ISSN 1979 - 9366
JURNAL KEBIJAKAN PERIKANAN INDONESIA Volume 4 Nomor 2 November 2012 Nomor Akreditasi : 425/AU/P2MI-LIPI/04/2012 (Periode April 2012 – April 2015) Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia adalah wadah informasi perikanan, baik laut maupun perairan umum daratan. Jurnal ini menyajikan analisis dan sintesis hasil-hasil penelitian, informasi, dan pemikiran dalam kebijakan kelautan dan perikanan. Terbit pertama kali tahun 2009, dengan frekuensi penerbitan dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan: MEI dan NOPEMBER.
Ketua Redaksi: Prof. Dr. Ali Suman Anggota: Prof. Dr. Ir. Endi Setiadi Kartamihardja, M.Sc. Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Dr. Ir. Sonny Koeshendrajana, M.Sc. Dr. Achmad Poernomo, M. App. Sc. Dr. Ir. Lucky Arianto, M. Sc. Mitra Bestari untuk Nomor ini: Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumasanto, M.S. (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB) Dr. Ir. Augy Syahailatua, M.Sc. (Pusat Penelitian Oseanologi-LIPI) Redaksi Pelaksana: R. Thomas Mahulette, S.Pi., M.Si. Darwanto, S.Sos Desain Grafis : Arief Gunawan, S.Kom
Alamat Redaksi/Penerbit: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430 Telp. (021) 64711940; Fax. (021) 6402640 Email:
[email protected] Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan PerikananKementerian Kelautan dan Perikanan.
ISSN 1979 - 9366 JURNAL KEBIJAKAN PERIKANAN INDONESIA Volume 4 Nomor 2 November 2012 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………………...
i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………………….
iii
Pola Pengelolaan Rawa Lebak Berbasis Keterpaduan Ekologi-Ekonomi-Sosial-Budaya untuk Pemanfaatan Berkelanjutan Oleh: Dina Muthmainnah, Zulkifli Dahlan, Robiyanto H. Susanto, Abdul Karim Gaffar, dan Dwi Putro Priadi ................................................................................................................................................................
59-67
Karakteristik Sumberdaya Ikan dan Strategi Pengelolaan Perikanan Perairan Sungai yang Bermuara ke Pantai Barat Sumatera Oleh: Husnah dan Arief Wibowo ………………..................................................................................
69-78
Penilaian Kepadatan Populasi Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus Ruppell 1835) dalam Kaitannya dengan Kepentingan Pengelolaan di Indonesia Oleh: Isa Nagib Edrus………………………………………………………………………………………………..
79-84
Hasil Tangkapan Sampingan pada Pukat Udang dan Alternatif Pemanfaatannya di Laut Arafura Oleh: Bambang Sumiono dan Ignatius Tri Hargiyatno.......................................................................
85-91
Pengelolaan dan Profitabilitas Usaha Penangkapan Lemuru di Selat Bali Oleh: Hesti Warih Madyeng Ratri ............................................................................................................................
93-100
Daya Dukung Sumber Daya Perikanan Tuna di Samudera Hindia dalam Kaitannya dengan Industrialisasi Perikanan Oleh: Wijopriono…………………... ...........................................................................................................................
101-108
iii
KATA PENGANTAR Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia volume 4 Nomor 2 November 2012 adalah terbitan kedua di tahun 2012. Percetakan ini dibiayai oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan menggunakan anggaran tahun 2012. Sebelum diterbitkan tulisan ini telah melalui proses revisi dan evaluasi dari Dewan Redaksi dan Mitra Bestari sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing dan proses editing dari Redaksi Pelaksana. Pada terbitan nomor dua ini, Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia menampilkan enam artikel hasil penelitian perikanan perairan umum dan daratan dan perairan laut. Keenam artikel mengulas tentang Pola Pengelolaan Rawa Lebak Berbasis Keterpaduan EkologiEkonomi-Sosial-Budaya untuk Pemanfaatan Berkelanjutan, Karakteristik Sumberdaya Ikan dan Strategi Pengelolaan Perikanan Perairan Sungai yang Bermuara ke Pantai Barat Sumatera, Penilaian Kepadatan Populasi Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus Ruppell 1835) dalam Kaitannya dengan Kepentingan Pengelolaan di Indonesia, Hasil Tangkapan Sampingan pada Pukat Udang dan Alternatif Pemanfaatannya di Laut Arafura, Pengelolaan dan Profitabilitas Usaha Penangkapan Lemuru di Selat Bali, Daya Dukung Sumber Daya Perikanan Tuna di Samudera Hindia dalam Kaitannya dengan Industrialisasi Perikanan. Diharapkan tulisan ini dapat memberikanan kontribusi bagi para pengambil kebijakan dan pengelola sumberdaya perikanan di Indonesia. Redaksi mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif para peneliti dari lingkup dan luar Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan.
Redaksi
i
Pengelolaan Rawa Lebak Berbasis ........ Budaya untuk Pemanfaatan Berkelanjutan (Muthmainnah, D., et al)
POLA PENGELOLAAN RAWA LEBAK BERBASIS KETERPADUAN EKOLOGIEKONOMI-SOSIAL-BUDAYA UNTUK PEMANFAATAN BERKELANJUTAN MANAGEMENT SCHEME OF SWAMP AREA DEALING WITH INTEGRATED OF ECOLOGY ECONOMY-SOCIOCULTURAL FOR SUSTAINABLE UTILIZATION Dina Muthmainnah1, Zulkifli Dahlan2, Robiyanto H. Susanto2, Abdul Karim Gaffar1, dan Dwi Putro Priadi2 1
Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum, Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya Teregistrasi I tanggal: 3 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 15 Oktober 2012; Disetujui terbit tanggal: 16 Oktober 2012 2
ABSTRAK Rawa lebak merupakan ekosistem yang dinamis, mengalami perubahan dua arah dari sistem akuatik ke sistem terestrial, dipengaruhi oleh faktor-faktor hidrologi, mutu air, vegetasi, fauna, kepemilikan dan pemanfaatan. Penelitian ini dilaksanakan di rawa lebak Kecamatan Pampangan Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan, bertujuan untuk merumuskan pola pengelolaan rawa berbasis keterpaduan (integrated system) antara ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Pengamatan karakteristik hidrologi, ekologi, pola pemanfaatan, sosial dan budaya menunjukkan bahwa tipologi rawa lebak di lokasi penelitian dapat dibagi tiga yaitu rawa banjiran, rawa tadah hujan dan rawa campuran. Dari hasil analisis keterkaitan faktor internal dan eksternal, penilaian untuk rawa tadah hujan adalah 104 sedangkan rawa banjiran dan rawa campuran masingmasing 68 dan 45. Pola pengelolaan yang dapat disarankan untuk rawa tadah hujan diarahkan pada mempertahankan kekhasan ekosistem dengan pemanfaatan bagi sektor perikanan dengan kegiatan tambahannya adalah pertanian dan peternakan. Pada rawa banjiran diarahkan pada kegiatan pertanian dengan kegiatan lainnya adalah perikanan dan pertanian tergantung pada musim dan ketersediaan air, dan pada rawa campuran diarahkan pada peningkatan efisiensi pemanfaatan air dengan menyediakan lebung dan penyerasian pola tanam dengan daur banjir. KATA KUNCI: Rawa lebak, pampangan, tipologi rawa, pengelolaan ABSTRACT: Lebak swamp is a dynamic ecosystem, seasonally changed from aquatic to terrestrial ecosystem vice versa. Swamp functions were influenced by charateristic of hydrobiology, water quality, vegetation, wild animal, property right and utilization. The research conducted in lebak swamp of Pampangan Subdistrict, Ogan Komering Ilir District, South Sumatra Province to know environmental characteristic as components to builtd management scheme of those swamp dealing with integrated system between ecology, economy and socio cultural. The characteristics of hydrobiology, ecology, utilization, sociocultural show that in research location, the swamp could be divided into three types,i.e., floodplain swamp, rain-fed swamp and mixed swamp. The result shows that relationship between internal and external factor with ecosystem services gave value of 104 for rain-fed swamp, while floodplain and mixed swamp were 68 and 45 respectively. Suggested management scheme for rain-fed swamp with high ecology score as more natural swamp ecosystem is a fishing area with additional utilization as agricultural land and animal husbandry. Floodplain swamp can manage for agricultural land with additional activity fisheries and animal husbandry depending on season and water table. The management for mixed swamp can suggested primarily on water conservation by preparing fish pool and planting pattern due to maintain water table for agriculture use during dry season. KEYWORDS: Lebak swamp, pampangan, type of swamp, management
PENDAHULUAN Luas lahan rawa lebak di Indonesia diperkirakan sebesar 13,3 juta hektar yang tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya (Widjaya-Adhi et al., 1992). Rawa mempunyai berbagai fungsi baik fungsi ekologi sebagai tandon air tawar, tempat hidup flora dan satwa
liar dan fungsi ekonomi untuk berbagai kegiatan untuk menunjang kehidupan manusia misalnya untuk tempat menangkap ikan, budidaya ikan, transportasi air, sawah lebak, pemanenan tumbuhan air dan peternakan. Dari sisi perikanan, ketersediaan stok ikan di rawa lebak memberikan lapangan kerja atau mata pencaharian bagi penduduk baik sebagai
___________________ Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Jl. Beringin No. 08 Mariana, Palembang - Sumatera Selatan, email:
[email protected]
59
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 59-67
nelayan penuh ataupun nelayan sambilan dengan pertanian dan peternakan. Dengan demikian sumber daya alam yang tersedia di ekosistem rawa lebak perlu dikelola agar dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan. Pengelolaan rawa berbasis ekosistem telah banyak dikembangkan, dengan suatu pendekatan untuk mempertahankan atau memperbaiki komposisi, struktur dan fungsi ekosistem untuk mencapai sustainabilitas jangka panjang (Muthmainnah et al., 2011). Dasar pengelolaan adalah pengembangan kolaborasi berbagai kondisi masa depan yang diinginkan berupa keterpaduan perspektif ekologi, sosio-ekonomi dan kelembagaan untuk diterapkan dalam suatu wilayah. Pola pengelolaan ditentukan dengan meletakkan kebutuhan manusia sebagai sentral dari pengelolaan biologi, berbasiskan pada keragaman fungsi ekosistem dan keragaman pemanfaatan (Susanto & Muthmainnah, 2010). Dengan pendekatan ekosistem, optimalisasi pemanfaatan tidak didasarkan pada keuntungan ekonomi jangka pendek tapi dengan “memanfaatkan tanpa merusak”. Pada kebanyakan kawasan rawa lebak terutama di Provinsi Sumatera Selatan pengelolaannya belum terintegrasi dan masih dilakukan secara parsial dan sektoral, bahkan sentralistik. Peran masyarakat setempat belum menonjol sehingga berkembang suatu kompetisi dalam memanen sumber daya alam perairan baik antar sektor maupun intra sektor, yang dalam jangka panjang dapat menurunkan nilai ekosistem. Dalam upaya merum uskan pola pengelolaan yang berasask an pemanfaatan berkelanjutan perlu dilakukan penelitian yang menyeluruh meliputi faktor-faktor ekologi, ekonomi, sosial, budaya, peraturan dan kearifan lokal. Dengan mensinergikan keseimbangan ekosistem dengan pemanfaatan oleh manusia diharapkan tercapai keberlanjutan manfaat ekosistem rawa serta kesetaraan antara pengguna nelayan, petani, peternak dan pengguna lainnya. Ulasan ini dibuat berdasarkan pada hasil penelitian yang telah dilaksanakan dalam 2 tahapan yaitu: (1)
60
mempelajari tipologi rawa lebak didasarkan atas karakteristik ekologi dan pemanfaatannya; (2) merumuskan pola pengelolaan rawa berbasis ekosistem dan keterpaduan antara perikanan, pertanian tanaman pangan dan peternakan dengan memperhatikan potensi alamiah, tingkat kesejahteraan dan kondisi sosial budaya masyarakat. DESKRIPSI TIPE RAWA Rawa pada lokasi penelitian di Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan dapat dibedakan atas 3 tipe (Gambar 1) yaitu: 1) Rawa tipe 1 yang mendapat limpahan air dari Sungai Padang (anak Sungai Komering) terdapat di kawasan Desa Tapus, Desa Ulak Depati, Desa Menggeris dan Desa Pulau Betung; ketergenangannya tergantung tinggi muka air sungai, yaitu tergenang pada musim hujan waktu muka air sungai tinggi dan pada musim kemarau dengan turunnya muka air sungai maka air rawa kembali mengalir ke sungai. 2) Rawa tipe 2 dengan sumber air utama dari air hujan dicirikan warna air kehitaman terdapat di kawasan Desa Serdang, Desa Jungkal dan Desa Deling; ketergenangannya sepanjang tahun dengan tinggi muka air berfluktuasi mengikuti tinggi-rendahnya curah hujan. 3) Rawa tipe 3 yang mendapat aliran air baik dari Sungai Padang maupun dari rawa tipe 2 dengan warna air kecoklatan terdapat di kawasan Desa Bangsal, Desa Kuro dan Desa Pulau Layang; mendapat aliran air sungai dan rawa air hitam, pada musim kemarau hanya beberapa lajur anak sungai yang tetap berair sedangkan sebagian besar paparan rawa membentuk padang rumput. Hasil pengamatan ekologi kualitas air, sedimen, jenis ikan, plankton, benthos, hewan liar dan vegetasi alami disajikan dalam Tabel 1. Pola pemanfaatan rawa lebak dan kegiatan perikanan yang dilakukan di rawa Lebak Pampangan dengan metode kuesioner dari 439 responden hasilnya disajikan dalam Tabel 2 dan Tabel 3.
Pengelolaan Rawa Lebak Berbasis ........ Budaya untuk Pemanfaatan Berkelanjutan (Muthmainnah, D., et al)
Gambar 1.Peta lokasi penelitian Figure 1. Location of observation site Tabel 1. Karakteristik Ekologi Rawa Lebak Pampangan Table 1. Ecology characteristic of Lebak Pampangan Swamp No. 1.
Pengamatan Mutu Air Fisika: Warna o
2.
3.
Temperatur Air ( C) Kecerahan (m) DHL (µS) -1 TDS (µg.L ) Kimia: pH -1 DO (mg.L ) -1 CO2 (mg.L ) -1 Total Nitrogen (mg.L ) -1 Total Phospor (mg.L ) Alkalinitas (mg CaCO 3 L-1) -1 Kesadahan (mg CaCO 3.L ) -1 Biologi: Klorofil-a (mg.L ) Indeks Trofik Carlson's Mutu Sedimen: pH H 2O (1:1) Bahan Organik (%) N-Total (%) P-Total (%) Tekstur sedimen: Jumlah Spesies Biota Air: Ikan Fitoplankton Zooplankton Benthos Hewan Liar: Aves Reptilia Mamalia Vegetasi
Tipe Rawa 2
1 Jernih kekuningan 29,50 0,63 44,00 22,50 5,67 4,21 11,00 0,43 0,07 2,43 5,22 0,02 8,00 4,08 1,90 0,12 0,33
Hitam
3 Coklat Kehitaman 29,80 0,58 52,20 28,89 5,13 4,65 13,40 0,38 0,06 1,57 4,22 0,01 6,95 3,52 1,76 0,10 0,49
Debu berpasir
29,12 0,24 64,89 32,43 4,50 5,15 16,57 0,37 0,05 1,14 3,30 0,01 9,54 3,87 1,83 0,13 0,74 Debu berpasir
Liat berpasir
16 30 15 6 4 2 2 5
33 20 12 6 9 3 6 15
28 17 8 5 3 2 2 3
61
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 59-67
Tabel 2. Jumlah penduduk yang memanfaatkan Rawa Lebak di Pampangan (%) Table 2. Number of local people utilizing the Swamp of Pampangan (%) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pemanfaatan Rawa
1 11 26 44 4 5 7 3 0
Perikanan Tangkap Perikanan Budidaya Sawah Tanaman berumur pendek Beternak kerbau rawa Beternak itik Mengumpulkan kayu Mengumpulkan tanaman air
Tipe Rawa 2 26 5 4 32 20 4 0 5
3 6 11 59 5 13 6 0 0
Tabel 3. Pemanfaatan untuk Perikanan di Rawa Lebak Pampangan Table 3. Fishery Activities in Swamp of Pampangan No.
1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4.
Pengamatan Responden a. Perikanan Tangkap Macam Alat Tangkap Waktu Penangkapan (bulan) Jumlah Nelayan (orang) Hasil Tangkapan (kg/tahun) b. Perikanan Budidaya Budidaya karamba (unit) 3 Rata-rata luas karamba (m ) 3 Produksi rata-rata (kg/m /tahun) 3 Penghasilan (Rp/m /tahun)
Memasukkan aspek sosial budaya dalam mengelola rawa lebak dengan pertimbangan bahwa suku dan budaya lokal mempengaruhi akses terhadap penguasaan daerah penangkapan dan kemampuan dalam menangkap ikan. Menurut Hoggarth et al. (2000) bahwa dari segi adat istiadat, pengelolaan perikanan secara tradisional atau berbasis masyarakat telah lama dilakukan di beberapa daerah di Indonesia. Umumnya peraturan-peraturan lokal merupakan hasil dari musyawarah masyarakat desa. Pemangku kepentingan adalah seseorang, kelompok orang, atau institusi yang dipengaruhi atau mempengaruhi oleh dampak suatu aktivitas, baik bersifat positif ataupun negatif (Walmsley et al., 2005). Rekapitulasi hasil kuesioner dapat dilihat dalam Tabel 4. TIPOLOGI RAWA LEBAK Penyusunan tipologi rawa dibuat dengan tujuan: 1). untuk menjelaskan unit-unit ekologi dengan kondisi alami yang homogen, 2). menyusun unit-unit tersebut dalam suatu sistem untuk membantu penentuan manajemen sumber daya, 3). untuk mempermudah inventarisasi dan pemetaan, dan 4). penyeragaman konsep dan terminologi (Smith, 1993).
62
114
Tipe Rawa 2 128
6 11 18 490.380
9 12 76 1.114.690
7 12 7 101.620
1.152 12 62 806.000
53 12 47 705.000
101 24 42 630.000
1
3 140
Keragaman karakteristik biofisik rawa lebak di lok asi penelitian yang disertai keragaman pemanfaatan memerlukan pola pengelolaan yang bervariasi. Untuk menyusun rencana pengelolaan yang spesifik terlebih dahulu disusun tipologi rawa lebak dengan deskripsi masing-masing. Deskripsi disusun menurut ciri ekologi yang mengacu pada hidrologi, mutu air dan sedimen, keragaman jenis biota terutama ikan dan vegetasi, pemanfaatan dan kondisi sosial budaya masyarakat di sekitar rawa. Rawa Banjiran Rawa tipe 1, merupakan rawa banjiran, sumber air berasal dari limpahan Batanghari Air Padang anak Sungai Komering, air bersifat agak masam (pH 5,5 – 6), jenis ikan didominasi oleh ikan putihan (Muthmainnah et al., 2012a), vegetasi umumnya tanaman pekarangan, pemanfaatan perikanan tangkap, perikanan budidaya, sawah lebak, padang gembala kerbau, di sekitar rawa berupa pemukiman (Muthmainnah et al., 2012b). Dalam tipologi disebut rawa banjiran.
Pengelolaan Rawa Lebak Berbasis ........ Budaya untuk Pemanfaatan Berkelanjutan (Muthmainnah, D., et al)
Tabel 4. Karakteristik Sosial Budaya di Rawa Lebak Pampangan Table 4. Socio-culture characteristic in Swamp of Pampangan No.
Pengamatan
Hasil
1.
Kearif an Lokal
Lelang lebak lebung; Lebung di sawah
2.
Kelembagaan
3.
Pemangku Kepentingan
4.
Peraturan-peraturan yang berlaku
Kelompok Nelayan/Tani/ Ternak, Penyuluh Pertanian/ perikanan/peternakan, Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokwasmas) Pemanf aat Primer: nelayan, pembudidaya ikan, peternak, petani sawah dan hortikultura, penyedia transportasi air. Pemanf aat Sekunder: pedagang pengumpul, pedagang sarana produksi perikanan/pertanian/peternakan, pekerja/ buruh tani. Pemanf aat Tersier: Dinas Perikanan, Pertanian dan Peternakan Kabupaten OKI, Penyuluh Pertanian/ Perikanan/Peternakan, Lembaga Penelitian, Lembaga Swadaya Masyarakat, lembaga permodalan, konsumen perikanan/pertanian/peternakan. Peraturan Daerah No. 6 tahun 1978 Sumatera Selatan Tentang Lelang Lebak Lebung. Peraturan Daerah Nomor 14 tahun 2005 Kabupaten Ogan Ilir Tentang Pengelolaan Lebak, Lebung, Sungai dan Sumber Daya Perikanan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 yang sudah diperbarui menjadi Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan
Rawa Tadah Hujan
LANGKAH PERUMUSAN PENGELOLAAN RAWA
Rawa tipe 2, merupakan cekungan, sumber air terutama dari air hujan, air berwarna hitam yang sering dijumpai pada rawa gambut, air bersifat masam (pH 4,5), jenis ikan didominasi oleh ikan hitam (ikan rawa) (Muthmainnah et al., 2012a), vegetasi rumputan dan tanaman bawah, pemanfaatan perikanan tangkap, musim kemarau bagian rawa yang kering ditanami semangka dan padang gembala kerbau, di sekitar rawa terdapat pemukiman, kebun karet dan hutan rawa sekunder (hutan gelam) (Muthmainnah et al., 2012b). Dalam tipologi disebut rawa tadah hujan.
Identifikasi Faktor-Faktor Internal dan Eksternal
Rawa Campuran
Analisis Keterkaitan Antar Faktor InternalEksternal
Rawa tipe 3, merupakan dataran rendah, sumber air baik dari limpahan Sungai Batanghari Air Padang maupun aliran dari rawa tipe 2, air berwarna kecoklatan, ikan campuran putihan dan hitaman (Muthmainnah et al., 2012a), vegetasi rumputan, perikanan tangkap dan pengembalaan kerbau, musim kemarau hanya beberapa lajur anak sungai yang berair, sekitar rawa terdapat pemukiman, hutan sekunder dan kebun karet (Muthmainnah et al., 2012b). Dalam tipologi disebut rawa campuran.
Perumusan pola pengelolaan dimulai dari identifik asi k omponen yang mem pengaruhi keseimbangan ekologi, penyerapan jasa ekosistem, tingkat eksploitasi dan kondisi sosial budaya masyarakat. Dari identifikasi komponen pola pengelolaan dapat dibuat penilaian atas faktor internal dan faktor eksternal disertai alternatif perbaikan atas masing-masing faktor untuk menunjang keberlanjutan pemanfaatan ekosistem rawa (Tabel 5).
Analisis ini dengan menilai faktor yang teridentifikasi mempengaruhi fungsi dan jasa ekosistem. Faktor internal dengan nilai di atas tiga adalah kekuatan, sedangkan di bawah tiga merupakan kelemahan. Sedangkan faktor eksternal dengan nilai di atas tiga adalah peluang dan nilai di bawah tiga adalah ancaman. Dari Tabel 5 dapat dibuat rangkuman nilai identifikasi rawa lebak di Kecamatan Pampangan (Tabel 6).
63
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 59-67
Tabel 5. Penilaian atas faktor internal dan faktor eksternal Table 5. The scoring made for internal and external factor No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Kriteria Faktor Internal Luasan areal rawa Proporsi bagian rawa yang masih asli Keaslian habitat rawa yang penting dalam menunjang integritas ekosistem Kekayaan spesies tumbuhan asli Kekayaan spesies hewan asli atau satwa asli Kemampuan ekosistem menyediakan jasa lingkungan Kemampuan rawa menahan atau sebagai cadangan air Kemampuan rawa mendukung kehidupan hewan yang dimanfaatkan manusia Kemampuan rawa mendukung kehidupan tumbuhan yang dimanfaatkan manusia Kemampuan rawa melakukan pemulihan Dampak kegiatan dari masyarakat sekitar terhadap kelestariannya Dampak bencana alam terhadap kelestariannya Faktor Eksternal Tingkat eksploitasi terhadap air dan tanah Tingkat eksploitasi terhadap tumbuhan Tingkat eksploitasi terhadap ikan dan satwa liar lain Tingkat pencemaran dan perubahan habitat akibat manusia Tingkat perubahan lingkungan akibat perubahan lingkungan sekitar Berapa banyak masyarakat pengguna dari lingkungan sekitar rawa Introduksi tumbuhan dari luar lingkungan asli Introduksi hewan dari luar lingkungan asli Pemanfaatan perairan rawa untuk budidaya ikan dan ternak Pemanfaatan lahan rawa untuk pertanian padi dan sayuran Penciptaan lapangan kerja atau mata pencaharian Peraturan dan hukum/undang-undang pengelolaan rawa Kearifan lokal menunjang kelestarian ekosistem rawa Tingkat manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi masyarakat sekitar Peran dalam pembangunan ekonomi daerah
1
2
3
2 2 2
4 4 4
1 1 1
1 1 4 2 4
5 5 5 4 4
2 2 2 1 2
5
4
2
2 1 2
5 4 4
2 2 2
2 2 2 1 1 4 1 1 4 4 4 4 2 4
4 4 2 4 4 4 4 4 2 2 4 4 2 4
2 1 1 1 1 2 1 1 2 1 2 4 2 2
4
4
2
Tabel 6. Penilaian kekuatan-kelemahan-peluang-ancaman di rawa lebak Pampangan Table 6.Total scoring of strength-weekness-opportunity-threat in swamp of Lebak Pampangan Total Nilai Nilai Maksimum Rawa Banjiran Rawa Tadah Hujan Rawa Campuran
68 104 45
Kekuatan 60 13 52 0
Pola Pengelolaan Rawa Banjiran Areal rawa merupakan dataran yang tidak begitu luas di kiri-kanan sungai, sebagian besar kawasan telah termodifikasi dan kekayaan jenis tumbuhan dan hewan asli rendah. Kemampuan rawa menahan atau sebagai cadangan air rendah, rentan terhadap
64
Kelemahan 24 15 0 20
Peluang 75 12 44 4
Ancaman 30 28 8 21
pencemaran dan bencana. Masyarakat pengguna cukup banyak, selain perikanan tangkap juga dimanfaatkan untuk tempat budidaya ikan, padang gembala kerbau, dan pertanian sawah dan sayuran. Tingkat eksploitasi pada rawa ini terhadap air, tanah, dan biota rawa cukup tinggi. Tingkat pencemaran dan degradasi habitat akibat manusia tinggi dan kearifan
Pengelolaan Rawa Lebak Berbasis ........ Budaya untuk Pemanfaatan Berkelanjutan (Muthmainnah, D., et al)
lokal untuk menunjang kelestarian ekosistem rawa sangat sedikit. Areal yang menjadi persawahan sudah mempunyai kepemilikan yang jelas. Pola pengelolaan ekosistem rawa yang sudah termodifikasi diarahkan untuk dimanfaatkan bagi kegiatan perikanan, pertanian, peternakan. Karena ketersediaan air sangat tergantung pada intensitas hujan, untuk keperluan pertanian perlu disediakan fasilitas untuk dapat menyimpan air. Tumbuhan khas rawa yang berperan dalam mempertahankan karakteristik rawa perlu dipertahankan atau ditanam kembali. Eksploitasi sumber daya ikan yang berlebihan dapat dihindari dengan mengembangkan usaha budidaya ikan jenis lokal. Pengelolaan terpadu dengan memperhatikan integritas ekosistem dengan pemanfaatan usaha sawah, budidaya ikan, dan pemeliharaan ternak dalam kerangka kesetaraan dengan pengalokasian lokasi dan waktu yang saling menguntungkan. Perlu dibentuk kelembagaan pengelola yang merancang dan memantau aktivitas pemanfaatan rawa sesuai dengan yang telah disepakati secara bijaksana, berdasarkan kerjasama antar pemangku kepentingan dan pemerintah desa dengan peran pengguna lebih dominan. Pola Pengelolaan Rawa Tadah Hujan Areal rawa cukup luas, sebagian besar masih berupa habitat rawa asli, biodiversitas tinggi, menyediakan jasa ekosistem sebagai cadangan air tawar, habitat ikan dan satwa liar dan tumbuhan yang dimanfaatkan manusia. Degradasi lingkungan belum nyata, pengaruh aktifitas manusia dan bencana belum merusak kelestariannya. Kebanyakan masyarakat sekitar mata pencaharian pertanian di lahan kering, sebagian kecil masyarakat memanfaatkan rawa sebagai nelayan tangkap. Masih banyak ditemukan hewan liar dan tumbuhan asli. Penguasaan dan pemanfaatan diatur oleh peraturan dan perundangan. Pemanfaatan rawa memberi andil bagi peningkatan kesejahteraan dan ekonomi masyarakat sekitar, dan pembangunan ekonomi daerah. Pemanfaatan untuk pertanian dan budidaya ikan belum berkembang. Terdapat kearifan lokal yang berkaitan dengan pemerataan memanfaatkan ekosistem rawa. Areal rawa masih merupakan milik bersama yang dilelang setiap tahun. Pola pengelolaannya diarahkan pada mempertahankan integritas dan kekhasan ekosistem. Pemanfaatan dengan mengeksploitasi sumber daya alami (ikan dan tumbuhan air), terutama bagi kegiatan perikanan tangkap, sedangkan kegiatan pertanian dan peternakan dilaksanakan tanpa mengubah tata air, vegetasi dan habitat satwa liar. Sebagian areal rawa
yang masih menedukung kehidupan tumbuhan dan satwa asli sepanjang tahun hendaknya dijadikan kawasan konservasi. Pengelolaan dilakukan oleh suatu lembaga yang bertugas merancang dan memantau integritas ekosistem rawa dan pemanfaatan yang sesuai dengan kesepatan bersama dengan peran pemerintah sebagai regulator lebih dominan. Pola Pengelolaan Rawa Campuran Rawa campuran mendapat air dari keluaran air rawa tadah hujan dan pada musim hujan mendapat air dari limpahan Sungai Batanghari Air Padang, sehingga masa tergenang lebih pendek. Musim hujan dimanfaatkan untuk areal perikanan tangkap sedangkan pada musim kemarau menjadi padang gembala kerbau. Beberapa alur anak sungai dijadikan alur transportasi air saat musim hujan. Sebagian besara areal rawa termodifikasi hanya ditumbuhi beberapa jenis rumput. Pemukiman sekitar rawa relatif padat, sehingga ekosistem rawa rentan terhadap pencemaran dan perubahan. Peran ekosistem rawa terhadap mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakat sekitar rendah. Kegiatan yang dominan di areal rawa adalah peternakan kerbau rawa, sebagian kecil area dijadikan sawah pada musim kemarau. Kepemilikan area yang dekat pemukiman sudah ada pemilik yang jelas sedangkan bagian rawa yang lebih dalam bersifat milik bersama. Selain sebagai areal perikanan tangkap pada musim hujan, rawa diarahkan sebagai kawasan gembala ternak dan perlu peningkatan efisiensi pemanfaatan air dengan menyediakan lebung dan penyerasian pola tanam dengan daur banjir. Pola pengelolaan rawa campuran diarahkan untuk mempertahankan daur hidrologi sebagai penyangga air tanah supaya tetap mendukung kehidupan rumputan saat musim kemarau. Lembaga pengelolaan dibentuk untuk m erancang dan memantau pengalokasian sumber daya terutama padang gembala sesuai dengan kesepakatan pemangku kepentingan, dengan meningkatkan peran pemerintah sebagai regulator. POLA UMUM PENGELOLAAN RAWA LEBAK Pola pengelolaan rawa merupakan kebijakan jangka panjang yang memberi manfaat kepada semua pemangku kepentingan, baik untuk saat ini maupun mendatang. Tingkat pemanfaatan rawa diharapkan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan tindakan konservasi. Pembagian tipe rawa, pemanfaatannya dan pola pengelolaan masing-masing tipe rawa digambarkan pada Gambar 2.
65
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 59-67
Gambar 2.Skema tipologi, pola pemanfaatan dan pola pengelolaan pada tiap tipe rawa Figure 2. Map of three types of swamp with its landuse and management scheme Pola pengelolaan tergantung pada musim sehingga ekosistem rawa akan terkelola dengan baik dan menjadi habitat yang produktif bagi ikan serta dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Namun bila terjadi degradasi dapat merugikan baik penduduk maupun biota endemik di ekosistem rawa.
PERSANTUNAN Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana beasiswa pendidikan doktor dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. DAFTAR PUSTAKA
KESIMPULAN Pola pengelolaan rawa lebak Kecam atan Pampangan dibedakan menjadi tiga tipe pengelolaan. Pengelolaan rawa banjiran dengan nilai analisis keterkaitan faktor internal dan eksternal dengan skor 68 dapat diarahkan pada penyeimbangan produktivitas alami dengan tingkat eksploitasi serta kesetaraan antar pengguna petani, nelayan dan peternak. Pada rawa tadah hujan (nilai 104) diarahkan pada mempertahankan kekhasan ekosistem dengan pemafaatan bagi sektor perikanan, pertanian dan peternakan tanpa mengubah tata air, vegetasi dan habitat satwa liar. Pada rawa campuran (nilai 45) diarahkan pada peningkatan efisiensi pemanfaatan air dengan menyediakan lebung dan penyerasian pola tanam dengan daur banjir.
66
Hoggarth, D. D., M. F. Sukadi, A. S.Sarnita, S. Koeshendrajana, N. A. Wahyudi, E. S. Kartamihardja, A. Poernomo, M. S. Anggraeni, A. K. Gaffar, Ondara, Samuel, M. A. Thomas, Murniyati & K. Purnomo. 2000. Kriteria Seleksi dan Panduan Pengelolaan Bersama Suaka Penangkapan Perikanan Sungai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Muthmainnah, D., A.K. Gaffar & N.N. Wiadnyana. 2011. Langkah Pengelolaan Perikanan Perairan Umum Provinsi Riau. Dalam Perikanan dan Kondisi Lingkungan Sumber Daya Ikan Perairan Umum Daratan Riau. Editor: N.N. Wiadnyana, A.K. Gaffar & Husnah. BPPPU. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan. Badan Litbang KP. Kementerian Kelautan dan
Pengelolaan Rawa Lebak Berbasis ........ Budaya untuk Pemanfaatan Berkelanjutan (Muthmainnah, D., et al)
Perikanan. Bee Publishing. Palembang. ISBN.978-602-8380-06-5. p .321-336. Muthmainnah, D., Z. Dahlan, R. H. Susanto, A. K. Gaffar & D. P. Priadi. 2012a. The Distribution of Fishes in Lebak Pampangan Swamp South Sumatra Province. Presented in 1st International Seminar Indonesian Ichthyological Society, The Faculty of Marine Science and Fisheries, Hasanuddin University and Indonesian Ichthyological Society. Makasar, 12-13th June 2012. 13 p. Muthmainnah, D., Z. Dahlan, R. H. Susanto, A. K. Gaffar & D. P.Priadi. 2012b. Utilization of Lowlands Swamp for Rice Field in Accordance with Fisheries and Animal Husbandry (Case Study in Pampangan, South Sumatra Province, Indonesia). Presented in International W orkshop on Sustainable Management of Lowland for Rice Production. Indonesian Agency for Agricultural Research and Development. Banjarmasin, 27-28th September 2012. 11 p.
Smith, R.D. 1993. A Conceptual Framework for Assessing the Function of Wetlands. US Army Corps of Engineers. Waterways Experiment Station. Wetland Research Program Technical Report WRP-DE-3. Vicksburg. Miss. 28 p. Susanto, R.H. & D. Muthmainnah. 2010. Water Bufflow and Inland Fisheries Ecosystem as an Integrated Lowland Managem ent Unit in Lights of Environmental and Climate Change Perspectives. Main Paper. In Proceeding International Conference on Indonesian Inland Waters II. BRPPU. Palembang. ISBN 978-602-95862-2-0. p. 75-86. Walmsley, S. F., C. A. Howard & P. A. Medley. 2005. Participatory Fish Stock Assessment. Parfish. Guidelines. London: MRAG. Widjaja-Adhi, I.P.G., D.A. Suriadikarta, M.T. Sutriadi, I.G.M. Subiksa & I.W. Suastika. 2000. Pengelolaan, Pemanfaatan dan Pengembangan Lahan Rawa. Dalam A. Adimihardjono (eds.). Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Puslittanak. Bogor. p. 127-164.
67
Karakteristik Sumberdaya Ikan dan ……..ke Pantai Barat Sumatera (Husnah & Wibowo, A)
KARAKTERISTIK SUMBERDAYA IKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN PERAIRAN SUNGAI YANG BERMUARA KE PANTAI BARAT SUMATERA FISH RESOURCES CHARACTERISTICS AND FISHERIES MANAGEMENT STRATEGY OF THE RIVERS FLOW THROUGH THE WESTERN COAST OF SUMATERA Husnah dan Arief Wibowo Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Teregistrasi I tanggal: 30 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 1 November 2012; Disetujui terbit tanggal: 2 November 2012
ABSTRAK Karakteristik sumberdaya ikan merupakan komponen yang diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya ikan karena komponen tersebut akan menentukan alokasi pemanfaatan sumberdaya ikan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan di laut maupun perairan umum. Informasi karakteristik sumberdaya ikan dan pengelolaan sungai yang bermuara ke pantai barat sumatera seperti Sungai Manna dan Semangka sangat terbatas. Informasi masyarakat mengindikasikan telah terjadi penurunan hasil tangkapan ikan. Tulisan ini memaparkan karakteristik dan pengelolaan sumberdaya ikan di Sungai Mana dan Semangka yang merupakan hasil kegiatan penelitian pada tahun 2011. Sungai Manna dan Semangka dicirikan dengan keragaman jenis habitat, jenis ikan yang relatif rendah dan sifat kegiatan perikanan yang sambilan, namun pada umumnya memiliki ikan ekonomis penting seperti ikan Semah (Tor sp) dan Sidat (Anguilla sp). Selain pembukaan lahan di bagian hulu, tekanan terhadap kedua populasi ikan tersebut lebih banyak disebabkan oleh kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan seperti strum dan racum yang diaplikasikan pada lubuk sungai yang merupakan habit induk ikan semah dan sidat. Upaya pengelolaan terhadap sumberdaya ikan di kedua sungai tersebut telah ada berupa sosialisasi tentang larangan penangkapan ikan dengan alat kurang ramah lingkungan. Namun upaya pengawasan dan implementasi sanksi hukuman terhadap pelangggaran peraturan tersebut belum dilaksanakan. Pengelolaan sumberdaya ikan dan perikanan di kedua sungai tersebut didasarkan pada prinsip keterpaduan dan tanggung jawab yang lebih difokuskan pada pengelolaan habitat dan populasi jenis ikan ekonomis tertentu seperti Ikan Semah dan Ikan Sidat. Beberapa alternatif strategi pengelolaan yang diperlukan diantaranya adalah pembentukan konservasi in situ berupa suaka perikanan pada beberapa lubuk (lubuk larangan) khususnya pada lokasi banyak ditemukannya benih dan induk ikan seperti di Air Tenam di hulu Sungai Manna dan Suoh di Sungai Semangka. Alternatif pengelolaan lainnya adalah peningkatan produksi ikan Semah melalui restocking induk ataupun benih KATAKUNCI: Sumberdaya ikan, perikanan, pengelolaan, Sungai Manna, Sungai Semangka ABSTRACT: Fisheries management practices such as allocation of fish resources utilization and permitted total fish catch in marine and inland waters relate to the characteristic of fish resources. Geomorphplogical condition as well as fish resources and fisheries of rivers flow through to the western Sumatra estuary such as Manna River and Semangka River are different from the rivers flow through to eastern Sumatra estuary. Information on characteristic and management of fish resources in these rivers is limited while there is indication declining fish catch in these rivers. This paper discribed characteristic and management of Manna and Semangka rivers based on a study conducted in 2011. Rivers flow through to the western part of Sumatra estuary are characterized by constrained shape rivers, low habitat and fish diversity, low fish yield, subsistence fisheries and with two important economical fish such as carps (Tor sp) and eels (Anguilla sp). In addition to forest clearance at the upper stream, population of these fish were mostly threaten by illegal fishing such us application of electro fishing and poison. Desimination of about prohibition operation of unfriendly fishing gears has been conducted by the local government, however it does not followed by implementing the law enforcement. The fisheries management of Manna and Semangka rivers should be based on the integration and responsible principle and should be focused on the habitat and population of the two economical fish. The alternative fisheries management strategies are in situ conservation such as establishment of fisheries reserves situated at the river pools specially the site area with abundant fish fries and fish brooders such as in Air Tenam Manna River and Suoh in Semangka River. Enhancing of fish stock
___________________ Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Jl. Beringin No. 08 Mariana, Palembang - Sumatera Selatan
69
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 69-78 through restocking fish at fry and brooder size is other management strategy which could be applied in such rivers. KEYWORDS: Fish resources, fisheries management, Manna River, Semangka River
PENDAHULUAN Sum berdaya ikan dikelompokan sebagai sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable), namun bila pemanfaatan dan pengelolaannya dilakukan secara tidak rasional dalam jangka panjang sumberdaya ikan tersebut dikhawatirkan dapat punah. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No. 31 Tahun 2004, pengelolaan perikanan merupakan semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Potensi produksi dan karakteristik sumberdaya ikan merupakan komponen yang diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya ikan karena kedua komponen tersebut akan menentukan alokasi pemanfaatan sumberdaya ikan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan baik laut maupun perairan umum (UU RI No. 31 Tahun 2004 Pasal & Ayat 1 dan 2.) Karakteristik sumberdaya ikan perairan umum di Indonesia sangat erat kaitannya dengan proses geologi dan keberadaan tiga wilayah paparan yaitu paparan Sunda, Wallacea, dan Sahul. Adanya subduksi dan tabrakan lempeng tektonik yang komplek serta isolasi di Indonesia bagian timur mempengaruhi keragaman jenis dan endemiksitas ikan yang tinggi di wilayah ini dibandingkan dengan paparan Sunda. Sungai Manna dan Semangka merupakan bagian dari sungai-sungai di Pulau Sumatera yang bermuara ke pantai Barat Sumatera atau ke Samudra Hindia. Pada umumnya sungai-sungai yang bermuara ke pantai barat memiliki karakteristik geomorfologi yang relatif sama dengan sungai yang berada di paparan Wallacea dan Sahul yaitu tergolong sempit, kecil, pendek, sinusitas rendah, ordo rendah dan curam (Husnah, 2011). Sedangkan karakteristik geomorfologi sungai-sungai yang bermuara ke pantai timur Sumatera atau ke laut China Selatan dicirikan oleh sungai yang panjang, ordo tinggi, sinusitas tinggi dan relatif landai. Perbedaan karakteristik geomorfologi tersebut mempengaruhi karakteristik sumberdaya ikan.
70
Studi dan informasi karakterisik sumberdaya ikan dan strategi pengelolaan perikanan pada perairan sungai yang bermuara ke pantai timur telah banyak dilakukan (Kartamihardja et al., 2009; Muthmainnah et al., 2011; Nasution & Prianto, 2011; Nasution & Sunarno, 2009; Prianto et al., 2010; Wiadyana & Husnah, 2011), sedangkan pada sungai bermuara ke pantai barat informasi tersebut masih sangat terbatas, bahkan pada sungai Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan data statistik sumberdaya ikan di perairan umum belum tersedia (Husnah et al., 2011). Namun berdasarkan komunikasi personal dengan masyarakat dan staf dinas perikanan setempat mengindikasikan terdapatnya dua jenis ikan ekonomis pada kedua sungai tersebut yaitu ikan semah (Tor sp) dan ikan sidat. (Anguilla sp) yang telah mengalami penurunan populasi. Upaya yang dilakukan untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan di kedua sungai tersebut masih terbatas pada pelarangan penggunaan alat-alat tangkap yang kurang ramah lingkungan berdasarkan peraturan perikanan, sedangkan upaya lain untuk menjaga keberlanjutan populasi ikan khususnya ikan-ikan ekonomis penting seperti Ikan Semah dan Ikan Sidat belum banyak dilakukan. Makalah ini akan memaparkan karakteristik lingkungan dan sumberdaya ikan serta strategi pengelolaan perikanan di Sungai Manna, Bengkulu Selatan dan Sungai Semangka, Lampung berdasarkan hasil studi pustaka dan penelitian pada tahun 2011. Stategi pengelolaan dilakukan secara terintegrasi berdasarkan pendekatan habitat ikan sidat dan semah KARAKTERISTIK LINGKUNGAN SUNGAI MANNA DAN SEMANGKA Sungai Manna dan Sungai Semangka terletak di sepanjang kawasan bukit barisan. Pada bagian tengah Sungai Manna merupakan Taman Wisata Alam Lubuk Tapi-Kayu ajaran, sedangkan hulu hingga tengah Sungai Semangka merupakan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Gambar 1&2). Pemanfaatan lahan di sepanjang kedua sungai tersebut (Gambar 1 dan 2) didominasi oleh kegiatan hutan lindung dan tanaman produksi, perkebunan, persawahan, dan sebagian kecil untuk pemukiman (BAPPEDA Kabupaten Bengkulu Selatan, 2010; BPS Kabupaten Tanggamus, 2010).
Karakteristik Sumberdaya Ikan dan ……..ke Pantai Barat Sumatera (Husnah & Wibowo, A)
Gambar 1. Pemanfaatan lahan di sepanjang Sungai Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan (Sumber: BAPPEDA Kabupaten Bengklulu Selatan, 2011) Figure1. Landuse along Manna river, South of Bengkulu Province (BAPPEDA Kabupaten Bengklulu Selatan, 2011).
Gambar 2. Pola pemanfaatan lahan di sepanjang Sungai Semangka, Provinsi Lampung (Sumber.BAPPEDA Pemprov Lampung tahun 2011 Figure 2. Landuse along Semangka river, Lampung Province (BAPPEDA Pemprov Lampung tahun 2011)
71
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 69-78
Modifikasi lingkungan yang terjadi di sepanjang Sungai Manna berupa pembukaan lahan baik untuk perkebunan ataupun penebangan liar. Sedangkan di sepanjang Sungai Semangka, modifikasi lingkungan selain berupa pembukaan lahan untuk perkebunan, tambang emas ataupun persawahan juga pengalihan massa air untuk keperluan irigasi. Penambahan bahan-bahan antopogenik ke dalam perairan di Sungai Manna sebagian besar dari aktivitas domestik berupa limbah rumah tangga dan limbah industri kecil seperti (tahu dan tempe), pencucian kendaraan dan lembah B-3 berupa oli (BLHD Kabupaten Bengkulu Selatan, 2010). Limbah pertanian dan perkebunan seperti pestisida, herbisida ataupun pupuk dapat juga memberikan kontribusi terhadap pencemaran yang ada di Sungai Manna. Kondisi serupa juga diperkirakan terjadi di Sungai Semangka. Selain limbah tersebut di atas limbah aktivitas penambangan emas di hulu Sungai Semung dapat mempengaruhi Kualitas fisik dan kimia perairan di sepanjang Sungai Manna dan Semangka menunjukkan pola yang hampir sama. Kecuali jumlah padatan tersuspensi dan total fosfor, hampir semua parameter fisik dan kimia masih dalam batas yang yang ditetapkan dalam baku mutu kualitas air kelas I hingga IV (Husnah et al., 2011) Hasil analisa terhadap tingkat tekanan lingkungan perairan di Sungai Manna dan Semangka dengan menggunakan pendekatan metode storage and retrieval of water quality data system (STORET) menunjukkan lingkungan perairan di Sungai Manna dan Semangka bagian hulu dan tengah tergolong tercemar ringan untuk peruntukan baku mutua air kelas III dan IV dengan skor kurang dari 5 baik secara fisika, kimia dan biologi. Kandungan TSS lebih dari 400 mg/L serta kandungan total fosfor memberikan kontribusi yang besar terhadap penurunan kualitas air di Sungai Manna. Tingginya kandungan kedua parameter tersebut berkaitan dengan limpasan air dari lahan teresterial di sepanjang Sungai Manna pada saat musim hujan yaitu pada bulan Juni 2011 (Husnah et al., 2011). Tingkat tekanan lingkungan perairan di Sungai Semangka lebih tinggi daripada di Sungai Manna. Tingkat pencemaran cenderung meningkat dari stasiun Muara Sungai Semung (Desa Sudimoro) hingga ke Muara Sungai Semangka. Nilai (skor) STORET untuk parameter fisika <4 sedangkan untuk parameter kimia dan biologi masing-masing pada kisaran 8-10 dan 830. Secara fisika dan kimia, perairan Sungai Semangka tergolong tercemar ringan namun secara biologi tergolong tercemar sedang bahkan untuk stasiun Banjar Negara dan Muara Semangka sudah
72
mendekati batas bawah nilai skor STORET tercemar berat. Kandungan TSS yang meningkat dari stasiun Sudimoro hingga Muara Semangka dengan kandungan lebih dari 800 mg/L memberikan kontribusi besar terhadap skor STORET parameter fisika, sedangkan tingginya kandungan fosfor total pada semua stasiun di Sungai Semangka memberikan kontribusi besar terhadap Skor STORET parameter kimia. Keberadaan makrozoobenthos dari Famili Tubificidae dan Chironomidae yang toleran terhadap pencemaran memberikan kontribusi besar terhadap besarnya nilai Skor STORET parameter biologi. Berdasarkan hasil uji STORET di Sungai Manna dan Semangka, tekanan lingkungan di kedua sungai tersebut diakibatkan oleh pasokan TSS dan fosfor. Tingginya kandungan TSS khususnya pada saat setelah hujan mengindikasikan adanya deposisi partikel tersuspensi yang berasal dari lahan terbuka di bagian hulu sungai. Kandungan fosfor yang melewati ambang atas baku mutu peruntukan air semua kelas diperkirakan berkaitan dengan pasokan dari limbah pertanian, perkebunan dan limbah domestik. DINAMIKA SUMBERDAYA IKAN DI SUNGAI MANNA DAN SEMANGKA Data dan informasi hasil perikanan tangkap di perairan umum daratan sampai saat ini belum tercatat dalam statistik perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bengkulu Selatan. Hal ini disebabkan sebagian besar kegiatan penangkapan ikan di perairan umum khususnya di perairan Sungai Manna bersifat sambilan. Kegiatan penangkapan ikan pada umumnya dilakukan bersamaan dengan kegiatan mandi di sungai. Pada beberapa tempat kegiatan penangkapan dilakukan secara berkelompok dengan jumlah 4-6 orang khususnya untuk penangkapan ikan Semah (Tor sp) pada bagian lubuk sungai pada musim kemarau dengan menggunakan jala berdiameter 4 m yang dikombinasikan dengan penggunaan racun (potas). Alat tangkap lainnya yang digunakan bervariasi seperti jala, jaring, pancing, tombak bahkan alat tangkap ikan yang dilarang yaitu strum. Hasil tangkapan per upaya perhari bervariasi antara jenis alat tangkap, waktu dan lokasi penangkapan. Alat tangkap jala, jaring, dan pancing dioperasikan hampir sepanjang tahun dengan hasil tangkapan bervariasi antara 1.0-4 kg/nelayan/hari. Hasil tangkapan yang besar dengan kisaran 6.0-9.0 kg/ nelayan/hari didapatkan dari alat tangkap tombak. Alat ini ditujukan pada umumnya dioperasikan pada saat
Karakteristik Sumberdaya Ikan dan ……..ke Pantai Barat Sumatera (Husnah & Wibowo, A)
air jernih dan ditujukan untuk menangkap Ikan Semah dan Ikan Sidat (Anguilla sp) (Husnah, 2012).
Pulau Timun. Hal ini didukung oleh adanya nelayan penjual benih Ikan Semah di Desa Air Tenam.
Jenis ikan yang ditemukan di sepanjang Sungai Manna lebih dari 50 spesies. Pada bagian tengah dan hilir Sungai Manna seperti di Desa Tanjung Kurung, hasil tangkapan ikan didominasi oleh ikan introduksi seperti ikan Nila dan ikan muara seperti Ikan Arau dan Sembubur (Sebubur). Besarnya komposisi Ikan Nila yang tertangkap di Desa Tanjung Kurung dan Du Ayu berkaitan dengan kesesuaian habitat ikan tersebut dan diduga berkaitan dengan terlepasnya Ikan Nila budidaya dan hasil penebaran yang dilakukan sebelumnya. Pada umumnya ikan Semah ditemukan dari bagian hulu yang dimulai dari Desa Tanjung Sakti, Kabupaten Pagar Alam (Sumatera Selatan) hingga ke Tanjung Kurung. Pada bagian hilir (mendekati muara sungai) yaitu di Desa Du Ayu, Ikan Semah jarang didapatkan dalam hasil tangkapan nelayan.
Pada umumnya Ikan Semah dan Sidat berukuran besar (lebih dari 200 gr) ditemukan pada perairan sungai Manna yang masih memiliki habitat yang dalam yang dimulai dari desa Air Tenam, Kabupaten Pagar Alam Sumatera Selatan hingga Desa Tanjung Kurung, Kabupaten Bengkulu Selatan. Fenomena ini menunjukkan bahwa Ikan Semah diperkirakan memijah pada perairan disekitar Desa Air Tenam. Penggunaan alat strum untuk menangkap ikan yang dilakukan secara ilegal oleh masyarakat dari hulu hingga hilir diperkirakan akan mempengaruhi keberlanjutan ketersedian stok ikan-ikan ekonomis tersebut. Dari wawancara dengan masyarakat di sepanjang Sungai Manna ada indikasi bahwa ukuran ikan khususnya Ikan Semah telah mengalami penurunan baik dari kuantitas maupun kualitas. Pada sat ini sangat sulit untuk mendapat ikan Semah berukuran lebih dari 2 kg. Penurunan kuantitas dan kualitas Ikan Semah tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh kegiatan perikanan tangkap yang tidak ramah lingkungan dibandingkan dengan tekanan dari lingkungan daratan. Hal ini didukung oleh data kualitas Sungai Manna secara fisik dan kimia masih tergolong baik kecuali fosfor total dan TSS yang sedikit lebih tinggi pada beberapa stasiun.
Pada umumnya ukuran rata-rata berat ikan yang tertangkap di Sungai Manna berukuran relatif lebih kecil dengan kisaran berat antara 18,19-2750 gram (Gambar 3). Ikan Semah dan Pelus (Sidat) berukuran kecil hampir dtemukan di sepanjang Sungai Manna dari Desa Tanjung Sakti hingga Desa Tanjung Kurung. Namun Ikan Semah berukuran larva dan benih lebih banyak didapatkan di Desa Air Tenam hingga Desa
Palau
Sidat
Ku ru ng
ng
Pu di ng Ta nj u
rT en am Pu la u Ti m un M er am bu ng Ko ta Bu m i Ai rU m ba n
1000 800 600 400 200 0
Ai
Rata-rata dan Standar deviasi (gr)
Semah
Lokasi di Sungai Manna (hulu-hilir)
Gambar 3. Ukuran rata-rata dan standard deviasi Ikan Semah (Tor sp), Ikan Palau (Osteochilus hasselti), dan Ikan Sidat (Anguilla sp) pada berbagai lokasi di sepanjang Sungai Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan. Ukuran Rata-rata Ikan Sidat di Desa Puding dikalikan dengan 10. Figure 3. Mean and standard deviation of carp (Tor sp), (Osteochilus hasselti), eel (Anguilla sp) of Manna rivers, South Bengkulu regency. For eel, value in Puding sites multiple with ten.
73
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 69-78
Kondisi sumberdaya ikan di Sungai Semangka baik yang melintas di Kabupaten Lampung Barat taupun Kabupaten Tanggamus, provinsi Lampung relatif lebih rendah dibandingkan dengan Sungai Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan. Hasil tangkapan harian per nelayan rata-rata kurang dari 2 kg/nelayan/hari sedangkan hasil tangkapan per alat per jam kurang dari 0.5 kg/alat/hari (Husnah et al, 2011). Yang relatif lebih rendah. Hasil tangkapan di Sungai Semangka berkaitan dengan kondisi habitat dan kualitas air. Walawpun Sungai Semangka terletak di bagian lembah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, namun kondisi tumbuhan sempadan sungai relatif lebih terbuka dibandingkan dengan di Sungai Manna. Terbukanya lahan pada bagian hulu Sungai Semangka seperti di Sungai Tipon diindikasikan dengan tingginya kandungan jumlah padatan tersuspensi di dalam air. Hal ini mempengaruhi kehidupan ikan. Seperti halnya dengan di Sungai Manna, jenis ikan di Sungai Semangka terdiri atas 47 spesies yang didominasi oleh kelompok ikan Gobiidae sedangkan berdasarkan berat didominasi oleh jenis Ikan Palau, Tawes, dan Semah. Ikan Semah lebih banyak tertangkap di bagian hulu Sungai Semangka yaitu dari sumber air (S. Tipon) hingga ke Sungai Semangka bagian tengah (Tabak) yang terletak di Kabupaten Lampung Barat. Jenis Ikan Semah yang tertangkap terdiri atas tiga jenis yaitu Tor soro, T. tambra dan T. tombroides. Rata-rata ukuran berat Ikan Semah yang
tertangkap nelayan yang menggunakan berbagai alat tangkap adalah kurang dari 400 gram (Gambar 4). Pada Sungai Semangka bagian tengah hingga hilir, yang terletak di Kabupaten Tanggamus, ikan Semah sudah jarang tertangkap, namun jenis ikan ekonomis lainnya yang sering tertangkap adalah ikan Sidat. Jenis ikan Sidat ditemukan di Sungai semangka bagian hilir termasuk jenis Anguilla nebulosa dan Anguilla marmorata. Pada umumnya ikan yang tertangkap di Sungai semangka bagian hilir termasuk ikan rheophilic berukuran kecil yang hidup di air deras. Hasil wawancara dengan nelayan di sepanjang Sungai Semangka mengindikasikan terjadinya penurunan jumlah dan ukuran jenis ikan ekonomis seperti Ikan Semah dan Sidat. Penurunan jumlah dan ukuran kedua jenis ikan ekonomis tersebut berkaitan dengan perubahan tata guna lahan dan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti strum baik di Sungai Semangka di Kabupaten Lampung Barat maupun di Kabupaten Tanggamus. Selain kegiatan penangkapan yang tidak ramah lingkungan, adanya kegiatan budidaya ikan yang ditebar di sawah atau kolam serta penebaran jenis ikan introduksi seperti Ikan Nila, Lele dan Ikan Mas dapat mempengaruhi keberlanjutan jenis ikan asli di Sungai Semangka. Ketiga jenis ikan introduksi tersebut telah ditemukan dalam hasil tangkapan nelayan khususnya di Sungai Semangka pada bagian hulu yaitu di Sungai Tipon (Gambar 5).
CPUE (kg/nelayan/hari) 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50
CPUE (kg/alat/jam)
4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
Juni
Juli
BubuJala
Pancing
JaringStrumBubu
Agustus
Pancing
Bubu
Melebui
S. Tippon Karang Rejo Tabak
S. Tippon
S. Tippon
Tabak
Suoh
S. Tippon Karang Rejo Sebatuan
Krang
kp.sawah
Bumian
Melebui
Pancing
S. Tippon Karang Rejo
JalaBubu
Kerang
Pancing
S. Tippon Karang Rejo Tabak
S. Tippon
Tabak
0.00 Kerang
CPUE (kg/nelayan/hari)
CPUE (kg/alat/jam)
September
Bulan, Alat tangkap, Stasiun
Gambar 4. Hasil tangkapan per upaya (CPUE) berdasarkan stasiun dan waktu pengamatan serta jenis alat tangkap yang digunakan di Sungai Semangka, Provinsi Lampung tahun 2011 Figure 4. Catch per Unit of Effort(CPUE) based on sites, time of observation and type of fishing gears operated in Semangka river, Lampung Province, 2011
74
Karakteristik Sumberdaya Ikan dan ……..ke Pantai Barat Sumatera (Husnah & Wibowo, A)
Juli
Agustus
September
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 palau wader siran siran libbak seluang siran siran siran belut betuk libbak palau seluang siran kepiting libbak palau Seluang Siran libbak nila palau seluang siran ubbak libbak palau seluang siran palau siran tawes hitu ikan libbak nipis palau seluang sillan siran
Komposisi (% berat)
Juni
Pancing Tabak
Pancing
jala Pancing
Pancing
BumianSebatuan Melebui Kp. saw ah
Pancing Kerang
Pancing
jala
Jaring
Strum
tippon
Gambar 5. Komposisi ukuran (% berat) jenis ikan tertangkap dengan berbagai alat tangkap, stasiun dan waktu pengamatan di Sungai Semangka, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung 2011. Figure 5. Fish composition (% weight) based on fish species, fishing gears, sites, and time of observation in Semangka rivers, West Lampung, Lampung Province STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN Upaya pengelolaan sumberdaya perairan dan perikanan di perairan sungai yang bermuara ke pantai barat Sumatera seperti Sungai Manna dan Semangka seperti halnya dengan sungai yang bermuara ke pantai timur, tidak saja didasarkan pada UU No. 7, 2004 jo no. 45 tahun 2009 tentang sumberdaya air namun didasarkan juga Undang-Undang No 31 tahun 2004 tentang pengelolaan perikanan, dan peraturan perundangan lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Pola pengelolaan perikanan didasarkan pada prinsip keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan yang mencakup empat aspek yaitu: (1) keterpaduan wilayah/ekologis; (2) keterpaduan sektor; (3) keterpaduan ilmu; dan (4) keterpaduan pemangku kepentingan (Wiadyana & Husnah, 2011) dan prinsip pengelolaan yang bertanggungjawab (Kartamiharja et al., 2009). Pola pengelolaan sumberdaya ikan dan perikanan untuk sungai yang bermuara ke pantai barat Sumatera seperti Sungai Manna dan Sungai Semangka berbeda dengan perairan sungai bermuara ke pantai timur Sumatera. Hal ini berkaitan dengan karakteristik habitat, sumberdaya ikan dan kegiatan perikanan. Pada sungai yang bermuara ke pantai timur dengan bentuk perairan sungai yang umumnya berkelok kelok (meander) dan memiliki wilayah rawa banjiran, pengelolaan sumberdaya ikan dan perikanan lebih kompleks mengingat beragamnya habitat, jenis ikan dan sifat kegiatan perikanan yang utama. Pada
perairan sungai yang bermuara ke pantai barat Sumatera dengan bentuk sungai yang lurus (constrained) yang dicirikan relatif lebih rendahnya keragaman jenis habitat, jenis ikan dan sifat kegiatan perikanan yang sambilan. Oleh karena itu prinsip keterpaduan dan tanggung jawab lebih difokuskan pada konservasi habitat dan jenis ikan ekonomis tertentu seperti Ikan Semah dan Ikan Sidat. Pengelolaan sumberdaya ikan secara terpadu perlu diperhatikan khususnya di perairan Sungai Manna. Secara administrasi, aliran Sungai Manna tergolong sungai lintas provinsi dengan sumber air berasal dari Kabupaten Pagar Alam provinsi Sumatera Selatan dan bagian tengah dan hilirnya terletak di Kabupaten Bengkulu Selatan provinsi Bengkulu. Prinsip keterpaduan pengelolaan secara wilayah juga perlu dilakukan untuk Sungai Semangka mengingat aliran sungai ini berada di dua kabupaten yaitu bagian hulu dan tengah berada di Kabupaten Lampung Barat dan bagian hilir berada di wilayah Kabupaten Tanggamus, provinsi Lampung. Berdasarkan UndangUndang No. 7 tahun 2004 pasal 14, wewenang dan tanggung jawab pengelolaan wilayah sungai lintas provinsi tersebut dilakukan oleh pemerintah. Namun demikian pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota dalam menetapkan pengelolaan sungai di wilayahnya harus mengacu pada kebijakan nasional pengelolaan sumberdaya air seperti tertera pada pasal 15 dan 16 Undang-Undang No 7 tahun 2004 tersebut (Wiadyana & Husnah, 2011). Walaupun kualitas lingkungan perairan Sungai Manna dan Semangka masih tergolong tercemar ringan, namun tingginya pasokan
75
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 69-78
partikel tersuspensi dan fosfor pada musim hujan yang berasal dari limpasan air persawahan dan perkebunan di bagian hulu perlu mendapatkan perhatian. Hal ini berkaitan dengan keberlanjutan penyediaan habitat dan populasi ikan Semah dan Sidat yang merupakan ikan ekonomis di kedua sungai ini. Pengelolaan perikanan khususnya terhadap stok ikan Semah dan Sidat tidak hanya menjadi tanggung jawab sektor Perikanan secara vertikal, namun juga melibatkan sektor lain (horizontal) yang memanfaatkan sumberdaya alam dan air di sepanjang sungai Manna dan Semangka. Secara vertikal, strategi pengelolaan sumberdaya ikan dan perikanan khususnya sumberdaya ikan Semah dan Sidat yang dapat diaplikasikan diantaranya adalah: (1) Menyediakan beberapa suaka perikanan sungai di beberapa lokasi sungai yang dalam (lubuk), (2) Menyusun peraturan tentang pelarangan penangkapan ikan pada lokasi suaka perikanan (lubuk larangan) pada waktu-waktu tertentu, (3) Meningkatkan pengawasan dan pemberian sangsi hukum terhadap penggunaan jenis dan cara operasi alat-alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti pengunaan racun potas, jala berukuran besar dengan tek nik penggiringan, serta strum di lubuk-lubuk sungai dan di sepanjang badan sungai, (4) Penyediaan indukinduk Ikan Semah untuk kegiatan pembenihan secara massal untuk mendukung restocking, (5) Penyiapan panti-panti benih Ikan Semah skala rumah tangga, dan (6) larangan penebaran ikan-ikan introduksi seperti Ikan Nila dan Ikan Mas di sepanjang kedua sungai yang diperkirakan dapat mempengaruhi Ikan asli sungai Manna yang memiliki relung makanan yang sama seperti Ikan Palau. Sampai saat ini, konservasi in situ melalui penyedian lubuk-lubuk larangan di sepanjang Sungai Manna dan Semangka belum dilakukan. Pemilihan lokasi konservasi in situ (suaka perikanan) didasarkan pada beberapa kriteria seperti ketersedian struktur pelingkup (covering structure), struktur penjerat, struktur penghambat, sumberdaya habitat pakan bagi organisma akuatik, aliran air dalam jumlah berarti, struktur peneduh, dan potensi air sebagai media hidup. Seluruh kriteria suaka perikanan tersebut tersedia di sepanjang Sungai Manna dan Semangka di antaranya lubuk yang dalam, celah antara batuan berukuran besar, perifiton, kondisi tumbuhan sempadan (riparian vegetation yang lebih dari 15 m), kondisi perairan yang tidak kering pada musim kemarau, dan kualitas perairan yang masih baik, dan melimpahnya organisma insekta. Terbentuknya suaka perikanan berupa lubuk larangan, penyusunan peraturan tentang pelarangan
76
penangkapan ikan pada waktu-waktu tertentu dan dengan alat tangkap tertentu perlu dilakukan. Penyusunan ini hendaknya melibatkan masyarakat sekitar lokasi lubuk larangan. Peraturan yang disusun dapat berupa kearifan lokal dimana masyarakat yang menyusun, mengawasi, dan menerapkan sangsi hukum ataupun melalui peraturan daerah (kabupaten ataupun provinsi) (Husnah, 2011). Keberhasilan pengelolaan sumberdaya dan perikanan di k edua sungai tersebut juga mem butuhk an dukungan sektor lain secara horizontal. Pembukaan lahan hutan untuk berbagai sektor seperti pertanian dan perkebunan pada bagian hulu sungai seperti di hulu Sungai Manna di Kabupaten Pagar Alam dan pemanfaatan lahan di sepanjang sempadan Sungai Semangka tersebut perlu berkoordinasi dengan sektor lain yang terkait. Sifat dan karakteristik perairan sungai yang unik dan spesifik baik karakteristik ekosistem dan sosial budaya disekitarnya, membutuhkan pendekatan berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu pengelolaan perairan sungai dilakukan secara holistik dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu esakta ataupun sosial (Wiadyana & Husnah, 2011). Dibandingkan dengan Sungai Manna, pengelolaan sumberdaya ikan dan perikanan di Sungai Semangka membutuhkan pendekatan berbagai disiplin ilmu pengelolaan. Hal ini berkaitan dengan beragamnya jenis pemanfaatan sumberdaya lahan dan perairan di sepanjang Sungai Semangka. Dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas penambangan galian C pada bagian hulu hingga hilir serta penambangan emas pada bagian tengah Sungai Semangka serta perkebunan dan persawahan di sepanjang Sungai Semangka membutuhkan kajian multi disiplin ilmu, sektor dan stakeholder. Mengingat wilayah Sungai Semangka adalah lintas kabupaten, maka wadah koordinasi kajian dampak dapat dilakukan dengan memberdayakan Dewan Sumberdaya Air Provinsi Lampung yang sudah terbentuk berdasarkan SK Gubernur Lampung No. G/ 492/III.10/HK/2011 dengan anggota berasal dari berbagai sektor. PENUTUP Perairan sungai yang bermuara ke pantai barat Sumatera seperti Sungai Manna dan Sungai Semangka memiliki karakteristik lingkungan yang spesifik dicirikan dengan bentuk sungai yang lurus (constrained) keragaman jenis habitat, jenis ikan yang relatif lebih rendah serta sifat kegiatan perikanan dan yang sambilan. Tekanan terhadap populasi ikan semah dan sidat lebih banyak disebabkan oleh kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan.
Karakteristik Sumberdaya Ikan dan ……..ke Pantai Barat Sumatera (Husnah & Wibowo, A)
Pengelolaan sumberdaya ikan dan perikanan di kedua sungai tersebut harus didasarkan pada prinsip keterpaduan dan tanggung jawab yang lebih difokuskan pada pengelolaan habitat dan jenis ikan ekonomis tertentu seperti Ikan Semah dan Ikan Sidat. Beberapa alternatif strategi pengelolaan yang diperlukan diantaranya adalah pembentukan konservasi in situ berupa suaka perikanan di beberapa lubuk (lubuk larangan) khususnya di lokasi banyak ditemukannya benih dan induk ikan seperti di Air Tenam di hulu Sungai Manna dan Suoh di Sungai Semangka. Alternatif pengelolaan lainnya dengan peningkatan produksi ikan Semah melalui restocking induk ataupun benih. Keberhasilan restocking Ikan Semah tersebut perlu didukung oleh teknologi pembenihan dan penyedian benih Ikan Semah secara masal.
Badan Pusat Statistik Bengkulu Selatan. 2010. Bengkulu Selatan dalam angka. Badan Pusat Statistik Bengkulu Selatan. Manna.
PERSANTUNAN
Kartamiharja, E.S. , K. Purnomo dan C. Umar. 2009. Sumberdaya ikan perairan umum daratan di Indonesia terabaikan. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia. 1( 1): 1-15.
Data dan informasi yang digunakan dalam makalah ini merupakan bagian dari data dan informasi hasil penelitian “Kajian Tingkat Degradasi Sungai Sumberdaya Perairan Dan Ikan Di Sungai Manna, Bengkulu Dan Sungai Semangka, Lampung” yang didanai oleh APBN tahun anggaran 2011. Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua nelayan, Staf dan Kepala Lingkup Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkulu Selatan, Badan Perencanaan Daerah Bengkulu Selatan, Badan Pengendalaian Lingkungan Hidup Kabupaten Bengkulu Selatan, Kepala Balai riset Perikanan Perairan Umum (BRPPU), seluruh Teknisi dan Peneliti BRPPU, Bapak Dr. Ahmad Institut Pertanian Bogor, dan Mahasiswa Universitas Islam OKI yang telah membantu dalam pengumpulan data tersebut. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Tanggamus. 2010. Tanggamus dalam angka. Kerjasama BPS dengan BAPPEDA Kabupaten Tangamus. Manna. 215 p. Badan Perencanaan Pem bangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Bengkulu Selatan. 2010. Profil Daerah Kabupaten Bengkulu Selatan. Manna. 56 p. Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD). 2010. Laporan Pemantauan kualitas air Kabupaten Bengkulu Selatan tahun 2010. Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kabupaten Bengkulu Selatan.
Husnah. 2011. Pengelolaan sumberdaya ikan di sungai manna, Kabupaten Bengkulu. Prosiding Forum Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan III. Bandung 18 Oktober 2011. Bandung. PR-02. p. 1-8. Husnah, A. Wibowo, N. Muflikhah, S. Kaban, Marson, Apriyadi, R. S. Juniarto, Rosidi dan Rusma. 2011. Tingkat degradasi sumberdaya perairan dan ikan di Sungai Manna, Bengkulu dan Sungai Semangka, lampung. Laporan Akhir Tahun Kegiatan Penelitian Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum. Palembang. 59 p.
Muthmainnah, D., A.K. Gaffar dan N.N. Wiadyana. 2011. Langkah pengelolaan perikanan perairan umum daratan provinsi Riau. Monograph Perikanan dan kondisi lingkungan sumberdaya ikan di perairan umum daratan Riau. Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum. Palembang. p.321-336. Nasution, Z. &M.T.D. Sunarno. 2009. Pengembangan model pengelolaan suaka perikanan di perairan umum daratan berbasis ko-manajemen. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia. 1(1): 17-29. Nasution, Z. & E. Prianto. 2011. Evaluasi manajemen kolaboratif kawasan cagar biosfir Giam Siak Kecil. Monograph Perikanan dan kondisi lingkungan sumberdaya ikan di perairan umum daratan Riau. Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum. Palembang. p.305-320. Prianto, E., S. Kaban, S. Aprianti dan R. Jhonnerie. 2010. Pengelolaan sumberdaya ikan di estuari Sungai Musi. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia. 2(1): 15-25. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63/PRT/1993 tentang garis sempadan sungai, daerah manfaat sungai, daerah penguasaan sungai dan bekas sungai. Undang-Undang Republik Indonesia No 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
77
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 69-78
Undang-undang Republik Indonesia No 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air. Whitten, A.J., S.J. Damanik., J. Anwar, dan N. Hisyam. The ecology of Sumatra. Gajah Mada University Press. Jogyakarta. 583 p.
78
W iadyana, N.N. dan Husnah. 2011. Upaya pengelolaan perairan Sungai Musi, Sumatera untuk keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan. Jurnal Kebijakan Perikanan Inndonesia. 3(1): 13-26.
Penilaian Kepadatan Populasi Ikan ........... Kepentingan Pengelolaan di Indonesia (Edrus, I.N)
PENILAIAN KEPADATAN POPULASI IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus Ruppell 1835) DALAM KAITANNYA DENGAN KEPENTINGAN PENGELOLAAN DI INDONESIA DENSITY VALUATION OF HUMPHEAD WRASSE FISH (Cheilinus undulatus Ruppell 1835) POPULATION IN TERMS OF MANAGEMENT PURPOSES IN INDONESIA Isa Nagib Edrus Balai Penelitian Perikanan Laut Teregistrasi I tanggal: 8 Februari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 5 November 2012; Disetujui terbit tanggal: 6 November 2012
ABSTRAK Penerapan regulasi pengelolaan ikan Napoleon memerlukan informasi lain seperti kriteria kepadatan populasi. Tulisan ini adalah sisntesa atas kriteria tersebut yang bermanfaat untuk menilai tingkat status populasi ikan ini di alam, sehingga dapat dijadikan pedoman dalam pengelolaannya. Hasil sintesa menunjukkan bahwa kriteria kepadatan dapat dibagi menjadi 5 kategori, yaitu 1). Status dalam kategori sangat kritis, dimana populasi dengan kepadatan sangat rendah (0–2 ekor/ha); 2). Status dalam kategori masih rentan dan mulai membaik, dimana populasi dengan kepadatan rendah (2,1 - 4 ekor/ha); 3). Status dalam kategori membaik, dimana populasi dengan kepadatan sedang 4,1- 6 ekor/ha; 4). Status dalam kategori mendekati normal, dimana populasi dengan kepadatan tinggi (6,1 –8 ekor/ha); dan 5). Status dalam kategori normal, dimana populasi dengan kepadatan sangat tinggi (8,1 – 10 ekor/ha). Kata Kunci: Ikan Napoleon, kriteria kepadatan, sintesa kebijakan ABSTRACT : Aplication of the management regulation for Humphead Wrasse fish depend on further information like population density criteria. This paper is a synthesis on the criteria being usefull to value some levels of the fish natural states in order to be a guidance for monitoring, fishing and conserving. The results show that density criteria may divide into five categories, such as 1. The population may be under at risk with lowest level of density (from 0 to 2 individual per hectar); 2. The population may be still in danger but in earliest renewal with low level of density (from 2,1 to 4 individual per hectar); 3. The population may be under recovery with moderate level of density (from 4,1 to 6 individual per hectar); 4. The population may be under primary habitual with high level of density (from 6,1 to 8 individual per hectar); and 5. The population may be under normal condition with high level of density (from 8,1 to 10 individual per hectar). Keywords: Humphead Wrasse fish, density criteria, policy sinthesis
PENDAHULUAN Ikan napoleon (Cheilinus undulatus) merupakan jenis ikan karang yang mempunyai harga tinggi di pasar dunia. Sejak tahun 1990 permintaan pasar dunia atas jenis ikan komoditas ekspor ini meningkat tajam, terutama pada negara-negara seperti Indonesia dan Filipina. Konsekuensinya adalah bahwa pemanfaatan ikan ini menjadi meningkat dan bahkan masuk pada kategori lebih tangkap yang tidak memberikan kesempatan pada pertumbuhan populasi ikan ini di alam, dimana kondisinya masuk dalam kelas rawan punah. Sementara, kasus-kasus perikanan yang “illegal, unregulated and unmonitored” (IUU fishing) menjadi semakin marak dan mendorong pemerintah
untuk memperbaiki sistem pengelolaannya (Sadovy, 2006a & 2007). Penurunan drastis populasi ikan Napoleon diberbagai wilayah menyebabkan ikan napoleon dimasukkan ke dalam daftar merah IUCN untuk jenisjenis rawan punah pada tahun 2004 dan Appendiks II CITES pada tahun 2005 yang berkenaan dengan tata aturan perdagangan di tingkat global, di mana aturan dinisbahkan pada kepentingan aturan panen yang tidak merugikan demi keberlanjutan pemanfaatan (CITES. 2004; Donaldson & Sadovy, 2001). Untuk kepentingan itu ditetapkanlah kuota perdangangan napoleon di bawah tanggung jawab LIPI sebagai Scientific Authority dan Kementerian Kehutanan sebagai Management Authority (IUCN. 2006).
___________________ Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung, Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Jakarta Utara
79
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 79-84
Kemudian Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan perhatian yang serius untuk aturan ke dalam, terutama dalam rangka membenahi pengelolaan perikanan Napoleon. UU 31/2004 dan UUD 45/2009 tentang perikanan dan pengawasan, larangan, dan sangsi memberikan landasan yang tegas untuk menyelamatkan satwa rawan punah. Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 337/kpts/ IK.250/5/95 mengeluarkan larangan penangkapan ikan Napoleon Wrasse (Cheilinus undulatus) menurut batasan-batasan ukuran tubuh, namun KEPMEN ini kurang memperhatikan ukuran populasi atau kepadatannya di alam yang semakin lama semakin kritis. Oleh karena itu dipandang penting untuk menetapkan Keputusan Menteri Kelauatan dan Perikanan dan petunjuk teknis yang baru dan lebih spesifik dalam hal menyikapi adanya kesenjangan regulasi pembatasan pemanfaatan (Ruchimat, 2011) dan tata laksana riset yang telah usang (Sadovy, 2005). Draft Kepmen Kelautan dan Perikanan sehubungan dengan pembatasan eksploitasi ikan Napoleon telah beberapa kali didiskusikan dalam forum, di mana secara substansial materi-materi regulasi tersebut masih bergantung pada data dan kriteria-kriteria tertentu, seperti ketentuan-ketentuan tentang batasan kelas kepadatan populasi yang diperlukan untuk pengelolaan sistem buka tutup pemanfaatan atau sebagai indikator pulih tidaknya populasi ikan Napoleon di alam. Pengkajian status ikan karang trofis seperti ikan Napoleon menjadi tantangan tersendiri. Seajuh ini belum ada indeks kelimpahan untuk ikan Napoleon, baik dalam skala global maupun nasional, dan lebih jauh terdapat ketergantungan yang tinggi pada literatur yang tidak jelas dan observasi yang asal jadi (Gillet, 2010). Tulisan ini bertujuan memberikan sistesa atas kriteria kepadatan populasi ikan Napoleon yang bermanfaat untuk menilai tingkat status populasi ikan ini di alam dan untuk memperbaiki pengelolaannya. Pendekatan yang digunakan adalah sintesa kebijakan (Simatupang, 2003), yaitu cara atau kegiatan menformulasi beragam informasi terkait yang relevan dan termasuk juga hasil penelitian untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan. Cara kerja dalam pengumpulan informasi tersebut mencakup desk study dan konsultasi publik, seperti telah dilakukan beberapa kali pertemuan tahun 2011 dan 2012 di Direktorat Jenderal Kelautan dan Pesisir Pulau Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan
80
Perikanan. Kemudian atas informasi yang tersedia dilakukan sintesa ilmiah untuk menyajikan opsi kebijakan. Sifat Biologis dan Prilaku Ikan Napoleon Tidak seperti ikan karang lainnya, ikan Napoleon memiliki ukuran populasi yang rendah di alam dan dipandang sebagai sifat bawaannya. Beberapa hal biologis dan prilaku yang diprediksi mempengaruhi ukuran populasi Ikan Napoleon di alam antara lain: 1. Ikan Napoleon terlahir dengan jenis kelamin jantan atau betina namun ikan ini tergolong hewan yang unik dari sisi siklus hidupnya, karena Napoleon bersifat hermaprodite protogynus, yang berarti mereka dapat berubah jenis kelamin dari betina ke jantan. Tahap ini terjadi pada saat ikan ini menjelang usia dewasa dan saat usia dewasa, yakni diperkirakan terjadi pada usia ± 9 tahun atau pada ukuran ±70 cm (Choat et al., 2006). 2. Ikan Napoleon memiliki laju rekruitmen rendah karena pertumbuhannya lambat dan reproduksinya rendah (Sadovy et al, 2003). Kematangan seksual ikan ini baru akan terjadi ketika usia 5-6 tahun atau berukuran 35 - 50 cm (Choat et al., 2006). Pada tempat budidaya diketahui bahwa kecepatan tumbuhnya 3 inci dalam waktu 5 bulan (Sim 2004). 3. Ikan Napoleon dewasa hidup soliter di terumbu karang, tempat di mana ikan ini memijah dan mobilitasnya rendah karena jarang pergi jauh dari tempatnya pemijahannya (Domeier & Colin, 1997), oleh karena itu, ikan ini paling mudah ditangkap. Perikanan panah (speargun), perikanan potas (cyanide) dan penyelaman malam hari dapat menyapu bersih populasi ikan dalam waktu singkat (Michael, 2011; Pet-Soede et al.,1996) Populasi Napoleon Secara alami kepadatan ikan Napoleon adalah rendah di semua jenis perairan, baik pada perairan yang berstatus tingkat eksploitasi rendah, sedang atau tinggi maupun pada perairan yang masih alami dan bahkan pada daerah konservasi dan area yang memang menjadi habitat kesukaannya (Gillet, 2010). Kepadatan maksimum ikan Nopoleon dewasa yang tercatat selama ini tidak lebih dari 10 individu per hektar (Sadovy et al., 2007). Ketika musim reproduksi, juvenil ikan ini mungkin akan lebih besar kelompoknya, seperti yang ditemukan di Palau, Timor Timur, antara 12 – 75 ekor (Anonimous, 1992). Telah banyak penelitian tentang populasi dan densitas ikan Napoleon yang telah dilakukan di
Penilaian Kepadatan Populasi Ikan ........... Kepentingan Pengelolaan di Indonesia (Edrus, I.N)
berbagai perairan-perairan tropis di dunia. Namun metode sampling yang digunakan masih menjadi perdebatan dalam hal keabsahannya sebagai indikator status sebenarnya dari kepadatan populasi ikan Napoleon di alam. Data yang telah mendapat kesepakatan internasional (data valid) adalah data yang dihasilkan dari penelitian-penenlitian yang mempergunakan metode UVC (Underwater Visual Cencus) yang rinci dan distandarisasi oleh Pat Colin dan Yvone Sadovy dari the Coral Reef Research Foundation (Sadovy, 2005 & 2006b). Penelitian-penelitian yang menggunakan metode UVC adalah seperti yang dilakukan di New Caledonia dan Kepulauan Tuamotu di French Polinesia, hasilnya menyatakan bahwa kepadatan ikan Napoleon di karang penghalang (barrier reefs) sebanyak 4,5 individu per hektar, di pertengahan laguna 1,4 individu per hektar, dan di karang tepi dan karang laguna masing-masing 0,3 individu per hektar (Gillet, 2010). Lebih lanjut Gillet (2010) menyebutkan, bahwa konsolidasi dalam penggunaan metode UVC untuk memperkirakan kepadatan ikan Napoleon telah dikerjakan oleh sedikitnya 12 peneliti yang berbeda di 24 lokasi yang terpisah sepanjang rentang geografis. Hasilnya menunjukkan bahwa median kepadatan ikan ini pada satu lokasi tanpa tekanan penangkapan adalah 20 individu per hektar, sedangkan kepadatan ikan ini pada banyak area dengan tekanan penangkapan tingkat sedang berkisar antara 0 sampai 5 individu per hektar. Secara umum, hasilnya menunjukkan bawa kelimpahan yang rendah untuk ikan ini terjadi pada area-area dimana tingkat tekanan penangkapan yang tinggi, meskipun kepadatan ikan ini dalam habitat aslinya bervariasi. Dengan demikian kepadatan populasi ikan Napoleon sangat dipengaruhi oleh laju eksploitasi di samping sifat populasinya yang sudah seperti itu. Hasil yang hampir serupa didapat di perairan Australia (Pogonosky et al., 2002), seperti yang dilaporkan oleh IUCN (2006) bahwa kepadatan ikan Napoleon dewasa di perairan karang Queensland diperkirakan berkisar antara 2,5-3,5 ekor/8.000 m2. Beberapa hasil penelitian di perairan Indonesia dengan metode UVC yang diakui keabsahannya, seperti yang dilakukan IUCN dan LIPI tahun 2005 dan 2006, berkisar antara 0,4 sampai 0,86 individu per hektar dengan total lokasi sampling 125 km. Lokasi survei ini meliputi Bunaken, Raja Ampat, NTT, Bali dan Kangean (IUCN, 2006). Sementara, penelitian lainnya yang juga menggunakan UVC tetapi tidak terstandarisasi adalah penelitian –penelitian yang dilakukan Bakosurtanal di 116 titik transek sabuk,
dimana meliputi wilayah Bangka Belitung (Pulau Belitung), Sulawesi Utara (Bunaken), Sulawesi tengah (Banggai), Sulawesi Tenggara (Pulau-pulau Tobea, Buton dan Wakatobi), Nusa Tenggara Barat (Teluk Saleh) dan Maluku Barat Data (Kepulau Letti). Hasilnya menyebutkan bahwa sediaannya bervariasi antara 0,5 sampai 2,6 individu per hektar dengan tingkat kelimpahan jarang seperti terlihat dari rendahnya frekuensi kemunculannya (0,04 – 0,2) di setiap wilayah sensus (Edrus, 2011). Hasil monitoring terbaru pada Nopember 2011 dengan metode UVC di Kabupaten Karas, Fak Fak, meliputi area sensus di 4 pulau (Tarak, Faur,Andamisa dan Andalisa). Panjang lintasan sensus 32 km dari 13 lintasan (track) jalur sensus, dimana ditemukan ikan Napoleon antara 0,23 sampai 2,34 individu per hektar dengan komulatif kepadatan 1,1 individu per hektar. Lokasi tersebut merupakan daerah penangkapan yang telah ditutup selama 5 tahun (Sadovy et al., 2011). Hasil monitoring dengan metode UVC paling akhir bersama Sadovy et al. (2012) pada bulan Oktober 2012 mendapatkan ikan Napoleon < 2 ekor/ha, yaitu untuk 16 km lintasan sensus visual di pesisir Pulau Bunaken, Pulau Manado Tua, dan Pulau Manterawu yang semuanya masuk Taman Laut Nasional Bunaken Sulawesi Utara. Wilayah tersebut termasuk area konservasi yang memberikan kesempatan populasi ikan Napoleon berkembang, seperti terlihat adanya banyak juvenil Napoleon berkuruan 15 sampai 25 cm. Data kepadatan ini menujukkan bahwa unsur konservasi wilayah dalam pengelolaan Napoleon adalah penting untuk memberikan pulihnya populasi ikan tersebut di masa akan datang. Pilihan Atas Kriteria Kepadatan Di atas telah didiskripsikan bahwa kepadatan ikan Napoleon bukan saja ditentukan oleh sifat biologis yang menjadi sifat bawaannya, tetapi juga oleh pengaruh eksploitasinya, sehingga status kepadatannya per unit luas area mencerminkan apakah wilayah perairannya, dimana Napoleon hidup, dapat diasumsikan sebagai perairan yang tereksploitasi dengan tingkat rendah, sedang atau tinggi. Menggeneralisasikan tingkat kepadatan ikan Napoleon di suatu lokasi perairan dengan kriteria rendah, sedang dan tinggi tanpa melihat kondisi populasinya (yang diasumsikan terancam atau hidup normal) adalah terlampau riskan, karena kriteria tersebut dapat disalah gunakan dalam pengelolaan saat menetapkan waktu pemanenan.
81
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 79-84
Sebaliknya, jika hanya sekadar menetapkan wilayah menurut tingkat eksploitasinya tanpa memberikan status kepadatannya di tiap wilayah itu, juga akan menimbulkan tindakan pemanenan yang tidak berhati-hati. Dengan demikian kriteria kepadatan ikan Napoleon di suatu perairan yang dikaji perlu ditetapkan rangkingnya menurut masing-masing parairan dengan status pem anfaatan yang menjadi sifatnya (pemanfaatan rendah, sedang, atau tinggi). Klasifikasi seperti ini perlu merepliksikan adanya peringatan didalamnya agar tidak menjadi bias dalam menilai kondisi populasi yang sesungguhnya. Sesungguhnya wilayah perairan dengan tingkat eksploitasi Napoleon yang tinggi dapat dipandang sebagai area yang sangat kritis sampai rentan, karena populasi ikan Napoleon tidak diberikan kesempatan untuk berkembang biak. Wilayah perairan dengan kategori eksploitasi Napoleon tingkat sedang dapat dipandang sebagai wilayah perairan dimana populasi ikan Napoleon masih diberikan kesempatan untuk berkembang. Kemudian, wilayah perairan dengan kategori eksploitasi Napoleon yang rendah sampai “zero” eksploitasi dapat diasumsikan sebagai wilayah perairan dimana populasi ikan Napoleon masih mungkin meneruskan generasinya menunju kondisi normalnya (habitual).
Dengan mempertimbangkan hasil tersebut di atas, kategori tingkat kepadatan dapat dibedakan ke dalam lima tingkatan yaitu : 1. Status dalam kategori sangat kritis (0,5 – 1 ekor/ ha), dimana populasi dengan : a. Kepadatan sangat rendah (jumlah ikan napoleon < 0,5 ekor/ha) b. Kepadatan rendah (jumlah ikan napoleon antara 0,51 - 0,75 ekor/ha) c. Kepadatan sedang (jumlah ikan napoleon antara 0,76 - 1 ekor/ha) d. Kepadatan tinggi (jumlah ikan napoleon berkisar antara 1,1 - 1,5 ekor/ha) e. Kepadatan sangat tinggi (jumlah ikan napoleon antara 1,51 - 2 ekor/ha). 2. Status dalam kategori masih rentan dan mulai membaik (2,1 – 4 ekor/ha), dimana populasi dengan : a. Kepadatan sangat rendah (jumlah ikan napoleon antara 2,1 - 2,5 ekor/ha) b. Kepadatan rendah (jumlah ikan napoleon berkisar antara 2,6 - 2,75 ekor/ha) c. Kepadatan sedang (jumlah ikan napoleon berkisar antara 2,76 - 3 ekor/ha) d. Kepadatan tinggi (jumlah ikan napoleon berkisar antara 3,1 - 3,5 ekor/ha) e. Kepadatan sangat tinggi (jumlah ikan napoleon 3,6 - 4 ekor/ha).
Kriteria Kepadatan Adapun tingkat kepadatan populasi menurut review dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan di berbagai wilayah, seperti didiskripsikan di atas, dapat dipertimbangkan untuk menentukan batasan-batasan kategori status perairan dan kepadatan ikan Napoleon di perairan Indonesia. Sadovy et al. (2007) menekankan bahwa kepadatan Napoleon dewasa tidak lebih dari 10 individu per hektar. Kemudian, Gillet (2010) menyebutkan bahwa median dari hasil pendataan dengan metode UVC pada wilayah yang tidak tereksploitasi adalah 20 individu per hektar, namun kepadatan ini terkesan sangat ideal untuk wilayah perairan di Indonesia karena Napoleon di perairan Indonesia mengalami eksploitasi tinggi dalam jangka panjang. Lebih jauh Gillet (2010) menyebutkan bahwa wilayah dengan eksploitasi tingkat sedang antara 0 – 5 individu per hektar. Nilai ini masih dapat diasumsikan terjadi di sebagian perairan Indonesia dengan adanya hasil-hasil penelitian di atas, sedangkan data yang dapat menjadi acuan dan referensentatif untuk wilayah yang mengalami tekanan eksplotasi berat justru dari hasil penelitian di Indonesia (IUCN, 2006) oleh LIPI dan IUCN, seperti dijalaskan di atas.
82
3. Status dalam kategori membaik (4,1 - 6 ekor/ha), dimana populasi dengan : a. Kepadatan sangat rendah (jumlah ikan napoleon antara 4,1 - 4,5 ekor/ha) b. Kepadatan rendah (jumlah ikan napoleon berkisar antara 4,6 - 4,75 ekor/ha) c. Kepadatan sedang (jumlah ikan napoleon berkisar antara 4, 76 - 5 ekor/ha) d. Kepadatan tinggi (jumlah ikan napoleon berkisar antara 5,1 - 5,5 ekor/ha) e. Kepadatan sangat tinggi (jumlah ikan napoleon 5,6 - 6 ekor/ha). 4. Status dalam kategori mendekati normal (6,1 – 8 ekor/ha), dimana populasi dengan : a. Kepadatan sangat rendah (jumlah ikan napoleon 6,1 - 6,5 ekor/ha) b. Kepadatan rendah (jumlah ikan napoleon berkisar antara 6,6 - 6,75 ekor/ha) c. Kepadatan sedang (jumlah ikan napoleon berkisar antara 6,76 - 7 ekor/ha) d. Kepadatan tinggi (jumlah ikan napoleon berkisar antara 7,1 - 7,5 ekor/ha)
Penilaian Kepadatan Populasi Ikan ........... Kepentingan Pengelolaan di Indonesia (Edrus, I.N)
e. Kepadatan sangat tinggi (jumlah ikan napoleon 7,6 - 8 ekor/ha). 5. Status dalam kategori normal (8 – 10 ekor/ha), dimana populasi dengan : a. Kepadatan sangat rendah (jumlah ikan napoleon 8,1 - 8,5 ekor/ha) b. Kepadatan rendah (jumlah ikan napoleon berkisar antara 8,6 - 8,75 ekor/ha) c. Kepadatan sedang (jumlah ikan napoleon berkisar antara 8,76 - 9 ekor/ha) d. Kepadatan tinggi (jumlah ikan napoleon berkisar antara 9,1 - 9,5 ekor/ha) e. Kepadatan sangat tinggi (jumlah ikan napoleon 9,6 - 10 ekor/ha). Kriteria kepadatan di atas perlu mendapatkan catatan sesuai dengan hasil beberapa penelitian terakhir bahwa kategori kepadatan untuk seluruh perairan karang di Indonesia saat ini masuk pada kondisi A atau “sangat kritis”. Dengan demikian penemuan kepadatan hingga 2 ekor per hektar belum menggembirakan dan belum dapat digunakan untuk merekomendasikan penangkapan. Kondisi B diharapkan akan terjadi di wilayah Indonesia apabila adanya usaha dari semua kalangan pemangku kepenting untuk membatasi usaha penangkapan. Terutama, pemerintah (management & scientific authorities) perlu segera menetapkan kuota terendah atau bahkan “kuota nol” beberapa tahun di beberapa wilayah tangkapan yang secara potensial mendapat tekanan penangkapan sedang sampai tinggi. Seperti juga usaha konservasi wilayah ikan Napoleon perlu dikembangkan di beberapa kawasan. Contoh usaha konservasi laut yang dianggap berhasil untuk perkembangan populasi ikan Napoleon adalah Kawasan Taman Laut Nasional Bunaken. Contoh usaha pembatasan penangkapan secara partisipatif adalah Karas Fak-Fak, di mana populasi dibiarkan tumbuh tanpa usaha penangkapan hingga sekarang. Sementara, kategori C, D dan E diasumsikan belum ditemukan di wilayah Indonesia sampai adanya pembatasan penangkapan Napoleon yang akan memberikan kesempatan pulihnya populasi Napoleon di semua wilayah. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan yang dapat diambil dari sintesa di atas adalah bahwa kategori kepadatan ikan Napoleon dibagi ke dalam 5 kriteria penting sebagai berikut :
1. Status dalam kategori sangat kritis, dimana populasi dengan kepadatan sangat rendah (0 – 2 ekor/ha) 2. Status dalam kategori masih rentan dan mulai membaik, dimana populasi dengan kepadatan rendah (2,1 - 4 ekor/ha): 3. Status dalam kategori membaik, dimana populasi dengan kepadatan sedang 4,1 - 6 ekor/ha: 4. Status dalam kategori mendekati normal, dimana populasi dengan kepadatan tinggi (6,1 – 8 ekor/ ha) 5. Status dalam kategori normal, dimana populasi dengan kepadatan sangat tinggi (8,1 – 10 ekor/ ha). Saran-saran yang dapat dikemukan untuk pemangku kepentingan dan penyusun kebijakan adalah : 1. Kriteria kepadatan tersebut sebaiknya digunakan sebagai nilai baku untuk mendiskusikan hasil monitoring populasi ikan Napoleon di alam, sampai ditemukannya lagi nilai baku hasil sintesa lain dikemudian hari. 2. Kriteri kepadatan tersebut sebaiknya digunakan sebagai indikator pembatasan atau perizinan pada substansi-substasi regulasi perikanan Napoleon yang akan ditetapkan pemerintah. 3. Monitoring populasi ikan Napoleon secara berkala menjadi bagian terpenting dan kebutuhan pengelolaan yang mendesak sebelum ikan ini benar-benar punah. 4. “Kuota Nol” dan/atau konservasi wilayah Napoleon perlu menjadi bahan pemikiran untuk segera menyelamatkan dan memberikan kesempatan pada peningkatan populasi ikan Napoleon di alam.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 1992. Palau Fishery Report, Annual report. Division of Marine Resources. Bureau of Natural Resources and Development. Ministry of Resources and Development, Koror, Palau. 99 p. CITES. 2004. Amendments to Appendices I and II of CITES [proposal]. Convention on the International Trade in Endangered Species, 13th Meeting of the Conference of the Parties. 62 p. Choat, J.H., Davies, C.R., Ackerman, J.L. & Mapstone, B.D. 2006. Age structure and growth in a large teleost, Cheilinus undulatus, with a review of size distribution in labrid fishes. Marine Ecology Progress Series. 318: 237-246.
83
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 79-84
Domeier, M.I. and P.L. Colin. 1997. Tropical reef fish spawning aggregation defined and revieuwed. Bull. Mar. Sci. 60(3), 698-726. Donaldson, T. J. & Y. Sadovy. 2001 Threatened Fishes of The World : Cheilinus undulatus Ruppell, 1835 (Labridae). Env. Biol. Fish. 62: 428. Edrus, I.N. 2011. Kebijakan Moratorium Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus Ruppell 1835). Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia. 3 (2) : 115 – 133. Gillett, R. 2010. Monitoring and Management of the Humphead Wrasse, Cheilinus undulatus. FAO Fisheries and Aquaculture Circular No. 1048, Rome. 62 p. IUCN. 2006. Development of fisheries management tools for trade in humphead wrasse, Cheilinus undulatus, in compliance with Article IV of CITES. Final Report of CITES Project No. A-254 undertaken by the International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources World Conservation Union/Species Survival Commission (IUCN/SSC) Groupers & Wrasses Specialist Group and led by Dr Yvonne Sadovy. 100 p. Michael, A.W. 2011. Cyanide and Dynamite Fishing, Who’s really Responsible? Ocean N Environment Ltd. P.O. Box 2138, Carlingford Court Post Office Carlingford NSW 2118, Australia. email:
[email protected]. http://www. Ocean NEnvironment.com.au. Diunduh dari http:// www.eepsea.org. Juli 2011. Pet-Soede L., H. Cesar, & J. Pet. 1996. “Blasting Away: The Economics of Blast Fishing on Indonesian Coral Reefs,” in H. Cesar, ed., Collected Essays on the Economics of Coral Reefs, p. 77-84. Pogonoski, J. J., Pollard, D. A. & Paxton, J. R. (2002). Conservation overview and action plan for Australian threatened and potentially threatened marine and estuarine fishes. Environment Australia, Canberra. 375 p. Ruchimat, T. 2011. Usulan Inisiatif Status Perlindungan Jenis Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus). Kerta Kerja pada Workshop
84
FASILITASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus) di Hotel Blue Sky - Jakarta, 8 Juli 2011, KP3K – KKP. 30 p. Sadovy, Y., Kulbicki, M., Labrosse, P., Letourneur, Y., Lokani, P. & Donaldson, T. J. 2003. The Humphead Wrasse, Cheilinus undulates: synopsis of a threatened an poorly known coral reef fish. Review in Fish Biology and Fisheries 13 : 327-364 Sadovy, Y. 2006a. Napoleon Fish (Humphead Wrasse), Cheilinus undulatus, Trade in Southern China and Underwater Visual Census Survey in Southern Indonesia. Final Report: IUCN Groupers & Wrasses Specialist Group. 25 p. Sadovy, Y. 2006b. Development of fisheries management tools for trade in humphead wrasse, Cheilinus undulatus, in compliance with Article IV of CITES. IUCN Groupers & Wrasses Specialist Group. Final Report April 2006, 103 p. Sadovy, Y., Punt, A. E.., Cheung, W., Vasconcellos, M., Suharti, S. & Mapstone, B. D. (2007). Stock assessment approach for the Napoleon fish, Cheilinus undulatus, in Indonesia. A tool for quotasetting for data-poor fisheries under CITES Appendix II non-detriment finding requirements. FAO Fisheries Circular No. 1023. Rome, FAO. 71 p. Sadovy, Y., H. Purnomo, S. Suharti, & I.N, Edrus. 2011. Monitoring Ikan Napoleon di Kabupaten Karas, Fak, Papua. (Unpublished). 3 p. Sadovy, Y., S. Suharti, I.N. Edrus, & R. Bowo. 2012. Monitoring Ikan Napoleon di Taman Laut Nasional Bunaken Sulawesi Utara. (Unpublished). 4 p. Sim, S.Y. 2004. First Breeding Success of Napoleon Wrasse and Coral Trout. Magazine. Asia-Pacific Marine Finfish Aquaculture Network. Bangkok, Thaoland, April-June, No. 1. Simatupang, P. 2003. Analisis Kebijakan: Konsep Dasar dan Prosedur Pelaksanaan. Jurnal Analisis Kebijakan, Edisi Maret: 14 - 35, Pusat Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Hasil Tangkapan Sampingan Pada …………..Pemanfaatannya di Laut Arafura (Sumiono, B & Hargiyanto, I)
HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PADA PUKAT UDANG DAN ALTERNATIF PEMANFAATANNYA DI LAUT ARAFURA SHRIMP BY-CATCH AND ALTERNATIVE UTILIZATION IN THE ARAFURA SEA Bambang Sumiono dan Ignatius Tri Hargiyatno Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Teregistrasi I tanggal: 5 Maret 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 6 November 2012; Disetujui terbit tanggal: 7 November 2012
ABSTRAK Usaha penangkapan udang di Laut Arafura selain komoditas udang yang menjadi target penangkapannya juga banyak tertangkap berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya sebagai hasil tangkap sampingan (HTS, by-catch). Pada saat ini proporsi jenis ikan yang berukuran kecil dan hasil tangkapan kepiting yang tidak dapat dimakan cenderung meningkat, diikuti oleh menurunnya proporsi ikan berukuran relatif besar (ikan demersal ekonomis penting). Berdasarkan nilai rata-rata rasio HTS terhadap udang, diperoleh rasio rata-rata di Laut Arafura sebesar 12:1. Permasalahan HTS masih menjadi isu utama dalam pengelolaan perikanan pukat udang di Laut Arafura, karena pada umumnya HTS tersebut dibuang kembali ke laut dan hanya sebagian kecil dari ikan-ikan ekonomis yang dimanfaatkan oleh ABK. Kondisi tersebut sangat ironis, sebab HTS tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan atau sebagai pakan ternak yang mempunyai gizi tinggi. Oleh karena itu, perlu menjadi bahan pertimbangan dalam kebijakan pengelolaan untuk pemanfaatan HTS yang melimpah dan belum dimanfaatkan optimal. Tulisan ini membahas secara ringkas tentang densitas dan komposisi jenis ikan, daerah penyebaran, rasio HTS terhadap udang serta beberapa saran upaya pemanfaatan HTS untuk kepentingan industri perikanan. KATA KUNCI: HTS, pukat udang, Laut Arafura ABSTRACT : Commercially shrimp fishery in the Arafura Sea exploits a large amount of by-catch fishing composed mostly of demersal fish. In recent years, the small size of finfish and non edible crabs are found in large quantities in certain areas, meanwhile large finfish are rarely caught. Based on average value by sub areas of bycatch to shrimps, the average of ratio fish to shrimp in the Arafura Sea was 12 : 1. By-catch is remained the main issues of shrimp fishery management in the Arafura Sea. This is because of the by-catch was mostly discarded to the sea and only small portion of that by-catch was utilized by vessel’s crew. This phenomenon was ironic due to the by-catch was potentially suitable for human food consumption or processed to be animal feed. Management policies for improving the utilization of by-catch are still needed. Resource abundance and catch composition, ratio of shrimp and fish, and some recommendations for management option as a possible solution to the problem of utilization of shrimp by-catch in the Arafura Sea for fishing industry were discussed in this paper KEYWORDS : by-catch, shrimp net fishery, Arafura Sea
PENDAHULUAN Banyaknya hasil tangkapan sampingan (HTS) yang dibuang kembali ke laut merupakan isu penting dalam perikanan udang di dunia. Secara umum, jaring trawl udang (shrimp trawl) memberi kontribusi HTS yang volumenya jauh lebih besar dari hasil tangkapan udang. Menurut Eayrs (2007), penangkapan udang dengan trawl skala industri di kawasan tropis merupakan penyumbang utama HTS dan secara global tidak lebih dari 30% dari HTS yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan atau bahan baku lainnya. Penangkapan udang dengan trawl dapat
dianggap sebagai alat tangkap yang tidak selektif. Lebih dari seratus spesies ikan teleostei yang beratnya dapat mencapai duapuluh kali dari berat hasil tangkapan udang. Pauly & Neal (1985) menyebutkan problema penangkapan udang secara komersial dengan kapal trawl di perairan tropis adalah banyaknya ikan demersal sebagai HTS yang dibuang percuma. Disebutkan pula adanya asosiasi yang erat antara stok udang dengan ikan demersal. Naamin & Sumiono (1983) menyebutkan banyaknya HTS di Laut Arafura pada tahun 1982 diperkirakan mencapai 80%
___________________ Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara
85
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 85-91
dari hasil tangkapan keseluruhan atau rata-rata 19 kali lebih besar dari hasil tangkapan udang. Selanjutnya Widodo (1991) mengemukakan bahwa produksi HTS di perairan Arafura diperkirakan antara 40.000-70.000 ton setiap tahunnya. Sebagian dari HTS tersebut dapat digolongkan ke dalam kelompok ikan demersal konsumsi (panjang total lebih dari 15 cm). Sejak dikeluarkannya Keppres No. 39/1980 tentang pelarangan penggunaan jaring trawl di Indonesia, maka jaring trawl yang dilengkapi dengan alat pelepas ikan (API) atau disebut juga pukat udang hanya diijinkan beroperasi di Laut Arafura. Beberapa peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah tentang penggunaan pukat udang dan pemanfaatan HTS antara lain: SK Mentan No. 930/Kpts/Um/12/1982 tentang penggunaan pukat udang; SK Dirjen Perikanan Nomor IK.010/S3.8075/82K tentang konstruksi pukat udang; dan SK Dirjen Perikanan Nomor IK.010/S3.8063/82K mengatur tentang pelaksanaan pemanfaatan hasil tangkap sampingan pada pukat udang. Meskipun penggunaan pukat udang telah disyaratkan harus menggunakan API, namun upaya pengurangan HTS belum dapat dilakukan sepenuhnya. Hal ini antara lain disebabkan oleh kurang efektifnya pengoperasian API pada pukat udang, dibutuhkan keahlian khusus dalam mengoperasikan API, rendahnya tingkat kesadaran nelayan/pengusaha serta lemahnya pengawasan di laut. Pada tahun 2007 jumlah armada pukat udang yang mendapat ijin beroperasi di Laut Arafura dan sekitarnya sebanyak 479 kapal (Purwanto & Nugroho, 2010), maka HTS yang dihasilkan diduga sangat besar. Pemanfaatan HTS sebagai bahan pangan atau bahan baku industri bernilai gizi tinggi perlu menjadi bahan pertimbangan penting dalam upaya pemanfaatan dan pengelolaan HTS pada perikanan pukat udang di Laut Arafura. ISU HTS PADA PERIKANAN PUKAT UDANG Hasil tangkapan sampingan (HTS) didefinisikan secara luas sebagai sesuatu hasil tangkapan yang tidak diniatkan (incidental) untuk ditangkap. Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO-UN) memperkirakan setelah tahun 1980 sekitar 7 juta ton ikan HTS yang dibuang setiap tahun oleh perikanan komersial di dunia. Hal ini setara dengan 8% dari hasil tangkapan global dari perikanan laut. Penangkapan udang dengan trawl skala industri di kawasan tropis adalah penyumbang utama dalam penangkapan HTS dan merupakan 27% dari HTS global yang dibuang. Pada perikanan industri skala besar HTS ini biasanya dibuang kembali ke laut, tetapi pada perikanan skala kecil HTS tersebut mempunyai nilai komersial dan dapat digunakan untuk
86
konsumsi manusia ataupun ternak. Khusus di Asia Tenggara dan Afrika Barat, bagian dari HTS tersebut disebut ‘ikan rucah’ (trash fish), sedangkan di Australia bagian hasil tangkapan yang dapat dijual tersebut disebut by-product (Eayrs, 2007). Penggunaan istilah by-catch berasal Guyana Inggris pada tahun 1950. Pada waktu itu by-catch berlaku untuk catfishes (disebut skinfish) yang dibuang secara besar-besaran yang tertangkap secara incidental lalu ditinggal begitu saja karena tidak dapat dijual, tidak ada yang membeli atau tidak dijual di pasar (Furnell, 1981). Dalam kajiannya, Kelleher (2005) dan Gillett (2006) memberikan komentar tentang HTS yang dibuang. Kecuali Laut Arafura perikanan trawl udang di sebagian besar Asia Tenggara telah sepakat bahwa laju HTS yang dibuang adalah sekitar 1%, suatu jumlah yang oleh para ahli dianggap ‘insignifikan’. Perikanan trawl udang Laut Arafura telah membuang sekitar 80% dari hasil tangkapan total yang jumlahnya sekitar 230.000 ton per tahun. Walaupun telah diintroduksikan alat pemisah ikan (API), total HTS yang dibuang masih tinggi, karena lemahnya penegakkan hukum dari peraturan yang ada dan tidak adanya pasar setempat yang dapat menyerap HTS tersebut. PROPORSI HTS TERHADAP UDANG Semakin banyak jumlah armada trawl yang beroperasi, maka rasio ikan terhadap udang cenderung lebih besar. Pada tahun 1981 dimana terdapat 124 kapal pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura, memberikan rasio HTS terhadap udang di daerah Dolak dan Aru cukup tinggi, yaitu sekitar 19:1 dimana 95% diantaranya tidak dimanfaatkan (Naamin & Sumiono, 1983). Pada tahun 1991 rasio tersebut berkisar antara 8:1 sampai 13:1 (Widodo, 1991; Badrudin & Karyana, 1993). Pada tahun 1991 jumlah kapal penangkap ikan yang mendapat ijin beroperasi di Laut Arafura sekitar 250 buah. Penelitian pada bulan Oktober-Nopember 1992 di sub area Sele dan Bintuni diperoleh rasio HTS terhadap udang 9:1 (Iskandar et al., 1992). Sementara hasil observasi pada tahun 2000 di perairan Aru memberikan rasio 12:1 (Sumiono et al., 2001). Menurut Sumiono & Wiadnyana (2005), proporsi HTS yang cukup tinggi terdapat di sub area Dolak dan Aru. Proporsi HTS terhadap udang memberikan rasio ratarata di sub area II (Bintuni) sebesar 7:1, sub area III (Kaimana) sebesar 6:1, sub area IV (Dolak) sebesar 18:1 dan sub area VI (Aru) sebesar 11:1. Secara keseluruhan, rata-rata rasio HTS terhadap udang di Laut Arafura pada saat ini sekitar 12:1. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa hasil tangkapan HTS
Hasil Tangkapan Sampingan Pada …………..Pemanfaatannya di Laut Arafura (Sumiono, B & Hargiyanto, I)
semakin berkurang dibandingkan dengan hasil penelitian Naamin & Sumiono (1983) yang menyebutkan rasio HTS terhadap udang di Laut Arafura 19:1. Penurunan tersebut disertai dengan berkembangnya jumlah armada fish net dimana semua jenis ikan dimanfaatkan, terlebih lagi dengan masih adanya illegal fishing yang sulit dikontrol. ESTIMASI PRODUKSI HTS
tahun 2005 produksi HTS menurun tajam. Volume produksi HTS yang rendah terjadi pada tahun 1986 (185.112 ton), tahun 1999 (389.088 ton) dan tahun 2007 (316.884 ton). Pada tahun 2008 produksi HTS sedikit meningkat menjadi 341.976 ton. Produksi HTS yang relatif tinggi terjadi pada tahun 1996 (497.328 ton) dan 2004 (484. 296 ton). Produksi tersebut terutama berasal dari kapal pukat udang yang beroperasi di sekitar Kepulauan Aru.
Berdasarkan rata-rata proporsi HTS terhadap udang di Laut Arafura yang besarnya 12:1, maka produksi HTS pada tahun 1986-2008 berkisar antara 185.000 ton sampai 500.000 ton. Pada tahun 19861996 terdapat peningkatan volume HTS, diikuti dengan penurunan sampai tahun 2002. Pada tahun berikutnya, cenderung meningkat kembali (Gambar 1). Pada
Menurut Sumiono & W iadnyana (2005) perbandingan HTS terhadap udang yang terendah terdapat di sub area Kaimana dengan proporsi HTS bervariasi antara 20% sampai dengan 90 % dari total hasil tangkapan. Variasi ini akan terus berubah dari tahun ke tahun tergantung pada lokasi (sub area) dan waktu penangkapan dengan pukat udang.
Gambar 1. Fluktuasi produksi udang dan HTS di Laut Arafura, 1986-2008 Figure 1. Fluctuation of shrimp and by-catch productions in the Arafura Sea,1986-2008 KOMPOSISI JENIS HTS Perikanan udang di Laut Arafura tidak saja menangkap udang sebagai target spesies, tetapi tertangkap pula dalam jumlah lebih banyak berbagai jenis ikan, biota non ikan seperti kepiting, rajungan, lobster, udang ronggeng (Stomatopoda), cumi, sotong, dan kadang-kadang tertangkap pula ular laut. Khusus untuk penyu jarang sekali tertangkap, mengingat daerah penangkapan umumnya bukan merupakan habitat penyu yang sesuai. Menurut Naamin & Sumiono (1983) lebih dari 98 jenis ikan, 27 jenis krustasea, 3 jenis moluska tertangkap oleh jaring trawl. Observasi pada kapal pukat udang komersil yang dioperasikan di sub area Dolak, diperoleh HTS yang didominasi oleh ikan hidangan berukuran relatif kecil (small food fish, panjang total < 15 cm, berat individu < 200 gram), diikuti oleh ikan hidangan berukuran
relatif besar (large food fish, panjang total >15 cm, berat individu >200 gram). Komposisi yang cukup besar adalah ikan rucah (trash fishes) yaitu ikan yang tidak mempunyai nilai ekonomis, diikuti oleh kepiting yang tidak biasa dimakan (non-edible crab) (Tabel 1). Fluktuasi tahunan jenis ikan dalam jangka panjang merupakan salah satu indikasi dari pengaruh tekanan penangkapan. Pada tekanan penangkapan yang tinggi akan terdapat jenis-jenis ikan yang dapat bertahan (survive). Sebaliknya, kelompok ikan dengan laju pertumbuhan yang rendah (biasanya jenis ikan demersal berkuran besar), dalam waktu singkat akan menunjukkan tanda-tanda penurunan indeks kelimpahan stok. Kelom pok ik an gulamah (Sciaenidae), peperek (Leiognathidae), kuniran (Mullidae), kurisi (Nemipteridae) dan japuh (Clupeidae) mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap tekanan penangkapan (Tabel 2).
87
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 85-91
Tabel 1. Komposisi hasil tangkapan pukat udang berdasarkan observasi di perairan Dolak, 2000-2011. Table 1. Catch composition of BED shrimp trawl based on observation in the Dolak waters, 2000-2011.
Kelompok jenis Ikan hiu Ikan pari Ikan hidangan ukuran besar Ikan hidang ukuran kecil Ikan rucah Cumi-cumi Sotong Kepiting (non edible) Lobster Gastropoda Udang
Tahun 2000
1)
0,77 1,17 12,44 17,56 43,30 3,06 2,56 6,29 0,11 0,44 12,32
2003
2)
0,03 0,84 7,92 11,18 37,04 0,98 0,31 33,61 2,72 2,13 3,23
2006
3)
0,67 3,52 17,31 44,00 11,83 2,88 1,11 10,29 0,00 0,28 8,12
2011
4)
0,00 0,71 52,75 36,40 nd 0,04 3,00 3,06 nd nd 4,05
Keterangan/Remark : nd = data tidak ada/no data available Sumber/Source : 1) Sumiono et al. (2001) 2) Budihardjo & Budiman (2003) 3) Sumiono (2006) 4) Sumiono et al. (2011)
PEMANFAATAN HTS Pada saat ini terdapat perubahan pola pemanfaatan HTS pada kapal pukat udang. Semula terdapat kebijakan dari perusahaan bahwa HTS tidak boleh dimanfaatkan/diambil karena palkah diutamakan untuk menyimpan udang sebagai target penangkapan. Sekarang dengan berkurangnya hasil tangkapan udang, ada perusahaan yang memperbolehkan membawa HTS sebagai tambahan penghasilan atau untuk membayar premi ABK dengan cara dijual di tempat pendaratan kapal Pukat Udang dalam bentuk produk beku (frozen fish) atau kering (salted fish). Observasi pada kapal Pukat Udang yang berbasis di Merauke mengemukakan volume HTS yang dapat dimanfaatkan sekitar dua sampai tiga kali hasil tangkapan udang dogol. Jenis-jenis HTS antara lain ikan gulamah, remang, beloso, gerot-gerot, ikan sebelah, cumi-cumi dan sontong (Sumiono et al., 2011).
88
Beberapa faktor yang menjadi penyebab belum dimanfaatkannya HTS secara optimal pada perikanan Pukat Udang di Laut Arafura antara lain: (1) Perusahaan penangkapan udang melarang ABK untuk mengumpulkan HTS karena ruangan pada palka kapal terbatas dan diperuntukan bagi udang sebagai target penangkapan. (2) Tidak ada perusahaan yang mau menampung HTS (3) Belum adanya kapal pengangkut HTS dari daerah penangkapan udang ke pelabuhan terdekat dan belum tersedianya industri pengolahan HTS di pelabuhan terdekat (4) Masyarakat setempat lebih menyukai ikan segar daripada produk olahan yang berasal dari HTS (5) Kurangnya sarana dan prasarana pendukung dalam memanfaatkan HTS
Hasil Tangkapan Sampingan Pada …………..Pemanfaatannya di Laut Arafura (Sumiono, B & Hargiyanto, I)
Tabel 2. Persentase tahunan famili (kelompok) ikan HTS tangkapan Pukat Udang di sub area Dolak, 20002006. Table 2. Yearly percentage of families (fish groups) of by-catch caught by BED shrimp net in the sub areas Dolak, 2000-2006. No.
FAMILY
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Scianidae Leiognathidae Mullidae Clupeidae Other fish Penaeidae Portunidae Nemipteridae Carangidae Pomadasydae Dasyatidae Engraulidae Plotosidae Carcharinidae Cynoglossidae Squillidae Holothuridae Pectinidae Harpadontidae Synodontidae Tetraodontidae Apogonidae Ariidae Formionidae Mugillidae Trichiuridae
2000 29,5 10,6 1,7 2,4 1,2 2,6 11,5 6,4 1,5 1,3 5,9 5,7 2,6
KEBIJAKAN PENGELOLAAN HTS 1. Peraturan yang Terkait HTS Beberapa kebijakan yang terkait HTS pada Pukat Udang dalam bentuk peraturan perundangan dan himbauan telah dibuat oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Paling tidak terdapat 4 (empat) peraturan dalam bentuk Keputusan Presiden, Surat Keputusan Menteri dan Surat Keputusan Direktur Jenderal yang berkaitan langsung dengan HTS, yaitu : (1) Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 561/ Kpts/Um/11/1973 tentang pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan.
2001
2002
2003
12,0 16,1 3,2 6,6 5,8 3,9 2,9 2,9 3,0 13,7 -
7,2 6,6 6,6 4,0 0,8 10,2 5,4 5,3 11,1 10,1 4,4 2,1 0,7 -
38,6 2,2 1,2 1,2 30,1 7,3 1,2 5,5 2,7 2,5 2,0 1,6 -
2006 2006 6,7 11,5 4,0 8,2 3,4 6,7 9,4 3,7 1,9 4,1 4,1 3,9 2,1
(2) Keputusan Presiden No. 85/1982, tentang penggunaan pukat udang di bagian tertentu perairan Indonesia. (3) Surat Keputusan Menteri Pertanian No.930/Kpts/ Um/12/1982, tentang petunjuk pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 85/ 1982. (4) Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Nomor: IK.010/S3.8063/82K tentang pelaksanaan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan dari pukat udang. Surat keputusan ini mengatur tentang jumlah ikan hasil sampingan yang harus dimanfaatkan, teknis pemanfaatannya dan pengawasan atau pemeriksaan atas kebenaran pemanfaatan yang dilaksanakan oleh perusahaanperusahaan pukat udang.
89
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 85-91
2. Pemanfaatan Sebagai Bahan Baku Industri Ikan dari HTS mempunyai nilai tambah yang baik apabila diolah untuk pembuatan produk-produk perikanan lainnya. Dilain pihak, ikan dan komoditas perairan lainnya termasuk bahan pangan yang cepat mengelami kemunduran mutu (high perishable food) atau dengan perkataan lain cepat membusuk. Bagi negara tropis seperti halnya Indonesia, kondisi suhu lingkungan yang relatif tinggi dapat mempercepat proses kemunduran mutu ikan, sehingga diperlukan tehnik penanganan yang tepat dan cepat untuk dapat dimanfaatkan optimal.
3.
4. Pemanfaatan memiliki dua arti penting bahwa produk yang diolah memiliki nilai jual tinggi dan berorientasi pasar yang cukup luas. Menurut (Lee, 1984; Hanafiah & Malawat, 1995), peluang pemanfaatan HTS dapat dalam bentuk olahan, meliputi : (1) surimi, yaitu produk berbentuk daging cincang mentah berasal dari ikan yang sudah dipisahkan dari tulangnya secara mekanis dan mempunyai jendalan (gel strength) yang baik. Ikan yang memiliki sifat jendalan sangat baik antara lain jenis ikan kurisi, alu-alu, pisang-pisang dan daun bambu; memiliki jendalan tidak baik antara lain ikan bawal hitam, bawal putih, manyung dan selar; (2) sosis, bakso, atau kamaboko yaitu produk daging cincang yang diberi bumbu dan dikukus; (3) dendeng ikan; (4) abon ikan, dan (5) tepung ikan. Beberapa jenis ikan yang berprotein tinggi dan dapat digunakan sebagai bahan baku tepung ikan antara lain jenis gulamah (famili Sciaenidae), gerot-gerot (famili Pomadasydae) dan layur (famili Trichyuridae). Beberapa masalah yang dijumpai pada optimasi pemanfatan HTS di Laut Arafura antara lain: (1) belum tersedianya infrastruktur di darat/pelabuhan perikanan/ perusahaan penangkapan udang; (2) belum ada pelaku usaha/investor yang tertarik pada usaha pemanfaatan HTS; (3) belum diperoleh secara pasti peluang pasar bagi produk olahan HTS, serta (4) masih kurangnya sumberdaya manusia yang terampil. KESIMPULAN 1. Hasil tangkap sampingan (HTS) pada kapal pukat udang di LautArafura didominasi (berkisar 40-50%) oleh kelompok ikan demersal/hidangan berukuran kecil (small food fish), diikuti oleh ikan rucah (trash fishes), ikan hidangan berukuran besar (large food fish) dan kepiting yang tidak dapat dimakan (non edible crabs). 2. Terdapat perubahan proporsi hasil tangkapan (laju tangkap) beberapa jenis ikan demersal yang
90
5.
6.
tertangkap oleh pukat udang. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, jenis ikan komersil yang berukuran relatif besar cenderung menurun dan jenis ikan berukuran relatif kecil serta biota non ikan proporsinya cenderung meningkat. Rasio HTS terhadap hasil tangkapan udang berbeda menurut lokasi/sub area. Rasio HTS terhadap udang yang paling tinggi (18:1) terdapat di sub area Dolak dan terendah (6:1) terdapat di sub area Kaimana. Rata-rata rasio HTS terhadap udang di Laut Arafura adalah 12:1. Pada tahun 2008, estimasi produksi HTS dari perikanan pukat udang sebesar 342.000 ton. Kelompok demersal jenis tigawaja (famili Sciaenidae), peperek (Leiognathidae), kuniran (Mullidae), kurisi (Nemipteridae) dan japuh mendominasi hasil tangkapan HTS pada pukat udang di Laut Arafura. Pada saat ini HTS belum dimanfaatkan secara optimal. HTS yang dimanfaatkan kurang dari 10% dari total hasil tangkapan pukat udang di Laut Arafura. Sampling pada salah satu perusahaan penangkapan udang dengan pukat udang di Merauke mengemukakan sekitar 40% dari HTS berupa ikan/biota tidak ekonomis penting, tidak dimanfaatkan atau dibuang kembali ke laut. Sudah banyak peraturan terkait pengoperasian pukat udang dan pemanfaatan HTS. Masih terdapat banyak pelanggaran terhadap peraturan tersebut. Belum ada upaya untuk memanfaatkan HTS secara optimal.
REKOMENDASI 1. Tingginya HTS yang dibuang pada perikanan pukat udang di Laut Arafura akan berdampak pada perubahan komposisi jenis dan ukuran serta kelimpahan sumber daya ikan. Oleh karena itu diperlukan pendataan yang akurat tentang kuantitas dan komposisi jenis HTS. 2. Beberapa alternatif pemanfaatan HTS antara lain dapat dilakukan melalui program penampungan HTS dan pengolahan produk perikanan seperti surimi, sosis, dendeng ikan, abon ikan, dan tepung ikan. Program tersebut sebaiknya dilakukan di sekitar lokasi pendaratan udang, seperti di Ambon, Sorong, Merauke dan Benjina DAFTAR PUSTAKA Badrudin & Karyana. 1993. Proporsi komposisi hasil tangkap sampingan pukat udang di perairan Maluku-Irian Jaya. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 79. Balitkanlut, Jakarta:14-23
Hasil Tangkapan Sampingan Pada …………..Pemanfaatannya di Laut Arafura (Sumiono, B & Hargiyanto, I)
Budihardjo, S. & Budiman, 2003. Laju tangkap udang dan ikan demersal di Laut Arafura, Agustus 2003. Laporan observasi pada kapal komersial. Balai Riset Perikanan Laut Jakarta (Tidak diterbitkan). Eayrs, S. 2007. .A Guide to By-catch Reduction in Tropical Shrimp-trawl Fisheries. FAO-UN: 110 p. Furnell, D.J. 1981. By-catch from Shrimp Trawling in Guyanese Waters In Anonymous (Ed.): Fish Bycatch. Bonus from the Sea. Report of a Technical Consultation on Shrimp By-Catch Utilization. Georgetown, Guyana, 27-30 November 1981. FAO and IDRC : 43-50 Gillett, R. 2006. An overview of shrimp fishing in Indonesia. FAO Project on global shrimp studies. Unpublished : 27p. Hanafiah, T. A. R. & Malawat, S. 1995. Study Pembuatan Surimi Ikan Campuran dari Hasil Tangkapan Samping Pukat Udang. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I. Pusat Penelitian dan Perkembangan Perikanan. 37: 84-93. Iskandar, B.P.S., Sumiono, B & Sarjana. 1992. Penelitian potensi udang dan hasil tangkap sampingan di perairan Maluku dan Irian Jaya. Laporan Penelitian Balitkanlut (Tidak dipublikasikan). Kelleher, K. 2005. Discards in the world’s marine fisheries. An update. In FAO Fisheries Technical Paper 470. 131p. Lee C.M. (1984). Surimi process technology . Food Technology. 38: 69
Pauly, D & R. Neal, 1985. Shrimp vs Fish in Southeast Asian: the biological, technological and social problems In Arancibia, A.Y (Eds.): Recources Pesqueros de Mexico: La pasca acompanante del camaran. Progr. Univ. de Alimentos. Inst. Cienc. Del Mar. Y.Limnol. Inst. Nacl. De Peasca, UNAM, Mexico,D.F: 748 p. Purwanto & D. Nugroho. 2010. Tingkat optimal pemanfaatan stok udang, ikan demersal dan pelagis kecil di Laut Arafura. JPPI. 16.(4) : 311-312. Sumiono, B., T.S.Murtoyo., Y. Soselisa & M.Rijal. 2001. Survey laju tangkap dan kepadatan stok udang dan ikan demersal di Laut Arafura dengan armada komersil. Laporan Survei Laut. Ditjen Perikanan Tangkap (Tidak diterbitkan). Sumiono B & N. N. Wiadnyana. 2005. Hasil tangkap sampingan (bycatch) pada penangkapan udang komersil di Laut Arafura. Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN). Sumiono, B.2006. Survei perikanan pukat udang dan pukat ikan yang berbasis di Ambon. Laporan Survei. Balai Riset Perikanan Laut :14 p. (Tidak diterbitkan). Sumiono, B., I. T. Hargiyatno & T. Mahulete. 2011. Survei perikanan pukat udang yang berbasis di Merauke. Laporan Survei. Pusat Riset Perikanan Tangkap: 10 p. (Tidak diterbitkan). Widodo, J. 1991. Bycatch assessment of the shrimp fishery in the Arafura Sea and its adjacent waters. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No. 63. Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta :43-49.
Naamin, N & B. Sumiono. 1983. Hasil sampingan (by-catch) pada penangkapan udang di perairan Laut Arafura dan sekitarnya. Laporan LPPL No. 24/1982. BPPL, Jakarta: 45-55.
91
Pengelolaan dan Profitabilitas Usaha Penangkapan Lemuru di Selat Bali (Ratri Hesti, W.M)
PENGELOLAAN DAN PROFITABILITAS USAHA PENANGKAPAN LEMURU (SARDINELLA LEMURU BLEEKER,1853) DI SELAT BALI MANAGEMENT AND PROFITABILITY OF LEMURU (SARDINELLA LEMURU BLEEKER,1853)FISHING ENTERPRISE IN BALI STRAIT Hesti Warih Madyeng Ratri Direktorat Jendral Perikanan Tangkap, Direktorat Sumberdaya Ikan-Jakarta Teregistrasi I tanggal:13 Februari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 18 Oktober 2012; Disetujui terbit tanggal: 31 Oktober 2012
ABSTRAK Penangkapan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker,1853) di Selat Bali telah dilakukan jauh sebelum diperkenalkannya purse seine dua kapal (slerek) yang mempunyai hasil tangkapan menggembirakan. Hasil studi sejak tahun 1974 menyimpulkan bahwa stok lemuru di Selat Bali dieksploitasi sangat intensif, sehingga mengancam kelangsungan stok lemuru dan melemahkan keuntungan sumberdaya. Pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali yang telah dilakukan sejak tahun 1977 dan terus diperbaharui sampai tahun 1992 perlu ditinjau kembali, mengingat peraturan dimaksud sudah tidak sesuai dengan kondisi di lapangan dan tidak dipatuhi oleh para pemangku kepentingan. Nelayan mematuhi aturan tentang pembatasan jumlah kapal, namun ukuran kapal, alat tangkap, jumlah ABK dan alat bantu lampu dilakukan penambahan besar-besaran. Peningkatan upaya ini dikhawatirkan akan mengancam keberlanjutan usaha. Oleh karena itu, diperlukan kajian untuk menganalisis profitabilitas usaha penangkapan dan masukan konkrit guna pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali. Sintesis hasil penelitian terdahulu di Selat Bali dan diperluas dengan data hasil observasi lapang dengan menggunakan model Max Aquero. Keuntungan total ekonomi usaha penangkapan di Selat Bali pada tahun 2007 mencapai Rp 205.856.283.770,- dengan hasil tangkapan lemuru sebanyak 254.691.315 kg dan tenaga kerja yang terlibat sebanyak 30.583 orang. Hasil tangkapan lemuru yang di publikasi oleh Provinsi Bali dan Jawa Timur adalah data yang tidak akurat. Mengingat informasi dari data tersebut merupakan landasan kebijakan, langkah konkrit perbaikan pengelolaan perikanan lemuru Selat Bali yang mendesak adalah perbaikan metode pendataan dan sumberdaya manusianya. KATA KUNCI: Pengelolaan, keuntungan usaha, penangkapan lemuru, Selat Bali ABSTRACT The catching of lemuru in Bali Strait had been done long before two vessels purse seine (slerek) which gave satisfactory result was introduced. The outcome of numerous studies conducted since 1976 concluded that lemuru stock in Bali Strait had been overexploited, so that it threaten the availability of lemuru stock, and weaken the profitability of resources. Management of lemuru fisheries in Bali Strait which had been administered since 1977 and updated continously until 1992, need to be reevaluated, considering the previously mentioned rules was no longer in accordance with field condition and obeyed by parties concerned. Fishermen obeyed the rule concerning the limitation of ships quantity, but there were huge addition in ship size, catching gears, number of crews and working lamps. There was a serious possibility that by increasing the effort, it still not guaranteed the sustainability of venture. Because of this, there is a need of evaluation concerning profitability analysis of catching effort in Bali Strait and concrete input for improving management of lemuru fishery in Bali Strait. By using synthesis technique of previous experiment result in Bali Strait which was expanded with data based on field observation, using Max Aquero model (Aquero, 1987), the total profit of economical catching effort in Bali Strait in 2007 was at least Rp. 205.856.283.770,- with lemuru fishery catching in Bali Strait was at least 254.691.315 kg. Number of personnel involved was 30.583. Data of catching result published by Bali and East Java Province was not accurate. In considering the data information is a basis of policy making, then there were several steps in urgent need for implementation to improve the management of lemuru fishery in Selat Bali, namely, enhance data collecting method and human resources. KEYWORDS : Management, profitability of venture, lemuru catching, Bali Strait
93
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 93-100
PENDAHULUAN Penangkapan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) telah lama dilakukan oleh nelayan sekitar Selat Bali lebih dari 20 tahun sebelum diperkenalkannya purse seine dua kapal oleh BPPL tahun 1972. Pada perairan yang relatif dangkal ini hasil tangkapan lemuru berguna untuk mendukung industri pengolahan yang berlokasi di wilayah pantai yakni Pengambengan dan Muncar yang merupakan salah satu wilayah utama industri pengolahan ikan di Indonesia. Pengambengan dan Muncar yang sebagai pemasok ikan konsumsi dan non konsumsi yang mendukung pemasaran internasional serta sebagai penyedia lapangan kerja. Purse seine atau pukat cincin “slerek”, telah menjadi alat tangkap utama yang digunakan pada perikanan pelagis kecil di Selat Bali. Kontribusi dari armada pukat cincin sekitar 67-91% dari total tangkapan perikanan Selat Bali. Untuk memenuhi banyaknya permintaan ikan, jumlah kapal pukat
cincin mengalami peningkatan cukup besar pada 30 tahun terakhir, dari 17 unit pada tahun 1974 telah menjadi 272 unit pada tahun 1979. Pertambahan terjadi pada ukuran panjang alat tangkap yang pada tahun 1982 adalah 167 m yang menjadi 700 – 1.000 m, dan pertambahan ukuran lebar jaring dari 60 m menjadi 100 m. Ukuran kapal purse seine pada tahun 1982 adalah 11-13 m, sekarang telah menjadi 16-24 m. Memperhatikan pesatnya respon masyarakat untuk eksploitasi lemuru di Selat Bali maka mulai tahun 1977 telah dilakukan kesepakatan bersama Pengelolaan Perikanan Lemuru Selat Bali oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali dan Provinsi Jawa Timur, dengan cara membatasi jumlah kapal penangkap ikan. Bersamaan dengan meningkatnya aktifitas penangkapan ikan dengan purse seine slerek, secara intensif telah dilakukan pula pengkajian stok sumberdaya ikan baik berupa survei secara langsung dengan metode akustik dan analisis hasil tangkapan dari tahun 1974 (Tabel 1).
Tabel 1. Perkembangan Hasil Penelitian MSY di Selat Bali Table 1. MSY Research Result Development in Bali Strait Nama peneliti UNDP/FAO* Bjarnasson* Buzeta RB et al.* Sujastani* Naamin dan Sujastani Sujastani & Nurhakim Sujastani & Nurhakim Martosubroto Purwanto
Tahun 1974 1976 1979 1980 1981 1982 1982 1986 1989
Hasil beberapa studi (Tabel 1) menegaskan dan menyimpulkan bahwa stok lemuru di Selat Bali telah lebih tangkap. DINAMIKA PENGELOLAAN PERIKANAN LEMURU DI SELAT BALI Selat Bali merupakan perairan yang relatif sempit berbentuk corong, sebelah utara menghubungkan laut Flores dan sebelah selatan melebar menghadap Samudera Hindia. Perairan ini merupakan perairan yang cocok untuk hidup lemuru (Merta, 1992). Kemajuan penangkapan lemuru lebih pesat lagi terjadi setelah diperkenalkannya pukat cincin pada tahun 1972 oleh Lembaga Penelitian Perikanan Laut (LPPL) hal ini ditunjukkan dengan peningkatan produksi dari 6.380 ton pada tahun 1974 menjadi 32.780 ton pada tahun 1976.
94
Metode
Tingkat upaya 100
Akustik 200 Akustik Linier Eksponensial
190 154 238 302
MSY (ton/th) 55.000 88.000 55.000 35.000 66.000 36.800 36.000 66.000 64.000
Upaya Pengelolaan Perikanan lemuru Selat Bali telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersama dengan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ kota dan stake holder sejak tahun 1977, guna mencegah terjadinya eksploitasi sumberdaya lemuru yang berlebihan. Tindakan-tindakan yang disepakati dalam pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali mencakup alokasi maksimal kapal penangkapan, ukuran mata jaring yang diijinkan, spesifikasi purse seine yang diijinkan sampai dengan tempat pendaratan (Tabel 2). Dalam Tabel 2, ditunjukkan bahwa revisi peraturan yang di buat kemudian merupakan langkah mengakomodir kondisi lapangan. Hal ini sebagai wujud pengawasan dan pengendalian yang masih lemah. Reaksi nelayan adalah mematuhi keputusan bersama kedua pemerintah daerah yakni tidak
Pengelolaan dan Profitabilitas Usaha Penangkapan Lemuru di Selat Bali (Ratri Hesti, W.M)
menambah jumlah unit alat tangkap, tetapi menambah ukuran kapal dan memperpanjang alat
tangkap serta menambah jumlah lampu sebagai alat bantu penangkapan beserta jumlahABKnya, (Gambar 1) .
Tabel 2. Regulasi dan Pengelolaan Perikanan Lemuru di Selat Bali Table 2. Lemuru Fishery Regulation and Management in Bali Srait No 1.
Nomor Peraturan Kepmen Pertanian No. 123/1975
Pengaturan Ketentuan lebar minimum 2 inchi
2.
SKB Gubernur Jatim dan Bali No. N.HK.1/39/77 dan EK/le/52/77 tanggal 20 Mei ’77 SKB Gubernur Jatim dan Bali No. 156/1978 dam EK/146/1978 tanggal 27 Desember ’78 SKB Gubernur Jatim dan Bali No. 126/1983 dan 136/1983 tanggal 4 Agustus’83 SKB Gubernur Jatim dan Bali No. 7/1985 dan 4/1985 tanggal 16 Januari ’85 SKB Gubernur Jatim dan Bali No. 238/1992 dan 674/1992 tanggal 14 November ’92
Jumlah Purse seine di Selat Bali yang diijinkan 100 unit Jatim = 50 unit; Bali 50 Unit (1 unit 2 kapal)
3.
4.
5.
6.
7.
Keputusan Gubernur Bali No. 392/1994
8.
Perda Jatim No 10 Tahun 1989 Kep Mentan No. 329/Kpts/IK.120/4/9 tanggal 5 April ’99
9.
Mata
Jaring
Kondisi di Lapangan Nelayan S. Bali memakai jaring ukuran ¾ inchi, karena jika memakai 1 inchi ikan ”macok” (tersangkut pada jaring) Kondisi di lapangan sebanyak 189 unit melebihi yang diijinkan sebanyak 100 unit
Jumlah Purse seine yang diijinkan sebanyak 133 unit Jatim = 73 unit; Bali 60 unit
Di Muncar tahun 1982 mencapai 224 unit Purse seine
Total Purse seine Selat diijinkan 250 unit Jatim = 175 unit; Bali 75 unit
Bali
Purse seine beroperasi di Selat Bali dilaporkan berjumlah 351 unit
Armada Purse seine yang diijinkan di Selat Bali 273 unit Jatim = 190 unit; Bali 83 unit
Kondisi di lapangan melebihi yang diijinkan
Jumlah Purse seine yang diijinkan 273 unit, Jatim 190; Bali 83 unit. Kapal < 30 GT. Panjang Jaring maksimum 300 m dan lebar jaring 60 m . Zonasi penangkapan ikan, bagian utara untuk nelayan tradisional kapal tanpa motor dan bagian selatan untuk operasi kapal dengan mesin. Kapal penangkapan ikan harus mendaratkan ikan di pelabuhan tempat kabupaten memberi ijin. Kapal harus memakai tanda pengenal Alokasi 83 Kapal Purse seine untuk Kabupaten Badung 9 unit dan Jembrana 74 unit Tentang Ijin Usaha Perikanan
Kapal purse seine bertambah besar ukurannya banyak kapal tidak memakai tanda (cat) sesuai ketetapan. Panjang jaring menjadi 400 m Laporan dari Universitas Brawijaya tahun 1998 Purse seine di Muncar berukuran 30-100 GT untuk 2 kapal.
Tentang Jalur Penangkapan
Pada Tabel 3 bertambahnya ukuran dan spesifikasi alat tangkap dapat nebjadi tambahan upaya karena semakin efektif, tambahan upaya ini dikhawatirkan akan mempercepat penurunan sumberdaya lemuru
Dari alokasi ini yang memperpanjang ijinnya hanya 12 unit. Di lapangan banyak kapal yang beroperasi tanpa ijin Pelanggaran jalur penangkapan sering menimbulkan konflik .
yang mengakibatkan pengurasan yang berlebihan (Martosubroto et al.,1986, W udianto, 2001 & Purwanto 2008).
95
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 93-100
Tabel 3. Perkembangan Ukuran Purse Seine di Selat Bali Table 3. Development of Purse Seine Size in Bali Strait Ukuran Parmeter Kapal Jaring -Panjang(m) - Lebar (m) -Dalam (m) - Mesin utama - Lampu - ABK (orang) Kapal Pemburu -Panjang (m) -Lebar (m) -Dalam (m) - Mesin utama -Lampu -ABK (orang) Jaring -Panjang (m) -Dalam (m)
1982 *1)
1991 **2)
Tahun 1998***3)
2004****4)
2007
11,0 2.7 1.5 1 4-5 petromak 13-15
15,9 4,0 1,6
18,96 4,66 1,64
14-20 4-4,5 1,5-2 3
16-24 4,5-7,0 2-2,5 3 1500-2000 W 45-50
13,0 2,8 1,5 2
18,0 4,5 2,0
20,24 5,2 1,76
12-19 4-4,5 1,5-2 4
15-23 4-7 2-2,5 4 1500-2000 W 7-11
240-285 60-66
210-300
3-4 167 60
Sumber: *1) Barus & Nasution (1982),
700-1.000 80-100
**2) Merta (1992), ***3) Wudianto (2001), ****4) Joesidawati (2004).
Adanya kebijakan pemerintah bulan Mei tahun 2005 yang menaikkan harga solar dari Rp. 1.650/l menjadi Rp. 2.100/l dan disusul pada bulan Oktober 2005 menjadi Rp. 5.350/l, menjadikan nelayan berolah pikir untuk mempertahankan usahanya (Nikijuluw, 2006). Salah satunya adalah dengan membatasi jumlah BBM yang di bawa dan tidak terus menerus menangkap ikan dengan berburu melainkan memanfaatkan lampu kerja sebagai lampu penarik ikan (ngoncor).
lain seperti: payang, bagan tancap dan gill net / setet. Hasil tangkapan pada tahun 2007 (Tabel 4) menunjukkan bahwa purse seine tunggal, payang, serta gill net mono filament berkontribusi terhadap pengurasan sumberdaya lemuru. Setet meskipun mempunyai hasil tangkapan yang relatif kecil yakni 32,79 ton/tahun/alat namun karena beroperasi di pantai dan menghasilkan anak-ikan dan ikan kecil, hal ini turut mendorong kegagalan rekruitment alami ikan lemuru di Selat Bali terlebih jumlah setet mencapai lebih dari 500 unit.
Selain menggunakan purse seine, sumberdaya lemuru di Muncar juga ditangkap dengan alat tangkap Tabel 4. Hasil Tangkapan per Alat Tangkap Tahun 2007 Table 4. Catch Result per Fishing Gear in Year 2007 Alat tangkap Purse seine-seleret Muncar Purse seine Pengambengan Payang Gill net/Setet Bagan Purse seine tunggal Sumber: Diolah dari data primer 2007
96
Rata-rata hasil tangkapan/alat/tahun (ton) 152 796,834 78 767,091 44 624,12 574 32,602 271 67,791 20 459,663 Jumlah
Jumlah
Total Tangkapan/ Tahun (ton) 121.119 59.833 27.461 18.714 18.371 9.193 254.691
Prosentase (%) 48 23 11 7 7 4 100
Pengelolaan dan Profitabilitas Usaha Penangkapan Lemuru di Selat Bali (Ratri Hesti, W.M)
Dinamika Usaha Penangkapan di Selat Bali Usaha penangkapan di Muncar sangat tergantung pada pengamba, selaku penyedia modal kerja sekaligus kepercayaan pemilik kapal dalam hal pemasaran dan negoisasi harga hasil tangkapan. Peran besar pengamba dalam usaha menjadikan manajemen keuangan usaha penangkapan di Muncar bersifat tertutup dibanding di Pengambengan. Di Muncar pengamba dan pemilik kapal tidak pernah menginformasikan volume dan nilai hasil penjualan ikan hasil tangkapan ke ABK. Di Pengambengan pemilik kapal selalu menginformasikan setiap hasil penjualan ikan kepada nahkoda dan ABK meliputi harga dan volume hasil tangkapan, sehingga ABK dapat menghitung dan memperkirakan pendapatannya pada saat bulan terang. Biaya usaha penangkapan yang memanfaatkan Selat Bali pada tahun 2007 dengan spesies target ikan pelagis kecil seperti lemuru ditangkap oleh 5 jenis akat tangkap yakni purse seine 2 kapal, purse seine tunggal, payang, gillnet/setet dan bagan terdiri dari biaya investasi, operasional, pemeliharaan dan perbaikan dan lain-lain serta biaya tenaga kerja. Biaya investasi terdiri dari pengadaan kasko ( 55-81 %),
pembelian mesin (7-24 %), pengadaan alat tangkap dan alat bantu (15-35 %) dan biaya lain-lain (1-3 %) dari biaya investasi. Biaya operasional terdiri dari pembelian BBM (43-72%), pembelian es (11-28 %) dan konsumsi 28-55 %) dari biaya opersional. Sedang biaya pemeliharaan dan perbaikan terdiri dari biaya perizinan (6 %) dari biaya pemeliharaan, Biaya bongkar (20-70 %) dan biaya retribusi 22-73 % dari total biaya lain-lain. Pada usaha penangkapan di Muncar dan Pengambengan belum memperhitungkan biaya penyusutan. Khusus biaya tenaga kerja penangkapan untuk kapal purse seine slerek Pengambengan (Gambar 2 dan 3) prosentase pendapatan nelayan Pengambengan lebih besar dibanding nelayan Muncar, karena peranan pengamba akan memperoleh 10 -15 % dari total hasil tangkapan sebelum dikurangi biaya-biaya. Hal ini mengakibatkan berakibat berkurangnya prosentase pendapatan nahkoda dan ABK. Sebagai contoh penguras/sawi Pengambengan menerima 18 % (Gambar 3) dari seluruh pendapatan sedangkan di Muncar menerima 16 % (Gambar 2), kemudian dibagi seluruh jumlah sawi sebanyak 44 orang. Potret inilah yang mencerminkan kemiskinan nelayan di Selat Bali.
Gambar 1. Jumlah Ijin dan Realisasi Pukatcincin di Selat Bali, 1974-2010 Figure 1. Total Purse Seine Permission and Realization in Bali Strait, 1974-2010
Gambar 2. Prosentase Penghasilan Tenaga di Purse Seine di Muncar Diolah dari Data Primer 2007 Figure 2. Worker Income Percentage of Purse Seine in Muncar Calculated from Primary Data 2007
97
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 93-100
Gambar 3. Penghasilan Tenaga Kerja Purse Seine di Pengambengan Diolah dari Data Primer 2007 Figure 3. Worker Income Percentage of Purse Seine in Pengambengan Calculated from Primary Data 2007 Profitabilitas masing masing kapal yang menangkap lemuru menunjukkan bahwa dalam tahun 2007 masing masing pemilik kapal masih mempunyai keuntungan rata-rata (Tabel 5), untuk purse seine slerek Muncar per trip adalah Rp. 1.9945.229,-. Slerek Pengambengan Rp. 2.455.058,- purse seine tunggal Rp. 1.862.075,- payang/ijo-ijo Rp. 2.550.587,- dan bagan Rp.579.091,- serta setet Rp. 274.216,-.
Pendapatan ini belum dikurangi biaya penyusutan sehingga jika diperhitungkan dengan biaya penyusutan maka profitabilitasnya semakin berkurang. Jika dibandingkan dengan modal yang digunakan maka keuntungan ini kecil, oleh sebab itu nelayan terus berburu untuk mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak lagi.
Tabel 5. Distribusi Biaya dan Penerimaan per Alat Tangkap Table 5. Cost and Income Distribution per Fishing Gear Jenis alat tangkap Purse seine 2 kapal Muncar Purse seine Pengambengan Purse seine 1kapal Payang/ijo-ijo Bagan gillnet/setek
Penerimaan kotor (Rp)
Biaya (Rp) Operasional
Pemeliharaan
Lain-lain
Tenaga Kerja
Pengamba 157.678.000
penerimaan pemilik (Rp)
1.992.086.000
832.198.000
53.938.000
54.663.000
446.754.000
446.855.000
1.917.128.000
598.315.000
87.810.000
51.956.000
589.833.000
1.779.284.000
692.965.000
27.795.000
6.900.000
446.898.000
157.828.000
446.898.000
1.560.300.000
152.080.000
13.106.000
34.799.000
612.142.000
136.032.000
612.141.000
167.770.000
938.000
1.543.000
26.307.000
-
-
138.982.000
80.155.000
10.919.000
111.000
3.313.000
-
-
65.812.000
589.214.000
Sumber: Diolah dari data primer 2007 , * tanpa biaya penyusutan
Analisis profitabilitas maksimum usaha penangkapan lemuru di Selat Bali dengan cara seperti yang dilakukan Max Aquero (Aquero, 1987) di Peru, yaitu dengan menganalisis seluruh aktivitas perikanan yang menimbulkan biaya dan keuntungan secara aktual pada usaha penangkapan ikan. Sehingga keuntungan maksimum perikanan lemuru dapat dihitung dengan menggunakan : p maks = maks 6
n n i 1 ( p ij * Qij ) ( C bj * Xbj ) b1 j 1
= Rp 205. 856.283.770,Dimana: Pij = Harga lemuru dengan alat tangkap i Qij = Produksi perikanan perikanan i pada segmen j
98
Cbj Xbj I
= Biaya per trip lemuru hasil tangkapan pada saat didaratkan per jenis alat tangkap = Jumlah produksi Lemuru saat didaratkan = jenis alat tangkap lemuru 1. Purse seine di Muncar 2. Gill net di Muncar 3. Bagan di Muncar 4. Payang di Muncar 5.Purse seine tunggal 6. Purse seine di Pengambengan
Total keuntungan ekonomi usaha penangkapan ikan di Selat Bali dalam tahun 2007 setidaknya mencapai Rp 205.856.283.770,- dengan menangkap ikan lemuru dari Selat Bali setidaknya sebanyak 254.691.315 kg dengan tenaga kerja yang terlibat sebanyak 30.583 orang tenaga kerja.
Pengelolaan dan Profitabilitas Usaha Penangkapan Lemuru di Selat Bali (Ratri Hesti, W.M)
Dampak Sosial Ekonomi Usaha Penangkapan Lemuru Di Selat Bali
usaha sebagai pendukung kegiatan penangkapan seperti penyedia es, atau perbekalan lainnya.
Aktivitas penangkapan lemuru di Selat Bali secara intensif telah berjalan lebih dari tiga dasa warsa, menjadi sandaran ekonomi masyarakat sekitar Banyuwangi dan Jembrana, baik sebagai pemeran utama yakni nelayan yang langsung turun ke laut menangkap ikan maupun pencari nafkah dari kegiatan ekonomi ikutan sebagai dampak kegiatan usaha penangkapan. Pendapatan tenaga kerja di sekitar pantai Pengambengan dan Muncar pada provesi yang sama terdapat sedikit perbedaan, secara umum di pengambengan lebih tinggi dibanding di Muncar.
Jika pada tahun 2007 UMR Jawa Timur sebesar Rp. 825.000,- dan UMR Bali Rp. 699.000,- maka masing-masing tenaga kerja yang menangkap ikan maupun bekerja pada fase pertama di Selat Bali mempunyai pendapatan lebih dari UMR yang telah ditetapkan, meskipun UMR ini dirasa terlalu rendah oleh anggota masyarakat.
Pendapatan tenaga kerja sebanyak 30.883 orang di bidang penangkapan hanya diperuntukkan bagi tenaga kerja yang bersentuhan langsung (phase pertama) dengan hasil tangkapan seperti pemilik kapal, ABK, pengamba, pemasaran ikan yang masih disekitar pelabuhan/pembongkaran ikan. Belum dilakukan penghitungan tenaga kerja pada kegiatan
Upaya Perumusan Dan Strategi Kebijakan Pengelolaan Penangkapan Ikan Di Selat Bali Usaha penangkapan lemuru dari Selat Bali telah menggerakkan ekonomi lebih dari 30 tahun dan telah memberi manfaat nyata tidak hanya bagi usaha penangkapan namun juga usaha pengolahan bahkan ekspor hasil olahan lemuru Indonesia didominasi oleh hasil lemuru dari Selat Bali (Gambar 4), dengan demikian keberadaan usaha penangkapan lemuru di Selat Bali sangat diperhitungk an dam pak perkembangan ekonominya.
Gambar 4. Perkembangan Ekspor Ikan Kaleng dari Jawa Timur dan Bali Diolah dari Departemen Perdagangan 2008 Figure 4. Canned Fish Export Development from East Java and Bali Calculated from Trade Department 2008 Teridentifikasinya bahwa pembuat keputusan kurang bersungguh-sungguh dalam melaksanakan pengendalian dan pengawasan dengan seksama guna keberlanjutan usaha penangkapan lemuru, oleh karena itu perlu tindakan konkrit berupa pemahaman ilmu pengetahuan dan teknologi terkait dengan biologi, ekonomi dan pengelolaan usaha penangkapan lemuru kepada seluruh pemangku kepentingan guna pelaksanaan pengelolaan yang lebih baik. Isue dominan pada pengelolaan perikanan lemuru Selat Bali selain kurang berfungsinya pengendalian dan pengawasan juga pendataan yang tidak akurat, data yang diperoleh dari petugas di Muncar merupakan data yang dikumpul dari rumah kerumah pemilik kapal, kemudian diolah menyesuaikan target Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang telah ditetapkan
sebelumnya. Di Pengambengan, meskipun kapalkapal membeli solar‘dari SPBU dalam lokasi PPN Pengambengan, namun jika dilakukan pengecekan antara nama kapal pembeli solar dengan yang mendaratkan ikan, maka diketahui hanya sebagian kecil kapal mendaratkan ikan di TPI pengambengan selebihnya mendaratkan di Muara. Dari hasil pengamatan di lapangan kondisi riil tahun 2007 data total pendaratan dari lemuru Selat Bali yang dipublikasi adalah 20% dari kondisi riil. Data pada kondisi ini kerap dipakai sebagai landasan penelitian untuk dianalisa dan dipakai untuk penyusunan kebijakan pada penentuan alokasi sumberdaya, sehingga hasil yang diperoleh tentunya tidak tepat jika diaplikasikan. Oleh sebab itu langkah pertama guna pengelolaan perikanan lemuru Selat Bali yang
99
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 93-100
lebih baik adalah dilakukan perbaikan metode pendataan beserta sumberdaya manusianya.
Joesidawati M I. 2004.Alternatif Pengelolaan Perikanan Lemuru di Selat Bali. Tesis UNDIP. 106 p.
KESIMPULAN 1. Usaha penangkapan lemuru di Selat Bali pada tahun 2007 mempunyai keuntungan ekonomi setidaknya mencapai Rp 205. 856.283.770,dengan menangkap ikan lemuru sebanyak 254.691.315 kg dengan tenaga kerja yang terlibat sebanyak 30.583 orang. Hal ini menunjukkan bahwa usaha penangkapan ikan lemuru telah dapat menjadi sandaran ekonomi masyarakat sekitar Selat Bali, namun bagi pemilik kapal jika manajemen keuangannya di kelola lebih maju dengan menyiapkan alokasi untuk biaya penyusutan, maka keuntungan yang diperoleh tidak sebanding sehingga terpacu untuk menguras ikan lebih banyak lagi. 2. Pengelolaan perikanan lemuru yang telah dilakukan oleh ke dua Pemerintah Daerah Provinsi Bali dan Jawa Timur selama ini perlu diarahkan kedepan pada upaya mempertahankan keberlanjutan usaha yang ada, sedangkan strategi pengelolaan yang perlu diterapkan adalah dengan perbaikan pendataan, penerapan pengendalian dan pengawasan serta pengaturan kembali jumlah kapal yang diijinkan termasuk alat tangkap payang dan gill net karena keduanya terbukti mempunyai hasil yang baik dan turut berkontribusi dalam pengurasan sumberdaya lemuru di Selat Bali. DAFTAR PUSTAKA Aguero M, 1987. A Bioeconomic Model of the Peruvian Pelagic Fishery, ICLARM. p. 379. Barus HR & Nasution, 1982. Purse seine sebagai alat penangkap ikan lemuru (Sardinella longiceps) di Selat Bali. Prosiding Seminar Perikanan Lemuru, Banyuwangi 18-21 Januari 1982 Buku II Puslitbang, Jakarta, 1982. p: 13-28
100
Martosubroto, P., N. Naamin & S. Nurhakim. 1986. Menuju Manajemen Perikanan Lemuru yang Rasional. JPPL. 35. p : 59 – 66. Merta, I. G. S., 1992. Dinamika Populasi Ikan Lemuru, Sardinella Lemuru Bleeker 1853 (Pisces :Clupeidae) Di Perairan Selat Bali Dan Alternatif Pengelolaannya. Disertasi. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. 201 p. Nikijuluw VPH 2006. Renungan tentang manusia nelayan Indonesia-60 tahun perikanan Indonesia. Masyarakat Perikanan Nusantara. PT Victoria Kreasi Mandiri Jakarta. 2006. Sujastani & Nurhakim 1982. Potensi sumberdaya perikanan lemuru (Sardinella longiceps) di selat Bali. Prosiding seminar lemuru, Banyuwangi, 1821 Januari. Buku II. Puslitbang Jakarta. Purwanto 2008. Resource Rent Generated in The Bali Strait Sardine Fishery in a Fluctuating Environtent. A Report of a case study submitted to the FAO/ World Bank PROFISH-funded project “the Rent Drain Study”. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dalam Undang-undang No. 45 tahun 2009. Wudianto, 2001, Analisis Sebaran dan Kelimpahan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleker 1853) di Perairan Selat Bali: Kaitannya dengan Optimasi Penangkapan. Disertasi. Intitut Pertanian Bogor. 2001. 155 p.
Daya Dukung Sumber Daya Perikanan Tuna………Kaitannya dengan Industrialisasi Perikanan (Wijopriono)
DAYA DUKUNG SUMBER DAYA PERIKANAN TUNA DI SAMUDERA HINDIA DALAM KAITANNYA DENGAN INDUSTRIALISASI PERIKANAN CARRYING CAPACITY OF TUNA RESOURCES IN INDIA OCEAN IN RELATION TO FISHERIES INDUSTRIALIZATION Wijopriono Pusat Penelitian dan Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta 14430 Teregistrasi I tanggal: 21 Desember 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 19 November 2012; Disetujui terbit tanggal: 20 November 2012
ABSTRAK Pemerintah berupaya untuk meningkatkan produksi dan ekspor hasil perikanan melalui program industrialisasi perikanan. Diantara komoditas utama perikanan yang ditetapkan menjadi target pertumbuhan ekspor adalah tuna dan cakalang. Salah satu area penangkapan penghasil komoditas tersebut adalah Samudera Hindia, yang menyumbang sekitar 17% dari seluruh produksi tuna dan cakalang Indonesia. Namun demikian, beberapa tahun terakhir ini produksi tuna dari perairan ini terus menurun. Peningkatan jumlah kapal yang lebih pada ukuran 10-30 GT belum mampu meningkatkan produksi secara berarti. Kajian stok global menunjukkan bahwa peluang untuk meningkatkan produksi dapat dilakukan untuk jenis tuna mata besar, madidihang dan cakalang. Untuk itu restrukturisasi armada penangkap tuna dan cakalang di Samudera Hindia diperlukan. KATA KUNCI : Sumberdaya tuna, daya dukung, Samudera Hindia, Industrialisasi ABSTRACT: Indonesian Government has been striving for increasing export of fish and fishery products through fisheries industrialization program. Among the commodities that has been targeted for the program are tuna and skipjack. One of the fishing areas for producing these commodities is Indian Ocean, which has contributed more than 17% to the total Indonesian tuna production. However, tuna production from this area has decreased during last couples of years. The increase of fleet number more on the size of 10-30 GT have not been able to increase tuna production sgnificantly. Global stock assessment suggested that there is an opportunity to increase tuna production, specifically yellowfin (,Thunnus albacares), bigeye (T. obesus) , and skipjack (Katsuwonus pelamis). To achieve this objective, restructurization of fishing fleet operated in Indian Ocean is needed. KEYWORD : Tuna resources, carrying capacity, Indian Ocean, Industrialization
PENDAHULUAN Tuna termasuk kelompok ikan pelagis besar, bersifat kosmopolitan, hidup di perairan oseanik tropik dan subtropik dengan pola penyebaran yang sangat terkait dengan rezim oseanografi. Secara komersial dikenal 6 jenis tuna yang bernilai ekonomis penting yaitu, madidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (T. obesus), albakora (T. alalunga), tuna sirip biru (T. thynnus), tuna sirip biru selatan (T. macoyii), dan cakalang (Katsuwonus pelamis). Salah satu wilayah perikanan di Indonesia penghasil utama komoditas ini adalah Samudera Hindia. Empat jenis tuna yang menjadi target utama penangkapan, yaitu madidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus), albakora (Thunnus allalunga), tuna sirip biru selatan (Thunnus
macoyii), tuna abu-abu (Thunnus tonggol) dan cakalang (Katsuwonus pelamis). Pada tahun 2010, wilayah perikanan Samudera Hindia menghasilkan produksi 93,505 ton tuna dan cakalang, menyumbang sekitar 17,2% dari seluruh produksi tuna dan cakalang Indonesia. Tuna merupakan jenis ikan migrasi jauh (highly migratory species) yang pergerakannya melewati batas-batas yuridiksi negara sehingga pengelolaannya dilakukan melalui organisasi-organisasi regional yang sudah dibentuk, seperti IOTC dan CCSBT untuk pengelolaan tuna dan cakalang di wilayah perikanan Samudera Hindia. Alokasi jumlah tangkap yang dibolehkan (TAC/total allowable catch) ditetapkan oleh organisasi-organisasi regional tersebut termasuk alokasi jumlah tangkap (khususnya tuna sirip biru selatan), kewajiban dan sangsi bagi negara-negara
101
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 101-108
anggota untuk terjaminnya pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan.
insang hanyut (drift gillnet) di selatan Jawa terutama di Pelabuhan Ratu.
Untuk mengotimalkan pemanfaatan kekayaan laut, Pemerintah berupaya untuk meningkatkan produksi dan ekspor hasil perikanan melalui program industrialisasi. Komoditas utama perikanan laut yang ditetapkan menjadi target pertumbuhan ekspor dalam rencana strategis 2010-2014 adalah tuna tongkol dan cakalang (TTC). Tulisan ini memberikan gambaran tentang kondisi perikanan dan sumberdaya tuna di Samudera Hindia serta daya dukungnya terhadap pengembangan industri tuna.
Data Statistik Perikanan Indonesia menunjukkan bahwa jumlah armada yang digunakan untuk pemanfaatan Sumber daya ikan di Samudera Hindia cenderung terus meningkat (Gambar 1). Namun dilihat dari ukuran kapal, penambahan jumlah kapal lebih pada armada kelompok ukuran 10-30 GT terutama di Samudera Hindia selatan Jawa (WPP713) yang banyak beroperasi di perairan teritorial. Kelompok ukuran > 30 GT hanya menunjukkan sedikit peningkatan sepanjang periode 2007-20010, bahkan untuk kelompok ukuran 50-100 GT mengalami penurunan dibanding tahun 2008 dan sebelumnya.
PERIKANAN TUNA Armada Penangkapan Berdasarkan skala usaha, perikanan tuna Indonesia di Samudera Hindia terdiri dari perikanan industri dan artisanal, yang merupakan perikanan tuna skala kecil. Umumnya perikanan tuna skala industri menggunakan armada penangkapan drift longlines, pukat cincin (purse seines) dan huhate (pole and lines), meskipun armada yang disebutkan terakhir ini keberadaannya semakin berkurang sementara armada pukat cincin ukuran besar semakin berkembang. Perikanan artisanal dalam operasi penangkapannya menggunakan pancing ulur (hand lines), pancing tonda (troll lines), payang (Danish seines), jaring insang (gillnet) dan pukat cincin ukuran kecil (small purse seine). Semua alat tangkap tersebut menangkap tuna namun bila dilihat dari target utama penangkapannya, payang dan huhate (pole and line) lebih ditujukan untuk menangkap cakalang. Basis pendaratan armada perikanan tuna di Samudera Hindia menyebar sepanjang wilayah yang berbatasan dengan perairan tersebut, mulai dari pantai barat Sumatera (Banda Aceh, Sibolga, Padang, Bengkulu dan Lampung), selatan Jawa (Banten, Pelabuhan Ratu, Cilacap, Yogyakarta, Prigi, Sendang Biru), Bali (Benoa, Kedonganan), sampai ke timur yaitu Nusa Tenggara Barat (Kupang), dan Nusa Tenggara Timur (Maumere).Armada pukat cincin lebih populer di Banda Aceh, pancing tonda di Padang dan, sementara payang (Danish seine) dan jaring
102
Pada tahun 2010, secara keseluruhan tercatat sebanyak 25,158 kapal beroperasi mengeksploitasi sumberdaya ikan di perairan ini, namun demikian 80% dari armada tersebut atau sekitar 20,000 kapal berukuran lebih kecil dari 10 GT (DJPT, 2011). Kapalkapal penangkap tuna artisanal yang termasuk dalam ketegori ini adalah armada pancing ulur dan pancing tonda yang terdapat di banyak wilayah, dari barat Sumatera (Padang), selatan Jawa, Kedonganan-Bali sampai Nusa Tenggara Timur. Armada pancing tonda beroperasi di perairan pantai, umumnya menggunakan perahu bermotor tempel dengan trip penangkapan harian, sementara armada pancing ulur, terutama yang beroperasi di Samudera Hindia selatan Jawa, melakukan penangkapan sampai di area lepas pantai, ke arah selatan sampai posisi 1140 – 1160 bujur timur dan 090 – 120 lintang selatan (P4KSI, 2010). Satu trip penangkapan menghabiskan waktu antara 7 – 14 hari. Armada ini umumnya berpangkalan di Sendang Biru-Jawa Timur dan Kedonganan-Bali. Armada tuna skala industri yang beroperasi di perairan ZEEI (zona ekonomi eksklusif Indonesia) dan laut bebas (high sea) Samudera Hindia tercatat sebanyak 1020 kapal pada tahun 2010, menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (Gambar 2). Alat tangkap yang digunakan umumnya tuna longline (98%) yang didominasi kelompok ukuran kapal 50100GT, purse seine (1,5%), dan lainnya (0,5%) adalah handline dan pole and line (Gambar 2).
Daya Dukung Sumber Daya Perikanan Tuna………Kaitannya dengan Industrialisasi Perikanan (Wijopriono)
(A)
(B)
(C)
Gambar 1. Struktur armada berdasarkan ukuran yang beroperasi di Samudera Hindia (A), WPP 572 (B) dan WPP 573 (C). Figure 1. Fleet structure based on size group operated in Indian Ocean (A), WPP 572 (B) and WPP 573 (C).
Gambar 2. Struktur armada bedasarkan alat tangkap yang beroperasi di Samudera Hindia (Sumber: Retnowati, 2010) Figure 2. Fleet structure based on fishing gear types operated in Indian Ocean (Source: Retnowati, 2010) Wahyono (2007) melaporkan bahwa armada longline beroperasi selama 252 hari dalam setahun dimana hari perjalanan menuju daerah tangkapan dan kembali ke pangkalan menghabiskan waktu 80 hari dan hari efektif penangkapan hanya 172 hari. Armada perikanan skala industri lainnya, pukat cincin (purse seine), melakukan operasi secara berkelompok terdiri dari kapal penampung (collecting boat), kapal penangkap (catching boat) dan kapal lampu (lighting boat). Hasil tangkapan dikumpulkan di kapal penampung, sementara kapal penangkap beroperasi hampir setahun penuh.
berupa rumpon atau payaos yang ditempatkan di daerah tangkapan lepas pantai. Di selatan Jawa, alat bantu pengumpul ikan tersebut dipasang pada kedalaman 500 – 1500 m untuk armada pancing ulur dan 4.000-5.000 meter untuk armada pukat cincin. Dalam beberapa tahun terakhir ini diketahui bahwa penggunaan rumpon atau payaos telah menimbulkan dampak tersendiri terkait dengan kelestarian sumberdaya ikan dan konflik antara nelayan pengguna dengan armada perikanan lain di sekitarnya. Produksi Tuna dan Produktivitas Alat Tangkap
Sebagai upaya memacu produksi, peningkatan daya tangkap juga dilakukan melalui peningkatan penggunaan alat bantu penangkapan (Purwanto, 2012). Beberapa jenis armada penangkap tuna seperti pancing ulur dan pukat cincin, menggunakan alat bantu pengumpul ikan (FADs/fish aggregating devices)
Peningkatan jumlah kapal perikanan yang beroperasi atau peningkatan upaya penangkapan di Samudera Hindia pada awalnya telah mampu menghasilkan peningkatan pasokan tuna untuk bahan baku industri perikanan. Namun demikian mulai tahun
103
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 101-108
2006, produksi tuna menurun tajam dibanding periode sebelumnya, dipicu oleh turunnya produksi tuna sirip kuning/madidihang (Yellowfin tuna) (Gambar 3). Produksi madidihang yang meningkat secara konstan 14% per tahun dalam kurun waktu 5 tahun (20012005), menurun tajam menjadi kurang dari 30 000 ton pada tahun 2006 dan tidak beranjak dari kisaran angka tersebut sampai tahun 2010. Selama periode 2001-2007 produksi cakalang dari Samudera Hindia berkisar antara 40.000 – 45.000 ton. Produksi cenderung naik mulai tahun 2008 dan mencapai 47 000 ton pada pada tahun 2010, setelah mengalami penurunan yang konstan pada tahuntahun sebelumnya. Dalam kurun waktu yang sama, peningkatan produksi tongkol yang cukup tajam juga terjadi pada tahun 2007, setelah mengalami
penurunan sebelumnya. Produksi mencapai 105000 ton pada tahun 2010. Dilihat dari fluktuasi bulanan, produksi hasil tangkapan di pelabuhan tempat pendaratan ikan bervariasi berdasarkan jenis ikan dan area. Berdasarkan rata rata produksi lima tahun terakhir (Gambar 4), produksi hasil tangkapan tuna meningkat pada bulan Oktober di Selatan Jawa Barat (Pelabuhan Ratu) dengan puncak produksi pada bulan DesemberJanuari, sebaliknya di selatan Jawa Timur, produksi rendah pada bulan-bulan tersebut dan tinggi pada bulan Mei-September. Sementara itu, produksi hasil tangkapan cakalang di Jawa Barat berfluktuasi, Selatan Jawa Timur meningkat mulai bulan Mei dengan puncak Agustus-September.
140000
80000
Produksi (Ton)
Produksi (Ton)
120000 100000 80000 60000 40000
60000
40000
20000
20000
0
0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun Tuna
Tongkol
Cakalang
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
2010 Albakora
Madidihang
Tuna Sirip Biru Selatan
Tuna Mata Besar
Gambar 3. Produksi tuna, tongkol dan cakalang di Samudera Hindia Figure 3. Production of tuna, letle tuna and skipjack in Indian Ocean
Gambar 4. Produksi bulanan tuna (kiri) dan cakalang di Samudera Hindia bagian Selatan Jawa Figure 4. Mounthly Production of tuna (left) and skipjack in Indian Ocean of southhern Java
104
Daya Dukung Sumber Daya Perikanan Tuna………Kaitannya dengan Industrialisasi Perikanan (Wijopriono)
Peningkatan upaya penangkapan ikan pada armada perikanan tuna di Samudera Hindia nampaknya diikuti dengan penurunan produktivitas kapal yang terindikasi dari turunnya hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE). Laju pancing, yang merupakan ukuran produktivitas armada perikanan tuna longline, maupun berat rata-rata hasil tangkapan tuna cenderung terus menurun (Gambar 5). Berdasarkan pada data contoh hasil tangkapan armada longline perusahaan yang berbasis di Bali menunjukkan bahwa baik laju pancing maupun bobot
rata-rata individu ikan tuna yang tertangkap cenderung yang menurun. Laju pancing (hook rate/HR) pada tahun 1992 sekitar HR=1,00 dengan berat tuna ratarata-34,5 kg per ekor, turun dan berfluktuasi pada kisaran HR= 0,72-0,76 pada periode 2001-2003 dengan berat rata-rata 26 kg per ekor (PRPT, 2005; LPPT, 2011). Sumber data lainnya menunjukkan laju pancing yang bervariasi, namun berdasarkan periode pengumpulan data mengidikasikan nilai yang terus menurun (Gambar 5).
Gambar 5.Upaya penangkapan dan hasil tangkapan per upaya penangkapan tuna longline di Samudera Hindia bagian Indonesia Figure 5. Fishing effort and catch per unit effort of Indonesian tuna longline operated in Indian Ocean DAYADUKUNG SUMBERDAYA Berdasarkan karakteristik biologinya, tuna umumnya kosmopolitan, penyebarannya terkait dengan lintang atau rezim oseanografi di perairan oseanik tropik dan subtropik. Madidihang (Yellowfin tuna/ Thunnus albacares) adalah jenis tuna tropik dan distribusinya terbatas pada suhu 18-21 0C. Umur ikan ini dapat mencapai 9 tahun dengan ukuran panjang maksimum 240 cm FL, matang gonad pada umur 35 tahun pada ukuran panjang rata-rata 100 cm (Froese & Pauly, 2009). Tuna mata besar (Bigeye tuna/ Thunnus obesus) memiliki geografis penyebaran yang sangat mirip dengan madidihang namun berbeda secara batimetrik; jarang tampak di permukaan namun melimpah di kedalaman sekitar 300m. Umur ikan ini dapat mencapai 15 tahun, matang gonad pada umur 3 tahun pada ukuran panjang rata-rata 100 cm (Nortmorn , 2004; Froese & Pauly, 2009). Spesies migrasi jauh lainnya adalah albakora (Albacore/ Thunnus alalunga). Albakora terkonsentrasi di area dingin pada suhu permukaan antara 150 - 18 0C dan
diketahui keberadaannya lebih melimpah di sisi utara sub-tropik konvergen di Samudera Hindia dan Atlantik. Umur ikan ini dapat mencapai 8 tahun, matang gonad pada umur 5-6 tahun. Populasi tuna yang ditemukan hanya di belahan bumi selatan adalah tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii) atau dikenal dengan sebutan SBT (Southern bluefin tuna), menyebar di perairan antara 300 dan 500 LS di Samudera Hindia. Umur maksimun SBT dapat mencapai 42 tahun, berat 200kg dengan panjang 2m, lebih dari 160cm pada umur diatas 25 tahun. Data yang tersedia mengindikasikan bahwa SBT belum mencapai matang gonad pada umur kurang dari 8 tahun (155cm FL) dan kemungkinan pada umur 15 tahun. SBT dianggap satu stok dalam kaitannya dengan pengelolaan. Kelompok tuna lainnya, Cakalang (Katsuwonus pelamis), banyak ditemukan pada suhu sedingin 16 0 C namun tidak menghindari kolom air yang lebih hangat di lapisan permukaan. Umur ikan ini dapat mencapai 9-10 tahun dengan ukuran panjang maksimum 110 cm FL, matang gonad pada umur > 2 tahun pada ukuran panjang 41-43cm.
105
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 101-108
Data hasil tagging membuktikan bahwa tuna mempunyai pergerakan yang sangat luas sehingga dalam kaitannya dengan pengelolaan dianggap bahwa masing-masing jenis tuna di Samudera Hindia tersebut merupakan satu unit stok (Collette & Nauen,1983; Froese & Pauly, 2009; Grande et al., 2010). Selain itu, tuna merupakan komoditas penting dan beruaya lintas batas negara sehingga pengelolaannya dilakukan secara bersama melalui organisasi pengelolaan regional, dalam hal ini adalah CCSBT untuk pengelolaan tuna sirip biru selatan/SBT (Thunnus maccoyii) dan IOTC untuk jenis tuna lainnya.
Nilai ekonomi tuna yang strategisnya membuat banyak negara di luar negara pantai sekeliling Samudera Hindia (distance water states) ikut ambil bagian mengeksploitasi sumberdaya ini. Meningkatnya armada yang beroperasi dari tahun ke tahun di wilayah ini menyebabkan penurunan hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE) maupun penurunan total hasil tangkapan (Gambar 6). Pada Tahun 2010, produksi global di Samudera Hindia hanya sebesar 852540 ton, menurun 30% dibanding produksi tahun 2005. Hal tersebut dipicu oleh turunnya produksi madidihang dan tuna mata besar.
Gambar 6. Produksi global tuna dan cakalang di Samudera Hindia (Sumber: IOTC, 2011) Figure 6. Global production of tuna and skipjack in Indian Ocean (Source: IOTC, 2011) Hasil kajian stok global tuna dan cakalang menunjukkan bervariasinya kondisi stok masingmasing species namun secara keseluruhan biomasa mengalami penurunan (IOTC, 2011). Stok albakora sudah dimanfaatkan melebihi MSY, total upaya penangkapan sudah melebihi upaya penangkapan maksimum (FMSY), menjaga atau meningkatkan upaya mungkin akan menyebabkan penurunan biomasa lebih jauh, produktivitas dan CPUE (Tabel 1). Sementara itu, biomasa tuna mata besar sudah dalam rentang nilai SBMSY meskipun pemanfaatan masih dibawah MSY. Sebaliknya, pemanfaatan sumbardaya madidihang dan cakalang masih dapat ditingkatkan, karena kondisi stok masih memungkinkan untuk dieksploitasi dan upaya penangkapan masih dibawah FMSY. Untuk tuna sirip biru selatan, jumlah tangkap yang dibolehkan (TAC) sudah ditetapkan sebesar 9449 ton dan jumlah maksimum tangkapan untuk masingmasing negara anggota CCSBT sudah dialokasikan, dimana kuota untuk Indonesia sebesar 750 ton. Membandingkan produksi global Samudera Hindia saat ini dan produksi maksimum lestari (MSY), maka peluang peningkatan produksi tuna dan cakalang di Samudera Hindia sekitar 254 000 ton, terdiri dari
106
madidihang 58 000 ton, Tuna mata besar 32 000 ton, dan terbanyak adalah cakalang, sekitar 165 000 ton. Peluang peningkatan produksi senilai angka tersebut akan diperebutkan oleh tidak kurang dari 28 negara yang saat ini mengekploitasi sumberdaya tuna dan cakalang di Samudera Hindia, termasuk Indonesia. Di perairan Samudera Hindia bagian Indonesia, hasil kajian komisi stok nasional menunjukaan bahwa stok tuna mata besar sudah over exploited, albakora dan madidihang sudah fully exploited, hanya cakalang yang pemanfaatannya masih dalam tingkat moderate (KepMen KP nomor 45/Men/2011). Disisi lain, industri perikanan, sangat membutuhkan pasok bahan baku tuna dan sangat mengandalkan pasokan dari perikanan tangkap. Data menujukkan bawa jumlah unit pengolahan mencapai 60 117 unit, dimana penyebaran jumlah unit pengolah ikan tertinggi di wilayah Jawa-Bali (54,61%) (Satria, 2012). Perusahaan pengolahan tersebut umumnya hanya dapat berproduksi 60% dari kapasitas terpasang. Produksi industri pengolahan tersebut akan menjadi lebih rendah pada bulan-bulan dimana produksi hasil tangkapan rendah (lihat Gambar 4).
Daya Dukung Sumber Daya Perikanan Tuna………Kaitannya dengan Industrialisasi Perikanan (Wijopriono)
Tabel 1. Estimasi stok global tuna dan cakalang di Samudera Hindia Table 1. Global stock estimation of tuna and skipjack in Indian Ocean
No
1
Jenis Ikan
Madidihang
MSY
Produksi 2010 (Ton)
F2010/FMSY
SB210/SBMSY
(Ton/th)
299 100
357 000 (290 000–435 000)
43 711
29 900
0.84 (0.63–1.10)
1.61 (1.47–1.78)
(Thunnus albacares) 2
Albacora (Thunnus alalunga)
3
4
Tuna mata besar (Thunnus obesus) Tuna sirip biru selatan
Cakalang (Katsuwonus pelamis)
≈1
0,67
1
(0,48-0,86)
(0,77-1,24)
34 500
0.76
0.229
(31 100-36 500)
(0.52–1.07)
(0.146–0.320)
(21 500-33 100) 71 489
102 900 (86 600–118 300 )
9 547
(Thunnus maccoyii) 5
>1
428 719
594 000
0.81 ( 0.54-1.16)
(395 000-843 000)
2,56 (1,09-5,83)
Sumber: IOTC (2011)
PROSPEK INDUSTRIALISASI PERIKANAN TUNA
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Merujuk pada pada hasil kajian stok nasional dan global, tampaknya peluang peningkatan pasokan bahan baku industri tuna dari perikanan tangkap di Samudera Hindia masih memungkinkan untuk beberapa jenis tuna dan area penangkapan. Peluang peningkatan pasokan tersebut terutama dari komoditas cakalang (Katsuwonus pelamis), dimana upaya penangkapan maupun stok biomasanya masih di bawah FMSY dan SBMSY. Peluang untuk komoditas Madidihang dan Tuna mata besar juga masih memungkinkan namun memerlukan investasi yang tidak sedikit. Stok kedua komoditas ini lebih banyak di area penangkapan ZEE dan laut lepas sehingga memerlukan restrukturisasi armada penangkapan kearah ukuran kapal yang lebih besar berikut perbaikan efisiensi teknologinya.
Sumberdaya tuna di Samudera Hindia bagian Indonesia (W PP572 dan 573) m enunjukkan kecenderungan yang terus menurun dan berdampak pada penurunan produksi, maupun hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) armada penangkapan. Peningkatan jumlah kapal saat ini, yang lebih banyak terjadi pada kelompok ukuran kapal 10-30 GT, terbukti belum mampu meningkatkan produksi secara nyata. Berdasarkan hasil-hasil kajian stok untuk perairan Samudera Hindia bagian Indonesia dan stok global, peluang peningkatan produksi hanya dapat dilakukan di perairan ZEE dan laut lepas (High Sea). Untuk itu diperlukan restrukturisasi armada. Dalam jangka panjang, tampaknya alokasi jumlah tangkapan setiap negara yang terlibat akan diterapkan seperti yang barlaku untuk sumberdaya tuna sirip biru selatan. Sehubungan dengan hal tersebut, peluang peningkatan produksi tersebut juga akan dipengaruhi oleh seberapa jauh Indonesia dapat memenuhi kewajiban (compliance) yang ditetapkan oleh lembaga pengelola regional, ketersediaan dan akurasi data perikanan dan lainnya yang menjadi kriteria dalam penetapan kuota penangkapan.
Melihat kondisi stok saat ini, terutama untuk komoditas albakora dan tuna sirip biru selatan, industralisasi perikanan tuna tidak dapat hanya mengandalkan produksi hasil tangkapan tetapi ke depan perlu fokus pada peningkatan nilai tambah, diantaranya dari sisi hulu dilakukan melalui peningkatan kualitas hasil tangkapan (penanganan di laut maupun pelabuhan pendaratan) dan diversifikasi produk di sisi hilirnya.
107
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.4 No. 2 November 2012 : 101-108
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan di Samudera Hindia Selatan Jawa (WPP 713) dengan sumberdana dari APBN Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Sumberdaya Ikan tahun 2012. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Pusat Penelitian dan Pengelolaan Sumberdaya ikan yang telah mengalokasikan dana untuk kegiatan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Bahtiar ,A, Barata, A., dan Novianto, D., 2011. Sebaran laju pancing (hook rate) ikan tuna di samudera hindia. Laporan Akhir Tahun 2011. Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa, Bali. 12 p. Collette, BB., and Nauen, CE., 1983. FAO species catalogue Vol 2. Scombrids of the world. An annotated and illustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos and related species nown to date. FAO Fish. Synop. Rome:125 (2): 137. DJPT, 2011. Statistik tahunan perikanan tangkap Indonesia 2010. Direktorat Jenderal Perikan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Froese R, & Pauly DE 2009. Fish Base, version 02/ 2009, FishBase Consortium, <www.fishbase.org>.
108
Grande M, Murua H, Zudaire I and Korta M. 2010. Spawning activity and batch fecundity of skipjack, Katsuwonus pelamis, in the Western Indian Ocean. Working paper presented to the 12th session of the IOTC Working Party on Tropical Tunas. IOTC–2010–WPTT12–47 p. IOTC, 2011. Executive Summary: status of the indian ocean bigeye tuna (thunnus obesus), yellowfin tuna (Thunnus albacares), albacore(Thunnus Alalunga), skipjact tuna (Katsuwonus pelamis), southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii) resources. Indian Ocean Tuna Commission. IOTC-2011-8-12. PRPT, 2005. Penelitian kebijakan tuna di Samudera Hindia. Laporan Akhir tahun 2005. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Jakarta. 81 p. Retnowati, SD., 2010. Perkembangan intersitas penangkapan tuna. Forum Perikanan Indonesia II, Pusat Riset Perikanan Tangkap, Jakarta. 23 p. Satria, A.,2012. Sistem Logistik Ikan. Harian Kompas, Selasa, 16 Oktober 2012. 6 p. Nootmorn, P, 2004. Reproductive biology of bigeye tuna in the eastern Indian Ocean. IOTC–2004– WPTT04–05 Working Paper. Wahyono, A.,2007. Status Sumberdaya Ikan Tuna dan Perairan Pantai pada WPP Samudera Hindia sebagai Bahan Rencana Pengelolaan Perikanan di Samudera Hindia. Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan, Semarang.