 2010, Nuku’alofa, Tonga. WCPFCSC6-2010/FT-WP-03.
Kitakado T., E. Takashima, T. Matsumoto, T. Ijima & T. Nishida. 2012. First attempt of Stock assessment using stock synthesis III (SS3) for the Indian Ocean Albacore (Thunnus alalunga). Fourth Working Party on Temperate Tunas, Shanghai, China, 20–22 August 2012 IOTC–2012– WPTmT04–11 Rev_2. 25 p. Langley A., M. Herrera & J. Million, 2010. Stock assessment of yellowfin tuna in the Indian Ocean using MULTIFAN-CL. IOTC-2010-WPTT-23. 72 p. Marcille, J., T. Boely, M. Unar, G.S. Merta, B. Sadhotomo & J.C.B. Uktolseja. 1984. Tuna Fishing in Indonesia. ORSTOM-BPPL. Collection Travaux et Document no. 181. Paris. 129 p. Marsac F., A. Fonteneau & F. Menard. 2000. Drifting FADs used in tuna fisheries: an ecological trap? Biology and behaviour of pelagic fish aggregations. p 537-552. McLintock, A. H. 1966. An Encyclopedia of New Zealand. TeAra - the Encyclopedia of New Zealand, updated 23-Apr-09. www.TeAra.govt.nz/en/1966/ fish-marine/ 10 Oktober 2013. Ménard F., B.Stéquert, A. Rubin, M. Herrera & É. Marchal, 2003. Food consumption of tuna in the Equatorial Atlantic ocean: FAD-associated versus unassociated schools. Aquat. Living Resour. 16: 231-238. Merta I.G.S., M. Nurhuda & A. Nasrullah. 2006. Perkembangan perikanan tuna di Pelahuan Ratu. JPPI 12 (2): 117-127.
IOTC–SC15 2012. Report of the Fifteenth Session of the IOTC Scientific Committee. Mahé, Seychelles, 10–15 December 2012. 288 p.
Morales-Nin B, Cannizzaro L, Massuti E, Potoschi A, Andaloro F. 2000. An overview of the FADs fishery in the Mediterranean Sea. Pêche thonière et dispositifs de concentration de poissons, Caribbean-Martinique, 15-19 Oct 1999 15-19 octobre 1999. http://archimer.ifremer.fr/doc/00042/ 15286/
Irineo E.T., D. Gaertner, A. D. de Molina & J. Ariz. 2011. Effects of time-area closure on tropical tuna purse-seine fleet dynamics through some fishery indicators. Aquatic Living Resources. October. 24: 337-350.
Nishida, T, 1996. Influence of purse-seine fisheries on longline fisheries for yellowfin tuna (Thunnus albacares) in the western Indian Ocean: IOTC Proceedings, 6th Expert Consultation on Indian Ocean Tunas. 9: 258-263.
Kakuma, S. 2000. Synthesis on moored FADs in the North West Pacific region. Pêche thonière et dispositifs de concentration de poissons, Caribbean-Martinique, 15-19 Oct 1999. http:// archimer.ifremer.fr/doc/00042/15281/
Pianet, R. & V. Nordstrom, 2002. French purse seiner tuna fisheries statistics in Indian Ocean, 19812001. WPTT02-04 IOTC Proceedings 5: 158-175.
IOTC, 2011. Executive summary: status of the Indian ocean bigeye tuna (thunus obesus) resource. Scientific Committee: 14-09. 9 p.
105
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 97-106
Pitcher, T. J. , C. H. Aintworth, E.A. Buchary, W. Cheung, R. Forrest, N. Haggan, H. Lozano, T. Morato & L. Morissette. 2005. Strategic Management of Marine Ecosystems Using WholeEcosystem Simulation Modelling: “The Back to the Future” Policy Approach. In Levner et al., (2005) (eds). Strategic Management of Marine Ecosystems. NATO Science Series. IV. Earth & Environmental Sciences. 50: 199-258. Pitcher, T.J. & R. Chuangpagdee. 1993 (eds). Decision Making by Commercial Fishermen. Fisheries Center Research Reports. Fisheries Centre, University of British Columbia, Canada. 1 (2). 50 p. Romanov, E. V. 2000. Bycatch in the Soviet purse seiner tuna fisheries on FAD-Associated Schools in North Equatorial Area of the Western Indian Ocean. Proc. of the Soutern Sci. Res. Inst. of Mar. Fish. & Oceanography. 45: 106-121. Sharma R. 2012. Indian Ocean Skipjack Tuna Stock Assessment 1950-2011 (Stock Synthesis). IOTC– 2012–WPTT14–29 Rev–1. 73 p. Takahashi M., L. Urakawa., F. Kasahara, A. Kanda, 1988. Jamarc’s activities on tagging of tunas in Indian Ocean. Expert consultation on stock
106
assessment of tunas in the Indian Ocean, Mauritius, 22-27 June 1988. PTP Collection. 3: 208223. Thomson, K.A. 1993. Reducing uncertainty through technological innovation. In Pitcher, T.J. & R. Chuangpagdee. 1993 (eds). Decision making by commercial fishermen. Fisheries Center Research Reports. Fisheries Centre, University of British Columbia, Canada. 1:2 (35 – 37). UNCLOS, 1982. United Nation Convention of Law of the Sea. 202 p. Watanabe Y., T. Tsunekawa, T. Takahashi, M. Tabuchi, T. Sugawara. 1988. Results on the experimental purse seine fishing with FADs in the Indian Ocean by R/V. Nippon Maru. IPTP Collect. Vol. Work. Doc., 3, 227 – 232. Watters , G.M. & M.N. Maunder, 2001. Status of bigeye tuna in the eastern Pacific Ocean. InterAmer. Trop.Tuna Comm., Stock Asses. Rep. 1: 109 – 129. Widodo, A.P. 2006. Monitoring perikanan pelagis besar berskala kecil. Laporan Teknis. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. (Tidak dipublikasikan).
Kebijakan Perlindungan dan Konservasi Hewan Oktokoralian/Bambu Laut (Edrus I.N & Ali S)
KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN KONSERVASI HEWAN OKTOKORALIAN/BAMBU LAUT (Isis hippuris Linnaeus 1758 ) POLICY SYNTHESIS ON PROTECTION AND CONSERVATION FOR OCTOCORALIAN FAUNA (Isis hippuris Linnaeus 1758) Isa Nagib Edrus dan Ali Suman Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru Jakarta Teregistrasi I tanggal: 13 Agustus 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 01 Oktober 2013; Disetujui terbit tanggal: 13 November 2013
ABSTRAK Hewan Oktokoralian (Isis hippuris Linnaeus 1758) dalam beberapa tahun terakhir mendapat sorotan pemerintah, karena pola pemanfaatannya yang meningkat sementara regulasi pengelolaannya kontroversial antar unit instansi pemerintah di tingkat lapang. Kegagalan dalam pengelolaan Oktokoralian menyebabkan statusnya diambang kepunahan. Tulisan ini bertujuan untuk mensintesa kembali kebijakan pengelolaan hewan Oktokoralian agar dapat dijaga kelestariannya. Pengelolaan yang ditawarkan dalam tulisan ini adalah menetapkan moratorium selama 5 tahun. Moratorium akan memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk memperbaiki sistem pengelolaan dan koloni Oktokoralian sendiri dapat bergenerasi kembali. KATA KUNCI: Kebijakan, perlindungan jenis, konservasi, oktokoralia, Isis hippuris, ABSTRACT: In the last years, the government have taken acccount to the Octocoralian fauna (Isis hippuris Linnaeus 1758) due to increase in it’s utilities, in which the regulation were applied by partly cover among the local goverment units. This paper aime to re-synthesis a management regulation for sustainable uses of the Octocoralian fauna. Managemen failures for Octocoralian lead to earlier furnarable status. The domain to be solutions of management improvements in this paper is decision making to set up five year Moratorium. The moratorium will give an opportunity to the government for developing management system and to Octocoralian for recovering colonies. KEYWORDS: Policy making, species protection, corsevation, octocoralia, Isis hippuris
PENDAHULUAN Oktokoralian (Isis hippuris) adalah jenis yang masuk kelompok Gorgonian dan merupakan biota laut bagian dari terumbu karang. Klasifikasi menurut taxonomy adalah sebagai berikut : Kingdom Animalia, filum Cnidaria; kelas Anthozoa; Ordo Alcyonacea Family: Isididae; Genus Isis dan species Isis hippuris. Oktokoralian memiliki molekul yang dapat diekstrak menjadi bahan obat melawan pertumbuhan sel kanker yang disebut hippuristanol (Trianto et al., 2009) dan ekstrak yang dapat diturunkan menjadi 6 jenis generasi baru steroid polyhydroxy (Chao et al., 2005). Ini merupakan kemajuan dari penelitian sebelumnya yang menemukan dua polyhydroxysteroids baru isihippurols A (1) dan B (2), yang merupakan hasil isolasi dari ekstrak MeOH Gorgonian Isis hippuris (Shen et al., 2001).
Laporan dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pangkep menyatakan bahwa Oktokoralian juga dicari untuk bahan campuran pembuatan keramik porselin. Laporan dari DKP Kabupaten Banggai bahwa Oktokoralian dilarang dieksploitasi untuk kepentingan apapun dan beberapa hasil telah disita dalam usaha pengapalannya. Sebaliknya laporan dari Adpel Cabang Pelabuhan Toli-Toli menyebutkan bahwa telah mengizinkan pengiriman Oktokoralian setelah mana sebelumnya menahan dan memeriksa 19 ribu kg Oktokoralian tersebut. Izin tersebut dikeluarkan karena kelengkapan dokumen dari pengiriman, baik dokumen dari BKSDA maupun dari karantina DKP (Berita Antara, 2009). Menurut BKSDA, Oktokoralian dan batang merah (melitodes/sea fans) adalah biota laut yang tidak dilindungi undang-undang. Dari dua kejadian tersebut jelas bahwa belum adanya kesepemahaman dalam jajaran petugas dan birokrasi. Hal ini merupakan akibat dari tidak adanya pedoman yang mengatur perdagangan Oktokoralian yang lebih khusus. Oktokoralian masih diperdebatkan
___________________ Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru. Email:
[email protected] Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Nizam Zachman-Jakarta Utara
107
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 107-112
bahwa apakah termasuk golongan karang atau bukan dan juga apakah termasuk golongan karang yang dilarang diperdagangkan. Dari bentuk hidupnya Oktokoralian lebih condong disebut other fauna yang bukan golongan karang keras (stony corals) seperti Acropora, tetapi masuk kelompok Oktokoral atau Gorgonian. Akibat penggolongan seperti itu, Oktokoralian menjadi sangat berisiko dan terbuka pada perdagangan dunia. Ketegasan mengambil sikap untuk pengelolaan yang berkelanjutan tidak dapat diambil karena sangat minimnya data potensi, sementara petugas pengawas di tingkat lapang bermain di “area abu-abu” karena ketidak jelasan regulasi dalam mengatur kuota. Dalam hal ini pihak Management Authority tidak pula dapat berdiri sendiri dalam pengatur tata laksana perdagangan dan pengawasannya. Eksploitasi Oktokoralian untuk memenuhi permintaan pasar terus meningkat selama dua tahun terakhir. Permintaan pasar terbesar adalah dari Cina dan memiliki harga yang tinggi (Berita Antara, 2009). Menurut data Karantina KKP pusat, pada tahun 2011 ekspor Oktokoralian sebesar 230 ton kering dan pada tahun 2012 dan 2013 masing-masing meningkat menjadi 440 ton dan 420 ton kering. Oleh karena permintaan pasar tinggi, menyebabkan Oktokoralian akan menghadapi permasalahan besar di kemudian hari. Sebelum timbulnya peringatan dini dari pihak CITES, pemerintah sudah semestinya mempersiapkan regulasi pengelolaannya. Tujuan tulisan ini adalah untuk mensintesa kembali regulasi pengelolaan hewan Oktokoralian agar dapat dijaga kelestariannya. KEBUTUHAN PENGELOLAAN YANG MENDESAK Instansi terkait sering kalah cepat menghadapi pesatnya pertumbuhan kebutuhan industri produk kelautan dan perdagangan sumberdaya alam laut serta dampak kerusakan yang diakibatkannya. Kondisi saat ini menunjukan bahwa telah terjadi kelangkaan terutama dalam hal menata aturan main dalam eksplotasi sumberdaya fauna dan flora karang pada umumnya dan Oktokoralian pada khususnya. Terumbu karang Indonesia telah menjadi sorotan dunia (Cesar, 1996). Perdagangan salah satu komponen karang sering berhadapan dengan regulasi dunia, yang sangat mungkin akan berhadapan dengan vonis masyarakat international berupa label ekologi, hingga merugikan pihak Indonesia dalam perdagangan komponen karang. Sebelum terjadi kontroversial dalam perdagangan Oktokoralian, pemerintah perlu merespon lebih dini dengan membangun protokoler
108
perlindungan biota laut rawan punah, terutama untuk menentukan perangkat regulasi esploitasi, perdagangan dan ukuran panen Oktokoralian. Membuka peluang perdagangan sumberdaya terumbu karang tanpa pengendaliannya adalah merugikan masyarakat sendiri. Sumberdaya alam laut adalah kekayaan atau aset bagi bangsa dan harus digunakan sebaik-baik untuk kesejahteraan mereka. Namun eksploitasi sumberdaya alam laut sering tidak ramah lingkungan dan akhirnya berujung pada kerusakan lingkungan yang menurunkan mutu dan nilai rente ekonomis sumberdaya, sehingga menimbulkan kembali kemiskinan (Cesar, 1996). Penutupan sementara eksploitasi Oktokoralian diperlukan untuk memperbaiki sistem pengelolaan dan usaha pengumpulan data. Beberapa aspek yang perlu ditinjau ulang untuk mengembangkan pengelolaan Oktokoralian adalah kajian kelembagaan (tupoksi dan koordinasi), tata niaga pasar, dan program pendataan dan penelitian. Tingkat pemanfaatan Oktokoralian yang berlebih dan perdagangannya yang sulit dikendalikan saat ini hanya dapat segera diatasi dengan regulasi yang dikeluarkan setingkat Direktorat Jenderal. Penetapan Surat Keputusan Dirjen jauh lebih cepat dibanding mengeluarkan Peraturan Menteri, dengan moratorium pemanfaatan Oktokoralian dapat dipertimbangkan lebih lanjut. Dengan regulasi ini dapat segera ditetapkan perlindungan, pelarangan atau besaran kuota perdagangan yang melibatkan otoritas wilayah dan keilmuan dari instansi terkait. SEDIAAN TERBATAS Beberapa wilayah potensial dan sentra produksi yang tercatat di Sulawesi terdiri dari Kabupaten Bone, Sinjai, Spermonde, Selayar (Sulsel), Gorontalo Utara, Moutong Parigi (Sulteng) dan Kabupaten Konawe (Sultra). Wilayah ini adalah bagian kecil dari wilayah distribusi Oktokoralian di seluruh perairan karang di Indonesia, seperti di Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, Bali, NTB, dan NTT. Meskipun daerah sebaran Oktokoralian cukup luas, tetapi tidak ada jaminan bahwa kelestarian Oktokoralian dapat dipertahankan dalam kondisi eksploitasi yang meningkat terus. Pengumpulan data dan informasi secara cepat sangat diperlukan sebelum populasi Oktokoralian tersebut menurun drastis. Pemanfaatan Oktokoralian sudah berlangsung lama di Sulawesi. Produksinya tidak digambarkan dengan jelas tetapi diketahui meningkat sejak tahun 2008, terutama di Sulawesi yang menyandang status sentra produksi dari Oktokoralian tersebut. Rata-rata laju tangkap yang dilaporkan minimal 1 kwintal/hari/
Kebijakan Perlindungan dan Konservasi Hewan Oktokoralian/Bambu Laut (Edrus I.N & Ali S)
unit usaha (berat basah). Pemanen dilakukan setiap hari sesuai pesanan pengumpul. Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makasar (2012) telah memberikan peringatan bahwa eksploitasi berlebih terjadi di Kabupeten Bone, Sinjai, Selayar dan Gorontalo Utara. Peringatan ini didasarkan dari hasil survei tahun 2012. Survei yang dilakukan tersebut adalah pertama kali untuk merespon kebutuhan data dan informasi tentang hewan Oktokoralian. Hasil survei BPSPL Makasar (2012) menyebutkan bahwa kepadatan jenis ini pada wilayah dangkal (40 115 koloni/500 m2) lebih tinggi dari perairan dalam (30 – 40 koloni/500m2). Hasil survei juga menyebutkan bahwa wilayah dekat pemukiman kepadatannya lebih rendah dari pada wilayah yang jauh dari pemukiman. Hal ini menunjukkan bahwa Oktokoralian tersebut memiliki sifat rentan pada eksploitasi. Buktinya adalah bahwa pada kedalaman 3 meter semua ukuran koloni, seperti 0-30 cm; 30-50 cm; dan >50 cm, terdapat dalam jumlah koloni yang hampir sama sekitar 10 koloni. Namun semakin bertambah kedalaman, dari 5, 7 sampai 10 meter, ukuran koloni 0-30 cm semakin meningkat jumlahnya (17 – 34 Koloni) dan sebaliknya ukuran koloni yang lebih besar dari 50 cm menurun jumlahnya (1-2 koloni). Hal ini juga memberikan petunjuk bahwa kedalaman perairan membatasi pertumbuhan ukuran koloni.
Status kelimpahannya di perairan Sulawesi secara spasial tergolong jarang di banyak lokasi penelitian. Dari 88 titik transek pengambilan data, hanya 12 titik (13,6%) yang masih dijumpai dalam kondisi melimpah (frekuensi koloni > 45%). Menurunnya eksploitasi pada tahun terakhir lebih disebabkan oleh berkurangnya sediaan di alam. Menurut hasil survei BPSPL Makasar (2012), beberapa hal yang mendorong nelayan tertarik untuk mengusahakan komoditas Oktokoralian ini antara lain adalah (1) adanya pengumpul lokal dan mudah dalam logistik; (2) metoda panen yang sederhana; (3) merupakan pekerjaan sampingan dari perikanan; (4) panen dalam jumlah yang luar biasa karena harga rendah, Rp 2000 – Rp 3000/kg kering; (5) lokasi komoditas mudah dijangkau karena perairan dangkal; (6) belum ada pembatasan eksploitasi yang resmi, meskipun pada era 5 tahun terakhir sudah ada kesepakatan pemerintah daerah secara lokal untuk larangan eksploitasi, seperti Edaran Gubernur Sulawesi Tengah Nomor S23/596/DISKANLUT/IX/2009 tanggal 27 Oktober 2009. Pola kemudahan usaha pemanfataan Oktokoralian seperti tersebut memberikan konsekuensi negatif atas sumberdaya terumbu karang (Tabel 1), dimana secara implisit telah terlihat dari hasil survei BPSPL Makasar (2012).
Tabel 1. Konsekuensi negatif pengelolaan Oktokoralian Table 1.Negative consequencies of Octocoralian management
1. 2.
3.
4.
Pola Pengelolaan Oktokoralian saat ini (Current Paradigm of Octocoralian management) Peningkatan produksi secara pesat terjadi di tahun-tahun awal usaha, kemudian terjadi penurunan produksi yang mendadak, karena habisnya sediaan. Peningkatan produksi biasanya secara normal terjadi karena tingginya harga komoditas, tetapi untuk Oktokoralian justru terjadi karena harga yang murah, karena nelayan merasa mudah mendapatkannya dan terdorong untuk melipat gandakan pendapatan. Peningkatan produksi biasanya diikuti oleh pola panen yang bersifat “sea bottom clearing” (menyapu habis sumberdaya), dimana kejadiannya akan berpindah-pindah dalam skala spasial yang luar biasa luasnya (regional transboundary). Peningkatan produksi dan ditambah dengan cara panen Oktokoralian yang merusak akan diikuti oleh hilangnya fungsi simbiosis, fungsi habitat mikro dan fungsi pelindung biota laut dalam ekosistem terumbu karang, dimana dampaknya mengganggu biota laut lain yang justru memiliki nilai ekonomis tinggi atau memiliki fungsi penting lain.
109
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 107-112
KESATUAN PAKET PERLINDUNGAN Beragam jenis kelompok Gorgonian ditemukan di pasar ekspor, yaitu 22 jenis dari 15 marga 7 famili dan digunakan untuk berbagai kepentingan, terutama perhiasan dan obat-obatan (Thomas, 1996). Selain itu ada 300 jenis produk alami dari laut yang dipatenkan sebagai bahan baku obat antikanker, antibiotik, antioksidan, anti-AIDS, anti-TBC, antiAlzheimer dan bahan steroid. Di antara jumlah tersebut, ada 37 jenis yang berasal dari laut dalam, dimana semua jenis ini terdaftar di USA dan Eropa. Kebanyakan dari produk tersebut berasal dari hewan invetebrata bertubuh lunak dan berumah kapur yang hidup di perairan terumbu karang, seperti kelompok karang lunak, spong, askidian, gorgonia/octokoralia, alga, dan jamur laut (Dewi et al., 2008). Kendala serius dalam pengembangan bioproduk kelautan yang terjadi akhir-akhir ini dalam percobaan klinis atau dalam evaluasi praklinis adalah masalah ketersediaan bahan baku yang kontinu. Sediaan bahan baku dari alam tidak pernah mencukupi target untuk penelitian praklinis. Umumnya, kelimpahan organisme dari sumber alami atau yang dipanen dari alam tidak akan mendukung produksi yang diminta (Pomponi, 1999). Mengacu pada informasi di atas, perlindungan jenis biota laut tidak lagi menjadi sederhana karena dihadapkan pada kebutuhan yang mendesak dalam dunia farmasi dan kedokteran. Permasalahan dalam hal pengelolaan sumberdaya laut yang patut dilindungi bukan saja mengacu pada kebutuhan dengan kriteria bahan baku obat-obatan, komestik, enzim dan antioksidan, tetapi juga dengan kebutuhan-kebutuhan lain dengan kriteria perhiasan, ornamen dan bahkan bahan bangunan. Permasalahan juga berhadapan dengan penetapan prioritas dari kegunaan biota bagi kemaslahatan manusia, yaitu menetapkan untuk mana yang dilarang dan untuk mana yang diperbolehkan. Seperti kelompok gorgonia atau oktokoralia banyak yang dimanfaatkan untuk perhiasan, dan bahkan Oktokoralian seperti Isis hippuris selain digunakan untuk bahan antikanker (steroid), juga digunakan sebagai campuran keramik porselin. Untuk alasan ini, langkah-langkah perlindungan menjadi tidak optimal jika berdiri sendiri untuk target yang spesifik, karena menyangkut beragamnya jenis dan fungsi dari biota laut yang perlu dilindungi. Dalam pembangunan kelautan yang berkelanjutan, perlindungan jenis biota sebagai produk kelautan yang penting merujuk kepada daftar merah (red list) dari jenis berserta fungsi/kegunaan, baik secara utuh atau
110
bagian-bagiannya, atau bahkan habitat/media tumbuhnya. Penetapan jenis Oktokoralian yang akan dilindungi perlu juga memperhatikan jenis-jenis Gorgonia/ Oktokoralia yang lain atau jenis-jenis dari kelompok lain seperti karang lunak dan spong, dimana menurut hasil penelitian atau hasil desk study bahwa biota dari kelompok tersebut yang digunakan sebagai perhiasan, seperti karang merah, atau sebagai obatobatan seperti spong akan bersifat potensial punah dalam waktu dekat atau bersifat laten punah dalam waktu mendatang. Perlindungan produk alami dari laut harus menjadi satu kesatuan perlindungan yang utuh dan berseri sesuai dengan klasifikasi taksonominya. Paket perlindungan yang utuh dimaksudkan sebagai perlindungan jenis mulai dari tubuh, bagian-bagiannya, habitatnya dan bahkan fungsinya dalam sistem kehidupan, yaitu sekiranya biota yang dilindungi menjadi sangat penting dan bernilai bagi hidup biota lain yang bergantung padanya dan justru biota lain tersebut lebih penting dari inangnya yang dilindungi. Paket perlindungan berseri dimaksudkan sebagai paket dari perlindungan utuh yang ditetapkan menurut kelompok atau kelas taksonominya, seperti perlindungan hewan Oktokoralia dengan sederet jenisjenisnya yang dianggap perlu dilindungi. Untuk hal sama dapat diperlakukan bagi kelas yang lain seperti misalnya kelompok spong. Langkah awal dan penting diambil untuk menyiapkan regulasi perlindungan jenis adalah menetapkan direktori jenis biota laut yang akan dilindungi. Daftar tersebut dapat diolah dari hasil pertimbangan menurut hasil penelitian, kebijakan ilmuwan (ilmiah) atau desk study yang menghimpun seluruh hasil penelitian yang tersedia dan menetapkan bahwa biota laut yang dimanfaatkan cukup tinggi patut dilindungi. Dengan adanya daftar jenis tersebut, sifat perlindungannya dapat ditetapkan menurut risiko pengelolaan yang ditimbulkannya terhadap ketersediaan sumberdaya. LANDASAN HUKUM DAN OPSI PERLINDUNGAN Regulasi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan yang mengarah pada perlindungan biota-biota penting telah diatur dalam perangkat hukum, seperti Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER-03/MEN/2010 tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan, dimana perlindungan terbatas sebagai substansi dari peraturan menteri tersebut dapat dilaksanakan sebagai solusi.
Kebijakan Perlindungan dan Konservasi Hewan Oktokoralian/Bambu Laut (Edrus I.N & Ali S)
Perlindungan terbatas merupakan suatu tipe perlindungan yang masih memberikan peluang pemanfaatan sehingga pemanfaatan sumberdaya tersebut di habitat alam masih dimungkinkan. Ada 3 (tiga) tipe perlindungan terbatas yaitu : 1. Perlindungan terbatas berdasarkan ukuran tertentu. Perlindungan tipe ini sulit diterapkan karena bentuk morfologi Isis hippuris yang berbeda dari mulai pangkal sampai pucuk dan selain itu pola panen masyarakat tidak mungkin diatur karena bersifat sporadis. 2. Perlindungan terbatas berdasarkan waktu tertentu. Tipe perlindungan ini pada dasarnya adalah moratorium. Namun untuk mengakomodasi keperluan moratorium adalah perlu lebih dahulu merubah arti “waktu” secara harfiah dalam peraturan menteri tersebut. Pengertian “waktu” harus bekenaan dengan masa generatif (recovery) yang panjang dan bukan sebatas masa bertelur yang pendek. Moratorium diperlukan oleh komoditas untuk bergenerasi kembali dan oleh pemerintah untuk memperbaiki sistem pengelolaan yang relevan dengan pengembangan konservasi, ilmu pengetahuan, dan industrialisasi pasca panen dan pengolahan Isis hippuris. Pertimbangan waktu tersebut dapat sangat panjang dari 5 tahun sampai 10 tahun. Adapun keuntungan dari perlindungan tipe moratorium adalah dapat mempermudah sistem pengawasan, karena adanya keseragaman regulasi secara nasional dan pencurian yang tertangkap tangan selama kurun waktu pelarangan sudah langsung menjadi bukti pelanggaran. 3. Perlindungan terbatas berdasarkan wilayah sebaran tertentu. Tipe perlindungan yang hanya melindungi pada wilayah tertentu untuk alasan spesifik, tetapi memiliki konsekuensi membuka wilayah lain yang tidak terkena larangan penutupan. Pola perlindungan tipe ini disinyalir memiliki faktor positif dan negatif. Pertimbangan unsur positif dan negatif tersebut perlu dianalisis secara mendalam sesuai dengan kendala yang mungkin terjadi pada tingkat lapang. Pada wilayah perlindungan seperti Daerah Konservasi Laut (DKL) dan Taman Laut Nasional (TLN), perlindungan terbatas menurut wilayah sudah menjadi bagian dari regulasi yang melekat pada DKL atau TLN tersebut, sehingga perlindungan bambu laut dapat lebih diamanatkan secara spesifik pada otorita DKL dan TLN tersebut. Pada sisi yang lain, secara regional cara-cara ini juga memang sudah eksis karena ada sebagian kecil wilayah sudah memiliki aturan adat membuka dan menutup wilayah tertentu secara bergantian untuk eksploitasi biota tertentu. Namun, secara nasional terutama pada wilayah dengan rezim tipe “open access”, ketentuan perlindungan menurut wilayah akan
menjadi kontroversial di antara rezim “open access” yang satu dengan yang lain. Penerapan perlindungan terbatas menurut wilayah pasti akan terbentur berbagai kendala di lapangan, karena akan terbentuk beragam alasan dan kebohongan dalam memuluskan pola pelayaran (distribusi transportasi) bambu laut ke pusat pengumpul. Di samping itu juga akan memunculkan kecemburuan sosial di antara wilayah, karena alasan potensi dan permasalahan yang berbeda secara spasial antar wilayah. Cara-cara eksploitasi gelap dan ilegal adalah yang paling merusak ketika pengguna sumberdaya bambu laut masih diberikan peluang pemanfaatan pada wilayah-wilayah tertentu yang tidak termasuk dalam wilayah larangan eksploitasi. Oleh karena itu menutup suatu wilayah, sementara tetap membuka wilayah lain untuk eksploitasi tidak akan menciptakan target yang diharapkan dalam kepentingan menyelamatkan sumberdaya Isis hippuris secara menyeluruh, bahkan sebaliknya menimbulkan kontroversial dalam penerapan regulasinya. Perlindungan bambu laut menurut wilayah hanya dapat dimandatkan pada otorita DKL dan TNL, yang didalamnya bambu laut dapat perlindungan penuh bersama-sama dengan biota laut lain yang menjadi sumber ketersediaan plasma nutfah. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pemahaman masyarakat tentang Oktokoralian (Isis hippuris) masih rendah dan menyebabkan sumberdaya tersebut salah kelola sehingga tingkat eksploitas Oktokoralian tergolong tinggi dan populasinya di alam menurun drastis. Oktokoralian saat ini dapat digolongkan terancam punah, walaupun telah ada pembatasan pemanfaatan di daerah tertentu. Ketiadaan regulasi secara nasional mengakibatkan pemanfaatannya tidak lestari. Oleh karena itu dibutuhkan perlindungan yang sangat mendesak dalam bentuk moratorium 5 tahunan. Saran-Saran : 1. Regulasi daerah perlu ditindaklanjuti secara nasional dalam bentuk aturan yang lebih holistik dan menyeluruh, dimana tipe perlindungan yang tepat adalah morotorium berbatas waktu. 2. Regulasi pengelolaan (perlindungan) produk alami laut yang bersifat nasional perlu dibangun dalam bentuk paket yang mencakup semua jenis yang diasumsikan akan mengalami tekanan berat
111
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 107-112
eksploitasi, dan kalau perlu dapat disatukan pada regulasi yang sudah tersedia dalam aturan pengelolaan karang hias (amandemen). 3. Direktori species yang harus dilindungi perlu disusun menurut status resiko pemanfaatan dan kondisi populasi di alam (over-exploited, latentexploited, threatened, endangered dan Illegal, Unreported and Unregistered Harvesting). Daftar ini dapat disusun dengan cara desk study untuk masuk dalam menyusun regulasi dan penelitian selanjutnya. 4. Perlu dukungan, sinkronisasi dan sinergisitas dari peran Management Authority dan Scientific Authority terhadap peran KKP yang domainnya dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, sehingga semua produk hukum dan program yang dikeluarkan masing-masing pihak tidak saling berbenturan dan tumpang tindih satu sama lain. 5. Surat keputusan setingkat direktorat jenderal perlu segera diterbitkan untuk mengisi kekosongan dalam pengaturan pemanfaatan Oktokoralian dan zona konservasinya. DAFTAR PUSTAKA Berita Antara. 2009. Ribuan kilogram bambu laut ditahan di Toli-Toli. Rabu, 8 September 2009. BPSPL Makasar. 2012. Status Populasi dan Pemanfaatan Isis hippuris di Pulau Sulawesi. Review Survei. Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut. Dirjen KP3K-KKP. 24 p. Cesar.H., 1996. Economic analysis on Indonesia coral reef. The World Bank, Indonesia. Chao, C.H., L.F. Huang, S.L.Wu, J.H.Su, H.C. Huang, & J.H. Sheu. 2005. Steroids from the Gorgonian
112
Isis hippuris. Department of Marine Biotechnology and Resources, National Sun Yat-Sen University, Kaohsiung 804, Taiwan, Republic of China. J. Nat. Prod. 68 (9): 1366–1370. Dewi, A.S., K. Tarman, A.R. Uria. 2008. Marine Natural Products: Prospects and Impacts on the Sustainable Development in Indonesia. Proc. of Indonesian Student’s Scientific Meeting, Delft, Netherlands. p. 54-63. Pomponi, S.A. 1999. The bioprocess-technological potential of the sea. Journal of Biotechnology. 70: 5-13. Shen, Y.C., C.V.S. Prakash & Y.T. Chang. 2001. Two new polyhydroxysteroids from the Gorgonian Isis hippuris. Institute of Marine Resources, National Sun Yat-sen University, 70 Lien-Hai Road, Kaohsiung 80424, Taiwan, Rep Of. Chines. Jur. Steroid, 66. p. 721-725. Thomas, P.A. 1996. The Gorgonid Resources and their Conservation in India. Dalam : Marine Biodiversity Consrvatin and Management. Menon, N.G. and C.S.G. Pillai (Eds). Central Marine Fisheries Research Institute, INDIAN COUNCIL OF AGRICULTURAL RESEARCH, TATAPURAM P.O, COCHIN. P. 32-41. Trianto, A., R. Murwani, N. Susilaningsih. 2009. Study aplikasi ekstrak sponge Haliclona sp dan Gorgonian Isis hippuris Sebagai obat anti kanker alami. Laporan Program Insentif Riset Terapan (Menristek), Lab. Bioteknologi Kelautan, Jurusan Ilmu Kelautan, FPIK, Universitas Diponegoro, Semarang.
Status Introduksi Ikan dan Strategi ………Perairn Umum Daratan di Indonesia (Umar C. & Priyo S.S)
STATUS INTRODUKSI IKAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN SECARA BERKELANJUTAN DI PERAIRAN UMUM DARATAN DI INDONESIA FISH INTRODUCTION STATUS AND SUSTAINABLE IMPLEMENTATION STRATEGY IN INDONESIA INLAND WATER Chairulwan Umar dan Priyo Suharsono Sulaiman Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Teregistrasi I tanggal: 11 Juni 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 27 September 2013; Disetujui terbit tanggal: 08 November 2013
ABSTRAK Masuknya jenis ikan asing berpotensi merubah keseimbangan pada perairan umum daratan, dan di Indonesia gejala ini sudah mulai terlihat. Makalah ini bertujuan untuk membahas lebih lanjut tentang perkembangan introduksi ikan asing, strategi pelaksanaan intoduksi dan berbagai dampaknya terhadap komunitas ikan asli perairan di Indonesia. Penelitian dilakukan melalui penelusuran dan studi pustaka tentang: sejarah kegiatan introduksi ikan yang dilakukan ke Indonesia, jenis-ikan introduksi ikan di Indonesia dan kegiatan introduksi ikan yang telah dan dilakukan di Indonesia beserta dampaknya. Verifikasi lapangan dilakukan pada tahun 2011 di beberapa danau dan waduk antara lain Danau Sentani, Danau Kerinci, Danau Matano dan Waduk Riam Kanan. Data yang terkumpul ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa introduksi ikan asing dilakukan di Indonesia sebelum tahun 1900. Introduksi ikan yang telah dilakukan selama ini, lebih banyak dilakukan tanpa melalui kajian ilmiah yang mendalam dan telah terbukti mengakibatkan hilang atau berkurangnya populasi ikan asli atau endemik serta menjadi agen pembawa penyakit. KATA KUNCI: Introduksi ikan, endemik, perairan umum dataran ABSTRACT The entry of alien fish species could potentially change the balance of the inland waters and in Indonesia this symptoms was shown. The paper aims are to discuss more about the development introduction of alien fish species, the introduction implementation strategy and its impact to indigenous fish species communities in Indonesian inland waters. The study was conducted through a literature research about: the history of fish introductions activities which carried out in Indonesia, the species of fish introduction in Indonesia and the activities of introduction fish that have been conducted in Indonesia and its impact. Field verification was conducted in 2011 at several lakes and reservoir such us: Sentani Lake, Kerinci Lake, Matano Lake and Riam Kanan Reservoir. The collected data were tabulated and analyzed descriptively. The results showed that alien fish introductions were conducted in Indonesia before 1900. Introductions of fish those have been conducted so far is mostly done without in-depth scientific study and it has been shown affected in lost or reduced populations of indigenous or endemic species of fish as well as being an agent of disease carrier. KEY WORDS: Fish introduction, endemic, inland waters
PENDAHULUAN Pengelolaan perairan umum daratan sebagai salah satu upaya untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan secara berkesinambungan perlu dilakukan secara bijaksana. Tujuan akhir dari pengelolaan perikanan adalah menjamin keberlanjutan biologi, sosial dan memberikan manfaat ekonomi dari sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Agar terjadi kesinambungan, diperlukan pengelolaan sumberdaya yang lebih berhati-hati demi terjaminnya kelangsungan usaha pemanfaatan sumberdaya ikan
dan tetap terjaganya kelestarian sumberdaya ikan di perairan. Salah satu bentuk pengelolaan perairan umum daratan adalah pemulihan sumberdaya ikan (fisheries enhancement). Pengelolaan ini meliputi kegiatan rehabilitasi dan modifikasi habitat, konservasi populasi ikan melalui pembentukan kawasan suaka perikanan, penebaran ulang dan memasukan jenis ikan baru atau introduksi ikan asing ke badan perairan. Kegiatan introduksi ikan sejak lama telah dilaksanakan di perairan umum daratan di Indonesia.
___________________ Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Email:
[email protected] Jl. Pasir Putih II, Ancol Timur - Jakarta Utara, 14430
113
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 113-120
Kegiatan ini didefinisikan sebagai kegiatan memasukkan jenis ikan baru atau asing dari luar kawasan perairan, dimana ikan tersebut pada awalnya tidak terdapat di perairan tersebut. Introduksi ikan juga dimaksudkan untuk menyelamatkan suatu spesies ikan endemik dari kepunahan dengan cara memindahkan atau memasukkannya ke dalam ekosistem baru yang memiliki kemiripan dengan habitat aslinya, agar dapat berkembang baik di habitat baru tersebut. Beberapa contoh dampak introduksi ikan di perairan umum daratan telah banyak tercatat. Introduksi ikan yang sampai saat ini dinilai berhasil adalah introduksi ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) dari habitat aslinya di Danau Singkarak Sumatera Barat ke Danau Toba di Sumatera Utara. Hasilnya sungguh nyata, ikan bilih yang di habitat aslinya hanya tumbuh maksimal 9,0 cm, di Danau Toba bisa mencapai 18,5 cm (Kartamihardja & Sarnita, 2008). Contoh lain kesuksesan introduksi ikan adalah introduksi ikan patin siam (Pangasionodon hypophthalmus) di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri Jawa Tengah. Ikan patin siam ini juga telah berkembang pesat di Waduk Gajah Mungkur, hal ini dibuktikan dengan banyaknya ikan patin siam dengan berbagai ukuran yang berhasil tertangkap oleh nelayan di Waduk Gajah Mungkur. Contoh dampak negatif introduksi ikan adalah introduksi ikan nile perca (Lates niloticus) dari Sungai Nil ke Danau Victoria pada 1950 yang telah mengakibatkan 60 persen ikan endemik dari suku Cichlidae terancam punah. Demikian halnya dengan introduksi sejenis ikan pemangsa (Cichla occelaris) ke Danau Gatun, Panama pada tahun 1967 yang terbukti memusnahkan 8 dari 11 ikan asli dan menurunkan populasi dari 3 spesies lain sebanyak 75-90 persen (Wargasasmita, 2004). Ikan mujair (Oreochromis mossambicus) dan ikan Nila (Oreochromis niloticus) juga dianggap sebagai suatu ancaman terhadap ikan asli di sejumlah negara, misalnya terhadap ikan belanak (Mugil cephalus) dan ikan bandeng (Chanos chanos) di Filipina (Bartley et al., 2004). Masuknya jenis ikan asing berpotensi merubah keseimbangan pada perairan umum dan di Indonesia gejala ini sudah mulai terlihat. Kegiatan mengintroduksikan jenis ikan asing sering kali dilakukan tanpa dilandaskan pada hasil kajian ilmiah. Hal ini sangat berbahaya karena dapat mengancam keanekaragaman hayati di perairan dan memunculkan potensi persaingan dalam memperebutkan ruang, oksigen dan makanan antara ikan asli dan ikan
114
pendatang. Makalah ini bertujuan membahas lebih lanjut tentang perkembangan introduksi ikan asing dari dulu hingga masa sekarang, strategi pelaksanaan intoduksi dan berbagai dampak introduksi terhadap komunitas ikan asli perairan di Indonesia. PERKEMBANGAN INTRODUKSI IKAN Kegiatan introduksi ikan telah lama dilakukan di perairan umum daratan Indonesia, sejak zaman penjajahan Hindia Belanda yaitu sekitar tahun 1930 1940an. Tercatat lebih dari 19 jenis ikan konsumsi telah dimasukkan ke perairan umum daratan, terutama di perairan danau dan rawa banjiran. Menurut Wellcome (1988), sebelum tahun 1900 jenis ikan mas telah dintroduksikan dari China ke Indonesia. Tahuntahun selanjutnya, jenis ikan lain yaitu; nilem, rainbow trout, sepat siam juga diintroduksikan ke Indonesia. Untuk lebih jelasnya jenis-jenis ikan perairan umum daratan yang pernah di introduksikan ke Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Pada waktu itu, introduksi ikan dilakukan untuk tujuan meningkatkan produksi ikan. Introduksi ini dilakukan tanpa didasarkan pada hasil kajian ilmiah yang memadai. Dengan demikian, pertimbangan tentang dampak dari introduksi ikan terhadap jenis ikan asli ataupun lingkungannya tidak pernah dilakukan. Seiring dengan berjalannya waktu, introduksi ikan mulai dilakukan dengan tujuan yang lebih spesifik. Introduksi ikan kemudian dilakukan untuk tujuan diversifikasi jenis ikan budidaya, pengontrolan hama atau penyakit dan tujuan sport fishing. Hal Ini sesuai dengan Kerr & Grand (2000); Dabbadie & Lazard (2010), yang mengatakan bahwa tujuan introduksi adalah untuk sport fishing, kepentingan komersil, mengembalikan komunitas ikan terdegradasi termasuk juga pemulihan jenis ikan langka dan terancam atau hampir punah, pemenuhan kebutuhan ikan hias, peningkatan pasokan pangan, menciptakan diversitas perikanan terkait dengan manfaat ekonomi dan sosial, menciptakan induk ikan untuk keperluan budidaya, meningkatkan keragaman dan pasokan ikan umpan, menyediakan jenis ikan untuk keperluan olah raga dan kepentingan komnersil serta untuk keperluan pengendalian biologi. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa sebagian besar ikan yang di introduksilan ke Indonesia adalah jenis ikan budidaya dan konsumsi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa lalu tujuan introduksi adalah peningkatan produksi perikanan dalam rangka pemenuhan kebutuhan protein daging non hewan.
Status Introduksi Ikan dan Strategi ………Perairn Umum Daratan di Indonesia (Umar C. & Priyo S.S)
Tabel 1. Jenis-jenis ikan Yang Diintroduksi Ke Indonesia Table. Fish Species That Introduced in Indonesia No.
Nama Indonesia
Nama Ilmiah
T Tahun Introduksi
Asal
Sebelum 1900
China
Tujuan Introduksi Indonesia
1
Mas
Cyprinus carpio
2
Nilem
Osteochilus hasseltii
1937
Tidak diketahui
Irian Jaya
3
Koan
Ctenopharyngodon idella
1964
Indonesia
4
Mola
1969
Indonesia
5
Karp lumpur cina
Hypophthalmichthys molitrix Cirrhinus chinensis
Malaysia, Singapore, Thailan dan Jepang Jepang and Taiwan
1969
Taiwan
Indonesia
6
Karper cina
-
Jepang
Indonesia
7
Karper cina
1969
Taiwan
Indonesia
8
Tawes
Hypophthalmichthys nobilis Hypophthalmichthys nobilis Puntius gonionotus
1963
Tidak diketahui
Irian Jaya
9
Tawes derbang
Puntius orphoides
1963
Tidak diketahui
Irian Jaya
10
Carp lumpur
Cirrhinus molitorella
11
Rainbow trout
Oncorhynchus mykiss
-
Jepang
Indonesia
1929
Belanda
Indonesia
12
Rainbow trout
Oncorhynchus mykiss
13 14
Bintik putih/ panchax Aplocheilus panchax biru Gurame Osphronemus goramy
1983
Tidak diketahui
Irian Jaya
Tdk diketahui
Indonesia
1937
Indonesia (disebelah barat garis Wallace) Tidak diketahui
15
Sepat siam
Trichogaster pectoralis
1937
Tidak diketahui
Irian Jaya
16
Sepat siam
Trichogaster pectoralis
1930
Malaysia
Indonesia
17 18
Tambakan
Helostoma temminckii
1937
Tidak diketahui
Irian Jaya
Tambakan
Helostoma temminckii
-
Indonesia (P. Jawa)
19
Tambakan
Bali
Helostoma temminckii
-
Sulawesi
Tdk diketahui
Indonesia (P. Kalimantan) Tidak diketahui
Irian Jaya
1939
Barat Africa
Indonesia
Irian Jaya
20
Betok
Anabas testudineus
21
Mujahir
23
Mujahir
-
Philipina
Indonesia
1971
Tidak diketahui
Irian Jaya
1980
Philipina
Indonesia
Setelah 1980
Taiwan
Indonesia
23
Nila
Oreochromis mossambicus Oreochromis mossambicus Oreochromis niloticus
24
Nila
Oreochromis spp.
25
Nila
Oreochromis niloticus
26
Nila
Oreochromis niloticus
27
Sidat
Anguilla anguilla
-
Philipina
Indonesia
1992
Indonesia
Tdk diketahui
Inggris, Prancis, Denmark China
-
Selatan China
Indonesia
Belanda
Indonesia
28
Koki
Carassius auratus
29
Gabus
Channa striata
30
Lele dumbo
Clarias gariepinus
31
Lele lokal
Clarias batrachus
Pertengahan 1980 1939
Indonesia (P. Jawa)
Sulawesi
32
Lele dumbo
Clarias gariepinus
1985
Afrika Selatan
Indonesia
33
Lele amerika
Ictalurus punctatus
1986
Amerika
Indonesia
34
Sejenis Bawal
Colossoma macropomum
1986
Taiwan
Indonesia
35
Ikan nyamuk
Gambusia affinis
1929
Italy
Indonesia
36
Bintik mutiara
Etroplus suratensis
1979
Malaysia
Indonesia
37
Gupi
Poecilia reticulata
1920
Tidak diketahui
Indonesia
38
Salmon
Salmo salar
1929
Belanda
Indonesia
39
Salmon
Salmo trutta fario
1929
Belanda
Indonesia
40
Tench hijau
Tinca tinca
1927
Belanda
Indonesia
41
Pacu
Piaractus brachypomus
1985
Taiwan
Indonesia
42
Patin siam
Pangasius hypophthalmus
-
Thailand
Indonesia
Indonesia
Sumber: www.fao.org (diolah)
115
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 113-120
Ikan-ikan introduksi tidak semuanya berhasil hidup dan berkembang di habitat barunya. Jenis-jenis ikan seperti mas, nilem, gabus, gurami, lele, tambakan dan nila memang bisa tumbuh berkembang dan bahkan mendominasi perairan, akan tetapi beberapa jenis ikan introduksi lainnya tidak berhasil tumbuh dan bertahan. Ikan-ikan tersebut antara lain adalah ikan salmon dan rainbow trout yang diintroduksikan di Pulau Irian Jaya (Papua). INTRODUKSI IKAN TERKINI Banyak spesies ikan yang masuk ke perairan Indonesia, beberapa spesies masih diingat orang sebagai ikan introduksi, namun beberapa spesies yang lain sudah dianggap ikan asli. Ikan mas, ikan sepat siam dan mujair bukanlah ikan asli Indonesia, namun kini sudah dianggap sebagai ikan asli Indonesia. Ikan-ikan ini dahulu diintroduksikan untuk meningkatkan produktivitas perairan. Ikan mas diintroduksikan dari Cina dan sekarang telah menjadi andalan dalam perikanan budidaya terutama di Jawa Barat. Di Danau Toba introduksi ikan mas dilakukan pada tahun 1937 dan hingga saat ini hasil tangkapannya masih cukup berlimpah di perairan tersebut. Jenis ikan mujair pada dasawarsa tujuh puluhan juga menjadi primadona dalam setiap introduksi ikan ke perairan waduk yang baru dibangun di Jawa Timur seperti di Waduk Karangkates dan Selorejo. Hingga saat ini manfaat introduksi tersebut terus dinikmati masyarakat sekitar. Di Danau Kerinci introduksi ikan koan (Ctenopharyngodon idella) sebanyak 2000 ekor telah dilakukan pada tahun 1995, dengan tujuan untuk memberantas eceng gondok (Eichornia crassipes). Hasilnya enceng gondok kini telah hilang dari permukaan Danau Kerinci. Penebaran ikan bandeng sebanyak 2 juta ekor juga dilakukan di Waduk Ir. H Djuanda oleh Direktur Kesehatan dan Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan tujuan untuk pengendalian blooming fitoplankton sekaligus sebagai usaha peningkatan produksi hasil tangkapan di sana. Introduksi ini memberikan hasil yang memuaskan dimana pertumbuhan ikan bandeng yang ditebar bahkan lebih baik dari yang dipeliharan di tambak. Dampak negatif introduksi ikan juga terjadi di beberapa perairan. Dimana ikan-ikan ini terintroduksi secara tidak sengaja ke dalam perairan. Sebagai contoh, di Waduk Jatiluhur, Danau Batur, Danau Sentani dan beberapa perairan danau dan waduk lainnya jenis ikan red devil/oskar (Amphilophus citrinellus) dan kongo (Parachromis managuensis) berkembang dengan pesat dan menjadi dominan di
116
beberapa perairan tersebut. Diduga ke dua spesies ikan ini masuk ke waduk dan danau karena ketidaksengajaan, terbawa bersama benih ikan nila atau mas yang dipelihara di keramba jaring apung. Ikan-ikan jenis ini tidak disukai oleh masyarakat sekitar karena memiliki nilai ekonomi yang rendah, sehingga ikan ini dianggap sebagai hama. Di Danau Matano kasus introduksi tidak disengaja juga terjadi. Jenis ikan louhan (Amphilophus sp) yang merupakan jenis ikan hias dari family Ciclidae telah berkembang cukup pesat di perairan Danau Matano. Awal keberadaannya di perairan tersebut juga akibat penebaran yang dilakukan secara tidak sengaja oleh masyarakat sekitar danau. Di Danau Sentani ikan gabus toraja (Channa striata) juga telah terintroduksi beberapa puluh tahun yang lalu. Hingga sekarang ikan ini telah berkembang pesat dan menjadi salah satu jenis ikan tangkapan utama nelayan di sana. Ikan gabus toraja ini juga diduga telah mempengaruhi ikan asli Danau Sentani, dimana jenis ikan gabus hitam (Glossogobius giurus) populasinya mulai mengalami penurunan. Jenis-jenis ikan introduksi lain yang telah masuk ke Danau Sentani antara lain adalah ikan mujair, nila, gurame, mas dan tawes. Jenis ikan red devil kini juga telah berlembang cukup dominan di Danau Sentani. Ikan ini juga diduga terintroduksi tidak sengaja akibat aktivitas budidaya KJA (Karamba Jaring Apung). Kasus yang sama juga terjadi di Waduk Cirata. Jenis ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum Cuvier) juga telah terintroduksi secara tidak sengaja melalui aktivitas budidaya KJA di Waduk Cirata. DAMPAK INTRODUKSI Kegiatan introduksi ikan di perairan umum daratan Indonesia selain dapat memberikan dampak positif yaitu meningkatkan pendapatan nelayan melalui peningkatan produksi dan atau untuk memberantas penyebab penyakit, namun dapat juga memberikan dampak negatif terhadap keanekaragaman genetik ikan endemik /lokal Indonesia akibat persaingan dalam rantai makanan dan perkawinan silang (cross breeding), penurunan kualitas perairan dan introduksi penyakit dan parasit ikan. Terbatasnya informasi dan pengetahuan dari stake holder mengakibatkan kegiatan introduksi tidak dilakukan melalui kajian ilmiah terlebih dahulu dan jenis-jenis ikan yang diintoduksikan di perairan umum sebagian besar merupakan jenis-jenis ikan budidaya. Beberapa contoh kegiatan introduksi ikan di perairan umum daratan di Indonesia yang telah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.
Status Introduksi Ikan dan Strategi ………Perairn Umum Daratan di Indonesia (Umar C. & Priyo S.S)
Tabel 2. Beberapa Contoh Dampak Introduksi Ikan di Perairan Umum Daratan Table 2. Some Examples of Fish Introductions Impacts in Inland Waters Tahun 2002 – 2003
Nama Ilmiah Mystacoleucus padangensis
Nama Umum Bilih
Jumlah (Ekor) 11.840
Lokasi Introduksi D. Toba
Keterangan
2006
Leptobarbus hoeveni
Jelawat
10.500
D. Teluk
Berkembang pesat, menjadi salah satu hasil tangkapan utama nelayan Tumbuh berkembang
2006
Pangasius djambal
5.000
D. Teluk
Tumbuh berkembang
1995
2.000
D. Kerinci
2010
Ctenopharyngodon idella Oreochromis niloticus
Patin jambal Koan Nila
50.000
D. Kerinci
-
Oreochromis niloticus
Nila
-
Pangasionodon hypophthalmus Amphilophus citrinellus
Patin siam Red devil / Oskar
19.500
W. Cirata
Hilangnya gulma air di D. Kerinci Berkembang pesat, menjadi salah satu hasil tangkapan utama nelayan Berkembang pesat, menjadi salah satu hasil tangkapan utama nelayan Tumbuh berkembang
-
W. Cirata
Pangasionodon hypophthalmus Pangasius djambal
Patin siam Patin jambal Red devil / Oskar
-
W. Juanda
Berkembang pesat, menjadi salah satu hasil tangkapan nelayan Tdk berkembang
18.000
W. Juanda
Tumbuh berkembang
-
W. Juanda
Berkembang pesat, menjadi salah satu hasil tangkapan utama nelayan Tumbuh berkembang
2002 – 2003 -
1999 2000 -
2009 1994
2002 1994 – 2011
Amphilophus citrinellus
Pangasionodon hypophthalmus Oreochromis mossambicus
Patin siam Mujair
-
W. Malahayu
5000
W. Wadaslintang
Puntius javanicus
Tawes
3000
Oreochromis niloticus
Nila
123.000
W. Wadaslintang W. Wadaslintang
Patin siam
36.450
2010 2010
2010 -
Berkembang pesat, menjadi salah satu hasil tangkapan utama nelayan Tdk berkembang
Cyprinus carpio
Koi
Ciclidae
Lohan
Cyprinus carpio Oreochromis niloticus
Mas
60.000
Berkembang pesat, menjadi salah satu hasil tangkapan utama nelayan, Mendominasi/ikan asli ada yang hilang W. Gajahmungkur Berkembang baik, menjadi salah satu hasil tangkapan utama nelayan Blitar Menyebarnya penyakit KHV di Indonesia D. Matano Berkembang pesat dan mulai mendominasi D. Sentani Tidak cukup berkembang
Nila
120.000
D. Sentani
Ctenopharyngodon idella Amphilophus citrinellus
Koan
60.000
D. Sentani
-
D. Sentani
1999 – 2002 Pangasionodon hypophthalmus 2002
W. Riam Kanan
Red devil / Oskar
-
2002 – 2010 Cyprinus carpio
Mas
242.000
D. Paniae
2002 – 2010 Oreochromis niloticus
Nila
155.000
D. Paniae
Berkembang pesat, menjadi salah satu hasil tangkapan utama nelayan Berkurang gulma air Berkembang pesat, menjadi salah satu hasil tangkapan utama nelayan Berdampak beberapa ikan asli hilang Berdampak beberapa ikan asli hilang Mendominasi Perairan
117
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 113-120
Kegiatan introduksi pada Tabel 2 dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Dari jenis ikan yang ditebar, dapat dilihat bahwa tujuan dari introduksi ini adalah peningkatan produksi tangkap di perairan umum. Namun begitu, selain berdampak terhadap pengingkatan produksi introduksi ikan juga berpotensi menghilangkan ikan asli atau endemik yang ada. Sebagai contoh, introduksi ikan lele dumbo, mas, mujahir, nila, plati pedang, sapu kaca, ikan seribu dan grass carp telah mengakibatkan turunnya hasil tangkapan ikan depik (Rasbora tawarensis) di Danau Laut Tawar. Hasil tangkapan (catch per unit effort) ikan depik turun dari rerata 1,17 kg/m2 unit jaring di era 1970an hanya menjadi 0,02 kg/m2 unit jaring di tahun 2009 atau turun drastis 98,3% selama kurun waktu tiga dekade terakhir (Anonim, 2009). Whitten et al., (1987) menambahkan bahwa introduksi ikan mujair tahun 1951 juga telah mengakibatkan punahnya ikan endemik seperti ikan moncong bebek (Adrianichthys kruyti) dan Xenopoecilus poptae di danau Poso serta Xenopoecilus sinorum dari danau Lindu.
pra-introduksi, semua prosedur yang terkait dengan penyusunan rencana introduksi sebelum pelaksanaan dilakukan harus ditetapkan dan dilalui agar diperoleh hasil sesuai dengan yang diharapkan. Tahapan ini terdiri dari: pengenalan terhadap habitat perairan, pengenalan terhadap sumber daya makanan potensial, dan terakhir adalah pengenalan terhadap ikan yang akan diintroduksi. Ketiga langkah tersebut kemudian disusun dalam satu rencana dan ditulis sebagai proposal introduksi (Kartamihadja et al., 2011). Dalam pelaksanaan kegiatan introduksi ikan langkah-langkah yang perlu dilakukan secara berurutan adalah: (i) pemilihan ikan, (ii) penyediaan ikan, (iii) pengemasan dan pengangkutan, serta (iv) pemilihan lokasi penebaran dan teknik penebaran (Kartamihadja et al., 2011). Untuk lebih jelasnya, pelaksanaan introduksi ikan dapat dilihat di bagan alir pelaksanaan introduksi pada Gambar 1 di bawah ini.
STRATEGI PELAKSANAAN INTRODUKSI Secara umum, introduksi ikan dilakukan dengan pertimbangan tidak berdampak negatif terhadap populasi ikan asli dan lingkungan serta memberikan dampak pemanfaatan yang besar bagi masyarakat. Pendekatan kehati-hatian dalam introduksi ikan mutlak harus dilakukan. Jenis ikan yang dipilih sebagai ikan introduksi harus dapat memanfaatkan relung ekologi yang kosong sehingga ikan tersebut tidak akan kompetisi dengan ikan asli. Ryder (1970) menambahkan bahwa ada 3 (tiga) pertimbangan dasar ketika melakukan introduksi yaitu: (i) perairan yang dipilih harus lebih baik dari pada perairan asal ikan introduksi; (ii) ikan yang dipilih bukan merupakan ikan yang memberikan dampak buruk secara ekonomi dan tidak akan mempengaruhi keberadaan stok ikan asli dan lingkungan, serta (iii) ikan introduksi harus dipastikan tetap berada di perairan tempat intoduksi. Sumber: Kartamihardja et al., (2011) Pada prinsipnya, strategi introduksi yang benar harus ditujukan untuk meningkatkan produksi ikan ataupun mengganti populasi ikan yang telah punah untuk membangun basis perikanan baru. Introduksi ikan dilakukan dengan pertimbangan matang akan kemungkinan dampak negatifnya terhadap jenis ikan asli ataupun lingkungannya, baik dari aspek biologi, ekonomi, sosial, maupun budaya masyarakat di sekitar perairan lokasi kegiatan introduksi tersebut. Tahapan pelaksanaan introduksi ikan harus jelas. Tahapan ini meliputi tahap pra-introduksi, tahap introduksi, serta tahap pasca introduksi. Pada tahapan
118
Gambar 1. Bagan Alir Pelaksanaan Introduksi Figure 1. Implementation Flowchart of Introductions Monitoring dan evaluasi merupakan kegiatan penting yang harus dilakukan setelah introduksi dilaksanakan. Kegiatan Monitoring dan evaluasi harus dapat menghasilkan data dan informasi mengenai keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan tersebut. Menurut Kartamihardja et al., (2011), evaluasi harus mengkaji efisiensi dan keuntungan jangka panjang serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memberikan kontribusi terhadap keberhasilan
Status Introduksi Ikan dan Strategi ………Perairn Umum Daratan di Indonesia (Umar C. & Priyo S.S)
dan kegagalan kegiatan introduksi ikan. Ferguson (2010) menambahkan bahwa tindakan pemantauan harus dilakukan setiap tahun untuk menentukan apakah strategi introduksi/penebaran yang dilakukan sudah tepat (berhasil) atau masih perlu dilakukan modifikasi (waktu, ukuran ikan, frekuensi penebaran, dll). Dalam melakukan monitoring dan evaluasi yang harus diperhatikan adalah jenis ikan, ukuran ikan dan berapa banyak hasil tangkapan dari suatu perairan umum yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Dalam hal ini diharapkan ikan yang diintroduksi dapat diketahui pertumbuhan dan perkembangannya. Untuk introduksi ikan yang dilakukan dengan tujuan menghilangkan gulma dan meningkatkan produksi, maka dampak introduksi harus dapat dilihat dengan berkurangnya gulma dan adanya peningkatan produksi secara nyata di perairan umum tersebut. KESIMPULAN Introduksi ikan asing bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga dilakukan di seluruh dunia. Secala umum, introduksi ikan asing tidak boleh dilakukan tanpa didahului suatu penelitian yang komprehesif mengenai dampaknya. Bila introduksi ikan harus dilakukan, maka semua tahapan prosedur introduksi yang ada harus dijalani agar dapat meminimalisir dampak negatif. Introduksi ikan yang telah dikakukan selama ini, lebih banyak dilakukan tanpa melalui kajian ilmiah yang mendalam dan telah terbukti mengakibatkan hilang atau berkurangnya populasi ikan asli atau endemik serta menjadi agen pembawa penyakit. Strategi pelaksanaan introduksi ikan yang benar harus ditunjukkan untuk meningkatkan produksi ikan atau mengganti populasi ikan yang telah punah, dan disesuai dengan kondisi limno-biologis perairan, berorientasi menjaga keseimbangan ekologis dan meningkatkan pendapatan nelayan. Tahapan pelaksanaan introduksi ikan harus jelas dan dipertimbangkan dalam rangka pelaksanaan introduksi yaitu: Tahapan pra-introduksi, tahan introduksi serta tahan pasca introduksi. Tahapan yang paling penting adalah tahapan awal yaitu, pengenalan terhadap habitat perairan, sumber daya makanan yang potensial, dan terakhir adalah pengenalan terhadap ikan yang akan diintroduksi. Ketiga langkah tersebut disusun dalam satu rencana dan ditulis sebagai proposal introduksi. PERSANTUNAN Tulisan ini Merupakan kontribusi dari hasil kegiatan penelitian Kajian Dampak Introduksi Spesies
di Perairan Umum Daratan di Indonesia, T.A. 2011 di Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2009. Alien Species Serang Ikan di Danau Laut Tawar. Waspada Oline. Pusat Berita & Informasi Medan Sumut Aceh. http:// w w w. w a s p a d a . c o . i d / i n d e x . p h p ? o p t i o n = com_content&view=article&id=67247:alienspecies-serang-ikan-di-danau-lauttawar&catid=68: features&Itemid=159. Diunduh: 29 April 2012 Bartley. D., H. Naeve & R. Subasinghe 2004. Impacts of aqtiaculture: biodiversity and alien spesies. http://www.oceanatlas.com/ world_fisheries and_aquaculture/html/issues/ ecosys/envimpactfi/biodiversify, 6/ 28/ 2004. Gustiano, R., J. Subagja, T.H. Prihadi. 2012. Pengaruh Ikan Introduksi Terhadap Keragaan Ikan Lokal: Studi Kasus Budi Daya Bawal dan Patin Bangkok. http://www.docstoc.com/docs/22431569/ Pengaruh-Ikan-Introduksi-Terhadap-Keragaan-IkanLokal-Studi-Kasus. Kartamihardja, E.K., M.F. Rahardjo, S. Koeshendrajana, Krismono, C. Umar & P.S. Sulaiman. 2011. Draft Petunjuk Teknis Introduksi Ikan di Perairan Umum Daratan Indonesia. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Badan Penelitian dan Pengembangan kelautan dan Perikanan, KKP. Kartamihardja. E. S & A. S. Sarnita, 2008. Populasi Ikan Bilih Di Danau Toba. Keberhasilan Introduksi Ikan, Imlpikasi pengelolaan dan Prospek Masa Depan. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Kerr, S. J. & R. E. Grant. 2000. Ecological Impacts of Fish Introductions: Evaluating the Risk. Fish and Wildlife Branch, Ontario Ministry of Natural Resources, Peterborough, Ontario. 473 p. Ryder, R. A. 1970. A bibliography of the Coregonid fishes. University of Michigan. 36 p. Wargasasmita. S. 2004. Alien Species Ancam Ikan Endemik. Suara Pembaruan Daily. http:// www.suarapembaruan.com/News/2004/10/03/ Iptek/ipt01.htm. Diunduh tanggal 16 Juni 2010.
119
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 2 Nopember 2013 : 113-120
Wellcom. R.L. 1988. International introduction of inland aquatic spesies. FAO Fisheries Technical Paper, p. 294.
120
Whitten, A.J., K.D. Bishop, S.V. Nash & L. Clayton. 1987. One or More Extinct from Sulawesi? Conservation Biology 1: 42-48.
JURNAL KEBIJAKAN PERIKANAN INDONESIA Pedoman Bagi Penulis Ruang Lingkup Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia memuat analisis dan sintesis hasil-hasil penelitian, informasi, dan pemikiran dalam kebijakan kelautan dan perikanan. Tata Cara Pengiriman Naskah Naskah yang dikirim haruslah asli dan harus jelas tujuan, bahan yang dipergunakan, maupun metode yang diterapkan dan belum pernah dipublikasikan atau dikirimkan untuk dipublikasi di mana saja. Naskah diketik dengan program MSWord dalam dua spasi dikirim rangkap tiga. Naskah dapat dikirimkan melalui Redaksi Pelaksana Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia dengan alamat Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430 Telp.: (021) 64711940. Tim Penyunting berhak menolak naskah yang dianggap tidak layak untuk diterbitkan. Penyiapan Naskah Judul Naskah hendaknya tidak lebih dari 15 kata dan harus mencerminkan isi naskah, diikuti dengan nama penulisnya. Jabatan atau instansi penulis ditulis sebagai catatan kaki di bawah halaman pertama. Abstrak merupakan ringkasan penelitian dan tidak lebih dari 250 kata, disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Kata kunci (3-5 kata) harus ada dan dipilih dengan mengacu pada Agrovocs. Pendahuluan secara ringkas menguraikan masalah-masalah, tujuan, dan pentingnya penelitian. Jangan menggunakan subbab. Bahasan disajikan secara jelas tanpa detail yang tidak perlu. Kesimpulan dan Rekomendasi disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud dan tujuan sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan. Tabel disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, dengan judul dibagian atas tabel dan keterangan. Tabel diketik menggunakan program MS-Excel. Gambar, skema, diagram alir dan potret diberi nomor urut dengan angka Arab. Judul dan keterangan gambar diletakan di bawah gambar dan disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Persantunan memuat judul kegiatan dan dana penelitian yang menjadi sumber penulisan naskah. Daftar Pustaka disusun berdasarkan abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut: Nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku/nama dan nomor jurnal, penerbit dan kotanya, serta jumlah/ nomor halaman. Sebagai contoh adalah: Sunarno, M.T.D., A. Wibowo & Subagja. 2007. Identifikasi tiga kelompok ikan belida (Chitala lopis) di Sungai Tulang Bawang, Kampar dan Kapuas dengan pendekatan biometrik. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 13 (3): 1-14. Sadhotomo, B. 2006. Review of environmental features of the Java Sea. Indonesia Fisheries Resources Journal. 12 (2): 129-157. Sudradjat, A., I.W. Rusastra, E.S. Heruwati & B. Priono (eds). Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan Budi Daya. Pusat Riset Perikanan Budidaya, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. 181 hal. Defeo, O., T.R. McClanahan & J.C. Castilla. 2007. A brief history of fisheries management with emphasis on societal participatory roles. In McClanahan T. & J.C. Castilla (eds.). Fisheries Management: Progress toward Sustainability. Blackwell Publishing, Singapore, p: 3-24. Heinen, J.M., L.R. D’Abramo, H.R. Robinette & M.J. Murphy. 1989. Polyculture of two sizes of freshwater prawns (Macrobrachium rosenbergii) with fingerling channel catfish (Getalurus Punctatus). Journal World Aquaculture Soc., 20 (3): 72-75. Publikasi yang tak diterbitkan tidak bisa digunakan, kecuali tesis, seperti contoh berikut: Simpson, B.K. 1984. Isolation, Characterization and Some Applications of Trypsin from Greenland Cod (Gadus morhua). PhD Tesis. Memorial University of New Foundland, St. John’s, New Foundland, Canada, 17 pp. Cetak Lepas (Reprint) Penulis akan menerima cetak lepas secara cuma-cuma. Bagi tulisan yang disusun oleh lebih dari seorang penulis, pembagiannya diserahkan pada yang bersangkutan. Lain-lain Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia menerima sumbangan naskah dari penulisan di luar Pusat Riset Perikanan Tangkap dengan ketentuan isinya memenuhi kriteria standar Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia.