ISSN 1979-9366
JURNAL KEBIJAKAN PERIKANAN INDONESIA Volume 3 Nomor 2 Nopember 2011 Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia adalah wadah informasi perikanan, baik laut maupun perairan umum. Jurnal ini menyajikan analisis dan sintesis hasil-hasil penelitian, informasi, dan pemikiran dalam kebijakan kelautan dan perikanan. Terbit pertama kali tahun 2009, dengan frekuensi penerbitan dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan: MEI dan NOPEMBER. Ketua Redaksi: Prof. Dr. Ir. Subhat Nurhakim, M.S. Anggota: Prof. Dr. Ir. Endi Setiadi Kartamihardja, M.Sc. Prof. Ir. Badrudin, M.Sc. Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Dr. Ir. Dede Irving Hartoto, APU Dr. Ir. Sonny Koeshendrajana, M.Sc. Mitra Bestari untuk Nomor ini: Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumasanto, M.S. (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB) Dr. Ir. Augy Syahailatua, M.Sc. (Pusat Penelitian Oseanologi-LIPI) Redaksi Pelaksana: Eko Prianto, S.Pi., M.Si. Eli Nurcahyani
Alamat Redaksi/Penerbit: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430 Telp. (021) 64711940; Fax. (021) 6402640 Email:
[email protected] Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan-Kementerian Kelautan dan Perikanan.
ISSN 1979-9366
JURNAL KEBIJAKAN PERIKANAN INDONESIA Volume 3 Nomor 2 Nopember 2011 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………......
i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………...........................
ii
Perkembangan Dan Optimisasi Produksi Perikanan Laut Di Indonesia Oleh: Purwanto dan Wudianto………………………………………………………..…….......
81-99
Upaya-Upaya Pengelolaan Sumber Daya Ikan Yang Berkelanjutan Di Indonesia Oleh: Suherman Banon Atmaja dan Duto Nugroho……………………………………………… 101-113 Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus ndulatus Ruppell 1835) Oleh : Isa Nagib Edrus………………..…………………………………………………………… 115-133 Pengelolaan Sumber Daya Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr) Endemik Berbasis Kearifan Lokal Di Danau Singkarak Oleh : Hafrijal Syandri, Junaidi Dan Azrita……………………………………………………... 135-144 Analisis Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Sebagai Dasar Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan Di Wilayah Perairan Cirebon Oleh : Pigoselpi Anas, Luky Adrianto, Ismudi Muchsin, Dan Arief Satria............................ 145-157 Potensi Tangkapan Ikan Laut Pada Tempat Pelelangan Ikan Di Pulau Jawa, Bali Dan Nusa Tenggara Barat Oleh : Ralph Thomas Mahulette Dan Agustinus Anung Widodo………………………….. 159-168
iii
KATA PENGANTAR
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia volume 3 Nomor 2 Nopember 2011 adalah terbitan kedua di tahun 2011. Percetakan jurnal ini dibiayai oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan konservasi Sumberdaya Ikan menggunakan anggaran tahun 2011. Sebelum diterbitkan tulisan ini telah melalui proses revisi dan evaluasi dari Dewan Redaksi dan Mitra Bestari sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing dan proses editing dari Redaksi Pelaksana. Pada terbitan nomor satu ini, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia menampilkan enam artikel hasil penelitian perikanan perairan umum daratan dan perairan laut. Keenam artikel tersebut mengulas tentang perkembangan dan optimisasi produksi perikanan laut di Indonesia, upaya-upaya pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan di Indonesia, kebijakan moratorium ikan Napoleon (Cheilinus undulatus Ruppell 1835), pengelolaan sumberdaya ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr) endemik berbasis kearifan lokal di Danau Singkarak, analisis status pemanfaatan sumberdaya ikan sebagai dasar pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di wilayah Perairan Cirebon, dan potensi tangkapan ikan laut pada tempat pelelangan ikan di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan kontribusi bagi para pengambil kebijakan dan pengelola sumberdaya perikanan di Indonesia. Redaksi mengucapkan terima kasih atas pertisipasi aktif para peneliti dari lingkup dan luar Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan konservasi Sumberdaya Ikan.
Redaksi
Perkembangan dan Optimisasi Produksi Perikanan Laut di Indonesia (Purwanto., et al.)
PERKEMBANGAN DAN OPTIMISASI PRODUKSI PERIKANAN LAUT DI INDONESIA Purwanto dan Wudianto Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 3 Desember 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 14 April 2011; Disetujui terbit tanggal:5 Agustus 2011
ABSTRAK Tulisan ini menjelaskan perkembangan kegiatan penangkapan dan produksi perikanan laut Indonesia pada kurun waktu 22 tahun terakhir. Jumlah dan daya tangkap armada perikanan laut telah berkembang pesat dan menghasilkan peningkatan produksi perikanan. Perkembangan produksi tersebut cenderung melambat pada 10 tahun terakhir dan mendekati level-off, namun volume produksi ikan tersebut tidak mencapai tingkat optimalnya. Beberapa permasalahan yang menyebabkan capaian sub-optimal tersebut antara lain adalah terjadinya overcapacity pada armada perikanan yang berdampak terjadinya overfishing, struktur armada perikanan yang didominasi perahu dan kapal berskala kecil yang beroperasi tidak jauh dari pantai menggunakan alat tangkap dengan selektivitas rendah, dan adanya praktek penangkapan ikan secara ilegal. Permasalahan lainnya adalah karakteristik sumberdaya ikan yang terdiri dari banyak species yang bermigrasi ke dan/atau dimanfaatkan bersama oleh nelayan dari daerah atau negara yang berbeda. Pengendalian upaya penangkapan ikan dalam kerangka pengelolaan perikanan dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut perlu dilakukan untuk optimisasi produksi lestari. Pilihan pengendalian untuk masing-masing wilayah pengelolaan perikanan dijelaskan pada tulisan ini. KATA KUNCI: batas pertumbuhan, perkembangan, pengendalian, penangkapan ikan, produksi lestari maksimum. ABSTRACT: Development and optimisation of Indonesian marine fisheries production. By : Purwanto and Wudianto This paper describes the development of fishing activities and marine fisheries production of Indonesia during the last 22 year period. The number and fishing power of fishing fleet increased considerably, resulting in higher quantity of marine fisheries production. The growth of the production tends to be slower in the last decade approaching a level-off. However, the quantity of production was much lower than the optimal level. ___________ Korespondensi Penulis Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur-Jakarta Utara 14430
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No.2 Nopember 2011: 81-99
Some problems causing this suboptimal achievement included overcapacity of fishing fleet resulting in overfishing, domination of the fishing fleet by small-scale boats operating less selective fishing gears in the waters close to coastal areas, and illegal fishing practices. Another problem was multispecies nature of fisheries, with some fishery resources migrated to and/or were shared amongst fishers from different districs, provinces or countries. Control of fishing effort in the fisheries management famework taking into account these matters should be conducted in order to optimise sustainable production. Alternative control measures for each fisheries management area are explained here. KEYWORDS: limit to grow, development, control, fishing, maximum sustainable yield.
Perkembangan dan Optimisasi Produksi Perikanan Laut di Indonesia (Purwanto., et al.)
PENDAHULUAN Di wilayah perairan laut dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia terdapat sumberdaya ikan (SDI) yang terdiri dari beragam jenis (multi-species) dan merupakan salah satu kekayaan alam yang dapat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sesuai dengan pasal 33 ayat 3 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945), potensi kemakmuran dari SDI tersebut perlu didayagunakan pada tingkat optimal untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita nasional, yaitu antara lain memajukan kesejahteraan umum untuk mewujudkan bangsa yang makmur. Pendayagunaan SDI secara bertanggung-jawab berarti memanfaatkan sumberdaya alam tersebut secara benar sesuai dengan daya-dukungnya sehingga tercapai manfaat yang optimal dan berkelanjutan serta terjamin kelestariannya (Pasal 6 ayat 1 Undang Undang (UU) nomor 31 tahun 2004). Pemanfaatan SDI secara benar akan dapat memberikan dukungan optimum terhadap pembangunan perikanan di Indonesia secara berkelanjutan sebagai bagian dari Pembangunan Nasional. Pemanfaatan SDI yang dilakukan secara benar, sehingga kelimpahan SDI tersebut dan keaneka-ragaman hayatinya dapat dipertahankan pada tingkat
optimum, akan memberikan jaminan kelangsungan usaha penangkapan ikan. Kelangsungan usaha penangkapan ikan, pada gilirannya, akan menjamin kelangsungan kegiatan ekonomi pada bagian hulu dan hilirnya. SDI juga merupakan sumber induk alami dan plasma nutfah yang amat diperlukan dalam pengembangan usaha pembudidayaannya. Plasma nutfah sangat penting dalam pemuliaan genetika dalam rangka menghasilkan induk unggul. Dengan demikian, kelestarian SDI dan keanekaragaman hayatinya juga akan memberi jaminan kelangsungan usaha budidaya dan kegiatan ekonomi penunjangnya, baik pada bagian hulu maupun hilirnya. Perkembangan perikanan laut mencapai batas pertumbuhannya pada saat pendayagunaan SDI laut tersebut menghasilkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan sementara sumberdaya ikannya tetap lestari. Pengembangan lebih lanjut setelah perikanan laut mencapai batas pertumbuhannya akan berakibat penurunan manfaat lebih rendah dibandingkan tingkat optimalnya dan peningkatan resiko ancaman terhadap kelestarian SDI. Tulisan ini menyajikan evaluasi perkembangan perikanan laut Indonesia, mencakup jumlah dan
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No.2 Nopember 2011: 81-99
ukuran armada perikanan daya tangkapnya serta produksi ikan, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perikanan (1985, 1990, 1995, 1999) dan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2005, 2010). Tulisan ini juga menyajikan potensi produksi yang dapat dihasilkan dari SDI laut di Indonesia dan intensitas pemanfaatannya, berdasarkan data/informasi yang tercantum pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 45/Men/2011, serta langkah yang dapat ditempuh untuk mengoptimumkan produksi lestarinya. Perkembangan Armada Perikanan Laut, Upaya Penangkapan Dan Hasil Tangkapan Per Unit Upaya Permintaan akan hasil perikanan yang cenderung terus
meningkat di pasar dunia (FAO, 2010) maupun dalam negeri telah mendorong pelaku usaha Indonesia untuk meningkatkan kapasitas penangkapan ikannya dengan menambah jumlah perahu atau kapal agar dapat meningkatkan produksinya. Peningkatan kapasitas tersebut juga dilakukan dengan peningkatan daya tangkap melalui penggunaan kapal berukuran lebih besar, alat tangkap yang lebih efektif dan alat bantu penangkapan (Cardinale, Nugroho & Hernroth, 2009; Purwanto & Nugroho, 2011). Akibatnya, selain jumlah seluruh perahu dan kapal perikanan di Indonesia terus bertambah, upaya penangkapan ikan, yang merupakan ukuran kemampuan penangkapan ikan (OECD, 2007; McCluskey & Lewison, 2008), juga terus meningkat (Gambar 1).
70
50
(A)
500
200
40 150
30 100
20
10 50
0 0
KM <10 GT KM >30 GT PMT
600
(B)
400
300
200
100
0
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
KM <10 GT KM >30 GT PMT
Jumlah perahu tanpa motor dan bermotor tempel (1000 unit)
250
Upaya penangkapan dari perahu tanpa motor dan bermotor tempel (1000 unit)
1987-88 1989-90 1991-92 1993-94 1995-96 1997-98 1999-00 2001-02 2003-04 2005-06 2007-08
Jumlah kapal motor (1000 unit) 60
1987-88 1989-90 1991-92 1993-94 1995-96 1997-98 1999-00 2001-02 2003-04 2005-06 2007-08
Upaya penangkapan dari kapal motor (1000 GT)
Perkembangan dan Optimisasi Produksi Perikanan Laut di Indonesia (Purwanto., et al.)
Tahun
KM 10-30 GT PTM
Tahun
KM 10-30 GT PTM
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No.2 Nopember 2011: 81-99
Gambar 1. Perkembangan (A) jumlah perahu dan kapal perikanan, serta (B) upaya penangkapan ikan dari armada perahu dan kapal di Indonesia, 1987 – 2008. Pada periode tahun 1998 – 2008, peningkatan jumlah keseluruhan armada perikanan adalah sekitar 30,8%. Sementara itu, jumlah perahu bermotor tempel meningkat 55,5%. Jumlah kapal berukuran kurang dari 10 GT, 1030 GT dan yang lebih dari 30 GT masing-masing meningkat 46,1%, 32,1% dan 2.1%. Sebaliknya, jumlah perahu tanpa motor menurun 5,4%. Hingga saat ini, armada penangkapan ikan di Indonesia didominasi oleh perahu dan kapal berukuran kecil yang umumnya beroperasi pada kawasan perairan dekat pantai menggunakan alat tangkap yang kurang selektif. Pada tahun 2008, jumlah perahu dan kapal berukuran kecil tersebut adalah sekitar 97% dari jumlah keseluruhan armada (596 ribu unit) yang terdiri dari perahu tanpa motor (36%), perahu bermotor tempel (38%) dan kapal berukuran kurang dari 10 GT (23%). Sementara itu jumlah kapal berukuran 10-30 GT dan lebih dari 30 GT masing-masing hanya 2% dan 1% dari jumlah seluruh armada. Distribusi armada perikanan tersebut tidak merata diantara 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP). Tiga WPP dengan jumlah perahu dan kapal terbanyak adalah WPP-712, WPP-713 dan
WPP-711 (Lampiran 1). Jumlah perahu dan kapal di kawasan barat Indonesia (KBI) relatif sama dengan yang di kawasan timur Indonesia (KTI). Namun demikian, perahu dan kapal berukuran kecil lebih banyak di KTI, sedangkan kapal berukuran besar lebih banyak di KBI. Peningkatan jumlah dan daya tangkap armada perikanan pada periode tahun 1998 – 2008 telah menyebabkan peningkatan upaya penangkapan keseluruhan sekitar 39,5%. Sementara itu, upaya penangkapan dari perahu bermotor tempel meningkat 55,5%. Upaya penangkapan dari kapal motor berukuran kurang dari 10 GT, 10-30 GT dan yang lebih dari 30 GT masing-masing meningkat 46,3%, 33,4% dan 35,5%. Sebaliknya, upaya penangkapan dari perahu tanpa motor menurun 5,4%. Membandingkan persentase perubahan jumlah masing-masing kategori armada perikanan tersebut dan upaya penangkapannya, dapat disimpulkan terjadinya peningkatan daya tangkap kapal perikanan. Peningkatan daya tangkap paling tinggi terjadi pada kapal berukuran lebih dari 30 GT. Berdasarkan proporsi kontribusi masing-masing jenis armada perikanan terhadap upaya
Perkembangan dan Optimisasi Produksi Perikanan Laut di Indonesia (Purwanto., et al.)
penangkapan keseluruhan, upaya penangkapan dari armada kapal jauh lebih tinggi dibandingkan dari armada perahu, walaupun jumlah kapal lebih sedikit dibandingkan jumlah perahu. Upaya penangkapan dari armada kapal pada tahun 2008 adalah sekitar 94% dari upaya penangkapan seluruh armada perikanan. Berdasarkan tonase kapal, upaya penangkapan dari kapal berukuran kurang dari 10 GT, 10-30 GT dan yang lebih dari 30 GT masingmasing adalah 39%, 19% dan 36% dari upaya penangkapan keseluruhan. Distribusi upaya penangkapan dari armada perikanan berdasarkan WPP, yang tertinggi adalah di WPP-712, urutan berikutnya adalah WPP713, WPP-711 dan WPP-571 (Lampiran 2). Upaya penangkapan dari armada perikanan di KBI adalah sekitar 73% dari upaya penangkapan seluruh armada perikanan se Indonesia. Peningkatan upaya penangkapan dari armada perikanan di Indonesia pada periode tahun 1976 – 2008 diikuti
dengan penurunan hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) (Gambar 2). Karena nilai CPUE menunjukkan besarnya produktivitas armada perikanan dan kelimpahan SDI (Cadima, 2003; McCluskey & Lewison, 2008), penurunan CPUE tersebut mengindikasikan terjadinya penurunan produktivitas armada perikanan dan penyusutan kelimpahan SDI di Indonesia sebagai akibat dari meningkatnya upaya penangkapan pada kurun waktu tersebut. Hal yang sama dijumpai antara lain pada perikanan udang di perairan selatan Jawa Tengah (Purwanto, 1988; Purwanto, Nitimulyo & Jatileksono, 1988) dan di Laut Arafura (Widodo, Purwanto & Nurhakim, 2001; Purwanto, 2008a, 2010, 2011b, 2011c), perikanan demersal di Laut Jawa (Purwanto, 2003) dan Laut Arafura (Widodo, Purwanto & Nurhakim, 2001; Badrudin, Nurhakim, & Prisantoso, 2008), perikanan lemuru di Selat Bali (Purwanto, 1992, 2008b, 2011a), perikanan pelagis kecil di Laut Jawa (Purwanto, 2003; Purwanto & Nugroho, 2011).
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No.2 Nopember 2011: 81-99
10
(A)
8
1200
6
900 Upaya CPUE
600
4 2
300
0 0 1975 1983 1991 1999 2007
Hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (ton/GT/th)
Upaya penangkapan (1000 GT)
1500
Tahun Hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (ton/GT/th)
10 8 6 (B)
4 2 0 0
300 600 900 1200 1500
Upaya penangkapan (1000 GT) Gambar 2. (A) Perkembangan upaya penangkapan ikan dan hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE), serta (B) hubungan antara CPUE dengan upaya penangkapan dari armada perikanan Indonesia, 1976 - 2008. Perkembangan Dan Batas Pertumbuhan Produksi Perikanan Laut Perkembangan produksi ikan laut Indonesia secara keseluruhan pada periode tahun 1976 – 2008 menunjukkan kecenderungan pelambatan setelah tahun 1996
(Gambar 3A). Hubungan antara volume produksi keseluruhan dan upaya penangkapan pada kurun waktu tersebut menunjukkan bahwa tingkat produksi ikan laut Indonesia telah mendekati tingkat optimalnya (Gambar 3B). Volume produksi ikan laut Indonesia tahun 2008 adalah 4,7 juta ton.
Perkembangan dan Optimisasi Produksi Perikanan Laut di Indonesia (Purwanto., et al.)
Sementara itu, potensi produksi ikan, yaitu produksi lestari maksimum, yang dapat dihasilkan dari pemanfaatan SDI yang berada di wilayah perairan laut dan ZEE Indonesia adalah sekitar 6,52 juta ton per tahun. Dari keseluruhan potensi produksi ikan tersebut, sekitar 96% bersumber dari stok ikan pelagis kecil (3,65 juta ton), ikan demersal (1,45 juta ton), dan ikan pelagis besar (1,14 juta ton)
(Lampiran 3). Sisanya (sekitar 4%) bersumber dari stok udang (100 ribu ton) dan jenis lainnya (180 ribu ton). Walaupun volume produksi tersebut lebih rendah dibandingkan potensinya, tidak berarti bahwa peningkatan jumlah perahu dan/atau kapal akan menghasilkan peningkatan produksi ikan.
Volume produksi ikan keseluruhan (1000 ton/thn)
5000 (A)
4000 3000 2000 1000 0 1975 1983 1991 1999 2007
Tahun
Volume produksi ikan keseluruhan (1000 ton/thn)
5000 (B)
4000 3000 2000 1000 0 0
300 600 900 1200 1500
Upaya penangkapan (1000 GT)
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No.2 Nopember 2011: 81-99
Gambar 3. (A) Perkembangan volume produksi ikan laut keseluruhan di Indonesia, dan (B) hubungan antara volume produksi ikan laut keseluruhan dan upaya penangkapan ikan dari armada perikanan Indonesia, 1976 – 2008. Dinamika usaha penangkapan ikan berbeda dari dinamika industri manufaktur. Pada industri manufaktur, semua faktor produksi dalam kendali pelaku usaha, sehingga peningkatan input produksi diikuti dengan peningkatan produksi. Sementara itu, peningkatan input produksi pada usaha penangkapan ikan tidak selalu diikuti oleh peningkatan produksinya. Pada SDI yang belum pernah dimanfaatkan, peningkatan kegiatan penangkapan akan diikuti oleh meningkatnya laju pertumbuhan biomasa ikan tersebut, sehingga produksi ikan juga meningkat. Laju pertumbuhan biomasa semakin meningkat dengan peningkatan berlanjut kegiatan penangkapan hingga dicapai laju maksimum pertumbuhan biomasa. Pada saat pertumbuhan biomasa mencapai laju maksimum, kegiatan penangkapan menghasilkan produksi lestari maksimum (maximum sustainable yield = MSY). Pada kondisi tersebut potensi SDI dimanfaatkan penuh (fully-exploited). Setelah tingkat maksimum tersebut, peningkatan berlanjut pada upaya penangkapan menyebabkan SDI dimanfaatkan secara berlebih (over-exploited) berakibat penyusutan laju pertumbuhan
biomasa sehingga produksi ikan juga menyusut (Schaefer, 1954, 1957; Fox, 1970, 1975; Dwiponggo, 1987; Purwanto, 1988, 1992, 2003, 2008a, 2008b, 2010, 2011a, 2011b, 2011c; Purwanto, Nitimulyo & Jatileksono, 1988; Badrudin, Nurhakim, & Prisantoso, 2008; Purwanto & Nugroho, 2011). Pada kondisi terakhir tersebut, kapasitas penangkapan dari armada perikanan melebihi kapasitas yang diperlukan untuk berproduksi pada tingkat optimal (over-capacity) (Pascoe et al., 2004). Batas pertumbuhan kegiatan penangkapan ikan secara biologis adalah pada saat dicapai MSY. Peningkatan jumlah kapal penangkap ikan yang beroperasi hanya akan menghasilkan peningkatan produksi ikan bila SDI yang menjadi sasaran operasi penangkapannya belum dimanfaatkan penuh. Produksi lestari tidak memungkinkan lagi meningkat bila SDI sudah berada pada tingkat pemanfaatan penuh ataupun berlebih. Peningkatan jumlah perahu dan/atau kapal yang beroperasi dengan sasaran SDI yang sudah dimanfaatkan penuh ataupun yang dimanfaatkan berlebih akan menyebabkan menyusutnya produksi lestari dan mengancam kelestarian
Perkembangan dan Optimisasi Produksi Perikanan Laut di Indonesia (Purwanto., et al.)
sumberdaya ikannya. Sementara itu, peningkatan teknologi penangkapan yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas hanya akan berdampak positif terhadap peningkatan produksi bila sumberdaya ikannya belum dimanfaatkan penuh dan peningkatan teknologi penangkapan tidak menyebabkan upaya penangkapan melebihi tingkat optimumnya (Purwanto, 1990). Pada saat ini sebagian besar SDI laut di 11 WPP sudah dimanfaatkan penuh atau bahkan berlebih (Tabel 1). SDI pelagis kecil dan demersal, dengan jumlah potensi produksi sekitar 78% dari keseluruhan potensi produksi ikan, menjadi sasaran utama sebagian besar armada perikanan Indonesia. Diantara stok ikan pelagis kecil pada 11 WPP, hanya sekitar
27,3% stok yang masih memungkinkan ditingkatkan pemanfaatannya, sedangkan sisanya sudah dimanfaatkan penuh (36,3%) atau bahkan dimanfaatkan berlebih (36,4%). Pada stok ikan demersal di 11 WPP, hanya sekitar 36,4% stok yang masih memungkinkan ditingkatkan pemanfaatannya, sedangkan sisanya sudah dimanfaatkan penuh (45,4%) atau bahkan dimanfaatkan berlebih (18,2%). Oleh karena itu, perkembangan produksi ikan demersal dan pelagis kecil cenderung melambat pada tahuntahun terakhir (Gambar 4A). Sebagian besar stok SDI pelagis kecil dan demersal yang dimanfaatkan penuh ataupun berlebih berada pada kawasan barat Indonesia, pada WPP yang berdekatan dengan daerah padat penduduk (Tabel 1).
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No.2 Nopember 2011: 81-99
280
(A)
240
1200
200
900
160 120
600
80
300
40
0 1986 1991 1996 2001 2006
Volume produksi ikan (1000 ton/thn)
Ikan demersal Ikan pelagis kecil Cumi-cumi
0
Volume produksi udang & cumi-cumi (1000 ton/thn)
Volume produksi ikan (1000 ton/thn)
1500
Ikan pelagis besar Udang penaeid
420 360
(B)
300 240 180 120 60
0 1986 1991 1996 2001 2006 Cucut Cakalang Tongkol
Pari Tuna besar
Gambar 4. (A) Perkembangan produksi ikan laut di Indonesia berdasarkan jenis atau kelompok jenis sumberdaya ikan dan (B) perkembangan produksi beberapa jenis ikan laut yang masuk kelompok jenis ikan pelagis besar, 1987 – 2008. Sementara itu, tidak satupun stok udang pada sembilan WPP memungkinkan ditingkatkan pemanfaatannya, karena 11% stok
sudah dimanfaatkan penuh dan 89% stok dimanfaatkan berlebih. Indikasi dari hal ini adalah volume produksi udang yang cenderung
Perkembangan dan Optimisasi Produksi Perikanan Laut di Indonesia (Purwanto., et al.)
menurun setelah tahun 2000 (Gambar 4A). Sebaliknya, stok cumi-cumi masih memungkinkan ditingkatkan pemanfaatannya, sebagaimana juga diindikasikan oleh volume produksi cumi-cumi yang masih cenderung meningkat pada tahun-tahun terakhir (Gambar 4A). Perkembangan produksi ikan pelagis besar menunjukkan kecenderungan pelambatan pada tahun-tahun terakhir (Gambar 4A). Ikan tuna, cakalang, tongkol, cucut dan pari termasuk kelompok jenis SDI pelagis besar. Data produksi perikanan tahun 1987 – 2008 menunjukkan bahwa 42% dari produksi perikanan pelagis besar terdiri dari ikan cakalang dan ikan tuna besar, mencakup albakora, madidihang, tuna mata besar dan tuna sirip biru. Semua stok ikan tuna besar tidak memungkinkan lagi ditingkatkan pemanfaatannya, karena stok sudah dimanfaatkan penuh (44%) dan ada yang dimanfaatkan berlebih (56%). Sebaliknya, stok ikan cakalang di 11 WPP masih memungkinkan ditingkatkan pemanfaatannya. Berdasarkan kecenderungan perkembangan produksi perikanan selama 22 tahun terakhir, kelompok jenis SDI pelagis besar lainnya yang memungkinkan ditingkatkan produksinya adalah tongkol (Gambar 4B). Pada kurun waktu tersebut, rata-rata produksi tongkol adalah sekitar 30% dari produksi perikanan pelagis besar.
Sementara itu, stok cucut dan pari, yang menyumbang produksi sekitar 12% dari produksi perikanan pelagis besar, perkembangan produksinya pada lima tahun terakhir menunjukkan kecenderungan level-off. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pemanfaatan SDI tersebut tidak memungkinkan ditingkatkan tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap kelestariannya. Produksi ikan laut Indonesia tahun 2008 adalah hasil kegiatan menangkap ikan dari stok SDI yang dimanfaatkan penuh sehingga mencapai tingkat produksi optimal, dan dari stok SDI lainnya yang dimanfaatkan pada tingkat rendah (under-exploited) maupun berlebih sehingga tidak mencapai tingkat produksi optimal. Permasalahan lain yang menyebabkan tingkat produksi sub-optimal adalah struktur armada perikanan Indonesia yang didominasi oleh perahu dan kapal berukuran kecil sehingga jangkauan operasinya lebih terbatas pada perairan dekat pantai, termasuk pula kawasan mangrove, yang merupakan kawasan asuhan anak ikan (Ruitenbeek, 1994; Blaber, Brewer & Salini, 1995; Nagelkerken, et al., 2008). Konsekuensinya, hasil tangkapan dari armada perikanan pantai tersebut sebagian terdiri dari anakan ikan. Produksi ikan akan dapat dihasilkan dengan volume lebih tinggi bila anakan
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No.2 Nopember 2011: 81-99
ikan tidak ditangkapi sehingga memiliki kesempatan tumbuh lebih besar. Selain masalah tersebut, sebagian potensi produksi ikan Indonesia ternyata dipanen secara ilegal oleh nelayan dari negara lain dan dibawa langsung dari daerah penangkapan ke luar negeri (Purwanto, 2009), sehingga tidak tercatat dalam statistik perikanan Indonesia. Bila semua stok SDI dimanfaatkan secara optimal oleh nelayan Indonesia maka volume produksi ikan yang dihasilkan akan lebih tinggi dibandingkan volume produksi tahun 2008 dan dapat mencapai tingkat MSY, setara dengan potensi produksi yang dapat dihasilkan. Daya dukung SDI membatasi peningkatan produksi ikan, dan dengan demikian juga membatasi perkembangan perikanan yang berbasis pada SDI tersebut. OPTIMISASI PERIKANAN LAUT
PRODUKSI
Kontribusi optimum perikanan tangkap terhadap pembangunan nasional dimungkinkan bila SDI yang terdapat pada WPP dimanfaatkan pada tingkat optimal dan lestari. Hal ini dapat dicapai bila pelaku usaha perikanan bersedia menghentikan peningkatan upaya penangkapannya saat dicapai tingkat produksi lestari optimum. Namun demikian, stok ikan di laut merupakan sumberdaya milik
umum, tidak seorangpun memiliki hak khusus untuk memanfaatkan sendiri ataupun melarang orang lain ikut memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Akibatnya, setiap pelaku usaha berlomba meningkatkan upaya penangkapannya dengan harapan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak, dengan konsekuensi produktivitas perikanan secara keseluruhan justru akan menurun (Bell, 1980). Perkembangan produksi ikan laut Indonesia secara keseluruhan pada periode tahun 1976 – 2008 menunjukkan kecenderungan pelambatan dan tingkat produksi ikan telah mendekati tingkat optimalnya. Kapasitas penangkapan pada sebagian besar WPP telah melebihi tingkat optimumnya dan menyebabkan terjadinya pemanfaatan SDI secara berlebih, sehingga SDI pada sebagian besar WPP tidak memungkinkan lagi ditingkatkan pemanfaatannya. Manfaat optimum dari SDI di WPP untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak akan dapat dicapai pada kondisi pemanfaatan SDI secara berlebih seperti tersebut. Agar SDI lestari serta dapat menghasilkan manfaat secara optimum dan berkelanjutan, pemerintah perlu melaksanakan pengelolaan perikanan (Pasal 1 & 6 UU nomor 31 tahun 2004). Mempertimbangkan kondisi perikanan laut saat ini, intervensi Pemerintah diperlukan untuk
Perkembangan dan Optimisasi Produksi Perikanan Laut di Indonesia (Purwanto., et al.)
mengendalikan perikanan dalam kerangka pengelolaan perikanan. Adapun pilihan pengendalian perikanan untuk optimisasi produksi ikan pada masing-masing WPP disajikan pada Tabel 2. Perikanan laut Indonesia terdiri dari sejumlah armada perikanan dengan beragam alat tangkap (multi-fleet) yang dioperasikan untuk memanfaatkan SDI yang terdiri dari banyak jenis (multispecies). Masing-masing jenis armada tersebut melaksanakan kegiatan penangkapan ikan menggunakan alat tangkap tertentu dengan sasaran utama suatu jenis SDI, namun hasil tangkapan yang diperoleh tidak hanya jenis SDI yang menjadi sasaran utamanya melainkan juga jenis SDI lain yang menjadi sasaran utama dari armada yang menggunakan alat tangkap yang berbeda. Konsekuensinya, intensitas penangkapan salah satu armada perikanan dengan sasaran utama salah satu jenis SDI berdampak tidak hanya terhadap volume hasil tangkapan dan kelimpahan jenis SDI yang menjadi sasaran utamanya melainkan juga terhadap volume hasil tangkapan dan kelimpahan jenis SDI lain yang ikut tertangkap dan menjadi sasaran utama dari armada penangkapan yang lain. Oleh karena itu, pengendalian perikanan tersebut tidak seharusnya hanya didasarkan pada dinamika salah satu jenis
SDI dan karakteristik salah satu armada dengan alat tangkap tertentu. Pengendalian terhadap perikanan dengan karakteristik multi-species multi-fleet tersebut harus dilakukan secara simultan dengan memperhitungkan dampak interaksi antar armada perikanan yang memperoleh hasil tangkapan dengan species yang sama (Purwanto & Nugroho, 2010). Pengendalian terhadap perikanan dengan sasaran SDI yang belum dimanfaatkan penuh dilakukan dengan peningkatan upaya penangkapan secara terkendali sehingga mencapai tingkat produksi optimal. Peningkatan upaya penangkapan dapat dilakukan melalui penambahan jumlah kapal, peningkatan teknologi penangkapan ataupun perbaikan taktik dan strategi penangkapan ikan. Sebaliknya, pada kondisi kapasitas penangkapan yang berlebih upaya penangkapan perlu dikurangi. Namun, pengendalian tidak dilakukan dengan mengurangi jumlah kapal, karena investasi kapal pada kegiatan usaha penangkapan ikan tidak mudah untuk dialihkan ke kegiatan usaha lainnya. Pada kondisi terakhir tersebut pengendalian dilakukan dengan mengurangi intensitas penangkapan melalui pengurangan hari atau trip penangkapan sehingga mendekati atau mencapai intensitas penangkapan optimal (Purwanto,
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No.2 Nopember 2011: 81-99
1988) dan/atau mengalihkan operasi penangkapan sebagian kapal ke WPP lain yang sumberdaya ikannya belum dimanfaatkan penuh. Kemakmuran rakyat sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 33(3) UUD 1945 tidak dapat diartikan sebagai kemakmuran orang per orang melainkan mengutamakan kemakmuran masyarakat atau semua orang. Pada kasus perikanan, hal tersebut dapat diartikan sebagai kemakmuran masyarakat perikanan. Implikasi dari hal ini adalah mendorong perikanan skala besar untuk mengembangkan produktivitas dan efisiensi usahanya sehingga mencapai manfaat ekonomi optimum, sementara perikanan skala kecil tetap diberi ruang pengembangan usaha agar kelangsungannya tetap terjamin. Dalam kaitan dengan pengendalian penangkapan ikan, perlindungan terhadap perikanan skala kecil dari persaingan langsung dengan perikanan skala besar dalam pemanfaatan SDI dapat dilakukan dengan penetapan jalur atau zonasi daerah penangkapan ikan. Perikanan skala kecil dengan daerah operasi dekat pantai menggunakan alat tangkap dengan selektivitas rendah potensial mengancam kelestarian SDI, karena anakan ikan yang tertangkap belum sempat tumbuh besar dan berkembang-biak, serta menyebabkan produksi ikan tidak mencapai tingkat optimalnya.
Upaya optimisasi produksi dan perlindungan anakan ikan dilakukan melalui perlindungan daerah asuhan dan penggunaan alat tangkap yang lebih selektif terhadap jenis dan ukuran atau umur ikan. Bila SDI belum dimanfaatkan penuh, restrukturisasi armada perikanan dapat dilakukan guna mengoptimumkan produksi ikan sekaligus mengurangi tekanan terhadap SDI di perairan pantai. Upaya pengelolaan perikanan tersebut hanya akan efektif bila otoritas pengelolaan mampu mengendalikan seluruh kegiatan penangkapan terhadap suatu stok ikan. SDI yang berada di perairan Indonesia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu SDI yang menetap pada suatu perairan, dan SDI yang beruaya lintas laut di dalam WPP atau lintas negara hingga laut lepas. Pengelolaan perikanan di WPP adalah menjadi kewenangan Pemerintah (Pasal 6 UU no 31 th 2004). Khusus pengelolaan perikanan di wilayah laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan adalah menjadi kewenangan Daerah (Pasal 18 UU nomor 32 tahun 2004). Namun demikian, pengelolaan perikanan yang dilaksanakan oleh suatu Daerah hanya akan efektif bila Daerah memiliki kewenangan penuh dalam pengendalian seluruh kapal yang memanfaatkan suatu stok ikan yang sama. Hal ini dimungkinkan bila satu kesatuan
Perkembangan dan Optimisasi Produksi Perikanan Laut di Indonesia (Purwanto., et al.)
stok ikan hanya berada di wilayah yang menjadi Kewenangan Daerah tersebut. Bila SDI selalu bermigrasi atau satu kesatuan stok ikan hidup menyebar pada perairan yang menjadi kewenangan dari beberapa Daerah, ataupun dimanfaatkan oleh nelayan dari berbagai Daerah, pengelolaan perikanan tidak akan efektif bila hanya dilakukan oleh sebagian daerah. Pengendalian intensitas pemanfaatan SDI tersebut oleh salah satu daerah pengguna SDI tidak akan efektif bila Daerah lain yang juga memanfaatkan stok ikan yang sama tidak mengendalikan tingkat pemanfaatannya. Hal itu karena kelimpahan sumberdaya tersebut juga dipengaruhi oleh intensitas pemanfaatan oleh nelayan dari daerah-daerah lain. Kesulitan dalam mengelola SDI yang beruaya melintasi batas antar daerah adalah karena masingmasing daerah tidak memiliki kewenangan mengendalikan intensitas penangkapan di luar wilayah kewenangannya. Kesulitan lain dalam pengelolaan tersebut timbul karena masing-masing daerah tidak memungkinkan melakukan sendiri estimasi secara akurat daya dukung SDI tersebut untuk pengelolaannya. Padahal akurasi estimasi tersebut menentukan keberhasilan dalam mencapai sasaran pengelolaan.
Dalam pembagian penyelenggaraan urusan pemerintahan, yang merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan, digunakan tiga kriteria yaitu eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi (Pasal 11 UU nomor 32 tahun 2004). Mempertimbangkan tiga kriteria pembagian penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut dan pola sebaran atau pola migrasi sumberdaya ikannya, pengelolaan perikanan di wilayah pengelolaan suatu pemerintah daerah sebaiknya tidak selalu mutlak menjadi kewenangan pemerintah daerah tersebut. Pemerintah daerah dapat melakukan sendiri pengelolaan terhadap perikanan yang memanfaatkan SDI yang menyebar hanya pada wilayah pengelolaan yang menjadi kewenangannya. Sementara itu untuk SDI yang menyebar atau bermigrasi lintas wilayah pengelolaan kabupaten/kota dalam suatu provinsi, pengelolaan perikanannya dilakukan secara bersama dengan fasilitasi oleh Pemerintah Provinsi. Bila sumberdaya ikannya menyebar atau bermigrasi lintas wilayah pengelolaan kabupaten/kota mencakup lebih dari satu propinsi, pengelolaan perikanannya
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No.2 Nopember 2011: 81-99
dilakukan secara bersama dengan fasilitasi oleh Pemerintah Pusat. 3.2 Pengendalian upaya penangkapan dalam mencapai sasaran pengelolaan optimal tidak akan berhasil bila pada perikanan terdapat praktek penangkapan secara ilegal. Oleh karena itu, pengendalian perikanan perlu dibarengi dengan upaya minimisasi kegiatan perikanan ilegal, yang dapat dilakukan dengan pelaksanaan pengawasan perikanan dan penegakan hukum secara konsisten.
3.3
KESIMPULAN 3.4 1. Jumlah dan kemampuan penangkapan dari armada perikanan laut Indonesia cenderung terus berkembang dalam kurun waktu 22 tahun terakhir; 2. Perkembangan produksi perikanan laut Indonesia cenderung melambat pada 10 tahun terakhir dan mendekati level-off, namun volume produksi ikan tersebut tidak mencapai tingkat optimalnya;
pada sebagian besar stok SDI, struktur armada perikanan yang didominasi perahu dan kapal berskala kecil yang beroperasi tidak jauh dari pantai menggunakan alat tangkap dengan selektivitas rendah, karakteristik SDI yang terdiri dari banyak species yang bermigrasi ke dan/atau dimanfaatkan bersama oleh nelayan dari daerah atau negara yang berbeda; adanya praktek penangkapan ikan secara ilegal;
4. Pengendalian upaya penangkapan dalam kerangka pengelolaan perikanan yang dibarengi dengan pelaksanaan pengawasan perikanan dan penegakan hukum perlu dilakukan untuk optimisasi produksi lestari.
UCAPAN TERIMAKASIH 3. Beberapa hal yang menyebabkan capaian suboptimal pada produksi ikan laut Indonesia antara lain adalah: 3.1 terjadinya overcapacity pada armada perikanan yang berdampak terjadinya overfishing
Ucapan terimakasih kepada Profesor riset Ir. Badrudin, MSc, Profesor riset Dr. Ir. Subhat Nurhakim, MS dan Ir. Duto Nugroho, M.Si. atas komentar, koreksi dan saran untuk penyempurnaan draft tulisan ini. Namun demikian, kesalahan yang
Perkembangan dan Optimisasi Produksi Perikanan Laut di Indonesia (Purwanto., et al.)
masih ada pada tulisan ini tetap menjadi tanggungjawab penulis sepenuhnya.
Direktorat Jenderal Perikanan. 1985. Statistik perikanan Indonesia 1983. DJP, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Badrudin, S. Nurhakim, & B. I. Prisantoso. 2008. Estimated unrecorded catch related to the number of licensed fishing vessel in the Arafura Sea. Ind. Fish. Res. J., 14(1): 43-49. Bell, F.W. 1980 Fisheries Economics. 197–217. In R.T. Lackey and L.A. Nielson (eds.) Fisheries Management. Blackwell Scientific Publications, Oxford. 422p. Blaber, S. J. M., D. T. Brewer and J. P. Salini. 1995. Fish communities and the nursery role of the shallow inshore waters of a tropical bay in the Gulf of Carpentaria, Australia. Estuarine, Coastal and Shelf Science 40: 177-193. Cadima, E.L. 2003. Fish stock assessment manual. FAO Fisheries Technical Paper 393. Rome, FAO. 161p. Cardinale, M., D. Nugroho & L. Hernroth. 2009. Reconstructing historical trends of small pelagic fish in the Java Sea using standardized commercial trip based catch per unit of effort. Fisheries Research 99: 151– 158.
Direktorat Jenderal Perikanan. 1990. Statistik perikanan Indonesia 1988. DJP, Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan. 1995. Statistik perikanan Indonesia 1993. DJP, Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan. 1999. Statistik perikanan Indonesia 1997. DJP, Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2005. Statistik perikanan Indonesia 2003. DJPT, Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2010. Statistik perikanan Indonesia 2008. DJPT, Jakarta. Dwiponggo, A. 1987. Indonesia's marine fisheries resources. 1063. In C. Bailey, A. Dwiponggo & F. Marahudin. 1987. Indonesian marine capture fisheries. ICLARM Studies and Reviews 10.196 p. Food and Agriculture Organisation. 2010. The State of World Fisheries and Aquaculture 2010. FAO, Rome. 197p. Fox, W.W. 1970. An exponential surplus yield model for
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No.2 Nopember 2011: 81-99
optimizing exploited fish populations. Trans. Amer. Fish. Soc., 1970(1): 80-88.
dan sekitarnya. Tesis S-2. Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada. 109h.
Fox, W.W. 1975. Fitting the generalized stock production model by least-squares and equilibrium approximation. Fishery Bulletin 73(1): 23-37.
Purwanto. 1990. Bio-ekonomi perubahan teknologi penangkapan ikan. Oseana, 15(2): 115-126.
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). 2007. Glossary of statistical terms. OECD. 863p. McCluskey, S.M. & R.L. Lewison. 2008. Quantifying fishing effort: a synthesis of current methods and their applications. Fish and Fisheries 9, 188–200. Nagelkerken, I., S.J.M. Blaber, S. Bouillon, P. Green, M. Haywood, L.G. Kirton, J.-O. Meynecke, J. Pawlik, H.M. Penrose, A. Sasekumar, & P.J. Somerfield. 2008. The habitat function of mangroves for terrestrial and marine fauna: A review. Aquatic Botany 89: 155–185. Pascoe, S., D. Gréboval, J. Kirkley, & E. Lindebo. 2004. Measuring and appraising capacity in fisheries: framework, analytical tools and data aggregation. FAO Fisheries Circular 994. 39p. Purwanto. 1988. Optimisasi Ekonomi Penangkapan Udang di Pantai Selatan Jawa Tengah
Purwanto. 1992. Rente ekonomi dan tingkat optimal pengusahaan sumberdaya perikanan lemuru di perairan selat Bali. Jurnal Ekonomi Lingkungan 1(3): 28-39. Purwanto. 2003. Status and management of the Java Sea fisheries. 793-832. In G. Silvestre, L. Garces, I. Stobutzki, M. Ahmed, R. A. Valmonte-Santos, C. Luna, L. Lachica-Aliño, P. Munro, V. Christensen, & D. Pauly (eds.) Assessment, Management, and Future Directions for Coastal Fisheries in Asian Countries. World Fish Center Conference Proceeding 67. 1120 pp. Purwanto. 2008a. Resource rent generated in the Arafura shrimp fishery. Final Draft. Prepared for the World Bank PROFISH Program. Washington. D.C. 29p. Purwanto. 2008b. Resource rent generated in the Bali strait sardine fishery in a fluctuating environment. Final Draft. Prepared for the World Bank
Perkembangan dan Optimisasi Produksi Perikanan Laut di Indonesia (Purwanto., et al.)
PROFISH Program. Washington. D.C. 33p.
Lit. Perikan. Ind., 16(4): 311321.
Purwanto. 2009. Strategi Penanggulangan Illegal Fishing dan Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan guna mendukung Good Governance dalam rangka mensukseskan Pembangunan Nasional. Kertas Karya Perorangan. PPSA XVI, Lembaga Ketahanan Nasional RI, Jakarta. 112h.
Purwanto & D. Nugroho. 2011. Daya tangkap kapal pukat cincin dan upaya penangkapan pada perikanan pelagis kecil di Laut Jawa. Diterima untuk dimuat pada Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 2011.
Purwanto. 2010. The biological optimal level of the arafura shrimp fishery. Ind. Fish. Res. J., 16(2): 79-89. Purwanto. 2011a. Bio-economic optimal levels of the Bali strait sardine fishery operating in a fluctuating environment. Ind. Fish. Res. J., 17(1): 1-12. Purwanto. 2011b. A compromise solution to the conflicting objectives in the management of the Arafura shrimp fishery. Ind. Fish. Res. J., 17(1): 37-44. Purwanto. 2011c. Model optimisasi dengan sasaran beragam untuk pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura. Diterima untuk dimuat pada Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia 2011 Purwanto & D. Nugroho. 2010. Tingkat optimal pemanfaatan stok udang, ikan demersal, dan pelagis kecil di laut Arafura. J.
Purwanto, K.H. Nitimulyo & T. Jatileksono. 1988. Optimisasi ekonomi penangkapan udang di pantai selatan Jawa Tengah dan sekitarnya. Gadjah Mada University Graduate Research Publication, 1(4): 557-567 Ruitenbeek, H.J. 1994. Modelling economy-ecology linkages in mangroves: Economic evidence for promoting conservation in Bintuni Bay, Indonesia. Ecological Economics 10: 233247 Schaefer, M.B. 1954. Some aspects of the dynamics of populations important to the management of commercial marine fisheries. Bulletin of the Inter American Tropical Tuna Commission 1: 25-56. Schaefer, M.B. 1957. Some considerations of population dynamics and economics in relation to the management of the commercial marine fisheries. Journal of Fisheries
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No.2 Nopember 2011: 81-99
Research Board of Canada 14: 669-681. Widodo, J., Purwanto & S. Nurhakim. 2001. Evaluasi Penangkapan Ikan di Perairan ZEEI Arafura: Pengkajian sumberdaya ikan demersal. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 50p. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Undang Undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
Undang Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang Undang nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005 – 2025. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 45/Men/2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Perkembangan dan Optimisasi Produksi Perikanan Laut di Indonesia (Purwanto., et al.)
Tabel 1. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pada masing-masing WPP Kelompok Sumberdaya ikan
Selat Malaka
Samudera Hindia Barat Sumatera
Laut Cina Selatan
Laut Jawa
Selatan Jawa WPPWPPWPPWPPWPP-572 571 573 711 712 Udang O O O O O Ikan Demersal F F M F F Ikan Pelagis Kecil F O F O O Tuna Besar F-O F-O Cakalang M M Cumi-cumi M M Keterangan: M Dimanfaatkan pada tingkat F Dimanfaatkan moderat; penuh; Sumber: Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 45/Men/2011.
Selat Makassar dan Laut Flores WPP713 O O O F-O M O
Laut Banda WPP714
Laut Seram – Teluk Tomini WPP715 O M F F- O M
Laut Sulawesi WPP-716
O F M F M F-O F-O M M M Dimanfaatkan berlebih.
Samudera Pasifik WPP717 O M M O M
Laut Arafur WPP718 F O M
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No.2 Nopember 2011: 81-99
Tabel 2. Pilihan pengendalian untuk optimisasi potensi produksi ikan pada masing-masing WPP Pilihan pengendalian SDI
1 Udang
2 Demersal
3 Ikan pelagis kecil
WPP
571-573, 711-713, 715-717 718 713 & 718 571-572, 711-712, 714 573, 715-717 572, 711-713 571, 573, 714-715 716-718
Intensitas pemanfaatan SDI
Mengurangi upaya penangkapan
O
V
F O
V
Mempertahankan upaya penangkapan
Restrukturisasi armada perikanan
V
V
V
V
M
a
V V
F M O F M
Menambah upaya penangkapan
V
4 Ikan pelagis besar: 4.1. Tuna besar 4.2. Hiu/cucut dan pari 4.3. Cakalang 4.4. Tongkol
V
V Semua F-O V Semua F-O V V Semua M V V Semua M 573, 711, 713, V V 5 Cumi-cumi M 714, 718 Keterangan: M=Dimanfaatkan pada tingkat moderat; F=Dimanfaatkan penuh; O=Dimanfaatkan berlebih; V=langkah pengendalian yang dipili
Lampiran 1. Jumlah perahu dan Kapal perikanan pada masing-masing WPP, 2008
Perkembangan dan Optimisasi Produksi Perikanan Laut di Indonesia (Purwanto., et al.)
WPP 571
Jumlah
Perahu tanpa motor 9,515
Perahu motor tempel 3,675
Sub jumlah 24,940
<5 GT 19,656
Kapal motor 5-10 10-20 GT GT 3,400 897
20-30 GT 554
> 30 GT 433
323
323
184
1,006
771
291
1,288 2,037
530 2,093
431 2,099
1,053
323
77
279 164 145 191 346 7,728 5,551 2,177
285 37 61 92 132 5,200 4,271 929
34
Selat Malaka 38,130 Samudera Hindia Barat 572 40,181 17,804 12,757 9,620 6,514 2,276 Sumatera Samudera Hindia Selatan 573 48,413 10,450 29,637 8,326 3,767 2,492 Jawa 711 Laut Cina Selatan 68,477 21,402 14,888 32,187 25,835 4,103 712 Laut Jawa 105,750 11,357 65,156 29,237 14,292 8,716 Selat Makassar dan Laut 713 103,876 25,044 40,052 38,781 31,561 5,767 Flores 714 Laut Banda 54,297 32,778 16,404 5,115 3,345 1,172 715 Laut Seram - Teluk Tomini 39,228 21,431 15,546 2,252 1,318 733 716 Laut Sulawesi 31,990 10,715 19,934 1,340 460 280 717 Samudera Pasifik 23,598 18,023 4,314 1,262 484 471 718 Laut Arafura 42,243 33,485 6,973 1,786 702 526 Jumlah 596,184 212,003 229,335 154,846 107,934 29,936 1 Kawasan barat Indonesia 300,951 70,528 126,113 104,310 70,064 20,987 2 Kawasan timur Indonesia 295,233 141,475 103,222 50,536 37,870 8,949 Keterangan: Hasil estimasi berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2010).
395 23 80 4,048 3,438 610
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No.2 Nopember 2011: 81-99
Lampiran 2. Perkiraan daya atau kemampuan tangkap perahu dan Kapal perikanan pada masing-masing WPP, 2008
WPP 571
Jumlah
Perahu tanpa motor 952
Perahu motor temple 1,838
Sub jumlah 141,120
<5 GT 49,140
Kapal motor 5-10 10-20 GT GT 25,500 13,455
20-30 GT 13,850
> 30 GT 39,175
4,845
8,075
13,790
15,085
19,273
31,461
19,320 30,555
13,250 52,325
29,665 283,315
15,790
8,085
8,549
4,183
7,122
6,690
2,457
918
-
2,175 2,871 5,184 115,920
1,518 2,295 3,290 130,000
51,950 2,798 12,912 480,305
83,260
106,773
397,406
32,660
23,227
82,899
Selat Malaka 143,909 Samudera Hindia 572 68,224 1,780 6,379 60,065 16,285 17,070 Barat Sumatera Samudera Hindia 573 109,791 1,045 14,819 93,928 9,416 18,692 Selatan Jawa 711 Laut Cina Selatan 167,179 2,140 7,444 157,595 64,588 30,773 712 Laut Jawa 501,009 1,136 32,578 467,295 35,730 65,370 Selat Makassar dan 713 177,108 2,504 20,026 154,578 78,903 43,251 Laut Flores 714 Laut Banda 46,625 3,278 8,202 35,146 8,362 8,789 Laut Seram - Teluk 715 22,084 2,143 7,773 12,168 3,295 5,498 Tomini 716 Laut Sulawesi 69,930 1,071 9,967 58,891 1,150 2,099 717 Samudera Pasifik 16,667 1,802 2,157 12,708 1,211 3,533 718 Laut Arafura 33,923 3,348 3,486 27,088 1,756 3,947 Jumlah 1,356,448 21,200 114,668 1,220,580 269,835 224,520 1 Kawasan barat 990,112 7,053 63,057 920,003 175,159 157,404 Indonesia 2 Kawasan timur 366,336 14,148 51,611 300,578 94,676 67,116 Indonesia Keterangan: Hasil estimasi berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2010).
Perkembangan dan Optimisasi Produksi Perikanan Laut di Indonesia (Purwanto., et al.)
Lampiran 3. Potensi produksi yang dapat dihasilkan dari sumberdaya ikan pada masing-masing WPP Potensi produksi pada masing-masing WPP ('000 ton/th) Laut Selat Laut Seram Laut SamuLaut Makassar Laut Cina Suladera Selatan Jawa dan Laut Banda Selatan Teluk wesi Pasifik Jawa Flores Tomini WPPWPPWPPWPPWPP- WPP- WPPWPP-713 573 711 712 714 715 716 717 201.4 66.1 55.0 193.6 104.1 106.5 70.1 105.2
Samudera Hindia Kelompok Sumberdaya ikan
Selat Malaka WPP571 27.7
Barat Sumatera WPP-572
Ikan Pelagis 164.8 Besar Ikan Pelagis 147.3 315.9 210.6 621.5 380.0 605.4 Kecil Ikan Demersal 82.4 68.9 66.2 334.8 375.2 87.2 Udang 11.4 4.8 5.9 11.9 11.4 4.8 Penaeid Ikan Karang 5.0 8.4 4.5 21.6 9.5 34.1 Konsumsi Cumi-cumi 1.9 1.7 2.1 2.7 5.0 3.9 Lobster 0.4 0.6 1.0 0.4 0.5 0.7 Total 276.0 565.2 491.7 1,059.0 836.6 929.7 Sumber: Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 45/Men/2011.
Laut Arafura
TOTAL
WPP718 50.9
1,145.4
132.0
379.4
230.9
153.9
468.7
3,645.7
9.3 -
88.8 0.9
24.7 1.1
30.2 1.4
284.7 44.7
1,452.5 98.3
32.1
12.5
6.5
8.0
3.1
145.3
0.1 0.4 278.0
7.1 0.3 595.6
0.2 0.2 333.6
0.3 0.2 299.1
3.4 0.1 855.5
28.3 4.8 6,520.1
Upaya-Upaya Pengelolaan ........... Berkelanjutan di Indonesia (Banon, S., et al.)
UPAYA-UPAYA PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN YANG BERKELANJUTAN DI INDONESIA Suherman Banon1) Atmaja dan Duto Nugroho2) 1)
Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta 2) Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal:19 Januari 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 16 Maret 2011; Disetujui terbit tanggal: 28 Juli 2011
ABSTRAK Pengertian dasar untuk pengelolaan perikanan terkait dengan fungsi fungsi biologi, sosial, teknologi, ekonomi serta lingkungan sumber daya sebagai komponen yang saling berhubungan untuk terjaminnya pengelolaan secara berkelanjutan. Stok ikan, ekosistem dan masyarakat nelayan merupakan salah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem yang dinamis, dimana perubahan taktik dan strategi pemanfaatan masih merupakan suatu hal yang banyak dilakukan dalam rangka penyesuaian antara faktor teknis dan ekonomis yang sering kali mengabaikan pertimbangan bio-ekologi sumberdaya ikan. Sasaran pendekatan dan kebijakan pengelolaan perikanan di berbagai negara sudah mulai berubah, diawali dengan pendekatan memaksimalkan tangkapan tahunan dan ketenaga-kerjaan menuju ke konservasi dan pengelolaan berbasis pelayanan ekosistem. Konsep pengelolaan berbasis masyarakat dan ko-manajemen masih terbatas pada pengelolaan kawasan konservasi dan habitat terumbu karang. Adanya kesenjangan dan perbedaan antara kepentingan kawasan konservasi sebagai akibat kurangnya pemahaman kolektif terhadap tujuan pengelolaan, dan kerapkali menyebabkan aktifitas perikanan tangkap sebagai bagian dari kebutuhan ekonomis berbenturan dengan fungsi kawasan konservasi dalam jangka panjang. Pengendalian upaya penangkapan dan memahami dinamika perikanan, serta mengelola nelayan menjadi prioritas untuk pengelolaan sumber daya ikan, sedangkan konsep pengelolaan berbasis masyarakat dan ko-manajemen ditempatkan sebagai pelengkap untuk menutupi kelemahan aspek legal wilayah pengelolaan perikanan atau sumber daya ikan. KATA KUNCI:
pengelolaan, sumberdaya ikan, ko manajemen
ABSTRACT:
Management Efforts on Sustainable Marine Fish Resources in Indonesia. By Suherman Banon Atmaja and Duto Nugroho.
Basic understanding of fisheries management related to biology, social, technology and economic function of fish resources. Fish stocks, ecosystem and fishers community are the integrated component under the dynamic of fisheries system, where as changing and on fishing tactic and strategy still exist to adjust between biology, technics and economics aspects. It is obvious that all technological creeps oftenly ignored the bio-ecological consideration of fish resources. The fisheries management and its policy were gradually shifting from maximize the catch, job opportunity become conservation and ecosystem based fisheries management. The concept of community-based management and co management is still limited to the management of conservation areas and coral reef habitats. The existence of gaps and differences between the interests of the conservation area as a result of a lack of understanding collective to the management objectives and often causing fishing activities as part of the economic needs clash with the function ___________________ Kosrespondensi penulis: Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Samudera Indonesia Jakarta Utara-1440. Tlp. (021) 6602044
101
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 101-113 of conservation areas in the long term. Control efforts to capture and understand the dynamics of fisheries, as well as managing fishing is a priority for the management of fish resources, while the concept of community-based management and co management issued as a supplement to cover the weakness of legal aspects of the fishery management area or fishery resource Keywords:
Management, fish resources, co-management
PENDAHULUAN Perkembangan perikanan yang cenderung semakin mengarah kepada pemanfaatan dengan tidak mengenal kesepakatan batas-batas wilayah pengelolaan maupun penggunaan teknologi yang tidak sejalan dengan konsep ramah lingkungan menyebabkan pengelolaan perikanan tangkap saat ini bukan lagi pada mencari pilihan, tetapi cenderung berada pada kondisi tidak ada pilihan. Dengan adanya tingkat ketidakpastian yang tinggi dihadapi tentang status stok sebagai dasar dalam pengelolalan perikanan dan sering tidak efektifnya implementasi tentang pemikiran ataupun rekomendasi untuk mengurangi kapasitas penangkapan pada tingkat panenan lestari telah menyebabkan beberapa stok ikan berada pada kondisi yang tidak dapat pulih kembali. Seperti halnya beberapa laporan terbaru menyatakan bahwa pengelolaan perikanan selama ini cenderung berkarakteristik kegagalan dibanding keberhasilan, karena lemahnya sistem pengendalian dan pengawasan dan tingginya penguasaan terhadap akses sumber daya ikan telah menimbulkan operasi nelayan di bawah tekanan yang cenderung suka menentang terhadap adanya indikator-indikator penurunan stok dan mendorong ke arah pemanfaatan berlebih baik ekonomi maupun biologi, hingga mencapai tahapan yang dapat dikategorikan sangat mengancam keberadaan dari beberapa spesies. (Berkes, et al.,2001 dan Cunningham, 2005).
102
Perkembangan upaya penangkapan baik dalam jumlah, ukuran maupun teknologi penangkapannnya telah meningkatkan jumlah ikan yang didaratkan tetapi diikuti oleh runtuhnya stok kelompok jenis ikan pelagis kecil. Fenomena ini diikuti oleh perilaku pembiaran yang semakin kerap didengar terhadap rendahnya tanggung jawab pelaporan hasil tangkapan, pengabaian saran dan pemikiran saintifik serta menyalahkan ancaman lingkungan sebagai faktor utama yang mengakibatkan runtuhnya perikanan yang melanda kawasan sub tropis. Pemanfaatan di daerah penangkapan dekat pantai juga mengalami perubahan tiga dimensi yaitu mengarah pada perairan yang lebih dalam, jenis ikan yang baru serta meningkatnya pemasaran jenis ikan dan invertebrata lain yang sebelumnya ditolak dan umumnya jenis pada tingkatan rantai makanan yang lebih rendah (Pauly, 2009). Tantangan untuk memelihara sumber daya ikan yang sehat menjadi isu yang cukup kompleks dalam pembangunan perikanan. Konsep pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk mernenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, Commission on Environment and Development, 1987). Dalam pandangan Norton (2005) dalam Howarth (2007) menyatakan bahwa konsep keberlanjutan mengingatkan para pengambil keputusan untuk mempertimbangkan hak dan kepentingan generasi masa depan dan kadang-kadang terdapat kesulitan untuk
Upaya-Upaya Pengelolaan ........... Berkelanjutan di Indonesia (Banon, S., et al.)
memegang nilai-nilai terhadap lingkungan alam. Konsep tersebut dapat diberikan cukup tepat dalam banyak konteks melalui musyawarah moral yang berusaha untuk menyeimbangkan nilai-nilai dan perspektif dari para pemangku kepentingan yang berbeda. Dalam konsep pengelolaan sumber daya ikan berkelanjutan terdapat tiga komponen penting yang berjalan dalam kondisi berimbang, yaitu: ekologi, sosial, dan ekonomi. Secara empiris adalah proses tarik ulur antara ketiga kepentingan tersebut (Satria, 2004). Kusumastanto (*) menyatakan bahwa perikanan yang berkelanjutan bukan semata-mata ditujukan untuk kepentingan kelestarian ikan itu sendiri (as fish) atau keuntungan ekonomi semata (as rents) tapi lebih dari itu adalah untuk keberlanjutan komunitas perikanan (sustainable community) yang ditunjang oleh keberlanjutan institusi (institutional sustainability) yang mencakup kualitas keberlanjutan dari perangkat regulasi, kebijakan dan organisasi untuk mendukung tercapainya keberlanjutan ekologi, ekonomi dan komunitas perikanan. Sementara Pitcher dan Pauly (1998) menyatakan bahwa lebih penting untuk memulihkan ekosistem dibandingkan terjaminnya keberlanjutan per se, dan hal ini harus menjadi tujuan dalam pengelolaan perikanan. Keberlanjutan adalah memperdayakan tujuan terkait dengan pemanenan ikan oleh manusia yang mengarah pada terjadinya penyederhanaan terhadap pentingnya ekosistem, tingginya keuntungan, dan semakin rendahnya “trophic level” jenis ikan yang dapat bertahan dari perusakan maupun penurunan kualitas habitat. Pada dekade terakhir telah diusulkan bahwa konsep MSY didukung oleh “precautionary principle”, dimana hal ini dijadikan pertimbangan yang untuk
menghindari kemungkinan kerusakan lebih luas atau berdampak negatif pada suatu perikanan. Pendekatan perikanan bernuansa ramah lingkungan dapat berlanjut dan dapat dicapai jika ukuranukuran pengelolaan utama diarahkan untuk mengelola dengan baik agar stok ikan berada diatas “save biological limit” atau pemulihan sumber daya ikan hingga tingkat yang dibutuhkan, diikuti dengan pengurangan secara nyata terhadap hasil tangkap sampingan dan jenis ikan yang tidak termanfaatkan, serta melindungi ekosistem bahari dari aktifitas penangkapan yang merusak lingkungan (Anon, 2009) Tujuan utama dari makalah ini adalah untuk meninjau beberapa model pengelolaan perikanan dan sejauh mana berjalan menuju pengelolaan sumber daya perikanan berkelanjutan di Indonesia, yang disusun berdasarkan penelusuran pustaka dan, disajikan dalam bentuk esei. BAHAN DAN METODA Telaah terhadap hasil dan temuan penelitian serta peraturan yang telah ditetapkan terkait dengan pengelolaan merupakan bahan utama dalam tulisan ini. Analisis dilakukan dengan cara memetakan fenomena perikanan yang sedang berlangsung didukung oleh diskusi terbatas dengan beberapa pemangku usaha pada saat melakukan observasi lapang HASIL DAN BAHASAN Teknik - Teknik Pengelolaan Perikanan di Indonesia Secara teoritis, terdapat dua bentuk regulasi dalam pengelolaan sumber daya perikanan di berbagai belahan dunia, yakni rezim akses terbuka (open access) dan akses terkendali (controlled access). Akses terbuka adalah suatu bentuk regulasi yang
103
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 101-113
cenderung membiarkan nelayan menangkap ikan dan mengeksploitasi sumber daya hayati lainnya kapan saja, dimana saja, berapapun jumlahnya, dan dengan alat apa saja. Secara empiris, implikasi dalam jangka panjang terhadap regulasi ini akan menimbulkan dampak negatif, antara lain apa yang dikenal sebagai tragedy of common baik berupa kerusakan sumber daya perikanan maupun konflik antar nelayan. Sebaliknya, pengelolaan dengan system akses terkendali adalah regulasi terkendali yang dijabarkan berupa (1) pembatasan input (input restriction), yakni membatasi jumlah pelaku, jumlah jenis kapal, dan jenis alat tangkap, (2) pembatasan output (output restriction), yakni membatasi berupa jumlah tangkapan bagi setiap pelaku berdasarkan kuota. Salah satu formulasi dari pembatas input itu adalah territorial use right of fisheries yang menekankan penggunaan fishing right (hak memanfaatkan sumberdaya perikanan) dalam suatu wilayah tertentu dalam yurisdiksi yang jelas. Pola fishing right system ini menempatkan pemegang hak penangkapan ikan melakukan kegiatan perikanan di suatu wilayah, sementara yang tidak memiliki fishing right tidak diizinkan beroperasi di wilayah itu. Selain diatur siapa yang berhak melakukan kegiatan perikanan, juga diatur kapan dan dengan alat apa kegiatan perikanan dilakukan. Sistem yang menjurus pada bentuk pengkaplingan laut utamanya di kawasan pesisir ini menempatkan perlindungan kepentingan nelayan kecil yang beroperasi di wilayah pantai-pesisir serta kepentingan kelestarian fungsi sumber daya (Christy, 1982; Masyhuri, 2004), Namun demikian, dengan mengacu pada “menggunakan hak pemanfaatan dalam pengelolaan perikanan dan pengelolaan berdasarkan hak pemanfaatan” terhadap arti dan konsep diatas dapat menimbulkan kekeliruan dan menimbulkan
104
permasalahan sebagai akibat dari perbedaan pemahaman tentang arti pemanfaatan tersebut dimana realita yang dihadapi adalah timbulnya berbagai jenis dan tipe dari sistem hak kepemilikan dan terdapatnya berbagai cara yang digunakan untuk mengelola perikanan (Anon, 2005) Beberapa teknik – teknik pengelolaan perikanan sebagai dasar pelestarian sumber daya ikan di Indonesia telah termaktub dalam undang-undang dan berbagai peraturan yang telah ditetapkan. Teknik pengelolaan perikanan menurut Undang-Undang Perikanan (pasal 7 UU 31 Tahun /2004 dan UU 45 tahun 2009 tentang perubahan atas UU 31 tahun 2004 tentang perikanan), yaitu: Pengendalian input meliputi pengendalian jenis, jumlah, ukuran alat penangkapan ikan; jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan; persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan; sistem pemantauan kapal perikanan. Pengendalian output meliputi pengendalian ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap. Sebelumnya, upaya pemerintah dalam mengelola perikanan telah ditunjukkan dari berbagai teknik pengelolaan untuk pengaturan, yang meliputi zonasi daerah penangkapan (SK No 607/KPTS/UM/9/ 1976), ukuran mata jaring pada bagian kantong pukat cincin sebesar 1 inci (# 2,54 cm) (SK No. 123/Kpts/Um/3/1975 dan jalur penangkapan kapal pukat cincin (Kepmentan No. 392/1999), sampai pelarangan secara menyeluruh alat tangkap pukat harimau (Keppres no 39/ 1980) serta pengendalian melalui pungutan hasil perikanan (PHP) menurut PP No 54/ 2002 dan pungutan perikanan (UU 31/2004), Pasal 48 angka 1 dan Pasal 49. Kepmentan 392 tahun 1999 tentang jalurjalur penangkapan ikan yang berlaku pada
Upaya-Upaya Pengelolaan ........... Berkelanjutan di Indonesia (Banon, S., et al.)
semua perairan laut Indonesia, yaitu: jalur penangkapan I bagi nelayan kecil (radius 6 mil dari pulau), jalur penangkapan II (6 – 12 mil) dan jalur penangkapan III (>12 mil). Kapal, alat tangkap dan alat tangkap bantu yang diizinkan untuk jalur I dapat memasuki jalur II dan jalur III, sebaliknya kapal/alat tangkap yang diperuntukan pada jalur yang lebih tinggi tidak diperbolehkan memasuki jalur yang lebih rendah. Tinjauan sosial ekonomi batasan jalur I dari peraturan ini di perairan dangkal adalah pengaturan pemanfaatan diberikan pada nelayan kecil yang beroperasi dalam skala harian dengan modalitas relatif terbatas agar dapat menopang kehidupan kesehariannya. Makna biologis adalah rendahnya kapasitas penangkapan nelayan kecil diharapkan tidak merusak kawasan asuh ikan karena lokasi penangkapan berada disekitar kawasan mereka sendiri, konsep pengelolaan berbasis kearifan lokal diharapkan dapat melindungi keberlanjutan sumber daya ikan dan lingkungannya. Sebaliknya armada yang berukuran lebih besar diarahkan ke jalur II dan III karena tingginya daya tangkap dan modalitas investasi, sehingga mempermudah pergerakan armada yang cenderung berada diluar kawasan kesehariannya, sehingga pemanfaatan sumber daya lebih mengarah pada jenis-jenis yang tidak berada di kawasan asuhan, kecuali kawasan terumbu karang lepas pantai. Dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil, Pasal 1 angka 7 dinyatakan bahwa 12 mil masih dalam zona wilayah pesisir. Konsekuensinya bahwa wilayah pengelolaan 1/3 bagian dari 12 mil laut teritorial yang menjadi wewenang kabupaten/kota adalah wilayah pesisir. Ketentuan tersebut ditegaskan dalam Pasal 18 angka 1 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada pasal 18 angka 4 secara substansi
kabupaten/kota memiliki wewenang mengelola wilayah pesisir masingmasing. Kedua UU tersebut membuat pengaturan tentang yurisdiksi laut provinsi (12 mil) dan kabupaten/kota (4 mil) mengindikasikan bahwa produk hukum itu menganut konsep pengelolaan wilayah laut tertentu berbasis batas-batas yurisdiksi. Konsep tersebut merupakan instrumen yang dapat berfungsi sebagai implementasi dari konsep regulasi akses terkendali sebagai bagian dari pola pembatasan input yang berorientasi pada hak penggunaan berlandaskan wilayah kekuasaan (territorial use right). Pengelolaan kawasan konservasi laut ke dalam rezim pengelolaan di bawah Departemen Kehutanan, melalui UU. No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya alam Hayati dan Ekosistemnya yang merupakan ratifikasi Pemerintah Indonesia terhadap Strategi Pelestarian Dunia (World Conservation Strategy) yang ditetapkan pada tahun 1980. Sementara UU No. 31 Tahun 2004 yang disempurnakan menjadi UU 45/2009 tentang Perikanan (di bawah Departemen Kelautan dan Perikanan), ditetapkan untuk mewujudkan perikanan yang bertanggung jawab dan kelestarian sumber daya ikan, yakni “tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan, pelarangan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan dan alat tangkap yang merusak lingkungan dan kelestarian sumber daya”. Implementasi UU 31/2004 ini diturunkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan yang mengatur lebih rinci upaya pengelolaan konservasi ekosistem atau habitat ikan termasuk di dalamnya melalui pengembangan kawasan konservasi perairan sebagai bagian dari konservasi ekosistem. Peraturan Menteri KP No. 17 tahun 2008 tentang kawasan konservasi di
105
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 101-113
wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil, juga turut mewarnai perkembangan kebijakan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam peraturan ini, Menteri Kelautan dan Perikanan berwenang menetapkan suatu kawasan konservasi perairan, dimana pengelolaannya diberikan kepada pemerintah daerah, khususnya untuk pengembangan KKLD (Kawasan Konservasi Laut Daerah). Kawasan perlindungan laut (Marine Protected Areas, MPA) muncul sebagai suatu instrumen yang populer untuk konservasi laut dan pengelolaan perikanan. Mengacu pada Resolusi 17.38 IUCN–World Conservation Union (1988) yang ditegaskan lagi dalam Resolusi 19.46 (1994), definisi MPA adalah perairan pasang surut termasuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk tumbuhan dan hewan di dalamnya, serta termasuk bukti peninggalan sejarah dan sosial budaya di bawahnya, yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, baik dengan melindungi seluruh atau sebagian wilayah tersebut (Tilmant, 2000). Secara umum diakui kawasan konservasi bersifat efektif dalam meningkatkan kekayaan spesies standding fish stocks (ikan demersal dan karang), tetapi bagi spesies ikan pelagis yang bersifat peruaya (migratory species) tidak cukup mendapatkan perlindungan dari kawasan konservasi, terutama ukurannya, jumlah dan lokasi jauh lebih sempit dari pada wilayah perikanan. Pengelolaan sumber daya perikanan dalam banyak hal tidak dapat hanya dilakukan dari pendekatan lokal saja, bagaimanapun sumber daya ikan di kawasan oseanik terdiri dari berbagai kriteria seperti halnya jenis peruaya jauh dan jenis ikan yang berada pada kawasan yang melewati batas-batas ZEE suatu Negara dan laut lepas dalam siklus
106
hidupnya atau dikenal sebagai highly migratory straddling (Maguire et al., 2006). Perikanan tangkap di Indonesia dapat dibedakan berdasarkan kemampuan jangkauan daerah penangkapan, dengan mengacu pada klasifikasi Yamamoto (1983), yaitu: (i) perikanan pesisir atau coastal fishery, (ii) perikanan lepas pantai atau offshore fishery dan (iii) perikanan laut lepas atau distant-water fishery. Meskipun pada kenyataannnya untuk alat tangkap tertentu kerapkali daerah penangkapan antara perikanan pesisir dengan perikanan lepas pantai tidak dapat dipisahkan secara tegas dan tumpang tindih daerah penangkapan akan terjadi. Apalagi setelah keberhasilan motorisasi dan prasarana dan sarana transportasi semakin baik, sehingga memungkinkan nelayan berpindah-pindah ke tempat lain atau dikenal dengan “andon” sebagai upaya perluasan daerah penangkapan dan menghindari kompetisi di tempat asal. Berdasarkan Keputusan Menteri KP 13 tahun 2004 tentang Pedoman Pengendalian Nelayan Andon Dalam Rangka Pengelolaan Sumberdaya Ikan, nelayan andon adalah nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut dengan menggunakan kapal perikanan berukuran tidak lebih dari 30 (tiga puluh) Gross Tonnage (GT) atau yang mesinnya berkekuatan tidak lebih dari 90 (sembilan puluh) Daya Kuda (DK) dengan daerah penangkapan yang berubah-ubah atau berpindah-pindah sehingga nelayan tersebut berpangkalan atau berbasis sementara waktu atau dalam waktu yang relatif lama di pelabuhan perikanan di luar daerah asal nelayan tersebut (pasal 1 angka 2). Setiap nelayan andon yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia, wajib terlebih dahulu memiliki Izin Usaha Perikanan (IUP) dan Surat Penangkapan Ikan (SPI) (pasal 3), dikecualikan bagi nelayan andon yang memiliki dan
Upaya-Upaya Pengelolaan ........... Berkelanjutan di Indonesia (Banon, S., et al.)
menggunakan 1 (satu) unit kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 5 (lima) Gross Tonnage (GT) dan atau yang mesinnya berkekuatan tidak lebih dari 15 (lima belas) Daya Kuda (DK) (pasal 4 angka 1), artinya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota ini tidak berlaku bagi penangkapan ikan oleh nelayan kecil dan tidak akan membatasi usaha nelayan kecil dalam mencari penghidupan. Dengan demikian, nelayan kecil dapat memasuki dan menangkap ikan di wilayah laut daerah tertentu di Indonesia.
sumber daya di suatu wilayah laut, dan terus berupaya mengembangkan dan kecenderungan menyeimbangkan aspek ekonomi dan ekologi. Seperti, tuna di Pasifik Selatan dipegang CCSBT. Tuna di Laut India dipegang IOTC. Tuna di Atlantik dipegang ICCAT. Kebijakan ini mungkin relatif lebih efektif bagi spesies tuna (Thunnus maccoyii, (Castelnau, 1872) dan beberapa spesies tuna lainnya karena diberlakukan embargo perdagangan Internasional bagi pelanggar.
Dengan beragamnya bentuk perikanan, tentunya bentuk kebijakan juga beragam tergantung pada hirarki perikanannya. Satria (2004) menerangkan secara simplifikasi ketiga hirarki perikanan tersebut sebagai berikut: (i) Perikanan pesisir yang umumnya digerakkan para nelayan tradisional, kebijakan umumnya dipegang oleh institusi lokal, baik berupa kelompok nelayan, komunitas adat, atau desa, atau populer dengan sebutan community based management (CBM). (ii) Perikanan lepas pantai umumnya mempunyai karakteristik dimensi ekonomi menjadi dominan, karena pelaku perikanan terus mengusung konsep efisensi dan produktivitas, sehingga masalah ekologi kerapkali diabaikan. Kebijakan menggunakan mekanisme perizinan berdasarkan alokasi sumber daya ikan dan kondisi stok ikan atau berupa government based-management. Pemerintah bertugas memonitor dan mengawasi berlangsungnya kebijakan ini. (iii) perikanan laut lepas yang umumnya beroperasi di dalam zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) sampai di luar ZEEI, digerakkan oleh pelaku yang sudah berciri industrial. Mereka padat modal dan berteknologi tinggi. Pada saat ini, kebijakan dikendalikan oleh komisi Internasional yang beranggotakan negaranegara yang berkepentingan terhadap
Suatu upaya yang sudah dicoba di wilayah pesisir di Indonesia dan negaranegara lain di Asia yang diharapkan mampu mengatasi kerusakan dan berkurangnya sumber daya adalah merubah pola pikir tentang pemanfaatan sumberdaya ikan dari akses terbuka menjadi kepemilikan umum dengan melibatkan masyarakat, pola ini dikenal dalam bentuk Community-based Coastal Resources Management (CB-CRM) atau pengelolaan sumber daya pesisir berbasis masyarakat (Community-based Management, CBM) adalah proses dimana masyarakat melalui proses politik lokal menyepakati atau menyetujui untuk mengelola sumber daya pesisir atau mengalokasikan sebagian sumber daya yang ada di masyarakat untuk dijadikan kawasan yang dilindungi. Salah satu aktivitas utama di dalam strategi pengembangan komunitas adalah pengembangan kapasitas, di mana warga lokal didorong menjadi lebih aktif dilibatkan dalam manajemen sumber daya lokal (UNEP, 2006). Pengelolaan berbasis masyarakat merupakan salah satu pendekatan dalam upaya mengelola sumber daya di wilayah pesisir, yang cukup menjanjikan dalam rangka meningkatkan partisipasi aktif dari masyarakat dan dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Pengelolaan Berbasis Masyarakat
107
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 101-113
Dalam prakteknya yang serupa merupakan hak ulayat yang secara tradisi terbentuk dari suatu kesepakatan bersama pada suatu desa tertentu, yang memiliki hak khusus untuk penangkapan ikan di suatu perairan tertentu dan pada waktu-waktu tertentu pula. Namun demikian, CBM mempunyai keterbatasan., salah satu contoh dari keterbatasan tersebut adalah adanya perubahan-perubahan pola managemen sehubungan dengan meningkatnya jumlah penduduk yang berakibat pada meningkatnya tekanan pada sumber daya yang tersedia, Dengan kata lain CBM akan mengalami perubahan sejalan dengan makin tingginya tuntutan ekonomi masyarakat (Masyhuri, 2004). Sementara Mallawa (2006) menunjukkan kelemahan pada Pengelolaan Sumber daya Perikanan Berbasis Masyarakat (CBM), yaitu: 1) hanya dapat diterapkan dengan baik pada masyarakat yang kondisi strukturnya masih sederhana dengan skala dan wilayah kegiatan yang tidak luas; 2) Tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya lingkungan; 3) Terjadinya kesukaran dalam implementasi karena kurang mendapat dukungan; 4) Hanya efektif pada kawasan pengelolaan yang batas geografisnya jelas dan terbatas; dan 5) Rentan terhadap intervensi luar atau peledakan permintaan SDI dan jasa lingkungan. Kemudian muncul konsep ko-manajemen yang telah dikenali secara luas sebagai suatu opsi, yang memberi untuk perubahan institusi penguasaan perikanan. Konsep tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Jentoft pada 1989, Pinkerton pada 1989 dan konsep dasar untuk pengelolaan sumber daya alam diperkenalkan oleh Kearney pada 1984, sedangkan kerangka untuk mengerti sumber daya miliki bersama (common property) termasuk aturan pengelolaan dikembangkan oleh Oakerson pada 1992. Pada dekade terakhir konsep komanajemen memasuki debat pengelolaan
108
perikanan dan penerimaan co-management sebagai satu koreksi yang penting pada pengelolaan perikanan yang moderen (Nielsen & Degnbol, 2002). Ko-manajemen dapat didefinisikan sebagai suatu pengaturan kemitraan dimana masyarakat para pengguna sumberdaya lokal (nelayan), pemerintah, pengguna (stakeholder) lain (pemilik perahu, pedagang ikan, pembuat perahu, bisnis, dll.) dan agen eksternal (organisasi non pemerintahan (NGO), akademis dan lembaga; institusi riset) berbagi tanggung jawab dan otoritas untuk pengelola perikanan. ko-manajemen sering juga disebut partisipatisi, kerjasama, stakeholder multi-party atau manajemen kolaboratif (Charbonneau, 2005). Sedangkan pengelolaan kolaboratif menurut IUCN–World Conservation Union dalam Resolusinya 1.42 Tahun 1996 adalah kemitraan antara lembaga pemerintah, komunitas lokal dan pengguna sumber daya, lembaga non-pemerintah dan kelompok kepentingan lainnya dalam bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggungjawab untuk mengelola daerah spesifik atau sumber daya (IUCN, 1997) Di beberapa wilayah pesisir Indonesia terdapat kepemilikan bersama (communal property) oleh masyarakat nelayan, yang dicerminkan dengan kegiatan pengelolaan sumber daya ikan berbasiskan kearifan lokal atau hak ulayat laut (HUL), di antaranya yaitu: Panglima Laot (Nangroe Aceh Darussalam), Rumpon (Lampung), Kelong (Riau), Awig-awig (Bali dan Lombok), Rompong (Sulawesi Selatan), Sasi (Maluku) dan beberapa lainnya berada di wilayah Kawasan Timur Indonesia (Solihin, 2010). Kearifan lokal yang dikembangkan oleh masyarakat asli (indigenous people) atau masyarakat adat, dianggap mampu menjembatani antara tuntutan pembangunan dengan tetap menciptakan kondisi lingkungan yang sehat (Siswandi,
Upaya-Upaya Pengelolaan ........... Berkelanjutan di Indonesia (Banon, S., et al.)
2003 dalam Solihin, 2010). Bagi daerah yang memiliki kearifan lokal atau model pengelolaan CBM, perlu diperkuat dan dilengkapi dengan ko-manajemen yang lebih kompleks (Solihin dan Satria, 2007). Dengan merevitalisasi kearifan lokal di era desentralisasi kelautan dapat menciptakan pembagian wewenang yang seimbang antara pemerintah (centralized government management) dengan masyarakat (community based management), yang dikenal dengan pengelolaan kolaboratif atau ko-manajemen.
peran habitat dalam mendukung perikanan; 2) rendahnya tingkat pemahaman yang berkaitan habitat dengan stok ikan, antara stakeholders termasuk nelayan, para ilmuwan, pembuat kebijaksanaan, dan para manajer perikanan; 3) rendahnya tingkat penerimaan masyarakat terhadap pendekatan berbasis kawasan perlindungan laut; dan 4) pengalaman terbatas departemen perikanan dan lingkungan dalam pelayanan berkenaan dengan implementasi perikanan yang terintegrasi dan pendekatan pengelolaan habitat
Di Indonesia, penerapan konsep komanajemen masih terbatas pada pengelolaan sumber daya ikan dan habitat terumbuk karang, seperti TN Bunaken dan TN Wakatobi, tetapi masih kurang efektif karena appropriate sharing kurang diakomodir dalam penataan kelembagaan (Radarwati, et.al., 2010).
Perilaku nelayan di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, pada umumnya masih pada tahapan konvensional, yaitu menitikberatkan pada kepentingan diri sendiri dan berorientasi pada kepentingan jangka pendek. Nelayan cenderung melanggar peraturan perikanan karena disebabkan faktor-faktor: ekonomi, moralitas, lingkungan, dan legitimasi. Sesuai dengan teori pilihan yang rasional, individu nelayan akan memilih melanggar aturan apabila mereka dapat memperkirakan bahwa manfaat yang akan mereka peroleh masih lebih menguntungkan dibanding resiko yang harus ditanggung bila tertangkap (Wijayanto, 2003). Morgan, et al. (2007) menyimpulkan bahwa karakteristik perikanan tangkap di Asia Tenggara adalah pengembangan dan pengelolaan pantai yang kompleks. Konflik antar berbagai para pengguna sumber daya akuatik, merosot sumber daya perikanan, kelebihan kapasitas, penangkapan ikan bersifat merusak (destructive fishing), IUU fishing. Ada kompetisi tidak adil antara perikanan skala besar dan nelayan skala kecil. Kelebihan kapasitas & IUU fishing telah mengakibatkan kerangka pengelolaan yang tidak efektif. Hukum, peraturan-peraturan dan aturan-aturan diperumit dengan penyelenggaraannya yang lemah
Permasalahan Perilaku Keberhasilan pengelolaan perikanan pendekatan ekosistem sangat tergantung pada dua hal, terutama atas: (1) kesediaan nelayan untuk menerima tanggung jawab kolektif untuk konservasi sumber daya dan (2) keberadaan institusi yang menyediakan suasana keputusan kolektif dapat diperdebatkan dan dibuat (Wilson, 2003). UNEP (2007) mengidentifikasi bahwa meningkatkan upaya penangkapan, menggabungkan dengan berlanjutnya kemunduran total kawasan habitat kritis terhadap siklus hidup dari kebanyakan spesies, telah menjadi perhatian serius untuk keberlajutan jangka panjang dari perikanan-perikanan artisanal di Asia Tenggara. Prakarsa untuk mengintegrasikan pengelolaan perikanan dan habitat akan dibatasi oleh penghalang terhadap tindakan yang efektif sebagai berikut: 1) Informasi terbatas mengenai daur hidup ikan dan pertalian-pertalian dengan habitat kritis, dan
109
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 101-113
Kesadaran masyarakat terhadap prinsipprinsip konservasi pengelolaan sumber daya perikanan nampaknya sangat sulit dilaksanakan karena adanya kebutuhan ekonomi jangka pendek yang mendesak dan beragamnya pemahaman mereka (nelayan) terhadap kelestarian. Sebagai contoh sebagian nelayan Karimunjawa tidak peduli dan tidak mau tahu akan keberadaan daerah-daerah perlindungan, di sisi lain, nelayan Karimunjawa menyadari bahwa tidak akan ada sanksi terhadap pelanggaran memasuki kawasan zona inti maupun zona perlindungan, karena pengawasan sulit dilaksanakan dan kalau pun ada pengawasan tidak akan terjadi apa-apa pada mereka (Mukminin, et al., 2006). Pada pelaksanaannya kawasan konservasi kerapkali kurang efektif, karena adanya kesenjangan dan disharmonisasi aturan pengelolaan dan pemanfaatan di kawasan konservasi, serta perbedaan kepentingan dengan masyarakat karena kurangnya pemahaman masyarakat tujuan pengelolaan, sehingga banyak pelanggaran hukum di bidang pengelolaan sumber daya alam tidak mendapat sanksi hukum, selain itu tingkat pendidikan yang masih rendah dan juga didorong oleh kebutuhan hidup (Purwanti, et al., 2008). Sementara data empiris menujukkan pada kawasan padat nelayan seperti Laut Jawa lebih banyak ditemukan modifikasi dan diversifikasi alat tangkap untuk menangkap segala spesies yang masih tersedia. Dengan modifikasi dan divertifikasi di daerah penangkapan padat nelayan dan lebih tangkap tanpa pengelolaan yang tepat akan menggangu pengelolaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan. Harapan pengelolaan sumber daya perikanan berkenjutan masih berhadapan dengan permasalahan dasar “human dimension”, sehingga pengelolaan sumber daya perikanan yang ada saat ini belum berjalan optimal dan berkelanjutan. Situasi
110
ini didukung dari beberapa penelitian yang menyimpulkan secara umum, seperti : pemberdayaan SDM, pengurangan armada kecil yang tidak efisien dan tidak ramah lingkungan, kapasitas kelembagaan perikanan dan kelautan, pemanfaatan sumber daya ikan harus sesuai dengan potensi lestari, rehabilitasi habitat lamun dan mangrove, pelarangan penangkapan pada waktu-waktu tertentu, melakukan budidaya, peningkatan pengawasan dan penegakan hukum di wilayah pesisir dan laut (Susilo, 2003, Pramono, 2006,. Hamdan, 2008, Radarwati, et.al., 2010). Dengan demikian, suatu proses menuju pengelolaan perikanan berkelanjutan masih dalam konsep yang bersifat himbauan moral. Oleh karena itu, pengendalian upaya penangkapan dan memahami dinamika perikanan, serta mengelola nelayan menjadi prioritas untuk pengelolaan sumber daya ikan, sedangkan konsep pengelolaan berbasis masyarakat dan co management ditempatkan sebagai pelengkap untuk menutupi kelemahan wilayah pengelolaan perikanan/sumber daya ikan Republik Indonesia yang tertuang dalam UU 31 Tahun /2004 dan UU 45 tahun 2009 tentang perubahan atas UU 31 tahun 2004 tentang perikanan. KESIMPULAN Berdasarkan konsep-konsep pengelolaan dari konvensional sampai berbasis masyarakat dan ko-manajemen menunjukan pengelolaan sumber daya perikanan yang ada saat ini belum berjalan optimal dan berkelanjutan. Pengelolaan bersama maupun pengelolaan sumber daya perikanan berbasis ekosistem berhadapan dengan suatu kondisi masalah klasik seperti tidak adanya alternatif lapangan kerja, tingkat pendidikan rendah, kemiskinan.dan penegakan hukum yang lemah.
Upaya-Upaya Pengelolaan ........... Berkelanjutan di Indonesia (Banon, S., et al.)
Pengendalian upaya penangkapan dan memahami dinamika perikanan, serta mengelola nelayan menjadi prioritas untuk pengelolaan sumber daya ikan, sedangkan konsep pengelolaan berbasis masyarakat dan ko manajemen dtempatkan sebagai pelengkap untuk menutupi kelemahan wilayah pengelolaan perikanan/sumber daya ikan Republik Indonesia yang tertuang dalam UU 31 Tahun /2004 dan UU 45 tahun 2009 tentang perubahan atas UU 31 tahun 2004 tentang perikanan. Sebagaimana banyak dipahami bahwa suatu sumber daya yang bersifat common, ketika terjadi penurunan stok maka tidak mudah untuk dibagi-bagikan di dalam pemanfaatannya. Persoalan ekstemalitas tetap akan muncul pada saat sumber daya perikanan dlmanfaatkan, karena ekstemalitas· merupakan suatu dilema yang menjadi ciri khas sendiri dan membedakannya dari sumber daya lainnya. Ekstemalitas muncul ketika nelayan menangkap tidak akan memperhitungkan akibatnya bagi nelayan lain, atau pemanfaatan sumber daya yang dilakukan seorang individu akan berpengaruh pada individu yang lain. DAFTAR PUSTAKA Anonymous,. 2005. World inventory of fisheries. Property rights and fisheries management. Issues Fact Sheets In: FAO Fisheries and Aquaculture Department [online]. Rome. Updated 27 May 2005. (http://www.fao.org/fishery/ topic/13335/en Cited 25 April 2011) —————-——, 2009. Towards Sustainable Fisheries. Comment to the Commission´s Green Paper “Reform of the Common Fisheries Policy”(COM(2009)163 final). October 2009 No. 7. SRU, German Advisory Council on the environment. 14 pp.
Berkes, F.; R. Mahon; P. McConney, R. Pollnack, & R.Pomeroy, 2001. Managing small-scale fisheries, alternative directions and methods. IDRC. www.idrc.ca. 320 pp. Cunningham, S. 2005. Successful fisheries management, Issues, Case Studies, and Perspectives. Science 22 June 2007: 316. (5832). 1713 – 1716. Charbonneau, R., 2005. What is Community-based Co-management in Fshery Co-Management. A Practical Handbook R.S. Pomeroy and R. RiveraGuieb (eds). IDRC (International Development Research Centre):1-18 Christy, F.T.Jr. 1982. Territorial use rights in marinefisheries: definitions and conditions. FAO Fish.Tech.Pap., (227): 10 pp. Fauzi, A. 2005. Kebijakan perikanan dan kelautan, isu, sistesis dan gagasan. Gramedia. 187p Garcia, S.M.; Newton, C. 1994. Current situation, trends and prospects in world capture fisheries. Paper presented at the Conference on Fisheries Management, Global Trends, June 1994, Seattle, Washington, DC, USA Graham, J., A. Charles and A. Bull. 1971. Community Fisheries Management Handbook. Gorsebrook Research Institute, Saint Mary’s University, 2006. 138 pp. Hamdan. 2008. Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu. (disertasi). Program Pascasarjana IPB. Bogor. 199 hal (tidak dipublikasikan)
111
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 101-113
Howarth R.B..2007. Sustainability and the Fair-Sharing Principle, Environmental Studies Program Dartmouth College, Hanover, New Hampshire www.epa.gov/ sustainability/ pdfs/howarth-epa-ordpaper.pdf (downloaded 26/04/2011).
Nielsen J. R. & P. Degnbol. 2002. Fisheries Co-Management - An Institutional Innovation. Perspectives and Challenges Ahead. Paper no 216. Institute for Fisheries Management and Coastal Community Development (IFM).
Kusumastanto. T. (*). .Revitalisasi Sektor Kelautan dan Perikanan secara Berkelanjutan. tridoyo.blogspot.com
Pauly D., V. Christensen, S. Guénette, T.J. Pitcher, U. R. Sumaila, C.J. Walters,R. Watson & D. Zeller, 2002. Towards sustainability in world fisheries. Nature 418: 689-695. www.nature.com/nature
Mallawa A, 2006. Pengeloaan Perikanan Sumberdaya Ikan Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Lokakarya Agenda Penelitian Program Coremap II Kabuoten .9-10 September 2006 Maguire, J.J., M.Sissenwine, J. Csirke, R. Grainger and S. Garcia, 2006. The state of world highly migratory, straddling and other high seas fishery resources and associated species. FAO. Rome. Masyhuri, 2004. Co-Management dan Pengelolaan Sumber daya Perikanan di Era Otonomi. Jur. Ekonomi dan Pembangunan, XII (2):72- 96 Mukminin, A., T. Kartawijaya, Y. Herdiana, I. Yulianto. 2006. Laporan Monitoring. Kajian Pola Pemanfaatan Perikanan di Karimunjawa (2003-2005). Wildlife Conservation Society – Marine Program Indonesia. Bogor, Indonesia. 35pp. Morgan, G., D. Staples and S.F. Smith. 2007. Fishing capacity management and IUU fishing in Asia. Asia-Pacific Fishery Commmision FAO of The United Nations Regional Office for Asia and the Pacific. Bangkok. RAP publication 2007/16. 28pp. Mullon, C., P. Fréon and P. Cury, 2005. The dynamics of collapse in world fisheries. Fish and Fisheries. 6: 111–120.
112
Pauly, D. 2009. Beyond duplicity and ignorance in global fisheries. Scienta Marina 73 (2). June 2009. p.215-224. Pitcher, T.J. and D. Pauly. 1998. Rebuilding ecosystems, not sustainability, as the proper goal of fishery management. in Reinventing Fisheries Management ed T. Pitcher, D. Pauly & P. Hart, (1998) Chapman & Hall Fish and Fisheries Series. Pages 311-325 (Chapter 24 ). Pomeroy, R. S., M.B. Mascia & R. B. Pollnac, 2006. Marine Protected Areas: The Social Dimension. FAO Expert Workshop on Marine Protected Areas and Fisheries Management: Review of Issues and Considerations (12–14 June, 2006) Pramono, B. 2006. Strategi Pengelolaan Perikanan Jaring Arad yang Berbasis di Kota Tegal. Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. 100 hal (tidak dipublikasikan) Purwanti, F, H.S Alikodra, S.Basuni & D. Soedharma. 2008. Pengembangan CoManagement Taman Nasional Karimunjawa. Ilmu Kelautan. Vol 13(3):159-166 Radarwati, S., M. S,. Baskoro, D. R. Monintja, A. Purbayanto. 2010. Analisis
Upaya-Upaya Pengelolaan ........... Berkelanjutan di Indonesia (Banon, S., et al.)
Faktor Internal - Eksternal Dan Status Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan Tangkap Di Teluk Jakarta. Jurnal Teknologi Perikanan Dan Kelautan. 1 (1). Satria, A., 2004. Paradigma Perikanan Berkelanjutan. Republika, 16 Juli 2004 Solihin. A. & A. Satria, 2007. Hak Ulayat Laut di Era Otonomi Daerah sebagai Solusi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan: Kasus Awig-awig di Lombok Barat. Jur. Transdisplin Sosiologi, komunikasi dan Ekologi Manusia. 1 (1) : 67 -86. Solihin A. 2010. Desentralisasi Kelautan dan Revitalisasi Kearifan Lokal. www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/ index.php Susilo, S. B. 2003. Keberfanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang Dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Bogor. 233 hal. (tidak dipublikasikan)
Tilmant, J. 2000. Coral reef protected areas: A guide for management. U.S Coral Reef Task Force. Departement of the Interior. Washington. 14 pp. Tridoyo Kusumastanto, T (*) Revitalisasi Sektor Kelanjutan dan Perikanan Secara Berkelanjutan. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. tridoyo.blogspot.com UNEP, 2007. Procedure for Establishing a Regional System of Fisheries Refugia in the South China Sea and Gulf of Thailand in the context of the UNEP/GEF project entitled: “Reversing Environmental Degradation Trends in the South China Sea and Gulf of Thailand”. South China Sea Knowledge Document No. 4. UNEP/GEF/SCS/Inf.4 Wilson, D.C. 2003. The community development tradition and fisheries comanagement. In: “The Fisheries Comanagement Experience Wijayanto, D., 2003. Wacana Modernisasi Perikanan Nasional. www.sinarharapan.co.id/ berita/0611/22/ opi01.html
113
Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulates Ruppell 1835) (Edrus. I. N.)
KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON (Cheilinus ndulatus Rüppell 1835) Isa Nagib Edrus Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 14 Desember 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 16 Maret 2011; Disetujui terbit tanggal: 23 September 2011
Abstraks Tulisan ini bertujuan untuk memberikan masukan bagi kebijakan perlindungan jenis ikan rawan punah, seperti ikan Napoleon. Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam mempertimbangkan inisiatif moratorium penangkapan ikan tersebut. Metode penulisan menggunakan analisis kebijakan publik. Pertimbangan moratorium antara lain adalah bahwa perikanan Napoleon mengalami krisis karena lebih kapasitas usaha, lebih tangkap dan cara penangkapannya yang merusak, sementara kebijakan pengelolaan ikan Napoleon tidak kondusif dari sisi lingkungan hidup, hukum dan penegakan hukum. Lebih jauh statusnya sudah digolongkan rawan punah oleh UNEP dan dibutuhkan pengelolaan yang lebih berhati-hati. Ketidak-beruntungannya adalah telah terjadi penangkapan ilegal dan tidak terdata dalam sistem transpotasinya. Kuota penangkapan ikan Napoleon hanya mengatur perdagangan global, tetapi peraturan pengelolaan yang bersifat domestik membutuhkan aturan yang lebih serius untuk menyelamatkan ikan Napoleon dari kepunahan. Inisiatif perlindungan jenis satwa rawan punah memiliki dasar hukum hingga disarankan untuk menetapkan moratorium berjangka. Sosialisasi merupakan langkah penting untuk mendapatkan penerimaan masyarakat atas moratorium. Monitoring dan evaluasi merupakan bagian siklus dari moratorium untuk melihat kemajuan dan perbaikan manajemen. KATA KUNCI:
ikan napoleon, kebijakan publik, moratorium
ABSTRACT:
Policy synthesis of moratorium for humphead wrasse (Cheilinus undulatus). By: Isa Nagib Edrus
This paper is aime to make a sinthesis of policy of endangered species protection, such as Hump Head Wrasse (HHW). This will be usefull for the Ministry for Marine and Fishery to decide a moratorium inisiative for the fish. A method used is the publicpolicy analysis. Some of judgements for making moratorium are that HHW fisheries were under crisis condition due to over capacity, over fishing and destructive fishing, while Napoleon fishery management was being worse for circumstances of living environment, law and law enforcement. Furthermore, HHW was listed in endanger species by UNEP and needed to carefully management. Unfortunatelly, it was happened the Illegal, Unregulated and Unmonitored (IUU) fishing. Napoleon Fishing quota was only for global market regulation; however, domestically management regulation was needed a serious protocol to keep Napoleon save from losses. More protective manner for endanger wilds have the regulation willing to use in decision making for moratorium. Moratorium translations for publics are potential suggestion to get social acceptances and understanding. Monitoring and evaluation include in moratorium cyclus to identity progress and improve management. KEYWORDS:
hump head wrasse, public policy, moratorium
___________________ Kosrespondensi penulis: Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Samudera Indonesia Jakarta Utara-1440. Tlp. (021) 6602044
115
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 115-133
PENDAHULUAN Keanekaragaman adalah aset untuk pembangunan dan kemakmuran bangsa, sementara aset ini tidak mudah untuk dikelola dan bahkan belum dimengerti dengan baik. Sebegitu jauh keanekaragaman dianggap sebagai suatu sumber daya yang dapat dieskploitasi dengan mudah dan sedikit sekali perhatian pada kelestariannya (Bappenas, 2003). Sementara keanekaragaman sumber daya ikan karang yang tinggi dari sisi jenis seringkali tidak diikuti oleh kelimpahan dari sisi individual (Arief & Edrus, 2010). Oleh karena itu, ketika suatu jenis memiliki nilai ekonomis tinggi di pasar global dengan permintaan yang tinggi, maka pengelolaan menjadi dibatasi oleh nilai kelimpahannya di alam. Contohnya adalah ikan Napoleon (Cheilinus undulatus). Ancaman utama pada perdagangan ikan hidup Ikan Napoleon adalah lebih tangkap dan pengaruh cara penangkapan yang merusak terhadap ikan target lain, ikan non target dan lingkungan terumbu karang (Donaldson & Sadovy, 2001; Gillett, 2010). Sejak tahun 1990an, ikan Napoleon menjadi komoditas unggulan dalam ekspor perikanan asal Indonesia, karena wilayah perairan karang Indonesia menjadi habitat potensialnya (Sadovy et al., 2003). Pertama sekali hal ini dianggap sebagai suatu anugrah bagi mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. Namun dampak negatif dari perikanan Napoleon kemudian menjadi isu penting dalam kelestarian terumbu karang, karena cara penangkapannya yang tidak ramah lingkungan dan menimbulkan eksternality bagi usaha lain. Untuk menanggulangi kasus-kasus kerusakan karang yang semakin sporadis, pemerintah melarang penangkapan ikan Napoleon atas dasar ekses kerusakan habitat yang ditimbulkan oleh penangkapan yang merusak. Larangan
116
mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1985 dan Nomor 375/Kpts/ IK.250/5/95 yang ketika itu Dirjen Perikanan masih di bawah Deptan. Menteri Perdagangan pada tahun yang sama juga mengeluarkan keputusan Nomor : 95/EP/ V/95 tanggal 21 Mei 1995 yang berisi tentang larangan ekspor ikan Napoleon, kecuali atas izin Menteri Pertanian. Kebijakan pemerintah baru kemudian berpihak pada kepentingan pengaturan pengelolaan yang ramah lingkungan, setelah kasusnya menjadi perhatian dunia, terutama setelah diperkenalkan isu kuota penangkapan. Kebijakan terakhir terkait dengan Deklarasi Dirjen Perikanan No. HK.330/S3.6631/96 mengenai perubahan keputusan Dirjen Perikanan No. HK.330/ Dj.8259/95 tentang ukuran, lokasi dan tata cara penangkapan ikan Napoleon. Namun regulasi ini dipandang belum efektif ketika kemudian isu perikanan Napoleon berkembang ke arah tanpa kontrol, karena adanya kasus perdangangan bersumber dari perikanan IUU (Illegal, Unregulated and Unmonitored). Dalam perjalanan waktu, regulasi-regulasi tersebut kemudian dianggap usang walaupun belum dicabut secara resmi, karena situasi semakin berkembang. Setelah terbentuknya Kementerian Kelautan dan Perikanan, status populasi ikan Napoleon menjadi perhatian dunia setelah jenis itu yang berasal dari Indonesia membanjiri pasar global, sebagai pertanda maraknya IUU. Akhirnya di tahun 2004 semua ketentuan atau regulasi ikan ini masuk dalam tinjauan CITES dan Appendix 2 yang lebih berkenaan dengan tata aturan perdagangan di tingkat global, di mana aturan dinisbahkan pada kepentingan aturan panen yang tidak merugikan demi kesinambungan produksi (non-detrimental finding-NDF). Untuk kepentingan itu ditetapkanlah kuota perdagangan Ikan Napoleon di bawah tanggung jawab LIPI
Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulates Ruppell 1835) (Edrus. I. N.)
sebagai Scientific Authority dan Kementerian Kehutanan sebagai Management Authority. Sementara aturan ke dalam untuk membenahi pengelolaan ini secara umum mengacu pada UU 31/2004 dan UUD 45/2009 tentang perikanan dan pengawasan, larangan, dan sangsi. Keberuntungannya adalah bahwa ketentuan CITES tersebut masih membuka kuota perdagangan dan belum ditetapkan statusnya menjadi Appendix I bagi ikan Napoleon. Kuota perdagangan ikan Napoleon, seperti terlihat pada Tabel 1, menunjukkan angka yang semakin menurun dan angka realisasi kuota yang semakin kecil, namun hal ini belum dapat menjadi patokan resmi atas pemanfaatan ikan Napoleon. Dua hal yang menjadi perhatian tentang mengapa kuota semakin kecil dan realisasi ekspor juga menurun. Pertama, populasi ikan Napoleon di alam memang sudah menurun drastis menuju collapse seperti beberapa hasil penelitian (Donaldson & Sadovy, 2001) dan diakui bahwa penangkapan dan perdagangan telah menurun 50 % dalam kurun waktu 10 – 15 tahun terakhir (Sadovy, 2006). Kedua, sekali lagi maraknya IUU masih menjadi batu sandungan dalam pengelolaan perikanan Napoleon, sehingga terkesan kuota tidak bermanfaat lagi ketika perdagangan gelap tidak tercatat. Inisiatif terakhir adalah penegakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.03/MEN/2010, tentang tata cara penetapan status perlindungan jenis ikan. Diharapkan ketetapan ini menjadi pintu masuk bagi perlindungan ikan yang terancam punah, seperti ikan Napoleon, dan sekaligus menjadi pedoman dalam penentuan kebijakan lebih lanjut. Lebih jauh dunia melihat bahwa meskipun Undang-Undang, regulasi dan keputusan menteri telah siap menghadapi perikanan Napoleon, tetapi kerangka kerja
kebijakan untuk pengelolaan panen, perdagangan domestik, dan ekspor ikan Napoleon belumlah dilaksanakan secara efektif. Karena tidak ada dokumen komprehensif yang mendeskripsikan seluruh regulasi pemerintah yang mengatur industri, stakeholders terlihat bingung dan gamang menghadapi ketetapan yang sudah ada. Kebingungan seperti ini juga menjadi umum di kalangan nelayan, pengumpul, eksportir dan bahkan pada tingkat subseksi dalam lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan dan tingkat pemerintah daerah. Saat ini dirasakan sekali kurangnya protokol yang terstruktur dan komprehensif dalam mengatur cara-cara yang dengannya terjadi penguatan otoritas untuk memantau, menegakan, dan mengeluarkan izin sehubungan dengan ikan Napoleon. Juga, terlihat adanya kelemahan dalam kerjasama antara PHKA, Balai Koordinasi Sumber Daya Alam, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan lembaga pemantau dan penegak hukum yang relevan, seperti Bea Cukai dan Lembaga Karantina KKP (IUCN, 2006). Tabel 1.
Kuota perdagangan ikan Napoleon menurut tahun. Quota for Napoleon Trade by years.
Table 1.
No
Tahun (Years)
Kuota (Quota)
Realisasi (Realization)
Sisa (Rest)
1
2005
8.000
5.320
2.680
2
2006
8.000
5.970
2.030
3
2007
8.000
6.228
1.772
4
2008
7.200
3.809
3.391
5
2009
8.000
4.220
3.780
6
2010
5.400
3.810
1.590
7
2011
3.600
970
2.630
Sumber
(Source):Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Kehutanan
Untuk alasan itu timbul suatu area yang diistilahkan sebagai “wilayah abu-abu” (Tampubolon, 2011) yang dapat didefinisikan
117
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 115-133
dalam segala pengertian, yakni mulai dari tidak terurus sampai salah urus, mulai dari belum terkendali sampai salah kendali, sehingga kasus-kasus IUU dapat berkembang subur di wilayah abu-abu seperti itu. Terlebih lagi regulasi pengganti Kepmentan tersebut belum disusun. Menghadapi kasus-kasus seperti ini, isu moratorium dari berbagai stakeholder untuk ikan Napoleon kemudian muncul, meskipun disadari bahwa moratorium belum menjadi jaminan secara pasti dapat mengatasi kasus-kasus IUU. Namun moratorium hanya akan mencapai target jika dipertimbangkan secara matang melalui analisis kebijakan publik. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.03/ MEN/2010 tetang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan telah memberikan landasan yang kuat dalam melakukan inisitif terhadap perlindungan ikan Napoleon, yaitu salah satunya adalah melalui analisis kebijakan. Tujuan penulisan sintesa kebijakan ini adalah untuk memberikan rekomendasi perlindungan jenis ikan Napoleon yang diharapkan dapat bermanfaat bagi Menteri Kelautan dan Perikanan dalam mempertimbangkan inisiatif moratorium ikan tersebut. BAHAN DAN METODE Pendekatan yang digunakan adalah analisis kebijakan publik (Simatupang, 2003), yaitu cara atau kegiatan menformulasi beragam informasi terkait yang relevan dan termasuk juga hasil penelitian untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan publik. Kebijakan publik yang dimaksud adalah keputusan atau tindakan pemerintah yang berpengaruh terhadap hajad hidup orang banyak. Cara kerja dalam pengumpulan informasi tersebut mencakup desk study dan
118
konsultasi publik, seperti telah dilakukan beberapa kali pertemuan tahun 2010 - 2011 di Direktorat Jenderal Kelautan dan Pesisir Pulau Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kemudian atas informasi yang tersedia dilakukan sintesa ilmiah yang menyangkut studi kelayakan untuk opsi kebijakan dari sisi (1) hukum, (2) administratif, (3) politis, (4) biologi, (5) manajemen perikanan, (6) lingkungan, dan (7) sosial ekonomi. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembangunan Berkelanjutan Penentu kebijakan akan berhadapan pada dua kepentingan sekaligus, yaitu kepentingan ekonomi versus ekologi. Jalan tengah yang dapat menjadi patokan adalah amanat UU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Bab I pasal 21 menyebutkan bahwa pendayagunaan segala sumber daya alam dan buatan harus memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan, keragaman, dan produktivitas lingkungan hidup. Oleh karena itu jika konsep pembangunan berkelanjutan dipahami dengan baik, maka moratorium ikan Napoleon dapat diadaptasi tanpa keluar dari ide dasar dalam pembangunan yang berkelanjutan. Seperti diamanatkan dalam konsep pembangunan yang bekelanjutan bahwa pembangunan ekonomi tidak diharapkan berakhir pada hilangnya keanekaragaman jenis atau genetis. Kesimpulannya adalah adanya program perlindungan jenis dan genetik menjadi strategi alternatif untuk pemanfaatan yang berkelanjutan. Ikan Napoleon Jenis Rawan Punah Dalam pertumbuhannya ikan ini melalui beberapa fase pertumbuhan, dimana bentuk juwana, dewasa dan tua yang berbeda dari segi bentuk dan corak warna. Ikan Napoleon
Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulates Ruppell 1835) (Edrus. I. N.)
memiliki laju rekruitmen rendah karena pertumbuhannya lambat dan reproduksinya rendah (Sadovy et al, 2003). Pada tempat budidaya kecepatan tumbuh 3 inci dalam waktu 5 bulan (Sim 2004). Ikan Napoleon dewasa hidup soliter di terumbu karang, tempat di mana ikan ini memijah dan mobilitasnya rendah karena jarang pergi jauh dari tempatnya pemijahannya (Domeier & Colin, 1997). Penyelampenyelam peneliti jarang menemukan ikan ini dalam kelompok besar, di mana kawanan ikan juwana di luar musim reproduksi terlihat antara 3 -5 ekor. Ketika musim reproduksi mungkin akan lebih besar kelompoknya, seperti yang ditemukan di Palau antara 12 – 75 ekor (Anonimous, 1992). Sediaan ikan Napoleon saat ini di alam tergolong sangat jarang. Beberapa hasil survei, seperti yang dilakukan IUCN dan LIPI tahun 2005 dan 2006 berkisar antara 0,4 sampai 0,86 ekor/ ha dengan total lokasi sampling 125 km, yang meliputi Bunaken, Raja Ampat, NTT, Bali dan Kangean (IUCN, 2006) serta survei Bakosurtanal di 116 titik transek yang menyebutkan bahwa sediaannya bervariasi antara 0,5 sampai 2,6 ekor/ha dengan tingkat kelimpahan jarang (Edrus, 2010), seperti rendahnya frekuensi kemunculannya di setiap wilayah sensus (Tabel 2). Kondisi biologis, perilaku dan sediaan ikan Napoleon seperti ini jelas tidak menguntungkan bagi populasi Ikan Napoleon di alam untuk berkembang, terlebih-lebih ketika ikan ini diburu dengan cara penangkapan yang merusak. Tahun 2004 merupakan tahun titik balik dalam pembenahan pengelolaan ikan rawan punah seperti ikan Napoleon, di mana CITES merasa perlu menetapkan regulasi berkenaan dengan perdagangan ikan ini pada pasar dunia. Melalui aturan main dalam perdangan bebas, dunia internasional merasa perlu mengontrol segala sesuatu
yang berkenaan dengan erosi genetik dan ancaman pada kepunahan satwa sampai kepada cara pengelolaan sumber daya. Suatu hal yang memang tidak bisa kita elakan dan patut direspon dengan tindakantindakan internal ke dalam untuk mengelola ikan Napoleon. CITES (2004) menyebutkan bahwa semua informasi yang berasal dari data perikanan, hasil sensus bawah laut, laporan nelayan, laporan operator penyelam, dan semua laporan itu secara kolektif menunjukkan pertumbuhan populasi ikan Napoleon akhir-akhir ini menurun pada semua lokasi penelitian. Pada tahun 2000an kelompok spesialis peniliti ikan kerapu dan ikan Napoleon di bawah kontrak sekretariat CITES telah melakukan survei dan pengkajian stok bersama LIPI. Hasilnya adalah bahwa ikan Napoleon dinyatakan berstatus rawan punah (Donaldson & Sadovy, 2001; IUCN, 2006; Sadovy et al., 2003). Atas dasar itu pada tahun 2005 kuota perdangan ikan Napoleon ditetapkan. Selanjutnya annual kuota dapat bersifat adaptif bergantung pada informasi yang tersedia. Kenyataan-kenyataan yang timbul kemudian adalah bahwa meskipun kuota telah ditetapkan dan kuota tersebut ternyata menurun sesuai dengan hasil monitoring (Tabel 1). Hal ini membuktikan bahwa ikan Napoleon benar-benar bersifat rawan punah dan diperparah oleh kasus-kasus IUU fishing. Perlindungan ikan Napoleon dalam status yang demikian membawa kepada suatu konsekuensi, yaitu perlu adanya pembatasan pemanfaatannya untuk memberi kesempatan perkembangan populasinya. Jenis-jenis satwa rawan punah perlu mendapat perhatian khusus karena stoknya di alam dianggap tidak mampu lagi menciptakan rente ekonomi manakala populasi ikan ini tertekan dan punah.
119
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 115-133
Posisi Geografis Geographical Positions S E
Sulawesi Utara Pulau Mantehage Pulau Naim Kab. Banggai
01,69619º 01,76037º
Tongkonunuk
00 45' 51,9"
Lonas
00 59' 09,1"
Lobu Bubung Teluk Saleh dsk, NTB Labuan Aji P. Satonda Utara Moyo Kab. Maluku Barat daya Kepulauan Letti Pulau Moa Utara Pulau Moa Timur Sisi barat Metimiarang Goba dalam, Metiamiarang BELITUNG Pulau Mulut Kendari, Sulteng Pulau Tobea besar Pulau Polewali Wabula, Buton Ds.Waha, Wakatobi
o o o
00 46' 06,8" o
124,75185º 124,77873º o
122 38' 21,3" o
123 22' 46.4"
Jumlah Petak Frame Numbers
Bidang Tutupan Coverage Areas Per Petak Total Area Per Frame Area Total 2 (m2) (m )
Sediaan Stock (ind/ha)
Stadium Ikan Fish Stadium
Ukuran Ikan Fish Sizes (Cm)
Frekuensi
Frame Numbers
15.000
SLOPE
2
0,2
1,3
Juvenile
15
SLOPE
4
0,1
2,5
Juvenile
10
adult
30
500
20
100
6.000
12
500
18.000
122 30' 50.2"
Jumlah Petak
REEF TYPES
10
o
Tipe Karang
nc y
Lokasi Sensus Census Sites
Sediaan, stadium, dan frekuensi kemunculan ikan Napoleon pada area sensus Stock, stadium, and appearing frquency of Humphead Wrasse in cencus areas
Fr eq ue
Tabel 2. Table 2.
24.000
o
01 03' 47,8"
122 44' 58,7"
08º 14' 00.5" 08º 06' 22.7" 08º 09' 15.6"
117º, 28',29.6" 117º, 14',05.0" 117º, 32',10.9"
13
500
19.500
CRESH
3
0,2
2,6
Juvenile adult
10 20
08° 07' 26,9" 08° 08' 11,2" 08° 19' 10,5" 08° 18' 12,0"
127° 53' 39,8" 128° 04' 32,7" 128° 26' 43,3" 128° 29' 47,3"
21
500
31.500
SLOPE &
4
0,2
1,6
Juvenile adult
10 25
02° 32' 11,8"
107° 03' 05,1"
25
1
0,04
0,5
Juvenile
8
0,2
1,9
Juvenile adult
10 20 - 35
4° 31' 34,5" 03° 30' 33,8" 05° 37' 12,5" 05° 15' 17,6"
122° 45' 21,7" 122° 17' 04,9" 122° 51' 54,1" 123° 21' 18,5"
WALL
25
250 500
18.750 37.500
PLATE PLATE SLOPE & WALL
4
Sumber (Sources): diolah dari (modified from) Saputro & Edrus, 2008; Edrus, 2010; Edrus et al., 2010; Edrus & Setyawan, 2011; Setyawan & Edrus, 2011; Edrus & Suhendra, 2007
Kesenjangan antara sistem produksi dan prinsip kehati-hatian Pemanfaatan sumber daya yang terancam kepunahan harus dilakukan dengan cara-cara bijak, dan didasarkan pada prinsip kehati-hatian. Semua ketentuan yang mengatur hal-hal tersebut sudah menjadi peraturan pemerintah, tetapi cenderung dipandang sebagai suatu regulasi pengelolaan perikanan yang normatif belaka.
Penangkapan ikan dengan peladak dan racun sianida sudah menjadi hal biasa dan kebiasaan tersebut sudah semakin meluas terjadi dalam penangkapan di wilayah perairan karang tanpa dapat dipantau dan dilarang (Pet-Saode et al., 1996; Hopley & Suharsono, 2000). Ancaman kerusakan karang di Asia Tenggara diperkirakan sebesar 64 % berasal dari penangkapan berlebih dan 56 % dari kegiatan penangkapan yang merusak (Burke et al., 2002).
Penerapan teknologi penangkapan dan cara penangkapan yang ramah lingkungan dalam beberapa hal sulit diimplementasikan di lapangan, karena animo masyarakat perikanan masih cenderung pada cara-cara penangkapan merusak, di mana mereka lebih familiar dan merasa diuntungkan dengan cara-cara merusak tersebut.
Kebutuhan ekonomi jangka pendek, keserakahan, lemahnya regulasi dan belum optimalnya pelaksanaan pengawasan merupakan kondisi faktual yang sekarang umum dijumpai di lapangan. Semua ini menjadi sesuatu yang kontradiktif terhadap eksistensi UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-Undang
120
Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulates Ruppell 1835) (Edrus. I. N.)
perubahannya No. 45 tahun 2009 serta Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. Sampai dengan saat ini regulasi tersebut belum dapat berjalan secara efektif dan upaya penegakan hukumnya pun masih belum berjalan dengan baik, serta seolaholah terjadi pembiaran. Pembiaran yang terjadi dalam jangka panjang akan membawa kepada kepunahan ikan Napoleon. Kegiatan penyadaran masyarakat, pengawasan dan penegakan hukum merupakan salah satu kunci utama dalam pelaksanaan Non-Detrimental Finding (NDF) yang diamanatkan UNEP untuk penangkapan ikan Napoleon di Indonesia. Intisari dari apa yang dikehendaki oleh NDF adalah kehati-hatian dalam pengelolaan sumber daya rentan punah. Semua anasir pengguna sumber daya diminta untuk menciptakan cara-cara panen yang tidak merugikan. Ketidak-beruntungannya adalah bahwa, pada tingkat pengguna sumber daya sulit diberikan pengertian tentang konsep NDF tersebut. Rata-rata nelayan kita berpendidikan rendah dan miskin. Pada tingkat pengawas, sampai dengan saat ini kegiatan pengawasan dan pengendalian baru dilakukan di jalur-jalur peredaran resmi, sedangkan pelanggaran-pelanggaran yang ada di lapangan masih belum optimal dari segi tindakan penegakan hukum dan pemberian sangsi. Dalam beberapa tahun ke depan, kemampuan pengawasan yang dimiliki petugas lapangan dan ketersediaan sarana prasarana diprediksi akan kalah tanding dengan pelaku-pelaku IUU fishing yang semakin canggih, terorganisir dan dengan cara-cara yang semakin merusak (Tampubolon, 2011). Dengan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut, kelemahan SDM dan sistem pengawasan, pemberhentian sementara kegiatan penangkapan merupakan solusi yang tepat untuk menekan ancaman kepunahan ikan
Napoleon di Indonesia, sampai menunggu pulihnya kesadaran masyarakat tentang perbaikan sistem produksi dan pulihnya populasi ikan Napoleon di alam. Ketidak pastian penerapan hukum yang menjadi dilema Substansi undang-undang pengelolaan sumber daya sering mengatur beberapa bidang persoalan secara seksama, jelas dan konfrehensif untuk melengkapi kebutuhan (Sumardiman, 2002). Tetapi, pada penerapannya di tingkat lapang, baik penegak hukum maupun pengawas masih terbentur pada kegamangan dalam penggunaan substansi-substansi pasalpasal hukum yang sudah jelas, khususnya dalam pembagian kewenangan dan tehnis pembuktian perkara serta antisipasi hal-hal yang bersifat laten. Contohnya, Substansi regulasi pengelolaan ikan Napoleon yang pernah ditetapkan belumlah secara tegas menetapkan larangan atas penangkapan dan hanya mengatur tentang ukuran, lokasi dan tata cara penangkapan ikan Napoleon. Masalah aktual yang timbul kemudian adalah bahwa ukuran yang diperbolehkan oleh aturan justru stadium ikan-ikan Napoleon yang oleh peneliti dinyatakan sudah mulai mengandung telur, karena betina terkecil memijah di alam pada ukuran panjang total 35 cm (Gillett, 2010), sedangkan ikan Napoleon yang selama ini terjual di pasaran justru lebih banyak dalam stadium juwana yang berukuran antara 10 – 15 cm (IUCN, 2006; Sadovy, 2006), dan yang lebih tragis lagi adalah bahwa aturan tersebut masih memberikan akses pada pengumpul ikan Napoleon yang justru menggunakan nelayan-nelayan pengguna potasisum yang merusak. Semua ini tidak memberikan kepastian atas lestarinya sumber daya ikan Napoleon di alam.
121
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 115-133
Kesulitan sering muncul bukan karena kurangnya pasal-pasal dalam substansi hukum yang digunakan terhadap perusak lingkungan, tetapi justru karena sulitnya menunjukkan bukti materiil. Dinamika perairan, seperti adanya gerakan massa air, yakni arus dan gelombang, dapat melenyapkan bukti-bukti materiil dalam hitungan menit sampai jam. Jika pemeriksaan terlambat, gradien dampak dapat berkurang atau mungkin menghilang karena arus kuat. Oleh karena itu, semua kasus pelanggaran perusakan lingkungan sebagai akibat cara-cara penangkapan ikan hidup dengan sianida atau potas sering tidak dapat ditindak-lanjuti dalam proses hukum, kecuali pelaku tertangkap basah. Pembuktian kasus seperti ini sering terbentur bukan saja pada saling lempar kewenangan tetapi juga pada banyaknya faktor dan ko-faktor yang bekerja atas kerusakan ekosistem karang, sehingga sulit dinisbahkan pada kejadian yang ditetapkan sebagai pengrusakan. Pembuktian juga bersandar pada dua pilihan yang belum tentu dapat diterima baik oleh pihak-pihak yang terlibat, yaitu apakah hanya semata-semata berdasarkan pada teori (scientific) atau hasil kerja pemerikasaan di tingkat lapangan atas kerusakan hingga menghasilkan bukti materiil. Yang kedua jauh lebih sulit dilakukan dari pada yang pertama, terlebihlebih jika kejadian pengrusakan sudah berselang lama dan akurasi datanya juga masih terbuka untuk didiskusikan, hingga memberikan peluang lolosnya pelaku pengrusakan. Pada umumnya penangkapan ikan Napoleon dilakukan malam hari dan pada saat yang sama tidak ada petugas pengawas dan juga tidak ada petugas analis laboratorium di lokasi penangkapan tersebut. Ketika kemudian kapal pedagang ditemukan membawa hasil tangkapan tersebut, mereka hanya terjerat kasus
122
pelanggaran penyalahgunaan dokumen SIKPI, sementara pelaku penangkapan yang merusak tidak terdeteksi. Ketika berhadapan dengan kejadian seperti ini, pengawas lapangan tidak pula dapat menggiring pelaku pencurian ikan ke meja hijau untuk memberikan efek jera sesuai dengan substansi UU 45 tahun 2009 atau PP 20 tahun 2007 karena beragam alasan (Tampobolon, 2011), kecuali merampas hasil tangkapan yang tidak sesuai ukuran, memberikan teguran keras dan melepaskan ikan Napoleon kembali ke habitatnya, sedangkan kerusakan lingkungan akibat cyanid fishing yang terjadi tidak ada berita acaranya dan tidak ada pula ada gugatan kerugian dari pihak pengguna lain. Mungkin hal ini yang dimaksud oleh Sadovy (2006) bahwa pemerintah masih terlampau lemah dalam pengawasan dan penegakan hukum. Kasus seperti ini secara pasti jarang dipandang sebagai kasus kejahatan, karena sulitnya dalam pembuktian walaupun kelengkapan pasal-pasal undangundangnya tersedia. Paling tidak kasus ini hanya dipandang sebagai kasus eksternalitas biasa dalam rezim open access yang tidak pula diteruskan pada sanksi denda (economic sentence). Sekali lagi, untuk mempermudah dan menyederhanakan proses dalam usaha menyelamatkan ikan Napoleon perlu adanya langkah-langkah perlindungan yang lebih konkrit, seperti penetapan moratorium. Landasan hukum Perlindungan atas ikan Napoleon dapat mengacu pada Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009. Pasal 7 ayat 1 (u) menyatakan bahwa “dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan Menteri menetapkan jenis ikan yang dilindungi”. Pada Pasal 7 ayat (6)
Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulates Ruppell 1835) (Edrus. I. N.)
disebutkan bahwa “Menteri menetapkan jenis ikan yang dilindungi dan kawasan konsevasi perairan untuk tujuan ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata, dan/ atau kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya. Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan dan Konservasi jenis ikan adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan sumber daya ikan, untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang (Pasal 21) dan konservasi jenis ikan dilakukan melalui penggolongan jenis ikan, penetapan status perlindungan jenis ikan dan pemeliharaan, pengembangbiakan, dan penelitian serta pengembangan.
sesuatu yang berkenaan dengan “pembatasan pemanfaatan” sumber daya alam dapat menjadi pertengkaran dan digunakan sebagai alat politis yang justru membatasi fungsi-fungsi eksekutif dalam pengelolaan perikanan, di mana eksekutif dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang, meskipun pelestarian sumber daya alam juga diatur oleh undang-undang yang legal karena untuk kepentingan bersama. Pembatasan pemanfaatan ikan Napoleon bukan berarti memperkosa hakhak ulayat, tetapi lebih kepada aturan bagaimana masyarakat dapat memanfaatkan ikan Napoleon dalam caracara yang baik dan bijaksana. Manajemen Perikanan Lebih kapasitas dalam perikanan
Selanjutnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER-03/MEN/2010 memberikan dasar-dasar tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan. Implikasi politis atas Undang-Undang Orientasi politik adalah untuk kepentingan rakyat maka kemakmuran rakyat adalah segala-galanya (UUD 1945 pasal 33 ayat 3) dengan tetap memperhatikan keseimbangan, kelestarian lingkungan dan sanksi hukum (UU no. 45 tahun 2009). Penerapan Undang-Undang dan regulasi perikanan bukan berarti mempolitisasi perikanan untuk tendensi kepentingan tertentu atau sektor, namun untuk memperjuangkan pembangunan perikanan bagi kepentingan rakyat dan kelestarian sumber daya perairan. Dua frasa ini, yaitu “kepentingan rakyat” dan “kelestarian sumber daya”, merupakan kunci politis untuk masuk pada usaha pembatasan pemanfaatan ikan Napoleon. Segala
Seperti yang disinyalir oleh oleh Fauzi (2005), sumber utama krisis perikanan Napoleon adalah buruknya pengelolaan perikanan Napoleon yang ditunjukkan oleh dua hal yang menonjol, seperti lebih kapasitas (overcapacity) dan destruksi habitat (penggunaan potas). Sumber daya ikan Napoleon bersifat dapat diperbaharui (renewable), tetapi bukan tidak mungkin akan menuju kepada kepunahannya (collapse), karena ketika laju ekstraksi ikan tersebut telah melebihi kemampuan regenerasinya, pasti akan terjadi perubahan dalam populasi. Destruksi habitat dan konsekuensinya dalam perikanan Meski situasi lebih tangkap di Indonesia relatif tidak sederastis pada skala global di banyak wilayah subtrofis, tetapi destruksi habitat justru sering menjadi masalah utama di wilayah negara berkembang yang disebabkan oleh kemiskinan dan lemahnya
123
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 115-133
pengawasan. Destruksi ekosistem tercatat relatif tinggi pada negara-negara Asia, khususnya Filipina dan Indonesia (Burke et al., 2002). Untuk alasan ini sering kali negara-negara maju, baik sebagai donor maupun sebagai importir merasa harus campur tangan karena sumber daya ikan telah diklaim menjadi kepentingan dan keperihatinan Global. Privasi sumber daya perikanan melalui kuota akhirnya menjadi agenda global. Sebagai konsekuensinya adalah bahwa beragam kebijakan perikanan sering terbentur pada regulasi yang ditetapkan dalam perdagangan global. Issu environmental labelling, yang tercantum dalam Doha agenda pada pertemuan WTO ke-4 di Doha, Qatar, justru menjadi dilema bagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Sekarang kita menghadapi kasus yang sama bahwa ikan Napoleon telah diberikan kuota yang tiap tahun akan dikaji terus untuk direvisi. Jika ingin masuk pada perdagangan global, mau tidak mau atau suka tidak suka, kita wajib berperan aktif untuk menunjukkan bahwa kita ramah dan perhatian penuh pada masalah degradasi ekosistem. Sifat buruk perikanan Napoleon Pengelolaan perikanan Napoleon saat ini sudah masuk pada kategori over eksploitasi dan merusak ekosistem karang (Sadovy et al., 2003; Sadovy, 2006; IUCN, 2006). Laporan WWF menyebutkan bahwa lebih dari 6000 penangkap ikan hidup telah menggunakan 150.000 kg potas dan dalam bentuk larutan disemprotkan ke 33 juta onggok karang setiap tahun. Jika praktik peracunan tersebut terus berlangsung, diperkirakan tahun 2020 semua terumbu karang akan rusak (Michael, 2011). Pengelolaan ikan Napoleon yang berstatus rawan punah sudah harus dalam bentuk pembatasan penangkapan, yang bukan saja dalam bentuk penetapan kuota,
124
tetapi juga dalam bentuk pelarangan penangkapan untuk memberikan kesempatan pada pertumbuhan populasinya di alam. Karakteristik di sektor perikanan Napoleon adalah unik, selain bersifat ordinary-rare resource (sejatinya adalah sumber daya yang terbatas), juga bersifat common property resource (sumber daya sebagai hak kepemilikan umum). Interaksi kedua faktor ini sering menimbulkan eksternalitas yang mendorong terjadinya lebih tangkap dan kemudian justru menimbulkan penurunan stok sumber daya dalam waktu yang pendek dan kemudian sulit untuk tumbuh kembali secara cepat (Burke et al. 2002). Untuk alasan ini, penanganan masalah perikanan memerlukan pendekatan tersendiri. Pilihan yang terbaik bagi manajemen perikanan Napoleon di Indonesia adalah melakukan perubahan pundamental dari sekadar mengelola sisi suplai ke mengelola manusia sebagai pengguna, karena yang dikelola ini adalah sumber daya rentan punah dan penggunanya adalah penentu kebijakan yang buruk dan bahkan sekaligus perusak lingkungan (Salm et al., 2000). Dengan demikian, pembatasan total adalah langkah yang dianggap tepat dibanding penetapan kuota penangkapan. Selama ini kuota justru akan memberikan celah yang lebih besar pada ilegal fishing, sementara dengan pelarangan diharapkan akan lebih memudahkan pengawasan. Gangguan dari perikanan Napoleon Keuntungan ekonomi perikanan adakalanya tidak sepadan dengan ongkos yang ditanggung masyarakat dan lingkungan (environmental cost) yang memang tidak pernah diperhitungkan dalam analisa finansial tentang keuntungan bersih (Cesar, 1996; Pet-Soede et al., 1996). Terumbu karang di Indonesia menyediakan
Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulates Ruppell 1835) (Edrus. I. N.)
keuntungan ekonomi tahunan sebesar US $ 1,6 juta (Burke et al., 2002), tetapi tidak sedikit pula kerugian yang ditanggung oleh ekosistem. Usaha individual perikanan yang menggunakan racun (sianid fishing) memperoleh keuntungan bersih 33.000 US $ per km2 dalam periode 20 tahun, tetapi total kerugian yang ditimbulkannya bagi usaha masyarakat dalam perikanan tangkap yang berkelanjutan dan usaha pariwisata mencapai 40.000 sampai 446.000 US $ per km2 dalam periode yang sama, di mana nilai tersebut belum terhitung kerugian dari sisi kehilangan biodiversitas dan proteksi lingkungan (Cesar, 1997; dalam Burke et al., 2002). Contoh gangguan (eksternalitas) yang lebih spesifik adalah perikanan Napoleon di Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Kendari. Perikanan Napoleon disinyalir menggunakan potas (Sianida) dan menimbulkan ekses pada perikanan kerapu hidup (Purnomo, 2009). Produksi kerapu antara 2009 sampai 2011, menurun sebagai akibat pengaruh perikanan potas (Gambar 1). Semua orang mengerti bahwa Wakatobi adalah salah satu area yang dilindungi (Taman Laut Nasional), tetapi kasus-kasus perikanan potas tidak dapat ditanggulangi. Dampak Ekonomi Perikanan Napoleon Secara ekonomi, pelarangan penangkapan ikan Napoleon tidak akan berpengaruh besar terhadap pendapatan masyarakat nelayan artisanal. Ikan Napoleon bukan menjadi target utama penangkapan bagi kebanyakan Rumah Tangga Perikanan (RTP). Rumah Tangga Perikanan Napoleon relatif kecil (Tabel 2) jika dibanding RTP perikanan secara umum.
Sedangkan jumlah eksportir ikan hidup Napoleon kurang lebih 15 perusahaan (Dirhamsyah, 2011). Moratorium terhadap penangkapan ikan Napoleon hanya akan berpengaruh pada perikanan padat modal dan eksportir (Tabel 3), karena justru mereka yang mendapat keuntungan terbesar.
Gambar 1.
Figure 1.
Penurunan produksi ikan kerapu hidup akibat perikanan potas di WangiWangi,Wakatobi, Sulawesi Tenggara Decreasing in live grouper production due to cyanide fishing in Wangi-Wangi, Wakatobi,Sulawesi Tenggara
Pelarangan penangkapan ikan Napoleon juga tidak akan berpengaruh signifikan terhadap kontribusi terhadap Penghasilan Nasional Bukan Pajak (PNBP) sektor perikanan, karena nilai PNBP hanya sekitar Rp. 48.000.000,-/tahun sesuai dengan besaran kuota. Pelarangan ekspor ikan Napoleon juga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap nilai ekspor ikan karang Indonesia, karena proporsi ikan Napoleon kurang dari 10% dari total ekspor ikan karang (Ruchimat, 2011).
125
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 115-133
Tabel 2.
Table 2.
Jumlah Rumah Tangga Perikanan yang khusus menangkap Ikan Napoleon. Fisherman household numbers that are specially in Napoleon fishing.
WILAYAH / Regions Natuna Banggai Derawan Mentawai Pulau Sembilan Wakatobi Komodo Karimun Jawa Bangka Belitung
JUMLAH / Totals 100 100 79 - 90 50 50 20 - 30 20 - 30 0 0
Keragaan Sistem Perikanan Napoleon Seperti dijelaskan di atas bahwa masalah utama krisis perikanan adalah tidak terkendalinya upaya (input) dari stakeholders dalam mengelola sumber daya ikan. Sejauh ini masalah-masalah perikanan sering bersifat latent atau tidak tanpak di permukaan sebagai suatu permasalahan krusial yang harus dipecahkan lebih dahulu. Sering kali program-program pembangunan perikanan berada di jalan buntu dan bahkan kontroversial dalam pelaksanaannya. Untuk
126
membedah akar permasalahan dan kebijakan yang selama ini dirasa kurang tepat, Smith dan Link (Fauzi, 2005) menyarankan untuk melakukan “otopsi” terhadap perikanan agar kebijakan yang berbasis pada kegagalan masa lalu dapat ditetapkan. Permasalahan perikanan secara sederhana adalah turunan dari dua faktor generik, yaitu penanganan sumber daya (termasuk pendugaan serta penilaian stok), dan penanganan “input” untuk mengekstraksi sumber daya (termasuk kapital, nelayan dan kebijakan dan sebagainya). Stok sangat bersifat dinamis dan mengharuskan kita mempelajari stok di masa lalu dan gangguan-gangguan yang menyebabkan perubahan stok di masa lalu. Gangguan pada stok di luar kendali manusia, sedangkan gangguan pada “input” berada sepenuhnya di tangan pengelola. Dengan demikian, masalah sumber daya bukanlah semata-mata masalah lingkungan melainkan masalah manusia yang timbul berulang-ulang di tempat yang berbeda dalam konteks politik, sosial dan sistem ekonomi yang berbeda pula. Selayaknya perumusan kebijakan yang tepat harus lebih dahulu diarahkan pada sisi tersebut (Salm et al., 2000 ; Fauzi, 2005).
Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulates Ruppell 1835) (Edrus. I. N.)
Tabel 3. Table 3.
Volume ekspor dan nilai ekspor ikan Napoleon asal Indonesia ke pasar Hongkong Export volumes and values of Napoleon fish coming from Indonesia to Hongkong market Tahun (Years)
Parameter Volume ekspor (kg) (Export Volumes) Kisaran Harga borongan di pasar Hongkong (Rank of Hongkong Market Prices) – US $/kg Harga rata-rata (Mean Price) – US $/kg Rata-rata Nilai Ekspor (Mean Export Value) US $
2000
2001
2003
2004
2005
2006
875
499
5344
2526
544
4619
45 - 70
50 - 65
50 - 70
25 - 95
27 - 111
27 - 111
57,5
57,5
60
60
69
69
50.313
28.693
320.640
151.560
Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa kegagalan masa lalu adalah kurang tanggapnya stakeholder terhadap sifat stok ikan Napoleon yang sudah jelas, di mana dalam situasi tanpa tekanan (tanpa eksploitasi), populasi ikan Napoleon di alam memang sudah memiliki sifat rendah kelimpahan dan kepadatannya. Hasil penilaian stok tidak pernah mendapat penghargaan yang layak. Pengguna terlampau berorientasi pada tingginya permintaan pasar dengan harga yang tinggi, sehingga dorongan peningkatan investasi tidak dapat dibendung. Di sisi lain ekploitasi yang tinggi dalam interval waktu yang rapat dan berjangka panjang tidak memberikan kesempatan proses regenerasi populasi ikan Napoleon. Akhirnya status normalnya yang “jarang” dan “sedikit” tadi menjadi terpuruk ke status rawan punah. Akibatnya CITES menetapkan status Appendix II untuk ikan Napoleon, sementara kajian mendalam untuk mengembangkan protokol penangkapan dan perdagangan yang komprehensif serta terkontrol tidak dilakukan. Hal ini berujung pada maraknya kasus-kasus IUU perikanan Napoleon. Kasus-kasus IUU tersebut jika tetap tidak
37.536
318.711
terkendali akan kembali menjadi batu sandungan bagi industri perikanan Napoleon di Indonesia, di mana pada akhirnya akan berujung pada peningkatan status yang diterapkan CITES dari appendix II menjadi Appendix I. OPSI KEBIJAKAN Membangun perhatian masyarakat Dalam asumsi pengelolaan yang efektif sebenarnya lebih bertumpu pada penanganan pengguna (untuk merubah sikap) dari pada hanya sekadar penanganan yang bertumpu pada kegiatan restologi, restocking, rehabilitasi, introduksi teknologi dan legislasi/regulasi. Regulasi dapat diciptakan silih berganti dan begitu juga teknologi serta management tools, namun adaptasi dan penerimaan kontrol atas semua itu bergantung pada kemauan dan penerimaan masyarakat. Perhatian masyarakat (Public awareness) adalah kunci dari inisiatif keterlibatan masyarakat dalam perlindungan jenis ikan rawan punah. Masalah terberat di tingkat
127
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 115-133
lapang dengan intensitas yang meluas di Indonesia adalah membangun situasi yang kondusif di antara hubungan usaha-usaha preventif dari pemerintah dan penerimaan masyarakat. Pemerintah diharapkan mampu membangun rasa saling percaya dan presiden yang baik jika ingin membentuk integritas masyarakat pada masalah lingkungan. Dalam hal ini masyarakat percaya bahwa mereka masih punya kesempatan mendapat profit dari keterlibatannya. Pemerintah memberikan contoh yang baik dalam penegakan hukum, terutama peran aparat keamanan di tingkat lapang merupakan aktor yang harus disegani, menjadi presiden yang baik dan bukan menjadi aktor perusak kesepakatan (korup) yang terbentuk hingga menjadi kontra produktif bagi pengelolaan sumber daya yang dianggap akan punah. Tidak diharapkan masyarakat menjadi pesimis dan apatis hanya karena tidak berjalannya penegakan hukum. Diharapkan kesungguhan penegakan hukum oleh pemerintah akan lebih mendorong integritas masyarakat untuk secara aktif sebagai mitra mencegah kerusakan lingkungan dan ilegal fishing. Mengembangkan protokol umum Pada tingkat pemerintah masalah yang mendesak adalah masalah tersedianya ketetapan holistik untuk mengatur perikanan Napoleon. Kebijakan di tingkat dunia semakin cepat berubah seiring dengan semakin cepatnya kerusakan ekosistem dan lingkungan hidup. Melalui moratorium semuanya diharapkan akan menjadi jelas dan meyakinkan, khususnya bagi pejabat pembuat kebijakan, pemberi izin, pengawas lapangan, penegak hukum, pengusaha perikanan dan nelayan untuk masingmasing sesuai fungsinya mengerti dan kemudian bersepakat menjaga ikan Napoleon dari kepunahan.
128
Semua produk legislasi perlindungan jenis ikan rawan punah (dalam hal ini moratorium) perlu tindakan-tindakan pengawalan. Pemahaman dan penerimaan masyarakat merupakan kunci keberhasilan atas perlindungan sumber daya (Salm et al., 2000). Masyarakat perlu diberi kesempatan untuk memahami alasan mengapa moratorium ditetapkan, sehingga mereka mampu membentuk regulasi yang bersifat tradisional dengan dasar-dasar ekologis menurut pengertian mereka sendiri. Mengantisipasi kegagalan moratorium IUU Fishing dapat dipastikan akan terus timbul sebagai konsekuensi negatif dari penetapan moratorium. Masa depan moratorium dalam menghadapi hal tersebut akan sangat bergantung pada integritas masyarakat dan kemauan politis aparat pengawas serta penegakan hukum. Tumpuan pada integritas masyarakat akan lebih menonjol jika memperhatikan keterbatasan pemerintah di tingkat lapang. Oleh karena itu, tipe moratorium harus lebih masuk akal menurut perhitungan untung rugi masyarakat dan bukan sekadar alasan ekologis semata-mata. Lebih jauh moratorium tidak boleh dijadikan sebagai alat kesepakatan politis yang menyimpang (KKN), karena akan menjadi beban dalam penegakan integritas masyarakat. Sinergitas antara masyarakat dan pemerintah harus terbentuk dalam operasional penegakan moratorium. Pemerintah perlu tetap memelihara kinerja dan citra yang baik (good governance) untuk membangun perhatian masyarakat. Moratorium terbatas Prinsip pembangunan yang berkelanjutan membawa kepada pengelolaan sumber daya yang lebih bijaksana dari sisi pemanfaatan sumber
Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulates Ruppell 1835) (Edrus. I. N.)
daya berkelanjutan sebagai akibat dari usaha-usaha menjaga kelestariannya. Pembatasan mutlak pada pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui akan menjadi paradoks bagi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, untuk kasus pemanfaatan ikan Napoleon perlu ditetapkan jalan tengah melalui perlindungan yang tidak menimbulkan kontrovesrsial. Tipe perlindungan jenis selain penetapan kuota dan belum dicoba adalah moratorium. Moratorium pada dasarnya adalah larangan yang bersifat temporal. Penetapan moratorium disinyalir akan menghadapi banyak kritik bahkan perlawanan massa. Kemudian timbul inisiatif wacana moratorium terbatas yang sebenarnya telah berkembang sebelumnya di tengah masyarakat Maluku, yaitu praktek perlindungan jenis secara tradisional yang disebut “adat sasi”. Perlindungan jenis ala moratorium terbatas mungkin lebih mudah diadopsi masyakat. Moratorium terbatas dapat diaplikasikan dalam dua pola, yaitu perlindungan secara spasial dan temporal. Perlindungan spasial, dalam hal ini adalah buka tutup wilayah tangkap ikan Napoleon, yaitu pada waktu tertentu ada wilayah tertutup yang ditetapkan, sementara wilayah lain terbuka untuk eksploitasi. Perlindungan temporal adalah larangan penangkapan di semua wilayah dalam waktu yang ditentukan. Perlindungan temporal seperti ini lebih mirip adat sasi di Maluku yang nampak sederhana tetapi efektif. Namun pengalaman sebelumnya telah memberikan pelajaran bahwa peluang sekecil apapun dalam rezim open access akan menimbulkan pelanggaran terhadap ketentuan legislasi, karena dorongan ekonomi lebih dominan. Dengan demikian, pola perlindungan jenis secara spasial menjadi tidak ideal ketika diperuntukan untuk jenis ikan bernilai ekonomis tinggi seperti ikan Napoleon dan bahkan tetap
akan menimbulkan kesulitan dalam pengawasannya. Pola perlindungan jenis secara temporal dianggap akan mempermudah sistem pengawasan dalam rentang waktu yang ditentukan, sehingga perlu dicoba dan disosialisasikan untuk menyelamatkan ikan Napoleon dari kepunahan. Moratorium terbatas hendaknya menjadi konsensus nasional yang kemudian dapat diadopsi oleh masyarakat menjadi aturan-aturan adat yang lebih bisa diterima mereka. Penangkapan ikan Napoleon seperti dijelaskan di muka telah menjadi masalah dalam 10 – 15 tahun sebelumnya, di mana produksi menurun hingga 50 % sementara status kepadatan ikan Napoleon di alam saat ini rata-rata kurang dari 2 ekor/ha. Moratorium temporal terbatas dapat mengacu pada waktu 10 sampai 15 tahun, untuk kemudian dievaluasi setelahnya dengan indikator kepadatan yang meningkat melebihi 4 ekor/ha untuk penghapusan moratorium. Alternatif yang lebih menguntungkan Opsi moratorium adalah yang paling strategis untuk kepentingan menyelamatkan jenis ikan rawan punah, habitatnya dan lingkungan hidup organisma laut serta mempermudah pengawasannya. Moratorium penangkapan ikan Napoleon akan menempatkan ikan itu sendiri sebagai objek material pembuktian pelanggaran hukum, karena telah menjadi benda terlarang untuk ditangkap. Dengan adanya moratorium maka pekerjaan-pekerjaan pengawasan dan pembuktian yang dianggap rumit menjadi lebih disederhanakan. Keuntungan lain dari moratorium adalah bahwa moratorium dapat menimbulkan isu lain yang akan menempatkan ikan Napoleon menjadi objek menarik sebagai
129
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 115-133
hewan langka dan pada akhirnya akan menarik dalam wisata bahari. Laporan Gillett (2010), ikan Napoleon yang biasa disebut “Wally” oleh penyelam lokal Australia ternyata dapat diajak bermain dan mudah didekati (friendly) oleh penyelam-penyelam di Norman Reef of Australian’s Geret Barrier Reefs (Gambar 2). Untuk alasan itu, pengembangan ekonomi wilayah, dimana ikan Napoleon ditemukan, pasti akan terjadi apabila wilayah tersebut dipromosikan sebagai area tujuan wisata penyelampenyelam domestik maupun dunia untuk bermain dengan ikan Napoleon, seperti kasus yang sama untuk ikan mola di wilayah Nusa Penida Bali. Banyak pendapatan alternatif akan diperoleh melalui pengembangan Napoleon Dive Cruise.
Gambar 2.
Figure 2.
Keuntungan lain dari ikan Napoleon sebagai objek wisata bahari Further benefits of Napoleon fish in terms of marine tourism Sumber (Source): http://ikanmania. wordpress.com
Moratorium bukan saja dapat memberikan kesempatan perkembangan populasi ikan Napoleon di alam, tetapi juga merangsang usaha-usaha budidayanya (hatchery) yang mulai dirintis dan berhasil dilakukan oleh Balai Besar Budidaya Ikan di Gondol, Bali (Sim, 2004).
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN Kesimpulan Beberapa hal yang dapat disimpulkan bagi penentu kebijakan antara lain adalah : 1) Perikanan Napoleon mengalami krisis yang ditunjukkan oleh dua sifat yang menonjol, seperti intensitas penangkapan yang tidak memberikan kesempatan pada perkembangan stoknya di alam dan cara penangkapan yang merusak habitat dan lingkungan hidup ikan, hingga berdampak buruk pada usaha perikanan karang berkelanjutan dan pariwista. 2) Kebijakan pengelolaan ikan Napoleon tidak kondusif dari sisi substansi legislasi dan efektifitas pengawasan dan penegakan hukum, seperti ditunjukkan oleh maraknya IUU fishing. 3) Respon dunia dalam hal status ikan Napoleon sebagai rawan punah (Appendix II) bersifat positif hingga timbul inisiatif NDF, tetapi respon perdagangannya negatif karena mendorong eksploitasi tidak terbatas yang tidak selaras dengan ide NDF. 4) Kuota perdagangan ikan Napoleon sebagai upaya perlindungan jenis rawan punah hanya mengakomodasi dan mengatur pada tingkat perdagangan global, tetapi peraturan pengelolaan yang bersifat domestik membutuhkan peraturan lebih serius untuk menyelamatkan ikan Napoleon dari kepunahan. 5) Inisiatif perlindungan jenis satwa rawan punah telah memiliki mandat tetap melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.03/MEN/2010. Rekomendasi Rekomendasi bagi penentu kebijakan antara lain :
130
Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulates Ruppell 1835) (Edrus. I. N.)
1) Perlu menetapkan perlindungan ikan Napoleon dengan cara pelarangan penangkapan selama rentang waktu 10 sampai 15 tahun. 2) Perlu melakukan sosialisasi yang berkenaan dengan pelarangan tersebut dan melibatkan masyarakat dalam mentranslasi ketentuan moratorium ke dalam bentuk yang mudah difahami dan diterima masyarakat. 3) Perlu melakukan monitoring berkala populasi ikan Napoleon selama berlakunya moratorium dan melakukan evaluasi summatif pasca berakhirnya ketetapan moratorium. 4) Perlu melakukan propaganda pariwisata dengan tema “Indonesian Dive Cruise Year for Napoleon Fish”. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 1992. Palau Fishery Report, Annual report. Division of Marine Resources. Bureau of Natural Resources and Development. Ministry of Resources and Development, Koror, Palau, 99 pp. Arief, S. & I.N. Edrus. 2010. Struktur Komunitas Ikan Karang di Perairan Karang Kabupaten Maluku Barat Daya. Jur. Pen. Perikanan Indonesia Vol 16 (3): 235 - 250. BAPPENAS. 2003. Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan. NATIONAL DOCUMENT. The National Development Planning Agency. Burke, L., E. Selig & M. Spalding. 2002. Reefs at Risk in Southeast Asia. World Resources Institute, Washington DC. 76 pp. Cesar, H. 1996. “Economic Analysis of Indonesian Coral Reefs,” Working Paper Series ‘Work in Progress’, Washington, DC: World Bank.
CITES. 2004. Amendments to Appendices I and II of CITES [proposal]. Convention on the International Trade in Endangered Species, 13th Meeting of the Conference of the Parties. Dirhamsyah. 2011. Study on Fisheries Management of Napoleon Wrasse in Indonesian Waters. P2O-LIPI’s Working Paper dalam: “Temu Pakar Penyusunan Rencana Aksi Pengelolaan Jenis Ikan Napoleon Wrasse (Cheilinus undulatus), di Blue Sky Pandurata Hotel, Jakarta, 11 Agustus 2011, KKJI – KKP (Published in print) Domeier, M.I. and P.L. Colin. 1997. Tropical reef fish spawning aggregation defined and revieuwed. Bull. Mar. Sci. 60(3), 698726. Donaldson, T. J. & Y. Sadovy. 2001 Threatened Fishes of The World : Cheilinus undulatus Ruppell, 1835 (Labridae). Env. Biol. Fish. 62: 428. Edrus, I.N., S. Arief, & I.E. Setyawan. 2010. Kondisi Kesehatan Terumbu Karang Teluk Saleh, Sumbawa: Tinjauan Aspek Substrat Dasar Terumbu dan Keanekaragaman Ikan Karang. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 16 (2). Edrus, I.N. & I.E. Setyawan. 2011. Keanekaragaman Ikan Karang Perairan Belitung dan Pengaruh Kecerahan Air Laut. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.( In press). Edrus, I.N. 2010. Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus Rüppell 1835) dalam Sorotan Dunia. Kertas Kerja. Seminar Konsultasi Publik. Sorong, Papua, Nopember 2010. KP3K-KKP. Edrus, I.N. & D. Suhendra. 2007. Sumber daya Ikan Karang. Dalam: Pulau
131
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 115-133
Manterawu, Sumber daya Alam Pulau Kecil Teluar. S. Hartini & G.B. Saputra (Eds). Penerbit Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut, Bakosurtanal, Cibinong Bogor. 135 pp. Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelauatan: isu, Sintesis, dan Gagasan. Gramedia, Jakarta. 185 pp. Gillett, R. 2010. Monitoring and Management of the Humphead Wrasse, Cheilinus undulatus. FAO Fisheries and Aquaculture Circular No. 1048, Rome. 62 pp. Hopley, D. & Suharsono. 2000. The status and management of coral reefs in eastern Indonesia. The Australian Institute of Marine Science for the David & Lucile Packard Foundation, USA. 145 pp. IUCN. 2006. Development of fisheries management tools for trade in humphead wrasse, Cheilinus undulatus, in compliance with Article IV of CITES. Final Report of CITES Project No. A-254 undertaken by the International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources - World Conservation Union/ Species Survival Commission (IUCN/ SSC) Groupers & Wrasses Specialist Group and led by Dr Yvonne Sadovy. Michael, A.W. 2011. Cyanide and Dynamite Fishing, Who’s really Responsible? Ocean N Environment Ltd. P.O. Box 2138, Carlingford Court Post Office Carlingford NSW 2118, Australia. email:
[email protected]. http:// www. Ocean NEnvironment.com.au. Diunduh dari http://www.eepsea.org. Juli 2011. Pet-Soede L., H. Cesar, & J. Pet. 1996. “Blasting Away: The Economics of Blast
132
Fishing on Indonesian Coral Reefs,” in H. Cesar, ed., Collected Essays on the Economics of Coral Reefs, pp. 77-84. Purnomo, H. 2009. Masalah Perikanan Napoleon. Kertas Kerja pada Forum Konsultasi Publik, Jakarta, September, 2009. KP3K - KKP. Ruchimat, T. 2011. Usulan Inisiatif Status Perlindungan Jenis Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus). Kerta Kerja pada Workshop FASILITASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus) di Hotel Blue Sky - Jakarta, 8 Juli 2011, KP3K – KKP. Sadovy, Y., Kulbicki, M., Labrosse, P., Letourneur, Y., Lokani, P. & Donaldson, T. J. 2003. The Humphead Wrasse, Cheilinus undulates: synopsis of a threatened an poorly known coral reef fish. Review in Fish Biology and Fisheries 13 : 327-364 Sadovy, Y. 2006. Napoleon Fish (Humphead Wrasse), Cheilinus undulatus, Trade in Southern China and Underwater Visual Census Survey in Southern Indonesia. Final Report: IUCN Groupers & Wrasses Specialist Group. 25 pp. Saputro, B.S. & I.N. Edrus. 2008. Sumber Daya Ikan Karang Perairan Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 14 (1 ): 73 -113. Salm, R.V., J. Clark, & E. Siirila. 2000. Marine and Coastal Protected Areas: A guide for planners and managers. IUCN. Washington DC. 371pp. Setyawan, I.E. & I.E. Edrus. 2011. Struktur Komunitas ikan Karang di Empat Zona
Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulates Ruppell 1835) (Edrus. I. N.)
Perairan Kendari. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.( In press). Sim, S.Y. 2004. First Breeding Success of Napoleon Wrasse and Coral Trout. Magazine. Asia-Pacific Marine Finfish Aquaculture Network. Bangkok, Thaoland, April-June, No. 1. Simatupang, P. 2003. Analisis Kebijakan: Konsep Dasar dan Prosedur Pelaksanaan. Jurnal Analisis Kebijakan, Edisi Maret: 14 - 35, Pusat Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Suaka Perikanan terumbu karang. Buku Petunjuk. Kerjasama COREMAP dengan AusAID, Australian Government. Tampubolon, S.A. 2011. Pemanfaatan Pengawasan Ikan Napoleon. Kertas Kerja Direktur Pengawasan Sumber daya Kelautan. DITJEN PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN - KKP dalam Workshop : FASILITASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus) di Hotel Blue Sky - Jakarta, 8 Juli 2011, KP3K – KKP.
Sumardiman, A. 2002. Peraturan Pembinaan Perlindungan Lingkungan
133
Pengelolaan Sumber Daya Ikan ...…….. Lokal di Danau Singkarak (Syandri, H., et al.)
PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN BILIH (Mystacoleucus padangensis Blkr) ENDEMIK BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI DANAU SINGKARAK Hafrijal Syandri1; Junaidi1 dan Azrita2 1)
Dosen pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta Padang 2) Dosen pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bung Hatta Padang Teregistrasi I tanggal: 27 Mei 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 18 Agustus 2011; Disetujui terbit tanggal: 29 September 2011
ABSTRAK Pesatnya kegiatan penangkapan ikan bilih endemik di Danau Singkarak, sudah mengindikasikan penurunan populasi dan ukuran ikan tersebut. Oleh karena itu perlu dikelola agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Salah satu alternatif pengelolaannya adalah berbasis kearifan lokal. Untuk itu diperlukan kebijakan pengelolaan ikan bilih berbasis kearifan lokal yang ada pada masyarakat nelayan. berdasarkan analisis SWOT dari sembilan strategi yang diperoleh, maka tiga strategi yang menjadi prioritas utama pengelolaan ikan bilih yaitu (1) pengelolaan penangkapan ikan berbasis kearifan lokal dengan nilai manfaat 0,518, (2) pengelolaan habitat ikan melalui pembuatan reservat secara ko-manajemen dengan nilai manfaat 0,280 dan (3) pengelolaan populasi ikan melalui pembenihan dan restoking dengan nilai manfaat 0,202. Peraturan yang lebih baik dalam pengelolaan dan pelestarian ikan bilih adalah dengan hukum adat dengan nilai manfaat 0,095. KATA KUNCI :
ikan bilih, pengelolaan dan kearifan lokal
ABSTRACT :
Management of endemic bilih fish resources (Mystacoleucus padangensis Blkr) based on local wisdom in Singkarak Lake By: Hafrijal Syandri, Junaidi and Azrita
Overfishing of bilih fish endemic in Singkarak lake indicated a decrease in population and size of the fish. Therefore, it is necessary to do a management in order a sustainable. One of the alternative management is based on local wisdom. The aim of this research was to determine of management priorities based on local wisdom that exist in the fish communities. From the research finding it can be explained that among the nine strategies which were obtained from the SWOT analysis, then the three strategies of the top priority of the management of bilih fish are (1) the management of fishing based on local wisdom with advantage value of 0.518, (2) management of fish habitat through the creation of reserves comanagement with a advantages value of 0.280 and (3) management of fish populations through hatchery and restocking with advantage value of 0.202. The better regulation in management and conservation bilih fish by customary law with adventages value of 0,095. KEYWORDS :
bilih fish, management and local wisdom
135
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 135-144
PENDAHULUAN Sumber daya ikan perairan umum daratan berperan penting sebagai sumber protein dan ketahanan pangan, sumber ekonomi masyarakat, sumber lapangan kerja, sumber plasma nutfah dan sumber devisa dan pendapatan asli daerah (Kartamihardja et al., 2009). Salah satu sumber daya perikanan di Danau Singkarak adalah ikan bilih bersifat endemik (Weber dan Beaufort, 1916; Kottelat et al., 1992) dan bernilai ekonomis (Syandri, 1996). Penangkapan dilakukan setiap hari dengan sistim alahan (54 unit), jaring insang (854 unit), bubu (60 unit), jala (250 unit), bahan peledak dan setrom dengan produksi sekitar 2,0 ton per hari (Syandri, et al., 2008), dominan populasi ikan yang tertangkap sedang bertelur (Syandri, 2011). Hasilnya selain dikonsumsi secara lokal, juga dipasarkan ke Propinsi Riau, Jambi, Sumatera Utara dan Kepulauan Riau, termasuk ke Malaysia dalam bentuk ikan olahan dengan harga ikan segar Rp 30.000,/kg dan olahan Rp70.000,-/kg (Syandri, 2008) Ukuran populasi ikan bilih Danau Singkarak saat sekarang berkisar 6 - 7 cm (Syandri, 2011) lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran tahun 1996 berkisar 10-14 cm (Syandri, 1996), sedangkan ukuran ikan bilih yang berasal dari Danau Toba berkisar 11,5 – 14,5 cm (Kartamihardja, 2009). Berdasarkan data tersebut maka populasi ikan bilih di Danau Singkarak terancam punah. Ancaman kepunahan sumber daya ikan bilih antara lain disebabkan oleh : (1) penangkapan yang tidak terkendali dengan berbagai jenis alat tangkap, (2) ikan yang ditangkap di beberapa muara sungai yang sedang beruaya ke daerah pemijahan dominan sedang mengandung telur, (3) perubahan kualitas air akibat bendungan PLTA Singkarak, (4) ketergantungan masyarakat
136
nelayan terhadap ikan bilih sangat dominan dan (5) belum ada kawasan konservasi ikan bilih berbasis masyarakat (Syandri, 2008). Oleh sebab itu, ikan bilih penting dilestarikan melalui pengelolaan penangkapan, habitat dan populasi berdasarkan kearifan lokal dengan melibatkan pemangku kepentingan. Tulisan ini bertujuan membahas tentang peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan dan strategi pilihan dalam kebijakan pengelolaan plasma nutfah ikan bilih di Danau Singkarak sebagai dasar untuk melakukan pengelolaan berbasis masyarakat, ramah lingkungan dan bernilai ekonomis. STRATEGI PENGELOLAAN IKAN BILIH BERDASARKAN ANALISIS SWOT. Berdasarkan pendekatan analisis SWOT faktor strategis eksternal berupa peluang dan ancaman dan faktor strategis internal berupa kekuatan dan kelemahan, maka dari hasil pembobotan dan rangking dapat diketahui urutan tingkat kepentingan faktor-faktor tersebut, baik strategis internal maupun strategis eksternal seperti pada tabel EFAS (External Strategic Factors Analysis Summary) dan kotak IFAS (Internal Strategic Factors Analysis Summary). Dari segi peluang dalam pengelolaan ikan bilih didukung oleh adanya potensi ikan bilih di Danau Singkarak, terbukanya pangsa pasar untuk ikan bilih segar maupun ikan olahan baik lokal maupun untuk ekspor dan komoditi ikan bilih merupakan penghasilan utama bagi nelayan serta dapat menyerap tenaga kerja. Dari sisi ancaman pengelolaan dan pelestarian ikan bilih, faktor terpenting yang harus diperhatikan adalah penangkapan ikan bilih saat sekarang masih ada yang dilakukan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan yaitu bahan peledak, strom, adanya kecenderungan
Pengelolaan Sumber Daya Ikan ...…….. Lokal di Danau Singkarak (Syandri, H., et al.)
bertambahnya alat tangkap jaring insang (panjang 100 meter dan tinggi 2,5 meter) dengan mata jaring kecil (3/4 inci) dan berkurangnya jumlah jaring insang dengan luas mata jaring 1,0 inci sehingga ikan yang tertangkap lebih dominan sedang bertelur serta bertambahnya jumlah nelayan. Di Danau Toba ikan bilih hanya boleh ditangkap dengan jaring insang dengan ukuran mata jaring 1,25 inci dan 1,50 inci sehingga ukuran ikan yang tertangkap berkisar antara 15,0 – 18,5 cm (Kartamihardja, 2009). Dari sisi kekuatan dalam pengelolaan ikan bilih adalah awalnya ikan bilih hanya ada di Danau Singkarak, namun saat sekarang sudah berkembangbiak dan diproduksi dari Danau Toba (Kartamihardja, 2009). Ikan bilih mempunyai sifat reproduksi yang tinggi sepanjang tahun, bernilai ekonomi tinggi dan merupakan sumber mata pencaharian bagi nelayan. Dari sisi kelemahan adalah belum ada peraturan secara terpadu antar desa yang berada selingkar Danau Singkarak meliputi Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok untuk pengelolaan ikan bilih, nelayan belum menyadari pentingnya pelestarian ikan bilih, rendahnya tingkat pendidikan nelayan yaitu 61,67 % berpedidikan tidak tamat dan tamat Sekolah Dasar serta belum adanya peran pemuka masyarakat dalam pelestarian ikan bilih. Dari hasil identifikasi faktor eksternal (peluang dan ancaman) dan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) di atas dapat disusun matrik SWOT yang menjadi arahan penyusunan strategi pengelolaan dan pelestarian ikan bilih di Danau Singkarak seperti ditampilkan pada Tabel 1. Dari hasil analisis EFAS dan IFAS dapat diketahui elemen-elemen kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, sehingga selanjutnya dapat disusun rencana strategis
dari keempat strategi di atas seperti yang tertera pada Tabel 2. Kebijakan dan strategi pengelolaan ikan bilih Danau Singkarak berdasarkan skala perioritas yang ditampilkan pada Tabel 2 adalah sebagai berikut : (1) melakukan pengelolaan penangkapan ikan bilih berbasis kearifan lokal dengan nilai bobot 2,52; (2) melakukan pengelolaan habitat secara ko-manajemen dengan nilai bobot 2,11; (3) melakukan pengelolaan populasi ikan dengan nilai bobot 1,83; (4) meningkatkan produksi sesuai potensi ikan bilih yang ada dengan nilai bobot 1,62; (5) melakukan pengawasan dalam penangkapan ikan bilih dengan bobot 1,59; (6) penyuluhan kepada masyarakat akan pentingnya pelestarian ikan bilih dengan bobot 1,52; (7) membuat produk ikan bilih yang beragam dan memperluas pasar yang sudah ada dengan bobot 1,41; (8) tingginya permintaan pasar harus diikuti dengan diversivikasi produk yang bermutu dengan nilai bobot 1,35; (9) menentukan tata ruang sumberdaya ikan bilih di Danau Singkarak dengan bobot 1,33. Dari sembilan strategi yang diperoleh dari hasil analisis SWOT, maka tiga strategi yang menjadi prioritas utama adalah (1) pengelolaan penangkapan ikan berbasis kearifan lokal, (2) pengelolaan habitat ikan melalui pembuatan reservat secara komanajemen dan (3) pengelolaan populasi ikan melalui pembenihan dan restoking . Strategis ini sejalan dengan rekomendasi pengelolaan sumber daya ikan di Danau Limbodo, Gorontolo yaitu rehabilitasi habitat, penentuan tata ruang, revitalisasi Peraturan Daerah Kabupaten Gorontolo mengenai pelarangan penggunaan alat tangkap dan revitalisasi kelembagaan nelayan (Krismono dan Kartamihardja, 2010).
137
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 135-144
Tabel 1. Table 1.
EFAS dan IFAS Pengelolaan dan Pelestarian Ikan Bilih Danau Singkarak EFAS and IFAS Management and conservation Bilih fish in Singkarak Lake
No
Faktor-faktor strategis
Bobot (B)
Rating (R)
BxR
Kode
I
Eksternal
1.
Peluang (O) Ada potensi untuk menghasilkan ikan bilih.
0,20
4
0,80
1.1
2.
Terbukanya
0,16
3
0,48
1.2
3.
Komoditi ikan bilih dapat meningkatkan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja
0,15
4
0,60
1.3
0,17
4
0,68
2.1
1.
2.
pangsa
pasar
untuk produk ikan bilih
Ancaman (T) Penangkapan ikan bilih dengan tdk terkendali dengan alat terlarang, misalnya setrum, bahan peledak dan jaring insang ¾ inci. Ada kemungkinan alat tangkap bertambah terus
0,16
2
0,32
2.2
Bertambahnya jumlah nelayan. Total EFAS Internal Kekuatan (S) Ikan bilih hanya hidup di Danau Singkarak dan Danau Toba
0,16 1,00
2
0,32
2.3
0,18
3
0,54
3.1
2.
Ikan bilih bernilai ekonomi tinggi
0,11
3
0,33
3.2
3.
Ikan bilih sebagai masyarakat lokal.
0,13
4
0,42
3.3
4.
Potensi reproduksi ikan bilih tinggi sepanjang tahun. Kelemahan (W) Belum ada peraturan untuk pengelolaan ikan bilih
0,10
3
0,30
3.4
0,11
4
0,44
4.1
2. 3.
Tingkat pendidikan nelayan rendah Belum ada kemitraan dalam pengelolaan ikan bilih
0,10 0,07
2 1
0,20 0,07
4.2 4.3
4.
Nelayan belum menyadari pentingnya pelestarian ikan bilih
0,10
2
0,20
4.4
5
Belum ada peran pemuka masyarakat dalam pengelolaan ikan bilih
0,09
3
0,27
4.5
Total IFAS
1,00
3. II 1.
1.
138
sumber mata pencaharian
Pengelolaan Sumber Daya Ikan ...…….. Lokal di Danau Singkarak (Syandri, H., et al.)
Tabel 2. Table 2 . No
Alternatif Strategi Dalam Pengelolaan dan Pelestarian Ikan Bilih Danau Singkarak. Strategic alternative on management and conservation bilih fish in Strategi
Bobot faktor strategis
S-0 1. Meningkatkan produksi sesuai potensi 0,48+0,60+0,54 ikan bilih yang ada 2. Membuat produk ikan bilih yang beragam 0,48+0,60+0,33 dan memperluas pasar yang sudah ada. 3. Melakukan pengelolaan penangkapan berdasarkan kearifan lokal 0,80+0,48+0,6+0,54+0,4 2 S-T II. 1. Penyuluhan kepada masyarakat 0,68 + 0,54 + 0,30 pentingnya pelestarian ikan bilih. 2. Menentukan tata ruang sumberdaya 0,68 + 0,32 + 0,33 perikanan danau Singkarak. Ill W-O 1. Melakukan pengelolaan habitat ikan 0,80+0,44 + 0,07 + berdasarkan kearifan lokal 0,20+ 0,6 2. Tingginya permintaan pasar harus diikuti 0,8 + 0,48 + 0,07 dengan diversifikasi produk yang bermutu. IV W-T 1. Melakukan pengelolaan populasi ikan 0,68+0,32+0,32 + 0,44+ bilih. 0,07 2. Melakukan pengawasan penangkapan 0,68+ 0,44 + 0,20 +0,27 bersama masyarakat
Total bobot
Prioritas
1,62
IV
1,41
VI
2,52
I
I.
STRATEGIS PENGELOLAN IKAN BILIH BERDASARKAN TINGKATAN PILIHAN (ANALYSIS HIERARCHY PROCESS, AHP) Dari hasil analisis data dengan menggunakan AHP didapatkan bahwa pengelolaan dan pelestarian ikan bilih di Danau Singkarak harus lebih banyak memberikan manfaat ekonomis kepada masyarakat disekeliling danau dengan bobot 0,518. Pendapat ini sangat sejalan dengan salah satu dimensi dan konsep pembangunan yang berkelanjutan dan berhasil guna dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, dimana masyarakat disekeliling danau yang seharusnya lebih awal menerima manfaat dari kegiatan apa saja yang ada di danau, karena masyarakat sekitar dan terdekat pulalah yang akan lebih dahulu menerima
1,52 1,33
VI IX
2,11
II
1,35
VIII
1,83
III
1,59
V
segala dampak dari kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilaksanakan. (baik dampak positif maupun dampak negatif). Manfaat selanjutya adalah untuk kelestarian lingkungan dengan bobot 0,203; selanjutnya manfaat pengelolaan dan pelestarian ikan bilih harus memiliki dampak penguatan hukum dan kelembagaan dengan bobot 0,144 dan diakhiri dengan manfaat terhadap lingkungan sosial dengan bobot 0,211. Dari analisis data maka masing-masing elemen dalam manfaat pengelolaan dan pelestarian ikan bilih yang ada di Danau Singkarak ditinjau dari beberap aspek di bawah ini. 1. Manfaat Ekonomi Ditinjau dari aspek ekonomi manfaat dari pengelolaan dan pelestarian ikan bilih ini adalah : (a) peningkatan pendapatan nelayan dengan bobot 0,281; dimana
139
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 135-144
dengan dikelolanya pemanfaatan ikan bilih secara baik, jelas keberadaan ikan bilih di Danau Singkarak akan dapat dipertahankan dan dikendalikan, sehingga dapat dimanfaatkan oleh nelayan secara berkesinambungan. (b) meningkatnya usaha pengolahan dengan bobot 0,046; hal ini akan jelas bila produksi ikan bilih sepanjang waktu akan meningkatkan usaha disektor informal, antara lain dengan adanya pedagang/pengolah yang menjual produk ikan bilih siap saji dan lain sebagainya. (c) meningkatnya usaha disektor informal dengan bobot 0,114 2. Manfaat Lingkungan Dari segi lingkungan manfaat pengelolaan ikan bilih ini adalah pertama dapat dipertahankan keberadaan ikan bilih (pelestarian ikan bilih yang ada di Danau Singkarak dengan bobot 0,102 dan yang kedua adalah terjadinya keseimbangan ekosistem dengan bobot 0,102), sehingga sumberdaya ikan bilih yang ada di Danau Singkarak dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
0,030 dan pemerintah kabupaten dengan bobot 0,019, dan akan lebih bermanfaat lagi dengan hukum adat (peraturan Nagari) dengan bobot 0,095. Kerugian pengelolaan dan pelestarian ikan bilih 1. Kerugian ekonomi Dari segi ekonomi dengan bobot 0,517, kerugian yang diperkirakan akan timbul dengan pengelolaan dan pelestarian ikan bilih adalah, pertama butuh modal (0,245), kedua penurunan populasi ikan dengan bobot 0,194 dan yang ketiga butuh biaya pemeliharaan dengan bobot 0,077 2. Kerugian Lingkungan Di pandang dari sudut lingkungan dengan bobot 0,142; kerugian akibat pengelolaan dan pelestarian ikan bilih adalah memungkinkan timbulnya pencemaran dengan bobot 0,028 dan kemungkinan penangkapan ikan dengan alat terlarang, misalnya bahan peledak dan setrum dengan bobot 0,114
3. Manfaat Sosial
3. Kerugian Sosial
Ditinjau dari segi sosial manfaat pengelolaan dan pelestarian ikan bilih adalah dapat penyerapan tenaga kerja dengan bobot 0,176, dimana dengan adanya produksi ikan bilih sepanjang waktu jelas akan dapat menyerap tenaga kerja yang lebih banyak dan yang kedua adalah dapat mengurangi potensi konflik dengan bobot 0,035.
Kerugian dari segi sosial dengan bobot 0,260 adalah ada kemungkinan kesempatan kerja yang hilang dengan bobot 0,195 karena dengan pengelolaan dan pelestarian ikan bilih, akan ada beberapa jenis alat tangkap yang tidak diperbolehkan beroperasi di danau Singkarak disamping itu juga terhadap perubahan gaya hidup dengan bobot 0,065
4. Manfaat Hukum dan Kelembagaan
4. Kerugian Hukum dan Kelembagaan
Hukum dan lembaga yang ada akan lebih bermanfaat dalam pengelolaan dan pelestarian ikan bilih ini, baik hukum/ peraturan pemerintah propinsi dengan bobot
Dari segi hukum dan kelembagaan dengan bobot 0,081 kerugian yang akan dirasakan adalah bertambahnya biaya operasional lembaga hukum dengan bobot
140
Pengelolaan Sumber Daya Ikan ...…….. Lokal di Danau Singkarak (Syandri, H., et al.)
0,020 dan keterbatasan ruang gerak masyarakat dengan bobot 0,061 karena adanya hukum yang mengatur. ALTERNATIF PENGELOLAAN IKAN BILIH Untuk mendapatkan alternatif yang optimal dalam pengelolaan dan pelestarian ikan bilih di Danau Singkarak, maka berdasarkan pernyataan para pemangku kepentingan, melalui perhitungan AHP dalam kerangka manfaat dan biaya untuk 3 (tiga) alternatif dalam strategi pengelolaan ikan bilih di Danau Singkarak, diperioritaskan untuk lebih memilih pengelolaan penangkapan dan pengelolaan habitat ikan seperti disajikan pada Tabel 3. Pengelolaan sumberdaya ikan di suatu perairan harus dilakukan secara terintegrasi dan tidak saling tumpang tindih (Amis et al., 2009). Pengelolaan tersebut dapat mengikutsertakan aspek ilmu ekonomi, antropologi, hukum dan politik serta limnologi (Nasution dan Sunarno, 2009) Tabel 3. Table 3.
Dari hasil analisis tersebut di atas dapat dilihat bahwa alternatif pengelolaan penangkapan ikan memberikan nilai manfaat yang terbesar yaitu 0,518, diikuti oleh alternatif pengelolaan habitat ikan dengan nilai manfaat 0,280. Sedangkan alternatif pengelolaan populasi ikan memberikan nilai kerugian yang terbesar yaitu 0,493. Namun demikian jika masingmasing alternatif dibandingkan antara nilai manfaat dan kerugian, maka alternatif pengelolaan penangkapan ikan memberikan nilai terbesar yaitu 2,643. Alternatif ini menghasilkan strategi yang optimal karena merupakan nilai maksimum, dengan nilai B/C > 1. Sedangkan untuk alternatif pengelolaan habitat nilai B/C nya 0,900 seperti ditampilkan pada Tabel 3. Penggelolaan habitat dengan daerah suaka konservasi memberikan nilai terbaik untuk melestarikan ikan di Lubuk Lampam jika dibandingkan dengan perairan Lebak Petai yang tidak mempunyai suaka (Utomo et al., 2001)
Alternatif pengelolaan ikan bilih berdasarkan nilai manfaat dan kerugian Alternative management bilih fish based value of the advantages and disadvantages AHP Alternatif
Pengelolaan penangkapan ikan berbasis kearifan lokal Pengelolaan habitat berbasis kearifan lokal dan ko-manajeman Pengelolaan populasi ikan melalui pembenihan dan restoking
Rasio Perbandingan Manfaat
Kerugian
0,518
0,196
2,643
0,280
0,311
0,900
0,202
0,493
0,409
Kemudian dari segi hukum dan kelembagaan bobot yang tertinggi adalah dengan hukum adat ( 0,095) yang diikuti oleh hukum Pemerintah Propinsi Sumatera Barat ( 0,030 ) dan hukum Pemerintah
Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok ( 0,019 ). Hal ini berarti hukum adat lebih ditaati oleh masyarakat di selingkar danau dibandingkan dengan hukum
141
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 135-144
pemerintah propinsi dan hukum pemerintah kabupaten untuk melestarikan ikan bilih. Dengan demikian, dari hasil analisis AHP ini, ada dua alternatif strategi pengelolaan ikan bilih di Danau Singkarak yaitu (1) pengelolaan penangkapan ikan berbasis kearifan lokal dan (2) pengelolaan habitat ikan bilih berbasis kearifan lokal. Strategi yang digunakan dalam pengelolaan penangkapan ikan berbasis kearifan lokal adalah : 1) Menguatkan peraturan-peraturan penangkapan ikan yang telah berlaku di tengah-tengah masyarakat nelayan antara lain (1) masyarakat dilarang menangkap ikan dengan strom, bahan peledak, pukek dan jaring turiek, (2) dilarang menjala dari pukul 16.30 - 18.30 WIB dan pukul 02.00 - 03.00 WIB di muara-muara sungai karena ikan bilih akan bertelur; (3) dilarang memakai jaring bilih lebih dari satu banta ( 90 cm) tingginya dan setiap orang tidak boleh mengoperasikan jaring bilih lebih dari dua unit; (4) menangkap ikan di alahan hanya diperbolehkan dari pukul 04.00 06.00 WIB; (5) jaring bilih boleh dipasang dari muara sungai berjarak 50 m ke utara dan ke selatan dan 200 m ke arah tengah danau. Khusus untuk nagari (Desa) Sumpur tidak diperbolehkan mengoperasikan jaring bilih di perairan nagari tersebut. 2) Melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan nelayan akan pentingnya pelestarian ikan bilih dan aturau-aturan serta langkah-langkah pengelolaan penangkapan ikan yang dibuat sehingga meningkatkan kesadaran masyarakat dan nelayan untuk ikut bersama-sama melakukan pengelolaan perikanan Danau Singkarak, yang akhirnya akan menjadikan pengelolaan yang berbasis
142
masyarakat yang sesuai dengan kaidahkaidah lingkungan. 3) Strategi yang digunakan dalam pengelolaan habitat adalah menetapkan zonasi pemanfaatan danau berdasarkan kearifan lokal yang terdiri dari zona inti (suaka), zona penyanga (buffer zone), dan zona usaha (economic zone) . KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Alternatif pengelolaan ikan bilih yang paling diperioritaskan secara berurutan adalah (1). pengelolaan penangkapan ikan berbasis kearifan lokal karena memperoleh bobot nilai manfaat terbesar yaitu 0,518 dan nilai bobot kerugian/ biaya 0,196. (2) pengelolaan habitat dengan nilai manfaat 0,280 dan nilai kerugian 0,311, (3) pengelolaan populasi ikan melalui pembenihan dan restoking dengan nilai manfaat 0,202 dan nilai kerugian 0,493. 2. Peraturan dari lembaga yang ada akan lebih bermanfaat dalam pengelolaan dan pelestarian ikan bilih, baik peraturan propinsi Sumatera Barat dengan bobot 0,030 dan peraturan kabupaten dengan bobot 0,019, dan akan lebih bermanfaat lagi dengan peraturan adat (Peraturan Nagari) dengan bobot 0,095. 3. Untuk melaksanakan pengelolaan ikan bilih di Danau Singkarak perlu di fasilitasi oleh pemerintah Propinsi Sumatera Barat, karena secara administrasi lokasi danau Danau Singkarak berada pada dua kabupaten (Kabupaten Solok dan kabupaten Tanah Datar). Peran Pemerintah Propinsi yang sangat penting adalah memfasilitasi pertemuanpertemuan antara pemerintah nagari pada dua kabupaten tersebut dan memotivasi untuk membuat Peraturan Nagari untuk pengelolaan ikan bilih di Danau Singkarak karena Hukum adat lebih ditaati oleh masyarakat dan nelayan dibandingkan dengan Peraturan Daerah,
Pengelolaan Sumber Daya Ikan ...…….. Lokal di Danau Singkarak (Syandri, H., et al.)
baik Peraturan Daerah Propinsi maupun Peraturan Daerah Kabupaten. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Direktur Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Ditjen Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penelitian ini melalui skim penelitian Strategis Nasional Tahun 2010 dan 2011 dan artikel ini merupakan sebagian dari penelitian dengan judul “Kajian Konservasi : Tampilan Reproduksi, Domestikasi Plasma Nutfah Ikan Bilih Endemik dan Pengelolaannya Berbasis Masyarakat Lokal di Danau Singkarak” .
and Sulawesi. Periplus Edition (HK), Jakarta. Nasution, Z dan M.T.D. Sunarno. 2009. Pengembangan model pengelolaan suaka perikanan di perairan umum daratan berbasis ko manajemen. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia. 1 (1) : 17-29. Syandri, H 1996. Aspek reproduksi ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr) dan kemungkinan pembenihannya di Danau Singkarak. Disertasi Program Pascasarjana IPB Bogor. Syandri, H 2004. Pengelolaan sumberdaya perikanan perairan umum.Unri Prees.
DAFTAR PUSTAKA Amis. M.A; M. Rouget; M. Lotter; J. Day. 2009. Integrating freshwater and terrestrial priorities in conservation planning. Biological Conservation.142 : 2217–2226. Kartamihardja, E.S. 2009. Pengelolaan sumberdaya ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr) Introduksi di Danau Toba, Sumatera Utara. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia. 1 (2) : 87- 97. Kartamihardja, E.S; K. Purnomo dan C.Umar. 2009. Sumber daya ikan perairan umum daratan di IndonesiaTerabaikan. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia. 1 (1) : 1 – 15. Krismono dan E.S. Kartamihardja. 2010. Pengelolaan sumber daya ikan di Danau Limboto, Gorontalo. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia. 2 (1) : 27-41. Kottelat, M., A.J. Whitten, with S.N. Kartikasari and S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia
Syandri.H; Y. Basri; N. Aryani dan Azrita. 2008. Kanjian kandungan nutrisi telur ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr) dari limbah hasil penangkapan nelayan di Danau Singkarak. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 13 (1) : 118126. Syandri, H. 2008. Ancaman terhadap plasma nutfah ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr) dan upaya pelestariannya di Danau Singkarak. Orasi Ilmiah pada upacara pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta Padang. Bung Hatta University Press. Syandri, H. 2011. Kadar nutrisi limbah telur ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr) sebagai sumber ransum pakan. Jurnal Akuakultur Indonesia. 10 (1) : 7480. Utomo, A.D; Asyari dan S. Nurdawati. 2001. Peranan suaka perikanan dalam peningkatan produksi dan pelestarian sumberdaya perikanan perairan umum
143
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 135-144
(Studi kasus di suaka perikanan Suak Budaya, Lubuk Lampam, Kab. Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 7 (1) : 1-9.
144
Weber, M and L.F de Beaufort. 1916. The fishes of the Indo-Australian Archipelago Volume III. Brill Leiden.
Analisis Status Pemanfaatan …..…di Wilayah Perairan Cirebon (Anas, P., et al.)
ANALISIS STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN DI WILAYAH PERAIRAN CIREBON Pigoselpi Anas1, Luky Adrianto2, Ismudi Muchsin2, dan Arief Satria2 1
Mahasiswa pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB-Bogor Komisi Pembimbing pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB-Bogor Teregistrasi I tanggal:23 Mei 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 22 Agustus 2011; Disetujui terbit tanggal: 30 September 2011 2
ABSTRAK Pada dasarnya pengelolaan perikanan tangkap bertujuan untuk mewujudkan usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan. Untuk itu, laju penangkapan ikan harus tidak melebihi potensi produksi lestari (Maximum SustainbleYield, MSY) dari sumber daya ikan dalam suatu wilayah perairan. Namun, pengelola perikanan di Indonesia umumnya berpandangan, bahwa menentukan MSY dan hasil tangkapan ikan di laut susah dan mahal. Dengan metode Surplus Production Model, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui status pemanfaatan sumber daya ikan berdasarkan pada jenis alat tangkap, zona penangkapan ikan, dan jenis ikan secara lebih mudah dan murah di wilayah perairan laut Kabupaten Cirebon. Penelitian dilakukan dari Oktober 2010 sampai Maret 2011. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa status pemanfaatan sumber daya ikan baik di Zona-I, ZonaII maupun Zona-III perairan laut Cirebon pada umumnya telah mengalami gejala tangkap lebih (overfishing). Dari 13 jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di daerah penelitian, tujuh diantaranya yakni payang, dogol, pukat arad, jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, bagan tancap, dan rawai tetap statusnya sudah melebihi dari jumlah upaya optimum (f opt). Sedangkan, enam jenis alat tangkap lainnya, yaitu pukat tarik, jaring insang tetap, jaring kantong, anco, perangkap kerang, dan perangkap lainnya statusnya masih kurang. Adapun jenisjenis ikan yang telah mengalami overfishing adalah: teri, teri nasi, bawal hitam, sunglir, gurita, biji nangka, kapas-kapas, slanget, sotong, kurisi, kuniran, peperek, kurau, ikan sebelah, cumi-cumi, manyung, tetengkek, bawal putih, talang, kakap, tongkol, tenggiri, cucut, japuh, tembang, julung-julung, siro, bilis, pari, alu-alu, dan remang. KATA KUNCI:
potensi produksi lestari, surplus production model, tangkap lebih, underfishing, laut Cirebon
ABSTRACT:
Analysis of the State of Fisheries Resource Utilization as a Basis for the Management of Sustainable Capture Fisheries in Cirebon Marine Waters. By : Pigoselpi Anas, Luky Adrianto, Ismudi Muchsin, and Arief Satria
Management of capture fisheries is basically intended to achieve economic activities of capture fisheries on a sustainable basis. Accordingly, the exploitation rate of fisheries resources should not exceed its MSY (Maximum Sustainable Yield) in a marine area. Unfortunately, majority of fisheries management authorities in Indonesia perceive that determining MSY and total fish catch in marine waters is both difficult and expensive. By employing Surplus Production Model, this research aims at evaluating the state of fisheries resource utilization based upon the types of ___________________ Kampus IPB Darmaga, Jl. Raya Darmaga, Bogor, Jawa Barat. Telepon: (0251) 622642. Faks.: (0251) 622708.
145
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 145-157 fishing gears, fishing zones, and types of fish stocks in Cirebon marine waters, which is easier and less expensive than it is currently perceived by those management authorities. The results of this research demonstrate that the state of fisheries resources in Zone-I, Zone-II, and Zone-III of Cirebon marine waters has generally been overfishing. Furthermore, among 13 types of fishing gears used in Cirebon marine waters, seven fishing gears are already exceeding the optimum fishing effort (fopt). These include mini purse seine, danish seine, fish net, gill nets, encirling gill nets, fixed lift net, and long lines. Meanwhile, the other six fishing gears including active purse seine, fixed gill nets, trammel nets, anco, trap for molluscs, and other trap types are still less than their optimum number. Amongst so many fish species caught from Cirebon marine waters, thirty one specieas are already overfishing, which include teri, teri nasi, bawal hitam, sunglir, gurita, biji nangka, kapas-kapas, slanget, sotong, kurisi, kuniran, peperek, kurau, ikan sebelah, cumicumi, manyung, tetengkek, bawal putih, talang, kakap, tongkol, tenggiri, cucut, japuh, tembang, julung-julung, siro, bilis, pari, alu-alu, dan remang. KEYWORDS:
maximum sustainable yield, surplus production model, overfishing, underfishing, Cirebon marine waters
PENDAHULUAN Permasalahan mendasar yang sampai sekarang masih dihadapi bangsa Indonesia adalah tingginya angka pengangguran dan kemiskinan. Oleh karena itu, setiap sektor pembangunan, tidak terkecuali sektor kelautan dan perikanan, dituntut untuk meningkatkan kontribusinya bagi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Bagi sub-sektor perikanan tangkap, misi pembangunan itu harus ditafsirkan secara bijaksana, karena jika peningkatan kontribusi ekonomi hanya diartikan sebagai upaya untuk memacu tingkat penangkapan ikan, tanpa menjaga kelestariannya, maka akan mengakibatkan terjadinya overfishing (tangkap lebih), kepunahan jenis, yang berujung pada ambruknya usaha perikanan tangkap itu sendiri. Pada tahun 2010 total produksi ikan dari seluruh wilayah perairan laut Indonesia, termasuk ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia), tercatat sebesar 5,058 juta ton (KKP, 2011) atau sekitar 77,8 % dari potensi produksi lestari (MSY) sebesar 6,520 juta
146
ton/tahun (Komnas Kajiskan, 2010). Menurut FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries (1995), bahwa untuk menjamin kelestarian stok ikan, maka tingkat penangkapan ikan harus tidak melebihi 80% dari nilai MSY di suatu wilayah perairan. Dengan demikian, secara umum status pemanfaatan sumber daya ikan laut Indonesia saat ini sebenarnya sudah mendekati kondisi tangkap lebih (overfishing). Lebih dari itu, sudah banyak wilayah perairan laut yang stok ikannya telah mengalami overfishing, terutama di Pantai Utara Jawa, Selat Malaka, Pantai Selatan Sulawesi, dan Selat Bali. Sejak era otonomi daerah pada 2001, laju eksploitasi sumber daya ikan laut bahkan semakin meningkat dan cenderung mengabaikan aspek konservasi. Apabila pola penangkapan ikan laut semacam ini tidak segera diperbaiki, maka dikhawatirkan banyak stok ikan laut di wilayah perairan Indonesia akan mengalami overfishing, hasil tangkap per satuan upaya (catch per unit of effort) dan pendapatan nelayan menurun, dan pada gilirannya usaha perikanan tangkap itu sendiri akan gulung tikar, alias tidak berkelanjutan.
Analisis Status Pemanfaatan …..…di Wilayah Perairan Cirebon (Anas, P., et al.)
Untuk mengubah pola perikanan tangkap yang tidak berkelanjutan tersebut menjadi perikanan tangkap yang berkelanjutan, pertama yang harus dilakukan adalah memastikan bahwa laju penangkapan setiap stok ikan tidak melebihi nilai MSY di setiap unit wilayah pengelolaan perikanan. Namun, sampai saat ini informasi tentang MSY dan hasil tangkapan ikan hanya tersedia secara agregatif, yakni menurut kelompok sumber daya ikan (pelagis besar, pelagis kecil, demersal, udang penaeid, ikan karang konsumsi, lobster, dan cumi-cumi) untuk sebelas WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) yang terdapat dalam wilayah perairan laut Indonesia, termasuk ZEEI. Padahal, seiring dengan era otonomi daerah/desentralisasi, kewenangan pengelolaan wilayah laut (termasuk sumber daya ikan di dalamnya) dari garis pantai sampai 4 mil laut sudah menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota, dan wilayah laut dari 4 mil sampai 12 mil merupakan kewenangan pemerintah provinsi (UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah). Oleh karena itu, informasi tentang nilai MSY dan hasil tangkapan ikan seharusnya tersedia untuk setiap wilayah perairan laut yang menjadi kewenangan pengelolaan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Sampai sekarang, masih sangat sedikit informasi tentang MSY dan produksi ikan menurut jenis sumber daya ikan maupun per wilayah perairan laut yang menjadi kewenangan pengelolaan pemerintah kabupaten / kota maupun pemerintah provinsi. Akibatnya, hampir semua pengelolaan perikanan tangkap di laut di daerah kabupaten/kota maupun provinsi tidak berdasarkan pada data dan informasi ilmiah tersebut. Pada umumnya para
pengelola perikanan tangkap di tingkat kabupaten/kota maupun di provinsi berpandangan, bahwa menentukan MSY per jenis ikan, menurut jenis alat tangkap maupun per zona di wilayah perairan laut yang menjadi kewenangannya adalah sesuatu yang secara teknis sulit untuk dilakukan dan secara finansial mahal. Penelitian ini ditujukan untuk menentukan status pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah perairan laut Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat menurut jenis alat tangkap, jenis ikan, dan zona penangkapan ikan. Kabupaten Cirebon dipilih sebagai lokasi penelitian, karena karakteristik ekologi laut, perikanan tangkap, dan permasalahan nya dapat mewakili daerah perikanan lainnya di sepanjang Pantai Utara Jawa. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi terobosan (breakthrough) bagi para pengelola perikanan untuk dengan cara yang relatif mudah dan murah mengelola pembangunan perikanan tangkap berbasis informasi ilmiah secara berkelanjutan . STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN BERDASARKAN JENIS ALAT TANGKAP Atas dasar perhitungan SPM, jumlah alat tangkap optimum yang dapat dioperasikan (fopt) di wilayah perairan laut Cirebon agar kelestarian sumber daya ikan tetap terpelihara untuk setiap jenis alat tangkap disajikan pada Tabel 1. Sementara itu, menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon (2010), jumlah unit setiap alat tangkap yang kini digunakan oleh nelayan (fexisting) di daerah penelitian pada tahun 2009 (data terakhir yang tersedia) adalah seperti yang disajikan juga pada Tabel 1.
147
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 145-157
Tabel 1. Table 1.
No.
Status tingkat pemanfaatan sumber daya ikan berdasarkan penggunaan jenis alat tangkap di Perairan Laut Cirebon. Status of the utilization level of fisheries resources by types of fishing gears in Cirebon Marine Waters.
Jenis Alat Tangkap
fopt (unit)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Pukat tarik ikan Payang Dogol Pukat arad /apolo Jaring Insang Hanyut Jaring Insang Lingkar Jaring Insang Tetap Trammel Net Bagan Tancap Anco Rawai Tetap Perangkap Kerang Perangkap Lainnya
2.395 510 8 74 379 33 4.861 3.495 48 1.881 15 328 2.463
Selanjutnya, status tingkat pemanfaatan sumber daya ikan (SDI) menurut jenis alat tangkap dikatakan berlebih, apabila fexisting lebih besar dari pada f opt. Sebaliknya, apabila fexisiting lebih kecil dari pada fopt, maka statusnya adalah kurang. Berdasarkan kriteria ini, maka dapat diketahui bahwa dari 13 jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di daerah penelitian, tujuh diantaranya yakni payang, dogol, pukat arad (apolo), jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, bagan tancap, dan rawai tetap statusnya sudah berlebih. Sedangkan, enam jenis alat tangkap lainnya, yaitu pukat tarik, jaring insang tetap, jaring kantong (trammel net), anco, perangkap kerang, dan perangkap lainnya statusnya masih kurang. Berdasarkan hasil wawancara dengan 400 responden nelayan, bahwa ketujuh alat tangkap yang telah mengalami kondisi berlebih tersebut memang secara umum lebih efisien dari pada keenam alat tangkap
148
Jumlah Alat Tangkap Existing (unit) Th. 2009 622 793 138 206 472 592 1.475 2.014 192 64 233 277 667
Status Penggunaan Alat tangkap Kurang Berlebih Berlebih Berlebih Berlebih Berlebih Kurang Kurang Berlebih Kurang Berlebih Kurang Kurang
lainnya yang masih kurang. Artinya, para nelayan Cirebon seperti nelayan lain di berbagai belahan dunia pada umumnya memang melakukan kegiatan penangkapan ikan sesuai dengan naluri ekonominya, yakni menggunakan alat tangkap yang lebih efisien atau menguntungkan (Berkes, et al., 2001). Namun, jika kegiatan perikanan tangkap tidak dikendalikan atau dibatasi (open access), maka cepat atau lambat akan terjadi overfishing yang berakhir dengan ambruknya usaha perikanan tangkap itu sendiri. Oleh sebab itu, untuk memelihara kelestarian sumber daya ikan dan juga keberlanjutan usaha perikanan tangkap agar dapat mensejahterakan nelayan di daerah penelitian, maka jumlah unit ketujuh jenis alat tangkap yang berstatus berlebih itu harus dikurangi sampai jumlahnya sama dengan atau lebih kecil dari pada f opt, tepatnya 80% dari fopt (FAO, 1995).
Analisis Status Pemanfaatan …..…di Wilayah Perairan Cirebon (Anas, P., et al.)
STATUS SUMBER DAYA IKAN BERDASARKAN ZONA PENANGKAPAN IKAN Di perairan Laut Jawa, termasuk di perairan Laut Kabupaten Cirebon, aktivitas penangkapan ikan pada umumnya menggunakan berbagai jenis alat tangkap yang menangkap berbagai macam jenis ikan (Potier and Sadhotomo, 1995). Dengan perkataan lain, perikanan di Laut Jawa bersifat multigears dan multispecies. Sementara itu, satu jenis alat tangkap dapat Tabel 2.
beroperasi di beberapa zona penangkapan ikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi dan pemetaan lokasi operasi setiap jenis alat tangkap pada zona yang ada di perairan daerah penelitian, sehingga dapat diketahui jenis-jenis alat tangkap yang beroperasi di masing-masing zona tersebut. Jenis-jenis alat tangkap yang beroperasi di masing-masing zona penangkapan ikan di perairan laut Cirebon berdasarkan pada hasil wawancara dan observasi lapang disajikan pada Tabel 2.
Sebaran operasi setiap jenis alat tangkap di Zona-1, Zona-II, dan Zona-III di Daerah Penelitian. Distribution of fishing gears used in Zone-I, Zone-II, and-Zone-III of the Study Area.
Table 2.
Zona Alat Tangkap
I (0 – 4 mil)
II (4 – 12 mil)
Pukat tarik
√
Payang
√
Dogol
√
Pukat arad /apolo
√
√
Jaring Insang Hanyut
√
Jaring Insang Lingkar
√
Jaring Insang Tetap
√
Trammel Net
√
Bagan Tancap
√
Anco
√
√
√
√
Rawai Tetap Perangkap Kerang Perangkap Lainnya
III (>12 mil)
√ √
Keterangan: pembagian zona penangkapan sesuai dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Kemudian, informasi tentang status pemanfaatan sumber daya ikan berdasarkan alat tangkap dari Tabel 1 dimasukkan ke Tabel 2, maka secara indikatif dapat kita
ketahui status sumber daya ikan laut di Zona-I, Zona-II, dan Zona-III perairan laut Cirebon seperti tercantum pada Tabel 3.
149
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 145-157
Tabel 3. Table 3.
Status sumber daya ikan laut di tiga zona penangkapan ikan di daerah penelitian. Status of marine fisheries resources within three fishing zones of the study area.
Alat Tangkap
Zona I (0 – 4 mil)
Pukat tarik ikan Payang
II (4 – 12 mil) Underfishing Overfishing
Dogol
Overfishing
Pukat arad /apolo
Overfishing
Overfishing
Jaring Insang Hanyut
Overfishing
Jaring Insang Lingkar
Overfishing
Jaring Insang Tetap
Underfishing
Trammel Net
Underfishing
Bagan Tancap
Overfishing
Anco
Underfishing
Rawai Tetap
Overfishing
Underfishing
Underfishing
Perangkap Kerang
Underfishing
Perangkap Lainnya
Underfishing
Atas dasar informasi dari Tabel 3, maka dapat diketahui bahwa overfishing telah terjadi baik di Zona-I, Zona II, maupun ZonaIII. Selain itu, aktivitas nelayan paling banyak berlangsung di Zona-I, dimana 8 jenis alat tangkap beroperasi, yakni dogol, pukat arad, jaring insang tetap, trammel net, bagan tancap, anco, perangkap kerang, dan perangkap lain. Kemudian diikuti di ZonaII, dimana 7 jenis alat tangkap beroperasi, yaitu pukat tarik, payang, pukat arad, jaring insang hanyut, jaring insang lingkar,
150
III (>12 mil)
trammel net, dan rawai tetap. Sementara itu, di Zona-III hanya beroperasi satu jenis alat tangkap, yaitu jaring insang hanyut, yang statusnya juga sudah overfishing. Gambaran ini juga sesuai dengan hasil wawancara dengan para responden, yang menyatakan bahwa hampir semua nelayan (98,25 %) di wilayah penelitian beroperasi menangkap ikan di Zona-I dengan rata-rata waktu melaut 2,83 jam (Tabel 4), atau bersifat one-day fishing .
Analisis Status Pemanfaatan …..…di Wilayah Perairan Cirebon (Anas, P., et al.)
Tabel 4. Table 4.
Lama Operasi Nelayan Melaut dan Zona Penangkapan Ikan The Fishing Time of Fishermen and their Fishing Grounds 1 Hari Melaut
Jumlah Responden
%
Rata-rata Waktu melaut (jam)
Fishing Ground
Jumlah Responden
393
98,25
2,83
Zona 1
7
STATUS SUMBER DAYA BERDASARKAN JENIS IKAN
> 1 Hari Melaut Rata-rata Waktu % Fishing Ground melaut (hari) Karimun Jawa, Surabaya, Laut Sumatera, Jakarta, Muara Bendera (Bekasi), Lampung, Karimun 1,75 3 (Semarang),P.Ker amean (Semarang), Belitung, Tg. Kalimantan, Sampit, Mandalika
IKAN
Berdasarkan hasil perhitungan dengan SPM melalui standarisasi berbagai jenis alat tangkap yang beroperasi di perairan Cirebon, maka didapatkan nilai MSY sumber daya ikan di wilayah penelitian sebesar 52.718,4 ton per tahun (Tabel 5) yang dihitung dari model Schaefer (Gambar 1). Tabel 5.
Nilai MSY sumber daya ikan laut berdasarkan Model Schaefer di Daerah Penelitian. MSY Value of marine fisheries resource based on SchaeferModel in the Study Area.
Table 5.
Parameter
Schaefer Value
A
2,690,200
B
-0,3432
F msy
391,93
MSY
52.718,36
R2
0,5661
TAC
4,217,468,555
Gambar 1. Nilai MSY sumber daya ikan laut berdasarkan Model Schaefer di Daerah Penelitian. Figure 1
Sementara itu, hasil tangkapan ikan menurut jenis alat tangkap yang beroperasi di daerah penelitian pada tahun 2009 tercatat sebesar 35.770,60 ton (Tabel 6). Selanjutnya, dengan memasukkan informasi dari Tabel 6 ke Tabel 2, maka diperoleh hasil tangkapan ikan di masingmasing zona penangkapan seperti disajikan pada Tabel 7.
151
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 145-157
Tabel 6. Table 6. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13
Tabel 7. Table 7.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13
152
Volume hasil tangkapan menurut jenis alat tangkap tahun 2009 Production volume of fish by types of fishing gears in 2009. Alat Tangkap Pukat tarik ikan Payang Dogol Pukat arad/apolo Jaring Insang Hanyut Jaring Insang Lingkar Jaring Insang Tetap Trammel Net Bagan Tancap Anco Rawai Tetap Perangkap Kerang Perangkap Lainnya Total
Produksi Tahun 2009 (ton) 2.257,4 1.022,8 11.888,5 0 9.676,4 86,3 840,2 1.534,2 90,2 0 4.047,2 3.627,3 700,1 35.770,60
Volume ikan hasil tangkapan di Zona-I, Zona-II, dan Zona-III pada 2009 Production volume of fish in Zone-I, Zone-II, and Zone-III in 2009.
Alat Tangkap Pukat tarik ikan Payang Dogol Pukat arad/apolo Jaring Insang Hanyut Jaring Insang Lingkar Jaring Insang Tetap Trammel Net Bagan Tancap Anco Rawai Tetap Perangkap Kerang Perangkap Lainnya Total
IKan Hasil Tangkapan per Zona (ton) I (0 - 4 mil) II (4 - 12 mil) III (>12 mil) 2.257,4 1.022,8 11.888,5 0 4.838,2 4.838,2 86,3 840,2 767,1 767,1 90,2 0 4.047,2 3.627,3 700,1 17.913,4 13.019,0 4.838,2
Analisis Status Pemanfaatan …..…di Wilayah Perairan Cirebon (Anas, P., et al.)
Berdasarkan pada jumlah upaya tangkap (total fishing effort) yang beroperasi pada masing-masing zona, maka didapatkan nilai MSY pada masing-masing zona seperti tercantum pada Tabel 8. Tabel 8.
Table 8.
Zona I (0 - 4 mil) II (4 - 12 mil) III (>12 mil) Total
Nilai MSY dan hasil tangkapan tahun 2009 pada setiap zona penangkapan ikan di daerah penelitian. MSY Value and production volume in 2009 by fishing zones in the study area. MSY (ton/tahun) 26.998,00 22.656,80 3.063,60 52.718,40
Hasil Tangkapan (ton) (Tahun 2009) 17.913,40 13.019,00 4.838,20 35.770,60
Dari Tabel 8 tampak bahwa volume hasil tangkapan ikan existing (data tahun 2009) di Zona-1 dan Zona-II, tingkat penangkapannya masih lebih rendah dari pada nilai MSY-nya, sedangkan di Zona-III tingkat penangkapan lebih tinggi dari pada MSY. Namun, volume hasil tangkapan existing yang lebih rendah dari pada nilai MSY bukan hanya memiliki arti uderfishing, tetapi juga bisa berarti overfishing tergantung pada nilai f-nya (model parabolik Schaefer) (Gulland, 1983; Charles, 2001). Apabila nilai fexisting tersebut lebih kecil dari pada dari fopt , maka berarti status sumber daya ikannya masih underfishing. Sebaliknya, apabila nilai fexisting nya lebih besar dari fopt, maka status sumber daya ikannya sudah overfishing. Mengingat bahwa sebagian besar fexisting baik berdasarkan alat tangkap maupun zona penangkapan itu lebih besar dari pada fopt (Tabel 1 dan 3), maka dapat disimpulkan, bahwa status sumber daya ikan berdasarkan stok ikan di daerah penelitian secara umum sudah mengalami overfishing.
Status sumber daya ikan di daerah studi yang telah overfishing tersebut juga sesuai dengan hasil wawancara dengan 400 responden (Tabel 9), dimana sebagian besar mereka (69,75%) menyatakan bahwa volume tangkapan ikan semakin kecil dan sebanyak 68,25% responden menyatakan ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil dalam lima tahun terakhir. Selain itu, mayoritas (71,25%) responden merasakan bahwa jumlah waktu yang diperlukan untuk menangkap jumlah ikan yang sama semakin lama. Setelah diketahui sebaran operasi masing-masing alat tangkap pada zonasi yang ada, maka kemudian dapat ditentukan sebaran jenis-jenis ikan pada setiap zona berdasarkan informasi komposisi hasil tangkapan pada setiap alat tangkap yang beroperasi di masing-masing zona tersebut (Tabel 10). Dari Tabel 10, dapat diketahui status pemanfaatan jenis-jenis ikan yang ada di Perairan Laut Cirebon pada masingmasing zona. Dari Tabel 10 dapat disimpulkan bahwa berdasarkan jenis-jenis ikan, sebagian besar sudah mengalami overfishing. Beberapa jenis ikan yang belum mengalami overfishing adalah jenis-jenis ikan yang ditangkap dengan alat tangkap sederhana seperti pukat tarik, jaring insang tetap dan trammel net. Selain itu, jenis-jenis ikan tersebut merupakan jenis-jenis ikan yang mempunyai habitat di perairan pasang surut atau perairan pantai yg cukup subur, sehubungan dengan perairan pesisir Cirebon yang merupakan muara dari 30 sungai. Akan tetapi jenis-jenis ikan yang ditangkap menggunakan alat tangkap yang cukup modern seperti payang, dogol, pukat arad/apolo, jaring insang hanyut, jaring insang lingkar dan bagan tancap sudah mengalami overfishing.
153
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 145-157
Tabel 9. Table 9.
Kecenderungan volume hasil tangkapan, ukuran ikan hasil tangkapan, dan jumlah waktu yang diperlukan untuk melaut. Trend of catch, size of fish catch, and required fishing time. Volume Tangkapan Jumlah % Responden 279 69,75
Deskripsi Semakin Kecil Semakin Besar Sama Saja Jumlah
Tabel 10. Table 10.
Ukuran Ikan Jumlah % Responden 185 68,25
Waktu yang Diperlukan Jumlah % Responden 62 15,5
43
10,75
35
8,75
285
71,25
78 400
19,5 100
180 400
23 100
53 400
13,25 100
Sebaran jenis-jenis ikan dan jenis alat tangkapnya pada masing-masing zona dan status pemanfaatannya di perairan Cirebon. Distribution of fish species and the type of gear in each zone and the status of its utilization in the waters of Cirebon.
Zona
Alat Tangkap
I (0 - 4 mil)
II (4 - 12 mil)
III (>12 mil)
Layur, Bloso, Kakap Merah, Blambangan Teri, Bawal Hitam, Teri Nasi
Pukat tarik Payang Dogol
Sunglir, Gurita, Bijinangka, Kapas-kapas, Slanget, Sotong, Kurisi, Kuniran, Petek, Karau
Pukat arad/apolo
Peperek, Sebelah, Cumi-cumi
Jaring Insang Lingkar
Japuh, Tembang, JulungJulung, Siro, Bilis
Trammel Net
Lidah, Udang Putih, Udang Dogol, Udang Krosok, Rajungan, udang Lain, Kakap Putih, Udang Windu
Overfishing
Peperek, Sebelah, Cumicumi
Jaring Insang Hanyut
Golok-golok, Belanak, Tigawaja, Kembung, Bentong, Banyar, Selar, Bawal Putih, Bandeng, Ekor Kuning
Underfishing
Overfishing
Manyung, Tetengkek, Bawal Putih, Talang, Kakap, Kuro, Tongkol, Tenggiri, Cucut
Jaring Insang Tetap
Status
Overfishing Manyung, Tetengkek, Bawal Putih, Talang, Kakap, Kuro, Tongkol, Tenggiri, Cucut
Overfishing
Overfishing
Underfishing
Lidah, Udang Putih, Udang Dogol, Udang Krosok, Rajungan, udang Lain, Kakap Putih, Udang Windu
Underfishing
Bagan Tancap
Teri
Overfishing
Anco
Rebon, Ikan Lainnya
Underfishing
Rawai Tetap Perangkap Kerang Perangkap Lainnya
154
Pari, Alu-alu, Remang
Overfishing
Kerang Dara
Underfishing
Kerang Hijau, Binatang Air Lainnya
Underfishing
Analisis Status Pemanfaatan …..…di Wilayah Perairan Cirebon (Anas, P., et al.)
IMPLIKASI KEBIJAKAN
KESIMPULAN
Dari uraian diatas jelas, bahwa status pemanfaatan sumber daya ikan di perairan laut kabupaten Cirebon, baik menurut penggunaan jenis alat tangkap, zona penangkapan ikan maupun jenis ikan pada umumnya telah melebihi jumlah alat tangkap optimum (fopt) dan nilai MSY. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian terdahulu di sekitar wilayah perairan Cirebon (seperti Nurhakim et.al., 1995; Gardenia, 2006; and Wiadnyana et.al., 2010).
1. Status pemanfaatan sumber daya ikan baik di Zona-I, Zona-II maupun Zona-III Perairan Laut Cirebon pada umumnya telah mengalami overfishing ( tangkap lebih).
Oleh sebab itu, untuk memelihara keberlanjutan (sustainability) dari sumber daya ikan laut dan usaha perikanan tangkap di kabupaten Cirebon, maka perlu pengurangan upaya tangkap, khususnya untuk 7 jenis alat tangkap yang telah melampaui fopt nya, dan di Zona-1 dan ZonaII. Kebijakan ini akan berimplikasi pada pengurangan jumlah kapal ikan dan nelayan yang dapat beroperasi di kabupaten Cirebon. Kelebihan kapal ikan dan sebagian nelayan itu dapat dipindah-usahakan ke wilayah-wilayah laut Indonesia yang masih underfishing, khususnya di perairan laut yang selama ini berlangsung IUU (Illegal, Unregulated and Unreported) fishing oleh kapal ikan asing. Kebijakan ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap upaya pemberantasan IUU fishing, dan sekaligus memberikan peluang bagi sumber daya ikan yang telah overfishing untuk pulih kembali di perairan laut kabupaten Cirebon. Sementara itu, sebagian nelayan lainnya harus dilatih dan ditingkatkan kapasitasnya untuk beralih ke matapencaharian lain yang lebih menguntungkan, seperti budidaya tambak, budidaya laut, industri pengolahan hasil perikanan, dan industri dan jasa penunjang perikanan.
2. Dari 13 jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di daerah penelitian, tujuh diantaranya yakni payang, dogol, pukat arad, jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, bagan tancap, dan rawai tetap statusnya sudah berlebih. Sedangkan, enam jenis alat tangkap lainnya, yaitu pukat tarik, jaring insang tetap, jaring kantong, anco, perangkap kerang, dan perangkap lainnya statusnya masih kurang. 3. Jenis-jenis ikan yang telah mengalami overfishing adalah: teri, teri nasi, bawal hitam, sunglir, gurita, biji nangka, kapaskapas, slanget, sotong, kurisi, kuniran, peperek, kurau, ikan sebelah, cumicumi, manyung, tetengkek, bawal putih, talang, kakap, tongkol, tenggiri, cucut, japuh, tembang, julung-julung, siro, bilis, pari, alu-alu, dan remang. 4. Perlu pengurangan upaya tangkap untuk tujuh jenis alat tangkap dan di Zona-I dan Zona-II. Selanjutnya, kelebihan nelayan akibat kebijakan ini bisa dipindahusahakan ke wilayah laut Indonesia lainnya yang masih underfishing atau dialih-usahakan ke matapencaharian lain yang lebih menguntungkan. DAFTAR PUSTAKA Berkes, F., R. Mahon, P. McConney, R. Pollnac, and R. Pomeroy. 2001. Managing Small-scale Fisheries Alternative Direction and Methods. International Development Research Centre. Ottawa, Canada.
155
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 145-157
Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Science, Osney Mead, Oxford, UK. DKP Kab. Cirebon. 2001. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon Tahun 2000. DKP Kab. Cirebon, Cirebon. DKP Kab. Cirebon. 2002. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon Tahun 2001. DKP Kab. Cirebon, Cirebon. DKP Kab. Cirebon. 2003. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon Tahun 2002. DKP Kab. Cirebon, Cirebon. DKP Kab. Cirebon. 2004. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon Tahun 2003. DKP Kab. Cirebon, Cirebon. DKP Kab. Cirebon. 2005. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon Tahun 2004. DKP Kab. Cirebon, Cirebon. DKP Kab. Cirebon. 2006. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon Tahun 2005. DKP Kab. Cirebon, Cirebon. DKP Kab. Cirebon. 2007. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon Tahun 2006. DKP Kab. Cirebon, Cirebon. DKP Kab. Cirebon. 2008. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon Tahun 2007. DKP Kab. Cirebon, Cirebon. DKP Kab. Cirebon. 2009. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon Tahun 2008. DKP Kab. Cirebon, Cirebon.
156
DKP Kab. Cirebon. 2010. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon Tahun 2009. DKP Kab. Cirebon, Cirebon. FAO. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome, Italy. The recommended by International Conference on Responsible Fishing, Cancun, Mexico in 1992. Gardenia, Y.T. 2006. Teknologi Penangkapan Pilihan Untuk Perikanan Rajungan di Perairan Gebang Mekar, Kabupaten Cirebon. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Gulland, J.A. 1983. Fish Stock Assessment : A Manual of Basic Methods. Wiley-Interscience, New York. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan. 2010. Laporan Tahunan 2010. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Badan Litbang Kelautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Nurhakim, S., B. Sadhotomo & M. Potier. 1995. Composite model on small pelagic resources in Potier, M & S. Nurhakim (Eds.). 1995. Biology, Dynamics, Exploitation of the Small Pelagic Fishes in the Java Sea. p. 145 – 153. Pusat Data Statistik, dan Informasi Kelautan dan Perikanan. 2011. Data Indikator Kinerja Umum Kelautan dan Perikanan 2010. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Potier, M. and B. Sadothomo. 1994. Seiners Fisheries in Indonesia. Present Document Report Seminar of Biology, Dynamics, Exploitation of the Small Pelagic Fishes in the Java Sea, 46.
Analisis Status Pemanfaatan …..…di Wilayah Perairan Cirebon (Anas, P., et al.)
Schaefer, M.B. 1954. Some Aspects of Dynamics of Populations Important To The Management of Commercial Marine Fisheries. Bulletin of THE InterAmerican Tropical Tuna Commission, 1, 27-56. Schaefer, M.B. 1957. Some Considerations of Population Dynamics and Economicsin Relation to The Management of Marine Fisheries. Journal of the Fisheries Research Board of Canada, 14, 669-681.
Singarimbun, M. dan S. Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi Ke-3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wiadnyana, N.N., Badrudin dan Aisyah. 2010. Tingkat pemanfaatan sumber daya ikan demersal di wilayah pengelolaan perikanan laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. 16 (4): 275 – 283.
157
Potensi Tangkapan Ikan Laut …….. Bali dan Nusa Tenggara Barat (Mahulette. R.T., et al.)
POTENSI TANGKAPAN IKAN LAUT PADA TEMPAT PELELANGAN IKAN DI PULAU JAWA, BALI DAN NUSATENGGARA BARAT Ralph Thomas Mahulette dan Agustinus Anung Widodo Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 15 April 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 4 Agustus 2011; Disetujui terbit tanggal: 27 September 2011
ABSTRAK Perairan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat bagian Timur menjadi potensi dan tolok ukur sebagai penghasil produksi perikanan untuk daerahnya. Semua hasil tangkapan ikan dari laut ditampung pada tempat pelelangan ikan (TPI). Tempat pelelangan ikan Pelabuhan Ratu, Cilacap, Sadeng, Tempera, Muncar, Kedonganan, dan Tanjung Luar adalah sejumlah TPI yang digunakan sebagai tempat persinggahan hasil tangkapan tersebut. Keanekaragaman hayati laut ini terkadang membuat ikan tersebar dari mana asal tangkapan. Nelayan tradisional di sekitar daerah laut Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat melakukan penangkapan pada daerah tangkapan (fishing ground) masing-masing tapi ada yang mencapai Zone Ekonomi Eksplosif (ZEE) Indonesia. Mengingat sebagian besar jenis stok ikan di perairan Laut Jawa telah mengalami jenuh tangkap (fully exploited) atau kelebihan tangkap (overfishing). Sedangkan Laut Bali dan NTB masih terdapat sejumlah hasil perikanan yang dapat di eksploitasi untuk kesejahteraan nelayan sekitarnya. Jenis ikan-ikan yang tertangkap di laut Jawa dan Bali hampir sama dengan yang tertangkap di NTB. Hasil survei menunjukan bahwa ada kecendrungan beberapa kapal-kapal ikan yang mendaratkan ikan di TPI berasal dari daerah lain, seperti TPI Kedonganan disinggahi oleh kapal dari Madura untuk bongkar muat ikan dan makanan. Beberapa genus hasil laut yang ditemukan pada TPI tersebut adalah Genus Cephalopoda, Mollusca, Crustacea, Teleoste dan Elasmobranch. KATA KUNCI:
ikan laut, tempat pelelangan ikan, daerah Jawa, Bali dan NTB
ABSTRACT :
Potential catchment sea fish auction in place in islands Java, Bali, and west Nusatenggara. By : Ralph Thomas Mahulette, and Agustinus Anung Widodo
Waters of Java, Bali and West Nusa Tenggara the eastern became part of the potential and benchmarks as a producer of fishery production for the region. All the fish catch from the sea are accommodated at the fish auction. Fish auction, Pelabuhan Ratu, Cilacap, Sadeng, Tempera, Muncar, Kedonganan, and Tanjung Luar are used as a stopover place catches it. Sea of biodiversity is sometimes made where the fish are scattered from the catchment. Traditional fishing in the vicinity of the sea of Java, Bali and West Nusa Tenggara in the fishing ground each but there are reaching Indonesia’s Explosive Economic Zone (EEZ). Considering most types of fish stocks in the waters of the Java Sea has undergone a fully exploited or overfishing. While Sea Bali and NTB still there are a number of fishery products can be exploited for the benefit fishermen around it. Type of fish was caught in the sea of Java and Bali is almost the same as those was caught in NTB. ___________________ Jln. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara-14430 Tlp. (021) 641 4686. Fax. (021) 640 2640
159
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 159-168 The survey results show that there are trends of several fishing vessels that landed fish in the TPI from other areas, like the TPI Kedonganan be visited by boat from Madura for loading and unloading of fish and food. A few genus of sea products found in TPI is Genus Cephalopoda, Mollusca, Crustacea, Teleoste and Elasmobranch. KEYWORDS:
Pendahuluan
marine fish, fish auction, Java, Bali and NTB areas.
Perkembangan dunia perikanan di Indonesia selalu memacu setiap daerah pantai di Jawa, Bali dan NTB memiliki kelebihan dan potensi alam yang cukup menjanjikan. Perairan Jawa bagian Selatan, Bali bagian Selatan dan NTB bagian Timur, menjadi tolak ukur sejauh mana produk perikanan daerah dapat dicapai untuk mensejahterakan kehidupan nelayannya. Hasil perikanan yang dirasakan masih jauh dari yang diharapkan. Kendala utama adalah ketidak sesuaian musim yang selalu mengalami perubahan disaat kebutuhan akan ikan menjadi sesuatu yang dipermasalahkan. Disamping bahan bakar minyak (BBM) yang terkadang tidak terbendung jika sewaktu-waktu kestabilan harga minyak dunia mengalami fuktuatif dan kesemuanya ini tidak selalu diprediksi secara benar selain itu tidak tersubsidi lagi. Informasi kelautan untuk memanfaatkan dan memberdaya-gunakan potensi laut terutama dalam penangkapan ikan sudah banyak di kembangkan misalnya melalui metode pemantauan pola arus, tinggi gelombang, suhu laut, sebaran khlorofil dan arah angin (Soesilo dan Budiman 2002). Ada kekawatiran bahwa metode ini tidak segampang yang dibayangkan bila kapal nelayan tidak dilengkapi dengan perangkat teknologi citra satelit dan fish finder. Disamping itu mengandung resiko over fishing karena hampir sebagian besar ikan akan terjaring, sehingga akan mengakibatkan kelangkaan populasi di perairan sebagai daerah penangkapan.
160
Daerah Jawa, Bali dan NTB penggunaan alat tangkap dan pengoperasiannya secara tradisional menyeluruh diseluruh nelayan. Salah satu yang penting untuk dicermati adalah penggunaan alat tangkap ramah lingkungan, efektif dan efisien. Banyak sekali alat tangkap yang sering kita jumpai dewasa ini dengan berbagai introduksi teknologi alat tangkap yang disempurnakan lebih kepada spesies ikan tertentu yang harus ditangkap, demi menghindari by catch (tangkapan sampingan) terutama bagi pukat ikan (fish net) dan pukat udang (shrimp net), ternyata masih jauh dari yang diharapkan. Kapal yang digunakan untuk menangkap ikan merupakan kapal yang bermotor tempel 30 sampai dengan 60 gross tonnage (GT). Jenis ikan yang tertangkap juga yang sering dikonsumsi masyarakat pada umum serta dapat dijangkau harganya. Kegiatan Penangkapan Ikan di Beberapa Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Alat Tangkap Beberapa alat tangkap yang sering digunakan nelayan Jawa, Bali dan NTB untuk menangkap ikan ataupun udang sifatnya beragam sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi oleh tiap-tiap nelayan. Alat tangkap pada umumnya konvensional sampai pada yang inkonvensional. Di jumpai bahwa nelayan sudah mulai melakukan modifikasi secara terus menerus yang lebih tepat dan muda untuk cepat mendapatkan ikan. Dilihat dari segi kemampuan usaha (permodalan) jangkauan area penangkapan serta jenis alat penangkap/tangkap yang digunakan,
Potensi Tangkapan Ikan Laut …….. Bali dan Nusa Tenggara Barat (Mahulette. R.T., et al.)
secara garis besar nelayan Indonesia dapat dibedakan antara nelayan skala kecil (small scale fishery), skala menengah (medium scale fishery) dan skala besar/nelayan industri (large scale fishery). Timbulnya banyak jenis alat penangkap/tangkap tersebut karena lautan Indonesia yang beriklim tropis itu memiliki banyak sekali jenis ikan, udang maupun biota laut lainnya mempunyai sifat (perangai) berbeda-beda, disamping itu kondisi dan topografi dasar perairan daerah satu dengan lainya berbedabeda itu juga merupakan salah satu faktor (Subani Barus 1989). Terdapat berbagai jenis alat penangkapan yang disesuaikan dengan jenis ikan yang akan ditangkap. Pemeliharaan perawatan alat tangkap terutama disesuaikan dengan bahan dari
Gambar 1. Figure 1.
alat tangkap tersebut, ada yang dibuat dari serat alam dan banyak pula yang terbuat dari serat sintetis. Perbedaan alat tangkap terbuat dari alami dan sintetis, dimana serat alami tak tahan dari kebusukan atau kerusakan. Menurut Subani Barus (1989) untuk membuat atau menciptakan alat penangkap banyak hal-hal, faktor yang perlu dipertimbangkan antara lain: sasaran jenis-jenis yang sekaligus harus mengetahui sifat-sifat hidup habitatnya (pantai, lepas pantai, perairan karang, perairan dalam dan lain-lainya). Persentasi sejumlah alat tangkap yang berada pada Kabupaten/Kota yang berada di Jawa, Bali dan NTB dapat dilihat pada gambar.
Peresentasi Klasifikasi Alat Tangkap Ikan Laut di Pulau Jawa. Presentage of Clasification the fishing gear in Java Island.
161
JURNAL KEBIJAKAN PERIKANAN INDONESIA Pedoman Bagi Penulis Ruang Lingkup Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia memuat analisis dan sintesis hasil-hasil penelitian, informasi, dan pemikiran dalam kebijakan kelautan dan perikanan. Tata Cara Pengiriman Naskah Naskah yang dikirim haruslah asli dan harus jelas tujuan, bahan yang dipergunakan, maupun metode yang diterapkan dan belum pernah dipublikasikan atau dikirimkan untuk dipublikasi di mana saja. . Naskah diketik dengan program MS-Word dalam 2 spasi , margin 4 cm (kiri)-3 cm (atas)-3 cm (bawah) dan 3 cm (kanan), kertas A4, font 12times news roman, jumlah naskah maksimal 15 halaman dan dikirim rangkap 3 beserta soft copynya.. Naskah dapat dikirimkan melalui Redaksi Pelaksana Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia dengan alamat Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430 Telp.: (021) 64711940, E-mail:
[email protected]. Tim Penyunting berhak menolak naskah yang dianggap tidak layak untuk diterbitkan. Penyiapan Naskah Judul Naskah hendaknya tidak lebih dari 15 kata dan harus mencerminkan isi naskah, diikuti dengan nama penulisnya. Jabatan atau instansi penulis ditulis sebagai catatan kaki di bawah halaman pertama. Abstrak merupakan ringkasan penelitian dan tidak lebih dari 250 kata, disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Kata kunci (3-5 kata) harus ada dan dipilih dengan mengacu pada Agrovocs. Pendahuluan secara ringkas menguraikan masalah-masalah, tujuan, dan pentingnya penelitian. Jangan menggunakan subbab. Bahasan disajikan secara jelas tanpa detail yang tidak perlu. Kesimpulan dan Rekomendasi disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud dan tujuan sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan. Tabel disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, dengan judul dibagian atas tabel dan keterangan. Tabel diketik menggunakan program MS-Excel. Gambar, skema, diagram alir dan potret diberi nomor urut dengan angka Arab. Judul dan keterangan gambar diletakan di bawah gambar dan disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Persantunan memuat judul kegiatan dan dana penelitian yang menjadi sumber penulisan naskah. Daftar Pustaka disusun berdasarkan abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut: Nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku/nama dan nomor jurnal, penerbit dan kotanya, serta jumlah/ nomor halaman. Sebagai contoh adalah: Sunarno, M.T.D., A. Wibowo & Subagja. 2007. Identifikasi tiga kelompok ikan belida (Chitala lopis) di Sungai Tulang Bawang, Kampar dan Kapuas dengan pendekatan biometrik. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 13 (3): 1-14. Sadhotomo, B. 2006. Review of environmental features of the Java Sea. Indonesia Fisheries Resources Journal. 12 (2): 129-157. Sudradjat, A., I.W. Rusastra, E.S. Heruwati & B. Priono (eds). Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan Budi Daya. Pusat Riset Perikanan Budidaya, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. 181 hal. Defeo, O., T.R. McClanahan & J.C. Castilla. 2007. A brief history of fisheries management with emphasis on societal participatory roles. In McClanahan T. & J.C. Castilla (eds.). Fisheries Management: Progress toward Sustainability. Blackwell Publishing, Singapore, p: 3-24. Heinen, J.M., L.R. D’Abramo, H.R. Robinette & M.J. Murphy. 1989. Polyculture of two sizes of freshwater prawns (Macrobrachium rosenbergii) with fingerling channel catfish (Getalurus Punctatus). Journal World Aquaculture Soc., 20 (3): 72-75. Publikasi yang tak diterbitkan tidak bisa digunakan, kecuali tesis, seperti contoh berikut: Simpson, B.K. 1984. Isolation, Characterization and Some Applications of Trypsin from Greenland Cod (Gadus morhua). PhD Tesis. Memorial University of New Foundland, St. John’s, New Foundland, Canada, 17 pp. Cetak Lepas (Reprint) Penulis akan menerima cetak lepas secara cuma-cuma. Bagi tulisan yang disusun oleh lebih dari seorang penulis, pembagiannya diserahkan pada yang bersangkutan. Lain-lain Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia menerima sumbangan naskah dari penulisan di luar Pusat Riset Perikanan Tangkap dengan ketentuan isinya memenuhi kriteria standar Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia.