ISSN 1979 - 9366
JURNAL KEBIJAKAN PERIKANAN INDONESIA Volume 5 Nomor 1 Mei 2013 Nomor Akreditasi : 425/AU/P2MI-LIPI/04/2012 (Periode April 2012 – April 2015) Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia adalah wadah informasi perikanan, baik laut maupun perairan umum daratan. Jurnal ini menyajikan analisis dan sintesis hasil-hasil penelitian, informasi, dan pemikiran dalam kebijakan kelautan dan perikanan. Terbit pertama kali tahun 2009, dengan frekuensi penerbitan dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan: MEI dan NOPEMBER. Ketua Redaksi: Prof. Dr. Ali Suman Anggota: Prof. Dr. Ir. Wudianto, M.Sc. Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Dr. Ir. Sonny Koeshendrajana, M.Sc. Dr. Achmad Poernomo, M. App. Sc. Dr. Ir. Lucky Adrianto, M. Sc. Mitra Bestari untuk Nomor ini: Prof. Dr. Ir. Endi Setiadi Kartamihardja, M.Sc. (Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi SDI-Jatiluhur) Prof. Dr. Ir. Ngurah N Wiadnyana, DEA (Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi KP-Jakarta) Dr. Ir. Augy Syahailatua, M.Sc. (Pusat Penelitian Oseanologi-LIPI) Drs. Bambang Sumiono, M.Si. (Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi SDI-Jakarta) Redaksi Pelaksana: R. Thomas Mahulette, S.Pi., M.Si. Darwanto, S.Sos Desain Grafis : Arief Gunawan, S.Kom
Alamat Redaksi/Penerbit: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430 Telp. (021) 64700928 ; Fax. (021) 64700929 Email:
[email protected] Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan PerikananKementerian Kelautan dan Perikanan.
KATA PENGANTAR Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia volume 5 Nomor 1 Mei 2013 adalah terbitan pertama di tahun 2013. Percetakan ini dibiayai oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan menggunakan anggaran tahun 2013. Sebelum diterbitkan tulisan ini telah melalui proses revisi dan evaluasi dari Dewan Redaksi dan Mitra Bestari sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing dan proses editing dari Redaksi Pelaksana. Pada terbitan nomor satu ini, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia menampilkan enam artikel hasil penelitian perikanan perairan umum dan daratan dan perairan laut. Keenam artikel mengulas tentang dinamika larva ikan sebagai dasar opsi pengelolaan sumber daya ikan di Laguna Pulau Pari Kepulauan Seribu, status terkini dan alternatif pengelolaan sumber daya ikan di Laguna Segara Anakan, Cilacap, sebaran unit stok ikan layang (Decapterus spp.) dan risiko pengelolaan ikan pelagis kecil di Laut Jawa, arah kebijakan pengembangan perikanan tangkap di sekitar Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat, prioritas strategi pengelolaan perikanan giob yang berkelanjutan di Kayoa, Halmahera Selatan, strategi pengelolaan sumber daya udang laut dalam secara berkelanjutan di Indonesia”. Diharapkan tulisan ini dapat memberikanan kontribusi bagi para pengambil kebijakan dan pengelola sumberdaya perikanan di Indonesia. Redaksi mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif para peneliti dari lingkup dan luar Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan.
Redaksi
i
ISSN 1979 - 9366 JURNAL KEBIJAKAN PERIKANAN INDONESIA Volume 5 Nomor 1 Mei 2013 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………………....
i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………………..
iii
Dinamika Larva Ikan Sebagai Dasar Opsi Pengelolaan Sumber Daya Ikan di Laguna Pulau Pari Kepulauan Seribu Oleh: Reny Puspasari, Ario Damar, M. M. Kamal, DTF Lumban Batu, N.N. Wiadnyana, dan M. Taufik……
1-7
Status Terkini dan Alternatif Pengelolaan Sumber Daya Ikan di Laguna Segara Anakan, Cilacap Oleh: Didik Wahju Hendro Tjahjo dan Riswanto……………………………………………………………
9-16
Sebaran Unit Stok Ikan Layang (Decapterus spp.) dan Risiko Pengelolaan Ikan Pelagis Kecil di Laut Jawa Oleh: Suwarso dan Achmad Zamroni……………………………………………………………………………
17-24
Arah Kebijakan Pengembangan Perikanan Tangkap di Sekitar Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat Oleh: Isa Nagib Edrus dan Suprapto...............................................................................................
25-38
Prioritas Strategi Pengelolaan Perikanan Giob yang Berkelanjutan di Kayoa, Halmahera Selatan Oleh: Imran Taeran, Mulyono S Baskoro, Am Azbas Taurusman, Daniel R Monintja, dan Mustaruddin…
39-45
Strategi Pengelolaan Sumber Daya Udang Laut Dalam Secara Berkelanjutan di Indonesia Oleh: Ali Suman dan Fayakun Satria…………………………………………………………………………
47-55
iii
Dinamika Larva Ikan Sebagai Dasar Opsi…………..di Laguna Pulau Pari Kepulauan Seribu (R. Puspasari et al.)
DINAMIKA LARVA IKAN SEBAGAI DASAR OPSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN DI LAGUNA PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU FISH LARVAE DYNAMIC AS A BASIS OF PULAU PARI LAGUNE AREA MANAGEMENT Reny Puspasari1), Ario Damar2), M. M. Kamal2), DTF Lumban Batu2), N.N. Wiadnyana3), dan M. Taufik4) 1)
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya ikan 2) FPIK Institut Pertanian Bogor 3) Pusat Penelitian Penerapan Teknologi Kelautan dan Perikanan 4) Balai Penelitian Perikanan Laut Teregistrasi I tanggal:09 Januari 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 01 Mei 2013; Disetujui terbit tanggal: 06 Mei 2013
ABSTRAK Proses rekruitmen populasi ikan sangat ditentukan oleh kelangsungan hidup larva ikan yang ada di daerah pemijahan/asuhan. Laguna Pulau Pari merupakan daerah pemjahan bagi banyak jenis larva ikan karang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dinamika kelimpahan dan komposisi dari larva ikan di laguna Pulau Pari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan larva ikan yang ditemukan berkisar antara 1,0 x103 – 14,7 x 103 individu/m3. Puncak kelimpahan tertinggi terjadi pada bulan Juli dan Oktober. Larva ikan ditemukan tersebar di semua lokasi pengamatan. Larva pada fase perkembangan pre flexion ditemukan dalam presentase yang paling tinggi. Selama masa pengamatan ditemukan 79 famili larva ikan yang didominasi oleh Pomacentridae, Aulostomidae, Blenniidae, Engraulidae dan Pinguipedidae. Dinamika yang terjadi pada larva ikan dapat dijadikan dasar bagi pengelolaan perikanan di wilayah Laguna Pulau Pari dengan cara memperluas daerah perlindungan laut dan rehabilitasi ekosistem Laguna Pulau Pari, sehingga peran dan fungsinya sebagai pemasok rekrut bagi stok ikan di perairan sekitarnya terjaga. KATA KUNCI: Larva ikan, kelimpahan, distribusi, pengelolaan, Laguna Pulau Pari ABSTRACT Fish Recruitment is, in turn, thought to be directly related to the survival of the early life stages in the spawning/nursery ground. Pulau Pari Laguna is considered as a spawning ground for many reef fishes. The aims of the research were to investigate the dynamic of abundance and composition of fish larvae in Pulau Pari lagune. The Results show, fish larvae abundance range between 1,0 x 103 – 14,7 x 103 ind/m3. Highest larval abundance occurred on July and October, which predicted as the month of fish larvae production seasons. Fish larvae were distributed in all part of the lagune. Larvae in the pre flexion stage found in the highest precentation compare to other. Totally 79 families of reef fish larvae were found during June – November 2010 dominated by Pomacentridae, Aulostomidae, Blenniidae, Engraulidae and Pinguipedidae. KEYWORDS: Fish larvae, abundance, distribution, fisheries management, Pulau Pari Lagune
PENDAHULUAN Salah satu faktor penentu kondisi stok ikan di perairan adalah keberhasilan proses rekrutmen populasi ikan (Köster & Möllman, 2000). Keberhasilan proses rekrutmen populasi ikan sangat dipengaruhi oleh tingginya keberhasilan larva ikan untuk tumbuh menjadi juvenil dan rekrut baru. Larva sangat rentan terhadap tingkat kematian yang tinggi yang salah satunya disebabkan oleh tekanan pemangsaan dari organisme-organisme pemangsa (Köster & Möllman, 2000). Salah satu strategi dalam mempertahankan kelangsungan hidup larvanya, ikan akan menyimpan
telur dan larvanya di daerah yang terlindungi (Cole, 2008). Laguna Pulau Pari merupakan suatu ekosistem terumbu karang yang bersifat semi tertutup dan komplek, di dalam laguna selain terumbu karang ditemukan juga lamun dan mangrove. Karakterisitk Laguna Pulau Pari sangat menunjang sebagai habitat pengasuhan bagi larva ikan, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya enam famili larva ikan yaitu Ambassidae, Apogonidae, Theraponidae, Hemirhamphidae, Gobidae dan Serranidae (Kaswadji, 1998).
___________________ Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl. Pasir Putih II, Ancol Timur - Jakarta Utara, 14430
1
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 1-7
Saat ini di Laguna Pulau Pari terdapat lokasi Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang terletak di luar laguna di sebelah tenggara Pulau Pari dengan luasan 12 ha (Hartati & Syam, 2011). Lokasi DPL ditentukan berdasarkan karakteristik habitat dan didalamnya terdapat lokasi transplantasi terumbu karang, namun belum mempertimbangkan fungsi ekologisnya sebagai habitat pengasuhan. Pengamatan terhadap dinamika larva ikan merupakan faktor penting yang perlu dilakukan dalam pengelolaan wilayah Laguna Pulau Pari terkait fungsinya sebagai habitat pengasuhan, sehingga dapat memberikan arahan yang tepat bagi langkah pengelolaan selanjutnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola distribusi larva ikan yang ada di Laguna Pulau Pari, sehingga dapat diketahui wilayah perairan yang harus dilindungi untuk memberikan perlindungan bagi larva ikan. Penelitian ini dilakukan di perairan Laguna Pulau Pari Kepulauan Seribu pada bulan Juni sampai November 2010 dengan menggunakan metode deskriptif analitik. Sampel larva diambil untuk mendapatkan pola sebaran kelimpahan dan komposisi struktur larva ikan yang kemudian diidentifikasi dengan menggunakan buku Leis & Carson-Ewart (2000). Hasil analisis deskriptif terhadap distribusi dan kelimpahan larva kemudian dibandingkan dengan kondisi daerah
perlindungan laut yang ada saat ini di Laguna Pulau Pari. Model pengelolaan perikanan yang diajukan adalah pengelolaan yang berdasarkan pada gambaran distribusi spasial dan temporal larva ikan. Variasi dan Distribusi Kelimpahan Larva Ikan Hasil pengamatan terhadap kelimpahan larva ikan di Laguna Pulau Pari menunjukkan bahwa di semua lokasi pengamatan selalu ditemukan larva pada setiap waktu pengamatan. Distribusi spasial dari larva menunjukkan bahwa kelimpahan larva tertinggi ditemukan di stasiun 4 yang terletak di luar tubir (Gambar 1). Pola sebaran menurut waktu pengamatan menunjukkan adanya fluktuasi naik turun pada setiap waktu pengamatan. Puncak kelimpahan terjadi dua kali yaitu pada bulan Juli dengan total kelimpahan 9,9 x 103 individu/m3 dan bulan Oktober dengan total kelimpahan 14,7 x 10 3 individu/m 3 (Gambar 2). Kelimpahan larva ikan yang ditemukan berkisar antara 11 – 168 individu/m3. Puncak kelimpahan larva ikan yang terjadi pada bulan Juli dan Oktober menunjukkan bahwa Juli dan Oktober merupakan musim produksi larva. Musim produksi larva tentunya beriringan dengan terjadinya musim pemijahan yang ditandai dengan kelimpahan telur yang tinggi.
1,3 ind/m 3 1,5 ind/m3 2,1 ind/m3 2,5 ind/m3 2,9 ind/m3
Gambar 1. Figure 1.
Sebaran spasial rata-rata kelimpahan larva ikan di Laguna Pulau Pari Spatial distribution of fish larvae in Pulau Pari Lagune
Larva ikan yang ditemukan di Laguna Pulau Pari terdiri dari berbagai fase perkembangan. Pengamatan terhadap fase perkembangan larva dilakukan terhadap perubahan struktur morfologi dari nothocord. Ada tiga fase perkembangan larva ikan berdasarkan perubahan notochord, yaitu pre flexion flexion dan post flexion (Re & Meneses, 2008). Sebagian besar larva yang tertangkap di Laguna Pulau Pari berukuran sangat
2
kecil, dan pengamatan terhadap fase perkembangan larva menunjukkan bahwa 62,98 % larva yang ditemukan berada pada fase preflexion, 16,55 % fase flexion, 17,56 berada pada fase post flexion dan 2,91 % fase juvenil (Gambar 3). Kehadiran larva pre flexion dapat menunjukkan kisaran waktu penetasan telur. Waktu pemijahan
Dinamika Larva Ikan Sebagai Dasar Opsi…………..di Laguna Pulau Pari Kepulauan Seribu (R. Puspasari et al.)
dapat diduga dari sesaat sebelum kelimpahan telur tinggi dengan sebelum kelimpahan pre flexion yang tinggi. Apabila dibuat plot antara kelimpahan larva pre flexion dan kelimpahan telur maka dapat diduga waktu pemijahan ikan, seperti pada Gambar 4. Gambar 4. menunjukkan bahwa pola kelimpahan telur terjadi beriringan dengan pola kelimpahan larva pada fase pre flexion. Hal ini bisa mengindikasikan bahwa larva berasal dari telur yang ditetaskan di dalam laguna. Kehadiran telur dan semua fase perkembangan larva ikan ini menunjukkan bahwa Laguna Pulau Pari dimanfaatkan sebagai daerah pemijahan dan pengasuhan. Ciri-ciri suatu wilayah berperan sebagai daerah asuhan selain banyak ditemukan larva atau juvenil ikan adalah daerah tersebut merupakan daerah
yang terlindung atau dapat memberikan perlindungan bagi larva ikan. Larva ikan yang masih lemah harus terlindung dari faktor fisik perairan yang ekstrim seperti hemapasan ombak besar, dan kehadiran predator. Keberadaan lokasi-lokasi persembunyian seperti vegetasi, lubang, dan kekeruhan yang tinggi dapat memberikan perlindungan bagi larva ikan. Kondisi ini sangat cocok dengan karakteristik Laguna Pulau Pari, dimana laguna ini merupakan daerah yang semi tertutup yang dikelilingi oleh terumbu karang (Asriningrum, 2005). Di dalam laguna terdapat gobagoba yang dapat berfungsi sebagai tempat berlindung bagi larva dan juvenil ikan, selain itu di laguna itu sendiri banyak ditemukan terumbu karang dengan tutupan yang termasuk dalam kategori sedang (Edrus & Hartati, 2011), juga terdapat lamun dan mangrove di beberapa pulau.
3 Kelimpahan (individu/m )
12 10 8 6 P P P T P
4 2
. T ik u s . B u ru n g . K ong si u b ir lu a r . P a ri
0 Ju n
Ju l
A g ust
Sep
O kt
N op
w a k tu p e n g a m a ta n (2 0 1 0 )
Prosentase tahap perkembangan larva (%)
Gambar 2. Sebaran temporal kelimpahan larva ikan di Laguna Pulau Pari Figure 2. Temporal distribution of fish larvae in Pulau Pari Lagune
100 preflexion fle xio n post flexio n juve nil
80 60 40 20 0
Jun
Jul
A gust
Sep
O kt
N op
w aktu pengam atan (2010)
Gambar 3. Sebaran fase perkembangan larva ikan di Laguna Pulau Pari. Figure 3. Distribution of fish larvae development phase in Pulau Pari Lagune.
3
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 1-7
100 larva preflexion Telur 80
3
Kelimpahan (ind/m )
20.9 60
9.6
49.7
40
7.6
20
5.7
0
Jun
Jul
waktu pemijahan 1
Agust
waktu pemijahan 2
Sep
O kt
Nop
waktu pemijahan 3
Gambar 4. Dugaan musim pemijahan berdasarkan distribusi kelimpahan telur dan larva fase pre flexion Figure 4. Spawning season prediction by egg and pre flexion larvae abundance
Variasi Komposisi Struktur dan Distribusi Larva Ikan Pengamatan terhadap komposisi struktur larva ikan menunjukkan bahwa di laguna Pulau Pari ditemukan 79 famili larva ikan yang didominasi oleh famili Pomacentridae, Aulostomidae, Bleniidae, Engraulidae dan Pinguipedidae. Pomacentridae menyusun 20,90 % dari total kelimpahan larva ikan yang diamati, Aulostomidae menyusun 9,60 %, Blenniidae menyusun 7,60 %, Engraulidae menyusun 6,40 % dan Pinguipedidae menyusun 5,70 % dari total kelimpahan larva ikan yang diamati. Gambar 5 menunjukkan kelimpahan relatif dari setiap famili dominan yang ditemukan. Pengamatan terhadap keragaman famili larva ikan menunjukkan bahwa di Laguna Pulau Pari ditemukan 79 famili, nilai ini lebih tinggi dari nilai keragaman famili ikan dewasa yang ditemukan di Laguna Pulau Pari pada tahun 2003, 2004, dan 2011 (Valentino, 2004, Dhahiyat et al., 2003; Hartati & Syam, 2011). Pengamatan terhadap ikan karang dewasa menunjukkan bahwa keragaman ikan dewasa lebih kecil daripada keragaman larva ikan, di Laguna Pulau Pari ditemukan 134 spesies dari 30 famili (Hartati & Syam, 2011). Tingginya nilai keragaman famili pada tingkat larva dapat disebabkan oleh lebih beragamnya jenis ikan yang memanfaatkan laguna Pulau Pari sebagai daerah asuhan. Larva ikan yang ditemukan di Laguna Pulau Pari tidak hanya berasal dari kelompok ikan karang saja, namun ada juga ikanikan pelagis seperti ikan dari famili Engraulidae dan Clupeidae serta ikan-ikan demersal seperti ikan dari family Lutjanidae yang memanfaatkan laguna Pulau
4
6.4
Pomacentridae
Aulostomidae
Bleniidae
Engraulidae
Pinguipedidae
larva lain
Gambar 5. Kelimpahan relatif larva ikan dominan di laguna Pulau Pari. Figure 5. Relatives abundance of dominan fish larvae in Pulau Pari Lagune Pari sebagai tempat untuk mengasuh larvanya (Leis et al., 1998). Hal ini dapat terlihat dari komposisi kelompok famili larva ikan yang ditemukan, yaitu 54% merupakan kelompok ikan karang, 26% merupakan kelompok ikan demersal dan 17% merupakan kelompok ikan pelagis. Tingginya keragaman larva ikan yang dijumpai di Laguna Pulau Pari menunjukkan bahwa Laguna Pulau Pari banyak dimanfaatkan oleh banyak jenis ikan untuk mengasuh larvanya, karena kondisi lingkungannya yang mendukung sebagai habitat pengasuhan bagi larva ikan. Hasil pengamatan terhadap sebaran temporal kelima famili dominan menunjukkan bahwa kelima famili dominan tersebut ditemukan hampir pada setiap waktu pengamatan. Persentase kehadiran (PK) tertinggi adalah Pomacentridae dan Engraulidae yang ditemukan pada setiap waktu pengamatan (PK = 100%), sementara Aulostomidae, Blenniidae tidak ditemukan pada pengamatan terakhir di bulan November (PK = 90%), sedangkan Pinguipedidae mempunyai persentase kehadiran yang paling rendah yaitu hanya 50% dari sepuluh kali pengamatan. Pengamatan terhadap distribusi spasial menunjukkan bahwa kelimpahan lima famili dominan ditemukan pada setiap lokasi pengamatan, dengan proporsi yang berbeda-beda. Hampir semua stasiun pengamatan didominasi oleh famili Pomacentridae, kecuali di sekitar Pulau Burung (St. 2) didominasi oleh famili Aulostomidae. Gambar 6. dan Gambar 7. menunjukkan sebaran temporal dan spasial dari kelima famili dominan secara berturut-turut. Pengamatan terhadap famili dominan menunjukkan bahwa Pomacentridae merupakan famili
Dinamika Larva Ikan Sebagai Dasar Opsi…………..di Laguna Pulau Pari Kepulauan Seribu (R. Puspasari et al.)
yang paling mendominasi kelompok larva yang ditemukan, hal ini sesuai dengan tingginya kelimpahan Pomacentridae dewasa yang ditemukan di Laguna Pulau Pari (Dhahiyat et al., 2003, Valentino, 2004). Hasil penelitian oleh Hartati & Syam (2011) juga menyatakan bahwa pada kelompok ikan dewasa famili Pomacentridae merupakan salah satu kelompok ikan dengan populasi terbesar yang ditemukan di Laguna Pulau Pari. Pomacentridae memang merupakan kelompok ikan karang yang ditemukan paling melimpah di perairan terumbu karang (Allen & Adrim, 2003). Pomacentridae ditemukan dengan berbagai fase, mulai dari larva, juvenile (Edrus & Hartati, 2011) dan dewasa (Hartati & Syam, 2011). Pada kelompok larva ditemukan fase pre flexion, flexion dan post flexion. Hal ini mengindikasikan bahwa larva Pomacentridae yang ada di Laguna Pulau Pari tidak melakukan ruaya ke luar laguna, atau menghabiskan fase pelagiknya di dalam laguna dan hanya berpindah-pindah dari terumbu karang ke ekosistem lamun pada waktu juvenile. Pola ini sesuai dengan apa yang digambarkan 120
3
Kelimpahan (ind/m )
100 80 60 40
Pomacentridae Aulostomidae Blenniidae Engraulidae Pinguipedidae
20 0 Jun
Jul
Agust
Sep
Okt
Nop
waktu pengamatan 2010
Gambar 6. Sebaran temporal kelimpahan lima famili larva ikan dominan Figure 6. Temporal distribution of five dominan family of fish larvae
Kelimpahan (ind/m3)
14 12 10 8
oleh Leis (1991) bahwa larva Pomacentridae baik fase larva muda maupun fase larva tua ditemukan dalam kelimpahan yang tinggi di dalam laguna dan semakin jauh dari laguna maka kelimpahannya semakin rendah. Sebagian besar kelompok larva ikan yang ditemukan di Laguna Pulau Pari bukan merupakan ikan yang bernilai ekonomis penting, hanya beberapa kelompok saja yang bernilai ekonomis. Engraullidae mempunyai nilai ekonomis penting sebagai ikan konsumsi. Sebagian anggota Pomacentridae, Aulostomidae, Blenniidae dan Pinguipedidae merupakan kelompok yang berpotensi sebagai ikan hias. Sebagian besar ikan-ikan ini tidak mempunyai nilai ekonomis penting, namun secara ekologis kelompok ikan ini memegang peranan penting dalam sistem rantai makanan di perairan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kelompok ikan yang hanya datang ke laguna untuk mencari makan, seperti kelompok ikan ekor kuning (Caesionidae). Caesionidae hanya dijumpai dalam fase dewasa saja, selama masa pengamatan tidak ditemukan Caesionidae dalam fase larva maupun juvenile (Hartati & Syam, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa Laguna Pulau Pari selain berfungsi sebagai habitat pemijahan dan pengasuhan juga berfungsi sebagai habitat mencari makan bagi ikan-ikan ekonomis penting yang beruaya di sekitar perairan Laguna Pulau Pari. Upaya Pengelolaan Ditemukannya telur, berbagai jenis larva ikan dan ikan-ikan dewasa di Laguna Pulau Pari menunjukkan bahwa Laguna Pulau Pari merupakan habitat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan bagi berbagai jenis ikan, khususnya ikan karang. Laguna Pulau Pari dapat berperan sebagai penyedia rekrut baru bagi populasi ikan di wilayah Laguna Pulau Pari dan sekitarnya. Peran dan fungsi ekologis Laguna Pulau Pari sangat penting bagi kelangsungan stok ikan di perairan sekitarnya. Untuk menjaga kelangsungan peran dan fungsi ekologisnya, maka Laguna Pulau Pari harus dikelola dengan baik agar fungsinya tidak terganggu.
6 P o m a c e n trid a e A u lo sto m id a e B le n n iid a e E n g r a u lid a e P in g u ip e d id a e
4 2 LIPI
TL
P. Kongssi
P. Burung
P. Tikus
0
S ta siu n p e n g a m a tan
Gambar 7. Sebaran spasial kelimpahan lima famili larva ikan dominan. Figure 7. Spatial distribution of five dominan family of fish larvae
Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk menjaga fungsi tersebut adalah menjadikan Laguna Pulau Pari sebagai kawasan konservasi yang harus dilindungi. Penetapan daerah perlindungan laut dan rehabilitasi habitat terumbu karang dapat menjadi opsi upaya pengelolaan untuk melindungi induk-induk ikan dan larvanya. Saat ini di Pulau Pari terdapat daerah perlindungan laut (DPL), dengan luasan 12 ha (Hartati & Syam, 2011), namun demikian lokasi DPL hanya di sekitar lokasi ujicoba transplantasi karang saja, yaitu di bagian tenggara Pulau Pari.
5
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 1-7
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa larva ikan ditemukan di semua lokasi pengamatan baik di luar maupun di dalam laguna, sehingga perlu dilakukan upaya perluasan DPL menjadi keseluruhan area Laguna Pulau Pari seluas 45,95 Ha (Asriningrum, 2005). Untuk meningkatkan perlindungan terhadap larva dan induk-induk yang akan memijah. Pembentukan DPL bertujuan untuk perbaikan dan perlindungan kondisi ekosistem terumbu karang. Pembentukan DPL terbukti dapat memperbaiki kondisi tutupan terumbu karang. Kondisi tutupan karang yang baik atau > 50 % berada di sekitar DPL Pulau Pari, sementara di lokasi lainnya penutupan terumbu karang masih dalam kategori sedang (Edrus & Hartati, 2011). Pendugaan terhadap musim pemijahan menunjukkan bahwa selama enam bulan pengamatan terjadi tiga kali waktu peningkatan kelimpahan telur dan larva fase pre flexion yang diduga sebagai waktu pemijahan yaitu awal Juni, akhir Juli dan pertengahan Oktober, dengan puncak kelimpahan telur dan larva tertinggi pada awal Juli yang diduga sebagai puncak musim pemijahan. Pola pemijahan yang demikian diduga merupakan pemijahan berulang (multiple spawning) sehingga sangat memungkinkan terjadinya pemijahan sepanjang tahun, walaupun terjadi pada waktu-waktu tertentu. Terjadinya pemijahan berulang (multiple spawning) mengindikasikan bahwa sepanjang tahun akan ditemui ikan-ikan yang matang gonad, sehingga upaya perlindungan harus dilakukan sepanjang tahun, dengan tidak melakukan penangkapan di DPL. Upaya pengelolaan yang terpadu antara perlindungan kawasan dan rehabilitasi ekosistem di dalamnya diharapkan dapat meningkatkan daya dukung lingkungan perairan Laguna Pulau Pari sebagai daerah pemijahan dan pengasuhan bagi larva ikan sehingga bisa mendukung keberhasilan proses rekrutmen populasi ikan di perairan Laguna Pulau Pari dan sekitarnya. KESIMPULAN Laguna Pulau Pari memupunyai peran dan fungsi ekologis yang penting dalam ekosistem perairan Kepulauan Seribu dan sekitarnya yaitu sebagai habitat pemijahan dan pengasuhan serta mencari makan bagi populasi ikan yang ada di sekitarnya. Upaya pengelolaan dengan memperluas daerah perlindungan laut dan rehabilitasi ekosistem diperlukan untuk menjaga peran dan fungsinya sebagai pemasok rekruit bagi stok ikan di perairan sekitarnya.
6
DAFTAR PUSTAKA Allen GR. and M. Adrim. 2003. Coral reef fishes of Indonesia. Zoological Studies. 42 (1): 1 – 72. Asriningrum, W. 2005. Studi Identifikasi Pulau Kecil dengan Menggunakan Data Landsat dengan Pendekatan Geomorfologi dan Penutupan Lahan (Studi Kasus Kepulauan Pari dan Kepulauan Belakang Sedih). Makalah yang disampaikan pada Pertemuan Ilmiah MAPIN XIV. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. Bahara MA. 2009. Distribusi spasial dan temporal larva ikan di perairan Pulau Abang Gaang Baru Batam Provinsi Kepulauan Riau [Tesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Cole K.S. 2008. Observations on spawning behavior and periodicity in the Bluegreen Chromis (Pomacentridae: Chromis viridis), in Madang Lagoon, Papua New Guinea. Aqua. 4 (1): 27 - 34. Dhahiyat Y., Sinuhaji D., Hamdani H. 2003. Struktur komunitas ikan karang di daerah transplantasi karang Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Jurnal Ikhtiologi Indonesia. 3(2): 87 - 94 Edrus IN, Hartati ST. 2011. Kondisi kesehatan terumbu karang di perairan Gugus Pulau Pari, Teluk Jakarta. Di dalam: Suman A, Wudianto dan Sumiono B. Sumber daya Ikan di Perairan Teluk Jakarta dan Alternatif Pengelolaannya. Jakarta. Balai Penelitian Perikanan Laut. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber daya Ikan. Balitbang Kelautan dan Perikanan. Kementrian Kelautan dan Perikanan. Hartati ST, Syam AR. 2011. Keragaan rehabilitasi terumbu karang, kondisi oseanografi dan sumber daya ikan karang di Kepulauan Seribu – Teluk Jakarta. Di dalam: Suman A, Wudianto dan Sumiono B. Sumber daya Ikan di Perairan Teluk Jakarta dan Alternatif Pengelolaannya. Jakarta. Balai Penelitian Perikanan Laut. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber daya Ikan. Balitbang Kelautan dan Perikanan. Kementrian Kelautan dan Perikanan. Kaswadji RF. 1997. Perairan Laguna: Potensi, Prediksi dan Pemanfaatannya untuk Perikanan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing II/4 Perguruan Tinggi TA. 1996/1997. Tahun Ke empat. Bogor: Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.
Köster F.W. & Möllmann C. 2000. Trophodynamic control by clupeid predators on recruitment success in Baltic cod. ICES Journal of Marine Science. 57: 310 – 323. Leis J.M., Trnski T., Doherty P.J. & Dufour V. 1998. Replenishment of fish populations in the enclosed lagoon of Taiaro Atoll: (Tuamotu Archipelago, French Polynesia) evidence from eggs and larvae. Coral Reefs. 17: 1 – 8. Leis J.M & Carson-Ewart. 2000. The Larvae of IndoPacific Coastal Fishes. An Identification Guide to Marine Fish Larvae. Fauna Malesiana Vol 2. Leiden: Brill. Leis J.M. 1991. The Pelagic Stage of Reef Fishes: The larval Biology of Coral Reef Fishes. In The
Ecology of Fishes on Coral reefs. Editor. Peter F. Sale. Academic Press. Inc. California. 754 p. Re, P., I. Meneses. 2008. Early stages of marine fishes occurring in the Iberian Peninsula. IPIMAR/ IMAR: 282 p. Valentino R.A. 2004. Karakteristik ikan karang di lokasi transplantasi dan non transplantasi karang di Pulau Pari, Kepulauan.[ Skripsi]. Bogor. Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
7
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 :
8
Status Terkini dan Alternatif Pengelolaan………di Laguna Segara Anakan, Cilacap (D.W.H. Tjahjo & Riswanto)
STATUS TERKINI DAN ALTERNATIF PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN DI LAGUNA SEGARA ANAKAN, CILACAP CURRENT CONDITIONS AND ALTERNATIVE RESOURCES MANAGEMENT FISHES IN SEGARA ANAKAN LAGOON, CILACAP Didik Wahju Hendro Tjahjo dan Riswanto Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber daya Perikanan Teregistrasi I tanggal:09 Januari 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 26 Maret 2013; Disetujui terbit tanggal: 23 April 2013
ABSTRAK Laguna Segara Anakan mempunyai peran penting sebagai kawasan pengelolaan perikanan udang sebagai daerah asuhan. Penyempitan dan pendangkalan perairan laguna sangat mempengaruhi populasi larva dan juvenil udang. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji hubungan perubahan lingkungan terhadap sumberdaya udang. Kandungan oksigen terlarut relatif rendah, kondisi tersebut dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ikan dan udang, dan akhirnya berdampak langsung terhadap laju rekruitmen udang dan ikan untuk perairan Segara Anakan dan perairan laut sekitar Cilacap. Kelimpahan larva udang dan ikan di perairan laguna ini berkisar antara 87 – 63,451 ind./1000 m3, dan kelimpahan juvenil tersebut berkisar antara 0 – 25,263 ind./1000 m2, dimana selama pengamatan didominasi oleh juvenil udang. Total produksi (ikan dan udang) di Segara Anakan dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang signifikan dalam periode tahun 1987-2004. Kondisi tersebut disebabkan luas perairan laguna semakin sempit dan dangkal, serta intensitas penangkapan semakin tinggi. Oleh karena itu, perlu suatu pengelolaan yang menyeluruh terhadap sumber daya laguna agar mampu mengurangi laju penurunan produksinya, yaitu pengelolaan sumberdaya perikanan di laguna Segara Anakan sebagai satu kesatuan ekologi yang utuh. KATA KUNCI: Laguna Segara Anakan, pengelolaan sumber daya udang, larva and juvenil ikan dan udang ABSTRACT Segara Anakan lagoon have an important role as the shrimp fishery management area in which shrimp species using this area of lagoons as a nursery ground. Refinement and siltation of the lagoon waters greatly affect populations of larvae and juvenile shrimp. The purpose of this paper is to study the relationship of environmental change on shrimp resources. Dissolved oxygen is relatively low, the condition will affect the growth of fish and shrimp in the long time, and ultimately it have a direct impact on the rate of recruitment of shrimp and fish for Segara Anakan waters and coastal waters around Cilacap. Abundance of larval shrimp and fish in this lagoon waters ranged from 87 to 63.451 ind./1000 m3 and the juvenile abundance ranged from 0 to 25.263 ind./1000 m2, where the observations are dominated by the juvenile shrimp. Total production (fish and shrimp) at Segara Anakan from year to year has decreased significantly over the period 1987-2004. The condition is caused by the broad waters of the lagoon is narrow and shallow, and the higher the intensity of fishing. Therefore, the need for a comprehensive management of the lagoon resources in order to reduce the rate of decline in production, the management of fishery resources in the lagoon Segara Anakan as a whole complete ecology. KEYWORDS: Lagoon Segara Anakan, resource management shrimp, larvae and juvenile of fish and shrimp
PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan laguna yang terlindungi oleh Pulau Nusakambangan dari Samudera Indonesia dan dikelilingi oleh muara sungai sehingga pengaruh daratan sangat dominan dalam proses pengendapannya. Penggantian air laguna di muara sebelah Barat melewati Sungai Citanduy dan Sungai Cibeureum, di sebelah Timur melewati bagian Timur ___________________
yang bersatu dengan Sungai Sapuregel dan Sungai Donan. Beberapa anak sungai mengalir dari rawa mangrove antara pulau-pulau di Segara Anakan (BPKSA, 2003). Kawasan perairan, seperti halnya laguna Segara Anakan merupakan suatu kawasan yang tidak berdiri sendiri, banyak faktor yang berpengaruh terhadap kawasan tersebut. Pengaruh terbesar perairan estuari
Korespondensi penulis: Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta Jl. Jatiluhur PO BOX 01 Purwakarta 41152
9
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 9-16
adalah kegiatan yang terjadi di sekitar kawasan perairan. Kegiatan pertanian, pertambakan dan segala aktifitas di sekitar kawasan menyangkut kegiatan domestik dan industri yang berkaitan dengan pencemaran. Sedimentasi yang merupakan salah satu penyebab proses pendangkalan dan penyempitan kawasan perairan Segara Anakan terutama dipengaruhi erosi yang terjadi pada daerah aliran sungai di sebelah utara kawasan ini (Carolita et al., 2005). Lebih lanjut dijelaskan peningkatan muatan sedimen terjadi sangat signifikan, yaitu dari 0-40 mg/ L di tahun 1978 menjadi 40-320 mg/L pada tahun 2003. Dalam perkembangannya, kawasan ini juga terancam pemanfaatan sumberdaya secara berlebih dan tidak ramah lingkungan seperti konversi hutan bakau, dan over fishing telah berakibat semakin berkurangnya luas tutupan hutan bakau dari 15.551 ha (1974) menjadi 8.359 ha (2003), dan penurunan keaneragaman jenis dan produksi biota laut baik yang bersifat menetap (kelompok kepiting dan udang) maupun migratory (kelompok ikan) yang berpengaruh pada penurunan produksi ikan. Kekayaan sumberdaya ikan Segara Anakan dicirikan dengan kemelimpahan berbagai biota khas dan potensial meliputi 60 jenis ikan, 19 jenis udang alam (dominasi jenis udang jerbung (Fenneropenaeus merguiensis), Udang Peci (F. indicus) dan udang jari (Metapenaeus elegans), dua jenis kepiting ekonomis penting (rajungan dan kepiting bakau yang didominasi oleh jenis Scylla olivacea dan S. serrata), dan beberapa jenis spesies penting lain dari kelompok kerang-kerangan seperti kerang bulu dan kerang darah (Dudley, 2000). Komposisi tangkapan kelompok ikan, udang, kepiting dan lainnya berturut turut 39%; 41%; 13%; dan 7% (Dudley, 2000). Sebanyak 8% dari total tangkapan ikan dan 34% dari total udang yang tertangkap nelayan, menetas dan dibesarkan di kawasan laguna Segara Anakan dengan nilai ekonomi produksi sekitar 62 milyar rupiah/tahun. Permasalahan Sumber Daya Segara Anakan memiliki peran penting dalam pengelolaan perikanan udang pesisir dimana beberapa spesies udang menggunakan estuari ini sebagai daerah asuhan. Pada tahun 1999-2000, 41% dari total tangkapan sumberdaya ikan di Segara Anakan merupakan udang dan diketahui hanya Metapenaeus elegans yang berlimpah dan seluruh hidupnya ada di Segara Anakan. Seperti yang dinyatakan Chan (1998) dalam Saputra et al., 2005) bahwa M. elegans matang seksual dan dapat melengkapi seluruh daur hidupnya dalam estuaria dan laguna, sehingga disebut sebagai spesies estuarin.
10
Empat spesies tambahan (F. merguensis, F. indicus, M. dobsoni dan Penaeus monodon) ditemukan di Segara Anakan sebagai juvenile. Penyempitan kawasan perairan estuari juga akan sangat mempengaruhi populasi larva dan juvenil udang potensial. Hal tersebut terbukti bahwa produksi tangkapan udang menurun dari 5.250 ton (1979) menjadi 2.000-3.000 ton/tahun (2000) dengan jumlah tangkapan per nelayan berkisar antara 1,5-3 kg/trip. Demikian juga sumberdaya ikan yang pada awalnya berjumlah lebih dari 60 spesies (10 famili) dengan dominasi spesies potensial dari kelompok Anguillidae seperti sidat (Anguilla sp) dan Scatophagidae, saat ini hanya tinggal 45 jenis tanpa ada dominansi spesies (Dudley, 2000). Ekosistem Perairan Laguna Segara Anakan Salinitas sangat bervariasi bila dibandingkan hasil penelitian Siregar et al. (2006), karena salinitas di perairan laguna ini merupakan hasil keseimbangan antara debit air tawar dari bagian hulu dengan pasang surut air laut. Salinitas di perairan ini berkisar antara 0,2-12,4 ‰ dengan rata-rata 2,3 ‰ (tahun 2010), dan 0,5-25,1 ‰ dengan rata-rata 8,1 ‰ (tahun 2011); serta kecerahan berkisar antara 25-140 cm dengan ratarata 59,8 cm (tahun 2010), 20-120 cm dengan ratarata 64,3 cm (tahun 2011). Kjerfve (1994) menyatakan bahwa perairan laguna merupakan perangkap sedimen anorganik dan bahan organik, dan berfungsi sebagai penyerap bahan atau filter materi. Perairan ini sering menunjukkan tingkat produksi primer dan sekunder sangat tinggi, serta perairan yang sangat potensial perikanan tangkap dan budidaya. Perairan estuari kaya akan unsur hara, hal ini disebabkan adanya akumulasi bahan organik dan anorganik yang berasal dari daratan. Banyaknya jumlah bahan organik yang bergerak melewati estuari, sebagian dihasilkan oleh estuari itu sendiri, dan sebagian dibawa masuk dari hasil produksi primer di tempat lain yang dibawa masuk oleh aliran sungai dan rawa asin yang mengelilinginya (Nybakken, 1988). Penyuburan unsur hara di perairan estuari dapat dipengaruhi oleh kehidupan makrobentos yang memanfaatkan bahan organik dan anorganik yang terdapat pada substrat dasar sebagai makanan (Bayard & Zotolli, 1983). Bahan organik total terlarut (BOT) di perairan menunjukkan kosentrasi yang cukup tinggi, yaitu berkisar antara 2,11-9,10 mg/L dengan rata-rata 5,00 mg/L (tahun 2010), dan 3,39-12,36 mg/L dengan ratarata 6,42 mg/L. Tingginya kandungan BOT tersebut secara langsung akan berpengaruh terhadap
Status Terkini dan Alternatif Pengelolaan………di Laguna Segara Anakan, Cilacap (D.W.H. Tjahjo & Riswanto)
kandungan oksigen terlarut dan nutrien, serta akhirnya akan mempengaruhi kesuburan. Oksigen merupakan parameter kualitas air yang penting untuk menentukan kualitas air, karena oksigen merupakan salah satu kompomen utama bagi metabolisme ikan dan organisme perairan lainnya. Kebutuhan organisme terhadap oksigen sangat bervariasi tergantung dari jenis, stadia dan aktivitas organisme tersebut. Konsentrasi rata-rata oksigen di Segara Anakan berkisar antara 1,31-8,39 mg/L dengan rata-rata 3,90 mg/L. Kondisi oksigen terlarut tersebut relatif lebih rendah dibandingkan pengamatan tahun 1983 yaitu berkisar 4,61-7,98 mg/L (Sumarsini, 1985), periode tahun 1987-1988 berkisar 4,79-6,67 mg/L, tahun 2003 berkisar antara 4,2-6,6 mg/L (Pulungsari, 2004), tahun 2005 berkisar antara 4,6-8,8 mg/L, dan periode tahun 2004-2006 yang berkisar antara 3-4 mg/ L. Kecenderungan penurunan konsentrasi oksigen terlarut tersebut disebabkan peningkatan penguraian bahan organik yang tinggi, dan kurang didukung laju produksi oksigen oleh fitoplankton. Rendahnya kandungan oksigen terlarut tersebut dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ikan dan udangnya. Kandungan ortofosfat di perairan berkisar antara 0,002-0,188 mg/L dengan rata-rata 0,040 mg/L. Berdasarkan kandungan ortofosfatnya, Wardoyo (1981) menyatakan bahwa perairan dengan kandungan ortofosfat 0,051-0,1 mg/L merupakan perairan dengan kesuburan tinggi. Hal tersebut berarti perairan tersebut termasuk perairan dengan tingkat kesuburan hingga kesuburan tinggi. Oleh karena itu, kandungan klorofil a di perairan ini rendah sampai tinggi, yaitu berkisar 0,41-15,06 mg/m3 dengan ratarata 3,64 mg/m3. Demikian juga dengan kelimpahan fitoplanktonnya, yaitu berkisar antara 21.2318.259.023 sel/L dengan rata-rata 929.445 sel/L (tahun 2010). Ardli & Wolff (2008) melaporkan bahwa perairan laguna Segara Anakan tela terjadi perubahan pemanfaatan lahan sangat besar pada periode tahun 1978-2004. Penyempitan perairan laguna sangat nyata, dimana perubahan luasan tersebut dari 3.491 ha (1978) menjadi 1.173,2 ha (1998), dan menjadi 991,6 ha (2003). Hal tersebut sangat berkaitan dengan bertambahnya permukiman penduduk, semakin luasnya lahan persawahan, ladang dan perkebunan yang ada. Perluasan lahan sawah sangat berkaitan dengan menyusutnya hutan mangrove dan semakbelukar yang ada, serta pendangkalan. Hubungan antara waktu pengamatan dengan luas laguna mengikuti pola eksponensial dengan persamaan sebagai berikut:
y = 3.099,1 e −0,049 X
; R 2 = 0,8945
Penyempitan luas laguna menggunakan pendekatan interpolasi eksponensial dapat diperkirakan bahwa setelah 70 tahun terhitung sejak tahun 1978 Laguna Segara Anakan luasnya akan mendekati 100 ha. Hal tersebut berarti bahwa Laguna Segara Anakan hanya tinggal alur sungai dan hanya menjadi kenangan mulai tahun 2048, jika tidak ada upaya yang nyata untuk mengendalikan laju sedimentasi tersebut. STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI SEGARA ANAKAN Kelimpahan larva udang cukup tinggi di perairan Laguna Segara Anakan. Kelimpahan larva udang berkisar antara 20-60.019 ind./1.000 m3 dengan ratarata 5.404 ind./1.000 m3 (Tjahjo & Riswanto, 2011; Tjahjo & Riswanto, 2012). Kelimpahan juvenil udang relatif tinggi di perairan Laguna Segara Anakan. Kelimpahan juvenil udang berkisar antara 0-16.231 ind./1.000 m2 dengan rata-rata 1.571 ind./1.000 m2. Komposisi hasil tangkapan di Segara Anakan pada tahun 1999-2000 adalah udang dengan persentase 41 %, ikan (39 %), kepiting (13 %) dan jenis lainnya sebesar 7 % (Dudley, 2000). Komposisi jenis udang yang tertangkap berdasarkan penelitian yang sama adalah Metapenaeus elegans sebesar 51 %, Penaeus merguensis (25 %), Penaeus indicus (8 %), Penaeus monodon (3 %), Metapenaeus ensis (1 %) dan spesies lainnya sebesar 9 %. Hasil tangkapan nelayan dengan menggunakan apong di bagian Timur Laguna Segara Anakan didominasi oleh udang rebon (Palaemonidae) sebesar 46,54%, jenis ikan teri (Stelophorus sp) 28,22% dan mursiah (Thryssa sp.) 6,27% dari total tangkapan. Tangkapan di bagian Barat laguna menunjukkan dominasi kepiting (Scylla sp.) sebesar 38,21%, kiper (Coradion sp) 8,64% dan udang krosok (Parapenaeopsis sp) 36,86% dari total tangkapan. Kedua wilayah ini memiliki komposisi yang berbeda baik dari jenis yang ditemukan serta jenis ikan yang mendominasi. Kondisi ini terjadi karena perbedaan kedua ekosistem tersebut dimana bagian Barat merupakan perairan sungai yang dangkal dan di sekitarnya dipenuhi dengan ekosistem mangrove, sehingga kepiting yang habitatnya memang berada di ekosistem mangrove cukup melimpah. Sedangkan wilayah timur lebih banyak dijumpai jenis ikan pelagis yang memanfaatkan perairan Segara Anakan sebagai tempat mencari makan maupun tempat pembesaran. Sedangkan berdasarkan hasil tangkapannya, Hufiadi
11
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 9-16
et al. (2011) menyatakan bahwa hasil tangkapan apong berkisar antara 4,7-18,6 kg/unit/trip untuk daerah Kuta Weru dan 0,6-9,1 kg/unit/trip untuk daerah Ujung Gagak pada bulan Juli dan Nopember 2010 di Laguna Segara Anakan. Berdasarkan pengolahan data Rumah Tangga Perikanan (RTP) dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap tahun 2009, armada perikanan yang beroperasi baik secara rutin maupun periodik di perairan Segara Anakan berjumlah 2.203 kapal dengan jumlah pemilik 2.164 orang yang tersebar di daerah Ujung Gagak, Panikel, Klaces, Ujung Alang, Donan, Kutawaru, Karang Talun dan Tritih Kulon. Status
perikanan di Segara Anakan adalah perikanan rakyat dengan peralatan yang masih sederhana. Komposisi alat tangkap yang beroperasi di sekitar Segara Anakan yaitu jaring dengan persentase tertinggi 51,92 %, apong (22,07 %), pancing (10,87 %) dan beberapa alat tangkap lainnya berupa wadong/bubu, jala, pintur, sero maupun waring. Sebaran alat tangkap yang beroperasi di perairan Segara Anakan tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 1. Kegiatan penangkapan beberapa jenis ikan, udang, kepiting maupun sumberdaya lainnya di perairan Segara Anakan secara umum bervariasi berdasarkan alat tangkap yang digunakan, lokasi penangkapan
Tabel 1. Sebaran alat tangkap di perairan Segara Anakan tahun 2009 Table 1. Distribution of fishing gear in Segara Anakan lagoon of 2009
Alat Tangkap 1. Apong 2. Jaring 3. Wadong 4. Jala 5. Sero 6. Pintur 7.Pancing 8. Waring
Ujung Gagak
Panikel
Klaces
219 514 58 20 4 815
61 96 89 1 34 281
10 16 9 35
Desa Ujung Tritih Donan Kutawaru Karangtalun Alang Kulon 204 217 73 25 17 4 540
78 56 3 5 9 139 290
60 90 17 4 3 174
34 230 38 127 429
330 25 53 408
Sumber : olah data RTP Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Cilacap (2009)
dan bergantung pada kedalaman perairan serta kondisi alam baik masukan air tawar dari sungai maupun pasang surut yang terjadi. Alat tangkap jaring biasanya dioperasikan pada daerah dengan kedalaman rendah pada saat air mulai surut dan dekat dengan daerah tumbuh mangrove, dimana beberapa jenis ikan dan udang keluar untuk mencari makanan. Kegiatan penangkapan dengan jaring oleh nelayan tersebar di daerah Muara dua, Ujung gagak, Jojok dan Tritih. Sedangkan alat tangkap apong biasanya dioperasikan secara pasif di daerah dengan pengaruh pasang surut yang kuat dan kedalaman peraian yang cukup. Alat tangkap ini dipasang berjajar memotong alur pada badan sungai dan menghadang arus surut diantara dasar dan permukaan air. Biasanya jumlah apong yang dipasang bergantung lebar alur sungai atau perairan yang dilewati air dengan pasang surut cukup kuat. Semakin lebar badan sungai dan bukan berfungsi sebagai alur transportasi kapal besar maka jumlah apong yang dipasang semakin banyak. Kegiatan penangkapan dengan menggunakan apong oleh nelayan banyak ditemukan di daerah Tritih (45 buah), Plawangan Timur (85 buah), Sapuregel (83
12
buah), Sungai Kembang Kuning (8 buah), Motean (154 buah), Muara Dua (143 buah), Klaces (65 buah), Majingklak (90 buah) dan Sungai Cibereum (47 buah). Sungai Cibereum, apong hanya dioperasikan pada saat air tinggi (musim hujan), karena perairan tersebut sudah sangat dangkal. KONDISI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN DI SEGARA ANAKAN Laguna Segara Anakan merupakan tempat berkembang biak dan pembesaran atau berkembangnya larva dan juvenil organisme laut tersebut, dan keluar laguna ke laut lepas (Samudera Hindia). Dengan demikian, laguna tersebut berperan sebagai daerah asuhan atau tempat sumber rekruitmen bagi sumberdaya ikan dan udang sekitar Cilacap. Hal tersebut berarti kesehatan perairan laguna tersebut sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan produk perikanan laut. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap nomor 16 tahun 2011 menetapkan pengelolaan perikanan di
Status Terkini dan Alternatif Pengelolaan………di Laguna Segara Anakan, Cilacap (D.W.H. Tjahjo & Riswanto)
kawasan Segara Anakan berazaskan pengelolaan yang didasarkan pada kemampuan daya dukung alam. Tujuan pengelolaanya untuk menjamin kelestarian sumber daya hayati perikanan di kawasan Segara Anakan sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelajutan. Dalam Perda tersebut menyatakan bahwa pengelolaan perikanan di kawasan Segara Anakan dilaksanakan oleh Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA). Badan tersebut diamanahkan untuk mengelola sumber daya perikanan dengan memperhatikan (1) fungsi daerah asuhan bagi sumber daya ikan, tata ruang dan keterlibatan masyarakat, dan (2) melindungi keragaman spesies dan menghindari percepatan penurunan kesediaan sumber daya ikan yang bernilai ekonomis penting. Sedangkan pengelolaan perikanan di kawasan Segara Anakan tersebut meliputi (1) penetapan kebijakan pengelolaan, (2) pengelolaan konservasi sumber daya ikan, (3) penataan penangkapan ikan, (4) penataan budidaya perikanan, (5) mengelola perijinan usaha perikanan, dan (6) melaksanakan pengawasan, pengendalian dan penyidikan kegiatan perikanan dikawasan tersebut. Penetapan kawasan perairan Segara Anakan sebagai zona konservasi terbatas (Perda Kabupaten Cilacap no. 6 tahun 2001), dengan pertimbangan perairan Segara Anakan yang secara alami berfungsi sebagai daerah pemijahan ikan, daerah asuhan anak ikan, dan keanekaragaman flora dan fauna. Dipihak lain, pratek-praktek penangkapan ikan tradisional yang telah dilakukan oleh masyarakat cenderung eksploitatif, seperti alat tangkap “apong”. Apong ini sangat mirip dengan pukat harimau, dimana alat tangkap ini merupakan alat tangkap yang non selektif, sehingga alat ini mampu menangkap ikan berbagai ukuran. Apong tersebut dipasang di alur ruaya larva dan juvenile ikan (udang dan ikan) dari laut ke perairan laguna Segara Anakan dan sebaliknya. Dengan demikian, pengoperasian apong tersebut secara langsung berpengaruh terhadap produksi ikan dan keanekaragaman jenisnya. Sampai saat ini, keberadaan Perda no. 6 tahun 2001 dan Perda 16 tahun 2001 belum terlihat efektif untuk mengendalikan penengkapan berlebih di perairan Segara Anakan. Kawasan perairan, laguna Segara Anakan merupakan suatu kawasan yang tidak berdiri sendiri. Banyak faktor yang berpengaruh baik kualitas maupun kuantitas terhadap kawasan tersebut. Pengaruh terbesar adalah kegiatan yang terjadi di sekitar kawasan perairan hingga bagian hulunya (daerah tangkapan hujan), seperti: kegiatan pertanian, perikanan, domestik, industri, kehutanan, alih guna lahan dan segala aktifitas lainnya di daerah tangkapan hujan yang mengakibatkan perubahan kualitas
maupun fisik dari badan air tersebut. Sebagai contoh salah satu masalah utama di perairan Segara Anakan adalah pendangkalan dan penyempitan kawasan perairan. Pendangkalan dan penyempitan tersebut disebabkan oleh sedimentasi. Hasil pengukuran muatan sedimen di sepanjang laguna pada tahun 1978 dan 2003 menunjukan peningkatan muatan sedimen meningkat sangat tajam, yaitu dari 0 – 40 mg/l di tahun 1978 menjadi 40 – 320 mg/l pada tahun 2003 (Carolita, et al., 2005). Tingginya laju sedimentasi di laguna tersebut, terutama berasal dari DAS Citanduy (70 %) dan DAS Cibereum (30 %) (Purba & Sutarno dalam Ardli, 2008). Prediksi laju kekeruhan laguna Segara Anakan menunjukan peningkatan yang selaras dengan peninkatan jumlah penduduk dan intensitas pemanfaatan lahan dibagian hulu Daerah Aliran Sungai yang masuk ke perairan tersebut. Peningkatan kekeruhan karena partikel lumpur tersebut, akan mendorong laju pendangkalan perairan tersebut, sehingga dengan bertambahnya waktu luas perairan laguan Segara Anakan semakin sempit dan dangkal. Sehingga fungsi dan peran laguna tersebut produksi ikan total (ikan dan udang) cenderung menurun (Lampiran 1). Sebaliknya untuk jumlah nelayan cenderung meningkat (Lampiran 1c), hal tersebut disebabkan profesi nelayan sederhana tidak perlu keahlian yang tinggi. Kondisi sumber daya ikannya cenderung menurun dan jumlah nelayan semakin meningkat, akibatnya hasil tangkapan nelayan menurun. Oleh karena itu, nelayan berusaha meningkatkan mobilitasnya untuk mendapatkan hasil tangkapan yang tinggi, sehingga peningkatan jumlah perahu berbanding terbalik dengan luas laguna (Lampiran 1d). Hal tersebut tentunya merupakan faktor negatif bagai status kondisi sumberdaya udang dan ikan dimasa mendatang. ALTERNATIF PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN Sedimentasi yang merupakan salah satu penyebab proses pendangkalan kawasan perairan Segara Anakan terutama dipengaruhi erosi yang terjadi pada daerah aliran sungai di sebelah Utara kawasan ini (Carolita et al., 2005). Lebih lanjut dijelaskan peningkatan muatan sedimen terjadi sangat signifikan, yaitu dari 0-40 mg/L di tahun 1978 menjadi 40-320 mg/L pada tahun 2003. Sehingga kawasan ini terancam terdegradasi akibat sedimentasi dari lahan hulu yang dicirikan dengan semakin sempit dan dangkalnya kawasan perairan laguna. Oleh karena itu, upaya menyelamatkan laguna tersebut ada 2 cara. Pertama perlu pengendalian erosi dibagian hulu melalui pengembangan cek dam dibagian hulu sungai.
13
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 9-16
Kedua meningkatkan sirkulasi masuk dan keluarnya air dari laguna sehingga laju pendangkalan dapat dikurangi. Upaya peningkatan kelancaran sirkulasi aliran air laguna dapat dilakukan melalui (1) membangun saluran bypass Sungai Citanduy dan Cibereum ke Samudra Indonesia, dan/atau (2) memperlebar dan memperdalam pintu Plawangan Barat, Berdasarkan perubahan luas dan perkembangan jumlah nelayan pada periode 1987 – 2001 terhadap produksi total (ikan dan udang) di perairan Segara Anakan, maka dapat diperoleh persamaan regressi sebagai berikut,
Y = 704,088 ⋅ A − 178,87 ⋅ N
; R = 0,999
Dimana: A = luas perairan Laguna Segara Anakan dalam ha, N = jumlah nelayan (orang) dan Y = produksi total dalan kg. Hal tersebut berarti produksi total perikanan tangkap di perairan Segara Anakan sangat ditentukan oleh luas perairannya, dimana makin luas perairan tersebut memberikan hasil produksi yang semakin tinggi. Jika penyempitan perairan laguna tersebut terus diabaikan dan jumlah nelayan terus berkembang, maka kita dapat memprediksikan bahwa sumberdaya perikanannya telah rusak pada tahun 2035 (alternatif 1 pada Lampiran 2 ). Alternatif 2, jika jumlah nelayan dikendalikan pada jumlah 2000 orang dengan asumsi komposisi alat tangkap tidak berubah dan tidk ada perubahan alam yang signifikan, maka produksi hasil tangkapan ikan tetap mengalami penurunan tetapi tidak setajam Alternatif 1, dimana diprediksikan pada tahun 2040 produksi hasil tangkapan ikannya hanya mencapai 28,6 % dari produksi ikan tahun 2010 (Alternatif 2 ). Disamping itu, kondisi perikanan sepanjang pantai Gonbong-Cilacap-Pangandaran akan lebih baik dibandingkan Alternatif 1, karena rekruitmen pada Alternatif 2 lebih baik dari Alternatif 1. Alternatif 3, jika ada upaya pengalihan nelayan laguna setiap tahun sebanyak 100 orang, maka jumlah nelayan laguna pada tahun 2045 tinggal 1.300 orang dan diprediksikan pada tahun 2045 produksi hasil tangkapan ikan dapat mencapai 237.455 kg (42,7 %) dan poduksi tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan produksi hasil tangkapan ikan Alternatif 2 pada tahun 2040 (159.084 kg). Langkah pengalihan 100 orang setiap tahunnya diprediksikan akan berdampak positif terhadap perikanan tangkap sepanjang pantai Gombong-Cilacap-Pangandaran.
14
Apabila kepadatan nelayan di laguna Segara Anakan semakin menurun, peluang keberhasilan pengembangan daerah refugia untuk udang dan/atau ikan akan semakin besar. Dengan demikian, dengan pengembangan daerah refugia tersebut akan meningkatkan fungsi periran laguna tersebut sebagai daerah asuhan dan rekruitmen bagi perairan pesisir laut Cilacap dan sekitarnya. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kekayaan sumberdaya perikanan Segara Anakan dicirikan dengan kemelimpahan berbagai biota khas dan potensial meliputi 60 jenis ikan, 19 jenis udang alam. Sebanyak 8% dari total tangkapan ikan dan 34% dari total udang yang tertangkap nelayan, menetas dan dibesarkan di laguna Segara Anakan. Diprediksikan bahwa Laguna Segara Anakan hanya tinggal alur sungai dan hanya menjadi kenangan mulai tahun 2048, jika tidak ada upaya yang nyata untuk mengurangi laju sedimentasi tersebut. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah nyata untuk mengurangi resiko tersebut, antara lain: (1) Pengendalian penyempitan luas dan pendangkalan perairan laguna, melalui: (a) pengendalian erosi di Daerah Aliran Sungai bagian hulu, dan (b) menbangun saluran alternatif untuk memperlancar pembuangan lumpur ke Samudera Indonesia; (2) Pengendalian penangkapan ikan dan udang, dengan cara mengalihkan nelayan apong menjadi nelayan laut. Bila pengalihan tersebut setiap tahun dapat dilakukan sebanyak 100 orang, akan mampu meningkatkan produksi ikan secara nyata; (3) Pengembangan daerah refugia untuk menjamin dan meningkatkan rekruitmen udang di perairan pesisir laut Cilacap dan sekitarnya, sehingga mampu mendukung upaya kelestarian usaha penangkapan udang di perairan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Ardli, E.R. & M. Wolff (2008) Assessment of changes in trophic flow structure of the Segara Anakan lagoon ecosystem between 1980’s and 2000’s. Wetlands Ecology and Management Journal Ardli, E.R., 2008. A trophic flow model of the Segara Anakan lagoon, Cilacap, Indonesia. Desertasi S3. Faculty of Biology and Chemistry (FB 2), University of Bremen. 123 p. Bayard & Zotolli, 1983. Pengantar Biologi Laut. The C.V. Morsby Company. St. Louis, Toronto Boesono, H., 2003. Analisa perkembangan perikanan tangkap tahun 1987 – tahun 2001 akibat perubahan luasan laguna Segara Anakan Cilacap (Jawa
Status Terkini dan Alternatif Pengelolaan………di Laguna Segara Anakan, Cilacap (D.W.H. Tjahjo & Riswanto)
Tengah). Tesis. Program Pascasarjana, Undip, Semarang. 58 p. BPKSA (Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan). 2003. Laporan pelaksanaan proyek konservasi dan pembangunan Segara Anakan. Lokakarya Status, Problem dan Potensi Sumberdaya Perairan dengan Acuan Segara Anakan dan DAS Serayu.Purwokerto. Carolita, I, Ety Parwati, B. Trisakti, T. Kartika, & G. Nugroho, 2005. Model prediksi perubahan lingkungan di kawasan perairan Segara Anakan. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. 6p. Dudley, G.R., 2000. Segara Anakan Fisheries Management Plant. Segara Anakan Conservation and Development Project Componen B & C Consultant Report. Hufiadi, S.B. Atmaja, D. Nugroho & M. Natsir, 2011. Dampak perubahan luasan habitat sumber daya ikan terhadap perikanan perangkap pasang surut (apong) di Laguna Segara Anakan. J. Lit. Perikan. Ind. 17(1): 61-71 Kjerfve, B. 1994. “Coastal Lagoons”. Coastal lagoon processes. Elsevier. Pp. 1-8. ISBN 978-0-44488258-5. Retrieved 13-08-2012
Saputra, S.W., S. Sukimin, M. Boer, R. Affandi, D.R. Monintja, 2005. Aspek Reproduksi dan Daerah Pemijahan Udang Jari (Metapenaeus elegans De Man, 1907) di Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Ilmu Kelautan. 10 (1) : 41 - 49 Siregar, A.S., E. Hilmi, & P. Sukardi, 2006. Pola Sebaran kualitas air di laguna Segara Anakan Kabupaten Cilacap. Sains Akuatik 10 (2): 127133 Sumarsini, W. 1985. Hubungan Fisika dan Kimia Air dengan Produktivitas Biota Planktonik di Perairan Segara Anakan. Tesis Institut Pertanian Bogor. Tjahjo, D.W.H. & Riswanto, 2011. Peran Laguna Segara Anakan Sebagai Sumber Rekruimen Udang dan Ikan. Proseding Forum Nasional Pemacuan Stok Ikan III. Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Jatiluhur. Tjahjo, D.W.H. & Riswanto, 2012. Distribusi Spasial Larva Ikan Dan Udang Di Laguna Segara Anakan, Cilacap. JPPI. 18 (1): 27-33. Wardoyo, S.T.H., et al. 1984. Ecological aspects Segara Anakan: In relation to its future management. Ecology Team Faculty of Fisheries Bogor Agricultural University. Bogor.
Nybakken, J.W., 1988. Marine biology an ecological approach. HarperCollins College Publishers, New York. Pulungsari, A.E., 2004. Komposisi Spesies Gastropoda di Perairan Hutan Bakau Segara Anakan Cilacap. Tesis. Sekolah Pascasarjana, IPB Bogor. 70 p.
15
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 9-16
Lampiran 1. Hubungan total produksi terhadap waktu pengamatan (a); hubungan produksi terhadap perubahan luas Laguna Segara Anakan (b); Hubungan jumlah nelayan terhadap luas laguna (c); hubungan jumlah terhadap perubahan luas Laguna Segara Anakan (d)( Boesono, 2003). Apendix 1. Correlation of total production to time observation (a); correlation of production to the extensive alteration of Segara Anakan Lagoon (b); correlation of fisherman quantity to the lagoon area (c); correlation of number of ships to the extensive alteration of Segara Anakan Lagoon (d) (Boesono, 2003).
(a)
(b)
(c)
(d)
Lampiran 2. Hubungan antara luas laguna (ha), alternatif jumlah nelayan (orang) dan prediksi produksi perikanan tangkap (kg) di laguna Segara Anakan. Apendix 1. Correlation of lagoon area (ha), alternative quantity of fisherman (person) and prediction of capture fisheries production (kg) in Segara Anakan Lagoon
Tahun 2010 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045
16
LUAS 1.298 1.180 1.073 976 888 807 734 668
ALTERNATIF JUMLAH NELAYAN Berkembang Tetap Pengalihan 2.246 2000 2000 2.406 2000 1900 2.561 2000 1800 2.710 2000 1700 2.852 2000 1600 2.986 2000 1500 3.113 2000 1400 3.232 2000 1300
PREDIKSI PRODUKSI Alter. 1 Alter. 2 Alter. 3 512.117 556.143 556.143 400.705 473.321 491.208 297.671 398.004 433.778 202.553 329.513 383.174 114.879 267.229 338.777 34.180 210.590 300.025 159.084 266.406 112.246 237.455
Sebaran Unit Stok Ikan Layang ….… Pengelolaan Ikan Pelagis Kecil di Pulau Jawa (Suwarso & A. Zamroni)
SEBARAN UNIT STOK IKAN LAYANG (Decapterus spp.) DAN RISIKO PENGELOLAAN IKAN PELAGIS KECIL DI LAUT JAWA STOCK UNIT DISTRIBUTION OF SCADS (Decapterus spp.) AND MANAGEMENT IMPACK OF SMALL PELAGIC FISH AROUND JAVA SEA Suwarso dan Achmad Zamroni Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta Teregistrasi I tanggal: 22 Agustus 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 08 April 2013; Disetujui terbit tanggal: 23 April 2013
ABSTRAK Ikan layang (Decapterus russelli dan D. macrosoma, Fam. CARANGIDAE) merupakan komponen utama dari sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan sekitar Laut Jawa-Selat Makassar. Peningkatan upaya secara tak terkontrol pada perikanan purse seine telah mengakibatkan penyusutan biomassa yang berdampak pada penurunan hasil tangkapan, sehingga tujuan pengelolaan yang berkelanjutan tak tercapai; ditambah lagi pengetahuan tentang karakter biologi dan keterkaitan diantara stok di sekitar zona utama belum diketahui secara jelas. Paper ini membahas dugaan sebaran stok dan risiko pengelolaannya berdasarkan data penstrukturan populasi dua species ikan layang (D. russelli dan D. macrosoma) dan aspek perikanan tangkap (komposisi jenis, sebaran fishing ground). Data struktur populasi diperoleh dari hasil analisis genetik terhadap marker DNA mitochondria (metode RFLP) yang telah dilaporkan sebelumnya; sedang data aspek penangkapan diperoleh dari tempat pendaratan utama di Pekalongan, Samarinda, Mamuju dan sekitarnya. Hasil menunjukkan kedua species layang memiliki masing-masing dua sub populasi (2 unit stok). D. russelli, tersebar di Laut Jawa bagian timur, Laut Flores bagian selatan dan Laut Banda bagian barat (sub populasi atau unit stok 1), sedang unit stok 2 tersebar di Selat Makassar laut dangkal di timur Kalimantan. Sedangkan pada D. macrosoma, unit stok Laut Banda (unit stok 1) terpisah (berbeda) dengan unit stok lain yang tersebar di Laut Flores zona pantai, Laut Jawa bagian timur dan Selat Makassar laut dangkal. Dari hal tersebut pengelolaan ikan pelagis kecil di Laut Jawa (WPP 712) dan Selat Makasar laut dangkal (WPP 713) sebaiknya disatukan sebagai satu unit stok dan satu unit managemen. Di pihak lain, perikanan pelagis di Selat Makasar laut dalam di perairan barat Sulawesi disarankan dikelola dalam konteks penstrukturan populasi ikan pelagis kecil laut dalam di sekitar Sulawesi (malalugis, D. macarellus). Pola migrasi ikan layang/pelagis dalam arah Laut Jawa – Selat Makasar dan sebaliknya dimungkinkan juga terkait dengan penstrukturan populasi layang tersebut. KATA KUNCI: Struktur genetik populasi, Decapterus russelli, D. macrosoma, Laut Jawa, Selat Makassar, pengelolaan perikanan. ABSTRACT Layang scad (Decapterus russelli ) and round scad (D. macrosoma) was a main component of small pelagic fishes around Java Sea-Makasar Strait. Increasing of uncontrolled effort of purse seine had caused a biomass decrease and clearly impact to the lower catch, so that a goal of sustainable fishery was difficult to reach; in addition, knowledge on biological characteristics and inter-relationship within the stock unit in the main zone was not understood yet. Study on stock distribution and its management impacts was conducted based on the population structuring of the two scads species exist (D. russelli and D. macrosoma) which was observed from the genetic analyses of the mitochondria DNA marker (RFLP method), and the capture fishery data (species composition, distribution of fishing ground) from some main landing sites such as Pekalongan, Samarinda, Mamuju, and Bone. Results showed the two species of scads had two sub population (stock unit) respectively. D. russelli distribute in the eastern part of Java Sea, southern Flores Sea, and western Banda Sea exist as a sub population or stock unit 1, while a stock unit 2 was distributed around the coastal waters of Makasar Strait in eastern Kalimantan. However, stock unit 1 of D. macrosoma that distribute in Banda Sea was separated (clearly different) from the stock unit 2 that was distributed in the coastal habitat of Flores Sea, eastern Java Sea, and the coastal area of Makasar Strait (east Kalimantan). Thus, a sustainable management of small pelagic fish in the areas of Java Sea (FMA 712) and Makasar Strait (FMA 713) have to be managed as a one stock unit (sub population) and one management unit. On the other hand, we would like to propose that for a small pelagic fish that was distributed in the oceanic ___________________ Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru Jl. Muara Baru Ujung, Komplek Pelabuhan Perikanan, Jakarta-14430
17
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 17-24 habitat of Makasar Strait (western Sulawesi) should be managed in the context of population structuring of scad mackerel/malalugis (D. macarellus) as the main oceanic species of small pelagic fish around Sulawesi. Migration pattern of that two scads (D. russelli and D. macrosoma) along the Java Sea and Makasar Strait and vise versa may be related to that proposed population structuring of scads. KEYWORDS: Population genetic structure, Decapterus russelli, D. macrosoma, Java Sea, Makasar Strait, fishery management.
PENDAHULUAN Ikan layang (Decapterus spp) merupakan sumberdaya ikan pelagis yang mempunyai nilai ekonomis dan memberi kontribusi utama pada produksi perikanan. Jenis ikan layang yang umum ditemukan di Laut Jawa dan sekitar Sulawesi adalah Decapterus macrosoma, D. ruselli dan D. macarelus. Daerah penyebarannya luas serta telah dieksploitasi secara intensif di berbagai perairan di Indonesia, bahkan di beberapa wilayah perairan telah terindikasi lebih tangkap. Diantara sekian banyak pusat produksi layang, perairan Laut Jawa dan sekitarnya boleh dikatakan merupakan produsen terbesar di Indonesia, namun stok jenis tersebut juga telah mengalami kejenuhan akibat tekanan penangkapan berlebih (Hariati et al., 2005). Gejala stock depletion dibarengi oleh penurunan secara drastis hasil tangkapan per jenis ikan dan upaya (jumlah kapal aktif dan trips), diikuti dengan respon alamiah nelayan berupa relokasi daerah penangkapan, ‘alih’ alat tangkap dan target species telah dilaporkan sebelumnya oleh Atmaja et al. (2007). Dari hal tersebut, tindakan ‘pengelolaan’ yang logis dan bertanggung jawab adalah keperluan mendesak, yaitu untuk tercapainya tujuan jangka panjang pengelolaan sehingga dapat menjamin hasil tangkapan yang berkelanjutan (sustainable yield) dan menguntungkan serta konservasi sumberdaya. Suatu konsep manajemen berbasis ‘unit stok’ dipercaya merupakan konsep pengelolaan yang logis dan bertanggung jawab (‘stok’ yang dimaksud adalah unit biologi berbasis genetik), namun memerlukan data dan informasi tentang ‘unit stok’ dengan difinisi yang jelas beserta karakter biologinya. Makalah ini membahas tentang sebaran unit stok dua species ikan layang (D. russelli dan D. macrosoma) beserta kajian tentang risiko pengelolaan yang sebaiknya dilaksanakan. Kajian didasarkan pada hasil penelitian sebelumnya tentang struktur populasi yang didukung oleh data aspek perikanan tangkap yang dikumpulkan di wilayah terkait. Hasil diharapkan dapat menjelaskan tentang profil stok layang beserta sebarannya serta saran pengelolaan yang lebih nyata berbasis habitat.
18
Dua species ikan layang yang dikaji dalam makalah ini adalah ikan layang (D. russelli) dan layang deles (D. macrosoma). Kedua species merupakan komponen utama pada perikanan pelagis kecil (purse seine) di Laut Jawa dan Selat Makassar. Kajian struktur populasi telah dilakukan pada tahun 20082009 di perairan Laut Jawa, Selat Makasar, Laut Flores dan Laut Banda bagian barat (Kendari). Pengambilan contoh jaringan (sirip dan daging) dilakukan dari hasil tangkapan purse seine yang melakukan penangkapan di sekitar lokasi pendaratan ikan di Rembang, Balikpapan, Donggala, Mamuju, Tolitoli, Kendari dan Maumere; (Gambar 1). Data struktur populasi diperoleh melalui analisis genetik (RFLP, Restriction Fragment Length Polymorphism dengan menggunakan 8 enzym restriksi) terhadap genom mitochondria (mtDNA) yang dilanjutkan dengan penyusunan data genetik (ukuran fragmen restriksi, tipe haplotype, composite haplotype), dugaan parameter genetik (diversitas haplotype dan Jarak Genetik ‘Nei’) dan penyusunan kedalam dendogram kekerabatannya (filogenetik). Genom mtDNA diperoleh dari hasil ekstraksi jaringan, purifikasi, isolasi dan proses amplifikasi dengan mesin PCR (Polymerase Chain Reaction). Ringkasan sampling prosedur, analisis lab dan dugaan struktur populasi diterangkan selengkapnya oleh Suwarso et al. (2010). KERAGAMAN GENETIK DAN STRUKTUR POPULASI IKAN LAYANG Pengujian dengan 8 jenis enzim resriksi (enzim Afa I, Hae II, Mbo I/Nde II, Alu I, Hind III, Hin6 I dan Taq I) terhadap ikan layang (D. russelli) dan layang deles (D. macrosoma) ternyata memperlihatkan hanya 4 enzim yang berhasil memotong sekuen DNA (memiliki situs restriksi) ikan layang (enzim Afa I, Alu I, Msp I dan Taq I) dan 6 jenis enzim yang dapat memotong sekuen DNA ikan layang deles (enzim Alu I, Taq I, Hin6 I, Afa I, Hind III dan Msp I). D. russelli Daerah control region mtDNA D-loop ikan layang (D. russelli) menunjukkan single band DNA (fragmen) dengan ukuran sekitar 1000 bp (base pairs), dan secara umum menunjukkan sifat polymorfisme;
Sebaran Unit Stok Ikan Layang ….… Pengelolaan Ikan Pelagis Kecil di Pulau Jawa (Suwarso & A. Zamroni)
Gambar 1. Figure 1.
Peta lokasi penelitian dan lokasi sampling jaringan (daging dan sirip) ikan layang (D. russelli) dan deles (D. macrosoma) tahun 2008-2009 Map of research location and tissue sampling site (meat and fin) of layang scad (D. russelli) and round scad (D. macrosoma), 2008-2009
sedang setelah proses digesti/restriksi oleh enzim restriksi yang dapat memotong, ‘single band‘ DNA tersebut memiliki ukuran antara 700-975 bp. Sifat polimorfisme hanya ditunjukkan oleh tiga enzim restriksi. Dari dua tipe haplotype yang diperoleh dapat teridentifikasi 2 jenis allele (composite haplotype), yaitu AA dan AB yang frekuensinya bervariasi di tiap populasi. Berdasarkan frekuensi kemunculan dua allele di tiap lokasi tersebut secara umum ke 7 populasi ikan layang memiliki tingkat variasi genetik (‘diversitas haplotype’, h) cukup rendah antara 0 – 0,1528 (ratarata 0,0585). Keragaman genetik lebih rendah (h=0) ditemukan pada populasi Balikpapan (Selat Makassar), sedang keragaman lebih tinggi terlihat pada populasi Rembang, Kendari dan Maumere. Dari dua allele (composite haplotype) yang teridentifikasi secara umum terlihat bahwa allele AB adalah allele yang lebih umum ditemukan di seluruh populasi, sedang allele AA hanya teramati dalam populasi Kendari, Rembang dan Maumere. Ini menandakan bahwa struktur populasi ikan layang dari ketujuh populasi tersebut dimungkinkan berasal dari sumber (sub species atau unit stock) yang sama. Dugaan nilai jarak genetik Nei (D) mempertegas hal tersebut. Jarak genetik (D) rata-rata antar populasi sekitar 0,0018. Jarak genetik terpendek (D = 0 - 0,0002) ditunjukkan oleh populasi Rembang & Maumere, Rembang & Kendari, dan Kendari & Maumere, sedang jarak genetik lebih jauh ditemukan antara populasi Balikpapan & Kendari (D = 0,0041) dan Balikpapan & Rembang (D = 0,0029).
Didasarkan atas parameter jarak genetik tersebut dapat disusun dendogram filogenetik dari ke tujuh populasi ikan layang (D. russelli) yang dikaji seperti terlihat pada Gambar 2. Terlihat bahwa ke tujuh populasi contoh dapat dipisahkan kedalam dua ‘group populasi’ (sub populasi) yang berasal dari dua garis keturunan mtDNA (2 clade mtDNA), yaitu: group pertama (clade 1) terdiri dari populasi Kendari, Maumere dan Rembang; sedang group kedua (clade 2) terdiri dari populasi Balikpapan. D. macrosoma Sekuen mtDNA D-loop layang deles (D. macrosoma) memiliki ukuran panjang sekitar 1000 bp (base pairs). Dari 8 enzim restriksi yang diterapkan hanya 4 yang dapat memotong (memiliki situs pemotongan), yaitu enzim Alu I, TaqI, Ava I dan Msp I; sedang sifat polimorfisme pola pemotongan hanya ditemukan pada tiga enzim restriksi (Alu I, Afa I, Taq I). Dari 3 tipe haplotype yang muncul dapat teridentifikasi 4 jenis allele (composite haplotype) dengan 1 - 2 allele per populasi. Secara umum allele AAAAAA lebih umum dan dominan, kecuali populasi Kendari; sedang allele BBABAA dan BCABAA hanya ditemukan pada populasi Kendari. Keadaan ini mengindikasikan bahwa struktur populasi layang deles cenderung berasal dari sumber yang sama (sub species). Seperti halnya jenis D. russelli, jenis layang deles (D. macrosoma) juga memiliki tingkat keragaman genetik rendah; diversitas haplotype (h) berkisar antara 0 – 0,1975, rata-rata 0,0658. Indek keragaman terkecil ditemukan pada populasi Maumere, Tarakan, Donggala, Aceh Timur,
19
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 17-24
sedang keragaman lebih tinggi ditemukan pada populasi Rembang dan Kendari. Jarak genetik ratarata antar populasi sekitar 0,3354. Jarak terpendek (0) terlihat diantara populasi Maumere, Donggala dan Tarakan; sedang populasi Kendari menunjukkan jarak paling jauh. Didasarkan pada nilai-nilai jarak genetik dapat disusun dendrogram filogenetik (hubungan kekerabatan) dari ke enam populasi layang deles seperti terlihat pada Gambar 2. Terlihat bahwa 6 populasi contoh terpisah kedalam 2 grup populasi (sub populasi): Grup pertama terdiri dari populasi Rembang, Maumere, Donggala dan Tarakan; sedang populasi Kendari memisah sebagai Grup kedua. SEBARAN FISHING GROUND DAN PERBEDAAN KOMPOSISI JENIS Ekspansi eksploitasi ikan pelagis oleh perikanan PS ’Jawa’ yang berbasis di Tegal, Pekalongan dan Juana telah mencapai maksimum pada sekitar tahun 1996 (Durand & Widodo, 1997) seperti tergambar pada Gambar 3 (kiri). Eksploitasi di Selat Makasar terfokus di perairan karang sebelah tenggara Tanah Grogot atau sebelah selatan Balikpapan (Kalimantan Timur). Lokasi tersebut berada di perairan sekitar P. Balagbalagan, Kep. Lumu-lumu, P. Lari-larian dan P. Samber
Gelap (ditandai dengan lingkaran warna merah). Lokasi ini bersifat coastal (perairan dangkal) dengan kedalaman kurang dari 60 m, sangat berbeda dengan fishing ground nelayan Mamuju (MPS) yang berada di habitat oseanik dengan kedalaman lebih dari 200 m (ditandai dengan lingkaran warna hitam). Fishing ground nelayan Mamuju dipertegas oleh sebaran posisi rumpon seperti terlihat pada Gambar 3 (kanan). Variasi terdapat dalam komposisi jenis yang tertangkap baik oleh purse seine Jawa di perairan laut dangkal di timur Kalimantan maupun di laut dalam perairan barat Sulawesi. Perbedaan paling jelas terdapat pada kategori ‘layang’ yang tertangkap. Dua species layang (D. russelli dan D. macrosoma) tertangkap di perairan dangkal timur Kalimantan, sedang species malalugis (D. macarellus) tertangkap di laut dalam barat Sulawesi (Gambar 4 dan 5). Kedua habitat ini sangat berbeda. Berdasarkan data catchmonitoring kapal purse seine di Pekalongan, kategori layang kontribusinya kira-kira 52% pada tahun 2007 di fishing ground Laut Jawa, sedang di Selat Makasar sekitar 44% (Gambar 4). Sejalan dengan perkembangan perikanan dan sistim pendaratan ikan, sejak beberapa tahun pendaratan ikan juga berlangsung di Balikpapan dan Samarinda melalui sistim kapal pengumpul (transshipment). Di Samarinda kategori layang didaratkan sebesar 35%
Gambar 2. Dendogram filogenetik ikan layang, D. russelli (kiri) dan layang deles, D. macrosoma (kanan) dari hasil analisis RFLP mtDNA di sekitar Laut Jawa. (Keterangan: LAYANG: Populasi 1 – Rembang; 2 – Balikpapan; 3 – Kendari; 4 – Maumere; 5 – Fakfak; 6 – Aceh Timur; 7 – Labuhan); DELES: Populasi 1 - Maumere, 2 - Aceh Timur, 3 - Tarakan, 4 – Rembang; 5 - Kendari, 6 – Donggala). Figure 2. Dendogram filogenetik of layang scad, D. russelli (left) and round scad, D. macrosoma (right) observed by RFLP mtDNA analyses around Java Sea. (Remarks: LAYANG SCAD: Population 1 – Rembang; 2 – Balikpapan; 3 – Kendari; 4 – Maumere; 5 – Fakfak; 6 – Aceh Timur; 7 – Labuhan); ROUND SCAD: Population 1 - Maumere, 2 - Aceh Timur, 3 - Tarakan, 4 – Rembang; 5 - Kendari, 6 – Donggala).
20
Sebaran Unit Stok Ikan Layang ….… Pengelolaan Ikan Pelagis Kecil di Pulau Jawa (Suwarso & A. Zamroni)
dari total pendaratan di tempat tersebut. Dalam hasil tangkapan purse seine mini Sarang (Rembang) tahun 2012 kategori layang jumlahnya 33%.
perairan Barru (Sul Sel) sekitar 32%, sedang di Teluk Bone dan Laut Flores mencapai 80% dari hasil tangkapan (Gambar 5).
Berbeda dengan habitat perairan dangkal di timur Kalimantan, di perairan oseanik barat Sulawesi jenis layang biru/malalugis (Decapterus macarellus) merupakan jenis utama dalam hasil tangkapan purse seine mini dan bagan. Di perairan Mamuju (Sul Bar) malalugis memberi kontribusi sebesar 31%, di
KERAGAMAN GENETIK DAN DUGAAN SEBARAN UNIT STOK IKAN LAYANG Kategori ‘layang’ terdiri dari dua species dominan, yaitu layang biasa (D. russelli) dan layang deles (D. macrosoma). Dalam periode ‘normal hasil tangkapan
B
Gambar 3. KIRI: Sebaran fishing ground perikanan PS Jawa (lingkaran warna merah) dan Mini Purse Seine Sulawesi (lingkaran warna hitam). KANAN: Posisi rumpon nelayan Mamuju (MPS) di Selat Makasar sebelah barat Mamuju, 2009 (B). Keterangan: A: 1- Balag-balagan; 2- Lumu-lumu, 3- Lari-larian; 4- Samber Gelap. Figure 3. LEFT: Distribution of fishing ground of Javanese purse seine fishery (red circle) and Sulawesi’s mini purse seine (black circle). RIGHT: Position of Mamuju’s rumpon (FAD) in Makasar Strait western of Mamuju, 2009 (B). Keterangan: A: 1- Balag-balagan; 2- Lumu-lumu, 3- Lari-larian; 4- Samber Gelap. kedua species sangat fluktuatif, sejak 1993 setiap tahun jumlahnya paling tidak mencapai 50% dari total hasil tangkapan dan berlimpah di setiap fishing ground (Potier & Sadhotomo, 1995). Sejalan dengan perluasan fishing ground ke arah timur hasil tangkapan kedua species menunjukkan trend berbeda; semakin ke arah timur jumlah D. russelli makin berkurang, sebaliknya D. macrosoma semakin meningkat (Suwarso et al., 1987; Potier & Sadhotomo, 1995). Secara tahunan dalam kurun 1967-1995 rasio layang/ deles menunjukkan perubahan dimana %-ase deles semakin tinggi dalam hasil tangkapan (Sadhotomo, 1998). Keragaman genetik dapat dipakai sebagai indikator tentang sifat migrasi dan ukuran populasi; keragaman genetik yang rendah mencirikan populasi yang biasanya memiliki tingkat migrasi cukup tinggi. Keragaman genetik yang relatif rendah pada kedua species ikan layang ini mencirikan sifat tersebut
sehingga memberi peluang lebih besar untuk terjadinya kawin silang dalam populasi. Selain itu, tingkat keragaman genetik yang relatif lebih rendah pada populasi D. russelli di Selat Makassar mengindikasikan suatu ukuran populasi (population size) lebih kecil dibanding populasi Rembang, Kendari dan Maumere. Hal tersebut memberi tanda kepada kita bahwa kondisi populasi layang Selat Makassar (Balikpapan) lebih rentan. Sebagaimana halnya dengan D. russelli, pada D. macrosoma secara umum juga memperlihatkan keragaman genetik rendah yang mencirikan perilaku migrasi sehingga memberi peluang terjadinya kawin silang dalam populasi yang sama, namun kawin silang tersebut diduga tidak berlangsung dengan populasi Kendari. Dalam hal ukuran populasi (population size) nilai-nilai keragaman genetik mengindikasikan bahwa populasi layang deles Maumere, Tarakan dan Donggala memiliki ukuran populasi lebih kecil
21
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 17-24
Ayam2an 0% Bawal 0% TongkolTengiri Tembang 3% 6%
2007
Lainnya 14% Layang 52%
Siro 14% Bentong 5% Banyar 6%
2007 Ayam2 an Bawal 0% 0% Tongkol-Tengiri 3% Tembang 4%
Lainnya 14% Layang 44%
Siro 24% Bentong 5%
Banyar 6%
2007
Cumi2 2%
Lainnya 19%
Layang 36%
Tongkol-Tengiri 29%
Tembang 0%
Selar 2%
Banyar 7% Bentong 5%
Gambar 4. Komposisi jenis hasil tangkapan purse seine ‘Jawa’ di fishing ground Laut Jawa dan Selat Makasar serta yang didaratkan di Samarinda (Kalimantan Timur), 2007-2011. Figure 4. Catch composition of Javanese purse seine in the fishing ground of Java Sea, Makasar Strait, and the fish landed in Samarinda (East Kalimantan), 2007-2011.
Gambar 5. Komposisi jenis hasil tangkapan mini purse seine dan bagan di perairan oseanik Selat Makasar. Figure 5. Catch composition of mini purse seine and lift net in the oceanic waters of Makasar Strait.
22
Sebaran Unit Stok Ikan Layang ….… Pengelolaan Ikan Pelagis Kecil di Pulau Jawa (Suwarso & A. Zamroni)
dibanding populasi Kendari dan Rembang. Secara keseluruhan, relatif rendahnya keragaman genetik pada populasi layang dan deles menunjukkan indikasi bahwa kondisi sumberdaya telah mengalami perubahan genetik yang radikal, diduga akibat tekanan penangkapan. Dari dugaan penstrukturan populasi kedua species layang tersebut (Gambar 2) dapat digambarkan pola sebaran geografinya seperti ditunjukkan pada Gambar 6. Pada D. russelli, memiliki dua ‘group populasi’ (sub populasi/unit stok). Group 1 (clade 1, unit stok 1) menyebar di Rembang, Maumere dan Kendari, dan clade 2 (unit stok 2) tersebar di timur Kalimantan (Balikpapan). Pada D. macrosoma, dapat dipisahkan adanya 2 grup populasi (sub populasi): group 1 (clade 1, unit stok 1) menyebar dari Rembang (L. Jawa), Maumere (L. Flores bagian selatan), Donggala dan Tarakan (S. Makasar); sedang populasi Kendari secara signifikan memisah sebagai group kedua (clade 2, unit stok 2). Namun demikian, mempertimbangkan profil hasil tangkapan ikan pelagis kecil di Maumere dan Kendari, dua species D. russelli dan D. macrosoma tidak
menunjukkan dominasi yang nyata, terlihat ukuran populasinya kecil; sementara populasi D. macrosoma terlihat cukup nyata di perairan timur Kendari. Di perairan sebelah utara Maumere (L. Flores) jenis D. macarellus sangat dominan. UNIT STOK DAN RISIKO PENGELOLAAN BERBASIS ‘UNIT STOCK’ Unit stok di Laut Jawa masing-masing dua unit stok layang dan deles. Untuk D. russelli, unit stok 1 menyebar dua unit stok dari Laut Jawa ke pantai Maumere dan Kendari, sedang unit stok 2 tersebar di timur Balikpapan. Perlu meyakinkan status stok ikan ini di perairan timur Kalimantan di sebelah selatan Balikpapan. Untuk D. macrosoma, unit stok 1 menyebar dari Laut Jawa kearah utara Selat Makasar dan ke timur di pantai Maumere, tapi di perairan ini sebaran terputus; populasi Kendari merupakan unit stok berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa stok layang deles dari Laut Jawa lebih menyebar kearah utara (Selat Makasar) daripada kearah timur (Laut Flores dan Laut Banda) seperti dihypotesakan oleh Hardenberg (1938). Eksistensi garis Wallace (Wallace
Gambar 6. Dugaan sebaran unit stok ikan layang (D. russelli) dan layang deles (D. macrosoma) di L. Jawa, Sel. Makassar dan sekitarnya. Figure 6. Estimates of stock unit distribution of layang scad (D. russelli) and round scad (D. macrosoma) around Java Sea and Makassar Strait.
23
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 17-24
line) di kedua habitat menunjukkan keberadaan barrier geografi yang memutuskan pola migrasi ikan layang. Jika didasarkan pada hal tersebut risiko terhadap pengelolaan perikanan pelagis kecil sebaiknya didasarkan pada dugaan unit stok tersebut. Berbasis pada sebaran unit stok layang deles sebagai komponen utama perikanan, pengelolaan perikanan Laut Jawa dan Selat Makasar laut dangkal akan menjadi satu unit pengelolaan (unit management). Pola ekspansi perikanan yang menyebar dari Laut Jawa ke Selat Makasar laut dangkal, dengan mengikuti pola sebaran ikan serta taktik dan strategi penangkapan purse seine yang spesifik untuk perairan dangkal menegaskan saran sistim pengelolaan tersebut. KESIMPULAN & REKOMENDASI Pola penstrukturan dari populasi dua species ikan layang berbeda, tapi masing-masing terdiri dari dua sub populasi (unit stok). Unit stok utama menyebar dari perairan Laut Jawa kearah Selat Makasar laut dangkal dan menyusur pantai Maumere; tidak ada indikasi menyebar di Selat Makasar laut dalam karena habitat dan komposisi jenis berbeda. Unit stok yang secara signifikan berbeda dari populasi layang deles Kendari dan adanya barrier geografi (garis Wallace) memperkuat pola sebaran stok tersebut. Indikasi lain menunjukkan tidak ada migrasi populasi layang dari arah timur (Laut Flores dan Laut Banda) ke Laut Jawa, dan sebaliknya. Dengan demikian pengelolaan perikanan pelagis kecil Laut Jawa sebaiknya menjadi satu unit managemen dengan perairan Selat Makasar laut dangkal di timur Kalimantan; sedang di habitat laut dalam Selat Makasar barat Sulawesi memiliki komoditi ikan pelagis berbeda (malalugis) sehingga pengelolaannya disarankan berbasis pada penstrukturan populasi ‘malalugis’ (D. macarellus) yang tersebar di perairan oseanik sekitar Sulawesi.
Durand, J. R. & J. Widodo. 1997. Final report Java Sea pelagic fishery assessment project. ALA/INS/ 87/17. AARD-ORSTOM/EEC. Sci. Tech. Doc. No. 26. 76p. Hardenberg, J.D.F. 1938. Preliminary report on a migration of fish in the Java Sea. Treubia, Deel 16, Afl. 2, 295-300 p. Hariati, T., M. Taufik dan A. Zamroni. 2005. Beberapa aspek reproduksi ikan Layang (Decapterus russelli) dan ikan Banyar (Rastrelliger kanagurta) di perairan Selat Malaka Indonesia. JPPI, 11(2): 47-56. Potier, M., and B. Sadhotomo. 1995. Exploitation of the large and medium seiners fisheries. BIODYNEX. Scientific Editors: M. Potier and S. Nurhakim. AARD, ORSTOM, and E.U: p.171 –184. Potier, M. and Sadhotomo, B. 1995. Trends in scad fishery of the Java Sea. The Fourth Asian Fisheries Forum. Beijing, October 1995. Sadhotomo, B. 1998. Bioécologie des principales espèces pélagiques exploitées en mer de Java. These de Docteur de l’UniversIté Montpellier II, Dicipline Biologie de l’évolution et écologie. Academie de Montpellier, Universite Monpellier II. France. Suwarso, B.S. Atmaja dan M. Wahyono. 1987. Perkembangan komposisi ikan layang (Decapterus spp.) dari hasil tangkapan pukat cincin menurut daerah penangkapan di laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, 38: 55-58. Suwarso, A. Zamroni dan Estu Nugroho. 2010. Penstrukturan populasi dan karakterisasi biologi ikan Layang (Decapterus spp.) di sekitar L. Jawa, Sel. Makasar, L. Banda dan L. Flores. Seminar Hasil Riset Perikanan dan Kelautan, Pusat Riset Perikanan Tangkap, 21-23 Mei 2010 di Palembang.
PERSANTUNAN Penelitian ini didukung oleh dana APBN tahun anggaran 2012 dan merupakan sebagian dari hasil penelitian berjudul “DISTRIBUSI, UPAYA PENANGKAPAN DAN BIOLOGI POPULASI STOK IKAN PELAGIS KECIL DI LAUT JAWA (WPP-712) DAN LAUT SULAWESI (WPP-716)”. DAFTAR PUSTAKA Atmaja, S. B., B. Sadhotomo dan D. Nugroho. 2007. Overfishing pada perikanan pukat cincin semi industry di Laut Lawa dan implikasi pengelolaannya. J. Kebijak. Perikan. Ind. 3(1): 51-60.
24
EDIT: 16 Juli 2013 di Hotel Papyrus Tropical, Bogor.
Arah Kebijakan Pengembangan...................di Sekitar Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat (Edrus, I.N. & Suprapto)
ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI SEKITAR TELUK SALEH, NUSA TENGGARA BARAT DEVELOPMENT POLICY FOR FISHERIES IN ADJACENT OF SALEH BAY, NUSA TENGGARA BARAT Isa Nagib Edrus dan Suprapto Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 14 Januari 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 13 Maret 2013; Disetujui terbit tanggal: 24 April 2013
ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk memberikan arah pengembangan perikanan tangkap di Teluk Saleh. Pendekatan yang digunakan adalah analisis agroekosistem yang memformulasikan data dan informasi yang tersedia ke dalam bentuk ruang, waktu, alur, dan kebijakan yang mempengaruhi sifatsifat (properties) dari sistem perikanan yang ada, antara lain produktivitas, stabilitas, sustainabilitas, dan equitabilitas, sehingga terbentuk hipotesis kerja pengembangan perikanan Teluk Saleh. Hasil analisi menunjukkan bahwa adanya beberapa faktor penting sebagai pendukung dan penghambat terhadap empat sifat agroekosistem tersebut. Pertanyaan kunci yang muncul adalah bagaimana memberdayakan faktor-faktor pendukung dan memperkecil faktor-faktor negatif yang menjadi penghambat, di mana dengannya proses produksi tidak menjadi eksternalitas antar usaha perikanan, dan teknologi tepat guna apa untuk pengembangannya. Untuk itu, diformulasikan 10 hipotesis kerja dalam rangka pengembangan usaha perikanan tangkap di Teluk Saleh. KATA KUNCI: Kebijakan, pengembangan perikanan, keragaan perikanan, analisis agroekosistem, Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat ABSTRACT This paper aimed to provide a development direction for fisheries in the Saleh Bay. The approach used was an agro-ecosystem analysis by which the data and information given were formulated interesting in spaces, times, flow chart, and decision and those will influence the properties of existing fishery system, such as productivity, stability, sustainability, and equitability, from which working hypotheses will be created to improve the Saleh Bay fishing development The results showed that there were some crucial factors supporting and weakening toward the agro-ecosystem properties. A key question determined was how to empower the supporting factors and minimize the weakening factors of the properties from which production processes will not be externality among fishery activities, and what kinds of the proper technologies to develop them. Hence, it’s formulated ten working hypotheses in terms of fishing development activities in Saleh Bay. KEYWORDS: Policies, fishery development, fishery performances, agro-ecosystem analysis, Saleh Bay, Nusa Tenggara Barat
PENDAHULUAN Sektor perikanan diharapkan mampu bertahan dalam pasar global karena merupakan komoditas yang memiliki daya saing tinggi. Dengan ikan, dapat berharap banyak untuk dijadikan komoditas unggulan untuk mendapatkan devisa (foreign exchanges). Namun tantangan usaha di sektor perikanan semakin berat di masa depan. Perikanan pelagis, demersal, dan perikanan karang menghadapi beragam kendala operasional dan lingkungan. Data Badan Pusat Statistik (2008) menunjukkan aktivitas perikanan yang tidak seimbang antara perikanan pesisir dan perikanan lepas pantai (offshore fishing) di Kabupaten Sumbawa dan ini menyebabkan tekanan
yang semakin berat pada wilayah Teluk Saleh, khususnya perairan karang. Hasil penelitian tahun 2004 di sekitar Teluk Saleh bagian dalam, khususnya di sekitar Pulau Rakit dan Pulau Taikabo, menunjukkan tutupan karang yang tergolong kritis yang masing-masing 27,8 dan 38,26% (Hartati & Edrus, 2005). Kenyataan ini mendorong pemerintah untuk melaksanakan program rehabilitasi terumbu karang dengan introduksi terumbu buatan pada tahun 2005 di beberapa lokasi perairan karang Teluk Saleh (Hartati et al., 2007), tetapi dampak positif dari program ini terlampau sempit dari segi wilayah (spasial) dan menunggu waktu hasil yang lama (time lag) (Edrus & Suprapto, 2010), sementara kepentingan produksi yang berpangkal pada kebutuhan ekonomi mendesak bersifat progresif dengan mengabaikan
___________________ Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru Jl. Muara Baru Ujung, Komplek Pelabuhan Perikanan, Jakarta-14430
25
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 25-38
kepentingan ekosistem itu sendiri ketika terjadi eksploitasinya. Sehingga sepanjang proses rehabilitasi terjadi, selama itu juga proses degradasi di daerah terumbu karang lain dapat terjadi. Terumbu karang merupakan tumpuan kehidupan masyarakat sekitar dan bagi pertumbuhan ekonomi desa pesisir Teluk Saleh, seperti juga di wilayah lain. Menutup wilayah karang sebagai daerah kegiatan ekonomi kurang tepat dari sisi kepentingan masyarakat pesisir. Menurut Burke et al. (2002), keuntungan ekonomi tahunan yang diperoleh dari wilayah terumbu karang di Indonesia adalah US$ 1,6 juta, tetapi tidak sedikit pula kerugian yang ditanggung oleh ekosistem. Terutama membawa lebih banyak dampak negatif dari pada dampak positifnya ketika dikelola tanpa aturan. Secara umum, keuntungan ekonomi perikanan tidak sepadan dengan ongkos yang ditanggung lingkungan (environmental cost) yang memang tidak pernah diperhitungkan dalam analisis finansial tentang keuntungan bersih (Cesar, 1996; Pet Soede et al., 1996). Dengan demikian pengalihan pola tangkap dan wilayah tangkap berbasis ekosistem yang beragam serta pengendalian input perikanan menjadi alternatif bagi peningkatan produksi perikanan dan kesejahteraan masyarakat pesisir Teluk Saleh. Permasalahan pengelolaan perikanan yang menonjol adalah kelebihan tingkat usaha (overcapacity) dan destruksi habitat. Oleh karena itu tidak selamanya investasi yang besar di sektor perikanan dapat menjadi solusi dalam penanganan krisis perikanan, apalagi ketika investasi tersebut salah waktu dan tempat. Menurut Fauzi (2005), strategi investasi di perikanan, khususnya perikanan pesisir, sangat unik karena terkait dengan sifat-sifat dinamika sumber daya ikan yang unik pula, di mana terumbu karang sangat rentan terhadap penangkapan berlebih. Kelebihan kapasitas penangkapan di wilayah pesisir, di mana jumlah armada yang semakin banyak, justru dapat menghasilkan produksi yang semakin sedikit. Investasi pada perikanan lepas pantai tanpa memperhitungakan keterampilan, sediaan sumber daya dan pemakaian bahan bakar bakar justru menjadi penyakit utama dari rendahnya kinerja perikanan di Indonesia yang akhirnya menimbulkan krisis kemiskinan nelayan di wilayah pesisir. Tulisan ini bertujuan untuk mengarahkan pengembangan kinerja perikanan tangkap di bawah rezim pemanfaatan sumber daya yang tersedia di sekitar Teluk Saleh. Pendekatan analisis agroekosistem (Conway, 1986) digunakan sebagai alat (tool) untuk memformulasikan data dan informasi yang tersedia dari komponen-komponen penting perikanan tangkap di Teluk Saleh, seperti ruang, waktu, alur,
26
dan kebijakan yang mempengaruhi khasanah (properties) dari sistem tersebut, antara lain produktivitas, stabilitas, sustainabilitas, dan equitabilitas. Gambar 1 di bawah ini dijadikan panduan dalam analisis. Dari analisis ini akan terbentuk pertanyaan-pertanyaan kunci yang dapat mengarahkan pada pilihan atau beberapa pilihan solusi pembangunan perikanan tangkap. Pengambilan data dilakukan dengan metode rapid rural appraisal dan pengumpulan data sekunder serta wawancara semi struktural. TUJUAN/Objectives
BATASAN/Boundary RUANG/Spaces
W AKTU/Time AGROECOSYSTEM PROPERTIES
POLA ANALISIS Analysis Scheme ALUR/Flow
KEBIJAKAN/Policies PERTANYAAN KUNCI Key Question
PENGEMBANGAN ANALISIS Advanced Analysis
HIPOTESA KERJA Working Hyphotesis REKOMENDASI Recommendation
PELAKSANAAN Implementation
PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP Fishing Development MONITORING & EVALUATION
Gambar 1. Kerangka kerja analisis kinerja perikanan tangkap, dimodifikasi dari Conway 1986. Figure 1. Framework analysis of fishing performance, modified from Conway 1986. WILAYAH PEMANFAATAN PERIKANAN Gambar 2 memberikan ringkasan tentang hirarkis wilayah pemanfaatan menurut ekosistem penting yang tersedia di sekitar wilayah Teluk Saleh, di mana perairan Teluk Saleh merupakan sentra produksi dari kegiatan perikanan masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan atas ketersediaan teknologi penangkapan, tingkat pemanfaatan terbesar justru pada wilayah pesisir, sementara pada wilayah lepas pantai walaupun memiliki potensi wilayah, dan sumber daya yang besar, tetapi belum maksimal digunakan sebagai wilayah tangkap oleh masyarakat setempat. Oleh karena semua aktivitas usaha terpusat pada wilayah teluk, maka eksternalitas sering terjadi, baik oleh aktivitas itu sendiri maupun dampak negatif dari aktivitas itu pada aktivitas lainnya. Hirarkis pengaruh dari beragam ekosistem (Gambar 2) memperlihatkan bahwa wilayah padang lamun dan terumbu akan mendapat tekanan yang semakin besar jika kegiatan penangkapan dan pembangunan lainnya terus meningkat. Zona-zona
Arah Kebijakan Pengembangan...................di Sekitar Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat (Edrus, I.N. & Suprapto)
WILAYAH (Areas) Daratan (Lands)
Pesisir Pantai (Coastal) Zona Pasut (Intertidal zone) Terumbu (Reefs) - Barrier - Atol - Fringing Reefs - Path Reefs Teluk (Bay ) Perairan: Pantai (Inshore) - Flores Sea - Banda Sea Lepas pantai (Offshore) - Oseanic
EKOSISTEM (Ecosystems) Agroekosistem Waduk DAS Mangrove
Pasang Surut Padang Lamun
Terumbu Karang
PEMANFAATAN (Utilities) Budidaya & Perikanan Tangkap
Pertambakan
Perikanan Tangkap Sero, bubu, jaring
Budidaya alga, mutiara dan ikan kerapu serta Perikanan tangkap dan Konservasi
Badan air/Pelagis Dasar air/Demersal
Perikanan Karang, pelagis & demersal
Massa air Lautan
Perikanan Pelagis dan demersal
Perairan Samudera
mendapatkan keuntungan dan ketersediaan protein hewani dari wilayah perairan terumbu karang yang tersebar di seluruh pesisir. Keanekaragaman biota yang tinggi pada terumbu karang membuka peluang dan sekaligus ancaman dari kegiatan penangkapan.
Perikanan Pelagis Besar
Gambar 2.Hirarkis wilayah pemanfaatan sumber daya menurut ekosistem. Figure 2. The regional hierarchy of resource utilities by ecosystem. wilayah budi daya sudah diatur dalam wilayah yang sempit yang memiliki potensi sangat besar bagi beragam sektor. Demikian pula daerah penangkapan sudah semestinya dikelola dengan prinsip kehatihatian, agar memenuhi kelestarian lingkungan hidup maupun dalam hal prinsip sosial, di mana semua kepentingan perlu terpenuhi. Akses pada perikanan samudera sudah semestinya dikembangkan dengan memenuhi diversifikasi dan inovasi teknologi agar tekanan terhadap pesisir berkurang. POTENSI TERUMBU KARANG Menurut catatan dari Data Pokok Pembangunan Provinsi Nusa Tenggara Barat jumlah pulau-pulau kecil di wilayah Sumbawa ada 49 pulau dan di wilayah Dompu sembilan pulau, Bima tujuh pulau. Khusus di sekitar Teluk Saleh terdapat 22 pulau yang masuk administratif Kebupaten Sumbawa dan Dompu. Beberapa pulau di antaranya berpenduduk, terutama Pulau Medang, Pulau Moyo, Dangar Besar, Liang, Ngali, Ketapang, Dompu, dan Rakit. Kecuali wilayah wisata, nyaris seluruh terumbu karang di pulau-pulau tersebut terbuka sebagai wilayah tangkap, karena belum terbentuk adanya penzonaan yang berorientasi pada konservasi. Ketergantungan masyarakat pesisir terhadap terumbu karang sangat tinggi ditinjau dari penggunaan jenis alat tangkap dan ukuran armada tangkap. Perikanan artisanal dan atau perikanan subsistem
Hasil penelitian kondisi kesehatan terumbu karang dari 13 lokasi pencuplikan data (Edrus et al., 2010) tergolong buruk 8%, sedang 69%, dan baik 23%. Pulau Ketapang memiliki kesehatan terumbu karang paling buruk dengan tutupan karang hidup 16,97%, sebaliknya Pulau Santigi terbaik dengan tutupan karang hidup 57,39%. Pada daerah lainnya seperti Pulau Dangar Besar, Pulau Ngali, Pulau Rakit, Tanjung Kesi, Teluk Peti, Labuhan Haji, timur Pulau Moyo, Pulau Satonda, dan Pulau Medang memiliki kondisi kesehatan terumbu karang kategori sedang (±30%). Pulau Liang dan utara Pulau Moyo memiliki kondisi terumbu karang kategori baik (50,6%). Penelitian yang sama mengatakan bahwa dari 13 lokasi pencuplikan data di lapangan, tujuh di antaranya memiliki indeks keanekaragaman ikan karang yang tinggi (H = 3,5-4) dan enam lokasi lainnya memiliki indeks keanekaragaman sedang (H = 3,5). Sedikitnya terdapat 405 spesies ikan karang dengan 143 genus dari 47 famili. Data ini menunjukkan ketersediaan spesies yang beragam untuk pengembangan ikan hias maupun karang konsumsi. Perikanan karang akan menjadi komoditas penting ekonomis tinggi dalam mensuplai permintaan pasar yang tinggi dari wilayah perkotaan dan mencukupi permintaan impor dari negara-negara sekitar. STATUS PERIKANAN TANGKAP Kegiatan usaha penangkapan ikan di Kabupaten Sumbawa seluruhnya dilakukan oleh nelayan dengan alat tangkap skala kecil, dengan jumlah nelayan 6.749 orang (3.199 rumah tangga perikanan). Oleh karena itu jumlah produksi dari perikanan lepas pantai belum optimal. Dengan armada yang tersedia, produksi menjadi berorientasi pada wilayah pesisir dengan waktu tangkap antara 8-10 bulan/tahun, di mana kisaran trip penangkapan antara 20-25 hari/bulan. Jenis tangkapan yang dominan antara lain jenis ikan tongkol (Euthynnus affinis), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomerous sp.), cumi-cumi (Loligo sp.), layang (Decapterus sp.), kembung (Rastrelliger brachysoma), lemuru (Sardinella sp.), kerapu (Epinephelus sp.), serta jenisjenis ikan karang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa perikanan tuna belum tersentuh oleh kebanyakkan nelayan artisanal yang belum menaruh minat pada pengembangan pola penangkapan. Di bawah akan
27
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 25-38
dijelaskan mengapa nelayan kurang berminat pada perikanan tuna. Produksi ikan di Kabupaten Sumbawa sebenarnya sangat ditunjang oleh perairan lautnya yang luas. Ratarata produksi disajikan pada Tabel 1. Semua kecamatan di Kabupaten Sumbawa memiliki akses ke laut untuk menghasilkan ikan, kecuali beberapa kecamatan yang terletak di pedalaman, seperti di antaranya Batulanteh, Orong Telu, Unter Iwes, dan Moyohulu yang tidak memiliki pantai. Dari 24 kecamatan, 10 kecamatan di antaranya tidak dijumpai adanya nelayan dan tidak tercatat adanya produksi perikanan laut. Kesepuluh kecamatan itu adalah Orong Telu, Batu lanteh, Sumbawa, Unter Iwes, Moyohulu, Ropang, Lenangguar, Lantung, Lopok, dan Empang. Pada bagian Kabupaten Sumbawa, wilayah kecamatan yang berpengaruh dan berbatasan langsung dengan Teluk Saleh adalah Kecamatan Moyo Utara, Moyo Hilir, Lape, Lopok, Maronge, Plampang, dan Torano. Bagian sisi Kabupaten Dompu, beberapa kecamatan yang berpengaruh langsung pada Teluk Saleh adalah Kecamatan Dompu, Kempo, Manggalewa, dan Pekat. ARMADA DAN ALAT TANGKAP Armada dan alat penangkapan yang tercatat Badan Pusat Statistik sampai tahun 2008 antara lain: 1. Jukung 765 unit. 2. Perahu motor tempel 1.357 unit. 3. Kapal motor 1.176 unit. 4. Alat penangkapan 3.712 unit. Menurut data BPS (2008) Kabupaten Sumbawa dalam angka, jenis-jenis alat tangkap yang digunakan di Teluk Saleh cukup bervariasi. Jenis alat tangkap menurut besarnya produksi tahun 2007 diurut dari terbesar sampai terkecil adalah purse seine (3.468 ton), bagan perahu (3.378 ton), jaring klitik (1.408 ton), mini payang (744 ton), jaring dasar (391 ton), panah (293), pancing ulur (248 ton), jaring insang permukaan (233 ton), pancing tonda (230 ton), pukat pantai (199 ton), sero (176 ton), pancing rawai (140 ton), dan bubu (39 ton). Alat tangkap yang memiliki kapasitas besar tersebut dijumpai dalam jumlah yang kecil dan tidak banyak yang melakukan investasi untuk alat tangkap tersebut. Di bawah ini akan dijelaskan lebih lanjut pereferensi nelayan terhadap alat tagkap, yaitu alat tangkap yang digemari. Jika diperhatikan dari sisi besaran produksi dan alat tangkap, usaha perikanan di Kabupaten Sumbawa lebih condong pada perikanan pesisir dengan beragam permasalahan dan prospeknya
28
(Gambar 3). Armada penangkapan di bawah 5 GT dan terbanyak 1 GT (Badan Pusat Statistik, 2008). Perkembangan penangkapan selama tahun 20042007 mengalami fluktuasi. RUMAH TANGGA PERIKANAN Jumlah rumah tangga perikanan pada 14 kecamatan Kabupaten Sumbawa yang memiliki akses ke perikanan laut 3.199 dengan jumlah nelayan 6.749 orang. Jumlah rumah tangga perikanan yang terbesar dijumpai di Kecamatan Labuhan Badas yang mencakup wilayah Pulau Moyo dan Pulau Medang, sedangkan jumlah nelayan terbesar dijumpai di Kecamatan Buer. Porsi tenaga kerja perikanan jauh lebih rendah dari jumlah tenaga kerja pertanian (Gambar 4). Secara rinci, tenaga kerja perikanan dirinci pada Tabel 2. Di Kabupaten Dompu, jumlah nelayan selama empat tahun dari tahun 2004-2007 berfluktuasi naikturun (Gambar 5), yang mungkin disebabkan oleh deregulasi harga bahan bakar minyak atau adanya serapan tenaga kerja dari sektor lain, seperti pertanian, perkebunan, dan meningkatnya jumlah tenaga kerja Indonesia yang ke luar negeri. Sampai tahun 2005 terjadi kenaikan jumlah nelayan walaupun terjadi penurunan jumlah pemanfaatan lahan budi daya air payau. Pada tahun 2006 pemanfaatan lahan tersebut menurun secara drastis yang diiringi oleh penurunan jumlah nelayan. Artinya penurunan pemanfaatan lahan tersebut berkorelasi dengan jumlah tenaga kerja. Luas pemanfaatan lahan budi daya air payau kemudian naik kembali sampai tahun 2007, namun tidak diiringi oleh kenaikan jumlah nelayan yang ternyata stagnasi seperti pada tahun 2006. Apakah ini merupakan pertanda bahwa nelayan sudah meninggalkan lahan garapannya yang kurang menguntungkan dan kemudian beralih profesi (Badan Pusat Statistik, 2008). Fenomena seperti ini untuk kasus di Kabupaten Dompu menunjukkan bahwa lahan bukan satusatunya faktor yang menentukan dalam pengembangan perikanan, tetapi hal ini juga bergantung pada respon rumah tangga perikanan terhadap pemanfaatan lahan dan serapan tenaga kerja di sektor lain (Gambar 4). POLA DAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN YANG DIGEMARI Secara umum, kebiasaan nelayan setempat dalam menangkap ikan mengikuti pola ketersediaan teknologi, investasi yang rendah, dan keterampilan yang dikuasai. Contohnya, alat tangkap bubu sudah
Arah Kebijakan Pengembangan...................di Sekitar Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat (Edrus, I.N. & Suprapto)
Tabel 1. Table1.
Produksi perikanan laut menurut jenis ikan tangkapan tahun 2007 dan rata-rata produksi selama kurun waktu 2004 – 2007 di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat Marine fishing production by kinds in 2007 and it’s averages during 2004 and 2007 in Sumbawa District, West Nusa Tenggara
Jenis tangkapan/ Kinds of fishes Tongkol Cakalang Tenggiri Kuwe Kakap Kerapu Lemuru Hiu Tembang Teri Selar Peperek Kembung Cumi-cumi Udang laut Layang Udang (air payau) Bandeng Ikan air tawar Ekor kuning Julung-Julung Lencam Belanak Kurisi Beronang Pari Lobster Ikan lain-lain Jumlah
Produksi/Production (ton) Rata-rata/tahun/ Tahun/ Years Average/year 2007 Selama 4 tahun/ during 4 years 2.494,41 2.087 318,68 173 592,64 316 1.664,53 1.413 3.756,96 1.778 3.164,9 2.427 959,47 2.063 129,65 320 1.021,93 2.414 973,96 1.068 744,98 464 1.754,58 1.085 4.545,39 2.844 201,72 249 92,08 94 2.581,64 2.421 12.565,7 1.782,44 1.969,04 353,47 165,55 2.529,15 257,82 1.139,07 110,36 474,43 129,65 6.586,11 53.060,31
6.134 1.093 692 120 2.388 1.990 395 1.064 376 376 334 3.673 39.851
Deviasi/Deviation
Status hasil/ Trends
281 101 197 268 1.319 543 737 128 930 220 189 518 1.136 71 16 111
Naik Naik Naik Naik Naik Naik Turun Turun Turun Turun Naik Naik Naik Turun Turun Naik
4.550 765 851 162 1.486 627 161 628 184 130 186 2.017
Naik Naik Naik Naik Turun Naik Turun Turun Turun Turun Turun Naik Naik
18.512
Sumber/Sources: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumbawa (2008), diolah/modified
digunakan karena biaya investasi murah. Rata-rata kapasitas bubu menurut hasil tangkapan per trip (catch per unit of effort) 15 ekor atau setara dengan 12 kg. Urutan komposisi hasil tangkapan (%) disajikan dalam Tabel 3. Bubu sering kali juga menjadi bagian alat tangkap dari perikanan panah. Kedua alat ini digemari karena bersifat efektif, efisien, serta menghasilkan jenis-jenis ikan karang ekonomis tinggi (Tabel 3). Harga yang baik dengan permintaan yang tinggi di pasaran mendorong nelayan untuk lebih giat menangkap dengan jalan apa saja agar mendapatkan ikan hidup.
Perikanan panah adalah armada tangkap yang menggunakan alat tangkap panah (spear guns) sebagai alat utama, walaupun pada kenyataannya armada perikanan panah dapat bersifat multi alat tangkap, karena dikombinasikan degan pemanfaatan bubu, pancing rawai, pancing, tombak, dan kadangkadang (disinyalir) menggunakan bius. Rata-rata jumlah trip melaut dari perikanan panah 243 kali dalam setahun untuk nelayan Desa Gilitapang dan 135 kali untuk nelayan Pulau Medang. Produksi per trip dari nelayan Gilitapang rata-rata 100 kg ikan karang dan dari nelayan Pulau Medang rata-rata 70 kg. Rasio antara ongkos dan keuntungan (B/C Ration) cukup besar, yaitu mencapai 4,5-6 (Gambar 6).
29
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 25-38
Tabel 2. Table 2.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Jumlah rumah tangga perikanan, nelayan, dan produksi perikanan laut dirinci menurut kecamatan, Kabupaten Sumbawa, tahun 2007 The number of fishery households, fishers, and marine fihery production listed by district, Sumbawa County, 2007
Jumlah/Total Rumah Tangga Perikanan/ Fishery households 71 216 258 223 321 103 555 194 110 310 325 51 153 309 3.199
Kecamatan/ Districts Lunyuk Alas Alas Barat Buer Utan Rhee Labuhan Badas Moyohilir Moyo Utara Lape Plampang Labangka Maronge Tarano Jumlah
Nelayan/ Fishers 152 785 648 1.303 489 120 770 364 96 381 640 51 317 633 6.749
Produksi / Productions (ton) 323,5 3.289,83 2.662,79 4.267,43 3.001,59 3.209,87 2.894,26 3.201,91 1.723,15 1.689,71 2.000,85 647,55 1.835,28 3.222,48 33.646,7
Sumber/Sources: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumbawa (2008)
Area Tangkap (Fishing Areas )
Estuaria dan Padang Lamun
Terumbu karang
Perairan sekitar Karang (<200 m)
Udang Bandeng
Belanak Peperek Udang Laut Julung-Julung
Kakap Kerapu Lencam Kurisi Beronang Pari Cumi-cumi Lobster
Tongkol Cakalang Tenggiri Ikan Kue Lemuru Ikan Hiu Tembang Teri Selar Kembung Layang
Tuna, Cakalang, Marlin, Lamadang, Kuwe, Tenggiri dll
Produksi (ton) (Production )
14348,14 28%
2270,03 4%
11506,24 23%
16027,28 32%
6586,11 13%
Alat Tangkap (Fishing gears )
jaring, serok
Jaring, sero,
Pancing ulur, Rawai bubu, jaring, panah
Pancing ulur, Pancing seret, Jaring, sero Bagan apung,
Pancing, rawai bagan, pukat
Biaya tinggi Lahan Terlantar Alih fungsi lahan
Sedimentasi Produk rendah Eksternaliti
Degradasi Lebih tangkap Investasi tinggi
Biaya tinggi Adopsi teknologi rendah Lebih tangkap
Biaya tinggi Kurang modal Keterampilan rendah Kapasitas tangkap rendah
Potensi tinggi
Potensi tinggi
Potensi tinggi komoditas unggulan
Potensi tinggi ikan demersal
Potensi tinggi Komoditas ekspor
Konservasi mangrove
Peningkatan perikanan sero, budidaya laut
Konservasi, Pariwisata, rehabilitasi
Diversifikasi alat tangkap
Peningkatan kapasitas penangkapan, rumponisasi
Jenis Produksi* (Commodities )
Permasalahan (Problems )
Prospek (Prospects ) Pengembangan (Developmen t)
Tambak
)
Lepas Pantai
Sumber/Sources: Badan Pusat Statistik (2008). Kabupaten Sumbawa dalam angka (diolah kembali)
Gambar 3.Produksi perikanan Kabupaten Sumbawa dirinci menurut jenis dan wilayah tangkap tahun 2007. Figure 3. Fishing production of Sumbawa District listed by commodities and fishing areas in 2007.
30
Arah Kebijakan Pengembangan...................di Sekitar Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat (Edrus, I.N. & Suprapto)
Serapan Tenaga Kerja (Labor Portion )
Pertanian (Farming)
29; 29%
Perk ebunan (Estate) Perikanan (Fishery) 1; 1%
61; 61%
Peternakan (Livestock) Industri (Industry)
1; 1%
Lainnya (Others)
4; 4% 4; 4%
Gambar 4. Proporsi serapan tenaga kerja menurut sektor. Figure 4. Labor portion by sectors. Jumlah Nelayan versus Pemanfaatan Lahan Pesisir/ Fisher Number versus Coastal Land Utility 6000 4000 2000 0 2004
2005
2006
menggunakan 3-4 pieces dengan panjang 90-120 m dan tinggi 1-7 m. Operasional mudah sehingga sering tanpa menggunakan buruh. Dalam setahun rata-rata jumlah hari tangkap 126 trip. Biaya operasional cukup rendah. Produksi rata-rata 11 kg/trip. Sasaran tangkapan adalah jenis-jenis ikan pelagis, seperti ikan tongkol, kembung, layang, ekor kuning (Lutjanus vittus), dan kadang-kadang juga tertangkap ikan sardin (Sardinella sp.), barakuda, kuwe, ikan terbang (Hirundicthys oxycephalus and Cheilopogon cyanopterus), layur, baronang (Siganus spp.), lencam (Lethrinus spp.), kakap (Lates calcalifer), serta geres (Gerres oyena). Pancing merupakan unit penangkapan paling sederhana dengan investasi yang murah. Pada umumnya menggunakan perahu tanpa motor dan jelajah tangkapan juga sekitar pantai, tetapi ada juga yang menggunakan mesin ketinting. Pancing yang dimaksud adalah jenis pancing ulur dan rawai mata 15 dengan ukuran tasi nomor 10 dan 60. Mata kail nomor 9, 12, 15, dan 17.
2007
Tahun/Years ) Jumlah nelayan/Fisher number) Lahan budi daya air payau/Estuarine culture lands)
Gambar 5. Jumlah nelayan dan pemanfaatan lahan di Kabupaten Dompu selama periode empat tahun. Figure 5. Fisher numbers and coastal land utility in Dompu District during 4 years. Sumber/Sources: Badan Pusat Statistik (2008), diolah/modified
Alat tangkap ikan yang juga tergolong efektif adalah sero. Sero disukai nelayan oleh karena banyak wilayah pasang surut yang landai di sekitar Teluk Saleh. Komposisi hasil tangkapan sero adalah unik jika dibanding bubu. Kadang-kadang ikan lemuru dan ikan-ikan pelintas lainnya yang berkali-kali dalam sehari keluar-masuk daerah terumbu karang dan padang lamun terperangkap di sero, seperti ikan kuwe (Caranx spp. dan Carangoides spp.), barakuda (Spyraena sp.), kembung, dan selar (Carana spp.). Mayoritas hasil tangkapan adalah bersifat komersil. Rata-rata hasil panen dari tiga kali trip 8,2±2,8 kg. Jumlah individu hasil tangkapan bervariasi tergantung ukuran, mulai dari 30-an sampai 400-an ekor. Komposisi hasil tangkapan dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini. Keterampilan dan kegemaran nelayan setempat dalam penggunaan jaring tergolong tinggi. Pengguna jaring pada umumnya adalah nelayan bermodal kecil. Jaring yang dimaksud di sini adalah jaring insang hanyut atau tetap. Ukuran jaring bervariasi, ada yang
Nelayan pancing juga memiliki alat tangkap lain seperti jaring atau bubu. Penggunaan pancing dinilai sebagai usaha untuk mendapatkan tambahan pemasukkan. Jumlah hari tangkap pada umumnya rendah dalam semusim, terutama saat-saat laut tenang. Dalam setahun rata-rata jumlah operasional penangkapan 90 trip untuk pancing ulur dan sampai 180 trip untuk pancing rawai. Sasaran tangkapan pada umumnya ikan-ikan dasar yang memiliki nilai komersil tinggi, seperti ikan kerapu, kakap, jenaha (Lutjanus johni), ketamba (Lethtrinus lencam), dan kadangkandang juga mendapatkan ikan pelagis seperti ikan kuwe dan tongkol. Produksi rata-rata 3,5 kg/trip. Analisis finansial perikanan pancing yang diambil dari contoh kasus di Kampung Aibari (tanpa motor) dan Desa Bajo Medang (perahu motor) diilustrasi pada Gambar 6. Dengan investasi yang kecil ternyata cukup mendapatkan hasil yang maksimal. POLA DAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN YANG TIDAK UMUM Tidak semua nelayan sekitar Teluk Saleh menggeluti usaha penangkapan tuna. Menurut pengakuan nelayan setempat bahwa pengalaman dan keterampilan sangat terbatas untuk menekuni perikanan tuna. Selama ini banyak yang mengalami kerugian setelah mencoba menangkap selama lima bulan musim penangkapan. Cara yang digunakan adalah pola berburu dengan mengikuti kawanan burung atau lumba-lumba, seperti pengalaman nelayan Desa Bajo Medang.
31
32
Kelayakan usaha Economy Feasibility
Eksportir Exporters Layak
a) 4,5 b) 6,1
tidak layak
1
0,2
25.871.656
3.026.367
18.849.600
15.028.833
Perikanan jaring Gillnet Fishing
Layak
1,6
0,8
2.007.486
2.410.880
4.725.000
2.203.000
Perikanan pancing Handlin e fishing
Layak
2,5
1,7
9.351.404
32.088.880
14.780.000
14.780.000
Perikanan rawai Longline Fishing
tidak layak
0,4
-0,54
-23.701.794
-168.439.400
124.500.000
289.715.000
Perikanan Tuna Tuna fishin g
Perikanan lepas pantai Offshore Fishing
tidak layak
1,16
0,2
161.197.245
93.064.600
542.232.000
446.011.400
Pengumpul Intermediers
Layak
3,5
2,5
1.606.783
93.026.840
129.600.000
36.499.000
Usaha Ikan Olahan Fish Product
Perikanan Pasca Panen (Post harvest fisheries )
Gambar 6. Diagram alur produksi perikanan tangkap, pasca panen dan pola distribusi di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Figure 6. Flow chart of fishing production, post harvest, and marketing of Sumbawa fisheries, West Nusa Tenggara.
Rasio Untung/biaya B/C Ratio
Pasar besar Retails
a) 3,7 b) 5,4
a) 28.446.238 b) 29.849.945
a) 357.339.620 b) 302.623.667
Pendapatan bersih Net Incomes (Rp/tahun (year)
Titik Impas/Break Even Point (Rp)
a) 437.400.000 b) 344.250.000
a) 77.525.500 b) 38.971.333
Perikanan panah speargun fishing
PERIKANAN PESISIR DAN KARANG (Inshore Fishing )
Nilai Produksi Product Values (Rp)
Pengembalian Modal Return of Investment
OUTPUT Produk (Products)
Nilai (Rp) Values
Biaya Cost
Pasar Lokal Traditional market
Penampung Brokers
Penjaja Vendors
Pemasaran Marketing
Tenaga Kerja Labors
INPUT Biaya Operasional pertahun / Operational cost per year
Profil perikanan tangkap dan pasca panen (Fishery & Post harvest profile )
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 25-38
Arah Kebijakan Pengembangan...................di Sekitar Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat (Edrus, I.N. & Suprapto)
Tabel 3. Table 3.
No. 1.
2.
3.
4.
Probabilitas hasil tangkapan bubu menurut persentase hasil tangkapan ikan di Teluk Saleh 2008. Pot trap fishing probability according to percentage composition of fish caught in Saleh Bay 2008 Suku/Jenis ikan/ Family/Species
Nemipteridae (Gurisi) 37,5% Acanthopagrus latus 1. Pentapodus caninus 2. Pentapodus trivittatus 3. Scolopsis affinis 4. Scolopsis auratus 5. Scolopsis ciliatus 6. Scolopsis margaritifer 7. Scolopsis monogramma 8. Scolopsis taemiopterus 9. Scaridae (Kakatua) 18 % Scarus fasciatus 10. Scarus forstenii 11. Scarus ghobban 12. Scarus psittacus 13. Scarus rivulatus 14. Scarus rusellii 15. Scarus sp. 16. Serranidae (Kerapu, Sunu) 14% Epinephelus coioides 17. Epinephelus fasciatus 18. Epinephelus fuscoguttatus 19. Epinephelus maculatus 20. Epinephelus melanostigma 21. Ephinenephelus microdon 22. Epinephelus ongus 23. Epinephelus quoyanus 24. Cromileptes altivelis 25. Cephalopholis miniata 26. Plectropomus leopardus 27. Lutjanidae (Kakap) 8% Lutjanus vitta 28. Lutjanus decussatus 29. Lutjanus fulvilamma 30. Lutjanus semicinctus 31.
Probabilitas Tangkapan/ Fishing Probability
No. 5.
+ + + ++++ ++ ++++ ++++ + +++ +++ + ++++++ +++ + ++++ ++ + ++++++ ++ ++ ++ + +++ + + ++ ++++
6.
7.
8.
9.
10.
11. 12. 13. 14.
Suku/Jenis ikan/ Family/Species Caesionidae (Ekor kuning) 8% Caesio cuning 32. Mullidae (Biji Nangka, Jenggot) 7% Parupeneus barberinoides 33. Parupeneus barberinus 34. Parupeneus crysopleuron 35. Labridae (Kenari, Nuri) 3% Cheilinus chlorourus 36. Cheilinus fasciatus 37. Choerodon anchorago 38. Choerodon schoenleinii 39. Lethrinidae (Lentjam) 2% Lethrinus mahsena 40. Lethrinus variegatus 41. Lethrinus lentjan 42. Lethrinus olivaceus 43. Siganidae (Baronang) 1,5% Siganus canaliculatus 44. Siganus punctatus 45. Siganus stellatus 46. Pomacentridae (Betok) 0,5% Pomacentrus sp. 47. Dischistodus perspicillatus 48. Chaetodontidae (Kepe-kepe) 0,2% Chaetodon octofasciatus 49. Tetraodontidae (Buntal) 0,2% Arothron sp. 50. Muraenidae (Belut laut) 0,2% Gymnothorax sp. 51. Octopus (Gurita) 0,2% Octopus sp. 52.
Probabilitas Tangkapan/ Fishing Probability ++++ +++ +++++ + ++ + +++ + + + + + + ++ + + + + + + +
++++ +++ + +
Keterangan/Remarks: + sangat rendah sekali; ++ sangat rendah; +++ rendah; ++++ sedang; +++++ tinggi; ++++++ sangat tinggi Sumber/Sources: Hartati et al. (2007)
Armada yang digunakan berukuran 15 m panjang dan 1,85 m lebar. Armada dilengkapi dengan mesin dompeng 30 PK, generator listrik, cool book, dan dibantu dengan dua orang buruh anak buah kapal. Alat tangkap yang digunakan adalah pancing ulur dengan alat bantu layang-layang. Ukuran tasi damil 4.000 dengan mata kail ukuran 1 dan 2. Sasaran tangkapan tuna (Thunnus), tetapi sering tertangkap ikan lemadang (Coryphaena hippurus), cakalang, kuwe, barakuda, dan kadang-kadang ikan marlin (Maakaira indica). Jumlah hari operasional selama lima bulan musim penangkapan 20 trip dengan total produksi 531 kg/trip. Usaha perikanan tangkap tuna ini ternyata tidak layak secara ekonomi, karena merugi dengan biaya operasional yang sangat besar dan tidak sebanding dengan besarnya produksi. Rasio antara keuntungan dan ongkos (B/C Ration) 0,4. Artinya jika setiap menanamkan biaya Rp.100,-, akan
rugi Rp.60,-. Hasil analisis finansial perikanan tuna ini disajikan dalam Gambar 6. Selain perikanan tuna, perikanan bagan juga tidak umum di Teluk Saleh. Perikanan bagan didominansi oleh nelayan Kecamatan Labangka yang memiliki 41 unit bagan tancap. Selebihnya, nelayan dusun Teluk Santong hanya mengoperasikan satu bagan tancap, sedangkan bagan perahu hanya dua unit yang dioperasikan oleh nelayan Dusun Labuan Terata. Produksi bagan tancap tahun 2007 tercatat 0,44 ton dan produksi bagan perahu 4,45 ton. Jenis tangkapan dominan terdiri atas ikan teri (Stelephorus indicus), sedang tangkapan samping termasuk tembang (Sardinella fimbriata), kembung dan layang. Harga ikan teri kering di sentra produksi Rp.17.00020.000/kg sesuai dengan jenis ikan teri tangkapan.
33
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 25-38
Tabel 4. Table 4.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 25. 26. 27.
Rata-rata komposisi tangkapan sero dan frekuensi kemunculannya dalam tiga kali panen di perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat The average of sero fishing composition and frequency for three times of harvest in Saleh Bay waters, West Nusa Tenggara
Nama local/ Local names Kuwe Manyung Kuwe Kuwe Kepe-kepe Kapas-kapas Lencam Lencam Kakap Gurisi Gampret Gampret Kembung Sardin Selar Gurisi Baronang Baronang Baronang barakuda barakuda barakuda Layur Kuniran Sontong
Nama latin/ Latin names Alectis sp. Arius sp. Carangoides chrypsophrys Carangoides dinema Chaetodon aurofasciatus Gerres acinatus Lethrinus haraks Lethrinus ornatus Lutjanus quinquelineatus Pentapodus trivittatus Platax pinnatus Platax teira Rastrelliger brachysoma Sardinella lemuru Selaroides leptolepis Scilodepterus artus Scolopsis trilineatus Siganus canaliculatus Siganus fuscesceus Siganus guttatus Sphyraena barracuda Sphyraena flavicauda Sphyraena obtusata Tylosurus crocodilus Upeneus tragula Loligo sp.(Loligonidae)
Komposisi/ Composition 0,2 0,2 1,0 0,2 1,0 23*) 1,0 3,6 0,2 0,2 0,2 0,4 0,8 2,6 0,2 0,2 0,2 35*) 0,4 1,2 0,2 1,0 0,2 0,2 25*) 0,6
Frekuensi/ Frequency 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 2 2 1 1
Keterangan/Remarks: *) dominansi hasil tangkapan/predominace of fishing Sumber/Sources: Hartati et al. (2007)
Ikan teri kaca (Anchoa iyolepis) memiliki harga tinggi. Harga ikan kembung atau layang pada musim peceklik berkisar antara Rp.4.000-5.000/3 ekor. POLA PEMANFAATAN PENANGKAPAN
WAKTU
DALAM
Waktu penangkapan, baik jumlah hari, dan durasi trip, sangat dibatasi oleh kondisi cuaca, kondisi potensi sumber daya, dan kapasitas armada atau biaya input. Penangkapan ikan di wilayah pesisir ratarata cukup tinggi dalam setahun. Rata-rata trip penangkapan 155 kali dengan tingkat pemanfaatan waktu 75% dalam setahun (Gambar 7). Kelimpahan sumber daya yang tinggi di wilayah pesisir memberikan motivasi kerja yang tinggi pula bagi penangkap ikan karang atau ikan-ikan yang berasosiasi dengan wilayah karang. Sebaliknya penangkapan ikan di wilayah lepas pantai relatif lebih rendah dari aktivitas perikanan pesisir. Contohnya, perikanan tuna hanya menggunakan waktu 42%
34
dalam setahun, yaitu kira-kira lima bulan dalam 20 trip penangkapan. Trip penangkapan dibatasi oleh pemanfaatan bahan bakar yang tinggi, kapabilitas nelayan yang rendah, dan sumber daya pelagis yang memiliki mobilitas tinggi. Pembatas cuaca bagi penangkapan ikan sangat dirasakan bagi nelayan setempat. Rata-rata dalam setahun ada tiga bulan bercuaca ekstrim yang membuat nelayan tidak melaut. Kecuali itu, investasi yang rendah juga kurang mendorong nelayan untuk memanfaatkan waktu harian dalam setiap bulannya, sampai pemanfaatan hari melaut kurang maksimal, kecuali untuk perikanan panah (Gambar 8). SENTRA PRODUKSI UNGGULAN DAN POLA DISTRIBUSI HASIL PERIKANAN Teluk Saleh merupakan sentra produksi unggulan di sektor perikanan karang. Beberapa profil perikanan yang telah dibahas di muka merupakan sentra
Arah Kebijakan Pengembangan...................di Sekitar Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat (Edrus, I.N. & Suprapto)
produksi penting di Teluk Saleh yang memberikan variasi keuntungan ekonomi menurut variable input yang juga berbeda. Hasil analisis finansial, cara (Kadariah 1988), dari beragam usaha perikanan tersebut disajikan dalam (Gambar 6). Pada sisi perikanan lepas pantai justru mengalami ketidakberhasilan secara ekonomi karena input (biaya bahan bakar minyak tinggi) yang tidak sebanding dengan output (economic overfishing). Perikanan panah yang juga melibatkan alat tangkap lain dan perikanan rawai bermata kail banyak memiliki prospek positif dan layak secara ekonomi untuk dikembangkan, walaupun ongkos produksinya lebih tinggi. Kondisi keanekaragaman yang tinggi dari perairan karang memberikan prospek ekonomi yang lebih menarik bagi perikanan pancing ulur yang bermodal kecil. Produksi yang cukup tinggi membuka akses keuntungan yang cukup besar bagi penggaram ikan dan layak untuk dikembangkan, tetapi belum begitu menguntungkan bagi nelayan kecil penjaring ikan dan pengumpul. Pemasaran yang berlaku di Kabupaten Sumbawa adalah bersifat oligopoli, artinya terdapat banyak penampung hasil produksi di masing-masing tingkat pasar. Hal ini memberikan keleluasaan bagi nelayan dalam mendistribusikan hasil tangkapan dan lebih jauh akan terhindar dari sistem ijon. Pengumpul ikan di tingkat lokal yang mendampingi dan mendukung komponen produsen (nelayan) ada yang bersifat pasif menunggu (stasioner) dan ada yang bersifat aktif (mobile) karena bergerak mencari dan menjemput hasil, kemudian mengirim hasil ikan tersebut ke tingkat pasar selanjutnya. Ongkos operasi bagi pengumpul mobile tersebut jelas besar dari sisi bahan bakar minyak, karena itu pengumpul juga memberikan jasa angkutan hasil ikan lainnya (kolektif) untuk diantar ke pembeli di tingkat kabupaten atau kotamadya.
Pola Pemanfaan Waktu (%) tahunan Penangkapan Ikan (Annual Time Using for Fishing)
75 42 Penangkapan Ikan Wilayah Pesisir (Inshore Fishing)
Penangkapan Ikan Wilayah Lepas Pantai (Offshore Fishing)
Gambar 7. Pola pemanfaatan waktu dalam setahun menurut wilayah tangkap. Figure 7. Annual time comsuming types by fishing zones.
R e ra ta P e m an fa a ta n w a k tu d a lam s eb u la n (% ) u n tu k Aktifitas P e n an g k a pa n P u lan g H a ri (A v era ge s o f m o n th y tim e u tilitie s (% ) fo r o n eda y fis h in g activitie s in in s h o re zo ne s ) Penjar ing Pelagis ( Pelag is fis hing)
1 00 90 80
Pemanc ing d emer s al ( De mer s al Fis hing)
67
60
Pemanah ( Spear gun f is h ing)
47 40
50 33
Peraw ai ( Longline Fis hing )
20 0
Penan gkapan ikan karang mu lti a lat ( Reef fis hes - Multigea r f is hing)
Gambar 8. Pemanfaatan waktu dalam sebulan untuk penangkapan ikan di wilayah pesisir. Figure 8. Monthly spent time for inshore fishing.
PASCA PANEN Aspek pasca panen adalah salah satu usaha perikanan, khususnya untuk mengatasi daya simpan hasil dan memperbesar distribusi pemasaran. Pengumpul stasioner ada pula yang mengkhususkan usaha penggaraman ikan, terutama ketika puncak musim ikan. Dengan jalan pengembangan usaha tersebut pengumpul mempunyai kesempatan untuk mendapat keuntungan tambahan yang lebih besar. Penggaraman ikan merupakan cara yang paling sederhana dan murah di tingkat produsen lokal. Cara pengeringan umumnya dilakukan untuk jenis-jenis ikan karang dan ikan layang. Cara pemindangan umum diterapkan di wilayah Nusa Tenggara Barat untuk jenis ikan pelagis seperti tongkol, lemuru, tembang, dan geres. Usaha penggaraman sebagai usaha utama dianggap menguntungkan secara ekonomi, seperti yang dilakukan oleh nelayan desa Gilitapang. Nelayan ini telah mengkhususkan usaha yang menampung semua jenis ikan karang dari nelayan sekitar dan juga melakukan penangkapan sendiri untuk kemudian membuat produk ikan asin. Serapan tenaga kerja cukup besar. Dalam setiap minggu tingkat produksi 50 kg ikan asin yang berasal dari 100 kg ikan segar dengan rendemen 50%. Setiap 100 kg ikan dibutuhkan 12 kg garam rucah. Dalam sebulan diproduksi 200 kg ikan asin dengan trip penjualan 4 kali. Transportasi ke tempat penjualan menggunakan angkutan umum. Usaha penggaraman ini tergolong efisien dan layak secara ekonomi. Rasio antara keuntungan dan ongkos (B/C Ratio) sebesar 3,5. Jadi memberikan nilai keuntungan 350 rupiah setiap penanaman modal 100 rupiah.
35
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 25-38
KHASANAH AGROEKOSISTEM PENGEMBANGANNYA
DAN
tangkap dan ketidak-efektipan dalam investasi perikanan.
Berdasarkan atas keragaan perikanan seperti dijelaskan di muka dapat disarikan beberapa faktor pendukung dan penghambat dalam hubungannya dengan agroekosistem setempat, seperti disajikan pada Tabel 5.
Pola pengembangan perikanan menyangkut beragam reklamasi dari pola yang sudah ada di Teluk Saleh. Beberapa hal yang perlu dikembangkan di antaranya: 1. Perikanan tuna dengan dukungan rumpon laut dangkal dan rumpon laut dalam akan mengurangi tekanan wilayah pesisir. Pemanfaatan rumpon laut dalam akan mengurangi biaya operasi, khususnya pengeluaran bahan bakar. Revitalisasi perikanan oleh pemerintah perlu dilakukan untuk menarik minat penangkap tuna. 2. Perikanan industri jaring lingkar dengan membangun kebijakan yang kondusif bagi investor. Investasi rumpon laut dangkal akan mendukung peningkatan produksi perikanan jaring lingkar. Kemitraan antara pemilik armada jaring lingkar dan pemilik rumpon perlu dibentuk dalam rangka pemerataan pendapatan. 3. Perikanan karang dapat dilakukan dengan multi alat tangkap, tetapi dengan selektivitas tinggi serta ramah lingkungan. Pengembangan perikanan karang perlu berbasis konservasi melalui penzonaan wilayah yang jelas. 4. Perikanan demersal dengan rawai dasar horisontal bermata kail 30-50 buah atau bubu laut dalam perlu dikembangkan untuk mengurangi penangkapan di wilayah terumbu karang. Ikan-ikan kerapu dan kakap merah (Lutjanus spp.) komersial tinggi justru
Dalam pengelolaan perikanan, arah kebijakan pengembangan mempertimbangkan sinkronisasi dari keempat khasanah agroekosistem tersebut. Keempatnya terakomodasi dalam pembangunan perikanan agar tidak menimbulkan produk apa saja yang kontroversial. ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN Dengan memperhatikan potensi dan kendala yang ada, dalam rangka pengembangan kinerja perikanan di sekitar Teluk Saleh perlu dibangun pertanyaan mendasar. Pertanyaan kuncinya adalah: 1. Bagaimana memberdayakan faktor-faktor pendukung dan memperkecil faktor-faktor negatif yang menjadi penghambat, di mana dengannya proses produksi tidak menjadi eksternalitas antar usaha perikanan. 2. Kegiatan perikanan apa saja yang membutuhkan introduksi teknologi tepat guna dalam rangka peningkatan produksi melalui prinsip kehatianhatian dalam investasi untuk menghindari lebih Tabel 5. Table 5.
Kinerja yang berpengaruh pada khasanah agroekosistem di Teluk Saleh Performances influencing on agro- ecosystem properties in Saleh Bay Faktor pendukung/ Supporting factors • • • • • • • • •
Kondisi terumbu karang baik. Keanekaragaman hayati tinggi. Diversifikasi alat tangkap. Wilayah tangkap luas. Kesuburan perairan tinggi. Kebijakan yang kondusif. Wilayah terlindung. Pencemaran perairan kurang. Pergiliran penggunaan alat tangkap sesuai cuaca
• • •
Diversifikasi usaha perikanan. Potensi sumber daya tinggi. Dukungan program pengembangan. Usaha rehabilitasi perairan pantai. Revitalisasi perikanan dan budi daya. Peran pengusaha perikanan (serapan tenaga kerja atau buruh). Pola kemitraan. Organisasi nelayan berjalan baik. Pola perikanan spesialisasi dan horisonatal, antara budi daya, produksi, pasca panen, dan pem asaran. Rezim open akses. Adanya sistem bagi hasil. Pola usaha sentra hamparan.
• • • • • •
• • •
36
Khasanah Agroekosistem/ Agroecosystem properties Produktivitas/ Productivity
Faktor penghambat/ Weaknessing factors • • • •
Stabilitas/ Stability
• • • •
Sustainabilitas/ Sustanability
• • •
Equitabilitas/ Equitability
• • •
Sumber daya manusia, jumlah, dan kualitas. Modal kerja rendah. Alat bantu penangkapan kurang. Rendahnya sediaan regional bahan bakar Badai awal dan akhir tahun. Tekanan wilayah pesisir dom inan. Fluktuasi tenaga kerja perikanan. Kapasitas penangkapan rendah, khususnya untuk offshore fishing. Keborosan pem anfaan bahan bakar pada perikanan lepas pantai. Cyanid fishing. Serapan tenaga kerja di sektor lain relatif tinggi. Pendidikan rendah. Eksternaliti. Zonasi lahan budi daya.
Arah Kebijakan Pengembangan...................di Sekitar Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat (Edrus, I.N. & Suprapto)
5.
6.
7.
8.
berada di zona luar daerah karang tepi, di mana karang tepi dapat dizonasi sebagai wilayah asuhan (nursery ground) dan terproteksi. Perikanan bagan hanyut (perahu) atau bagan tancap perlu dipertahankan dan bahkan dengan peningkatan jumlah armada atau unit tangkapan. Seperti juga perikanan jaring lingkar, perikanan bagan mampu mendorong peningkatan produksi ikan regional. Perikanan sero dan pukat pantai dengan perluasan pemanfaatan lahan pesisir (zona intertidal) dapat mendukung perikanan artisanal sehingga akan terjadi pemerataan pendapatan. Perikanan pelagis kecil dengan jaring dan pancing tonda akan berkembang ketika kinerja penangkapan ditingkatkan, terutama kerja dalam kelompok kecil dan peningkatan trip penangkapan. Restrukturisasi kelembagaan perikanan perlu dilakukan melalui pemberdayaan kelompok, regulasi, kebijakan lokal dan tata niaga perikanan, serta penerapan partisipasi masyarakat dan pemberdayaan participatory technology.
KESIMPULAN 1. Pada lingkungan yang sumber dayanya terpelihara baik, sekecil apapun skala usaha dan teknologi penangkapan yang digunakan, akan memberikan hasil perikanan yang cukup besar sehingga menjamin pendapatan nelayan. 2. Diversifikasi alat tangkap akan mendukung perolehan nilai tambah pendapatan. 3. Industri perikanan dengan rumah tangga perikanan yang bersifat horisontal, di mana memiliki beragam kekhususan profesi yang terpisah antara penangkapan, pemasaran, dan transportasi akan memperbesar pemerataan pendapatan dan penghasilan di tengah masyarakat. 4. Ikan kerapu dan sunu (Plectropomus sp.), khusus dalam perdagangan ikan hidup, tergolong komoditas unggulan dan sumber dayanya di alam cukup melimpah, di mana sudah dieksploitasi sedemikian rupa. Bahkan budi daya ikan kerapu sudah dilaksanakan di Pulau Rakit. Restocking ikan kerapu di alam perlu didukung oleh kebijakan pemerintah, khususnya dalam program revitalisasi perikanan. 5. Ikan tuna sebagai produk unggulan belum dieksploitasi dengan baik. Peningkatan kapasitas usaha menjadi tidak berarti jika keterampilan nelayan tidak mendukung. Alat bantu penangkapan (rumpon) mutlak dibutuhkan di samping perlunya diversifikasi alat tangkap, khususnya untuk mendukung industri perikanan skala kecil.
6. Beberapa jenis ikan yang bukan merupakan produk unggulan, seperti ikan layang, kembung, tembang, lemuru, dan teri, dalam produksinya justru bersifat masif dan secara ekonomi dapat mendukung peningkatan pendapatan daerah jika masalah pasca panennya dikembangkan dengan teknologi yang tepat, khususnya ketika puncak musim. Pengalengan, pindang dan pengaraman, serta pembekuan merupakan alternatif dari proses pasca panen. 7. Pengembangan jaring lingkar dan bagan adalah cara yang dapat meningkatkan produksi ikan pelagis tersebut. 8. Sumber daya terumbu karang, termasuk ikan karang dan lobster, menjadi sasaran utama untuk memenuhi permintaan pasar lokal, sehingga begitu besar ketergantungan nelayan pada terumbu karang. Pengawasan dan sosialisasi perlu lebih giat dilakukan guna menyelamatkan atau melestarikan terumbu karang. 9. Peningkatan kapasitas penangkapan untuk memenuhi kuota proyeksi dari potensi sumber daya di Zona Ekonomi Ekslusif dapat memberi peluang tenaga kerja dan mengurangi tekanan penangkapan di wilayah pesisir. Ini hanya dapat dilakukan dengan masuknya investor industri perikanan padat modal. 10.Perikanan dengan basis lokal yang kuat dapat mengentaskan kemiskinan melalui pemerataan kesempatan usaha, kesempatan kerja, dan kemitraan (pola inti rakyat). DAFTAR PUSTAKA Burke, L., E. Selig, & M. Spalding. 2002. Reefs at Risk on Southeast Asia. World Resources. Institute Publication. Washington D. C. 76 pp. Badan Pusat Statistik. 2008. Kabupaten Sumbawa dalam Angka Tahun 2007. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa. Badan Pusat Statistik. 2008. Kabupaten Dompu dalam Angka Tahun 2007. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa. Conway, G. R. 1986. Agroecosystem for Research and Development. Winrock International Institute for Agricultural Development. Bangkok. Cesar. H. 1996. Economic Analysis on Indonesia Coral Reef. The World Bank. Indonesia. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumbawa. 2008. Laporan Tahunan 2007. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
37
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 25-38
Edrus, I. N. & Suprapto. 2010. Kajian efektivitas penerapan teknologi terumbu karang buatan dan implantasi karang dalam usaha rehabilitasi perairan terumbu karang (Tinjauan aspek sosial ekonomi, biologi, dan ekologi lingkungan). Laporan Evaluasi. Program DRN-Insentif Bagi Peneliti dan Prekayasa, Kerja Sama antara Departemen Pendidikan Nasional dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Balai Riset Perikanan laut. Jakarta. 83 pp. Edrus, I. N., S. Arief, & I. E. Setyawan. 2010. Kondisi kesehatan terumbu karang Teluk Saleh, Sumbawa: Tinjauan aspek substrat dasar terumbu dan keanekaragaman ikan karang. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 16 (2): 147-161. Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan: Isu, Sintesis, dan Gagasan. Gramedia. Jakarta. 185 pp. Hartati, S. T. & I. N. Edrus. 2005. Komunitas ikan karang di perairan pantai Pulau Rakiti dan Pulau Taikabo, Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11 (2): 83-93.
38
Hartati, S. T., A. R. Syam, S. E. Purnamaningtias, K. Purnomo, S. M. Syarif, A. Thamin, I. Suprihanto, Wasilun, Mujiyanto, & I. N. Edrus, 2007. Penelitian perkembangan stok sumber daya perairan karang pasca rehabilitasi habitat di perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Laporan Proyek Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan. Jatiluhur. Unpublished. Kadariah. 1988. Evaluasi proyek. Analisis Ekonomi. Edisi 2. Lembaga penerbit Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia. Jakarta. Pet-Soede, L., H. Cesar, & J. Pet. 1996. Blasting away: The economics of blast fishing on Indonesian coral reefs. in H. Cesar, ed. Collected essays on the economics of coral reefs. 77-84. H. Cesar, Economic Analysis of Indonesian Coral Reefs. Working Paper Series Work in Progress. (Washington, D. C. World Bank. 1996).
Prioritas Strategi Pengelolaan Perikanan Giob….di Kayoa, Halmahera Selatan ( I. Taeran et al.)
PRIORITAS STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN GIOB YANG BERKELANJUTAN DI KAYOA, HALMAHERA SELATAN A PRIORITY OF MANAGEMENT STRATEGIES FOR SUSTAINABLE GIOB FISHERIES IN KAYOA SOUTH HALMAHERA Imran Taeran1, Mulyono S Baskoro2, Am Azbas Taurusman2, Daniel R Monintja2) dan Mustaruddin2) 2)
1) Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK, UNKHAIR,Jl.Pertamina Gambesi Ternate Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK, IPB, Jl.Lingkar Kampus, Darmaga-Bogor 16680 Teregistrasi I tanggal: 28 Desember 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 19 April 2013; Disetujui terbit tanggal: 25 April 2013
ABSTRAK Perikanan giob di Kayoa, dikhususkan untuk mengeksploitasi ikan julung-julung. Kegiatan eksplotasi dilakukan sangat intensif dan hingga saat ini belum ada upaya pengelolaan. Penelitian bertujuan menentukan prioritas strategi pengelolaan perikanan giob yang berkelanjutan dan menyusun konsep implementasi dari strategi pengelolaan perikanan giob terpilih. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan pengisian kuisoner. Analisis data menggunakan metode AHP (Analisis Hierarki Proses). Hasil penelitian menunjukkan bahwa prioritas strategi pengelolaan perikanan giob yang berkelanjutan di Kayoa, Halmahera Selatan yaitu pengawasan terhadap eksploitasi sumberdaya ikan julung-julung. Konsep implementasi dari strategi prioritas pengawasan adalah pengaturan waktu penangkapan, pengawasan terhadap penangkapan ilegal, pengawasan terhadap pengolahan hasil tangkapan, pengawasan terhadap jaringan pemasaran, dan sosialisasi tentang pentingya Pendapatan Asli Daerah. Perlu dibentuk daerah perlindungan laut di Kayoa, Halmahera Selatan sehingga dapat memantau kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan julung-julung sebagai target tangkapan utama alat tangkap giob. KATA KUNCI: Prioritas strategi, perikanan giob di Kayoa, berkelanjutan ABSTRACT Giob fisheries in Kayoa is specialized to exploitat halfbeak fish. This activitiy is undertaken intensively and no management effort until now. The research objective were to determine the priority of management strategies for sustainable giob fisheries and to formulate the implementation of the selected management strategy for giob fisheries. Data was collected by using interviews and questionnaires. The data analysis used AHP (Analysis of Hierarchy Process). The result showes that the priority of management strategices for sustainable giob fisheries in Kayoa, South Halmahera, was the supervision of exploitation of halfbeak resources. The implementation concepts of monitoring the priority strategy are: setting the fishing time, supervisie the illegal fishing, supervisie the catch processing, supervisie the marketing network, and socialize the impotance of region income. It is necessary to develop a local marine sanctuary in Kayoa, South Halmahera which is in charge of overseeing the utilization and management of halfbeak fish resources as the main target of giob. KEYWORDS: Strategic priority, giob fishery in Kayoa, sustainable
PENDAHULUAN Pembangunan perikanan pada hakekatnya terarah pada pemanfaatan sumberdaya secara optimal dan rasional bagi kesejahteraan masyarakat, tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya itu sendiri maupun lingkungannya (Wiryawan, et al., 2008). Selanjutnya UU Perikanan No. 31/2004 juga mengamanatkan bahwa pengelolaan perikanan harus dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Perikanan giob di Kayoa, merupakan salah satu kegiatan perikanan andalan bagi Kabupaten ___________________ Korespondensi penulis: Fakultas Perikanan Ilmu Kelautan, UNKHAIR-Ternate Jl. Pertamina Gambesi-Ternate
Halmahera Selatan dan Maluku Utara pada umumnya. Hal ini disebabkan karena perikanan giob dengan target tangkapan yaitu ikan julung-julung memiliki berbagai keunggulan. Keunggulan tersebut adalah: (1) kegiatan eksploitasi tidak mengenal musim, artinya kegiatan penangkapan dilakukan setiap saat sepanjang tahun, (2) usaha perikanan giob belum diwajibkan oleh otoritas setempat untuk memiliki izin, (3) produksi olahan dalam bentuk ikan asap kering yang memiliki daya tahan lama, (4) permintaan pasar yang relatif tinggi (Taeran, 2009). Keunggulan tersebut dapat memicu terjadinya ekplotasi secara intensif dan dapat dilakukan oleh semua pihak yang berkepentingan. Kondisi ini jika berlangsung secara
39
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 39-45
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara, dan pengisian kuisoner terhadap para stakeholder yang ditentukan. Responden yang ditentukan terdiri dari nelayan, pemilik giob, pedagang, tokoh masyarakat, akademisi, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Halmahera Selatan, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara. Analisis data menggunakan metode AHP (Analisis Hierarki Proses) (Saaty, 1991). Analisis ini dimaksudkan untuk merumuskan prioritas strategi yang dapat digunakan untuk pengelolaan perikanan giob yang berkelanjutan di Kayoa. Rancangan hierarki ini merupakan hasil pengembangan hubungan atau interaksi terpadu semua komponen yang terkait dengan pengelolaan perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan. Hal ini penting supaya strategi pengelolaan perikanan giob yang dipilih benar-benar merupakan strategi terbaik yang telah mempertimbangkan berbagai faktor yang terkait baik secara horizontal maupun vertikal. Untuk mendapatkan hasil yang menyeluruh dan akurat, maka dalam AHP ini dikembangkan analisis bertingkat, dimana setiap komponen diperbandingkan satu sama lainnya di tingkat yang sama dan hasilnya dikombinasikan dengan hasil pada hierarki/tingkatan atas maupun bawahnya.
RANCANGAN STRUKTUR HIERARKI Rancangan struktur hierarki strategi pengelolaan perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan disajikan pada Gambar 1. Pada gambar tersebut terlihat bahwa dalam penentuan alternatif strategi pengelolaan perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan dilakukan melalui tiga tahapan analisis hierarki, yaitu: 1) analisis kepentingan empat kriteria pengelolaan perikanan giob yang perlu dicapai apabila suatu strategi dipilih, 2) analisis kepentingan lima faktor pembatas dalam pengelolaan perikanan giob di Kayoa, dan 3) analisis kepentingan alternatif strategi pengelolaan perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan. Untuk mengakomodir harapan semua kepentingan yang ada, maka data yang digunakan dalam analisis hierarki AHP, merupakan pendapat/ tanggapan dari perwakilan stakeholders dan komponen yang berinteraksi dengan kegiatan perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan. KEPENTINGAN PENGELOLAAN
Tujuan/Goal
Kriteria/Criteria
Perikanan Giob di Halmahera Selatan merupakan salah satu jenis perikanan yang khusus untuk
40
Pembatas/Limit factors Potensi Sumberdaya Ikan/
STRATEGI
Sumberdaya Ikan Lestari/
Potential of Fish Resources
Alternatif/Alternative Optimalisasi Tangkapan/
Optimization of Catches
Sustainable Fish Resources Teknologi Alat Tangkap Tersedianya Unit Penangkapan
Giob/Giob Fishing Gear
Giob/Availability of Catching
Technology
Pelatihan/Training
Giob Units Keuntungan dan Kesejahteraan Meningkat/
Profits and Welfare Increase Pendapatan Asli Daerah Meningkat/Revenue
Increase
DESKRIPSI PERIKANAN GIOB
ALTERNATIF
Sebelum sampai kepada analisis kepentingan alternatif srtategi pengelolaan, dilakukan analisis terlebih dahulu terhadap kriteria dan faktor pembatas strategi yang dibangun. Analisis dilakukan terhadap
Pengelolaan Perikanan Giob di Kayoa,
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara (2012), perkembangan produksi ikan julung-julung lima tahun terakhir cenderung menurun yakni tahun 2007 sebesar 3.741,30 ton menjadi 1.316,00 ton pada tahun 2011. Penurunan volume produksi diikuti pula oleh penurunan CPUE yakni pada tahun 2007 sebesar 743,92 kg/trip menjadi 180,52 kg/trip mengindikasikan terjadinya penurunan kelimpahan stok julung-julung di perairan. Penurunan stok tersebut diduga akibat terjadinya peningkatan intensitas eksploitasi terhadap sumber daya julungjulung, sehingga mengakibatkan tangkap lebih. Kondisi ini jika berlangsung terus menerus maka akan berdampak terhadap keberlangsungan julung-julung di perairan. Tujuan penelitian adalah, menentukan prioritas strategi pengelolaan perikanan giob yang berkelanjutan dan menyusun konsep implementasi dari strategi pengelolaan perikanan giob terpilih.
mengeksploitasi sumberdaya ikan julung-julung. Usaha perikanan Giob meliputi kegiatan penangkapan, pengeloahan, dan pemasaran. Kegiatan penangkapan dilakukan sangat intensif, diduga berpengaruh terhadap keberlanjutan sumberdaya julung-julung di perairan. Hasil tangkapan diolah dengan cara pengasapan, menggunakan bahan bakar dari kayu mangrove, sehingga eksploitasi kayu magrove dilakukan setiap saat. Produk dalam bentuk ikan asap kering dipasarkan ke para pedagang perantara yang telah memberikan ikatan bisnis dengan nelayan sehingga harga ikan dipasaran ditentukan oleh para pedagang perantara.
Halmahera Selatan/Giob Fisheries Management in Kayoa, South Halmahera
terus menerus tanpa didukung oleh kebijakan tertentu akan dapat mempengaruhi perkembangan perikanan giob dan kelestarian sumberdaya ikan julung-julung.
Kualitas Sumberdaya Manusia/Quality of
Kerjasama/ Cooperation
Human Resources Sarana dan Prasarana/
Inovasi Teknologi/
Facilities and Infrastructure
Innovative Tekonologi
Modal/Capital
Pengawasan/monitoring
Gambar 1. Stuktur hierarki pengelolaan perikanan giob secara berkelanjutan Figure 1. Hierarchy structure of giob sustainable fisheries management
Prioritas Strategi Pengelolaan Perikanan Giob….di Kayoa, Halmahera Selatan ( I. Taeran et al.)
kepentingan pengelolaan perikanan Giob berdasarkan lima kriteria yang dibangun dan kepentingan faktor pembatas pengelolaan, yang dalam bahasan ini terdapat lima faktor pembatas sebagaimana telah disebutkan di atas. Interaksi keduanya sangat menentukan prioritas strategi yang dihasilkan dari analisis ini.
menunjukkan bahwa, kualitas sumberdaya manusia memiliki rasio tertinggi (0,254), pada inconsistency terpercaya 0,05 (Gambar 2 b). Keberlanjutan perikanan giob sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya ikan julung-julung, sedangkan kegiatan eksplotasi sumberdaya tersebut sangat dipengaruhi oleh tersedianya unit penangkapan giob.
Hasil analisis terhadap keempat kriteria tersebut menunjukkan bahwa kriteria sumberdaya ikan lestari merupakan kriteria yang paling berkepentingan terhadap pengelolaan yaitu, dengan rasio kepentingan sebesar 0,340. Lalu berturut turut oleh kriteria keuntungan dan kesejahteraan meningkat (0,309), pendapatan asli daerah meningkat (0,230), dan tersedianya unit penangkapan giob (0,121). Hasil analisis tersebut mempunyai inconsistency 0,08, sehingga secara statistik dapat dipercaya. Kriteria sumberdaya ikan lestari berada pada nilai rasio kepentingan terbesar, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Bjorndal dan Zug (1995), menyatakan bahwa kelestarian sumberdaya hayati menjadi faktor penentu utama kegiatan pemanfaatan di perairan laut. Selanjutnya Fauzi et al. (2011) menyatakan bahwa kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan yang bertanggungjawab dan konservasi habitat selalu harus dikedepankan dalam semua kegiatan pengelolaan. Kegiatan perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan yang dimanfaatkan diutamakan yang dapat mempertahankan kelestarian sumberdaya ikan yang ada. Giob sebagai satu-satunya alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan julung-julung, demikian sebaliknya ikan julung-julung ditangkap hanya dengan menggunakan alat tangkap giob, berpeluang mengarah pada kegiatan destruktif. Fakta lapangan menunjukkan bahwa eksploitasi sumberdaya ikan julung-julung dilakukan sangat intensif yang dibuktikan dengan banyaknya upaya tangkap (ratarata 27 trip/bulan). Akibat yang ditimbulkan adalah hasil tangkapan semakin berkurang. Kondisi ini sebenarnya telah disadari oleh para stakeholder bahwa harus ada upaya mempertahankan eksistensi dari ikan julung-julung.
Perbandingan faktor pembatas berdasarkan kriteria keuntungan dan kesejahteraan meningkat, menunjukkan bahwa sarana dan prasarana memiliki rasio tertinggi (0,297), pada inconsistency terpercaya 0,08 (Gambar 2 c). Pengembangan perikanan giob harus didukung dengan sarana dan prasarana memadai yang tersedia, terutama di pangkalan perikanan giob, seperti pelabuhan, sarana ruang pendingin, sarana pengolahan, sarana transportasi. Sarana-sarana ini sangat membantu dalam mengoptimalkan dan mempertahankan kualitas hasil tangkapan, sehingga nelayan terhindar dari resiko dan beban biaya yang diderita akibat inefisiensi. Hal ini tidak sesuai dengan kondisi di lokasi, dimana tidak tersedianya sarana-sarana tersebut.
Pencapaian pengelolaan perikanan giob secara berkelanjutan juga memiliki faktor pembatas. Faktor pembatas tersebut meliputi: 1) potensi sumberdaya ikan, 2) teknologi alat tangkap yang giob, 3) kualitas sumberdaya manusia, 4) sarana dan prasarana, dan 5) modal. Perbandingan tingkat kepentingan faktor pembatas berdasarkan kriteria sumberdaya ikan letari menunjukkan bahwa, kualitas sumberdaya manusia memiliki rasio tertinggi (0,232), pada inconsistency terpercaya 0,08 (Gambar 2 a). Demikian juga pada tingkat kepentingan faktor pembatas berdasarkan kriteria tersedianya unit penangkapan giob
Perbandingan faktor pembatas berdasarkan kriteria pendapatan asli daerah meningkat menunjukkan bahwa, potensi sumberdaya ikan memiliki rasio tertinggi (0,325), pada inconsistency terpercaya 0,06 (Gambar 2 d). Hal ini disebabkan karena sektor perikanan dan kelautan merupakan salah satu sektor unggulan di daerah ini, dan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah. Keberadaan kondisi sumberdaya perikanan tangkap wilayah ini, sangat mendukung karena merupakan wilayah kepulauan yang didominasi wilayah lautan sekitar 78%, dengan demikian terkandung potensi sumberdaya perikanan yang sangat besar (http://www.halmaheraselatankab.go.id). Pengembangan sumberdaya perikanan ini mempunyai prospek yang menguntungkan di masa yang akan datang baik untuk peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat maupun berkontribusi terhadap perekonomian daerah. Prioritas strategi pengelolaan perikanan giob secara berkelanjutan merupakan output akhir dari analisis AHP dalam penelitian ini (Gambar 3). Prioritas strategi pengelolaan perikanan giob ditentukan secara terstruktur dengan mempertimbangkan semua kriteria, semua faktor pembatas yang ada saat ini, dan alternatif strategi pengelolaan yang ditawarkan. Hasil analisis kombinasi terstruktur semua pertimbangan tersebut dan rasio kepentingan setiap strategi yang ditawarkan adalah: 1) Pengawasan terhadap eksploitasi sumberdaya ikan julung-julung dengan RK
41
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 39-45
0,241; 2) Pelatihan terhadap nelayan perikanan giob dengan RK 0,226; 3) Inovasi teknologi alat tangkap giob dengan RK 0,222; 4) Kerjasama untuk membentuk wadah pengelolaan dengan RK 0,180; 5) Optimasi tangkapan ikan julung-julung dengan RK 0,132.
SENSITIVITAS STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN GIOB
julung-julung. Untuk mempermudah implementasinya, strategi terpilih perlu diuji sensitivitasnya. Informasi tentang sensitivitas ini tidak hanya penting untuk mengetahui keunggulan strategi pengelolaan perikanan giob, tetapi juga penting untuk membuat langkah antisipasi pengelolaan akibat berbagai perubahan yang mungkin terjadi di lokasi (Fauzi et al., 2012). Informasi tersebut juga menjadi panduan untuk implementasi berbagai program dan kebijakan terkait pengelolaan sumberdaya ikan julung-julung di lokasi. Informasi aplikatif terkait suatu kebijakan dapat berfungsi sebagai rambu-rambu dalam implementasi suatu kebijakan pengelolaan (Sheppard et al., 1995).
Pengelolaan perikanan giob diprioritaskan pada pengawasan terhadap eksploitasi sumberdaya ikan
Dalam kehidupan nyata, berbagai perubahan dalam pengelolaan sumberdaya ikan umumnya terjadi
Semua alternatif strategi tersebut mempunyai inconsistency 0,08, sehingga terpercaya dan valid secara statistik karena batas inconsistency yang diperbolehkan adalah < 0,1 (Saaty, 1991).
a
b
c
d Gambar 2. Rasio pembatas pengelolaan perikanan giob secara berkelanjutan. Figure 2. Ratio of limiting giob sustainable fisheries management
42
Prioritas Strategi Pengelolaan Perikanan Giob….di Kayoa, Halmahera Selatan ( I. Taeran et al.)
Gambar 3 Perioritas strategi pengembangan perikanan giob. Figure 3. Priority of giob fisheries development strategy. akibat adanya intervensi dari pihak-pihak yang berkepentingan dilokasi seperti nelayan, pengusaha perikanan, pedagang, pemerintah daerah, pengusaha industri, pelaku pasar dan lainnya (Setiawan et al., 2007). Strategi pengawasan terhadap sumberdaya ikan julung-julung harus dapat mensiasati berbagai perubahan tersebut sehingga statusnya sebagai srategi terpilih tetap dapat diandalkan. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan kepentingan kriteria pengembangan perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan akibat interaksi dan intervensi dari stakeholders terkait. Kriteria yang dimaksud yaitu sumberdaya ikan lestari (SDIL), tersedianya unit penangkapan giob (TUPG), keuntungan dan kesejahteraan meningkat (KKM), dan pendapatan asli daerah meningkat (PADM). Tabel 1 memberikan arahan implementasi bagi strategi pengelolaan perikanan giob untuk mensiasati berbagai perubahan tersebut. Tabel 1. Table 1.
KONSEP IMPLEMENTASI UNTUK PERUBAHAN KRITERIA YANG SENSITIF Berdasarkan Tabel 1, hasil uji sensitivitas strategi pengelolaan terhadap eksploitasi sumberdaya ikan julung-julung (strategi terpilih) mempunyai range sensitif terhadap kriteria sumberdaya ikan lestari (SDIL), yaitu pada kisaran 0-0,165, ketersediaan unit penangkapan giob (TUPG), yaitu pada kisaran 0,2251, keuntungan dan kesejahteraan meningkat (KKM) yaitu pada kisaran 0,763-1. Hal ini menunjukkan bahwa bila masing-masing kriteria tersebut mengalami perubahan, baik dalam bentuk pengurangan perhatian pengelolaan menjadi 0% (RK=0), maupun dalam bentuk penambahan perhatian namun tidak melebihi dari porsi range RK stabilnya, maka opsi pengawasan terhadap eksploitasi sumberdaya ikan julung-julung tetap menjadi prioritas pertama untuk mendukung pengelolaan yang berkelanjutan pada perikanan giob. Terkait dengan kriteria yang sensitif ini, maka konsep
Hasil uji sensitivitas terhadap strategi pengelolaan perikanan giob terpilih Results of the sensitivity test on selected strategy of giob fisheries management
No
1
2
3
4
Kriteria/Criteria
Sumberdaya ikan lestari (SDIL)/ sustainable fish resources Tersedianya unit penangkapan giob (TUPG)/ availability of Catching Giob Units Keuntungan dan kesejahteraan meningkat (KKM)/ profits and welfare increase Pendapatan asli daerah meningkat (PADM)/ revenue increase
Rasio Kepentingan (RK)/Ratio of Interest 0,340
Hasil uji sensitivitas terhadap pengawasan sebagai prioritas/ Result of sensitivity test on monitoring as a priority Range RK stabil/ Range RK sensitif/ RK stable range RK sensitive range 0,165 - 1
0 - 0,165
0,121
0 - < 0,225
0,225 – 1
0,309
0 - < 0,763
0,763 – 1
0,230
0-1
Tidak ada/ not available
43
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 39-45
yang bisa diacu dalam implementasi strategi pengawasan di Kayoa, Halmahera Selatan, yaitu: 1) Pengawasan terhadap sumberdaya ikan julungjulung dilakukan terutama terkait dengan pengaturan waktu penangkapan. Mengingat sumberdaya ikan julung-julung dieksploitasi dengan intensitas yang tinggi maka dianggap akan mempengaruhi keberlanjutan populasi ini dimasa yang akan datang. Tindak lanjut dari pengawasan itu sendiri harus didorong oleh pemerintah dengan menyusun aturan tentang waktu yang tepat untuk melakukan penangkapan ikan dan kapan waktu yang tidak dapat dilakukan penangkapan. Dengan adanya pengaturan tersebut diharapkan kontinuitas sumberdaya pada tahun-tahun berikutnya tetap terjaga. Perlu adanya koordinasi yang baik dan kebijakan pengelolaan antara pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Selatan dengan pemerintah Provinsi Maluku Utara. 2) Pengawasan terhadap penangkapan ilegal lebih ditekankan pada pengurangan penggunaan bahan dan alat tangkap terlarang dapat menyebabkan rusaknya lingkungan perairan. Kayoa sebagai wilayah yang relatif jauh dari pusat pemerintahan provinsi maupun kabupaten berpeluang untuk dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menggunakan alat dan bahan yang ilegal untuk menguras potensi yang tersdia. Kondisi wilayah ini juga sangat strategis karena terdiri dari pulau-pulau kecil yang dapat dijadikan sebagai tempat berlindung untuk melakukan tindakan yang ilegal. 3) Pengawasan terhadap pengolahan hasil tangkapan menjadi ikan asap kering terutama terhadap penggunaan mangrove sebagai bahan kayu bakar. Ada anggapan bahwa pengasapan dengan menggunakan kayu mangrove akan menghasilkan kualitas produk yang prima, maka sampai saat ini belum ada usaha untuk mencari pengganti mangrove. Apabila kondisi ini tidak diantisipasi maka tindakan penebagan pohon mangrove terjadi setiap saat, sehingga dikuatirkan akan dapat mengancam ekosisitem. Tindakan untuk menghentikan kegiatan ini tidak mungkin karena tidak ada pilihan lain. Untuk itu solusinya adalah adanya pengawasan untuk mengatur wilayah yang seharusnya ditebang, jumlah, jenis, dan ukuran yang diambil. 4) Pengawasan terhadap jaringan pemasaran produk ikan julung-julung terutama produk dalam bentuk asap kering perlu mendapat perhatian. Jaringan pemasaran selama ini dikendalikan oleh beberapa pengusaha di Kota Ternate, dan Kota Tidore. Status para pelaku pemasaran bukan merupakan
44
pengusaha giob, tetapi pengumpul. Para pelaku juga memberikan pinjaman berupa uang maupun bahan bakar minyak (BBM) kepada pemiliki giob. Cara ini dianggap membantu dan mempermudah para pemilik giob dalam mengoperasikan giobnya, tetapi pemiliki giob tidak leluasa untuk menentukan harga produk julung-julung. Kondisi ini menyebabkan jaringan pemasaran menjadi panjang sehingga proporsi keuntungan nelayan berkurang atau jauh dari yang diharapkan. KONSEP IMPLEMENTASI UNTUK PERUBAHAN KRITERIA YANG TIDAK SENSITIF Hasil uji sensitivitas terhadap strategi pengelolaan perikanan giob terpilih (strategi pengawasan terhadap eksploitasi SDI) terlihat pada Tabel 1. Berdasarkan rasio kepentingan (RK),dimana range sensitif strategi terpilih terhadap kriteria pendapatan asli daerah meningkat (PADM) tidak ada. Hal ini mengandung pengertian bahwa posisi pengawasan sebagai prioritas pertama pengembangan perikanan giob tidak terpengaruh oleh perubahan perhatian terhadap PAD meskipun dikurangi menjadi 0% (RK=0), maupun ditambah menjadi 100% (RK=1). Hal ini karena akumulasi perhatian pengawasan terhadap semua kriteria yang masih lebih besar, meskipun kriteria pendapatan asli daerah meningkat tidak diperhatikan. Mengacu kepada hal ini, maka ada konsep yang bisa diacu dalam implementasi strategi pengawasan, yaitu upaya sosialisai tentang pentingya PAD bagi pembangunan khusunya sarana perikanan, dan penerapan wajib bagi nelayan pemilik giob untuk memiliki izin. KESIMPULAN & SARAN Prioritas strategi pengelolaan perikanan Giob yang berkelanjutan di Kayoa, Halmahera Selatan adalah pengawasan terhadap eksploitasi sumberdaya ikan julung-julung. Konsep implementasi strategi pengawasan adalah pengaturan waktu penangkapan, pengawasan terhadap penangkapan ilegal, pengawasan terhadap pengolahan hasil, pengawasan terhadap jaringan pemasaran, sosialisai tentang pentingya PAD. Untuk kepentingan tersebut perlu dibentuk resort khusus di Kayoa, Halmahera Selatan yang bertugas mengawasi kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan julung-julung sebagai target tangkapan utama alat tangkap giob. DAFTAR PUSTAKA Bjorndal, K. A. & G. R. Zug. 1995 (reprinted). Growth and age of sea turtles. In: K. A. Bjorndal (ed.).
Prioritas Strategi Pengelolaan Perikanan Giob….di Kayoa, Halmahera Selatan ( I. Taeran et al.)
The Biology and Conservation of Sea Turtles. Smithsonian Institution Press, Washington, D. C. pp. 599-600. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara. 2012. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Maluku Utara 2011. 61 p. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara. 2008. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Maluku Utara 2007. 61 p. Fauzi, S., B.H. Iskandar, B. Murdiyanto & E.S Wiyono. 2011. Prioritas strategi kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan lestari berbasis otonomi daerah di kawasan Selat Bali. Marine Fisheries. 2 (1): 101-110. [PEMDA] Pemerintah Daerah, Halmahera Selatan. 2012. Script Profil Kabupaten Halmahera http:// Selatan. www.halmaheraselatankab.go.id. Diunduh pada tgl 25 Apri 2013 jam 10:02. Saaty. T.L. 1991. Pengambilan Keputusan bagi Para Pimpinan. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. 270 p.
Setiawan. I., D.R. Monintja, V.P.H. Nikijuluw & M.F.A. Sondita. 2007. Analisis ketergantungan daerah perikanan sebagai dasar pelaksanaan program pemberdayaan nelayan: Studi kasus di Kabupaten Cirebon dan Indramayu. Buletin PSP. 16 (2): 188-200. Sheppard, C.R.C., K. Matheson, J.C. Bythell, P. Murphy, C. Blair Myers & B. Blake, 1995. Habitat mapping in the Caribbean for management and conservation,use and assessment of aerial photo-graphy. Aquatic Conservation: Marine and Freshwater Ecosystems 5, 277-298 Taeran. I. 2009. Perikanan tangkap berwawasan lingkungan, studi kasus perikanan giob di Provinsi Maluku Utara. Jurnal Ilmiah Sorihi. 1 (1): 60-68. Undang-Undang RI No. 31/2004 tentang Perikanan. Jakarta.56 p. Wiryawan. B., S.H. Wisudo & M.S. Baskoro. 2008. Permasalahan dalam implementasi konsep pengembangan perikanan terpadu. Buletin PSP. 17 (2): 231-240.
45
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 :
46
Strategi Pengelolaan Sumber Daya Udang Laut Dalam………di Indonesia (A. Suman & F. Satria)
STRATEGI PENGELOLAAN SUMBER DAYA UDANG LAUT DALAM SECARA BERKELANJUTAN DI INDONESIA SUSTAINABLE MANAGEMENT STRATEGIC OF INDONESIAN DEEP SEA SHRIMP RESOURCES Ali Suman1 dan Fayakun Satria2 1
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta 2 Peneliti pada Balai Penelitian dan Pemulihan Konservasi Sumberdaya Ikan-Jatiluhur Teregistrasi I tanggal:02 Januari 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 06 Maret 2013; Disetujui terbit tanggal: 10 April 2013
ABSTRAK Pemanfaatan sumber daya udang di Indonesia dilakukan pada wilayah perairan laut dangkal dan status pengusahaannya sudah dalam tahapan jenuh (over-fishing). Apabila kondisi ini dibiarkan dalam jangka panjang tanpa adanya usaha pengelolaan yang berkelanjutan, maka akan menyebabkan kelestarian sumber daya udang akan terancam dan bahkan bisa punah. Salah satu hal yang harus dilakukan dalam mengantisipasinya adalah mencari daerah penangkapan baru di perairan laut dalam, berupa sumber daya udang yang potensial dan belum pernah dimanfaatkan (untapped resources). Komposisi jenis udang laut dalam di perairan Indonesia lebih dari sekitar 38 jenis dengan jenis udang yang mendominasi adalah Plesiopenaeus edwardsianus dan Aristeus virilis serta alat tangkap yang disarankan untuk pemanfaatannya adalah bubu laut dalam tipe silinder. Potensi penangkapan udang laut dalam di Kawasan Barat Indonesia (KBI) sebagai 640 ton per tahun dan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sebagai 2.840 ton per tahun. Agar pengelolaan sumber daya udang laut dalam dapat dilakukan berkelanjutan, maka harus dikelola dari awal pemanfaatannya. Strategi pengelolaan yang harus dilakukan adalah membatasi upaya penangkapan pada tingkat upaya sekitar 285 armada bubu laut dalam di KBI dan sekitar 1.250 armada bubu laut dalam di KTI. Selain itu harus dilakukan penutupan musim dan daerah penangkapan serta dilakukan penetapan kuota penangkapan. KATA KUNCI : Strategi pengelolaan, sumber daya udang laut dalam, Indonesia ABSTRACT The utilization of Indonesia’s shrimps resources are commonly taking from shallow marine water while its status is currently on overfishing stage. In the long run without appropriate management will threat its sutainability and may be worsen to become extinct. A possible anticipition is finding a new fishing ground at deep sea area for potential deep sea shrimps as untapped resource. Deep sea shrimps species composition have been identified for more than 38 species with mainly dominated by Plesiopenaeus edwardsianus and Aristeus virili. Recommended fihing gear for utilizing those resource is deep sea cylinder pots. Deep sea shrimps fishing potency whithin Western Indonesia Area (WIA) was estimated for 640 mt/year and Eastern Indonesia Area (EIA) was 2.840 mt/year. Asssuring the sustainability of deep sea shrimp resource require right and apropriate management apply since the early stage. It is proposed to adopt several management measures such as limit the fishing effort for 285 deep sea pots within WIA and 1.250 deep sea pots within EIA, apply close area and fishing season and determine total allowable catch. KEYWORDS : Management strategic, deep sea shrimp resources, Indonesia
PENDAHULUAN Dalam perikanan, saham sumber daya udang merupakan komoditas andalan dalam menyumbangkan devisa bagi negara. Hal ini dimungkinkan, karena udang memiliki nilai ekonomis (harga) dan potensi kelimpahan (biomassa) yang tinggi. Selain itu, udang juga merupakan salah satu komoditi ekspor yang tingkat penerimaannya relatif tidak terpengaruh oleh resesi dunia. Oleh karenanya,
nilai ekspor udang-pun meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1968, nilai ekspor udang baru mencapai 32 % dari total nilai ekspor hasil perikanan, kemudian pada tahun 1979 meningkat menjadi 91 % dengan nilai US $ 200 juta, tetapi pada tahun 1981 (setelah penghapusan trawl) turun menjadi 74 % dengan nilai US $ 170 juta. Pada tahun 1997 volume ekspor udang adalah sebesar 97.280 ton dengan nilai US $ 1,08 milyar dan pada tahun 2008 nilai ekspornya telah mencapai US $1,168 milyar dengan produksi
47
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 47-55
mencapai 171.658 ton (Naamin, 1984, Ditjenkan, 1998, Pusdatin, 2010). Sampai saat ini sumber daya udang Indonesia yang telah dimanfaatkan pada umumnya masih berasal dari wilayah perairan laut dangkal yaitu pada kedalaman kurang dari 200 m. Wilayah penangkapan udang tersebut menyebar meliputi 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) mulai dari WPP Selat Malaka di ujung barat sampai WPP Laut Arafura di sebelah timur. Secara umum seluruh WPP tersebut dilaporkan telah mengalami tekanan penangkapan yang tinggi dan bahkan cenderung sudah mengalami lebih tangkap (Suman, 2010). Apabila kondisi ini dibiarkan dalam jangka panjang tanpa adanya usaha pengelolaan dan pemanfaatan yang berkelanjutan, maka akan menyebabkan kelestarian sumber daya udang akan terancam dan bahkan bisa punah. Salah satu hal yang harus dilakukan dalam mengantisipasinya adalah mencari daerah penangkapan baru, dan perairan laut dalam merupakan wilayah perairan dengan sumber daya udang yang potensial dan belum pernah dimanfaatkan (untapped resources). Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah laut dalam yang luas dan memiliki potensi sumber daya udang laut dalam yang secara komersial dapat dimanfaatkan. Pemerintah Indonesia juga sangat berkeinginan untuk dapat mengembangkan sektor perikanan tangkapnya terutama di wilayah yang belum dimanfaatkan sebagai upaya untuk mendukung program pemerintah yang ingin membuka lapangan kerja baru (projob), mengentaskan kemiskinan (propoor) dan mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor perikanan tangkap (progrowth), termasuk menciptakan iklim usaha bidang perikanan tangkap yang kondusif. Selain itu pengembangan pemanfaatan sumber daya udang laut dalam ini sekaligus juga mendukung pencapaian visi Departemen Kelautan dan Perikan sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar pada tahun 2015. Penelitian mengenai sumber daya udang laut dalam di Indonesia dimulai oleh George (1967) dengan menemukan udang Penaeid laut dalam di laut Flores, Selat Makasar, Laut Banda dan Laut Arafura, kemudian diikuti dengan penemuan udang Solenocera promintes pada kedalaman 200 m di sebelah selatan Jawa oleh kapal Korea OH DAE SAN (Anonymous, 1982). Penelitian untuk mengetahui stok udang laut dalam di perairan Kai, Aru dan Tanimbar dilakukan dalam kerangka Ekspedisi KARUBAR, untuk laut dalam di sebelah selatan Jawa dilakukan dengan kapal Umitaka Maru (Iskandar & Sumiono, 1993; Sumiono
48
& Iskandar, 1993; Sondita, 2004). Kegiatan tersebut diikuti dengan penelitian stok sumber daya udang laut dalam di perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa dan barat Sumatera dalam kerangka The JapanIndonesia Deep Sea Fishery Resources Joint Exploration Project pada tahun 2004 dan 2005 (Anonymous, 2006). Makalah ini akan membahas status stok udang laut dalam di Indonesia serta strategi pemanfaatannya secara berkelanjutan, yang dapat digunakan sebagai salaha satu bahan masukan bagi kebijakan pembangunan perikanan di Indonesia. SUMBER DAYA UDANG LAUT DALAM DI INDONESIA Sumber daya udang laut merupakan kelompok ikan demersal yang sebagian besar dari siklus hidupnya (life cycle) menghuni atau berada di dasar atau dekat dasar perairan. Pengelompokan jenis ikan sebenarnya lebih bersifat subyektif karena pemisahan jenis secara tajam sangat sulit dilakukan. Sebagai patokan umum yang lebih bersifat implikatif terhadap kelompok ikan bisa dilihat dari alat tangkapnya. Untuk ikan demersal (termasuk udang) alat tangkap yang biasa dioperasikan untuk mengusahakannya adalah trawl, rawai dasar, jaring insang dasar, jaring klitik/ trammel dan bubu. Alat-alat tangkap yang dioperasikan untuk menangkap ikan pelagis antara lain adalah pukat cincin, jaring insang hanyut, payang dan bagan apung. Komposisi Jenis Udang Laut Dalam Informasi tentang komposisi hasil tangkapan dalam jangka panjang merupakan salah satu informasi dasar bagi kajian dinamika komunitas sumber daya ikan, teknologi alat tangkap yang digunakan dan interaksi antar spesies atau kelompok spesies. Komposisi jenis udang laut dalam di perairan laut dalam Kawasan Timur Indonesia (KTI) dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu udang (prawn) dan lobster (scampi). Jenis udang yang diperoleh terdiri dari 24 jenis yang dapat digolongkan menjadi 5 Famili, yaitu : Aristaeidae, Pandalidae, Penaeidae, Nematocarcinidae dan Sicyonidae (Sumiono & Soselisa, 1993). Lobster terdiri dari 12 jenis yang dapat dikelompokkan menjadi 5 Famili, yaitu : Scyllaridae, Palinuridae, Nephropidae, Polychelidae dan Thalassinida (Wallner & Phillips, 1988) . Beberapa jenis udang laut dalam yang dapat dikategorikan mempunyai nilai ekonomis penting antara lain jenis Aristeus virilis, Aristeomorpha foliace, Heterocarpus woodmasoni dan Haliporoides sibogae, dan untuk jenis lobster yang cukup penting meliputi
Strategi Pengelolaan Sumber Daya Udang Laut Dalam………di Indonesia (A. Suman & F. Satria)
Metanephrops sibogae dan Nephropsis ensirostris (Davis & Ward, 1984; Waddley & Morris, 1991). Komposisi jenis udang laut dalam di perairan laut dalam Kawasan Barat Indonesia (KBI) pada area Samudera Hindia sebelah selatan Jawa didapatkan 38 jenis dengan jenis yang dominan udang Penaeid (Plesiopenaeus edwardsianus) dan hal ini mengindikasikan habitat dasar perairan selatan Jawa terdiri dari lumpur, yang merupakan habitat utama udang Penaeid (Suman et al., 2008a). Selain itu di perairan selatan Jawa didapatkan juga jenis lobster ekonomis penting, Metanephrops andamanicus, yang mendominasi hasil tangkapan. Di perairan Australia lobster ini menjadi komoditas ekonomis penting dalam perikanan udang laut dalam (Wallner & Phillips, 1988) dan dengan ditemukannya jenis ini nantinya akan dapat dijadikan salah satu hasil tangkapan yang potensil untuk dikembangkan di perairan ini. Jenis yang agak berbeda ditemukan pada area Samudera Hindia sebelah barat Sumatera, dimana dari 33 jenis yang ditemukan di perairan ini terlihat didominasi oleh udang Pandalidae yaitu jenis Heterocarpus sp. (Suman et al, 2008b). Hal ini mengindikasikan bahwa dasar perairan di wilayah perairan tersebut merupakan karang-karang, yang sangat berbeda dengan dasar perairan laut dalam Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan beberapa area di laut dalam KBI. Secara umum jenis udang laut dalam yang ditemukan di perairan Indonesia adalah didominasi oleh jenis ekonomis penting seperti yang sudah dimanfaatkan di perairan Australia dan Kepulauan Pasifik (King, 1986, Sumiono & Suman, 1990) . Dengan demikian sumber daya udang laut dalam yang ada di perairan Indonesia sangat berprospek untuk diusahakan secepat mungkin. Sementara itu pola pertumbuhan jenis udang laut dalam yang diamati menunjukkan pertumbuhan yang mengikuti pola allometris yang berarti pertambahan panjangnya tidak secepat pertambahan beratnya (Iskandar & Sumiono, 1993), sama seperti yang ditemukan pada udang laut dalam di perairan Australia (Waddley & Morris, 1991). Untuk komposisi ukuran setiap jenis udang menunjukkan udang betina selalu ditemukan lebih panjang dari udang jantan serta udang betina selalu lebih banyak dari udang jantan. Fenomena ini menunjukkan bahwa populasi sumber daya udang laut dalam masih dalam kondisi yang baik karena dengan ditemukannya udang betina lebih banyak menunjukkan pembaruan populasi (recovery) akan terjamin dengan baik. Selain itu komposisi ukuran jenis udang yang menunjukkan kisaran yang luas menunjukkan bahwa udang laut dalam tersebut dalam satu populasi terdiri dari beberapa kohort.
Selanjutnya pola penyebaran menunjukkan bahwa udang laut dalam di perairan laut dalam KBI dan KTI terkonsentrasi pada kedalaman 200-500 m. Jenis udang yang memiliki penyebaran yang sangat luas adalah udang Penaeid (Plesiopenaeus edwardsianus, Aristeus virilis) dan fenomena lain penyebaran ini menunjukkan bahwa makin bertambah kedalaman akan diikuti oleh makin besarnya ukuran udang-udang yang tertangkap (Sumiono & Soselisa, 1993; Suman et al. 2008a, Suman et al., 2008b). Alat Penangkapan Sampai saat ini pemanfaatan sumber daya udang laut dalam belum dilakukan di Indonesia, jadi belum ada alat tangkap yang beroperasi untuk pemanfaatannya. Berdasarkan potensi yang ada, maka alat tangkap yang layak untuk dikembangkan mengusahakannya adalah bubu. Alat tangkap bubu sebenarnya sudah lama digunakan oleh nelayan terutama untuk menangkap ikan dasar. Alat tangkap ini mempunyai bagian-bagian antara lain : badan bubu,ijeb-ijeb, dan mulut/pintu. Ijeb-ijeb umumnya berbentuk kerucut, dimana bagian luarnya terlihat lebar, sedang bagian dalamnya semakin menyempit. Dengan bentuk demikian ini, organisme yang telah masuk melalui ijeb -ijeb ke dalam bubu akan mengalami kesulitan untuk keluar lagi. Di Indonesia bubu umumnya terbuat dari bambu dan mempunyai beraneka ragam bentuk seperti sangkar, silinder, gendang, kubus dan lain-lain (Subani & Barus 1989). Jenis bubu demikian ini kebanyakan dioperasikan di perairan dakat pantai atau perairan karang yang dangkal. Bubu yang digunakan dalam penelitian percobaan penangkapan udang laut dalam di perairan Indonesia dirancang berdasarkan pengetahuan dan pengalaman peneliti-peneliti alat dan teknologi penangkapan ikan Balai Penelitian Perikanan Laut. Di samping itu bahanbahan juga diperoleh dari daftar pustaka tentang hasilhasil penelitian dari negara lain yang sudah mengadakan penelitian atau usaha penangkapan komersil mengenai udang dan ikan laut dalam. Beberapa negara yang telah melakukan penelitian tentang udang laut dalam antara lain: Australia, Papua New Guinea, dan negara-negara lain di kawasan lautan Pasifik (King, 1986). Tiga bubu laut dalam yang digunakan adalah bubu lipat, silinder dan trapezium (Barus & Wudianto, 1993). Perbedaan ketiga tipe bubu terletak pada ukuran,bentuk dan perlengkapan lainnya. Sedang bahan yang digunakan adalah sama baik jenis maupun ukurannya. Besi begel berdiameter 6-12 mm digunakan sebagai kerangka, sedang berdiameter 2
49
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 47-55
mm digunakan pada bagian-bagian tertentu seperti pada ijeb. Sambungan kerangka pada beberapa bagian di las, tetapi ada pula bagian yang diikat dengan kawat tali atau tali PE. Dipilihnya bahan besi sebagai kerangka, agar bubu mudah tenggelam saat dioperasikan dan akan mengurangi penggunaan pemberat. Untuk menghindari terjadinya karatan (korosi), maka kerangka dilabur dengan meni terlebih dahulu. Sebagai pembungkus (cover) kerangka bubu digunakan bahan jaring PE dengan ukuran jaring 1,0 inci (2,54 cm). Bahan jaring PE lebih murah harganya dibandingkan denagn barang lain , seperti PA atau super net. Konstruksi dari ketiga jenis bubu ini dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dibuka dan dilipat, yang akan memudahkan dalam transportasi dan penyimpanannya. Dalam pengoperasian bubu ini digunakan beberapa jenis umpan, yaitu ikan kembung, layang dan kepala tuna (Raharjo & Linting,1993). Adapun diskripsi dari ketiga tipe bubu ini adalah sebagai berikut : 1. Bubu Lipat, bubu lipat dibuat dengan ukuran panjang 82 cm, lebar 75 cm dan tinggi 55 cm. Bentuk bubu tidak empat persegi panjang. Bagian atasnya berbentuk setengah lingkaran dan kedua sisinya pendek, sedangkan bagian bawah sedikit melengkung. Bubu lipat dilengkapi dengan mulut yang dipasang pada kedua sisi yang pendek. Mulut berbentuk bulatan atau oval dengan panjang 35 cm. Kerangka bubu dapat dilipat saat tidak dioperasikan sehingga dapat menghemat tempat saat pengangkutan atau penyimpanan. 2. Bubu Silinder, bentuk bubu silinder hampir sama dengan bubu lipat, dimana pada kedua sisi pendek bagian bawah bentuknya rata, sehingga bentuk dasar merupakan empat persegi panjang. Bubu silinder dibuat dengan ukuran panjang 120 cm lebar 70 cm dan 60 cm. Bubu mempunyai dua mulut yang bentuknya bulat atau oval yang dipasang pada kedua bagian sisi pendek. Ada 2 jenis ijeb yang digunakan berdasarkan panjangnya yaitu 41 cm dan 53 cm. Bubu silinder dapat dikerutkan dengaan melepaskan besi penyangga saat tidak dioperasikan sehingga dapat juga menghemat tempat penyimpanan dan pengangkutan. 3. Bubu Trapesium, bentuk bubu menyerupai trapesium, dengan ukuran sisi bawah panjang 135 cm, lebar 100 cm dan ukuran bagian atasnya panjang 115 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 35 cm. Mulut hanya satu buah, berbentuk bulat atau oval dan dipasang pada bagian sisi lebar yang
50
bentuknya rata. Bubu trapesium jugsa menggunakan 2 jenis ijeb yang panjangnya 41 cm dan 53 cm. Bagian atas (badan) bubu trapesium ini dibuat terpisah dari alas bubu. Dengan demikian saat tidak dioperasikan, badan bubu dapat disusun atau ditumpuk sehingga memudahkan penyimpanan dan pengangkutannya. Hasil tangkapan bubu dapat dibedakan atas 3 golongan yaitu udang, ikan dan organisme lainnya. Terdapat 14 jenis udang laut dalam yang tertangkap oleh ketiga tipe bubu dan masing-masing tipe bubu mampu menangkap species udang yang berbeda. Jenis udang Heterocarpus woodmassoni mendominan hasil tangkapan pada semua tipe bubu. Bubu lipat mampu menangkap Heterocarpus woodmassoni sebanyak 50,24%, bubu silinder sebesar 62,06%,dan bubu trapesium sebesar 62,67% . Berdasarkan rata-rata hasil tangkapan udang, ternyata bubu tipe silinder mampu menagkap udang tertinggi yaitu 8 ekor atau 142,06 gram/bubu, kemudian diikuti oleh bubu lipat sebesar 6 ekor atau 133,64 gram/bubu,dan yang paling rendah adalah bubu trapesium yaitu 5 ekor atau 96,39 gram/bubu (Barus & Wudianto, 1993) . Melihat tingginya hasil tangkapan udang pada bubu lipat dan silinder ini, maka kedua tipe bubu ini layak untuk dikembangkan. Bubu lipat dan silinder ternyata praktis dan mudah merakitnya di atas kapal saat sebelum dioperasikan karena dapat dikerutkan atau dilipat, dengan demikian akan memudahkan dalam penyimpanan dan pengangkutannya. Kedua tipe bubu ini dapat dioperasikan dalam jumlah banyak meskipun menggunakan kapal berukuran kecil, karena jenis alat tangkap ini tidak memerlukan tempat yang luas dalam pengangkutannya. Potensi Penangkapan Bagi keperluan perencanaan pengembangan potensi baru sumber daya udang laut dalam di suatu daerah diperlukan pengetahuan tentang besarnya potensi penangkapan. Hasil penelitian di perairan laut dalam KBI menunjukkan bahwa kepadatan stok udang laut dalam pada area ZEE Samudera Hindia selatan Jawa berkisar antara 8 – 399 kg/km² (Suman et al. 2008a) . Stasiun yang paling rendah kepadatan stoknya adalah di sebelah selatan Cilacap dan yang tertinggi pada stasiun di sebelah selatan Yogyakarta. Secara spasial terlihat kepadatan stok lebih tinggi di perairan bagian barat yaitu di sekitar perairan selatan Jawa Tengah, bila dibandingkan di bagian timur yang meliputi wilayah perairan selatan Jawa Timur. Untuk ZEE Samudera Hindia sebelah barat Sumatera
Strategi Pengelolaan Sumber Daya Udang Laut Dalam………di Indonesia (A. Suman & F. Satria)
ditemukan kepadatan stoknya berkisar antara 2,0 – 91 kg/km²(Suman et al. 2008b), kepadatan stok tertinggi terdapat pada area sebelah barat pulau Enggano dan terendah terdapat di area sebelah barat Aceh. Apabila dilihat per area didapatkan kepadatan stok udang laut dalam lebih tinggi di perairan Selatan Jawa dibandingkan dengan perairan sebelah barat Sumatera. Secara umum potensi penangkapan udang laut dalam di perairan KBI sekitar 568 ton per tahun untuk area ZEE Samudera Hindia sebelah selatan Jawa dan 72 ton per tahun untuk area ZEE Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera. Fenomena di perairan laut dalam KTI menunjukkan bahwa potensi penangkapannya jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan area laut dalam KBI. Dari indikator kepadatan stok di perairan laut dalam KTI menunjukkan kisaran 0,28–1,97 ton/km²(Suman et al.1993; Sumiono & Iskandar, 1993), hal ini mengindikasikan bahwa potensi penangkapan di wilayah ini lima kali lebih tinggi apabila dibandingkan di perairan laut dalam KBI. Potensi penangkapan tertinggi di wilayah ini didapatkan pada di sekitar pulau-pulau kecil seperti Kai, Aru dan Tanimbar.
Agar pemanfaatan sumber daya udang laut dalam ini dapat dilakukan secara berkelanjutan, maka sumber daya ini harus dikelola secara rasional. Oleh karena itu maka sumber daya udang laut dalam ini harus dikelola mulai dari tingkat awal pemanfaatannya sehingga diperoleh keseimbangan antara pengembangan dan keuntungan yang optimal. Dalam konteks ini kita dianjurkan untuk mengidentifikasikan tujuan-tujuan pengelolaan dan selanjutnya menentukan metode yang paling sesuai untuk itu. Dalam menentukan langkah-langkah pengelolaan maka harus didasarkan pada bukti ilmiah yang akurat (FAO, 1995). Berbagai macam peraturan dan undang-undang telah dikeluarkan untuk pengelolaan dan pemanfaatan udang yang berkelanjutan untuk melindungi sumber daya tersebut dari kelebihan tangkap dan kepunahannya. Pada prinsipnya metode-metode pengelolaan tersebut digolongkan menjadi dua bagian yaitu pengontrolan ukuran udang yang tertangkap dan pengontrolan jumlah penangkapan (amount of fishing) (Gulland, 1972). Penutupan Daerah dan Musim Penangkapan
PEMANFATAAN SUMBER DAYA UDANG LAUT DALAM SECARA BERKELANJUTAN Menyadari keseriusan permasalahan pemanfaatan sumber daya perikanan dunia, maka Komisi Perikanan Dunia (The Committe on Fisheries) pada sidang yang kesembilan belas pada bulan Maret 1991 melakukan pengembangan konsep baru menuju perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Selanjutnya pada Konferensi Internasional tentang penangkapan ikan yang bertanggung jawab yang diselenggarakan pada tahun 1992 di Cancun, Mexico telah menunjuk FAO untuk mempersiapkan suatu konsep petunjuk pelaksanaan (code of conduct) untuk penangkapan ikan yang bertanggung jawab (responsible) dan memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan (sustainability) (FAO, 1995). Pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan (sustainable mangement) dalam perikanan timbul karena adanya isu global tentang terbatasnya sumber daya perikanan di satu pihak dan kebutuhan akan sumber daya perikanan yang terus meningkat akibat meningkatnya penduduk di lain pihak. Dengan menerapkan konsep pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan maka akan dapat menyelamatkan sumber daya ikan tersebut dari kepunahan dan sekaligus menyelamatkan kepentingan kehidupan semua orang yang bergantung kepada sumber daya perikanan ini.
Tindakan ini terutama dimaksudkan untuk memelihara siklus pertumbuhan udang, agar tidak terjadi pemutusan terhadap siklus yang dapat mengakibatkan penurunan populasi dan kepunahan satu atau beberapa jenis udang. Tindakan ini terutama ditujukan untuk membatasi efisiensi penangkapan, dan hanya akan efektif bila dilakukan secara simultan dengan pembatasan terhadap ukuran, jumlah serta kekuatan mesin kapal. Penutupan musim penangkapan tidak boleh berjalan terlalu lama, sebab akan menimbulkan masalah ketenagakerjaan bagi nelayan yang mata pencahariannya tergantung sepenuhnya pada kegiatan penangkapan. Penutupan daerah penangkapan merupakan salah satu faktor yang mempunyai pengaruh relatif terbatas terhadap pembatasan upaya penangkapan. Penerapan tindakan ini pada umumnya dapat berupa penutupan terhadap berlakunya suatu jenis alat tangkap tertentu, misalnya trawl pada kedalaman atau jarak tertentu dari pantai. Dalam prakteknya, pelaksanaan peraturan penutupan daerah penangkapan kadang-kadang akan merupakan problema yang sulit diatasi tanpa adanya patroli/pengawasan yang efisien. Pembatasan Ukuran Udang Terkecil Pengontrolan ukuran udang pada saat pertama kali ditangkap dengan menentukan ukuran minimum yang
51
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 47-55
boleh didaratkan ternyata kurang efektif dan telah merangsang praktek-praktek memusnahkan dan membuang kembali ke laut ikan-ikan yang ukurannya di bawah ukuran yang telah ditentukan. Walaupun demikian, peraturan tersebut dapat membantu dalam menegakkan peraturan lain seperti penutupan daerah penangkapan. Peraturan ini mungkin akan lebih efektif jika pemasaran udang yang berukuran di bawah minimum yang telah ditetapkan juga dilarang. Pengaturan Ukuran Mata Jaring Pengaturan ukuran mata jaring dimaksudkan untuk meloloskan individu-individu udang yang berukuran kecil (muda) dari suatu stok. Jika pengaturan ukuran mata jaring telah menjadi pilihan, beberapa faktor berikut perlu dicoba. Termasuk diantaranya selektivitas (pengaruh tipe jaring dan benang yang berbeda dan ukuran hasil tangkap serta waktu penarikan), pendugaan pengaruh jangka pendek dan jangka panjang dan penentuan efektivitas penegakan peraturan. Pembatasan Jumlah Penangkapan Berbagai metode telah dicoba untuk mengurangi kematian karena penangkapan, tetapi tingkat keberhasilannya cukup bervariasi. Termasuk ke dalam cara pembatasan jumlah penangkapan ini adalah mempersingkat musim penangkapan, mengurangi daerah penangkapan yang dibuka, menggunakan alat dan metode yang kurang efisien, penentuan kuota hasil tangkapan, pembatasan jumlah kapal atau izin penangkapan dan pembatasan modal. Karena kelimpahan stok sangat bervariasi (yang tergantung faktor lingkungan), manajer harus diberi informasi peramalan terakhir jika ia harus mengontrol tekanan penangkapan dan mencegah kelebihan tangkap penambahan baru (recruitment over-harvest). Manajer juga harus cepat menyadari setiap perubahan dari upaya penangkapan atau praktek-praktek lain yang mungkin mempengaruhi total hasil tangkapan. Manajer harus mempertimbangkan dampak sosialekonomi karena pengurangan efisiensi nelayan terutama selama periode meningkatnya biaya operasional dan pengolahan. Pembatasan Alat Penangkapan Hasil tangkap dapat dikurangi dengan membatasi efisiensi unit penangkapan yang ada dengan syarat nelayan tidak meningkatkan upaya penangkapannya. Metode yang biasa digunakan adalah pembatasan ukuran trawl atau melarang penggunaan trawl di daerah tertentu.
52
Thailand telah melarang penggunaan trawl bermesin pada perairan sejauh 3.000 m dari pantai (Srikmuda, 1981). Di seluruh perairan Indonesia penggunaan trawl telah dilarang untuk melindungi nelayan tradisional. Tindakan tersebut sudah tentu memberikan dampak sosial ekonomi yang besar. Kuota Penangkapan Walau kuota terhadap total hasil tangkapan tahunan sering dilakukan untuk hewan air yang umurnya panjang (ikan paus, halibut, cod, udang Pandalid), tetapi kuota terhadap hasil tangkapan udang tidak begitu cocok. Karena umurnya pendek, kuota tahunan tidak akan mengontrol kematian penangkapan, bahkan mungkin akan merangsang nelayan untuk menangkap secara intensif pada waktu musim penangkapan karena khawatir jangka waktu kuota sangat singkat. Pembatasan hasil per kapal per hari atau per trip dapat mengurangi mortalitas. Cara ini dilakukan pada beberapa perairan pantai di teluk Meksiko-Amerika Serikat untuk membatasi penangkapan yuwana udang (Leary, 1985; Christimas, 1981). Hal ini memerlukan tingkat pemantauan yang tinggi agar penegakan hukum dapat efektif. Pembatasan Upaya Penangkapan Walau metode pengelolaan lain seperti kuota penangkapan dapat mencapai maksud-maksud biologi, tapi kontrol langsung terhadap upaya penangkapan (atau kapasitas armada penangkapan) kelihatannya masih perlu untuk merealisasikan keuntungan ekonomi yang nyata yang dapat diperoleh dari pengelolaan yang efektif. Metode ini kelihatannya juga dapat memberikan cara pengalokasian sumber daya diantara kelompok pemakai yang berbeda-beda. IMPLIKASI KEBIJAKAN Sumber daya udang laut dalam bersifat terbatas tetapi dapat pulih, dan pendugaan stok udang dapat digambarkan sebagai pencarian tingkat eksploitasi yang dalam jangka panjang memberikan hasil maksimum dari suatu perikanan. Tingkat eksploitasi yang dalam jangka panjang memberikan hasil tertinggi ditunjukkan oleh upaya optimum (f opt.) dan hasil yang diperoleh dinyatakan sebagai “Maximum Sustainable Yield (MSY)”(Sparre & Venema, 1992). Konsep jangka panjang digunakan karena kita tidak ingin memperoleh hasil tangkapan yang tinggi dengan peningkatan upaya yang drastis pada tahun pertama, sementara pada tahun berikutnya hasil tangkapan cenderung menurun drastis karena sumber daya telah
Strategi Pengelolaan Sumber Daya Udang Laut Dalam………di Indonesia (A. Suman & F. Satria)
terkuras. Yang diinginkan adalah suatu strategi penangkapan yang memberi hasil tertinggi secara tetap dan berkesinambungan atau dengan kata lain pemanfaatan sumber daya udang laut dalam tersebut dapat dilakukan secara berkelanjutan. Sumber daya udang laut dalam dipandang sebagai sumber daya yang dapat pulih kembali (renewable resources), maka pemanfaatan yang berkelanjutan harus diartikan sebagai upaya pemanfaatan sumber daya yang laju ekstrasinya tidak boleh melampaui laju kemampuan daya pulihnya. Oleh karena itu rezim pemanfaatan secara terbuka, sebagaimana yang umumnya dianut di Indonesia saat ini, sudah seharusnya tidak digunakan untuk mengusahakan sumber daya ini. Sampai saat ini pemanfaatan sumber daya udang laut dalam belum dilakukan di Indonesia, dengan demikian telah terjadi pemborosan devisa, karena membuang percuma sumber daya yang ada tanpa dapat digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Setiap tahun surplus produksi dari stok yang ada akan mengalami kematian alamiah tanpa sempat kita gunakan untuk meningkatkan produksi perikanan kita. Dari tujuh macam cara pengelolaan untuk menuju pemanfaatan sumber daya udang laut dalam secara berkelanjutan seperti yang telah dikemukakan, terlihat tidak seluruhnya dapat diaplikasikan dalam pemanfaatan sumber daya udang laut dalam di perairan KBI dan KTI. Pembatasan atau penentuan ukuran udang terkecil yang boleh didaratkan dan ukuran mata jaring yang terkecil tidak dapat dilaksanakan, karena yuwana dari udang yang harus dilindungi dan udang dewasa dari jenis-jenis udang kecil lainnya terdapat pada daerah yang sama (bercampur). Kesukaran lain ialah jika sebagian hasil tangkap nelayan terdiri dari udang-udang dengan ukuran dibawah ukuran udang terkecil yang telah ditetapkan, akan membuat nelayan membuang kembali hasil tangkapannya ke laut dan akan terbuang percuma karena akan mati sendiri. Pengaturan ukuran mata jaring juga tidak dapat diterapkan karena metode ini kurang efektif untuk udang laut dalam karena proses seleksi tidak begitu efisien. Hal ini mengingat udang memiliki rostrum dan appendages (pencuatan-pencuatan) yang akan menghambat lolosnya udang dari mata jaring. Selain itu alat tangkap yang disarankan untuk pemanfaatan sumber daya udang laut dalam adalah bubu, dengan demikian tidak berkaitan dengan pengaturan ukuran mata jaring.
Dengan demikian dari beberapa metoda pengelolaan dan pemanfaatan yang dikemukan untuk menuju pemanfaatan sumber daya udang laut dalam secara berkelanjutan di perairan Indonesia, ternyata metode yang layak dilaksanakan adalah penutupan musim dan daerah penangkapan, pembatasan upaya penangkapan dan kuota penangkapan. Penutupan daerah dan musim penangkapan bertujuan untuk melindungi udang muda dan juwana serta meningkatkan ukuran udang pertama kali matang kelamin dan akhirnya meningkatkan produksi. Dengan metode ini maka waktu yang krusial yang dibutuhkan oleh udang dalam siklus hidupnya, yaitu mulai memijah, menjadi larva dan menuju daerah asuhan dalam bentuk post larva, dapat terlindungi dan dengan demikian akan terjamin kelestarian sumber daya laut dalam. Penerapan metode pengelolaan dan pemanfaatan berupa pembatasan upaya penangkapan udang laut dalam didasarkan pada hasil riset metode sapuan (swept area method). Untuk perairan laut dalam KBI potensi lestari udang laut dalam yang dapat dimanfaatkan adalah sebesar 568 ton di Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa dan sebesar 73 ton untuk perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera. Untuk upaya pemanfaatan sumberdaya tersebut sebaiknya difokuskan pada nelayan skala kecil dengan jumlah upaya optimum di Perairan Selatan Jawa sekitar 250 upaya dan untuk Barat Sumatera sekitar 35 upaya. Analog dengan Perairan KBI, di perairan KTI juga dapat dilakukan pemanfaatan sumber daya udang laut dalam dengan jumlah upaya 1.250 unit upaya bubu dan potensi penangkapan sekitar 2.840 ton per tahun. Dengan demikian setiap tahunnya pemanfaatan sumber daya udang laut dalam ini dapat menyerap tenaga kerja 3.100 orang nelayan, yang berarti pengusahaan sumber daya udang laut dalam ini dapat menjadi sumber kehidupan bagi 15.000 orang rakyat Indonesia terutama penduduk di wilayah pulau-pulau kecil. Untuk alat tangkap yang akan digunakan dalam pemanfaatan sumber daya udang laut dalam di Indonesia disarankan menggunakan alat tangkap bubu, seperti yang dioperasikan nelayan-nelayan kecil penangkap udang laut dalam di negara-negara Kepulauan Pasifik. Selanjutnya pengelolaan pemanfaatan sumber daya udang laut dalam yang dapat diaplikasikan adalah kuota penangkapan. Kuota penangkapan yang dilakukan adalah dengan membagi potensi penangkapan yang ada berdasarkan kemampuan wilayah dalam menangkap udang laut dalam ini. Prinsip kuota ini sangat sejalan juga dengan prinsip otonomi daerah yang mulai berlaku sejak tahun 1999.
53
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.5 No. 1 Mei 2013 : 47-55
KESIMPULAN DAN SARAN Sumber daya udang laut dalam merupakan sumber daya yang potensial untuk diusahakan dan sampai saat ini belum dimulai pemanfaatannya di Indonesia. Komposisi jenis sumber daya udang laut dalam didapatkan lebih dari 38 jenis, penyebarannya ditemukan mulai dari kedalaman 200 m sampai dengan kedalaman 1100 m dengan ukuran makin besar sesuai dengan makin bertambahnya kedalaman perairan. Potensi penangkapan udang laut dalam ini lebih besar di laut dalam KTI bila dibandingkan dengan laut dalam KBI. Alat tangkap yang disarankan untuk pemanfaatannya adalah bubu dan ditujukan untuk pemanfaatan nelayan skala kecil. Dalam kaitan pemanfaatan sumber daya ikan laut dalam yang berkelanjutan tersebut maka disarankan untuk melakukan pengendalian jumlah upaya dengan introdusir sekitar 285 armada bubu di KBI dengan produksi yang lestari 640 ton per tahun serta sekitar 1.250 armada bubu untuk perairan laut dalam KTI dengan produksi yang lestari sekitar 2.840 ton. Penutupan daerah dan musim serta penetapan kuota juga sudah harus dilakukan pada awal pemanfaatannya, dengan demikian akan menjamin kesinambungan populasi dan prinsip keadilan berusaha. DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 1972. Survey Samudera Hindia (tanggal 12 Nopember sampai dengan 1 Desember, 1972). Laporan Penelitian Perikanan Laut.1 : 27-58.
FAO, 1995. Code of conduct for responsible fisheries. FAO, Rome. George, M.J. 1967. On a collection of Penaeid prawns from the offshore water of the south-west India. Proceeding of symposium on crustacea. Part 1 : p 337-344. Gulland, J.A. 1972. Some introductory guidelines to management of shrimp fisheries. FAO, IOFC/DEV/ 72/74 : 12 p. Iskandar, B.P.S. & B. Sumionio, 1993. Udang laut dalam di perairan Kai dan Tanimbar (Bagian II: hubungan panjang berat, nisbah kelamin dan kematangan gonada). Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 77 : 16-26. King, M.J. 1986. Deep-water shrimps. The fishery resources of Pacific island countries. Part 1, FAO Fish. Tech. Pap. (272.1), 45 p. Leary, T.R. 1985. Review of the Gulf of Mexico management plan for shrimp. Second Australian National Prawn Seminar: p. 267-273. Naamin, N. 1984. Dinamika populasi udang jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di perairan Arafura dan alternatif pengelolaannya. Disertasi Doktor pada Fakultas Pasca Sarjana, IPB Bogor : 381 hal.
Anonymous, 2006. The Japan-Indonesia deep sea fishery resources joint exploration project (Final Report). OFCF Japan – AMFR, MMAF Indonesia.
Penn, J.W. 1984. The behaviour and catchability of some commercially exploited penaeids and their relationship to stock and recruitment. In Gulland, J.A. and B.J. Rothschild (eds.): Penaeid shrimptheir biology and management. Fishing News Book Ltd. Farnham, Surrey, England : p. 173-186.
Barus, H.R. & Wudianto, 1993. Penelitian berbagai tipe bubu untuk penangkapan udang laut dalam. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 77 : 42-53.
Pusdatin, 2010. Volume naik, nilai ekspor udang triwulan I-2009 turun. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Christimas, J.Y. 1981. The impact of environmental factors on the Gulf of Mexico shrimp stocks. Workshop on the Scientific Basis for the Management of Penaeid Shrimp, Florida, Nov. 1981 : 21 p.
Sondita, M.F.A., Sulistiono, A. Purbayanto, Sudirman, F. Satria & M.A. Sofijanto, 2004. Demersal fisheries resources in Indian Ocean off southern coast of Java and Bali. Lokakarya Hasil Survei Trawl Sumber Daya Ikan Laut Dalam di Samudera Hindia, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor : p.II-1 – II-16.
Davis, T.L.O. & T.S. Ward, 1984. CSIRO finds two new scampi grounds off the north-west shelf. Austr. Fish. 43 (8) : 41-45. Ditjenkan, 1998. Evaluasi pembangunan perikanan PELITA VI. Ditjenkan-Deptan, Jakarta.
54
Sparre, P. & S.C. Venema, 1992. Introduction to tropical fish stock assesment. Part I. Manual. FAO Fish. Tech. Pap. No. 306/1.
Strategi Pengelolaan Sumber Daya Udang Laut Dalam………di Indonesia (A. Suman & F. Satria)
Srikmuda, P. 1981. Shrimp fisheries in the Gulf of Thailand. Workshop on the Scientific Basis for the Managemen of Penaeid Shrimp, Florida, Nov. 1981 : 16 p.
Sumiono, B. & A. Suman, 1990. Studi udang laut dalam dan prospek pengembangannya di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 56 : 27-39.
Suman, A., S. Budihardjo & A.P.A. Widodo, 1993. Stok sumber daya udang di perairan ZEE selatan Irian Jaya. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 79 : 92-98.
Sumiono, B. & J. Soselisa, 1993. Udang laut dalam di perairan Kai dan Tanimbar (bagian 1: jenis-jenis udang dan penyebarannya). Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 73 : 45-56..
Suman, A., M. Rijal & G. Bintoro, 2008a. Potential yield of deep sea shrimp resources in the southern Java of the Indian Ocean EEZ waters. Indonesian Fisheries Research Journal. 14, (1) : 7-14.
Sumiono, B. & B. Iskandar PS, 1993. Penyebaran dan kepadatan udang laut dalam di perairan Tanimbar dan laut Timor. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 77 : 1-15.
Suman, A., Wudianto & G. Bintoro, 2008b. Species composition, distribution and potential yield of deep sea shrimp resources in the western Sumatera of the Indian Ocean EEZ of Indonesian waters. Indonesian Fisheries Research Journal, 12 (2) : 159-167.
Wadley, V.A. & S.L. Morris, 1991. Deep water fishery for prawn and carids off Western Australia. In Davie, P.J.S. and R.H. Quinn (Eds.): Memoirs of the Queensland Museum. Published by order of the board. 31.
Suman, A. 2010. Sumber daya udang penaeid di Indonesia dan kemungkinan peanfaatannya secara berkelanjutan. Makalah Orasi Profesor Riset, Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Wallner, B. & B. Phillips, 1988. From scampi to deep water prawn : developments in the nort-west shelf deep water trawl fishery. Australian Fisheries. 47 (9): 34-38.
55
JURNAL KEBIJAKAN PERIKANAN INDONESIA Pedoman Bagi Penulis Ruang Lingkup Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia memuat analisis dan sintesis hasil-hasil penelitian, informasi, dan pemikiran dalam kebijakan kelautan dan perikanan. Tata Cara Pengiriman Naskah Naskah yang dikirim haruslah asli dan harus jelas tujuan, bahan yang dipergunakan, maupun metode yang diterapkan dan belum pernah dipublikasikan atau dikirimkan untuk dipublikasi di mana saja. Naskah diketik dengan program MSWord dalam dua spasi dikirim rangkap tiga. Naskah dapat dikirimkan melalui Redaksi Pelaksana Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia dengan alamat Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430 Telp.: (021) 64711940. Tim Penyunting berhak menolak naskah yang dianggap tidak layak untuk diterbitkan. Penyiapan Naskah Judul Naskah hendaknya tidak lebih dari 15 kata dan harus mencerminkan isi naskah, diikuti dengan nama penulisnya. Jabatan atau instansi penulis ditulis sebagai catatan kaki di bawah halaman pertama. Abstrak merupakan ringkasan penelitian dan tidak lebih dari 250 kata, disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Kata kunci (3-5 kata) harus ada dan dipilih dengan mengacu pada Agrovocs. Pendahuluan secara ringkas menguraikan masalah-masalah, tujuan, dan pentingnya penelitian. Jangan menggunakan subbab. Bahasan disajikan secara jelas tanpa detail yang tidak perlu. Kesimpulan dan Rekomendasi disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud dan tujuan sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan. Tabel disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, dengan judul dibagian atas tabel dan keterangan. Tabel diketik menggunakan program MS-Excel. Gambar, skema, diagram alir dan potret diberi nomor urut dengan angka Arab. Judul dan keterangan gambar diletakan di bawah gambar dan disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Persantunan memuat judul kegiatan dan dana penelitian yang menjadi sumber penulisan naskah. Daftar Pustaka disusun berdasarkan abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut: Nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku/nama dan nomor jurnal, penerbit dan kotanya, serta jumlah/ nomor halaman. Sebagai contoh adalah: Sunarno, M.T.D., A. Wibowo & Subagja. 2007. Identifikasi tiga kelompok ikan belida (Chitala lopis) di Sungai Tulang Bawang, Kampar dan Kapuas dengan pendekatan biometrik. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 13 (3): 1-14. Sadhotomo, B. 2006. Review of environmental features of the Java Sea. Indonesia Fisheries Resources Journal. 12 (2): 129-157. Sudradjat, A., I.W. Rusastra, E.S. Heruwati & B. Priono (eds). Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan Budi Daya. Pusat Riset Perikanan Budidaya, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. 181 hal. Defeo, O., T.R. McClanahan & J.C. Castilla. 2007. A brief history of fisheries management with emphasis on societal participatory roles. In McClanahan T. & J.C. Castilla (eds.). Fisheries Management: Progress toward Sustainability. Blackwell Publishing, Singapore, p: 3-24. Heinen, J.M., L.R. D’Abramo, H.R. Robinette & M.J. Murphy. 1989. Polyculture of two sizes of freshwater prawns (Macrobrachium rosenbergii) with fingerling channel catfish (Getalurus Punctatus). Journal World Aquaculture Soc., 20 (3): 72-75. Publikasi yang tak diterbitkan tidak bisa digunakan, kecuali tesis, seperti contoh berikut: Simpson, B.K. 1984. Isolation, Characterization and Some Applications of Trypsin from Greenland Cod (Gadus morhua). PhD Tesis. Memorial University of New Foundland, St. John’s, New Foundland, Canada, 17 pp. Cetak Lepas (Reprint) Penulis akan menerima cetak lepas secara cuma-cuma. Bagi tulisan yang disusun oleh lebih dari seorang penulis, pembagiannya diserahkan pada yang bersangkutan. Lain-lain Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia menerima sumbangan naskah dari penulisan di luar Pusat Riset Perikanan Tangkap dengan ketentuan isinya memenuhi kriteria standar Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia.