ISSN 0853 - 5884
JURNAL PENELITIAN PERIKANAN INDONESIA Volume 19 Nomor 4 Desember 2013 Nomor Akreditasi: 455/AU2/P2MI/LIPI/08/2012 (Periode: Agustus 2012 - Agustus 2015) Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia adalah wadah informasi perikanan, baik laut maupun perairan umum daratan. Jurnal ini menyajikan hasil penelitian sumber daya, penangkapan, oseanografi, lingkungan, rehabilitasi lingkungan, dan pengkayaan stok ikan. Terbit pertama kali tahun 1994. Tahun 2006, frekuensi penerbitan Jurnal ini tiga kali dalam setahun pada bulan April, Agustus, dan Desember. Tahun 2008, frekuensi penerbitan menjadi empat kali yaitu pada bulan MARET, JUNI, SEPTEMBER, dan DESEMBER. Ketua Redaksi: Prof. Dr. Wudianto, M.Sc Anggota: Prof. Dr. Ir. Ngurah Nyoman Wiadnyana, DEA Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Indra Jaya Prof. Dr. Ir. M.F. Rahardjo, DEA Dr. Ir. Abdul Ghofar, M.Sc. Mitra Bestari untuk Nomor ini: Prof. Dr. Ir. Endi Setiadi Kartamihardja, M.Sc. Redaksi Pelaksana: Dra. Endang Sriyati Arief Gunawan, S.Kom. Desain Grafis : Kharisma Citra, S.Sn
Alamat Redaksi/Penerbit: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Gedung Balitbang KP II, Jl. Pasir Putih II Ancol Timur Jakarta Utara 14430 Telp. (021) 64700928, Fax. (021) 64700929 Email:
[email protected] Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan PerikananKementerian Kelautan dan Perikanan.
KATA PENGANTAR Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia (JPPI) di tahun 2013 memasuki Volume ke-19. Pencetakan jurnal ini dibiayai oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan anggaran tahun 2013. Semua naskah yang terbit telah melalui proses evaluasi oleh Dewan Redaksi dan editing oleh Redaksi Pelaksana. Penerbitan keempat di Volume 19 tahun 2013 menampilkan tujuh artikel hasil penelitian perikanan di perairan Indonesia. Ketujuh artikel tersebut mengulas tentang: Struktur komunitas ikan karang di perairan pulau raya, pulau rusa, pulau rondo dan taman laut rinoi dan rubiah, Nanggroe Aceh Darussalam, Perbedaan waktu pengoperasian terhadap hasil tangkapan bagan tancap di perairan Sungsang, Sumatera Selatan, Sebaran laju pancing rawai tuna di Samudera Hindia, Daya dukung dan potensi produksi ikan waduk Sempor di kabupaten Kebumen-Propinsi Jawa Tengah, Produktivitas dan kerentanan ikan kurisi (Nemipterus spp.) hasil tangkapan cantrang di Laut Jawa, Dinamika populasi dan tingkat pemanfaatan udang windu (Penaeus monodon) di perairan Tarakan, Kalimantan Timur, Status bio-ekonomi perikanan udang di Laut Arafura. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan kontribusi bagi para pengambil kebijakan dan pengelola sumber daya perikanan di Indonesia. Redaksi mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif para peneliti dari lingkup dan luar Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan.
Redaksi
i
ISSN 0853 - 5884 JURNAL PENELITIAN PERIKANAN INDONESIA Volume 19 Nomor 4 Desember 2013 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………………...
i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………………….
iii
Struktur Komunitas Ikan Karang di Perairan Pulau Raya, Pulau Rusa, Pulau Rondo dan Taman Laut Rinoi dan Rubiah, Nanggroe Aceh Darussalam Oleh: Isa Nagib Edrus, Suseno Wangsit Wijaya, & Iwan Erik Setyawan………………………………… 175-186 Perbedaan Waktu Pengoperasian Terhadap Hasil Tangkapan Bagan Tancap di Perairan Sungsang, Sumatera Selatan Oleh: Fauziyah, Freddy Supriyadi, Khairul Saleh, dan Hadi……………………………………………… 187-194 Sebaran Laju Pancing Rawai Tuna di Samudera Hindia Oleh: Andi Bahtiar, Abram Barata, dan Dian Novianto..................................................................... 195-202 Daya Dukung dan Potensi Produksi Ikan Waduk Sempor di Kabupaten Kebumen-Propinsi Jawa Tengah Oleh: Kunto Purnomo, Andri Warsa dan Endi. S Kartamihardja………………………………………… 203-212 Produktivitas dan Kerentanan Ikan Kurisi (Nemipterus spp.) Hasil Tangkapan Cantrang di Laut Jawa Oleh: Setiya Triharyuni, Sri Turni Hartati, dan Regi Fiji Anggawangsa…………………………………… 213-220 Dinamika Populasi dan Tingkat Pemanfaatan Udang Windu (Penaeus monodon) di Perairan Tarakan, Kalimantan Timur Oleh: Duranta Diandria Kembaren dan Erfind Nurdin……………………………………………………… 221-226 Status Bio-Ekonomi Perikanan Udang di Laut Arafura Oleh: Purwanto………………………………………………………………………………………………… 227-234
iii
JURNAL PENELITIAN PERIKANAN INDONESIA Vol.19 No.4-Desember 2013 KUMPULAN ABSTRAK STRUKTUR KOMUNITAS IKAN KARANG DI PERAIRAN PULAU RAYA, PULAU RUSA, PULAU RONDO DAN TAMAN LAUT RINOI DAN RUBIAH, NANGGROE ACEH DARUSSALAM STRUKTUR KOMUNITAS IKAN KARANG DI PERAIRAN PULAU RAYA, PULAU RUSA, PULAU RONDO DAN TAMAN LAUT RINOI DAN RUBIAH, NANGGROE ACEH DARUSSALAM Isa Nagib Edrus JPPI Juni 2013, Vol. 19 No. 4, Hal. 175-186. Penelitian struktur komunitas ikan karang dilakukan di 10 stasiun pada perairan pulau terluar dan 2 stasiun pada taman laut Nanggroe Aceh Darussalam. Tujuan penelitian untuk mengindentifikasi struktur komunitas ikan karang. Metode yang digunakan adalah transek sabuk dan sensus visual dalam area 250 m2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa didapat 235 jenis ikan karang yang mewakili 45 suku. Komposisi jenis dan keanekaragaman (H) bervariasi antar stasiun. Pulau Raya memiliki jumlah jenis ikan karang dan keanekaragaman jenis yang paling rendah dibanding Pulau Rusa dan Pulau Rondo. Lokasi Pulau Rondo lebih jauh dari daratan utama dan memiliki jenis dan keanekaragaman yang lebih tinggi dari pada Pulau Raya dan Rusa, tetapi semua itu masih rendah jika dibandingkan dengan dua lokasi taman laut, Rinoi dan Rubiah. Ikan hias yang umum dijumpai di perairan Nanggroe Aceh Darusasalam, tetapi jarang dijumpai di tempat lain, adalah dari jenis kepe-kepe seperti Chaetodon andamanensis, Chaetodon xanthocephalus, Hemitaurichthys zoster dan jenis ikan antias punggung kuning, Pseudanthias evansi. Sementara, kepadatan individu per meter persegi tergolong rendah pada semua stasiun penelitian. Penelitian struktur komunitas ikan karang dilakukan di 10 stasiun pada perairan pulau terluar dan 2 stasiun pada taman laut Nanggroe Aceh Darussalam. Tujuan penelitian untuk mengindentifikasi struktur komunitas ikan karang. Metode yang digunakan adalah transek sabuk dan sensus visual dalam area 250 m2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa didapat 235 jenis ikan karang yang mewakili 45 suku. Komposisi jenis dan keanekaragaman (H) bervariasi antar stasiun. Pulau Raya memiliki jumlah jenis ikan karang dan keanekaragaman jenis yang paling rendah dibanding Pulau Rusa dan Pulau Rondo. Lokasi Pulau Rondo lebih jauh dari daratan utama dan memiliki jenis dan keanekaragaman yang lebih tinggi dari pada Pulau Raya dan Rusa, tetapi semua itu masih rendah jika dibandingkan dengan dua lokasi taman laut, Rinoi dan Rubiah. Ikan hias yang umum dijumpai di perairan Nanggroe Aceh Darusasalam, tetapi jarang dijumpai di tempat lain, adalah dari jenis kepe-kepe seperti Chaetodon andamanensis, Chaetodon xanthocephalus, Hemitaurichthys zoster dan jenis ikan antias punggung kuning, Pseudanthias evansi. Sementara, kepadatan individu per meter persegi tergolong rendah pada semua stasiun penelitian. Kata Kunci : Ikan karang, Struktur Komunitas, Pulau Raya, Pulau Rusa, Pulau Rondo, Taman Laut, Nanggroe Aceh Darussalam
PERBEDAAN WAKTU PENGOPERASIAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BAGAN TANCAP DI PERAIRAN SUNGSANG, PERBEDAAN WAKTU PENGOPERASIAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BAGAN TANCAP DI PERAIRAN SUNGSANG, SUMATERA SELATAN
Fauziyah JPPI Juni 2013, Vol. 19 No. 4, Hal. 187-194. Di perairan Sungsang Sumatera Selatan, target utama penangkapan dengan alat tangkap bagan adalah ikan teri (Stolephorus sp) dan ikan lainnya sebagai hasil sampingan. Pada umumnya, bagan tancap dioperasikan oleh nelayan setempat sebelum tengah malam sampai menjelang pagi. Berdasarkan fakta tersebut, pengkajian waktu pengoperasian yang optimum terhadap hasil tangkapan bagan tancap perlu dilakukan. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis perbedaan waktu operasi dan waktu operasi optimum terhadap hasil tangkapan bagan tancap. Penelitian ini dilaksanakan pada kondisi bulan gelap pada bulan Mei 2012 dengan metode experimental fishing dan model Rencana Arah Lengkap (RAL) dengan perlakuan perbedaan waktu operasi yaitu sebelum tengah malam (21.00-23.59 WIB), saat tengah malam (00.00-02.59WIB), dan setelah tengah malam (03.00-05.59 WIB). Empat bagan tancap dioperasikan dengan masing-masing 3 kali trip. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu operasi penangkapan bagan tancap berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan, dan waktu pengoperasian yang optimum bagan tancap adalah pada saat tengah malam (00.00-02.59 WIB). Di perairan Sungsang Sumatera Selatan, target utama penangkapan dengan alat tangkap bagan adalah ikan teri (Stolephorus sp) dan ikan lainnya sebagai hasil sampingan. Pada umumnya, bagan tancap dioperasikan oleh nelayan setempat sebelum tengah malam sampai menjelang pagi. Berdasarkan fakta tersebut, pengkajian waktu pengoperasian yang optimum terhadap hasil tangkapan bagan tancap perlu dilakukan. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis perbedaan waktu operasi dan waktu operasi optimum terhadap hasil tangkapan bagan tancap. Penelitian ini dilaksanakan pada kondisi bulan gelap pada bulan Mei 2012 dengan metode experimental fishing dan model Rencana Arah Lengkap (RAL) dengan perlakuan perbedaan waktu operasi yaitu sebelum tengah malam (21.00-23.59 WIB), saat tengah malam (00.00-02.59WIB), dan setelah tengah malam (03.00-05.59 WIB). Empat bagan tancap dioperasikan dengan masing-masing 3 kali trip. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu operasi penangkapan bagan tancap berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan, dan waktu pengoperasian yang optimum bagan tancap adalah pada saat tengah malam (00.0002.59 WIB). Kata Kunci : Hasil tangkapan, waktu operasi, bagan tancap, perairan Sungsang
iv
SEBARAN LAJU PANCING RAWAI TUNA DI SAMUDERA HINDIA SEBARAN LAJU PANCING RAWAI TUNA DI SAMUDERA HINDIA Andi Bahtiar JPPI Juni 2013, Vol. 19 No. 4, Hal. 195-202. Rawai tuna adalah alat tangkap yang efektif untuk menangkap tuna lapisan dalam dan bersifat pasif dalam pengoperasiannya sehingga tidak merusak sumberdaya hayati di perairan. Laju pancing (hook rate) ikan tuna merupakan salah satu penentu indeks kelimpahan tuna di daerah penangkapan tuna di Samudera Hindia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran nilai laju pancing ikan tuna di Samudera Hindia. Penelitian dilakukan sebanyak 67 trip observasi mulai tahun 2005 sampai tahun 2010 dengan menggunakan kapal-kapal rawai tuna yang berbasis di Pelabuhan Benoa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis albacore (Thunnus alallunga) memiliki nilai laju pancing rata-rata tertinggi yaitu 0,30 pada tahun 2008 dan yang terendah pada tahun 2005 sebesar 0,02. Nilai laju pancing terendah bigeye tuna terjadi pada tahun 2010 sebesar 0,19 dan yang tertinggi pada tahun 2005 sebesar 0,27. Nilai laju pancing yellowfin tuna terendah sebesar 0,01 terjadi pada tahun 2005 dan tertinggi pada tahun 2006 sebesar 0,12, sedangkan nilai laju pancing Southern bluefin tuna, terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar 0,002 dan tertinggi pada tahun 2005 sebesar 0,04.Rawai tuna adalah alat tangkap yang efektif untuk menangkap tuna lapisan dalam dan bersifat pasif dalam pengoperasiannya sehingga tidak merusak sumberdaya hayati di perairan. Laju pancing (hook rate) ikan tuna merupakan salah satu penentu indeks kelimpahan tuna di daerah penangkapan tuna di Samudera Hindia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran nilai laju pancing ikan tuna di Samudera Hindia. Penelitian dilakukan sebanyak 67 trip observasi mulai tahun 2005 sampai tahun 2010 dengan menggunakan kapal-kapal rawai tuna yang berbasis di Pelabuhan Benoa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis albacore (Thunnus alallunga) memiliki nilai laju pancing rata-rata tertinggi yaitu 0,30 pada tahun 2008 dan yang terendah pada tahun 2005 sebesar 0,02. Nilai laju pancing terendah bigeye tuna terjadi pada tahun 2010 sebesar 0,19 dan yang tertinggi pada tahun 2005 sebesar 0,27. Nilai laju pancing yellowfin tuna terendah sebesar 0,01 terjadi pada tahun 2005 dan tertinggi pada tahun 2006 sebesar 0,12, sedangkan nilai laju pancing Southern bluefin tuna, terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar 0,002 dan tertinggi pada tahun 2005 sebesar 0,04. Kata Kunci : Rawai tuna, laju pancing, ikan tuna, Samudera Hindia
DAYA DUKUNG DAN POTENSI PRODUKSI IKAN WADUK SEMPOR DI KABUPATEN KEBUMEN-PROPINSI JAWA TENGAH DAYA DUKUNG DAN POTENSI PRODUKSI IKAN WADUK SEMPOR DI KABUPATEN KEBUMEN-PROPINSI JAWA TENGAH Kunto Purnomo JPPI Juni 2013, Vol. 19 No. 4, Hal. 203-212. Waduk Sempor di Kabupaten Kebumen mempunyai luas 275 ha, fungsi utama untuk pengendali banjir, pengairan dan fungsi sekunder untuk perikanan tangkap dan budidaya serta pariwisata. Pengembangan perikanan tangkap dan budi daya yang berkelanjutan harus didasarkan atas potensi produksi ikan dan daya dukung perairan waduk. Penelitian ini bertujuan untuk menduga potensi produksi ikan dan daya dukung perairan waduk Sempor serta implikasi optimasi pemanfaatannya bagi pengembangan perikanan. Penelitian dilakukan dengan metode survey dan pencatatan hasil tangkapan nelayan dilakukan oleh enumerator. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya dukung perairan waduk Sempor berkisar antara 72-236 ton/tahun atau setara dengan 118 unit KJA ukuran 6x6x3 m3 dengan asumsi setiap unit KJA menghasilkan 2 ton ikan per tahun. Potensi produksi ikan untuk pengembangan perikanan tangkap berkisar antara 237307 ton/th. Daya dukung dan potensi produksi ikan berfluktuasi sesuai dengan fluktuasi tinggi muka air, luas permukaan air dan volume waduk. Dewasa ini, ikan lohan (Cichlacoma trimaculatum) yang termasuk ikan asing invasif dan nila (Oreochromis niloticus) yang termasuk ikan ekonomis merupakan jenis ikan yang dominan tertangkap. Hasil tangkapan nelayan cenderung menurun dan sangat rendah yaitu 2,3 kg/nelayan/hari. Optimasi hasil tangkapan ikan dapat dilakukan dengan penebaran ikan planktivora sebanyak 103.518-242.388 ekor per tahun dengan frekewensi dua kali dalam setahun dan pengendalian ikan asing invasif. Waduk Sempor di Kabupaten Kebumen mempunyai luas 275 ha, fungsi utama untuk pengendali banjir, pengairan dan fungsi sekunder untuk perikanan tangkap dan budidaya serta pariwisata. Pengembangan perikanan tangkap dan budi daya yang berkelanjutan harus didasarkan atas potensi produksi ikan dan daya dukung perairan waduk. Penelitian ini bertujuan untuk menduga potensi produksi ikan dan daya dukung perairan waduk Sempor serta implikasi optimasi pemanfaatannya bagi pengembangan perikanan. Penelitian dilakukan dengan metode survey dan pencatatan hasil tangkapan nelayan dilakukan oleh enumerator. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya dukung perairan waduk Sempor berkisar antara 72-236 ton/tahun atau setara dengan 118 unit KJA ukuran 6x6x3 m3 dengan asumsi setiap unit KJA menghasilkan 2 ton ikan per tahun. Potensi produksi ikan untuk pengembangan perikanan tangkap berkisar antara 237307 ton/th. Daya dukung dan potensi produksi ikan berfluktuasi sesuai dengan fluktuasi tinggi muka air, luas permukaan air dan volume waduk. Dewasa ini, ikan lohan (Cichlacoma trimaculatum) yang termasuk ikan asing invasif dan nila (Oreochromis niloticus) yang termasuk ikan ekonomis merupakan jenis ikan yang dominan tertangkap. Hasil tangkapan nelayan cenderung menurun dan sangat rendah yaitu 2,3 kg/nelayan/hari. Optimasi hasil tangkapan ikan dapat dilakukan dengan penebaran ikan planktivora sebanyak 103.518-242.388 ekor per tahun dengan frekewensi dua kali dalam setahun dan pengendalian ikan asing invasif. Kata Kunci: Daya dukung, potensi produksi ikan, perikanan tangkap, perikanan budidaya, Waduk Sempor
v
PRODUKTIVITAS DAN KERENTANAN IKAN KURISI (Nemipterus spp.) HASIL TANGKAPAN CANTRANG DI LAUT JAWAPRODUKTIVITAS DAN KERENTANAN IKAN KURISI (Nemipterus spp.) HASIL TANGKAPAN CANTRANG DI LAUT JAWA Setiya Triharyuni JPPI Juni 2013, Vol. 19 No. 4, Hal. 213-220. Ikan kurisi (Nemipteridae) termasuk kelompok ikan demersal yang memiliki salah satu sifat melakukan ruaya yang tidak terlalu jauh dan aktivitas gerak yang relatif rendah. Sifat ini mengakibatkan daya tahan ikan kurisi ini menjadi rendah terhadap tekanan penangkapan. Ukuran ikan yang tertangkappun cenderung semakin kecil. Analisis produktivitas dan kerentanan (PSA) merupakan sebuah cara yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kerentanan stok dengan dasar produktivitas biologi dan kerentanan perikanan yang mengeksploitasinya. Dengan menggunakan analisis PSA ini maka dapat digambarkan tingkat resiko ikan kurisi akibat penangkapannya. Hasil penilaian PSA menghasilkan jenis N. japonicus dan N. gracilis memiliki resiko tinggi terhadap penangkapan dan N. hexodon beresiko sedang dan N. mesoprion memiliki resiko yang rendah terhadap penangkapan. Ini ditunjukkan dengan penilaian terhadap atribut produktivitas yang memberikan nilai yang relatif sama terhadap keempat jenis ikan kurisi (1,71-2,14), sedangkan nilai atribut kerentanan N. Japonicus dan N. gracilis adalah tinggi dan N. hexodon adalah sedang dan nilai atribut kerentanan terhadap dan N. mesoprion adalah rendah.Ikan kurisi (Nemipteridae) termasuk kelompok ikan demersal yang memiliki salah satu sifat melakukan ruaya yang tidak terlalu jauh dan aktivitas gerak yang relatif rendah. Sifat ini mengakibatkan daya tahan ikan kurisi ini menjadi rendah terhadap tekanan penangkapan. Ukuran ikan yang tertangkappun cenderung semakin kecil. Analisis produktivitas dan kerentanan (PSA) merupakan sebuah cara yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kerentanan stok dengan dasar produktivitas biologi dan kerentanan perikanan yang mengeksploitasinya. Dengan menggunakan analisis PSA ini maka dapat digambarkan tingkat resiko ikan kurisi akibat penangkapannya. Hasil penilaian PSA menghasilkan jenis N. japonicus dan N. gracilis memiliki resiko tinggi terhadap penangkapan dan N. hexodon beresiko sedang dan N. mesoprion memiliki resiko yang rendah terhadap penangkapan. Ini ditunjukkan dengan penilaian terhadap atribut produktivitas yang memberikan nilai yang relatif sama terhadap keempat jenis ikan kurisi (1,71-2,14), sedangkan nilai atribut kerentanan N. Japonicus dan N. gracilis adalah tinggi dan N. hexodon adalah sedang dan nilai atribut kerentanan terhadap dan N. mesoprion adalah rendah.
DINAMIKA POPULASI DAN TINGKAT PEMANFAATAN UDANG WINDU (Penaeus monodon) DI PERAIRAN TARAKAN, KALIMANTAN TIMUR Duranta Diandria Kembaren JPPI Juni 2013, Vol. 19 No. 4, Hal. 221-226. Penelitian dinamika populasi dan tingkat pemanfaatan udang windu (Penaeus monodon) di perairan Tarakan, Kalimantan Timur dilakukan berdasarkan data frekuensi panjang karapas yang dikumpulkan sejak bulan Januari sampai Nopember 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika populasi udang windu. Pendugaan dinamika populasi udang windu dilakukan dengan menggunakan alat bantu program FiSAT II. Hasil analisa menunjukkan bahwa panjang karapas infinitif (CL") udang windu sebesar 84,8 mm dengan laju pertumbuhan (K) sebesar 1,6/tahun, laju kematian total (Z) 4,17/tahun, laju kematian alami (M) 1,85/tahun, dan laju kematian penangkapan 2,32/tahun. Laju ekploitasi (E) sebesar 0,56 menunjukkan bahwa tingkat pengusahaan sudah berada dalam keadaan jenuh (fully exploited) dan cenderung mengarah pada kondisi lebih tangkap (overexploited) sehingga diperlukan pengelolaan perikanan udang yang hati-hati dan bertanggungjawab. Kata Kunci : Dinamika populasi, tingkat pemanfaatan, udang windu, perairan Tarakan
Kata Kunci: Ikan kurisi, cantrang, produktivitas, kerentanan dan resiko penangkapan
vi
STATUS BIO-EKONOMI PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA STATUS BIO-EKONOMI PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA Purwanto JPPI Juni 2013, Vol. 19 No. 4, Hal. 227-234. Tulisan ini menyajikan hasil kajian potensi ekonomi dan upaya penangkapan optimal dari perikanan udang di Laut Arafura, termasuk pula estimasi dampak dari peningkatan upaya penangkapan terhadap profitabilitas pengoperasian kapal dan keuntungan ekonomi perikanannya. Berdasarkan hasil analisis, total keuntungan optimum dari pemanfaatan stok udang di Laut Arafura adalah sekitar US$ 168,4 juta per tahun yang dihasilkan dengan upaya penangkapansekitar 388 unit setara kapal penangkap udang.Walaupun upaya penangkapan dari kapal yang memiliki surat izin penangkapan ikan di Laut Arafura tahun 2011 lebih rendah dibandingkan upaya penangkapanyang secara ekonomis optimal, stok udang penaeid tersebut telah dimanfaatkan melebihi tingkat optimumnya akibat tingginya intensitas operasi kapal perikanan tanpa izin. Estimasi kerugian ekonomi akibat kegiatan penangkapan ikan ilegal juga disajikan disini.Tulisan ini menyajikan hasil kajian potensi ekonomi dan upaya penangkapan optimal dari perikanan udang di Laut Arafura, termasuk pula estimasi dampak dari peningkatan upaya penangkapan terhadap profitabilitas pengoperasian kapal dan keuntungan ekonomi perikanannya. Berdasarkan hasil analisis, total keuntungan optimum dari pemanfaatan stok udang di Laut Arafura adalah sekitar US$ 168,4 juta per tahun yang dihasilkan dengan upaya penangkapansekitar 388 unit setara kapal penangkap udang.Walaupun upaya penangkapan dari kapal yang memiliki surat izin penangkapan ikan di Laut Arafura tahun 2011 lebih rendah dibandingkan upaya penangkapanyang secara ekonomis optimal, stok udang penaeid tersebut telah dimanfaatkan melebihi tingkat optimumnya akibat tingginya intensitas operasi kapal perikanan tanpa izin. Estimasi kerugian ekonomi akibat kegiatan penangkapan ikan ilegal juga disajikan disini. Kata Kunci : Perikanan udang, produksi ekonomi maksimum, upaya penangkapan optimum, penangkapan ikan illegal
vii
Struktur Komunitas Ikan Karang …… Laut Rinoi dan Rubiah Nanggro Aceh Darusalam (Edrus I N., et al)
STRUKTUR KOMUNITAS IKAN KARANG DI PERAIRAN PULAU RAYA, PULAU RUSA, PULAU RONDO DAN TAMAN LAUT RINOI DAN RUBIAH, NANGGROE ACEH DARUSSALAM REEF FISH COMMUNITY STRUCTURES IN THE ISLANDS OF RAYA, RUSA, RONDO AND THE MARINE PARKS OF RINOI AND RUBIAH, NANGGROE ACEH DARUSSALAM’S WATERS Isa Nagib Edrus1, Suseno Wangsit Wijaya2 & Iwan Erik Setyawan2 1
Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta Badan Informasi Geospasial Cibinong Teregistrasi I tanggal: 08 April 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 02 Desember 2013; Disetujui terbit tanggal: 09 Desember 2013 2
ABSTRAK Penelitian struktur komunitas ikan karang dilakukan di 10 stasiun pada perairan pulau terluar dan 2 stasiun pada taman laut Nanggroe Aceh Darussalam. Tujuan penelitian untuk mengindentifikasi struktur komunitas ikan karang. Metode yang digunakan adalah transek sabuk dan sensus visual dalam area 250 m2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa didapat 235 jenis ikan karang yang mewakili 45 suku. Komposisi jenis dan keanekaragaman (H) bervariasi antar stasiun. Pulau Raya memiliki jumlah jenis ikan karang dan keanekaragaman jenis yang paling rendah dibanding Pulau Rusa dan Pulau Rondo. Lokasi Pulau Rondo lebih jauh dari daratan utama dan memiliki jenis dan keanekaragaman yang lebih tinggi dari pada Pulau Raya dan Rusa, tetapi semua itu masih rendah jika dibandingkan dengan dua lokasi taman laut, Rinoi dan Rubiah. Ikan hias yang umum dijumpai di perairan Nanggroe Aceh Darusasalam, tetapi jarang dijumpai di tempat lain, adalah dari jenis kepe-kepe seperti Chaetodon andamanensis, Chaetodon xanthocephalus, Hemitaurichthys zoster dan jenis ikan antias punggung kuning, Pseudanthias evansi. Sementara, kepadatan individu per meter persegi tergolong rendah pada semua stasiun penelitian. KATA KUNCI : Ikan karang, Struktur Komunitas, Pulau Raya, Pulau Rusa, Pulau Rondo, Taman Laut, Nanggroe Aceh Darussalam. ABSTRACT The community structure study of reef fish was conducted in 10 stations of the adjacent bordered off islands and 2 stations of around sea gardens of Nanggroe Aceh Darussalam waters. The study objective is to identify the reef fish community structures. Methods used was belt transect and visual census within area of 250 m2. The results showed that there were at least 235 species of reef fishes with 45 families. Species compositions and diversity indices (R) were varied among transect sites. Raya Island have the lowest of reef fish species numbers and it’s diversity than those in Rusa and Rondo islands. Rondo island, the remote area from the main land, have the higher species numbers and diversity than those in Raya and Rusa islands; however, species numbers and diversity of reef fish in Rondo still lower than those in sea garden of Rinoi and Rubiah. The ornamental fish commonly found in Nanggoe Aceh Darussalam, but umcommon in other regions, are butterfly fishes such as Chaetodon andamanensis, Chaetodonxanthocephalus, Hemitaurichthys zoster and yellowback anthias, Pseudanthiasevansi. While, individual density per square meter was rare for all of the transect areas. KEY WORDS: Reef fish, Community Structures, Raya Island, Rusa Island, Rondo Island, Marine Park, Nanggroe Aceh Darussalam.
PENDAHULUAN Inventarisasi sumber daya laut merupakan suatu program pemerintah untuk mengumpulkan data-data sumber daya pesisir dan laut. Target wilayah kajian adalah meliputi pesisir daratan utama maupun pulaupulau kecil sekitar daratan utama. Inventarisasi
tersebut berkaitannya erat dengan usaha interpretasi dan pemetaan kondisi spasial sumber daya pesisir dan laut pada lokasi-lokasi terpilih. Indonesia memiliki 92 pulau kecil terluar yang memiliki arti sangat strategis. Dari 92 pulau terluar tersebut, sebagian kecil sudah dilakukan
___________________ Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung Kompleks Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Jakarta Utara
175
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 175-186
inventarisasinya, seperti di Provinsi Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. Fokus pada kegiatan tahun 2011 adalah 3 pulau terluar di Daerah Istimewa Aceh Darussalam. Pulau kecil terluar yang dikunjungi di wilayah istimewa ini antara lain adalah Pulau Raya, Pulau Rusa, dan Pulau Rondo. Terumbu karang di pulau-pulau tersebut menunjukkan gradien alamiah dalam hal keanekaragam ikan karang. Semakin jauh dari daratan utama semakin meningkat kekayaan jenis ikan. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi kesehatan terumbu karang dan letak pulau dari daratan utama. Kesehatan terumbu karang di wilayah tersebut mempunyai catatan buruk sebelumnya, terutama sebagai akibat dari tsunami 2004 (Campbell et al., 2007) dan pengaruh run off yang diteruskan oleh muara sungai besar dari daratan utama sepanjang tahun. Hasil study Mallela et al. (2007) di tempat lain menunjukkan bahwa masukan dari sungai mempunyai pengaruh yang membentuk struktur komunitas tersendiri dan merubah komposisi taksa dan tropik ikan karang. Terumbu karang memainkan peran penting dalam memelihara ekosistem di laut dengan beragam fungsi dan fungsinya tersebut rentan terhadap pengaruh daratan (White et al., 2000). Terumbu karang juga menghasilkan jutaan dolar setiap tahun dari beragam nilai yang diperoleh dari penangkapan ikan, pariwisata, keindahan, dan perlindungan pantai (Cesar, 1996). Oleh karena fungsinya seperti itu dan lagi rawan terhadap aktivitas pembangunan di daratan, tekanan yang semakin berat pada terumbu karang dari beragam kegiatan bukan saja dapat menghilangkan habitat bagi biota laut, tetapi juga menurunkan tingkat pendapatan masyarakat yang berada di sekitarnya. Mallela et al. (2007) mengingatkan bahwa terumbu karang secara perlahan sedang menghilang dan sedimentasi adalah satu dari beragam alasan yang berpengaruh. Kebutuhan inventarisasi sumber daya terumbu karang menjadi meningkat pasca peristiwa tsunami 2004. Peristiwa ini bersamaan dengan pengaruh pembangunan diduga merubah habitat dan selanjutnya berpengaruh pada komunitas ikan karang. Variabilitas pengaruh diasumsikan juga membuat variasi dalam biodiversitas komunitas ikan karang di pulau-pulau terluar Nanggroe Aceh Darussalam, dimana dapat dibandingkan dengan kondisi struktur komunitas ikan karang di area taman laut pada wilayah yang sama. Informasi biodiversitas ikan karang diharapkan bermanfaat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau terluar.
176
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur komunitas ikan karang di pulau terluar di wilayah perairan Nanggroe Aceh Darussalam. BAHAN DAN METODE Lokasi penelitian yang dilaksanakan tahun 2011 mencakup 12 stasiun. Di perairan sekitar Pulau Raya ditetapkan 4 stasiun, Pulau Rusa 2 stasiun, Pulau Rondo 4 stasiun, Perairan Rinoi dan Taman Laut Rubiah masing-masing 1 stasiun. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Transek Sabuk (TS) dan metode sensus visual (English et al., 1994). Sensus visual yang dikerjakan oleh penyelam sepanjang garis transek 50 meter, dengan luas area sensus (50 x 5) m2. Jenis dan perkiraan jumlah ikan dicatat dalam lembar data kertas kedap air. Identifikasi jenis ikan menggunakan buku petunjuk bergambar (Kuiter & Tonozuka, 2001; Lieske & Myers, 1997). Analisa keragaman hayati ikan karang menggunakan berbagai indek ekologi, seperti di bawah ini. Indeks Margalef R = (S-1)/ln(n)........................(1) }. (2) Indeks Simpson- D = ∑ {(ni(ni – 1) / (N(N –1)} } (3) Indeks Shannon Weaver H = Σ{ Σ{(ni/N) ln(ni/N)} Indeks Pielou E1 = {H / ln (S)} } ...................... (4) Dengan keterangan: R = Indeks Kekayaan Jenis, D = Indeks Dominasi, H = Indeks Keanekaragaman Shannon, E = Indeks Kemerataan, ni = jumlah ikan jenis ke I, N = total individu ikan untuk semua jenis dan S = banyaknya jenis. HASIL DAN BAHASAN HASIL Hasil sensus visual (Tabel 1) menunjukkan variasi yang cukup besar dari lokasi pulau ke lokasi pulau yang lain. Data sensus tersebut membagi wilayah tersebut dalam tiga kondisi kesehatan lingkungan perairan, dimana Pulau Raya dan Pulau Rusa mewakili kondisi perairan yang kurang sehat, sebaliknya Pulau Rondo mewakili kondisi perairan yang relatif lebih baik dari kedua pulau tersebut. Perairan Rinoi dan Rubiah mewakili area taman laut yang relatif lebih terpelihara. Pulau Raya mempunyai jumlah jenis ikan 68 spesies dengan variasi indeks keanekaragaman berkisar pada nilai 2,24 – 2,86. Pulau Rusa memiliki jumlah jenis ikan yang sedikit lebih tinggi, yaitu 79 spesies dengan variasi indeks
Struktur Komunitas Ikan Karang …… Laut Rinoi dan Rubiah Nanggro Aceh Darusalam (Edrus I N., et al)
keanekaragaman berkisar pada nilai 2,33 – 2,93. Pulau Rondo letaknya lebih jauh dari daratan utama, baik Pulau Weh maupun Daratan Aceh, hingga perairan karang berkembang lebih baik dan memiliki jumlah jenis ikan karang sebesar 102 spesies dengan variasi keanekaragaman H = 2,34 sampai 2,95. Jumlah dan komposisi jenis ikan karang di ketiga pulau tersebut berbeda jika dibandingkan dengan data yang diambil di perairan desa Rinoi (130 jenis) dan Rubiah (158 jenis), di mana kedua lokasi ini dianggap sebagai taman laut dengan perairan yang lebih jernih dan keanekaragaman - H relatif lebih tinggi, yaitu masing-masing 3,15 dan 3,23. Ikan Hias Ikan hias di terumbu karang kebanyakan dalam kategori kelompok ikan “major” yang berassosiasi secara kuat dengan karang, tetapi juga dipengaruhi oleh kolom air. Dalam kondisi perairan yang kurang baik, terutama dengan kekeruhan tinggi, tidak banyak jenis ikan hias yang nampak, sebaliknya pada perairan jernih banyak jenis yang muncul. Substrat karang dan kolom air yang tidak sehat memberikan pengaruh pada komunitas ikan dengan gradien yang berbeda dari tiap-tiap lokasi, di mana akan menunjukkan komposisi ikan yang berbeda dari satu lokasi yang
sehat sampai lokasi yang rusak. Kelompok “major” dijumpai dari yang terkecil 14 jenis sampai yang terbesar 77 jenis. Jumlah ikan “major” dari terkecil 37 individu sampai terbesar 387 individu per 250 m2. Pulau Raya dan pulau Rusa relatif lebih buruk perairannya untuk kehadiran ikan hias dibanding pulau Rondo. Perairan Rhinoi dan Rubiah merupakan contoh yang relatif lebih baik dari sisi kehadiran ikan hias. Kelompok ikan hias ekonomis tinggi lebih banyak terdapat pada famili Anthiidae (pelangi), Scorphaenida (lepu ayam), Pomacanthidae (injel), Pomacentridae (betok karang) dan Labridae (nuri), Balistidae (mendut, Balistoides conspicillum), Zanclidae (ikan bendera), Ostraciidae (buntal kotak), dan Tetraodontidae (buntal kotak). Secara rinci jenis-jenis kelompok “major” yang di antaranya ikan hias bernilai ekonomis tinggi diperlihatkan pada Lampiran 1. Nilai ekonomis dibentuk oleh sifat keunikan, kelangkaan, corak warna, pola gerakan dan pemintaan pasar yang tinggi. Satu jenis ikan hias dapat memiliki 1 atau lebih dari kategori yang disifatkan oleh nilai ekonomis di atas. Variasi dari sifat tersebut dapat membuat ikan hias memiliki harga yang tinggi sekali.
Tabel 1. Hasil analisis data sensus visual ikan karang pada beberapa lokasi penelitian di perairan Nanggroe Aceh Darussalam Table 1. Results of visual census data analysis for reef fishes of study sites in Nanggroe Aceh Darussalam waters. LOKASI TRANSEK (Transect Sites ) PULAU RAYA
PULAU RUSA
PERAIRAN
PULAU RONDO
Raya Island
Rusa Island
Waters of
Rondo Island
KATEGORI (Categories) Jumlah (Number ) Jenis (Species ) Marga (Genus ) Suku (Families ) Indeks (Indices ) R D H Katagori H (H-categories )* E Kepadatan (Density ) 2
individual /m Komposisi Individu (%) (Individual Composition ) Ikan Major (Major Fish ) Ikan Target (Target Fish ) Ikan Indikator (Indicator Fish ) Komposisi Jenis (%) (Species Composition ) Ikan Major (Major Fish ) Ikan Target (Target Fish ) Ikan Indikator (Indicator Fish )
RINOI
RUBIAH
St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
St 7
St 8
St 9
St 10
St 11
St 12
50
68
32
33
34
79
130
158
100
78
55
102
28
42
20
21
24
40
66
75
55
51
42
58
13
19
7
10
13
19
34
35
24
26
21
27
7,53 0,11 2,77 S 0,71
9,32 0,11 2,86 S 0,68
4,79 0,21 2,24 R 0,65
5,09 0,21 2,30 R 0,66
5,08 0,20 2,30 R 0,66
10,71 0,11 2,93 S 0,67
16,22 0,08 3,15 S 0,65
19,69 0,09 3,23 S 0,64
13,46 0,11 2,95 S 0,64
10,61 0,20 2,34 S 0,54
8,11 0,17 2,56 S 0,64
12,46 0,08 2,95 S 0,64
2,7
5,3
2,6
2,6
2,2
5,8
11,4
11,6
6,2
5,7
3,1
13,2
322 330 14
1062 226 30
598 32 10
425 141 14
474 73 16
1222 211 23
2468 316 58
2442 387 66
1278
1269 128 20
663 80 35
3007 233 68
18 24 8
28 31 9
18 9 5
14 14 6
18 12 4
32 37 10
58 54 18
77 62 19
46
39 30 9
28 19 8
54 33 15
213 35
41 13
*)Keterangan (Remarks ) Ketegori Keanekaragaman/Diversity Categories (Mason, 1981) R = Rendah (Low )
S = Sedang (Fair )
T = Tinggi (High )
ST = Sangat Tinggi (Very High )
H < 2,30
2,31 < H < 3,45
3,46 < H < 5,57
5,76 < H < 6,90
177
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 175-186
Ikan Konsumsi (Ikan Target) Dari sisi jumlah jenis, ikan kelompok target yang menjadi komoditas ekonomis penting terindentifikasi di area penelitian antara 28 % hingga 48 %. Dalam posisi normal yang biasa ditemukan di perairan karang tropis kelompok target tersebut adalah 30 % dari jenis yang biasa hidup di terumbu karang. Jadi pada lokasi tertentu di perairan pulau-pulau terluar Nanggroe Aceh memiliki jenis ikan konsumsi yang relatif tinggi dari normalnya, meskipun dari sisi jumlah individu tergolong rendah (Tabel 1). Secara rinci jenis-jenis ikan konsumsi tersebut dan sebarannya disajikan dalam Lampiran 1. Kelompok ikan konsumsi yang banyak dijumpai adalah dari kelas ikan kerapu, gurisi pasir, kakap, ekor kuning, biji nangka, kakatua, dan kulit pasir. Jenis-jenis ikan kerapu, kakap, ekor kuning dan biji nangka tergolong ekonomis tinggi (harga tinggi karena permintaan pasar tinggi), sedangkan kelas lainnya tergolong ekonomis sedang (harga rendah karena permintaan pasar kurang). Kelompok ikan berharga tinggi, seperti kerapu, umumnya dijumpai dalam individual (soliter) dan bukan bergerombol, sehingga kelimpahannya rendah. Ikan Indikator Ikan kelompok indikator adalah dari famili Chaetodontidae yang dikenal sebagai ikan daun-daun atau ikan kepe-kepe. Dalam pasar dunia ikan ini disebut butterflyfishes karena coraknya seperti kupukupu. Ikan ini ditandai oleh corak warna yang bervariasi dan mudah dikenali dari tiap-tiap jenisnya. Dari sisi corak warnanya, ikan daun-daun juga tergolong ikan hias yang bernilai ekonomi tinggi. Sebaran ikan indikator hampir merata dijumpai di lokasi penelitian dan jumlah total yang teridentifikasi adalah 23 species (Lampiran 1). Jumlah jenis ini hampir separuh dari jumlah yang biasa ditemukan pada perairan karang yang sehat (52 species). Oleh karena ikan ini fungsinya sebagai tanda kesehatan terumbu karang dan fenomena kurangnya jumlah ikan ini di perairan Nanggroe Aceh menjadi petunjuk adanya gangguan pada area terumbu karang di tiga pulau terluar tersebut. Ikan daun-daun asal Nanggroe Aceh yang dapat dikategorikan unik dari sisi sebarannya adalah dari jenis Chaetodon andamanensis, Chaetodon xanthocephalus dan Hemitaurichthys zoster. Dari sekian banyak titik penyelaman yang pernah di kunjungi di wilayah Indonesia tengah dan timur, tiga jenis ikan indikator tersebut belum pernah dijumpai.
178
Sama seperti ikan antias (Pseudanthias evansi) yang hanya dijumpai di pulau Rondo yang terletak di ujung barat wilayah Indonesia. BAHASAN Secara umum kesehatan perairan karang di lokasi penelitian kurang baik. Indeks keanekaragaman pada ketiga pulau adalah kurang nilai 3, kecuali lokasi Rinoi dan Rubiah yang memiliki nilai indeks (H) lebih dari 3. Menurut Mason (1981) interval nilai indeks di bawah atau sama dengan 2,30 masuk kategori “rendah” dan di bawah nilai 3,45 masuk kategori “sedang”. Nilai indeks keanekaragaman berhubungan dengan jumlah kehadiran jenis dan pola distribusi jumlah masing-masing populasi dalam komunitas. Indeks kekayaan jenis (R) merupakan petunjuk langsung dari tingginya keanekaragaman makluk hidup. Adapun implikasi dari unsur kemerataan populasi (E) dan dominasi populasi (D) dalam komunitas bekerja berlawanan dalam menghasilkan perhitungan indeks keanekaragaman. Kemerataan populasi menunjukkan bahwa lingkungan memberikan kesempatan yang sama untuk semua populasi berkembang dan hal ini sebagai tanda baiknya lingkungan hidup. Lingkungan hidup yang baik akan meningkatkan keanekaragaman dalam komunitas. Sebaliknya, ketika lingkungan hidup memburuk hanya populasi tertentu yang bertahan dan berkembang, dan kemudian populasi ini akan mendominasi dalam komunitas (Anonimous, 2010). Berdasarkan struktur komunitas seperti ini, ikan karang memberikan petunjuk atau merespon adanya gangguan pada habitatnya sesuai intensitas pengaruhnya. Gangguan pada habitat dapat terjadi di suatu lokasi, yang mungkin saja sudah berlangsung lama atau datang mendadak. Gangguan tersebut berpengaruh dengan intensitas yang berbeda dari satu lokasi ke lokasi yang lain, hingga menciptakan kondisi tertentu yang direspon berbeda oleh komunitas ikan karang, seperti ditunjukkan oleh nilai indeks-indeks ekologi pada Tabel 1. Gangguan yang sering terjadi umumnya disebabkan oleh sedimentasi yang membuat keruh perairan pantai, seperti pada Pulau Raya dan Pulau Rusa. Sementara gangguan yang berskala luas adalah peristiwa Tsunami tahun 2004 yang menyebabkan perubahan habitat dan mikro habitat (ecological niches). Hal ini menyebabkan semua lokasi penelitian (12 stasiun) memiliki tingkat keanekaragaman ikan karang tergolong rendah (< 3), tidak seperti wilayah Indonesia Timur yang umumnya terbebas dari kekeruhan dan memiliki indeks keanekaragaman tinggi (Edrus & Suhendra, 2007: Edrus & Saputro, 2007).
Struktur Komunitas Ikan Karang …… Laut Rinoi dan Rubiah Nanggro Aceh Darusalam (Edrus I N., et al)
Perubahan lingkungan perairan sering teridentifikasi dari perubahan komposisi jenis ikan karang. Seperti diketahui bahwa ikan dapat berfungsi sebagai indikator paling dini untuk mengetahui adanya lingkungan yang mengalami perubahan, karena sifat mobilitas ikan memberikan kesempatan kepada ikan untuk melarikan diri dari area yang kualitas lingkungannya tidak layak lagi (Amesbury, 1981). Perubahan kondisi perairan dapat secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap tutupan karang. Perubahan kondisi tutupan karang pada akhirnya juga berpengaruh pada komunitas ikan karang, karena banyak jenis ikan karang bergantung penuh pada kondisi karang. Ada jenis ikan yang memiliki ketertarikan atau hidup dengan spesialisasi tertentu yang berhubungan dengan mikro habitat (niches) pada jenis karang tertentu (Munday & Wilson, 1997; Munday, 2004a). Ada pula jenis-jenis ikan karang yang membutuhkan beragam bentuk rangka karang dan substrat bentik dari terumbu karang (Green,1996). Perubahan yang terjadi pada habitat dan fungsi ikan pada habitatnya akan memperlihatkan perubahan struktur komunitas ikan dari lokasi ke lokasi dan respon ikan pada perubahan habitat pada umumnya dihubungkan pada tipe niches yang hilang dan degradasi tutupan terumbu karang (Amesbury, 1981; Jones & Syms, 1998; Halford et al., 2004). Fluktuasi tinggi rendahnya nilai indeks ekologis secara spasial, seperti diperlihatkan oleh perubahan indeks kakayaan jenis atau keanekaragaman, dianggap sebagai petunjuk perubahan dari persen tutupan karang (Jones & Syms, 1998; Halford et al., 2004; Jones et al., 2004; Graham et al., 2006; Wilson et al., 2006). Perubahan tersebut juga berkaitan erat dengan gangguan pada kolom air atau relif topografis dasar perairan dan kualitas badan air yang berbeda dari satu lokasi ke lokasi yang lain (Amesbury, 1981; Galzin, 1981; Adjeroud et al., 1998).
mangsanya dari jarak yang lebih jauh, mungkin tidak diuntungkan pada kondisi lingkungan yang keruh (Utne-Palm, 2002), sehingga ikan jenis ini menghilang ketika terjadi perubahan. Sejumlah kecil penelitian terumbu karang telah melaporkan adanya pengaruh yang signifikan dari pelepasan sedimen akibat aktivitas pembangunan di daratan pada komunitas ikan karang. Hal ini menyebabkan penurunan keanekaragaman ikan, baik sebagai akibat langsung dari perubahan kolom air maupun juga akibat tidak langsung yang berkaitan dengan hilangnya persen tutupan karang hidup dan relif topografis (Amesbury, 1981; Galzin, 1981; Adjeroud et al., 1998). KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Secara umum struktur komunitas ikan karang di semua perairan pulau terluar Nanggroe Aceh Darussalam masuk pada kategori rendah, termasuk juga pada Taman Laut Rubiah, dan hal ini sebagai pengaruh dari buruknya kualitas kolom air dan kondisi dasar perairan karang yang dipengaruhi oleh tingginya sedimen dan perubahan dasar perairan karang akibat adanya tsunami 2004. SARAN-SARAN 1. Pembangunan wilayah daratan perlu terintegrasi dengan perlindungan wilayah pesisir yang cenderung menerima dampak negatif dari pembangunan. 2. Peristiwa tsunami telah menimbulkan dampak kerusakan terumbu karang dan rekruitmen tunastunas karang yang tumbuh setelahnya perlu dilindungi. DAFTAR PUSTAKA
Beberapa studi telah mempertimbangkan implikasi adanya pengaruh erosi daratan terhadap komunitas ikan karang melalui perubahan kecerahan air laut. Perilaku ikan seperti memilih pasangan mungkin terganggu dalam perairan keruh, sementara kemampuan predator dan mangsa untuk menditeksi satu sama lainnya juga dapat terganggu dengan gelapnya perairan (Heubel & Schlupp, 2006; Abrahams & Kattenfeld, 1997; Utne-Palm, 2002). Lingkungan berair keruh mungkin lebih sesuai untuk ikan yang memiliki penglihatan jarak pendek di lingkungan air. Contoh ikan planktovora, larva ikan dan benthivora. Sebaliknya, penglihatan predator seperti ikan piscivora, yang sering menditeksi
Anonimous. 2010. Kekayaan Ikan MTB. Dalam: Kemilau Empat Permata Nusantara, Pulau Larat, Pulau Asutubun, Pulau Selaru, dan Pulau Batarkusi, Maluku Tenggara Barat. S. Arief dan S. Hartini (Eds). Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut, BAKOSURTANAL, Cibinong, hal 56. Abrahams, M. V. & M.G. Kattenfeld. (1997). The role of turbidity as a constraint on predator-prey interactions in aquatic environments. Behavioral Ecology and Sociobiology 40, 169–174. Adjeroud, M., Y. Letourneur, M. Porcher & B. Salvat. (1998). Factors influencing spatial distribution of
179
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 175-186
fish communities on a fringing reef at Mauritius, SW Indian Ocean. Environmental Biology of Fishes 53, 169–182. Amesbury, S. S. (1981). Effects of turbidity on shallow-water reef fish assemblages in Truk, Eastern Caroline Islands. Proceedings of the Fourth International Coral Reef Symposium, Manilla 1, 155–159. Campbell, S.T., M.S. Pratchett, A.J. Anggoro, R.L. Ardiwijaya, N. Fadli, Y. Herdiana, T. Kartawijaya, D. Mahyiddin, A. Mukminin, S.T. Pardede, E. Rudi, A.M. Siregar, & A.H. Baird. 2007. Disturbance to coral reefs in Aceh, Northern Sumatra: Impacts of the Sumatra-Andaman Tsunami Degradation. In: Tsunamis and coral reefs. E. Stoddart (Ed). The Wildlife Conservation Society, Marine Programs, Bronx, New York, p. 55. Cesar, H.S.J. 1996. Economic Analysis of Indonesian Coral Reefs. Working Paper Series ‘Work in Progress’. Washington, DC: World Bank. Edrus, I.N. & D. Suhendra. 2007. Sumber Daya Ikan Karang. Dalam : Sumberdaya Alam Pulau Kecil Terluar: Pulau Manterawu. S. Hartini dan G. B. Saputro (Eds). Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut, BAKOSURTANAL, Cibinong, 47 hal. Edrus, I.N. & G.B. Saputro. 2007. Sumber Daya Ikan Karang. Dalam : Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Kabupaten Banggai Kepulauan. S. Hartini dan G. B. Saputro (Eds). Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut, BAKOSURTANAL, Cibinong, 79 hal. English, S., C. Wilkinson & V. Baker.1994. Survei Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Australia. Galzin, R. (1981). Effects of coral sand dredging on fish fauna in the lagoon of ‘‘The Grand Cul De Sac Marin’’ Guadalupe-French West Indies. Proceedings of the 4th International Coral Reef Symposium, Manilla 1, 115–121. Graham NAJ, S.K. Wilson, S. Jennings, N.V.C. Polunin, J.P. Bijoux & J. Robinson (2006) Dynamic fragility of oceanic coral reef ecosystems. Proc Natl Acad Sci USA 103:8425–8429 Green, AL (1996) Spatial, temporal and ontogenetic patterns of habitat use by coral reef Wshes (family Labridae). Mar Ecol Prog Ser 133:1–11 Halford A, A.J. Cheal, D.A.J. Ryan & D.M. Williams (2004) Resilience to large-scale disturbance in
180
coral and Wsh assemblages on the Great Barrier Reef. Ecology 85:1892–1905 Heubel, K. U. & I. Schlupp. 2006. Turbidity affects association behaviour in male Poecilia latipinna. Journal of Fish Biology 68, 555–568 Jones, GP & C. Syms. 1998. Disturbance, habitat structure and the ecology of fishes on coral reefs. Aust J Ecol 23:287–297 Jones GP, M.I. McCormick, M. Srinivasan & J.V. Eagle (2004) Coral decline threatens fish biodiversity in marine reserves. Proc Natl. Acad Sci USA 101:8251–8253. Kuiter, R.H. & Tonozuka, T. 2001. Pictorial Guide to : Indonesian Reef Fishes. Zoonetics Publc. Seaford VIC 3198. Australia. Lieske, E. & R. Myers. 1997. Reef Fishes of the World. Periplus Edition. Jakarta, Indonesia. Mallela, J., C. Roberts, C. Harrod. & C.R. Goldspink (2007). Distributional patterns and community structure of Caribbean coral reef fishes within a riverimpacted bay. Journal of Fish Biology 70, 523-537. Mason, C.F. 1981. Biology of Freshwater Pollution. Longman Scientific and Technical. Longman Singapore Publisher Ptc. Ltd. Singapore. Munday, P.L & S.K. Wilson. 1997. Comparative efficacy of clove oil and other chemicals in anaesthetization of Pomacentrus amboinensis, a coral reef fish. Jour. Fish. Biol. 51:931–938. Munday PL (2004a) Competitive coexistence of coraldwelling Wshes: the lottery hypothesis revisited. Ecology 85:623–628 Utne-Palm, A. C. (2002). Visual feeding of fish in a turbid environment: Physical and behavioural aspects. Marine and Freshwater Behaviour and Physiology 35, 111–128. White, A.T., Vogt, H.P., & T Arin,. 2000. Philippine Coral Reefs under Threat: The Economic Losses Caused by Reef Destruction. Marine Pollution Bulletin 40 (7): 598-605. Wilson SK, N.A.J. Graham, M. Pratchett, G.P. Jones & N.V.C. Polunin (2006) Multiple disturbances and the global degradation of coral reefs: are reef fishes at risk or resilient? Global Change Biol 12: 2220– 2234.
Struktur Komunitas Ikan Karang …… Laut Rinoi dan Rubiah Nanggro Aceh Darusalam (Edrus I N., et al)
1 DASYATIDAE 1 Taeniura lymma
St 7
St 8
PULAU RONDO Rondo Island St 9 St 10 St 11 St 12
1
2 MURAENIDAE 2 Gymnothorax javanicus 3 Gymnothorax enigmatikus 4 Gymnothorax meleagris 5 Gymnothorax sp 6 Rhinomuraena quasita
1
1
1
2
1
T
1 1 1
1 1
3 SYNODONTIDAE 7 Synadus variegatus
2
4 HOLOCENTRIDAE 8 Myripristis murjan 9 Myripristis pralinia 10 Sargocentron caudimaculatum 11 Sargocentron sp
4 2
2
4
4
3
2
5
5 2
4 2
6 4
6 4
3 4
4
7
12
6 AULOSTOMIDAE 13 Aulostomus chinensis
2
1
3
2
2
M M M M M
M
6
5 CENTRISCIDAE 12 Aeoliscus strigatus
Group
PULAU PULAU RAYA RUSA Rusa Island Raya Island St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6
Rubiah
SUKU DAN JENIS Families & Species
Rinoi
Lampiran 1. Jenis ikan karang yang teridentifikasi di lokasi penelitian perairan Nanggroe Aceh Darussalam Appendix 1. Reef fishes identified in study sites of Nanggroe Aceh Darussalam Waters
T T T T
25
M
3
M
7 SYNGNATHIDAE 14 Corytthoichthys intestinalis
3
M
8 SOLENOSTOMIDAE 15 Solenostomus cyanopterus
4
M
9 FISTULARIIDAE 16 Fistularia petimba
2
4
10 SCORPHAENIDAE 17 Pterois antennata 18 Pterois volitans 11 SERRANIDAE 19 Aethaloperca rogaa 20 Cephalopholis argus 21 Cephalopholis cyanostigma 22 Cephalopholis leopardus 23 Cephalopholis miniata 24 Cephalopholis urodeta 25 Ephinephelus coioides 26 Ephinephelus fasciatus 27 Ephinephelus hexagonatus 28 Ephinephelus melanostigma 29 Ephinephelus spilotoceps 30 Variola louti
1
1
1
2
1 1
1
1
2 1
3
1
1 1
2
1
1
1 1
1 1 1
1 1
1 2
5
M
1
M M
2
2
2
1 1
1
1
1
1 1
1 1 4
1 2
1
2
2
1 1 1
1
1 1
T T T T T T T T T T T T
181
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 175-186 SUKU DAN JENIS 12 ANTHIIDAE 31 Pseudanthias evansi 32 Pseudanthias squamipinnis 13 GRAMMISTIDAE 33 Diploprion bifasciatus 14 CIRRHITIDAE 34 Paracirritites arcatus 35 Paracirritites fosteri 36 Cirrhitichthys falco 15 PLESIOPIDAE 37 Calloplesiops altivelis 16 PRIACANTHIDAE 38 Priacanthus hamrur 17 NEMIPTERIDAE 39 Pentapodus bifasciatus 40 Scolopsis affinis 41 Scolopsis bilineata 42 Scolopsis ciliata 43 Scolopsis torquata 44 Scolopsis trilineata 18 HAEMULIDAE 45 Plectorhyncus lessonii 46 Plectorhyncus vittatus
St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
1 1 1
2
St 9 St 10 St 11 St 12
335
468
254
452
126
425 174
1 2
6
5
5
4
4 2 7 5
2 1 1
2 2 1
1 1 1
2
2 1 1
2
1
21 LUTJANIDAE 52 Aphareus furca 53 Lutjanus decussatus 54 Lutjanus erenberghi 55 Lutjanus bohar 56 Lutjanus fulvus 57 Lutjanus gibbus 58 Lutjanus kasmira 59 Lutjanus lunulatus 60 Lutjanus quinquelineatus 61 Lutjanus rivulatus 62 Macolor niger
4
4
3 2 2 3
6 2 4 16 7
6
M
2
T
3 5
12
2
4
4
5
1
1
2
2
1
2
T T
24 35 265
18
38
M M M M
1
1
4
2 4
2 5 3
5 4
16
M
3
2
4 1 4
34
42
36
28
8
T T T T T T
5 4
1 2
M M M
1
4
1
M M M
6 3 3
20 MALACANTHIDAE 51 Malacanthus latovittatus
182
St 8
2
19 APOGONIDAE 47 Apogon fleurieu 48 Apogon compressus 49 Apogon cyanosoma 50 Cheilodipterus quinquelineatus
22 CAESIONIDAE 63 Caesio caerulaurea 64 Caesio lunaris 65 Caesio teres 66 Caesio xanthonotus 67 Pterocaesio daigramma 68 Pterocaesio pisang 69 Pterocaesio randalli 70 Pterocaesio tile
St 7
19 26 12
25 14 18 16
4
32 38
23 135 26 62
76
34
28
42
T T T T T T T T T T T
T T T T T T T T
Struktur Komunitas Ikan Karang …… Laut Rinoi dan Rubiah Nanggro Aceh Darusalam (Edrus I N., et al) SUKU DAN JENIS 23 LETHRINIDAE 71 Gnathodentex aurolineatus 72 Lethrinus olivaceus 73 Monotaxix grandoculus 24 MULLIDAE 74 Mulloidichthys flavolineatus 75 Mulloidichthys vanicolensis 76 Parupeneus barbarinus 77 Parupeneus bifasciatus 78 Parupeneus cyclostomus 79 Parupeneus macronema 80 Upeneus tragula
St 1
St 4
St 5
St 6
St 7
St 8
2
3
8 2 2
13 3 2
5
4
12 6 4 4 2 2
8 5 2 6 4 1
16
12
22
2
2
4
4 2
5
2
2
13 2
3
8
4
St 9
St 10 St 11 St 12 25
4
2
2
4
1 5
2
2
4
5
22 4
2 2
4 4
2
4
2
4
2
3 2 2 2
6
2
4
2
4
3 4
2 2
2
2
2 2
2 4 14
2
2
2
2
2
2
3
2 4 2 2 3 4 3 2 2 2 15
2
2 2
1 2
3
3
2
2
2
2 2
4 4 2 4 2 4 4 2 2 2 4 4 1 3 22 3 1 5
2 2
4
6
18
4 3
2 2
3 4
4 4 2
3 2
4
2
2
2
4 4 4 2 5 14
4 2 3
3 2
24
12
I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I
2 2
2 16
2
4
2
2 4
4 4 2 1
8
2
4
3
4 6
4 2
2 2
1 2
2
1
1
2
1
2
M M M M M M
6 15
5 12 8
16
M M M
2 4
1
7
T
4 4
2
1
T T T T T T T
M/T
2 2 4 2 4 4
T T T
T
1
29 POMACANTHIDAE 107 Apolemichthys trimaculatus 108 Centropyge bispinosus 109 Centropyge eibli 110 Centropyge flavipectoralis 111 Pomacanthus annularis 112 Pomacanthus imperator 30 POMACENTRIDAE 113 Abudefduf notatus 114 Abudefduf septemfascialus 115 Abudefduf vaigiensis
St 3
12
25 PHEMPHERIDIDAE 81 Phempheris oualensis 26 KYPHOSIDAE 82 Kyphosus cinerascens 27 EPHIPPIDAE 83 Platax teira 28 CHAETODONTIDAE 84 Chaetodon andamanensis 85 Chaetodon auriga 86 Chaetodon baronessa 87 Chaetodon citrinellus 88 Chaetodon collare 89 Chaetodon decussatus 90 Chaetodon ephippium 91 Chaetodon guttatissimus 92 Chaetodon kleiini 93 Chaetodon lunula 94 Chaetodon meyeri 95 Chaetodon rafflesi 96 Chaetodon semeion 97 Chaetodon trifascialis 98 Chaetodon trifasciatus 99 Chaetodon ulientensis 100 Chaetodon vagabundus 101 Chaetodon xanthocephalus 102 Forcipger flavissimus 103 Hemitaurichthys zoster 104 Heniochus diphreutes 105 Heniochus singularis 106 Heniochus varius
St 2
11
25
183
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 175-186 SUKU DAN JENIS POMACENTRIDAE 116 Amblyglyphidodon curacao 117 Amphiprion akallopisos 118 Amphiprion clarkii 119 Amphiprion ocellaris 120 Chromis analis 121 Chromis dimidiata 122 Chromis opercularis 123 Chromis ternatensis 124 Chromis viridis 125 Chromis weberi 126 Chrysiptera leucopoma 127 Chrysiptera talboti 128 Dascyllus reticulatus 129 Dascyllus trimaculatus 130 Hemiglyphidodon plagiometopon 131 Neopomacentrus azisron 132 Plectroglyphidodon dickii 133 Plectroglyphidodon lacrymatus 134 Pomacentrus alleni 135 Pomacentrus amboinensis 136 Pomacentrus bankanensis 137 Pomacentrus chrysurus 138 Pomacentrus grammorhynchus 139 Pomacentrus moluccensis 140 Pomacentrus philippinus 31 LABRIDAE 141 Anampses melanurus 142 Anampses meleagrides 143 Bodianus diana 144 Bodianus mesothorax 145 Cheilinus celebicus 146 Cheilinus trilobatus 147 Cirrhilabrus cyanopleura 148 Coris variegeta 149 Gomphosus varius 150 Halichoeres chrysus 151 Halichoeres hortulanus 152 Halichoeres marginatus 153 Halichoeres nebulosus 154 Halichoeres scapularis 155 Hemigymnus fasciatus 156 Hemigymnus melapterus 157 Homlogymnosus doliatus 158 Labrichthys unilineatus 159 Labroides bicolor 160 Labroides dimidiatus 161 Pseudodax moluccanus 162 Pseudocheilinus hexataenia 163 Pseudocheilinus octotaenia 164 Stethojulis bandanensis 165 Stethojulis trilineata 166 Thalassoma amblycephalum 167 Thalassoma hardwickii 168 Thalassoma janseni 169 Thalassoma lunare
184
St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
St 7
St 8 18 4
St 9 St 10 St 11 St 12
6 4
6 92
42
264 86 4
14
128
235 224
248 175 52
5 26 8 6 65 268 255
8 126 18
6 75 22
12 84
125
219 8
325 22 35
398
312
12 15
15 158 4 16
256 15 36
8 12 46
26 16
5
36 7
264
4 285
45
24
52 22
32 25
7
18
12 16
2 16 9 11 15
5
36
28 28
25 12
32 18
28 78
166
45
238
55
46
225
22 4
4 2 28
18 8
32 4
124
18
21
8
24
34 214 8 326 432 456
35
4
2
1
2
4
1 2
2 24
4
8
6
14
4
5 2
34 28
12 25
8 5
6 4
8 15 32 2 2 4
2
4 1
2 3 2
2
1
4 6
4
6 5 198
2 4
18
6 26 8
16 4
4 1 6
5
34 15
1
2 2
2
2
3
2 12
4 4
2 16
12 5 18
6 4 25
21
2
4
2
3
2 1 2
3 2
2
1 2 12
1
1 12
2
2 5
4 6
38
2 2 4
22 3 2 12
14
12
2 3
2 4 2 2 2 6 1
2 2 5 4 3 8 424 5 6 6
4
12 2 6 552 8 12 12
22 4
22
4
4
6
348 6 16
412
285
4
22
358 12 14 16
M M M M M M M M M M M M M M M M M M M M M M M M M
M M M M M M M M M M M M M M M M M M M M M M M M M M M M M
Struktur Komunitas Ikan Karang …… Laut Rinoi dan Rubiah Nanggro Aceh Darusalam (Edrus I N., et al) SUKU DAN JENIS 32 SCARIDAE 170 Bolbometopon muricatus 171 Chlorurus microrhinos 172 Chlorurus bleekeri 173 Scarus forsteni 174 Scarus frenatus 175 Scarus ghoban 176 Scarus niger 177 Scarus oviceps 178 Scarus rubroviolaceus 179 Scarus tricolor
St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
2 2 8
3
5 2
4 16 4
26
1
2
38 ZANCLIDAE 214 Zanclus carrnescens 215 Zanclus cornutus
St 9
St 10 St 11 St 12
2 1
2 4 2
1 2
3
4 2 3
12 4
9 6
5
2
2 2
2 1
2 2
2
4 1 2 1
T T T T T T T T T T
2
1
1
1
2
M
2
1
M M M M
1
1 4 4
2
35 MICRODESMIDAE/GOBIDAE 186 Ptereleotris evides
37 ACANTHURIDAE 191 Acanthurus lineatus 192 Acanthurus leucocheilus 193 Acanthurus leucosternon 194 Acanthurus maculiceps 195 Acanthurus nigrofuscus 196 Acanthurus nubilus 197 Acanthurus olivaceus 198 Acanthurus pyroferus 199 Acanthurus thompsoni 200 Acanthurus triostegus 201 Acanthurus twisti 202 Ctenochaetus binotatus 203 Ctenochaetus striatus 204 Naso brevirostris 205 Naso brachycentron 206 Naso fageni 207 Naso hexacanthus 208 Naso lituratus 209 Naso thynnoides 210 Naso vlamingii 211 Paracanthurus hepatus 212 Zebrasoma scopas 213 Zebrasoma veliferum
St 8
1
34 BLENNIIDAE 182 Cirripectes castaneus 183 Ecsenius bicolor 184 Meiacanthus atrodorsalis 185 Plagiotremus rhinorhynchus
guttatus spinus vermiculatus virgatus
St 7
4
33 PINGUIPEDIDAE 180 Parapercis clathrata
36 SIGANIDAE 187 Siganus 188 Siganus 189 Siganus 190 Siganus
St 6
2
2
3
2
4
6
2 2
1
8 3 6 1
22
6
16 1
5
M
4
4
18 2 5
15 6 3
25 7 12
32 5
7 2 6
6
42 5
18 5 4
24
13 2 4
2 1 2
4
1
5
2
5 2 18
8 5
8 4
2
3
4
5
6 4
8 6
6
12 4
6 5
6
4 1
3 1
T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T
2
4
2
4
M
1 2 1 2 4
2
35 11
T T T T
4
12 2 2
5
4
5 6 4 12 4 6 4 2 2 8 3 2 3 2 5 2
3
4
4 6
4 13
5 4
2 4
14 4
185
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 175-186
SUKU DAN JENIS 39 MONACANTHIDAE 216 Amanses scopas 217 Paraluterus prionurus
St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
St 7
St 8 1 1
40 BALISTIDAE 218 Balistapus undulatus 219 Balistapus viridescens 220 Melichthys niger 221 Odonus niger 222 Rhinecanthus verrucosus 223 Suflamen bursa 224 Suflamen chrysopterus
5
1 2
2
1 2
41 OSTRACIIDAE 225 Ostracion cubicus
4 1 6 23 2 3
4
7
2 2
2 4
2
12
2
M M
1 2
M M M M M M M
1
M
4 18
2
M M M M M
1
M
1 1
1 1
44 HEMIRHAMPHIDAE 232 Hemirhaphus sp
186
1
1
43 DIODONTIDAE 231 Diodon liturosus
Jumlah Individu Ikan Target Jumlah Individu Ikan Major Jumlah Individu Ikan Indikator Jumlah Individu ikan karang
1
1
42 TETRAODONTIDAE 226 Canthigaster amboinensis 227 Canthigaster papua 228 Canthigaster valentini 229 Arothron hispidus 230 Arothron nigropunctatus
45 CARANGIDAE 233 Caranx melampygus 234 Carangoides bajad 235 Gnathonodon speciosus Jumlah jenis
St 9 St 10 St 11 St 12
2 7 50
68
2
79
4
T
T T T
4 1
4 2
3 2
130
158
100
4
32
33
34
78
55
102
330 226 32 322 1062 598 14 30 10 664 1311 640
141 425 14 582
73 211 316 387 213 128 80 233 474 1222 2467 2442 1278 1269 663 3007 16 23 58 66 35 20 35 68 559 1438 2475 2396 1235 936 635 2665
Perbedaan Waktu Pengoperasian terhadap Hasil……..di Perairan Sungsang, Sumatera Selatan (Fauziyah, et al)
PERBEDAAN WAKTU PENGOPERASIAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BAGAN TANCAP DI PERAIRAN SUNGSANG, SUMATERA SELATAN DIFFERENCES IN OPERATION TIME TOWARD CATCHES OF FIXED LIFT NET AT SUNGSANG ESTUARY, SOUTH SUMATERA Fauziyah1, Freddy Supriyadi2, Khairul Saleh3 dan Hadi3 1
Program Studi Ilmu Kelautan FMIPA, Universitas Sriwijaya, Indralaya, Indonesia 2 BP3U Mariana, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Indonesia 3 Program Studi Fisika FMIPA, Universitas Sriwijaya, Indralaya, Indonesia Teregistrasi I tanggal: 06 Maret 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 09 Desember 2013; Disetujui terbit tanggal: 13 Desember 2013
ABSTRAK Di perairan Sungsang Sumatera Selatan, target utama penangkapan dengan alat tangkap bagan adalah ikan teri (Stolephorus sp) dan ikan lainnya sebagai hasil sampingan. Pada umumnya, bagan tancap dioperasikan oleh nelayan setempat sebelum tengah malam sampai menjelang pagi. Berdasarkan fakta tersebut, pengkajian waktu pengoperasian yang optimum terhadap hasil tangkapan bagan tancap perlu dilakukan. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis perbedaan waktu operasi dan waktu operasi optimum terhadap hasil tangkapan bagan tancap. Penelitian ini dilaksanakan pada kondisi bulan gelap pada bulan Mei 2012 dengan metode experimental fishing dan model Rencana Arah Lengkap (RAL) dengan perlakuan perbedaan waktu operasi yaitu sebelum tengah malam (21.00-23.59 WIB), saat tengah malam (00.00-02.59WIB), dan setelah tengah malam (03.0005.59 WIB). Empat bagan tancap dioperasikan dengan masing-masing 3 kali trip. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu operasi penangkapan bagan tancap berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan, dan waktu pengoperasian yang optimum bagan tancap adalah pada saat tengah malam (00.00-02.59 WIB). KATA KUNCI : Hasil tangkapan, waktu operasi, bagan tancap, perairan Sungsang. ABSTRACT In Sungsang estuary of South Sumatera, the target species of fixed lift nets is anchovies (Stolephorus sp) and the others species are classified as by catch. Generally, the fixed lift net is operated by local fishermen before midnight until early morning. Based on this fact, a study on the optimum operation time of the fixed lift nets is necessary. The research objectives are to analyze the operating time, and the optimum operating time of the fixed lift net in Sungsang estuary. The research was conducted in May 2012 using experimental fishing methods and completely random sampling. The differences in operating time i.e before midnight (21:00 to 23:59), around midnight (00:00 to 02:59), and after midnight (03:00 to 5:59) were used as tratments. The four observed fixed lift net were operated for 3 days (3 trips). Data were analyzed using SPSS 17 software for Windows. The results indicated that the operating time significantly affected the catchand the optimum operating time of fixed lift net in Sungsang Estuary was around midnight (00:00 to 02:59). KEY WORDS: Catch, operation time, fixed lift net, Sungsang estuary.
PENDAHULUAN Bagan tancap merupakan salah satu alat penangkapan ikan yang banyak digunakan oleh nelayan di perairan Sungsang, Sumatera Selatan. Target tangkapan utamanya adalah ikan teri (Stolephorus sp) sedangkan cumi-cumi (Loligo sp), petek (Leiognathus sp) dan ikan pelagis kecil lainnya merupakan hasil tangkapan sampingan (by catch).
Perairan Sungsang merupakan perairan muara yang memiliki kecerahan yang rendah (keruh), substrat berlumpur dan arus yang dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Alat tangkap di perairan Sungsang dalam pengoperasiannya memanfaatkan arus pasang surut tersebut. Sebagian besar nelayan bagan tancap melakukan penangkapan pada saat air mulai surut dan ada juga yang menangkap ikan pada saat air pasang (Fauziyah et al., 2012).
___________________ Korespondensi penulis: Universitas Sriwijaya Palembang, Sumatera Selatan Jl. Raya Palembang - Prabumulih Km. 32 Indralaya, OI, Sumatera Selatan 30662
187
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 187-194
Secara umum penelitian tentang alat tangkap bagan telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti. Baskoro (1999), Nadir et al. (2001), Sudirman et al. (2004), Notanubun & Patty (2010), Gustaman et al. (2012) serta Fauziyah et al. (2012) meneliti aspek pencahayaan dan tingkah laku ikan pada alat tangkap bagan. Sudirman et al. (2011) dan Yuda et al. (2012) meneliti aspek selektivitas dan tingkat keramahan lingkungan bagan. Sudirman et al. (2004) juga mengkaji respon mata ikan teri berdasarkan 3 waktu hauling yaitu sebelum tengah malam, saat tengah malam dan sesudah tengah malam. Akan tetapi penelitian tentang waktu pengoperasian yang optimum terhadap hasil tangkapan bagan tancap masih jarang dilakukan. Pada umumnya, nelayan bagan tancap di perairan Sungsang melakukan operasi penangkapan ikan mulai jam 21.00-06.00 WIB dengan jumlah hauling antara 7-12 kali per trip (dalam 1 malam). Menurut nelayan setempat, jumlah hauling paling banyak pada jam 24.00-06.00. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian untuk mengetahui sejauh mana pengaruh waktu operasi terhadap hasil tangkapan ikan pada bagan tancap sehingga dapat diketahui periode waktu operasi yang paling optimal. Tujuan penelitian ini untuk 1) menganalisis perbedaan waktu operasi bagan tancap terhadap hasil tangkapan dan 2) menentukan waktu operasi yang paling optimal pada bagan tancap. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi nelayan bagan tancap untuk menyempurnakan metode penangkapannya.
pengaruh terhadap hasil tangkapan seperti perbedaan cahaya, ketrampilan nelayan. Untuk faktor kondisi perairan diasumsikan sama. Dalam percobaan penangkapan ini digunakan 4 buah bagan tancap dengan jarak tidak berjauhan (sekitar 100 meter). Waktu pengoperasian bagan tancap adalah per trip (dalam 1 malam). Waktu trip ini digunakan sebagai ulangan pada analisis sidik ragam. Ulangan tiap bagan tancap dilakukan 3 kali (3 hari). Masing-masing bagan tancap dioperasikan mulai 21.00 WIB sampai 06.59 WIB. Waktu pengoperasian tersebut dibagi menjadi 3 selang waktu yaitu 21.00-23.59 WIB (T1), 00.00-02.59 WIB (T2) dan 03.00-05.59 WIB (T 3). Perbedaan ketiga selang waktu pengoperasian tersebut digunakan sebagai perlakuan dalam analisis sidik ragam. Pada masing-masing perlakuan, nelayan melakukan proses penangkapan dari mulai setting hingga hauling dan lamanya waktu setting hingga hauling disesuaikan dengan kebiasaan nelayan setempat. Artinya, jumlah hauling dalam pada masing-masing perlakuan akan berbeda-beda (tidak ditentukan dalam penelitian ini tetapi disesuaikan dengan kebiasaan nelayan). Berat hasil tangkapan pada masing-masing perlakuan per trip digunakan sebagai satuan percobaan. Pengamatan dan pengukuran data dilakukan mulai pukul 21.00-06.00 WIB meliputi, 1) pencataatan waktu setting dan hauling, 2) identifikasi hasil tangkapan, 3) pengukuran panjang ikan, 4) menimbang berat ikan per spesies.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada kondisi bulan gelap pada bulan Mei 2012 di perairan Sungsang Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan. Lokasi penelitian terletak pada posisi geografis 20 15’ 6" - 20 15’ 18,8’’ LS dan 1050 02’ 10,3" - 1050 02’ 40,4" BT. Metode Metode penelitian adalah percobaan penangkapan (experimental fishing) pada operasi penangkapan bagan tancap dengan menggunakan model Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor yaitu waktu operasi alat tangkap bagan tancap. Penelitian ini tidak menggunakan analisis faktorial karena hanya satu faktor yang dianalisis yaitu perbedaan waktu operasi. Faktor lain kemungkinan memiliki
188
Hasil tangkapan yang diamati adalah ikan teri (Stolephorus sp), cumi-cumi (Loligo sp), petek (Leiognathus sp) dan total hasil tangkapan. Berdasarkan penelitian Gustaman et al. (2012) yang menyatakan bahwa hasil tangkapan bagan tancap di perairan Sungsang pada bulan Agustus 2010 didominasi 6 spesies yakni teri (Stolephorus sp) 56.6%, cumi-cumi (Loligo sp) 12,5%, udang pepe (Metapenaeus ensis) 18,4%, petek (Leiognathus sp) 1,9%, japuh (Dussumieria acuta) 2,1% , permato (Ilisha elongata) 8,08% dan sisanya adalah ikan lainnya. Ditunjang hasil penelitian Fauziyah et al. (2012) yang menyatakan bahwa hasil tangkapan bagan tancap pada bulan Mei 2012 didominasi 3 spesies dengan komposisi yaitu teri (Stolephorus sp) 72%, cumi-cumi (Loligo sp) 7% dan petek (Leiognathus sp) 21%. Sehingga pada penelitian ini analisis hasil tangkapan ikan adalah teri (spesies target), cumi, petek dan hasil tangkapan total.
Beberapa asumsi dasar yang digunakan dalam penelitian adalah 1) komponen dan ukuran alat tangkap bagan tancap yang digunakan serta ketrampilan nelayan dalam mengoperasikannya relatif sama, dan 2) tingkat ketelitian dalam pengamatan dan pengukuran data relatif sama (pada penelitian ini menggunakan 4 alat tangkap bagan tancap secara bersamaan) dan 3) penyebaran ikan merata di perairan lokasi penelitian sepanjang malam sehingga memberikan peluang yang sama untuk tertangkap (Fauziyah et al, 2012). Analisis Data Analisis Pengaruh Perbedaan Waktu Pengoperasioan Terhadap Hasil Tangkapan Bagan Tancap Tahap awal untuk menganalisis pengaruh perbedaan waktu operasi terhadap hasil tangkapan pada unit penangkapan bagan tancap adalah melakukan uji kenormalan data (uji KolmogorovSmirnov). Data yang diuji adalah seluruh data berat hasil tangkapan ikan per trip (teri, cumi, petek dan hasil tangkapan total) pada masing-masing perlakuan (T1, T2 dan T3). Jika data tidak menyebar normal maka dilakukan normalisasi data dengan cara menghilangkan data-data pencilan (outliers). Setelah data menyebar normal, kemudian data dianalisis x dengan menggunakan analisis Rancangan Acak Lengkap (RAL). Analisis RAL dilakukan per spesies (teri, cumi-cumi dan petek) maupun total hasil tangkapan. Data-data tersebut diolah dengan bantuan software SPSS 17 for Windows. Secara matematis, tahapan analisis RAL sebagai berikut: 1.
Yij = μ + τ i + ε ij Model linier: Yij = nilai respon perbedaan waktu operasi pada bagan tancap ke-i dan ulangan ke-j ì = rataan umum ôi = pengaruh perbedaan waktu operasi pada bagan tancap ke-i åij = pengaruh acak perbedaan waktu operasi pada bagan tancap ke-i ulangan ke-j i = 1,…,t dan j = 1,…,r ; r = trip dan t = waktu operasi
2. Asumsi: (1) komponen-komponen ì, ôi, dan åij bersifat aditif; (2) nilai ôi tetap, Óôi = 0; E(ôi) = ôi; (3) åij ~ N(0,ó2); 3. Hipotesis: H0 : waktu operasi pada bagan tancap tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan
H1 : waktu operasi pada bagan tancap berpengaruh terhadap hasil tangkapan 4. Analisis sidik ragam Analisis sidik ragam diolah menggunakan software SPSS 17. 5. Keputusan Tolak H0 : nilai signifikan < 0,05 artinya minimal ada satu waktu operasi bagan tancap yang berbeda nyata terhadap hasil tangkapan Terima H0 : nilai signifikan > 0,05 artinya tidak ada perbedaan nyata waktu operasi pada bagan tancap terhadap hasil tangkapan 6. Uji lanjut Uji lanjut Duncan digunakan untuk melihat waktu operasi mana yang berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan. Analisis Optimasi Waktu Saat Hauling Pada Bagan Tancap Koefisien variasi digunakan untuk membandingkan data hasil penangkapan pada setiap perlakuan. Menurut Sudjana (1992) Koefisien variasi (KV) merupakan perbandingan antara simpangan baku dengan nilai rata-rata yang dinyatakan dalam persen. Pada penelitian ini, jika nilai KV terkecil maka secara relatif lebih baik dibanding yang lainnya (paling optimal). Formulasi KV sebagai berikut:
KV = dimana; KV
s
s * 100% ………………...(5) x
= koefisien variasi = simpangan baku; = rata-rata hasil tangkapan
HASIL DAN BAHASAN HASIL Karakteristik Sungsang
Bagan Tancap di Perairan
Karakteristik bagan tancap di perairan Sungsang adalah waktu operasi penangkapan pada malam hari dengan mengandalkan pasang surut air laut dan berada di perairan muara sungai (estuari). Sehingga pada saat mengoperasikan alat tangkap, nelayan bagan tancap umumnya menggunakan 2 metode penangkapan yakni 1. memanfaatkan alat bantu penangkapan yaitu cahaya lampu untuk menarik ikanikan yang bersifat fototaksis positif dan 2. memanfaatkan waktu surut dengan menjadikan jaring
189
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 187-194
sebagai perangkap untuk menangkap ikan yang terbawa arus saat surut. Untuk penelitian ini menggunakan metode pertama. Karakteristik inilah yang membedakan bagan tancap di perairan Sungsang dengan perairan lainnya.
Tabel 1. Hasil tangkapan ikan teri (Stolephorus sp) pada unit penangkapan bagan tancap di Perairan Sungsan Table 1. Anchovy catches (Stolephorus sp) on fixed lifnet fishing unit in Sungsang Estuary
Hasil wawancara dengan nelayan, umumnya bagan tancap berukuran besar yakni 18 x 10 m. Besar ukuran berguna untuk menahan bagan tancap agar tidak hanyut terbawa arus. Bagan tancap terbuat dari kayu nibung (Oncosperma tigillaris) dan terdiri atas : Bangunan rumah, pelataran dan tempat menangkap ikan. Bangunan rumah berfungsi untuk tempat merebus hasil tangkapan dan untuk beristirahat dengan ukuran 8 x 4 meter. Pelataran tempat menjemur hasil tangkapan dengan ukuran 14 x 8 meter. Tempat menangkap ikan dengan ukuran 12x8 meter. Adapun ukuran mata jaring (mesh size) adalah 0,3 – 2 cm. Umumnya bagan tancap dilengkapi dengan Sero. Sero berfungsi untuk menggiring ikan menuju ke arah jaring. Panjang sero kira-kira 500 meter di depan bagan. Adapun peralatan lainnya yaitu tali, katrol, ban bekas (pemberat), serok dan lampu petromaks. Hasil Tangkapan Bagan Tancap di Perairan Sungsang Hasil tangkapan bagan tancap di Perairan Sungsang, Sumatera Selatan di dominasi oleh ikan teri dengan komposisi yaitu teri (Stolephorus sp) 76,8%, cumi (Loligo sp) 6,8% dan petek (Leiognathus sp) 16,4%. Berdasarkan kategori hasil tangkapan ikan per trip pada periode T1, T2 dan T3 untuk ikan teri, cumi, petek dan hasil tangkapan total dapat di lihat pada Tabel 1-4. Pada Tabel 1 diperoleh nilai rata-rata hasil tangkapan ikan teri per trip pada periode T1, T2 dan T3 masing-masing adalah 16,6 kg, 60,1 kg dan 26,7 kg. Hasil tangkapan teri yang diperoleh mengindikasikan bahwa rata-rata hasil tangkapan tertinggi diperoleh pada saat T2 (12:00 -02.59 WIB atau tengah malam).
Ulangan (Trip)
190
T1
T2
T3
1
0.2
46.2
39.5
2
0.7
77.2
22.9
3
0.1
90.1
6.0
4
45.0
52.0
8.0
5
31.0
65.0
13.0
6
26.1
69.0
19.0
7
16.5
62.5
47.0
8
13.0
36.5
48.9
9
5.0
35.0
13.0
10
32.0
92.0
48.0
11
29.0
35.3
28.6
12
0.7
Rataan
16.6
60.1
26.7
SD
15.0
19.9
15.8
KV
90.3%
33.2%
59.2%
Tabel 2 Hasil tangkapan ikan Cumi (Loligo sp) pada unit penangkapan bagan tancap di Perairan Sungsang Table 2. Squid catches (Loligo sp) on fixed lifnet fishing unit in Sungsang Estuary Ulangan
Tabel 2 menunjukkan rataan hasil tangkapan cumi per trip pada periode T1, T2 dan T3 masing-masing sebesar 2,7 kg, 3,9 kg dan 2,6 kg. Periode T2 adalah waktu operasi yang paling banyak menghasilkan cumi dibandingkan pada periode T1 dan T3. Hasil yang sama juga ditunjukkan pada hasil tangkapan ikan petek (Tabel 3) maupun hasil tangkapan total (Tabel 4). Berdasarkan besaran nilai hasil tangkapan teri (Tabel 1), cumi (Tabel 2), petek (Tabel 3) dan hasil tangkapan total (Tabel 4), menunjukkan indikasi awal bahwa hasil tangkapan terbanyak diperoleh pada periode tengah malam (T2).
Hasil tangkapan ikan teri (Stolephorus sp) (kg)
Hasil tangkapan cumi-cumi (Loligo sp) (kg) T1
T2
T3
1
3.26
7
4
2
1.3
2
1
3
2
2
5
4
4
4
0
5
2
6
0
6
2.7
3
0
7
1.9
4
1
8
1
4
1
9
0.5
3
10
8
4
11
6
7
12
0.3
6
Rataan
2.7
3.9
2.6
SD
2.2
1.7
2.3
KV
80.1%
42.5%
90.6%
Tabel 3 Hasil analisis tangkapan petek (Leiognathus sp) pada unit penangkapan bagan tancap di Perairan Sungsang Table 3. Catch ponyfish (Leiognathus sp) on fixed lifnet fishing unit in Sungsang Estuary
Tabel 4 Hasil tangkapan total pada unit penangkapan bagan tancap di Perairan Sungsang Table 4. Total catches on fixed lifnet fishing unit in Sungsang Estuary
Hasil tangkapan petek (Leiognathus sp)(kg)
Ulangan
T1
T2
Hasil tangkapan total (kg)
Ulangan T1
T3
T2
T3
1
1
8.73
58.09
64.16
5
5
6
2
2
2.61
97.29
52.59
1
9
10
3
3
2.08
94.2
16
0
18
11
4
4
65
102.8
19.3
16
10
13
5
5
46.5
99.7
26.4
14
16
1
6
6
39.6
77.6
20.6
11
3
2
7
7
23.4
55
49.9
5
12
12
8
8
20
42
63.9
6
1
5
9
9
7.5
119
22
2
6
10
10
46
39.5
61
6
5
11
11
40
5
12
0
12
Rataan
5.9
9.1
7.1
SD
5.0
5.7
4.1
KV
84.1%
62.8%
56.8%
Pengaruh Waktu Operasi Bagan Tancap Terhadap Hasil Tangkapan Tabel 5 menunjukkan rekapitulasi hasil analisis sidik ragam, uji lanjut Duncan dan dari hasil tangkapan bagan pada berbagai kategori percobaan. Berdasarkan hasil analisis tangkapan ikan teri, diperoleh nilai Fhitung dan sig. masing-masing sebesar 18,45 dan 0,00. Nilai sig. tersebut lebih kecil dari 0,05 artinya minimal ada satu perlakuan waktu operasi yang berpengaruh terhadap hasil tangkapan bagan tancap. Berdasarkan uji lanjut Duncan antara perlakuan T1 (sebelum tengah malam) dan T3 (sesudah tengah malam) tidak berbeda nyata secara statistik namun berbeda nyata dengan perlakuan T2 (saat tengah malam). Hasil yang sama juga ditunjukkan pada kategori total hasil tangkapan dimana perlakuan T2 dengan nilai rataan 79 kg/trip berbeda nyata dengan perlakuan T1 maupun T3 berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 0,05.
39.4
1
Rataan
25.2
78.5
39.6
SD
20.7
26.7
18.4
KV
82.1%
33.9%
46.6%
terhadap hasil tangkapan cumi (nilai sig = 0,39 > 0,05). Begitu juga dengan hasil tangkapan petek dimana nilai rataan tertinggi diperoleh pada perlakuan T2 (9 kg/trip), tetapi perlakuan T1, T2 dan T3 tidak berbeda nyata secara statistik terhadap hasil tangkapan petek. Optimasi Waktu Operasi Bagan Tancap Penentuan waktu operasi bagan tancap yang optimal dilakukan dengan membandingkan nilai koefisien variasinya antar perlakuan. Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa T2 (saat tengah malam atau jam 00.00-02.59 WIB) merupakan waktu operasi yang optimal untuk menangkap ikan teri karena memiliki nilai KV terkecil ((33,2%). Periode T2 juga merupakan waktu operasi yang optimal berdasarkan kategori hasil tangkapan cumi-cumi (Tabel 2), petek (Tabel 3) dan total hasil tangkapan Tabel 4) yang ditunjukkan dengan nilai KV terkecil.
Pada kategori cumi-cumi, perbedaan perlakuan waktu operasi bagan tancap tidak berpengaruh nyata
191
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 187-194
Tabel 5. Rekapitulasi hasil analisis tangkapan bagan tancap Table 5.The catches analysis recapitulation of fixed lift nets
Uraian
Rataan Perlakuan T1
T2
Fhitung
T3
Sig.
2
R
Rataan hasil tangkapan Teri (Stolephorus spp) Cumi (Loligo sp) Petek (Leiognathus sp) Total
a3
17
a2
3
b1
60
a1
4
a3
9
a3
79
6
25
a2
18,45
0,00
0,54
a3
27
3
1,98
0,39
0,06
a2
1.01
0.38
0,07
a2
15.22
0,00
0,50
a1
9
b1
40
Rataan hauling/trip 2 5 4 Keterangan : a,b nilai rataan yang diikuti huruf yang sama dalam satu baris pada kolom perlakuan menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 0,05. 1,2,3 nilai rataan yang diikuti angka dalam satu baris pada kolom perlakuan menunjukkan urutan peringkat perlakuan terbaik berdasarkan nilai koefisien variasi.
BAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan hasil tangkapan tertinggi diperoleh pada periode waktu operasi tengah malam (00.00-02.59 WIB). Hasilnya mencapai 2-3 kali lipat dari periode sebelum maupun sesudah tengah malam pada kategori total hasil tangkapan dan tangkapan ikan teri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sudirman (2003) yang menyatakan bahwa pada fase bulan gelap, hasil tangkapan tertinggi adalah sesudah tengah malam (02.00 WIT). Hasil ini sejalan dengan penelitian Zulfia (1999) tentang pengaruh waktu operasi terhadap hasil tangkapan bagan diesel di perairan Carocok, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa berat hasil tangkapan bagan sesudah tengah malam (jam 24.0006.00 WIB) lebih besar jika dibandingkan dengan sebelum tengah malam (jam 18.00-24.00 WIB) dan berbeda nyata berdasarkan hasil uji Tanda Berpangkat Wilcoxon. Demikian pula dengan hasil penelitian Sudirman (2003) yang menyatakan bahwa hasil uji tstudent pada setiap hauling pada bulan gelap menunjukkan bahwa hauling sebelum (18.00 WIT), saat (22.00 WIT) dan sesudah (02.00 WIT) tengah malam berbeda sangat nyata. Periode waktu operasi tengah malam adalah waktu paling optimal untuk mengoperasikan bagan tancap di perairan Sungsang, Sumatera Selatan. Banyaknya hasil tangkapan ikan teri pada periode operasi tengah malam mengindikasikan banyaknya frekuensi kemunculan ikan di daerah yang dapat ditangkap dengan bagan tancap dan ikan telah beradaptasi terhadap cahaya lampu dengan sempurna. Hasil
192
pengamatan secara visual dan menggunakan underwater camera oleh Sudirman (2003) menunjukkan bahwa ikan teri mulai masuk di bawah platform bagan ramboo setelah 15-16 menit dan cumicumi antara 16-20 menit. Ikan teri dan cumi-cumi adalah jenis yang paling cepat memasuki areal bagan rambo. Nelayan di perairan Sungsang telah terbiasa mengoptimalkan waktu operasi bagan tancap mulai jam 24.00-06.00. Fakta ini juga didukung oleh hasil operasi penangkapan yakni rataan jumlah hauling selama penelitian yaitu 5 hauling per trip pada saat tengah malam (T2) dan 4 hauling per trip setelah tengah malam (T3) sedangkan sebelum tengah malam (T1) hanya 2 hauling per trip. Artinya, kebiasaan nelayan dalam operasi bagan tancap di perairan Sungsang perlu diperbaiki khususnya waktu operasi setelah tengah malam (jam 03.00-05.39 WIB). Banyaknya frekuensi hauling pada waktu setelah tengah malam (jumlah hauling hampir sama dengan pada saat tengah malam) tidak menghasilkan hasil tangkapan yang signifikan. Oleh karena itu, waktu antara setting sampai hauling diperpanjang untuk memberikan kesempatan ikan berkumpul dan beradaptasi di daerah yang dapat ditangkap dengan bagan tancap. Lama waktu setting hingga hauling yang optimal tidak dapat direkomendasikan dalam penelitian ini tetapi dapat ditentukan berdasarkan penelitian lanjutan. Menurut Sudirman et al. (2004), ikan teri cenderung memilih intensitas cahaya yang lebih tinggi, dan berada di permukaan air serta cepat memasuki areal bagan, sehingga tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk melakukan proses adaptasi cahaya secara sempurna. Namun masih diperlukan penelitian pada
skala laboratorium, untuk menjawab berapa lama pencahayaan yang diberikan pada ikan teri baru teradaptasi cahaya secara sempurna. Hasil penelitian Sudirman (2003) yang mengamati tingkah laku ikan menggunakan periode waktu operasi penangkapan melalui alat bantu underwater camera dan hydroacoustic dengan hasil penelitian yang diperoleh, keduanya menunjukkan bahwa baik pada perairan jernih (laut) maupun keruh (muara sungai) yang mengandalkan pasang surut sama-sama mendapatkan hasil tangkapan tertinggi pada periode waktu operasi tengah malam (00.00-02.59 WIB). Hal ini sesuai Amiruddin (2006) yang menjelaskan bahwa ikan teri masuk ke dalam daerah yang dapat ditangkap dengan bagan rambo selain karena faktor cahaya, juga dapat disebabkan oleh faktor makanan. Ikan teri masuk ke daerah yang dapat ditangkap oleh bagan tancap karena faktor ketertarikan terhadap cahaya secara langsung (tertarik oleh cahaya lalu berkumpul) maupun tidak langsung (karena ada cahaya dan plankton kemudian ikan teri berkumpul untuk tujuan mencari makan). Pada ukuran panjang tubuh < 40 mm, teri umumnya memakan fitoplankton dan zooplankton berukuran kecil, sedangkan pada ukuran panjang tubuh > 40 mm, ikan teri memanfaatkan zooplankton (Copepoda) berukuran besar (Hutomo et al, 1987 dalam Amiruddin, 2006). Berdasarkan kajian isi lambung teri dalam beberapa interval waktu pada malam hari (Sudirman, 2003) menyatakan bahwa ikan ini aktif mencari makan sebelum tengah malam (pukul 22:00), dimana tingkat kepenuhan isi lambung selama waktu itu lebih tinggi dibandingkan 2 waktu lainnya (pukul 01:00 dan 05:00). Lingkup penelitian ini tidak sampai pada penelitian untuk mengetahui isi perut ikan sebagaimana dilakukan Sudirman (2003), namun hasil penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan penelitan lanjutan pada periode penelitian berikutnya. KESIMPULAN Perbedaan waktu operasi penangkapan bagan tancap (sebelum tengah malam, saat tengah malam dan sesudah tengah malam) berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan utama yakni ikan teri (Stolephorus sp) maupun total hasil tangkapan namun tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan cumi-cumi (Loligo sp) dan petek (Leiognathus sp). Waktu pengoperasian bagan tancap yang paling optimal di perairan Sungsang Sumatera Selatan adalah saat tengah malam (00.00-02.59).
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini merupakan salah satu dari rangkaian penelitian. Kami mengucapkan terima kasih kepada Kemenristek atas dukungan dana penelitian Ristek Sinas TA 2012 dan Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Sub Optimal (PUR PLSO) sebagai Lembaga Pengelola Penelitian di Universitas Sriwijaya DAFTAR PUSTAKA Amiruddin. 2006. Interaksi predasi teri (Stolephorus spp.) selama proses penangkapan ikan dengan bagan rambo: hubungannya dengan kelimpahan plankton [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 89 Hal. Baskoro, MS. 1999. Capture process of the floated bamboo-platform liftnet with light attraction (bagan). Graduate School of Fisheries, Tokyo University of Fisheries. Doctoral Course of Marine Sciences and Technology. 202 p. Fauziyah, K Saleh, Hadi & F Supriyadi. 2012. Respon perbedaan intensitas cahaya lampu petromak terhadap hasil tangkapan bagan tancap di perairan Sungsang, Sumatera Selatan. Maspari J. 4 (2): 215-224. Gustaman G, Fauziyah & Isnaini. 2012. Efektifitas perbedaan warna cahaya lampu terhadap hasil tangkapan bagan tancap di perairan Sungsang Sumatera Selatan. Maspari J. 2012, 4 (1): 92-102. Nadir, MM, FA Sondita & I Jaya. 2001. Catch comparison of floating platform lift-net (bagan) according to light illumination and lunar phases of Barru Regency, South Sulawesi. Proceeding of the JSPS International Symposium Fisheries Sciences in Tropical Area; Bogor-Indonesia Augt, 21-25, 2000. Sustainable Fisheries in Asia in The New Millennium. Published by TUF International JSPS Project.10. p 187-190. Sudirman, AR Hade & Sapruddin. 2011. Perbaikan tingkat keramahan lingkungan alat tangkap bagan tancap melalui perbaikan selektivitas mata jaring. Bull. Penelit. LP2M 2 (1): 47-64. Sudirman, MS Baskoro & A Purbayanto, DR Monintja, W Rismawan, T Arimoto. 2004. Respon retina mata ikan teri (Stolephorus insularis) terhadap cahaya dalam proses penangkapan pada bagan rambo. J.Torani 14 (3): 1-14.
193
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 187-194
Sudirman. 2003. Analisis Tingkah Laku Ikan untuk Mewujudkan teknologi Ramah Lingkungan dalam Proses Penangkapan pada Bagan Rambo [Desertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 307 hal. Notanubun J & W Patty. 2010. Perbedaan penggunaan intensitas cahaya lampu terhadap hasil tangkapan bagan apung di Perairan Selat Rosenberg Kabupaten Maluku Tenggara Kepulauan Kei. J. Perikan & Kelaut. 6 (3): 134140.
194
Sudjana. 1992. Metoda Statistika. Bandung: Penerbit TARSITO. 205 hal. Yuda LK, D Iriana & AMA Khan. 2012. Tingkat keramahan lingkungan alat tangkap bagan di perairan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. J. Perikan & Kelaut. 3 (3): 7-13. Zulfia. 1999. Pengaruh perbedaan waktu hauling terhadap hasil tangkapan bagan diesel di Perairan Carocok, Kabupaten Pesisir Selatan, Propinsi Sumatera Barat [skripsi]. Bogor: FKIP-IPB. 105 Hal.
Sebaran Laju Pancing Rawai Tuna di Samudera Hindia (Bahtiar A, et al)
SEBARAN LAJU PANCING RAWAI TUNA DI SAMUDERA HINDIA DISTRIBUTION OF THE HOOK RATE OF TUNA LONGLINE IN THE INDIAN OCEAN Andi Bahtiar, Abram Barata, dan Dian Novianto Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa, Bali Teregistrasi I tanggal: 01 Maret 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 06 Desember 2013; Disetujui terbit tanggal: 12 Desember 2013
ABSTRAK Rawai tuna adalah alat tangkap yang efektif untuk menangkap tuna lapisan dalam dan bersifat pasif dalam pengoperasiannya sehingga tidak merusak sumberdaya hayati di perairan. Laju pancing (hook rate) ikan tuna merupakan salah satu penentu indeks kelimpahan tuna di daerah penangkapan tuna di Samudera Hindia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran nilai laju pancing ikan tuna di Samudera Hindia. Penelitian dilakukan sebanyak 67 trip observasi mulai tahun 2005 sampai tahun 2010 dengan menggunakan kapal-kapal rawai tuna yang berbasis di Pelabuhan Benoa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis albacore (Thunnus alallunga) memiliki nilai laju pancing ratarata tertinggi yaitu 0,30 pada tahun 2008 dan yang terendah pada tahun 2005 sebesar 0,02. Nilai laju pancing terendah bigeye tuna terjadi pada tahun 2010 sebesar 0,19 dan yang tertinggi pada tahun 2005 sebesar 0,27. Nilai laju pancing yellowfin tuna terendah sebesar 0,01 terjadi pada tahun 2005 dan tertinggi pada tahun 2006 sebesar 0,12, sedangkan nilai laju pancing Southern bluefin tuna, terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar 0,002 dan tertinggi pada tahun 2005 sebesar 0,04. KATA KUNCI : Rawai tuna, laju pancing, ikan tuna, Samudera Hindia. ABSTRACT Tuna longline fishing is an effective fishing gear used to catch tuna species. The hook rate is an index of tuna abundance in the Indian Ocean. This research aimed to a investigate distribution of the hook rate of tuna longline in the Indian Ocean. The research was made has been conducted at 67 trips of observations from 2005 to 2010 using the tuna longline vessels based in Port Benoa. The results showed that the highest of average hook rate of albacore 0,30 accured in 2008, and the lowest was 0,02 in 2005. The lowest of bigeye hook rate amounted to 0,19 in 2010 and the highest was 0,27 in 2005. The lowest of yellowfin tuna hook rate was 0,01 in 2005 and the highest at 0,12 in 2006. While the lowest hook rate southern bluefin tuna, of 0,002 in 2010 and the highest at 0,04 in 2005. KEYWORDS : Tuna longline, hook rate, tuna, Samudera Hindia
PENDAHULUAN Salah satu kelompok ikan pelagis besar yang sangat penting adalah tuna. Tuna mata besar merupakan salah satu spesies tuna yang memiliki nilai jual tinggi. Seiring langkanya bluefin tuna dan pembatasan kuota ekspor Indonesia ke pasar internasional, maka bigeye tuna (tuna mata besar) merupakan target utama dalam kegiatan penangkapan longline dan harganya relatif lebih mahal bila dibandingkan jenis yellowfin dan albacore. Sumberdaya tuna tersebar di seluruh perairan di dunia dan pada umumnya menghuni perairan tropis seperti Samudera Hindia. Menurut Kleiber et al. (1987) dalam Gafa et al. (2004), tuna merupakan ikan yang berumur panjang dan mempunyai fekunditas tinggi.
___________________ Korespondensi penulis: Loka Penelitian Perikanan Tuna Jl. Raya Pelabuhan Benoa, Denpasar - Bali
Rawai tuna (tuna longline) merupakan alat tangkap yang efektif untuk menangkap tuna. Menurut Sainsbury (1986), pancing rawai adalah alat tangkap yang efisien bahan bakar, ramah lingkungan dan memiliki metode penangkapan paling bersih serta dapat digunakan untuk menangkap ikan demersal maupun pelagis. Rawai tuna bersifat pasif dalam pengoperasiannya sehingga tidak merusak sumberdaya hayati yang ada di perairan, inilah yang menjadikan tuna longline memiliki metode penangkapan paling bersih. Dalam laporan kegiatan pengawasan perikanan di Pelabuhan Benoa tahun 2007, kapal-kapal tuna longline yang berbasis di Pelabuhan Benoa-Bali berjumlah 691 kapal, mulai yang berukuran <30GT hingga >100GT (Anonymous, 2007).
195
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 195-202
Laju pancing (hook rate) merupakan salah satu indikator penentu daerah penangkapan tuna. Tersedianya data laju pancing sangat diperlukan oleh para nahkoda dalam membuat rencana operasi penangkapan. Besarnya nilai laju pancing juga merupakan indikasi tinggi rendahnya kelimpahan tuna yang ada di perairan tersebut. Nilai laju pancing diartikan banyaknya tuna yang tertangkap tiap 100 mata pancing. Dengan mengumpulkan data-data laju pancing secara kontinyu, maka dapat dibuat peta area penangkapan dalam zona tertentu dan para nahkoda dapat menentukan posisi pengoperasian rawai tuna di Samudera Hindia. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui sebaran nilai laju pancing ikan tuna di Samudera Hindia baik secara bulanan maupun tahunan berdasarkan pengamatan data observer tahun 2005-2010. BAHAN DAN METODE Bahan penelitian ini adalah rawai tuna yang menangkap empat jenis tuna, yaitu bigeye tuna (Thunnus obesus), yellowfin tuna (Thunnus albacares), southern bluefin tuna (Thunnus macoyii) dan albacore (Thunnus alallunga). Alat lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Positioning System), meteran dan handy tally counter. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi langsung dengan mengikuti kegiatan operasi penangkapan kapal-kapal rawai tuna yang berbasis di Pelabuhan Benoa selama 67 trip mulai Agustus 2005 sampai Desember 2010 di Samudera Hindia. Data yang dikumpulkan berupa data operasional penangkapan ( daerah penangkapan dan hasil tangkapan). Untuk analisis kelimpahan ikan yang dinyatakan dalam nilai laju pancing yaitu jumlah ikan yang tertangkap oleh 100 mata pancing yang dioperasikan berdasarkan masing-masing posisi daerah penangkapan. Mengacu dalam Nugraha et al. (2009) hook rate dihitung menggunakan rumus:
LP = E/P x 100 ……………………........…….. (1) keterangan : LP = laju pancing (hook rate) E = jumlah ikan yang tertangkap (ekor) P = jumlah pancing yang digunakan (buah) 100 = konstanta Penyebaran daerah penangkapan tuna di sajikan dalam bentuk petatematik.
196
HASIL DAN BAHASAN HASIL Deskripsi Pengoperasian Rawai Tuna Desain dan konstruksi rawai tuna di Benoa pada dasarnya dibedakan menjadi 2 sistem, yaitu sistem arranger (mesin) dan non arranger (manual). Sistem non arranger meliputi sistem blong dan basket ataupun perpaduan keduanya. Perbedaaan dengan sistem arranger terletak pada bahan tali utama di mana untuk sistem non arranger terbuat dari monofilmen (PA) dan untuk arranger terbuat dari Monofilamen dan polyester , mesin hauler, penyusunan main line dan pemasangan branch line (Barata dan Iskandar, 2009). Satu unit rawai tuna terdiri atas pelampung (float), tali pelampung (float line), tali utama (main line) dengan sejumlah tali cabang (branch line) yang berpancing (hook). Jumlah pancing yang di gunakan dalam sistem arranger maupun non arranger sama. Gambar 1 menunjukkan bahan tali utama dan tali cabang pada sistem non arranger terbuat dari bahan monofilamen (PA) sedangkan Gambar 2 menunjukkan bahan tali utama dan tali cabang sistem arranger terbuat dari perpaduan antara monofilamen dan polyester (PE) seperti kuralon. Perbedaan pemakaian bahan ini mempengaruhi jenis line hauler yang digunakan. Pada sistem arranger, diameter main line yaitu 7 mm dan tali cabang berdiameter 4 mm. Penebaran tali utama tidak dilakukan secara manual tetapi menggunakan line shooter. Kecepatan setting tali utama sudah diatur antara 9-10 m/s. Pemasangan tali cabang berpancing pada tali utama langsung dikaitkan dengan snape. Pada saat hauling, main line ditarik dengan line hauler khusus yang dihubungkan melalui pipa panjang menuju wadah penampung main line. Konstruksi rawai tuna pada sistem arranger lebih kuat dan jarang terjadi putus main line. Sistem non arranger lebih banyak dioperasikan secara manual. Tali utama (main line) berdiameter 3 mm dan branch line berdiameter 2 mm. Pada saat hauling, main line ditarik oleh line hauler dan disusun pada blong-blong yang ada. Tali cabang dipasang pada tali penghubung (join line) yang dipasang pada tali utama. Pemasangan branch line pada main line ada yang menggunakan snape dan dengan ikat simpul. Pengoperasian pada sistem non arranger sering terjadi kusut dan putus main line. Akan tetapi, bila dilihat dari biaya operasional atau permodalan, sistem non arranger lebih murah bila dibandingkan sistem arranger.
Sebaran Laju Pancing Rawai Tuna di Samudera Hindia (Bahtiar A, et al)
Gambar 1. Tali utama dan tali cabang pada sistem non arranger Figure 1. Main line and branch line on non arranger system
Gambar 2. Tali utama dan tali cabang pada sisitem arranger Figure 2. Main line and branch line on arranger system Daerah Penangkapan Posisi penangkapan pada observasi kapal-kapal rawai tuna milik perusahaaan yang berbasis di Pelabuhan Benoa yaitu pada posisi 780-1270 BT dan 80-330 LS. Posisi ini berada di sebelah barat daya Pulau Sumatera, selatan Jawa sampai Nusa Tenggara dan di dalam maupun di luar perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Menurut Wudianto et al. (2003), daerah penangkapan kapal tuna longline yang berasal dari Cilacap dan Benoa yaitu di perairan selatan Jawa Tengah antara 108-1180 BT dan 8-220 LS dimana sebagian besar (>70%) melakukan penangkapan di luar perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Hasil penelitian Novianto et al. (2009), menyatakan bahwa terdapat 2 zona penangkapan ikan tuna berdasarkan posisi Pelabuhan Benoa, yaitu zona di sebelah tenggara (selatan-timur) dan zona sebelah barat daya (selatan-barat). Kapal-kapal rawai tuna
yang hasil tangkapan utamanya adalah fresh tuna, lebih banyak menangkap di zona selatan barat, terutama pada bulan September-Desember yang merupakan musim penangkapan tuna. Di kawasan tersebut, ikan-ikan tuna yang tertangkap juga memiliki kualitas yang lebih bagus bila dibandingkan dengan hasil tangkapan di sekitar perairan pantai sebelah selatan Banyuwangi, Pulau Bali hingga Sumbawa. Zona penangkapan tuna di sebelah selatan timur Pelabuhan Umum Benoa, juga menjadi target penangkapan kapal-kapal rawai tuna. Ikan-ikan tuna yang tertangkap di zona ini biasanya memiliki ukuran lebih besar (Novianto et al., 2009). Gambar 3 menunjukkan posisi penangkapan 67 trip observasi pada kapal-kapal rawai tuna milik perusahaan yang berbasis di Pelabuhan Benoa dari tahun 2005 – 2010 yaitu pada posisi 780-1270 BT dan 80-330 LS.
197
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 195-202
Keterangan : ●
observasi tahun 2005
●
observasi tahun 2008
●
observasi tahun 2006
●
observasi tahun 2009
●
observasi tahun 2007
●
observasi tahun 2010
Gambar 3. Daerah penangkapan kapal-kapal rawai tuna yang berbasis di Pelabuhan Benoa berdasarkan data observer 2005-2010. Figure 3. Fishing grounds of tuna longliners at Benoa Harbour based on observer data 2005-2010. Gambar 4 menunjukkan fluktuasi nilai laju pancing masing-masing jenis Ikan Tuna mulai tahun 20052010. Jenis albacore (Thunnus alallunga) memiliki nilai laju pancing (hook rate) rata-rata tertinggi yaitu 0,30 dengan standar error 0,003 pada tahun 2008 dan yang terendah pada tahun 2005 sebesar 0,02 dengan standar error 0,022. Nilai hook rate terendah bigeye tuna pada 2010 sebesar 0,19 dengan standar error 0, 001 dan yang tertinggi pada tahun 2005 sebesar 0,27 dengan standar error 0,022. Jenis yellowfin tuna memiliki nilai hook rate terendah sebesar 0,001dengan standar error 0,002 pada 2005 dan tertinggi pada 2006 sebesar 0,12 dengan standar error 0,008. Sedangkan southern bluefin tuna, nilai hook rate terendah pada
198
2010 sebesar 0,002 dengan standar error 0,008 dan tertinggi pada 2005 sebesar 0,04 dengan standar error 0,001. Nilai hook rate rata-rata bulanan berdasarkan pengamatan data observer 2005-2010, menunjukkan nilai tertinggi albacore memiliki hook rate 0,37 dengan standar error 0,051 pada bulan April, bigeye tuna memiliki nilai hook rate 0,35 dengan standar error 0,024 pada bulan Juli, yellowfin tuna memiliki nilai hook rate 0,19 dengan standar error 0,016 pada bulan Mei dan southern bluefin tuna memiliki nilai hook rate 0,3 dengan standar error 0,006 pada bulan Nopember (Gambar 5). Secara keseluruhan keseluruhan laju pancing tahunan meningkat dari tahun 2005 sebesar 0,34 menjadi 0,63 pada tahun 2008.
Sebaran Laju Pancing Rawai Tuna di Samudera Hindia (Bahtiar A, et al) 0.35 0.30
Albakora
Laju Pancing
0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00
0.35 0.30
2005
2006
2007
Tuna mata besar
Tahun
2008
2009
2010
2008
2009
2010
Laju Pancing
0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 0.10
2005 2006 Tuna sirip biru selatan
2007
Tahun
Laju Pancing
0.08 0.06 0.04 0.02 0.00 0.20
2005 Madidihang
2006
2007
2006
2007
Tahun
2008
2009
2010
2008
2009
2010
Laju Pancing
0.15
0.10
0.05
0.00 2005
Tahun
Gambar 4. Sebaran nilai laju pancing tahunan masing-masing jenis ikan tuna Figure 4. Distribution of annual hook rate based on tuna species
199
Rata-rata Laju Pancing
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 195-202
0.50 0.45 0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00
2005-2010
Bulan Albakora
Tuna mata besar
Gambar 5. Sebaran nilai laju pancing bulanan masing-masing jenis Ikan Tuna Figure 5. Distribution of monthly hook rates of each tuna species BAHASAN Sebaran Ikan Tuna Kondisi geografs Indonesia yang terletak diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia merupakan jalur perlintasan bagi jenis – jenis ikan tuna yang bermigrasi jauh. Ikan tuna termasuk salah satu sumberdaya ikan yang mempunyai daya jelajah renang sangat cepat dan beruaya jauh. Sebaran tuna tersebar di seluruh perairan Indonesia yang bersifat oseanik, penyebaran tuna dapat di bedakan menjadi 2 macam yaitu penyebaran horisontal atau penyebaran menurut letak geografis perairan meliputi perairan barat dan selatan Sumatera, perairan selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Laut Flores, Laut Sulawesi dan perairan utara Papua, sedangkan penyebaran vertikal atau penyebaran menurut kedalaman perairan meliputi penyebaran tuna sangat dipengaruhi oleh suhu dan kedalaman renang (Sumadhiharga, 2009). . Penyebaran dan kelimpahan ternyata sangat dipengaruhi oleh beberapa parameter oseanografi, variasi suhu perairan memiliki peran penting di dalam menentukan penyebaran ikan tuna secara spasial. Jenis madidihang memiliki penyebaran secara vertikal yang di batasi oleh dalamnya thermoklin, sedangkan albakora dan mata besar biasanya hidup di lapisan perairan di bawah thermoklin (Wudianto et al., 2003). Laju Pancing (Hook Rate) Tuna Laju pancing data sebagai indikator kepadatan stok, digunakan untuk mengetahui tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan di suatu perairan. Perbedaan laju pancing tuna longline dapat disebabkan oleh perbedaan jenis umpan, teknologi alat tangkap,
200
ukuran tonase kapal (GT) dan keterampilan anak buah kapal (ABK) (Bahar, 1987). Hasil analisis sebaran laju pancing tahunan meningkat dari tahun 2005 sebesar 0,34 menjadi 0,63 tahun 2008, sedikit berbeda dengan hasil penelitian Nugraha & Triharyuni (2009), rata-rata laju pancing ikan tuna di Samudera Hindia sebesar 0,52. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh jenis umpan yang digunakan karena selain musim penangkapan, jenis umpan mempengaruhi jumlah hasil tangkapan pada perikanan tuna longline, dikatakan bahwa umpan cumi merupakan umpan terbaik yang digunakan pada setting sore hari. Penurunan laju pancing merupakan salah satu indikasi berkurangnya ketersediaan tuna (Barata et al., 2011), meskipun telah terjadi penurunan laju pancing nelayan tetap terus meningkatkan upaya penangkapan tuna karena permintaan pasar dan nilai ekonominya (wwf.or.id.2012). Sementara sebaran nilai laju pancing tahunan masing – masing jenis ikan tuna terlihat berfluktuasi. Tuna mata besar relatif tidak bervariasi yaitu sebesar 0,27 tahun 2005 dan terendah tahun 2010 sebesar 0,19. Albakora pada tahun 2007 – 2008 laju pancing relatif naik karena kapal rawai tuna yang diikuti untuk observasi adalah adalah kapal rawai tuna yang khusus menangkap albakora. Di antara empat jenis ikan tuna, jenis tuna sirip biru yang memiliki nilai laju pancing paling rendah yaitu 0,04 tahun 2010. Hal ini disebabkan karena populasi tuna sirip biru sudah menurun memiliki nilai harga yang paling tinggi sehingga telah lama di jadikan sebagai target penangkapan, terutama oleh armada yang berasal dari Jepang, Taiwan, Korea, Australia. Diduga menurunnya populasi ikan ini disebabkan oleh intensitas pemanfaatan yang berlebihan (Industri.kontan.co.id 2004). sehingga perlu adanya pengelolaan sumberdaya yang menyeluruh agar perikanan tuna berkelanjutan.
Sebaran Laju Pancing Rawai Tuna di Samudera Hindia (Bahtiar A, et al)
Untuk sebaran nilai laju pancing bulanan ikan tuna tidak terlalu berfluktuatif, nilai tertinggi pada bulan April (0.67) dan terendah pada bulan Februari (0,21). trend sebaran nilai laju pancing mengalami penurunan yang drastis pada bulan Januari hingga Februari karena pada bulan-bulan tersebut angin musim utara melintasi kwatulistiwa berbelok ke arah timur mengakibatkan terjadinya musim barat laut (BRPL 2004), sehingga kapal-kapal rawai tuna mengalami kendala dalam menangkap tuna. Nilai sebaran laju pancing tertinggi adalah albakora yaitu pada bulan April 0, 37 dan Desember sebesar 0,35, nilai laju pancing relatif lebih tinggi di bandingkan bulan lainnya. Dengan indikasi ini musim penangkapan albakora dalam satu tahun berlangsung dua kali yaitu pada bulan April dan Desember. Tuna mata besar laju pancing tertinggi bulan Juli, madidihang pada bulan Mei. Tuna sirip biru yang memiliki nilai laju pancing paling rendah karena tuna sirip biru di indikasi populasinya sudah berkurang.
Barata, A. & B.I.Prisantoso. 2009. Beberapa Jenis Ikan Bawal (Angel fish, Bramidae) yang Tertangkap dengan Rawai Tuna (Tuna Long Line) di Samudera Hindia dan Aspek Penangkapannya. Bawal. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan 2 (5) : 223 – 227 Barata, A., A. Bahtiar., & H. Hartati. 2011. Pengaruh Perbedaan Umpan dan Waktu Setting Rawai Tuna Terhadap Hasil Tangkapan Tuna di Samudera Hindia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia : Vol. 17 No. 2. Hal 133-138. Bahar, S. 1987. Studi Penggunaan Rawai Tuna Lapisan Perairan Dalam Untuk Menangkap Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Perairan Barat Sumatera. Jurnal Penelitian Perikanan Laut Jakarta : No 40. Hal 51-63. Balai Riset Perikanan Laut (BPPL). 2004. Musim Penangkapan Ikan di Indonesia
KESIMPULAN Secara garis besar kapal rawai tuna yang berbasis di Pelabuhan Benoa beroperasi di sebelah barat daya Pulau Sumatera, selatan Jawa sampai Nusa Tenggara dengan sebaran laju pancing tahunan untuk seluruh hasil tangkapan tuna mengalami kenaikan rata-rata 24,73 % mulai tahun 2005 – 2008 yaitu 0,09 – 0,19 dan kemudian terjadi penurunan secara terus menerus sampai tahun 2010 menjadi rata-rata laju pancing tuna 0,10. Sebaran laju pancing bulanan tertinggi pada albakora terjadi pada bulan April, tuna mata besar bulan Juli, madidihang bulan Mei dan tuna sirip biru selatan bulan Nopember. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset program observer tuna Samudera Hindia pada kapal-kapal tuna longline di Pelabuhan Benoa, T.A. 2005-2009, kerjasama antara Pusat Riset Perikanan Tangkap dengan Australian Centre for International Agricultural Research. Penulis mengucapkan terima kasih kepada para observer di Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa, yang telah membantu dalam pengumpulan data dengan obervasi langsung di kapal rawai tuna. DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2007. Laporan Kegiatan Pengawasan Perikanan di Pelabuhan Benoa Bali. Unit Pengawasan Perikanan. Dinas Perikanan dan Kelautan. Bali.
Gafa, B., K. Wagiyo & B. Nugraha. 2004. Hubungan Antara Suhu dan Kedalaman Mata Pancing Terhadap Hasil Tangkapan Bigeye Tuna Longline di Perairan Laut Banda dan sekitarnya. Proseding Hasil – Hasil Riset. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/marine/ publication/galerifoto/juara3_ kategoriumum.cfm, di akses 2 Juli 2012.http://industri.kontan.co.id/ news/nelayan-harus-susah-payah-berburu-tuna-dilaut1 Di akses 2 Juli 2012. Sainsbury, J.C 1996. Commercial Fishing Methods: An Introduction To Vessel and Gear. London. Fhising News Book Ltd. Novianto, D, A. Barata & A. Bahtiar. 2010. Efektifitas tali Cucut sebagai Alat Tambahan pada Pengoperasian Rawai Tuna dalam Penangkapan Cucut. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan Dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan 16 (3) : 251-258. Nugraha.,B, S.Triharyuni. 2009. Pengaruh Suhu dan Kedalaman Mata Pancing Rawai Tuna (Tuna Longline) Terhadap hasil Tangkapan Tuna di Samudera Hindia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia : Vol 15 No. 3 Hal 230 – 241.
201
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 195-202
Wudianto.K,Wagiyo & B.Wibowo. 2003. Sebaran Daerah penangkapan Ikan Tuna di Samudera Hindia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 7 (5).
202
Daya Dukung dan Potensi………… di Kabupaten Kebumen-Propinsi Jawa Tengah (Purnomo K, et al)
DAYA DUKUNG DAN POTENSI PRODUKSI IKAN WADUK SEMPOR DI KABUPATEN KEBUMEN-PROPINSI JAWA TENGAH CARRYING CAPACITY AND POTENTIAL FISH YIELD OF SEMPOR RESERVOIR AT KEBUMEN REGENCY-CENTRAL JAVA PROVINCE Kunto Purnomo, Andri Warsa dan Endi. S Kartamihardja Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya ikan Teregistrasi I tanggal: 16 Mei 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 03 Desember 2013; Disetujui terbit tanggal: 10 Desember 2013
ABSTRAK Waduk Sempor di Kabupaten Kebumen mempunyai luas 275 ha, fungsi utama untuk pengendali banjir, pengairan dan fungsi sekunder untuk perikanan tangkap dan budidaya serta pariwisata. Pengembangan perikanan tangkap dan budi daya yang berkelanjutan harus didasarkan atas potensi produksi ikan dan daya dukung perairan waduk. Penelitian ini bertujuan untuk menduga potensi produksi ikan dan daya dukung perairan waduk Sempor serta implikasi optimasi pemanfaatannya bagi pengembangan perikanan. Penelitian dilakukan dengan metode survey dan pencatatan hasil tangkapan nelayan dilakukan oleh enumerator. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya dukung perairan waduk Sempor berkisar antara 72-236 ton/tahun atau setara dengan 118 unit KJA ukuran 6x6x3 m3 dengan asumsi setiap unit KJA menghasilkan 2 ton ikan per tahun. Potensi produksi ikan untuk pengembangan perikanan tangkap berkisar antara 237-307 ton/th. Daya dukung dan potensi produksi ikan berfluktuasi sesuai dengan fluktuasi tinggi muka air, luas permukaan air dan volume waduk. Dewasa ini, ikan lohan (Cichlacoma trimaculatum) yang termasuk ikan asing invasif dan nila (Oreochromis niloticus) yang termasuk ikan ekonomis merupakan jenis ikan yang dominan tertangkap. Hasil tangkapan nelayan cenderung menurun dan sangat rendah yaitu 2,3 kg/nelayan/hari. Optimasi hasil tangkapan ikan dapat dilakukan dengan penebaran ikan planktivora sebanyak 103.518-242.388 ekor per tahun dengan frekewensi dua kali dalam setahun dan pengendalian ikan asing invasif. KATA KUNCI: Daya dukung, potensi produksi ikan, perikanan tangkap, perikanan budidaya, Waduk Sempor ABSTRACT Sempor Reservoir located at Kebumen Regency has a maximum surface water area of 275 Ha, main function for flood control, irrigation, and a secondary functions for capture fisheries, cage fish culture and water recreation. Development of a sustainable capture fisheries and cage fish culture should be based on potential fish yield and carrying capacity of the reservoir, respectively. A study to estimate potential fish yield and carrying capacity of the reservoir and an implication for optimization of fisheries development has been conducted. A survey method and collection of daily fish catch by enumerators was used. Results of the study showed that estimated potential fish yield of the reservoir ranged between 237-307 ton/yr and the carrying capacity ranged between 72-236 ton/yr or equivalent to 118 units of cages, assuming one unit of cage (size 6x6x3m3) produce 2 ton of fish per year. The potential fish yield and the carrying capacity of the reservoir fluctuated according to the water level fluctuation, surface water area and volume of the reservoir. The dominant fish species caught were “lohan” (Cichlacoma trimaculatum), an invasive alien fish species and nile tilapia (Oreochromis niloticus), an economical species. Fish catch of the fishers tend to decreasing with an average catch 2.3 kg/fisher/day. To optimize the fish catch some efforts should be conducted, i.e., stocking and introduction of plankton feeder species with the density between 103,518-242,388 individuals per year and stocked two times per year and controlling of invasive alien fish species. KEY WORDS: Carrying capacity, fish potential yield, fisheries, cage culture, Sempor reservoir
___________________ Korespondensi penulis: Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Budidaya Ikan Jl. Cilalawi No. 1 Jatiluhur, Purwakarta - Jawa Barat
203
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 203-212
PENDAHULUAN Waduk Sempor di Kabupaten Kebumen mempunyai luas permukaan air maksimum 275 hektar, fungsi utama untuk pengendali banjir dan pengairan serta fungsi sekunder untuk perikanan (tangkap dan budidaya) dan pariwisata. Estimasi potensi produksi ikan sangat penting untuk optimasi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan di suatu badan air agar tetap lestari (Bramick, 2002). Potensi produksi ikan dapat diduga dari nilai produktivitas primer perairan dan telah digunakan untuk pendugaan potensi perikanan tangkap di beberapa perairan danau Afrika (Melack, 1976). MRAG (1995) menduga potensi produksi ikan untuk keperluan pemancingan (sport fish) dengan cara menghubungkan antara biomassa jenis–jenis ikan dengan konsentrasi klorofil-a di perairan waduk dan danau di Amerika Serikat. Daya dukung perairan yaitu banyaknya biomasa ikan yang dapat dihasilkan oleh kegiatan budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) dengan tanpa meningkatkan kesuburan perairan digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam pengembangan budidaya ikan KJA berkelanjutan di suatu badan air. Hal ini dikarenakan aktivitas budidaya ikan dalam KJA di suatu ekosistem perairan akan berdampak pada peningkatan unsur hara N dan P sehingga dapat meningkatkan kesuburan perairan tersebut (Clerk, 2004; Ahmed et al., 2010; Nugent, 2009). Input dari budidaya ikan secara intensif adalah pakan, dimana sebagian dari pakan tersebut akan diubah menjadi biomassa ikan dan sebagian dibuang kekolom air
sebagai padatan organik tersuspensi dan terlarut seperti karbon, nitrogen dan fosfor (Tovar et al., 2000). Dekomposisi buangan dari budidaya KJA akan menghasilkan gas-gas beracun seperti asam sulfida, dan methan yang bersifat racun serta menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam air sehingga apabila kegiatan budidaya KJA melebihi daya dukung dan diikuti dengan proses umbalan dapat mematikan ikan budidaya (Krismono, 2005; Utoyo et al., 2007). Penghitungan daya dukung atau daya tampung beban cemaran dari budidaya ikan dalam KJA telah tercantum dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2009 tentang Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan atau Waduk. Tujuan penelitian adalah untuk menduga daya dukung dan potensi produksi ikan waduk Sempor bagi pengembangan perikanan budidaya dan tangkap serta implikasi bagi optimasi pemanfaan dan pelestariannya. BAHAN DAN METODE Waktu, Lokasi Penelitian dan Cara Pengambilan Contoh Penelitian dilakukan di Waduk Sempor pada bulan April dan September 2011. Pengambilan contoh air untuk penghitungan kandungan klorofil-a dan pemasangan gillnet percobaan dilakukan di tiga stasiun yang mewakili seluruh perairan waduk, yaitu stasiun I di daerah Dam, stasiun II di muara Kali Anget dan stasiun III di daerah keramba jaring apung (KJA) (Gambar 1).
III II
I
Gambar 1. Peta Waduk Sempor dan stasiun penelitian Figure 1. Map of Sempor Reservoir and the research stations
204
Daya Dukung dan Potensi………… di Kabupaten Kebumen-Propinsi Jawa Tengah (Purnomo K, et al)
Pengambilan contoh air untuk pengamatan khlorofil-a dilakukan pada tiga strata kedalaman yaitu 0,5; 2,0 dan 4,0 m yang disesuaikan dengan kedalaman eufotik waduk. Pengambilan contoh air tersebut dilakukan dengan menggunakan kemerer water sampler volume 5 liter. Contoh air untuk klorofila diawetkan dengan menggunakan MgCO3 dan analisis kandungan klorofil-a dilakukan berdasarkan APHA (2005).
Jumlah Benih Ikan Untuk Penebaran
Pengambilan contoh ikan dilakukan dengan cara melakukan percobaan penangkapan dengan jaring insang percobaan ukuran mata jaring 1-4 inci dengan interval 0,5 inci sebanyak 2 set. Ikan hasil tangkapan ikan dipisahkan berdasarkan jenisnya dan diukur pajang dan beratnya dengan menggunakan mistar ukur dan timbangan digital dengan ketelitian 0,1 g. Ikan contoh kemudian diawetkan dengan menggunakan formalin 10%. Identifikasi ikan contoh dilakukan di laboratorium biologi ikan Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan berdasarkan buku Kottelat et al. (993) dan Kullander (2003).
N = jumlah ikan tebaran pada waktu awal (ekor) Bf = biomassa fitoplankton (kg/ha/tahun) Fc = kompetisi makan ikan tebaran dengan ikan lain (persentase volume fitoplankton yang dapat dimanfaatkan oleh ikan tebaran) Te = transfer effisiensi biomassa fitoplankton ke ikan (4 - <10%) W = rata–rata berat ikan tebaran yang akan dipanen (kg) M = mortalitas ikan tebaran (%)
Hasil tangkapan ikan diduga berdasarkan data hasil tangkapan nelayan yang beroperasi di daerah Kedung Ringin, Sempor dan Kali Anget yang dicatat oleh enumrator setiap hari selama periode MaretOktober 2011. Data hidrologi waduk yang diperlukan dalam perhitungan daya dukung perairan untuk kegiatan budidaya KJA yaitu debit air keluar, volume air waduk serta luasan waduk Sempor diperoleh dari Pengelola DAS Serayu dan Opak, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kebumen. Analisis Data Kedalaman eufotik diduga dengan mmenggunakan persamaan Viner (1984) dalam An & Jones (2000) dengan rumus: Z eufotik = 2,3 x Kecerahan (m) Pendugaan potensi produksi ikan menggunakan rumus (Alamazan & Boyd dalam Boyd, 1990) sebagai berikut: Y =
1,43 + 24,48Xc – 0,15Xc2
Estimasi jumlah benih ikan pemakan plankton untuk penebaran dihitung dengan persamaan Kartamihardja (2007) sebagai berikut: N = (Bf * Fc * Te/W)+M keterangan:
Pendekatan lain, untuk menghitung jumlah benih ikan pemakan plankton untuk penebaran menggunakan persamaan DeSilva & Funge-Smith (2005) sebagai berikut: Y = 811 – 3,18 X Y = 15,88 + 0,184 SD Keterangan: Y = produktivitas/hasil (kg/ha), SD = kepadatan benih yang ditebar (ekor/ha) serta X = kecerahan air (cm secchi disk). Daya dukung perairan Daya dukung perairan untuk kegiatan budidaya dihitung dengan metode Beveridge (2004) mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: 1) Penentuan konsentrasi P total di perairan Waduk Sempor. P total di Waduk Sempor diestimasi dari konsentrasi klorofil-a menggunakan persamaan regresi seperti yang diterapkan di Waduk Jatiuhur (Triyanto, 2010): = 2,06
0,38
Keterangan: Y = Konsentrasi klorofil-a (mg/m3) P = Konsentrasi P total (mg/m3)
keterangan: Y = Potensi produksi ikan (kg/ha/tahun) Xc = Konsentrasi klorofil-a (mg/m3)
2) Menentukan konsentrasi P total yang dapat diterima oleh lingkungan budidaya. Untuk budidaya ikan mas (Cyprinus carpio) dan nila (Oreochromis niloticus) adalah 250 mg/m3 (Beveridge, 1984).
205
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 203-212
3) Daya dukung suatu perairan untuk kegiatan budidaya intensif adalah selisih antara P total (“P) yang dapat diterima lingkungan ([P]f) dengan total P yang terukur ([P]i). ∇P = [P]f - [P]i ∇P sangat berhubungan dengan beban masukkan P total dari aktivitas budidaya (Likan), luas badan air (A), dan laju pembilasan air waduk (ñ)
= Likan(1-Rikan)zñ = “[P]zñ/(1- Rikan) = x +[(1-x)R] = 1/1+0,747ñ0,507
TPremov TPload Bt B0 RKP TPconc
= Beban masukkan fosfor total dari pakan (kg) = Total fosfor yang digunakan oleh ikan (kg) = Fosfor total yang masuk ke perairan (kg) = Biomassa ikan saat panen (kg) = Biomassa ikan saat penebaran (kg) = Rasio konversi pakan = Konsentrasi fosfor total dalam pakan (%)
HASIL DAN BAHASAN HASIL Daya Dukung Perairan
4) P total yang dapat diterima oleh lingkungan (La) diduga dengan mengalikan L fish dengan luas perairan waduk 5) Produksi ikan dari budidaya intensif adalah La dibagi dengan rata-rata limbah P total setiap ton produksi ikan Beban masukkan P total keperairan waduk dihitung berdasarkan estimasi jumlah biomassa ikan yang boleh dibudidayakan. Perhitungan beban masukkan P total dihitung dengan persamaan dari Kibria et al. (1996). TPin = (Bt-B0)xRKPxTPconc TPremov = (Bt-B0)xTPconc TPLoad = Tpin-TPremov
Kecerahan perairan Waduk Sempor berkisar 2,02,3 m dengan rata-rata 2,15 m sehingga kedalaman zona eufotik berkisar 4,60-5,30 m dengan rata-rata 4,7 m. Kedalaman zona eufotik Waduk Sempor ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kedalaman eufotik di Waduk Malahayu yaitu 3,5-4,2 m (Warsa & Purnomo, 2011). Hal ini juga mengindikasikan bahwa Waduk Malahayu relatif lebih subur dibandingkan dengan Waduk Sempor. Sumber air utama yang masuk ke Waduk Sempor berasal dari Sungai Serayu. Nilai laju pembilasan air Waduk Sempor berkisar 1,24-5,95 tahun dengan ratarata 3,77±1,6 tahun sedangkan waktu tinggal berkisar 0,22-3,67 tahun-1 dengan rata-rata 0,90±1,2 tahun-1 (Gambar 2). Estimasi daya dukung perairan Waduk Sempor untuk pengembangan budidaya KJA tercantum pada Tabel 1.
τ (retensi time, tahun-1)
Curah hujan (mm)
Z (kedalaman, m) 30
7 6 5 4 3 2 1 0
16 14 12 10 8 6 4 2 0
Kedalaman rata-rata (Depth average)
Waktu tinggal (Retention time) Laju pembilasan (Flushing rate)
ρ (Flusing rate, tahun)
25 20 15 10 5 0
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Volume air waduk (juta m3) (Volume of reservoir) (million m3)
Keterangan:
Curah hujan (mm) (Fall of rain) (mm)
∇ [P] Likan Rikan R
TPin
Gambar 2. Hidrologi waduk Sempor (A. Waktu tinggal, laju pembilasan dan kedalaman; B. Curah hujan dan Volume waduk) Figure 2. Hydrology of Sempor reservoir (A. Retention time, flushing rate and average of depth; B. Fall of rain and volume of reservoir).
206
Daya Dukung dan Potensi………… di Kabupaten Kebumen-Propinsi Jawa Tengah (Purnomo K, et al)
Tabel 1. Estimasi daya dukung perairan Waduk Sempor untuk budidaya ikan KJA Table 1. Estimation of carrying capacity of Sempor Reservoir for fish cage culture Parameter (Parameters) Luas (Area) Volume (Volume) Kedalaman rata-rata (Average depth) Debit air keluar (Outflow) Laju Pembilasan, (Flushing rate) P total dalam pakan (Total phosphorus) Kandungan P total dalam ikan (Retention of P ) P total yang terbuang (P removal to environmental) Daya dukung (Carrying capacity)
Satuan (unit)
1,0
Rasio konversi pakan Feed conversion ratio 1,5 2,0 270 270 36,8 36,8 9,59 9,59
Ha 106 m3 m
270 36,8 9,59
m3
5,63
5,63
5,63
tahun-1 (year-1) %
1,24
1,24
1,24
2,91
2,91
2,91
%
9,7
9,7
9,7
kg/ton ikan (kg/ton) ton ikan (ton of fish)
16,3
29,3
42,3
236,2
131,0
72,0
Nilai P total Waduk Sempor yang diestimasi dari klorofil-a adalah 104-184 mg/m3 dengan rata-rata 129,2 mg/m3. Perhitungan daya dukung ini didasarkan pada nilai rasio konversi pakan 1,0; 1,5 dan 2,0 dengan asumsi ikan yang dipelihara adalah ikan nila. Konsentrasi P total dalam pakan yang digunakan pada aktivitas budidaya ikan KJA di Waduk Jatiluhur berkisar 1,38-5,18% dengan rata-rata 2,91% (Sukadi, 2010), sedangkan menurut Schumittou (1991) konsentrasi rata-rata P total yang terdapat dalam pakan komersial adalah 1,2%. Daya dukung perairan Waduk Sempor untuk kegiatan budidaya ikan nila dalam KJA berkisar antara 72-236 ton/tahun. Potensi Produksi Ikan Jenis ikan yang terinventarisasi di Waduk Sempor selama penelitian 2011 dari hasil tangkapan jaring insang percobaan adalah ikan lohan (Cichlasoma trimaculatum), ceba (Puntius binotatus), betutu (Oxyeleotris marmorata), tawes (Barbonimus gonyonotus), nila (Oreochromis niloticus) dan lele (Clarias batrachus). Komunitas ikan di Waduk
Sempor didominasi oleh ikan lohan yang merupakan jenis ikan asing yang masuk secara tidak sengaja. Dominansi ikan lohan tersebut terlihat baik dari segi jumlah individu (84,5%) maupun berat (63,4%) (Gambar 3). Ikan nila merupakan jenis ikan yang dominan tertangkap berdasarkan hasil tangkapan nelayan. Hal ini disebabkan karena ikan nila merupakan jenis ikan ekonomis dan ikan target serta nelayan menggunakan jarring dengan ukuran mata lebih besar dari 2,5 inci. Setiap hari jumlah nelayan yang beroperasi di Waduk Sempor hanya berkisar antara 3-5 orang dengan hasil tangkapan persatuan upaya sebesar 2,3 kg/orang/hari. Ikan nila merupakan jenis ikan yang banyak tertangkap pada setiap bulan dengan ratarata 7,4 kg/hari. Ikan-ikan asli hanya tertangkap dalam jumlah yag sedikit (Tabel 2). Hasil tangkapan per satuan upaya nelayan di Waduk Sempor lebih kecil jika dibandingkan dengan nelayan di Waduk Malahayu yang mencapai 5,8 kg/orang/nelayan (Warsa & Purnomo, 2011).
207
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 203-212
A.
Jumlah individu (Number of fish)
A.
0.94% 0.23% 1.41% 2.58%
4.92%
0.23%
Berat total (Total weight) 3.13%
8.73% 1.90% 0.82%
Betutu
Betutu
Ceba
Ceba
Lele
Lele
Lohan
Lohan
Nila
Nila
Tawes
Tawes
94.60% 80.50%
Gambar 3. Komposisi hasil tangkapan gillnet percobaan di Waduk Sempor Figure 3. Catch composition of experimental gillnet at Sempor Reservoir Tabel 2. Komposisi hasil tangkapan ikan di Waduk Sempor Tabel 2. Fish Catch Composition at Sempor Reservoir Jenis Ikan Species Nila (Oreochromis niloticus) Lunjar (Rasbora argyrotaenia Gabus (Channa striata) Lohan (Ciclacoma trimaculatum) Lele (Clarias batrachus) Ceba (Puntius binotatus) Mas (Cyprinus carpio)
Maret March
April April
Mei May
5,5
7,9
6,7
4,9
2,4
0,9
1,6
1,2
Hasil tangkapan (kg/hr) Fish caught (kg/day) Juni Juli Agustus September June July August September 7,3
5,5
8,0
Rataan Average
11,0
7,4 1,0
1,2
0,8
1,1
0,5
1,7 1,0
0,6
0,6
0,5 0,3
0,8
Potensi produksi ikan di Waduk Sempor berdasarkan klorofil-a berkisar 90–117 kg/ha/tahun atau sekitar 237–307 ton/tahun. Jika potensi lestarinya adalah 60% dari potensi produksi (Kartamihardja, 2008) maka biomassa ikan yang boleh ditangkap sebesar 142–184 ton/tahun. Oleh karena ikan nila merupakan ikan yang mendominasi hasil tangkapan dimana rekrutmen ikan nila di waduk tidak hanya mengandalkan potensi alaminya melainkan juga dari penebaran maka nilai potensi lestari 60% dari potensi produksi ikan dapat diabaikan menjadi 100%. Potensi produksi ikan di Waduk Sempor ini
208
7,2
Oktober October
0,1 0,4
0,5
0,2 7,0
0,8
sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan Waduk Darma yang berkisar 83,15-152,6 kg/ha/th atau total potensi produksi 332,6-610,5 ton/tahun (Tjahjo, 2004). Analisis kebiasaan makan ikan tertera pada Tabel 3. Hasil analisis kebiasaan makan ikan ini digunakan dalam pendugaan besarnya kompetisi makanan antar jenis ikan dan selanjutnya nilai tersebut digunakan dalam pendugaan besarnya benih ikan pemakan plankton yang perlu ditebarkan agar sumberdaya makanan alami yang tersedia dapat dimanfaatkan secara optimum.
Daya Dukung dan Potensi………… di Kabupaten Kebumen-Propinsi Jawa Tengah (Purnomo K, et al)
Tabel 3. Analisis kebiasaan makanan ikan di Waduk Sempor Table 3. Analisys of food habits of fish at Sempor Reservoir Jenis Ikan (Species) Fitoplankton (Phytoplankton) Zooplankton (Zooplankton) Tumbuhan (Makrophyta) Moluska (Molusca) Insekta (Insecta) Larva Insekta (Larvae insecta) Annelida (Annelida) Ikan (Fish) Detritus
Lohan 0,03 0,002 1,08 0,15 43,18 0,42 0,08 55,03 0,03
Sumberdaya pakan alami yang dimanfaatkan oleh ikan-ikan di Waduk Sempor, Jawa tengah terdiri atas fitoplankton, tumbuhan/makrofita, detritus, molusca (terutama kelas gastropoda), larva insekta, insekta, dan ikan (prey). Kebiasaan makanan ikan nila di Waduk Sempor menunjukkan kecenderungan sebagai planktivora dengan makanan utama berupa fitoplankton sebesar 95,40%. Ikan ceba (Puntius sp.) dan lunjar (Rasbora argyrotaenia) memanfaatkan insecta sebagai makanan utamanya masing-masing sebesar 70,00% dan 90,47% sehingga digolongkan sebagai insektivora. Ikan kakul (Caculla dominae) tergolong detritivora dengan makanan utama berupa detritus sebesar 94,12%. Ikan wader (Puntius binotatus) memanfaatkan tumbuhan/makrofita sebagai makanan utamanya sebesar 84,78% (Tabel 3). Estimasi jumlah benih ikan planktivora untuk penebaran berdasarkan biomassa klorofil-a dengan mempertimbangkan pemanfaatannya oleh ikan yang telah ada di Waduk Sempor, berkisar antara 103.518242.388 ekor per tahun dengan rata-rata 140.174 ekor per tahun. Jika perhitungan kebutuhan benih berdasarkan nilai kecerahan, maka jumlah benih yang diperlukan untuk penebaran berkisar antara 44.250110.500 ekor per tahun dengan rata-rata 103.875 ekor per tahun. BAHASAN Daya Dukung Waduk Daya dukung Waduk Sempor untuk kegiatan budidaya ikan dalam KJA intensif yang berkisar antara 72-236 ton/tahun atau secara kasar berkisar antara 400-944 kg/ha/th ini lebih kecil jika dibandingkan dengan Danau Toba sebesar 1.446 kg/ha/th atau total
Ceba 10,16 2,83 2,73 4,72 45,42 26,34 1,58 0,00 6,23
Betutu 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 100,00 0,00
Tawes 10,00 0,00 90,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Nila 65,87 0,14 33,99 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01
sebesar 161.946 ton/tahun (Lukman & Hamdan, 2011). Hal ini dapat dimengerti karena tingkat kesuburan Waduk Sempor lebih tinggi jika dibandingkan dengan Danau Toba. Daya dukung perairan waduk untuk pengembangan budidaya KJA intensif akan lebih tinggi jika tingkat trofiknya berada pada tingkat kesuburan rendah (oligotrofik). Faktor yang menentukan jumlah pencemaran P total adalah konsentrasi P total, biomassa ikan yang dibudidayakan serta waktu tinggal atau laju pembilasan perairan (Pillay, 2004). Pengembangan budidaya ikan dalam KJA yang berkelanjutan dapat tercapai dengan menghasilkan ikan sebanyak 236 ton per tahun atau setara dengan 118 unit KJA ukuran 6x6x3 m 3 dengan asumsi produksi ikan per unit KJA dalam satu tahun sebesar 2 ton. Waduk Sempor termasuk waduk kecil yang tidak begitu luas, sehingga apabila waduk ini dikembangkan untuk perikanan budidaya KJA akan cepat memberikan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan perairan waduk. Disamping itu, budidaya ikan dalam KJA memerlukan modal intensif terutama untuk pembelian pakan yang umumnya mencapai 6070% dari total biaya produksi. Oleh karena itu, opsi terbaik dalam rangka pengembangan perikanan di waduk Sempor adalah perikanan tangkap berbasis budidaya atau Culture Based Fisheries (CBF). Perikanan tangkap berbasis budidaya adalah kegiatan perikanan tangkap dimana ikan hasil tangkapan berasal dari benih ikan hasil budidaya yang ditebarkan ke badan air dan benih ikan yang ditebarkan tumbuh dengan memanfaatkan makanan alami yang tersedia. Penebaran benih ikan biasanya dilakukan secara rutin karena ikan hanya tumbuh dan tidak diharapkan berkembang biak (De Silva, 2001; De Silva et al., 2006). Contoh pengembangan CBF yang berhasil di perairan waduk Indonesia adalah di Waduk Malahayu, Brebes (Kartamihardja et al., 2011).
209
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 203-212
Potensi Produksi Ikan Komposisi ikan hasil tangkapan ikan yang diperoleh dari gillnet percobaan dengan data dari enumerator berbeda. Data enumerator menunjukkan, ikan yang dominan tertangkap adalah nila sedangkan dari gillnet percobaan ikan yang dominan tertangkap adalah lohan. Ikan ini bukan merupakan jenis ikan ekonomis penting namum mendominasi populasi ikan di Waduk Sempor (Hedianto & Purnomo, 2012). Hal ini berkaitan dengan ukuran ikan lohan yang relative lebih kecil dibandingkan dengan ikan nila untuk keperluan konsumsi sebagai ikan target nelayan, sedangkan ukuran mata jaring gillnet percobaan yang digunakan ada yang berukuran kurang dari 2 inci yang merupakan mata jarring effektif untuk menangkap lohan dan nelayan menggunakan mata jarring lebih besar dari 2,5 inci. Ikan nila ini juga merupakan jenis ikan yang dominan tertangkap di Waduk Malahayu dan Situ Panjalu (Purnomo & Warsa, 2011; Warsa dan Purnomo, 2011a). Ikan nila juga merupakan jenis ikan introduksi dan ikan dominan tertangkap pada beberapa perairan danau di Cote d’Ivoire, Sri Lanka dan Philipina (Kolding & Zwiete, 2006; Wijeyanake et al., 2007; Taabu & Munyaho, 2004). Perbeadaan komposisi hasil tangkapan nelayan dan gillnet percobaan karena perbedaan ukuran mata jaring yang digunakan. Umumnya nelayan menggunakan ukuran mata jaring lebih besar dari 2,5 inci sehingga ikan yang tertangkap merupakan ikan dengan ukuran besar. Ukuran ikan yang tertangkap pada suatu ukuran mata jaring tertentu akan proposional dengan ukuran panjang maksimal ikan (Ozekinci, 2005). Faktor lain yang menyebabkan perbedaan komposisi hasil tangkapan adalah nelayan hanya menangkap ikan ekonomis penting sebagi ikan target. Nilai potensi produksi ikan (90–117 kg/ha/tahun atau sekitar 237–307 ton/tahun) untuk pengembangan perikanan tangkap di Waduk Sempor (luas 250 ha) lebih rendah jika dibandingkan dengan Waduk Malahayu (luas 720 ha) yang mencapai 690,2 kg/ha/ th atau total potensi produksi sebesar 497 ton/tahun (Warsa & Purnomo, 2011). Hal ini sesuai dengan karakter limnologis waduk Malahayu yang relatif dangkal dengan perairan yang lebih subur dibandingkan dengan Waduk Sempor yang relative lebih dalam dengan perairannya yang kurang subur. Produksi total ikan dari hasil tangkapan nelayan di Waduk Sempor pada tahun 2011 masih sangat kecil, yaitu 72,3 ton dibandingkan dengan potensinya. Oleh karena itu, peluang peningkatan produksi hasil tangkapan nelayan masih tinggi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi hasil tangkapan ikan adalah dengan penebaran atau introduksi ikan. Jumlah benih yang ditebar akan
210
menentukan produksi ikan pada suatu badan air (Cowan et al., 1997). Semakin tinggi padat tebar maka akan semakin besar produksi ikan yang dihasilkan hingga mendekati daya dukungnya yang ditentukan berdasarkan produktivitas primer (Quiros, 1999). Penebaran ikan nila yang selama ini sering dilakukan diperkirakan tidak akan banyak meningkatkan laju rekrutmen alaminya karena Waduk Sempor yang relatif dalam mempunyai daerah littoral sebagai habitat pemijahan ikan nila yang sangat terbatas. Oleh karena itu, penebaran ikan nila harus dilakukan secara berulang-ulang, minimum dua kali dalam setahun. Selang waktu penebaran tersebut disesuaikan dengan laju pertumbuhan ikan nila yang dalam waktu enam bulan sudah mencapai ukuran konsumsi. Jumlah optimum benih ikan yang harus ditebarkan di waduk Sempor berkisar 376-881 ekor/ ha dengan rata-rata 509 ekor/ha. Disamping penebaran ikan, upaya lain yang harus dilakukan adalah pengendalian ikan lohan karena ikan lohan merupakan spesies asing invasif, kompetitor makanan dan ruang (habitat) dengan ikan nila serta bukan merupakan ikan ekonomis penting. Selain ikan nila, ikan pemakan plankton yang dapat hidup mengisi daerah pelagis waduk, misalnya ikan bandeng (Chanos chanos) perlu dipertimbangkan. Di Waduk Djuanda, penebaran ikan bandeng dengan kepadatan 250 ekor/ha telah mampu memanfaatkan kelimpahan fitoplankton di daerah pelagis dan meningkatkan total hasil tangkapan ikan nelayan (Kartamihardja, 2007; Kartamihardja, 2009). Sistem penebaran ikan secara rutin dan benih ikan yang ditebarkan tumbuh hanya berdasarkan sumberdaya makanan alaminya disebut Perikanan Tangkap berbasis Budidaya (Culture Based Fisheries/CBF). Perikanan tangkap berbasis budidaya ini sangat sesuai diterapkan di perairan waduk yang tidak begitu luas. Menurut kriteria FAO waduk yang berukuran kecil adalah waduk yang mempunyai luas < 400 ha (De Silva & Funge-Smith, 2005; De Silva et al., 2006) sehingga berdasarkan kriteria tersebut Waduk Sempor termasuk badan air yang berukuran kecil. Das et al. (2008) menyatakan bahwa di waduk kecil, padat tebar ikan berkisar antara 400–500 ekor/ ha. Penebaran benih ikan dengan kepadatan yang berkisar 217–870 ekor/ha/tahun di 15 waduk yang luasnya <250 ha di Sri Lanka dapat meningkatkan hasil tangkapan berkisar 42,8–134,4% (Pushpalatha & Chandrasoma, 2010). KESIMPULAN Pengembangan budidaya ikan dalam KJA yang berkelanjutan di Waduk Sempor harus sama atau di bawah daya dukung perairannya yang berkisar antara
Daya Dukung dan Potensi………… di Kabupaten Kebumen-Propinsi Jawa Tengah (Purnomo K, et al)
72-236 ton per tahun atau setara dengan 118 unit KJA ukuran 6x6x3 m3 dengan asumsi produksi ikan per unit KJA dalam satu tahun sebesar 2 ton ikan. Peluang pengembangan perikanan tangkap di Waduk Sempor masih cukup besar dapat mencapai 307 ton per tahun. Optimasi pemanfaatan Waduk Sempor dapat dilakukan dengan penebaran benih ikan planktivora dan dapat mengisi daerah pelagis sebanyak 103.518242.388 ekor dengan rata-rata 140.174 ekor dan frekwensi penebaran dua kali dalam setahun serta pengendalian ikan asing invasif. DAFTAR PUSTAKA Ahmed, R., A. M Shahabuddin., M. A. B Habib & M. S. Yasmin. 2010. Impact of aquaculture practices in Naogaon Distric of Bangladesh. Research Journal of Fisheries and Hydrobiology 5 (2). 56 – 65p
Kartamihardja, E.S., K. Purnomo, S. Koeshendrajana & B.I. Prisantoso. 2011. Ko-manajemen Perikanan Tangkap berbasis Budidaya di Waduk Malahayu, Brebes-Jawa Tengah. Petunjuk Teknis. Puslit Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Badan Litbang KP, Jakarta. 25 hal. Kartamihardja, E. S. 2009. Mengapa ikan bandeng di introduksi di Waduk Djuanda, Jawa Barat?. Dalam Kartamihardja, E. S., M. T. D Sunarno., N.N., Wiadnyana., M. F. Rahardjo & Krismono (Eds). Forum Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan II. Departemen Kelautan dan Perikanan: 1-14p Kibria, G., D. Nugegoda., P. Lam & R. 1996. Aspects of phosphorus pollution from aquaculture, Naga The ICLARM Quarterly 19(3): 20 – 24p
Bramick. U. 2002. Estimation of the fish yield potential of lake in north-east Germany. Edited by Cowx I.G. Management and Ecology of lake and reservoir fisheries. Blackwell Science. Iowa. 26 – 33.
Kolding, J. & P.A.M. van Zwieten. 2006. Improving productivity in tropical lakes and reservoirs. Challenge Program on Water and Food - Aquatic Ecosystems and Fisheries Review Series 1. Theme 3 of CPWF, C/o WorldFish Center, Cairo, Egypt. 139 pp.
Clerk. S., D. T Selbie & J.P Smol. 2004. Cage aquaculture and water quality changes in the LaCloche Channel, Lake Huron, Canada: a Paleolimnological assessment. Can. J. Fish. Aquat. Sci 61. 1691 – 1701p
Krismono. 2005. Mengapa ikan di KJA Waduk Wonogiri tidak mengalami kematian massal?. Warta 11(2). 8 - 10hal
Cowan. V., M. Aeron-Thomas & I Payne. 1997. An evaluation of floodplain stock enhancement. MRAG. 116p
Kullander, S. O. 2003. Family cichlidae (cichlids). p. 605-654. In R.E. Reis, S.O. Kullander & C. J. Ferraris, Jr. (eds.) Checklist of the Freshwater Fishes of South and Central America. Porto Alegre: EDIPUCRS, Brasil.
De Silva, S.S. 2001. Reservoir and culture-based fisheries: biology and management. Proceedings of an International Workshop held in Bangkok, Thailand from 15–18 February 2000. ACIAR Proceedings No. 98. 384pp De Silva. S. S & S. Funge-Smith. 2005. A review of stock enhancement practices in the inland water fisheries of Asia, Asia-Pacific Fishery Commission, Bangkok. Thailand., RAP Publication No 2005/12:93p. De Silva, S, S., U. S Amarasinghe & T. T. T Ngunyen (eds). 2006. Better-practice approach for culturebased fisheries development in Asia. ACIAR Monograph No 120: 69p Kartamihardja, E.S. 2007. Spektra ukuran biomasa plankton dan potensi pemanfaatannya bagi komunitas ikan di zona limnetik Waduk Ir. Djuanda, Jawa Barat. Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana IPB. 165 hal.
Lukman & A. Hamdan. 2011. Estimasi daya dukung perairan Danau Toba Sumatera Utara untuk pengembangan budidaya ikan dengan keramba jaring apung. Limnotek 18(2). 170-177p Melack J.M. 1976. Primary productiviy and fish yield in tropical lakes. Trans Am. Fish. Soc 105: 575580. MRAG, 1995. A synthesis of simple empirical models to predict fish yield in tropical lakes and reservoirs. Fisheries Management Science Programe of the Overseas Development Administration. Project report R. 6178 (MRGA). 109. Nugent, C. 2009. Review of environmental impact assessment and monitoring in aquaculture in Africa. In FAO. Environmental impact assessment and monitoring in aquaculture. FAO Fisheries and Aquaculture Technical Paper. No. 527. Rome, FAO. 59–151p.
211
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 203-212
Ozekinci, U. 2005. Determination of the selectivity of monofilaments giinets used for catch the Annular Sea Bream (Diplodus annularis L., 1758) by lenghtgierth relatioships in Izmir Bay (Aegean Sea). Turk J Vet Anim Sci 29. 375-380. Pillay, T.V. R. 2004. Aquaculture and the environmental. Second edition. Blackwell Publishing. 196p Purnomo, K & A, Warsa. 2011. Struktur komunitas dan relung makanan ikan pasca introduksi ikan patin siam (Pangasianodon hypophthalmus) di Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes. J. Lit. Perikanan. ind (17(1): Pusphalatha, K, B, C & J. Chandrasoma, 2010. Culture-based fisheries in minor perenial reservoirs in Sri Lanka: Variability in production, stocked species and yield implication. J. Appl. Ichthyol 26: 99 – 104p Quiros, R. 1999. The relatioships between fish yield and stocking density in reservoirs from tropical and temperate regions. Tundisi, J. G & M. Straskraba (ed). Theoritical reservoir ecology and its applications. 67 – 83 Schmittou, H. R. 1991. Budidaya keramba: Suatu metode produksi ikan di Indonesia. Alih bahasa: Ilyas, S. FRDP. Puslitbang Perikanan. 125hal Sukadi, M. F. 2010. Ketahanan dalam air dan pelepasan nitrogen & fosfor ke air dari berbagai pakan ikan air tawar. Jurnal Riset Akuakultur 5(1). 1 – 12hal Taabu & A. Munyaho, 2004. Assessment of the status of the stock and fishery of nile perch in lake Victoria, Uganda. Final project. The United Nationals University. 53p
212
Tjahjo, D.W.H. 2004. Kemantapan hasil tangkapan, keterkaitannya dengan sintasan, pertumbuhan dan intensitas penangkapan udang galah (Macrobrachium rosenbergii) yang ditebarkan di Waduk Darma, Kuningan-Jawa barat. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor: 149p (tidak dipublikasi) Tovar. A., C. Moreno., M.P Manuel-Vez & M.G Vargas. 2000. Environmental impact of intensive aquaculture in marine waters. Wat. Res 34 (1). Elsevier. 334 – 342p Utoyo, A. Mansyur., A. Mustafa, Hasnawi & A. M. Tangko. 2007. Pemilihan lokasi budidaya ikan, rumput laut dan tiram mutiara yang ramah lingkungan di Kepulauann Togean, Sulawesi Tengah. Jurnal Riset Akuakultur 2 (3). 303 – 318hal. Warsa, A & K. Purnomo. 2011. Efisiensi pemanfaatan energi cahaya matahari oleh fitoplankton dalam proses fotosintesis di Waduk Malahayu.. BAWAL 3(5):311-319p. Warsa, A & K, Purnomo. 2011a. Potensi produksi ikan dan status perikanan di Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes Jawa Tengah. J. Lit. Perikanan. Ind 17(4): 229-237p Wijenayake, W.M.H.K, U.S. Amarasinghe & SS. De Silva. 2007. Performance of GIFT strain of Oreochromis niloticus in culture-based fisheries in non-perennial reservoirs, Sri Lanka. Sri Lanka J. Aquat. Sci 12. 1-18.
Produktivitas dan Kerentanan Ikan Kurisi…………Tangkapan Cantrang di Laut Jawa (Triharyuni., et al)
PRODUKTIVITAS DAN KERENTANAN IKAN KURISI (Nemipterus spp.) HASIL TANGKAPAN CANTRANG DI LAUT JAWA PRODUCTIVITY AND SUSCEPTIBILITY OF THREADFIN BREAM (Nemipterus spp.) CAUGHT BY DEMERSAL DANISH NET IN JAVA SEA Setiya Triharyuni, Sri Turni Hartati dan Regi Fiji Anggawangsa Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 24 Juli 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 29 November 2013; Disetujui terbit tanggal: 05 Desember 2013
ABSTRAK Ikan kurisi (Nemipteridae) termasuk kelompok ikan demersal yang memiliki salah satu sifat melakukan ruaya yang tidak terlalu jauh dan aktivitas gerak yang relatif rendah. Sifat ini mengakibatkan daya tahan ikan kurisi ini menjadi rendah terhadap tekanan penangkapan. Ukuran ikan yang tertangkappun cenderung semakin kecil. Analisis produktivitas dan kerentanan (PSA) merupakan sebuah cara yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kerentanan stok dengan dasar produktivitas biologi dan kerentanan perikanan yang mengeksploitasinya. Dengan menggunakan analisis PSA ini maka dapat digambarkan tingkat resiko ikan kurisi akibat penangkapannya. Hasil penilaian PSA menghasilkan jenis N. japonicus dan N. gracilis memiliki resiko tinggi terhadap penangkapan dan N. hexodon beresiko sedang dan N. mesoprion memiliki resiko yang rendah terhadap penangkapan. Ini ditunjukkan dengan penilaian terhadap atribut produktivitas yang memberikan nilai yang relatif sama terhadap keempat jenis ikan kurisi (1,71-2,14), sedangkan nilai atribut kerentanan N. Japonicus dan N. gracilis adalah tinggi dan N. hexodon adalah sedang dan nilai atribut kerentanan terhadap dan N. mesoprion adalah rendah. Kata Kunci: ikan kurisi, cantrang, produktivitas, kerentanan dan resiko penangkapan ABSTRACT Threadfin Bream (Nemipteridae) is demersal fish. One of characteristic of threadfin bream is make the migrate which is not far and relatively low swim activity. This characters that cause vulnerable to fishing. Size of this fish tends to be smaller. Productivity and susceptibility analysis (PSA) is a method that can be used to evaluate the vulnerability of the stock based on biology productivity and susceptibility of fisheries. PSA can be illustrated of threadfin bream risk of fishing. The PSA assessment results that high risk of N. japonicus and N. gracilis and medium risk of N. hexodon and low risk of N. mesoprion. It was shown by the same relative value of productivity attribute ( 1,71-2,14) and high value of N. japonicus and N. gracilis susceptibility, medium value of N. hexodon and low value of N. mesoprion susceptibility attribute. KEY WORDS: Nemipterus spp., danish seine net, productivity, susceptibility and risk of fishing
PENDAHULUAN Ikan kurisi (Nemipteridae) adalah salah satu jenis ikan demersal ekonomis penting yang cukup banyak tertangkap dengan alat tangkap yang dioperasikan di dasar perairan seperti trawl dan cantrang (Losse & Dwiponggo,1977; Beck & Sudradjat, 1978). Wahyuni et. al. (2009) menyatakan bahwa berbagai jenis ikan kurisi (Nemipteridae) termasuk kelompok ikan dasar (demersal) banyak tertangkap dengan menggunakan cantrang yang dioperasikan oleh nelayan-nelayan di perairan utara Jawa setelah ada larangan terhadap penggunaan jaring trawl. Karena termasuk kelompok ikan demersal, salah satu sifat ikan kurisi ini adalah melakukan ruaya yang tidak terlalu jauh dan aktivitas gerak yang relatif rendah (Aoyama, 1973) sehingga ___________________
daya tahan ikan terhadap tekanan penangkapan menjadi rendah. Ukuran ikan kurisi yang tertangkap dengan cantrang cenderung semakin kecil. Hasil pengamatan sebaran panjang ikan kurisi di Blanakan berkisar antara 10-16 cm dan untuk ukuran ikan kurisi di Tegal didominansi ukuran 11,45 cm (Wahyuni et. al., 2009). Ukuran ikan yang semakin kecil ini menandakan adanya tekanan penangkapan dan dimungkinkan ukuran kecil ini merupakan ukuran ikan yang masih muda atau juvenile (Hufiadi & Mahiswara, 2011). Kajian resiko ekologi/Ecological Risk Assessment (ERA), juga dikenal sebagai analisis produktivitas dan kerentanan / Productivity and Susceptibility Analysis
Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Gedung Balitbang KP II, Jl. Pasir Putih II Ancol Timur, Jakarta Utara
213
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 213-220
(PSA) merupakan salah satu yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kerentanan stok. Kajian ini menilai berdasarkan produktivitas biologi dan kerentanan perikanan yang mengeksploitasi itu. ERA dapat digunakan untuk penelitian dengan fokus spesies dengan kerentanan tinggi dengan informasi biologi yang sedikit (Braccini et al., 2006 dalam Cortes et al., 2009). Kurangnya data catch dan effort yang bersifat time series dalam pengkajian stok dan adanya ketidakpastian data, maka pendekatan ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies yang lebih atau kurang beresiko. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan tingkat resiko akibat penangkapan dengan melihat nilai produktivitas dan kerentanannya pada beberapa spesies ikan kurisi hasil tangkapan cantrang di Laut Jawa. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi identifikasi stok yang paling rentan terhadap penangkapan sehingga dapat diketahui langkahlangkah pengelolaannya.
BAHAN DAN METODE Analisis produktivitas dan kerentanan (PSA) merupakan analisis semi kuantitatif dari resiko yang ditimbulkan akibat penangkapan. PSA menilai berdasarkan pada dua kakarteristik, yaitu: a) kerentanan, dimana dampak ekologi ditentukan oleh kerentanan dari akibat penangkapan dan b) produktifitas, yang mana menentukan tingkat dimana unit stok dapat kembali pulih setelah potensial deplesi atau kerusakan akibat kegiatan penangkapan. Penilaian terhadap produktivitas ditentukan menurut pertumbuhan spesies, karakteristik tingkat kematangan (maturity), trophic level dan fekunditas. Atribut produktivitas dan nilai disajikan pada Tabel 1. Batasan penilaian atribut produktivitas ditentukan melalui diskusi dengan para peneliti lingkup Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan dan lembaga penelitian lainnya.
Tabel 1. Atribut dan nilai produktifitas untuk penentuan analisis resiko Table 1. Attribute and value of productivity for risk assessment analysis Produktivitas rendah (Resiko tinggi, Nilai=3)
Produktivitas menengah (Resiko menengah, Nilai=2)
Produktivitas tinggi (Resiko rendah, Nilai=1)
Rata-rata umur matang gonad
> 5 tahun
2-5 tahun
< 2 tahun
Rata-rata umur maksimum
> 15 tahun
7-15 tahun
< 7 tahun
Fekunditas tahunan
< 10000 telur/tahun
10000 - 200000 telur/tahun
>200000 telur/tahun
Rata-rata ukuran matang gonad
>35 cm
20 - 35 cm
< 20 cm
Rata-rata ukuran maksimum
>50 cm
20-50 cm
< 20 cm
Live bearer >3.5
Demersal egg layer 2.5-3.5
Broadcast spawner <2.5
Karakteristik
Stategi reproduksi Trophic Level
Kerentanan menilai berdasarkan pada overlap dari daerah penangkapan dibandingkan dengan kisaran spesies (overlap penyebaran geografis dan kedalaman / habitat), kemungkinan penangkapan (seperti ukuran spesies dengan mesh size) dan kemungkinan bertahan hidup setelah ditangkap (Tabel 2). Produktivitas dan kerentanan dari suatu stok ditentukan dengan memberikan nilai mulai dari 1
214
(rendah) sampai 3 (tinggi) untuk satu set standar atribut terkait dengan setiap indeks. Nilai untuk indeks produktivitas dan kerentanan yang dihasilkan kemudian ilustrasi dalam grafis dan ditampilkan pada scatter plot XY. Stok dengan produktivitas rendah dan kerentanan tinggi dianggap beresiko tinggi dan stok dengan nilai produktivitas tinggi dan kerentanan rendah dianggap berisiko rendah.
Produktivitas dan Kerentanan Ikan Kurisi…………Tangkapan Cantrang di Laut Jawa (Triharyuni., et al)
Tabel 2. Atribut dan nilai kerentanan untuk penentuan analisis resiko Table 2. Attribute and value of susceptibility for risk assessment analysis
Karakteristik
Kerentanan rendah (Resiko rendah, Nilai=1)
Kerentanan menengah (Resiko menengah, Nilai=2)
Kerentanan tinggi (Resiko tinggi, Nilai=3)
<10% tumpang tindih
10‐30% tumpang tindih
>30% tumpang tindih
Kemampuan tertangkap
Kecil tumpang tindih dengan alat tangkap
Sedang tumpang tindih dengan alat tangkap
Tinggi tumpang tindih dengan alat tangkap
Selektifitas
< mata jaring atau >5m panjang
1‐2 kali mata jaring atau 4‐5m panjang
Bukti pelepasan setelah ditangtangkap dan masih hidup
Dilepas Hidup
Ketersediaan
Kematian setelah ditangkap
HASIL DAN BAHASAN HASIL
>2 kali mata jaring atau sampai dengan 4m panjang Retained spp.dan mayoritas mati setelah dilepaskan kembali
TL (Total Length), K = 0,55. Panjang maksimum mencapai 25 cm SL (Standart Length), pada umumnya pada ukuran 15 cm SL.
Hasil Tangkapan Ikan Kurisi
4500 4000
Hasil Analisis Produktifitas dan Kerentanan (PSA) Nemipterus japonicus (Bloch, 1791) merupakan ikan bentik yang sangat melimpah pada perairan pantai, ditemukan pada dasar perairan yang berlumpur dan berpasir pada kedalaman 5-80 m, selalu bergerombol. Ikan-ikan kecil melimpah pada kedalaman kurang dari 27 m; hanya ikan-ikan besar yang berada pada kedalaman lebih dari 45 m (Eggleston, 1973 dalam Russell, 1990). Estimasi parameter kurva pertumbuhan von Bertalanffy pada populasi ikan kurisi di Selat Malaka (Kedah, Malaysia) (Isa, 1988 dalam Russell, 1990) adalah: L”= 31,4 cm
3500 3000 Produksi (ton)
Ikan kurisi merupakan salah satu jenis ikan demersal yang cukup dominan di Laut Jawa (Badrudin et al., 2010). Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan kurisi adalah cantrang dengan ukuran kapal berkisar antara 5-50 GT. Berdasarkan data pendaratan ikan di PPP Tegalsari, hasil tangkapan ikan kurisi merupakan salah satu kelompok ikan yang mendominasi hasil tangkapan. Rata-rata hasil tangkapan ikan kurisi tahun 2006-2011 lebih dari 6,25% dari total tangkapan cantrang. Hasil tangkapan ikan kurisi ini dari tahun ketahun selalu mengalami peningkatan, pada tahun 2006 tercatat hanya 164,26 ton yang didaratkan di PPP Tegalsari kemudian terus menerus mengalami kenaikan sampai dengan tahun 2011 mencapai 4081, 144 ton (Gambar 1). Rata-rata kenaikan hasil tangkapan ikan kurisi yang didaratkan di PPP Tegalsari tahun 2006-2011 sebesar 107,7% tiap tahunnya.
2500 2000 1500 1000 500 0 2006
2007
2008 2009 Tahun
2010
2011
Gambar 1. Perkembangan hasil tangkapan ikan kurisi di PPP Tegalsari (2006-2011) Figure 1. Trend of threadfin bream catch at Tegalsari Fishing Port (2006-2011) Nemipterus hexodon (Quoy & Gaimard, 1824) merupakan jenis bentik, yang hidup di dasar perairan yang berlumpur dan berpasir dengan kedalaman 1080 m, tetapi yang paling melimpah terdapat pada kedalaman 20-50 m. Ukuran panjang maksimum mencapai 21 cm SL, pada umumnya ikan berada pada panjang 15 cm SL (Russell, 1990). Nemipterus mesoprion (Sleeker, 1853), memiliki sebaran geografis dari selatan Indonesia sampai teluk Thailand. Jenis bentik dan hanya sedikit informasi tentang tingkah laku jenis ikan ini. Ukuran maksimum mencapai panjang 14 cm SL, sebagian besar pada ukuran 13 cm SL (Russell, 1990).
215
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 213-220
Nemipterus gracilis (Bleeker, 1873), memiliki merupakan jenis bentik yang hidup di dasar perairan yang berlumpur dan berpasir yang dapat mencapai kedalaman 30-90 m. N. gracilis dapat mencapai panjang maksimum 18 cm SL, sebagian besar panjangnya 15 cm SL (Russell, 1990).
Analisis produktivitas dan kerentanan (PSA) dilakukan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan kurisi berdasarkan tingkat resiko akibat penangkapan.Tujuh atribut dan penilaian dalam produktivitas akan selalu sama untuk spesies yang merupakan satu stok. Hasil penilaian terhadap atribut produktivitas terlihat pada Tabel 3 dibawah ini.
Tabel 3. Nilai atribut produktivitas ikan kurisi tertangkap di Laut Jawa Table 3. Value of productivity attribute of Nemipterus spp. caught in Java sea Nemipterus japonicus
Nemipterus mesoprion
Nemipterus hexodon
Nemipterus gracilis
1,4
0,9-1,3
0,9-1,3
ND
Rata-rata umur maksimum (tahun)
8
ND
ND
ND
Fekunditas tahunan
13.900-139.200
5.344–64.369*
7.233-62.420*
ND
12,5-16,5
10-12
12,7-15,27*
ND
Rata-rata ukuran maksimum
25 SL
14 SL
21 SL
18 SL
Stategi reproduksi
Demersal egg layer
Demersal egg layer
Demersal egg layer
Demersal egg layer
3,8
3,6
3,9
3,7
Karakteristik Rata-rata umur matang gonad (tahun)
Rata-rata ukuran matang gonad
Trophic Level Sumber : FishBase * Raje (1996) ND: No Data
Penilaian atribut produktivitas ikan kurisi (Nemipterus spp.) memberikan nilai produktivitas tinggi pada atribut rata-rata umur dan ukuran matang gonad. Penilaian untuk atribut rata-rata umur dan panjang maksimum memberikan nilai produktivitas tinggi dan menengah. Selanjutnya penilaian terhadap atribut fekunditas dan stategi reproduksi memberikan nilai produktivitas yang menengah sedangkan untuk thropic level memberikan resiko yang tinggi. Penilaian atribut kerentanan dilakukan pada alat tangkap cantrang yang beroperasi di Laut Jawa. Penilaian terhadap atribut kerentanan memberikan hasil bahwa ikan kurisi hasil tangkapan cantrang memiliki nilai kerentanan yang tinggi kecuali untuk jenis ikan N. mesoprion dan N. hexodon yang terdapat nilai kerentanan yang rendah terhadap kemampuan tertangkap (overlap dengan alat tangkap), hal ini diduga karena jenis ikan ini melimpah pada kedalaman mencapai 50 meter (Russell, 1990) sedangkan kedalaman alat tangkap cantrang yang digunakan
216
kurang dari 40 meter (Badrudin et al., 2010) seperti disajikan pada Tabel 4. Nilai rata-rata produktivitas dan kerentanan untuk setiap unit analisis kemudian digunakan untuk menempatkan unit individu analisis plot 2D (Gambar 2). Nilai risiko secara keseluruhan untuk unit adalah jarak Euclidean dari grafik. Apabila nilai produktivitas dan kerentanan dengan skala nilai 1-3 diasumsikan memiliki kemungkinan yang sama, maka 1/3 nilai keseluruhan risiko akan lebih besar dari 3,18 (berisiko tinggi), 1/3 berada diantara 2,64-3,18 (resiko sedang), dan 1/3 akan lebih rendah dari 2,64 (risiko rendah). Hasil perhitungan nilai PSA memberikan nilai untuk N. mesoprion sebesar 2,48 yang berarti memiliki resiko rendah terhadap penangkapan. Penilaian pada N. hexoodon sebesar 2,70 dan nilai ini pada kisaran 2.64-3.18, maka N. hexoodon berada pada kategori resiko sedang, sedangkan untuk N. japonicas dan N. gracilis memiliki nilai PSA sebesar 3,69 dan 3,46 yang berarti memiliki resiko tinggi.
Produktivitas dan Kerentanan Ikan Kurisi…………Tangkapan Cantrang di Laut Jawa (Triharyuni., et al)
Tabel 4. Penilaian atribut produktifitas dan kerentanan ikan kurisi Table 4. Productivity and susceptibility assessment for threadfin bream
Risk Category Name
2 2 2 2 3
2.14
3
3 3 3
3.00
3.69
High
<60
2
1
3 1 1 2 3
1.86
3
1 3 3
1.65
2.48
Low
>80
2
1
3 2 2 2 3
2.14
3
1 3 3
1.65
2.70
Med
60-80
2
1
2 1 1 2 3
1.71
3
3 3 3
3.00
3.46
High
<60
PSA Graph 3.0
(<- Low) Susceptibility (High ->)
Nemipterus gracilis
Nemipterus japonicus
2.5
2.0 Nemipterus mesoprion
Nemipterus hexodon
1.5
1.0 1.0
1.5 (<-High
2.0 Productivity
2.5
3.0
(Low->)
Gambar 2. Nilai produktivitas dan kerentanan ikan kurisi tertangkap di Laut Jawa Figure 2. Productivity and susceptibility value of threadfin bream caught in Java sea BAHASAN Ikan Kurisi (Nemipterus spp.) termasuk dalam famili Nemipteridae, hidup di dekat dasar perairan dengan kondisi perairan berlumpur dan berpasir yang kedalamanya dapat mencapai 300 m (Russell, 1990). Ikan kurisi ini menjadi salah satu kelompok ikan demersal yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan merupakan tangkapan yang dominan. Pada akhir-akhir ini hasil tangkapan kelompok ikan kurisi (famili Nemipteridae) di Laut Jawa cenderungan meningkat tiap tahunnya. Rata-rata kenaikan tangkapannya
MSC scoring guidepost
PSA Score
2
Color on PSA plot
Availability Encounterability Selectivity Post-capture mortality
2
Total (multiplicative)
Total Productivity (average)
Nemipterus japonicus Nemipterus mesoprion Nemipterus hexodon emipterus gracilis
PSA scores
Average max age Fecundity Average max size Average size at Maturity Reproductive strategy Trophic level (fishbase)
Scientific Name
Susceptibility Scores [1 3]
Average age at maturity
Productivity Scores [1 3]
sebesar 107,7% per tahun. Wahyuni et al. (2009) melaporkan bahwa cantrang yang berbasis di Tegal dibedakan menjadi dua tipe yaitu cantrang kecil dan cantrang besar. Hasil tangkapan ikan kurisi dari cantrang kecil (< 20 GT) berkisar 15% (1-2 ton) dan untuk hasil tangkapan cantrang besar (10-50 GT) berkisar 35% (10-40 ton) dari total tangkapan. Untuk pendaratan di Blanakan, hasil tangkapan ikan kurisi dari kapal cantrang kecil (5-20 GT) berkisar antara 210,7% dari total hasil tangkapan ikan. Kejadian ini hampir sama dengan hasil tangkapan trawl tahun 1975-1979 (Losse & Dwiponggo, 1977; Badrudin, 1985; Nugroho & Badrudin (1987) dan hasil penelitian oleh Sumiono et al. (2002) bahwa Nemipteridae (kurisi) merupakan salah satu hasil tangkapan dominan dari trawl, yaitu sekitar 12-13% dari total tangkapan. Suhendrata dan Pawarti (1991) melaporkan bahwa hasil tangkapan cantrang Demak merupakan ikan demersal dengan ukuran kecil termasuk didalamnya ikan kurisi. Ditambahkan lagi dengan hasil penelitian di PPN Brondong yang menyatakan bahwa ikan kurisi merupakan salah satu tangkapan dominan (Sumiono, 2004). Pendekatan kajian resiko pada umumnya digunakan untuk membantu pengelolaan perikanan (Francis & Shotten 1997 dalam Arizabalaga et al., 2011). Astles (2008) memberikan sebuah review kajian resiko dalam bidang kelautan dan perikanan serta elemen yang dibutuhkan untuk memperkirakan risiko ekologis. Kajian resiko ekologi (Ecological Risk Assessment/ERA) dapat menyediakan metodologi yang transparan dalam penilaian risiko yang lebih
217
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 213-220
kompleks dan / atau dalam mengambil tindakan pengelolaan untuk berbagai spesies dalam perikanan (Arizabalaga et al., 2011). Analisis produktivitas dan kerentanan (PSA) adalah sebuah cara yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kerentanan stok dengan dasar produktivitas biologi dan kerentanan perikanan yang mengeksploitasinya. PSA dapat digunakan sebagai upaya penelitian utama dengan memfokuskan pada jenis ikan dengan kerentanan yang tinggi dengan informasi biologi yang sedikit, atau dengan identifikasi dan pengecualian jenis ikan dengan kerentanan yang kecil untuk data kajian intensif (Braccini et al. 2006 dalam Cortes et al., 2009). Pendekatan ini bersifat fleksibel karena PSA ini dapat dilakukan dalam beberapa tingkatan (kualitatif atau tingkat 1, semikuantitatif atau tingkat 2, dan kuantitatif atau tingkat 3) menurut tingkat ketersediaan data (Hobday et al. 2007). Beberapa kajian telah menerapkan metodologi ini dan sebagian besar untuk spesies bycatch yang sedikit informasi biologi dan perikanannya (Stobutzki et al. 2002 dalam Cortes et al., 2009; Milton 2001 dalam Cortes et al., 2009). Penilaian produktivitas dan kerentanan dilakukan pada ikan kurisi hasil tangkapan cantrang. Cantrang merupakan alat penangkap ikan yang bersifat aktif dan dioperasikan mencapai dasar perairan. Lingkungan dasar perairan merupakan wilayah yang paling terkena dampak dari aktivitas penangkapan cantrang. Ikan kurisi mempunyai sifat hidup di dasar perairan yang berlumpur dan berpasir. Pengoperasian cantrang dimungkinkan mencapai pada habitat ikan kurisi ini, sehingga penilaian ketersediaan pada atribut kerentanan adalah berisiko tinggi dengan ditunjukkan nilai 3. Begitu pula untuk atribut selektifitas alat tangkap dan kematian setelah ditangkap memiliki resiko tinggi, karena cantrang yang digunakan memiliki ukuran mata jaring (mesh size) 3¾ inchi untuk dioperasikan di Tegal dan 1 inchi untuk dioperasikan di Blanakan. Ukuran mata jaring ini merupakan ukuran yang sangat kecil karena berdasarkan PerMen KP No. PER 02/MEN/2011 ukuran mata jaring cantrang ini harus e” 2 inchi. Kecilnya ukuran mata jaring ini mengindikasikan bahwa tidak adanya selektivitas dari alat tangkap cantrang ini, sehingga ikan yang berukuran kecil ikut tertangkap. Kondisi ikan yang tertangkap ini biasanya dalam kondisi mati. Kecilnya ukuran ikan kurisi hasil tangkapan cantrang ini terlihat dari hasil penelitian Wahyuni et al. (2009) yang menyatakan bahwa ikan kurisi (Nemipterus japonicus) pertama kali matang gonad terjadi pada ukuran antara 9,0-12,5 cm; Sukarniaty (2008) menyatakan ukuran ikan kurisi jenis Nemiptherus hexodon mempunyai kisaran panjang
218
total 8,5-16,5 cm, dengan ukuran dominan 9,0-9,9 cm. Hasil penelitian ujicoba juvenile and trash exluder devices pada jaring arad mengindikasikan sulitnya dihindari untuk tidak tertangkapnya ikan-ikan berukuran kecil (ikan muda), namun dengan pemasangan kisi juvenile and trash exluder devices pada jaring arad, peluang lolosnya ikan-ikan berukuran kecil (juvenile) dapat ditingkatkan (Hufiadi dan Mahiswara, 2011). Untuk menjaga agar ikan-ikan yang berukuran kecil ini tidak tertangkap maka diperlukan adanya pengendalian penangkapan, diantaranya pengendalian ukuran mata jaring pada bagian kantong (cod end). Selain itu juga adanya penetapan ukuran minimum ikan yang tertangkap. Dengan demikian ikan-ikan muda akan terhindar dari penangkapan. Di perairan Laut Jawa, penangkapan ikan demersal dengan menggunakan cantrang dilakukan hampir tanpa langkah pengelolaan yang memadai (Badrudin et al., 2010). Dilihat dari pengoperasiannya sasaran dari alat tangkap cantrang adalah gerombolan ikan demersal yang berada pada kedalaman antara 10 – 30 meter maka dari itu untuk kedalaman dari alat tangkapnyapun harus di sesuaikan yaitu berkisar 14– 35 meter supaya ikan demersal ini dapat tertangkap. Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan cantrang berlangsung pada perairan paparan yang relatif dangkal, yaitu pada kedalaman kurang dari 40 m (Badrudin et al., 2010). Daerah penyebaran ikan kurisi pada umumnya berada pada kedalaman 20225 m (De Bruin et al., 1994). Fischer & Whithead (1974) menyatakan bahwa sebaran ikan kurisi berada pada kedalaman 10-60 m dan sebagian besar terkonsentrasi pada perairan dasar yang berlumpur. Ikan kurisi kecil pada umumnya populasinya melimpah pada kedalaman <27 m, dan hanya ikanikan dengan ukuran yang agak besar ditemukan pada kedalaman >45 m (Eggleston, 1973 dalam Russell, 1990). Terjadi tumpang tindih antara kedalaman cantrang dengan kedalaman ikan kurisi, sehingga berdasarkan atribut kemampuan tertangkap, ikan kurisi ini berisiko tinggi kecuali untuk jenis N. hexodon dan N. mesoprion yang diduga memiliki resiko rendah karena jenis ini melimpah pada kisaran 20-50 m (Russell, 1990). Kedalaman yang dapat mencapai 50 m ini maka diindikasikan bahwa terdapat ikan kurisi jenis N. hexodon dan N. mesoprion yang tidak terjangkau alat tangkap. Kelimpahan ikan kurisi kecil pada kedalaman yang relatif dangkal ini (<27m) dan kedalaman cantrang yang bisa mencapai 35 m menjelaskan bahwa cantrang ini mampu menjangkau habitat ikan kurisi kecil. Untuk menghindari hal demikian maka diperlukan adanya perlindungan habitat dan yang paling umum adalah melalui penutupan daerah penangkapan, dimana habitat yuwana dari ikan kurisi ditutup bagi kegiatan
Produktivitas dan Kerentanan Ikan Kurisi…………Tangkapan Cantrang di Laut Jawa (Triharyuni., et al)
penangkapan dengan cantrang. Kendalanya adalah ketersediaan data tentang aspek tersebut (habitat yuwana ikan) belum memadai (Badrudin et al., 2010).
di Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan – Jakarta. DAFTAR PUSTAKA
Penilaian terhadap atribut produktivitas dan kerentanan (Tabel 4) diperoleh produktivitas yang paling tinggi adalah produktivitas N. gracilis dan N. mesoprion dengan nilai produktivitas 1,71 dan 1,86, kemudian N. hexodon dan N. japonicas memiliki nilai produktivitas yang sama, yaitu 2,14. Penilaian untuk atribut kerentanan memberikan nilai 3 untuk ikan N. Japonicus dan N. gracilis, dan nilai 1,65 untuk N. hexodon dan N. mesoprion. Stok dengan produktivitas rendah dan kerentanan tinggi maka dianggap stok tersebut rentan terhadap over fishing, sedangkan stok dengan produktivitas tinggi dan kerentanan rendah maka stok tersebut dianggap paling sedikit rentan (Patrick et al., 2010). Hasil penilaian terhadap keempat jenis ikan kurisi memberikan nilai produktivitas yang relatif sama, sedangkan nilai kerentanan untuk N. Japonicus dan N. gracilis tinggi dan nilai kerentanan untuk N. hexodon adalah sedang dan N. mesoprion memiliki nilai atribut kerentanan yang rendah. Hasil penilaian memberikan N. Japonicus dan N. gracilis ini memiliki resiko yang tinggi terhadap penangkapan dan N. hexodon berisiko sedang dan N. mesoprion masih beresiko rendah terhadap penangkapan. Tingginya nilai kerentanan KESIMPULAN Ikan kurisi (Nemipterus spp.) merupakan hasil tangkapan dominan dari alat tangkap cantrang di Laut Jawa, hasil tangkapannya terus meningkat tiap tahunnya. Hasil analisis produktivitas dan kerentanan menghasilkan jenis N. Japonicus dan N. gracilis memiliki resiko tinggi terhadap penangkapan, N. hexodon memiliki resiko sedang dan N. mesoprion memiliki resiko yang rendah terhadap penangkapan. Tingginya resiko penangkapan ini terkait dengan tertangkapnya ikan berukuran kecil/muda sehingga diperlukan adanya langkah-langkah pengelolaan terhadap ikan kurisi, diantaranya penetapan ukuran mata jaring cantrang dan penetapan ukuran ikan yang tertangkap. Pengoperasian cantrang yang hampir tanpa langkah pengelolaan dan kedalaman cantrang yang mampu menjangkau kedalaman ikan kurisi ini maka diperlukan adanya perlindungan habitat terhadap ikan kurisi khususnya ikan muda. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan riset “Kajian Resiko (Risk Assessment) Sumberdaya Ikan yang Dimanfaatkan di Laut Jawa (WPP 712) (Studi Kasus Perikanan Cantrang di Laut Jawa) T.A. 2012,
Anonimous. 2011b. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. PER.02/MEN/2011. Jalur Penangkapan Ikan dan Penenmpatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan Arizabalaga , H. P.de Bruyn, G.A. Diaz, H. Murua, P. Chavance, A.D. Molina, D. Gaertner, J. Ariz, J. Ruiz & L.T. Kell. 2011. Productivity and susceptibility analysis for species caught in Atlantic tuna fisheries. Aquat. Living Resour. 24, 1–12 (2011). Astles K.L. 2008. A systematic approach to estimating ecological risks in marine fisheries. CABI Reviews: Perspectives in Agriculture, Veterinary Science, Nutrition and Natural Resources 3, 16 p. Aoyama, T., 1973. The demersal stocks and fisheries ofthe South China Sea. SCS/DEV/73/3. FAO Rome. 80p. Badrudin, M. 1985. Perubahan Musiman Tingkah Laku Gerombolan Ikan Demersal di Perairan Sub Area Laut Jawa. Makalah disampaikan pada Konggres Biologi Nasional VII. Universitas Sriwidjaja Palembang: 9 Halaman (Tidak dipublikasikan). Badrudin, Aisyah & N.N. Wiadnyana. 2010. Indeks Kelimpahan Stok dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Demersal Di WPP Laut Jawa. Laporan Akhir. Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekaya Dewan Riset Nasional Kementerian Negara Riset dan Teknologi kerja-sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Jakarta. 71 hal. Beck, U. & A. Sudradjat. 1978. Variation in size and composition of demersal trawl catches from the north coast of Java with estimated growth parameters for three important food-fish species. Special Report. Contrib. of the Dem. Fish. Pro. No. 4-1978: 1-80. LPPL-GTZ. Cortes E., F. Arocha, L. Beerkircher, F. Carvalho, A. Domingo, M. Heupel, H. Holtzhausen, M. N. Santos, M. Ribera & C. Simpfendorfer. 2009.
219
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 213-220
Ecological risk assessment of pelagic sharks caught in Atlantic pelagic longline fisheries. Aquat. Living Resour. 23, 25–34. De Bruin, G. H. P., B. C. Russell, & A. Bogusch. 1994. The Marine Fishery Resources of Sri Langka. Food and Agriculture Organization. Rome. 400 pp. Fischer, W. & P. J. P. Whitehead. 1974. Identification Sheets for Fishery Purpose. Eastern Indian Ocean (Fishery Area 71). Vol. I-IV. Food and Agriculture Organization Rome. 106 pp. Hobday, A. J. Smith, A.D.M. Webb, H. Daley, R. Wayte, S. Bulman, C. Dowdney, J. Williams, A. Sporcic, M. Dambacher, J. Fuller, M. Walker, T. 2007. Ecological Risk Assessment for the Effects of Fishing: Methodology. Report R04/ 1072 for the Australian Fisheries Management Authority, Canberra. July 2007. Available from:http://www.afma.gov.au/environment/ eco_based/eras/docs/methodology.pdf Hufiadi & Mahiswara. 2011. Kelolosan Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus) Melalui Juvenile And Trash Exluder Devices Pada Jaring Arad. J. Lit. Perikan. Ind. 17 (2):125-132. Losse, G.F. & A.Dwipoggo., 1977. Report on the Java Sea south east monsoon trawl survey, JuneDesember 1976. Special Report. Contrib. of the Dem. Fish. Project. No.3. Marine Fisheries Research Report. 119 p. Nugroho, D & Badrudin. 1987. Analisis Laju Tangkap Sumberdaya Perikanan Demersal Periode 19751979 dan 1984-1986 di Pantai Utara Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. (40). BPPL, Jakarta , 1-9. Patrick, W.S., P. Lawson. P. Spencer. T.Gedamke. J. Link. E. Cortés. J. Cope. O. Ormseth. J.Field. K.
220
Bigelow. D. Kobayashi & W. Overholtz. 2010. Using productivity and susceptibility indices to assess the vulnerability of United States fish stocks to overfishing. Fishery Bulletin 108 (3); 305–322. Raje, S.G. 1996. Some observations on the biology of Nemipterus mesoprion (Bleeker) from Veraval (Gujarat). Indian J. Fish., 43 (2): 163-170. Russell, Barry C. 1990. FAO SPECIES CATALOGUE. Vol. 12. Nemipterid Fishes Of The World (Threadfin breams, Whiptail breams, Monocle breams, Dwarf monocle breams, and Coral breams) Family Nemipteridae. ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/009/ t0416e/T0416E06.pdf unduh 30 April 2013, Pukul 8.38 WIB Suhendrata, T & M.D.M. Pawarti. 1991. Perikanan Cantrang dan Prospek Pengembangannya di Perairan Kabupaten Batang. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No. 64. BPPL. Jakarta; 45-58. Sumiono, B. Sudjianto, Y. Soselisa & TS Murtoyo. 2002. Laju Tangkap dan Komposisi Jenis Ikan Demersal dan Udang yang Tertangkap Trawl pada Musim Timur di Perairan Utara Jawa Tengah. JPPI Edisi Sumber Daya dan Penangkapan. 8 (4):1522. Sumiono, B. 2004. Pengkajian Perikanan Cantrang di Brondong, Jawa Timur. Laporan Penelitian. Balai Riset Perikanan Laut Jakarta : 21 hal. (Tidak diterbitkan). Sukarniaty. 2008. Ukuran Panjang dan Bobot Ikan Kurisi (Nemipteridae) Hasil Tangkapan Jaring Cantrang di Brondong Jawa Timur. BTL: 7 (2) Desember 2009: 4p. Wahyuni, I.S., S.T. Hartati & I.J. Indarsyah. 2009. Informasi biologi perikanan ikan kurisi (nemipterus japonicus) Di Blanakan dan Tegal. BAWAL. 2 (4): 171-176.
Dinamika Populasi dan Tingkat Pemanfaatan ………..di Perairan Tarakan, Kalimantan Timur (Diandria D., et al)
DINAMIKA POPULASI DAN TINGKAT PEMANFAATAN UDANG WINDU (Penaeus monodon) DI PERAIRAN TARAKAN, KALIMANTAN TIMUR POPULATION DYNAMICS AND EXPLOITATION RATE OF TIGER SHRIMP (Penaeus monodon) IN TARAKAN WATERS Duranta Diandria Kembaren dan Erfind Nurdin Balai Penelitan Perikanan Laut Teregistrasi I tanggal: 03 Juni 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 20 November 2013; Disetujui terbit tanggal: 05 Desember 2013
ABSTRAK Penelitian dinamika populasi dan tingkat pemanfaatan udang windu (Penaeus monodon) di perairan Tarakan, Kalimantan Timur dilakukan berdasarkan data frekuensi panjang karapas yang dikumpulkan sejak bulan Januari sampai Nopember 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika populasi udang windu. Pendugaan dinamika populasi udang windu dilakukan dengan menggunakan alat bantu program FiSAT II. Hasil analisa menunjukkan bahwa panjang karapas infinitif (CL”) udang windu sebesar 84,8 mm dengan laju pertumbuhan (K) sebesar 1,6/tahun, laju kematian total (Z) 4,17/tahun, laju kematian alami (M) 1,85/tahun, dan laju kematian penangkapan 2,32/tahun. Laju ekploitasi (E) sebesar 0,56 menunjukkan bahwa tingkat pengusahaan sudah berada dalam keadaan jenuh (fully exploited) dan cenderung mengarah pada kondisi lebih tangkap (overexploited) sehingga diperlukan pengelolaan perikanan udang yang hati-hati dan bertanggungjawab. KATA KUNCI : Dinamika populasi, tingkat pemanfaatan, udang windu, perairan Tarakan ABSTRACT Study on population dynamic of tiger shrimp (Penaeus monodon) in Tarakan waters, East Borneo based on carapace length frequencies data was carried out from January to November 2012. The aim of this research was to identify the population dynamic of tiger shrimp. For estimating dynamic population, data were analysed by using FiSAT II. The growth parameter of tiger shrimp was 1,6/year with carapace asymptotic length (CL”) of 84,8 mm, total mortality rate (Z), natural mortality rate (M), fishing mortality rate (F) were 4,17/year and 1,85/year, 2,32/year, respectively, while and exploitation rate (E) estimated 0,56. The exploitation rate of tiger shrimp in Tarakan waters was fully exploited and tend to overexploited so that it needed to manage wisely and carefully. KEY WORDS : Population dynamic, exploitation rate, tiger shrimp, Tarakan waters
PENDAHULUAN Perairan Tarakan terletak dibagian utara dari perairan timur Kalimantan merupakan konsentrasi daerah penangkapan udang yang potensial. Perkembangan udang sebagai target penangkapan sejak tahun 1975 di Kalimantan Timur sangat pesat. Kelompok jenis udang jerbung (Penaeus merguiensis), udang dogol (Metapenaeus ensis dan M.brevicornis) dan udang krosok (Parapenaeopsis spp.) merupakan jenis yang dominan tertangkap disamping udang windu (Penaeus monodon) (Naamin, 1977; BPPL 2012). Dengan tidak beroperasinya trawl, maka sejak tahun 1988 di perairan ini berkembang alat tangkap pukat hela (yang sebenarnya adalah sejenis jaring trawl) merupakan alat tangkap udang yang utama, diikuti oleh perangkap pasang-surut seperti belat dan togo (Sumiono & Djamali, 2006).
Volume produksi udang penaeid hasil tangkapan nelayan di Kalimantan Timur sepuluh tahun terkahir menduduki peringkat pertama dibandingkan jenis komoditas lainnya dengan rerata produksi sebesar 16.726 ton per tahun dan kontribusi terhadap produksi perikanan laut sebesar 17,16% per tahun (Pusdatin KKP, 2012). Produksi udang yang berasal dari perairan Tarakan menyumbang sebesar 9,2% terhadap produksi udang Kalimantan Timur dan sebanyak 23% dari udang tersebut merupakan udang windu (DKP, 2011). Usaha penangkapan udang di perairan Tarakan dilakukan secara terus menerus sepanjang tahun dengan menggunakan alat tangkap pukat hela dengan ukuran mata jaring badan sebesar 1,5 inci dan kantong sebesar 1 inci (BPPL, 2012). Penangkapan yang dilakukan secara terus menerus dan tidak disertai
___________________ Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung Kompleks Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Jakarta Utara
221
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 221-226
dengan pola pemanfaatan yang baik akan menyebabkan menurunnya potensi sumberdaya udang. Untuk dapat menerapkan pola pemanfaatan sumberdaya udang yang lestari diperlukan informasi stok sumberdaya udang tersebut. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah dengan mempelajari dan mengkaji dinamika populasinya. Penelitian tentang dinamika populasi udang penaeid telah banyak dilakukan di perairan Indonesia seperti di perairan Arafura (Naamin, 1984), perairan Cilacap (Suman, 1992; Suman&Boer, 2005; Saputra, 2005; Saputra & Subiyanto, 2007), di perairan Selat Madura (Setyohadi et al., 1999), di perairan Kotabaru (Suman&Umar, 2010), perairan Bone (Kembaren et al., 2012). Sementara itu, kajian dinamika populasi
udang penaeid khususnya udang windu dari perairan Tarakan masih sangat jarang ditemukan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui parameter populasi dan tingkat pemanfaatan udang windu yang tertangkap di perairan Tarakan yang pada akhirnya nanti dapat digunakan sebagai salah satu bahan dasar untuk mengelola perikanan secara baik dan benar. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai Nopember tahun 2012. Contoh udang windu diperoleh dari hasil tangkapan pukat hela yang di daratkan di sentra pendaratan udang di kelurahan Lingkas Ujung, Tarakan, Kalimantan Timur (Gambar 1).
Gambar 1. Lokasi pengambilan contoh udang windu Figure 1. Sampling site for tiger shrimp specimen Pengamatan biometrik yang dilakukan terhadap contoh udang meliputi pengukuran panjang karapas. Panjang karapas diukur dengan menggunakan jangka sorong (tingkat ketelitian 0,01 mm). Data panjang karapas yang diperoleh kemudian ditabulasikan dalam tabel distribusi frekuensi panjang karapas dengan interval 2 mm menggunakan bantuan program Microsoft Excel. Data frekuensi panjang karapas tersebut selanjutnya digunakan untuk mengestimasi parameter populasi udang windu. Penentuan panjang karapas asimtotis/infinitif (CL”) dan koefisien pertumbuhan (K) diduga menggunakan program ELEFAN yang dikemas dalam perangkat lunak FISAT II (Gayalino et al., 2005).
222
Laju mortalitas alamiah (M) diduga dengan persamaan empiris Pauly (1983) yang menggunakan data rerata suhu permukaan perairan tahunan (T) sebagai berikut : Log (M) = -0,0066 – 0,279 Log CL”+ 0,6543 Log K + 0,4634 Log T………….....……...………(1) Pendugaan mortalitas total (Z) dilakukan dengan metode kurva konversi hasil tangkapan dengan panjang (length converted catch curve) pada paket program FISAT II (Pauly, 1983; Gayalino et al., 2005). Mortalitas penangkapan (F) dan laju eksploitasi (E) dihitung dengan rumus (Pauly, 1983) :
Dinamika Populasi dan Tingkat Pemanfaatan ………..di Perairan Tarakan, Kalimantan Timur (Diandria D., et al) 100
Pola rekrutmen diduga dengan bantuan perangkat lunak FISAT subprogram recruitment pattern untuk mengetahui konstruksi rekrutmen suatu runut waktu dari frekuensi panjang dalam menentukan jumlah puncak per tahun. Pendekatan dilakukan dengan menggunakan informasi parameter pertumbuhan berupa panjang asimtosis (L”), laju pertumbuhan (K), dan umur teoritis (to) yang tersedia (Gayalino et al., 2005). HASIL DAN BAHASAN HASIL Laju Pertumbuhan Parameter pertumbuhan udang windu di perairan Tarakan diolah dari data sebaran frekuensi panjang karapas dengan melacak adanya pergeseran modus sebaran frekuensi panjang karapas dalam suatu urutan waktu yang disesuaikan dengan kurva pertumbuhan von Bertalanffy. Selanjutnya kurva yang melalui modus paling banyak akan menggambarkan pola pertumbuhan (Sparre & Venema, 1999). Gambar 2 menyajikan data sebaran frekuensi panjang karapas udang windu di perairan Tarakan yang dirunut dengan metode ELEFAN. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa panjang karapas infinitif (CL”) udang windu sebesar 84,8 mm dan laju pertumbuhan (K) sebesar 1,6/tahun. Dari nilai kedua parameter tersebut dapat dibuat suatu persamaan pertumbuhan dan selanjutnya dapat dibuat suatu kunci hubungan anatara panjang karapas dengan umur udang dengan menggunakan beberapa variasi nilai umur (t) (Gambar 3).
Gambar 2. Penyebaran frekuensi panjang karapas dan kurva pertumbuhan udang windu di perairan Tarakan, 2012 Figure 2. Distribution of carapace length frequency and growth curve for tiger shrimp in Tarakan waters, 2012
Panjang karapas (mm)
F = Z - M dan E = F/Z ………….……………(2)
80 60 40
Lt = 84,8 (1 - e-1,6(t+0,073))
20 0 0 2 4 6 8 10121416182022242628303234363840 Umur (bulan)
Gambar 3. Kurva pola pertumbuhan udang windu di perairan Tarakan Figure 3. The curve of growth patterns of tiger shrimp in the waters of Tarakan Kurva pertumbuhan menunjukkan bahwa udang windu mencapai panjang asimtosis pada umur sekitar 24 bulan. Laju Kematian dan Eksploitasi Dengan menggunakan parameter pertumbuhan udang windu yaitu panjang infinitif (CL”) dan laju pertumbuhan (K) dapat diduga laju kematian udang tersebut dengan menggunakan metode kurva konversi hasil tangkapan dengan panjang karapas yang dikemas dalam program FISAT II. Laju kematian yang diduga terdiri dari laju kematian total (Z), laju kematian alami (M), dan laju kematian penangkapan (F) yang merupakan penngurangan dari laju kematian total dengan laju kematian alami. Hasil analisis regresi kurva konversi hasil tangkapan udang windu ditampilkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Kurva hasil tangkapan udang windu yang dilinearkan di perairan Tarakan, 2012 Figure 4. Length converted catch curve regression for tiger shrimp in Tarakan waters, 2012
223
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 221-226
Hasil analisa menunjukkan bahwa nilai laju kematian total (Z) sebesar 4,17/tahun, laju kematian alami (M) sebesar 1,85/tahun, dan laju kematian penangkapan (F) sebesar 2,32/tahun. Sementara itu, laju eksploitasi udang windu di perairan ini diperoleh sebesar 0,56. Pola Rekrutmen Pada Gambar 5 disajikan grafik pola rekrutmen udang windu di perairan Tarakan.
udang windu di perairan Bushehr, panjang asimtosis udang windu pada penelitian ini lebih besar sedangkan laju pertumbuhannya cenderung sama. Nilai K (laju pertumbuhan) udang cenderung lebih besar daripada satu, nilai ini menunjukkan bahwa udang memiliki pertumbuhan yang cepat (Gulland, 1983; Naamin, 1984). Pertumbuhan yang cepat juga menunjukkan bahwa umur udang pendek dengan laju kematian yang cukup tinggi. Laju kematian total (Z) udang windu di perairan ini sebesar 4,17/tahun, laju kematian alami (M) sebesar 1,85/tahun, dan laju kematian penangkapan (F) sebesar 2,32/tahun. Laju kematian udang windu di perairan ini tidak berbeda jauh dengan laju kematian udang windu di perairan lainnya. Di perairan Selat Madura, laju kematian total (Z) 3,28 – 3,78/tahun, laju kematian alami (M) udang windu sebesar 2,17 – 2,22/ tahun, dan laju kematian penangkapan (F) 1,11 – 1,56/ tahun (Setyohadi et al., 1999). Di perairan Bushehr laju laju kematian total (Z) 6,4 – 8,2/tahun, laju kematian alami (M) udang windu sebesar 2,11 – 2,41/ tahun, dan laju kematian penangkapan (F) 4,3 – 5,8/ tahun (Niamaimandi, 2006).
BAHASAN
Laju kematian alami udang windu pada penelitian ini lebih kecil daripada laju kematian alami udang windu di perairan Selat Madura dan perairan Bushehr. Hal ini menunjukkan bahwa daya dukung lingkungan untuk kelangsungan hidup udang windu di perairan Tarakan ini lebih baik dibandingkan dengan kondisi lingkungan perairan Selat Madura dan perairan Bushehr. Laju kematian penangkapan udang windu pada penelitian ini lebih besar daripada laju kematian penangkapan udang windu di perairan Selat Madura dan lebih kecil dibandingkan dengan kondisi di perairan Bushehr. Kondisi ini mengindikasikan bahwa aktivitas penangkapan udang windu di perairan Tarakan ini lebih intensif dibandingkan dengan perairan Selat Madura.
Panjang infinitive (CL”) dan laju pertumbuhan udang windu pada penelitian ini masing-masing sebesar 8,48 mm dan 1,6 per tahun. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan panjang infinitif dan laju pertumbuhan udang windu (Penaues monodon) dari perairan Selat Madura yang berkisar antara 67 – 68 mm dengan laju pertumbuhan berkisar antara 1,3 – 1,5 per tahun (Setyohadi et al., 1999). Sementara itu panjang asimtosis dan laju pertumbuhan udang windu (Penaeus semisulcatus) di perairan Bushehr di Teluk Persia masing-masing sebesar 38 – 50,5 mm dan 1,6 – 2,2 per tahun (Niamaimandi, 2006). Hasil ini menunjukkan bahwa udang windu di perairan Tarakan memiliki ukuran yang lebih besar serta pertumbuhan yang lebih cepat daripada udang windu di perairan Selat Madura. Sementara itu dibandingkan dengan
Laju eksploitasi (E) diperoleh dari nilai Z dan F dengan persamaan E = F/Z. Berdasarkan kriteria dari Pauly et al. (1984), nilai laju pengusahaan yang rasional dan lestari di suatu perairan berada pada nilai E < 0,5 atau paling tinggi pada nilai E = 0,5. Pada kondisi demikian akan diperoleh hasil tangkapan yang berkelanjutan (maximum sustainable yield/MSY). Laju eksploitasi udang windu di perairan ini sebesar 0,56, sementara itu di perairan Selat Madura berkisar antara 0,1 – 0,2 (Setyohadi et al., 1999) dan di perairan Bushehr sebesar 0.67 – 0,70 (Niamaimandi, 2006). Laju pemanfaatan udang windu di perairan ini lebih lebih tinggi dibanding di perairan Selat Madura dan lebih kecil dibanding kondisi di perairan Bushehr. Hasil ini juga sesuai dengan yang diperoleh pada laju kematian. Laju eksploitasi udang windu di perairan
Gambar 5. Pola rekruitmen udang windu di perairan Tarakan, 2012 Figure 5. Recruitment pattern of tiger shrimp in Tarakan waters, 2012 Pola rekrutmen menunjukkan bahwa terdapat dua modus selama satu tahun. Puncak modus yang pertama terjadi pada bulan Mei dengan persentase rekrutmen hampir 20%, sedangkan puncak modus kedua pada bulan Oktober dengan persentase dibawah 10%.
224
Dinamika Populasi dan Tingkat Pemanfaatan ………..di Perairan Tarakan, Kalimantan Timur (Diandria D., et al)
ini sudah berada pada keadaan yang jenuh (fully exploited) dan cenderung mengarah pada keadaan lebih tangkap (overexploited), dimana nilai E sudah melebihi batas nilai optimum sebesar 12%. Oleh karena itu, perlu dilakukan pola pemanfaatan yang bertanggungjawab agar potensi lestari tetap terjaga. Dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan yang berkelanjutan disarankan untuk mengurangi uapaya penangkapan sekitar 12% dari jumlah upaya yang ada saat ini. Menurut Ongkers (2006), pola rekrutmen pada ikan teri memiliki keterkaitan dengan waktu pemijahan. Kondisi yang sama juga terjadi pada udang. Pola rekrutmen udang windu di perairan ini diduga dengan menggunakan program FiSAT, walaupun seringkali hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan kenyataan di alam, mengingat bahwa model ini mendasarkan pada dua asumsi yang pada kenyataannya jarang terjadi, yaitu semua sampel ikan tumbuh dengan satu set tunggal parameter pertumbuhan dan satu bulan dalam setahun terdapat nol rekrutmen (Pauly, 1987; Gayanilo et al., 2005). Namun demikian, model tersebut tetap bermanfaat untuk menduga bagaimana rekrutmen populasi ikan/udang di alam terjadi dalam satu tahun. Berdasarkan Gambar 4, diketahui bahwa puncak penambahan baru terjadi pada bulan Mei dan Oktober. Hal ini diduga berkaitan dengan musim pemijahan udang windu di perairan ini, dimana pemijahan cenderung tinggi pada bulan Maret dan mencapai puncaknya pada bulan Juli (Kembaren et al., 2013). Menurut Dall et al., (1990), udang Penaeus mencapai usia muda (subadult) dan masuk ke area penangkapan setelah sekitar 3 – 5 bulan. Dengan demikian, rekrutment pada bulan Mei diduga berasal dari pemijahan pada bulan Maret dan rekrutmen pada bulan Oktober berasal dari pemijahan pada bulan Juli. KESIMPULAN Udang windu di perairan Tarakan ini memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan laju kematian alami kecil. Laju ekploitasi/pengusahaan udang windu di perairan ini sudah berada pada kondisi jenuh (fully exploited) dan cenderung mengarah pada penangkapan berlebih (overexploited). Dengan demikian perlu dilakukan pengaturan jumlah upaya penangkapan sekitar 12% dari jumlah upaya saat ini agar kelestarian sumberdaya udang windu dapat tetap terjaga.
Pengelolaan Perikanan (WPP) 712 Laut Jawa dan 716 Laut Sulawesi di Balai Penelitian Perikanan Laut T.A. 2012. DAFTAR PUSTAKA Balai Penelitian Perikanan Laut. 2012. Laporan penelitian pengkajian stok dan pengusahaan sumberdaya udang penaeid dan rajungan di wilayah pengelolaan perikanan 712 Laut Jawa dan 716 Laut Sulawesi. Jakarta. 132 hal. Dall, W, B.J. Hill, P.C. Rothlisberg, & D.J. Staples. 1990. The Biology of the Penaeidae. In Advances in Marine Biology, Vol. 27, edited by J.H.S. Blexter and A.J. Southward. Academic Press, London. 489 p. Dinas Kelautan dan Perikanan. 2011. Statistik perikanan tangkap kota Tarakan. Dinas Kelautan dan Perikanan Tarakan. Diterbitkan setiap tahun. Gayanilo, F. C. Jr., P. Sparre & D. Pauly. 2005. FAOICLARM Stock Assessment Tools II (FiSAT II). Revised version.User’s guide. FAO Computerized Information Series (Fisheries). No. 8, Revised version. FAO Rome. 168p. Gulland, J. A. 1983. Fish stock assesment. A Manual of Basic Methods. John Wiley & Sons. Chicester. 233 pp. Kembaren, D.D., B. Sumiono, & Suprapto. 2012. Biologi dan parameter pertumbuhan udang jerbung (Penaeus merguiensis) di perairan Bone, Sulawesi Selatan. Dalam Suman, A, Wudianto, dan B. Sumiono (Ed.). Status pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Banda. IPB Press. Bogor. 300 hal. Kembaren, D.D., E. Nurdin, & R. Ramadhani. 2013. Parameter biologi udang windu dan udang jerbung di perairan Tarakan. (tidak dipublikasi) Naamin, N. 1977. Perkembangan perikanan udang di Indonesia. Prosiding Seminar II Perikanan udang. Maret 1977. LPPL. Jakarta p: 55-65
PERSANTUNAN
Naamin, N. 1984. Dinamika populasi udang jerbung (penaeus merguiensis de Mann) di perairan Arafura dan alternatif pengelolaannya. Desertasi., Fakultas Pascasarjana : Institut Pertanian Bogor. 277 hal.
Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian Pengkajian Stok dan Pengusahaan Sumberdaya Udang Penaeid dan Rajungan di Wilayah
Niamaimandi, N. 2006. Bio-dynamics and life cycle of shrimp (Penaeus semisulcatus de Hann), in Bushehr coastal waters of the Persian Gulf. Thesis
225
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 221-226
abstract. School of Graduate Studies, Universiti Putra Malaysia. 31p Ongkers, OTS. 2006. Pemantauan Terhadap Parameter Populasi Ikan Teri Merah (Encrasicholina heteroloba) di Teluk Ambon Bagian Dalam. Prosiding Seminar Nasional Ikan IV di Jatiluhur tanggal 29-30 Agustus 2006. Masyarakat Iktiologi Indonesia kerjasama dengan Loka Riset Pemacuan Stok Ikan, PRPT-DKP, Departemen MSP-IPB, dan Puslit Biologi LIPI: 31-40. Pauly, D. 1983. Some Simple Methods for the Assessment of Tropical Fish Stocks. FAO Fisheries Technical Paper (254): 52p. Pauly, D. 1987. A Review of the ELEFAN System for Analysis of Length-Frequency Data in Fish and Aquatic Invertebrates. In Length-Based Methods in Fisheries Research. ICLARM Conference Proceedings 13, 468p. D. Pauly and G.R. Morgan (eds). International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila, Philippines, and Kuwait Institute for Scientific Research, Safat, Kuwait: 7 – 34p. Pinheiro, A. P. & J. E. Lins-Oliveira. 2006. Reproductive biology of Panulirus echinatus (Crustacea: Palinuridae) from São Pedro and São Paulo Archipelago, Brazil. Nauplius. 14(2): 89-97. Pusat Data Statistik dan Informasi KKP. 2012. Buku statistik propinsi dalam angka 2011. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 136 hal. Saputra, S.W. 2005. Dinamika Populasi Udang Jari (Metapenaeus elegans De Mann 1907) dan Pengelolaannya di Laguna Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah. Desertasi, Sekolah Pascasarjana. Bogor : Institut Pertanian Bogor. 235 hal.
226
Saputra, S.W., & Subiyanto. 2007. Dinamika populasi udang jerbung (Penaeus merguiensis De Mann 1907) di Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Ilmu Kelautan. Vol 12 (3) : 157-166 Setyohadi, D., D. Nugroho, T.J. Lelono, D.G.R. Wiadnya, & Martinus. 1999. Biologi dan distribusi sumberdaya udang penaeid berdasarkan hasil tangkapan di Selat Madura. Laporan Penelitian Litbang Pertanian. P : 50 – 61 Sparre, P. & S. Venema. 1999. Introduction to Tropical Fish Stock Assesment. (IntroduksiPengkajian Stok Ikan Tropis, alih bahasa: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan). Buku 1: Manual. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.438p. Suman, A. 1992. Dinamika udang dogol (Metapenaeus ensis de Haan) di perairan pantai selatan Jawa. Prosiding Seminar Ekologi Laut dan Pesisir I : hal. 64-71 Suman, A & C. Umar. 2010. Dinamika populasi udang putih (Penaeus merguiensis de Mann) di perairan Kotabaru, Kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 16 (1) : 29-33 Sumiono, B & A. Djamali, 2006. Pemanfaatan sumberdaya udang dan ikan demersal di perairan perbatasan Nunukan - Tawau, Kalimantan Timur. Prosiding Hasil-hasil Penelitian Ekosistem Terumbu Karang Sapa Segajah dan Ekosistem Muara Kalimantan Timur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UnMul - Bappeda Pemprov Kalimantan Timur - PRPT,BRKP - P2O LIPI: 130147 Udupa, K.S., 1986. Statistical method of estimating the size of first maturity in fish. Fishbyte 4(2) : 811.
Status Bio-Ekonomi Perikanan Udang di Laut Arafura (Purwanto)
STATUS BIO-EKONOMI PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA BIO-ECONOMIC STATUS OF SHRIMP FISHERY IN THE ARAFURA SEA Purwanto Anggota Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan Teregistrasi I tanggal: 24 Juli 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 04 Desember 2013; Disetujui terbit tanggal: 11 Desember 2013
ABSTRAK Tulisan ini menyajikan hasil kajian potensi ekonomi dan upaya penangkapan optimal dari perikanan udang di Laut Arafura, termasuk pula estimasi dampak dari peningkatan upaya penangkapan terhadap profitabilitas pengoperasian kapal dan keuntungan ekonomi perikanannya. Berdasarkan hasil analisis, total keuntungan optimum dari pemanfaatan stok udang di Laut Arafura adalah sekitar US$ 168,4 juta per tahun yang dihasilkan dengan upaya penangkapansekitar 388 unit setara kapal penangkap udang.Walaupun upaya penangkapan dari kapal yang memiliki surat izin penangkapan ikan di Laut Arafura tahun 2011 lebih rendah dibandingkan upaya penangkapanyang secara ekonomis optimal, stok udang penaeid tersebut telah dimanfaatkan melebihi tingkat optimumnya akibat tingginya intensitas operasi kapal perikanan tanpa izin. Estimasi kerugian ekonomi akibat kegiatan penangkapan ikan ilegal juga disajikan disini. KATA KUNCI: Perikanan udang, produksi ekonomi maksimum, upaya penangkapan optimum, penangkapan ikan illegal. ABSTRACT This paper presents result of the assessment of economic potential and optimal fishing effort of the shrimp fishery in the Arafura Sea, including estimated impact of increasing fishing pressure on the vessel profitability and the fishery profit. Based on the result of analysis, the optimal profitfrom the exploitation of the penaeid shrimp stock in the Arafura Sea was about US$ 168.4 million per year resulting from the operation of 388 units of shrimp trawlers. Although fishing effort from licensed vessels in 2011 was lower than the optimum level to optimal profit, the penaeid shrimp stock was overexploited as the intensity of illegal fishing by unlicensed vessels was high. Estimate of economic losses caused by illegal fishing is also presented. KEYWORDS: Shrimp fishery, maximum economic yield, optimum fishing effort, illegal fishing.
PENDAHULUAN Kegiatan perikanan yang dilakukan oleh nelayan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan (SDI) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia pada dasarnya adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan untuk memperoleh keuntungan. Berdasarkan nilai ekonominya, stok udang penaeid merupakan salah satu SDI utama di Indonesia. Data produksi perikanan laut Indonesia periode tahun 20012010 menunjukkan bahwa volume produksi udang hanya sekitar 3% dari volume seluruh produksi perikanan laut nasional. Namun, nilai dari produksi udang tersebut mencapai sekitar 12% dari nilai seluruh produksi perikanan tersebut (Ditjen Perikanan Tangkap, 2009 & 2012). Sejarah perikanan laut Indonesia menunjukkan bahwa perkembangan perikanan udang pada perairan nusantara sangat dipengaruhi oleh permintaan udang di pasar dunia dan nilai ekonomi udang yang tinggi.
Udang penaeid merupakan komoditas utama ekspor perikanan Indonesia.Volume maupun nilai ekspor udang berada pada urutan tertinggi dibanding komoditas ekspor hasil perikanan Indonesia lainnya. Berdasarkan data ekspor hasil perikanan periode tahun 2000-2009, kontribusi dari perikanan udang, mencakup kegiatan penangkapan dan kegiatan budidaya,terhadap ekspor perikanan adalah sekitar 19% dari volume seluruh ekspor hasil perikanan atau sekitar 50% dari nilai seluruh ekspor hasil perikanan Indonesia (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010). Stok udang penaeidterdapat hampir di semua Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), khususnya di paparan Sahul dan Sunda. Kelimpahan stok udang tertinggi terdapat di WPP Laut Arafura. Berdasarkan estimasi potensi produksi udang penaeid masingmasing WPP, sebagaimana tercantum pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 45/Men/2011, stok udang penaeid di Laut Arafura
227
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 227-234
diperkirakan dapat menghasilkan produksi lestari sekitar 45% dari potensi produksi udang penaeid di Indonesia. Kegiatan penangkapan udang secara komersial di Arafura dimulai pada awal tahun 1970-an (Baileyet al., 1987).Permintaan udang di pasar dunia yang terus meningkat mendorong pelaku usaha untuk meningkatkan upaya penangkapannya hingga melebihi daya-dukung stok udang. Dampak dari hal tersebut adalah kelimpahan stok udang lebih rendah dibandingkan kelimpahan yang menghasilkan produksi udang pada tingkat optimum, sehingga keuntungan pelaku usaha jauh lebih rendah dibandingkan tingkat optimumnya dan keuntungan ekonomi perikanan udang yang jauh lebih rendah dibandingkan potensi ekonomi yang dapat dihasilkan (Purwanto, 2008). Kondisi perikanan udang di Laut Arafura membaik setelah Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan perbaikan pengelolaan perikanan yang dilakukan secara komprehensif, termasuk pula peningkatan kapasitas dan operasi pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan, yang dimulai tahun 2001. Dampak positif dari perbaikan pengelolaan perikanan tersebut adalah peningkatan kelimpahan stok udang mendekati tingkat optimumnya, keuntungan per kapal meningkat dan keuntungan ekonomi perikanan udang yang jauh lebih tinggi mendekati potensi ekonomi yang dapat dihasilkan pada tahun 2005 (Purwanto, 2008). Amat disayangkan bahwa kondisi stok udangdan perikanannya kembali memburuk mulai tahun 2006 (Purwanto, 2013). Pada tulisan ini disajikan hubungan antara keuntungan per kapal perikanan udang dengan tingkat upaya penangkapan udang dan kelimpahan stok udang di Laut Arafura. Selain itu, juga disajikan potensi ekonomi yang dapat diperoleh dari pemanfaatan stok udang di perairan tersebut. BAHAN DAN METODE Potensi ekonomi perikanan dari pemanfaatan stok udang penaeid di Laut Arafura yang dimaksudkan dalam tulisan ini mencakup potensi ekonomi dari kegiatan usaha penangkapan dan pengolahan udang yang diukur dengan keseluruhan keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh dari dua kegiatan usaha tersebut sebagai usaha terpadu. Udang hasil tangkapan kapal perikanan langsung diproses di atas kapal, segera setelah ditangkap, menjadi produk siap ekspor. Oleh karena itu, data dan informasi yang digunakan dalam analisis untuk tulisan ini mencakup koefisien
228
fungsi produksi perikanan udang, biaya penangkapan dan harga udang. Biaya penangkapan udang mencakup biaya operasi kapal penangkap, biaya pengolahan hasil tangkapan di atas kapal serta biaya pengelolaan usaha (Lampiran 1). Harga udang yang digunakan adalah harga jual udang setelah diolah di atas kapal. Hasil analisis kemudian dibandingkan dengan keragaan tahun 2011 yang diestimasi berdasarkan jumlah kapal penangkapan ikan yang beroperasi dengan maupun tanpa izin tahun tersebut. Koefisien fungsi produksi perikanan udang bersumber dari Purwanto (2013), sedangkan biaya penangkapan dan harga udang tahun 2011 bersumber dari beberapa perusahaan penangkapan udang. Jumlah kapal yang berizin (memiliki surat izin penangkapan ikan - SIPI) bersumber dari Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, sedangkan data jumlah kapal tanpa izin bersumber dari Purwanto (2013). Analisis dalam tulisan ini menggunakan model bioekonomi. Model tersebut, sebagaimana diperkenalkan oleh Gordon (1954) dengan dasar model produksi dari Schaefer (1954, 1957), terdiri dari beberapa persamaan sebagai berikut: = TR – TC TR = h.Y TC = c.E Y =a.E – b.E2
(1) (2) (3) (4)
Keterangan: = keuntungan keseluruhan yang diperoleh penangkapan udang; TR = perolehan keseluruhan dari penangkapan udang; TC = biaya keseluruhan penangkapan udang; Y = produksi udang hasil tangkapan; h = harga udang; c = biaya penangkapan udang per satuan upaya; E = upaya penangkapan udang; a danb = koefisien fungsi produksi perikanan udang. Tingkat produksi saat dicapai keuntungan optimum (maximum economic yield – MEY) dan tingkat upaya penangkapan yang menghasilkan MEY (E MEY) diestimasi dengan rumus berikut ini: MEY = a2/4b – c2/(4bh2) EMEY= a/2b – c/(2hb)
(5) (6)
Nilai dari koefisien/parameter a, b, c dan h untuk analisis disajikan pada Tabel 1.
Status Bio-Ekonomi Perikanan Udang di Laut Arafura (Purwanto)
Tabel 1. Nilai dari koefisien/parameter biologi dan ekonomi perikanan udang di Laut Arafura Table 1. The value of biological and economic coefficients/parameters of shrimp fishery in the Arafura Sea Koefisien/parameter (Coefficients/parameters) a b c
Nilai/ Values
Satuan/Units
Sumber/Sources
155,8619 – 0,12271 551840
Ton/kapal/tahun Purwanto (2013) (Tons/vessel/year) US$/kapal/tahun Beberapa perusahaan (US$/vessel/year) penangkap udang/A number of h US$/ton (US$/tons) shrimp fishing companies 9107 Keterangan/Remark: Rata-rata nilai tukar pada tahun 2011/Avarage exchange rate in 2011, US$ 1 = Rp 8800 (Badan Pusat Statistik, 2013).
HASIL DAN BAHASAN HASIL Total keuntungan optimum dari pemanfaatan stok udang di Laut Arafura adalah sekitar US$ 168,4 juta per tahun yang dihasilkan dengan upaya penangkapan (EMEY) sekitar 388 unit setara kapal penangkap udang ukuran 130 GT, pada saat biaya penangkapan dan harga udang masing-masing US$ 552 ribu per kapal per tahun dan US$ 9,1 per kilogram (Gambar 1A). Tingkat keuntungan tersebut 68% lebih tinggi dibandingkan tingkat keuntungan yang diperoleh pada saat dicapai produksi lestari maksimum (maximum sustainable yield - MSY) (Tabel 2). Pada saat upaya penangkapan lebih rendah daripada EMEY, peningkatan upaya penangkapan meningkatkan total keuntungan yang diperoleh pelaku usaha penangkapan udang. Setelah mencapai total keuntungan maksimum, peningkatan lebih-lanjut pada upaya penangkapan justru menyebabkan turunnya total keuntungan perikanan (Gambar 1A). Intensitas upaya penangkapan pada saat dicapai keuntungan optimum lebih rendah dibandingkan intensitas penangkapan untuk menghasilkan MSY (Tabel 2). Keuntungan pelaku usaha pada saat dicapai tingkat keuntungan maksimum tersebut adalah sekitar US$ 433,8 ribu per unit kapal per tahun (Gambar 1B). Keuntungan pelaku usaha tersebut 2,7 kali keuntungan pelaku usaha saat dicapai MSY (Tabel 2). Keuntungan pelaku usaha per unit kapal menurun dengan meningkatnya upaya penangkapan udang (Gambar 1B). Keuntungan ekonomi tidak lagi diperoleh, bahkan merugi, bila upaya penangkapan terus meningkat tanpa kendali. Pada tahun 2005, upaya penangkapan udang lebih rendah dibandingkan upaya penangkapan saat dicapai MSY (EMSY), namun lebih tinggi dibandingkan E MEY . Konsekuensinya, keuntungan ekonomi perikanan dan keuntungan per satuan kapal lebih tinggi dibandingkan saat dicapai MSY, walaupun secara
ekonomis belum mencapai tingkat optimalnya (Tabel 2). Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada tahun 2005 stok udang secara biologis tidak lagi dimanfaatkan berlebih, namun secara ekonomis masih dimanfaatkan secara berlebih. Kondisi perikanan udang di Laut Arafura kembali memburuk pada tahun 2011. Upaya penangkapan tahun 2011 adalah 29% lebih tinggi dibandingkan tahun 2005, 15% lebih tinggi dibandingkan EMSY dan 88% lebih tinggi dibandingkan EMEY. Akibatnya, keuntungan ekonomi perikanan dan keuntungan per satuan kapal lebih rendah dibandingkan tahun 2005, saat dicapai MSY ataupun saat dicapai MEY (Tabel 2). Hal tersebut mengindikasikan bahwa stok udang secara biologis dan ekonomis dimanfaatkan secara berlebih pada tahun 2011. Upaya penangkapan udang dari kapal yang memiliki SIPI tahun 2011lebih rendah dibandingkan upaya penangkapan EMEY. Tingginya intensitas penangkapan udang dari kapal perikanan yang beroperasi secara illegal menyebabkan upaya penangkapan udang tahun 2011 lebih tinggi dibandingkan EMEY maupun EMSY. Keragaan perikanan udang tahun 2011 sebagai dampak operasi kapal illegal di Laut Arafura disajikan pada Tabel 3. Bila tidak terdapat kapal perikanan illegal, upaya penangkapan udang tahun 2011 adalah 267 unit setara kapal pukat udang ukuran 130 GT yang akan menghasilkan produksi udang dan keuntungan perikanan masingmasing 32,9 ribu ton/tahun dan US$ 152 juta/tahun. Beroperasinya kapal perikanan udang secara ilegal telah menyebabkan upaya penangkapan udang meningkat menjadi 731 unit. Dampak langsung dari hal tersebut adalah penyusutan produksi udang dari kapal berizin sebesar 15,2 ribu ton/tahun. Secara umum, kerugian ekonomi akibat kegiatan penangkapan udang secara illegal tersebut adalah sekitar US$ 417,9 juta/tahun, mencakup produksi udang yang dicuri senilai US$ 279,5 juta/tahun dan penyusutan produksi udang senilai US$ 138,4 juta/ tahun.
229
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 227-234
400
1000
300
Perolehan Biaya Keuntungan
200 100
(A)
0 -
-100 -200
200 400 600 800 1.000 Upaya penangkapan (setara jumlah kapal pukat udang)
Keuntungan per kapal (US$ 1000/tahun)
Total perolehan, biaya dan keuntungan penangkapan (US$ juta/tahun)
500
800 600 400 200
(B)
0 200 400 600 800 1.000 -200 Upaya penangkapan (setara jumlah kapal pukat udang)
Gambar 1. (A) Estimasi total perolehan, total biaya dan total keuntungan penangkapan udang, serta(B) estimasi tingkat keuntungan per kapal perikanan udang, di Laut Arafura pada berbagai tingkat upaya penangkapan. Figure 1. (A) The estimated total revenue, total cost and profit, and (B) the estimatedprofit per unit vessel in the Arafura shrimp fishery at different levels of fishing effort. Tabel 2. Keragaan biologi dan ekonomi perikanan udang di Laut Arafura pada tingkat optimal serta keragaan pada tahun 2005 dan 2011. Table 2. Biological and economic*) performances of shrimp fishery in the Arafura Sea at the optimal levels and inyear 2005 and 2011.
Satuan/Units
1.
Tingkat optimal/ Optimal levels secara secara ekonomis/ biologis/ Economic Biological optimal optimal
2005
2011
Jumlah kapal pukat c) d) udang/Number of shrimp 731 388 635 564 trawlers 2. Produksi udang/ 1000 ton/tahun a) b) 42,0 49,5 48,9 48,4 Shrimp production (1000 tons/ year) 3. Produktivitas kapal/ Ton/kapal 108,2 77,9 86,6 66,2 Vessel productivity (Tons/vessel) 4. Perolehan keseluruhan/ US$. juta/tahun 382,6 450,7 445,2 440,5 Total revenue (US$ million/year) 5. Biaya keseluruhan/ US$. juta/tahun 214,2 350,5 311,5 403,2 Total cost (US$ million/year) 6. Keuntungan ekonomi/ US$. juta/tahun 168,4 100,3 133,7 37,3 Total economic profit (US$ million/year) US$. ribu/tahun 7. Keuntungan per satuan 433,8 157,9 236,8 51,0 kapal/ Profit per vessel (US$ million/year) Keterangan/Remarks: *) dibakukan pada nilai ekonomi tahun 2011/standardised into economic value of 2011; a) Maximum economic yield (MEY); b) Maximum sustainable yield (MSY). Sumber/Sources: c) Purwanto (2008); d) Purwanto (2013).
230
Upaya penangkapan/ Fishing effort
Status Bio-Ekonomi Perikanan Udang di Laut Arafura (Purwanto)
Tabel 3. Estimasi keragaan perikanan udang di Laut Arafura tahun 2011 sebagai dampak operasi kapal tanpa izin dan estimasi keragaan bila tidak terdapat kegiatan penangkapan illegal. Table 3. Estimated performance of shrimp fishery in the Arafura Sea in 2011 as an impact of the operation of unlicensed vessels and estimated performance if illegal fishing did not exist. Kondisi/Situation
Uraian/Description
Tahun 2011, terdapat illegal fishing/Year 2011, illegal fishing existed
Keseluruhan/Total 1) Kapal berizin/Licensed vessels 2) Kapal tidak berizin/Unlicensed vessels Keseluruhan/Total 1) Produksi didaratkan kapal Estimasi berat udang yang berizin/Production landed by dipanen/Estimate of the licensed vessels quantity of harvested 2) Produksi dicuri kapal illegal/ ) shrimps (ton/tons) * Production stolen byunlicensed vessels Penyusutan produksi udang (ton) kapal berizin akibat operasi kapal illegal/The decrease in the shrimp catch (tons) landed by licensed ) vessels as an impact of the operation of unlicensed vessels* Keseluruhan/Total Biaya penangkapan (US$ 1) Biaya operasi kapal berizin/ Operational cost of licensed vessels juta/thn)/ Cost of fishing 2) Biaya operasi kapal illegal/ (US$/million/year) Operational cost of unlicensed vessels Keseluruhan/Total 1) Nilai produksi yang didaratkan kapal Nilai produksi udang (US$ berizin/Value of shrimp production juta/thn)/ landed by licensed vessels Value of shrimp production 2) Nilai produksi yang dicuri kapal (US$ million/year) ilegal/Value of shrimp production stolen by unlicensed vessels Keseluruhan/Total 1) Keuntungan diperoleh kapal Keuntungan penangkapan berizin/Profit gained by licensed udang (US$ juta/thn)/Profit vessels of fishing (US$ million/year) 2) Keuntungan diperoleh kapal illegal/ Profit gained by unlicensed vessels Keseluruhan/Total 1) Nilai produksi yang dicuri kapal illegal/ Value of shrimp production Kerugian ekonomi akibat stolen by unlicensed vessels illegal fishing (US$ juta/thn)/Economic losses as 2) Nilai penyusutan produksi akibat the impact of illegal fishing operasi kapal illegal/The value of (US$ million/year) decreased production as the impact of the operation of unlicensed vessels Upaya penangkapan/Fishing effort Produksi udang/Shrimp production Biaya penangkapan/Cost of fishing Nilai produksi udang/Value of shrimp production Keuntungan penangkapan udang/Profit gained from shrimp fishing
Bila tidak terdapatillegal fishing/ If illegal fishing did not exist
Upaya penangkapan(jumlah kapal pukat udang)/Fishing effort (the number of shrimp ) trawlers) *
Jumlah/ Amount 731 267 464 48370 17678
30692
15194 403.2 147.4 255.9 440.5 161.0
279.5 37.3 13.6 23.6 417.9 279.5
138.4
267 32872 147.4 299.4 152.0
)
* Sumber/source: Purwanto (2013).
231
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 227-234
BAHASAN Hasil analisis menunjukkan bahwa keuntungan pelaku usaha per unit kapal menurun dengan meningkatnya upaya penangkapan udang (Gambar 1B). Bagi suatu unit usaha penangkap udang, lebih sedikit unit usaha yang memanfaatkan stok udang akan lebih diinginkan karena akan lebih tinggi keuntungan ekonomi yang diperoleh. Namun demikian, stok udang di laut merupakan sumberdaya milik umum, tidak seorangpun memiliki hak khusus untuk memanfaatkan sendiri ataupun melarang orang lain ikut memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Adanya keuntungan pada usaha penangkapan dan tidak adanya pengendalian efektif terhadap perkembangan upaya penangkapan telah mendorong pelaku usaha untuk mengembangkan armada penangkapannya, guna meningkatkan kapasitas usahanya, yang berakibat peningkatan upaya penangkapan. Setiap pelaku usaha yang masih memperoleh keuntungan berlomba meningkatkan upaya penangkapannya dengan harapan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak, dengan konsekuensi produktivitas dan profitabilitas perikanan secara keseluruhan justru akan menurun. Sementara itu, peningkatan upaya penangkapan pada saat upaya penangkapan masih rendah, lebih rendah daripada EMEY, meningkatkan total keuntungan perikanan udang. Setelah mencapai total keuntungan maksimum, peningkatan lebih-lanjut pada upaya penangkapan justru menyebabkan turunnya total keuntungan perikanan (Gambar 1A).Hal terakhir tersebut mengindikasikan terjadinya pemanfaatan stok udang yang secara ekonomis berlebih. Hal tersebut akibat dari investasi pada armada perikanan yang melebihi tingkat investasi yang diperlukan untuk menghasilkan keuntungan optimal (over-capitalisation) (Pascoe et al., 2004). Secara ekonomis, batas pertumbuhan kegiatan pemanfaatan SDI untuk memperoleh ikan di perairan adalah pada saat dicapai tingkat keuntungan optimum, yaitu pada tingkat produksi yang menghasilkan keuntungan maksimum (MEY). Pada tahun 2011, telah terjadi overkapitalisasi pada armada perikanan udang yang berakibat pemanfaatan stok udang secara berlebih. Kontribusi optimum perikanan udangdi Laut Arafuraterhadap pembangunan nasional dimungkinkan bila stok udang dimanfaatkan pada tingkat optimal dan lestari. Manfaat optimum dari stok udang tersebutuntuk sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak akan dapat dicapai pada kondisi pemanfaatan stok udang secara berlebih seperti tersebut. Agar stok udang lestari serta
232
dapat menghasilkan manfaat secara optimum dan berkelanjutan, pemerintah perlu melaksanakan pengelolaan perikanan (Pasal 1 & 6 UU nomor 31 tahun 2004). Hal tersebut pada dasarnya merupakan pelaksanaan Pasal 33 UUDRI 1945. Mempertimbangkan kondisi perikanan laut saat ini, intervensi Pemerintah diperlukan untuk mengendalikan jumlah kapal perikanan dalam kerangka pengelolaan perikanan, termasuk pula eliminasi penangkapan ikan tanpa izin, agar upaya penangkapannya pada tingkat optimal. KESIMPULAN Total keuntungan optimum dari pemanfaatan stok udang di Laut Arafura adalah sekitar US$ 168,4 juta per tahun yang dihasilkan dengan upaya penangkapan (EMEY) sekitar 388 unit setara kapal penangkap udang ukuran 130 GT. Pemanfaatan stok udang di Laut Arafura pada tahun 2011 secara ekonomis telah melebihi tingkat optimal. Intervensi Pemerintah diperlukan dalam rangka mengendalikan izin penangkapan dan mencegah terjadinya illegal fishing. DAFTAR PUSTAKA Bailey, C., A. Dwiponggo, & F. Marahudin. 1987. Indonesian marine capture fisheries. ICLARM Studies and Reviews 10. Badan Pusat Statistik. 2013. Average Prices of Selected Foreign Currencies by Province, 2 0 11 . h t t p : / / w w w . b p s . g o . i d / t a b _ s u b / view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek= 13¬ab=12 Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2009. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2008. DJPT-KKP, Jakarta. 134 hal. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2012. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2011. DJPT-KKP, Jakarta. 134 hal. Gordon, H.S. 1954. The economic theory of the common property resource: the fishery. Journal of Political Economy, 62: 124-42. Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010. Statistik Ekspor Hasil Perikanan. KKP, Jakarta. 528 hal. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 45/Men/2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.
Status Bio-Ekonomi Perikanan Udang di Laut Arafura (Purwanto)
Purwanto. 2008. Resource rent generated in the Arafura shrimp fishery. Final Draft. Prepared for the World Bank PROFISH Program. Washington. D.C. 29 p. Purwanto, 2013. Produktivitas armada penangkapan dan potensi produksi perikanan udang di Laut Arafura. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 19 (4): – xx. Schaefer, M. B. 1954. Some aspects of the dynamics of populations important to the management of commercial marine fisheries. Bulletin of the Inter American Tropical Tuna Commission, 1: 25-56.
Schaefer, M. B. 1957. Some considerations of population dynamics and economics in relation to the management of marine fisheries. Journal of the Fisheries Research Board of Canada, 14: 66981. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDRI) tahun 1945 [The Constitution of the Republic of Indonesia of 1945]. Undang Undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan [Fisheries Act no 31 of 2004].
233
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 4 Desember 2013 : 227-234
Lampiran 1. Biaya operasional kapal pukat udang di Laut Arafura tahun 2011 Annex 1. Average cost of operating a shrimp trawler in the Arafura Sea in 2011 (dalam US$/in US$) 1.
Biaya penangkapan dan pengolahan di laut/Cost for Fishing and Processing at Sea 1.1.
1.2.
2.
Pengeluaran terkait pengolahan/Manufacturing expenses Biaya pengolahan/Processing cost Biaya kepelabuhanan/Port charges Impor bahan/Freight import Angkutan dan pergudangan/Carriage and storage Pengeluaran lainnya/Sundry expenses
2.2.
Tenaga kerja langsung(ABK)/Direct labor (vessel crews) Upah dan Tunjangan/Wages and Allowances Perbekalan – ABK di kapal dan darat/Provisions - crews on board and ground Pengeluaran terkait keselamatandan kesejahteraan/Welfare expenses Tenaga administrasi/Administrative employees Upah dan tunjangan/Wages and allowance Pengeluaran terkait keselamatan dan kesejahteraan/Welfare expenses
55449 20359 618
21193 264
249 1674 1130 4033 15072 1362
Biaya Tetap/Fixed Cost Perbaikan alat tangkap/Fishing gear repair Perbaikan kapal/Vessel repair Pengeluaran untuk mobil/Car expenses Perbaikan mobil/Car repairs Sewa bangunan/Rental for real estate Pungutan perikanan/Fishing fee Pajak dan iuran/Dues and taxes Asuransi/Insurance Bunga atas modal/Interest on assets
Biaya keseluruhan (US$/kapal/tahun)/Total cost (US$/vessel/year)
234
5098 1731 323 9750 969
Biaya Umum dan Administrasi/General and Administrative Cost Penerangan, pemanas dan air/Light, heat and water Pos dan telekomunikasi/Postage and cables Biaya perbankan/Bank charges Biaya perjalanan/Traveling expenses Pengeluaran lainnya/Sundry expenses Bahan-bahan lainnya/Sundry supplies
4.
253560 11709 4564 25949
Biaya Tenaga Kerja/Labor Cost 2.1.
3.
Biaya bahan/Material cost Bahan bakar minyak/Fuel oil Minyak pelumas/Lubricant oil Bahan pengepakan/Packing material Bahan-bahan lainnya/Sundry supplies
13499 64332 666 540 1861 5349 3928 17334 9274 551840